Pencarian

Misteri Warisan Hitchcock 2

Trio Detektif Misteri Warisan Hitchcock Bagian 2


piringan hitam itu ... namun sama sekali lupa akan cara kerja mesin pemutar
lagu." "Coba tolong jelaskan lagi, Pertama," keluh Pete.
Penyelidik Pertama yang gempal mengusap permukaan kaca mesin pemutar
lagu, seolah-olah mengatakan bahwa Pete dan Bob -- seperti dirinya --
seharusnya bisa menemukan petunjuk itu dengan mudah. Ketika mereka hanya
menatap kosong, ia mendesah. "Pencuri itu harus mengangkat bagian depan
mesin ini untuk mengambil piringan hitam," Jupiter menjelaskan dengan sabar.
"Saat itu ia lupa bahwa di kaca penutup ini terdapat daftar lagu ... dan nomor
urutnya!" "Tentu saja!" kata Bob. Petunjuk memang jelas setelah dijelaskan oleh Jupiter.
"Tanpa daftar lagu kita hanya bisa menebak-nebak lagu apa yang dimainkan
saat itu. Lagu nomor 55 ada di dalam daftar lagu ini!" Remaja ramping
berkacamata itu menelusuri daftar lagu dengan jarinya sampai ia menemukan
nomor 55. "Ini dia!" serunya. "'Harta Tersembunyi' oleh sebuah grup musik
bernama 'Denny Lynds & The Gail Force Winds'."
"Kita harus mencari lagu itu!" perintah Jupiter. "Dengan segera!"
"Ben, apakah ada toko musik di dekat sini tempat kita dapat menemukan lagu
itu"" tanya Pete.
Remaja Inggris itu berpikir sejenak. "Yang paling dekat ada di Picadilly Circus,"
katanya kemudian. "Kita dapat menggunakan mobilku untuk pergi ke kota!"
Pete nampak bergairah. "Akhirnya kita bisa juga melihat pemandangan!"
"Sayangnya tidak," kata Jupiter sambil menggelengkan kepala. "Kau dan Bob
tinggal di sini." "Mengapa selalu harus kau yang dapat be rsenang-senang"" tanya Pete setengah
bercanda. "Karena harus ada yang mengawasi Jebediah dan Keluarga Fitchhorn," Jupiter
menjelaskan. "Seseorang
telah mendahului kita ke semua petunjuk ... namun
kita pastilah tidak tertinggal terlalu jauh karena mereka repot-repot mengunci
kita di lorong rahasia itu."
"Jupe benar," kata Bob setuju. "Tapi marilah kita berangkat bersama-sama.
Lalu ketika kita sudah cukup jauh dari rumah, Pete dan aku dapat menyelinap
kembali ke rumah ini. Mungkin si pencuri akan beraksi ketika ia menyangka kita
sedang pergi." "Ide yang bagus, Data," kata Jupiter. "Mari kita umumkan bahwa kita akan pergi
melihat-lihat di kota dan tidak akan ada di sini selama beberapa jam."
Anak-anak meninggalkan ruang proyektor dan berbaris menuruni tangga. Di
bawah mereka bertemu dengan Patricia.
"Aku mencari-cari kalian, Anak-anak!" katanya. "Ada kemajuan dengan teka-teki
itu"" "Sayangnya tidak," kata Jupiter kuat, mengedipkan mata ke arah Patricia.
"Kami menghadapi jalan buntu, maka kami memutuskan untuk pergi ke London,
melihat-lihat atraksi turis di sana."
Putri Alfred Hitchcock itu dengan segera mengerti dan membalas kedipan
Jupiter. "Wah, sayang sekali," katanya. "Mungkin sedikit udara segar bisa menjernihkan
pikiran kalian dan nanti bisa ada kemajuan dalam teka-teki ayahku."
Anak-anak mengenakan jaket mereka da n berjalan menuju pintu. "Kami akan
naik mobilku, Bibi Patty," Ben berseru sambil menoleh ke belakang. "Kami akan
berusaha kembali sebelum makan malam!"
"Bersenang-senanglah, Anak-anak!" seru wanita itu di belakang mereka. "Dan
hati-hati di jalan, Benjamin!"
Mobil Ben adalah sebuah Silver Cloud yang mulus, dengan atap yang bisa dibuka
dan empat tempat duduk. Pete bersiul sambil mengusap-usap kap mesinnya
yang mengkilap. "Kau yakin Bob dan aku tidak dapat ikut"" pintanya memelas.
Jupiter menyeringai. "Begitulah. Tapi aku berjanji Ben dan aku akan bersenang-senang demi kalian berdua."
"Lucu sekali!" kata Pete mencibir.
"Jangan lupa bahwa kalian sedang me nangani sebuah kasus!" tambah Bob
sambil masuk ke dalam mobil sport itu.
Mobil itu meraung hidup dan anak-anak memasang sabuk pengaman mereka.
"Mari kita pergi!" seru Ben. Dan dengan sedikit tanah berhamburan mobil itu
meluncur ke jalan. Ketika mereka sudah di luar jangkauan penglihatan dari Puri Hitchcock, Ben
menghentikan Silver Cloud itu di tepi jalan.
"Ada jalan setapak melintasi hutan di sana itu yang digunakan para pemburu
musim berburu," ia memberi petunjuk kepada Bob dan Pete sementara mereka
keluar dari jok belakang mobil. "Berjalanlah di sebelah kanan dan jalan itu
akan membawa kalian kembali ke rumah. Dari situ kalian bisa menggunakan
pintu masuk Abernathy untuk menyelinap masuk."
"Satu dari kalian mengamati Jebediah sementara yang satunya mengawasi
Keluarga Fitchhorn," usul Jupiter. "Dan hati-hati," tambahnya.
"Dan kalian jangan sampai terlalu banyak bersenang-senang," tukas Pete.
Dan Silver Cloud pun meluncur menjauh, meninggalkan kedua detektif itu di
tepi jalan. "Sungguh menguntungkan menjadi Peny elidik Pertama!" protes Pete.
Bob tersenyum dan menepuk punggung temannya. "Ayo," katanya, "mulai
berjalan." Rumah nampak sepi ketika Bob dan Pete tiba. Dengan hati-hati mereka
mengamati halaman belakang untuk memastikan tidak ada orang yang melihat.
Pete mendesis, "Lihat!"
Jebediah O'Connell sedang berkeliaran di halaman, mencungkil beberapa batu
taman dengan tongkatnya dan melihat ke baliknya. Lelaki berkumis lebat dan
bertopi aneh itu meletakkan tangannya di atas sebuah jam matahari dan
membungkuk untuk mengamati sesuatu di tanah.
"Kira-kira apa yang dicarinya"" bisik Bob.
"Kau tinggal saja di sini dan mencar i tahu," kata Pete. "Aku akan mencari
Fitchhorn." "Tidak akan terlalu sulit," Bob menyeringa i. "Ikuti saja suara pertengkaran!"
"Terima kasih atas petunjuknya," gumam Pete. "Sampai ketemu nanti."
Penyelidik Kedua menunggu sampai Jebediah membelakanginya, kemudian
berlari menuju pintu masuk pelayan di bagian belakang rumah.
Bob memandangi temannya masuk ke dalam dan kemudian berusaha mencari
posisi yang nyaman di balik sebatang pohon yang telah tumbang, mengawasi
dan menunggu tindakan si licik Jebediah O'Connell selanjutnya.
Di dalam rumah Pete bergerak seperti sesosok bayang-bayang.
Ia menyelinap dari satu ruangan ke ruangan yang lain , setiap beberapa saat berdiam diri
untuk mendengarkan. Rumah itu terasa terlalu sunyi.
Ia mulai bertanya-tanya jika Keluarga Fitchhorn telah pergi ketika bunyi sebuah
pintu berderit di engselnya membuatnya menahan nafas dan ototnya
menegang. Pete mengambil kesimpulan bahwa suara itu berasal dari ruangan kecil di dekat
dapur yang digunakan untuk menyimpan bahan makanan kering dan kalengan.
Ia berjingkat menuju dapur dan memandang sekilas.
Pintu menuju tempat penyimpanan anggur terbuka!
Pete menggigit bibir dan memandang berkeliling. Di manakah Bob saat
dibutuhkan" Remaja kekar itu ragu-ragu sejenak dan kemudian beringsut
menuju pintu dan mendengarkan lagi.
Ia merasa mendengar seseorang bergerak di bawah sana namun tidak yakin.
Setelah menarik nafas panjang, Pete menyelinap menuruni tangga batu yang
dingin. Bau udara yang lembab dan sumpek menghantamnya, membuatnya
mengerutkan hidung. Ada sebuah bola lampu yang menyala di bawah tangga namun bagian lagi ruang
bawah tanah itu diselimuti bayang-bayang gelap yang membuat bulu kuduk
Pete berdiri. Pipa-pipa dalam berbagai ukuran bersimpang siur di langit-langit
dan batu-batu tua serta semen tersusun membentuk dinding. Ia mulai berpikir
untuk kembali dan menemui Bob ketika terdengar lagi bunyi pintu berderit
yang membuatnya terpaku. Ada seseorang di bawah sana!
Pete Crenshaw mengumpulkan segala keberaniannya dan memaksa diri
menyusuri rak-rak berdebu yang dipenuhi toples-toples acar dan botol-botol
anggur milik Puri Hitchcock yang tak terhingga jumlahnya. Sebuah pintu kayu
yang memudar dimakan usia berdiri di ujung ruangan. Pete menelan ludah dan
dengan hati-hati mendekatinya.
Sebuah sarang laba-laba menyapu mukanya dan hampir saja ia terpekik kaget.
