Pencarian

Eragon 6

Eragon Karya Christhoper Paolini Bagian 6


Kau mabuk-mabukan, terdengar pikiran bernada menuduh. Eragon mempertimbangkannya sejenak dan harus menyetujui bahwa Saphira benar sepenuhnya. Ketidak setujuan Saphira jelas, tapi Ia hanya mengatakan, Aku tidak akan iri padamu besok pagi.
Ti dak, kata Eragon, tapi Brom pasti akan iri Ia minum dua kali lipat lebih banyak daripada diriku.
JEJAK MINYAK Kenapa aku kemarin" Eragon bertanya-tanya keesokan paginya. Kepalanya terasa berdenyut-denyut hebat dan lidahnya terasa tebal dan kaku. Saat seekor tikus berlari melintasi lantai, Eragon mengernyit mendengar suaranya.
Bagaimana perasaanmu" tanya Saphira menyebalkan.
Eragon mengabaikannya. Sesaat kemudian, Brom berguling turun dari ranjang sambil menggerutu. Ia menyiram kepalanya dengan air dingin dari baskom, lalu keluar kamar. Eragon mengikutinya ke lorong. "Kau mau ke mana"" tanyanya.
"Memulihkan diri."
"Aku ikut." Di bar, Eragon mendapati metode pemulihan Brom melibatkan konsumsi teh panas dan air es, dilengkapi brendi yang melimpah. Sewaktu mereka kembali ke kamar, Eragon mampu berpikir agak lebih baik.
Brom menyandang pedang dan meratakan kerut dari mantelnya. "Yang pertama perlu kita lakukan adalah bertanya secara tidak mencolok. Aku ingin mengetahui kemana minyak Seithr dikirim di Dras-Leona dan dari sana diantar ke mana. Kemungkinan besar, para prajurit atau pekerja terlibat dalam pengirimannya. Kita harus menemukan orang-orang itu dan membujuk salah satunya agar bersedia membuka mulut.
Mereka meninggalkan Golden Globe dan mencari gudang tempat minyak Seithr mungkin dikirimkan. Di dekat Pusat Dras-Leona, jalan-jalan mulai menanjak ke istana dari granit licin. Istana itu dibangun di atas gundukan tanah hingga menjulang di atas semua bangunan kecuali katedral.
Halamannya mosaik dari kulit kerang mutiara, dan beberapa bagian dindingnya dilapisi emas. Patung hitam berdiri dalam ceruk-ceruk, dengan dupa batang menyala di tangan mereka yang dingin. Para prajurit yang berjaga setiap empat meter mengawasi orang-orang yang lalu-lalang dengan tajam.
"Siapa Yang tinggal di sana"" tanya Eragon terpesona.
"Marcus Tabor, pemimpin kotaini. Ia bertanggung jawab hanya pada Raja dan hati nuraninya sendiri, yang akhir-akhir ini tidak begitu aktif," jawab Brom.
Mereka berjalan mengitari istana, memandang rumah-rumah yang mempunyai gerbang dan penuh hiasan yang mengelilinginya. Pada tengah hari mereka tidak mendapat apa pun yang berguna, jadi mereka berhenti untuk makan siang. "Kota ini terlalu luas untuk kita telusuri bersama," kata Brom. "Kita berpencar saja. Temui aku di Golden Globe saat senja." Ia memelototi Eragon dari bawah alis yang lebat. "Aku memercayaimu untuk tidak melakukan kebodohan apa pun."
"Tidak akan," kata Eragon berjanji. Brom memberinya sejumlah uang, lalu berjalan ke arah yang berlawanan.
Sepanjang sisa hari itu, Eragon berbicara dengan pemilik toko dan pekerja, mencoba bersikap seramah dan sememesona mungkin. Pertanyaan-pertanyaannya membawa dirinya menjelajahi kota dari ujung ke ujung dan kembali ke tempat semula. Tampaknya tidak ada yang tahu tentang minyak itu. Ke mana pun ia pergi, katedral bagai mengawasi dirinya. Mustahil menghindari menara-menaranya yang tinggi. Akhirnya ia menemukan seseorang yang pernah membantu mengirimkan minyak Seithr dan masih ingat ke gudang mana minyak itu dibawa. Eragon dengan penuh semangat pergi Untuk mengamati gudang itu, lalu kembali ke Golden Globe. Lebih dari satu jam kemudian Brom baru muncul, bahunya melosot kelelahan. "Ada yang kautemukan"" tanya Eragon.
Brom mengibaskan rambut ubanannya ke belakang. "Aku mendengar banyak hal menarik hari ini, salah satunya adalah Qalbatorix akan mengunjungi Dras-Leona minggu ini."
Apa"" seru Eragon.
Brom menyandar ke dinding, kerut-kerut di keningnya tampak semakin dalam. "Tampaknya Tabor terlalu mengobral kekuasaannya. Jadi Galbatorix memutuskan datang dan memberinya sedikit pelajaran tentang kerendahan hati. Ini pertama kalinya Raja meninggalkan Uru'baen setelah lebih dari sepuluh tahun."
"Menurutmu ia mengetahui tentang kita"" tanya Eragon.
"Tentu saja ia tahu, tapi aku yakin ia belum diberi tahu mengenai lokasi kita. Kalau ia sudah diberitahu, kita pasti telah berada dalam cengkeraman Ra'zac. Bagaimanapun juga, ini berarti apa pun yang akan kita lakukan terhadap Ra'zac harus dilakukan sebelum Galbatorix tiba. Kita tidak
ingin berada dekat-dekat dirinya. Satu hal yang menguntungkan kita adalah kepastian bahwa Ra'zac ada di sini, mempersiapkan kedatangannya."
"Aku ingin menghabisi Ra'zac," kata Eragon, tinjunya mengepal, "tapi tidak kalau itu berarti harus berhadapan dengan Raja. Ia mungkin bisa mencabik-cabik diriku sampai hancur."
Komentar itu tampaknya menggelikan Brom. "Bagus sekali: kehati-hatian. Dan kau benar; kau tidak akan bertahan menghadapi Galbatorix. Sekarang katakan apa yang kauketahui hari ini. Mungkin bisa mengkonfirmasi apa yang kudengar."
Eragon mengangkat bahu. "Sebagian besar tidak penting, tapi aku sempat bercakap-cakap dengan orang yang mengetahui ke mana minyak itu dibawa. Hanya gudang tua. Selain itu, aku tidak menemukan apa pun yang berguna.
"Hariku sedikit lebih menghasilkan daripada harimu. Aku mendengar kabar yang sama seperti yang kau dengar, jadi aku pergi ke gudang dan bercakap-cakap dengan para pekerja di sana. Aku tidak perlu bersusah payah membujuk mereka untuk memberitahuku bahwa berpeti-peti minyak Seithr selalu dikirim dari gudang itu ke istana."
"Dan sesudah itu kau kembali kemari," kata Eragon menyelesaikannya.
"Tidak, tidak begitu! Jangan menyela. Sesudah itu, aku pergi ke istana dan berhasil mengusahakan agar diundang ketempat pelayan sebagai penghibur keliling. Selama beberapa jam dan berkeliaran di sana, menghibur para pelayan juga yang ia lakukan dengan lagu-lagu dan puisi-puisi dan sambil bertanya-tanya. perlahan-lahan mengisi pipanya dengan tembakau. "Benar-benar mengagumkan apa yang bisa diketahui para pelayan ini. Kau tahu salah satu bangsawan memiliki tiga gundik, dan mereka semua tinggal di bangsal yang sama di istana"" Ia menggeleng dan menyulut pipa. "Terlepas dari berita-berita sepele yang memesona, aku diberitahu, secara tidak sengaja, ke mana minyak itu dibawa dari istana."
"Yaitu..."" tannya Eragon. Eragon tidak sabar.
Brom mengisap pipanya dan mengembuskan cincin asap.
Keluar kota, tentu saja. Setiap bulan purnama dua budak
dikirim ke kaki Helgrind dengan membawa persediaan untuk sebulan. Setiap kali minyak Seithr tiba di Dras-Leona, mereka mengirimkannya juga bersama persediaan. Budak-budak itu tidak pernah terlihat lagi. Dan sewaktu ada yang mengikuti mereka, ia juga menghilang."
"Kukira para Penunggang sudah menghapus perbudakan,"
kata Eragon. "Sayangnya, perbudakan dimulai lagi di bawah kepemimpinan Raja."
"Jadi Ra'zac ada di Helgrind," kata Eragon, memikirkan gunung karang tersebut.
"Di sana atau di dekat tempat itu."
"Kalau mereka memang ada di Helgrind, mereka entah berada di dasarnya dan dilindungi pintu batu yang tebal atau jauh tinggi di atas tempat hanya tunggangan mereka, atau Saphira, yang bisa mencapainya. Puncak atau dasar, tempat perlindungan mereka tidak ragu lagi pasti disamarkan." Ia berpikir sejenak. "Kalau Saphira dan aku terbang mengitari Helgrind, Ra'zac pasti akan melihat kami belum lagi seluruh penduduk Dras-Leona."
"Itu memang jadi masalah," Brom menyetujui.
Eragon mengerutkan kening. "Bagaimana kalau kita menggantikan kedua budak itu" Bulan purnama tidak lama lagi. Kita akan mendapat kesempatan yang sempurna untuk mendekati Ra'zac."
Brom menarik-narik janggut sambil berpikir. "Tindakan itu Sangat berisiko. Kalau para budak itu dibunuh dari jarak jauh, kita akan mendapat masalah. Kita tidak bisa melukai Ra'zac kalau tak bisa melihat mereka."
"Kita tidak mengetahui apakah budak-budak itu benar-benar dibunuh," Eragon menukas.
"Aku yakin mereka dibunuh," kata Brom, wajahnya muram. Lalu matanya berkilau, dan ia mengembuskan cincin asap yang lain. "Sekalipun begitu, itu gagasan yang menarik. Kalau kita melakukannya sementara Saphira bersembunyi tidak dari tempat kita dan..." Brom tidak menyelesaikan kata-katanya "Mungkin bisa berhasil, tapi kita harus bergerak cepat. Dengan kedatangan Raja, tidak banyak waktu yang tersisa."
"Apakah sebaiknya kita pergi ke Helgrind dan melihat-lihat" Ada gunanya melihat-lihat medan di siang hari agar kita tidak terkejut kalau ada penyergapan," kata Eragon.
Brom mengusap tongkatnya. "Itu bisa dilakukan nanti. besok aku akan kemba
li ke istana dan memperkirakan bagaimana cara kita menggantikan para budak itu. Tapi aku harus berhati-hati agar tidak menimbulkan kecurigaan, samaranku bisa terungkap dengan mudah oleh mata-mata dan ajudan bangsawan yang mengetahui tentang Ra'zac."
"Aku tidak habis pikir; kita benar-benar menemukan mereka;' kata Eragon dengan suara pelan. Bayangan almarhum pamannya dan rumah pertanian yang hancur terbakar, melintas dalam benaknya. Rahangnya mengeras.
"Bagian tersulit belum tiba, tapi ya, kita sudah cukup berhasil," kata Brom. "Kalau keberuntungan tersenyum pada kita, tidak lama lagi kau bisa membalas dendam dan Varden akan kehilangan musuh yang berbahaya. Apa yang terjadi sesudah itu terserah padamu."
Eragon membuka pikirannya dan dengan gembira memberitahu Saphira, Kita menemukan sarang Ra'zac! Di mana"
Eragon dengan cepat menjelaskan apa yang mereka temukan
Helgrind, kata Saphira. Tempat yang cocok bagi mereka.
Eragon menyetujui. Sesudah urusan kita di sini selesai, mungkin kita bisa mengunjungi Carvahall.
Apa yang kauinginkan sebenarnya" tanya Saphira, tiba-tiba masam. Kembali ke kehidupanmu yang dulu" Kau tahu hal itu tidak akan terjadi, jadi berhentilah memikirkannya! Pada saat tertentu kau harus memutuskan untuk apa kau abdikan hidupmu. Apakah kau akan bersembunyi sepanjang sisa hidupmu, atau kau akan membantu kaum Varden" Hanya itu pilihan yang tersisa bagimu, kecuali kau bergabung dengan Galbatorix, yang tidak akan pernah kusetujui.
Dengan lembut, Eragon berkata, Kalau aku harus memilih, aku lebih baik menyerahkan nasibku pada kaum Varden, seperti yang kauketahui dengan baik.
Ya tapi terkadang kau harus mendengar dirimu sendiri mengatakannya. Saphira meninggalkan Eragon agar memikirkan kata-katanya.
PARA PEMUJA HELGRIND Eragon sendirian di kamar sewaktu terjaga. Di dinding terdapat tulisan dengan arang yang berbunyi:
Eragon, Aku akan pergi hingga larut malam ini. Uang untuk membeli makanan ada di bawah kasur. jelajahilah kota, bersenang-senanglah, tapi jangan menarik perhatian! Brom
N.B. Hindari istana. Jangan pergi ke mana pun tanpa busurmu! Pasang talinya.
Eragon bergegas untuk membersihkan bekas coretan pesan yang tertera di dinding, lalu mengambil uang dari bawah kasur. Ia melintangkan busurnya di punggung, sambil berpikir, Kalau saja aku tidak harus membawa senjata setiap saat...
Ia meninggalkan Golden Globe dan menyusuri jalan, berhenti untuk mengamati apa pun yang menarik perhatiannya. Banyak toko yang menarik, tapi tidak satu pun memesona seperti toko tanaman obat Angela di Teirm. Terkadang ia memandangi rumah-rumah yang gelap dan sesak lalu berharap untuk segera bisa meninggalkan kota ini. Sewaktu perutnya merasa lapar, ia membeli sepotong keju dan sebongkah roti lalu menyantapnya sambil duduk di tepi jalan.
Kemudian, di sudut jauh Dras-Leona, ia mendengar juru mengumumkan sederetan harga. Karena penasaran, ia berjalan ke arah asal suara itu dan tiba di celah lebar di antara dua bangunan. Sepuluh orang berdiri di panggung setinggi pinggang orang dewasa. Di depan mereka telah berkerumun orang-orang berpakaian mewah yang berwarna-warni mencolok. Mana barang yang akan di jual" pikir Eragon penasaran. Lelang selesai memberitahukan harga-harganya dan memberi isyarat memanggil pemuda di belakang panggung untuk bergabung dengannya. Pemuda itu berjalan naik dengan kikuk, rantai mengikat tangan dan kakinya. "Dan ini barang pertama kita," seru juru lelang. "Pemuda yang sehat dari Padang Pasir Hadarac, baru ditangkap bulan lalu, dan dalam kondisi yang sangat bagus. Lihat lengan dan kakinya; ia sekuat kerbau! Ia sempurna sebagai pembawa perisai, atau, kalau Anda tidak memercayainya untuk itu, kerja keras. Tapi kuberitahu, tuan-tuan dan nyonya-nyonya, itu bakal jadi penyia-nyiaan. Ia sangat cerdas, kalau Anda bisa membuatnya berbicara secara beradab!"
Kerumunan orang tertawa, dan Eragon mengertakkan gigi karena murka. Bibirnya bergerak menyusun kata-kata yang akan membebaskan budak tersebut, dan lengannya, yang baru saja dibebaskan dari pembalut, terangkat. Tanda di telapak tangannya berpendar. Ia hendak melepaska
n sihirnya sewaktu kesadaran melintas dalam benaknya, Ia tidak akan bisa meloloskan diri! Budak itu akan tertangkap sebelum mencapai dinding kota. Eragon hanya akan memperburuk situasinya kalau ia mencoba membantu. Ia menurunkan lengan dan memaki diam-diam. Pikir! Beginilah caramu mendapat masalah dengan para Urgal.
