Pencarian

Bisnis Kotor 1

Trio Detektif 48 Bisnis Kotor Bagian 1


TRIO DETEKTIF ROUGH STUFF by G. H. Stone Copyright " 1989 by Random House, Inc. Text by G. H. Sone. Based on characters created by Robert Arthur. This translation published by arrangement with Random House. Inc.
BISNIS KOTOR Alihbahasa: Hendarto Setiadi GM 307 91 056
Hak cipta terjemahan Indonesia Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jl. Palmerah Selatan 26-28, Jakarta 10270 Sampul digambar kembali oleh NBC. Sukma Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka utama, anggota IKAPI, Jakarta, Maret 1991
Perpustakaan Nasional : katalog dalam terbitan (KDT)
Bisnis Kotor | Trio Detektif; teks oleh G. H. Stone ; alihbahasa, Hendarto Setiadi. - Jakarta : PT Gramedia Pustaka utama. 1991. 176 hal. ; 18 cm.
Judul asli : Rough Stuff. ISBN 979-511-056-X.
1. Remaja - Fiksi Amerika I. Judul.
II. Setiadi, Hendarto. 8X0.3K Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan PT Gramedia
Djvu: syauqy_arr Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Daftar Isi 1. Terbang Tinggi di Angkasa Biru 7
2. Pendaratan Darurat 17 3. Survival di Alam Terbuka 28
4. Kesulitan Baru 42 5. Di Mana Mr. Andrews" 49
6. Pelari Misterius 60 7. Orang-orang Sakit 71 8. Wahyu dari Sang Pencipta 81
9. Nyaris Celaka 93 10. Pemburu Manusia 102 11. Mengatur Siasat 112 12. Bergelantungan di Tebing Batu Cadas 121
13. Lembah Leluhur 133 14. Bisnis Kotor 146 15. Perangkap Maut 153 16. Bertarung Melawan Tukang Sihir 162
1. Terbang Tinggi di Angkasa Biru
Matahari pagi bersinar dengan cerah. Sebuah pesawat Cessna membelah angkasa biru. Di bawah pesawat kecil itu, barisan pegunungan Sierra Nevada di California nampak menghijau karena lebatnya pohon-pohon cemara.
Bob Andrews menikmati pemandangan lewat jendela kokpit Di sebelah Bob, ayahnya menerbangkan pesawat bermesin tunggal itu jauh di atas lembah-lembah dan puncak-puncak gunung.
"Hei, ada sesuatu di bawah sana," ujar Bob. "Tuh, di lapangan rumput itu! Kelihatan, tidak""
Pete Crenshaw segera menyikut Jupiter Jones, lalu mengedipkan sebelah mata. Mereka duduk di kursi penumpang di belakang Mr. Andrews dan Bob. Kedua pemuda itu pun sejak tadi memandang ke luar jendela. Berganti-ganti mereka menggunakan teropong untuk mengamati pegunungan di bawah.
"Wah, seorang gadis!" Pete berkata dengan sungguh-sungguh. "Dia cantik sekali. Sebentar lagi dia pasti akan melambaikan tangan padamu, Bob."
"Dan setelah itu dia minta nomor teleponmu," Jupiter menambahkan sambil nyengir.
"Lalu bertanya apakah kau sudah punya acara malam ini," Pete menyambung.
"Mr. Andrews, apakah di Diamond Lake ada bioskop"" Jupe berlagak polos. "Saya rasa Bob tidak akan punya waktu untuk kami. Karena itu Pete dan saya terpaksa mencari kesibukan sendiri."
Mr. Andrews hanya tersenyum simpul.
Bob menurunkan teropong. "Ah, ternyata cuma seekor kucing hutan," ia berkata sambil menoleh ke arah kedua sahabatnya. Bob memang berwajah tampan, ia berambut pirang, dan bermata biru. Senyumnya memiliki daya tarik bagaikan magnet -terutama bagi gadis-gadis cantik. Ke mana pun ia pergi, gadis-gadis tiba-tiba bermunculan... dan langsung menuju ke arahnya.
"Hahaha, lucu sekali," Bob menanggapi komentar Pete dan Jupe. "Tapi bagaimana pun juga, aku tidak perlu minta izin pada pemimpin kelompok cheerleaders kalau mau pergi berlibur."
"Siapa yang harus minta izin"" balas Pete dengan nada dibuat-buat. Sepertinya Pete sudah lupa bahwa Kelly Madigan, pacarnya, sempat minta penjelasan panjang lebar sebelum mem biarkannya pergi.
Kemudian Bob berpaling pada Jupe. "Dan kalau aku pergi dengan seorang gadis," ia berkata, "maka aku tidak akan merusak suasana dengan berceramah mengenai struktur atom."
Jupe segera pasang tampang kencang. "Habis, dia mengatakan bahwa dia ingin membahas hal-hal yang paling pokok saja!" ia menjawab dengan ketus.
Mr. Andrews langsung ketawa terbahak-bahak. Jupe tersipu-sipu. Baru sekarang ia menyadari apa yang dimaksud gadis itu.
Ketiga sahabat itu pun ikut ketawa. Pete dan Bob karena merasa geli, Jupe karena terpaksa. Meskipun memiliki otak yang cemerlang, Jupe sampai sekarang belum bisa memahami kaum wanita.
Dengan hati-hati Jupe berdiri. Penampilannya memang bukan seperti bintang musik rock. Wajahnya bulat. Rambutnya hitam dan lurus, ia selalu memakai baju-baju yang kedodoran untuk menyembunyikan perutnya. Jupe yakin bahwa diet yang dijalankannya akan membuahkan hasil di masa mendatang. Tapi sampai saat itu, ia lebih suka menggunakan kata 'gempal' untuk menggambarkan dirinya. Bunyi kata itu lebih enak didengar dibandingkan 'gendut'.
Langit-langit di pesawat Cessna itu tidak begitu tinggi. Jupe terpaksa membungkuk ketika menuju ke ekor pesawat, yang digunakan sebagai tempat barang.
"Hei, Jupe! Sedang apa kau"" tanya Pete.
"Aku mencari teropongku," Jupe menjelaskan. "Aku ingin menemukan seorang gadis di bawah sana, yang sudah tahu apa yang dimaksud dengan E = mc2 alias teori relativitas Einstein."
Sekali lagi suara tawa memenuhi kabin pesawat itu. Tapi kali ini Jupe-lah yang tertawa paling keras.
Akhir pekan di musim panas ini dimulai dalam suasana yang menyenangkan. Matahari bersinar cerah. Langit tampak biru, tanpa awan sama sekali. Satu, dua, mungkin bahkan tiga hari penuh kebebasan menunggu mereka-tergantung pada berapa waktu yang diperlukan oleh Mr. Andrews untuk mengumpulkan bahan bagi artikelnya.
Kini-setelah mengudara, setelah segala tugas dan tanggung jawab ditinggalkan di Rocky Beach-tak ada yang bisa menahan mereka. Mereka akan menikmati liburan singkat di salah satu kota wisata pegunungan terkemuka di California. Diamond Lake memiliki lapangan golf kelas dunia, kolam renang berukuran internasional, belasan lapangan tennis, sejumlah sauna (tempat mandi uap), beberapa tempat penyewaan kuda, serta lebih dari sepuluh lokasi perkemahan. Diamond Lake bahkan sudah membangun lapangan terbang untuk menyambut para eksekutif serta orang-orang terkenal yang sering melarikan diri ke sana.
Jupe masih sibuk membongkar tas di ekor pesawat "Dengan bantuan teropong, aku mungkin bisa menemukan Mr. X yang harus dihubungi oleh ayahmu, Bob," ujar Jupe setengah bercanda. "Sayangnya aku lupa nama orang itu."
"Saya memang belum menyebutkan namanya," Mr. Andrews langsung menjawab.
"Aha!" kata Jupe. "Sumber informasi Anda ternyata seorang pria. Saya mengatakan Mr. X, dan Anda menjawab tanpa merasa perlu membenarkan ucapan saya. Ini adalah petunjuk pertama bagi kami."
"Ah, ada-ada saja," Mr. Andrews berkomentar sambil tersenyum. Ini berarti tebakan Jupe memang tepat
"Ayo dong, Ayah!" Bob mendesak. "Siapa sih nama orang itu" Percayalah, kami tidak akan mengatakannya pada siapa pun juga."
"Sorry," Mr. Andrews menggeleng, ia berbadan langsing. Tingginya enam kaki kurang sedikit- masih sedikit lebih tinggi dibandingkan anaknya. Tapi sebentar lagi ia pasti sudah tersusul oleh Bob. Ia mengenakan kacamata hitam, topi pet bertulisan Los Angeles Dodgers (nama klub baseball), serta jaket berwarna biru tua. Di kantong jaketnya ada setengah lusin pensil.
"Artikel seperti apa yang akan Anda tulis"" tanya Pete. "Barangkali mengenai seorang atlet terkenal" Seseorang yang sedang menjalani latihan di Diamond Lake"" Pete memang gemar berolahraga. Anaknya tinggi dan berbadan kekar. Kekuatan ototnya sudah sering berhasil menyelamatkan Trio Detektif dari ancaman bahaya. "Hei, saya tahu! Anda akan menulis artikel tentang seorang petinju! Bulan depan kan ada kejuaraan tingkat negara bagian!"
"Pokoknya saya takkan memberikan keterangan apa pun pada kalian. Seorang wartawan harus melindungi sumber informasinya," Mr. Andrews mengingatkan mereka.
"Oh ya, aku tahu!" Bob mendesah. "Tanpa sumber informasi rahasia," ia mengulangi kata-kata yang sudah sering didengarnya, "seorang wartawan kadang-kadang tidak bisa memperoleh berita secara utuh."
"Dan jika seorang reporter mengungkapkan dari mana ia memperoleh informasinya," Pete mengakhiri kalimat yang sudah akrab di telinga mereka, "maka semua sumber beritanya akan mengering!"
"Kami paham bahwa Anda harus menjaga rahasia," Jupe berusaha meyakinkan Mr. Andrews, "tapi Anda tidak perlu takut bahwa kami akan membocorkannya."
