Yang Terasing 8
Yang Terasing Karya S H Mintarja Bagian 8
640 terbangun dari mimpinya, bukan sekedar terkejut dan kemudian mendekur kembali didalam rangkuman mimpi buruknya. Malam itu, bukan saja Puranti yang meskipun memejamkan matanya tetap tidak tertidur. Tetapi juga Wiyatsih. Meskipun kadang-kadang Wiyatsih menjadi tidak sabar dan dengan gelisahnya, berputar kekanan dan kemudian kekiri, namun pada saatnya ia mampu juga menahan diri. Ketika mereka mendengar langkah kaki yang terlalu lembut, keduanyapun berbaring diam dengan nafas yang teratur. Sejenak keduanya mendengar langkah itu berhenti didepan pintu bilik. Dengan ujung jarinya Wiyatsih menggamit Puranti. Tetapi Puranti sama sekali tidak menanggapinya. Dalam pada itu ada sesuatu yang terasa aneh didalam hati Puranti. Langkah Pikatan sangat menekan perasaannya. Apalagi ketika langkah itu mendekati pintu biliknya. Tetapi rasa-rasanya ada semacam keinginan, agar Pikatan membuka pintu bilik itu dan memandanginya untuk sesaat selagi ia masih juga berpura-pura tidur nyenyak. Tetapi Puranti menjadi kecewa, karena Pikatan melangkah terus. Tidak seperti malam yang lewat, malam itu Pikatan sama sekali tidak menengok bilik kedua gadis yang berpurapura tidur nyenyak itu. Sejenak kemudian mereka mendengar gerit pintu butulan terbuka. Perlahan-lahan sekali dan kemudian tertutup kembali. Sekali lagi Wiyatsih menggamit Puranti, tetapi gadis itu masih tetap berdiam diri. Puranti masih memperhatikan setiap bunyi diluar rumah. Ia masih curiga, bahwa Pikatan akan mencoba mengetahui keadaan mereka dari luar dinding. Ketika Puranti yang berpendengaran sangat tajam itu yakin bahwa Pikatan sudah pergi, barulah ia berbisik "Hati-hatilah Wiyatsih. Jika Pikatan tahu, kita masih belum tidur, maka
641 untuk selanjutnya, sulit bagiku untuk mengetahui apa yang telah dilakukannya. "Aku tidak tahan. Nafasku serasa menjadi sesak dan tubuhku basah oleh keringat" "Kau harus berlatih. Itupun merupakan suatu kemampuan tersendiri. Cobalah menguasai dirimu didalam keadaan serupa itu. Menunggu dengan sabar dan memgatur diri seperti keadaan yang kita kehendaki" Wiyatsih masih juga tersenyum. Perlalhan-lahan ia bangkit sambil menunjukkan baju dibagian punggungnya "Aku seperti baru saja mandi" Purantipun tersenyum pula. Namun kemudian katanya "Tidurlah" "Apakah kau akan keluar?" Puranti menggeleng "Tidak hari ini. Karena itu, besok aku akan kembali ke Cangkring. Disaat-saat begini aku sudah menunggu diluar dan mengikuti Pikatan, kemana ia pergi, mungkin ia tidak hanya sekedar berada dihalaman rumah ini" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Iapun kemudian berbaring kembali dan mencoba untuk tidur. Tetapi seperti Puranti, ia masih tetap terjaga sampai saatnya ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya, disaat-saat pelayan-pelayan sebentar lagi akan terbangun. "Apakah kakang Pikatan belum datang?" bertanya Wiyatsih. "Aku belum mendengar" desis Puranti. Namun sejenak kemudian mereka mendengar derit senggot timba dalam irama yang timpang. "Tentu kakang Pikatan sedang menimba air. Dengarlah irama senggot itu, justru karena tangan kanan kakang Pikatan tidak dapat dipergunakan"
642 Wajah Puranti menjadi semakin cerah. Perlahan-lahan ia berkata "Mudah-mudahan ia benar-benar bangkit. Ia sudah mau menimba air meskipun sekedar untuk dirinya sendiri. Tentu ia lelah setelah berlatih. Sebelum masuk, ia langsung pergi kepakiwan dan membersihkan dirinya. Orang-orang yang melihatnya tidak akan bercuriga, dikiranya ia baru bangun pula dari tidurnya. Nanum bahwa ia mengambil air itu pasti akan mendapat perhatian dari para pembantu rumah ini" Wiyatsihpun kemudian berdiri. Tetapi ketika ia melangkah ke pintu, Puranti berkata "Jangan kau jenguk dahulu. Biarlah Pikatan berbuat sesuatu. Kita jangan mengganggunya" "Kenapa?" "Kalau salah seorang dari kita menjengukuya, ia akan berhenti dan bersembunyi lagi didalam biliknya" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepulanya. Tetapi kemudian bertanya "Dan aku bagaimana?" "Berbaring sajalah dahulu" Wiyatsihpun kemudian melangkah kembali kepembaringannya dan berbaring disamping Puranti. Sejenak kemudian suara senggot itu telah lenyap disusul oleh suara sapu dihalaman. Namun mereka mengerti bahwa pasti bukan Pikatanlah yang sedang membersihkan halaman itu. "Aku sudah mendapat kepastian" berkata Puranti "Pikatan pasti akan menempa dirinya, dan menyesuaikan keadaannya dengan tangannya yang hanya sebelah. Tetapi jika ia berhasil, maka tidak akan ada bedanya dengan seseorang yang bertangan utuh, karena pada dasarnya, kita memang hanya mempergunakan sebilah pedang" Wiyatsih mengangguk-angguk kecil.
643 "Namun dengan demikian, Wiyatsih. Aku akan lebih banyak berada di Cangkring, agar dimalam hari aku dapat selalu mengikuti perkembangan Pikatan. Selain itu, mungkin sekali Pikatan diancam oleh bahaya, justru karena ia telah berhasil membinasakan beberapa orang penjahat. Karena aku yakin, ada kesetia-kawanan yang kuat diantara para penjahat, meskipun kadang-kadang mereka saling berbenturan sendiri. Wiyatsih masih belum menjawab. "Sementara itu" Puranti meneruskan "kau juga tidak boleh berhenti sampai disini Wiyatsih. Kau juga mendapat kesempatan. Kau dapat membawa kedua penjaga itu untuk berlatih. Dan diwaktu-waktu tertentu kau akan berlatih bersama aku" "Aku akan berusaha" sahut Wiyatsih "aku sudah terlanjur suka oleh kegemaran atas ilmu kanuragan" "Hanya sekedar kegemaran?" bertanya Puranti. "Tidak. Bukan sekedar kegemaran. Tetapi ada semacam kewajiban untuk melakukannya" "Bagus" sahut Puranti "kau sudah mendengar panggilan untuk memberikan perlindungan kepada sesama. Bukan sekedar untuk kebanggaan diri sendiri" Wiyatsih tidak menyahut dan Purantipun terdiam pula, seakan-akan mereka masih belum berbicara apapun. Sejenak kemudian mereka mendengar langkah Pikatan menuju. kebiliknya sendiri. Namun mereka sama sekali tidak berbuat sesuatu. Agaknya Pikatanpun berjalan terus tanpa berhenti didepan pintu-bilik mereka. Baru ketika langkah Pikatan sudah tidak terdengar lagi, maka keduanyapun segera bangkit dengan perlahan-lahan agar tidak mengejutkan Nyai Sudati yang agaknya masih tertidur.
644 Namun Puranti masih juga kecewa karena Pikatan masih saja bersembunyi didalam biliknya disiang hari. Bahkan ia sama sekali tidak menampakkan dirinya. Agaknya oleh kelelahan dan kurang tidur dimalam hari, ia lebih senang tidur didalam biliknya daripada harus setiap kali menahan hati apabila ia berhadapan dengas Puranti dan Wiyatsih. Kedua gadis itu seakan-akan merupakan ejekan yang tidak habishabisnya disetiap saat. Tetapi dalam pada itu, Pikatan sendiri tidak mengerti, kenapa didasar hatinya setiap kali tersembul juga bayangan wajah gadis dari padepokan Pucang Tunggal itu. Seperti yang dikatakan, maka hari itu Puranti minta diri untuk kembali ke Cangkring. Dengan berbagai alasan, ia minta diri kepada Nyai Sudati yang sebenarnya ingin menahannya. Gadis itu agaknya telah menarik hatinya. lapun seorang gadis yang rajin yang tidak kalah cekatan dari Wiyatsih. Tetapi Puranti terpaksa tidak dapat memenuhinya meskipun ia juga tidak dapat mengatakan alasan yang sebenarnya. Hanya Wiyatsih sajalah yang mengetahuinya, bahwa malam nanti Puranti ingin melihat bagaimana Pikatan berlatih. Demikianlah maka Nyai Sudati yang tidak berhasil menahan Puranti terpaksa melepaskannya pergi ke Cangkring. Namun ia masih juga berpesan agar Puranti sering berkunjung kepadanya. "Aku akan selalu datang" "Terima kasih" jawab Nyai Sudati "hati hatilah dijalan" Untuk beberapa lama Nyai Sudati masih saja berdiri diregol memandangi langkah gadis yang tanpa sesadarnya telah menawan hatinya. Bahkan setiap kali ia masih saja berkata kepada diri sendiri "Seandainya Pikatan merupakan seorang anak muda yang wajar. Yang tidak dicengkam oleh kekecewaan yang sangat dalam"
645 "Gadis aneh" tiba-tiba ia berdesis. Wiyatsih yang berdiri disampingnya berpandangan sejenak. Kemudian digamitnya ibunya sambil bertanya "Apa yang aneh ibu?" Ibunya mengerutkan keningnya. Katanya "Gadis yang bernama Puranti itu" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun lagi. Apalagi ketika dari kejauhan ia melihat langkah Tanjung menuju keregol halaman rumahnya. Sejenak anak muda itu berhenti ketika ia berpapasan dengan Puranti, namun kemudian Tanjung meneruskan langkahnya pergi kerumah Wiyatsih. Tanpa berkata apapun, Wiyatsih meningggalkan ibunya yang masih tetap berdiri diregol menunggu kedatangan Tanjung. Baginya Wiyatsih Tanjung adalah seorang anak muda yang sama sekali tidak berarti lagi. Jalan pikiran mereka justru berlawanan, sehingga apabila mereka harus berjalan bersama, maka mereka pasti akan selalu bertengkar disepanjang jalan. Demikianlah, maka dimalam hari yang mendatang, Puranti telah berada di Cangkring. Tetapi kini ia tidak lagi dengan cemas dan hati-hati meninggalkan rumah itu. Bahkan sejak matahari terbenam, ia sudah memberitahukan kepada ibu angkatnya, bahwa nanti menjelang tengah malam ia akan pergi sampai menjelang pagi. "Apa saja kerja anak ini?" timbul juga pertanyaan dihati janda tua dari Cangkring. Bahkan kadang-kadang timbul juga dugaan-dugaan yang kurang mapan, karena justru Puranti adalah seorang perempuan. Adalah tidak pantas sekali apabila seorang perempuan keluar dimalam hari seorang diri" Tetapi menilik sorot matanya yang sama sekali tidak membayangkan prasangka apapun, janda tua dari Cangkring
646 itu akhirnya mencoba mengusir bayangan-bayangan yang kurang sedap dari angan-angannya. "Anak ini mungkin anak ajaib. Tetapi pasti bukan seorang perempuan yang tidak layak" Demikianlah dimalam hari yang gelap, selagi hampir semua penghuni padukuhan Cangkring tertidur lelap, Puranti pergi meninggalkan rumah ibu angkatnya menuju ke Sambi Sari. Dengan hati-hati ia mendekati rumah Wiyatsih seperti yang sering dilakukannya. Tetapi kali ini ia harus mengintai Pikatan yang memiliki indera yang jauh lebih tajam dari orang-orang lain dirumah itu, sehingga karena itu, ia harus sangat berhatihati. Mula-mula Puranti agak ragu-ragu, apakah Pikatan masih belum keluar dari rumahnya. Karena itu, dengan sangat hatihati ia berusaha mendekati dinding bilik Pikatan. Namun ternyata, ia masih mendengar sesuatu didalam bilik itu. Bahkan kemudian tarikan nafasnya. "Aku belum terlambat" berkata Puranti didalam hatinya. Sambil menjauhi bilik itu. Karena itu, maka dengan sabarnya Puranti justru menunggu. Dan ternyata yang mengikatnya bukan sekedar keinginannya untuk mengetahui apa yang akan dilakukan oleh Pikatan. Tetapi Pikatan sendiri ternyata semakin lama justru seakan-akan semakin dalam tertatah didinding jantungnya. Dengan segala sifatnya, kekasarannya, keputus-asaanya dan cacatnya, Pikatan bagi Puranti justru menjadi seorang laki-laki yang tidak ada duanya di muka bumi. Ternyata bahwa Puranti tidak perlu menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian ia mendengar derit pintu yang lembut sekali. Dari kejauhan ia melihat seleret cahaya lampu yang samar-samar melontar lewat celah-celah pinitu yang terbuka. Tetapi hanya sekejap, karena pintu itu segera tertutup kembali.
647 Namun ketajaman pandangan mata Puranti segera dapat menangkap bayangan Pikatan yang bergerak-gerak dilongkangan. "Aku tidak boleh kehilangan jejak" berkata Puranti, karena dugaannya kuat, bahwa Pikatan tidak akan berlatih dikebun belakang seperti Wiyatsih. Tempat itu terlampau sempit dan dalam keadaan tertentu tidak memberikan bahan-bahan yang lebih baik baginya. Ternyata dugaan Puranti itu benar. Dengan sangat hati-hati ia mengikuti bayangan Pikatan yang langsung pergi ke dinding kebun belakang. Sejenak Pikatan berdiri termangu-mangu, namun kemudian iapun segera melompatinya. Puranti tidak mau ketinggalan. Meskipun ia tidak melepaskan kewaspadaannya, namun ia berhasil mendekati Pikatan dan mengikutinya kemana ia pergi" Dengan dada yang berdebar-debar ia berjalan beberapa langkah saja dibelakang Pikatan. Namun karena malam yang gelap dan dedaunan yang rimbun disebelah menyebelah jalan. Puranti selalu mendapatkan perlindungan setiap saat Pikatan tanpa sesadarnya berpaling. "Ke jurang disebelah bulak kering itu" berkata Puranti didalam hatinya. Ternyata dugaannya tidak salah pula. Pikatan benar-beriar pergi kejurang yang tidak terlampau dalam. Namun dibawah tebing yang curam itu terdapat semacam sebuah lapangan yang tidak begitu luas ditikungan sungai yang beralaskan pasir dan batu-batu. Diatas lapangan pasir dan kerikil itulah Pikatan mulai berlatih, Mula-mula ia berusaha untuk menemukan sikap yang paling baik sesuai dengan cacatnya. Beberapa kali ia mencoba, namun setiap kali tangan kanannya masih terasa mengganggunya.
648 Memang terlintas diangan-angannya, bahwa tangan yang sudah tidak berarti apa-apa itu lebih baik dipotong saja. Namun kadang-kadang masih terngiang kata-kata gurunya bahwa tangan ini masih utuh. Masih ada tanda-tanda gerak pada urat nadinya. "Apakah mungkin bahwa pada suatu saat tangan ini dapat pulih kembali. setidak-tidaknya dapat bergerak?" Tetapi tiba-tiba saja Pikatan menggeram "Persetan dengan tangan kananku" Latihannya kemudian dipusatkan kepada tangan kirinya. Sambil berloncatan dengan lincahnya, Pikatan mencoba menggerakkan tangan kirinya dengan segala macam cara dan bentuk. Kadang-kadang mirip sebuah pukulan dengan tangan yang menggenggam. Namun kemudian tangan itu direntangkan dan ia mulai memukul dengan sisi telapak tangannya. Akhirnya jari-jarinya dikembangkannya dan seperti menerkam ia melatih kekuatan jari-jarinya dipasir pantai. Puranti yang memandangnya sambil bersembunyi dibalik sebuah gerumbul menjadi berdebar-debar. Ternyata bahwa kemampuan Pikatan seakan-akan masih utuh. Tangan kirinyapun mampu bergerak secepat tangan kanannya ketika tangan itu masih belum cacat. Namun demikian kekuatan tangan kirinya masih perlu mendapat perhatian lebih seksama. Kadang-kadang diluar sadarnya hampir saja Puranti meloncat mendekati untuk memberikan beberapa petunjuk. Namun ia masih sempat menahan diri dan tetap bersembunyi dibalik gerumbul yang rimbun. Dengan penuh kemauan, Pikatan berlatih bukan saja tangan kirinya, tetapi juga kaki-kakinya. Ia berloncatan kian kemari dan melonjak-lonjak setinggi dapat dicapainya. Kemudian mengayunkan kakinya sebagai latihan sebuah serangan.
649 Demikian Pikatakan telah menempa dirinya sendiri tanpa mengenal lelah. Baru ketika tubuhnya telah basah oleh keringat seperti baru saja mandi, Pikatan menghentikan latihannya. Sejenak ia duduk diatas batu sambil mengatur pernafasannya yang tersengal-sengal. "Ternyata Pikatan perlu mengadakan latihan pernafasan" berkata Puranti didalam hatinya "dahulu kakang Pikatan sudah mampu mengatur jalan pernafasannya, sehingga tidak mungkin baginya saat itu untuk bernafas sedemikian tersengal-sengal. Tetapi sekali lagi Puranti harus menahan dirinya. Karena itu, bagaimanapun juga keinginan mendesak didadanya, dibiarkannya saja Pikatan mencoba mengatur pernafasannya sendiri. Tetapi bahwa latihan itu sendiri ternyata sangat membesarkan hati Puranti. Jika Pikatan bersungguh-sungguh, maka ia akan segera menemukan tingkatnya kembali. Pikatan yang bertangan kiri saja itu tidak akan kalah dari Pikatan yang dahulu. Dan agaknya Pikatan sendiripun menyadarinya. Karena itu, maka iapun telah bertekad untuk berlatih tanpa jemujemunya. Demikian Pikatan kembali ke rumahnya, maka Purantipun segera kembali pula ke Cangkring. Kembali kerumah janda tua yang miskin itu. Dirumah Puranti masih tetap memakai pakaiannya yang kumal dan lungset. Seperti biasanya, ia masih tetap bermainmain dengan kawan-kawannya. Kawan-kawannya memang tidak melihat Puranti dengan pakaian yang bagus datang bersama seorang gadis dari Sambi Sari.
650 Bahkan masih juga ada kawan Puranti yang selalu menggodanya "He, Suntrut, aku dengar kau akan kawin dengan laki-laki yang kaya raya itu?" "Ah, siapakah yang mengatakannya?" "Hampir setiap orang di Cangkring pernah mendengarnya. Apakah kau akan ingkar?" Puranti menjadi termangu-mangu. "Kau memang gadis yang beruntung. Laki-laki itu kaya sekali. Rumah biyungmu pasti akan segera diperbaiki. Regolmu yang miring itu akan tegak dan kau akan menjadi semakin cantik, karena laki-laki itu akan membeli buatmu kain lurik hijau dan baju berwarna lemah teles. O, aku akan menjadi iri. Kulitmu yang kuning akan tampak semakin kuning, dan tumitmu akan menjadi seperti buah ranti diantara hijau daunnya" "Ah, ada-ada saja kau" potong Puranti. "Tentu. Jika kau minta maka isteri-isterinya yang lain pasti akan segera diceraikannya" Tetapi Puranti menggeleng "Tidak. Aku tidak akan menjadi isterinya. Kemarin ia datang kerumah biyung selagi aku banguan tidur. Agaknya ia menjadi kecewa melihat wajahku yang kusut. Rambutku yang terurai dan barangkali ada ingus dihidungku" "Ah" kawan-kawannya tertawa "aku tidak percaya" Purantipun tertawa. Katanya "Sudahlah kalau kau tidak percaya. Lihat, ia tidak akan datang lagi kerumahku. Pada suatu saat ia akan datang kerumah salah seorang dari kalian dan mengambilnya sebagai seorang isteri" "Bohong"
651 "Atau bahkan datang kerumah beberapa orang diantara kalian berturut- turut. Dan barangkali dua atau tiga orang diantara. kalian akan diambilnya sekaligus" "Ah, bohong, bohong" gadis-gadis itupun tertawa berkepanjangan. Dan Purantipun ikut tertawa pula diantara mereka. Namun ternyata bahwa laki-laki itu memang tidak datang lagi kerumah Puranti meskipun, agaknya ia masih tetap tergila-gila, Bahkan kadang-kadang laki-laki itu berdiri menunggu Puranti lewat membawa bakul cucian apabila ia pergi kesungai, sambil bersembunyi dibalik sebatang pohan dipinggir jalan ia mengintip gadis itu lewat bersama beberapa orang temannya. "Gadis anak genderuwo itu sudah tidak pernah kelihatan mengawani Suntrut" kadang-kadang timbul juga persoalan itu di-hati iaki-laki itu. Tetapi ia tidak berani berbuat lebih lanjut, karena Wayatsih menyebut-nyebut nama Pikatan dan ia adalah anak janda yang kaya raya dari Kademangan Sambi Sari Bahkan kemudian laki-laki- itu berusaha untuk melupakan Puranti. Dan seperti yang dikatakan olah gadis itu, ternyata ia telah mengambil seorang gadis lain sebagai isterinya. Seperti biasanya ia mendahului perkawinannya dengan memperbaiki rumah orang tua gadis itu. Membelikan perlengkapan rumah tangga, dan pakaian serta kebutuhan-kebutuhan yang lain. Baru kemudian perkawinan dilangsungkan. Tetapi ternyata gadis yang dikawininya itu tidak ditempatkannya dirumahnya yang paling baru, tetapi dibiarkannya tinggal dirumah orang tuanya yang sudah diperbaikinya. Beberapa hari setelah perkawinan itu, Puranti masih juga sempat megganggunya bersama beberapa orang kawankawannya.
652 Dalam pada itu, Puranti sama sekali hampir tidak pernah tidak hadir pada saat-saat Pikatan berlatih. Dengan bangga ia mengikuti perkembangan anak muda itu. Bahkan karena dorongan yang kuat dari dalam dirinya, maka seakan-akan Pikatan mempunyai kekuatan yang berlipat. Dalam waktu beberapa hari saja, ia sudah menemukan kemampuannya kembali. Kemampuan melontarkan tenaga dan bahkan tenaga cadangan, yang disaat pertama kali ia mencoba mengulang tampak betapa ia harus mengatasi kesulitan didalam dirinya. Tetapi akhirnya ia berhasil juga melepaskan tenaga cadangannya. Yang agaknya masih dapat dikuasainya dengan baik adalah kecepatannya bergerak. Bahkan seakan-akan latihan yang dilakukannya dengan kesungguhan hati itu telah membuatnya cepat sekali maju. Kakinya mampu bergerak terlampau cepat dan tangannya yang hanya dapat digerakkaimya sebelah itu justru telah mengimbangi kecepatan gerak tangan kanannya dahulu. "Ternyata cacat yang ada padanya, telah membuatnya semakin bernafsu" berkata Puranti didalam hatinya "justru pengaruh kekecewaan dihatinya, bahkan perasaan putus-asa. Kini ia dengan segala daya berusaha untuk mengatasi perasaan-perasaan itu. la berusaha mengimbangi keadaannya dengan kelebihan yang lain. Perasaan rendah diri karena cacatnya telah menumbuhkan tekad didalam hatinya untuk menampakkan kelebihan itu. Bahkan tentu agak berlebihlebihan juga" Namun Puranti hanya dapat melihat saja dari kejauhan. Kemajuan yang dicapai oleh Pikatan telah membuatnya berbesar hati pula. Apalagi ketika pada suatu saat, Pikatan benar-benar telah berada didalam keadaannya seperti ketika la belum mengalam cidera. Kemampuan tangan kanannya didalam olah senjata, telah dapat dilakukannya dengan tangan
653 kiri. Bahkan semakin lama tampak beberapa kelebihan, karena kesungguhannya berlatih. Tetapi dalam pada itu. Puranti tidak juga melupakan Wiyatsih. Bahkan didalam waktu-waktu tertentu. Wiyatsih itu dibawanya ketempat yang sepi. Yang tidak akan dilihat oleh orang lain, dan dengan demikian tidak akan terganggu karenanya. "Apakah tidak akan menimbulkan sesuatu yang kurang baik jika kita berlatih dialas Sambirata?" bertanya Wiyatsih pada suatu saat, ketika Puranti mengajaknya masuk kedalam daerah hutan kecil itu. "Kita tidak akan berbuat apa-apa" jawab Puranti "kita akan berbuat sesuatu untuk diri kita sendiri" "Tetapi hutan itu termasuk daerah yang wingit" "Mungkin, tetapi kita tidak akan berbuat jahat terhadap siapapun. Bahkan kita berlatih untuk menyerahkan suatu pengabadian bagi kebajikan. Mungkin ada cara yang lebih baik dari cara yang kita tempuh, tetapi setidak-tidaknya kita bukan berniat jahat kepada siapapun. Jika tidak ada kejahatan, maka kita memang tidak akan berbuat apa-apa" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun mula-mula ia merasa kurang mapan ketika ia pertama kali berlatih dialas Sambirata yang dianggap wingit oleh orangorang disekitarnya, namun kemudian agaknya menjadi biasa pula. Seperti kata Puranti, karena mereka tidak berniat jahat, maka tidak pernah terjadi sesuatu atas mereka, selama mereka berlatih di Alas Sambirata itu. Meskipun yang satu dengan yang lain tidak saling berjanji, namun rasa-rasanya mereka sedang berpacu. Wiyatsihpun telah berlatih dengan sepenuh kemampuan yang ada padanya Bekal-bekal yang diberikan langsung oleh ayah Puranti ternyata memberikan banyak manfaat baginya. Apalagi gadis inipun memiliki kecerdasan yang tidak kalah dari kakaknya,
654 Pikatan. Hanya tenaga kodrati sebagai seorang gadis, Wiyatsih tidak dapat menyamai kakaknya, meskipun Wiyatsih sudah mulai berlatih membangkitkan tenaga cadangannya pula, apalagi karena Pikatanpun melakukan hal yang sama. Namun tingkat kemampuan mereka mengungkap tenaga cadangan itulah yang berbeda-beda sehingga karena Itulah maka meskipun tenaga kodrati Wiyatsih tidak menyamai Pikatan, namun gadis itu mampu mengungkap tenaga cadangan yang ada didalam dirinya seperti Pikatan. Sejalan dengan latihan-latihan yang dilakukan oleh Wiyatsih, dengan atau tidak dengan Puranti, ia tidak pernah melupakan tanamannya yang kini sudah bukan lagi tanaman jagung muda, karena jagung itu benar-benar telah berbuah. Seperti yang dikehendaki, ternyata tanaman yang hanya sekotak itu memberikan banyak arti bagi usaha Wiyatsih untuk membangun sebuah bendungan. "Usaha itu pantas dihargai" berkata anak-anak muda yang berkumpul disimpang empat, dipinggir desanya. Diantara mereka terdapat Kesambi. "Bukan sekedar dihargai" berkata Kesambi tetapi kita sudah melihat hasilhya. Mungkin jagung itu tidak akan menghasilkan biji-biji yang sempurna. Tetapi itu bukan karena kesalahan penyediaan air. Karena tanaman jagung itu hanya sekotak kecil, maka serbuk bunganya banyak dihamburkan angin, sedang tidak ada serbuk bunga yang dihanyutkan angin dari kotak-kotak sawah yang lain. Dengan demikian maka pembuahan yang terjadi agaknya kurang sempurna. Tetapi jika seisi bulak itu ditanami jagung, maka buahnya pasti akan lebih baik. Biji-bijinya akan lebih banyak dan memuaskan" "Ya, itu kami dapat mengerti" sahut kawannya. "Jika demikian, kenapa kita tidak berpikir agak jauh" "Membuat bendungan itu maksudmu?"
655 "Ya" sahut Kesambi. "Bukan kita tidak berpikir, tetapi bagaimana kita harus melaksanakan" "Itulah tantangannya. Dan kita harus dapat menjawabnya dengan tindakan" "Apa yang dapat kita lakukan?" "Pikatan pernah berceritera tentang bendungan itu dahulu. Sebenarnya tidak terlalu sulit, jika kita benar-benar mau bekerja" "Semua bahan yang diperlukan telah tersedia" "Apa?" "Bambu untuk membuat bruajung-brunjung. Patok-patok kayu, dan batu yang harus dimasukkan kedalam brunjungbrunjung. Semuanya sudah ada dipadukuhan ini. Kayu-kayu yang agak besar, kita dapat mengambilnya kedalam hutan" "Bagaimana kita akan mengangkut kayu-kayu itu" Pedatipedati se Kademangan kita kerahkan?" "Jika perlu apa salahnya, karena bendungan ini adalah bendungan kita bersama" "Apa kita dapat melakukannya" Orang-orang itu akan mentertawakan kita" "Jangan kita. Ki Demanglah yang harus memberitahukan kepada setiap orang yang memiliki pedati yang jumlahnya tidak banyak di Kademangan ini. Tetapi jika kita menemui kesulitan, kayu-kayu itu kita hanyutkan saja dikali Kuning. Kita tinggal menanti saja ditempat yang akan kita dirikan sebuah bendungan itu. Mungkin di tikungan-tikungan sungai kita harus menarik kayu itu sedikit-sedikit. Tetapi pekerjaan itu tidak terlalu sulit" "Tetapi sebentar lagi musim hujan akan datang"
656 "Lewat musim hujan. Selama musim hujan kita akan membuat brunjung-brunjung bambu. Begitu musim hujan selesai, kita turunkan brunjung-brunjung itu kesungai setelah kita isi dengan batu-batu yang kita dapatkan disungai itu pula" "Tampaknya sederhana sekali" gumam salah seorang dari mereka. "Memang tidak sesederhana itu. Tetapi jika kita benarbenar bertekad untuk melakukan, kita akan dapat melakukannya. Wiyatsih mengajak satu dua orang dari antara kita menghadap Ki Demang Sambi Sari" "Apakah Ki Demang tidak akan mentertawakan kita?" "Apakah ia tidak dapat melihat hasil percobaan Wiyatsih itu" Hasil yang sebenarnya tidak dapat kita harapkan lahir dari seorang gadis. Dan kita anak-anak muda ini tidak dapat berbuat apa-apa" "Ia adalah adik Pikatan" sahut seorang anak muda "rencana itu mula-mula timbul dari Pikatan" "Meskipun demikian, jika tidak ada sesuatu kelebihan pada Wiyatsih, ia tidak akan dengan kemauan yang bulat melakukan percobaan yang ternyata berhasil itu" Kawan-kawannya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. "Nah, siapakah yang bersedia pergi kerumah Ki Demang bersama Wiyatsih" Tidak seorangpun yang menyahut "Aku sendiri bersedia" berkata Kesambi, tetapi aku memerlukan kawan. Kita akan benar-benat membangun bendungan. "Ki Demang akan marah" "Kenapa?"
