Pencarian

Ali Topan Wartawan Jalanan 1

Ali Topan Wartawan Jalanan Karya Teguh Esha Bagian 1


Ali Topan Wartawan Jalanan
Untuk anak-anak jalanan yang berjuang keluar dari kebodohan dan kemiskinan
-Teguh Esha SATU Jakarta, Juni 1978 Satisfaction dari The Rolling Stones terdengar santer dari kotak pengeras suara merek Sansui milik
penjual kaset bajakan seribu tiga di depan toko P&D Sinar Pembangunan, di bagian selatan kompleks pertokoan Melawai, Blok M.
Seorang tukang parkir diguyur sinar matahari sibuk mengatur parkiran sepeda motor, masih sempat menggoyang-goyang pantat seirama lagu rock itu. Peluhnya mengalir deras, membuat wajah dan kulit lengannya yang hitam berkilat-kilat. Jam dua siang waktu Kebayoran Baru. Anak-anak pulang sekolah menambah keramaian suasana. Di antara mereka ada yang ikut nimbrung merubung penjual kaset obe tersebut.
Ali Topan menyender di kozyn etalase toko, mendengarkan lagu yang diputar keras itu. Matanya bersinar redup, memandang acuh tak acuh kerumunan orang. Rambutnya yang hitam gondrong lebat sebatas bahu tampak awut-awutan. Untung rambutnya lurus dan lebat, hingga tetap saja enak dipandang dalam keadaan acak-acakan begitu. Terbukti setiap cewek yang lewat di depannya, tak peduli nyonya atau perawan sekolahan, pasti memampukan pandangan ke wajahnya yangjantan. Dan mereka sama sekali tak berusaha menyembunyikan perasaan kesengsem pada si anak muda. Tubuhnya yang kurusan dibalut kulitnya yang gelap berlumur keringat, menampilkan efek kejantanan yang khas.
"Sssh... garcon idaman...," bisik seorang cewek
7 berseragam rok biru muda SMA Stella yang bersama dua temannya melewati Ali Topan. Cewek itu menjawil lengan temannya.
"Ye-I, gout udah tokau..." bisik temannya. Cewek-cewek itu berhenti melangkah. Mereka pura-pura melihat kaset obralan, diikuti teman-temannya. Kemudian, hampir bersamaan, mereka menoleh ke arah Ali Topan. Yang ditoleh melengos. Acuh tak acuh. Ketiga perawan sekolahan saling memandang, hampir bersamaan. Mereka menyeringai, lantas bergegas mencabut langkah dari tempat kejadian.
"Sialan! Nggak tau diri! Udah capek-capek kita liatin, sok melengos lagi! Sok superstar ye"" kata cewek pertama yang pipinya jerawatan. Suaranya cukup keras hingga terdengar oleh Ali Topan dan beberapa orang disekitarnya. Orang-orang itu memandang ketiga cewek sekolahan yang segera lenyap diantara.orang-orang yang berlalu lalang. Sekilas mereka menengok ke arah Ali Topan. Yang ditengok tetap redup.
"Heh! Olang gondlongjangan taloh badan disitu!Nanti owe punya owe gua pecah, apa lu olang mau ganti"" seorang Cina setengah baya menegur Ali Topan. Dia ke luar toko P&D yang kozyn etalasenya disenderi Ali Topan.
Ali Topan menoleh, memandang orang itu dari bahunya. Lantas dia melengos lagi. Si Cina tampak penasaran. Ia berkacak pinggang dan lantas ngoceh.
"Heh!Lu olang apa kaga dengarin owe punya omongan ya" Gua bilang jangan taloh badan di situ, nanti kaca owe pecah.owe bisa ru."
Belum habis dia ngoceh, Ali Topan melompat garang ke arahnya. Tangan kanannya terkepal keras siap ditimpakan ke kepala orang itu.
8 "Cina nyempong, lu! Sembarangan ngatain gue tuli! Mata lu tuh yang tuli! Lu liat apa kagak gue nyender di kayu"! Kaca pecah, kaca pecah, entar pale lu ya gue pecahin, baru tau rasa lu!" hardikAli Topan. Gerakannya yang sebat dan hardikannya yang mengguntur, bikin kaget orang-orang di sekitar situ.
Terkesima mereka melihat adegan yang tak terduga. Si orang itu pucat pias.Wajahnya yang kuning seperti tanpa darah. Kakinya bergetaran. Matanya berkejap-kejap seperti mata anak kecil yang ketakutan ketika hendak dihajar ayahnya. Untunglah mulutnya terkunci rapat. Kalaulah terloncat sepotong kata saja dari mulut itu, pasti kepalan Ali Topan menyambarnya. Dan untung yang lebih besar lagi, Ali Topan cepat bisa menguasai diri. Rasa tak tega cepat sekali mengetuk hati Ali Topan, tatkala memandang wajah yang pias, mata yang berkejap ketakutan dan merasakan gemetarnya badan orang setengah baya yang dicengkeramnya.
Seorang wanita Cina berlari dari arah penjual kaset obralan, ke arah Ali Topan. "Ali Topan! Ali Topaan! Jangan pukul itu gua punya sudara orang angotan!" teriak si wanita Cina. Ali Topan melihat ke wa
nita yang mendatangi. "Dia orang baru di sini, enci Hoa..."" tanya Ali Topan. Si enci Hoa memegangi tangan Ali Topan.
"Iya... Dia itu gua punya engko baru datang kemaren dari Medan. Orangnya angot-angotan... Suka cari ribut sama orang, " kata si enci Hoa. Ali Topan melepaskan cekalannya dari leher baju engkonya enci Hoa.
"Gua lagi mau beli kaset waktu gua liat lu mau pukul engko gua ini... Untung gua liat..," kata enci Hoa. Lalu dia melotot ke arah engkonya. "Engko Ceng! Lu gua udah bilangin jangan keluar dari toko. Lu kudu baek9
baek sama orang. Sini! Lu kaga denger kata! Lu tau kaga dia ini siapa"" kata enci Hoa sambil menunjuk ke arah Ali Topan. "Dia ini Ali Topan orang baek. Dia pernah kasi tulung besar sama gua... Waktu toko gua mau di rampok orang jahat! Lu liat nih tangannya ada bekas bacokan golok. Dia tulungin gua tangkepin perampok sampe dianya kena bacok! Gua utang budi sama dia! Gua sudah angkat sudara sama dia! Ayo lu minta maap!" lanjutnya.
"Aah udahlah enci, urusan udah kadaluarsa nggak usah lu omongin lagi. Nulung orang emang hobi gua...," kata Ali Topan. Langsung Ali Topan melepaskan cekalannya dari leher si engko Ceng dan mengendorkan kepalannya.
"Lain kali jangan maki-maki orang sembarangan ye. Awas lu!" kata Ali Topan ke engko-nya enci Hoa. Ia menatap tajam mata orang itu, lalu menyapu pandangan orang yang menontonnya. Ali Topan risi ditonton oleh beberapa cewek, termasuk tiga cewek Stella yang tiba-tiba muncul di tempat kejadian, Ali Topan lantas cabut dari situ.
Penjual kaset obe mengeraskan volume kaset dagangannya untuk menarik perhatian orang-orang lagi.
Ali Topan cepat masuk ke sebuah toko, dan keluar dari pintu belakang, menuju ke perut pasar Melawai. Tubuhnya yang tinggi semampai enak saja menyelinap di antara orang-orang yang berbelanja. Ali Topan hafal akan setiap gerak-gerik begitu banyak orang.dan lika-liku lorong pertokoan situ. Dengan cepat ia sampai di lorong tempat toko-toko tekstil. Bau ramuan kimia yang menguap dari kekainan membuat pedih hidung dan matanya. Segera pula ia ke luar dari lorong situ, menuju ke bagian belakang, tempat buah-buahan.
"Hallo, Boss. Manggisnya nih, item banget, isinya
10 ditanggung caem deh. Beli dong bakal mertue ente," kata seorang penjual buah.
"Gue bukan boss," kata Ali Topan ke arah si penjual buah.
"Lu orang baru di sini ye""
"Tau aja ente," kata orang itu sembari nyengir. Ali Topan juga nyengir.
"Jangan lagi tukang buah, ada ayam baru juga gue tau."
Seorang tukang buah, tetangga si tukang buah yang pertama nyeletuk: "Ah elu, Ding... ini die pembela rakyat Blok M nyang gue ceritain kemarenan... Lu kaga kenalin padahal udah gua bilangin potongannye, jahitannye, ampe ke cara mandangnye... Maen bas-bos bas-bos aje lu...," cerocos tukang buah itu. "Na die emang lurah sini. Ada tikus baru lahir juga mesti ngedaptar sama dienye," tukang buah itu itu terus memuji Ali Topan.
"Doi sedokur ogut, Pan... Baru kawin kerjaannye mirit kartu mulu, maka gua suruh ngikut dagang disini. Namanye Ending," lanjutnya. "Ke mane boss" Nyobain duku dulu ah, Condet punya nih. Legit banget kayak anoan."
Ali Topan mengambil segenggam duku yang disodorkan oleh tukang buah itu. "Mekasih ah," katanya.
"Kawanannye mainnya pade ke mane Pan"" Tumben sendirian kayak mata wayang. Ngeliatnya juga asing banget... heh... heh..."
"Pada mudik semua Im... Nyari rejeki masing-masing. Jaman sekarang jaman masing-masing... "
"Di mane orang buang rejeki Pan""
"Di kantor polisi 'kali."
Sampai sebegitu Ali Topan diam. Ia makan sebuah duku, kemudian dengan sigap pandangannya diarahkan ke seseorang berbadan tegap dengan mata tajam sedang
11 memandangnya dari ujung lorong, orang itu kaget. Tapi rasanya dia lihai. Segera dia melengos ke arah lain sambil tangannya mengusap-usap baret merah lusuh sewarna dengan baret RPKAD di kepalanya.
Hati Ali Topan berdetak. Dia ngah sedang dikuntit orang. Sekejap diamatinya itu orang. Berbadan tegap kekar namun agak pendek. Sekitar 165 cm. Rambutnya gondrong berikal. Kumisnya Fu Man Chu punya. Bajunya kain kaki coklat model tentara, agak kombor. Celananya jeans Levi's
baru. Orang itu menengok sekilas keAli Topan. Ia menyulut rokok GG. Matanya agak sipit seperti mata Cina. Tapi profil mukanya seperti Indo. Kesan Indo itu dipertebal dengan cambang brewok yang kasar di kedua pipinya.
Siapa gerangan" Pikir Ali Topan. Tiba-tiba ia ingat. Orang itu ada di antara pengerumun kaset obe, saat ia mencengkeram leher engko Ceng. Dan orang itu memang menatapnya tajam, walau sekilas, saat itu.
"Aaah, gue cabut dulu, Ja'im! Makasih dukunye...," kata Ali Topan. Ia sengaja berkata keras.
"Kaga mau bawa setengah kilo, Pan. he. he."" kata penjual buah. Ia ketawa renyah, nadanya nada Betawi, model Benyamin S.
Ali Topan sudah berlalu, bergegas masuk ke lorong arah Kebayoran Bowling Center. Gerakannya sebat. Ia ingin menghilangkan jejak. Rasanya orang itu teke, kata hatinya. Dan ia tak ingin cari setori. Pikirannya lagi kurang pas. Lewat depan Bowling Center, ia menggeblas. Langkah kakinya yang panjang dipercepat. Sesaat ia sampai di tempat parkir motor di depan toko roti Lauw, di pojok pasar. Dia ambil motornya dari tempat parkir, lantas dicemplaknya langsung. Ia keluar lewat gardu parkir, bikin petugasnya melotot plus geleng-geleng
12 kepala. Soalnya gardu itu tempat kendaraan masuk, bukan tempat keluar.
"Si Topan kumat gendenge," kata seorang petugas parkir berlogat Surabaya.
Ali Topan sudah menyeberangi jalan, melaju ke arah Jl. Wijaya X. Lewat di depan studio Radio Amigos di ujung jalan itu, ia melambaikan tangan. Gerombolan muda-mudi yang sedang mangkal di depan Amigos melambaikan tangan ke arahnya.
"Mampir, Paan!" teriak seorang cewek.
AliTopan terus melaju. Rambutnya yang panjang lebat melambai-lambai di tiup angin. Gagah dan romantis sekali.
Ali Topan tak tahu bahwa oknum berbaret merah yang dipergokinya tadi, sempat mengorek informasi dari Jaim si penjual duku, perihal dirinya. Begitu Ali Topan cabut, lenyap masuk ke toko, orang itu langsung menuju tukang duku. Gayanya profesional.
"Dukunya sekilo, Bang. Yang rata ya, jangan gede di atas kecil di bawah," katanya kalem.
"Rata pegimane, Oom" Emangnya jalan Jagorawi. He he. Condet asli mah, dikobok yang atas apa yang bawah, sama aje kasarnya, Oom. Rasain dulu dah," kata tukang duku. Dia mengangsurkan dua biji duku. Orang berbaret merah mengambil duku itu. Langsung didaharnya.
"Ini baru duku, Bang. Manis."
"Saya kata juga apa, Oom. Dua kilo ye" Tanggung. Sekilo cuman 'patratus."
"Sayang Sherlock nggak doyan duku, bang. Kalau doyan sih, saya beliin dua kranjang. Sekilo aje deh."
Sambil menimbang duku, penjual itu bertanya: "Serlok" Siape Serlok""
Sambil mengeluarkan duit, orang itu menyahut:
13 "Anjing saya." Penjual duku melengak, lantas ketawa terkekeh-kekeh.
"Ngomong-ngomong, saya kerja di perusahaan film nih. Saya disuruh boss saya nyari anak-anak muda yang keren. Itu anak yang ente kasih duku siapa sih namanya" Di mana tinggalnya" Rasanya cocok banget jadi bintang pilem," kata si baret merah.
Jaim menaruh bungkusan duku di atas dagangannya, lalu mengambil uang kembalian untuk pembelinya.
"Oo, si Topan tadi" Namanya Ali Topan, Oom. Emang juga ganteng banget dia. Tinggi, potongan modern. Cuman badung banget dianya.Tukang morotin dagangan saya dia, oom. Untung aje dia tadi lagi waras. Kalo lagi angot mah, kagak mau dikasih duku segenggam. Maunya dua, tiga kilo. Kalo kagak dikasih, marah-marah dianya. Tukang-tukang dagang disini udah hapal banget lagak lagunya, oom. Majekin orang melulu kerjaannye. Padahal ngeliat tampangnya anak orang baek-baek," si abang nyericis. Omongannya berlebih-lebihan. Padalah Ali Topan tak pernah menarik "pajak" semacam itu.
