Pencarian

Yang Terasing 7

Yang Terasing Karya S H Mintarja Bagian 7


573 "Aku membawa obatnya" Wiyatsih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Wiyatsih tersenyum sambil bertanya "Kau juga dapat menjadi dukun?" "Ayah memberikan bekal kepadaku" "O" "Kau sekarang mengetahui Wiyatsih, bahwa banyak kemungkinan dapat terjadi. Karena ayah cukup berpengalaman, maka akupun dibekalinya dengan kebutuhankebutuhan yang dapat dipergunakan dalam keadaan yang memaksa sementara menunggu perawatan yang lebih baik" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Iapun kemudian duduk dihadapan Puranti yang segera menyiapkan serbuk obat-obatan untuk mengobati luka Wiyatsih. Ketika ibu Wiyatsih masuk dan melihat luka Wiyatsih itu, maka dengan cemas ia bertanya "Kau terluka?" "Hanya sedikit tersentuh senjata ibu" Ibu Wiyatsih itupun kemudian bersimpuh disampingnya sambil berkata "Aku tidak menyangka, bahwa kau dapat berbuat seperti itu Wiyatsih. Aku tidak mengerti apakah sebenarnya yang telah terjadi" Wiyatsih hanya tersenyum sekilas. Tetapi ia tidak menjawab, Bahkan kemudian ia menyeringai ketika Puranti mulai meraba-raba lukanya dan menaburkan serbuk itu. "O, kenapa menjadi pedih?" desis Wiyatsih. "Ya. Untuk beberapa lama, lukamu terasa pedih. Tetapi Mudah-mudahan luka itu akan sembuh sehari atau dua hari" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. Dibiarkannya bahunya terbuka agar serbuk obat itu tidak terhapus jika ia
574 mengenakan bajunya. Apalagi baju itu sudah bernod darah, sehingga karena itu, maka Wiyatsihpun kemudian membuka bajunya sama sekali, dan hanya mengenakan kembennya yang ternyata juga bernoda darah yang meleleh dari lukanya itu Selagi Puranti sibuk mengobati luka Wiyatsih, maka Nyai Sudatilah yang kemudian menyuruh para pelayan yang masih gemetaran untuk menyediakan minum baginya. Sementara ilu diluar, dihalaman, para penjaga dan para pelayan laki-laki sedang sibuk mengurusi beberapa Sosok mayat yang berserakan. Ternyata diantara para pelayan, jatuh juga dua orang korban yang terluka berat, sedang tiga orang yang lain meskipun terluka parah, namun tidak membahayakan jiwanya. Malam itu, bagi halaman rumah Nyai Sudati adalah malam yang paling mengerikan yang pernah terjadi. Dipendapa terbaring beberapa sosok mayat dan dibalik belakang terbaring para pelayan yang terluka, yang kemudian mendapat pertolongan pula dari Puranti dengan obat yang dibawanya dari padepokannya. Meskipun demikian, betapa sibuknya orang-orang yang tinggal dihalaman itu, namun tidak seorangpun dari para tetangganya yang mengetahui, apakah yang sudah terjadi. Mereka masih saja dicengkam oleh ketakutan untuk membuka pintu. Apalagi tetangga-tetangga yang terdekat yang sempat mendengar pekik meninggi seseorang yang pecah dadanya oleh senjata. Baru ketika matahari mulai membayang, satu dua orang mencoba untuk mengintip keluar. Masih juga terasa tengkuk mereka meremang melihat kesepian yang mencengkam, seolah-olah padukuhan mereka masih saja diliputi oleh ketakutan dan kecemasan yang sangat.
575 Tetapi semakin terang bayangan pagi meliputi daerah disekitar Alas Sambirata, maka orang-orang itupun menjadi semakin berani pula. Perlahan-lahan mereka mencoba membuka pintu butulan. Ketika mereka tidak melihat sesuatu dan tidak mendengar apapun yang mencurigakan, barulah satu dua orang berani turun kehalaman. Ternyata pagi menjadi semakin terang seperti pagi-pagi sebelumnya. Langit menjadi semakin cerah dan burungburung mulai bersiul dengan riangnya. "Hem" seorang laki-laki menarik nafas lega "ternyata tidak ada apa-apa. Tidak ada rumah yang dibakar dan tidak ada tangis duka disekitar tempat ini. Jika ada satu dua perampok yang memasuki rumah dan mencelakai penghuninya, maka pasti ada suara tangis yang pedih meratapi korban-korban keganasan itu" Namun dalam pada itu, selagi langjt menjadi semakia cerah Wiyatsih pergi kependapa bersama Puranti. Begilu ia membuka pintu pringgitan, terdengar pekik tertahan. Untunglah Puranti cepat menangkapnya, karena mata Wiyatsih menjadi gelap ketika ia melihat beberapa sosok mayat terbujur dipendapa rumahnya. Perlahan-lahan Puranti membawanya masuk kembali. Ketika Nyai Sudati berlari-lari mendekatinya dan dengan raguragu ingin melihat apa yang membuat Wiyatsih menjadi hampir pingsan, Puranti menahannya "Jangan pergi kependapa dulu bibi. Wiyatsih tidak tahan melihat beberapa sosok mayat yang tergolek dipendapa. Jika bibi juga tidak tahan, lebih baik bibi tinggal saja didalam. "O" ibu Wiyatsih menjadi pucat. Namun ketika dilihatnya Wiyatsih yang menggigil dengan mata terpejam, maka iapun segera mengambil semangkuk air. "Minumlah Wiyatsih" desis Puranti.
576 Setitik demi setitik Wiyatsih menelan tetes air. Perlahanlahan terasa darahnya menjadi semakin tenang. Ingatan menjadi pulih kembali. "Kau akan menghadapi hal serupa ini berulang kali jika kau berhasrat mengamalkan ilmu yang kau miliki" berkata Puranti "Ketika aku pertama kali menikamkan pedangku dan melihat darah yang memancar dari luka, akupun hampir menjadi pingsan. Untunglah bahwa ketika kau menusukkan senjatamu untuk yang pertama kali, kau tidak melihat darah yang memancar itu dengan jelas. Selain malam yang gelap, kau masih terikat oleh perkelahian yang menentukah. Jika kau kehilangan keseimbangan karena kau tidak tahan melihat darah dan luka, maka kau sendiri akan mengalaminya" Wiyatsih tidak menjawab. telapi rasa-rasanya darahnya menjadi dingin membeku. Beberapa sosok mayat dipendapa itu benar-benar mengerikan sekali. "Tinggallah kau didalam, Wiyatsih" berkata Puranti "biarlah para pembantu rumahmu menyelenggarakannya dan menguburkannya. Mudah-mudahan para tetangga disekitar rumah ini akan bersedia membantunya" Wiyatsih mencoba menganggukkan kepalanya. Namun dengan demikian ia mulai berhadapan dengan suatu kenyataan dari isi dunia yang garang ini. Didalam suatu saat kadang-kadang terjadi sesuatu yang tidak pernah diduganya. Kekerasan diantara manusia yang mengaku sebagai titah yang paling beradab dimuka bumi. "Tetapi aku sudah mulai" berkata Wiyatsih didalam hatinya. Dan terngiang pula kata-kata Puranti "Kau akan menghadapi hal serupa ini beruiang kali, jika kau berhasrat mengamalkan ilmu yang kau miliki" Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Terlalu pahit rasanya bahwa untuk menegakkan peradaban harus ditempuh jalan yang sama sekali bertentangan dengan peradaban itu sendiri.
577 Namun ketika Puranti melepaskannya, Wiyatsih mencoba duduk sendiri bersandar tiang. Terasa tubuhnya meremang jika teringat olehnya, bagaimana ujung senjatanya terbenam didada seorang perampok yang sedang berusaha meloncat naik kependapa. Wiyatsih memejamkan matanya. Ibunya yang masih duduk disampingnya menjadi ngeri pula. Sehingga dengan demikian keduanya sama sekali tidak beranjak dari tempatnya ketika kemudian Puranti pergi kependapa. Sebenarnya Puranti sendiri masih juga merasa ngeri melihat mayat yang tergolek dipendapa dengan luka-luka yang menganga ditubuh yang membeku itu. Darah yang sudah menjadi hitam tidak saja menodai sosok-sosok mayat itu, tetapi juga menodai lantai pendapa dan halaman. Hanya dua orang penjaga regol itu sajalah yang menghadapi korban-korban itu dengan sabar. Tetapi karena terpaksa, maka para pelayan yang tidak terlukapun harus ikut pula menyelenggarakan mayat-mayai itu. "Tidak apa-apa" berkata para penjaga itu "mayat-mayat ini sudah tidak dapat menyerang kalian seperti semalam" Namun tengkuk mereka masih juga meremang. Yang sama sekali juga tidak dapat ingkar dari pekerjaan yang mendebarkan itu justru mereka yang terkurung dihalaman itu. Mereka yang datang dibawa oleh para perampok yang ternyata tertumpas. Yang terluka oleh pedang Wiyatsihpun kemudian menyusul kawan-kawannya pula ke alam yang langgeng, alam pertanggungan jawab dari seluruh tindak tanduk dari perbuatan semasa hidupnya. Tetapi sebenarnya orang-orang yang berkerudung itu sama sekati bukan orang lain. Meskipun agak jauh, tetapi mereka adalah orang-orang yang sudah dikenal oleh orang-orang padukuhan itu. Dan sebenarnyalah mereka bukannya perampok-perampok yang sebenarnya. Hanya karena
578 kelaparan yang tidak tertahankan, mereka terlibat dalam kejahatan-kejahatah yang serupa dengan menggantungkan diri mereka kepada penjahat-penjahat yang sebenarnya. "Kami tidak akan menceriterakan apa yang sebenarnya telah terjadi kepada tetangga-tetangga jika kalian benar-benar menyadari kesalahan kalian" berkata kedua penjaga regol yang telah mengikat mereka. Lalu "lupakanlah pekerjaan ini seperti tidak pernah terjadi sesuatu" "Tetapi bagaimana dengan kawan-kawan kami yang terluka?" "Biarlah mereka dirawat dan bawalah mereka kembali kerumah masing-masing nanti" "Apakah yang dapat kami katakan kepada keluarga mereka?" "Kalian dapat membuat suatu ceritera untuk keluarganya. Terserahlah kepada kalian. Mungkin kalian mengatakan bahwa secara kebetulan kalian bertemu dengan para penjahat itu di sawah, kalian dipaksa ikut bersama mereka atau barangkali ada cerita lain yang lebih menarik" Orang-orang itu terdiam. Namun tangan merekalah yang masih harus bekerja terus membersihkan halaman dari pendapa rumah Nyai Sudati. "Kita harus mendapat kain untuk membungkus mayatmayat itu" berkata salah seorang dari penjaga regol itu kepada kawannya. "Tentu. Kita minta saja kepada Nyai Sudati" Dalam pada itu satu dua orang tetangga terdekat telah mulai membersihkan halaman. Terdengar suara sapu lidi dihalaman dalam irama yang ajeg. Orang-orang disekitar rumah Nyai Sudati masih belum mengetahui apa yang telah terjadi.
