Pencarian

Panasnya Bunga Mekar 38

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 38


ingin bertemu dengan Mahisa Bungalan. bahwa Mahisa
Bungalan baru saja meninggalkan Pakuwon." jawab
kawannya "kemudian ternyata behwa ada laporan, bahwa
orang yang bertanya itu tidak hanya seorang diri. Ada
beberapa orang kawannya yang sedang menunggu.
Diantara mereka dikenal sebagai Pangeran Indrasunu
meskipun ia mengenakan pakaian orang kebanyakan."
"Jika demikian, bukankah ada kemungkinan yang gawat
akan terjadi?" bertanya seorang Senopati.
"Ya. Kemungkinan itu memang ada" jawab yang lain.
"Tetapi, kenapa Akuwu hanya membawa sepuluh
pengawal. Meskipun pengawal terbaik?" bertanya Senopati
itu. "Akuwu sangat tergesa-gesa. Ia tidak ingin mendengar
Mahisa Bungalan yang sudah memberikan banyak bantuan
kepada kita itu mengalami bencana diperjalanan."
jawabnya. "Tetapi bagaimana jika justru Akuwu sendiri" berkata
Senepati itu pula. "Memang mungkin sekali keadaan akan menjadi sangat
gawat" sahut pengawal yang lain.
Senepati itu merenung sejenak. Kemudian ia telah
mengambil keputusan untuk membawa sepuluh orang lagi
menyusul Akuwu Suwelatama yang pergi dengan tergesagesa.
"Jarak ini belum terlalu panjang" berkata Senapati itu
"mudah-mudahan aku dapat menyusulnya."
Demikianlah maka Senepati itu menyusul bersama
sepuluh orang terbaik, sehingga karena ituu ada tiga iringiringan
orang berkuda yang menyusul perjalanan Mahisa
Bungalan. Sebenarnyalah orang yang telah berhasil menyusul
Mahisa Bungalan itu adalah Pangeran Indrasunu bersama
dua orang Pangeran yang bersamanya pergi kerumah
Mahisa Bungalan untuk mengambil Ken Padmi, sedangkan
dua orang lainnya adalah guru kedua orang Pangeran itu.
Mahisa Bungalan menjadi tegang. Sementara itu, kelima
orang itupun untuk beberapa saat berdiri termangu-ma-ngu.
Namun sejenak kemudian. Pangeran Indrasunupun telah
meloncat dari punggung kudanya diikuti oleh keempat
orang yang lain. Mahisa Bungalan bergeser selangkah. Jantungnya
memang menjadi berdebar-debar. Pangeran Indrasusu
memang bukan orang yang memiliki kemampuan yang
melampauinya. Tetapi bersama empat orang lain maka ia
harus berhati-hati. Dalam pada itu, terdengar Pangeran Indrasunu
menyapanya "Mahisa Bungalan."
"Ya. Pangeran." jawab Mahisa Bungalan. Kemudian
iapun bertanya "Apakah yang kau kehendaki dengan
menyusul perjalananku?"
Pangeran Indrasunu memandang wajah Mahisa
Bungalan yang tegang. Beberapa langkah ia maju,
sementara Mahisa Bungalan menjadi semakin bersiaga.
Namun Mahisa Bungalan terkejut ketika ia mendengar
suara Pangeran itu yang lemah dan tidak mengandung
pertentangan "Mahisa Bungalan. Aku memang berusaha
untuk dapat menemuimu secepatnya."
"Sekarang kita sudah bertemu. Apakah maksudmu
Pangeran?" bertanya Mahisa Bungalan yang masih belum
melupakan apa yang pernah terjadi dengan Pangeran itu.
Pangeran Indrasunu menarik nafas, dalam-dalam.
Namun kemudian katanya "Sebenarnya aku ingin
menemuimu di Kabanaran. Akupun ingin bertemu dengan
ka-kangmas Akuwu Suwelatama. Dengan demikian kita
akan dapat berbincang agak panjang."
"Tetapi kau telah memyusul aku dan bertemu disini"
jawab Mahisa Bungalan. "Bagaimana jika bersama-sama kembali ke Kabanaran?"
bertanya Pangeran Indrasunu "kita akan berbicara panjang.
Bukan hanya aku dan kau. Tetapi bersama kakangmas
Akuwu Suwelatama." Wajah Mahisa Bungalan nampak semakin tegang.
Meskipun Pangeran Indrasunu tidak bersikap bermusuhan,
tetapi ajakannya itu sangat mencurigakan. Karena itu maka
katanya "Pangeran, aku sudah berniat meninggalkan
Kabanaran untuk kembali ke Singasari. Karena itu, aku
tidak akan kembali ke Kabanaran."
"Aku minta dengan sangat Mahisa Bungalan" berkata
Pangeran Indrasunu "aku ingin membersihkan persoalan
yang pernah terjadi diantara kita. Diantara aku dan kau,
diantara aku dan kakangmas Pangeran Suwelatama yang
menjadi Akuwu di Kabanaran."
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Tetapi ia
tetap mencurigai sikap Pangeran Indrasunu. Katanya
kemudian "Jika memang demikian, kau dapat
melakukannya sekarang. Kemudian kau pergi menghadap
Pangeran Suwelatama yang menjadi Akuwu di
Kabanaran." "Persoalannya saling berkaitan" berkata Pangeran
Indrasunu "karena itu, aku minta dengan sangat." Dengan
tegang orang-orang yg berada di tepian telah menunggu.
Semakin lama derap kaki kuda menjadi semakin dekat,
sehingga akhirnya sekelompok orang-orang berkuda telah
menuruni tebing sungai yang agak landai.
Ternyata orang-orang berkuda itu segera melihat,
beberapa orang yang berada di tepian itu, sebagaimana
orang-orang yang berada di tepian segera melihat mereka.
Dalam pada itu, terdengar aba-aba diantara orang-orang
berkuda itu "Kepung mereka."
Sepuluh orang berkuda kemudian langsung mengepung
Mahisa Bungalan dan kelima orang yang datang
menyusulnya, setelah mereka berloncatan turun.
Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Kemudian iapun
melangkah maju sambil berdesis "Akuwu
Suwelatama." "Ya Mahisa Bungalan. Aku sudah mendengar laporan,
bahwa adimas Indrasunu telah menyusul perjalananmu.
