Bisnis Kotor 2
Trio Detektif 48 Bisnis Kotor Bagian 2
Ketiga sahabat itu mencocokkan jam tangan, kemudian berpencar untuk meneruskan pencarian di antara batu-batu besar. Mereka memanggil-manggil Mr. Andrews, dan memeriksa setiap celah serta retakan pada permukaan batu cadas-tanpa hasil.
Dalam waktu singkat mereka telah menyapu daerah yang cukup luas. Ketika kembali, masing-masing berharap agar temannya lebih beruntung dan berhasil menemukan Mr. Andrews.
Namun rupanya mereka masih saja dibuntuti oleh nasib buruk.
Tumpukan batu yang menunjukkan tempat Bob menemukan topi ayahnya telah lenyap.
"Mana tanda yang kita buat"" Pete keheranan.
Perlahan-lahan mereka berjalan di atas batu granit yang berwarna abu-abu.
"Seharusnya ada sini," kata Bob.
"Bukan, di sini," ujar Pete.
"Dua-duanya bukan," Jupe berkata dengan yakin. "Tanda itu mestinya berada di sini. Aku ingat bercak bekas lumut pada permukaan batu ini. Aku tahu bahwa kita tadi mulai mencari dari sini."
Ia membungkuk, memungut sebuah puntung rokok, kemudian mengamatinya dengan saksama. "Coba perhatikan puntung rokok ini," katanya. "Warnanya masih putih bersih. Berarti puntungnya belum lama tergeletak di sini. Aku y
akin, puntung ini belum ada di sini waktu kita berpencar tadi. Aku pasti melihatnya, begitu juga kalian."
"Apa maksudmu"" tanya Pete.
"Jupe hendak mengatakan bahwa ada orang yang datang ke sini," ujar Bob sambil merenung. "Seorang perokok. Orang itulah yang menyingkirkan tanda kita. Dia juga mengawasi segala gerak-gerik kita."
"Paling-paling anak-anak iseng," kata Jupe sambil memperhatikan puntung rokok di tangannya. Sebuah pita berwarna hijau melingkari filter puntung itu. "Kelihatannya seperti rokok mahal." Ia memasukkan puntungnya ke dalam kantong baju.
"Kita harus meneruskan pencarian," Bob memutuskan. "Ayahku tidak ada di Sini. Aku rasa kita sebaiknya pindah ke daerah yang didatangi Pete kemarin. Pete sempat melihat seseorang. Mungkin saja ayahku."
"Rasanya sih bukan," kata Pete.
"Belum tentu," Bob berkeras. "Kau tidak sempat melihat orang itu dengan jelas, bukan" Jika kepala ayahku terbentur lagi. maka ada kemungkinan bahwa ia kehilangan arah dan tersesat sampai ke sana."
"Tapi kalau itu memang ayahmu," ujar Pete, "kenapa dia tidak menyahut ketika aku memanggilnya""
Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan itu.
"Paling tidak kita bisa mencari tahu siapa yang kaulihat di sana," Bob menanggapi pertanyaan Pete. "Dan siapa tahu di sana juga ada pos petugas kehutanan. Mereka pasti bisa membantu kita."
Jupe dan Pete saling bertatapan, lalu mengangguk Usul Bob memang masuk akal. Dinas kehutanan memiliki semua perlengkapan yang diperlukan untuk melancarkan pencarian besar-besaran.
*** Mereka kembali ke camp. Bara api kelihatannya sudah padam. Tetapi untuk berjaga-jaga, Jupe menimbunnya dengan tanah. Pete dan Bob mengatur batu-batu sehingga membentuk tulisan SOS di tengah lapangan rumput. Kemudian mereka mengisi kantong masing-masing dengan beberapa batang coklat. Bob membawa botol berisi air minum.
"Jangan lupa bawa selimut," Pete mengingatkan kedua sahabatnya. "Dan kotak obat. Aku sempat kesasar kemarin. Sebaiknya kita mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan terburuk."
Bob dan Jupe mengangguk. Dalam hati Bob menyesalkan bahwa ayahnya tidak punya selimut semalam.
Sinar matahari menembus puncak pepohonan, dan membentuk kerucut-kerucut terang di antara bayang-bayang hutan. Sambil beriring-iringan, Bob, Pete, dan Jupe menyusuri jalan setapak yang dilewati Pete kemarin sore. Pandangan Bob, yang masih mengenakan topi ayahnya, terus beralih dari kiri ke kanan.
Mereka baru saja sampai di tepi suatu lapangan terbuka, ketika mereka mendengar suara pesawat.
"Ya, Tuhan!" Jupe berseru.
Ketiga sahabat itu langsung berlari ke tengah lapangan. Mereka melambaikan tangan ke arah pesawat yang terbang tinggi di atas hutan. Mereka berteriak-teriak. Pete mengeluarkan selimut, lalu mengayunkannya dengan liar. Bob dan Jupe melakukan hal yang sama. Dalam keputus-asaannya, Bob sampai melompat-lompat di tempat. Ia memerlukan bantuan untuk menemukan ayahnya.
"Hei, kami ada di sini!"
"Lihat ke bawah!"
Namun pesawat itu meneruskan perjalanan, dan akhirnya menghilang di balik gunung.
"Mudah-mudahan saja mereka lihat tanda SOS kita!" ujar Bob penuh harap.
Tapi semuanya sadar bahwa pesawat itu terbang terlalu tinggi.
Bob kembali menyusuri jalan setapak. "Kita harus menemukan ayahku-biarpun tanpa bantuan mereka."
Dengan tekad bulat ketiga sahabat itu berangkat lagi.
Perut Pete berbunyi. Begitu juga perut Jupe.
"Wah, suaranya stereo!" Pete bergurau.
"Dasar sinting!" Bob menanggapinya sambil tersenyum.
Tiba-tiba Pete berhenti, dan menempelkan jari telunjuk pada bibir. Ia memandang ke sebelah kiri.
Bob sepera menoleh ke arah yang sama. ia melihat dahan-dahan semak belukar di antara pohon-pohon bergerak-gerak. Ayah! langsung terlintas kepalanya. Sayup-sayup terdengar suara langkah. Dan kemudian Bob melihat penyebabnya-sebuah sosok langsing, berpakaian rompi dan celana kulit, bergerak dengan gesit di antara bayang-bayang pohon. Bob kecewa sekali. Ternyata bukan ayahnya.
Pete menunjuk ke arah jalan setapak. Jupe dan Bob segera paham bahwa Pete menginginkan mereka tetap di tempat. Sedetik kemudian pemuda itu telah menghilang di hutan.
Jupe dan Bob bergegas menyusuri jalan setapak. Mereka berusaha untuk mengimbangi kecepatan Pete. Mereka mendengar bunyi dahan patah, dan beberapa kali melihat Pete. Namun orang yang sedang dikejarnya tidak menampakkan diri lagi.
Pete melesat di antara batang-batang pohon. Ia yakin bahwa orang di depan adalah orang yang sempat ia lihat pada hari sebelumnya. Tetapi hari ini langkah Pete lebih ringan dibandingkan kemarin. Sang pemburu dan buruannya terus beradu cepat, sampai Pete menyadari bahwa irama langkah orang itu mulai berubah. Rupanya dia sudah mengetahui kehadiran Pete.
Orang itu membelok ke kanan, melewati sekelompok pohon besar, dan berusaha untuk melepaskan diri dari kejaran Pete-persis seperti kemarin.
Namun kali ini Pete tidak mau tertipu Ia segera membelok ke kiri, dan melewati kelompok pohon itu pada sisi berlawanan. Ketika hampir mengelilinginya, ia berhenti secara mendadak. Perlahan-lahan ia membalik badan. Matanya nyaris copot dari kepala.
Pete menatap sepasang mata berwarna hitam milik seorang pemuda yang sebaya dengannya.
Pemuda Indian itu mengenakan rompi kulit dan celana jeans. Ia berdiri seperti patung. Bahkan matanya pun tidak berkedip.
Pete menarik napas. "Hei, kami butuh pertolongan..." ia mulai berkata.
Mulut pemuda Indian itu tetap tertutup rapat. Secepat kilat ia berbalik, lalu berlari menjauh- nyaris tanpa bersuara.
Pete berusaha mengejarnya, tetapi pemuda itu telah menghilang. Belum pernah Pete bertemu dengan pelari secepat itu.
Pete tetap berlari. Namun akhirnya ia sadar bahwa usahanya sia-sia. Ia kesal sekali karena pemuda Indian itu menolak untuk bicara dengannya, serta tidak bersedia membantu.
Sementara itu Bob dan Jupe terus menyusuri jalan setapak. Bob berlari di depan. Jupe berusaha keras agar tidak ketinggalan terlalu jauh. Jalan setapak itu seakan-akan tak berujung, terutama pada saat-saat Pete menghilang di antara pepohonan.
Tiba-tiba saja Pete muncul beberapa puluh meter di depan mereka. Napasnya tersengal-sengal. Rambutnya nampak acak-acakan, dan wajahnya basah karena keringat
"Kalian sempat lihat orang itu"" tanya Pete, ketika Bob dan Jupe menghampirinya.
"Siapa"" "Pemuda Indian itu!"
"Apa"" Bob berseru keheranan.
"Brengsek! Berarti dia lolos lagi," ujar Pete. "Ayo, kita jalan."
Rombongan kecil itu mengikuti jalan setapak yang naik-turun sesuai keadaan medan. Pete menceritakan apa yang baru saja dialaminya.
"Hmm, jadi dia kabur ke arah ini," kata Bob sambil mengerutkan kening.
"Aku jadi ingin tahu apa yang ada di depan kita," Pete berkomentar.
"Aku tidak peduli apa yang menunggu kita di sana," Jupe mengeluh, "asal jaraknya tidak terlalu jauh dari sini."
Karena merasa kasihan pada Jupe, Bob memutuskan untuk beristirahat selama lima menit. Kemudian mereka kembali berjalan.
Matahari semakin tinggi di langit. Perlahan tapi pasti sinarnya mengusir kabut tipis yang menggantung di atas lembah-lembah. Kupu-kupu mulai beterbangan. Burung-burung berkicau. Bau cemara dan keringat bercampur baur menjadi satu.
Pete berjalan dengan cepat, ia mendahului Bob dan Jupe, kemudian menunggu sampai mereka menyusul. Setelah tiga kali, ia berseru pada mereka agar bergegas.
"Ada apa, sih"" tanya Bob.
"Awas kalau tidak ada apa-apa!" Jupe menambahkan dengan geram.
"Ayo, cepat!" Pete mendesak. "Apa kalian tidak tertarik melihat jalan ini""
Bob dan Jupe langsung mempercepat langkah. Pete ternyata berdiri di tepi jalan tanah yang sempit. Jalan itu muncul di antara pohon-pohon di sebelah timur-laut, kemudian kembali menghilang di tengah-tengah hutan di sebelah barat-daya. Di tengah jalan ada jejak ban yang kelihatannya masih baru.
"Rasanya aku tidak melihat jalan ini dari pesawat," kata Bob.
"Ketika kita terbang di atas daerah ini," Jupe mengingatkan, "kita tidak sempat melihat-lihat pemandangan. Kita sedang bersiap-siap untuk mendarat darurat!"
Mereka menatap ke kiri dan kanan. Jalan tanah itu dibatasi oleh semak belukar. Lebarnya hanya cukup untuk satu setengah mobil.
"Kita turun bukit saja," ujar Jupe, sesuai kehendak kakinya yang pegal.
"Aku tidak keberatan," kata Pete.
"Ayo!" Bob mendesak. Tidak jauh dari sini pasti ada bantuan
untuk menemukan ayahnya. Dan ia harus mencari bantuan itu.
Mereka menuruni bukit. Tiga perempat kilometer kemudian jalan itu membelok dan menuju ke arah barat.
Permukaan tanahnya kering dan keras. Mereka menduga bahwa selokan-selokan yang dalam terbentuk oleh hujan deras di musim gugur dan musim semi. Pada musim dingin jalan ini pasti tersembunyi di bawah lapisan salju tebal.
Ketiga anak itu berjalan dengan hati-hati, agar tidak terperosok ke dalam selokan. Mereka letih dan lapar. Mereka membisu hampir sepanjang jalan. Sementara itu matahari semakin terik.
Bunyi itu mula-mula hanya terdengar secara sayup-sayup. Ketiga anggota Trio Detektif saling berpandangan dengan heran. Baru ketika mendekat, mereka mengenali bunyi itu sebagai suara orang, anjing, dan anak-anak.
Semangat mereka timbul kembali. Bob tersenyum lebar.
Mereka melewati sebuah tikungan panjang. Di ujungnya ada sekelompok pondok kayu dan karavan-karavan tua. Di luar rumah-rumah itu ada jala ikan, peralatan berburu, kandang ayam, serta beberapa jeep dan mobil pick-up tua yang seharusnya sudah lama dipensiun.
Sebuah perkampungan Indian! Dua anak kecil berpakaian celana pendek dan T-shirt berhenti bermain, dan menatap Bob, Jupe, dan Pete. Mata mereka nampak merah. Anjing coklat di samping mereka langsung mendengus-dengus.
Suasana di perkampungan itu kelihatan sibuk sekali. Wanita-wanita dan anak-anak berkumpul di tengah desa. Kemudian terdengar suara-genderang.
"Hei!" Pete tiba-tiba berseru. "Berhenti!"
Pete melesat maju, dan menghilang di balik salah satu pondok. Ia menggenggam bahu seorang pemuda Indian yang mengenakan rompi kulit dan celana jeans. Pemuda itu membalik, dan menatap Pete dengan tajam.
"Kau!" Pete membalas tatapannya. "Kau yang sejak kemarin mempermainkan aku!"
7. Orang-orang Sakit "Kenapa kau kabur begitu saja"" Pete menghardik pemuda Indian itu.
Pemuda di depannya melepaskan diri dari cengkeraman Pete. Dengan rambutnya yang hitam dan lurus, serta sepasang mata yang berapi-api, pemuda itu tampak garang. Namun kemudian ia mengenali Pete, dan membelalakkan mata dengan heran. Tampangnya mengendur. Ia tersenyum.
"Bagaimana kalian bisa sampai ke sini"" ia bertanya pada Pete. "Kalian melacak jejakku" Ah, tentu saja tidak. Tapi kalian berhasil menemukan perkampungan kami! Sebenarnya aku ingin mencari kalian begitu aku punya waktu. Maaf, aku terpaksa meninggalkanmu begitu saja."
Sekarang giliran Pete merasa heran. "Apa maksudmu"" ia bertanya.
"Aku akan menjelaskan semuanya," pemuda Indian itu melanjutkan dengan ramah, ia merapikan rompi yang dikenakannya. Ikat pinggangnya berbentuk unik-sebuah bulatan perak dengan batu berwarna hijau di tengahnya. Pemuda Indian itu menyentuh batu itu, lalu berkata, "Aku mendapat tugas untuk mencari wahyu..."
Baru sekarang Jupe dan Bob berhasil menyusul sahabat mereka.
"Namaku Daniel Grayleaf," pemuda Indian itu memperkenalkan diri dengan sopan. "Aku..."
"Apakah ada telepon di sini"" Bob segera mengajukan pertanyaan. "Kami harus menghubungi Dinas Kehutanan. Pesawat kami jatuh, dan ayahku hilang. Kami belum berhasil menemukannya!"
Daniel menggeleng. "Sorry, kami tidak punya telepon maupun radio. Kami selalu pergi ke kota kalau perlu sesuatu."
"Kalau begitu, tolong antarkan kami ke pos kehutanan terdekat," Bob memohon.
"Tidak ada yang pergi dari sini," sebuah suara berat berkata dari belakang Trio Detektif. "Siapa orang-orang asing ini""
Ketiga detektif muda berbalik, dan melihat seorang laki-laki kekar. Matanya nampak merah dan berair.
"Paman, inilah orang-orang yang kuceritakan padamu," ujar Daniel. "Kau bicara dengan mereka"" "Baru sekarang."
"Bagus." Pria itu tersenyum ke arah Daniel. Tetapi wajahnya kembali kaku ketika menatap 'orang-orang asing' di hadapannya.
Pete, Jupe, dan Bob segera memperkenalkan diri.
Daniel memperkenalkan laki-laki itu sebagai Amos Turner, kepala kampung mereka.
"Ayah saya hilang," ujar Bob. Dengan nada putus asa ia menjelaskan musibah yang menimpa mereka.
"Paman, apa yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka"" tanya Daniel.
Penuh harap Bob memperhatikan si kepala kampung.
"Ini masalah ya ng rumit," pria itu berkata. "Belum pernah ada kejadian seperti ini. Paman harus berunding dulu."
Tanpa bersuara ia membalik dan melangkah pergi. Bob nampak kecewa sekali.
"Tak ada yang bisa kita lakukan sekarang," Daniel Grayleaf berusaha menghibur Bob. "Mudah-mudahan saja pamanku akan membawa kabar baik nanti."
Bob mengangguk dengan cemas.
"Tadi kau mengatakan bahwa kau ditugaskan untuk mencari wahyu," Jupiter berkata untuk mengisi waktu, sekaligus untuk mengalihkan perhatian Bob. "Apa maksudnya"" Namun sebelum Daniel sempat menjawab, perut Jupe berbunyi dengan keras. Di dekat tempat mereka berdiri, seseorang sedang memasak sesuatu yang lezat. Dan Jupe bisa mencium baunya yang merangsang selera.
"Nanti kujelaskan," jawab Daniel. "Tapi sebelumnya aku akan menyiapkan makanan dulu. Kalian pasti lapar sekali."
"Betul!" Jupe membalas dengan spontan.
"Kau kan masih bawa"" Pete bergurau. Kemudian perutnya ikut berbunyi.
"Kalian tunggu saja di sini," ujar Daniel. "Aku akan segera kembali." Langsung saja ia bergegas ke tengah perkampungan.
"Wow!" Pete bergumam dengan kagum. "Gerakannya benar-benar lincah."
Hanya ada satu pikiran di kepala Bob. "Mereka harus mengantar kita ke pos kehutanan terdekat!"
"Jangan khawatir, mereka pasti akan membantu," kata Jupe dengan yakin. Namun dalam hati ia merasa ragu-ragu. ia menatap sekeliling sambil bertanya-tanya apa artinya suara genderang yang sejak tadi terdengar.
Tidak lama kemudian Daniel sudah muncul lagi. "Ayo, ikut aku. Makanan sudah ada di atas meja. Pertama-tama kami akan menari, lalu makan, dan kemudian menjalankan upacara. Kalian adalah tamu kehormatan, jadi kalian dipersilakan makan duluan."
"Maksudmu, kalian harus menunggu sampai nanti"" Bob bertanya kebingungan. "Itu tidak benar!"
"Kami akan menunggu," Pete berkeras.
Jupe menelan ludah. "Ya, tentu saja!" katanya dengan berat hati.
Namun Daniel malah ketawa. "Jangan macam-macam. Makanan sudah disiapkan. Dan kalian lapar. Bagi kami justru suatu kehormatan kalau kalian makan duluan." Ketiga detektif muda saling berpandangan.
"Kita tidak boleh mengecewakan tuan rumah," ujar Jupe.
"Betul," Pete mendukung.
"Terima kasih, Daniel," kata Bob. Dalam hati ia berharap bahwa ayahnya juga bernasib baik seperti mereka.
Mereka mengikuti Daniel melalui perkampungan. Orang-orang dewasa dan anak-anak memperhatikan mereka dengan penuh rasa ingin tahu. Kaum pria mulai bergabung dengan para wanita dan anak-anak yang telah berkumpul di tengah desa. Mereka berdada telanjang dan mengenakan hiasan kepala berupa bulu burung, serta kalung yang terbuat dari bulu burung dan batu-batu berwarna. Kaum wanita mengenakan kalung dan baju yang dihiasi dengan manik-manik. Beberapa laki-laki nampak menggoyangkan tongkat sambil melangkah seirama dengan pukulan genderang. Tongkat-tongkat mereka mengeluarkan bunyi berderak-derak.