Ia mengawasi tanpa daya waktu budak itu terjual kepada pria jangkung berhidung elang. Budak berikutnya gadis kecil, tidak lebih dari enam tahun, dirampas dari tangan ibunya yang menangis. Sementara juru lelang memulai pelelangan, Eragon memaksa diri untuk berlalu, kaku karena murka dan marah.
Setelah berada beberapa blok dari tempat itu, barulah ia mulai menangis. Aku ingin ada pencuri yang mencoba mengambil dompetku sekarang, pikirnya muram, nyaris berharap itu benar-benar terjadi. Dengan perasaan frustrasi, ia meninju dinding di dekatnya, melukai buku-buku jemarinya.
Hal-hal seperti Itulah yang bisa kulakukan dengan melawan. Kekaisaran, pikirnya tersadar. Dengan didampingi Saphira aku bisa membebaskan budak-budak itu. Aku dikaruniai kekuatan khusus, aku akan egois kalau tidak menggunakan kekuatan itu demi orang lain. Kalau tidak, lebih baik aku tidak menjadi Penunggang sama sekali.
Baru beberapa saat kemudian ia berusaha mengenali tempat ia berada dan terkejut mendapati dirinya di depan katedral, Menara-menaranya yang berputar tertutup berbagai pahatan dan ukiran. Gargoyle-gargoyle yang menyeringai berjongkok di sepanjang langkah. Makhluk-makhluk buas yang fantastis menggeliat dan menyeringai di dinding-dindingnya, dan para pahlawan serta raja berbaris di sepanjang tepi dasarnya, membeku dalam marmer dingin. Lengkungan-lengkungan berusuk dan jendela-jendela kaca berwarna yang tinggi berjajar di sisi katedral, bersama tiang-tiang yang berbeda ukuran. Menara patroli menjulang sendirian di bangunan itu bagai tiang kapal.
Dalam ceruk remang-remang di bagian depan katedral terdapat pintu besi dengan sederetan tulisan perak yang dikenali Eragon sebagai bahasa kuno. Tulisan itu, menurut kemampuan membacanya, berbunyi: Biarlah siapa pun yang memasuki tempat ini memahami ketidak abadiannya dan melupakan keterikatannya dengan apa yang dikasihnya.
Seluruh bangunan itu menyebabkan Eragon menggigil. Ada sesuatu yang mengancam pada bangunan itu, seakan bangunan tersebut hewan pemangsa yang mengintai di kota, menunggu korban berikut.
Sederet anak tangga lebar berbaris ke pintu masuk katedral, Eragon dengan khidmat mendaikinya dan berhenti di depan pintu. Aku ingin tahu apakah aku bisa masuk Nyaris dengan perasaan bersalah ia mendorong pintunya. Pintu itu terayun membuka dengan halus, meluncur pada engsel-engselnya yang diminyaki. Ia melangkah masuk.
Kesunyian makam yang terlupakan mengisi katedral yang kosong itu. Udara terasa dingin dan kering. Dinding-dinding telanjang menjulang hingga ke langit-langit cekung yang tinggi hingga Eragon merasa sekecil semut. Jendela-jendela kaca berwarna yang menggambarkan adegan kemarahan, kebencian, dan penyesalan menghiasi dindingnya, sementara berkas-berkas cahaya menerangi beberapa deretan bangku dari granit dengan warna kelabu transparan, meninggalkan sisanya dalam bayang-bayang. Kedua tangan Eragon bagai terbungkus cahaya biru tua.
Di antara jendela-jendela terdapat beberapa patung dengan mata yang pucat dan kaku. Ia membalas tatapan mereka, lalu perlahan-lahan menyusuri lorong tengah, takut memecahkan kesunyian di sana. Sepatu bot kulitnya berderap tanpa suara di lantai batu licin.
Altarnya terbuat dari sebongkah batu besar tanpa hiasan apapun. Seberkas cahaya jatuh ke sana, menerangi bintik-bintik debu keemasan yang melayang di udara. Di belakang altar, pipa-pipa orgel menembus langit-langit dan membuka diri pada elemen-elemen alam. Instrumen itu akan memainkan musiknya hanya kalau badai mengguncang Dras-Leona.
Karena menghormatinya, Eragon berlutut di depan altar dan menundukkan kepala. Ia tidak berdoa tapi memberi hormat pada katedral itu sendiri. Penderitaan hidup berbagai orang yang telah disaksikan bangunan itu, juga kejadian-kejadian rumit yang berlangsung di sela dinding-
dindingnya, terpancar dari bebatuan di sana. Tempat itu terlarang, telanjang, dan dingin. Tapi dalam sentuhan dingin itu sekilas terlihat keabadian dan mungkin kekuatan-kekuatan yang berada di sana.
Akhirnya Eragon mengangkat kepala dan bangkit. Dengan tenang dan serius, ia berbisik sendiri dalam bahasa kuno, lalu berbalik pergi. Ia membeku. Jantungnya bagai terlonjak, berdebam-debam seperti drum.
Ra'zac berdiri di pintu masuk katedral, memandangi dirinya. Pedang mereka teracung, tepinya yang tajam bagai berlumuran darah ketika kena cahaya kemerahan. Ra'zac yang lebih kecil mendesis. Tidak satu pun dari mereka berdua bergerak.
Kemurkaan menggelegak dalam diri Eragon. Ia sudah mengejar Ra'zac begitu lama hingga penderitaan akibat pembunuhan yang mereka lakukan telah mereda dalam dirinya. Tapi pembalasan dendam ada di depan mata. Kemurkaannya meledak bagai kawah gunung berapi, semakin besar akibat perdagangan budak yang disaksikannya. Raungan terlontar dari mulutnya, menggema bagai badai sementara ia mengambil busur dari punggung. Dengan sigap ia memasang anak panah di busur dan menembakkannya. Dua anak panah lagi menyusul sesaat kemudian.
Ra'zac melompat menjauhi anak-anak panah itu dengan kesigapan yang tidak manusiawi. Mereka mendesis sambil berlari menyusuri lorong di sela bangku-bangku, mantel mereka berkibar-kibar bagai sayap gagak. Eragon meraih anak panahnya tapi sikap hati-hati menahan tangannya. Kalau mereka mengetahui di mana bisa menemukan diriku. Brom juga terancam bahaya! Aku harus memperingatkannya! Lalu, yang memicu kengerian Eragon, barisan prajurit memasuki katedral, dan sekilas ia melihat lautan seragam berdesakan di luar ambang pintu.
Eragon menatap Ra'zac yang menerjang maju dengan pandangan ganas, lalu berputar, mencari jalan untuk melarikan diri. Ruang kecil di sebelah kiri altar menarik perhatiannya. Ia berlari melewati pintu melengkung dan menyusuri koridor yang menuju tempat tinggal pendeta. Detakan langkah Ra'zac di belakangnya menyebabkan ia mempercepat lari hingga lorong tiba-tiba berakhir pada pintu tertutup.
Ia memukul-mukulnya, berusaha mendobraknya, tapi kayunya terlalu kuat. Ra'zac nyaris tiba di tempatnya. Dengan panik, ia menghela napas dan meraung, "Jierda!" Diiringi kilasan cahaya, pintunya hancur berkeping-keping ke lantai. Eragon melompat masuk ke ruang kecil dan terus berlari.
Ia melesat melewati beberapa ruangan, mengejutkan sekelompok pendeta. Teriakan dan makian mengikuti kepergiannya. Lonceng tempat tinggal pendeta meneriakkan peringatan Eragon menerobos memasuki dapur, melewati sepasang biarawan, lalu menyelinap keluar melalui pintu samping. Ia berhenti di taman yang dikelilingi dinding bata tinggi tanpa tonjolan untuk pegangan. Tidak ada jalan keluar lain yang dapat memberinya peluang kali ini.
Eragon berbalik hendak pergi, tapi terdengar desisan pelan sementara Ra'zac menerobos pintu. Dengan putus asa, ia bergegas mendekati dinding, lengannya bergerak cepat. Sihir tidak bisa membantunya di sini kalau ia menggunakan sihir untuk menghancurkan dinding tebal, ia akan terlalu lelah untuk melarikan diri.
Ia melompat. Bahkan dengan kedua lengan terulur, hannya ujung jemarinya yang menyapu puncak dinding. Bagiannya yang lain terempas ke bata, menyentakkan napasnya Eragon tersentak dan tergantung di sana, berjuang keras untuk tidak jatuh. Ra'zac masuk ke taman, berpaling ke sana kemari seperti anjing pemburu yang mengendus-endus mangsa.
Eragon merasakan kehadiran mereka yang semakin dekat dan mengangkat tubuhnya. Bahunya kesakitan hebat saat ia memanjat dinding dan menjatuhkan diri di baliknya. Ia terhuyung, lalu keseimbangannya pulih dan ia melesat memasuki lorong sempit tepat pada saat Ra'zac melompati dinding. Dengan membulatkan tekad, Eragon kembali berlari sekuat tenaga.
Ia berlari selama lebih dari satu mil sebelum terpaksa berhenti untuk menenangkan napas. Tidak yakin apakah berhasil lolos dari Ra'zak. Ia menemukan pasar yang penuh sesak dan menunduk ke bawah kereta yang diparkir. Bagaimana mereka bisa menemukan diriku" pikirnya penasaran, napasnya terengah-engah. Mereka seharu
snya tidak mengetahui di mana aku berada... kecuali ada yang terjadi pada Brom! Ia menjangkau Saphira dengan pikirannya dan berkata, Ra'zac menemukan diriku. Kita semua terancam bahaya! Periksa Brom apakah Ia baik-baik saja. Kalau iya, peringatkan dirinya dan minta Ia menemui aku di penginapan. Dan bersiap-siaplah terbang kemari secepat mungkin. Kami mungkin membutuhkan bantuanmu untuk melarikan diri.
Saphira membisu, lalu berkata singkat, Ia akan menemuimu di penginapan. jangan berhenti bergerak; kau terancam bahaya besar.
"Memangnya aku tidak tahu"" gumam Eragon sambil berguling keluar dari bawah kereta. Ia bergegas kembali ke Golden Globe, dengan cepat mengemasi barang-barang mereka, memasang pelana kuda-kuda, lalu membimbing kedua hewan itu ke jalan. Brom tiba tidak lama kemudian, membawa tongkat, merengut berbahaya. Ia naik ke punggung Snowfire dan bertanya, "Apa yang terjadi""
"Aku ada di katedral sewaktu Ra'zac tiba-tiba muncul di belakangku," kata Eragon, sambil naik ke punggung Cadoc. "Aku berlari kemari secepat mungkin, tapi mereka bisa tiba disana setiap saat. Saphira akan menggabungkan diri dengan kita untuk segera pergi begitu kita berada di luar Dras-Leona."
"Kita harus keluar dari dinding kota sebelum mereka menutup gerbang-gerbang, kalau mereka belum menutupnya," kata Brom. "Kalau mereka sudah menutupnya, akan sangat mustahil bagi kita untuk pergi. Apa pun yang kau lakukan, jangan terpisah dariku." Eragon mengejang saat sekelompok prajurit berderap mendekat dari salah satu ujung jalan.
Brom memaki, melecut snowfire dengan kekang, dan berderap pergi. Eragon membungkuk rendah di atas Cadoc mengikutinya. Mereka nyaris bertabrakan beberapa kali sela, perjalanan yang liar dan berbahaya itu, menerobos kerumunan orang yang menyesaki jalan sementara mereka mendekati dinding kota. Sewaktu gerbang akhirnya terlihat, Eragon menarik kekang Cadoc dengan jengkel. Gerbang itu telah setengah tertutup, dan dua baris prajurit bertombak menghalangi jalan mereka.
"Mereka akan mencincang kita habis-habisan!" serunya. "Kita harus mencobanya," kata Brom, suaranya kaku. "Akan kutangani orang-orang itu, tapi kau harus mengusahakan gerbang tetap terbuka bagi kita."
Eragon mengangguk, mengertakkan gigi, danmenjejakkan tumit ke Cadoc.
Mereka menerjang barisan prajurit yang tidak goyah itu, yang menurunkan tombak hingga sejajar dada kuda-kuda Eragon dan Brom lalu menumpukannya ke tanah. Sekalipun kuda-kuda mendengus ketakutan, Eragon dan Brom memaksa mereka terus maju. Eragon mendengar para prajurit itu berteriak tapi tetap memusatkan perhatian pada gerbang yang perlahan-lahan menutup.
Saat mereka mendekati tombak-tombak yang tajam tersebut, Brom mengangkat tangan dan berbicara. Kata-katanya terlontar dengan tepat, para prajurit itu berjatuhan ke kedua sisi seakan kaki mereka dibabat. Celah di gerbang semakin menyusut setiap detiknya. Berharap usahanya tidak akan terlalu menguras tenaga, Eragon mengerahkan kekuatannya dan berteriak, Du grind huildr!"
Deritan keras terdengar dari gerbang-gerbang yang bergetar lalu berhenti. Kerumunan orang dan prajurit terdiam, menatap terpesona. Diiringi deru, ladam kuda, Brom dan Eragon melesak keluar dari balik dinding-dinding Dras-Leona. Begitu mereka bebas, Eragon melepaskan gerbangnya. Gerbang-gerbang itu bergetar, lalu berdebum menutup.
Ia goyah akibat kelelahan yang telah diduganya bakal menyerang tapi berhasil mempertahankan diri di atas kuda. Brom mengawasinya dengan prihatin. Pelarian mereka belum melewati tepi Dras-Leona sementara terompet peringatan menjerit melengking di dinding-dinding kota. Saphira menanti merka di tepi kota, tersembunyi di balik pepohonan. Matanya membara; ekornya melecut ke sana kemari. "Pergi, tunggangi Saphira," kata Brom. "Dan kali ini tetaplah di udara, apa pun yang terjadi padaku. Aku akan ke selatan. Terbanglah di dekatku; aku tidak peduli Saphira terlihat atau tidak." Eragon bergegas naik ke bahu Saphira. Sementara tanah menjauh di bawah mereka, ia mengawasi Brom berderap di sepanjang jalan.
Kau baik-baik saja" tanya Saphira.
Ya, kata Eragon. Tapi hanya karen
a kami sangat beruntung. Asap mengepul dari cuping hidung Saphira. Sepanjang waktu yang kita habiskan untuk mengejar Ra'zac ternyata sia-sia.
Aku tahu, kata Eragon, sambil menyandarkan kepalanya ke sisik Saphira. Kalau saja Ra'zac satu-satunya musuh yang ada di sana tadi, aku pasti tetap tinggal dan melawan, tapi dengan adanya semua prajurit di pihak mereka, pertempurannya sama sekali tidak bisa dikatakan seimbang.
Kau mengerti akan ada pembicaraan mengenai kita sekarang" Ini tidak bisa dikatakan pelarian yang tidak kentara. Menghindari Kekaisaran bakal jauh lebih sulit lagi setelah itu. Ada sesuatu dalam suara Saphira yang tidak biasa didengar Eragon.
Aku tahu. Mereka terbang rendah dan cepat di atas jalan. Danau Leona mengecil di belakang mereka; tanah menjadi kering dan berbatu-batu dan dipenuhi sesemakan yang kokoh dan tajam serta pepohonan kaktus yang tinggi. Awan menggelapkan langit. Kilat menyambar di kejauhan. Saat angin mulai melolong, Saphira menukik tajam ke arah Brom.
Brom menghentikan kuda dan bertanya, "Ada apa""
anginnya terlalu kencang."
"Tidak seburuk itu," Brom memprotes.
"Buruk bagi orang yang berada di atas sana," kata Eragon, sambil menunjuk langit.
Brom memaki dan menyerahkan kekang Cadoc pada Eragon.