Aku menjadi curiga bahwa sesuatu yang tidak dikehendaki
akan terjadi. Karena itu aku segera menyusulmu. Ternyata
laporan itu benar. Agaknya adimas Pangeran Indrasunu
telah berhasil menyusulmu. Untunglah bahwa belum terjadi
sesuatu denganmu. Karena bagaimanapun juga. kau hanya
seorang diri." Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Dengan
suara yang dalam Mahisa Bungalan berkata "Terima kasih
Akuwu. Ternyata bahwa Akuwu sangat memperhatikan
keselamatanku." "Telah banyak sekali yang kau berikan kepada Pakuwon
Kabanaran." berkata Akuwu.
Mahisa Bungalan termagu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya "Tetapi Akuwu, agaknya kali ini kita
berhadapan dengan Pangeran Indrasunu dalam citra yang
berbeda." "Maksudmu?" bertanya Pangeran Suwelatama.
"Pangeran Indrasunu. Bukankah Pangeran sebelumnya
telah mengajak aku untuk menghadap Akuwu Suwelatama
" Nah, ternyata sekarang kita sudah menghadap bersamasama."
berkata Mahisa Bungalan. Pangeran Indrasunu memandang Akuwu Suwelatama
sejenak. Mamun nampaknya ia masih tetap ragu-ragu.
"Jika Pangeran ingin mengatakannya, katakanlah"
berkata Mahisa Bungalan. "Apa sebenarnya yang telah terjadi?" bertanya Akuwu
Suwelatama. Pangeran Indrasunu masih saja nampak ragu-ragu.
Namun kemudian, ia berkata "Kakangmas, aku mohon
kesempatan untuk menyatakan sesuatu. Akupun mohon
maaf, bahwa aku akan mengatakannya disini. Seharusnya
aku datang menghadap kangmas di Pakuwon Kabanaran."
"Apa yang ingin adimas katakan?" bertanya Akuwu
Suwelatama. "Seperti yang baru saja aku katakan kepada Mahisa
Bungalan, bahwa aku ingin mohon maaf kepada
kakangmas Suwelatama atas segala tingkah laku kami
selama ini." Wajah Akuwu itu menjadi semakin tegang.
Dipandangnya Mahisa Bungalan sejenak. Lalu iapun
bertanya "Kau katakan itu kepadaku, setelah kau merasa
gagal dengan rencanamu sekarang ini, atau kau memang
akan berkaca demikian?"
"Aku memang akan berkata demikian" jawab Pangeran
Indrasunu. "Demikian tiba-tiba?" bertanya Akuwu Suwelatama.
"Bukan tiba-tiba. Sesuatu telah terjadi. Dan agaknya
jiwaku telah berguncang karena peristiwa itu, sehingga aku
memutuskan untuk mengambil satu sikap baru dalam
hidupku yang tersisa."
Akuwu Suwelatama tidak segera mempercayainya.
Bahkan kemudian ia berkata kepada Mahisa Bungalan
"Jangan terlalu cepat mempercayainya. Yang dilakukan
oleh adimas Indrasunu selama ini telah cukup membuat
kepalaku pening." "Ia sudah menceriterakan apa yang telah terjadi atas
dirinya" berkata Mahisa Bungalan "agaknya aku mulai
mempercayainya." "Apa yang telah terjadi?" bertanya Akuwu Suwelatama.
Pangeran Indrasunu itupun kemudian menceriterakan
kembali, apa yang telah dialaminya di rumah Mahendra,
sehingga peristiwa itu telah menggerakkan jiwanya untuk
melihat jauh menghunjam kedalam dirinya sendiri.
Akhirnya ia menemukan, betapa kotornya dirinya.
"Aku telah berjanji. Bumi dan langit menjadi saksi"
berkata Pangeran Indrasunu.
Akuwu Suwelatama menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-angguk kecil ia berkata "Nampaknya aku-pun
mulai percaya. Mudah-mudahan hatimu selalu mendapat
terang dari Yang Maha Agung. Untunglah, segala peristiwa
yang terjadi belum aku laporkan seutuhnya kepada para
pemimpin di Kediri atau lebih-lebih lagi Singasari. Dengan
demikian, maka adimas masih belum terlibat kedalam
keadaan yang gawat dalam hubungan adimas sebagai
seorang bangsawan di Kediri."
"Terima kasih kakangmas. Sikap kakangmas itupun
menjadi cambuk bagiku. Bahwa tidak sepantasnya aku
melakukan perbuatan-perbuatan yang kotor, sementara
orang lain masih berusaha melindungi namaku.
Sebenarnyalah bagi seorang kesatria, nama mempunyai arti
yang penting seperti nyawanya." berkata Pangeran
Indrasunu. Lalu " Dua orang saudaraku inipun mempunyai
sikap yang sama seperti aku, direstui oleh kedua orang
gurunya. Guru merekalah yang banyak mendorong kami
untuk memilih jalan ini, setelah dengan serta merta kami
melakukannya di hadapan paman Mahendra."
Akuwu Suwelatama melangkah maju mendekati
Pangeran Indrasunu. Sambil menepuk pundaknya ia
berkata "Aku telah menemukan saudara-saudaraku
kembali." Pangeran Indrasunu menundukan wajahnya. Rasarasanya
tenggorokannya menjadi panas. Ternyata bahwa
masih banyak orang yang mempunyai jiwa yang besar,
yang yang dengan tulus hati memaafkan kesalahan orang
lain dalam suasana yang tidak menentu.
"Dosaku memang terlalu besar" desis Pangeran
Indrasunu. "Jika adimas sudah mengakui kesalahan itu dan
bertaubat, maka betepapun besarnya kesalahan, tentu akan
di maafkan" jawab Pangeran Suwelatama "sebagaimana
kau lihat, Mahisa Bungalanpun telah memaafkan
kesalahanmu. Aku dan orang-orang Kabanaranpun akan
memaafkanmu." Pangeran Indrasunu mengangguk. Kemudian katanya
kepada kedua orang Pangeran yang lain "Katakanlah. Aku
sudah minta maaf atas nama kita bertiga. Tetapi sebaiknya
kalian mengucapkannya dengan mulut kalian sendiri."
