Pencarian

Alice In Wonderland 1

Alice In Wonderland Karya Lewis Carroll Bagian 1


Lewis Carroll Alice in Wonderland Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
Daftar Isi Terejerembab ke dalam Lubang Kelinci #11
Sungai Airmata #20 Balapan Antar Anggota Pertemuan dan Kisah yang Panjang #30
Si Kelinci Memerintah Si Kadal Kecil #39
Nasehat Seekor Ulat #52 Babi Dan Lada #64 Jamuan Minum Teh Gila #78
Pertandingan Kriket Sang Ratu #90
Kisah Kura-Kura Palsu #103
Tarian Udang Laut #116 Pencurian Kue Tart #127 Bukti Kesaksian Alice #137
Salam Paskah bagi anak anak pecinta Alice #149
Salam Natal Dari Si Musang Pada Anak-Anak #152
Biografi Singkat Lewis Carroll (1832 -1898) #153
Puisi Alice 'ini suara udang laut; begitu ku dengar ia berkata,
'kau telah memanggangku terlalu matang,
aku harus menaburi rambutku dengan gula.'
Seperti si bebek duck dengan alisnya,
begitu juga ia dengan hidungnya
memotong ikat pinggang dan kancingnya,
dan melepaskan sepatunya Saat pasir telah mengering,
dia bersuka ria layaknya burung berkicau,
Dan akan berbicara dengan nada angkuh layaknya seekor hiu.
Tapi, ketika gelombang pasang
dan hiu hiu mengelilinginya berputar,
Suaranya pun berubah pelan dan gemetar.
Aku melintasi taman miliknya,
dan memperhatikan, dengan sebelah mata,
Bagaimana si burung hantu dan harimau kumbang itu
berbagi pastel di sana Si harimau kumbang kebagian kulit pastel, saus, dan daging,
Sementara si burung hantu kebagian makanan sisa.
Saat kue tar itu sudah habis, si burung hantu, sebagai anugerah,
Diijinkan boleh mengantongi sendok hadiah;
Dan si harimau kumbang menerima pisau dan garpu dengan sebuah geraman
Dan menutup perjamuan - Semuanya terjadi di suatu senja keemasan
Penuh kegembiraan kami meluncur;
mendayung sepasang dayung kami, dengan sedikit kemampuan,
Dengan lengan berpilin lentur
Sementara tangan tangan kecil membuat sia sia pura pura
Perjalanan kami menemu arah pada akhirnya
Ah tiga gadis kecil yang kejam ! di waktu waktu seperti itu
Dibawah cuaca penuh impian
memohon sebuah kisah dengan nafas lemah
agar bisa tetap menggerakkan sayapnya yang rapuh
Apa yang bisa diucapkan oleh suara seseorang yang lemah
Menghadapi tiga mulut gadis kecil itu sekaligus "
Angka satu, si Prima, berkilat maju ke depan penuh kuasa
Mengumumkan 'semua bermula-
Dengan suara lebih lembut berharaplah angka dua si secunda
"tak bisa!' sementara angka tiga, si tertia, menyela
tak lebih dari semenit sekali
Tanpa nama, bagi kemenangan tiba tiba dan rahasia,
Riang gembira mereka mengejar
Melaju layaknya mimpi kanak kanak melintasi dataran asing liar dan baru
Sambil ngobrol penuh persahabatan dengan burung dan binatang setengah percaya segalanya nyata
Dan bila seandainya, kisah itu berhenti mengalir
mengeringlah sumur kegembiraan itu
Dan susah payah berjuanglah seseorang yang telah bosan itu
menyimpan kembali bahan kisah itu
Dan 'Lanjutan sisanya -' 'lain kali saja !'
Begitu teriak suara suara penuh kebahagiaan itu
Hingga berkembanglah kisah negeri mimpi itu
lalu perlahan, satu demi satu,
peristiwa peristiwa yang pelik dan aneh pun tersusun
dan kini selesai sudah kisah itu,
dan pulang ke rumah kita mendayung
dibawah matahari yang bercahaya saat itu
alice! cerita anak anak pun tercipta
dan dengan lembut tangan disana impian anak anak terjalin
menjadi anyaman kenangan seperti rangkaian bunga bunga layu peziarah
yang dipetik di tanah yang jauh penuh angan
Terjerembab ke dalam lubang Kelinci
ALICE mulai bosan hanya duduk-duduk saja menemani kakaknya yang sedang membaca sebuah buku di bawah pohon. Karena ia tidak bisa melakukan hal lain kecuali diam menunggu. Sesekali ia mengintip buku itu. Nampak buku itu tanpa gambar dan percakapan. "Apakah gunanya buku seperti itu"", tanya Alice dalam hati.
Lalu ia pun membayangkan (sebisanya, karena cuaca panas membuatnya mengantuk dan merasa bodoh), betapa akan lebih menyenangkan bila merangkai bunga-bunga Aster saja. Di saat itulah, tiba-tiba muncul seekor Kelinci Putih bermata pink mendekatinya.
Sungguh, awalnya tak ada yang istimewa dari kelinci itu. Bahkan
ketika terdengar suara kelinci itu berseru: "Ya ampun, ya ampun! Aku terlambat
!" (Alice seharusnya heran saat ia memikirkannya ulang. Tapi saat itu ia masih menganggap kelinci itu biasa-biasa saja); baru ketika kelinci itu mengambil jam tangan dari saku mantel dan sekilas melihat jam itu kemudian bergegas Berlari, Alice mulai tertarik dan bangkit berdiri. Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa ia akan menemui seekor kelinci yang memakai mantel dan membawa jam. Dengan penasaran, Alice lalu mengikuti kelinci yang sedang berlari ke halaman itu. Untungnya kelinci itu masih terlihat saat hendak memasuki sebuah lubang di bawah tanaman pagar.
Selanjutnya, Alice langsung mengejar dan ikut masuk ke dalam lubang itu tanpa berpikir bagaimana ia bisa keluar nantinya..
Lubang itu, awalnya datar sebelum akhirnya lurus ke bawah, menerobos ke dalam tanah mirip terowongan. Alice pun langsung meluncur terjerembab ke bawah dan tak punya kesempatan untuk
12 bisa berhenti, terus meluncur ke dalam sebuah sumur.
Karena sumur itu sangat dalam dan ia meluncur pelan, Alice pun punya banyak kesempatan untuk mengamati sekeliling dan menduga-duga apa yang akan terjadi. Awalnya, ia melihat ke dasar sumur dan berusaha menduga ia akan jatuh sampai mana. Tapi dasar sumur itu sangat gelap dan ia tak bisa melihat apa-apa. Lalu ia mencoba menengok ke sisi-sisi sumur itu. Nampak sisi sumur itu penuh almari dan buku-buku. Di sejumlah tempat terlihat lukisan dan peta tergantung di pasak-pasak kayu. Alice lalu meraih sebuah botol di salah satu rak sambil terus meluncur. Botol itu bertuliskan Selai Jeruk. Namun ia kecewa, botol itu telah kosong isinya. Awalnya, ia ingin menjatuhkan saja botol itu ke dasar sumur. Namun ia urungkan, ia khawatir akan menimpa sesuatu di dasar sumur itu. ia letakkan lagi botol itu di salah satu lemari yang lewati.
"Hmm...," ucap Alice dalam hati,"dengan pengalaman ini, aku aku tidak akan takut lagi jatuh dari tangga! Keluargaku di rumah pastj akan bangga dengan keberanianku ini! Ah, nanti aku tidak akan bilang, meski aku terjatuh dari atap. rumah sekalipun!(seperti kenyataannya benar begitu).
Meluncur ke bawah, terus dan terus ke bawah.
13 Mungkinkah akan berhenti" "Saat ini aku sudah meluncur seberapa dalam ya, kira-kira"", teriak Alice. "Pasti aku sudah melewati dasar bumi. Ah, coba kutebak. Mungkin sudah enam ribu kilometer". (Alice sudah belajar sejumlah hal berkaitan dengan perhitungan jarak di sekolah. Meskipun, saat itu bukan saat yang tepat untuk unjuk kemampuan. Karena toh tidak akan ada yang mendengar. Tapi biarlah itu menjadi latihan mengeja hitungan jarak bagi Alice). "Ya, mungkin segitulah dalamnya. Tapi, Garis Bujur dan Garis Lintangnya berapa, ya"" (Alice tak paham dengan istilah Garis Bujur dan Garis Lintang tapi ia berpikir istilah itu bagus untuk diucapkan)
Alice mulai lagi bicara sendiri: "Jika benar aku sedang meluncur melewati dasar bumi, Oh betapa lucu nanti bila aku ketemu dengan orang orang yang berjalan terbalik, kepalanya di bawah! Mereka pasti para pembenci, kukira -" (ia merasa agak senang karena tak ada yang mendengar ucapannya. Sebab kali ini, rasanya kata katanya tidaklah tepat) - 'Tapi nanti bila ketemu mereka, lebih baik kutanya dulu negara mana ini: Permisi Bu, ini Negara Selandia Baru atau Australia"", kata Alice sambil membungkukkan badan menghormat (bayangkan kalau kamu mencoba membungkuk ketika sedang meluncur ke bawah, mungkinkah itu bisa dilakukan") "Ah, betapa memalukan gadis kecil seperti aku ini bertanya begitu! Tidak, aku tidak akan menanyakannya. Biar nanti kutemukan sendiri jawabannya. Pasti tertulis di suatu tempat."
Meluncur dan terus meluncur ke bawah. Alice terus meluncur ke bawah tanpa bisa berbuat apa-apa. Dan ia hanya bisa bicara sendiri: "Pasti Dinah akan kangen padaku malam ini. Bukankah aku harus merawatnya!" (Dinah adalah nama kucing Alice). Semoga saja
14 keluargaku tidak lupa memberi susu padanya pada saat jamuan minum teh! Oh, Dinah yang manis. Seandainya kamu bersamaku disini saat ini. Memang disini tidak ada tikus. Tapi kamu bisa menangkap kelelawar. Kamu tahu sayang, kelelawar itu mirip tikus. Tapi apakah kucing mau makan kelelawar, ya"" Tak lam
a berselang, Alice mulai mengantuk. Meski begitu, ia terus saja bicara sendiri seperti orang mengigau, "maukah kucing makan kelelawar" Maukah kucing makan kelelawar"" ia ulangi lagi hingga kadang ucapannya terbalik balik, "maukah kelelawar makan tikus"" Karena Alice tidak bisa menjawab kedua pertanyaan itu, pengucapannya yang terbalik-balik juga tidak ada bedanya baginya, lalu ia pun tertidur dan bermimpi sedang jalan jalan bersama Dinah. "Dinah manisku, jawablah dengan jujur. Pernahkah kamu makan kelelawar"" Tiba tiba, terdengarlah suara gedebuk-gedebuk! Ternyata Alice sudah tersangkut di cabang dan ranting sebuah pohon dengan daun-daunnya yang kering. Kini, tubuh Alice tidak meluncur lagi ke bawah.
Alice tidak mengalami luka sedikitpun. ia bergegas meloncat turun, ia tengadahkan mukanya. Namun yang ada hanya gelap dan sepi; di hadapannya terbentang sebuah lorong yang panjang, dan kelinci yang dikejarnya masih terlihat terus berlari ke bawah menyusuri lorong itu. Alice tidak mau kehilangan jejak, ia langsung bergegas mengejarnya ketika suara kelinci itu terdengar lagi di sebuah kelokan: "Oh demi telinga dan Janggutku. Aku sudah sangat terlambat!" Tak lama kemudian, Alice pun melewati kelokan itu dan sampailah di sebuah ruangan yang rendah dan panjang disinari jajaran lampu yang tergantung di langit-langitnya.
Disekeliling sisi ruangan itu terdapat banyak sekali pintu. Namun
15 semuanya terkunci. Setelah itu Alice berjalan ke semua sisi dan berusaha membuka pintu itu satu persatu.
ia kemudian berjalan ke tengah ruangan dan mencoba memikirkan cara keluar dari ruangan itu. Tiba-tiba ia mendapati sebuah meja kaca kecil berkaki tiga. Tak ada sesuatupun diatasnya kecuali sebuah kunci emas kecil. Langsung terbersit dugaan di benak Alice. Kunci itu mungkin adalah salah satu kunci dari pintu-pintu itu. Tapi astaga! Setelah ia coba, kadang kunci itu terlalu kecil atau lubang kuncinya yang terlalu sempit. Kunci itu tak bisa digunakan untuk membuka pintu-pintu itu. Tapi Alice tidak putus asa. ia mencoba berkeliling lagi. Kali ini ia menjumpai sebuah kelambu kecil. Dan dibalik kelambu itu terdapat sebuah pintu. Tingginya kira-kira lima belas inci. ia masukan kunci itu ke lubangnya dan ternyata cocok!
