Pencarian

Rumah Bercat Putih 8

Rumah Bercat Putih A Painted House Karya John Grisham Bagian 8


aikan tangan padaku ketika mereka lewat. Aku balas melambai.
Gran selalu mengatakan bahwa beberapa orang pegunungan memiliki rumah lebih bagus daripada kami. Aku tidak pernah mengerti, mengapa mereka jauh-jauh datang dari Ozarks untuk memetik kapas.
Kulihat ayahku masuk ke toko perangkat keras, maka aku mengikutinya, ia ada di belakang, dekat cat, berbicara dengan pelayan toko. Empat galon cat putih Pittsburgh Paint ada di counter. Aku memikirkan The Pittsburgh Pirates. Mereka kembali menduduki tempat terakhir dalam Liga Nasional. Satu-satunya pemain hebat yang mereka miliki adalah Ralph Kiner, yang berhasil memukul tiga puluh tujuh home run.
Suatu hari kelak aku akan main di Pittsburgh. Aku akan memakai seragam merah The Cardinals dengan bangga dan meluluhlantakkan The Pirates yang tak berarti itu.
Butuh seluruh cat yang kami miliki untuk menyelesaikan bagian belakang rumah kami sehari sebelumnya. Orang-orang Meksiko itu akan pergi. Bagiku, amat masuk akal untuk membeli cat lebih banyak dan mengambil kesempatan memanfaatkan tenaga kerja cuma-cuma yang tersedia di pertanian kami. Kalau tidak, sebentar lagi mereka akan pergi, dan sekali lagi aku akan terpaksa menyelesaikan seluruh proyek tersebut.
"Catnya tidak cukup," aku berbisik pada ayahku ketika pelayan toko menghitung bon.
"Untuk sementara ini cukup," katanya sambil mengernyit. Persoalannya adalah uang.
"Sepuluh dolar ditambah tiga puluh enam sen untuk pajak," kata pelayan toko. Ayahku merogoh saku dan mengeluarkan segepok tipis uang kertas. Perlahan-lahan ia menghitungnya, seolah-olah tak rela menyerahkannya.
ia berhenti pada hitungan kesepuluh - sepuluh lembar pecahan satu dolar. Ketika sudah jelas bahwa uangnya tidak cukup, ia pura-pura tertawa dan berkata, "Tampaknya aku cuma membawa sepuluh dolar. Akan kubayar pajaknya lain kali, kalau datang ke sini."
"Tentu saja, Mr. Chandler." kata pelayan toko itu.
Mereka masing-masing membawa dua galon dan menaikkannya ke belakang truk kami. Mr. Riggs sudah kembali ke Co-op, maka ayahku pergi ke sana untuk membicarakan masalah pekerja Meksiko kami. Aku kembali ke toko perangkat keras itu. dan langsung menghampiri pelayan toko.
"Berapa harga dua galon"" aku bertanya.
"Dua dolar lima puluh sen per galon, semuanya jadi lima dolar."
Aku merogoh saku dan mengeluarkan uangku. "Ini lima dolar," kataku saat menyerahkan uang kepadanya. Pada mulanya ia tak mau menerima.
"Apa kau memetik kapas untuk uang itu"" ia bertanya.
"Ya, Sir." "Apa ayahmu tahu kau membeli cat"" "Belum."
"Apa yang kalian cat di sana"" "Rumah kami."
"Mengapa kalian melakukan itu""
"Sebab rumah itu belum pernah dicat."
Dengan enggan ia menerima uangku. "Tambah delapan belas sen untuk pajak," katanya. Aku mengangsurkan selembar pecahan satu dolar padanya dan berkata, "Berapa utang ayahku untuk pajak""
"Tiga puluh enam sen."
"Ambil saja dari sini."
"Baiklah." Ia memberikan kembalian padaku, lalu menaikkan dua galon lagi ke truk kami. Aku berdiri di trotoar, mengawasi cat kami, seolah-olah mungkin ada orang yang akan mencoba mencurinya.
Di samping toko Pop dan Pearl aku melihat Mr. Lynch Thornton, kepala kantor pos, sedang membuka kunci pintu kantor pos dan masuk ke dalam. Aku berjalan ke arahnya, sambil terus mengawasi truk dengan waspada. Mr. Thornton biasanya orang yang aneh, dan banyak orang yakin bahwa sebabnya karena ia menikah dengan seorang wanita yang ada masalah dengan wiski. Segala bentuk minuman beralkohol dibenci oleh hampir setiap orang di Black Oak. County ini bebas alkohol. Toko minuman keras terdekat ada di Blytheville, meskipun ada beberapa pembuat minuman keras di daerah ini yang cukup makmur. Aku tahu ini karena Ricky pernah menceritakannya padaku. Ia mengatakan bahwa ia tidak suka wiski, tapi sekali-sekali suka minum bir. Aku sudah mendengar begitu banyak kotbah tentang jahatnya alkohol, sehingga aku khawatir dengan jiwa Ricky. Bagi laki-laki, sembunyi-sembunyi meneguk minuman keras sudah merupakan dosa, dan bagi wanita perbuatan itu adalah suatu skandal.
Aku ingin bertanya pada Mr. Thornton, bagaimana aku bisa men
geposkan suratku pada Ricky dengan cara sedemikian rupa, sehingga tak ada seorang pun yang tahu. Surat itu panjangnya tiga halaman, dan aku cukup bangga dengan hasil usahaku. Tapi surat tersebut mencantumkan semua detail tentang bayi Latcher. dan aku masih belum yakin bahwa aku perlu mengirimkannya ke Korea.
"Apa kabar"" kataku pada Mr. Thornton, yang ada di belakang counter, mengatur kaca mata dan bersiap untuk bekerja.
"Kau anak laki-laki Chandler"" tanyanya, hampir tanpa mengangkat muka.
"Ya, Sir." "Ada sesuatu untukmu." ia menghilang sejenak, lalu menyerahkan dua pucuk surat padaku. Satu dan Ricky.
"Itu saja"" ia berkata.
"Ya, Sir. Terima kasih."
"Bagaimana kabarnya""
"Dia baik-baik saja, saya kira."
Aku berlari meninggalkan kantor pos, kembali ke truk kami, sambil memegangi surat itu erat-erat. Satu lainnya berasal dari pabrik John Deere di Jonesboro. Aku mengamati surat dari Ricky. Surat itu ditujukan pada kami semua: Eli Chandler dan Keluarga, Route 4, Black Oak, Arkansas. Di sudut kiri atas tercantum alamat untuk surat balasannya, himpunan huruf dan angka yang membingungkan, dengan San Diego. California, pada baris terakhir.
Ricky selamat dan menulis surat; tak ada hal lain yang lebih penting dari itu. Ayahku berjalan ke arahku. Aku berian menyongsongnya dengan surat itu, dan kami duduk di ambang pintu toko, membaca setiap patah kata. Ricky sekali lagi menulis dalam keadaan tergesa-gesa, dan suratnya cuma satu halaman. Ia menulis pada kami bahwa unitnya tidak banyak melihat kegiatan, dan meskipun ia kedengaran kesal dengan ini, berita ini bagaikan musik di telinga kami. Ia juga menceritakan bahwa di mana-mana beredar desas-desus akan ada gencatan sejata, dan bahkan kemungkinan ia akan berada di rumah saat Natal.
Alinea terakhirnya sedih dan menakutkan Salah satu rekannya, seorang pemuda dari Texas, tewas terbunuh ranjau darat. Umur mereka sama, dan mereka menjalani latihan di kamp yang sama. Saat Ricky pulang nanti, ia merencanakan untuk pergi ke Forth Worth, menengok ibu sahabatnya itu.
Ayahku melipat surat itu dan menyisipkannya ke dalam overall-nya. Kami naik truk dan meninggalkan kota. Pulang hari Natal nanti. Tak ada hadiah yang lebih indah dari itu.
Kami parkir di bawah pohon ek itu. dan ayahku pergi ke belakang truk untuk menurunkan cat. Ia berhenti, menghitung, lalu memandangku.
"Bagaimana kita bisa punya enam galon""
"Aku beli dua," kataku. "Dan aku sudah bayar pajaknya."
Ia kelihatan tidak tahu harus berkata apa. "Kau memakai uang upahmu memetik kapas"" akhirnya ia bertanya.
"Ya, Sir." "Kau tidak seharusnya melakukan itu." "Aku ingin membantu."
Ia menggaruk kening dan menimbang-nimbang persoalan itu satu-dua menit, lalu berkata, "Kukira itu cukup adil."
Ia mengangkut cat itu ke teras belakang, kemudian memutuskan untuk pergi ke lahan dua puluh ekar yang tersisa, untuk memeriksa Pappy dan para pekerja Meksiko itu. Kalau kapas bisa dipetik, ia akan tinggal di sana. Aku diberi izin untuk mulai mengecat sisi barat rumah. Aku ingin bekerja seorang diri. Aku ingin kelihatan bekerja berat dan kecapekan setengah mati oleh besarnya pekerjaan di depanku, sehingga ketika orang-orang Meksiko itu kembali, mereka akan merasa kasihan padaku.
Mereka tiba tengah hari, penuh lumpur dan letih, tanpa banyak hasil dari kerja mereka sepagian. "Kapasnya terlalu basah," kudengar Pappy berkata pada Gran. Kami makan okra goreng dan biskuit, lalu aku kembali meneruskan pekerjaan.
Aku terus melihat ke gudang, tapi sampai lama aku bekerja keras tidak terlihat datangnya bala bantuan. Apa yang mereka kerjakan di belakang sana" Makan siang sudah selesai, tortilla itu sudah lama disingkirkan. Tentu saja siesta mereka pun sudah selesai. Mereka tahu bahwa rumah ini baru setengah dicat. Mengapa mereka tidak datang membantu"
Langit di barat berubah gelap, tapi aku tidak. memperhatikannya sampai Pappy dan Gran melangkah ke teras belakang. "Akan turun hujan, Luke," Pappy berkata. "Lebih baik berhenti mengecat."
Aku membersihkan kuas dan menempatkan cat di bawah bangku panjang di teras belakang, seakan-akan b
adai mungkin akan merusakkannya. Aku duduk di atasnya, dengan Pappy di satu sisi dan Gran di sisi lain, dan sekali lagi kami mendengarkan gemuruh rendah di barat daya. Kami menunggu hujan turun lagi.
Tiga Puluh Tiga RITUAL baru kami diulangi lagi keesokan harinya, sesudah sarapan pagi yang terlambat. Kami berjalan melintasi rumput yang basah oleh air hujan di antara rumah kami dan gudang, dan kami berdiri di tepi ladang kapas, melihat air-bukan air hujan yang terkumpul semalam, tapi air banjir yang pekat dari sungai. Air itu menggenang sedalam tiga inci, dan tampaknya siap meluap dari ladang dan mulai melaju ke arah gudang, gudang perkakas, kandang ayam dan. akhirnya, rumah kami.
Batang-batang kapas itu doyong ke timur, miring permanen diterpa angin yang tadi malam mengepung pertanian kami. Kuntum-kuntum kapas merunduk oleh beratnya air.
"Apa rumah kita akan kebanjiran, Pappy"" aku bertanya.
ia menggelengkan kepala dan merangkul pundakku. "Tidak, Luke, banjir ini tidak pernah sampai ke rumah. Pernah satu-dua kali mendekat hampir mencapainya, tapi rumah itu terletak tiga kaki di atas tempat kita berdiri sekarang. Jangan khawatir soal rumah kita."
"Pernah satu kali banjirnya mencapai gudang," ayahku berkata. "Satu tahun sesudah Luke dilahirkan, benar kan""
"Tahun empat puluh enam," kata Gran. Ia tak pernah melupakan tanggal. "Tapi waktu itu bulan Mei," ia menambahkan. "Dua minggu sesudah kita menanam."
Pagi itu sejuk dan berangin, dengan awan tipis tergantung tinggi, dan sedikit peluang untuk turun hujan. Hari yang sempurna untuk mengecat, tentu saja dengan asumsi bahwa aku bisa mendapatkan bantuan. Orang-orang Meksiko itu datang mendekat, tapi tidak cukup dekat untuk berbicara.
Tak berapa lama lagi mereka akan pergi, mungkin beberapa jam lagi. Kami akan mengangkut mereka ke Co-op dan menunggu mereka dijemput oleh petani lain yang memiliki lahan lebih kering. Aku mendengar orang-orang dewasa itu merundingkan soal ini saat minum kopi sebelum matahari terbit, dan aku nyaris panik. Sembilan orang Meksiko dapat mengecat sisi barat rumah kami dalam waktu kurang dari sehari. Aku akan butuh waktu satu bulan. Tidak ada waktu lagi untuk takut-takut.
Sewaktu kami kembali, aku menghampiri orang-orang Meksiko itu. "Buenos dias," kataku pada rombongan tersebut. "Como esta""
Sembilan orang itu menjawab dengan lesu. Mereka akan kembali ke gudang, sesudah satu hari lagi terlewat sia-sia. Aku berjalan bersama mereka sampai aku cukup jauh, sehingga orangtuaku tidak dapat mendengar. "Kalian semua mau mengecat lagi"" aku bertanya, Miguel menerjemahkan, dan seluruh kelompok itu sepertinya tersenyum.