"Mereka sedang melakukan pemanasan," Daniel menjelaskan. "Nah, ini piring-piring untuk kalian. Silakan ambil makanan sendiri. Kalian bisa makan sambil nonton. Aku akan mencoba menegangkan semuanya."
Jupe, Pete, dan Bob, mengisi piring masing-masing dengan daging, kentang rebus, kacang polong, dan roti. Jupe begitu gembira melihat makanan sungguhan, sehingga langsung mengambil porsi raksasa. Peduli amat dengan dietnya!
"Daging rusa"" Pete bertanya pada Daniel sambil menunjuk salah satu piring besar.
"Ya, dan itu daging kelinci, dan itu daging tupai. Di sebelah sana ada ikan. Kami menangkapnya di truoc. Dalam bahasa kami truoc berarti sungai."
Mereka menduduki bangku panjang di bawah pohon-pohon raksasa. Sebuah peti bertulisan SUKU CADANG MOBIL - Nancarrow Trucking Company berfungsi sebagai meja makan. Di sebelah kanan, sebuah pick-up tua sedang didongkrak. Bagian-bagian dari mesinnya tergeletak di atas peti lain. Di sebelah kiri, mereka melihat truoc-sungai kecil yang mengalir di pinggir perkampungan.
"Apakah sungai ini berasal dari lembah besar di sebelah utara"" tanya Bob.
"Kau tahu lembah itu"" Daniel balik bertanya. Ia nampak agak curiga.
Bob langsung bersikap hati-hati. "Aku melihatnya dari jauh," katanya sambil menggigit sepotong daging
rusa. "Tak ada yang boleh pergi ke sana," ujar Daniel. "Lembah itu adalah tempat keramat bagi kami. Kami menyebutnya Lembah Leluhur. Orang-orang kami dimakamkan di lembah itu. Kadang-kadang kami juga mengadakan upacara di sana."
"Aku pun tidak memasuki lembah itu," Bob meyakinkan lawan bicaranya, ia kembali menggigit sepotong daging. "Suku-mu pasti sudah lama sekali tinggal di sini."
"Dari mana kau tahu""
"Aku melihat tempat pegangan tangan dan pijakan kaki pada tebing yang membatasi Lembah Leluhur. Sepertinya tempat pegangan tangan dan pijakan kaki itu sudah lama sekali ada di sana."
"Sudah sejak semula, ketika Sang Pencipta menciptakan orang-orang kami." kata Daniel. "Dia juga menciptakan tanah longsor untuk menghalau orang-orang yang tidak berkepentingan. Segala sesuatu adalah ciptaan-Nya." Ia tersenyum. "Aku mengerti sekarang. Kau berusaha mencari ayahmu. Para leluhur kami tidak akan marah karenanya."
"Tapi mereka pasti marah kalau didatangi oleh para pelancong."
"Ya, jangan sampai ada turis yang mengotori kesucian lembah itu," ujar Daniel dengan tegas.
Jupiter sudah menghabiskan setengah piring. Ia mulai merasa sehat lagi. "Pasti ada sesuatu yang sangat penting sehingga tidak ada yang boleh meninggalkan perkampungan."
"Orang-orang kami sedang menderita sakit," Daniel menjelaskan. "Mata kami menjadi merah, sejumlah orang menderita batuk, dan dada kami terasa sesak. Beberapa orang bahkan diganggu oleh roh-roh jahat yang membuat api di perut mereka. Para tetua desa memutuskan untuk mengadakan upacara adat untuk mengatasi penyakit ini. Untuk itu desa kami dinyatakan tertutup sampai besok siang. Tak ada yang boleh pergi."
"Apakah tidak lebih baik kalau kalian pergi ke dokter"" Pete bertanya dengan polos.
Di bawah meja, Jupiter segera menendang kaki sahabatnya. Pete langsung tersentak.
"Tidak apa-apa," kata Daniel. "Kalian punya dokter, kami punya shaman. Dia telah mengurus kami sebelum aku lahir. Orangnya sangat bijaksana. Kadang-kadang dia menyuruh kami ke rumah sakit di Bakersfield. Tapi itu jarang terjadi. Biasanya kami selalu sehat, atau cepat sembuh lagi. Sampai beberapa bulan yang lalu."
"Apakah peraturan adat kalian juga berlaku untuk kami"" tanya Bob. "Maksudnya, apakah ada yang bisa mengantarkan kami dalam keadaan darurat""
"Itulah yang sedang ditanyakan oleh pamanku."
Tiba-tiba suara genderang bertambah keras. Tongkat-tongkat di tangan para laki-laki dibunyikan secara serempak. Sebuah teriakan yang bisa membuat bulu kuduk berdiri menggema di udara.
Para penari mulai menari sambil membungkuk dan menegakkan badan. Kaki-kaki mereka bergerak ringan.
"Coba perhatikan," ujar Daniel, "mereka naik turun pada saat yang tidak bersamaan. Itu dilakukan karena dunia tak ubahnya seperti sebuah perahu. Jika semua orang bergerak secara serempak, maka perahu menjadi oleng, lalu terbalik. Itu tidak baik."
Beberapa saat kemudian sejumlah penari melompat ke tengah-tengah lingkaran. Mereka melompat-lompat dengan gerakan aneh dan terpatah-patah.
"Ketika dunia dilahirkan kembali," Daniel menjelaskan, "Sang Pencipta menugaskan burung pelatuk untuk melaporkan bagaimana perkembangannya. Karena itu para penari meniru gerakan burung pelatuk. Mereka melebarkan tangan, dan meniru kicauan burung itu. Ini memberi tahu roh burung pelatuk bahwa ada yang sakit, dan bahwa ia harus melaporkan hal ini pada Sang Pencipta. Jika Sang Pencipta sudah diberi tahu, maka Dia akan memberikan kekuatan besar pada Shaman. Dengan demikian Shaman bisa menyembuhkan orang-orang kami."
Tarian itu terus berlanjut. Para penari bermandikan keringat. Mereka terus berganti-ganti tempat pada lingkaran. Kaum wanita dan anak-anak duduk sambil menonton. Kadang-kadang mereka bertepuk tangan serta ikut menyanyi. Orang-orang yang sakitnya paling parah dibaringkan di tikar-tikar. Kepala-kepala mereka diganjal dengan selimut, sehingga mereka pun bisa mengikuti jalannya upacara.
Tiba-tiba semuanya berakhir.
Suara genderang berhenti. Para penari dan penonton menghampiri meja makan. Jupe memperhatikan bahwa semua penari bermata merah. Dan beberapa orang di antara mereka sempat terb
atuk-batuk. Si Kepala Kampung, yang dipanggil Paman" oleh Daniel, muncul lagi. Ia ditemani seorang laki-laki tua berwajah tegang. Pakaian kebesaran yang mereka kenakan nampak menonjol di tengah-tengah kerumunan. Berdasarkan sikap para penghuni desa yang penuh hormat, Jupe menebak bahwa pria tua itu adalah sang Shaman.
Akhirnya mereka berhenti di depan Daniel dan ketiga anggota Trio Detektif.
"Kami tidak dapat membantu kalian," ujar Amos Turner, si Kepala Kampung. "Kalian harus berangkat sendiri. Inilah keputusan kami."
8. Wahyu dari Sang Pencipta
"Risikonya terlalu besar," sang Shaman berkata. "Kesucian upacara harus dijaga dengan ketat Terlalu banyak orang yang menderita sakit."
Bob, Jupiter, dan Pete merasa bahwa sang Shaman benar-benar menyesal karena terpaksa mengambil keputusan ini. Namun ini tidak membantu Mr. Andrews.
"Saya rasa kalian lebih baik tinggal di sini saja," Amos Turner, si Kepala Kampung, berkata. "Besok siang kami bisa mengantarkan kalian."
"Kami harus berangkat hari ini juga," kata Bob. "Ayah saya mungkin cedera berat"
"Daerah ini luas sekali," Amos kembali berkata, "jauh lebih luas dari yang kalian bayangkan. Bagaimana kalian akan menemukan Diamond Lake"" ia kelihatan tidak setuju dengan rencana Bob.
"Kami akan menyusuri jalan tanah yang melewati desa ini," jawab Pete.
"Kalau begitu kalian harus menempuh 40 mil!" si Kepala Kampung menanggapinya.
"40 mil!" Pete segera menelan ludah.
Jupe nyaris ambruk ketika mendengarnya-tapi kemudian ia mendapat akal.
"Barangkali kami bisa menyewa salah satu mobil pick-up Anda," ia mengusulkan.
Gntuk pertama sejak tiba di perkampungan ini, wajah Bob yang tampan nampak agak cerah. Jupe memang bisa diandalkan, katanya dalam hati. Jupe selalu menemukan pemecahan yang luput dari perhatian orang lain.
"Kami semua punya SIM," Bob cepat-cepat berkata.
"Dan uang," Pete menambahkan sambil mengeluarkan dompet. Dompet itu berisi seluruh uang yang hendak dibelanjakannya di Diamond Lake. "Kami akan membayar tunai."
"Dan kami akan mengantarkan mobil itu sesuai dengan permintaan Anda," ujar Jupe. "Kami akan menjaganya dengan cermat. Ini kartu nama kami. Biasanya orang mempercayakan masalah mereka pada kami. Tapi kali ini kami yang memerlukan bantuan."
Jupe menyerahkan dua buah kartu nama pada Shaman dan Kepala Kampung. Kartu-kartu itu merupakan desain baru yang dirancangnya sendiri.
Si Kepala Kampung memegang kartunya dengan kaku. Sang Shaman bahkan tidak membacanya sama sekali. Ia langsung menyerahkan kartu itu pada Daniel. Daniel membacakannya untuk semua.
TRIO DETEKTIF "Kami Menyelidiki Segala Sesuatu"
Jupiter Jones, Pendiri Pete Crenshaw, Rekan Bob Andrews, Rekan Si Kepala Kampung menggelengkan kepala. "Rencana kalian tidak akan berhasil," katanya.
Sang Shaman mengerutkan kening. "Mungkin saja, tapi saya rasa tidak ada salahnya kalau mereka mencobanya." Ia menatap ketiga detektif muda dengan tajam. "Bagaimanapun juga mereka akan berangkat. Karena itu lebih baik kalau kita membantu mereka sebisa kita."
Si Kepala Kampung menggigit bibir. Ia tidak setuju, namun sang Shaman telah mengambil keputusan. "Baiklah, saya akan mengatur semuanya," ia berkata lalu melangkah pergi.
"Terima kasih banyak," ujar Bob sambil tersenyum dengan lega.
Sang Shaman mengangguk pelan. Untuk sesaat kedua matanya nampak bersinar-sinar. "Anak-anak muda," ia bergumam. "Selalu saja dilanda kesulitan." Kemudian ia berpaling pada Daniel. "Bagaimana""
"Aku sudah melaksanakan tugas yang diembankan padaku."
"Ceritakanlah apa yang telah kaukerjakan," sang Shaman menyuruh Daniel. "Ketiga temanmu ini pasti tertarik."
Daniel menghadapi Jupe, Pete, dan Bob. "Aku ditugaskan mencari wahyu. Selama 24 jam aku berpuasa dan berlari menembus hutan. Aku hanya berhenti untuk berdoa. Pada malam hari aku tidur, agar Sang Pencipta bisa menyampaikan pesannya."
"Apa yang kaulihat ketika bermimpi, cucuku"" sang Shaman bertanya.
"Cucu"" Pete bertanya dengan heran. "Apakah kau punya hubungan saudara dengan semua orang di sini""
Daniel dan sang Shaman langsung ketawa.
"Ini adalah kebiasaan kami untuk menunjukkan rasa hormat," Da
niel menjelaskan. "Berarti si Kepala Kampung bukan pamanmu"" Bob menduga-duga.
"Dan aku juga bukan cucu sang Shaman. Tetapi ia seperti kakek bagi kami semua."
Ketiga anggota Trio Detektif mengangguk.
"Mimpiku sungguh aneh, Kakek," Daniel lalu berkata dengan serius. "Aku berada di danau yang luas. Ketika aku melangkah ke air yang berwarna hijau, tiba-tiba saja seekor ikan melompat ke tanganku. Aku merasa beruntung sekali- ikan itu merupakan makanan lezat. Karena itu aku berterima kasih pada Sang Pencipta. Tapi kemudian banyak sekali ikan yang melompat ke tanganku. Aku tidak bisa menangkap semuanya. Ikan-ikan itu terus menabrak punggungku, dadaku, wajahku-makin lama makin keras."
"Dan kau khawatir bahwa mereka akan menabrakmu sampai mati"" sang Shaman bertanya.
Daniel mengangguk. "Aku melemparkan semua ikan yang sempat kutangkap, kemudian meninggalkan danau itu."
"Tindakanmu tepat sekali. Pelajaran apa yang bisa diambil dari kejadian itu""
"Sesuatu yang diperoleh tanpa usaha seringkali tidak berguna, bahkan bisa merugikan," Daniel segera menjawab.
Sang Shaman mengangguk. "Dan pesan apa yang disampaikan oleh Sang Pencipta""
"Di tempat yang benar, namun tanpa diberkati."
"Ahhh!" Sang Shaman mengulangi kata-kata itu sambil bergumam. "Apakah itu menjawab pertanyaanmu""
Ketiga detektif muda menatap Daniel dengan pandangan bertanya-tanya.
"Aku tidak memahami artinya," pemuda Indian itu berkata sedih. "Aku takkan pernah bisa menemukannya."
"Sang Pencipta telah memberikan jawaban padamu," sang Shaman menyanggah. "Kau harus bisa mempergunakan jawaban itu."
Daniel menunduk malu. "Baik, Kakek."
"Sekarang kau harus berganti pakaian untuk upacara berikut."
"Ya, Kakek." Daniel berpaling pada Jupiter, Bob, dan Pete, lalu tersenyum. "Aku akan berdoa agar kalian berhasil." Sedetik kemudian ia telah pergi.
"Selamat jalan, prajurit-prajurit muda," ujar sang Shaman. "Jangan percaya pada siapa pun selain diri kalian sendiri."
Ia segera bergabung dengan anggota suku yang lain.
"Coba perhatikan kepala kampung," kata Pete sambil melirik ke sebuah pondok seng yang berjarak sekitar 50 meter dari tempat mereka berdiri.
Amos Turner berdiri di depan pondok itu. Ia sedang berbicara dengan seorang laki-laki yang terus menerus menggosokkan kedua tangan pada celana jeansnya. Orang itu mengangguk-angguk, seakan-akan sedang diberi perintah oleh lawan bicaranya. Kemudian si Kepala Kampung menuju ke meja makan, sementara laki-laki itu menghilang ke dalam pondok. Beberapa peti dengan ukuran berbeda-beda nampak ditumpuk di satu sisi bangunan kecil itu. Masing-masing bertulisan Nancarrow Trucking Company.
Jupe kembali duduk untuk menghabiskan makanannya. Ia meraih garpunya, lalu menunduk agar lebih mudah menyuap. Pada saat itulah ia melihat sebuah puntung rokok tergeletak di tanah.
Ia segera memungut puntung yang sudah mulai menguning itu. Filternya dihias dengan pita berwarna hijau-persis seperti puntung rokok yang ditemukannya tadi pagi.
"Hei, Jupe," kata Pete. "Ada apa""
"Lihat ini," Jupe menjawab dengan singkat.
"Wow!" Pete berseru dengan suara tertahan.
"Apa artinya"" tanya Bob.
"Aku pun tidak tahu," Jupe mengakui, "tapi aku akan menyimpan puntung ini. Siapa tahu ada gunanya nanti."
Seorang wanita muda muncul dari kerumunan orang dan menghampiri Jupe, Pete, dan Bob.
"Aku Mary Grayleaf, adik Daniel," ia memperkenalkan diri. Matanya terarah pada Bob. "Ini!" ia menjatuhkan sebuah kunci ke tangannya. "Kepala Kampung menitip pesan bahwa mobil untuk kalian sedang disiapkan. Apakah kalian sudah kenyang""
"Sudah," jawab Bob sambil membalas tatapan gadis itu. Wajah Mary cantik sekali. Rambutnya hitam dan lurus. Ia mengenakan kalung yang terbuat dari batu-batu berwarna turkis. Bob melihat bahwa mata gadis itu pun nampak merah.
"Apakah kau benar-benar adik DanieP" Bob bertanya, "Ataukah ini juga hanya salah satu cara untuk memperlihatkan rasa hormat""
Untuk sesaat Mary Grayleaf agak kebingungan. Tetapi kemudian ia ketawa. "Betul, kok! Daniel adalah kakak kandungku."
Jupiter dan Pete saling bertatapan. Jupe mengangkat alis. Pete tersenyum simpul. Bob telah beraksi lagi
. Ke mana pun ia pergi, ia selalu menjadi magnet bagi gadis-gadis cantik.
"Apakah masih ada upacara lagi setelah ini"" Bob bertanya pada Mary.
"Shaman akan menari dan menyanyi," jawab Mary sambil menatap mata Bob. "Kemudian ia akan berdoa, ia sedang mempersiapkan diri untuk menerima pesan dari Sang Pencipta. Sang Pencipta akan memberitahunya apa yang menyebabkan penyakit yang menyerang orang-orang kami.
Setelah itu, Shaman akan menggunakan kekuatan gaib yang dimilikinya untuk mengobati para penderita."
"Kekuatannya pasti ampuh sekali," Bob berkomentar sambil tersenyum.
"Kami selalu disembuhkan oleh kekuatan Shaman," Mary berkata dengan serius.
Jupiter tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. "Bagaimana dengan usaha pencarian wahyu oleh Daniel""
Pertanyaan ini segera menarik perhatian gadis itu. "Kalian sempat mendengar pesan yang disampaikan pada Daniel" Bagaimana bunyinya""
Jupe mengulangi pesan itu. "Di tempat yang benar, namun tanpa diberkati."
Mary merenung sejenak, kemudian menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu apa maksudnya. Apakah Daniel bisa mengartikan pesan itu""
"Tidak. Tapi Shaman menyuruh Daniel untuk memikirkannya," ujar Bob. "Pesan itu rupanya penting sekali bagi kalian."
Mary mengerutkan kening, lalu memejamkan mata selama beberapa detik. "Paman kami hilang," ia menjelaskan. "Dia membantu ibu kami untuk membesarkan Daniel dan aku setelah ayah kami pindah dari sini. Sudah bertahun-tahun ayah kami menghilang. Dan kini paman kami juga lenyap. Sudah satu bulan dia tidak kelihatan, dan Daniel terus mencarinya di hutan."
"Ada sesuatu yang tidak beres di sini," kata Bob. "Ayahku juga hilang."
Mary mengangguk dengan sedih. Perhatiannya beralih pada seseorang yang berdiri di tengah kerumunan. Orang itu adalah laki-laki yang sempat berbicara dengan Kepala Kampung tadi. Ketiga detektif muda tidak melihat dia meninggalkan pondoknya. Namun kini orang itu mengangkat tangan dan memberi isyarat pada Mary.
Trio Detektif 48 Bisnis Kotor di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mobil kalian sudah siap," gadis itu berkata sambil menggosok-gosok matanya yang merah.
ia mengantarkan Jupe, Pete, dan Bob mengelilingi perkampungan, melewati anjing-anjing kudisan, serta setumpuk tanah sebesar rumah. "Itu tempat di mana para pria mensucikan badan mereka," Mary menjelaskan.
"Ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan," ujar Jupe. Tangannya meraih ke dalam kantong baju, lalu mengeluarkan dua puntung rokok. "Apakah kau tahu siapa yang mengisap rokok merk ini""
"Tidak," jawab Mary sambil terheran-heran.
Dengan kecewa Jupe mengembalikan puntung-puntung itu ke kantong bajunya.
