Pencarian

Tarian Kematian 2

Fear Street Sagas 08 Tarian Kematian Dance Of Dead Bagian 2


paru-parunya. "Madeline," seru Justin lagi. Suaranya ter-dengar lebih dekat.
Tidak, pikir Madeline ngeri. Tidak!
Ia tergesa-gesa merangkak menjauh. Dedaunan basah terasa
licin di bawahnya. Gaunnya. Jelas ia telah merusak gaun putihnya yang cantik.
Tapi ia tidak peduli. Tak ada yang penting kecuali melarikan diri dari
Justin. Kalau aku bisa memasuki hutan ini cukup dalam, Justin takkan
bisa melihatku dari jalan. Aku akan tersembunyi di balik pepohonan,
pikir Madeline. Tangan Madeline terpeleset dan ia jatuh tertelungkup ke
dedaunan. Cacing-cacing seketika berhamburan dari balik tumpukan
dedaunan basah. Madeline merasakan makhluk-makhluk itu merayapi
lehernya. Ia menggigit lidahnya agar tidak menjerit saat cacing-cacing
itu menggeliat-geliat melintasi wajah dan telinganya.
Madeline menyentakkan kepalanya dan dengan panik menyapu
cacing-cacing itu dari dirinya. Gumpalan-gumpalan dedaunan
menempel pada rambut dan wajahnya. Seekor cacing merah dan
gemuk menjuntai dari keningnya, berputar-putar dan menggeliatgeliat. Madeline membuka mulut hendak menjerit.
Cacing itu jatuh ke arah mulutnya. Madeline menutup mulutnya
rapat-rapat. Ia memukul cacing itu dari wajahnya.
"Madeline! Aku tahu kau ada di dalam sana. Jangan
bersembunyi dariku. Di mana pun dirimu, aku akan menemukanmu!"
teriak Justin. Madeline bergegas bangkit berdiri. Ia mengangkat gaunnya dan
melesat menerobos dedaunan. Kakinya bergerak liar saat ia berlari
menembus hutan. Menerobos pepohonan yang lebat. Terus menuruni
bukit mendekati rumah sepupunya.
Akhirnya, ia melihat sosok rumah tua itu. Kalau aku bisa tiba di
rumah, aku akan aman, pikirnya.
Cabang-cabang pepohonan melecut-lecut karena diterjang
Madeline. Ranting-ranting mencakari roknya. Dedaunan menempel di
rambutnya. Terus. Aku harus terus berlari.
Dengan terengah-engah, ia terhuyung- huyung ke pintu
belakang. Ia mengulurkan tangan dan meraih kenopnya.
Macet. Pintunya tidak mau dibuka.
Tidak. Pikir Madeline dengan ngeri. Tidak!
Ia mengangkat tangan hendak mengetuk kaca jendela"dan
seseorang mencengkeram bahunya.
Justin! Bab 14 MADELINE berbalik, siap untuk menyerang.
Deborah telah berdiri di belakangnya. "Ya ampun!" serunya. Ia
mendorong pintunya keras-keras. Pintu itu membuka. "Apa yang
terjadi, Madeline" Lihat gaunmu. Apa yang terjadi?"
"Oh, Deborah," kata Madeline terengah-engah, sambil
melangkah masuk. "Aku senang bertemu denganmu. Cepat, kunci
pintunya kembali. Tolonglah!"
"Mengunci pintu?" kata Deborah. "Demi langit, Nak, jangan
konyol. Kami tidak pernah mengunci pintu di sini. Tidak ada alasan
untuk itu." "Sekarang ada," kata Madeline, masih terengah-engah. "Tolong,
kabulkan permintaanku, Sepupu Deborah. Justin akan tiba setiap saat.
Kau harus melindungiku darinya. Kau harus membantuku melarikan
diri." "Melindungimu dari Justin?" kata Sepupu Deborah. "Madeline
Simms, apa maksudmu?"
"Dia menyakitiku," kata Madeline. "Dia mengejarku menerobos
hutan. Dia..." Suara Madeline tercekat di tenggorokannya.
"Sekarang kau ikut aku ke dapur, Nona muda," kata Deborah,
sambil meraih pergelangan tangan Madeline. Ia membimbing
Madeline melewati ruang tempat penyimpanan kue dan memasuki
dapur yang besar dan dingin. Madeline tidak melihat pelayan satu pun.
Ia berharap Marcus sedang tidak berada di rumah. Ia lega karena
hanya Deborah yang melihatnya dalam keadaan kacau-balau begini.
Sambil mendorong lembut, Deborah mendudukkan Madeline di
sebuah kursi. "Kau beristirahatlah," kata Deborah. "Sementara aku
membersihkan dirimu, kau akan menceritakan semuanya."
"Tidak ada waktu," kata Madeline memprotes. Ia hendak
bangkit berdiri dari kursi, tapi Deborah mendorongnya duduk
kembali. "Tolonglah, Deborah, kau harus mendengarkanku."
"Aku memang berniat begitu," jawab Deborah. "Duduk diam
dan patuhi perintahku, Sayang," katanya dengan nada lembut tapi
tegas. "Ya ampun, kondisimu benar-benar kacau, bukan?"
Deborah mengambil sehelai kain serta semangkuk air, dan
mengusap wajah Madeline. Madeline menghela napas dalam-dalam dan menunduk menatap
lantai. Ya, Deborah benar. Ia harus mengendalikan diri. Kalau ia
terdengar histeris, tidak akan ada yang mempercayai dirinya.
Sepupunya hanya akan menganggap dirinya mengada-ada.
Deborah akan mengira ia telah berubah sinting.
Tapi Madeline tidak sinting. Ia yakin Justin Fear benar-benar
mengisap darahnya, itu bukan sekadar bayangannya saja.
Madeline duduk tidak bergerak sama sekali sementara Deborah
membersihkan kotoran dari wajahnya dan mencabuti dedaunan dari
rambutnya. Madeline menunduk memandang tangannya. Perlahan-lahan, ia
membalikkan telapak tangan kirinya. Perutnya bergolak mual saat
melihat luka berdarah di tengah-tengah telapak tangannya.
Luka tempat Justin tadi menempelkan mulutnya. Dan mengisap
darahnya. Tidak, ia bukan sekadar membayangkannya saja.
Sepupunya menenangkan dirinya sambil merapikan rambutnya.
"Sekarang," katanya, "ceritakan semuanya padaku."
Madeline menangkupkan tangannya. Ia tidak tahan melihat luka
berdarah di telapaknya lebih lama lagi. Dengan suara gemetar, ia
menyampaikan apa yang terjadi di kebun mawar. Ia agak tergagap
sewaktu menceritakan bagaimana Justin menghirup darahnya. Tapi ia
memaksa diri untuk menceritakan segalanya kepada Deborah.
Akhirnya, ia mengangkat tangan dan menunjukkan luka
bergerigi di telapaknya. Deborah hampir-hampir tidak melihatnya.
"Well," kata Deborah sambil mendesah. "Cerita yang hebat,
harus kuakui." "Kau tidak mempercayaiku, bukan?" jerit Madeline, sambil
melompat bangkit berdiri. "Kau tidak akan membantuku. Kau
menganggapku sinting."
"Tenang, tenang, Sayang," kata Deborah. "Tenangkan dirimu."
Madeline menutupi telinga dengan tangannya. "Jangan berkata
begitu!" teriaknya, kehilangan kendali sama sekali. "Itu yang selalu
dikatakan orang-orang kepada Mama."
Madeline mulai tertawa liar. Mama! Aku menyebut Mama,
pikirnya. Sekarang semua orang akan tahu bahwa aku sinting.
Deborah menampar Madeline keras-keras.
Pipi Madeline bagai tersengat. Seluruh wajahnya terasa panas.
Ia jatuh ke kursi dapur. Kepalanya menjuntai lemas ke meja sementara
ia berusaha keras menahan tangis histerisnya.
Aku tidak boleh menangis. Kalau aku menangis, aku takkan
bisa berhenti. "Maaf, aku terpaksa melakukannya, Madeline," kata Deborah
sambil menepuk-nepuk bahu Madeline. "Tapi tingkahmu tidak
memberiku pilihan lain. Dan bagus juga kau menyinggung tentang
ibumu. Aku sudah lama ingin membicarakannya, tapi aku tak tahu
bagaimana cara memulainya. Aku tahu bahwa ibumu"agak tidak
beres di kepalanya."
"Katakan," bisik Madeline. Ia mengangkat kepala dan menatap
lurus ke mata sepupunya. "Silakan. Ibuku sinting dan kau mengira aku
sama seperti dirinya."
"Tidak. Aku tidak menganggap dirimu sama dengan ibumu,"
jawab Deborah. Ia duduk di samping Madeline.
"Belum. Tapi kupikir kau bisa menjadi seperti ibumu,
Madeline. Terutama kalau kau membiarkan imajinasimu
mempengaruhimu. "Kau sangat penting bagi Justin, Madeline. Marcus dan aku
langsung mengetahuinya. Kemarin Justin merawatmu sesudah
kecelakaan yang kaualami. Kenapa dia mau menyakitimu hari ini?"
"Entahlah," jawab Madeline. "Deborah, aku tidak tahu."
"Apa dia menjelaskan apa yang terjadi menurutnya?"
Madeline memikirkannya sejenak. Justin meneriakkan semacam
penjelasan sambil mengejarnya, bukan"
"Kurasa dia mengatakan sesuatu tentang duri mawar yang
beracun," jawabnya perlahan-lahan. "Dia harus mengisap darahku
untuk memastikan aku tidak keracunan."
Deborah menepukkan tangannya dengan penuh semangat. "Itu
dia! Kau lihat" Penjelasan yang masuk akal. Justin seorang dokter.
Dia tahu hal-hal seperti itu. Kenapa kau tidak mempercayainya?"
"Karena...," Madeline menghentikan bicaranya.
Kenapa aku tidak mempercayainya" Semuanya terasa begitu
kabur sekarang. "Apa ada kejadian lain di kebun mawar itu, mungkin?" tanya
Deborah, mata hijaunya yang tajam menatap Madeline. "Sesuatu yang
tidak kauceritakan?"
Madeline merasa wajahnya memerah.
Deborah menggoda. "Jadi, memang ada kejadian lain?"
Madeline mengangguk. "Justin menciumku."
Deborah menjerit gembira dan menepukkan tangannya sekali
lagi. "Aku tahu!" Ia mengulurkan tangan dan memeluk Madeline eraterat. "Aku mengerti apa yang terjadi sekarang. Semuanya sederhana
sekali. Tapi aku tidak terkejut kalau kau tidak melihatnya, Sayang.
Bagaimana pun juga, kau masih muda. Ciuman Justin pasti sudah
membangkitkan perasaan yang kuat dalam dirimu."
Deborah terdengar begitu mengerti. Begitu bijaksana dalam halhal seperti ini. Apa memang begitu kejadiannya" pikir Madeline
penasaran. "Emosimu sedang dalam keadaan begitu rupa," kata Deborah
mengingatkan. "Kau tegang sekali. Lalu ada kejadian yang
menakutkan dan tidak terduga. Imajinasimu menguasai dirimu. Kau
kehilangan kendali. Kau harus mengatasinya, Sayang. Kami tidak
ingin kau berubah menjadi seperti ibumu yang malang."
Madeline begitu lega hingga merasa pusing. Penjelasan
Deborah terasa sangat masuk akal.
Ciuman Justin memang membangkitkan perasaan yang sangat
dalam pada dirinya. Justin tidak berusaha untuk menyakitiku, pikir
Madeline. Hanya imajinasiku yang terlalu aktif dan mempengaruhiku.
Itu saja. Kalau aku bisa mengendalikannya, aku tidak akan bernasib
seperti Mama. Aku hanya perlu berusaha agar tetap terkendali.
"Sayangnya aku harus mengatakan ini, Madeline," lanjut
Deborah. "Aku tidak ingin membuatmu lebih tidak enak lagi. Tapi kau
harus meminta maaf kepada Justin Fear. Kurasa sebaiknya kau ke
rumahnya sekarang juga."
"Sekarang?" kata Madeline dengan napas tersentak. "Secepat
itu" Oh, Deborah, aku tidak bisa."
"Omong kosong," kata Deborah tegas, sambil menarik
Madeline bangkit berdiri dari kursinya. "Ini sama seperti naik ke
punggung kuda lagi sesudah kau terjatuh parah. Lebih baik tidak
terlalu memikirkannya. Lakukan saja dan selesaikan."
"Tapi aku sekarang merasa malu sekali dengan sikapku," kata
Madeline mengakui. "Dan lihat diriku." Ia menunduk menatap
gaunnya yang telah robek-robek serta kotor. "Penampilanku kacau!"