Sepuluh menit kemudian, tiga dari enam ember cat itu dibuka dan orang-orang Meksiko itu bergelantungan di sisi barat rumah kami. Mereka memperebutkan tiga kuas itu. Satu kelompok lain memasang perancah. Aku menunjuk ke sana dan ke sini, memberikan instruksi yang sepertinya tak didengar oleh siapa pun. Miguel dan Roberto memberondongkan perintah-perintah dan pendapat mereka sendiri dalam bahasa Spanyol. Dua bahasa itu sama-sama tak dihiraukan.
Ibuku dan Gran mengintip kami dari balik jendela dapur sewaktu mereka mencuci piring bekas sarapan Pappy pergi ke gudang perkakas untuk mengotak-atik traktor. Ayahku pergi, berjalan-jalan, mungkin meneliti kerusakan panen itu dan berpikir apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Ada suasana mendesak dalam pengecatan tersebut. Para pekerja Meksiko itu bergurau dan tertawa-tawa dan saling mengolok-olok, tapi mereka bekerja dua kali lebih cepat dibanding dua hari sebelumnya. Tak sedetik pun disia-siakan. Kuas-kuas itu berganti tangan tiap sekitar setengah jam. Tenaga cadangan dipelihara agar tetap segar. Menjelang siang, mereka sudah setengah jalan ke teras depan. Rumah ini memang tidak besar.
Aku senang bisa mengundurkan diri dan menyingkir dari kesibukan. Orang-orang Meksiko itu bekerja begitu cepat, sehingga rasanya sangat tidak efisien bagiku untuk mengambil kuas dan memperlambat momentum. Selain itu, tenaga kerja cuma-cuma ini hanya sementara. Tak lama lagi aku akan ditingga
lkan seorang diri untuk menyelesaikan pekerjaan ini.
Ibuku membawakan es teh dan makanan kecil, tapi pengecatan itu tidak berhenti. Mereka yang duduk di bawah naungan pohon bersamaku makan lebih dulu, lalu tiga di antara mereka menggantikan para pengecat.
"Apa kau punya cukup cat"" ibuku berbisik padaku.
"Tidak, Ma'am." Ia kembali ke dapur.
Sebelum makan siang, selesailah pengecatan sisi barat, lapisan tebal yang mengilat diterpa sinar matahari yang sekali-sekali muncul. Masih ada satu galon tersisa. Aku membawa Miguel ke sisi timur, tempat Trot memulai pekerjaan tersebut satu bulan sebelumnya, dan menunjuk bagian tak tercat yang tidak bisa kuraih. Ia menyerukan perintah, dan kelompok itu pindah ke sisi lain rumah itu.
Mereka mempergunakan cara baru. Bukannya memakai perancah sementara, Pepe dan Luis - dua di antara mereka yang bertubuh kecil- berdiri di atas pundak Pablo dan Roberto, dua yang berperawakan paling kekar, dan mulai mengecat tepat di bawah atap. Ini tentu saja mengundang komentar dan olok-olok tak ada hentinya dari yang lain.
Ketika cat habis, tibalah waktunya untuk makan. Aku menyalami mereka semua dan bertubi-tubi mengucapkan terima kasih. Mereka tertawa dan berceloteh sepanjang perjalanan kembali ke gudang. Saat itu sudah tengah hari, matahari muncul, dan suhu naik. Sambil mengawasi mereka berjalan pergi, aku memandang ladang di samping gudang. Air banjir itu dapat terlihat. Rasanya aneh bahwa banjir itu bisa terus maju saat matahari tengah bersinar.
Aku berbalik dan memeriksa pekerjaan itu. Bagian belakang dan kedua sisi rumah kami kelihatan hampir seperti baru. Cuma bagian depan masih belum dicat, dan karena kini aku sudah menjadi seorang veteran kawakan, aku tahu bahwa aku bisa menyelesaikan pekerjaan itu tanpa bantuan orang-orang Meksiko.
Ibuku melangkah keluar dan berkata. "Makan siang, Luke." Aku bersangsi sedetik, masih mengagumi prestasi tersebut, maka ia pun berjalan ke tempatku berdiri, dan bersama-sama kami memandangi rumah itu. "Kerjamu baik sekali, Luke," katanya.
"Terima kasih."
"Berapa banyak cat yang tersisa""
"Tidak ada lagi. Sudah habis semua."
"Berapa banyak yang kauperlukan untuk mengecat bagian depan""
Bagian depan tidaklah sepanjang sisi timur atau barat, tapi di sana ada tantangan tambahan, yaitu teras depan, seperti halnya bagian belakang. "Kukira empat atau lima galon," aku berkata, seolah-olah sudah bertahun-tahun aku bekerja mengecat rumah.
"Aku tidak ingin kau membelanjakan uangmu untuk membeli cat," kata ibuku.
"Itu uangku. Kalian bilang aku boleh memakainya untuk apa saja yang kuinginkan."
"Benar, tapi kau tak seharusnya membelanjakannya untuk sesuatu seperti ini."
"Aku tidak keberatan. Aku mau membantu."
"Bagaimana dengan jaketmu""
Selama ini aku sampai kurang tidur mengkhawatirkan jaket Cardinals-ku. tapi itu rasanya tak lagi penting. Ditambah lagi, aku sudah memikirkan cara lain untuk mendapatkannya. "Mungkin Sinterklas akan membawakannya untukku."
Ibuku tersenyum dan berkata, "Mungkin saja. Ayo kita makan siang."
Segera sesudah Pappy memanjatkan puji syukur pada Tuhan atas makanan itu, tanpa mengucapkan apa pun tentang cuaca atau hasil panen, ayahku dengan muram mengumumkan bahwa luapan air sungai itu sudah mulai merambat ke jalan ladang utama, ke dua puluh ekar yang lebih tinggi letaknya. Perkembangan ini dicerna tanpa banyak komentar. Kami sudah kebal mendengar kabar buruk.
Orang-orang Meksiko itu berkumpul di sekitar truk dan menunggu Pappy. Mereka masing-masing membawa sebuah karung kecil berisi harta benda mereka, barang-barang yang mereka bawa datang enam ming-gu sebelumnya. Aku menjabat tangan mereka satu per satu dan mengucapkan selamat tinggal. Seperti biasanya, aku ingin sekali ikut pergi ke kota, meskipun kali ini perjalanan singkat tersebut bukanlah sesuatu yang menyenangkan.
"Luke, pergilah membantu ibumu di kebun," ayahku berkata ketika orang-orang Meksiko itu sudah naik Pappy menghidupkan mesin.
"Kukira aku akan ikut ke kota," kataku.
"Jangan sampai aku mengulangi omonganku," katanya tegas.
Aku menyaksikan mereka berlalu,
sembilan orang Meksiko itu semuanya melambaikan tangan dengan sedih, sambil melihat ke rumah dan pertanian kami untuk terakhir kali Menurut ayahku, mereka akan pergi ke pertanian besar di sebelah utara Blytheville, dua jam dari sini, untuk bekerja selama tiga atau empat minggu lagi bila cuaca memungkinkan, dan kemudian kembali ke Meksiko. Ibuku sudah menanyakan bagaimana mereka akan dipulangkan, dengan truk ternak atau dengan bus, tapi ia tidak terlalu mendesak soal ini. Kami tidak punya kuasa apa pun mengenai soal itu, dan hal tersebut sepertinya tidak terlalu penting dibandingkan banjir yang merayapi ladang kami.
Namun makanan juga penting: makanan untuk musim dingin yang panjang, makanan sesudah gagal panen, segala apa yang kami makan bakal berasal dari kebun itu. Tak ada yang luar biasa mengenai ini, kecuali kenyataan bahwa tak sepeser pun uang tersisa untuk membeli apa-apa, kecuali tepung, gula, dan kopi. Panen yang baik berarti ada sedikit simpanan uang di bawah kasur, beberapa lembar uang kertas digulung dan ditabung, dan kadang-kadang dipakai untuk membeli kemewahan seperti Coca-Cola, es krim, biskuit asin, dan roti putih. Panen yang buruk berarti bahwa kalau kami tidak menanam, maka kami tidak makan.
Di musim gugur kami mengumpulkan sawi, lobak, dan kacang polong, sayur-sayuran yang dipanen belakangan; ditanam di bulan Mei dan Juni. Masih ada beberapa tomat tersisa, tapi tidak banyak. Kebun itu berubah bersama tiap musim, kecuali musim dingin, ketika akhirnya ia harus beristirahat, menyegarkan diri kembali untuk bulan-bulan mendatang.
Gran ada di dapur, merebus kacang polong ungu dan membotolkannya secepat mungkin. Ibuku ada di dapur, menungguku.
"Aku ingin pergi ke kota." kataku.
"Maaf, Luke. Kita harus bergegas. Kalau hujan turun lebih banyak lagi, sayur-mayur ini akan membusuk. Dan bagaimana kalau air itu sampai ke kebun""
"Apa mereka akan membeli cat"" "Entahlah."
"Aku ingin pergi membeli cat lagi."
"Mungkin besok. Sekarang kita harus mencabut lobak-lobak ini dari tanah." Ibuku mengangkat roknya hingga ke lutut.
Ia bertelanjang kaki, dengan lumpur sampai ke mata kaki. Aku tak pernah melihat ibuku sedemikian kotor. Aku berjongkok dan menyerbu lobak-lobak itu. Dalam beberapa menit aku sudah berlepotan lumpur dari kepala hingga ke kaki.
Aku mencabut dan memetik sayur-mayur selama dua jam, lalu membersihkannya di bak cuci di teras belakang. Gran membawanya ke dapur, untuk dimasak dan dikemas dalam botol.
Pertanian itu hening- tidak ada guntur atau angin, tak ada keluarga Spruill di halaman depan atau orang-orang Meksiko di gudang. Kami tinggal sendiri lagi, hanya kami... keluarga Chandler, ditinggalkan untuk bertarung menghadapi cuaca dan berusaha untuk tidak kebanjiran. Aku terus berkata pada diri sendiri bahwa hidup pasti lebih baik bila Ricky pulang, sebab aku jadi punya seseorang untuk diajak bermain dan berbicara.
Ibuku mengangkut sekeranjang sayur-mayur lagi ke teras. Ia letih dan berkeringat, dan ia mulai membersihkan diri dengan lap dan seember air. Ia tidak tahan berkotor-kotor, suatu sifat yang ingin diturunkannya padaku.
"Ayo kita ke gudang," katanya. Sudah enam minggu aku tak pernah pergi ke loteng gudang, sejak orang-orang Meksiko itu tiba.
"Baik." kataku, dan kami beranjak ke sana.
Kami berbicara dengan Isabel, sapi perah kami, lalu menaiki tangga ke loteng penyimpanan jerami. Ibuku sudah bekerja keras menyiapkan tempat yang bersih untuk orang-orang Meksiko itu. Sepanjang musim dingin ia mengumpulkan selimut-selimut dan bantal-bantal tua untuk tidur mereka. Ia mengambil kipas angin yang selama bertahun-tahun dipakai di teras depan, dan menempatkannya di loteng gudang itu. Ia memaksa ayahku untuk memasang kabel sambungan listrik dari rumah ke gudang.
"Mereka manusia, tak peduli apa pendapat orang-orang di sini," demikian aku pernah mendengarnya berkata lebih dari sekali.
Loteng itu bersih dan rapi, seperti pada hari mereka tiba. Bantal-bantal dan selimut-selimut ditumpuk di dekat kipas angin. Lantainya sudah disapu. Tak terlihat ada sedikit pun sampah atau buangan. Ia ba
ngga dengan orang-orang Meksiko ini. Ia memperlakukan mereka dengan hormat, dan mereka telah membalas perlakuan itu.
Kami mendorong pintu loteng, pintu tempat Luis melongokkan kepala ketika Hank melempari orang-orang Meksiko itu dengan batu dan gumpalan tanah, dan kami duduk di ambangnya dengan kaki tergantung-gantung ke bawah. Tiga puluh kaki di atas, kami mendapatkan sudut pandang terbaik untuk melihat tempat mana pun di pertanian kami. Jajaran pohon jauh di barat itu adalah tepian Sungai St. Francis, dan tepat di depan, di seberang ladang belakang kami. adalah luapan air dari Sungai Siler.
Di beberapa tempat, permukaan air nyaris mencapai pucuk batang-batang kapas. Dari tempat ini kami bisa lebih jelas menyaksikan banjir yang terus merayap maju. Kami bisa melihatnya di antara lajur-lajur kapas yang lurus ke arah gudang, dan kami bisa menyaksikannya menggenangi jalan utama ladang itu, merembes ke dua puluh ekar yang lebih rendah.
Apabila air Sungai St. Francis meluap hingga meninggalkan tepiannya, rumah kami akan berada dalam bahaya.
"Kurasa kita sudah selesai memetik," kataku. "Kelihatannya begitu," sahut ibuku, hanya sedikit sedih.