657 "Atau mentertawakan. Kita anak anak muda seharusnya tidak mendahului orang tua-tua" "Ah. Pikiranmu sudah terbalik. Justru kita yang muda-muda inilah yang harus mendahului orang tua-tua, jika orang tuatua tidak menemukan jalan baru untuk memperbaiki tata kehidupan ini" "Tetapi mereka akan menganggap kita telah berbuat deksura terhadap mereka" "Tentu tidak. Dan itu tergantung dari apa yang akan kita lakukan. Jika kita hanya mampu berkeliaran di jalan-jalan. Berteriak-teriak tanpa arti dan bahkan kadang-kadang mengganggu orang lain, nah, barulah wajar Ki Demang marah kepada kita. Tetapi yang akan kita lakukan adalah usaha untuk meningkatkan hidup rakyat Kademangan ini" Kawan-kawannya tidak menyahut. Tetapi mereka mengangguk-anggukkan kepalanya. "Nah, siapakah diantara kita yang hanya dapat berkeliaran dari prapatan yang satu keprapatan yang lain, bahkan melempari buah-buahan milik tetangga, tetapi tanpa berbuat sesuatu jika terdengar suara kentongan dimalam hari, sebaiknya memang tidak ikut bersama dengan kita. Kecuali dengan tekad untuk menghentikan perbuatan-perbuatan itu. Dan kita akan menerima dengan senang hati" Masih belum ada seorangpun yang menyahut dan anakanak itu masih saja mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah. Jika datang saatnya, aku akan mengajak satu atau dua orang dari kalian. Kita harus meyakinkan Ki Demang, bahwa membuat bendungan sangat besar manfaatnya, selagi jagung yang ditanam Wiyatsih itu masih kelihatan hijau" Demikianlah niat untuk membangun bendungan itu menjalar semakin luas, setelah mereka melihat kenyataan
658 yang diperagakan oleh Wiyatsih, maka anak-anak muda di Sambi Sari rasa-rasanya terbangun karenanya. Namun dalam pada itu, dengan wajah yang berkerut-merut Nyai Sudati duduk dipringgitan rumahnya bersama dengan Tanjung. Dengan nada yang gelisah Nyai Sudati berkata "Apakah niat itu benar-benar akan dilaksanakan?" "Menurut pendengaranku. Anak-anak muda kini sangat terpengaruh oleh Kesambi yang dengan gigihnya menyebar luaskan hasrat Wiyatsih membangun bendungan itu" Wajah Nyai Sudati menjadi suram. Katanya "Justru anakanakku sendirilah yang telah membuat aku bersedih. Mereka sama sekali tidak mau mendengar, bahwa mereka menjadi besar dan memiliki kecakapannya seperti sekarang ini karena kerja yang telah aku lakukan bertahun-tahun. Sadar atau tidak sadar, mereka akan menutup segala kemungkinan bagi perkembangan usahaku. jika rakyat Sambi Sari mendapat nafkah yang cukup, maka mereka tidak akan lagi dapat disadap seperti sekarang dan aku akan sulit untuk mendapatkan tenaga dengan upah yang murah" "Apakah Wiyatsih benar-benar tidak dapat dikendalikan?" bertanya Tanjung "Dan apakah ia benar-benar tidak menghiraukan usaha orang tuanya sendiri?" "Aku tidak mengerti. Tetapi rasa-rasanya aku sama sekali sudah tidak dapat mengendalikannya" Tanjung menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun tidak akan dapat berbuat apa-apa. Bahkan semua harapannya atas gadis itu sudah hampir musnah sama sekali. Satu-satunya yang masih diharapkan adalah kerja yang dipercayakan Nyai Sudati kepadanya dan kemudian apabila Wiyatsih berubah pikiran. "Tanjung" berkata Nyai Sudati kemudian "apakah kau tidak dapat berbuat sesuatu untuk melawan niat anak-anak muda itu". Jika perlu dengan melepaskan beberapa, keping uang
659 asal anak-anak itu mengurungkan niatnya membangun bendungan yang membuat daerah ini menjadi subur. Mungkin kau dapat mengupah orang tua-tua yang dengan kepercayaannya dapat menakut-nakuti anak-anak muda itu. Jika orang tua-tua itu berhasil mengungkap kembali ceritera lampor yang membawa beberapa orang gadis beberapa tahun yang lalu, maka aku kira ada juga pengaruhnya" "Lampor yang mana?" bertanya Tanjung "Bukankah disekitar sepuluh lahun yang lalu atau kurang sedikit, padukuhan ini telah dilanda olah lampor yang menggetarkan hati. Hampir setiap hari Kali Kuning banjir disertai suara gemuruh seperti sepasukan berkuda lewat, Ternyata pasukan itulah yang disebut lampor. Mereka telah menculik beberapa orang gadis dan dibawanya serta. Ada yang dibawa bersama tubuhnya, tetapi ada yang kemudian delemparkannya kembali, sehingga hanya halusnya sajalah yang telah mereka bawa" Tanjung mengangguk-anggukkan kepalanya. Jika hal itu terjadi sepuluh tahun yang lalu, ia pasti sudah dapat mengingat-ingatnya. Anak muda itu masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia ingat jelas. Empat orang gadis yang menyeberangi sungai itu telah hanyut selagi sungai itu banjir menjelang senja. Gadis-gadis itu baru pulang dari sawah diseberang sungai. Mereka tidak menyangka bahwa banjir yang datang itu sedang meningkat. Mereka menyangka bahwa arus air itu tidak terlalu besar, sehingga mereka memberanikan diri untuk bersama-sama menyeberang. Tetapi malang bagi mereka, ketika mereka berada ditengah-tengah sungai, maka airpun menjadi semakin besar, sehingga mereka tidak pernah mendapat kesempatan untuk mencapai tepi. Mereka bersama-sama hanyut dilanda banjir Hanya dua dari mayat mereka yang dapat diketemukan.
660 Sampai ketahun-tahun berikuthya, yang dua lagi tidak dapat diketemukan. "Itulah agaknya ceritera tentang lampor itu" berkata Tanjung didalam hatinya. "Apakah kau masih ingat?" bertanya Nyai Sudati. Tanjung mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Ya. Aku masih ingat. Empat orang gadis yang hanyut" "Dihari pertama" "O" "Masih ada lagi. Berturut-turut tiga orang gadis meninggal beberapa pekan kemudian. Dan suara lampor itu masih selalu terdengar disetiap senja" Tanjung mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang ada kematian yang menyusul. Tetapi itu kematian yang wajar. Dua orang gadis yang terserang penyakit panas dan dingin berturut-turut meninggal. Dan seorang gadis yang lain membunuh diri dengan seutas tali dipohon kantil dibelakang rumahnya. Tetapi itupun ada sebabnya, karena gadis itu mengandung sebelum ia kawin. Namun demikian Tanjung mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Mungkin ceritera tentang lampor itu dapat mempengaruhi anak-anak muda itu" "Ya. ceritera itu harus dikembangkan lagi sebelum pembuatan bendungan itu dimulai" Tanjung masih mengangguk-angguk. "Kau dapat mempergunakan orang tua-tua. Kau dapat melepaskan beberapa keping uang untuk membeli kegemaran orang tua-tua itu. Jadah tempe dan jenang alot. Ajak mereka bercakap-cakap dirumahmu, asal kau tidak semata-mata memanggil mereka untuk keperluan itu"
661 "Aku akan berusaha. Dan mudah-mudahan Ki Demangpun tidak. menyetujui rencana itu" "Kenapa dengan Ki Demang" "Anak-anak itu akan menghadap Ki Demang di Sambi Sari. Tanpa ijin Ki Demang, bendungan itu tidak akan dapat dibuat" Nyai Sudati mengangguk-angguk. Katanya "Mudahmudahan Ki Demang tidak setuju. Dan mudah-mudahan aku masih sempat berbicara lagi dengan Wiyatsih" "Baiklah. Kita akan menempuh beberapa jalan. Pada dasarnya kita akan tetap mempertahankah sendi-sendi kehidupan serupa ini. Agaknya kita tidak berdiri sendiri. Beberapa orang yang mempunyai kepentingan seperti kitapun akan membantu usaha ini sejauh-jauh dapat mereka lakukan. Nyai Sudati masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan Tanjung, bahwa ada beberapa orang yang dapat diajaknya bersama-sama melaksanakan rencana mereka membendung usaha Wiyatsih dan anak-anak muda Sambi Sari untuk membangun bendungan. Dan agaknya Tanjungpun memenuhi janjinya. Dengan diam-diam ia berusaha membangkitkan kembali ceritera tentang lampor yang mengerikan itu. Bahkan ia telah menambah ceritera itu, bahwa pada saat itu, timbul juga pikiran untuk membangun bendungan di Kali Kuning. Dalam beberapa pekan kemudian maka ceritera tentang lampor itu mulai menjalar kembali diantara rakyat Sambi Sari. Mereka yang telah melupakannya, menjadi teringat kembali. Beberapa orang gadis telah hilang dan mati. Bahkan ada diantaranya yang mati dengan jalan yang paling mengerikan, membunuh diri. "Jangan ikut-ikutan dengan anak-anak gila itu" pesan seorang ayah kepada anaknya "ingat, dahulu beberapa orang gadis pernah menjadi korban. Jika sekarang usaha membuat
662 bendungan itu diteruskan, maka kelak bukan saja gadis-gadis, tetapi mereka yang akan membuat bendungan itulah yang akan menjadi sasaran yang pertama" Pesan semacam itu ternyata telah menjalar pula dari rumah kerumah. Hampir setiap orang tua telah memberikan pesan serupa kepada anak-anaknya. "Gila" Kesambi menggeram "ternyata ceritera tentang lampor itu telah menghambat usaha kita" Seorang anak muda yang lain menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Apakah kau tidak percaya kepada lampor itu Kesambi?" Kesambi menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Kita mempunyai kewajiban untuk membina hidup masyarakat kita. Mungkin ada masyarakat lain diluar masyarakat manusia dan itu sebenarnya tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan kita, apabila kita berjalan dijalan kita masing-masing" "Kau tidak berani mengatakan dangan tegas, bahwa kau tidak percaya" desak kawannya. Kesambi memandang kawannya itu dengan ragu-ragu. Ia tidak tahu maksud pertanyaan itu. Namun kemudian ia menjawab "Terus terang, aku tidak berani menjawab dengan tegas, bahwa memang tidak ada masyarakat lain diluar masyarakat kita. Maksudku, masyarakat manusia. Tetapi manusia adalah mahluk yang paling dikasihi oleh ALLAH swt. Itulah sebabnya, maka jika kita bersandar kepada Maha Pencipta, maka kita akan berada diatas segalanya. Dan demikianlah hendaknya yang akan kita lakukan" Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berkata apapun lagi. Karena kawannya tidak menjawab, maka Kesambipun berkata "Kita harus dapat meyakinkan kawan kawan kita, bahwa kita tidak akan diganggu oleh siapapun asal kita bersandar pada kekuatan tertinggi diatas segala kekuatan, yaitu ALLAH swt.
663 "Ya" kawannya berdesis tetapi pekerjaan itu bukannya pekerjaan yang mudah" "Memang. Tetapi tujuan kita adalah tujuan yang baik. Kita harus berjalan terus. Jika bukan kita, siapakah yang akan menemukan jalan baru bagi peningkatan kehidupan di padukuhan ini" Sampai sekarang, kita anak-anak muda, terlalu banyak membuang waktu dengan tindakan-tindakan yang tidak menentu. Kerja keras seperti yang sudah berpuluh tahun dilakukan oleh nenek dan kakek kita atau sama sekali tidak bekerja, tetapi berbicara saja, mengeluh dan mengumpat, seakan-akan nasib yang jelek ini tergantung sama sekali kepada kesalahan nenek moyang kita atau kepada musim atau bahkan seakan-akan ALLAH swt sudah mentakdirkan kita jadi begini. Yang penting bagi kita sekarang adalah berbuat sesuatu. Jika kita tidak berbuat sesuatu maka keturunan yang mendatangpun akan menyalahkan kita, karena kita hanya pandai mengeluh saja saat ini" Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan merekapun bertekad semakin bulat untuk berbuat sesuatu. "Kita harus segera menghadap Ki Demang. ceritera tentang lampor itu semakin lama akan menjadi semakin berbahaya bagi rencana ini" berkata Kesambi kemudian. "Ya. Kapan kita akan pergi?" "Aku akan berhubungan dengan Wiyatsih" Demikian maka anak-anak muda yang masih tetap mantap pada sikapnya itupun menentukan waktu yang sebaik-baiknya untuk menghadap Ki Demang. Tiga diantara mereka akan berangkat. Diantaranya adalah Wiyatsih sandiri. Kedatangan ketiga anak-anak muda itu mengejutkan Ki Demang Sambi Sari. Tetapi la berusaha untuk menghapus kesan itu dari wajahnya. Dan apalagi sedikit banyak Ki Demang sudah mendengar bahwa ada usaha anak-anak muda
664 dari padukuhan disebelah Alas Sambirata untuk membuat bendungan. "Mungkin mereka inilah" gumam Ki Demang didalam hati. Sejenak kemudian, setelah Ki Demang menyapa mereka seorang demi seorang maka langsung ia bertanya "Apakah keperluan kalian menemui aku?" "Ki Demang" Wiyatsihlah yang berbicara atasnama kawankawannya "kami datang untuk mohon ijin dan restu. Tetapi lebih dari itu juga bantuan yang mungkin dapat kami terima. "Untuk apa?" Ki Demang mulai dapat meraba. "Kami, anak-anak muda di Sambi Sari, merasa prihatin atas kehidupan rakyat didaerah ini" Wiyatsih berhenti sejenak, lalu dikatakannya apa yang selalu dilihatnya sehari-hari dan apa yang sudah mereka lakukan. "Kehidupan rakyat dipadukuhan-padukuhan sekitar Alas Sambirata tidak akan berubah jika sawah mereka tetap kering" Wiyatsih mengakhiri keterangannya. Ki Demang di Sambi Sari mengerutkan keningnya. Namuh kemudian ia tertawa, katanya "Apakah kalian tidak sekedar mimpi indah dimalam yang gelap?" Wiyatsih memandang Ki Demang dengan tajamnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya "Apakah maksud. Ki Demang?" "Kalian adalah anak-anak muda yang kadang-kadang sekedar terdorong oleh keinginan sesaat. Tetapi jika kalian benar-benar sudah mulai dan menjumpai kesulitan, kalian akan segera meletakkan pekerjaan itu dan meninggalkannya tanpa bertanggung jawab sama sekali" "Ah" desah Wiyatsih "begitukah kebiasaan anak mudamuda?" "Ya" jawab Ki Demang tegas "mereka mudah menentukan sikap sebelam berpikir masak-masak. Tetapi mereka segera
665 beralih pada keinginan yang lain sebelum mereka menyelesaikan pekerjaan itu. Kadang-kadang tidak bertanggung jawab, dan kadang-kadang jemu" "Ki Demang" Kesambi menyela "apakah itu pernah terjadi di Sambi Sari". Kami belum pernah berbuat sesuatu, sehingga karena itu, kami belum pernah melepaskan tanggung jawab atas pekerjaan yang manapun juga. Justru karena kami belum pernah berbuat sesuatu itulah, sekarang kami bertekad untuk melakukannya. Adalah salah sama sekali jika kita masih saja tetap menunggu datangnya perubahan nasib tanpa berbuat sesuatu atau sekedar mengumpat-umpat dan mengeluh. Mungkin kami dapat menuntut kepada Ki Demang sebagai pemimpin kami, kenapa kami tidak mendapat makan dan pakaian yang cukup. Mungkin kami dapat menganggap Ki Demang tidak mampu memimpin Kademangan ini karena kami menjadi miskin, sedang ada juga orang-orang yang sampai hati mengambil keuntungan dari kemiskinan kami" Ki Demang termenung sejenak. Dahinya menjadi semakin bekerut-merut. Tanpa disadarinya dipandanginya Wiyatsih yang duduk diantara anak-anak muda itu. "Diantaranya adalah ibuku" berkata Wiyatsih dengan sertamerta. la mengerti bahwa Ki Demang menganggapnya demikian "Tetapi aku tidak sependapat dengan ibu. Dengan beberapa orang kaya yang lain dan dengan anak-anak muda yang membantu pekerjaan mereka dengan gigih, dan bahkan beberapa orang bebahu Kademangan ini melakukan hal yang serupa pula. Tetapi kami tidak cukup menuntut. Kami harus mulai dari akarnya. Yaitu kemungkinan untuk mendapat sumber penghidupan yang baik" Ki Demang masih mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa berkepanjangan "Omong kosong. Kalian sekedar didera oleh perasaan tidak puas. Yang kalian lakukan sekarang ini tidak ada bedanya dengan sebuah tuntutan pula"
666 Wajah Wiyatsih menjadi merah, dan Kesambi bergeser sejengkal "Maaf Ki Demang. Kami hanya meminta ijin saja. Lebih dari itu serahkan kepada kami. Jika bendungan itu jadi, akan ada perubahan kehidupan di Kademangan Sambi Sari. Jika tidak, tidak ada orang yang dirugikan, karena kehidupan kami akan tetap seperti ini. Kami yang miskin akan tetap miskin dan mereka yang kaya akan menjadi semakin kaya Penghisapanpun akan berjalan terus dan kami akan menjadi semakin kering" "Bohong" bentak Ki Demang "kenapa kalian membiarkan diri dihisap sampai kering, itu adalah kebohonganmu sendiri Jika kau sudah menyadari akan hal itu, kenapa hal itu masih saja terjadi?" "Kami tidak dapat berbuat lain. Sebelum kami mati kelaparan, kami menyediakan diri untuk menjadi kelapa perahan sehingga tinggallah ampasnya saja yang masih ada pada kami" "Bodoh sekali. Dan kalian menyerahkan diri itu diperah" "Apaboleh buat. Kami mengharap Ki Demang bertanya kepada seorang dua orang dari pembantu-pembantu Ki Demang. Dari mana mereka mendapatkan kekayaan. Mereka sudah memilih sawah yang paling subur buat lungguh mereka, disamping usaha mereka yang sama sekali tidak pantas bagi rakyatnya. Jika Ki Demang tidak memberikan ijin dan restu itu, kami akan berbuat sesuai dengan kemampuan kami yang ada. Kami harus menaikkan air dari Kali Kuning" "Kalian akan melanggar hakku" "Tidak Ki Demang. Kami tidak akan membuat bendungan. Tetapi kami harus mendapatkan suatu cara untuk menaikkan air itulah soalnya" "Kalian akan dimakan lampor " "O, Ki Demang juga berpikir tentang lampor?"
667 "Ya. Beberapa orang gadis kita telah mati tahun yang lalu. Seorang diantaranya adalah bakal menantuku. Apakah kalian tidak takut". Terutama kau Wiyatsih" Lampor memilih gadisgadis. Bahkan mungkin anak muda juga" "Hidupku bukanlah mutlak milikku Ki Demang. Ada kekuasaan yang memeliharanya dan pada saatnya menghentikannya Kekuasaan itu tidak ada bandingnya. Karena itu, aku pasrah kepadaNya" Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya "Aku tidak mengijinkan" "Ki Demang" anak-anak muda itu hampir tidak dapat menahan hatinya. Tetapi untunglah bahwa mereka masih sadar, bahwa mereka berhadapan dengan Ki Demang di Sambi Sari. Tangan Wiyatsih tiba-tiba saja menjadi gemetar. Jika yang dihadapinya itu bukan Ki Demang, maka ia akan meloncat dan mencekiknya. "Nah. kalian sudah mendengar. Sekarang apa yang akan kalian lakukan?" Kesambi menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ingin mengendapkan gejolak yang terungkat didadanya. Katanya "Kekuasaan memang ada pada Ki Demang. Tetapi yang penting bagaimana kekuasaan itu berlaku. Jika kami tidak mendapatkan ijin untuk membuat bendungan, tentu kami tidak akan membuat. Tetapi kami akan mencari cara untuk menaikkan air. Mungkin kami akan menempuh cara seperti yang dilakukan oleh Wiyatsih atas tanaman jagungnya yang hanya sekotak itu. "Gila" geram Ki Demang "kau sangka kalian akan dapat melakukannya setiap tiga hari" Kalian akan mati kelelahan"
668 "Apa salahnya?" sahut Wiyatsih "mati kelelahan dalam usaha meningkatkan hidup sanak kadang adalah pengorbanan yang bernilai" "Tidak ada orang yang akan menghargai kematian yang bodoh serupa itu. Ibumu juga tidak Wiyatsih" "Bukan penghargaan lahiriah. Tetapi hakekat dari perjuangan itulah yang penting." Tetapi Ki Demang menggeleng "Aku tidak mengijinkan kalian mengganggu aliran Kali Kuning apapun caranya" Anak-anak muda itu menjadi tegang. Namun mereka tidak dapat mengatasi kekuasaan yang ada pada Ki Demang di Sambi Sari. Karena itu, maka Kesambipun berkata "Baiklah Ki Demang. Kami mintai diri. Kami akan menjadi bahan tertawaan orang-orang yang tidak sependapat dengan kami. Kami akan ditertawakan oleh orang-orang tua yang takut akan lampor, oleh orang-orang kaya yang memeras kami, dan oleh anak-anak muda cengeng yang hanya dapat berteriak-teriak sepanjang jalan sambil menuntut, menyindir dan mengeluh tanpa berbuat sesuatu yang bernilai bagi kehidupan yang benar-benar sedang kita hayati ini" Ki Demang tidak menjawab, dipandanginya saja anak-anak muda itu seorang demi seorang. "Kami mohon diri, tetapi jiwa kami tidak akan berhenti bergolak" Ki Demang hanya menganggukan kepalanya saja. Ketika anak-anak itu meninggalkan pendapa Kademangan Sambi Sari, Ki Demang mengantarkan mereka sampai keregol. Sejenak dibiarkan anak-anak muda itu melangkah. Tetapi ketika mereka sudah berada diluar regol, Ki Demang memanggilnya "Kesambi." "Kesambi berpaling. Dengan tatapan mata yang merah dipandanginya Ki Demang yang berdiri diregol. Sebelum Ki
669 Demang berkata sesuatu, Kesambi sudah mendahului "Ki Demang masih akan mengancam kami?" Ki Demang menggelengkan kepalanya. Katanya "Tidak Kesambi. Dengarlah. Aku tidak berkeberatan kau membuat bendungan itu" "Ki Demang" anak-anak muda itu hampir memekik. "Aku sejak semula memang tidak berkeberatan. Tetapi aku ingin melihat kesungguhanmu. Ternyata bahwa kalian tidak sekedar main-main. Kalian agaknya bersungguh-sungguh. Karena itu, aku akan membantu kalian" Anak-anak muda, itu berdiri termangu-mangu. Perlahanlahan mereka melangkah kembali. Dan hampir diluar sadarnya mereka berdesis "Terima kasih Ki Demang" "Aku memang memerlukan anak-anak muda seperti kalian, Aku tidak ingkar, bahwa masih ada orang yang memeras orang-orang yang sudah kering, bahkan beberapa orang perabot Kademangan ini. Tetapi anak-anak muda tidak berbuat apa-apa yang langsung menyangkut kehidupan dan masa depan yang lebih baik selain menerima nasibnya seperti yang telah mereka alami. Yang lain kehilangan pegangan dan harapan, sehingga sama sekali tidak berbuat apa-apa selain mengeluh dan mengumpat. Yang aneh bagiku adalah Wiyatsih. Anak-anak orang kaya di Kademangan ini hampir tidak pernah berpikir tentang orang lain. Mereka hanya dapat berbuat untuk kesenangan sendiri. Jika ia laki-laki, ia akan kawin hampir setiap bulan sekali, kemudian diceraikannya dan diterlantarkannya. Jika ia perempuan ia hanya pandai berhias didalam biliknya" "Ada juga yang lain dari kebiasaan itu Ki Demang" berkata Kesambi. "Baiklah. Mulailah kapan saja kalian kehendaki"
670 "Sebentar lagi musim hujan akan datang. Kami akan mengatur segala persiapannya. Kami akan membuat brunjung-brunjung bambu. Sedang dimusim kemarau mendatang, kami akan meletakkan brunjung-brunjung yang akan kami isi dengan batu-batu itu didasar sungai" "Aku percaya. Apa saja yang kalian butuhkan, kalian dapat mengambil di Kademangan ini. Aku akan mengeluarkan perintah itu. Tetapi ingat, rintangan dan mungkin gangguan akan banyak kalian hadapi, selain gangguan para penjahat" Ki Demang berhenti sejenak, lalu "Sebenarnya sudah lama aku menunggu Pikatan Tetapi menurut pendengaranku, ia kini justru hidup mengasingkan diri dirumahnya" Wiyatsih menganggukkan kepalanya "Ya Ki Demang" "Tetapi sama saja bagiku. Apakah ia Pikatan ataupun Wiyatsih. Selamat bekerja" Anak-anak muda itupun meninggalkan Kademangan dengan wajah berseri-seri. Hampir saja mereka menjadi putus asa. Tetapi ternyata bahwa Ki Demang tidak berkeberatan sama sekali. "Kita jangan tergesa-gesa berbuat sesuatu" berkata Wiyatsih "kita matangkan semua rencana dan kita hadapi semua hambatan. Terutama ceritera tentang lampor itu" Demikianlah anak-anak muda itu menjadi semakin mantap. Itulah sebabnya mereka semakin giat bekerja. Mereka berbisik dari telinga ketelinga, bahwa Ki Demang mendukung rencana itu dan sebentar lagi justru Ki Demang akan memerintahkan semua orang di Kademangan Sambi Sari untuk menyediakan apa saja yang diperlukan. Dalam pada itu, ceritera dari anak-anak muda tentang bendungan dan dukungan Ki Demang itu telah membuat beberapa orang di Sambi Sari menjadi gelisah. Bahkir ada diantara mereka yang menganggap bahwa Ki Demang telah
671 dipaksa oleh beberapa orang anak-anak muda untuk menyetujui rencana itu. "Seharusnya Ki Demang bertindak tegas. Jika ia memanjakan beberapa orang dari Kademangan ini, maka tuntutan itu akan berkembang. Bahkan lain kali mereka akan menuntut agar Ki Demang pergi dari kedudukannya" berkata salah seorang bebahu Kademangan Sambi Sari. Ketika pendapat itu sampai ketelinga Ki Demang, maka Ki Demang hanya tersenyum saja. Dipanggilnya Ki Jagabaya dari Sambi Sari. Kepadanya ia bertanya "Bagaimana pendapatmu tentang bendungan itu?" Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Katanya "Kenapa dengan bendungan?" "He, apakah selama ini kau tertidur" Semua orang mempersoalkan bendungan. Ada yang sependapat, ada yang menentang, bahkan ada yang menganggap bahwa aku sudah keliru memberikan dukungan atas pembuatan bendungan itu, karena dengan demikian aku dianggap sudah memanjakan anak-anak muda, bahkan ada yang menganggap bahwa aku sudah diancam oleh mereka" berkata Ki Demang. Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya "Hanya orang yang tidak mempunyai urusan sajalah yang akan mempersoalkannya. Aku tidak pernah memikirkan apakah akan ada bendungan atau tidak" Ki Demang mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya "Jadi kau acuh tak acuh saja terhadap bendungan itu?" "Apakah aku harus ikut meributkannya" Ikut berceritera tentang lampor dan ikut memaki-maki beberapa orang yang tidak sependapat dengan bendungan itu?" "Bukan itu soalnya Ki Jagabaya. Tetapi masalahnya menyangkut kehidupan di Kademangan Sambi Sari. Bukan sekedar masalah yang terlalu sederhana, karena anak-anak
672 muda ingin membendung air Kali Kuning untuk membuat kolam mandi" Ki Jagabaya memandang wajah Ki Demang sejenak, lalu mengangguk-anggukan kepalanya "Ya. Mereka tidak akan membuat kolam mandi" "Karena itu masalahnya akan menyangkut seluruh Kademangan. Akan menyangkut kehidupan dan penghidupan. Jika sawah-sawah nanti berhasil digenangi air, maka masalahnya pasti bukan sekedar acuh tidak acuh saja" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudah agak lama ia tidak menghiraukan masalah-masalah yang timbul di Kademangannya, apa lagi yang berhubungan dengan meluasnya kejahatan, karena Ki Jagabaya merasa tidak mampu melakukannya. Memang ada juga usaha yang dilakukan, tetapi usaha itu terbatas sekali untuk mengatasi kejahatan-kejahatan kecil yang justru dilakukan oleh orangorang Sambi Sari sendiri terhadap sesama mereka. Kehilangan ternak, pakaian dijemuran dan yang sama sekali tidak bersangkut paut dengan keamanan Kademangan yang sebenarnya. Sikap itulah yang lambat laun membuatnya menjadi acuh tidak acuh. Kemampuannya sama sekali tidak cukup untuk mengatasi persoalan yang dihadapinya. Yang dapat dilakukan hanyalah menganjurkan orang-orang kaya untuk mencari tenaga perlindungnya masing-masing. Sedang anak-anak muda sama sekali lepas dari pengamatannya dan apalagi bimbingannya. Ketakutan dan kecemasan telah mencengkam anak-anak muda setiap malam. Namun disiang hari mereka menghabiskan waktunya untuk sebagian bekerja untuk mendapatkan upah yang tidak seberapa disawah mereka yang kebetulan berair, dan yang sebagian lagi sama sekali tidak berbuat apa-apa, karena sawah mereka kering sama sekali. Dan kini tiba-tiba Ki Demang lebih membangunkannya, karena beberapa orang anak muda bertekad untuk membuat
673 bendungan. Karena itu, maka ia tidak akan dapat terus menerus untuk mendekur. "Ki Jagabaya"berkata Ki Demang "selama ini ternyata kita hampir tidak berbuat apa-apa. Sekarang anak-anak mudalah yang melangkah lebih dahulu. Kita harus berterima kasih kepada mereka. Dan kita harus membantu mereka, karena bendungan itu akan bermanfaat bukan saja bagi mereka, tetapi bagi Sambi Sari dan segala isinya" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Baiklah Ki Demang. Aku akan membantu anak-anak itu. Sudah barang tentu bahwa bendungan itu akan sangat bermanfaat" "Baiklah. Aku akan menyuruh anak-anak muda itu menghubungi Ki Jagabaya. Dan ceritera seakan-akan anakanak muda itu telah memaksa aku sama sekali tidak benar. Ketika aku mengatakan kepada mereka, bahwa aku tidak mengiiinkan, betapapun juga terbayang kecewa diwajah mereka, namun mereka tidak ingin bersikap keras terhadapku. Yang membesarkan hatiku adalah hasrat yang sebenarnya yang telah menyala dihati mereka" berkata Ki Demang kemudiah, lalu "mudah-mudahan anak-anak muda yang lain, hidup seperti hidup yang dijalani oleh nenek moyang kita tanpa mendambakan suatu perubahan, bekerja keras dengan cara dan keadaan yang seperti ini. Juga anak-anak muda yang hanya berteriak-teriak sepanjang jalan yang bahkan mengganggu orang lain, juga anak-anak muda yang hanya dapat merajuk dan mengeluh seolah-olah mereka sekedar menjadi permainan nasib sambil berkidung megatruh disore hari untuk mengungkapkan kepahitan hidup yang dialaminya, akan terbangun karenanya. Kerja adalah suatu jawaban yang palihg tepat. Dan sebagian dari mereka telah menemukan jawaban itu" Demikianlah, maka kesempatan bagi anak-anak muda yang berniat untuk membangun bendungan itu menjadi semakin
674 besar. Beberapa orang bebahu benar-benar ikut serta bersama mereka, meskipun ada juga beberapa orang diantara mereka yang menyusun rencana untuk menghalanghalanginya. Tetapi ceritera tentang lampor yang mula-mula berkembang lagi itupun menjadi semakin surut pula, karena anak-anak muda vang sudah bertekad bulat membuat bendungan itu dengan gigih melawannya. Dalam pada itu, selagi anak-anak muda Sambi Sari sibuk dengan rencananya, Pikatanpun sibuk dengan dirinya sendiri. Tetapi harapan Puranti, setelah Pikatan menyadari bahwa kemampuan yang ada pada dirinya itu masih cukup besar, ia akan menemukan kepercayaan pada diri sendiri, dan meninggalkan cara hidupnya yang terasing itu, ternyata keliru. Pikatan yang hampir setiap malam menempa diri itu masih saja hidup terasing dirumahnya. Ia masih tetap selalu berada didalam biliknya. Hanya sekali-sekali ia keluar. Berjalan-jalan dihalaman beberapa lama, kemudian masuk kembaii kedalam biliknya tanpa menghiraukan apapun yang terjadi. Tetapi sekali-sekali sempat juga ia marah-marah kepada Wiyatsih tanpa sebab. Hanya karena Wiyatsih berjalan terlalu cepat, atau berbicara terlalu keras. Namun bagi Wiyatsih akhirnya hal itu justru menjadi biasa. Ia tidak terkejut lagi. dan ia sudah jemu menangis apabila kakaknya marah-marah saja kepadanya. la lebih senang pergi menghindar setelah untuk beberapa lamanya memaksa diri mendengarkan katakata kakaknya, agar tidak semakin menyakitkan hatinya yang sudah parah itu. "Perkembangan jiwa Pikatan menjadi semakin aneh bagiku" berkata Puranti didalam hati ketika ia menunggui latihan vang dilakukan oleh Pikatan dari kejauhan pada suatu malam "ia tidak melangkah kembali kepada kehidupan yang wajar, tetapi justru semakin lama menjadi semakin jauh dan terasing "
675 Bagi Puranti, hal itu akan dapat membahayakan Pikatan sendiri dan barangkali orang lain. Jika Pikatan sampai pada puncak kemampuannya, tetapi jiwanya masih belum pulih kembali, maka ia akan dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang berbahaya. Dan tiba-tiba saja Puranti sampai pada suatu kesimpulan "Agaknya Pikatan telah dibakar oleh dendam yang tidak tertahankan. Agaknya ia ingin menunjukkan bahwa ia adalah seorang laki-laki yang tidak dapat dikalahkan oleh seorang perempuan dalam segala hal" Purantipun adalah seorang anak muda. Meskipun ia sudah berusaha berpikir dewasa, namun darahnya yang masih mudah mendidih itu ternyata telah terbakar oleh anganangannya itu sendiri. Karena itu maka tiba-tiba ia berkata kepada diri sendiri "Jika ia masih juga mendambakan harga dirinya yang berlebih-lebihan dan berlatih mati-matian tidak akan mengorbankan diriku sampai sedalam itu hanya karena aku tertarik kepadanya, kepada seorang laki-laki yang selama ini aku anggap sebagai seorang laki-laki jantan. Jika ia dicengkam oleh kekerdilan pikiran semacam itu, maka aku akan mempertahankan harga diriku betapapun aku menghormatinya" Dan disaat-saat mendatang, ternyata Purahti tidak banyak lagi menunggui Pikatan berlatih dari kejauhan. Meskipun ia masih juga meningkatkan kemampuan Wiyatsih diwaktuwaktu tertentu namun kemudian ia sendiri tenggelam didalam pembelaan diri. Puranti yang sudah memiliki bekal yang cukup itu kemudian berusaha mematangkan ilmunya. Sebagai seorang anak dari seorang yang mumpuni, serta yang pernah mendapat dasar tertinggi dari ilmu dari perguruannya, maka jalan bagi Puranti memang sudah dibuka oleh ayahnya. Dan kini dengan sepenuh hati ia berusaha untuk menyempurnakannya.