579 Ketika seseorang lewat dimuka rogol rumah Nyai Sudati yang sudah terbuka, tertegun sejenak melihat beberapa orang yang sedang sibuk dihalaman. Agaknya keluarga itu telah menarik perhatiannya sehingga orang itupun berhenti sejenak dimuka regol. "Silahkan masuk" berkata penjaga regol itu. "Apa yang kalian kerjakan?" "Silahkan, lihatlah sendiri apa yang terjadi" Ketika ia melangkah masuk kehalaman dan melilat beberapa sosok tubuh terbaring dipendapa, matanya tiba-tiba terbelalak "Apa itu?" "Marilah" penjaga regol yang tinggi kekurus-kurusan membimbing orang itu naik kependapa. "O" hampir saja orang itu menjadi pingsan. Orang yang kekurus-kurusan itu memapahnya turun kembali ke halaman, ia berkata kepada orang itu "Kami memerlukan bantuan kalian untuk mengubur mayat-mayat itu" "Tetapi, tetapi" suara orang itu terputus-putus "siapakah yang mereka?" "Perampok" "Perampok?" "Ya" "Siapa yang membunuh mereka?" "Pikatan" "Pikatan?" "Ya, Pikatan"
580 Demikianlah nama Pikatan tersebar semakin luas. Orang itu yang kemudian memberitahukan kepada tetanggatetangganya, mengatakan bahwa Pikatan telah membunuh beberapa orang perampok sekaligus. "Benar?" bertanya seorang tetanggn yang lain. "Benar. Pikatan mengamuk ketika para penjahat itu datang kerumahnya. Beberapa dari mereka telah dibunuhnya. Dan kini, kita diminta bantuannya untuk menguburkan mayatmayat itu" "Darimana kau tahu?" "Aku baru saja pergi kerumah Pikatan" "Siapa yang mengatakannya bahwa Pikatan yang telah membunuh mereka?" "Pikatan. Pikatan sendiri. Aku sudah berbicara dengan Pikatan" "Benar, kau berbicara dengan Pikatan?" "Maksudku, aku berbicara dengan orang-orang yang bekerja dirumah Pikatan, dengan para penjaga rumah itu. ialah yang menyebut nama Pikatan" Demikianlah beberapa orang tetangga yang meskipun agak ragu-ragu dan ngeri, namun mereka datang juga kerumah Nyai Sudati. Nama Pikatan memberikan kebanggaan pula kepada mereka, disamping pamrih mereka untuk mendapat perlindungan daripadanya "Apakah Ki Demang sudah diberi tahu?" desis salah seorang dari mereka. "Sudah. Ki Demang dan Ki Jagabaya. Seharusnya mereka datang melihat apa yang terjadi disini" "Mereka tentu akan datang. Setidak-tidaknya mereka akan menemui Pikatan dan menyatakan kekaguman mereka"
581 Dalam pada itu, selagi hampir setiap mulut menyebut nama Pikatan, maka Pikatan sendiri berada didalam biliknya sambil menutup mukanya dengan tangannya yang bernoda darah. Tangan kirinya, sedang tangan kanannya dengan lemahnya tergantung disisi tubuhnya. Pembunuhan itu benar-benar telah mempengaruhinya. Pengaruh yang saling bertentangan dan berbenturan. Namun diantara benturan-bentutan yang dahsyat itu, melonjak sentuhan yang paling tajam dijantungnya. "Meskipun aku bertangan kiri, tetapi aku tetap laki-laki. Laki-laki yang tidak boleh menggantungkan diri kepada perempuan "Pikatan menggeram didalam dadanya. Ketika diluar rumah, tetangga-tetangga Nyai Sudati sibuk membungkus mayat-mayat yang tidak mereka ketahui sanak kadangnya itu dan yang ditunggui oleh Ki Demang Sambi Sari dan beberapa orang bebahunya, Pikatan sama sekali tidak mau keluar dari biliknya. Bahkan seakan-akan ia semakin terbenam dalam benturan perasaan tentang dirinya sendiri. Akhirnya semuanyapun selesai. Beberapa orang tetangga Nyai Sudati membawa beberapa sosok mayat itu kekuburan bersama para babahu Kademangan Sambi Sari. Sedang disore hari mereka masih duduk-duluk dipendapa rumah Nyai Sudati sejenak. Meskipun korban-korban itu bukan sanak kadang Nyai Sudati, tetapi mereka berusaha untuk menentramkam hati janda yang ketakutan itu. Sebagai pernyataan terima kasih, maka Nyai Sudati telah menjamu tetangga-tetangganya meskipun ada yang tidak dapat menelan makanan yang dihidangkan, karena kengerian yang masih mencengkam. Rasa-rasanya mereka masih melihat sosok-sosok mayat itu tergolek dipendapa. Ketika matahari turun dan warna merah mulai membayang, maka tetangga-tetangga itu dengan tergesa-gesa minta diri. Apalagi mereka yang hadir dihalaman itu karena kepentingan
582 yang sama sekali berbeda dengan tetangga-tetangganya yang lain, mereka yang datang bersama para perampok yang telah terbunuh itu. Dengan kecemasan yang mulai merayapi dada mereka berjalan bergegas-gegas pulang kerumah masing-masing. Jika mereka kegelapan ditengah bulak, mereka akan menjadi ketakutan sekali. Masih terbayang apa yang baru saja terjadi dihalaman rumah Nyai Sudati. Kematian yang mengerikan. Demikianlah, malam hari yang mendatang adalah malam yang terasa sepi dan tegang. Bahkan para bebahu Kadamangan menjadi ngeri. Jika kawan-kawan perampok itu tidak merelakan kematian kawan-kawannya dan mereka menyalahkan seluruh Kademangan Sambi Sari, maka akibatnya akan sangal parah. Sambi Sari akan menjadi sasaran dendam para perampok dan penjahat, meskipun terutama rumah Nyai Sudati. Sementara itu, mereka yang berada dihalaman rumah Nyai Sudatipun menyadari hal itu pula. Cepat atau lambat, kawankawan para perampok itu akan mendengar pula apa yang terjadi. Bahkan jika kematian kawan-kawannya itu langsung menyalakan kemarahan dihati mereka, maka mereka akan segera datang. Malam itu dengan membawa sepasukan kekuatan yang meyakinkan. Dalam pada itu, ketika hari menjadi gelap, para penjaga regol duduk merenung ditangga pendapa. Ternyata bahwa yang telah terjadi itu mempengaruhi perasaan mereka. Sekalisekali mereka berpaling, seolah-olah ingin meyakinkan, apa tidak ada lagi sesosok mayat yang tertinggal dipendapa, Karena itu, maka kedua penjaga regol itu telah memasang obor disudut regol dan diserambi pendapa, selain lampu yang biasa tergantung ditengah-tengah pendapa itu. Diruang dalam Nyai Sudati duduk bersama Wiyatsih dan Puranti. Wiyatsihlah yang menahan Puranti agar ia tidak
583 meninggalkan rumah itu. Rasa-rasanya tanpa Puranti, hatinya menjadi kuncup. la masih belum yakin bahwa Pikatan benarbenar telah bangun, bukan sekedar terkejut dan kemudian tidur kembali. "Biyungku akan menjadi sangat gelisah menunggu" berkata Puranti. "Tetapi kau tidak boleh pergi. Besok jemput saja biyungmu itu dan bawa ia kemari" "Ah" Puranti berdesis "ia hanya akan menjadi beban disini. Ia sudah terialu lemah untuk bekerja apapun, juga sekedar memetik dedaunan dikebun" "Apalagi ia sudah terialu lemah. Jika kau meninggalkannya kelak, lalu siapakah yang akan memeliharanya?" Puranti menggeleng "Tidak ada. Dan ternyata aku telah terlibat dalam kesulitan tersendiri atas orang tua itu. Akulah yang seolah-olah harus menanggungnya sampai akhir hayatnya, karena meskipun aku belum lama tinggal bersamanya, tetapi rasa-rasanya aku tidak akan dapat meninggalkannya begitu saja" "Biarlah ia gelisah malam ini. Tetapi besok kau akan kembali kepadanya" "Ia tentu mengira aku lari" "Karena laki-laki itu?" Wajah Puranti menjadi merah sesaat. Namun kemudian ia tersenyum sambil mengangguk "Ya, dan biyung itu tidak akan mencari atau menunggu aku seandainya aku tidak kembali sama sekali. "Kenapa?" "Begitulah. Sebenarnya ia tidak akan gelisah sama sekali justru apabila aku tidak kembali"
584 "Ya, kenapa?" "Ialah yang menyarankan aku pergi saja. Ia tidak sampai hati memaksa aku untuk menuruti desakan laki-laki itu. Tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk menolak" "O " Wiyatsih mengangguk-angguk. "Namun justru karena itu. aku menjadi kasihan kepadanya" Wiyatsih tidak menyahut. Tetapi kepalanya masih terangguk-angguk. Sedang ibunya yang tidak mengerti apa yang mereka percakapkan, sama sekali tidak dapat menyahut, meskipun kadang-kadang kepalanya terangguk-angguk juga. Namun bagaimanapun juga Puranti tidak dapat meninggalkan Wiyatsih yang rasa-rasanya sudah seperti adiknya sendiri. Karena itu betapa ia merasa belas kasihan terhadap perempuan tua dari Cangkring itu, namun ia tidak juga meninggalkan rumah itu. Ternyata didalam keadaan yang gawat itu, Wiyatsih masih juga ingat kepada jagungnva diujung sawahnya yang kering. Sehari penuh ia tidak menyiram jagung itu. Jika ia tidak menyiramnya sehari lagi, maka jagung itu akan layu dan lenyap pulalah harapannya untuk menunjukkan kepada orangorang padukuhannya, bahwa dengan air Kali Kuning, sawah yang kering itupun dapat ditanami. "Besok kita pergi ke sawah" berkata Puranti yang berusaha untuk mengurangi kegelisahan Wiyatsih. Ibunya yang mendengar hal itu selagi mereka masih dicengkam oleh kengerian menyahut "Lupakan saja tanamanmu itu Wiyatsih. Keadaan menjadi semakin buruk. Kenapa kau masih juga sempat memikirkan pekerjaanpekerjaan yang sia-sia" "Tentu tidak ibu. Usaha ini bukannya usaha yang sia-sia. Batang-batang jagung itu sudah menjadi semakin tinggi. Jika kelak batang-batang jagung itu berbuah, akan yakinlah orang-
585 orang dipadukuhan ini bahwa sawah-sawah mereka yang keringpun akan dapat ditanami. Dengan demikian maka usaha untuk membangun bendungan ini menjadi semakin lancar" Ibunya mengerutkan keningnya. la sama sekali tidak senang mendengar rencana itu. Tetapi selagi luka dibahu Wiyatsih masih belum sembuh karena ia mempertahankan rumah dan isinya, ibunya sama sekali tidak membantahnya. Demikianlah, ternyata bahwa malam itu telah dilalui tanpa terjadi sesuatu. Tidak seorangpun yang datang menuntut balas. Tidak seorangpun yang mencari Pikatan atau adiknya untuk melepaskan dendamnya. Dan para penjaga regol itu masih sempat juga tidur bergantian menjelang pagi hari, sehingga ketika matahan menjelang terbit, orang yang tinggi kekurus-kurusan masih juga tidur dengan nyenyaknya, meskipun hanya sekedar bersandar tiang sambil memeluk senjatanya. Ia tergagap bangun ketika sinar lampu obor terasa memanas tangannya. Ketika ia membuka matanya, dilihatnya kawannya berdiri disampingnya sambil memegangi obor yang masih menyala meskipun sinarnya tampak semakin merah, karena cahaya matahari yang semakin cerah. "Kau bakar tanganku?" deslsnya. "Tidak. Supaya kau bangun, Sebentar lagi seisi rumah akan sibuk. Dan kau masih mendekir disitu" Orang yang tinggi Itu menguap. Kemudian iapun berdiri dan berjalan tertatih-tatih kebelakang, ternyata orang itu merebahkan dirinya diamben di dalam bilik juru pengangsu. Pemilik amben itu sudah bangun dan dan mengambil air untuk mengisi jambangan di pakiwan dan gentong di dapur. Sedang kawannya yang tinggi dan bertubuh kekar itupun pergl membersihkan dirinya dan kemudian duduk dipendapa sambil merenungi halaman rumah yang luas. Seorang pelayan telah mulai menyapu ujung halaman itu dengan sapu lidi, sedang
586 orang yang lain, datang kepada penjaga regol itu dengan dua mangkuk minuman panas. "Dimana kawanmu itu?" bertanya pelayan yang membawa minuman panas itu. "Masih tidur" "Dimana?" "Dibelakang. Semula ia tidur bersandar tiang disini. Tetapi ketika aku membangunkannya, ia hanya bergeser tempat" Pelayan itu mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya "Lalu bagaimana dengan mangkuk ini?" "Tinggal saja disitu. Jika ia terbangun, ia akan datang kemari. Kami akan bersama-sama pulang. Kemarin kami tidak pulang sehari penuh. Orang-orang dirumah menjadi gelisah, apalagi jika mereka mendengar apa yang terjadi disini" Pelayan itu tidak menjawab lagi. Diletakkannya dua mangkuk air panas itu dan kemudian ia kembali lagi kedapur. Sementara itu, Wiyatsih dan Puranti yang sempat juga tertidur beberapa lamanya, telah terbangun pula. Yang pertama-tama diingat oleh Wiyatsih adalah jagungnya "Aku akan pergi kesawah" Puranti mengerutkan keningnya, Ialu "Kita mandi dahulu" Demikian mereka selesai membersihkan diri dan berpakaian, maka merekapun telah siap pergi kesawah diujung tanah kering itu untuk menengok tanaman Wiyatsih. Tetapi Wiyatsih menjadi heran ketika ia melihat bahwa tanahnya tidak terlampau kering. Karena itu ia berdesis "Apakah ada seseorang yang menyiram tanaman ini kemarin?" Purantipun melihat bahwa tanah masih agak basah, meskipun air yang menyiram batang jagungnya itu tidak
587 sebanyak yang selalu diberikan pagi dan sore hari oleh Wiyatsih. Sambil mengangguk-angguk Puranti berkata "Ya, tentu ada yang menyiram jagungmu kemarin" Wiyatsih tidak menyahut. Dicobanya untuk mencari jawaban, siaapakah yang telah menyiram batang-batang jagungnya. Tetapi akhirnya ia menggelengkan kepalanya "Entahlah, aku tidak dapat menemukan jawabannya. Aku berterima kasih kepada yang telah melakukannya. Sekarang, marilah kita menyiram batang jagung yang menjadi semakin subur ini" Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya "Aku akan membantumu" Demikianlah, kedua gadis itu berjalan hilir mudik, naik turun tebing dengan lodong bambu ditangan. Karena tangan Wiyatsih yang sebelah masih terasa sakit, maka ia hanya membawa sebuah lodong saja, sedang lodong yang lain telah dibawa oleh Puranti. Sebelum mereka selesai, maka mereka terhenti karena sesosok tubuh yang berjalan dikejauhan semakin lama semakin dekat kearah mereka. "Kesambi" desis Wiyatsih. "O, anak muda yang pernah kau ceriterakan. Satu-satunya anak muda yang mengerti arti bendungan dari antara sekian banyak anak-anak muda dipadukuhan ini" "Ya. Tetapi sekarang ia sudah berhasil mendapat dua tiga orang kawan yang agaknya dapat mengerti juga tentang bendungan itu" "Sukurlah. Mudah-mudahan usaha itu dapat berhasil. Keadaan dipadukuhanmu pasti akan segera berubah"
588 Keduanya kemudian meletakkan lodong bambu masingmasing ketika. Kesambi menjadi semakin dekat dengan mereka berdua. Tampak di wajah Kesambi keheranan melihat kehadiran seorang gadis yang tidak dikenalnya disamping Wiyatsih. "Marilah Kesambi" berkata Wiyatsih, lalu "kau tentu belum kenal la adalah kakakku yang datang dari sebuah padepokan yang jauh" "O" Kesambl menganggukkan kepalanya "selamat datang didaerah yang kering dan gersang ini" Puranti tersenyum sambil menyahut "Untunglah daerah ini mempunyai seorang gadis seperti Wiyatsih yang berusaha untuk membangun sebuah bendungan dengan segala macam cara " "Ah" desis Wiyatsih "aku hanya sekedar melanjutkan citacita yang telah diangan-angankan oleh kakang Pikatan" "Ya, tetapi kakang Pikatan hampir tidak dapat diharapkan lagi untuk berbuat sesuatu. Dan sekarang agaknya Wiyatsih telah menemukan kawan untuk melanjutkan usahanya itu" "Ah kau" wajah Wiyatsih menjadi kemerah-merahan, sedang Kesambipun menunduk kepalanya. "Sawah ini aneh" Wiyatsih berusaha mengalihkan pembicaraan. Lalu "Sehari aku tidak menyiramnya, tetapi tanahnya masih belum kering" "O" Kesambi mengerutkan keningnya. Kemudian sambil tersenyum ia berkata "Akulah yang kemarin menyiraminya" "Kau?" Kesambi mengangguk "Aku bertiga" "Terima kasih" desis Wiyatsih. Terasa sesuatu yang aneh merayapi dinding jantungnya. Dan sekali lagi suaranya
589 bergetar "Terima kasih. Kau sudah menyelamatkan jagungjagungku ini" "Aku mempunyai kepentingan" berkata Kesambi "akupun ingin kau berhasil membuktikan, bahwa air Kali Kuning dapat kau pergunakan untuk mengairi tanah yang kering itu" "Kalian mempunyai kepentingan yang lama" sahut Puranti. "Ah" sekali lagi Wiyatsih berdesah. "Ya" sahut Kesambi "bukan hanya kami berdua, tetapi seluruh Kademangan Sambi Sari mempunyai kepentingan yang sama" Puranti tersenyum pula. Katanya kemudian "Mudahmudahan kalian berhasil. Rakyat di Kademangan ini tidak akan melupakan jasa kalian berdua" Dan sekali lagi Wiyatsih mengalihkan pembicaraan "Apakah kau kemarin datang kemari?" "Tentu" Purantilah yang menyahut "Bagaimana mungkin ia dapat menyirami jagungmu dari kejauhan" "Maksudku" Wiyatsih agak tergagap "kau berani datang kemari bertiga?" Kesambi tidak segera menyahut. Dipandanginya batangbatang jagung yang tampaknya menjadi semakin segar karena siraman air dipagi hari. Seenak kemudian ia menjawab "Kami telah memaksakan diri. Kami tahu bahwa kau tidak akan keluar dari rumahmu karena peristiwa itu. Karena itu, kami bertiga memerlukan pergi kemari untuk menyiram batangbatang jagungmu meskipun tidak sebanyak yang kau lakukan. Namun dengan demikian jagung itu tidak menjadi layu" "Dan kalian berani pulang bertiga saja?" "Kami pulang jauh sebelum senja. Itupun kami sudah berlari-lari. Untunglah bahwa kami tidak menjumpai rintangan apapun juga. meskipun nafas kami hampir terputus. Begitu
590 kami memasuki halaman rumah kami masing-masing, maka kamipun segera menjatuhkan diri diserambi, karena nafas yang tersengal-sengal" "Kalian telah berbuat sesuatu yang sangat berarti" desis Wiyatsih "meskipun kau hanya melakukannya sehari, namun yang sehari itu dapat menentukan hasil dari kera yang sudah berhari-hari bahkan berbulan-bulan" "Hanya sekedar membantu" sahut Kesambi "kerja yang berbulan-bulan itulah yang lebih menentukan" Wiyatsih tidak menyahut, dipandanginya Kesambi sejenak, namin ketika anak muda itu juga memandangnya, maka Wiyatsih segera memalingkan wajahnya yang kemerahmerahan. "Aku akan meneruskan kerjaku" berkata Wiyatsih dengan suara bergetar" "Aku akan membantu" berkata Kesambi. "Terima kasih" lalu katanya kepada Puranti "berikan lodong itu kepada Kesambi" Puranti tidak membantah. Diberikannya lodong bambunya kepada Kesambi yang kemudian bersama-sama dengan Wiyatsih melanjutkan kerjanya, menyirami batang-batang jagungnya. Sambil berjalan hilir mudik, maka Wiyatsihpun mulai menilai. Alangkah jauh bedanya antara Kesambi dan Tanjung. Didalam keadaan yang paling gawat, Tanjung sama sekali tidak berbuat apa-apa. Tetapi Kesambi, meskipun hati yang kecut. telah berusaha berbuat sesuatu yang berarti. Menyiram batang-batang jagung yang kepanasan itu "Benar sekali sikap kakang Pikatan terhadap Tanjung" berkata Wyatsih didalam hatinya. "Aku tidak pernah membenci seseorang. Tetapi Tanjung memang bukan anak muda yang baik. Aku tidak tahu, kenapa Ibu sangat tertarik kepadanya.