"Mengapa lahan kita kebanjiran begini cepat""
"Sebab letaknya rendah dan dekat ke sungai. Ini bukan tanah yang baik, Luke, dan takkan pernah jadi baik. Itulah salah satu alasan mengapa kita akan meninggalkan tempat ini. Tidak ada masa depan di sini."
"Kita akan pergi ke mana""
"Utara. Di sanalah pekerjaan banyak tersedia."
"Berapa lama..."
"Tidak lama. Kita akan tinggal sampai kita bisa mengumpulkan uang. Ayahmu akan bekerja di pabrik Buick bersama Jimmy Dale. Mereka membayar tiga dolar per jam. Kita akan bertahan, bekerja keras, dan kau akan bersekolah di sana, di sekolah yang baik."
"Aku tidak ingin masuk ke sekolah baru."
"Pasti menyenangkan, Luke. Di Utara sana mereka punya sekolah-sekolah yang besar dan bagus."
Itu kedengarannya tidak terlalu menyenangkan. Teman-temanku ada di Black Oak. Selain Jimmy Dale dan Stacy, aku tidak kenal satu orang pun di Utara. Ibuku meletakkan tangan pada lututku dan membelainya, seolah-olah ini akan membuatku merasa lebih baik.
"Perubahan memang selalu sulit. Luke, tapi bisa juga menggairahkan. Anggaplah ini sebagai suatu petualangan. Kau mau main bisbol untuk The Cardinals, bukan""
"Ya, Ma'am." "Nah, kau harus meninggalkan rumah dan pergi ke Utara, tinggal di rumah baru, bersahabat dengan teman-teman baru, pergi ke gereja baru. Bukankah itu menyenangkan""
"Kukira begitu."
Kaki kami yang telanjang terkatung-katung, berayun-ayun pelan. Matahari bersembunyi di balik awan, dan angin lembut menerpa wajah kami. Pepohonan di tepi ladang kami sedang berubah warna menjadi kuning dan kemerahan, daun-daunnya berguguran.
"Kita tidak bisa tinggal di sini, Luke," ibuku berkata lembut, seolah-olah pikirannya sudah berada di Utara sana.
"Bila kita kembali nanti, apa yang akan kita lakukan""
"Kita tidak akan bertani. Kita akan mencari pekerjaan di Memphis atau Little Rock, dan kita akan beli rumah dengan televisi dan telepon. Kita akan punya mobil bagus di garasi, dan kau bisa main bisbol di sebuah tim dengan seragam sungguhan. Bagaimana pendapatmu""
"Kedengarannya bagus."
"Kita akan selalu kembali dan mengunjungi Pappy dan Gran dan Ricky. Tapi kita akan punya kehidupan baru, Luke, kehidupan yang jauh lebih baik daripada ini." Ia mengangguk ke arah ladang, ke arah tanaman kapas yang rusak tenggelam di luar sana.
Aku membayangkan sepupu-sepupuku di Memphis, anak dari saudara-saudara perempuan ayahku. Mereka jarang datang ke Black Oak, kecuali untuk menghadiri pemakaman atau mungkin untuk merayakan Thanksgiving, dan ini tidak jadi soal bagiku, sebab mereka anak-anak kota, dengan pakaian lebih bagus dan lidah lebih tangkas. Aku tidak begitu menyukai mereka, tapi aku pun merasa iri. Mereka tidak kasar atau sombong, mereka cuma begitu berbeda, sehingga membuatku merasa tak enak. Saat itu juga kuputuskan bahwa kalau nanti aku tinggal di Memphis atau Little Rock, dalam keadaan apa pun aku tidak akan bertingkah seakan-akan aku lebih hebat daripada oran
g lain. "Aku punya satu rahasia. Luke," ibuku berkata.
Jangan lagi. Benakku yang resah tak mampu menampung satu rahasia lain. "Apa itu""
"Aku akan punya bayi," ia berkata dan tersenyum padaku.
Mau tak mau aku tersenyum juga. Aku senang jadi anak tunggal, tapi sesungguhnya aku ingin seseorang untuk kuajak bermain. "Benarkah""
"Ya. Musim panas tahun depan." "Bayi laki-laki""
"Akan kuusahakan, tapi tidak bisa janji." "Kalau Mom akan punya bayi, aku ingin adik laki-laki."
"Apa kau senang""
"Ya, Ma'am. Apa Daddy tahu soal ini"" "Oh ya, dia ikut terlibat." "Dia gembira juga"" "Sangat."
"Baguslah." Butuh waktu beberapa lama untuk mencerna ini, tapi aku langsung tahu bahwa ini sesuatu yang baik. Semua temanku punya adik dan kakak.
Suatu gagasan terlintas dalam benakku, sesuatu yang tak dapat kutepiskan. Karena kami sedang bicara soal bayi, perasaanku bergolak untuk menumpahkan salah satu rahasiaku. Rasanya itu bukan rahasia yang berbahaya sekarang, dan lagi pula sudah lama. Begitu banyak yang telah terjadi sejak aku dan Tally menyelinap ke rumah keluarga Latcher, sehingga cerita itu kini terasa lucu.
"Aku tahu bagaimana bayi dilahirkan," kataku, sedikit defensif.
"Oh, benarkah""
"Ya, Ma'am." "Bagaimana""
"Bisakah Mom menyimpan rahasia juga"" "Tentu saja bisa."
Aku memulai kisah itu, menimpakan sebagian besar kesalahan pada Tally untuk segala sesuatu yang mungkin membuatku terjerumus dalam kesulitan. Ia yang merencanakannya. Ia yang memintaku ikut. Ia menantangku. Ia melakukan ini dan itu. Begitu ibuku menyadari ke mana arah cerita itu, matanya mulai menari-nari, dan sesekali ia berkata. ""Luke, yang benar!"
Aku mendapatkan perhatiannya. Aku menambahinya di sana-sini, untuk membantu laju cerita dan untuk membangun ketegangan, tapi kebanyakan aku berpegang pada fakta. Ia terpesona.
"Kau melihatku di jendela"" ia bertanya dengan perasaan tak percaya.
"Ya, Ma'am Gran juga, dan Mrs. Latcher."
"Apa kau melihat Libby""
"Tidak, Ma'am tapi kami mendengarnya. Apa selalu sangat menyakitkan seperti itu""
"Well, tidak selalu. Teruskanlah."
Aku menceritakan semuanya. Sewaktu aku sampai di bagian ketika aku dan Tally bergegas kembali ke pertanian kami, dikejar lampu mobil di belakang, ibuku memegang sikuku dengan keras, hingga aku serasa remuk. "Kami sama sekali tidak tahu!" katanya
"Tentu saja tidak. Aku tiba di rumah hanya sedikit lebih dulu dari kalian. Pappy masih mendengkur, dan aku takut kalian akan datang memeriksaku, melihatku mandi keringat dan berlumuran tanah "
"Kami terlalu letih."
"Untungnya begitu. Aku tidur sekitar dua jam, lalu Pappy membangunkanku untuk pergi ke ladang Seumur hidup belum pernah aku mengantuk seperti itu."
"Luke, aku sungguh tak bisa percaya kau melakukan itu." Ia ingin memarahi, tapi ia terlalu terkesan oleh cerita itu.
"Itu sungguh mendebarkan."
"Kau seharusnya tidak melakukannya."
"Tally memaksaku."
"Jangan menyalahkan Tally."
"Aku takkan pernah melakukannya tanpa dia."
"Tak bisa kupercaya kalian berdua melakukannya," ibuku berkata, tapi aku bisa melihat ia terkesan oleh cerita itu. Ia tersenyum lebar dan menggeleng-gelengkan kepala dengan tercengang. "Berapa kali kalian berkeliaran di waktu malam""
"Kurasa cuma sekali itu."
"Kau suka Tally, bukan""
"Ya, Ma'am. Dia sahabatku."
"Kuharap dia bahagia."
"Aku juga berharap begitu."
Aku merindukannya, tapi aku benci mengakui hal itu pada diriku sendiri. "Mom. apa kita akan bertemu lagi dengan Tally di Utara sana""
Ibuku tersenyum dan berkata, "Tidak, kukira tidak. Kota-kota besar di sana - St. Louis. Chicago, Cleveland, Cincinnati - dihuni jutaan 'orang. Kita takkan pernah bertemu dengannya."
Pikiranku melayang pada The Cardinals, The Cubs, dan The Reds. Aku membayangkan Stan Musial berlari dari base ke base di hadapan tiga puluh ribu penggemarnya di stadion Sportsman's Park. Karena tim-tim tersebut ada di Utara, maka aku toh akan pergi ke sana. Tidak ada salahnya berangkat beberapa tahun lebih awal.
"Rasanya aku mau pergi," kataku. "Pasti menyenangkan, Luke," kata ibuku sekali lagi.
Ketika Pappy dan ayahku kembali dari k
ota, mereka kelihatan seperti habis didera. Kurasa itulah yang terjadi. Hasil kerja keras mereka musnah, kapas mereka basah kuyup. Seandainya matahari bersinar dan banjir itu surut, mereka tidak akan punya cukup tenaga kerja untuk membantu di ladang. Dan mereka tidak yakin apakah kapas itu akan mengering. Kali ini matahari tak terlihat, dan air masih tetap naik.
Sesudah Pappy masuk ke rumah, ayahku menurunkan dua galon cat dan meletakkannya di teras depan. Ia melakukan semua ini tanpa mengucapkan sepatah kata pun, meski aku mengawasi setiap gerakannya. Ketika ia selesai, kami pergi ke gudang.
Dua galon tidak akan cukup untuk mengecat bagian depan rumah. Aku merasa kesal, tapi lalu kusadari mengapa ayahku tidak membeli lebih dari itu. Ia tak punya uang. ia dan Pappy baru saja membayar orang-orang Meksiko itu, dan tidak ada lagi yang tersisa.
Aku tiba-tiba merasa menyesal telah meneruskan pengecatan itu sesudah Trot pergi. Aku terus mendorong agar proyek itu berlanjut, dan dengan demikian aku telah memaksa ayahku untuk membelanjakan sedikit uang yang dimilikinya.
Aku menatap dua ember yang berdiri berdampingan, dan air mataku merebak. Tak pernah kusadari betapa miskinnya kami.
Enam bulan penuh ayahku membanting tulang mencurahkan keringat menggarap tanah itu, dan kini ia tidak punya apa pun untuk diperlihatkan sebagai hasilnya. Ketika hujan turun, aku, karena alasan tertentu, telah memutuskan bahwa rumah ini harus dicat.
Niatku baik, pikirku. Jadi, kenapa aku merasa begitu gundah"
Aku mengambil kuas, membuka satu kaleng, dan memulai tahap terakhir pekerjaan itu. Perlahan-lahan kusapukan kuas dengan tangan kanan, sementara tangan kiriku menyeka air mata.
Tiga Puluh Empat TURUNNYA embun beku pertama akan membunuh segala yang tersisa di kebun kami. Embun beku ini biasanya turun pada pertengahan bulan Oktober, meskipun almanak yang dibaca ayahku sekhusyuk membaca Injil sudah dua kali meleset meramalkan tanggalnya. Tak goyah oleh itu. ia terus memeriksa almanak setiap pagi, bersama cangkir kopi pertamanya. Itu memberikan peluang tak terhingga untuk berkhawatir.
Karena kami tidak dapat memetik kapas, maka kebun itu mendapatkan perhatian kami. Kami berlima pergi ke sana, segera sesudah sarapan. Ibuku yakin embun beku akan turun malam itu juga dan. kalau tidak, maka sudah pasti akan turun malam berikutnya. Begitu seterusnya.
Selama satu jam yang menjemukan aku mencabuti kacang polong dari sulurnya. Pappy, yang membenci pekerjaan di kebun, ada di dekatku, memetik kacang kuning dengan kecepatan yang layak dipuji. Gran membantu ibuku memetik tomat terakhir yang tersisa. Ayahku mengangkut keranjang ke sana kemari, di bawah petunjuk ibuku. Ketika ia berjalan melewatiku, aku berkata. "Aku ingin sekali mengecat." "Tanya ibumu," sahutnya.
Aku bertanya, dan ibuku berkata aku boleh mengecat sesudah memetik kacang polong satu keranjang lagi. Kebun itu dipanen tak seperti biasanya. Menjelang siang takkan ada lagi kacang yang tersisa di mana pun.
Tak lama kemudian, aku kembali dalam kesendirian, mengecat rumah. Dengan perkecualian menjadi operator mesin perata jalan, ini merupakan pekerjaan yang kusukai melebihi lainnya. Bedanya adalah aku tidak bisa benar-benar mengoperasikan perata jalan, dan masih bertahun-tahun lagi sebelum aku bisa melakukannya. Tapi aku jelas bisa mengecat. Sesudah mengamati orang-orang Meksiko itu, aku belajar lebih banyak lagi dan meningkatkan teknikku Aku melaburkan cat setipis mungkin, mencoba sebaik-baiknya untuk menghemat dua galon itu.