"Ayo ke atas, ganti pakaianmu dan rapikan rambutmu. Kau
akan tampak bersih," kata Deborah berusaha meyakinkannya.
Ia menatap Madeline. "Akuilah. Apa kau tidak mau mencium
Justin dan berbaikan lagi dengannya?"
Madeline merasakan semburan singkat emosi saat ia teringat
perasaan berada dalam pelukan Justin. "Ya," katanya mengakui. "Aku
akan meminta maaf sekarang juga."
Deborah tersenyum menyetujui. Untuk pertama kalinya,
Madeline menyadari betapa tajam gigi-gigi sepupunya. Dia tampak
seakan ingin menggigitku, pikir Madeline.
Aku harus berhenti berpikir seperti itu, pikir Madeline lagi. Aku
harus berhenti melihat bahaya di mana-mana. Aku harus tetap
menguasai diri. Kalau aku bisa menguasai diri, segalanya akan baik-baik saja.
Aku bisa memenangkan kebahagiaanku sendiri.
Tapi, pertama-tama, aku harus memenangkan kembali Justin
Fear. Bab 15 MADELINE bergegas mengganti pakaiannya dan menuju ke
rumah Justin. Sekarang, sesudah memutuskan untuk meminta maaf
kepada Justin, ia tidak ingin membuang-buang waktu lebih lama lagi.
Ia tidak ingin kembali melintasi hutan, tempat ia begitu
ketakutan tadi. Tapi hutan merupakan jalan tercepat ke rumah Justin.
Hutan terlihat gelap dan sunyi. Udara hampir-hampir tidak
bergerak. Langit telah tertutup mendung. Mendung tebal yang
menggantung rendah. Aku sudah bersikap sangat tidak ramah, pikir Madeline, sambil
bergegas menerobos sesemakan dan pepohonan. Justin sudah
memotongkan salah satu mawarnya yang berharga dari kebunnya. Dia
sudah memelukku dan menciumku.
Dan aku malah menafsirkan tindakannya dengan salah. Aku
harus meminta maaf padanya sebelum ia memutuskan untuk tak ingin
bertemu denganku lagi. Cepat. Cepat! Krak! Ada ranting yang patah di belakangnya, memecahkan kesunyian
hutan. Dengan jantung berdebar-debar, Madeline berbalik.
Tidak ada apa-apa di sana. Hanya cabang-cabang pohon yang
berayun-ayun lembut. Tapi Madeline tak mampu mengusir perasaan
bahwa ada yang tidak beres di sana.
Ada yang mengawasiku. Aku bisa merasakan pandangannya.
Mengawasi. Menunggu. Ia berusaha memandang ke dalam keremangan. Detak
jantungnya bertambah cepat.
"Siapa di sana?" serunya, suaranya terdengar pelan dalam
kesunyian. "Justin" Apakah itu dirimu?"
Tidak ada jawaban. Aku harus berhenti bersikap seperti ini! pikir Madeline, marah
sendiri. Ini hanya imajinasiku saja, melayang ke mana-mana lagi.
Well, kali ini aku takkan membiarkan imajinasiku menguasai diriku.
Madeline berbalik kembali.
Ia menjerit. Pria yang dikejarnya di lorong-lorong panjang dan gelap rumah
sepupunya berdiri tepat di hadapannya.
Matanya yang hitam memancarkan kesintingan. Wajah pria itu
mengerut kesakitan. Pria itu menjulurkan lengannya, tangannya membentuk cakar.


Fear Street Sagas 08 Tarian Kematian Dance Of Dead di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia siap menangkap Madeline, kalau gadis itu berani menjauh.
Madeline tak mampu membalas tatapannya. Ia menunduk
memandang tanah hutan. Ia tersentak keras dan melompat mundur.
Kaki pria ini! Kakinya melayang di atas permukaan tanah!
Madeline merasakan tawa histeris mendesak keluar dari
tenggorokannya. Ia tidak mampu menahannya. Dan lalu ia tertawa
terbahak-bahak. Dia hantu! Pengejarku yang misterius ternyata hantu.
Tidak! Ini hanya imajinasiku saja. Hanya imajinasiku. Hantu itu
tidak ada. Aku harus berhenti tertawa! Aku akan berubah menjadi seperti
Mama. Aku akan sinting. Pria itu menerjangnya. Tawa Madeline berubah menjadi jeritan. Madeline melompat
menyingkir. Lalu ia mengangkat roknya dan melesat ke sela-sela
pepohonan. Ia harus pulang.
Madeline melesat menerobos hutan yang gelap. Bayang-bayang
menelannya dan ia hampir-hampir tak bisa melihat tanah di depannya.
Kakinya terasa sakit saat ia terus berlari. Napasnya terasa membakar
tenggorokannya saat ia terengah-engah menghirup udara.
Ia melirik ke belakang dan hanya melihat kegelapan serta garisgaris pohon yang remang-remang. Aku tidak bisa kembali ke rumah
Deborah. Dia jelas akan menganggapku sinting sekarang. Aku harus
mencoba untuk menemukan Justin, pikir Madeline mengambil
keputusan. Dengan tiba-tiba ia mengubah arah, menuruni bukit ke arah
rumah Justin. Hantu itu muncul di hadapannya begitu ia berbalik. Ia
melayang-layang di udara di atas kepala Madeline, sekarang
ukurannya dua kali lipat dari sebelumnya.
Matanya bagai menyala-nyala di lubangnya. Bibirnya tertarik
ke belakang seakan-akan ia tengah berusaha mati-matian untuk
berbicara. Sekalipun begitu, Madeline tidak mendengar suara apa pun.
Hantu itu melambai-lambaikan tangannya dengan liar, berusaha untuk
meraih Madeline. Dia ingin aku mati, pikir Madeline. Dia ingin membunuhku.
Kenapa" Kenapa"
"Kenapa kau mau menyakitiku?" jerit Madeline, berusaha untuk
mengendalikan ketakutannya. "Aku tak pernah melakukan apa pun
terhadapmu!" Tubuh pria itu semakin lama semakin panjang. Bayangannya
memenuhi langit. Tatapan Madeline terpaku pada pakaiannya yang
berlumuran darah. Begitu banyak darah. Perut Madeline bergolak dan
lututnya terasa lemas melihat pemandangan yang memuakkan itu.
"Aku takkan membiarkan kau menangkapku!" jerit Madeline.
"Tidak akan!" Krak! Madeline merasa tanah di bawah kakinya bergetar. Ia
kehilangan pijakan dan jatuh ke tanah. Tanah merekah.
Mati-matian Madeline mencakari tanah yang dirasakannya
runtuh di bawah dirinya. Merekah menjadi lubang yang besar.
Tubuh Madeline menjuntai di tepi sumur yang lebar dan dalam
itu. Ia bergegas melirik ke balik bahunya, mencoba melihat dasarnya.
Ia tidak bisa. Lubang itu gelap dan tidak berdasar.
Madeline berpegangan pada tanah lunak di tepinya dengan
seluruh kekuatannya. Tapi, perlahan-lahan, ia mulai merosot. Merosot
ke dalam lubang. Madeline menyambar seutas akar yang tebal. "Tolong!
Tolonglah! Tolong!" jeritnya. "Tolong aku!"
Ia menahan napas dan mendengarkan. Ia berdoa agar ada orang
yang mendengar jeritannya.
Tidak ada jawaban. Tidak terdengar suara langkah-langkah kaki
mendekat. Tanah dan ranting dan bebatuan kecil menghujani wajahnya. Ia
merasa akar tempatnya berpegangan mulai tercabut.
Aku akan jatuh! Aku akan terkubur hidup-hidup!
Madeline melihat seutas akar yang lain. Ia segera
mencengkeramnya dan memanjat naik. Aku tak mau jatuh ke sana!
pikirnya. Aku akan menemui Justin.
Ia mengayunkan diri keluar dari lubang, dan merangkak ke
tanah keras. Lalu ia bersusah payah bangkit berdiri dengan kaki yang
masih gemetar. Madeline mencondongkan tubuh ke depan dan meletakkan
tangan di lututnya. Ia harus menenangkan pernapasannya sebelum
bisa melanjutkan perjalanan.
Embusan angin yang sangat kuat menerobos hutan. Pohon di
atas kepala Madeline berderak menakutkan. Lalu pohon itu terbelah
dua, seakan-akan dibelah oleh sebatang kapak raksasa.
Pohon yang berat itu jatuh berdebum. Cabang-cabangnya
menyapu wajah Madeline saat batangnya terempas di tanah.
Madeline merasakan darah menetes dari hidungnya. Ia mulai
tercekik. Aku harus pergi dari sini. Aku harus melarikan diri.
Tapi ia tak bisa lari. Lubang yang diciptakan hantu itu
membentang di hadapannya, terlalu besar untuk dilewati meskipun
dengan memutar. Terlalu lebar untuk dilompati.
Pohon! Separo pohon itu telah jatuh melintang di atas lubang.
Aku bisa menggunakannya sebagai jembatan, pikir Madeline. Hanya
itu satu-satunya kesempatanku. Satu-satunya kesempatan untuk
bertemu dengan Justin. Madeline merangkak ke atas batang pohon raksasa itu. Begitu
besar hingga Madeline tidak mampu memeluknya. Ia berpegangan
pada cabang-cabang yang ada di kedua sisinya.
Aku sedang memanjat sebatang pohon, hanya itu. Memanjat
sebatang pohon. Aku sering melakukannya sewaktu masih kanakkanak.
Kepala Madeline terasa melayang-layang karena kesakitan dan
pusing. Lengan-lengannya terasa sakit karena dipergunakan untuk
berpegangan. Sentimeter demi sentimeter yang menyakitkan, ia
bergerak sepanjang batang pohon itu.
Jangan melihat ke bawah. Jangan melihat ke bawah. Pusatkan
saja perhatianmu untuk tiba di seberang.
Madeline mengangkat kepalanya"dan memandang lurus ke
mata hantu yang menyala-nyala.
Madeline menjerit dan kehilangan pegangan pada batang pohon
itu. Ia terpeleset ke satu sisi. Ia menyambar salah satu cabang untuk
berpegangan. Kaki Madeline menggantung-gantung di atas lubang yang
dalam itu. Berat gaunnya menariknya turun, turun, turun.
Ia bisa mendengar tulang-belulang di lengannya berderak
karena usahanya untuk tidak kehilangan pegangan. Dengan sisa-sisa
kekuatannya, ia menendangkan kakinya ke atas dan menjepit batang
pohon dengannya. Madeline berpegangan pada bagian bawah cabang, kehabisan
tenaga. Tinggal sedikit lagi! Tinggal sedikit lagi untuk mencapai
tujuanku. Tapi aku takkan bisa melakukannya sekarang.
Cabang pohon yang digunakannya sebagai pegangan mulai
patah. Ini akhirnya. Aku akan mati.
Cabang itu patah dari batangnya. Angin bersiul di telinga
Madeline saat ia terayun di udara. Ia menghantam dinding lubang
dengan kekuatan yang mengeluarkan udara dari paru-parunya.
Kaki-kaki Madeline mulai terlepas dari batang pohon.
Ia jatuh. Tangan-tangan dingin terjulur dan mencengkeram
pergelangannya. Hantu itu! Dia berhasil menangkapku!
Bab 16 HANTU itu menarik Madeline keluar dari lubang dan ke dalam
pelukannya. Madeline menengadah menatapnya.
Justin! Bukan hantunya. Tapi Justin.
"Justin?" tanya Madeline dengan nada tertegun. "Ini benarbenar kau?"
"Hus, Madeline," kata Justin, sambil melintangkan jarinya yang
dingin di bibir Madeline. "Semuanya akan beres. Kau sudah aman
sekarang." Ternyata sentuhan Justin yang kurasakan. Bukan sentuhan
hantu itu! "Oh, Justin!" jerit Madeline. Ia membenamkan wajahnya ke
dada Justin. "Kau sudah menyelamatkan diriku, bukan?"
"Tentu saja," jawab Justin. "Kau sangat penting bagiku,
Madeline. Sekalipun kau sudah mengecewakanku."
Madeline menengadah. Ia tahu bahwa ia harus minta maaf. "Oh,
Justin. Aku malu sekali dengan sikapku tadi. Aku sedang dalam
perjalanan menemuimu, untuk minta maaf. Untuk menanyakan
bagaimana bisa mengganti kesalahanku. Lalu"kecelakaan ini
terjadi." Justin tersenyum. "Aku senang mengetahui kau kembali
padaku," jawabnya. "Kalau kau benar-benar ingin memperbaiki
kesalahanmu, kau bisa melakukan sesuatu."