676 Tidak seorangpun yang menyaksikan bagaimana Puranti meningkat selangkah demi selangkah. Bahkan kadang-kadang ia telah mempergunakan waktu sepanjang malam untuk berlatih. Dipilihnya tempat yang tidak akan dikunjungi oleh seorangpun. Disebuah jurang yang curam dan berbatu-batu. Tetapi batu-batu itu merupakan kawannya berlatih yang baik. Dengan sepenuh tenaga ia meloncat dan memghantam batu-batu padas yang berserakan dibawah kakinya. Rasarasanya telah mendorongnya untuk berbuat letih banyak lagi. Demikianlah Puranti telah berhasil membangunkan seluruh tenaga cadangan yang ada padanya. Baik sebagai kekuatan, maupun sebagai tenaga pendorong atas kecepatannya bergerak, kemampuannya bermain senjata, dan peningkatan daya tahan tubuhnya. Meskipun Puranti seorang perempuan, tetapi dalam ilmunya yang tertingi yang dikuasainya, kekuatannya jauh melampaui kekuatan laki-laki yang manapun. Ternyata bahwa dorongan untuk memperkuat diri sendiri yang ada pada Puranti itu telah berpengaruh pula pada cara yang ditempuhnya untuk meningkatkan kemampuan Wiyatsih, sehingga Wiyatsih yang seolah-olah berhati baja itupun kadang kadang mengeluh didalam hati. betapa beratnya ia mengikuti petunjuk-petunjuk dan latihan-latihan bersama Puranti. Tetani Wiyatsih tidak pernah menyatakan perasaan itu. Bahkan ia telah berusaha untuk tidak mengecewakan Puranti, sehingga latihan-latihan yang direncanakannya dapat berlangsung sebaik-baiknya. Namun dengan demikian, kemampuan Wiyatsihpun meningkat dengan cepatnya pula. Bahkan ada semacam suatu keinginan dihati Puranti agar kemampuan Wiyatsih pada suatu saat dapat mengimbangi kemampuan Pikatan, sehingga ia akan dapat berkata kepada anak muda yang sombong itu "Nah. Muridkupun mampu mengimbangi ilmumu, meskipun
677 seandainya kau tidak cacat, Wiyatsih seorang gadis , dapat menyamai seorang laki-laki yang bernama Pikatan, seorang laki-laki jantan yang menghargai dirinya terlampau tinggi, namun yang sebenarnya berjiwa kerdil" Wiyatsih yang tidak mengerti keinginan yang tersirat dihati Puranti itu, menjalankan latihan-latihan yang diwajibkan oleh Puranti dengan penuh kesungguhan, bahkan pada unsurunsur gerak yang paling sulit dari ilmunya, seakan-akan Wiyatsih telah dipersiapkan untuk dalam waktu dekat menerima puncak dari ilmu Perguruan Pucang Tunggal. Ternyata beberapa saat kemudian Wiyatsih tidak saja harus berpacu dengan ilmunya, karena musim hujan mulai membayangi padukuhan Sambi Sari. Seperti yang sudah direncanakan, maka anak-anak muda Sambi Sari telah mulai dengan persiapan pembuatan bendungan dimusim kering yang bakal datang. "Kita mulai menebangi bambu" berkata salah seorang dari mereka "kita akan membuat brunjung-brunjung itu. Musim hujan akan lerlangsung kira-kira empat atau lima bulan. Setelah itu kita harus segera mulai menurunkan brunjungbrunjung itu setelah kita isi dengan batu-batu" "Ya. Sebagian dari kita menebang bambu dan yang lain menaikkan batu-batu kepinggir sungai agar sebelum banjir yang pertama dan yang akan datang berturut-turut, kita sudah mempunyai persediaan batu yang cukup. Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Sambi Sari rasa-rasanya mulai bidup kembali. Ketika hujan rintik-rintik mulai turun, hampir setiap orang menengadahkan wajahnya kelangit. Sebentar lagi sawah-sawah yang kering akan dapat mereka tanami untuk satu musim saja, Tetapi setelah musim hujan ini lewat, tanah-tanah itu akan kering lagi, dan peceklik yang panjang akan mencekik leher mereka kembali.
678 Dengan demikian, merekapun menjadi semakin berprihatin, apabila mereka sadar. bahwa panen musim hujan mendatang, sebagian sudah ada ditangan orang kaya yang selama ini memberikan pinjaman sekedar bahan makan untuk mencegah mereka mati kelaparan. Dan yang harus mereka bayar untuk itu, adalah berlipat beberapa kali. Dengan demikian, maka keriangan yang sejenak menyentuh hati, tiba-tiba menjadi buram kembali. Namun demikian, mereka masih dapat menghibur diri "Jika aku sudah melunasi hutang itu, aku akan dapat mengambil hutang baru buat musim peceklik mendatang, jika tidak, maka dimusim kering kami sekelurga pasti akan mati kelaparan" Namun demikian, terbersit juga pikiran "Alangkah senangnya jika keluarga ini tidak pernah terjerat hutang." Dalam pada itu, dihari-hari kehari, langit menjadi semakin suram, hujan menjadi semakin sering turun membasahi sawah dan pategalan mereka, sehingga dengan demikian, maka para petani mulai turun kesawah mengerjakan tanah mereka yang mulai basah, namun diwaktu senggang, anak-anak muda Sambi Sari beramai-ramai membuat brunjung-brunjung bambu. Mereka masih mempunyai waktu yang cukup, sehingga karena itu, maka pekerjaan itu sama sekali tidak mengganggu pekerjaan mereka disawah dan dipategalan. Sedang yang tidak memiliki tanah yang cukup, masih juga sempat bekerja pada orang lain yang mempunyai sawah yang berlebih-lebihan dari kemampuan tenaga sendiri untuk mengerjakannya. Selagi anak-anak muda Sambi Sari sibuk dengan kerja mereka, disawah atau membuat brunjung-brunjung. Pikatan tidak juga berhenti berlatih. Meskipun hujan turun dan bahkan betapapun lebatnya, jika ia ingin pergi berlatih, maka iapun pergi juga. Hujan yang lebat merupakan dorongah untuk melatih diri didalam cuaca yang buruk dan nafas yang terganggu oleh titik air diwajahnya.
679 Tetapi ternyata bukan saja Pikatan. Purantipun tidak juga mau berhenti menyempurnakan diri. Ada semacam desakan didalam dirinya, bahwa kemajuan Pikatan tidak boleh menyamainya, apalagi melampauinya, Sedang dalam pada itu, Purantipun dengan sungguh-sungguh telah berusaha menempa Wiyatsih untuk menjadikan gadis itu seimbang dengan Pikatan. Nyai Sudati, tidak mengetahui dengan pasti apakah yang sebenarnya telah dilakukan oleh anak-anaknya. Ia hanya mengetahui bahwa Wiyatsih masih juga berlatih terus untuk menyempurnakan ilmunya, dan disiang hari Wiyatsih masih juga bekerja disawah seperti kebanyakan gadis-gadis padesan. "Wiyatsih" berkata ibunya "kau menjadi semakin kurus. agaknya kau bekerja terlalu berat akhir-akhir ini. Kadangkadang kau pergi tidak mengenal waktu. Bahkan tanpa dapat aku cegah lagi kau pergi dimalam hari bersama Puranti. Disiang hari kau masih saja bekerja disawah dan kadangkadang bersama-sama anak-anak muda yang tidak mempunyai nalar itu membuat brunjung-brunjung, bukankah aku sudah memperingatkanmu. sebaiknya kau jangan ikutikutan dengan anak-anak itu. Bukan saja kau akan menjadi terlalu lelah, tetapi aku takut. Bahwa lampor itu terjadi lagi" Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Ia memang menyadari bahwa tubuhnya menjadi agak susut oleh kerja yang keras hampir siang dan malam. Namun dengan demikian rasa-rasanya kecepatannya bergerak menjadi semakin meningkat. Bahkan kekuatan jasmaniahnyapun bertambahtambah. Apalagi setelah ia mampu mempergunakan tenaga cadangannya sebaik-baiknya. "Bukankah kerjaku sekarang jauh berkurang" berkata Wiyatsih kepada ibunya "aku tidak perlu menyiram batangbatang jagung itu lagi, setelah aku meyakinkan anak-anak muda akan gunanya air Kali Kuning"
680 "Tetapi tampaknya kau justru menjadi semakin sering meninggalkan rumah" sahut ibunya, lalu "Apakah sebenarnya yang sedang kau lakukan Wiyatsih" Wiyatsih memandang ibunya sejenak. Ia menjadi ragu-ragu untuk mengatakannya, karena ia sadar bahwa ibunya tentu tidak akan sependapat dengan usaha pembuatan bendungan itu. Dengan demikian, maka daerah Sambi Sari akan menjadi semakin subur dan setiap orang akan sibuk bekerja disawah masing-masing, sehingga dengan demikian ia akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan tenaga murah dimusim kering dan memberikan pinjaman dengan bunga yang berlipat ganda. "Wiyatsih" berkata ibunya "aku sudah mendengar meskipun kurang pasti, bahwa anak-anak muda Sambi Sari benar-benar sudah mulai mempersiapkan sebuah bendungan" Sejenak Wiyatsih menatap wajah ibunya. Namun iapun kemudian mengaggukkan kepalanya. Katanya "Ya ibu. Kami memang sudah mulai" "Wiyatsih" berkata ibunya "bukankah aku sudah pernah memperingatkan kau. bahwa usaha yarg serupa pernah dilakukan hampir sepuluh tahun yang lampau. Namun yang menjadi korban kemudian adalah gadis-gadis. Beberapa orang gadis telah hanyut. Tidak mustahil bahwa hal yang serupa akan terjadi. Apalagi kau adalah seorang gadis yang ikut langsung menangani pembuatan bendungan itu" "Tidak ibu" Wiyatsih menggelengkan kepalanya "aku tidak akan berbuat bodoh menyeberangi sungai yang sedang banjir, apalagi bila lampor sedang lewat." "Tidak seorangpun yang tahu, kapan lampor itu akan lewat Wiyatsih" "O" Wiyatsih mengerutkan keningnya"bukankah bunyi lampor itu terdengar dari jarak beberapa tonggak"
681 "Setelah lampor itu lewat. Tetapi ketika ia datang menyambanginya tidak ada seorangpun yang tahu" Tetapi sekali lagi Wiyatsih menggelengkan kepalanya "Ibu jangan mencemaskan aku. Aku mendapat jaminan dari seorang, bahwa lampor itu tidak akan mengganggu kali ini" Ibunya tidak menyahut. Ternyata Wiyatsih benar-benar tidak dapat dicegahnya lagi. Anak itu telah bertekad untuk membuat sebuah bendungan bagi padukuhan ini, karena ia tidak sampai hati melihat kehidupan yang terlalu amat pahit. Namun tiba-tiba kedua perempuan itu terkejut ketika pintu terbanting keras sekali. Dengan dada yang berdebar-debar mereka melihat Pikatan berdiri dimuka pintu dengan wajah yang merah. Dengan suara lantang ia berkata "Wiyatsih. Itu tidak pantas. Tidak pantas sama sekali" Wiyatsih menjadi bingung. Karena itu, dengan ragu-ragu ia bertanya "Apa yang tidak pantas kakang?" "Kau. Kau telah berbuat tidak pantas sekali" Wiyatsih menjadi semakin bingung Dipandanginya wajah kakaknya yang merah, kemudian wajah ibunya yang keheranan. "Kau adalah seorang perempuan" berkata Pikatan "kenapa kau berbuat hal-hal yang tidak pantas dilakukan oleh seorang perempuan" Apakah kau kira orang-orang dari padukuhan ini memujimu, bahwa kau sudah ikut serta membantu membuat bendungan itu?" Pikatan berhenti sejenak, lalu "Wiyatsih. Seorang gadis yang tahu diri, tidak akan berbuat demikian. Seorang gadis yang mempunyai harga diri akan tinggal dirumah. Sekali-sekali pergi kesungai mencuci pakaian dan kesawah. Tidak seperti kau. Kisana kemari, berbondongbondong pergi bersama anak-anak muda. He, Wiyatsih, kau sudah mencoreng arang pada kening keluarga kita"
682 "Kakang" Wiyatsih menjadi tegang. Namun justru karena hal tidak diduga-duganya, maka ia tidak segera dapat menjawab. "Aku adalah saudaramu laki-laki. Aku berhak mencegah kau berbuat demikian. Jika terjadi sesuatu dengan kau, karena kau seorang gadis. maka hancurlah nama keluarga kita. Bukan karena dimakan lampor seperti ceritera tahyul itu bukan karena hantu-hantu alas Sambi Rata, tetapi karena laki-laki yang siang malam ada disekitarmu" "Kakang"tiba-tiba saja Wiyatsih berteriak "aku bukan anakanak lagi. Aku sudah cukup dewasa. Dan aku tahu apa yang akan aku kerjakan" "Tetapi bagaimanapun juga kau adalah seorang gadis vang lemah. Lemah hati dan lemah badani. Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa, seperti seekor kambing ditengah-tengah kelompok serigala" "Tidak. Aku bukan seekor kambing ditengah-tengah sekelompok serigala, Tetapi aku adalah seekor macan betina diantara mereka" suara Wiyatsih liba-tiba menjadi gemetar "bukan maksudku menyombongkan diri. Tetapi aku dapat membunuh enam atau tujuh orang sekaligus jika mereka ingin berbuat jahat kepadaku. Kau seharusnya sudah tahu akan hal itu, kakang. Kau tahu bahwa tidak ada seorang laki-lakipun didaerah ini yang dapat mengalahkan aku, selain kau" "Bobong" suara Pikatanpun meninggi "mungkin kau mampu berkelahi. Tetapi kau tidak akan mampu melawan usapan tangan dikudukmu. Kau tidak akan mampu mendengar bisikan yang halus ditelingamu. Dan kemampuanmu berkelahi sama sekali tidak akan ada artinya" "Jika demikian, itu adalah salahku sendiri. Adalah karena kegilaanku sendiri. Membuat atau tidak membuat bendungan, jika aku memang berbuat gila, apapun dapat terjadi. Dirumah inipun dapat terjadi"
683 --ooo0dw0ooo-- Jilid 09 Wajah Pikatan yang merah menjadi semakin merah. Katanya dengan suara yang bergetar "Wiyatsih. Kau sudah berani melawan aku he" Apakah karena kau belajar ilmu kanuragan dari gadis Pucang Tunggal itu, kau merasa bahwa kau. harus berani menentang saudara tua" Selamanya kau tidak pernah berani memandang mataku seperti sekarang ini, justru kini tampaknya kau malahan menentang" "Memang kakang. Aku selamanya tidak pernah berani menentang pandangan matamu. Tetapi selamanya kaupun tidak pernah mengucapkan kata kata yang paling menusuk hati seperti yang baru saja kau katakan. Jika kau sudah tidak mempercayai aku lagi dalam ketabahan batin, apapun yang akan aku lakukan tidak akan kau anggap baik dan menguntungkan. Kaulah yang pertama kali merencanakan membuat bendungan justru sebelum kau meninggalkan Sambi Sari. Kemudian kau kembali lagi, tetapi apa yang ada didalam dadamu ternyata telah padam sama sekali. Rakyat Sambi Sari tidak dapat mengiharap apa-apa lagi darimu. Sehingga karena itu, aku, adikmu merasa wajib untuk meneruskan rencana itu. Apakah kau seorang laki-laki atau seorang perempuan itu tidak penting bagi beudungan itu. Bagi rakyat Sambi Sari lahirnya sebuah bendunganlah yang diharapkannya "Kau sangka bahwa kau akan berhasil membuat bendungan itu?" "Kenapa tidak?" "Aku tidak percaya. Tidak ada orang yang dapatl membuat bendungan itu selain aku. Aku sudah mengenal Kali Kuning
684 sebaik-baiknya, bahkan seakan-akan aku tahu benar jumlah batu yang berserakan" "Tetapi kau tidak berbuat apa-apa. Apakah artinya pengenalanmu itu, jika kau sama sekali berdiam diri" "Aku akan membuatnya" "Jika demikian bangunlah. Keluarlah dari bilikmu dan datanglah ketempat anak-anak muda itu, berkumpul membuat brunjung bambu. Beritahukan kepada mereka apa yang harus mereka lakukan" nafas Wiyatsih tiba-tiba menjadi terengahengah "jika demikian, aku akan bersedia mengundurkan diri. Aku akan menjadi seorang gadis Sambi Sari seperti gadisgadis yang lain. Berada dirumah, memasak, hanya kadangkadang saja pergi kesungai. Mengintip laki-laki lewat dijalan sebalah rumah dan mempergunakan kesempatan bersih desa sehingga kadang kadang justru menimbulkan akibat seperti gadis yang membunuh diri itu" "Itu adalah urusanku. Apakah aku akan keluar dan bilik itu atau tidak. kau tidak usah ikut campur" "Jika demikian, kau pun jangan ikut campur jika aku berada ditengah-tengah laki-laki seluruh Kademangan Sambi Sari karena aku mempunyai pegangan yang teguh dan aku bukan gadis yang tidak mampu menjaga diriku sendiri" "Gila" Pikatan menggeram "kau benar-benar menjadi keras kepala. Sekali-sekali kau memang harus dihajar. Sampai sebesar kau sekarang, aku memang belum pernah menghajar kau. Dan itu agaknya yang membuat kau berani menentang aku" Tetapi Wiyatsih sama sekali tidak lari. Bahkan iapun kemudian meloncat berdiri. Disingsingkannya kainnya karena ia tidak siap menghadapi keadaan itu dengan pakaian lakilakinya, katanya "Baiklah kakang. kalau sekarang kau merasa perlu menghajar aku, lakukanlah. Tetapi akupun sudah cukup besar untuk menilai keadaan. Sudah aku katakan, tidak
685 seorang laki-lakipun yang dapat mengalahkan aku disini, selain kau. Tetapi jika kau berlaku kasar, akupun akan berlaku kasar juga apapun yang akan kau lakukan atasku. Mungkan kau akan membunuhku sama sekali. Aku tidak peduli" "Diam, diam" Pikatan berteriak sambil melangkah maju. Namun dalam pada itu, ibunyalah yang kemudian memeluk Wiyatsih sambil menangis "Kenapa kalian bertengkar, Kenapa". Sejak kecil kalian tidak pernah bertengkar dan apalagi berkelahi. Tetapi sekarang, ketika kalian sudah menginjak dewasa, justru kalian mulai bertengkar dan bahkan berkelahi. Apakah ini sudah menjadi takdir bagiku. bahwa dihari-hari tua aku harus menghadapi cobaan yang sangat pahit" Wiyatsih, pergilah. Marilah, tinggalkanlah kakakmu yang sedang marah. Jika kau juga marah, maka akibatnya akulah yang akan mati membeku diantara kalian" "Tetapi, tetapi....." suara Wiyatsih menjadi sendat. Titik air mata ibunya telah memancing perasaannya sebagai seorang gadis. Sehingga betapapun juga ia menahan, namun air matanya mulai meleleh juga dari pelupuknya. Wiyatsih tidak menentang lagi ketika ibunya membimbingnya masuk kedalam biliknya. Sekali ia berpaling kepada Pikatan yang masih berdiri membeku ditempatnya. "Masuklah" berkata ibunya disela-sela sedunya. Wiyatsih kemudian masuk kedalam biliknya. Iapun langsung membanting dirinya dipembaringannya. Tangisnya tiba tiba saja meledak tanpa dapat ditahannya lagi. Ibunya memandang anak gadisnya itu sejenak sambil mengusap air matanya sendiri. Namun kemudian ia kembali kepada anak laki-lakinya yang seakan-akan menjadi patung yang mati dimuka pintu "Pikatan" berkata ibunya "aku juga tidak sependapat dengan bendungan itu. Tetapi aku tidak ingin menyakiti hati Wiyatsih seperti itu. Jika kau memang tidak setuju dengan
686 bendungan itu. pakailah cara yang lain, jangan terlampau kasar. Hati seorang gadis lain dari hati seorang laki-laki. Bagaimanapun juga, hati seorang gadis terlampau lunak untuk menampung luka" Pikatan masih tetap berdiri membisu. "Pikatan" berkata ibunya pula "aku juga tidak sependapat, bahwa Wiyatsih bekerja hampir setiap hari untuk kepentingan bendungan itu. Bahkan dibawah hujan yang lebat sekalipun ia pergi juga menengok anak-anak yang sedang membuat berunjung-berunjung itu. Dan aku sedang berusaha dengan hati-hati untuk mengurangi hasrat yang sedang meluap-luap dihatinya. Dan aku memang bermaksud untuk mengurungkan pembuatan bendungan itu" "Tidak. itu tidak boleh jadi" tiba-tiba Pikatan menjawab "didaerah sekitar Sambirata ini memang harus ada bendungan. Jika tidak, maka rakyat daerah ini akan menjadi semakin kelaparan. Satu-satunya jalan untuk membuat mereka bernafas adalah bendungan" Nyai Sudati terkejut bukan buatan mendengar jawaban itu. Ia sama sekali tidak mengerti jalan pikiran Pikatan. Dan ia harus mendengar anaknya berkata pula "Hanya orang orang yang ingin meneguk keuntungan dari penderitaan sesama sajalah yang tidak sependapat akan adanya bendungan itu" "Pikatan" ibunya memotong "aku tidak mengerti. Bagaimanakah sebenarnya pendirianmu tentang bendungan itu" "Akulah yang akan membuat bendungan itu. Bukan orang lain" "O" Nyai Sudati merenungi anaknya sejenak, namun kemudian mengangguk-anggukan kepalanya "sekarang aku tahu. Bahwa kita sebenarnya mempunyai persamaan. Kau dan aku, anakku. Dan itu tidak mustahil, karena kau adalah anak yang aku lahirkan" ibunya berhenti sejenak. Tatapan matanya
687 menjadi aneh, seakan-akan terpancar sesuatu yang belum pernah dilihat oleh Pikatan. "Pikatan" berkata Nyai Sudati selanjutnya "kita adalah orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri. Aku mementingkan diriku sendiri" Pikatan memandang ibunya dengani tatapan mata keheranheranan. "Bedanya, bahwa aku mementingkan diriku sendiri dengan menimbun harta kekayaan, karena aku senang akan harta benda dan kekayaan. Sedangkan kau mementingkan dirimu sendiri untuk memiliki nama sebagai seorang pahlawan. Aku ingin menimbun harta benda sebanyak-banyaknya, sebenarnya bukan dalam arti kepentingan pribadiku sendiri meskipun masih didalam lingkup kepentingan diri sendiri, karena aku ingin menyimpan harta benda untuk peninggalan anak-anaku kelak. Sedang kau berkeberatan ada orang lain, membangun bendungan itu, karena kau ingin bahwa Pikatanlah satu-satunya orang yang mampu menolong kemiskinan didaerah Sambi Sari ini. Bukan orang lain dan sama sekali bukan Wiyatsih. Tetapi Pikatan, Pikatan" "Ibu" Pikatan membentak keras-keras. Tetapi wajah ibunya justru menjadi lunak. Sambil mendekati anak laki- lakinya yang sedang terbakar hatinya itu ia berkata "Sudahlah Pikatan. Sebaiknya kau tenangkan saja hatimu." Pikatan masih akan menjawab. Namun mulutnya tiba tiba terbungkam ketika ibunya meraba kedua pundaknya sambil berkata "Marilah kita melihat kepada diri sendiri. Kau dan aku. Kita masing-masing adalah orang-orang yang mementingkan diri sendiri. Aku menghendaki bendungan itu urung, karena aku masih merindukan menghitung potongon-potongan lidi itu, sedang kau berniat untuk membangun bendungan itu sendiri." ibunya berhenti sejenak "ternyata persoalan ini merupakan masalah baru didalam hatiku. Seakan-akan aku telah dipaksa untuk merenungi persoalan yang sebenarnya
688 kita hadapi. Pikatan, marilah kita mengendapkan perasaan kita masing-masing. Marilah kita berbuat sesuai dengan kemampuan kita sendiri tanpa mengganggu orang lain. Aku juga tidak akan mengganggu Wiyatsih lagi, dan kaupun hendaknya tidak. Aku tidak tahu, akibat apa yang akan terjadi dengan pekerjaanku kelak, jika bendungan itu benar-benar terwujud" Pikatan sama sekali tidak menjawab. Sentuhan tangan ibunya membuat hatinya mencair. Bahkan ketika ibunya memegang kedua pipinya seperti ketika masih kanak kanak, terasa tenggorokannya menjadi panas. "Beristirahatlah Pikatan. Kita harus menolong keluarga ini. Keluarga kecil yang hampir terpecah belah tidak keruan karena kita tidak pernah sempat duduk bersama, berbicara dan berbincang dengan hati terbuka bersama-sama. Aku harap bahwa kita akan mendapatkan kesempatan serupa itu kelak. besok lusa atau kapanpun. Kau mengerti?" Pikatan menganggukkan kepalanya seperti kanak-kanak disuruh tidur disiang hari. Perlahan-lahan ia melangkah meninggaklkan ibunya masuk kedalam biliknya. Biliknya yang seakan-akan telah menjadi dunianya, sehingga dunia bagi Pikatan adalah terlalu sempit adanya. Ketika Pikatan sudah menutup pintu biliknya, maka Nyai Sudatipun masuk kedalam bilik anak gadisnya. Sambil membelai rambutnya Nyai Sudati berbisik "diamlah Wiyatsih. Tidak ada lagi persoalan diantara kita" Wiyatsih masih tetap menangis sambil menelungkupkan wajahnya. "Wiyatsih" berkata ibunya, "bagaimanapun juga aku menentang lahirnya sebuah bendungan, tetapi aku tidak akan menghalangimu lagi. Aku tidak tahu, apakah yang kelak akan terjadi atasku. tetapi aku sudah berketetapan, bahwa
689 sebaiknya aku membiarkan kau melakukan yang menurut keyakinanmu cukup baik" Tiba-tiba Wiyatsih mengangkat wajahnya. Dipandanginya ibunya sejenak seakan-akan ia tidak percaya akan pendengarannya. Namuin ketika ibunya menangguk, maka diciumnya pipi ibunya seperti ketika ia masih kecil dahulu. Nyai Sudatipun kemudian memeluk kepala anak gadisnya yang masih menangis sambil menyandarkan kapala itu didada ibunya. "Wiyatsih" berkata Nyai Sudati "lakukanlah apa yang ingin kau lakukan dan telah kau yakini. Sementara belum terjadi perubahan apapun akibat dari bendungan itu, aku masih akan tetap bekerja seperti yang dapat aku kerjakan. Mudahmudahan kau dapat mengerti juga, karena aku tidak dapat bekerja yang-lain dari-pada itu. Mungkin kelak aku harus menyesuaikan diri. Aku harus turun kesawah dengan menyigsingkan kain masuk kedalam lumpur seperti orangorang lain. Tetapi jika itu yang harus aku lakukan, maka aku akan mencobanya" "Tidak ibu, tidak " suara Wiyatsih menghentak "bukan maksudku membuat ibu menjadi begitu. Membuat ibu harus bekerja terlalu berat buat memberi makan aku dan kakang Pikatan. Tidak. tetapi aku dapat melakukan. Pembantupembantu ibu dirumah ini dapat mengerjakan sawah kita yang sangat luas ini, tetapi yang sebagian daripadanya adalah tanah yang kering dimusim kemarau. Jika bendungan itu siap, maka tanah kita juga akan mendapat air itu. Penghasilan kitapun akan bertambah" Ibunya menarik nafas dalam-dalm. Tetapi sudah terbayang bahwa seorang demi seorang pelayan-pelayan dirumahnya akan pergi meninggalkannya, karena tanah mereka sendiri akan menjadi subur dan mereka akan mendapat penghasilan yang cukup dari tanah mereka itu.