Menjelang siang, satu ember sudah kosong. Ibuku dan Gran kini berada di dapur, mencuci dan mem-botolkan sayuran
Aku tidak mendengar laki-laki itu berjalan di bela kangku. Tapi ketika ia batuk untuk mendapatkan perhatianku, aku terenyak berbalik dan menjatuhkan kuasku.
Ternyata orang itu Mr. Latcher, basah dan berlumur lumpur dari pinggang kc bawah. Ia bertelanjang kaki, dan kemejanya robek. Ia rupanya berjalan kaki dari tempat tinggalnya ke rumah kami.
"Mana Mr. Chandler"" tanyanya.
Aku tidak tahu pasti Mr. Chandler mana yang ia inginkan. Aku memu
ngut kuas dan berlari ke sisi timur rumah. Aku berseru memanggil ayahku, yang melongokkan kepala di antara sulur-sulur tanaman Ketika melihat Mr. Latcher di sebelahku, ia cepat-cepat berdiri. Sepintas melihat Mr. Latcher, tahulah kami ada yang tidak beres.
"Airnya masuk ke dalam rumah," ia berkata, tak mampu menatap mata ayahku. "Kami harus menyingkir"
Ayahku memandangku, lalu pada para wanita di teras. Roda pikiran mereka sudah berputar.
"Bisakah kalian menolong kami"" tanya Mr. Latcher. "Kami tak punya tempat lain untuk berteduh "
ia seperti hendak menangis; aku juga.
"Tentu saja kami akan membantu." Gran berkata, langsung mengambil kendali atas situasi itu. Mulai detik itu, ayahku akan berbuat seperti yang diperintahkan ibunya. Demikian pula kami semua.
Gran menyuruhku pergi memanggil Pappy. Pappy sedang berada di gudang perkakas, mencoba menyibukkan diri mengotak-atik aki traktor lama. Semua berkumpul di sebelah truk untuk menyusun rencana.
"Bisakah naik kendaraan ke rumah Anda"" tanya Pappy.
"Tidak, Sir," sahut Mr. Latcher. "Di jalan kami airnya sampai setinggi pinggang. Sekarang sudah sampai ke teras depan, di dalam rumah menggenang sampai setinggi enam inci."
Aku tak sanggup membayangkan bocah-bocah Latcher itu berkumpul di dalam rumah dengan air banjir setinggi setengah kaki.
"Bagaimana keadaan Libby dan bayinya"" Gran bertanya, tak mampu mengendalikan perasaan.
"Libby baik-baik saja. Bayinya sakit."
"Kita perlu perahu," ayahku berkata. "Jeter punya perahu di Cockleburr Slough."
"Dia tentu tidak keberatan kalau kita meminjamnya," kata Pappy.
Selama beberapa menit, para pria itu merundingkan reneana penyelamatan-bagaimana mengambil perahu itu. berapa jauh jalan yang bisa ditempuh truk, berapa kali perjalanan yang diperlukan. Yang sama sekali tidak disinggung adalah di mana keluarga Latcher akan tinggal begitu mereka diselamatkan dari rumah mereka.
Sekali lagi Gran mengambil kendali pimpinan. "Kalian bisa tinggal di sini," katanya pada Mr. Latcher. "Gudang jerami kami bersih-orang-orang Meksiko itu baru saja pergi. Kalian akan punya tempat tidur yang hangat dan banyak makanan."
Aku memandangnya. Pappy memandangnya. Ayahku melirik, lalu memandangi kaki sendiri. Serombongan keluarga Latcher yang kelaparan akan tinggal di gudang kami! Seorang bayi yang sedang sakit akan menangis sepanjang malam. Makanan kami akan dibagikan. Aku merasa ngeri membayangkan semua itu, dan aku gusar pada Gran karena memberikan tawaran seperti itu tanpa lebih dulu membicarakannya dengan kami semua.
Lalu aku melihat Mr. Latcher. Bibirnya gemetar, matanya berkaca-kaca. Dengan dua tangan ia memegangi topi jeraminya di pinggang, dan ia tampak begitu malu, sehingga hanya bisa memandangi tanah. Belum pernah aku menyaksikan sosok yang lebih miskin, lebih kotor, atau lebih remuk hatinya daripada dia.
Kupandang ibuku. Ia pun berkaca-kaca. Aku melirik ayahku. Belum pernah aku melihatnya menangis, dan saat ini pun ia tidak akan menangis, tapi jelas perasaannya amat tersentuh oleh penderitaan Mr. Latcher. Hatiku yang keras luluh dalam sekejap.
"Ayo kita mulai bekerja." Gran berkata dengan penuh wibawa. "Kami akan menyiapkan gudang."
Kami mulai bergerak, para laki-laki naik ke truk, para wanita pergi ke gudang. Sesaat sebelum berjalan pergi, Gran menarik Pappy dan berbisik, "Kau bawa dulu Libby dan bayi itu." Itu suatu perintah, dan Pappy mengangguk.
Aku melompat ke bak truk bersama Mr. Latcher yang berjongkok di kakinya yang kurus dan tidak mengucapkan apa pun padaku. Kami berhenti di jembatan. Di situ ayahku turun dan mulai menyusuri tepi sungai. Tugasnya adalah menemukan perahu Mr. Jeter di Cockleburr Slough, lalu mengapungkannya ke hilir, ke tempat kami menunggu di jembatan. Kami menyeberang, berbelok ke jalan menuju rumah keluarga Latcher, dan belum sampai seratus kaki jauhnya, kami sampai ke sebuah rawa. Di hadapan kami tak ada apa pun selain air.
"Akan kuberitahu mereka bahwa kalian datang," Mr. Latcher berkata, lalu ia berjalan mengarungi lumpur dan air. Tak lama kemudian, permukaan air sudah mencapai lututnya. "Hati-hati d
engan ular!" ia berseru sambil menoleh. "Mereka ada di mana-mana." Ia berjalan mengarungi danau air, dengan ladang-ladang yang kebanjiran di kedua sisinya.
Kami mengawasinya hingga ia menghilang, lalu kami kembali ke sungai dan menunggu ayahku.
Kami duduk di sebuah balok di dekat jembatan, air mengalir deras di bawah kami. Karena tidak ada bahan pembicaraan, kuputuskan sekaranglah saatnya untuk menuturkan cerita itu pada Pappy. Pertama, aku minta ia berjanji menjaga rahasia.
Aku mulai bercerita dari awal, tentang suara-suara di halaman depan kami di waktu malam. Keluarga Spruill sedang bertengkar, Hank akan pergi. Aku menguntit dalam kegelapan, dan sebelum tahu apa yang tengah terjadi, bukan Hank saja yang kukuntit, melainkan si Koboi juga. "Mereka bertarung di sana," aku berkata, sambil menunjuk ke tengah jembatan.
Pikiran Pappy tidak lagi pada banjir, atau bertani, atau bahkan menyelamatkan keluarga Latcher. ia menatapku, mempercayai setiap patah kata, tapi sangat terperanjat. Aku menceritakan kembali perkelahian itu sejelas-jelasnya, lalu menunjuk lagi. "Hank jatuh di sana, tepat di tengah sungai. Tak pernah muncul lagi."
Pappy mengeluarkan suara mendengus, tapi tidak berbicara. Aku berdiri di depannya, gelisah dan berbicara dengan cepat. Ketika aku menguraikan pertemuanku dengan si Koboi beberapa menit sesudahnya di jalan dekat rumah kami, Pappy mengumpat tertahan. "Kau seharusnya menceritakannya padaku saat itu juga," katanya.
"Aku tidak bisa. Aku terlalu takut." Ia bangkit berdiri dan mengitari balok itu beberapa kali. "Dia membunuh anak laki-laki mereka dan mencuri anak perempuan mereka," katanya pada diri sendiri. "Aduh."
"Apa yang akan kita lakukan, Pappy""
"Biar kupikirkan dulu."
"Apa Hank akan terapung di suatu tempat""
"Tidak. Si Meksiko itu menusuknya Tubuhnya langsung tenggelam ke dasar, mungkin dimakan oleh ikan-ikan lele di bawah sana. Takkan ada sisa apa pun yang bisa ditemukan."
Betapapun memualkannya kenyataan ini, aku toh merasa lega mendengarnya. Aku tak pernah ingin melihat Hank lagi. Aku terus memikirkannya setiap kali menyeberangi jembatan ini. Aku bermimpi membayangkan mayatnya yang gembung muncul terapung dari kedalaman sungai dan membuatku ketakutan setengah mati.
"Apa aku melakukan sesuatu yang salah"" tanyaku.
"Tidak." "Apa Pappy akan menceritakannya pada orang lain""
"Kukira tidak. Mari kita tutup mulut dulu tentang soal ini. Kita bicarakan lagi nanti."
Kami mengambil posisi masing-masing di atas balok itu, dan mengamati air sungai. Pappy tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aku mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa sekarang aku seharusnya merasa lebih lega, karena akhirnya aku sudah menceritakan kematian Hank pada salah satu orang dewasa.
Sesudah beberapa lama, Pappy berkata, "Tidak heran kalau Hank berakhir seperti itu. Kita tidak akan cerita pada orang lain. Kau saksi mata satu-satunya, dan tidak perlu khawatir mengenai soal ini. Ini rahasia kita, rahasia yang akan kita bawa sampai mati."
"Bagaimana dengan Mr. dan Mrs. Spruill""
"Mereka tidak tahu, jadi ini tidak akan menyusahkan mereka."
"Pappy akan menceritakannya pada Gran"" "Tidak. Tidak pada siapa pun. Hanya kau dan aku."
Aku percaya pada ucapannya. Aku memang merasa lebih lega. Aku telah membagikan rahasiaku pada seorang sahabat yang sudah tentu sanggup memikul bagiannya. Dan kami sudah memutuskan bahwa Hank dan si Koboi akan kami sisihkan ke belakang untuk selama-lamanya.
Ayahku akhirnya tiba dengan perahu beralas datar milik Mr. Jeter. Perahu itu tanpa mesin tempel, tapi menjalankannya cukup mudah karena arus yang kencang. Ayahku memakai kayuh sebagai kemudi, dan menepi di bawah jembatan, tepat di bawah kami. Kemudian ia dan Pappy mengangkat perahu itu dari sungai dan menggotongnya ke tepian. menuju truk. Lalu kami kembali mengendarai truk itu ke jalan menuju rumah keluarga Latcher; di sana kami menurunkan perahu dan mendorongnya ke tepi genangan banjir. Kami bertiga naik ke dalam perahu, kaki kami terbungkus lumpur. Dua orang dewasa itu mendayung, dan kami bergerak menyusuri jalan sempit tersebut, dua k
aki di atas tanah, melewati deretan tanaman kapas yang rusak.
Makin jauh kami berjalan, makin dalam pula airnya. Angin bertiup dan mendorong kami ke arah tanaman kapas. Pappy dan ayahku sama-sama menengadah ke langit dan menggelengkan kepala.
Semua anggota keluarga Latcher sudah berada di teras depan, menunggu dengan ketakutan, menyaksikan setiap gerakan kami, sementara perahu itu membelah danau yang mengitari rumah mereka. Tangga depan rumah sudah terbenam. Teras depan itu pun terbenam air, sedikitnya sampai satu kaki. Kami mengemudikan perahu itu ke depan rumah; di sana Mr. Latcher menangkapnya dan menariknya ke dalam. Ia berdiri di tengah genangan air, sampai ke dada.


Rumah Bercat Putih A Painted House Karya John Grisham di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku melihat semua wajah yang ketakutan dan sedih di teras itu. Pakaian mereka lebih kumal daripada terakhir kali aku ke sana. Mereka kurus kering dan lesu. mungkin kelaparan Kulihat beberapa anak yang lebih kecil tersenyum, dan tiba-tiba aku merasa sangat penting. Di antara kerumunan itu, Libby Latcher melangkah keluar, membopong si bayi yang dibungkus dengan selimut usang. Aku belum pernah benar-benar melihat Libby sebelum ini, dan aku tak dapat mempercayai betapa cantiknya dia. Rambutnya yang panjang dan berwarna cokelat muda diikat menjadi buntut kuda. Matanya biru pucat dan tampak bersinar. Perawakannya tinggi dan sama kurusnya seperti yang lain. Ketika ia melangkah ke perahu, Pappy dan ayahku sama-sama memeganginya. Ia duduk di sebelahku dengan bayinya, dan sekonyong-konyong aku berhadap-hadapan dengan sepupuku yang paling baru.
"Aku Luke," kataku, meskipun itu saat yang ganjil untuk berkenalan.
"Aku Libby," ia menjawab dengan seulas senyum yang membuat jantungku berdebar. Bayinya sedang tidur. Ia belum banyak tumbuh sejak aku melihatnya di jendela, pada malam ia dilahirkan. Bayi itu kecil dan berkerut-kerut, dan kemungkinan sedang kelaparan, tapi Gran sedang menunggunya.
