Pencarian

Pahlawan Yang Hilang 5

The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero Bagian 5


mengemudikan benda ini?" gerutu Leo, tapi dia melakukan yang diminta Jason. Setelah beberapa menit,
Jason melihat roh badai itu lagi, melejit melewati jalanan tanpa tujuan yang jelas"meniup pejalan kaki,
melecut-lecutkan bendera, membuat mobil menikung. "Aduh, gawat," kata Piper. "Ada dua."
Dia benar. Ventus kedua melesat dari sudut Hotel Renaissance dan bergabung dengan yang pertama.
Mereka meliuk-liuk bersama dalam tarian kaus, melejit ke puncak gedung pencakar langit,
membengkokkan menara pemancar radio, dan terjun kembali ke clan. "Mereka tidak butuh tambahan
kafein," kata Leo. "Kurasa Chicago memang tempat yang bagus buat nongkrong," kata Piper. "Tidak
bakalan ada yang mempertanyakan tambahan satu atau dua angin bandel lagi." "Lebih dari dua," kata
Jason. "Lihat." Sang naga berputar-putar di atas jalan besar di sebelah taman camping danau. Roh-roh
badai tengah berkumpul"jumlahnya paling tidak selusin, berpusing mengelilingi sebuah karya seni
berukuran besar yang dipamerkan untuk umum. "Menurut kalian Dylan yang mana?" tanya Leo. "Aku
ingin menimpuknya dengan sesuatu." Tapi Jason memfokuskan perhatian pada karya seni itu. Semakin
dekat mereka dengan karya seni itu, semakin kencang detak jantung Jason. Karya seni itu hanya berupa
air mancur publik, namun anehnya tidak asing bagi Jason. Dua monolit setinggi gedung lima lantai
menjulang dari sebelah kiri dan kanan kolam granit. Kedua monolit tersebut tampaknya tersusun dari
layar video, terdiri dari kombinasi gambar berupa wajah raksasa yang menyemburkan air ke kolam.
Mungkin itu hanya kebetulan, tapi kolam tersebut bentuknya menyerupai kolam bobrok yang Jason
saksikan dalam mimpinya, hanya raja yang ini versi canggihnya dan berukuran superbesar. Kolam itu
juga dilengkapi dua bongkahan gelap yang mencuat dari tepi kiri-kanannya. Selagi Jason memperhatikan,
gambar di layar berubah, menampakkan wajah seorang wanita dengan mata terpej am.
"Leo ..." kata Jason gugup. "Aku melihatnya," ujar Leo. "Aku tidak menyukainya, tapi aku melihatnya."
Lalu layar-layar tersebut menjadi gelap. Para Ventus berpusing bersama membentuk angin puting
beliung dan melesat ke air mancur, menyemburkan air yang tingginya hampir sama dengan kedua
monolit. Mereka sampai di tengah-tengah kolam, mencopot tutup saluran air, dan menghilang ke bawah
tanah. "Apa mereka baru saja turun ke gorong-gorong?" tanya Piper. "Bagaimana kita bisa mengikuti
mereka?" "Mungkin sebaiknya tidak usah," kata Leo. "Air mancur itu betul-betul membuatku merinding.
Dan bukankah kita harus berhati-hati terhadap bumi?" Jason berpendapat serupa, namun mereka harus
mengikuti roh-roh badai itu. Itulah satu-satunya cara agar mereka bisa melangkah ke depan. Mereka
harus menemukan Hera, dan mereka kini hanya punya dua hari lagi sampai titik balik matahari musim
dingin. "Turunkan kita di taman usulnya. "Akan kita periksa dengan berjalan kaki."
*** Festus mendarat di area terbuka antara danau dan gedung pencakar langit. Plangnya berbunyi: Grant
Park, dan Jason membayangkan taman tersebut pasti merupakan tempat yang nyaman di musim panas;
tapi kini taman tersebut hanya berupa ladang es, salju, dan jalan setapak berlumur garam. Kaki logam
panas sang naga berdesis saat mereka menyentuh tanah. Festus mengepakkan sayap tidak senang dan
menyemburkan api ke angkasa, tapi tak seorang pun
memperhatikan karena tidak ada siapa-siapa di sekitar sana. Angin yang dingin dan menggigit berembus
dari danau. Siapa saja yang berakal sehat pasti akan tetap berada di rumah. Mata Jason perih sekali
sampai-sampai dia nyaris tak dapat melihat. Mereka pun turun, dan Festus sang naga mengentakkan
kakinya. Salah satu mata rubinya berkelip sehingga dia seakan berkedip. "Apa itu normal?" tanya Jason.
Leo mengeluarkan godam karet dari sabuk perkakasnya. Dia memukul mata sang naga yang rusak, dan
sinarnya pun kembali normal. "Ya," kata Leo. "Tapi, Festus tidak bisa diam di sini, di tengah-tengah
taman. Mereka bakal menahannya karena menggelandang. Mungkin kalau aku punya peluit anjing ..."
Leo merogoh-rogoh sabuk perkakasnya, tapi tidak mendapat apa-apa. "Terlalu spesifik?" tebak Leo.
"Oke, beri aku peluit bahaya. Yang seperti itu banyak di bengkel mesin." Kali ini, Leo mengeluarkan
peluit plastik besar berwarna jingga. "Pak Pelatih Hedge bakalan iri! Oke, Festus, dengarkan." Leo
meniup peluit. Bunyi melengking tersebut berangkali merambat hingga ke seberang Danau Michigan.
"Kalau kau dengar suara itu, cari dan datangi aku, oke" Sampai saat itu, terbanglah ke mana pun yang
kau mau. Asalkan kau tidak memanggang pejalan kaki saja." Sang naga mendengus"mudah-mudahan
tanda setuju. Kemudian dia mengembangkan sayap dan meluncur ke udara. Piper maju selangkah dan
berjengit. "Ah!" "Pergelangan kakimu?" Jason merasa tidak enak karena sudah melupakan cedera yang
didapat Piper di pabrik Cyclops. "Efek nektar yang kami berikan padamu pasti sudah berkurang."
"Tak apa-apa." Piper menggigil, dan Jason teringat janjinya untuk membelikan gadis itu jaket
snowboarding baru. Semoga saja Jason hidup cukup lama supaya bisa membelikan Piper jaket yang
dijanjikannya. Piper maju beberapa langkah lagi, sedikit terpincang-pincang, namun Jason tahu gadis itu
sedang berusaha untuk tidak meringis. "Ayo menyingkir dari angin," usul Jason. "Turun ke goronggorong?" Piper bergidik. "Kedengarannya nyaman." Mereka merapatkan pakaian sebisa mungkin dan
menuju air mancur. *** Menurut plangnya, air terjun itu bernama Air Terjun Mahkota. Seluruh airnya dikuras kecuali segelintir
petak yang mulai membeku. Menurut Jason memang tidak wajar ada air di kolam itu pada musim dingin.
Tapi tentu saja, tadi monitor-monitor besar itu menampakkan wajah musuh mereka yang misterius, si
Wanita Tanah. Tempat ini memang sama sekali tidak wajar. Mereka melangkah ke tengah-tengah kolam.
Tidak ada roh badai yang berusaha untuk menghentikan mereka. Dinding monitor raksasa tetap gelap.
Lubang saluran air hanya cukup untuk satu orang, dan terdapat tangga yang mengarah ke dalam
keremangan. Jason masuk duluan. Selagi dia menuruni tangga, Jason menguatkan diri untuk menahan
bau selokan yang menjijikkan, namun ternyata tidak seburuk itu. Tangga menurun ke terowongan bata
yang mengarah dari utara ke selatan. Udaranya hangat dan kering, sedangkan di lantai hanya terdapat
sedikit air. Piper dan Leo turun sesudah Jason. "Apa semua gorong-gorong senyaman ini?" Piper bertanya-tanya.
"Tidak," ujar Leo. "Percayalah padaku." Jason mengerutkan kening. "Bagaimana kau bisa tahu?" "Hei,
Bung, aku kabur enam kali. Aku pernah tidur di tempat-tempat aneh, oke" Nah, sekarang kita mau ke
arah mana?" Jason menelengkan kepala, mendengarkan, lalu menunjuk ke selatan. "Ke sana." "Kok kau
bisa seyakin itu?" tanya Piper. "Ada angin yang berembus ke selatan," kata Jason. "Mungkin para ventus
itu mengikuti aliran udara." Bukan petunjuk yang bagus, tapi tak ada yang mengemukakan petunjuk
yang lebih baik. Sayangnya, begitu mereka mulai berjalan, tubuh Piper limbung. Jason harus
menangkapnya. "Pergelangan kaki bodoh," umpat Piper. "Ayo kita istirahat," Jason memutuskan. "Kita
semua memerlukannya. Kita sudah bepergian nonstop selama lebih dari sehari. Leo, bisakah
kaukeluarkan makanan dari sabuk perkakas itu selain permen mint penyegar napas?" "Kukira kau tak
bakalan bertanya. Chef Leo siap beraksi!" Piper dan Jason duduk di tubir bata selagi Leo merogoh-rogoh
tasnya. Jason lega bisa beristirahat. Dia masih lelah serta pusing, dan juga lapar. Tapi terutama, dia tidak
antusias menghadapi apa pun yang mengadang di depannya. Jason memutar koin emas di jari-jarinya.
Jika kau meninggal, Hera memperingatkan, pasti di tangan wanita itu.
Siapa pun "wanita itu." Setelah Khione, ibu Cyclops, dan wanita tidur aneh, hal terakhir yang Jason
butuhkan adalah satu lagi penjahat perempuan sinting dalam hidupnya. "Bukan salahmu," kata Piper.
Jason menatapnya sambil bengong. "Apa?" "Disergap Cyclops," kata Piper. "Itu bukan salahmu." Jason
memandangi koin emas di telapak tangannya. "Aku bodoh. Aku meninggalkanmu sendirian dan masuk
ke dalam perangkap. Aku seharusnya tahu ..." Jason tidak menyelesaikan ucapannya. Ada terlalu banyak
hal yang seharusnya dia tahu"siapa dirinya, cara melawan monster, bagaimana para Cyclops
memancing korban mereka dengan cara menirukan suara serta bersembunyi dalam bayang-bayang dan
ratusan trik lainnya. Semua informasi itu seharusnya ada di dalam kepala Jason. Dia bisa merasakan
tempat-tempat di kepalanya yang seharusnya menyimpan informasi tersebut"seperti kantong kosong.
Jika Hera ingin Jason berhasil, kenapa dia merampas ingatan yang dapat membantu Jason" Sang dewi
menyatakan bahwa Jason masih hidup karena dia tidak ingat apa-apa, tapi itu tak masuk di akal. Jason
mulai paham apa sebabnya Annabeth ingin membiarkan sang dewi membusuk di kurungannya. "Hei."
Piper menyikut lengan Jason. "Beri dirimu keringanan. Cuma karena kau putra Zeus bukan berarti kau
yang harus mengatasi semuanya." Beberapa meter dari sana, Leo menyalakan api kecil untuk memasak.
Dia mengeluarkan perbekalan dari tas serta sabuk perkakasnya sambil bersenandung. Di tengah-tengah
cahaya api, mata Piper seolah menari-nari. Saat ini Jason sudah mengamat-amati Piper selama berhari-
hari, dan dia masih tak bisa memutuskan apa warna mata gadis itu.
"Aku tahu ini pasti menyebalkan bagimu," kata Jason. "Bukan mini ini, maksudku. Aku yang muncul tibatiba di bus, Kabut yang mengacaukan pikiranmu dan membuatmu mengira aku ini kautahu." Piper
mengarahkan pandangan matanya ke bawah. "Iya, begitulah. Tidak ada yang mengharapkan ini. Ini
bukan salahmu." Piper menarik kepang kecil di kiri-kanan kepalanya. Jason lagi-lagi berpikir betapa
leganya dia karena Piper telah kehilangan restu Aphrodite. Dengan rias wajah dan gaun serta rambut
yang sempurna, Piper terlihat seperti gadis berusia dua puluh lima tahun, glamor, dan benar-benar tak
sebanding dengan Jason. Jason tidak pernah menganggap kecantikan sebagai suatu bentuk kekuatan,
tapi seperti itulah Piper"cantik dan kuat. Jason lebih menyukai Piper yang biasa"seseorang yang bisa
diajaknya nongkrong bareng. Tapi anehnya, Jason tidak bisa mengenyahkan citra din Piper yang satu lagi
dari kepalanya. Itu bukanlah ilusi. Bagian diri Piper yang itu betul-betul ada di dalam dirinya. Gadis itu
hanya berusaha sebaik mungkin untuk menyembunyikannya. "Tadi di pabrik," kata Jason, "sepertinya
kau hendak mengata-kan sesuatu tentang ayahmu." Piper menelusurkan jarinya ka bata, seakan dia
sedang menuliskan teriakan yang tidak mau dia suarakan. "Begitukah?" "Piper," kata Jason, "ayahmu
sedang dalam kesulitan, ya?" Di api unggun, Leo sedang mengaduk-aduk paprika dan daging dalam
wajan. "Mantap! Hampir jadi nih." Piper kelihatannya nyaris menangis. "Jason ... aku tak bisa
membicarakannya." "Kami temanmu. Biarkan kami membantumu." Pernyataan itu sepertinya justru
membuat Piper makin tidak enak hati. "Kuharap aku bisa, tapi?"
"Beres!" Leo mengumumkan. Leo datang sambil membawa tiga piring di lengannya seperti pelayan.
Jason tidak punya gambaran dari mana Leo memperoleh semua makanan tersebut, atau bagaimana dia
bisa memasaknya dengan sedemikian cepat, tapi makanan tersebut kelihatannya lezat: taco paprika dan
daging dilengkapi keripik kentang serta salsa. "Leo," kata Piper kagum. "Bagaimana kau?"" "Taco Garasi
ala Chef Leo untuk mengisi perut kalian!" katanya bangga. "Ngomong-ngomong, ini tahu, bukan daging,
Ratu Kecantikan, jadi jangan panik. Makan saja!"
*** Jason tidak yakin soal tahu itu, tapi rasa taco buatan Leo sama sedapnya dengan aromanya. Selagi
mereka makan, Leo berusaha mencerahkan suasana dan berkelakar. Jason bersyukur Leo ada di antara
mereka. Berkat Leo, kebersamaan dengan Piper jadi tak terlalu intens serta tidak nyaman. Pada saat
yang bersamaan, Jason berharap dia berduaan saja dengan Piper; tapi Jason mengomeli dirinya sendiri
karena merasa seperti itu. Sesudah Piper makan, Jason mendesaknya agar tidur. Tanpa sepatah kata pun,
Piper bergelung dan meletakkan kepalanya di pangkuan Jason. Dalam waktu dua detik, dia sudah
mendengkur. Jason mendongak untuk memandang Leo, yang jelas-jelas sedang berusaha tak tertawa.
Mereka duduk dalam kesunyian selama beberapa menit, meneguk limun yang dibuatkan Leo dari air
botolan dan minuman serbuk. "Enak, kan?" Leo menyeringai.
"Kau sebaiknya buka kios," kata Jason. "Bisa dapat penghasilan yang lumayan." Tapi selagi Jason
menatap bara api, sesuatu mulai mengusiknya. "Leo ... tentang kemampuanmu mendatangkan api
apakah itu benar?" Senyum Leo menghilang. "Iya, begitulah ..." Dia membuka angannya. Bola api kecil
mendadak muncul, menari-nari di elapak tangannya. "Keren sekali," kata Jason. "Kenapa kau tak pernah
bilang?" Leo menutup tangannya dan api pun padam. "Tidak mau kelihatan seperti orang aneh." "Aku
punya kemampuan mendatangkan petir dan angin," Jason mengingatkan Leo. "Piper bisa jadi cantik dan
memikat orang-orang supaya memberinya BMW Kau tak lebih aneh daripada kami. Dan, hei, mungkin
kau bisa terbang juga. Misalnya inelompati bangunan dan berteriak, Terbakarlahr Leo mendengus.
"Kalau aku melakukan itu, kau bakal melihat seorang anak membara yang terjun menjemput ajalnya,
dan kayaknya aku bakal meneriakkan sesuatu yang lebih keren daripada Terbakarlahr Percayalah
padaku, pondok Hephaestus tidak menganggap kekuatan api itu keren. Nyssa bilang pengendali api
teramat langka. Ketika demigod sepertiku muncul, biasanya itu disertai dengan munculnya hal yang
buruk. Hal-hal yang sangat buruk." "Mungkin justru sebaliknya," tukas Jason. "Mungkin orang-orang
yang dilimpahi karunia istimewa muncul ketika hal-hal buruk sedang terjadi, karena saat itulah mereka
paling dibutuhkan." Leo membereskan piring-piring. "Mungkin. Tapi kautahu kemampuanku ini tak
selalu merupakan karunia." Jason terdiam. "Maksudmu ibumu, ya" Malam ketika dia meninggal."