Remaja jangkung itu kemudian mendengar bunyi gemeletuk dan menyadari
bahwa ia membayangkan suara giginya sendiri beradu. Ia merapatkan rahang
dan berusaha memikirkan tindakan yang akan diambil Jupiter Jones dalam
situasi seperti ini. Pete ragu-ragu sejenak di depan pintu yang terbuka itu, sekali lagi berhenti
untuk mendengarkan. Terdengar suara air menetes di suatu tempat di dalam
kegelapan. Sambil berusaha melihat ke dalam bayang-bayang, ia berjalan
dengan lambat melalui ambang pintu. Hanya tiga anak tangga yang dapat
dilihatnya, turun menuju sebuah ruangan kecil. Pete berdiam diri di atas
tangga dan menunggu ... satu-satunya suara yang terdengar adalah debar
jantungnya. Tiba-tiba ada tangan yang mendorong punggungnya dengan kasar dan sambil
terpekik Pete terjatuh dengan kepala dahulu ke dalam kegelapan!
Penyelidik Kedua yang atletis itu bang ga akan kecekatannya dan ia berusaha
mengendalikan jatuhnya -- mendarat di lantai batu yang aus sambil
membalikkan badan untuk melihat si penyerang.
Tapi yang dilihatnya membuat darahnya seolah-olah kering!
Tepat sebelum pintu tua itu terbanting tertutup dan membuatnya berada di
dalam kegelapan total, Pete Crenshaw sempat melihat seorang wanita bergaun
Victoria yang menggenggam ta li melingkar di tangan!
BAB VIII DI MANA PETE" Bob Andrews menarik jaketnya menutupi kepala dan menggerutu. Yang satu
jam yang lalu mulai sebagai gerimis kecil telah berubah menjadi hujan dan kini
sepertinya akan menjadi sangat lebat.
Jebediah O'Connell masih tetap berkeliaran di halaman, kini dengan payung di
atas kepalanya, berhenti di sana sini untuk mengamati sesuatu atau mencungkil
sesuatu dengan tongkatnya. Bob bertanya-tanya jika nasib Pete lebih beruntung
di dalam. Paling tidak ia kering!
Bob melihat arlojinya. Jam makan siang telah lama lewat dan kini perutnya
memprotes. Bob menimbang-nimbang godaan untuk menyudahi pengawasannya
terhadap Jebediah sehingga ia dapat masuk, mengeringkan badan, dan makan
sesuatu. Tidak, Jupe tidak akan menerimanya, pikir anak itu. Lebih baik tetap
berkeliaran di hutan, membuntuti Sepupu Jeb berjalan tanpa henti di bawah
siraman hujan. Remaja bertubuh kecil itu menggigil dan berusaha menahan giginya agar tidak
bergemeletuk. Ia menerima keadaan bahwa ia harus tetap kedinginan,
kelaparan, dan menderita hingga Jupe dan Ben kemba
li dari London. Mujur bagi Bob, ia hanya perlu menunggu sejam lagi. Dari pos pengamatannya
di antara pepohonan, Bob melihat Silver Cloud Benjamin Hitchcock, kini dengan
atap terpasang, meluncur masuk dan berh enti. Sambil berhati-hati agar tidak
terlihat oleh Jebediah, ia mengitari rumah untuk menemui teman-temannya.
"Ada kemajuan"" tanyanya.
Jupe mengacungkan sebuah kantung kertas kecil di tangannya sementara
mereka berlari ke dalam. "Mereka mengizinkan kami mendengarkannya di
toko," katanya. "Namun aku memutuskan untuk membelinya juga untuk
berjaga-jaga." Ketika anak-anak sedang menanggalkan jaket mereka yang basah, Patricia
O'Connell muncul, nampak cemas.
"Aku gembira kalian telah pulang, Anak-anak," katanya.
Ben merasa ada sesuatu yang mengganggu pikiran bibinya dan nampak was-was. "Ada apa, Bibi Patty" Ada sesuatu yang terjadi""
Wanita cantik itu tersenyum dan nampak agak malu. "Tidak, tidak, tidak ada
apa-apa," katanya. "Hanya saja ... semenjak kalian pergi, aku mendengar
suara-suara di rumah ini."
"Maksud Anda hantu, ma'am" " tanya Bob bersemangat.
"Oh, tidak!" kata wanita itu, memaksakan untuk tertawa. "Aku yakin bukan
sesuatu semacam itu. Kurasa hanya karena sudah lama aku tidak berada
sendirian di dalam rumah besar ini dan ... aku tidak tahu di mana Keluarga
Fitchhorn dan aku tidak melihat Sepupu Jeb selama berjam-jam! Aku berusaha
tidur siang namun tetap saja suara-suara aneh itu terdengar."
"Sepupu Anda Jeb ada di halaman," kata Bob memberi tahu. "Ia ada di luar sana
selama berjam-jam." Jupiter mengusap dagunya dan berpikir . "Bisakah Anda menunjukkan kepada
kami tempat Anda berada ketika terakh ir kali mendengar suara-suara itu""
"Di dapur," kata Patricia.
Anak-anak mengikutinya ke sana, kemudian berdiam diri, mencoba menangkap
suara hantu yang misterius.
Patricia nampak makin malu. "Aku mendengar suara aneh mengetuk-ngetuk --
seperti di dalam pipa -- dan aku bahkan berani bersumpah telah mendengar
suatu suara beberapa kali." Ia memandang anak-anak dengan malu-malu.
"Apapun itu, nampaknya sekarang sudah tidak ada."
Jupe tersenyum kepadanya. "Kami baru saja hendak mengadakan rapat,
bagaimana jika Anda bergabung"" usulnya, berusaha membuat Patricia merasa
nyaman. "Adakah tempat yang memungkink an kita berbicara dengan tenang""
"Perpustakaan," kata wanita itu. "Lewat sini."
Perpustakaan itu adalah sebuah ruangan besar dengan cahaya temaram yang
dipenuhi buku-buku dan bayang-bayang. Dinding-dindingnya yang tertutupi
buku-buku menjulang tinggi ke langit-langit yang melengkung. Samar-samar
tercium bau kertas tua dan anak-anak te ringat akan perpustakaan umum di
Rocky Beach, tempat Bob bekerja paruh waktu.
Sebuah bola dunia yang besar sekali berada di salah satu sudut ruangan dan
sebuah tangga tinggi beroda memungkinkan orang mencapai rak-rak buku
tertinggi yang berdiri sepanjang tiga dinding ruangan. Salah satu sudut bersih
dari buku. Di sudut ini terdapat sebuah jendela besar dari kaca berwarna-warni
yang dengan jelas menggambarkan seorang ksatria dengan baju besi berwarna
biru, duduk di atas punggung seekor kuda bermata delima. Sepotong kaca di
bagian bawah jendela, berbentuk sebuah gulungan naskah, bertuliskan "Ksatria
Templar" dalam huruf-huruf Inggris Kuno. Patricia menyingkapkan tirai tebal
berenda dan secercah cahaya masuk ke dalam ruangan kelam itu, memperjelas
lukisan di jendela. Bob bersiul. "Aku tidak akan suka me mbersihkan jendela itu. Ksatria itu
menatap kita lekat-lekat."
"Dan kuda itu juga tidak lebih ramah," tambah Ben sambil menggigil.
"Kurasa kita sudah hampir menyelesaika n teka-teki ini," po tong Jupe. "Namun
kita harus bergerak dengan cepat. Sepert inya ada pihak lain di dalam rumah ini
yang juga sangat ingin menemukan harta itu."
"Jadi itu yang kau maksud dengan kerlin ganmu tadi," kata Patricia. "Kau punya
dugaan siapa itu, Jupiter""
Jupe mengintip keluar melalui salah satu potongan kaca yang bening ke arah
awan pembawa badai yang berarak-arak mendekat. Dari tempatnya berdiri ia
dapat melihat halaman dengan jam matahari dan Jebediah di salah satu
ujungnya. "Apa yang Anda ketahui tentang K
eluarga Fitchhorn, Patricia""
tanyanya. "Dan apa yang Anda ketahui tentang sepupu Anda Jebediah""
Patricia duduk di lengan sebuah kursi besar yang terbuat dari kulit dan
mendesah, mengusap keningnya kembali. "Keluarga Fitchhorn tiba di sini
bersama seorang pengacara yang meragu kan ketika aku sedang berada di
Hollywood untuk pembacaan surat wasiat ayahku. Mereka menunjukkan
beberapa dokumen kepada Julia dan mengaku sebagai sanak saudara serta
berhak atas sebagian tanah ini. Sebelumnya aku telah merasa bahwa kepergian
ayahku akan mendatangkan beberapa orang semacam mereka, jadi aku tidak
terlalu memikirkannya. Sudah banyak hal di dalam pikiranku, maka kusuruh
Julia membiarkan mereka tinggal sampai aku tiba. Saat itu kuharap mereka
akan bosan sendiri dan akhirnya pergi."
"Dan bagaimana dengan sepupu Anda"" tanya Jupiter.
Patricia mendesah kembali. "Jebediah adalah seorang pria yang aneh. Ia
nampak cukup jujur. Ia pensiun dini karena kakinya dan membantu-bantu di
rumah ini sebagai tukang kebun. Kuizinkan dia tinggal di sini sebagai
bayarannya. Ia nampak cukup puas akan perjanjian itu ... namun kadang-kadang ia berubah murung dan mengurung diri. Lalu ia akan menghilang selama
beberapa hari tanpa mengatakan apa-apa."


Trio Detektif Misteri Warisan Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terdengar ketukan lembut di pintu dan Winston masuk membawa sebuah
nampan. "Saya membawakan teh untuk Anda, madam."
"Kau sungguh baik, Winston," Patricia tersenyum. "Anak-anak baru saja berkata
bahwa mereka hampir menyelesaikan teka-teki itu."
"Hebat! Apakah semua anak Amerika sepandai kalian"" Winston
membungkukkan badan. "Namun bukankah kalian datang bertiga""
"Waduh, benar!" seru Bob. "Pete telah hilang berjam-jam!"
Jupiter nampak cemas. "Maksudmu kau tidak melihatnya sejak Ben dan aku
pergi ke London""
"Tidak sejak kami berpencar," jawab Bob.
"Mungkin sebaiknya kita mencari Master Pete," saran Winston. "Mungkin ia
tersesat di halaman. Tanah ini luas sekali ... orang bisa tersesat selama
berhari-hari di tengah hutan!"