Mereka berderap pergi diikuti Saphira yang berjalan kaki,
sekalipun di tanah ia sulit mengejar kuda-kuda.
Angin semakin kencang, melontarkan tanah ke udara dan berputar-putar. Mereka melilitkan syal di kepala untuk melindungi mata. Mantel Brom berkibar-kibar ditiup angin sementara janggutnya melecut-lecut seakan memiliki nyawa sendiri. Walaupun mereka akan sengsara karenanya, Eragon berharap hujan turun agar jejak mereka terhapus.
Tidak lama kemudian kegelapan memaksa mereka berhenti. Dengan hanya dibimbing bintang-bintang, mereka meninggalkan jalan dan berkemah di balik dua batu. Terlalu berbahaya untuk menyalakan api unggun, jadi mereka menyantap makananya dingin sementara Saphira melindungi mereka dari angin.
Sesudah makan malam yang sedikit, Eragon bertanya lugas, "Bagaimana mereka bisa menemukan kita""
Brom hendak menyalakan pipa, tapi berpikir lagi dan menyimpannya. "Salah seorang pelayan istana memperingatkan aku ada mata-mata di antara mereka. Entah bagaimana berita mengenai diriku dan pertanyaan-pertanyaanku pasti didengar Tabor... dan melalui dirinya, Ra'zac."
"Kita tidak bisa kembali ke Dras-Leona, bukan"" tanya Eragon.
Brom menggeleng. "Tidak selama beberapa tahun."
Eragon memegangi kepalanya. "Kalau begitu apa sebaiknya kita pancing Ra'zac keluar" Kalau kita biarkan Saphira terlihat, mereka akan segera mendatangi tempat di mana pun Saphira berada."
"Dan sewaktu mereka melakukannya, akan ada lima puluh prajurit yang menemani mereka," kata Brom. "Pokoknya, sekarang bukan waktunya mendiskusikan hal itu. Sekarang ini kita harus memusatkan perhatian pada bertahan hidup. Malam itu akan menjadi malam yang paling berbahaya karena Ra'zac akan memburu kita dalam kegelapan, saat mereka paling kuat. Kita harus bergantian berjaga hingga pagi.
"Baik," kata Eragon, sambil beranjak bangkit. Ia ragu-ragu dan menyipitkan mata. Pandangannya menangkap gerakan sekilas, sepetak kecil warna yang tampak mencolok dalam pemandangan malam disekitarnya. Ia melangkah ke tepi perkemahan mereka, mencoba melihatnya lebih jelas.
"Ada apa"" tanya Brom sambil membuka gulunggan selimut.
Eragon menatap kegelapan, lalu berbalik kembali. "Entahlah. Kukira ada yang kulihat. Pasti burung." Rasa sakit meledak di bagian belakang kepalanya, dan Saphira meraung. Lalu Eragon jatuh ke tanah, pingsan.
PEMBALASAN RA'ZAC Tusukan-tusukan samar yang terrasa nyeri membangunkan Eragon. Setiap denyutan aliran darah ke kepalanya membawa arus rasa sakit yang baru. Ia membuka matanya dengan susah payah dan mengernyit; air mata menggenangi matanya saat ia memandang langsung ke lentera yang terang-benderang. Ia mengerjapkan mata dan membuang muka. Sewaktu mencoba duduk, ia menyadari kedua tangannya dalam keadaan terikat di belakang punggungnya.
Ia berpaling dan melihat lengan Brom. Eragon merasa lega melihat mereka berdua diikat menjadi satu. Ke
napa begitu" Ia berusaha keras memikirkannya hingga kesadaran itu tiba-tiba melintas dalam benaknya, Mereka tidak akan mengikat orang yang sudah mati! Tapi lalu siapa "mereka" itu" Ia memutar kepala lebih jauh lagi, lantas berhenti saat matanya memandang sepasang sepatu bot hitam di hadapannya yang mungkin sudah sedari tadi berada disana sengaja menunggu dirinya tersadar.
Berlahan Eragon mencoba menengadah menelusuri sosok hitam itu dan Kau!...
Eragon menengadah, memandang lurus ke wajah Ra'zac yang berkerudung. Ketakutan menyebar dalam dirinya. Ia berusaha menjangkau kekuatan sihirnya dan hendak mengucapkan kata yang akan membunuh Ra'zac itu, tapi lalu berhenti kebingungan. Ia tidak bisa mengingat kata itu. Dengan frustrasi ia mencoba lagi hanya untuk merasakan kata itu lepas dari cengkeramannya.
Di atasnya Ra'zac tertawa dingin. "Obatnya bekerja, yesss"
Sepertinya kau tidak akan bisa mengganggu kami lagi, penunggang jalanan!."
Terdengar suara gemeretak di sebelah kirinya. Eragon tertegun saat melihat Ra'zac kedua memberangus mulut Saphira dengan kasar. Sayap Saphira dijepit di sisi tubuhnya dengan rantai hitam, kakinya diborgol. Eragon mencoba menghubunginya, tapi tidak merasakan apa pun.
"Ia sangat kooperatif begitu kami mengancam akan membunuhmu," desis Ra'zac. Sambil berjongkok di dekat lentera, ia mengaduk-aduk tas Eragon, memeriksa dan membuang berbagai benda didalamnya hingga menemukan Zar'roc. "Benar-benar benda yang cantik untuk orang yang begitu... remeh. Mungkin aku akan menyimpannya." Ia membungkuk lebih dekat dan mencibir, "Atau, mungkin, kalau kau bersikap baik, majikan kami akan mengizinkan kau mengelapnya." Napasnya yang menyeruak basah dan berbau daging busuk semakin membuat Eragon mual.
Lalu ia membalik-balik pedangnya dan mendesis saat melihat simbol di sarungnya. Rekannya bergegas mendekat. Mereka berdiri di atas pedangnya, mendesis dan berdecak. Akhirnya mereka memandang Eragon. "Kau akan mengabdi pada majikan kami dengan sangat baik, yesss."
Eragon memaksa lidahnya yang terasa tebal untuk berbicara: "Kalau itu terjadi, aku akan membunuh kalian."
Mereka tergelak pelan. "Oh, tidak, kami terlalu berharga. Tapi kau... kau bisa dibuang." Terdengar geraman yang dalam dari mulut Saphira yang dibungkam, asap bergulung-gulung dari cuping hidungnya. Ra'zac tampak tidak peduli.
Perhatian mereka teralih sewaktu Brom mengerang dan berguling menyamping. Salah seorang Ra'zac menyambar kemeja Brom dan melemparkannya ke samping tanpa susah payah. "Obatnya mulai berkurang."
"Beri lagi." "Kita bunuh sssaja mahkluk tua ini!," kata Ra'zac yang lebih pendek. "Ia menyebabkan banyak masalah bagi kita."
Ra'zac yang lebih jangkung mengelus-elus pedangnya dengan jarinya yang aneh. "Rencana yang bagus. Tapi ingat, Raja memerintahkan untuk menangkap mereka hidup-hidup."
"Kita bisssa mengatakan ia terbunuh saat kita beruasaha menangkap mereka dan tewas terbunuh atas perlawanannya."
"Bagaimana dengan yang satu itu"" tanya Ra'zac, menunjukkan pedangnya ke arah Eragon. "Kalau ia buka mulut"" Temannya tertawa dan mencabut sebilah pisau yang tampak mengerikan. "Ia tidak akan berani."
Lama suasana sunyi, lalu, "Ssetuju." Mereka menyeret Brom ke tengah perkemahan dan memaksanya berlutut. Tubuh Brom merosot kesamping. Eragon mengawasi dengan ketakutan yang semakin besar. Saat ini juga Aku harus membebaskan diri!, Brom dalam bahaya!. Ia menarik-narik talinya, tapi talinya terlalu kuat untuk bisa diputuskan dalam keadaan seperti ini tanpa sihir. "Jangan coba-coba," kata Ra'zac yang jangkung, Sambil menyodoknya dengan pedang. Ia mengendus-endus udara, ada yang dirisaukannya.
Ra'zac yang lain menggeram, menyentakkan kepala Brom ke belakang dengan kejam, dan langsung mengayunkan pisaunya ke leher Brom yang terpapar. Tepat pada saat itu terdengar desingan pelan, diikuti lolongan Ra'zac. Sebatang anak panah mencuat dari bahunya. Ra'zac yang terdekat dengan Eragon, bergegas membuang diri ke tanah, nyaris terkena anak panah kedua. Ia bergegas merayap mendekati rekannya yang terluka, dan mereka melotot ke kegelapan, mendesis-desis marah. Mer
eka tidak berusaha menghentikan Brom yang beranjak bangkit dengan susah payah. "Tiarap!" seru Eragon.
Brom goyah, lalu terhuyung-huyung mendekati Eragon. Sementara lebih banyak anak panah lagi menghujani perkemahan dari para penyerang yang tidak terlihat, Ra'zac bergulingan ke balik batu besar. Sejenak tidak terjadi apa-apa, lalu anak-anak panah berhamburan dari arah berlawanan. Karena tidak menduganya, Ra'zac lamban bereaksi. Mantel mereka tembus di beberapa tempat, dan sebatang anak panah yang patah menancap di lengan salah satu Ra'zac.
Diiringi jeritan liar, Ra'zac yang lebih kecil melarikan diri ke jalan, dengan buas menendang Eragon ke samping saat melintas. Rekannya meraba-raba, lalu menyambar pisau dari tanah dan berlari mengejar temannya. Saat meninggalkan perkemahan, ia melemparkan pisau itu ke Eragon.
Cahaya aneh tiba-tiba berkilau di mata Brom. Ia membuang diri ke depan Eragon, mulutnya terbuka meneriakkan raungan. Pisau menghantam dirinya diiringi bunyi pelan, dan ia mendarat keras pada bahunya. Kepalanya terkulai.
"Tidak!" jerit Eragon, meskipun ia meringkuk kesakitan. Ia mendengar suara langkah kaki, lalu matanya terpejam dan ia tidak mengetahui apa-apa lagi.
MURTAGH Lama Eragon hanya menyadari panas membakar di sisi tubuhnya. Setiap tarikan napas menimbulkan kesakitan hebat. Rasanya seperti dirinya yang tertusuk, bukan Brom. Kesadarannya tentang waktu kacau-balau; sulit untuk memastikan apakah sudah berminggu-minggu berlalu atau hanya beberapa menit. Sewaktu kesadaran akhirnya menguasai dirinya, ia membuka mata dan memandang api unggun beberapa kaki jauhnya dengan penasaran. Kedua tangannya masih terikat, tapi kekuatan obat biusnya pasti sudah memudar karena ia bisa berpikir jernih lagi. Saphira, kau terluka"
Tidak, tapi kau dan Bromterluka. Ia berjongkok di atas Eragon, sayap-sayapnya membuka di kedua sisinya untuk melindungi.
Saphira, bukan kau yang menyalakan api unggun itu, bukan" Dan kau tidak mungkin bisa membebaskan diri dari rantai itu tanpa bantuan.
Ya. Kurasa memang begitu. Eragon berjuang berlutut dan melihat seorang pemuda duduk di seberang api unggun.
Orang asing itu, mengenakan pakaian yang lusuh, memancarkan sikap tenang, yakin. Ia membawa busur, di sampingnya terdapat pedang baja yang panjang. Tanduk putih yang diikat dengan perak ada di pangkuannya, dan gagang pisau mencuat dari sepatu botnya. Wajahnya yang serius dan matanya yang tajam dibingkai rambut cokelat lebat. Ia tampaknya hanya beberapa tahun lebih tua daripada Eragon dan mungkin sekitar satu inci lebih jangkung. Di belakangnya ada seekor kuda perang kelabu yang ditambatkan. Orang asing itu mengawasi Saphira
dengan waspada. "Kau siapa"" tanya Eragon, sambil bernapas pendek-pendek.
Tangan pria itu yang mencengkeram busur mengejang.
"Murtagh." Suaranya pelan dan terkendali, tapi anehnya sangat emosional.
Eragon menarik tangannya melewati kaki hingga sekarang berada di depannya. Ia mengertakkan gigi saat sisi tubuhnya terasa kesakitan. Kenapa kau membantu kami""
"Kau bukan satu-satunya musuh yang dimiliki Ra'zac. Aku melacak mereka."
"Kau tahu siapa mereka""
"Ya." Eragon memusatkan perhatian pada tali yang mengikat pergelangan tangannya dan menjangkau kekuatan sihirnya. Ia ragu-ragu, menyadari pandangan Murtagh padanya, lalu memutuskan hal itu tidak penting. "Jierda!" geramnya. Tali-tali itu putus dari pergelangannya. Ia menggosok-gosok kedua tangannya agar darah kembali mengalir lancar.
Murtagh terkesiap. Eragon menguatkan diri dan mencoba bangkit, tapi tulang rusuknya terasa sangat sakit. Ia jatuh kembali, tersentak dengan gigi terkatup. Murtagh mencoba membantu, tapi Saphira menghentikannya dengan geraman. "Aku mau membantumu sejak tadi, tapi nagamu tidak mengizinkan aku mendekatimu."
"Namanya Saphira," kata Eragon tegang. Sekarang biarkan ia mendekat. Aku tidak bisa melakukannya sendirian. Lagi pula, ia sudah menyelamatkan kita. Saphira kembali menggeram, sambil melipat sayapnya dan mundur. Murtagh menatapnya tajam sambil melangkah maju.
Ia memegang lengan Eragon, dengan lembut menariknya bediri. Eragon berteriak dan pasti jat
uh kembali kalau tidak ada dukungan. Mereka melangkah ke api unggun tempat Brom terbaring telentang. Bagaimana keadaannya"" tanya Eragon.
"Buruk," kata Murtagh, sambil menurunkan Eragon ke tanah. "Pisaunya masuk tepat di sela-sela tulang rusuk. Kau bisa melihatnya sebentar lagi, tapi sebaiknya kita periksa dulu, Ia memang parah kerusakan yang ditimbulkan Ra'zac padamu." Ia membantu Eragon menanggalkan kemejanya, lalu bersiap. "Aduh!"
"Aduh," kata Eragon, menyetujui dengan lemah. Memar panjang di sisi kirinya. Kulitnya yang memerah, bengkak pecah di beberapa tempat. Murtagh menempelkan tangan di memar itu dan menekannya sedikit. Eragon berteriak, dan Saphira menggeram memperingatkan.
Murtagh melirik Saphira sambil mengambil selimut. "Kupikir ada beberapa tulang rusukmu yang patah. Sulit memastikan tapi sedikitnya dua, mungkin lebih. Kau beruntung tidak batuk darah." Ia merobek-robek selimut dan memerban dada Eragon.
Eragon kembali mengenakan kemeja. "Ya... aku beruntung." Ia menghela napas pendek, mendekati Brom, dan melihat Murtagh telah merobek sisi mantelnya untuk memerban lukanya. Dengan jemari gemetar, Eragon membuka perban itu.
"Aku tidak akan melakukan itu kalau aku jadi kau," Murtagh memperingatkan. "Tanpa perban, ia akan terus mengucurkan darah hingga tewas."
Eragon mengabaikan peringatan itu dan menanggalkan kain dari sisi tubuh Brom. Lukanya pendek dan tipis, tidak sesuai dengan kedalamannya. Darah mengalir keluar dari sana. Seperti yang diketahuinya sewaktu Garrow terluka, luka yang diakibatkan Ra'zac lambat pulih.
Ia menanggalkan sarung tangan sambil mati-matian mencari dalam benaknya kata-kata penyembuhan yang pernah diajarkan Brom padanya. Bantu aku, Saphira, katanya. Aku terlalu lemah untuk bisa melakukannya sendirian.