Kedua orang Pangeran itupun melakukannya seperti
yang diminta oleh Pangeran Indrasunu. Betapapun
beratnya, tetapi kedua orang Pangeran itu telah
melakukannya. Dalam pada itu, maka Pangeran Suwelatamapun berkata
"Baiklah. Jika demikian, aku ingin mempersilahkan kalian
kembali ke Pakuwon Kabanaran. Aku akan menjamu
kalian sebagai tamu-tamuku yang paling terhormat."
"Terima kasih" Mahisa Bungalanlah yang menjawab
"aku kira Pangeran Indrasunu dan saudara-saudara serta
guru mereka akan bersedia. Tetapi aku sudah hampir separo
jalan. Aku ingin meneruskan perjalanan ini ke Singasari."
"Sayang sekali" berkata Pangeran Indrasunu "aku juga
sudah minta kepada Mahisa Bungalan untuk kembali ke
Kabanaran. Sebelum aku tahu bahwa kakangmas Akuwu
akan menyusul aku, aku ingin menghadap, sekaligus
menyampaikan kepada Mahisa Bungalan permintaan maaf
atas segala tingkah lakuku yang sudah banyak
mengganggu." "Aku sudah terlalu lama meninggalkan Singasari"
berkata Mahisa Bungalan "keluargakupun tentu sudah
bertanya-tanya tentang keselamatanku. Sedangkan aku
masih harus bertanggung jawab atas petualanganku ini
kepada Maharaja Singasari, karena aku sudah beberapa kali
menunda kesanggupanku untuk menjadi seorang prajurit di
Singasari." "Jadi kau benar2 tidak dapat kembali ke Kabanaran ?"
bertanya Akuwu di Kabanaran.
"Terima kasih Akuwu. Bukan maksudku menolak.
Tetapi aku mohon diri untuk melanjutkan perjalanan."
jawab Mahisa Bungalan. Akuwu di Kabanaran mengangguk-angguk. Lalu
katanya "Baiklah Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas
segala bantuan yang tidak ternilai harganya bagi


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kabanaran." "Tidak ada yang pernah aku lakukan dalam arti yang
sebenarnya" berkata Mahisa Bungalan.
Dengan demikian, maka merekapun kemudian telah
berpisah. Akuwu Suwelatama kembali ke Kabanaran
bersama Pangeran Indrasunu, kedua Pangeran yang lain
serta guru-guru mereka, sementara Mahisa Bungalan
meneruskan perjalanannya ke Singasari.
Dalam pada itu, Akuwu Suwelatama dan iringiringannya
telah dikejutkan oleh iring-iringan yang lain lagi.
Namun ternyata mereka adalah pengawal-pengawal yang
setia yang mencemaskan keadaannya.
"Terima kasih" berkata Akuwu Suwelatama "tetapi
semuanya sudah selesai. Tidak ada kekerasan yang terjadi.
Sedangkan aku telah menemukan saudara-saudaraku
kembali." Senapati yang memimpin para pengawal yang
menyusulnya itu kurang mengerti. Namun kemudian di
perjalanan kembali ke Pakuwon, kawan-kawannya yang
mengikuti Akuwwu itupun dapat menceriterakan apa yang
telah terjadi. Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya "sukurlah.
Jika demikian, maka orang-orang Watu Mas tidak akan
melanjutkan niatnya menyerang Kabanaran jika ia
mendengar pengakuan Pangeran Indrasunu. Mereka tentu
mengira bahwa Pangeran Indrasunu telah berubah sikap
dan justru membantu Kabanaran. Dengan demikian maka
kekuatan mereka harus mereka nilai kembali."
"Mudah mudahan" sahut yang lain. Kemudian iapun
melanjutkan "Tetapi Akuwu di Watu Mas adalah orangorang
yang keras hati. Ia akan dapat menilai kembali
keuntungan atas dasar nalar dan mungkin melihat kembali
persoalan yang sebenarnya dihadapi dalam hubungannya
dengan Kabanaran, namun mungkin juga ia justru telah
mendendam. Jika demikian maka ia akan membuat
persiapan yang jauh lebih baik dari pernah yang
dilakukannya." Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
jawabnya "Sebaiknya kita memang harus berhati-hati
menghadapi Akuwu di Watu Mas. Kekerasan hatinya
kadang-kadang telah melepaskannya dari penalaran yang
bening, sehingga tingkah lakunya dikuasai ooleh perasaan
semata-mata." Yang lain mengangguk-angguk. Nampaknya penilaian
mereka terhadap Akuwu di Watu Mas telah selesai.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah semua yang
dipercakapkan itu sedang bergejolak pula di hati Akuwu di
Kabanaran. Ia melihat Akuwu di Watu Mas dari segala
segi. Kelemahanna tetapi juga kekerasan hatinya. Akuwu
Suwelatamapun sedang memikirkan kemungkinankemungkinan
seperti yang sedang dipercakapkan oleh
pengawal-pengawalnya itu. Namun ia tidak mengatakannya
kepada orang lain. Ia masih berusaha untuk membuat
pertimbangan-pertimbangan sendiri.
Sementara itu, Mahisa Bungalanpun sedang dalam
perjalanan ke Singasari. Matahari yang turun ke Baratpun
menjadi semakin rendah. Ketika lengit menjadi buram,
Mahisa Bungalan sedang berpacu semakin cepat menuju ke
Singasari. Namun peristiwa yang baru saja terjadi, rasarasanya
membuat hatinya menjadi semakin lapang.
Ternyata bahwa Pangeran Indrasunu yang sesat itu telah
menemukan jalan kembali. Tetapi Mahisa Bungalan yang tetap mencurigai Pangeran
Indrasunu itu tetap berkeberatan. Katanya "Maaf Aku
sudah berniat untuk langsung pergi ke Singasari. Jangan
paksa aku untuk kembali."
Pangeran Indrasunu termangu-mangu. Sekilas ia
berpaling kepada kedua orang Pangeran yang lain dan
kepada guru mereka. "Jika angger Mahisa Bungalan berkeberatan kembali ke
Kabanaran, apa boleh buat" berkata salah seorang guru dari
kedua orang Pangeran itu.
