Pencarian

Pahlawan Yang Hilang 3

The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero Bagian 3


Leo tak pernah bertemu ayahnya, tak pernah melihat fotonya sekali pun, tapi ibuya bicara seolaholah ayah Leo cuma pergi ke toko untuk membeli susu dan dia akan segera kembali. Leo
berusaha memercayai ibunya. Suatu hari nanti, dia akan mengerti semuanya.
Selama beberapa tahun berikutnya, mereka berbahagia. Leo hampir lupa tentang Tia Callida. Dia
masih memimpikan kapal terbang, tapi peristiwa-peristiwa aneh yang lain serasa bagaikan mimpi
juga. Segalanya hancur berantakan ketika umur Leo delapan tahun. Pada saat itu, dia menghabiskan
seluruh waktu senggangnya di bengkel bersama ibunya. Leo tahu cara menggunakan mesin. Dia
bisa berhitung dan mengerjakan soal matematika lebih baik daripada sebagian besar orang
dewasa. Dia sudah belajar berpikir secara tiga dimensional, memecahkan persoalan mekanik
dalam kepalanya sebagaimana yang dilakukan ibunya.
Suatu malam, mereka terjaga hingga larut karena ibunya sedang merampungkan desain mata bor
putar yang ingin dia patenkan. Jika dia bisa menjual model contohnya, kehidupan mereka
mungkin bakal berubah. Mungkin dia tidak perlu bekerja sekeras itu lagi.
Saat ibunya bekerja, Leo mengoperkan peralatan ibunya dan menceritakan lelucon-lelucon norak,
mencoba membangkitkan semangat ibunya. Leo senang sekali jika dia bisa membuat ibunya
tertawa. Ibunya tersenyum dan berkata, "Ayamu pasti bangga padamu, mijo. Kau akan segera
bertemu dengannya, aku yakin."
Ruang kerja Ibu terletak di bagian paling belakang bengkel. Suasananya agak seram di malam
hari, sebab hanya mereka yang ada di sana. Setiap bunyi bergema di gudang kosong itu, namun
Leo tak keberatan asalkan dia bersama ibunya. Jika Leo keluyuran di toko, mereka bisa
senantiasa berhubungan menggunakan ketukan kode Morse. Kapan pun mereka siap untuk pergi,
mereka harus berjalan menyusuri keseluruhan bengkel, melewati ruang rekreasi, dan keluar ke
lahan parkir, mengunci pintu di belakang mereka.
Malam itu sesudah beres-beres, mereka baru saja sampai di ruang rekreasi ketika ibu Leo
menyadari bahwa dia tidak membawa kuncinya.
"Aneh," Ibunya mengerutkan kening. "Aku yakin aku membawanya. Tunggu di sini, mijo. Aku
hanya akan pergi sebentar."
Ibunya memberi Leo satu senyuman lagi"yang terakhir yang pernah Leo lihat"dan dia pun
kembali ke bengkel. Ibunya baru pergi beberapa detik ketika pintu bengkel terbanting hingga menutup. Lalu pintu
terkunci sendiri. "Bu?" Jantung Leo berdentum-dentum. Sesuatu yang berat berdebum di dalam gudang. Dia lari
ke pintu, tapi tak peduli seberapa keras dia menarik atau menendang, pintu itu tak mau terbuka.
"Bu!" dengan panik, Leo mengetukkan pesan di dinding: Ibu baik-baik saja"
"Dia tak bisa mendengarmu," ujar sebuah suara.
Leo berbalik dan mendapati dirinya tengah berhadapan dengan seorang wanita aneh. Pada
mulanya Leo mengira dia adalah Tia Callida. Wanita itu mengenakan jubah hitam, dengan
selendang yang menutupi wajahnya.
"Tia?" kata Leo.
Wanita itu terkekeh, suaranya pelan dan lembut, seperti setengah tertidur. "Aku bukan
pelindungmu. Hanya kemiripan keluarga."
"Apa"apa maksudmu" Di mana ibuku?"
"Ah ... loyal terhadap ibumu. Bagus sekali. Tapi begini, aku punya anak juga ... dan
sepengetahuanku kau akan melawan mereka suatu hari nanti. Ketika mereka berusaha
membangunkanku, kau akan mencegah mereka. Aku tak bisa membiarkan itu terjadi."
"Aku tidak kenal kau. Aku tidak mau melawan siapa-siapa."
Wanita itu bergumam seperti orang yang sedang mengigau dalam tidur. "Pilihan bijak."
Disertai perasaan merinding, Leo menyadari bahwa wanita itu memang benar-benar tidur. Di
balik cadar, matanya terpejam. Tapi yang lebih aneh: pakaiannya tidak terbuat dari kain.
Pakaiannya terbuat dari tanah"tanah hitam kering, bergolak dan berubah bentuk di sekeliling
tubuhnya. Wajah pucatnya yang sedang tidur nyaris tak terlihat di balik cadar tanah, dan Leo
merasakan firasat mengerikan bahwa wanita itu baru saja bangkit dari kubur. Jika wanita itu
memang sedang terlelap, Leo ingin agar dia tetap tidur. Leo tahu jika wanita itu terjaga
seutuhnya, dia bakalan semakin menyeramkan.
"Aku belum bisa membinasakanmu," gumam wanita tersebut. "Para Moirae takkan
mengizinkannya. Tapi mereka tidak melindungi ibumu, dan mereka takkan bisa mencegaku
mematahkan semangatmu. Ingatlah malam ini, Pahlawan Kecil, ketika mereka memintamu untuk
menentangku." "Jangan ganggu ibuku!" Rasa takut membuncah di tenggorokan Leo saat wanita itu meluncur ke
depan. Dia bergerak lebih seperti tanah longsor daripada manusia, dinding gelap dari tanah yang
bergeser menuju Leo. "Dengan cara apa kau hendak menghentikanku?" bisik wanita tersebut.
Dia berjalan menembus meja, partikel-partikel tubuhnya tersusun kembali di sisi meja yang satu.
Wanita itu menjulang di depan Leo, dan Leo tahu wanita tersebut akan melintas menembus
tubuhnya juga. Leo-lah satu-satunya penghalang antara wanita itu dan ibunya.
Api pun tersulut di tangan Leo.
Senyum mengantuk terkembang di wajah wanita itu, seolah dia sudah menang. Leo menjerit
putus asa. Pengelihatannya berubah jadi merah. Lidah api menjilat si wanita tanah, tembok, pintu
yang terkunci. Dan Leo pun kehilangan kesadaran.
Ketika Leo terbangun, dia berada di ambulans.
Petugas Paramedis berusaha bersikap ramah padanya. Dia memberi tahu Leo bahwa gudang itu
telah terbakar. Ibu Leo tak berhasil keluar. Petugas paramedis itu berkata bahwa dia ikut berduka
cita, tapi Leo merasa hampa. Dia telah kehilangan kendali, seperti yang sudah diperingatkan
ibunya. Ibunya meninggal karena kesalahan Leo.
Tidak lama kemudian polisi datang menjemput Leo, dan mereka tidak bersikap seramah itu.
Kebakaran berawal di ruang rekreasi, kara mereka, tepat di tempat Leo berdiri. Leo selamat
karena suatu keajaiban, tapi anak macam apa yang mengunci pintu ruang kerja ibunya, tahu
bahwa dia berada di dalam, dan memicu kebakaran.
Belakangan, tetangga-tetangganya di kompleks apartemen memberi tahu polisi bahwa Leo
adalah bocah yang aneh. Mereka membicarakan bekas tangan gosong di meja piknik. Mereka
sudah tahu sedari dulu bahwa ada yang tidak beres dengan anak laki-laki Esperanza Valdez.
Kerabat Leo tidak mau menampungnya. Bibi Rosa memanggilnya diablo dan berteriak-teriak
kepada para pekerja sosial agar membawa Leo pergi. Jadi, Leo pun memasuki panti asuhannya
yang pertama. Beberapa hari kemudian, dia kabur. Sebagian panti asuhan ditinggalinya lebih
lama daripada panti asuhan lainnya. Leo selalu bercanda, berkawan dengan beberapa orang,
berpura-pura bahwa tak ada satu pun yang bisa mengusiknya, tapi akhirnya dia selalu saja
melarikan diri cepat atau lambat. Itulah satu-satunya cara untuk mengurangi kepedihannya"
dengan merasakan bahwa dia terus bergerak, kian lama kian jatuh dari puing-puing hangus
bengkel mesin itu. Leo berjanji kepada dirinya sendiri bahwa dia takkan pernah main api lagi. Sudah lama Leo tidak
memikirkan Tia Callida, maupun si wanita tidur berjubah tanah itu.
*** Leo hampir sampai di hutan ketika dia membayangkan suara Tia Callida dalam kepalanya: Itu
bukan salahmu, Pahlawan Kecil. Musuh kita terbangun. Sudah waktunya untuk berhenti berlari.
"Hera," gerutu Leo, "Anda bahkan tak berada di sini, kan" Anda terpenjara dalam kurungan
entah di mana." Tidak ada jawaban. Tapi sekarang, paling tidak, Leo memahami sesuatu. Hera telah mengawasi Leo seumur
hidupnya. Entah bagaimana, sang dewi tahu kelak dia akan membutuhkan Leo. Mungki Moirae
yang disebut-sebut Hera dapat meramalkan masa depan. Leo tidak tahu pasti. Tapi Leo tahu
dirinya ditakdirkan untuk menjalani misi ini. Ramalan Jason memperingatkan mereka agar
berhati-hati terhadap tanah, dan Leo tahu itu ada hubungannya dengan wanita tidur di bengkel itu,
dalam balutan jubah tanahnya yang terus-menerus bergerak dan berubah bentuk.
Kau akan menemukan takdirmu, Tia Callida berjanji, dan akhirnya kau akan mengerti makna
dari perjalanan hidupmu yang berat itu.
Leo mungkin akan mengetahui apa arti kapal terbang dalam mimpinya. Dia mungkin akan
menjumpai ayahnya, atau bahkan memiliki kesempatan untuk membalas kematian ibunya.
Tapi sebelum itu, dia harus melakukan hal yang paling penting. Dia menjanjikan kendaraan
terbang untuk Jason. Bukan kapal dari mimpinya"belum. Tidak ada waktu untuk merakit sesuatu serumit itu. Dia
membutuhkan solusi yang lebih cepat. Dia membutuhkan seekor naga.
Leo ragu-ragu di tepi hutan, memicingkan mata ke kegelapan total yang terbentang di
hadapannya. Burung hantu mendekur, dan sesuatu jatuh di dalam hutan berdesis bagaikan
paduan suara ular. Leo teringat perkataan Will Solace padanya: tak seorang pun boleh masuk ke hutan sendirian,
terutama tidak tanpa senjata. Leo tidak membawa apa-apa"tidak ada pedang, tidak ada senter,
tidak ada bala bantuan. Leo melirik ke belakang, ke lampu-lampu di pondok. Dia bisa berbalik sekarang dan memberi
tahu semua orang bahwa dia bercanda. Sinting! Nyssa dipersilakan untuk menggantikannya dan
ikut serta dalam misi tersebut. Leo bisa tinggal saja di perkemahan dan belajar untuk menjadi
bagian dari pondok Hephaestus, tapi Leo bertanya-tanya berapa lama sampai dia jadi mirip
teman-teman sepondoknya"sedih, putus asa, dan meyakini nasib buruknya sendiri.
Mereka tak bisa mencegahku mematahkan semangatmu, kata si wanita tidur. Ingatlah malam ini,
Pahlawan Kecil, ketika mereka memintamu menentangku.
"Percayalah padaku, nyonya," gerutu Leo, "aku ingat. Dan siapa pun dirimu, akan kubenamkan
mukamu ke tanah kuat-kuat, ala Leo."
Leo menarik napas dalam-dalam dan menerobos masuk ke dalam hutan.
BAB DUA BELAS LEO HUTAN TERSEBUT TIDAK SEPERTI TEMPAT lain yang pernah Leo kunjungi sebelumnya.
Leo dibesarkan di kompleks apartemen di Housten Utara. Hal paling liar yang pernah dia temui
adalah ular derik di padang penggembalaan sapi dan Bibi Rosa yang berdaster, sampai Leo
dikirim ke Sekolah Alam Liar.
Di sana sekalipun, sekolah itu terletak di gurun. Tidak ada pohon berakar bengkok yang bisa
menyandungnya. Tidak ada sungai yang bisa membuatnya tercebur di dalamnya. Tidak ada
dahan-dahan yang memancarkan bayangan gelap angker dan burung hantu yang memandanginya
dengan mata besarnya yang reflektif. Mungkin inilah yang namanya Twilight Zone.
Leo berjalan sambil tersaruk-saruk ke dalam hutan, sampai dia yakin tak seorang pun di pondok
yang bisa melihatnya. Lalu dia memanggil api. Lidah api menari-nari diujung jarinya,
memancarkan cahaya secukupnya untuk penerangan. Leo tak pernah lagi mencoba memanggil
api sejak umurnya lima tahun, di meja piknik itu. sejak ibunya meninggal, dia terlalu takut untuk
mencoba api apa pun. Bahkan api kecil ini saja membuatnya merasa bersalah.
Leo terus berjalan, mencari-cari petunjuk keberadaan sang naga"jejak kaki rusa, pohon yang
terinjak, sepetak hutan yang terbakar. Sesuatu yang sebesar itu tidak mungkin mengendap-endap,
kan" Tapi dia tak melihat apa-apa. Satu kali dia melihat sosok besar berbulu seperti serigala atau
beruang, tapi makhluk itu menjaga jarak dari apinya, yang membuat Leo cukup lega.
Lalu, di dasar sebuah bukaan, dia melihat jebakan pertama"kawah selebar tiga puluh meter
yang dikelilingi batu-batu besar.
Leo harus mengakui bahwa jebakan itu lumayan inovatif. Di tengah-tengah cekungan, tong
logam seukuran bak mandi air panas telah diisi cairan gelap menggelegak"saus Tobasco dan oli
mesin. Pada landasan yang digantung di atas tong, terdapat kipas angin listrik yang berputarputar, menyebarkan uap dari campuran itu ke seluruh hutan. Bisakah naga logam mencium bau
itu" Tong tersebut tampaknya tidak dijaga. Tapi Leo memperhatikan baik-baik saja, dan berkat
cahaya redup dari bintang-bintang serta api di tangannya, dia bisa melihat kilau logam di bawah
dedaunan dan tanah"jaring perunggu yang dihamparkan ke seluruh permukaan tanah"jaring
perunggu yang dihamparkan ke seluruh permukaan kawah. Atau mungkin melihat bukanlah kata
yang tepat"Leo bisa merasakannya di sana, seolah-olah mekanisme jebakan tersebut
memancarkan panas, menampakkan diri kepada Leo. Enam utas perunggu besar terentang dari
tong bagaikan jari-jari roda. Utas perunggu itu pastilah peka terhadap tekanan, tebak Leo. Begitu
sang naga menginjak salah satu utas perunggu itu, jaringnya akan tertutup, dan abrakadabra"
sesosok monster pun terbungkus layaknya kado.
Leo beringsut mendekat. Dia menapakkan kakinya ke atas pemicu jebakan yang terdekat. Seperti
yang dia duga, tak ada yang terjadi. Mereka harus mengatur jaringnya untuk sesuatu yang benarbenar besar. Jika tidak, mereka bisa menangkap hewan, manusia, monster yang lebih kecil, apa
saja. Leo ragu ada makhluk lain yang sebesar naga logam itu di hutan ini. Setidaknya, harap Leo,
moga-moga saja tak ada. Dia berjalan menuruni kawah dengan hati-hati dan mendekati tong. Uapnya sangat tajam, dan
mata Leo mulai berair. Dia teringat sesuatu ketika Tia Calllida (Hera, terselahlah) menyuruhnya
mengiris jalapeno di dapur dan mata Leo kemasukan sarinya. Pedih sekali. Tapi tentu saja
wanita itu malah berkata, "Tahan sakitnya, Pahlawan Kecil. Orang-orang Aztec dari negeri asli
ibumu dahulu menghukum anak-anak nakal dengan cara menahan mereka di atas perapian yang
ditaburi cabe. Mereka membesarkan banyak pahlawan dengan cara seperti itu."
Psikopat tulen, wanita itu. Leo senang sekali dia bakal menjalani misi untuk menyelamatkan
wanita tersebut. Tia Callida bakalan menyukai tong ini, soalnya ini jauh lebih buruk daripada jalapeno. Leo
mencari-cari pemicu"sesuatu yang bakal menonaktifkan jebakan itu. Dia tidak melihat apa-apa.