Leo tidak menjawab. Dia tidak perlu menjawab. Fakta bahwa dia diam saja, tidak berkelakar"sudah
mengungkapkan segalanya bagi Jason. "Leo, meninggalnya ibumu bukanlah salahmu. Apa pun yang
terjadi malam itu"penyebabnya bukan karena kau memanggil api. Si Wanita Tanah ini, siapa pun dia,
sudah bertahun-tahun berusaha menghancurkanmu, merusak kepercayaan dirimu, merenggut semua
yang kausayangi. Dia berusaha membuatmu merasa bagaikan orang gagal. Kau bukan orang gagal. Kau
penting." "Itulah yang dia katakan." Leo mendongak, matanya dipenuhi kepedihan. "Dia bilang aku
ditakdirkan untuk melakukan sesuatu yang penting"sesuatu yang bakal mewujudkan atau
membatalkan ramalan besar mengenai tujuh demigod. Itulah yang membuatku takut. Aku tak tahu
apakah aku siap atau tidak." Jason ingin memberitahunya bahwa semua pasti akan baik-baik saja, tapi
perkataan seperti itu kedengarannya palsu. Jason tidak tahu apa yang akan terjadi. Mereka adalah
demigod, yang berarti bahwa kadang-kadang semuanya tak berakhir bahagia. Kadang-kadang demigod
dimakan oleh Cyclops. Jika kita tanyai sebagian besar anak, "Hei, kau mau men-datangkan api atau petir
atau rias wajah ajaib?" mereka bakal berpendapat bahwa kemampuan itu kedengarannya lumayan
keren. Tapi kekuatan itu selalu disertai dengan cobaan berat, misalnya duduk dalam gorong-gorong di
tengah musim dingin, melarikan diri dari monster, kehilangan ingatan, menyaksikan teman-teman kita
hampir dimasak, dan mendapatkan mimpi yang memperingatkan kita akan ajal kita sendiri. Leo
mengorek sisa-sisa api, membalik arang panas merah membara dengan tangan telanjang. "Kau pernah
bertanya-tanya soal keempat demigod yang lain" Maksudku seandainya kita
ini adalah tiga demigod dari Ramalan Besar, yang lain siapa" Di mana mereka?" Jason memang sudah
memikirkannya, namun dia berusaha mengusir pemikiran itu dari benaknya. Jason memiliki kecurigaan
mengerikan bahwa dia akan memimpin para demigod yang lainnya, dan dia takut dirinya bakalan gagal.
Kahan akan saling mencabik satu sama lain, Boreas berjanji. Jason telah dilatih agar tak pernah
menunjukkan rasa takut. Dia meyakini itu berkat mimpinya bersama serigala. Dia diharuskan bersikap
percaya diri, sekalipun dia tidak merasa seperti itu. Tapi Leo dan Piper bergantung padanya, dan dia
takut mengecewakan mereka. Jika dia harus memimpin kelompok beranggotakan enam orang"enam
orang yang mungkin bakalan tidak akur"itu pasti lebih buruk lagi. "Entahlah," kata Jason pada akhirnya.
"Kurasa empat demigod lainnya bakal muncul ketika waktunya tepat. Siapa tahu" Mungkin mereka
sedang menjalani misi lain saat ini." Leo mendengus. "Taruhan, gorong-gorong mereka pasti lebih bagus
daripada gorong-gorong kita." Angin berembus, bertiup ke ujung selatan terowongan. "Istirahatlah,
Leo," kata Jason. "Aku akan berjaga duluan."
*** Susah mengukur waktu, namun Jason menebak teman-temannya tertidur selama kira-kira empat jam.
Jason tidak keberatan. Kini setelah dia beristirahat, dia tak lagi merasa butuh tidur. Dia sudah pingsan
cukup lama di punggung naga. Selain itu, dia perlu waktu untuk memikirkan misinya, kakaknya Thalia,
dan peringatan Hera. Dia juga tak keberatan Piper menggunakannya sebagai bantal.
Gadis itu punya cara bernapas yang lucu waktu tidur"menarik napas lewat hidung, mengembuskannya
pelan-pelan lewat mulut. Jason hampir-hampir kecewa ketika Piper bangun. Akhirnya mereka
membereskan perkemahan dan mulai menyusuri terowongan. Terowongan tersebut berliku-liku dan
berbelok-belok dan seakan tak berujung. Jason tidak yakin apa yang bakal ditemuinya di ujung goronggorong"penjara bawah tanah, laboratorium ilmuwan gila, atau mungkin reservoar yang menampung
semua limbah toilet portabel, membentuk wajah toilet jahat yang cukup besar untuk menelan seisi
dunia. Namun alih-laih itu semua, mereka justru menemukan sepasang pintu lift baja, masing-masing
memuat ukiran huruf M berlekuk-lekuk. Di samping lift terdapat petunjuk arah, seperti yang ada di toko
serbaada. "M singkatan dari Macy's?" terka Piper. "Kurasa ada tokc Macy's di tengah kota Chicago."
"Atau Monocle Motors lagi?" kata Leo. "Teman-Teman, baa-petunjuk itu deh. Aneh banget."
Parkir, Kandang, Pintu Masuk Utama
Perabotan dan Kafe M Busana Wanita dan Benda-Benda Magis Busana Pria dan Koleksi Senjata Kosmetik,
Ramuan, Racun, dan Lain-lain
Lantai Gorong-gorong 1 2 3 4
"Kandang apa?" ujar Piper. "Dan toko apa yang pintu masuk nya di gorong-gorong?" "Atau menjual
racun," kata Leo. "Bung, lain-lain di sin maksudnya apa" Pakaian dalam?"
Jason menarik napas dalam-dalam. "Kalau ragu-ragu, mulailah dari atas."
*** Pintu bergeser terbuka di lantai empat, dan wangi parfum pun melayang-layang ke dalam lift. Jason
melangkah ke luar lebih dulu, pedangnya terhunus. "Teman-Teman," katanya. "Kahan harus melihat ini."
Piper bergabung dengannya dan terkesiap. "Ini bukan Macy's." Toko serbaada tersebut menyerupai
bagian dalam sebuah kaleidoskop. Seluruh langit-langitnya terbuat dari mozaik kaca berwarna dengan
simbol-simbol zodiak yang mengelilingi matahari raksasa. Sinar matahari yang menembus melalui kaca
tersebut tumpah ruah ke dalam, membanjiri semuanya dengan ribuan warna yang berlainan. Lantailantai atas membentuk balkon yang mengelilingi serambi sentral besar, jadi mereka bisa melihat sampai
ke lantai dasar. Pagar emas berkilau sedemikian terang sampai-sampai susah dilihat. Selain langit-langit
dari kaca berwarna dan lift, Jason tidak melihat jendela atau pintu lain, namun dua set tangga berjalan
dari kaca terjulur dari lantai ke lantai. Lantai dilapisi karpet oriental yang motif dan warnanya
bertabrakan, sedangkan rak-rak yang memajang barang jualan benar-benar janggal. Ragam barang yang
dijual terlalu banyak sehingga mustahil diidentifikasi dalam sekali lihat, namun Jason melihat bendabenda normal seperti rak sepatu dan baju, berbaur dengan maneken berbaju zirah, tempat tidur
berpaku, dan mantel bulu yang tampaknya bergerak. Leo melangkah ke pagar dan menengok ke bawah.
"Coba lihat." Di tengah-tengah serambi, air mancur menyemburkan air setinggi enam meter ke udara, berubah warna
dari merah menjadi kuning lalu biru. Dasar kolam berkilauan oleh koin-koin emas yang ada di sana, dan
di kanan-kiri air mancur terdapat kurungan bersepuh emas"seperti kandang burung kenari yang
kebesaran. Di dalam salah satu kurungan, angin topan mini berpui ar-putar, dan petir berkilat.
Seseorang telah mengurung roh-roh badai, dan kurungan tersebut bergetar selagi mereka mencoba
keluar. Dalam kurungan satunya lagi, membeku bagaikan patung, terdapat seorang satir pendek gempal
yang memegang pentungan dari dahan pohon. "Pak Pelatih Hedge!" kata Piper. "Kita harus turun ke sat
a. Sebuah suara berkata, "Bisa kubantu kalian mencari sesuat u?" Mereka bertiga terlompat ke belakang.
Seorang wanita muncul begitu saja di hadapan mereka. Dia mengenakan gaun hitam anggun dengan
perhiasan berlian, dan dia kelihatan seperti seorang model yang sudah pensiun"mungkin lima puluh
tahun, meskipun Jason susah menebak usianya yang sebenarnya. Rambut gelap wanita itu panjang,
diurai ke salah satu bahu, sedangkan wajahnya menawan, sangat cantik layaknya supermodel"tirus,
angkuh, dan dingin; kurang manusiawi. Ku ku-kukunya panjang dan dicat merah, jari-jarinya lebih mirip
cakar. Wanita itu tersenyum. "Aku gembira sekali melihat pelanggan baru. Bisa kubantu?" Leo melirik
Jason, seolah mengatakan Silakan kautan ani sendiri. "Arm," Jason memulai, "apa ini toko Anda?"
Wanita tersebut mengangguk. "Aku menemukannya dalam keadaan terbengkalai, kalian tahu. Banyak
sekali toko yang terbengkalai dewasa ini. Kuputuskan bahwa toko ini akan jadi tempat yang sempurna.
Aku gemar mengoleksi benda-benda
berkelas, membantu orang-orang, menawarkan barang-barang berkualitas dengan harga bersaing. Jadi,
toko ini tampaknya bagus untuk apa namanya akuisisi pertama di negara ini." Dia berbicara dengan
logat yang enak didengar, tapi Jason tidak bisa menebak dari mana asalnya. Walau begitu, jelas bahwa
wanita tersebut tidak tak bersahabat. Jason mulai merasa Suara wanita itu merdu dan eksotik. Jason
ingin mendengarnya lagi. "Jadi, Anda baru datang ke Amerika?" tanyanya. "Aku baru," sang wanita
mengiyakan. "Aku Putri dari Colchis. Teman-temanku memanggilku Yang Mulia. Nah, apa yang kalian
cari?" Jason pernah mendengar tentang orang asing kaya yang membeli toko serbaada di Amerika.
Tentu saja mereka biasanya tidak menjual racun, mantel bulu hidup, roh badai, atau satir, tapi tetap
saja"mengingat suaranya yang seindah itu, Putri dari Colchis tak mungkin jahat. Piper menyikut iganya.
"Jason ..." "Ah, iya. Sebenarnya, Yang Mulia ..." Jason menunjuk kurungan bersepuh emas di lantai satu.
"Yang di bawah sana itu teman kami Gleeson Hedge. Sang satir. Bolehkah kami ambil dia kembali,
kumohon?" "Tentu saja!" sang putri langsung setuju. "Aku ingin sekali menunjukkan koleksiku kepada
kalian. Pertama-tama, boleh kutahu nama kalian?" Jason ragu-ragu. Sepertinya memberitahukan nama
mereka adalah gagasan yang buruk. Sebuah kenangan muncul di belakang benaknya"sesuatu yang
diperingatkan Hera, tapi kenangan itu kabur. Di sisi lain, Yang Mulia sepertinya bisa diajak bekerja sama.
Jika mereka dapat memperoleh apa yang mereka inginkan tanpa
bertarung, maka lebih baik begitu. Lagi pula, wanita itu tidak terlihat seperti musuh. Piper mulai berkata,
"Jason, aku tidak?" "Ini Piper," katanya. "Ini Leo. Aku Jason." Sang putri melekatkan pandangan
matanya pada Jason dan, sekejap saja, wajahnya menyala-nyala secara harfiah, dibakar amarah yang


The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedemikian rupa sampai-sampai Jason bisa melihat tengkorak di balik kulitnya. Pikiran Jason semakin
kabur, namun dia tabu ada yang tidak beres. Kemudian momen itu berlalu, dan Yang Mulia terlihat
layaknya wanita anggun normal lagi, dengan senyum sopan dan suara menenangkan. "Jason. Sungguh
nama yang menarik," katanya, matanya sedingin angin Chicago. "Kurasa kami harus mengajukan penawaran khusus untukmu. Ayo, Anak-Anak. Mari berbelanja.
BAB DUA PULUH TUJUH PIPER PIPER INGIN LARI KE LIFT. Pilihan keduanya: serang putri aneh itu sekarang, sebab dia yakin pertarungan
sudah di ambang mata. Sudah cukup buruk bahwa wajah wanita itu menyala-nyala ketika dia
mendengar nama Jason. Kini Yang Mulia tersenyum seakan tidak terjadi apa-apa, dan Jason serta Leo
sepertinya tak merasa ada yang tidak beres. Sang putri memberi isyarat ke arah konter kosmetik.
"Bagaimana kalau kita mulai dengan ramuan?" "Boleh," ujar Jason. "Kawan-Kawan," potong Piper, "kita
di sini untuk menjemput roh-roh badai dan Pak Pelatih Hedge. Kalau si"putri"ini benar-benar teman
kita?" "Oh, aku lebih baik dari sekadar teman, Sayang," kata Yang Mulia. "Aku seorang pramuniaga."
Berliannya gemerlapan, dan matanya berkilau seperti mata ular"dingin dan gelap. "Jangan cemas. Kita
akan turun pelan-pelan sampai ke lantai satu, ya?" Leo mengangguk penuh semangat. "Iya, tentu saja!
Kedengarannya oke. Ya kan, Piper?"
Piper berusaha sebaik mungkin untuk tidak memelototi Leo: Tidak, tidak oke! "Tentu saja tak apa-apa."
Yang Mulai merangkulkan lengannya ke bahu Leo serta Jason dan mengarahkan mereka ke konter
kosmetik. "Mari, Anak-Anak." Piper tidak punya pilihan kecuali mengikuti. Piper benci toko serbaada"
terutama karena dia pernah kepergok mencuri di sejumlah toko tersebut. Yah, sebetulnya bukan
kepergok, dan sebetulnya bukan mencuri. Piper membujuk pramuniaga agar memberinya komputer,
sepatu bot baru, cincin emas, suatu kali bahkan mesin pemotong rumput, walaupun dia tidak tabu apa
sebabnya dia menginginkan mesin pemotong rumput. Dia tidak pernah menyimpan barang-barang
tesebut. Dia melakukan itu semata-mata untuk mencuri perhatian ayahnya. Biasanya Piper membujuk
sang kurir agar mengembalikan barang tersebut. Tapi tentu saja pramuniaga yang kena tipu selalu
tersadar dan menghubungi polisi, yang pada akhirnya melacak Piper. Singkat cerita, Piper tidak antusias
karena kembali ke toko serbaada"terutama toko serbaada yang dikelola olah seorang putri gila yang
bisa berpendar dalam gelap. "Dan ini," kata sang putri, "adalah aneka ramuan sihir terbaik di dunia."
Konter tersebut disesaki gelas piala berisi cairan menggelegak dan vial berasap yang disangga tiga kaki.
Pada rak pajang berderetlah botol kristal"sebagian berbentuk seperti angsa atau beruang madu. Cairan
di dalamnya berwarna-warni, dari putih cemerlang hingga berbintik-bintik. Dan baunya"ih! Sebagian
enak, seperti biskuit yang baru dipanggang atau mawar, tapi aroma tersebut bercampur baur dengan
bau ban terbakar, semprotan sigung, dan Joker ruang olahraga.
Sang putri menunjuk sebuah vial merah darah"tabung reaksi merah darah dengan sumbat gabus. "Yang
ini bisa menyembuhkan penyakit apa saja." "Kanker juga?" tanya Leo. "Lepra" Bintil kuku?" "Penyakit
apa saja, Anak Manis. Dan vial ini,?"wanita itu menunjuk botol berbentuk angsa berisi cairan biru"
"akan membunuhmu dengan sangat menyakitkan." "Hebat," kata Jason. Suaranya terdengar linglung
dan me-ngantuk. "Jason," ujar Piper. "Kita punya pekerjaan yang harus dilaku-kan. Ingat?" Dia berusaha
mencurahkan kekuatan ke dalam kata-katanya, untuk menyadarkan Jason dari keadaan linglungnya
dengan charmspeak, tapi suara Piper terdengar gemetar bahkan bagi dirinya sendiri. Si putri ini terlalu
membuatnya takut, membuat kepercayaan dirinya hancur berantakan, sama seperti yang dirasakan
Piper di pondok Aphrodite saat menghadapi Drew. "Pekerjaan yang harus dilakukan," gumam Jason.