"Apa bener dia tukang narik pajek, Bang" Rasanya saya liat tadi, ente yang ngasih duku sama dia, saya dengar Anda nawari setengah kilo"" kata si baret merah. Penjual duku gelagapan. Dia sadar sudah bicara berlebih-lebihan. Jaim tersipu-sipu malu.
"Dienya sih kagak, tapi anak-anak yang laen suka majekin di sini," katanya. "Emangnya kenape, Oom" Eh, omongan saya tadi boong nih. Maap ya, Oom." Sambungnya, mengalihkan omongan.
Si baret merah memilin-milin kumisnya.
"Rumahnya di mana si Ali Topan itu"" tanyan
ya. "Aduh, saya kagak ngah, Oom. Tapi ampir tiap ari dia nongol di sini. Kayaknya dia anak rumahnya deket-deket
14 sini. Kalau oom punya mau sama die, besok dah saya bilangin," kata Jaim.
"Eit, jangan. Jangan dibilangin. Biar entar saya cari sendiri. Kalau dia mau, kalau kagak kan saya malu.," kata si oom. Dia bayar harga dukunya.
"Ooh iye." "Oke deh, Bang. Sampe ketemu." "Mari, Oom. Makasih.,"
Si baret merah menenteng bungkusan dukunya, berlalu dari situ.
Ali Topan, Ali Topan, gumamnya sambil berjalan santai. Di dalam benaknya terbayang sosok anak muda itu. Untuk anak muda generasi sekarang pun, ia termasuk tinggi. Sekitar 175 centi, atau lebih, kata hatinya. Tinggi semampai, tapi tidak loyo. Kurus berisi. Gerakannya tak terduga. Sebat. Si baret merah membayangkan adegan Ali Topan mencengkeram Cina di toko yang kebetulan disaksikannya.
Adegan tersebut mempesona dirinya. Dan, entah apanya, yang pasti ada sesuatu di dalam diri anak muda itu yang menarik perhatiannya. Matanya" Mata anak itu cemerlang, tapi bersinar sedih. Bahkan pada saat beringas tadi, kesedihan tetap melekat di mata itu. Itu mata khas milik orang-orang yang berpikir cepat dan tajam. Lembutnya, atau sinar sedihnya, mungkin refleksi dari gejolak batinnya. Garis-garis tajam dari hidung dan dagunya, membedakan anak itu dari seorang sentimentil yang cengeng.
Banyak anak-anak muda sekarang yang tampan, tapi jarang yang mengesankan kejantanan. Dia sudah banyak melihat dan bergaul dengan anak-anak muda tapi yang satu ini berbeda sekali. Kebanyakan anak-anak sekarang ganjen seperti perempuan. Ah! Ah! Si baret merah
15 tersenyum sinis sendiri. Ia sampai di bawah Kebayoran Teater yang terletak di bagian belakang komplek Pasar Melawai. Dua anak lelaki muda lewat di depannya, dari seberang jalan. Mereka berpakaian rapi, cakep-cakep, saling berangkulan dan tertawa genit seperti perempuan. Si baret merah bersuit keras. Dua anak muda itu berhenti serentak, menengok ke arahnya. Keduanya mengerjap-kerjapkan mata dan mulut mereka manyun-manyun, lantas... serentak pula mereka berjalan, menggoyangkan pantat seperti peragawan.
Si baret merah meludah ke aspal jalanan, mual melihat bencong-bencong itu. Ia batuk-batuk kecil, lalu bergerak lagi, menyeberang jalan, lewat toko jeans, ia menuju Taman Plaza yang kalau malam jadi pasar kaget yang terletak di sisi selatan terminal Blok M, di luar komplek pasar Melawai.
Penjual kaki lima berteriak-teriak menjajakan dagangan mereka. Kaos oblong, handuk, sandal jepit, gesper sampai batu akik. Teriakan mereka beradu keras dengan lagu-lagu pop yang diputar oleh para penjual kaset obe.
Si baret merah berjalan melewati Taman Christina Martha Tiahahu di ujung terminal, ke arah Garden Hall. Di seberang terminal matanya melihat banyak orang, pikirannya tersimpul pada bayangan Ali Topan. Gue mesti dapet itu anak. Gue mesti dapet, gumamnya. Bayangan wajah anak muda itu tak hilang-hilang dari pikirannya.
"Oom, rokoknya Oom....," seorang bocah pengecer rokok lewat di sampingnya. "Masih ada rokok gua," kata si baret merah. Bocah itu pergi sambil cemberut.
Si baret merah tiba-tiba merasajarinya panas. Ternyata
16 rokoknya sudah pendek sekali. Apinya memanasi jari. Segera dia jatuhkan, lalu melumatkan puntung rokok itu di alas sepatunya.
Menyeberangijalan raya, ia masuk ke halaman Garden Hall Teater. Sebuah warung nasiTegal di pinggirjalan, di belakang bioskop itu merupakan tempat yang ditujunya. Warung itu tempatTekhab dan sopir-sopir PresidentTaxi dan beberapa seniman Bulungan mangkal.
Matahari mencorong di atas. Peluh membasahi wajahnya. Tapi orang berbaret merah itu tampak gembira. Mulutnya menyiulkan lagu tema film Mannix. Ia bernama Robert Oui, bekas polisi yang kini merintis usaha sendiri di bidang penyidikan partikelir alias detektif swasta.
17 DUA Mbok Yem sedang menyiapkan makan siang ketika Ali Topan datang. Segera ia menyongsong Ali Topan.
"Den Bagus, tadi ada telpon dari Maya, Neni dan Nana. Maya tilpon sampai dua kali, katanya ada yang penting," kata Mbok Yem.
"Kalo nggak brenti manggil aku Den Bagus-Den Bagus... pulang aja ke ndesomu, M
bok Yem...!" kata Ali Topan.
"E iya lupa terus si mbok ini.. maaf, maaf, maa...af... Pan...," kata Mbok Yem, pembantu keluarga Amir yang telah tiga belas tahun bekerja pada keluarga itu. Ia setia, jujur dan sangat menyayangi Ali Topan. Dan Ali Topan pula menyayangi si mbok yang telah mengasuhnya sejak ia kelas satu Sekolah Dasar, hingga ia tamat SMA dua bulan lalu.
Ali Topan membuka jaket blue jeans yang lengannya ia buntungi di atas siku. Lalu ia membuka lemari es, dan mengambil sebotol air dingin. Mbok Yem membawakan cangkir besar putih bermerk ALI TOPAN.
"Saya disuruh tilpon balik apa nggak"" tanya Ali Topan.
"Iya. Katanya penting sih. Tapi semuanya bilang penting, penting. Mbok tanya apa pentingnya, dia tak mau ngasih tau. Tapi yang bagus cuma Maya itu, nilponnya sopan. Yang namanya Neni sama Nana judes deh, Den Bagus. Siapa sih""
"Aku nggak tau, Mbok. Kalo si Maya sih temen.
18 Sebentar aku tilpon dia. Trimakasih ya," kata Ali Topan. Dia berjalan ke kamarnya. MbokYem berjalan ke kulkas, mengambilkan air buah jeruk untuk den bagusnya. Sambil makan jeruk, Ali Topan nilpon Maya.
Maya sendiri yang menerima tilpon.
"Hallo May, tadi tilpon ya," kata Ali Topan.
"Hei. Dua kali aku tilpon kamu. Kangen," kata Maya.
Ali Topan tersenyum. Mayapun tersenyum di rumahnya.
"Kangen itu sesuatu yang pentingkah"" tanya Ali Topan
Maya tak menyahut. Dia tertegun. Merasa tersindir.
"Maya"" ucap Ali Topan lembut.
"Kamu kok gitu sih! Ngga suka ya saya tilpon kamu" Udah lupa sama teman yang namanya Maya" Kalau Maya sih inget terus sama kamu.. .dan sama temen-temen Maya semua." kata Maya. Nada suaranya manja.
Ali Topan mesem. "Oo, jadi kamu suka nilpon temen-temen yang laen"" goda Ali Topan.
Uh, Maya merasa malu. Maya merasaAliTopan mulai menyindir lagi. Dia malu sebab dia memang memendam cinta ke Ali Topan, dari dulu sampai sekarang, setelah mereka sama-sama lulus dan tidak satu sekolah lagi. Maya masuk Arsitektur Universitas Panca Sakti.
"Hallo, Maya. Kenapa diem" Sakit tenggorokan ya"" Ali Topan bertanya lagi.
"Kamu jadi berobah ya"" sahut Maya. Lirih sekali.
Ali Topan kini diam. Dia merasa kasihan pada Maya. Sindirannya terasa kelewat tajam. Dia bukan tak tahu kalau Maya memendam taksiran. Maya seorang gadis yang baik hati dan lembut. Tapi bukan gadis idaman Ali Topan.Apalagi sejak hatinya rada sakit akibat putus cinta
19 pada kasus Anna Karenina tempo hari.
"Topan." "Ya, Maya" Mm. kamu bilang tadi saya berubah" Bukankah segala sesuatu memang berubah di dunia ini May" Setiap saat berubah." Yang tetap hanyalah yang tak berubah.
"Tapi kamu dulu kan pernah bilang sama Maya, bahwa biarpun semua berubah tapi persahabatan kita tidak berubah. Begitu cepat lupa ya kamu" Masih patah hati ya sama Anna""
Berani dia. Berani mengucapkan kata-kata yang spekulatif. Dia langsung menyebut patah hati dan Anna Karenina. Padahal dia tahu itu sesuatu yang peka bagiAli Topan. Anak muda kita tersenyum pahit.
"Hm, kamu pikir saya patah hati""
"Iya!" "Nggak, ah. Cuman benjut sedikit. Hati saya jadi rada peang, untung hati saya bentuknya nggak seperti daun waru. Hati saya bentuknya kaya bola tenis, jadi kalau kesandung rada peang, tapi sebentaran juga bunder lagi."
Maya ketawa ngakak. Kekakuan telah cair. Keakraban terjalin lagi. Maka Maya senang sekali.
"Kenapa kamu ketawa""
"Saya seneng, kamu lucu lagi, seperti dulu."
"Ooh kamu seneng yang lucu-lucu ya" Liat aja tivi."
"Kok liat tivi" Acara Warung Kopi Prambors""
"Bukan. Acara Dunia Dalam Berita. Itu yang baca acaranya, yang dua orang tuh, kalo abis baca suka main liat-liatan dan cengar-cengir kaya burung pelikan. Diliatnya lucu banget."
Maya ketawa berderai. Ali Topan juga.
"Kamu suka memperhatikan yang kecil-kecil ya. Maya baru mikir sekarang kalo pembawa acara Dunia Dalam
20 Berita suka main liat-liatan kaya burung pelikan. Nanti malam deh Maya tegesin. Lantas apa lagi yang lucu di
tivi"" "Wah banyak. Nanti deh aku bilangin. Sekarang."
"Tunggu dulu dong. Kamu mau ke mana sih buru-buru" Maya kan kanget banget nih. Udah lima hari kita nggak ketemu kan" Apa kamu udah punya kenalan
baru"" "Ada, tukang copet di Bl
ok Okem," "Blok Okem""
"Iye, Blok Okem. Blok M itu bahasa prokemnya Blok
Okem." "Prokem" Prokem apaan"" Kamu tuh selalu memunculkan sesuatu yang baru, Ali Topan."
"Prokem itu preman, itu lho orang-orang underground,narapidana kelas ketengan. Orang-orang yang kepepet nggak dapet kerjaan, jadi maling, rampok, copet, tukang tikam, culik dan sebagainya. Mereka kan punya bahasa sendiri. Dilabak-labik, gokit, ngatri gara""
"Apaan sih" Maya nggak ngerti ."
"Dilabak-labik itu dibolak-balik. Gokit itu gitu. Diberi sisipan ok. Bodo banget sih kamu""
"Ih! Masihjuga suka mbodo-bodoin orang. Kalo Maya bodo mana bisa masuk arsitektur universitas bergengsi. Bukannya sombong...
"Lho, kamu nggak pake nyogok masuk ke situ" Saya denger kamu lewat Oom kamu yang jadi polisi""
"Enak aja! Oom saya cuma nolong fasilitas, tapi orang tua Maya nggak ngeluarin duit apa-apa. Sungguh mati."
"Pake fasilitas itu kan nyogok juga, May. Sogok-sogokan non-materiil namanya. Kalo nggak pake fasilitas apa kamu bisa masuk" Kan saingannya banyak tuh, anak-anak koruptor. Tapi ngga apa-apa kok. Sorry deh kalo
21 kamu saya bodo-bodoin. Becanda sih."
"Becandaan kamu khas ya. Sejak dulu."
"Oo, gitu ya" Biarin deh. Udahan deh ya."
"Hey tunggu dulu Topan sayang. Topan keren. kangennya kan belon abis."
"Mau ngoceh apa lagi" Kelamaan ngobrol nanti mengganggu waktu studi kamu. Duuh, studi, mack. Nanti kalo ngga naik tingkat, aku disalahin."
"Nyindir lagi ya""
"Iya." "Biarin deh disindir, pokoknya bisa ngobrol lama."
"Heh, bapak saya masang tilpon bukan buat ngobrol May. Ntar rekeningnya mahal. Udahan dulu deh. Kapan-kapan kalo sempet kita ngobrol face to face deh. Oke, May. Selamat belajar, semoga sukses."
"Eh, tunggu. Sebentar lagi. Dua menit."
"Semenit." "Oke, oke. Merasa kamu ya. Merasajadi cowok mahal. Kalo ngobrol pake dimenitin."
"Wah, gua sih cowok pengangguran, Maya. Sekolah kagak, kerja kagak. Rasa-rasanya saya bakal jadi tukang jambret deh. Tiap pagi saya udah latihan menjambret kembang flamboyan yang berguguran ketiup angin."
"Ih, kamu kok jadi begitu""
"Oke deh May. Sampai kapan-kapan, ya!"
Klik. Ali Topan meletakkan tilpon. Ia menghela napas sejenak. Bayangan Maya yang baik, cukup manis tergambar di benaknya. Juga bayangan Anna Karenina, Dudung, Gevaert, Bobby dan teman-temannya ex SMA Bulungan I dulu.
"Kopinya sudah di ada di kamar, Den Bagus, eh Ali Topan." sapaan Mbok Yem menyadarkannya.
"Kamsia, Mbok!"
22 Ali Topan bergerak ke kamarnya. Lewat di samping MbokYem, dia menonjok lengan mbok tua itu. Tonjokan lembut, tonjokan terima kasih dan sayang.
Ali Topan berdiri di tengah pintu kamarnya, melihat ke dalam.