Rayford Latcher naik ke perahu dan duduk sejauh mungkin dariku. Ia satu di antara tiga orang yang dulu memukuliku ketika terakhir kali aku datang ke rumah mereka. Percy, anak laki-laki paling tua dan pemimpin pengeroyokan itu, bersembunyi di teras. Dua anak lain dinaikkan ke perahu, lalu Mr. Latcher naik ke atasnya. "Kami akan kembali beberapa menit lagi," katanya kepada Mrs. Latcher serta lainnya yang masih berada di teras. Mereka seolah-olah akan ditinggalkan sampai mati di sana.
Hujan turun tiba-tiba. dan angin bergeser arah. Pappy dan ayahku mendayung sekuat tenaga, tapi perahu itu nyaris tak bergerak. Mr. "Latcher melompat ke dalam air. dan selama satu detik ia sama sekali menghilang. Lalu ia mendapatkan pijakan dan berdiri tegak, terbenam di air. dari dada ke bawah. Ia meraih tambang yang terikat pada penambat dan mulai menarik kami di jalan.
Angin terus meniup kami ke arah tanaman kapas, maka ayahku merayap turun dari perahu dan mulai mendorong dari belakang. "Hati-hati dengan ular," Mr. Latcher memperingatkan lagi. Dua laki-laki itu sudah basah kuyup.
"Percy hampir saja digigit ular," kata Libby padaku. "Ular itu mengapung sampai ke teras." Ia membungkukkan badan, menaungi si bayi, berusaha menjaganya agar tetap kering.
"Siapa namanya"" tanyaku.
"Masih belum punya."
Tak pernah aku mendengar omong kosong seperti itu. Seorang bayi tanpa nama. Kebanyakan bayi yang lahir dalam jemaat Gereja Baptis tentu punya dua atau tiga nama sebelum mereka muncul di dunia.
"Kapan Ricky pulang"" ia berbisik.
"Aku tidak tahu."
"Apa dia baik-baik saja""
"Ya." Ia tampak cemas mengharapkan kabar tentang Ricky, dan ini membuatku merasa tak enak hati. Akan tetapi, bukannya tidak menyenangkan duduk di samping wanita secantik itu yang mau berbisik padaku. Saudara-saudaranya yang lebih muda tampak bergairah dengan petualangan ini.
Ketika kami mendekati jalan raya, air jadi lebih dangkal dan perahu itu akhirnya menyentuh lumpur. Kami semua merayap keluar, dan para anggota keluarga Latcher dinaikkan ke truk kami. Pappy duduk di belakang kemudi.
"Luke, kau tinggal denganku," kata ayahku. Sewaktu truk itu mundur, Mr. Latcher dan ayahku memutar perahu, lalu mulai mendorong dan menari
knya kembali ke rumah itu. Angin begitu kencang, sehingga mereka harus merunduk. Aku di atas perahu seorang diri, dengan kepala ditundukkan, berusaha untuk tetap kering. Hujan turun dalam butiran-butiran besar dan dingin yang setiap menit jadi makin deras.
Danau di sekeliling rumah itu bergolak ketika kami mendekat. Mr. Latcher menarik kembali perahu itu ke dalam, dan mulai meneriakkan perintah-perintah kepada istrinya. Satu bocah Latcher kecil diangsurkan dari teras, dan nyaris jatuh ketika angin berembus keras menerpa perahu dan menggesernya. Percy menyodorkan batang sapu, yang kupegang untuk menarik perahu itu kembali ke teras. Ayahku menyenikan ini dan itu. dan Mr. Latcher berbuat sama. Masih ada empat anak lagi. dan mereka semua ingin naik sekaligus. Aku membantu mereka naik, satu per satu. "Hati-hati, Luke!" ayahku berkata berpuluh kali.
Ketika anak-anak itu sudah masuk semua ke dalam perahu, Mrs. Latcher melemparkan karung guni berisi barang-barang yang kelihatannya seperti pakaian. Ku-perkirakan itu satu-satunya milik mereka. Karung itu mendarat dekat kakiku, dan aku memeganginya seolah-olah benda itu amat berharga. Di sebelahku adalah anak perempuan Latcher yang masih kecil dan tak bersepatu-tak seorang pun di antara mereka punya sepatu -bajunya tak berlengan. Ia kedinginan, dan ia berpegangan pada kakiku, seakan-akan ia akan terpelanting oleh angin. Ada air mata di matanya, tapi ketika aku menatapnya ia berkata, "Terima kasih." Mrs. Latcher naik ke perahu, melangkah di antara anak-anaknya, berteriak pada suaminya, sebab sang suami berteriak padanya. Dengan perahu penuh muatan dan seluruh keluarga Latcher di atasnya, kami berbalik dan kembali ke arah jalan raya. Kami yang berada di dalam perahu merunduk rendah untuk melindungi wajah dari air hujan.
Ayahku dan Mr. Latcher bekerja keras untuk mendorong perahu itu melawan angin. Di beberapa tempat airnya hanya sampai setinggi lutut, tapi sesudah beberapa langkah tingginya kembali sampai ke dada, sehingga sulit bagi mereka untuk mendorong Mereka berkutat agar kami tetap berada di tengah jalan dan jauh dari tanaman kapas. Perjalanan kembali yang pendek ini jauh lebih lamban.
Pappy belum menunggu. Ia tidak punya cukup waktu untuk menurunkan muatan pertama, dan kembali untuk mengangkut muatan kedua. Ketika kami sampai ke lumpur, ayahku menambatkan perahu Mr. Jeter ke sebuah tiang pagar, lalu berkata, "Tidak ada gunanya menunggu di sini." Kami dengan susah payah mengarungi lumpur dan menentang angin serta hujan, hingga mencapai sungai. Anak-anak Latcher itu ngeri melewati jembatan, dan belum pernah aku mendengar lolong tangis seperti itu ketika kami menyeberang. Mereka bergelayut memegangi orangtua mereka. Mr. Latcher kini memanggul karung guni itu. Setengah jalan di atas Sungai St. Francis, aku melihat ke papan-papan jembatan di depanku dan melihat bahwa, seperti anak-anaknya. Mrs. Latcher pun tidak bersepatu.
Setelah selamat sampai di seberang sungai, kami melihat Pappy datang menjemput.
Gran dan ibuku sedang menunggu di teras belakang, di mana mereka sudah membuat semacam tempat kerja sementara. Mereka menyambut gelombang kedua kedatangan keluarga Latcher dan membawa semuanya ke ujung teras, di mana sudah tersedia setumpuk pakaian. Anak-anak Latcher itu menanggalkan pakaian - beberapa di antaranya malu-malu, yang lain tak peduli-dan mengenakan pakaian warisan keluarga Chandler yang sudah berpuluh tahun ada dalam keluarga kami. Segera sesudah memakai pakaian kering dan hangat, mereka digiring masuk ke dapur. Di sana sudah tersedia cukup makanan untuk beberapa kali bersantap. Gran menghidangkan sosis dan ham. Ia sudah membuat dua loyang biskuit. Meja itu penuh dengan mangkuk-mangkuk besar berisi setiap jenis sayur yang ditanam ibuku dalam enam bulan terakhir.
Semua anggota keluarga Latcher berkerumun di sekeliling meja, semuanya sepuluh orang-si bayi sedang tidur entah di mana. Mereka kebanyakan berdiam diri. dan aku tidak tahu apakah itu karena mereka malu. atau lega, atau sekadar lapar. Mereka saling menyodorkan mangkuk-mangkuk dan sekali-sekali meng
ucapkan terima kasih .satu sama lain. Ibuku dan Gran menuangkan teh dan berkomentar tentang mereka. Aku mengamati mereka dari ambang pintu. Pappy dan ayahku ada di teras depan, meneguk kopi dan menyaksikan hujan mulai mereda.
Ketika makanan sudah mulai disantap, kami pergi ke ruang duduk. Gran sudah menyalakan perapian. Kami berlima duduk di dekatnya, dan beberapa lama kami mendengarkan keluarga Latcher di dapur. Suara mereka lirih tertahan, tapi pisau dan garpu mereka berbunyi riuh. Mereka sudah hangat dan aman, dan tidak lagi lapar. Bagaimana orang bisa begitu miskin"
Rasanya mustahil untuk tidak menyukai lagi keluarga Latcher. Mereka orang-orang seperti kami, yang kurang beruntung terlahir sebagai petani bagi hasil. Keliru kalau aku menghina mereka. Selain itu, aku pun terpesona oleh Libby.
Aku sudah berharap barangkali saja ia menyukaiku. Sewaktu kami sedang berpuas diri atas kebaikan kami, mendadak terdengar ledakan tangis si bayi di dalam rumah. Gran melompat berdiri dan menghilang dalam sekejap. "Biar aku yang mengurusnya," kudengar ia berkata di dapur. "Kalian selesaikan dulu makannya."
Aku tidak mendengar satu pun anggota keluarga Latcher bergeser dari meja. Bayi itu terus menangis sejak malam ia dilahirkan, dan mereka sudah terbiasa dengannya.
Namun kami, keluarga Chandler, tidak, ia terus menangis sampai makan siang selesai. Gran mondar mandir menggendongnya selama satu jam, sementara orangtuaku dan Pappy memindahkan keluarga Latcher ke tempat menginap mereka yang baru di gudang jerami. Libby kembali bersama mereka untuk memeriksa bayinya yang masih terus menangis. Hujan sudah berhenti, maka ibuku membawa si bayi berjalan-jalan sekitar rumah, tapi udara bebas di luar tetap tidak memuaskannya. Belum pernah aku mendengar apa pun menangis begitu hebat, tanpa henti.
Menjelang sore, kami jadi resah. Gran sudah men-cobakan beberapa obat-obatannya, ramuan yang tidak terlalu keras tapi membuat keadaan jadi makin parah. Libby mengayun-ayun bayinya di ayunan, tanpa hasil. Gran bernyanyi sambil berjalan seputar rumah, tapi lolongan bayi itu terus berlanjut, bahkan sepertinya lebih keras lagi. Ibuku berjalan-jalan menggendongnya. Pappy dan ayahku sudah lama menghilang. Aku ingin lari dan bersembunyi di dalam silo.
"Sakit perut paling parah yang pernah kusaksikan," kudengar Gran berkata.
Kemudian, ketika Libby sekali lagi mengayun-ayun si bayi di teras depan, aku mendengar percakapan lain. Tampaknya ketika masih bayi aku pun sering sakit perut. Ibu dari ibuku, nenekku, memberiku beberapa suapan es krim vanila. Aku langsung berhenti menangis, dan dalam beberapa hari sakit perut itu lenyap.
Pada suatu kesempatan lain, semasa bayi, aku sekali lagi menderita sakit perut. Gran tidak biasa menyimpan es krim yang dibeli dari toko di lemari esnya. Orangtuaku membawaku naik truk dan pergi ke kota. Dalam perjalanan, aku sudah berhenti menangis dan tertidur. Mereka menduga itu karena gerakan kendaraan saat berjalan.
Ibuku menyuruhku pergi mencari ayahku. Ia mengambil bayi itu dari Libby, yang dengan senang hati menyerahkannya, dan tak lama kemudian kami sudah berjalan ke truk.
"Apa kita akan pergi ke kota"" tanyaku.
"Ya," sahut ibuku.
"Bagaimana dengannya"" ayahku bertanya sambil, menunjuk bayi itu. "Dia seharusnya dirahasiakan."
Ibuku rupanya lupa tentang itu. Bila kami dilihat orang di kota dengan seorang bayi misterius, gosip akan beredar begitu pekat, hingga lalu lintas bakal terhenti.
"Kita pikirkan urusan itu nanti, begitu kita sampai di sana," sahut ibuku sambil membanting pintu. "Ayo berangkat."
Ayahku menghidupkan mesin dan memasukkan gigi persneling untuk mundur. Aku ada di tengah, bayi itu hanya beberapa inci dari pundakku. Sesudah diam sejenak, bayi itu mulai menangis lagi. Sewaktu kami sampai ke sungai, aku sudah tidak tahan ingin membuang bayi mengesalkan itu ke luar jendela.
Akan tetapi, begitu sampai di atas jembatan, sesuatu yang aneh terjadi. Tangis bayi itu perlahan-lahan mereda dan ia mulai tenang. Ia menutup mulut dan matanya, dan tertidur lelap. Ibuku tersenyum pada ayahku, seolah-olah menga
takan, "Benar kan kataku""
Sepanjang perjalanan ke kota, orangtuaku saling berbisik. Mereka memutuskan bahwa ibuku akan keluar dari truk di dekat gereja, lalu bergegas ke toko Pop dan Pearl untuk membeli es krim. Mereka khawatir Pearl akan curiga mengapa ia membeli es krim, dan hanya es krim saja yang dibeli, karena kami tidak butuh apa-apa lainnya saat ini, dan mengapa ibuku berada di kota pada hari Rabu sore Mereka setuju bahwa bagaimanapun rasa ingin tahu Pearl takkan terpuaskan, dan rasanya menyenangkan membuatnya sengsara oleh keusilannya. Betapapun pintarnya Pearl, ia takkan pernah menduga bahwa es krim itu untuk bayi tidak sah yang kami sembunyikan di truk kami.