Mereka melewati sebuah pick-up Ford berwarna merah yang masih baru. Mobil itu nampak menonjol di antara kendaraan-kendaraan lain.
"Mobil itu milik Kepala Kampung," kata Mary. "Orangnya baik sekali. Dia penembak paling jago di desa kami. Dia sering membelikan pakaian, alat-alat, serta suku cadang untuk mobil-mobil yang rusak."
"Dari mana dia memperoleh uang untuk itu"" tanya Jupe.
Mary mengangkat bahu. "Entahlah. Mungkin dengan bekerja sambilan di Diamond Lake. Itu bukan urusanku." Ia menepuk bemper sebuah pick-up yang penuh karat. "Ini mobilnya yang lama. Dia meminjamkannya pada kalian. Tapi kalian harus menjaganya baik-baik. Dia minta agar kalian menitipkan mobil ini di pos kehutanan di Diamond Lake setelah kalian tiba di sana."
Setelah memasukkan barang-barang mereka ke bak, ketiga anggota Trio Detektif naik ke mobil.
"Ikuti jalan tanah ini sampai mencapai jalan yang digunakan untuk mengangkut batang-batang pohon yang habis ditebang," Mary berkata. "Kemudian belok ke arah barat. Jalan itu akan membawa kalian ke jalan bebas hambatan. Kalian tinggal belok ke kanan, sebab jalan bebas hambatan itu menuju ke Diamond Lake."
Jupe, Pete, dan Bob mengucapkan terima kasih. Pete menghidupkan mesin. Mary tersenyum ke arah Bob dan melambaikan tangan.
Mereka berangkat. Debu beterbangan. Anjing-anjing menyalak.
"Akhirnya kita bisa naik mobil," Pete berkata dengan gembira.
"Yah!" ujar Jupe. "Ini hampir cukup untuk melupakan keampuhan daya tarik Bob."
"Sorry, Jupe," Bob berkomentar dengan riang. "Kita harus memanfaatkan semua kelebihan yang kita miliki
." Jupe dan Pete menoleh dan meringis. Bob duduk di bangku belakang sambil memikirkan Mary. Pete menggenggam kemudi dengan erat-erat, lalu berkonsentrasi penuh. Jalan tanah itu berbelok-belok, dan mengikuti naik-turunnya bukit.
"Kelihatannya si Kepala Kampung tidak menyukai kita," ujar Pete.
"Lain halnya dengan Shaman," Jupe menanggapinya. "Berkat dialah kita memperoleh pick-up ini. Apakah kalian sempat memperhatikan tampang Shaman ketika Daniel menceritakan wahyu yang ia peroleh" Laki-laki tua itu tahu apa arti wahyu itu, dan ia tidak gembira karenanya."
"Maksudmu, pamannya Daniel...""
"Satu bulan merupakan waktu yang cukup lama untuk menghilang tanpa berita," kata Jupe. "Dan penyakit apa yang diderita oleh orang-orang Indian itu" Mereka mungkin terserang sejenis virus, tapi rasanya..." ia terdiam sambil menggigit bibir, ia selalu bersikap seperti itu kalau sedang memeras otak.
Beberapa mil kemudian, jalan tanah yang mereka lalui mulai menanjak. Matahari sore bersinar cerah.
Di puncak bukit, pick-up tua itu sempat mengeluarkan bunyi mirip tembakan dari knalpot Kecepatannya mulai bertambah, karena jalanan menurun curam.
Pete menginjak rem. Mobil tua itu menggelinding pelan. Pete melepaskan rem, dan mobil mereka kembali melaju dengan kencang.
Mereka meluncur melewati semak belukar dan pohon-pohon.
Sekali lagi Pete menginjak rem. Untuk sesaat kecepatan mereka berkurang. Namun tiba-tiba rem berhenti bekerja. Pete langsung kalang kabut.
"Ya, Tuhan!" ia berseru. "Remnya blong!"
9. Nyaris Celaka Semakin cepat pick-up tua itu meluncur menuruni bukit yang curam. Pete menggenggam kemudi dengan erat. Di sebelahnya, Jupe terlempar-lempar dari kiri ke kanan. Bob berpegangan pada sandaran tangan yang terpasang di pintu. Ketiga sahabat itu terguncang-guncang. Berkali-kali kepala mereka membentur atap mobil dengan keras.
"Rem tangannya!" Jupe berseru. "Percuma, kita terlalu kencang," balas Pete. "Lalu apa yang harus kita lakukan"" Bob berteriak.
"Mudah-mudahan saja jalan ini kembali datar!" Jupe berharap dengan cemas.
"Aku akan menurunkan gigi," Pete berkata. "Kalau bisa!"
Pete mulai bermandikan keringat ketika meraih tongkat persnelling. ia ragu-ragu sejenak, lalu menurunkan gigi dari tiga ke dua secara paksa.
Mesin mobil mereka meraung-raung. Pick-up tua itu bergetar, kemudian bertambah pelan.
Namun itu masih belum cukup. Mereka tetap saja meluncur dengan kencang.
"Awas!" teriak Bob. "Di depan ada tikungan!"
Jalanan di depan mereka membelok ke kanan, lalu menghilang di balik bukit.
Ketiga sahabat itu berteriak, "Wuaduuuh!" ketika mobil mereka melewati tikungan yang panjang dan menurun itu. Akar-akar pohon nampak di tempat-tempat di mana tanah termakan oleh erosi.
Pete memutar kemudi ke kanan, mendekati tebing.
"Aku akan merapat ke tebing," ia berseru. "Itu akan mengurangi kecepatan kita."
"Awas!" Jupe berteriak.
Tumpukan tanah, kerikil, serta bongkahan batu dari tebing tergeletak di sepanjang jalan. Pick-up mereka segera menerjang tumpukan itu.
Pete berjuang keras agar tidak kehilangan kendali. Namun akhirnya kemudi terlepas dari tangannya dan berputar dengan liar. Mobil mereka meronta-ronta dan bergetar dengan hebat, persis seperti sebuah mesin cuci tua.
Sekali lagi Pete membelokkan kemudi ke arah tebing. Terlambat-pick-up mereka sudah mulai selip! Keempat rodanya terperosok ke selokan yang dalam.
"Mulai lagi, deh," Pete berkata dengan geram.
Karena terperangkap dalam selokan, mobil mereka melewati tikungan berikut dengan kecepatan tinggi, lalu hampir keluar dari jalan. Namun dengan sigap Pete berhasil mencegahnya
"Ya, Tuhan!" teriak Bob. "Kita akan kebalik!"
Di depan jalanan mulai mendaki bukit kecil yang landai.
"Wah, akhirnya!" kata Jupe. Wajahnya yang bulat nampak basah karena keringat.
Pick-up mereka meluncur ke kaki bukit yang curam, lalu mulai naik ke bukit kecil-persis seperti rollercoaster di taman ria. Dengan mesin meraung-raung, mobil itu tetap melaju dengan kecepatan tinggi.
Lengan Pete nyaris kejang karena terus menggenggam kemudi erat-erat. Bob berpegangan pada pintu. Sementara Jupe, yang duduk di tengah, hanya bisa
menopang dirinya pada dashboard dan atap.
Tebing yang membatasi jalan sudah tertinggal jauh di belakang. Di kedua sisi jalan kini hanya ada semak belukar. Kecepatan mobil mereka agak berkurang ketika jalanan mulai menanjak.
Ketiga sahabat bisa menarik napas panjang. Kalau saja ada jalan datar di atas bukit, maka pick-up mereka bisa menggelinding sampai berhenti...
"Ya, ampun!" Jupe berseru ketika mobil mereka mencapai puncak bukit.
Meskipun kecepatannya telah berkurang, pick-up itu tetap saja meluncur dengan kencang. Mobil tua itu melompat melewati puncak bukit, lalu mendarat dengan keras pada roda belakang. Roda depannya menyusul.
Dan kemudian perjalanan gila-gilaan menuruni bukit dilanjutkan lagi.
"Pegangan!" teriak Pete sambil berusaha untuk menahan mobil mereka dalam posisi lurus.
Tanpa mengenakan sabuk pengaman, ketiga sahabat itu tak berdaya menghadapi guncangan-guncangan hebat yang membuat mereka terlempar ke segala arah.
"Mobilnya sudah mau rontok!" teriak Bob sambil menatap ke luar jendela. Semak belukar di sebelah kanan jalan telah lenyap. Bob hanya melihat puncak pepohonan. Sambil membelalakkan mata ia menyadari bahwa bagian kanan jalan kini diapit oleh jurang sedalam puluhan meter.
Pete berusaha agar ban mobil mereka tetap berada di dalam selokan. Dengan ngeri ia mem- bayangkan apa akibatnya kalau mereka sampai masuk ke jurang itu.
"Lihat!" Pete tiba-tiba berseru.
Tepat di depan ada sebuah tebing granit yang memanjang ke arah timur-barat Jalan membelok ke kanan, dan menyusuri tebing yang mungkin merupakan akhir dari mimpi buruk mereka. Kalau saja Pete bisa merapatkan mobil mereka ke dinding batu cadas itu...
"Pete, jangan nekat!" Jupe berkata dengan cemas. "Mobil kita bisa hancur berantakan!"
"Tangki bensinnya bisa meledak kalau ada per-cikan api!" Bob pun mengemukakan keberatannya.
"Apakah kalian punya ide yang lebih baik"" balas Pete.
Jupe dan Bob terdiam. Pandangan mereka terpaku pada tebing granit yang kini membatasi tepi kiri jalan.
Mobil mereka masih meluncur dengan kencang. Pete kembali membelokkan kemudi, agar ban mobil bisa keluar dari selokan.
Pick-up tua itu menabrak tebing. Percikan-percikan api beterbangan ke segala arah.
"Ya, Tuhan!" Bob bergumam.
Seluruh perhatian Pete tercurah pada tebing di sebelah kirinya. Dengan hati-hati ia memutar kemudi. Sekali lagi mobil mereka menyentuh permukaan batu cadas. Sekali lagi. Dan sekali lagi.
Suasana di dalam mobil benar-benar tegang.
"Tahan!" kata Jupe.
"Kau pasti bisa, Pete!" Bob menyemangati sahabatnya.
Sekali lagi Pete membelokkan setir. Pick-up mereka menempel pada tebing, tapi kali ini Pete bertahan pada posisi ini. Bunga api memercik dengan hebat.
Ketiga sahabat bermandikan keringat
Dan akhirnya kecepatan mobil mereka mulai berkurang. Sesaat kemudian mereka telah berhenti. Pete segera mematikan mesin. Bemper mobil mereka menempel pada tebing.
Pete, Jupe, dan Bob duduk sambil memejamkan mata. Debu beterbangan di udara. Selama setengah menit tidak ada yang bergerak atau membuka mulut.
"Pete, kau telah menghancurkan mobil ini," Jupe lalu berkata dengan serius.
"Kau harus membayar ganti rugi," Bob menambahkan.
"Reputasimu sebagai pengemudi terampil telah tercoreng."
Perlahan-lahan Pete menoleh. Ia menatap kedua sahabatnya sambil terheran-heran.
"Tapi bagaimana kami bisa membalas jasamu ini"" ujar Jupe sambil menepuk bahu Pete.
"Kau benar-benar pengemudi jempolan," Bob berkata sambil nyengir.
Pete mulai ketawa. "Dasar sinting semua! Ayo, keluar! Sampai kapan kalian mau duduk di sini, heh" Aku ingin lihat bagaimana keadaan mobil ini. Mungkin kalian belum sadar, tapi aku tidak bisa buka pintu sebelah sini."
Mereka turun dari mobil, lalu berjalan ke bagian belakang.
Pete menggelengkan kepala. "Astaga! Ty pasti tidak percaya kalau mendengar cerita ini!"
Seluruh lapisan cat pada sisi sopir telah terkelupas habis. Pinggiran pintu telah bersatu dengan body mobil. Dan pegangan pintu telah lenyap.
"Aha!" kata Pete. ia kembali ke depan.
"Aha"" Jupe menirunya, lalu menyusul.
Pete masuk ke kolong mobil. Kepala dan tangannya berada di bawah pedal gas, rem, dan persnel
ling. ia memungut sesuatu dari tanah.
"Ada apa, sih"" Jupe bertanya tak sabar.
Pete berdiri lagi. ia memegang ujung sebuah baut, Jupe segera memeriksanya. Ulir baut itu nampak seperti habis digergaji. Jupe langsung menyerahkannya pada Bob.
"Ini pasti ada hubungannya dengan kerusakan rem yang kita alami," ujar Jupe.
"Betul sekali," Pete menanggapinya. "Pedal rem menggerakkan sebuah tangkai pendorong yang dihubungkan dengan booster rem. Kalau pedal rem diinjak, maka sebuah piston di dalam booster akan menekan oli rem ke saluran..."
"Jangan berbelit-belit, deh!" ujar Bob.
"Oke, oke," Pete menggerutu. "Baut itu yang menghubungkan pedal rem dengan tangkai pendorong."
"Dan seseorang telah menggergajinya sehing-" ga langsung patah pada saat mengalami tekanan," Jupe menyimpulkan.
"Tepat sekali!"
Bob mendesah panjang. Harapan untuk menemukan ayahnya semakin menipis.
Ketiga sahabat itu saling berpandangan. Sekali lagi mereka berada dalam kesulitan besar.
"Ini pasti ulah salah satu orang Indian," kata Jupe.
"Barangkali si Kepala Kampung"" Pete menduga-duga. "Dia tidak menyukai kita. Tapi apakah alasan itu cukup kuat sehingga dia tega membunuh kita""
"Yang pasti, pelakunya bukan Daniel," ujar Bob sambil merenung. "Atau Mary," Jupe menambahkan.
"Atau pun Mary," Bob mengulangi dengan yakin.
"Kita tidak bisa kembali ke sana untuk minta bantuan," kata Pete.
"Ya, salah satu penghuni perkampungan itu baru saja mencoba untuk membunuh kita," Jupe pun sependapat "Aku rasa lebih baik kalau kita teruskan perjalanan ke Diamond Lake. Apakah kau bisa membetulkan remnya, Pete""
"Bisa, tapi untuk itu aku memerlukan baut baru. Di mana kita bisa mendapatkan baut""
Pete dan Bob memeriksa pick-up. Tetapi mereka tidak menemukan apa-apa. Bahkan dongkrak pun tidak ada.
"Barangkali di pesawat kita ada baut yang cocok," ujar Jupe. "Kalau tidak salah, aku sempat melihat kotak peralatan di ekor pesawat." ia mulai menyusuri tebing ke arah barat
Pete dan Bob saling berpandangan, kemudian menatap ke arah Jupe.
"Hei, ini kan tebing yang membatasi lapangan rumput!" Pete tiba-tiba berseru.
"Kelihatannya begitu," kata Jupe. "Kita bisa menyusuri tebing ini sampai ke tempat kita mendarat darurat, mengambil baut, kembali ke sini, membetulkan mobil, lalu meneruskan perjalanan ke Diamond Lake." Jupe mendesah tertahan. Dalam hati ia merasa puas dengan rencana ini. Namun bayangan mengenai usaha yang dibutuhkan untuk mencapai pesawat hampir membuatnya patah semangat.
Bob mengambil botol air dari bak. Ketiga sahabat itu mengikat jaket masing-masing mengelilingi pinggang, kemudian mulai menyusuri tebing.
Ketika jalanan membelok ke arah perkampungan orang Indian, mereka tetap mengikuti tebing dan masuk ke hutan.
Dalam waktu singkat mereka telah dikelilingi oleh pohon-pohon besar. Kicau burung terdengar merdu. Daun-daun berdesir karena digerakkan oleh angin lembut. Puncak pepohonan memberi perlindungan terhadap sengatan matahari.
Tiba-tiba saja terdengar bunyi tembakan.
Sebuah peluru berdesing dan mengenai batang pohon cemara di depan Pete.
Jupe, Pete, dan Bob langsung tiarap. Peluru kedua lewat di atas kepala mereka.
Seseorang sedang menembak ke arah mereka!
10. Pemburu Manusia "Mana mereka"" seseorang berseru dengan suara serak. Suara itu berasal dari balik pepohonan di belakang Trio Detektif.
"Ayo, Biff!" orang lain membalas. "Kita harus menemukan mereka!"
Kata-kata yang diucapkan kedua orang itu terdengar menggema. Sukar sekali untuk memastikan dari mana sumbernya.
"Kenapa mereka menembaki kita"" bisik Bob sambil menempelkan kepala ke tanah.
"Entahlah," balas Jupe, "tapi aku rasa akibatnya pasti kurang menyenangkan kalau kita bertahan di sini untuk memperoleh jawabannya."
Mereka saling berpandangan, mengangguk, lalu bangkit tanpa mengeluarkan suara. "Ayo!" Pete mendesak, ia segera lari ke arah semak belukar.
Bob dan Jupe menyusul. Mereka berlari sejajar dengan tebing, dan menuju lapangan rumput
Sekali lagi suara tembakan terdengar. Sebuah dahan rontok dan jatuh ke tanah.
Jupe, Pete, dan Bob segera menjatuhkan diri, lalu merangkak ke balik sebongkah batu sebesar rumah.
"Br engsek! Ke mana mereka"" suara pertama berseru dari tengah hutan.
"Dasar anak-anak berandal!" rekannya berkomentar dengan kesal. "Bikin repot saja!"
Kedua orang itu semakin mendekat. Jupe mendengar suara dahan patah terinjak. Kelihatannya orang-orang itu tidak peduli apakah kedatangan mereka diketahui atau tidak.
Pete dan kedua sahabatnya kembali menerobos semak-semak.
"Itu mereka!" penembak pertama berseru. "Ayo, Biff! Sikat saja!"
Peluru-peluru berdesingan. Tanah dan debu tersembul ke atas di sekitar Trio Detektif.
"Cepatan!" Pete memacu Bob dan Jupe.
ia memasuki daerah bayangan pepohonan. Bob dan Jupe berada tidak jauh di belakangnya. Agar tidak kehilangan arah, mereka tetap berlari sejajar dengan tebing. Jupe sudah terengah-engah. Namun ia berusaha keras agar tidak ketinggalan. Akhirnya mereka berhenti di balik semak-semak.
"Apakah kalian sempat melihat tampang mereka"" tanya Jupe di sela sela tarikan napas.
"Tidak," jawab Bob. ia mencopot topi ayahnya dan menyeka keringat. "Kau masih tahan, Jupe" Wajahmu kelihatan seperti tomat matang."
"Jangan takut," jawab Jupe sambil tersengal-sengal. "Aku masih kuat."
"Ayo, kita jalan lagi," ujar Pete. Mereka segera menjauh dengan langkah panjang.
"Apakah kita berhasil mengelabui mereka"" Bob bertanya.
"Mudah-mudahan saja," kata Jupe.
"Aku tidak yakin bahwa mereka mau menyerah begitu saja," Pete memudarkan harapan kedua sahabatnya.
Ketiga detektif itu terus menuju ke arah barat. Mereka sebisa mungkin berjalan sambil berlindung di balik pepohonan. Dalam waktu singkat mereka telah menempuh beberapa mil. Mereka melewati bunga-bunga liar, tumpukan batu besar, serta sebuah kali dengan air bening.
"Berapa lama lagi"" tanya Pete ketika mereka berhenti untuk mengisi botol air.
"Kalau arahnya tepat, maka seharusnya kita sudah hampir sampai," kata Jupe.
Mereka berangkat lagi. "Itu dia!" Pete tiba-tiba berseru.
Mereka muncul di sisi selatan dari lapangan rumput yang sudah akrab bagi mereka.
"Lho, mana pesawat kita"" Jupe langsung bertanya.
Sambil terbengong-bengong ketiga sahabat itu menatap ke tengah lapangan. Pesawat mereka tidak kelihatan. Bahkan sayapnya yang patah pun sudah lenyap! Bagaimana mungkin"
"Tunggu dulu," Pete berkata sambil mengintai. "Pesawat kita ditutupi dengan semak-semak."