690 Namun demikian Nyai Sudati tidak mengucapkannya. Ia telah mencoba mengendapkan perasaannya. Ia mencoba untuk menghadapi apa saja yang akan terjadi, dan mencoba untuk menyesuaikan diri. la merasa bahwa hidupnya terutama adalah bagi anak-anaknya. Buat apa sebenarnya ia bekerja keras melakukan pekerjaan yang dapat dianggapnya menguntungkan, tetapi menjauhkan jarak dari anak-anaknya" Dan bahkan akan memisahkannya sama sekali dan membuat keluarganya terpecah belah" Sejenak Nyai Sudati tidak menyahut. Namun karena itu maka Wiyatsih merasa bahwa masih ada keragu-raguan didalam hati ibunya, sehingga karena itu, sambil duduk tegak dipembaringannya ia berkata "Ibu, selagi aku masih kuat bekerja. biarlah aku yang bekerja. Kita tidak memerlukan penghasilan yang berlebih-lebihan. Kita hanya memerlukan penghasilan yang dapat mencukupi kebutuhan dan sedikit simpanan buat hari depan. Dan itu akan kita dapatkan dari hasil sawah kita jika kita berhati hati" "Ya, ya Wiyatsih" jawab ibunya sekedar untuk menenangkan hati anaknya. Dan ternyata Wiyatsih memang tidak berbicara lagi. ia duduk saja sambil menundukkan kepalanya. Yang terbayang kemudian adalah suatu kerja yang besar yang akan menghisap banyak sekali tenaga anak-anak muda Sambi Sari. Bahkan jika mungkin setiap orang dapat membantu melakukan kerja itu. meskipun sebagian dari orang orang tua itu bergantian setiap kali. Tetapi anak-anak muda seluruh Kademangan harus mau turun, setidak-tidaknya sebagian besar, karena air yang akan naik dari Kali Kuning didekat Alas Sambirata itu akan mengairi sebagian besar dari sawah sawah yang kering disekitar Kademangan. "Bendungan itu sendiri sudah merupakan kerja yang besar" berkata Wiyatsdih didalam hatinya "tetapi kemudian saluran air yang akan membelah tanah kering itupun merupakan
691 pekerjaan yang berat dan lama. Parit-parit yang ada, yang seakan-akan hanya sekedar menampung dan mengalirkan air hujan yang meluap itu jauh dari mencukupi. Anak-anak muda harus membuat jalur jalur air yang baru" Wiyatsih terkejut ketika tiba-tiba ibunya menepuk pundaknya sambil berkata "Sudahlah, tidurlah. Kau terlalu lelah. Jangan kau hiraukan kakakmu dan jangan membantahnya lain kali, agar kau tidak harus bertengkar dengan saudara tuamu. Kakakmu itu sebenarnya sangat sayang kepadamu, tetapi ia sedang dicengkam oleh perasaan kecewa yang hampir tidak tertanggungkan" Wiyatsih mengangguk kecil. "Baiklah. Aku akan pergi kehalaman belakang. Padi yang dijemur itu harus disimpan. Langit tampaknya menjadi semakin gelap oleh mendung yang tergantung semakin tebal" Sekali lagi Wiyatsih mengangguk. Sepeninggal ibunya, Wiyatsih tidak lagi membaringkan dirinya, tetapi ia justru bangkit dan membenahi pakainnya. Disanggulnya rambutnya yang terurai dan dirapatkannya baju dan pakaiannya. Setelah mengusap matanya sehingga kering, maka Wiyatsihpun segera keluar dari biliknya dan pergi kebelakang pula. Seperti biasanya ia selalu membantu bekerja apa saja yang dikerjakan orang dirumahnya. Dari membersihkan halaman, menjemur dan menyimpan padi, sampai juga mengambil air. Baru kemudian ia pergi membantu kawankawannya yang bekerja membuat berunjung-berunjung bambu. Ketika ia hendak pergi juga ketempat kawan-kawannya membuat berunjung-berunjung bambu, maka terngianglah kata kata kakaknya tentang dirinya. Tentang seorang gadis yang berada diantara anak-anak muda yang sekian banyaknya.
692 Terasa wajahnya menjadi panas. Tiba tiba saja ia menyadari bahwa memang agak janggal. bahwa ia sebagai seorang gadis sendiri saja berada ditengah-tengah sekian banyak laki-laki yang bekerja. "Itu tidak pantas. Itu tidak pantas" seakan-akan ia mendengar kakaknya berteriak. Wiyatsih menundukkan kepalanya. Ia kini merasa bahwa bagi orang lain, apa yang dilakukan itu memang tidak pantas. tetapi dengan demikiain, bukan berarti bahwa ia harus berhenti. Ia harus mendapatkan akal, bahwa ia tidak boleh sendiri. Akhirnya Wiyatsihpun menemukan juga. Dimintanya anakanak muda yang mempunyai saudara perempuan dan yang tidak berkeberatan, agar diajaknya serta meskipun tidak setiap hari. Mereka diminta membantu menyiapkan minum dan kepentingan-Kepentingan kecil lainnya. Misalnya menyediakan tali-tali ijuk, membuat patok-patok kecil dan sebagainya. Semula ajakan itu hampir tidak mendapat perhatian. Gadisgadis Sambi Sari masih saja dibayangi ketakutan akan lampor yang lebih suka mengambil gadis-gadis. daripada anak-anak muda. Tetapi Wiyatsih kemudian berpesan "Jika ada lampor yang datang, tentu akulah yang pertama-tama akan diambilnya" Kemudian dari hari kehari ada juga satu dua orang gadis ikut serta dengan saudara laki-laki mereka membantu pekerjaan itu. Meskipun gadis-gadis itu tidak datang setiap kali, hanya kadang-kadang saja bila ia sempat. Namun hampir setiap hari jadinya Wiyatsih mempunyai beberapa orang kawan gadis-gadis-yang lain meskipun sering berganti orang" Namun dengan demikian Wiyatsih sendiri merasa bahwa hal itu sudah mengurangi tanggapan yang kurang baik atasnya dari orang orang yang terutama tidak menyukainya dan menyukai pekerjaan itu"
693 Demikianlah dari hari kehari pekerjaan itu berjalan terus meskipun lambat, karena baik anak-anak muda maupun gadisgadis yang membantunya tidak bekerja khusus untuk itu. Mereka hanya datang ketika mereka sempat karena pekerjaan yang lain harus juga dilakukannya. Apalagi musim kemarau masih akan datang beberapa bulan lagi. Ketika sungai mulai banjir, gadis-gadis merasa ngeri juga untuk turun kesungai. Mereka kadang-kadang masih juga dihinggapi rasa takut, bahwa lampor akan memilihnya menjadi korban kemarahannya karena ada usaha manusia untuk membuat bendungan lagi di Kali Kuning. "Jangan pergi kesungai jika sedang banjir" Wiyatsih memang selalu memperingatkan mereka. Bukan menakutnakuti, tetapi ia harus mencegah timbulnya korban apapuh sebabnya. Jika ada seorang gadis saja yang kebetulan tergelincir kedalam arus sungai yang sedang banjir, maka pekerjaan itu pasti akan gagal, karena setiap mulut pasti akan menyebut bahwa gadis itu adalah korban lampor yang pertama setelah hampir sepuluh tahun, justru karena ada usaha membuat bendungan itu. Dalam pada itu, ternyata tidak timbul perubahan apapun pada diri Pikatan setelah ia bertengkar dengan Wiyatsih, Ia masih tetap mengasingkan dirinya didalam biliknya dan masih juga setiap malam dengan diam-diam meninggalkan rumahnya untuk mematangkan ilmunya. Tetapi kini ia sudah tidak peduli lagi apakah Wiyatsih mengetahui atau tidak, bahwa ia berusaha terus untuk maju didalam olah kanuragan. Iapun tidak peduli juga apakah Puranti mengetahui dan mengikuti perkembangannya atau tidak. Namun ia bertekad bahwa pada suatu saat, ia akan membuktikan bahwa ia adalah seorang laki-laki yang tidak mau dikalahkan oleh perempuan yang manapun juga dibidang apapun juga. Namun sementara itu, Purantipun telah menempa dirinya hampir tidak ada henti-hentinya. Bahkan kemudian siang dan
694 malam ditempat yang jauh dari lingkungan manusia. Sehingga dengan demikian kedatangannya kepada Wiyatsih dan ibu angkatnya menjadi semakin jarang. "Wayatsih".berkata Puranti pada suatu saat "maafkan kalau aku jarang sekali dapat menjumpaimu sekarang. Aku harap usahamu melatih diri tidak mengendor. Aku kini sedang berada dalam taraf terakir dari puncak latihanku untuk menguasai inti dari ilmu ayahku sekaligus guruku seperti yang pernah diajarkannya kepadaku. Aku tidak pernah menduga, bahwa aku berusaha untuk menguasainya secepat ini, dengan mengorbankan sebagian terbesar dari masa mudaku. Masa yang paling gembira dari perjalanan hidup seseorang. Tetapi aku tidak akan menyesal. Aku memang sudah dengan sengaja melakukannya. Mudah-mudahan kau mendapatkan keduaduanya Wiyatsih. Ilmu yang kau cari, tetapi juga kegembiraan masa mudamu. Jika kau berhasil dengan bendungan itu, kau akan mendapatkan suatu kepuasan yang mendalam sehingga kau akan mendapatkan kegembiraan yang mendalam pula dimasa muda, selain hasil itu akan sangat bermanfaat bagi kehidupan disekitarmu. Disamping itu meskipun tidak terlampau cepat, ilmumu maju terus, sehingga pada suatu saat, kaupun akan mencapai puncak seperti yang akan aku dapatkan itu. Mungkin aku berhasil menguasainya dalam waktu yang lebih singkat. Tetapi aku telah mengorbankan segi kehidupanku yang lain. Aku tidak dapat segembira kau, bermain-main dengan kawan-kawan, bekerja disawah dan membuat sesuatu bagi sesama. Namun aku tetap mengharap bahwa yang aku dapatkan inipun kelak akan bermanfaat pula bagi sesama" Wiyatsih menganggukkan kepalanya, meskipun sebenarnya ia agak kecewa. Puranti yang agaknya dapat mengerti itupun berkata "Aku tidak akan terlalu lama Wiyatsih. Aku berharap bahwa sebelum musim kemarau datang, aku sudah akan selesai. Jadi
695 aku akan dapat melihat, bagaimana kau membuat bendungan itu bersama anak-anak muda Sambi Sari" Sekali lagi Wiyatsih mengangguk. Kemudian jawabnya perlahan-lahan "Tetapi kau jangan pulang dahulu Puranti. Jika kau pulang kepadepokanmu, aku akan menyusulmu meskipun aku belum tahu jalannya" "Tidak Wiyatsih. Aku tidak akan pulang dahulu" Puranti menarik nafas dalam-dalam, lalu "aku masih mempunyai tugas disini" "Tetapi kakang Pikatan agaknya tidak berubah. Dan kau tidak lagi mengamati kemajuannya, tetapi kau justru berlatih sendiri" "Sekedar mengisi waktu Wiyatsih" namun dada Puranti merasa hergejolak. Ia tidak akan dapat mengatakan alasan yang sebenarnya. kenapa ia justru membanting diri berlatih sampai kepuncak ilmunya. Terasa sesuatu menggelepar dihatinya. Sebuah pertanyaan "Apakah aku tidak ada bedanya dengan Pikatan yang berjiwa kerdil, yang takut melihat kelebihan orang lain atas diri sendiri?" Tetapi Puranti menggigit bibirnya untuk menghentakkan pertanyaan itu, dan dengan tegas menjawab didalam hati "Aku sejak dahulu lebih daripadanya. Aku adalah anak Kiai Pucang Tunggal, sedang Pikatan, meskipun seorang laki-laki, ia adalah hanya sekedar muridnya. Tidak lebih" Demikianlah untuk beberapa lamanya, Wiyatsih dibiarkan berlatih seorang diri. Tetapi diluar dugaannya, ketika pada suatu senja yang sudah mulai gelap ia berlatih dikebun belakang tanpa ada seorangpun yang menungguinya, tiba-tiba saja sebuah bayangan telah duduk didalam kegelapan disudut halamannya. Hampir saja Wiyatsih berbuat sesuatu karena terkejut. Gerak naluriahnya telah melontarkannya selangkah
696 kesamping dan mempersiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan. Namun tiba-tiba urat-uratnya mengendor ketika ia melihat wajah orang itu meskipun dibawah bayangan kegelapan. "Kiai" Kiai hadir disini?" "Ya Wiyatsih" "Kiai datang seorang diri?" "Ya, aku datang seorang diri" jawaban orang itu terdengar aneh "dan akupun sebenarnya. ingin bertanya kepadamu "kenapa kau berlatih sendiri dan disenja hari pula?" "Aku sekarang berlatih disembarang waktu. Kenapa Kiai mengetahui bahwa aku berlatih dilepas senja?" "Aku tidak sengaja. Aku hanya ingin duduk disini menunggu tengah malam daripada aku berada di Atas Sambirata. Ketika padukuhan ini menjadi sepi dan gelap, aku mulai masuk dan langsung berada dikebun ini. Aku terkejut, melihat kau berlatih dan seorang diri pula" "Aku sekarang berlatih sendiri Kiai" "He" jawaban Wiyatsih telah mengejutkan orang tua itu. Namun dengan tergesa-gesa Wiyatsih berkata "Maksudku, Puranti sedang berhalangan untuk beberapa lamanya. "Kenapa?" Maka tanpa ada yang disembunyikan, diceriterakannya semua keterangan yang didapatnya dari Puranti, kenapa untuk beberapa lamanya ia tidak datang kepadukuhan ini. Kiai Pucang Tunggal yang mendengarkan keterangan Wiyatsih itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Samar-samar ia dapat membayangkan apa yang sedang dilakukan oleh anak gadisnya sekarang.
697 "Jadi menurut keterangan Puranti, kini ia Sedang mengisi waktunya sambil mengawasi perkembangan Pikatan?" "Ya Kiai" Kiai Pucang Tunggal merenung sejenak, lalu "Apakah kau tahu, dimana Puranti berlatih?" "Aku tidak tahu Kiai. Puranti tidak mengatakannya" "Pikatan?" "Menurut Puranti, Kakang Pikatan sering berlatih dijurang yang terjal dan menyendiri ditepi Kali Kuning" "Aku dapat menyelusurnya" "Dan Puranti sering datang ketempat itu juga untuk melihat kakang Pikatan berlatih" "Ya, ya. Aku tahu. Maksudmu, bukankah aku dapat menunggu ditempat itu jika sudah aku ketemukan, bahwa pada suatu malam Puranti akan datang pula melihat latihan itu" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. "Baiklah. Aku akan mulai mencari mereka malam nanti. Sekarang aku ingin melihat kau berlatih" "Ah" desah Wiyatsih. "Berlatihlah. Nanti malam aku akan mengikuti Pikatan dari kejauhan jika ia keluar. Mudah-mudahan aku akan menemukan Puranti dengan segera. Jika tidak, aku akan mencarinya ke rumah janda di Cangkring. Sekali-sekali ia pasti datang pula kerumah itu" "Ya, ya" Wiyatsih masih mengangguk-angguk. "Nah, agar aku tidak mengganggu, mulailah. Aku akan melihat kemajuanmu. Jika kau masih juga tidak maju, bukan kaulah yang bersalah, tetapi tentu Puranti, karena kau
698 mempunyai kemampuan yang cukup baik untuk mengembangkan ilmumu" Wiyatsih menjadi tersipu-sipu. Sebenarnya ia lebih senang berlatih tidak hanya seorang diri. Tetapi karena tidak ada orang yang dapat mengimbanginya, maka ia terpaksa melakukannya sendiri. Sejenak kemudian, maka mulailah ia berloncat-loncatan semakin lama menjadi semakin cepat meskipun baru sekedar melemaskan urat-urat dikakinya sebelum sampai pada latihan kaki yang sebenarnya. Kiai Pucang Tunggal memperhatikan gerak dan sikap Wiyatsih sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun Wiyatsih belum sampai pada latihan yang sebenarnya, namun kelincahan dan kecepatannya bergerak telah memberikan kesan kepada orang tua yang berpenglihatan tajam itu, bahwa Wiyatsih memang sudah maju jauh sekali, melampaui dugaannya. Demikianlah Wiyatsihpun kemudian mulai menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya. Ia mulai dengan unsurunsur gerak dari ilmunya, melenting, berputar, meloncat menyerang dap sikap menghindar yang cermat, Lambat laun, bukan saja kaki-kakinya tetapi juga tangannya dan kemudian seluruh tubuhnya. Kiai Pucang Tunggal masih mengangguk-anggukan kepalanya. Wiyatsih baru mempertunjukkan kecepatannya bergerak. Belum kekuatan tangan dan kakinya, apalagi tenaga cadangannya. Seperti yang biasa dilakukan maka latihan yang dilakukan oleh Wiyatsih itupun dilakukannya dengan sasaran-sasaran yang ditentukannya sendiri. Ujung dedaunan dan rantingranting kecil. Sambil berloncatan tangannya menyambar selembar dua lembar daun yang telah ditentukannya sendiri, kemudian mematahkan ranting kecil sambil melenting dengan
699 kecepatan yang hampir tidak dapat diikuti dengan mata telanjang, apalagi didalam keremangan malam. Tetapi yang kali ini memperhatikan adalah Kiai Pucang Tunggal, sehingga ia langsung dapat melihat bahwa kecepatan bergerak Wiyatsih memang sudah memadai, Jika Wiyatsih mampu membangunkan kekuatan jasmaniahnya serta tenaga cadangan yang ada didalam dirinya, maka Wiyatsih akan segera mampu mencapai tataran yang tinggi dari ilmunya. "Aku belum melihat Pikatan sekarang" berkata Kiai Pucang Tunggal didalam hati" tetapi Pikatan yang dahulu tidak berselisih jauh dari Wiyatsih. Kesungguhan anak ini memang luar biasa, meskipun tampak bahwa anak ini masih belum cukup berpengalaman Tetapi akhirnya Kiai Pucang Tunggal tersenyum sambil berdesis "Luar biasa. Kemajuanmu pesat sekali Wiyatsih" Wiyatsih yang masih meluncur diantara pepohonan, melenting menangkap ujung dadaunan dan menyentuh cabang pepohonan yang cukup tinggi, medengar juga pujian itu. Karena itu, maka iapun kemudialn berhenti. Dengan latihan yang baik, maka Wiyatsih mampu menguasai pernafasannya, sehingga ia masih dapat mengaturnya dengan mapan. "Kiai memuji" berkata Wiyatsih sambil tersipu-sipu. "Kecepatanmu bergerak cukup tinggi. Aku masih ingin melihat kemampuanmu melepaskan kekuatan. Lain kali aku akan mendapat kesempatan" "Ah" desah Wiyatsih. "Disini kau tidak mempunyai sasaran yang cukup baik yang tidak mengejutkan tetangga-tetanggamu. Karena itu, mungkin lain kaii aku akan dapat mengikuti kau berlatih dipinggir sungai atau di Alas Sambirata"
700 "Tetapi kemajuanku sangat lambat" berkata Wiyatsih. Kiai Pucang Tunggal tersenyum. Katanya "Agaknya selama ini kau benar-benar memeras tenaga. Kau tampak agak kurus, meskipun dengan demikian kau menjadi semakin lincah" Wiyatsih menundukkan kepalanya. "Jangan memaksa diri. Ada batas kemampuan pada seseorang. Berlatihlah dengan sungguh-sungguh. Tetapi jangan kau lampaui batas kemampuanmu agar latihan-latihan yang kau lakukan justru tidak mengganggu perkembangan tubuhmu. Menilik umurmu, maka kau masih harus berkembang, jasmaniah dan rohaniah" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. "Sekarang terserah kepadamu. Apa kau akan terus atau kau akan beristirahat. Aku akan tetap disini menunggu Pikatan keluar dari butulan dan mengikutinya. Mudah-mudahan aku dapat segera bertemu dengan Puranti" "Apakah Kiai tidak singgah saja dahulu?" Wiyatsih mempersilahkan. "Ah, jika demikian aku akan gagal. Pikatan tidak boleh mengetahui bahwa aku ada disini" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya "Aku akan mengakhiri latihan ini Kiai" "Silahkan. Kau tentu sudah lelah. Aku ingin mendapat kesempatan melihat kau berlatih dengan melepaskan kekuatan jasmaniahmu" Wiyatsih tidak menjawab. " Memang tidak ada sasaran yang baik disini" berkata Kiai Pucang Tunggal, namun kemudian "Wiyatsih, jika kau tidak bereberatan, aku mempunyai sasaran yang baik untuk sekedar menilai kekualannui"
701 "Apa Kiai?" Kiai Pucang Tunggal tertawa. Tetapi ia berkata "Lain kali saja. Penilaian yang demikian biasanya tidak atau kurang tepat, karena kau akan segan melepaskan seluruh kekuatanmu" "O" Wiyatsih mengerti. Sasaran itu pasti Kiai Pucang Tunggal sendiri. Untunglah bahwa Kiai Pucang Tunggal sendiri tidak membenarkan cara itu, sehingga ia tidak perlu mengalami kesulitan perasaan. "Nah, beristirahatlah. Jangan ada orang lain yang mengetahui bahwa aku ada disini" "Baik Kiai" Wiyatsihpun kemudian membenahi dirinya dan meninggalkan tempat itu masuk kembali kedalam rumahnya. Didepan pendapa ia melihat dua orang penjaga rumahnya duduk bersandar tiang. Untuk beberapa saat kedua orang itu merasa aman dan tidak perlu banyak bekerja. Setelah Pikatan benar-benar bertindak atas para penjahat, maka untuk memasuki rumah itu para penjahat yang lain harus berpikir beberapa kali. "Selain Pikatan. tertayata rumah ini berisi seekor macan betina" berkata para penjara itu didalam hatinya, sehingga mereka merasa bahwa tugas mereka menjadi semakin ringan, meskipun mereka tidak akan mengingkari tanggung jawab, bahwa mereka sudah diupah untuk melakukan pekerjaan itu. "Kalian belum tidur?" Wiyatsih menyapa. "Bukankah malam baru saja turun?" sahut orang yang tinggi kekurus-kurusan "dan kau agaknya baru saja berlatih?" "Ya"
702 "Seharusnya kau bersedia mengajari kami. Ternyata bahwa ilmumu jauh lebih baik dari ilmuku. Didalam keadaan yang gawat, kami memerlukan ilmu semacam ilmumu" Wiyatsih tersenyum. Katanya "Ilmumu sudah cukup jika kau sendiri mau mematangkannya. Kau ternyata sudah sangat malas, sudah merasa dirimu tua. Jika kau mau, kau dapat menyempurnakan ilmumu itu sendiri atau berdua bersamasama" Kedua penjaga itu tertawa. Ternyata Wiyatsih menebak tepat. Salah seorang berkata "Kau benar. Kami memang merasa sudah terlalu tua untuk berlatih. Kami merasa seolaholah apa yang ada pada kami ini sudah cukup. "Nah, jika kalian menyadari, kenapa kalian tidak mulai memperbaiki kesalahan itu" Kedua berpandangan sejenak. Sambil menarik nafas dalamdalam, orang yang bertubuh kekar menjawab "Kami memang sudah terlalu tua" "Macam kau" sahut Wiyatsih "tidak ada batas umur untuk mematangkan suatu ilmu. Mungkin sekarang kau dapat duduk bersandar tiang sambil terkantuk-kantuk. Tetapi jika musim kemarau yang panjang itu berulang, maka pekerjaanmu akan menjadi berat kembali. Bendungan yang sedang dipersiapkan itu tentu tidak akan segera dapat mengangkat air dimusim kemarau itu juga. Apalagi parit-parit masih harus digali. Nah, kau dapat membayangkan, bahwa kemarau mendatang keadaan padukuhan ini masih belum berubah. Mudahmudahan dimusim kemarau berikutnya keadaan sudah bertambah baik" Kedua penjaga itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka menjawab "Tidak ada penjahat yang akan berani datang kemari. Sebenarnya bukan kami berdualah yang menjaga rumah ini meskipun kami telah diupah. Tetapi kau dan Pikatan. Dan kamilah orang menerima upahnya itu"
Hantu Merah 2 Pendekar Pulau Neraka 41 Hantu Rimba Larangan Komplotan Pemuja Vodoo 2
640 terbangun dari mimpinya, bukan sekedar terkejut dan kemudian mendekur kembali didalam rangkuman mimpi buruknya. Malam itu, bukan saja Puranti yang meskipun memejamkan matanya tetap tidak tertidur. Tetapi juga Wiyatsih. Meskipun kadang-kadang Wiyatsih menjadi tidak sabar dan dengan gelisahnya, berputar kekanan dan kemudian kekiri, namun pada saatnya ia mampu juga menahan diri. Ketika mereka mendengar langkah kaki yang terlalu lembut, keduanyapun berbaring diam dengan nafas yang teratur. Sejenak keduanya mendengar langkah itu berhenti didepan pintu bilik. Dengan ujung jarinya Wiyatsih menggamit Puranti. Tetapi Puranti sama sekali tidak menanggapinya. Dalam pada itu ada sesuatu yang terasa aneh didalam hati Puranti. Langkah Pikatan sangat menekan perasaannya. Apalagi ketika langkah itu mendekati pintu biliknya. Tetapi rasa-rasanya ada semacam keinginan, agar Pikatan membuka pintu bilik itu dan memandanginya untuk sesaat selagi ia masih juga berpura-pura tidur nyenyak. Tetapi Puranti menjadi kecewa, karena Pikatan melangkah terus. Tidak seperti malam yang lewat, malam itu Pikatan sama sekali tidak menengok bilik kedua gadis yang berpurapura tidur nyenyak itu. Sejenak kemudian mereka mendengar gerit pintu butulan terbuka. Perlahan-lahan sekali dan kemudian tertutup kembali. Sekali lagi Wiyatsih menggamit Puranti, tetapi gadis itu masih tetap berdiam diri. Puranti masih memperhatikan setiap bunyi diluar rumah. Ia masih curiga, bahwa Pikatan akan mencoba mengetahui keadaan mereka dari luar dinding. Ketika Puranti yang berpendengaran sangat tajam itu yakin bahwa Pikatan sudah pergi, barulah ia berbisik "Hati-hatilah Wiyatsih. Jika Pikatan tahu, kita masih belum tidur, maka
641 untuk selanjutnya, sulit bagiku untuk mengetahui apa yang telah dilakukannya. "Aku tidak tahan. Nafasku serasa menjadi sesak dan tubuhku basah oleh keringat" "Kau harus berlatih. Itupun merupakan suatu kemampuan tersendiri. Cobalah menguasai dirimu didalam keadaan serupa itu. Menunggu dengan sabar dan memgatur diri seperti keadaan yang kita kehendaki" Wiyatsih masih juga tersenyum. Perlalhan-lahan ia bangkit sambil menunjukkan baju dibagian punggungnya "Aku seperti baru saja mandi" Purantipun tersenyum pula. Namun kemudian katanya "Tidurlah" "Apakah kau akan keluar?" Puranti menggeleng "Tidak hari ini. Karena itu, besok aku akan kembali ke Cangkring. Disaat-saat begini aku sudah menunggu diluar dan mengikuti Pikatan, kemana ia pergi, mungkin ia tidak hanya sekedar berada dihalaman rumah ini" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Iapun kemudian berbaring kembali dan mencoba untuk tidur. Tetapi seperti Puranti, ia masih tetap terjaga sampai saatnya ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya, disaat-saat pelayan-pelayan sebentar lagi akan terbangun. "Apakah kakang Pikatan belum datang?" bertanya Wiyatsih. "Aku belum mendengar" desis Puranti. Namun sejenak kemudian mereka mendengar derit senggot timba dalam irama yang timpang. "Tentu kakang Pikatan sedang menimba air. Dengarlah irama senggot itu, justru karena tangan kanan kakang Pikatan tidak dapat dipergunakan"
642 Wajah Puranti menjadi semakin cerah. Perlahan-lahan ia berkata "Mudah-mudahan ia benar-benar bangkit. Ia sudah mau menimba air meskipun sekedar untuk dirinya sendiri. Tentu ia lelah setelah berlatih. Sebelum masuk, ia langsung pergi kepakiwan dan membersihkan dirinya. Orang-orang yang melihatnya tidak akan bercuriga, dikiranya ia baru bangun pula dari tidurnya. Nanum bahwa ia mengambil air itu pasti akan mendapat perhatian dari para pembantu rumah ini" Wiyatsihpun kemudian berdiri. Tetapi ketika ia melangkah ke pintu, Puranti berkata "Jangan kau jenguk dahulu. Biarlah Pikatan berbuat sesuatu. Kita jangan mengganggunya" "Kenapa?" "Kalau salah seorang dari kita menjengukuya, ia akan berhenti dan bersembunyi lagi didalam biliknya" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepulanya. Tetapi kemudian bertanya "Dan aku bagaimana?" "Berbaring sajalah dahulu" Wiyatsihpun kemudian melangkah kembali kepembaringannya dan berbaring disamping Puranti. Sejenak kemudian suara senggot itu telah lenyap disusul oleh suara sapu dihalaman. Namun mereka mengerti bahwa pasti bukan Pikatanlah yang sedang membersihkan halaman itu. "Aku sudah mendapat kepastian" berkata Puranti "Pikatan pasti akan menempa dirinya, dan menyesuaikan keadaannya dengan tangannya yang hanya sebelah. Tetapi jika ia berhasil, maka tidak akan ada bedanya dengan seseorang yang bertangan utuh, karena pada dasarnya, kita memang hanya mempergunakan sebilah pedang" Wiyatsih mengangguk-angguk kecil.
