Pencarian

Senja Jatuh Di Pajajaran 9

Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka Bagian 9


Bagus Seta pasti. Bangsawan Soka untuk sementara tak memberikan
komentar sehingga Ginggi hanya menyimak sesuatu yang
sunyi sekali kecuali suara binatang malam jenis serangga
yang terdengar dari arah pekarangan.
"Tapi apa pun yang terjadi, kita harus berjuang agar
perhatian dan kepercayaan Sang Prabu jangan sampai
pindah kepada Bangsawan Yogascitra!" tiba-tiba
Bangsawan Soka berkata lagi.
"Ya, memang harus diusahakan. Tapi kita menghadapi
kendala amat berat. Sang Prabu tengah menginginkan
sesuatu dari Bangsawan Yogascitra. Beliau tertarik kepada
keelokan Nyimas Banyak Inten. Kalau keinginan Sang
Prabu terlaksana dan putri Bangsawan Yogascitra menjadi
selir Raja, kedudukan bangsawan itu akan semakin kuat!"
"Hahaha!" Bangsawan Soka terdengar tawanya.
"Mengapa engkau tertawa, Soka?"
"Itulah rupanya kuncinya. Kalau putri Bangsawan
Yogascitra dipersunting Raja hubungan mereka semakin
erat dan kedudukan Bangsawan itu semakin kuat!"
"Ya, begitu. Tapi mengapa kau tertawa?" Ki Bagus Seta
bertanya bingung. "Sudah aku katakan, itulah kuncinya. Jadi, kalau kau
inginkan Yogascitra gagal memegang jabatan penasihat
Raja, maka carilah akal agar hubungan mereka menjadi
renggang!" kata Bangsawan Soka.
"Kau maksudkan, keinginan Sang Prabu dalam
mempersunting putri Yogascitra harus kita gagalkan?"
"Nah, ternyata kau pandai menebak!" seru Bangsawan
Soka. "Tapi amat berbahaya menjegal keinginan Raja?" kata
Ki Bagus Seta sesudah agak lama tak terdengar
komentarnya. "Rasanya itu perjuangan amat berat dan
penuh risiko?" lanjutnya.
"Tidak berat kalau kau tahu caranya," desak Bangsawan
Soka, "Raja belum pernah mengemukakan keinginannya itu
secara langsung. Berita ini pun datangnya baru berupa
bisik-bisik para dayang istana Raja saja. Oleh karena itu,
kita harus berpacu. Kau cepatlah pinang Nyimas Banyak
Inten untuk putramu Suji Angkara, sebab bukankah kau
pun maklum tentang keinginan putramu itu?"
Sunyi sebentar. "Jangan kau risau dengan ini. Barangkali benar Sang
Prabu akan sedikit tersinggung. Namun aku hafal betul
perangai Sang Prabu. Kemarahannya akan cepat sirna kalau
ada sesuatu keinginan lain sebagai penggantinya. Kau
serahkanlah putrimu, Nyimas Layang Kingkin pada Raja,
beliau pasti senang!"
"Gila!" "Kau jangan merendahkan anakmu sendiri, Seta!
Nyimas Banyak Inten memang putri elok tapi Nyimas
Layang Kingkin lebih matang dan lebih dewasa. Dia akan
lebih pandai melayani keinginan-keinginan Sang Prabu!"
"Tapi kau harus tahu, putriku sudah lama berhubungan
dengan Banyak Angga, bahkan Bangsawan Yogascitra
sudah mengajukan pinangan. Kami hanya menunggu
waktu yang baik, kapan mereka akan kunikahkan!" kata Ki
Bagus Seta. "Betul, tapi persetujuanmu dengan keluarga Bangsawan
Yogascitra terjadi sebelum ada masalah pencalonan
penasihat Raja. Sekarang kau harus berpikir lain. Urusan
pertikahan putrimu kini sudah bukan sekadar memilih
besan, melainkan sudah beranjak ke masalah kedudukan
bahkan mempengaruhi nasib kerajaan ini sendiri. Segalanya
kini bergantung kepada kebijaksanaanmu. Kalau kau
mengalah dan membiarkan Yogascitra menjadi penasihat
Raja, kebijaksanaan di Pakuan dengan sendirinya akan
banyak bergulir. Padahal selama ini kebijaksanaan Raja
dalam mengendalikan Pakuan, lebih terpusat dari lontaran-
lontaran gagasan kita. Kau pikirkanlah itu, Seta!" kata
Bangsawan Soka sungguh-sungguh.
Kembali keheningan terjadi, sehingga Ginggi yang
mendekam di atas atap sirap tidak mengetahui lagi, apa
yang sebetulnya tengah mereka lakukan.
(O-anikz-O) Kecurigaan Burung merpati yang senang berkeliaran di sekitar puri,
sudah banyak mencari tempat berlindung dalam
menghabiskan malam. Beberapa di antaranya ada yang
hinggap di tepi-tepi genteng sirap di mana Ginggi
mendekam. Semula, binatang-binatang unggas yang
bentuknya lucu-lucu itu tidak menjadikan masalah bagi
Ginggi. Namun suatu saat, pemuda itu amat terkejut ketika
ada suara panggilan datang untuknya. Ki Bagus Seta
berteriak memanggil dirinya untuk suatu keperluan.
Ginggi tercekat hatinya. Tidak datang menghampiri akan
jadi pertanyaan. Tapi kalau meloncat turun juga akan
menjadi kecurigaan sebab burung-burung akan kembali
terkejut oleh gerakannya.
Namun karena suasana begitu menjepitnya, pemuda itu
mengambil risiko. Secara hati-hati dia meloncat turun dan
sepasang kakinya menjejak tanah dengan ringan. Namun
naluri merpati itu begitu halus. Gerakan meloncat turun
tubuh pemuda itu masih terkontrol kendati tak
menimbulkan bunyi. Desiran angin ketika tubuh pemuda
itu turun rupanya yeng menyebabkan beberapa merpati
terkejut dan beterbangan secara mendadak.
Ginggi cepat menyelinap masuk ke ruangan belakang
dan tergopoh-gopoh menuju ruangan tengah. Pemuda itu
sedikit berdebar ketika kedua orang pejabat itu
memandangnya dengan penuh selidik, terutama pandangan
mata Ki Bagus Seta yang demikian tajam seperti hendak
menembus ke lubuk hatinya.
"Ada apa, Juragan?" kata Ginggi mencoba bicara dengan
suara wajar. "Aku dengar di luar amat berisik, ada apakah?" Ki Bagus
Seta masih menatap penuh selidik.
"Oh"Baik saya periksa, ada apa di luar sana?" Ginggi
hendak berlalu. "Tidak usah pergi. Aku tahu di atas atap banyak burung
dara menumpang tidur," gumam Ki Bagus Seta lagi. Ginggi
tak jadi melangkah pergi.
"Kau bawalah oncor (obor), kemudian antar Juragan
Soka pulang ke purinya!" kata Ki Bagus Seta.
Ginggi mengangguk dan segera beranjak dari tempat itu.
Dia menuju ruangan belakang di mana di setiap sudut tiang
penyangga banyak obor yang batangnya terbuat dari logam
dengan sinar apinya menyala merah. Salah satunya dia
ambil untuk dipakai penerangan dalam mengantar tamu Ki
Bagus Seta. Di pekarangan depan Bangsawan Soka sudah
menantinya. Sedangkan Ki Bagus Seta hanya berdiri di
beranda. Kedua pejabat itu memandang dirinya dengan
penuh seksama, saling pandang, kemudian menatap Ginggi
lagi penuh selidik. "Ya, antarkan Juragan Soka ke rumahnya. Tapi kau
harus kembali lagi secepatnya!" kata Ki Bagus Seta.
"Baik, Juragan " Saya jalan di depan," kata Ginggi
sambil melangkah duluan. Bangsawan Soka berjalan di
belakangnya. "Sudah berapa lama kau menjadi badega di puri Bagus
Seta?" tanya Bangsawan Soka di tengah perjalanan.
"Hampir satu bulan, Juragan?" jawab Ginggi
mengawasi jalan tempat mereka melangkah. Jalanan cukup
gelap, sedangkan cahaya obor yang apinya bergoyang-
goyang terkena hembusan angin, hanya membuat matanya
silau saja. "Rupanya engkau bukan badega biasa ?" gumam
Bangsawan Soka lagi. "Mengapa, Juragan?"
"Langkahmu ringan, begitu pun gerakanmu. Aku suka
padamu. Kalau semua badega memiliki kepandaian
sepertimu, semua majikan akan merasa terjaga
keamanannya," kata lagi Bangsawan Soka. Berdebar dada
pemuda itu ketika mendengar omongan ini. Baru
disadarinya kini, bahwa selama ini dia kurang berhati-hati
dalam bertindak. Membodohi pemuda Seta, Madi atau
bahkan setingkat Suji Angkara masih tak mengapa sebab
kepandaian mereka yang sudah dia ukur berapa tingginya
tidak akan bermata jeli. Namun kedua orang tua ini sudah
memiliki asam-garam pengalaman. Ginggi sudah
mendengar, Bangsawan Soka dulunya adalah anggota
perwira seribu pengawal Raja. Ki Bagus Seta, selain murid
terpandai Ki Darma juga dikhabarkan banyak mencari ilmu
tambahan sesudah lama berpisah dengan sang guru. Ginggi
terlalu merendahkan kemampuan mereka, sebab terbukti
kini, Bangsawan Soka sudah bisa meraba bahwa dirinya
"berisi". Ginggi kini sudah tak mungkin berpura-pura lagi. Kalau
secara tiba-tiba gerakannya diperberat, hanya akan
menambah kecurigaan bangsawan ini saja.
"Sebelum bertugas di Puri Bagus Seta, saya adalah
badega Raden Suji Angkara. Di sana banyak jagabaya
pandai-pandai dan kadang-kadang saya diperbolehkan ikut
serta latihan kewiraan. Saya memang berhasrat jadi
jagabaya juga ?" kata Ginggi mencari-cari alasan
semampunya. Namun rupanya bangsawan ini sedikit
maklum dan dapat mengurangi rasa curiganya.
Sampai tiba di puri kediamannya, Bangsawan Soka tidak
mengajukan pertanyaan yang aneh-aneh lagi dan membuat
pemuda itu merasa lega karenanya.
Tapi sesudah mengantar pulang bangsawan bertubuh
gemuk itu, perasaan khawatir mulai menyelimuti dirinya.
Sekilas tadi Ginggi bisa menyaksikan sorot tajam penuh
selidik dari Ki Bagus seta.
Barangkali benar, selama ini Ki Bagus Seta sudah
memendam rasa curiga terhadapnya. Bayangkan, hanya
dalam sekilas, Bangsawan Soka bisa menduga dia "berisi",
apalagi Ki Bagus Seta yang hampir sebulan punya
kesempatan menelitinya. "Mudah-mudahan penilaianmu tidak keliru, sehingga
aku pun tak meragukannya?" terngiang lagi ucapan Ki
Bagus Seta terhadap Suji Angkara ketika pemuda itu
menyerahkan Ginggi untuk mulai bertugas di puri Ki Bagus
Seta. Sejak hari itu pun sebenarnya Ginggi sudah merasakan
ada kesangsian dari orang tua tangguh itu. Namun
dugaannya ini dia tepis kembali dan suara hatinya yang lain
mengatakan bahwa perasaannya hanya sesuatu yang
dilebih-lebihkan saja. Sekarang terbukti bahwa dugaannya tempo hari benar
belaka. Ginggi perlu hati-hati dan bersiap menghadapi segala
kemungkinan setibanya di Puri Bagus Seta. Perlukah dia
berterus-terang saja bahwa dirinya adalah murid Ki Darma
juga" Kalau Ki Bagus Seta tahu Ginggi masih utusan Ki
Darma yang mengemban amanat orang tua itu, bagaimana
pandangan Ki Bagus Seta terhadapnya" Akan menariknya
sebagai sekutu" Sekutu dalam hal apa"
Ginggi masih bingung memikirkannya. Ki Bagus Seta
selama ini bergerak di lingkungan istana. Namun pemuda
itu belum tahu persis, apa sebenarnya yang tengah
dilakukan Ki Bagus Seta di sana. Apakah semua kegiatan di
Pakuan masih ada pertaliannya dengan misi yang
dibebankan Ki Darma"
Bila menyimak obrolan Ki Bagus Seta dengan
Bangsawan Soka senja tadi, kentara sekali murid Ki Darma
ini berupaya memegang kendali di Pakuan. Dan kalau
dipertalikan dengan gerakan Ki Banaspati sepertinya punya
persamaan tujuan, yaitu sama-sama berambisi memiliki
pengaruh di Pakuan. Gerakan Ki Banaspati malah lebih
jelas dalam pandangan Ginggi, yaitu ingin merebut
kekuasaan negara dari tangan Raja yang ada sekarang.
Keduanya memiliki persamaan tujuan, tapi apakah
mereka sejalan dan bergabung dalam satu persekutuan"
Ginggi belum bisa menebak sampai ke sana. Di Pakuan,
hanya satu kali dia melihat Ki Banaspati, yaitu di saat uji
ketrampilan di alun-alun benteng luar. Sesudah itu, Ginggi
tak melihatnya lagi, sehingga pemuda itu tak sempat
menyelidik, sejauh mana hubungan Ki Bagus Seta dan Ki
Banaspati berlangsung. Ginggi mendapat khabar, Ki
Banaspati hari itu datang ke Pakuan pertama untuk
melaporkan kegiatannya di wilayah timur dan kedua untuk
menghadiri perayaan Kuwerabakti (penghormatan pada
dewa suami Dewi Sri, penguasa padi-padian dan
dilangsungkan 49 hari sehabis panen tahunan). Sesudah
perayaan itu selesai, khabarnya dia pun segera kembali ke
timur. Gerakan Ki Banaspati yang di wilayah timur tengah
membangun pasukan, dengan jelas sudah bisa disimak oleh
Ginggi. Segalanya kini tinggal bergantung pada Ginggi,
apakah akan bergabung dengan gerakan Ki Banaspati atau
tidak. Tapi terhadap Ki Bagus seta dia perlu hati-hati dan
penyelidikan harus terus dilakukan. Menurut penilaiannya,
gerakan Ki Bagus Seta di Pakuan masih samar-samar.
Sekali pun benar orang ini berusaha menanamkan
pengaruhnya di Pakuan, namun Ginggi belum bisa meraba,
apa tujuan sebenarnya. Apakah benar demi amanat yang
dibebankan Ki Darma" Masih adakah hubungan antara
gerakan Ki Bagus Seta dengan amanat Ki Darma" Kalau
benar Ki bagus Seta melangkah di atas perintah guru,
mengapa dia berperan sebagai pengendali penarikan pajak
tinggi" Gerakan Ki Bagus Seta sepertinya bertolak belakang
dengan perintah Ki Darma yang menginginkan semua
muridnya berdiri di atas kepentingan rakyat.
