Senja Jatuh Di Pajajaran 10
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka Bagian 10
bodoh dan tolol. Sengaja aku tak bilang agar kau tetap
leluasa melakukan penyelidikan?" kata Seta di tengah
erang kesakitan. "Engkau amat setia pada Suji Angkara, tetapi mengapa
kau akan dibunuh mereka?" tanya Ginggi heran.
Dengan susah-payah karena menahan rasa sakit, Seta
menjelaskan bahwa sesudah mendapatkan penjelasan dari
Ginggi, di lorong benteng, Seta mulai sadar bahwa dia telah
salah memilih majikan. Penjelasan Ginggi perihal tindak-
tanduk Suji Angkara yang buruk sebenarnya merupakan
berita yang kesekian kalinya yang didengar Seta. Jauh
sebelumnya ketika bertugas mengirim seba, Ki Banen pun
sudah mensinyalir bahwa Suji Angkara amat misterius.
Ketika tiba di Pakuan, Ki Banen malah mengajak semua
orang agar meninggalkan Pakuan dan tidak mengabdi pada
Suji Angkara. Tapi Seta dan Madi tak mau percaya dengan
ucapan orang tua itu, sebab Suji Angkara dianggap berjasa
telah memberinya pekerjaan yang dianggap Seta cukup
terhormat. Kemarahan Seta memuncak ketika Ginggi mengabarkan
bahwa yang menculik Nyi Santimi, calon istrinya adalah
Suji Angkara. Seta juga marah ketika diberitahu bahwa obat
untuk Ki Banen dari Suji Angkara yang diserahkan melalui
dirinya adalah ramuan berbahaya untuk Ki Banen. Seta
juga marah setelah tahu yang melukai Ki Banen sampai
luka parah adalah juga Suji Angkara. Atas macam-macam
bukti kejahatan Suji Angkara yang sebelumnya dia kagumi,
maka Seta berbalik menjadi benci. Benci mendengar jenis
kejahatan pemuda itu dan juga dendam karena Suji
Angkara pernah menculik Nyi Santimi. Untuk
melampiaskan kemarahannya, Seta mengajak Madi ke
rumah Ki Banen dan ki Ogel. Ketika dikhabarkan peristiwa
ini, semua orang tergerak hatinya dan sama-sama
membenci Suji Angkara. Kemarahan tak bisa dibendung sehingga akhirnya secara
sembrono mereka berempat mencoba menyerang puri dan
berniat membunuh Suji Angkara.
"Tapi " ya, kami sembrono. Suji Angkara orang pandai.
Begitu pun anak buahnya. Kami jadi bulan-
bulanan"semua temanku tewas!" kata Seta mengeluh
menahan tangis. "Kau maksudkan tiga orang yang bergeletakan itu adalah
Madi, Ki Banen dan Ki Ogel?" Ginggi bertanya setengah
berteriak. "Ya " mereka tewas " mereka tewas. Oh " mereka
tewas," Seta mengeluh panjang-pendek dan di antara deru
napasnya dia menangis sesenggukan.
"Kalian memang sembrono. Kepandaiana kalian belum
cukup untuk melawan Suji Angkara begitu saja?" gumam
Ginggi penuh sesal. Dia amat sedih mendengar ketiga orang
itu tewas mengenaskan. Ya, bahkan dia pun melihat dengan
mata-kepala sendiri, betapa ketiga orang itu malang-
melintang dengan tubuh penuh luka. Ginggi sedih. Apa pun
yang pernah dilakukan mereka terhadapnya tapi sebetulnya
mereka orang-orang baik."
"Kalian sembrono dan membuang nyawa sia-sia?"
keluh Ginggi penuh sesal.
"Maafkan aku, Ginggi?" gumam Seta lemah.
"Memang engkau salah, Seta. Karena sembrono kau jadi
celaka seperti ini?" kata Ginggi mengeluh lagi.
"Bukan itu " Aku minta maaf karena aku berdosa
padamu. Selama ini aku selalu menghinamu, selalu
merendahkanmu. Padahal diriku tidak seujung kukumu.
Aku sombong "aku dungu " Oh, aku benci diriku?" Seta
kembali menangis sambil menahan rasa sakitnya.
Mendengar ucapan Seta yang dilakukan sepenuh jiwa,
Ginggi jadi terkejut. Tidak! Siapa yang sebenarnya berdosa"
(O-anikz-O) Jilid 18 "Seta " Akulah yang banyak dosa. Aku bersalah
padamu. Akulah yang harus minta maaf?" kata Ginggi
akhirnya. Teringat kembali kelakuan penuh aib antara
dirinya dan Nyi santimi, padahal dia tahu, Nyi Santimi
adalah calon istri Seta. Dia berdosa besar, padahal Seta laki-
laki baik. Paling tidak pemuda yang dikenal angkuh ini
setidaknya masih punya nilai kesetiaan. Terbukti berkali-
kali dia digoda wanita, Seta tetap teguh pendiriannya
karena cintanya hanya untuk Nyi Santimi. Seta ini punya
nilai. Dan nilai sebaik ini malah dikotori oleh
tindakan-tindakan Ginggi yang berani mengganggu
keutuhan Nyi Santimi. Jadi siapa yang sebetulnya berdosa"
"Seta jangan minta maaf padaku. Bahkan kau yang harus
hukum aku?" kata Ginggi mengguncang-guncang tubuh
Seta. Seta hanya bisa membalas dengan pegangan
tangannya, lemah dan sedikit menggigil menahan sakit.
"Seta " dengarkan aku " dengarkan aku?" kata
Ginggi mendekatkan bibirnya ke telinga Seta. Dia ingin
membuat pengakuan jujur bahwa dirinya telah berlaku jahat
mengganggu kehormatan Nyi Santimi. Suji Angkara juga
jahat akan memperkosa Nyi Santimi. Tapi niat jahatnya tak
pernah kesampaian. Sebaliknya dirinya, tidak melakukan
perkosaan. Peristiwa di hutan kecil setahun lalu suka sama
suka. Namun tetap saja kejahatan, sebab Ginggi tak berhak
mengganggu gadis yang sudah punya calon suami. Dan
calon suaminya itu kini tergolek lemah, bahkan sedang
meminta maaf padanya. Gila! Seharusnya dirinyalah yang
meminta maaf, atau bukan minta maaf tapi minta dihukum!
"Seta!"Seta!"Dengarlah! Aku akan buat pengakuan!"
Ginggi menempelkan bibirnya di telinga Seta. Dengan
kerongkongan tersekat dan lidah sedikit kelu, Ginggi
berbicara terpatah-patah. Isinya pengakuan perihal kejadian
masa lalu di mana dosa telah diperbuat bersama Nyi
Santimi. Selesai membuat pengakuan dosa, dia bertanya pada
Seta, kalau pemuda itu ingin memperlakukan apa saja
Ginggi mau. "Bilanglah apa saja. Kalau kau suruh aku bunuh diri,
maka aku akan bunuh diri sekarang juga. Ayo bilang Seta!
Cepat bilang!" Ginggi mengguncang-guncang tubuh Seta.
Namun Ginggi baru sadar, bahwa sejak tadi mulut Seta
sudah tak bicara sepatah kata pun, tidak juga mengeluhkan
rasa sakitnya. Ginggi pun baru sadar bahwa sejak tadi, jauh
sebelum dirinya membuat pengakuan dosa, tubuh Seta
sudah tak bergerak lagi, tidak juga menggigil menahan
sakit. Seta sepertinya sudah pasrah terhadap keadaan. Apa
yang sudah ditentukan bagi dirinya, sudah dia terima
dengan penuh kesadaran. Ya, Seta pemuda angkuh tapi setia ini, kini sudah diam.
Sudah mati! Ginggi menangis di dekat mayat pemuda itu. Menangis
karena sedih, menangis karena dosa.
Tapi Ginggi tak terus-terusan larut dalam kesedihannya.
Dia harus segera pergi dari tempat itu, jangan sampai
diketahui oleh tugur sebab tentu amat menyulitkan dirinya.
Tapi tentu saja sebelum pergi dia tak boleh membiarkan
jasad Seta tergolek begitu saja di sana. Ginggi harus
menyempurnakannya sebagai penghormatan terakhir
kepada pemuda itu. Caranya bagaimana, Ginggi tidak tahu
persis. Dulu Ki Darma pernah bercerita tentang kebiasaan
nenek moyang orang Pajajaran dalam menyempurnakan
tubuh orang mati. Dahulu Kerajaan Sunda sebelum
bernama Pajajaran, Dayo atau ibukota kerajaanbeberapa
kali melakukan perpindahan antara Galuh (Ciamis) dan
Pakuan (Bogor), tergantung di mana raja yang baru diwastu
(dilantik) betah tinggal. Masyarakat di kedua wilayah
mempunyai tradisi berbeda dalam menyempurnakan orang
mati. Galuh disebut sebagai wilayah air, maka kebiasaan
menyempurnakan jasad si mati di Galuh, dengan cara
dilarung atau dihanyutkan ke sungai atau ke laut. Di
sungai-sungai besar seperti Cijulang, Ciwulan, Ciseel atau
bahkan Citanduy didapat tempat bernama panereban yaitu
tempat untuk nerebkeun atau melabuhkan jasad orang mati.
Sebaliknya tradisi di Pakuan karena wilayah pegunungan,
menyempurnakan orang mati dengan cara dikurebkeun
atau dikubur di dalam tanah. Tempat untuk ngurebkeun
disebut pasarean, Menurut kelaziman di Pakuan, orang
mati seharusnya dikurebkeun, Tapi di tengah malam gelap-
gulita seorang diri, tak mungkin mengubur jasad Seta,
Ginggi pilih cara yang jadi tradisi orang Galuh yaitu dengan
jalan dilarung atau diterebkeun, yaitu dilabuhkan ke sungai.
Sungai yang paling dekat dari Tajur Agung adalah
Cihaliwung dan wilayah aliran sungai ini yang paling
dalam adalah Leuwi Kamala Wijaya atau dikenal juga
sebagai Leuwi Sipatahunan.
Ingat cara ini, maka Ginggi segera memondong tubuh
yang sudah mulai dingin itu ke arah timur, yaitu tepi Sungai
Cihaliwung paling dalam. Jaraknya tidak begitu jauh,
sepemakan sirih saja dia sudah sampai di sana. Ginggi
mencari akar-akaran dan sebongkah batu. Batu itu dia
ikatkan menjadi satu dengan jasad Seta, menggunakan
akar-akaran. Ginggi menunduk memberi hormat dengan
merapatkan kedua belah tangannya. Tubuh dingin itu dia
angkat dan dilemparkan ke permukan leuwi, Karena
dibebani sebuah batu, sedikit demi sedikit tubuh tak
bergerak itu mulai tenggelam. Permukaan air sedikit
berputar-putar membuat ulekan ketika tubuh itu sudah
benar-benar tenggelam. Untuk kesekian kalinya Ginggi menghormat pada tubuh
Seta yang mulai hilang ditelan airLeuwi Sipatahunan.
Ada bayangan berdiri di depan matanya, bayangan gadis
Santimi, calon istri Seta. Ingatkah gadis itu pada calon
suaminya" Gadis itu pernah mengaku tidak mencintai Seta
dan hanya memilih Ginggi saja. Tapi Ginggi tahu betul,
Seta begitu mencintai Nyi Santimi. Cintanya yang tulus dia
buktikan dengan kesetiaan. Seta sepengetahuan Ginggi
tidak pernah tergoda oleh gadis lain. Dia mengikuti Suji
Angkara karena ingin dapat pekerjaan yang terbaik untuk
diabdikan pada Nyi Santimi.
Selesai nerebkeun jasad Seta, Ginggi segera memakai
bajunya lagi, juga membelitkan ikat kepalanya lagi. Sesudah
itu dia meninggalkan tempat itu untuk kembali "pulang" ke
puri Bagus Seta di mana dia "bekerja".
Namun di tengah jalan hampir dekat ke lorong jalan
menuju benteng puri Bangsawan Bagus Seta, berpapasan
dengan serombongan jagabaya berbekal obor dan senjata
tajam. Di belakangnya ada dua orang penuggang kuda.
Penunggang itu adalah Suji Angkara dan ayah tirinya
Bangsawan Bagus Seta. Rombongan berhenti ketika berpapasan dengan Ginggi.
"Engkau dari mana saja anak dungu?" teriak Bangsawan
Bagus Seta setengah geram.
"Bukankah saya disuruh mengantarkan surat untuk
Juragan Yogascitra, Juragan?" kata Ginggi gagap untuk
menjelaskan bahwa dirinya takut atas kemarahan ini.
"Ya, aku tahu. Tapi itu kan tadi. Seharusnya kau pulang
sejak tadi ?" kata lagi Bangsawan Bagus Seta menyelidik.
"Di puri Bangsawan Yogascitra banyak tamu, sehingga
surat baru saya serahkan sesudah tamu selesai dengan
urusannya," kata Ginggi mencari alasan.
"Tapi surat itu bisa kau titipkan saja pada jagabaya, tak
perlu kau tunggui berlama-lama seperti itu, tolol!" teriak
Bangsawan Bagus Seta lagi.
"Saya takut surat itu tidak sampai ?" kata Ginggi
menundukkan kepala. Bangsawan Bagus Seta hanya
mendengus. "Maafkan saya merepotkan kalian sehingga jagabaya
dikerahkan mencari saya ?" gumam Ginggi. Terdengar
tawa kecil di sana sini. Suji Angkara yang sejak tadi diam
pun ikut tertawa. "Orang sedungu kau untuk apa susah-susah dicari?" kata
Suji Angkara dengan tawa penuh ejekan.
"Mari "!" kata Bangsawan Bagus Seta mengajak
rombongan berjalan lagi. "Kita bagi dua lagi, Ayahanda. Saya akan balik lagi ke
arah barat sampai tepi Cipakancilan," kata Suji Angkara
menahan gerakan kudanya. Bangsawan Bagus Seta menyetujui sehingga rombongan
jagabaya dibagi dua. Yang ikut Suji Angkara ada kira-kira
tujuh orang jagabaya. "Kalian jalan duluan aku ada perlu dengan badega bodoh
ini!" kata Suji Angkara.
Ke tujuh jagabaya bersenjata lengkap segera pergi
meninggalkan tempat itu, bergerak ke arah barat.
Tinggallah kini Suji Angkara dan Ginggi.
"Ada kejadian apakah, Raden?" Ginggi pura-pura tak
tahu sambil mata memandang serombongan jagabaya yang
mulai menjauh. Suji Angkara tidak menjawab, melainkan menyepak
punggung Ginggi dengan ujung kaki kanannya yang
berterompah lancip. Ginggi terkejut dan langsung pura-pura
terjerembab ke depan. "Eh, ada apakah, Raden?" kata Ginggi. Sebetulnya
benar-benar heran dan khawatir. Khawatir kedoknya
terbuka. "Setan alas kau!" teriak Suji Angkara gemas. Pemuda itu
turun dari kudanya dan menjambak pakaian Ginggi.
"Ada " Ada apakah, Raden?" Ginggi sudah siap dengan
pengerahan tenaga di sepasang tangannya kalau-kalau
pemuda itu melakukan tindakan berbahaya bagi
keselamatan jiwanya. Namun Suji Angkara hanya
mengguncang-guncang tubuh Ginggi.
Selintas Ginggi melihat, pemuda itu tengah terguncang
jiwanya. Jidatnya yang bengkak karena tonjokannya tadi
nampak nyata membiru. "Sudah sebulan kau kukirim ke puri ayah tiriku, tapi
kutunggu-tunggu kau malah enak-enakan di sana. Apakah
kau sudah lupa tugasmu bangsat cilik?" kata Suji Angkara
geram. "Saya tidak lupa dengan tugas yang diberikan olehmu,
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Raden. Selama ini saya tetap memata-matai puri itu ?"
kata Ginggi mencoba melepaskan jambakan pemuda itu.
"Ya, tapi kau tidak pernah melapor padaku, tolol!" kata
lagi Suji Angkara. "Bukankah Raden pernah katakan, saya boleh melapor
kalau ada hal-hal penting saja?" tanya Ginggi.
"Memang begitu! Tapi kenapa kau tak melapor?" tanya
Suji Angkara lagi menyebalkan.
"Habis selama ini saya tak menemukan hal-hal penting di
sana ?" ujar Ginggi menghelanapas seperti kecewa.
"Sedikit pun?" "Sedikit pun!" "Kau tidak pernah lihat Ki Banaspati memasuki puri
Ayahandaku dan mengobrolkan sesuatu di sana?"
"Tidak!" "Tidak ada berita apa pun?"
"Ada!" "Soal apa?" "Bahwa Nyimas Layang Kingkin harus dinikahkan
dengan Sang Prabu dan engkau harus meminang Nyimas
Banyak Inten!" jawab Ginggi.
"Kalau itu aku sudah tahu, tolol, sebab ayah tiriku pasti
bilang padaku!" potong Suji Angkara gemas.
"Kalau begitu tak ada lagi," kata Ginggi seperti menyesal
atas ketidak-berhasilan tugasnya.
"Dasar kau tolol!?"
"Bukan saya tolol, tapi kalau sesuatu yang harus saya
intip tak ada, ya mau apa lagi?" kata Ginggi mengajukan
alasan. Plak! Pipi Ginggi dihadiahi tamparan. Ingin Ginggi balik
menampar kalau saja dia tak ingat dirinya hanyalah seorang
badega "bawahan" pemuda jahat itu.
"Lantas bagaimana selanjutnya, Raden?"
"Kau kembali saja ke puri ayahku dan lanjutkan tugas-
tugas yang aku bebankan padamu. Tapi awas " kalau kau
berani mengkhianatiku, nyawamu lepas dari badanmu. Tak
ada orang yang bisa hidup karena mengkhianatiku,
mengerti?" "Mengerti, Raden ?"
"Ya, cepat pergi!" Ginggi meninggalkan tempat itu
dengan perasaan gemas sekaligus sedih. Sedih karena dia
bisa menduga, ketiga orang yang tergeletak di puri Suji
Angkara yaitu Madi, Ki Ogel dan Ki Banen sudah
dipastikan tewas. Bila menurutkan hawa nafsu, ingin dia
pukul roboh Suji Angkara di tempat sunyi tadi sebab tak
akan ada orang tahu. Tapi membunuh pemuda itu hanya
tindakan potong kompas dan tidak akan menguakkan
kejahatannya. Ginggi hanya ingin buktikan bahwa semua
orang tahu bahwa Suji Angkara orang jahat. Soal siapa
kelak yang akan menghukumnya, di Pakuan pasti ada
lembaga untuk mengurus urusan seperti itu.
Ginggi pulang ke puri Bangsawan Bagus Seta dengan
perasaan tidak menentu. Dia tak bisa mengurus dan
merawat tiga jasad yang dia anggap teman-temannya, sebab
kalau pun memaksa, hanya akan mendapatkan kecurigaan
saja. Para penyerang puri Suji Angkara dengan begitu
mudahnya di tuduh penjahat sehingga dengan amat
mudahnya pula segenap jagabaya dikerahkan untuk
membunuhnya. Ginggi segera memasuki gerbang puri yang dijaga empat
orang jagabaya dan mereka tak banyak periksa ketika
Ginggi masuk ke sana. Dia tidak banyak pertanyaan perihal
kegiatan Bangsawan Bagus Seta dan Suji Angkara, sebab
dia bisa menduga, mereka tengah menguber dirinya yang
tadi melarikan tubuh luka pemuda Seta.
(O-anikz-O) Misteri Kian Terkuak Besok siangnya Ginggi merasa amat heran, sebab
peristiwa tadi malam tidak menimbulkan hal-hal yang
membuat orang tergerak untuk membicarakannya. Bahkan
cenderung Ginggi menduga bahwa tidak banyak orang yang
tahu akan peristiwa semalam. Banyak jagabaya
berseliweran di sekitar puri. Betul-betulkah banyak orang
tidak tahu ada kejadian yang Ginggi anggap amat besar itu,
ataukah " ataukah semua orang tak berani
mempercakapkannya" Ginggi tidak bisa menduga dengan
pasti. Hanya saja menjelang tengah hari, Suji Angkara nampak
dipanggil menghadap ke puri ayah tirinya. Ginggi yang
melihat dari ruangan belakang melihat wajah pemuda itu
yang nampak muram dan matanya merah seperti kurang
tidur. Ginggi ingin sekali mencuri dengar percakapan kedua
orang itu. Maka Ginggi segera membawa baki siap dengan
berbagai penganan di atasnya. Ginggi akan mengantarkan
penganan ke ruangan tengah tanpa diperintah tuannya.
Di ruangan tengah nampak bersila saling berhadapan,
Suji Angkara dan Ki Bagus Seta. Keduanya berhadapan
dengan raut-muka nampak tegang seperti ada sesuatu hal
yang dirisaukan atau dipermasalahkan.
"Kau bacalah surat tadi pagi yang dikirimkan oleh
Bangsawan Yogascitra!" kata Ki Bagus Seta menyodorkan
sebuah kotak berukir yang di dalamnya berisi satu susun
daun nipah. Nampak jidat Suji Angkara yang bengkak itu agak
mengkerut ketika matanya meneliti tulisanpalawa di daun
nipah. "Kurang ajar?" desis pemuda itu sambil menggigit bibir.
Sesudah itu dia memandang Ki Bagus Seta.
"Apa artinya ini, ayahanda" Keluarga Bangsawan
Yogacitra menolak lamaran kita?" tanya Suji Angkara
dengan suara menggigil. "Mengapa bisa begini" Bukankah
tempo hari Ayahanda yakin mereka akan menerima
pinangan kita?" tanya Suji Angkara tidak senang.
"Entah" aku juga tidak mengerti," gumam Ki Bagus
Seta mengerutkan dahi. "Barangkali ini kesalahan Ayahanda juga, mengapa
membatalkan pertunangan Dinda Kingkin dengan Banyak
Angga" Dan mengapa malah Ayahanda tawarkan adikku
pada Sang Prabu?" tanya pemuda itu penuh sesal.
"Jangan salahkan aku. Ini semua aku lakukan untukmu.
Kau akan tahu, Sang Prabu mencintai Nyimas Banyak
Inten. Karena aku sayang engkau, maka kutawarkan
adikmu pada Sang Prabu dengan harapan beliau
melepaskan kekasihmu," kata Ki Bagus Seta setengah
melamun. "Tapi nyatanya gadis itu tidak diberikan padaku. Mereka
tolak mentah-mentah lamaran kita. Padahal mereka tahu,
Nyimas Banyak Inten menyukaiku dan aku menyukai
dirinya. Mereka sengaja menolakku karena ingin membalas
sakit hati atas perlakuan Ayahanda!" kata Suji Angkara
setengah berteriak kesal.
Brak! Ki Bagus Seta menggebrak meja pendek yang ada
di sampingnya sehingga kayu-kayu meja berantakan tinggal
puing-puing. Ginggi yang melihat kejadian itu dari belakang
terkesiap melihat demonstrasi tenaga yang diperlihatkan Ki
Bagus Seta. Ginggi maklum, orang ini termasuk murid
pandai dari Ki Darma. "Bisamu hanya menyalahkan orang lain saja. Dan kini
kau salahkan aku, hah!" Ki Bagus Seta juga sama
meninggikan kata-katanya.
"Ya, karena ambisimu, kau hancurkan anakmu,
ayahanda!" kata Suji Angkara. "Kau atur agar Sang Prabu
melepaskan Nyimas Banyak Inten dan mengambil adikku
agar hubungan kekerabatan dengan Raja semakin dekat
kemudian kau semakin mudah menanamkan pengaruhmu
di istana. Dan aku, mana keuntunganku yang bisa
kudapat?" tanya Suji Angkara masih dengan suara tinggi.
"Kau berkacalah dulu agar kau tahu sejauh mana dirimu
berharga untuk orang lain!" kata Ki Bagus Seta membuat
Suji Angkara pucat wajahnya.
"Apa maksudmu, Ayahanda?"
"Sudah banyak bisik-bisik tentangmu. Kau dicurigai
bermental bejat. Aku tak percaya sebelumnya. Tapi
kejadian tadi malam membuatku berpikir lain. Penyerang-
penyerang itu semua anak-buahmu. Semua menudingmu
banyak berbuat serong. Untung mereka cepat mati dan
untung sekali mayat mereka cepat kalian buang sehingga
kaum bangsawan lain tak banyak tahu peristiwa tadi
malam" Hei, siapa itu?" Ki Bagus Seta menoleh ke
belakang ketika melihat Ginggi tergopoh-gopoh datang
mendekat membawa baki berisi penganan.
"Mau apa kau ke sini?" tanya Ki Bagus Seta mendelik.
"Penganan untuk tamu. Bukankah sudah biasa saya
harus menyiapkannya?" tanya Ginggi pura-pura baru
datang ke ruangan itu. "Jangan sembarangan masuk tanpa dipanggil. Cepat
simpan penganan itu kembali ke ruangan belakang !" kata
Ki Bagus Seta. "Tidak perlu, pergi saja kamu!" bentak Ki Bagus Seta.
Ginggi cepat-cepat meninggalkan tempat itu tapi di
lorong pintu segera menyelinap di balik gorden tinggi.
Ginggi sembunyi di balik gorden dan membungkus
tubuhnya dengan lembaran kain lebar itu.
"Coba katakan, benarkah engkau selama ini selalu
berbuat tidak senonoh terhadap kaum perempuan?" tanya
Ki Bagus Seta penuh selidik.
Yang ditanya sepertinya tidak bisa menjawab. Dan Ki
Bagus Seta nampaknya ingin sekali mendapatkan jawaban
gemblang dari Suji Angkara sehingga untuk kedua kalinya
terdengar mengajukan pertanyaan sama.
"Ayahanda, semua orang punya kekurangannya. Aku "
dan mungkin juga engkau!" Suji Angkara malah berkata
begitu. "Maksudmu apa?" suara Ki Bagus Seta terdengar penuh
selidik. "Aku ingin tahu, apa hubunganmu dengan Ki Banaspati
ayah!" kata Suji Angkara dengan nada suara penuh selidik
pula. Terdiam sejenak, sehingga Ginggi tak tahu apa yang
tengah mereka lakukan. "Jangan macam-macam. Aku dengan dia tidak punya
hubungan apa-apa kecuali dia bawahanku dalam
melakukan pungutan pajak negara di wilayah timur!" kata
Ki Bagus Seta. "Aku berpikir, hubungan Ayahanda dengan pejabat
misterius itu sudah lebih jauh lagi dari sekadar hubungan
atasan dan bawahan," tuding Suji Angkara.
"Mengapa kau berkata begitu?" tanya Ki Bagus Seta
suaranya terdengar sedikt bergetar.
"Ketika aku mengawal seba dari wilayah Karatuan
Talaga banyak peristiwa ganjil yang aku dapatkan. Ketika
tiba di wilayah Kandagalante Sagaraherang, aku bahkan
akan mereka bunuh. Semua telah aku laporkan padamu
ayah, tapi mana tindakanmu atas kejadian aneh itu" Biar
pun sekadar anak tiri, tapi aku anakmu. Bahkan lebih dari
itu, aku kau tugasi untuk mengawasi kelancaran tugas Ki
Banaspati. Ketika aku lapor bahwa aku akan dibunuhnya,
kau tidak melakukan tindakan apa-apa. Dari situ aku
bepikir bahwa Ayahanda punya sesuatu hubungan dengan
Ki Banaspati, entah itu hubungan apa. Yang jelas,
Ayahanda tak berniat melakukan sesuatu terhadapnya,
kendati tahu Ki Banaspati hendak melenyapkan nyawaku!"
kata Suji Angkara dengan suara cukup menggetar juga.
Sunyi beberapa saat. Dan Ginggi yang sembunyi di balik
gorden ingin sekali segera mendengar kelanjutan
pembicaraan antara ayah dan anak tiri ini.
"Ki Banaspati sebelumnya tak tahu bahwa kau
anakku?" terdengar jawaban Ki Bagus Seta.
"Itu bukan sebuah alasan," kata Suji Angkara tak puas.
"Ayahanda belum menjawab perihal sikap-sikap aneh yang
dilakukan Ayahanda. Mengapa laporan dan penemuanku
tidak ayah bahas secara sungguh-sungguh. Mengapa
laporanku mengenai kecurigaan Ki Banaspati menghimpun
kekuatan gelap termasuk membentuk pasukan yang
bertugas merampok hasil kiriman seba dari negara-negara
kecil tidak Ayahanda tangani dengan serius bahkan seperti
tak berniat melaporkannya pada Sang Prabu" Mengapa pula
semakin tinggi Ayahanda membuat kebijaksanaan
penarikan pajak tetapi semakin berkurang juga pajak yang
masuk" Itu semua tidak masuk akal. Bukan aku saja yang
bercuriga tetapi juga beberapa bangsawan istana lainnya.
Kalau ayah benar memiliki kegiatan bersama Ki Banaspati,
aku tak akan banyak ikut-campur. Tapi karena aku punya
rahasia yang bisa melemahkan kedudukanmu, maka agar
kelemahan tidak terbongkar, Ayahanda pun harus
menutupi kesalahanku pula. Dan kita berdua sama-sama
saling menutupi kelemahan masing-masing," kata Suji
Angkara. Kembali sunyi mencekam ruangan di mana mereka
berada dan Ginggi tak bisa menduganya apa yang mereka
tengah lakukan. Hanya saja Ginggi tengah menduga,
mendapat serangan gencar dari Suji Angkara, rupanya Ki
Bagus Seta agak terdesak juga. Barangkali otaknya tengah
berputar untuk menyusun kata-kata yang harus
disampaikannya pada anak tirinya yang nampak mulai
melakukan penekanan ini. "Apa yang kau inginkan dariku, Suji?" tanya Ki Bagus
Seta setelah lama berdiam diri.