Saphira berjongkok di sampingnya, pandangannya terpaku pada Brom. Aku di sini, Eragon. Saat benaknya bergabung dengan benak Eragon, kekuatan baru memenuhi tubuh Eragon Eragon mengerahkan kekuatan gabungan mereka dan memusatkannya pada kata-katanya. Tangannya gemetar saat diangkat ke atas luka. "Waise heill!" katanya. Telapak tangannya berpendar, dan kulit Brom menyatu kembali, seakan tidak pernah pecah. Murtagh mengawasi seluruh proses.
Prosesnya berlangsung cepat. Saat cuaca berubah gelap Eragon duduk, merasa muak. Kita belum pernah berbuat begitu katanya.
Saphira mengangguk. Bersama-sama kita bisa melontarkan mantra yang melebihi salah satu dari kita.
Murtagh memeriksa sisi tubuh Brom dan bertanya, "Apakah ia sudah pulih sepenuhnya""
"Aku hanya bisa memuilihkan apa yang ada di permukaan. pengetahuanku tidak cukup untuk menyembuhkan kerusakan apa pun di bagian dalam. Sekarang terserah padanya. Aku sudah berusaha sebisaku." Eragon memejamkan mata sejenak, kelelahan setengah mati. "Ke... kepalaku seperti melayang-layang di awan."
"Kau mungkin perlu makan," kata Murtagh. "Akan kubuatkan sup.
Sementara Murtagh menyiapkan makanan, Eragon merasa penasaran siapa orang asing itu sebenarnya. Pedang dan busurnya yang terbaik, juga tanduknya. Entah ia pencuri atau orang yang terbiasa dengan uang-dan uang yang sangat banyak. Kenapa ia memburu Ra'zac" Apa yang mereka lakukan hingga ia menjadi musuh mereka" Aku ingin tahu apakah ia bekerja untuk kaum Varden.
Murtagh memberinya semangkuk kaldu. Eragon memakannya hingga habis dan bertanya, "Sudah berapa lama sejak Ra'zac melarikan diri""
"Beberapa jam."
"Kita harus pergi sebelum mereka kembali membawa pasukan tambahan."
"Kau mungkin bisa bepergian," kata Murtagh, lalu memberi isyarat ke arah Brom, "tapi ia tidak bisa. Kau tidak dapat langsung bangun dan berkuda sesudah ditusuk di sela tulang rusuk."
Kalau kita membuat tandu, bisakah kau membawa Brom dengan cakarmu sebagaimana yang kau lakukan dengan Garrow" tanya Eragon pada Saphira.
Ya tapi akan sulit untuk mendarat.
Selama masih bisa dilakukan. Eragon berkata kepada Murtagh, "Saphira bisa membawanya, tapi kita membutuhkan tandu. Kau bisa membuatnya" Aku tidak memiliki kekuatan untuk itu."
"Tunggu di sini." Murtagh meninggalkan kemah, pedangnya terhunus. Eragon terhuyung-huyung ke tasnya dan mengambil b
usur dari tempat Ra'zac melemparkannya. Ia memasang talinya menemukan tabung anak panahnya, lalu mengambil Zar'roc, yang tergeletak tersembunyi di keremangan. Akhirnya, ia mengambil selimut untuk tandu.
Murtagh kembali dengan membawa dua pohon muda. Ia meletakkannya paralel di tanah, lalu mengikatkan selimut di antara kedua tongkat itu. Sesudah ia mengikat Brom dengan hati-hati di tandu darurat tersebut, Saphira mencengkeram pohon mudanya dan dengan susah payah terbang. "Aku tidak pernah mengira akan melihat pemandangan seperti itu," kata Murtagh, ada nada aneh dalam suaranya.
Sementara Saphira menghilang di langit yang gelap, Eragon tertatih-tatih mendekati Cadoc dan dengan susah payah naik ke pelananya. "Terima kasih untuk bantuanmu. Sebaiknya kau pergi sekarang. Pergilah sejauh mungkin dari kami. Kau akan terancam bahaya kalau Kekaisaran mendapati dirimu bersama kami. Kami tidak bisa melindungi dirimu, dan aku tidak ingin melihat kau celaka karena kami."
"Ceramah yang bagus," kata Murtagh, sambil memadamkan api, "tapi kau akan ke mana" Apakah ada tempat di dekat sini di mana kau bisa beristirahat dengan aman""
"Tidak ada," Eragon mengakui.
Mata Murtagh berkilau sementara jemarinya mengelus tangkai pedang. "Kalau begitu, kupikir sebaiknya kutemani kalian hingga terbebas dari bahaya. Aku tidak punya tujuan lain yang lebih baik. Lagi pula, kalau aku tetap mendampingimu, aku mungkin akan mendapat kesempatan menghabisi Ra'zac lebih cepat daripada kalau sendirian Banyak hal menarik yang selalu terjadi di sekitar Penunggang."
Eragon ragu, tidak yakin apakah ingin menerima bantuan dari orang yang sama sekali asing ini. Tapi ia juga menyadari dengan perasaan tidak enak, bahwa ia terlalu lemah untuk memaksakan diri. Kalau Murtagh ternyata tidak bisa dipercaya, toh Saphira selalu bisa mengusirnya. "Ikutlah dengan kita kalau kau mau." Ia mengangkat bahu.
Murtagh mengangguk dan menunggangi kuda perang kelabunya. Eragon meraih kekang Snowfire dan berderapan pergi menjauhi perkemahan, ke alam bebas. Bulan sabit memencarkan cahaya suram, tapi ia mengetahui hal itu hanya akan mempermudah Ra'zac melacak mereka.
Sekalipun ingin menanyai Murtagh lebih jauh lagi, Eragon tetap membisu, menghemat energinya untuk berkuda. Menjelang subuh Saphira berkata, Aku harus berhenti. Sayap-sayapku kelelahan dan Brom perlu perawatan. Ada tempat yang baik untuk menginap, sekitar dua mil lagi dari tempatmu sekarang.
Mereka mendapati Saphira duduk di kaki jajaran bukit batu pasir yang melengkung keluar dari tanah seperti bukit raksasa. Sisi-sisinya dipenuhi gua berbagai ukuran. Tonjolan-tonjolan yang sama bertebaran di seluruh kawasan itu. Saphira tampak merasa puas diri. Kutemukan gua yang tidak akan kelihatan dari darat. Cukup besar untuk kita semua, termasuk kuda-kuda Ikuti aku. Ia berbalik dan mendaki batu pasir, cakarnya yang tajam menancap ke bebatuan. Kuda-kuda mengalami kesulitan, karena kuku-kuku mereka yang berladam tidak mampu mencengkeram batu pasir. Eragon dan Murtagh terpaksa menarik dan mendorong hewan-hewan itu selama nyaris satu jam sebelum mereka akhirnya berhasil mencapai gua.
Gua itu panjangnya seratus kaki dan lebarnya lebih dari dua puluh kaki, tapi mulutnya kecil hingga mereka akan terlindungi dari cuaca buruk dan para pemburu yang mencari mereka. Kegelapan menelan ujung seberangnya, menempel di dinding-dinding seperti lembaran wol hitam yang lembut.
"Mengesankan," kata Murtagh. "Akan kukumpulkan kayu untuk api unggun." Eragon bergegas mendekati Brom. Saphira meletakkannya di langkan batu kecil di bagian belakang gua. Eragon mencengkeram tangan Brom yang lemas dan dengan gelisah mengamati wajahnya yang keriput. Sesudah beberapa menit, ia mendesah dan melangkah ke api unggun yang dinyalakan Murtagh.
Mereka makan dengan tergesa-gesa, lalu mencoba memberi Brom minum, tapi pria tua itu tidak mau. Setelah gagal berusaha, mereka menghamparkan selimut dan tidur.
WARISAN PENUNGGANG Eragon, bangun. Eragon bergerak dan mengerang.
Aku membutuhkan bantuanmu. Ada yang tidak beres! Eragon mencoba mengabaikan suara itu dan kembali tidur.
Bangun ! Pergi, gerutunya. Eragon! Lolongan itu menggetarkan gua. Eragon tersentak bangkit, tergesa-gesa mencari busurnya. Saphira berjongkok di atas Brom, yang berguling turun dari langkan dan menggelepar-gelepar di lantai gua. Wajahnya mengerut kesakitan; tinjunya mengepal. Eragon bergegas mendekat, takut akan kemungkinan yang terburuk.
"Bantu aku menahannya. Ia akan melukai dirinya sendiri!" jeritnya pada Murtagh, sambil mencengkeram lengan Brom. Sisi tubuhnya bagai terbakar hebat sewaktu pria tua itu tersentak-sentak. Bersama-sama mereka menahan Brom hingga ia berhenti meronta-ronta. Lalu dengan hati-hati mereka mengembalikannya ke langkan.
Eragon menyentuh dahi Brom. Kulitnya begitu panas sehingga ia bisa merasakannya dari jarak satu inci. "Ambilkan air dan kain," katanya khawatir. Murtagh membawakannYa dan Eragon dengan lembut mengusap wajah Brom, mencoba menurunkan demamnya. Sesudah gua tenang kembali, ia menyadari matahari yang bersinar di luar. Sudah berapa lama kami tidur" tanyanya pada Saphira.
Cukup lama. Aku yang mengawasi Brom hampir sepanjang waktu. Ia baik-baik saja hingga semenit yang lalu sewaktu ia mulai meronta-ronta. kubangunkan dirimu begitu ia jatuh ke lantai.
Eragon menggeliat, mengernyit saat rusuknya terasa sakit.
Tiba-tiba ada tangan mencengkeram bahunya. Mata Brom tersentak membuka dan terpaku menatap Eragon, berkaca-kaca.
"Kau!"katanya dengan napas tersentak. "Ambilkan anggurnya!"
"Brom!" seru Eragon, senang mendengar Brom berbicara. Kau tidak boleh minum anggur, itu hanya akan memperburuk kondisimu."
"Bawa kemari, Nak, bawa saja kemari...," desah Brom. Tangannya merosot dari bahu Eragon.
"Aku akan segera kembali, tunggu." Eragon melesat ke tas pelana dan mengaduk-aduk isinya dengan panik. "Aku tidak bisa menemukannya!" jeritnya, memandang sekitarnya dengan putus asa.
"Ini, ambil punyaku," kata Murtagh, sambil mengacungkan kantong kulit.
Eragon menyambarnya dan kembali ke Brom. "Sudah kudapatkan anggurnya," katanya, sambil berlutut. Murtagh pergi ke mulut gua agar tidak mengganggu mereka berdua.
Kata-kata Brom selanjutnya samar dan tidak jelas. "Bagus..." Ia menggerakkan lengannya dengan lemah. "Sekarang... cuci tangan kananku dengan anggur itu."
"Apa" Eragon hendak bertanya.
"Jangan bertanya! Aku tidak ada waktu." Dengan tertegun, Eragon membuka tutup kantong kulit itu dan menuangkan isinya ke telapak tangan Brom. Ia menggosok-gosok kulit tangan Pria tua tersebut, meratakan anggurnya ke jemari dan punggung tangan. Lagi," kata Brom dengan suara serak. Eragon menyiramkan anggur lagi ke tangan Brom. Ia menggosoknya mati-matian sementara warna cokelat terkelupas dari telapak tangan Brom, lalu berhenti, mulutnya ternganga. Di telapak tangan Brom terdapat gedwey ignasia.
"Kau Penunggang"" tanyanya tertegun.
Senyum sedih merekah di wajah Brom. "Dulu memang benar.. tapi sekarang tidak lagi. Sewaktu aku masih muda... lebih muda daripada dirimu sekarang, aku dipilih... dipilih para Penunggang untuk bergabung dengan mereka. Sementara mereka melatih diriku, aku berteman dengan Penunggang lain yang juga tengah belajar... Morzan, sebelum ia menjadi anggota terkutuk." Eragon tersentak kejadian itu berlangsung lebih dari seratus tahun yang lalu. "Tapi lalu ia mengkhianati kami dan menyerahkan kami kepada Galbatorix... dan dalam pertempuran di Doru Areaba-kota Vroengard-naga mudaku terbunuh. Namanya... Saphira."
"Kenapa kau tidak memberitahukan hal ini padaku sejak dulu"" tanya Eragon lembut.
Brom tertawa. "Karena... tidak perlu." Ia terdiam. Napasnya berat; kedua tangannya mengepal. "Aku sudah tua, Eragon.., sangat tua. Walaupun nagaku terbunuh, hidupku masih lebih panjang daripada sebagian besar orang. Kau tidak mengetahui bagaimana rasanya menjadi setua diriku, mengingat kembali, dan menyadari banyak yang tidak bisa kau ingat; lalu kau memikirkan masa depan dan mengetahui masih ada bertahun-tahun di depanmu.... Sesudah sekian lama aku masih berduka atas kematian Saphira... dan membenci Galbatorix karena apa yang dirampasnya dariku." Matanya yang bagai mata orang demam menatap tajam Eragon sewaktu ia berkata ma
ntap, "Jangan pernah membiarkan kejadian itu terulang padamu. Jangan! Jaga Saphira dengan nyawamu, karena tanpa dirinya kehidupan terasa tidak layak untuk dijalani."
"Kau seharusnya jangan berbicara seperti ini. Tidak akan terjadi apa-apa pada Saphira," kata Eragon, khawatir.
Brom berpaling ke samping. "Mungkin aku mengigau." Tatapannya terarah ke Murtagh, lalu terfokus kepada Eragon. Suara Brom terdengar lebih kuat. "Eragon! Aku tidak akan bertahan lebih lama lagi. Luka... luka yang parah ini; luka ini mengisap kekuatanku. Aku tidak memiliki energi untuk melawannya.... Sebelum aku pergi, maukah kau menerima restuku""
"Segalanya akan baik-baik saja," kata Eragon, air mata menggenang di matanya. "Kau tidak perlu berbuat begini."
"Beginilah yang seharusnya terjadi... harus. Kau mau menerima restuku"" Eragon menunduk sambil mengangguk mengalah. Brom meletakkan tangannya yang gemetar di alis Eragon.
"Kalau begitu kuberikan restuku padamu. Semoga tahun-tahun mendatang membawa kebahagiaan besar bagimu." Ia memberi isyarat kepada Eragon agar membungkuk lebih dekat. Dengan sangat pelan, ia membisikkan tujuh kata dalam bahasa kuno, lalu dengan suara yang bahkan lebih pelan lagi ia memberitahukan artinya. "Hanya itu yang bisa kuberikan padamu....
Gunakan kalau keadaan sangat mendesak."
Brom mengalihkan pandangannya ke langit-langit. "Dan sekarang," gumamnya, "demi petualangan yang terhebat..."
Sambil terisak, Eragon memegang tangan Brom, menenangkannya sebisa mungkin. Do anya tidak goyah, tidak terputus oleh makanan atau minuman. Seiring berlalunya jam-jam yang terasa panjang, warna kelabu mulai menyelimuti Brom, dan matanya perlahan-lahan meredup. Tangannya berubah menjadi sedingin es; udara di sekelilingnya terasa menyeramkan. Tidak berdaya untuk membantu, Eragon hanya bisa mengawasi sementara luka Ra'zac beraksi.
Jam-jam malam baru dimulai dan bayang-bayang masih panjang sewaktu Brom tiba-tiba mengejang. Eragon memanggil namanya dan menjerit meminta bantuan Murtagh, tapi tidak ada yang bisa mereka lakukan. Sementara kesunyian mengisi udara, pandangan Brom terpaku ke mata Eragon. Lalu kepuasan menyebar di wajah pria tua itu, dan embusan napas pelan terlontar dari sela bibirnya. Dan Brom si tukang cerita pun meninggal dunia.