Sebelum benar-benar tahu apa tujuan sebenarnya Ki
Bagus Seta, Ginggi berniat akan terus menyembunyikan
identitas pribdinya. (O-ani-kz-O)

Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ginggi mengetuk pintu benteng puri yang sudah ditutup
jagabaya. Namun pintu tidak lama sudah dibuka sebab
jagabaya tahu siapa yang akan masuk "Padamkan oncor ?"
kata seorang jagabaya bertubuh kekar dengan cambang
bauk cukup lebat. Ginggi menurut memadamkan cahaya
obor dan situasi di pintu menjadi meremang karena hanya
mendapatkan cahaya sebatas penerangan lampu
pekarangan yang letaknya agak jauh.
Ginggi heran, mengapa di depan puri tak dipasang obor,
padahal biasanya di kiri-kanan tembok benteng dipasang
masing-masing dua buah obor.
Pintu benteng segera ditutup dan di keremangan terdapat
empat orang jagabaya lagi.
"Ikut aku?" kata si cambang bauk bertubuh kekar.
Ginggi pun ikut di belakangnya, sedangkan di belakang
dirinya ada dua jagabaya ikut menguntit.
Berdesir darah pemuda itu. Nalurinya mengatakan, ada
sesuatu yang tak beres menyangkut dirinya. Tidakkah ini
lantaran kecurigaan Ki Bagus Seta terhadapnya"
Ginggi harus siap-siap, kendati belum tahu persiapan apa
yang musti dia lakukan. Kecurigaan semakin menebal ketika jagabaya kekar itu
membawanya ke sebuah gudang halaman belakang yang
amat sunyi. Bangunan itu besar dan terkesan angker,
letaknya terpencil, sehingga kalau ada kejadian
membayakan yang menyangkut dirinya, tak mungkin
diketahui penghuni puri yang lainnya.
"Masuk," gumam jagabaya ketus.
Ginggi menghentikan langkah.
"Ada apakah, Paman?" tanya Ginggi heran dan sengaja
menampakkan wajah takut penuh khawatir. Harus begitu,
sebab bila pemuda itu berlaku tenang hanya akan membuat
curiga mereka saja. "Masuk, kataku!"
Dan Ginggi didorong masuk.
Sesudah tiba di dalam, daun pintu segera ditutup oleh
dua jagabaya yang ikut di belakang. Namun, begitu pintu
tertutup rapat, ketiga orang itu segera menghambur ke
depan dan mengirim beberapa pukulan telak terhadap
Ginggi. Walau pun ada serangan dari tiga jurusan sekaligus,
namun dalam pandangan Ginggi, serangan ketiganya hanya
lamban saja. Ketiga jagabaya ini hanya memiliki gerakan-
gerakan luar dan mengandalkan tenaga kasar saja. Kalau
Ginggi mau, hanya satu tindak ke belakang sudah bisa
menghindar gebrakan mereka. Dan kalau Ginggi mau,
dalam satu sapuan kaki kirinya saja sebetulnya sudah bisa
merobohkan ketiganya sekaligus, sebab kuda-kuda kaki
mereka lemah. Tapi bila Ginggi melakukan kesemuanya,
mereka akan bisa membuktikan kecurigaannya.
Ginggi maklum, ketiga orang jagabaya ini tengah
menjalankan tugas majikannya untuk menguji dan
mengorek dirinya. Ginggi tak mau kecurigaan Ki Bagus
Seta terbukti. Untuk itulah dia membiarkan serangan itu
berlangsung. Bak-bik-buk, bak-bik-buk! Beberapa pukulan bersarang
ke tubuh Ginggi. Ada yang mengarah telak ke arah hidung
sehingga dari lubang hidung Ginggi keluar darah segar. Ada
juga yang mengarah ke ulu hati sehingga tubuh Ginggi
terjengkang dan ulu hatinya terasa sedikit ngilu.
"Ada apa ini! Ada apa ini?" Ginggi berguling-guling di
tanah ketika ketiganya terus mengejarnya.
"Hei, kalau mau berkelahi harap jujur, ya! Jangan main
keroyok seperti ini. Aduh! Pengecut kamu!" Ginggi
berteriak-teriak. "Coba kau layani sendirian, Sarpani!" kata Si Kekar
terhadap seorang jagabaya.
"Disangka aku tak bisa berkelahi, ya" Ayo, maju satu
persatu!" kata Ginggi menyeka darah di hidungnya.
Ginggi memasang kuda-kuda, namun gerakannya kasar
saja. Ketika datang serangan pukulan tangan kanan lawan,
Ginggi tepis dengan tangan kiri. Dua pasang tangan beradu
keras dan Ginggi berteriak "kesakitan" memegangi
pergelangan tangannya. Sebelum dia berjingkat mundur,
sudah datang lagi sodokan tangan kiri lawan, kali ini
mengarah ke ulu hati. Ginggi mundur setindak namun
kakinya tersandung ember kayu dan tubuhnya jatuh
telentang. Sodokan gagal dan si penyerang menggantinya
dengan menggerakkan kaki kanan dengan niat memijak
perut pemuda itu. Ginggi tak sempat berguling. Akibatnya
kaki yang bertelapak kasar itu dia tahan dengan sepasang
tangannya. Kini terjadi adu tenaga. Lawan dari atas
berusaha keras menekan kakinya dan Ginggi di bawah
berusaha menahannya. Tenaga pijakan itu sebetulnya biasa saja dan tak
mengakibatkan bahaya apa pun. Dan kalau mau, sekali
pelintir kaki lawan bukan saja sekadar keseleo, tapi
sambungan tulang-tulangnya akan patah dan lepas.
Namun Ginggi tak melakukan ini. Dia malah berteriak-
teriak minta tolong karena sedikit-sedikit tangan yang
menahan pijakan kaki semakin turun karena "tak kuat".
Akhirnya serangan kaki "berhasil" masuk ke ulu hati.
Ginggi menjerit-jerit ketika kaki bertelapak kasar itu
menekan-nekan ke ulu hatinya.
Pintu gudang tiba-tiba terbuka dari luar dan Ki Bagus
Seta nampak berdiri membentuk bayangan hitam karena
ruangan gudang hanya remang-remang saja.
"Cukup!" kata Ki Bagus Seta. Ginggi terengah-engah
bangun dan memegangi perutnya. Sesekali disekanya
hidung yang masih mengeluarkan sedikit darah.
"Apa dosa saya, Juragan, disiksa seperti ini?" keluh
Ginggi namun dengan nada hormat.
Ki Bagus Seta tidak menjawabnya, kecuali memberi
tanda agar para pembantunya segera meninggalkan tempat
itu. "Engkau mencurigakan, anak muda. Siapa kau
sebenarnya?" tanya Ki bagus Seta sesudah yang lain pergi
meninggalkan tempat itu. "Nama saya Ginggi, Juragan!"
"Itu aku sudah tahu. Yang aku maksud, mengapa kau
datang ke puri ini?"
"Saya tak bermaksud ke puri ini. Siapa saja yang
menyalurkan saya kerja, di sanalah saya berada, Juragan.
Saya tinggal di sini karena Raden Suji mengirim saya ke sini
dan kebetulan Juragan mau menerima saya. Hanya itu.
Dan mengapa dianggap sesuatu dosa sehingga saya musti
dianiaya seperti ini?" Ginggi kembali menyeka darah di
lubang hidungnya. Ki Bagus Seta mendengus kemudian menatap Ginggi
dalam-dalam. "Tidakkah kau datang karena diutus anakku?" tanyanya.
Giliran Ginggi yang balik menatap.
"Ya, memang begitu. Bukankan tadi sudah saya katakan
demikian?" jawab Ginggi berpura-pura polos.
"Tapi engkau diutus anakku untuk mencari dengar atau
meneliti apa yang terjadi di sini, begitu kan?"
Ginggi terkejut. Benar murid Ki Darma ini selalu penuh
selidik. Buktinya pikirannya ada menduga sampai ke sana.
"Saya tak tahu apa yang dimaksud Juragan?" kata
Ginggi mengerutkan dahi. "Kepandaianmu kasar, tak sebanding dengan para
pembantuku. Tapi sebetulnya tak layak bagi seorang badega
memiliki ilmu kewiraan. Benar-benarkah engkau seorang
badega atau kau berlindung di balik pekerjaanmu agar
bebas melakukan penyelidikan?" tanya Ki bagus Seta lagi,
tetap penuh selidik. "Saya seorang badega tulen, Juragan. Tapi kalau saya
pandai memainkan jurus, itu karena di puri Raden Suji
banyak didapat orang pandai dan saya diam-diam berlatih
meniru-niru mereka yang sedang latihan. Saya masih muda
dan cita-cita saya tinggi. Masa dari mulai kecil sampai
sekarang saya terus-terusan jadi badega " Tahun depan pada
perayaan Kuwerabakti saya akan ikut uji ketrampilan. Siapa
tahu saya lulus jadi prajurit Pakuan," kata pemuda itu
berkelak-kelok mencari alasan.
Mendengar ocehan ini, Ki bagus seta termangu sejenak,
kemudian tertawa terkekeh-kekeh. Ginggi tak bisa
menduga, apa maksusd tawa ini. Apakah karena
mencemooh semata ataukah benar-benar tertawa karena
mendengar akal-akalannya yang sebenarnya sudah
diketahui olehnya. Yang jelas, hari itu Ginggi dibebaskan dan Ki Bagus Seta
tak berkepanjangan lagi terhadapnya. Ginggi kembali
mengerjakan tugas sehari-hari di puri, yaitu berdinas
sebagai aparat rumah tangga di puri. Kerjanya menyodor-
nyodorkan makanan, pakaian atau keperluan apa saja bagi
pemilik puri. Kini, setelah peristiwa itu, Ginggi semakin hati-hati
dalam bertindak. Setiap dia berjalan diusahakan tidak
segesit dan seringan sebelumnya, sebab gerakan-gerakan
seperti itu nyatanya mengundang perhatian khusus bagi
orang-orang pandai seperti Bangsawan Soka dan Ki Bagus
Seta. Pemuda itu pun tak berlaku sembrono lagi menguping
pembicaraan Ki Bagus Seta. Peristiwa penting yang bisa dia
simak di puri ini sesudah kejadian malam itu, hanyalah
rencana Ki Bagus Seta "menawarkan" putrinya pada Sang
Prabu. Suatu senja Ginggi masuk ke ruangan tengah dan di sana
tengah duduk-duduk anak-beranak, yaitu Ki Bagus Seta dan
istri di lain fihak, serta Nyimas Layang Kingkin di fihak
lain. Mereka duduk saling berhadapan. Ki Bagus Seta bersila
duduk tegak di atas bangku terbuat dari kayu jati berukir
dan istri serta putrinya duduk bersimpuh di atas hamparan
tikar beludru hitam bersulam benang emas.
Tidak semua pembicaraan mereka bisa didengar Ginggi.
Tapi inti dari percakapan adalah perihal keinginan Ki Bagus
Seta itu. "Bagaimana, sudah kau pikirkan baik-baik, anakku?"
tanya Ki Bagus Seta menatap gadis elok yang duduk
bersimpuh dengan kepala tertunduk malu.
"Kehormatan paling besar Nyimas bila kau berhasil
dipersunting Raja ?" istri Ki Bagus Seta berkomentar dan
nampaknya begitu mendukung cita-cita suaminya.
"Hidup saya adalah untuk kebahagiaan Ramanda dan
Ibunda. Namun saya mempunyai masalah berat yang
mungkin Ramanda dan Ibunda pun maklum adanya," kata
Nyimas Layang Kingkin tetap menunduk.
Nampak Ki Bagus Seta tersenyum mendengarnya.
"Ucapanmu hanya berarti kau setuju dengan
pendapatku, anakku," katanya masih mengulum senyum.
"Jangan kau risaukan urusan itu. Aku memang maklum,
kau menghadapi masalah berat sebab engkau sudah
berhubungan intim dengan Raden Banyak Angga.
Pertunanganmu dulu itu aku yang buat dan aku pula yang
akan memutuskannya," kata Ki Bagus Seta.
"Saya tak berani menghadapi kemarahan Raden Banyak
Angga beserta Pangeran Yogascitra, Ramanda ?"
"Mereka tidak akan marah sebab risikonya amat tinggi.
Marah terhadapmu, sama dengan marah terhadap Raja.
Beranikah mereka berlaku kurang ajar terhadap Sang
Prabu?" tanya Ki Bagus Seta. Istrinya ikut mengangguk.
"Hai, Ginggi! Pergi kau!" Ki Bagus Seta setengah
membentak menyuruh Ginggi pergi dari ruangan itu. Serta-
merta pemuda itu pun pergi berjingkat dari ruangan itu
sambil menjinjing baki kayu.
Sesampainya di ruangan belakang, Ginggi termangu-
mangu. Dia masih mengingat-ingat pembicaraan penghuni
puri ini barusan. Aneh sekali rasanya, cinta bisa dioper-oper
sedemikian mudahnya. Setahu Ginggi, antara Nyimas
Layang Kingkin dan Banyak Angga sudah lama menjalin
hubungan cinta. Bahkan khabarnya, Pangeran Yogascitra
pun sudah mengirimkan surat pinangan untuk kepentingan
putranya itu dan Ki Bagus Seta sudah menerimanya.
Sekarang, bagaimana mungkin ikatan ini akan dibatalkan
demikian mudahnya" Yang amat mengherankan adalah sikap Nyi Mas Layang
Kingkin itu sendiri. Masih terbayang di pelupuk mata
Ginggi ketika acara marak dileuwi Kamala Wijaya atau
Leuwi Sipatahunan dalam mengisi acara perayaan
Kuwerabakti beberapa bulan yang lalu. Hubungan
pasangan muda-mudi bangsawan itu demikian mesra dan
intim. Nampak sekali ada perhatian berlebih dari Banyak
Angga terhadap Nyimas layang Kingkin, dan demikian pun
sebaliknya. Beberapa minggu lalu bahkan Ginggi sibuk
mondar-mandir sebab bertugas sebagai pengirim surat
untuk kepentingan dua belah fihak.
"Pantas saja akhir-akhir ini Nyimas Layang Kingkin tak
lagi menyuruhku mengantarkan suratnya ?" gumam
Ginggi dalam kesendirian di ruangan belakang puri.
Begitu tegakah Nyi Mas Layang Kingkin
mempermainkan cinta" Namun demikian, pemuda itu pun
ingat akan beberapa kejadian yang berlangsung di kalangan
istana Pakuan ini. Dalam beberapa bulan ini ada putra-putri
bangsawan yang melangsungkan perkawinan. Kebanyakan
dari mereka, perkawinan ini seperti tidak didasari cinta,
melainkan karena kewajiban terhadap orangtuanya semata.