"Tidak banyak. Tutupi kelakuan saya masa lampau dan
usahakan agar lamaran untuk mendapatkan Nyimas
Banyak Inten terlaksana," kata Suji Angkara.
Hening sejenak. "Saya bisa menduga, Ayahanda bersama Ki Banaspati
melakukan persekongkolan untuk memperkaya diri sendiri
dengan menggelapkan hasil seba. Silakan lanjutkan sebab
saya pun ikut menikmati hasilnya dan hidup makmur
selama berada di Pakuan. Tapi Ayahanda tetap harus
menolongku sebab kalau kegiatan Ayahanda saya
sampaikan pada Raja, Ayahanda mendapatkan
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
marabahaya besar," kata Suji Angkara setengah
mengancam. Ki Bagus Seta belum mengeluarkan jawaban ketika tiba-
tiba seorang jagabaya, mengabarkan ada tamu yang datang.
"Siapa?" tanya Ki Bagus Seta.
"Yang akan bertamu adalah Ki Banaspati, Juragan!" kata
jagabaya. Berdesir darah Ginggi mendengarnya.
Hening sejenak. Sepertinya Ki Bagus Seta belum bisa
memutuskan apakah harus ditolak ataukah diterima saja
tamu itu. "Mengapa Ayahanda ragu-ragu" Persilakan dia datang.
Biar kita sama-sama ngobrol agar pengetahuanku lebih luas
tentang dirinya," kata Suji Angkara.
"Persilakan dia masuk?" gumam Ki Bagus Seta.
Jagabaya kembali keluar ruangan dan hampir saja tubuhnya
menyinggung bagian tubuh Ginggi yang sembunyi di balik
gorden. Tidak berapa lama kemudian ada suara langkah ringan
memasuki lorong yang kelak mengarah ke ruangan tengah
puri. Ginggi menahan napas ketika Ki Banaspati lewati
gorden. "Selamat datang Ki Banaspati?" kata Ki Bagus Seta
sedikit kaku suaranya. "Selamat bertemu. Siapa ini" Oh?" jawab Ki Banaspati
agak kaget. Ginggi menduga rasa kaget Ki Banaspati karena
melihat Suji Angkara ada di ruangan itu.
Hening "Ada penting?"" suara Ki Bagus Seta.
"Ya ?" jawab Ki Banaspati.
"Tentang apa ?""
"Tapi aku tak mau ada pemuda ini di sini "!"
"Suji kau keluarlah!"
"Baik. Tapi Ayahanda harus ingat," suara Suji Angkara.
"Ya, aku ingat "!"
Ginggi dari balik gorden mendengar suara langkah
keluar dari ruangan itu. Menjauh dan akhirnya lenyap.
"Ya, sekarang katakan apa yang ingin kau katakan," kata
suara Ki Bagus Seta. "Masih ada satu orang lagi yang mendengar pembicaraan
kita, aku tak suka!"
"Siapa?" Bersamaan dengan pertanyaan KI Bagus Seta, ke arah
gorden di mana Ginggi sembunyi berhembus angin
pukulan, rasanya menimbulkan hawa panas. Ginggi
teringat, pukulan panas seperti ini pernah dia rasakan ketika
mendapat serangan dari Ki Rangga Wisesa di sebuah gua
kapur wilayah Tanjungpura enam bulan lalu.
Ginggi tak begitu heran kalau Ki Banaspati pun pandai
memainkan ilmu ini sebab baik Ki Rangga Wisesa mau pun
Ki Banaspati sama-sama satu seperguruan. Hanya Ginggi
saja yang tidak pernah mendapatkan gemblengan ilmu
seperti itu. Bukan karena Ki Darma tak mau memberinya,
akan tetapi pemuda itu sendiri yang menolaknya. Ini karena
Ginggi tetap tak suka mempelajari ilmu yang tujuannya
hanya untuk membunuh. (O-anikz-O) Tak Memihak Berarti Mati Namun kendati tidak mempelajari ilmu tenaga dalam
seperti ini, bukan berarti Ginggi tidak bisa memusnahkan
serangan seperti ini. Apalagi sesudah ilmu-ilmu yang ada
padanya kian dimatangkan oleh berbagai latihan selama
tiga bulan yang diberikan Ki Rangga Guna. Ginggi tahu
betul, bagaimana caranya menghadapi angin pukulan
seperti ini. Menurut Ki Rangga Guna, ada dua macam
tenaga dalam. Satu jenis akan melahirkan angin pukulan
berhawa panas dan satunya lagi berhawa dingin. Tidak
banyak orang-orang Pajajaran yang mempelajari ilmu
semacam ini, sebab hanya orang-orang yang sudah
memiliki kekuatan jiwa dan pandai mempergunakan hawa
murni saja yang sanggup memilikinya.
Hawa pukulan panas bisa dianggap tenaga kasar,
sebaliknya hawa dingin disebut tenaga halus. Kasar bisa
dilawan dengan kasar dan halus dilawan dengan halus.
Tapi bila dua kekuatan sama saling diadukan akan
mengakibatkan sesuatu yang dahsyat. Di sana akan terjadi
adu kekuatan dan akibatnya akan fatal sebab yang
tenaganya kurang sempurna akan kalah yang
mengakibatkan luka atau tewas. Ginggi tidak mau memilih
risiko seperti itu. Dia tak mau membunuh orang, tapi
dibunuh pun apalagi. Maka untuk mencari jalan tengahnya,
serbuan pukulan hawa panas yang dilontarkan Ki
Banaspati, dia jemput dengan pengerahan hawa dingin.
Pukulan hawa panas Ki Banaspati bagaikan besi panas yang
menerobos kolam air, panasnya hilang tak berbekas.
Bahkan udara yang tadi terasa panas, mendadak berubah
dingin. "Yang namanya orang pandai, tak baik sembunyi seperti
itu. Kami harap engkau berani memperlihatkan diri," kata
Ki Banaspati dan nada suaranya seperti heran.
Ginggi terpaksa keluar menampakkan diri. Langsung
menerobos kain gorden yang segera melepuh seperti debu.
Ginggi tersenyum tipis ketika kedua orang itu
menatapnya sambil membelalakkan kedua belah matanya.
Yang nampak paling terkejut melihat Ginggi adalah Ki
Bagus Seta. "Engkau ?""
Kedua orang itu secara bersamaan mengucapkan kata-
kata seperti itu. Kemudian Ki Bagus Seta memandang
heran kepada Ki Banaspati. Barangkali merasa heran bahwa
rekannya sudah mengenalnya pula.
"Engkau sudah mengenal badegaku, Banaspati?"
tanyanya. "Dia sudah menjadi pembantuku setahun yang lalu. Tapi
pemuda ini brengsek sebab tidak satu kali pun berupaya
membantuku," kata Ki Banaspati menatap tajam Ginggi.
"Sebulan lalu dia menjadi badega di sini. Aku sudah
curiga dia memiliki kepandaian. Tapi ketika aku uji dengan
menyuruh jagabaya memukulinya, dia tak melawan. Siapa
engkau sebenarnya, hei pemuda misterius?" tanya
Bangsawan Bagus Seta mulai bercuriga lagi.
"Dia murid paling akhir dari Ki Darma"!" kata Ki
Banaspati bergumam. Nampak sekali ada perubahan pada kulit wajah Ki Bagus
Seta. Ginggi nampak tak bisa menduga, apa makna
perubahan wajah itu. "Dia diutus Ki Guru agar ikut perjuangan kita. Dan dia
sebelumnya sudah setuju ikut kita. Tapi pemuda ini
memang benar dungu. Tak ada satu pun pekerjaan yang dia
lakukan untuk kita," kata Ki Banaspati.
"Tugas apa saja yang harus aku kerjakan dan sesuai
dengan amanat Ki Darma?" kata Ginggi menguji Ki
Banasapati. Ginggi yakin, orang ini tak akan bisa
menjawabnya, sebab tugas pertama yang diberikan padanya
adalah menguntit Suji Angkara dan membunuhnya.
Beranikah dia bilang bahwa aku ditugaskan membunuh Suji
Angkara, padahal pemuda itu jelas-jelas anak tiri Ki Bagus
Seta" Demikian pikir Ginggi. Tapi pemuda ini melenggak
dan begitu kagetnya ketika Ki Banaspati menjawab dengan
jawaban yang tak mungkin dia duga.
"Ya, kau brengsek sebab selama setahun ini kau tidak
melaksanakan apa yang kuperintahkan. Buktinya Suji
Angkara sampai hari ini masih segar-bugar!" kata Ki
Banaspati sedikit mendelik.
Ginggi menatap Ki Bagus Seta. Tapi untuk kedua
kalinya dia menduga salah. Ginggi berpikir Ki Bagus Seta
akan kaget atau marah ketika mendengar Ki Banaspati
menyuruh Ginggi bunuh anak tirinya. Tapi ketika Ginggi
menatap tajam pada orang tua setengah baya ini, tidak
secuil pun ada perasaan terkejut. Bahkan roman wajahnya
pun tidak menampakkan perubahan barang sedikit pun.
Aneh sekali, pikir Ginggi.
"Aku disuruh bunuh anakmu, bagaimana pendapatmu?"
tanya Ginggi melepaskan basa-basi hormat pada Ki Bagus
Seta. Rupanya orang tua setengah baya yang berpakaian
gagah ini pun merasakan perubahan sikap Ginggi. Nampak
bibirnya tersenyum pahit.
"Engkau pandai bersandiwara anak muda dan aku
tertipu oleh sikap-sikapmu yang ketolol-tololan?"` gumam
Ki Bagus Seta kembali duduk bersila di hamparan alketip
buatan negriParasi (Iran). Ki Banaspati pun duduk dan
keduanya saling berhadapan. Akhirnya Ginggi juga sama-
sama ikut duduk, agak terpisah jauh.
"Engkau memang misterius, anak muda. Kalau kau
benar-benar murid Ki Guru Darma, mengapa musti masuk
ke puriku secara main-main seperti ini?" tanya Ki Bagus
Seta akhirnya. "Masih banyak yang belum aku mengerti. Jadi aku ingin
melakukan penyelidikan secara sembunyi," kata Ginggi
tegas. "Tentang apa?" "Tentang hubungan kalian dan tentang sejauh mana
perjuangan kalian dalam menjalankan amanat Ki Darma,"
jawab Ginggi lagi menatap kedua orang itu bergantian.
"Sudah aku terangkan semuanya padamu. Engkau harus
percaya semua itu!" kata Ki Banaspati menimpali.
"Segala sesuatunya?"
Ki Banaspati terdiam sejenak. Sesudah itu dia kembali
menyahut," Ya, segala sesuatunya!"
"Coba ulangi lagi kau beberkan tujuan perjuanganmu, Ki
Banaspati!" kata Ginggi.
"Kau jangan bersuara lantang seperti itu padaku, juga
pada Ki Bagus Seta, sebab kedudukanmu di sini tidak
sama," Ki Banaspati menegur, merasa tak enak karena
Ginggi tidak menggunakan batas sopan santun.
"Kita semua seimbang sebab memiliki tugas yang sama
yang diamanatkan Ki Darma. Bahwa kalian di sini menjadi
pejabat, tak ada hubungannya denganku!" kata Ginggi
bersila tegak dan memandang tajam kepada kedua orang
yang sama duduk bersila di depannya.
Ki Bagus Seta rupanya tersinggung dengan ucapan
Ginggi ini. Dia segera beranjak hendak berdiri namun
ditahan Ki Banaspati. "Sudahlah, adat anak ini memang keras. Ki Guru
sepertinya tidak memberikan pelajaran moral kepada anak
ini," katanya menyabarkan Ki Bagus Seta, padahal dia
sendiri yang mula-mula tersinggung dengan sikap Ginggi.
"Ingin aku tahu, sejauh mana dia memilki kemampuan
?" gumam Ki Bagus Seta menahan kemarahan.
"Mungkin dia di bawah kemampuan kita dan bukan
masalah berat bila kita ingin menundukkannya. Hanya
yang jadi bahan pertimbangan, kita semua jangan berbuat
sesuatu hal yang merugikan kita, merugikan perjuangan
kita. Kita sesama murid Ki Darma Tunggara harus seia-
sekata dalam memperjuangkan amanat guru," kata Ki
Banaspati pada akhirnya. Ini sedikit melegakan sekaligus
membuat Ginggi harus berpikir. Pendirian Ki Banaspati
angin-anginan, sebentar bersikap pemarah, sebentar
kemudian seolah bersikap penuh bijaksana. Namun Ginggi
memantapkan diri untuk tidak mudah terpengaruh sikap-
sikap mereka. Ki Banaspati balik memandang pada Ginggi. "Baiklah
aku maklum, bila kebiasaan dan perangaimu begitu kepada
setiap orang. Tapi yang ingin kau pegang, tetaplah kau
gabung dengan kami!" seru Ki Banaspati.
"Banyak cara dalam menolong rakyat. Tapi cara paling
sempurna agar menghasilkan sesuatu yang besar dan berarti
adalah berupaya mengubah tatanan negara," kata Ki
Banaspati pasti. Ditatapnya Ginggi dalam-dalam seolah
memastikan bahwa tindakannya benar dan harus
dijalankan. "Bagaimana dengan engkau, Bagus Seta?" Ginggi melirik
pada Ki Bagus Seta. "Aku sejalan dengan Ki Banaspati!" katanya angkuh dan
tak mau menatap Ginggi. "Menaikkan seba secara terus-menerus dan memerangi
negara-negara kecil yang ingkar membayar pajak tinggi,
itulah upaya melaksanakan amanat guru?" tanya Ginggi
penuh selidik. "Ginggi, dengarkan aku," Ki Banaspati ikut bicara,
"Untuk menuju daratan di seberang sungai yang berair
deras, kita tidak mungkin memotong arus begitu saja.
Mungkin perjalanan harus agak melambung jauh ke hilir.
Terkadang kita sulit mengarunginya dengan berenang
begitu saja. Kita harus cari pegangan. Pegangan itu,
mungkin sesuatu yang tengah dibawa arus. Begitu pun
perjuangan kita. Melawan Raja begitu saja tidak akan
sanggup mengubah keadaan dengan mudah. Di beberapa
wilayah terjadi pemberontakan, bila dilakukan dengan kasar
hanya akan meruntuhkan cita-cita mereka saja. Cobalah
mencari celah yang sekiranya bisa kita manfaatkan untuk
menyusup. Kau harus bangga kepada Ki Bagus Seta dan
aku. Orang-orang yang sesungguhnya dikejar dan dimusuhi
karena punya keterkaitan dengan Ki Darma, tapi malah
bisa menyusup ke pusat istana dan memiliki pengaruh. Tapi
sejauh apa pengaruh kita tanamkan, tetap harus sejalan
dulu dengan keinginan penguasa. Kalau kita berbuat
kebijaksanaan yang secara serentak bertolak belakang
dengan keinginan Raja, bukan pengaruh yang kita dapatkan
tapi kehancuran!" kata Ki Banaspati panjang lebar.
"Tapi kebijaksanaan kalian malah terasa
menyengsarakan rakyat," gumam Ginggi berpangku tangan.
"Kita ini tengah berjuang membangun sesuatu yang baru
dan membongkar hal-hal lama. Yang namanya
membongkar tentu akan ada yang dirusak. Ibarat kita
menanam tanaman baru yang bebas dari hama, tentu harus
mencabuti tanaman lama yang penuh hama, terkadang
harus kita cabut seluruhnya, seluruh bagian akar juga tanah
di sekitarnya. Barangkali akan ada bangunan yang
sebetulnya baik tapi terpaksa ikut terbongkar. Barangkali
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan ada batang pohon yang masih bersih dari hama tapi
terpaksa harus ikut dicabut. Itulah pengorbanan Ginggi.
Untuk memperjuangkan suatu kebenaran, akan ada ranting-
ranting kebenaran ikut jadi korban tak ada sesuatu yang tak
wajar dari kesemuanya. Rakyat berkorban, kita berkorban,
dan semua berkorban. Kau lihatlah pengorbanan Ki Bagus
Seta. Dia berani berkorban membiarkan anak tirinya jadi
incaran pembunuhan. Suji Angkara tidak sepaham dengan
perjuangan ayahandanya. Dia masih hijau dalam urusan
kenegaraan. Satu-satunya yang harus dia junjung di
Pajajaran adalah Raja tanpa memikirkan apakah Raja
berharga buat rakyat atau tidak. Itulah sebabnya aku
mengutusmu bunuh Suji Angkara agar dia tidak jadi duri
dalam perjuangan semesta ini. Dan kau harus sanggup
berpikiran besar. Pengorbanan kita paling menyakitkan
adalah menerima tugas membunuh Ki Guru!" kata Ki
Banaspati. Kalau ada suara halilintar terdengar di siang hari bolong,
maka ucapan inilah yang lebih terasa membelah dada.
Ginggi tak terasa berdiri dari duduknya saking terkejutnya
mendengar berita yang disampaikan Ki Banaspati ini.
Matanya terbelalak dan tangannya menunjuk ke arah Ki
Banaspati. "Benarkah yang kau ucapkan ini?" desisnya pendek tapi
penuh getaran. "Betul "!" gumam Ki Banaspati.
"Kau " kau pengkhianat! Kau murid murtad!" Ginggi
berteriak dan menghambur ke arah Ki Banaspati yang
masih duduk bersila. Ki Banaspati yang tak menyangka dirinya diserang tiba-
tiba, serta merta meloncat ke samping. Tapi Ki Bagus Seta
rupanya telah menyangka jauh sebelumnya. Maka sebelum
Ginggi melancarkan pukulan, Ki Bagus Seta sudah lebih
dahulu melayangkan serangan dahsyat. Serangan itu berupa
angin pukulan yang dikerahkan sepenuh tenaga. Ginggi
merasakan, serangan tenaga dalam ini sepertinya hendak
membunuhnya. Ginggi yakin akan kemarahan Ki Bagus
Seta. Dia pejabat tinggi di Pakuan, dihormati semua
bangsawan dan ditakuti para prajurit serta jagabaya.
Sekarang dia merasa terhina dengan tindak-tanduk orang
yang semula dianggap sebagai badeganya. Betapa tak
begitu. Pertama kali datang berpura-pura menjadi badega,
merendah-rendah setengah menjilat. Dan kini, Ginggi
begitu terang-terangan menentangnya, bertindak kasar dan
tidak menghormatinya secuil pun, padahal Ki Bagus Seta
merasa bahwa dirinya adalah pejabat tinggi. Barangkali ini
penghinaan pertama baginya dan menyakitkan rasanya.
Itulah sebabnya Ginggi menduga, Ki Bagus Seta akan
melakukan tindakan balas dendam atas perasaan terhinanya
itu. Namun Ginggi tidak akan mengalah begitu saja. Dia pun
sudah lama menahan kemarahan terhadap Ki Bagus Seta.
Ki Bagus Seta memang benar murid Ki Darma. Barangkali
pun dia benar telah berjuang melaksanakan amanat Ki
Darma. Tapi pergerakan Ki Bagus Seta amat melampaui
batas amanat. Dia terlalu melambung sehingga melupakan
amanat yang paling mendasar dari Ki Darma bahwa semua
anak muridnya harus berjuang membela kepentingan
rakyat. Sekarang yang disaksikan Ginggi, Ki Bagus Seta
malah semena-mena membuat kebijaksanaan. Dalam
menarik pajak tinggi pun sebenarnya Raja hanya
mengeluarkan titah saja, sedangkan yang membuat rekaan
dan rancangan adalah Ki Bagus Seta. Semua titah Raja
yang terasa membebani rakyat semua keluar dari jalan
pikiran Ki Bagus Seta belaka. Sekarang Ginggi menyadari
baik Ki Banaspati mau pun Ki Bagus Seta sama-sama
memiliki ambisi untuk mempunyai pengaruh kuat di
Pajajaran. Ki Bagus Seta bergerak di dayo (ibukota) dan Ki
Banaspati bergerak di wilayah-wilayah kekuasaan
Pajajaran. Ginggi tak mau tahu, yang jelas, dia tak setuju
dengan gerakan keduanya. Marah, sesal, sedih dan entah apa lagi, semuanya
menggayuti pikiran Ginggi. Dan begitu serangan pukulan
hawa panas terasa begitu kuat menyerang dirinya, Ginggi
pun segera menghimpun tenaga di bagian perutnya. Inti
tenaga seperti bergulung-gulung di perut, secara serentak dia
salurkan ke tubuh bagian atas. Urat-urat darahnya
menegang dan berdenyut, mengalir keras menuju jaringan
darah di sepanjang kedua tangannya, membuat otot-ototnya
menegang keras. Dan begitu sambaran angin pukulan
berhawa panas datang menerobos, Ginggi berteriak
menggelegar seperti suara petir layaknya. Sepasang
tangannya yang sudah terisi inti tenaga dia gerakkan
mendorong dan menolak serangan terhadap tenaga Ki
Bagus Seta. Dua angin pukulan beradu keras. Karena ada
dua tekanan udara saling berbenturan maka terdengar suara
ledakan keras di ruangan disertai kilatan kepulan asap.
Ginggi terlempar ke belakang membentur meja dan
sebaliknya tubuh Ki Bagus Seta terlempar dan
punggungnya membentur daun jendela. Kayu-kayu jendela
berantakan dan tubuh Ki Bagus seta menerobos ke luar.
Ginggi segera bangun sambil menyeka darah yang
sempat menetes ke luar dari mulutnya. Dia harus
memapaki lagi satu serangan baru yang datang dari gerakan
dorongan Ki Banaspati. Orang ini mengulangi serangannya
yang tadi pernah ditepis Ginggi dengan jalan
memunahkannya dengan angin pukulan dingin.
Kedua orang ini berdiri dengan kaki terpentang lebar dan
saling mendorongkan kedua belah tangan dengan telapak
tangan terbuka lebar. Blaaar! Kembali dengan kilatan sinar
disertai kepulan asap tebal.
Untuk kedua kalinya tubuh Ginggi terlontar ke belakang.
Namun tubuh Ki Banaspati pun sama terlontar dan
punggungnya membentur dinding kayu jati. Dinding
bergetar hebat dan ada bagian-bagian kayunya yang pecah-
pecah. Tubuh Ki Banaspati menggeliat-geliat sebentar,
rupanya merasa kesakitan karena benturan tubuhnya
barusan. Namun hanya sebentar dia sudah berdiri lagi. Kali
ini langsung meloncat hendak memukul Ginggi yang masih
terlentang. Ginggi sadar akan adanya serangan ini. Tapi matanya
masih berkunang-kunang dan dadanya serasa akan pecah.
Dengan susah payah dia bergerak untuk berdiri. Namun
serangan pukulan telapak tangan miring dari Ki Banaspati
sudah mencoba mencecar pelipis kirinya. Ginggi mencoba
miringkan kepala ke kanan sedikit menunduk. Pukulan
telapak tangan miring gagal menerobos sasaran tapi
serangan itu seperti dilanjutkan menyusul ke kanan dan
Ginggi kian miringkan kepalanya ke kanan. Sementara
tangan kirinya mencoba membantu badannya untuk berdiri
dan tangan kanannya coba untuk dilayangkan ke kiri. Tidak
berbentuk kepalan, melainkan dua jari tengah dan telunjuk
digabung membentuk capit gunting untuk digunakan
menotok kerongkongan Ki Banaspati.
Rupanya Ki Banaspati sadar, serangan ini bila mengenai
sasaran akan membuat bahaya besar. Kerongkongannya
akan kaku tersumbat, atau sama sekali tertusuk dua jari
bertenaga kuat itu. Maka satu-satunya jalan untuk
menghindarinya adalah dengan jalan menarik tubuh ke
belakang. Namun layangan tangan kanan ke arah kiri ini
bisa terus nyelonong mengikuti gerakan mundur leher Ki
Banaspati. Untuk memunahkan serangan ini, Ki Banaspati
merebahkan tubuhnya, bersalto ke belakang sambil
melakukan tendangan dahsyat.
Ginggi pun bersalto ke belakang dan tendangan Ki
Banaspati bisa dia hindarkan.
Sekarang keduanya sudah sama-sama berdiri dan saling
pandang dan saling berhadapan. Sepasang mata sama-sama
saling mecorong untuk untuk mecoba mengintip kelemahan
lawan. Sambil mata tetap mencorong ke depan Ginggi memutar
otak mencari gerakan-gerakan baru yang tidak dikenal Ki
Banaspati. Sebab percuma saja menggunakan jurus-jurus
pemberian Ki Darma dalam melawan Ki Banaspati. Jurus-
jurus apa pun yang diberikan Ki Darma padanya, sudah tak
akan berarti bila digunakan melawan teman seperguruan.
Ginggi teringat pelajaran-pelajaran yang diberikan Ki
Rangga Guna beberapa bulan lalu. Ki Rangga Guna banyak
memberikan ilmu-ilmu baru. Kata orang tua itu, itu adalah
ilmu kedigjayaan yang didapatnya dari perantaun. Bukan
ilmu Pajajaran dan tidak dikenal di wilayah Pajajaran.
Kalau ilmu-ilmu itu dia praktekkan, benarkah Ki Banaspati
tidak mengenalnya" Berpikir sampai di situ, Ginggi segera memasang kuda-
kuda. Dia mencoba berdiri dengan sebelah kaki kiri saja,
berjingkat sehingga hanya ujung jempolnya saja yang
menapak di lantai kayu. Sedangkan kaki kanan berjungkat
setinggi lutut kiri. Kedua tangan berkembang lebar ke
samping seperti burung garuda membuat kelepak sayap.
Ginggi melihat Ki Banaspati mengerutkan alisnya,
sepertinya dia tengah menyelidik gerakan apakah itu. Atau
barangkali juga dia tengah menerka, bagaimana kelanjutan
gerakan asing ini. Ginggi tetap berdiri kukuh dengan ujung jempol kaki
kirinya. Begitu pun sepasang tangannya masih membentuk
sayap burung garuda. Ki Banaspati bergerak satu langkah
ke depan tapi Ginggi masih bersikap diam.
Namun sebelum Ki Banaspati bergerak melakukan
penyerangan, dari luar masuk segerombolan jagabaya
dengan berbagai senjata di tangan, di belakangnya
mengikuti Ki Bagus Seta. Para jagabaya berteriak-teriak menyuruh Ginggi
menyerah. Tiga orang di antaranya Ginggi hafal sebagai
jagabaya yang melakukan penyiksaan pada dirinya tempo
hari. Mereka kini bahkan paling berani menerobos masuk
dan secara gegabah melakukan penyerangan dengan tangan
kosong. "Huh! Dasar monyet dungu, dia tidak kapok kita
gebuki," kata seorang bertubuh kekar bercambang bauk
menakutkan. Dia menghambur melayangkan pukulan. Tapi
Ginggi sudah tidak berpura-pura seperti tempo hari. Begitu
Si Cambang Bauk menghambur melayangkan pukulan
dengan tangan berotot gempal dan kuat tapi pukulannya
lamban dan lemah ini, maka dengan amat mudahnya
pergelangan tangannya dia tangkap. Si Cambang Bauk
berteriak kesakitan karena pegangan tangan yang dilakukan
Ginggi disertai pengerahan tenaga. Si Cambang Bauk
berusaha melepaskan tangannya, tapi tak bisa. Tangan kiri
jagabaya tinggi besar ini segera melayangkan pukulan
tangan kirinya tapi ditangkis Ginggi. Akibatnya orang ini
menjerit ngeri karena tangannya beradu dengan tangan
Ginggi. Melihat temannya tak berdaya, tiga orang mencoba
membantu. Ginggi hafal, inilah kedua temannya yang
pernah menyiksa dirinya. Maka ingat ini, serta-merta
Ginggi memelintir tangan Si Cambang Bauk ke belakang
sehingga menjerit-jerit ngeri. Begitu badannya membalik,
Ginggi segera mendorong Si Cambang Bauk sekeras
mungkin. Tubuh besar itu menubruk dua temannya
sehingga jatuh bertubrukan dan saling tindih sesamanya.
Yang lain ikut menyerang tapi hanya jadi santapan
tangan Ginggi yang menggunakan pengerahan inti tenaga.
Sebentar saja semuanya sudah berpelanting ke segala arah.
Yang seorang malah hampir menubruk tubuh Ki Bagus Seta
yang mengeluarkan sumpah-serapah karena kemarahan
yang sangat. "Berhentilah, tak baik sesama teman seperguruan saling
bunuh!" teriak Ki Banaspati memperingatkan.
"Tidak akan saling bunuh, sebab aku yang akan bunuh
kalian. Kalian berdosa besar terhadap Ki Darma!" teriak
Ginggi sedikit terisak karena kesal dan sedih.
"Rangga Wisesa yang bersalah. Dia melaporkan Ki
Darma pada Seribu Perwira Pengawal Raja. Akibatnya,
Sang Prabu juga mengetahui di mana Ki Guru
bersembunyi. Beliau memerintahkan kami untuk mengejar
ke Puncak Cakrabuana. Tapi pelaksanaan penyerbuan aku
tak ikut. Yang bergerak ke sana adalah sesepuh perwira
kerajaan kendati semua itu adalah perintah Ki Bagus Seta!"
kata Ki Banaspati menoleh.