Kami berhenti di gereja. Tak ada orang yang melihat, maka ibuku menyerahkan bayi itu padaku, dengan instruksi ketat bagaimana membopong makhluk seperti ini. Ketika ia menutup pintu, mulut bayi itu terbuka lebar, matanya bersinar, paru-parunya dipenuhi kemarahan. Ia melolong dua kali dan nyaris membuatku mati ketakutan sebelum ayahku melepaskan kopling dan kami berjalan lagi, lepas di jalanan Black Oak. Si bayi memandangku dan berhenti menangis.
"Jangan berhenti," kataku pada ayahku.
Kami melewati pabrik pemisah biji kapas-pemandangan menyedihkan karena sepinya kegiatan di sana Kami berputar di belakang Gereja Methodis dan sekolah, lalu belok ke selatan, memasuki Main Street. Ibuku keluar dari toko Pop dan Pearl dengan sebuah kantong kertas kecil. Tidak mengejutkan melihat Pearl membuntuti tepat di belakangnya, sibuk berbicara. Mereka sedang bercakap-cakap ketika kami lewat. Ayahku melambaikan tangan, seolah tak ada apa pun yang luar biasa.
Aku cuma tahu bahwa kami hampir terpergok bersama bayi Latcher. Satu saja pekik nyaring dari mulutnya, maka seluruh kota akan tahu rahasia kami.
Kami sekali lagi mengitari pabrik pemisah biji kapas, dan ketika menuju ke arah gereja, kami melihat ibuku sedang menunggu. Ketika kami berhenti untuk menjemputnya, mata bayi itu terbuka. Bibir bawahnya gemetar. Ia sudah siap menjerit ketika aku meng-angsurkannya pada ibuku dan berkata, "Ini, ambil dia."
Aku keluar dari truk, sebelum ibuku bisa naik. Kecepatanku mengejutkan mereka. "Mau ke mana, Luke"" ayahku bertanya.
"Kalian putar-putar sebentar. Aku perlu beli cat."
"Naik ke truk!" ia berkata
Bayi itu menangis, dan ibuku cepat-cepat melompat naik. Aku merunduk di belakang truk dan berlari secepat mungkin ke jalan.
Di belakangku aku mendengar suara tangis lagi, tapi tidak terlalu nyaring, lalu truk itu mulai bergerak.
Aku lari ke toko perangkat keras, menuju counter cat. Aku minta tiga galon cat putih Pittsburgh Paint pada penjaga toko.
"Cuma ada dua," katanya.
Aku terlalu kaget untuk mengatakan apa pun. Bagaimana mungkin sebuah toko besi kehabisan cat" "Mestinya Senin depan sudah ada lagi." katanya.
"Beri aku dua." kataku.
Aku yakin dua galon tidak akan cukup untuk menyelesaikan bagian depan rumah, tapi aku memberinya enam helai pecahan satu dolar, dan ia mengangsurkan kembaliannya. "Mari kubawakan," katanya.
"Tidak, aku bisa membawanya sendiri," kataku sambil meraih dua ember itu. Aku berkutat untuk mengangkatnya, lalu berjalan tertatih-tatih di gang, nyaris terjungkal. Aku menghela kedua wadah cat itu keluar dari toko, menuju trotoar. Aku melihat ke kiri-kanan jalan, dan memasang telinga untuk mendengar tangisan bayi yang sedang sakit itu. Syukurlah kota itu sunyi.
Pearl muncul kembali di trotoar di depan tokonya, matanya jelalatan ke segala penjuru. Aku bersembunyi di belakang sebuah mobil yang sedang parkir. Lalu aku melihat truk kami mendatangi ke selatan, hampir tak bergerak, tampak sangat mencurigakan. Ayahku melihatku dan berhenti di tengah jalan. Aku mengangkat dua ember itu dengan segenap tenaga yang dapat kukerahkan dan berlari ke truk. Ia melompat keluar untuk membantuku. Aku melompat ke bak belakang truk, dan ia menyodorkan cat tersebut. Aku lebih suka duduk di belakang sini, menjauh dari anak Latcher paling kecil itu. Tepat ketika ayahku kembali di belakang kemudi, bayi itu mengeluarkan teriakan.
Truk melesat maju, dan bayi itu tenang kemb
ali. Aku berseru, "Apa kabar, Pearl!" sewaktu kami melesat lewat.
Libby sedang duduk di tangga depan bersama Gran, menunggu kami Ketika truk itu berhenti, si bayi mulai menangis. Para wanita bergegas membawanya ke dapur, dan mulai menyuapinya dengan es krim.
"Bensin di Craighead County tidak akan cukup untuk jalan-jalan menenangkannya," kata ayahku.
Untungnya es krim itu berhasil meredakan tangisnya. Bayi Latcher itu tertidur dalam pelukan ibunya.
Karena es krim vanila dulu berhasil, meredakan sakit perut yang kuderita, obat ini dianggap sebagai bukti lebih lanjut bahwa bayi itu adalah bagian dari keluarga Chandler. Aku tidak begitu terhibur dengan hal ini.
Tiga Puluh Lima KEHADIRAN seluruh keluarga Latcher di gudang jerami sama sekali tidak kami rencanakan. Dan meskipun pada mulanya kami terhibur oleh sikap bermurah hati kami sebagai orang Kristen dan sebagai tetangga, kami segera tertarik untuk mengetahui, berapa lama mereka akan tinggal bersama kami. Aku yang pertama mengemukakan masalah itu saat makan malam. Sesudah pembicaraan panjang tentang kejadian-kejadian hari itu, aku berkata, "Entah berapa lama mereka akan tinggal""
Pappy berpendapat bahwa mereka akan pergi segera sesudah air surut. Menumpang di lumbung jerami petani lain memang bisa dimaklumi dalam keadaan darurat, tapi orang yang punya harga diri takkan mau tinggal satu hari lebih lama dari yang diperlukan.
"Apa yang akan mereka makan bila mereka pulang"" Gran bertanya. "Tak ada sedikit pun remah makanan tersisa di rumah itu " Ia meneruskan dengan perkiraan bahwa mereka akan tinggal bersama kami hingga musim semi.
Ayahku memperkirakan bahwa rumah mereka yang reyot tidak akan tahan menghadapi banjir, dan takkan ada tempat bagi mereka untuk kembali. Ditambah lagi, mereka tidak punya truk, tidak punya alat transportasi. Selama sepuluh tahun terakhir ini, mereka selalu kelaparan di tanah mereka sendiri. Ke mana lagi mereka akan pergi" Pappy tampak kesal mendengar pendapat ini.
Ibuku kebanyakan hanya mendengarkan, tapi lalu ia mengatakan bahwa keluarga Latcher bukanlah orang-orang yang akan malu tinggal di lumbung orang lain. Dan ia khawatir tentang anak-anak itu-bukan sekadar masalah kesehatan dan gizi. tapi juga masalah pendidikan dan perkembangan spiritual mereka.
Perkiraan Pappy bahwa mereka akan segera pergi diperdebatkan di seputar meja, dan akhirnya ditolak oleh semua. Tiga lawan satu. Empat. kalau suaraku ikut masuk hitungan.
"Kita pasti bisa bertahan." kata Gran. "Kita punya cukup makanan untuk sepanjang musim dingin, cukup untuk mereka juga. Mereka ada di sini, tidak punya tempat lain untuk berteduh, dan kita akan mengurus mereka." Tak seorang pun berniat membantahnya.
"Tuhan memberkati kita dengan hasil kebun berlimpah, karena suatu alasan," ia menambahkan sambil mengangguk ke arah ibuku. "Dalam Injil Lukas, Yesus berkata, "Undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta, dan kau akan diberkati.'"
"Kita akan menyembelih dua ekor babi, bukan satu," kata Pappy. "Kita akan punya banyak daging untuk musim dingin."
Penyembelihan babi akan berlangsung pada awal bulan Desember, ketika udara dingin dan bakteri sudah mati. Setiap tahun seekor babi ditembak kepalanya, dibenamkan dalam air mendidih, dan digantung pada sebatang pohon di samping gudang perkakas, lalu dikeluarkan isi perutnya dan dijagai sampai menjadi ribuan potong. Darinya kami mendapatkan bacon, ham. daging pinggang, sosis, dan iga. Segalanya terpakai -lidah, otak, kaki. "Segalanya kecuali bunyi dengkingnya" adalah kata-kata yang sudah begitu sering kudengar. Mr. Jeter dari seberang jalan adalah tukang jagal yang cakap. Ia memberi petunjuk bagaimana mengeluarkan isi perut, lalu melakukan pemotongan-pemotongan. Untuk waktu yang ia sediakan itu, ia mengambil seperempat dari potongan terbaik.
Kenangan pertamaku tentang pembantaian babi adalah aku lari ke belakang rumah dan .muntah-muntah. Namun, bersama lewatnya waktu, aku malah menunggu-nunggu saat penyembelihan dengan gembira. Kalau ingin ham dan bacon, kau harus membunuh ba
bi. Tapi pasti perlu lebih dari dua ekor babi untuk memberi makan keluarga Latcher sampai musim semi. Mereka semua bersebelas, termasuk si bayi, yang saat ini hidup dari makan es krim vanila.
Sewaktu kami berbicara tentang mereka, aku mulai melamun membayangkan kepindahan ke Utara.
Perjalanan itu kini terasa lebih menarik. Aku bersimpati untuk keluarga Latcher, dan aku bangga bahwa kami telah menolong mereka. Aku tahu bahwa sebagai orang Kristen, kami diharapkan untuk menolong kaum miskin. Aku mengerti semua itu. tapi aku tak bisa membayangkan tinggal sepanjang musim dingin bersama bocah-bocah kecil itu, yang berlarian di pertanian kami. Tak lama lagi aku akan kembali ke sekolah. Apakah anak-anak Latcher itu akan ikut bersamaku" Karena mereka adalah murid-murid baru, apakah aku akan diminta membawa mereka melihat-lihat" Apa kata teman-temanku nanti" Aku pasti akan dicemooh.
Dan karena kini mereka tinggal bersama kami, tak lama lagi rahasia besar ini pasti tersebar. Ricky akan dituding sebagai si ayah. Pearl akan bisa menarik kesimpulan, ke mana larinya semua es krim vanila itu. entah bagaimana sesuatu akan bocor keluar, dan kami akan hancur.
"Luke, kau sudah selesai"" ayahku bertanya, membuatku terenyak dari lamunan.
Piringku sudah bersih. Semua orang memandangku. Ada urusan orang dewasa yang hendak mereka bicarakan. Pertanyaan itu merupakan tanda bagiku agar mencari hal lain untuk dikerjakan.
"Makan malamnya lezat. Boleh aku meninggalkan meja"" tanyaku, mengulangi kata-kata baku untuk minta diri.
Gran mengangguk dan aku pergi ke teras belakang, mendorong pintu kasa hingga terbanting keras. Lalu aku menyelinap dalam kegelapan, menuju bangku panjang di sebelah pintu dapur. Dari sana aku dapat mendengar segalanya. Mereka khawatir soal uang. Utang usaha tani akan "ditunda" sampai musim semi mendatang, dan mereka akan mengurusnya saat itu. Tagihan-tagihan lain bisa juga ditunda, meskipun Pappy benci meminta keringanan itu kepada para krediturnya.
Bertahan melewati musim dingin jauh lebih mendesak. Makanan tidak jadi masalah. Kami harus punya uang untuk kebutuhan-kebutuhan seperti listrik, bensin dan pelumas untuk truk, dan bahan-bahan pokok seperti kopi, tepung, dan gula. Bagaimana kalau ada yang sakit dan butuh dokter atau obat-obatan" Bagaimana kalau truk itu rusak dan butuh suku cadang"
"Kita belum memberikan apa-apa untuk gereja tahun ini," Gran berkata.
Pappy memperkirakan bahwa sekitar tiga puluh persen dari hasil panen itu masih ada di luar sana, terendam air Seandainya cuaca berubah dan segalanya mengering, kami mungkin bisa menyelamatkan sebagian kecil. Itu akan menghasilkan tambahan pendapatan, tapi pabrik kapas akan mengambil sebagian besar darinya. Baik Pappy maupun ayahku tidak merasa optimis bahwa mereka bisa memetik kapas lagi di tahun 1952.
Masalahnya adalah uang tunai. Mereka hampir kehabisan uang tunai, dan tidak ada harapan akan ada pemasukan lagi. Mereka hampir tidak punya cukup uang untuk membayar rekening listrik dan bensin sampai Natal.
"Jimmy Dale sudah mendapatkan pekerjaan untukku di pabrik Buick," ayahku berkata. "Tapi dia tidak bisa menunggu lama. Pekerjaan agak sulit didapat sekarang Kami perlu segera ke sana."
Menurut Jimmy Dale, upah saat ini adalah tiga dolar per jam, untuk empat puluh jam seminggu, tapi ada juga kesempatan untuk lembur. "Katanya aku bisa mendapat sampai dua ratus dolar seminggu," kata ayahku.
"Kami akan kirim ke sini sebanyak mungkin." ibuku menambahkan.