"Apa?" tanya Madeline. Detak jantungnya bergemuruh bagai
guntur. Ada kehangatan istimewa dalam pandangan Justin.
"Menikahlah denganku, Madeline."
Seluruh bulu kuduk Madeline bagai meremang. Justin ingin
menikah dengannya! Ingin Madeline menjadi istrinya! Madeline
merasa begitu bahagia hingga ingin bertepuk tangan. Ia menatap mata
biru Justin yang berkilauan.
"Justin, ada sesuatu yang harus kauketahui terlebih dulu," jawab
Madeline perlahan-lahan. Ekspresi Justin berubah muram. "Apa kau mencari-cari alasan"
Untuk menolak menjadi istriku?"
"Tentu saja tidak," jawab Madeline tergesa-gesa. "Aku ingin
menikah denganmu, lebih dari apa pun di dunia ini."
Sewaktu menyadari apa yang telah dikatakannya, wajah
Madeline memerah. Justin hanya tersenyum.
"Kau cantik sekali kalau begitu." Justin membungkuk dan
mengecup ujung hidung Madeline. "Apa itu berarti ya?"
"Justin," kata Madeline serius. "Aku tak ingin ada rahasia di
antara kita. Sebelum aku menjawab, ada sesuatu mengenai masa
laluku yang harus kuceritakan padamu. Kau mungkin tidak
menginginkan diriku, sesudah mengetahui rahasia ini."
"Aku akan selalu menginginkan dirimu, Madeline," jawab
Justin, pelukannya bertambah erat. "Tidak ada apa pun yang akan
mengubahnya. Tapi katakan ceritamu, kalau dengan begitu kau bisa
merasa lebih baik." Madeline menatap mata biru Justin yang seindah langit.
"Ibuku sinting," kata Madeline. Ia menghela napas dalamdalam. "Semua orang menganggap orangtuaku tewas dalam
kecelakaan. Tapi sebenarnya..."
Aku tidak bisa, pikir Madeline. Bagaimana aku menceritakan
kejadian yang sebenarnya pada Justin"
"Apa?" tanya Justin. "Kau bisa menceritakan semuanya."
"Sebenarnya ibuku yang membunuh ayahku. Lalu dia
menembak dirinya sendiri," kata Madeline mengakui.
"Madeline," bisik Justin. "Sungguh mengerikan bagimu."
"Tapi apa kau tidak mengerti, Justin?" desak Madeline.
"Bagaimana kalau aku mirip ibuku" Bagaimana kalau kita menikah
lalu aku berubah sinting" Bagaimana kalau aku berusaha untuk
menyakitimu" Apa istri semacam itu yang kauinginkan" Apa begitu,
Justin?" EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
Justin membungkuk dan mencium Madeline sekilas. "Kau tidak
akan sinting, dan kau tidak akan menyakitiku. Aku takkan
membiarkanmu melakukannya. Aku seorang dokter, ingat" Dengan
begitu aku menjadi suami yang sempurna bagimu. Dan satu-satunya
istri yang kuinginkan hanyalah dirimu."
Madeline merasakan dadanya sesak oleh kebahagiaan. Justin
telah mengetahui rahasianya yang paling dalam. Dan dia masih ingin
menikah dengannya. "Kau yakin?" bisiknya, sambil menatap Justin.
"Sangat yakin," kata Justin berjanji. Senyum kecil muncul di
sudut mulutnya. "Boleh aku mendapatkan jawabannya sekarang"
Kurasa aku sudah menunggu terlalu lama."
Madeline balas tersenyum kepadanya. Untuk pertama kali sejak
tiba di Shadowbrook, ia merasa damai sepenuhnya.
Aku benar. Tempat ini merupakan awal yang sama sekali baru.
Aku akan membangun kehidupan yang benar-benar baru di sini.
Kehidupan yang akan menghapus kengerian masa lalu.
Kehidupan tempat aku takkan berubah sinting, seperti Mama.
"Jawabannya ya, Justin," jawab Madeline, hatinya bagai
menyanyi. "Aku akan menikah denganmu."
Sepanjang hari sisanya terasa kabur baginya.
Deborah dan Marcus sangat berbahagia mendengar berita
pertunangan Madeline. Deborah merencanakan untuk
menyelenggarakan pesta dan akan mengumumkan hal itu secepat
mungkin. Justin bersikeras agar pestanya diselenggarakan di
rumahnya. Justin sibuk kian kemari, mengatur pernikahan mereka dalam
beberapa hari lagi. "Tidak ada alasan untuk menunggu," kata Deborah kepada
Madeline dengan riang saat mereka menaiki tangga di malam harinya.
"Kami ingin kau menjadi Mrs. Justin Fear secepat mungkin.
Oh, aku bahagia sekali," lanjut Deborah, sambil memeluk Madeline
saat mereka berdiri di depan pintu kamar tidur Madeline. "Ini seperti
dalam dongeng. Tidurlah sekarang, dan tidurlah yang banyak untuk
mempertahankan kecantikanmu. Mimpi indahlah, Sayang."
Madeline merasa kelelahan pada saat ia merangkak naik ke
ranjang. Tapi begitu bahagia.
Siapa yang bisa menduga bahwa aku akan bertunangan dengan
Justin hanya dalam waktu dua hari" pikirnya. Tapi aku yakin bahwa
kami tidak tergesa-gesa. Jelas kami sudah ditakdirkan untuk bersatu.
Madeline jatuh tertidur sambil tersenyum.
********************* Madeline terjaga beberapa jam kemudian, dengan jantung
berdebar-debar kencang. Ada apa" Apa yang sudah membangunkanku"
Ia duduk tegak di ranjang dan menatap ke kegelapan; telinganya
berusaha keras menangkap suara sepelan apa pun.
Tak... sret... Tak... sret... Tak... Suara langkah wanita tua, yang dipanggil Bibi oleh Deborah,
tengah berjalan menyusuri lorong. Menyusuri lorong ke kamar
tidurku. Dengan cepat, Madeline menyingkapkan selimut dan bergegas
turun dari ranjang. Ia telah membulatkan tekad untuk tidak
membiarkan Bibi mengejutkan dirinya lagi.
Deborah mungkin menganggapnya tidak berbahaya, tapi aku
tidak begitu menyetujui pendapatnya.
Madelina meraih sebatang tempat lilin kuningan yang berat dan


Fear Street Sagas 08 Tarian Kematian Dance Of Dead di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa bersuara melangkah ke pintu kamar tidurnya.
Tak... sret... Tak... sret... Tak... Madeline mendengarkan sementara Bibi semakin lama semakin
dekat. Ia mendengar suara pernapasan berat wanita tua itu tepat di
balik pintu. Dengan jemari gemetar, Madeline mengulurkan tangan ke
kenop pintu. Ia membuka pintunya dengan tiba-tiba. Bibi berdiri di
lorong di hadapannya. "Menikahlah dengan Justin Fear," bisik Bibi, "dan kau pasti
akan mati!" Bab 17 "OMONG kosong! Berani sekali kau mengatakan pendapat
sekejam itu?" seru Madeline.
Bibi bergegas masuk ke kamar tidur melewati Madeline. Ia
menutup pintu di belakangnya.
"Shhh," kata Bibi memperingatkan, sambil mengacungkan satu
jari ke bibirnya sendiri. "Jangan sekeras itu. Tidak boleh ada yang
mendengar kita. Tidak boleh ada yang mengetahui."
"Mengetahui apa?" tanya Madeline.
"Kalau aku datang menemuimu. Kalau aku sudah mengatakan
kebenaran padamu." "Aku sudah mengetahui kebenaran tentang Justin, Bibi. Dia
mencintaiku dan ingin menikah denganku."
"Tidaaaak!" erang Bibi. Ia mondar-mandir dalam kamar tidur
Madeline. Api lilinnya menimbulkan bayangan yang aneh di dindingdinding.
"Begitulah bahayanya kebohongan. Kalau kau menikah dengan
Justin, kau akan mati. Dengarkan aku," desaknya. Ia terdengar hampir
menangis. "Kau harus mempercayaiku, Nak."
Mungkin lebih baik aku membiarkannya bercerita, pikir
Madeline tersadar. Kalau tidak, dia takkan pernah tenang. Dia akan
membangunkan seluruh rumah. Aku tidak ingin harus menjelaskan
kehadirannya di kamarku kepada Deborah dan Marcus.
"Baiklah, Bibi," katanya menyetujui. Ia meletakkan lilin di meja
rias. "Akan kudengarkan. Aku berjanji."
Dengan lembut, Madeline membimbing Bibi ke kursi di dekat
ranjang. Ia terasa begitu rapuh.
"Oh, kau gadis yang baik, bukan?" kata Bibi sambil duduk.
"Terlalu baik untuk nasib buruk yang menunggumu. Terlalu baik
untuk Justin Fear," katanya sambil mengerang, dan menggeleng. "Aku
harus berusaha untuk menyelamatkan dirimu. Aku tak bisa
menyelamatkan yang lain. Oh, Tobiasku! Aku gagal. Gagal."
Dia sinting, pikir Madeline. Sinting sepenuhnya.
Bibi bergetar, bergoyang-goyang dari satu sisi ke sisi yang lain.
"Keluarga Fear sejak dulu memang jahat," bisiknya. "Kejahatan demi
kejahatan yang sudah berlangsung terlalu lama. Tapi ada satu nama
yang menyebabkan bahkan Fear yang lainnya bersembunyi ketakutan.
"Nama itu Justin Fear."
"Tapi dia baik sekali," kata Madeline memprotes. "Pertama kali
bertemu dengannya, kukira dia seorang malaikat."
"Malaikat yang sudah dibuang dari surga," kata Bibi bersikeras.
"Jangan biarkan penampilannya menipumu. Justin sejak dulu luar
biasa tampan, bahkan sewaktu masih muda."
"Sewaktu masih muda?" tanya Madeline. "Bibi, kau tidak
masuk akal. Justin masih muda."
"Oh, tidak, Sayang," jawab Bibi, sambil menggeleng. "Wajah
muda dan tampan yang kaulihat tidak lebih dari ilusi yang dibangun
berdasarkan kejahatan. Justin Fear sama tuanya dengan diriku. Bahkan
lebih tua. Wah, dia bahkan sudah hampir seratus tahun usianya."
"Seratus tahun!" seru Madeline. Ia merasa ingin tertawa, tapi
tak ingin menyinggung perasaan wanita tua itu. "Tapi dia tampaknya
tidak lebih tua dari dua puluh tahun, Bibi. Bagaimana mungkin?"
tanyanya. "Kekuatan jahat bisa membuat hampir semuanya mungkin,"
kata Bibi bersikeras. "Dalam hal Justin, dia sudah berkeliling dunia,
mempelajari ritual-ritual kuno yang aneh hingga menemukan apa yang
dicarinya. Ritual yang akan mempertahankan ketampanan dan
kemudaannya untuk selama-lamanya."
Bibi menegakkan duduknya dan mencengkeram tangan
Madeline. Ia menatap mata Madeline dengan pandangan yang tajam
menusuk. "Justin Fear seorang pencuri-jiwa."
Pencuri-jiwa" Apa maksud wanita ini" Madeline tiba-tiba
merasa pusing. Seluruh ceritanya semakin lama semakin aneh.
"Itu tidak mungkin," kata Madeline. Ia menarik tangannya
hingga terlepas dari cengkeraman Bibi. "Bagaimana caranya mencuri
jiwa orang lain?" "Dengan menggunakan ilmu hitam," jawab Bibi. "Dan dengan
membengkokkan cinta. Justin masih muda dan tampan karena dia
sudah menikah dengan empat orang wanita muda yang cantik dan
mencintainya dengan sepenuh hati. Tapi dia membalas cinta mereka
dengan mengambil nyawa mereka dan mencuri kemudaan serta
kecantikan mereka untuk dirinya sendiri."
Madeline merasa tubuhnya menggigil mendengar kata-kata Bibi
itu. Ia tak ingin mempercayai celoteh wanita tua ini. Meskipun begitu,
jauh di dasar hatinya, ia merasa kata-kata itu ada benarnya.
"Mereka baru berusia tujuh belas tahun sewaktu dia menikahi
mereka," lanjut Bibi. "Tidak seorang pun yang bertahan hidup hingga
usia kedelapan belas. Tulang-belulang mereka dikuburkan jauh di
bawah mawar-mawar di kebunnya. Benar bukan, Tobiasku?"
Madeline teringat pada kebun mawar Justin yang indah. Ia
teringat bagaimana Justin menciumnya di sana untuk pertama kalinya.
Ia teringat perasaan aneh yang dirasakannya di sana.