Kamar itu kamar pribadi, kamar permenungan. Poster "A house is not a home" masih nempel di dinding, buku-buku pelajaran SMA masih berada dalam rak, radio masih ada di atas meja. Deretan kaset-kaset Koes Bersaudara, The Beatles dan The Rolling Stones tertata rapi di rak kaca. Buku kumpulan syair Bob Dylan, buku-buku silat Cina dan buku-buku lainnya tersusun dekat rak kaset. Dihidupkannya radio. Dona-dona Prambors Rasisonia memenuhi ruang kamar.
Ali Topan masuk dan duduk di lantai berkarpet Iran, Ali Topan merokok kretek. Dinikmatinya setiap hisapan dan dipandanginya asap rokok yang mengepul sampai ke langit-langit kamarnya. Tubuhnya diam, jiwanya gelisah merenungi hidupnya.
Sejak menerima tanda lulus belajar dari tangan Pak Broto Panggabean, ia sudah memutuskan sebuah tekad. Ia memutuskan untuk tidak meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi. Ia tak berminat mendaftarkan diri ke UI atau ke perguruan tinggi manapun, walaupun ia sangat ingin masuk UI. Dudung, Bobby, Gevaert tak berhasil membujuk dirinya untuk membatalkan tekadnya itu. Tak seorang pun mengerti kenapa dia bersikap begitu. Ia tak peduli. Ia lebih suka menggelandang dijalanan. Itu adalah suatu pilihan.
Teman-teman dekatnya mengira ia patah hati. Lantas bersikap nyentrik. Bobby bahkan bilang ia putus asa gara-gara cinta yang tak kesampaian. Dan ayahnya menuduh
23 sikapnya itu sebagai sikap anak yang tidak bertanggung jawab dan bikin malu orang tua saja.
"Orang lain berlomba-lomba ke Universita
s. Berapa banyak pun uang tak jadi persoalan untuk mengecap pendidikan tinggi. Kamu malah berpikir tolol. Kalau kamu jadi gelandangan nama saya juga yang cemar. Ngawur kamu!" demikian omelan ayahnya tempo hari.
Peristiwa ini terjadi dua setengah bulan yang lalu, menjelang pengumuman hasil ujian akhir SMA. Waktu itu siang hari. Ali Topan sedang tiduran di kamarnya mendengarkan lagu Go With Him dari The Beatles yang ia putar berulang kali. Tiap lagu itu usai, diputar lagi... Syair lagu itu bercerita tentang seorang gadis bernama Anna yang dicemburui pacarnya. Si pacar itu dulu pernah ditinggal kabur ceweknya.
Anna... the girl before you go now
I want you to know now That I still love you so but if he loves you more go with him....
Lagunya sih lagu pop sederhana tapi... berhubung yang di-go with him-in itu bernama Anna, maka emosi lagu yang dinyanyikan John Lennon itu nancep pas di relung nurani Ali Topan yang sedang kecewa ditinggal Anna Karenina. Maka, sembari mendengar lagu yang rada-rada cemen itu, lamunan Ali Topan melayang ke masa-masa menakjubkan bersama Anna.
Dia nggak tau ayahnya yang sedang suntuk pulang siang itu. Dan... setelah berkali-kali mendengar lagu tersebut, Pak Amir makin nambah suntuknya.
"Ali! Matikan lagu itu! Dan kamu bangun! Papa mau
24 omong sama kamu!" bentak PakAmir. Ia sudah berdiri di depan kamar dengan wajah tak sedap.
Ali Topan yang sedang tengkurap menengok sekilas ke arah ayahnya. Lalu, dengan kasar ia pencet tombol off pada tape recordernya hingga lagu Beatles lenyap seketika dari ruang kamarnya.
"Kamu ndak sekolah hari ini"! Kenapa"! Jawab!" hardik ayahnya.
Lamunan Ali Topan tentang Anna buyar. Ia bergerak perlahan, duduk di lantai dan meminum kopi beberapa tegukan. Asbak di dekatnya penuh puntung-puntung rokok. Ia menyalakan sebatang rokok, dan memandang ke arah ayahnya. Pak Amir sewot. "Buang rokok itu!" hardik Pak Amir. Ali Topan mematikan rokoknya di asbak.
"Kamu punya kuping ada tidak hah"!" lanjut pakAmir. "Punya," kata Ali Topan.
"Punya mulut"!" "Punya... " "Punya otak"!" "Punya... "
"Kenapa kamu goblok begitu"1"
"Goblok"" "Dengar lagu yang sama berulang kali, volumenya dikeraskan, apa ndak goblok namanya""
"Aku kira Papa nggak di rumah... "
"Aku kira, aku kira... goblok kamu! Ini rumah, rumah Papa! Seisi-isinya papa yang beli! Kok bilang Papa nggak dirumah... Memangnya ini rumah kamu apa"! Papa mau di rumah atau tidak di rumah apa lantas kamu boleh sembarangan"!" gerutu Pak Amir.
AliTopan berdiri. Perasaannya nggak enak mendengar gugatan 'kepemilikan' itu..
25 "Sori deh, Pa, kalo selama aku numpang di rumah ini aku dianggap sembarangan...," kata Ali Topan dingin. Dan sedih...
"Bagus, kalau kamu tahu kamu numpang di sini! Tau-tau dirilah sedikit... Biar Papa ndak di rumah kalau waktunya sekolah ya sekolah. Bukan lantas mbolos-mbolosan begitu! Papa nyekolahin kamu supaya jadi orang pinter! Dan tertib! Taukamu! Percuma Papa keluar duit kalau kamu gagal...," kata pak Amir.
"Hari ini sekolah diliburkan Pa... Guru-guru sedang mengikuti penataran P4," kata Ali Topan kalem... Pak Amir terperangah. Ada malunya juga dikit mendengar fakta yang dikemukakan Ali Topan.
"Lalu... kalau kamu libur kamu mutar kaset itu terus-terusan, hah" Goblok...," kata PakAmir sambil ngeloyor dari pintu kamar Ali Topan.
Ali Topan merasa muak untuk kesekian kalinya.
Makin hari makin yakin dia, betapa ayahnya tak punya kualitas sebagai seorang ayah. Ia menganggap ayahnya telah melalaikan kewajiban dasar seorang ayah yang hakiki.
Kewajiban seorang ayah menurut ukurannya, bukan semata-mata memberi makan, minum, pakaian dan memberi tumpangan kamar buat tidur. Seorang ayah harus memberi teladan utama dalam sifat dan sikap.
Seorang ayah harus punya karakter bagus, dan itu dicontohkan ke anaknya. Jika karakter itu bodol dan compang-camping seperti gombal, maka ayah itu juga berkualitas gombal. Seberapa pun banyak duit dan materi yang diberikan pada anaknya, semua itu tak cukup lebar untuk menutup kegombalannya.
Maka Ali Topan menolak segala bentuk jaminan material. Jika pola hubungan ayah dan anak hanya
26 semata-mata a tas dasar memberi dan menerima materi saja, itu tak lebih dan tak kurang sebagai bisnis. Untuk bisnis pun, Ali Topan malas menjalaninya. Dia sudah bertekad, sejak lulus SMA lepas pula ketergantungan ekonominya dari orang tua. Dia mau cari hidup sendiri. Dan hidup itu berarti makan, minum, rokok, tempat berteduh dan kemajuan pribadinya.
Ali Topan sudah menghitung secara gamblang, dia belum cukup mampu untuk membiayai dirinya ke tingkat universitas. Beli rokok masih ngeteng, apalagi belajar ilmu lewat bangku universitas, demikian ucapnya pada teman-temannya sebelum mereka berpisah tempo hari. Dudung melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor. Gevaert meneruskan studi di Jerman. Bobby tidak lulus ujian SKALU, dia masuk Akademi Pimpinan Perusahaan.
Wajah-wajah para teman terlukis di tembok kamarAli Topan. Bobby dengan sikapnya yang sengak. Gevaert yang serius dan Dudung yang norak tapi polos.
Kemudian Anna Karenina membayang di benaknya.
Ah! Sejak peristiwa cintanya di intervensi polisi di Depok beberapa bulan yang silam, dua kali Anna menjumpai Ali Topan. Yang pertama pada hari pengumuman ujian, dan yang kedua beberapa hari sesudahnya. Pada perjumpaan pertama mereka saling memberi selamat atas sukses melewati ujian sekolah. Mereka berjabatan tangan, singkat sekali. Tak sempat bicara apa-apa selain ucapan selamat, sebab Anna Karenina dikawal langsung oleh ibu dan Boy, si Oom yang kurang ajar itu. Nyonya Surya melipat-lipat wajahnya, judes sekali, sedangkan Boy sengak seperti biasanya. Ali Topan malas melihat tampang mereka yang kurang seronok. Selesai memberi
27 selamat di gerbang sekolah, Ali Topan segera berlalu.
Pertemuan kedua berlangsung diAmerican Hamburger di sebelah timur pasar Melawai di Blok M. Anna menilpon Ali Topan pagi itu, ingin bertemu. Ia menentukan tempat di toko hamburger itu. Ali Topan datang, kemudian mereka bercakap-cakap dalam suasana yang agak kaku.
"Aku mau sekolah di Singapur," kata Anna Karenina.
"Sekolah apa"" tanya Ali Topan.
"Kecantikan dan fashion."
"Kenapa ke situ""
"Maksud kamu""
"Saya baru tahu kalau kamu memilih sekolah kecantikan dan fashion. Saya pikir kamu nggak punya bakat di bidang itu."
Anna Karenina tersenyum. Senyumnya sih manis, tapi Ali Topan tak suka melihatnya. Senyuman Anna tidak sepolos dulu, begitu menurut perasaannya. Ali Topan berpikir, apa mungkin gincu dan pupur agak tebal yang merubah senyum Anna. Dengan gincu dan pupur kemerah-merahan di kedua belah pipinya,Anna memang tampak cantik sekaligus "berani." Anehnya, Ali Topan punya perasaan kurang nyaman melihat dia begitu. Dia lebih sukaAnna tak pakai lipstick atau pupur merah. Dia lebih suka melihat Anna sederhana seperti dulu. Tapi Ali Topan tak bicara apa-apa tentang hal itu.
"Kamu salah! Sebetulnya saya sejak dulu berminat sekali pada bidang kecantikan dan mode."
"Oh ya" Saya baru tahu. Kalau saya sih orangnya acak-acakan. Saya bukan pesolek," kata Ali Topan, "dan... saya lebih suka gadis dengan kecantikan alamiah. Yang cantik tapi sederhana," tambahnya.
Anna Karenina tersenyum simpul mendengar
28 omongan itu. Ali Topan tersenyum pahit.


Ali Topan Wartawan Jalanan Karya Teguh Esha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kamu nggak keberatan kan saya pergi ke Singapur" Saya minta izin...."
"Minta izin" Aneh," kata Ali Topan.
Anna mengernyitkan keningnya." Kok kamu gitu sih sekarang" Dingin. Nyebelin..."
"Saya memang nyebelin... "
"Emang..." ""Buat orang-orang yang nyebelin... "
Anna Karenina ganas. Ia mencomot hamburger, mengunyahnya. "Aku harus pergi...," gumamnya di sela kunyahannya. Ia memandang Ali Topan.
"Kamu 'kan memang sudah pergi..," kata Ali Topan. Ada kesedihan di dalamnya, terungkap lewat pandangan matanya, dan gerak bibir dan ekspresi wajahnya. Anna tersentuh. Ia rasai duka itu...Anna menghela nafas. Lalu, mengambil kacamata hitam dari tasnya dan memakai kacamata itu. Ia tak tahan menatap sepasang mata jantan Ali Topan yang dikabuti kesedihan dan kecewa.
"Kamu masih sayang aku apa nggak"" tanya Anna.
Ali Topan diam. Perasaannya tergolak. Cantik sekali Anna memakai kacamata hitam itu. Baru kali itu ia melihat Anna memakai kacamata hitam yang modelnya seperti kacamata Jackiejanda Kennedy. Cantik
. Modern. Tapi tak seperti dulu lagi.
"Kamu masih sayang aku apa nggak, AliTopan""Anna mengulangi pertanyaannya.
Ali Topan memandangi wajah Anna. Dan... Ali Topan terperangah, luluh kekerasan hatinya ketika ia melihat airmata mengalir melalui celah mata hitam Anna, membasahi pipinya. Dan gadis itu terisak-hisak...
"Aku sayang kamu Anna... kamu tahu itu..." bisik Ali Topan lembut. Ia mengulurkan tangan dan mengusap
29 airmata di pipi Anna dengan jemarinya dengan perasaan terpilah-pilah.
Anna menggenggam jemari Ali Topan dan menggigitnya. Rasa hatinya pun terpilah-pilah.
Anna menggigit lebih keras. Jemari itu berdarah.
"Sakiit, An...," kataAli Topan. Anna mengusap jemari Ali Topan dengan kertas tisue putih. Kertas berdarah itu ia taruh di asbak.
"Aku nggak ingin kehilangan kamu...," kata Anna. "Tapi mama dan papaku nggak suka sama kamu.. "
"Bukan cuma nggak suka. Mereka benci aku...," kata AliTopan.Anna mengangguk sambil membersihkan sisa airmata di pipinya dengan saputangan besar warna putih.
"Kamu siih... dulu ngasih saputangan ini ke aku... jadi berantakan deh hubungan kita," kata Anna. "Aku baca artikel di majalah, sesudah kamu ngasih saputangan ini dulu... bahwa orang pacaran nggak boleh saling memberi saputangan. Pasti nggak langgeng. Putus," lanjutnya.
"Aku nggak percaya yang begituan...," kataAli Topan. "Kalo klenik begituan diikuti, orang-orang yang memproduksi saputangan, para distributor, sampai ke pedagang asongannya tukang bikin kacau semuanya
dong... " "Ya udah kalau nggak percaya... Tapi, buktinya kita putus...," kata Anna.
"Mama kamu, kemudian papa kamu yang tunduk patuh sama bininya itu nggak suka aku sebelum aku beri saputangan itu. Karena aku dianggap anak jalanan, krosboi, kurang ajar, urakan dan segala macem yang nggak sedap.Yang nggak cocok buat mereka. Ditambah komporan Si monyet Boy yang memang sejak dulu mauin kamu, maka akhir percintaan kita jadi unhappy. Nggak ada urusannya dengan saputangan itu...," kataAli
30 Topan. "Okey... okey itu pendapat kamu... Sekarang... kita 'kan masih saling sayang... dan kamu pernah nulis sajak buat aku yang intinya masih ada hari-hari yang panjang nanti... Maka biarin deh sekarang kita putus-putusan dulu. Kalau aku selesai sekolah di Singapur, dan aku balik ke Jakarta. 'Kan kita masih bisa nyambung lagi...," kata Anna.