Ginggi juga ikut menoleh pada Ki Bagus Seta. Orang ini
tidak menampakkan perubahan mimik wajah. Ginggi
marah sekali melihat perilaku mereka. Ingin dia menerjang
kedua orang itu bila mengingat pengkhianatan keduanya
terhadap Ki Darma. Tapi sementara itu para jagabaya saling pandang
sesamanya, kemudian juga menatap Ki Bagus Seta dan Ki
Banaspati bergantian. "Juragan " Juragan Ki Bagus Seta adalah murid
pemberontak Ki Darma?" gumam jagabaya bercambang-
bauk sambil mulut masih menyeringai kesakitan karena
tangannya dipilin Ginggi.
"Juragan Bagus Seta murid pemberontak?" gumaman ini
terdengar di sana-sini. "Ya, benar " aku murid Ki Darma!" desis Ki Bagus
Seta. Dan belum habis ucapannya, dia meloncat ke sana-
kemari melakukan pukulan-pukulan telak terhadap para
jagabaya yang jumlahnya mencapai belasan orang.
Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan dalam waktu
singkat para jagabaya yang sebetulnya anak buahnya sendiri
terlontar kesana-kemari. Semuanya mendapatkan pukulan-
pukulan telak yang mematikan karena selain dilakukan
dengan pengerahan tenaga, juga mengarah pada bagian-
bagian yang membahayakan nyawa.
Ki Bagus Seta berdiri tegak di tengah ruangan, dikelilingi
oleh tubuh-tubuh bergeletakan tak berdaya. Ginggi kaget
sekali menyaksikan tindakan Ki Bagus Seta yang ganas tak
berperikemanusiaan ini. "Engkau membunuhi anak buahmu sendiri?" tanya
Ginggi dengan suara gemetar saking heran dan terkejutnya.
Ki Bagus Seta tidak menjawab sepatah pun. Sepasang
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
matanya mencorong entah ke mana dan wajahnya nampak
pucat. "Itulah salah satu pengorbanan dalam perjuangan," Ki
Banaspati yang berkata. "Mengapa pengorbanan perjuangan seganas ini" Mereka
adalah orang-orang tak berdosa dan tak tahu menahu!" kata
Ginggi menoleh Ki Banaspati.
"Ya, betapa pedihnya kita berkorban. Kita harus
membunuh orang yang tak berdosa, membunuh orang yang
tidak tahu menahu persoalan kita, sebab kalau kita tak
melakukan hal seperti tadi, kitalah yang akan menemui
bahaya," kata Ki Banaspati lagi. "Tadi kau saksikan sendiri,
sesudah mereka tahu juragannya adalah murid Ki Darma,
serentak mereka memandang penuh curiga, padahal jauh
sebelumnya, mereka hormat dan sopan pada Ki Bagus Seta.
Ya, Ki Darma dikejar dan diburu serta dibenci orang
Pakuan. semua orang yang punya kaitan dengan Ki Darma
juga harus dibenci dan diburu. Betapa pahitnya nasib kita.
Dan betapa beratnya pengorbanan kita. Agar perjuangan
kita lancar, kita harus menutup rahasia itu rapat-rapat siapa
diri kita. Dan agar rahasia itu tetap rapat, kita harus berlaku
seolah-olah kita berdiri di fihak musuh. Jangan kau
salahkan kebijaksanaan Ki Bagus Seta dalam menurunkan
perintah agar Ki Darma diburu, sebab bila tidak begitu, Ki
Bagus Seta akan dicurigai dan perjuangan akan gagal!" kata
Ki Banaspati memberikan penjelasan. Namun penjelasan
ini tetap tak dimengerti Ginggi, sebab pada pikirnya,
mengapa itu semua harus terjadi" Mengapa Ki darma harus
diburu dan mengapa yang memerintahkannya harus Ki
Bagus Seta" "Perjuangan kalian membabi-buta. Ki Darmalah yang
memberi perintah agar kalian berjuang. Tetapi mengapa Ki
Darma pula yang kalian jadikan tumbal?" tanya Ginggi tak
puas. "Ki Guru bukan butuh keselamatan nyawa, melainkan
butuh kebebasan. Ki Guru inginkan rakyat Pajajaran bebas
dari tekanan Raja. Untuk kepentingan rakyat, dia tak akan
menyembunyikan nyawanya. Semuanya akan dia abdikan!"
kata Ki Banaspati. "Sebab yang penting," lanjut Ki
Banaspati lagi, "Bukan keselamatan dirinya yang Ki Guru
pertahankan, tapi cita-citanya. Kematian Ki Guru akan
berharga bila kita menjalankan dan menyukseskan cita-
citanya," katanya. Ginggi termangu sebentar, namun akhirnya dia
menggelengkan kepalanya. "Semua tidak aku mengerti, sebab yang namanya
keberhasilan perjuangan harus kita rasakan juga. Aku tak
mau mati dalam perjuangan. Keberhasilan sebuah
perjuangan tapi sambil kehilangan nyawa, bukan
keberhasilan namanya. Dan ini berlaku juga bagi Ki
Darma. Beliau berhak hidup. Jadi kalau ada orang yang
membunuhnya, dia harus bertanggung jawab!" kata Ginggi
bertahan dengan pendapatnya.
Hening sejenak. Sementara itu di pekarangan terdengar
orang-orang saling bertanya-tanya tentang peristiwa di
ruangan tengah puri Bagus Seta.
"Tidak boleh ada perbedaan pendapat dalam
melaksanakan perjuangan. Engkau boleh pilih sendiri, ikut
kami atau mati sebagai pemberontak menurut tuduhan
orang-orang Pakuan!" kata Ki Bagus Seta sesudah
mendengar di luar mulai banyak jagabaya.
"Apa maksudmu?" tanya Ginggi menatap tajam.
"Di luar banyak jagabaya dan prajurit pilihan. Kalau kau
tak mau bergabung dengan kami, maka dengan amat
mudahnya aku tuduh kau penjahat pemberontak yang
membunuhi anak buahku. Kau akan dikepung dan para
perwira kerajaan akan kuundang untuk meringkusmu!" kata
Ki Bagus Seta mengancam. Rupanya ini bukan ancaman
omong kosong belaka, sebab Ginggi berpikir, orang ini
dengan amat mudahnya akan memutar-balikan keadaan.
Dia bisa dituduh pembunuh dan para prajurit tak akan
percaya pada Ginggi kalau dia balik menuding. Semua akan
merasa sesuatu yang mustahil bila Ki Bagus Seta
membunuhi anak buahnya sendiri.
Ginggi mengerti ini. Tapi dia tak mau didikte orang lain.
Apalagi dia sedikit pun tidak setuju dengan tindak-tanduk
kedua orang murid Ki Darma yang sepertinya
menghalalkan segala cara dalam melakukan kegiatan dan
tujuannya. Sekali lagi Ginggi tak mau menjawab ketika Ki Bagus
seta menyuruhnya untuk memilih sikap. Dan karena
merasa bahwa Ginggi sikapnya tak bergeming, maka Ki
Bagus Seta segera berteriak agar para jagabaya dan para
prajurit memasuki ruangan tengah.
"Ada kejadian apakah Juragan?" tanya para jagabaya
setelah berseru kaget karena di atas lantai bergelimpangan
belasan jagabaya lainnya tak berdaya di sana. Beberapa
orang mencoba memeriksa tubuh-tubuh bergeletakan itu.
Namun setelah tahu teman-temannya tak ada yang
bernyawa, mereka berseru kaget bercampur marah.
"Juragan " Mengapa mereka mati sedemikian rupa?"
tanya seorang jagabaya. "Tangkap orang itu! Dialah pembunuhnya!" teriak Ki
Bagus Seta menuding pada Ginggi. Tanpa menunggu
waktu, belasan jagabaya serentak menghambur menyerang
Ginggi. Ki Bagus Seta berteriak pula agar yang lain
memanggil prajurit-prajurit pilihan guna membantu
pengepungan. Ginggi merasakan bahaya mengancam pada dirinya.
Maka dia pun serentak mendahului lawan. Sepasang
tangannya dia gerakkan, berputar-putar seperti baling-
baling. Pegang dan tombak beterbangan karena lepas dari
pemegangnya. Sedangkan yang merasa tak kuat akan
benturan-benturan tangan Ginggi berteriak kesakitan.
Langkah mereka pun tertahan dan mundur satu dua tindak.
Ginggi memaklumi, para jagabaya dalam satu gebrakan
saja sudah merasa jerih kepadanya. Kesempatan ini Ginggi
gunakan untuk meloncat ke luar ruangan melalui lubang
jendela yang hancur. Namun di pekarangan sudah menghalangi belasan
prajurit. Melihat seragam jenis rompi terbuat dari beludru
hitam, rambut kepala digelung rapi ke atas serta berbekal
perisai baja dan senjata pedang, mudah diduga mereka
adalah prajurit istana yang sengaja diundang untuk
menangkapnya. Ginggi sudah mendengar kalau kepandaian mereka di
atas rata-rata dari jagabaya. Ginggi pun pernah mendengar
bahwa prajurit Pakuan sudah pandai dalam menyusun
strategi peperangan, termasuk di antaranya strategi dalam
melakukan pengepungan. Itulah sebabnya, di ruangan
terbuka ini Ginggi perlu bertindak hati-hati. Jangan sampai
kedudukan dirinya ada di tengah-tengah sebab hanya akan
membuat dirinya terkepung saja. Untuk itulah maka
pemuda ini segera meloncat-loncat menghindari kepungan.
Tapi para prajurit Pakuan bukan orang-orang sembarangan.
Melihat Ginggi meloncat-loncat kesana-kemari, kepungan
tidak diusahakan bertambah sempit, melainkan diperluas
dan diperlebar, sehingga dalam tempat selebar itu, diharap
Ginggi akan kelelahan sendiri.
Ginggi merasa kesal dengan taktik-taktik para prajurit
ini, sebab dengan demikian dirinya tetap saja berada di
tengah kepungan. Kepungan itu bisa melebar bila Ginggi
bergerak melebar, dan akan menyempit bila Ginggi tak
melakukaan gerakan apa pun. Ginggi bagaikan seekor babi
rusa yang dikepung sekelompok anjing pemburu, selalu
berada dalam kepungan kendati para pengepung tidak
melakukan serangan. Dan melihat mereka yang berputar
bahkan bersorak-sorai gegap-gempita, mengingatkan
dirinya akan keterangan Ki Darma ketika mereka
berkumpul di Puncak Cakrabuana. Prajurit Pakuan pandai
melakukan taktik-taktik pertempuran. Pakuan memiliki
duabelas taktik pertempuran yang masing-masing diberi
nama sendiri. Ginggi bisa menduga, taktik yang kini
diperagakan para prajurit-prajurit ini tentulah siasat perang
yang bernama Asu-Maliput, meniru-niru gerakan
sekelompok anjing yang mengepung buruannya.
Ginggi tidak pernah diberitahu taktik kedua belas macam
yang dimiliki prajurit Pakuan ini, sebab baik Ki Darma mau
pun Ki Rangga Guna yang pernah bercerita tentang ini,
tidak pernah merinci satu-persatu. Namun kendati begitu,
paling sedikit Ginggi kini telah menyaksikan tiga macam
taktik pertempuran kebanggaan Pajajaran ini. Dua taktik
pertempuran pernah Ginggi lihat dalam pesta Kuwerabakti,
di mana ketika itu di alun-alun benteng luar
diselenggarakan peragaan perang-perangan. Kedua taktik
pertempuran adalah gerakan Merak-Simpir melawan taktik
Bajra-Panjara. Dan kalau benar ini merupakan gerakan
Asu-Maliput, maka untuk ketiga kalinya dia mendapatkan
kesempatan menikmati taktik-taktik pertempuran yang
amat dibanggakan Pajajaran.
(O-anikz-O) Persyaratan Ginggi berdiri tegak dengan sepasang kaki terpentang
lebar. Sementara itu para prajurit jumlahnya semakin
bertambah juga karena anggota yang baru segera datang
dan mengisi formasi yang diperlukan. Kini pengepungan
semakin utuh dan sempurna. Kepungan itu pun nampak
semakin rapat padahal lingkaran masih terasa lebar.
Karena Ginggi mencoba untuk berdiri tegak, maka
kepungan mulai bergerak. Mereka berputar-putar cepat
sekali. Lingkarannya semakin lama semakin kecil.
Ginggi merasa pening melihat puluhan orang membuat
lingkaran dan berputar cepat. Kalau keadaan ini berlarut-
larut, akan melelahkan matanya dan menurunkan daya
konsentrasinya. Maka agar matanya tak lelah melihat orang
berlari dan berputar, Ginggi pun segera ikut berputar searah
putaran para pengepungnya. Tapi para prajurit sudah siap
sedia dengan perkembangan taktiknya. Lingkaran segera
dipecah menjadi dua lapis. Satu lingkaran kecil di depan
dan satu lingkaran besar di lapisan luar. Dua lingkaran
saling berputar berbeda arah.
Ginggi kagum sekaligus terkejut dengan perubahan
formasi ini. Untuk menghilangkan rasa pening karena
kepungan berputar-putar, Ginggi melibatkan diri kembali
dalam perputaran. Tapi kini ada dua lingkaran
pengepungan dengan dua arah putaran yang berbeda. Ini
membingungkan dan sekaligus memusingkan. Ginggi tak
bisa memilih, sebab pilih salah satu pun, tetap saja akan
berhadapan dengan putaran berlainan arah.
Karena matanya penat melihat formasi putaran
pengepungnya, akhirnya Ginggi memilih diam. Sepasang
kaki terpentang lebar dan kedua belah tangan bersilang di
dada. Sementara itu, belasan prajurit segera meloloskan
cangkalak (sejenis tambang). Belasan cangkalak mereka
putar-putar dan mereka lempar ke arah tubuh Ginggi. Satu
dua cangkalak Ginggi tangkap dan Ginggi tarik keras-keras
sehingga pemiliknya tersuruk ke depan. Namun cangkalak-
cangkalak yang lain datang bertubi-tubi. Dengan tepat
lingkaran cangkalak masuk melingkar di tubuhnya. Ginggi
berusaha meloloskan diri dengan mencoba memutuskan
cangkalak. Ada beberapa yang bisa dia putuskan tapi lebih
banyak lagi yang tak bisa dia lepaskan. Akhirnya Ginggi
seperti seekor lalat yang terperangkap sarang laba-laba, sulit
bergerak karena tubuhnya dipenuhi belitan cangkalak.
Kini datang barisan prajurit bersenjata panah dan siap
melepas anak-anak panah yang ujung-ujungnya terlihat
runcing dan mengkilap tajam. Ginggi menghitung pasukan
panah, jumlahnya ada sekitar duapuluh orang. Kalau
mereka melepaskan panah dalam waktu bersamaan akan
sulit mengelakkanya. Ginggi menghela napas. Barangkali
inilah akhir hayatnya. Sebuah kematian yang paling pahit
sebab dia akan mati tanpa bisa menunaikan amanat Ki
Darma barang sedikit pun. Dan lebih menyakitkan lagi,
karena kematiannya ini diakibatkan oleh tindakan murid Ki
Darma sendiri. Ginggi sudah siap untuk menerima kepahitan ini,
mengingat jalan untuk lolos sudah tertutup sama sekali.
Namun pasukan panah tidak juga melepaskan
senjatanya. Mereka hanya bersiap mementangnya saja.
Di beranda puri utama banyak orang menonton
peristiwa ini, di antaranya terdapat Nyimas Layang Kingkin
dan ibundanya. Mereka menyaksikan peristiwa ini dengan
heran dan cemas. Ginggi sekilas bertatapan dengan Nyimas
Layang Kingkin. Pemuda itu menduga, barangkali Nyimas
Layang Kingkin bertanya-tanya dalam hatinya, mengapa
seorang badega sepertinya dikepung banyak orang.
(O-anikz-O) Jilid 19 Dari arah lain datang Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati.
Mereka melihat dirinya dengan bertolak pinggang.
"Tangkap pembunuh itu hidup-hidup dan cangkalak,
Tapi kalau dia tetap melawan bunuh saja!" kata Ki Bagus
Seta. Dua tiga orang prajurit datang menjemput dan segera
mengikat kedua tangan Ginggi ke belakang kendati seluruh
tubuh pemuda itu masih dipenuhi libatan-libatan tali.
Ki Bagus Seta berbicara pada komandan agar tidak
mengabarkan dulu peristiwa ini ke istana.
"Dia hanya pembunuh kecil saja, tak perlu istana turun
tangan sendiri. Penjahat ini biar kuurus di sini!" kata Ki
Bagus Seta. Komandan pasukan mengangguk hormat. Dan sesudah
memeriksa Ginggi tak mungkin bisa melepaskan diri,
komandan menyerahkan pemuda itu pada jagabaya puri
Bagus Seta. Ginggi diseret ke sebuah bangunan di bagian belakang
puri. Pemuda itu hafal betul, sebab beberapa waktu lalu pun
pernah dibawa ke tempat itu.
Ginggi menduga, dia akan menerima siksaan lebih hebat
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketimbang penyiksaan yang pernah dialaminya tempo hari
di bangunan itu. Kalau dulu diuji saja sejauh mana dia
memiliki kepandaian berkelahi, tapi sekarang lain lagi. Ki
Bagus Seta akan benar-benar menyiksanya karena
kemarahan pada dirinya. Ginggi dibawa ke sebuah ruangan di mana di sana sudah
disiapkan sebuah kerekan. Akan dihukum gantungkah
dirinya" Di bawah kerekan juga terdapat sebuah tong besar
berisi air. Ginggi belum bisa menduga apa yang sebenarnya
akan mereka lakukan terhadap dirinya.
"Gantung kakinya di atas!" Ki Bagus Seta
memerintahkan jagabaya. Dan serta-merta kaki Ginggi
diikat menjadi satu. Sesudah itu tubuhnya dikerek ke atas.
Kini Ginggi bergantung-gantung di udara dan di bawahnya
siap menanti tong berisi air. Ginggi menduga, tubuhnya
akan dibenamkan ke dalam tong yang berisi air tersebut.
"Kalian keluarlah!" Ki Banaspati menyuruh para
jagabaya meninggalkan tempat itu. Tinggallah kini Ki
Bagus Seta dan Ki Banaspati, menyaksikan Ginggi yang
digantung terbalik. "Ini saat terakhir kau melakukan pilihan," kata Ki Bagus
Seta menatap tajam wajah Ginggi yang terbalik.
Ginggi bersyukur dalam hatinya. Perkataan ini berarti
masih memberikan celah-celah kehidupan bagi dirinya.
Ki Banaspati berkata, "Apa pun perangaimu, sebetulnya
antara kami dan kamu masih ada pertalian saudara karena
keterkaitan dengan Ki Guru. Kami masih memberikan
kesempatan bagimu untuk memilih. Mati karena
mengkhianati Ki Guru atau kau mentaati perintahnya!"
katanya sungguh-sungguh. Ginggi masih diam. Ucapan Ki Banaspati ini sepertinya
hanya memutar-balik fakta saja. Menempatkan Ginggi
sebagai pengkhianat dan menganggap diri mereka sebagai
pengemban amanat. "Kalau aku kalian sebut pengkhianat, kalian sendiri
apa?" tanya Ginggi. Dan " Tlaaarrr! Ki Bagus Seta
melayangkan ujung cemeti (cambuk), tepat mengenai
pelipis Ginggi. Pemuda itu merasakan cairan hangat
meleleh turun ke rambut kepalanya. Ginggi menduga kulit
pelipisnya luka mengalirkan darah karena ujung cemeti.
"Jelas, kaulah pengkhianat sebab kau tak mau bergabung
dengan kami. Selama ini kami berjuang menjalankan
amanat guru, sedangkan kau tidak. Lebih buruk lagi
kelakuanmu setelah menolak bahkan berani melawan dan
mengacau kami. Itulah pengkhianatan!" kata Ki Bagus Seta.
"Tapi kalian bunuh Ki Darma!" kata Ginggi.
"Engkau hanya meributkan urusan kecil sambil tak
menghiraukan urusan lebih besar lagi," kata Ki Banaspati.
"Dalam perjuangan besar, semua orang hanya merupakan
bagian-bagian kecil saja. Kita ibarat anak panah yang setiap
kali dilepas tak mungkin kembali lagi. Namun anak panah
yang hilang tak perlu kita jadikan pikiran serta tidak perlu
disesali, apalagi kalau anak panah itu mengenai sasaran
yang jitu. Begitu pun dengan nasib Ki Darma. Kematiannya
tak perlu kita sesali sebab telah berhasil mendorong
perjuangan kita. Kau harus tahu sekarang, mengapa justru
Ki Bagus Seta yang memerintahkan langsung penyerbuan
ke Puncak Cakrabuana. Ini karena kekhawatiran dan
kecurigaan kita terhadap Ki Rangga Wisesa. Dia orang
setengah gila dan dia banyak memiliki rasa sakit hati
kepada Ki Guru juga terhadap muridnya yang lain. Sudah
aku katakan tadi, Rangga Wisesalah yang telah
membocorkan di mana Ki Guru berada. Dialah
pengkhianat sebenarnya dari perjuangan kita. Ki Bagus Seta
khawatir, kalau Rangga Wisesa berani melaporkan identitas
kami sebenarnya. Bila Raja sudah tahu bahwa kami murid-
murid Ki Darma, maka kami akan ditangkap juga sehingga
pupuslah perjuangan, pupuslah amanat Ki Guru. Kami
tidak berpikiran picik sepertimu, Ginggi. Kalau hanya
meributkan nyawa seseorang, maka tidak akan berarti bila
harus merugikan perjuangan. Itulah sebabnya, untuk
menghapus anggapan bahwa kita punya kaitan dengan Ki
Guru, maka Ki Bagus Seta tampil mempelopori rencana
penyerbuan ke Cakrabuana. Apa kau anggap kami enteng
saja melakukan hal-hal seperti ini" Hati kami menangis,
sebab perjuangan ini kian berat dan terasa pahit. Namun itu
harus kami lakukan demi mencapai cita-cita yang lebih
besar!" kata Ki Banaspati dengan suara sungguh-sungguh.
Ginggi tetap diam membisu. Dan hal ini rupanya amat
membuat kesal Ki Bagus Seta.
"Sudahlah, kita tak usah merengek-rengek minta
dikasihani oleh bocah tak tahu terima kasih ini. Dia
memang bocah tak punya hati dan perasaan. Dia bocah
yang tak acuh dengan pengorbanan Ki Guru. Malu aku jadi
murid sepertimu. Menggunakan kepandaian hasil
pemberian Ki Guru tapi secuil pun tidak digunakan untuk
melaksanakan amanat si pemberi kepandaian!" kata Ki
Bagus Seta mendengus. "Ginggi, sebetulnya kami tak ingin membunuhmu.
Selain kau masih kerabat kami, juga kami menyayangkan
kepandaianmu. Kalau kau gabung akan sangat berarti bagi
perjuangan kita. Cepat kau bilang setuju, sebab kalau tidak
kau harus mati!" teriak Ki Banaspati mulai kesal.
Karena Ginggi masih diam membisu, maka Ki Bagus
Seta menurunkan kerekan. Karena kerekan turun, otomatis
tubuh Ginggi pun turun. Sedikit demi sedikit kepalanya
terbenam ke permukaan air. Dingin sampai menusuk-nusuk
tulang kepala rasanya. Ginggi menahan napas dan menutup mata. Kedudukan
tubuh terbalik bukan masalah berat bagi dia, sebab di
Puncak Cakrabuana, selama empatpuluh hari empatpuluh
malam dia berlatih tapa sungsang (bertapa di dahan pohon
dengan kepala di bawah) tanpa mengalami gangguan sedikit
pun. Tapi kepala di bawah sambil dibenamkan ke dalam
air, Ginggi belum pernah coba.
Ginggi terus menahan napas sampai dadanya
membusung, sampai detak jantungnya bertalu cepat. Kedua
orang itu seperti benar-benar hendak membunuhnya karena
kerekan tak pernah ditarik lagi. Tapi sebelum Ginggi benar-
benar tak kuat lagi, dia tak akan menyerah begitu saja.
Kematian pasti datang kepada siapa saja dan kapan saja.
Tapi kendati begitu, Ginggi harus berusaha agar kematian
tidak datang secepat itu, apalagi di saat-saat hidupnya tak
berarti. Ginggi harus melakukan upaya penyelamatan,
jangan mati sia-sia seperti ini.
Sekarang dada pemuda itu terasa sesak sebab tubuhnya
sudah menderita kekurangan udara. Ubun-ubunnya pun
terasa berputar-putar. Ada macam-macam warna melayang-
layang di kelopak matanya. Warna-warni itu indah semata,
biru, biru muda, merah, merah membara sampai coklat
kehitam-hitaman. Namun pada suatu saat semua warna
menghilang dan muncullah semua wajah-wajah orang yang
pernah dikenalnya. Mula-mula ada wajah Nyi Santimi yang
cantik dan lugu, kemudian ada wajah anggun Nyimas
Banyak Inten yang selalu mempesona bak dewi dari
kahyangan. Sesudah itu muncul orang-orang yang sudah
mati. Ki Ogel, Ki Banen, Seta dan Madi, semua muncul. Ki
Ogel dan Ki Banen melambaikan tangan dengan wajah
berseri, tapi Seta dan Madi, seperti meronta-ronta minta
tolong padanya. Dan terakhir yang muncul adalah wajah Ki
Darma. Wajah tua berkumis tebal berjanggut panjang
rambut riap-riapan tapi kulit wajahnya tetap bersinar tanpa
keriput. Ki Darma menatapnya dengan sorot penuh semangat.
Dia bahkan seperti berkata-kata mengulang pelajaran yang
pernah diajarkannya berkali-kali.
"Tidak mengapa tak punya huma asal kita punya beras.
Tidak mengapa tak punya beras asal bisa makan. Tidak
mengapa tak bisa makan asal kita bisa hidup ?"
"Bisakah kita hidup tanpa makan, Aki?"
"Mengapa tidak bisa" Hidup kita tidak saja ditemani
makanan, tapi pun ditemani empat unsur kehidupan, api-
air-udara dan tanah. Kau lihat orang bertapa, satu tahun
tanpa makan dan minum sebab dia dihidupi udara. Suatu
waktu kau akan membuktikan bahwa tapa dalam air akan
memberimu kehidupan juga!"
Air memberi kehidupan" Ginggi kembali mengingat-
ingat pelajaran Ki Darma. Bagaimana mungkin air tanpa
udara akan memberi kehidupan" Air tanpa udara" Ki
Darma pernah berkata, air dan udara selamanya akan
bersatu, sebab air tanpa udara, air itu sendiri akan lenyap
berubah bentuk menjadi menjadi semacam gas.
Ingat uraian Ki Darma, Ginggi menjadi penuh harapan,
dirinya bisa bertahan di dalam air bila sanggup menghirup
udara yang ada di dalam air itu sendiri. Tapi bagaimana
caranya" Kesalahan fatal yag dia lakukan adalah mengabaikan
keberadaan air itu sendiri. Dia secuil pun tidak
memanfaatkan air untuk membantunya mendapatkan
udara. maka teringat akan kekeliruannya ini, sedikit demi
sedikit dia menelan air tong itu. Bersamaan dengan air yang
masuk, udara pun akan sama masuk mengisi urat-urat
darahnya. Tapi udara kotor di dalam tubuhnya pun harus
segera dia keluarkan melalui hidung. Dan memasukkan
yang bersih dari air tong yang ditelannya.
Ada gelembung dan buih karena upaya-upaya ini. Dan
Ginggi kemudian menggoyang-goyangkan kepalanya agar
air bergoyang keras. Goyangan air akan menimbulkan
celah-celah di sekitarnya dan memungkinkan udara dari
luar berpeluang masuk ke wilayah tong.
Rupanya gerakan-gerakan Ginggi ditafsirkan oleh Ki
Bagus Seta dan Ki Banaspti sebagai penyerahan diri sebab
Ginggi merasa tak kuat lagi terbenam berlama-lama di
dalam air. Terdengar tali dikerek ke atas dan kepala Ginggi
mumbul lagi ke udara. Ginggi bernapas dalam-dalam
menghirup udara segar. "Bagaimana, kau siap bergabung?" tanya Ki Bagus Seta.
Ginggi hanya menarik napas dalam-dalam mengisi paru-
parunya dengan udara yang didapat secara langsung.
"Kalau aku tak gabung apakah aku harus mati?" tanya
Ginggi. "Ya, harus mati, sebab kau hanya akan menjadi duri.
Perjuangan kita adalah perjuangan besaryang penuh
rahasia. Jadi, tidak boleh ada yang tahu rahasia ini kecuali
orang-orang yangsetuju dengan perjuangan ini," kata Ki
Bagus Seta. Ginggi diam sejenak. "Sebutkan syarat-syaratnya bila
aku ikut gabung!" gumam Ginggi.
"Syaratnya kau harus taat perintah kami!?"Apa saja
perintah itu?" "Engkau punya pekerjaan berat tapi mulia!"
"Apa itu?" "Pertama bunuh Suji Angkara!"
"Pasti ada perintah yang kedua ?"
"Ya, inilah perintah dan tugas paling berat tapi mulia.
Kau bunuhlah Sang Prabu Ratu Sakti!"
"Membunuh Raja?"