Jupiter hendak mengusulkan agar mereka berpencar untuk mencari Pete ketika
tiba-tiba ia terdiam. "Sebentar," desisnya. "Dengarkan!"
Mereka berdiri diam dan menunggu selama beberapa saat dalam keheningan
yang mencekam. "Rasanya saya tidak mendengar apa-apa, Master Jupiter," kata Winston
akhirnya. "Sebentar lagi gelap. Jika Master Pete ada di hutan ...."
"Tunggu ... sst!" bisik Jupiter lagi. "Kalian dengar itu""
Mereka mendengarkan kembali. Kali ini samar-samar mereka dapat mendengar
suara ketukan yang sepertinya datang dari lantai.
"Aku mendengarnya!" seru Ben. "Seperti seseorang memukul-mukul pipa."
"Itulah suara yang kudengar!" kata Patricia.
"Itu sinyal SOS!" seru Bob. "Pasti Pete yang berusaha memberi tanda kepada
kita!" "Di mana Pete bisa menemukan pipa"" tanya Jupiter cepat.
"Di ruang penyimpan anggur!" seru Winston. "Ikuti saya, Tuan-tuan!"
Kepala pelayan bertubuh ramping itu berlari keluar dari perpustakaan, diikuti
oleh anak-anak dan Patricia. Ia membawa mereka ke gudang kecil di dekat
dapur, membuka pintu, dan mereka menuruni tangga batu.
Winston meraba-raba di dalam kegelapan sampai menemukan seutas tali untuk
menyalakan bola lampu di dasar tangga. Ketika ia menyalakannya, anak-anak
dapat melihat jaringan pipa bersimpang siur di sepanjang langit-langit yang
rendah ... sepertinya mustahil untuk mengetahui yang mana yang dipukul Pete!
"Ketukan itu semakin kuat sekarang," kata Jupiter.
"Lewat sini!" kata Winston. Pria jangkung berjas itu melintasi ruangan besar
penyimpan anggur itu dengan ahli, baris demi baris botol anggur, hingga
akhirnya ia mencapai sebuah pintu. Dengan cekatan ia membuka sebuah
gerendel besar dan membuka pintu yang berat itu, menyebabkan engselnya
berderit. Di balik pintu itu Pete Crenshaw menggenggam sebuah pipa besi seperti sebuah
pemukul baseball! Matanya tertutup dan ia keluar sambil mengayunkan
pipanya, nyaris menghantam kepala Winston!
"Kau tidak akan bisa menang kapku, Hantu!" teriaknya.
Jupiter menyambar pergelangan tangan Pete dan mencegahnya meremukkan
tengkorak Winston. "Pete!" serunya. "Pete, ini kami!"
Penyelidik Kedua yang kekar itu mengejapkan matanya
beberapa kali sebelum melonggarkan genggamannya pada pipa.
"Wah, aku sungguh gembira bertem u denganmu!" katanya lemah.
Jupe mengambil pipa dari tangan Pete dan melemparkannya kembali ke dalam
ruangan. "Apa yang terjadi"" tanyanya. "Bagaimana kau bisa terkurung di dalam
situ"" "Bawa aku ke bawah cahaya matahari yang hangat dan akan kuceritakan
semuanya," kata Pete.
Mereka membawa teman mereka yang kelelahan ke tangga batu namun Jupiter
berhenti di bawah dengan suatu pikiran di wajahnya.
"Ada apa, Pertama"" tanya Bob.
"Ini bukan waktunya untuk deduksi," erang Pete. "Aku harus makan sesuatu
sebelum mati kelaparan!"
"Baiklah," kata Jupe. "Kurasa kau benar."
Mereka pergi ke lantai dua dan berkumpul di perpustakaan. Winston bergegas
pergi ke dapur dan kembali dengan sebuah nampan berisi daging tebal, roti
keju, dan soda jeruk. "Sepertinya kau harus mengambilkan satu nampan lagi untuk yang lain!" canda
Pete sambil menggigit roti. "Aku belum makan sejak sarapan!"
"Sementara Pete memulihkan diri dari kelaparan," kata Jupiter, diikuti sebuah
gigitan besar pada rotinya, "Ben dan aku akan menceritakan apa yang kami
temukan dari piringan hitam itu. Setelah itu Pete dapat memberi tahu kita
bagaimana ia bisa terkurung di ruang penyimpan anggur."
"Saya jadi ingat, madam," kata Winston. "Saya tadi hendak memberi tahu Anda
bahwa pintu ruang proyektor telah dibobol. Saya telah memperbaiki kuncinya
namun Anda mungkin ingin memeriksanya sendiri." Ia berdehem dan nampak
agak sungkan. "Saya tahu saya tidak pantas mengatakan ini, namun saya merasa
wajib memberi tahu Anda bahwa saya me lihat Mr. Fitchhorn di lantai atas,"
tambahnya kemudian. "Terima kasih, Winston," kata Patricia. "Kurasa Keluarga Fitchhorn sudah
waktunya pergi," katanya tegas. "Dan mereka tidak akan mendapatkan satu sen
pun uang ayahku!" "Kami akan mendapatkan yang merupakan hak kami yang sah!" sebuah suara
menggeram dari pintu. BAB IX JAM DAN JAM LAGI "Fitchhorn!" seru Pete. "Sekarang kita tidak bisa mendiskusikan petunjuk dari
piringan hitam itu!"
Lelaki berbadan bulat itu melangkah dengan penuh ancaman ke dalam
perpustakaan, diikuti oleh istrinya yang kurus kering. "Kau punya petunjuk baru
lagi"" ia bertanya kepada Jupiter. "Apakah itu, Nak" Ayo bicara!"
"Jangan, Jupe!" kata Bob marah. "M ereka membobol ruang proyektor dan
mencuri piringan hitam itu ... dan sekarang mereka tidak dapat memecahkan
petunjuknya!" "Kami tidak pernah berbuat demikian, Anak Muda!" kata Stella Fitchhorn
dengan suaranya yang melengking. "Betapa kurang ajarnya anak muda zaman
sekarang!" Seolah-olah menegaskan perkataannya, ia mengeluarkan saputangan
dan membersihkan hidungnya yang sepert i paruh, mengeluarkan suara keras.
Timothy Fitchhorn menatap istrinya dengan marah. "Sudah kukatakan biar aku
yang bicara!" geramnya. "Sekarang lebih baik kau katakan apa yang kau tahu,
Nak. Jika kita bekerja sama, kita mungkin bisa memecahkan teka-teki si Tua
Hitch malam ini juga!"
"Saya sangat meragukan kejujuran pria ini, madam," kata Winston. "Saya duga
ia berniat mengambil seluruh harta itu begitu ditemukan."
"Dengar, kau pelayan tak tahu diuntung," ancam Mr. Fitchhorn, "kau digaji
sebagai pelayan -- bukan konsultan! Lebih baik kau mengurusi urusanmu
sendiri!" "Cukup!" teriak Patricia. Bob melihat bahwa wanita itu gemetar dan nyaris
tidak dapat menahan air mata. "Jupiter, katakan apa yang kau tahu dan kita
semua akan mencari bersama-sama. Dengan demikian tidak seorang pun dapat
menguasai apapun yang disembunyikan ayahku."
Tiba-tiba sebuah suara lain terdengar dari pintu. "Kudengar teriakan," kata
Jebediah. "Apakah kalian sedang berpesta dan tidak mengundang Jebediah
Tua"" "Saya senang Anda ada di sini," kata Jupiter Jones. "Sekarang setelah kita
semua berkumpul, kita bisa mendiskusikan petunjuk terakhir Mr. Hitchcock."
"Oh. omong kosong itu lagi," Sepupu Jeb mencibir. "Kalian boleh memiliki
bagianku dari harta itu, aku tidak pe duli. Mungkin sekali semua ini kelakar
belaka, mengingat selera humor Mr. Hitchcock."
"Kalian semua dengar apa yang dikatakannya!" kata Mrs. Fitchhorn dengan
lengkingannya, "ia tidak pe
duli akan bagiannya!"
"Diam!" tukas Timothy Fitchhorn. "Baiklah, Nak, apakah petunjuk terakhir dari
piringan hitam itu""
"Jupe, kau yakin akan ini"" tanya Pete.
"Aku tidak yakin ini adalah ide yang bagus, Bibi Patty," bisik Ben.
Jupiter berdiri di depan kaca jendela yang berwarna-warni dengan tangan di
pinggang. "Rumah ini besar," katanya kemudian. "Namun tidak terlalu besar
sehingga seseorang bisa bertindak tanpa diketahui yang lain untuk waktu yang
lama. Daripada masing-masing berkeliaran sendiri-sendiri, lebih baik kita
semua bekerja sama."
Timothy Fitchhorn mengusap-usapkan kedua telapak tangannya penuh
semangat. "Keputusan yang bijak, Nak," ujarnya. "Sekarang, ada apa di piringan
hitam itu"" Jupiter menegakkan tubuhnya -- ia tidak dapat menahan godaan untuk
menikmati perhatian yang terpusat kepadanya, hal itu sudah mendarah daging.
"Bait kedua dari lagu 'Harta Tersembunyi' oleh Denny Lynds & The Gail Force
Winds berbunyi: "Waktu telah berhenti tanpamu, Aku seperti Adam tanpa Hawa, Aku akan terus
mencari di dunia ini, Hingga aku telah menguburkan kesedihanku."
Mata Timothy Fitchhorn berbinar-binar penuh gairah. "Aku berani bertaruh,
bagian tentang 'waktu yang telah berhenti' bermakna sebuah jam yang tidak
berfungsi lagi!" serunya sambil mengusap keringat di dahinya dengan
saputangan. "Pasti ada satu di salah satu tempat di rumah ini!"
Ben melompat bangkit. "Bibi Patty, Bibi tahu jam yang tidak berfungsi lagi""
"Pasti ada berlusin-lusin jam di rumah ini," katanya putus asa, "beberapa di
antaranya pasti tidak berfungsi lagi!"
"Kita harus memeriksa satu per satu," kata Jupiter. "Dan kita harus memeriksa
bersama-sama. Ini satu-satunya jalan!"