Mr. Andrews nyengir lebar. "Tentu saja! Kalian memang tidak bisa membocorkan sesuatu yang tidak kalian
ketahui." Ketiga sahabat hanya bisa geleng-geleng kepala. Ayah Bob ternyata benar-benar sulit ditembus. Pantas saja ia merupakan salah satu wartawan top di sebuah koran besar di Los Angeles. Biarpun didesak terus menerus, Mr. Andrews tak akan mengungkapkan berita apa yang sedang dikejarnya.
Sehari sebelumnya, di rumah mereka, Bob sempat mendengar ayahnya mengurus izin pemakaian salah satu pesawat perusahaan untuk terbang ke Diamond Lake, ia tahu bahwa pesawat perusahaan hanya boleh digunakan oleh para wartawan yang akan meliput berita yang sangat penting. Namun sampai sekarang Bob belum berhasil mengorek keterangan dari ayahnya.
"Aku jadi heran kenapa Ayah mengizinkan kami untuk ikut ke Diamond Lake," Bob menggerutu.
"Ayah terpengaruh oleh keramahanmu," ujar Mr. Andrews. "Kau selalu bersikap seperti itu untuk mempengaruhi orang lain-terutama gadis-gadis cantik dalam radius 15 meter." Ia menatap putranya dengan bangga, lalu menambahkan, "Tapi kau juga berjanji untuk tidak ikut campur dalam urusan Ayah. Ingat, yang ditugaskan bukan Trio Detektif!"
Ketiga sahabat saling berpandangan. Sudah beberapa tahun mereka membuka kantor detektif secara semi-profesional-semi-profesional karena mereka masih di bawah umur dan belum memiliki surat izin usaha, sehingga belum bisa pasang tarif. Meskipun demikian mereka tidak pernah bisa diam kalau menghadapi sebuah misteri. Pada usia tujuh belas tahun, sudah banyak kasus aneh yang berhasil mereka pecahkan, dan banyak kejadian misterius yang berhasil mereka jelaskan. Mereka bahkan berhasil meringkus sejumlah bajingan dan pencuri.
"Jangan khawatir, Mr. Andrews! Kami kan lagi berlibur," ujar Pete.
"R & R," Jupe menambahkan. "Rest and relaxation-istirahat dan bersantai."
"Salah," Pete segera menanggapinya. 'Rest and recreation-istirahat dan rekreasi"
Bob membalik dan nyengir. "Ada satu yang masih ketinggalan: Berkencan dengan gadis-gadis cantik!" ia bergurau.
Pete segera mencekik leher Bob, lalu mengguncang-guncang sahabatnya.
"Hei! Aku rela kehilangan gaji tiga hari bukan untuk disiksa seperti ini," Bob berseru sambil ketawa.
Bob memang minta sengaja izin dari Sax Sendler-pemilik perusahaan pencari bakat Rock-Plus tempat ia bekerja-agar bisa ikut dengan ayahnya. Pete meninggalkan sebuah sedan kuno yang sedang diperbaikinya untuk dijual kembali. Tugas itu ia serahkan pada Ty Cassey, sepupu Jupiter dan montir mobil jempolan. Sedangkan Jupe baru saja selesai membuat daftar barang yang ada di Jones Salvage Yard. Tempat penimbunan barang bekas itu merupakan usaha keluarga yang dijalankan oleh Paman Titus dan Bibi Mathilda-paman dan bibi Jupe. Jupe sebenarnya sudah pernah mendaftar semua barang yang ada di sana dengan bantuan komputer. Tapi setiap kali paman atau bibinya memakai komputer Jupe, pasti ada file yang terhapus.
Dengan uang simpanan hasil bekerja samping-an selama liburan musim panas, ketiga sahabat itu bisa membayar tempat tidur tambahan di ruang hotel Mr. Andrews. Mereka juga bisa membeli makanan sendiri tanpa perlu membebani ayah Bob.
"Hei, anak-anak muda," ujar Mr. Andrews. "Ada sesuatu yang menarik untuk kalian. Kalian lihat lembah itu"" ia bertanya sambil menunjuk ke depan.
Bob memandang melalui teropong, lalu menyerahkannya pada Pete.
"Saya akan turun sedikit, supaya kalian bisa melihat lebih jelas," Mr. Andrews berkata. "Kita toh sudah hampir sampai di Diamond Lake."
Hidung pesawat menukik. Mesinnya mendengung secara berirama.
Jupe berhenti mencari teropongnya, lalu kembali ke tempat duduk di belakang Mr. Andrews, ia pun menatap ke arah lembah sempit yang nampak di kejauhan. Lembah itu memanjang ke arah utara-selatan, dan dibatasi oleh dinding batu cadas yang terjal. Di ujung selatan ada tebing yang menghubungkan tepi kiri dan kanan lembah. Sebuah air terjun nampak berkilau-kilau.
"Wow!" Jupe berseru. "Luar biasa!"
"Apa nama lembah itu"" Bob bertanya.
"Ayah juga tidak tahu," jawab Mr. Andrews. "Tapi pemandangannya indah sekali, bukan" Nah, coba lihat ke depan sana. Itu Diamond Lake. Jaraknya masih sekitar 40 mil dari sini."
Bentuk danau itu hampir bulat. Permukaannya nampak biru.
Bangunan-bangunan mini memadati salah satu tepi. Sebuah jalan beton nampak berkelok-kelok di antara gunung-gunung, lalu mengelilingi danau."
Bob mengangguk. "All right!" ia berseru dengan riang.
"Dan kita tiba tepat pada waktu makan siang," Jupe berkomentar.
"Itulah yang paling penting sekarang," Pete mendukung sahabatnya.
Tiba-tiba saja pesawat mereka bergetar dengan pelan. Getaran itu hampir tidak terasa.
"Apakah kalian juga..."" Jupe mulai bertanya.
Kemudian waktu seakan-akan berhenti.
Ketiga anggota Trio Detektif saling bertatapan, kemudian menoleh ke mesin pesawat mereka.
Suara mendengung yang sejak berangkat terus terdengar, kini mendadak lenyap.
"Mr. Andrews..."
Mata ayah Bob langsung tertuju ke panel instrumen. Sudah dua tahun ia memiliki izin terbang. Pesawat Cessna ini pun sudah sering diterbangkannya. Tapi selama ini ia belum pernah mengalami kesulitan.
ia menekan berbagai tombol, lalu mengamati jajum-jarum penunjuk. Untuk sejenak ia tertegun karena tidak ada perubahan sama sekali. Jarum-jarum itu sama sekali tidak bergerak. Semua instrumen tiba-tiba mati. Aetitude-penunjuk ketinggian, kecepatan, bahan bakar...
"Sistem elektrik tidak bekerja!" Bob berseru.
"Bagaimana dengan mesin"" tanya Jupe, meskipun sudah mengetahui jawabannya.
"Mati!" kata Mr. Andrews. "Tapi jangan khawatir. Yang penting kita sekarang cepat-cepat mengurangi ketinggian, sebelum kecepatan pesawat terlalu rendah untuk tetap melayang."
2. Pendaratan Darurat Tanpa tenaga mesin, pesawat Cessna itu mulai melayang-layang di udara. Suara angin menderu-deru. Mr. Andrews mencabut mikrofon dari panel instrumen, lalu menekan tombolnya.
"Mayday! Mayday!" ia berkata sambil berusaha untuk tetap tenang. "Di sini Cessna November 3638 Papa. Mesin kami mendadak mati. Terpaksa mendarat darurat. Posisi kami 047 radial dari Bakersfield VOR pada 75DME!"
Mr. Andrews memberikan mikrofon pada Bob, dan kembali memegang kemudi.
Bob menekan tombol mikrofon, lalu mengulangi ucapan ayahnya. "Di sini Cessna November 3638..."
Tiba-tiba saja wajah Mr. Andrews menjadi pucat pasi. "Lupakan saja, Bob," ia memotong. "Sudah terlambat."
"Kenapa"" Bob bertanya kebingungan.
"Sistem elektrik tidak berfungsi," ujar Jupe. "Jadi radionya juga tidak bekerja."
"Tapi kita kan punya alat pemancar darurat," kata Bob. "Alat itu secara otomatis mulai bekerja kalau kita jatuh."
"Bob," Jupe berkata dengan serius, "kalau aku boleh pilih, maka aku pilih untuk tidak jatuh." Jantungnya berdetak kencang. "Mudah-mudahan saja kita bisa mendarat dengan selamat..."
"Ya, mudah-mudahan saja," Bob dan Pete berkata secara bersamaan.
Sambil membisu mereka mengencangkan sabuk pengaman masing-masing.
"Mr. Andrews, berapa kecepatan yang diperlukan supaya kita tetap melayang"" tanya Jupe.
"Pesawat Cessna dirancang agar bisa melayang tanpa bantuan mesin, asal kecepatannya tidak kurang dari 80 mil/jam," ayah Bob menjelaskan secara singkat.
"Apa artinya"" Pete bertanya dengan cemas.
"Kalau kecepatan kita lebih rendah dari itu, maka pesawat kita tidak bisa melayang lagi," jawab Jupe. Wajahnya yang bulat nampak berkerut-kerut "Hidung pesawat harus tetap menukik. Dengan demikian gaya tarik bumi akan membantu agar kecepatan kita tetap di atas 80 mil per jam."
"Kalau tidak," Bob berkomentar dengan nada suram, "maka kita akan jatuh seperti batu."
"Eh Jupe, bagaimana kalau kau duduk di hidung pesawat," Pete mencoba bergurau.
Mr. Andrews beserta ketiga penumpangnya berusaha ketawa. Namun suasana di dalam kabin terasa mencekam. Hidung pesawat mengarah tepat ke puncak-puncak batu cadas di bawah. Dibandingkan dengan gunung-gunung di sekitar, pesawat mereka tak lebih dari mainan anak-anak. Jika sampai membentur salah satu puncak gunung, maka pesawat itu akan hancur berkeping-keping. Begitupula orang-orang yang ada di dalamnya.