"Dan lihat, tuh!" Bob berseru. "Tanda SOS yang kita buat juga sudah tidak ada!
"Berarti tidak ada yang bisa menemukan lapangan rumput ini," kata Pete.
"Sepertinya ada seseorang yang tidak menyukai kita," Jupe berkomentar dengan suara tertahan.
"Yah... tapi siapa"" tanya Bob. "Dan kenapa""
"Apakah kalian tersesat"" seseorang bersuara berat tiba-tiba berkata.
Jupe, Pete, dan Bob langsung membalik.
Seorang pria berbadan besar dan berambut pirang sedang berjalan ke arah mereka.
"Ada yang bisa saya bantu"" ia mengenakan kacamata hitam, celana serta kemeja berwarna serba coklat, dan membawa ransel. Sebuah sarung senapan yang terbuat dari kulit menggantung pada bahu kirinya.
"Siapa Anda"" Pete langsung bertanya.
"Nama saya Oliver Nancarrow. Tapi teman-teman saya biasa memanggil saya Ollie," pria itu memperkenalkan diri. Sambil tersenyum lebar ia bersalaman dengan Jupe, Pete, dan Bob. "Saya datang ke sini untuk berburu. Tapi kelihatannya hari ini bukan hari keberuntungan saya. Ini memang baru pertama kalinya saya berburu di sini."
Bob tersenyum penuh harap. "Apakah Anda bawa mobil, Mr. Nancarrow... ehm... Ollie""
"Ya, tapi saya meninggalkannya di atas sana," si pemburu menjawab. Ia menunjuk ke arah tebing.
"Jaraknya lumayan jauh dari sini, di pinggir jalan tanah yang menuju ke jalan bebas hambatan."
"Kita tidak keberatan kalau harus jalan kaki ke sana, bukan"" Bob bertanya pada teman-temannya. "Ayo, kita berangkat."
"Nanti dulu," ujar Nancarrow. "Kalau saya akan mengajak kalian naik mobil, paling tidak saya harus tahu dulu kenapa kalian cari tumpangan."
Bob menjelaskan bahwa pesawat mereka jatuh, dan bahwa ayahnya menghilang. Kemudian ia menambahkan, "Kami harus cepat-cepat ke Diamond Lake untuk minta bantuan petugas kehu-tanan. Saya khawatir ayah aya pasti memerlukan
pertolongan. "Apakah ada kejadian lain k
ecuali itu"" Nancar-row kembali bertanya. "Saya mendengar suara tembakan kira-kira sejam yang lalu."
Bob menatap kedua sahabatnya. Jika mereka berterus terang pada Nancarrow, maka pria itu mungkin tidak bersedia membantu.
"Saya rasa hanya pemburu seperti Anda," kata Jupe.
"Kami tidak bisa membuang-buang waktu lagi," Bob mendesak.
Nancarrow berpikir sejenak. "Oke. Sepertinya ada yang kalian rahasiakan. Tapi tidak apa-apa. Itu toh bukan urusan saya. Saya akan membantu kalian."
Nancarrow mengajak mereka menyeberang lapangan rumput, ke arah tebing-Bob di sebelah kiri, Jupe di sebelah kanan, dan Pete di belakang.
"Rasanya saya pernah mendengar nama Anda," ujar Jupe sambil berjalan. "Apakah Anda orang terkenal""
"Wah, rasanya saya belum pantas disebut terkenal," jawab Nancarrow sambil tersenyum. "Saya hanya memiliki beberapa restoran kecil di Bakersfield. Ngomong-ngomong, Bob, apa tujuan ayahmu datang ke sini""
Bob bercerita bahwa ayahnya bekerja sebagai wartawan koran, dan bahwa ia datang ke Diamond Lake untuk bertemu dengan seorang sumber berita.
Sambil mendengarkan penjelasan Bob, Nancarrow mengeluarkan sebungkus rokok. Pete langsung mengerutkan kening, ia tahu bahwa puntung rokok yang dibuang sembarangan merupakan penyebab utama kebakaran hutan yang sering terjadi di musim kemarau seperti sekarang. Namun Jupe segera menoleh ke belakang, dan memberi isyarat agar Pete jangan mengatakan apa-apa. Rokok yang sedang dinyalakan oleh Nancarrow memiliki filter yang dihiasi dengan pita hijau-persis seperti puntung rokok yang ditemukan oleh Jupe di perkampungan orang Indian, dan di tempat di mana mereka menemukan topi pet Mr. Andrews. Jupe yakin bahwa ia pernah mendengar atau melihat nama Nancarrow sebelumnya. Tapi di mana" Di perkampungan orang Indian"
"Kami menduga, ayah saya hendak menemui seseorang bernama Mark MacKeir," Bob mengakhiri penjelasannya. Ia mengeluarkan buku catatan ayahnya dan membuka halaman pertama. "Ya, Mark MacKeir. Apakah Anda pernah mendengar nama itu""
"Aneh sekali," ujar Nancarrow. "Benar-benar aneh. Saya tidak mengenal orang itu, tapi berita radio tadi pagi mengatakan bahwa seseorang bernama Mark MacKeir tewas dalam kecelakaan lalu lintas ketika sedang dalam perjalanan menuju Diamond Lake. Mungkin dia ingin berlibur. Dia kehilangan kendali atas mobilnya, lalu masuk ke jurang. Mobilnya meledak. Dia tewas seketika."
"Ya, Tuhan!" Bob mendesah.
Mereka membisu selama beberapa saat. Masing-masing memikirkan kematian MacKeir yang mengerikan. Pandangan Jupe tertuju pada penutup sarung senapan Nancarrow, yang terkepak-kepak setiap kali pria itu melangkah. Setiap kali Jupe melihat sepotong logam berwarna gelap di dalamnya. Belum lama ini Jupe sempat membaca sebuah buku mengenai senjata api. Senapan yang disandang Nancarrow memiliki bentuk yang tidak lazim-bagian tengahnya nampak menggembung. Ini berarti bahwa sarungnya pun harus dipesan secara khusus, agar bisa menampung senapan yang aneh itu.
"Sekarang ini kau dan ayahmu merupakan orang penting di sini," Nancarrow berkata pada Bob. "Siapa saja yang tahu bahwa kalian datang ke sini""
"Hanya beberapa orang," Jupe cepat-cepat berkata sebelum Bob sempat menjawab bahwa tidak ada yang mengetahui kedatangan mereka. "Orang-orang di kantor ayah Bob."
"Betul itu, Bob"" Nancarrow bertanya sambil menoleh ke arah anak itu.
Jupe segera mencoba untuk mengangkat penutup sarung senapan Nancarrow. Ia ingin mengintip ke dalamnya.
Ada sesuatu pada diri pria itu yang membuat Jupe merasa cemas. Peti yang mereka gunakan sebagai meja ketika makan di perkampungan orang Indian mempunyai cap Nancarrow Trucking Company pada sisinya. Cap yang sama juga terdapat pada semua peti yang ditumpuk di luar pondok seng. Pondok itu milik laki-laki Indian yang memberi isyarat pada Mary bahwa mobil Kepala Kampung sudah siap dipakai. Jupe yakin bahwa Nancarrow telah berbohong. Dia sudah pernah datang ke sini-dan lebih dari satu kali.
Bob memandang ke arah Jupe. Ia nampak terkejut ketika menyadari bahwa Jupe hendak mengintip ke dalam sarung senapan Nancarrow. Namun Bob langsung bisa menguasai diri. ia tahu a
pa yang diinginkan oleh Jupe. Tanpa berpikir panjang Bob tersenyum ke arah Oliver Nancarrow.
"Betul," Bob berkata pada pria itu. "Ayah saya memberi tahu atasannya bahwa kami akan datang ke sini. Selain itu dia juga menghubungi bagian keuangan, sebab merekalah yang harus membayar ongkos hotel selama ayah saya tinggal di Diamond Lake."
Ketika Jupe agak membungkuk ke depan untuk mengintip ke dalam sarung senapan, Nancarrow tiba-tiba berhenti.
Jupe segera menarik tangannya, lalu berlagak mengikat tali sepatu.
Nancarrow mengisap rokoknya untuk terakhir kali, kemudian menginjaknya sampai mati. Pete tidak suka melihat alam bebas digunakan sebagai tempat sampah. Karena itu ia menunggu sampai Nancarrow melihat ke arah lain. Kemudian ia cepat-cepat berjongkok, dan memungut puntung rokok itu.
"Kapan ayahmu harus kembali ke kantornya"" Nancarrow bertanya sambil jalan. Mereka kini sudah di kaki tebing.
"Saya tidak tahu pasti. Tepi seharusnya dia menelepon ke sana kemarin," ujar Bob. Ia menduga bahwa Jupe tidak percaya pada Nancarrow. Dan pengalaman di masa lalu menunjukkan bahwa indra keenam yang dimiliki Jupe lebih sering tepat daripada meleset Karena itulah ia sengaja memberikan keterangan palsu pada Nancarrow.
Sementara Nancarrow berbincang-bincang dengan Bob, Jupe-dengan keterampilan pencopet ulung-membuka penutup sarung senapan.
"Kalau begitu mereka pasti akan mengirim orang untuk mencari kalian"" Nancarrow kembali bertanya.
"Saya yakin, tim pencari sudah dalam perjalanan ke sini," kata Bob.
"Tapi kami tidak bisa menunggu sambil berpangku tangan," Pete menambahkan.
Di bawah penutup sarung senapan, Jupe melihat pegangan tangan di atas laras. Dan tiba-tiba saja ia mengenali bentuk senjata yang aneh itu.
Tapi mendadak Nancarrow berhenti lagi.
"Hei!" ia berseru dengan geram. "Sedang apa kau"" Dengan satu gerakan cepat ia menepis tangan Jupe. Ia mundur selangkah, lalu menghadap ke arah ketiga detektif muda. Kemudian ia mengeluarkan senapan besar dan mengarahkannya pada mereka.
"Ternyata memang M-16," Jupiter bergumam. Tonjolan pada sarung senapan Nancarrow dibuat agar bisa menampung pegangan tangan, gagang, serta tempat peluru.
"Apa-apaan ini"" tanya Bob dengan heran.
"Senapan M-16 pertama kali diperkenalkan dalam Perang Vietnam," Jupe berkata. Jantungnya berdebar-debar. "Dan kini senapan itu termasuk jenis yang paling populer di seluruh dunia. Tapi kegunaannya terutama untuk memburu manusia, bukan binatang. Siapa Anda sebenarnya, Mr. Nancarrow" Dan apa yang Anda kehendaki dari kami""
"Oke, jagoan-jagoan," Nancarrow menjawab sambil tetap membidikkan senapannya ke arah mereka. "Saya sudah berusaha untuk menyelesaikan urusan ini secara baik baik. Tapi sekarang kita akan menempuh jalan yang lebih praktis. Cepat, naik ke tebing itu! Kalian harus ikut dengan saya!"
11. Mengatur Siasat "Ayo, Bob! Pete!" Jupiter berkata sambil menundukkan kepala. "Jangan sampai Mr. Nancarrow marah." ia mulai berjalan ke arah tebing.
Pete dan Bob menatap Jupe dengan heran. Mereka agak terkejut melihat perubahan yang begitu tiba-tiba. Dulu, ketika masih kanak-kanak, Jupe pernah jadi aktor film. Pada waktu itu ia memainkan peran Baby Fatso dalam seri TV berjudul The Wee Rogues alias Berandal Cilik. Jupe tidak suka mengenang peran itu, tetapi sampai sekarang pun ia belum lupa cara berakting. Bakat itu memang sudah mendarah daging dalam dirinya. Bob dan Pete mendadak menyadari bahwa sahabat mereka sedang bersandiwara.
"Ayo, jalan!" Nancarrow memerintah dengan tegas.
"Apakah Anda akan membawa kami ke tempat Mr. Andrews"" Jupe bertanya dengan nada mengibakan.
"Hah, jangan berharap yang aneh-aneh," balas Nancarrow, lalu ketawa dengan sinis. "Itu urusan saya. Kau tidak perlu repot-repot memikirkannya."
"Jadi Anda yang menculik ayah saya!" kata Bob sambil membelalakkan mata. "Kenapa""
"Karena dia sok ingin campur urusan orang lain," Nancarrow menjawab dengan geram. "Sama seperti temanmu yang gendut ini. Sudah, jangan banyak omong!"
Mereka menyusuri tebing ke arah barat untuk mencari tempat yang cocok untuk memanjat naik. Jupe sengaja menarik napas sambil tersengal-
sengal. "Saya tidak kuat kalau harus terus jalan secepat ini," ia mengeluh.
"Dasar cengeng!" kata Nancarrow.
"Aduh!" Jupe mengerang, ia membiarkan kakinya terpeleset pada sebuah batu yang ditumbuhi lumut, ia jatuh terjengkang, dan menimpa Bob.
Bob terdorong mundur. Tapi dengan sengaja ia tidak membentur Pete.
Mata Pete nampak bersinar-sinar, ia memahami apa maksud Jupe dan Bob.
Nancarrow mengerutkan kening. Meskipun curiga, ia belum memahami apa yang sedang terjadi.
Pete tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Secepat kilat ia berbalik badan dan menghampiri Nancarrow. Dengan menggunakan sikut, Pete melancarkan haishu-uke ke arah laras senapan M-16 di tangan pria itu.
"Lariii!" ia berteriak pada Bob dan Jupe.
Kedua anak itu cepat-cepat berdiri, lalu menyeberangi lapangan rumput ke arah tepi hutan sebelah barat.
Pada saat yang sama, Pete kembali beraksi. Kali ini sasarannya adalah dada Nancarrow.
Nancarrow terhuyung-huyung, ia kehilangan keseimbangan, namun tetap menggenggam senapannya erat-erat.
Pete berlari menyusul kedua sahabatnya.
Peluru-peluru berdesingan di sekitar mereka. Daun-daun cemara, debu, serta kulit pohon beterbangan di udara. Burung-burung bercuit-cuit, lalu terbang menjauh. Ketiga detektif muda segera merebahkan diri. untuk sementara mereka cukup terlindung di balik semak belukar.
"Biff! George!" Nancarrow memanggil. "Di mana kalian" Dasar pemalas! Cepat ke sini! Anak-anak itu mencoba melarikan diri."
Pete mengangkat kepala. Ia melihat Nancarrow berdiri di lapangan rumput. "Nancarrow bawa walkie-talkie. Dia memanggil bantuan."
"Biff adalah salah satu dari kedua orang yang mengejar kita tadi," bisik Bob. "Dialah yang bersuara serak."
"Berarti yang satu lagi bernama George," ujar Jupe-juga dengan suara tertahan. "Sepertinya mereka tadi hanya berusaha menggiring kita ke tangan Nancarrow. Pantas saja mereka tidak terlalu ngo-tot" Jupe lalu bercerita bahwa ia telah menemukan hubungan antara rokok yang diisap Nancarrow dengan peti-peti di perkampungan orang Indian.
"Tapi aku tidak yakin bahwa Nancarrow yang menyabot pick-up kita," ujar Bob. "Dia tidak punya kesempatan untuk itu."
"Aku rasa, itu ulah si Kepala Kampung," Pete berpendapat.
"Nanti saja kita pikirkan soal ini," kata Jupe. "Sekarang kita harus pergi dulu dari sini."
"Bagaimana dengan ayahku"" tanya Bob.
"Kalau mendengar ocehan Nancarrow tadi," jawab Jupe, "aku yakin, ayahmu masih hidup. Tapi pertama-tama kita harus menyelamatkan diri dulu. Baru setelah itu kita bisa menyelamatkan ayahmu."
Mereka memandang ke lapangan rumput. Nancarrow masih berdiri di tempat yang sama. Pandangannya terarah ke tepi hutan.
"Dia tidak mau menghambur-hamburkan amunisi," Jupe berkata. "Dia tidak akan melepaskan tembakan sebelum melihat kita."
Ketiga sahabat itu berdiri tanpa bersuara, lalu bergerak menjauh melalui hutan.
"Itu mereka!" suara Biff yang serak terdengar.
Jupe, Pete, dan Bob masih sempat berlari beberapa langkah. Kemudian mereka berhenti.
Trio Detektif 48 Bisnis Kotor di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba saja mereka berhadapan dengan laras M-16 kedua.'
Seorang pria berambut gelap, bermata biru, dan dengan kulit terbakar oleh matahari, mengarahkan senjatanya pada mereka. Secara bergantian ia membidik Jupe, Pete, dan Bob. ia nampak tersenyum, tetapi wajahnya tidak memancarkan keramahan.
"Nah, akhirnya kena juga!" ia berkata dengan puas. Mendengar suaranya, orang itu mestinya George. "Hei, Biff! Di mana kau""
Pria bernama Biff muncul di sebelah kiri Trio Detektif, ia pun membawa senapan M-16. "Bagus, George! Tepat di mana kita menghendaki mereka." Biff berbadan pendek dan kurus. Rambutnya berwarna coklat. Ia memiliki alis yang tebal. "Anak-anak ini memang tidak punya otak."
Suara Oliver Nancarrow yang angkuh kini terdengar dari belakang. "Oke, giring mereka lewat sini. Cepat, perjalanan kita masih panjang."
"Kalian dengar apa kata Bos," ujar Biff. "Ayo, jalan!"
Jupe, Bob, dan Pete saling berpandangan. Pete mengangkat bahu. ia sadar bahwa mereka tidak bisa melakukan apa-apa.
"Jalan!" Biff menggeram.
Kemudian ia membuat kesalahan fatal. Si kerdil itu mendorong punggung Pete dengan menggunakan moncong M-16-nya.
Pete seg era membalik. Ia menggenggam laras senapan, kemudian mendorongnya dengan keras sehingga popor senjata itu menghantam perut Biff.
Biff jatuh ke tumpukan dahan-dahan kering.
Seketika Bob melancarkan tendangan yoko-geri-keage. Kakinya tepat mengenai dagu George. George terhuyung-huyung ke belakang. Bob segera maju dan melayangkan tendangan susulan. Kali ini George ambruk.
Jupe berlindung di balik pohon cemara, ia hendak memanfaatkan kemampuan judo-nya untuk melumpuhkah Nancarrow. Pria itu sedang bergegas ke arah mereka. Tetapi pada detik-detik terakhir Jupe memilih cara yang lebih mudah. Langsung saja ia menjulurkan kaki. Nancarrow tersandung dan kehilangan keseimbangan.
Pria itu berusaha agar tidak terjatuh. Tapi secepat kilat Pete menghantam tengkuknya dengan gerakan otoshi hiji-ate. Nancarrow tumbang.
Ketiga detektif muda tidak membuang-buang waktu. Mereka langsung kabur ke hutan.
Mereka mendengar Nancarrow menyumpah-nyumpah, dan memaki-maki kedua rekannya.
"Dasar Tolol semua! Kejar mereka, cepat! Tapi jangan main tembak. Aku menginginkan mereka hidup-hidup."
Jupe, Pete, dan Bob menembus hutan ke arah selatan. Sambil berlari, mereka menghindari pohon-pohon dan batu-batu yang menghalangi jalan. Suara langkah para pengejar lerdengar dengan jelas di belakang mereka.
Mereka terus bergegas. Namun tenaga mereka semakin berkurang. Langkah-langkah mereka semakin berat.
Pete menemukan sebuah jalan setapak dan langsung membelok ke kanan. Bob seqera mengenali jalan setapak itu-kemarin, setelah mengisi botol air, ia sempat menyusurinya.
"Kita harus susun siasat," Jupe berkata sambil terengah-engah. "Kita tidak bisa terus-menerus main kucing-kucingan seperti ini."
"Selain itu kita juga masih harus menyelamatkan ayahku!" ujar Bob.