591 Mungkin karena Tanjung mempunyai minat kepada kerja yang dilakukan ibu, sedang orang lain tidak" Demikianlah, maka akhirnya kerja mereka itupun selesai. Seluruh batang jagung telah disiramnya. Dengan demikian batang-batang yang hijau itu semakin nampak segar. "Jangan hiraukan apa yang sudah terjadi dirumahku" berkata Wiyatsih kepada Kesambi "kita berusaha terus untuk membangun sebuah bendungan" Kesambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tampak keragu-raguan membayang diwajahnya. "Yang terjadi itu tidak akan banyak berpengaruh" berkata Wiyatsih kemudian. "Tetapi, bagaimanakah jika orang-orang itu melepaskan dendamnva kepada keluarga Pikatan" Misalnya, mereka menyerang kau yang sedang berada disawah seorang diri atau jika kau berada dipinggir kali" Wiyatsih menggeleng, Katanya "Kakang Pikatan yang marah itu telah membunuh semua perampok yang datang" "Tetapi jangan dikira bahwa perampok itu tidak mempunyai kawan-kawan lain" Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam, jawabnya "Kita berdoa mudah-mudahan ALLAH SWT melindungi kita" Kesambi melagangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnyalah bahwa hanya ALLAH SWT sajalah yang dapat menentukan segalanya. Demikianlah maka ketiganyapun segera meninggalkan sawah yang basah oleh air Kali Kuning. Batang-batang jaguug yang subur itu telah cukup untuk menjadi bukti bahwa air Kali Kuning itu dapat dipergunakan untuk mengairi sawah yang kering. Meskipun jagung itu belum berbuah, tetapi sebagai seorang petani, orang Sambi Sari pasti dapat menilai bahwa
592 jagung itu akan dapat berbuah kelak jika tidak ada perubahan musim. Namun jika hujan jatuh pada saat jagung itu berbunga, maka bunganya akan rusak dan buahnya tidak akan berbiji. Namun jika terjadi demikian pengaruhnya atas bukti yang ditunjukkan kepada rakyat dipadukuhannya itu tidak akan berkurang nilainya. Pada dasarnya dimusim kering, air Kali Kuning akan dapat membasahi sawah kering yang sekian luasnya. Yang bongkah-bongkah dan seperti padang yang paling gersang. Namun sebenarnya tanah itu tidak cengkar. Tidak gersang. Ternyata jika ada air, maka tanah itu dapat ditanami. Ketika mereka mendekati padukuhan, maka Kesambipun berkata "Sudahlah Wiyatsih. Aku akan turun ke Kali Kuning. Aku akan mandi dan mencuci pakaian" Wiyatsih tersenyum sambil menjawab "Kau tidak, mau dipersoalkan orang karena kau berjalan bersama aku, terutama Tanjung. Bukankah begitu?" Kesambi menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Tanjung terlalu cemburu. Aku pernah ditantangnya dan kau telah melihat sendiri bagaimana ia marah-marah kepadaku hanya karena aku berjalan bersamamu" "Dan kau ternyata cukup bijaksana" "Ah" Kesambi berdesah "aku tidak mau bertengkar justru ketika kita memerlukan tenaga untuk mempersiapkan sebuah bendungan. Jika ada diantara kami bertengkar, maka akibatnya dapat berkepanjangan. Tentu ada kawan-kawanku yang berpihak kepadaku, tetapi tentu ada juga yang berpihak kepada orang lain" "Kau memang bijaksana" sahut Puranti "kau pantas berdiri didepan kawan-kawanmu, anak-anak muda Sambi Sari" "Jangan memuji, Kata orang tua, ada orang yang tidak kuat memikul pujian" jawab Kesambi "tetapi aku sudah berketetapan untuk membantu Wiyatsih"
593 Ketika Wiyatsih masih akan menjawab. Kesambi mendahului "Sudahlah, mumpung masih pagi. Aku akan mandi dan mencuci pakaian sekaligus" Wiyatsih dan Puranti tertawa. Tetapi mereka tidak menyahut lagi. Sejenak mereka mengawasi Kesambi yang menuruni tebing. Namun ketika anak muda itu berpaling, iapun berkata "Jangan disitu terus. Aku akan mandi" Kedua gadis itupun tertawa sambil berlari-lari meninggalkan tanggul. Seorang yang berambut putih berpaling ketika kedua gadis itu lewat beberapa langkah daripadanya. Selagi ia meneliti jalannya sebelum ia turun kesungai mencari ikan. "Wiyatsih" desisinya. Melihat Wiyatsih dan Puranti berlari lari sambil tertawa kecil, tidak seorangpun yang menduga, bahwa dalam saatsaat tertentu keduanya mampu menggenggam pedang dan memecahkan dada seorang lawan. Dalam keadaan yang demikian, sifat-sifat kegadisan merekalah yang tampak sebagaimana gadis gadis yang lain. Langkah Wiyatsih terhenti ketika ia bertemu dengan beberapa orang kawannya yang menjinjing bakul berisi pakaian. Agaknya mereka akan pergi juga kesungai untuk mencuci. "Dari mana kau Wiyatsih?" bertanya salah seorang kawannya. "Dari sawah diujung bulak " sahut Wiyatsih. Beberapa diantara kawan-kawannya itu saling berpandangan. Ada diantara mereka yang memang menganggap bahwa Wiyatsih sedang dipengaruhi oleh gangguan syaraf. Namun mereka tidak mengatakannya.
594 Wiyatsih yang menyadari tanggapan itu tiba-tiba berkata "Jagungku sudah tumbuh subur, hingga setinggi aku. Apakah kalian tidak ingin melihat. Beberapa orang anak muda telah menyaksikan dan mereka mengakui bahwa ditanah yang kering itupun dapat ditanami, asal ada air. Dan air itu aku dapatkan dari Kali Kuning" Kawan-kawan Wiyatsih mengerutkan keningnya. Tetapi tidak seorangpun yang menyahut. Mereka sama sekali tidak berminat untuk memikirkan air Kali Kuning bagi sawah yang kering. Bagi mereka air Kali Kuning cukup melimpah untuk mencuci pakaian dan mandi bersama. Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam, ia menyadari bahwa disaat-saat terakhir ini, rasa-rasanya ia agak terpisah dari kawan-kawannya, apalagi setelah beberapa orang menganggapnya sakit ingatan. Karena kawan-kawannya tidak menanggapi persoalan yang dikatakannya, maka tiba-tiba saja Wiyatsih memperkenalkan Puranti kepada kawa-kawannya. "Ia adalah kakakku yang datang dari jauh" Kawan-kawannya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum kepada Puranti yang mengangguk pula. "Ia berada disini untuk beberapa lama" "Singgahlah kerumahku" berkata salah seorang dari kawankawan Wiyatsih itu. "Terima kasih. Aku akan singgah lain kali" "Tetapi apakah kau kerasan dipadukuhan ini?" tiba-tiba yang lain bertanya "saat rumah Wiyatsih diganggu penjahat, apakah kau sudah ada disana?" j Puranti mengangguk. "Tetapi Pikatan memang mengagumkan sekali. Bukankah Pikatan berhasil mengalahkan semuanya" desis gadis yang lain
595 "tetapi sayang, ia sekarang menyendiri. Dahulu, sebelum ia mengasingkan diri, aku adalah kawannya yang terdekat. Ia sering datang kerumahku dan membawa mainan untukku. Tiba-tiba saja Puranti mengerutkan keningnya. Namun Wiyatsihlah yang segera menyahut "Kenangan yang kadangkadang sangat menyenangkan dimasa kanak-kanak" "Ya. Tetapi sudah jauh lewat" gadis itu seakan-akan merenung. "Nah" berkata Wiyatsih kemudian agar gadis itu tidak berceritera berkepanjangan tentang Pikatan, karena disitu ada Puranti "aku akan pulang. Silahkan jika kalian akan pergi mencuci pakaian. Hari ini aku tidak pergi kesungai" Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka berkata "Ajaklah saudaramu kerumah kami Wiyatsih. Kami akan senang sekali menerimanya. Dan mudah-mudahan ia kerasan tinggal didaerah miskin ini" "Tentu, aku akan membawanya kerumah kalian" sahut Wiyatsih. Demikianlah, maka kawan-kawan Wiyatsih itu meneruskan langkah mereka ketanggul sungai dan kemudian menuruni tebing. Dalam pada itu. Wiyatsih berjalan disisi Puranti yang menundukkan kepalanya. Tiba-tiba saja gadis itu bertanya "Siapakah gadis itu?" "Yang mana?" bertanya Wiyatsih. "Kawan Pikatan" "Ah" desis Wiyatsih "kau cemburu seperti Tanjung" Wajah Puranti menjadi merah. Tetapi ketika tangannya terayun untuk mencubit, Wiyatsih meloncat kesamping sambil
596 berkata "Jangan, jangan. Jari-jarimu dapat mengelupaskan kulitku" "Kau nakal sekali" Wiyatsih masih berjalan beberapa langkah dari Puranti. Sambil tertawa kecil ia berkata "Aku sudah jera, jangan kau cubit" "Tetapi janji" "Janji apa?" "Perkenalkan aku dengan Tanjung" "Ah" Wiyatsihlah yang kemudian akan mencubit Puranti. Tetapi Puranti berkata "Sudah lunas. Kita masing-masing tidak mempunyai hutang" Demikianlah keduanya adalah gadis-gadis dengan silat-sifat kegadisan mereka. Dalam keadaan yang demikian, mereka bukannya hantu perempuan hantu perempuan yang menarikan tarian maut diatas bara api perkelahian. Namun, ketika mereka memasuki padukuhan, Puranti berkata "Aku akan mengunjungi biyungku di Cangkring" "Ah" Wiyatsih berdesah "bukankah sudah kau katkakan bahwa ia tidak akan mengharap kau kembali kepadanya, justru ia tidak sampai hati memaksamu kawin dengan laki-laki itu" "Itulah yang memaksa aku untuk menengoknya, Ia terlalu baik kepadaku" "Besok sajalah" Puranti merenung sejenak, lalu "Baiklah, besok pagi aku akan pergi ke Cangkring" "Tetapi kau jangan bermalam disana. Aku masih ngeri mengenang kedatangan penjahat-penjahat itu. Jika mereka datang lagi dalam jumlah yang lebih besar, kau akan tahu
597 sendiri akibatnya, sedang aku masih ragu-ragu terhadap kakang Pikatan. Apakah sebenarnya ia sudah terbangun atau sekedar bermimpi lain" Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti kecemasan Wiyatsih yang masih terlampau hijau untuk langsung terjun kedalam dunia yang keras dan ganas itu. "Baiklah. Aku akan segera kembali" Tetapi tiba-tiba Wiyatsih berkata "aku akan ikut" "Ah, jangan. Kau tidak perlu ikut aku" "Aku akan ikut. Boleh atau tidak boleh. Aku ingin melihat perempuan yang menjadi ibumu itu. "Ah, kau nakal Wiyatsih" "Apa keberatanmu sekarang." Kau bukan siluman lagi sekarang. Kau adalah manusia wajar. Kau adalah Puranti. Bukan lagi peri dihutan Sambi Rata" Puranti menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya "Baiklah. Baiklah jika kau ingin turut besok. Kau memang anak nakal yang manja" "Kakang Pikatan tidak lagi mau memanjakan aku seperti dahulu. Setiap hari ia selalu marah-marah dan membentakbentak. Karena itu, kau harus menggantikannya" "Tetapi kau harus mendapat ijin ibumu" "Aku akan minta ijin, meskipun aku tidak akan mengatakan seluruh persoalan" Puranti mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka tidak berbicara lagi, karena mereka telah berada muka regol rumah Wiyatsih. Mereka tidak melihat kedua penja regol itu, karena keduanya telah pulang kerumah masing-
598 masing setelah mereka menunaikan tugas yang mendebarkan jantung Namun ketika keduanya melangkah tlundak pintu pringgitan, mereka tertegun. Didalam pringgitan itu duduk seorang anak muda sedang berbicara dengan ibunya. Anak muda itu adalah Tanjung. Derit pintu itu telah membuat keduanya berpaling. Tanjung terkejut melihat kehadiran seorang gadis bersama Wiyatsih yang belum dikenalnya. "Marilah" Nyai Sudati mempersilahkan kedua gadis itu masuk. Keduanyapun kemudian duduk disamping Nyai Sudati. Sejenak mereka berdiam diri. Ibu Wiyatsihlah yang pertamatama berbicara "Sebaiknya kalian berkenalan Ieblh dahulu" Puranti mengangkat wajahnya dan melihat wajah anak muda Itu sejenak. Dan didengarnya Ibu Wiyatsih berkata "Gadis ini adalah Puranti. Ialah yang........" Tetapi sebelum kata-kata itu selesai, Wiyatsih sudah memotong. "la adalah saudara sepupuku" Ibunya mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menyangkal. lalu Wiyatsihpun berkata pula kepada Puranti. "Dan inilah anak muda yang bernama Tanjung" Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya. Bara saja ia berbicara dengan Wiyatsih sambil menyebut-nyebut nama anak muda itu, kini ia benar-benar telah diperkenalkannya. "Kami mengharap kedatanganmu kemarin malam "berkata Wiyatsih tiba-tiba. Tanjung menjadi heran mendengar kata-kata yang tidak diduga-duganya itu, sehingga dengan serta-merta ia berkata "Bukankah malam tadi terjadi perampokan dirumah ini?"