Rasa takut yang luar biasa membuat perut Jupe terasa kejang. Seluruh tubuhnya bermandikan keringat dingin.
Pete mengepalkan tangan. Otot-ototnya mengencang.
Bob menelan ludah, dan berusaha menarik napas secara teratur.
Aku takkan pernah lagi menggoda Jupe mengenai berat badannya, atau mengejek Pete ka
rena selalu mengalah pada Kelly, Bob berjanji pada dirinya sendiri, asal saja kita semua masih bisa melihat matahari terbit besok pagi...
"Kita menuju ke mana"" ia bertanya dengan suara seakan-akan sedang dicekik.
"Kembali ke lapangan rumput tadi," jawab ayahnya. Lapangan rumput itu cukup luas, dan terletak di lembah yang mereka lewati sebelumnya.
"Berapa lama lagi"" tanya Jupe.
"Tiga menit-kurang lebih..."
Jupe, Pete, dan Bob menatap ke luar jendela. Mereka tidak bisa mengalihkan pandangan ketika pesawat mereka meluncur mendekati tanah. Pohon-pohon serta batu-batu cadas semakin membesar. Tebing panjang di sebelah utara lapangan rumput kelihatan semakin putih, dan semakin tinggi menjulang ke angkasa.
Bob teringat pada ibunya. Sungguh menyedihkan kalau ibunya harus membaca berita mengenai kecelakaan ini di koran: Seorang wartawan dan anaknya tewas karena pesawat yang mereka tumpangi jatuh di daerah pegunungan.
Semakin mendekati tanah, pesawat mereka seakan-akan semakin cepat-melaju menuju bencana!
"Menunduk!" teriak Mr. Andrews. "Lindungi kepala kalian dengan tangan!" "Ayah..."
"Kau juga, Bob. Jangan berlagak jadi jagoan."
Bob membungkuk dan menutupi kepalanya dengan kedua belah tangan. "Paling tidak kita masih punya roda untuk mendarat," ia bergumam untuk menghibur diri. "Roda pesawat Cessna tidak bisa dilipat seperti roda pesawat lain."
Tak ada yang menyinggung soal rem. Semuanya tahu bahwa rem pesawat tidak bisa bekerja tanpa sistem elektrik.
Suara angin di sekitar pesawat semakin keras.
Nah, ini dia! pikir Bob. Sedetik kemudian pesawat mereka menghantam tanah.
Bob dan yang lain terlempar ke depan, ditahan oleh sabuk pengaman masing-masing, lalu menabrak sandaran kursi. Rasa sakit yang menusuk-nusuk membuat mata Bob berkunang-kunang.
Pesawat mereka melompat ke udara, kemudian kembali membentur tanah dengan keras. Keempat penumpangnya terguncang-guncang tak berdaya. Kemudian pesawat Cessna itu terpental lagi.
"Pegangan!" Mr. Andrews berteriak.
Untuk ketiga kali mereka menghantam tanah. Pesawat mereka bergetar dengan hebat, tetapi tidak terpental melainkan meluncur seperti rudal yang kehilangan arah.
Sambil berpegangan pada tepi kursi, Bob berusaha untuk tetap menundukkan kepala. Seluruh tubuhnya terasa seperti bubur. Mereka masih hidup, tapi untuk berapa lama lagi"
Tiba-tiba terdengar bunyi logam sobek yang memekakkan telinga.
Bob, ayahnya, Pete, dan Jupe terlempar ke depan. Kepala mereka membentur dinding pesawat. Kertas-kertas dan buku-buku berhamburan. Sebagian barang bawaan mereka melayang ke depan. Sesuatu mengenai lengan Bob, tapi ia tidak merasakan apa-apa. Anak itu nyaris tidak bisa menarik napas, ketika pesawat mereka berputar-putar dengan kencang.
"Kemudian semuanya menjadi hening. Tak ada suara sama sekali. Pesawat mereka telah berhenti.
Perlahan-lahan Bob mengangkat kepala.
"Ayah!" Mr. Andrews bersandar pada panel instrumen.
Bob mengguncangkan bahu ayahnya. "Ayah! Ayah!!!" Ayahnya tidak bergerak.
"Kita harus mengeluarkannya dari sini!" Pete memutuskan sambil memanjat ke depan.
Cepat-cepat Bob melepaskan head-phone yang dipakai oleh ayahnya. Pete membuka sabuk pengaman yang melingkar pada pinggang pilot yang pingsan itu. Bercak darah terlihat pada kening Mr. Andrews.
Bob melompat keluar dari pintu, disusul oleh Pete. Mereka berlari mengelilingi pesawat. Bob tidak mengalami cedera. Pete dan Jupe pun kelihatan baik-baik saja, namun ayahnya terluka! Bob langsung membuka pintu di sisi pilot. Ayah masih bernapas! ia berkata pada diri sendiri.
Pete muncul di samping Bob. Dengan tangannya yang kuat ia mengangkat Mr. Andrews. Pete tidak punya waktu untuk memperhatikan diri sendiri. Ia tahu bahwa Mr. Andrews membutuhkan pertolongannya.
"Mana Jupiter"" Pete berseru pada Bob, ketika ia bergegas ke arah sebongkah batu besar. Bob berlari di samping Pete. Matanya terus tertuju pada ayahnya.
"Aku di sini!" Jupiter berkata dengan suara lemah. Ia masih di dalam pesawat. Kepalanya terasa pening dan berdenyut-denyut. Perlahan-lahan ia menggerakkan tangan dan kakinya. Sepertinya semuanya masih berfungsi secara normal...
"Keluar, Bodoh!" Pete membentaknya sambil berjalan ke balik batu besar tadi. Kemudian ia meletakkan Mr. Andrews ke atas rumput.
Bob berlutut di samping ayahnya, lalu memeriksa denyut nadi di leher. "Ayah! Ayah bisa mendengarku" Ayah!!!" Pete kembali ke pesawat.
"Aku pun sedang berusaha keluar dari sini!" Jupe bergumam. Dengan kesal ia memelototi sahabatnya.
"Tangki bensinnya!" Pete berseru, lalu menarik lengan Jupe.
Jupe langsung terbelalak "Tangki bensin!" ia mengulangi dengan panik. Mesin pesawat pasti panas sekali, dan jika tangki bensin bocor... maka... pesawat mungkin akan meledak!
Jupe menjatuhkan diri dari lubang pintu, kemudian segera berdiri, ia tidak punya waktu untuk menguji keutuhan tubuhnya. Hanya ada dua pilihan: Lari atau mati! Sambil tergopoh-gopoh ia mengikuti Pete. Mereka menuju ke batu besar yang melindungi Mr. Andrews dan Bob.
Jupe roboh di samping Mr. Andrews. Napasnya tersengal-sengal. Wajahnya yang bulat basah karena keringat. Pete segera duduk di sebelah Jupe.
Mereka menunggu ledakan yang akan segera mengguncangkan daerah sekeliling.
Bob telah melepaskan dan menggulung jaket jeans yang ia kenakan, kemudian memakai gulungan itu sebagai bantal untuk ayahnya. "Denyut nadinya stabil," ia berkata sambil menatap kedua sahabatnya.
Jupe mengangguk. "Mudah-mudahan saja ayahmu segera siuman."
"Ayahmu tahan bantingan," Pete menghibur Bob. ia pun membuka jaket, menyelimuti Mr. Andrews, lalu berdiri. Ia meregangkan otot-ototnya, lalu segera kembali berjongkok untuk menunggu sampai pesawat meledak... atau sampai mesin menjadi dingin. Punggungnya terasa pegal karena berulang kali terbentur pada sandaran kursi. Dadanya agak lecet karena tergesek oleh sabuk pengaman. Tapi Pete berkata pada dirinya sendiri bahwa ia sudah sering lebih pegal dari sekarang seusai berlatih di fitness-centre.
Mr. Andrews mengerang. "Ayah"" Bob langsung berkata. "Ayah, bangun!"
"Anda bisa mendengar kami, Mr. Andrews"" tanya Jupe.
Mr. Andrews membuka mata dan menatap Bob.
Bob tersenyum lega. "Pendaratan yang mulus, Ayah!"
"Ya, Anda pantas diberi angka 10 untuk pendaratan tadi," Jupe berkomentar.
"Jadi kapan Anda akan mulai mengajar kami"" tanya Pete.
Mr. Andrews tersenyum sambil menahan sakit. "Kalian baik-baik saja""
"Pokoknya keadaan kami lebih baik dibandingkan pesawat kita," Jupe menjawab.
"Ya, Tuhan, pesawat kita!" Mr. Andrews berseru. "Apakah sayapnya copot""
"Sayapnya""
Jupe, Pete, dan Bob berdiri dan mengintip lewat bagian samping batu besar yang melindungi mereka. Sebuah alur panjang merupakan jejak pesawat pada lapangan rumput yang penuh bunga mekar. Beberapa pohon kecil nampak seperti dipancung oleh kedua sayap Salah satu daun baling-baling terlepas, dan sempat melayang sejauh beberapa puluh meter. Dua dari ketiga roda pesawat patah. Sayap sebelah kiri patah, karena tersangkut pada batu-batu besar yang akhirnya menghentikan laju pesawat. Tanpa sayap, pesawat itu tidak mungkin lepas landas lagi.
"Wow!" ujar Bob.
"Ini baru pendaratan!" Pete berkomentar dengan kagum bercampur ngeri.
"Dan aku hanya mengalami luka memar saja," kata Jupe sambil terheran-heran.
"Mana topi pet saya"" Mr. Andrews bertanya. Tanpa mempedulikan ketiga pemuda di sekelilingnya, ia meraih tepi batu, lalu berusaha bangkit.
"Ayah!" "Mr. Andrews!" Mr. Andrews bersandar pada batu itu, dan memegangi kepala. Ia tersenyum getir. "Tidak apa-apa. Saya cuma agak pusing."
"Sebaiknya Ayah duduk saja!" Bob berkeras.
"Nanti dulu, Bung!" balas ayahnya. "Saya harus memeriksa keadaan pesawat."
"Tapi mesinnya..." kata Pete.