643 "Namun dengan demikian, Wiyatsih. Aku akan lebih banyak berada di Cangkring, agar dimalam hari aku dapat selalu mengikuti perkembangan Pikatan. Selain itu, mungkin sekali Pikatan diancam oleh bahaya, justru karena ia telah berhasil membinasakan beberapa orang penjahat. Karena aku yakin, ada kesetia-kawanan yang kuat diantara para penjahat, meskipun kadang-kadang mereka saling berbenturan sendiri. Wiyatsih masih belum menjawab. "Sementara itu" Puranti meneruskan "kau juga tidak boleh berhenti sampai disini Wiyatsih. Kau juga mendapat kesempatan. Kau dapat membawa kedua penjaga itu untuk berlatih. Dan diwaktu-waktu tertentu kau akan berlatih bersama aku" "Aku akan berusaha" sahut Wiyatsih "aku sudah terlanjur suka oleh kegemaran atas ilmu kanuragan" "Hanya sekedar kegemaran?" bertanya Puranti. "Tidak. Bukan sekedar kegemaran. Tetapi ada semacam kewajiban untuk melakukannya" "Bagus" sahut Puranti "kau sudah mendengar panggilan untuk memberikan perlindungan kepada sesama. Bukan sekedar untuk kebanggaan diri sendiri" Wiyatsih tidak menyahut dan Purantipun terdiam pula, seakan-akan mereka masih belum berbicara apapun. Sejenak kemudian mereka mendengar langkah Pikatan menuju. kebiliknya sendiri. Namun mereka sama sekali tidak berbuat sesuatu. Agaknya Pikatanpun berjalan terus tanpa berhenti didepan pintu-bilik mereka. Baru ketika langkah Pikatan sudah tidak terdengar lagi, maka keduanyapun segera bangkit dengan perlahan-lahan agar tidak mengejutkan Nyai Sudati yang agaknya masih tertidur.
644 Namun Puranti masih juga kecewa karena Pikatan masih saja bersembunyi didalam biliknya disiang hari. Bahkan ia sama sekali tidak menampakkan dirinya. Agaknya oleh kelelahan dan kurang tidur dimalam hari, ia lebih senang tidur didalam biliknya daripada harus setiap kali menahan hati apabila ia berhadapan dengas Puranti dan Wiyatsih. Kedua gadis itu seakan-akan merupakan ejekan yang tidak habishabisnya disetiap saat. Tetapi dalam pada itu, Pikatan sendiri tidak mengerti, kenapa didasar hatinya setiap kali tersembul juga bayangan wajah gadis dari padepokan Pucang Tunggal itu. Seperti yang dikatakan, maka hari itu Puranti minta diri untuk kembali ke Cangkring. Dengan berbagai alasan, ia minta diri kepada Nyai Sudati yang sebenarnya ingin menahannya. Gadis itu agaknya telah menarik hatinya. lapun seorang gadis yang rajin yang tidak kalah cekatan dari Wiyatsih. Tetapi Puranti terpaksa tidak dapat memenuhinya meskipun ia juga tidak dapat mengatakan alasan yang sebenarnya. Hanya Wiyatsih sajalah yang mengetahuinya, bahwa malam nanti Puranti ingin melihat bagaimana Pikatan berlatih. Demikianlah maka Nyai Sudati yang tidak berhasil menahan Puranti terpaksa melepaskannya pergi ke Cangkring. Namun ia masih juga berpesan agar Puranti sering berkunjung kepadanya. "Aku akan selalu datang" "Terima kasih" jawab Nyai Sudati "hati hatilah dijalan" Untuk beberapa lama Nyai Sudati masih saja berdiri diregol memandangi langkah gadis yang tanpa sesadarnya telah menawan hatinya. Bahkan setiap kali ia masih saja berkata kepada diri sendiri "Seandainya Pikatan merupakan seorang anak muda yang wajar. Yang tidak dicengkam oleh kekecewaan yang sangat dalam"
645 "Gadis aneh" tiba-tiba ia berdesis. Wiyatsih yang berdiri disampingnya berpandangan sejenak. Kemudian digamitnya ibunya sambil bertanya "Apa yang aneh ibu?" Ibunya mengerutkan keningnya. Katanya "Gadis yang bernama Puranti itu" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun lagi. Apalagi ketika dari kejauhan ia melihat langkah Tanjung menuju keregol halaman rumahnya. Sejenak anak muda itu berhenti ketika ia berpapasan dengan Puranti, namun kemudian Tanjung meneruskan langkahnya pergi kerumah Wiyatsih. Tanpa berkata apapun, Wiyatsih meningggalkan ibunya yang masih tetap berdiri diregol menunggu kedatangan Tanjung. Baginya Wiyatsih Tanjung adalah seorang anak muda yang sama sekali tidak berarti lagi. Jalan pikiran mereka justru berlawanan, sehingga apabila mereka harus berjalan bersama, maka mereka pasti akan selalu bertengkar disepanjang jalan. Demikianlah, maka dimalam hari yang mendatang, Puranti telah berada di Cangkring. Tetapi kini ia tidak lagi dengan cemas dan hati-hati meninggalkan rumah itu. Bahkan sejak matahari terbenam, ia sudah memberitahukan kepada ibu angkatnya, bahwa nanti menjelang tengah malam ia akan pergi sampai menjelang pagi. "Apa saja kerja anak ini?" timbul juga pertanyaan dihati janda tua dari Cangkring. Bahkan kadang-kadang timbul juga dugaan-dugaan yang kurang mapan, karena justru Puranti adalah seorang perempuan. Adalah tidak pantas sekali apabila seorang perempuan keluar dimalam hari seorang diri" Tetapi menilik sorot matanya yang sama sekali tidak membayangkan prasangka apapun, janda tua dari Cangkring
646 itu akhirnya mencoba mengusir bayangan-bayangan yang kurang sedap dari angan-angannya. "Anak ini mungkin anak ajaib. Tetapi pasti bukan seorang perempuan yang tidak layak" Demikianlah dimalam hari yang gelap, selagi hampir semua penghuni padukuhan Cangkring tertidur lelap, Puranti pergi meninggalkan rumah ibu angkatnya menuju ke Sambi Sari. Dengan hati-hati ia mendekati rumah Wiyatsih seperti yang sering dilakukannya. Tetapi kali ini ia harus mengintai Pikatan yang memiliki indera yang jauh lebih tajam dari orang-orang lain dirumah itu, sehingga karena itu, ia harus sangat berhatihati. Mula-mula Puranti agak ragu-ragu, apakah Pikatan masih belum keluar dari rumahnya. Karena itu, dengan sangat hatihati ia berusaha mendekati dinding bilik Pikatan. Namun ternyata, ia masih mendengar sesuatu didalam bilik itu. Bahkan kemudian tarikan nafasnya. "Aku belum terlambat" berkata Puranti didalam hatinya. Sambil menjauhi bilik itu. Karena itu, maka dengan sabarnya Puranti justru menunggu. Dan ternyata yang mengikatnya bukan sekedar keinginannya untuk mengetahui apa yang akan dilakukan oleh Pikatan. Tetapi Pikatan sendiri ternyata semakin lama justru seakan-akan semakin dalam tertatah didinding jantungnya. Dengan segala sifatnya, kekasarannya, keputus-asaanya dan cacatnya, Pikatan bagi Puranti justru menjadi seorang laki-laki yang tidak ada duanya di muka bumi. Ternyata bahwa Puranti tidak perlu menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian ia mendengar derit pintu yang lembut sekali. Dari kejauhan ia melihat seleret cahaya lampu yang samar-samar melontar lewat celah-celah pinitu yang terbuka. Tetapi hanya sekejap, karena pintu itu segera tertutup kembali.
647 Namun ketajaman pandangan mata Puranti segera dapat menangkap bayangan Pikatan yang bergerak-gerak dilongkangan. "Aku tidak boleh kehilangan jejak" berkata Puranti, karena dugaannya kuat, bahwa Pikatan tidak akan berlatih dikebun belakang seperti Wiyatsih. Tempat itu terlampau sempit dan dalam keadaan tertentu tidak memberikan bahan-bahan yang lebih baik baginya. Ternyata dugaan Puranti itu benar. Dengan sangat hati-hati ia mengikuti bayangan Pikatan yang langsung pergi ke dinding kebun belakang. Sejenak Pikatan berdiri termangu-mangu, namun kemudian iapun segera melompatinya. Puranti tidak mau ketinggalan. Meskipun ia tidak melepaskan kewaspadaannya, namun ia berhasil mendekati Pikatan dan mengikutinya kemana ia pergi" Dengan dada yang berdebar-debar ia berjalan beberapa langkah saja dibelakang Pikatan. Namun karena malam yang gelap dan dedaunan yang rimbun disebelah menyebelah jalan. Puranti selalu mendapatkan perlindungan setiap saat Pikatan tanpa sesadarnya berpaling. "Ke jurang disebelah bulak kering itu" berkata Puranti didalam hatinya. Ternyata dugaannya tidak salah pula. Pikatan benar-beriar pergi kejurang yang tidak terlampau dalam. Namun dibawah tebing yang curam itu terdapat semacam sebuah lapangan yang tidak begitu luas ditikungan sungai yang beralaskan pasir dan batu-batu. Diatas lapangan pasir dan kerikil itulah Pikatan mulai berlatih, Mula-mula ia berusaha untuk menemukan sikap yang paling baik sesuai dengan cacatnya. Beberapa kali ia mencoba, namun setiap kali tangan kanannya masih terasa mengganggunya.
648 Memang terlintas diangan-angannya, bahwa tangan yang sudah tidak berarti apa-apa itu lebih baik dipotong saja. Namun kadang-kadang masih terngiang kata-kata gurunya bahwa tangan ini masih utuh. Masih ada tanda-tanda gerak pada urat nadinya. "Apakah mungkin bahwa pada suatu saat tangan ini dapat pulih kembali. setidak-tidaknya dapat bergerak?" Tetapi tiba-tiba saja Pikatan menggeram "Persetan dengan tangan kananku" Latihannya kemudian dipusatkan kepada tangan kirinya. Sambil berloncatan dengan lincahnya, Pikatan mencoba menggerakkan tangan kirinya dengan segala macam cara dan bentuk. Kadang-kadang mirip sebuah pukulan dengan tangan yang menggenggam. Namun kemudian tangan itu direntangkan dan ia mulai memukul dengan sisi telapak tangannya. Akhirnya jari-jarinya dikembangkannya dan seperti menerkam ia melatih kekuatan jari-jarinya dipasir pantai. Puranti yang memandangnya sambil bersembunyi dibalik sebuah gerumbul menjadi berdebar-debar. Ternyata bahwa kemampuan Pikatan seakan-akan masih utuh. Tangan kirinyapun mampu bergerak secepat tangan kanannya ketika tangan itu masih belum cacat. Namun demikian kekuatan tangan kirinya masih perlu mendapat perhatian lebih seksama. Kadang-kadang diluar sadarnya hampir saja Puranti meloncat mendekati untuk memberikan beberapa petunjuk. Namun ia masih sempat menahan diri dan tetap bersembunyi dibalik gerumbul yang rimbun. Dengan penuh kemauan, Pikatan berlatih bukan saja tangan kirinya, tetapi juga kaki-kakinya. Ia berloncatan kian kemari dan melonjak-lonjak setinggi dapat dicapainya. Kemudian mengayunkan kakinya sebagai latihan sebuah serangan.
649 Demikian Pikatakan telah menempa dirinya sendiri tanpa mengenal lelah. Baru ketika tubuhnya telah basah oleh keringat seperti baru saja mandi, Pikatan menghentikan latihannya. Sejenak ia duduk diatas batu sambil mengatur pernafasannya yang tersengal-sengal. "Ternyata Pikatan perlu mengadakan latihan pernafasan" berkata Puranti didalam hatinya "dahulu kakang Pikatan sudah mampu mengatur jalan pernafasannya, sehingga tidak mungkin baginya saat itu untuk bernafas sedemikian tersengal-sengal. Tetapi sekali lagi Puranti harus menahan dirinya. Karena itu, bagaimanapun juga keinginan mendesak didadanya, dibiarkannya saja Pikatan mencoba mengatur pernafasannya sendiri. Tetapi bahwa latihan itu sendiri ternyata sangat membesarkan hati Puranti. Jika Pikatan bersungguh-sungguh, maka ia akan segera menemukan tingkatnya kembali. Pikatan yang bertangan kiri saja itu tidak akan kalah dari Pikatan yang dahulu. Dan agaknya Pikatan sendiripun menyadarinya. Karena itu, maka iapun telah bertekad untuk berlatih tanpa jemujemunya. Demikian Pikatan kembali ke rumahnya, maka Purantipun segera kembali pula ke Cangkring. Kembali kerumah janda tua yang miskin itu. Dirumah Puranti masih tetap memakai pakaiannya yang kumal dan lungset. Seperti biasanya, ia masih tetap bermainmain dengan kawan-kawannya. Kawan-kawannya memang tidak melihat Puranti dengan pakaian yang bagus datang bersama seorang gadis dari Sambi Sari.
650 Bahkan masih juga ada kawan Puranti yang selalu menggodanya "He, Suntrut, aku dengar kau akan kawin dengan laki-laki yang kaya raya itu?" "Ah, siapakah yang mengatakannya?" "Hampir setiap orang di Cangkring pernah mendengarnya. Apakah kau akan ingkar?" Puranti menjadi termangu-mangu. "Kau memang gadis yang beruntung. Laki-laki itu kaya sekali. Rumah biyungmu pasti akan segera diperbaiki. Regolmu yang miring itu akan tegak dan kau akan menjadi semakin cantik, karena laki-laki itu akan membeli buatmu kain lurik hijau dan baju berwarna lemah teles. O, aku akan menjadi iri. Kulitmu yang kuning akan tampak semakin kuning, dan tumitmu akan menjadi seperti buah ranti diantara hijau daunnya" "Ah, ada-ada saja kau" potong Puranti. "Tentu. Jika kau minta maka isteri-isterinya yang lain pasti akan segera diceraikannya" Tetapi Puranti menggeleng "Tidak. Aku tidak akan menjadi isterinya. Kemarin ia datang kerumah biyung selagi aku banguan tidur. Agaknya ia menjadi kecewa melihat wajahku yang kusut. Rambutku yang terurai dan barangkali ada ingus dihidungku" "Ah" kawan-kawannya tertawa "aku tidak percaya" Purantipun tertawa. Katanya "Sudahlah kalau kau tidak percaya. Lihat, ia tidak akan datang lagi kerumahku. Pada suatu saat ia akan datang kerumah salah seorang dari kalian dan mengambilnya sebagai seorang isteri" "Bohong"
651 "Atau bahkan datang kerumah beberapa orang diantara kalian berturut- turut. Dan barangkali dua atau tiga orang diantara. kalian akan diambilnya sekaligus" "Ah, bohong, bohong" gadis-gadis itupun tertawa berkepanjangan. Dan Purantipun ikut tertawa pula diantara mereka. Namun ternyata bahwa laki-laki itu memang tidak datang lagi kerumah Puranti meskipun, agaknya ia masih tetap tergila-gila, Bahkan kadang-kadang laki-laki itu berdiri menunggu Puranti lewat membawa bakul cucian apabila ia pergi kesungai, sambil bersembunyi dibalik sebatang pohan dipinggir jalan ia mengintip gadis itu lewat bersama beberapa orang temannya. "Gadis anak genderuwo itu sudah tidak pernah kelihatan mengawani Suntrut" kadang-kadang timbul juga persoalan itu di-hati iaki-laki itu. Tetapi ia tidak berani berbuat lebih lanjut, karena Wayatsih menyebut-nyebut nama Pikatan dan ia adalah anak janda yang kaya raya dari Kademangan Sambi Sari Bahkan kemudian laki-laki- itu berusaha untuk melupakan Puranti. Dan seperti yang dikatakan olah gadis itu, ternyata ia telah mengambil seorang gadis lain sebagai isterinya. Seperti biasanya ia mendahului perkawinannya dengan memperbaiki rumah orang tua gadis itu. Membelikan perlengkapan rumah tangga, dan pakaian serta kebutuhan-kebutuhan yang lain. Baru kemudian perkawinan dilangsungkan. Tetapi ternyata gadis yang dikawininya itu tidak ditempatkannya dirumahnya yang paling baru, tetapi dibiarkannya tinggal dirumah orang tuanya yang sudah diperbaikinya. Beberapa hari setelah perkawinan itu, Puranti masih juga sempat megganggunya bersama beberapa orang kawankawannya.
652 Dalam pada itu, Puranti sama sekali hampir tidak pernah tidak hadir pada saat-saat Pikatan berlatih. Dengan bangga ia mengikuti perkembangan anak muda itu. Bahkan karena dorongan yang kuat dari dalam dirinya, maka seakan-akan Pikatan mempunyai kekuatan yang berlipat. Dalam waktu beberapa hari saja, ia sudah menemukan kemampuannya kembali. Kemampuan melontarkan tenaga dan bahkan tenaga cadangan, yang disaat pertama kali ia mencoba mengulang tampak betapa ia harus mengatasi kesulitan didalam dirinya. Tetapi akhirnya ia berhasil juga melepaskan tenaga cadangannya. Yang agaknya masih dapat dikuasainya dengan baik adalah kecepatannya bergerak. Bahkan seakan-akan latihan yang dilakukannya dengan kesungguhan hati itu telah membuatnya cepat sekali maju. Kakinya mampu bergerak terlampau cepat dan tangannya yang hanya dapat digerakkaimya sebelah itu justru telah mengimbangi kecepatan gerak tangan kanannya dahulu. "Ternyata cacat yang ada padanya, telah membuatnya semakin bernafsu" berkata Puranti didalam hatinya "justru pengaruh kekecewaan dihatinya, bahkan perasaan putus-asa. Kini ia dengan segala daya berusaha untuk mengatasi perasaan-perasaan itu. la berusaha mengimbangi keadaannya dengan kelebihan yang lain. Perasaan rendah diri karena cacatnya telah menumbuhkan tekad didalam hatinya untuk menampakkan kelebihan itu. Bahkan tentu agak berlebihlebihan juga" Namun Puranti hanya dapat melihat saja dari kejauhan. Kemajuan yang dicapai oleh Pikatan telah membuatnya berbesar hati pula. Apalagi ketika pada suatu saat, Pikatan benar-benar telah berada didalam keadaannya seperti ketika la belum mengalam cidera. Kemampuan tangan kanannya didalam olah senjata, telah dapat dilakukannya dengan tangan
653 kiri. Bahkan semakin lama tampak beberapa kelebihan, karena kesungguhannya berlatih. Tetapi dalam pada itu. Puranti tidak juga melupakan Wiyatsih. Bahkan didalam waktu-waktu tertentu. Wiyatsih itu dibawanya ketempat yang sepi. Yang tidak akan dilihat oleh orang lain, dan dengan demikian tidak akan terganggu karenanya. "Apakah tidak akan menimbulkan sesuatu yang kurang baik jika kita berlatih dialas Sambirata?" bertanya Wiyatsih pada suatu saat, ketika Puranti mengajaknya masuk kedalam daerah hutan kecil itu. "Kita tidak akan berbuat apa-apa" jawab Puranti "kita akan berbuat sesuatu untuk diri kita sendiri" "Tetapi hutan itu termasuk daerah yang wingit" "Mungkin, tetapi kita tidak akan berbuat jahat terhadap siapapun. Bahkan kita berlatih untuk menyerahkan suatu pengabadian bagi kebajikan. Mungkin ada cara yang lebih baik dari cara yang kita tempuh, tetapi setidak-tidaknya kita bukan berniat jahat kepada siapapun. Jika tidak ada kejahatan, maka kita memang tidak akan berbuat apa-apa" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun mula-mula ia merasa kurang mapan ketika ia pertama kali berlatih dialas Sambirata yang dianggap wingit oleh orangorang disekitarnya, namun kemudian agaknya menjadi biasa pula. Seperti kata Puranti, karena mereka tidak berniat jahat, maka tidak pernah terjadi sesuatu atas mereka, selama mereka berlatih di Alas Sambirata itu. Meskipun yang satu dengan yang lain tidak saling berjanji, namun rasa-rasanya mereka sedang berpacu. Wiyatsihpun telah berlatih dengan sepenuh kemampuan yang ada padanya Bekal-bekal yang diberikan langsung oleh ayah Puranti ternyata memberikan banyak manfaat baginya. Apalagi gadis inipun memiliki kecerdasan yang tidak kalah dari kakaknya,
654 Pikatan. Hanya tenaga kodrati sebagai seorang gadis, Wiyatsih tidak dapat menyamai kakaknya, meskipun Wiyatsih sudah mulai berlatih membangkitkan tenaga cadangannya pula, apalagi karena Pikatanpun melakukan hal yang sama. Namun tingkat kemampuan mereka mengungkap tenaga cadangan itulah yang berbeda-beda sehingga karena Itulah maka meskipun tenaga kodrati Wiyatsih tidak menyamai Pikatan, namun gadis itu mampu mengungkap tenaga cadangan yang ada didalam dirinya seperti Pikatan. Sejalan dengan latihan-latihan yang dilakukan oleh Wiyatsih, dengan atau tidak dengan Puranti, ia tidak pernah melupakan tanamannya yang kini sudah bukan lagi tanaman jagung muda, karena jagung itu benar-benar telah berbuah. Seperti yang dikehendaki, ternyata tanaman yang hanya sekotak itu memberikan banyak arti bagi usaha Wiyatsih untuk membangun sebuah bendungan. "Usaha itu pantas dihargai" berkata anak-anak muda yang berkumpul disimpang empat, dipinggir desanya. Diantara mereka terdapat Kesambi. "Bukan sekedar dihargai" berkata Kesambi tetapi kita sudah melihat hasilhya. Mungkin jagung itu tidak akan menghasilkan biji-biji yang sempurna. Tetapi itu bukan karena kesalahan penyediaan air. Karena tanaman jagung itu hanya sekotak kecil, maka serbuk bunganya banyak dihamburkan angin, sedang tidak ada serbuk bunga yang dihanyutkan angin dari kotak-kotak sawah yang lain. Dengan demikian maka pembuahan yang terjadi agaknya kurang sempurna. Tetapi jika seisi bulak itu ditanami jagung, maka buahnya pasti akan lebih baik. Biji-bijinya akan lebih banyak dan memuaskan" "Ya, itu kami dapat mengerti" sahut kawannya. "Jika demikian, kenapa kita tidak berpikir agak jauh" "Membuat bendungan itu maksudmu?"
655 "Ya" sahut Kesambi. "Bukan kita tidak berpikir, tetapi bagaimana kita harus melaksanakan" "Itulah tantangannya. Dan kita harus dapat menjawabnya dengan tindakan" "Apa yang dapat kita lakukan?" "Pikatan pernah berceritera tentang bendungan itu dahulu. Sebenarnya tidak terlalu sulit, jika kita benar-benar mau bekerja" "Semua bahan yang diperlukan telah tersedia" "Apa?" "Bambu untuk membuat bruajung-brunjung. Patok-patok kayu, dan batu yang harus dimasukkan kedalam brunjungbrunjung. Semuanya sudah ada dipadukuhan ini. Kayu-kayu yang agak besar, kita dapat mengambilnya kedalam hutan" "Bagaimana kita akan mengangkut kayu-kayu itu" Pedatipedati se Kademangan kita kerahkan?" "Jika perlu apa salahnya, karena bendungan ini adalah bendungan kita bersama" "Apa kita dapat melakukannya" Orang-orang itu akan mentertawakan kita" "Jangan kita. Ki Demanglah yang harus memberitahukan kepada setiap orang yang memiliki pedati yang jumlahnya tidak banyak di Kademangan ini. Tetapi jika kita menemui kesulitan, kayu-kayu itu kita hanyutkan saja dikali Kuning. Kita tinggal menanti saja ditempat yang akan kita dirikan sebuah bendungan itu. Mungkin di tikungan-tikungan sungai kita harus menarik kayu itu sedikit-sedikit. Tetapi pekerjaan itu tidak terlalu sulit" "Tetapi sebentar lagi musim hujan akan datang"
656 "Lewat musim hujan. Selama musim hujan kita akan membuat brunjung-brunjung bambu. Begitu musim hujan selesai, kita turunkan brunjung-brunjung itu kesungai setelah kita isi dengan batu-batu yang kita dapatkan disungai itu pula" "Tampaknya sederhana sekali" gumam salah seorang dari mereka. "Memang tidak sesederhana itu. Tetapi jika kita benarbenar bertekad untuk melakukan, kita akan dapat melakukannya. Wiyatsih mengajak satu dua orang dari antara kita menghadap Ki Demang Sambi Sari" "Apakah Ki Demang tidak akan mentertawakan kita?" "Apakah ia tidak dapat melihat hasil percobaan Wiyatsih itu" Hasil yang sebenarnya tidak dapat kita harapkan lahir dari seorang gadis. Dan kita anak-anak muda ini tidak dapat berbuat apa-apa" "Ia adalah adik Pikatan" sahut seorang anak muda "rencana itu mula-mula timbul dari Pikatan" "Meskipun demikian, jika tidak ada sesuatu kelebihan pada Wiyatsih, ia tidak akan dengan kemauan yang bulat melakukan percobaan yang ternyata berhasil itu" Kawan-kawannya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. "Nah, siapakah yang bersedia pergi kerumah Ki Demang bersama Wiyatsih" Tidak seorangpun yang menyahut "Aku sendiri bersedia" berkata Kesambi, tetapi aku memerlukan kawan. Kita akan benar-benat membangun bendungan. "Ki Demang akan marah" "Kenapa?"