Sesaat Leo merasa panik. Nyssa bilang ada beberapa jebakan seperti ini di hutan, dan mereka
berencana akan memasang jebakan lagi. Bagaimana kalau sang naga telah menginjak salah satu
jebakan lain" Bagaimana mungkin Leo menemukan semuanya"
Leo terus mencari, namun dia tidak menemukan mekanisme untuk menonaktifkan jebakan itu.
tidak ada besar berlabel off. Terbetik di benak Leo bahwa mungkin yang seperti itu memang
tidak ada. Dia mulai putus asa"lalu dia mendengar suara itu.
Sebenarnya suara itu lebih mirip suatu getaran"semacam gemuruh bernada rendah yang hanya
bisa kaudengar dengan perasaan alih-alih dengan telinga. Leo jadi bergidik, tapi dia tidak
menoleh ke mana pun untuk mencari sumbernya. Dia terus saja mengamat-amati jebakan sambil
berpikir, Ia pasti masih jauh. Ia sedang berjalan menembus hutan. Aku harus cepat-cepat.
Kemudian dia mendengar dengusan yang berpadu dengan bunyi menggilas, seperti uap yang
dipaksa keluar dari tong logam.
Bulu kuduknya merinding. Leo pelan-pelan menoleh. Di tepi lubang, lima puluh kaki jauhnya,
sepasang mata merah yang menyala-nyala menatap Leo. Makhluk itu berkilau di bawah sinar
bulan, dan Leo sulit percaya bahwa sesuatu sebesar itu bisa mengendap-endap di belakangnya
dengan sedemikian cepat. Leo terlambat menyadari bahwa tatapan makhluk tersebut tertuju ke
api di tangannya, dan dia pun memadamkan nyala apinya.
Dia masih bisa melihat naga tersebut dengan jelas. Panjangnya kira-kira delapan belas meter dari
moncong ke ekor, tubuhnya terbuat dari pelat-pelat perunggu yang berkaitan. Cakarnya gigi
logam setajam belati. Uap keluar dari lubang hidungnya. Ia menggeram bagaikan gergaji mesin
yang sedang menebang pohon. Sepertinya ia bisa menggigit Leo dengan mudah sampai putus,
atau mengijaknya sampai gepeng. Naga itu adalah makhluk terindah yang pernah dilihat Leo,
kecuali satu hal yang akan mengacaubalaukan rencana Leo sepenuhnya.
"Kau tidak punya sayap," kata Leo.
Sang naga berhenti menggeram. Ia menelengkan kepala seolah mengatakan, Kenapa kau tidak
kabur ketakutan" "Hei, jangan tersinggung," kata Leo. "Kau begitu menakjubkan! Ya ampun, siapa sih yang
membuatmu" Kau ini bertenaga hidrolik atau nuklir atau apa" Tapi kalau aku, aku akan
memasangkan sayap ke tubuhmu. Naga macam apa yang tidak punya sayap" Kuduga mungkin
kau terlalu berat sehingga tidak bisa terbang" Seharusnya itu terpikir olehku."
Sang naga mendengus, sekarang makin bingung. Ia semestinya menginjak-injak Leo. Percakapan
ini bukanlah bagian dari rencana. Ia melangkah maju, dan Leo berteriak, "Jangan!"
Sang naga menggeram lagi.
"Itu jebakan, Otak Perunggu," kata Leo. "Mereka mencoba menangkapmu."
Sang naga membuka mulut dan menyemburkan api. Pilar api putih membara menerpa tubuh Leo,
lebih panas dari yang pernah Leo rasakan sebelumnya. Dia merasa seperti disemprot api yang
sangat panas dari selang bertekanan tinggi. Rasanya agak perih, tapi Leo bertahan. Ketika api
padam, Leo baik-baik saja. Bahkan pakaiannya juga tidak kenapa-napa; Leo tidak mengerti apa
sebabnya, tapi dia bersyukur dia suka jaket tentaranya, dan mengenakan celana yang gosong
pastilah cukup memalukan.
Naga itu menatap Leo. Wajahnya sebetulnya tidak berubah, mengingat bahwa ia terbuat dari
logam dan sebagainya, tapi Leo mengira dia bisa membaca ekspresi sang naga: Kok tidak
gosong" Listrik memercik dari leher sang naga, seperti ada yang korslet.
"Kau tidak bisa membakarku," kata Leo, berusaha kedengaran tegas dan tenang. Dia tidak
pernah punya anjing sebelumnya, tapi dia bicara kepada sang naga seperti sedang bicara kepada
anjing. "Tenang, Nak. Jangan mendekat. Aku tidak mau kau terperangkap. Begini, mereka kira
kau rusak dan harus dibongkar. Tapi aku tak percaya. Aku bisa memperbaikimu kalau kau
mengizin?" Sang naga berderit, meraung, dan menerjang. Jebakan pun aktif. Dasar kawah melontarkan jaring
jebakan, disetrai bunyi gaduh seperti ribuan tutup tempat sampah yang saling pukul. Tanah dan
daun beterbangan, jaring logam berkilat-kilat. Leo terjungkal dan tersiram saus Tobasco serta oli.
Dia mendapati dirinya terjepit di tengah-tengah tong dan sang naga selagi naga itu meronta-ronta,
berusaha membebaskan diri dari jaring yang telah menjerat mereka berdua.
Sang naga menyemburkan api ke segala arah, menerangi langit dan membakar pepohonan.
Minyak dan saus tersulut di sekujur tubuh mereka. Hal tersebut tak menyakiti Leo, tapi
menyisakan rasa menjijikan di mulutnya.
"Hentikan!" teriak Leo.
Sang naga terus menggeliang-geliung. Leo menyadari dirinya bakalan tergencet jika dia tidak
bergerak. Memang tidak gampang, tapi Leo berhasil menggeliut keluar dari antara naga dan tong.
Leo meliuk-liuk keluar dari jaring. Untungnya lubang-lubang pada jaring cukup besar untuk
dilewati seorang anak yang ceking.
Leo lari dari kepala sang naga. Ia berusaha mengigit Leo, namun giginya terjerat di jaring. Ia
menyemburkan api lagi, tapi sepertinya ia sudah kehabisan energi. Kali ini apinya hanya
berwarna jingga. Api tersebut bahkan sudah padam sebelum mencapai wajah Leo.
"Dengar, Bung," kata Leo, "kau hanya akan menunujukkan kepada mereka di mana kau berada.
Kemudian mereka bakal datang dan mengeluarkan asam serta pemotong logam. Itukah yang
kaumau?" Rahang sang naga mengeluarkan bunyi berderit, seolah sedang berusaha bicara.
"Oke, kalau begitu," kata Leo. "Kau harus mempercayaiku."
Dan Leo pun mulai bekerja.
*** Leo membutuhkan waktu hampir sejam untuk menemukan panel kendali. Letaknya tepat di
belakang sang naga, seperti yang sudah sewajarnya. Leo memilih untuk membiarkan sang naga
di dalam jaring, sebab lebih mudah bekerja sementara makhluk itu terperangkap, namun naga


The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersebut tidak menyukainya.
"Jangan bergerak!" omel Leo.
Sang naga lagi-lagi mengeluarkan suara berderit yang mungkin saja merupakan rengekan.
Leo memeriksa kabel-kabel di dalam kepala sang naga. Konsentrasinya terusik karena suara
berisik yang berasal dari hutan, tapi ketika dia mendongak, ternyata cuma roh pohon"dryad,
Leo rasa itulah nama mereka"yang sedang memadamkan api di cabang-cabangnya. Untungnya,
naga tersebut tidak memicu kebakaran di seluruh hutan, tapi si dyrad tetap saja tak terlalu senang.
Gaun gadis itu berasap. Dia memadamkan api dengan selimut sehalus sutra, dan ketika dryad itu
melihat Leo memandanginya, dia memberi isyarat yang barangkali sangat kasar dalam bahasa
Dryad. Lalu menghilang disertai kepulan asap hijau.
Leo kembali mengerahkan perhatiannya kepada kabel-kabel. Rancangannya betul-betul inovatif,
sudah jelas, dan dapat dimengerti olehnya. Yang ini relai kendali motorik. Yang ini untuk
mengolah input sensoris dari mata. Piringan yang ini ...
"Ha," kata Leo. "Pantas saja."
Keriut" Tanya sang naga dengan rahangnya.
"Piringan pengendalimu karatan. Barangkali itu mengatur fungsi mental, ya" Otakmu karatan,
Bung. Pantas kau agak ... linglung." Leo hampir-hampir mengatakan gila, tapi dia berhasil
menahan diri. "Kuharap aku punya piringan pengganti, tapi sirkuitmu sungguh-sungguh rumit.
Aku harus mengeluarkan dan membersihkannya. Sebentar saja." Leo mengeluarkan piringan
tersebut, dan sang naga pun mematung sepenuhnya. Nyala di matanya padam. Leo meluncur
turun dari panggung sang naga dan mulai memoles piringan itu. Dia mengoleskan sedikit oli dan
saus Tabasco, lalu mengusap piringan itu dengan lengan bajunya, yang membantu
menyingkirkan kotoran, tapi semakin Leo membersihkan, semakin dia khawatir. Sejumlah
sirkuit sudah rusak parah, tak dapat diperbaiki lagi. Dia bisa memperbaiki piringan itu, tapi tidak
sempurna. Agar sang naga kembali berfungsi dengan sempurna, Leo membutuhkan piringan
baru, dan dia tidak tahu bagaimana cara membuat piringan semacam itu.
Leo berusaha bekerja dengan cepat. Dia tidak yakin berapa lama piringan pengendali naga boleh
dilepas tanpa merusaknya"mungkin selamanya"tapi Leo tidak mau ambil risiko. Sesudah Leo
mengerahkan upaya terbaiknya, dia kembali memanjat ke kepala naga dan mulai membersihkan
kabel dan gearbox, membuat tubuhnya kotor dalam proses tersebut.
"Tangan bersih, perkakas kotor," gumam Leo, sesuatu yang acap kali diucapkan ibunya. Ketika
dia selesai, tangannya hitam terkena minyak, sedangakan pakaiannya kotor dan compangcamping seperti baru saja kalah dalam pertandingan gulat lumpur, namun mekanisme dalam
kepala naga kelihatan jauh lebih baik. Leo memasukkan piringan pengendalinya,
menyambungkan kabel terakhir, dan percikan listrik pun beterbangan. Sang naga tiba-tiba saja
berguncang. Matanya mulai menyala.
"Mendingan?" tanya Leo.
Sang naga mengeluarkan suara seperti bor berkecepatan tinggi. Ia membuka mulut dan semua
giginya berotasi. "Kuduga artinya ya. Tunggu sebentar, biar kubebaskan kau."
Tiga puluh menit lagi dihabiskan Leo untuk mencari sesuatu untuk melonggarkan jaring itu dan
membebaskan sang naga yang terbelit di dalamnya, tapi akhirnya naga itu berdiri dan
mengguncangkan jaring hingga lepas dari punggungnya. Ia meraung penuh kemenangan dan
menembakkan api ke langit.
"Serius nih," kata Leo. "Bisa tidak kau tidak pamer?"
Keriut" Tanya sang naga.
"Kau butuh sebuah nama," Leo memutuskan. "Akan kupanggil kau Festus."
Sang naga memutar gigi-giginya dan nyengir. Setidaknya Leo berharap itu memang cengiran.
"Bagus," kata Leo. "Tapi kita masih punya masalah, soalnya kau tidak punya sayap."
Festus menelengkan kepala dan menyemburkan uap. Lalu dia membungkukkan punggungnya,
bahasa tubuh yang tak mungkn salah dikenali. Naga itu ingin Leo menaikinya.
"Kita mau ke mana?" tanya Leo.
Tapi dia terlalu bersemangat untuk menunggu sebuah jawaban. Leo memanjat ke punggung naga,
dan Festus pun melesat ke hutan.
*** Leo kehilangan kesadaran akan waktu dan arah. Tampaknya mustahil bahwa hutan tersebut bisa
seluas dan seliat itu, tapi sang naga melaju hingga pohon-pohon menjulang bagaikan pencakar
langit dan kanopi daun menyembunyikan bintang-bintang sepenuhnya. Api di tangan Leo
sekalipun tak dapat menerangi jalan, tapi mata naga yang menyala berfungsi seperti lampu sorot.
Akhirnya mereka menyeberangi sungai dan tiba di jalan buntu, tebing batu kapur setinggi tiga
puluh meter"dinding padat curam yang tidak mungkin dipanjat sang naga.
Festus berhenti di kaki tebing dan mengangkat satu kaki seperti anjing yang sedang menunjuk.
"Ada apa?" Leo meluncur turun ke tanah. Dia berjalan menghampiri tebing"tidak ada apa-apa
kecuali batu padat. Sang naga terus menunjuk.
"Tebing ini takkan menyingkir supaya tak menghalangi jalanmu," Leo memberitahunya.
Kabel longgar di leher naga memercikkan listrik, tapi dia tetap saja diam. Leo menempelkan
tangannya ke tebing. Mendadak jemarinya mengepulkan asap. Jalur api menyebar dari ujung
jarinya seperti serbuk mesiu yang disulut, berdesis di batu kapur. Jalur-jalur yang terbakar itu
merambat di sepanjang permukaan tebing hingga membentuk pintu berpendar yang lima kali
lebih tinggi dari Leo. Dia mundur dan pintu itu pun terayun hingga terbuka, tidak menimbulkan
suara sama sekali untuk ukuran bongkah batu sebesar itu.
"Keseimbangannya sempurna," gumam Leo. "Begitu itu yang namanya teknik mesin kelas satu."
Sang naga berhenti mematung dan berderap masuk, seolah pulang ke rumah.
Leo melangkah masuk, dan pintu pun mulai tertutup. Dia merasa panik sesaat, teringat malam di
bengkel mesin bertahun-tahun yang lalu, ketika dia terkunci di sana. Bagaimana jika dia terjebak
di dalam sini" Tapi kemudian lampu-lampu menyala"kombinasi lampu neon listrik dan obor
yang dipasang di dinding. Ketika Leo melihat gua itu, dia melupakan keinginannya untuk pergi.
"Festus," gumam Leo. "Ini tempat apa?"
Sang naga melenggang ke tengah-tengah ruangan, meninggalkan jejak di debu tebal, dan
bergelung di atas panggung besar berbentuk lingkaran.
Gua itu seukuran hanggar pesawat terbang, dilengkapi meja kerja serta rak-rak penyimpanan
barang yang tak terhitung jumlahnya, deretan pintu seukuran garasi di dinding kiri maupun
kanan, serta tangga yang mengarah ke jalanan sempit yang semrawut di atas. Di mana-mana ada
bermacam-macam peralatan"tuas hidrolik, peralatan mengelas, seragam tukang, penyemprot
udara, forklift, juga sesuatu yang Leo curigai mirip bilik reaksi nuklir. Papan-papan
pengumuman ditutupi cetak biru usang yang sudah geripis. Selain itu, ada senjata, baju zirah,
tameng"segalam macam perlengkapan perang tersebar di tempat tersebut, banyak yang baru
setengah jadi. Jauh di atas panggung sang naga tergantunglah panji-panji tua koyak, sudah pudar sehingga
hampir tidak bisa terbaca. Huruf-hurufnya berupa aksara yunani, tapi Leo entah bagaimana tahu
bahwa bunyinya adalah: BUNKER 9.
Apa maksudanya sembilan seperti pondok Hephaestus, atau sembilan yang berarti ada delapan
lagi" Leo memandang Festus yang masih bergelung di panggung. Sekonyong-konyong terbetik
di benak Leo bahwa naga itu terlihat begitu nyaman karena ia sudah pulang. Ia barangkali
dibangun di panggung itu.

"Apa anak-anak yang lain tahu ...?" Pertanyaan Leo terjawab selagi dia memikirkannya.
Jelas bahwa tempat ini sudah ditinggalkan selama berabad-abad. Sarang laba-laba dan debu
menyelimuti segalanya. Lantai tidak menapakkan jejak kaki lain selain jejak Leo dan tapak kaki
besar sang naga. Leo adalah orang pertama yang pernah memasuki bunker ini sejak ... sejak dulu
sekali. Bunker 9 telah ditinggalkan sementara masih banyak proyek setengah jadi di meja-meja.
Terkunci dan terlupakan, tapi kenapa"

Leo melihat peta di dinding"peta perang
perkemahan, tapi kertasnya sudah menyerpih dan sekuning kulit bawang bombai. Di bagian
bawahnya tertera tanggal, 1864.