Apabila putrinangganan (salah satu tingkatan jabatan)
dicintai oleh atasannya, misalnya pejabat berpangkat
mangkubumi, maka sang putri akan diserahkannya tanpa
bertanya apakah putrinya itu bersedia ataukah tidak,
apalagi harus berbicara urusan cinta. Keberadaan putra-
putri bangsawan istana, sepertinya hanya berfungsi sebagi
penguat kedudukan para orangtua belaka.
Begitu pun rupanya yang terjadi atas nasib diri Nyimas
Layang Kingkin. Dulu hubungan antara Nyimas Layang
Kingkin dan Banyak Angga direstui Ki Bagus Seta karena
rupanya murid Ki Darma ini ingin memperkuat
kedudukannya di Pakuan. Bangsawan Yogascitra
merupakan orang penting, termasuk kerabat Raja. Mungkin


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perhitungan Ki Bagus Seta pada waktu itu, bila bisa
berbesan dengan kerabat Raja, akan memperkuat
kedudukannya di Pakuan. Namun belakangan, Bangsawan Yogascitra secara tak
sadar telah menjadi "rival" bagi Ki Bagus Seta. Didukung
oleh pengaruh-pengaruh Bangsawan Soka sebagai sahabat
perjuangannya dalam memperkuat ambisi di Pakuan,
akhirnya Ki Bagus Seta secara berani akan memutuskan
sefihak hubungan pertunangan anaknya dan segera akan
"menyerahkannya" kepada Raja.
Berbesan dengan Raja secara politis akan lebih
menguntungkan ketimbang berbesan dengan Pangeran
Yogascitra yang kemungkinan kelak akan menjadi
penghalang ambisinya. Ya, menurut pengamatan Ginggi, tindak-tanduk
sebagian bangsawan Pakuan ini ternyata menyebalkan.
Mereka lebih banyak berbicara urusan kedudukan dari pada
hal-hal yang lainnya. Membela kepentingan rakyat,
misaknya. Sepertinya sudah tak ada lagi kata hati sebab
yang ada hanyalah ambisi!
(O-anikz-O) Pertunangan Dibatalkan Suatu hari, Ginggi pun menyaksikan kerunyaman akibat
dari kebijaksanaan Ki Bagus Seta ini.
Ketika Ginggi tengah menuntun kuda dijalandurian
(sepanjang jalan menuju istana, tepi-tepinya ditanami
pohon buah durian), dia dicegat oleh Banyak Angga.
Rupanya pemuda itu secara khusus menunggunya. Tiga
kali dalam seminggu, Ginggi sudah biasa membawa kuda
dari Puri Bangsawan Bagus Seta. Kuda-kuda pilihan itu
tinggi besar dan larinya kencang. Tapi kalau kuda-kuda itu
tak dipakai, Ginggi mesti membawanya keliling-keliling
agar binatang itu tidak kaku dan tidak jenuh tinggal di
dalam istal. "Ginggi "!"
"Oh " Raden Angga!"
Ginggi menghentikan langkah-langkah kuda dan
menghampiri Banyak Angga yang berteduh di bawah
pohon durian. "Sedang apakah, Raden?" tanya Ginggi menatap wajah
pemuda yang putih dan tampan itu.
"Sudah lama aku tak melihatmu. Biasanya kau datang ke
puriku. Ke mana sajakah kau akhir-akhir ini?" tanya
pemuda itu ikut mengusap-usap leher kuda yang berbulu
hitam tebal. "Saya tak ke mana-mana. Sekurang-kurangnya tiga hari
dalam seminggu saya lewati jalan durian ini," jawab Ginggi
hormat. Namun Ginggi tahu, yang dimaksud pemuda ini
bukanlah apa yang barusan ditanyakannya.
Banyak Angga mengambil sesuatu yang disimpan di
saku bajunya yang lebar. Benda itu ternyata kotak surat
terbuat dari kayu cendana. Tercium wangi kayu itu ketika
pemuda itu menyodorkannya kepada Ginggi.
"Untuk Nyimas Layang Kingkinkah?" tanya Ginggi.
Banyak Angga mengangguk. "Tolong balasannya, Ginggi?" gumam Banyak Angga
penuh harap. Ginggi hanya menganggukkan kepala, tak
lebih dari itu. Sesudah itu Ginggi mohon diri, takut kalau-
kalau pemuda itu bertanya lebih jauh perihal gadis
kekasihnya. Hari itu juga kotak surat diserahkannya kepada Nyimas
Layang Kingkin. Dan Ginggi selintas melihat wajah gadis
itu sedikit berubah. Sebentar nampak pucat, sebentar
kemudian bersemu merah. Ginggi akan segera berlalu sebab serasa tak pantas
menyaksikan orang membaca surat.
"Kau tunggulah di sini, Ginggi?" gadis itu mencegah
Ginggi meninggalkan tempat itu. Namun lama sekali, tak
tahu apa yang sedang dilakukan gadis itu di ruangan dalam.
Yang jelas, Ginggi begitu penat menunggunya.
Sesudah menunggu lama, baru kemudian gadis itu
muncul. Wajahnya kelabu dan nampak sekali tengah
gundah. "Ginggi"sudah, pergilah kamu!" gumamnya seperti
bingung. Ginggi hendak berlalu. Tapi kemudian gadis itu
memanggilnya lagi, membuat Ginggi sedikit kesal
dibuatnya. "Ada apakah, Nyimas?" tanya Ginggi menatap gadis itu.
"Aku barusan mau membuat surat balasan. Tapi tak ada
kata-kata yang harus kususun dengan baik. Setiap aku
goreskan kata, setiap itu pula terasa berat tanganku?" gadis
itu sedikit mengeluh. "Jadi harus bagaimana aku?" tanyanya menatap Ginggi.
Yang ditatap hanya tersenyum tipis.
"Bagaimana saya bisa membantu, sedangkan
masalahnya saja saya tidak tahu?" jawab Ginggi berpura-
pura. Gadis itu nampak menghela napas panjang.
"Aku berdosa besar padanya. Bagaimana aku harus
katakan perihalku?" tanyanya lebih ditekankan pada dirinya
sendiri saja. "Saya tak tahu apa-apa, Nyimas?" gumam Ginggi.
"Kau sampaikanlah padanya. Kadang-kadang hidup ini
penuh arti bila sanggup meraih ambisi paling besar. Dan
untuk meraih sesuatu yang paling besar, pengorbanan pasti
terjadi?" kata gadis itu pada akhirnya. Ginggi hanya
mengangguk-angguk pelan. Dan ketika Ginggi mengundurkan diri dari pelataran
rumah di mana gadis itu tinggal, Ginggi berjalan sendirian
di tepi-tepi taman dengan senyum pahit menghias bibirnya.
Barangkali gadis itu tengah terombang-ambing antara
cinta dan ambisinya. Namun ternyata ambisinyalah yang
harus dia menangkan. Dia akan memilih ambisi sambil
mengorbankan cintanya. Cinta" Benarkah gadis itu
memiliki cinta" Benarkah ada cinta yang dia korbankan"
Ginggi teringat kembali obrolan Nyimas Layang Kingkin
dengan Suji Angkara, saudara tirinya. Ketika itu Suji
Angkara nampak gundah-gulana sebab perasaan cintanya
terhadap Nyimas Banyak Inten seperti akan menghadapi
tantangan besar karena harus bersaing dengan cintanya
seorang Raja. Namun perasaan putus asa pemuda ini selalu
dicoba ditepis oleh Nyimas Layang Kingkin. Gadis itu tetap
memberikan dorongan bahkan terkesan mendesak agar
pemuda itu selalu memperjuangkan agar keinginannya
berhasil. Sehingga Ginggi mengira bahwa dorongan-dorongan
gadis itu terhadap Suji Angkara karena perasaan kasih ingin
membela kepentingan sang kakak dalam mendapatkan
cintanya. Namun setelah terjadi peristiwa beberapa hari ini, Ginggi
punya dugaan lain, bahwa Nyimas Layang Kingkin selalu
mendesak Suji Angkara untuk mendapatkan cintanya
Nyimas Banyak Inten karena ada maksud-maksud tertentu.
Bila Nyimas Banyak Inten bisa digaet Suji Angkara, Sang
Prabu Ratu Sakti akan mencari gadis pengganti. Siapa yang
akan menggantikannya" Ya, sekarang hampir terbukti,
siapa yang siap menggantikan kedudukan Nyi Mas Banyak
Inten! Kentara sekali, Nyimas Layang Kingkin sebenarnya
punya ambisi untuk menjadi selir Raja. Ketika gadis itu
ditanya ayahnya tempo hari tentang kemungkinan ini, tak
ada bantahan berarti dari gadis itu, padahal dia tahu dirinya
telah bertunangan dengan Banyak Angga, kakak kandung
Nyimas Banyak Inten. "Hm"pandai sekali mereka mencari peluang?" gumam
Ginggi sambil melangkah menuju bangsal tengah.
Di bangsal ternyata dia sudah dinanti Ki Bagus Seta.
"Lama sekali engkau bepergian, Ginggi?" kata
penghuni puri ini. "Saya berkeliling ke benteng luar agar kuda-kuda tak
merasa jenuh dengan suasana istal. Sudah hampir dua
minggu mereka tidak berlari jauh. Juragan sudah lama tidak
berburu ke lereng Gunung Salak," kata Ginggi
menyodorkan alasan. Ki Bagus Seta tidak mengomentari.
Dia malah mengambil sesuatu dari atas meja yang terletak
di sudut bangsal. "Antarkan kotak surat ini kepada Pangeran Yogascitra,"
kata Ki Bagus Seta menyerahkan kotak kayu cendana
berukir indah. Ginggi segera menerima kotak itu dengan
kedua belah tangannya. "Harus hari ini juga tiba di Puri
Yogascitra," kata Ki Bagus Seta lagi.
"Baik, Juragan?"
"Nah, pergilah!"
Ginggi kembali berangkat ke luar puri. Berjalan
menyusuri dalem khita, memotong ke lorong yang diapit
dua benteng, ke luar lagi menyusuri jalan berbalay. Tibalah
di Puri Pangeran Yogascitra.
"Ada keperluan apakah Ki Silah (saudara) datang ke puri
ini?" tanya jagabaya sopan. "Saya utusan Ki Bagus Seta,
hendak mengirimkan kotak surat untuk Juragan Yogascitra,
Paman?" kata Ginggi hormat.
"Mari aku antar ke dalam puri?"
"Terima kasih, Paman?"
Ginggi diantar seorang jagabaya, sedangkan seorang lagi
tetap menjaga gerbang. "Ginggi!" Ginggi merandek, melihat
siapa yang berteriak memanggilnya. Ternyata dia adalah
Banyak Angga. "Apakah itu kotak surat untukku, Ginggi?" tanya
pemuda itu bergairah. Hampir saja dia memburunya kalau
Ginggi tak menarik mundur tangannya. "Mengapa Ginggi?"
Banyak Angga heran dibuatnya. Dan berdebar hati Ginggi.
Dia membayangkan, bagaimana kelak rasa hati pemuda itu
bila sudah tahu nasib dirinya.
"Ini surat untuk ayahandamu, Raden?" kata Ginggi.
Pemuda itu masih menatap heran.
"Kiriman dari Juragan Ki Bagus Seta," lanjutnya lagi.
Tapi masih terbayang keheranan pemuda itu terhadapnya.
"Kiriman surat balasan untukku bagaimana, Ginggi?"
Banyak Angga masih penasaran. Yang ditanya hanya
menghela napas kendati hanya sejenak.
"Saya hanya diperintahkan mengirimkan kotak surat ini
oleh Juragan Bagus Seta. Ini pun hanya untuk Juragan
Yogascitra," kata Ginggi mengulang perkataannya yang
sudah diucapkan barusan. "Mari Paman, antar saya menghadap Juragan," Ginggi
mengajak jagabaya pergi. "Biarlah aku yang mengantar dia pada ayahanda," kata
Raden Banyak Angga. "Baik Raden," kata jagabaya dan mohon undur untuk
kembali bertugas di pintu gerbang puri.
"Mari bersamaku?" kata Banyak Angga. Ginggi tak
banyak bicara. Dia melangkah menyusuri jalan kecil
berbalay kerikil yang membawanya ke sebuahpaseban,
Dipaseban (bangsal) yang cukup luas, terlihat dua orang
lelaki tengah duduk bersila saling berhadapan. Mereka
duduk di balai-balai kayu berukir indah.
Ginggi sudah kenal kepada yang berusia setengah baya,
itulah Pangeran Yogascitra. Sedangkan yang seorang lagi,
lelaki berusia tua memakai sorban putih dan berjenggot
putih panjang, Ginggi tak kenal siapa gerangan.
"Sampurasun?" "Rampes?" jawab Bangsawan Yogascitra halus.
"Silahkan duduk anakku. Oh ya, siapa yang kau ajak serta
itu?" kata bangsawan berwajah ramah itu seraya menatap
Ginggi. "Dia Ginggi, badega Ki Bagus Seta. Dulu pernah ke puri
kita ketika menjemput Raden Suji?" kata Banyak Angga
menerangkan. Mendengar badega ini utusan Ki Bagus Seta, Bangsawan
Yogascitra agak merandek sejenak, kendati kemudian
parasnya kembali biasa. "Duduklah anak muda."
"Terima kasih, Juragan. Saya diutus Juragan Bagus Seta
menyerahkan kotak surat ini?" sambil menyodorkan kotak
kayu cendana dengan kedua belah tangannya.
"Surat apakah ini?" gumam Bangsawan Yogascitra.
"Bacalah sekarang juga agar tak membuat penasaran,
adikku," kata orang tua berjubah putih itu.
Bangsawan Yogascitra pelan-pelan membuka tutup
kotak itu. Di dalamnya ada seikat daun nipah. bangsawan
itu membeberkan susunan daun nipah itu dan segera
membacanya. Lama dia membaca. Namun kian lama
menyimak tulisan di atas daun nipah, semakin berkerut
dahinya. Sesudah selesai membacanya, Bangsawan Yogascita
menatap tajam Banyak Angga.
"Apakah isinya adikku, sepertinya bukan berita
menggembirakan buatmu?" kata orang tua berjenggot
putih. "Sebaiknya Kakanda Purohita meneliti isi daun nipah
ini," kata Bangsawan Yogascitra seraya menyodorkan
untaian surat yang diikat benang hitam itu.
Ginggi kembali memperhatikan orang tua itu. Barangkali
usianya di atas enampuluh tahun. Berwajah lembut dan
seperti berperangai halus. Ginggi pernah mendengar, yang
dimaksud Purohita adalah semacam jabatan kependetaan
di istana yang tingkatannya paling tinggi. Ginggi pernah
mendengar Purohita itu berjuluk Ragasuci.