Dedemit Selaksa Nyawa 1 Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo Darah Dan Cinta Di Kota Medang 13
Ketiga sahabat itu mencocokkan jam tangan, kemudian berpencar untuk meneruskan pencarian di antara batu-batu besar. Mereka memanggil-manggil Mr. Andrews, dan memeriksa setiap celah serta retakan pada permukaan batu cadas-tanpa hasil.
Dalam waktu singkat mereka telah menyapu daerah yang cukup luas. Ketika kembali, masing-masing berharap agar temannya lebih beruntung dan berhasil menemukan Mr. Andrews.
Namun rupanya mereka masih saja dibuntuti oleh nasib buruk.
Tumpukan batu yang menunjukkan tempat Bob menemukan topi ayahnya telah lenyap.
"Mana tanda yang kita buat"" Pete keheranan.
Perlahan-lahan mereka berjalan di atas batu granit yang berwarna abu-abu.
"Seharusnya ada sini," kata Bob.
"Bukan, di sini," ujar Pete.
"Dua-duanya bukan," Jupe berkata dengan yakin. "Tanda itu mestinya berada di sini. Aku ingat bercak bekas lumut pada permukaan batu ini. Aku tahu bahwa kita tadi mulai mencari dari sini."
Ia membungkuk, memungut sebuah puntung rokok, kemudian mengamatinya dengan saksama. "Coba perhatikan puntung rokok ini," katanya. "Warnanya masih putih bersih. Berarti puntungnya belum lama tergeletak di sini. Aku y
akin, puntung ini belum ada di sini waktu kita berpencar tadi. Aku pasti melihatnya, begitu juga kalian."
"Apa maksudmu"" tanya Pete.
"Jupe hendak mengatakan bahwa ada orang yang datang ke sini," ujar Bob sambil merenung. "Seorang perokok. Orang itulah yang menyingkirkan tanda kita. Dia juga mengawasi segala gerak-gerik kita."
"Paling-paling anak-anak iseng," kata Jupe sambil memperhatikan puntung rokok di tangannya. Sebuah pita berwarna hijau melingkari filter puntung itu. "Kelihatannya seperti rokok mahal." Ia memasukkan puntungnya ke dalam kantong baju.
"Kita harus meneruskan pencarian," Bob memutuskan. "Ayahku tidak ada di Sini. Aku rasa kita sebaiknya pindah ke daerah yang didatangi Pete kemarin. Pete sempat melihat seseorang. Mungkin saja ayahku."
"Rasanya sih bukan," kata Pete.
"Belum tentu," Bob berkeras. "Kau tidak sempat melihat orang itu dengan jelas, bukan" Jika kepala ayahku terbentur lagi. maka ada kemungkinan bahwa ia kehilangan arah dan tersesat sampai ke sana."
"Tapi kalau itu memang ayahmu," ujar Pete, "kenapa dia tidak menyahut ketika aku memanggilnya""
Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan itu.
"Paling tidak kita bisa mencari tahu siapa yang kaulihat di sana," Bob menanggapi pertanyaan Pete. "Dan siapa tahu di sana juga ada pos petugas kehutanan. Mereka pasti bisa membantu kita."
Jupe dan Pete saling bertatapan, lalu mengangguk Usul Bob memang masuk akal. Dinas kehutanan memiliki semua perlengkapan yang diperlukan untuk melancarkan pencarian besar-besaran.
*** Mereka kembali ke camp. Bara api kelihatannya sudah padam. Tetapi untuk berjaga-jaga, Jupe menimbunnya dengan tanah. Pete dan Bob mengatur batu-batu sehingga membentuk tulisan SOS di tengah lapangan rumput. Kemudian mereka mengisi kantong masing-masing dengan beberapa batang coklat. Bob membawa botol berisi air minum.
"Jangan lupa bawa selimut," Pete mengingatkan kedua sahabatnya. "Dan kotak obat. Aku sempat kesasar kemarin. Sebaiknya kita mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan terburuk."
Bob dan Jupe mengangguk. Dalam hati Bob menyesalkan bahwa ayahnya tidak punya selimut semalam.
Sinar matahari menembus puncak pepohonan, dan membentuk kerucut-kerucut terang di antara bayang-bayang hutan. Sambil beriring-iringan, Bob, Pete, dan Jupe menyusuri jalan setapak yang dilewati Pete kemarin sore. Pandangan Bob, yang masih mengenakan topi ayahnya, terus beralih dari kiri ke kanan.
Mereka baru saja sampai di tepi suatu lapangan terbuka, ketika mereka mendengar suara pesawat.
"Ya, Tuhan!" Jupe berseru.
Ketiga sahabat itu langsung berlari ke tengah lapangan. Mereka melambaikan tangan ke arah pesawat yang terbang tinggi di atas hutan. Mereka berteriak-teriak. Pete mengeluarkan selimut, lalu mengayunkannya dengan liar. Bob dan Jupe melakukan hal yang sama. Dalam keputus-asaannya, Bob sampai melompat-lompat di tempat. Ia memerlukan bantuan untuk menemukan ayahnya.
"Hei, kami ada di sini!"
"Lihat ke bawah!"
Namun pesawat itu meneruskan perjalanan, dan akhirnya menghilang di balik gunung.
"Mudah-mudahan saja mereka lihat tanda SOS kita!" ujar Bob penuh harap.
Tapi semuanya sadar bahwa pesawat itu terbang terlalu tinggi.
Bob kembali menyusuri jalan setapak. "Kita harus menemukan ayahku-biarpun tanpa bantuan mereka."
Dengan tekad bulat ketiga sahabat itu berangkat lagi.
Perut Pete berbunyi. Begitu juga perut Jupe.
"Wah, suaranya stereo!" Pete bergurau.
"Dasar sinting!" Bob menanggapinya sambil tersenyum.
Tiba-tiba Pete berhenti, dan menempelkan jari telunjuk pada bibir. Ia memandang ke sebelah kiri.
Bob sepera menoleh ke arah yang sama. ia melihat dahan-dahan semak belukar di antara pohon-pohon bergerak-gerak. Ayah! langsung terlintas kepalanya. Sayup-sayup terdengar suara langkah. Dan kemudian Bob melihat penyebabnya-sebuah sosok langsing, berpakaian rompi dan celana kulit, bergerak dengan gesit di antara bayang-bayang pohon. Bob kecewa sekali. Ternyata bukan ayahnya.
Pete menunjuk ke arah jalan setapak. Jupe dan Bob segera paham bahwa Pete menginginkan mereka tetap di tempat. Sedetik kemudian pemuda itu telah menghilang di hutan.
Jupe dan Bob bergegas menyusuri jalan setapak. Mereka berusaha untuk mengimbangi kecepatan Pete. Mereka mendengar bunyi dahan patah, dan beberapa kali melihat Pete. Namun orang yang sedang dikejarnya tidak menampakkan diri lagi.
Pete melesat di antara batang-batang pohon. Ia yakin bahwa orang di depan adalah orang yang sempat ia lihat pada hari sebelumnya. Tetapi hari ini langkah Pete lebih ringan dibandingkan kemarin. Sang pemburu dan buruannya terus beradu cepat, sampai Pete menyadari bahwa irama langkah orang itu mulai berubah. Rupanya dia sudah mengetahui kehadiran Pete.
Orang itu membelok ke kanan, melewati sekelompok pohon besar, dan berusaha untuk melepaskan diri dari kejaran Pete-persis seperti kemarin.
Namun kali ini Pete tidak mau tertipu Ia segera membelok ke kiri, dan melewati kelompok pohon itu pada sisi berlawanan. Ketika hampir mengelilinginya, ia berhenti secara mendadak. Perlahan-lahan ia membalik badan. Matanya nyaris copot dari kepala.
Pete menatap sepasang mata berwarna hitam milik seorang pemuda yang sebaya dengannya.
Pemuda Indian itu mengenakan rompi kulit dan celana jeans. Ia berdiri seperti patung. Bahkan matanya pun tidak berkedip.
Pete menarik napas. "Hei, kami butuh pertolongan..." ia mulai berkata.
Mulut pemuda Indian itu tetap tertutup rapat. Secepat kilat ia berbalik, lalu berlari menjauh- nyaris tanpa bersuara.
Pete berusaha mengejarnya, tetapi pemuda itu telah menghilang. Belum pernah Pete bertemu dengan pelari secepat itu.
Pete tetap berlari. Namun akhirnya ia sadar bahwa usahanya sia-sia. Ia kesal sekali karena pemuda Indian itu menolak untuk bicara dengannya, serta tidak bersedia membantu.
Sementara itu Bob dan Jupe terus menyusuri jalan setapak. Bob berlari di depan. Jupe berusaha keras agar tidak ketinggalan terlalu jauh. Jalan setapak itu seakan-akan tak berujung, terutama pada saat-saat Pete menghilang di antara pepohonan.
Tiba-tiba saja Pete muncul beberapa puluh meter di depan mereka. Napasnya tersengal-sengal. Rambutnya nampak acak-acakan, dan wajahnya basah karena keringat
"Kalian sempat lihat orang itu"" tanya Pete, ketika Bob dan Jupe menghampirinya.
"Siapa"" "Pemuda Indian itu!"
"Apa"" Bob berseru keheranan.
"Brengsek! Berarti dia lolos lagi," ujar Pete. "Ayo, kita jalan."
Rombongan kecil itu mengikuti jalan setapak yang naik-turun sesuai keadaan medan. Pete menceritakan apa yang baru saja dialaminya.
"Hmm, jadi dia kabur ke arah ini," kata Bob sambil mengerutkan kening.
"Aku jadi ingin tahu apa yang ada di depan kita," Pete berkomentar.
"Aku tidak peduli apa yang menunggu kita di sana," Jupe mengeluh, "asal jaraknya tidak terlalu jauh dari sini."
Karena merasa kasihan pada Jupe, Bob memutuskan untuk beristirahat selama lima menit. Kemudian mereka kembali berjalan.
Matahari semakin tinggi di langit. Perlahan tapi pasti sinarnya mengusir kabut tipis yang menggantung di atas lembah-lembah. Kupu-kupu mulai beterbangan. Burung-burung berkicau. Bau cemara dan keringat bercampur baur menjadi satu.
Pete berjalan dengan cepat, ia mendahului Bob dan Jupe, kemudian menunggu sampai mereka menyusul. Setelah tiga kali, ia berseru pada mereka agar bergegas.
"Ada apa, sih"" tanya Bob.
"Awas kalau tidak ada apa-apa!" Jupe menambahkan dengan geram.
"Ayo, cepat!" Pete mendesak. "Apa kalian tidak tertarik melihat jalan ini""
Bob dan Jupe langsung mempercepat langkah. Pete ternyata berdiri di tepi jalan tanah yang sempit. Jalan itu muncul di antara pohon-pohon di sebelah timur-laut, kemudian kembali menghilang di tengah-tengah hutan di sebelah barat-daya. Di tengah jalan ada jejak ban yang kelihatannya masih baru.
"Rasanya aku tidak melihat jalan ini dari pesawat," kata Bob.
"Ketika kita terbang di atas daerah ini," Jupe mengingatkan, "kita tidak sempat melihat-lihat pemandangan. Kita sedang bersiap-siap untuk mendarat darurat!"
Mereka menatap ke kiri dan kanan. Jalan tanah itu dibatasi oleh semak belukar. Lebarnya hanya cukup untuk satu setengah mobil.
"Kita turun bukit saja," ujar Jupe, sesuai kehendak kakinya yang pegal.
"Aku tidak keberatan," kata Pete.
"Ayo!" Bob mendesak. Tidak jauh dari sini pasti ada bantuan
untuk menemukan ayahnya. Dan ia harus mencari bantuan itu.
Mereka menuruni bukit. Tiga perempat kilometer kemudian jalan itu membelok dan menuju ke arah barat.
Permukaan tanahnya kering dan keras. Mereka menduga bahwa selokan-selokan yang dalam terbentuk oleh hujan deras di musim gugur dan musim semi. Pada musim dingin jalan ini pasti tersembunyi di bawah lapisan salju tebal.
Ketiga anak itu berjalan dengan hati-hati, agar tidak terperosok ke dalam selokan. Mereka letih dan lapar. Mereka membisu hampir sepanjang jalan. Sementara itu matahari semakin terik.
Bunyi itu mula-mula hanya terdengar secara sayup-sayup. Ketiga anggota Trio Detektif saling berpandangan dengan heran. Baru ketika mendekat, mereka mengenali bunyi itu sebagai suara orang, anjing, dan anak-anak.
Semangat mereka timbul kembali. Bob tersenyum lebar.
Mereka melewati sebuah tikungan panjang. Di ujungnya ada sekelompok pondok kayu dan karavan-karavan tua. Di luar rumah-rumah itu ada jala ikan, peralatan berburu, kandang ayam, serta beberapa jeep dan mobil pick-up tua yang seharusnya sudah lama dipensiun.
Sebuah perkampungan Indian! Dua anak kecil berpakaian celana pendek dan T-shirt berhenti bermain, dan menatap Bob, Jupe, dan Pete. Mata mereka nampak merah. Anjing coklat di samping mereka langsung mendengus-dengus.
Suasana di perkampungan itu kelihatan sibuk sekali. Wanita-wanita dan anak-anak berkumpul di tengah desa. Kemudian terdengar suara-genderang.
"Hei!" Pete tiba-tiba berseru. "Berhenti!"
Pete melesat maju, dan menghilang di balik salah satu pondok. Ia menggenggam bahu seorang pemuda Indian yang mengenakan rompi kulit dan celana jeans. Pemuda itu membalik, dan menatap Pete dengan tajam.
"Kau!" Pete membalas tatapannya. "Kau yang sejak kemarin mempermainkan aku!"
7. Orang-orang Sakit "Kenapa kau kabur begitu saja"" Pete menghardik pemuda Indian itu.
Pemuda di depannya melepaskan diri dari cengkeraman Pete. Dengan rambutnya yang hitam dan lurus, serta sepasang mata yang berapi-api, pemuda itu tampak garang. Namun kemudian ia mengenali Pete, dan membelalakkan mata dengan heran. Tampangnya mengendur. Ia tersenyum.
"Bagaimana kalian bisa sampai ke sini"" ia bertanya pada Pete. "Kalian melacak jejakku" Ah, tentu saja tidak. Tapi kalian berhasil menemukan perkampungan kami! Sebenarnya aku ingin mencari kalian begitu aku punya waktu. Maaf, aku terpaksa meninggalkanmu begitu saja."
Sekarang giliran Pete merasa heran. "Apa maksudmu"" ia bertanya.
"Aku akan menjelaskan semuanya," pemuda Indian itu melanjutkan dengan ramah, ia merapikan rompi yang dikenakannya. Ikat pinggangnya berbentuk unik-sebuah bulatan perak dengan batu berwarna hijau di tengahnya. Pemuda Indian itu menyentuh batu itu, lalu berkata, "Aku mendapat tugas untuk mencari wahyu..."
Baru sekarang Jupe dan Bob berhasil menyusul sahabat mereka.
"Namaku Daniel Grayleaf," pemuda Indian itu memperkenalkan diri dengan sopan. "Aku..."
"Apakah ada telepon di sini"" Bob segera mengajukan pertanyaan. "Kami harus menghubungi Dinas Kehutanan. Pesawat kami jatuh, dan ayahku hilang. Kami belum berhasil menemukannya!"
Daniel menggeleng. "Sorry, kami tidak punya telepon maupun radio. Kami selalu pergi ke kota kalau perlu sesuatu."
"Kalau begitu, tolong antarkan kami ke pos kehutanan terdekat," Bob memohon.
"Tidak ada yang pergi dari sini," sebuah suara berat berkata dari belakang Trio Detektif. "Siapa orang-orang asing ini""
Ketiga detektif muda berbalik, dan melihat seorang laki-laki kekar. Matanya nampak merah dan berair.
"Paman, inilah orang-orang yang kuceritakan padamu," ujar Daniel. "Kau bicara dengan mereka"" "Baru sekarang."
"Bagus." Pria itu tersenyum ke arah Daniel. Tetapi wajahnya kembali kaku ketika menatap 'orang-orang asing' di hadapannya.
Pete, Jupe, dan Bob segera memperkenalkan diri.
Daniel memperkenalkan laki-laki itu sebagai Amos Turner, kepala kampung mereka.
"Ayah saya hilang," ujar Bob. Dengan nada putus asa ia menjelaskan musibah yang menimpa mereka.
"Paman, apa yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka"" tanya Daniel.
Penuh harap Bob memperhatikan si kepala kampung.
"Ini masalah ya ng rumit," pria itu berkata. "Belum pernah ada kejadian seperti ini. Paman harus berunding dulu."
Tanpa bersuara ia membalik dan melangkah pergi. Bob nampak kecewa sekali.
"Tak ada yang bisa kita lakukan sekarang," Daniel Grayleaf berusaha menghibur Bob. "Mudah-mudahan saja pamanku akan membawa kabar baik nanti."
Bob mengangguk dengan cemas.
"Tadi kau mengatakan bahwa kau ditugaskan untuk mencari wahyu," Jupiter berkata untuk mengisi waktu, sekaligus untuk mengalihkan perhatian Bob. "Apa maksudnya"" Namun sebelum Daniel sempat menjawab, perut Jupe berbunyi dengan keras. Di dekat tempat mereka berdiri, seseorang sedang memasak sesuatu yang lezat. Dan Jupe bisa mencium baunya yang merangsang selera.
"Nanti kujelaskan," jawab Daniel. "Tapi sebelumnya aku akan menyiapkan makanan dulu. Kalian pasti lapar sekali."
"Betul!" Jupe membalas dengan spontan.
"Kau kan masih bawa"" Pete bergurau. Kemudian perutnya ikut berbunyi.
"Kalian tunggu saja di sini," ujar Daniel. "Aku akan segera kembali." Langsung saja ia bergegas ke tengah perkampungan.
"Wow!" Pete bergumam dengan kagum. "Gerakannya benar-benar lincah."
Hanya ada satu pikiran di kepala Bob. "Mereka harus mengantar kita ke pos kehutanan terdekat!"
"Jangan khawatir, mereka pasti akan membantu," kata Jupe dengan yakin. Namun dalam hati ia merasa ragu-ragu. ia menatap sekeliling sambil bertanya-tanya apa artinya suara genderang yang sejak tadi terdengar.
Tidak lama kemudian Daniel sudah muncul lagi. "Ayo, ikut aku. Makanan sudah ada di atas meja. Pertama-tama kami akan menari, lalu makan, dan kemudian menjalankan upacara. Kalian adalah tamu kehormatan, jadi kalian dipersilakan makan duluan."
"Maksudmu, kalian harus menunggu sampai nanti"" Bob bertanya kebingungan. "Itu tidak benar!"
"Kami akan menunggu," Pete berkeras.
Jupe menelan ludah. "Ya, tentu saja!" katanya dengan berat hati.
Namun Daniel malah ketawa. "Jangan macam-macam. Makanan sudah disiapkan. Dan kalian lapar. Bagi kami justru suatu kehormatan kalau kalian makan duluan." Ketiga detektif muda saling berpandangan.
"Kita tidak boleh mengecewakan tuan rumah," ujar Jupe.
"Betul," Pete mendukung.
"Terima kasih, Daniel," kata Bob. Dalam hati ia berharap bahwa ayahnya juga bernasib baik seperti mereka.
Mereka mengikuti Daniel melalui perkampungan. Orang-orang dewasa dan anak-anak memperhatikan mereka dengan penuh rasa ingin tahu. Kaum pria mulai bergabung dengan para wanita dan anak-anak yang telah berkumpul di tengah desa. Mereka berdada telanjang dan mengenakan hiasan kepala berupa bulu burung, serta kalung yang terbuat dari bulu burung dan batu-batu berwarna. Kaum wanita mengenakan kalung dan baju yang dihiasi dengan manik-manik. Beberapa laki-laki nampak menggoyangkan tongkat sambil melangkah seirama dengan pukulan genderang. Tongkat-tongkat mereka mengeluarkan bunyi berderak-derak.