Segera ia buka pintu itu dan nampaklah sebuah lorong kecil ke bawah. Sebuah lorong yang tidak lebih besar dari lubang tikus, menuju sebuah taman yang indah. Betapa ingin ia keluar dari ruangan yang gelap itu dan berjalan-jalan di antara taman bunga yang indah dan mata air yang sejuk. Namun sayang, Alice bahkan tidak bisa memasukkan kepalanya ke pintu lorong menuju taman itu. "Kalaupun kepalaku bisa masuk," pikir si malang Alice, "toh tidak ada gunanya. Bahuku tetap tidak bisa masuk. Oh seandainya aku bisa mengecilkan tubuhku serupa teleskop! Tapi, mestinya aku bisa melakukannya. Mengapa tidak" Asal aku tahu caranya saja". Dari serangkaian pengalaman yang baru ia alami, Alice mulai suka berpikir hal-hal yang tidak mungkin.
Nampaknya tidak ada gunanya untuk terus menunggu di dekat pintu kecil itu, lalu Alice pun lalu memutuskan kembali saja ke meja
16 kaca dan berharap akan menemukan kunci lain atau sebuah buku petunjuk mengenai cara mengecilkan tubuh. Tapi kali ini ia hanya mendapati sebuah botol kecil di atas meja kaca itu (- "tadi tidak ada botol disini", bisiknya heran). Sebuah botol yang lehernya terlapis kertas bertuliskan kata MINUMLAH dengan huruf besar dan bagus.
"Tulisan ini memang menarik tapi lebih baik kuteliti dulu", gumam si kecil Alice dengan bijaksana. "Ada tulisannya beracun atau tidak"". Alice pernah membaca sejumlah cerita soal anak-anak yang terbakar atau dimakan serigala buas atau mahluk menyeramkan lainnya gara-gara mereka tidak percaya nasehat teman-teman mereka: Nasehat-nasehat itu diantaranya: "Jangan main api nanti tanganmu terbakar. Jangan memotong kuku dengan pisau nanti tanganmu luka dan berdarah!" Alice selalu teringat nasehat nasehat itu: "Bila kamu minum cairan di dalam sebuah botol yang ada tulisannya "beracun",' pasti kamu, cepat atau lambat, akan merasakan akibatnya."
Tapi, ternyata botol itu tidak ada
tulisannya beracun. Alice lalu mencicipi isinya dan merasakan enak (ya, rasanya seperti campuran sari buah Cery, podeng, nanas, ayam bakar, gula-gula dan roti bakar). Alice cepat menghabiskan minuman itu.
"Betapa aneh rasanya tubuhku!" seru Alice gemas, "Pasti tubuhku akan mengecil seperti teleskop".
Keinginan itupun terkabul. Kini tinggi badannya mengecil hanya tinggal sepuluh inci. Wajah Alice berseri-seri karena dengan tubuhnya yang kecil ia akan bisa masuk ke lorong kecil, lalu ke taman bunga yang indah itu. Namun untuk beberapa saat, ia putuskan untuk
17 menunggu, ia ingin tahu apakah tubuhnya akan terus mengecil atau tidak, ia sempat agak panik, "kalau tubuhku terus mengecil, bisa jadi aku tidak akan punya tubuh lagi serupa lilin yang habis meleleh. Dan akan jadi seperti apakah diriku"" gumamnya cemas dalam hati. Lalu ia mulai membayangkan padamnya nyala lilin sehabis ditiup, karena ia tak pernah melihatnya. Tapi untunglah hal itu tidak terjadi. Kemudian Alice bergegas menuju ke taman itu. Tapi astaga, betapa kasihan si Alice! Ketika ia sampai di pintu menuju taman itu, ia baru sadar kalau ia lupa menyimpan kuncinya. Dan ketika ia balik ke meja kaca untuk mengambilnya, kunci itu sudah tidak dapat diraih dengan tangannya lagi. Kini kunci itu hanya terlihat diatas sebuah meja kaca yang terlalu tinggi bagi tubuhnya yang kecil. Alice berusaha memanjat meja itu melalui salah satu kakinya. Namun ia gagal karena sangat licin. Akhirnya ia kelelahan, duduk dan menangis.
"Sudahlah, tak ada gunanya lagi menangis!", hibur Alice dalam hati pada dirinya sendiri dengan agak keras. "Sekarang, berhentilah menangis!" (biasanya, Alice memang suka menasehati diri sendiri. Kadang ia juga suka memaki diri sendiri bila ingin menangis, ia masih ingat saat ia menampar telinganya sendiri karena merasa bersalah saat sendirian bermain kriket (Alice memang suka membayangkan dirinya menjadi dua orang). "Tapi sudah tak ada gunanya lagi sekarang untuk berpura-pura menjadi dua orang! Ah..., kenapa susah sekali bagiku, setidaknya satu sosok diriku, untuk bisa jadi orang yang berguna dan terhormat!" .
Airmata Alice pun menetesi sebuah kotak hitam di bawah meja. Ketika ia buka kotak itu, nampak sebuah kue kecil serta secarik kertas bertuliskan kata MAKANLAH AKU dengan huruf besar dan indah.
18 "Ya, aku akan memakannya," kata Alice. "Bila nanti tubuhku membesar, aku akan bisa meraih kunci emas itu. Dan bila tubuhku bertambah kecil, aku akan bisa merangkak ke pintu kecil itu. Toh keduanya akan membuatku bisa sampai ke taman itu. Apapun yang terjadi, terjadilah. Aku tak perduli lagi".
Alice lalu memakan kue itu sedikit seraya tak sabar bergumam, "tubuhku akan makin mengecil atau membesar, ya"" Alice lalu meletakkan telapak tangan di atas kepala untuk bisa merasakan perubahan tubuhnya. Alice terkejut ketika menyadari tubuhnya masih tetap seperti semula. Tidak berubah. Walaupun sebenarnya hal itu lumrah bagi siapa saja yang makan kue. Tapi Alice memang sedang mengharapkan sesuatu yang tidak lumrah. Tentu saja harapan seperti itu akan dianggap bodoh bagi kebanyakan orang.
Tanpa ragu lagi, Alice langsung menghabiskan kue itu.
19 Sungai Airmata "AKU penasaran dan makin penasaran!", gerutu Alice tak sabar (ia terkejut karena telah lupa bagaimana mengungkapkan ketidaksabaran itu dengan kalimat yang tepat). "Nah, kini tubuhku sudah membesar dan meninggi seperti teleskop terbesar yang pernah ada! Hei...tapi dimanakah telapak kakiku"" (Saat Alice mencoba melihat ke bawah, telapak kakinya menghilang, terlihat sangat jauh.) "Oh kakiku yang malang, siapakah nanti yang akan memasangkan sepatu dan kaos kaki untukmu" Tentu saja saat ini aku sudah tidak bisa melakukannya untukmu. Tentu akan sulit bagiku karena tubuhku yang tinggi ini. Oleh karenanya kakiku, kamu harus berusaha sendiri semampumu - meski begitu, aku harus tetap baik pada kakiku itu", batin Alice, "atau bisa jadi kakiku itu akan melangkah menurut
kemauan mereka sendiri. Beda dengan kemauanku. Kita lihat saja nanti! Ya, aku akan memberi mereka hadiah sepasang sepatu boot tiap hari raya natal".
Kemudian Al ice, dalam benaknya, menyusun rencana: "Nanti sepatu itu akan kukirim lewat seorang kurir", janjinya dalam hati, "pasti akan lucu sekali: mengirim hadiah buat kaki sendiri! Tulisan pesannya juga pasti akan aneh!
BUAT YANG TERHORMAT KAKI ALICE.
TERIMALAH MAAFKU DENGAN PENUH KASIH, ALICE
"Oh kakiku sayang, kenapa bicaraku nglantur"!"
Pada saat bersamaan, kepala Alice membentur langit-langit lorong. Kini tinggi badannya lebih dari sembilan meter. Cepat-cepat ia ambil kunci emas di meja kaca itu dan bergegas berlari menuju pintu taman di bawah lubang tikus.
Oh Alice, sungguh malang. Sekarang ia hanya bisa berbaring dan memiringkan tubuhnya di lantai agar bisa mengintip taman itu dengan hanya sebelah matanya melalui celah lubang kecil. Meskipun begitu, ia tetap tidak bisa masuk ke dalamnya. Kini ia hanya bisa duduk, bersedih dan menangis.
"Seharusnya kamu malu dengan dirimu sendiri, Alice", ejeknya dalam hati, "anak hebat dan sebesar kamu (ia berharap bisa merasa baikan dengan mengatakan begitu) masih saja menangis. Cengeng!" Namun Alice masih terus saja menangis, meneteskan air mata hingga berliter-liter, tumpah ruah menjadi sebuah genangan besar. Kedalamannya kira-kira empat inci dan hampir menenggelamkan tubuhnya sendiri serta menutup separuh lorong.
21 Setelah beberapa saat, Alice mendengar lagi sayup-sayup suara langkah kaki di kejauhan. Alice mengucek-ucek dan menghapus air matanya agar bisa melihat dengan jelas siapa yang datang. Ternyata seekor kelinci putih yang pernah ia kejar dulu datang lagi. Kini kelinci itu sudah berpakaian rapi. Sarung tangan warna putih membungkus sebelah tangannya. Sementara tangan satunya lagi memegang kipas. Kelinci itu tergesa-gesa melangkah, dengan terus menggumam, "oh Permaisuri, Permaisuri! Oh pasti ia akan marah karena menungguku terlalu lama!" Alice ingin minta tolong pada siapapun. ia sudah merasa putus asa. Saat kelinci itu melintas di depannya, ia memohon dengan suara lirih dan sopan: "Tolonglah aku, Tuan". Namun kelinci itu malah gugup. Sesekali kelinci itu mendongak ke atap lorong, asal terdengarnya suara minta tolong itu. Lalu kelinci itu menjatuhkan sarung tangan dan kipas dan berusaha berlari lagi secepatnya dalam kegelapan.
Alice bergegas mengambil sapu tangan dan kipas itu. Karena lorong itu sangat panas dan pengap ia terus menerus mengipasi dirinya, sembari berbicara dengan dirinya sendiri: "Oh, sayang. Sayang. Betapa semuanya nampak aneh hari ini! Padahal kemarin rasanya semuanya berjalan biasa saja. Jangan-jangan aku telah berubah malam tadi" Ah, biar kupikir lagi semuanya ini sejenak. Apakah aku sekarang masih sama dengan kemarin saat aku bangun pagi " Rasanya aku sudah berubah. Tapi bila aku bukanlah aku lagi, siapakah sebenarnya aku saat ini" Ah, sungguh suatu teka-teki yang besar!" Alice mulai membayangkan teman-teman sebaya yang pernah ia kenal, untuk memastikan kemungkinan dirinya sudah berubah menjadi salah satu dari mereka.
"Aku pastilah bukan si Ada," seru Alice," rambut Ada ikal dan
22 panjang. Beda dengan rambutku - dan akupun tak mau disamakan dengan Mabel. Sebab aku lebih pandai dan tahu lebih banyak hal darinya. Selain itu, dia adalah dia dan aku adalah aku. Dan - Oh betapa semuanya jadi membingungkan. Tapi, lebih baik kucoba pikirkan lagi hal-hal yang sebelumnya sudah aku ketahui dengan pasti: empat kali empat sama dengan dua belas, empat kali enam sama dengan tiga belas dan empat kali tujuh sama dengan empat belas. Aduh...,
23 tentu saja aku tidak pernah dapat nilai bagus kalau begini! Tapi soal perkalian tidak penting! Coba sekarang mata pelajaran Geografi. London adalah ibukota Perancis, Roma adalah ibukota Yorkshire, dan Paris.. ..Oh, sayang sayang! Semuanya salah! Pasti kini aku sudah berubah jadi seperti si Mabel yang bodoh itu". Aku akan coba dan mengucapkan kata-kata 'bagaimana si kecil', dan ia menyilangkan tangan di pangkuan, dan mulai mengucapkan kata-kata itu. Namun suaranya jadi parau dan aneh serta kata-katanya banyak yang berubah tidak seperti yang biasa ia ucapkan sebelumya:
Betapa si kecil buaya Makin mengkilatkan kilauan ekornya
Dan meny epuh sungai Nil dengan cahayanya
Dengan sisiknya yang keemasan!
Betapa riangnya mereka tertawa
Dan taringnya berkilatan Menyambut ikan-ikan kecil
Tersenyum ramah dengan rahang-rahang mereka.
"Ah, pasti yang benar tidak seperti itu," keluh Alice yang malang. Matanya penuh air mata selagi berpikir, "pasti aku telah berubah jadi si Mabel. Ini berarti aku harus pergi dan hidup di rumah kecil dan sempit seperti dia. Tanpa boneka mainan dan sedikit hal saja yang bisa kupelajari! Tidak! Aku - ya, aku sudah putuskan: Kalaupun aku sudah jadi si Mabel, aku akan tetap tinggal di bawah sini saja. Tak ada gunanya mereka melongok kemari dan berseru "Ayo naik!", aku hanya akan mendongak dan bertanya pada mereka, "kau tahu siapa aku"
24 Ayo, jawab dulu. Dan bila aku senang menjadi orang seperti yang ada di dalam jawabanmu aku akan naik. Jika tidak, aku akan tetap tinggal disini sampai aku berubah jadi orang yang lain lagi-Tapi, sayangku!" jerit alice serta merta menangis, "Semoga saja akan ada orang yang melihat ke bawah sini! Aku sudah lelah sendirian di tempat ini!"