"Ide yang bagus, Nak," Mr. Fitchhorn setuju, mendorong rambutnya kembali ke
tempat semula dengan tangannya yang gemuk. "Mari mulai dengan jam besar
ini!" Para pemburu harta karun itu berkerumun di sekitar jam besar yang ada di
perpustakaan sementara Winston dan Pete memeriksanya dengan seksama.
"Menurutku jam ini tepat waktu," kata Pete. "Rasanya ini jam yang salah."
"Ke ruangan sebelah!" seru Mr. Fitchhorn dengan cepat.
Satu per satu, semua jam di rumah itu mereka periksa. Hari telah larut ketika
mereka tiba di ruang bilyar di lantai dua, satu-satunya ruangan yang belum
mereka periksa. Mereka merasa frustrasi atas keberhasilan yang tak kunjung
tiba. "Ada dua jam di ruangan ini," kata Bob. "Satu jam dinding dan satu lagi jam
besar yang berdiri di lantai."
Jam besar itu mulai berdentang, menunjukkan tengah malam, sementara Bob
dan Ben mencopot jam yang lebih kecil dari dinding.
Ketika jam yang besar berdentang untuk terakhir kalinya, Jupiter duduk dengan
tegak seolah-olah digigit oleh sesuatu. Ia menatap jam antik itu.
"Hei," kata Pete, "ada apa denganmu""
Jupiter bergegas mendekati jam itu dan mu lai meraba-raba. "Bantu aku, Pete,"
katanya. Yang lain menyadari gairah remaja gempal itu dan berkerumun di
sekitar jam. "Kau menemukan sesuatu, Jupiter"" tanya Ben penuh harap.
"Ingat, kami juga berhak!" Stella Fi tchhorn mengingatkan orang-orang.
"Jangan berkata apa-apa lagi!" suaminya memperingatkan.
"Kecuali ada yang namanya 'jam tiga belas'," kata Jupiter melalui bahunya,
"kurasa harta kita ada di dalam jam ini!"
"Wah!" kata Bob. "Aku sama sekali tidak menyadari jam ini berdentang tiga
belas kali!" Jupiter telah membuka pintu kaca tempat bandul jam. Jari-jarinya akhirnya
menemukan sebuah tombol jauh di belakang.
"Dapat!" serunya.
Jarinya yang gempal menekan tombol itu dan terdengar suara 'klik' seperti
kunci yang terbuka. Jam besar itu bergerak maju beberapa inci.
"Jam ini berengsel!" kata Jupiter kagum. "Suatu hasil karya yang hebat. Jam ini
tergantung pada sebuah bingkai besi yang tertanam di dinding!"
Penyelidik Pertama yang gempal membuka jam yang berfungsi sebagai pintu
itu, menampakkan suatu ruangan kecil yang tidak lebih besar daripada sebuah
lemari. Ruang berdinding batu bata itu tidak berisi apa-apa kecuali sebuah
landasan yang di atasnya terdapat pa tung dada Alfred Hitchcock, serupa
dengan yang dimiliki anak-anak di markas.
Di bawah patung dada itu terdapat sebu ah amplop,
tersegel oleh lilin dengan
tulisan """"" di atasnya.
Jupiter mengambil amplop itu, matanya bersinar-sinar. Namun ketika ia
membalikkan surat di tangannya untuk membuka segel lilin itu, raut wajahnya
berubah aneh. "Ada apa, Pertama"" tanya Bob.
"Ayolah, Jupe," desak Pete, "buka!"
Timothy dan Stella Fitchhorn nyaris melompat-lompat kegirangan. "Ya, Nak,"
lelaki gendut itu menyeringai dan menjilat bibirnya, "buka!"
Jupiter mengacungkan amplop itu di depan mukanya. "Amplop ini sudah
dibuka!" BAB X SURAT YANG TELAH DIBUKA "Apa maksud Anda"" tanya Winston. "Amplop itu tersegel!"
"Jelaskan, Nak," tuntut Timothy Fitchhorn. "Aku mulai tidak sabar dengan
segala aksi Sherlock Holmes-mu!"
"Dari mana kau tahu surat itu sudah dibuka sebelumnya, Jupiter"" tanya Ben.
"Lihatlah," kata Jupe. Orang-orang berdesak-desakan dan memandangi lilin
segel itu. "Kuasumsikan surat ini dari Mr. Hitchcock dan ia telah menyegelnya
dengan lilin berwarna merah tua. Nah, jika lilin berwarna diletakkan di atas
kertas, akan ada bekasnya," katanya menjelaskan. "Siapapun yang telah
membuka surat ini telah menyegelnya kembali dengan lilin yang berbeda,
warna merahnya lebih muda ... tidak sepenuhnya menutupi bekas lilin yang
pertama dilekatkan Mr. Hitchcock."
Stella Fitchhorn mengeluarkan saputa ngan putih dan membersihkan hidung.
"Dan semua ini membuktikan apa"" ia mendengus dengan angkuh.
"Sederhana saja, seseorang di rumah ini telah menemukan harta itu," jawab
Jupiter. Wanita yang mirip burung itu meletakkan tangannya di leher dan merapatkan
bibir. "Tapi, tapi, kami berhak ...," ia tergagap.
Winston melangkah ke samping Patricia dan berdehem. "Madam, kalau saya
boleh mengusulkan, paling tidak mari kita buka amplop itu dan lihat yang
tertulis di dalamnya."
Patricia ragu-ragu sejenak, melirik Keluarga Fitchhorn seolah-olah mereka
adalah musuh yang berbahaya. Akhirnya ia menghela nafas dan mengangguk ke
arah Jupiter. "Silakan, Jupe," katanya, "mari kita lihat apa yang dikatakan
ayahku. Aku udah nyaris tidak tahan lagi akan teka-teki ini. Mari kita selesaikan
secepatnya!" Jupiter mengangguk dan menyelipkan ibu jarinya di tepi segel lilin itu,
membelahnya menjadi dua. Dengan hati-hati dikeluarkannya secarik naskah
yang bagus dari dalam amplop. Kertas itu terlipat tiga kali. Ia meletakkannya di
atas meja bilyar dan meratakannya.
Mereka semua berdesak-desakan untuk membacanya.
Surat itu berbunyi: """",
Aku akan sangat heran jika bukan kalian yang membaca ini -- jika asumsiku
benar, maka kalian pasti tahu bahwa surat ini telah disegel dengan lilin. Jika
segel itu rusak atau surat ini tidak beramplop lagi, berarti seseorang telah
mendahului kalian! Bagaimanapun juga kalian tidak kehilangan apa-apa! Karena jika kalian
membaca ini, maka aku harus berkata ... 'ck, ck, ck!' Penafsiran kalian akan
segala petunjuk itu tidak sesuai dengan reputasi kalian! Kalian tidak berpikir
misteri ini akan sesederhana itu, bukan" Tentu saja kuharap tidak! Pelajari
petunjuk-petunjuk itu lagi dan kali ini ... ingatlah dengan siapa kalian
berurusan! A. J. H." "Demi Tuhan!" kata Pete. "Sama sekali bukan harta yang kita cari!"
"Karena itulah si pencuri menyegel kemb ali amplop ini," gumam Jupiter dengan
serius. "Siapapun yang telah membuka surat ini tidak dapat memecahkan
petunjuk terakhir ... dan membutuhkan kita untuk melakukannya!"
Orang-orang di sekitar meja bilyar saling berpandangan seolah-olah mencurigai
si pencuri ada di antara mereka saat itu juga.


Trio Detektif Misteri Warisan Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita tunda pencarian sampai pagi," Jupi ter memutuskan. "Besok pagi kita akan
menelusuri kembali petunjuk dari mesin pemutar lagu dan melihat ke mana
kita dibawanya." "Baiklah," Winston menguap, "dengan seizin Anda, madam, saya akan pergi
tidur." "Tentu saja," kata Patricia. "Kita semua sebaiknya tidur. Hari yang panjang."
"Dua kali lebih panjang untukku!" kata Pete. "Tidak setiap hari ada hantu
mengurung kita di ruang bawah tanah!"
"Apa"" seru yang lain serempak.
"Oh ya," kata Pete malu-malu, "kita terlalu terpaku pada petunjuk dari piringan
hitam itu sehingga aku lupa menceritakan kisahku."
"Katamu kau dikurung oleh hantu"" tanya
Jupiter tidak percaya. "Aku tahu apa yang akan kau katakan," erang Pete, "kau akan berkata bahwa itu
hanyalah khayalanku dan tidak ada ya ng namanya hantu dan aku tentu telah
asal mengambil keputusan." Ia melanjutkan dengan menceritakan apa yang
diingatnya sebelum ia ditinggal sendirian di dalam ruangan gelap tempat
menyimpan anggur. "Aku tahu apa yang kulihat dan yang kulihat mengenakan
gaun dan menggenggam tali bersimpul da n berpendar!" katanya mengakhiri.
"Luar biasa," kata Winston.
"Yah," timpal Timothy Fitchhorn datar, "khayalan yang luar biasa. Aku tidur
sekarang!" Istrinya mengangguk dengan mengantuk. "Aku naik ke kamar juga. Kalian
sebaiknya juga, Anak-anak."
"Tidak ada yang mempercayaiku," gerutu Pete.
"Aku percaya ada yang aneh di rumah ini, " kata Patricia tidak enak. "Dan malam
ini aku akan tidur dengan lampu menyala."
"Aku akan tidur di lantai di kamar Bibi Patty jika dengan demikian Bibi akan
merasa aman," Ben menawarkan.
"Aku akan merasa jauh lebih aman," bibinya mengaku.
Jupiter berusaha berpikir logis tentang hantu Pete. "Dalam situasi seperti itu,
pikiranmu bisa mempermainkanmu," katanya menguliahi. "Mungkin saja kau
hanya melihat apa yang diinginkan oleh pikiranmu."