"Mereka sedang melakukan pemanasan," Daniel menjelaskan. "Nah, ini piring-piring untuk kalian. Silakan ambil makanan sendiri. Kalian bisa makan sambil nonton. Aku akan mencoba menegangkan semuanya."
Jupe, Pete, dan Bob, mengisi piring masing-masing dengan daging, kentang rebus, kacang polong, dan roti. Jupe begitu gembira melihat makanan sungguhan, sehingga langsung mengambil porsi raksasa. Peduli amat dengan dietnya!
"Daging rusa"" Pete bertanya pada Daniel sambil menunjuk salah satu piring besar.
"Ya, dan itu daging kelinci, dan itu daging tupai. Di sebelah sana ada ikan. Kami menangkapnya di truoc. Dalam bahasa kami truoc berarti sungai."
Mereka menduduki bangku panjang di bawah pohon-pohon raksasa. Sebuah peti bertulisan SUKU CADANG MOBIL - Nancarrow Trucking Company berfungsi sebagai meja makan. Di sebelah kanan, sebuah pick-up tua sedang didongkrak. Bagian-bagian dari mesinnya tergeletak di atas peti lain. Di sebelah kiri, mereka melihat truoc-sungai kecil yang mengalir di pinggir perkampungan.
"Apakah sungai ini berasal dari lembah besar di sebelah utara"" tanya Bob.
"Kau tahu lembah itu"" Daniel balik bertanya. Ia nampak agak curiga.
Bob langsung bersikap hati-hati. "Aku melihatnya dari jauh," katanya sambil menggigit sepotong daging
rusa. "Tak ada yang boleh pergi ke sana," ujar Daniel. "Lembah itu adalah tempat keramat bagi kami. Kami menyebutnya Lembah Leluhur. Orang-orang kami dimakamkan di lembah itu. Kadang-kadang kami juga mengadakan upacara di sana."
"Aku pun tidak memasuki lembah itu," Bob meyakinkan lawan bicaranya, ia kembali menggigit sepotong daging. "Suku-mu pasti sudah lama sekali tinggal di sini."
"Dari mana kau tahu""
"Aku melihat tempat pegangan tangan dan pijakan kaki pada tebing yang membatasi Lembah Leluhur. Sepertinya tempat pegangan tangan dan pijakan kaki itu sudah lama sekali ada di sana."
"Sudah sejak semula, ketika Sang Pencipta menciptakan orang-orang kami." kata Daniel. "Dia juga menciptakan tanah longsor untuk menghalau orang-orang yang tidak berkepentingan. Segala sesuatu adalah ciptaan-Nya." Ia tersenyum. "Aku mengerti sekarang. Kau berusaha mencari ayahmu. Para leluhur kami tidak akan marah karenanya."
"Tapi mereka pasti marah kalau didatangi oleh para pelancong."
"Ya, jangan sampai ada turis yang mengotori kesucian lembah itu," ujar Daniel dengan tegas.
Jupiter sudah menghabiskan setengah piring. Ia mulai merasa sehat lagi. "Pasti ada sesuatu yang sangat penting sehingga tidak ada yang boleh meninggalkan perkampungan."
"Orang-orang kami sedang menderita sakit," Daniel menjelaskan. "Mata kami menjadi merah, sejumlah orang menderita batuk, dan dada kami terasa sesak. Beberapa orang bahkan diganggu oleh roh-roh jahat yang membuat api di perut mereka. Para tetua desa memutuskan untuk mengadakan upacara adat untuk mengatasi penyakit ini. Untuk itu desa kami dinyatakan tertutup sampai besok siang. Tak ada yang boleh pergi."
"Apakah tidak lebih baik kalau kalian pergi ke dokter"" Pete bertanya dengan polos.
Di bawah meja, Jupiter segera menendang kaki sahabatnya. Pete langsung tersentak.
"Tidak apa-apa," kata Daniel. "Kalian punya dokter, kami punya shaman. Dia telah mengurus kami sebelum aku lahir. Orangnya sangat bijaksana. Kadang-kadang dia menyuruh kami ke rumah sakit di Bakersfield. Tapi itu jarang terjadi. Biasanya kami selalu sehat, atau cepat sembuh lagi. Sampai beberapa bulan yang lalu."
"Apakah peraturan adat kalian juga berlaku untuk kami"" tanya Bob. "Maksudnya, apakah ada yang bisa mengantarkan kami dalam keadaan darurat""
"Itulah yang sedang ditanyakan oleh pamanku."
Tiba-tiba suara genderang bertambah keras. Tongkat-tongkat di tangan para laki-laki dibunyikan secara serempak. Sebuah teriakan yang bisa membuat bulu kuduk berdiri menggema di udara.
Para penari mulai menari sambil membungkuk dan menegakkan badan. Kaki-kaki mereka bergerak ringan.
"Coba perhatikan," ujar Daniel, "mereka naik turun pada saat yang tidak bersamaan. Itu dilakukan karena dunia tak ubahnya seperti sebuah perahu. Jika semua orang bergerak secara serempak, maka perahu menjadi oleng, lalu terbalik. Itu tidak baik."
Beberapa saat kemudian sejumlah penari melompat ke tengah-tengah lingkaran. Mereka melompat-lompat dengan gerakan aneh dan terpatah-patah.
"Ketika dunia dilahirkan kembali," Daniel menjelaskan, "Sang Pencipta menugaskan burung pelatuk untuk melaporkan bagaimana perkembangannya. Karena itu para penari meniru gerakan burung pelatuk. Mereka melebarkan tangan, dan meniru kicauan burung itu. Ini memberi tahu roh burung pelatuk bahwa ada yang sakit, dan bahwa ia harus melaporkan hal ini pada Sang Pencipta. Jika Sang Pencipta sudah diberi tahu, maka Dia akan memberikan kekuatan besar pada Shaman. Dengan demikian Shaman bisa menyembuhkan orang-orang kami."
Tarian itu terus berlanjut. Para penari bermandikan keringat. Mereka terus berganti-ganti tempat pada lingkaran. Kaum wanita dan anak-anak duduk sambil menonton. Kadang-kadang mereka bertepuk tangan serta ikut menyanyi. Orang-orang yang sakitnya paling parah dibaringkan di tikar-tikar. Kepala-kepala mereka diganjal dengan selimut, sehingga mereka pun bisa mengikuti jalannya upacara.
Tiba-tiba semuanya berakhir.
Suara genderang berhenti. Para penari dan penonton menghampiri meja makan. Jupe memperhatikan bahwa semua penari bermata merah. Dan beberapa orang di antara mereka sempat terb
atuk-batuk. Si Kepala Kampung, yang dipanggil Paman" oleh Daniel, muncul lagi. Ia ditemani seorang laki-laki tua berwajah tegang. Pakaian kebesaran yang mereka kenakan nampak menonjol di tengah-tengah kerumunan. Berdasarkan sikap para penghuni desa yang penuh hormat, Jupe menebak bahwa pria tua itu adalah sang Shaman.
Akhirnya mereka berhenti di depan Daniel dan ketiga anggota Trio Detektif.
"Kami tidak dapat membantu kalian," ujar Amos Turner, si Kepala Kampung. "Kalian harus berangkat sendiri. Inilah keputusan kami."
8. Wahyu dari Sang Pencipta
"Risikonya terlalu besar," sang Shaman berkata. "Kesucian upacara harus dijaga dengan ketat Terlalu banyak orang yang menderita sakit."
Bob, Jupiter, dan Pete merasa bahwa sang Shaman benar-benar menyesal karena terpaksa mengambil keputusan ini. Namun ini tidak membantu Mr. Andrews.
"Saya rasa kalian lebih baik tinggal di sini saja," Amos Turner, si Kepala Kampung, berkata. "Besok siang kami bisa mengantarkan kalian."
"Kami harus berangkat hari ini juga," kata Bob. "Ayah saya mungkin cedera berat"
"Daerah ini luas sekali," Amos kembali berkata, "jauh lebih luas dari yang kalian bayangkan. Bagaimana kalian akan menemukan Diamond Lake"" ia kelihatan tidak setuju dengan rencana Bob.
"Kami akan menyusuri jalan tanah yang melewati desa ini," jawab Pete.
"Kalau begitu kalian harus menempuh 40 mil!" si Kepala Kampung menanggapinya.
"40 mil!" Pete segera menelan ludah.
Jupe nyaris ambruk ketika mendengarnya-tapi kemudian ia mendapat akal.
"Barangkali kami bisa menyewa salah satu mobil pick-up Anda," ia mengusulkan.
Gntuk pertama sejak tiba di perkampungan ini, wajah Bob yang tampan nampak agak cerah. Jupe memang bisa diandalkan, katanya dalam hati. Jupe selalu menemukan pemecahan yang luput dari perhatian orang lain.
"Kami semua punya SIM," Bob cepat-cepat berkata.
"Dan uang," Pete menambahkan sambil mengeluarkan dompet. Dompet itu berisi seluruh uang yang hendak dibelanjakannya di Diamond Lake. "Kami akan membayar tunai."
"Dan kami akan mengantarkan mobil itu sesuai dengan permintaan Anda," ujar Jupe. "Kami akan menjaganya dengan cermat. Ini kartu nama kami. Biasanya orang mempercayakan masalah mereka pada kami. Tapi kali ini kami yang memerlukan bantuan."
Jupe menyerahkan dua buah kartu nama pada Shaman dan Kepala Kampung. Kartu-kartu itu merupakan desain baru yang dirancangnya sendiri.
Si Kepala Kampung memegang kartunya dengan kaku. Sang Shaman bahkan tidak membacanya sama sekali. Ia langsung menyerahkan kartu itu pada Daniel. Daniel membacakannya untuk semua.
TRIO DETEKTIF "Kami Menyelidiki Segala Sesuatu"
Jupiter Jones, Pendiri Pete Crenshaw, Rekan Bob Andrews, Rekan Si Kepala Kampung menggelengkan kepala. "Rencana kalian tidak akan berhasil," katanya.
Sang Shaman mengerutkan kening. "Mungkin saja, tapi saya rasa tidak ada salahnya kalau mereka mencobanya." Ia menatap ketiga detektif muda dengan tajam. "Bagaimanapun juga mereka akan berangkat. Karena itu lebih baik kalau kita membantu mereka sebisa kita."
Si Kepala Kampung menggigit bibir. Ia tidak setuju, namun sang Shaman telah mengambil keputusan. "Baiklah, saya akan mengatur semuanya," ia berkata lalu melangkah pergi.
"Terima kasih banyak," ujar Bob sambil tersenyum dengan lega.
Sang Shaman mengangguk pelan. Untuk sesaat kedua matanya nampak bersinar-sinar. "Anak-anak muda," ia bergumam. "Selalu saja dilanda kesulitan." Kemudian ia berpaling pada Daniel. "Bagaimana""
"Aku sudah melaksanakan tugas yang diembankan padaku."
"Ceritakanlah apa yang telah kaukerjakan," sang Shaman menyuruh Daniel. "Ketiga temanmu ini pasti tertarik."
Daniel menghadapi Jupe, Pete, dan Bob. "Aku ditugaskan mencari wahyu. Selama 24 jam aku berpuasa dan berlari menembus hutan. Aku hanya berhenti untuk berdoa. Pada malam hari aku tidur, agar Sang Pencipta bisa menyampaikan pesannya."
"Apa yang kaulihat ketika bermimpi, cucuku"" sang Shaman bertanya.
"Cucu"" Pete bertanya dengan heran. "Apakah kau punya hubungan saudara dengan semua orang di sini""
Daniel dan sang Shaman langsung ketawa.
"Ini adalah kebiasaan kami untuk menunjukkan rasa hormat," Da
niel menjelaskan. "Berarti si Kepala Kampung bukan pamanmu"" Bob menduga-duga.
"Dan aku juga bukan cucu sang Shaman. Tetapi ia seperti kakek bagi kami semua."
Ketiga anggota Trio Detektif mengangguk.
"Mimpiku sungguh aneh, Kakek," Daniel lalu berkata dengan serius. "Aku berada di danau yang luas. Ketika aku melangkah ke air yang berwarna hijau, tiba-tiba saja seekor ikan melompat ke tanganku. Aku merasa beruntung sekali- ikan itu merupakan makanan lezat. Karena itu aku berterima kasih pada Sang Pencipta. Tapi kemudian banyak sekali ikan yang melompat ke tanganku. Aku tidak bisa menangkap semuanya. Ikan-ikan itu terus menabrak punggungku, dadaku, wajahku-makin lama makin keras."
"Dan kau khawatir bahwa mereka akan menabrakmu sampai mati"" sang Shaman bertanya.
Daniel mengangguk. "Aku melemparkan semua ikan yang sempat kutangkap, kemudian meninggalkan danau itu."
"Tindakanmu tepat sekali. Pelajaran apa yang bisa diambil dari kejadian itu""
"Sesuatu yang diperoleh tanpa usaha seringkali tidak berguna, bahkan bisa merugikan," Daniel segera menjawab.
Sang Shaman mengangguk. "Dan pesan apa yang disampaikan oleh Sang Pencipta""
"Di tempat yang benar, namun tanpa diberkati."
"Ahhh!" Sang Shaman mengulangi kata-kata itu sambil bergumam. "Apakah itu menjawab pertanyaanmu""
Ketiga detektif muda menatap Daniel dengan pandangan bertanya-tanya.
"Aku tidak memahami artinya," pemuda Indian itu berkata sedih. "Aku takkan pernah bisa menemukannya."
"Sang Pencipta telah memberikan jawaban padamu," sang Shaman menyanggah. "Kau harus bisa mempergunakan jawaban itu."
Daniel menunduk malu. "Baik, Kakek."
"Sekarang kau harus berganti pakaian untuk upacara berikut."
"Ya, Kakek." Daniel berpaling pada Jupiter, Bob, dan Pete, lalu tersenyum. "Aku akan berdoa agar kalian berhasil." Sedetik kemudian ia telah pergi.
"Selamat jalan, prajurit-prajurit muda," ujar sang Shaman. "Jangan percaya pada siapa pun selain diri kalian sendiri."
Ia segera bergabung dengan anggota suku yang lain.
"Coba perhatikan kepala kampung," kata Pete sambil melirik ke sebuah pondok seng yang berjarak sekitar 50 meter dari tempat mereka berdiri.
Amos Turner berdiri di depan pondok itu. Ia sedang berbicara dengan seorang laki-laki yang terus menerus menggosokkan kedua tangan pada celana jeansnya. Orang itu mengangguk-angguk, seakan-akan sedang diberi perintah oleh lawan bicaranya. Kemudian si Kepala Kampung menuju ke meja makan, sementara laki-laki itu menghilang ke dalam pondok. Beberapa peti dengan ukuran berbeda-beda nampak ditumpuk di satu sisi bangunan kecil itu. Masing-masing bertulisan Nancarrow Trucking Company.
Jupe kembali duduk untuk menghabiskan makanannya. Ia meraih garpunya, lalu menunduk agar lebih mudah menyuap. Pada saat itulah ia melihat sebuah puntung rokok tergeletak di tanah.
Ia segera memungut puntung yang sudah mulai menguning itu. Filternya dihias dengan pita berwarna hijau-persis seperti puntung rokok yang ditemukannya tadi pagi.
"Hei, Jupe," kata Pete. "Ada apa""
"Lihat ini," Jupe menjawab dengan singkat.
"Wow!" Pete berseru dengan suara tertahan.
"Apa artinya"" tanya Bob.
"Aku pun tidak tahu," Jupe mengakui, "tapi aku akan menyimpan puntung ini. Siapa tahu ada gunanya nanti."
Seorang wanita muda muncul dari kerumunan orang dan menghampiri Jupe, Pete, dan Bob.
"Aku Mary Grayleaf, adik Daniel," ia memperkenalkan diri. Matanya terarah pada Bob. "Ini!" ia menjatuhkan sebuah kunci ke tangannya. "Kepala Kampung menitip pesan bahwa mobil untuk kalian sedang disiapkan. Apakah kalian sudah kenyang""
"Sudah," jawab Bob sambil membalas tatapan gadis itu. Wajah Mary cantik sekali. Rambutnya hitam dan lurus. Ia mengenakan kalung yang terbuat dari batu-batu berwarna turkis. Bob melihat bahwa mata gadis itu pun nampak merah.
"Apakah kau benar-benar adik DanieP" Bob bertanya, "Ataukah ini juga hanya salah satu cara untuk memperlihatkan rasa hormat""
Untuk sesaat Mary Grayleaf agak kebingungan. Tetapi kemudian ia ketawa. "Betul, kok! Daniel adalah kakak kandungku."
Jupiter dan Pete saling bertatapan. Jupe mengangkat alis. Pete tersenyum simpul. Bob telah beraksi lagi
. Ke mana pun ia pergi, ia selalu menjadi magnet bagi gadis-gadis cantik.
"Apakah masih ada upacara lagi setelah ini"" Bob bertanya pada Mary.
"Shaman akan menari dan menyanyi," jawab Mary sambil menatap mata Bob. "Kemudian ia akan berdoa, ia sedang mempersiapkan diri untuk menerima pesan dari Sang Pencipta. Sang Pencipta akan memberitahunya apa yang menyebabkan penyakit yang menyerang orang-orang kami.
Setelah itu, Shaman akan menggunakan kekuatan gaib yang dimilikinya untuk mengobati para penderita."
"Kekuatannya pasti ampuh sekali," Bob berkomentar sambil tersenyum.
"Kami selalu disembuhkan oleh kekuatan Shaman," Mary berkata dengan serius.
Jupiter tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. "Bagaimana dengan usaha pencarian wahyu oleh Daniel""
Pertanyaan ini segera menarik perhatian gadis itu. "Kalian sempat mendengar pesan yang disampaikan pada Daniel" Bagaimana bunyinya""
Jupe mengulangi pesan itu. "Di tempat yang benar, namun tanpa diberkati."
Mary merenung sejenak, kemudian menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu apa maksudnya. Apakah Daniel bisa mengartikan pesan itu""
"Tidak. Tapi Shaman menyuruh Daniel untuk memikirkannya," ujar Bob. "Pesan itu rupanya penting sekali bagi kalian."
Mary mengerutkan kening, lalu memejamkan mata selama beberapa detik. "Paman kami hilang," ia menjelaskan. "Dia membantu ibu kami untuk membesarkan Daniel dan aku setelah ayah kami pindah dari sini. Sudah bertahun-tahun ayah kami menghilang. Dan kini paman kami juga lenyap. Sudah satu bulan dia tidak kelihatan, dan Daniel terus mencarinya di hutan."
"Ada sesuatu yang tidak beres di sini," kata Bob. "Ayahku juga hilang."
Mary mengangguk dengan sedih. Perhatiannya beralih pada seseorang yang berdiri di tengah kerumunan. Orang itu adalah laki-laki yang sempat berbicara dengan Kepala Kampung tadi. Ketiga detektif muda tidak melihat dia meninggalkan pondoknya. Namun kini orang itu mengangkat tangan dan memberi isyarat pada Mary.
Trio Detektif 48 Bisnis Kotor di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mobil kalian sudah siap," gadis itu berkata sambil menggosok-gosok matanya yang merah.
ia mengantarkan Jupe, Pete, dan Bob mengelilingi perkampungan, melewati anjing-anjing kudisan, serta setumpuk tanah sebesar rumah. "Itu tempat di mana para pria mensucikan badan mereka," Mary menjelaskan.
"Ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan," ujar Jupe. Tangannya meraih ke dalam kantong baju, lalu mengeluarkan dua puntung rokok. "Apakah kau tahu siapa yang mengisap rokok merk ini""
"Tidak," jawab Mary sambil terheran-heran.
Dengan kecewa Jupe mengembalikan puntung-puntung itu ke kantong bajunya.