"Apakah aku harus mengatakannya sekarang?" bertanya
Pangeran Indrasunu. "Ya. Terpaksa sekali." jawab orang itu.
Mahisa Bungalan yang kurang mengerti tentang niat
mereka, telah mempersiapkan diri sepenuhnya. Jika terjadi
sesuatu, maka ia sudah siap menghadapinya.
"Mungkin kau akan menganggap bahwa aku tidak
mengenal unggah-unggah" berkata Pangeran Indrasunu
"tetapi aku kira, akupun tidak dapat mengikutimu pergi ke
Singasari meskipun jarak antara tempat ini ke Singasari dan
Kabanaran tidak lagi terpaut banyak."
"Apakah sebenarnya yang ingin kau lakukan" bertanya
Mahisa Bungalan kemudian.
Pangeran Indrasunu masih termangu-mangu. Namun
kemudian ia telah memaksa diri untuk berkata "Mahisa
Bungalan. Aku sebenarnya ingin berbicara dengan sungguhsungguh.
Tetapi jika kau tak berniat untuk kembali ke
Kabanaran, maka biarlah aku berbicara disini. Tetapi
marilah, kita berbicara sambil duduk. Mungkin kata-kataku
akan menjadi lebih teratur "
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Namun
ternyata Pangeran Indrasunu tidak menunggunya. Ialah
yang kemudian duduk di bawah pohon, Sementara kedua
orang Pangeran yang lain dan kedua orang gurunya telah
mengikutinya pula. Mahisa Bungalan tidak dapat berbuat lain. Iapun
kemudian duduk pula disebelah Pangeran Indrasunu
meskipun ia masih tetap berhati-hati.
"Mahisa Bungalan" berkata Pangeran Indrasunu
kemudian "aku tahu bahwa sampai saat ini kau masih tetap
mencurigai aku. Bagimu aku adalah orang yang tidak dapat
dipercaya lagi. Apa lagi apabila kau sudah mendengar apa
yang aku lakukan atas keluargamu."
"Apa yang telah kau lakukan?" Mahisa Bungalan justru
bertanya. Pangeran Indrasunu termenung sejenak. Seolah-olah ia
sedang mengingat-ingat apa yang pernah dilakukannya.
Baru sejenak kemudian ia berkata "Kami telah datang
kerumahmu. Seandainya hal ini tidak aku katakan, maka
kau akhirnya akan mendengarnya juga."
"Apa yang telah kau lakukan" bertanya Mahisa Bungalan
yang mulai menjadi tegang.
Pangeran Indrasunu menarik nafas dalam-dalam. Iapun
kemudian mulai menceritakan, apa yang telah
dilakukannya di rumah Mahendra.
Mahisa Bungalan mendengarkan dengan jantung yang
berdebar-debar. Wajahnya menjadi panas dan jari-jarinya
mulai bergetar. Namun akhirnya Pangeran Indrasunu itupun menceriterakan,
bagaimana ia dihadapkan kepada sikap Mahendra
yang telah meluluhkan segala macam sifat didalamgirinya,
"Aku telah tersiksa oleh sikap itu" berkata Pangeran
Indrasunu "rasa-rasanya hukuman yang diberikan oleh
paman Mahendra itu adalah hukuman yang tidak
ditanggungkan lagi."
Mahisa Bungalan memandang wajah Pangeran
Indrasunu sejenak. Rasa-rasanya ia memang melihat
kelainan pada wajah Pangeran yang dibencinya itu.
Sehingga karena itu, telah tumbuh pula kepercayaannya,
bahwa Pangeran Indrasunu telah berbicara sebenarnya.
"Mahisa Bungalan" berkata Pangeran Indrasunu
kemudian "aku berjanji untuk bertaubat. Aku tidak akan
mengulangi lagi tingkah lakuku yang sesat itu. Selebihnya,
paman Mahendra memang minta agar aku minta maaf
kepadamu. Tetapi akupun berpendirian, bahwa aku harus
minta maaf juga kepada kakangmas Akuwu di Kabanaran."
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
masih bertanya "Apakah aku dapat mempercayaimu?"
"Mahisa Bungalan" berkata Pangeran Indrasunu
kemudian "kedua orang ini adalah saudara-saudaraku. Dua
orang Pangeran seperti aku. Sedang dua orang tua itu
adalah guru mereka. Mereka adalah saksi dari kata-kataku.
Merekapun telah menganjurkan kepadaku dan kedua orang
muridnya, untuk mengakhiri petualangan yang kasar ini,
karena keduanyapun pernah mengalami pahitnya tingkah
laku kami." Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia semakin
mempercayi kata-kata Pangeran Indrasunu meskipun bukan
berarti bahwa ia harus meninggalkan kewaspadaannya.
Bagaimanapun juga, sisa-sisa kecurigaan masih ada
didalam diri Mahisa Bungalan.
Namun dalam pada itu, mereka telah dikejutkan oleh
derap kaki kuda. Lebih banyak dari derap kaki kelima ekor
kuda yang telah menyusul Mahisa Bungalan sebelumnya.
"Siapa?" Mahisa Bungalan yang telah meloncat berdiri
"apakah kau berbuat curang?"
"Sama sekali tidak" Pangeran Indrasunu telah berdiri
diikuti oleh orang-orang lain. Katanya lebih lanjut "jika
mereka berniat buruk, aku berdiri dipihakmu."
Mahisa Bungalan memandang Pangeran Indrasunu
dengan tajamnya. Tetapi wajah itu memang sudah berubah.
Ia melihat kejujuran pada sorot mata Pangeran itu, sehingga
iapun berdesis "Terima kasih."
Namun dalam perjalanan kembali itu, Mahisa Bungalan
menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan menuju ke Singasari
dan langsung menghadap Sri Maharaja di Singasari, atau
kembali kerumahnya lebih dahulu.
Ceritera Pangeran Indrasunu rasa-rasanya telah
mendorongnya untuk langsung pulang kerumah untuk
melihat apakah yang dikatakan oleh Pangeran Indrasunu
benar. Tetapi menilik ceritera Pangeran itu, di ketahuinya
bahwa Mahisa Agni tidak berada dirumahnya.