599 "Ya. Kami mengharap bantuan dari anak-anak muda di padukuhan ini. Ibu sudah memukul kentongan dan bahkan ada juga yang memukul kentongan yang sempat menyahut. Tetapi tidak seorangpun yang datang membantu. Dan kau juga tidak datang Tanjung" "Bagaimana mungikin aku akan datang. Aku menjadi ketakutan dan sama sekali tidak berani keluar rumah. Apakah aku harus menyerahkan nyawaku jika aku datang kemari" Bukankah itu usaha yang sia-sia" "Adalah kebetulan sekali aku tidak mati" jawab Wiyatsih "aku mendengar sendiri, bahwa penjahat-penjahat itu akan membawa aku bersama mereka. Kau tentu tahu untuk apa" "Tetapi aku tidak akan dapat berbuat apa-apa" "Nah, anggap saja aku sekarang sudah dibawa oleh penjahat-penjahat itu" "Wiyatsih" potong ibunya "kenapa kau berkata demikian" "Bukankah Tanjung tidak dapat berbuat apa-apa. Jika demikian maka aku sudah dibawa oleh para penjahat itu. Aku akan mereka jadikan isteri mereka bersama. Tentu menyenangkan sekali karena mereka akan dapat memberikan apa saja yang aku minta. Permata, emas dan perak. Perhiasan dan pakaian yang paling bagus" --ooo0dw0ooo-Jilid 08 "WIYATSIH" potong ibunya "apakah kau sadari katakatamu?" "Apakah bedanya bagiku?"
600 'Ibunya menjadi cemas. Dipandanginya wajah Wiyatsih yang justru tersenyum-senyum. "Aku tidak dapat mengerti jalan pikiranmu Wiyatsih" berkata Ibunya kemudian. "Jika aku harus kawin dengan orang yang tidak berarti bagiku, yang dihadapkan kepadaku sebagai suatu keharusan saja, bukankah akan sama saja bagiku siapapun orangnya?" "Cukup, cukup" tiba-tiba ibunya membentaknya. Tetapi kemudian kedua tangannya menutup mulutnya, seakan-akan menahan luapan kemarahan yang masih akan meloncat. Namun sambil menarik nafas dalam-dalam Nyai Sudati itupun berdesah. Purantipun menggamit Wiyatsih pula sambil berdesis. Katakata Wiyatsih yang didorong oleh perasaan kecewa yang bergejolak dalam hatinya itu agaknya tidak dapat dikendalikannya lagi. Tanjung yang duduk diantara mereka sama sekali tidak dapat berkata sepatah katapun. Kata-kata Wiyatsih itu baginya seakan-akan suatu sikap yang tegas, bahwa Wiyatsih sama sekali tidak tertarik kepadanya. Kekecewaan gadis itu memuncak ia tidak berbuat sesuatu ketika itu didatangi oleh beberapa orang perampok dan yang ternyata telah dibinasakam oleh Pikatan. "Tetapi apakah yang dapat aku lakukan?" Tanjung itu bertanya kepada dirinya sendiri. Penolakan Wiyatsih itu bagaikan ujung duri yang menghunjam langsung dijantungnya. "Wiyatsih" terdengar suara ibunya yang gemetar "kenapa kau menjadi begitu kasar" Apakah kemampuanmu dalam oleh kanuragan itu mempengaruhi pula atas sikapmu dan dengan demikian kau menjadi kasar"
601 Wiyatsih terperanjat mendengar pertanyaan ibunya. Dengan serta merta ia menjawab "Tidak ibu. Tidak ada hubungan apapun dengan oleh kanuragan. Tetapi kadangkadang hal ini bagaikan jambangan yang penuh. Setiap titik yang dituangkan kepadanya pasti akan membuat isi jambangan itu meluap." Wiyatsih berhenti sejenak, lalu "Dan hatiku sudah penuh dengan kekecewaan atas keadilan disekelilingku, rumah ini tidak memberikan kedamaian dihatiku. Tidak ada yang menarik bagiku. Tetapi ada yang menarik bagiku untuk merasakan kesejukan hubungan keluarga di rumah ini. Ibu tidak pernah mendengar katakataku tentang kerjaan yang ibu lakukan sehari-hari. Karena itu memang sudah menjadi pekerjaan ibu sejak aku masih kanak-kanak, maka aku tidak akan dapat mematahkannya begitu saja. Tetapi ibu juga tidak minta pertimbanganku atas kehadiran Tanjung didalam keluarga ini, meskipun pada sikap lahiriahnya ia sekedar membantu ibu, Itupun bukanlah tidak sekedar demikian?" sekali lagi Wiyatsih berhenti. Nafasnya tiba-tiba menjadi tertahan-tahan oleh kerongkongannya yang serasa menjadi pepat. Namun ia memaksa untuk berbicara terus"Apalagi kakang Pikatan sekarang sama sekali bukan kakang Pikatan yang dahulu" suara Wiyatsih terputus-putus oleh isaknya yang tidak tertahankan lagi. Dan tiba-tiba saja ia bergeser memeluk Puranti dan tanpa dapat ditahannya lagi, tangisnyapun meledak. "Sudahlah Wiyatsih, kau terlalu dipengaruhi oleh perasaanmu. Tenanglah sedikit. Kau sudah belajar menguasai dirimu sendiri didalam kesulitan jasmaniah. Sekarang, kaupun harus mampu mengusai dirimu kesulitan rohaniah" berkata Puranti sambil memeluk gadis itu pula. Dengan lembut Puranti membelai rambut gadis yang sedang menangis itu. Sekilas dipandanginya wajah Nyai Sudati yang menunduk. Namun tampak dikilatan sorot matanya, bahwa pelupuk itupun menjadi basah.
602 Nyai Sudati sama sekali tidak berkata apapun lagi. Betapa hatinya bergejolak, tetapi ia merasa iba juga mendengar tangis Wiyatsih yang seakan-akan melonjak dari dasar hatinya yang paling dalam. Karena itu, maka sejenak kemudian ia berkata kepada Puranti "Bawalah ia kebiliknya" "Baiklah" jawab Puranti sambil menganggukkan kepalanya, lalu katanya kepada Wiyatsih "marilah Wiyatsih. Kau perlu menenangkan hati sejenak. Jangan kau biarkan perasaan ini melonjak-lonjak tidak terkendali" Wiyatsih tidak menolak ketika tangannya dibimbing oleh Puranti itu meninggalkan pringgitan dan masuk kedalam biliknya. Sepeninggal Wiyatsih Nyai Sudati menarik nafas dalamdalam. Ditatapnya wajah Tanjung yang tertunduk. lalu katanya "Maafkanlah anak itu Tanjung. Ia baru dicengkam oleh perasaan kecewa yang tidak terlawan. Tetapi aku berharap, setelah ia menjadi tenang, aku akan dapat berbicara lagi dengannya. Mudah-mudahan ia masih dapat berpikir bening" Tanjung tidak menjawab. Tetapi matanya yang kemerahmerahan memancarkan sorot yang aneh. Karena itu, maka Nyai Sudati berkata lebih lanjut "Apakah kau tidak mempercayai aku lagi " "Bukan begitu Nyai" jawab Tanjung dengan serta-merta "tetapi aku memang merasa diriku terlampau kecil dihadapan Wiyatsih. Barangkaii aku memang laki-laki yang tidak berharga, karena bagi Wiyatsih. laki-laki adalah Pikatan, kakaknya. Ia terlalu terikat oleh pengenalannya terhadap lakilaki yang berani, tangkas dan memiliki kemampuan olah kanuragan. Dan aku sama sekali tidak memilikinya. Aku sama sekali tidak mempunyai persamaan apapun dengan Pikatan"
603 "Tidak Tanjung" berkata ibunya "seperti kau mendengarnya pula, Wiyatsihpun kecewa pula atas kakaknya sekarang" "Tetapi bukan karena ia seorang laki-laki yang lemah seperti aku. Wiyatsih kecewa terhadap Pikatan karena Pikatan sekarang seakan-akan tidak menghiraukannya lagi" "Mungkin kau benar Tanjung, namun aku masih mengharap bahwa semuanya dapat berlangsung dengan baik. Mudahmudahan aku masih mempunyai pengaruh atas anakku sendiri" Tanjung menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sama sekali sudah tidak berpengharapan lagi meskipun ia berusana untuk mencobanya. Kepercayaannya kepada diri sendiri yang ada padanya, seakan-akan telah larut sama sekali. "Aku minta diri Nyai" tiba-tiba saja Tanjung bergumam seolah-olah untuk dirinya sendiri "aku minta maaf" "Kenapa kau minta maaf kepadaku?" bertanya Nyai Sudati. "Ketika terjadl keributan di rumah ini, aku tidak dapat membantu sama sekali" "O, aku mengerti Tanjung. Jika kau sadar, bahwa kau tidak akan dapat berbuat apa-apa, memang lebih baik bagimu untuk menghindari kesulitan" Tanjung tidak menyahut. Namun ia bergeser surut dan kemudian berdiri sambil berkata "Terima kasih. Aku minta diri" Nyai Sudati mengantarnya sampal ketangga pendapa. Kemudian dipandanginya Tanjung yang berjalan dengan lemahnya meninggalkan halaman rumah Nyai Sudati. "Kasihan anak itu" berkata Nyai Sudati didalam hatinya "ia anak baik, rajin dan tekun. Sayang, bahwa ia tidak memiliki kemampuan untuk membela dirinya sendiri. apalagi untuk menolong orang lain. Tetapi Wiyatsih harus menyadari, bahwa
604 hal itu tidak terlampau penting. Jika ia memiliki uang, maka ia dapat mengupah orang lain untuk menjaga dirinya" Ketika Tanjung lenyap ditelan daun pintu regol, maka Nyai Sudatipun melangkah masuk kembali kepringgitan. Namun kini ia seakan-akan selalu dikejar oleh kegelisahan. Sikap kedua anak-anaknya benar-benar tidak dapat dimengertinya. Meskipun ternyata keduanya telah menyelamatkan semua miliknya, dikehendaki atau tidak, namun ada sesuatu yang terasa membatasinya dengan kedua anak-anaknya itu. Sedang diantara kedua anak-anaknya itupun terasa pula ada batas yang memisahkan mereka. "Keluarga ini memang sudah terpecah-pecah" desis Nyai Sudati sambil mengusap air dimatanya. Dalam pada itu, tangis Wiyatsih sudah mereda, Puranti mencoba memberinya kekuatan untuk melawan kekecawaan yang seakan-akan bertumpuk didalam hatinya sehingga Wiyatsih yang masih muda itu tidak mampu menampungnya. "Kau harus tabah" berkata Puranti, "Didalam hidup yang sebenarnya kelak, kau akan menjumpai masalah masalah yang lain lebih pelik dan kadang-kadang seolah-olah tidak akan dapat terpecahkan. Karena itu, kau harus menghadapi setiap kesulitan dengan pertimbangan nalar" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengusap matanya yang basah. "Kau tidak perlu menyakiti hati ibumu Wiyatsih" berkata Puranti "pada suatu saat, jika kau berkeberatan, katakan saja langsung kepada Tanjung. Kau dapat menyebut alasan-alasan yang ada didalam dadamu tanpa menyinggung perasaannya jika kau dapat mengatakannya dengan mapan, setelah kau pertimbangan baik-baik, bukan sekedar dorongan perasaan yang meledak-ledak" Wiyatsih mengangguk.
605 "Sudahlah, kau memang perlu beristirahat. Biarlah aku membantu ibumu jika ia memerlukannya, tinggallah didalam bilikmu dan cobalah renungi kata-kataku" Wiyatsih menganggukkan kepalanya pula. "Berbaringlah. Kalau kau ingin tidur, tidurlah" Sekali lagi Wiyatsih mengangguk. Demikianlah maka hampir sehari-harian Wiyatsih tidak keluar dari biliknya. Ibunya menjadi agak cemas juga meskipun ia tidak mengatakannya. Jika Wiyatsih menjadi kecewa seperti Pikatan, meskipun alasannya berbeda, maka ia benar-benar akan kehilangan anak-anaknya. Hidupnya menjadi sepi dan tidak berarti. Usahanya melipat-gandakan kekayaannyapun tidak akan berartl pula Namun demikian sama sekali tidak terberslt didalam ingatannya untuk menghentikan usahanya itu. Usahanya yang seolah-olah sudah mendarah daging baginya. Yang mengambil alih pekerjaan Wiyatsih sehari itu adalah Puranti. Ternyata ia tidak kalah cekatan melakukan pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh seorang gadis, tanpa pedang dilambung dan dalam pakaian biasa. Puranti adalah seorang gadis yang cantik yang rajin dan cakap. Bahkan pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh papra pembantu dapat diselesaikannya. Mencuci mangkuk dan membersihkan lantai. "Sudahlah ngger" berkata Nvai Sudati "kau akan terlalu lelah" "Aku sudah biasa melakukannya dipadepokan" jawab Puranti " bahkan kadang-kadang pekerjaan yang agak kasar" Nyai Sudati hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Namun ia heran juga melihat sikap dan tandangnya. Bahkan tanpa disadarinya ia mulai menghubung-hubungkan kehadiran gadis itu dengan Pikatan. "Pikatan pernah berada
606 dan tinggal dirumah gadis itu menurut ceritera Wiyatsih. Tetapi kini keduanya tampaknya seolah-olah bermusuhan. Pikatan yang kecewa akan dirinya itu, seakan-akan tidak lagi dapat mempercayai seseorang" berkata Nyai Sudati didalam hatinya "Namun apakah anak ini pula yang membuat Wiyatsih menjadi kasar?" Tetapi Nyai Sudati sama sekali tidak melihat tanda-tanda kekasaran Puranti didalam pakaian seorang gadis dan melakukan kerja seorang perempuan. Karena itu, maka Puranti bagi Nyai Sudati tetap merupakan sebuah teka-teki yang tidak segera dapat terjawab. Ketika malam turun dan mulai menyelubungi padukuhan disekitar alas sambirata, maka Purantipun telah berada didalam bilik bersama Wiyatsih yang hanya mencuci mukanya saja tanpa mandi. Tubuhnya terasa lemah dan terlebih-lebih lagi hatinya. "Apakah kau juga sudah mulai dihinggapi perasaan berputus-asa?" bertanya Puranti. Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun bertanya "Apakah aku sudah berputus-asa?" "Mudah-mudahan tidak Wiyatsih. Kau masih mempunyai banyak kesempatan, seperti Pikatan juga masih mempunyai banyak kesempatan. Apakah persoalanmu dengan Tanjung itu akan sama artinya seperti cacat ditangan kanan Pikatan" Persoalan yang sebenarnya tidak banyak mempengaruhi jalan kehidupan kalian apabila kalian tidak segera dicengkam oleh putus-asa?" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. "Akhirnya ibumu akan mengerti. Dan kita berharap hahwa Pikatanpun pada suatu ketika akan menemukan dirinya kembali" Wiyatsih masih mengangguk-angguk terus.