"Atau mungkin saja kau tidak mau mengakui bahwa benar-benar ada hantu di
rumah ini!" Pete menyeringai ke arah temannya yang kelebihan berat badan
itu. "Hantu atau bukan, kita harus berjaga sepanjang malam," kata Jupiter,
menguap sambil menutupi mulutnya dengan telapak tangan. "Kita bergantian
setiap tiga jam." "Biar aku duluan," kata Bob suka rela. "Sekarang ada dua hal yang ingin kulihat
di Inggris ... Menara London dan hantu Pete!"
BAB XI JEJAK KAKI TUNGGAL Keesokan harinya pagi-pagi benar Pete dan Bob terbangun oleh guncangan kuat
Jupiter. "Ada apa ..."" gumam Pete setengah tertidur.
"... masih ingin tidur, mom ...."
"Pete!" Jupiter berbisik di telinganya. "Pete, Bob, bangun!"
Bob menggeliat. "Jam berapa ini"" ia menguap, meraih kacamatanya dan
melihat ke luar jendela. "Matahari pun belum terbit, Jupe."
"Ada dua kejadian penting," Jupiter Jones berbisik dengan dramatis.
"Kejadian apa"" tanya Pete. "Kau menemu kan bahwa kau menderita insomnia""
"Salah satunya aku yakin telah memecahkan teka-teki dari piringan hitam itu,"
kata Jupiter, tidak menghiraukan sindiran Pete.
"Dan yang satunya lagi"" tanya Bob.
"Seseorang berkeliaran di lantai bawah! Kenakan sepatu kalian dan ikuti aku.
Mungkin kita bisa menangkap hantu sebelum sarapan."
"Tidak bisakah kita menunggu matahari terbit sebelum berburu hantu"" gerutu
Pete. Anak-anak menyelinap diam-diam sepanjang koridor dan berjingkat-jingkat
menuruni tangga. Ketika mereka berada separuh jalan, Jupiter bertiarap dan
mengintip melalui sisi tangga. Dari tempatnya berada ia dapat melihat sesosok
bayang-bayang mengendap-endap di ruangan lantai dasar yang besar.
"Siapapun itu, ia sedang menc ari sesuatu," desis Jupiter.
"Kau tahu siapa dia"" tanya Bob.
"Negatif -- bisa siapa saja. Kita akan mendekat untuk melihat lebih jelas."
"Aku sudah khawatir kau akan berkata demikian," kata Pete.
"Apakah sebaiknya kita bangunkan Ben"" tanya Bob.
Jupiter menggeleng. "Biarkan dia tidur, seharian nanti ia akan sangat sibuk."
Tanpa repot-repot menjelaskan, Jupiter berdiri dan meraih pegangan tangga.
Trio Detektif bergerak menuruni tangga yang besar itu, berhati-hati agar tidak
menimbulkan suara. Ketika mereka tiba di anak tangga paling bawah, Pete
tanpa sengaja menginjak papan yang longgar, menimbulkan bunyi seperti
sebatang paku berkarat dicabut dari ka yu. Pete menunduk dan menahan nafas.
"Terlambat!" bisik Jupiter. "Mereka telah mendengarnya. Ayo!"
Ketiga anak itu berlari menyerbu ke ruangan yang besar itu namun berhenti
mendadak ketika mereka melihat ruangan itu kosong dan sunyi. Mereka
menunggu suara yang mungkin memberi petunjuk tempat si penyelinap berada.
Kemudian mereka mendengar sesuatu yang dikenali Pete.
"Pintu menuju ke tempat menyimpan anggur," bisiknya. "Di dapur."
"Kau yakin"" desak Bob.
"Percayalah, Data, aku berharap takkan pernah mendengar bunyi itu lagi!"
"Ke dapur!" Jupiter memberi aba-aba.
Denga n Pete memimpin di depan, mereka bergegas menuju dapur dan melihat
pintu ke ruang bawah tanah sedikit terbuka.
"Kita telah memerangkap mereka di bawah sana," kata Jupiter senang. "Bob,
ambil senter dan lilin dari lemari."
Bob berlari ke lemari di bawah tempat cuci piring di dapur dan mengambil
senter besar dan dua batang lilin. Ia bergegas menyalakan lilin-lilin itu dan
memberikan sebatang kepada Pete. Bergerak berdekatan, mereka mulai
menuruni tangga. "Tetap berdekatan," kata Jupiter.
"Aku baru saja hendak mengatakan hal yang sama," gumam Pete melalui sela-sela giginya.
Mengendap-endap seperti tikus, ketiga sahabat itu memeriksa rak-rak yang
berdebu baris demi baris. Ketika mereka sampai di baris terakhir, Jupiter
menunjuk tanpa bersuara ke arah pintu besar yang menuju ke ruangan tempat
Pete terkurung sebelumnya dan menganggukkan kepala.
"Di dalam situ," gumamnya.
Pete dan Bob menelan ludah dan balas mengangguk. Dengan Jupiter di depan
mereka mendekati pintu besi itu. Pete meraih sebuah botol anggur dari rak
terdekat dan memberikannya kepada Bob. Kemudian ia mengambil satu lagi
untuk dirinya sendiri. Ia merasa lebih enak dengan senjata di genggamannya,
seandainya benar-benar ada makhluk seram penghisap darah di balik pintu.
Pada hitungan ketiga, Jupiter memberi isyarat. Tanpa bersuara ia menghitung
dengan jari, ketika ia mencapai angka tiga, Penyelidik Pertama yang berat itu
menggenggam pegangan pintu besi dan menariknya dengan sekuat tenaga.
Sambil berteriak ketiga anak itu menuruni ketiga anak tangga dan menyerbu ke
ruangan yang dingin dan lembab itu.
Kosong. Jupiter menyorotkan senternya ke sekeliling ruangan kecil itu dengan tidak
percaya. Rak-rak berdebu, penuh berisi barang bekas dan kotak dalam berbagai
ukuran berbaris di dinding di sekeliling ruangan. Sepertinya si penyusup telah
menghilang begitu saja. "Ia pasti ada di sini!" kata Jupiter keras kepala. "Cari pintu tersembunyi."
Pete menggeleng. "Jika memang ada pintu rahasia di sini, Jupe, aku pasti telah
menemukannya!" "Waktu itu gelap dan kau sedang dalam keadaan tertekan," kata Jupiter.
"Tentulah sulit sekali bagi siapapun untuk melakukan pencarian yang seksama."
"Biasanya selalu ada tuas atau gerendel untuk pintu semacam itu," kata Bob.
"Cari sesuatu di rak-rak ini yang kelihatannya tidak pada tempatnya."
Anak-anak mulai menariki benda-benda di atas rak-rak yang berdebu itu.
Keberuntungan tidak beserta mereka sampai Bob tiba di sebuah rak kecil di
sudut ruangan yang nampak agak berbeda. Rak-rak yang lain hampir menyentuh
langit-langit yang rendah dan kira-kira satu setengah meter panjangnya. Namun
rak yang satu ini hanya sekitar setengah meter. Bob berusaha mengangkat
sebuah jambangan dari rak paling atas dan memekik tertahan.
Jupiter Jones dengan segera berada di sebelah temannya. "Ada apa, Data""
"Ini dia!" seru Bob. "Lihat!" Remaja bertubuh kecil itu berusaha menarik sebuah
kipas angin antik dari atas rak namun benda itu tidak bergerak.
"Segala sesuatu di atas rak ini dipaku atau dilem!"
"Cari suatu mekanisme pengunci," desak Jupiter.
Tidak perlu waktu lama bagi Bob untuk menemukannya. Ketika sebuah kaleng
kecil berisi mur dan baut diputar, suatu mekanisme di dalam dinding membuka
suatu kunci dan seluruh rak itu terayun pada suatu engsel, terbuka seperti
pintu. Udara dingin dan lembab berhembus ke arah mereka sementara Jupe
menyorotkan senternya ke lubang misterius itu.
Suatu lorong sempit berdinding batu-b atu berlumut menuju ke undak-undakan
yang terbuat dari batu kali.
"Dinding ini merupakan bagian dari fondasi," kata Jupiter. "Undak-undakan itu
pastilah menuju keluar rumah. Dan lihatlah sarang laba-laba ini, ada yang
mengusiknya. Si 'hantu' jelas telah menggunakan lorong ini untuk melarikan
diri. Bob, tinggal di ruangan ini sampai aku berhasil membuka pintu keluar --
jangan sampai kita terkurung di lorong lagi."
Bob memandang ke belakang dengan gugup. Sebelumnya tidak terpikir olehnya
bahwa hantu itu mungkin saja masih berada di suatu tempat di ruangan itu.
"Jangan cemas, Data, sarang laba-laba ini telah rusak, jadi dia tentu telah
melewati pintu i ni," kata Jupiter menenangkan. Remaja gempal itu menaiki
tangga sampai mencapai sebuah pintu kecil di langit-langit. Ia mendorong
dengan bahunya sampai tingkap itu terbuka. Sekali lagi hembusan udara dingin
menerpa Pete dan Bob. "Tingkap ini memang menuju keluar," lapor Jupiter. "Ayo, Teman-teman."
Pete dan Bob bergegas menaiki tangga dan memandang berkeliling. Kabut
dingin bergulung-gulung dan matahari ba ru saja mulai muncul, menandai awal
hari yang baru. Bob mengamati tingkap yang berukuran satu kali satu meter di
tanah itu dan melihat bahwa di atas nya telah dilekatkan sepetak tanah
berumput sehingga tersamar dengan sempurna di antara rumput halaman.
"Kita tidak akan tahu ada pintu rahasia di sini bahkan jika kita berdiri tepat di
atasnya," katanya penuh kekaguman.
"Kita ada di belakang rumah," bisik Pete. Ia menatap bangunan dari batu yang
angker itu. Rumah itu menjulang di atas mereka -- seolah-olah mengancam
akan menelan mereka. "Lihat ini," kata Jupiter, menunjuk ke tanah di dekat pintu rahasia. Pete dan
Bob menatap tanah di dekat mereka dengan cermat. Tidak salah lagi, di atas
rumput yang basah oleh embun terdapat sebuah jejak sepatu berukuran besar!