"Bisa kalau kamu nggak berubah dariAnna-ku dulu..."
"Lho... aku 'kan nggak berubah"!" Anna membuka kacamatanya.
"Kamu sudah berubah,Anna. Tapi kamu nggak sadar"'
"Apanya yang berubah"!" Anna berkata keras. Beberapa pemakan hamburger menengok ke arah Anna dan Ali Topan.
"Bahkan, sebelum kamu pergi pun kamu sudah berubah..." Ali Topan tersenyum. "Kita dulu 'kan punya perjanjian. Dan kamu udah melanggar perjanjian itu. Bahwa kita tidak akan mengikuti pendapat yang nggak benar. Dan tidak menyerah kepada kemauan orang yang nggak lojik. Dan kita bersama-sama berjuang menyelamatkan cinta dengan cara yang benar. Kita sepakat untuk saling setia dan membela, dan tidak akan tunduk oleh tekanan manusia mana pun yang nggak bener, bahkan orang tua kita sekali pun. Kita tidak akan menghianati cinta kita, Anna...," kata Ali Topan.
Wajah Anna tegang. Ia terhantam oleh kata-kata Ali Topan yang diucapkan lembut tapi dingin. Dan sorot mata itu... sorot mata yang kuat itu tak tertahankan dayanya! Sorot mata yang walau berkabut duka tapi menggugat kesetiaannya...
Perasaan Anna tergucang. Ia ingin segera lepas dari suasana dramatis itu. Tapi ia pun tak ingin meninggalkan
31 Ali Topan yang ia tahu sangat kecewa, sedih dan kesepianAnna melihat sekilas ke arloji di tangan kirinya.
"Kamu mau pergi"" tanya Ali Topan.
Anna menangkap nada kaku dalam ucapan Ali Topan.
"Ng. saya harus pergi. Saya ingin studi kecantikan dan mode. Paling lama dua tahun saya sudah kembali ke sini lagi. Kamu mau menunggu""
"Apa yang harus saya tunggu""
Anna membelalakkan matanya. Kata-kata Ali Topan datar, dingin.
"Lho, kamu ini gimana sih" Kamu kan harus menunggu saya kembali. Dua tahun sebentar kok. Dan saya berjanji nulis surat seminggu sekali.Ya"" kataAnna penuh harap.
"Kamu aneh," kata Ali Topan.
" Anehnya"" "Kamu memutuskan harus pergi dan kamu menetapkan saya harus menunggu, tapi kamu tidak mengharuskan saya mengeluarkan pendapat apa-apa. Kamu pikir saya ini budak kamu ya, yang harus, harus, harus menerima pendapat tanpa harus, harus memberi pandangan yang berarti!" kata Ali Topan, kesal.
Anna terdiam. Matanya memancarkan rasa tak enak disemprot begitu macam. Apalagi Ali Topan bicara cukup keras, hingga beberapa orang di dekat mereka duduk menoleh ke arah mereka.
"Kamu nggak ngerti. Saya pergi karena papa dan mama sudah berjanji,jika saya selesai studi dan pulang kembali, saya boleh menentukan jalan hidup sendiri. Saya boleh menentukan pacar, saya boleh bikin salon kecantikan, pokoknya saya diberi kebebasan untuk menentukan apa yang saya inginkan!" kata Anna.
Ali Topan tersenyum. Sinis.
"Saya kasihan sama kamu," kata Ali Topan.
32 "Kasihan" Kasihan apa"" tanya Anna.
"Untuk menentukan sikap masih dibebani persyaratan oleh orang tua kamu. Kalau mau menentukan sikap, kalau mau bebas, menurut saya nggak usah menunggu-nunggu, nggak usah pake syarat-syaratan. Kalau kita mau bebas tapi kebebasan itu ditentukan oleh orang tua, itu namanya tidak bebas. Saya mah ogah begitu. Kalau saya ingin bebas, saya yang menentukan kebebasan itu. Seperti sekarang, saya bebas menentukan untuk nggak masuk universitas, biar bapak saya maksa seribu maksa, saya tetap aja ogah kuliah."
"Lho.katanya kamu kuliah di UI""
"Siapa bilang""
"Dulu, waktu kita mau ujian."
"Itu kan dulu. Sikap saya muncul pada saat saya menerima ijazah, kemudian mau mendaftar di UI. Waktu saya liat orang ngantri mau masuk UI, ditambah lagi formulir pendaftaran dijual, saya jadi malas. Saya nggak punya duit buat beli formulir."
"Lho, ayah kamu kan punya duit""
"Iya, itu duit dia sendiri, bukan duit saya. Pokoknya saya punya prinsip, jika saya ingin kuliah, maka saya harus cari biaya sendiri. Saya ogah dibiayai orang lain," kata Ali Topan. Ucapannya yang keras mendadak jadi bergetar ketika ia menyebut "orang lain."
Anna Karenina menangkap getaran itu. Iapun menangkap sekejap mata Ali Topan bersinar redup. Sekejap saja, kemudian mata itu bersinar dingin pertanda Ali Topan berhasil menindas keharuan yang mengalir di dadanya. Selalu begitu.
"Ayah kamu kan bukan orang lain"" bisik Anna, lembut.
"Ah, sudahlah. Kamu nggak ngerti saya," kata Ali
33 Topan. "Kalau kamu nggak kuliah, kamujadi apa nanti"" tanya Anna, penuh perhatian. "Kalau kamu kuliah, kamu jadi apa"" balas Ali Topan. Merah wajah Anna mendengar ceplosan itu. "Kaa. mu. ka. muu"
"Aaah, gini aja deh. Kita liat nanti, kamu jadi apa dan saya jadi apa," kata Ali Topan tandas. Lalu ia melanjutkan: "Kapan kamu berangkat""
"Lusa." Kaget Ali Topan. Tapi cepat-cepat ia menekan perasaannya supaya normal kembali. Namun Anna sempat menangkap perubahan ekspresi wajahnya.
"Kamu kaget""
"Iya." "Kenapa"" "Jadi kamu sudah pasti berangkat""
"Visa, exit permit dan tiket keberangkatanku sudah siap. Aku nilpon kamu dan minta bertemu karena aku mau pamit.Aku mau kamu mengizinkan aku berangkat," kata Anna.
AliTopan tersenyum. Senyum yang gagah. Juga sedih. "Kamu hati-hati di sana ya" Aku nggak bisa menjaga kamu. Dan nggak usah lagi berbicara tentang cinta di antara kita. Juga nggak usah ada janji lagi. Episode kita udah selesai... Kita adalah sepasang anak muda yang mau dijadikan tumbal ketidak warasan orangtua-orangtua...," kata Ali Topan. Suaranya bergetar. "Tapi aku nggak mau dijadikan tumbal! Aku ingin bangkit, Anna. Aku harus melawan... "
Ali Topan menggemeretakkan gigi-gigi gerahamnya. Tangannya terjulur membelai rambut Anna yang hitam lurus dan panjang. Lalu jemarinya bergerak lembut
34 mencopot kacamata hitam Anna Karenina.
Sepasang mata gadis itu dipenuhi airmata yang bening. Airmata hangat, airmata duka, cinta dan segala rasa pelahan membasahi wajahnya yang indah.
"Usaplah airmatamu... Mulai hari ini kamu harus berusaha menemukan dirimu yang sejati. Aku sedih karena aku nggak ada di dekatmu ketika kamu membutuhkan seorang yang bisa kamu percayai...," kata Ali Topan.
Anna Karenina hanya mampu bicara dengan airmatanya yang makin
deras mengalir, jatuh membasahi meja mereka. Dan isakannya yang mengguncang dada.
"Aku minta maaf untuk semua hal yang nggak bagus dan nggak ngenakin kamu selama ini... Dan aku pun memaafkan kamu Anna Karenina...," bisik Ali Topan lagi. "Okey, ayo kita pulang," lanjutnya.
Anna Karenina tidak sanggup lagi menahan kata-kata AliTopan yang terasa menghantam seluruh perasaannya. Anna meledakkan seluruh rasa dalam dirinya dalam kata-kata yang sangat mengharukan di sela isakannya yang makin keras dan airmata yang semakin deras. "Akku... aahku... ahkku... Sayaang kammuuu...," ratapAnna yang malang itu.
Ali Topan memasangkan lagi kacamata hitam pada wajahAnna Karenina. Lalu ia berdiri dan menggenggam tangan Anna. "Ayo... daripada kita jadi tontonan gratis di sini," katanya untuk mengembalikan kesadaran Anna pada kenyataan. Dan agar tak terhanyut dalam emosi cinta, kasih dan sayang yang tak terpisahkan.
Anna Karenina berdiri, lalu mengikutiAliTopan keluar dari resto hamburger itu. Dadanya serasa meledak oleh pergolakan batin Ali Topan.
35 Di luar, udara panas. Ali Topan berhenti di trotoar. Anna Karenina berdiri di sampingnya.
"Kamu pulang naik apa"" tanya Ali Topan.
"Taksi," bisik Anna. Ia mengecup tangan Ali Topan.
Sebuah President Taxi lewat. Ali Topan bersuit. Taksi berhenti.AliTopan menengok ke arahAnna. WajahAnna tegang. Matanya berkaca-kaca.
"Kamu jahat!" kata Anna, lantas dia berlari masuk ke dalam taksi. Pintu taksi dibantingnya dengan keras. Sopir taksi melirik dari kaca spoin. Ia menoleh ke arah Ali Topan yang tegak di trotoar. Kemudian taksi berlalu membawa Anna Karenina dan airmatanya...
*** Ali Topan merobek poster "A house is not a hom"' dengan tarikan keras untuk membuyarkan lamunannya tentang perpisahannya dengan Anna di American Hamburger.
Sesungguhnya terasa kosong pula hati Ali Topan oleh perpisahan itu. Kekosongan itu mengombang-ambingkan dirinya. Sering dia mengeluh sendiri sesudah peristiwa itu. Ia merasa bersikap terlalu drastis padaAnna Karenina. Sering ia mengeluh, mungkin kekosongan itu tidak terasa dahsyat andaikan ia memakai cara yang lembut untuk mengantar perpisahan itu.
Tapi akhirnya suara hatinya bergema dengan nada menghibur, bahwa cara yang ditempuhnya tak lebih tak kurang bersifat responsif saja. Kalau toh responsnya kelewat keras, hal itu disebabkan kenyataan yang juga keras.Anna Karenina datang bukan sekadar untuk pamit. Anna membawa serta kepastian. Kepastian untuk berangkat ke Singapura, tanpa memberi kesempatan pada Ali Topan untuk mengemukakan pendapat, setuju atau
36 tidak. Itu namanya fait acompli.
Asap rokok memenuhi kamar. Rasa sumpek menghantam dadanya. Tak terasa, sudah tiga belas puntung kretek lumat dalam asbak. Rokok keempat belas sedang dihisapnya, untuk menemani pikirannya yang sedang gawat karena kegalauan kalbunya.
Kopi dan segelas besar airjeruk yang disediakan Mbok Yem sudah habis pula diminumnya. Kerongkongannya masih terasa kering. Pada saat bersamaan, ia kebelet kencing.
AliTopan mematikan rokok keempat belas yang masih panjang. Kemudian ia berdiri dan berjalan agak sempoyongan ke kamar mandi.
Badannya terasa lebih ringan sesudah kencing. Air dingin yang diusapkan ke wajah dan tengkuknya pun menjadikan pikirannya agak segar. Sebagian besar bayang-bayang tentangAnna Karenina tak mau pergi. Ia merasa letih. Kosong...
Ali Topan minum air dingin dari kulkas. Lalu ia masuk lagi ke dalam kamarnya. Ia merebahkan diri di tempat tidur. Matanya tak terpejam. Berbagai peristiwa nggak enak terbayang lagi.
*** Kisah cintaAli Topan denganAnna Karenina memang mirip dengan beribu-ribu pengalaman cinta yang ditulis orang dalam buku-buku novel yang pop maupun yang pup. Dua anak manusia kesandung cinta. Sandungannya adalah batu berbentuk orang tua.
Tempo hari. Tuan Surya, ayah Anna Karenina yang tidak sudi anaknya pacaran dengan Ali Topan, melapor ke kantor polisi, ketika Anna minggat dari rumah beberapa bulan yang lalu. Polisi dan orangtua Anna menemukan mereka di rumah Ika, kakaknya. Anna yang
37 tadinya tak mau pulang, akhirnya mau sesudah mendengar kata-kata Ali Topan. Sedangkan Ali Top
an sendiri harus berurusan dengan polisi karena dituduh melarikan Anna. Kisahnya rada kocak.
Ali Topan dihadapkan kepada seorang perwira di kantor polisi itu. Melihat potongannya, Ali Topan menduga perwira berpangkat kapten itu termasuk pentolan di kantor situ. Supriyadi, kapten itu, menawarkan suatu job pada Ali Topan.
"Kamu mau jadi anak buah saya"" kata si kapten.
"Anak buah apa, pak"" tanya Ali Topan.
"Kamu mau saya jadikan Tekhab""
"Apa itu Tekhab"" tanya Topan, belagak bodo.
"Masa kamu nggak tau Tekhab" Bodo kamu."
Ali Topan nyengir. Ini manusia belon apa-apa sudah mbodo-bodoin gua, gimana nanti kalau gua jadi anak buahnye, pikirnya.
"Kenapa kamu nyengir" Apa ada yang lucu"" kata si kapten.
"Belon apa-apa Bapak sudah mbodo-bodoin saya, saya jadi geli. Lagian, kalo saya bodo, masa Bapak mau saya jadi anak anak buah Bapak. Gawat tuh," kata Ali Topan.
Polisi itu, yang bertampang sangar, toh bisa nyengir juga mendengar jawaban Ali Topan.
"Sialan kamu! Saya bilang bodo itu karena kamu nanya apa itu Tekhab. Anak kecil aja tau, masa kamu nggak tau. Kalau bukan bodo, apa dong namanya"" kata kapten, sambil mengusap-usap kumisnya yang nyrongos model Norman Sasono.
Ali Topan masih nyengir. Dia berhasrat "ngerjain" kapten yang sok mbodo-bodoin dirinya itu.
"Bapak tau bicokok apa nggak"" tanya Topan iseng.
Kapten itu nyureng. Mikir.
38 "Kamu ngetes saya"" hardiknya. Ali Topan ngakak.
"Saya nanya aja. Kalau nggak tau nanti saya kasih tau."