"Tentu. Tapi belanja dulu, ya?" Sang putri memandang Jason sambil berbinar-binar. "Lalu kami punya
cairan untuk menangkal api?" "Yang itu sudah diurus," kata Leo. "Benarkah?" Sang putri mengamati
wajah Leo lebih saksama. "Kau kelihatannya tidak memakai tabir surya buatanku tapi tak jadi soal. Kami
juga memiliki ramuan penyebab kebutaan, kegilaan, lelap, atau?" "Tunggu." Piper masih menatap vial
merah. "Apa ada ramuan yang menyembuhkan hilang ingatan?" Sang putri menyipitkan matanya.
"Barangkali. Ya. Mungkin saja. Kenapa, Sayang" Apakah kau melupakan sesuatu yang penting?"
Piper berusaha mempertahankan ekspresinya agar tetap netral, tapi jika vial itu bisa mengembalikan
ingatan Jason ... Apa aku benar-benar menginginkan itu" Piper membatin. Jika Jason tahu siapa dirinya,
dia mungkin saja takkan mau menjadi teman Piper. Hera telah mengambil memori Jason karena suatu
alasan. Sang dewi memberi tahu Jason bahwa itu adalah satu-satunya cara supaya dia tetap selamat di
Perkemahan Blasteran. Bagaimana jika Jason menyadari bahwa dia adalah musuh mereka, atau
semacamnya" Dia mungkin saja pulih dari amnesianya dan memutuskan kalau dia membenci Piper. Dia
mungkin saja punya pacar di tempat asalnya, di mana pun itu. Tak jadi soal, Piper memutuskan, yang
cukup mengejutkan dirinya sendiri. Jason selalu terlihat amat merana ketika dia mencoba meng-ingat
sesuatu. Piper benci melihatnya seperti itu. Piper ingin membantu Jason karena dia peduli pada pemuda
itu, meskipun itu berarti kehilangan Jason. Dan mungkin itu akan membuat kunjungan ke toko serbaada
milik Yang Gila layak dijalani. "Berapa harganya?" tanya Piper. Ada ekspresi sendu di mata sang putri.
"Yah, itu Harga bisa diatur. Aku sangat suka menolong orang. Sungguh, aku menyukainya. Dan aku selalu
jujur dalam tawar-menawar, tapi terkadang orang-orang mencoba mengakaliku." Tatapannya terarah
kepada Jason. "Contohnya, suatu kali aku berjumpa pemuda tampan yang menginginkan harta karun
dari kerajaan ayahku. Kami mengadakan kesepakatan, dan aku berjanji untuk membantunya mencuri
harta karun tersebut." "Dari ayah Anda sendiri?" Jason masih terlihat setengah tidak sadar, namun
pemikiran tersebut tampaknya mengusiknya. "Oh, jangan khawatir," kata sang putri. "Aku menuntut
harga yang tinggi. Pemuda tersebut harus membawaku pergi bersamanya.
Dia rupawan, memesona, perkasa ..." Wanita itu memandang Piper. "Aku yakin, Sayang, kau pasti
mengerti bagaimana seseorang bisa tertarik kepada pahlawan seperti itu, dan ingin menolongnya."
Piper berusaha mengendalikan emosinya, namun dia mungkin tersipu. Dia mendapat firasat seram
bahwa sang putri bisa membaca pikirannya. Piper juga merasa bahwa sang putri, anehnya, tidak asing.
Potongan mitos kuno yang pernah Piper baca bersama ayahnya mulai terjalin menjadi satu, tapi wanita
itu tidak mungkin orang yang Piper kira. "Pokoknya," lanjut Yang Mulia, "pahlawanku harus melakukan
banyak tugas mustahil, dan aku bukannya menyombong ketika kukatakan dia tak mungkin
melakukannya tanpa diriku. Aku mengkhianati keluargaku sendiri demi memenangi hadiah untuk
pahlawan itu. Walau begitu, tetap saja dia mencurangiku, tak mau memberikan pembayaran yang
berhak kuterima." "Curang?" Jason mengerutkan kening, seolah tengah berusaha mengingat-ingat
sesuatu yang penting. "Tidak beres tuh," kata Leo. Yang Mulia menepuk pipinya penuh kasih. "Aku yakin
kau tidak perlu khawatir, Leo. Kau tampaknya jujur. Kau selalu membayar harga yang adil, bukan
begitu?" Leo mengangguk. "Tadi kita mau beli apa, ya" Aku minta dua." Piper menyergah: "Jadi, vial-nya,
Yang Mulia"berapa harga-nya?" Sang putri menelaah pakaian Piper, wajahnya, posturnya, seakan
sedang memasang label harga pada demigod bekas. "Maukah kau memberikan apa pun untuk
membelinya, Sayang?" tanya sang putri. "Aku merasa kau mau."
Kata-kata tersebut menyapu Piper sedahsyat ombak besar yang bogus untuk berselancar. Kekuatan
sugesti hampir-hampir membuai Piper. Dia ingin membayar harga berapa saja. Dia ingin mengiyakan.
Lalu perutnya terasa mulas. Piper sadar dia tengah dilenakan oleh charmspeak. Dia pernah merasakan
sesuatu yang seperti ini sebelumnya, ketika Drew berbicara di acara api unggun, tapi yang ini seribu kali
lipat lebih ampuh. Tak heran teman-temannya terpukau. Inikah yang dirasakan orang-orang ketika Piper
menggunatan charmspeak" Rasa bersalah melandanya. Piper mengerahkan seluruh tekadnya. "Tidak,
aku tidak mau membayar harga berapa saja. Tapi harga yang wajar, mungkin. Sesudah itu, kami harus
pergi. Benar, kan, Teman-Teman?" Sekejap saja, kata-kata Piper sepertinya berefek. Jason dan Leo
kelihatan bingung. "Pergi?" kata Jason. "Maksudmu setelah belanja?" tanya Leo. Piper ingin menjerit,
tapi sang putri menelengkan kepala, kini mengamati Piper dengan respek. "Mengesankan," kata sang
putri. "Tak banyak orang yang bisa menampik sugestiku. Apa kau anak Aphrodite, Sayang" Ah, benar"
aku seharusnya melihatnya. Tak jadi soal. Barangkali kita sebaiknya keliling-keliling lagi sebelum kalian
memutuskan hendak membeli apa, ya?" "Tapi vial-nya?" "Nah, Anak-Anak." Wanita itu menoleh
kepada Jason dan Leo. Suaranya jauh lebih kuat daripada Piper, teramat percaya diri. Piper tidak punya
kesempatan bersaing dengannya. "Apa kalian ingin lihat-lihat lagi?" "Tentu," ujar Jason. "Oke," kata Leo.
"Baiklah," kata sang putri. "Kalian akan memerlukan semua pertolongan yang bisa kalian dapatkan jika
ingin sampai ke Area Teluk." Tangan Piper bergerak ke belatinya. Dia memikirkan mimpinya di puncak
gunung"pemandangan yang ditunjukkan Enceladus kepadanya, tempat yang dia kenal, di mana dia
diharuskan mengkhianati teman-temannya dua hari lagi. "Area Teluk?" ujar Piper. "Kenapa Area Teluk?"
Sang putri tersenyum. "Yoh, di sanalah mereka akan mati, bukan begitu?" Kemudian wanita itu
membimbing mereka ke arah lift, Jason dan Leo masih terlihat antusias untuk berbelanja. []
BAB DUA PULUH DELAPAN PIPER PIPER MEMOJOKKAN SANG PUTRI SAAT Jason dan Leo menyingkir untuk memeriksa mantel bulu hidup.
"Anda ingin mereka berbelanja sampai man?" tuntut Piper. "He-eh." Sang putri meniup debu dari kaca
lemari pajang berisi pedang. "Aku seorang cenayang, Sayang. Aku tabu rahasia kecilmu. Tapi kita tak
ingin merenungi itu, bukan" Anak-anak lelaki sedang sangat gembira." Leo tertawa saat dia mencoba
topi yang tampaknya terbuat dari bulu rakun yang dimantrai. Ekor rakunnya yang bergelung bisa
berkedut, dan kaki-kaki kecilnya menggeliut gelisah saat Leo berjalan. Jason sedang melongo,
memandangi pakaian olahraga laki-laki sambil ngiler. Anak-anak lelaki tertarik belanja pakaian" Tak
diragukan lagi itu berarti mereka sedang berada di bawah pengaruh mantra jahat. Piper memelototi
sang putri. "Siapa Anda?" "Aku sudah memberitahumu, Sayang. Aku Putri dari Colchis." "Colchis itu di
mana?" Ekspresi sang putri berubah, jadi agak sedih. "Di mana letak Colchis dulu, maksudmu. Ayahku menguasai
pesisir jauh Laut Hitam, hingga jarak terjauh di timur yang masih bisa dilayari kapal Yunani pada masa itu.
Tapi Colchis sudah tiada"binasa beribu-ribu tahun lalu." "Beribu-ribu tahun?" tanya Piper. Sang putri
kelihatannya tidak lebih dari lima puluh tahun, tapi firasat buruk mulai menjalari Piper"sesuatu yang
disinggung-singgung Raja Boreas di Quebec. "Berapa umur Anda?" Sang putri tertawa. "Seorang wanita
terhormat tidak semesti-nya mengajukan atau menjawab pertanyaan itu. Mari kita katakan saja bahwa
proses, ah, imigrasi untuk memasuki negaramu membutuhkan waktu yang cukup lama. Pelindungku
akhirnya berhasil mendatangkanku ke sini. Nyonya-lah yang menjadikan semua ini mungkin." Sang putri
menyapukan tangannya ke sekeliling toko serbaada. Mulut Piper serasa mengecap logam. "Pelindungmu
Anda ..." "Oh, ya. Beliau tidak mendatangkan sembarang orang, asal kautahu"hanya mereka yang
memiliki bakat istimewa, seperti aku. Dan sungguh, sedikit sekali yang beliau tuntut"pintu masuk toko
haruslah berada di bawah tanah agar beliau bisa, ah, memonitor para pelangganku; dan beliau meminta
bantuan sesekali. Ditukar dengan kehidupan baru" Sungguh, itu adalah penawaran terbaik yang pernah
kuterima setelah berabad-abad." Lari, pikir Piper. Kami harus keluar dari sini. Tapi sebelum Piper sempat
mewujudkan pemikirannya menjadi kata-kata, Jason berseru, "Hei, coba lihat ini!" Dari sebuah rak
berlabel Pakaian Bekas, Jason mengambil kaus ungu seperti yang dia pakai dalam karyawisata sekolah"
hanya saja kaus ini kelihatannya telah dicakar-cakar oleh macan.
Jason mengerutkan kening. "Kenapa ini kelihatannya sangat familier?" "Jason, itu seperti bajumu," kata
Piper. "Sekarang kami benar-benar harus pergi." Tapi dia tak yakin Jason bahkan bisa mendengar
perkataannya lagi, di balik mantra sang putri. "Omong kosong," kata sang putri. "Anak-anak lelaki belum
selesai, bukan" Dan ya, Sayang. Baju itu sangatlah populer"barter dengan pelanggan terdahulu. Baju
itu cocok untukmu." Leo memungut kaus jingga Perkemahan Blasteran yang bagian tengahnya oolong,
seakan telah ditusuk lembing. Di sebelah kaus itu terdapat tameng dada perunggu penyok yang
terkorosi"bekas asam, mungkin?"serta toga Romawi yang tercabik-cabik dan dinodai sesuatu yang
mirip darah kering. "Yang Mulia," kata Piper berusaha menenangkan diri. "Bagaimana kalau Anda
memberi tahu anak-anak lelaki bagaimana ceritanya sampai Anda mengkhianati keluarga Anda" Aku
yakin mereka pasti ingin mendengar cerita itu." Kata-katanya tidak berefek pada sang putri, namun
kedua anak laki-laki menoleh, mendadak tertarik. "Cerita lainnya?" tanya Leo. "Aku suka cerita lainnya!"
Jason sepakat. Sang putri melemparkan pandangan kesal ke arah Piper. "Oh, orang rela melakukan halhal aneh demi cinta, Piper. Kau seharusnya tahu itu. Aku jatuh cinta pada pahlawan muda itu justru
karena ibumu, Aphrodite, memantraiku. Jika bukan gara-gara dia"tapi aku tidak boleh mendendam
pada dewi, bukan begitu?" Nada suara sang putri menegaskan maksudnya dengan jelas: aku bisa
melampiaskan dendamku kepadamu.
"Tapi pahlawan itu membawa Anda ketika dia kabur dari Colchis," Piper teringat. "Bukan begitu, Yang
Mulia" Dia menikahi Anda sebagaimana yang dia janjikan." Ekspresi di mata sang putri membuat Piper
ingin minta maaf, tapi dia pantang mundur. "Pada mulanya," Yang Mulia mengakui, "sepertinya dia
memang menepati janji. Tapi bahkan sesudah aku membantunya mencuri harta karun ayahku, dia masih
membutuhkan bantuanku. Saat kami kabur, armada saudaraku mengejar kami. Kapal perangnya
menyusul kami. Dia pasti akan membinasakan kami, namun kuyakinkan saudaraku agar naik ke kapal
kami terlebih dahulu dan berunding di bawah bendera gencatan senjata. Dia memercayaiku." "Dan Anda
membunuh saudara Anda sendiri," kata Piper, keseluruhan cerita mengerikan itu muncul kembali di
benaknya, beserta sebuah nama--nama terkenal yang diawali huruf M. "Apa?" Jason bereaksi. Selama
sesaat dia hampir-hampir menyerupai dirinya yang biasa. "Membunuh saudaramu sendi?" "Bukan,"
bentak sang putri. "Cerita itu bohong. Suamiku dan anak buahnyalah yang membunuh saudaraku,
meskipun mereka tidak mungkin melakukannya tanpa tipu dayaku. Mereka melempar jasadnya ke laut,
dan armada pengejar harus berhenti dan mencari jenazahnya supaya dapat memakamkan saudaraku
dengan layak. Ini memberi kami waktu untuk melarikan diri. Semuanya ini kulakukan demi suamiku. Dan
dia melupakan kesepakatan kami. Dia mengkhianatiku pada akhirnya." Jason masih terlihat resah. "Apa
yang dia lakukan?" Sang putri mengangkat toga yang tercabik-cabik ke depan dada Jason, seolah sedang
mempertimbangkan untuk membunuh Jason. "Kau tak tahu ceritanya, Nak" Kau seharusnya tahu. Kau
dinamai seperti dia."
"Jason," ujar Piper. "Jason yang ash. Tapi kalau begitu Anda"Anda seharusnya sudah mati!" Sang putri
tersenyum. "Seperti yang sudah kukatakan, kehidupan baru di negeri yang baru. Jelas bahwa aku telah
membuat kekeliruan. Aku berpaling dari rakyatku sendiri. Aku dijuluki pengkhianat, pencuri, pembunuh.
Tapi aku bertindak atas dasar cinta." Dia menoleh kepada anak-anak lelaki dan memberi mereka
ekspresi memelas sambil mengedipkan bulu matanya. Piper bisa merasakan ilmu sihir menguasai
mereka, memegang kendali lebih kuat daripada sebelumnya. "Bukankah kalian akan bertindak serupa
demi seseorang yang kalian cintai, Sayang?" "Oh, tentu saja," ujar Jason. "Iya," kata Leo. "Temanteman!" Piper mengertakkan gigi karena frustrasi. "Kahan tidak lihat siapa dia sebenarnya" Kalian
tidak?" "Mari kita lanjutkan, ya?" ujar sang putri dengan santai. "Aku yakin kalian ingin membicarakan
harga roh-roh badai"dan satir kalian."
*** Perhatian Leo teralih di lantai dua yang memuat perkakas. "Tidak mungkin," katanya. "Apa itu
penempaan lapis baja?" Sebelum Piper sempat menghentikannya, Leo melompat turun dari tangga
berjalan dan lari ke oven oval besar yang terlihat seperti alat pemanggang yang terlalu besar. Ketika
mereka menyusul Leo, sang putri berkata, "Kau punya selera yang bagus. Ini model H-2000, dirancang
oleh Hephaestus sendiri. Panasnya cukup untuk melelehkan perunggu langit atau emas imperial."