"Tapi hanya ada satu!" kata Pete. "Mana yang lainnya""
Jupiter menyingkir dari atas tingkap dan meletakkan kakinya tepat di atas
jejak sepatu itu. Jauh lebih besar daripada miliknya. Ia menyeimbangkan badan
di atas satu kaki selama beberapa saat dan kemudian melompat ke samping, ke
atas jalan batu sejauh beberapa langkah dari jejak itu.
"'Hantu' kita berdiri di atas satu kaki cukup lama untuk menutup tingkap,"
Jupiter menjelaskan. "Kemudian melompat ke jalan batu ini sehingga tidak
meninggalkan lebih banyak jejak dari yang perlu. Tindakan seorang kriminal
yang berpengalaman."
Pete dan Bob keluar dari pintu rahasia itu dan menutupnya kembali. Mereka
berdiri di jalan batu, menggigil di tengah udara pagi yang berkabut.
"Ke mana jalan ini menuju"" tanya Pete.
"Aku kemarin ada di belakang sini seharian," seru Bob, "aku tahu ke mana
perginya! Pondok Abernathy!"
"Mari," kata Jupiter tegas, "waktunya membangunkan Keluarga Abernathy!"
BAB XII RENCANA JUPITER Trio Detektif mengikuti jalan batu yang menuju ke kediaman Abernathy namun
sebelum mereka mencapai pintu depan, Jupiter berhenti mendadak.
"Wah," katanya, "apa ini""
Remaja gempal itu menunduk dan me mungut sepotong kain putih.
"Saputangan!" kata Bob.
Jupiter membolak-balik benda itu di tangannya dan mengamatinya dengan
cermat. "Saputangan berinisial," katanya, menunjukkan benda itu untuk
diamati Pete dan Bob. Dengan jelas mereka dapat melihat sulaman rapi
membentuk huruf "S. F."
"Stella Fitchhorn!" kata Pete menatapnya.
Namun Jupiter menggeleng. "Jejak kaki itu terlalu besar," ia mengingatkan
teman-temannya. "Kalian ingat, dia sangat mungil dan jejak kaki itu lebih besar
daripada milikku." "Mr. Fitchhorn"" tanya Bob.
Jupiter mencubiti bibir bawahnya dan terdiam sejenak. "Mungkin saja," hanya
itu yang dikatakannya. Tanpa mengatak an apa-apa lagi, Penyelidik Pertama
berpaling dengan mendadak dan berlari kecil menuju ke pintu belakang Puri
Hitchcock, meninggalkan Bob dan Pete yang saling berpandangan sambil
terbengong-bengong. Ketika mereka akhirnya menemukannya di kamar atas, Jupiter sedang terburu-buru memasang film ke kamera foto yang dibawanya di dalam koper.
"Aku harus meminta Ben mengantarkanku ke London lagi hari ini," katanya.
"Kau punya suatu rencana," tebak Bob.
"Benar. Tapi tidak ada waktu untuk menjelaskan. Ikuti saja permainanku. Ben
dan aku akan berangkat setelah sarapan. Mudah-mudahan kami akan sudah
kembali sebelum malam tiba."
Bob dan Pete telah terbiasa akan Jupiter Jones yang suka berahasia ketika
mendapat ide atau rencana. Memang demikianlah cara kerja anak itu. Jupe
sama sekali tidak suka jika terbukti salah akan apapun, maka seringkali ia
menutup mulut hingga ia yakin benar. Orang lain yang tidak terlalu
mengenalnya mungkin saja akan tersinggung dengan sikapnya itu.
"Dan apa yang harus Bob dan aku lakukan sepanjang hari"" tanya Pete. "Biar
kuberi tahu satu hal ini -- aku tidak akan mendekati ruang
bawah tanah itu! Setahuku tempat itu adalah tempat berkumpulnya monster-monster London!"
"Jangan jauh-jauh dari Patricia," perintah Jupiter. "Menurutku tidak akan
terjadi apa-apa padanya namun lebih baik tidak mengambil resiko. Dan awasi
Sepupu Jeb, Keluarga Fitchhorn, dan Abernathy. Saat ini mereka semua adalah
tersangka!" Jupiter menutup bagian belakang kameranya dan memutar film sambil
menuruni tangga. ***** Dapur bermandikan cahaya matahari dan penuh kesibukan. Patricia, yang
mengenakan mantel kamar dan sandal, sedang menuangkan kopi untuk
sepupunya Jebediah sementara Julia menyendokkan tumpukan telur ke atas
piring Keluarga Fitchhorn. Winston memasuki ruangan sambil mengepit koran
pagi. Ia membuka lipatan koran itu dan meletakkannya di hadapan Timothy
Fitchhorn, kemudian berpaling ke arah anak-anak.
"Selamat pagi, Tuan-tuan," katanya mengembangkan senyum. "Mau tidak mau
saya mendengar kesibukan di depan pintu depan saya tadi pagi -- mudah-mudahan semua beres""
Bob dan Pete dengan cepat menyadari bahwa Penyelidik Pertama telah kembali
berakting. Jupiter pernah menjadi seorang aktor ketika ia masih sangat kecil
dalam sebuah acara televisi berjudul "Berandal Cilik" dan ia memerankan
seorang tokoh yang dikenal dengan julukan "Baby Fatso." Ketika itu ia adalah
seorang aktor yang berbakat dan hingga kini ia masih bisa berakting dengan
bagus -- jika ia mau. Ketika memasuki dapur, ia membiarkan bahunya
menggantung dan wajahnya menatap kosong, secara efektif memberi kesan
bahwa ia adalah seorang anak yang terbelakang.
Jupiter memandang kepala pelayan itu dengan tatapan bodoh. "Oh, maaf jika
kami membangunkanmu," ia menguap, duduk di meja makan. "Kami kira hantu
itu lagi namun ternyata hanya Pete yang berjalan dalam tidurnya."
"Huh"" kata Pete. Namun sebelum ia da pat berkata apa-apa lagi, Penyelidik
Kedua yang langsing itu merasa pergelangan kakinya ditendang dengan keras
oleh Jupiter di bawah meja. "Aduh! Oh, ya, kadang-kadang aku memang
begitu," katanya malu-malu.
"Wah," kata Jebediah, menyapu remah-remah dari kumisnya yang jarang-jarang, "jangan terlalu yakin, Teman-teman. Molly Tua itu adalah hantu yang
pintar." Ia menuding Jupiter dengan tongkatnya. "Kau tidak ingin berkeliaran di


Trio Detektif Misteri Warisan Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekitar rumah setelah gelap -- kuperingatkan kau sekarang!"
"Aku tidak tahu soal Pete," kata Patricia, "namun aku tidur seperti seekor
beruang untuk pertama kalinya setelah berhari-hari!"
"Ben," kata Jupiter sedih, "sekarang semu a itu tidak ada artinya lagi. Sepertinya
kami telah datang jauh-jauh tanpa guna . Kita tidak dapat memecahkan sandi
terakhir dari mesin pemutar lagu itu. Kurasa sekarang kita melihat-lihat saja
dan mengambil beberapa gambar. Sayang sekali Bob tidak enak badan dan
tidak dapat ikut dengan kita."
Giliran Bob yang menerima tendangan di bawah meja. Ia berdehem dan
berusaha nampak sakit. "Oh, ya. Pasti akibat udara dingin ini," ia terbatuk.
"Sepertinya aku harus tinggal di sini."
Patricia nampak cemas. "Sebaiknya kau beristirahat, Bob. Besok adalah hari
terakhirmu di sini dan kau tidak ingin sakit selama perjalanan pulang ke
Amerika, sungguh tidak nyaman."
Di seberang meja Timothy Fitchhorn tersedak dan bergegas berdiri,
menumpahkan kopinya di atas koran pagi.
"Oh, sialan!" umpatnya. "Aku membuatnya berantakan. Winston, sekali ini saja
buatlah dirimu berguna dan bantu aku membersihkan ini!"
"Tentu saja, sir," kata kepala pelayan itu dengan sabar.
Pete dan Bob memandang pria gemuk dan kepala pelayan itu sambil tersenyum
namun ketika Bob menoleh ke arah Jupiter, ia melihat temannya itu menatap
dengan serius. Jupe berpaling ke arahnya dan bergegas mengalihkan
pandangan, mengangguk ke arah koran. Bob mengerti dengan segera dan diam-diam balas mengangguk.
"Kurasa aku lebih baik beristirahat sekarang," kata remaja bertubuh kecil itu,
berdiri dari kursinya dan menepuk bahu Pete. "Kau sungguh baik, Pete, suka
rela menemani aku." "Tentu saja," jawab Pete, sedikit kebingun gan. "Hanya itu yang bisa kulakukan,
Sahabatku." Kedua penyelidik itu permisi dari meja makan dan menuju ke lantai atas.
Sementara itu Jupiter telah menyiapkan k
ameranya yang dilengkapi dengan
lampu kilat. Ia dengan cepat mengambil gambar Winston dan Timothy
Fitchhorn, yang terlalu sibuk membersihkan meja dan tidak menyadarinya.
Selanjutnya ia berpaling ke arah Patricia dan mengambil gambarnya. Wanita itu
mengangkat tangan menutupi wajahnya dan tertawa.
"Jupiter Jones! Aku bahkan belum sempat berdandan!"
"Tidak apa-apa," kata remaja itu tersenyum, memutar film. "Saya hanya perlu
menghabiskan sisa film ini sehingga nanti saya bisa memasang yang baru ketika
berjalan-jalan dengan Ben." Ia berpal ing dan mengambil gambar Ben, yang
menampilkan wajah kocak. "Bagus sekali!" seru Jupiter. Ia memutar film dan mengambil gambar Sepupu
Jebediah dan Stella Fitchhorn. Mrs. Fi tchhorn nampak terkejut dan Jebediah
menatap marah. "Aku tidak suka difoto, Nak!" gerutunya.
"Maaf, sir," kata Jupiter, berdiri dari kursinya. "Nah, Ben, sebaiknya kita pergi
sekarang jika kita ingin melihat semua yang sudah kurencanakan. Kurasa kita
mulai dengan Big Ben, lalu menuju ke Menara London. Aku juga ingin melihat
kediaman Arthur Conan Doyle bila waktu mengizinkan."