607 "Nah, sekarang tidurlah. Kau harus pergi kesawah besok pagi benar, apabila kau jadi akan pergi ke Cangkring bersamaku" "O" tiba-tiba Wiyatsih mengangkat wajahnya "ya. aku akan ikut pergi ke Cangkring bersamamu" "Mudah-mudahan kawanmu itu menyiram jagungmu di sore hari. Wiyatsih mengerutkan keningnya. Katanya "Mudahmudahan. Aku kira Kesambi pergi kesawah diujung bulak itu" Dengan demikian Wiyatsih berhasil menggeser anganangannya meskipun hanya sebagian, persoalan yang menyangkut dirinya dengan Tanjung dan dengan seluruh keluarganya yang rasa-rasanya seperti terpotong-potong. Ia mencoba membayangkan jagungnya yang hijau dan untuk menenteramkan hatinya, ada juga baiknya ia pergi sekalisekali kepadukuhan lain. Menjelang tengah malam, keduanya sudah terbaring diam dipembaringan. Mata mereka terpejam dan nafas mereka berdesah dengan teratur. Pada saat itulah Pikatan bangkit dari pembaringannya. Kini ialah yang menjadi gelisah. Sejenak ia duduk sambil merenung. Namun kemudian ia menggeram didalam hatinva "Tidak. Aku tidak boleh menggantungkan diri kepada perempuan" Dengan hati-hati Pikatanpun kemudian berdiri. Namun ia menjadi ragu-ragu dan sejenak kemudian ia sudah duduk kembali dipembaringannya. "Gila perempuan itu" katanya didalam hati "ia tentu mengambil waktu seperti ini. Lewat tengah malam. Dan ternyata Wiyatsih memiliki kemampuan yang tinggi untuk menerima ilmu dari Pucang Tunggal itu. Jika pada suatu saat kemampuannya melampauiku, maka hidupku akan menjadi
608 semakin tidak berarti lagi. Dan kelak Wiyatsihlah yang akan melindungl aku, sehingga aku akan tetap menjadi beban seorang perempuan setelah Puranti menyelamatkan aku, ibu menghidupi aku dan kamudian Wiyatsih menjadi pelindungku" Pikatan menarik nafas dalam-dalam, sejenak ia mencoba mendengarkan suara didalam rumahnya. Namun ternyata sudah sepi. "Aku memang terlalu bodoh. Hampir setiap saat aku tidur. Karena hanya didalam tidur aku melupakan pedih yang selalu menyengat hati. Dengan demikian aku tidak pernah menghiraukan suara apapun juga didalam rumah ini. Juga karena aku tidak menyangka sama sekali bahwa Puranti akan menyusul sampai kerumah ini. Ternyata aku hampir terlambat menyadari keadaan ini. Barangkali, jika tidak ada perampok yang datang kerumah ini Wiyatsih masih mencoba menyembunyikan kemampuannya sebelum ia menjadi sempurna sama sekali. Tiba-tiba Pikatan itupun berdiri. Sejenak ia memperhatikan keadaan didalam rumahnya lebih seksama lagi. Namun kemudian ia melangkah dengan hati-hati medekati pintu biliknya. Ia menjadi ragu ragu sejenak ketika ia sudah meraba daun pintu itu. Tetapi ia mencoba memantapkan niatnya, sehingga sambil menggigit bibirnya ia mendorong daun pintu biliknya itu sehingga terbuka. Dengan sangat hati-hati iapun pergi kepintu butulan. Perlahan-lahan sekali, sehingga hampir tidak menimbulkan bunyi apapun ia membuka selarak pintu itu. Dan sejenak kemudian, Pikatan itupun sudah menghambur dihalaman belakang lewat longkangan. Pikatan sama sekali tidak mengerti, bahwa Wiyatsihpun pernah berlatih dihalaman belakang rumahnya. Namun demikian ia mereka-reka juga kemungkinan itu didalam hati.
609 Setidak-tidaknya ketika Wiyatsih baru mulai. Sudah tentu Puranti tidak akan membawa Wiyatsih ketempat yang lebih jauh dari kebun belakang yang menjorok agak jauh itu. Meskipun demikian Pikatan masih juga agak ragu-ragu. Kini dirumah itu ada Puranti. Jika gadis itu mendengar ia keluar rumah, maka adalah kemungkinan yang paling besar terjadi, iapun akan mencoba untuk mengetahui, apa saja yang dilakukannya. Karena itu, Pikatan tidak segera berbuat apa-apa. Ia hanya berdiri saja sambil mengangkat wajahnya, seakan-akan ingin menghirup udara yang sejuk dimalam hari. Namun dalam pada itu, hatinya sedang bergolak. Yang terjadi itu merupakan penghinaan yang paling pahit baginya. Adiknya, Wiyatsih yang baru mulai belajar meloncat-loncat telah mencoba untuk menyelamatkannya berserta isi rumah seluruhnya. "Aku yang hanya bertangan kiri inipun tidak boleh lertinggal. Bukan saja dari Wiyatsih. Tetapi aku harus mampu menyamai kemampuan Puranti yang bertangan rangkap" tibatiba Pikatan menggeram. Dengan demikian maka Pikatanpun bertekad untuk menempa diri dalam keadaannya. Meskipun dengan tangan sebelah, ia harus berhasil nienebus penghinaan yang telah dialaminya. "Bodoh sekali ia menggeram. Selama ini ia telah menyianyiakan diri dan membiarkannya mendapat penghinaan dari siapapun juga. dari Puranti, dari ayahnya dan orang-orang disepanjang jalan kembali kekampung halamannya, dari para penjahat dan yang terakhir dari adiknya sendiri. Meskipun ia berhasil membunuh para perampok yang hampir saja membinasakan Wiyatsih, namun ia masih harus banyak menempa diri untuk dapat mengalahkan Puranti.
610 Pikatan itupun menggeretakkan giginya. Diangkatnya tangan kirinya dan dikembangkannya jari-jarinya. Dan tibatiba saja ia menggeram "Tangan ini masih mampu menggerakkan senjata" Dan tiba-tiba saja Pikatan meloncat. Ia ingin mengetahui, apakah kakinya masih selincah kakinya yang dahulu. Ia tidak sempat menilainya ketika ia membunuh beberapa orang penjahat sekaligus, yang menurut dugaannya, mereka bukannya lawan yang dapat dipakainya sebagai perbandingan, karena perampok-perampok itu adalah orang-orang yang sekedar tidak mampu berbuat lain dan sedikit memiliki ilmu olah kanuragan. Sejenak Pikatan berloncat-loncatan. Terasa tubuhnya masih seringan sebelum tangannya menjadi cacat. Dan ia masih mampu bergerak setangkas saat-saat ia mengikuti pendadaran untuk menjadi seorang prajurit. "Satu-satunya cacat yang ada padaku adalah tangan kananku. Jika aku mampu memusatkan kekuatan dan kemampuanku ditangan kiri, maka aku akan dapat menyempurnakan ilmu lebih dalam dan matang. Aku tidak memerlukan lagi seorang guru. Semua tata gerak dasar sudah aku kuasai dan bahkan inti dari ilmu inipun sudah aku pahami" gumam Pikatan kepada diri sendiri Dengan demikian maka untuk beberapa saat lamanya Pikatan seakan-akan ingin mengenal dirinya kembali setelah sekian lamanya ia kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Dalam keasyikannya, Pikatan sama sekali tidak menyangka, bahwa sepasang mata sedang mengawasinya. Ketika ia lurun dari tangga butulan, seseorang segera mengikutinya. Tetapi demikian tinggi ilmunya, sehingga Pikatan sama sekali tidak mendengar langkah dan desah nafasnya. Dan orang, itu adalah Puranti. Meskipun semula ia berbaring diam dangan desah nafas yang teratur, namun sebenarnya ia belum tertidur. la masih mendengar langkah kaki Pikatan yang
611 berdesir dilantai. la masih mendengar betapa lemahnya selarak pintu butulan berderik, Sehingga karena itulah maka iapun segera mengikutinya. Sejenak Puranti menyaksikan Pikatan yang sedang mengenali dirinya kembali. Terasa sesuatu bergejolak didalam dada gadis itu. la tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja kerongkongannya serasa telah tersumbat dan pelupuk matanya menjadi panas dan basah Puranti tidak melanjutkan kesaksiannya atas Pikatan yang masih berloncatan dihalaman belakang. Dengan diam-diam iapun segera kembali masuk kedalam rumah dan langsung pergi kebilik Wiyatsih. Perlahan-lahan ia berbaring lagi disisi gadis yang sedang tertidur nyenyak itu, seolah-olah ia tidak pernah meninggalkannya. Beberapa saat Puranti menunggu. Akhirnya ia mendengar lagi derik selarak pintu butulan. Dan sekali lagi ia mendengar desir kaki dilantai dan pintu bilik Pikatan yang terbuka. "Ia telah kembali kedalam biliknya. Tetapi Pikatan tentu tidak hanya berusaha mengenal dirinya kembali. Iapasti akan berusaha terus, sehingga ia memiliki kemampuan yang lebih baik dari ke mampuannya selagi kedua tangannya masih utuh" berkata Puranti didalam hatinya. Namun Puranti itu menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar langkah diruang dalam. Agaknya Pikatan belum juga masuk kedalam biliknya dan bahkan langkah itu semakin mendekati pintu bilik Wiyatsih yang tidak dipalang. Puranti menahan nafas ketika ia mendengar pintu biliknya berderit. Tetapi cepat-cepat ia menyadari keadaannya, sehingga nafasnya kembali mengalir dengan teratur lewat lubang-lubang hidungnya. Pintu bilik itu hanya terbuka setebal jari. Hanya telinga yang sangat tajam sajalah yang dapat mendengarnya tanpa melihat bahwa pintu itu sudah terbuka. Dan Purantipun
612 menyadarinya bahwa mata Pikatan yang tajam sedang memandangnya. Tetapi Puranti tidak membuka matanya, delah nafasnya masih juga mengalir dengan teratur. Sejenak Pikatan berdiri termangu-mangu. Ia sendiri tidak mengetahui, dorongan apakah yang sudah membawanya kebilik adiknya. Dari celah-celah pintu yang hanya renggang sedikit itu, Pikatan melihat kedua gadis yang sedang berbaring diam sambil memejamkan matanya. Adiknya, Wiyatsih yang manja dimasa kanak-kanaknya, bahkan kadang-kadang didukungnya dan dibawanya berlari-lari. Sedang yang seorang adalah seorang gadis dari padepokan Pucang Tunggal. Seperti terjerat oleh sebuah pesona, Pikatan memandang wajah Puranti yang tenang yang nampaknya sedang tidur dengan nyenyaknya seperti wajah air yang diam. Tanpa disadarinya Pikatan menarik nafas dalam-dalam. Gadis itu bukan adiknya dan bahkan bukan sanak kadangnva. Tetapi ia pernah tinggal bersama beberapa lamanya. Seperti adiknya, kadang-kadang Puranti itupun bersikap manja. Tetapi sifat Puranti hampir tidak dapat dikenalnya dengan pasti karena keberaniannya. Meskipun, demikian ia tidak menyangka, bahwa Puranti memiliki kemampuan yang melampaui kemampuannya, sehingga pada suatu saat ia harus menggantungkan nasibnya kepadanya, ketika ia terjebak disarang perampok di Goa Pabelan, selagi ia menjalani pendadaran untuk menjadi seorang prajurit. Tetapi selagi Puranti tidur nyenyak dalam pakaian seorang perempuan, Pikatan hampir tidak mengenalnya, bahwa gadis itulah yang telah bertempur melawan orang yang menamakan dirinya Hantu bertangan Api. Wajah itu nampak lembut dan Pikatan tidak dapat ingkar lagi, bahwa Puranti adalah seorang gadis yang cantik.
613 Namun tiba-tiba Pikatan menggeretakkan giginya. Ditinggalkannya pintu yang masih menganga meskipun hanya setebal jari itu. Didalam hati ia menggeram " Aku tidak mau dihinakannya. Aku adalah seorang laki-laki. Aku harus mampu melampaui kemampuannya" Perlahan-lahan Pikatanpun kembali kedalam biliknya dan perlahan-lahan pula membaringkan dirinya dipembaringannya. Tetapi angan-angannya tidak terpejam bersama dengan matanya. Semakin rapat ia menutup matanya. Justru semakin jelas bayangan yang hilir mudik didalam angan-angannya. Terbayang wajah Puranti dengan segala macam bentuknya. Wajah seorang gadis yang cantik, yang tersenyum lembut kepadanya. Tetapi tiba-tiba senyum itu berubah menjadi sebuah senyuman yang penuh ejekan. "Pikatan menghentakkan dirinya, sehingga terdengar derik pembaringannya. Dicobanya untuk menenangkan perasaannya yang sedang bergejolak itu. Namun ia tidak segera dapat berhasil. Dalam pada itu, ketika Puranti mendengar langkah Pikatan menjauh, terasa dadanya menjadi lapang. Perlahan-lahan dibukanya matanya dan dilihatnya pintu biliknya masih renggang. Tetapi Puranti tidak mengatupkannya. Dadanya masih terasa berdebaran. Gadis itu tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja ia merasa sangat gelisah ketika ia sadar bahwa Pikatan sedang memandanginya. "Apakah ia akar mengusir aku dari rumah ini?" pertanyaan itu timbul juga didalam hatinya. Tetapi ada perasaan lain yang Puranti sendiri rasa-rasanya tidak berani mengakuinya sebagai suatu kuncup yang semakin berkembang. Demikianlah kedua anak-anak muda itu hampir semalam suntuk tidak dapat tidur dipembaringan masing-masing. Rasarasanya ada getaran yang menghubungkan dasar hati mereka yang paling dalam. Baru ketika ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya, Puranti dapat terlena sejenak. Namun
614 iapun segera terperanjat karena Wiyatsih bangkit meskipun perlahan-lahan. "Kau tidur nyenyak sekali" desis Wiyatsih. Puranti mengangguk "Ya. Aku tidur semalam suntuk. Apakah kau tidak dapat tidur sama sekali?" "Aku juga tidur nyenyak. Tetapi aku lebih dahulu bangun. Bukankah kita akan pergi kesawah pagi-pagi benar sebelum kita pergi ke Cangkring. "O" Purantipun bangkit pula. Namun ia berdesis "Masih gelap diluar. Apakah kau akan pergi sekarang" "Jika kita mandi lebih dahulu, kita akan pergi disaat terang tanah" "Kita mandi disungai. Tentu belum ada orang sama sekali" Wiyatsih memandang Puranti sejenak, namun kemudian ia tersenyum "Mari, kita pergi kesungai" Keduanyapun kemudian bangkit berdiri dan melangkah keluar bilik. Tetapi rumah itu masih sepi. Ibunya agaknya masih tertidur nyenyak dibiliknya. "Kita harus menunggu sampai ibu bangun. Jika tidak ibu pasti akan mecari kita dengan cemas" "Kita pergi kedapur. Kita pesan kepada orang-orang yang pasti sudah mulai merebus air. Aku mendengar suara senggot timba" "O, baik Kita pergi kedapur" Keduanyapun kemudian pergi kedapur. Ternyata seseorang memang sudah duduk di depan perapian sambil bertopang dagu merebus air. Orang itu terkejut ketika tiba-tiba saja keduanya sudah berdiri dibelakangnya, hampir saja ia terlonjak, jika Wiyatsih tidak menahannya sambil berkata "Kenapa kau terkejut?"