Akhirnya Mahisa Bungalan memutuskan untuk singgah
di Singasari, tetapi tidak langsung menghadap Sri
Maharaja. Ia hanya akan menemui pamannya Mahisa Agni
dan bertanya kepadanya, apakah mengetahui apa yang
telah terjadi. Didorong oleh keinginannya untuk segera menceriterakan
peristiwa yang telah terjadi itu, maka iapun kemudian
memacu kudanya semakin cepat. Mahisa Bungalan rasarasanya
tidak ingin berhenti sama sekali, seandainya ia
tidak mengingat keadaan kudanya.
Namun dalam pada itu, kudanya yang berpacu telah
banyak menarik perhatian orang yang melihatnya. Bahkan
jika ia terpaksa melewati jalan-jalan padukuhan, meskipun
setiap kali ia berusaha untuk memperlambat kudanya,
namun masih juga menimbulkan berbagai pertanyaan.
Ketika malam turun, maka orang-orang yang sudah
berada dibalik pintu rumahnya, terkejut mendengar derap
kuda yang berlari disepanjang jalan di depan regol halaman
rumah mereka. Tetapi Mahisa Bungalan tidak dapat memilih
kemungkinan lain. Ia ingin segera tiba di Singasari dan
bertemu dengan Mahisa Agni. Meskipun lewat tengah
malam sekalipun. Ternyata perjalanan Mahisa Bungalan tidak mengalami
gangguan apapun. Ketika ia, sampai ditegol Kotaraja
sebagaimana diperhitungkan, lewat tengah malam, maka
para penjaga regolpun telah menghentikannya.
Namun ternyata bahwa ada diantara para prajurit itu
yang telah mengenal Mahisa Bungalan. Karena itu, maka
dengan heran ia bertanya "Kau baru datang sekarang
Mahisa Bungalan?" "Ya." jawab Mahisa Bungalan.
"Orang lain telah datang beberapa lama" berkata orang
itu pula. "Aku masih mempunyai kewajiban." jawab Mahisa
Bungalan. "Dan sekarang tugasmu sudah selesai?"
Mahisa Bungalan menjadi gelisah. Jika orang itu
bertanya berkepanjangan, maka ia akan tertahan diregol itu.
Karena itu, maka iapun menjawab "Kedatanganku ini
dalam rangkaian tugasku. Aku harus segera menjumpai
paman Mahisa Agni sekarang juga."
Prajurit itu mengangguk-angguk. Namun ia mengerti,
bahwa Mahisa Bungalan tergesa-gesa. Karena itu, maka
katanya kemudian "Nampaknya kau tergesa-gesa."
"Ya. Aku tergesa-gesa."
Prajurit itupun tidak bertanya lagi. Bahkan iapun mempersilahkan
Mahisa Bungalan untuk memasuki regol
Kotaraja. Tetapi demikian Mahisa Bungalan lewat, seorang
diantara para prajurit itu berkata "Bukankah Mahisa Agni
tidak ada ditempat?"
"O" prajurit yang menyapa Mahisa Bungalan itu baru
teringat. Katanya "Ya. Mahisa Agni memang tidak ada
ditempat." "Mahisa Bungalan akan kecewa" berkata .seorang
temannya. "Biarlah. Nanti akan ada juga orang yang
memberitahukan kepadanya." desis prajurit yang menyapa
Mahisa Bungalan itu. Sebenarnyalah Mahisa Agni tidak ada ditempat. Ketika
Mahisa Bungalan sampai keregol buntulan istana Singasari,
maka prajurit yang bertugaspun terkejut melihat
kehadirannya dengan tergesa-gesa.
"Mahisa Bungalan" sapa prajurit itu.
"Ya." "Kau datang pada malam begini." berkata prajurit itu.
"Ya. Aku harus segera menghadap paman Mahisa Agni"
jawab Mahisa Bungalan. Prajurit itupun kemudian mempersilahkan Mahisa
Bungalan masuk. Namun katanya "Tetapi Mahisa Agni
tidak ada di biliknya."
"Jadi paman Mahisa Agni sedang pergi?" bertanya
Mahisa Bungalan. "Ya. pamanmu Mahisa Agni sedang pergi menengok
saudaranya. Bukankah Mahendra itu ayahmu?" bertanya


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

prajurit itu. "Jadi paman Mahisa Agni mengunjungi ayah?"
"Ya. Sepengetahuanku, Mahisa Agni pergi ke rumah
ayahmu." jawab prajurit itu.
Mahisa Bungalan merenung sejenak. Sementara prajurit
itu berkata " Tetapi kau dapat bermalam dibiliknya. Besok
kau dapat menyusulnya."
Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun akhirnya ia
berkata " Aku akan pergi malam ini juga. Ada yang penting
harus aku lakukan." "Tetapi sekarang sudah lewat tengah malam. Kau dapat
beristirahat pada sisa malam ini."
Tetapi Mahisa Bungalan berkeras hati untuk menyusul
Mahisa Agni yang sedang menengok ayahnya. Bahkan
Mahisa Bungalan menduga, bahwa Mahisa Agni telah
mendengar apa yang telah terjadi dirumahnya.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan tidak mau tinggal di
sisa malam itu dibilik Mahisa Agni. lapun segera minta diri
untuk melanjutkan perjalanan pulang kerumahnya.
Sebagai seorang yang telah menempa diri dalam olah
kanuragan maka ia dapat mengatasi perasaan letihnya.
Meskipun waktunya beristirahat terlalu sempit dibanding
dengan perjalanannya, tetapi Mahisa Bungalan masih
nampak tetap segar. Dan iapun masih mampu berpacu
secepatnya. Meskipun demikian Mahisa Bungalan tidak dapat
memaksa kudanya untuk berlari terus. Kuda itu tentu lebih
letih dari dirinya sendiri yang hanya duduk saja dipunggungnya.
Dengan demikian, Mahisa Bungalan merasa
perjalanannya menjadi sangat lamban. Ia terpaksa memberi
kesempatan kudanya beristirahat justru pada saat ia ingin
segera sampai ketempat. Namun akhirnya kampung halamannyapun menjadi
semakin dekat pula sejalan dengan fajar yang mulai
membayang. Dengan demikian pada dini hari, ia telah
memasuki regol padukuhannya, pada saat Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat sudah mulai menyapu halaman,
sementara Ken Padmi telah sibuk berada didapur bersama
dengan para pembantu rumah itu.