"...mungkin meledak"" tanya Mr. Andrews. "Kalau sampai sekarang belum meledak, maka kemungkinan besar memang tidak akan ada apa-apa." Dengan hati-hati ia menuju ke pesawat. "Hmm, lumayan juga," ia bergumam.
Bob memegang lengan kiri ayahnya. Pete menggenggam lengan yang satu lagi.
"Apakah sudah pernah ada yang mengatakan bahwa Ayah keras kepala"" Bob bertanya pada ayahnya.
"Ya, atasan saya di kantor," Mr. Andrews menjawab sambil ketawa. "Setiap hari dia mengatakannya." Namun ia tidak menolak bantuan Bob dan Pete.
Jupe berjalan di samping mereka. Ketika mencapai bang
kai pesawat, Bob meraih ke dalam dan mengambil kacamata hitam serta topi pet ayahnya. Mr. Andrews segera memasukkan kacamatanya ke dalam kantong baju. Kemudian ia mencoba mengenakan topinya. Ternyata topinya masih bisa dipakai.
Kini mereka mengamati lapangan rumput, serta hutan lebat yang mengelilinginya. Pada tiga sisi, puncak-puncak gunung nampak bermandikan cahaya matahari. Di belakang mereka ada tebing setinggi 200 kaki, yang melebar sampai ke hutan. Tebing itu menghalangi pegunungan di sebelah utara.
Tak ada tanda-tanda kehidupan. Diamond Lake masih berjarak 30 sampai 40 mil dari sini-di balik tebing yang hampir tegak lurus.
Bob mulai mempelajari medan. Dalam keadaan normal, ia pasti akan menikmati pemandangan di sekelilingnya. Puncak-puncak gunung menjulang tinggi di atas lembah-lembah. Tapi kini satu-satunya pikiran yang terlintas di kepalanya adalah bahwa mereka sendirian di sini. Mereka terdampar di daerah tak berpenghuni, tanpa air minum, makanan, radio, maupun perlengkapan camping.
"Hmm," Mr. Andrews berkata dengan lesu, seakan-akan bisa membaca pikiran Bob. "Kelihatannya kita harus bertahan sampai ada bantuan."
3. Survival di Alam Terbuka
"Seberapa dingin sih di sini kalau malam"" Bob bertanya pada ayahnya. Mereka berdua duduk sambil berjemur, sementara Pete dan Jupe mencari kotak obat serta tempat untuk menampung air minum dalam bangkai pesawat.
"Ah, biasa saja," jawab Mr. Andrews. "Sepanjang bulan Agustus suhu udara jarang turun sampai ke bawah titik beku. Saya rasa kita akan mengalami suhu sekitar delapan sampai sepuluh derajat nanti malam!"
"Delapan derajat!" Bob berseru. "Kita bisa mati kedinginan!"
"Nah, ini kesempatan emas bagi kalian untuk menunjukkan bahwa pemuda-pemuda California zaman sekarang tidak kalah tangguh dengan para perintis yang membuka daerah ini," Mr. Andrews berkata sambil tersenyum.
"Sebenarnya, California terkenal karena sinar mataharinya, bukan karena hawa dingin yang menusuk sampai ke tulang sumsum," ujar Pete sambil melompat ke luar pesawat. Di tangan kanannya ada sebuah kotak logam berbentuk pipih.
"Ya, betul!" Bob mendukung sahabatnya. "Secara genetik kami sudah diprogram untuk cuaca cerah!"
Perut Pete berbunyi keras. "Kami juga dipro- gram untuk makan tepat pada waktunya. Saya tadi sudah membayangkan nikmatnya makan siang di Diamond Lake," Pete menyesalkan. "Makan siang sampai kenyang."
Bob dan Mr. Andrews mengangguk. Mereka pun merasa lapar.
"Tapi paling tidak keadaan ini bisa membantu Jupe dalam menjalankan dietnya," ujar Bob.
Mr. Andrews kelihatan penuh harapan. "Hmm, dengan sedikit keberuntungan kita akan segera keluar dari sini. Pasti ada yang mendengar sinyal yang dikirim oleh alat pemancar otomatik kita. Alat itu bekerja pada frekwensi 121,5 megahertz."
"Anda yakin bahwa alat itu hidup"" tanya Pete. Tiba-tiba saja ia merasa gelisah sekali.
"Alat pemancar itu dijalankan dengan batere," Mr. Andrews meyakinkan Pete. "Benturan kecil sudah cukup untuk menyalakannya. Saya pernah dengar cerita bahwa alat sejenis ini mulai bekerja setelah terjatuh ke lantai."
Mr. Andrews menunjuk asap putih yang nampak tinggi di langit yang biru. "Pesawat jet itu mungkin terlalu tinggi untuk melihat kita. tapi sinyal SOS yang dipancarkan dari sini pasti terekam."
Bob memandang ke arah pesawat itu, lalu tersenyum pada ayahnya. Mereka memang dalam keadaan terjepit, namun ketenangan yang diperlihatkan ayahnya membuat Bob merasa agak lebih lega. ia yakin bahwa mereka akan diselamatkan.
"Apa saja yang kauperoleh, Pete"" Bob lalu bertanya pada sahabatnya.
"Aku menemukan kotak obat."
"Sip!" Bob berseru.
Mereka segera membuka kotak logam itu. Di dalamnya ada aspirin, sabun, perban, semprotan anti-nyamuk, obat merah, pil iodine untuk memurnikan air, satu kotak korek api, serta enam selimut ringan yang terbuat dari bahan mengkilap. Setiap selimut bisa dilipat sampai mencapai ukuran 7,5 x 12,5 cm.
"Korek api!" Bob berkata dengan gembira.
"Pil iodine," ujar Mr. Andrews. "Sekarang kita bisa minum air sungai tanpa perlu takut terserang sakit perut."
"Ini sih mirip pakaian astronot," Pete berko mentar ketika
memeriksa salah satu selimut, ia memakai selimut itu sebagai jubah, lalu bertingkah seperti orang kesurupan.
"Hei, bagaimana pendapat kalian"" ia berseru pada kedua sahabatnya. "Apakah aku pantas sebagai bintang rock""
Bob hanya menggelengkan kepala. Kemudian ia menggunakan isi kotak obat untuk membersihkan dan membalut luka pada kening ayahnya. Luka itu tidak terlalu dalam, tetapi membengkak besar sekali.
Bob mengamati benjolan itu dengan saksama. "Sebaiknya Ayah jangan terlalu banyak memeras tenaga. Luka di kepala tidak boleh dianggap enteng. Kalau Ayah merasa pusing, Ayah harus langsung duduk dan..."
"Ternyata tidak sia-sia saya menyuruhmu mengikuti kursus P3K dulu," Mr. Andrews berkomentar sambil ketawa.
Setelah melipat selimut tadi, Pete menyusuri tepi lapangan rumput untuk mencari dan mengumpulkan kayu kering. Ia menumpukkan semuanya di dekat batu besar. Jika mereka perlu membuat api unggun, maka mereka akan menyalakannya jauh dari pesawat-dan jauh dari tangki bensin.
Sementara itu Jupe masih mencari tempat untuk menampung air.
"Ya, Tuhan!" ia tiba-tiba berseru. "Mr. Andrews! Ada yang tidak beres di sini!"
Bob dan Pete segera berlari ke pesawat. Mr. Andrews menyusul dengan langkah gontai.
"Alat pemancar otomatis tidak bekerja," ujar Jupe dengan lesu.
"Coba saya periksa dulu," kata Mr. Andrews.
Jupe telah membuka kotak pemancar. "Lampu merah di bagian luar ini seharusnya berkedap-kedip. Itulah yang menunjukkan bahwa alat itu sedang bekerja. Sambungan kabel kelihatannya beres semua. Berarti baterenya yang tidak berfungsi dengan semestinya."
"Baterenya"" tanya Bob sambil membelalakkan mata.
"Jadi alat ini sama sekali belum memancarkan isyarat SOS"" Pete berseru. Wajahnya nampak pucat pasi.
"Sepertinya begitu," jawab Jupe.
"Aduh!" kata Pete. ia mengepalkan kedua tangannya. Jantungnya berdebar-debar. Ini benar-benar suatu bencana.
"Mula-mula sistem elektrik mati mendadak," ujar Bob sambil menggeleng. "Dan sekarang ini lagi!" Kepalanya terasa agak pening.
"Kita kena kutukan para dewa!" Pete berkomentar.


Trio Detektif 48 Bisnis Kotor di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sistem listrik kadang-kadang memang bisa mati mendadak," kata Mr. Andrews. "Kemungkinan besar karena sambungan kabel yang tidak sempurna. Kasus seperti ini sudah beberapa kali terjadi. Sedangkan batere tidak selalu diperiksa secara berkala. Artinya, batere yang sudah mati tidak segera diganti."
"Dan itu berarti bahwa kita terdampar di sini," ujar Pete lesu.
Tak ada yang bisa mereka perbuat. Mereka keluar dari pesawat. Angin sore menerpa pohon-pohon cemara yang berada di sekeliling lapangan rumput.
"Terdampar di tengah alam yang indah," kata Bob sambil menggeleng.
"Apanya yang indah"" Jupe segera memprotes. "Ular berbisa, tanah longsor, batu cadas tajam, kebakaran hutan, petir, binatang pemangsa yang kelaparan, buah-buah yang beracun-itu baru sebagian dari ancaman-ancaman yang harus kita hadapi." Jupe memang orang kota sejati. Sejak kecil ia tidak pernah suka berkeliaran di alam bebas.
"Tunggu dulu!" Bob berkata dengan nada penuh harap. "Bagaimana dengan orang yang harus Ayah hubungi di Diamond Lake" Dia pasti curiga kalau kita tidak muncul-muncul."
"Dia tidak tahu bahwa kalian ikut," balas Mr. Andrews. "Saya tidak sempat memberitahunya. Hmm, memang ada kemungkinan bahwa dia akan menelepon ke kantor kalau saya tidak muncul-muncul. Tapi kalau tidak, maka kita harus menunggu selama tiga hari sebelum orang-orang di ia mulai merasa curiga."