615 Orang itu menarik nafas dakam-dalam. Katanya "Aku tidak menyangka sepagi ini kau datang kedapur" "Aku akan pergi ke Kali Kuning" Orang itu menjadi terheran-heran. "He. kenapa kau memandang aku seperti itu?" "Kalian berdua akan pergi ke Kali Kuning?" "Ya. Kami akan mandi" "Tetapi, bukahkah hari masih gelap?" "Sebentar lagi matahari akan terbit" "Kalian berani pergi berdua saja?" "Kenapa?" Orang itu mengangkat pundaknya. Katanya "Kalian adalah gadis-gadis yang aneh. Tetapi kalian memang mempunyai alasan untuk tidak takut pergi ke Kali Kuning, karena kalian dapat berkelahi melawan penjahat." Wiyatsih tersenyum. Ditepuknya bahu orang itu sambil berkata "Tolong, katakan kepada ibu jika ibu mencari kami berdua. Bilang kami pergi kesungai untuk mandi" Orang itu menganggukkan kepalanya. Dipandanginya kedua gadis yang kemudian meninggalkannya itu dengan penuh kekaguman. Mereka adalah gadis-gadis cantik yang aneh. Belum pernah ia melihat dan mendengar bahwa ada gadis yang mampu berkelahi melawan perampok-perampok beradu muka seperti yang dilakukan oleh Wiyatsih. Meskipun ia memerlukan bantuan Pikatan, namun hal itu sudah cukup menggetarkan dada. Seandainya Wiyatsih harus berkelahi melawan satu orang saja dari mereka, maka Wiyatsih pasti tidak akan dapat dikalahkan.
616 Dalam pada itu langkah Wiyatsih dan Puranti terhenti sejenak ketika penjaga regol yang duduk dipendapa menyapanya. "He, kalian, akan pergi kemana sepagi ini?" "Mandi kesungai" "Jangan berbuat sesuatu yang dapat membahayakan dirimu Wiyatsih. Hari masih gelap" "Tidak apa-apa. Sebentar lagi matahari akan terbit. Jika aku kesiangan, aku tidak akan berani lagi mandi disungai. Apalagi jika orang-orang padukuhan ini sudah mulai turun pula kesungai" "Tetapi jangan sekarang, tungu sebentar lagi" Wiyatsih tersenyum, Katanya "Tolong katakan kepada ibu jika ibu mencari kami. Ada baiknya kami mandi dipagi-pagi benar seperti ini" Penjaga regol itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Kawannya yang sedang tidur bersandar tiangpun terbangun dan bertanya "Kemana mereka pergi?" "Kesungai. Sebenarnya berbahaya bagi mereka" "Biar saja. Mereka mempunyai bekal yang cukup untuk keluar padukuhan disaat semacam ini, bahkan ditengah malam sekalipun. Mereka tentu akan dapat menjaga diri mereka sendiri" Kawannya tidak menyahut selain mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Sejenak kemudian Puranti dan Wiyatsihpun sudah menyelusuri Kali Kuning. Ternyata mereka tidak hanya sekedar mandi. Namun setelah mandi maka merekapun segera ingat kepada jagung yang semakin tumbuh diujung sawah yang kering dimusim kemarau.
617 "He, marilah kita pergi kesawah" ajak Puranti. "Segar sekali mandi dini hari" desis Wiyatsih. "Tetapi sudahlah. Kau akan kedinginan" "Tidak, aku tidak kedinginan. Bahkan tubuhku serasa mendapatkan kekuatan baru" "Betapa melimpahnya kekuatan bagi kita, tetapi didalam keadaan ini, jika kita tiba-tiba saja diserang, kita tidak akan dapat berbuat apa-apa" Wiyatsih mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia berkata "Baiklah. Kita pergi kesawah saja" Keduanyapun segera berpakaian. Kemudian ketika bayangan pagi semakin jelas membayang di cakrawala, merekapun berjalan menyusuri pematang pergi kesawah mereka. "Kita harus segera menyelesaikan pekerjaan kita" berkata Puranti "aku ingin berangkat pagi-pagi, supaya kita sampai ke Cangkring sebelum hari menjadi panas sekali" "Baiklah. Aku akan menyelesaikan pekerjaanku dengan cepat" "Aku akan membantu" Dengan demikian, maka keduanya bekerja dengan tergesagesa. Tetapi jagung mereka cukup juga mendapat air. Apalagi keduanya mempertimbangkan bahwa mungkin pada sore hari nanti, jagung itu tidak akan mendapat air, karena belum pasti, bahwa mereka dapat kembali sebelum gelap. Setelah mereka selesai menyiram jagung, maka merekapun segera kembali. Seperti yang sudah mereka duga, ibunya dengan cemas menunggunya dipendapa. "Kau membuat aku cemas Wiyatsih. Kemana kau sepagi ini?"
618 "Mandi ibu, lihat rambutku ini basah" Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Kau berbuat aneh-aneh saja Wiyatsih. Jika ikau ingin mandi sepagi begini, kenapa kau tidak mandi saja dipakiwan dengan air sumur yang hangat?" "Mandi dikali selagi masih gelap, alangkah segarnya. Besok atau lusa aku akan pergi lagi bersama Puranti, senang sekali" Sekali lagi ibunya menarik nafas. Katanya "Jangan Wiyatsih. Banyak hal yang dapat terjadi. Aku percaya bahwa kau berdua memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri, tetapi bagaimanapun juga, kau harus berhati-hati" Wiyatsih tidak menyahut lagi. la tidak ingin berbantah dengan ibunya. Karena itu iapun menganggukkan kepalanya tanpa menjawab sepatuh katapun. "Nah, pergilah kedapur. Hangatkan badanmu. Kau pasti berendam didalam air, sehingga rambutmupun ikut basah karenanya" Sekali lagi Wiyatsih mengangguk. Lalu diajaknya Puranti pergi kedapur. "Wiyatsih, kita harus segera minta diri, mumpung masih pagi" "Kita makan dulu didapur. Tentu nasi sudah hampir masak" "Sepagi ini?" "Jika belum masak, kita makan nasi wadang. Kita panasi sebentar supaya perut kita tidak bertambah dingin" Puranti tidak menjawab. Diikutinya saja Wiyatsih kedapur, dan dibiarkannya berbuat sesuka hatinya. Baru setelah mereka selesai dengan memanaskan nasi sisa kemarin, Wiyatsih berkata "Marilah kita menemui ibu. Aku akan minta diri. Barangkali ibu sudah tidak marah lagi"
619 Namun ketika Wiyatsih menyampaikan niatnya. ibunya menjadi ragu-ragu. "Kami berjalan disiang hari ibu. Kami kira, kami tidak akan menjumpai kesulitan apapun juga. Aku sudah terlanjur berjanji kepada Puranti" "Kenapa Puranti pergi juga ke Cangkring?" bertanya Nyai Sudati. Purantipun menceriterakan sejenak, bahwa ia telah diambil anak oleh seorang janda miskin di Cangkring. Karena itu, supaya janda tua itu tidak gelisah, ia ingin menengoknya meskipun hanya sebentar. Ibu Wiyatsih mengangguk-angguk sejenak. Kemudian katanya "Kenapa kau tinggal padanya" Apakah kau tidak lebih balk tinggal disini?" "Aku kasihan meninggalkannya sendirian. Meskipun aku akan sering berada disini, tetapi aku akan masih selalu pergi menengoknya" "Tinggallah disini. Kau akan mengurangi bebannya" Wiyatsih mengerutkan keningnya. Ia mengharap ibunya minta kepada Puranti agar perempuan miskin itu dibawanya saja kerumah ini. Ternyata ibunya tidak berkata demikian. Dan Puranti memaklumi akan hal itu. karena Nyai Sudati adalah seseorang yang hemat. Bahkan sedikit kikir. "Kau tidak perlu lagi hilir mudik. Karena itu, sebaiknya kau minta diri saja kepadanya dan perempuan itu akan hidup seperti saat-saat kau belum datang kepadanya" "Aku kasihan kepadanya, ia sudah tua" "Sebelum kau datang, bukunkah ia sudah tua juga?" Puranti mengangguk kecil. Tetapi ia menjawab "Jika saja aku belum pernah menegenalnya. Tetapi aku sudah terlanjur tinggal padanya"
620 Nyai Sudati mengangguk-angguk. Katanya kemudian "Terserahlah kepadamu. Tetapi aku minta Kau tinggal saja disini. Mungkin sepekan dua pekan sekali kau dapat menengoknya" Puranti mengangguk pula. Jawabnya "Aku akan memikirkannya" "Baiklah. Cobalah kau pertimbangkan. Aku kira tempat ini akan lebih baik bagimu daripada dirumah janda tua dari Cangkring itu" "Tentu. Tempat ini jauh lebih baik bagiku" "Jadi kenapa kau tidak dapat memutuskannya sekarang bahwa kau akan tinggal disini?" "Tetapi aku memikirkan orang tua itu" "Ah" desah Nyai Sudati "kenapa kau terikat kepadanya" Ia bukan sanak kadangmu. Ia orang lain bagimu" Puranti menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ditatapnya wajah Wiyatsih yang buram. Dan bahkan Wiyatsih itulah yang kemudian menyahut "Itu adalah kata nuraninya, ibu. Ia menaruh iba kepada perempuan itu. Puranti tidak sekedar memikirkan dirinya sendiri. Bukan sekedar untuk kesenangannya sendiri" Nyai Sudati mengerutkan keningnya. Namun sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia berkata "Kau mencari kesulitan. Tetapi terserahlah" Lalu ia berpaling kepada Wiyatsih "Bukankah kau akan segera kembali?" "Ya ibu. Sebelum senja aku sudah tiba kembali dirumah ini" "Jangan tertunda. Kau akan membuat aku gelisah" "Tidak. Aku akan pulang pada waktunya bersama Puranti" Demikianlah maka keduanya segera berangkat meninggalkan padukuhannya. Mereka berjalan sebagai gadis
621 padesan yang lain. Ternyata bahwa Puranti dapat mempergunakan pakaian Wiyatsih, dan bahkan seakan akan keduanya memiliki ukuran yang sama. "Wiyatsih" berkata Puranti ketika mereka telah berjalan ditengah bulak "untuk sementara" aku tidak akan dapat tinggal dirumahmu" Wiyatsih terkejut, sehingga tiba-tiba saja langkahnya terhenti "Apa maksudmu?" "Jangan bersungut-sungut dahulu. Kau lebih cantik jika tersenyum" "Ah" "Dengarlah. Aku mempunyai suatu kewajiban baru" "Apa lagi yang akan kau lakukan?" Puranti termangu-mangu sejenak. namun dikatakannya juga apa yang dilihatnya semalam tentang Pikatan. "Jadi bagaimana" Bukankah kau akan dapat mengikutinya justru jika kau tinggal dirumahku?" "Tentu sulit sekali. Pintu butulan itu hanya satu. Pada suatu saat Pikatan akan mengetahui bahwa aku mengikutinya. Jika ia masuk lebih dahulu daripadaku, maka aku tidak akan dapat masuk kerumahmu. Atau jika aku mengikutinya keluar lewat butulan itu, sedang Pikatan masih berada disekitar pintu tetapi diluar rumah tidak setahuku, ia akan segera mengetahui, bahwa aku mengamat-amatinya bukan sekedar malam itu" "Jadi bagaimalna rencanamu?" "Aku akan tinggal ditempat yang lain. Mungkin aku akan tetap berada di Cangkring. Tetapi seperti ketika kau mulai dengan mempelajarimu olah kanuragan, maka aku akan pergi kepadukuhanmu hampir setiap malam untuk melihat, apa yang dilakukan oleh Pikatan"
622 Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku yakin bahwa Pikatan tidak akan berlatih cukup dihalaman belakang. Ia pasti akan mencari tempat lain, karena ia seorang laki-laki yang sudah memiliki bekal kemampuan yang cukup sebelum tangannya cacat. la pasti ingin mendapat kesempatan melepaskan ilmu yang paling dahsyat yang dapat dicapainya dengan tangan kirinya. Wiyatsih-mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia bersungguh-sungguh "Jika demikian, akulah yang tidak akan pernah mendapat kesempatan untuk berlatih" "Tentu tidak. Kau dapat berlatih disetiap saat. Seisi rumahmu sekarang sudah mengetahui bahwa kau memiliki kemampuan dalam olah kanuragan. Kau dapat dilewat senja. Demikian gelap malam mulai turun, kau dapat pergi ke halaman belakang, Kau tidak perlu lagi menghindar seandainya kedua penjaga regol ituu ingin melihat kau berlatih. Dan waktu-waktu berikutnya. Pikatanlah yang akan mempergunakan. Karena Pikatan agaknya masih belum bersedia dengan terbuka, maka ia akan memilih waktu seperti yang pernah kita pergunakan" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti rencana yang akan dilakukan Puranti. la ingin mengikuti saat-saat Pikatan berlatih untuk mengetahui perkembangan kemampuannya. "Apakah dengan demikian, kau tidak akan pernah datang lagi kerumah kami disiang hari atau disaat-saat lain?" "Tentu. Aku akan selalu mengunjungimu disiang maupun di malam hari. Tetapi jika aku berada dirumahmu, maka kesempatanku untuk mengikuti Pikatan terlampau sedikit. Atau bahkan dimalam itu, aku melepaskannya sama sekali" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti sepenuhnya keinginan Puranti. Dan bahkan ada sesuatu yang