657 "Atau mentertawakan. Kita anak anak muda seharusnya tidak mendahului orang tua-tua" "Ah. Pikiranmu sudah terbalik. Justru kita yang muda-muda inilah yang harus mendahului orang tua-tua, jika orang tuatua tidak menemukan jalan baru untuk memperbaiki tata kehidupan ini" "Tetapi mereka akan menganggap kita telah berbuat deksura terhadap mereka" "Tentu tidak. Dan itu tergantung dari apa yang akan kita lakukan. Jika kita hanya mampu berkeliaran di jalan-jalan. Berteriak-teriak tanpa arti dan bahkan kadang-kadang mengganggu orang lain, nah, barulah wajar Ki Demang marah kepada kita. Tetapi yang akan kita lakukan adalah usaha untuk meningkatkan hidup rakyat Kademangan ini" Kawan-kawannya tidak menyahut. Tetapi mereka mengangguk-anggukkan kepalanya. "Nah, siapakah diantara kita yang hanya dapat berkeliaran dari prapatan yang satu keprapatan yang lain, bahkan melempari buah-buahan milik tetangga, tetapi tanpa berbuat sesuatu jika terdengar suara kentongan dimalam hari, sebaiknya memang tidak ikut bersama dengan kita. Kecuali dengan tekad untuk menghentikan perbuatan-perbuatan itu. Dan kita akan menerima dengan senang hati" Masih belum ada seorangpun yang menyahut dan anakanak itu masih saja mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah. Jika datang saatnya, aku akan mengajak satu atau dua orang dari kalian. Kita harus meyakinkan Ki Demang, bahwa membuat bendungan sangat besar manfaatnya, selagi jagung yang ditanam Wiyatsih itu masih kelihatan hijau" Demikianlah niat untuk membangun bendungan itu menjalar semakin luas, setelah mereka melihat kenyataan
658 yang diperagakan oleh Wiyatsih, maka anak-anak muda di Sambi Sari rasa-rasanya terbangun karenanya. Namun dalam pada itu, dengan wajah yang berkerut-merut Nyai Sudati duduk dipringgitan rumahnya bersama dengan Tanjung. Dengan nada yang gelisah Nyai Sudati berkata "Apakah niat itu benar-benar akan dilaksanakan?" "Menurut pendengaranku. Anak-anak muda kini sangat terpengaruh oleh Kesambi yang dengan gigihnya menyebar luaskan hasrat Wiyatsih membangun bendungan itu" Wajah Nyai Sudati menjadi suram. Katanya "Justru anakanakku sendirilah yang telah membuat aku bersedih. Mereka sama sekali tidak mau mendengar, bahwa mereka menjadi besar dan memiliki kecakapannya seperti sekarang ini karena kerja yang telah aku lakukan bertahun-tahun. Sadar atau tidak sadar, mereka akan menutup segala kemungkinan bagi perkembangan usahaku. jika rakyat Sambi Sari mendapat nafkah yang cukup, maka mereka tidak akan lagi dapat disadap seperti sekarang dan aku akan sulit untuk mendapatkan tenaga dengan upah yang murah" "Apakah Wiyatsih benar-benar tidak dapat dikendalikan?" bertanya Tanjung "Dan apakah ia benar-benar tidak menghiraukan usaha orang tuanya sendiri?" "Aku tidak mengerti. Tetapi rasa-rasanya aku sama sekali sudah tidak dapat mengendalikannya" Tanjung menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun tidak akan dapat berbuat apa-apa. Bahkan semua harapannya atas gadis itu sudah hampir musnah sama sekali. Satu-satunya yang masih diharapkan adalah kerja yang dipercayakan Nyai Sudati kepadanya dan kemudian apabila Wiyatsih berubah pikiran. "Tanjung" berkata Nyai Sudati kemudian "apakah kau tidak dapat berbuat sesuatu untuk melawan niat anak-anak muda itu". Jika perlu dengan melepaskan beberapa, keping uang
659 asal anak-anak itu mengurungkan niatnya membangun bendungan yang membuat daerah ini menjadi subur. Mungkin kau dapat mengupah orang tua-tua yang dengan kepercayaannya dapat menakut-nakuti anak-anak muda itu. Jika orang tua-tua itu berhasil mengungkap kembali ceritera lampor yang membawa beberapa orang gadis beberapa tahun yang lalu, maka aku kira ada juga pengaruhnya" "Lampor yang mana?" bertanya Tanjung "Bukankah disekitar sepuluh lahun yang lalu atau kurang sedikit, padukuhan ini telah dilanda olah lampor yang menggetarkan hati. Hampir setiap hari Kali Kuning banjir disertai suara gemuruh seperti sepasukan berkuda lewat, Ternyata pasukan itulah yang disebut lampor. Mereka telah menculik beberapa orang gadis dan dibawanya serta. Ada yang dibawa bersama tubuhnya, tetapi ada yang kemudian delemparkannya kembali, sehingga hanya halusnya sajalah yang telah mereka bawa" Tanjung mengangguk-anggukkan kepalanya. Jika hal itu terjadi sepuluh tahun yang lalu, ia pasti sudah dapat mengingat-ingatnya. Anak muda itu masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia ingat jelas. Empat orang gadis yang menyeberangi sungai itu telah hanyut selagi sungai itu banjir menjelang senja. Gadis-gadis itu baru pulang dari sawah diseberang sungai. Mereka tidak menyangka bahwa banjir yang datang itu sedang meningkat. Mereka menyangka bahwa arus air itu tidak terlalu besar, sehingga mereka memberanikan diri untuk bersama-sama menyeberang. Tetapi malang bagi mereka, ketika mereka berada ditengah-tengah sungai, maka airpun menjadi semakin besar, sehingga mereka tidak pernah mendapat kesempatan untuk mencapai tepi. Mereka bersama-sama hanyut dilanda banjir Hanya dua dari mayat mereka yang dapat diketemukan.
660 Sampai ketahun-tahun berikuthya, yang dua lagi tidak dapat diketemukan. "Itulah agaknya ceritera tentang lampor itu" berkata Tanjung didalam hatinya. "Apakah kau masih ingat?" bertanya Nyai Sudati. Tanjung mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Ya. Aku masih ingat. Empat orang gadis yang hanyut" "Dihari pertama" "O" "Masih ada lagi. Berturut-turut tiga orang gadis meninggal beberapa pekan kemudian. Dan suara lampor itu masih selalu terdengar disetiap senja" Tanjung mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang ada kematian yang menyusul. Tetapi itu kematian yang wajar. Dua orang gadis yang terserang penyakit panas dan dingin berturut-turut meninggal. Dan seorang gadis yang lain membunuh diri dengan seutas tali dipohon kantil dibelakang rumahnya. Tetapi itupun ada sebabnya, karena gadis itu mengandung sebelum ia kawin. Namun demikian Tanjung mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Mungkin ceritera tentang lampor itu dapat mempengaruhi anak-anak muda itu" "Ya. ceritera itu harus dikembangkan lagi sebelum pembuatan bendungan itu dimulai" Tanjung masih mengangguk-angguk. "Kau dapat mempergunakan orang tua-tua. Kau dapat melepaskan beberapa keping uang untuk membeli kegemaran orang tua-tua itu. Jadah tempe dan jenang alot. Ajak mereka bercakap-cakap dirumahmu, asal kau tidak semata-mata memanggil mereka untuk keperluan itu"
661 "Aku akan berusaha. Dan mudah-mudahan Ki Demangpun tidak. menyetujui rencana itu" "Kenapa dengan Ki Demang" "Anak-anak itu akan menghadap Ki Demang di Sambi Sari. Tanpa ijin Ki Demang, bendungan itu tidak akan dapat dibuat" Nyai Sudati mengangguk-angguk. Katanya "Mudahmudahan Ki Demang tidak setuju. Dan mudah-mudahan aku masih sempat berbicara lagi dengan Wiyatsih" "Baiklah. Kita akan menempuh beberapa jalan. Pada dasarnya kita akan tetap mempertahankah sendi-sendi kehidupan serupa ini. Agaknya kita tidak berdiri sendiri. Beberapa orang yang mempunyai kepentingan seperti kitapun akan membantu usaha ini sejauh-jauh dapat mereka lakukan. Nyai Sudati masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan Tanjung, bahwa ada beberapa orang yang dapat diajaknya bersama-sama melaksanakan rencana mereka membendung usaha Wiyatsih dan anak-anak muda Sambi Sari untuk membangun bendungan. Dan agaknya Tanjungpun memenuhi janjinya. Dengan diam-diam ia berusaha membangkitkan kembali ceritera tentang lampor yang mengerikan itu. Bahkan ia telah menambah ceritera itu, bahwa pada saat itu, timbul juga pikiran untuk membangun bendungan di Kali Kuning. Dalam beberapa pekan kemudian maka ceritera tentang lampor itu mulai menjalar kembali diantara rakyat Sambi Sari. Mereka yang telah melupakannya, menjadi teringat kembali. Beberapa orang gadis telah hilang dan mati. Bahkan ada diantaranya yang mati dengan jalan yang paling mengerikan, membunuh diri. "Jangan ikut-ikutan dengan anak-anak gila itu" pesan seorang ayah kepada anaknya "ingat, dahulu beberapa orang gadis pernah menjadi korban. Jika sekarang usaha membuat
662 bendungan itu diteruskan, maka kelak bukan saja gadis-gadis, tetapi mereka yang akan membuat bendungan itulah yang akan menjadi sasaran yang pertama" Pesan semacam itu ternyata telah menjalar pula dari rumah kerumah. Hampir setiap orang tua telah memberikan pesan serupa kepada anak-anaknya. "Gila" Kesambi menggeram "ternyata ceritera tentang lampor itu telah menghambat usaha kita" Seorang anak muda yang lain menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Apakah kau tidak percaya kepada lampor itu Kesambi?" Kesambi menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Kita mempunyai kewajiban untuk membina hidup masyarakat kita. Mungkin ada masyarakat lain diluar masyarakat manusia dan itu sebenarnya tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan kita, apabila kita berjalan dijalan kita masing-masing" "Kau tidak berani mengatakan dangan tegas, bahwa kau tidak percaya" desak kawannya. Kesambi memandang kawannya itu dengan ragu-ragu. Ia tidak tahu maksud pertanyaan itu. Namun kemudian ia menjawab "Terus terang, aku tidak berani menjawab dengan tegas, bahwa memang tidak ada masyarakat lain diluar masyarakat kita. Maksudku, masyarakat manusia. Tetapi manusia adalah mahluk yang paling dikasihi oleh ALLAH swt. Itulah sebabnya, maka jika kita bersandar kepada Maha Pencipta, maka kita akan berada diatas segalanya. Dan demikianlah hendaknya yang akan kita lakukan" Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berkata apapun lagi. Karena kawannya tidak menjawab, maka Kesambipun berkata "Kita harus dapat meyakinkan kawan kawan kita, bahwa kita tidak akan diganggu oleh siapapun asal kita bersandar pada kekuatan tertinggi diatas segala kekuatan, yaitu ALLAH swt.
663 "Ya" kawannya berdesis tetapi pekerjaan itu bukannya pekerjaan yang mudah" "Memang. Tetapi tujuan kita adalah tujuan yang baik. Kita harus berjalan terus. Jika bukan kita, siapakah yang akan menemukan jalan baru bagi peningkatan kehidupan di padukuhan ini" Sampai sekarang, kita anak-anak muda, terlalu banyak membuang waktu dengan tindakan-tindakan yang tidak menentu. Kerja keras seperti yang sudah berpuluh tahun dilakukan oleh nenek dan kakek kita atau sama sekali tidak bekerja, tetapi berbicara saja, mengeluh dan mengumpat, seakan-akan nasib yang jelek ini tergantung sama sekali kepada kesalahan nenek moyang kita atau kepada musim atau bahkan seakan-akan ALLAH swt sudah mentakdirkan kita jadi begini. Yang penting bagi kita sekarang adalah berbuat sesuatu. Jika kita tidak berbuat sesuatu maka keturunan yang mendatangpun akan menyalahkan kita, karena kita hanya pandai mengeluh saja saat ini" Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan merekapun bertekad semakin bulat untuk berbuat sesuatu. "Kita harus segera menghadap Ki Demang. ceritera tentang lampor itu semakin lama akan menjadi semakin berbahaya bagi rencana ini" berkata Kesambi kemudian. "Ya. Kapan kita akan pergi?" "Aku akan berhubungan dengan Wiyatsih" Demikian maka anak-anak muda yang masih tetap mantap pada sikapnya itupun menentukan waktu yang sebaik-baiknya untuk menghadap Ki Demang. Tiga diantara mereka akan berangkat. Diantaranya adalah Wiyatsih sandiri. Kedatangan ketiga anak-anak muda itu mengejutkan Ki Demang Sambi Sari. Tetapi la berusaha untuk menghapus kesan itu dari wajahnya. Dan apalagi sedikit banyak Ki Demang sudah mendengar bahwa ada usaha anak-anak muda
664 dari padukuhan disebelah Alas Sambirata untuk membuat bendungan. "Mungkin mereka inilah" gumam Ki Demang didalam hati. Sejenak kemudian, setelah Ki Demang menyapa mereka seorang demi seorang maka langsung ia bertanya "Apakah keperluan kalian menemui aku?" "Ki Demang" Wiyatsihlah yang berbicara atasnama kawankawannya "kami datang untuk mohon ijin dan restu. Tetapi lebih dari itu juga bantuan yang mungkin dapat kami terima. "Untuk apa?" Ki Demang mulai dapat meraba. "Kami, anak-anak muda di Sambi Sari, merasa prihatin atas kehidupan rakyat didaerah ini" Wiyatsih berhenti sejenak, lalu dikatakannya apa yang selalu dilihatnya sehari-hari dan apa yang sudah mereka lakukan. "Kehidupan rakyat dipadukuhan-padukuhan sekitar Alas Sambirata tidak akan berubah jika sawah mereka tetap kering" Wiyatsih mengakhiri keterangannya. Ki Demang di Sambi Sari mengerutkan keningnya. Namuh kemudian ia tertawa, katanya "Apakah kalian tidak sekedar mimpi indah dimalam yang gelap?" Wiyatsih memandang Ki Demang dengan tajamnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya "Apakah maksud. Ki Demang?" "Kalian adalah anak-anak muda yang kadang-kadang sekedar terdorong oleh keinginan sesaat. Tetapi jika kalian benar-benar sudah mulai dan menjumpai kesulitan, kalian akan segera meletakkan pekerjaan itu dan meninggalkannya tanpa bertanggung jawab sama sekali" "Ah" desah Wiyatsih "begitukah kebiasaan anak mudamuda?" "Ya" jawab Ki Demang tegas "mereka mudah menentukan sikap sebelam berpikir masak-masak. Tetapi mereka segera
665 beralih pada keinginan yang lain sebelum mereka menyelesaikan pekerjaan itu. Kadang-kadang tidak bertanggung jawab, dan kadang-kadang jemu" "Ki Demang" Kesambi menyela "apakah itu pernah terjadi di Sambi Sari". Kami belum pernah berbuat sesuatu, sehingga karena itu, kami belum pernah melepaskan tanggung jawab atas pekerjaan yang manapun juga. Justru karena kami belum pernah berbuat sesuatu itulah, sekarang kami bertekad untuk melakukannya. Adalah salah sama sekali jika kita masih saja tetap menunggu datangnya perubahan nasib tanpa berbuat sesuatu atau sekedar mengumpat-umpat dan mengeluh. Mungkin kami dapat menuntut kepada Ki Demang sebagai pemimpin kami, kenapa kami tidak mendapat makan dan pakaian yang cukup. Mungkin kami dapat menganggap Ki Demang tidak mampu memimpin Kademangan ini karena kami menjadi miskin, sedang ada juga orang-orang yang sampai hati mengambil keuntungan dari kemiskinan kami" Ki Demang termenung sejenak. Dahinya menjadi semakin bekerut-merut. Tanpa disadarinya dipandanginya Wiyatsih yang duduk diantara anak-anak muda itu. "Diantaranya adalah ibuku" berkata Wiyatsih dengan sertamerta. la mengerti bahwa Ki Demang menganggapnya demikian "Tetapi aku tidak sependapat dengan ibu. Dengan beberapa orang kaya yang lain dan dengan anak-anak muda yang membantu pekerjaan mereka dengan gigih, dan bahkan beberapa orang bebahu Kademangan ini melakukan hal yang serupa pula. Tetapi kami tidak cukup menuntut. Kami harus mulai dari akarnya. Yaitu kemungkinan untuk mendapat sumber penghidupan yang baik" Ki Demang masih mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa berkepanjangan "Omong kosong. Kalian sekedar didera oleh perasaan tidak puas. Yang kalian lakukan sekarang ini tidak ada bedanya dengan sebuah tuntutan pula"
666 Wajah Wiyatsih menjadi merah, dan Kesambi bergeser sejengkal "Maaf Ki Demang. Kami hanya meminta ijin saja. Lebih dari itu serahkan kepada kami. Jika bendungan itu jadi, akan ada perubahan kehidupan di Kademangan Sambi Sari. Jika tidak, tidak ada orang yang dirugikan, karena kehidupan kami akan tetap seperti ini. Kami yang miskin akan tetap miskin dan mereka yang kaya akan menjadi semakin kaya Penghisapanpun akan berjalan terus dan kami akan menjadi semakin kering" "Bohong" bentak Ki Demang "kenapa kalian membiarkan diri dihisap sampai kering, itu adalah kebohonganmu sendiri Jika kau sudah menyadari akan hal itu, kenapa hal itu masih saja terjadi?" "Kami tidak dapat berbuat lain. Sebelum kami mati kelaparan, kami menyediakan diri untuk menjadi kelapa perahan sehingga tinggallah ampasnya saja yang masih ada pada kami" "Bodoh sekali. Dan kalian menyerahkan diri itu diperah" "Apaboleh buat. Kami mengharap Ki Demang bertanya kepada seorang dua orang dari pembantu-pembantu Ki Demang. Dari mana mereka mendapatkan kekayaan. Mereka sudah memilih sawah yang paling subur buat lungguh mereka, disamping usaha mereka yang sama sekali tidak pantas bagi rakyatnya. Jika Ki Demang tidak memberikan ijin dan restu itu, kami akan berbuat sesuai dengan kemampuan kami yang ada. Kami harus menaikkan air dari Kali Kuning" "Kalian akan melanggar hakku" "Tidak Ki Demang. Kami tidak akan membuat bendungan. Tetapi kami harus mendapatkan suatu cara untuk menaikkan air itulah soalnya" "Kalian akan dimakan lampor " "O, Ki Demang juga berpikir tentang lampor?"
667 "Ya. Beberapa orang gadis kita telah mati tahun yang lalu. Seorang diantaranya adalah bakal menantuku. Apakah kalian tidak takut". Terutama kau Wiyatsih" Lampor memilih gadisgadis. Bahkan mungkin anak muda juga" "Hidupku bukanlah mutlak milikku Ki Demang. Ada kekuasaan yang memeliharanya dan pada saatnya menghentikannya Kekuasaan itu tidak ada bandingnya. Karena itu, aku pasrah kepadaNya" Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya "Aku tidak mengijinkan" "Ki Demang" anak-anak muda itu hampir tidak dapat menahan hatinya. Tetapi untunglah bahwa mereka masih sadar, bahwa mereka berhadapan dengan Ki Demang di Sambi Sari. Tangan Wiyatsih tiba-tiba saja menjadi gemetar. Jika yang dihadapinya itu bukan Ki Demang, maka ia akan meloncat dan mencekiknya. "Nah. kalian sudah mendengar. Sekarang apa yang akan kalian lakukan?" Kesambi menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ingin mengendapkan gejolak yang terungkat didadanya. Katanya "Kekuasaan memang ada pada Ki Demang. Tetapi yang penting bagaimana kekuasaan itu berlaku. Jika kami tidak mendapatkan ijin untuk membuat bendungan, tentu kami tidak akan membuat. Tetapi kami akan mencari cara untuk menaikkan air. Mungkin kami akan menempuh cara seperti yang dilakukan oleh Wiyatsih atas tanaman jagungnya yang hanya sekotak itu. "Gila" geram Ki Demang "kau sangka kalian akan dapat melakukannya setiap tiga hari" Kalian akan mati kelelahan"
668 "Apa salahnya?" sahut Wiyatsih "mati kelelahan dalam usaha meningkatkan hidup sanak kadang adalah pengorbanan yang bernilai" "Tidak ada orang yang akan menghargai kematian yang bodoh serupa itu. Ibumu juga tidak Wiyatsih" "Bukan penghargaan lahiriah. Tetapi hakekat dari perjuangan itulah yang penting." Tetapi Ki Demang menggeleng "Aku tidak mengijinkan kalian mengganggu aliran Kali Kuning apapun caranya" Anak-anak muda itu menjadi tegang. Namun mereka tidak dapat mengatasi kekuasaan yang ada pada Ki Demang di Sambi Sari. Karena itu, maka Kesambipun berkata "Baiklah Ki Demang. Kami mintai diri. Kami akan menjadi bahan tertawaan orang-orang yang tidak sependapat dengan kami. Kami akan ditertawakan oleh orang-orang tua yang takut akan lampor, oleh orang-orang kaya yang memeras kami, dan oleh anak-anak muda cengeng yang hanya dapat berteriak-teriak sepanjang jalan sambil menuntut, menyindir dan mengeluh tanpa berbuat sesuatu yang bernilai bagi kehidupan yang benar-benar sedang kita hayati ini" Ki Demang tidak menjawab, dipandanginya saja anak-anak muda itu seorang demi seorang. "Kami mohon diri, tetapi jiwa kami tidak akan berhenti bergolak" Ki Demang hanya menganggukan kepalanya saja. Ketika anak-anak itu meninggalkan pendapa Kademangan Sambi Sari, Ki Demang mengantarkan mereka sampai keregol. Sejenak dibiarkan anak-anak muda itu melangkah. Tetapi ketika mereka sudah berada diluar regol, Ki Demang memanggilnya "Kesambi." "Kesambi berpaling. Dengan tatapan mata yang merah dipandanginya Ki Demang yang berdiri diregol. Sebelum Ki
669 Demang berkata sesuatu, Kesambi sudah mendahului "Ki Demang masih akan mengancam kami?" Ki Demang menggelengkan kepalanya. Katanya "Tidak Kesambi. Dengarlah. Aku tidak berkeberatan kau membuat bendungan itu" "Ki Demang" anak-anak muda itu hampir memekik. "Aku sejak semula memang tidak berkeberatan. Tetapi aku ingin melihat kesungguhanmu. Ternyata bahwa kalian tidak sekedar main-main. Kalian agaknya bersungguh-sungguh. Karena itu, aku akan membantu kalian" Anak-anak muda, itu berdiri termangu-mangu. Perlahanlahan mereka melangkah kembali. Dan hampir diluar sadarnya mereka berdesis "Terima kasih Ki Demang" "Aku memang memerlukan anak-anak muda seperti kalian, Aku tidak ingkar, bahwa masih ada orang yang memeras orang-orang yang sudah kering, bahkan beberapa orang perabot Kademangan ini. Tetapi anak-anak muda tidak berbuat apa-apa yang langsung menyangkut kehidupan dan masa depan yang lebih baik selain menerima nasibnya seperti yang telah mereka alami. Yang lain kehilangan pegangan dan harapan, sehingga sama sekali tidak berbuat apa-apa selain mengeluh dan mengumpat. Yang aneh bagiku adalah Wiyatsih. Anak-anak orang kaya di Kademangan ini hampir tidak pernah berpikir tentang orang lain. Mereka hanya dapat berbuat untuk kesenangan sendiri. Jika ia laki-laki, ia akan kawin hampir setiap bulan sekali, kemudian diceraikannya dan diterlantarkannya. Jika ia perempuan ia hanya pandai berhias didalam biliknya" "Ada juga yang lain dari kebiasaan itu Ki Demang" berkata Kesambi. "Baiklah. Mulailah kapan saja kalian kehendaki"
670 "Sebentar lagi musim hujan akan datang. Kami akan mengatur segala persiapannya. Kami akan membuat brunjung-brunjung bambu. Sedang dimusim kemarau mendatang, kami akan meletakkan brunjung-brunjung yang akan kami isi dengan batu-batu itu didasar sungai" "Aku percaya. Apa saja yang kalian butuhkan, kalian dapat mengambil di Kademangan ini. Aku akan mengeluarkan perintah itu. Tetapi ingat, rintangan dan mungkin gangguan akan banyak kalian hadapi, selain gangguan para penjahat" Ki Demang berhenti sejenak, lalu "Sebenarnya sudah lama aku menunggu Pikatan Tetapi menurut pendengaranku, ia kini justru hidup mengasingkan diri dirumahnya" Wiyatsih menganggukkan kepalanya "Ya Ki Demang" "Tetapi sama saja bagiku. Apakah ia Pikatan ataupun Wiyatsih. Selamat bekerja" Anak-anak muda itupun meninggalkan Kademangan dengan wajah berseri-seri. Hampir saja mereka menjadi putus asa. Tetapi ternyata bahwa Ki Demang tidak berkeberatan sama sekali. "Kita jangan tergesa-gesa berbuat sesuatu" berkata Wiyatsih "kita matangkan semua rencana dan kita hadapi semua hambatan. Terutama ceritera tentang lampor itu" Demikianlah anak-anak muda itu menjadi semakin mantap. Itulah sebabnya mereka semakin giat bekerja. Mereka berbisik dari telinga ketelinga, bahwa Ki Demang mendukung rencana itu dan sebentar lagi justru Ki Demang akan memerintahkan semua orang di Kademangan Sambi Sari untuk menyediakan apa saja yang diperlukan. Dalam pada itu, ceritera dari anak-anak muda tentang bendungan dan dukungan Ki Demang itu telah membuat beberapa orang di Sambi Sari menjadi gelisah. Bahkir ada diantara mereka yang menganggap bahwa Ki Demang telah
671 dipaksa oleh beberapa orang anak-anak muda untuk menyetujui rencana itu. "Seharusnya Ki Demang bertindak tegas. Jika ia memanjakan beberapa orang dari Kademangan ini, maka tuntutan itu akan berkembang. Bahkan lain kali mereka akan menuntut agar Ki Demang pergi dari kedudukannya" berkata salah seorang bebahu Kademangan Sambi Sari. Ketika pendapat itu sampai ketelinga Ki Demang, maka Ki Demang hanya tersenyum saja. Dipanggilnya Ki Jagabaya dari Sambi Sari. Kepadanya ia bertanya "Bagaimana pendapatmu tentang bendungan itu?" Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Katanya "Kenapa dengan bendungan?" "He, apakah selama ini kau tertidur" Semua orang mempersoalkan bendungan. Ada yang sependapat, ada yang menentang, bahkan ada yang menganggap bahwa aku sudah keliru memberikan dukungan atas pembuatan bendungan itu, karena dengan demikian aku dianggap sudah memanjakan anak-anak muda, bahkan ada yang menganggap bahwa aku sudah diancam oleh mereka" berkata Ki Demang. Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya "Hanya orang yang tidak mempunyai urusan sajalah yang akan mempersoalkannya. Aku tidak pernah memikirkan apakah akan ada bendungan atau tidak" Ki Demang mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya "Jadi kau acuh tak acuh saja terhadap bendungan itu?" "Apakah aku harus ikut meributkannya" Ikut berceritera tentang lampor dan ikut memaki-maki beberapa orang yang tidak sependapat dengan bendungan itu?" "Bukan itu soalnya Ki Jagabaya. Tetapi masalahnya menyangkut kehidupan di Kademangan Sambi Sari. Bukan sekedar masalah yang terlalu sederhana, karena anak-anak
672 muda ingin membendung air Kali Kuning untuk membuat kolam mandi" Ki Jagabaya memandang wajah Ki Demang sejenak, lalu mengangguk-anggukan kepalanya "Ya. Mereka tidak akan membuat kolam mandi" "Karena itu masalahnya akan menyangkut seluruh Kademangan. Akan menyangkut kehidupan dan penghidupan. Jika sawah-sawah nanti berhasil digenangi air, maka masalahnya pasti bukan sekedar acuh tidak acuh saja" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudah agak lama ia tidak menghiraukan masalah-masalah yang timbul di Kademangannya, apa lagi yang berhubungan dengan meluasnya kejahatan, karena Ki Jagabaya merasa tidak mampu melakukannya. Memang ada juga usaha yang dilakukan, tetapi usaha itu terbatas sekali untuk mengatasi kejahatan-kejahatan kecil yang justru dilakukan oleh orangorang Sambi Sari sendiri terhadap sesama mereka. Kehilangan ternak, pakaian dijemuran dan yang sama sekali tidak bersangkut paut dengan keamanan Kademangan yang sebenarnya. Sikap itulah yang lambat laun membuatnya menjadi acuh tidak acuh. Kemampuannya sama sekali tidak cukup untuk mengatasi persoalan yang dihadapinya. Yang dapat dilakukan hanyalah menganjurkan orang-orang kaya untuk mencari tenaga perlindungnya masing-masing. Sedang anak-anak muda sama sekali lepas dari pengamatannya dan apalagi bimbingannya. Ketakutan dan kecemasan telah mencengkam anak-anak muda setiap malam. Namun disiang hari mereka menghabiskan waktunya untuk sebagian bekerja untuk mendapatkan upah yang tidak seberapa disawah mereka yang kebetulan berair, dan yang sebagian lagi sama sekali tidak berbuat apa-apa, karena sawah mereka kering sama sekali. Dan kini tiba-tiba Ki Demang lebih membangunkannya, karena beberapa orang anak muda bertekad untuk membuat
673 bendungan. Karena itu, maka ia tidak akan dapat terus menerus untuk mendekur. "Ki Jagabaya"berkata Ki Demang "selama ini ternyata kita hampir tidak berbuat apa-apa. Sekarang anak-anak mudalah yang melangkah lebih dahulu. Kita harus berterima kasih kepada mereka. Dan kita harus membantu mereka, karena bendungan itu akan bermanfaat bukan saja bagi mereka, tetapi bagi Sambi Sari dan segala isinya" Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Baiklah Ki Demang. Aku akan membantu anak-anak itu. Sudah barang tentu bahwa bendungan itu akan sangat bermanfaat" "Baiklah. Aku akan menyuruh anak-anak muda itu menghubungi Ki Jagabaya. Dan ceritera seakan-akan anakanak muda itu telah memaksa aku sama sekali tidak benar. Ketika aku mengatakan kepada mereka, bahwa aku tidak mengiiinkan, betapapun juga terbayang kecewa diwajah mereka, namun mereka tidak ingin bersikap keras terhadapku. Yang membesarkan hatiku adalah hasrat yang sebenarnya yang telah menyala dihati mereka" berkata Ki Demang kemudiah, lalu "mudah-mudahan anak-anak muda yang lain, hidup seperti hidup yang dijalani oleh nenek moyang kita tanpa mendambakan suatu perubahan, bekerja keras dengan cara dan keadaan yang seperti ini. Juga anak-anak muda yang hanya berteriak-teriak sepanjang jalan yang bahkan mengganggu orang lain, juga anak-anak muda yang hanya dapat merajuk dan mengeluh seolah-olah mereka sekedar menjadi permainan nasib sambil berkidung megatruh disore hari untuk mengungkapkan kepahitan hidup yang dialaminya, akan terbangun karenanya. Kerja adalah suatu jawaban yang palihg tepat. Dan sebagian dari mereka telah menemukan jawaban itu" Demikianlah, maka kesempatan bagi anak-anak muda yang berniat untuk membangun bendungan itu menjadi semakin
674 besar. Beberapa orang bebahu benar-benar ikut serta bersama mereka, meskipun ada juga beberapa orang diantara mereka yang menyusun rencana untuk menghalanghalanginya. Tetapi ceritera tentang lampor yang mula-mula berkembang lagi itupun menjadi semakin surut pula, karena anak-anak muda vang sudah bertekad bulat membuat bendungan itu dengan gigih melawannya. Dalam pada itu, selagi anak-anak muda Sambi Sari sibuk dengan rencananya, Pikatanpun sibuk dengan dirinya sendiri. Tetapi harapan Puranti, setelah Pikatan menyadari bahwa kemampuan yang ada pada dirinya itu masih cukup besar, ia akan menemukan kepercayaan pada diri sendiri, dan meninggalkan cara hidupnya yang terasing itu, ternyata keliru. Pikatan yang hampir setiap malam menempa diri itu masih saja hidup terasing dirumahnya. Ia masih tetap selalu berada didalam biliknya. Hanya sekali-sekali ia keluar. Berjalan-jalan dihalaman beberapa lama, kemudian masuk kembaii kedalam biliknya tanpa menghiraukan apapun yang terjadi. Tetapi sekali-sekali sempat juga ia marah-marah kepada Wiyatsih tanpa sebab. Hanya karena Wiyatsih berjalan terlalu cepat, atau berbicara terlalu keras. Namun bagi Wiyatsih akhirnya hal itu justru menjadi biasa. Ia tidak terkejut lagi. dan ia sudah jemu menangis apabila kakaknya marah-marah saja kepadanya. la lebih senang pergi menghindar setelah untuk beberapa lamanya memaksa diri mendengarkan katakata kakaknya, agar tidak semakin menyakitkan hatinya yang sudah parah itu. "Perkembangan jiwa Pikatan menjadi semakin aneh bagiku" berkata Puranti didalam hati ketika ia menunggui latihan vang dilakukan oleh Pikatan dari kejauhan pada suatu malam "ia tidak melangkah kembali kepada kehidupan yang wajar, tetapi justru semakin lama menjadi semakin jauh dan terasing "
675 Bagi Puranti, hal itu akan dapat membahayakan Pikatan sendiri dan barangkali orang lain. Jika Pikatan sampai pada puncak kemampuannya, tetapi jiwanya masih belum pulih kembali, maka ia akan dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang berbahaya. Dan tiba-tiba saja Puranti sampai pada suatu kesimpulan "Agaknya Pikatan telah dibakar oleh dendam yang tidak tertahankan. Agaknya ia ingin menunjukkan bahwa ia adalah seorang laki-laki yang tidak dapat dikalahkan oleh seorang perempuan dalam segala hal" Purantipun adalah seorang anak muda. Meskipun ia sudah berusaha berpikir dewasa, namun darahnya yang masih mudah mendidih itu ternyata telah terbakar oleh anganangannya itu sendiri. Karena itu maka tiba-tiba ia berkata kepada diri sendiri "Jika ia masih juga mendambakan harga dirinya yang berlebih-lebihan dan berlatih mati-matian tidak akan mengorbankan diriku sampai sedalam itu hanya karena aku tertarik kepadanya, kepada seorang laki-laki yang selama ini aku anggap sebagai seorang laki-laki jantan. Jika ia dicengkam oleh kekerdilan pikiran semacam itu, maka aku akan mempertahankan harga diriku betapapun aku menghormatinya" Dan disaat-saat mendatang, ternyata Purahti tidak banyak lagi menunggui Pikatan berlatih dari kejauhan. Meskipun ia masih juga meningkatkan kemampuan Wiyatsih diwaktuwaktu tertentu namun kemudian ia sendiri tenggelam didalam pembelaan diri. Puranti yang sudah memiliki bekal yang cukup itu kemudian berusaha mematangkan ilmunya. Sebagai seorang anak dari seorang yang mumpuni, serta yang pernah mendapat dasar tertinggi dari ilmu dari perguruannya, maka jalan bagi Puranti memang sudah dibuka oleh ayahnya. Dan kini dengan sepenuh hati ia berusaha untuk menyempurnakannya.