Keharuman mawar yang mencekiknya. Kehadiran sesemakan tinggi
yang menjulang, duri-durinya yang tebal dan bunga-bunganya yang
berat. Apakah Justin menciumnya saat mereka berdiri tepat di atas
tulang-belulang para istrinya yang dulu"
"Tidak," bisik Madeline. "Aku tidak percaya. Tidak!"
"Dia ingin mengulangi perbuatannya padamu!" kata Bibi
bersikeras, sambil beranjak bangkit. "Dia menginginkan
kecantikanmu. Dia menginginkan jiwamu. Dan hanya ada satu jalan
untuk menyelamatkan diri. Hanya satu cara untuk selamat dari
jebakan mematikannya."
"Aku tak mau mendengar," kata Madeline. "Aku tak mau
mendengar." Ia menutup telinga dengan tangannya. Tapi kata-kata Bibi
menembus penghalang itu. "Kau harus melukai dirimu sendiri," bisik Bibi dengan suara
yang menakutkan. "Kau harus menghancurkan kecantikanmu
sehingga kau tidak akan ada gunanya bagi Justin. Atau, kalau kau
sangat berani, kau bisa mengakhiri kejahatannya sekarang juga untuk
selama-lamanya." "Bagaimana?" bisik Madeline meskipun tak ingin
mendengarnya. "Bagaimana caranya?"
"Lukai pencuri-jiwa dan bukannya dirimu sendiri," kata Bibi.
"Lukai dia agar darahnya bisa mengalir keluar dengan bebas."
BAGIAN ENAM Tobias Bab 18 Shadowbrook, New York, 1793 SUARA Justin terus terdengar. Membisikkan godaan demi
godaan kepada Tobias. Menjanjikan hal-hal yang mengerikan
kepadanya. Hal-hal yang sulit untuk dibayangkan. Hal-hal yang hanya bisa
dibeli dengan satu cara. Dengan darah seorang korban yang tidak bersalah.
Honoria. Aku bisa hidup abadi, kalau aku meminum darah Honoria.
"Pikirkan, Tobias," bisik Justin. "Kita bisa hidup abadi. Semua
orang di sekitar kita akan menua dan melemah. Tapi kita akan selalu
muda dan kuat. "Darah Honoria memungkinkan kita untuk itu, Tobias.
Darahnya akan memungkinkan kita menipu kematian. Bukankah itu
tujuan kita bekerja seumur hidup. Bukankah itu yang kauinginkan?"
Kepala Tobias tersentak. Ia kebingungan dan kehilangan arah,
seakan-akan tengah mabuk.
Justin benar, pikirnya. Kami sudah bekerja selama bertahuntahun untuk menyingkap rahasia hidup abadi. Dan sekarang aku akan
membiarkannya begitu saja. Aku akan membuangnya. Tapi aku tak
bisa mengingat alasannya.
Tobias bisa merasakan cengkeramannya pada pisau bedah
mulai melemah. "Benar, Tobias," perintah Justin dengan nada menenangkan
yang sama. "Sekarang letakkan pisau bedahnya."
Jemari Tobias mengendur di sekeliling pisau bedah itu. Pisau
itu jatuh ke lantai. "Tobias," kata Honoria sambil mengerang di belakangnya. "Oh,
Tobiasku, jangan menkhianatiku."
Suara Honoria menyentakkan Tobias kembali ke kenyataan. Ia
menggeleng untuk menjernihkan pemikirannya.
Justin hampir-hampir menipuku untuk menghancurkan wanita
yang kucintai, pikirnya tersadar. Dia seperti tukang sihir jahat yang
menyihirku dengan manteranya.
"Takkan berhasil, Justin," kata Tobias.
"Kau akan menyesal, Tobias," jawab Justin dengan suara pelan
tapi tegang. "Kau pernah menjadi temanku. Pekerjaanmu sangat
membantuku. Tapi sekarang aku tidak memerlukan dirimu lagi. Aku
akan memberimu pelajaran, Tobias. Pelajaran terakhir yang akan
kaupelajari. "Aku akan mengajarkan bagaimana lemahnya dirimu untuk
menghentikan diriku. Akan kuisap habis darah Honoria dan kau akan
menyaksikannya. Kau akan menyaksikan diriku menjadi lebih kuat
dari makhluk apa pun yang pernah kauimpikan.
"Dan sesudah itu, Tobias, kau akan mati."
"Tidak!" jerit Tobias, sambil melesat maju. Ia menundukkan
kepalanya dan menghunjamkannya ke perut Justin.
Justin terhuyung mundur sambil mendengus. Ia terkait sebuah
kursi dan jatuh telentang di karpet. Tobias jatuh ke atasnya.
Mata Justin terpejam dan pernapasannya lambat. Dia pingsan,
pikir Tobias. Sekarang kesempatanku untuk mengakhirinya, sekali
untuk selamanya. Ia meraih pisau bedah dari karpet dan mengacungkannya ke
dada Justin. Tapi ia tidak mampu menghunjamkannya ke dada Justin.
Ada sesuatu yang menahannya.
Ini Justin. Orang yang selama ini selalu membantunya. Satusatunya teman yang pernah dimilikinya.
Aku tak bisa membunuh Justin. Aku tak bisa, pikirnya liar.
Jangan menganggapnya sebagai Justin, kata Tobias pada dirinya
sendiri. Ini bukan Justin. Bukan orang yang selama ini merupakan
sahabatku. Ini orang lain. Orang yang terobsesi dengan kekuatan jahat.
Orang yang ingin melakukan tindakan yang tidak wajar. Dia akan
menghancurkan diriku dan Honoria, kalau kubiarkan.
Justin, maafkan aku! Tobias memejamkan mata dan menghunjamkan pisau bedah itu.
Lengan Justin terayun ke atas menghalanginya.
Tobias membuka matanya. Pisau bedahnya jatuh ke dada Justin
tanpa melukainya. "Sudah kukatakan, Tobias," gumam Justin, mata birunya
berkilauan penuh kemenangan. "Sudah kukatakan bahwa aku lebih
kuat daripada dirimu." Justin menyambar pisau bedah itu dan mengiris
Tobias. Tobias bergerak ke samping. Justin bergegas bangkit
mengejarnya. Keduanya pun jatuh bangun. Justin sambil mengayunkan pisau
bedahnya. Tobias berusaha menghindar.
Seluruh dada Tobias terasa bagai terbakar. Udara panas keluar
masuk paru-parunya. Justin benar, pikirnya dengan perasaan putus
asa, dia lebih kuat daripada diriku. Aku akan kalah.
Justin menjepit Tobias ke lantai. Aku akan mati, pikir Tobias.
Dan Honoria akan menjadi korban pertama pencuri-jiwa.
Maafkan aku, Honoria. Seharusnya aku melindungi dirimu.
Seharusnya aku memahami kebenaran pada waktunya.
Justin membungkuk di atas Tobias, pisau bedah di tangannya.
"Kau berani menantangku," katanya dengan napas terengah-engah.
"Dan sekarang kau akan menderita karenanya. Berdoalah cepat,
Tobias. Sudah waktunya bagimu untuk mati."
Pisau bedah dari perak itu berkilauan saat Justin
mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Tidaaaak!" Honoria menghambur ke arah Justin.
Justin menyentakkan lengannya ke belakang"dan mata pisau
bedah yang tajam mengiris wajah Honoria.
Darah merah segar tersembur membasahi Tobias.
"Honoria," jerit Justin. "Apa yang sudah kaulakukan?"
Bab 19 JUSTIN terhuyung-huyung menyeberangi ruang gambar. Pisau
bedah yang meneteskan darah menjuntai di tangannya. Pandangannya
tidak lagi memancarkan kemenangan yang jahat. Sekarang
pandangannya liar dan putus asa.
Ada kejadian yang tidak kumengerti, pikir Tobias sambil
berjuang untuk duduk. Rencana Justin tidak berjalan dengan benar.
"Honoria," jerit Justin lagi. "Apa yang sudah kaulakukan" Aku
ingin kau sempurna dan cantik. Aku ingin kau mengalihkan
kecantikanmu padaku. Dengan begitu aku bisa tetap muda dan tampan
untuk selama-lamanya. Sekarang kau sudah menghancurkan
segalanya." Honoria bergoyang-goyang. Tobias bisa melihat tulang pipinya
yang putih menonjol keluar dari luka di wajahnya yang berlumuran
darah. Kepala Honoria tersentak ke belakang karena tawa. Darah
mengalir dari pipinya ke rambut. Lalu membasahi gaun pengantin
satin putihnya. Dia belum merasakan sakitnya, pikir Tobias. Dia histeris. Dia
menderita shock. Aku harus mengeluarkannya dari sini sebelum
terlambat. Tobias terhuyung-huyung bangkit berdiri dan melangkah
mendekati Honoria. Justin tidak memperhatikannya sama sekali.
"Hentikan," jerit Justin kepada Honoria. "Berhentilah
menertawaiku." "Katamu Tobias tidak cukup kuat untuk mengalahkanmu," ejek
Honoria. "Tapi aku lebih kuat darimu, Justin. Sekarang kau takkan
pernah bisa menggunakan diriku untuk tujuan jahatmu. Kau kalah dan
aku bebas." Justin menjerit murka. Ia berlari mendekati Honoria, sambil
mengayunkan pisau bedah di depannya.
Tobias mengerahkan segenap kekuatannya. Ia meraih Honoria
dan mendorongnya keluar melalui pintu ruang duduk.


Fear Street Sagas 08 Tarian Kematian Dance Of Dead di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lari, Honoria," teriaknya. "Lari!"
Ia mendorong Honoria ke lorong dan membanting pintu di
belakangnya. "Tobias!" jerit Honoria dari lorong. "Tobias, hati-hati!"
"Tobias," raung Justin di belakangnya. Ia mendorong pisau
bedah ke sisi leher Tobias. Pisau itu menembus ke bagian depan
tenggorokannya. Tobias tercekik. Darah tersembur membasahi pintu ruang
duduk. Darah! Darahku! Terlalu banyak. Aku akan mati.
Tapi tidak sebelum kucegah orang-orang lain melakukan
kejahatan ini. Tak boleh ada orang lain lagi yang bisa melakukan apa
yang sudah dilakukan Justin Fear.
Aku akan mengalahkanmu, Justin. Akan kukalahkan dirimu!
Bahkan kalau aku mati, akan kuhantui kau sesudahnya. Akan
kutemukan cara untuk menghentikan kejahatan ini.
Bahkan sampai kiamat sekalipun.
BAGIAN TUJUH Madeline Bab 20 Shadowbrook, New York, 1873 "TERIMA kasih kepada kalian semua untuk kesediaannya
datang kemari malam hari ini," kata Justin kepada para tamunya.
"Sebagaimana yang aku yakin sudah kalian tebak sekarang, ini
merupakan malam istimewa. Dan aku ingin berbagi kebahagiaan ini
dengan kalian semua."
Justin memberi isyarat agar Madeline maju dan berdiri di
sampingnya. "Miss Madeline Simms baru saja menerima lamaranku."
Ruang dansa Justin yang anggun berubah sunyi. Lalu semua
tamu mulai berbicara bersama-sama.
Semua orang tampak begitu bahagia, pikir Madeline. Begitu
bahagia untukku. Aku senang sekali datang ke Shadowbrook ini!
Tidak satu pun cerita aneh yang disampaikan Bibi beberapa hari
sebelumnya bisa mengurangi kebahagiaan Madeline pada malam hari
ini. Tidak ada yang bisa mengurangi kebahagiaannya malam ini.
Ia tidak percaya bahwa Justin seorang pencuri-jiwa. Ia percaya
Justin pria yang terbaik di seluruh dunia.
Justin memberi isyarat kepada orkestra yang disewanya untuk
pesta ini. Seketika, mereka mulai melantunkan irama waltz yang
lambat dan bagai mimpi. "Kau mau berdansa denganku?" tanya Justin.
"Dansa pertama kita sebagai pasangan yang telah resmi bertunangan?"
Madeline tersenyum menerima dan Justin meraihnya ke dalam
pelukannya. Menari dengan Justin merupakan pengalaman yang tidak
ada duanya bagi Madeline. Salah satu lengan Justin memeluk
pinggangnya erat-erat. Tangan yang lain mencengkeram tangannya.
Justin membimbingnya melintasi lantai dansa dengan begitu
terampilnya sehingga kaki-kaki Madeline terasa tidak menyentuh
tanah. Menari dengan Justin rasanya seperti menari di udara. Aku
belum pernah merasa sehidup ini seumur hidupku.
Madeline tidak ingin waltz yang luar biasa itu berakhir. Kalau
lagunya berakhir, ia harus mengizinkan Justin berdansa dengan yang
lain. Ia menengadah menatap Justin, berusaha untuk melupakan
orang-orang lainnya yang ada di ruang dansa yang penuh sesak itu.