"Tidak mungkin," gumam Leo.
Lalu Leo melihat cetak biru di papan pengumuman di dekatnya, dan jantungnya hampir meloncat
keluar dari tenggrokannya. Dia lari ke meja kerja dan menatap skema yang sudah sedemikian
pudar sehingga nyaris tak dapat dikenal: kapal Yunani dari beberapa sudut yang berlainan. Di
bawahnya terdapat guratan kata-kata samar yang berbunyi: RAMALAN" TIDAK JELAS.
TERBANG" Itu adalah kapal yang Leo lihat dalam mimpinya"kapal terbang. Seseorang telah berusaha
merakit kapal itu di sini, atau setidaknya menggambarkan idenya. Lalu skema itu ditinggalkan,
dilupakan ... ramalan yang belum lagi terwujud. Dan yang paling aneh, tiang kalap itu dipuncaki
dekorasi yang persis sama dengan yang digambar Leo waktu umurnya lima tahun"kepala naga.
"Persis seperti kau, Festus," gumam Leo. "Seram deh."
Dekorasi tiang kapal itu menimbulkan perasaan tidak enak dalam dirinya, tapi benak Leo yang
berputar-putar karena disesaki terlalu banyak pertanyaan lain, tidak sempat memikirkan hal itu
lama-lama. Leo menyentuh cetak biru tersebut, berharap dia dapat mencopot skema itu untuk
mempelajarinya, tapi kertas berkerisik saat di sentuh, jadi Leo membiarkannya di situ. Leo
menoleh ke sekelilingnya untuk mencari petunjuk lain. Tidak ada kapal. Tidak ada ini-itu yang
kelihatannya merupakan bagian dari proyek ini, tapi terdapat banyak sekali pintu dan ruang
penyimpanan untuk dijelajahi.
Festus mendengus seolah sedang berusaha menarik perhatian Leo, mengingatkannya bahwa
mereka tidak punya waktu semalaman. Memang benar. Leo memperkirakan, beberapa jam lagi
pasti sudah pagi, dan perhatiannya telah teralih sepenuhnya. Dia sudah menyelamatkan sang
naga, tapi itu takkan membantunya dalam misi. Dia membutuhkan sesuatu yang bisa terbang.
Festus mendorong sesuatu ke arah Leo"sabuk perkakas dari kulit yang telah ditinggalkan di
dekat panggung perakitannya. Lalu naga itu menyalakan mata merahnya dan mengarahkan sorot
matanya ke langit-langit. Leo mendongak ke arah yang diterangi lampu sorot, dan memekik
ketika dia mengenali bentuk benda yang tergantung di atas mereka dalam kegelapan.
"Festus," kata Leo dengan suara tertahan. "Kita punya pekerjaan yang harus dilakukan."
BAB TIGA BELAS JASON JASON MEMIMPIKAN PARA SERIGALA.
Dia berdiri di sebuah bukaan di tengah-tengah hutan redwood. Di depannya menjulanglah
reruntuhan sebuah griya batu. Awan-awan kelabu rendah berbaur dengan kabut dari tanah,
sedangkan hujan yang dingin menggelayuti udara. Sekawanan hewan besar kelabu mondar-mandir
di sekitar Jason, bergesekan dengan tungkainya, menggeram dan memamerkan gigi mereka.
Mereka dengan lembut mengarahkannya agar menuju reruntuhan.
Jason tidak ingin menjadi biskuit anjing terbesar di dunia, jadi dia memutuskan untuk melakukan apa
yang mereka inginkan. Tanah melesak di bawah sepatu bot Jason selagi dia berjalan. Cerobong asap batu yang
menyerupai pilar, tidak lagi terhubung dengan apa pun. Cerobong asap itu menjulang laksana tiang
totem. Rumah tersebut dahulu pasti besar sekali, bertingkat-tingkat dengan dinding dari kayu
gelondongan besar serta atap segitiga jauh di atas sana, tapi kini tak ada yang tersisa kecuali
rangka batunya. Jason melewati kosen pintu yang sudah bobrok dan mendapati dirinya berada di
semacam pekarangan. Di hadapannya terdapat kolam kering, panjang dan berbentuk segi empat. Jason tidak tahu
seberapa dalam kolam ini, sebab dasarnya dipenuhi kabut. Jalan setapak dari tanah terentang ke
sekeliling halaman, dan dinding rumah yang tak rata menjulang di kanan-kiri. Serigala-serigala itu
mondar-mandir di bawah gapura dari batu vulkanis kasar berwarna merah.
Di ujung kolam duduklah seekor serigala bertina raksasa, beberapa kaki lebih tinggi daripada Jason.
Matanya berkilau perak di tengah-tengah kabut, dan bulunya sewarna dengan batu-batu gapura
itu"merah kecokelatan.
"Aku tahu tempat ini," kata Jason.
Sang serigala memperhatikannya. Dia sebenarnya tidak bicara, tapi Jason dapat memahaminya.
Gerakan kuping dan misainya, kilatan matanya, caranya mengerutkan bibir"semua ini merupakan
bagian dari bahasanya. Tentu saja, kata sang serigala betina. Kau memulai perjalananmu di sini sebagai seorang bayi. Kini
kau harus menemukan jalan pulang. Misi yang baru, awal yang baru.
"Ini tidak adil," kata Jason. Tapi begitu dia berbicara, dia takut tak ada gunanya mengeluh kepada
sang serigala betina. Para serigala tidak merasakan simpati. Mereka tak pernah mengharapkan sikap yang adil. Sang
serigala berkata:Taklukkan, atau mati. Inilah cara kita, selalu.
Jason ingin protes bahwa dia tidak bisa menaklukkan jika dia tak tahu siapa dirinya, atau ke mana
dia harus pergi. Tapi Jason mengenal serigala ini. Namanya Lupa, Induk Serigala, yang terhebat
dari kaumnya. Dahulu kala Lupa menemukan Jason di tempat ini, melindunginya,
membesarkannya, memilihnya, tapi jika Jason menunjukkan kelemahan, sang serigala betina akan
mencabik-cabiknya. Alih-alih menjadi bayinya, Jason bakal menjadi makan malamnya. Dalam
kawanan serigala, kelemahan bukanlah pilihan.
"Bisakah kau memanduku?" tanya Jason.
Lupa mengeluarkan geraman dari dalam tenggorokannya, dan buyarlah kabut di kolam itu.
Pada mulanya Jason tidak yakin apa yang dia lihat. Di seberang kolam, dua pilar gelap telah
merekah dari lantai semen bagaikan maya bor mahabesar yang menembus permukaan tanah.
Jason tidak tahu apakah pilar-pilar tersebut terbuat dari batu atau sulur tumbuhan yang membatu,
namun pilar-pilar tersebut disusun oleh sulur-sulur tebal yang mengumpul di puncak. Tinggi masingmasing pilar sekitar satu setengah meter, tapi kedua pilar itu tidak identik. Yang lebih dekat dengan
Jason lebih gelap dan menyerupai massa padat, sulur-sulurnya bergabung menjadi satu. Selagi
Jason memperhatikan, pilar tersebut terdorong semakin ke atas dari tanah dan melebar sedikit.
Di tepi kolam dekat Lupa, sulur-sulur pilar kedua lebih terbuka, mirip seperti jeruji kurungan. Di
dalamnya, Jason samar-samar bisa melihat sosok yang berkabut.
"Hera," ujar Jason.
Sang serigala betina menggeram mengiyakan. Serigala-serigala lain mengelilingi kolam. Bulu
mereka berdiri tegak di punggung mereka selagi mereka menggeram ke kedua pilar.
Musuh telah memilih tempat ini untuk membangkitkan putranya yang paling perkasa, raja para
raksasa, kata Lupa. Tempat keramat kita, tempat para demigod diakui"tempat hidup atau mati.
Rumah yang terbakar. Rumah serigala. Ini adalah penistaan. Kau harus menghentikan wanita itu.
"Wanita itu?" Jason kebingungan. "Maksudmu, Hera?"
Sang serigala betina mengertakkan giginya tak sabaran. Gunakan indramu, Bocah. Aku tak peduli
pada Juno, tapi jika dia gugur, musuh kita akan bangkit. Dan itu akan jadi akhir dari riwayat kita
semua. Kautahu tempat ini. Kau dapat menemukannya lagi. Bersihkan rumah kita. Hentikan ini
sebelum terlambat. Pilar gelap itu pelan-pelan tumbuh membesar, seperti kuncup dari bunga yang menyeramkan. Jason
merasakan bahwa andaikan pilar itu merekah, ia akan membebaskan sesuatu yang tidak pernah
ingin dijumpainya. "Siapa aku?" tanya Jason kepada sang serigala betina. "Setidaknya beritahukan ini padaku."
Serigala tidak punya selera humor, tapi Jason tahu pertanyaannya membuat Lupa geli, seolah
Jason adalah anak serigala yang sedang mencoba menggunakan cakarnya, berlatih untuk menjadi
pejantan alfa. Kau adalah karunia bagi kami, seperti biasa. Sang serigala betina mengerutkan bibirnya, seakan dia
baru saja membuat lelucon cerdas. Jangan sampai gagal, putra Jupiter.
BAB EMPAT BELAS JASON JASON TERBANGUN KARENA MENDENGAR SUARA guntur. Lalu dia ingat di mana dia berada.
Pondok satu memang disemarakkan oleh gemuruh guntur.
Di atas ranjang lipat, langit-langit berkubah dihiasi dengan mozaik biru-putih bagaikan langit
mendung. Tegel bergambar awan bergerak di sepanjang langit-langit, warnanya berubah dari putih
ke hitam dan sebaliknya. Guntur menggelegar di seantero ruangan, dan tegel emas berkilat-kilat
bagaikan urat halilintar.
Selain ranjang lipat yang dibawakan para pekemah lain untuknya, pondok itu tidak dilengkapi
perabot yang lazim"tidak ada kursi, meja, atau lemari. Sejauh pengetahuan Jason, tempat itu
bahkan tidak memiliki kamar mandi. Terdapat ceruk-ceruk di tembok. Masing-masing memuat
tungku perunggu atau patung elang emas yang ditopang landasan marmer. Di tengah-tengah
ruangan, patung Zeus setinggi enam meter dicat menyerupai manusia. Patung itu mengenakan
pakaian Yunani klasik dengan perisai di sisinya serta petir yang terangkat tinggi di tangannya, siap
untuk menghanguskan seseorang.
Jason mengamati patung itu, mencari persamaan antara dirinya dengan sang Penguasa Langit.
Rambut hitam" Tidak. Ekspresi cemberut" Yah, mungkin. Janggut" Tidak, makasih. Dalam balutan
toga dan sandalnya, Zeus terlihat seperti hippie yang sangat kekar dan sangat pemarah.
Yah, Pondok Satu. Kehormatan besar, kata para pekemah lan memberitahu Jason. Memang
menyenangkan, jika kau suka tidur di kuil dingin sendirian sambil dipelototi Zeus Hippie semalaman.
Jason bangkit dan memijat lehernya. Sekujur tubuhnya kaku karena salah tidur dan memanggil tidur
semalam. Trik kecil itu tidak semudah yang dia perlihatkan. Memanggil petir hampir membuat Jason
pingsan. Di samping tempat tidur lipat, pakaian baru disediakan untuknya: jins, sepatu olahraga, dan baju
Perkemahan Blasteran warna jingga. Dia jelas butuh pakaian ganti, tapi saat melihat baju ungunya
yang sobek-sobek, Jason merasa enggan untuk bertukar pakaian. Entah bagaimana rasanya ada
yang salah jika dia mengenakan baju perkemahan itu. Jason masih tak bisa meyakini bahwa dia
boleh berada di sana, terlepas dari semua yang mereka katakan padanya.
Jason memikirkan mimpinya, mengharapkan kembalinya lebih banyak memori mengenai Lupa, atau
rumah bobrok di hutan redwood. Jason tahu dia pernah ke sana sebelumnya. Serigala tersebut
nyata. Tapi kepalanya sakit ketika dia mencoba mengingatnya. Rajah di lengan bawahnya serasa
terbakar. Jika dia bisa menemukan reruntuhan itu, dia bisa menemukan masa lalunya. Apa pun yang
bertumbuh dalam pilar batu itu. Jason harus menghentikannya.
Jason memandangi Zeus Hippie. "Kau dipersilakan membantu."
Patung tersebut tak mengatakan apa-apa.
"Makasih, Yah," gerutu Jason.
Dia berganti pakaian dan memeriksa bayangannya di perisai Zeus. Wajahnya terlihat bergelombang
dan aneh di permukaan logam itu, seolah sedang larut dalam emas cair. Jason jelas tidak terlihat
serupawan Piper semalam, setelah dia mendadak bertransformasi.
Jason masih tidak yakin tentang perasaannya mengenai hal itu. Dia bertingkah layaknya orang
bodoh, mengumumkan di hadapan semua orang bahwa Piper cantik banget. Bukan berarti ada yang
salah dengan Piper sebelumnya. Memang, Piper terlihat luar biasa sesudah Aphrodite menyihirnya,
tapi dia juga tidak seperti dirinya sendiri, dia tidak nyaman dengan perhatian tersebut.
Jason bersimpati pada Piper. Mungkin itu gila, mengingat bahwa Piper baru saja diakui oleh dewi
dan diubah menjadi cewek paling memesona di perkemahan. Semua orang sudah mulai terpikat
pada Piper,memberi tahu cewek itu betapa menakjubkannya dia dan betapaPiper memang
seharusnya menjadi salah satu orang yang menjalani misi"tapi perhatian itu tak ada hubungannya
dengan diri Piper yang sesuangguhnya. Gaun baru, rias wajah baru, aura merah muda yang
berkilau, dan abrakadabra: tiba-tiba orang-orang menyukainya. Jason merasa dia bisa memahami
itu. Tadi malam ketika dia mendatangkan petir, reaksi para pekemah lain tampak tidak asing bagi Jason.


The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia cukup yakin bahwa dia sudah lama menghadapi hal semacam itu"orang-orang terkesima
memandang Jason karena dia adalah putra Zeus, memperlakukannya secara istimewa, tapi itu tak
ada hubungannya dengan diri Jason yang sesungguhnya. Tak ada yang peduli pada Jason, mereka
semua takut pada ayahnya yang seram, yang berdiri di belakangnya sambil membawa petir
pembawa petaka, seolah-olah mengucapkan, Hormati anak ini atau rasakan petirku!
Sesudah acara api unggun, ketika orang-orang mulai kembali ke pondok mereka, Jason
menghampiri Piper dan dengan resmi memintanya ikut serta dalam misi.
Piper masih syok, tapi dia mengangguk sambil mengosok-gosok lengannya, dia pasti kedinginan
karena gaunnya tak berlengan.
"Aphrodite mengambil jaket snowboarding-ku," gerutu Piper. "Bayangkan, dirampok oleh ibuku
sendiri." Di baris pertama amfiteater, Jason menemukan selimut dan menyampirkannya ke bahu Piper. "Akan
kita carikan jaket baru untukmu," janji Jason.
Piper berhasil tersenyum. Jason ingin merangkul Piper, tapi dia menahan diri. Dia tidak mau Piper
mengira bahwa dia sama dangkalnya seperti semua orang lain"berusaha merayu Piper karena
gadis itu berubah jadi cantik.
Jason bersyukur Piper ikut serta dengannya dalam misi tersebut. Jason berusaha berlagak gagah
saat api unggun, tapi cuma itu"cuma akting. Membayangkan dirinya menghadapi kekuatan jahat
yang cukup hebat sehingga mampu menculik Hera, membuat Jason takut setengah mati, terutama
karena dia bahkan tidak tahu masa lalunya sendiri. Jason butuh bantuan, dan rasanya memang
tepat: Piper memang seharusnya bersamanya. Tapi situasi ini memang sudah rumit, sekalipun
Jason tidak menduga-duga seberapa jauh dia menyukai Piper dan apa penyebab rasa sukanya.
Sudah cukup dia mengacaukan pikiran Piper.
Jason mengenakan sepatu barunya, siap keluar dari pondok kosong yang dingin itu. Lalu dia
melihat sesuatu yang tidak disadarinya semalam. Sebuah tungku telah dikeluarkan dari salah satu
ceruk untuk menciptakan sebuah tempat yang bisa ditiduri, di tempat itu ada kasur gulung, ransel,
bahkan foto yang ditempel ke tembok.