Mereka melewati sebuah pick-up Ford berwarna merah yang masih baru. Mobil itu nampak menonjol di antara kendaraan-kendaraan lain.
"Mobil itu milik Kepala Kampung," kata Mary. "Orangnya baik sekali. Dia penembak paling jago di desa kami. Dia sering membelikan pakaian, alat-alat, serta suku cadang untuk mobil-mobil yang rusak."
"Dari mana dia memperoleh uang untuk itu"" tanya Jupe.
Mary mengangkat bahu. "Entahlah. Mungkin dengan bekerja sambilan di Diamond Lake. Itu bukan urusanku." Ia menepuk bemper sebuah pick-up yang penuh karat. "Ini mobilnya yang lama. Dia meminjamkannya pada kalian. Tapi kalian harus menjaganya baik-baik. Dia minta agar kalian menitipkan mobil ini di pos kehutanan di Diamond Lake setelah kalian tiba di sana."
Setelah memasukkan barang-barang mereka ke bak, ketiga anggota Trio Detektif naik ke mobil.
"Ikuti jalan tanah ini sampai mencapai jalan yang digunakan untuk mengangkut batang-batang pohon yang habis ditebang," Mary berkata. "Kemudian belok ke arah barat. Jalan itu akan membawa kalian ke jalan bebas hambatan. Kalian tinggal belok ke kanan, sebab jalan bebas hambatan itu menuju ke Diamond Lake."
Jupe, Pete, dan Bob mengucapkan terima kasih. Pete menghidupkan mesin. Mary tersenyum ke arah Bob dan melambaikan tangan.
Mereka berangkat. Debu beterbangan. Anjing-anjing menyalak.
"Akhirnya kita bisa naik mobil," Pete berkata dengan gembira.
"Yah!" ujar Jupe. "Ini hampir cukup untuk melupakan keampuhan daya tarik Bob."
"Sorry, Jupe," Bob berkomentar dengan riang. "Kita harus memanfaatkan semua kelebihan yang kita miliki
." Jupe dan Pete menoleh dan meringis. Bob duduk di bangku belakang sambil memikirkan Mary. Pete menggenggam kemudi dengan erat-erat, lalu berkonsentrasi penuh. Jalan tanah itu berbelok-belok, dan mengikuti naik-turunnya bukit.
"Kelihatannya si Kepala Kampung tidak menyukai kita," ujar Pete.
"Lain halnya dengan Shaman," Jupe menanggapinya. "Berkat dialah kita memperoleh pick-up ini. Apakah kalian sempat memperhatikan tampang Shaman ketika Daniel menceritakan wahyu yang ia peroleh" Laki-laki tua itu tahu apa arti wahyu itu, dan ia tidak gembira karenanya."
"Maksudmu, pamannya Daniel...""
"Satu bulan merupakan waktu yang cukup lama untuk menghilang tanpa berita," kata Jupe. "Dan penyakit apa yang diderita oleh orang-orang Indian itu" Mereka mungkin terserang sejenis virus, tapi rasanya..." ia terdiam sambil menggigit bibir, ia selalu bersikap seperti itu kalau sedang memeras otak.
Beberapa mil kemudian, jalan tanah yang mereka lalui mulai menanjak. Matahari sore bersinar cerah.
Di puncak bukit, pick-up tua itu sempat mengeluarkan bunyi mirip tembakan dari knalpot Kecepatannya mulai bertambah, karena jalanan menurun curam.
Pete menginjak rem. Mobil tua itu menggelinding pelan. Pete melepaskan rem, dan mobil mereka kembali melaju dengan kencang.
Mereka meluncur melewati semak belukar dan pohon-pohon.
Sekali lagi Pete menginjak rem. Untuk sesaat kecepatan mereka berkurang. Namun tiba-tiba rem berhenti bekerja. Pete langsung kalang kabut.
"Ya, Tuhan!" ia berseru. "Remnya blong!"
9. Nyaris Celaka Semakin cepat pick-up tua itu meluncur menuruni bukit yang curam. Pete menggenggam kemudi dengan erat. Di sebelahnya, Jupe terlempar-lempar dari kiri ke kanan. Bob berpegangan pada sandaran tangan yang terpasang di pintu. Ketiga sahabat itu terguncang-guncang. Berkali-kali kepala mereka membentur atap mobil dengan keras.
"Rem tangannya!" Jupe berseru. "Percuma, kita terlalu kencang," balas Pete. "Lalu apa yang harus kita lakukan"" Bob berteriak.
"Mudah-mudahan saja jalan ini kembali datar!" Jupe berharap dengan cemas.
"Aku akan menurunkan gigi," Pete berkata. "Kalau bisa!"
Pete mulai bermandikan keringat ketika meraih tongkat persnelling. ia ragu-ragu sejenak, lalu menurunkan gigi dari tiga ke dua secara paksa.
Mesin mobil mereka meraung-raung. Pick-up tua itu bergetar, kemudian bertambah pelan.
Namun itu masih belum cukup. Mereka tetap saja meluncur dengan kencang.
"Awas!" teriak Bob. "Di depan ada tikungan!"
Jalanan di depan mereka membelok ke kanan, lalu menghilang di balik bukit.
Ketiga sahabat itu berteriak, "Wuaduuuh!" ketika mobil mereka melewati tikungan yang panjang dan menurun itu. Akar-akar pohon nampak di tempat-tempat di mana tanah termakan oleh erosi.
Pete memutar kemudi ke kanan, mendekati tebing.
"Aku akan merapat ke tebing," ia berseru. "Itu akan mengurangi kecepatan kita."
"Awas!" Jupe berteriak.
Tumpukan tanah, kerikil, serta bongkahan batu dari tebing tergeletak di sepanjang jalan. Pick-up mereka segera menerjang tumpukan itu.
Pete berjuang keras agar tidak kehilangan kendali. Namun akhirnya kemudi terlepas dari tangannya dan berputar dengan liar. Mobil mereka meronta-ronta dan bergetar dengan hebat, persis seperti sebuah mesin cuci tua.
Sekali lagi Pete membelokkan kemudi ke arah tebing. Terlambat-pick-up mereka sudah mulai selip! Keempat rodanya terperosok ke selokan yang dalam.
"Mulai lagi, deh," Pete berkata dengan geram.
Karena terperangkap dalam selokan, mobil mereka melewati tikungan berikut dengan kecepatan tinggi, lalu hampir keluar dari jalan. Namun dengan sigap Pete berhasil mencegahnya
"Ya, Tuhan!" teriak Bob. "Kita akan kebalik!"
Di depan jalanan mulai mendaki bukit kecil yang landai.
"Wah, akhirnya!" kata Jupe. Wajahnya yang bulat nampak basah karena keringat.
Pick-up mereka meluncur ke kaki bukit yang curam, lalu mulai naik ke bukit kecil-persis seperti rollercoaster di taman ria. Dengan mesin meraung-raung, mobil itu tetap melaju dengan kecepatan tinggi.
Lengan Pete nyaris kejang karena terus menggenggam kemudi erat-erat. Bob berpegangan pada pintu. Sementara Jupe, yang duduk di tengah, hanya bisa
menopang dirinya pada dashboard dan atap.
Tebing yang membatasi jalan sudah tertinggal jauh di belakang. Di kedua sisi jalan kini hanya ada semak belukar. Kecepatan mobil mereka agak berkurang ketika jalanan mulai menanjak.
Ketiga sahabat bisa menarik napas panjang. Kalau saja ada jalan datar di atas bukit, maka pick-up mereka bisa menggelinding sampai berhenti...
"Ya, ampun!" Jupe berseru ketika mobil mereka mencapai puncak bukit.
Meskipun kecepatannya telah berkurang, pick-up itu tetap saja meluncur dengan kencang. Mobil tua itu melompat melewati puncak bukit, lalu mendarat dengan keras pada roda belakang. Roda depannya menyusul.
Dan kemudian perjalanan gila-gilaan menuruni bukit dilanjutkan lagi.
"Pegangan!" teriak Pete sambil berusaha untuk menahan mobil mereka dalam posisi lurus.
Tanpa mengenakan sabuk pengaman, ketiga sahabat itu tak berdaya menghadapi guncangan-guncangan hebat yang membuat mereka terlempar ke segala arah.
"Mobilnya sudah mau rontok!" teriak Bob sambil menatap ke luar jendela. Semak belukar di sebelah kanan jalan telah lenyap. Bob hanya melihat puncak pepohonan. Sambil membelalakkan mata ia menyadari bahwa bagian kanan jalan kini diapit oleh jurang sedalam puluhan meter.
Pete berusaha agar ban mobil mereka tetap berada di dalam selokan. Dengan ngeri ia mem- bayangkan apa akibatnya kalau mereka sampai masuk ke jurang itu.
"Lihat!" Pete tiba-tiba berseru.
Tepat di depan ada sebuah tebing granit yang memanjang ke arah timur-barat Jalan membelok ke kanan, dan menyusuri tebing yang mungkin merupakan akhir dari mimpi buruk mereka. Kalau saja Pete bisa merapatkan mobil mereka ke dinding batu cadas itu...
"Pete, jangan nekat!" Jupe berkata dengan cemas. "Mobil kita bisa hancur berantakan!"
"Tangki bensinnya bisa meledak kalau ada per-cikan api!" Bob pun mengemukakan keberatannya.
"Apakah kalian punya ide yang lebih baik"" balas Pete.
Jupe dan Bob terdiam. Pandangan mereka terpaku pada tebing granit yang kini membatasi tepi kiri jalan.
Mobil mereka masih meluncur dengan kencang. Pete kembali membelokkan kemudi, agar ban mobil bisa keluar dari selokan.
Pick-up tua itu menabrak tebing. Percikan-percikan api beterbangan ke segala arah.
"Ya, Tuhan!" Bob bergumam.
Seluruh perhatian Pete tercurah pada tebing di sebelah kirinya. Dengan hati-hati ia memutar kemudi. Sekali lagi mobil mereka menyentuh permukaan batu cadas. Sekali lagi. Dan sekali lagi.
Suasana di dalam mobil benar-benar tegang.
"Tahan!" kata Jupe.
"Kau pasti bisa, Pete!" Bob menyemangati sahabatnya.
Sekali lagi Pete membelokkan setir. Pick-up mereka menempel pada tebing, tapi kali ini Pete bertahan pada posisi ini. Bunga api memercik dengan hebat.
Ketiga sahabat bermandikan keringat
Dan akhirnya kecepatan mobil mereka mulai berkurang. Sesaat kemudian mereka telah berhenti. Pete segera mematikan mesin. Bemper mobil mereka menempel pada tebing.
Pete, Jupe, dan Bob duduk sambil memejamkan mata. Debu beterbangan di udara. Selama setengah menit tidak ada yang bergerak atau membuka mulut.
"Pete, kau telah menghancurkan mobil ini," Jupe lalu berkata dengan serius.
"Kau harus membayar ganti rugi," Bob menambahkan.
"Reputasimu sebagai pengemudi terampil telah tercoreng."
Perlahan-lahan Pete menoleh. Ia menatap kedua sahabatnya sambil terheran-heran.
"Tapi bagaimana kami bisa membalas jasamu ini"" ujar Jupe sambil menepuk bahu Pete.
"Kau benar-benar pengemudi jempolan," Bob berkata sambil nyengir.
Pete mulai ketawa. "Dasar sinting semua! Ayo, keluar! Sampai kapan kalian mau duduk di sini, heh" Aku ingin lihat bagaimana keadaan mobil ini. Mungkin kalian belum sadar, tapi aku tidak bisa buka pintu sebelah sini."
Mereka turun dari mobil, lalu berjalan ke bagian belakang.
Pete menggelengkan kepala. "Astaga! Ty pasti tidak percaya kalau mendengar cerita ini!"
Seluruh lapisan cat pada sisi sopir telah terkelupas habis. Pinggiran pintu telah bersatu dengan body mobil. Dan pegangan pintu telah lenyap.
"Aha!" kata Pete. ia kembali ke depan.
"Aha"" Jupe menirunya, lalu menyusul.
Pete masuk ke kolong mobil. Kepala dan tangannya berada di bawah pedal gas, rem, dan persnel
ling. ia memungut sesuatu dari tanah.
"Ada apa, sih"" Jupe bertanya tak sabar.
Pete berdiri lagi. ia memegang ujung sebuah baut, Jupe segera memeriksanya. Ulir baut itu nampak seperti habis digergaji. Jupe langsung menyerahkannya pada Bob.
"Ini pasti ada hubungannya dengan kerusakan rem yang kita alami," ujar Jupe.
"Betul sekali," Pete menanggapinya. "Pedal rem menggerakkan sebuah tangkai pendorong yang dihubungkan dengan booster rem. Kalau pedal rem diinjak, maka sebuah piston di dalam booster akan menekan oli rem ke saluran..."
"Jangan berbelit-belit, deh!" ujar Bob.
"Oke, oke," Pete menggerutu. "Baut itu yang menghubungkan pedal rem dengan tangkai pendorong."
"Dan seseorang telah menggergajinya sehing-" ga langsung patah pada saat mengalami tekanan," Jupe menyimpulkan.
"Tepat sekali!"
Bob mendesah panjang. Harapan untuk menemukan ayahnya semakin menipis.
Ketiga sahabat itu saling berpandangan. Sekali lagi mereka berada dalam kesulitan besar.
"Ini pasti ulah salah satu orang Indian," kata Jupe.
"Barangkali si Kepala Kampung"" Pete menduga-duga. "Dia tidak menyukai kita. Tapi apakah alasan itu cukup kuat sehingga dia tega membunuh kita""
"Yang pasti, pelakunya bukan Daniel," ujar Bob sambil merenung. "Atau Mary," Jupe menambahkan.
"Atau pun Mary," Bob mengulangi dengan yakin.
"Kita tidak bisa kembali ke sana untuk minta bantuan," kata Pete.
"Ya, salah satu penghuni perkampungan itu baru saja mencoba untuk membunuh kita," Jupe pun sependapat "Aku rasa lebih baik kalau kita teruskan perjalanan ke Diamond Lake. Apakah kau bisa membetulkan remnya, Pete""
"Bisa, tapi untuk itu aku memerlukan baut baru. Di mana kita bisa mendapatkan baut""
Pete dan Bob memeriksa pick-up. Tetapi mereka tidak menemukan apa-apa. Bahkan dongkrak pun tidak ada.
"Barangkali di pesawat kita ada baut yang cocok," ujar Jupe. "Kalau tidak salah, aku sempat melihat kotak peralatan di ekor pesawat." ia mulai menyusuri tebing ke arah barat
Pete dan Bob saling berpandangan, kemudian menatap ke arah Jupe.
"Hei, ini kan tebing yang membatasi lapangan rumput!" Pete tiba-tiba berseru.
"Kelihatannya begitu," kata Jupe. "Kita bisa menyusuri tebing ini sampai ke tempat kita mendarat darurat, mengambil baut, kembali ke sini, membetulkan mobil, lalu meneruskan perjalanan ke Diamond Lake." Jupe mendesah tertahan. Dalam hati ia merasa puas dengan rencana ini. Namun bayangan mengenai usaha yang dibutuhkan untuk mencapai pesawat hampir membuatnya patah semangat.
Bob mengambil botol air dari bak. Ketiga sahabat itu mengikat jaket masing-masing mengelilingi pinggang, kemudian mulai menyusuri tebing.
Ketika jalanan membelok ke arah perkampungan orang Indian, mereka tetap mengikuti tebing dan masuk ke hutan.
Dalam waktu singkat mereka telah dikelilingi oleh pohon-pohon besar. Kicau burung terdengar merdu. Daun-daun berdesir karena digerakkan oleh angin lembut. Puncak pepohonan memberi perlindungan terhadap sengatan matahari.
Tiba-tiba saja terdengar bunyi tembakan.
Sebuah peluru berdesing dan mengenai batang pohon cemara di depan Pete.
Jupe, Pete, dan Bob langsung tiarap. Peluru kedua lewat di atas kepala mereka.
Seseorang sedang menembak ke arah mereka!
10. Pemburu Manusia "Mana mereka"" seseorang berseru dengan suara serak. Suara itu berasal dari balik pepohonan di belakang Trio Detektif.
"Ayo, Biff!" orang lain membalas. "Kita harus menemukan mereka!"
Kata-kata yang diucapkan kedua orang itu terdengar menggema. Sukar sekali untuk memastikan dari mana sumbernya.
"Kenapa mereka menembaki kita"" bisik Bob sambil menempelkan kepala ke tanah.
"Entahlah," balas Jupe, "tapi aku rasa akibatnya pasti kurang menyenangkan kalau kita bertahan di sini untuk memperoleh jawabannya."
Mereka saling berpandangan, mengangguk, lalu bangkit tanpa mengeluarkan suara. "Ayo!" Pete mendesak, ia segera lari ke arah semak belukar.
Bob dan Jupe menyusul. Mereka berlari sejajar dengan tebing, dan menuju lapangan rumput
Sekali lagi suara tembakan terdengar. Sebuah dahan rontok dan jatuh ke tanah.
Jupe, Pete, dan Bob segera menjatuhkan diri, lalu merangkak ke balik sebongkah batu sebesar rumah.
"Br engsek! Ke mana mereka"" suara pertama berseru dari tengah hutan.
"Dasar anak-anak berandal!" rekannya berkomentar dengan kesal. "Bikin repot saja!"
Kedua orang itu semakin mendekat. Jupe mendengar suara dahan patah terinjak. Kelihatannya orang-orang itu tidak peduli apakah kedatangan mereka diketahui atau tidak.
Pete dan kedua sahabatnya kembali menerobos semak-semak.
"Itu mereka!" penembak pertama berseru. "Ayo, Biff! Sikat saja!"
Peluru-peluru berdesingan. Tanah dan debu tersembul ke atas di sekitar Trio Detektif.
"Cepatan!" Pete memacu Bob dan Jupe.
ia memasuki daerah bayangan pepohonan. Bob dan Jupe berada tidak jauh di belakangnya. Agar tidak kehilangan arah, mereka tetap berlari sejajar dengan tebing. Jupe sudah terengah-engah. Namun ia berusaha keras agar tidak ketinggalan. Akhirnya mereka berhenti di balik semak-semak.
"Apakah kalian sempat melihat tampang mereka"" tanya Jupe di sela sela tarikan napas.
"Tidak," jawab Bob. ia mencopot topi ayahnya dan menyeka keringat. "Kau masih tahan, Jupe" Wajahmu kelihatan seperti tomat matang."
"Jangan takut," jawab Jupe sambil tersengal-sengal. "Aku masih kuat."
"Ayo, kita jalan lagi," ujar Pete. Mereka segera menjauh dengan langkah panjang.
"Apakah kita berhasil mengelabui mereka"" Bob bertanya.
"Mudah-mudahan saja," kata Jupe.
"Aku tidak yakin bahwa mereka mau menyerah begitu saja," Pete memudarkan harapan kedua sahabatnya.
Ketiga detektif itu terus menuju ke arah barat. Mereka sebisa mungkin berjalan sambil berlindung di balik pepohonan. Dalam waktu singkat mereka telah menempuh beberapa mil. Mereka melewati bunga-bunga liar, tumpukan batu besar, serta sebuah kali dengan air bening.
"Berapa lama lagi"" tanya Pete ketika mereka berhenti untuk mengisi botol air.
"Kalau arahnya tepat, maka seharusnya kita sudah hampir sampai," kata Jupe.
Mereka berangkat lagi. "Itu dia!" Pete tiba-tiba berseru.
Mereka muncul di sisi selatan dari lapangan rumput yang sudah akrab bagi mereka.
"Lho, mana pesawat kita"" Jupe langsung bertanya.
Sambil terbengong-bengong ketiga sahabat itu menatap ke tengah lapangan. Pesawat mereka tidak kelihatan. Bahkan sayapnya yang patah pun sudah lenyap! Bagaimana mungkin"
"Tunggu dulu," Pete berkata sambil mengintai. "Pesawat kita ditutupi dengan semak-semak."