Entah bagaimana Justin tampak berbeda, pikir Madeline. Ia
mengamati wajah Justin dengan lebih teliti. Garis-garis tipis muncul
dari sudut-sudut matanya. Kerut-kerut melintang di keningnya. Dan
ceruk-ceruk dalam di bagian bawah hidungnya hingga ke sudut-sudut
bibirnya. Aku tidak ingat wajahnya berkerut-kerut separah ini. Pipi-pipi
Justin cekung sekali. Lingkaran-lingkaran hitam muncul di bawah
matanya. Apa yang terjadi" Madeline memandang sekeliling ruang dansa. Tampaknya tak
ada orang lain yang mengetahui keanehan ini. Orang-orang tersenyum
dan mengangguk kepadanya dan Justin saat mereka lewat sambil
berdansa. "Ada yang tidak beres?" tanya Justin.
Madeline kembali menatap wajah Justin. Justin tersenyum
kepadanya"dan Madeline tersentak. Gigi-gigi Justin hitam
membusuk. Madeline bisa mencium baunya.
"Aku baik-baik saja," katanya dengan susah payah. "Hanya saja
di sini terlalu panas. Aku rasanya mau pingsan."
Benar begitu, pikir Madeline. Kendalikan dirimu, Madeline.
Ingat Mama. Madeline memaksa diri untuk tersenyum kepada Justin"dan
Justin tampak setampan biasanya. Muda, dengan wajah bagai seorang
malaikat. Kau lihat, katanya sendiri, kau hanya membayangkannya saja.
Musiknya berakhir. Tamu-tamu bergegas mendekat untuk
mengucapkan selamat kepada mereka berdua.
"Aku hanya memerlukan udara segar," kata Madeline kepada
Justin. "Aku akan segera kembali."
"Baiklah," kata Justin. Ia meremas tangan Madeline. "Jangan
terlalu lama, dan jangan terlalu jauh."
Madeline minta izin dan melarikan diri keluar ke lorong. Udara
sejuk di lorong yang remang-remang terasa nyaman sesudah
kehangatan di ruang dansa. Madeline mengayun-ayunkan kipasnya
lebih jauh untuk lebih menyejukkan diri. Ia bisa mendengar para
musisi melantunkan irama yang lain.
Aku akan kembali masuk sebentar lagi, pikirnya. Sekarang ini,
rasanya nyaman untuk seorang diri. Tidak lama lagi, ini juga akan
menjadi rumahku. Aku belum pernah melihat bagian dalamnya sedikit
pun hingga malam ini. Ia berkeliaran ke bagian dasar tangga rumah Justin yang lebar.
Marmer putihnya berkilau-kilau tertimpa cahaya dari tempat lilin
kristal. Seharusnya aku tidak naik ke atas tanpa Justin, pikir Madeline.
Ia sudah memintaku untuk tidak pergi terlalu jauh. Tapi apa salahnya
untuk sedikit menjelajah"
Madeline menginjakkan kakinya ke anak tangga pertama. Udara
sedingin es mengembus punggungnya. Ia menggigil dan menaiki
beberapa anak tangga lagi.
Bau bunga mawar menebar ke sekelilingnya. Mawar-mawar
busuk, yang telah dibiarkan terlalu lama di dalam vas. Udara dingin di
punggungnya terasa semakin dingin, dan ia kembali menaiki beberapa
anak tangga. Rasanya seperti anginnya mendorongku maju. Mendesakku
untuk naik ke atas. Aku kembali membayangkan yang bukan-bukan, pikirnya.
Membiarkan imajinasiku melayang ke mana-mana. Aku tidak bisa
terus-menerus begini. Aku harus tetap terkendali.
Madeline berbalik, membulatkan tekad untuk kembali ke ruang
dansa. Hantunya berdiri di bawah tangga.
Matanya yang hitam membara bagai api yang menyala-nyala,
menyebabkan udara di sekitarnya tampak seperti memancarkan
cahaya. Madeline surut mundur ketakutan. Lalu kemarahan yang hebat
menguasainya. Aku bosan dikejar-kejar dan merasa ketakutan! Aku takkan
membiarkannya terus berbuat begini!
"Aku tidak takut lagi padamu," kata Madeline tegas. "Aku akan
menuruni tangga ini dan kembali ke ruang dansa. Dan kau akan
membiarkan diriku lewat."
Kepala hantu itu tersentak ke belakang. Mulutnya membuka,
seakan-akan ia tengah menertawai pernyataan Madeline yang konyol.
Lalu ia mengangkat kedua lengannya.
Sejenak tidak terjadi apa-apa. Lalu Madeline melihat kabut.
Kabut itu sedingin es, merayap naik di tangga. Kabut itu
menyelimuti anak tangga pertama. Lalu anak tangga kedua. Es mulai
terbentuk di pagar tangga. Kayunya berderak dan mengerang.
Madeline mulai merasa kedinginan. Ia menarik tangannya dari
pagar tangga secepat kilat. Ia menjerit kesakitan sewaktu sebagian dari
kulit tangannya tercabik.
"Kenapa kau berbuat begini kepadaku?" tanyanya. "Kenapa kau
menyiksaku?" Hantu itu hanya tersenyum. Ia mulai menaiki tangga mendekati
Madeline. Mundur. Mundur. Mundur. Madeline terhuyung-huyung
menaiki tangga. Ke dalam ceruk-ceruk gelap rumah Justin.
Hantunya mengikuti. Dengan dikelilingi kabut sedingin es yang
mematikan. "Mundur! Jangan mendekatiku!"
Madeline melesat menyusuri lorong di puncak tangga.
Angin sedingin es menghantam dirinya. Menjatuhkan Madeline
hingga berlutut. Sulur-sulur kabut melecut melewatinya. Apa pun
yang disentuhnya seketika terbungkus lapisan es.
Madeline bisa melihat seberkas tipis cahaya di depannya.
Memancar dari bawah pintu di ujung lorong itu.
Aku harus ke ruangan itu. Mungkin di sana aku akan aman.
Madeline memaksa diri bangkit berdiri. Tangan-tangannya
terasa begitu dingin sehingga ia tidak lagi bisa merasakannya. Kakikakinya kikuk. Jari kakinya terasa seperti sebongkah es padat.
Ia terjatuh di lorong, membentur-bentur dinding di kedua
sisinya bergantian. Angin melolong dan menjerit di belakangnya.
Madeline mengangkat tangan dan menutupi telinganya dari suara itu.
Aku bisa melakukannya. Madeline tiba di ujung lorong. Ia menyambar kenop pintunya.
Tangannya terpeleset. Jemarinya terlalu kedinginan untuk bisa
membuka pintu. Tidak! Tidak! Angin berembus melewatinya. Pintu ruangan itu terbuka dengan
suara keras. Madeline terhuyung-huyung melewati ambangnya,
tersentak dan terengah-engah. Angin sedingin es bertiup di sekitarnya
dan membanting pintu hingga tertutup.
Madeline menyandarkan diri ke sana, mati-matian berusaha
untuk meredakan napas. Lalu ia memandang sekitarnya.
Di mana aku" Ia belum pernah melihat kamar seaneh kamar itu. Ke mana pun
ia melihat yang terlihat hanyalah warna hitam. Daun-daun jendela
hitam mengilat menutupi jendelanya. Panel-panel panjang dari
beludru hitam menjuntai dari langit-langit. Kertas dinding berwarna
hitam menutupi dinding-dindingnya. Bau mawar memenuhi cuping
hidung, tenggorokan, dan paru-parunya, begitu kuat hingga ia hampirhampir tercekik karenanya.
Rasanya seperti berada di dalam makam, pikir Madeline.
Ia melangkah maju di atas karpet hitam yang tebal. Langkahnya
tidak menimbulkan suara sama sekali.
Di ujung seberang ruangan terdapat empat buah foto berukuran
besar. Di bawah masing-masing foto terdapat sebuah meja kayu eboni
yang sama hitamnya dengan dinding-dinding ruangan. Di setiap meja
terdapat sebatang lilin hitam menyala pada sebuah tempat lilin perak
dan sebuah vas kristal berisi mawar.
Empat jenis mawar dengan warna yang berbeda-beda.
Empat foto wanita muda yang berbeda-beda dengan gaun putih
melambai-lambai. Felicity Fear 1776-1793 Alexandra Fear 1796-1813 Hermione Fear 1816-1833 Katerina Fear 1835-1853 Madeline merasakan bulu-bulu di belakang lehernya meremang.
Bibi sudah mengatakan yang sebenarnya! Justin sudah menikah empat
kali. Ini foto-foto istrinya!
Madeline menatap tanggal di bawah setiap foto. Tepat seperti
yang sudah diberitahukan Bibi, gadis-gadis itu berusia tujuh belas
tahun sewaktu mereka menikah. Tak seorang pun yang sempat
berulang tahun kedelapan belas.
Mereka cantik, pikir Madeline. Cantik sekali.
Madeline mengulurkan tangan menyentuh salah satu mawar
merah yang sempurna di vas di bawah foto Katerina. Kelopaknya
berguguran. Mawar-mawar mati! Sama seperti para pengantin ini.
Tepat di balik foto Katerina, Madeline melihat sebuah bingkai
emas yang berat mencuat dari bawah tirai beludru hitam. Ia berlari ke
sana dan membuka tirainya.
Sebuah foto kelima berdiri berjajar sempurna bersama foto-foto
yang lain. Foto itu lengkap hampir semua rinciannya. Gaun pengantin
putih wanita itu tampak berkilau-kilau tertimpa cahaya.
Madeline menelan ludah, jantungnya berdebar-debar ketakutan.
Gaunnya mirip dengan gaunku! Gaun yang diberikan Deborah
kepadaku. Madeline menatap foto yang belum selesai itu. Tidak ada nama
yang terukir di pelat emas di bawahnya. Tapi ada tanggalnya: 18561873.
1856. Tahun yang sama saat aku dilahirkan.
Sebuah vas kosong berada di atas meja di bawah foto yang
belum selesai itu. Di samping vas itu terdapat sebatang lilin hitam
panjang yang menunggu untuk disulut.
Foto itu sedang menunggu, pikir Madeline. Menunggu identitas
pengantin Fear yang berikutnya. Pengantin berikutnya yang akan
tewas sebelum berulang tahun yang kedelapan belas.
"Madeline," gumam seseorang.
Madeline terhuyung mundur. "Siapa itu" Siapa yang
memanggilku?" jeritnya.
"Tinggalkan tempat ini, Madeline," bisik suara itu. "Pergilah
sekarang atau kau takkan pernah meninggalkan tempat ini dalam
keadaan hidup." Madeline menatap keempat foto itu. Ia melihat bibir-bibir
wanita dalam foto bergerak-gerak tertimpa cahaya api lilin yang
bergoyang-goyang. "Tinggalkan Shadowbrook," bisik para pengantin Fear. "Pergi
atau kau akan mengalami nasib yang sama dengan kami."
Lilin di bawah foto terakhir tiba-tiba tersulut. Di depan mata
Madeline, wajah oval foto yang kosong itu mulai terisi.
Mula-mulanya matanya. Cokelat dengan bulu-bulu mata
panjang, sama seperti matanya sendiri.
Lalu rambutnya, sehitam sayap gagak.
Lalu tulang-tulang pipinya, tinggi dan berbentuk lembut.
Dan sebuah hidung mungil bagai tombol yang tampak kontras
karena dagunya yang menonjol.
Mulut yang lembut dan kemerahan muncul. Dan foto itu
lengkaplah sudah. Madeline menatap wajahnya sendiri. "Pergilah sekarang," bisik
fotonya kepadanya. "Atau kau akan menjadi pengantin Fear
berikutnya yang akan tewas."
Bab 21 MADELINE melesat keluar dari galeri foto itu. Suara-suara
almarhum pengantin Fear berdering dalam kepalanya, berulang-ulang.
Bibi benar! Dia benar mengenai segala sesuatunya!


Fear Street Sagas 08 Tarian Kematian Dance Of Dead di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku harus pergi dari sini! Aku tak ingin menjadi pengantin Fear
berikutnya yang akan tewas!
Di puncak tangga, Madeline berhenti sejenak untuk
menenangkan diri. Aku tak bisa melesat kembali ke dalam ruang dansa secara gilagilaan. Kalau aku menunjukkan ada yang tidak beres, Justin akan
menduga bahwa aku sudah mengetahui kebenarannya. Dengan begitu
aku takkan pernah pergi. Akan kuceritakan kepada Deborah dan Marcus, pikir Madeline
mengambil keputusan saat menuruni tangga. Mereka akan
membantuku. Mereka pasti tahu harus berbuat apa.