(O-anikz-O) Yang Penting Jangan Mati Dulu
"Ya, tugasmu membunuh Raja!" kata Ki Bagus Seta
pendek. "Bagaimana?" Ki Banaspati bertanya tak sabar. Tapi
karena Ginggi masih tak menjawab, Ki Bagus Seta kembali
menurunkan kerekan. Otomatis tubuh Ginggi pun turun
kembali, kepalanya sebatas leher terbenam ke permukaan
air tong. Lama tak diangkat sebab Ginggi tak memberi tanda agar
dia mau bicara. Tapi beberapa lama kemudian kerekan
diangkat kembali. Untuk kedua kalinya Ki Bagus Seta
bertanya kembali, apakah dia bersedia mengemban tugas ini
atau tidak. "Selama kau belum memberikan jawaban kepalamu akan
terbenam di dalam tong. Coba kau lihat ke atas kerekan,"
kata Ki Bagus Seta menjambak kepala Ginggi sehingga
kepalanya mendongak ke atas, "Di atas kerekan ada
semacam genta. Bila kau tarik tali genta akan terdengar
nyaring dan suaranya bisa sampai ke puri di mana aku
berada. Kalau kau setuju dengan keinginanku, kau tarik tali
genta itu!" kata Ki Bagus Seta.
Ginggi selintas ada melihat, di samping kerekan ada
genta baja menggantung serta ujungnya diikat sebuah tali.
Tali itu berjarak kurang lebih satu depa dari ujung sepasang
kakinya yang diikat di tali kerekan.
"Nah, sudah kau lihat genta beserta talinya, ya. Jadi aku
tunggu suara genta itu terdengar," kata Ki Bagus Seta,
menurunkan kembali kerekan dan berlalu bersama Ki
Banaspati dari ruangan itu.
Sialan orang-orang itu, kutuk Ginggi dalam hatinya.
Benar-benar hanya dua pilihan bagi dirinya, memukul genta
atau mati. Ki Bagus Seta pandai sekali mengatur siasat.
Genta itu sebetulnya berfungsi pula sebagai alat untuk
memberitahu dirinya bila Ginggi berniat akan lari, sebab
genta hanya akan tertarik talinya bila dia mencoba
membuka ikatan di bagian kakinya. Ki Bagus Seta juga
kejam, sebab bila Ginggi berniat menarik tali genta,
otomatis harus bisa membuka ikatan di kedua tangannya.
Selama sepasang tangannya yang dipelintir dan diikat ke
belakang belum dibuka, mana mungkin dia bisa menarik
tali genta" Jadi bila Ginggi setuju dengan keinginan mereka,
sebelumnya harus berjuang dulu membuka ikatan di kedua
pergelangan tangannya. Ya, mereka benar-benar kejam. Tapi bisa juga kekejaman
ini sekaligus mereka maksudkan untuk menguji sejauh
mana Ginggi memiliki kemampuan. Bila Ginggi sanggup
menarik tali genta, itu hanya punya arti dirinya sanggup
melepaskan ikatan tangannya. Dan Ki Bagus Seta benar-
benar licik, sebab bila Ginggi sanggup membebaskan diri,
hanya punya arti bahwa dirinya setuju dengan perintah
mereka.
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara itu bagian tubuh yang terbenam di air tong
hanya sebatas leher sampai ubun-ubun saja. Ini
memungkinkan Ginggi untuk sesekali menekuk lehernya
agar kepala dan wajah bisa sedikit terangkat serta bisa
menghirup udara langsung. Di sini juga Ginggi mengerti
bahwa Ki Bagus Seta tidak berniat membunuh Ginggi
secara cepat. Kepala pemuda itu akan benar-benar terbenam
selamanya bila dia sudah begitu payah mendongak dan
menekukkan lehernya saja. Jadi selama Ginggi masih
sanggup mengangkat kepala dari permukaan maka selama
itu pula kematian tak akan menjemput. Namun tentu saja
tenaga Ginggi ada batasnya dalam upaya menekuk
lehernya. Kalau seharian dia dalam keadaan begitu, malah
bisa-bisa mati pegal. Dengan demikian, sebenarnya Ki
Bagus Seta menyodorkan satu pilihan yang sifatnya
memaksa. Kalau Ginggi ingin lolos dari kematian, akalnya
harus menyetujui keinginan mereka.
Bila Ginggi merasa pegal lehernya, dia terpaksa
membenamkan kepalanya ke dalam tong. Di dalam tong
yang penuh air itu dia berusaha menahan napasnya. Bila
sudah tak tahan, kembali mendongakkan kepala untuk
menghirup udara baru, begitu seterusnya.
Dan selama dalam keadaan tergantung, Ginggi pun terus
berpikir. Bukan mencari jalan bagaimana cara melarikan
diri, melainkan mencoba menimang-nimang kedudukan
mereka. Dia mengulang kembali perjalanan hidupnya mulai dari
turun gunung. Oleh Ki Darma Ginggi disuruh bergabung
dengan murid-muridnya, Ki Bagus Seta, Ki Banaspati, Ki
Rangga Guna dan Ki Rangga Wisesa. Ki Rangga Wisesa
sudah diketahui menyeleweng dari kebenaran. Dia menjadi
penjahat setengah gila dan berkhianat mencelakakan Ki
Darma. Ki Rangga Guna memang patut dia ikuti jejak
langkahnya. Namun dia kini menjadi buronan pemerintah
sehingga tidak memiliki kebebasan bergerak. Ki Rangga
Guna bahkan selalu hidup dalam pengasingan sehingga
hampir-hampir tak mengikuti perkembangan negara lagi.
Mungkin baru belakangan ini, sesudah bertemu dengan
Ginggi dan diberitahu kejadian paling akhir Ki Rangga
Guna tergerak lagi untuk mengikuti perkembangan negara.
Tapi jelas Ginggi tak bisa bergabung terang-terangan
dengan Ki Rangga Guna kalau tak mau sama-sama dituduh
pemberontak. Sedangkan yang dua orang lagi, Ki Banaspati dan Ki
Bagus Seta, sampai sejauh ini belum benar-benar
meyakinkan hati pemuda itu. Mendengar berita terakhir
yang disampaikan, ternyata kedua orang itu benar-benar
akan melawan Raja. Ki Banaspati mempersiapkan kekuatan
di luar Pakuan dan Ki Bagus Seta bersiap-siap di dalam
istana. Keduanya akan bekerjasama untuk menghancurkan
Raja. Tapi sejauh mana mereka akan tetap bekerjasama"
Ginggi ingat cita-cita Ki Banaspati yang berniat
menggantikan kedudukan Raja. Sedangkan yang juga sama-
sama punya cita-cita seperti itu adalah pula Kandagalante
Sunda Sembawa. Dia merasa punya hak jadi Susuhunan di
Pakuan dan berupaya untuk merebut kekuasaan. Dan Ki
Bagus Seta sendiri bagaimana"
Ginggi kembali teringat obrolan Ki Bagus Seta dengan
Bangsawan Soka. Kedua orang ini pun nampaknya
memiliki ambisi yang sama untuk menguasai Pakuan
kendati tak pernah bicara ingin duduk sebagai orang
pertama di istana. Bangsawan Soka ingin menjadi penasihat
Raja. Begitu pun Ki Bagus Seta menginginkan agar yang
menjadi penasihat Raja adalah Bangsawan Soka. Sedang di
lain fihak, Sang Prabu Sakti sendiri telah merencanakan
Bangsawan Yogascitra yang akan memegang jabatan
penasihat. Mengapa Ki Bagus Seta tak setuju Bangsawan
Yogascitra menjadi penasihat Raja, kemungkinan dia
merasa akan terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan bagi
kegiatannya di istana. Ginggi memang sudah mendengar
khabar bahwa Bangsawan Yogascitra seorang negarawan
yang baik. Dia setia, jujur, tidak berambisi dan selalu siap
membela negara dengan taruhan nyawa. Barangkali Ki
Bagus Seta khawatir, bila Bangsawan Yogascitra menjadi
penasihat Raja akan menjadi penghalang besar dalam
melakukan gerakan rahasia. Lain lagi bila Bangsawan Soka
yang menjabat. Orang ini bukan tipe pejabat yang setia
kepada Raja dan negara, melainkan hanya setia kepada
harta dan kedudukan semata.
Ginggi belum benar-benar percaya akan tindak-tanduk
Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati. Mungkin benar kedua
orang itu bekerja mengatasnamakan amanat Ki Darma, tapi
amanat guru sepertinya mereka manfaatkan untuk meniti
jalan merangkul cita-citanya, yaitu jadi orang berpengaruh
di Pakuan. Kalau benar dugaannya ini, akankah Ginggi
bergabung dengan mereka" Kalau dia tak bergabung pasti
mati. Tapi bila bergabung apa untung-ruginya"
Ginggi berpikir lagi perihal keberadaan Prabu Ratu Sakti
Sang Mangabatan. Selama Raja ini memerintah banyak
terjadi gejolak sosial. Beberapa wilayah Kandagalante dan
kerajaan kecil berusaha melepaskan diri sehingga banyak
terjadi bentrokan-bentrokan antara pasukan kerajaan
melawan pasukan wilayah-wilayah di bawah Pakuan.
kehidupan rakyat sangat terganggu. Rakyat tidak tentram
karena banyak terjadi pemberontakan, juga tak tentram
karena beban pajak yang tinggi. Jadi, bijaksanakah Ki
Bagus Seta dan Ki Banaspati yang bercita-cita meruntuhkan
kekuasaan Raja yang tengah berkuasa sekarang"
Ginggi jelas harus membantu rakyat dari tekanan Raja.
Tapi tepatkah bila menjalankan amanat Ki Darma
dibuktikan dengan cara mendukung cita-cita kedua orang
itu" Ginggi tetap belum mengerti dengan segala tindakan
yang dilakukan mereka. Mereka mengaku tengah
menjalankan amanat Ki Darma dalam upaya membela
kepentingan rakyat tapi sambil mengumpankan rakyat itu
sendiri. Buktinya, Ki Banaspati bergerak mengumpulkan
dana dari pajak-pajak rakyat dalam membangun kekuatan
pasukan dan Ki Bagus Seta bergerak seolah-olah
mendorong Raja agar semakin terjerumus dalam kesalahan.
Raja terus didorong agar melaksanakan kebijaksanaan yang
sekiranya tidak disenangi rakyat seperti menaikkan pajak
tahunan misalnya. Bahkan belakangan, Raja juga digiring
untuk melakukan tindakan yang sekiranya akan dinilai
rakyat sebagai tindakan melanggar aturan moral. Ginggi
sudah ingat kekhawatiran Purohita Ragasuci yang cemas
kalau-kalau Sang Prabu benar mempersunting putri
larangan. Nyimas Layang Kingkin menurut Purohita
adalah putri larangan dan tidak boleh di kawin Raja karena
gadis itu sudah bertunangan. Kalau perkawinan ini
dilaksanakan, dikhawatirkan akan terjadi kegoncangan di
kalangan istana. Dan peristiwa ini sepertinya sengaja diatur
Ki Bagus Seta. Di samping ingin memiliki kedudukan
tinggi, Ki Bagus Seta juga punya tujuan ganda yaitu
mengharapkan terjadi gejolak di istana karena tindakan
Raja yang keliru mengawini putri larangan.
Ya, segalanya sepertinya diumpankan oleh mereka
berdua agar terjadi berbagai kemelut di istana. Mereka
sepertinya akan menangguk di air keruh. Di saat-saat
kekacauan terjadi di pusat pemerintahan, Ki Bagus Seta dan
Ki Banaspati akan bertindak mengambil-alih kekuasaan.
Sungguh pandai dan sekaligus licik mereka. Tapi apakah
berbagai kelicikan ini merupakan bagian yang sah dari
perjuangan" Ginggi bingung memikirkannya.
Hati kecilnya tidak pernah setuju akan berbagai
kebijaksanaan kedua murid Ki Darma ini. Tapi Ginggi pun
tak mau mati percuma. Menantang mereka secara
membabi-buta hanya akan berkorban sia-sia. Tentu, Ginggi
tak mau nasib buruk seperti itu menimpanya. Jadi kalau
begitu, dia harus cari akal. Setuju atau tidak dengan cita-cita
mereka jangan dulu dipikirkan sekarang. Yang perlu dia
lakukan kini adalah bagaimana caranya agar tidak mati sia-
sia. Berpikir sampai di sini, Ginggi segera meronta-ronta
berusaha melepaskan ikatan di kedua tangannya. Tali itu
terbuat dari lintingan kulit binatang. Alot dan kenyal, tidak
mungkin diputus begitu saja. Satu-satunya jalan adalah
melemaskan otot pergelangan tangan. Bila otot dilemaskan
akan seperti licin dan bisa memudahkan dalam meloloskan
ikatan. Tapi kesulitannya, tali terbuat dari kulit ini akan
mengerut bila kena air. Kulit yang kena air pun menjadi
tidak licin dan sedikit lengket pada kulit tangannya. Dan
Ginggi perlu membikin lecet pergelangan tangannya untuk
meloloskan tali kulit itu.
Dengan susah ayah akhirnya Ginggi bisa juga
melepaskan ikatan di tangannya. Sekarang dia perlu
menggerak-gerakkan tubuhnya untuk mencari ancang-
ancang agar kedua tangannya bisa menangkap sepasang
kakinya yang berada di bagian atas. Ginggi berayun-ayun.
Pada ayunan kesekian dia segera membuat lentingan sambil
serentak menangkap kakinya. Sesudah beberapa kali
mengalami kegagalan, akhirnya berhasil juga. Sedikit demi
sedikit tangannya berpegangan pada betisnya, sudah itu
naik memegang telapak kakinya. Kalau Ginggi langsung
membuka ikatan di kakinya, maka tali yang
menghubungkan genta akan ikut tertarik dan genta akan
berbunyi. Tidak! Genta tak boleh berbunyi. Itulah
sebabnya, sebelum membuka ikatan di kaki, terlebih dahulu
dia harus naik ke atas kerekan. Genta digantung di atas
tiang kerekan. Jadi tujuan Ginggi sekarang meredam genta
agar tak terjadi bunyi. Tubuh pemuda itu terus melenting untuk menggapai
genta. Sesudah bisa mendapatkannya, secara perlahan tali
genta dia lepas. Perlahan sekali, agar bola genta tak
bergoyang. Tali genta sudah berhasil dia lepaskan. Dengan perasaan
lega Ginggi membuka ikatan tali di kakinya. Sesudah bisa
lepas, Ginggi segera jumpalitan dan turun dengan sepasang
kaki jatuh tepat menginjak tanah.
Dan bertepatan dengan itu, terdengar suara tepukan
tangan. "Bagus! Kau tepat menjadi pembantu utamaku!" seru Ki
Bagus Seta yang tanpa diketahui Ginggi sudah berada di
ruangan itu. Ketika Ginggi menoleh, Ki Banaspati pun
sudah berada di sana. Pemuda itu amat kesal. Susah-payah
dia melepaskan diri dari ikatan tali, sudah bebas dipergoki
mereka. Atau barangkali mereka memang mengintip sejak
tadi, seperti seekor kucing mempermainkan tikus.
"Bagaimana, sudah kau pikirkan dalam-dalam?" tanya Ki
Banaspati menatapnya. "Sudah ?" jawab Ginggi.
"Ya, bagaimana?"
"Aku tidak membunyikan genta!"
Ki Banaspati tersenyum kecil dan Ki Bagus Seta
mendengus. "Kalau begitu, engkau harus mati!" kata Ki Bagus Seta
pendek dan dingin. Ki Bagus Seta hendak bergerak tapi segera dicegah oleh
Ki Banaspati. "Kau pikirlah baik-baik," katanya, "Kalau kau tak setuju
artinya kau harus dibunuh di sini juga. Bisa jadi kau
melawan dan kau melarikan diri dari puri ini. Tapi di
luaran kau tak bisa aman sebab semua prajurit bahkan
perwira Pakuan akan mengejarmu. Dengan mudah Ki
Bagus Seta akan menuduhmu sebagai penjahat dan
pembunuh. Pikirlah secara baik-baik. Kalau kau sudah
diketahui fihak penguasa bahwa kau jahat, maka tak ada
ampun bagimu dan kami sudah tak bisa melindungimu,
sama sulitnya seperti kami hendak berusaha melindungi Ki
Rangga Guna, saudara seperguruan yang lain," kata Ki
Banaspati panjang-lebar. Mendengar ini Ginggi termenung
untuk beberapa saat. "Kalian sudah bertemu Ki Rangga Guna?" tanya Ginggi.
Ki Banaspati malah terlihat tertawa. Namun kemudian
wajahnya serentak menjadi kelabu dan keningnya berkerut.
"Itulah ruginya bagi yang tak faham dengan taktik
perjuangan," kata Ki Banaspati lagi. "Sejak dulu dia dikejar-
kejar pemerintah. Celakanya, dia pun tak mau mengerti
taktik perjuanganku. Dia datang ke wilayah Kandagalante
Sagaraherang dan menantang serta menegurku. Terpaksa
aku dan Kandagalante Sunda Sembawa turun tangan. Ki
Rangga Guna ditangkap dan ditahan di sana. Aku masih
berbaik hati sebab keinginan Sunda Sembawa, dia harus
dibunuh!" kata Ki Banaspati, membuat Ginggi terhenyak.
"Oleh sebab itu, taatilah kami. Kau tak perlu sangsi
dengan perjuangan kami, sebab semua tetap berpegang
kepada amanat Ki Guru!" kata Ki Banaspati lagi.
Ginggi termenung lama-lama. Hatinya mulai meragu
akan kebenaran yang ada pada dirinya.
"Aku juga berpegang kepada amanat Ki Darma. Tapi
yang aku tak mengerti, mengapa musti bunuh Raja?" tanya
Ginggi mencoba menghabiskan rasa penasarannya.
"Sudah aku katakan, perjuangan ini membangun. Dan
membangun juga bisa diartikan merusak, merusakkan
sendi-sendi lama yang dianggap tak cocok dan diganti
dengan sendi-sendi baru. Yang namannya merusak adalah
menghancurkan, menghilangkan dan membersihkan. Kita
ganti dengan yang baru, dengan yang bersih dan berguna
bagi siapa saja!" kata Ki Banaspati lagi. Ginggi termangu-
mangu. "Kau pikirlah itu baik-baik ?" kata Ki Bagus Seta yang
sejak tadi tak begitu banyak bicara.
Terus didesak dan ditekan seperti itu membuat Ginggi
bingung sendiri. Akhirnya dia duduk meloso di lantai dan
menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya.
"Kalau aku melaksanakan tugas ini, bersediakah kalian
melaksanakan permintaanku?" tanya Ginggi pada akhirnya.
"Apa permintaanmu?"
"Lepaskan Ki Rangga Guna dan bebaskan aku!"
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Banaspati tersenyum, "Membebaskan Ki Rangga
Guna amat bergantung pada kesuksesanmu mengemban
perintah, sebab bila Raja telah mati, otomatis semua
kebijaksanaannya tak berlaku, termasuk mencap murid-
murid Ki Darma sebagai pengkhianat!" kata Ki Banaspati
lagi. "Dan sesudah selesai perjuangan kita, bukan sesuatu
yang sulit membebaskanmu ke mana kau suka," katamya
lagi Ginggi termenung sejenak, tapi kemudian berkata, "Baik
kalau begitu ?" Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta saling pandang dan
kemudian mengangguk dan tersenyum.
(O-ani-kz-O) Begitu besarnya pengaruh Ki Bagus Seta seperti yang
Ginggi rasakan. Peristiwa terbunuhnya belasan jagabaya di
purinya yang dituduhkan pada Ginggi tidak berbekas sama
sekali. Para jagabaya di puri tidak menganggap Ginggi
sebagai musuh yang harus ditangkap. Dia kembali bisa
bebas bergerak. Ini hanya menandakan bahwa kebebasan
dirinya karena pengaruh Ki Bagus Seta. Paling tidak di
sekitar purinya sendiri. Ki Bagus Seta demikian berkuasa untuk menentukan
kebenaran. Sepertinya di puri itu, hukum berada di lidah
dan mulutnya. Baru saja Ginggi dituduh pembunuh dan Ki
Bagus Seta mengerahkan prajurit untuk mengepungnya,
namun belakangan dengan entengnya dia membatalkan
tuduhannya, sehingga Ginggi pun bebas kembali. Lantas,
belasan jagabaya yang mati bergeletakan, mau diapakan
selanjutnya" Ini amat mengherankan Ginggi. Bukan saja heran
memikirkan situasi di dalam puri Ki Bagus Seta, bahkan
situasi keseluruhan Pakuan pun Ginggi merasa heran.
Bagaimana sebenarnya hukum yang berlaku di Pakuan ini"
Ada terjadi beberapa peristiwa yang memakan korban jiwa.
Dan orang-orang yang terlibat dalam peristiwa itu begitu
saja sanggup melepaskan diri dari urusan itu. Para hamba
hukum yang ada di Pakuan sepertinya tidak pernah tahu
akan adanya peristiwa di puri Suji Angkara yang memakan
korban misalnya. Para pejabat hukum Pakuan sepertinya
benar tak mengetahui peristiwa itu karena Suji Angkara
pandai menyembuyikannya. Tapi peristiwa di puri Bagus
Seta di mana belasan jagabaya terbunuh dan semua
dituduhkan padanya, mengapa bisa tak diketahui oleh para
pejabat hukum istana, padahal Ki Bagus Seta sempat
memanggil prajurit istana"
Timbul dugaan bahwa pengaruh-pengaruh Ki Bagus Seta
benar-benar telah merambah ke istana. Dengan kata lain, di
istana pun sudah banyak terdapat orang-orang yang bekerja
untuk kepentingan Ki Bagus Seta. Bila tidak begitu, tidak
mungkin banyak berita perihal istana sampai dengan cepat
ke puri Bagus Seta. Keputusan yang dijatuhkan Ki Bagus Seta dan Ki
Banaspati dalam upaya membunuh Raja pun karena
adanya berita-berita yang datang dari istana. Ki Bagus Seta
menerima khabar bahwa Sang Prabu Ratu Sakti tidak akan
mengubah keputusannya dalam memilih orang yang
dianggap cocok sebagaai penasihat Raja. Seperti yang sudah
disebutkannya semula, Pangeran Yogascitra akan tetap
diangkat sebagai penasihat.
Ini suatu berita yang amat menyakitkan Ki Bagus Seta.
Padahal dia sudah berkorban banyak untuk
memperjuangkan Bangsawan Soka sebagai penasihat.
Putrinya satu-satunya telah terlanjur dia "tawarkan" pada
Sang Prabu untuk dipersunting dan tak mungkin
dibatalkan. Dengan demikian Ki Bagus Seta benar-benar
rugi segalanya. Pada suatu hari Ginggi dipanggil ke ruangan tengah puri
yang berfungsi sebagai paseban, yaitu tempat untuk
mengadakan berbagai pertemuan penting.
Ginggi masuk ke ruangan itu manakala di sana sudah
berkumpul pejabat penting. Selain Ki Bagus Seta dan Ki
Banaspati juga terdapat Bangsawan Soka. Mereka duduk
bersila saling berhadapan dan wajah-wajahnya nampak
tegang sekali. "Masuklah!?" kata Ki Bagus Seta pendek. Bangsawan
Soka nampak keheranan melihat Ginggi disuruh duduk di
satu tempat. "Bukankah anak muda ini badegamu, Seta?" tanya
Bangsawan Soka mengerutkan dahi.
"Sekarang sudah aku angkat menjadi pembantu
utamaku," kata Ki Bagus Seta. Bangsawan Soka hanya
mengangguk-angguk pelan sambil mata menatap penuh
selidik pada Ginggi. "Ada perkembangan penting yang harus segera kita
tangani, Ginggi," kata Ki Bagus Seta menoleh pada pemuda
itu. Ginggi hanya duduk membisu.
"Sang Prabu yang seharusnya kita hormati dan junjung
tinggi telah mengecewakan kita," kata Ki Bagus Seta.
"Menurut berita yang sampai ke Bangsawan Soka, Sang
Prabu selain akan mempersunting putriku, Nyimas Layang
Kingkin, juga tidak akan membatalkannya dalam
melaksanakan pernikahannya dengan putri Pangeran
Yogascitra. Padahal tadinya aku menyerahkaan anakku
dengan harapan Sang Prabu mengabaikan hubungan
dengan Pangeran itu dan berbalik padaku. Kita kecewa
sebab Sang Prabu ternyata tak begitu menghargai kita,"
katanya lagi masih menatap Ginggi.
Pemuda ini belum tahu persis apa sebenarnya maksud
penyampaian berita ini. Hanya yang jelas ada juga rasa tak
enak di hatinya. Mengapa begitu, Ginggi sendiri belum
mengetahuinya. "Tapi kita belum mau putus asa, perjuangan harus
dilanjutkan," kata Ki Bagus Seta lagi, kini menatap wajah
Bangsawan Soka. "Soka, kalau engkau punya rencana, kemukakan pada
pembantu utamaku!" katanya masih melihat Bangsawan
Soka. Yang ditatap malah menoleh kepada Ginggi. Matanya
menyorot penuh selidik dan ada kesan menyangsikan
Ginggi. "Berhargakah seorang badega kuajak bicara?" gumamnya
seolah merendahkan Ginggi.
"Boleh kau selidik, serendah apa pembantuku ini," kata
Ki Bagus Seta tersenyum kecil.
Begitu selesai ucapan ini, Bangsawan Soka segera
mengirim tonjokan tangan kanannya mengarah hidung
Ginggi. Dengan gerakan ringan tapi mantap, sambil duduk
bersila Ginggi hanya miringkan kepala sedikit ke kiri,
tonjokan tangan kanan Bangsawan Soka nyeplos memukul
angin. Kegagalan ini segera disusul dengan tonjokan tangan
kiri dan Ginggi enteng saja miringkan kepalanya ke kanan.
Rupanya bangsawan ini belum merasa puas dan masih
penasaran untuk mencoba serangan ketiga. Kali ini kedua
belah tangannya dia satukan dan sepasang telapak tangan
dirangkap seperti akan menyembah. Tapi dengan tenaga
penuh dia sodokkan ke depan mengarah wajah Ginggi.
Ginggi tak mau wajahnya disodok sepuluh jari-jari tangan
yang nampak runcing dan kuat. Dengan gerakan kilat
wajah dan tubuhnya dia doyongkan ke belakang dan
serangan ketiga ini masih lolos.
Bangsawan Soka rupanya lupa bahwa tadi dia hanya
ingin mencoba saja. Tapi karena tiga serangan begitu
entengnya dihindarkan Ginggi, sepertinya dia menjadi
merasa terhina dan direndahkan. Apalagi pemuda itu dalam
menghindar tak pernah menggerakkan badannya secara
berlebihan. Kini Bangsawan Soka segera memutar-mutar sepasang
tangannya, membusungkan dada, menahan pernapasan dan
menarik sepasang tangannya ke belakang. Dengan kedua
telapak tangan terbuka, dia mendorong angin pukulan ke
depan disertai teriakan keras. Ginggi tak tinggal diam.
Sambil membaca doa-doa yang diberikan Ki Rangga guna,
Ginggi mencoba menahan pukulan lawannya.
(O-anikz-O) Suji Angkara Harus Diwaspadai
Hampir setahun lalu Ki Rangga Guna memberikan
pengetahuan singkat perihal penjagaan diri. Kata Ki
Rangga Guna, setiap benda, baik itu benda mati atau pun
hidup memiliki daya kekuatan (energi). Bisa mengeluarkan
energi tapi bisa pula menahan diri dari kekuatan yaang
datang menyerang. Kalau disadari kekuatan itu ada, maka
semakin besar, maka semakin besar daya dobrak lawan,
akan semakin kuat pula daya tahannya. Ibarat sebuah
benda yang dijatuhkan ke atas bantalan karet, semakin berat
benda itu jatuh ke atas karet, maka akan semakin kuat pula
tenaga karet untuk melontarkan kembali benda yang
menimpanya itu. "Engkau harus percaya akan adanya tenaga dalam yang
ada pada diri manusia," kata Ki Rangga Guna tempo hari.
"Ada tenaga maha kuat dalam diri kita. Kalau kita sanggup
mengendalikannya, selain berguna untuk melakukan
serangan terhadap lawan, juga lebih berguna lagi digunakan
sebagai perisai. Kala pernapasanmu baik, kalau jiwamu
kuat, maka semakin besar tenaga dalam lawan menyerang
kita, maka akan semakin besar pula tenaga tolakan yang
ada dalam dirimu," Sudah berapa kali ilmu yang diberikan Ki Rangga Guna
dia praktekkan. Peragaan paling berat ketika menghadapi
serangan-serangan Ki Bagus Seta kemarin dulu. Dan benar
belaka apa yang dikatakan Ki Rangga Guna, bila dia
sanggup menghimpun pernapasan serta memiliki ketahanan
jiwa yang tangguh, energi yang ada di dalam dirinya
sanggup menahan serbuan tenaga dalam dari lawan. Ki
Bagus Seta yang pandai menggunakan tenaga dalam, bisa
dia tolak dengan pengerahan batinnya.
Sekarang peristiwa adu tenaga dalam rupanya akan
terulang lagi, sebab Bangsawan Soka begitu bernafsunya
untuk menyerang pemuda itu. Ginggi sebetulnya khawatir
menerima serangan ini. Bukan karena takut kalah, tapi
selintas pemuda ini bisa melihat, tenaga dalam Bangsawan
Soka kurang begitu kuat. Tenaga dalam yang lemah
menandakan jiwa yang lemah pula. Ginggi takut, bila
Misteri Pedang Pusaka 1 Ceritakan Mimpi-mimpimu Tell Me Your Dreams Karya Sidney Sheldon Iblis Segala Amarah 3
bodoh dan tolol. Sengaja aku tak bilang agar kau tetap
leluasa melakukan penyelidikan?" kata Seta di tengah
erang kesakitan. "Engkau amat setia pada Suji Angkara, tetapi mengapa
kau akan dibunuh mereka?" tanya Ginggi heran.