Jason berjalan mendekat. Siapa pun yang tidur di sana, pasti kejadiannya sudah lama. Kasur
gulungnya berbau apak. Ranselnya diselimuti lapisan debu tipis. Sebagian foto yang ditempel ke
tembok sudah tidak lengket lagi dan jatuh ke lantai.
Salah satu foto menunjukkan Annabeth"jauh lebih muda, mungkin delapan tahun, tapi Jason tahu
itu dia: rambut pirang dan mata kelabu yang sama, ekspresi resah yang sama seolah dia tengah
memikirkan jutaan hal secara bersamaan. Annabeth berdiri di samping cowok berambut pirang pasir
yang berumur kira-kira empat belas atau lima belas, dia tersenyum jahil dan mengenakan baju zirah
kulit usang di atas kausnya. Cowok itu menunjuk gang di belakang mereka, seolah berkata pada
sang fotografer, Ayo kita cari makhluk-makhluk buas di lorong gelap dan bunuh mereka! Foto kedua
menunjukkan Annabeth dan cowok yang sama sedang duduk di dekat api unggun, tertawa histeris.
Akhirnya Jason memungut salah satu foto yang jatuh. Agaknya ini adalah jenis yang dijepret sendiri
di bilik foto otomatis: Annabeth dan cowok berambut pirang pasir, namun dengan seorang cewek
lain di antara mereka. Cewek itu mungkin berusia lima belas tahun, dengan rambut hitam"dipotong
tidak rata seperti rambut Piper"jaket kulit hitam, dan perhiasan perak, jadi penampilannya seperti
cewek gotik; tapi dia diprotet saat sedang tertawa, dan jelas bahwa dia tengah bersama dua
sahabatnya. "Itu Thalia," seseorang berkata.
Jason menoleh. Annabeth sedang mengintip dari balik bahu Jason. Ekspresi gadis itu sedih, seolah foto tersebut
membawa kembali kenangan yang berat. "Dia anak Zeus juga, dulu dia pernah tinggal di sini"tapi
tidak lama. Maaf, aku seharunya mengetuk."
"Tidak apa-apa," ujar Jason. "Toh aku tidak menganggap tempat ini rumahku."
Annabeth mengenakan pakaian untuk bepergian, dengan mantel musim dingin di atas baju
perkemahannya, pisaunya terselip di sabuk, dan ransel tersandang ke pundaknya.
Jason berkata, "Kutebak kau tidak berubah pikiran soal ikut dengan kami?"
Annabeth menggelengkan kepala. "Kau sudah punya tim yang bagus. Aku akan pergi mencari
Percy." Jason agak kecewa. Jason akan sangat mensyukuri keikutsertaan seseorang yang berpengalaman,
supaya dia tak merasa dirinya memimpin Piper dan Leo menjalani misi yang sepertinya mustahil ini.
"Hei, kau pasti bisa mengatasinya," Annabeth berjanji. "Aku merasa ini bukan misimu yang pertama."
Jason curiga Annabeth benar, tapi itu tidak membuatnya merasa lebih baik. Semua orang
sepertinya mengira Jason sungguh berani dan percaya diri, tapi mereka tidak bisa melihat betapa
bingungnya dia. Bagaimana bisa mereka memercayainya padahal Jason bahkan tidak tahu siapa
dirinya" Jason melihat foto Annabeth yang sedang tersenyum. Dia bertanya-tanya sudah berapa lama sejak
Annabeth terakhir kali tersenyum. Annabeth pasti sayang sekali sama si Percy ini sampai-sampai
berupaya keras mencarinya, dan itu membuat Jason sedikit iri. Adakah yang sedang
mencari Jason saat ini" Bagaimana jika ada yang menyayangi Jason seperti itu dan sekarang
sedang hilang akal karena khawatir, sedangkan Jason bahkan tidak ingat kehidupannya yang dulu"
"Kautahu siapa aku," terka Jason. "Iya, kan?"
Annabeth mencengkaram gagang belatinya. Dia mencari-cari kursi untuk diduduki, namun tentu saja
tak ada sebuah kursi pun di situ. "Sejujurnya, Jason ... aku tak yakin. Tebakan terbaikku, kau
seorang penyendiri. Itu terjadi kadang-kadang. Entah karena alasan apa, perkemahan tak pernah
menemukanmu, tapi kau bisa selamat karena kau terus-terusan berpindah tempat. Berlatih
bertarung secara autodidak. Membereskan monster sendirian. Kau berhasil bertahan hidup,
meskipun peluangnya kecil."
"Hal pertama yang diucapkan Chiron kepadaku," Jason teringat, "adalah kau seharusnya sudah
mati." "Mungkin itu sebabnya," ujar Annabeth. "Sebagian besar demigod tidak bisa bertahan hidup
sendirian. Dan anak Zeus"maksudku, tentu saja kondisinya sama berbahayanya bagi anak-anak
lain. Tapi peluangmu mencapai usia lima belas tanpa menemukan Perkemahan Blasteran kecil
sekali. Lebih besar kemungkinannya kau bakal mati. Tapi seperti yang kubilang, itu pernah terjadi.
Thalia kabur waktu dia kecil. Dia bertahan hidup sendirian selama bertahun-tahun. Bahkan
mengurusku selama beberapa waktu. Jadi, barangkali kau adalah seorang penyendiri juga."
Jason mengulurkan tangan. "Dan rajah ini?"
Annabeth melirik tato tersebut. Jelas bahwa tato itu mengusiknya. "Yah, elang adalah simbol Zeus
jadi itu masuk akal. Dua belas garis"mungkin mewakili tahun, jika kau merajahnya sejak umurmu
tiga tahun. SPQR"itu adalah moto Kekaisaran Romawi Kuno: Senatus Populusque Romanus,
Senat dan Rakyat Romawi. Walaupun apa sebabnya kau membakar tanda itu di tanganmu, aku
tidak tahu. Kecuali kau punya guru bahasa Latin yang benar-benar galak ..."
Jason cukup yakin bukan itu penyebabnya. Sepertinya mustahil juga bahwa Jason sendirian saja
seumur hidupnya. Tapi apa lagi yang masuk di akal" Annabeth sudah memaparkan dengan cukup
jelas"Perkemahan Blasteran adalah satu-satunya tempat yang aman di dunia bagi demigod.
"Aku, anu .... bermimpi aneh semalam," kata Jason. Berbagi rahasia ini sepertinya adalah tindakan
bodoh, tapi Annabeth tidak terkejut.
"Demigod sering mengalami itu," kata Annabeth. "Apa yang kaulihat?"
Jason bercerita kepada Annabeth tentang para serigala dan rumah bobrok serta dua pilar batu.
Selagi Jason berbicara, Annabeth mulai mondar-mandir, terlihat semakin resah saja.
"Kau tak ingat di mana letak rumah tersebut?" tanya Annabeth.
Jason menggelengkan kepala. "Tapi aku yakin aku pernah ke sana sebelumnya."
"Pohon redwood," Annabeth membatin. "Mungkin California Utara. Dan serigala betina ... aku
mempelajari dewi, roh, dan mosnter seumur hidupku. Aku tak pernah dengar tentang Lupa."
"Lupa bilang sang musuh adalah "wanita itu". kukira mungkin itu Hera, tapi?"
"Aku tak mau memercayai Hera, tapi menurutku dia bukanlah musuh. Dan makhluk yang bangkit
dari bumi itu?" Ekspresi Annabeth jadi suram. "Kau harus menghentikan dia."
"Kautahu ini tentang apa, kan?" tanya Jason. "Atau paling tidak, kau punya dugaan. Aku melihat raut
wajahmu semalam waktu acara api unggun. Kau memandang Chiron seolah tiba-tiba saja tersadar,
tapi kau tak mau menakut-nakuti kami."
Annabeth ragu-ragu. "Jason, masalahnya begini. Ramalan itu ... semakin banyak yang kita tahu,
semakin kita mencoba mengubahnya, dan itu dapat mendatangkan malapetaka. Chiron yakin lebih
baik kau menemukan jalanmu sendiri, menemukan segalanya pada waktunya. Jika Chiron
memberitahuku semua yang dia tahu sebelum misi pertamaku dengan Percy ... harus kuakui, aku
tak yakin aku bakal sanggup menjalaninya. Demi misimu, semakin kau tak tahu apa-apa, mungkin
semakin bagus." "Seburuk itu, ya?"
"Tidak kalau kau berhasil. Setidaknya ... moga-moga tak seburuk itu."
"Tapi aku bahkan tak tahu harus mulai dari mana. Aku harus pergi ke mana?"
"Ikuti para monster," Annabeth menyarankan.
Jason sudah memikirkan itu. Roh badai yang menyerangnya di Grand Canyon mengatakan bahwa
dia dipanggil pulang oleh bosnya. Jika Jason bisa melacak roh-roh badai, dia mungkin bisa
menemukan orang yang mengontrol mereka. Dan mungkin itu akan mengarahkannya kembali ke
penjara Hera. "Oke," kata Jason. "Bagaimana caranya menemukan angin badai?"
"Kalau aku pribadi, aku akan menanyai Dewa Angin," kata Annabeth. "Aeolus adalah peguasa
semua angin, tapi dia agak ... susah ditebak. Tak ada yang bisa menemukannya kecuali dia mau
ditemukan. Kalau aku jadi kau, akan kucoba salah satu dari empat dewa angin musim yang bekerja
untuk Aeolus. Yang paling dekat, yang paling sering berurusan dengan para pahlawan, adalah
Boreas, Angin utara."
"Jadi, kalau kucari dia pakai Google Maps?"
"Oh, dia tidak susah untuk ditemukan," Annabeth berjanji. "Dia menetap di Amerika Utara seperti
semua dewa lain. Jadi, tentu saja dia memilih permukiman utara tertua, sejauh mungkin yang bisa
dituju di utara." "Maine?" Jason menebak.
"Lebih jauh lagi."
Jason mencoba membayangkan sebuah peta. Tempat mana yang lebih jauh ke utara dibandingak
Maine" Permukiman utara tertua ...
"Kanada," Jason memutuskan. "Quebec."
Annabeth tersenyum. "Kuharap kau bisa berbahasa Prancis."
Jason merasakan secercah harapan. Quebec"setidaknya sekarang dia punya tujuan. Cari Angin
Utara, lacak roh-roh badai, cari tahu mereka bekerja untuk siapa saja dan di mana letak rumah
bobrok itu. Bebaskan Hera. Semuanya dalam waktu empat hari saja. Enteng.
"Makasih, Annabeth." Jason memandang foto yang masih berada di tangannya. "Jadi, mmm ...
kaubilang menjadi anak Zeus itu bebahaya. Apa yang terjadi pada Thalia?"
"Oh, dia baik-baik saja," kata Annabeth. "Dia menjadi Pemburu Artemis"salah satu pelayan sang
dewi. Mereka menjelajah ke mana-mana untuk membasmi monster. Kami jarang melihat mereka di
perkemahan." Jason melirik patung besar Zeus. Dia mengerti apa sebabnya Thalia tidur di relung ini. Ini adalah
satu-satunya tempat di pondok itu yang tak berada dalam sudut pandang Hippie Zeus. Dan itu
bahkan belum cukup. Thalia telah memilih untuk mengikuti Artemis dan menjadi bagian dari sebuah
kelompok alih-alih tinggal di kuil dingin berangin ini sambil dipelototi ayahnya"ayah Jason"yang
setinggi enam meter. Rasakan petirku! Jason tidak kesulitan memahami perasaan Thalia. Dia
bertanya-tanya apakah ada kelompok Pemburu buat cowok.
"Siapa anak yang satu lagi di foto ini?" tanya Jason. "Cowok berambut pirang pasir."
Ekspresi Annabeth menegang. Topik sensitif.
"Itu Luke," kata Annabeth. "Dia sudah meninggal sekarang."
Jason memutuskan sebaiknya tak bertanya lagi, tapi dari cara Annabeth mengucapkan nama Luke,
dia bertanya-tanya apakah mungkin Percy Jackson bukanlah satu-satunya pemuda yang pernah
disukai Annabeth. Jason kembali memusatkan perhatian pada wajah Thalia. Dia terus saja berpikir bahwa foto itu
penting. Dia melewatkan sesuatu.
Jason merasakan keterikatan ganjil dengan anak Zeus yang satu lagi ini"barangkali ada orang
yang memahami kebingungan Jason, bahkan mungkin menjawab sejumlah pertanyaannya. Tapi
suara lain dalam dirinya, bisikan yang memaksa, berkata: Bahaya. Menyingkirlah.
"Berapa umur Thalia sekarang?" tanya Jason.
"Sudah kukatakan. Thalia pernah jadi pohon selama beberapa waktu. Sekarang dia kekal."
"Apa?" Ekspresi Jason pasti lumayan bagus, sebab Annabeth tertawa. "Jangan khawatir. Tak semua anak
Zeus mengalami itu. ceritanya panjang, tapi ... yah, Thalia pernah hilang dari peredaran selama
beberapa waktu. Jika usianya bertambah secara normal, dia pasti sudah dua puluhan sekarang, tapi
rupanya masih sama seperti di foto itu, seperti ... yah, seusiamu. Lima belas atau enam belas?"
Sesuatu yang dikatakan sang serigala betina dalam mimpinya mengusik Jason. Jason mendapati
dirinya bertanya, "Apa nama belakang Thalia?"
Annabeth terlihat tidak nyaman. "Thalia sebetulnya tak memakai nama belakang. Kalau terpaksa,
dia menggunakan nama belakang ibunya, tapi mereka tidak akur. Thalia kabur waktu dia masih
kecil." Jason menunggu. "Grace," ujar Annabeth. "Thalia Grace."
Jari-jari Jason mati rasa. Foto di tangannya melayang ke lantai.
"Kau baik-baik saja?" tanya Annabeth.
Sekeping kenangan baru saja muncul"mungkin potongan kecil yang lupa Hera rampas. Atau
mungkin sang dewi sengaja meninggalkannya"sehingga cukup bagi Jason untuk mengingat nama
itu, dan mengetahui bahwa menggali masa lalunya amat sangat berbahaya.
Kau seharusnya sudah mati, kata Chiron. Itu bukanlah komentar soal keberhasilan Jason bertahan
hidup sendirian. Chiron mengetahui sesuatu yang spesifik"sesuatu mengenaik keluarga Jason.
Kata-kata sang serigala betina dalam mimpinya akhirnya masuk akal bagi Jason, kelakar cerdik
sang serigala mengenai Jason. Dia bisa membayangkan Lupa menggeramkan tawa ala serigala.
"Ada apa?" desak Annabeth.
Jason tidak bisa menyembunyikan ini sendiri. Hal tersebut akan menyiksanya, dan dia harus minta
bantuan Annabeth. Jika Annabeth mengenal Thalia, mungkin dia bisa memberi Jason saran.
"Kau harus bersumpah tak akan bilang kepada yang lain," kata Jason.
"Jason?" "Bersumpahlah," desak Jason. "Sampai aku tahu apa yang terjadi, apa arti semua ini?" Jason
menggosok-gosok tato yang dicap ke lengan bawahnya. "Kau harus merahasiakan ini"
Annabeth ragu, tapi rasa penasarannya akhirnya menang. "Baiklah. Sampai kau mengizinkan, aku
takkan membagi ceritamu dengan orang lain. Aku bersumpah demi Sungai Styx."
Guntur menggelegar, bahkan lebih kencang daripada biasanya di pondok itu.
Kau adalah karunia bagi kami, geram sang serigala. Karunia"Grace. Jason memungut foto dari
lantai. "Nama belakangku Grace," kata Jason. "Thalia adalah kakak perempuanku." Annabeth memucat.
Jason bisa melihat bahwa Annabeth tengah bergulat menghadapi rasa putus asa, tak percaya,
amarah. Annabeth mungkin mengira Jason berbohong. Pengakuan Jason itu mustahil. Dan
sebagian diri Jason juga merasa begitu, tapi begitu dia mengucapkan kata-kata itu, Jason tahu itu
benar. Lalu pintu pondok menjeblak terbuka. Setengah lusin pekemah tumpah ruah ke dalam, dipimpin
oleh cowok plontos dari pondok Iris, Butch. "Cepat!" Butch berkata, dan Jason tidak tahu apakah
raut wajahnya menunjukkan antusiasme atau rasa takut. "Sang naga sudah kembali."
BAB LIMA BELAS PIPER PIPER TERBANGUN DAN LANGSUNG MENYAMBAR cermin. Ada banyak cermin di pondok
Aphrodite. Piper duduk di tempat tidurnya, memandang bayangannya, da mengerang.