Jason berjengit seolah dia mengenali istilah itu. "Emas imperial?" Sang putri mengangguk. "Ya, Sayang.
Seperti senjata yang dengan begitu lihai disembunyikan dalam sakumu. Agar dapat ditempa secara
memadai, emas imperial harus disucikan di Kuil Jupiter di Bukit Capitolinus di Roma. Logam yang kuat
dan langka, tapi seperti para kaisar Romawi, susah dikendalikan. Jangan sampai mata pedangmu
patah ..." Wanita itu tersenyum ramah. "Romawi muncul jauh sesudah zamanku, tapi aku mendengar
cerita-ceritanya. Dan di sini ini"takhta emas ini adalah salah satu barang mewahku yang terindah.
Hephaestus membuatnya untuk menghukum ibunya, Hera. Duduklah di sini dan kalian akan langsung
terjebak." Leo rupanya menganggap ini sebagai perintah. Dia mulai berjalan ke arah takhta tersebut,
seakan sedang trans. "Leo, jangan!" Piper memperingatkan. Leo berkedip. "Berapa harga dua-duanya?"
"Oh, kursinya boleh kauambil seharga lima tugas besar. Penempaannya, tujuh tahun penghambaan. Dan
untuk sedikit saja kekuatanmu?" Sang putri menuntun Leo di sepanjang seksi perkakas,
memberitahukan harga berbagai benda kepadanya. Piper tidak mau meninggalkan Leo berdua saja
dengan wanita itu, tapi dia harus mencoba berargumen dengan Jason. Piper menarik Jason menepi dan
menampar wajahnya. "Ow," gumam Jason mengantuk. "Buat apa itu?" "Sadar dong!" desis Piper. "Apa
maksudmu?" "Perempuan itu memikatmu dengan charmspeak. Tak bisakah kau merasakannya?" Jason
mengangkat alis. "Dia tampaknya baik-baik saja."
"Dia tidak baik-baik saja! Dia bahkan tak semestinya masih hidup! Dia menikah dengan Jason"Jason
yang satu lagi"tiga ribu tahun lalu. Ingat apa yang dikatakan Boreas"soal jiwa-jiwa yang tak lagi
dikurung di Hades" Bukan cuma monster yang tidak bisa mati. Wanita itu kembali dari Dunia Bawah!"
Jason menggeleng-gelengkan kepala dengan resah. "Dia bukan hantu." "Bukan, justru lebih buruk! Dia"
" "Anak-apak." Sang putri kembali sambil dibuntuti Leo. "Jika kalian berkenan, sekarang akan kita lihat
apa yang menjadi tujuan kedatangan kalian. Itulah yang kalian inginkan, bukan?" Piper harus menahan
jeritan. Dia tergoda untuk menghunus belatinya dan membereskan si penyihir sendiri, tapi Piper tidak
menyukai peluangnya"kecil kemungkinannya menang di tengah-tengah toko serbaada Yang Mulia
selagi teman-temannya sedang terkena mantra. Piper bahkan tidak yakin mereka bakal berpihak
padanya dalam sebuah pertarungan. Dia harus memikirkan rencana yang lebih bagus. Mereka
menggunakan tangga berjalan untuk turun ke dasar air mancur. Untuk pertama kalinya, Piper melihat
dua jam matahari perunggu berukuran besar"masing-masing sebesar trampolin"yang dibenamkan ke
lantai pualam di utara dan selatan air mancur. Kandang kenari raksasa bersepuh emas didirikan di timur
serta barat, dan yang terjauh terisi dengan roh-roh badai. Mereka berimpitan sedemikian rupa,
berputar-putar laksana tornado berkonsentrasi tinggi, sampai-sampai Piper tidak bisa menghitung
berapa jumlahnya"pasti setidaknya lusinan. "Hei," ujar Leo, "Pak Pelatih Hedge kelihatannya baik-baik
saja!" Mereka berlari ke kandang kenari terdekat. Sang satir tua sepertinya telah membatu tepat pada
saat dia diisap ke langit di atas
Grand Canyon. Dia mematung di tengah teriakan, pentungannya terangkat ke atas kepala seperti sedang
memerintahkan anak-anak di kelas olahraga agar tiarap dan melakukan push up lima puluh kali. Rambut
keritingnya mencuat dengan sudut aneh. Jika Piper hanya berkonsentrasi pada detail-detail tertentu"
kans berkerah warna jingga, janggut kambing tipis, peluit yang dikalungkan di lehernya"dia bisa
membayangkan Pak Pelatih Hedge yang sama menyebalkannya seperti dahulu. Tapi susah untuk
tneugabaikan tanduk pendek di kepalanya, serta fakta bahwa dia memiliki kaki kambing berbulu dan
kuku belah alih-alih celana olahraga Nike. dan sepatu badai dan satir sepaket. Jika kita mencapai
kesepakatan, aku bahkan akan "Ya," kata sang putri. "Aku selalu menjaga kon barang-barang
daganganku. Kita jelas bisa membarter roh-roh satu vial ramuan penyembuh, dan kalian boleh pergi
memberikan dalam damai." Diberinya Piper ekspresi licik. "Itu lebih balk daripada memulai keributan,
bukan begitu, Sayang?" Jangan percayai dia, sebuah suara memperingatkan dalam kepala Piper. Jika
Piper benar tentang identitas wanira ini, tak seorang pun bakal pergi dalam damai. Kesepakatan yang
adil tidaldah mungkin. Semua ini tipuan. Tapi teman-ternan Piper memandangnya, mengangguk-angguk
dengan men mengucapkan, Katakan ya! tanpa suara. Piper memedsak sambil relukan lebih banyak
waktu untuk berpikir. "Kita bisa bernegosiasi," kata Piper. "Tentu saja!" Leo sepakat. "Sebutkan harga
Anda." "Leo!" bentak Piper. Sang putri terkekeh. "Sebutkan hargaku" Barangicali bukan strategi tawarmenawar yang terbaik, Nak, tapi setidaknya kautahu harga suatu benda. Kebebasan memang sangat
berharga. Kalian memintaku membebaskan satir ini, yang telah menyerang angin badaiku?" "Yang menyerang kami,"
potong Piper. Yang Mulia mengangkat bahu. "Seperti yang kukatakan, pelindungku meminta bantuan
kecil-kecilan sesekali. Mengutus roh-roh badai untuk menculik kalian"itu salah satunya. Kuyakinkan kau
bahwa itu bukan masalah pribadi. Dan tanpa mencelakai kalian sama sekali, sebab kalian justru datang
ke sini, pada akhirnya, atas kehendak bebas kalian sendiri! Bagaimanapun, kalian ingin satir itu
dibebaskan, dan kalian menginginkan roh-roh badaiku"yang merupakan pelayan yang sangat bernilai,
omong-omong"agar kalian dapat menyerahkan mereka kepada Aeolus si tiran. Sepertinya tidak adil,
bukan" Harganya pasti mahal." Piper bisa melihat bahwa teman-temannya siap menawarkan apa saja,
menjanjikan apa saja. Sebelum mereka sempat berbicara, Piper memainkan kartu terakhirnya. "Kau
Medea," kata Piper. "Kau membantu Jason yang ash mencuri Bulu Domba Emas. Kau adalah salah satu
penjahat paling keji dalam mitologi Yunani. Jason, Leo"jangan percayai dia." Piper mencurahkan semua
kekuatan yang dapat dia kerahkan ke dalam kata-kata itu. Dia betul-betul tulus, dan sepertinya
upayanya itu berefek. Jason melangkah menjauhi sang penyihir. Leo menggaruk-garuk kepalanya dan
menoleh ke sekelilingnya seakan baru tersadar dari mimpi. "Kita tadi sedang apa, ya?" "Anak-anak!"
Sang putri merentangkan tangan, seolah menyambut mereka. Perhiasan berliannya berkilauan,
sedangkan jari-jarinya yang dicat, ditekuk seperti cakar yang bersimbah darah. "Memang, benar, aku
Medea. Tapi orang-orang telah salah paham terhadapku. Oh, Piper, Sayang, kau tak tahu bagaimana
rasanya menjadi kaum perempuan pada zaman dahulu kala. Kami tak
memiliki kekuasaan, tak punya posisi tawar-menawar. Sering kali kami bahkan tak bisa memilih suami


The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri. Tapi aku lain. Aku memilih nasibku sendiri dengan cara menjadi seorang penyihir. Apakah itu
salah" Aku membuat kesepakatan dengan Jason: pertolonganku untuk merebut bulu domba, dengan
cintanya sebagai imbalan. Kesepakatan yang adil. Dia menjadi pahlawan tenar! Tanpa aku, dia pasti mati
tanpa dikenal orang di pesisir Colchis." Jason"Jason teman Piper"mengerutkan kening. "Kalau begitu
Anda benar-benar sudah meninggal tiga ribu tahun lalu" Anda kembali dari Dunia Bawah?" "Maut tak
lagi menahanku, Pahlawan Muda," kata Medea. "Berkat pelindungku, aku kembali menjadi manusia
yang memiliki darah dan daging." "Anda mewujud kembali?" Leo berkedip. "Seperti monster?" Medea
merentangkan jari-jarinya, dan uap pun mendesis dari kuku-kukunya, bagaikan air yang dipercikkan ke
besi panas. "Kalian sama sekali tak punya gambaran mengenai apa yang terjadi, bukan begitu, Sayang"
Kondisi ini jauh lebih buruk dari sekadar bangkitnya monster dari Tartarus. Pelindungku tahu bahwa
raksasa dan monster bukanlah abdinya yang terhebat. Aku manusia fana. Aku belajar dari kesalahanku.
Dan kini setelah aku kembali hidup, aku takkan dicurangi lagi. Nah, inilah hargaku untuk apa yang kalian
minta." "Teman-Teman," kata Piper. "Jason yang asli meninggalkan Medea karena dia gila dan haus
darah." "Bohong!" kata Medea. "Dalam perjalanan menin Kalkan Colchis, kapal Jason berlabuh di
kerajaan lain. Di sana, Jason setuju untuk mengenyahkan Medea dan menikahi anak perempuan sang
raja." "Setelah aku melahirkan dua anaknya!" kata Medea. "Tetap saja dia melanggar janjinya! Kutanya kalian,
apakah itu benar?" Jason dan Leo menggelengkan kepala dengan patuh, namun Piper belum selesai. "Itu
mungkin tidak benar," kata Piper, "tapi begitu pula pembalasan dendam Medea. Dia membunuh anakanaknya sendiri untuk membalas Jason. Dia meracuni istri baru Jason dan kabur dari kerajaan tersebut."
Medea menggeram. "Karangan untuk merusak reputasiku! Orang-orafig Korinthos"gerombolan liar
itu"membunuh anak-anakku dan mengusirku ke luar. Jason tak melakukan apa-apa untuk
melindungiku. Dia merampas segalanya dariku. Jadi, ya, aku mengendap-endap kembali ke dalam istana
dan meracuni istri barunya yang cantik. Itu tindakan yang adil"harga yang setimpal." "Kau sinting," kata
Piper. "Aku ini korban!" ratap Medea. "Aku meninggal dengan impian yang hancur berantakan, tapi
tidak lagi. Aku sekarang tahu bahwa pahlawan tak bisa dipercaya. Ketika mereka datang meminta harta
karun, mereka harus membayar harga yang mahal. Terutama ketika yang memintanya bernama Jason!"
Air mancur berubah warna menjadi merah terang. Piper menghunus belati, namun tangannya gemetar
hebat sehingga sulit memegang senjata tersebut. "Jason, Leo"waktunya pergi. Sekarang." "Sebelum
kalian menutup kesepakatan?" tanya Medea. "Bagaimana dengan misi kalian, Anak-Anak" Dan hargaku
ringan sekali. Apa kalian tahu ini air mancur ajaib" Jika orang mati dilemparkan ke dalamnya, sekalipun
dia telah dicacah-cacah, dia akan keluar dalam keadaan utuh"lebih kuat dan lebih perkasa daripada
sebelumnya." "Sungguh?" tanya Leo. "Leo, dia bohong," kata Piper. "Dia pernah menipu seseorang dengan trik itu
sebelumnya"seorang raja, kurasa. Medea meyakinkan anak perempuan sang raja agar mencacah-cacah
ayahnya agar dia dapat keluar dari air dan menjadi sehat kembali, tapi tindakan itu ternyata
membunuhnya!" "Konyol," kata Medea, dan Piper bisa mendengar kekuatan yang dicurahkan ke setiap
suku kata. "Leo, Jason"hargaku ringan sekali. Bagaimana kalau kalian berdua bertarung" Jika kalian
terluka, atau bahkan terbunuh, tak masalah. Akan kulempar saja kalian ke dalam air mancur dan kalian
akan menjadi lebih kuat daripada sebelumnya. Kalian memang ingin bertarung, bukan" Kalian saling
benci!" "Teman-Teman, jangan!" kata Piper. Tapi mereka berdua sudah saling memelototi, seolah baru
saja menyadari perasaan mereka sesungguhnya. Piper tak pernah merasa lebih tak berdaya. Sekarang
dia mengerti seperti apa sihir yang sesungguhnya. Dia selalu mengira bahwa sihir berarti tongkat dan
bola api, namun ini lebih buruk. Medea bukan cuma mengandalkan racun dan ramuan. Senjatanya yang
paling ampuh adalah suaranya. Leo merengut. "Jason selalu jadi bintang. Dia selalu mendapat perhatian
dan meremehkanku." "Kau menyebalkan, Leo," kata Jason. "Kau tak pernah menyikapi apa pun secara
serius. Kau bahkan tidak bisa mem-perbaiki seekor naga." "Stop!" Piper memohon, tapi keduanya justru
menghunus senjata"Jason menghunus pedang emasnya, sedangkan Leo mengeluarkan godam dari
sabuk perkakasnya. "Biarkan saja mereka, Piper," desak Medea. "Aku membantumu. Biarkan ini terjadi
sekarang, dan itu akan membuat pilihanmu jauh
lebih mudah. Enceladus pasti senang. Ayahmu bisa kembali hari ini juga!" Charmspeak Medea tidak
berefek pada Piper, tapi sang penyihir tetap saja memiliki suara yang persuasif. Ayahnya bisa kembali
hari Walaupun dia mengerahkan tekad sebisanya, Piper menginginkan hal itu. Dia ingin sekali ayahnya
kembali sampai-sampai rasanya sakit. "Kau bekerja untuk Enceladus," kata Piper. Medea tertawa.
"Mengabdi kepada raksasa" Tidak. Tapi kami semua mengabdikan diri untuk tujuan besar yang sama"
pelindung yang takkan sanggup kautantang. Beranjaklah, anak Aphrodite. Kau tak harus mati di sini.
Selamatkan diri, dan ayahmu boleh pergi dengan bebas." Leo dan Jason masih berhadapan, siap
bertarung, tapi me-reka terlihat goyah dan bingung"menantikan perintah lain. Sebagian diri mereka
pasti melawan, Piper berharap. Ini betul-betul berlawanan dengan naluri mereka. "Dengarkan aku,
Non." Medea mencabut sebutir berlian dari gelangnya dan melemparkannya ke semburan air dari air
mancur. Selagi berlian tersebut melewati cahaya warna-warni, Medea berkata, "Wahai Iris, Dewi Pelangi,
tunjukkan kantor Tristan McLean kepadaku." Kabut berdenyar, dan Piper pun melihat ruang kerja
ayahnya. Di balik meja ayahnya, sedang bicara ke telepon, duduklah asisten ayahnya, Jane, dalam
balutan setelan bisnisnya, rambutnya dipuntir membentuk konde kencang. "Halo, Jane," ujar Medea.
Jane menutup telepon dengan tenang. "Ada yang bisa saya bantu, Nyonya" Halo, Piper." "Kau?" Piper
begitu marah sampai-sampai nyaris tak bisa bicara.
"Ya, Nak," kata Medea. "Asisten ayahmu. Cukup mudah dimanipulasi. Pikiran yang terorganisasi untuk
ukuran manusia, namun luar biasa lemah." "Terima kasih, Nyonya," kata Jane. "Sama-sama," kata
Medea. "Aku hanya ingin memberimu selamat, Jane. Mengatur agar Pak McLean meninggalkan kota
sedemikian mendadak, naik jetnya ke Oakland tanpa memberi tahu pers atau polisi"kerja bagus!