"Kau di situ rupanya!" seru Justin saat Madeline tiba di dasar
tangga. Justin menatapnya dengan pandangan curiga. "Aku mulai
mengkhawatirkan dirimu."
"Aku baik-baik saja, Justin," jawab Madeline dengan ringan.
"Tak ada yang perlu dikhawatirkan."
Ia memaksa diri untuk tersenyum sewaktu meraih tangan Justin.
Justin tidak membiarkan Madelina pergi dari sisinya hingga ia
mengaku sakit kepala dan meminta untuk pulang lebih awal.
Justin mengamatinya dengan ekspresi kecewa. Madeline
membuang muka. "Baiklah," kata Justin pada akhirnya. Ia membimbing Madeline
ke Marcus dan Deborah. "Madeline merasa tidak enak badan,"
katanya kepada mereka. "Bisa kalian antar dia pulang" Aku tidak bisa
meninggalkan tamu-tamuku."
"Tentu saja," kata Deborah kepadanya. Ia mengerutkan kening
memandang Madeline. Justin menyuruh orang mengambilkan mantel-mantel mereka,
lalu mengantar mereka keluar. Ia telah memerintahkan agar kereta
keluarga Simms dibawa ke depan.
"Kuharap kau sudah sembuh besok," kata Justin kepada
Madeline sementara kereta berhenti. "Tidak ada pengantin yang boleh
menderita sakit kepala di hari pernikahan mereka."
Hari pernikahanku, pikir Madeline, sambil membiarkan Justin
mengecupnya sebagai ucapan selamat malam. Hari aku memeteraikan
kehancuran diriku. Aku harus berada sejauh-jauhnya dari sini saat itu.
Di tempat kau takkan pernah bisa menemukanku.
"Aku yakin besok akan jauh lebih baik," kata Madeline berjanji.
Ia berbalik dan Justin membantunya naik ke kereta. Lalu ia melangkah
kembali ke rumahnya yang terang benderang.
"Well, ini perubahan yang sangat mengejutkan, harus kuakui,"
kata Deborah, sambil naik ke kereta menyusul Madeline.
Marcus naik paling akhir dan menutup pintunya. Ia mengetuk
atap kereta sebagai isyarat pada kusir untuk berangkat. Seperti biasa,
ia tidak mengatakan apa-apa.
"Aku belum pernah mendengar ada pengantin yang ingin
pulang lebih awal dari pesta pertunangannya sendiri,", kata Deborah.
"Kau dan Justin tidak sedang bertengkar, bukan?"
"Deborah," sembur Madeline. "Aku tidak bisa menikah dengan
Justin Fear. Dia jahat dan bermaksud untuk menghancurkan diriku."
Kesunyian total mengisi kereta sejenak. Lalu Deborah
berbicara. "Apa maksudmu, kau gadis bodoh" Justin mencintaimu. Ingat
percakapan kita tentang ibumu. Ingat bagaimana berbahayanya kalau
membiarkan imajinasimu melayang ke mana-mana."
"Aku tidak membayangkan apa pun," kata Madeline bersikeras.
"Justin tidak mencintaiku. Dia ingin membunuhku, sama seperti yang
dilakukannya kepada istri-istrinya yang lain. Dia ingin mencuri
jiwaku." "Cukup!" kata Marcus. "Hentikan omong kosong ini sekarang
juga!" Kereta berhenti di depan rumah. Marcus melangkah turun. Ia
berbalik dan meraih Madeline, menariknya turun dari kereta dengan
kasar. "Ayo, Deborah," sergahnya. "Sekarang."
Lalu ia mendesak Madeline ke pintu depan. Ia membuka
pintunya dan mendorong Madeline masuk. Begitu Deborah telah
berada di dalam rumah juga, Marcus membanting pintu depan dan
menguncinya. Dia tidak pernah berbuat begitu! pikir Madeline. Mereka tak
pernah mengunci pintu. "Fantasi konyol ini sudah keterlaluan, Madeline," kata Marcus
kasar. "Justin sudah melamarmu. Kau sudah menerimanya tanpa
paksaan. Pernikahannya akan tetap dilaksanakan."
Madeline berlari mendekati Deborah. "Deborah," katanya,
sambil mencengkeram tangan Deborah. "Bantu aku sekarang. Katamu
kau ingin menjadi temanku. Aku tak bisa menikah dengan Justin.
Kalau aku menikah dengannya, dia akan membunuhku."
"Kau akan menikah dengannya," kata Marcus bersikeras.
"Kalau tidak, semua rencana kami akan berantakan."
"Menurutmu kenapa kami mau menerimamu, gadis bodoh?"
ejek Deborah. "Bukan karena kami menyayangimu. Bukan karena kau
keluarga. Tapi karena kau cantik. Cukup cantik bagi Justin Fear."
"Justin siap memberi Deborah dan aku sejumlah besar uang
sebagai ganti dirimu," kata Marcus.
"Cukup bagi kami untuk mendapatkan tempat yang layak di
lingkungan Shadowbrook," tambah Deborah. "Kami bisa
memperbaiki rumah tua yang sudah reyot ini. Bahkan ada cukup
banyak uang untuk menitipkan wanita tua itu, Bibi, ke rumah sakit
jiwa, tempat dia seharusnya berada. Dengan begitu kami bisa
menyingkirkannya untuk selama-lamanya."
"Bibi tidak sinting," kata Madeline kepada mereka. "Dia satusatunya yang mengetahui kebenarannya."
"Kebenarannya adalah kau akan menikah dengan Justin," jawab
Deborah. "Akan kuseret kau ke altar kalau perlu."
"Kau akan menikah dengannya besok pagi. Sebelum itu, kau
tetap di kamarmu." Suara Marcus yang dingin menyebabkan darah dalam pembuluh
Madeline terasa membeku. Marcus meraih lengan Madeline dan menyeretnya. Madeline
berjuang mati-matian. Kaki-kakinya terkait gaunnya yang panjang. Ia jatuh.
Marcus menyambar rambutnya dan menyeretnya menaiki
tangga. Buk! Buk! Buk! Madeline menjerit dan berjuang, tapi tak mampu meloloskan
diri. Sakit yang hebat merobek-robek kulit kepalanya. Ia merasa
kepalanya akan tercabut dari lehernya. Tapi ia tidak berhenti berjuang.
Madeline mencoba untuk meraih kaki Marcus. Aku harus
menghentikannya, pikirnya. Mengaitnya. Menjatuhkannya.
Menjatuhkannya ke bawah tangga. Lalu mungkin aku bisa
menemukan jalan untuk melarikan diri.
Tapi siapa yang akan melindungiku" Ke mana aku akan pergi"
Salah satu pukulannya mengenai bagian belakang lutut Marcus.
Marcus terjatuh. "Kau tidak akan bisa lolos," jerit Marcus. Ia berbalik dan
mengangkat tangan hendak meninju Madeline.
"Jangan menyakitinya, Marcus," teriak Deborah. "Kau akan
merusak segalanya. Dia tidak ada gunanya kalau tidak cantik. Justin
memerlukan kecantikannya."
Kecantikanku. Kata Bibi kecantikanku adalah kuncinya.
Tanpa kecantikannya, ia tidak ada gunanya bagi Justin. Tanpa
kecantikannya, Justin tidak akan menghendaki dirinya. Madeline akan
bebas. Tapi apa aku cukup kuat" Apa aku cukup berani untuk melukai
diriku sendiri" Ada jalan lain, Madeline teringat. Ia bisa menyebabkan Justin
mengalami perdarahan. Apakah aku cukup kuat untuk
menghancurkannya" Untuk mengakhiri pencuri-jiwa ini"
Kalau aku menghancurkan Justin, kejahatannya akan berakhir
untuk selama-lamanya. Tapi untuk menghancurkannya, aku harus
berada dekat dengannya. Sangat dekat.
Madeline tidak lagi melawan. Marcus berlutut dan mengangkat
Madeline ke bahunya. Sambil terengah-engah, ia berlari menaiki sisa
tangga. Ia membuka pintu kamar tidur Madeline dan
mengempaskannya ke ranjang. Lalu ia melesat keluar kembali ke
lorong dan membanting pintunya.
Madeline mendengar suara kunci diputar. Ia merasakan
ketenangan yang aneh menguasai dirinya. Ketenangan putus asa. Ia
penasaran apakah ini yang dirasakan para narapidana yang dihukum
mati. Kuatkan dirimu, katanya pada diri sendiri. Kuatkan dirimu atau
kau akan bernasib sama seperti para pengantin Justin sebelumnya.
Dimakamkan di bawah sesemakan mawar di kebun. Justin akan terus
muda dan tampan selamanya. Dia akan terus mencuri jiwa-jiwa.
Aku harus berusaha untuk tidur, pikir Madeline. Aku
memerlukan semua kekuatanku untuk menghentikan Justin.
Ia memejamkan mata. Tapi wajah-wajah para pengantin Fear
memenuhi benaknya. Mereka membisikkan peringatan kepadanya
berulang-ulang. Krieet! Marcus dan Deborah sudah datang untuk menjemputku! pikir
Madeline. Mereka datang untuk mengantarku menemui Justin!
Ia melompat bangkit. Ia bersiap-siap dan menatap ke pintu.
Pintu masih tetap tertutup rapat.
Krieeet! Madeline memeluk dirinya sendiri agar berhenti gemetar.
Suara itu berasal dari belakangku!
Bab 22 DENGAN jantung berdebar-debar, Madeline berbalik.
Mulutnya ternganga saat ia menyaksikan sebuah panel perlahan-lahan
terbuka di dinding kamar tidurnya.
Lorong rahasia! Madeline bergegas mendekatinya. Pintu masuk itu tampaknya
cukup besar baginya untuk menerobos ke sana.
Aku tidak tahu ke mana lorong ini berakhir, tapi apa pun lebih
baik daripada duduk menunggu di sini, menunggu diantar kepada
Justin. Madeline memaksa diri memasuki celah sempit itu. Ia hampirhampir tidak bisa melihat apa pun dalam kegelapan total yang
mengepungnya. Perlahan-lahan ia melangkah maju, lengannya terjulur. Ia
melihat cahaya yang aneh di ujung koridor itu. Cahaya kekuningan
yang menakutkan. Madeline terhuyung-huyung di sepanjang lorong ke arah cahaya
itu. Sesuatu yang lengket dan terasa mirip kapas menyapu wajahnya.
Benda itu menutupi mulut dan hidungnya.
Ia menjerit, dan berlari ke arah cahaya itu. Ia kehilangan pijakan
di lantai terowongan yang tidak rata itu dan jatuh ke tanah.
Madeline mengusap wajah dengan jemarinya. Sarang labahlabah. Hanya sarang labah-labah tua, pikirnya tersadar.
Ia merayap maju. Aku harus terus bergerak. Aku harus
melarikan diri dari Justin, tidak peduli apa pun risikonya.
Tanah di bawahnya terasa basah dan licin. Ia merasakan cakarcakar kecil melintasi punggung salah satu tangannya.
Madeline menjerit tertahan dan menyentakkan tangannya. Ia
mendengar bunyi splak saat makhluk itu menghantam dinding lorong.
Napas Madeline yang terengah-engah mengisi lorong itu.
Tangannya tergores-gores dan berdarah. Di balik rok panjangnya,
lututnya terasa memar. Tidak penting, pikirnya. Menjauhi Justin merupakan satusatunya yang penting.
Cahaya di depannya semakin terang.
Aku harus terus maju. Aku sudah hampir tiba.
Ia berbelok di tikungan dalam lorong itu dan sebuah ruangan
yang aneh membentang di hadapannya.
Tampaknya seperti sebuah laboratorium ilmiah, pikirnya.
Seorang pemuda duduk di meja besar di tengah-tengah
laboratorium itu. Ia menatap Madeline dengan pandangan sengsara.
Tubuhnya memancarkan cahaya kekuningan yang aneh.
Hantunya! Madeline menegang, menunggu hantu itu menyerangnya.
Tapi hantu itu tetap duduk di tempatnya, tampak sedih dan
kalah. "Kau tidak bermaksud untuk menyakitiku, bukan?" bisik
Madeline. "Kau berusaha memperingatkan diriku. Dan menjauhkan
diriku dari Justin."
Pemuda itu mengangguk. Ia beranjak bangkit dan melayang
mendekati Madeline. "Sekarang kau mau membantuku melarikan diri. Bagaimana"
Bagaimana caraku melarikan diri?"
"Dia tidak bisa memberitahumu," terdengar seseorang
menjawab. "Dan, lagi pula, sudah terlambat."