"Nggak! Saya nggak tau! Apa itu bicokok""
"Bicokok itu kurang lebih seperti oknum yang galak sama rakyat!"
"Sialan kamu! Nyindir saya hah"" kata kapten itu sambil melotot. Dan ... pletak! Jidat Ali Topan dijitak.
"Aduh! Sadis lu!" kata Ali Topan, spontan. Kapten polisi ketawa terbahak-bahak. Terpingkal-pingkal. Dia memegangi perutnya yang agak buncit. Geli hatinya menghadapi Ali Topan. Kegalakannya hilang seketika. Tapi mendadak ia menghentikan ketawanya. Wajahnya disetel kenceng kembali. Sok berwibawa.
"Mau sayajitak lagi"" katanya. Sok diserem-seremkan.
"Emangnya Bapak digaji negara buat njitakin orang
ya"" "Eh! Eh!Apa kamu bilang" Ngomong kurang ajar kau! Wah! Wah! Gawat kamu ini! Ngomong seenak perut saja! Bapak kamu jendral ya"" kata kapten itu. Dia rada marah sungguh. Matanya melotot. Serem. Tapi tidak menjitak lagi.
"Bapak saya tengjen," sahutAli Topan. Dia pikir sudah tanggung. Dugaannya, kapten polisi ini cuma potongannya saja serem, tapi sebetulnya orangnya lucu. Maka dia putuskan untuk nyableng, sekaligus mengeluarkan penasaran akibat diproses verbal.
"Tengjen" Apa itu tengjen" Pangkat ABRI"" tanya kapten polisi. Nadanya hati-hati.
"Sebelahnya," sahut Ali Topan. Stelnya anteng.
"Sebelahnya gimana" Kalau ngomong jangan muter-muter kamu!"
"Tengjen itu tetangga jendral!"
39 Kapten polisi itu tertegun.Ada semacam hawa aneh ke ulu hatinya. Dia tidak ketawa, tidak pula tersenyum. Dia nyureng. Mikir. Dalam pikirannya dia sedang menimbang-nimbang, ini anak kok berani sekali omongannya. Kayak ngomong sama kawannya saja. Kapten polisi jadi mikir, ini anak pasti ada apa-apanya, sehingga sikapnya mantap betul. Agak lama dia tertegun. Kemudian dia sadar. Dia harus menancap wibawa lagi. Siapapun anak ini, dia tidak boleh dibiarkan bebas aktif.
"Eh. Eh. Kamu tahu apa nggak, sedang berhadap-hadapan dengan siapa saat ini"" tanya kapten polisi. Suaranya diantep-antepkan.
"Pak Supriyadi."
"Kamu tahu bahwa saya ini perwira polisi, pangkat saya kapten dan saya komandan Tekhab disini."
Ali Topan diam. Berlagak mikir.
"Kamu orang berani ngomong seenak perut sama saya, itu tidak pantes, tau" Kamu pikir saya ini kawan kamu apa" He, saya perintahkan kamu supaya dimasukkan dalam kerangkeng. Dibui! Mengerti"" kata kapten polisi.
Ali Topan stel tenang. "Bapak salah paham 'kali..katanya.
Pak Kapten menggebrak meja.
"Salah paham apaan! Nanti saya bui kamu!" hardiknya. Kemudian dia mencet intercom: "Paimin! Ke sini kamu!" pak kapten manggil anak buahnya.
Seorang bintara polisi berpangkat pentol satu masuk. Tampangnya galak. Dia berdiri sempurna, menghormat atasannya.
"Siap, Boss! Eh, Pak!"
Kapten mengangguk, lalu melirik Ali Topan. "Sel D masih muat satu orang lagi""
"Masih, Pak!" kata Paimin. Dia melirik Ali Topan.
40 "Ya, sudah!" kata pak kapten. Dia memberi kode dengan kepalanya. Paimin keluar. Jalannya seperti koboi.
"Nah, kamu dengar"" tanyanya. Kalem.
"Dengar apa, Pak"" sahut Ali Topan. Kalem juga.
"Sel D masih muat satu orang lagi. Kalau saya perintahkan kamu masuk, kamu pasti masuk sel itu. Sel itu isinya maling, pembunuh, garong dan sebangsanya. Paham""
Ali Topan sebel mendengar gertakan itu. Ini plokis belagu amat. Emangnya apaan, pikirnya.
Menghadapi situasi begitu,AliTopan mengambil sikap serius. Soalnya dia tak mau ambil risiko dijadikan bulan-bulanan konyol. Dia banyak dengar kalau ada sementara oknum polisi yang suka main hakim sendiri. Dia berwaspada. Sebab, gertakan kapten polisi bisa jadi berisi. Tapi dia telah memutuskan main sableng. Itu kapten polisi main gertak, main ancam, dia tidak keder.
"Bapak mau masukin saya ke sel, emangnya salah saya apa, Pak"" Kalau saya maling boleh Bapak masukin ke sel. Kalau saya nggak salah yajangan dong. Bapakjangan sembarangan begitu. Ngancem-ngancem saya, nanti saya laporin ke Pak Jusuf baru tahu Bapak. Saya nggak seneng diancem-ancem.," kata Ali Topan. Stil yakin.
Kapten polisi itu melengak mendengar omongan Topan. Rasa-rasanya dia tak percaya kalau ada anak tanggung berani ngomong tandes di depannya.Wajahnya merah tanda marah. Tapi mau marah lagi, dia mikir dua
kali. "Kamu nyebut-nyebut Pak Jusuf. Pak Jusuf siapa" Apanya kamu, dia itu"" tanyanya, kaleman dikit.
Ali Topan masih pasang muka kenceng.
"Pak Jusuf Pangab. Dia bukan apa-apa saya, tapi saya pernah baca di koran, Pangab bilang kalau ada oknum ABRI main hakim sendiri dan berbuat sewenang-wenang
41 disuruh lapor langsung ke dia. Bapak tadi ngancem-ngancem saya, itu kan nggak bener. Polisi itu harusnya sayang sama rakyat kayak saya ini...," kata Ali Topan.
Kapten polisi sampai memajukan duduknya, untuk mendengar lebihjelas perkataan anak muda di depannya. Ini anak gede betul nyalinya, pikirnya. Tapi omongannya masuk akal juga. Kalau benar-benar dia melaporkan ke Pangab, urusannya jadi konyol. Melihat potongannya, anak muda di depannya ini bisa jadi membuktikan apa yang diucapkannya. Dia jelas-jelas menyebut Pak Jusuf bukan apa-apanya,jadi tidak seperti anak muda lain yang suka bawa-bawa namajendral untuk menggertak petugas negara. Aneh, kapten polisi Supriyadi makin merasa simpati pada Ali Topan. Dia makin yakin, anak muda ini merupakan bibit unggul untuk jadi Tekhab.
"Omongan kamu antep jugaya.Apa benar kamu berani menghadap Pak Jusuf"" tanya Kapten Supriyadi. Halus nadanya. "Jangan cuma ke Pak Jusuf, ke Pak Harto saya berani menghadap, kalau memang perlu. Ngapain takut-takut" Orang yang punya salah itu biasanya yang takut." Kata Ali Topan.
"He he he... kamu pikir g ampang apa menghadap Pak Harto" Beliau kan Presiden"" kata Kapten Supriyadi. Dia geli melihat semangat anak muda ini. Tapi dia salut juga. Dia jadi lebih ingin tahu isi Ali Topan.
"Kalau Presiden emang kenapa" Dia kan seperti Bapak, digaji buat ngurusin rakyat. Kalau nggak, saya bisa tulis melalui Surat Pembaca di Kompas dan Sinar Harapan..."''
Kapten Supriyadi menahan napas begitu Ali Topan menyebut Surat Pembaca di dua koran berpengaruh itu. Dia tak meragukan lagi isi kepala anak muda ini.
"Kamu bener-bener cocok jadi anak buah saya,"
42 tukasnya. Ali Topan menggeleng.
"Kenapa"" "Saya khawatir jadi seperti Serpico..."
Kapten Supriyadi membelalak. Kaget. Anak muda ini kenal juga tokoh Serpico. Walaupun cuma tokoh dalam film yang diperankan oleh Al Pacino, namun nama Serpico dan perjalanan karier kepolisiannya yang dramatis cukup beken di kalangan perwira-perwira kepolisian di sini. Dia sendiri nonton film tersebut. Serpico, tokoh idealis dalam kepolisian Amerika, berhenti jadi polisi karena dikerjain atasannya sendiri yang bermental korup.
"Kamu nonton film itu"" tanya Pak Kapten, kini nadanya benar-benar bersahabat.
Ali Topan tahu gelagat. Roman mukanya dikendorkan dan matanya lembut kembali..
"Iya, Pak. Saya nonton."
"Berapa kali"" "Sekali."
"Saya nonto n sampai tiga kali." Ali Topan tersenyum. Matanya memancarkan sinar nakal. "Kenapa ketawa""
"Bapak banyak duit dong, nonton film tiga kali," kata Ali Topan. Wajahnya benar-benar ceria.
"Kamu nyindir saya" Kamu punya pikiran kalau saya sama seperti kawan-kawan Serpico yang korup itu ya" Sialan kamu! Saya nonton tiga kali karena dapat karcis gratis dari kawan saya yang punya bioskop Garden Hall,
tau"" "Saya nggak bilang Bapak sama seperti kawan-kawannya Serpico. Saya cuman bilang, Bapak banyak duit."
43 Kapten Supriyadi geleng-geleng kepala. Dia nyaris kehabisan daya menghadapi Ali Topan yang ngomongnya ceplas-ceplos itu.
"Nah kamu pikirkan deh tawaran saya. Kalau oke, kamu boleh datang setiap saat. Kamu boleh pulang sekarang," kata si Kapten. "Nih gue kasi duit buat ongkos."
"Terima kasih, Pak. Saya akan pikirkan. Saya sungguh haru mendapat tawaran itu," kata Ali Topan. Dan dia memang benar-benar merasa haru melihat keseriusan kapten polisi yang baru dikenalnya itu. Ali Topan tidak mengira, kedatangannya di kantor polisi gara-gara urusan cinta berbuntut begitu. Dia tak tahu, kapten itu memang sedang membutuhkan anak-anak muda yang mau bekerjasama sebagai pembantu polisi, untuk menanggulangi kenakalan remaja.
Kapten itu tersenyum ramah.
"Kamu bisa juga haru ya"" katanya. Diangsurkannya tangannya ke Ali Topan. Keduanya berjabatan erat.
Sampai beberapa lama sesudahnya, Ali Topan masih suka nyengir sendiri jika mengenangkan peristiwa itu. Dudung, Gevaert dan Bobby tak habis ber-ck ck ck ketika Topan menceriterakan kisahnya sejak dari Depok sampai ke kantor polisi itu. Bayang-bayang berbagai peristiwa enak dan nggak enak itu mengantar Ali Topan tidur di kamarnya.
44 TIGA Hari-hari yang hampa melingkupi diri Ali Topan, manakala perpisahan demi perpisahan melepaskannya dari sahabat-sahabatnya, Perpisahan demi perpisahan itu makin terasa berat ditanggungnya, terasa makin mengosongkan jiwanya, terasa makin mengasingkan dirinya dari kegembiraan. Begitu berurutan perpisahan itu menyalami dirinya. Anna Karenina ke Singapura. Dudung ke Bogor. Gevaert ke Jerman. Bobby memang tetap di Jakarta, tapi tak terasa menghibur. Bobby boleh dikatakan telah mengambil jarak dengan Ali Topan. Hubungan mereka lantas terasa formil.
Ali Topan sejak dulu memang merasa kurang pas dengan Bobby. Bobby terlalu menonjolkan kekayaan. Apa-apa diukur dengan duit. Bahkan Ali Topan merasa sejak dulu, Bobby ikut nyampur dalam pergaulannya dengan Gevaert dan Dudung karena terpaksa. Dia tak punya teman, karena sombong itu. Jadi kerenggangan hubungan dengan Bobby tak terasa menyedihkan bagi Ali Topan. Tapi memang ada sesuatu yang lowong, karena, bagaimanapun mereka pernah bersama pada hari-hari yang cukup panjang.
Pernah pada suatu hari, sesudah Dudung dan Gevaert pergi, Ali Topan datang ke rumah Bobby untuk mendengarkan Beatles. Seperti biasa, dia membawa kaset-kaset Beatles untuk didengarkan di kamar Bobby.
"Wah, mack. Sorry deh. Ini hari jangan ganggu gue. Gue lagi ada urusan sama babe gue nih. Biasa, soal
45 bisnis," kata Bobby. Omongannya kering, tak bersahabat.
Ali Topan langsung membatalkan maksudnya. Sejak saat itu pula dia mengambil jarak dengan Bobby. Dulu, sewaktu sama-sama sekolah, sewaktu Bobby masih memerlukan teman belajar dan bergaul, walaupun sikapnya kurang pas, tapi tak pernah tegas-tegas bicara sengak.
Dulu, malah Bobby yang menawarkan jasa. "Kalau lu mau dengerin Beatles, puter aje kaset lu di kamar gue, Pan. Kite dengerin sama-sama," demikian tawaran Bobby yang masih diingatnya. Tapi itu dulu, dan dulu itu sudah berlalu. Sedangkan waktu bisa mengubah segalanya. Kenapa tidak, kata hati Ali Topan ketika ia berjalan dengan langkah gontai dan perasaan pahit dari rumah Bobby.
Sejak saat itu ia mencoret Bobby dari daftar temannya. Ia memberitahukan sikapnya itu pada Gevaert dan
Dudung via surat. Mereka bisa mengerti.
*** Dua hari dua malam Ali Topan di rumah, dua hari dua malam pula orang tuanya tidak pulang ke rumah. Padahal Ali Topan sangat menantikan kedatangan mereka. Ia sudah mengatur rencana, mau pergi meninggalkan rumah, memperjuangkan diriny
a sendiri. Ia mau pergi dengan cara terus terang.
Tepat jam lima pagi, Ali Topan tak bisa lagi menahan diri. Sebuah kantong plastik berisi ijazah SMA-nya ditekuk jadi delapan, dimasukkan ke kantong baju jeansnya. Barang-barang lain pemberian orangtuanya dibiarkannya di dalam kamar. Surat-surat dan foto Anna Karenina sudah dibakarnya, abunya dibuang ke tempat sampah.
Kaset-kaset Koes Bersaudara Beatles dan buku-buku ditaruhnya di sebuah kotak karton, dibawanya ke kamar
46 Mbok Yem. Pintu kamar Mbok Yem masih tutup. Ali Topan mengetuk pintu.
"Mbok. Mbok Yem.," panggilnya.