Pappy dan Gran mulai hendak protes, tapi semua tahu bahwa keputusan sudah dibuat. Aku mendengar suara di kejauhan, suara samar-samar yang sepertinya sudah kukenal. Ketika suara itu makin dekat, aku meringis dan menyesal kenapa tidak dari tadi aku bersembunyi di teras depan
Si bayi sudah kembali, rewel lagi dan sudah past ketagihan es krim vanila. Aku menyelinap pergi dan teras, dan berjalan beberapa langkah ke arah gudang. Dari kegelapan, aku melihat Libby dan Mrs. Latcher mendekati rumah. Aku merunduk di sebelah kandang ayam dan mendengarkan saat mereka lewat. Suara tangisan si bayi terus-menerus berg
ema di seluruh penjuru pertanian kami.
Gran dan ibuku menemui mereka di teras belakang Lampu dinyalakan, dan aku mengamati mereka berkerumun di sekeliling monster kecil itu, lalu membawanya ke dalam. Melalui jendela, dapat kulihat ayahku dan Pappy keluar menuju teras depan.
Dengan empat wanita mengurusnya, bayi itu berhenti menangis beberapa menit kemudian. Setelah suasana tenang, Libby meninggalkan dapur dan pergi ke luar. Ia duduk di pinggir teras, di tempat si Koboi waktu itu memperlihatkan belatinya padaku. Aku berjalan ke rumah dan menyapa, "Hai. Libby," ketika aku tinggal beberapa meter darinya.
ia terlonjak kaget, lalu berhasil menguasai diri. Saraf gadis muda yang malang ini rupanya tegang oleh sakit perut bayinya. "Luke," katanya. "Sedang apa kau""
"Tidak apa-apa."
"Duduklah di sini," ia berkata, sambil menepuk tempat di sebelahnya. Aku duduk seperti yang ia minta.
"Apa bayi itu terus-terusan menangis"" tanyaku "Rasanya begitu. Tapi aku tidak keberatan." "Tidak""
"Tidak. Dia mengingatkanku pada Ricky." "Benarkah""
"Ya. Kapan dia pulang" Tahukah kau, Luke"" "Tidak. Suratnya yang terakhir mengatakan bahwa dia mungkin pulang Natal nanti." "Itu masih dua bulan lagi."
"Yeah, tapi aku tidak pasti soal itu. Kata Gran, setiap prajurit selalu mengatakan akan pulang saat Natal."
"Aku sudah tak sabar menunggu," ia berkata, jelas tampak bergairah oleh kemungkinan itu.
"Apa yang terjadi nanti bila dia pulang"" tanyaku, tidak tahu pasti apakah aku memang ingin mendengar jawabannya.
"Kami akan menikah," ia berkata dengan senyum lebar yang manis. Matanya penuh dengan kegembiraan dan harapan.
"Benarkah""
"Ya, dia sudah janji."
Aku sudah tentu tidak ingin Ricky kawin. Ia milikku. Kami akan memancing dan bermain bisbol, dan ia akan menceritakan kisah-kisah perang. Ia akan jadi kakakku, bukan suami orang.
"Dia pemuda paling manis," kata Libby sambil menerawang ke angkasa.
Ricky memang istimewa, tapi aku tidak akan pernah menganggapnya manis. Entah apa yang telah ia lakukan untuk memikat Libby.
"Kau tidak boleh mengatakannya pada siapa pun. Luke," Libby mendadak berkata dengan serius "Ini rahasia kita."
Aku rasanya ingin bilang bahwa aku memang spesialis menyimpan rahasia. "Jangan khawatir," kataku, "aku bisa menyimpan rahasia."
"Bisakah kau membaca dan menulis, Luke""
"Tentu saja bisa. Kau""
"Lumayan." "Tapi kau tidak bersekolah."
"Aku sedang menyelesaikan kelas empat, tapi ibuku terus punya bayi, jadi aku harus berhenti. Aku sudah menulis surat untuk Ricky, aku ceritakan semuanya tentang bayi itu. Apa kau punya alamatnya""
Aku tidak yakin Ricky ingin menerima suratnya, dan untuk sesaat aku berpikir untuk berlagak tidak tahu-menahu. Tapi aku tak kuasa menahan hati untuk menyukai Libby. Ia begitu tergila-gila pada Ricky, sehingga keliru rasanya untuk tidak memberikan alamat itu.
"Yeah, aku punya."
"Kau punya amplop""
"Tentu." "Bisakah kau mengirimkan surat untukku" Tolonglah, Luke. Kurasa Ricky tidak tahu-menahu tentang bayi kami."
Instingku membisikkan agar aku tidak ikut campur. Ini urusan antara mereka. "Mungkin aku bisa me-ngeposkannya," kataku.
"Oh, terima kasih, Luke," ia berkata, nyaris berteriak Ia memeluk leherku dengan erat. "Akan kuberikan surat itu besok," katanya. "Dan kau janji akan mengeposkannya untukku""
"Aku janji." Aku memikirkan Mr. Thornton di kantor pos. Ia pasti sangat heran bila melihat surat dari Libby Latcher untuk Ricky di Korea. Aku akan cari akal, entah bagaimana. Mungkin aku harus tanya ibuku mengenai soal ini.
Para wanita membawa bayi Latcher kembali ke teras belakang. Gran mengayun-ayunnya sementara ia tidur. Ibuku dan Mrs. Latcher berbincang-bincang tentang betapa lelahnya si kecil- menangis nonstop membuatnya kehabisan tenaga - sehingga saat ia tertidur, tidurnya amat pulas. Aku langsung bosan dengan percakapan tentang bayi itu.
Ibuku membangunkanku tepat sesudah matahari terbit, dan bukannya menghardikku untuk turun dari ranjang, menghadapi sehari lagi kerja di pertanian, ia duduk di samping bantalku dan berbicara. "Kita akan berangkat besok pagi, Luke. Aku aka
n berkemas hari ini. Ayahmu akan membantumu mengecat bagian depan rumah, jadi sebaiknya kau segera mulai."
"Apa sekarang sedang hujan"" tanyaku sambil duduk.
"Tidak. Cuacanya mendung, tapi kau bisa mengecat." "Mengapa kita berangkat besok"" "Sudah saatnya pergi." "Kapan kita kembali""
"Aku tidak tahu. Pergilah sarapan. Hari ini kita sibuk."
Aku mulai mengecat sebelum pukul tujuh; matahari baru saja muncul di atas jajaran pohon di timur. Rumput basah, begitu pula rumah itu, tapi aku tak punya pilihan. Namun, tak lama kemudian, papan-papan itu mengering dan pekerjaanku berlanjut dengan lancar. Ayahku bergabung denganku, dan bersama-sama kami menggeser perancah, sehingga ia bisa mencapai tempat-tempat yang tinggi. Kemudian Mr. Latcher melihat kami, dan sesudah mengawasi pengecatan itu beberapa menit, ia berkata, "Aku mau membantu."
"Tidak perlu," ayahku berkata dari ketinggian delapan kaki.
"Aku ingin menyumbangkan tenaga," katanya. Ia tidak punya kegiatan apa pun.
"Baiklah. Luke, ambil kuas satunya."
Aku lari ke gudang perkakas, merasa senang karena sekali lagi aku berhasil menarik tenaga kerja gratis. Mr. Latcher mulai mengecat dengan bersemangat, seolah-olah hendak membuktikan harga dirinya.
Kerumunan orang mulai berkumpul untuk menonton. Aku menghitung ada tujuh anggota keluarga Latcher di tanah di belakang kami - semua anak itu. kecuali Libby dan si bayi, cuma duduk-duduk mengamati kami dengan ekspresi kosong.
Kurasa mereka sedang menunggu sarapan. Aku mengabaikan mereka dan meneruskan pekerjaan.
Namun ternyata sulit untuk berkonsentrasi dengan pekerjaanku. Pappy yang pertama datang memanggilku. Katanya ia ingin pergi kc sungai kecil untuk memeriksa banjir. Kukatakan aku sungguh-sungguh ingin mengecat. Ayahku berkata, "Pergilah, Luke," jadi aku tak bisa protes lagi.
Kami naik traktor meninggalkan rumah, menerobos ladang-ladang yang kebanjiran, sampai airnya hampir menenggelamkan roda depan. Ketika kami tidak dapat maju lebih jauh, Pappy mematikan mesin. Kami lama duduk di atas traktor, dikelilingi kapas basah yang sudah begitu banyak memakan tenaga kami untuk menanamnya.
"Kau akan pergi besok," akhirnya Pappy berkata.
"Ya, Sir." "Tapi tak lama kau akan kembali."
"Ya, Sir." Ibuku yang akan menentukan kapan kami kembali, bukan Pappy. Keliru kalau Pappy mengira suatu hari kelak kami akan kembali ke tempat kecil kami di pertanian keluarga itu. serta mulai bertanam lagi. Aku kasihan padanya, dan belum apa-apa aku sudah rindu padanya.
"Aku sudah pikir-pikir lagi tentang Hank dan si Koboi," ia berkata, pandangan matanya tak pernah beralih dari air di depan traktor. "Biarkan saja begitu, seperti sudah kita sepakati. Tak ada gunanya menceritakan pada orang lain. Rahasia ini akan kita bawa sampai ke kubur." ia mengangsurkan tangan kanannya untuk kujabat. "Janji"" katanya.
"Janji." aku mengulangi, sambil meremas tangannya yang tebal kapalan.
"Jangan lupakan Pappy-mu di sini, kaudengar""
"Ya." Ia menghidupkan traktor, memasukkan gigi. dan mundur mengarungi banjir.
Ketika aku kembali ke depan rumah, Percy Latcher ternyata telah mengambil alih kuasku dan sedang bekerja keras. Tanpa sepatah kata, ia mengangsurkannya padaku dan pergi duduk di bawah pohon. Aku mengecat selama kurang-lebih sepuluh menit, lalu Gran berjalan ke teras depan dan berkata, "Luke, kemarilah. Aku perlu menunjukkan sesuatu padamu."
Ia membawaku ke belakang, ke arah silo. Genangan air ada di mana-mana, dan banjir sudah merayap sampai tiga puluh kaki dari gudang. Ia ingin berjalan-jalan dan mengobrol, tapi lumpur dan air ada di setiap penjuru. Kami pun duduk di pinggir bak trailer.
"Apa yang mau Gran tunjukkan padaku"" tanyaku sesudah lama kami sama-sama terdiam.
"Oh, tidak apa-apa. Aku cuma ingin melewatkan waktu beberapa menit berdua saja. Kau akan pergi besok. Aku sedang mencoba mengingat-ingat, apa kau pernah satu malam tidak berada di sini."
"Rasanya tidak," kataku. Aku tahu bahwa aku dilahirkan di kamar yang kini. menjadi kamar tidur orangtuaku. Aku tahu tangan Gran-lah yang pertama kali menyentuhku, ia menolong persalinan dan
merawat ibuku. Tidak, aku tak pernah meninggalkan rumah kami, semalam pun tidak.
"Kau pasti baik-baik saja di Utara sana," ia berkata, tapi tidak terlalu mantap. "Banyak orang dari sini pergi ke sana untuk mencari kerja. Mereka selalu berhasil, dan mereka selalu pulang. Kau akan segera pulang sebelum kau menyadarinya."
Aku mencintai nenekku seperti anak mana pun mencintai neneknya, namun entah mengapa aku tahu aku takkan pernah lagi tinggal di rumahnya dan bekerja di ladangnya.
Beberapa lama kami berbincang-bincang tentang Ricky, lalu tentang keluarga Latcher. Ia merangkul pundakku dan memelukku erat, dan ia menyuruhku berjanji bahwa aku akan menulis surat padanya. Aku juga harus berjanji untuk rajin belajar, mematuhi orangtua, pergi ke gereja dan mempelajari Alkitab, dan rajin memperhatikan caraku berbicara, sehingga aku tidak kedengaran seperti orang Yankee.
Ketika ia selesai memeras semua janji itu, aku merasa letih. Kami berjalan kembali ke rumah, sambil menghindari genangan air.
Pagi itu berlalu lamban. Rombongan Latcher bubar sesudah sarapan, tapi mereka kembali pada waktunya untuk makan siang. Mereka mengamati ayahku dan ayah mereka berlomba mengecat lebih banyak bagian depan rumah kami.
Kami memberi mereka makan di teras belakang. Sesudah mereka makan, Libby menarikku ke pinggir dan menyerahkan suratnya untuk Ricky. Aku berhasil menyelundupkan sehelai amplop putih polos dari persediaan kami di ujung meja dapur. Aku sudah menulis alamat Ricky, via layanan pos angkatan darat di San Diego. dan aku pun sudah menempelkan prangko. Libby cukup terkesan. Dengan hati-hati ia memasukkan suratnya ke dalam, lalu menjilat amplop itu dua kali.
"Terima kasih, Luke," katanya, dan mencium keningku.
Aku memasukkan amplop itu di balik baju, sehingga tidak ada yang bisa melihatnya. Aku sudah memutuskan untuk menceritakannya pada ibuku, tapi belum mendapatkan kesempatan.