Sepertinya tak ada yang tahu ke mana beliau pergi. Dan memberi tahu beliau bahwa nyawa putrinya
sedang terancam"itu adalah sentuhan bagus demi memperoleh kerja sama beliau." "Ya," Jane
menyepakati dengan nada datar, seakan dia sedang berjalan dalam tidur. "Beliau cukup kooperatif
ketika beliau meyakini Piper sedang dalam bahaya." Piper memandangi belatinya. Senjata tajam itu
gemetar di tangannya. Dia tidak bisa menggunakan belati tersebut sebagai senjata, sama seperti Helen
dari Troya, tapi Katoptris masih merupakan sebuah cermin, dan yang Piper lihat adalah seorang gadis
ketakutan yang tidak punya peluang untuk menang. "Aku mungkin punya perintah baru untukmu, Jane,"
kata Medea. "Jika gadis ini bekerja sama, mungkin sudah waktunya Pak McLean pulang ke rumah.
Bersediakah kau menyiapkan dalih yang memadai untuk absennya beliau, sekadar berjaga-jaga" Dan
kubayangkan pria malang itu harus dimasukkan ke rumah sakit jiwa selama beberapa waktu." "Ya,
Nyonya. Saya akan siap sedia." Citra tersebut mengabur, dan Medea menoleh kepada Piper. "Nah,
kaulihat?" "Kau memancing ayahku ke dalam jebakan," kata Piper. "Kau membantu si raksasa?"
"Oh, sudahlah, Sayang. Jangan mengamuk! Aku sudah bersiap-siap untuk perang ini selama bertahuntahun, bahkan sebelum aku dihidupkan kembali. Aku seorang cenayang, seperti yang sudah kukatakan.
Aku bisa menerawang masa depan, sama seperti Oracle kecilmu. Bertahun-tahun lalu, masih menderita
di Padang Hukuman, aku mendapatkan visi mengenai tujuh orang dalam 'Ramalan Besar' kalian. Aku
melihat temanmu, Leo, dan melihat bahwa dia akan menjadi musuh penting kelak. Kubangkitican
kesadaran pelindungku, kuberi dia informasi ini, dan dia berhasil terbangun sedikit"setidaknya cukup
untuk mengunjungi Leo." "Ibu Leo," kata Piper. "Leo, dengarkan ini! Dia membantu menewaskan
ibumu!" "He-eh," gumam Leo linglung. Dia memandangi godamnya sambil mengerutkan kening. aku
harus menyerang Jason" Tidak apa-apa?" "Tak apa-apa," janji Medea. "Dan Jason, serang dia dengan
dahsyat. Tunjukkan kepadaku kau layak menyandang nama Jason." "Jangan!" perintah Piper. Dia tahu ini
mungkin merupakan peluang terakhirnya. "Jason, Leo"dia mengelabui kalian. Turunkan senjata kalian."
Sang penyihir memutar-mutar bola matanya. "Sudahlah, Non. Kau bukan tandinganku. Aku dilatih oleh
bibiku, Circe yang kekal. Aku bisa membuat kaum lelaki jadi gila atau menyembuhkan mereka dengan
suaraku. Mana mungkin para pahlawan muda yang lembek ini menang melawanku" Nah, Anak-Anak,
bunuhlah satu sama lain!" "Jason, Leo, dengarkan aku." Piper mencurahkan semua emosinya ke dalam
suaranya. Selama bertahun-tahun dia berusaha mengendalikan diri dan tak menunjukkan kelemahan,
tapi sekarang dia menumpahkan segalanya ke dalam kata-katanya"rasa
takutnya, keputusasaannya, amarahnya. Piper tahu ini mungkin sama artinya dengan menandatangani
surat kematian ayahnya, tapi dia terlalu menyayangi teman-temannya sehingga tidak rela membiarkan
mereka saling melukai. "Medea memantrai kalian. I tu bagian dari sihirnya. Kahan bersahabat. Jangan
berkelahi. Lawanlah dia!" Mereka ragu-ragu, dan Piper bisa merasakan mantra itu terpatahkan. Jason
berkedip. "Leo, apa aku hendak menikammu?" "Sesuatu tentang ibuku ?" Leo mengerutkan kening, lalu
berpaling kepada Medea. "Kau ... kau bekerja untuk sang Wanita Tanah. Kau mengirimnya ke bengkel
mesin." Leo mengangkat lengannya. "Nyonya, biar kuhajar kau dengan godam seberat tiga pon ini."
"Bah!" cemooh Medea. "Aku akan menagih bayaranku dengan cara lain." Wanita itu menekan salah satu
ubin mozaik di lantai, dan bangunan itu pun bergemuruh. Jason menebaskan pedangnya ke arah Medea,
namun dia terbuyarkan menjadi asap dan muncul kembali di kaki tangga berjalan. "Kau lamban, Nak!"
Wanita itu tertawa. "Lampiaskan rasa frustrasimu pada piaraanku!" Sebelum Jason sempat mengejar
Medea, terbukalah jam matahari perunggu raksasa di kanan-kiri air mancur. Dua makhluk emas yang
menggeram-geram"naga hidup bersayap"merayap keluar dari lubang di bawah. Masing-masing
seukuran rumah mobil, mungkin tidak sebesar Festus, tapi lumayan besar. "Rupanya itu yang ada di
dalam situ," kata Leo lemah. Kedua naga merentangkan sayap dan mendesis. Piper bisa merasakan
panas yang memancar dari kulit mereka yang mengilap. Seekor mengarahkan mata jingganya yang
marah kepada Piper. "Jangan lihat mata mereka!" Jason memperingatakan. "Mereka akan melumpuhkan kalian." "Betul!"
Medea dengan santai menaiki tangga berjalan ke atas, bertopang pada sandaran tangan sambil
menonton hiburan tersebut. "Kedua piaraanku tersayang sudah lama bersamaku"naga matahari, kalian
tahu, hadiah dari kakekku Helios. Mereka menghela keretaku ketika aku meninggalkan Korinthos, dan
sekarang mereka akan menghabisi kalian. Sampai jumpa!" Kedua naga menyerbu. Leo dan Jason
menerjang untuk mengadang. Piper terkagum-kagum melihat kedua pemuda itu menyerang tanpa kenal
takut"bekerja layaknya sebuah tim yang telah berlatih bersama selama bertahun-tahun. Medea hampir
sampai di lantai dua, tempatnya bisa memilih beraneka benda yang mematikan. "Oh, enak saja, tidak
boleh," Piper menggeram, dan melesat untuk mengejar wanita itu. Ketika Medea melihat Piper, dia
mulai mendaki tangga dengan sungguh-sungguh. Ternyata dia gesit juga untuk ukuran perempuan
berusia tiga ribu tahun. Piper naik dengan kecepatan maksimal, mendaki tangga tiga-tiga, tapi tetap saja
dia tak bisa menyusul wanita itu. Medea tidak berhenti di lantai dua. Dia melompat ke tangga berjalan
berikutnya dan terus naik. Ramuan, pikir Piper. Tentu saja itu yang dia incar. Dia terkenal berkat
ramuan-ramuannya. Di bawah, Piper mendengar pertempuran yang menggila. Leo meniup peluit
bahayanya, dan Jason berteriak-teriak untuk mengalihkan perhatian kedua naga. Piper tidak berani
menengok"tidak selagi dia berlari dengan belati di tangan. Dia bisa membayangkan dirinya tersandung
dan menusuk hidungnya sendiri. Bakalan super heroik tuh.
Piper menyambar perisai dari maneken berbaju zirah di lantai tiga dan terus saja naik. Dia
membayangkan Pak Pelatih Hedge berteriak-teriak dalam benaknya, sama seperti waktu kelas olahraga
di Sekolah Alam Liar: Ayo cepat, McLean! Apa itu yang kausebut mendaki tangga berjalan" Piper tiba di
lantai teratas, tersengal-sengal, tapi dia terlambat. Medea sudah sampai di konter ramuan. Sang
penyihir menyambar vial berbentuk angsa"berisi cairan biru yang bisa menyebabkan kematian dengan
begitu menyakitkan"dan Piper melakukan satu-satunya hal yang terbetik di benaknya. Dia melempar
perisainya. Medea berbalik dengan ekspresi penuh kemenangan, tepat pada waktunya, frisbee logam
seberat lima puluh pon menghantam bagian dadanya. Dia terhuyung-huyung ke belakang, menabrak
konter, memecahkan vial-vial, dan merobohkan rak-rak. Ketika sang penyihir berdiri dari tengah-tengah
pecahan kaca, gaunnya dinodai lusinan warna yang berlainan. Banyak di antara noda tersebut yang
berasap dan menyala. "Bodoh!" lolong Medea. "Tahukah kau sekian banyak ramuan yang dicampur akan
berefek seperti apa?" "Membunuhmu?" ujar Piper penuh harap. Karpet mulai berasap di sekitar kaki
Medea. Wanita itu terbatuk-batuk, sedangkan wajahnya berkerut kesakitan"ataukah dia pura-pura" Di
bawah, Leo berseru, "Jason, tolong!" Piper memberanikan din menengok sebentar, dan hampir
menangis karena putus asa. Salah satu naga telah menyudutkan Leo ke lantai. Ia memamerkan taringtaringnya, siap menerkam. Jason berada di seberang ruangan, sedang bertarung melawan naga yang
satu lagi, terlalu jauh sehingga mustahil menolong.
"Kau membinasakan kita semua!" jerit Medea. Asap bergulung-gulung di karpet sementara noda
menyebar, melemparkan bunga api dan membakar rak pakaian. "Kau hanya punya beberapa detik
sebelum campuran ini melalap segalanya dan menghancurkan bangunan. Tak ada waktu?" PRANG!
Langit-langit yang berupa mozaik kaca berwarna hancur berantakan, menghasilkan hujan pecahan kaca
warna-warni, dan Festus sang naga perunggu menjatuhkan diri ke dalam toko serbaada. Dia meluncur
ke tengah-tengah kericuhan, menyambar seekor naga matahari di masing-masing cakarnya. Baru
sekarang Piper menyadari, dengan penuh kekaguman, betapa besar dan kuatnya kawan logam mereka.
"Bagus, Nak!" teriak Leo. Festus terbang ke atas atrium, lalu melemparkan kedua naga matahari ke
lubang asal mereka. Leo berpacu ke air mancur dan menginjak ubin marmer, menutup jam matahari.
Jam matahari tersebut bergetar saat para naga menggedor-gedornya, berusaha keluar, namun untuk
sementara mereka terkurung. Medea mengumpat dalam bahasa kuno. Seisi lantai empat kini terbakar.
Udara dipenuhi gas berbau memuakkan. Sekalipun atap terbuka, Piper bisa merasakan bahwa suhu
udara kian panas. Dia mundur ke tepi pagar, tetap menodongkan belatinya ke arah Medea. "Aku takkan
ditinggalkan lagi!" Sang penyihir berlutut dan menyambar ramuan penyembuh warna merah, yang
botolnya entah bagaimana tidak pecah. "Kau ingin ingatan pacarmu dipulihkan" Bawa aku bersamamu!"
Piper melirik ke belakangnya. Leo dan Jason sudah naik ke punggung Festus. Sang naga perunggu
mengepakkan sayapnya yang besar, memegangi dua kurungan berisi satir dan roh-roh badai dengan cakarnya, lalu mulai naik.
Bangunan itu bergemuruh. Api dan asap mengepul, merayapi dinding, melelehkan pagar, mengubah
udara jadi asam beracun. "Kahan takkan mungkin selamat dari misi kalian tanpa aku!" geram Medea.
"Pahlawanmu akan tetap lupa selama-lamanya, dan ayahmu akan mati. Bawa aku bersamamu!" Sekejap
saja, Piper merasa tergoda. Lalu dia melihat senyum muram Medea. Sang penyihir yakin akan kekuatan
persuasinya, yakin bahwa dia selalu bisa membuat kesepakatan, selalu kabur dan menang pada akhirnya.
"Tidak hari ini, Penyihir." Piper melompat ke samping. Dia terjun sedetik saja sebelum Leo dan Jason
menangkapnya, menaikkannya ke punggung naga. Piper mendengar Medea menjerit murka saat mereka
mem-bubung lewat atap yang pecah dan menyusuri langit di tengah kota Chicago. Lalu toko serbaada
itu meledak di belakang mereka.
BAB DUA PULUH SEMBILAN LEO LEO TERUS MENENGOK KE BELAKANG. Dia menduga bakal melihat kedua naga matahari yang bengis itu
menarik kereta perang terbang berpenumpang seorang pramuniaga sihir yang menjerit-jerit sambil
melemparkan ramuan, tapi tak ada yang mengikuti mereka. Leo menyetir sang naga ke barat daya.
Akhirnya, asap dari toko serbaada yang terbakar mengabur di kejauhan, tapi Leo tidak merasa rileks
sampai pinggiran Chicago digantikan oleh ladang bersalju, dan matahari mulai terbenam. "Kerja bagus,
Festus." Leo menepuk kulit logam sang naga. "Kau luar biasa." Sang naga menggeletar. Roda gigi
berbunyi di lehernya. Leo mengerutkan kening. Dia tidak suka suara itu. Jika piringan pengendali rusak
lagi"Tidak, moga-moga cuma kerusakan kecil. Sesuatu yang bisa dia perbaiki. "Akan kuganti olimu kali
berikutnya kita mendarat," Leo berjanji. "Kau layak diberi oli motor dan saus Tabasco."
Festus memutar gigi-giginya, tapi itu sekalipun terdengar Irmah. la terbang dengan kecepatan tetap,
sayap besarnya memiringkan untuk menangkap angin, tapi is membawa beban yang berat. dua kandang
di cakarnya plus tiga orang di punggungnya", semakin Leo memikirkannya, semakin dia merasa
khawatir. Naga logam sekalipun punya batas. "Leo." Piper menepuk bahunya. "Kau baik-baik saja?" " Iya
tidak jelek buat zombi yang baru dicuci otak." Leo hrrharap dia tidak tampak semalu yang dirasakannya.
"Terima kasih sudah menyelamatkan kami di sana tadi, Ratu Kecantikan. Kalau kau tak bicara untuk
menyadarkanku dari mantra itu?" "Sama-sama," ujar Piper. Tapi Leo amat khawatir. Dia merasa tidak
enak karena gampang sekali bagi Medea untuk mengadu domba Leo dengan habatnya. Dan perasaan itu
bukannya muncul sekonyong"rasa sebalnya karena Jason selalu mendapat sorotan dan sepertinya
tidak benar-benar membutuhkan Leo. Leo memang merasa seperti itu kadang-kadang, sekali pun dia
tidak bangga .akan perasaannya itu. Yang lebih mengusik Leo adalah kabar mengenai ibunya. Medea
telah melihat masa depan saat di Dunia Bawah. Itulah sebabnya pelindung Medea, wanita berjubah
tanah itu, datang ke bengkel mesin tujuh tahun lalu untuk menakut-nakuti Leo dan menghancurkan
hidupnya. Itulah sebabnya ibu Leo meninggal"karena sesuatu yang mungkin dilakukan Leo kelak. Jadi,
dengan cara yang ganjil, sekalipun kekuatan apinya tak bisa disalahkan, tetap saja kematian Ibu adalah
salahnya. Ketika mereka meninggalkan Medea di toko yang meledak itu, Leo merasa sedikit lebih senang.