Dengan jemari gemetar, Eragon menutup mata Brom dan berdiri. Saphira mengangkat kepala di belakangnya dan meraung sedih ke langit, menyuarakan dukanya. Air mata mengalir turun di pipi Eragon sementara perasaan kehilangan yang hebat membanjiri dirinya. Dengan terpatah-patah, ia berkata, "Kita harus memakamkannya."
"Kita bisa kelihatan," Murtagh memperingatkan.
"Aku tidak peduli!"
Murtagh ragu-ragu, lalu memondong mayat Brom keluar dari gua bersama pedang dan tongkatnya. Saphira mengikuti mereka. "Ke puncak," kata Eragon, menunjuk puncak bukit batu pasir.
"Kita tidak bisa menggali makam di batu," Murtagh memprotes.
"Aku bisa." Eragon memanjat ke puncak bukit yang halus, bersusah payah karena rusuknya. Di sana Murtagh membaringkan Brom di batu.
Eragon mengusap mata dan memusatkan pandangan ke batu pasir. Sambil memberi isyarat dengan tangan, ia berkata, "Moi stenr!" Batunya menggelombang. Berombak seperti air, membentuk ceruk sepanjang tubuh manusia di puncak bukit. Dengan membentuk batu pasir seperti tanah liat basah, ia membangun dinding setinggi pinggang di sekeliling ceruk.
Mereka membaringkan Brom di dalam makam batu pasir yang belum selesai itu bersama tongkat dan pedangnya. Setelah melangkah mundur, Eragon kembali membentuk batu dengan sihir. Batunya menyatu di atas wajah Brom yang tidak bergerak dan mengalir ke atas membentuk batu nisan. Sebagai penghargaan terakhir, Eragon menuliskan kata-kata di batunya:


Eragon Karya Christhoper Paolini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

DI SINI BERBARING BROM Yang di masa hidupnya adalah Penunggang Naga
Dan bagai ayah Bagiku. Semoga namanya abadi dalam kemegahan.
Lalu ia menunduk dan menumpahkankedukaannya. Ia berdiri bagai patung hidup hingga malam, sewaktu cahaya memudar dari kawasan itu. Malam itu ia kembali memimpikan wanita yang dipenjara itu.
Ia bisa melihat ada yang tidak beres dengan wanita tersebut. Napasnya tidak teratur, d
an ia gemetar entah karena kedinginan atau kesakitan, Eragon tidak mengetahuinya. Dalam keremangan sel, satu-satunya yang kelihatan cukup jelas adalah tangan wanita itu, yang terkulai melewati tepi ranjang. Cairan gelap menetes dari ujung jemarinya. En mengetahui cairan itu adalah darah.
MAKAM BERLIAN Sewaktu Eragon terjaga, matanya terasa pedih, tubuhnya terasa kaku. Gua kosong, cuma ada kuda-kuda. Tandu telah hilang, tidak terlihat tanda-tanda keberadaan Brom.
Ia berjalan ke mulut gua dan duduk di batu pasir, jadi si penyihir Angela benar ada kematian di masa depanku, pikirnya, sambil menatap kawasan itu dengan muram. Matahari kekuningan membawa panas padang pasir ke pagi hari.
Setetes air mata bergulir di wajahnya dan menguap kena cahaya matahari, meninggalkan lapisan kering yang asin dikulitnya. Ia memejamkan mata dan menyerap kehangatan sinar matahari, mengosongkan pikiran. Dengan kuku jari, ia menggaruk batu pasir tanpa tujuan. Sewaktu melihat batu itu, ia mendapati dirinya menulis Kenapa aku"
Ia masih berada di sana sewaktu Murtagh masuk ke gua, membawa dua kelinci. Tanpa mengatakan apa-apa ia duduk di samping Eragon. "Bagaimana keadaanmu"" tanyanya.
Sangat tidak enak." Murtagh memandangnya dengan serius. "Apakah kau akan pulih" Eragon mengangkat bahu. Sesudah berpikir beberapa menit, Murtagh berkata, "Aku tidak suka menanyakannya pada saat-saat seperti ini tapi aku harus mengetahuinya.... Apakah Brommu yang itu" Orang yang membantu mencuri telur naga dari Raja, memburunya melintasi Kekaisaran, dan membunuh Morzan dalam duel" Kudengar kau menyebut namanya, dan kubaca tulisan yang kautuliskan di makanmya, tapi aku harus mengetahuinya dengan pasti. Apakah benar ia orangnya""
"Memang," kata Eragon dengan suara pelan. Expresi wajah Murtagh berubah jadi muram. "Bagaimana kau bisa mengetahui semua itu" Kau membicarakan hal-hal yang bagi sebagian besar orang merupakan rahasia, dan kau melacak jejak Ra zac tepat pada saat kami membutuhkan bantuan. Apakah salah seorang dari Varden""
Mata Murtagh menjadi tidak bisa dipahami. "Aku melarikan diri, sama seperti dirimu." Ada kesedihan tersembunyi dalam kata-katanya. "Aku tidak termasuk kaum Varden maupun Ke kaisaran. Aku juga tidak bersekutu dengan siapa pun kecuali dengan diriku sendiri. Sedang mengenai menyelamatkan dirimu, akan kuakui aku sudah mendengar kabar tentang Penunggang baru dan kupikir dengan mengikuti Ra'zac aku mungkin bisa mengetahui kebenarannya."
"Kukira kau ingin membunuh Ra'zac," kata Eragon. Murtagh tersenyum muram. "Memang, tapi kalau aku membunuh mereka, aku tidak akan pernah bertemu denganmu."
Tapi Brom akan masih hidup.... Seandainya ia ada disini. Ia pasti mengetahui apakah aku bisa memercayai Murtagh atau tidak. Eragon teringat bagaimana Brom merasakan niat Trevor di Daret dan penasaran apakah ia juga bisa berbuat begitu pada Murtagh. Ia menjangkau kesadaran Murtagh, tapi jangkauannya seketika menghantam dinding sekuat besi. Ia pun mencoba melaluinya. Tapi seluruh pikiran Murtagh dibentengi.
Bagaimana ia belajar berbuat begitu" Kata Brom sedikit orang, kalaupun ada, yang bisa menghalangi orang lain memasuki pikirannya tanpa latihan. jadi siapa Murtagh ini hingga memiliki kekuatan itu" Dengan lesu dan kesepian, Eragon bertanya, "Di mana Saphira""
"Entahlah," kata Murtagh. "Ia mengikutiku beberapa lama sewaktu aku pergi berburu, lalu terbang sendiri. Aku melihatnya sejak sebelum tengah hari." Eragon bangkit dan kembali ke gua. Murtagh mengikutinya. "Apa yang akan kau lakukan sekarang""
"Aku tidak yakin." Dan aku juga tidak ingin memikirkannya. Ia menggulung selimut dan mengikatnya di tas pelana Cadoc, Rusuknya terasa sakit. Murtagh berlalu untuk menyiangi kelinci. Saat Eragon memindahkan barang-barang dalam tasnya menemukan Zar'roc. Sarung merahnya berkilau terang mengeluarkan pedang itu... menimbangnya di tangannya.
Ia belum pernah menyandang Zar'roc atau menggunakannya dalam pertempuran kecuali saat ia dan Brom berlatih tanding karena ia tidak ingin orang-orang melihatnya. Sekarang Eragon tidak memedulikannya lagi. Ra'zac tampak terkejut dan ketakut
an melihat pedang itu; itu alasan yang lebih dari cukup baginya untuk menyandang pedang tersebut. Sambil bergidik ia menanggalkan busur dan melilitkan Zar'roc di pinggangnya. Mulai saat Ini, aku akan hidup dengan pedang. Biarkan seluruh dunia melihat siapa diriku. Aku tidak takut. Aku Penunggang sekarang, sepenuhnya dan selengkapnya.
Ia memilah-milah isi tas pelana Brom tapi hanya menemukan pakaian, beberapa benda yang asing, dan kantong kecil berisi koin. Eragon mengambil peta Alagaesia dan menyimpan tas pelananya, lalu berjongkok di dekat api unggun. Mata Murtagh menyipit saat ia menengadah dari kelinci yang dikulitinya. "Pedang itu. Boleh kulihat"" tanyanya, sambil mengelap tangan.
Eragon ragu-ragu, enggan berpisah dari senjata itu bahkan untuk sesaat pun, lalu mengangguk. Murtagh mempelajari simbol di bilah pedangnya dengan teliti. Wajahnya berubah gelap. "Dari mana kau mendapatkan pedang ini""
"Brom yang memberikan padaku. Kenapa""
Murtagh menyarungkan pedang itu kembali dan bersedekap denganmarah. Ia terengah-engah. "Pedang itu," katanya penuh emosi, "dulu sama terkenalnya seperti pemiliknya. Penunggang terakhir yang menyandangnya adalah Morzan-pria brutal dan buas. Kukira kau musuh Kekaisaran, tapi sekarang aku mendapati dirimu menyandang salah satu pedang berdarah kaum Terkutuk!"
Eragon menatap Zar'roc dengan kaget. Ia menyadari Brom pasti mengambilnya dari Morzan sesudah mereka bertempur di Gil'ead. "Brom tidak pernah memberitahukan asal pedang ini padaku," katanya sejujurnya. "Aku tidak tahu pedang ini dulu milik Morzan."
"Ia tidak pernah memberitahumu"" tanya Murtagh, ada nada tidak percaya dalam suaranya. Eragon mengangguk. "Itu aneh, tidak bisa memikirkan alasan kenapa ia merahasiakannya.
"Aku juga tidak. Tapi kalau dipikir lagi, ia memang menyimpan banyak rahasia," kata Eragon. Ia merasa tidak nyaman menyandang pedang orang yang mengkhianati para Penunggang demi Galbatorix. Pedang yang mungkin mengkhianati banyak Penunggang pada masanya, pikirnya muak. Dan lebih buruk lagi, naga! "Sekalipun begitu, aku akan tetap menyandangnya. Aku tidak memiliki pedangku sendiri. Sebelum aku mendapatkan pedangku sendiri, aku akan menggunakan Zar'roc."
Murtagh mengernyit saat Eragon menyebutkan namanya, "Terserah," katanya. Ia kembali menguliti kelinci, menjaga tatapannya tetap terarah ke bawah.
Sewaktu makanan siap, Eragon menyantapnya perlahan-lahan walau ia cukup lapar. Makanan hangat menyebabkan perasaannya lebih baik. Saat mereka membersihkan mangkuk masing-masing, ia berkata, "Aku harus menjual kudaku."
"Kenapa bukan kuda Brom"" tanya Murtagh. Ia tampaknya telah mengatasi emosinya.
"Snowfire" Karena Brom berjanji akan merawat kuda itu, Karena ia... tidak ada lagi, aku yang akan merawat kuda itu untuknya."
Murtagh meletakkan mangkuk di pangkuannya. "Kalau itu yang kauinginkan, aku yakin kita bisa menemukan pembeli di kota atau desa."
"Kita"" tanya Eragon.
Murtagh memandangnya dari samping dengan tatapan mengira-ngira. "Kau tidak akan ingin berada di sini lebih lama lagi. Kalau Ra'zac ada di dekat sini makam Brom akan jadi seperti pemandu bagi mereka." Eragon tidak memikirkan kemungkinan itu. "Dan rusukmu membutuhkan waktu untuk pulih. Aku tahu kau bisa mempertahankan diri dengan sihir, tapi kau membutuhkan teman yang bisa mengangkat barang-barang dan menggunakan pedang. Kalau boleh aku harus pergi bersamamu, setidaknya untuk sementara waktu. Tapi harus kuperingatkan dirimu, Kekaisaran mencari diriku. Pada akhirnya akan terjadi pertumpahan darah."
Eragon tertawa lemah dan mendapati dirinya menangis karena tertawa terasa sangat menyakitkan. Sesudah nafasnya pulih, ia berkata, "Aku tidak peduli kalau seluruh pasukan mencari dirimu. Kau benar. Aku memang membutuhkan bantuan. Aku senang kalau kau mau ikut, walau aku harus membicarakannya terlebih dulu dengan Saphira. Tapi aku memperingatkan dirimu, Galbatorix mungkin akan mengirim seluruh pasukannya untuk mengejarku. Kau tidak akan lebih aman bersama Saphira dan diriku daripada kalau sendirian.
"Aku tahu," kata Murtagh sambil tersenyum sekilas. "Tapi sama saja, aku tidak
akan berhenti karenanya." Bagus," Eragon tersenyum berterima kasih.
Sementara mereka bercakap-cakap, Saphira merangkak masuk ke gua dan menyapa Eragon. Saphira merasa senang melihatnya, tapi ada kesedihan yang hebat dalam pikiran dan kata-kata makhluk itu. Ia meletakkan kepalanya yang biru dan besar di lantai dan bertanya, Apakah kau sudah sehat"
Belum terlalu. Aku merindukan si tua. Aku juga... aku tidak pernah menduga ia Penunggang. Brom! Ia benar-benar sudah tua sama tuanya seperti kaum Terkutuk. Segala sesuatu yang diajarkannya padaku mengenai sihir pasti dipelajarinya dari para Penunggang sendiri.
Saphira bergeser sedikit. Aku tahu siapa dirinya sejak pertama kali ia menyentuhku di tanah pertanianmu.
Dan kau tidak memberitahuku" Kenapa"
Ia memintaku tidak memberitahumu, kata Saphira terus terang.
Eragon memutuskan untuk tidak membahasnya lebih jauh. Saphira tidak pernah berniat menyakiti dirinya. Brom merahasiakan lebih banyak daripada itu, katanya pada Saphira, lalu menjelaskan mengenai Zar'roc dan reaksi Murtagh terhadap pedang tersebut. Aku sekarang mengerti kenapa Brom tidak menjelaskan asal Zar'roc sewaktu memberikan pedang itu padaku. Kalau ia jelaskan, mungkin aku melarikan diri darinya pada kesempatan pertama.
Sebaiknya kau buang saja pedang itu, kata Saphira jijik. Aku tahu senjata itu tidak memiliki teman tapi kau akan lebih baik membawa pedang biasa daripada membawa alat jagal Morzan.
Mungkin Saphira, ke mana arah kita dari sini" Murtagh menawarkan untuk Ikut bersama kita. Aku tidak mengetahui masa lalunya tapi Ia tampaknya cukup jujur. Apakah sebaiknya kita menemui kaum Varden sekarang" Hanya saja aku tidak mengetahui cara menemukan mereka. Brom tidak pernah memberi tahu kita.
Ia memberitahuku, kata Saphira.
Eragon marah. Kenapa ia memercayakan semua pengetahuan itu pada dirimu, tapi tidak pada diriku"
Sisik-sisik Saphira bergemerisik di atas bebatuan kering Sewaktu ia berdiri di atas Eragon, matanya menatap tajam. Sesudah kita meninggalkan Teirm dan diserang Urgal, ia memberitahukan banyak hal padaku, beberapa di antaranya tidak akan kubicarakan kecuali terpaksa. Ia khawatir dengan kematiannya sendiri dan apa yang akan terjadi padamu sesudah itu. Satu fakta yang diberitahukannya padaku adalah nama seseorang, Dormnad, yang tinggal di Gil'ead. Ia bisa membantu kita menemukan Varden. Brom juga ingin kau mengetahui bahwa dari antara semua orang di Alagaesia, ia percaya kau yang paling cocok untuk menerima warisan para Penunggang.
Air mata menggenang di mata Eragon. Itu pujian tertingi yang pernah diterimanya dari Brom. Tanggung jawab yang akan kusandang dengan hormat.