Dia masih rupawan. Semalam sesudah acara api unggun, Piper sudah mencoba semuanya. Dia mengusutkan
rambutnya, membersihkan rias wajahnya, menangis supaya matanya merah. Tak ada yang berhasil.
Tatanan rambutnya kembali sempurna. Rias wajahnya secara ajaib kembali lagi. Matanya menolak
jadi bengkak atau merah. Piper ingin berganti pakaian tapi dia tidak punya baju ganti. Para pekemah Aphrodite yang lain
menawarinya baju ganti (sambil menertawakannya di belakang, Piper yakin), tapi semua busana itu
malah lebih modis dan konyol daripada yang dia kenakan sekarang.
Kini, sesudah tidur tak nyenyak semalaman, tetap tak ada perubahan. Piper biasanya kelihatan
seperti zombi di pagi hari, tapi pagi ini rambutnya tertata layaknya supermodel dan kulitnya
sempurna. Bahkan jerawat jelek di pangkal hidungnya, yang sudah ada di sana berhari-hari sampaisampai Piper mulai menamainya Bob, telah lenyap.
Piper mengerang frustasi dan menyisirkan jemarinya ke rambut. Sia-sia saja. Rambutnya seketika
tertata seperti semula. Dia kelihatan seperti Barbie Cherokee.
Dari seberang pondok, Drew berseru, "Oh, Sayang, itu tidak bakalan hilang." Suaranya dilumuri
simpati palsu. "Restu Ibu bakal bertahan paling tidak sehari lagi. Mungkin seminggu kalau kau
beruntung." Piper menggertakkan gigi. "Satu minggu?"
Anak-anak Aphorodite yang lain"kira-kira selusin perempuan dan lima laki-laki"nyengir dan
mencemooh saat melihat ketidaknyamanan Piper. Piper tahu dia seharusnya bersikap cuek,
bukannya membiarkan mereka membuatnya gusar. Dia sudah saling berurusan dengan anak-anak
populer yang berpikiran dangkal. Tapi ini lain. Mereka ini saudara-saudaranya, sekalipun dia sama
sekali tak punya persamaan dengan mereka, dan kok bisa-bisanya Aphrodite punya begitu banyak
anak yang usianya berdekatan ... Lupakan saja. Piper tidak ingin tahu.
"Jangan khawatir, Say." Drew menotolkan tisu ke bibirnya yang memakai lipstickdengan warna
menyala. "Menurutmu kau tak seharusnya berada di sini" Kami setuju sekali. Benar kan, Mitchell?"
Salah seorang cowok berjengit. "Mmm, iya. Tentu saja."
"He-eh," Drew mengeluarkan maskara dan memeriksa bulu matanya. Semua anak lain cuma
memperhatikan, tidak berani bicara. "Ngomong-ngomong, Anak-Anak, lima belas menit lagi sarapan.
Pondok ini tidak bakalan membersihkan dirinya sendiri! Dan Mitchell, kurasa kau sudah belajar dari
pengalamanmu. Benar kan, Manis" Jadi, giliranmu patroli samapah hari ini, oke" Tunjukkan
caranya pada Piper, soalnya aku punya firasat dia bakal dapat pekerjaan itu tidak lama lagi"
kalau dia selamat dari misinya. Nah, ayo kerja, Anak-Anak! Sekarang giliranku ke kamar mandi!"
Semua orang mulai sibuk ke sana-kemari, merapikan tempat tidur dan melipat pakaian, sedangkan
Drew meraup perangkat rias, pengering rambut, serta sikat rambutnya lalu berderap ke dalam
kamar mandi. Seseorang memekik di dalam, dan seorang anak perempuan berumur kira-kira sebelas tahun
didorong keluar, dalam balutan handuk, masih ada busa di kepalanya.
Pintu dibanting hingga tertutup, dan anak perempuan itu mulai menangis. dua pekemah yang lebih
tua menghiburnya dan mengelap busa dari rambutnya.
"Serius nih?" kata Piper, tidak ditunjukan kepada siapa-siapa secara khusus. "Kalian membiarkan
Drew memperlakukan kalian seperti ini?"
Segelintir anak melemparkan tatapan gugup ke arah Piper, seolah mereka mungkin setuju
dengannya, tapi mereka tak mengatakan apa-apa.


The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para pekemah terus bekerja, meskipun Piper tidak bisa melihat apa sebabnya pondok itu perlu
dibereskan. Pondok tersebut merupakan rumah boneka seukuran rumah betulan, dengan tembok
merah muda dan kosen jendela berwarna putih. Tirai rendanya berwarna biru dan hijau pastel, yang
tentu saja serasi dengan seprai dan selimut bulu di semua tempat tidur.
Anak-anak lelaki menempati sebaris tempat tidur yang dipisahkan oleh tirai, namun wilayah mereka
di pondok tersebut sama rapinya seperti wilayah anak-anak perempuan. Jelas ada yang tidak wajar
soal itu. Tiap pekemah memiliki peti kayu bercat nama mereka di kaki tempat tidur, dan Piper
menebak bahwa pakaian di dalam masing-masih peti dilipat dengan rapi dan ditata berdasarkan
warna. Secuil individualisme hanya terlihat dari cara pekemah mendekorasi area pribadi mereka di
sekitar tempat tidur. Masing-masing dihiasi poster yang berlainan, tergantung pada siapa selebriti
yang menurut mereka keren. Segelintir memajang foto pribadi juga, tapi sebagian besar adalah foto
aktor atau penyanyi atau apalah.
Piper berharap dia tak bakalan melihat Poster Itu. Sudah hampir setahun sejak film tersebut tayang,
dan dia mengira saat ini tentunya semua orang telah mencopot iklan tua usang itu dan memasang
sesuatu yang lebih modern. Tapi dia tidak beruntung. Dia melihat Poster Itudi tembok dekat lemari
penyimpanan, di bagian tengah kumpulan foto cowok-cowok cakep tersohor.
Judulnya berwarna merah mencolok: RAJA SPARTA. Di bawahnya, poster itu menampakkan tokoh
utam pria"foto tiga perempat badan seorang pria yang bertelanjang dada, berkuit sewarna
perunggu, berotot kekar, dan berperut six pack.Dia hanya mengenakan kilt perang Yunani dan jubah
ungu, dia membawa pedang di tangan. Sekujur tubuh pria itu kelihatannya baru saja dilumuri minyak,
rambut hitam pendeknya berkilau dan peluh menganak sungai di wajahnya yang garang, mata gelap
yang sedih itu menghadap kamera seolah untuk mengatakan, akan kubunuh kaum pira kalian dan
kuculik para wanitanya! Ha-ha!
Itu adalah poster paling menggelikan sepanjang masa. Piper dan ayahnya tertawa terpingkal-pingkal
saat kali pertama melihat poster itu. Lalu film tersebut menghasilkan uang miliaran dolar. Maka
poster itu pun bermunculan di mana-mana. Piper tidak bisa menghindar darinya saat di sekolah,
saat menyusuri jalan, bahkan saat sedang online. Poster itu pun menjadi, hal yang paling
memalukan dalam hidup Piper. Iya, itu foto ayahnya.
Piper berpaling supaya tak ada yang mengira bahwa dia sedang memandangi poster itu. mungkin
saat semua orang sedang sarapan dia bisa mencopot poster tersebut dan mereka tak akan
menyadarinya. Piper berusaha berlagak sibuk, tapi dia tidak punya pakaian ekstra untuk dilipat. Dia merapikan
tempat tidurnya, kemudian menyadari bahwa selimut paling atas adalah yang disampirkan Jason ke
pundaknya semalam. Piper mengambil selimut itu dan menempelkannya ke wajah. Baunya seperti
asap dari kayu yang terbakar, tapi sayangnya tidak beraroma Jason. Jason adalah satu-satunya
orang yang bersikap baik secara tulus pada Piper sejak dia diakui, seolah dia peduli pada perasaan
Piper, bukan cuma pada pakaian baru Piper yang konyol. Ya ampun, Piper ingin menciumnya, tapi
Jason tampak begitu tidak nyaman, hampir-hampir takut pada Piper. Piper tak bisa menyalahkan
pemuda itu. Dirinya berpendar merah muda semalam. Memang menyeramkan.
"Permisi," kata sebuah suara di dekat kaki Piper. Cowok patroli sampah, Mitchell, sedang
merangkak, memunguti bungkus cokelat dan kertas kumal dari bawah tempat tidur. Rupanya anakanak Aphrodite bukan seratus persen maniak kebersihan.
Piper menyingkir. "Apa yang kaulakukan sehingga membuat Drew marah?"
Mitchell melirik kamar mandi untuk memastikan pintunya masih tertutup. "Kemarin malam, setelah
kau diakui, kubilang mungkin kau tidak sejelek itu."
Perkataan itu tidak bisa digolongkan sebagai pujian, tapi Piper terperangah. Ada seorang anak
Aphrodite membelanya"
"Makasih," kata Piper.
Mitchell mengangkat bahu. "Iya, tapi lihat sendiri apa jadinya aku sekarang. Ngomong-ngomong,
selamat datang di Pondok Sepuluh."
Seorang anak perempuan dengan rambut pirang yang dikuncir dua dan kawat gigi melesat ke arah
mereka sambli membawa setumpuk pakaian. Dia menoleh ke sana-kemari dengan hati-hati seolah
sedang mengantarkan material nuklir.
"Kubawakan kau ini," bisiknya.
"Piper, kenalkan, ini Lacy," kata Mitchell, masih sambil merangkak-rangkak di lantai.
"Hai," kata Lacy sambil tersenggal. "Kau bisa ganti baju. Restu Ibu takkan mencegahmu. Ini cuma,
kautahu, ransel, sejumlah perbekalan, ambrosia dan nektar untuk keadaan darurat, celana jins,
beberapa baju ekstra, dan jaket hangat. Sepatu botnya mungkin agak sempit. Tapi"yah"kami
punya banyak koleksi. Semoga berhasil dalam misimu!"
Lacy menjatuhkan barang-barang itu di tempat tidur dan bergegas pergi, namun Piper menangkap
lengannya. "Tunggu dulu. Setidaknya biarkan aku berterima kasih padamu! Kenapa kau buru-buru
pergi?" Lacy gemetaran saking gugupnya. "Yah, soalnya?"
"Bisa-bisa Drew tahu," Mitchell menjelaskan.
"Bisa-bisa aku harus memakai sepatu aib!" kata Lacy sambil menelan ludah.
"Apa?" tanya Piper.
Baik Lacy maupun Mitchell menunjuk rak rak hitam yang dirapatkan ke pojok ruangan, seperti altar.
Pada rak itu terpajanglah sepasang sepatu ortopedik butut seperti yang biasa dipakai si perawat,
berwarna putih cerah dengan sol tebal.
"Aku pernah memakainya selama seminggu," ratap Lacy. "Sepatu itu tidak cocok dipakai dengan
baju apa pun!" "Dan ada hukuman yang lebih buruk," Mitchell memperingatkan. "Drew punya
kemampuancharmspeak, kautahu" Tak banyak anak Aphrodite yang memiliki kekuatan itu; tapi jika
Drew berusaha cukup keras, dia bisa memaksa kita melakukan hal-hal yang lumayan memalukan.
Sudah lama tidak ada orang yang sanggup melawan Drew. Piper, kau orang pertama yang kulihat
mampu melakukan itu."
"Charmspeak..." Piper teringat kejadian semalam, bagaimana orang-orang di acara api unggun
terombang-ambing antara opini Drew dan Piper.
"Maksudmu, misalnya, kita bisa membujuk seseorang agar melakukan sesuatu. Atau ... memberi
kita sesuatu. Mobil, misalnya?"
"Aduh, jangan beri Drew gagasan aneh!" Lacy terkesiap.
"Tapi ya," kata Mitchell. "Drew bisa melakukan itu."
"Jadi itu sebabnya dia menjadi konselor kepala," kata Piper. "Dia meyakinkan kalian semua?"
Mitchell memungut permen karet menjijikan dari bawah tempat tidur Piper. "Bukan, dia mewarisi
jabatan itu waktu Silena Beauregard meninggal dalam perang. Drew adalah yang tertua kedua.
Pekemah tertua otomatis memperoleh jabatan itu, kecuali seseorang yang lebih berpengalaman
atau menuntaskan misi yang lebih banyak ingin mengajukan tantangan. Jika demikian, akan
diadakan duel, tapi itu hampir tak pernah terjadi. Pokoknya, kami terjebak dengan drew sebagai
konselor sejak Agustus. Dia memutuskan untuk melakukan, ah,perubahan dalam pengelolaan
pondok." "Ya, benar!" Tiba-tiba Drew berada di sana, bersandar ke tempat tidur. Lacy memekik sepertiguinea
pig dan mencoba lari, tapi drew mengulurkan lengan untuk menghentikannya. Drew menunduk
untuk memandang Mitchell. "Kurasa kau melewatkan sejumlah sampah, Manis. Kau sebaiknya
keliling lagi." Piper melirik ke kamar mandi dan melihat bahwa Drew telah membuang isi tempat sampah kamar
mandi"sebagian betul-betul menjijikan"ke lantai.
Mitchell berjongkok. Dia memelototi drew seakan hendak menyerangnya (Piper bakal membayar
untuk menyaksikan itu), tapi akhirnya Mitchell membentakka, "Terserah."
Drew tersenyum. "Kauliat sendiri, Piper, kita ini pondok yang baik. Keluarga yang baik! Tapi Silena
Beauregard ... sikapnya bisa menjadi peringatan bagi kita. Dia diam-diam menyampaikan informasi
pada Kronos dalam Perang Titan, membantu musuh."
Drew tersenyum dengan lagak manis dan polos, dengan rias wajah merah muda kelap-kelip serta
rambut tebal yang sudah di blowdry dan wangi pala. Dia berpenampilan layaknya cewek remaja
populer yang ada di SMA mana saja. Tapi matanya sedingin baja. Piper merasa seolah Drew
memandang tepat ke dalam jiwanya, menarik rahasianya ke luar.
Membantu musuh. "Oh, pondok-pondok lain tidak membicarakannya," ungkap Drew. "Mereka bersikap seolah Silena
Beauregard adalah pahlawan."
"Silena mengorbankan nyawanya untuk memperbaiki keadaan," gerutu Mitchell.
"Diamemang pahlawan."
"He-eh," kata Drew. "Patroli sampah satu hari lagi, Mitchell. Tapi pokoknya, Silena melupakan
esensi pondok ini. Kita menjodohkan pasangan imut di perkemahan! Lalu kita putuskan mereka dan
mulai lagi dari awal! Itulah kegiatan paling mengasyikkan sepanjang masa. Kita tidak berurusan
dengan hal-hal lain seperti perang dan misi. Aku jelas tidak pernah ikut misi. Buang-buang waktu
saja!" Lacy mengangkat tangan dengan gugup. "Tapi semalam kaubilang kau ingin ikut?"
Drew memelototinya, dan suara Lacy pun menghilang.
"Terutama," lanjut Drew, "kita jelas tidak ingin citra kita dikotori oleh mata-mata, iya kan,Piper?"
Piper mencoba menjawab, tapi dia tidak bisa. Drew tidak mungkin tahu tentang mimpinya atau
penculikan ayahnya, kan"
"Sayang sekali kau tidak bakalan di sini lagi," desah Drew. "Tapi kalau kau selamat dari misi
remehmu, jangan khawatir, akan kucarikan cowok Hephaestus yang menjijikan. Atau Clovis" Dia
lumayan memuakkan." Drew mengamati Piper dengan perpaduan rasa kasihan dan jijik. "Sejujurnya,
tak kukira Aphrodite bisa punya anak jelek, tapi ... ayahmu siapa sih" Apakah semacam mutan
atau?" "Tristan McLean," sembur Piper.
Begitu dia mengucapkannya, Piper langsung membenci dirinya sendiri. Dia tidak pernah satu kali
pun memainkan kartu "ayahku terkenal." Tapi Drew telah mendorongnya hingga ke batas
kesabarannya. "Ayahku Tristan McLean."
Suasana hening terasa memuaskan se
lama beberapa detik, tapi Piper merasa malu pada dirinya
sendiri. Semua orang menoleh dan memandangi Poster Itu, ayah Piper meregangkan otot-ototnya
untuk disaksikan oleh seluruh dunia.
"OMG!" separuh anak perempuan menjerit berbarengan.
"Keren!" kata seorang anak laki-laki. "Cowok berpedang yang membunuh cowok lain dalam film itu?"
"Dia betul-betul cakep untuk ukuran bapak-bapak," seorang cewek berkata, kemudian merona.