Dia berharap Medea tak bakal selamat, dan bakal langsung kembali ke Padang Hukuman,
tempat yang memang layak baginya. Tapi perasaan itu juga tidak membuat Leo bangga. Dan jika jiwajiwa kembali dari Dunia Bawah mungkinkah ibu Leo dapat dihidupkan kembali" Leo mencoba
menyingkirkan gagasan tersebut. Itu cara berpikir Frankenstein. Itu tidak wajar. Itu tidak benar. Medea
mungkin telah dihidupkan kembali, tapi dia sepertinya tidak manusiawi, dengan kuku yang berdesis
serta kepala menyala-nyala dan sebagainya. Tidak, ibu Leo sudah berpulang. Berpikir sebaliknya hanya
akan membuatnya gila. Walau begitu, pemikiran itu terus saja merongrong Leo, seperti gema suara
Medea. "Kita harus turun sebentar lagi," Leo memperingatkan teman-temannya. "Sekitar dua jam lagi
, mungkin, untuk memastikan Medea tidak membuntuti kita. Menurutku Festus tak bisa terbang lebih
lama dari itu." "Iya," Piper setuju. "Pak Pelatih Hedge barangkali ingin keluar dari kandang kenarinya
juga. Pertanyaannya"kita mau ke mana?" "Area Teluk," tebak Leo. Ingatannya tentang kejadian di toko
serbaada memang kabur, tapi dia sepertinya pernah mendengar tentang itu. "Bukankah Medea
menyebut-nyebut sesuatu tentang Oakland?" Lama sekali Piper tidak merespons sampai-sampai Leo
bertanya-tanya apakah dia telah mengucapkan sesuatu yang keliru. "Ayah Piper," timpal Jason. "Sesuatu
terjadi pada ayahmu, kan" Dia dipancing ke dalam sebuah perangkap." Piper mengembuskan napas
yang gemetar. "Dengar, Medea bilang kalian berdua bakal mati di Area Teluk. Lagi pula meskipun kita
pergi ke sana, Area Teluk kan besar! Pertama-tama kita harus mencari Aeolus dan mengantarkan rohroh badai.
boreas mengatakan Aeolus-lah satu-satunya yang bisa memberi tahu kita harus pergi ke mana." Leo
menggeram tanda setuju. "Jadi, bagaimana cara kita ' mencari Aeolus?" Jason mencondongkan badan ke
depan. "Maksud kalian, kalian tidak melihatnya?" Dia menunjuk ke depan mereka, tapi Leo tidak melihat
apa-apa kecuali awan dan cahaya segelintir lampu kota yang berkelap-kelip di tengah senja. "Apa?"
tanya Leo. "Itu apa pun itu," kata Jason. "Ada di udara." Leo melirik ke belakang. Piper kelihatan sama
bingungnya seperti dia. "Baiklah," kata Leo. "Bisakah kau lebih spesifik soal `apa pun itti'?" "Seperti jejak
gas buangan knalpot," kata Jason. "Hanya saja yang ini berpendar. Benar-benar samar, tapi jelas ada di
sana. Kita sudah mengikuti jejak tersebut dari Chicago, jadi kukira kalian melihatnya." Leo
menggelengkan kepala. "Mungkin Festus bisa merasa-kannya. Menurutmu Aeolus yang membuatnya?"
"Yah, itu kan jejak magis di tengah-tengah angin," kata Jason, "sedangkan Aeolus adalah Dewa Angin.
Menurutku dia tahu kita punya tawanan untuknya. Dia memberi tahu kita harus terbang ke arah mana."
"Atau itu lagi-lagi jebakan," kata Piper. Nada suaranya membuat Leo cemas. Piper tidak cuma terdengar
gugup. Cewek itu kedengarannya putus asa, seakan nasib mereka sudah bisa dipastikan, dan seakan itu
adalah kesalahan Piper. "Pipes, kau tak apa-apa?" tanya Leo. "Jangan panggil aku begitu.
"Oke, baiklah. Kau tidak suka satu nama pun yang kukarang untukmu. Tapi kalau ayahmu sedang dalam
kesulitan dan kami bisa membantu?" "Kahan tidak bisa," kara Piper, suaranya semakin gemetar.
"Dengar, aku capek. Kalau kau tidak keberatan Piper bersandar ke Jason dan memejamkan mata. Baiklah,
pikir Leo"isyarat yang cukup jelas bahwa Piper tidak mau bicara. Mereka terbang dalam keheningan
selama beberapa waktu. Festus tanipaknya tahu dia akan menuju mana. Dia melaju penuh kepastian,
dengan lembut berbelok ke barat daya dan mudah-mudahan ke benteng Aeolus. Satu lagi dewa angin
yang harus dikunjungi, satu lagi kegilaan rasa baru yang dapat dicicipi"Ya ampun, Leo sudah tidak sabar.
Leo memikirkan banyak hal sehingga tidak bisa tidur, tapi kini setelah dia keluar dari bahaya, badannya
punya ide lain. Tingkat energinya merosot tajam. Kepak sayap naga yang monoton membuat mata Leo
terasa berat. Kepalanya mulai terangguk-angguk. "Tidur saja sebentar," kata Jason. "Tidak apa-apa. Ke
sinikan kekangnya." "Tidak kok, aku tak apa?" "Leo," kata Jason, "kau kan bukan mesin. Lagi pula,
akulah satu-satunya yang bisa melihat jejak gas itu. Akan kupastikan kita tak melenceng.), Mata Leo
mulai terpejam. "Baiklah. Mungkin sebentar ..." Dia tidak menyelesaikan kalimat itu sebelum terkulai ke
depan, menempel ke leher hangat sang naga.
*** Dalam mimpinya, Leo mendengar bunyi listrik statis, seperti radio AM yang jelek: "Halo" Apa benda ini
berfungsi?" Penglihatan Leo pun terfokus"kurang-lebih. Semuanya kabur dan kelabu, gelombang
interferensi melintang di depan penglihatannya. Dia tak pernah bermimpi dengan sambungan yang jelek


The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebelumnya. Dia sepertinya tengah berada di sebuah bengkel. Dari ekor matanya Leo melihat meja
penggergaji, bubut logam, dan sangkar perkakas. Sebuah penempaan yang merapat ke tembok
berpendar crang. Itu bukan penempaan di perkemahan"terlalu besar. Bukan Bunker 9"lebih hangat
dan lebih nyaman, kentara sekali penempaan ini tidak terbengkalai. Kemudian Leo menyadari bahwa
sesuatu mengadang di tengah-tengah sudut pandangnya"sesuatu yang besar serta berbulu, dan begitu
dekat sampai-sampai Leo harus menjerengkan mata untuk melihat dengan jelas. Sesuatu itu ternyata
adalah wajah besar yang buruk rupa. "Demi Dewi!" pekik Leo. Wajah itu mundur dan menjadi terfokus.
Leo ditatap oleh pria berjanggut dalam balutan overall biru kumal. Wajahnya benjol-benjol dan penuh
bilur, seakan dia telah digigit jutaan lebah, atau diseret di jalan berkerikil. Barangkali dua-duanya. "Huh,"
kata pria tersebut. "Demi Dewa, Bocah. Kukira kau tahu bedanya." Leo berkedip. "Hephaestus?" Berada
di hadapan ayahnya untuk kali pertama, mungkin Leo seharusnya tak bisa berkata-kata atau terpana
atau semacamnya. Tapi sesudah kejadian yang dialaminya selama beberapa hari terakhir, yang
diramaikan Cyclops dan pcnyihir serta wajah di limbah toilet, yang Leo rasakan hanyalah perasaan sebal.
"Sekarang baru Anda muncul?" tuntutnya. "Setelah lima belas tahun" Didikan Anda sebagai orangtua
sungguh hebat, Muka Bulu. Buat apa menampakkan batang hidung Anda ke dalam mimpiku?" Sang
dewa mengangkat alis. Muncul bunga api kecil di janggutnya. Lalu dia menelengkan kepala ke belakang
dan tertawa begitu lantang sampai-sampai perkakas di meja kerjanya berkelontangan. "Kau
kedengarannya persis seperti ibumu," kata Hephaestus. "Aku merindukan Esperanza." "Ibuku sudah
meninggal tujuh tahun lalu." Suara Leo gemetar. "Bukan berarti Anda peduli." "Tapi aku memang peduli,
Bocah. Pada kalian berdua." "Begitu, ya" Itulah sebabnya aku tak pernah melihat Anda sebelum hari ini."
Sang dewa mengeluarkan suara menggemuruh dari tenggorok-annya, tapi dia terlihat tidak enak hati
alih-alih marah. Hephaestus mengeluarkan motor mini dari sakunya dan mulai memain-mainkan
pistonnya tanpa radar"lama seperti tingkah Leo ketika dia sedang gugup. "Aku tak pandai menghadapi
anak-anak," sang Dewa mengakui. "Atau orang-orang. Yah, bentuk kehidupan organik apa saja,
sebenarnya. Aku mempertimbangkan untuk bicara kepadamu di pemakaman ibumu. Lalu lagi ketika kau
kelas lima ... proyek sains yang kaubuat, pencabut bulu ayam bertenaga uap. Sangat mengesankan."
"Anda melihat itu?" Hephaestus menunjuk meja kerja terdekat. Di sana, terdapat cermin perunggu
mengilap yang menunjukkan gambar kabur Leo, sedang tidur di punggung naga. "Apa itu aku?" tanya
Leo. "Maksudku"aku yang sekarang ini, sedang bermimpi"melihat diriku sendiri yang sedang
bermimpi?" Hephaestus menggaruk-garuk janggutnya. "Sekarang kau yang membuatku bingung. Tapi ya"itu
memang kau. Aku selalu mengawasimu, Leo. Tapi bicara kepadamu itu lain soal." "Anda takut," ujar Leo.
"Demi roda gigi dan baut!" teriak sang Dewa. "Tentu saja tidak!" "Iya, Anda takut." Tapi amarah Leo
sudah mereda. Dia menghabiskan bertahun-tahun untuk memikirkan apa yang akan dikatakannya
kepada ayahnya andaikata mereka bertemu"betapa Leo bakal mencecarnya karena sudah
menelantarkan dirinya dan ibunya. Kini, melihat cermin perunggu itu, Leo memikirkan ayahnya yang
menyaksikan perkembangannya selama bertahun-tahun, bahkan eksperimen sainsnya yang konyol.
Mungkin Hephaestus masih tetap ayah yang talc bertanggung jawab, tapi Leo memahaminya. Leo tahu
rasanya kabur dari orang-orang, tidak cocok dengan orang-orang. Dia tahu rasanya bersembunyi di
bengkel alih-alih mencoba menghadapi bentuk kehidupan organik. "Jadi," gerutu Leo, "apa Anda
memantau pertumbuhan semua anak Anda" Anda punya kira-kira dua belas anak di perkemahan.
Bagaimana pula Anda bisa"Lupakan saja. Aku talc mau tahu." Hephaestus mungkin saja tersipu, tapi
wajahnya memang sudah babak belur dan merah sehingga sulit mengetahuinya. "Dewa-dewi berbeda
dengan manusia fana, Bocah. Kami bisa eksis di banyak tempat sekaligus"di mana pun orang-orang
memanggil kami, di tempat mana pun, di mana pengaruh kami tertanam kuat. Malahan, keseluruhan
esensi kami jarang berkumpul di satu tempat"wujud sejati kami. Wujud sejati kami berbahaya, cukup
kuat untuk menghancurkan manusia fana mana saja yang memandang kami. Jadi, ya banyak anak.
Belum lagi aspek kami yang berlainan, Yunani dan Romawi?" Jemari sang Dewa
membeku di mesin yang sedang digarapnya. "Mmm, singkatnya, menjadi dewa itu rumit. Dan ya, aku
berusaha mengawasi semua anakku, tapi terutama kau." Leo lumayan yakin bahwa Hephaestus hampir
keseleo lidah dan mengucapkan sesuatu yang penting, namun dia tidak yakin apakah itu. "Kenapa
menghubungiku sekarang?" tanya Leo. "Kukira dewa-dewa telah membisu." "Memang," gerutu
Hephaestus. "Perintah Zeus"sangat aneh, bahkan untuk ukuran Zeus. Dia memblokir semua visi, mimpi,
dan pesan Iris yang ditujukan dan dikirim dari Olympus. Hermes duduk-duduk saja, kebosanan setengah
mati karena dia tak boleh mengantarkan surat. Untungnya, aku menyimpan alat siaran bajakanku yang
lama." Hephaestus menepuk-nepuk sebuah mesin di meja. Mesin itu kelihatannya seperti perpaduan
antena parabola, mesin V-6, dan pembuat espreso. Tiap kali Hephaestus menyenggol mesin tersebut,
mimpi Leo berkedip dan berubah warna. "Aku menggunakan ini waktu Perang Dingin," kata sang Dewa
penuh kasih. "Radio Bebas Hephaestus. Zaman keemasan. Aku menyimpannya untuk nonton siaran payfor-view, terutama, atau membuat video virus otak?" "Video virus otak?" "Tapi sekarang alat ini jadi
bermanfaat lagi. Jika Zeus tahu aku menghubungimu, dia bakal menghajarku." "Kenapa Zeus bersikap
begitu menyebalkan?" "Hah. Dia ahli dalam hal itu, Bocah." Hephaestus memanggilnya bocah seolah Leo
adalah komponen mesin yang mengganggu"sekeping ring ekstra, barangkali, yang kegunaannya tidak
jelas, tapi yang tidak ingin dibuang Hephaestus karena khawatir kalau-kalau dia bakal membutuhkannya
lagi suatu hari. Sama sekali tidak menghibur hati. Tapi tentu saja, Leo tidak yakin dia ingin dipanggil "Nak." Leo juga tak
bakalan mulai memanggil laki-laki besar jelek ini "Ayah." Hephaestus bosan dengan mesinnya dan
membuang mesin tersebut ke balik pundaknya. Sebelum mesin tersebut sempat menabrak lantai, mesin
itu mencuatkan baling-baling helikopter dan terbang sendiri ke dalam keranjang daur ulang.
"Penyebabnya Perang Titan kedua, kurasa," kata Hephaestus. "Itulah sebabnya Zeus jadi resah. Kami
para dewa jadi malu. Menurutku tak ada cara lain untuk mengatakannya." "Tapi kalian menang," kata
Leo. Sang dewa menggeram. "Kami menang karena para demigod dari?"lagi-lagi dia bimbang, seakan
dia hampir keseleo lidah?"dari Perkemahan Blasteran angkat senjata. Kami menang karena anak-anak
kami bertarung dalam pertempuran kami untuk kami, lebih pandai daripada kami. Jika kami
mengandalkan rencana Zeus, kami semua akan terjerumus ke dalam Tartarus selagi melawan Typhon si
raksasa badai, dan Kronos pasti akan menang. Sudah cukup buruk bahwa para manusia fana memenangi
perang kami untuk kami, tapi kemudian si anak muda kurang ajar itu, Percy Jackson?" "Cowok yang
hilang." "Hmpfh. Ya. Dia. Dia berani-berani menolak tawaran hidup kekal dari kami dan menyuruh kami
agar lebih memperhatikan anak-anak kami. Eh, jangan diambil hati." "Oh, mana mungkin kuambil hati"
Silakan, terus saja abaikan aku." "Kau sungguh penuh pengertian ..." Hephaestus mengerutkan kening,
lalu mendesah letih. "Itu sarkasme, ya" Mesin tidak memiliki sarkasme, biasanya. Tapi seperti yang tadi
kukatakan, para dewa merasa malu, diajari oleh manusia fana. Pada mulanya,
tentu saja kami berterima kasih. Tapi setelah beberapa bulan, perasaan itu berubah menjadi kegetiran.
Biar bagaimanapun, kami ini dewa. Kami harus dikagumi, diteladani, dipuja-puji dengan rasa takjub dan
terpesona." "Meskipun kalian salah?" "Terutama saat kami salah! Dan saat Percy Jackson menolak
hadiah kami, menyiratkan bahwa menjadi manusia fana entah bagaimana lebih baik daripada menjadi
dewa yah, Zeus benar-benar gusar. Dia memutuskan sudah waktunya kembali ke nilai-nilai tradisional.
Dewa-dewi harus dihormati. Anak-anak kami hanya boleh dilihat dan tidak boleh dikunjungi. Olympus
ditutup. Setidaknya itulah sebagian argumennya. Dan, tentu saja, kami mulai mendengar tentang hal-hal
buruk yang bergolak di bawah bumi." "Para raksasa, maksud Anda. Monster yang seketika mewujud
kembali. Yang mati bangkit kembali. Hal-hal sepele seperti itu?" "Betul, Bocah." Hephaestus memutar
kenop di mesin siaran bajakannya. Mimpi Leo jadi tajam, berwarna-warni, namun wajah sang Dewa
terlalu semarak dengan bilur merah dan memar kuning-hitam sehingga Leo berharap semoga saja
mimpinya kembali jadi hitam-putih. "Zeus mengira dia dapat membalikkan keadaan," kata sang dewa,
"melenakan bumi agar kembali tidur, asalkan kami diam saja. Tak satu pun dari kami benar-benar
memercayai hal itu. Dan sejujurnya, kondisi kami sedang tidak prima untuk kembali berperang. Kami
nyaris tidak berhasil mengalahkan para Titan. Jika kami mengulangi pola lama, yang terjadi berikutnya
pastilah jauh lebih buruk." "Para raksasa," kata Leo. "Hera bilang demigod dan dewa harus
menggabungkan kekuatan untuk mengalahkan mereka. Benarkah itu?"