Sambil berjalan di koridor ia terus-menerus mengoceh, seolah-olah benar-benar
bersemangat akan perjalanan wisata ini.
"Ingat, Anak-anak," kata Patricia, "kalian harus mengenakan sabuk pengaman!"
"Tentu, Bibi Patty," kata Ben sambil mengenakan jaketnya. Ia tidak sempat
berkata apa-apa lagi karena Jupiter telah berada di luar dan melompat masuk
ke Silver Cloud yang berkilauan.
"Wah, mengapa terburu-buru sekali"" tanyanya. "Banyak waktu untuk melihat
semuanya." "Kita bukan pergi berwisata," kata Jupiter menjelaskan. "Itu hanyalah alasan
untuk pergi dari rumah."
Ia mengangkat kameranya dan mengambil ga mbar Ben sekali lagi. "Inilah alasan
yang sebenarnya. Kita harus mencuci film ini dan mencetaknya ... secepatnya!"
BAB XIII BERITA DI HALAMAN MUKA Ketika mereka telah menutup pintu kamar, Bob berpaling dengan cepat ke arah
Pete. "Kita harus mendapatkan koran itu!" serunya.
Pete menatap temannya seolah-olah ia telah kehilangan kelereng. "Ada apa
sih"" tanyanya. "Itu hanyalah koran. Ayahmu seorang reporter ternama untuk
salah satu koran terbesar di California. Ia bisa memberimu koran apapun di
dunia!" "Bukan untuk kenang-kenangan," Bob me njelaskan dengan sabar. "Timothy
Fitchhorn melihat sesuatu di halaman depan yang membuatnya panik. Itulah
sebabnya ia menumpahkan kopi ke atasnya. Supaya ia dapat
menghancurkannya sebelum kita dapat melihat sesuatu itu!"
"Wah!" seru Pete. "Kau mengetahui semu a ini dari secangkur kopi yang tumpah"
Kau mulai berubah menjadi seorang Jupiter Jones ... dan dunia ini tidak butuh
hal itu!" "Jupe melihatnya lebih dahulu," Bob mengakui, "namun sudah jelas ada sesuatu
dalam koran itu ... dan kita harus mencari tahu apa itu!"
Pete duduk di atas ranjangnya. "Tapi bagaimana" Kau kan harus berada di sini
sepanjang hari, beristirahat di tempat tidur, ingat""
Bob menggeleng dan menyeringai. "Aku memang seharusnya sakit dan berada di
sini sepanjang hari. Kau, sebaliknya, benar-benar sehat!" Penyelidik berwajah
serius itu membuka kunci jendela dan me ndorongnya terbuka. Pete pergi ke
sampingnya di jendela dan menelan ludah. Tidak kurang dari delapan meter
menuju ke tanah di bawah.
Pete menatap Bob tanpa ekspresi. "Ada id e cemerlang lainnya, Anak Pintar""
Bob mengamati dinding batu di luar jendela yang ditutupi tanaman merambat
dan mengerutkan kening. "Tadinya aku berharap ada semacam pipa air yang
bisa kau panjat." Ia berpikir sejenak dan menjentikkan jarinya. "Seprai!"
Pete mencibir. "Aku mengharapkan sesuatu yang sedikit lebih kokoh."
"Mau tidak mau. Ayo, mari mulai menyambung seprai-seprai ini."
Dua puluh menit kemudian mereka telah membuat semacam tali panjang dari
tiga buah seprai. Bob mengikat salah satu ujungnya ke tiang tempat tidur yang
terdekat dengan jendela dan kemudian melemparkan ujung lainnya keluar.
"Turun kau!" senyumnya.
"Sepertinya kau terlalu menikmati penyakitmu itu," gerutu Pete. "Di mana aku
bisa mendapatkan surat kabar begitu aku tiba di bawah""
"Coba tetangga terdekat. Ikuti saja jalan setapak yang kita lewati w
aktu itu ... jalan itu memotong hutan dan berakhir di tanah tetangga tidak terlalu jauh
dari sini." "Dan apa yang akan kau lakukan sementara aku pergi"" tanya Pete.
Bob melemparkan tubuhnya ke atas ranjang dan meletakkan tangan di bawah
kepalanya yang berambut pirang. Senyuman lebar menghiasi wajahnya.
"Istirahat adalah obat yang paling manjur!"
Pete menghela nafas dan melangkah melewati ambang jendela. "Aku akan
kembali satu jam lagi," katanya dan mulai memanjat turun melalui jalinan
seprai. Dalam perjalanan turun Pete melewati sebuah jendela di perpustakaan.
Berhati-hati agar tidak terlihat, ia berhenti sejenak untuk mengintip,
menudungi matanya dengan tangan. Di balik kaca jendela yang berwarna-warni
itu ia dapat melihat seseorang mengendap-endap di balik bayang-bayang
ruangan yang penuh buku itu! Pete menyipitkan matanya, berusaha melihat
dengan lebih baik ketika tiba-tiba ia merasa talinya tersentak! Ia mendongak
cepat namun terlambat. Hanya cukup waktu bagi Pete untuk meli hat bahwa salah satu simpul terlepas
sebelum ia terjatuh setinggi tiga meter yang tersisa. Ia menahan teriakannya
dan bersiap-siap menghadapi benturan!
Remaja atletis itu mendarat sambil me nggeram, seprai itu jatuh menutupi
kepalanya sementara ia duduk. Merasa ke sal, Pete bergegas menggulung seprai
itu dan menyembunyikannya di semak-semak terdekat. Kemudian, berhati-hati
agar tidak terlihat, ia berlari melintasi halaman menuju ke hutan.
Ketika ia mencapai perlindungan di balik pepohonan, Pete berhenti lagi. Kali
ini ia melihat bahwa Jebediah O'Connell sekali lagi berada di kebun, menusuk-nusuk tanah dengan tongkatnya secara mencurigakan. Apa yang dicarinya, pikir
Pete. Paling tidak sekarang ia tahu bukan Sepupu Jeb yang berkeliaran di
perpustakaan! Pete berusaha menyatukan potongan-potongan teka-teki itu di benaknya
sementara ia berlari melintasi hutan. Ia gembira Jupe mempunyai sebuah
rencana karena ia sendiri tidak dapat berbuat apa-apa dengan petunjuk yang
membingungkan dan para tersangka yang ada dalam kasus ini!
Beberapa menit kemudian Pete Crenshaw yang kehabisan nafas melihat rumah
tetangga terdekat. Ia berhenti sejenak untuk memulihkan nafas dan kemudian
berjalan melewati jalur yang menuju ke pintu depan.
Setelah mengetuk dengan kuat, remaja jangkung itu menunggu dan menunggu.
Setelah beberapa menit Pete mulai tidak sabar. Tidak ada orangkah" Ia
mengetuk lagi, lebih kuat kali ini. Ia berharap susah payahnya datang ke sini
tidak sia-sia. Akhirnya pintu lambat-l ambat dibuka oleh seorang wanita tua
bertongkat. "Ada yang bisa kubantu, Anak Muda""
"Selamat pagi, ma'am," kata Pete. "Saya adalah tamu tetangga sebelah Anda,
Mrs. Hitchcock O'Connell ... saya ...."
"Ah," wanita tua itu tersenyum bangga, "orang-orang baik, Keluarga Hitchcock."
Ia menarik nafas dan nampak sedih. "Sungguh menyedihkan. Kami telah
bertetangga selama tiga puluh tahun. Ia selalu berkata bahwa rumah itu
berhantu, kau tahu. Tapi kami tidak pernah mempercayai hal-hal semacam itu.
Kurasa ia hanya ingin menakut-nakuti kami. Bayangkan! Alfred Hitchcock
berusaha menakut-nakuti tetangganya!" Wanita tua itu terkekeh. "Jelas aku
akan kehilangan mereka. Ak u ingat suatu kali ...."
Pete berdehem. Jelas wanita ini kesepian di dalam rumahnya yang besar dan
sungguh gembira menemukan seseorang untuk diajak berbicara. Pete berharap
ia dapat tinggal dan berbincang-bincang lebih banyak mengenai Mr. Hitchcock
namun ia merasa harus cepat kembali.
"Maaf, ma'am ... tapi saya ... oh ...."
"Ya," wanita itu tersenyum, kerutan-kerutan dalam di wajahnya bermunculan.
"Kalian para remaja selalu terburu-buru. Selalu saja ada petualangan. Aku
masih ingat ketika aku muda, kau tahu. Baiklah, apa yang bisa kubantu""
Pete menjelaskan masalah surat kabar yang tertumpahi kopi dan bertanya
kalau mereka dapat meminjam edisi London Times milik wanita itu, sekiranya
ia telah selesai membacanya.
"Tentu saja, tentu saja," kata wanita itu. "Biar kuambilkan. Sebentar saja."
Pete menunggu dengan sabar di depan pintu. Ia mulai bertanya-tanya, berapa
lama 'sebentar saja' itu karena sepert inya wanita itu telah perg
i selama berabad-abad. Ia mulai berpikir bahwa wanita tua itu takkan kembali ketika
akhirnya ia mendengar suara langkah kaki terseret kembali ke pintu depan.
"Ini dia, Anak Muda."
"Terima kasih, ma'am," kata Pete sopan. "Terima kasih banyak."
Wanita tua itu tersenyum hangat ke arah Pete, matanya berbinar-binar. "Oh,
tidak apa-apa. Tolong sampaikan salam untuk Patricia dari Miss Ashley."
Pete berjanji menyampaikannya dan berbalik. Ia sudah hendak berkata selamat
tinggal kepada wanita tua yang ramah itu ketika suatu ide muncul di benaknya
dan ia kembali berpaling.
"Maaf, Miss Ashley ... bolehkah saya bertanya""
"Dengan senang hati," jawab wanita itu riang. "Apa yang ingin kau ketahui,
Nak"" "Saya bertanya-tanya ...," Pete berhenti, memikirkan cara yang tepat untuk
menyampaikan pertanyaannya. "Saya bertanya-tanya, selama Anda mengenal
Keluarga Hitchcock, pernahkah mereka menyebut-nyebut seorang saudara
bernama Jebediah" Kemungkinan seorang sepupu dari Patricia."