Dengan susah-payah karena menahan rasa sakit, Seta
menjelaskan bahwa sesudah mendapatkan penjelasan dari
Ginggi, di lorong benteng, Seta mulai sadar bahwa dia telah
salah memilih majikan. Penjelasan Ginggi perihal tindak-
tanduk Suji Angkara yang buruk sebenarnya merupakan
berita yang kesekian kalinya yang didengar Seta. Jauh
sebelumnya ketika bertugas mengirim seba, Ki Banen pun
sudah mensinyalir bahwa Suji Angkara amat misterius.
Ketika tiba di Pakuan, Ki Banen malah mengajak semua
orang agar meninggalkan Pakuan dan tidak mengabdi pada
Suji Angkara. Tapi Seta dan Madi tak mau percaya dengan
ucapan orang tua itu, sebab Suji Angkara dianggap berjasa
telah memberinya pekerjaan yang dianggap Seta cukup
terhormat. Kemarahan Seta memuncak ketika Ginggi mengabarkan
bahwa yang menculik Nyi Santimi, calon istrinya adalah
Suji Angkara. Seta juga marah ketika diberitahu bahwa obat
untuk Ki Banen dari Suji Angkara yang diserahkan melalui
dirinya adalah ramuan berbahaya untuk Ki Banen. Seta
juga marah setelah tahu yang melukai Ki Banen sampai
luka parah adalah juga Suji Angkara. Atas macam-macam
bukti kejahatan Suji Angkara yang sebelumnya dia kagumi,
maka Seta berbalik menjadi benci. Benci mendengar jenis
kejahatan pemuda itu dan juga dendam karena Suji
Angkara pernah menculik Nyi Santimi. Untuk
melampiaskan kemarahannya, Seta mengajak Madi ke
rumah Ki Banen dan ki Ogel. Ketika dikhabarkan peristiwa
ini, semua orang tergerak hatinya dan sama-sama
membenci Suji Angkara. Kemarahan tak bisa dibendung sehingga akhirnya secara
sembrono mereka berempat mencoba menyerang puri dan
berniat membunuh Suji Angkara.
"Tapi " ya, kami sembrono. Suji Angkara orang pandai.
Begitu pun anak buahnya. Kami jadi bulan-
bulanan"semua temanku tewas!" kata Seta mengeluh
menahan tangis. "Kau maksudkan tiga orang yang bergeletakan itu adalah
Madi, Ki Banen dan Ki Ogel?" Ginggi bertanya setengah
berteriak. "Ya " mereka tewas " mereka tewas. Oh " mereka
tewas," Seta mengeluh panjang-pendek dan di antara deru
napasnya dia menangis sesenggukan.
"Kalian memang sembrono. Kepandaiana kalian belum
cukup untuk melawan Suji Angkara begitu saja?" gumam
Ginggi penuh sesal. Dia amat sedih mendengar ketiga orang
itu tewas mengenaskan. Ya, bahkan dia pun melihat dengan
mata-kepala sendiri, betapa ketiga orang itu malang-
melintang dengan tubuh penuh luka. Ginggi sedih. Apa pun
yang pernah dilakukan mereka terhadapnya tapi sebetulnya
mereka orang-orang baik."
"Kalian sembrono dan membuang nyawa sia-sia?"
keluh Ginggi penuh sesal.
"Maafkan aku, Ginggi?" gumam Seta lemah.
"Memang engkau salah, Seta. Karena sembrono kau jadi
celaka seperti ini?" kata Ginggi mengeluh lagi.
"Bukan itu " Aku minta maaf karena aku berdosa
padamu. Selama ini aku selalu menghinamu, selalu
merendahkanmu. Padahal diriku tidak seujung kukumu.
Aku sombong "aku dungu " Oh, aku benci diriku?" Seta
kembali menangis sambil menahan rasa sakitnya.
Mendengar ucapan Seta yang dilakukan sepenuh jiwa,
Ginggi jadi terkejut. Tidak! Siapa yang sebenarnya berdosa"
(O-anikz-O) Jilid 18 "Seta " Akulah yang banyak dosa. Aku bersalah
padamu. Akulah yang harus minta maaf?" kata Ginggi
akhirnya. Teringat kembali kelakuan penuh aib antara
dirinya dan Nyi santimi, padahal dia tahu, Nyi Santimi
adalah calon istri Seta. Dia berdosa besar, padahal Seta laki-
laki baik. Paling tidak pemuda yang dikenal angkuh ini
setidaknya masih punya nilai kesetiaan. Terbukti berkali-
kali dia digoda wanita, Seta tetap teguh pendiriannya
karena cintanya hanya untuk Nyi Santimi. Seta ini punya
nilai. Dan nilai sebaik ini malah dikotori oleh
tindakan-tindakan Ginggi yang berani mengganggu
keutuhan Nyi Santimi. Jadi siapa yang sebetulnya berdosa"
"Seta jangan minta maaf padaku. Bahkan kau yang harus
hukum aku?" kata Ginggi mengguncang-guncang tubuh
Seta. Seta hanya bisa membalas dengan pegangan
tangannya, lemah dan sedikit menggigil menahan sakit.
"Seta " dengarkan aku " dengarkan aku?" kata
Ginggi mendekatkan bibirnya ke telinga Seta. Dia ingin
membuat pengakuan jujur bahwa dirinya telah berlaku jahat
mengganggu kehormatan Nyi Santimi. Suji Angkara juga
jahat akan memperkosa Nyi Santimi. Tapi niat jahatnya tak
pernah kesampaian. Sebaliknya dirinya, tidak melakukan
perkosaan. Peristiwa di hutan kecil setahun lalu suka sama
suka. Namun tetap saja kejahatan, sebab Ginggi tak berhak
mengganggu gadis yang sudah punya calon suami. Dan
calon suaminya itu kini tergolek lemah, bahkan sedang
meminta maaf padanya. Gila! Seharusnya dirinyalah yang
meminta maaf, atau bukan minta maaf tapi minta dihukum!
"Seta!"Seta!"Dengarlah! Aku akan buat pengakuan!"
Ginggi menempelkan bibirnya di telinga Seta. Dengan
kerongkongan tersekat dan lidah sedikit kelu, Ginggi
berbicara terpatah-patah. Isinya pengakuan perihal kejadian
masa lalu di mana dosa telah diperbuat bersama Nyi
Santimi. Selesai membuat pengakuan dosa, dia bertanya pada
Seta, kalau pemuda itu ingin memperlakukan apa saja
Ginggi mau. "Bilanglah apa saja. Kalau kau suruh aku bunuh diri,
maka aku akan bunuh diri sekarang juga. Ayo bilang Seta!
Cepat bilang!" Ginggi mengguncang-guncang tubuh Seta.
Namun Ginggi baru sadar, bahwa sejak tadi mulut Seta
sudah tak bicara sepatah kata pun, tidak juga mengeluhkan
rasa sakitnya. Ginggi pun baru sadar bahwa sejak tadi, jauh
sebelum dirinya membuat pengakuan dosa, tubuh Seta
sudah tak bergerak lagi, tidak juga menggigil menahan
sakit. Seta sepertinya sudah pasrah terhadap keadaan. Apa
yang sudah ditentukan bagi dirinya, sudah dia terima
dengan penuh kesadaran. Ya, Seta pemuda angkuh tapi setia ini, kini sudah diam.
Sudah mati! Ginggi menangis di dekat mayat pemuda itu. Menangis
karena sedih, menangis karena dosa.
Tapi Ginggi tak terus-terusan larut dalam kesedihannya.
Dia harus segera pergi dari tempat itu, jangan sampai
diketahui oleh tugur sebab tentu amat menyulitkan dirinya.
Tapi tentu saja sebelum pergi dia tak boleh membiarkan
jasad Seta tergolek begitu saja di sana. Ginggi harus
menyempurnakannya sebagai penghormatan terakhir
kepada pemuda itu. Caranya bagaimana, Ginggi tidak tahu
persis. Dulu Ki Darma pernah bercerita tentang kebiasaan
nenek moyang orang Pajajaran dalam menyempurnakan
tubuh orang mati. Dahulu Kerajaan Sunda sebelum
bernama Pajajaran, Dayo atau ibukota kerajaanbeberapa
kali melakukan perpindahan antara Galuh (Ciamis) dan
Pakuan (Bogor), tergantung di mana raja yang baru diwastu
(dilantik) betah tinggal. Masyarakat di kedua wilayah
mempunyai tradisi berbeda dalam menyempurnakan orang
mati. Galuh disebut sebagai wilayah air, maka kebiasaan
menyempurnakan jasad si mati di Galuh, dengan cara
dilarung atau dihanyutkan ke sungai atau ke laut. Di
sungai-sungai besar seperti Cijulang, Ciwulan, Ciseel atau
bahkan Citanduy didapat tempat bernama panereban yaitu
tempat untuk nerebkeun atau melabuhkan jasad orang mati.
Sebaliknya tradisi di Pakuan karena wilayah pegunungan,
menyempurnakan orang mati dengan cara dikurebkeun
atau dikubur di dalam tanah. Tempat untuk ngurebkeun
disebut pasarean, Menurut kelaziman di Pakuan, orang
mati seharusnya dikurebkeun, Tapi di tengah malam gelap-
gulita seorang diri, tak mungkin mengubur jasad Seta,
Ginggi pilih cara yang jadi tradisi orang Galuh yaitu dengan
jalan dilarung atau diterebkeun, yaitu dilabuhkan ke sungai.
Sungai yang paling dekat dari Tajur Agung adalah
Cihaliwung dan wilayah aliran sungai ini yang paling
dalam adalah Leuwi Kamala Wijaya atau dikenal juga
sebagai Leuwi Sipatahunan.
Ingat cara ini, maka Ginggi segera memondong tubuh
yang sudah mulai dingin itu ke arah timur, yaitu tepi Sungai
Cihaliwung paling dalam. Jaraknya tidak begitu jauh,
sepemakan sirih saja dia sudah sampai di sana. Ginggi
mencari akar-akaran dan sebongkah batu. Batu itu dia
ikatkan menjadi satu dengan jasad Seta, menggunakan
akar-akaran. Ginggi menunduk memberi hormat dengan
merapatkan kedua belah tangannya. Tubuh dingin itu dia
angkat dan dilemparkan ke permukan leuwi, Karena
dibebani sebuah batu, sedikit demi sedikit tubuh tak
bergerak itu mulai tenggelam. Permukaan air sedikit
berputar-putar membuat ulekan ketika tubuh itu sudah
benar-benar tenggelam. Untuk kesekian kalinya Ginggi menghormat pada tubuh
Seta yang mulai hilang ditelan airLeuwi Sipatahunan.
Ada bayangan berdiri di depan matanya, bayangan gadis
Santimi, calon istri Seta. Ingatkah gadis itu pada calon
suaminya" Gadis itu pernah mengaku tidak mencintai Seta
dan hanya memilih Ginggi saja. Tapi Ginggi tahu betul,
Seta begitu mencintai Nyi Santimi. Cintanya yang tulus dia
buktikan dengan kesetiaan. Seta sepengetahuan Ginggi
tidak pernah tergoda oleh gadis lain. Dia mengikuti Suji
Angkara karena ingin dapat pekerjaan yang terbaik untuk
diabdikan pada Nyi Santimi.
Selesai nerebkeun jasad Seta, Ginggi segera memakai
bajunya lagi, juga membelitkan ikat kepalanya lagi. Sesudah
itu dia meninggalkan tempat itu untuk kembali "pulang" ke
puri Bagus Seta di mana dia "bekerja".
Namun di tengah jalan hampir dekat ke lorong jalan
menuju benteng puri Bangsawan Bagus Seta, berpapasan
dengan serombongan jagabaya berbekal obor dan senjata
tajam. Di belakangnya ada dua orang penuggang kuda.
Penunggang itu adalah Suji Angkara dan ayah tirinya
Bangsawan Bagus Seta. Rombongan berhenti ketika berpapasan dengan Ginggi.
"Engkau dari mana saja anak dungu?" teriak Bangsawan
Bagus Seta setengah geram.
"Bukankah saya disuruh mengantarkan surat untuk
Juragan Yogascitra, Juragan?" kata Ginggi gagap untuk
menjelaskan bahwa dirinya takut atas kemarahan ini.
"Ya, aku tahu. Tapi itu kan tadi. Seharusnya kau pulang
sejak tadi ?" kata lagi Bangsawan Bagus Seta menyelidik.
"Di puri Bangsawan Yogascitra banyak tamu, sehingga
surat baru saya serahkan sesudah tamu selesai dengan
urusannya," kata Ginggi mencari alasan.
"Tapi surat itu bisa kau titipkan saja pada jagabaya, tak
perlu kau tunggui berlama-lama seperti itu, tolol!" teriak
Bangsawan Bagus Seta lagi.
"Saya takut surat itu tidak sampai ?" kata Ginggi
menundukkan kepala. Bangsawan Bagus Seta hanya
mendengus. "Maafkan saya merepotkan kalian sehingga jagabaya
dikerahkan mencari saya ?" gumam Ginggi. Terdengar
tawa kecil di sana sini. Suji Angkara yang sejak tadi diam
pun ikut tertawa. "Orang sedungu kau untuk apa susah-susah dicari?" kata
Suji Angkara dengan tawa penuh ejekan.
"Mari "!" kata Bangsawan Bagus Seta mengajak
rombongan berjalan lagi. "Kita bagi dua lagi, Ayahanda. Saya akan balik lagi ke
arah barat sampai tepi Cipakancilan," kata Suji Angkara
menahan gerakan kudanya. Bangsawan Bagus Seta menyetujui sehingga rombongan
jagabaya dibagi dua. Yang ikut Suji Angkara ada kira-kira
tujuh orang jagabaya. "Kalian jalan duluan aku ada perlu dengan badega bodoh
ini!" kata Suji Angkara.
Ke tujuh jagabaya bersenjata lengkap segera pergi
meninggalkan tempat itu, bergerak ke arah barat.
Tinggallah kini Suji Angkara dan Ginggi.
"Ada kejadian apakah, Raden?" Ginggi pura-pura tak
tahu sambil mata memandang serombongan jagabaya yang
mulai menjauh. Suji Angkara tidak menjawab, melainkan menyepak
punggung Ginggi dengan ujung kaki kanannya yang
berterompah lancip. Ginggi terkejut dan langsung pura-pura
terjerembab ke depan. "Eh, ada apakah, Raden?" kata Ginggi. Sebetulnya
benar-benar heran dan khawatir. Khawatir kedoknya
terbuka. "Setan alas kau!" teriak Suji Angkara gemas. Pemuda itu
turun dari kudanya dan menjambak pakaian Ginggi.
"Ada " Ada apakah, Raden?" Ginggi sudah siap dengan
pengerahan tenaga di sepasang tangannya kalau-kalau
pemuda itu melakukan tindakan berbahaya bagi
keselamatan jiwanya. Namun Suji Angkara hanya
mengguncang-guncang tubuh Ginggi.
Selintas Ginggi melihat, pemuda itu tengah terguncang
jiwanya. Jidatnya yang bengkak karena tonjokannya tadi
nampak nyata membiru. "Sudah sebulan kau kukirim ke puri ayah tiriku, tapi
kutunggu-tunggu kau malah enak-enakan di sana. Apakah
kau sudah lupa tugasmu bangsat cilik?" kata Suji Angkara
geram. "Saya tidak lupa dengan tugas yang diberikan olehmu,
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Raden. Selama ini saya tetap memata-matai puri itu ?"
kata Ginggi mencoba melepaskan jambakan pemuda itu.
"Ya, tapi kau tidak pernah melapor padaku, tolol!" kata
lagi Suji Angkara. "Bukankah Raden pernah katakan, saya boleh melapor
kalau ada hal-hal penting saja?" tanya Ginggi.
"Memang begitu! Tapi kenapa kau tak melapor?" tanya
Suji Angkara lagi menyebalkan.
"Habis selama ini saya tak menemukan hal-hal penting di
sana ?" ujar Ginggi menghelanapas seperti kecewa.
"Sedikit pun?" "Sedikit pun!" "Kau tidak pernah lihat Ki Banaspati memasuki puri
Ayahandaku dan mengobrolkan sesuatu di sana?"
"Tidak!" "Tidak ada berita apa pun?"
"Ada!" "Soal apa?" "Bahwa Nyimas Layang Kingkin harus dinikahkan
dengan Sang Prabu dan engkau harus meminang Nyimas
Banyak Inten!" jawab Ginggi.
"Kalau itu aku sudah tahu, tolol, sebab ayah tiriku pasti
bilang padaku!" potong Suji Angkara gemas.
"Kalau begitu tak ada lagi," kata Ginggi seperti menyesal
atas ketidak-berhasilan tugasnya.
"Dasar kau tolol!?"
"Bukan saya tolol, tapi kalau sesuatu yang harus saya
intip tak ada, ya mau apa lagi?" kata Ginggi mengajukan
alasan. Plak! Pipi Ginggi dihadiahi tamparan. Ingin Ginggi balik
menampar kalau saja dia tak ingat dirinya hanyalah seorang
badega "bawahan" pemuda jahat itu.
"Lantas bagaimana selanjutnya, Raden?"
"Kau kembali saja ke puri ayahku dan lanjutkan tugas-
tugas yang aku bebankan padamu. Tapi awas " kalau kau
berani mengkhianatiku, nyawamu lepas dari badanmu. Tak
ada orang yang bisa hidup karena mengkhianatiku,
mengerti?" "Mengerti, Raden ?"
"Ya, cepat pergi!" Ginggi meninggalkan tempat itu
dengan perasaan gemas sekaligus sedih. Sedih karena dia
bisa menduga, ketiga orang yang tergeletak di puri Suji
Angkara yaitu Madi, Ki Ogel dan Ki Banen sudah
dipastikan tewas. Bila menurutkan hawa nafsu, ingin dia
pukul roboh Suji Angkara di tempat sunyi tadi sebab tak
akan ada orang tahu. Tapi membunuh pemuda itu hanya
tindakan potong kompas dan tidak akan menguakkan
kejahatannya. Ginggi hanya ingin buktikan bahwa semua
orang tahu bahwa Suji Angkara orang jahat. Soal siapa
kelak yang akan menghukumnya, di Pakuan pasti ada
lembaga untuk mengurus urusan seperti itu.
Ginggi pulang ke puri Bangsawan Bagus Seta dengan
perasaan tidak menentu. Dia tak bisa mengurus dan
merawat tiga jasad yang dia anggap teman-temannya, sebab
kalau pun memaksa, hanya akan mendapatkan kecurigaan
saja. Para penyerang puri Suji Angkara dengan begitu
mudahnya di tuduh penjahat sehingga dengan amat
mudahnya pula segenap jagabaya dikerahkan untuk
membunuhnya. Ginggi segera memasuki gerbang puri yang dijaga empat
orang jagabaya dan mereka tak banyak periksa ketika
Ginggi masuk ke sana. Dia tidak banyak pertanyaan perihal
kegiatan Bangsawan Bagus Seta dan Suji Angkara, sebab
dia bisa menduga, mereka tengah menguber dirinya yang
tadi melarikan tubuh luka pemuda Seta.
(O-anikz-O) Misteri Kian Terkuak Besok siangnya Ginggi merasa amat heran, sebab
peristiwa tadi malam tidak menimbulkan hal-hal yang
membuat orang tergerak untuk membicarakannya. Bahkan
cenderung Ginggi menduga bahwa tidak banyak orang yang
tahu akan peristiwa semalam. Banyak jagabaya
berseliweran di sekitar puri. Betul-betulkah banyak orang
tidak tahu ada kejadian yang Ginggi anggap amat besar itu,
ataukah " ataukah semua orang tak berani
mempercakapkannya" Ginggi tidak bisa menduga dengan
pasti. Hanya saja menjelang tengah hari, Suji Angkara nampak
dipanggil menghadap ke puri ayah tirinya. Ginggi yang
melihat dari ruangan belakang melihat wajah pemuda itu
yang nampak muram dan matanya merah seperti kurang
tidur. Ginggi ingin sekali mencuri dengar percakapan kedua
orang itu. Maka Ginggi segera membawa baki siap dengan
berbagai penganan di atasnya. Ginggi akan mengantarkan
penganan ke ruangan tengah tanpa diperintah tuannya.
Di ruangan tengah nampak bersila saling berhadapan,
Suji Angkara dan Ki Bagus Seta. Keduanya berhadapan
dengan raut-muka nampak tegang seperti ada sesuatu hal
yang dirisaukan atau dipermasalahkan.
"Kau bacalah surat tadi pagi yang dikirimkan oleh
Bangsawan Yogascitra!" kata Ki Bagus Seta menyodorkan
sebuah kotak berukir yang di dalamnya berisi satu susun
daun nipah. Nampak jidat Suji Angkara yang bengkak itu agak
mengkerut ketika matanya meneliti tulisanpalawa di daun
nipah. "Kurang ajar?" desis pemuda itu sambil menggigit bibir.
Sesudah itu dia memandang Ki Bagus Seta.
"Apa artinya ini, ayahanda" Keluarga Bangsawan
Yogacitra menolak lamaran kita?" tanya Suji Angkara
dengan suara menggigil. "Mengapa bisa begini" Bukankah
tempo hari Ayahanda yakin mereka akan menerima
pinangan kita?" tanya Suji Angkara tidak senang.
"Entah" aku juga tidak mengerti," gumam Ki Bagus
Seta mengerutkan dahi. "Barangkali ini kesalahan Ayahanda juga, mengapa
membatalkan pertunangan Dinda Kingkin dengan Banyak
Angga" Dan mengapa malah Ayahanda tawarkan adikku
pada Sang Prabu?" tanya pemuda itu penuh sesal.
"Jangan salahkan aku. Ini semua aku lakukan untukmu.
Kau akan tahu, Sang Prabu mencintai Nyimas Banyak
Inten. Karena aku sayang engkau, maka kutawarkan
adikmu pada Sang Prabu dengan harapan beliau
melepaskan kekasihmu," kata Ki Bagus Seta setengah
melamun. "Tapi nyatanya gadis itu tidak diberikan padaku. Mereka
tolak mentah-mentah lamaran kita. Padahal mereka tahu,
Nyimas Banyak Inten menyukaiku dan aku menyukai
dirinya. Mereka sengaja menolakku karena ingin membalas
sakit hati atas perlakuan Ayahanda!" kata Suji Angkara
setengah berteriak kesal.
Brak! Ki Bagus Seta menggebrak meja pendek yang ada
di sampingnya sehingga kayu-kayu meja berantakan tinggal
puing-puing. Ginggi yang melihat kejadian itu dari belakang
terkesiap melihat demonstrasi tenaga yang diperlihatkan Ki
Bagus Seta. Ginggi maklum, orang ini termasuk murid
pandai dari Ki Darma. "Bisamu hanya menyalahkan orang lain saja. Dan kini
kau salahkan aku, hah!" Ki Bagus Seta juga sama
meninggikan kata-katanya.
"Ya, karena ambisimu, kau hancurkan anakmu,
ayahanda!" kata Suji Angkara. "Kau atur agar Sang Prabu
melepaskan Nyimas Banyak Inten dan mengambil adikku
agar hubungan kekerabatan dengan Raja semakin dekat
kemudian kau semakin mudah menanamkan pengaruhmu
di istana. Dan aku, mana keuntunganku yang bisa
kudapat?" tanya Suji Angkara masih dengan suara tinggi.
"Kau berkacalah dulu agar kau tahu sejauh mana dirimu
berharga untuk orang lain!" kata Ki Bagus Seta membuat
Suji Angkara pucat wajahnya.
"Apa maksudmu, Ayahanda?"
"Sudah banyak bisik-bisik tentangmu. Kau dicurigai
bermental bejat. Aku tak percaya sebelumnya. Tapi
kejadian tadi malam membuatku berpikir lain. Penyerang-
penyerang itu semua anak-buahmu. Semua menudingmu
banyak berbuat serong. Untung mereka cepat mati dan
untung sekali mayat mereka cepat kalian buang sehingga
kaum bangsawan lain tak banyak tahu peristiwa tadi
malam" Hei, siapa itu?" Ki Bagus Seta menoleh ke
belakang ketika melihat Ginggi tergopoh-gopoh datang
mendekat membawa baki berisi penganan.
"Mau apa kau ke sini?" tanya Ki Bagus Seta mendelik.
"Penganan untuk tamu. Bukankah sudah biasa saya
harus menyiapkannya?" tanya Ginggi pura-pura baru
datang ke ruangan itu. "Jangan sembarangan masuk tanpa dipanggil. Cepat
simpan penganan itu kembali ke ruangan belakang !" kata
Ki Bagus Seta. "Tidak perlu, pergi saja kamu!" bentak Ki Bagus Seta.
Ginggi cepat-cepat meninggalkan tempat itu tapi di
lorong pintu segera menyelinap di balik gorden tinggi.
Ginggi sembunyi di balik gorden dan membungkus
tubuhnya dengan lembaran kain lebar itu.
"Coba katakan, benarkah engkau selama ini selalu
berbuat tidak senonoh terhadap kaum perempuan?" tanya
Ki Bagus Seta penuh selidik.
Yang ditanya sepertinya tidak bisa menjawab. Dan Ki
Bagus Seta nampaknya ingin sekali mendapatkan jawaban
gemblang dari Suji Angkara sehingga untuk kedua kalinya
terdengar mengajukan pertanyaan sama.
"Ayahanda, semua orang punya kekurangannya. Aku "
dan mungkin juga engkau!" Suji Angkara malah berkata
begitu. "Maksudmu apa?" suara Ki Bagus Seta terdengar penuh
selidik. "Aku ingin tahu, apa hubunganmu dengan Ki Banaspati
ayah!" kata Suji Angkara dengan nada suara penuh selidik
pula. Terdiam sejenak, sehingga Ginggi tak tahu apa yang
tengah mereka lakukan. "Jangan macam-macam. Aku dengan dia tidak punya
hubungan apa-apa kecuali dia bawahanku dalam
melakukan pungutan pajak negara di wilayah timur!" kata
Ki Bagus Seta. "Aku berpikir, hubungan Ayahanda dengan pejabat
misterius itu sudah lebih jauh lagi dari sekadar hubungan
atasan dan bawahan," tuding Suji Angkara.
"Mengapa kau berkata begitu?" tanya Ki Bagus Seta
suaranya terdengar sedikt bergetar.
"Ketika aku mengawal seba dari wilayah Karatuan
Talaga banyak peristiwa ganjil yang aku dapatkan. Ketika
tiba di wilayah Kandagalante Sagaraherang, aku bahkan
akan mereka bunuh. Semua telah aku laporkan padamu
ayah, tapi mana tindakanmu atas kejadian aneh itu" Biar
pun sekadar anak tiri, tapi aku anakmu. Bahkan lebih dari
itu, aku kau tugasi untuk mengawasi kelancaran tugas Ki
Banaspati. Ketika aku lapor bahwa aku akan dibunuhnya,
kau tidak melakukan tindakan apa-apa. Dari situ aku
bepikir bahwa Ayahanda punya sesuatu hubungan dengan
Ki Banaspati, entah itu hubungan apa. Yang jelas,
Ayahanda tak berniat melakukan sesuatu terhadapnya,
kendati tahu Ki Banaspati hendak melenyapkan nyawaku!"
kata Suji Angkara dengan suara cukup menggetar juga.
Sunyi beberapa saat. Dan Ginggi yang sembunyi di balik
gorden ingin sekali segera mendengar kelanjutan
pembicaraan antara ayah dan anak tiri ini.
"Ki Banaspati sebelumnya tak tahu bahwa kau
anakku?" terdengar jawaban Ki Bagus Seta.
"Itu bukan sebuah alasan," kata Suji Angkara tak puas.
"Ayahanda belum menjawab perihal sikap-sikap aneh yang
dilakukan Ayahanda. Mengapa laporan dan penemuanku
tidak ayah bahas secara sungguh-sungguh. Mengapa
laporanku mengenai kecurigaan Ki Banaspati menghimpun
kekuatan gelap termasuk membentuk pasukan yang
bertugas merampok hasil kiriman seba dari negara-negara
kecil tidak Ayahanda tangani dengan serius bahkan seperti
tak berniat melaporkannya pada Sang Prabu" Mengapa pula
semakin tinggi Ayahanda membuat kebijaksanaan
penarikan pajak tetapi semakin berkurang juga pajak yang
masuk" Itu semua tidak masuk akal. Bukan aku saja yang
bercuriga tetapi juga beberapa bangsawan istana lainnya.
Kalau ayah benar memiliki kegiatan bersama Ki Banaspati,
aku tak akan banyak ikut-campur. Tapi karena aku punya
rahasia yang bisa melemahkan kedudukanmu, maka agar
kelemahan tidak terbongkar, Ayahanda pun harus
menutupi kesalahanku pula. Dan kita berdua sama-sama
saling menutupi kelemahan masing-masing," kata Suji
Angkara. Kembali sunyi mencekam ruangan di mana mereka
berada dan Ginggi tak bisa menduganya apa yang mereka
tengah lakukan. Hanya saja Ginggi tengah menduga,
mendapat serangan gencar dari Suji Angkara, rupanya Ki
Bagus Seta agak terdesak juga. Barangkali otaknya tengah
berputar untuk menyusun kata-kata yang harus
disampaikannya pada anak tirinya yang nampak mulai
melakukan penekanan ini. "Apa yang kau inginkan dariku, Suji?" tanya Ki Bagus
Seta setelah lama berdiam diri.