"Dan lihat, tuh!" Bob berseru. "Tanda SOS yang kita buat juga sudah tidak ada!
"Berarti tidak ada yang bisa menemukan lapangan rumput ini," kata Pete.
"Sepertinya ada seseorang yang tidak menyukai kita," Jupe berkomentar dengan suara tertahan.
"Yah... tapi siapa"" tanya Bob. "Dan kenapa""
"Apakah kalian tersesat"" seseorang bersuara berat tiba-tiba berkata.
Jupe, Pete, dan Bob langsung membalik.
Seorang pria berbadan besar dan berambut pirang sedang berjalan ke arah mereka.
"Ada yang bisa saya bantu"" ia mengenakan kacamata hitam, celana serta kemeja berwarna serba coklat, dan membawa ransel. Sebuah sarung senapan yang terbuat dari kulit menggantung pada bahu kirinya.
"Siapa Anda"" Pete langsung bertanya.
"Nama saya Oliver Nancarrow. Tapi teman-teman saya biasa memanggil saya Ollie," pria itu memperkenalkan diri. Sambil tersenyum lebar ia bersalaman dengan Jupe, Pete, dan Bob. "Saya datang ke sini untuk berburu. Tapi kelihatannya hari ini bukan hari keberuntungan saya. Ini memang baru pertama kalinya saya berburu di sini."
Bob tersenyum penuh harap. "Apakah Anda bawa mobil, Mr. Nancarrow... ehm... Ollie""
"Ya, tapi saya meninggalkannya di atas sana," si pemburu menjawab. Ia menunjuk ke arah tebing.
"Jaraknya lumayan jauh dari sini, di pinggir jalan tanah yang menuju ke jalan bebas hambatan."
"Kita tidak keberatan kalau harus jalan kaki ke sana, bukan"" Bob bertanya pada teman-temannya. "Ayo, kita berangkat."
"Nanti dulu," ujar Nancarrow. "Kalau saya akan mengajak kalian naik mobil, paling tidak saya harus tahu dulu kenapa kalian cari tumpangan."
Bob menjelaskan bahwa pesawat mereka jatuh, dan bahwa ayahnya menghilang. Kemudian ia menambahkan, "Kami harus cepat-cepat ke Diamond Lake untuk minta bantuan petugas kehu-tanan. Saya khawatir ayah aya pasti memerlukan
pertolongan. "Apakah ada kejadian lain k
ecuali itu"" Nancar-row kembali bertanya. "Saya mendengar suara tembakan kira-kira sejam yang lalu."
Bob menatap kedua sahabatnya. Jika mereka berterus terang pada Nancarrow, maka pria itu mungkin tidak bersedia membantu.
"Saya rasa hanya pemburu seperti Anda," kata Jupe.
"Kami tidak bisa membuang-buang waktu lagi," Bob mendesak.
Nancarrow berpikir sejenak. "Oke. Sepertinya ada yang kalian rahasiakan. Tapi tidak apa-apa. Itu toh bukan urusan saya. Saya akan membantu kalian."
Nancarrow mengajak mereka menyeberang lapangan rumput, ke arah tebing-Bob di sebelah kiri, Jupe di sebelah kanan, dan Pete di belakang.
"Rasanya saya pernah mendengar nama Anda," ujar Jupe sambil berjalan. "Apakah Anda orang terkenal""
"Wah, rasanya saya belum pantas disebut terkenal," jawab Nancarrow sambil tersenyum. "Saya hanya memiliki beberapa restoran kecil di Bakersfield. Ngomong-ngomong, Bob, apa tujuan ayahmu datang ke sini""
Bob bercerita bahwa ayahnya bekerja sebagai wartawan koran, dan bahwa ia datang ke Diamond Lake untuk bertemu dengan seorang sumber berita.
Sambil mendengarkan penjelasan Bob, Nancarrow mengeluarkan sebungkus rokok. Pete langsung mengerutkan kening, ia tahu bahwa puntung rokok yang dibuang sembarangan merupakan penyebab utama kebakaran hutan yang sering terjadi di musim kemarau seperti sekarang. Namun Jupe segera menoleh ke belakang, dan memberi isyarat agar Pete jangan mengatakan apa-apa. Rokok yang sedang dinyalakan oleh Nancarrow memiliki filter yang dihiasi dengan pita hijau-persis seperti puntung rokok yang ditemukan oleh Jupe di perkampungan orang Indian, dan di tempat di mana mereka menemukan topi pet Mr. Andrews. Jupe yakin bahwa ia pernah mendengar atau melihat nama Nancarrow sebelumnya. Tapi di mana" Di perkampungan orang Indian"
"Kami menduga, ayah saya hendak menemui seseorang bernama Mark MacKeir," Bob mengakhiri penjelasannya. Ia mengeluarkan buku catatan ayahnya dan membuka halaman pertama. "Ya, Mark MacKeir. Apakah Anda pernah mendengar nama itu""
"Aneh sekali," ujar Nancarrow. "Benar-benar aneh. Saya tidak mengenal orang itu, tapi berita radio tadi pagi mengatakan bahwa seseorang bernama Mark MacKeir tewas dalam kecelakaan lalu lintas ketika sedang dalam perjalanan menuju Diamond Lake. Mungkin dia ingin berlibur. Dia kehilangan kendali atas mobilnya, lalu masuk ke jurang. Mobilnya meledak. Dia tewas seketika."
"Ya, Tuhan!" Bob mendesah.
Mereka membisu selama beberapa saat. Masing-masing memikirkan kematian MacKeir yang mengerikan. Pandangan Jupe tertuju pada penutup sarung senapan Nancarrow, yang terkepak-kepak setiap kali pria itu melangkah. Setiap kali Jupe melihat sepotong logam berwarna gelap di dalamnya. Belum lama ini Jupe sempat membaca sebuah buku mengenai senjata api. Senapan yang disandang Nancarrow memiliki bentuk yang tidak lazim-bagian tengahnya nampak menggembung. Ini berarti bahwa sarungnya pun harus dipesan secara khusus, agar bisa menampung senapan yang aneh itu.
"Sekarang ini kau dan ayahmu merupakan orang penting di sini," Nancarrow berkata pada Bob. "Siapa saja yang tahu bahwa kalian datang ke sini""
"Hanya beberapa orang," Jupe cepat-cepat berkata sebelum Bob sempat menjawab bahwa tidak ada yang mengetahui kedatangan mereka. "Orang-orang di kantor ayah Bob."
"Betul itu, Bob"" Nancarrow bertanya sambil menoleh ke arah anak itu.
Jupe segera mencoba untuk mengangkat penutup sarung senapan Nancarrow. Ia ingin mengintip ke dalamnya.
Ada sesuatu pada diri pria itu yang membuat Jupe merasa cemas. Peti yang mereka gunakan sebagai meja ketika makan di perkampungan orang Indian mempunyai cap Nancarrow Trucking Company pada sisinya. Cap yang sama juga terdapat pada semua peti yang ditumpuk di luar pondok seng. Pondok itu milik laki-laki Indian yang memberi isyarat pada Mary bahwa mobil Kepala Kampung sudah siap dipakai. Jupe yakin bahwa Nancarrow telah berbohong. Dia sudah pernah datang ke sini-dan lebih dari satu kali.
Bob memandang ke arah Jupe. Ia nampak terkejut ketika menyadari bahwa Jupe hendak mengintip ke dalam sarung senapan Nancarrow. Namun Bob langsung bisa menguasai diri. ia tahu a
pa yang diinginkan oleh Jupe. Tanpa berpikir panjang Bob tersenyum ke arah Oliver Nancarrow.
"Betul," Bob berkata pada pria itu. "Ayah saya memberi tahu atasannya bahwa kami akan datang ke sini. Selain itu dia juga menghubungi bagian keuangan, sebab merekalah yang harus membayar ongkos hotel selama ayah saya tinggal di Diamond Lake."
Ketika Jupe agak membungkuk ke depan untuk mengintip ke dalam sarung senapan, Nancarrow tiba-tiba berhenti.
Jupe segera menarik tangannya, lalu berlagak mengikat tali sepatu.
Nancarrow mengisap rokoknya untuk terakhir kali, kemudian menginjaknya sampai mati. Pete tidak suka melihat alam bebas digunakan sebagai tempat sampah. Karena itu ia menunggu sampai Nancarrow melihat ke arah lain. Kemudian ia cepat-cepat berjongkok, dan memungut puntung rokok itu.
"Kapan ayahmu harus kembali ke kantornya"" Nancarrow bertanya sambil jalan. Mereka kini sudah di kaki tebing.
"Saya tidak tahu pasti. Tepi seharusnya dia menelepon ke sana kemarin," ujar Bob. Ia menduga bahwa Jupe tidak percaya pada Nancarrow. Dan pengalaman di masa lalu menunjukkan bahwa indra keenam yang dimiliki Jupe lebih sering tepat daripada meleset Karena itulah ia sengaja memberikan keterangan palsu pada Nancarrow.
Sementara Nancarrow berbincang-bincang dengan Bob, Jupe-dengan keterampilan pencopet ulung-membuka penutup sarung senapan.
"Kalau begitu mereka pasti akan mengirim orang untuk mencari kalian"" Nancarrow kembali bertanya.
"Saya yakin, tim pencari sudah dalam perjalanan ke sini," kata Bob.
"Tapi kami tidak bisa menunggu sambil berpangku tangan," Pete menambahkan.
Di bawah penutup sarung senapan, Jupe melihat pegangan tangan di atas laras. Dan tiba-tiba saja ia mengenali bentuk senjata yang aneh itu.
Tapi mendadak Nancarrow berhenti lagi.
"Hei!" ia berseru dengan geram. "Sedang apa kau"" Dengan satu gerakan cepat ia menepis tangan Jupe. Ia mundur selangkah, lalu menghadap ke arah ketiga detektif muda. Kemudian ia mengeluarkan senapan besar dan mengarahkannya pada mereka.
"Ternyata memang M-16," Jupiter bergumam. Tonjolan pada sarung senapan Nancarrow dibuat agar bisa menampung pegangan tangan, gagang, serta tempat peluru.
"Apa-apaan ini"" tanya Bob dengan heran.
"Senapan M-16 pertama kali diperkenalkan dalam Perang Vietnam," Jupe berkata. Jantungnya berdebar-debar. "Dan kini senapan itu termasuk jenis yang paling populer di seluruh dunia. Tapi kegunaannya terutama untuk memburu manusia, bukan binatang. Siapa Anda sebenarnya, Mr. Nancarrow" Dan apa yang Anda kehendaki dari kami""
"Oke, jagoan-jagoan," Nancarrow menjawab sambil tetap membidikkan senapannya ke arah mereka. "Saya sudah berusaha untuk menyelesaikan urusan ini secara baik baik. Tapi sekarang kita akan menempuh jalan yang lebih praktis. Cepat, naik ke tebing itu! Kalian harus ikut dengan saya!"
11. Mengatur Siasat "Ayo, Bob! Pete!" Jupiter berkata sambil menundukkan kepala. "Jangan sampai Mr. Nancarrow marah." ia mulai berjalan ke arah tebing.
Pete dan Bob menatap Jupe dengan heran. Mereka agak terkejut melihat perubahan yang begitu tiba-tiba. Dulu, ketika masih kanak-kanak, Jupe pernah jadi aktor film. Pada waktu itu ia memainkan peran Baby Fatso dalam seri TV berjudul The Wee Rogues alias Berandal Cilik. Jupe tidak suka mengenang peran itu, tetapi sampai sekarang pun ia belum lupa cara berakting. Bakat itu memang sudah mendarah daging dalam dirinya. Bob dan Pete mendadak menyadari bahwa sahabat mereka sedang bersandiwara.
"Ayo, jalan!" Nancarrow memerintah dengan tegas.
"Apakah Anda akan membawa kami ke tempat Mr. Andrews"" Jupe bertanya dengan nada mengibakan.
"Hah, jangan berharap yang aneh-aneh," balas Nancarrow, lalu ketawa dengan sinis. "Itu urusan saya. Kau tidak perlu repot-repot memikirkannya."
"Jadi Anda yang menculik ayah saya!" kata Bob sambil membelalakkan mata. "Kenapa""
"Karena dia sok ingin campur urusan orang lain," Nancarrow menjawab dengan geram. "Sama seperti temanmu yang gendut ini. Sudah, jangan banyak omong!"
Mereka menyusuri tebing ke arah barat untuk mencari tempat yang cocok untuk memanjat naik. Jupe sengaja menarik napas sambil tersengal-
sengal. "Saya tidak kuat kalau harus terus jalan secepat ini," ia mengeluh.
"Dasar cengeng!" kata Nancarrow.
"Aduh!" Jupe mengerang, ia membiarkan kakinya terpeleset pada sebuah batu yang ditumbuhi lumut, ia jatuh terjengkang, dan menimpa Bob.
Bob terdorong mundur. Tapi dengan sengaja ia tidak membentur Pete.
Mata Pete nampak bersinar-sinar, ia memahami apa maksud Jupe dan Bob.
Nancarrow mengerutkan kening. Meskipun curiga, ia belum memahami apa yang sedang terjadi.
Pete tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Secepat kilat ia berbalik badan dan menghampiri Nancarrow. Dengan menggunakan sikut, Pete melancarkan haishu-uke ke arah laras senapan M-16 di tangan pria itu.
"Lariii!" ia berteriak pada Bob dan Jupe.
Kedua anak itu cepat-cepat berdiri, lalu menyeberangi lapangan rumput ke arah tepi hutan sebelah barat.
Pada saat yang sama, Pete kembali beraksi. Kali ini sasarannya adalah dada Nancarrow.
Nancarrow terhuyung-huyung, ia kehilangan keseimbangan, namun tetap menggenggam senapannya erat-erat.
Pete berlari menyusul kedua sahabatnya.
Peluru-peluru berdesingan di sekitar mereka. Daun-daun cemara, debu, serta kulit pohon beterbangan di udara. Burung-burung bercuit-cuit, lalu terbang menjauh. Ketiga detektif muda segera merebahkan diri. untuk sementara mereka cukup terlindung di balik semak belukar.
"Biff! George!" Nancarrow memanggil. "Di mana kalian" Dasar pemalas! Cepat ke sini! Anak-anak itu mencoba melarikan diri."
Pete mengangkat kepala. Ia melihat Nancarrow berdiri di lapangan rumput. "Nancarrow bawa walkie-talkie. Dia memanggil bantuan."
"Biff adalah salah satu dari kedua orang yang mengejar kita tadi," bisik Bob. "Dialah yang bersuara serak."
"Berarti yang satu lagi bernama George," ujar Jupe-juga dengan suara tertahan. "Sepertinya mereka tadi hanya berusaha menggiring kita ke tangan Nancarrow. Pantas saja mereka tidak terlalu ngo-tot" Jupe lalu bercerita bahwa ia telah menemukan hubungan antara rokok yang diisap Nancarrow dengan peti-peti di perkampungan orang Indian.
"Tapi aku tidak yakin bahwa Nancarrow yang menyabot pick-up kita," ujar Bob. "Dia tidak punya kesempatan untuk itu."
"Aku rasa, itu ulah si Kepala Kampung," Pete berpendapat.
"Nanti saja kita pikirkan soal ini," kata Jupe. "Sekarang kita harus pergi dulu dari sini."
"Bagaimana dengan ayahku"" tanya Bob.
"Kalau mendengar ocehan Nancarrow tadi," jawab Jupe, "aku yakin, ayahmu masih hidup. Tapi pertama-tama kita harus menyelamatkan diri dulu. Baru setelah itu kita bisa menyelamatkan ayahmu."
Mereka memandang ke lapangan rumput. Nancarrow masih berdiri di tempat yang sama. Pandangannya terarah ke tepi hutan.
"Dia tidak mau menghambur-hamburkan amunisi," Jupe berkata. "Dia tidak akan melepaskan tembakan sebelum melihat kita."
Ketiga sahabat itu berdiri tanpa bersuara, lalu bergerak menjauh melalui hutan.
"Itu mereka!" suara Biff yang serak terdengar.
Jupe, Pete, dan Bob masih sempat berlari beberapa langkah. Kemudian mereka berhenti.
Trio Detektif 48 Bisnis Kotor di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba saja mereka berhadapan dengan laras M-16 kedua.'
Seorang pria berambut gelap, bermata biru, dan dengan kulit terbakar oleh matahari, mengarahkan senjatanya pada mereka. Secara bergantian ia membidik Jupe, Pete, dan Bob. ia nampak tersenyum, tetapi wajahnya tidak memancarkan keramahan.
"Nah, akhirnya kena juga!" ia berkata dengan puas. Mendengar suaranya, orang itu mestinya George. "Hei, Biff! Di mana kau""
Pria bernama Biff muncul di sebelah kiri Trio Detektif, ia pun membawa senapan M-16. "Bagus, George! Tepat di mana kita menghendaki mereka." Biff berbadan pendek dan kurus. Rambutnya berwarna coklat. Ia memiliki alis yang tebal. "Anak-anak ini memang tidak punya otak."
Suara Oliver Nancarrow yang angkuh kini terdengar dari belakang. "Oke, giring mereka lewat sini. Cepat, perjalanan kita masih panjang."
"Kalian dengar apa kata Bos," ujar Biff. "Ayo, jalan!"
Jupe, Bob, dan Pete saling berpandangan. Pete mengangkat bahu. ia sadar bahwa mereka tidak bisa melakukan apa-apa.
"Jalan!" Biff menggeram.
Kemudian ia membuat kesalahan fatal. Si kerdil itu mendorong punggung Pete dengan menggunakan moncong M-16-nya.
Pete seg era membalik. Ia menggenggam laras senapan, kemudian mendorongnya dengan keras sehingga popor senjata itu menghantam perut Biff.
Biff jatuh ke tumpukan dahan-dahan kering.
Seketika Bob melancarkan tendangan yoko-geri-keage. Kakinya tepat mengenai dagu George. George terhuyung-huyung ke belakang. Bob segera maju dan melayangkan tendangan susulan. Kali ini George ambruk.
Jupe berlindung di balik pohon cemara, ia hendak memanfaatkan kemampuan judo-nya untuk melumpuhkah Nancarrow. Pria itu sedang bergegas ke arah mereka. Tetapi pada detik-detik terakhir Jupe memilih cara yang lebih mudah. Langsung saja ia menjulurkan kaki. Nancarrow tersandung dan kehilangan keseimbangan.
Pria itu berusaha agar tidak terjatuh. Tapi secepat kilat Pete menghantam tengkuknya dengan gerakan otoshi hiji-ate. Nancarrow tumbang.
Ketiga detektif muda tidak membuang-buang waktu. Mereka langsung kabur ke hutan.
Mereka mendengar Nancarrow menyumpah-nyumpah, dan memaki-maki kedua rekannya.
"Dasar Tolol semua! Kejar mereka, cepat! Tapi jangan main tembak. Aku menginginkan mereka hidup-hidup."
Jupe, Pete, dan Bob menembus hutan ke arah selatan. Sambil berlari, mereka menghindari pohon-pohon dan batu-batu yang menghalangi jalan. Suara langkah para pengejar lerdengar dengan jelas di belakang mereka.
Mereka terus bergegas. Namun tenaga mereka semakin berkurang. Langkah-langkah mereka semakin berat.
Pete menemukan sebuah jalan setapak dan langsung membelok ke kanan. Bob seqera mengenali jalan setapak itu-kemarin, setelah mengisi botol air, ia sempat menyusurinya.
"Kita harus susun siasat," Jupe berkata sambil terengah-engah. "Kita tidak bisa terus-menerus main kucing-kucingan seperti ini."
"Selain itu kita juga masih harus menyelamatkan ayahku!" ujar Bob.
Dedemit Selaksa Nyawa 1 Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo Darah Dan Cinta Di Kota Medang 13