Bagus. Kita akan pergi ke Gil'ead, kalau begitu, kata Eragon. Kekuatan dan tekad kembali muncul dalam dirinya. Dan bagaimana dengan Murtagh" Menurutmu apakah ia sebaiknya ikut dengan kita"
Kita berutang nyawa padanya, kata Saphira. Tapi bahkan kalau tidak begitu, ia telah melihat kau dan aku. Kita harus menjaganya tetap berada di dekat kita agar tidak memberitahu Kekaisaran mengenai lokasi dan diri kita, secara sukarela atau tidak.
Eragon menyetujui pendapat Saphira, lalu menceritakan mimpinya. Apa yang kulihat membuatku merasa terganggu. Aku merasa wanita itu kehabisan waktu; ada kejadian mengerikan yang akan segera menimpa dirinya. Ia terancam bahaya maut aku yakin akan hal itu, tapi aku tidak mengetahui cara menemukan dirinya! Ia bisa berada di mana saja.
Apa kata hatimu" tanya Saphira.
Hatiku mati beberapa waktu yang lalu, kata Eragon sedikit nada bergurau yang suram. Tapi, kupikir kita sebaiknya ke utara, ke Gil'ead. Kalau beruntung, salah satu desa atau kota di sepanjang perjalanan kita adalah tempat wanita itu ditawan. Aku takut mimpiku yang selanjutnya tentang akan menunjukkan makam. Aku tidak bakal sanggup menanggungnya.
Kenapa" Aku tidak yakin, kata Eragon, sambil mengangkat bahu.
Hanya saja sewaktu melihatnya, aku merasa ia berharga dan seharusnya tidak boleh hilang.... Aneh sekali. Saphira membuka mulutnya yang panjang dan tertawa tanpa suara, taring-taringnya tampak berkilau. Ada apa" sergah Eragon. Saphira menggeleng dan diam-dia
m melangkah pergi. Eragon meggerutu sendiri, lalu memberitahu Murtagh apa yang mereka putuskan. Murtagh berkata, "Kalau kau bisa menemukan si Dormnad ini dan melanjutkan perjalanan menemui kaum Varden, aku akan meninggalkan dirimu. Menemui Varden bagiku akan sama berbahayanya seperti berjalan tanpa senjata memasuki Uru baen dengan diiringi parade terompet yang mengumumkan kedatanganku."
"Kita tidak perlu berpisah dalam waktu dekat," kata Eragon. "Perjalanan ke Gil'ead sangat panjang." Suaranya agak pecah, dan ia menyipitkan mata memandang matahari untuk mengalihkan perhatiannya sendiri. "Kita sebaiknya berangkat sebelum hari semakin siang.
"Apakah kau cukup kuat untuk bepergian"" tanya Murtagh, sambil mengerutkan kening.
"Aku harus bertindak, kalau tidak aku akan jadi sinting," kata Eragon singkat. "Berlatih tanding, berlatih sihir, atau duduk-duduk saja bukanlah pilihan yang bagus sekarang ini, jadi kuputuskan untuk berkuda."
Mereka memadamkan api, berkemas, dan membimbing kuda-kuda keluar gua. Eragon memberikan kekang Cadoc dan Snowfire pada Murtagh, sambil berkata, "Pergilah lebih dulu, aku akan segera turun."
Murtagh perlahan-lahan mulai menuruni bukit dari gua.
Eragon bersusah payah mendaki bebatuan pasir, beristirahat sewaktu nyeri di sisi tubuhnya menyebabkan ia tidak bisa benapas. Sewaktu tiba di puncak, ia mendapati Saphira telah berada di sana. Mereka berdiri bersama-sama di depan makam Brom dan menyampaikan penghormatan terakhir. Aku tidak bisa mempercayai ia sudah pergi... untuk selamanya. Saat Eragon berbalik hendak pergi, Saphira menjulurkan lehernya yang panjang dan menyentuh makam dengan ujung hidung. Sisi-sisi tubuhnya bergetar sementara deru pelan memenuhi udara.
Batu pasir di sekitar hidungnya berpendar seperti embun berlapis emas, berubah jernih dengan cahaya keperakan yang menari-nari. Eragon mengawasi dengan penasaran sementara sulur-sulur berlian putih meliuk-liuk menutupi permukaan makam dalam wujud jaring-jaring serat yang sangat mahal. Bayang-bayang kemilau menutupi tanah, memantulkan warna-warni cemerlang yang berganti-ganti dengan memesona sementara batu pasirnya terus berubah. Diiringi dengusan puas Saphira melangkah mundur dan memeriksa hasil karyanya.
Mausoleum yang beberapa saat sebelumnya terbuat dari batu pasir itu, sekarang berubah menjadi peti batu permata. Di dalamnya wajah Brom yang tak tersentuh tampak jelas. Eragon menatap pria tua itu, yang kelihatan seperti tidur, dengan penuh kerinduan. "Apa yang kaulakukan"" tanyanya pada Saphira dengan terpesona.
Kuberi ia satu-satunya hadiah yang bisa kuberikan. Sekarang waktu tidak akan memudarkan dirinya. Ia bisa beristirahat dengan damai untuk selamanya.
Terima kasih. Eragon menyentuh sisi tubuh Saphira, dan mereka pergi bersama-sama untuk kembali menjalani hidupnya sebagai penunggang.
TERTANGKAP DI GIL'EAD Berkuda sangat menyakitkan bagi Eragon, rusuknya yang patah menghalangi mereka bergerak lebih cepat sehingga mereka cuma bisa berjalan, dan mustahil baginya untuk bernapas dalam tanpa kesakitan. Meskipun begitu, ia menolak berhenti. Saphira terbang di dekat mereka, benaknya berhubungan dengan benak Eragon untuk menghibur dan memberi kekuatan.
Murtagh berkuda dengan percaya diri di samping Cadoc, dengan mulus mengikuti gerakan-gerakan kudanya. Eragon mengawasi hewan kelabu itu beberapa waktu. "Kudamu bagus sekali. Siapa namanya""
"Tornac, seperti nama orang yang mengajarku bertempur." Murtagh menepuk-nepuk sisi kudanya. "Ia diberikan padaku sewaktu masih kecil. Kau akan sangat sulit menemukan hewan yang lebih pemberani dan cerdas di seluruh Alagaesia, tentu saja dengan perkecualian Saphira."
"Ia makhluk yang luar biasa," kata Eragon kagum.
Murtagh tertawa. "Ya, tapi Snowfire nyaris menyamainya, sepanjang yang pernah kulihat."
Mereka hanya menempuh jarak yang pendek hari itu, tapi Eragon merasa gembira karena kembali bergerak. Dengan begitu pikirannya teralih dari hal-hal yang lebih menyedihkan. Mereka berkuda melintasi kawasan yang masih liar. Jalan ke Dras-Leona terletak beberapa mil di sebelah kiri mereka. Mereka akan jauh menghindar
i kota itu dalam perjalanan ke Gil'ead, yang berada di utara itu jaraknya nyaris sepanjang perjalanan ke Carvahall.
Mereka menjual Cadoc di sebuah desa kecil. Sewaktu kuda itu dibimbing pergi oleh pemilik barunya, Eragon dengan menyesal mengantongi beberapa keping koin yang diperolehnya dari transaksi itu. Rasanya sulit melepaskan Cadoc sesudah melintasi separo Alagaesia dan mengalahkan para Urgal bersama-sama.
Hari-hari berlalu tanpa disadari saat kelompok kecil mereka menempuh perjalanan dalam kesendirian. Eragon senang mendapati ia dan Murtagh memiliki banyak minat yang sama; mereka menghabiskan waktu berjam-jam dengan berdebat mengenai keasyikan memanah dan berburu.
Tapi ada subjek yang sama-sama mereka hindari untuk dibicarakan berdasarkan perjanjian yang tidak diucapkan, yaitu masa lalu mereka. Eragon tidak menjelaskan bagaimana ia menemukan Saphira, bertemu Brom, atau dari mana asalnya. Murtagh juga sama bisunya mengenai kenapa Kekaisaran memburu dirinya. Kesepakatan yang sederhana, tapi fungsional.
Tapi karena kedekatan mereka, akhirnya mereka saling mengenal. Eragon tergelitik pengetahuan Murtagh mengenai perebutan kekuasaan dan politik di dalam Kekaisaran. Ia tampaknya mengetahui apa yang dilakukan setiap bangsawan dan asisten bangsawan, juga apa pengaruhnya terhadap semua orang. Eragon mendengarkan dengan hati-hati, kecurigaan berputar-putar dalam benaknya.
Minggu pertama berlalu tanpa tanda-tanda kehadiran Ra'zac, yang meredakan sebagian ketakutan Eragon. Walaupun begitu, mereka terus bergantian berjaga di malam hari. Tadinya Eragon menduga mereka akan bertemu para Urgal dalam perjalanan ke Gil'ead, tapi mereka tidak menemukan sedikit pun jejak makhluk-makhluk itu. Kukira tempat-tempat terpencil Seperti ini dipenuhi monster, pikirnya. Meskipun begitu, aku tidak akan mengeluh kalau mereka pergi ke tempat lain.
Ia tidak lagi memimpikan wanita itu. Dan walau ia berusaha melihatnya dengan scry, ia hanya melihat sel yang Setiap kali mereka melewati desa atau kota, ia mengecek apakah ada penjaranya. Kalau ada, ia akan menyamar dan mengunjunginya, tapi ia tidak menemui wanita itu. Penyamarannya semakin lama semakin rumit karena ia melihat pengumuman berisi nama dan deskripsinya yang menawarkan bayaran yang cukup besar untuk penangkapannya yang telah disebar dan ditempelkan di berbagai dinding kota.
Perjalanan mereka ke utara memaksa mereka menuju ibukota, Uru'baen. Kota itu terletak di kawasan yang penuh sesak, ini mempersulit mereka untuk berkeliaran tanpa menarik perhatian.
Para prajurit berpatroli di jalan dan berjaga di jembatan-jembatan. Mereka membutuhkan waktu beberapa hari yang tegang dan menjengkelkan untuk mengitari ibukota.
Begitu melewati Uru'baen dengan aman, mereka sampai di tepi padang yang luas. Padang itu sama dengan yang dilewati Eragon sesudah ia meninggalkan Lembah Palancar, tapi sekarang ia berada di seberangnya. Mereka menyusuri tepi padang dan melanjutkan perjalanan ke utara, mengikuti Sungai Ramr.
Ulang tahun keenam belas Eragon datang dan pergi pada waktu itu. Di Carvahall mereka pasti menyelenggarakan pesta untuk menyambut masuknya dirinya ke dalam kedewasaan, tapi di alam liar ia bahkan tidak menyinggungnya kepada Murtagh.
Pada usia nyaris enam bulan, Saphira jauh lebih besar. Sayap-sayapnya sangat lebar, setiap incinya dibutuhkan untuk mengangkat tubuhnya yang berotot dan tulang-belulangnya yang tebal. Taring-taring yang menjulur dari rahangnya nyaris sama tebalnya seperti kepalan Eragon, ujungnya setajam ujung Zar'roc.
Akhirnya tiba hari Eragon membuka perban di sisi tubuhnya untuk terakhir kalinya. Rusuknya telah pulih sepenuhnya, menyisakan hanya bekas luka kecil di tempat sepatu bot Ra'zac melukai bagian samping tubuhnya. Sementara Saphira mengawasi, Eragon menggeliat perlahan-lahan, lalu dengan semangat yang semakin besar sewaktu tidak terasa sakit. Ia menggerakkan otot-ototnya merasa senang. Dulu ia pasti tersenyum, tapi sesudah kematian Brom, ekspresi seperti itu tidak mudah datang.
Ia kembali mengenakan tunik dan berjalan kembali ke api unggun kecil yang mereka nyalakan. Murtagh d
uduk di samping api, memotong kayu. Eragon mencabut Zar'roc. Murtagh menegang, sekalipun wajahnya tetap tenang. "Sekarang sesudah aku cukup kuat, kau mau berlatih tanding denganku"" tanya Eragon.
Murtagh membuang kayunya. "Dengan pedang yang tajam"
Kita bisa saling membunuh."
"Berikan pedangmu," kata Eragon. Murtagh ragu-ragu, lalu memberikan pedang panjangnya. Eragon menutupi mata pedang dengan sihir, seperti yang diajarkan Brom padanya. Sementara Murtagh memeriksa pedangnya, Eragon berkata, "Aku bisa menghapusnya begitu kita selesai."
Murtagh memeriksa keseimbangan pedangnya. Setelah merasa puas, ia berkata, "Ini cukup." Eragon mengamankan Zar'roc, memasang kuda-kuda, lalu mengayunkan pedang ke bahu Murtagh. Pedang mereka bertemu di udara. Eragon menarik kembali pedangnya, lalu menusukkannya, kemudian menangkis sementara Murtagh membalas, bergerak menjauh.
Ia cepat! pikir Eragon. Mereka terus bergantian menyerang, mencoba mengalahkan satu sama lain. Sesudah serangkaian serangan yang cukup cepat, Murtagh mulai tertawa. Bukan saja mustahil bagi mereka untuk unggul atas yang lain, tapi mereka begitu seimbang sehingga kelelahan pada saat yang bersamaan. Sambil tersenyum mengakui keahlian satu sama lain, mereka terus bertempur hingga lengan mereka terasa kaku dan berat, dan keringat mengucur dari tubuh mereka.
Akhirnya Eragon berseru, "Cukup, berhenti!" Murtagh menghentikan serangan dan duduk dengan napas terengah-engah. Eragon terhuyung-huyung duduk, dadanya naik-turun. Tidak satu pun latih tandingnya dengan Brom sekeras ini.
Sambil menghirup udara, Murtagh berseru, "Kau benar-benar mengagumkan! Aku sudah mempelajari permainan pedang seumur hidupku, tapi belum pernah aku bertempur menghadapi orang seperti kau. Kau bisa menjadi pakar senjata Raja kalau mau."
"Kau sama bagusnya," kata Eragon dengan nafas yang masih terengah-engah." Orang yang mengajarimu, Tornac, bisa menghasilkan banyak uang dengan membuka sekolah pedang. Orang-orang akan berdatangan dari seluruh Alagaesia untuk belajar darinya.
"Ia sudah meninggal," kata Murtagh singkat,
"Maaf." Dengan begitu, menjadi kebiasaan mereka untuk berlatih tanding di malam hari, yang menyebabkan tubuh mereka tetap ramping dan sehat, seperti sepasang pedang yang serasi. Dengan pulihnya kesehatannya, Eragon juga melanjutkan kembali berlatih sihir. Murtagh penasaran terhadap hal itu dan dalam waktu singkat mengungkapkan bahwa ia tahu cukup banyak tentang cara kerja sihir, walaupun tidak mengetahui rincian tepatnya dan tidak bisa menggunakannya. Setiap kali Eragon berlatih mengucapkan bahasa kuno, Murtagh mendengarkan dengan tenang, sesekali menanyakan arti kata-kata tertentu.
Di tepi kota Gil'ead mereka menghentikan kuda berdampingan. Mereka membutuhkan waktu nyaris sebulan untuk tiba di sana, hingga musim semi akhirnya menghapus sisa-sisa musim dingin. Eragon merasakan dirinya berubah selama perjalanan ini, menjadi lebih kuat dan tenang. Ia masih memikirkan Brom dan membicarakan pria tua itu dengan Saphira, tapi biasanya ia berusaha tidak membangkitkan kenangan yang menyakitkan.
Dari kejauhan mereka bisa melihat bahwa kota itu tempat yang kasar dan biadab, penuh rumah balok kayu dan anjing yang menyalak. Ada benteng batu yang mulai runtuh di tengahnya. Udara berkabut asap kebiruan. Tempat itu lebih mirip pos perdagangan sementara daripada kota yang permanen. Lima mil di baliknya samar-samar terlihat batas Danau Isenstar.