Mbok Yem yang sedang bersiap-siap sholat Subuh membuka pintu. Tubuhnya tertutup mukena. Wajahnya yang ramah tersenyum pada Ali Topan. Wajah Mbok Yem adalah wajah orang biasa, tidak cantik. Tapi Ali Topan menyayangi wajah itu.
"Ada apa Den Bagus, eh Ali Topan"'
Mbok Yem menatap Ali Topan. Sinar mata keduanya bertemu. Tanpa kata-kata lagi, keduanya sama-sama merasa maklum apa yang hendak diucapkan, sebab hati keduanya sudah begitu dekat, saling mengerti. Mbok Yem memandang kotak karton di tangan Ali Topan.
"Aku mau titip ini, Mbok... tolong simpan ya...," bisik Ali Topan. Matanya berkaca-kaca. Mbok Yem menghampiri Ali Topan. Disentuhnya lengan Ali Topan dengan lembut.
"Apa ini""
"Ini kaset dan buku-bukuku, Mbok... aku titip ya...,"
Mbok Yem menerima kotak itu. Dipegangnya dengan hati-hati. Perempuan tua yang arif itu seakan-akan sudah mengerti apa kehendak anak asuhannya itu.
Keduanya berpandangan lagi.
Air mata Ali Topan mulai mengalir. Mbok Yem mengusap air mata itu, lembut sekali, seperti mengusap wajah anaknya sendiri.
"Kamu mau ke mana"" bisik perempuan tua itu.
"Akuu. akuu mau pergi. Mbok. aku nggaak taahaan lagii.," kata Ali Topan, tersendat-sendat. Ooh, Mbok Yem memejamkan matanya. Dadanya tiba-tiba sesak oleh keharuan yang teramat dalam.
Tapi tak percuma Ali Topan jadi anak jalanan yang
47 kuat hati. Di saat keharuan mulai menghanyutkan dirinya dan hendak mendorong airmatanya mengucur deras, Ali Topan menahan diri. Ia menggertak gigi, gerahamnya dikatupkan kuat-kuat. Keharuan itu ditahannya di dalam hati, sekuat dayanya.
Ia berhasil menguasai diri dan mencoba tersenyum. Senyum kepahitan...
"Konci motor ada di atas meja, tolong kasihkan Papa ya Mbok," kata Topan.
"Lho, lho, lho...nanti kalo mbok ditanya, gimana Mbok mesti bilangnya" Nanti Mbok yang kena marah. Udah deh... di rumah aja, sama-sama Simbok, Den...,"
Ali Topan menggeleng. "Supaya Mbok nggak kena marah, biar saya tulis surat deh," kata Topan. Dia segera berjalan ke kamarnya.
Di sebuah halaman kosong di buku tulisnya, Ali Topan membuat surat.
Tuan dan Nyonya Amir Yang.....
Saya pergi dari rumah ini.
Mohon maaf atas semua kesalahan saya.
Saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas semua yang saya terima selama ini. Semoga Tuhan membalas kebaikan dan tuan dan nyonya.
Barang-barang yang pernah saya pakai, saya tinggalkan disini.
Termasuk motor yang selama ini saya pinjam.
Salam. AliTopan Ia taruh buku itu ke meja makan. Kunci motor ditaruhnya di atas suratnya. Kemudian ia menemui Mbok Yem
48

Ali Topan Wartawan Jalanan Karya Teguh Esha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang masih mendomblong di kamarnya.
"Mbok." Mbok Yem tersadar dari ndomblongnya.
"Aku pergi. dan. aku minta maaf atas kesalahanku selama ini, ya Mbok. Aku minta didoain ya Mbok. Supaya hidupku tidak sia-sia."
Ali Topan menyalami mbok-nya.
Si mbok menjabat tangan itu, dan tiba-tiba perempuan itu tak mampu menahan keharuan hatinya. Diciuminya tangan Ali Topan. Digenggamnya erat-erat, seakan tak boleh pergi. Ali Topan menggertak gigi, namun ternyata cara itu tak cukup kuat untuk menahan haru.
"Udah Mbok, jangan nangis.," bisiknya walaupun ia sendiri melelehkan air mata. Bisikan lembut itu justru makin membuat Mbok Yem tersedu-sedu.
"Mbok. biar aku pergi dulu deh. lain kali pasti kita ketemu lagi. Mbok." kata Ali Topan, bergetar...
Ali Topan menarik tangannya dengan lembut dari genggaman Mbok Yem. Perempuan tua itu dengan berat hati melepaskan genggamannya. Sesaat keduanya berpandangan.
"Mbok. aku pergi ya. Mbok tetap di sini aja..," bisik Ali Topan, lalu ia berjalan gontai dari situ.
Seperti teri ngat sesuatu, Mbok Yem dengan sebat mengambil sebuah kaleng bekas tempat rokok dari dalam kopernya. Sebuah gelang emas 30 gram dan lima lembar uang ribuan diambilnya.
"Ali Topaan! Tunggu Naakk!" seru Mbok Yem. Dengan mencincing mukenanya, ia memburu Ali Topan yang sudah mencapai pintu. Ali TOpan berhenti. Panggilan "nak" itu menyentuh nuraninya.
"Bawa ini buat sangu, Nak!" kata Mbok Yem sambil menaruh gelang dan uang ke telapak tangan Ali Topan.
49 "Nggak usah, Mbok, nggak usah!" kata Ali Topan begitu tahu apa yang ada di telapak tangannya. Ia cepat memberikan gelang dan uang tersebut ke Mbok Yem, tapi Mbok Yem menolak.
"Mbok ikhlas, Nak. Bawa deh, buat jaga kalo ada apa-apa nanti. Mbok ikhlaaas.," kata Mbok Yem.
Ali Topan sangatlah haru memperoleh perhatian yang begitu ikhlas dari Mbok Yem. Ia tahu gelang emas dan uang itu berasal dari simpanan Mbok Yem. Rasanya ia tak tahan menerima budi itu, namun untuk menolak ia tak tega. Penolakannya pasti sangat mengecewakan hati Mbok Yem. Ia tak mau Mbok Yem kecewa. Ah, Mbok Yem begitu sayang padanya.
Dengan haru, Ali Topan mengambil uang lima ribu rupiah, sedangkan gelang emas digenggamkannya lagi ke tangan Mbok Yem.
"Uangnya aku terima, Mbok, untuk bekal. Gelangnya biar Mbok simpan. terima kasih Mbok, terima kasih.," kata Topan lirih.
"Oo, Allah...!" bisik Mbok Yem.
Ali Topan mengangguk. Cukup, lebih dari cukup. MbokYem sayang, demikian kata batinnya.Wajah Mbok Yem sedikit cerah. Hatinya lebih lega karena pemberiannya diterima.
"Ati-ati Nak, kalo perlu apa-apa cepet pulang ke rumah ya... Nak," kata Mbok Yem.
Ali Topan memegangi tangan Mbok Yem. Dan ia pandangi wajah teduh pembantu keluarga yang mengasuhnya sejak ia kecil dulu. "Mamaku nggak pernah memanggilku nak kepadaku, Mbok...Tapi hari ini Mbok Yem memanggilku nak. Aku bahagia dengerinnya, Mbok.Terimakasih...Dan mulai hari ini aku menjadikan Mbok Yem ibu angkatku. Aku anakmu, Mbok...," kata
50 Ali Topan lembut, penuh ketulusan.
"Iyo, Nak... iyo, Mbok terima..," kata Mbok Yem dengan airmata berlinang-linang.
AliTopan memeluk MbokYem erat-erat dan mengalirkan air mata di dada ibu angkatnya. Airmata rindu, airmata kangen seorang anak yang haus cinta, kasih dan sayang serta kemesraan dari orang tuanya yang tak pernah menyadari kehausan itu.
Mbok Yem pun menangis.. Ia membelai kepala dan punggung Ali Topan dan menciumi wajah anak angkatnya itu dengan usapan penuh kasih sayang dan cinta yang tulus.
Tak lama kemudian, Ali Topan melepaskan pelukannya. Ia kendalikan perasaan haru, gembira dan bahagia. Hidup baruku dimulai pada hari ini, batinnya sendiri.
Ia mengusap airmata Mbok Yem, lalu mengecup tangan ibu angkatnya itu.
"Aku pergi Mbok...," katanya.
Angin dinihari berkesiur. Ali Topan melangkah keluar. Mbok Yem mengantar kepergian Ali Topan dengan pandangan haru. Setiap langkah Topan ke depan serasa membawa serta serpihan-serpihan perasaannya. Ingin ia berteriak mencegah kepergian anak yang sejak kecil diasuhnya itu. Tapi, jauh di dalam hatinya justru timbul pengertian. Kepergian itu untuk kebebasan. Untuk kebaikan...
SosokAli Topan tak tampak lagi, namun bayangannya masih tinggal di benak Mbok Yem yang menjublak di tempat perpisahan.
Angin pagi berkesiur. Dinginnya menyelinap di celah-celah mukena. Dada MbokYem berdegup. Pipinya basah oleh air mata kehilangan...
Ia berbalik dan melangkah perlahan-lahan. Setiap
51 langkahnya terasa berat oleh beban kesedihan dan rasa sunyi yang dalam. Seorang anak telah pergi dari rumah ini, rumah ayahnya, dan ia tak tahu ke mana si anak pergi dan apa yang bakal terjadi nanti.
Masuk ke dalam rumah ia merasakan seperti masuk ke dalam gua garba kesunyian yang belum pernah dialaminya. Kepergian Ali Topan kali ini tidak seperti kepergiannya pada hari-hari yang lalu. Sebelumnya, anak itu sering pergi berhari-hari, namun ia pulang kembali. Tapi kali ini"
Di dekat meja, Mbok Yem termangu-mangu. Kunci motor di atas buku di tengah meja membuatnya tertegun. Dalam kenangannya masih terdengar deraman sepeda motor memasuki rumah pada waktu-waktu yang lalu.
"Gusti Allah, nyuwun kegangsaran kangge anak angkat k
uloAli Topan..."' bisiknya. Selepas bisikan itu, tiba-tiba ia tersadar. Ia belum menunaikan sholat Subuh. Mbok Yem bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu lagi. Ia berniat memanjatkan doa lebih khusuk, untuk keselamatan Ali Topan anak angkatnya ...
52 EMPAT Menyusuri tepi jalan raya Fatmawati menuju ke arah Blok A, ditemani angin pagi dinihari bulan Juli dan sepi hatinya sendiri, perasaanAli Topan campur aduk. Ia sadar sepenuh sadar apa yang telah terjadi. Pergi dari rumah untuk mencari jalannya sendiri. Pada setiap langkahnya menuju ke depan, ia menghitung-hitung kenyataan dirinya dan berpikir tentang pelbagai kemungkinan yang bakal muncul serta alternatif yang dipilihnya untuk hidup.
Untuk hidup! Hidupnya sendiri! Karena tak ada seorang pun kecuali dirinya sendiri yang berkepentingan atas dirinya. Tidak ibu, tidak ayah, tidak pula teman-temannya yang paling dekat pun. Ya, setiap orang pada akhirnya berjuang untuk diri masing-masing, pikirnya. Saat bersama-sama dengan orang-orang rumah telah lewat, terpaku di masa lalu. Masing-masing peduli hanya pada diri masing-masing.
Tersentak oleh kesadaran itu, Ali Topan mendadak berhenti melangkah. Ia menepi, menyender di sebuah tiang listrik yang kaku dan dingin di mulut gang Abuserin di depan Sekolah Luar Biasa Santi Rama di kawasan Cipete. Dilihatnya beberapa pedagang sayur-mayur dan buah-buahan memikul dagangannya, berjalan sigap dan acuh tak acuh pada keadaan sekelilingnya . Beberapa pedagang yang naik sepeda pun berwajah optimis dan hanya menatap ke depan. Semakin dekat dan akhirnya orang-orang itu lewat di depannya.
Ali Topan tersentuh oleh pengalaman baru yang segar.
53 Para pedagang buah dan sayuran itu, baik yang memikul maupun yang bersepeda, berwajah segar dan yakin, walaupun membawa beban yang berat. Bahkan mereka masih sempat melempar senyuman dan mengangguk ke arahnya. Wah! Mengagumkan sekali! Orang-orang itu sangat bergairah. Bersemangat. Wajah mereka cerah dan segar. Tanda jiwa tabah dan yakin akan kehidupan!
Ali Topan berpaling, pandangannya mengikuti orang-orang itu. Cepat sekali mereka berjalan. Mendaki tanjakan di depan Markas Kostrad di dekat gang Abuserin, kemudian hilang di turunan jalanan. Begitu cepat, begitu sehat mereka.
Berpaling lagi ke belakang, pikiranAliTopan langsung terlontar ke masa lalu. Wajah ibunya, ayahnya, Dudung, Gevaert, Bobby, Mbok Yem dan... Anna Karenina terbayang dalam benaknya. Kesadaran akan sebuah kenyataan hadir makin jelas dalam pikirannya. Waktu cepat berlalu dan tak mungkin kembali lagi! Serasa belum lama ia berkumpul dengan mereka, orang-orang yang dikenalnya. Tapi kini mereka hanya tinggal bayang-bayang. Tawa ria, senyum simpul dan kata-kata manis telah lewat bersama hari-hari kemarin.
Kini yang terhampar adalah kenyataan yang lain. Ia berdiri menyender di tiang listrik yang tegak memaku bumi, sedangkan orang-orang yang dikenalnya selama ini sedang berada di titik-titik tempat yang lain. Itulah kesadaran dalam diri Ali Topan. Ada masa berpisah. Begitu cepat melintas.
"Masing-masing orang memiliki garis hidup masing-masing," ucapnya kepada dirinya sendiri-sendiri. Ia mengusap tiang listrik dengan telapak tangannya.
"Hai, jack, gue juga akan jalani garis hidup gue. Sekali berarti lalu mati, kata Chairil Anwar lewat sajaknya,
54 jack...," katanya, seolah-olah tiang listrik itu mengerti kata-katanya. "Sesudah mati di dunia ini, ada kehidupan lain yang abadi " katanya lagi. "Oke, tiang listrik. Gue pergi dulu. Sampai ketemu di lain waktu," ucapnya sambil menepuk tiang listrik yang diam membisu.
Ali Topan melangkah lagi. Seberkas kenyataan hidup yang masuk ke dalam diri, terasa kuat menggugah. Kini langkahnya tak lagi gontai. Semangat berjuang menantang kehidupan mengalir deras, mengalahkan perasaan sedih, mengisi ruang hampa dalam dadanya. Sunyi mulai berisi.