"Maksudku maafkan aku. Aku tahu dia ayahmu. Rasanya aneh banget deh!"
"Memang aneh," Piper sepakat.
"Boleh tidak aku minta tanda tangannya?" tanya seorang gadis yang lain.
Piper tersenyum terpaksa. Dia tak bisa mengatakan, Kalau ayahku selamat ...
Cewek itu memekik kesenangan, dan semakin banyak anak-anak yang merangsek maju,
mengajukan lusinan pertanyaan secara bersamaan.
"Pernahkah kau mendatangi set film?"
"Apa kau tinggal di rumah mewah?"
"Apa kau makan siang bareng bintang film?"
"Sudahkah kau melewati upacara akil balig?"
Yang satu itu mengejutkan Piper. "Upacara apa?" tanyanya.
"Upacara akil balig untuk anak Aphrodite," salah seorang menjelaskan. "Kaubuat seseorang jatuh
cinta padamu. Lalu kaubuat dia patah hati. Putuskan dia. Begitu kau melakukan itu, kau
membuktikan bahwa kau benar-benar anak Aphrodite."
Piper menatap kerumunan teman sepondoknya untuk mencari tahu apakah mereka bercanda.
"Membuat seorang patah hati secara sengaja" Itu kan jahat!"
Yang lain terlihat bingung.
"Kenapa?" tanya seorang cowok.
"OMG!" kata seorang cewek. "Aku bertaruh Aphrodite membuat ayahmu patah hati! Aku bertaruh dia
tak pernah mencintai siapa-siapa lagi, kan" Romantis banget, deh! Ketika kau sudah menjalani
upacara akil baligmu, kau bisa menjadi persis seperti ibu!"
"Lupakan!" betak Piper, agak lebih lantang daripada yang dia niatkan. Anak-anak yang lain mundur.
"Aku tidak akan membuat seseorang patah hati cuma demi upacara akil balig yang tolol!"
Alhasil, Drew berkesempatan untuk kembali pegang kendali. "Nah, itu dia!" tukasnya. "Silena
mengucapkan hal yang sama. Dia melanggar tradisi, jatuh cinta pada si Beckendorf itu,
danterus mencintainya. Kalau kautanya aku, menurutku itu sebabnya riwayat Silena berakhir tragis."
"Itu tak benar!" pekik Lacy, tapi Drew memelototinya, dan anak perempuan itu pun serta-merta
membaur kembali ke dalam kerumunan.
"Tidak jadi soal," Drew melanjutkan, "soalnya, Piper, kau toh tidak bisa membuat siapa pun patah
hati. Dan omong kosong bahwa ayahmu adalah Tristan McLean"cari perhatian banget."
Beberapa anak berkedip tak yakin.
"Maskudmu Tristan McLean bukan ayahnya?" tanya seseorang.
Drew memutar bola matanya. "Yang benar saja. Nah, sekarang waktunya sarapan, anak-anak, dan
Piper harus memulai misi remeh itu. Jadi, biarkan dia berkemas dan keluar dari sini!"
Drew membubarkan kerumunan itu dan menyuruh semua orang bergerak. Dia memanggil mereka
"Say" dan "Manis," tapi dari nada suaranya jelas dia minta dipatuhi. Mitchell dan Lacy membantu
Piper berkemas. Mereka bahkan menjaga kamar mandi selagi Piper masuk dan salin dengan
pakaian yang lebih pas untuk bepergian. Pakaian bekas tersebut tidaklah mewah"untung saja"
cuma jins belel, kaus, mantel musim dingin yang nyaman, dan sepatu bot hiking yang pas sekali.
Piper mengaitkan belatinya, Katopris, ke ikat pinggang.
Ketika Piper keluar, dia hampir merasa normal lagi. Para pekemah lain berdiri di tempat tidur
mereka selagi Drew berkeliling dan melakukan inspeksi. Piper menoleh kepada Mitchell dan Lacy
serta mengucapkan, Terima kasih tanpa suara. Mitchell mengangguk muruk. Lacy menyunggingkan
senyum lebar, menampakkan gignya yang dikawat. Piper ragu Drew pernah berterima kasih kepada
mereka dengan alasan apa pun juga. Dia juga menyadari bahwa poster Raja Sparta telah diremasremas dan dibuang ke tempat sampah. Perintah Drew, tak diragukan lagi. Kendati Piper sendiri ingin
mencopot poster tersebut, sekarang dia benar-benar berang.
Ketika Drew melihat Piper, dia bertepuk tangan. "Bagus sekali! Petualang kecil kita sudah
mengenakan pakaian compang-camping lagi. Nah, sekarang pergilah! Tidak perlu sarapan bersama
kami. Semoga berhasli dalam ... entah apa. Dah!"
Piper menyandangkan tasnya ke pundak. Dia bisa merasakan mata semua orang tertuju padanya
saat dia berjalan ke pintu. Dia bisa pergi saja dan melupakan ini. Pasti gampang. Apa pedulinya dia
pada pondok ini, anak-anak yang berpikiran dangkal ini"
Hanya saja sebagian dari mereka telah berusaha membantu Piper. Sebagian bahkan melawan
Drew demi dirinya. Piper berbalik di pintu. "Kalian tahu, kalian semua tidak perlu menuruti perintah Drew."
Anak-anak lain bergerak gelisah. Beberapa melirik Drew, namun cewek itu terlalu tercengang
sehingga tidak merespons.
"Anu," seorang berhasil berkata, "dia konselor kepala kita."
"Dia seorang tiran," Piper mengoreksi. "Kalian bisa berpikir sendiri. Pasti Aphrodite lebih dari
sekadar ini." "Lebih dari sekadar ini," seorang anak membeo.
"Berpikir sendiri," yang kedua bergumam.
"Anak-anak!" desis Drew. "Jangan bego! Dia mengelabui kalian dengan charmspeak."
"Tidak," kata Piper. "Aku cuma mengatakan yang sebenarnya."
Setidaknya, begitulah menurut Piper. Dia tidak benar-benar paham bagaimana cara
kerjacharmspeak, tapi dia tidak merasa mengerahkan kekuatan istimewa ke dalam kata-katanya.
Dia tidak ingin memenangi perdebatan dengan cara menipu orang-orang. Jika demikian, dia tidak
ada bedanya dengan Drew. Piper hanya bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Lagi pula,
sekalipun Piper mencoba menggunakan charmspeak, dia punya firasat bahwa kemampuan tersebut
takkan berdampak apa-apa bagi penutur charmspeak seperti Drew.
Drew mencemoohnya. "Kau mungkin punya sedikit kekuatan, Nona. Bintang Film. Tapi kau tidak
tahu apa-apa mengenai Aphrodite. Kau punya ide hebat" Kalau begitu, apa esensi pondok ini" Beri
tahu mereka. Mungkin nanti bakal kuberi tahu mereka beberapa hal mengenai dirimu, ya?"
Piper ingin melontarkan komentar balasan yang pedas, tapi amarahnya berubah jadi kepanikan. Dia
adalah mata-mata musuh, sama seperti Silena Beauregard. Pengkhianat Aphrodite. Apakah Drew
mengetahuinya, ataukah dia cuma menggertak" Di bawah tatapan Drew, kepercayaan diri Piper
pecah berkeping-keping. "Bukan seperti ini," Piper berhasil berucap. "Aphrodite tidak seperti ini."
Lalu dia berbalik dan berderap ke luar sebelum yang lain sempat melihat wajahnya yang merah
padam. Di belakang Piper, Drew mulai tertawa. "Bukan seperti ini" Kalian dengar itu, Anak-Anak" Dia tidak
punya gambaran sama sekali."
Piper berjanji kepada dirinya sendiri dia takkan pernah kembali ke pondok itu. Dia berkedip untuk
mengusir air mata dari pelupuk matanya dan berlari menyusuri halaman, tidak yakin ke mana dia
pergi"sampai sia melihat seekor naga menukik dari angkasa.
BAB ENAM BELAS PIPER "LEO!" TERIAK PIPER.
Memang benar, di sanalah Leo, duduk di atas mesin maut raksasa dari perunggu dan menyeringai
seperti orang gila. Bahkan sebelum dia mendarat, perkemahan sudah siaga akan bahaya. Trompet
kerang berbunyi. Semua satir mulai menjeritkan "Jangan bunuh aku!" Separuh isi perkemahan lari
ke luar, sebagian mengenakan piama, sebagian lain berbaju zirah. Sang naga mendarat tepat di
tengah-tengah halaman, dan Leo pun berteriak, "Tidak apa-apa kok! Jangan tembak!"
Dengan ragu-ragu, para pemanah menurunkan busur mereka. Para pendekar mundur, tetap
menyiagakan tombak dan pedang mereka. Mereka telah membuat lingkaran longgar di seputar
monster logam itu. Para demigod lain bersembunyi di balik pintu pondok mereka atau mengintip dari
jendela. Sepertinya tidak ada yang antusias untuk mendekat.
Piper tak dapat menyalahkan mereka. Naga itu besar. Ia berkilat diterpa sinar matahari pagi
bagaikan patung hidup dari koin satu sen"menampakkan nuansa tembaga dan perunggu yang
beraneka ragam"makhluk melata sepanjang delapan belas meter dengan cakar baja dan gigi dari
mata bor serta mata rubi berkilau. Ia memiliki sayap kelelawar dua kali lipat panjang tubuhnya.
Sayap tersebut terkembang bagaikan layar metalik. Setiap kali dikepakkan, sayap-sayap itu
menghasilkan bunyi seperti koin-koin yang berjatuhan dari mesin undian.
"Cantiknya," gumam Piper. Para demigod lain menatapnya seakan dia sudah tidak waras.
Sang naga mendongakkan kepala dan menyemburkan pilar api ke langit. Para pekemah buru-buru
menjauh dan menghunus senjata mereka, tapi Leo meluncur turun dari punggung sang naga. Dia
angkat tangan seperti sedang menyerah, tetapi dia masih menyunggingkan cengiran sinting itu di
wajahnya. "Manusia Bumi, aku datang dalam damai!" teriak Leo. Dia kelihatan seperti baru berguling-guling di
api unggun. Jaket tentara dan wajahnya berlumuran jelaga. Tangannya bernoda minyak, dan dia
mengenakan sabuk perkakas baru di pinggirannya. Matanya merah. Rambut keritingnya begitu
berminyak sampai-sampai mencuat mirip duri landak, dan anehnya dia berbau seperti saus Tabasco.
Tapi dia terlihat luar biasa senang. "Festus cuma bilang halo!"
"Mahkluk itu berbahaya!" teriak seorang putri Ares sambul menghunus tombaknya. "Bunuh dia
sekarang!"

The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tenang!" perintah seseorang.
Yang membuat Piper kaget, ternyata itu Jason. Dia menembus kerumunan, diapit oleh Annabeth
dan gadis dari pondok Hephaestus, Nyssa.
Jason menengadah untuk memandangi sang naga dan menggeleng-geleng takjub. "Leo, apa yang
sudah kaulakukan?" "Cari kendaraan!" ujar Leo berbinar-binar. "Kaubilang aku boleh ikut dalam misi kalau aku
mendapatkan kendaraan untuk kita. Nah, aku mendapatkan anak bandel kelas satu yang bisa
terbang untukmu! Festus bisa membawa kita ke mana saja!"
"Ia"punya sayap," Nyssa terbata-bata. Rahangnya seolah bakal lepas dari wajahnya.
"Iya!" kata Leo. "Aku menemukan sayapnya dan memasangnya."
"Tapi ia tak pernah punya sayap. Dari mana kau menemukannya?"
Leo ragu-ragu, dan Piper tahu bahwa dia menyembunyikan sesuatu.
"Di ... hutan," kata Leo. "Kuperbaiki juga sirkuitnya, sebisa mungkin, supaya dia tak bakalan korslet
lagi." "Sebisa mungkin?" tanya Nyssa.
Kepala sang naga berkedut. Ia menelengkan kepala dan semburan cairan hitam"mungkin
oli, moga-moga cuma oli"tertumpah dari telinganya, melumuri sekujur tubuh Leo.
"Cuma segelintir kerusakan yang perlu dibereskan," kata Leo.
"Tapi kok kau bisa selamat ...?" Nyssa masih menatap makhluk itu dengan kagum. "Maksudku,
napas apinya ..." "Aku gesit," kata Leo. "Dan mujur. Nah, aku disertakan dalam misi, atau gimana?"
Jason menggaruk kepalanya. "Kau menamainya Festus" Kautahu dalam bahasa Latin "festus"
berarti "gembira?" Kauingin kami menyelamatkan dunia sambil menunggangi sang Naga Gembira?"
Naga tersebut berkedut dan bergetar serta mengepakkan sayapnya.
"Dia bilang ya, Bung!" kata Leo. "Nah, anu, aku sungguh-sungguh menyarankan agar kita berangkat
sekarang juga, Kawan-Kawan. Aku sudah menyiapkan perbekalan di"anu, hutan. Dan semua
orang bersenjata ini membuat Festus gugup.
Jason mengerutkan kening. "Tapi kita belum merencanakan apa-apa. Kita tidak bisa langsung?"
"Pergilah," kata Annabeth. Annabeth adalah satu-satunya orang yang tidak tampak gugup sama
sekali. Ekspresinya sedih dan melankolis, seolah kejadian ini mengingatkannya pada masa-masa
yang lebih baik. "Jason, sekarang kalian hanya punya tiga hari sampai titik balik matahari musim
dingin, dan kalian tidak boleh membuat naga yang gelisah ini menunggu. Ini jelas merupakan
pertanda baik. Pergilah!"
Jason mengangguk. Lalu dia tersenyum kepada Piper. "Kau siap, Partner?"
Piper memandangi sayap naga perunggu mengilap yang dilatarbelakangi langit, dan cakar naga
yang bisa mencabik-cabiknya.
"Pastinya," kata Piper.
*** Terbang naik naga adalah pengalaman paling hebat, pikir Piper.
Jauh di atas, udara dingin membekukan; namun kulit logam sang naga menghasilkan panas yang
mencukupi sehingga rasanya seperti terbang dalam gelembung pelindung. Ini baru yang namanya
penghangat kursi! Dan lekukan di punggung sang naga didesain seperti pelana berteknologi tinggi,
jadi mereka tidak akan merasa tak nyaman. Leo menunjukkan kepada mereka cara mengaitkan kaki
ke celah di antara pelat logam, seperti di sanggurdi, dan menggunakan tali kekang pengaman dari
kulit yang dengan cerdiknya disembunyikan dengan pelat eksterior. Mereka duduk satu-satu: Leo di
depan, kemudian Piper, lalu Jason, dan Piper sangat menyadari keberadaan Jason dibelakangnya.
Piper berharap Jason bakal memeganginya, mungkin membelitkan lengannya ke pinggang Piper;
tapi sayangnya tidak. Leo menggunakan tali kekang untuk menyetir sang naga di langit seolah dia telah melakukan hal
tersebut seumur hidupnya. Sayap logamnya berfungsi secara sempurna, dan tidak lama kemudian
Long Island tinggal berupa garis kabur di belakang mereka. Mereka melesat di aras Connecticut dan
naik ke awan-awan kelabu musim dingin.
Leo menengok ke belakang, menyeringai kepada mereka. "Keren, kan?"
"Bagaimana kalau kita kelihatan?" tanya Piper.
"Kabut," ujar Jason. "Kabut mencegah mata manusia fana melihat hal-hal magis. Jika mereka
melihat kita, mereka barangkali akan mengira kita ini pesawat kecil atau sebangsanya."
Piper menoleh ke balik bahunya. "Kau yakin soal itu?"
"Tidak." Jason mengakui. Lalu Piper melihat bahwa Jason menggenggam selembar foto di
tangannya"potret seorang gadis berambut gelap.
Piper melemparkan ekspresi penasaran kepada Jason, namun pemuda itu tersipu lalu memasukkan
foto itu ke sakunya. "Kita melaju dengan cepat. Barangkali bakal sampai di sana malam ini."
Piper bertanya-tanya siapakah gadis di foto itu, tapi dia tidak mau bertanya kepada Jason; dan jika
Jason tidak mengungkapkan informasi tersebut secara sukarela, itu bukanlah pertanda bagus. Apa
Jason sudah ingat pada sesuatu di kehidupannya dulu" Apa itu foto pacar aslinya"
Hetikan, pikir Piper. Kau hanya menyiksa dirimu sendiri.
Piper mengajukan pertanyaan yang lebih aman. "Kita mau ke mana?"