Bab 23 JUSTIN! Pasti ada lorong yang lain, pikir Madeline.
Justin berdiri di ujung seberang laboratorium. Menutup jalan
satu-satunya untuk melarikan diri.
"Kau terlambat lagi, Tobias," kata Justin sambil melangkah
memasuki laboratorium dengan santai. "Aku sudah mencicipi
darahnya. Kau tahu apa itu artinya. Dia milikku sekarang."
Tobias! Nama yang selalu dipanggil Bibi.
Hantu Tobias melayang-layang di antara Madeline dan Justin.
Bahkan sekarang, dia masih berusaha untuk melindungiku, pikir
Madeline. Kepala hantu itu tersentak ke belakang. Mulutnya terbuka
meneriakkan lolongan bisu. Cahaya di sekitarnya berubah menjadi
merah marah. Dia tidak bisa berbicara, pikir Madeline tersadar. Tidak
mungkin baginya untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
"Menyingkirlah, Tobias," jerit Justin. "Kau tak bisa
menghentikan diriku sewaktu masih hidup. Kau tak bisa
menghentikan diriku sekarang. Dia milikku dan aku akan
mengambilnya!" Justin menerjang Madeline.
Hantu itu melayang ke arah Justin. Madeline merayap
sepanjang dinding ruangan. Ia bisa melihat tawa jahat Justin.
"Aku akan mengalahkan dirimu lagi, Tobias," teriaknya. "Aku
lebih kuat daripada dirimu, sekalipun kau memiliki kekuatan hantu."
Justin dan hantu Tobias pun bergulat. Sebuah baki laboratorium
berisi botol-botol terjatuh dengan suara keras.
Justin benar, pikir Madeline tersadar, saat melihat perkelahian
mereka. Dia lebih kuat daripada hantunya. Madeline bisa melihat
bahwa perkelahian itu menguras kekuatan Tobias. Cahaya tubuh
Tobias mulai memudar dan memucat.
Madeline mulai bergeser ke lorong yang tadi digunakan Justin.
Aku harus menemukan jalan keluar. Kalau saja Tobias bisa menahan
Justin cukup lama, aku bisa melarikan diri!
Diiringi teriakan keras, Justin menghunjamkan tinjunya hingga
menembus tubuh Tobias. Hantunya menghilang.

Fear Street Sagas 08 Tarian Kematian Dance Of Dead di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku berhasil," jerit Justin. "Aku mengalahkanmu, Tobias.
Sekarang, tidak ada yang bisa menghentikan diriku. Madeline
milikku." Justin berbalik menghadapi Madeline. Dadanya terengah-engah
karena tenaganya terkuras habis. Keringat membasahi keningnya.
Mata birunya membara oleh nafsu.
Nafsu akan darahku! Bagaimana aku dulu bisa menganggapnya tampan" Dia tampak
seperti setan. Setan yang haus darah.
Aku harus melarikan diri darinya. Harus!
"Tidak ada gunanya melarikan diri. Kau tidak bisa lepas dari
tanganku, Madeline," kata Justin tenang.
Justin melangkah mendekatinya. Madeline melangkah mundur.
"Kau tidak akan merasa sakit, kau tahu," lanjut Justin dengan
nada yang sama tenangnya. "Kau tidak akan merasakan apa pun sama
sekali. Dan kecantikanmu akan membantuku untuk tetap muda
selama-lamanya. Apakah kau tidak suka?"
Dia benar-benar sinting, pikir Madeline. Benar-benar jahat. Dan
tidak ada yang melindungiku darinya. Aku seorang diri.
Madeline kembali mundur selangkah saat Justin melangkah
maju. Justin mengulurkan tangan ke arahnya. Jemarinya tersentaksentak tanpa kendali, seakan-akan sangat ingin segera mencekik
lehernya. "Bersikaplah yang masuk akal, Madeline," kata Justin. "Kenapa
kau justru menyusahkan dirimu sendiri?"
Mati-matian, Madeline mencari-cari senjata di sekitarnya.
Terlambat! Terlambat! Justin menyambar Madeline dengan
kedua tangannya yang sangat dingin.
Madeline melihat kilasan putih dari sudut matanya. Lalu
kilauan logam. Madeline mendengar lolongan kemurkaan"dan seseorang
melompat ke punggung Justin. Justin menjerit dan berbalik.
Bibi! pikir Madeline. Dia membawa pisau. Dia mencoba untuk
membunuh Justin! Tapi apakah dia cukup kuat"
Justin menjerit bagai orang sinting. Ia berputar-putar. Mencoba
melemparkan Bibi dari punggungnya.
Justin menggapai-gapai berusaha meraih Bibi, memukul dan
memukulnya. Ia mencoba memegang kaki Bibi dan menariknya.
Napas Bibi yang terengah-engah menggema dalam
laboratorium. Dia tidak bisa melakukannya, pikir Madeline.
Dia tidak bisa menggunakan pisaunya. Hanya untuk bertahan di
punggung Justin saja sudah menguras seluruh tenaganya.
Sebagian akal sehat Madeline memerintahnya untuk melarikan
diri. Melarikan diri ke lorong. Melarikan diri demi keselamatannya.
Tapi bagian lainnya tidak mampu meninggalkan Bibi.
Dia sudah berusaha untuk memperingatkan dan melindungiku.
Dia satu-satunya teman sejati yang kumiliki di Shadowbrook.
Aku tidak bisa meninggalkannya bersama Justin. Aku harus
tetap di sini dan membantunya.
Madeline bergegas mendekati mereka.
Terlambat. Sambil melolong murka, Justin mengempaskan diri ke belakang
ke dinding laboratorium. Krak! Kepala Bibi membentur permukaan yang keras. Darah
menyembur dari balik cadarnya.
Krak! Justin kembali mengempaskan diri ke dinding dan
mengulanginya. Kepala Bibi menjuntai bagai boneka kain.
Cengkeramannya pada bahu Justin terlepas dan ia merosot ke lantai.
Cadarnya terlepas dan jatuh ke tanah di sampingnya. Madeline
bisa melihat wajah Bibi dengan jelas untuk pertama kalinya. Ia
tertegun bagai terhipnotis melihatnya.
Di wajah tua yang keriput itu Madeline melihat bayang-bayang
kecantikan yang telah rusak. Bibi dulu seorang gadis yang cantik. Tapi
di salah satu tulang pipinya melintang bekas luka panjang yang
bergerigi. Mata birunya menatap kosong ke langit-langit. Madeline
merasakan perutnya bergolak melihat darah yang menyembur dari
luka di kepala Bibi. "Orang tua bodoh," kata Justin. Ia terengah-engah, berusaha
meredakan napasnya. "Kau kira kau bisa mengalahkan diriku?"
"Pisaunya," kata Bibi dengan napas putus-putus. "Madeline,
pisaunya!" Bab 24 MADELINE menerjang. Ya, pisaunya! Satu-satunya kesempatannya. Ia harus
mengambilnya! Ia merasakan udara terempas keluar dari paru-parunya saat ia
mendarat di lantai laboratorium yang keras. Ia bisa merasakan tangkai
pisau itu menyodok tulang rusuknya.
Aku berhasil! Aku mendapatkan pisaunya! Sekarang aku bisa
menyelamatkan diri. Ia berguling, jemarinya meraih tangkai pisau. Ia beranjak duduk
tepat pada saat Deborah dan Marcus menghambur keluar dari lorong.
"Tangkap dia," teriak justin liar. "Hentikan dia. Dia membawa
pisau." Marcus melangkah maju. Ia mengulurkan tangan untuk
menangkap Madeline. Madeline mengayunkan pisaunya ke tangan
Marcus. Darah mengalir membasahi mata pisaunya dan menetes ke gaun
Madeline. Marcus terhuyung mundur, melolong murka dan kesakitan.
"Kau gadis keparat," jeritnya. "Lihat akibat perbuatanmu! Aku
harus..." Ia mengulurkan tangan yang berlumuran darah.
"Jangan menyakitinya, Marcus," teriak Justin. "Kalau rusak dia
tak ada gunanya bagiku. Dia harus sempurna."
Semua orang di laboratorium berdiri diam.
Mereka semua takut akan apa yang mungkin kulakukan, pikir
Madeline tersadar. Perlahan-lahan, ia beranjak bangkit.
Ia mengacungkan pisau di depannya, melambai-lambaikannya
ke arah Deborah dan Marcus. Seketika, keduanya melangkah mundur.
Madeline membalik mata pisaunya, sehingga ujungnya yang
tajam terarah lurus ke wajahnya sendiri.
"Jauhi aku, kalian semua," katanya dengan suara tegang.
"Mundur atau akan kuiris diriku sendiri."
Perlahan-lahan, Madeline bergeser dari tempatnya, menuju ke
lorong yang menurut perkiraannya menuju ke rumah Justin.
Justin berdiri di tengah-tengah ruangan, berputar di tempat
mengikuti Madeline. Mata birunya tidak pernah teralih dari wajah
Madeline. Madeline menatapnya lurus di mata, tertarik oleh
kekuatannya yang luar biasa.
"Madeline, dengarkan aku," bisik Justin. Suaranya terdengar
lembut dan menenangkan, seakan-akan tengah menyampaikan cerita
sebelum tidur kepada seorang anak kecil yang ketakutan.
"Apa yang terjadi padamu" Kau tak mungkin benar-benar
menganggapku akan menyakiti dirimu. Aku melamarmu. Aku
mencintaimu, Madeline. Aku ingin menikah denganmu!"
Madeline bingung. Kakinya terasa lemas. Ia terhuyung-huyung.
Dia ingin menikah denganku. Dia mengaku mencintaiku.
Semua perasaan yang tadinya ia rasakan terhadap Justin
kembali dalam sekejap mata.
Apa yang kutakutkan" Justin berani dan tampan. Dia
mencintaiku dan aku mencintainya. Dia ingin melindungiku dari
bahaya, bukannya menyakitiku. Dia ingin aku menjadi istrinya.
"Justin," bisik Madeline. "Oh, Justin, aku begitu tidak bahagia.
Begitu kebingungan."
"Aku tahu," jawab Justin tenang. "Aku tahu, sayangku. Tapi
sekarang semuanya sudah berakhir. Kau harus ingat perasaanmu yang
sebenarnya dan segalanya akan baik-baik saja.
"Dengarkan aku baik-baik, Madeline," lanjut Justin, sambil
bergeser maju. "Letakkan pisaumu."
Pisaunya, pikir Madeline. Ada hal penting yang harus
kulakukan dengan pisau ini.
Apa itu" Kenapa aku tidak bisa mengingatnya"
"Pisaunya," gumamnya. "Pisaunya..."
"Letakkan pisaunya, Madeline," perintah Justin lagi. Ia semakin
dekat. "Letakkan dan tidak akan ada yang terluka. Lalu kita bisa
menikah. Kau suka?" Menikah dengan Justin. Itu yang diinginkannya. Yang
diimpikannya. Akhir bahagia bagi kehidupannya yang tidak bahagia.
Cengkeraman Madeline pada pisaunya melemah. Lengannya
menjuntai lemas di sisi tubuhnya.
"Benar, Madeline," kata Justin mendorongnya. "Benar."
Dari seberang ruangan, Madeline mendengar suara Bibi
mengerang. Seketika benak Madeline jernih. Cengkeramannya kembali
menguat dalam sekejap. Aku mengerti apa yang tengah dilakukan Justin. Dia
menggunakan kekuatan suaranya untuk membujukku.
"Justin," Madeline mendesah, berpura-pura masih terpengaruh.
"Tolong. Tolong aku melakukan apa yang kauingin aku lakukan."
Ia bergoyang-goyang, seakan-akan kakinya yang kelelahan
tidak lagi mampu menahan dirinya. "Justin, tolong aku," jeritnya.
Lebih dekat lagi. Sedikit lagi, pikirnya.
"Justin," bisik Madeline. "Aku mencintaimu."
Kemenangan memancar di wajah Justin. "Aku tahu kau
mencintaiku, Sayang," katanya. "Dan aku juga mencintaimu.
Sekarang, berikan pisaunya, Madeline."
Ia melangkah maju. Madeline tersenyum kepadanya.
Begitu tampan. Begitu jahat.
"Ya, Justin," bisiknya. "Ya."
Madelina mengulurkan pisaunya.
Justin mengulurkan tangan menerimanya, dengan penuh
semangat. EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
Madeline mengiris matanya.
Bab 25 JUSTIN menjerit dan terhuyung-huyung menjauhi Madeline.
Darah merah segar mengucur dari lubang matanya.
"Darah semua korbanmu yang tidak bersalah akhirnya mengalir
keluar darimu," jerit Madeline. "Sekarang kau akan mengalami nasib
mengerikan yang layak kauterima. Semua kemudaan dan
ketampananmu akan meninggalkanmu. Kau akan menua dan mati."