Purohita Ragasuci membaca rentetan aksara Palawa di
daun nipah dengan wajah tenang. Sesudah selesai
menyimak, pelan-pelan menoleh kepada Banyak Angga
sambil mulut tersenyum. "Sebaiknya sampaikan segera kepada yang bersangkutan
agar hatinya tidak dipenuhi berbagai pertanyaan, adikku,"
katanya kepada Bangsawan Yogascitra.
Ginggi meyaksikan, kedua ayah dan anak saling
pandang. Yang seseorang menatap dengan penuh rasa
penasaran dan yang seorang lagi menampakkan wajah
cemas sedikit murung.

Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus Seta membatalkan pertunanganmu dengan
Nyimas Layang Kingkin," akhirnya Bangsawan Yogascitra
bicara juga kendati dengan nada sedikit pahit.
Wajah Banyak Angga mendadak memucat dan bibirnya
gemetar. Dia menatap nanar pada ayahnya, kemudian
beralih kepada Ginggi. "Apa artinya ini, Ginggi?" tanyanya dingin.
Ginggi hanya bisa menundukkan kepala.
Untuk kedua kalinya pemuda itu bertanya kepada
Ginggi, kini dengan suara agak tinggi. Namun untuk
kesekian kalinya yang ditanya tak menggoyang bibir meski
hanya sedikit. "Dia hanyalah seorang badega, tak bisa kau mintai
penjelasan," kata Bangsawan Yogascitra tetap tenang.
"Kalau begitu kita sama-saama berangkat ke puri Bagus
Seta untuk minta penjelasan, Ayahanda!" teriak Banyak
Angga sedikit keras. "Penjelasan sudah ada di dalam surat ini. Mereka
membatalkan pertunangan karena keinginan Sang Prabu.
Beliau berkenan mengangkat Nyimas Layang Kingkin
sebagai selir ?" kata Bangsawan Yogascitra dengan suara
lemah. Ginggi melihat Banyak Angga mengatupkan mulutnya
dan gigi-giginya berkerutuk menahan amarah.
"Saya malah mendengar bisik-bisik di kalangan para
dayang istana bahwa Sang Prabu tengah tergila-gila pada
adikku, Banyak Inten. Mana yang benar?" gumam pemuda
itu dengan nada pedih. "Dalam surat ini, Bagus Seta malah ingin merundingkan
pertunangan putranya, Raden Suji dengan adikmu?"
gumam Bangsawan Yogascitra. Kini giliran tubuh Ginggi
yang mendadak panas dingin. Namun rupanya yang merasa
tak enak atas "penawaran" ini bukan saja Ginggi, Banyak
Angga pun seperti memiliki perasaan ini kendati alasannya
berlainan dengan Ginggi. "Ayahanda, begitu mudahnya mereka menukar-nukar
pertunangan" Benar-benarkah pemuda anak Ki Bagus Seta
itu cinta pada adikku atau sekadar keinginan orangtuanya
untuk stel sana stel sini?" tanya Banyak Angga.
"Bagus Seta menginginkan, kendati hubungan
pertunangaan antara kau dan Nyimas Layang Kingkin
batal, tapi katanya jangan sampai hubungan kekerabatan
putus begitu saja. Itulah sebabnya dia mengajukan pinangan
agar adikmu dipersunting putra tertuanya yaitu Raden Suji
Angkara. Memang ada benarnya perkataan Ki Bagus Seta.
Tapi entahlah, apakah ucapannya ini terlahir dari maksud-
maksud baiknya?" kata Bangsawan Yogascitra.
Ginggi ingin sekali ikut bicara. Tapi akan lancang benar
bila dia tiba-tiba menyela pembicaraan, apalagi suasana
sedang diliputi ketidakenakan.
Sementara itu Bangsawan Yogascitra segera menyuruh
badeganya untuk menjemput Nyamas Banyak Inten di puri
belakang. Seperti ada suara bertalu-talu di dalam dada Ginggi
ketika dari luar datang dua orang. Satu di depan seorang
gadis dan satu mengiringkannya dari belakangnya. Bukan
badega yang tadi disuruh Bangsawan Yogascitra, melainkan
seorang pemuda tampan berpakaian santana, Ginggi hapal
betul, gadis itu tak lain Nyimas Banyak Inten. Dia
melangkah pelan dan pendek-pendek karena kain sutra
warna biru tua berkembang membungkus tubuh agak
sedikit ketat sehingga bentuk-bentuk keindahan tubuhnya
terbayang nyata. Selendang warna kuning tua polos juga
terbuat dari sutra tipis berkibar-kibar di bahunya yang
sebagian terjuntai ke bawah. Indah sekali selendang yang
berkibar itu. Dan keindahan semakin sempurna manakala
matahari senja menyorot tubuh gadis itu menimbulkan
rona-rona cahaya khas. Sedangkan pemuda yang mengiringkannya di
belakangnya adalah Purbajaya. Dengan amat santunnya dia
berjalan di belakang sehingga langkahnya terbawa pelan.
Ginggi agak tertegun, mengapa Purbajaya bersama
Nyimas Banyak Inten. Di dalam hatinya seketika timbul
perasaan cemburu. Hanya tentu saja pemuda itu segera
menekan perasaannya yang dianggap gila ini.
Nyimas Banyak Inten menyembah takzim baik kepada
ayahnya mau pun kepada Purohita Ragasuci. Sesudah itu
gadis elok berwajah lembut ini segera duduk bersimpuh
dengan kepala tertunduk. "Nampaknya kalian habis berjalan-jalan, ya?" kata
Bangsawan Yogascitra menatap kedua muda-mudi itu
saling bergantian. "Sekadar menghirup udara segar di sore hari,
Ayahanda?" jawab Nyimas Banyak Inten tersipu.
"Dan saya hanya sekadar mengawalnya, Paman
Yogascitra?" kata Purbajaya. Perkataannya ini bagai orang
yang takut mendapatkan kecurigaan karena berani-berani
dekat dengan putri elok penghuni puri ini.
Dan mendengar jawaban ini, Bangsawan Yogascitra
hanya senyum dikulum. Sudah sejak dari Tanjungpura, Ginggi sebenarnya sudah
tahu kepada Purbajaya. Ginggi sebenarnya merasa
bersyukur, pemuda ini hingga kini masih dalam keadaan
bugar. Padahal menurut perkiraannya, pemuda ini tengah
dikuntit bahkan diuber Suji Angkara. Ginggi tak bisa
menduga, mengapa tidak terjadi gangguan dari Suji
Angkara terhadap pemuda ini. Padahal menurut ancaman
Suji Angkara, Purbajaya akan dibereskan saja. Ginggi
menganggap, istilah "dibereskan" artinya dibunuh. Suji
Angkara yang kini dinilai jahat oleh Ginggi, amat beralasan
untuk melenyapkan Purbajaya. Dengan alasan akan
"menghukum" dosa Purbajaya karena telah menyakiti hati
tunangannya sehingga gadis putri Juragan Ilun Rosa mati
bunuh diri, pemuda bejat itu akan berusaha menghapus
jejak kejahatannya. Padahal kini Ginggi mulai yakin, Suji
Angkara di Tanjungpura pasti telah berbuat sesuatu yang
amat merugikan harga diri gadis putri Juragan Ilun Rosa.
Dengan amat licin dosa-dosanya dia timpakan kepada
Purbajaya. Sehingga orang-orang di Tanjungpura pasti akan
mengira bahwa kematian gadis putri Juragan Ilun Rosa
karena kesalahan pemuda kekasihnya itu.
"Nampaknya Ayahanda amat berkepentingan
memanggil saya. Ada urusan apakah?" tanya Nyimas
Banyak Inten dengan suaranya yang halus dan merdu.
"Benar sekali anakku. Kalau ibundamu masih hidup,
seharusnya akulah dan ibundamulah yang harus duduk
berkumpul di sini, sebab yang akan aku bicarakan ini
menyangkut masa depanmu. Namun sekali pun demikian,
hatiku cukup tenang. Ada Mamanda Purohita di sini. Juga
ada kakakmu. Dan semuanya bisa kita pintakan
pertimbangan-pertimbangannya," kata Bangasawan
Yogascitra. Tapi ucapan bangsawan ini rupanya
menimbulkan kebingungan di hati gadis itu. Buktinya
Ginggi menyaksikan wajah Nyimas Banyak Inten dipenuhi
tanda tanya. (O-anikz-O) Jilid 17 Dan walau pun gadis itu tidak mengajukan pertanyaan,
Bangsawan Yogascitra nampaknya mengerti isi hati
putrinya. "Aku tidak akan berpanjang-panjang berkata, sebab
pokok tujuannya adalah adanya pengertian di hatimu," kata
Bangsawan Yogascitra. "Hari ini datang surat kiriman dari
Bangsawan Bagus Seta. Isinya, yang pertama membuat
sakit hati kita, yaitu pembatalan pertunangan kakakmu
dengan anak gadisnya," lanjut bangsawan itu.
Sejenak Nyimas Banyak Inten menatap wajah
ayahandanya, kemudian menoleh ke kiri ke arah Banyak
Angga yang nampak sejak tadi menundukkan kepala.
"Tapi isi surat yang kedua ada hubungannyaa dengan
nasib dan masa depanmu. Karena Bagus Seta merasa
berdosa telah membatalkan pertunangan kakakmu, dia
tetap ingin menjalin hubungan keluarga dengan kita.
Caranya yaitu meminangmu untuk kepentingan Raden Suji
Angkara!" kata bangsawan berwajah simpatik ini.
Ginggi melirik ke arah Nyimas Banyak Inten. Dia ingin
sekali melongok isi hati gadis itu untuk mengetahui
perasaannya setelah mendengar penjelasan ayahandanya.
"Aku belum akan menolak atau menerimanya, sebab aku
ingin mendapatkan penjelasan atau barangkali pendapatmu
tentang hal ini," Bangsawan Yogascitra menatap gadis itu
berlama-lama. Namun yang ditatap hanya menunduk saja.
Wajahnya kendati ada rona merah namun terkesan tenang
dan seperti tak terpengaruh oleh pertanyaan ini.
"Saya hanya ingin tahu, apakah penyebab batalnya
pertunangan Kanda Banyak Angga dengan Ayunda Nyimas
Layang Kingkin?" gadis itu malah mengajukan pertanyaan
lain. "Pembatalan ini upanya bukan kesalahan Ki Bagus Seta.
Sekurang-kurangnya begitu menurut isi surat ini.
Pertunangan antara kakakmu dengan Nyimas Layang
Kingkin terpaksa dibatalkan karena Sang Prabu amat
tertarik terhadap kecantikan gadis itu. Beliau ingin
mempersuntingya sebagai selir, anakku," kata Bangsawan
Yogascitra. Semua orang menatap dalam-dalam sepertinya ingin
sekali mendengar apa pendapat gadis itu.
Dan rupanya gadis itu pun sadar bahwa dirinya tengah
menjadi perhatian semua orang, membuat dirinya menjadi
jengah. Gadis itu terus tertunduk. Sesekali tangannya yang
putih mulus menyeka ujung hidungnya yang mancung
dengan punggung tangannya.
"Engkau belum menjawab perihal rencana pinangan Ki
Bagus Seta padamu," kata Bangsawan Yogascitra masih
menatap putrinya. "Apa yang harus saya kemukakan, padahal saya
hanyalah sekadar gadis bodoh, Ayahanda?" gumam Nyi
Mas Banyak Inten, masih menunduk.
"Seorang anak memang berkewajiban taat terhadap
orangtuanya. Tapi aku menginginkan, kendati anak tetap
taat terhadap orangtuanya, jangan sampai sang anak
menderita karena ketaatannya. Aku ingin hidupmu
bahagia," kata Bangsawan Yogascitra bijaksana. Namun
gadis itu masih tetap tertunduk. Hanya jari-jari tangannya
saja yang melipat-lipat ujung selendangnya.
"Harus kau sadari anakku, aku sendiri sebenarnya tak
punya kepentingan untuk menerima atau menolak
pinangan mereka. Kalau aku tolak, tak akan merugikan
kedudukanku. Sebaliknya pun bila kuterima, kedudukanku
tetap seperti ini. Jadi, urusan menerima atau menolak
pinangan, semuanya engkau yang harus menentukan," kata
lagi Bangsawan Yogascitra menegaskan.
"Entahlah, Ayahanda," kata Nyimas Banyak Inten pada
akhirnya, "Usia saya serasa belum cukup mampu untuk
berpikir urusan cinta. Bila saya yang harus memutuskan,
mungkinkah keputusan saya tidak keliru" Kakanda Suji
memang sudah saya kenal sejak lama. Dia halus
perangainya, santun terhadap sesama. Dia pun menyayangi
dan amat membela saya. Barangkali Ayahanda pernah
ingat peristiwa penyerbuan penjahat ke puri kita," kata
Nyimas Banyak Inten yang diakhiri dengan sepasang pipi
berubah merah ketika menceritakan peristiwa beberapa
bulan silam itu. Mendengar ucapan terakhir gadis itu, darah Ginggi
berdesir dan ada rasa panas di hatinya.
"Naluri wanita saya mengatakan, Kakanda Suji Angkara
ada mengharap sesuatu dari saya," kata lagi gadis itu
menunduk. "Ya, jadi perlukah pinangan mereka kita terima,
anakku?" desak Bangsawan Yogascitra menatap tajam. Tapi
Nyimas Banyak Inten tidak mengiyakannya, membuat
ayahandanya penasaran sekali.
"Maafkan saya Ayahanda," kata gadis itu lagi,
menunduk dan membisu. Melihat kebisuan ini, Banyak Angga menyembah takzim
dan duduknya agak menggeser ke depan.
"Ada apakah, Angga?" tanya Bangsawan Yogascitra
menoleh pada pemuda itu. "Maafkan bila saya lancang berbicara, Ayahanda,"
katanya masih menyembah. "Kau katakanlah apa yang ada dalam pikiranmu,"
Bangsawan Yogascitra mengangkat tangan tanda
mempersilakan pemuda itu bicara.
"Saya tak sependapat kepada Ayahanda menyerahkaan
segala keputusan pada Dinda Inten, sebab urusan ini amat
menyangkut kita semua, termasuk nama baik dan harga diri
Ayahanda sendiri," kata Banyak Angga dengan suara
sedikit mantap. "Mengapa, Angga?"
"Apa pun yang jadi alasan Ki Bagus Seta, memutuskan
pertunangan saya dan Nyimas Layang Kingkin adalah
penghinaan bagi kita. Mereka tidak melihat kita sebelah
mata dan tak menghargai keputusan bersama. Bukankah
pertunangan kami sudah disetujui Ki Bagus Seta sendiri"
Mengapa dia mau menjilat kembali ucapannya tempo hari"
Tidak Ayahanda. Penghinaan ini harus kita balas. Saya
harap, Ayahanda harus menolak pinangan mereka terhadap
Dinda Inten!" Banyak Angga kembali menyembah, undur
ke belakang dan duduk bersila tegak sambil nafas turun-naik
karena menahan amarah. Kini giliran Purbajaya yang maju menyembah.