Ia berjalan cepat dan gagah. Pikirannya pun berjalan cepat. Tempat pertama yang ingin ditujunya adalah Blok M. Persis, ia ingin duduk di tangga Pasar Melawai. Jika hari terang dan toko-toko buka, ia bermaksud menemui Munir, pemilik kios koran dan majalah yang mang
kal di samping rumah makan Padang Jaya. Di situ ia bisa pinjam baca koran-koran pagi dan mungkin bisa mengatur rencanajangka pendek lebih lanjut. Esok hari adalah hari lain. Ia tak ingin membuang waktu.
Fajar memancar di Timur. Sapuan warna merahnya di langit terasa hangat di dalam jiwa Ali Topan. Ia
melangkah lebih cepat, mantap dan pasti. Ke depan...
*** Munir ketawa geli mendengar kisah Ali Topan. Dia merasa geli betul, padahal Ali Topan mengisahkan persoalan dirinya tidak main-main. Serius!
"Baru sekarang lu minggat" Gue kira udah dari dulu-dulu, Pan," kata Munir sambil ha ha he he.
"Sialan lu, Nir! Gue serius nih!" kata Ali Topan, bersemangat, "kalo dulu-dulu sih, gue masih bisa tahan. Sekarang udah kelewatan banget orang tua gue. Yang laki jadi bergajul, yang perempuanjadi tante girang. Blangsak
55 banget,"sambungnya. "Namanye juga jaman gilak. Tapi salah lu sendiri kenapa mau punya orangtua begitu... Lu pilih dong orang tua yang baek-baek.," kata Munir, bercanda.
"Brengsek lu! Kalo sempet milih sih gue pilih orangtua yang modelnya kayak bapak lu. Lu kan bilang bapak lu
baek." "Kalo lu jadi anak bapak gue, pagi-pagi udah jadi anak yatim lu. Nyak lu kawin lagi sama dukun. Lu tau dukun" Itu jenis manusia yang paling gawat Udah, paling sip jadi anak Blok M sini aje. Kalo nggak ada rokok bisa minta sama gue.," kata Munir, maksudnya bercanda. TapiAli Topan yang tadinya senang-senang saja, jadi tak enak hati mendengar buntut omongan kawannya yang jual suratkabar dan majalah itu.
Ali Topan berdiam diri. Kalo nggak ada rokok bisa minta sama gue, ditegaskannya omongan Munir dalam hati. Omongan itu tak sedap. Paling tidak, sekarang terasa pahit, walaupun sering juga dia minta rokok sama Munir tempo-tempo hari. Setelah dia berketetapan hati untuk hidup sendiri, dia jadi lebih peka.
"Kenapa lu diem, Pan"" tanya Munir.
"Gue mikir! Tadi lu bilang kalo nggak ada rokok bisa minta sama lu ya" Lu kira gue tukang minta-minta""
Munir melengak. "Kok jadi serius lu" Kan memang benar, kalo lu lagi boke, gue bagi lu rokok. Gue kan sering juga makan rokok lu," kata Munir, "pagi-pagi jang an sok tersinggung lu. Nanti bisa mati kelaparan," sambungnya. Hati Topan serasa kena tabok. Kata-kata Munir pahit betul. Tidak bersahabat rasanya. Padahal Munir kan kawan lama, pikirnya. Kok tega amat bilang dia bisa mati kelaparan" Anjing!
56 Wajah Ali Topan mengkerut. Sorot matanya serasa mau memakan kepala Munir bulat-bulat. Munir stil tenang saja. Dia tau Ali Topan marah. Tapi orang asal Medan ini berlagak pilon. Kalem saja dia melayani beberapa pembeli yang berdatangan.
Ali Topan bermaksud menghajar Munir. Paling tidak, dia mau memaki-maki kawan yang omongannya nyelekit itu. Tapi dia masih bisa tahan emosi, karena melihat Munir sedang melayani pembeli. Pikirnya, dengan cara baik-baik dia menceriterakan ikhwal perginya dari rumah, dengan harapan dia bersimpati sebagai kawan, kasih nasihat kek, menghibur hati kek, eh kawan satu ini malah nyelekit omongannya.
Panas banget hati Ali Topan. Pingin merokok, rokoknya habis, belum beli lagi. Pengecer rokok pun tak ada satu pun yang mondar-mandir. Tambah kesal hatiAli Topan. Dia mikir lagi, enaknya ditabok apa digampar saja mulut Munir yang pahit itu. Dia sudah mengkepal-kepalkan tangannya. Berdirinya pun sudah diatur. Kayak jagoan.
Munir selesai melayani para pembeli tadi. Duit dagangan dimasukkannya kaleng. Tanpa melihat ke Ali Topan, dia mengambil rokok dari dalam kaleng duit. Dia nyalakan sebatang. Lalu dia sodorkan rokok dalam bungkusan kepada Ali Topan.
Plok! Ali Topan menampar tawaran itu. Rokok jatuh. Munir kaget! Lebih kaget lagi dia ketika melihat sorot mata Ali Topan yang ganas dan gaya siap pukul. Ali Topan serius.
Munir nyengir kuda. Dia tau kenapa Ali Topan begitu.
"Kau kayak anak-anak nggak punya otak aja, Pan! Kau marah karena omonganku" Tersinggung kau" Kayak baru sehari dua hari aja lu kenal gue! Baru gue tes mental
57 segitu aja udah parah lu. Macam mana kau mau tabah menghadapi tantangan hidup yang keras" Lu kira gue menghina" Buang pikiran sampah begitu kalo benar ada," kata Munir dengan t
enang. Tampang becandanya hilang. Serius Medannya digelar. Kata kau dan lu, aku dan gue, nyampur nggak karuan.
Kejutan buat Ali Topan. Tidak nyana dia kalau Munir malah memarahinya. Kemarahan seorang teman, yang dilambari simpati, langsung mengguyur panas hatinya. Segera Topan mungut rokok yang ditampelnya tadi.
"Lu ambil deh, gue masih punya sebungkus," kata Munir sambil memberikan api dari rokok yang diisapnya kepada Ali Topan.
"Thanks, Nir...," bisikAli Topan, haru. Sebetulnya dia ingin ngobrol banyak dengan Munir, untuk memperoleh pandangan tentang langkah-langkah yang bakal diambilnya, tapi beberapa pembeli datang lagi. Diurungkannya niat itu karena dia ogah mau mengganggu bisnis Munir.
"Oke, jack! Gue cabut dulu. Kapan-kapan gue kemari lagi.," kata Ali Topan.
"Mau ke mane lu" Diam aja lu di sini."
"Lu lagi banyak pembeli. Entar-entaran aje gue dateng lagi. Gue mau ngider-ngider dulu."
"Oke deh. Nanti sore gue tungguin lu. Jangan kagak dateng ya" Kita tuker pikiran, Pan!" sahut Munir.
"Pikiran gue lagi suntuk Kalo gue tukar pikiran ame pikiran lu, entar lu yang suntuk..." kataAli Topan. "Kita musyawarah aje."
"Yei" "Jam brokap""
"Sehabis jam dagang deh. Sekitar setengah delapan."
"Oke!" Ali Topan meninggalkan Munir yang sibuk meladeni
58 pembeli yang makin banyak datang.
Badannya terasa gerah. Dia ingin mandi. Dan dia tau tempat mandi yang paling sip, yaitu di Gelanggang Remaja Bulungan.
*** Gelanggang Remaja Jakarta Selatan berdiri di Jalan Bulungan, Blok C, Kebayoran Baru. Gedung itu dibangun pada bulan Oktober 1970, ketika Bang Ali jadi gubernur, bertetangga dengan SMA Bulungan I yang ada di Jalan Mahakam. Jalan Bulungan dan Jalan Mahakam bersimpangan, jaraknya sekitar 400 meter dari Pasar Melawai. Seorang anak muda dekil melambaikan tangan dari auditorium.
"Helo, Dirty Harry!" seru Ali Topan, membalas lambaian anak itu.
"He, Pan. Mau berak lagi ya," sapa anak yang dipanggil Dirty Harry. Ali Topan nyengir. Dia jabat tangan temannya.
"Gue mau mandi, Har. Pinjem sabun lu dong."
"Lu mau mandi apa mau nyabun"" cetus Dirty Harry.
"He, bacot lu simpen aje bakal besok, anjing!" kata Topan. Tak urung dia nyengir mendengar joke Dirty Harry.
Harry nyengir juga. "Gue pergi dulu ya. Ada perlu nih," kata Harry. Ali Topan mencengkeram lengan kawannya itu. "Mau ke mane lu" Di sini aje, temenin gue," kata Ali Topan.
"Ntar aje, gue bener-bener ada perlu penting! Sorry deh! Gue mau nyari duit, Pan."
"Di mane ade orang buang duit" Gile lu."
Ali Topan melepaskan cekalannya. Harry mengusap-usap cekalan Topan yang menyakitkan tangannya. Ia
59 mengawasi Ali Topan dengan wajah muram.
"Lu emang enak jadi anak orang kaya. Nggak usah mikir apa-apa. Gue ini musti nyari makan sendiri kalo nggak pengen mati kelaparan, Pan," kata Harry. Suaranya datar.
AliTopan terkesiap oleh omongan Harry yang bernada penyesalan itu. Rupanya Harry menanggapinya serius. "Lu kok serius" Ada apa sih" Lagi nggak enak ati lu"" kata Topan.
"Har!" Ali Topan berseru.
Harry menengok. "Gue sekarang udah bukan anak orang kaya lagi! Gue udah minggat dari rumah orang tua gue! Rokum ogut sekarang di jalanan!" teriak Ali Topan. Dia bermaksud menghibur Harry.
"Ho oh!" seru Harry lalu ngeloyor pergi.
Ali Topan garuk-garuk pantatnya yang gatel kena keringet. Jeans-nya memang sudah kotor, tak dicuci berhari-hari. Kotoran yang melekat campur dengan keringat, menembus ke pantat, terasa gatel.
Ali Topan melangkah masuk ke GerBul. Ia terus berjalan acuh tak acuh menuju kamar mandi yang terletak di bagian belakang auditorium. Beberapa pengurus yang baru datang memperhatikannya dengan pandangan acuh tak acuh. Ali Topan berjalan terus sembari menggaruk-garuk pantatnya yang rada tepos.
60 LIMA Pagi itu, di motel Garuda yang lokasinya di kawasan Cijantung, Pak Amir sedang asoy-asoyan sama Emmy, gendaknya yang paling gres. Emmy itu pemudi putus sekolah yang jadi pramuria di nite club Nefertiti di Jalan Cendana. Sudah satu setengah bulan dia jadi piaraan Pak Amir. Emmy jadi lengket dan sayang pada Tuan Amir, sejak oknum itu memberi gelang kroncong dari emas pada malam ulang tahunnya yang
ke-22, dua bulan yang lalu.
Mereka ngamar di motel itu. Sedangkan Sidik, sopir serep Pak Amir, sedang asoy-asoyan pula di P Centre, Boker. Sidik, bekas sopir taksi gelap, menggantikan Solihin, sopir setengah tua yang minta berhenti kerja karena tak tahan punya majikan punya kelakuan bejat itu.
Solihin, pria asal Bandung yang alim itu gerah mengikuti Pak Amir yang doyan nyemplak. Apalagi sejak Ali Topan pernah menegurnya, menyindir dia makan komisi untuk menutup-nutupi pekerjaan TuanAmir. Solihin memaklumi perasaan Ali Topan walaupun tak pernah intim dengan anak majikannya itu. Ali Topan apriori kepadanya. Dia kasihan pada anak yang baik itu. Solihin lebih sreg minta berhenti walaupun dia tahu usaha majikannya sedang rame dan persenan lancar untuknya.
Sidik, asal Kediri, lain lagi modelnya. Pemuda itu punya mental bangor, jadi betah banget kerja dengan Pak Amir. Dalam tempo singkat, sopir dan tuannya itu kompak.
"Pokoknya rapi, Pak. Rahasia aman di tangan saya.
61 Orang kantor dan ibu di rumah tidak bakal tahu," kata Sidik tempo hari ketika Tuan Amir menanyakan sikap setianya sebagai sopir.
Tapi percuma juga Sidik menyimpan rahasia. Orang-orang di PT Proyek Bangunan Kita sudah ngah akan kelakuan Pak Amir, direktur operasional mereka. NyonyaAmir, memang juga tidak ambil peduli lagi pada suaminya. Demikian pula Ali Topan, yang sejak Sidik masuk kerja lima bulan lalu, sudah bersikap sangar. Sejak dia masuk kerja, Ali Topan tak pernah menegur sapa. Sidik yang pernah menanyakan pada Mbok Yem mengenai Ali Topan akhirnya tahu, anak itu tidak bisa diajak"kompromi" seperti ayahnya. PakAmirpun sudah berpesan agar tidak bikin persoalan dengan anaknya.
Sidik oke saja. Dasar anak Kediri ini punya prinsip hidup ini dicari enaknya saja, tak usah pusing-pusing, maka dia hanya tancep konsentrasi bagaimana meladeni Pak Amir. Dan Sidik memang tau cara yang paling sip. Cuma jadi yes man, cukup. Modalnya cuma dua patah kata, yaitu inggih Pak, inggih Pak, atas segala order tuannya. Pokoke dosa ditanggung dewe-dewe, begitu pikirannya.
Tak salah lagi, Pak Amir cepet kerebut hatinya. Sidik disayang banget. Duit dicukupi, pakaian dibelikan yang bagus, rokok terjamin, bahkan sopir ini boleh bawa mobil ke mana suka jika Pak Amir tidak memerlukannya. Setelah Solihin berhenti, Sidik jadi sopir tetap Pak Amir.
62 ENAM Hujan gerimis membasahi kota Bogor sejak malam hari. Udara yang sejuk berubah makin dingin.
Kota tertutup kabut tipis dan sinar matahari pagi seperti sengaja membiarkan keadaan demikian.
Sudah lewat jam sepuluh, tapi di pangkalan bemo di depan Kebun Raya masih berjubel anak-anak sekolah dan kaum pekerja yang bersiap-siap menunggu kendaraan.
Di sebuah rumah makan Cina di depan Kebun Raya, Nyonya Amir sedang minum kopi dan makan makanan kecil, ditemani Tommy, seorang mahasiswa tingkat dua di FKG Universitas Sutopo. Sudah berjalan tujuh bulan Tommy menjadi piaraan Nyonya Amir. Dibandingkan gigolo-gigolo lain yang sempat markir di dalam kehidupan Nyonya Amir, Tommy termasuk paling lama sampai saat ini. Anaknya memang ganteng. Tinggi semampai tubuhnya. Tampangnya boyis seperti penyanyi Donny Osmond dari Amerika.