"Bagus," Pete bergumam.
"Oke, Pete, kau sudah pernah berkemah sebelum ini, bukan"" ujar Mr. Andrews. "Kau pasti tahu apa yang harus kita lakukan sekarang."
"Pertama-tama kita harus membuat daftar barang-barang kita," Pete menjelaskan. "Saya hanya membawa pakaian yang saya kenakan sekarang." Seperti biasa ia memakai celana jeans dan sepatu tennis. T-shirtnya berwarna hitam. Pada dadanya ada tulisan Pink Floyd (grup musik rock) dengan huruf-huruf berwarna emas. "Selain itu saya masih punya jaket, pisau lipat, dan beberapa potong pakaian dalam koper. Bagaimana dengan kalian""
"Bawaanku tidak jauh berbeda," kata Bob. Celana jeansnya bermerk Calvin Klein. "Tapi aku tidak bawa pisau."
"Saya jug a tidak," kata Mr. Andrews, ia mengenakan celana jeans, kemeja, jaket, serta topi pet kebanggaannya.
"Coba kalau aku tahu bahwa kita akan memerlukan peralatan camping, Jupe mendesah. "Tapi kalau dipikir-pikir, tiga hari rasanya tidak terlalu lama-meskipun kita harus tidur di langit terbuka, tanpa banyak makanan..."
"Sebentar, Jupe!" Bob cepat-cepat memotong. "Kenapa kau mengatakan tanpa banyak makanan" Kau pasti merahasiakan sesuatu. Kalau tidak, kau pasti akan berkata tanpa makanan sama sekalil Kau bawa perbekalan, ya!""
Jupe tersipu-sipu. "Aku tidak mau membangkitkan harapan palsu..."
"Makanan!" Pete berseru. "Sini, berikan padaku!
"Kau tidak perlu kalap seperti itu!" Jupe naik darah. "Kau bisa bertanya secara sopan dan..."
"Sekarang aku bertanya!" kata Pete.
"Saya pun tidak keberatan kalau bisa mengisi perut," Mr. Andrews mengakui.
Jupiter mengangkat bahu. "Oke, tapi makanan yang saya bawa mungkin tidak seperti yang kalian bayangkan." Ia menghilang ke dalam pesawat.
"Hei, Jupe!" Pete berseru. "Cepatan, dong! Kau bawa oven microwave, ya""
Jupiter kembali sambil membawa ranselnya. Ransel itu berwarna merah menyala dengan strip-strip putih. Pada bagian sampingnya ada tulisan came from pizza heaven, ia mengeluarkan kantong plastik berisi popcorn, dan beberapa batang coklat.
"Sini, sini, sini! Mana bagianku"" seru Pete dengan semangat berapi-api.
"Diet macam apa ini, Jupe"" Bob bertanya keheranan. "Dan kenapa kau sendiri tidak kelaparan""
"Aku lagi diet popcorn," jawab Jupe sambil menegakkan tubuh. "Setiap dua jam aku harus makan secangkir popcorn. Aku baru saja menghabiskan jatahku sesuai jadwal." ia meraih ke dalam kantong bajunya yang berukuran raksasa, mengeluarkan tiga kantong plastik berisi popcorn, lalu menyerahkan ketiga-tiganya pada Pete, Bob, dan Mr. Andrews.
"Bagaimana dengan batang-batang coklat itu"" tanya Pete sambil melahap jatah popcornnya.
"Silakan ambil," Jupe berkata dengan nada datar.
"Batang coklat" Astaga, diet macam ini"" Bob semakin heran. Tapi ia pun makan dengan lahap.
"Diet popcorn dan coklat masih mendingan dibanding diet-diet lain yang pernah dicoba oleh Jupe," Pete berkomentar. "Kau masih ingat waktu Jupe hanya makan jeruk dan buah prem""
"Atau waktu dia menjalankan diet kentang goreng"" Bob membalas.
"Bagaimana dengan cairan dalam kaleng yang baunya seperti bensin"" Pete menambahkan.
ia dan Bob ketawa terbahak-bahak.
"Aku mengakui bahwa cairan karbohidrat itu tidak terlalu bermanfaat," ujar Jupe dengan serius, kemudian tersenyum. "Tapi diet yang kujalankan sekarang merupakan manifestasi kemajuan dunia sains dewasa ini."
"Apa katanya"" Pete bertanya pada Bob.
"Maksud Jupe, para pakar ilmu nutrisi akhirnya berhasil menciptakan diet yang efisien dan efektif."
Dengan pandangan putus asa Pete menatap Mr. Andrews.
Mr. Andrews nyengir lebar. "Jupe yakin bahwa diet ini akan membantunya untuk menurunkan berat badannya."
Pete langsung geleng-geleng kepala. "Ya, ampun, Jupe! Kenapa kau tidak berlatih olahraga saja, sih" Kau kan pernah ikut judo." ia melebarkan tangan dan menggerakkan tubuhnya yang atletis. "Dengan berlatih secara teratur, berat badanmu pasti akan berkurang. Kecuali itu kau akan merasa lebih sehat."
Jupe bersandar pada bangkai pesawat, ia nampak pucat. "Setiap kali aku merasakan dorongan untuk berolahraga," katanya sambil memejamkan mata, "aku cepat-cepat membaringkan diri dan menunggu sampai dorongan itu hilang dengan sendirinya."
Semuanya ketawa. Jupe membuka mata dan tersenyum lebar, ia telah melatih otaknya sampai cemerlang. Dan itu sudah cukup baginya.
"Terima kasih atas makananmu, Jupe," ujar Mr. Andrews. "Sebaiknya kau menjatahkan sisanya untuk tiga hari. Tapi ingat, kita mungkin harus bertahan lebih lama lagi di sini."
"Bagaimana kalau kita cari pertolongan saja"" Pete mengusulkan. "Barangkali saja ada pondok petugas kehutanan di sekitar sini. Atau tempat berkemah, atau sebuah jalan. Bagaimana pun juga kita harus mencari air minum. Ketika mengumpulkan kayu bakar tadi, aku sempat mendengar suara air mengalir di sebelah sana." ia menunjuk ke arah barat daya. "Tempat perke-mahan bia
sanya ada di dekat aliran sungai."
"Kau bisa memakai ini untuk mengangkut air," kata Jupe. Tangannya meraih ke dalam pesawat, lalu mengambil sebuah botol berukuran dua liter yang pernah berisi sari jeruk.
"Oke," ujar Pete, kemudian menyerahkan botol itu pada Bob. "Tolong bersihkan dengan sabun, isi dengan air bersih, lalu masukkan pil iodine ke dalamnya."
Bob meraih botol itu. "No problem* Tapi apa yang akan kaulakukan sekarang""
"Aku lihat jalan setapak di hutan sebelah selatan dari sini. Mungkin hanya lintasan binatang liar, tapi siapa tahu""
"Ide yang bagus, Pete," kata Mr. Andrews. "Saya akan mencoba memanjat tebing." ia mengangguk ke arah dinding granit yang membatasi tepi utara lapangan rumput. Di bagian itu tebingnya tidak terlalu terjal. "Darj atas sana saya bisa melihat sampai jauh. Mudah-mudahan saja saya menemukan menara petugas kehutanan di sekitar sini."
"Ayah sanggup"" tanya Bob dengan nada khawatir. "No problem!"
Kini Mr. Andrews, Pete, dan Bob menatap Jupiter.
"Ehmmm..."Jupe bergumam. "Mungkin ada baiknya kalau saya tetap di sini. Siapa tahu tim penyelamat tiba-tiba muncul""
"Kita perlu lebih banyak kayu bakar," kata Pete. "Kayu yang masih basah, supaya kita bisa membuat api sinyal yang banyak mengeluarkan asap. Dan tolong ambilkan beberapa T-shirt dari koper-koper kita. Kau harus memanjat tiga atau empat pohon, lalu mengikatkan baju-baju itu seperti bendera."
Begitu mendengar penjelasan Pete, Jupe langsung kelihatan letih. Bob tiba-tiba membayangkan sahabatnya yang gendut itu bertengger di puncak pohon. Langsung saja ia ketawa berderai-derai.
"Dan kalau itu semua sudah selesai kaukerja-kan," Pete melanjutkan dengan riang, "kau harus menyusun batu-batu sehingga membentuk tulisan SOS di tengah lapangan. Mungkin saja ada sebuah pesawat yang terbang cukup rendah untuk membaca tulisan itu."
Jupiter mendesah panjang. "Bagaimana kalau aku membangun pondok peristirahatan sekaligus"" ia menawarkan. Yang lainnya ketawa.
"Oke, oke," Jupe mengalah. "Aku akan mengumpulkan beberapa potong kayu basah."
"Jangan cuma beberapa," kata Pete. "Setumpuk!" Kemudian ia dan Bob berangkat.
"Jangan lupa mengingat-ingat jalan yang kalian lewati!" Mr. Andrews berseru. "Di hutan seperti ini orang mudah sekali tersesat"
Bob dan Pete berpencar di tepi lapangan rumput Bob menuju ke barat daya, ke arah suara aliran air yang terdengar secara sayup-sayup. Pete menyusuri jalan setapak dan menghilang ke arah tenggara.
Karena teringat pada pesan ayahnya, Bob memperhatikan jalan yang ia lalui dengan saksama, ia melewati sebuah pohon berbentuk unik-tiga batang pohon telah tumbuh menjadi satu. Beberapa waktu kemudian Bob melewati sebuah batu besar, yang menampilkan cekungan-cekungan mirip mangkok sup. Kelihatannya orang-orang Indian yang dulu pernah tinggal di sini, memanfaatkan cekungan-cekungan itu sebagai tempat menggiling gandum. Bob berusaha mengingat semua keanehan yang dilihatnya sesuai urutan, dan akhirnya tiba di sebuah jalan setapak, ia menyusuri jalan setapak itu ke arah suara aliran air. Semakin lama, suara itu semakin keras.