"Engkau ada apakah, Purbajaya?" tanya Bangsawan
Yogascitra melirik kepada pemuda yang sejak tadi diam
saja di samping Banyak Angga.
"Maafkan kelancangan saya, Paman. Hampir setahun
saya mengabdi di puri ini, serasa saya sudah jadi keluarga di
sini. Dan karenanya, saya berhak membela nama baik
penghuni puri. Saya setuju dengan pendapat adikku,
Banyak Angga. Sebaiknya kita tak menerima pinangan
mereka. Benar belaka apa kata Angga, orang-orang Puri


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagus Seta tidak melihat sebelah mata terhadap kita. Secara
sefihak begitu saja mereka memutuskan pertunangan
adikku dengan Nyimas Layang Kingkin. Kalau yang
dijadikan alasan adalah keinginan Raja mempersunting
Nyimas Layang Kingkin, saya merasa curiga ini hanya
taktik Ki Bagus Seta belaka. Saya kerap kali mengunjungi
istana Sri Bhima Untarayana Madura Suradipati (puri
Agung di mana Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan tinggal)
karena Sang Prabu kerap kali membutuhkan saya dalam
ikut mempelajari kemungkinan-kemungkinan kita merebut
kekuasaan di muara dan di pantai. Beliau memang benar
seorang pria romantis yang menyenangi keindahan wanita.
Namun satu kali pun tidak pernah memperbincangkan
Nyimas Layang Kingkin. Tapi sebaliknya, beberapa kali
beliau bertanya perihal keberadaan Nyimas Banyak Inten.
Suatu saat bahkan langsung bertanya kepada saya, apakah
Nyimas Banyak Inten sudah ada yang punya" Ketika saya
jawab bahwa Nyimas Banyak Inten adalah bunga yang baru
mulai mekar di mana kumbang-kumbang tak sanggup
membukakan kelopaknya, maka beliau sepertinya
berkhayal bahwa betapa bahagianya bila beliau bisa
berdekataan selalu dengan Nyimas. Itu beliau katakan
berulang-ulang pada saya," kata Purbajaya. "Ini hanya
menjelaskan bahwa perhatian Sang Prabu hanya tertuju
kepada Nyimas Banyak Inten semata. Entahlah, bagaimana
mulanya secara tiba-tiba saja Sang Prabu diberitakan akan
mempersunting putri Ki Bagus Seta. Ini perlu diselidiki,
Paman Yogascitra," kata Purbajaya berpanjang lebar
namun perkataannya mengundang perhatian semua orang.
(O-anikz-O) Serangan Mendadak Ginggi yang sejak tadi duduk di belakang setuju dengan
perkataan pemuda itu. Menurutnya, benar belaka apa yang
barusan dikatakan Purbajaya. Dan sebetulnya, ingin sekali
dia ikut memperkuat keterangan ini. Hanya, bagaimana
caranya" Berpayah-payah dia melakukan penyamaran
sebagai badega, ternyata hanya mengurung dirinya untuk
tidak terlalu bebas mengemukakan pendapat. Badega
adalah orang yang memiliki kedudukan paling rendah, apa
lagi di kalangan kaum bangsawan seperti ini. Kalau kini dia
ikut tampil bicara, di samping akan dianggap lancang dan
kurang ajar, juga tidak akan dipercaya. Akhirnya dia hanya
mengangguk-angguk saja, sebab ucapan pemuda itu
sepertinya mewakili pendapatnya.
Mendengar penjelasan Purbajaya semua orang saling
pandang. Purohita Ragasuci berdehem, kemudian minta
izin untuk mengemukakan pendapat.
"Aku sebagai orang tua merasa amat bersyukur bahwa
kalian yang muda-muda penuh perhatian dalam
memperbincangkan masalah penting ini," katanya
berdehem lagi beberapa kali. "Yogascitra adikku, kau harus
bangga memiliki orang-orang muda seperti ini. Kalau saja
bumi Pajajaran dipenuhi pemuda-pemuda yang memiliki
jiwa seperti mereka ini, negara akan selalu berada dalam
kemegahan. Putrimu adalah seorang gadis berperangai
halus, taat kepada orangtua dan selalu berupaya tidak
menyakiti hati orang lain. Bisa kau buktikan sendiri, sekali
pun kau suruh dia mengambil sikap, tapi yang dipilihnya
adalah keputusan yang sekiranya bisa menyenangkanmu.
Dia serahkan seluruh nasibnya kepadamu sebagai
orangtuanya, kendati sebetulnya dia pasti memiliki
keinginan," ujar Purohita Ragasuci sambil menatap lembut
Nyimas Banyak Inten. Kemudian orang tua berwajah sabar itu menatap kepada
Banyak Angga dan Purbajaya.
"Kedua pemuda ini pun begitu tangguhnya
mempertahankan harga diri keluarga. Mereka patut kau
banggakan, Yogascitra," kata Purohita lagi.
"Rasanya aku akan malu bila aku sebagai orang kalangan
istana memiliki banyak pengalaman hidup tapi tidak
mengeluarkan pendapat. Yogascitra, kali ini aku harus
bicara. Dan maafkan bila ucapanku tidak berkenan di hati,"
Purihita Ragasuci merapatkan kedua belah tangannya
seperti melakukan aenghormatan. Dan Bangsawan
Yogascitra mengangguk membalas penghormatan itu.
"Engkau adalah kakakku yang amat aku hormati, dan
engkau adalah Purohita, pendeta agung istana. Semua
pendapatmu adalah benar belaka dan saya harus
menghargainya," tutur Bangsawan Yogascitra penuh
hormat. "Jangan kau besar-besarkan kedudukanku. Aku pendeta
agung, tapi aku juga manusia. Kalau aku berbicara benar,
barangkali karena aku mengartikan isi kitab-kitab suci
dengan benar. Tapi aku juga adalah manusia biasa. Sedang
kitab suci pun berbicara, tak ada manusia yang sempurna.
Artinya, bicaraku pun bisa saja ada kekeliruan. Kalau kau
anggap aku keliru, kau jangan segan meyalahkannya,
adikku," kata Purohita Ragasuci dengan nada suara tetap
halus. "Tadi kau katakan, menerima atau menolak pinangan
keluarga Bagus Seta tidak ada kaitannya dengan
kepentinganmu. Barangkali benar begitu. Tapi musti diingat
pula bahwa kadang-kadang kita tidak bicara untuk
kepentingan pribadi saja. Apa lagi kau sekarang hidup
sebagai seorang bangsawan, seorang negarawan yang harus
memikirkan kepentingan negara. Oleh sebab itu segala jejak
langkah kita kini tidak sekadar berjalan di atas kepentingan
pribadi, melainkan harus didasarkan pada kepentingan
negara," kata Purohita panjang lebar.
Bangsawan Yogascitra nampak mengerutkan dahinya.
"Adakah hubungan pribadi ini dengan kepentingan
negara, Kakanda?" tanya bangsawan itu menatap tajam
Purohita. Yang ditanya sejenak tersenyum tipis dan gigi-giginya
kendati sudah tak utuh lagi namun nampak bersih terawat.
"Benar belaka, adikku," katanya mengangguk-angguk.
"Urusan ini lambat-laun akan mempengaruhi urusan
negara. Sudah sejak dulu urusan kekerabatan di kalangan
istana akan mempengaruhi jalannya pemerintahan.
Terkadang kekerabatan ini membawa kerugian bagi negara.
Dahulu kala, hampir 800 tahun lalu kekerabatan hampir
menimbulkan perang saudara antara Rakeyan Tamperan
dan Sang Manarah. Kemelut negara juga bisa terjadi karena
urusan wanita. Wanita adalah mahkluk lemah dan laki-laki
harus melindungi serta menghargainya. Namun adakalanya
wanita sanggup mengubah keadaan. Bisa menciptakan
peperangan seperti peristiwa menyedihkan menimpa Sang
Prabu Wangi di Bubat hampir 200 tahun lalu. Dan wanita
juga bisa menurunkan raja dari tahta seperti pernah terjadi
kepada Sang Prabu Dewa Niskala 70 tahun lalu. Beliau
turun tahta karena melanggar kaidah moral. Adikku
Yogascitra, kau harus hati-hati, sebab segalanya kini
bergantung padamu. Apakah peristiwa pelanggaran kaidah
moral akan kembali terulang atau bisa kita hindarkan.
Engkaulah kini yang menentukan," kata Purohita.
Mendengar ucapan ini, semakin berkerut dahi
Bangsawan Yogascitra. Dan kebingungan bukan saja
melanda Bangsawan Yogascitra seorang, sebab semua yang
hadir pun sama-sama mengerutkan dahi, tidak terkecuali
Ginggi. "Mengapa saya harus jadi seseorang yang amat
bertanggung jawab kepada situasi negara, Kakanda?" tanya
Bangsawan Yogascitra bingung.
"Benar belaka, adikku," jawab Purohita Ragasuci yakin,
"Bila benar Sang Prabu memutuskan akan mempersunting
Nyimas Layang Kingkin seperti apa kata Bangsawan Bagus
Seta, maka akan menimbulkan banyak pertentangan di
kalangan istana. Sejak dahulu kala Raja tabu mengawini
wanita larangan, sedangkan yang dimaksud wanita
larangan menurut keyakinan kita adalah kaum wanita yang
sudah terikat pertunangan. Dulu, Sang Prabu Dewa Niskala
terpaksa harus turun tahta sebab seluruh pejabat istana dan
para pendeta begitu keberatan memiliki Raja yang
melanggar tabu. Kalau pelanggaran tabu juga dilakukan
Raja sekarang, aku khawatir kemelut istana akan terulang
lagi. Dan segalanya bergantung padamu kini, sebab
peristiwa aib ada di sekelilingmu. Engkau harus berjuang
agar pertunangan Raden Banyak Angga dengan Nyimas
Layang Kingkin harus berlangsung. Kalau Ki Bagus Seta
tak mencabut atau membatalkan pertunangan putrinya,
maka Nyimas Layang Kingkin sudah terikat pertunangan
dan dia wanita larangan, tak boleh dipersunting Raja!" kata
Purohita Ragasuci dengan suara tegas.
Sunyi suasana di ruangan paseban itu. Semua orang
nampaknya begitu terpengaruh oleh ucapan Purohita
Ragasuci. Ginggi juga ikut berpikir. Kalau tradisi semacam ini
benar masih dipegang erat oleh orang Pajajaran, maka
kedudukan Raja dalam bahaya. Atau lebih luas dari itu,
keutuhan negara akan terganggu.
"Apakah aku harus menyetujui seluruh usul Ki Bagus
Seta?" gumam Bangsawan Yogascitra.
"Benar adikku ?"
"Maaf, saya tidak setuju Ayahanda!" Banyak Angga
berkata agak keras. "Saya juga tak setuju dengan kebijaksanaan ini,"
Purbajaya bahkan ikut memperkuat. Bangsawan Yogascitra
menatap tajam kepada kedua pemuda itu satu-persatu.
"Maafkan saya yang lancang Ayahanda," kata Banyak
Angga menyembah dan menunduk. Namun hanya sebentar
saja wajahnya menatap lantai, sebab pemuda itu segera
menatap tajam ayahandanya.
"Tidak saya sangsikan, sebenarnya saya amat mencintai
Dinda Layang Kingkin. Serasa saya akan mati bila saya tak
sanggup hidup bersamanya. Tapi harga diri saya beserta
nama baik penghuni puri lebih saya utamakan. Raja boleh
aib karena melanggar kaidah moral tapi tidak bagi kita.
Kalau kita datang merengek minta dikasihani agar
pertunangan jangan batal, betapa rendahnya kita, betapa
kecilnya harga diri penghuni puri Yogascitra di mata
mereka. Barangakali mereka akan tertawa penuh
kemenangan. Barangkali juga mereka akan mendikte kita
dengan mengemukakan serba keinginan dan berbagai
persyaratan. Tidak Ayahanda, jangan biarkan kita
menderita aib seperti itu!" kata Banyak Angga tegas. Dia
menyembah takzim lagi, undur ke belakang dan duduk
dengan kepala tunduk. Bangsawan Yogascitra termangu-mangu mendengar
keputusan putra laki-lakinya itu. Ginggi menyaksikan,
betapa bingungnya bangsawan berperangai sabar ini.
Barangkali di hatinya penuh dengan kemelut. Bangasawan
Yogascitra tentu bimbang dengan banyak pertimbangan.
Dia pasti mengerti ada masalah besar di depannya dan
segalanya bergantung padanya. Dia harus pandai memilih,
apakah harus menyelamatkan negara, ataukah hanya
berjuang sebatas perjuangan harga diri keluarga"
Sunyi terus mencekam ruangan paseban. Tak ada yang
berani berkata-kata lagi. Sehingga pada suatu saat Purohita
Ragasuci mohon diri untuk kembali kemandala (tempat
para wiku berkumpul). "Sudah aku sampaikan isi hatiku. Tapi perjalanan hidup
memang sudah ada yang mengatur. Aku hanya berusaha,
dan mungkin kalianpun begitu. Mari kita serahkan pada
Sang Rumuhun agar keputusan-keputusannya tidak berupa
petaka buat kita dan bumi Pajajaran," kata Purohita
Ragasuci, berkomat-kamit, menengadahkan kedua belah
tangan dan kemudian mengucapkan salam karena hendak
segera berlalu dari tempat itu.
Semua orang menundukkan kepala tanda hormat
terhadap Purohita istana yang hendak meninggalkan
paseban puri Yogascitra. Sepeninggal Purohita, semua orang masih tidak sanggup
melakukan pembicaraan. Banyak Angga dan Purbajaya
duduk tegak berpangku tangan. Sedangkan Nyimas Banyak
Inten duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk. Dan
ketika Ginggi menatap wajahnya, betapa mata gadis itu
merah lebam dan di pipinya basah bersimbah air mata.
"Saya akan mohon diri, Juragan?" kata Ginggi
memecah kesunyian. Semua orang menengok ke arahnya dan seperti baru
sadar bahwa utusan Ki Bagus Seta masih berada di sana.
"Mengapa kau tak kembali ke puri majikanmu?" tanya
Purbajaya. "Percakapan kalian tadi begitu penting dan saya tak
berani mengganggu," tutur Ginggi hormat.
"Raden, badega ini lancang benar mendengarkan
percakapan kita. Dia orang puri Bagus Seta, barangkali
obrolan kita akan disampaikan kepada majikannya!" kata
Purbajaya bicara pada Banyak Angga.
"Biarkanlah percakapan di ruangan ini disampaikan
badega itu pada majikannya. Dengan demikian Ki Bagus
Seta akan tahu kemelut yang ditimbulkannya," kata Banyak
Angga seraya menatap tajam pada Ginggi yang masih
duduk agak jauh di belakang.