Kedatangan Mahisa Bungalan di pagi buta itu benar2
telah mengejutkan. Karena itu, maka seisi rumahpun segera
menyongsongnya. Kedua adiknya, ayahnya dan
sebenarnyalah kedua pamannya berada di rumah itu pula.
Witantra dan Mahisa Agni.
"Paman Mahisa Agni dan paman Witantra sudah ada di
sini." desis Mahisa Bungalan.
"Ya Mahisa Bungalan " Mahisa Agnilah yang menjawab
"pamanmu Witantra sudah mendahului kami. Aku baru
menyusul kemudian." Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi iapun
kemudian bertanya "Paman tidak melihat peristiwa yang
terjadi di sini?" "Peristiwa apa ?" bertanya Mahisa Agni.
Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun ayahnyalah
yang kemudian mempersilahkannya "Marilah. Naiklah.
Kita akan berbicara dengan tenang. Tetapi aku kira kau
tidak perlu tergesa-gesa."
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Sementara
ayahnya bahkan berkata "Atau barangkali kau akan pergi
ke pakuwon lebih dulu Mungkin kau perlu membasahi
tubuhmu serba sedikit. Kau dapat mencuci muka agar kau
merasa segar, setelah kau berkuda sampai dini hari."
Mahisa Bungalan mengangguk. Katanya "Baiklah ayah.
Aku berkuda sehari-semalam."
Mahisa Bungalanpun kemudian beringsut. Namun ia
tertegun ketika ia melihat sesosok tubuh di seketeng.
Ternyata Ken Padmi juga mendengar kehadirannya. Tetapi
ia tidak dapat berbuat seperti saudara-saudara Mahisa
Bungalan. Ia tidak dapat ikut menyongsong sambil berlarilari.
Kemudiain berdiri bersama-sama mereka
mengerumuninya. Justru karena ia masih orang lain di
rumah itu. Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Namun iapun
kemudian melangkah beberapa
langkah mendekatinya. Dengan
nada dalam ia bertanya "Bagaimana keadaanmu selama
ini Ken Padmi"' Gadis itu menundukkan kepalanya. Namun terdengar
jawabnya perlahan "Aku
selamat kakang. Bagaimana
dengan kau" Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian "Aku juga selamat Ken Padmi, sebagaimana kau
lihat." Ken Padmi mengangkat wajahnya. Tetapi wajah itu
segera tunduk kembali. "Aku akan membersihkan diri dahulu setelah sehari
semalam menempuh perjalanan." berkata Mahisa Bungalan
kemudian. "Aku akan menyiapkan minuman panas untukmu
kakang" desis Ken Padmi tanpa memandang wajah anak
muda itu. "Terima kasih" sahut Mahisa Bungalan. Betapa
kerinduan telah menghentak jantung anak-anak muda itu.
Namun mereka masih tetap menyadari, bahwa mereka
masih orang lain. Mereka masih dibatasi oleh unggahungguh
dan tata kesopanan. Ken Padmipun kemudian beringsut masuk ke dalam
seketeng. Sementara Mahisa Bungalan telah pergi ke
pakiwan untuk mencuci kaki dan tangannya. Ia tahu,
bahwa justru karena semalam suntuk ia tidak tidur, maka
tidak baik bagi tubuhnya jika ia langsung mandi.
Dalam pada itu, kedua adiknyapun telah mengambil
sebungkus kecil pakaian Mahisa Bungalan yang terikat di
punggung kudanya. Ketika anak-anak muda itu masuk ke ruang dalam untuk
menyimpan pakaian Mahisa Bungalan di dalam bilik yang
sebelumnya memang dipergunakan oleh Mahisa Bungalan,
maka terasa bahwa bilik itu tidak akan sepi lagi.
Dari bilik itu keduanyapun telah pergi ke dapur.
Dilihatnya Ken Padmi sibuk menyiapkan minuman bagi
Mahisa Bungalan. Kedua anak muda itu saling berpandangan. Ken Padmi
bagi mereka sudah seperti saudara kandung sendiri. Gadis
itu bukan saja gadis yang memiliki ketrampilan di dalam
;>lah kanuragan. Tetapi ia adalah gadis yang rajin. Sama
sekali Ken Padmi tidak menunjukkan kemanjaannya
meskipun ia adalah satu-satunya anak perempuan.
Kemanjaan tidak memberikan manfaat apapun juga
berkata anak-anak muda itu di dalam hatinya bahkan akan
dapat menimbulkan keengganan pada orang lain
Ketika Mahisa Bungalan kemudian naik ke pendapa,
maka kedua adiknyapun telah menemuinya pula.
Sementara itu Ken Padmi telah menghidangkan minuman
panas kepada mereka yang duduk di pendapa itu.
"Kau juga duduk di sini" minta Mahendra kepada gadis
itu "biarlah makan pagi disiapkan oleh para pembantu di
dapur." Ken Padmi tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian
duduk pula dengan kepala tunduk.
"Mahisa Bungalan" ayahnya bertanya "apakah kau ingin
beristirahat dahulu, baru berbicara, atau kau lebih senang
berbicara sekarang sambil menunggu nasi masak"
Mahisa Bungalan memandang berkeliling. Ditempat itu
duduk Witantra dan Mahisa Agni selain adiknya dan Ken
Padmi. Agaknya lebih baik berbicara saja dengan mereka,
daripada harus menunda-nunda. Ia tidak akan dapat
beristirahat dengan tenang jika ia masih harus menyimpan
persoalan yang seharusnya sudah dapat dibicarakannya.
Karena itu, maka katanya "Kita akan berbicara sekarang
ayah. Aku kira ayah akan berbicara serba sedikit tentang
Pangeran Indrasunu yang telah datang kerumah ini."
Mahendra mengerutkan keningnya. Kemudian iapun
bertanya "Darimana kau mendengar persoalan itu?"
"Aku sudah berbicara dengan Pangeran Indrasunu"
jawab Mahisa Bungalan. "Apa katanya?" bertanya Mahendra pula.