676 Tidak seorangpun yang menyaksikan bagaimana Puranti meningkat selangkah demi selangkah. Bahkan kadang-kadang ia telah mempergunakan waktu sepanjang malam untuk berlatih. Dipilihnya tempat yang tidak akan dikunjungi oleh seorangpun. Disebuah jurang yang curam dan berbatu-batu. Tetapi batu-batu itu merupakan kawannya berlatih yang baik. Dengan sepenuh tenaga ia meloncat dan memghantam batu-batu padas yang berserakan dibawah kakinya. Rasarasanya telah mendorongnya untuk berbuat letih banyak lagi. Demikianlah Puranti telah berhasil membangunkan seluruh tenaga cadangan yang ada padanya. Baik sebagai kekuatan, maupun sebagai tenaga pendorong atas kecepatannya bergerak, kemampuannya bermain senjata, dan peningkatan daya tahan tubuhnya. Meskipun Puranti seorang perempuan, tetapi dalam ilmunya yang tertingi yang dikuasainya, kekuatannya jauh melampaui kekuatan laki-laki yang manapun. Ternyata bahwa dorongan untuk memperkuat diri sendiri yang ada pada Puranti itu telah berpengaruh pula pada cara yang ditempuhnya untuk meningkatkan kemampuan Wiyatsih, sehingga Wiyatsih yang seolah-olah berhati baja itupun kadang kadang mengeluh didalam hati. betapa beratnya ia mengikuti petunjuk-petunjuk dan latihan-latihan bersama Puranti. Tetani Wiyatsih tidak pernah menyatakan perasaan itu. Bahkan ia telah berusaha untuk tidak mengecewakan Puranti, sehingga latihan-latihan yang direncanakannya dapat berlangsung sebaik-baiknya. Namun dengan demikian, kemampuan Wiyatsihpun meningkat dengan cepatnya pula. Bahkan ada semacam suatu keinginan dihati Puranti agar kemampuan Wiyatsih pada suatu saat dapat mengimbangi kemampuan Pikatan, sehingga ia akan dapat berkata kepada anak muda yang sombong itu "Nah. Muridkupun mampu mengimbangi ilmumu, meskipun
677 seandainya kau tidak cacat, Wiyatsih seorang gadis , dapat menyamai seorang laki-laki yang bernama Pikatan, seorang laki-laki jantan yang menghargai dirinya terlampau tinggi, namun yang sebenarnya berjiwa kerdil" Wiyatsih yang tidak mengerti keinginan yang tersirat dihati Puranti itu, menjalankan latihan-latihan yang diwajibkan oleh Puranti dengan penuh kesungguhan, bahkan pada unsurunsur gerak yang paling sulit dari ilmunya, seakan-akan Wiyatsih telah dipersiapkan untuk dalam waktu dekat menerima puncak dari ilmu Perguruan Pucang Tunggal. Ternyata beberapa saat kemudian Wiyatsih tidak saja harus berpacu dengan ilmunya, karena musim hujan mulai membayangi padukuhan Sambi Sari. Seperti yang sudah direncanakan, maka anak-anak muda Sambi Sari telah mulai dengan persiapan pembuatan bendungan dimusim kering yang bakal datang. "Kita mulai menebangi bambu" berkata salah seorang dari mereka "kita akan membuat brunjung-brunjung itu. Musim hujan akan lerlangsung kira-kira empat atau lima bulan. Setelah itu kita harus segera mulai menurunkan brunjungbrunjung itu setelah kita isi dengan batu-batu" "Ya. Sebagian dari kita menebang bambu dan yang lain menaikkan batu-batu kepinggir sungai agar sebelum banjir yang pertama dan yang akan datang berturut-turut, kita sudah mempunyai persediaan batu yang cukup. Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Sambi Sari rasa-rasanya mulai bidup kembali. Ketika hujan rintik-rintik mulai turun, hampir setiap orang menengadahkan wajahnya kelangit. Sebentar lagi sawah-sawah yang kering akan dapat mereka tanami untuk satu musim saja, Tetapi setelah musim hujan ini lewat, tanah-tanah itu akan kering lagi, dan peceklik yang panjang akan mencekik leher mereka kembali.
678 Dengan demikian, merekapun menjadi semakin berprihatin, apabila mereka sadar. bahwa panen musim hujan mendatang, sebagian sudah ada ditangan orang kaya yang selama ini memberikan pinjaman sekedar bahan makan untuk mencegah mereka mati kelaparan. Dan yang harus mereka bayar untuk itu, adalah berlipat beberapa kali. Dengan demikian, maka keriangan yang sejenak menyentuh hati, tiba-tiba menjadi buram kembali. Namun demikian, mereka masih dapat menghibur diri "Jika aku sudah melunasi hutang itu, aku akan dapat mengambil hutang baru buat musim peceklik mendatang, jika tidak, maka dimusim kering kami sekelurga pasti akan mati kelaparan" Namun demikian, terbersit juga pikiran "Alangkah senangnya jika keluarga ini tidak pernah terjerat hutang." Dalam pada itu, dihari-hari kehari, langit menjadi semakin suram, hujan menjadi semakin sering turun membasahi sawah dan pategalan mereka, sehingga dengan demikian, maka para petani mulai turun kesawah mengerjakan tanah mereka yang mulai basah, namun diwaktu senggang, anak-anak muda Sambi Sari beramai-ramai membuat brunjung-brunjung bambu. Mereka masih mempunyai waktu yang cukup, sehingga karena itu, maka pekerjaan itu sama sekali tidak mengganggu pekerjaan mereka disawah dan dipategalan. Sedang yang tidak memiliki tanah yang cukup, masih juga sempat bekerja pada orang lain yang mempunyai sawah yang berlebih-lebihan dari kemampuan tenaga sendiri untuk mengerjakannya. Selagi anak-anak muda Sambi Sari sibuk dengan kerja mereka, disawah atau membuat brunjung-brunjung. Pikatan tidak juga berhenti berlatih. Meskipun hujan turun dan bahkan betapapun lebatnya, jika ia ingin pergi berlatih, maka iapun pergi juga. Hujan yang lebat merupakan dorongah untuk melatih diri didalam cuaca yang buruk dan nafas yang terganggu oleh titik air diwajahnya.
679 Tetapi ternyata bukan saja Pikatan. Purantipun tidak juga mau berhenti menyempurnakan diri. Ada semacam desakan didalam dirinya, bahwa kemajuan Pikatan tidak boleh menyamainya, apalagi melampauinya, Sedang dalam pada itu, Purantipun dengan sungguh-sungguh telah berusaha menempa Wiyatsih untuk menjadikan gadis itu seimbang dengan Pikatan. Nyai Sudati, tidak mengetahui dengan pasti apakah yang sebenarnya telah dilakukan oleh anak-anaknya. Ia hanya mengetahui bahwa Wiyatsih masih juga berlatih terus untuk menyempurnakan ilmunya, dan disiang hari Wiyatsih masih juga bekerja disawah seperti kebanyakan gadis-gadis padesan. "Wiyatsih" berkata ibunya "kau menjadi semakin kurus. agaknya kau bekerja terlalu berat akhir-akhir ini. Kadangkadang kau pergi tidak mengenal waktu. Bahkan tanpa dapat aku cegah lagi kau pergi dimalam hari bersama Puranti. Disiang hari kau masih saja bekerja disawah dan kadangkadang bersama-sama anak-anak muda yang tidak mempunyai nalar itu membuat brunjung-brunjung, bukankah aku sudah memperingatkanmu. sebaiknya kau jangan ikutikutan dengan anak-anak itu. Bukan saja kau akan menjadi terlalu lelah, tetapi aku takut. Bahwa lampor itu terjadi lagi" Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Ia memang menyadari bahwa tubuhnya menjadi agak susut oleh kerja yang keras hampir siang dan malam. Namun dengan demikian rasa-rasanya kecepatannya bergerak menjadi semakin meningkat. Bahkan kekuatan jasmaniahnyapun bertambahtambah. Apalagi setelah ia mampu mempergunakan tenaga cadangannya sebaik-baiknya. "Bukankah kerjaku sekarang jauh berkurang" berkata Wiyatsih kepada ibunya "aku tidak perlu menyiram batangbatang jagung itu lagi, setelah aku meyakinkan anak-anak muda akan gunanya air Kali Kuning"
680 "Tetapi tampaknya kau justru menjadi semakin sering meninggalkan rumah" sahut ibunya, lalu "Apakah sebenarnya yang sedang kau lakukan Wiyatsih" Wiyatsih memandang ibunya sejenak. Ia menjadi ragu-ragu untuk mengatakannya, karena ia sadar bahwa ibunya tentu tidak akan sependapat dengan usaha pembuatan bendungan itu. Dengan demikian, maka daerah Sambi Sari akan menjadi semakin subur dan setiap orang akan sibuk bekerja disawah masing-masing, sehingga dengan demikian ia akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan tenaga murah dimusim kering dan memberikan pinjaman dengan bunga yang berlipat ganda. "Wiyatsih" berkata ibunya "aku sudah mendengar meskipun kurang pasti, bahwa anak-anak muda Sambi Sari benar-benar sudah mulai mempersiapkan sebuah bendungan" Sejenak Wiyatsih menatap wajah ibunya. Namun iapun kemudian mengaggukkan kepalanya. Katanya "Ya ibu. Kami memang sudah mulai" "Wiyatsih" berkata ibunya "bukankah aku sudah pernah memperingatkan kau. bahwa usaha yarg serupa pernah dilakukan hampir sepuluh tahun yang lampau. Namun yang menjadi korban kemudian adalah gadis-gadis. Beberapa orang gadis telah hanyut. Tidak mustahil bahwa hal yang serupa akan terjadi. Apalagi kau adalah seorang gadis yang ikut langsung menangani pembuatan bendungan itu" "Tidak ibu" Wiyatsih menggelengkan kepalanya "aku tidak akan berbuat bodoh menyeberangi sungai yang sedang banjir, apalagi bila lampor sedang lewat." "Tidak seorangpun yang tahu, kapan lampor itu akan lewat Wiyatsih" "O" Wiyatsih mengerutkan keningnya"bukankah bunyi lampor itu terdengar dari jarak beberapa tonggak"
681 "Setelah lampor itu lewat. Tetapi ketika ia datang menyambanginya tidak ada seorangpun yang tahu" Tetapi sekali lagi Wiyatsih menggelengkan kepalanya "Ibu jangan mencemaskan aku. Aku mendapat jaminan dari seorang, bahwa lampor itu tidak akan mengganggu kali ini" Ibunya tidak menyahut. Ternyata Wiyatsih benar-benar tidak dapat dicegahnya lagi. Anak itu telah bertekad untuk membuat sebuah bendungan bagi padukuhan ini, karena ia tidak sampai hati melihat kehidupan yang terlalu amat pahit. Namun tiba-tiba kedua perempuan itu terkejut ketika pintu terbanting keras sekali. Dengan dada yang berdebar-debar mereka melihat Pikatan berdiri dimuka pintu dengan wajah yang merah. Dengan suara lantang ia berkata "Wiyatsih. Itu tidak pantas. Tidak pantas sama sekali" Wiyatsih menjadi bingung. Karena itu, dengan ragu-ragu ia bertanya "Apa yang tidak pantas kakang?" "Kau. Kau telah berbuat tidak pantas sekali" Wiyatsih menjadi semakin bingung Dipandanginya wajah kakaknya yang merah, kemudian wajah ibunya yang keheranan. "Kau adalah seorang perempuan" berkata Pikatan "kenapa kau berbuat hal-hal yang tidak pantas dilakukan oleh seorang perempuan" Apakah kau kira orang-orang dari padukuhan ini memujimu, bahwa kau sudah ikut serta membantu membuat bendungan itu?" Pikatan berhenti sejenak, lalu "Wiyatsih. Seorang gadis yang tahu diri, tidak akan berbuat demikian. Seorang gadis yang mempunyai harga diri akan tinggal dirumah. Sekali-sekali pergi kesungai mencuci pakaian dan kesawah. Tidak seperti kau. Kisana kemari, berbondongbondong pergi bersama anak-anak muda. He, Wiyatsih, kau sudah mencoreng arang pada kening keluarga kita"
682 "Kakang" Wiyatsih menjadi tegang. Namun justru karena hal tidak diduga-duganya, maka ia tidak segera dapat menjawab. "Aku adalah saudaramu laki-laki. Aku berhak mencegah kau berbuat demikian. Jika terjadi sesuatu dengan kau, karena kau seorang gadis. maka hancurlah nama keluarga kita. Bukan karena dimakan lampor seperti ceritera tahyul itu bukan karena hantu-hantu alas Sambi Rata, tetapi karena laki-laki yang siang malam ada disekitarmu" "Kakang"tiba-tiba saja Wiyatsih berteriak "aku bukan anakanak lagi. Aku sudah cukup dewasa. Dan aku tahu apa yang akan aku kerjakan" "Tetapi bagaimanapun juga kau adalah seorang gadis vang lemah. Lemah hati dan lemah badani. Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa, seperti seekor kambing ditengah-tengah kelompok serigala" "Tidak. Aku bukan seekor kambing ditengah-tengah sekelompok serigala, Tetapi aku adalah seekor macan betina diantara mereka" suara Wiyatsih liba-tiba menjadi gemetar "bukan maksudku menyombongkan diri. Tetapi aku dapat membunuh enam atau tujuh orang sekaligus jika mereka ingin berbuat jahat kepadaku. Kau seharusnya sudah tahu akan hal itu, kakang. Kau tahu bahwa tidak ada seorang laki-lakipun didaerah ini yang dapat mengalahkan aku, selain kau" "Bobong" suara Pikatanpun meninggi "mungkin kau mampu berkelahi. Tetapi kau tidak akan mampu melawan usapan tangan dikudukmu. Kau tidak akan mampu mendengar bisikan yang halus ditelingamu. Dan kemampuanmu berkelahi sama sekali tidak akan ada artinya" "Jika demikian, itu adalah salahku sendiri. Adalah karena kegilaanku sendiri. Membuat atau tidak membuat bendungan, jika aku memang berbuat gila, apapun dapat terjadi. Dirumah inipun dapat terjadi"
683 --ooo0dw0ooo-- Jilid 09 Wajah Pikatan yang merah menjadi semakin merah. Katanya dengan suara yang bergetar "Wiyatsih. Kau sudah berani melawan aku he" Apakah karena kau belajar ilmu kanuragan dari gadis Pucang Tunggal itu, kau merasa bahwa kau. harus berani menentang saudara tua" Selamanya kau tidak pernah berani memandang mataku seperti sekarang ini, justru kini tampaknya kau malahan menentang" "Memang kakang. Aku selamanya tidak pernah berani menentang pandangan matamu. Tetapi selamanya kaupun tidak pernah mengucapkan kata kata yang paling menusuk hati seperti yang baru saja kau katakan. Jika kau sudah tidak mempercayai aku lagi dalam ketabahan batin, apapun yang akan aku lakukan tidak akan kau anggap baik dan menguntungkan. Kaulah yang pertama kali merencanakan membuat bendungan justru sebelum kau meninggalkan Sambi Sari. Kemudian kau kembali lagi, tetapi apa yang ada didalam dadamu ternyata telah padam sama sekali. Rakyat Sambi Sari tidak dapat mengiharap apa-apa lagi darimu. Sehingga karena itu, aku, adikmu merasa wajib untuk meneruskan rencana itu. Apakah kau seorang laki-laki atau seorang perempuan itu tidak penting bagi beudungan itu. Bagi rakyat Sambi Sari lahirnya sebuah bendunganlah yang diharapkannya "Kau sangka bahwa kau akan berhasil membuat bendungan itu?" "Kenapa tidak?" "Aku tidak percaya. Tidak ada orang yang dapatl membuat bendungan itu selain aku. Aku sudah mengenal Kali Kuning
684 sebaik-baiknya, bahkan seakan-akan aku tahu benar jumlah batu yang berserakan" "Tetapi kau tidak berbuat apa-apa. Apakah artinya pengenalanmu itu, jika kau sama sekali berdiam diri" "Aku akan membuatnya" "Jika demikian bangunlah. Keluarlah dari bilikmu dan datanglah ketempat anak-anak muda itu, berkumpul membuat brunjung bambu. Beritahukan kepada mereka apa yang harus mereka lakukan" nafas Wiyatsih tiba-tiba menjadi terengahengah "jika demikian, aku akan bersedia mengundurkan diri. Aku akan menjadi seorang gadis Sambi Sari seperti gadisgadis yang lain. Berada dirumah, memasak, hanya kadangkadang saja pergi kesungai. Mengintip laki-laki lewat dijalan sebalah rumah dan mempergunakan kesempatan bersih desa sehingga kadang kadang justru menimbulkan akibat seperti gadis yang membunuh diri itu" "Itu adalah urusanku. Apakah aku akan keluar dan bilik itu atau tidak. kau tidak usah ikut campur" "Jika demikian, kau pun jangan ikut campur jika aku berada ditengah-tengah laki-laki seluruh Kademangan Sambi Sari karena aku mempunyai pegangan yang teguh dan aku bukan gadis yang tidak mampu menjaga diriku sendiri" "Gila" Pikatan menggeram "kau benar-benar menjadi keras kepala. Sekali-sekali kau memang harus dihajar. Sampai sebesar kau sekarang, aku memang belum pernah menghajar kau. Dan itu agaknya yang membuat kau berani menentang aku" Tetapi Wiyatsih sama sekali tidak lari. Bahkan iapun kemudian meloncat berdiri. Disingsingkannya kainnya karena ia tidak siap menghadapi keadaan itu dengan pakaian lakilakinya, katanya "Baiklah kakang. kalau sekarang kau merasa perlu menghajar aku, lakukanlah. Tetapi akupun sudah cukup besar untuk menilai keadaan. Sudah aku katakan, tidak
685 seorang laki-lakipun yang dapat mengalahkan aku disini, selain kau. Tetapi jika kau berlaku kasar, akupun akan berlaku kasar juga apapun yang akan kau lakukan atasku. Mungkan kau akan membunuhku sama sekali. Aku tidak peduli" "Diam, diam" Pikatan berteriak sambil melangkah maju. Namun dalam pada itu, ibunyalah yang kemudian memeluk Wiyatsih sambil menangis "Kenapa kalian bertengkar, Kenapa". Sejak kecil kalian tidak pernah bertengkar dan apalagi berkelahi. Tetapi sekarang, ketika kalian sudah menginjak dewasa, justru kalian mulai bertengkar dan bahkan berkelahi. Apakah ini sudah menjadi takdir bagiku. bahwa dihari-hari tua aku harus menghadapi cobaan yang sangat pahit" Wiyatsih, pergilah. Marilah, tinggalkanlah kakakmu yang sedang marah. Jika kau juga marah, maka akibatnya akulah yang akan mati membeku diantara kalian" "Tetapi, tetapi....." suara Wiyatsih menjadi sendat. Titik air mata ibunya telah memancing perasaannya sebagai seorang gadis. Sehingga betapapun juga ia menahan, namun air matanya mulai meleleh juga dari pelupuknya. Wiyatsih tidak menentang lagi ketika ibunya membimbingnya masuk kedalam biliknya. Sekali ia berpaling kepada Pikatan yang masih berdiri membeku ditempatnya. "Masuklah" berkata ibunya disela-sela sedunya. Wiyatsih kemudian masuk kedalam biliknya. Iapun langsung membanting dirinya dipembaringannya. Tangisnya tiba tiba saja meledak tanpa dapat ditahannya lagi. Ibunya memandang anak gadisnya itu sejenak sambil mengusap air matanya sendiri. Namun kemudian ia kembali kepada anak laki-lakinya yang seakan-akan menjadi patung yang mati dimuka pintu "Pikatan" berkata ibunya "aku juga tidak sependapat dengan bendungan itu. Tetapi aku tidak ingin menyakiti hati Wiyatsih seperti itu. Jika kau memang tidak setuju dengan
686 bendungan itu. pakailah cara yang lain, jangan terlampau kasar. Hati seorang gadis lain dari hati seorang laki-laki. Bagaimanapun juga, hati seorang gadis terlampau lunak untuk menampung luka" Pikatan masih tetap berdiri membisu. "Pikatan" berkata ibunya pula "aku juga tidak sependapat, bahwa Wiyatsih bekerja hampir setiap hari untuk kepentingan bendungan itu. Bahkan dibawah hujan yang lebat sekalipun ia pergi juga menengok anak-anak yang sedang membuat berunjung-berunjung itu. Dan aku sedang berusaha dengan hati-hati untuk mengurangi hasrat yang sedang meluap-luap dihatinya. Dan aku memang bermaksud untuk mengurungkan pembuatan bendungan itu" "Tidak. itu tidak boleh jadi" tiba-tiba Pikatan menjawab "didaerah sekitar Sambirata ini memang harus ada bendungan. Jika tidak, maka rakyat daerah ini akan menjadi semakin kelaparan. Satu-satunya jalan untuk membuat mereka bernafas adalah bendungan" Nyai Sudati terkejut bukan buatan mendengar jawaban itu. Ia sama sekali tidak mengerti jalan pikiran Pikatan. Dan ia harus mendengar anaknya berkata pula "Hanya orang orang yang ingin meneguk keuntungan dari penderitaan sesama sajalah yang tidak sependapat akan adanya bendungan itu" "Pikatan" ibunya memotong "aku tidak mengerti. Bagaimanakah sebenarnya pendirianmu tentang bendungan itu" "Akulah yang akan membuat bendungan itu. Bukan orang lain" "O" Nyai Sudati merenungi anaknya sejenak, namun kemudian mengangguk-anggukan kepalanya "sekarang aku tahu. Bahwa kita sebenarnya mempunyai persamaan. Kau dan aku, anakku. Dan itu tidak mustahil, karena kau adalah anak yang aku lahirkan" ibunya berhenti sejenak. Tatapan matanya
687 menjadi aneh, seakan-akan terpancar sesuatu yang belum pernah dilihat oleh Pikatan. "Pikatan" berkata Nyai Sudati selanjutnya "kita adalah orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri. Aku mementingkan diriku sendiri" Pikatan memandang ibunya dengani tatapan mata keheranheranan. "Bedanya, bahwa aku mementingkan diriku sendiri dengan menimbun harta kekayaan, karena aku senang akan harta benda dan kekayaan. Sedangkan kau mementingkan dirimu sendiri untuk memiliki nama sebagai seorang pahlawan. Aku ingin menimbun harta benda sebanyak-banyaknya, sebenarnya bukan dalam arti kepentingan pribadiku sendiri meskipun masih didalam lingkup kepentingan diri sendiri, karena aku ingin menyimpan harta benda untuk peninggalan anak-anaku kelak. Sedang kau berkeberatan ada orang lain, membangun bendungan itu, karena kau ingin bahwa Pikatanlah satu-satunya orang yang mampu menolong kemiskinan didaerah Sambi Sari ini. Bukan orang lain dan sama sekali bukan Wiyatsih. Tetapi Pikatan, Pikatan" "Ibu" Pikatan membentak keras-keras. Tetapi wajah ibunya justru menjadi lunak. Sambil mendekati anak laki- lakinya yang sedang terbakar hatinya itu ia berkata "Sudahlah Pikatan. Sebaiknya kau tenangkan saja hatimu." Pikatan masih akan menjawab. Namun mulutnya tiba tiba terbungkam ketika ibunya meraba kedua pundaknya sambil berkata "Marilah kita melihat kepada diri sendiri. Kau dan aku. Kita masing-masing adalah orang-orang yang mementingkan diri sendiri. Aku menghendaki bendungan itu urung, karena aku masih merindukan menghitung potongon-potongan lidi itu, sedang kau berniat untuk membangun bendungan itu sendiri." ibunya berhenti sejenak "ternyata persoalan ini merupakan masalah baru didalam hatiku. Seakan-akan aku telah dipaksa untuk merenungi persoalan yang sebenarnya
688 kita hadapi. Pikatan, marilah kita mengendapkan perasaan kita masing-masing. Marilah kita berbuat sesuai dengan kemampuan kita sendiri tanpa mengganggu orang lain. Aku juga tidak akan mengganggu Wiyatsih lagi, dan kaupun hendaknya tidak. Aku tidak tahu, akibat apa yang akan terjadi dengan pekerjaanku kelak, jika bendungan itu benar-benar terwujud" Pikatan sama sekali tidak menjawab. Sentuhan tangan ibunya membuat hatinya mencair. Bahkan ketika ibunya memegang kedua pipinya seperti ketika masih kanak kanak, terasa tenggorokannya menjadi panas. "Beristirahatlah Pikatan. Kita harus menolong keluarga ini. Keluarga kecil yang hampir terpecah belah tidak keruan karena kita tidak pernah sempat duduk bersama, berbicara dan berbincang dengan hati terbuka bersama-sama. Aku harap bahwa kita akan mendapatkan kesempatan serupa itu kelak. besok lusa atau kapanpun. Kau mengerti?" Pikatan menganggukkan kepalanya seperti kanak-kanak disuruh tidur disiang hari. Perlahan-lahan ia melangkah meninggaklkan ibunya masuk kedalam biliknya. Biliknya yang seakan-akan telah menjadi dunianya, sehingga dunia bagi Pikatan adalah terlalu sempit adanya. Ketika Pikatan sudah menutup pintu biliknya, maka Nyai Sudatipun masuk kedalam bilik anak gadisnya. Sambil membelai rambutnya Nyai Sudati berbisik "diamlah Wiyatsih. Tidak ada lagi persoalan diantara kita" Wiyatsih masih tetap menangis sambil menelungkupkan wajahnya. "Wiyatsih" berkata ibunya, "bagaimanapun juga aku menentang lahirnya sebuah bendungan, tetapi aku tidak akan menghalangimu lagi. Aku tidak tahu, apakah yang kelak akan terjadi atasku. tetapi aku sudah berketetapan, bahwa
689 sebaiknya aku membiarkan kau melakukan yang menurut keyakinanmu cukup baik" Tiba-tiba Wiyatsih mengangkat wajahnya. Dipandanginya ibunya sejenak seakan-akan ia tidak percaya akan pendengarannya. Namuin ketika ibunya menangguk, maka diciumnya pipi ibunya seperti ketika ia masih kecil dahulu. Nyai Sudatipun kemudian memeluk kepala anak gadisnya yang masih menangis sambil menyandarkan kapala itu didada ibunya. "Wiyatsih" berkata Nyai Sudati "lakukanlah apa yang ingin kau lakukan dan telah kau yakini. Sementara belum terjadi perubahan apapun akibat dari bendungan itu, aku masih akan tetap bekerja seperti yang dapat aku kerjakan. Mudahmudahan kau dapat mengerti juga, karena aku tidak dapat bekerja yang-lain dari-pada itu. Mungkin kelak aku harus menyesuaikan diri. Aku harus turun kesawah dengan menyigsingkan kain masuk kedalam lumpur seperti orangorang lain. Tetapi jika itu yang harus aku lakukan, maka aku akan mencobanya" "Tidak ibu, tidak " suara Wiyatsih menghentak "bukan maksudku membuat ibu menjadi begitu. Membuat ibu harus bekerja terlalu berat buat memberi makan aku dan kakang Pikatan. Tidak. tetapi aku dapat melakukan. Pembantupembantu ibu dirumah ini dapat mengerjakan sawah kita yang sangat luas ini, tetapi yang sebagian daripadanya adalah tanah yang kering dimusim kemarau. Jika bendungan itu siap, maka tanah kita juga akan mendapat air itu. Penghasilan kitapun akan bertambah" Ibunya menarik nafas dalam-dalm. Tetapi sudah terbayang bahwa seorang demi seorang pelayan-pelayan dirumahnya akan pergi meninggalkannya, karena tanah mereka sendiri akan menjadi subur dan mereka akan mendapat penghasilan yang cukup dari tanah mereka itu.