Mereka memutuskan berkemah dua mil dari kota, demi keamanan. Sementara makan malam mereka menggelegak, Murtagh berkata, "Aku tidak yakin apakah sebaiknya kau yang pergi ke Gil'ead."
"Kenapa" Aku bisa menyamar cukup baik," kata Eragon.
Dan Dormnad pasti ingin melihat gedwey ignasia sebagai bukti aku benar-benar Penunggang."
"Mungkin," kata Murtagh, "tapi Kekaisaran jauh lebih menginginkan dirimu dari pada diriku. Kalau aku tertangkap, nantinya aku akan bisa melarikan diri. Tapi kalau kau yang tertangkap, mereka akan menyeretmu ke hadapan Raja, di mana kau akan mati perlahan-lahan karena disiksa, kecuali kau mau bergabung dengannya. Plus, Gil'ead adalah salah satu
pangkalan pasukan yang besar. Di sana itu bukan rumah; itu barak. Pergi ke sana sama saja dengan menyerahkan dirimu terutama kepalamu di atas baki emas kepada Raja terkutuk itu."
Eragon meminta pendapat saphira. Saphira melilitkan ekor di kaki Eragon dan membaringkan diri di sampingnya. Kau seharusnya tidak bertanya padaku; yang dikatakannya masuk akal. Ada kata-kata tertentu yang bisa kuberitahukan padanya Untuk meyakinkan Dormnad akan kejujurannya. Dan Murtagh benar; kalau ada yang harus mengambil risiko tertangkap, dialah orangnya, karena ia akan mampu selamat dari penangkapan itu. Eragon meringis. Aku tidak senang ia menghadapi bahaya demi kita. "Baiklah, kau boleh pergi," katanya enggan. Tapi kalau ada yang tidak beres, aku akan ke sana."
Murtagh tertawa. "Itu pasti cocok jadi legenda: kisah bagaimana Penunggang mengalahkan pasukan Raja seorang diri saja." Ia kembali tergelak dan berdiri. "Apakah ada yang harus kuketahui sebelum berangkat""
"Tidakkah sebaiknya kita beristirahat dan menunggu besok"" tanya Eragon hati-hati.
"Kenapa" Semakin lama kita berada di sini, semakin besar kemungkinan kita ketahuan. Kalau si Dormnad ini bisa membawamu kepada kaum Varden, ia harus ditemukan secepat mungkin. Tidak seorang pun dari kita boleh berada di dekat Gil'ead selama lebih dari beberapa hari."
Sekali lagi kebijaksanaan berhamburan dari mulutnya, kata Saphira, mengomentari dengan datar. Ia memberitahu Eragon apa yang harus dikatakan pada Dormnad, dan Eragon menyampaikan informasi itu pada Murtagh.
"Baiklah," kata Murtagh, sambil memperbaiki letak pedangnya. "Kecuali ada masalah, aku akan kembali dua jam lagi. Pastikan ada makanan yang tersisa untukku." Sambil melambai ia melompat ke punggung Tornac dan berderap pergi. Eragon duduk di samping api unggun, mengetuk-ngetuk tangkai Zar'roc dengan gelisah.
Berjam-jam berlalu, tapi Murtagh tidak kembali. Eragon mondar-mandir mengelilingi api unggun, sambil membawa Zar'roc, sementara Saphira mengawasi Gil'ead dengan penuh perhatian. Hanya matanya yang bergerak. Tidak satu pun dari mereka mengutarakan kekhawatiran, meskipun Eragon secara tidak kentara bersiap-siap pergi-kalau ada sepasukan prajurit meninggalkan kota dan menuju kemah mereka.
Lihat, kata Saphira sambil menyentakkan kepala.
Eragon berputar ke arah Gil'ead,waspada. Ia melihat penunggang kuda di kejauhan, meninggalkan kota dan berderap sekuat tenaga ke arah kemah mereka, Aku tidak suka ini, katanya sambil naik ke punggung Saphira. Bersiap-siaplah untuk terbang.
Aku siap untuk melakukan berbagai hal yang lebih dari itu.
Saat penunggang itu mendekat, Eragon mengenali penunggang kuda itu Murtagh yang membungkuk rendah di atas Tornac. Tidak ada yang tampak mengejar dirinya, tapi Murtagh tidak mengurangi kecepatannya yang gila-gilaan. Ia berderap ke kemah dan melompat turun, sambil mencabut pedang. "Ada apa"" tanya Eragon.
Murtagh merengut. "Apakah ada yang mengikutiku dari Gil'ead""
"Kami tidak melihat seorang pun."
"Bagus. Kalau begitu biarkan aku makan sebelum menjelaskan. Aku kelaparan." Ia menyambar mangkuk dan bersantap dengan tergesa-gesa. Sesudah beberapa suap yang asal-asalan, ia berkata dengan mulut penuh, "Dormnad menyetujui bertemu kita di luar Gil'ead saat matahari terbit besok. Kalau ia yakin kau benar-benar Penunggang dan ini bukan jebakan, ia akan mengantarmu menemui kaum Varden."
"Di mana kami akan menemui dirinya"" tanya Eragon.
Murtagh menunjuk ke barat. "Di bukit kecil di seberang jalan."
"Apa yang terjadi""
Murtagh mengisi kembali mangkuknya. "Sebenarnya biasa saja, tapi justru karena itu mematikan; aku terlihat di jalan oleh orang yang mengenal diriku. Kulakukan satu-satunya tindakan yang bisa kulakukan dan melarikan diri. Tapi terlambat ia sudah mengenali diriku."
Sial, tapi Eragon merasa tidak yakin seberapa buruk kesialan itu. "Karena aku tidak mengenal temanmu, aku harus bertanya. Apakah ia akan memberitahu orang lain""
Murtagh menahan tawa. "Kalau kau pernah bertemu dengannya, pertanyaanmu tidak perlu dijawab. Engsel mulutnya sangat kendur dan terbuka sepanjang waktu, memuntahkan apa pun yang kebetul
an melintas dalam benaknya. Yang menjadi pertanyaan bukanlah apakah ia akan memberitahu orang-orang, tapi siapa yang akan diberitahunya. Kalau berita ini tiba di telinga yang salah, kita akan menghadapi masalah."
"Aku ragu para prajurit akan dikirim untuk mencarimu, dalam gelap," kata Eragon. "Kita sedikitnya bisa beranggapan kita aman hingga besok pagi dan pada saat itu, kalau segalanya berjalan lancar, kita sudah pergi bersama Dormnad."
Murtagh menggeleng. "Tidak, hanya kau yang akan pergi bersamanya. Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku tidak bersedia pergi ke kaum Varden."
Eragon menatapnya dengan pandangan suram. Ia ingin, Murtagh tetap menemaninya. Mereka telah bersahabat dalam perjalanan ini, dan ia tidak suka mencabik persahabatan itu. Ia hendak memprotes, tapi Saphira menyuruhnya tutup mulut dan berkata lembut, Tunggu hingga besok. Sekarang bukan waktunya.
Baiklah, kata Eragon muram. Mereka bercakap-cakap hingga bintang-bintang tampak kemilau di langit yang cerah malam itu yang sekaligus menjadi atap untuk membimbing kea alam mimpi lalu tidur. Sementara Saphira melakukan giliran jaga pertama.
Eragon terjaga dua jam sebelum subuh, telapak tangannya terasa geli. Segala sesuatu tenang dan sunyi, tapi ada sesuatu yang menarik perhatiannya, seperti gatal dalam benaknya. Ia menyandang Zar'roc dan berdiri, berhati-hati agar tidak menimbulkan suara. Saphira menatapnya dengan pandangan bertanya, matanya yang besar tampak cemerlang. Ada apa" tanyanya.
Entahlah, kata Eragon. tidak melihat ada yang tidak beres.
Saphira mengendus-endus udara dengan penasaran. Ia mendesis pelan dan mengangkat kepala. Aku mencium bau kuda-kuda di dekat sini, tapi mereka tidak bergerak. Mereka dipenuhi bau yang tidak kukenali.
Eragon merayap mendekati Murtagh dan mengguncang bahunya. Murtagh terjaga dengan terkejut, mencabut sebilah pisau dari balik selimut; lalu memandang Eragon dengan tatapan bertanya-tanya. Eragon memberi isyarat agar ia tidak bersuara berbisik, "Ada kuda-kuda di dekat sini."
Murtagh mencabut pedangnya tanpa mengatakan apa-apa. Diam-diam mereka mengambil posisi di kedua sisi Saphira, bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan serangan musuh. Sementara mereka menunggu bintang pagi terbit di timur. Seekor bajing mencicit.
Lalu raungan marah dari belakang menyebabkan Eragon berbalik, pedangnya terangkat tinggi. Urgal bertubuh lebar berdiri di tepi perkemahan, membawa gada dengan paku-paku yang tampak mengerikan. Dari mana ia datang" Kami tidak melihat jejak mereka di mana pun, pikir Eragon. Urgal itu meraung dan mengayun-ayunkan senjatanya, tapi tidak menyerang.
Brisingr!" raung Eragon, menyerang dengan sihir. Wajah Urgal itu mengerut ngeri saat ia meledak dalam kilasan cahaya biru. Darah menciprati Eragon, dan bongkahan kecokelatan berhamburan di udara. Di belakangnya, Saphira tersentak terkejut dan mengangkat kaki depan. Eragon berputar. Sementara ia sibuk menghadapi Urgal pertama, sekelompok Urgal menyerang dari samping. Ia masuk jebakan yang bodoh sekali!
Suara baja beradu terdengar nyaring sementara Murtagh menyerang para Urgal. Eragon mencoba bergabung dengannya tapi dihadang empat monster itu. Yang pertama mengayunkan pedang kebahunya. Ia merunduk menghindari serangan dan membunuh Urgal itu dengan sihir. Ia menghantam leher yang kedua dengan Zar'roc, berputar liar, dan membelah dada Urgal ketiga. Saat ia berbuat begitu, Urgal keempat menghambur ke arahnya, mengayunkan gadanya yang berat.
Eragon melihat kedatangannya dan mencoba mengangkat pedang untuk menangkis gada itu, tapi terlambat sedetik. Saat gada itu meluncur kencang ke kepalanya, ia berteriak, "Terbang, Saphira!" Semburan cahaya memenuhi pandangannya saat itu dan ia jatuh pingsan.
DU SUNDAVAR FREOHR Yang pertama kali disadari Eragon adalah ia merasa hangat dan kering, pipinya tertekan ke kain kasar, dan kedua tangannya tidak terikat. Ia bergerak, tapi baru beberapa menit kemudian mampu duduk tegak dan memeriksa keadaan sekelilingnya.
Ia duduk di ranjang kecil dan keras dalam sel. Di dinding ada jendela berjeruji. Pintunya, yang berengsel besi dengan jendela
kecil di paro atasnya, berjeruji seperti jendela di dinding, tertutup rapat.
Darah kering berderak di wajah Eragon sewaktu ia bergerak. Ia membutuhkan waktu sejenak untuk mengingat itu bukan darahnya. Kepalanya terasa sakit luar biasa yang seharusnya sudah bisa ditebak, mengingat pukulan yang diterimanya dan benaknya terasa berkabut aneh. Ia mencoba menggunakan sihir, tapi tidak mampu berkonsentrasi secukupnya untuk mengingat kata kuno mana pun. Mereka pasti membiusku, pikirnya akhirnya. Sambil mengerang ia bangkit, merindukan berat Zar'roc di pinggulnya, dan terhuyung-huyung ke jendela di dinding, ia berhasil melihat keluar dengan berjinjit. Ia membutuhkan waktu semenit agar matanya menyesuaikan diri dengan cahaya terang di luar. Jendela itu sejajar dengan permukaan tanah. Tadi yang dipenuhi orang berada tepat di balik dinding selnya, disana juga terdapat sederetan bangunan balok kayu yang identik.
Merasa lemah, Eragon merosot ke lantai dan menatapnya dengan pandangan kosong. Yang dilihatnya di luar membuatnya gundah, tapi ia tidak yakin kenapa. Sambil memaki pemikirannya. yang lamban, ia menyandarkan kepala dan berusaha mejernihkan pikiran. Seseorang memasuki ruangan dan meletakan sebaki makanan dan seguci air di ranjang. Baik sekali, pikir Eragon, sambil tersenyum ramah. Ia menyuapkan beberapa sendok sup kubis cair dan roti basi, tapi nyaris tidak mampu menelannya. Kalau saja Ia membawakan hidangan yang lebih banyak keluhnya, sambil menjatuhkan sendok.
Ia tiba-tiba menyadari apa yang tidak beres. Aku ditangkap Urgal, bukan manusia! Bagaimana aku bisa berada di sini"
Otaknya yang kacau berusaha memecahkan keanehan itu tanpa hasil. Akhirnya ia mengesampingkan penemuan itu untuk sementara hingga mengetahui apa yang harus dilakukannya dengan pengetahuan tersebut.
Ia duduk di ranjang dan menatap ke kejauhan. Berjam-jam kemudian makanan lain diantarkan. Dan aku baru saja mulai merasa lapar, pikirnya muram. Kali ini ia mampu menyantapnya tanpa merasa muak. Sesudah makan, ia memutuskan sudah tiba waktunya untuk tidur. Bagaimanapun juga, ia berada di ranjang; apa lagi yang akan dilakukannya"
Pikirannya melayang; tidur mulai menyelimuti dirinya. Lalu terdengar gerbang berdentang membuka entah di mana, dan bunyi sepatu bot bersol baja berderap di lantai batu memenuhi udara. Suaranya semakin keras hingga kedengaran seperti ada yang memukuli panci di dalam kepala Eragon. Ia menggerutu sendiri. Kenapa mereka tidak bisa membiarkan aku beristirahat dengan tenang" Rasa penasaran yang samar perlahan-lahan mengatasi kelelahannya, jadi ia menyeret diri ke pintu, sambil mengerjap-ngerjapkan mata seperti burung hantu.
Dari balik jendela ia bisa melihat lorong yang nyaris sepuluh kaki lebarnya. Sel-sel yang mirip dengan selnya sendiri berjajar di dinding seberang. Sebarisan prajurit berderap melintasi lorong, pedang mereka teracung dan siap. Setiap orang mengenakan perisai yang sama; wajah mereka memancarkan ekspresi keras yang sama, dan kaki mereka mengenai lantai dengan ketepatan mekanis, tidak melewatkan satu ketukan pun. Suaranya menghipnotis. Pameran kekuatan yang mengesankan.
Eragon mengawasi para prajurit itu hingga bosan. Tepat pada saat itu ia melihat ada celah di tengah barisan. Dua pria kekar di tengah barisan menyeret seorang wanita yang pingsan.
Rambut hitam panjang wanita itu menutupi wajahnya, sekalipun ada ikat kepala kulit yang menahanrambutnya. Ia mengenakan celana panjang dan kemeja kulit berwarna gelap pinggangnya yang ramping tampak sabuk mengilap, di kanannya menjuntai sarung pedang kosong. Sepatu bot setinggi lutut menutupi tungkai dan kakinya yang kecil.
Kepalanya terkulai ke satu sisi. Eragon tersentak, merada perutnya seperti ditinju. Wanita itu yang hadir dalam mimpinya. Wajahnya yang bagai ukiran sesempurna lukisan. Dagunya yang bulat, tulang pipi yang tinggi, dan bulu mata yang panjang menyebabkan penampilannya tampak eksotis. Satu-satunya cacat pada kecantikannya hanyalah guratan di sepanjang rahangnya; walaupun begitu, ia wanita tercantik yang pernah dilihat Eragon.