Alice kemudian mengamati tangannya, ia sangat terkejut karena tiba-tiba saja ia telah memakai salah satu sarung tangan si kelinci. "Bagaimana ini bisa terjadi"", batinnya, "pasti tubuhku telah mengecil lagi". Alice berdiri dan beranjak mendekat ke meja kaca. ia ingin mengukur tinggi tubuhnya. Dengan menebak, ia tahu tinggi badannya kini hanya tinggal dua kaki saja. Dan tubuhnya masih terus saja mengecil. Lalu ia menyadari bahwa penyebabnya adalah kipas di tangannya. Cepat-cepat ia jatuhkan kipas itu agar tubuhnya tidak terus mengecil.
"Jalan kecil itu!" seru alice,sangat ketakutan dengan perubahan mendadak tubuhnya. "Sekarang, lebih baik aku bergegas pergi ke taman saja!", kata Alice seraya berlari ke sebuah pintu kecil. Namun sayang, pintu itu sudah terkunci lagi. Kuncinya masih tertinggal di atas meja kaca seperti semula. "Ah, semuanya makin kacau sekarang!", gerutu gadis kecil malang itu, "karena aku tidak pernah sekecil ini sebelumnya. Tidak pernah! Ini buruk sekali!"
Tiba-tiba kaki Alice terpeleset dan ia kecebur ke dalam air asin sebatas dagu. Semula ia mengira telah terjebur ke laut. "Aku masih bisa kembali dengan naik kereta api," gumamnya pada diri sendiri. (Alice pernah sekali pergi ke laut sebelumnya, dan menyimpulkan bahwa jika kamu pergi ke laut manapun di Inggris, kau akan bisa lihat pelampung, sejumlah anak kcil bermain menggali pasir dengan sekop
25 kayu, jajaran rumah-rumah dengan stasiun kereta api di belakangnya). Tapi, tak lama kemudian, baru ia sadar bila dirinya ada di bawah tanah. Tak mungkin ada laut di dalam tanah, ia lalu menduga air asin itu tak lain adalah genangan air matanya sendiri saat ia menangis tadi. "Semoga aku tidak terus menerus menangis", harap Alice sambil berenang dan berusaha mengentaskan diri. "Pasti inilah hukuman yang harus kutanggung: tenggelam dalam air mataku sendiri! Tapi bukankah ini aneh! Namun bukankah semuanya telah berubah jadi aneh hari ini".
Tak lama kemudian, Alice melihat ada sesuatu meluncur ke dalam kolam, meluncur tak jauh darinya. Awalnya ia menduga itu pasti Walrus atau Kudanil. Tapi ketika ia menyadari betapa kecil tubuhnya, sesuatu itu pasti hanyalah seekor tikus yang sedang mencebur di tempat itu. Sama seperti dirinya.
26 "Masihkah ada gunanya lagi sekarang," Alice menimbang-nimbang, "untuk mengajak bicara si tikus itu" Segalanya sudah menjadi aneh di sini, dan kupikir tikus itu pasti bisa berbicara: ah, tak ada salahnya untuk mencobanya. Alice pun memberanikan diri mulai bertanya. "Wahai Tikus, kamu tahu bagaimana caranya keluar dari kolam ini" Aku sudah lelah berenang terus!" (Alice menganggap begitulah cara yang tepat untuk mengajak bicara seekor tikus: dia belum pernah melakukan hal itu sebelumnya, tapi ia teringat pernah melihat hal seperti itu dalam buku pelajaran tata bahasa milik saudaranya, 'seekor tikus - mengenai tikus - pada tikus - tikus - o tikus!). Tapi si Tikus hanya menatap dan mengedipkan sebelah matanya tanpa mengucap sepatah katapun.
"Mungkin tikus ini tidak mengerti", pikir Alice kemudi
an, "atau dia itu tikus Perancis yang dulu datang kemari bersama William si Penakluk"" (Alice, dengan berbekal pengetahuan sejarah yang ia miliki, tak bisa memastikan sudah berapa lama penaklukan itu terjadi.) Kemudian Alice bertanya lagi pada si tikus dengan menggunakan kalimat bahasa perancis yang pernah ia pelajari lewat buku-buku: "Apakah kamu mirip dengan kucing" (Ou'est ma chatte")". Tikus itu seketika melompat, gemetar ketakutan. "Oh maafkan aku, wahai tikus", pinta Alice buru-buru. ia khawatir telah menyakiti perasaan binatang malang itu. "Sungguh aku lupa kalau kamu paling tidak suka dengan kucing!"
"Aku tidak suka dengan kucing !", sergah si Tikus dengan suara bergetar, menahan marah. "Kalau kau jadi aku, kau mau disamakan dengan kucing"!"
"Kalau begitu baiklah, aku akan jawab pertanyaanmu. Tentu
27 saja aku tidak mau," tegas Alice, "jangan marah dulu. Andai saja aku bisa mempertemukanmu dengan kucingku. Si Dinah manis kucing kesayanganku", lanjut Alice seolah sedang bicara pada diri sendiri sambil dengan malas terus berenang. "Dinah suka sekali duduk menghangatkan diri di dekat tungku perapian sambil terus mengasah cakarnya dan menggaruk-garuk membersihkan wajahnya. Dia itu adalah binatang yang sangat lembut dan mudah dirawat. Dan satu lagi: ia sangat jago berburu tikus - Oh maaf, maaf!" pinta Alice buru-buru. Dilihatnya si tikus terus-menerus meremangkan bulu-bulunya. Tanda ia benar-benar tersinggung. "Apakah aku telah menyakitimu, wahai tikus""
"Tentu saja!", teriak si Tikus marah. Tubuhnya menggeletar, "kamu tahu, keluarga kami sangat benci kucing. Mahluk rendahan dan jelek itu! Jangan sebut soal kucing lagi dihadapanku!"
"Tidak, aku janji", ucap Alice menurut dan cepat-cepat mengalihkan pembicaraan. "Wahai tikus, kamu.. .eh..kamu suka anjing atau tidak"". Karena si tikus diam saja dan tidak menjawab, Alice
28 meneruskan dengan penuh semangat. "Di dekat rumah keluarga kami, ada seekor anjing kecil dan manis. Aku sebenarnya ingin sekali menunjukkannya padamu. Matanya kecil dan selalu berbinar. Bulu-bulunya coklat, ikal dan panjang! Anjing itu senang sekali menangkap apa saja yang kau lemparkan padanya. Biasanya, dia kemudian akan duduk manis dan minta jatah makan malam. Begitulah kira-kira gambaran soal anjing itu. Selebihnya aku sudah banyak yang lupa -Anjing itu milik seorang petani - dan kata pemiliknya, anjing itu sudah banyak memangsa tikus dan ia beli seharga ratusan poundsterling-. Oh maaf, maafkan aku, wahai tikus!", ralat Alice buru-buru, "aku tak sengaja!" Namun si tikus sudah terlanjur berenang sekuat tenaga menjauhinya, menggemparkan siapa saja yang ada di kolam itu.
Alice berusaha dengan lembut memanggilnya kembali: "Tikus yang baik, jangan pergi dulu. Aku janji kita tidak akan bicara lagi soal anjing dan kucing. Kalau itu memang yang kau inginkan!" Mendengar janji itu, si tikus perlahan berenang kembali mendekati Alice. Wajah tikus itu sangat pucat (karena marah, tebak Alice). Lalu Tikus itu dengan suara gemetar berkata: "Lebih baik kita ke tepian saja. Akan kuceritakan sejarah awal mula kenapa aku sangat benci dengan anjing dan kucing".
Saat itu kolam sudah meluap karena kolam itu sudah dipenuhi dengan aneka burung serta binatang lain. Di kolam itu nampak sudah ada si Bebek Duck, Si Merpati Dodo dan Si angsa Lory dan Elang serta sejumlah binatang aneh lainnya. Alice lalu memimpin mereka dengan berenang paling depan. Bersama-sama, mereka berenang ke tepian.
29 Balapan Antar Anggota Pertemuan dan Kisah yang Panjang
ALICE dan sekelompok binatang itu pun terlihat aneh menggerombol di tepian. Dengan basah kuyup, acak-acakan dan jauh dari kesan nyaman, kelompok burung-burung itu mengepakkan sayap-sayapnya. Sementara yang lainnya berusaha merapatkan bulu-bulu halus mereka. Lalu mereka berjalan beriringan di tepian sungai.
Awal pertanyaan yang muncul di benak mereka tentu saja adalah: "Bagaimana caranya mereka akan mengeringkan badan"" mereka pun mengobrolkan soal itu, dan Alice heran saat menyadari
30 betapa akrab sesungguhnya ia berbicara dengan burung-burung itu. Seolah-olah mereka sudah ia kenal
lama sebelumnya. Alice saat itu sedang berdebat panjang lebar dengan si Lory Bulu-bulu si Lory berubah jadi selembut sutra dan hanya berkata: "Aku lebih tua dan lebih tahu segalanya dibandingkan kamu". Tentu saja Alice menolak pendapatnya tanpa terlebih dulu tahu berapa usia Si Lory sebenarnya. Sementara si Lory pun menolak menjawab ketika Alice menanyakkannya. Lalu keduanya sama-sama diam. Tanpa ada yang bisa dibicarakan lagi.
Akhirnya seekor tikus, yang nampaknya paling berkuasa diantar a mereka, berseru lantang: "Kalian semua duduklah dan dengar baik-baik! Aku akan segera membuat tubuh kalian kering." Seketika mereka mengambil tempat dan duduk dalam sebuah lingkaran yang besar. Mereka semua menggigil kedinginan. Alice duduk di tengah lingkaran, menatap tikus itu dengan gelisah. Karena ia khawatir dirinya akan demam bila tubuhnya tidak segera kering.
"Ehm..." katanya merasa sok penting, "apakah kalian semua sudah siap" Nah, sekarang aku akan mulai bercerita. Inilah kisah paling kering yang kutahu. Tolong semuanya tenang!".
"Dulu, William Sang Penakluk, seseorang yang disukai oleh Paus karena tindakannya, berhasil dengan cepat ditundukkan oleh Inggris. Saat itu Inggris sangat membutuhkan pemimpin dan telah lama terbiasa dengan masalah perebutan kekuasaan dan penaklukan. Edwin dan Morcar, penguasa Mercia dan Northumbria..."
"Ahhh!", gumam Lory sebal.
"Maaf, kamu barusan ngomong apa"', sergah sang tikus dengan tetap berusaha sopan.
31 Tidak, aku tidak ngomong apa-apa!", sanggah Lorry ketus.
"Aku merasa kamu tadi ngomong sesuatu," lanjut si tikus, "kuteruskan saja lagi, ya. Edwin dan Morcar, pangeran penguasa Mercia dan Northumbria, keduanya mengakui William sebagai raja mereka. Bahkan Uskup Agung Canterbury, Stigand yang patriotik, merasa itu -"
"Merasa itu apa"", Tanya si bebek Duck.
"Merasa.." jawab si tikus dengan agak terbebani: "tentu saja kau tahu apa artinya merasa itu"
"Aku tahu merasa apa itu, bila kata itu memang merujuk pada sesuatu benda," kata si bebek Duck "Biasanya itu berarti seekor katak atau cacing. Masalahnya adalah Uskup Agung itu merasa apa""
Tikus itu tidak perduli, ia malah dengan terburu-buru melanjutkan kisahnya: "Merasa mereka itu lebih baik bersama dengan dua penguasa lain serta Edgar Atheling bila mereka menghadap William untuk menawarkan tahta kerajaan. Mula-mula William memerintah dengan sangat adil. Tapi sebelumnya, e.. .bagaimana keadaanmu sekarang, sayang"", tanya si tikus pada Alice.
"Masih basah", jawab Alice. "Rasanya ceritamu itu tidak membuat tubuhku kering."
"Untuk itu," usul Dodo si Merpati dengan sungguh sungguh seraya berdiri dengan bertumpu pada satu kaki, "lebih baik kita menunda cerita si tikus di pertemuan yang lain. Sekarang kita pilih saja dulu cara yang lebih energik dan cepat untuk....."
"Hei pakailah bahasa yang biasa saja!", protes Duck si bebek, "aku nggak ngerti sebagian dari kalimatmu yang panjang-panjang itu. Lagi pula, aku juga ragu, apakah kamu sendiri juga mengerti apa
32 yang kau ucapkan." Si bebek Duck lantas berceloteh dan tertawa-tawa. Beberapa burung lain ikut tertawa dan menaat ramai.