Wanita tua itu berpikir sejenak dan kemudian menggelengkan kepala.
"Seingatku tidak," katanya. "Hitch da n istrinya Alma sering membicarakan
keluarga mereka -- keluarga bagi mereka sangatlah penting, kau tahu. Selalu
ada sanak saudara yang datang bertamu ketika mereka tinggal di sini selama
musim panas. Aku yakin aku pasti akan ingat jika pernah mendengar seorang
sepupu bernama Jebediah. Nama yang unik."
Pete berterima kasih atas informasi dan surat kabar itu dan berpaling untuk
pergi. "Jangan lupa menyampaikan salam untuk Patricia," kata wanita itu dari
belakangnya. Pete berjanji dan berlari kecil kembali ke arah hutan dengan koran itu di
bawah lengannya. Ketika ia tiba kembali di Puri Hitchcok, ia melihat bahwa
Jebediah masih berkeliaran di halaman, mencari-cari sesuatu dengan
tongkatnya. Pete mengingat-ingat hal itu sementara ia mengambil seprai dari
semak-semak dan berseru pelan ke atas, memanggil Bob.
Kepala Bob muncul dari jendela kamar. Pete menunjukkan seprai di tangannya,
lalu memberi isyarat dengan tangannya agar Bob membuat simpul-simpul yang
lebih erat kali ini. Ia melemparkan gulu ngan seprai itu ke atas ke tangan Bob
yang menunggu dan menunggu dengan gelisah di balik semak. Ketika Bob
melemparkan tali seprai itu kembali ke bawah, Pete menyelipkan surat kabar
itu ke celananya dan mulai memanjat. Ia berhenti lagi di jendela perpustakaan
namun kali ini suasana di dalam ruangan luas itu nampak tenang. Ia
meneruskan memanjat sampai ke atas dan kemudian menarik seprai itu.
"Jebediah ada di kebun mencari-cari sesuatu sepanjang hari," lapor Pete. "Dan
wanita yang memberiku koran ini berkata ia tidak pernah mendengar ada
seorang saudara bernama Jebediah! Aku juga melihat seseorang mengendap-endap di perpustakaan!"
"Mari kita lihat koran itu!" kata Bob bersemangat.
"Wah!" seru Pete. "Aku lupa sama sekali tentang halaman muka!" Dengan cepat
ia mengambil koran itu dan membukanya di atas ranjang. Mata mereka berdua
terbelalak ketika mereka melihat foto yang terpampang di halaman muka.
Di bawah berita berjudul "Penipuan Besar-Besaran" terdapat sebuah foto buram
yang diambil dari sebuah kamera pengawas, menampilkan dua orang yang
sedang meninggalkan bank. Yang satu adalah seorang pria gemuk. Yang lainnya
adalah seorang wanita kurus pendek. Ku alitas foto itu buruk namun kemiripan
yang nampak tak mungkin salah lagi!
"Keluarga Fitchhorn!" seru mereka berdua serempak.
Di bawah foto kabur itu terdapat keterangan singkat. Bunyinya:
"PENIPUAN BESAR-BESARAN"
"Dua penipu yang telah dikenal terlihat meninggalkan sebuah bank di Liverpool
minggu lalu. Pasangan itu, dengan alia s Thomas dan Shirley Fidgewick, dicari
sehubungan dengan beberapa kasus penipuan dan pencucian uang. Berita ada
di Halaman 6 ...." "Tunggu sampai Jupe melihatnya!" seru Pete. "Kita beri tahu saat ia pulang
nanti bahwa kita telah menyelesaikan misteri ini tanpanya!"
Bob tersenyum lebar. "Wah, aku tidak sa bar untuk melihat wajahnya! Ia pasti
akan sangat terkejut ketika kita beri tahu bahwa kita telah mengetahui bahwa
Keluarga Fitchhorn-lah yang selama ini mendahului kita!"
"Waduh," kata Pete, menggelen
gkan kepala dengan ragu, "jika merekalah yang
ada di balik semua ini, siapa yang berp eran sebagai hantu" Lelaki itu terlalu
besar dan yang wanita terlalu kecil. Kecuali ... kecuali kalau hantu itu memang
benar-benar ada!" "Kurasa kau tahu pasti apa yang akan dikatakan Jupe mengenai hal itu, Dua!"
Bob tertawa. Sementara menunggu kedatangan Jupiter, Pete turun ke lantai dasar beberapa
kali untuk mengecek keadaan Patricia dan memastikan wanita itu tidak
diganggu oleh Keluarga Fitchhorn. Kedua anak itu membanggakan keberhasilan
mereka hingga pukul lima ketika mereka turun untuk makan malam. Bob
menyatakan bahwa ia masih merasa kurang enak badan dan akan membawa
makanannya kembali ke kamar. Pete, yang ingin mengawasi Keluarga Fitchhorn
yang licik, memutuskan untuk berada di dekat Patricia selama sisa malam itu.
Guruh mengguncang rumah besar itu dan awan badai muncul bergulung-gulung
ketika hari mulai gelap. Pete dan Pa tricia sedang duduk di depan pesawat
televisi di ruang keluarga ketika lampu berkedip-kedip.
"Kuharap anak-anak itu pulang segera," wanita itu berkata dengan suara cemas.
"Aku tidak suka mereka bermobil di tengah hujan. Ben sangat bertanggung
jawab namun kecelakaan bisa saja terjadi."
"Jangan khawatir," kata Pete menenangkan. "Mereka Ben dan Jupe, mereka
akan baik-baik saja."
Patricia tersenyum ke arah Pete sementara hujan mulai tercurah, menghantam
kaca-kaca jendela yang tinggi. Pete baru saja hendak melemparkan sebatang


Trio Detektif Misteri Warisan Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi balok kayu ke perapian ketika ia berhenti mendadak ... bulu kuduknya
berdiri tegak. Sebuah jeritan yang panjang dan melengking membelah malam!
BAB XIV MENUJU KEDUTAAN BESAR Ketika Ben dan Jupiter meninggalkan Puri Hitchcock dengan mobil Silver Cloud
Ben, remaja yang lebih tua itu berasumsi mereka benar-benar akan melihat-lihat pemandangan. Jupe dengan cepat menggeleng dan mulai mencari-cari
peta di tempat menyimpan barang.
"Kusangka kau telah menyerah terhadap kasus itu," kata Ben.
Jupiter menyeringai ke arah pemuda ja ngkung itu sementara ia membuka peta
London. "Sama sekali tidak!"
Ben nampak bingung. "Kalau kita tidak akan melihat-lihat Gedung Parlemen,
lalu ke mana kita pergi""
Penyelidik gempal itu mengacungkan kameranya. "Pertama-tama kita harus
mencuci cetak film di dalam kamera ini. Lalu kita pergi ke Kedutaan Besar
Amerika," katanya, "dan secepat-cepatnya tanpa melanggar peraturan!"
Dengan Jupiter berperan sebagai penunjuk jalan, Ben dengan ahli
mengemudikan mobil lincah itu melalui jalan-jalan London yang sibuk. Satu
jam setelah meninggalkan rumah Ben menghentikan Silver Cloud itu di depan
bangunan besar berwarna putih, Kedutaan Besar Amerika. Jupiter melihat
sebuah toko kecil di seberang jalan dengan tanda "Foto Satu Jam."
"Ada toko foto di seberang jalan. Temui aku di sana setelah kau memarkir
mobil!" Sementara Ben mencari tempat parkir, Jupiter berlari menyeberangi
jalan London yang ramai menuju ke toko kecil itu. Ternyata mereka hanya
perlu menunggu selama sekitar empat puluh lima menit sebelum foto-foto
besar berukuran 20 kali 25 cm itu siap. Jupiter memasukkannya ke dalam
sebuah amplop besar dan kedua anak itu bergegas keluar.
Pilar-pilar raksasa dan bendera Amerika berukuran besar menandai jalan masuk
ke gedung kedutaan yang mengagumkan itu. "Mari," kata Jupe, "kita tidak boleh
membuang-buang waktu!" Remaja berbadan besar itu berlari menaiki tangga
menuju pintu masuk. Ben berada tepat di belakangnya.
Ketika kedua anak itu sampai di pintu depan, mereka dihentikan oleh seorang
petugas bersenjata yang meminta mereka menunjukkan paspor. Jupiter, yang
pernah pergi ke luar negeri sebelumnya, sudah mengantisipasi hal ini dan
menyiapkan paspornya. Ia mengeluarkan buku kecil birunya dan
menunjukkannya kepada sang penjaga. Kemudian ia menjelaskan bahwa Ben
adalah warganegara Inggris. Ben diminta menunjukkan SIM-nya untuk
membuktikan. Ketika kedua remaja itu diperbolehkan masuk, mereka harus
mengulangi proses yang sama dengan paspor Jupiter lagi di meja penerima
tamu. Kemudian mereka diminta berjalan melalui semacam ambang pintu yang
aneh, yang berbunyi dan berdengung sementara m
ereka lewat. "Tolong keluarkan semua benda logam dari saku kalian," kata seorang wanita
berwajah tegas yang mengenakan seragam militer. "Juga arloji dan perhiasan."
Kedua anak itu melakukan yang disuruh dan mereka akhirnya diperbolehkan
masuk. Sementara mereka mengenakan ke mbali arloji di pergelangan tangan
masing-masing, Ben menggeleng bingung. Ia harus mengakui bahwa ia sama
sekali tidak tahu apa-apa.
"Aku yakin kau punya rencana, Jupiter," katanya, "namun aku sama sekali tidak
punya gambaran mengenainya!"
"Tidak ada waktu untuk menjelaskan," ka ta detektif tembam itu, "kita harus
mencari delegasi Amerika Serikat yang dapat menolong kita!"
Mereka memandang berkeliling ruangan kedutaan yang besar dan berdinding
Pendekar Aneh Naga Langit 11 Hafalan Shalat Delisa Karya Tere Liye Sepasang Garuda Putih 10
^