"Tidak banyak. Tutupi kelakuan saya masa lampau dan
usahakan agar lamaran untuk mendapatkan Nyimas
Banyak Inten terlaksana," kata Suji Angkara.
Hening sejenak. "Saya bisa menduga, Ayahanda bersama Ki Banaspati
melakukan persekongkolan untuk memperkaya diri sendiri
dengan menggelapkan hasil seba. Silakan lanjutkan sebab
saya pun ikut menikmati hasilnya dan hidup makmur
selama berada di Pakuan. Tapi Ayahanda tetap harus
menolongku sebab kalau kegiatan Ayahanda saya
sampaikan pada Raja, Ayahanda mendapatkan
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
marabahaya besar," kata Suji Angkara setengah
mengancam. Ki Bagus Seta belum mengeluarkan jawaban ketika tiba-
tiba seorang jagabaya, mengabarkan ada tamu yang datang.
"Siapa?" tanya Ki Bagus Seta.
"Yang akan bertamu adalah Ki Banaspati, Juragan!" kata
jagabaya. Berdesir darah Ginggi mendengarnya.
Hening sejenak. Sepertinya Ki Bagus Seta belum bisa
memutuskan apakah harus ditolak ataukah diterima saja
tamu itu. "Mengapa Ayahanda ragu-ragu" Persilakan dia datang.
Biar kita sama-sama ngobrol agar pengetahuanku lebih luas
tentang dirinya," kata Suji Angkara.
"Persilakan dia masuk?" gumam Ki Bagus Seta.
Jagabaya kembali keluar ruangan dan hampir saja tubuhnya
menyinggung bagian tubuh Ginggi yang sembunyi di balik
gorden. Tidak berapa lama kemudian ada suara langkah ringan
memasuki lorong yang kelak mengarah ke ruangan tengah
puri. Ginggi menahan napas ketika Ki Banaspati lewati
gorden. "Selamat datang Ki Banaspati?" kata Ki Bagus Seta
sedikit kaku suaranya. "Selamat bertemu. Siapa ini" Oh?" jawab Ki Banaspati
agak kaget. Ginggi menduga rasa kaget Ki Banaspati karena
melihat Suji Angkara ada di ruangan itu.
Hening "Ada penting?"" suara Ki Bagus Seta.
"Ya ?" jawab Ki Banaspati.
"Tentang apa ?""
"Tapi aku tak mau ada pemuda ini di sini "!"
"Suji kau keluarlah!"
"Baik. Tapi Ayahanda harus ingat," suara Suji Angkara.
"Ya, aku ingat "!"
Ginggi dari balik gorden mendengar suara langkah
keluar dari ruangan itu. Menjauh dan akhirnya lenyap.
"Ya, sekarang katakan apa yang ingin kau katakan," kata
suara Ki Bagus Seta. "Masih ada satu orang lagi yang mendengar pembicaraan
kita, aku tak suka!"
"Siapa?" Bersamaan dengan pertanyaan KI Bagus Seta, ke arah
gorden di mana Ginggi sembunyi berhembus angin
pukulan, rasanya menimbulkan hawa panas. Ginggi
teringat, pukulan panas seperti ini pernah dia rasakan ketika
mendapat serangan dari Ki Rangga Wisesa di sebuah gua
kapur wilayah Tanjungpura enam bulan lalu.
Ginggi tak begitu heran kalau Ki Banaspati pun pandai
memainkan ilmu ini sebab baik Ki Rangga Wisesa mau pun
Ki Banaspati sama-sama satu seperguruan. Hanya Ginggi
saja yang tidak pernah mendapatkan gemblengan ilmu
seperti itu. Bukan karena Ki Darma tak mau memberinya,
akan tetapi pemuda itu sendiri yang menolaknya. Ini karena
Ginggi tetap tak suka mempelajari ilmu yang tujuannya
hanya untuk membunuh. (O-anikz-O) Tak Memihak Berarti Mati Namun kendati tidak mempelajari ilmu tenaga dalam
seperti ini, bukan berarti Ginggi tidak bisa memusnahkan
serangan seperti ini. Apalagi sesudah ilmu-ilmu yang ada
padanya kian dimatangkan oleh berbagai latihan selama
tiga bulan yang diberikan Ki Rangga Guna. Ginggi tahu
betul, bagaimana caranya menghadapi angin pukulan
seperti ini. Menurut Ki Rangga Guna, ada dua macam
tenaga dalam. Satu jenis akan melahirkan angin pukulan
berhawa panas dan satunya lagi berhawa dingin. Tidak
banyak orang-orang Pajajaran yang mempelajari ilmu
semacam ini, sebab hanya orang-orang yang sudah
memiliki kekuatan jiwa dan pandai mempergunakan hawa
murni saja yang sanggup memilikinya.
Hawa pukulan panas bisa dianggap tenaga kasar,
sebaliknya hawa dingin disebut tenaga halus. Kasar bisa
dilawan dengan kasar dan halus dilawan dengan halus.
Tapi bila dua kekuatan sama saling diadukan akan
mengakibatkan sesuatu yang dahsyat. Di sana akan terjadi
adu kekuatan dan akibatnya akan fatal sebab yang
tenaganya kurang sempurna akan kalah yang
mengakibatkan luka atau tewas. Ginggi tidak mau memilih
risiko seperti itu. Dia tak mau membunuh orang, tapi
dibunuh pun apalagi. Maka untuk mencari jalan tengahnya,
serbuan pukulan hawa panas yang dilontarkan Ki
Banaspati, dia jemput dengan pengerahan hawa dingin.
Pukulan hawa panas Ki Banaspati bagaikan besi panas yang
menerobos kolam air, panasnya hilang tak berbekas.
Bahkan udara yang tadi terasa panas, mendadak berubah
dingin. "Yang namanya orang pandai, tak baik sembunyi seperti
itu. Kami harap engkau berani memperlihatkan diri," kata
Ki Banaspati dan nada suaranya seperti heran.
Ginggi terpaksa keluar menampakkan diri. Langsung
menerobos kain gorden yang segera melepuh seperti debu.
Ginggi tersenyum tipis ketika kedua orang itu
menatapnya sambil membelalakkan kedua belah matanya.
Yang nampak paling terkejut melihat Ginggi adalah Ki
Bagus Seta. "Engkau ?""
Kedua orang itu secara bersamaan mengucapkan kata-
kata seperti itu. Kemudian Ki Bagus Seta memandang
heran kepada Ki Banaspati. Barangkali merasa heran bahwa
rekannya sudah mengenalnya pula.
"Engkau sudah mengenal badegaku, Banaspati?"
tanyanya. "Dia sudah menjadi pembantuku setahun yang lalu. Tapi
pemuda ini brengsek sebab tidak satu kali pun berupaya
membantuku," kata Ki Banaspati menatap tajam Ginggi.
"Sebulan lalu dia menjadi badega di sini. Aku sudah
curiga dia memiliki kepandaian. Tapi ketika aku uji dengan
menyuruh jagabaya memukulinya, dia tak melawan. Siapa
engkau sebenarnya, hei pemuda misterius?" tanya
Bangsawan Bagus Seta mulai bercuriga lagi.
"Dia murid paling akhir dari Ki Darma"!" kata Ki
Banaspati bergumam. Nampak sekali ada perubahan pada kulit wajah Ki Bagus
Seta. Ginggi nampak tak bisa menduga, apa makna
perubahan wajah itu. "Dia diutus Ki Guru agar ikut perjuangan kita. Dan dia
sebelumnya sudah setuju ikut kita. Tapi pemuda ini
memang benar dungu. Tak ada satu pun pekerjaan yang dia
lakukan untuk kita," kata Ki Banaspati.
"Tugas apa saja yang harus aku kerjakan dan sesuai
dengan amanat Ki Darma?" kata Ginggi menguji Ki
Banasapati. Ginggi yakin, orang ini tak akan bisa
menjawabnya, sebab tugas pertama yang diberikan padanya
adalah menguntit Suji Angkara dan membunuhnya.
Beranikah dia bilang bahwa aku ditugaskan membunuh Suji
Angkara, padahal pemuda itu jelas-jelas anak tiri Ki Bagus
Seta" Demikian pikir Ginggi. Tapi pemuda ini melenggak
dan begitu kagetnya ketika Ki Banaspati menjawab dengan
jawaban yang tak mungkin dia duga.
"Ya, kau brengsek sebab selama setahun ini kau tidak
melaksanakan apa yang kuperintahkan. Buktinya Suji
Angkara sampai hari ini masih segar-bugar!" kata Ki
Banaspati sedikit mendelik.
Ginggi menatap Ki Bagus Seta. Tapi untuk kedua
kalinya dia menduga salah. Ginggi berpikir Ki Bagus Seta
akan kaget atau marah ketika mendengar Ki Banaspati
menyuruh Ginggi bunuh anak tirinya. Tapi ketika Ginggi
menatap tajam pada orang tua setengah baya ini, tidak
secuil pun ada perasaan terkejut. Bahkan roman wajahnya
pun tidak menampakkan perubahan barang sedikit pun.
Aneh sekali, pikir Ginggi.
"Aku disuruh bunuh anakmu, bagaimana pendapatmu?"
tanya Ginggi melepaskan basa-basi hormat pada Ki Bagus
Seta. Rupanya orang tua setengah baya yang berpakaian
gagah ini pun merasakan perubahan sikap Ginggi. Nampak
bibirnya tersenyum pahit.
"Engkau pandai bersandiwara anak muda dan aku
tertipu oleh sikap-sikapmu yang ketolol-tololan?"` gumam
Ki Bagus Seta kembali duduk bersila di hamparan alketip
buatan negriParasi (Iran). Ki Banaspati pun duduk dan
keduanya saling berhadapan. Akhirnya Ginggi juga sama-
sama ikut duduk, agak terpisah jauh.
"Engkau memang misterius, anak muda. Kalau kau
benar-benar murid Ki Guru Darma, mengapa musti masuk
ke puriku secara main-main seperti ini?" tanya Ki Bagus
Seta akhirnya. "Masih banyak yang belum aku mengerti. Jadi aku ingin
melakukan penyelidikan secara sembunyi," kata Ginggi
tegas. "Tentang apa?" "Tentang hubungan kalian dan tentang sejauh mana
perjuangan kalian dalam menjalankan amanat Ki Darma,"
jawab Ginggi lagi menatap kedua orang itu bergantian.
"Sudah aku terangkan semuanya padamu. Engkau harus
percaya semua itu!" kata Ki Banaspati menimpali.
"Segala sesuatunya?"
Ki Banaspati terdiam sejenak. Sesudah itu dia kembali
menyahut," Ya, segala sesuatunya!"
"Coba ulangi lagi kau beberkan tujuan perjuanganmu, Ki
Banaspati!" kata Ginggi.
"Kau jangan bersuara lantang seperti itu padaku, juga
pada Ki Bagus Seta, sebab kedudukanmu di sini tidak
sama," Ki Banaspati menegur, merasa tak enak karena
Ginggi tidak menggunakan batas sopan santun.
"Kita semua seimbang sebab memiliki tugas yang sama
yang diamanatkan Ki Darma. Bahwa kalian di sini menjadi
pejabat, tak ada hubungannya denganku!" kata Ginggi
bersila tegak dan memandang tajam kepada kedua orang
yang sama duduk bersila di depannya.
Ki Bagus Seta rupanya tersinggung dengan ucapan
Ginggi ini. Dia segera beranjak hendak berdiri namun
ditahan Ki Banaspati. "Sudahlah, adat anak ini memang keras. Ki Guru
sepertinya tidak memberikan pelajaran moral kepada anak
ini," katanya menyabarkan Ki Bagus Seta, padahal dia
sendiri yang mula-mula tersinggung dengan sikap Ginggi.
"Ingin aku tahu, sejauh mana dia memilki kemampuan
?" gumam Ki Bagus Seta menahan kemarahan.
"Mungkin dia di bawah kemampuan kita dan bukan
masalah berat bila kita ingin menundukkannya. Hanya
yang jadi bahan pertimbangan, kita semua jangan berbuat
sesuatu hal yang merugikan kita, merugikan perjuangan
kita. Kita sesama murid Ki Darma Tunggara harus seia-
sekata dalam memperjuangkan amanat guru," kata Ki
Banaspati pada akhirnya. Ini sedikit melegakan sekaligus
membuat Ginggi harus berpikir. Pendirian Ki Banaspati
angin-anginan, sebentar bersikap pemarah, sebentar
kemudian seolah bersikap penuh bijaksana. Namun Ginggi
memantapkan diri untuk tidak mudah terpengaruh sikap-
sikap mereka. Ki Banaspati balik memandang pada Ginggi. "Baiklah
aku maklum, bila kebiasaan dan perangaimu begitu kepada
setiap orang. Tapi yang ingin kau pegang, tetaplah kau
gabung dengan kami!" seru Ki Banaspati.
"Banyak cara dalam menolong rakyat. Tapi cara paling
sempurna agar menghasilkan sesuatu yang besar dan berarti
adalah berupaya mengubah tatanan negara," kata Ki
Banaspati pasti. Ditatapnya Ginggi dalam-dalam seolah
memastikan bahwa tindakannya benar dan harus
dijalankan. "Bagaimana dengan engkau, Bagus Seta?" Ginggi melirik
pada Ki Bagus Seta. "Aku sejalan dengan Ki Banaspati!" katanya angkuh dan
tak mau menatap Ginggi. "Menaikkan seba secara terus-menerus dan memerangi
negara-negara kecil yang ingkar membayar pajak tinggi,
itulah upaya melaksanakan amanat guru?" tanya Ginggi
penuh selidik. "Ginggi, dengarkan aku," Ki Banaspati ikut bicara,
"Untuk menuju daratan di seberang sungai yang berair
deras, kita tidak mungkin memotong arus begitu saja.
Mungkin perjalanan harus agak melambung jauh ke hilir.
Terkadang kita sulit mengarunginya dengan berenang
begitu saja. Kita harus cari pegangan. Pegangan itu,
mungkin sesuatu yang tengah dibawa arus. Begitu pun
perjuangan kita. Melawan Raja begitu saja tidak akan
sanggup mengubah keadaan dengan mudah. Di beberapa
wilayah terjadi pemberontakan, bila dilakukan dengan kasar
hanya akan meruntuhkan cita-cita mereka saja. Cobalah
mencari celah yang sekiranya bisa kita manfaatkan untuk
menyusup. Kau harus bangga kepada Ki Bagus Seta dan
aku. Orang-orang yang sesungguhnya dikejar dan dimusuhi
karena punya keterkaitan dengan Ki Darma, tapi malah
bisa menyusup ke pusat istana dan memiliki pengaruh. Tapi
sejauh apa pengaruh kita tanamkan, tetap harus sejalan
dulu dengan keinginan penguasa. Kalau kita berbuat
kebijaksanaan yang secara serentak bertolak belakang
dengan keinginan Raja, bukan pengaruh yang kita dapatkan
tapi kehancuran!" kata Ki Banaspati panjang lebar.
"Tapi kebijaksanaan kalian malah terasa
menyengsarakan rakyat," gumam Ginggi berpangku tangan.
"Kita ini tengah berjuang membangun sesuatu yang baru
dan membongkar hal-hal lama. Yang namanya
membongkar tentu akan ada yang dirusak. Ibarat kita
menanam tanaman baru yang bebas dari hama, tentu harus
mencabuti tanaman lama yang penuh hama, terkadang
harus kita cabut seluruhnya, seluruh bagian akar juga tanah
di sekitarnya. Barangkali akan ada bangunan yang
sebetulnya baik tapi terpaksa ikut terbongkar. Barangkali
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan ada batang pohon yang masih bersih dari hama tapi
terpaksa harus ikut dicabut. Itulah pengorbanan Ginggi.
Untuk memperjuangkan suatu kebenaran, akan ada ranting-
ranting kebenaran ikut jadi korban tak ada sesuatu yang tak
wajar dari kesemuanya. Rakyat berkorban, kita berkorban,
dan semua berkorban. Kau lihatlah pengorbanan Ki Bagus
Seta. Dia berani berkorban membiarkan anak tirinya jadi
incaran pembunuhan. Suji Angkara tidak sepaham dengan
perjuangan ayahandanya. Dia masih hijau dalam urusan
kenegaraan. Satu-satunya yang harus dia junjung di
Pajajaran adalah Raja tanpa memikirkan apakah Raja
berharga buat rakyat atau tidak. Itulah sebabnya aku
mengutusmu bunuh Suji Angkara agar dia tidak jadi duri
dalam perjuangan semesta ini. Dan kau harus sanggup
berpikiran besar. Pengorbanan kita paling menyakitkan
adalah menerima tugas membunuh Ki Guru!" kata Ki
Banaspati. Kalau ada suara halilintar terdengar di siang hari bolong,
maka ucapan inilah yang lebih terasa membelah dada.
Ginggi tak terasa berdiri dari duduknya saking terkejutnya
mendengar berita yang disampaikan Ki Banaspati ini.
Matanya terbelalak dan tangannya menunjuk ke arah Ki
Banaspati. "Benarkah yang kau ucapkan ini?" desisnya pendek tapi
penuh getaran. "Betul "!" gumam Ki Banaspati.
"Kau " kau pengkhianat! Kau murid murtad!" Ginggi
berteriak dan menghambur ke arah Ki Banaspati yang
masih duduk bersila. Ki Banaspati yang tak menyangka dirinya diserang tiba-
tiba, serta merta meloncat ke samping. Tapi Ki Bagus Seta
rupanya telah menyangka jauh sebelumnya. Maka sebelum
Ginggi melancarkan pukulan, Ki Bagus Seta sudah lebih
dahulu melayangkan serangan dahsyat. Serangan itu berupa
angin pukulan yang dikerahkan sepenuh tenaga. Ginggi
merasakan, serangan tenaga dalam ini sepertinya hendak
membunuhnya. Ginggi yakin akan kemarahan Ki Bagus
Seta. Dia pejabat tinggi di Pakuan, dihormati semua
bangsawan dan ditakuti para prajurit serta jagabaya.
Sekarang dia merasa terhina dengan tindak-tanduk orang
yang semula dianggap sebagai badeganya. Betapa tak
begitu. Pertama kali datang berpura-pura menjadi badega,
merendah-rendah setengah menjilat. Dan kini, Ginggi
begitu terang-terangan menentangnya, bertindak kasar dan
tidak menghormatinya secuil pun, padahal Ki Bagus Seta
merasa bahwa dirinya adalah pejabat tinggi. Barangkali ini
penghinaan pertama baginya dan menyakitkan rasanya.
Itulah sebabnya Ginggi menduga, Ki Bagus Seta akan
melakukan tindakan balas dendam atas perasaan terhinanya
itu. Namun Ginggi tidak akan mengalah begitu saja. Dia pun
sudah lama menahan kemarahan terhadap Ki Bagus Seta.
Ki Bagus Seta memang benar murid Ki Darma. Barangkali
pun dia benar telah berjuang melaksanakan amanat Ki
Darma. Tapi pergerakan Ki Bagus Seta amat melampaui
batas amanat. Dia terlalu melambung sehingga melupakan
amanat yang paling mendasar dari Ki Darma bahwa semua
anak muridnya harus berjuang membela kepentingan
rakyat. Sekarang yang disaksikan Ginggi, Ki Bagus Seta
malah semena-mena membuat kebijaksanaan. Dalam
menarik pajak tinggi pun sebenarnya Raja hanya
mengeluarkan titah saja, sedangkan yang membuat rekaan
dan rancangan adalah Ki Bagus Seta. Semua titah Raja
yang terasa membebani rakyat semua keluar dari jalan
pikiran Ki Bagus Seta belaka. Sekarang Ginggi menyadari
baik Ki Banaspati mau pun Ki Bagus Seta sama-sama
memiliki ambisi untuk mempunyai pengaruh kuat di
Pajajaran. Ki Bagus Seta bergerak di dayo (ibukota) dan Ki
Banaspati bergerak di wilayah-wilayah kekuasaan
Pajajaran. Ginggi tak mau tahu, yang jelas, dia tak setuju
dengan gerakan keduanya. Marah, sesal, sedih dan entah apa lagi, semuanya
menggayuti pikiran Ginggi. Dan begitu serangan pukulan
hawa panas terasa begitu kuat menyerang dirinya, Ginggi
pun segera menghimpun tenaga di bagian perutnya. Inti
tenaga seperti bergulung-gulung di perut, secara serentak dia
salurkan ke tubuh bagian atas. Urat-urat darahnya
menegang dan berdenyut, mengalir keras menuju jaringan
darah di sepanjang kedua tangannya, membuat otot-ototnya
menegang keras. Dan begitu sambaran angin pukulan
berhawa panas datang menerobos, Ginggi berteriak
menggelegar seperti suara petir layaknya. Sepasang
tangannya yang sudah terisi inti tenaga dia gerakkan
mendorong dan menolak serangan terhadap tenaga Ki
Bagus Seta. Dua angin pukulan beradu keras. Karena ada
dua tekanan udara saling berbenturan maka terdengar suara
ledakan keras di ruangan disertai kilatan kepulan asap.
Ginggi terlempar ke belakang membentur meja dan
sebaliknya tubuh Ki Bagus Seta terlempar dan
punggungnya membentur daun jendela. Kayu-kayu jendela
berantakan dan tubuh Ki Bagus seta menerobos ke luar.
Ginggi segera bangun sambil menyeka darah yang
sempat menetes ke luar dari mulutnya. Dia harus
memapaki lagi satu serangan baru yang datang dari gerakan
dorongan Ki Banaspati. Orang ini mengulangi serangannya
yang tadi pernah ditepis Ginggi dengan jalan
memunahkannya dengan angin pukulan dingin.
Kedua orang ini berdiri dengan kaki terpentang lebar dan
saling mendorongkan kedua belah tangan dengan telapak
tangan terbuka lebar. Blaaar! Kembali dengan kilatan sinar
disertai kepulan asap tebal.
Untuk kedua kalinya tubuh Ginggi terlontar ke belakang.
Namun tubuh Ki Banaspati pun sama terlontar dan
punggungnya membentur dinding kayu jati. Dinding
bergetar hebat dan ada bagian-bagian kayunya yang pecah-
pecah. Tubuh Ki Banaspati menggeliat-geliat sebentar,
rupanya merasa kesakitan karena benturan tubuhnya
barusan. Namun hanya sebentar dia sudah berdiri lagi. Kali
ini langsung meloncat hendak memukul Ginggi yang masih
terlentang. Ginggi sadar akan adanya serangan ini. Tapi matanya
masih berkunang-kunang dan dadanya serasa akan pecah.
Dengan susah payah dia bergerak untuk berdiri. Namun
serangan pukulan telapak tangan miring dari Ki Banaspati
sudah mencoba mencecar pelipis kirinya. Ginggi mencoba
miringkan kepala ke kanan sedikit menunduk. Pukulan
telapak tangan miring gagal menerobos sasaran tapi
serangan itu seperti dilanjutkan menyusul ke kanan dan
Ginggi kian miringkan kepalanya ke kanan. Sementara
tangan kirinya mencoba membantu badannya untuk berdiri
dan tangan kanannya coba untuk dilayangkan ke kiri. Tidak
berbentuk kepalan, melainkan dua jari tengah dan telunjuk
digabung membentuk capit gunting untuk digunakan
menotok kerongkongan Ki Banaspati.
Rupanya Ki Banaspati sadar, serangan ini bila mengenai
sasaran akan membuat bahaya besar. Kerongkongannya
akan kaku tersumbat, atau sama sekali tertusuk dua jari
bertenaga kuat itu. Maka satu-satunya jalan untuk
menghindarinya adalah dengan jalan menarik tubuh ke
belakang. Namun layangan tangan kanan ke arah kiri ini
bisa terus nyelonong mengikuti gerakan mundur leher Ki
Banaspati. Untuk memunahkan serangan ini, Ki Banaspati
merebahkan tubuhnya, bersalto ke belakang sambil
melakukan tendangan dahsyat.
Ginggi pun bersalto ke belakang dan tendangan Ki
Banaspati bisa dia hindarkan.
Sekarang keduanya sudah sama-sama berdiri dan saling
pandang dan saling berhadapan. Sepasang mata sama-sama
saling mecorong untuk untuk mecoba mengintip kelemahan
lawan. Sambil mata tetap mencorong ke depan Ginggi memutar
otak mencari gerakan-gerakan baru yang tidak dikenal Ki
Banaspati. Sebab percuma saja menggunakan jurus-jurus
pemberian Ki Darma dalam melawan Ki Banaspati. Jurus-
jurus apa pun yang diberikan Ki Darma padanya, sudah tak
akan berarti bila digunakan melawan teman seperguruan.
Ginggi teringat pelajaran-pelajaran yang diberikan Ki
Rangga Guna beberapa bulan lalu. Ki Rangga Guna banyak
memberikan ilmu-ilmu baru. Kata orang tua itu, itu adalah
ilmu kedigjayaan yang didapatnya dari perantaun. Bukan
ilmu Pajajaran dan tidak dikenal di wilayah Pajajaran.
Kalau ilmu-ilmu itu dia praktekkan, benarkah Ki Banaspati
tidak mengenalnya" Berpikir sampai di situ, Ginggi segera memasang kuda-
kuda. Dia mencoba berdiri dengan sebelah kaki kiri saja,
berjingkat sehingga hanya ujung jempolnya saja yang
menapak di lantai kayu. Sedangkan kaki kanan berjungkat
setinggi lutut kiri. Kedua tangan berkembang lebar ke
samping seperti burung garuda membuat kelepak sayap.
Ginggi melihat Ki Banaspati mengerutkan alisnya,
sepertinya dia tengah menyelidik gerakan apakah itu. Atau
barangkali juga dia tengah menerka, bagaimana kelanjutan
gerakan asing ini. Ginggi tetap berdiri kukuh dengan ujung jempol kaki
kirinya. Begitu pun sepasang tangannya masih membentuk
sayap burung garuda. Ki Banaspati bergerak satu langkah
ke depan tapi Ginggi masih bersikap diam.
Namun sebelum Ki Banaspati bergerak melakukan
penyerangan, dari luar masuk segerombolan jagabaya
dengan berbagai senjata di tangan, di belakangnya
mengikuti Ki Bagus Seta. Para jagabaya berteriak-teriak menyuruh Ginggi
menyerah. Tiga orang di antaranya Ginggi hafal sebagai
jagabaya yang melakukan penyiksaan pada dirinya tempo
hari. Mereka kini bahkan paling berani menerobos masuk
dan secara gegabah melakukan penyerangan dengan tangan
kosong. "Huh! Dasar monyet dungu, dia tidak kapok kita
gebuki," kata seorang bertubuh kekar bercambang bauk
menakutkan. Dia menghambur melayangkan pukulan. Tapi
Ginggi sudah tidak berpura-pura seperti tempo hari. Begitu
Si Cambang Bauk menghambur melayangkan pukulan
dengan tangan berotot gempal dan kuat tapi pukulannya
lamban dan lemah ini, maka dengan amat mudahnya
pergelangan tangannya dia tangkap. Si Cambang Bauk
berteriak kesakitan karena pegangan tangan yang dilakukan
Ginggi disertai pengerahan tenaga. Si Cambang Bauk
berusaha melepaskan tangannya, tapi tak bisa. Tangan kiri
jagabaya tinggi besar ini segera melayangkan pukulan
tangan kirinya tapi ditangkis Ginggi. Akibatnya orang ini
menjerit ngeri karena tangannya beradu dengan tangan
Ginggi. Melihat temannya tak berdaya, tiga orang mencoba
membantu. Ginggi hafal, inilah kedua temannya yang
pernah menyiksa dirinya. Maka ingat ini, serta-merta
Ginggi memelintir tangan Si Cambang Bauk ke belakang
sehingga menjerit-jerit ngeri. Begitu badannya membalik,
Ginggi segera mendorong Si Cambang Bauk sekeras
mungkin. Tubuh besar itu menubruk dua temannya
sehingga jatuh bertubrukan dan saling tindih sesamanya.
Yang lain ikut menyerang tapi hanya jadi santapan
tangan Ginggi yang menggunakan pengerahan inti tenaga.
Sebentar saja semuanya sudah berpelanting ke segala arah.
Yang seorang malah hampir menubruk tubuh Ki Bagus Seta
yang mengeluarkan sumpah-serapah karena kemarahan
yang sangat. "Berhentilah, tak baik sesama teman seperguruan saling
bunuh!" teriak Ki Banaspati memperingatkan.
"Tidak akan saling bunuh, sebab aku yang akan bunuh
kalian. Kalian berdosa besar terhadap Ki Darma!" teriak
Ginggi sedikit terisak karena kesal dan sedih.
"Rangga Wisesa yang bersalah. Dia melaporkan Ki
Darma pada Seribu Perwira Pengawal Raja. Akibatnya,
Sang Prabu juga mengetahui di mana Ki Guru
bersembunyi. Beliau memerintahkan kami untuk mengejar
ke Puncak Cakrabuana. Tapi pelaksanaan penyerbuan aku
tak ikut. Yang bergerak ke sana adalah sesepuh perwira
kerajaan kendati semua itu adalah perintah Ki Bagus Seta!"
kata Ki Banaspati menoleh.