"Saya hanya hendak mengatakan," kata si Dodo dengan nada tersinggung, "bahwa cara terbaik untuk mengeringkan tubuh kita adalah dengan balapan antar peserta pertemuan."
"Apa itu balapan antar peserta pertemuan"" Tanya Alice; bukan karena ingin tahu, tapi si Dodo membuat jeda panjang seolah sengaja menunggu ada yang menyahutinya. Tapi ternyata tak seorangpun berkeinginan mengatakan sesuatu.
"Ah," kata si Dodo, "cara terbaik untuk menjelaskannya adalah dengan melakukannya" (dan karena kamu mungkin tertarik untuk mencobanya sendiri saat musim dingin, saya akan ceritakan bagaimana si Dodo melakukannya).
Pertama si Dodo menandai arena balapan, dengan membuat lingkaran, (bentuk persisnya tidak persoalan, kata si Dodo), dan semua anggota kelompok berdiri di sejumlah titik di seluruh wilayah jalur lintasan itu. Tidak ada aba-aba satu dua tiga kemudian memulainya, tapi mereka berlari sesuai keinginan mereka masing-masing dan berhenti sesuka hati. Oleh karenanya tidaklah mudah untuk meng
etahui kapan balapan itu selesai. Namun ketika mereka telah berlarian selama setengah jam dan tubuh mereka cukup kering, si Dodo tiba-tiba berteriak, "balapan sudah selesai!" Dan mereka semua berkerumun mengelilinginya, dengan penuh harap bertanya, "tapi siapa yang menang""
Si Dodo perlu berpikir keras untuk bisa menjawab pertanyaan itu, lalu ia duduk lama sambil tangannya menekan dahinya (seperti pose yang kau biasanya lihat di gambar tokoh Shakespeare). Sementara
33 yang lain, beristirahat sambil menunggu dengan diam. Akhirnya si Dodo berucap, "semuanya menang, dan semuanya dapat hadiah."
"Tapi siapa yang akan memberikan hadiah "", tanya mereka serentak.
"Ya, dia, tentu saja," jawab si Dodo, menunjuk Alice dengan jarinya, dan seluruh anggota kelompok seketika mengelilingi Alice, berseru dengan suara gaduh dan memusingkan, "hadiahnya! hadiahnya!"
Alice tak tahu mesti berbuat apa, dan dengan putus asa, ia memasukkan tangannya ke dalam saku serta mengeluarkan sekotak permen, (untungnya, air asin itu belum membasahinya), dan memberikannya berkeliling sebagai hadiah. Satu peserta dapat satu bagian.
"Tapi dia sendiri juga harus dapat hadiah!", seru si tikus.
"Tentu saja," jawab Dodo si merpati dengan sangat payah. "Apa lagi yang masih kau miliki dalam sakumu"", sambungnya, menoleh ke Alice.
"Hanya sebuah tudung," jawab Alice sedih. "Bawa kesini," kata si Dodo.
Lalu semua berkerumun mengelilinginya sekali lagi, sementara si Dodo dengan sungguh-sungguh dan khidmat memberikan tudung itu seraya berucap, "kami mohon kamu berkenan menerima hadiah tudung yang elok ini"; dan, ketika si Dodo telah menyelesaikan pidatonya ini, mereka semua bersorak.
Alice menganggap semua itu tak masuk akal, tapi mereka semua nampak begitu bersungguh-sungguh, ia tak berani untuk menertawakannya; dan karena ia tak punya kata untuk diucapkan, ia
34 hanya menunduk dan menerima tudung itu, berusaha semampunya untuk terlihat khidmat.
Selanjutnya adalah memakan permen itu. Lalu semuanya gaduh dan ribut, karena burung-burung besar mengeluh bahwa mereka tidak bisa merasakannya dan burung-burung yang kecil menjadi tersedak dan harus di ditepuk-tepuk punggungnya.
Tapi akhirnya semua berakhir, dan mereka kembali duduk melingkar lalu meminta si tikus untuk menceritakan lanjutan kisahnya lagi pada mereka.
"Kamu telah berjanji untuk menceritakan padaku kisah hidupmu," kata Alice," dan juga alasan kenapa kamu benci - Kuc... dan Anj..." ia menambahkan dengan berbisik, takut akan menyinggung si tikus lagi.
"Sejarah hidupku merupakan kisah yang panjang dan sedih !" kata si tikus menatap Alice sambil mendesah.
35 "Ekormu itu sungguh panjang," kata Alice menatap heran pada ekor si tikus itu; "tapi kenapa mesti menyedihkan"" dia masih saja diliputi kebingungan ketika tikus itu memulai ceritanya; dalam benak Alice kisah itu akan berbentuk seperti ini:
si musang berkata pada si tikus yang dia temui di rumah itu "mari kita berdua pergi ke pengadilan: aku akan menuntut mu. -sudahlah, aku tak akan menyangkalnya; kita memang harus maju ke pengadilan; karena sungguh pagi ini aku tak ada Kerjaan, kata si tikus pada si anjing kampung, pengadilan seperti itu, Tuanku
terhormat, dengan tanpa dihadiri
para juri atau jaksa, hanya, akan menghabiskan waktu dalam hidup kita." "Aku akan jadi jaksanya, aku akan jadi jurinya,"
sergah si musang yang licik: "AKU akan lakukan pemeriksaan pada semua kasus itu dan menghukum mu dengan
hukuman mati." 36 "Alice, kamu tidak menyimakku, ya "", tegur si tikus gusar, "apa yang sedang kau lamunkan""
"Oh, maaf," kata Alice dengan rendah hati, "tapi kupikir kamu sudah lima kali nglantur".
"Aku tidak nglantur, tanpa simpul", bantah si tikus dengan marah dan tajam.
"Simpulnya!" kata Alice, merasa dirinya berguna dan menatap tikus itu dengan cemas "Oh, jangan suruh aku membuka simpul itu sendiri."
"Aku tidak nglantur!" jawab si tikus, "kau benar-benar telah menghinaku dengan omong kosongmu itu!" Dan dengan gontai si tikus beranjak meninggalkan kerumunan.
"A.. .a.. .aku tidak bermaksud begitu. Kamu saja yang mudah tersinggung", bujuk Alice.
Si tikus hanya men yahut dengan gumaman. "Ayo, kembalilah dan lanjutkan ceritanya sampai selesai!", pinta Alice dan disusul beramai ramai oleh anggota yang lain: "Ya, ayo ceritakan lagi ceritanya!" Si tikus hanya menggoyangkan telinga tanda ia tak mau dan meneruskan langkahnya hingga lenyap dari pandangan.
"Sayang sekali dia tidak mau kembali kemari", keluh si Lory
Dengan kesempatan yang ada, Kepiting tua segera menasehati putra-putrinya: "Sayang, jadikan ini semua pelajaran. Jangan pernah mudah emosi!"
"Sudahlah, Ma! Mama juga pernah mencoba-coba kesabaran seekor tiram," sanggah si kepiting kecil sebal.
"Sungguh, andaikan Dinah kecilku ada disini!", kata Alice dengan suara keras tanpa ditujukan pada siapapun, "ia pasti akan menangkap
37

Alice In Wonderland Karya Lewis Carroll di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tikus itu kembali!" Lalu Lory bertanya: "kalau boleh tahu, siapa sih, Dinah itu"" Dengan gembira Alice menyahut karena ia selalu senang membicarakan binatang peliharaan kesayangannya: "Dinah itu kucing kami. Untuk urusan menangkap tikus, dia memang jagonya. Kalian pasti tidak pernah membayangkannya, bukan" Dan oh, seandainya kalian melihatnya menangkap burung. Kalian tahu nggak, kapan saja dia melihat seekor burung, langsung saja diterkam dan dimakannya!"
Tentu saja cerita Alice itu membuat kerumunan jadi ketakutan. Sejumlah burung langsung bergegas terbang dan pergi menjauh. Dengan hati-hati seekor burung Bangau yang sudah tua langsung membungkus tubuhnya dengan kedua sayapnya seraya berucap: "Rasanya aku harus pulang sekarang. Udara malam tidak baik untuk kesehatan tenggorokanku." Burung Kenari bergegas memanggil anak-anaknya. Dengan suara gemetar ia berseru: "Ayo kita pergi, anak-anakku! Sudah waktunya kalian tidur!" Dengan berbagai alasan, dalam sekejap, kerumunan binatang itu pergi meninggalkan Alice sendirian.
"Seandainya saja aku tidak cerita soal Dinah tadi!" kata Alice pada dirinya sendiri dengan sedih. "Di sini, semua sepertinya tidak menyukai Dinah. Padahal dia adalah kucing terbaik di dunia! Oh Dinahku yang malang! Bisakah aku bertemu denganmu lagi!" Alice pun mulai lagi menangis karena merasa kesepian dan tak punya semangat. Tapi setelah beberapa saat, dia mendengar lagi suara langkah kaki di kejauhan, dan ia melihatnya dengan penasaran, setengah berharap tikus itu akan berubah pikiran dan kembali untuk menyelesaikan kisahnya.
38 Si Kelinci Memerintah Si Kadal Kecil
NAMPAK seekor kelinci putih tengah berjalan dengan pelan..
Pandangan matanya mengisyaratkan ia sedang kehilangan sesuatu. Alice mendengar kelinci itu bergumam sendiri: "Aduh permaisuri, permaisuri! Oh, gara-gara telinga dan janggutku"!! Pasti aku akan dihukum seperti si Musang! Telah jatuh dimana ya, sarung tanganku"" Dalam beberapa saat Alice menebak kelinci itu pasti sedang mencari-cari sarung tangan dan kipasnya, dan ia pun mulai ikut mencarinya, tapi tak juga menemukannya. Semua nampak sudah berubah dan ia sudah lupa. Demikian juga meja kaca kecil dan lubang pintu kecil itu, kini juga sudah lenyap.
Si Kelinci itu lalu menatap Alice dan berteriak dengan marah: "Aduh, Marry Ann! Apa yang sedang kau lakukan disini" Ayo, pulang sana! Segera ambilkan sarung tangan dan kipasku dan cepat bawa kemari! Ayo cepat! Kamu mengerti!"" Alice ketakutan dan berlari menuruti arah telunjuk si Kelinci tanpa sempat menjelaskan bahwa perintah kelinci itu telah salah alamat.
"Dia telah menganggapku sebagai pembantunya,"
gumamnya sambil berlari. "Pasti dia akan terkejut bila tahu siapa sebenarnya aku ini. Tapi lebih baik kuambilkan saja sarung tangan dan kipasnya, itupun kalau kutemukan." Alice pun akhirnya sampai di depan sebuah rumah kecil. Pintunya berlapis kuningan berkilatan dan papan namanya bertuliskan: W. KELINCI. Alice langsung masuk ke dalam dan bergegas menuju kamar atas dengan perasaan khawatir akan bertemu dengan Si Marry Ann yang asli. Bila hal itu terjadi, Alice tentu akan diusir keluar sebelum ia sempat menemukan sarung tangan dan kipas itu.
"Betapa akan aneh bila aku kirim pesan soal ini pada si kelinci. Ah, tapi aku yakin nanti si Dinah juga pasti akan mengirim pesan padaku !" Alice mulai gembira dengan lamunannya ini. "Nona Alice
, cepat datanglah kemari dan bersiaplah untuk jalan-jalan denganku." Alice berharap Dinah cepat datang. "Tapi sebelum kucingku tiba disini, aku harus memeriksa lubang tikus itu dulu dan memastikan tikus-tikus itu tidak akan bisa keluar lagi- Tapi kupikir, pasti mereka itu tidak akan membiarkan begitu saja si Dinah datang kemari. Karena watak mereka yang suka memerintah seperti itu!"
Alice lalu menelusuri ruangan. Sampailah ia di sebuah ruang kecil dan rapi dengan sebuah meja kaca hias di dekat jendela. (Seperti yang Alice harapkan), ia pun menemukan sebuah kipas dan dua atau tiga pasang sarung tangan di atas meja itu. Dan ketika ia akan beranjak pergi dari ruangan itu, matanya menemukan sebuah botol kecil di dekat meja. Botol itu tidak ada label namanya dan hanya bertuliskan: MINUMLAH. Alice membuka tutup botol dan hendak meminum isinya seraya berharap: semoga terjadi sesuatu padaku. Seperti dulu, saat aku makan atau minum sesuatu yang ada disini. Ya, biar kutunggu apa
40 yang akan terjadi. Kuharap minuman ini akan membuat tubuhku memanjang dan makin membesar. Aku sudah bosan dan lelah dengan tubuhku yang kecil ini!"
Keinginan Alice itu, tak lama kemudian, benar-benar terwujud. Malah lebih cepat dari dugaan Alice: belum setengah botol, tubuhnya sudah memanjang hingga kepalanya menyundul langit-langit Bergegas Alice meletakkan botol itu. ia takut, bila ia terus meminumnya, lehernya akan patah karena tubuhnya yang terus memanjang. Alice menjerit: "Cukup! Aku tak ingin memanjang lagi! Oh, semoga aku belum meminumnya terlalu banyak!"