Tidak lama kemudian Bob telah menemukan sumbernya: sebuah sungai dangkal selebar ku-rang-lebih 6 meter. Sungai itu mengalir di antara batu-batu, dan ranting-ranting pohon yang menjuntai. Di kedua tepinya terhampar batu-batu kerikil yang halus terkena erosi. Airnya jernih sekali, dan kelihatannya bisa diminum.
Bob mencuci botol yang dibawanya dengan sabun dari kotak obat di pesawat. Setelah dibilas sampai bersih, ia mengisi botol itu dengan air, lalu memasukkan pil iodine.
Tugas berikutnya adalah mencari pertolongan. Tapi ke mana ia harus mencari"
Bob teringat pada lembah yang sempat dilihatnya dari pesawat, ia tahu bahwa lembah itu terletak di sebelah barat lapangan rumput, dan bahwa ada sungai di tengah-tengahnya. Mungkin saja sungai itu sama dengan sungai tempat ia berdiri sekarang. Jika perhitungannya tepat, maka lembah itu terletak di sebelah utara. Lembah seindah itu pasti dilengkapi dengan tempat berkemah yang terbuka untuk umum.
ia menyusuri sungai ke arah yang berlawanan dengan aliran air. Hampir sepanja
ng waktu ia bisa berjalan di tepi sungai. Tapi kadang-kadang ia harus membelok untuk menghindari batu-batu besar, semak-semak berduri, atau genangan lumpur. Suara aliran air semakin keras.
Akhirnya ia mengelilingi sekumpulan pohon besar, lalu melangkah ke suatu lapangan terbuka. Di salah satu sisi lapangan ia melihat sebuah air terjun yang cukup tinggi. Pemandangannya benar-benar menakjubkan. Air terjun itu menderu-deru seperti dengung sejuta tawon besar.
Bob menghirup udara yang penuh dengan percikan-percikan air. ia menatap ke arah air terjun, lalu memperhatikan tebing pada kedua sisinya. Aliran air telah mengikis tepi atas tebing selama ribuan tahun, sehingga menghasilkan celah yang dalam.
Kalau inilah air terjun yang sempat dilihat Bob dari pesawat, maka lembahnya ada di balik tebing. Dan untuk mencapainya Bob harus memanjat dinding, granit di hadapannya. Masalahnya, dari mana ia harus mulai"
Bob mempelajari dinding batu yang tegak lurus itu, dan menemukan sebuah tempat untuk menginjakkan kaki. ia meletakkan botol airnya, melewati hamparan batu-batu, kemudian mulai memanjat. Ia naik pelan-pelan. Setiap tonjolan dan akar pohon digunakannya sebagai pegangan.
Tiba-tiba saja beberapa batu kerikil mengenai kepala Bob. Ia mendengar suara gemuruh, dan langsung mendongak. Dengan mata terbelalak Bob melihat sebuah batu besar sedang meluncur ke arahnya!
4. Kesulitan Baru Kecepatan batu-batu longsor di atas Bob semakin tinggi. Tapi Bob tidak bisa mundur. Rasa takut seakan-akan mencekik lehernya. Ini bukan waktu untuk berpikir, ini waktu untuk bertindak!
Sambil merapatkan badan pada permukaan tebing, ia langsung berusaha menghindar. Keringat dingin membanjiri keningnya. Debu halus yang menempel pada bebatuan membuat hidungnya terasa gatal.
Dengan panik Bob bergerak ke kiri.
Suara gemuruh tadi semakin memekakkan telinga.
Batu-batu yang longsor meluncur di samping Bob. Kerikil-kerikil tajam menusuk-nusuk kulitnya seperti ribuan jarum.
Longsoran batu itu menghantam hamparan batu di kaki tebing. Baru sekarang Bob menyadari bahwa tumpukan batu dan kerikil itu terbentuk oleh puluhan tanah longsor seperti ini. Batu-batuan pada tebing ini tidak stabil. Tebing ini tidak aman untuk dipanjat!
Bob memejamkan mata. Rasa ngeri akibat kecelakaan yang nyaris menimpanya membuat jantung anak itu berdetak dengan kencang.
Tetapi ia tidak bisa berdiri di sini untuk selamanya.
ia membuka mata dan memandang ke sekeliling. Apa yang harus dilakukannya sekarang" Naik" Atau turun lagi"
Kemudian ia melihat pemandangan yang aneh. Tempat pegangan tangan-atau tempat untuk menginjakkan kaki. Bukan, kedua-duanya! Dan sepertinya buatan manusia! Tak ada kekuatan alam yang bisa membuat jalur pegangan tangan dan pijakan kaki dengan begitu sempurna.
Dengan tubuh masih agak gemetar, Bob pindah dari celah sempit tempat ia bergelantungan ke jalur pegangan tangan dan pijakan kaki yang lebih aman. Baru sekarang ia melihat bahwa jumlahnya cukup banyak. Pegangan tangan serta pijakan kaki itu membentuk jalur memanjat yang rapi namun berbahaya. Jalur yang menuju ke bagian kiri tebing itu mungkin dibuat oleh orang-orang Indian, lebih dari seratus tahun lalu.
Bob melirik jam tangannya. Hari sudah menjelang sore. Yang lain pasti sudah menunggunya.
Ia terus merayap naik. Beberapa saat ia mencapai celah di atas air terjun, ia terus bergerak berlawanan dengan arah aliran air.
Dan kini ia berhadapan dengan lembah indah yang sempat dilihatnya dari udara. Lembah itu tertutup hutan, dan memanjang jauh ke arah cakrawala. Tebing-tebing yang membatasinya terbuat dari granit. Sungai di bagian tengah mengalir pelan dan penuh damai, berbeda sekali dengan arus deras yang jatuh melewati tepi tebing. Namun harapan Bob tidak terkabul, ia tidak menemukan tempat perkemahan seperti yang diharapkannya.
Angin yang bertiup dari sebelah utara membawa bau belerang yang tajam. Ini berarti bahwa mungkin ada sumber air panas di sini. Kedua mata Bob terasa perih sekali. Ia memalingkan kepala, kemudian menoleh lagi untuk terakhir kalinya.
Rasanya sudah lama sekali sejak ia, Jupe, Pete, dan ayahnya melihat
lembah ini dari pesawat. Begitu banyak yang terjadi sejak itu. Mereka beruntung bahwa mereka masih hidup sekarang. Kalau bukan karena keahlian ayahnya sebagai pilot ketika sistem elektrik tiba-tiba mati...
Bob membuang pikiran itu jauh-jauh, lalu berbalik untuk kembali menyusuri jalur memanjat, ia lewat di tempat ia nyaris menjadi korban tanah longsor, kemudian menyeberang sebuah tonjolan sempit yang ditumbuhi semak-semak. Setelah beberapa belas meter, jalur memanjat mulai menurun lagi.
Entah kenapa orang-orang Indian tidak ingin orang lain mengetahui jalur yang mereka buat untuk mencapai lembah tadi. Ketika jalur itu sudah cukup dekat ke kaki tebing, sehingga kelihatan dari bawah, letaknya malahan berjauhan dari ruang terbuka di sekitar air terjun.
Bob segera melompat ke tanah, lalu melirik jam tangannya. Sekarang ia benar-benar terlambat!
Ia bergegas ke tempat ia meninggalkan botol air, menyambarnya tanpa berhenti, lalu berlari menyusuri lintasan binatang liar yang membelah hutan. Kemudian ia meninggalkan jalan setapak itu, dan menyusuri patokan-patokan yang sempat ia hafalkan tadi-tapi kini dalam urutan terbalik.
Ketika Bob sampai di lapangan rumput, matahari sudah hampir terbenam. Bob merasa letih, tapi gembira. Tunggu saja sampai yang lain mendengar apa yang baru saja dialaminya!
*** Setelah berpisah dari Bob, Pete mulai menyusuri jalan setapak yang ia temukan pada waktu mengumpulkan kayu bakar. Jalan itu menuju ke hutan lebat di sebelah tenggara-sesuai dengan perkiraan Pete.
Sinar matahari menyusup di antara daun-daun, dan menghasilkan pola gelap-terang di tanah. Di atas kepala Pete dahan-dahan besar nampak saling bersilangan, dan kadang-kadang menghalangi pandangan ke langit Udara berbau tanah dan daun cemara.
Pete terus menyusuri jalan setapak itu selama setengah jam. Sepanjang waktu ia berusaha menemukan jejak manusia, ia melihat jejak rusa dan kucing hutan, juga tumpukan kotoran kijang dan beruang. Namun dengan kecewa ia menyadari bahwa tak ada bekas sepatu lars atau sepatu tenis. Dalam hati Pete masih berharap untuk mencium bau asap dari sebuah api unggun, mendengar suara mesin mobil, atau melihat tiang telepon. Tapi harapannya tidak menjadi kenyataan.
Tiba-tiba Pete merasa bahwa sesuatu sedang mendekatinya dari belakang-sejajar jalan setapak dan dengan kecepatan tinggi. Seseorang atau seekor binatang.
Ia mendengar bunyi keresek-keresek.
Pete langsung berhenti dan memasang telinga sambil berkonsentrasi penuh. Tanpa bersuara ia meninggalkan jalan setapak, lalu bersembunyi di balik sebatang pohon.
Bunyi tadi semakin mendekat-hampir di depan Pete-dan kemudian berlalu begitu saja. Pete tidak sempat melihat apa-apa.
Bulu kuduknya berdiri. Apa yang menimbulkan bunyi itu"
"Hei!" Pete berseru keras-keras. Jika bunyi itu ditimbulkan oleh seekor binatang, maka Pete berharap agar suaranya mengusir binatang itu. "Stop!" Seorang manusia pasti akan berhenti untuk mencari tahu siapa yang berteriak, dan mengapa.
Pete berdiri seperti patung. Tak ada lompatan tiba-tiba. Tak ada bunyi langkah menembus semak-semak. Namun bunyi keresek tadi tetap menjauh, seakan-akan Pete tidak pernah berteriak.
Pete mulai mengejar suara itu. Ia berlari dengan sekuat tenaga. Beberapa saat kemudian ia mengurangi kecepatan, dan kembali memasang telinga. Suara keresek-keresek kembali terdengar.