Mahisa Bungalanpun kemudian berceritera serba sedikit
tentang pertemuannya dengan Mahisa Bungalan yang
kemudian disusul oleh Akuwu Suwelatama dengan
beberapa orang pengawalnya.
Mahendra, Witantra dan Mahisa Agni yang
mendengarkan ceritera itu menarik nafas dalam-dalam.
Hampir bersamaan mereka bertiga berdesis "Sokurlah."
"Ya" sahut Mahisa Bungalan "akupun merasa ber-sokur
bahwa Pangeran itu telah menemukan jalannya kembali.
Pangeran Suwelatamapun merasa bersokur pula."
"Jika demikian, kami tidak perlu menceriterakan apapun
juga kepadamu. Kau sudah mendengar segala-galanya dari
Pangeran Indrasunu." berkata Witantra.
"Ya paman. Aku sudah mendengar semuanya" jawab
Mahisa Bungalan. "Juga tentang dua orang yang terbunuh, yang menurut
ayah adalah dua orang perampok yang dibunuh oleh tiga
orang Pangeran itu?" bertanya Mahisa Murti.
"Ya. Tentang dua orang dari padang geneng itu." jawab
Mahfea Bungalan. "Baiklah" berkata Mahendra "jika demikian tidak ada
lagi yang akan kita bicarakan tentang kedua perampok ituu.
Meskipun demikian, bukan berarti bahwa tidak ada yang
harus kita bicarakan."
Mahisa Bungalan menundukkan kepalanya. Ia mengerti,
apa yang akan dikatakan oleh ayahnya. Tentu tentang Ken
Padmi yang sudah beberapa lama berada di rumah itu.
Namun dalam pada itu, Mahisa Agnilah yang berkata
"Mahisa Bungalan. Kami sudah cukup tua untuk
melakukan kerja apapun juga. Karena itu sudah masanya,
bahwa kau mulai terjun ke arena yang sudah kau sepakati
sebelumnya. Dengan demikian, rasa-rasanya kami akan
menjadi tenang jika kami pada suatu saat mengundurkan
diri dari segala kegiatan, karena kau sudah menggantikan
kami. Setidak-tidaknya kami akan dapat melihat kau
berkembang maju dalam lapangan yang lebih pasti dari
yang tempuh sekarang ini."
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia
mengerti bahwa pamannya Mahisa Agni telah
menghendaki agar ia ingat kembali kesediaannya untuk
memasuki lapangan keprajuritan.
Karena itu, maka katanya "Paman, agaknya aku
memang sudah ingin menyatakan diri untuk bersedia
menerima mengangkatan itu. Agaknya apa yang pantas aku
laku kan, sudah aku lakukan."
"Sokurlah" berkata Mahisa Agni "kau akan segera pergi
ke Singasari. Kau akan mendapat wisuda memangku
jabatan dalam lingkungan keprajuritan."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk sambil berkata
"Aku sudah siap paman. Nampaknya aku sudah tidak ingin
bertualang kembali setelah aku menyimpan beberapa
pengalaman yang dapat memberikan landasan bagi hidupku
kemudian." "Bagus" desis Witantra "dengan demikian maka kau
akan dapat mulai dengan satu kehidupan baru. Karena
dengan demikian maka bukan saja kau yang akan segera
hidup mapan sebagaimana kebanyakan orang. Kau harus
menyadari, seseorang telah menunggumu. Tetapi ia tidak
dapat menerimamu sebagai seorang petualang. Kau harus
mempunyai pegangan hidup yang mapan. Baru kau akan
dapat hidup bersamanya."
Mahisa Bungalan sudah menduga, bahwa akhirnya
pembicaraan itu akan sampai ke masalah itu pula. Karena
itu, ia sama sekali tidak terkejut. Setelah ia mengalami
persoalan yang terakhir berhubungan dengan Pangeran
Indrasunu, maka iapun merasa bahwa petualangannya
telah sampai kepada puncaknya, sehingga sudah
sepantasnya ia tidak membiarkan Ken Padmi menunggu
lebih lama lagi dalam keadaannya.
Tetapi seperti yang dikatakan oleh pamannya, Witantra,
bahwa seharusnya ia mempunyai pegangan hidup yang
mapan. Dengan demikian, maka segalanya menjadi pasti bagi
Mahisa Bungalan. Kepada ketiga orang tua itu, ia
memutuskan untuk menerima wisuda secepatnya, agar
dengan demikian, maka iapun akan segera pula dapat hidup
bersama dengan Ken Padmi. Gadis yang rasa-rasanya telah
membakar udara disekitarnya saat-saat ia mulai mekar di
padepokannya. Mahendra tidak merasa perlu bertanya kepada Ken
Padmi. Gadis itu masih saja menundukkan kepalanya.
Tetapi pembicaraan itu rasa-rasanya bagaikan sejuknya air
wayu sewindu. Namun betapa kegembiraan dan harapan
melonjak di hatinya, namun Ken Padmi sama sekali tidak
menunjukkan dengan sikap dan apalagi dengan kata-kata.
Tidak ada lagi persoalan yang akan menghambat
pelaksanaan ikatan antara Mahisa Bungalan dan Ken
Padmi setelah Mahisa Bungalan mendapat wisuda.
Segalanya akan berjalan rancak sebagaimana mereka
harapkan. "Baiklah" berkata Mahendra kemudian "kita akan
berbicara lebih banyak lagi pada saatnya. Kita masih
menunggu, apakah Mahisa Bungalan akan mendapat
wisuda secepatnya.."
Namun hal itu harus dibicarakannya, bukan dirumah itu.
Tetapi di Singasari. Mahisa Agni harus menyiapkan segala
sesuatunya agar wisuda itupun dapat segera dilakukan.
"Setelah di tunda beberapa kali, aku kira kali ini kau
benar-benar akan menepati janjimu" berkata Mahisa Agni
"karena kau akan menjadi sandaran hidup orang lain. Jika


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau masih belum mempunyai pegangan yang pasti, maka
kau akan menjadi sandaran yang rapuh, yang tidak
seharusnya." Mahisa Bungalan mengangguk. Iapun menyadari, bahwa
ia memang harus mempunyai pegangan. Karena ia adalah
sandaran. Karena itu, Mahisa Bungalan sendiri tidak tergesa-gesa.