"Kau," kata Justin dengan suara tercekik, sambil menunjukkan
satu jari yang berlumuran darah kepada Madeline. "Kau!"
Ia maju selangkah. Lalu tubuhnya tersentak dan ia jatuh ke
tanah. Cairan hijau kental mengalir keluar dari cuping hidungnya.
Busa putih berminyak keluar dari telinganya. Ia membuka mulut
hendak menjerit, dan asap hitam membubung dari sana.
Bau yang luar biasa membuat Madeline merasa tercekik. Ia
menutup mulut dan hidungnya agar tidak mencium bau busuk itu. Bau
yang lebih kuat dan lebih memuakkan dari semua yang pernah
dibayangkannya. Itu kejahatannya. Semua kejahatan dalam diri Justin tengah
tumpah keluar. "Tidak," jerit Justin. "Kau tidak bisa menghancurkan diriku.
Aku takkan membiarkanmu. Tidak, tidak, tidak!"
Bola matanya meledak. Lepuhan-lepuhan besar muncul di punggung tangannya.
Karena tidak mampu berpaling, Madeline mengawasi saat
lepuhan-lepuhan itu berdenyut-denyut seiring dengan detak jantung
Justin. Lalu lepuhan-lepuhan itu merekah, menampilkan tulang yang
putih dan dingin. Seharusnya aku kasihan padamu, tapi tidak bisa, pikir
Madeline. Tidak sesudah semua orang tidak bersalah yang
kauhancurkan. Tubuh Justin tersentak-sentak tanpa kendali. Madeline bisa
mendengar tulang-belulangnya berderak-derak.
Kepala Justin tersentak-sentak ke kiri dan ke kanan karena
kesakitan. Lidahnya menjulur dari antara gigi-giginya yang putih.
Gigi-giginya bergemeletuk"dan menggigit lidahnya hingga putus.
Justin menjerit hebat untuk yang terakhir kalinya. Daging
wajahnya berubah keunguan. Lalu menghitam. Tengkoraknya
mencuat dari balik kulit kepalanya.
Ia menghela napas berat untuk yang terakhir kalinya. Lubang
matanya yang tidak mampu melihat menatap ke atas.
Tubuhnya tersentak untuk yang terakhir kalinya. Lalu diam
tidak bergerak. Sudah selesai. Kejahatannya telah lenyap. Pencuri-jiwa telah
dihancurkan. "Kau membunuhnya!"
Bab 26 "KAU membunuhnya," kata Deborah dengan napas tersentak,
menatap Madeline. "Kau membunuh Justin."
Ia bergegas mendekati Madeline, jemarinya terlipat membentuk
cakar. Laboratorium mulai terguncang-guncang. Akar-akar raksasa
menjulur menembus langit-langit dan mencuat dari lantai.
Apa yang terjadi" Ada apa ini"
Bau mawar memenuhi ruangan.
Salah satu akar menghantam Marcus di kepalanya.
Tengkoraknya seketika terbelah.
Deborah mulai menjerit. Ia melesat ke sana kemari, berusaha
menghindari akar-akar itu. Akar-akar itu mengikutinya, merayap
melintasi lantai. Akar-akar itu menangkap pergelangan kaki Deborah dan
menariknya turun. Deborah menjerit saat akar-akar itu melilitinya.
Akar-akar tebal dan berduri itu meremas dan meremas. Deborah
mulai tercekik. Lalu ia terbatuk-batuk, dan tidak bergerak lagi.
Roh-roh istri Justin, yang dimakamkan di kebun mawar, pikir
Madeline tersadar. Mereka mengendalikan akar-akar ini. Mereka
membalas dendam kepada siapa pun yang telah membantu Justin.
Laboratorium terguncang dan bergoyang-goyang saat akar-akar
lain bermunculan menembus langit-langit. Kepingan-kepingan semen
besar runtuh dari dinding-dindingnya.
Aku harus keluar dari sini! Seluruh ruangan ini runtuh.
Madeline melesat ke tempat Bibi tergeletak di sudut. Aku tak
tahu apakah dia masih hidup. Tapi aku tidak bisa meninggalkannya di
sini begitu saja. Dia yang sudah berusaha untuk membantuku. Aku
harus berusaha untuk membantunya sekarang.
Madeline berlutut dan mengangkat Bibi ke salah satu bahunya.
Lalu ia bangkit berdiri. Wanita tua itu begitu ringan hingga hampirhampir tidak terasa.
Bibi mengerang saat Madeline menyesuaikan letaknya. Syukur
Tuhan dia masih hidup! Akar-akar itu telah menghalangi jalan ke rumah sepupunya.


Fear Street Sagas 08 Tarian Kematian Dance Of Dead di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Madeline berbalik dan berlari memasuki lorong menuju ke rumah
Justin. Ia menghambur keluar di kamar tidur Justin dan berlari keluar
ke lorong. Ia menuruni tangga panjang yang melengkung ke lantai
bawah, sambil masih memanggul Bibi.
Dengan kekuatan terakhirnya, Madeline menerjang pintu depan
dan membawa Bibi ke halaman. Di sana ia jatuh, kehabisan tenaga.
Aku hanya bisa sampai di sini, pikir Madeline. Ia merosot
berlutut di rerumputan di depan rumah Justin, sambil memeluk Bibi.
Mata Bibi berkerjap-kerjap membuka. "Kau berhasil," bisiknya.
"Aku tahu kau pasti berhasil."
"Siapa kau?" tanya Madeline. "Kenapa kau membantuku?"
"Namaku Honoria Bancroft," jawab Bibi. "Dulu, aku mencintai
seorang mahasiswa kedokteran bernama Tobias Morgan. Justin
mengkhianati dan membunuhnya. Tobias bersumpah akan menghantui
Shadowbrook hingga dia berhasil menghancurkan kejahatan Justin.
Aku tak bisa membiarkan kekasihku bertempur sendirian. Sekalipun
tua dan lemah, aku berusaha sebaik-baiknya untuk membantunya."
Tanah di bawah mereka bergetar. "Lihat, Honoria," kata
Madeline sambil menunjuk.
Rumpun-rumpun mawarnya mencuat, tumbuh dan terus
tumbuh. Rumpun itu mengepung rumah Justin. Dinding-dinding dan
fondasinya mulai tergoncang.
"Rumpun mawarnya. Mereka meruntuhkan rumahnya!" jerit
Madeline. Diiringi derakan keras, rumah Fear bergetar. Lalu, satu demi
satu, dinding-dindingnya mulai runtuh.
Rumpun mawar itu terus meremas, menggilas rumahnya hingga
menjadi reruntuhan yang semakin lama semakin kecil. Tidak lama
kemudian, rumah Justin yang indah tidak lebih dari setumpuk puingpuing.
"Mereka berhasil," bisik Honoria. "Mereka membalas dendam.
Beristirahatlah dengan tenang sekarang, para istri Justin Fear.
Kekuatan jahat yang merampas kehidupan kalian sudah berakhir
untuk selama-lamanya."
Kelopak mawar menghujani Honoria dan Madeline.
"Ayo," kata Madeline, sambil beranjak bangkit. "Aku harus
membawamu ke dokter."
Honoria menggeleng. "Sudah terlambat untuk itu, Sayang. Aku
sekarat dan aku tahu itu. Tapi sekarang aku bisa meninggal dengan
bahagia. Aku akan meninggal setelah melihat akhir dari Justin Fear."
"Tapi, Honoria..."
"Diamlah," kata Honoria tegas. "Kau membuang-buang
tenagaku dan aku tidak memiliki banyak waktu." Ia menghela napas
dengan susah payah. Madeline merasakan hatinya teremas kesedihan. "Aku tak ingin
kehilangan dirimu. Kau satu-satunya temanku."
"Di bawah bantalmu ada buku harian Tobias," kata Honoria.
"Aku yang meletakkannya di sana. Bukalah sampulnya. Uang mas
kawinku ada di sana. "Aku menyimpannya untuk diriku dan Tobias. Agar kami bisa
memulai kehidupan baru bersama-sama, jauh dari Shadowbrook. Jauh
dari Justin Fear. Sekarang uang itu akan menjadi awal kehidupan baru
bagimu, Madeline." Honoria mencengkeram tangan Madeline dengan jemarinya
yang kurus. "Berjanjilah kau akan mengambilnya," bisik Honoria.
"Berjanjilah kau akan menemukan tempat tinggal dan hidup bahagia
selamanya, jauh dari sini."
"Aku berjanji," jawab Madeline. Air mata menyengat matanya.
Honoria tersenyum. "Kalau begitu tidak ada lagi yang
menahanku di sini," katanya kepada Madeline. Tiba-tiba ia
menegakkan duduknya, seakan-akan kekuatannya telah pulih.
"Tobiasku! Aku datang," jeritnya.
Ia kembali jatuh ke dalam pelukan Madeline. Senyum yang
menakutkan merekah di bibirnya.
Dia sudah meninggal. Aku bahagia karena dia sudah merasa
damai, pikir Madeline. Tapi sekarang aku seorang diri.
Cahaya terpancar di sekitar Madeline. Hantu Tobias Morgan
muncul. Ia mengulurkan tangan ke arah Honoria. Seluruh
kesengsaraan di wajahnya telah hilang.
Roh masa muda Honoria beranjak dari tubuhnya menemui
Tobias. Tobias memeluknya lembut.
Mereka berciuman. Udara bagai memancarkan cahaya
keemasan di sekitar mereka.
Honoria cantik sekali. Mereka tampak bahagia bersama-sama.
Kedua roh itu berpaling memandang Madeline. Ia tahu bahwa
mereka mengucapkan selamat berpisah.
"Selamat tinggal," bisik Madeline. "Terima kasih."
Perlahan-lahan, roh-roh itu memudar. Cahaya terang
benderangnya menghilang. Dan Madeline tertinggal seorang diri.
Ia beranjak bangkit dengan kelelahan dan memulai perjalanan
kembali ke rumah sepupunya.
Aku akan menemukan warisan Honoria. Kemudian aku akan
menemukan kehidupanku sendiri.
Epilog MADELINE merapikan gaun barunya saat duduk di kereta.
Sesudah mencari-cari selama beberapa bulan, ia menemukan tempat
tinggal yang sempurna dan tengah dalam perjalanan ke sana.
Begitu Madeline melihat rumah kecil di Rose Street itu, ia tahu
ia menginginkannya. Ia mampu membelinya dan masih memiliki
sedikit uang untuk hidup.
Aku tidak keberatan bahwa rumah itu di Rose Street. Kenapa
tidak" Mawar dan aku telah menang. Tidak ada kejadian buruk yang
akan menimpaku di sini. Di Rose Street, aku akan memulai kembali Aku akan bebas dari
semua bayang bayang buruk masa lalu. Bahkan mimpi buruk pun
takkan menghantuiku di sini. Akhirnya aku bebas dari Justin Fear. Tak
seorang pun pernah mendengar tentang keluarga Fear di tempat yang
cantik ini. Aku yakin akan hal ilu
"Apakah kau sekadar berkunjung, Miss?" tanya kusir kereta
ramah setelah Madeline memberitahukan alamat tujuannya.
"Oh, tidak. Aku akan tinggal di sini," jawab Madeline bahagia.
"Hari ini adalah hari pertamaku di rumah baruku."
"Begitukah" Bagus sekali!" seru kusir itu.
Madeline memandang sekitarnya sementara kusir memandu
kuda dan keretanya menyusuri jalan-jalan kota. Kotanya sekarang.
Etalase-etalase tokonya tampak meriah dan terang benderang.
Rumah-rumahnya juga tampak cantik, dengan kebun-kebun yang
menarik dan rerumputan yang hijau cerah. Madeline merasakan
kebahagiaan menyembur dalam dirinya.
Aku mengambil keputusan yang benar kali ini.
"Rose Street sangat menyenangkan, Miss," kata kusir. "Bagian
kota yang sangat nyaman. Tentu saja, tidak semewah rumah-rumah di
Fear Street," tambahnya, saat kereta berbelok di tikungan. "Tapi tidak
mungkin kita semua tinggal di sana."
Fear Street! Fear Street"
"Kita sudah tiba, Miss," kata kusir, sambil menghentikan kereta
di depan rumah baru Madeline. "Kuharap kau akan bahagia tinggal di
sini. Selamat datang di Shadyside."END
EBOOK INI TERSELENGGARA BERKAT DONASI BUKU OLEH NIKEN Jala Pedang Jaring Sutra 6 Animorphs - 37 Kelemahan The Weakness Kisah Para Penggetar Langit 1
^