Pete meninggalkan jalan setapak, lalu menerobos ke dalam hutan.
Kemudian ia melihat sebuah sosok-seorang laki-laki. Sosok itu nyaris tak kelihatan karena bergerak di bawah bayang-bayang pepohonan.
"Stop!" Pete berseru sambil mengejar sosok misterius itu. "Saya ingin bicara dengan Anda! Kami butuh pertolongan!"
Sosok itu nampak ragu-ragu. Irama langkahnya jadi kacau. Tapi kemudian ia kembali menambah kecepatan, dan menghilang di bagian hutan yang paling gelap.
Pete terus mengejarnya. Orang macam apa yang tidak mau menyahut kalau dimintai tolong" Dengan gesit Pete melewati sekumpulan pohon-pohon besar.
Sosok misterius itu telah menghilang. Lenyap! Sikap orang-atau hantu!-itu benar-benar menyeramkan.
Pete berhenti untuk mengamati sekitarnya. Tapi tak ada apa-apa
. "Saya hanya ingin bicara dengan Anda!" Pete berseru. "Saya dan teman-teman saya tersesat di sini!" Ia menunggu.
Tak ada jawaban. "Kami tidak akan menyakiti Anda..." Hening. Aku harus menemukan orang itu, pikir Pete, lalu mulai memeriksa daerah sekeliling.
Tiba-tiba saja ia teringat pada waktu, ia melirik jam tangannya. Hari sudah sore. ia harus segera kembali.
Tapi kembali ke mana"
Dasar ceroboh! Pete memaki dirinya sendiri, ia bahkan tidak tahu di sebelah mana jalan setapak yang disusunnya tadi! Dan selama mengejar sosok misterius itu, ia sama sekali tidak ingat untuk memperhatikan patokan-patokan di sepanjang jalan.
Rasa panik mulai menguasai Pete. Secara mendadak ia sadar bahwa ia telah tersesat!
5. Di Mana Mr. Andrews"
Pete menarik nafas dengan pelan. Hei, santai saja! ia berkata pada dirinya sendiri. Kau berhasil sampai di sini. Sekarang tinggal cari cara untuk kembali!
Sekali lagi Pete melirik jam tangannya. Kemudian ia pindah ke suatu tempat di mana ia bisa melihat posisi matahari dengan jelas.
Pete mulai berpikir. Ketika menyusuri jalan setapak dan menjauh dari lapangan rumput, ia berjalan ke arah tenggara. Pada waktu itu matahari berada di atas bahu kanannya. Kini matahari sudah lebih rendah. untuk menuju ke arah barat laut, matahari harus berada di sebelah kiri, hampir setinggi dadanya.
Menemukan sebuah lapangan rumput di tengah hutan lebat merupakan tugas yang hampir mustahil. Tapi mau tidak mau Pete harus mencobanya.
ia bergerak dengan hati-hati. Pandangannya selalu mengawasi posisi matahari. Burung-burung berkicau. Angin menerpa puncak pepohonan. Binatang-binatang kecil berlari menjauh ketika mendengar langkah Pete.
Pete berjalan selama satu jam. Sial, aku belum mengenali apa-apa, ia berkata pada dirinya sendiri.
Matahari semakin rendah. Tinggal sejam lagi sampai matahari tenggelam di sebelah barat Tiba-tiba Pete kembali mendengar suara langkah di hutan, ia hendak memanggil, namun kemudian berubah pikiran. Tanpa berkata apa-apa ia berjalan mengikuti suara itu.
Suara langkah ini, yang lebih berisik dibandingkan dengan yang ia dengar tadi, membawanya ke arah utara.
Pete mungkin sudah kehilangan akal! Seharusnya ia berusaha kembali ke lapangan rumput, bukannya membiarkan diri semakin tersesat!
Suara langkah itu berhenti.
Selama sedetik Pete nampak ragu-ragu. Tapi setelah itu ia segera melesat maju-dan berhenti mendadak.
"Bob!" Pete berseru dengan heran.
Bob menoleh ke belakang. "Hallo, Pete! Bagaimana, kau berhasil menemukan sesuatu"" ia bertanya sambil tersenyum.
Pete ketawa. ia lega sekali karena akhirnya menemukan seseorang yang mau menyahut! Sambil membungkuk ia menyeruduk ke depan.
"Aduuuh!" Bob berseru, lalu ikut ketawa.
Pete menabrak perut Bob, kemudian memanggul sahabatnya ke lapangan rumput.
"Hei, aku baru saja bertemu dengan seseorang yang kukenal!" kata Pete. "Kau!" Tawanya meledak-ledak.
Bob melepaskan diri dari cengkeraman Pete, dan menggelengkan kepala. "Dasar sinting! Apakah pernah ada yang memberitahumu bahwa kau tidak waras""
"Ada!" jawab Pete. "Kau!"
Pete merangkul bahu Bob. Bersama-sama, dan sambil bertukar cerita, mereka menuju bangkai pesawat.
"Tanah longsor"!" ujar Pete. "Astaga, untung saja kau tidak tergencet di bawah batu-batu itu!"
"Dan kau sendiri"" balas Bob. "Kau tersesat gara-gara hantu hutan!"
Kedua pemuda itu menggeleng seakan-akan tidak percaya pada kesialan beruntun yang menimpa mereka.
"Eh, lihat tuh! Jupiter lebih sukses dari kita berdua," kata Bob sambil menunjuk ke depan. "Asap api itu cukup tebal untuk menarik perhatian petugas kehutanan!"
Jupe duduk di samping api unggun yang mengeluarkan asap tebal. Menjelang malam suhu udara semakin turun, sehingga Jupe mengancingkan jaketnya sampai ke kerah, ia telah mengeluarkan semua ransel dari pesawat, lalu menyiapkan tempat bermalam seadanya. Tanah dalam radius 2 meter dari api unggun sudah dibersihkan dari daun kering, rumput, serta benda-benda lain yang mudah terbakar. Tumpukan daun cemara tinggal diatur sebagai tempat tidur darurat.
"Sergapanmu hebat juga," Jupe berkata pada Pete, ketika melihat kedua sahabatnya mendekat.
" Pete cuma gembira karena bertemu aku," Bob menjelaskan.
Jupe segera menatap tubuh Pete yang penuh otot. "Mudah-mudahan saja aku tidak disambut dengan cara yang sama."
"Apakah kau lebih suka kalau aku menciummu"" tanya Pete.
"Coba saja!" Jupe mengancam. "Bibirmu akan mengering dan copot dari mulut!"
Ketiga sahabat itu ketawa. Pete dan Bob mengenakan jaket masing-masing, lalu berdiri di dekat api. Sambil menghangatkan tangan, keduanya melaporkan hasil pencarian mereka pada Jupe.
Bob memandang sekeliling. "Mana ayahku""
"Belum datang," jawab Jupe.
"Seharusnya dia sudah lama kembali ke sini," ujar Bob cemas. Ia menatap ke arah tebing dan teringat pada luka memar pada kepala ayahnya. Langsung saja ia bergegas ke arah sana.
"Hei, tunggu dong!" Pete berseru, lalu menyusul.
Jupe mendesah, ia pun merasa khawatir. Tapi ia tidak bisa ikut, sebab salah satu dari mereka harus tetap mengawasi api unggun. Jupe tahu bahwa api unggun yang dibiarkan menyala tanpa pengawasan bisa menimbulkan kebakaran hutan.
Pete mengamati langit di sebelah barat. Setengah jam lagi matahari akan menghilang di balik cakrawala. Dan tidak lama setelah itu keadaan akan menjadi gelap gulita.
Bob segera mulai memanjat tebing. Batu-batu di sini ternyata cukup kokoh, karena tidak terkikis seperti tebing di sekitar air terjun. Kecuali itu lapisan-lapisan batu granit nampak bertumpuk-tumpuk seperti tangga raksasa, sehingga tidak terlalu sulit dinaiki. Namun Bob dan Pete tetap harus berhati-hati. Permukaan batu di beberapa tempat sangat licin, akibat dipoles oleh gerakan lapisan es beberapa ribu tahun silam.
Ketika sampai di atas, Pete dan Bob berdiri di tepi tebing. Napas mereka tersengal-sengal.
Dengan cemas Bob memandang sekitar. "Aku tidak melihatnya," ia berkata.
"Barangkali ayahmu sedang duduk dan beristirahat," Pete mencoba menenangkan sahabatnya.
Di bawah mereka terdapat pemandangan yang hendak dilihat oleh Mr. Andrews. Gunung-gunung berhutan menghampar sejauh ratusan mil. Matahari yang sudah hampir tenggelam membanjiri puncak-puncak gunung dengan cahaya keemasan. Lembah-lembah sebaliknya nampak hitam pekat Sejauh mata memandang tidak ada menara petugas kehutanan.
Mereka berbalik, lalu mulai memeriksa bagian atas tebing. Daerah itu datar, penuh batu-batu berserakan. Di sebelah utara dataran ini, Pete dan Bob melihat tepi hutan cemara. Hutan itu merayap sampai ke punggung bukit yang nampak melebar di kejauhan. Diamond Lake terletak di balik bukit itu.
Pete dan Bob berpencar lagi.
"Ayah!" "Mr. Andrews! "Ayah!" Angin dingin menyapu dataran tempat mereka berdiri. Bob mulai menggigil. Di mana ayahnya" Ayahnya tidak mungkin pergi jauh-jauh tanpa memberi tahu siapa-siapa.
Dan kemudian ia melihatnya: topi pet bertulisan Los Angeles Dodgers milik ayahnya.
"Ayah!" Bob memanggil dengan nyaring. Ia menghampiri topi pet yang tergeletak di samping semak-semak. "Ayah!" Mr. Andrews pasti tidak jauh dari sini. "Ayah ada di mana""
"Hei, kau menemukan sesuatu"" Pete bertanya sambil mendatangi Bob.
Bob segera menunjukkan topi ayahnya. "Ini topi kesayangan ayahku. Ia tidak mungkin membiarkannya tergeletak di sini. Pasti telah terjadi sesuatu. Mungkin ia cedera. Atau pusing dan bingung. Atau tersesat."