623 melonjak didalam hatinya. Perhatian Puranti terhadap kakaknya yang sudah cacat itu ternyata begitu besar. "Mudah-mudahan mereka menemukan jalan" berkata Wiyatsih didalam hati. Namun demikian ia bertanya "Apakah sore nanti aku harus kembali seorang diri ke Sambi Sari" "Aku akan mengantarkanmu" "Kau akan segera kembali ke Cangkring?" "Tidak. Aku akan bermalam dirumahmu sambil meyakinkan, apakah Pikatan benar-benar akan berlatih atau hanya sekedar dorongan perasaannya yang meledak hanya sesaat. Tetapi kemudian segera padam kembali. Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Keduanya menganggukkan kepala mereka lebih dalam lagi ketika mereka bertemu dengan seorang petani yang agaknya baru pulang dari pasar ternak yang terletak tidak terlalu jauh dari Kademangan mereka. Selanjutnya, tidak banyak lagi yang mereka percakapkan disepanjang jalan. Apalagi ketika matahari mulai naik melampaui pepohonan. Sinarnya terasa gatal diwajah kulit. Tetapi jarak yang mereka lalui bukannya jarak yang terlalu jauh, sehingga merekapun segera melampaui daerah yang kering dimusim kemarau dan memasuki sebuah pategalan. Tetapi dedaunan dipategalan itupun sudah mulai semburat kuning. Ranting-ranting yang gundul mencuat seperti tangantangan yang kurus kering menggapai-gapai kepanasan. Namun sejenak kemudian merekapun telah mulai memasuki daerah Cangkring. Seperti Sambi Sari, Cangkring bukan pula daerah yang subur. Berbeda dengan daerah Temu Agal yang memiliki sebatang sungai yang tidak terlalu dalam. Airnya dengan
624 mudah dapat diangkat naik kedaerah persawahan meskipun tidak cukup banyak. Namun ada sebagian dari sawahnya yang dapat ditanami dimusim kemarau yang bagaimanapun juga keringnya. "Apakah rumah biyung angkatmu itu masih jauh?" bertanya Wiyatsih. "Tidak. Ia tinggal diujung padukuhan kecil itu. Bukan di induk Kademangan" "O" tiba-tiba Wiyatsihpun menjadi berdebar-debar. Ia tidak tahu perasaan apakah yang sebenarnya sedang bergolak. "Aku akan mengejutkannya" berkata Puranti "biyung angkatku pasti mengira bahwa aku sudah tidak akan kembali lagi kepadanya. Tetapi tiba-tiba aku datang justru membawa seorang kawan" "Aku akan kau sebut sebagai apamu?" "Adik. Adik angkat. Dan aku akan mengatakan bahwa aku mendapat pakaian ini darimu. Apalagi memang demikianlah yang sebenarnya" "Apakah ia akan mempersonlkan pakaian?" "Tentu. Aku tidak mempunyai pakaian yang sebagus ini" Puranti berhenti sejenak, lalu "tetapi yang penting bagiku, aku akan mengatakan kepadanya, bahwa aku akan kembali dan tinggal bersamanya" Wiyatsih mengangguk-unggukkan kepalanya. Ia mengerti bahwa Puranti memang berkepentingan untuk berbuat demikian, karena ia ingin mengamati perkembangan Pikatan untuk waktu yang tidak terbatas. Ketika mereka berdua memasuki sebuah padukuhan kecil, maka Purantipun segera berkata "Itulah rumah ibu angkatku itu"
625 Wiyatsih mengerutkan keningnya. Rumah itu memang terlampau kecil ditengah-tengah halaman yang tidak begitu luas. dipagari oleh dinding batu yang rendah dan sebuah regol yang rusak. "Ibumu memang miskin" desis Wiyatsih. "Ya. Miskin dan tua." "Apakah ia tidak mempunyai sanak saudara?" "Ada. Tetapi bukan keluarga dekat. Bahkan saudaranya itu pernah minta kepada biyung angkatku, agar ia mau tinggal bersamanya meskipun saudaranya itupun bukan orang yang berada. Tetapi ibu angkatku segan meninggalkan halaman yang diwarisinya dari orang tuanya. Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti bahwa sebagian orang, terutama orang tua-tua, menganggap bahwa ia tidak akan pernah meninggalkan kampung halamannya dan tanah warisan yang pernah diterimanya dari orang tua. Mereka menganggap peninggalan orang tua adalah pusaka yang harus dipertahankan mati-matian. Hidup atau mati, mereka akan tetap berada ditanah pusaka itu. Demikian juga agaknya dengan ibu Puranti itu. Apalagi saudaranya itupun adalah seorang yang miskin dan bukan keluarga dekat. "Jika demikian" berkata Wiyatsih kemudian "seandainya ibu mengharap ia tinggal di rumah kamipun, aku kira ia tidak akan mau meninggalkan rumahnya" "Mungkin tidak" jawab Puranti. "Apalagi kau bawa ketempat yang jauh seperti yang pernah kau katakan. Ke padepokanmu" "Mungkin persoalannya lain. Aku adalah anaknya. Dan aku akan mengurus tanah warisan itu" "Apakah kau akan menerima tanah itu?"
626 "Sebenarnya aku tidak menghendaki. Apalagi mempunyai pamrih. Tetapi orang tua itu tidak mempunyai anak yang masih ada padanya" "Bagaimana dengan saudara-saudaranya meskipun sudah agak jauh", Bukankah merekapun berhak atas warisan itu?" Puranti menggeleng. Pembicaraan mereka terputus ketika mereka sudah berada didepan regol yang sudah rusak. Namun tiba-tiba saja wajah Puranti berkerut. Ia melihat pintu rumah itu terbuka lebar. Biasanya ibu angkatnya tidak pernah berbuat demikian. Pintu itu meskipun terbuka, namun tidak lebih dari sejengkal. "Apakah ada seorang tamu didalam?" tiba-tiba saja Puranti bergumam. "Mungkin" sahut Wiyatsih" Aku mendengar suara laki-laki" "Ya" Purantipun mengangguk "pasti ada seorang tamu. Mungkin saudaranya yang akan membawanya itu" "Mungkin laki-laki yang melamarmu" "Ah" Puranti berdesah. Namun mereka berduapun melangkah terus memasuki halaman rumah yang sudah tua itu" Dimuka pintu, Puranti termangu-mangu. Ternyata ia mendengar suara laki-laki itu semakin keras. Bahkan hampir membentak-bentak. "Aku tidak tahu kemana ia pergi " terdengar suara perempuan tua. "Tentu kau sembunyikan" sahut laki-laki itu "aku harus mendapatkan gadis itu. Jika tidak, aku akan berbuat kasar terhadapmu" "Aku tidak tahu. Tetapi jika kau bebaskan kesalahan ini kepadaku, aku tidak akan menolak.
627 "Gila" laki-laki itu menjadi semakin marah. "Pada dasarnya ia datang kerumah ini atas kemauannya sendiri dan sekarang ia pergi pula atas kemauannya" "Jangan bohongi aku. Kalau kau kau ingin membelinya, aku akan membayar berapapun yang kau minta. Mungkin kau ingin aku menukarnya dengan sekandang ayam atau itik dan kambing atau jaminan hidup sampai akhir hayatmu. "Aku tidak memerlukan apa-apa lagi, Dan bukankah bebanmu sudah cukup berat dengan beberapa orang isteri?" "Apa pedulimu. Aku masih mampu mencari uang sebanyak aku kehendaki" "Tetapi gadis yang tinggal dirumah ini mempunyai sikap yang berbeda. Meskipun ia anak miskin yang terlantar dan berteduh dibawah rumah yang telah miring ini, namun agaknya ia tidak akan dapat dibeli dengan harga berapapun" "Bohong. Anak itu tidak akan melawan. Pasti kau yang masih menginginkan lebih banyak lagi. Katakan saja, berapa yang kau minta" Selanjutnya aku akan mengurusnya sendiri. Aku akan mengambilnya dan membawanya kerumahku yang baru, dan baru selesai beberapa hari yang lalu. Aku tidak akan menempatkannya serumah dengan isteriku yang sekarang" "Sayang" desis perempuan tua itu "aku tidak dapat memukannya. la pergi ketempatnya dari mana ia datang, aku tidak mengetahuinya. Tetapi sebenarnyalah ia anak yang baik. Rajin dan sopan" "Aku tidak ingin mendengar pujian itu. Aku memilih gadis itu. Kau kenal aku bukan. Sepadukuhan Cangkring tidak ada orang yang pernah menentang kehendakku" "Aku tahu. Kau kaya dan dengan uangmu kau dapat berbuat apa saja. Tetapi apa yang dapat aku jual kepadamu jika gadis itu telah pergi tanpa aku ketahui?"
628 "Omong kosong. Dan kau memang perempuan tua yang paling bodoh dimuka bumi ini. Apakah sebenarnya kesulitanmu menyerahkan gadis itu" la bukan sanak kadangmu. Ia datang sendiri untuk ikut berteduh dirumah ini. Kemudian aku mau membelinya seharga yang kau minta" "Barangkali aku memang orang yang paling bodoh" "Gila. Kau bukan saja bodoh, tetapi gila. Dan akupun dapat berbuat kasar terhadap orang gila" "Aku tidak mengetahuinya. Sungguh" "Persetan!, kau memang harus dicekik" Puranti dan Wiyatsih yang berdiri melekat dinding diluar pintu ternyata tidak sabar lagi. Meskipun demikian Puranti masih juga menyabarkan dirinya dan dengan tenang ia melangkah kedepan pintu sambil berkata lembut "Biyung, aku disini biyung" "Suntrut" ibu angkatnya hampir berteriak "kenapa kau kembali he". Pergi, pergilah. Laki-laki ini tidak dapat diajak berbicara" Tetapi Puranti justru melangkah masuk diikuti oleh Wiyatsih. Sejenak janda tua itu memandang kedua gadis itu dengan terheran-heran. Ia tidak pernah melihat Puranti dalam pakaian yang lengkap dan sebaik itu. Namun justru dengan demikian kecantikan Puranti seakan-akan kian menjadi sempurna. Apalagi bersamanya datang pula seorang gadis yang lain, yang tidak kalah cantik dari Puranti itu. Bukan saja janda tua itu yang keheran-heranan melihat Puranti dan Wiyatsih, tetapi laki-laki yang ada diruang dalam itupun berdiri mematung sambil memandang kedua gadis itu berganti-ganti.
629 "Suntrut, aku kira kau telah jauh meninggalkan padukuhan ini. Tetapi kini kau justru kembali lagi. Bukankah kau sendiri tidak bersedia menerima lamaran laki-laki itu dan lari?" "Ya biyung. Tetapi tiba-tiba saja aku rindu kepadamu. kepada rumah ini dan kepada padukuhan Cangkring. Karena itu aku kembali hanya sekedar untuk menjengukmu" "Tetapi, akibatnya dapat menyusahkan kau sendiri. Laki-laki itu justru berada disini" "O, apakah salahnya" Aku sudah mengatakan, bahwa aku belum bersedia untuk kawin, karena aku masih terlalu muda" Laki-laki yang seakan-akan menyadari kehadirannya diantara kedua gadis-gadis cantik itu tiba-tiba menyahut "Jika kau menganggap dirimu terlalu muda, maka apakah perempuan setua biyungmu itulah yang pantas untuk kawin?" Tiba-tiba saja Puranti tersenyum. Tampaknya wajahnya jadi asing bagi biyungnya. Puranti yang dipanggil Suntrut itu hampir tidak pernah berwajah terang. Wajahnya selalu muram meskipun kadang-kadang lembut. Namun justru Puranti tersenyum dengan cerah itu, kecantikannya menjadi kian lengkap. Dan laki-laki itu menjadi semakin tergila-gila kepadanya. "Jangan menolak" berkata laki-laki itu "jika kalian tidak berkeberatan. aku akan mengambil kalian berdua" "O, itu pikiran gila" desis perempuan tua itu. Namun Puranti menjawab "Umurku masih terlalu muda, apalagi adikku ini" Dan seperti tidak menghiraukan kehadiran laki-laki itu, janda tua yang memelihara Puranti itu berkata "Suntrut, darimana kau mendapat pakaian dan siapakah gadis ini?" "Adikku biyung. Aku mendapat pakaian daripadanya" "Dimanakah rumahnya?"
630 "Barangkali biyung pernah mendengar. Rumahnya tidak terlalu jauh dari Cangkring" "Ya, dimana?" "Sambi Sari, disebelah Alas Sambirata" "O" "Ibunya bernama Nyai Sudati" "Nyai Sudati" Nyai Sudati yang kaya itu?" "Ya Biyung" "He, apakah kau masih saudaranya?" "Ternyata aku diterima dirumahnya karena anak ini menerima aku pula. Dan sekarang, aku telah dijadikan saudaranya. Gadis ini sekarang menjadi adikku" "O, bagaimana mungkin. Kau anak seorang janda tua dan miskin. Bagaimana mungkin kau dapat diangkat menjadi anaknya?" "Bertanyalah kepada anak ini. Gadis ini adalah anak Nyai Sudati yang kedua. Anaknya yang laki-laki bernama Pikatan" "Pikatan" tiba tiba laki laki ilu berdesis "Pikatan yang membunuh beberapa orang perampok itu?" "Ya. Aku sekarang adalah saudara angkat Pikatan itu" Wajah laki-laki itu menjadi pucat. Tetapi tiba-tiba ia berteriak "Bohong. Kau sekedar menakut-nakuti aku" "O, lihat, aku mempunyai pakaian sebagus ini. Dari mana aku mendapatkannya, jika bukan dari pemberian saudara angkatku ini" sahut Puranti "dan aku yakin bahwa kekayaan Nyai Sudati sama sekali tidak kalah dari kekayaanmu" "Tentu kau berbohong. Kau tentu telah berhasil memeras seorang laki-laki dan mendapatkan pakaian sebaik ini" "Seandainya demikian, maka laki-laki itu bernama Pikatan.