"Mencari dewa Angin Utara," kata Jason. "Dan memburu roh-roh badai."
BAB TUJUH BELAS LEO LEO GIRANG BUKAN KEPALANG.
Ekspersi di wajah semua orang ketika dia menerbangkan sang naga ke perkemahan" Tak ternilai! Leo
kira jantung teman-teman sepondoknya bakalan copot saking
kagetnya. Festus juga sudah menampilkan sikap yang mengesankan. Dia tidak menghanguskan satu podok pun
atau makan seekor satir pun, walaupun dia mengucurkan sedikit
oli dari kupingnya. Oke, banyak oli. Leo bisa membereskan masalah itu nanti.
Mungkin Leo memang tidak punya kesempatan untuk memberi tahu semua orang tentang Bunker 9
atau kapal terbang itu. Dia butuh waktu untuk memikirkan semua
itu. Dia bisa memberi tahu mereka semua ketika dia kembali.
Kalau dia kembali, pikir sebagian dari dirinya.
Tidak lah, dia pasti kembali. Dia memperoleh sabuk perkakas ajaib yang keren dari bunker, juga banyak
perbekalan yang bermanfaat yang kini tersimpan dengan
aman dalam ranselnya. Lagi pula, dia punya seekor naga bernapas api di sisinya, meskipun naga itu
belum sempurna. Masalah apa lagi yang mungkin terjadi"
Yah, piringan pengendalinya kan bisa saja rusak, usul sisi negatif dari diri Leo. Festus bisa saja
memakanmu. Oke, memang naga itu tidak sebaik yang dikesankan Leo. Dia sudah bekerja semalaman untuk
menambahkan kedua sayap itu, tapi dia tidak menemukan otak naga
cadangan di bunker. Hei, batas waktu kita sempit! Tiga hari sampai titik balik musim dingin. Mereka
harus cepat-cepat berangkat. Lagi pula, Leo sudah membersihkan
piringan itu. sebagian besar sirkuitnya masih bagus. Mudah-mudahan masih tahan.
Sisi negatif Leo mulai berbikir, Iya, tapi bagaimana kalau"
"Tutup mulut, diriku," kata Leo keras-keras.
"Apa?" Piper bertanya.
"Tidak apa-apa," kata Leo. "Malam yang panjang. Kurasa aku berhalusinasi. Biasa saja kok."
Karena duduk di depan, Leo tidak bisa melihat wajah mereka, namun dia mengubah topik pembicaraan.
"Jadi, apa rencananya, Bung" Kau mengatakan sesuatu soal
menangkap angin, atau mematahkan angin, atau apa?"
Selagi mereka terbang di atas New England, Jason memaparkan rencananya: Pertama-tama, cari
seorang pria bernama Boreas dan cecar dia untuk meminta informasi?"
"Namanya Boreas?" Leo bertanya. "Memangnya dia itu apa. Dewa Boring"membosankan?"
Kedua, lanjut Jason, mereka harus menemukan ventus yang telah menyerang mereka di Grand
Canyon" "Bisakah kita panggil saja mereka roh-roh badai?" tanya Leo. "Ventus membuat mereka terkesan seperti
minuman espreso jahat."
Dan ketiga, pungkas Jason, mereka harus mencari tahu para roh badai itu bekerja untuk siapa, supaya
mereka bisa menemukan Hera dan membebaskannya.
"Jadi, kau ingin mencari Dylan, si cowok badai jahat, secara sengaja," kata Leo. "Cowok yang
melemparkanku dari titian dan mengisap Pak Pelatih Hedge ke
dalam awan." "Kurang-lebih begitu," ujar Jason. "Yah ... mungkin ada seekor serigala yang terlibat juga, tapi kurasa
serigala betina itu ada di pihak kita. Dia barangkali
takkan memakan kita, kecuali kita menunjukkan kelemahan."
Jason menceritakan mimpinya kepada mereka"induk serigala besar yang kejam dan puing-puing rumah
terbakar dengan pilar batu yang tumbuh keluar dari kolam
renang. "He-eh," kata Leo. "Tapi kau tidak tahu di mana tempat itu."
"Tidak," Jason mengakui.
"Ada raksasa juga," imbuh Piper. "Ramalan itu bilang balas dendam para raksasa."
"Hebat," gerutu Leo. "Tentu saja. Karena kita memang sial, wajar jika kita harus menghadapi sepasukan
raksasa. Jadi, ada lagi yang kautahu tentang raksasa-raksasa"
Bukankah kau meneliti mitos-mitos bersama ayahmu untuk film itu?"
"Ayahmu seorang aktor?" tanya Jason.
Leo tertawa. "Aku terus saja melupakan amnesiamu. Heh. Lucu deh. Tapi iya, ayahnya Tristan McLean."
"Uh"Sori, dia main film apa?"
"Tidak penting," kata Piper cepat. "Para raksasa"yah, ada banyak raksasa dalam mitologi Yunani. Tapi
kalau ingatanku benar, berarti itu kabar buruk. Besar,
hampir mustahil dibunuh. Mereka bisa melempar gunung dan sebagainya. Kurasa mereka berkerabat
dengan para Titan. Mereka bangkit dari bumi setelah Kronos
kalah dalam perang"maksudku perang Titan pertama, ribuan tahun lalu"dan mereka berusaha untuk
menghancurkan Olympus. Jika kita membicarakan para raksasa
yang sama?" "Chiron bilang kejadian sekarang pernah terjadi sebelumnya," Jason teringat. "Babak terakhir. Itu
maksudnya. Tidak heran Chiron tak mau kita mengetahui
semua perinciannya."
Leo bersiul. "Jadi ... raksasa yang bisa melempar gunung. Serigala di pihak kita yang bakal memakan kita
jika kita menunjukan kelemahan. Minuman espreso
jahat. Paham. Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk menyinggung-nyinggung pengasuhku yang
sinting." "Apa ini lelucon lagi?" tanya Piper.
Leo memberi tahu mereka tentang Tia Callida, yang sesungguhnya adalah Hera, dan bagaimana wanita
itu menampakkan diri kepada Leo di perkemahan. Leo tak
memberi tahu mereka tentang kemampuan apinya. Itu masih merupakan topik yang peka, terutama
setelah Nyssa memberi tahu Leo bahwa demigod api punya kecenderungan
untuk menghancurkan kota dan semacamnya. Lagi pula, andaikan dia bercerita, Leo harus mengisahkan
bagaimana dia menyebabkan ibunya meninggal, dan ... Tidak.
Dia belum siap untuk itu. Namun, Leo memberi tahu mereka tentang malam ketika ibunya meninggal,
tidak menyebut-nyebut soal kebakaran, hanya mengatakan
bahwa bengkel mesin itu ambruk. Bercerita tentang hal itu lebih mudah tanpa harus melihat temantemannya, semata-mata mengarahkan matanya lurus ke depan
selagi mereka terbang. Dan dia memberi tahu mereka tentang wanita aneh berjubah tanah yang sepertinya tertidur, dan
seperti mengetahui masa depan.
Leo memperkirakan keselurahan negara bagian Massachusetts telah terlewat di bawah mereka sebelum
teman-temannya berbicara.
"Ceritamu ... menggelisahkan," kata Piper.
"Kurang-lebih begitu," Leo sepakat. "Masalahnya, semua orang bilang jangan percayai Hera. Dia benci
demigod. Dan ramalan itu mengatakan kita bakal mendatangkan
kematian jika melepaskan murka Hera. Jadi, aku bertanya-tanya ... kenapa kita melakukan itu?"
"Hera memilih kita," kata Jason. "Kita bertiga. Kita adalah yang pertama di antara tujuh orang yang telah
berkumpul untuk Ramalan Besar. Misi ini merupakan
awal dari sesuatu yang lebih besar."
Itu tak membuat Leo merasa baikan, tapi dia tak bisa menyangkal poin yang dikemukakan Jason.
Memang rasanya ini adalah awal dari sesuatu yang besar. Leo
cuma berharap kalau memang ada empat demigod lagi yang ditakdirkan membantu mereka, keempat
orang itu sebaiknya segera muncul. Leo tidak mau menikmati
semua petualangan mengerikan yang membahayakan nyawa ini sendirian.
"Lagi pula," lanjut Jason. "menolong Hera adalah satu-satunya cara supaya aku bisa memperoleh
kembali ingatanku. Dan pilar gelap dalam mimpiku itu sepertinya
mengisap energi Hera. Jika benda itu membebaskan raja raksasa dengan cara membinasakan Hera?"
"Bukan pertukaran yang bagus," Piper setuju. "Setidaknya Hera di pihak kita"seharusnya. Jika mereka
kehilangan Hera, para dewa bakalan ricuh. Dialah tokoh
utama yang mempertahankan kedamaian di keluarga. Dan perang melawan raksasa bisa saja lebih
menghancurkan daripada Perang Titan."
Jason mengangguk. "Chiron juga membicarakan bangkitnya kekuatan yang malah lebih buruk lagi pada
titik balik matahari musim dingin, sebab itu adalah saat
yang bagus untuk sihir jahat"sesuatu bisa saja terbangun jika Hera dikorbankan roh-roh badai, yang
ingin membunuh semua demigod?"
"Mungkin si wanita tidur yang aneh itu," simpul Leo. "Wanita Tanah terbangun sepenuhnya" Bukan
sesuatu yang ingin kulihat."
"Tapi siapa wanita itu?" tanya Jason. "Dan ada hubungan apa antara dia dengan para raksasa?"
Pertanyaan bagus, tapi tak seorang pun dari mereka punya jawabannya. Mereka terbang dalam
kesunyian sementara Leo bertanya-tanya apakah dia telah melakukan
hal yang tepat, berbagi begitu banyak hal. Dia tak pernah memberi tahu siapa-siapa tentang peristiwa di
gudang malam itu. Sekalipun Leo tidak memberitahukan
cerita selengkapnya kepada mereka, tetap saja rasanya aneh, seolah dia telah membelah dadanya dan
mengeluarkan semua gigi roda yang membuat Leo berdetak.
Tubuh Leo gemetaran, dan bukan karena kedinginan. Dia berharap semoga Piper, yang duduk di
belakangnya, tidak memperhatikan.
Palu besi dan merpati "kan patahkan sangkar. Bukankah itu bunyi larik dalam ramalan tersebut" Artinya
Piper dan Leo harus mencari tahu cara membobol penjara
batu magis itu, dengan asumsi mereka dapat menemukannya. Lalu mereka bakal melepaskan murka
Hera, yang mungkin akan menyebabkan banyak kematian. Wah, kedengarannya
asyik! Leo pernah melihat Tia Callida beraksi; wanita itu suka pisau, ular, dan meletakkan bayi dalam api
membara. Baiklah, ayo kita bikin dia murka. Ide
hebat. Festus terus terbang. Angin semakin dingin, dan di bawah mereka hutan bersalju terbentang sejauh
mata memandang. Leo tidak tahu persis di mana letak Quebec.
Dia menyuruh Festus membawa mereka ke istana Boreas, dan Festus terus saja menuju utara. Mudahmudahan naga itu tahu arah dan mereka tidak bakalan nyasar
ke kutub utara. "Bagaimana kalau kau tidur sebentar?" Piper berkata ke telinga Leo. "Kau kan belum tidur semalaman."
Leo ingin memprotes, tapi kata tidur tiba-tiba kedengaranya betul-betul merdu. "Kau takkan
membiarkanku jatuh?"
Piper menepuk pundak Leo. "Percayalah padaku, Valdez. Cewek cantik tidak pernah bohong."
"Benar," gerutu Leo. Dia mencondongkan badan untuk merapat ke leher perunggu hangat sang naga,
dan memejamkan mata. BAB DELAPAN BELAS LEO SEPERTINYA LEO BARU TIDUR BEBERAPA detik, tapi ketika Piper mengguncang-guncangnya sampai
terbangun, sinar matahari telah memudar.
"Kita sudah sampai," kata Piper.
Leo menggosok-gosok matanya untuk mengusir kantuk. Di bawah mereka, bertenggerlah sebuah kota di
tebing yang menghadap sungai. Dataran rendah di sekitarnya
diselimuti salju, namun kota itu sendiri berkelap-kelip hangat diterpa cahaya matahari terbenam musim
dingin. Bangunan-bangunan berkumpul bersama-sama
di dalam tembok tinggi laksana kota di abad pertengahan, jauh lebih tua daripada tempat lain yang
pernah Leo saksikan sebelumnya. Di pusatnya terdapat
kastel tembok mahabesar dari bata merah dan menara segi empat beratap segitiga lancip berwarna
hijau. "Katakan padaku itu Quebec dan bukan gudang mainan Sinterklas," kata Leo.
"Iya, Quebec City," Piper mengonfirmasi. "Salah satu kota tertua di Amerika Utara. Didirikan tahun
1600-an, kalau tidak salah?"
Leo mengangkat alis. "Ayahmu main film tentang itu juga?"
Piper memberengut kepada Leo. Leo sebenarnya sudah biasa dicemberuti Piper, tapi saat ini efeknya
tidak terlalu ampuh gara-gara rias wajah baru Piper yang
glamor. "Aku kadang-kadang membaca, oke" Cuma karena Aphrodite mengakuiku, bukan berarti aku
harus jadi otak udang."
"Galak!" kata Leo. "Karena kau tahu banyak sekali, itu kastel apa?"
"Hotel, kurasa."
Leo tertawa. "Tidak mungkin."
Tapi saat mereka kian dekat, Leo melihat bahwa Piper benar. Pintu masuknya yang megah diramaikan
oleh penjaga pintu, tukang parkir, dan portir yang sibuk
membawakan tas. Mobil mewah hitam mulus berhenti di pelataran. Orang-orang berbusana elegan dan
bermantel musim dingin bergegas menyingkir dari hawa dingin.
"Angin Utara tinggal di hotel?" kata Leo. "Tidak mungkin?"
"Awas, Teman-Teman," potong Jason. "Kita kedatangan tamu!"
Leo menengok ke bawah dan melihat apa yang dimaksud Jason. Dari puncak menara membubunglah
dua sosok bersayap"malaikat yang marah, membawa pedang yang kelihatan
menyeramkan. *** Festus tidak menyukai malaikat-malaikat itu. Naga itu berhenti di udara, sayapnya mengepak-ngepak
dan cakarnya disiagakan, ia mengeluarkan suara menggemuruh
di tenggorokannya yang tidak asing buat Leo. Ia sedang bersiap-siap untuk menyemburkan api.
"Tenang, Nak," gumam Leo. Dia punya firasat malaikat-malaikat itu tidak bakalan senang jika dibakar
seperti itu. "Aku tidak suka ini," kata Jason. "Mereka seperti roh badai."
Pada mulanya Leo mengira Jason benar, tapi saat kedua malaikat itu kian dekat, dia bisa melihat bahwa
mereka jauh lebih padat daripada ventus. Mereka terlihat
seperti remaja biasa, hanya saja mereka memiliki rambut seputih es dan sayap ungu berbulu burung.
Pedang perunggu mereka bergerigi, seperti tetesan es
yang membeku. Keduanya berwajah serupa. Mereka mungkin bersaudara, tapi jelas bukan saudara


The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembar. Salah satunya berbadan seukuran lembu jantan, memakai seragam hoki merah cerah, celana baggy, dan
sepatu skating kulit berwarna hitam. Cowok itu jelas-jelas
kebanyakan berkelahi, sebab kedua matanya lebam, dan ketika dia memamerkan gigi-giginya, sebagian
ompong. Cowok yang satu lagi kelihatannya baru saja melangkah keluar dari salah satu sampul album rock 1980an milik ibu Leo"Journey, barangkali, atau Hall & Oates,
atau sesuatu yang bahkan lebih garing. Rambutnya yang seputih es panjang di belakang, berjambul di
depan, serta cepak di samping. Dia mengenakan sepatu
kulit berujung lancip, celana rancangan desainer yang terlalu ketat, dan kemeja sutra norak yang tiga
kancing teratasnya dibuka. Mungkin dia kira dia terlihat
bagaikan dewa cinta gaul, tapi bobot cowok itu tak mungking lebih dari 45 kilo, dan mukanya jerawatan
parah. Kedua malaikat itu berhenti di depan sang naga dan melayang-layang di sana, pedang terhunus di
tangan mereka. Si lembu hoki menggeram. "Dilarang masuk."
"Maaf?" kata Leo.
"Rencana terbang kalian tidak tercatat dalam arsip," si Dewa Cinta Gaul menjelaskan. Selain masalahmasalahnya yang lain, dia memiliki logat Prancis yang
begitu kental sehingga Leo yakin logatnya itu pasti palsu. "Ini ruang udara terbatas."