"Coba kulihat dulu," kata Pete. Ia memeriksa topi Mr. Andrews dari segala sudut. Topi itu ternyata tidak sobek, kotor, maupun berdarah.
"Ayah!" Bob kembali berseru.
"Jangan panik! Mungkin saja topi ini terjatuh tanpa sengaja."
Bob menggeleng dengan pasti. "Tidak mungkin. Ini adalah topi keberuntungan ayahku."
Pete memungut beberapa batu sebesar kepalan tangan. "Aku akan membuat tanda di sini, supaya kita bisa ingat di mana kita menemukan topi ayahmu. Kau terus saja mencari."
Bob mengangguk dan kembali memanggil-manggil ayahnya.
Pete melirik ke arah matahari tenggelam. Dengan cepat ia membuat tumpukan batu-sebuah tanda yang umum digunakan oleh para pencinta alam. Kemudian ia ikut mencari, ia tidak mau menunjukkan pada Bob bahwa ia pun mencemaskan nasib Mr. Andrews.
Bob dan Pete membentuk corong dengan tangan masing-masing, lalu mulai memanggil. Tetapi seruan mereka tersapu oleh tiupa
n angin. Mereka mencari di balik batu-batu besar, di belakang pohon-pohon, serta di dalam retakan-retakan batu granit
"Kita harus kembali ke pesawat," Pete akhirnya menyerah.
"Jangan dulu!" Bob memprotes. Sambil terus mencari, ia mendekati hutan yang membatasi dataran di atas tebing.
"Ayo!" Pete mendesak. "Ayahmu pasti ingin agar kita kembali!"
"Tidak!" Bob bisa merasakan bahwa ayahnya berada tidak jauh dari mereka.
"Ayahmu pasti marah besar kalau tahu bahwa kita juga tersesat!" Pete berseru.
Bob berhenti, ia nampak putus asa.
"Ayo, Bob! Matahari sudah hampir tenggelam," Pete berkeras. "Sebentar lagi kita tidak bisa lihat apa-apa."
Bob membalik. Logika Pete berhasil membujuknya. Tapi ia belum mau menyerah. Besok pagi-pagi aku mulai lagi, ia berjanji dalam hati.
Mereka menyusuri tepi tebing sampai menemukan tempat di mana mereka memanjat ke atas tadi. Mereka turun lewat jalan yang sama. Bulan di langit nampak hampir bulat, tetapi pantulan cahayanya tidak cukup terang untuk meneruskan pencarian.
Sambil menggigil kedinginan, Pete dan Bob bergegas ke arah camp yang disiapkan oleh Jupe. Mereka dikelilingi kegelapan. Api unggun di depan mereka merupakan satu-satunya patokan.
"Belum berhasil"" tanya Jupe.
"Kami hanya menemukan topi Mr. Andrews," jawab Pete. Kemudian ia melaporkan apa yang mereka lihat di atas. Bob duduk di atas sebuah batu. ia nampak sedih sekali. Sambil membisu ia menatap lidah api yang menari-nari di depannya.
Jupe mengerutkan kening dan menatap Pete. Pete mengangguk. Mereka harus menghibur Bob.
"Eh," Pete tiba-tiba berkata. "Katanya grup 'Hot Pistons' benar-benar hebat, ya"" Yang dimaksudnya adalah sebuah band yang ditangani oleh perusahaan pencari bakat tempat Bob bekerja.
"Ya, kemampuan mereka memang di atas rata-rata," Bob menjawab lesu, sambil terbengong-gengong.
"Yah," Jupe melanjutkan, "apa judul album mereka yang terbaru""
"Low to the ground'," jawab Pete. "Hei, Bob! Kau hafal liriknya""
"Sudahlah, Pete. Aku tidak..."
"Ayo dong, Bob! Tempat ini membuatku gelisah," Pete berbohong.
"Oke, deh...'Cruisin' in my Chevy down the Coast Highway...'" Bob mulai bernyanyi.
Kedua sahabatnya segera bergabung. Dalam waktu singkat nyanyian mengenai mobil-mobil kencang telah memenuhi udara malam. Pete memungut sepotong kayu, lalu mulai berlagak seperti pemain gitar. Namun Pete pun sempat terkejut ketika Jupe tiba-tiba berdiri, lalu bergoyang seirama dengan lagu yang mereka dendangkan. Kemudian, dengan wajah merah padam, ia berganti peran dan mulai meniru tingkah pemain drum. Mau tidak mau Bob terbawa arus kegembiraan, sehingga untuk sesaat ia melupakan pikiran suram mengenai nasib ayahnya.
Setelah menyanyikan beberapa lagu, ketiga sahabat itu bersiap-siap untuk tidur.
"Buka baju yang kalian pakai sekarang," Pete berkata pada Jupe dan Bob, "lalu pakai svmua baju lain yang ada. Tidak baik tidur dengan baju lembap di alam terbuka."
Jupe menggerutu, tapi ia sadar bahwa Pete benar. Suhu udara pasti turun lagi menjelang subuh, sedangkan api unggun mungkin sudah padam pada waktu itu.
Setelah kedua sahabatnya mengancingkan jaket masing-masing, Pete kembali mengatur. "Sekarang lakukan hal yang sama dengan kaos kaki kalian. Jangan pakai sesuatu yang sudah kalian pakai tadi. Kaos kaki yang basah akan menyedot panas tubuh kalian."
Sambil menyeringai karena terpaksa mencium bau jempol, Bob dan Jupe menuruti anjuran Pete.
Jupe mengambil jatah makanan untuk malam ini dari pesawat, lalu membagi-bagikannya. Mereka makan dengan lahap. Kemudian mereka membuat tempat tidur dengan daun-daun cemara.
Pete membawa kantong-kantong popcorn yang telah kosong kembali ke pesawat. "Jika kita membiarkan sampah bekas makanan tergeletak," katanya, "maka kita akan kedatangan tamu tak diundang. Binatang-binatang liar memiliki penciuman yang sangat tajam. Mereka akan datang untuk berfoya-foya. Apa jadinya kalau seekor puma menyangka bahwa kita hidangan utamanya""
Ketiga sahabat itu membungkus diri dengan selimut, lalu berbaring mengelilingi api unggun. Lidah api yang biru dan Jingga kekuning-kuningan nampak menari-nari.
Mereka memejamkan mata. Mereka pe
rlu istirahat agar tenaga mereka pulih kembali besok. Begitu bangun mereka akan segera meneruskan pencarian atas Mr. Andrews!
Tiba-tiba saja Jupe teringat pada sesuatu. "Hei, Bob!" ia bergumam sambil terkantuk-kantuk. "Bagaimana dengan lensa kontakmu""
"Jangan khawatir, Jupe," jawab Bob. "Aku menggunakan lensa jenis baru, yang bisa dipakai terus menerus selama seminggu."
"Dan kita pasti sudah pergi dari sini sebelum lensa kontak yang kaupakai mulai menempel di bola matamu," Pete berkomentar.
Sambil ketawa ketiga anggota Trio Detektif bersiap-siap untuk tidur.
Pete dan Jupe segera terlelap. Namun lain halnya dengan Bob. Ia tetap membuka mata dan menatap bintang-bintang yang gemerlapan di langit malam. "Ayah tidak perlu khawatir," ia berbisik dengan lembut. "Kami pasti datang!"
Bob memejamkan mata. Seekor burung hantu berteriak. Beberapa anjing hutan melolong bersahut-sahutan. Bob seperti mendengar suara mobil di kejauhan. Tapi pada malam hari di tengah alam bebas memang sukar untuk membedakan antara khayalan dan kenyataan.
Ia menarik napas panjang. Tak ada gunanya untuk tetap terjaga. Perlahan-lahan otot-otot Bob mulai mengendur. Rasa kantuk mulai menyerang, dan Bob pun tenggelam dalam alam mimpi.
6. Pelari Misterius Matahari nampak pucat di atas lereng-lereng gunung di sebelah timur lapangan rumput. Ketiga anggota Trio Detektif segera berdiri, lalu menggerak-gerakkan badan. Api unggun telah lama padam. Sepanjang malam tidak ada yang menambahkan kayu bakar. Untung saja tubuh anak-anak itu terbungkus selimut serta pakaian tebal.
"Semalam suhu tidak jatuh ke bawah titik beku," Bob berkata sambil memperhatikan air dalam botol minum yang tidak berubah menjadi es. "Mudah-mudahan saja ayahku tidak terlalu kedinginan."
Ketiga detektif muda menghabiskan sisa popcorn sebagai sarapan. Batang-batang coklat mereka simpan untuk makan malam. Mereka menjemur selimut masing-masing, lalu membuka baju serta kaos kaki tambahan.
Bob keluar dari pesawat sambil membawa sebuah buku catatan. "Catatan ayahku," ia menjelaskan. "Pada halaman pertama ada tanggal kemarin, dan nama seorang pria: Mark MacKeir. Kalian pernah dengar namanya""
"Belum," Pete dan Jupe menjawab berbarengan.
"Barangkali orang inilah yang seharusnya ditemui oleh ayahku," Bob menduga-duga. "Tanggalnya cocok, dan ayahku tidak membawa buku catatan lain." Ia menyelipkan buku kecil itu ke dalam kantong dada. Kemudian ketiganya menuju ke tebing.
Bob yang pertama naik. Setelah sampai di atas, ia menunggu yang lain di dekat tanda yang dibuat Pete. Sambil bertolak pinggang ia mengamati dataran yang penuh dengan batu berserakan. Karena memakai topi pet ayahnya, ia kelihatan seperti Mr. Andrews pada waktu masih muda.
"Oke," Bob berkata dengan tegas, "kita akan berpencar lagi sekarang. Semalam Pete dan aku sudah memeriksa daerah sekitar sini. Aku akan menuju lebih ke utara, ke arah tepi hutan. Kalian mencari di sebelah kiri dan kanan. Dalam satu jam kita ketemu lagi di sini, oke""
Pedang Langit Dan Golok Naga 38 Pendekar Bloon 8 Hianat Empat Datuk Dalam Derai Hujan 4
^