Kejadian-kejadian bergerak cepat. Ibuku dan Gran melewatkan siang itu dengan mencuci dan menyetrika pakaian-pakaian yang akan kami bawa. Ayahku dan Mr. Latcher mengecat sampai ember-ember itu kosong. Aku ingin waktu bergerak lebih perlahan, tapi entah kenapa hari itu jadi terasa tergesa-gesa.
Sekali lagi kami makan malam tanpa bicara, masing-masing punya kekhawatiran sendiri mengenai perjalanan ke Utara, tapi karena alasan yang berbeda-beda. Aku cukup sedih, sehingga kehilangan selera.
"Ini akan jadi makan malam terakhirmu di sini sampai beberapa lama, Luke," Pappy berkata. Aku tidak tahu mengapa ia mengucapkan itu. sebab sudah pasti hal itu tidak menolong suasana.
"Kata mereka, makanan di Utara sana tidak enak," Gran berkata, mencoba mencerahkan suasana. Itu pun terasa hambar.
Udara terlalu dingin untuk duduk di teras. Kami berkumpul di ruang keluarga, dan mencoba bercakap-cakap seakan-akan segalanya tetap sama. Tapi rasanya tak ada topik yang cocok. Urusan gereja terasa menjemukan. Bisbol sudah berakhir. Tak seorang pun ingin menyinggung soal Ricky. Bahkan cuaca sekalipun tidak bisa menarik perhatian kami.
Kami akhirnya menyerah dan pergi tidur. Ibuku menyelimutiku dan memberikan ciuman selamat malam. Gran juga. Pappy berhenti untuk mengucapkan beberapa patah kata, sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelum ini.
Ketika akhirnya aku tinggal sendirian, aku memanjatkan doa. Lalu aku menatap langit-langit yang gelap, dan mencoba mempercayai bahwa inilah malam terakhirku di pertanian ini.
Tiga Puluh Enam AYAHKU pernah terluka di Italia pada tahun 1944. Ia dirawat di sana, lalu di kapal rumah sakit, lalu dipulangkan ke Boston untuk menjalani rehabilitasi fisik. Ketika tiba di terminal bus Memphis, ia membawa dua ransel tentara yang penuh pakaian dan beberapa cenderamata. Dua bulan kemudian ia menikah dengan ibuku. Sepuluh bulan sesudah itu, aku muncul di dunia.
Aku tak pernah melihat ransel-ransel itu. Setahuku keduanya tak pernah dipakai lagi sejak perang. Keesokan harinya, saat aku masuk ke ruang duduk, dua ransel itu sudah setengah penuh dengan pakaian, dan ibuku sibuk mengepak. Sofa itu tertutup oleh gaun-gaunnya, selimut, dan beber
apa kemeja yang ia setrika kemarin. Aku menanyainya tentang ransel itu. Kata ibuku, selama delapan tahun ransel itu disimpan di loteng.
"Sekarang cepatlah makan sarapanmu," katanya sambil melipat handuk.
Gran menghidangkan sarapan melimpah. Telur, sosis, ham, bubur jagung, kentang goreng, kentang panggang, dan biskuit. "Kalian akan menempuh perjalanan panjang dengan bus," katanya.
"Berapa lama"" tanyaku. Aku duduk menunggu cangkir kopi pertamaku. Para pria ada di luar rumah.
"Kata ayahmu delapan belas jam. Fntah kapan kalian bisa makan enak lagi." Dengan hati-hati ia meletakkan kopi di depanku, lalu mengecup kepalaku. Bagi Gran, santapan lezat adalah makanan yang dimasak di dapurnya, dengan bahan-bahan yang langsung diambil dari pertanian ini.
Para pria sudah selesai makan. Gran duduk di sebelahku, mengamati aku melahap makanan. Kami kembali mengulangi janji-janji-untuk menulis surat, menaati orangtuaku, membaca Kitab Suci, berdoa, tidak bicara seperti orang Yankee. Seperti undang-undang saja. Aku mengunyah dan menganggukkan kepala pada saat yang tepat.
Gran menjelaskan bahwa ibuku akan butuh bantuan saat melahirkan nanti. Tentu ada orang-orang Arkansas di Flint sana, orang-orang Baptis yang baik dan dapat diandalkan, tapi aku harus membantu membereskan tugas-tugas di rumah.
"Tugas-tugas macam apa"" tanyaku dengan mulut penuh. Semula kupikir tugas-tugas rumah itu terbatas pada pekerjaan di pertanian.
"Cuma tugas-tugas rumah tangga," sahut Gran, tidak jelas. Gran belum pernah pergi ke kota besar, ia tidak tahu di mana kami akan tinggal, tidak pula kami. "Pokoknya siaplah membantu saat bayi itu lahir," katanya.
"Bagaimana kalau dia menangis terus seperti bayi Latcher"" tanyaku.
"Tidak akan. Tidak pernah ada bayi yang menangis seperti itu."
Ibuku lewat dengan setumpuk pakaian. Langkahnya cepat. Ia sudah lama memimpikan hari ini. Pappy dan Gran, dan mungkin ayahku, mengira kepergian kami hanya sementara. Bagi ibuku, hari ini merupakan suatu titik balik dalam hidupnya, dan terutama dalam hidupku. Ia telah meyakinkan aku sejak dini bahwa aku takkan menjadi petani, dan dengan meninggalkan pertanian ini. kami pun memutuskan ikatan.
Pappy beranjak ke dapur dan menuang secangkir kopi. Ia duduk di sebelah Gran, mengamati aku makan. Ia tidak pintar berbasa-basi, apalagi menghadapi perpisahan. Dalam kamusnya, makin sedikit yang diucapkan, makin baik.
Setelah makan kenyang, aku dan Pappy berjalan ke teras depan. Ayahku sedang mengangkut ransel-ransel ke truk. Ia memakai celana khaki, kemeja putih, tanpa overall. Ibuku mengenakan gaun hari Minggu yang cantik. Kami tak ingin kelihatan seperti pengungsi dari ladang kapas Arkansas.
Pappy membawaku ke halaman depan; dari sana kami berbalik dan memandang ke rumah. Rumah itu berkilau diterpa cahaya matahari pagi yang cerah. "Kerjamu bagus, Luke," kata Pappy.
"Sayang tidak selesai," kataku. Jauh di sebelah kanan, di sudut tempat Trot dulu memulai, ada bagian yang tidak tercat. Kami sudah berusaha menghemat empat galon terakhir, tapi ternyata masih kurang sedikit.
"Kurasa cuma perlu setengah galon lagi," Pappy berkata
"Ya, Sir. Kira-kira sebanyak itulah." "Aku akan menyelesaikannya musim dingin ini," katanya.
"Terima kasih, Pappy."
"Saat kalian semua pulang nanti, rumah ini sudah dicat sepenuhnya." "Kuharap begitu."
Kami berkumpul di truk, dan memeluk Gran untuk terakhir kali. Sesaat kukira ia akan mengulangi lagi daftar janji itu, tapi ia terlalu terharu. Kami naik ke truk - Pappy di belakang kemudi, aku di tengah, ibuku di dekat jendela, ayahku di belakang dengan ransel-ransel itu- den kami mundur ke jalan.
Ketika kami berangkat, Gran sedang duduk di tangga depan, menyeka wajahnya. Ayahku sudah melarangku menangis, tapi aku tak tahan. Aku memegangi lengan ibuku erat-erat dan menyembunyikan wajah.
Kami berhenti di Black Oak. Ayahku ada sedikit urusan di Co-op. Aku ingin mengucapkan selamat tinggal pada Pearl. Ibuku mengirimkan surat Libby untuk Ricky di kantor pos. Kami sudah membicarakannya, dan ia pun merasa itu bukan urusan kami. Kalau Libby ingin menulis sura
t pada Ricky, memberitahukan tentang bayi mereka, tak seharusnya kami menghalangi.
Pearl tentu saja tahu kami akan pergi, ia memeluk leherku erat sekali, lalu mengeluarkan sebuah kantong kertas kecil. "Untuk perjalanan nanti," katanya. Aku terbelalak melihat isinya: permen-cokelat. Pop muncul, menjabat tanganku seolah-olah aku orang dewasa, dan mengucapkan selamat.
Aku kembali ke truk, memperlihatkan kembang gulaku pada Pappy. Orangtuaku juga segera kembali. Kami tidak berminat dengan acara perpisahan yang megah. Kepergian kami disebabkan oleh frustrasi dan kegagalan panen. Kami tidak begitu ingin kota ini tahu bahwa kami kabur ke Utara. Tapi saat itu masih pagi, dan kota itu masih sepi.
Aku memandangi ladang-ladang sepanjang jalan raya menuju Jonesboro. Semua sama basahnya seperti ladang kami. Selokan-selokan jalan meluap oleh air berwarna cokelat. Sungai-sungai kecil meluap dari tepiannya.
Kami melewati jalan batu tempat aku dan Pappy dulu menunggu untuk mendapatkan orang-orang pegunungan. Di sanalah kami bertemu dengan keluarga Spruill untuk pertama kali. Kalau ada petani lain tiba di sana lebih awal. atau seandainya kami tiba lebih siang, tentunya keluarga Spruill sudah kembali ke Eureka Springs sana dalam keadaan utuh.
Bersama si Koboi yang mengemudikan truk. Tally juga menempuh perjalanan yang sama di tengah hujan badai. Kabur menuju kehidupan yang lebih baik di Utara, sama seperti kami. Aku masih sulit percaya bahwa ia kabur seperti itu.
Aku tak melihat seorang pun memetik kapas hingga kami mencapai Nettleton, kota kecil dekat Jonesboro. Di sana selokan-selokannya tidak begitu penuh; tanahnya tidak begitu basah. Beberapa pekerja Meksiko tengah bekerja keras.
Lalu lintas agak padat di pinggir kota. Aku duduk tegak untuk melihat pemandangan. Aku tak ingat kunjungan terakhirku ke Jonesboro. Kalau seorang bocah petani pergi ke kota besar, ia akan membicarakannya selama seminggu. Kalau berhasil sampai ke Memphis, ia mungkin akan membicarakannya selama satu bulan.
Pappy jelas kelihatan resah di tengah lalu lintas. Kami belok ke sebuah jalan, dan tiba di terminal Greyhound. Tiga bus mengilap diparkir berderet di sebelah kiri. Kami berhenti dekat papan tanda KEBERANGKATAN, dan dengan cepat menurunkan barang bawaan. Pappy bukan orang yang suka me-meluk-meluk, maka tidak butuh waktu lama untuk mengucapkan selamat tinggal. Tapi ketika ia mencubit pipiku, kulihat matanya berkaca-kaca. Karena itulah ia bergegas kembali ke truk dan cepat-cepat pergi. Kami melambaikan tangan sampai ia hilang dari pandangan. Hatiku sakit melihat truk tuanya berbelok di tikungan dan menghilang. Truk itu kembali ke pertanian, pada banjir, keluarga Latcher, dan musim dingin yang panjang. Tapi aku juga lega karena tidak ikut kembali.
Kami berbalik dan memasuki terminal. Petualangan akan dimulai. Ayahku meletakkan kedua ransel di dekat tempat duduk, lalu ia dan aku pergi ke loket.
"Saya perlu tiga karcis ke St. Louis," katanya.
Aku ternganga, dan tertegun memandangnya. "St. Louis"" kataku.
Ia tersenyum lebar, tapi tidak mengucapkan apa-apa.
"Busnya berangkat tengah hari," kata petugas itu.
Ayahku membayar karcis, dan kami duduk di sebelah ibuku. "Mom, kita pergi ke St. Louis," kataku.
"Itu cuma perhentian, Luke," ayahku berkata. "Dari sana kita naik bus lain ke Chicago, lalu ke Flint."
"Apa kita akan melihat Stan Musial"" "Kurasa tidak."
"Bisakah kita melihat Sportsman's Park"" "Tidak dalam perjalanan ini. Mungkin lain kali."
Sesudah beberapa menit, aku boleh menjelajahi terminal itu. Di sebuah kafe kecil, dua pemuda tentara sedang minum kopi. Pikiranku melayang pada Ricky Kusadari bahwa aku tidak akan berada di sana kalau ia pulang. Aku melihat satu keluarga Negro, pemandangan langka di Arkansas bagian ini Mereka memegangi tas-tas dan tampak tak tahu arah seperti kami. Aku melihat dua keluarga petani lain. pengungsi lain dari banjir itu.
Ketika aku bergabung kembali dengan orangtuaku, mereka sedang bergandengan tangan, tenggelam dalam percakapan. Setelah menunggu lama. akhirnya kami dipanggil naik. Ransel-ransel dit
aruh di bagasi di bawah bus.
Aku dan ibuku duduk bersama, ayahku di belakang kami. Aku memandang ke luar jendela, tak melewatkan apa pun saat kami melaju membelah Jonesboro. kemudian masuk ke jalan raya bebas hambatan, melaju kencang ke Utara, masih dikepung ladang-ladang kapas yang basah.
Setelah puas melihat pemandangan di luar, aku memandang ibuku. Kepalanya bersandar pada sandaran kursi. Matanya terpejam, dan seulas senyum perlahan-lahan terkembang di sudut-sudut bibirnya.
END Name Of Rose 2 Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi Bende Mataram 35
^