"He-eh. Aku benci sepakat dengan ibuku dalam perkara apa saja, tapi ya. Para raksasa itu sulit dibunuh,
Bocah. Mereka ras yang lain daripada yang lain." "Ras" Anda membuat mereka terdengar seperti kuda
pacu." "Ha!" kata sang Dewa. "Anjing perang lebih tepat. Begini, pada mulanya, semua diciptakan dari
orangtua yang sama"Gaea dan Ouranos, Bumi dan Langit. Mereka memiliki anak-anak yang jenisnya
berlainan"Titan, Cyclops Tetua, dan sebagainya. Lalu Kronos, pimpinan Titan"yah, kau barangkali
sudah dengar bagaimana kisahnya, Zeus mencincang ayahnya, Ouranos, dengan sabit dan mengambil
alih dunia. Kemudian muncullah kami, para dewa, dan kami pun mengalahkan mereka, para Titan, Tapi
ceritanya belum berakhir. Bumi melahirkan anak-anak yang lain, hanya saja mereka dibuahi oleh
Tartarus, roh penghuni jurang abadi tiada berujung"tempat tergelap dan terkeji di Dunia Bawah. Anakanak itu, para raksasa, dilahirkan dengan satu tujuan"membalaskan dendam kepada kami atas
jatuhnya para Titan. Mereka bangkit untuk menghancurkan Olympus, dan mereka nyaris berhasil."
Janggut Hephaestus mulai membara. Dia tanpa sadar menepuk-nepuk api tersebut hingga padam. "Yang
dilakukan Hera, ibuku yang terkutuk, saat ini"dia tolol karena memainkan permainan yang berbahaya,
tapi dia benar tentang satu hal: kalian, para demigod, harus bersatu. Itulah satu-satunya cara untuk
membuka mata Zeus, meyakinkan dewa-dewi Olympia bahwa mereka harus menerima pertolongan
kalian. Dan itulah satu-satunya cara untuk mengalahkan dia yang akan datang. Kau berperan besar
dalam hal itu, Leo. " Tatapan sang dewa menerawang. Leo bertanya-tanya apakah sang Dewa benarbenar dapat membelah diri menjadi bagian-bagian yang berlainan"di mana lagi dia berada sekarang"
Mungkin kepribadian Yunaninya sedang memperbaiki mobil atau berkencan, sedangkan kepribadian
Romawinya sedang nonton bola atau memesan piza. Leo mencoba membayangkan bagaimana rasanya
berkepribadian banyak. Dia harap itu bukan penyakit keturunan. "Kenapa aku?" Leo bertanya, dan
begitu dia mengucapkannya, semakin banyak pertanyaan yang membanjir ke luar. "Kenapa mengakuiku
sekarang" Kenapa bukan waktu aku berusia tiga belas tahun, seperti seharusnya" Atau Anda bisa
mengakuiku waktu umurku tujuh tahun, sebelum ibuku meninggal! Kenapa Anda tidak mencariku lebih
awal" Kenapa Anda tidak memperingatkanku soal ini?" Api mendadak menyala-nyala dari tangan Leo.
Hephaestus memandanginya dengan sedih. "Bagian yang paling sulit, Bocah, Adalah membiarkan anakanakku menapaki jalan mereka sendiri. Ikut campur tak ada gunanya. Moirae memastikan itu. Mengenai
pengakuan, kau adalah kasus istimewa, Bocah. Waktunya harus tepat. Aku tak bisa menjelaskannya
lebih lanjut lagi, tapi?" Mimpi Leo mengabur. Sekejap saja, mimpinya berubah menjadi tayangan ulang
kuis Wheel of Fortune. Lalu Hephaestus pun muncul kembali. "Sial," katanya. "Aku tak bisa bicara lebih
lama lagi. Zeus merasa ada mimpi ilegal yang bocor. Bagaimanapun, dia adalah penguasa udara,
termasuk gelombang udara. Camkan saja, Bocah: kau memiliki peran untuk dimainkan. Temanmu Jason
benar"api adalah karunia, bukan kutukan. Aku tidak memberikan restu itu kepada sembarang orang.
Mereka takkan mungkin mengalahkan para raksasa tanpamu, apalagi majikan yang mereka layani.
Wanita itu jauh lebih buruk daripada dewa atau Titan mana pun." "Siapa?" tuntut Leo.
Hephaestus mengerutkan kening, citranya semakin kabur. "Aku sudah memberitahumu. Ya, aku cukup
yakin sudah memberitahumu. Camkan saja ini: di sepanjang perjalanan, kau akan kehilangan teman dan
barang berharga. Tapi itu bukan salahmu, Leo. Tak ada yang bertahan selamanya, mesin yang terbaik
sekalipun. Dan semuanya dapat dipergunakan kembali." "Apa maksud Anda" Aku tidak suka
mendengarnya." "Tidak, tentu saja kau tak suka." Citra Hephaestus nyaris tak terlihat sekarang, hanya
gumpalan besar di tengah-tengah semut-semut listrik static. "Waspadalah terhadap?" Mimpi Leo
pindah ke kuis Wheel of Fortune tepat saat roda mengenai kolom Bangkrut dan hadirin berkata,
"Yaaaaah!" Kemudian Leo terjaga, dibangunkan oleh jeritan Jason dan Piper. []
BAB TIGA PULUH LEO MEREKA BERPUTAR-PUTAR, MENEMBUS KEGELAPAN SAMBIL terjun bebas, masih di atas punggung sang
naga, namun kulit Festus dingin. Mata rubinya redup. "Tidak lagi!" teriak Leo. "Kau tidak boleh jatuh
lagi!" Leo nyaris tak kuasa berpegangan. Angin memedihkan matanya, tapi dia berhasil menarik panel di
leher naga hingga terbuka. Dia menaik-turunkan sakelar. Dia menarik-narik kabel. Sayap sang naga
mengepak sekali, tapi Leo mencium bau perunggu terbakar. Sistem pengendalinya korslet karena
kelebihan beban. Festus tidak memiliki kekuatan untuk terus terbang, dan Leo tidak bisa mencapai panel
pengendali utama di kepala sang naga"tidak selagi mereka sedang terjun bebas di udara. Dia melihat
lampu-lampu kota di bawah mereka"cuma sekelebat di tengah-tengah kegelapan selagi mereka
menukik sambil berputar-putar. Mereka hanya punya beberapa detik sebelum tabrakan. "Jason!" teriak
Leo. "Bawa Piper dan terbanglah! Menyingkir dari sini!" "Apa?"
"Kita harus mengurangi beban! Aku mungkin bisa mengeset ulang Festus, tapi dia membawa beban yang
terlalu berat!" "Bagaimana denganmu?" seru Piper. "Kalau kau tak bisa mengeset ulang Festus?" "Aku
akan baik-baik saja," teriak Leo. "Ikuti saja aku ke tanah. Sana!" Jason memeluk pinggang Piper. Mereka
berdua melepaskan diri dari sanggurdi, dan dalam sekejap mereka pun pergi"melesat di udara. "Nah,"
kata Leo. "Sekarang tinggal kau dan aku, Festus"dan dua kurungan berat. Kau bisa melakukannya,
Nak!" Leo berbicara kepada sang naga selagi dia bekerja, jatuh dengan kecepatan tinggi. Dia bisa melihat
lampu-lampu kota di bawahnya, kian dekat dan kian dekat. Leo mendatangkan api di tangannya supaya
dia bisa melihat apa yang dikerjakannya, tapi angin terus saja memadamkan api tersebut. Leo menarik
kabel yang menurutnya menghubungkan pusat saraf sang naga ke kepalanya, mengharapkan sedikit
setruman untuk menyadarkan naga tersebut. Festus mengerang"logam berderak di dalam lehernya.
Mata-nya berkedip-kedip lemah, menyala kembali, lalu dia merentangkan sayap. Gerakan jatuh bebas
berubah menjadi tukikan tajam. "Bagus!" kata Leo. "Ayo, Bocah Besar. Ayo!" Mereka masih terbang
terlalu cepat, dan tanah terlalu dekat. Leo butuh tempat pendaratan"secepatnya. Ada sebuah sungai
besar"tidak. Tidak bagus untuk naga bernapas api. Leo tak bakalan bisa mengeluarkan Festus dari dasar
sungai jika naga itu tenggelam, terutama dalam suhu yang membekukan begini. Kemudian, di tepi
sungai, Leo melihat sebuah griya putih besar dengan halaman yang lapang dan berselimut salju di dalam
perimeter pagar bata tinggi"seperti lahan pribadi orang
kaya, semuanya terang benderang bermandikan cahaya. Lapangan pendaratan yang sempurna. Leo
berusaha sebaik-baiknya untuk menyetir sang naga ke halaman tersebut, dan Festus sepertinya hidup
kembali. Mereka pasti berhasil! Kemudian segalanya jadi tidak beres. Saat mereka mendekati halaman,
lampu-lampu sorot di sepanjang pagar tertuju pada mereka, membutakan Leo. Dia mendengar bunyi
ledakan seperti letusan peluru, bunyi logam yang terpotong-potong"dan BUM. Leo pun pingsan.
*** Ketika Leo siuman, Jason dan Piper mencondongkan badan ke atasnya. Leo berbaring di salju,
berlumuran lumpur dan minyak. Diludahkannya segumpal rumput beku dari mulut. "Di mana?"
"Berbaringlah dulu. Jangan bergerak." Mata Piper berkaca-kaca. "Kau terempas cukup keras ketika"
ketika Festus?" "Di mana dia?" Leo duduk tegak, tapi kepalanya serasa melayang. Mereka telah
mendarat di pekarangan. Sesuatu telah terjadi dalam perjalanan ke dalam"tembakan senjata" "Ayolah,
Leo," kata Jason. "Kau bisa saja terluka. Kau tak boleh?" Leo mendorong dirinya hingga berdiri. Lalu dia
melihat puing-puing tersebut. Festus pasti menjatuhkan kedua kandang kenari besar saat dia melewati
pagar, sebab kedua kandang tersebut telah menggelinding ke arah yang berlainan dan mendarat dengan
posisi menyamping, sama sekali tidak rusak. Festus tidak semujur itu. Sang naga hancur lebur. Kakikakinya tersebar di seluruh halaman. Ekornya tergantung di pagar. Bagian utama tubuhnya
telah mengeruk tanah selebar enam meter dan sepanjang lima belas meter di pekarangan griya tersebut
sebelum pecah berkeping-keping. Yang tersisa dari kulitnya hanyalah pecahan-pecahan hangus berasap.
Hanya leher dan kepalanya yang entah bagaimana masih utuh, terkulai di deretan semak mawar yang
laksana bantal. "Tidak," Leo terisak. Leo lari ke kepala naga dan mengelus moncongnya. Mata sang naga
berkerlip-kerlip lemah. Oli mengucur dari kupingnya. "Kau tak boleh pergi," pinta Leo. "Kaulah yang
terbaik yang pernah kuperbaiki." Kepala sang naga memutar-mutar gigi rodanya, seperti sedang
mendengkur. Jason dan Piper berdiri di sampingnya, tapi Leo terus melekatkan pandangan matanya
pada sang naga. Dia teringat perkataan Hephaestus: Itu bukan salahmu, Leo. Tak ada yang bertahan
selamanya, mesin yang terbaik sekalipun. Ayahnya telah berusaha memperingatkannya. "Ini tidak adil,"
kata Leo. Sang naga mengeluarkan bunyi berkeriut. Keriut panjang. Dua keriut pendek. Keriut. Keriut.
Hampir-hampir seperti sebuah pola menyulut munculnya sebuah kenangan lama dalam benak Leo. Leo
menyadari bahwa Festus sedang berusaha menyampaikan sesuatu. Dia menggunakan kode Morse"
sama seperti yang diajarkan ibu Leo bertahun-tahun lalu. Leo mendengarkan dengan lebih saksama,
menerjemahkan bunyi-bunyi tersebut menjadi huruf: pesan sederhana yang diulang berkali-kali. "Iya,"
ujar Leo. "Aku mengerti. Akan kulakukan. Aku janji." Lalu mata sang naga jadi gelap. Festus sudah tiada.
Leo menangis. Dia bahkan tidak berusaha menyembunyikan tangisnya. Teman-temannya berdiri di kirikanannya, menepuk bahunya, mengucapkan hal-hal yang menghibur; namun denging di telinga Leo
menenggelamkan kata-kata mereka.
Akhirnya Jason berkata, "Aku ikut berduka, Bung. Apa yang kaujanjikan pada Festus?" Leo menyedot
ingus. Dia membuka panel di kepala naga, hanya untuk memastikan, namun piringan pengendali-nya
sudah retak dan terbakar, mustahil untuk diperbaiki. "Sesuatu yang dikatakan ayahku padaku," kata Leo.
"Semuanya dapat dipergunakan kembali." "Ayahmu bicara padamu?" tanya Jason. "Kapan
kejadiannya?" Leo tidak menjawab. Dia mengutak-atik engsel leher sang naga hingga kepalanya terlepas.
Beratnya kira-kira lima puluh kilo, tapi Leo berhasil menggendong kepala tersebut dalam pelukannya.
Dia mendongak ke langit yang berbintang dan berkata, "Kembalikan dia ke bunker, Ayah. Kumohon,
sampai aku bisa memakainya lagi. Aku tak pernah minta apa-apa dari Ayah." Angin bertambah kencang,
dan kepala naga pun melayang dari lengan Leo seolah tidak berbobot. Kepala tersebut terbang ke langit
dan menghilang. Piper memandang Leo dengan takjub. "Dia menjawab doa-mu?" "Aku bermimpi," tukas
Leo. "Nanti kuberi tahu kalian." Dia tahu dirinya berutang penjelasan yang lebih lengkap kepada temantemannya, tapi Leo nyaris tak sanggup bicara. Dia sendiri merasa seperti mesin rusak"seolah seseorang
telah mencopot bagian kecil dari dirinya, dan kini dia takkan pernah utuh. Dia mungkin bisa bergerak,
dia mungkin bisa bicara, dia mungkin bisa terus melaju dan melakukan pekerjaannya. Tapi dia akan
selalu kurang seimbang, tak pernah benar-benar dikalibrasi dengan tepat. Tapi tetap saja, dia tidak
boleh patah semangat. Jika begitu, artinya Festus meninggal dengan sia-sia. Leo harus menyelesaikan
misi ini"demi teman-temannya, demi ibunya, demi naganya.
Leo menoleh ke sekeliling. Griya putih besar itu berpendar di tengah-tengah pekarangan. Tembok bata
tinggi dengan lampu dan kamera keamanan yang mengelilingi perimeter, tapi sekarang Leo bisa
melihat"atau lebih tepatnya merasakan"seketat apa tembok tersebut dijaga. "Di mana kita?" tanya
Leo. "Maksudku, kota apa?" "Omaha, Nebraska," ujar Piper. "Aku melihat papan reklame waktu kita
terbang ke dalam. Tapi aku tak tahu griya apa ini. Kami masuk tepat di belakangmu, tapi saat kau
mendarat, Leo, aku sumpah kelihatannya ada"entahlah?" "Laser," kata Leo. Leo memungut sekeping
komponen naga dan melemparkannya ke atas pagar. Serta-merta mencuatlah sebuah menara dari
tembok bata dan seberkas sinar panas membakar pelat perunggu itu hingga jadi abu. Jason bersiul.
"Sistem pertahanan yang hebat. Kok kita masih hidup?" "Festus," kata Leo nelangsa. "Dialah yang
menerima tembak-an. Laser mengirisnya hingga berkeping-keping saat dia masuk sehingga tidak terarah
pada kalian. Mu menuntunnya ke dalam jebakan maut." "Kau tak mungkin tahu," kata Piper. "Dia
menyelamatkan nyawa kita lagi." "Tapi sekarang apa?" ujar Jason. "Gerbang utama terkunci, dan
menurut perkiraanku aku tak bisa menerbangkan kita keluar dari sini tanpa ditembak." Leo memandang
jalan setapak di griya putih besar itu. "Karena kita tak bisa keluar, kita harus masuk." []
BAB TIGA PULUH SATU JASON JASON PASTI SUDAH MATI LIMA kali dalam perjalanan ke pintu depan jika bukan karena Leo. Pertamatama ada tingkap yang diaktifkan-oleh-gerakan di jalan setapak, lalu laser di undakan, kemudian
penyembur gas saraf di pagar beranda, paku beracun yang peka terhadap tekanan di keset selamat
datang, dan tentu saja bel pintu yang bisa meledak. Leo menonaktifkan semuanya. Dia seakan bisa
membaui jebakan, dan dia mengambil perkakas yang tepat dari sabuknya untuk mematikan jebakanjebakan tersebut. "Kau luar biasa, Bung," kata Jason. Leo mendengus saat dia mengamati kunci pintu
depan. "Iya, luar biasa," katanya. "Tidak bisa memperbaiki naga dengan benar, tapi aku luar biasa." "Hei,
itu bukan?" "Pintu depannya tidak dikunci," Leo mengumumkan. Piper menatap pintu tersebut tak
percaya. "Masa sih" Jebakan sebanyak itu, dan pintunya tidak dikunci?"