Kawan-kawanya di kampus memang menjuluki Donny Osmond Sutopo kepadanya. Ayahnya petani sayur mayur di Ciawi, Jawa Barat, sangat kaya, punya istri empat orang. Ibu Tommy, istri pertamanya, memisahkan diri, pulang ke rumah ayahnya di Sukabumi karena tidak mau dimadu. Statusnya jadi istri nganggur, dicerai tidak, digauli juga tidak. Tommy adalah anak bungsu. Kakak-kakaknya ada empat orang, perempuan, sudah kawin semuanya.
Tommy mengidap oedipus complex. Ia bernafsu pada
63 perempuan yang lebih tua, terutama yang jadi istri orang. Ayahnya menitipkan dia pada seorang paman yang jadi pegawai di Pemda Jakarta, karena si ayah mencium bau kurang sedap di pekarangannya sendiri. Ada tanda-tanda Tommy bernafsu pada ibu tirinya yang paling muda. Maka, sebelum ada kejadian yang tidak diinginkan, Tommy dijakartakan saja.
Perkenalan Tommy dengan Nyonya Amir terjadi secara klasik di kampus Sutopo di jalan Hang Lekir Ujung, Kebayoran Baru dekat stadio
n Senayan. Waktu itu si nyonya merawatkan giginya disitu. Tommy sedang asyik memperhatikan rekan-rekannya tingkat empat berpraktek di lab gigi. Pada saat berkumur, si nyonya sempat melirik Tommy yang duduk di dekat pintu. Ia melempar senyuman yang bikin kaget Tommy. Senyuman itu halus, seperti mekar tak sengaja di bibir si nyonya. Tapi Tommy yakin seyakin-yakinnya bahwa senyuman itu ditujukan kepadanya dan mengandung ajakan untuk berasoy-asoyan.
Ketika perawatan selesai, si nyonya menjatuhkan sapu tangannya di depan Tommy. Tommy memungut saputangan itu, kemudian menyusul si nyonya yang berlenggang ke halaman kampus. Eh, tante, barangnya jatuh, kata Tommy. Nyonya Amir berhenti dan menengok. Ia menerima saputangannya sambil tersenyum. Saya tunggu di depan Lembur Kuring, dik, bisiknya, lantas berjalan lagi menuju mobilnya. Adegan itu berlangsung cepat dan tampak wajar, hingga beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang melihat tak mengira kedua insan itu berkode-kodean.
Tommy menjumpai nyonya Amir di depan rumah makan Lembur Kuring di Jalan Pintu Sembilan, sekitar seratus meter dari kampusnya. Hari itu juga mereka
64 langsung ke Hotel Morison di dekat pantai Jakarta Utara. Ngesex.
Dan hubungan mereka berlanjut sampai hari ini. Gerimis makin deras, hawa makin dingin dan kopi sudah habis di cangkir Nyonya Amir. Tommy memandang ke Honda Civic yang kesiram gerimis di halaman restoran. Honda Civic milik nyonyaAmir itu warna hitam bikinan tahun 1975.
NyonyaAmir melihat arloji G.P. di pergelangan tangan kirinya. "Jam sepuluh liwat tiga menit," katanya.Tommy menoleh. "Pulang kita"" tanyanya. Nyonya Amir mengangguk. Tommy mengusap tangan si nyonya dengan lembut.
"Tante pucat," kata Tommy.
"Gara-gara kamu," sahut nyonya Amir.
Keduanya tersenyum. "Ayo kita pulang. Perasaanku tidak enak saja sejak tadi malam," kata nyonya Amir. Tommy tak bicara apa-apa. Anak muda itu melambai pelayan yang segera datang dengan bon di tangannya. Nyonya Amir membuka tasnya, tapiTommy lebih cepat. Ia memberikan selembar ribuan kepada pelayan. "Ambil kembaliannya," katanya.
Pelayan itu membungkuk-bungkuk untuk menyatakan terimakasihnya memperoleh tip yang cukup besar. Bon kopi dan kue kecil pesanan kedua tamunya hanya berjumlah enam ratus lima puluh rupiah.
Tommy merasa aneh ketika Nyonya Amir tak mau bergandengan tangan saat mereka berjalan menuju mobil. Dilihatnya wajah si nyonya muram, seperti orang melamun.
Di dalam mobil, si nyonya masih tetap diam. "Liwat Parung atau Jagorawi"" tanya Tommy. "Terserah kamu..."' gumam Nyonya Amir.
65 "Lewat Parung aja," kata Tommy.
Tommy menghidupkan mobilnya, kemudian berlalu. Dia heran tiba-tiba nyonyaAmir diam dan wajahnya pun muram. Untuk mengisi kekosongan suasana, Tommy menyetel kaset Bimbo. Lagu Penggali Kuburmenggema di dalam mobil. NyonyaAmir menyalakan sebatang Dun Hill. Dihisapnya kuat-kuat. Perasaannya makin tak keruan. Wajah Ali Topan terbayang di matanya.
"Kok ngrokok sendiri" Nyalain dong satu, Tante," pinta Tommy. Nyonya Amir menyalakan sebatang lagi, diberikan kepada Tommy.
"Terimakasih," kata Tommy. Nyonya Amir cuma mengangguk acuh tak acuh. Pandangan matanya tetap ke aspal jalanan yang basah oleh hujan.
Di depan Istana Presiden, Tommy menghentikan mobil. Dia tak suka didiamkan tanpa sebab oleh Nyonya Amir.
"Tante kenapa sih kok diem-diem aja" Marah sama saya" Tanyanya. Nyonya Amir memandangnya redup.
"Tak apa-apa Tom. Tante tak marah sama Tommy. Ayolah," sahut nyonya Amir.
"Betul"" "Ya. Ayolah, biar cepat sampai."
"Tante mau cepat-cepat" Kita balik saja liwat jalan tol ya" Kita bisa tancap gas," kata Tommy. Nyonya Amir membelai rambut Tommy dengan penuh kelembutan. Tommy senang sekali.
"Lewat Parung bisa juga cepat. Tapi kan nggak enak cepat-cepat, tante" Kurang mesra," kataTommy. Nyonya Amir tersenyum sambil menepuk pundakTommy. Mobil terus melaju.
"Tante kenapa pingin cepat sampai" Kangen sama Oom di rumah ya"" goda Tommy.
66 Nyonya Amir tak menjawab. Ia tetap membelai-belai rambutTommy. Tiba-tiba terbit perasaan sayangnya pada anak muda ini. Anak muda yang manja, yang suka bersifat kekanak-kanakan. Bayan
gan masa hangat di tempat tidur dengan anak muda ini melintas di benaknya. Kemudian bayangan itu hilang digantikan oleh bayangan anaknya sendiri, Ali Topan. Aaaah, Nyonya Amir mengeluh tanpa sadar.
"Kurang enak badan"" tanya Tommy. Nyonya Amir menggeleng. Ia menghisap rokoknya berkali-kali kemudian dibuangnya puntung rokok yang masih agak panjang ke luar, lewat jendela.
"Tante tiduran ya, Tom," gumamnya.
"Tommy bengong sendirian"" kata Tommy mengajuk.
NyonyaAmir tak menjawab lagi. Ia sudah menutupkan kedua kelopak matanya, lalu menutupi wajahnya dengan saputangan.
Tommy mematikan kaset agar tidak mengganggu tidur NyonyaAmir. Kemudian dia menancap gas, menggeblas ke arah Jakarta.
Dua puluh lima menit kemudian. Honda Civic itu sudah masuk Parung, sebuah kota kecil antara Bogor dan Jakarta. Tommy melirik Nyonya Amir yang masih tetap dalam posisi semula, menutupi wajahnya dengan saputangan. Tommy menyalakan sebatang rokok, kemudian menancap gas lebih dalam lagi. Dia merasa safe hari ini. Kecepatan rata-rata 80 km perjam tak terasa bagi mobilnya.
Lalu lintas memang tidak seramai dulu, waktu Jagorawi belum dibuka. Sesudah jalan tol Jakarta-Bogor-Ciawi itu dibuka, kendaraan yang lewat Parung agak sepi. Yang masih suka menggunakan trayek Jakarta-Parung-Bogor adalah truk, bis kota dan colt.
67 Kilometer demi kilometer diraih Tommy. Kendaraan-kendaran lain dilewatinya dengan anteng. Tak sampai setengah jam ia sudah sampai di mulut Ciputat, perbatasan Parung dan Jakarta.
Tepat sepuluh lima puluh lima, malapetaka terjadi. Honda Civic yang dikendarai Tommy masuk tikungan Pondok Indah dengan kecepatan 60 km per jam, dihajar truk tentara yang masuk dari arah Jalan Fatmawati.
Dahsyat! Honda Civic terhajar sebelah kanannya, muter setengah lingkaran langsung berbalik masuk ke kebon karet di sisi jalan.Truk yang penuh dengan muatan tanah urug oleng sedikit, lantas nyelonong menyilang jalan, masuk ke parit!
Orang-orang kampung berlarian ke tempat kejadian. Lalu lintas langsung terhenti dan orang-orang nimbrung ke situ. Mereka menyaksikan Tommy menggelepar-gelepar sekarat. Dadanya remuk kena setir mobil, kepalanya pecah menghantam kaca. Darah merah muncrat, mengalir bagaikan sungai kecil memerahi sekujur tubuhnya yang meregang-regang kemudian diam, kaku. Tommy tewas!
Nyonya Amir terlempar ke luar mobil, tergeletak di rerumputan tepat di bawah sebuah pohon karet yang besar. Darah mengucur dari kepala dan bahu kanannya. Ia pingsan.
Dua orang muda kampung berambut gondrong mengangkat tubuhnya. Dengan sebuah taksi, mereka bawa orang pingsan itu ke Rumah Sakit Fatmawati.
Sopir truk, kenek dan tiga kulinya hanya meringis-ringis di rerumputan. Tak ada korban di pihak serdadu yang ngompreng itu.
68 TUJUH Ali Topan nongkrong di tukang jual ketoprak depan Gelanggang Bulungan. Sehabis mandi tadi, sudah sepiring ketoprak dimakannya. Perutnya kenyang, tapi rasa kantuknya mulai menghimbau. Dia kurang tidur sejak tiga hari yang lalu.
Rasa kantuk itu tak bisa dilunasinya secara tuntas, karena tubuhnya terus gerah. Kegerahan itu berasal dari mandi pagi yang kurang menyegarkan, ditambah rasa pliket di selangkangan akibat tidak ganti celana dalam. Ali Topan tak biasa mandi tanpa sabun. Dan kebiasaan selalu bercelana dalam bersih membuatnya tersiksa memakai celana dalam yang kotor. Dulu, semasa di SMA dia bahkan suka tak pakai celana dalam, seperti kebiasaan Mick Jagger, vokalis The Rolling Stones. Sejak dia baca di sebuah majalah hiburan, bahwa kebiasaan itu dapat membahayakan kesehatan tititnya, sejak itu pula dia menghentikannya.
Gelanggang remaja mulai ramai oleh anak-anak sekolah yang ngiseng ke situ. Kebanyakan mereka adalah siswa-siswi SMABulungan I dan SMABulungan II yang sedang istirahat. Di antara mereka ada yang memang ngiseng saja, ada pula yang nyari tempat untuk merokok sekaligus berdarling-darlingan.
Ali Topan hapal kelakuan mereka. Dia acuh tak acuh saja, sebab dia merasa sudah berada di luar lingkungan anak-anak sekolah itu. Banyak di antara mereka, terutama cewek-ceweknya yang kenal dan menegur Ali Topan dengan manis, namunAli Topan cuma memb
alas dengan 69 anggukan acuh tak acuh. Soalnya dia malas sekali hari ini. Badannya gerah, jiwanya pun rada gelisah. Pergi dari rumah dengan tekad ingin berdikari, tidak tergantung dari orang tua, merupakan pengalaman baru baginya.
Dulu dia sukajuga ngabur dari rumah, tapi cuma untuk beberapa hari. Pada waktu itu dia masih terjamin secara material. Mau makan tinggal makan, mau tidur tinggal tidur, mau celana bersih tinggal ambil di lemari. Ada Mbok Yem yang mengatur itu semua. Walaupun ada ganjelan dengan orangtuanya, tapi dulu tak pernah ada bayangan kelaparan di otaknya.
Tapi sekarang" Dan hari-hari yang akan datang" Dia harus menanggung hidupnya sendiri. Itu berarti kelaparan dan kehausan, pakaian dan rokok serta segala kebutuhan hidupnya, dari ujung kaki sampai pucuk rambut, ditanggungnya sendiri. Tak ada orang lain yang menjamin hidupnya. Jika dia tak bekerja, dia tak punya uang, tak bisa beli makanan dan minuman. Jika tidak makan, kelaparan bakal menyantapnya bulat-bulat. Ia pernah membaca di sebuah buku tempo hari, orang yang kelaparan bisa jadi nekat, jadi maling atau tak punya malu, jadi tukang minta-minta. "Gue nggak mau jadi maling atau tukang minta-minta," demikian gumamnya keceplosan.
"Minta apa"" tanya tukang ketoprak yang mendengar gumam Ali Topan.
"Gue kagak mau minta-minta!" dengus Ali Topan spontan.
Tukang ketoprak nyengir kuda. "Saya kira minta teh lagi," kata tukang ketoprak.
Ali Topan nyureng. Kemudian diambilnya uang dari kantong celananya. Dibayarnya ketoprak, lalu ngeloyor pergi ke arah Utara, menuju jalan Mahakam. Ia
70 bermaksud tiduran di pondok Fauzi, seorang tukang kembang di tepi kolam Blok C yang terletak di ujung jalan Mahakam.
"Hai, Topan! Mau ke mana lu"" sapa seorang anak di perempatan jalan. Ali Topan menengok ke anak itu, Raggie anak SMA Bulungan II yang rumahnya dekat Gevaert. Raggie menghampiri Ali Topan.
"Mau jalan aja, Rag!"
"Punya rokok, Pan" Bagi dong," kata Raggie, kalem.
"Last one, mack. Lu isep deh," kata Topan sambil memberikan rokok yang diisapnya. Raggie menerima dengan gembira. Mereka ngobrol sejenak.
"Si Gevaert ke Jerman ya. Udah nyuratin lu apa belon""
"Belon." "Dia bilang ke gue, dia mau nerusin ke elektro di sono. Kalo lu kuliah di mana sekarang, Pan""
Ali Topan mengernyitkan dahinya. "Gue nerusin ke Universitas Jalanan, jurusan preman," sahutnya dengan nada getir.
Peri Bunga Iblis 2 Wiro Sableng 007 Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin Riwayat Lie Bouw Pek 13
^