"Habisi mereka?" si lembu menyunggingkan cengiran ompong.
Sang naga mulai mengembuskan uap, siap membela mereka. Jason memunculkan pedang emasnya, tapi
Leo berseru, "Tunggu dulu! Mari kita beramah tamah dulu, Bung.
Setidaknya bolehkah aku mengetahui siapa yang mendapat kehormatan untuk menghabisiku?"
"Aku Cal!" geram si lembu. Dia kelihatan sangat berbangga diri, seolah dia telah menghabiskan banyak
waktu untuk menghafal kaliamat itu.
"Itu kependekan dari Calais," kata si Dewa Cinta. "Sayangnya, saudaraku tidak bisa mengucapkan katakata yang panjang?"
"Piza! Hoki! Habisi!" tukas Cal.
?"termasuk namanya sendiri," pungkas si Dewa Cinta.
"Aku Cal," ulang Cal. "Dan ini Zethes! Saudaraku!"
"Wow," kata Leo. "Itu hampir tiga kalimat, Bung! Hebat."
Cal menggeram, kentara sekali dia puas dengan dirinya sendiri.
"Dasar bodoh," gerutu saudaranya. "Mereka mengolok-olokmu. Tapi tidak jadi soal. Aku Zethes,
kependekan dari Zethes. Dan nona yang di sana itu?" Dia berkedip
kepada Piper, tapi kedipan tersebut lebih menyerupai kedutan muka. "Dia boleh memanggilku
sesukanya. Barangkali dia ingin makan malam dengan demigod tenar
sebelum kami harus menghabisi kalian?"
Piper mengeluarkan suara tercekik, seolah dia sedang tersedak obat batuk. "Itu ... tawaran yang benarbenar mengerikan."
"Tak masalah." Zethes menaik-turunkan alisnya. "Kami, kaum Boread, adalah orang-orang yang sangat
romantis." "Boread?" Jason menimpali. "Maksudmu, putra Boreas?"
"Ah, jadi kau sudah mendengar tentang kami!" Zethes terlihat senang. "Kami adalah penjaga gerbang
ayah kami. Jadi, kalian tentu paham, kami tidak bisa membiarkan
orang-orang yang tak berwenang terbang masuk ke ruang udara beliau sembari naik naga reyot,
menakut-nakuti manusia fana tolol."
Dia menunjuk ke bawah, dan Leo melihat bahwa para manusia fana mulai memperhatikan. Beberapa
orang menunjuk ke atas"tidak dengan was-was, belum"dengan bingung
dan kesal, seakan sang naga adalah helikopter pemantau lalu lintas yang terbang terlalu rendah.
"Maka dari itu, sayangnya, kecuali ini pendaratan darurat," kata Zethes sambil menyibakkan rambut dari
wajahnya yang jerawatan, "kami harus menghabisi kalian
secara menyakitkan."
"Habisi!" Cal sepakat, yang menurut Leo kelewat antusias.
"Tunggu!" kata Piper. "Ini pendaratan darurat."
"Yaaah!" Cal terlihat begitu kecewa sampai-sampai Leo hampir kasihan padanya.
Zethes mengamati Piper, yang tentu saja sudah dilakukannya sejak tadi. "Bagaimana sang gadis cantik
bisa memutuskan bahwa ini keadaan darurat, kalau begitu?"
"Kami harus bertemu Boreas. Ini benar-benar mendesak! Kumohon?" Piper memaksakan senyum, yang
menurut tebakan Leo pastilah menyiksa gadis itu dalam hati,
tapi dia masih mendapat restu Aphrodite, dan dia terlihat hebat. Selain itu, ada sesuatu dalam
suaranya"Leo mendapati dirinya mempercayai setiap perkataan
Piper. Jason menganguk-angguk, terlihat yakin sepenuhnya.
Zethes mencubiti kemeja sutranya, barangkali memastikan bahwa bajunya itu masih terbuka cukup
lebar. "Yah ... aku benci mengecewakan seorang gadis cantik,
tapi masalahnya, saudariku, dia pasti mengamuk jika kami mengizinkan kalian?"
"Dan naga kami rusak!" imbuh Piper. "Ia bisa saja jatuh sebentar lagi!"
Festus gemetaran, seolah menyokong perkataan Piper, kemudian memalingkan kepala dan
menumpahkan minyak dari telinganya, mengotori Mercedes hitam di lahan
parkir di bawah. "Tidak habisi?" rengek Cal.
Zethes menimbang-nimbang masalah tersebut. Lalu dia lagi-lgi memberi Piper kedipan kejang. "Yah, kau
memang cantik. Maksudku, kau benar. Naga yang rusak"ini
bisa jadi keadaan darurat."
"Habisi mereka nanti?" usul Cal. Mungkin segitu saja sudah ramah, menurut standar Cal.
"Bakal butuh penjelasan," Zethes menjelaskan. "Ayahanda tidak terlalu ramah akhir-akhir ini. Tapi ya.
Ayo, orang-orang penunggang naga rusak. Ikuti kami."
Para Boread menyarungkan pedang mereka dan menarik senjata yang lebih kecil dari ikat pinggang
mereka"atau setidaknya Leo kira itu adalah senjata. Lalu
kedua Boread menyalakan benda itu, dan Leo menyadari bahwa itu adalah senter bercorong oranye,
seperti yang digunakan para pengendali lalu lintas udara
di landasan pacu. Cal dan Zethes berbalik dan menukik ke menara hotel.
Leo menoleh kepada teman-temannya. "Aku suka cowok-cowk ini. Ikuti mereka?"
Jason dan Piper tidak terlihat bersemangat.
"Kurasa begitu," Jason memutuskan. "Kita sudah di sini sekarang. Tapi aku bertanya-tanya apa sebabnya
Boreas tidak ramah pada tamu akhir-akhir ini."
"Hah, dia kan belum bertemu kita." Leo bersiul. "Festus, ikuti senter itu!"
*** Saat mereka semakin dekat, Leo khawatir mereka bakal menabrak menara. Kedua Boread langsung
menuju puncak segitiga beratap hijau dan tidak memperlambat
laju. Lalu terbukalah sebagian dari atap miring, menampakkan jalan masuk yang cukup lebar untuk
dilewati Festus. Sisi atas dan bawahnya dibarisi tetesan
es beku seperti gigi bergerigi.
"Ini tidak mungkin bagus," gumam Jason, tapi Leo mengarahkan sang naga ke bawah, dan mereka
menukik masuk di belakang kedua Boread.
Mereka mendarat di tempat yang pastilah merupakan griya tawang; tapi tempat itu seperti telah dilanda
badai membekukan. Aula depannya memiliki langit-langit
berbentuk kubah setinggi dua belas meter, jendela besar bertirai, dan karpet oriental tebal. Tangga di
bagian belakang ruangan mengarah ke aula lain yang
sama besarnya, dan terdapat koridor-koridor yang bercabang ke kiri dan ke kanan. Tapi keberadaan es
membuat keindahan ruangan tersebut agak menakutkan.
Ketika Leo meluncur turun dari naga, karpet berderak di bawah kakinya. Lapisan bunga es halus
menyelimuti perabotan. Tirai tidak bergerak karena sudah
padat membeku, cahaya matahari terbenam yang menerobos melalui jendela berselimut es terkesan
bergelombang dan ganjil. Langit-langit sekali pun bergerigi
karena dipenuhi tetesan es beku, sedangkan tangganya, Leo yakin dia bakal terpeleset dan patah leher
andaikata berusaha menaikinya.
"Bung," kata Leo, "perbaiki termostat di sini, dan aku pasti mau pindah."
"Aku tidak." Jason memandang tangga itu dengan gelisah. "Rasanya ada yang tidak beres. Ada sesuatu
di atas sana ..." Festus bergetar dan menyemburkan api. Bunga es mulai terbentuk di sisiknya.
"Jangan, jangan, jangan." Zethes menghampiri mereka, meski pun Leo tidak tahu bagaimana caranya
berjalan dengan sepatu lancip itu. "Naga itu harus dinonaktifkan.
Tidak boleh ada api di dalam sini. Panas merusak rambutku."
Festus menggeram dan memutar gigi mata bornya.
"Tidak apa-apa, Nak." Leo menoleh kepada Zethes. "Naga ini agak peka soal konsep menonaktifkan. Tapi
aku punya solusi lebih baik."
"Habisi?" saran Cal.
"Bukan, Bung. Jangan katakan "habisi, habisi" terus. Tunggu saja."
"Leo," ujar Piper gugup, "apa yang kau?"
"Perhatikan dan pelajari, Ratu Kecantikan. Waktu aku memperbaiki Festus semalam, aku menemukan
segala macam tombol. Sebagian, kau tidak ingin tahu apa fungsinya.
Tapi yang lain ... ah, ini dia."
Leo mengaitkan jemarinya ke belakang kaki depan sang naga. Dia menarik sebuah kenop, dan sang naga
itu pun bergetar dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Semua orang mundur selagi Festus terlihat laksana origami. Pelat-pelat perunggunya bertumpuktumpuk. Leher dan ekornya berkerut ke dalam tubuhnya. Sayapnya
terlipat dan badannya mengempis hingga dia menjadi bongkah logam segi empat seukuran koper.
Leo mencoba mengangkatnya, tapi benda itu berbobot kira-kira tiga ratus juta kilogram. "Mmm ... iya.
Tunggu. Kurasa"ah"
Dia memencet tombol lainnya. Mencuatlah gagang untuk pegangan di bagian atas, dan keluarlah roda di
bagian bawah. "Ta-da!" Leo mengumumkan. "Tas tenteng terberat di dunia!"
"Itu mustahil," kata Jason. "Sesuatu sebesar itu tak mungkin?"
"Stop!" perintah Zethes. Baik dia maupun Cal menghunus pedang mereka dan memelototi Leo.
Leo angkat tangan. "Oke .. apa yang kulakukan" Tenang, Bung. Kalau yang barusan itu mengusik kalian
sedemikian rupa, aku tidak tahu harus membawa naga itu
sebagai tas tenteng?"
"Siapa kau?" Zethes menodongkan ujung pedangnya ke dada Leo. "Anak Angin Selatan, memata-matai
kami?" "Apa" Bukan!" kata Leo. "Putra Hephaestus. Pandai besi ramah, tak akan melukai siapa-siapa!"
Cal menggeram. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Leo. Dia jelas tidak jadi lebih rupawan dari jarak
dekat, dengan matanya yang lebam dan mulutnya yang ompong.
"Bau api," katanya. "Api jahat."
"Oh." Jantung Leo berdebar-debar. "Yah, soalnya ... pakaianku agak gosong, dan aku baru bekerja
dengan oli, dan?" "Bukan!" Zethes mendorong Leo ke belakang dengan ujung pedang. "Kami dapat mencium api, Demigod.
Kami kira bau itu berasal dari naga reyot itu, tapi kini
naga itu telah menjadi koper. Dan aku masih mencum bau api ... dari kau."
Jika suhu dalam griya tawang tidak di bawah titik beku, Leo pasti sudah mulai berkeringat. "Hei ...
dengar ... aku tidak tahu?" Dia melirik teman-temannya
dengan putus asa. "Teman-Teman, sedikit bantuan?"
Jason sudah memegang koin emasnya di tangan. Dia melangkah maju, matanya tertuju pada Zethes.
"Dengar, pasti ada kekeliruan. Leo bukan manusia api. Katakan
pada mereka, Leo. Katakan pada mereka kau bukan manusia api."
"Anu ..." "Zethes?" Piper mencoba senyumnya yang menawan lagi, meskipun dia kelihatan terlalu gugup dan
kedinginan sehingga kurang meyakinkan. "Kita semua berteman.
Turunkan senjata kalian dan mari kita bicara."
"Cewek itu memang cantik," Zethes mengakui, "dan tentu saja dia tidak bisa tak tertarik pada
kehebatanku; tapi sayangnya, aku tidak bisa berkencan dengannya
sekarang." Dia menodongkan pedang semakin jauh ke dada Leo, dan Leo dapat merasakan bunga es menyebar ke
bajunya, membuat kulitnya mati rasa.
Leo berharap dia bisa mengaktifkan Festus kembali. Dia butuh bala bantuan. Tapi itu akan makan waktu
beberapa menit, itu juga seandainya dia bisa meraih
tombol, sementara dua cowok sinting bersayap itu menghalangi jalannya.
"Habisi dia sekarang?" tanya Cal kepada saudaranya.
Zethes mengangguk. "Sayangnya, begitu?"
"Jangan," Jason berkeras. Dia terdengar cukup tenang, namun Leo menduga dia takkan sungkansungkan melempar koin itu dan beraksi layaknya gladiator. "Leo
Cuma putra Hephaestus. Dia bukan ancaman. Piper ini putri Aphrodite. Aku putra Zeus. Kami sedang
dalam misi ..." Suara Jason menghilang, sebab kedua Boread mendadak berpaling kepadanya.
"Apa katamu?" tuntut Zethes. "Kau putra Zeus?"
"Mmm ... iya," ujar Jason. "Itu hal bagus, kan" Namaku Jason."
Cal kelihatan kaget sekali, dia hampir menjatuhkan pedangnya. "Bukan Jason," katanya. "Tidak sama."
Zethes melangkah maju dan memandang wajah Jason sambil memicingkan mata. "Bukan, dia bukan
Jason kita. Jason kita lebih modis. Tidak semodis aku"tapi lumayan.
Lagi pula, Jason kita meninggal bermilenium-milenium lalu."
"Tunggu," kata Jason. "Jason kalian .. maksud kalian Jason yang asli" Laki-laki yang mengambil Bulu
Domba Emas?" "Tentu saja," kata Zethes. "Kami awak kapalnya, Argo, pada zaman dahulu, ketika kami masih
merupakan demigod fana. Lalu, kami menerima keabadian untuk mengabdi
kepada ayah kami, supaya aku bisa berpenampilan setampan ini sepanjang waktu, dan saudaraku yang
tolol ini bisa menikmati piza dan hoki."
"Hoki!" Cal sepakat.
"Tapi Jason"Jason kami"dia meninggal layaknya manusia fana," kata Zethes. "Kau tidak mungkin dia."
"Memang bukan," Jason setuju.
"Jadi, habisi?" tanya Cal. Jelas bahwa percakapan tersebut terlalu sulit dicerna oleh sel otaknya yang
cuma dua. "Jangan," kata Zethes penuh sesal. "Jika dia adalah putra Zeus, mungkin dialah yang telah kita tunggutunggu."
"Tunggu-tunggu?" tanya Leo. "Maksudmu positif, seperti: kalian akan menghujaninya dengan hadiah"
Atau menunggu-nunggunya secara negatif, seperti: ini dia
si biang keroknya." Suara cewek berkata, "Itu tergantung pada kehendak ayahku."
Leo memandang ke tangga. Jantungnya nyaris berhenti. Dia puncak tangga berdirilah seorang cewek
bergaun sutra putih. Kulit pucatnya tidak wajar, sewarna
salju, tapi rambutnya hitam lebat, sedangkan matanya sewarna cokelat kopi. Dia memfokuskan
pandangannya pada Leo tanpa ekspresi, tanpa senyum, tanpa keramahan.
Tapi itu tidak jadi soal. Leo jatuh cinta" dia adalah cewek paling memukau yang pernah dilihat Leo.
Lalu cewek itu memandang Jason serta Piper, dan tampaknya langsung memahami situasi tersebut.
"Ayahanda ingin menemui orang yang bernama Jason," katanya.
"Kalau begitu, dia orangnya?" tanya Zethes antusias.
"Kita lihat saja nanti," kata cewek itu. "Zethes. Antarkan tamu-tamu kita."
Leo mencengkram pegangan koper naga perunggunya. Dia tidak yakin bagaimana dia bisa membawa
koper tersebut naik tangga, tapi dia harus menghampiri cewek
itu dan mengajukan sejumlah pertanyaan penting"misalnya alamat e-mail dan nomor teleponnya.
Sebelum Leo sempat melangkah, cewek itu membekukan Leo dengan tatapannya. Bukan membekukan
secara harfiah, tapi sama saja.
"Kau tidak diperkenankan menemuinya, Leo Valdez," katanya.
Dalam benaknya, Leo bertanya-tanya bagaimana dia bisa tahu namanya; tapi dia lalu berkonsentrasi
Setan Rawa Bangkai 1 Pendekar Kelana Sakti 10 Keris Buntung Ki Srongot Ilusi Scorpio 5
^