Tapi astaga! Semuanya sudah terlambat. Tubuh Alice kian meninggi dan membesar hingga ia terpaksa berdiri agak jongkok. Pada menit-menit berikutnya, ruang itupun tak cukup lagi menampung tubuhnya Alice kemudian berusaha berbaring, menekuk sikunya hingga menempel di pintu. Sedang lengan yang satunya lagi, ia tekuk ke belakang kepala. Namun, tubuh Alice terus bertambah panjang. Dan sebagai usaha terakhir, Alice menjulurkan lengannya ke jendela. Salah satu kaki, ia masukkan ke dalam cerobong asap seraya terus mengeluh: "Kini tak ada lagi yang bisa kulakukan. Oh, akan bagaimanakah nasibku""
Alice beruntung. Isi botol itu sudah habis khasiatnya Tubuh Alice kini tak memanjang lagi. Tapi, Alice tetap saja tidak suka dengan tubuhnya yang tinggi besar itu. Karena berarti tidak akan ada kesempatan lagi baginya untuk bisa keluar dari rumah itu. Alice sedih: "Bagaimanapun, ternyata lebih enak di rumah sendiri. Tubuh tidak akan membesar, meninggi atau mengecil. Lagi pula tidak akan jadi sasaran perintah si kelinci dan tikus itu. Oh, seandainya aku dulu tidak
41 ikut-ikutan masuk ke dalam lubang kelinci itu - Tapi meski begitu, aku ingin tahu: kehidupan macam apakah yang ada disini. Apa lagi yang akan terjadi padaku" Biasanya dalam cerita yang pernah kubaca, keanehan seperti ini tidak pernah ada. Tapi kini semuanya kualami sendiri! Mestinya ada buku cerita yang menuliskan keanehan yang sedang kualami ini. Ya, harus, harus ada yang menuliskannya! Saat aku dewasa nanti aku akan menulisnya-tapi bukankah sekarangpun aku sudah besar"", renung Alice sedih, "setidaknya, ruangan ini saja sudah tidak cukup menampung tubuhku."
"Namun sebenarnya," lanjut Alice kemudian, "apakah berarti aku juga sudah bertambah tua"Tentu ini tidak menyenangkan bagiku. Di satu sisi, aku tak pernah ingin jadi tua - agar aku punya kesempatan mempelajari hal-hal baru! Oh, aku tak suka dengan pikiran-pikiran semacam ini!"
"Oh betapa bodohnya dirimu, Alice!" makinya dalam hati, "bagaimana mungkin kamu akan belajar hal baru di ruang ini " Kenapa bisa begitu" Bukankah ruangan ini tak cukup memuat tubuhmu yang tinggi besar" Tak ada lagi sisa ruang untuk menaruh buku-buku disini!"
Alice terus menelusuri jalan pikirannya sendiri sembari memiringkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Namun beberapa saat kemudian, ia diam untuk mendengarkan suara dari luar rumah. Alice berusaha menyimak suara suara itu.
"Marry Ann! Marry Ann!" begitulah suara itu menyeru, "ambilkan sarung tanganku. Cepat bawa kemari sekarang juga!" Lalu terdengar suara langkah kaki mendak
i tangga rumah. Alice tahu, suara itu pasti suara langkah kaki si kelinci yang sedang mencarinya. Alice ketakutan dan tubuhnya gemetar. Akibatnya, rumah itu
42 bergoncang. Alice tidak sadar bila tubuhnya kini sudah seratus kali lebih besar dibanding tubuh si kelinci dan mestinya ia tak perlu takut lagi padanya. Si kelinci pun akhirnya sampai di depan pintu dan berusaha membukanya. Namun pintu itu terganjal siku Alice. Usaha kelinci itupun gagal. Alice lalu mendengar si kelinci menggerutu sendirian: "Baiklah kalau begitu. Aku akan mengelilingi rumah ini terlebih dahulu. Aku akan masuk lewat jendela."
"Kamu tak akan bisa melakukannya!", seru Alice dalam hati. Untuk beberapa saat, Alice hanya menunggu hingga ia puas mempermainkan si kelinci. Namun suara kelinci itu sudah terdengar di bawah jendela. Seketika itu juga, Alice menjulurkan tangannya ke luar jendela, berusaha menangkap tubuh si kelinci. Namun meleset. Alice hanya mendengar suara jeritan kecil serta kaca pecah berjatuhan. Alice menduga kaca itu pastilah kaca penutup tempat menanam mentimun atau sejenisnya.
43 Beberapa saat kemudian, terdengarlah suara marah-marah, suara si kelinci: "Pat! Pat, kamu dimana"", disusul suara lain yang masih asing di telinga Alice.
"Aku disini. Aku sedang mencari apel, Tuanku Yang Mulia !"
"Benar, kamu sedang mencari apel"!" langsung disahut si kelinci dengan kesal.
"Cepat kemari dan tolonglah aku!" - lalu terdengar lagi suara gelas pecah.
"Sekarang, katakan padaku, Pat. Kira-kira apa yang keluar dari jendela itu tadi""
"Tangan, tuanku!"
"Tangan " Dasar angsa bodoh! Mana ada tangan sebesar
itu"!" "Memang tidak ada, Tuanku Yang Mulia. Tapi itu memang
tangan." "Baiklah, aku tak perduli. Cepat pergi dan tarik tangan itu
keluar!" Sunyi beberapa saat. Alice hanya mendengar bisikan di sana-sini. Diantaranya adalah: "Aku tak bisa melakukannya, Yang Mulia. Aku tak bisa!" "Lakukan saja perintahku, pengecut!" Kemudian Alice kembali mengayunkan tangannya dan terdengarlah dua jeritan kecil dan suara gelas pecah - "sudah berapa gelas yang sudah kupecahkan, ya" Pasti sudah banyak sekali," kata Alice dalam hati. "Apa lagi yang akan mereka lakukan" Pasti mereka akan mengeluarkanku dari sini lewat jendela. Kuharap mereka bisa melakukannya. Aku sudah tak tahan lagi di ruangan ini!"
Alice menunggu beberapa saat tanpa mendengar apa-apa lagi.
44 Lalu terdengar suara putaran roda gerobak dan beberapa kerumunan sedang bicara satu sama lain. Ada beberapa kalimat yang bisa Alice tangkap dan pahami. Diantaranya: "Mana tangga yang lain" -Memangnya untuk apa" Toh, aku tidak harus bawa banyak. Cukup satu saja. Dan kamu Bill, bawa tangga satu lagi. Sudah cukup! - Cepat bawa kesini. Sandarkan di pojok sini - Jangan dulu, lebih baik disambung dulu jadi satu. Tingginya nggak akan cukup kalau cuma satu - Oh ini saja. Ini sudah cukup tinggi. Jangan banyak omong saja - Kemari Bill, tangkap tali ini - Sebentar, tapi apakah atapnya nanti kuat" - Hati hati, atapnya bisa jebol sewaktu waktu! - Oh, apa itu yang terlempar. Awas kepala kalian! - Siapa yang melakukannya tadi" - Bill kukira - Sekarang, siapa yang akan masuk dan menuruni cerobong itu" - Tidak, aku tidak bisa! Kamu saja! - Aku juga nggak
45 mau. Enak saja! - bagaimana kalau si Bill saja yang melakukannya -Kemari Bill. Yang Mulia menyuruhmu menuruni cerobong asap itu!"
"Oh, haruskah Bill lagi yang mesti menuruni cerobong asap"", cemas Alice, "kenapa mereka selalu membebankan semuanya pada Bill" Tapi meski begitu, aku tak akan bisa meraih tubuh Bill saat dia di cerobong asap nanti. Tempat perapiannya terlalu sempit untukku.
Namun kurasa aku akan bisa menendangnya sedikit!"
Alice lalu menjulurkan kakinya ke cerobong asap menunggu sampai ia dengar suara binatang kecil merangkak dan berjuang memasuki cerobong asap, tepat diatas kepala Alice dia tidak bisa membayangkan seperti apakah rupa mahluk itu). Dan Berkatalah Alice pada dirinya sendiri: "Ini pastilah si Bill!" Ditendangkannya kakinya sekali kemudian ia menunggu apa yang akan terjadi.
Awalnya, terdengarlah suara koor panjang : "Itu dia si Bill!" Kemudian diikuti su
ara suara kelinci saling bersahutan:" Ayo kita tangkap dia! Kalian, bersiap-siaplah di dekat pagar!" Sejenak sepi dan terdengarlah lagi suara-suara sedang kebingungan: "Apa yang telah terjadi, kawan. Apa yang
46 telah menimpamu" Ceritakanlah pada kami!"
Setelah beberapa saat, terdengarlah suara cericit kecil dan lemah (Ini pasti suara Bill, tebak Alice).
"Aku tak tahu - kini aku jadi bingung sendiri - Sesuatu sepertinya menghantamku dan tiba-tiba tubuhku serasa terlempar ke dalam kotak. Lalu kurasakan, menit-menit berikutnya aku telah meluncur, terbang dan terlempar seperti roket!"
"Ya betul. Begitulah yang kami lihat dari sini, Bill!", sahut suara yang lain.
"Kita harus bakar rumah ini!", seru si kelinci yang kemudian disahut Alice dengan teriakan sekeras-kerasnya: "Kalau kalian berani melakukannya, akan kupanggil si Dinah kemari....!" Kemudian sunyi lagi. Alice sejenak ragu: "Tapi, bisakah aku memanggil Dinah kemari""
Serta merta sunyi senyap dan Alice berpikir, "aku ingin tahu apa lagi yang hendak mereka lakukan! bila mereka cerdas, mereka pasti akan membongkar atap rumah ini." Setelah beberapa saat, mereka mulai bergerak kesana kemari lagi dan Alice mendengar si kelinci berkata, "Pertama, segerobak akan.."
"Segerobak apa "" pikir Alice; tapi sebentar saja ia ragu, karena selanjutnya lemparan kerikil itu bergemeretak mengenai jendela, dan beberapa diantaranya mengenai wajahnya. "Aku akan hentikan ini," katanya pada dirinya sendiri, dan iapun berteriak, "jangan lakukan lagi!" Teriakannnya ini membuat mereka diam dan suasana jadi sunyi senyap.
Alice melihat dengan terkejut, kerikil itu semuanya berubah menjadi kue-kue kecil ketika menyentuh lantai dan terbersit gagasan cerdas di dalam benaknya. "Bila aku makan satu dari kue-kue ini,"
47 pikirnya, "pasti akan bisa mengubah ukuran tubuhku. Kalau tidak memperbesar pasti akan bisa memperkecil tubuhku."
Lalu ia menggigit salah satu dari kue-kue itu, dan begitu gembira ketika merasakan tubuhnya langsung mengecil. Segera setelah tubuhnya cukup kecil untuk bisa menerobos masuk melalui pintu rumah, ia langsung lari dari dalam rumah itu dan melihat sekerumunan binatang-binatang kecil dan sejumlah burung sudah menunggunya di luar. Bill, si kadal kecil yang malang berada di tengah-tengah mereka, dipapah oleh dua binatang bertelinga kecil dan tak berekor sembari memberinya sesuatu dengan botol. Mereka langsung berduyun-duyun mendatangi Alice, lalu ia berlari sekuat tenaga dan sampailah ia di sebuah hutan lebat yang aman.
"Pertama - tama yang harus kulakukan adalah," Alice kembali berpikir, ia heran, tiba-tiba saja ia sudah ada di tengah hutan, "menormalkan kembali ukuran tubuhku dan kedua, mencari jalan menuju taman indah itu. Ya, inilah rencana terbaik kukira." Rencana itu nampak sebagai sebuah rencana yang matang, penuh pertimbangan, rapi dan sederhana. Namun sayang, Alice belum punya gagasan sedikitpun untuk mewujudkannya. Dan saat ia memandang ke arah pepohonan di sekeliling, tiba-tiba terdengar suara kulit kayu berderak-derak di atas kepalanya. Alice buru-buru mendongak ke atas.