690 Namun demikian Nyai Sudati tidak mengucapkannya. Ia telah mencoba mengendapkan perasaannya. Ia mencoba untuk menghadapi apa saja yang akan terjadi, dan mencoba untuk menyesuaikan diri. la merasa bahwa hidupnya terutama adalah bagi anak-anaknya. Buat apa sebenarnya ia bekerja keras melakukan pekerjaan yang dapat dianggapnya menguntungkan, tetapi menjauhkan jarak dari anak-anaknya" Dan bahkan akan memisahkannya sama sekali dan membuat keluarganya terpecah belah" Sejenak Nyai Sudati tidak menyahut. Namun karena itu maka Wiyatsih merasa bahwa masih ada keragu-raguan didalam hati ibunya, sehingga karena itu, sambil duduk tegak dipembaringannya ia berkata "Ibu, selagi aku masih kuat bekerja. biarlah aku yang bekerja. Kita tidak memerlukan penghasilan yang berlebih-lebihan. Kita hanya memerlukan penghasilan yang dapat mencukupi kebutuhan dan sedikit simpanan buat hari depan. Dan itu akan kita dapatkan dari hasil sawah kita jika kita berhati hati" "Ya, ya Wiyatsih" jawab ibunya sekedar untuk menenangkan hati anaknya. Dan ternyata Wiyatsih memang tidak berbicara lagi. ia duduk saja sambil menundukkan kepalanya. Yang terbayang kemudian adalah suatu kerja yang besar yang akan menghisap banyak sekali tenaga anak-anak muda Sambi Sari. Bahkan jika mungkin setiap orang dapat membantu melakukan kerja itu. meskipun sebagian dari orang orang tua itu bergantian setiap kali. Tetapi anak-anak muda seluruh Kademangan harus mau turun, setidak-tidaknya sebagian besar, karena air yang akan naik dari Kali Kuning didekat Alas Sambirata itu akan mengairi sebagian besar dari sawah sawah yang kering disekitar Kademangan. "Bendungan itu sendiri sudah merupakan kerja yang besar" berkata Wiyatsdih didalam hatinya "tetapi kemudian saluran air yang akan membelah tanah kering itupun merupakan
691 pekerjaan yang berat dan lama. Parit-parit yang ada, yang seakan-akan hanya sekedar menampung dan mengalirkan air hujan yang meluap itu jauh dari mencukupi. Anak-anak muda harus membuat jalur jalur air yang baru" Wiyatsih terkejut ketika tiba-tiba ibunya menepuk pundaknya sambil berkata "Sudahlah, tidurlah. Kau terlalu lelah. Jangan kau hiraukan kakakmu dan jangan membantahnya lain kali, agar kau tidak harus bertengkar dengan saudara tuamu. Kakakmu itu sebenarnya sangat sayang kepadamu, tetapi ia sedang dicengkam oleh perasaan kecewa yang hampir tidak tertanggungkan" Wiyatsih mengangguk kecil. "Baiklah. Aku akan pergi kehalaman belakang. Padi yang dijemur itu harus disimpan. Langit tampaknya menjadi semakin gelap oleh mendung yang tergantung semakin tebal" Sekali lagi Wiyatsih mengangguk. Sepeninggal ibunya, Wiyatsih tidak lagi membaringkan dirinya, tetapi ia justru bangkit dan membenahi pakainnya. Disanggulnya rambutnya yang terurai dan dirapatkannya baju dan pakaiannya. Setelah mengusap matanya sehingga kering, maka Wiyatsihpun segera keluar dari biliknya dan pergi kebelakang pula. Seperti biasanya ia selalu membantu bekerja apa saja yang dikerjakan orang dirumahnya. Dari membersihkan halaman, menjemur dan menyimpan padi, sampai juga mengambil air. Baru kemudian ia pergi membantu kawankawannya yang bekerja membuat berunjung-berunjung bambu. Ketika ia hendak pergi juga ketempat kawan-kawannya membuat berunjung-berunjung bambu, maka terngianglah kata kata kakaknya tentang dirinya. Tentang seorang gadis yang berada diantara anak-anak muda yang sekian banyaknya.
692 Terasa wajahnya menjadi panas. Tiba tiba saja ia menyadari bahwa memang agak janggal. bahwa ia sebagai seorang gadis sendiri saja berada ditengah-tengah sekian banyak laki-laki yang bekerja. "Itu tidak pantas. Itu tidak pantas" seakan-akan ia mendengar kakaknya berteriak. Wiyatsih menundukkan kepalanya. Ia kini merasa bahwa bagi orang lain, apa yang dilakukan itu memang tidak pantas. tetapi dengan demikiain, bukan berarti bahwa ia harus berhenti. Ia harus mendapatkan akal, bahwa ia tidak boleh sendiri. Akhirnya Wiyatsihpun menemukan juga. Dimintanya anakanak muda yang mempunyai saudara perempuan dan yang tidak berkeberatan, agar diajaknya serta meskipun tidak setiap hari. Mereka diminta membantu menyiapkan minum dan kepentingan-Kepentingan kecil lainnya. Misalnya menyediakan tali-tali ijuk, membuat patok-patok kecil dan sebagainya. Semula ajakan itu hampir tidak mendapat perhatian. Gadisgadis Sambi Sari masih saja dibayangi ketakutan akan lampor yang lebih suka mengambil gadis-gadis. daripada anak-anak muda. Tetapi Wiyatsih kemudian berpesan "Jika ada lampor yang datang, tentu akulah yang pertama-tama akan diambilnya" Kemudian dari hari kehari ada juga satu dua orang gadis ikut serta dengan saudara laki-laki mereka membantu pekerjaan itu. Meskipun gadis-gadis itu tidak datang setiap kali, hanya kadang-kadang saja bila ia sempat. Namun hampir setiap hari jadinya Wiyatsih mempunyai beberapa orang kawan gadis-gadis-yang lain meskipun sering berganti orang" Namun dengan demikian Wiyatsih sendiri merasa bahwa hal itu sudah mengurangi tanggapan yang kurang baik atasnya dari orang orang yang terutama tidak menyukainya dan menyukai pekerjaan itu"
693 Demikianlah dari hari kehari pekerjaan itu berjalan terus meskipun lambat, karena baik anak-anak muda maupun gadisgadis yang membantunya tidak bekerja khusus untuk itu. Mereka hanya datang ketika mereka sempat karena pekerjaan yang lain harus juga dilakukannya. Apalagi musim kemarau masih akan datang beberapa bulan lagi. Ketika sungai mulai banjir, gadis-gadis merasa ngeri juga untuk turun kesungai. Mereka kadang-kadang masih juga dihinggapi rasa takut, bahwa lampor akan memilihnya menjadi korban kemarahannya karena ada usaha manusia untuk membuat bendungan lagi di Kali Kuning. "Jangan pergi kesungai jika sedang banjir" Wiyatsih memang selalu memperingatkan mereka. Bukan menakutnakuti, tetapi ia harus mencegah timbulnya korban apapuh sebabnya. Jika ada seorang gadis saja yang kebetulan tergelincir kedalam arus sungai yang sedang banjir, maka pekerjaan itu pasti akan gagal, karena setiap mulut pasti akan menyebut bahwa gadis itu adalah korban lampor yang pertama setelah hampir sepuluh tahun, justru karena ada usaha membuat bendungan itu. Dalam pada itu, ternyata tidak timbul perubahan apapun pada diri Pikatan setelah ia bertengkar dengan Wiyatsih, Ia masih tetap mengasingkan dirinya didalam biliknya dan masih juga setiap malam dengan diam-diam meninggalkan rumahnya untuk mematangkan ilmunya. Tetapi kini ia sudah tidak peduli lagi apakah Wiyatsih mengetahui atau tidak, bahwa ia berusaha terus untuk maju didalam olah kanuragan. Iapun tidak peduli juga apakah Puranti mengetahui dan mengikuti perkembangannya atau tidak. Namun ia bertekad bahwa pada suatu saat, ia akan membuktikan bahwa ia adalah seorang laki-laki yang tidak mau dikalahkan oleh perempuan yang manapun juga dibidang apapun juga. Namun sementara itu, Purantipun telah menempa dirinya hampir tidak ada henti-hentinya. Bahkan kemudian siang dan
694 malam ditempat yang jauh dari lingkungan manusia. Sehingga dengan demikian kedatangannya kepada Wiyatsih dan ibu angkatnya menjadi semakin jarang. "Wayatsih".berkata Puranti pada suatu saat "maafkan kalau aku jarang sekali dapat menjumpaimu sekarang. Aku harap usahamu melatih diri tidak mengendor. Aku kini sedang berada dalam taraf terakir dari puncak latihanku untuk menguasai inti dari ilmu ayahku sekaligus guruku seperti yang pernah diajarkannya kepadaku. Aku tidak pernah menduga, bahwa aku berusaha untuk menguasainya secepat ini, dengan mengorbankan sebagian terbesar dari masa mudaku. Masa yang paling gembira dari perjalanan hidup seseorang. Tetapi aku tidak akan menyesal. Aku memang sudah dengan sengaja melakukannya. Mudah-mudahan kau mendapatkan keduaduanya Wiyatsih. Ilmu yang kau cari, tetapi juga kegembiraan masa mudamu. Jika kau berhasil dengan bendungan itu, kau akan mendapatkan suatu kepuasan yang mendalam sehingga kau akan mendapatkan kegembiraan yang mendalam pula dimasa muda, selain hasil itu akan sangat bermanfaat bagi kehidupan disekitarmu. Disamping itu meskipun tidak terlampau cepat, ilmumu maju terus, sehingga pada suatu saat, kaupun akan mencapai puncak seperti yang akan aku dapatkan itu. Mungkin aku berhasil menguasainya dalam waktu yang lebih singkat. Tetapi aku telah mengorbankan segi kehidupanku yang lain. Aku tidak dapat segembira kau, bermain-main dengan kawan-kawan, bekerja disawah dan membuat sesuatu bagi sesama. Namun aku tetap mengharap bahwa yang aku dapatkan inipun kelak akan bermanfaat pula bagi sesama" Wiyatsih menganggukkan kepalanya, meskipun sebenarnya ia agak kecewa. Puranti yang agaknya dapat mengerti itupun berkata "Aku tidak akan terlalu lama Wiyatsih. Aku berharap bahwa sebelum musim kemarau datang, aku sudah akan selesai. Jadi
695 aku akan dapat melihat, bagaimana kau membuat bendungan itu bersama anak-anak muda Sambi Sari" Sekali lagi Wiyatsih mengangguk. Kemudian jawabnya perlahan-lahan "Tetapi kau jangan pulang dahulu Puranti. Jika kau pulang kepadepokanmu, aku akan menyusulmu meskipun aku belum tahu jalannya" "Tidak Wiyatsih. Aku tidak akan pulang dahulu" Puranti menarik nafas dalam-dalam, lalu "aku masih mempunyai tugas disini" "Tetapi kakang Pikatan agaknya tidak berubah. Dan kau tidak lagi mengamati kemajuannya, tetapi kau justru berlatih sendiri" "Sekedar mengisi waktu Wiyatsih" namun dada Puranti merasa hergejolak. Ia tidak akan dapat mengatakan alasan yang sebenarnya. kenapa ia justru membanting diri berlatih sampai kepuncak ilmunya. Terasa sesuatu menggelepar dihatinya. Sebuah pertanyaan "Apakah aku tidak ada bedanya dengan Pikatan yang berjiwa kerdil, yang takut melihat kelebihan orang lain atas diri sendiri?" Tetapi Puranti menggigit bibirnya untuk menghentakkan pertanyaan itu, dan dengan tegas menjawab didalam hati "Aku sejak dahulu lebih daripadanya. Aku adalah anak Kiai Pucang Tunggal, sedang Pikatan, meskipun seorang laki-laki, ia adalah hanya sekedar muridnya. Tidak lebih" Demikianlah untuk beberapa lamanya, Wiyatsih dibiarkan berlatih seorang diri. Tetapi diluar dugaannya, ketika pada suatu senja yang sudah mulai gelap ia berlatih dikebun belakang tanpa ada seorangpun yang menungguinya, tiba-tiba saja sebuah bayangan telah duduk didalam kegelapan disudut halamannya. Hampir saja Wiyatsih berbuat sesuatu karena terkejut. Gerak naluriahnya telah melontarkannya selangkah
696 kesamping dan mempersiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan. Namun tiba-tiba urat-uratnya mengendor ketika ia melihat wajah orang itu meskipun dibawah bayangan kegelapan. "Kiai" Kiai hadir disini?" "Ya Wiyatsih" "Kiai datang seorang diri?" "Ya, aku datang seorang diri" jawaban orang itu terdengar aneh "dan akupun sebenarnya. ingin bertanya kepadamu "kenapa kau berlatih sendiri dan disenja hari pula?" "Aku sekarang berlatih disembarang waktu. Kenapa Kiai mengetahui bahwa aku berlatih dilepas senja?" "Aku tidak sengaja. Aku hanya ingin duduk disini menunggu tengah malam daripada aku berada di Atas Sambirata. Ketika padukuhan ini menjadi sepi dan gelap, aku mulai masuk dan langsung berada dikebun ini. Aku terkejut, melihat kau berlatih dan seorang diri pula" "Aku sekarang berlatih sendiri Kiai" "He" jawaban Wiyatsih telah mengejutkan orang tua itu. Namun dengan tergesa-gesa Wiyatsih berkata "Maksudku, Puranti sedang berhalangan untuk beberapa lamanya. "Kenapa?" Maka tanpa ada yang disembunyikan, diceriterakannya semua keterangan yang didapatnya dari Puranti, kenapa untuk beberapa lamanya ia tidak datang kepadukuhan ini. Kiai Pucang Tunggal yang mendengarkan keterangan Wiyatsih itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Samar-samar ia dapat membayangkan apa yang sedang dilakukan oleh anak gadisnya sekarang.
697 "Jadi menurut keterangan Puranti, kini ia Sedang mengisi waktunya sambil mengawasi perkembangan Pikatan?" "Ya Kiai" Kiai Pucang Tunggal merenung sejenak, lalu "Apakah kau tahu, dimana Puranti berlatih?" "Aku tidak tahu Kiai. Puranti tidak mengatakannya" "Pikatan?" "Menurut Puranti, Kakang Pikatan sering berlatih dijurang yang terjal dan menyendiri ditepi Kali Kuning" "Aku dapat menyelusurnya" "Dan Puranti sering datang ketempat itu juga untuk melihat kakang Pikatan berlatih" "Ya, ya. Aku tahu. Maksudmu, bukankah aku dapat menunggu ditempat itu jika sudah aku ketemukan, bahwa pada suatu malam Puranti akan datang pula melihat latihan itu" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. "Baiklah. Aku akan mulai mencari mereka malam nanti. Sekarang aku ingin melihat kau berlatih" "Ah" desah Wiyatsih. "Berlatihlah. Nanti malam aku akan mengikuti Pikatan dari kejauhan jika ia keluar. Mudah-mudahan aku akan menemukan Puranti dengan segera. Jika tidak, aku akan mencarinya ke rumah janda di Cangkring. Sekali-sekali ia pasti datang pula kerumah itu" "Ya, ya" Wiyatsih masih mengangguk-angguk. "Nah, agar aku tidak mengganggu, mulailah. Aku akan melihat kemajuanmu. Jika kau masih juga tidak maju, bukan kaulah yang bersalah, tetapi tentu Puranti, karena kau
698 mempunyai kemampuan yang cukup baik untuk mengembangkan ilmumu" Wiyatsih menjadi tersipu-sipu. Sebenarnya ia lebih senang berlatih tidak hanya seorang diri. Tetapi karena tidak ada orang yang dapat mengimbanginya, maka ia terpaksa melakukannya sendiri. Sejenak kemudian, maka mulailah ia berloncat-loncatan semakin lama menjadi semakin cepat meskipun baru sekedar melemaskan urat-urat dikakinya sebelum sampai pada latihan kaki yang sebenarnya. Kiai Pucang Tunggal memperhatikan gerak dan sikap Wiyatsih sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun Wiyatsih belum sampai pada latihan yang sebenarnya, namun kelincahan dan kecepatannya bergerak telah memberikan kesan kepada orang tua yang berpenglihatan tajam itu, bahwa Wiyatsih memang sudah maju jauh sekali, melampaui dugaannya. Demikianlah Wiyatsihpun kemudian mulai menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya. Ia mulai dengan unsurunsur gerak dari ilmunya, melenting, berputar, meloncat menyerang dap sikap menghindar yang cermat, Lambat laun, bukan saja kaki-kakinya tetapi juga tangannya dan kemudian seluruh tubuhnya. Kiai Pucang Tunggal masih mengangguk-anggukan kepalanya. Wiyatsih baru mempertunjukkan kecepatannya bergerak. Belum kekuatan tangan dan kakinya, apalagi tenaga cadangannya. Seperti yang biasa dilakukan maka latihan yang dilakukan oleh Wiyatsih itupun dilakukannya dengan sasaran-sasaran yang ditentukannya sendiri. Ujung dedaunan dan rantingranting kecil. Sambil berloncatan tangannya menyambar selembar dua lembar daun yang telah ditentukannya sendiri, kemudian mematahkan ranting kecil sambil melenting dengan
699 kecepatan yang hampir tidak dapat diikuti dengan mata telanjang, apalagi didalam keremangan malam. Tetapi yang kali ini memperhatikan adalah Kiai Pucang Tunggal, sehingga ia langsung dapat melihat bahwa kecepatan bergerak Wiyatsih memang sudah memadai, Jika Wiyatsih mampu membangunkan kekuatan jasmaniahnya serta tenaga cadangan yang ada didalam dirinya, maka Wiyatsih akan segera mampu mencapai tataran yang tinggi dari ilmunya. "Aku belum melihat Pikatan sekarang" berkata Kiai Pucang Tunggal didalam hati" tetapi Pikatan yang dahulu tidak berselisih jauh dari Wiyatsih. Kesungguhan anak ini memang luar biasa, meskipun tampak bahwa anak ini masih belum cukup berpengalaman Tetapi akhirnya Kiai Pucang Tunggal tersenyum sambil berdesis "Luar biasa. Kemajuanmu pesat sekali Wiyatsih" Wiyatsih yang masih meluncur diantara pepohonan, melenting menangkap ujung dadaunan dan menyentuh cabang pepohonan yang cukup tinggi, medengar juga pujian itu. Karena itu, maka iapun kemudialn berhenti. Dengan latihan yang baik, maka Wiyatsih mampu menguasai pernafasannya, sehingga ia masih dapat mengaturnya dengan mapan. "Kiai memuji" berkata Wiyatsih sambil tersipu-sipu. "Kecepatanmu bergerak cukup tinggi. Aku masih ingin melihat kemampuanmu melepaskan kekuatan. Lain kali aku akan mendapat kesempatan" "Ah" desah Wiyatsih. "Disini kau tidak mempunyai sasaran yang cukup baik yang tidak mengejutkan tetangga-tetanggamu. Karena itu, mungkin lain kaii aku akan dapat mengikuti kau berlatih dipinggir sungai atau di Alas Sambirata"
700 "Tetapi kemajuanku sangat lambat" berkata Wiyatsih. Kiai Pucang Tunggal tersenyum. Katanya "Agaknya selama ini kau benar-benar memeras tenaga. Kau tampak agak kurus, meskipun dengan demikian kau menjadi semakin lincah" Wiyatsih menundukkan kepalanya. "Jangan memaksa diri. Ada batas kemampuan pada seseorang. Berlatihlah dengan sungguh-sungguh. Tetapi jangan kau lampaui batas kemampuanmu agar latihan-latihan yang kau lakukan justru tidak mengganggu perkembangan tubuhmu. Menilik umurmu, maka kau masih harus berkembang, jasmaniah dan rohaniah" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. "Sekarang terserah kepadamu. Apa kau akan terus atau kau akan beristirahat. Aku akan tetap disini menunggu Pikatan keluar dari butulan dan mengikutinya. Mudah-mudahan aku dapat segera bertemu dengan Puranti" "Apakah Kiai tidak singgah saja dahulu?" Wiyatsih mempersilahkan. "Ah, jika demikian aku akan gagal. Pikatan tidak boleh mengetahui bahwa aku ada disini" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya "Aku akan mengakhiri latihan ini Kiai" "Silahkan. Kau tentu sudah lelah. Aku ingin mendapat kesempatan melihat kau berlatih dengan melepaskan kekuatan jasmaniahmu" Wiyatsih tidak menjawab. " Memang tidak ada sasaran yang baik disini" berkata Kiai Pucang Tunggal, namun kemudian "Wiyatsih, jika kau tidak bereberatan, aku mempunyai sasaran yang baik untuk sekedar menilai kekualannui"
701 "Apa Kiai?" Kiai Pucang Tunggal tertawa. Tetapi ia berkata "Lain kali saja. Penilaian yang demikian biasanya tidak atau kurang tepat, karena kau akan segan melepaskan seluruh kekuatanmu" "O" Wiyatsih mengerti. Sasaran itu pasti Kiai Pucang Tunggal sendiri. Untunglah bahwa Kiai Pucang Tunggal sendiri tidak membenarkan cara itu, sehingga ia tidak perlu mengalami kesulitan perasaan. "Nah, beristirahatlah. Jangan ada orang lain yang mengetahui bahwa aku ada disini" "Baik Kiai" Wiyatsihpun kemudian membenahi dirinya dan meninggalkan tempat itu masuk kembali kedalam rumahnya. Didepan pendapa ia melihat dua orang penjaga rumahnya duduk bersandar tiang. Untuk beberapa saat kedua orang itu merasa aman dan tidak perlu banyak bekerja. Setelah Pikatan benar-benar bertindak atas para penjahat, maka untuk memasuki rumah itu para penjahat yang lain harus berpikir beberapa kali. "Selain Pikatan. tertayata rumah ini berisi seekor macan betina" berkata para penjara itu didalam hatinya, sehingga mereka merasa bahwa tugas mereka menjadi semakin ringan, meskipun mereka tidak akan mengingkari tanggung jawab, bahwa mereka sudah diupah untuk melakukan pekerjaan itu. "Kalian belum tidur?" Wiyatsih menyapa. "Bukankah malam baru saja turun?" sahut orang yang tinggi kekurus-kurusan "dan kau agaknya baru saja berlatih?" "Ya"
702 "Seharusnya kau bersedia mengajari kami. Ternyata bahwa ilmumu jauh lebih baik dari ilmuku. Didalam keadaan yang gawat, kami memerlukan ilmu semacam ilmumu" Wiyatsih tersenyum. Katanya "Ilmumu sudah cukup jika kau sendiri mau mematangkannya. Kau ternyata sudah sangat malas, sudah merasa dirimu tua. Jika kau mau, kau dapat menyempurnakan ilmumu itu sendiri atau berdua bersamasama" Kedua penjaga itu tertawa. Ternyata Wiyatsih menebak tepat. Salah seorang berkata "Kau benar. Kami memang merasa sudah terlalu tua untuk berlatih. Kami merasa seolaholah apa yang ada pada kami ini sudah cukup. "Nah, jika kalian menyadari, kenapa kalian tidak mulai memperbaiki kesalahan itu" Kedua berpandangan sejenak. Sambil menarik nafas dalamdalam, orang yang bertubuh kekar menjawab "Kami memang sudah terlalu tua" "Macam kau" sahut Wiyatsih "tidak ada batas umur untuk mematangkan suatu ilmu. Mungkin sekarang kau dapat duduk bersandar tiang sambil terkantuk-kantuk. Tetapi jika musim kemarau yang panjang itu berulang, maka pekerjaanmu akan menjadi berat kembali. Bendungan yang sedang dipersiapkan itu tentu tidak akan segera dapat mengangkat air dimusim kemarau itu juga. Apalagi parit-parit masih harus digali. Nah, kau dapat membayangkan, bahwa kemarau mendatang keadaan padukuhan ini masih belum berubah. Mudahmudahan dimusim kemarau berikutnya keadaan sudah bertambah baik" Kedua penjaga itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka menjawab "Tidak ada penjahat yang akan berani datang kemari. Sebenarnya bukan kami berdualah yang menjaga rumah ini meskipun kami telah diupah. Tetapi kau dan Pikatan. Dan kamilah orang menerima upahnya itu"
Hantu Merah 2 Pendekar Pulau Neraka 41 Hantu Rimba Larangan Komplotan Pemuja Vodoo 2