Leo memutar kenop. Pintu itu berayun terbuka dengan mudah. Dia melangkah masuk tanpa ragu-ragu.
Sebelum Jason sempat mengikuti, Piper memegangi lengannya. "Dia bakal butuh waktu untuk menerima
kepergian Festus. Jangan diambil hati." "Iya," kata Jason. "Iya, oke." Tapi Jason tetap merasa tidak enak.
Di toko Medea, dia mengucapkan hal-hal yang kasar kepada Leo"hal-hal yang seharusnya tidak
dikatakan seorang teman, belum lagi fakta bahwa dia hampir menusuk Leo dengan pedang. Jika bukan
berkat Piper, mereka berdua pasti sudah maxi. Dan Piper juga tidak lolos dari insiden itu dengan mudah.
"Piper," kata Jason, "aku tahu aku linglung waktu di Chicago, tapi soal ayahmu"jika dia sedang dalam
kesulitan, aku ingin membantu. Aku talc peduli apakah itu jebakan atau bukan." Mata Piper selalu
menampakkan warna yang berbeda-beda, rapi kini matanya terlihat pedih, seakan dia telah
menyaksikan sesuatu yang tak dapat dihadapinya. "Jason, kau tak tahu apa yang kaukatakan. Tolong"
jangan membuatku merasa semakin tidak enak. Ayolah. Kita harus terus bersama." Piper pun masuk.
"Bersama," kata Jason kepada dirinya sendiri. "Iya, keber-samaan kita hebat."


The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** Kesan pertama Jason tentang rumah tersebut: Gelap. Dari gema langkah kakinya, Jason bisa tahu bahwa
ruang depan berukuran luas, bahkan lebih besar daripada griya tawang Boreas; tapi satu-satunya
penerangan berasal dari lampu halaman
di luar. Pendar samar mengintip lewat belahan di tirai beledu tebal. Jendela menjulang kira-kira tiga
meter. Di antara jendela-jendela terdapat patung logam seukuran manusia asli. Saat mata Jason telah
menyesuaikan diri, dia melihat sofa yang ditata membentuk huruf U di tengah-tengah ruangan, beserta
meja kopi sentral dan satu kursi besar di ujung. Sebuah lampu gantung mahabesar berkilauan di atas. Di
dinding belakang terdapat barisan pintu yang tertutup. "Di mana sakelar lampunya?" Suara Jason
menggema terlalu keras di seluruh ruangan.
"Tidak lihat," kata Leo. "Api?" Piper menyarankan. Leo mengulurkan tangan, tapi tak ada yang terjadi.
"Tidak bisa." "Apimu padam" Kenapa?" tanya Piper. "Yah, seandainya saja aku tabu?" "Oke, oke," ujar
Piper. "Kita harus melakukan apa"men-jelajah?" Leo menggelengkan kepala. "Setelah semua jebakan di
luar itu" Ide jelek." Kulit Jason tergelitik. Dia benci menjadi demigod. Saat menoleh ke sekeliling, dia
tidak melihat ruang yang nyaman untuk ditempati. Dia membayangkan roh-roh badai ganas
bersembunyi di balik tirai, naga di bawah karpet, lampu gantung yang terbuat dari keping es mematikan,
siap menyula dirinya. "Leo benar," ujar Jason. "Kita tak boleh berpisah lagi"tidak seperti di Detroit."
"Oh, terima kasih sudah mengingatkanku pada para Cyclops." Suara Piper gemetar. "Aku butuh itu."
"Beberapa jam lagi fajar," tebak Jason. "Terlalu dingin untuk menunggu di luar. Mari kita bawa kurungan
ke dalam dan ber-kemah di ruangan ini. Tunggu sampai matahari terbit; lalu kita bisa putuskan hendak
melakukan apa." Tak ada yang mengajukan ide yang lebih bagus, jadi mereka menggelindingkan
kurungan berisi Pak Pelatih Hedge dan roh-roh badai ke dalam, kemudian beristirahat. Untungnya, Leo
tidak menemukan bantal lempar beracun atau sandaran kursi beraliran listrik di sofa. Leo tampaknya
sedang tidak berselera membuatkan taco lagi. Lagi pula, mereka tak punya api, jadi mereka menyantap
bekal dingin saja. Selagi Jason makan, dia mengamati patung-patung logam yang dirapatkan ke dinding.
Patung-patung tersebut kelihatannya mirip dewa atau pahlawan Yunani. Mungkin itu pertanda bagus.
Atau mungkin juga patung-patung itu digunakan sebagai target latihan. Di meja kopi terdapat perangkat
minum teh dan setumpuk brosur mengilap, namun Jason tidak bisa membaca kata-katanya. Kursi besar
di ujung meja terlihat seperti singgasana. Tak seorang pun dari mereka berusaha mendudukinya.
Sangkar kenarinya tidak mengurangi keseraman tempat itu. Para ventus terus saja berputar-putar di
dalam penjara mereka, berdesis dan berpusing, dan Jason bisa merasakan bahwa para roh badai sedang
memperhatikan mereka. Dia bisa merasakan kebencian mereka terhadap anak-anak Zeus"penguasa
langit yang memerintahkan Aeolus untuk memenjarakan kaum mereka. Tak ada yang lebih diinginkan
para ventus selain mencabik-cabik Jason. Sementara itu, Pak Pelatih Hedge masih mematung di tengahtengah teriakan, pentungannya terangkat. Leo sedang mengutak-atik kurungan, berusaha membukanya
dengan berbagai perkakas, tapi kunci sangkarnya sepertinya menyulitkan pemuda itu. Jason
memutuskan duduk di sebelah Leo kalau-kalau Pak Pelatih Hedge
mendadak bergerak kembali dan melancarkan jurus ninja ala kambing. Meskipun dia merasa gelisah,
begitu perutnya terisi, Jason mulai terkantuk-kantuk. Sofanya agak terlalu nyaman"jauh lebih enak
daripada punggung naga"dan dia sudah terjaga sepanjang dua giliran jaga selagi teman-temannya tidur.
Dia kelelahan. Piper sudah bergelung di sofa yang lain. Jason bertanya-tanya apakah gadis itu benarbenar tidur atau menghindari per-cakapan tentang ayahnya. Apa pun yang dimaksud Medea di Chicago,
tentang Piper yang mendapatkan ayahnya kembali jika dia bekerja sama"hal itu kedengarannya tidak
bagus. Jika Piper mempertaruhkan ayahnya sendiri demi menyelamatkan mereka, itu membuat Jason
semakin merasa bersalah. Dan mereka kehabisan waktu. Jika Jason tidak salah meng-hitung hari, ini
adalah dini hari tanggal 20 Desember. Artinya, besok adalah titik balik matahari musim dingin.
"Tidurlah," kata Leo, masih mengutak-atik kurungan yang terkunci. "Sekarang giliranmu." Jason menarik
napas dalam-dalam. "Leo, aku menyesal soal hal-hal yang kukatakan di Chicago. Itu bukan aku. Kau tidak
menyebalkan dan tentu saja kau menyikapi persoalan secara serius"terutama pekerjaanmu. Kuharap
aku bisa melakukan setengah saja dari hal-hal yang bisa kaulakukan." Leo menurunkan obengnya. Dia
memandang langit-langit dan menggeleng-gelengkan kepala seolah berkata, Harus kuapakan cowok ini"
"Aku berusaha keras bersikap menyebalkan," ujar Leo. "Jangan remehkan kemampuanku membuat
orang sebal. Dan bagaimana bisa aku membencimu kalau kau minta maaf" Aku ini mekanik rendahan,
sedangkan kau pangeran langit, putra Penguasa Semesta. Aku memang semestinya membencimu."
"Penguasa Semesta?" "Tentu saja, kau punya jurus"duar! Manusia petir. Dan `Saksikan aku terbang.
Aku adalah elang yang membubung?"' "Tutup mulut, Valdez." Leo tersenyum kecil. "Tuh, lihat sendiri.
Aku memang mem-buatmu sebal." "Aku minta maaf karena sudah minta maaf." "Terima kasih." Leo
kembali bekerja, namun ketegangan di antara mereka telah mengendur. Leo masih terlihat sedih dan
lelah"tapi tidak semarah tadi. "Tidurlah, Jason," perintah Leo. "Butuh beberapa jam untuk
membebaskan manusia kambing ini. Kemudian aku masih harus memikirkan caranya membuat sel
kurungan yang lebih kecil untuk para angin, soalnya aku tidak mau menenteng-nenteng sangkar kenari
itu ke California." "Kau berhasil memperbaiki Festus, kautahu," ujar Jason. "Kau membuatnya
bermanfaat lagi. Menurutku misi ini adalah titik tertinggi dalam kehidupannya." Jason takut dirinya
kelewatan dan membuat Leo marah lagi, tapi Leo hanya mendesah. "Kuharap begitu," katanya. "Nah,
sekarang tidurlah, Bung. Aku butuh waktu tanpa kalian, bentuk kehidupan organik." Jason tidak yakin
apa yang Leo maksud, tapi dia tidak mau berdebat. Dia memejamkan mata dan tidur pulas tanpa mimpi.
Jason baru terbangun ketika seseorang mulai berteriak .
*** "Ahhhhhhhhhh!" Jason terlompat berdiri. Dia tidak yakin mana yang lebih mengguncangkan"sinar
matahari langsung yang kini membanjiri ruangan, atau sang satir yang berteriak.
"Pak Pelatih sudah bangun," kata Leo, yang sebenarnya tidaklah perlu. Gleeson Hedge melonjak ke sanakemari dengan kaki belakangnya yang berbulu, mengayun-ayunkan pentungan dan berteriak, "Mad!"
sambil memecahkan perangkat minum teh, menggebuk sofa, dan menerjang ke singgasana. "Pak
Pelatih!" teriak Jason. Hedge berbalik, tersengal-sengal. Matanya jelalatan sekali sampai-sampai Jason
khawatir dia mungkin bakal menyerangnya. Sang satir masih mengenakan kaus jingga berkerah dan
peluitnya masitt tergantung di lehernya, namun tanduknya kentara sekali di atas rambut keritingnya,
sedangkan kaki belakangnya yang montok jelas-jelas merupakan kaki kambing. Apakah kambing bisa
disebut "montok?" Jason mengesampingkan pemikiran itu. "Kau si anak baru," kata Hedge sambil
menurunkan pen-tungannya. "Jason." Dia memandang Leo, lalu Piper, yang rupanya baru saja
terbangun. Rambut gadis itu seperti baru dijadikan sarang oleh hamster ramah. "Valdez, McLean," kata
sang pelatih. "Apa yang terjadi" Kita sedang di Grand Canyon. Anemoi thuellai sedang menyerang dan"
" Dia memicingkan mata ke kurungan berisi roh badai, dan matanya pun kembali awas seakan hendak
menembak. "Mati!" "Tenang, Pak Pelatih!" Leo mengadang di depannya, yang sesungguhnya merupakan
tindakan yang cukup berani, meskipun Pak Pelatih Hedge lebih pendek lima belas senti. "Tidak apa-apa.
Mereka terkurung. Kami baru saja melepaskan Bapak dari kurungan yang satu lagi." "Kurungan"
Kurungan" Apa yang terjadi" Cuma karena aku satir bukan berarti aku tidak bisa menyuruhmu push up,
Valdez!" Jason berdeham. "Pak Pelatih"Gleeson"mmm, terserah Anda ingin kami memanggil dengan
nama apa. Anda menyelamat-kan kami di Grand Canyon. Anda teramat berani."
"Tentu saja aku pemberani!" "Tim penjemput datang dan membawa kami ke Perkemahan Blasteran.
Kami kira kami telah kehilangan Anda. Lalu kami mendapat kabar bahwa roh-roh badai telah membawa
Anda ke"mmm, operator mereka, Medea." "Penyihir itu! Tunggu"itu mustahil. Dia manusia fana. Dia
sudah mad." "Begitulah," ujar Leo, "entah bagaimana dia tak lagi mad." Hedge mengangguk, matanya
disipitkan. "Begitu rupanya! Kalian diutus menjalani misi berbahaya untuk menyelamatkanku. Luar
biasa!" "Anu." Piper berdiri sambil mengangkat tangan supaya Pak Pelatih Hedge tidak menyerangnya.
"Sebenarnya, Glee"boleh aku memanggil Anda Pak Pelatih Hedge saja" Gleeson rasanya keliru. Kami
sedang menjalani misi untuk tujuan lain. Kami menemukan Bapak secara kebetulan." "Oh." Semangat
sang pelatih tampaknya merosot, namun hanya sedetik. Kemudian matanya berbinar-binar lagi. "Tapi
tak ada yang namanya kebetulan! Tidak dalam misi. Ini ditakdirkan untuk terjadi! Jadi, ini sarang si
penyihir, ya" Kenapa semuanya terbuat dari emas?" "Emas?" Jason menoleh ke sekeliling. Dad sikap Leo
dan Piper yang terkesiap, dia menebak bahwa mereka juga baru sadar. Ruangan itu dipenuhi emas"
patung-patung, perangkat minum teh yang dipecahkan Hedge, kursi yang jelas-jelas me-rupakan
singgasana. Bahkan tirai-tirai"yang sepertinya terbuka sendiri saat fajar"tampaknya dipintal dari
benang emas. "Indahnya," kata Leo. "Tidak heran keamanannya ketat sekali."
"Ini bukan?" Piper terbata-bata. "Ini bukan istana Medea, Pak Pelatih. Ini rumah orang kaya di Omaha.
Kami berhasil kabur dari Medea dan mendarat darurat di sini." "Ini takdir, Anak-Anak Lembek!" Hedge
berkeras. "Aku ditakdirkan untuk melindungi kalian. Apa misi kalian?" Sebelum Jason sempat
memutuskan apakah dia ingin menjelaskan atau kembali menjejalkan Pak Pelatih Hedge ke kurungan,
sebuah pintu terbuka di ujung ruangan. Seorang pria gendut yang memakai jubah mandi putih
melangkah keluar sambil menjepit sikat gigi emas di mulutnya. Dia berjanggut putih dan beberapa di
antaranya panjang, topi tidur panjang yang sudah ketinggalan zaman ditekan di atas kepalanya dan
menutupi rambut putihnya. Dia mematung ketika melihat mereka, sikat giginya terjatuh dari mulutnya.
Dia melirik ke ruangan di belakangnya dan memanggil, "Putraku" Lit, tolong keluar. Ada orang-orang
aneh di ruang singgasana." Pak Pelatih Hedge melakukan hal yang sudah seharusnya. Dia mengangkat
pentungan dan berteriak, "Mati!"
BAB TIGA PULUH DUA JASON BUTUH UPAYA MEREKA BERTIGA UNTUK menahan sang satir. "Whoa, Pak Pelatih!" kata Jason. "Tenang
sedikit." Seorang pria yang lebih muda menerjang masuk ke ruangan. Jason menduga dialah Lit, putra
lelaki tua itu. Dia mengenakan celana piama dengan kaus kutung bertuliskan PENGUPAS JAGUNG, dan
dia memegang pedang yang kelihatannya bisa mengupas banyak benda lain selain jagung. Lengannya
yang berotot dipenuhi bekas luka, sedangkan wajahnya, dibingkai rambut gelap keriting, pasti tampan
jika tidak tersayat-sayat. Lit langsung memicingkan mata kepada Jason seolah dia adalah ancaman
terbesar, dan melenggang ke arah mereka sambil nengayun-ayunkan pedangnya di atas kepala. "Tunggu
sebentar!" Piper melangkah maju, berusaha menge-luarkan suara menenangkannya yang terbaik. "Ini
kesalahpahaman! Semuanya baik-baik saja." Lit berhenti melangkah, tapi dia masih terlihat waswas.
Fingkah Hedge yang terus saja berteriak-teriak, "Biar kuhajar mereka! Jangan khawatir!" tidaklah
membantu. "Pak Pelatih," pinta Jason, "mereka mungkin bukan musuh. Lagi pula, kita yang menyusup masuk ke
rumah mereka." "Terima kasih!" kata pria tua berjubah mandi. "Nah, siapakah kalian ini, dan mengapa
kalian ada di sini?" "Mari turunkan senjata kita," kata Piper. "Pak Pelatih, Anda duluan." Hedge
Rahasia Suling Kematian 1 Bidadari Untuk Ikhwan Karya Fajar Agustanto Pedang Penakluk Iblis 2
^