Nampaklah seekor anak anjing sedang mengawasi dengan matanya yang bulat dan besar, mencoba meraih-raih tubuh Alice dengan cakarnya. "Celakai" Alice lalu berusaha membujuk dan membisikkan sesuatu, tubuhnya gemetar. Alice khawatir bila anak anjing itu sedang lapar dan akan memangsanya. Serta merta Alice
48 meraih sebuah tongkat kecil dan mengayun-ayunkan ke arah si anak anjing. Anak anjing itupun melompat-lompat dengan bertumpu pada kedua kaki. Sambil mendengking kegirangan, si anak anjing menghampiri tongkat di tangan Alice. Alice bertambah takut, ia lalu bersembunyi di balik tumbuhan berduri. Namun ketika ia muncul dari sisi lain pohon itu, si anak anjing kembali mengejar dan berusaha menangkap tongkat seraya menggulung-gulungkan kepala. Alice
49 merasa anak anjing itu seolah-olah sedang bermain-main dengan sebuah kereta kuda, berharap setiap saat bisa menginjak tongkat itu dengan kakinya, berlari berkeliling berulang-ulang. Si anak anjing mulai lagi berusaha menguasai dan menyerang tongkat Alice, berla
ri beberapa langkah ke depan dan mengambil ancang-ancang ke belakang. Kadang sambil ia goyang-goyangkan ekornya dengan kesal. Hingga akhirnya si anak anjing itu kembali duduk manis, terengah-engah, lidahnya menjulur keluar dan matanya menyipit.
"Sekaranglah saat yang tepat," batin Alice, "untuk melarikan diri." Alice lalu mengambil ancang-ancang dan kemudian lari, hingga gonggongan anak anjing itu hanya terdengar lirih tertinggal jauh di belakang. Alice pun kelelahan dan kehabisan nafas.
"Sebenarnya anak anjing tadi baik dan manis," sesal Alice dalam hati. ia kini menyandarkan tubuhnya pada sebatang bunga hutan, beristirahat sambil mengipas-ngipaskan topi: "Bisa saja aku mengajarinya cara bermain tongkat, bila saja... bila saja tubuhku tidak sekecil ini! Oh, hampir saja aku lupa untuk menormalkan tubuhku. Bagaimana ya, kira-kira caranya" Mestinya aku harus minum atau makan sesuatu atau yang lain seperti yang pernah kualami tadi. Tapi persoalannya, sesuatu itu apa" Inilah persoalan besar yang harus kujawab." Alice lalu memandang sekeliling, diantara bunga-bunga dan rerumputan. Namun tidak juga ia temukan sesuatu yang bisa dimakan atau diminum. Hanya ada sebuah jamur berukuran besar tumbuh di dekatnya. Kira-kira tingginya sama dengan tinggi badannya. Dan saat Alice melihat ke bawah jamur itu, di kedua sisinya, tiba-tiba saja ia penasaran dengan sesuatu yang nampak berada di atas jamur itu.
50 Alice melongok ke atas dengan berjinjit, melihat seluruh bagian pinggir jamur itu. Matanya melihat seekor Ulat biru berukuran besar sedang duduk melipat kaki. Ulat itu sedang menghisap pipa cangklong panjang. Ulat itu tak henti mengawasinya.
51 Nasehat Seekor Ulat UNTUK beberapa saat, mereka berdua hanya saling pandang. Lalu si Ulat melepaskan pipa cangklong dan bertanya pada Alice dengan suara mengantuk dan tak bersemangat.
"Kamu siapa""
Alice menganggap pertanyaan itu tidak cukup menggugah, ia segan menjawabnya.
"Saya..,saya sulit menjawabnya, Tuan. Saat ini, memang saya tahu siapa saya, Setidaknya sejak bangun pagi tadi. Namun rasanya, sejak saat itu saya sudah berubah beberapa kali."
"Maksudmu"" lanjut si Ulat, "jelaskan padaku siapa sesungguhnya dirimu!"
"Saya tidak bisa menjelaskannya. Saya ragu, Tuan. Sebab, rasanya saya ini bukanlah diri saya yang sebenarnya. Anda mengerti, Tuan""
"Aku tidak mengerti," jawab si Ulat.
"Saya khawatir tidak bisa menjelaskannya lagi", lanjut Alice sopan, "sebab saya sendiripun tak mengerti dengan diri saya. Sangat membingungkan sekali mengalami perubahan tubuh beberapa kali dalam sehari seperti yang baru saja saya alami ini".
"Itu tidak mungkin", bantah si Ulat.
"Tentu saja. Anda 'kan belum mengalaminya," sergah Alice, "tapi bila nanti anda berubah jadi kepompong, kemudian berubah lagi menjadi kupu-kupu, anda pasti akan merasa aneh dan bingung sendiri. Bukan begitu, Tuan ""
"Bisa jadi begitu. Tapi pasti itu tidak mungkin."
"Pokoknya, perubahan-perubahan itu telah membuatku merasa aneh."
"Jadi kamu!"", Tanya si Ulat sungguh-sungguh,-"siapa sih sebenarnya kamu itu""
Nampaknya mereka harus mengulangi percakapan dari awal lagi. Alice jengkel dan marah: "Seharusnya, anda yang harus menjawab siapa diri anda sebenarnya !"
"Kenapa"" tanya si Ulat.
Pertanyaan penuh teka-teki. Kemudian, karena Alice tak punya jawaban yang tepat dan si Ulat mulai jengkel, Alice berbalik dan pergi meninggalkan si Ulat.
53 "Kembali!", panggil si Ulat, "aku punya sesuatu yang penting untuk kita bicarakan."
Tentu saja panggilan itu bagi Alice menjanjikan sesuatu. Alice menengok dan balik kembali.
"Sabar dulu," kata si Ulat.
"Hanya begitu" Sabar"" protes Alice sedapat mungkin menahan amarah.
"Tidak," lanjut si Ulat.
Alice berusaha menunggu. Siapa tahu si Ulat punya sesuatu yang layak didengarkan. Untuk beberapa saat, si Ulat hanya menghisap pipa cangklong tanpa bicara sepatah katapun. Namun akhirnya si Ulat merentangkan lengan, melepaskan pipa cangklong itu dari mulutnya seraya berkata: "Jadi, kamu merasa dirimu sudah berubah, begitu""
"Ya, Tuan", jawab Alice, "saat ini aku sudah lupa pada hal-hal yang biasa kuketahui. Aku tela
h berusaha mengucapkan kata-kata: "Betapa lebah kecil itu gaduh dan berharap bisa mengucapkannya dengan susunan kata yang lebih baik..."
"Kalau begitu, coba timkan ucapan saya dan ulangi: "Kamu sebenarnya sudah tua, Pak William", pinta si Ulat.
Alice kemudian menirukan dan mengulangi kata-kata si Ulat sembari menyedekapkan tangannya.
54 "Kamu sudah tua, Pak William," kata seorang pemuda " dan rambutmu sudah beruban, Tapi masih saja kuat berdiri terbalik dan kepalamu di bawah dalam jangka waktu lama. Kamu pikir, dalam usiamu yang tua itu, hal itu baik dan menyehatkan "" "Pada masa mudaku, "jawab Pak William pada anaknya itu, " aku khawatir hal itu akan merusak otak di kepala, tapi sekarang aku sangat yakin, dan ternyata itu tidak terbukti. Kenapa, karena aku telah melakukannya berkali-kali.
Sudah terbiasa." "Kamu sudah tua, "kata si pemuda lagi, "sudah sering kukatakan padamu dan tubuhmu pun sudah berubah makin tambun, bukan ukuran biasa
55 Tapi masih saja kamu jungkir balik dengan punggungmu kau sandarkan di pintu. Sadarkah, apa alasan kamu melakukan itu semua"" "Pada masa mudaku, "jawab Pak William rambutnya yang putih ia sibak "Aku selalu menjaga kelenturan seluruh anggota tubuhku, dan memakai salep ini, hanya seharga satu sen per kotak, aku juga ingin menjualnya padamu sekotak agar tubuhmu juga bisa lentur sepertiku." "Kamu sudah tua, "sambung si pemuda, "dan rahangmu sudah begitu rapuh untuk mengunyah makanan yang lebih alot dari lemak punuk sapi itu. Tapi kamu malah menghabiskan daging bebek itu hingga Tak tersisa sedikitpun ia punya tulang dan paruh.
56 Katakan, bagaimana kamu bisa begitu"" "Di masa mudaku, "jawab Pak William tua," kuikuti semua aturan dan membicarakan semuanya dengan istriku tapi kini kekuatan otot-otot rahangku sudah hilang di akhir sisa umurku." "Kamu sudah tua, "lanjut si pemuda lagi, "tapi orang lain akan sulit percaya begitu saja, matamu masih saja awas seperti dulu dan kamu masih mampu menyeimbangkan seekor belut yang kau letakkan pada ujung hidungmu -apa yang telah membuatmu bisa cerdik, begitu"" "Aku sudah jawab tiga pertanyaan. Dan itu sudah cukup,"
57 seru Pak William, "jangan biarkan dirimu terlena dengan pertanyaan-pertanyaanmu sendiri. Kau kira aku tahan mendengarkannya seharian"!" "Berhentilah bertanya atau akan kutendang kamu hingga jatuh dari lantai ini!"
"Kukira, tidak sepenuhnya benar begitu," kata si Ulat.
"Memang tidak sepenuhnya benar," Alice menimpali, "beberapa dari kata-katanya sudah ada yang berubah."
"Memang sudah salah mulai dari awal sampai akhir," kata si Ulat menyimpulkan. Lalu mereka sama-sama terdiam. Hingga akhirnya si Ulat kembali bertanya.
"Kamu sebenarnya ingin membesarkan tubuhmu sebesar apa,
sih"" "Aku sebenarnya tidak pilih-pilih ukuran," jawab Alice, "hanya
58 tentu saja orang tidak akan senang bila tubuhnya terus berubah berulang kali, 'kan"" "Aku tidak tahu."
Alice terdiam: dia merasa tidak pernah sebingung saat itu, dan ia mulai tidak sabar.
"Sekarang Kamu sudah puas"" Tanya si Ulat.
"Tapi aku ingin tubuhku lebih besar sedikit. Tentu saja bila anda tidak keberatan membantuku," pinta Alice, "tubuhku yang hanya tujuh puluh sentimeter ini rasanya sangat mengganggu."
"Kamu tahu, ukuran segitu itu sudah bagus," sentak si Ulat dengan agak kesal, sambil berdiri. Tinggi Ulat itu persis tiga inci.
"Tapi aku tidak terbiasa dengan ukuran tubuhku yang kecil ini!" Alice merajuk dengan suara memelas seraya berharap dalam hati: "semoga saja mahluk ini tidak gampang tersinggung."
"Nanti kamu juga akan terbiasai" Si Ulat memasukkan pipa cangklong ke mulut dan mulai menghisapnya lagi.
Kali ini Alice terpaksa harus sabar menunggu hingga si Ulat itu mau bicara lagi. Untunglah, beberapa saat kemudian, si Ulat melepaskan pipa cangklongnya dan turun dari atas jamur. Si Ulat merangkak di rerumputan sambil terus mengingatkan:
"Bagian sisi kanan jamur itu bisa membuat tubuhmu membesar serta meninggi dan bagian sisi kirinya bisa untuk mengecilkan tubuhmu."
"Sisi kanan apa" Sisi kiri apa"" tanya Alice. "Sisi kanan dan kiri jamur itu!" seru si Ulat sebelum menghilang. Beberapa saat A
lice berpikir soal jamur itu lalu memetiknya. Alice membagi jamur itu menjadi dua bagian: bagian sisi kanan dan
59 kiri. Alice merasa kesulitan membedakannya karena bentuk jamur itu bundar. Tapi akhirnya ia merentangkan tangannya melingkari jamur itu dan membelahnya menjadi dua bagian serta memegangnya dengan dua belah tangannya.
"Tadi mana ya, bagian kiri dan kanannya"" Alice lupa dan kesulitan membedakan kedua sisi jamur itu. Lalu ia menggigit salah satu yang ia pegang di tangan kanannya untuk sekedar merasakan pengaruhnya: Tak lama kemudian, ia mulai merasakan sakit di bagian dagunya. Lalu iapun sadar dan ingat kembali saat dagunya sudah membentur pangkal atas kakinya!
Serta merta Alice ketakutan. Tubuhnya sudah menyusut dengan tiba-tiba. Tapi untunglah, tak lama tubuhnya berhenti mengecil dan payung jamur itu tidak terlepas dari genggaman tangannya. Alice tidak putus asa. Meskipun ia merasa kesulitan membuka mulut karena tubuhnya telah menyusut, tapi ia terus mencoba membuka mulut itu dan menggigit bagian yang ia pegang di tangan kiri.
"Nah, cepat...cepat..! Yak, akhirnya kepalaku terbebas juga," seru Alice gembira. Namun sejenak ia kembali khawatir. Lengan bahunya terasa menghilang, ia berusaha mencarinya tapi tidak ketemu. Alice melongok ke bawah, menelusuri lehernya yang kini panjang seperti batang menjulang tinggi di antara rumput-rumput hijau. Di matanya, rumput-rumput itu nampak jauh sekali berada di bawah.