"Bolehkah saya meninggalkan tempat ini, Juragan?"
tanya Ginggi. "Pergilah?" kata Bangsawan Yogascitra. "Jangan kau
terpengaruh oleh sikap-sikap kami, anak muda. Kau tidak
salah dan kami tidak membencimu," kata Bangsawan
Yogascitra sebelum Ginggi meninggalkan paseban.
Ginggi mengangguk hormat dan hatinya senang.
Bangsawan ini benar-benar berperangai baik, termasuk
sopan terhadap orang kebanyakan. Untuk kedua kalinya
Ginggi mohon diri dan menyembah takzim. Sekilas dia
pandang lagi wajah Nyimas Banyak Inten yang masih tetap
menunduk dan tidak mengacuhkan kepergiaan Ginggi.
"Purbajaya, antarkan pemuda itu ke luar benteng, kalau-
kalau dia mengalami kesulitan untuk pulang," kata
Bangsawan Yogascitra. "Akan saya antarkan dia, Paman?" kata Purbajaya.


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ginggi akan menolaknya. Tapi kata Purbajaya hari
sudah malam. Ginggi akan dicurigai jagabaya yang bertugas
malam bila tiba-tiba dia keluar benteng puri sendirian.
Mendengar penjelasan ini, Ginggi baru mengikuti pemuda
itu untuk diantar keluar benteng puri.
"Maafkan, aku tadi agak kasar padamu, Ginggi?" kata
Purbajaya di tengah jalan.
"Kemarahanmu wajar, Raden, sebab aku orang dari puri
Bagus Seta ?" kata Ginggi memaklumi.
"Aneh, orang sepertimu bisa bekerja di sana," kata
pemuda itu di tengah keheningan malam.
"Saya seperti apa, Raden?" Ginggi menatapnya.
"Tidak seperti apa-apa. Tapi kebanyakan pekerja puri itu
angkuh dan sedikit kasar."
"Ah, saya kan hanya seorang badega. Kalau Juragan
Bagus Seta terkenal angkuh, masa badeganya harus meniru-
niru. Bisa marah dia," kata Ginggi.
Purbajaya terkekeh merasa lucu. Ginggi menatap lagi.
Ingin sebetulnya dia bertanya pada pemuda itu, terutama
hubungannya dengan peristiwa bunuh diri tunangannya
yang ditinggalkan di Tanjungpura sana. Tapi bagaimana
musti mulai" Kalau secara tiba-tiba bertanya tentang itu
hanya akan membuat pemuda itu bingung, atau marah
karena tak percaya. Dan lebih ruwet dari itu, Purbajaya
pasti menyelidik siapa dia, padahal selama ini Ginggi harus
tetap menyamar agar aman dalam melakukan berbagai
penyelidikan. "Sudah sampai di pintu keluar, Raden. Terima kasih atas
bantuannya," kata Ginggi.
"Tidak, kita akan sama-sama pergi keluar benteng. Aku
akan pergi ke benteng luar, menuju tepi Sungai
Cipakancilan ?" kata pemuda itu.
" Mau apa malam-malam kesana, Raden?"
"Ah, sekadar jalan-jalan saja. Ada seseorang yang harus
aku temui disana," gumam pemuda itu.
Ginggi tak berpanjang-panjang mengajukan pertanyaan,
sebab nampaknya pemuda itupun nampaknya enggan
membicarakannya lebih lanjut. Hanya saja mendengar
nama Cipakancilan serasa diingatkan kembali kepada Ki
Ogel dan Ki Banen. Sebulan lalu Ginggi sengaja berkunjung ke rumah tua di
tepi Kali Cipakancilan untuk melihat kesehatan Ki Banen.
Bulan lalu orang tua itu sudah berangsur sembuh setelah dia
membantunya dengan beberapa ramuan obat. Ginggi sudah
meneliti, sakitnya Ki Banen karena ada orang yang
membuat agar dirinya sakit dengan cara memberikan obat
yang salah. Ketika Ginggi tanya siapa yang memberi obat,
Ki Banen mengaku sebagai pemberian Seta dan Madi.
Ginggi menyelidik lagi, mengapa kedua pemuda anak buah
Suji Angkara itu memberikan jenis obat seperti itu. Dan dari
penjelasan kedua orang itu, terkorek rahasia bahwa
segalanya bermula dari Suji Angkara. Pemuda itulah yang
menyuruh memberikan obat kepada Ki Banen. Dengan
begitu terbukti sudah kejahatan Suji Angkara. Dia akan
mencelakakan Ki Banen, orang yang selama ini menjadi
anak buahnya juga. Mengapa Suji Angkara hendak mencelakakan Ki Banen"
Dugaan Ginggi, ini karena Suji Angkara sudah mensinyalir
bahwa Ki Banen mencurigai kejahatannya selama ini.
Untuk menutupinya, Ki Banen harus dienyahkan!
"Kita bisa jalan bersama sampai jalan berbalay ke arah
benteng luar," kata Purbajaya melangkah di lorong yang
diapit dua benteng puri. Jalanan demikian sepi dan gelap
sebab di sana tak ada penerangan.
"Baik Raden " Tapi di depan kita ada orang yang
berjalan mendatangi," bisik Ginggi. Purbajaya rupanya
sudah pula melihat tapi dia tidak merasa bercuriga. Lain
lagi dengan Ginggi. Kendati suasana gelap tapi matanya
sudah demikian terlatih. Yang datang adalah tiga orang.
Satu melangkah di depan dan dua mengikuti di belakang.
Yang membuat darah Ginggi berdesir, karena Ginggi hafal
betul, ketiga orang di depan adalah Suji Angkara, Seta dan
Madi. Ginggi khawatir dirinya diketahui mereka. Itulah
sebabnya pemuda itu segera membuka ikat kepalanya dan
digunakannya untuk menutupi hidung dan mulutnya
dengan jalan kedua ujung ikat kepala diikatkan di belakang
tengkuknya. Ginggi dan Purbajaya di lain fihak sudah hampir
berpapasan dengan rombongan Suji Angkara. Dan mereka
nampak menghentikan langkah ketika tahu siapa yang
dihadapi. "Purbajaya?" "Benar ?" jawab Purbajaya tidak curiga.
"Serbu !!!" teriak Suji Angkara.
Madi dan Seta menerjang ke depan menyerbu Purbajaya.
Suji Angkara pun serentak menghambur ke depan.
Purbajaya dikurung mereka bertiga.
(O-anikz-O) Kedok Terbuka Perkelahian satu lawan tiga berlangsung seru di
kegelapan malam. Tapi dalam sebentar saja Ginggi
mendapatkan bahwa Purbajaya tidak akan menang
menghadapinya. Bukan saja karena mendapat
pengeroyokan tak seimbang, tapi pun kepandaian Purbajaya
tidak begitu tinggi bila dibandingankan dengan Suji
Angkara. Jadi, jangankan dikeroyok, sedang hanya dilayani
satu orang Suji Angkara saja, pemuda ini pasti akan kalah.
Yang jadi pertanyaan, mengapa Suji Angkara musti
melakukan pengeroyokan, padahal dengan kepandaiannya
sendiri saja bisa melumpuhkan lawan"
Barangkali hanya satu hal bisa diduga, mereka bertiga
sudah berniat hendak mencelakakan Purbajaya tidak
kepalang tanggung. Nampak sekali Purbajaya kepayahan menghadapi
pengeroyokan ini. Mungkin serangan-serangan kedua
pemuda Seta dan Madi bisa dia tanggulangi sebab mereka
hanya memiliki kepandaian biasa saja. Tapi kemampuan
Suji Angkara jauh di atas kemampuannya dan Purbajaya
amat keteter dibuatnya. Ginggi sudah menyaksikan, begitu ganasnya serangan-
serangan Suji Angkara. Jurus-jurus yang dikeluarkan semua
ditujukan untuk mengarah langsung kepada nyawa lawan.
Nampak nyata oleh Ginggi, Suji Angkara bermaksud
membunuh Purbajaya. Suatu saat kedudukan Purbajaya ada dalam bahaya.
Pemuda ini baru saja menangkis sodokan pukulan tangan
Seta yang mengarah ke ulu hatinya. Serbuan ini bisa
ditangkis Purbajaya dengan cara menepiskan tangan
kanannya ke bawah sambil badannya sedikit membungkuk.
Namun dari arah belakang, Madi memukul pundak
pemuda itu. Begitu telaknya pukulan Madi. Kendati tidak
menimbulkan luka berarti karena pukulannya tidak
memiliki tenaga dalam, tapi membuat tubuh Purbajaya
tersuruk ke depan. Terdengar kekeh Suji Angkara. Barangkali dia puas
melihat lawannya jatuh. Di saat tubuh Purbajaya tersuruk
di tanah, Suji Angkara melompaat ke udara. Maksudnya
pasti, dia ingin menyerang kepala Purbajaya dengan
sepasang kakinya. Purbajaya sepertinya sudah tak bisa
berkelit. Kalau dia berguling tentu kedudukan tubuhnya
akan terbalik, yaitu wajah tengadah. Dan ini akan
berbahaya lagi, sebab serangan kaki lawan akan mengarah
ke wajahnya. Ginggi harus mencegah penganiayaan ini. Untuk itulah
dia segera melayang tinggi. Tangan kanannya dia pentang
lebar dan telapak tangannya dibuka berbareng dengan
serangan pukulannya. Pemuda ini tersenyum di balik cadar
ikat kepalanya, sebab membayangkan telapak tangannya
yang terbuka lebar akan dengan telak mengarah jidat Suji.
Dan benar dugaannya. Tubuh pemuda itu yang lagi
melayang di udara mendadak terlontar kembali ke belakang
diiringi teriakan kesakitan.
Buk! Tubuhnya membentur benteng. Seta dan Madi yang
juga sama akan melakukan serangan berbareng dari kiri dan
kanan ke arah tubuh telentang Purbajaya juga sama
menjerit kesakitan karena dengan sapuan kaki Ginggi,
membuat kedua pemuda itu terjajar membentur tembok.
Untuk sementara keduanya meloso tak sanggup bangun
lagi. Tapi Suji Angkara yang tubuhnya lebih kuat, sudah
sanggup bangun kembali kendati nampaak sempoyongan
sambil tangan kiri memegangi jidatnya.
"Kau " kau! Siapa kau?" suara Suji Angkara lebih
terdengar heran ketimbang marah.
Ginggi yang wajahnya masih bercadar ikat kepalanya
mencoba menakut-nakuti pemuda itu dengan berpura-pura
seolah mau mengejarnya. Dan nampak sekali rasa takut
pemuda itu. Dengan tubuh limbung Suji Angkara berlari
menjauhi lorong gelap, meninggalkan kedua anak buahnya
begitu saja. "Engkau?"" Purbajaya yang sudah berdiri di sisinya
amat terkejut sebab mungkin dia tak menyangka
kemampuan Ginggi sehebat itu. Namun sebelum Purbajaya
banyak bicara, Ginggi segera menempelkan telunjuk di
dekat bibirnya. Dan Purbajaya nampaknya mengerti
keinginan Ginggi, apalagi ketika dia melihat Ginggi
menutupi wajahnya sendiri.
Ginggi menunjuk kepada kedua anak buah Suji Angkara.
Nampak keduanya mencoba bangun dengan susah-payah
dan sama-sama memegangi jidatnya masing-masing.
Purbajaya mendekati kedua pemuda itu dan
menanyainya. Tapi yang ditanya hanya memijit-mijit
jidatnya sambil sesekali menggoyang kepala seperti
mencoba mengusir rasa pening. "Ini penyerangan kedua
kalinya terhadapku. Coba kau jelaskan, mengapa kalian
melakukannya?" tanya Purbajaya menarik baju kedua orang
itu kiri dan kanan. "Cepat bicara!" Purbajaya menyentak-nyentak ujung baju
Seta dan Madi. "Kami " kami disuruh Raden Suji!" kata Seta meringis
menahan sakit."Ya, aku tahu kalian pasti disuruh
majikanmu yang jahat itu. Tapi coba kau jelaskan, mengapa
majikan kalian selalu mencoba untuk mencederai aku" Apa
dosaku" Jawab cepat!"teriak Purbajaya kesal.
"Karena kau jahat!" teriak Madi parau. Plak! Tangan kiri
Purbajaya menampar pipi pemuda tonghor itu.
Madi mengeluh karena tamparan ini mengarah pipi
kanannya. "Coba sebutkan kejahatanku! Kapan aku
merugikan kalian?" kembali Purbajayamengguncang-
guncang tubuh kedua orang itu karena kesal, marah tapi
sekaligus heran. "Engkau menjadi gara-gara matinya Nden Wulansari!"
kata Seta. "Apa" Wulansari tunanganku, tolol! Siapa bilang dia
mati?" teriak Purbajaya berang."Kami ingin membela
Juragan Ilun Rosa karena kematian putrinya. Karena kau
penyebabnya, maka kami berniat menghukummu, sebab itu
juga yang diinginkan Juragan Ilun Rosa!" kata Seta.
Plak! Purbajaya kini menampar pemuda Seta. "Bunuhlah
aku, agar kejahatanmu tak tanggung-tanggung!" kata Seta
menyeka ujungbibirnya. Rupanya ada darah keluar dari
mulutnya. "Aku tidak pernah menyombongkan diri bahwa aku
orang baik. Tapi omongan kalian ngaco bila menuduhku
melakukan kejahatan, apalagi pembunuhan. Dan kalian
katakan, tunanganku sendiri yang aku bunuh" Betulkah
Dinda Wulan mati?" Purbajaya lebih bernada heran
ketimbang marah. "Memang kau tak bunuh langsung Nden Wulan. Tapi
kau tinggalkan dia begitu saja dan surat yang kau serahkan
padanya amat menyakitkan hatinya, sehingga Nden Wulan
patah hati dan nekad bunuh diri," kata Seta.
Purbajaya nampak akan kembali memukul pemuda itu,
tapi tangan kuat Ginggi segera menahannya. "Aku tak
mengerti omongan ngaco kalian. Aku tak pernah menyakiti
kekasihku!" teriak Purbajaya.
"Bagaimana dengan surat daun nipah yang kau
tinggalkan?" tanya Seta.
"Aku tak pernah meninggalkan surat apa pun sebab
ketika aku akan ke Pakuan, aku bicara langsung pada
Dinda Wulan. Siapa yang katakan aku tinggalkan surat dan
apa isi surat itu?" tanya Purbajaya.
Giliran Seta dan Madi bingung.
"Kau tidak pernah meninggalkan surat?"
"Ya, coba terangkan, apa isi surat itu?" desak Purbajaya.
"Kata Raden Suji, surat itu menyebutkan engkau akan
bekerja di Pakuan dan akan melangsungkan perkawinan
dengan anak bangsawan Pakuan! Akibatnya Nden Wulan
sakit hati dan bunuh diri," kata Seta lagi.