Semua pembicaraan sudah pasti. Karena itu, ia akan dapat
dengan tenang menunggu kepastian wisudanya.
Tetapi dalam pada itu Mahendrapun berkata " Mahisa
Bungalan. Bukan maksudku untuk mengusirmu. Tetapi
sebaiknya besok kau ikut pamanmu ke Singasari. Kau
harun memastikan diri menerima kedudukanmu sebagai
seorang prajurit. Namun yang penting, sebaiknya kau
memang tidak ada dirumah ini. Biarlah Ken Padmi
menunggu disini. Justru karena ia menunggumu disini,
maka sebaiknya kaulah yang meninggalkan rumah ini
sekaligus untuk mengurus hari wisuda itu."
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Iapun
menyadari bahwa tidak pantas baginya untuk tinggal
bersama-sama dengan Ken Padmi meskipun semua
persoalan sidah jelas, sudah pasti. Tetapi sebaiknya ia
memang tidak berada dirumah itu. Apalagi agaknya
kemungkinan-kemungkinan yang gawat tidak akan terjadi
lagi atas gadis itu. Pangeran Indrasunu sudah menyatakan
kepadanya, bahwa ia telah menyesali segala tingkah
lakunya. Menilik sikap dan kata-katanya maka ia percaya
bahwa yang dikatakannya itu benar-benar akan
dilakukannya. Demikianlan pada hari berikutnya, Mahisa Bungalan
yang baru sehari berada dirumahnya telah bersiap-siap
untuk pergi ke Singasari bersama Mahisa Agni. Ketika ia
keluar dari regol rumahnya dibelakang Mahisa Agni, kesan
Mahisa Bungalanpun jauh berbeda dengan parjalanannya
yang pernah dilakukan dalam petualangannya saat itu
adalah perjalanan yang pendek dan pasti. Ada yang dituju
dan ada yang dipersoalkan untuk satu kepentingan yang
pasti pula. "Agaknya memang sudah saatnya" berkata Mahisa
Bungalan di dalam hatinya.
Sementara itu, Mahendra, Witantra, kedua adiknya dan
Ken Padmi melepaskannya dengan kesan yang berbeda.
Mahisa Bungalan pergi untuk menyongsong harapan pada
massa mendatang. Demikianlah Mahisa Bungalanpun kemudian menyusuri
jalan-jalan bulak menuju ke Singasari bersama Mahisa
Agni. Terasa betapa cerahnya langit di beningnya cahaya
pagi. Ternyata perjalanan Mahisa Bungalan dan Mahisa Agni
sama sekali tidak menemui hambatan. Mereka sampai kekota
raja dengan selamat, langsung menuju ke istana Sri
Maharaja di Singasari. Seperti perjalanan Mahisa Bungalan dan Mahisa Agni,
maka segala pembicaraanpun berjalan dengan rancak.
Tidak ada kesulitan apapun juga untuk mengangkat Mahisa
Bungalan sebagai seorang prajurit. Selain ia memang sudah
dipersiapkan sejak lama, maka tempat baginyapun seolaholah
sudah disediakan. Dengan singkat Mahisa Bungalan memberikan laporan
petualangannya yang terakhir. Kepada Sri Maharaja,
Mahisa Bungalan menceriterakan apa yang telah terjadi
atas dirinya, atas Pakuwon Kabanaran dan atas tingkah
laku Pangeran Indrasunu. Namun Mahisa Bungalan
mengatakan, bahwa semuanya itu telah lampau. Pangeran
Indrasunu telah menemukan jalan kembali, sehingga karena
itu, maka tidak ada hukuman yang perlu diberikan
kepadanya "Tetapi aku tidak pernah menerima laporan tentang
sikap itu" berkata Sri Maharaja.
"Memang tidak pernah ada laporan" Mahisa Agni yang
menjawab "Akuwu Suwelatama masih berhasrat untuk
menyelesaikannya dengan sikap seorang keluarga dan lebihlebih
lagi seorang saudara tua."
Mahisa Agnipun ternyata kemudian mendapat titah
untuk mengurus segala-galanya. Sejak persiapan wisuda
sampai kepada pelaksanaannya.
Dengan demikian maka Mahisa Bungalan akan segera
dapat menunaikan tugasnya sebagai seorang laki-laki bagi
seorang perempuan. Ia telah mendapatkan pegangan
hidupnya justru karena ia adalah sandaran bagi isterinya.
Sementara itu, maka tugas Mahendra kemudian adalah
menghubungi orang tua Ken Padmi. segalanya itu, akan
berarti bahwa masa panasnya bunga mekar disebuah
padepokan kecil akan berakhir. Bunga itu akan segera
dipetik dan udara di petamananpun akan segera menjadi
sejuk. Namun dalam pada itu, selagi segalanya sedang meniti
jalan penyelesaian, ternyata bahwa Mahisa Pukat dan
Mahisa Murti mulai mempunyai kegemarannya yang baru.
Keduanya mulai sulit di kekang. Keduanya mulai ingin
mengenali wajah dunia ini dan banyak segi.
Jika Mahisa Bungalan mulai tenang dan panasnya bunga
mekar mulai tersiram sejuknya embun kasih sayang se
orang anak muda, maka kedua anak muda yang lainpun
mulai membara oleh gelora mudanya.
Dengan demikian, maka gejolak dihati Mahendrapun
mulai bergeser. Ia tidak lagi gelisah oleh petualangan
Mahisa Bungalan, tetapi Mahisa Pukat dan Mahisa Murtilah
yang kemudian mulai menghangatkan perhatiannya.
Perhatian orang tua terhadap anak-anaknya.
Maka mulailah saat-saat petualangan kedua adik Mahisa
Bungalan itu. SELESAI Buku Serie " Panasnya Bunga Mekar" telah selesai. Dan
ikuti buku berikutnya dengan judul:
Hijaunya Lembah, Hijaunya Lereng Pegunungan.
Sebagian dari ceritanya dapat anda ikuti dalam buku ini.
Penerbit Sengsara Membawa Nikmat 4 Jangan Ganggu Aku Karya Wen Rui An Pendekar Remaja 13
^