"Apakah rumputan itu memang benar-benar rumput"" tanya Alice dalam hati, "dimana kira-kira kedua bahu tanganku" Oh tanganku yang malang! Bagaimana ini"! Kamu sekarang ada di mana, wahai
60 tanganku"!" Alice menggerak-gerakkan tubuhnya, namun tak ada pengaruhnya sama sekali, kecuali hanya gesekan-gesekan kecil bagi rerumputan itu. Alice berusaha meliukkan kepala ke arah tangannya yang ada di bawah, ia gembira, lehernya ternyata dapat digerakkan ke segala arah dengan sangat mudah seperti kepala Jerapah atau Ular Naga. Alice pun berhasil menekuk leher ke bawah hingga membentuk zig-zag yang indah, meliuk-liuk di antara daun-daun hijau. Alice akhirnya sadar, rumput itu ternyata adalah pucuk-pucuk pohon di sebuah hutan. Tempat biasanya burung-burung bersarang. Tentu saja, gerakan tubuhnya telah menggoyang-goyangkan pepohonan. Seekor burung Merpati Hutan besar terbang menyambar mukanya, menyerangnya dengan kasar sambil mengepak-ngepakkan sayap. Alice menarik kembali lehernya ke atas.
"Ular naga!" teriak si Merpati.
"Aku bukan ular naga!" Alice berusaha menjelaskan,
"Jangan ganggu aku. Biarkan aku sendiri!"
"Aku sudah coba berbagai cara!" kata si Merpati sedih, diselingi isakkan tangis, "tapi tampaknya semuanya sia-sia."
"Aku sama sekali tidak mengerti maksudmu."
"Aku pernah mencoba menggunakan akar-akar pohonan, menumpuk onggokan akar itu dan ditambah jerami," lanjut si Merpati, tanpa menghiraukan Alice, "tapi mereka, Ular-Ular Naga itu! Mereka tetap saja tidak senang padaku."
Alice makin tidak mengerti, tapi ia pikir tak ada gunanya menyela. Lebih baik ia biarkan saja si Merpati melanjutkan ceritanya.
"Pikirnya mudah apa menetaskan telur"!" lanjut si Merpati, "Mereka selalu mengawasiku siang dan malam. Aku belum tidur sama
61 sekali selama tiga minggu ini, mengerami telur ini!"
"Eh.., baru saja aku hinggap di dahan pohon tertinggi di hutan ini," suara Merpati mulai terdengar serak, "dan baru saja terbebas dari para Ular Naga itu, tiba-tiba saja mereka sudah muncul lagi begitu saja meluncur dari langit! Sebel! Sebel!"
"Tapi, aku bukan si Ular Naga," kata Alice, "aku... aku.."
"Kalau bukan, jadi kamu ini sebenarnya siapa"" tanya si Merpati, "nampaknya kamu juga sedang mencari sesuatu."
"Aku...sebenarnya, aku hanyalah seorang gadis kecil," jawab Alice ragu-ragu, karena ia merasa telah berubah berulangkali.
"Seperti dalam cerita saja. Ya, aku memang pernah dengar cerita seperti itu. Tapi nampaknya tak ada satupun tokoh ceritanya yang punya leher panjang seperti kamu. Bukan, bukan! Pasti kamu seekor ular naga! Ya, benar. Dan kamu hendak menipuku dengan mengatakan bahwa kamu tak pernah suka makan telur!"
"Aku suka makan telur. Percayalah," jawab Alice seraya memohon seperti anak kecil, "tapi aku tak akan memakan telur milikmu. Aku tak suka makan telur yang masih mentah."
"Sudah, cukup kalau begitu!" putus si Merpati sambil meletakkan telur di sarangnya kembali.
Alice menunduk dengan meneroboskan kepalanya melalui sela-sela pepohonan, sebisa mungkin. Kadang lehernya nyangkut di ranting dan beberapa kali ia harus berhenti sejenak mengurai sangkutan lehernya. Tiba -tiba Alice teringat pada jamur yang masih tergenggam di tangannya. Hati-hati, ia berusaha mencicipi secara bergantian antara yang dipegang di tangan kiri dan tangan kanan. Tentu saja tubuhnya kadang memanjang kadang memendek. Hingga akhirnya
62 tubuhnya kembali normal. Alice perlu beberapa waktu untuk membiasakan diri dengan ukuran tubuhnya yang normal. Awalnya ia merasa asing. Tapi lama-kelamaan ia mulai terbiasa: "Sebagian rencanaku sudah terlaksana sekarang! Betapa perubahan-perubahan yang kualami ini sangat membingungkan! Aku jadi selalu ragu pada diriku sendiri dari menit ke menit, dari waktu ke waktu! Tapi sudahlah, saat ini tubuhku sudah kembali normal. Dan selanjutnya aku akan masuk ke taman indah itu - tapi bagaimana ya, caranya "" Pada saat itu, Alice melihat sebuah dataran terbuka, dengan sebuah rumah kecil setinggi sekitar empat kaki berdiri disana. "Siapapun yang hidup di situ, pasti tubuh mereka tidak sepertiku: Ah, aku pasti akan menakutkan mereka!" Lalu ia mulai menggigit jamur di tangan kananya dan tidak berjalan mendekati rumah itu sampai ia bisa mengecilkan tubuhnya hingga setinggi sembilan inci.
63 Babi dan Lada SEJENAK Alice diam berdiri menatap rumah itu sambil merencanakan sesuatu, ketika tiba-tiba seseorang dengan baju pelayan muncul dari hutan itu - ia menganggapnya pelayan karena dia memakai baju pelayan - tapi bila Alice menilik pada wajah seseorang itu saja, ia lebih suka memanggilnya dengan si Ikan. ia mengetok keras-keras pintu dengan jari-jemarinya. Pintu itu dibuka oleh seorang pelayan lain, berwajah bundar dan bermata besar seperti kodok; kedua pelayan itu, setelah Alice perhatikan, berambut menggelombang dengan kening penuh bedak, Alice penasaran sedang apakah mereka, dan ia merangkak agak menjauh dari hutan itu untuk mencuri dengar.
Si pelayan berwajah ikan awalnya mengeluarkan sebuah amplop besar dari kempitan lengannya, hampir sebesar tubuhnya, dan menyerahkannya pada pelayan satunya seraya berkata dengan sungguh-sungguh, "untuk permaisuri. Undangan bermain kriket dari sang ratu." Si pelayan berwajah kodok mengulangi kata-kata itu, dengan nada yang sama, hanya dengan mengubah susunannya sedikit," dari sang ratu. Undangan bagi permaisuri untuk bermain kriket."
Lalu mereka saling menunduk, dan rambut keduanya berbelitan satu dengan yang lain.
Alice tertawa terpingkal-pingkal, lalu ia berlari kembali dan sembunyi di hutan itu, takut mereka akan mendengar tawanya; dan ketika ia kemudian mengintip lagi, si pelayan berwajah ikan itu sudah pergi dan tinggal si pelayan satunya yang duduk di tanah dekat pintu, linglung menatap langit.
Alice hati-hati melangkah ke arah pintu itu dan mengetoknya.
65 "Tak ada gunanya mengetok pintu seperti itu," kata si pelayan, "karena dua alasan. Pertama, karena saya di sisi yang sama dari pintu itu sepertimu; kedua, karena mereka sangat gaduh di dalam, tak seorangpun akan mendengar." Dan memang benar, terdengar kegaduhan yang luar biasa di dalam rumah itu - suara bersin dan ketawa, sesekali terdengar bunyi pecahan, sepertinya piring atau panci pecah berkeping-keping.
"Lalu kalau begitu," kata Alice, "bagaimana aku bisa masuk ke dalam""
"Harus ada semacam bayangan ketika kau mengetuknya," lanjut si pelayan tanpa memperhatikan Alice, "seolah-olah pintu itu ada diantara kita. Misal, kalau kamu di dalam, kau boleh mengetoknya dan saya bisa membukakan agar kau bisa keluar, kamu mengerti." Dia berbicara dengan kepala terus menatap langit, Alice tentu menganggapnya tak sopan. "Namun mungkin ia memang begitu," kata Alice pada diri sendiri; "karena matanya sangat dekat dengan ujung kepalanya. Tapi biar begitu, dia mungkin b
isa memberi jawaban. - bagaimana aku bisa masuk ke dalam rumah ini"" ia mengulangi pertanyaanya dengan suara keras.
"Saya akan duduk disini," si pelayan menegaskan, "sampai
besok-" Pada saat bersamaan, pintu rumah itu terbuka dan sebuah piring besar melayang keluar, lurus mengarah ke kepala si pelayan: Piring itu hanya menyerempet hidungnya dan pecah berkeping mengenai salah satu pohon yang tumbuh di belakang pelayan itu.
"Lain kali, mungkin," lanjut si pelayan dengan nada yang sama, layaknya tidak pernah terjadi apa-apa.
66 "Bagaimana aku bisa masuk"" Tanya Alice sekali lagi, dengan suara lebih keras.
"Apa kamu mau masuk ke dalam rumah "" kata si pelayan "itu masalah pertama, paham."
Tentu saja Alice tidak suka dijawab begitu. "Sangat mengerikan," Alice memberengut, "cara mahluk ini menjawab. Cukup membuat orang jadi gila!"
Si pelayan seolah berpikir bahwa saat itulah saat yang tepat baginya untuk mengulangi penegasannya, dengan sejumlah variasi. "Saya akan duduk di sini," katanya, "terus-menerus, selama berhari-hari,"
"Tapi aku mesti melakukan apa"" Tanya Alice.
"Apa saja yang kau suka," jawab si pelayan, dan mulai
bersiul. "Oh, tak ada gunanya bicara dengannya," kata Alice putus asa; "dia benar benar idiot!" ia lalu membuka pintu itu dan masuk ke dalam rumah.
Pintu itu membuka ke kanan dan menuju ke sebuah dapur yang besar, penuh dengan kepulan asap: Permaisuri sedang duduk di kursi sandaran berkaki tiga di tengah ruangan, menggendong seorang bayi; si juru masak berdiri dekat perapian, mengaduk sebuah ceret besar penuh sayur sup
"Pasti ladanya terlalu banyak!" gumam Alice pada dirinya sendiri, sebisa mungkin karena kepingin bersin.
Pasti terlalu banyak lada yang menguap dari sup itu. Bahkan permaisuri kadang juga bersin-bersin, begitu juga si bayi, bersin dan menangis bergantian tanpa henti. Yang tidak bersin di dapur itu hanya
67 si juru masak, dan seekor kucing besar yang duduk di dekat perapian dan menyeringai lebar.
"Kumohon, maukah kau memberitahuku," kata Alice, dengan agak sopan, karena ia tidak yakin apakah sopan baginya untuk memulai pembicaraan, "kenapa kucing anda menyeringai seperti itu""
"Dia itu kucing Chesire," sentak permaisuri, "itulah sebabnya. Dasar babi !"
Dia mengucapkan kata makian itu dengan ungkapan kemarahan yang tiba-tiba, membuat Alice terlonjak; namun ia kemudian menyadari kemarahan itu terarah pada si bayi, bukan padanya, jadi ia memberanikan diri dan melanjutkan ucapannya: "Aku tidak tahu kalau kucing Chesire selalu menyeringai begitu; Sebenarnya, aku tidak pernah tahu ada kucing bisa menyeringai lebar seperti itu."
68 "Semua kucing bisa begitu," tegas permaisuri; "dan kebanyakan mereka bisa melakukannya."
"Saya tahu tidak ada seekorpun kucing bisa melakukan hal itu," kata Alice dengan amat sopan, merasa senang telah bisa bercakap-cakap dengan dengan permaisuri.
"Kau tidak tahu apa-apa," kata permaisuri, "dan itu kenyataan."
Alice sama sekali tidak suka dengan nada penegasan itu, dan berpikir untuk mengganti bahan pembicaraan. Saat ia sedang memilih bahan yang tepat, si juru masak mengentas ceret sup itu dari tungku, dan tiba-tiba melemparkan apa saja yang bisa dijangkau tangannya ke arah permaisuri dan si bayi - pertama pengungkit perapian, lalu disusul wadah saus, piring dan makanan. Permaisuri tidak memperdulikannya, meskipun barang-barang itu kadang mengenainya; dan si bayi sudah menangis sejak awal, jadi sulit untuk mengatakan apakah lemparan itu menyakitinya atau tidak.
"Oh, hati-hatilah dengan apa yang kau lakukan!" jerit Alice, melompat kesana kemari tersiksa cemas. "Oh, nanti bisa kena hidungnya." Saat itu wadah saus melayang dan hampir mengenai bayinya.
"Bila saja setiap orang tahu urusan mereka sendiri," kata permaisuri geram dan parau, "dunia pasti akan berputar lebih cepat."