Kembali Purbajaya akan memukul pemuda Seta. Kali ini
disertai tenaga amat kuat karena dorongan kemarahan yang
sangat. Namun untuk yang kesekian kalinya tangan kuat
Ginggi menahannya dari belakang.
"Biarkan tanganku Ginggi!" teriak Purbajaya menahan
marah. Mendengar nama itu disebut, Seta dan Madi berseru
kaget. "Ginggi"!" katanya berbareng.
Ginggi menghela nafas, menyesalkan ucapan Purbajaya
yang tak sengaja membuka cadar wajahnya.
"Ya " aku pemuda dungu itu, Seta," gumamnya pelan.
"Kaukah yang barusan melumpuhkan kami dalam satu
gebrakan saja?" tanya Seta masih tak percaya.
"Maafkan aku Seta. Dan aku pula yang tiga kali
membikin jidat majikanmu menyendul sebesar telur ayam
itu. Kau sampaikan pada Raden Suji. Pertama kali jidatnya
kubuat bengkak di gua hutan Cae. Kedua kulakukan di
depan jendela kamar Nyi Mas Banyak Inten bulan lalu.
Dan mungkin yang ketiga kalinya adalah di lorong gelap
ini. Kalau kau sampaikan berita ini, dia tak akan berani
mungkir!" kata Ginggi masih berkata pelan namun


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat Seta dan Madi semakin mepet ke dinding saking
takut dan terkejutnya. "Seta, juga Madi, aku peringatkan, kau jauhi Raden Suji.
Dia orang berbahaya dan kalian memilih majikan yang
salah. Seharusnya kalian sudah sadar sejak dulu ketika aku
tanya perihal pengobatan untuk Ki Banen. Kalian sadar
ramuan obat untuk Ki Banen dari Raden Suji bukan saja
tidak menyembuhkan, melainkan juga membahayakan jiwa
Ki Banen. Tapi kendati begitu kalian tetap tidak bercuriga,
mengapa Raden Suji memaksa memberikan obat berbahaya
itu. Ketahuilah, majikanmu berusaha untuk melenyapkan
Ki Banen sebab dia menduga, Ki Banen mengetahui
kejahatannya. Sekarang kau tetap tertipu oleh kelicinan
Raden Suji sehingga hampir saja membunuh orang tak
bersalah macam Raden Purbajaya ini. Kalian jangan pura-
pura tidak tahu, bahwa selama kalian ikut Raden Suji
banyak terjadi wanita bunuh diri. Mungkin kau ingat di
Desa Wado. Mungkin pula di Tanjungpura. Dan kalian
juga pasti tahu, wanita bunuh diri di antaranya karena
alasan kehormatan terganggu. Tidakkah Nyi Santimi dulu
melapor padamu bahwa suatu malam dia diculik ke sebuah
gua" Semua yang menyangkut wanita selalu di sekitar di
mana Raden Suji berada. Dan engkau Raden Purbajaya,"
Ginggi menoleh pada pemuda disampingnya," Kalau kau
merasa nyawamu diancam dua kali oleh Raden Suji, itu
karena upaya pemuda jahat tersebut, agar kejahatannya
tidak terungkap. Aku sudah bisa menduga, Suji Angkaralah
yang membuat surat palsu yang isinya seolah-olah
menyakiti perasaan Wulansari dan mendorongnya untuk
bunuh diri. Padahal aku yakin, Wulansari dibunuh oleh
pemuda itu setelah kehormatan gadis itu diganggu. Bulan
lalu untuk yang kedua kalinya Suji Angkara mencoba
mengganggu kehormatan Nyimas Banyak Inten. Peristiwa
pertama bisa digagalkan oleh Ki Banen dan peristiwa kedua
aku yang menggagalkan," kata Ginggi membeberkan
keburukan Suji Angkara secara panjang-lebar.
Ketiga orang yang menyimak penjelasan ini begitu
terpana sebab ini adalah berita yang amat mengejutkan
sekali. "Sudahlah Raden, kita lepaskan kedua orang ini. Mereka
hanya terbawa-bawa saja dan tak mereka sadari sedikit
pun," kata Ginggi. Seta dan Madi menatap kepada Purbajaya. Tapi karena
pemuda itu nampak tidak bermaksud menahannya, maka
keduanya menyembah hormat dan undur dari tempat itu.
Tinggallah Purbajaya termangu-mangu di kegelapan
malam. Rupanya pemuda itu masih terpengaruh oleh
kejadian-kejadian yang baru saja terjadi dan melibatkan
dirinya. "Mari Raden kita lanjutkan perjalanan, bukankah engkau
akan menuju tepi Sungai Cipakancilan?" kata Ginggi.
"Tidak perlu ke sana sebab barusan engkau sudah
menjelaskannya," gumam pemuda itu dengan nada pahit.
"Kalau boleh aku bertanya, rencanamu apa menuju
Sungai Cipakancilan itu?" Ginggi bertanya sambil
memandang pemuda itu di kegelapan malam.
"Aku akan menuju rumah Ki Ogel dan Ki Banen karena
aku curiga, Suji Angkara pernah masuk ke rumah tua itu,"
kata Purbajaya. "Sejak setahun yang lalu aku curiga
terhadap Suji Angkara sebab dia sepertinya membenciku
tanpa sebab. Suatu malam seperti malam ini, aku diserang
bayangan hitam. Tapi melihat gerak-geriknya aku tahu. Dia
Suji Angkara. Aku waktu itu hampir terbunuh kalau saja
tidak datang pertolongan para jagabaya puri Yogascitra.
Bayangan hitam itu melarikan diri di kegelapan. Aku tak
mau bilang pada siapa-siapa perihal kecurigaanku pada Suji
Angkara. Maklum, dia anak pejabat penting di Pakuan ini.
Jadi sebelum jelas benar permasalahannya, aku tak akan
beritahu siapa pun. Maka aku lakukan penyelidikan. Baru
sekarang aku tahu apa penyebabnya " Oh, benarkah Dinda
Wulansari sudah mati?" akhirnya pemuda itu mengeluh.
Ginggi mengangguk mengiyakan.
"Hanya yang saya heran, mengapa berita kematian gadis
kekasihmu tidak pernah diketahui selama ini?" tanya
Ginggi. "Sejauh mana hubunganmu dengan gadis Wulan,
Raden?" tanya lagi Ginggi.
"Itulah mungkin penyebabnya. Aku bercinta dengan
Dinda Wulan baru secara diam-diam saja. Hubungan kami
takut tak direstui mengingat antara Ayahandaku dan
Kandagalante Subangwara tidak punya kesepakatan
pendapat. Subangwara adalah paman kekasihku. Berita
kematian Dinda Wulan tidak sampai kepadaku karena
Ayahanda mungkin merasa tak berkepentingan
memberitahukannya padaku?" kata Purbajaya mengeluh.
Nampak sekali dia diliputi kesedihan.
"Kau " Aku lihat sikapmu aneh," akhirnya pemuda itu
berkata seperti itu. "Hm " begitukah, Raden?" gumam Ginggi.
"Aku bingung, ada di fihak mana sebetulnya engkau.
Aku teliti engkau pernah mengabdi pada Suji Angkara.
Sesudah itu sekarang jadi badega (pelayan) Bagus Seta.
Tapi sepertinya kau tak memihak mereka," tanya pemuda
itu heran. Ginggi hanya tersenyum. "Saya ingin memihak kebenaran. Tapi kebenaran yang
mana, sampai hari ini saya tak tahu ?" jawab Ginggi.
"Mengabdi dan berfihaklah pada satu kekuatan yang
membela kebenaran. Kurasa tak baik menutup-nutupi
kemampuan sendiri. Orang tidak pernah menghargai
kebodohan. Karena kau dianggap bodoh, maka
pekerjaanmu hanya sebatas badega saja. Padahal
kepandaianmu hebat sekali. Kau bisa menjadi perwira
kerajaan. Pakuan amat membutuhkan orang-orang pandai,"
kata Purbajaya. "Saya belum berpikir untuk mengabdi kepada siapa.
Itulah sebabnya saya sembunyikan kepandaian yang ada.
Dengan demikian saya tidak diperhatikan orang dan bebas
melakukan berbagai penyelidikan ?"
"Penyelidikan" Apa yang tengah kau selidiki?"
"Perbuatan Suji Angkara, bukankah saya yang selidiki?"
kata Ginggi. Purbajaya mengangguk-angguk maklum.
"Penyelidikanmu telah menolongku, mungkin akan
menolong banyak orang. Malam ini juga aku harus
laporkan kejadian ini pada Paman Yogascitra," kata
pemuda itu. "Jangan dulu," Ginggi mencegahnya.
"Mengapa" Keluarga Yogascitra dalam bahaya.
Bukankah kau tahu Bangsawan Bagus Seta melamar
Nyimas Banyak Inten untuk kepentingan Suji Angkara?"
tanya Purbajaya. "Betul dalam bahaya, tapi kalian sudah sepakat untuk
tidak memberikan Nyimas Banyak Inten kepada pemuda
bejat itu, seperti yang kalian rundingkan tadi sore. Yang
ingin saya cegah adalah berita kebejatan pemuda itu, harap
Raden tidak mengabarkannya dulu pada keluarga
Yogascitra," kata Ginggi.
"Mengapa?" "Aib Suji Angkara sulit dibuktikan, sebab semuanya baru
bersumber pada ucapan saya semata. Kalau keluarga
Yogascitra ikut menuding sambil dasarnya baru dari
keterangan seorang badega, keluarga Bagus Seta akan balik
menuntut dan itu merugikan nama baik Bangsawan
Yogascitra. Sang Prabu tengah mempercayai Bangsawan
Yogascitra, dan beliau akan diangkat jadi Penasihat Raja.
Itulah sebabnya Ki Bagus Seta mencabut pertunangan
Raden Banyak Angga dan Nyimas Layang Kingkin.
Sebetulnya bukan Sang Prabu yang minta tapi Ki Bagus
Seta yang sengaja menawarkan, dengan harapan dia punya
kekerabatan dengan Raja. Dan bila sudah begitu,
diharapkan kedudukan Penasihat Raja tidak jatuh ke tangan
Bangsawan Yogascitra!" kata Ginggi secara rinci, membuat
mulut Purbajaya menganga saking heran mendengar
penjelasan seperti itu. "Engkau hebat, begitu tahu banyak kejadian-kejadian
penting yang menyangkut kalangan istana. Dari mana kau
tahu, sedangkan aku sendiri yang beberapa kali diundang
oleh Raja tidak pernah mendengar berita ini?" tanya
Purbajaya heran. "Itulah perlunya menjadi orang rendahan, Raden.
Seorang badega bodoh tak akan diperhatikan. Dan karena
tak diperhatikan, dia bebas melakukan penyelidikan
penting," kata Ginggi bangga tapi sambil teringat dirinya
babak-belur dihajar orang-orang Ki Bagus Seta karena
sempat dicurigai. Kembali Purbajaya termangu-mangu.
"Kalau Raden mau membantu perjuangan saya, tolong
rahasiakan keberadaan saya. Malam ini juga saya akan
kembali ke puri Bagus Seta. Raden juga di sana harus
berjuang menjaga Nyimas Banyak Inten," kata Ginggi.
"Aku siap menjaga keamanannya, Ginggi."
"Terima kasih," jawab Ginggi entah apa maksudnya.
Keduanya berpisah di lorong gelap itu. Ginggi berniat
akan kembali ke puri Ki Bagus Seta dan Purbajaya ke puri
Bangsawan Yogascitra. Namun sebelum keduanya
berpisah, Ginggi beberapa kali menasihati pemuda itu agar
tidak sembarangan bertindak.
"Saya bisa mengerti kesedihan dan kemarahan Raden
karena kematian gadis yang Raden cintai. Tapi bila secara
sembrono Raden menyerbu Puri Suji Angkara, akan terlalu
berbahaya. Bahkan sekarang Raden harus hati-hati
bepergian seorang diri. Selama setahun ini Raden bebas dari
incaran pemuda itu mungkin karena Raden terbiasa keluar-
masuk Puri Bangsawan Yogascitra bahkan ke Istana Raja,
dan Suji Angkara agak segan bertindak di tempat-tempat
itu. Tapi oleh Raden kini terbukti, sedikit saja berada di luar
puri, Raden sudah diserang dan diancam bahaya," kata
Ginggi panjang-lebar. Ginggi tak bisa menduga, apakah pemuda ini bisa
mengerti untuk bisa menahan emosinya" Ada juga perasaan
khawatir, takut kalau-kalau pemuda ini bertindak sendiri.
Kalau demikian jadinya, suasana akan bertambah runyam.
Peristiwa barusan saja sebenarnya amat tak dikehendaki
olehnya. Ginggi sebetulnya masih ingin merahasiakan
identitasnya kepada siapa pun juga. Sekarang sudah ada
tiga orang yang sekaligus tahu siapa dirinya. Kalau Seta dan
Madi masih menginduk kepada Suji Angkara, barangkali
orang keempat itu yang tahu siapa dirinya adalah Suji
Angkara. Karena sudah terlanjur dirinya diketahui, jadi Ginggi
harus secepat mungkin melakukan tindakan. Tapi tindakan
apa, Ginggi pun sebetulnya belum tahu persis.
Ginggi meloncat pergi ketika Purbajaya telah
meninggalkan tempat itu. Tujuannya tidak kembali ke Puri
Bangsawan Bagus Seta, melainkan akan menyelinap ke Puri
Suji Angkara. Ginggi berpikir kemungkinan dirinya sudah dikenal oleh
Suji Angkara, karena Seta dan Madi pasti melaporkannya.
Kalau benar demikian Suji Angkara tentu akan segera
melaporkan kepada ayahnya. Dan bila sudah begitu, akan
terputus pula usaha penyelidikannya.
Ginggi harus berpacu. Dia harus mencegah pemuda
jahat itu berhubungan dengan ayahnya. Karena jalan
pikiran inilah dia memilih pergi menuju Puri Suji Angkara
saja. Ginggi berlari, menyelinap ke kiri dan ke kanan untuk
menghindari pertemuan dengan para tugur. Tugur atau
ronda setiap malamnya terdiri dari dua rombongan. Satu
berjaga dijawi khita dan satu rombongan lagi bertugas
didalem khita, Masing-masing rombongan dipecah dua lagi.
Semuanya berkeliling memutari benteng untuk pada suata
saat saling bertemu pada satu titik.
Tapi Ginggi tak boleh bertemu dengan tugur. Jadi kalau
sayup-sayup di depan didengar suara kohkol (kentongan) di
tabuh dengan teratur, pertanda tugur tengah berkeliling
menyusuri benteng. Pemuda itu harus bersembunyi di balik
pepohonan, atau bahkan langsung meloncat ke atas dahan.
Ketika Ginggi bersembunyi di dahan pohon pun nampak
serombongan tugur tengah berjalan menyusuri dalem khita.