Darah Eragon bagai mendidih melihatnya. Ad
a yang terjaga dalam dirinya-sesuatu yang belum pernah dirasakannya selama ini. Rasanya seperti obsesi, tapi lebih kuat, nyaris seperti kesintingan. Lalu rambut wanita itu tersibak, menampakkan telinga yang runcing. Eragon menggigil. Wanita itu elf.
Para prajurit terus berbaris, membawa wanita itu menghilang dari pandangan. Lalu muncul pria jangkung dan sombong, mantel bulu berkibar-kibar di belakangnya. Wajahnya pucat seperti mayat; rambutnya merah. Semerah darah.
Sewaktu berjalan melewati sel Eragon, pria itu berpaling dan memandang lurus kepada Eragon dengan mata merah darah. Bibir atasnya tertarik membentuk senyuman buas, menampakkan gigi-gigi yang runcing. Eragon menyurutmundur. Ia mengetahui siapa pria itu. Shade. Mati aku... Shade. Prosesi itu terus berjalan, dan Shade menghilang dari pandangan.
Eragon merosot ke lantai, memeluk diri. Dalam kebingungan sekalipun, ia mengetahui kehadiran Shade berarti ada kejahatan yang berkeliaran bebas di tanah ini. Setiap kali Shade muncul pasti ada sungai darah. Apa yang dilakukan Shade di sini. Para prajurit seharusnya membunuhnya begitu bertemu dengannya! Lalu pikirannya kembali ke wanita elf itu, dan ia dicengkeram perasaan aneh lagi. Aku harus melarikan diri. Tapi karena pikirannya ia berkabut, kebulatan tekadnya dengan cepat memudar. Ia kembali ke ranjang. Saat lorong kembali sunyi, ia telah tertidur lelap.
Begitu Eragon membuka mata, ia mengetahui ada yang berbeda. Ia merasa lebih mudah berpikir; ia menyadari dirinya berada di Gil'ead. Mereka melakukan kesalahan; obatnya memudar!
Dengan penuh harap, ia mencoba menghubungi Saphira dan menggunakan sihir, tapi kedua kegiatan itu tetap di luar jangkauannya. Kekhawatiran berputar-putar dalam dirinya sementara ia merasa penasaran apakah Saphira dan Murtagh berhasil melarikandiri. Ia meregangkan lengan dan memandang keluar jendela. Kota baru saja terjaga; jalan-jalan kosong, cuma ada dua pengemis.
Ia meraih guci air, memikirkan elf dan Shade. Saat hendak minum, ia menyadari ada bau samar dari air itu, seakan air itu mengandung beberapa tetes parfum yang tajam baunya. Sambil meringis, ia meletakkan kembali gucinya. Obatnya pasti ada di sana dan mungkin juga dalam makanannya! Ia teringat bahwa sewaktu Ra'zac membiusnya, obatnya membutuhkan waktu berjam-jam untuk memudar. Kalau aku bisa bertahan tidak minum dan makan cukup lama, seharusnya aku bisa menggunakan sihirku. Lalu aku bisa menyelamatkan elf itu... Pikiran tersebut menyebabkan ia tersenyum. Ia duduk di sudut, melamunkan cara menyelamatkan si elf.
Sipir gendutnya memasuki sel satu jam kemudian, membawa sebaki makanan. Eragon menunggu hingga ia pergi, lalu membawa bakinya ke jendela. Makanannya hanya terdiri atas roti, keju, dan sebutir bawang, tapi baunya menyebabkan perutnya menderu lapar. Membulatkan tekad untuk melewati hari yang sengsara ini, ia menjejalkan makanan itu ke jalan di luar jendela, berharap tidak ada yang memperhatikan.
Eragon memutuskan mengatasi pengaruhobat. Ia sulit memusatkan pikirannya cukup lama, tapi seiring berlalunya hari, katajaman mentalnya meningkat. Ia mulai mengingat beberapa kata kuno, walaupun tidak terjadi apa-apa sewaktu ia menggunakannya. Ia ingin menjerit karena frustrasi.
Sewaktu makan siang diantarkan, ia mendorongnya keluar
jendela seperti sarapannya. Rasa lapar mengganggunya, tapi kekurangan airlah yang paling menyengsarakan. Bagian belakang tenggorokannya terasa kering. Pikiran akan menenggak air dingin yang menyiksa dirinya seiring setiap napas yang ditariknya melalui mulut dan tenggorokannya yang kering. Meskipun begitu, ia memaksa diri mengabaikan guci.
Ia teralih dari ketidaknyamanannya karena keributan di lorong. Seseorang berdebat dengan suara keras, "Kau tidak boleh masuk ke sana! Perintahnya jelas: tidak seorang pun boleh menemui dirinya!"
"Sungguh" Apakah kau yang akan tewas karena menghalangiku, Kapten"" sela seseorang bersuara halus.
Sejenak kebisuan timbul, "Tidak... tapi Raja-"
"Aku yang akan menangani Raja," sela orang kedua. "Sekarang, buka pintunya."
Sesudah diam sejenak, terdengar gemerincing anak kunci di luar se
l Eragon. Ia mencoba menampilkan ekspresi mengantuk.
Aku harus bersikap seakan tidak memahami apa yang terjadi. Aku tidak boleh menunjukkan keterkejutan, apa pun yang dikatakan orang ini.
Pintu terbuka. Napasnya tertahan saat ia melihat wajah Shade. Rasanya seperti menatap topeng kematian atau tengkorak yang digosok dan ditutupi kulit agar terkesan hidup. "Salam," kata Shade sambil tersenyum dingin, menunjukkan gigi-giginya yang tajam. "Aku sudah menunggu lama untuk bisa bertemu denganmu."
"Si-siapa kau"" tanya Eragon, sengaja menggagapkan bicaranya.
"Bukan orang penting," jawab Shade, matanya yang merah tampak menyala karena ancaman yang terkendali. Ia duduk setelah mengibaskan mantel. "Namaku tidak penting bagi orang di posisimu. Lagi pula nama itu tidak akan ada artinya. Dirimulah yang menarik perhatianku. Siapa kau""
Pertanyaan itu diucapkan dengan cukup polos, tapi Eragon mengetahui pasti ada jebakan di dalamnya, meskipun ia tidak bias memahaminya. Ia berpura-pura memikirkan pertanyaan itu dengan susah payah selama beberapa waktu, lalu perlahan-lahan, sambil mengerutkan kening, berkata, "Aku tidak yakin namaku Eragon, tapi aku bukan hanya itu, bukan"" ia
Bibir tipis Shade terentang kencang di mulutnya saat tertawa tajam. "Ya, memang bukan. Kau memiliki pikiran yang menarik, Penunggang mudaku." Ia mencondongkan tubuh depan. Kulit di keningnya tipis dan tembus pandang. "Tampaknya aku harus lebih terus terang. Siapa namamu""
"Era--" Bukan yang itu." Shade memotongnya dengan lambaian, tarigan. "Kau memiliki nama lain, bukan, nama yang
baru-baru ini kaugunakan""
Ia ingin mengetahui namaku yang sebenarnya agar bisa mengendalikan diriku! Eragon tersadar. Tapi aku tidak bisa memberitahukannya. Aku sendiri tidak mengetahuinya. Ia berpikir cepat, berusaha menciptakan tipuan yang akan menutupi ketidaktahuannya. Bagaimana kalau aku mengarang nama" Ia ragu-ragu-tipuan itu bisa terungkap dengan mudah-lalu bergegas menciptakan nama yang akan lolos dari pemeriksaan. Saat hendak mengatakannya, ia memutuskan untuk mengambil risiko dan mencoba menakut-nakuti Shade. Ia dengan sigap mengubah beberapa huruf, lalu mengangguk bodoh dan berkata, "Brom pernah memberitahukannya padaku. Namaku..." Ia terdiam beberapa detik, lalu wajahnya berubah cerah saat ia tampak seakan teringat. "Namaku Du Sundavar Freohr." Yang artinya kurang-lebih "kematian bayang-bayang".
Hawa dingin yang menakutkan memenuhi sel sementara Shade duduk tidak bergerak, matanyatertutup. Ia tampak seperti berpikir serius, mempertimbangkan apa yang baru saja diketahuinya. Eragon bertanya-tanya apakah ia terlalu nekat. Ia menunggu Shade membuka mata sebelum bertanya polos, "Kenapa kau ada di sini""
Shade memandangnya dengan kebencian dalam matanya yang merah dan tersenyum. "Untuk menikmati, tentu saja. Apa gunanya kemenangan kalau tidak untuk dinikmati"" Ada keyakinan dalam suaranya, tapi ia tampak resah, seakan rencananya kacau. Ia tiba-tiba berdiri. "Ada urusan lain yang harus kutangani, tapi sementara aku pergi sebaiknya kaupikirkan kembali pada siapa sebaiknya kau mengabdi: Penunggang yang mengkhianati kelompok kalian sendiri atau sesama manusia seperti diriku, sekalipun aku manusia yang ahli soal ilmu-ilmu rahasia." Ia berbalik hendak pergi, lalu melirik guci air, Eragon dan berhenti, wajahnya berubah sekeras granit.
Kapten!" bentaknya. Pria berbahu bidang bergegas masuk ke sel, dengan pedang di tangan. "Ada apa, tuanku"" tanyanya, waspada.
Singkirkan mainan itu," kata Shade. Ia berpaling pada Eragon dan berkata dengan suara yang pelan mematikan, "Bocah ini tidak meminum airnya. Kenapa begitu""
"Saya sudah berbicara dengan sipir tadi. Setiap mangkuk dan piring licin tandas."
"Baiklah," kata Shade, mereda. "Tapi pastikan ia mulai minum lagi." Ia mencondongkan tubuh ke arah kapten itu dan menggumam ke telinganya. Eragon menangkap beberapa kata terakhir, "...dosis ekstra, sekadar berjaga-jaga." Kapten mengangguk. Shade kembali memperhatikan Eragon. "Kita akan bercakap-cakap lagi besok, saat waktuku tidak begitu mendesak. Kau sebaiknya mengetahui, aku sangat terpesona pada na
ma-nama. Aku akan sangat menikmati mendiskusikan namamu secara jauh lebih terperinci."
Cara ia mengatakannya menyebabkan Eragon merasa ngeri.
Begitu mereka pergi, ia berbaring di ranjang dan memejamkan mata. Pelajaran-pelajaran Brom terbukti berguna sekarang; ia mengandalkan pelajaran-pelajaran itu agar tidak panik dan untuk meyakinkan diri sendiri. Segala sesuatunya telah disediakan bagiku; aku hanya tinggal memanfaatkannya. Pikiran-pikirannya terganggu suara para prajurit yang mendekat.
Dengan takut, ia melangkah ke pintu dan melihat dua prajurit menyeret si elf menyusuri lorong. Sewaktu tidak lagi bisa melihat elf itu, Eragon merosot ke lantai dan mencoba menyentuh kemampuan sihirnya. Makian berhamburan dari mulutnya sewaktu ia gagal.
Eragon memandang ke kota di luar dan mengertakkan gigi. Sekarang baru menjelang tengah hari. Setelah menghela napas untuk menenangkan diri, ia mencoba menunggu dengan sabar.
MELAWAN BAYANG-BAYANG Sel Eragon telah gelap sewaktu ia terduduk kaget.
Tabirnya telah bergeser! Sudah berjam-jam ia merasakan kemampuan sihirnya muncul di tepi kesadarannya, tapi setiap kali ia mencoba menggunakannya, tapi tidak terjadi apaapa. Dengan mata berbinar-binar karena energi yang menggelegak, ia mengepalkan tangan dan berkata, "Nagz reisa!" Diiringi bunyi lecutan, selimut terbang ke udara dan menggumpal menjadi bola seukuran tinju. Gumpalan kain itu mendarat di lantai diiringi debuman pelan.
Dengan penuh semangat, Eragon bangkit. Ia masih lemah akibat puasa yang ia paksakan, tapi semangatnya mengatasi kelaparan. Sekarang untuk ujian yang sebenarnya. Ia menjangkau dengan benaknya dan merasakan kunci pintu. Bukannya berusaha mendobrak atau memotongnya, ia hanya mendorong mekanisme dalamnya ke posisi tidak terkunci. Diiringi suara ceklikan, pintu berderit masuk.
Sewaktu ia pertama kali menggunakan sihir untuk membunuh para Urgal di Yazuac, nyaris seluruh energinya terkuras tapi ia telah jauh lebih kuat daripada waktu itu. Apa yang tadinya akan menguras tenaganya sekarang hanya sedikit melelahkannya.
Dengan hati-hati ia melangkah ke lorong. Aku harus menekan Zar'roc dan elf itu. Ia pasti berada di salah satu sel-sel ini, tapi tidak ada waktu untuk memeriksa semuanya. Sedangkan Zar'roc, mungkin Shade yang memegangnya. Ia menyadari pikirannya masih agak kacau. Kenapa aku berada di luar sini" Aku bisa saja melarikan diri sekarang kalau aku kembali ke sel dan membuka jendela dengan sihir. Tapi dengan begitu aku tidak akan bisa menyelamatkan elf itu.... Saphira, kau di mana" Aku membutuhkan bantuanmu. Dengan diam-diam ia memarahi diri sendiri karena tidak memanggil Saphira lebih awal. Seharusnya itu yang pertama kali dilakukannya sesudah kekuatannya pulih.
Jawaban Saphira terdengar dengan kejelasan yang mengejutkan. Eragon! Aku ada di atas Gil'ead. jangan berbuat apa-apa. Murtagh dalam perjalanan. Suara langkah kaki menyelanya. Ia berputar, berjongkok saat enam prajurit berderap memasuki lorong. Mereka berhenti tiba-tiba, pandangan mereka terarah bergantian ke Eragon dan pintu sel yang telah terbuka. Darah bagai surut dari wajah mereka. Bagus, mereka mengetahui siapa, diriku. Mungkin aku bisa menakut-nakuti mereka agar kami tidak perlu bertempur.
"Serang!" teriak salah seorang prajurit, sambil berlari maju. Rekan-rekannya yang lain mencabut pedang masing-masing dan berlari menyusuri lorong.
Benar-benar sinting untuk melawan enam orang padahal ia tidak bersenjata dan lemah, tapi ingatan tentang elf itu menyebabkan ia bertahan. Ia tidak bisa memaksa dirinya meninggalkan wanita tersebut. Sekalipun tidak yakin apakah dirinya nanti akan sanggup tetap berdiri, ia mengerahkan kekuatan dan mengangkat tangan, gedwey ignasia di tangannya berpendar. Ketakutan terpancar dari mata para prajurit, tapi mereka pejuang yang berpengalaman dan karenanya tidak mengurangi kecepatan. Saat Eragon membuka mulut untuk mengucapkan kata-kata yang fatal, terdengar dengan pelan, gerakan sekilas. Salah satu prajurit jatuh ke lantai dengan sebatang anak panah mencuat di punggung. Dua prajurit lain terpanah sebelum ada yang memahami apa yang te
rjadi. Di ujung lorong, dari tempat para prajurit tadi masuk, berdiri pria lusuh berjanggut. Tongkat tergeletak di lantai dekat kakinya, tampaknya tidak diperlukan karena ia berdiri tegak.
Ketiga prajurit yang tersisa berbalik untuk menghadapi ancaman baru ini. Eragon memanfaatkan kebingungan yang ada. "Thrysta!" teriaknya. Salah seorang prajurit mencengkeram dadanya dan jatuh. Eragon terhuyung-huyung saa sihir menguras tenaganya. Prajurit lain jatuh, lehernya tertembus sebatang anak panah. "Jangan bunuh dia!" seru Eragon, melihat penyelamatnya membidik prajurit terakhir. Pria berjanggut tersebut menurunkan busur.
Maut Buat Madewa Gumilang 2 Pendekar Mabuk 027 Keris Setan Kobra Domba Domba Telah Membisu 2
^