"Dan tidak ada gunanya," sahut Alice. ia merasa senang punya kesempatan untuk menunjukkan sedikit pengetahuannya. "Bayangkan kerja apa yang bisa dilakukan pada siang dan malam hari! bukankah bumi memerlukan waktu dua puluh empat jam untuk berputar di porosnya -"
69 "Bicara soal poros," kata permaisuri, "p
enggal kepalanya!" Alice menatap si juru masak dengan agak cemas, kalau saja ia menangkap maksud ucapan permaisuri itu; namun si juru masak itu, sibuk mengaduk sup dan terlihat tidak mendengarkan, lalu Alice melanjutkan: "Dua puluh jam, kukira; atau duabelas " Aku -" "Oh, jangan ganggu aku dengan soal itu," kata permaisuri; "aku tidak pernah bisa berhitung!" lalu ia kembali mulai menenangkan si bayi, menyanyikan lagu seperti nina bobok dan dengan geram dan mengayun si bayi itu pada tiap baris akhir kata katanya:
bicaralah dengan kasar pada anak lelaki kedimu
dan pukullah kalau ia bersin
dia begitu hanya untuk mengganggu
karena dia tahu itu akan bisa menyiksa
(si juru masak dan si bayi ikut menyanyikannya)-
wow wow wow Saat permaisuri menyanyikan bagian kedua lagu itu, ia dengan kasar terus mengayun si bayi ke atas dan ke bawah, dan si kecil yang malang itu makin keras menangis, hingga Alice hanya lamat-lamat mendengar:
aku berkata kasar pada anak lelakiku
aku pukul bila ia bersin karena ia bisa menikmati lada itu
saat ia senang woo woo woo "Kemari! kau jaga bayi ini sebentar!" panggil permaisuri pada Alice, sembari menyerahkan gendongan bayi itu padanya. "Aku harus pergi dan bersiap untuk main kriket dengan sang ratu," dan ia
70 pun bergegas keluar dari ruangan itu. Si juru masak melemparkan wajan ke arah sang ratu ketika ia keluar tapi meleset.
Alice menggendong bayi itu dengan agak susah, karena sosoknya yang kecil dan aneh, dan bayi itu merentangkan lengan tangan dan kakinya ke segala arah, "kayak bintang laut," pikir Alice. Bayi kecil itu mendengus-dengus seperti mesin uap ketika ia memegangnya, dan terus meringkuk dan mengejang bergantian, dan untuk beberapa saat awalnya sangat merepotkan.
Tak lama setelah Alice bisa menggendongnya dengan benar, (dengan mengikatkannya pada simpul bentan lengannya dan menahan telinga kanan dan kaki kirinya agar bayi itu tidak melepaskan diri) ia membawanya ke tempat terbuka, "bila bayi ini tidak kubawa keluar," timbang Alice, "mereka pasti akan bisa membunuhnya: Ah, Kalau bayi ini kutinggal saja, apakah ia berarti aku juga telah ikut membunuhnya"" Alice mengucapkan kata ini dengan suara keras, dan si bayi kecil itu mendengkur (pada saat itu ia sudah tidak bersin-bersin lagi). "Jangan ngorok," kata Alice, "tidak sopan kalau kau ngorok."
Si bayi ngorok lagi, dan Alice menatap wajah bayi itu dengan cemas untuk memastikan penyebab ia ngorok. Tidak salah lagi. Bayi itu ngorok karena hidung si bayi itu menonjol ke atas, lebih mirip tonjolan moncong daging daripada hidung, beneran! Matanya juga sangat kecil untuk ukuran bayi; Alice jadi tidak suka dengan bayi itu. "Tapi mungkin ia hanya sedang terisak," pikirnya, dan ia menatap bayi itu lagi, memastikan ada air mata mengalir dari mata itu atau tidak.
Tidak ada, tidak ada air matanya. "Bila kamu nanti memang
71 berubah menjelma menjadi seekor babi, sayangku", kata Alice sungguh-sungguh, "tentu aku tak bisa berbuat banyak untukmu. Ingat itu." Bayi kecil itu terisak lagi (atau ngorok, susah yang mana yang benar) dan mereka berjalan sambil diam beberapa lama.
Alice mulai berpikir, "sekarang apa yang mesti kulakukan bila bayi ini kubawa sampai ke rumah"' Ketika si bayi itu mulai ngorok dengan suara keras, ia menatap wajah bayi itu dengan kaget dan teringat sesuatu. Kali ini taksalah lagi; bayi itu sudah berubah menjelma menjadi seekor babi, dan ia merasa akan sangat tidak masuk akal baginya untuk terus membopongnya.
Lalu, ia turunkan mahluk kecil itu, dan merasa terbebas ketika melihat babi itu dengan tenang merangkak berlari ke dalam
72 hutan. Bila ia sudah besar," katanya pada diri sendiri, "babi itu pasti akan menjadi babi jelek dan menakutkan, tapi kupikir ia nanti akan menjadi babi yang lebih baik." Dan ia mulai memikirkan soal anak-anak lain, anak-anak yang juga berubah seperti babi, dan bicara pada dirinya sendiri, "bila saja ada yang tahu cara yang tepat untuk mengubah mereka -" ketika tiba-tiba ia agak terkejut melihat kucing Chesire sudah duduk di cabang sebuah pohon beberapa meter di dekatnya.
Kucing itu hanya menyeringai ketika menat
ap Alice. Nampak baik, pikir Alice: tapi kucing itu tetap berkuku panjang dan punya gigi besar besar, dan Alice ingin memperlakukannya dengan baik.
"Puss, kucing Chesire," ia mengawali menyapanya dengan sopan, karena ia sama sekali tidak tahu kucing itu suka atau tidak dipanggil begitu: meski demikian, kucing itu hanya menyeringai lebih lebar lagi. "Ya, sejauh ini menyenangkan," pikir Alice, dan ia melanjutkan, "maukah kau memberitahuku, bagaimana caranya aku bisa keluar dari tempat ini""
"Tergantung pada tempat mana yang hendak kau tuju," jawab si kucing.
"Aku tak perduli harus kemana -" kata Alice.
"Kalau begitu, arah mana pun juga tak masalah bagimu," ucap si kucing.
"Asalkan aku bisa sampai di suatu tempat tertentu," Alice menambahkan untuk menjelaskan.
"Oh, kau yakin akan tetap pergi ke sana," kata si kucing, "meski kau harus menempuh perjalanan cukup jauh."
Alice merasa tak ada pilihan jawaban lain, lalu ia pun
73 mencoba mengajukan pertanyaan lain. "Siapa sajakah yang hidup disini ""
"Pada arah itu," kata si kucing sambil melambaikan cakar kanannya memutar, "hidup si Hatter, dan arah sana," kata si kucing sambil melambaikan cakar kirinya, "hidup si March Hare. Kunjungilah mereka mana yang kau suka; tapi keduanya sama-sama gila."
"Tapi aku tak ingin menemui orang gila," tegas Alice
"Oh, kau tak punya pilihan lain," kata si kucing; "kita semua gila disini. Aku gila. Kamu juga gila."
"Kok bisa"" Tanya Alice
"Ya, kamu pasti sudah gila," kata si kucing, "sebab kalau tidak kau tak akan pernah sampai di tempat ini."
Alice tidak menganggap jawaban itu tidak cukup dijadikan bukti; meski demikian, ia melanjutkan, "dan bagaimana kau tahu kalau dirimu juga gila""
"Awalnya," kata si kucing, "kamu tahu 'kan kalau anjing tidak gila""
"Ya, saya kira begitu," kata Alice.


Alice In Wonderland Karya Lewis Carroll di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah, lalu," lanjut si kucing, "kau tahu, anjing menggeram ketika marah, dan mengibaskan ekornya saat mereka-girang. Tapi kini aku menggeram di saat senang dan mengibaskan ekorku saat marah. Itulah kenapa aku gila."
"Aku menyebutnya mendengking, bukan menggeram," kata
Alice "Terserah kau menyebutnya apa,"kata si kucing, "apa kau juga akan main kriket dengan sang ratu hari ini""
"Oh, tentu aku akan senang sekali," kata Alice, "tapi aku
74 "Jadi babi," jawab Alice pelan, seolah perubahan bayi itu wajar baginya.
"Kupikir juga begitu," kata si kucing dan kucing itupun lenyap
lagi. 75 Alice menunggu sejenak, setengah berharap kucing itu akan muncul lagi, tapi ternyata tidak, dan setelah beberapa lama iapun berjalan ke tempat si March Hare. "Aku sudah pernah bertemu dengan si Hatter sebelumnya," katanya pada dirinya sendiri, "si March Hare pasti akan lebih menarik dikunjungi dan karena saat ini bulan Mei pasti dia tidak sedang suka marah marah - setidaknya, tidaklah segila seperti pada bulan Maret" Ketika ia mengucapkan kata-katanya, ia mendongak, dan terlihatlah si kucing itu lagi, duduk di salah satu ranting cabang sebuah pohon.
"Kau tadi berkata babi atau api"" tanya si kucing.
"Babi," jawab Alice, "dan kuharap kau tidak akan muncul lagi dan cepatlah pergi; kau membuatku sangat pusing."
"Baiklah," kata si kucing; dan kali ini kucing itupun menghilang secara perlahan, bermula dari ujung ekornya hingga nampak tinggal seringainya beberapa saat setelah semua bagian tubuhnya tidak kelihatan lagi.
76 "Ya! aku sudah sering melihat kucing tanpa seringai," pikir Alice; tapi seringaian kucing saja! oh, itu hal teraneh yang pernah kualami sepanjang hidup!"
Alice belum melangkah terlalu jauh ketika ia melihat rumah si gila March; ia pikir itu pasti rumahnya, karena bentuk cerobong asapnya seperti daun telinga dan atapnya terbuat dari jaluran bulu binatang. Rumah itu sangat besar, dia tidak ingin langsung mendekati rumah itu. ia lalu menggigit beberapa bagian dari jamur di tangan kirinya hingga tubuhnya setinggi dua kaki; lalu ia berjalan ke rumah itu dengan agak takut, berkata pada dirinya sendiri; "Sandarnya saja ia lagi suka marah dan mengomel! Lebih baik aku menemui si Hatter saja!"
77 Jamuan Minum Teh Gila SEBUAH meja besar sudah tertata di bawah sebuah pohon di depan
rumah itu, dan si March Hare dan si Hatter sedang minum teh di situ: Seekor binatang mirip tikus dengan ekor penuh bulu duduk di antara mereka, tertidur, dan dua orang itu menggunakan tubuh si binatang itu layaknya sebuah bantal, menyandarkan bahu mereka, dan saling bercakap melintasi kepala binatang itu. "Pasti sangat tidak mengenakkan bagi si binatang itu," pikir Alice;" tapi, karena binatang itu sedang tertidur, kukira hal itu tak masalah."
Meja itu sangat besar, namun hanya satu sisinya saja yang dipakai secara bergerombol: "Tak ada tempat! tak cukup tempatnya, sudah penuh!" teriak mereka ketika melihat kedatangan Alice. "Masih banyak tempat kosong!" Tegas Alice, dan dia duduk di sebuah kursi besar di salah satu tepi meja.
"Silahkan minum anggurnya," kata si March Hare menawari.
Alice melihat ke sekeliling meja, tapi tak ada sesuatupun di situ kecuali teh. "Saya tidak melihat ada anggur," ia menegaskan.
"Memang tidak ada," kata si March Hare.
"Sungguh sopan kamu menawarkannya," kata Alice dengan
marah. "Sungguh kamu yang tidak sopan duduk disini sementara kau tidak di undang," kata si March Hare.
"Aku tidak tahu kalau sisi meja ini juga meja perjamuanmu," kata Alice, "meja ini cukup menampung lebih dari tiga orang."
"Rambutmu perlu dipotong," kata si Hatter. ia memandangi Alice beberapa saat dengan heran, dan ini adalah sapaan pertamanya.
"Kau harus belajar untuk tidak mengurusi urusan pribadi orang lain," Alice berkata dengan agak keras; "itu sangat kasar."
Si Hatter membelalakkan matanya, tapi kemudian ia hanya mengatakan, "kenapa seekor burung gagak sama dengan meja tulis""
"Ya, kita mesti bersenang-senang sekarang!" pikir Alice. "Aku senang kalian mulai bertanya soal teka-teki. Aku yakin bisa menebak jawabannya," ia menambahkan dengan suara lantang.
"Maksudmu kau pikir kau tahu jawabannya"" Tanya si March
Hare. 79 "Tepat sekali," kata Alice.
"Kalau begitu katakan apa jawabanmu," lanjut si March Hare.
"Ya," sahut Alice cepat; "setidaknya -setidaknya aku tahu apa yang kukatakan - bukankah itu adalah hal yang sama..."
"Sama sekali tidak sama!" kata" si Hatter., "Kamu boleh mengatakan aku tahu apa yang kumakan, adalah sama dengan ketika kau mengatakan aku makan apa yang aku tahui"
"Kamu boleh mengatakan," tambah si gila March, "bahwa aku suka apa yang aku dapat adalah sama dengan ketika kau mengatakan aku dapatkan apa yang aku suka!"
"Kamu boleh mengatakan," tambah si tikus Dormouse, sepertinya bicara sambil tidur, "aku bernafas ketika tidur adalah sama dengan bila kau mengatakan aku tidur saat aku bernafas!"
Sukma Pedang 2 Puteri Es Seri 5 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Dingdong Matilah Kau 2
^