Jumlahnya ada sekitar dua belas orang terdiri dari jagabaya
pilihan. Mereka berbekal oncor (obor) tapi kebanyakan
membawa tombak, cagak atau bahkan pedang. Hatinya
merasa bersyukur ketika terjadi perkelahian di lorong
benteng tadi, tugur belum lewat ke wilayah benteng di
mana mereka berkelahi dengan rombongan Suji Angkara.
Ketika rombongan tugur sudah lewat, Ginggi baru berani
melayang turun dari atas pohon. Sesudah itu dia segera
berlari lagi menuju Puri Suji Angkara.
Namun pemuda itu amat terkejut, sebab beberapa saat
sebelum tiba di pintu gerbang Puri Suji Angkara, terdengar
banyak kentongan dipukul bersahut-sahutan. Para tugur
pun berlarian menuju gerbang puri.
Berdebar hati Ginggi. Di Puri Suji Angkara pasti terjadi
huru-hara. Tapi huru-hara perkara apa" Dia belum bisa
memastikan. Ada sedikit dugaan, barangkali Purbajaya
sudah melapor ke Puri Yogascitra perkara kejahatan Suji
Angkara dan malam itu mereka melakukan penyerbuan.
Kalau Purbajaya melapor bahwa Suji Angkara pernah
mencoba melakukan kejahatan terhadap Nyimas Banyak
Inten, kemungkinan akan membikin kemarahan para
penghuni puri Bangsawan Yogascitra dan malam itu juga
pasti melakukan penyerbuan.
Tapi kecurigaan ini segera ditepisnya. Jarak dari Puri
Bangsawan Yogascitra ke Puri Suji Angkara cukup jauh.
Kalau mereka menyerbu Puri Suji Angkara, sebelumnya
tentu harus melewati dirinya, sebab jalan menuju Puri Suji
Angkara atau Puri Ki Bagus Seta hanya terdiri dari satu
jalan saja. Kalau berkeliling tentu akan sangat melambung
dan tak mungkin bisa datang lebih cepat ketimbang dirinya.


Senja Jatuh Di Pajajaran Karya Aan Merdeka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jadi kalau begitu, habis ada huru-hara apakah di puri itu"
"Kepung penjahat! Kepung pemberontak!" terdengar
teriakan-teriakan di dalam benteng puri.
Ginggi segera menahan napas untuk mengumpulkan
tenaga inti. Sesudah terhimpun, inti tenaga disalurkan ke
bagian kaki. Sesudah itu Ginggi menggerakkan kedua
kakinya dan badannya terlontar ke udara. Badannya
kembali turun dan sepasang kakinya tepat menclok di atas
benteng setingi 3 depa. Ginggi melihat ada pertempuran
kecil. Atau lebih tepat lagi, ada pengeroyokan. Satu orang
pemuda bersenjatakan kelewang tengah dikeroyok tujuh
orang atau sembilan orang jagabaya yang bersenjatakan
macam-macam jenis dari mulai senjata tajam seperti
tombak, pedang dan cagak, sampai senjata ringan untuk
menangkap orang seperti cangkalak misalnya. Tapi yang
membikin Ginggi terkejut setengah mati, karena orang yang
tengah dikepung dan dikeroyok adalah pemuda Seta. Seta
menyerang membabi-buta mengayunkan kelewang ke kiri
dan ke kanan. Nampaknya dia sudah tidak memikirkan
jiwanya lagi, sebab serangannya tidak menggunakan ilmu-
ilmu berkelahi yang wajar. Dia hanya serampangan saja
membanting senjatanya ke kiri dan ke kanan tanpa berniat
menangkis serangan lawan. Yang dia lakukan sepertinya
berusaha menyerang para pengeroyoknya saja. Memang
ada satu dua pengeroyoknya yang terkena bacokan atau
tusukan Seta. Tapi di sebuah lapangan rumput tepi paseban
kecil sudah berdiri belasan jagabaya lainnya. Jadi setiap
satu atau dua pengepung mundur dan terluka, segera
digantikan oleh tenaga baru.
Melalui penerangan cahaya obor yang banyak dipegang
beberapa jagabaya, Ginggi melihat banyak luka diderita
pemuda Seta. Sekujur tubuhnya sudah bersimbah darah,
begitu pun wajahnya, sehingga hampir-hampir tidak
dikenali lagi. Yang membuat darah Ginggi berdesir adalah ketika
memandang ke arah bagian lain masih di sekitar tepi
paseban. Suji Angkara nampak berdiri bertolak pinggang
dengan angkuhnya, sedang di depannya terdapat tiga tubuh
bergeletakan tak bergerak. Ginggi tak bisa mengenali tubuh-
tubuh siapakah itu, sebab ketiganya hampir rebah
tertelungkup. Satu tubuh agak gempal, terkujur
membelakangi sehingga Ginggi tak bisa mengenali
wajahnya. Hanya yang jelas, orang tergeletak itu sudah tak
bernyawa sebab dari cahaya remang-remang api obor,
banyak luka di punggungnya. Satu mata tombak bahkan
masih menempel di tengkuknya. Rupanya orang itu ditusuk
dari belakang dan ujung tombak patah tertinggal di tengkuk
orang naas itu. Kini Ginggi berbalik lagi menyaksikan Seta yang
dikepung banyak jagabaya. Sebentar lagi pasti Seta akan
bisa dilumpuhkan. Ginggi membayangkan, bila pemuda itu dibiarkan ada di
dalam pengeroyokan, maka nasibnya sudah bisa ditebak,
apalagi dengan luka-luka di sekujur tubuhnya yang banyak
menguras darah. Ginggi belum tahu apa penyebab pengeroyokan itu.
Yang jelas Seta dalam bahaya dan harus ditolong.
Ginggi hanya punya kesempatan sedikit saja untuk
menolong Seta. Oleh sebab itu dia harus segera turun
tangan. Pemuda itu membuka bajunya dan membiarkan
tubuh bagian atas telanjang begitu saja. Tubuh berelanjang
akan lebih mengaburkan identitas ketimbang berpakaian.
Ginggi pun segera menutup wajahnya sebatas hidung ke
bawah, menggunakan ikat kepala warna hitamnya. Setelah
semuanya siap, dia segera meloncat dari atas benteng,
jumpalitan mendekati arena pertempuran. Bentakan keras
sekeras suara geledek dari mulut Ginggi yang dikerahkan
melalui tenaga himpunan di seputar dadanya,
mengakibatkan semua orang terkejut setengah mati.
Untuk sejenak konsentrasi para jagabaya terganggu dan
sedikit terhenti dalam melakukan penyerangan terhadap
Seta. Kesempatan ini dia pergunakan untuk melakukan
serangan kepada para pengeroyok Seta. Tubuh Ginggi
berputar seperti gasing dengan kedua tangan mengembang
lebar. Setiap tangan jagabaya yang kena pukul atau sabetan
telapak tangan Ginggi meringis dan menjerit kesakitan dan
semua senjata yang mereka pegang terlontar atau jatuh
terlepas. (O-anikz-O) Permohonan Maaf Tak Bersambut
Para jagabaya hiruk-pikuk karena kaget dan heran
melihat penyerbu gelap ini. Namun teriakan Suji Angkara
agar segera mengepung penyerang baru ini menyadarkan
para jagabaya untuk segera bergerak melakukan
pengepungan. Kini Ginggi ada di tengah-tengah bersama Seta yang
sudah mulai limbung tubuhnya. Sebelum tubuh pemuda itu
jatuh berdebum ke tanah, Ginggi segera memeluknya.
Tubuh Seta dia usung di pundaknya.
Dengan tubuh Seta di pundak, gerakan Ginggi tidak
selincah ketika masih bebas sendirian. Bahkan kini hanya
tangan kanannya saja yang masih bebas. Padahal para
pengeroyok mulai mendekat dan melakukan penyerangan
dari sana-sini. Akan sangat berbahaya bila Ginggi membiarkan dirinya
ada di tengah pengepungan. Serangan dari depan atau
samping masih bisa dia tepis. Tapi serangan beruntun dari
belakang akan sangat sulit dihindarkan karena beban tubuh
Seta yang dipanggulnya menghalangi gerakannya.
Untuk menghindarkan serangan dari belakang, Ginggi
harus meloncat ke tepi dinding puri. Dengan jalan
menempelkan tubuh di tepi benteng musuh hanya akan
menyerang dari depan saja.
Benteng puri ada di depannya, mungkin berjarak empat
atau lima depa saja. Dan untuk memburu tempat itu,
Ginggi harus melakukan serangan mendahului penyerangan
lawan. Dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, Ginggi
meloncat ke depan sambil tangan kiri mengempit tubuh
Seta. Para pengepung di bagian depan nampak kaget sekali.
Barangkali mereka tidak berpikir bahwa Ginggi akan
senekat itu mendahului melakukan penyerangan. Akibat
dari rasa terkejutnya ini membuat persiapan mereka kurang
matang dalam menyambut datangnya serangan. Sehingga
ketika Ginggi melakukan gerakan-gerakan dengan tangan
kanannya, tangkisan para jabagaya kurang beraturan.
Apalagi Ginggi dalam melakukan serangan disertai
teriakan-teriakan membahana agar jantung mereka bergetar
dan konsentrasinya terganggu.
Serangan Ginggi ternyata ada hasilnya. Para jagabaya
tidak bisa melakukan penyerangan dengan baik. Ketika
seorang jagabaya menyodokkan ujung tombaknya ke arah
wajah Ginggi. Sodokan itu kurang begitu jitu karena tidak
disertai tenaga yang kuat. Maka dengan mudahnya Ginggi
menangkap batang tombak dan dengan kekuatan penuh
menariknya. Tubuh jagabaya pemegang tombak tersuruk ke
depan. Kalau Ginggi mau bertindak kejam, ujung kakinya
bisa menendang jidat jagabaya itu sampai bocor, atau
barangkali sampai batok kepalanya hancur berantakan,
tergantung sejauh mana tenaga tendangan kakinya dia
kerahkan. Namun kepala lawan dia biarkan tersuruk jatuh
di depan kakinya. Dia sendiri malah meloncat pergi
mendekati tepi benteng puri.
Sekarang dia sudah berada di tepi benteng dan
punggungnya membelakangi benteng tersebut. Dengan
demikian dia sudah bisa membebaskan diri dari serangan-
serangan musuh yang sekiranya dilakukan dari belakang.
Dengan bersenjatakan tombak di tangan kanan, Ginggi
begitu mudah menangkis serangan lawan. Setiap ada
serangan yang berhasil dia patahkan, ujung tombak dia
lanjutkan seolah-olah dia mau menusuk tubuh lawan.
Sudah barang tentu gerakan-gerakan ini membuat tubuh
lawan berkelit karena disangkanya tusukan itu akan
berlanjut. Padahal Ginggi secuil pun tidak bermaksud
melukai lawan, apalagi membunuhnya.
Sedangkan Suji Angkara dari pinggir paseban terus
berteriak-teriak agar para jagabaya segera membunuh
penyerang baru ini, tanpa sedikit pun ikut bergerak.
Ginggi sudah cukup membuat penyerang kalang-kabut
dan membuat mereka keder untuk melakukan penyerangan.
Nyali mereka dipastikan sudah jatuh sehingga dalam
melakukan serangannya, mereka sudah nampak meragu.
Kesempatan ini digunakan Ginggi untuk melarikan diri dari
tempat itu. Ginggi menghimpun inti tenaga lagi,
menotolkan sepasang kakinya ke tanah dan badannya
melayang naik ke atas benteng di mana tadi dia meloncat
turun. Pakaiannya yang dia kaitkan di ranting pohon segera
diambil dan dibelitkannya pada lehernya.
"Serbu !!!" teriak Suji Angkara berkali-kali.
Teriakan ini dibalas Ginggi dengan melontarkan tombak
yang tadi dibawanya. Senjata itu meluncur tidak begitu
deras mengarah jidat Suji Angkara sehingga pemuda itu
cukup punya waktu untuk menghindar dengan jalan
menjatuhkan tubuhnya ke samping. Mata tombak hanya
seujung kuku menempel di tiang kayu. Sebentar kemudian
jatuh ke bawah dan ujungnya menimpa jidat pemuda itu.
Terdengar teriak kesakitan Suji Angkara. Bukan lantaran
ujung tombak jatuh terlalu keras, tapi karena jidat pemuda
itu sudah sejak tadi luka memar oleh pukulan Ginggi di
lorong gelap itu. Ginggi berlari menyusuri atas benteng, meloncat di
sebuah kelokan yang gelap dan melanjutkn larinya secepat
mungkin. Ginggi tak tahu ke mana harus melarikan tubuh luka
pemuda Seta ini. Seta perlu pengobatan segera, tapi Ginggi
tak punya cara penanggulangannya. Bila Seta di bawa ke
puri Yogascitra, hanya akan menjerumuskan penghuni puri
itu ke dalam kancah keributan.
Akhirnya Ginggi mencoba melarikan tubuh Seta menuju
Tajur Agung. Jaraknya cukup jauh, yaitu berada di arah
timur tembok benteng dalam.
Di Tajur Agung Ginggi pernah lihat banyak jenis
tanaman rambat dan salah satunya bisa digunakan
membebat luka. Namun baru saja tiba diLeuwi Kamala Wijaya,
terdengar suara rintihan Seta. Dengan terputus-putus
pemuda itu meminta agar tubuhnya diturunkan.
Ginggi menoleh ke kiri dan kanan serta belakang,
meneliti kalau-kalau ada fihak pengejar. Dan sesudah yakin
tempat itu sunyi sepi, Ginggi segera membawa tubuh tak
berdaya itu ke bawah pohon rindang sehingga suasana di
sana demikian gelap. Ginggi menurunkan pondongannya.
Terdengar erang kesakitan ketika tubuh itu diletakkan di
atas tanah berumput. "Engkau " engkau Ginggi, bukan?"" Seta bicara
terputus-putus dan terengah-engah.
"Ya " aku Ginggi."
"Sudah aku duga. Kau pasti datang menolongku?" kata
Seta menahan sakit. "Tapi aku tak sengaja menolongmu. Aku hanya berpikir
kau dan Madi akan melaporkan tentangku pada Suji
Angkara. Karena aku sangka begitu, maka aku menuju puri
Suji Angkara," kata Ginggi sambil memeriksa bagian-
bagian luka pemuda itu. Namun kendati dalam gelap,
Ginggi bisa menduga, luka Seta demikian parahnya. Ada
beberapa tusukan melukai bagian-bagian amat lemah dan
sulit mendapatkan pertolongan. Luka-luka itu banyak
mengeluarkan darah dan barangkali sudah sejak tadi sebab
ada beberapa luka yang darahnya sudah agak mengering.
"Aku tidak beritahu siapa kau sebenarnya. Suji Angkara
sampai saat ini masih tetap menyangka kau sebagai badega
Pedang Langit Dan Golok Naga 5 Goosebumps - Misteri Hantu Tanpa Kepala Memanah Burung Rajawali 37
^