Ginggi juga ikut menoleh pada Ki Bagus Seta. Orang ini
tidak menampakkan perubahan mimik wajah. Ginggi
marah sekali melihat perilaku mereka. Ingin dia menerjang
kedua orang itu bila mengingat pengkhianatan keduanya
terhadap Ki Darma. Tapi sementara itu para jagabaya saling pandang
sesamanya, kemudian juga menatap Ki Bagus Seta dan Ki
Banaspati bergantian. "Juragan " Juragan Ki Bagus Seta adalah murid
pemberontak Ki Darma?" gumam jagabaya bercambang-
bauk sambil mulut masih menyeringai kesakitan karena
tangannya dipilin Ginggi.
"Juragan Bagus Seta murid pemberontak?" gumaman ini
terdengar di sana-sini. "Ya, benar " aku murid Ki Darma!" desis Ki Bagus
Seta. Dan belum habis ucapannya, dia meloncat ke sana-
kemari melakukan pukulan-pukulan telak terhadap para
jagabaya yang jumlahnya mencapai belasan orang.
Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan dalam waktu
singkat para jagabaya yang sebetulnya anak buahnya sendiri
terlontar kesana-kemari. Semuanya mendapatkan pukulan-
pukulan telak yang mematikan karena selain dilakukan
dengan pengerahan tenaga, juga mengarah pada bagian-
bagian yang membahayakan nyawa.
Ki Bagus Seta berdiri tegak di tengah ruangan, dikelilingi
oleh tubuh-tubuh bergeletakan tak berdaya. Ginggi kaget
sekali menyaksikan tindakan Ki Bagus Seta yang ganas tak
berperikemanusiaan ini. "Engkau membunuhi anak buahmu sendiri?" tanya
Ginggi dengan suara gemetar saking heran dan terkejutnya.
Ki Bagus Seta tidak menjawab sepatah pun. Sepasang
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
matanya mencorong entah ke mana dan wajahnya nampak
pucat. "Itulah salah satu pengorbanan dalam perjuangan," Ki
Banaspati yang berkata. "Mengapa pengorbanan perjuangan seganas ini" Mereka
adalah orang-orang tak berdosa dan tak tahu menahu!" kata
Ginggi menoleh Ki Banaspati.
"Ya, betapa pedihnya kita berkorban. Kita harus
membunuh orang yang tak berdosa, membunuh orang yang
tidak tahu menahu persoalan kita, sebab kalau kita tak
melakukan hal seperti tadi, kitalah yang akan menemui
bahaya," kata Ki Banaspati lagi. "Tadi kau saksikan sendiri,
sesudah mereka tahu juragannya adalah murid Ki Darma,
serentak mereka memandang penuh curiga, padahal jauh
sebelumnya, mereka hormat dan sopan pada Ki Bagus Seta.
Ya, Ki Darma dikejar dan diburu serta dibenci orang
Pakuan. semua orang yang punya kaitan dengan Ki Darma
juga harus dibenci dan diburu. Betapa pahitnya nasib kita.
Dan betapa beratnya pengorbanan kita. Agar perjuangan
kita lancar, kita harus menutup rahasia itu rapat-rapat siapa
diri kita. Dan agar rahasia itu tetap rapat, kita harus berlaku
seolah-olah kita berdiri di fihak musuh. Jangan kau
salahkan kebijaksanaan Ki Bagus Seta dalam menurunkan
perintah agar Ki Darma diburu, sebab bila tidak begitu, Ki
Bagus Seta akan dicurigai dan perjuangan akan gagal!" kata
Ki Banaspati memberikan penjelasan. Namun penjelasan
ini tetap tak dimengerti Ginggi, sebab pada pikirnya,
mengapa itu semua harus terjadi" Mengapa Ki darma harus
diburu dan mengapa yang memerintahkannya harus Ki
Bagus Seta" "Perjuangan kalian membabi-buta. Ki Darmalah yang
memberi perintah agar kalian berjuang. Tetapi mengapa Ki
Darma pula yang kalian jadikan tumbal?" tanya Ginggi tak
puas. "Ki Guru bukan butuh keselamatan nyawa, melainkan
butuh kebebasan. Ki Guru inginkan rakyat Pajajaran bebas
dari tekanan Raja. Untuk kepentingan rakyat, dia tak akan
menyembunyikan nyawanya. Semuanya akan dia abdikan!"
kata Ki Banaspati. "Sebab yang penting," lanjut Ki
Banaspati lagi, "Bukan keselamatan dirinya yang Ki Guru
pertahankan, tapi cita-citanya. Kematian Ki Guru akan
berharga bila kita menjalankan dan menyukseskan cita-
citanya," katanya. Ginggi termangu sebentar, namun akhirnya dia
menggelengkan kepalanya. "Semua tidak aku mengerti, sebab yang namanya
keberhasilan perjuangan harus kita rasakan juga. Aku tak
mau mati dalam perjuangan. Keberhasilan sebuah
perjuangan tapi sambil kehilangan nyawa, bukan
keberhasilan namanya. Dan ini berlaku juga bagi Ki
Darma. Beliau berhak hidup. Jadi kalau ada orang yang
membunuhnya, dia harus bertanggung jawab!" kata Ginggi
bertahan dengan pendapatnya.
Hening sejenak. Sementara itu di pekarangan terdengar
orang-orang saling bertanya-tanya tentang peristiwa di
ruangan tengah puri Bagus Seta.
"Tidak boleh ada perbedaan pendapat dalam
melaksanakan perjuangan. Engkau boleh pilih sendiri, ikut
kami atau mati sebagai pemberontak menurut tuduhan
orang-orang Pakuan!" kata Ki Bagus Seta sesudah
mendengar di luar mulai banyak jagabaya.
"Apa maksudmu?" tanya Ginggi menatap tajam.
"Di luar banyak jagabaya dan prajurit pilihan. Kalau kau
tak mau bergabung dengan kami, maka dengan amat
mudahnya aku tuduh kau penjahat pemberontak yang
membunuhi anak buahku. Kau akan dikepung dan para
perwira kerajaan akan kuundang untuk meringkusmu!" kata
Ki Bagus Seta mengancam. Rupanya ini bukan ancaman
omong kosong belaka, sebab Ginggi berpikir, orang ini
dengan amat mudahnya akan memutar-balikan keadaan.
Dia bisa dituduh pembunuh dan para prajurit tak akan
percaya pada Ginggi kalau dia balik menuding. Semua akan
merasa sesuatu yang mustahil bila Ki Bagus Seta
membunuhi anak buahnya sendiri.
Ginggi mengerti ini. Tapi dia tak mau didikte orang lain.
Apalagi dia sedikit pun tidak setuju dengan tindak-tanduk
kedua orang murid Ki Darma yang sepertinya
menghalalkan segala cara dalam melakukan kegiatan dan
tujuannya. Sekali lagi Ginggi tak mau menjawab ketika Ki Bagus
seta menyuruhnya untuk memilih sikap. Dan karena
merasa bahwa Ginggi sikapnya tak bergeming, maka Ki
Bagus Seta segera berteriak agar para jagabaya dan para
prajurit memasuki ruangan tengah.
"Ada kejadian apakah Juragan?" tanya para jagabaya
setelah berseru kaget karena di atas lantai bergelimpangan
belasan jagabaya lainnya tak berdaya di sana. Beberapa
orang mencoba memeriksa tubuh-tubuh bergeletakan itu.
Namun setelah tahu teman-temannya tak ada yang
bernyawa, mereka berseru kaget bercampur marah.
"Juragan " Mengapa mereka mati sedemikian rupa?"
tanya seorang jagabaya. "Tangkap orang itu! Dialah pembunuhnya!" teriak Ki
Bagus Seta menuding pada Ginggi. Tanpa menunggu
waktu, belasan jagabaya serentak menghambur menyerang
Ginggi. Ki Bagus Seta berteriak pula agar yang lain
memanggil prajurit-prajurit pilihan guna membantu
pengepungan. Ginggi merasakan bahaya mengancam pada dirinya.
Maka dia pun serentak mendahului lawan. Sepasang
tangannya dia gerakkan, berputar-putar seperti baling-
baling. Pegang dan tombak beterbangan karena lepas dari
pemegangnya. Sedangkan yang merasa tak kuat akan
benturan-benturan tangan Ginggi berteriak kesakitan.
Langkah mereka pun tertahan dan mundur satu dua tindak.
Ginggi memaklumi, para jagabaya dalam satu gebrakan
saja sudah merasa jerih kepadanya. Kesempatan ini Ginggi
gunakan untuk meloncat ke luar ruangan melalui lubang
jendela yang hancur. Namun di pekarangan sudah menghalangi belasan
prajurit. Melihat seragam jenis rompi terbuat dari beludru
hitam, rambut kepala digelung rapi ke atas serta berbekal
perisai baja dan senjata pedang, mudah diduga mereka
adalah prajurit istana yang sengaja diundang untuk
menangkapnya. Ginggi sudah mendengar kalau kepandaian mereka di
atas rata-rata dari jagabaya. Ginggi pun pernah mendengar
bahwa prajurit Pakuan sudah pandai dalam menyusun
strategi peperangan, termasuk di antaranya strategi dalam
melakukan pengepungan. Itulah sebabnya, di ruangan
terbuka ini Ginggi perlu bertindak hati-hati. Jangan sampai
kedudukan dirinya ada di tengah-tengah sebab hanya akan
membuat dirinya terkepung saja. Untuk itulah maka
pemuda ini segera meloncat-loncat menghindari kepungan.
Tapi para prajurit Pakuan bukan orang-orang sembarangan.
Melihat Ginggi meloncat-loncat kesana-kemari, kepungan
tidak diusahakan bertambah sempit, melainkan diperluas
dan diperlebar, sehingga dalam tempat selebar itu, diharap
Ginggi akan kelelahan sendiri.
Ginggi merasa kesal dengan taktik-taktik para prajurit
ini, sebab dengan demikian dirinya tetap saja berada di
tengah kepungan. Kepungan itu bisa melebar bila Ginggi
bergerak melebar, dan akan menyempit bila Ginggi tak
melakukaan gerakan apa pun. Ginggi bagaikan seekor babi
rusa yang dikepung sekelompok anjing pemburu, selalu
berada dalam kepungan kendati para pengepung tidak
melakukan serangan. Dan melihat mereka yang berputar
bahkan bersorak-sorai gegap-gempita, mengingatkan
dirinya akan keterangan Ki Darma ketika mereka
berkumpul di Puncak Cakrabuana. Prajurit Pakuan pandai
melakukan taktik-taktik pertempuran. Pakuan memiliki
duabelas taktik pertempuran yang masing-masing diberi
nama sendiri. Ginggi bisa menduga, taktik yang kini
diperagakan para prajurit-prajurit ini tentulah siasat perang
yang bernama Asu-Maliput, meniru-niru gerakan
sekelompok anjing yang mengepung buruannya.
Ginggi tidak pernah diberitahu taktik kedua belas macam
yang dimiliki prajurit Pakuan ini, sebab baik Ki Darma mau
pun Ki Rangga Guna yang pernah bercerita tentang ini,
tidak pernah merinci satu-persatu. Namun kendati begitu,
paling sedikit Ginggi kini telah menyaksikan tiga macam
taktik pertempuran kebanggaan Pajajaran ini. Dua taktik
pertempuran pernah Ginggi lihat dalam pesta Kuwerabakti,
di mana ketika itu di alun-alun benteng luar
diselenggarakan peragaan perang-perangan. Kedua taktik
pertempuran adalah gerakan Merak-Simpir melawan taktik
Bajra-Panjara. Dan kalau benar ini merupakan gerakan
Asu-Maliput, maka untuk ketiga kalinya dia mendapatkan
kesempatan menikmati taktik-taktik pertempuran yang
amat dibanggakan Pajajaran.
(O-anikz-O) Persyaratan Ginggi berdiri tegak dengan sepasang kaki terpentang
lebar. Sementara itu para prajurit jumlahnya semakin
bertambah juga karena anggota yang baru segera datang
dan mengisi formasi yang diperlukan. Kini pengepungan
semakin utuh dan sempurna. Kepungan itu pun nampak
semakin rapat padahal lingkaran masih terasa lebar.
Karena Ginggi mencoba untuk berdiri tegak, maka
kepungan mulai bergerak. Mereka berputar-putar cepat
sekali. Lingkarannya semakin lama semakin kecil.
Ginggi merasa pening melihat puluhan orang membuat
lingkaran dan berputar cepat. Kalau keadaan ini berlarut-
larut, akan melelahkan matanya dan menurunkan daya
konsentrasinya. Maka agar matanya tak lelah melihat orang
berlari dan berputar, Ginggi pun segera ikut berputar searah
putaran para pengepungnya. Tapi para prajurit sudah siap
sedia dengan perkembangan taktiknya. Lingkaran segera
dipecah menjadi dua lapis. Satu lingkaran kecil di depan
dan satu lingkaran besar di lapisan luar. Dua lingkaran
saling berputar berbeda arah.
Ginggi kagum sekaligus terkejut dengan perubahan
formasi ini. Untuk menghilangkan rasa pening karena
kepungan berputar-putar, Ginggi melibatkan diri kembali
dalam perputaran. Tapi kini ada dua lingkaran
pengepungan dengan dua arah putaran yang berbeda. Ini
membingungkan dan sekaligus memusingkan. Ginggi tak
bisa memilih, sebab pilih salah satu pun, tetap saja akan
berhadapan dengan putaran berlainan arah.
Karena matanya penat melihat formasi putaran
pengepungnya, akhirnya Ginggi memilih diam. Sepasang
kaki terpentang lebar dan kedua belah tangan bersilang di
dada. Sementara itu, belasan prajurit segera meloloskan
cangkalak (sejenis tambang). Belasan cangkalak mereka
putar-putar dan mereka lempar ke arah tubuh Ginggi. Satu
dua cangkalak Ginggi tangkap dan Ginggi tarik keras-keras
sehingga pemiliknya tersuruk ke depan. Namun cangkalak-
cangkalak yang lain datang bertubi-tubi. Dengan tepat
lingkaran cangkalak masuk melingkar di tubuhnya. Ginggi
berusaha meloloskan diri dengan mencoba memutuskan
cangkalak. Ada beberapa yang bisa dia putuskan tapi lebih
banyak lagi yang tak bisa dia lepaskan. Akhirnya Ginggi
seperti seekor lalat yang terperangkap sarang laba-laba, sulit
bergerak karena tubuhnya dipenuhi belitan cangkalak.
Kini datang barisan prajurit bersenjata panah dan siap
melepas anak-anak panah yang ujung-ujungnya terlihat
runcing dan mengkilap tajam. Ginggi menghitung pasukan
panah, jumlahnya ada sekitar duapuluh orang. Kalau
mereka melepaskan panah dalam waktu bersamaan akan
sulit mengelakkanya. Ginggi menghela napas. Barangkali
inilah akhir hayatnya. Sebuah kematian yang paling pahit
sebab dia akan mati tanpa bisa menunaikan amanat Ki
Darma barang sedikit pun. Dan lebih menyakitkan lagi,
karena kematiannya ini diakibatkan oleh tindakan murid Ki
Darma sendiri. Ginggi sudah siap untuk menerima kepahitan ini,
mengingat jalan untuk lolos sudah tertutup sama sekali.
Namun pasukan panah tidak juga melepaskan
senjatanya. Mereka hanya bersiap mementangnya saja.
Di beranda puri utama banyak orang menonton
peristiwa ini, di antaranya terdapat Nyimas Layang Kingkin
dan ibundanya. Mereka menyaksikan peristiwa ini dengan
heran dan cemas. Ginggi sekilas bertatapan dengan Nyimas
Layang Kingkin. Pemuda itu menduga, barangkali Nyimas
Layang Kingkin bertanya-tanya dalam hatinya, mengapa
seorang badega sepertinya dikepung banyak orang.
(O-anikz-O) Jilid 19 Dari arah lain datang Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati.
Mereka melihat dirinya dengan bertolak pinggang.
"Tangkap pembunuh itu hidup-hidup dan cangkalak,
Tapi kalau dia tetap melawan bunuh saja!" kata Ki Bagus
Seta. Dua tiga orang prajurit datang menjemput dan segera
mengikat kedua tangan Ginggi ke belakang kendati seluruh
tubuh pemuda itu masih dipenuhi libatan-libatan tali.
Ki Bagus Seta berbicara pada komandan agar tidak
mengabarkan dulu peristiwa ini ke istana.
"Dia hanya pembunuh kecil saja, tak perlu istana turun
tangan sendiri. Penjahat ini biar kuurus di sini!" kata Ki
Bagus Seta. Komandan pasukan mengangguk hormat. Dan sesudah
memeriksa Ginggi tak mungkin bisa melepaskan diri,
komandan menyerahkan pemuda itu pada jagabaya puri
Bagus Seta. Ginggi diseret ke sebuah bangunan di bagian belakang
puri. Pemuda itu hafal betul, sebab beberapa waktu lalu pun
pernah dibawa ke tempat itu.
Ginggi menduga, dia akan menerima siksaan lebih hebat
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketimbang penyiksaan yang pernah dialaminya tempo hari
di bangunan itu. Kalau dulu diuji saja sejauh mana dia
memiliki kepandaian berkelahi, tapi sekarang lain lagi. Ki
Bagus Seta akan benar-benar menyiksanya karena
kemarahan pada dirinya. Ginggi dibawa ke sebuah ruangan di mana di sana sudah
disiapkan sebuah kerekan. Akan dihukum gantungkah
dirinya" Di bawah kerekan juga terdapat sebuah tong besar
berisi air. Ginggi belum bisa menduga apa yang sebenarnya
akan mereka lakukan terhadap dirinya.
"Gantung kakinya di atas!" Ki Bagus Seta
memerintahkan jagabaya. Dan serta-merta kaki Ginggi
diikat menjadi satu. Sesudah itu tubuhnya dikerek ke atas.
Kini Ginggi bergantung-gantung di udara dan di bawahnya
siap menanti tong berisi air. Ginggi menduga, tubuhnya
akan dibenamkan ke dalam tong yang berisi air tersebut.
"Kalian keluarlah!" Ki Banaspati menyuruh para
jagabaya meninggalkan tempat itu. Tinggallah kini Ki
Bagus Seta dan Ki Banaspati, menyaksikan Ginggi yang
digantung terbalik. "Ini saat terakhir kau melakukan pilihan," kata Ki Bagus
Seta menatap tajam wajah Ginggi yang terbalik.
Ginggi bersyukur dalam hatinya. Perkataan ini berarti
masih memberikan celah-celah kehidupan bagi dirinya.
Ki Banaspati berkata, "Apa pun perangaimu, sebetulnya
antara kami dan kamu masih ada pertalian saudara karena
keterkaitan dengan Ki Guru. Kami masih memberikan
kesempatan bagimu untuk memilih. Mati karena
mengkhianati Ki Guru atau kau mentaati perintahnya!"
katanya sungguh-sungguh. Ginggi masih diam. Ucapan Ki Banaspati ini sepertinya
hanya memutar-balik fakta saja. Menempatkan Ginggi
sebagai pengkhianat dan menganggap diri mereka sebagai
pengemban amanat. "Kalau aku kalian sebut pengkhianat, kalian sendiri
apa?" tanya Ginggi. Dan " Tlaaarrr! Ki Bagus Seta
melayangkan ujung cemeti (cambuk), tepat mengenai
pelipis Ginggi. Pemuda itu merasakan cairan hangat
meleleh turun ke rambut kepalanya. Ginggi menduga kulit
pelipisnya luka mengalirkan darah karena ujung cemeti.
"Jelas, kaulah pengkhianat sebab kau tak mau bergabung
dengan kami. Selama ini kami berjuang menjalankan
amanat guru, sedangkan kau tidak. Lebih buruk lagi
kelakuanmu setelah menolak bahkan berani melawan dan
mengacau kami. Itulah pengkhianatan!" kata Ki Bagus Seta.
"Tapi kalian bunuh Ki Darma!" kata Ginggi.
"Engkau hanya meributkan urusan kecil sambil tak
menghiraukan urusan lebih besar lagi," kata Ki Banaspati.
"Dalam perjuangan besar, semua orang hanya merupakan
bagian-bagian kecil saja. Kita ibarat anak panah yang setiap
kali dilepas tak mungkin kembali lagi. Namun anak panah
yang hilang tak perlu kita jadikan pikiran serta tidak perlu
disesali, apalagi kalau anak panah itu mengenai sasaran
yang jitu. Begitu pun dengan nasib Ki Darma. Kematiannya
tak perlu kita sesali sebab telah berhasil mendorong
perjuangan kita. Kau harus tahu sekarang, mengapa justru
Ki Bagus Seta yang memerintahkan langsung penyerbuan
ke Puncak Cakrabuana. Ini karena kekhawatiran dan
kecurigaan kita terhadap Ki Rangga Wisesa. Dia orang
setengah gila dan dia banyak memiliki rasa sakit hati
kepada Ki Guru juga terhadap muridnya yang lain. Sudah
aku katakan tadi, Rangga Wisesalah yang telah
membocorkan di mana Ki Guru berada. Dialah
pengkhianat sebenarnya dari perjuangan kita. Ki Bagus Seta
khawatir, kalau Rangga Wisesa berani melaporkan identitas
kami sebenarnya. Bila Raja sudah tahu bahwa kami murid-
murid Ki Darma, maka kami akan ditangkap juga sehingga
pupuslah perjuangan, pupuslah amanat Ki Guru. Kami
tidak berpikiran picik sepertimu, Ginggi. Kalau hanya
meributkan nyawa seseorang, maka tidak akan berarti bila
harus merugikan perjuangan. Itulah sebabnya, untuk
menghapus anggapan bahwa kita punya kaitan dengan Ki
Guru, maka Ki Bagus Seta tampil mempelopori rencana
penyerbuan ke Cakrabuana. Apa kau anggap kami enteng
saja melakukan hal-hal seperti ini" Hati kami menangis,
sebab perjuangan ini kian berat dan terasa pahit. Namun itu
harus kami lakukan demi mencapai cita-cita yang lebih
besar!" kata Ki Banaspati dengan suara sungguh-sungguh.
Ginggi tetap diam membisu. Dan hal ini rupanya amat
membuat kesal Ki Bagus Seta.
"Sudahlah, kita tak usah merengek-rengek minta
dikasihani oleh bocah tak tahu terima kasih ini. Dia
memang bocah tak punya hati dan perasaan. Dia bocah
yang tak acuh dengan pengorbanan Ki Guru. Malu aku jadi
murid sepertimu. Menggunakan kepandaian hasil
pemberian Ki Guru tapi secuil pun tidak digunakan untuk
melaksanakan amanat si pemberi kepandaian!" kata Ki
Bagus Seta mendengus. "Ginggi, sebetulnya kami tak ingin membunuhmu.
Selain kau masih kerabat kami, juga kami menyayangkan
kepandaianmu. Kalau kau gabung akan sangat berarti bagi
perjuangan kita. Cepat kau bilang setuju, sebab kalau tidak
kau harus mati!" teriak Ki Banaspati mulai kesal.
Karena Ginggi masih diam membisu, maka Ki Bagus
Seta menurunkan kerekan. Karena kerekan turun, otomatis
tubuh Ginggi pun turun. Sedikit demi sedikit kepalanya
terbenam ke permukaan air. Dingin sampai menusuk-nusuk
tulang kepala rasanya. Ginggi menahan napas dan menutup mata. Kedudukan
tubuh terbalik bukan masalah berat bagi dia, sebab di
Puncak Cakrabuana, selama empatpuluh hari empatpuluh
malam dia berlatih tapa sungsang (bertapa di dahan pohon
dengan kepala di bawah) tanpa mengalami gangguan sedikit
pun. Tapi kepala di bawah sambil dibenamkan ke dalam
air, Ginggi belum pernah coba.
Ginggi terus menahan napas sampai dadanya
membusung, sampai detak jantungnya bertalu cepat. Kedua
orang itu seperti benar-benar hendak membunuhnya karena
kerekan tak pernah ditarik lagi. Tapi sebelum Ginggi benar-
benar tak kuat lagi, dia tak akan menyerah begitu saja.
Kematian pasti datang kepada siapa saja dan kapan saja.
Tapi kendati begitu, Ginggi harus berusaha agar kematian
tidak datang secepat itu, apalagi di saat-saat hidupnya tak
berarti. Ginggi harus melakukan upaya penyelamatan,
jangan mati sia-sia seperti ini.
Sekarang dada pemuda itu terasa sesak sebab tubuhnya
sudah menderita kekurangan udara. Ubun-ubunnya pun
terasa berputar-putar. Ada macam-macam warna melayang-
layang di kelopak matanya. Warna-warni itu indah semata,
biru, biru muda, merah, merah membara sampai coklat
kehitam-hitaman. Namun pada suatu saat semua warna
menghilang dan muncullah semua wajah-wajah orang yang
pernah dikenalnya. Mula-mula ada wajah Nyi Santimi yang
cantik dan lugu, kemudian ada wajah anggun Nyimas
Banyak Inten yang selalu mempesona bak dewi dari
kahyangan. Sesudah itu muncul orang-orang yang sudah
mati. Ki Ogel, Ki Banen, Seta dan Madi, semua muncul. Ki
Ogel dan Ki Banen melambaikan tangan dengan wajah
berseri, tapi Seta dan Madi, seperti meronta-ronta minta
tolong padanya. Dan terakhir yang muncul adalah wajah Ki
Darma. Wajah tua berkumis tebal berjanggut panjang
rambut riap-riapan tapi kulit wajahnya tetap bersinar tanpa
keriput. Ki Darma menatapnya dengan sorot penuh semangat.
Dia bahkan seperti berkata-kata mengulang pelajaran yang
pernah diajarkannya berkali-kali.
"Tidak mengapa tak punya huma asal kita punya beras.
Tidak mengapa tak punya beras asal bisa makan. Tidak
mengapa tak bisa makan asal kita bisa hidup ?"
"Bisakah kita hidup tanpa makan, Aki?"
"Mengapa tidak bisa" Hidup kita tidak saja ditemani
makanan, tapi pun ditemani empat unsur kehidupan, api-
air-udara dan tanah. Kau lihat orang bertapa, satu tahun
tanpa makan dan minum sebab dia dihidupi udara. Suatu
waktu kau akan membuktikan bahwa tapa dalam air akan
memberimu kehidupan juga!"
Air memberi kehidupan" Ginggi kembali mengingat-
ingat pelajaran Ki Darma. Bagaimana mungkin air tanpa
udara akan memberi kehidupan" Air tanpa udara" Ki
Darma pernah berkata, air dan udara selamanya akan
bersatu, sebab air tanpa udara, air itu sendiri akan lenyap
berubah bentuk menjadi menjadi semacam gas.
Ingat uraian Ki Darma, Ginggi menjadi penuh harapan,
dirinya bisa bertahan di dalam air bila sanggup menghirup
udara yang ada di dalam air itu sendiri. Tapi bagaimana
caranya" Kesalahan fatal yag dia lakukan adalah mengabaikan
keberadaan air itu sendiri. Dia secuil pun tidak
memanfaatkan air untuk membantunya mendapatkan
udara. maka teringat akan kekeliruannya ini, sedikit demi
sedikit dia menelan air tong itu. Bersamaan dengan air yang
masuk, udara pun akan sama masuk mengisi urat-urat
darahnya. Tapi udara kotor di dalam tubuhnya pun harus
segera dia keluarkan melalui hidung. Dan memasukkan
yang bersih dari air tong yang ditelannya.
Ada gelembung dan buih karena upaya-upaya ini. Dan
Ginggi kemudian menggoyang-goyangkan kepalanya agar
air bergoyang keras. Goyangan air akan menimbulkan
celah-celah di sekitarnya dan memungkinkan udara dari
luar berpeluang masuk ke wilayah tong.
Rupanya gerakan-gerakan Ginggi ditafsirkan oleh Ki
Bagus Seta dan Ki Banaspti sebagai penyerahan diri sebab
Ginggi merasa tak kuat lagi terbenam berlama-lama di
dalam air. Terdengar tali dikerek ke atas dan kepala Ginggi
mumbul lagi ke udara. Ginggi bernapas dalam-dalam
menghirup udara segar. "Bagaimana, kau siap bergabung?" tanya Ki Bagus Seta.
Ginggi hanya menarik napas dalam-dalam mengisi paru-
parunya dengan udara yang didapat secara langsung.
"Kalau aku tak gabung apakah aku harus mati?" tanya
Ginggi. "Ya, harus mati, sebab kau hanya akan menjadi duri.
Perjuangan kita adalah perjuangan besaryang penuh
rahasia. Jadi, tidak boleh ada yang tahu rahasia ini kecuali
orang-orang yangsetuju dengan perjuangan ini," kata Ki
Bagus Seta. Ginggi diam sejenak. "Sebutkan syarat-syaratnya bila
aku ikut gabung!" gumam Ginggi.
"Syaratnya kau harus taat perintah kami!?"Apa saja
perintah itu?" "Engkau punya pekerjaan berat tapi mulia!"
"Apa itu?" "Pertama bunuh Suji Angkara!"
"Pasti ada perintah yang kedua ?"
"Ya, inilah perintah dan tugas paling berat tapi mulia.
Kau bunuhlah Sang Prabu Ratu Sakti!"
"Membunuh Raja?"