631 Wajah laki-laki itu semakin pucat, dan tiba-tiba saja Wiyatsih berkata "Ya. Aku adalah adik kakang Pikatan. Gadis yang bernama Puranti dan selalu dipanggil Suntrut ini adalah kakak angkatku" "He, siapakah namanya" bertanya janda tua itu. "Puranti. Nama yang sebenarnya adalah Puranti" "Bukan. bukan Puranti. Ia menyebut nama lain" "Itu bukan namanya. Namanya Puranti. Sekarang ia tidak perlu menyebut dirinya dengan nama-nama palsu. Semuanya sudah ierbuka dan gadis inipun harus menyebut dirinya sendiri" Janda tua itu menjadi terheran-heran. "Jangan bingung biyung. Aku tetap anakmu dan untuk beberapa lama aku akan tetap tinggal disini" Wajah janda tua itu menjadi semakin berkerut-merut. Namun tiba-tiba saja ia berkata "Lalu, bagaimana dengan lakilaki itu" "Ia tidak akan berbuat apa-apa, jika ia tidak mau berhadapan dengan kakak angkatku." Laki-laki itu menjadi tegang. Namun ia berkata "Bohong, bohong. Aku tidak percaya" "Kau tidak percaya?" bertanya Puranti "kau boleh melihat, apakah aku berbohong" Lalu katanya kepada Wiyatsih "Wiyatsih beritahukan kepadanya, jika kau adalah benar-benar adik Pikatan" "Bagaimana kalau ia tidak percaya?" "Kau mempunyai cara yang tidak akan dapat disangkal" Tiba-tiba Wiyatsih tersenyum. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati laki-laki itu. Katanya "Katakanlah, kau percaya atau tidak"
632 Laki-laki itu menjadi bingung. "Tanda Pikatan adalah kemampuannya membinasakan para penjahat. Sekarang, aku adiknya akan menunjukkan kepadamu bahwa aku dapat membuat wajahmu bengkakbengkak" Wajah laki-laki itu menjadi semakin tegang karenanya. "Atau barangkali kau mempunyai pengawal" Bawalah mereka agar kau menjadi yakin karenanya" Kata-kata Wiyatsih membuat laki-laki itu menjadi bingung. Sejenak dipandanginya gadis itu, kemudian Puranti dan janda tua dari Cangkring yang juga menjadi terheran-heran. "He, kenapa kau menjadi bingung?" bertanya Wiyatsih kemudian "kau tinggal memilih. Aku atau Puranti yang harus membuatmu merah biru" Sejenak kemudian barulah laki-laki itu menyadari keadaannya. Namun karena itu, justru kemarahannya bagaikan terungkat. Perempuan yang menyebut dirinya adik Puranti itu telah menghinanya. Karena itu maka katanya "He, gadis cantik. Apakah kau sudah menjadi gila" Aku tidak mengerti, apa yang kau maksudkan. Mungkin kau memang sudah kesurupan. Meskipun demikian aku minta kau pergi saja dari rumah ini. Aku sama sekali tidak berkepentingan dengan kau meskipun kau cantik. Aku memerlukan anak janda ini" "Ah, jangan salah pilih" berkata Wiyatsih "maksudku....." "Diam" laki-laki itu benar-benar menjadi sangat marah "jangan membuat dirimu lebih parah lagi" Tetapi Wiyatsih tidak mau diam. Bahkan sambil tersenyum ia berkata "Kau memang bodoh sekali. Kau tidak dapat mengetahui siapakah sebenarnya yang kau hadapi. Bukankah kau kenal Nyai Sudati" Kau jangan memperagakan uangmu disini. Nyai Sudati ibuku, mempunyai uang lebih banyak dari kau"
633 Kemarahan laki-laki ilu tidak tertahankan lagi. Sambil menggeretakkan giginya ia berkata "Jika kau seorang laki-laki, aku pasti sudah memukulmu" "O. kenapa tidak kau lakukan atasku" Silahkan. Aku akan tetap mengganggumu. Dan kau boleh memukulku jika kau memang ingin" Darah laki-laki itu benar-benar telah mendidih. Perempuan yang bernama Wiyatsih ini sangat memuakkannya, sehingga karena itu, ia tidak dapat mengendalikan dirinya lagi hampir diluar sadarnya, tangan laki-laki itu terayun kemulut Wiyatsih. Tetapi laki-laki itu tidak mengetahui, siapakah sebenarnya gadis yang dihadapinya itu. Karena itu, maka tiba tiba saja sebelum tangannya menyentuh gadis itu, terasa sengatan justru dipipinya sendiri sehingga kepalanya terputar kesamping. Alangkah pedihnya. Apalagi tangannya sendiri sama sekali tidak berhasil menyentuh tubuh gadis yang memuakkan itu. "Suntrut" janda itu berteriak ketika ia melihat tangan lakilaki itu terayun. Namun mulutnya seperti terbungkam ketika ia melihat justru pipi laki-laki itulah yang menjadi merah karena sentuhan tangan Wiyatsih. "Tidak apa-apa biyung" sahut Puranti "Wiyatsih memang mempunyai kelebihan dari gadis-gadis yang lain, justru karena ia adik Pikatan. Ia memiliki kemampuan seperti kakaknya, meskipun belum sempurna. Namun seandainya laki-laki itu tidak minta maaf kepadanya, maka ia akan menyesal" "Persetan" laki-laki itu hampir beteriak. Namun sekali lagi suaranya tertahan karena tangan Wiyatsih menyambar bibirnya. Laki-laki itu terdorong mundur. Tetapi wajahnya menjadi semerah darah. Dengan suara gemetar ia berkata "Semula aku menahan diri karena kau seorang perempuan. Tetapi kau telah berbuat gila. Dan aku tidak mau kau perlakukan seperti
634 ini, meskipun aku tahu, Nyai Sudati seorang janda yang kaya raya. Aku tidak peduli. Aku juga seorang yang kaya" "Kau mau apa?" Pertanyaan itu telah membingungkannya sejenak. Namun kemudian ia berkata "Jangan turut campur. Aku akan mengambil gadis itu. Jika kau tidak ingin gigimu rontok. Gadis itu mampu merontokkan gigimu dan sekaligus tulang-tulang igamu. Kau tidak percaya?" "Kenapa bukan kau saja yang melakukan Wiyatsih" berkata Puranti. "Mungkin ia akan menjadi lebih puas, jika kaulah yang melepas giginya meskipun hanya sebuah" Laki-laki itu bingung sejenak. Menilik sikapnya, gadis-gadis itu pasti tidak sekedar menakut-nakutinya. Suara gadis-gadis itu sama sekali tidak ragu-ragu dan tidak gemetar. Sikapnya meyakinkan dan bahkan senyumnya benar-benar menyakitkan hati. Tetapi laki-laki itu tidak mau mempercayai tanggapan itu. Ia masih harus membuktikan, apakah hal itu bukan sekedar bayangan-bayangan yang menghantui kepalanya. Karena itu, maka dengan marahnya ia menyerang Wiyatsih. Ia sama sekali tidak lagi melihatnya sebagai seorang gadis. Ia merasa terhina dan ia akan melepaskan kemarahannya atas hinaan itu. Tetapi ternyata, bahwa gadis-gadis itu tidak sekedar membual, Wiyatsih berhasil menangkap tangannya ketika lakilaki itu menyerang langsung kepelipisnya. Dengan sekali pilin, laki-laki itu terputar membelakangi Wiyatsih. Mulutnya menyeringai dan matanya terpejam. "Jangan, jangan" ia menyeringai menahan sakit. "Aku dapat mematahkan tanganmu" desis Wiyatsih.
635 "Jangan, jangan" "Nah, apakah kau masih akan mengambil Puranti dengan, paksa". Dengar, Puranti tidak hanya dapat memilin tanganmu, tetapi ia mampu memilin tubuhmu sekaligus. Kau tidak percaya?" "Tetapi, tetapi, ia akan menjadi isteriku dan.............." Suaranya terputus, lalu terdengar ia mengeluh "Jangan, sakit" "Jawab, apakah kau tidak ingin mengurungkan niatmu?" "Kenapa kau turut campur?" "Puranti adalah kakakku. Kakak angkat" Wiyatsih terdiam sejenak. lalu "aku memang tiba-tiba saja ingin mematahkan tangan ini" "Jangan, jangan" "Nah, jawab pertanyaanku. Apakah kau masih tetap pada keinginanmu?" "Ya, ya" tetapi tiba-tiba ia terpekik "o, tidak. Tidak" Wiyatsih menekan tangan laki-laki itu dan mengangkatnya sedikit, sehingga rasa-rasanya tangan itu memang akan patah "Benar" Dan kau berjanji tidak akan mengganggunya lagi." Laki-laki itu tidak segera menjawab, tetapi ketika tangan Wiyatsih menekan lebih keras lagi ia berdesis "Ya. ya." "Ya apa?" "Aku tidak akan mengganggunya lagi" "Benar?" "Benar. Aku tidak akan menganggunya lagi" Perlahan-lahan Wiyatsih mengendorkan tangannya dan kemudian dilepaskannya sama sekali. Namun ia masih
636 mendorong laki-laki itu sambil berkata "Nah, pergilah kepada isterimu. Ia menunggumu. Barangkali ia sekarang baru menangis karena kau tergila-gila kepada perempuan lain" Laki-laki itu hampir jatuh terjerembab. Untunglah ia sempat berpegangan pada tiang pintu. Sejenak ia berpalinjg dan dilihatnya wajah kedua gadis itu berganti-ganti. Keduanya sedang tersenyum dan tampak senyum Puranti tampak semakin manis. Meskipun demikian, kini ia harus berpikir. Apakah gadisgadis manis ini anak genderuwo, sehingga mempunyai kekuatan yang luar biasa. Mungkin ibunya adalah Nyai Sudati, janda kaya itu, tetapi ayahnya mungkin pula genderuwo sehingga anaknya menjadi begitu cantik tetapi berbahaya seperti seekor harimau betina. Sekilas terlintas dikepala laki-laki itu, bahwa ia dapat mengupah dua tiga orang laki-laki yang kuat untuk memaksakan kehendaknya dengan kekerasan. Tetapi apabila benar dibelakang mereka berdiri Pikatan, maka semuanya akan menjadi buyar. "Apalagi yang kau tunggu" Apakah kau masih ingin menatap senyum kakakku untuk yang terakhir kalinya?" bertanya Wiyatsih. "Ah, kau" desis Puranti. Tetapi Wiyatsih justru tertawa dan berkata "Apakah salahnya" Mungkin sebuah kenangan yang tidak terlupakan. Tetapi mungkin juga sebagai suatu peringatan bahwa sebaiknya untuk seterusnya ia tidak berbuat demikian lagi" Laki-laki yang masih berpegangan tiang pintu itu tidak mengucapkan kata-kata apapun lagi. Dengan wajah yang merah padam, iapun kemudian melangkah meninggalkan rumah itu.
637 "Suntrut" berkata janda tua itu "apakah kau tidak mempertimbangkan bahwa laki-laki itu menjadi sangat marah dan dapat membawa orang lain kerumah ini karena ia dapat mengupahnya?" "Ia tidak akan berbuat begitu biyung" jawab Puranti "ia sudah mendengar nama Pikatan. Dan ia tahu bahwa Nyai Sudatipun dapat mengupah orang untuk melindungi kami, seandainya ia masih meragukan kemampuan Pikatan. Janda tua itu merenung sejenak. Meskipun ia tidak begitu yakin, tetapi ia tidak membantah lagi. Bahkan iapun kemudian mempersilahkan kedua gadis itu untuk duduk. "Tetapi hanya inilah yang ada dirumah ini ngger" berkata janda itu kepada Wiyatsih. "Aku senang sekali dapat berkunjung kerumah ini bibi" jawab Wiyatsih "apalagi disini agaknya Puranti menjadi kerasan" "Ya, aku mengharap ia kerasan disini. Tetapi sudah tentu ia senang sekali mendapat kesempatan tinggal dirumah Nyai Sudati" "Tidak biyung" jawab Puranti "aku akan tinggal disini, meskipun aku sekarang harus berterus terang, bahwa aku dapat pergi setiap saat dan kembali tanpa mengenal waktu" Janda tua itu mengerutkan keningnya. "Apakah maksudmu?" ia bertanya. "Maksudku, mungkin aku pergi ditengah malam atau menjelang fajar. Tetapi mungkin dipagi atau siang hari. Aku tidak akan dapat lagi melayani biyung seperti semula karena pekerjaan yang harus aku lakukan kemudian" "Suntrut, apakah sebenarnya pekerjaanmu, dan siapakah sebenarnya kau?"
638 Puranti tersenyum. Jawabnya "Aku adalah seorang gadis seperti yang biyung kenal sampai sekarang. Biyung tidak usah merubah sikap dan tanggapan hanya karena aku diangkat menjadi saudara Wiyatsih. Aku masih tetap seperti dahulu biyung. Namun demikian aku minta biyung tidak mempercakapkan aku dengan siapapun juga. Tidak mengatakan apa yang aku lakukan dan apa yang aku katakan" Janda tua dari Cangkring itu menjadi bingung. "Tetapi percayalah biyung, aku tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan, bahkan sebaliknya. aku berusaha untuk menegakkannya sejauh dapat aku lakukan" Ibu angkat Puranti itu menjadi termangu mangu. "Sudahlah biyung, jangan memikirkan aku lagi. Anggaplah tidak terjadi perubahan apapun padaku. Akupun akan melepaskan pakaian ini dan mengenakan pakaianku yang kumal dan tua" Janda tua itu benar-benar tidak mengerti. Tetapi ia mengangguk saja sambil berkata "Terserahlah kepadamu Suntrut, eh, Puranti. Bukankah namamu Puranti?" "Ya, namaku Puranti, tetapi panggil aku dengan nama yang biyung berikan" "Baiklah, meskipun aku sadar. bahwa ada rahasia yang membayangimu. Bahwa kau tidak mempergunakan namamu yang sebenarnya saja, telah dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa kau sedang bersembunyi disini" Puranti mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpaling kepada Wiyatsih dan sejenak kemudian ia berkata "Tangkapan biyung ternyata cukup tajam. Memang ada sesuatu yang harus aku rahasiakan. Namun pada saatnya biyung akan mengerti"
639 Janda tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari bahwa saatnya masih akan datang kelak. Karena itu, ia tidak memaksa kepada Puranti untuk mengatakannya. Namun yang penting bagi Puranti adalah, bahwa ia tidak lagi harus bersembunyi-sembunyi apabila ia akan meninggalkan rumah itu. Ibu angkatnya sudah mengetahui bahwa setiap kali ia akan meninggalkan rumah itu, sehingga karenanya ia tidak. akan menjadi gelisah dan mencarinya. Meskipun mungkin ibu angkatnya itu gelisah juga, tetapi kegelisahan itu disebahkan karena kecemasannya, apakah Puranti tidak mengalami sesualu diperjalanannya. Demikianlah, maka hampir sehari penuh Wiyatsih berada di Cangkring. la sudah melupakan laki-laki yang menginginkan Puranti. Menurut dugaannya, laki-laki itu pasti tidak akan kembali lagi. Disore harinya, mereka berdua minta diri kepada janda tua di Cangkring itu untuk kembali ke Sambi Sari. "Aku akan mengantar Wiyatsih biyung" berkata Puranti "tetapi besok aku akan kembali. Mungkin aku akan hilir mudik. Kadang-kadang siang, kadang-kadang malam" "Apakah kau tidak menyadari keadaan sekarang ini Puranti. Dimana-mana terjadi kerusuhan karena musim kemarau yang panjang. Dirumah ini sebenarnya kau cukup aman, karena tidak akan ada seorang perampokpun yang akan memasuki rumah ini" Puranti tersenyum, jawabnya "Mudah-mudahan aku tidak bertemu dengan para perampok itu" Janda tua itu tidak menahannya lagi. Meskipun ia tidak tahu benar, tetapi terbersit didalam hatinya suatu kepercayaan bahwa Puranti akan dapat menjaga dirinya sendiri. Dimalam berikutnya Puranti juga bermalam dirumah Wiyatsih untuk meyakinkan, apakah Pikatan benar-benar telah
Menumpas Angkara Murka 1 Goosebumps - Pantai Hantu Pedang Pelangi 25
^