(O-anikz-O) Yang Penting Jangan Mati Dulu
"Ya, tugasmu membunuh Raja!" kata Ki Bagus Seta
pendek. "Bagaimana?" Ki Banaspati bertanya tak sabar. Tapi
karena Ginggi masih tak menjawab, Ki Bagus Seta kembali
menurunkan kerekan. Otomatis tubuh Ginggi pun turun
kembali, kepalanya sebatas leher terbenam ke permukaan
air tong. Lama tak diangkat sebab Ginggi tak memberi tanda agar
dia mau bicara. Tapi beberapa lama kemudian kerekan
diangkat kembali. Untuk kedua kalinya Ki Bagus Seta
bertanya kembali, apakah dia bersedia mengemban tugas ini
atau tidak. "Selama kau belum memberikan jawaban kepalamu akan
terbenam di dalam tong. Coba kau lihat ke atas kerekan,"
kata Ki Bagus Seta menjambak kepala Ginggi sehingga
kepalanya mendongak ke atas, "Di atas kerekan ada
semacam genta. Bila kau tarik tali genta akan terdengar
nyaring dan suaranya bisa sampai ke puri di mana aku
berada. Kalau kau setuju dengan keinginanku, kau tarik tali
genta itu!" kata Ki Bagus Seta.
Ginggi selintas ada melihat, di samping kerekan ada
genta baja menggantung serta ujungnya diikat sebuah tali.
Tali itu berjarak kurang lebih satu depa dari ujung sepasang
kakinya yang diikat di tali kerekan.
"Nah, sudah kau lihat genta beserta talinya, ya. Jadi aku
tunggu suara genta itu terdengar," kata Ki Bagus Seta,
menurunkan kembali kerekan dan berlalu bersama Ki
Banaspati dari ruangan itu.
Sialan orang-orang itu, kutuk Ginggi dalam hatinya.
Benar-benar hanya dua pilihan bagi dirinya, memukul genta
atau mati. Ki Bagus Seta pandai sekali mengatur siasat.
Genta itu sebetulnya berfungsi pula sebagai alat untuk
memberitahu dirinya bila Ginggi berniat akan lari, sebab
genta hanya akan tertarik talinya bila dia mencoba
membuka ikatan di bagian kakinya. Ki Bagus Seta juga
kejam, sebab bila Ginggi berniat menarik tali genta,
otomatis harus bisa membuka ikatan di kedua tangannya.
Selama sepasang tangannya yang dipelintir dan diikat ke
belakang belum dibuka, mana mungkin dia bisa menarik
tali genta" Jadi bila Ginggi setuju dengan keinginan mereka,
sebelumnya harus berjuang dulu membuka ikatan di kedua
pergelangan tangannya. Ya, mereka benar-benar kejam. Tapi bisa juga kekejaman
ini sekaligus mereka maksudkan untuk menguji sejauh
mana Ginggi memiliki kemampuan. Bila Ginggi sanggup
menarik tali genta, itu hanya punya arti dirinya sanggup
melepaskan ikatan tangannya. Dan Ki Bagus Seta benar-
benar licik, sebab bila Ginggi sanggup membebaskan diri,
hanya punya arti bahwa dirinya setuju dengan perintah
mereka.
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara itu bagian tubuh yang terbenam di air tong
hanya sebatas leher sampai ubun-ubun saja. Ini
memungkinkan Ginggi untuk sesekali menekuk lehernya
agar kepala dan wajah bisa sedikit terangkat serta bisa
menghirup udara langsung. Di sini juga Ginggi mengerti
bahwa Ki Bagus Seta tidak berniat membunuh Ginggi
secara cepat. Kepala pemuda itu akan benar-benar terbenam
selamanya bila dia sudah begitu payah mendongak dan
menekukkan lehernya saja. Jadi selama Ginggi masih
sanggup mengangkat kepala dari permukaan maka selama
itu pula kematian tak akan menjemput. Namun tentu saja
tenaga Ginggi ada batasnya dalam upaya menekuk
lehernya. Kalau seharian dia dalam keadaan begitu, malah
bisa-bisa mati pegal. Dengan demikian, sebenarnya Ki
Bagus Seta menyodorkan satu pilihan yang sifatnya
memaksa. Kalau Ginggi ingin lolos dari kematian, akalnya
harus menyetujui keinginan mereka.
Bila Ginggi merasa pegal lehernya, dia terpaksa
membenamkan kepalanya ke dalam tong. Di dalam tong
yang penuh air itu dia berusaha menahan napasnya. Bila
sudah tak tahan, kembali mendongakkan kepala untuk
menghirup udara baru, begitu seterusnya.
Dan selama dalam keadaan tergantung, Ginggi pun terus
berpikir. Bukan mencari jalan bagaimana cara melarikan
diri, melainkan mencoba menimang-nimang kedudukan
mereka. Dia mengulang kembali perjalanan hidupnya mulai dari
turun gunung. Oleh Ki Darma Ginggi disuruh bergabung
dengan murid-muridnya, Ki Bagus Seta, Ki Banaspati, Ki
Rangga Guna dan Ki Rangga Wisesa. Ki Rangga Wisesa
sudah diketahui menyeleweng dari kebenaran. Dia menjadi
penjahat setengah gila dan berkhianat mencelakakan Ki
Darma. Ki Rangga Guna memang patut dia ikuti jejak
langkahnya. Namun dia kini menjadi buronan pemerintah
sehingga tidak memiliki kebebasan bergerak. Ki Rangga
Guna bahkan selalu hidup dalam pengasingan sehingga
hampir-hampir tak mengikuti perkembangan negara lagi.
Mungkin baru belakangan ini, sesudah bertemu dengan
Ginggi dan diberitahu kejadian paling akhir Ki Rangga
Guna tergerak lagi untuk mengikuti perkembangan negara.
Tapi jelas Ginggi tak bisa bergabung terang-terangan
dengan Ki Rangga Guna kalau tak mau sama-sama dituduh
pemberontak. Sedangkan yang dua orang lagi, Ki Banaspati dan Ki
Bagus Seta, sampai sejauh ini belum benar-benar
meyakinkan hati pemuda itu. Mendengar berita terakhir
yang disampaikan, ternyata kedua orang itu benar-benar
akan melawan Raja. Ki Banaspati mempersiapkan kekuatan
di luar Pakuan dan Ki Bagus Seta bersiap-siap di dalam
istana. Keduanya akan bekerjasama untuk menghancurkan
Raja. Tapi sejauh mana mereka akan tetap bekerjasama"
Ginggi ingat cita-cita Ki Banaspati yang berniat
menggantikan kedudukan Raja. Sedangkan yang juga sama-
sama punya cita-cita seperti itu adalah pula Kandagalante
Sunda Sembawa. Dia merasa punya hak jadi Susuhunan di
Pakuan dan berupaya untuk merebut kekuasaan. Dan Ki
Bagus Seta sendiri bagaimana"
Ginggi kembali teringat obrolan Ki Bagus Seta dengan
Bangsawan Soka. Kedua orang ini pun nampaknya
memiliki ambisi yang sama untuk menguasai Pakuan
kendati tak pernah bicara ingin duduk sebagai orang
pertama di istana. Bangsawan Soka ingin menjadi penasihat
Raja. Begitu pun Ki Bagus Seta menginginkan agar yang
menjadi penasihat Raja adalah Bangsawan Soka. Sedang di
lain fihak, Sang Prabu Sakti sendiri telah merencanakan
Bangsawan Yogascitra yang akan memegang jabatan
penasihat. Mengapa Ki Bagus Seta tak setuju Bangsawan
Yogascitra menjadi penasihat Raja, kemungkinan dia
merasa akan terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan bagi
kegiatannya di istana. Ginggi memang sudah mendengar
khabar bahwa Bangsawan Yogascitra seorang negarawan
yang baik. Dia setia, jujur, tidak berambisi dan selalu siap
membela negara dengan taruhan nyawa. Barangkali Ki
Bagus Seta khawatir, bila Bangsawan Yogascitra menjadi
penasihat Raja akan menjadi penghalang besar dalam
melakukan gerakan rahasia. Lain lagi bila Bangsawan Soka
yang menjabat. Orang ini bukan tipe pejabat yang setia
kepada Raja dan negara, melainkan hanya setia kepada
harta dan kedudukan semata.
Ginggi belum benar-benar percaya akan tindak-tanduk
Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati. Mungkin benar kedua
orang itu bekerja mengatasnamakan amanat Ki Darma, tapi
amanat guru sepertinya mereka manfaatkan untuk meniti
jalan merangkul cita-citanya, yaitu jadi orang berpengaruh
di Pakuan. Kalau benar dugaannya ini, akankah Ginggi
bergabung dengan mereka" Kalau dia tak bergabung pasti
mati. Tapi bila bergabung apa untung-ruginya"
Ginggi berpikir lagi perihal keberadaan Prabu Ratu Sakti
Sang Mangabatan. Selama Raja ini memerintah banyak
terjadi gejolak sosial. Beberapa wilayah Kandagalante dan
kerajaan kecil berusaha melepaskan diri sehingga banyak
terjadi bentrokan-bentrokan antara pasukan kerajaan
melawan pasukan wilayah-wilayah di bawah Pakuan.
kehidupan rakyat sangat terganggu. Rakyat tidak tentram
karena banyak terjadi pemberontakan, juga tak tentram
karena beban pajak yang tinggi. Jadi, bijaksanakah Ki
Bagus Seta dan Ki Banaspati yang bercita-cita meruntuhkan
kekuasaan Raja yang tengah berkuasa sekarang"
Ginggi jelas harus membantu rakyat dari tekanan Raja.
Tapi tepatkah bila menjalankan amanat Ki Darma
dibuktikan dengan cara mendukung cita-cita kedua orang
itu" Ginggi tetap belum mengerti dengan segala tindakan
yang dilakukan mereka. Mereka mengaku tengah
menjalankan amanat Ki Darma dalam upaya membela
kepentingan rakyat tapi sambil mengumpankan rakyat itu
sendiri. Buktinya, Ki Banaspati bergerak mengumpulkan
dana dari pajak-pajak rakyat dalam membangun kekuatan
pasukan dan Ki Bagus Seta bergerak seolah-olah
mendorong Raja agar semakin terjerumus dalam kesalahan.
Raja terus didorong agar melaksanakan kebijaksanaan yang
sekiranya tidak disenangi rakyat seperti menaikkan pajak
tahunan misalnya. Bahkan belakangan, Raja juga digiring
untuk melakukan tindakan yang sekiranya akan dinilai
rakyat sebagai tindakan melanggar aturan moral. Ginggi
sudah ingat kekhawatiran Purohita Ragasuci yang cemas
kalau-kalau Sang Prabu benar mempersunting putri
larangan. Nyimas Layang Kingkin menurut Purohita
adalah putri larangan dan tidak boleh di kawin Raja karena
gadis itu sudah bertunangan. Kalau perkawinan ini
dilaksanakan, dikhawatirkan akan terjadi kegoncangan di
kalangan istana. Dan peristiwa ini sepertinya sengaja diatur
Ki Bagus Seta. Di samping ingin memiliki kedudukan
tinggi, Ki Bagus Seta juga punya tujuan ganda yaitu
mengharapkan terjadi gejolak di istana karena tindakan
Raja yang keliru mengawini putri larangan.
Ya, segalanya sepertinya diumpankan oleh mereka
berdua agar terjadi berbagai kemelut di istana. Mereka
sepertinya akan menangguk di air keruh. Di saat-saat
kekacauan terjadi di pusat pemerintahan, Ki Bagus Seta dan
Ki Banaspati akan bertindak mengambil-alih kekuasaan.
Sungguh pandai dan sekaligus licik mereka. Tapi apakah
berbagai kelicikan ini merupakan bagian yang sah dari
perjuangan" Ginggi bingung memikirkannya.
Hati kecilnya tidak pernah setuju akan berbagai
kebijaksanaan kedua murid Ki Darma ini. Tapi Ginggi pun
tak mau mati percuma. Menantang mereka secara
membabi-buta hanya akan berkorban sia-sia. Tentu, Ginggi
tak mau nasib buruk seperti itu menimpanya. Jadi kalau
begitu, dia harus cari akal. Setuju atau tidak dengan cita-cita
mereka jangan dulu dipikirkan sekarang. Yang perlu dia
lakukan kini adalah bagaimana caranya agar tidak mati sia-
sia. Berpikir sampai di sini, Ginggi segera meronta-ronta
berusaha melepaskan ikatan di kedua tangannya. Tali itu
terbuat dari lintingan kulit binatang. Alot dan kenyal, tidak
mungkin diputus begitu saja. Satu-satunya jalan adalah
melemaskan otot pergelangan tangan. Bila otot dilemaskan
akan seperti licin dan bisa memudahkan dalam meloloskan
ikatan. Tapi kesulitannya, tali terbuat dari kulit ini akan
mengerut bila kena air. Kulit yang kena air pun menjadi
tidak licin dan sedikit lengket pada kulit tangannya. Dan
Ginggi perlu membikin lecet pergelangan tangannya untuk
meloloskan tali kulit itu.
Dengan susah ayah akhirnya Ginggi bisa juga
melepaskan ikatan di tangannya. Sekarang dia perlu
menggerak-gerakkan tubuhnya untuk mencari ancang-
ancang agar kedua tangannya bisa menangkap sepasang
kakinya yang berada di bagian atas. Ginggi berayun-ayun.
Pada ayunan kesekian dia segera membuat lentingan sambil
serentak menangkap kakinya. Sesudah beberapa kali
mengalami kegagalan, akhirnya berhasil juga. Sedikit demi
sedikit tangannya berpegangan pada betisnya, sudah itu
naik memegang telapak kakinya. Kalau Ginggi langsung
membuka ikatan di kakinya, maka tali yang
menghubungkan genta akan ikut tertarik dan genta akan
berbunyi. Tidak! Genta tak boleh berbunyi. Itulah
sebabnya, sebelum membuka ikatan di kaki, terlebih dahulu
dia harus naik ke atas kerekan. Genta digantung di atas
tiang kerekan. Jadi tujuan Ginggi sekarang meredam genta
agar tak terjadi bunyi. Tubuh pemuda itu terus melenting untuk menggapai
genta. Sesudah bisa mendapatkannya, secara perlahan tali
genta dia lepas. Perlahan sekali, agar bola genta tak
bergoyang. Tali genta sudah berhasil dia lepaskan. Dengan perasaan
lega Ginggi membuka ikatan tali di kakinya. Sesudah bisa
lepas, Ginggi segera jumpalitan dan turun dengan sepasang
kaki jatuh tepat menginjak tanah.
Dan bertepatan dengan itu, terdengar suara tepukan
tangan. "Bagus! Kau tepat menjadi pembantu utamaku!" seru Ki
Bagus Seta yang tanpa diketahui Ginggi sudah berada di
ruangan itu. Ketika Ginggi menoleh, Ki Banaspati pun
sudah berada di sana. Pemuda itu amat kesal. Susah-payah
dia melepaskan diri dari ikatan tali, sudah bebas dipergoki
mereka. Atau barangkali mereka memang mengintip sejak
tadi, seperti seekor kucing mempermainkan tikus.
"Bagaimana, sudah kau pikirkan dalam-dalam?" tanya Ki
Banaspati menatapnya. "Sudah ?" jawab Ginggi.
"Ya, bagaimana?"
"Aku tidak membunyikan genta!"
Ki Banaspati tersenyum kecil dan Ki Bagus Seta
mendengus. "Kalau begitu, engkau harus mati!" kata Ki Bagus Seta
pendek dan dingin. Ki Bagus Seta hendak bergerak tapi segera dicegah oleh
Ki Banaspati. "Kau pikirlah baik-baik," katanya, "Kalau kau tak setuju
artinya kau harus dibunuh di sini juga. Bisa jadi kau
melawan dan kau melarikan diri dari puri ini. Tapi di
luaran kau tak bisa aman sebab semua prajurit bahkan
perwira Pakuan akan mengejarmu. Dengan mudah Ki
Bagus Seta akan menuduhmu sebagai penjahat dan
pembunuh. Pikirlah secara baik-baik. Kalau kau sudah
diketahui fihak penguasa bahwa kau jahat, maka tak ada
ampun bagimu dan kami sudah tak bisa melindungimu,
sama sulitnya seperti kami hendak berusaha melindungi Ki
Rangga Guna, saudara seperguruan yang lain," kata Ki
Banaspati panjang-lebar. Mendengar ini Ginggi termenung
untuk beberapa saat. "Kalian sudah bertemu Ki Rangga Guna?" tanya Ginggi.
Ki Banaspati malah terlihat tertawa. Namun kemudian
wajahnya serentak menjadi kelabu dan keningnya berkerut.
"Itulah ruginya bagi yang tak faham dengan taktik
perjuangan," kata Ki Banaspati lagi. "Sejak dulu dia dikejar-
kejar pemerintah. Celakanya, dia pun tak mau mengerti
taktik perjuanganku. Dia datang ke wilayah Kandagalante
Sagaraherang dan menantang serta menegurku. Terpaksa
aku dan Kandagalante Sunda Sembawa turun tangan. Ki
Rangga Guna ditangkap dan ditahan di sana. Aku masih
berbaik hati sebab keinginan Sunda Sembawa, dia harus
dibunuh!" kata Ki Banaspati, membuat Ginggi terhenyak.
"Oleh sebab itu, taatilah kami. Kau tak perlu sangsi
dengan perjuangan kami, sebab semua tetap berpegang
kepada amanat Ki Guru!" kata Ki Banaspati lagi.
Ginggi termenung lama-lama. Hatinya mulai meragu
akan kebenaran yang ada pada dirinya.
"Aku juga berpegang kepada amanat Ki Darma. Tapi
yang aku tak mengerti, mengapa musti bunuh Raja?" tanya
Ginggi mencoba menghabiskan rasa penasarannya.
"Sudah aku katakan, perjuangan ini membangun. Dan
membangun juga bisa diartikan merusak, merusakkan
sendi-sendi lama yang dianggap tak cocok dan diganti
dengan sendi-sendi baru. Yang namannya merusak adalah
menghancurkan, menghilangkan dan membersihkan. Kita
ganti dengan yang baru, dengan yang bersih dan berguna
bagi siapa saja!" kata Ki Banaspati lagi. Ginggi termangu-
mangu. "Kau pikirlah itu baik-baik ?" kata Ki Bagus Seta yang
sejak tadi tak begitu banyak bicara.
Terus didesak dan ditekan seperti itu membuat Ginggi
bingung sendiri. Akhirnya dia duduk meloso di lantai dan
menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya.
"Kalau aku melaksanakan tugas ini, bersediakah kalian
melaksanakan permintaanku?" tanya Ginggi pada akhirnya.
"Apa permintaanmu?"
"Lepaskan Ki Rangga Guna dan bebaskan aku!"
Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Banaspati tersenyum, "Membebaskan Ki Rangga
Guna amat bergantung pada kesuksesanmu mengemban
perintah, sebab bila Raja telah mati, otomatis semua
kebijaksanaannya tak berlaku, termasuk mencap murid-
murid Ki Darma sebagai pengkhianat!" kata Ki Banaspati
lagi. "Dan sesudah selesai perjuangan kita, bukan sesuatu
yang sulit membebaskanmu ke mana kau suka," katamya
lagi Ginggi termenung sejenak, tapi kemudian berkata, "Baik
kalau begitu ?" Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta saling pandang dan
kemudian mengangguk dan tersenyum.
(O-ani-kz-O) Begitu besarnya pengaruh Ki Bagus Seta seperti yang
Ginggi rasakan. Peristiwa terbunuhnya belasan jagabaya di
purinya yang dituduhkan pada Ginggi tidak berbekas sama
sekali. Para jagabaya di puri tidak menganggap Ginggi
sebagai musuh yang harus ditangkap. Dia kembali bisa
bebas bergerak. Ini hanya menandakan bahwa kebebasan
dirinya karena pengaruh Ki Bagus Seta. Paling tidak di
sekitar purinya sendiri. Ki Bagus Seta demikian berkuasa untuk menentukan
kebenaran. Sepertinya di puri itu, hukum berada di lidah
dan mulutnya. Baru saja Ginggi dituduh pembunuh dan Ki
Bagus Seta mengerahkan prajurit untuk mengepungnya,
namun belakangan dengan entengnya dia membatalkan
tuduhannya, sehingga Ginggi pun bebas kembali. Lantas,
belasan jagabaya yang mati bergeletakan, mau diapakan
selanjutnya" Ini amat mengherankan Ginggi. Bukan saja heran
memikirkan situasi di dalam puri Ki Bagus Seta, bahkan
situasi keseluruhan Pakuan pun Ginggi merasa heran.
Bagaimana sebenarnya hukum yang berlaku di Pakuan ini"
Ada terjadi beberapa peristiwa yang memakan korban jiwa.
Dan orang-orang yang terlibat dalam peristiwa itu begitu
saja sanggup melepaskan diri dari urusan itu. Para hamba
hukum yang ada di Pakuan sepertinya tidak pernah tahu
akan adanya peristiwa di puri Suji Angkara yang memakan
korban misalnya. Para pejabat hukum Pakuan sepertinya
benar tak mengetahui peristiwa itu karena Suji Angkara
pandai menyembuyikannya. Tapi peristiwa di puri Bagus
Seta di mana belasan jagabaya terbunuh dan semua
dituduhkan padanya, mengapa bisa tak diketahui oleh para
pejabat hukum istana, padahal Ki Bagus Seta sempat
memanggil prajurit istana"
Timbul dugaan bahwa pengaruh-pengaruh Ki Bagus Seta
benar-benar telah merambah ke istana. Dengan kata lain, di
istana pun sudah banyak terdapat orang-orang yang bekerja
untuk kepentingan Ki Bagus Seta. Bila tidak begitu, tidak
mungkin banyak berita perihal istana sampai dengan cepat
ke puri Bagus Seta. Keputusan yang dijatuhkan Ki Bagus Seta dan Ki
Banaspati dalam upaya membunuh Raja pun karena
adanya berita-berita yang datang dari istana. Ki Bagus Seta
menerima khabar bahwa Sang Prabu Ratu Sakti tidak akan
mengubah keputusannya dalam memilih orang yang
dianggap cocok sebagaai penasihat Raja. Seperti yang sudah
disebutkannya semula, Pangeran Yogascitra akan tetap
diangkat sebagai penasihat.
Ini suatu berita yang amat menyakitkan Ki Bagus Seta.
Padahal dia sudah berkorban banyak untuk
memperjuangkan Bangsawan Soka sebagai penasihat.
Putrinya satu-satunya telah terlanjur dia "tawarkan" pada
Sang Prabu untuk dipersunting dan tak mungkin
dibatalkan. Dengan demikian Ki Bagus Seta benar-benar
rugi segalanya. Pada suatu hari Ginggi dipanggil ke ruangan tengah puri
yang berfungsi sebagai paseban, yaitu tempat untuk
mengadakan berbagai pertemuan penting.
Ginggi masuk ke ruangan itu manakala di sana sudah
berkumpul pejabat penting. Selain Ki Bagus Seta dan Ki
Banaspati juga terdapat Bangsawan Soka. Mereka duduk
bersila saling berhadapan dan wajah-wajahnya nampak
tegang sekali. "Masuklah!?" kata Ki Bagus Seta pendek. Bangsawan
Soka nampak keheranan melihat Ginggi disuruh duduk di
satu tempat. "Bukankah anak muda ini badegamu, Seta?" tanya
Bangsawan Soka mengerutkan dahi.
"Sekarang sudah aku angkat menjadi pembantu
utamaku," kata Ki Bagus Seta. Bangsawan Soka hanya
mengangguk-angguk pelan sambil mata menatap penuh
selidik pada Ginggi. "Ada perkembangan penting yang harus segera kita
tangani, Ginggi," kata Ki Bagus Seta menoleh pada pemuda
itu. Ginggi hanya duduk membisu.
"Sang Prabu yang seharusnya kita hormati dan junjung
tinggi telah mengecewakan kita," kata Ki Bagus Seta.
"Menurut berita yang sampai ke Bangsawan Soka, Sang
Prabu selain akan mempersunting putriku, Nyimas Layang
Kingkin, juga tidak akan membatalkannya dalam
melaksanakan pernikahannya dengan putri Pangeran
Yogascitra. Padahal tadinya aku menyerahkaan anakku
dengan harapan Sang Prabu mengabaikan hubungan
dengan Pangeran itu dan berbalik padaku. Kita kecewa
sebab Sang Prabu ternyata tak begitu menghargai kita,"
katanya lagi masih menatap Ginggi.
Pemuda ini belum tahu persis apa sebenarnya maksud
penyampaian berita ini. Hanya yang jelas ada juga rasa tak
enak di hatinya. Mengapa begitu, Ginggi sendiri belum
mengetahuinya. "Tapi kita belum mau putus asa, perjuangan harus
dilanjutkan," kata Ki Bagus Seta lagi, kini menatap wajah
Bangsawan Soka. "Soka, kalau engkau punya rencana, kemukakan pada
pembantu utamaku!" katanya masih melihat Bangsawan
Soka. Yang ditatap malah menoleh kepada Ginggi. Matanya
menyorot penuh selidik dan ada kesan menyangsikan
Ginggi. "Berhargakah seorang badega kuajak bicara?" gumamnya
seolah merendahkan Ginggi.
"Boleh kau selidik, serendah apa pembantuku ini," kata
Ki Bagus Seta tersenyum kecil.
Begitu selesai ucapan ini, Bangsawan Soka segera
mengirim tonjokan tangan kanannya mengarah hidung
Ginggi. Dengan gerakan ringan tapi mantap, sambil duduk
bersila Ginggi hanya miringkan kepala sedikit ke kiri,
tonjokan tangan kanan Bangsawan Soka nyeplos memukul
angin. Kegagalan ini segera disusul dengan tonjokan tangan
kiri dan Ginggi enteng saja miringkan kepalanya ke kanan.
Rupanya bangsawan ini belum merasa puas dan masih
penasaran untuk mencoba serangan ketiga. Kali ini kedua
belah tangannya dia satukan dan sepasang telapak tangan
dirangkap seperti akan menyembah. Tapi dengan tenaga
penuh dia sodokkan ke depan mengarah wajah Ginggi.
Ginggi tak mau wajahnya disodok sepuluh jari-jari tangan
yang nampak runcing dan kuat. Dengan gerakan kilat
wajah dan tubuhnya dia doyongkan ke belakang dan
serangan ketiga ini masih lolos.
Bangsawan Soka rupanya lupa bahwa tadi dia hanya
ingin mencoba saja. Tapi karena tiga serangan begitu
entengnya dihindarkan Ginggi, sepertinya dia menjadi
merasa terhina dan direndahkan. Apalagi pemuda itu dalam
menghindar tak pernah menggerakkan badannya secara
berlebihan. Kini Bangsawan Soka segera memutar-mutar sepasang
tangannya, membusungkan dada, menahan pernapasan dan
menarik sepasang tangannya ke belakang. Dengan kedua
telapak tangan terbuka, dia mendorong angin pukulan ke
depan disertai teriakan keras. Ginggi tak tinggal diam.
Sambil membaca doa-doa yang diberikan Ki Rangga guna,
Ginggi mencoba menahan pukulan lawannya.
(O-anikz-O) Suji Angkara Harus Diwaspadai
Hampir setahun lalu Ki Rangga Guna memberikan
pengetahuan singkat perihal penjagaan diri. Kata Ki
Rangga Guna, setiap benda, baik itu benda mati atau pun
hidup memiliki daya kekuatan (energi). Bisa mengeluarkan
energi tapi bisa pula menahan diri dari kekuatan yaang
datang menyerang. Kalau disadari kekuatan itu ada, maka
semakin besar, maka semakin besar daya dobrak lawan,
akan semakin kuat pula daya tahannya. Ibarat sebuah
benda yang dijatuhkan ke atas bantalan karet, semakin berat
benda itu jatuh ke atas karet, maka akan semakin kuat pula
tenaga karet untuk melontarkan kembali benda yang
menimpanya itu. "Engkau harus percaya akan adanya tenaga dalam yang
ada pada diri manusia," kata Ki Rangga Guna tempo hari.
"Ada tenaga maha kuat dalam diri kita. Kalau kita sanggup
mengendalikannya, selain berguna untuk melakukan
serangan terhadap lawan, juga lebih berguna lagi digunakan
sebagai perisai. Kala pernapasanmu baik, kalau jiwamu
kuat, maka semakin besar tenaga dalam lawan menyerang
kita, maka akan semakin besar pula tenaga tolakan yang
ada dalam dirimu," Sudah berapa kali ilmu yang diberikan Ki Rangga Guna
dia praktekkan. Peragaan paling berat ketika menghadapi
serangan-serangan Ki Bagus Seta kemarin dulu. Dan benar
belaka apa yang dikatakan Ki Rangga Guna, bila dia
sanggup menghimpun pernapasan serta memiliki ketahanan
jiwa yang tangguh, energi yang ada di dalam dirinya
sanggup menahan serbuan tenaga dalam dari lawan. Ki
Bagus Seta yang pandai menggunakan tenaga dalam, bisa
dia tolak dengan pengerahan batinnya.
Sekarang peristiwa adu tenaga dalam rupanya akan
terulang lagi, sebab Bangsawan Soka begitu bernafsunya
untuk menyerang pemuda itu. Ginggi sebetulnya khawatir
menerima serangan ini. Bukan karena takut kalah, tapi
selintas pemuda ini bisa melihat, tenaga dalam Bangsawan
Soka kurang begitu kuat. Tenaga dalam yang lemah
menandakan jiwa yang lemah pula. Ginggi takut, bila
Misteri Pedang Pusaka 1 Ceritakan Mimpi-mimpimu Tell Me Your Dreams Karya Sidney Sheldon Iblis Segala Amarah 3