Pencarian

Ali Topan Anak Jalanan 3

Ali Topan Anak Jalanan Karya Teguh Esha Bagian 3


"Biar awet muda," sahut Boy.
"Kau sudah merasa tua" Berapa sih umurmu yang sebetulnya"" tanya Nyonya Surya sambil terus mengatur pohon pohon kerdilnya.
"Jalan tiga puluh dua," kata Boy.
"Wah. Hampir telat dong. Cepat ah cari istri. Kau kan cukup keren, kenapa sih tak mau cari pacar" Nanti aku dan abangmu yang melamarkan sebagai ganti orang tuamu," kata Nyonya. Surya. Tuan Surya menurunkan korannya, melihat ke arah Boy dan istrinya. Dia tersenyum kecil pula dan berkata, "Tampang keren kalau nggak ada duit juga percuma, Boy. Anak gadis sekarang mana mau punya suami sopir."
Boy cuma meringis saja. Dia memahami kenapa Tuan Surya bicara begitu. Tuan Surya sudah berkali-kali
165 menyuruhnya bekerja, tapi Boy sendiri masih belum mau. Ia lebih suka menjadi sopir. Terus terang, ia ingin selalu dekat Anna Karenina. Ia diam diam menaruh hati pada Anna. Tuan dan Nyonya Surya tidak tahu hal itu. Boy punya sifat cemburu. Ia merasa buta kalau Anna tidak berada di dekatnya. Cuma ia sendiri dan Tuhan Allah Subhannahu Wa Taala yang paham perasaan cinta yang terpendam di hati Boy.
"Dia belum ada pekerjaan yang cocok, Pap. Biar saja. Nanti kan ada waktunya dia punya pekerjaan yang hebat. Jadi pengusaha muda ya Boy"" Kata Nyonya. Surya.
"Pengusaha muda dalam bidang jual beli
angin"" kata Tuan Surya. Ia terkekeh-kekeh, menaruh Kompas yang dibacanya, kemudian masuk ke dalam kamarnya.
Nyonya Surya menoleh ke arah Boy. "Biar saja dia berkata begitu, Boy. Jangan dimasukkan ke hati," katanya. Nyonya Surya memang lebih suka Boy menyopiri dan merawat mobilnya. Boy tersenyum padanya. Kemudian ia berjalan ke kamarnya.
Tuan Surya berdandan di kamarnya. Ia termasuk pecandu kerja. Ia selalu gerah melihat Boy tidak mau bekerja, padahal sudah berkali-kali ia menawarkan kesempatan bekerja pada pemuda itu. Ia akhirnya punya kesimpulan bahwa pemuda semacam Boy adalah pemuda yang tidak jelas tujuan hidupnya. Orangnya gampang putus asa, maunya berfantasi saja. Dia sering mengatakan bahwa fantasi itu memang perlu untuk manusia pekerja yang mendambakan sukses besar. Tapi Boy cuma fantasi-fantasian saja. Kuliah gagal, bekerja ogah. Tuan Surya tak habis pikir. Berhubung Boy itu anak sahabat karibnya, ia enggan mengusir pemuda itu. Lagipula istrinya selalu membela Boy.
Mobil Volvo hijau-apel, mobil kantor Tuan Surya
166 sudah siap di garasi. Sopir Mat Hasan asal Cirebon sudah duduk di belakang setir. Majikannya punya kebiasaan unik, tidak mau dibukakan pintu atau dibawakan tas.
Tuan Surya selesai berdandan. Ia keluar dengan menenteng tas Samsonite warna hitam pekat. Ia menghampiri istrinya.
"Mam, aku berangkat," katanya. Dikecupnya jidat istrinya. Nyonya Surya mengecup dagu Tuan Surya.
"Nggak usah mampir di stimbat ya"" kata Nyonya Surya. Suaminya cuma terkekeh-kekeh kecil.
Tuan Surya naik mobil lalu berangkat ke kantornya.
*** Di kantor Direktur SMA Bulungan I. Hadi memasukkan surat-surat "dinas" ke sebuah map. Surat surat itu berasal dari Pak Direktur untuk orang tuaAnna Karenina dan Ali Topan. Mereka diminta datang untuk "konsultasi" perkara "surat cinta" Ali Topan kepada Anna yang diributkan Ibu Dewi kemarin.
Hadi memasukkan map ke dalam kantong plastik lalu berjalan ke luar menuju tempat parkir motor dinasnya. Pekerjaan mengantar surat panggilan ke alamatAliTopan hampir merupakan pekerjaan rutin bagi sekretaris Pak Direktur itu.
Dia bahkan sudah kenal baik dengan babu tua di rumah Ali Topan. Untung Mbok Yem, babu itu sudah tua, coba masih muda barangkali aku bisa jatuh cinta betul sama Mbok Yem, demikian pikiran Hadi sambil mendorong motornya ke pintu gerbang sekolah.
Selama ini memang Mbok Yem itu yang menemuinya jika ia disuruh mengantar surat "konsultasi" ke alamat Ali Topan. Ibu atau Ayah anak muda itu tak sekalipun dijumpainya di rumah. Dia hafal betul sambutan Mbok Yem setiap kali datang. "Lho kok dateng lagi.Ada apa to
167 kok dateng dateng ke sini lagi" Mau minta sumbangan buat sekolahnya Ndoro saya"" begitu sambutan Mbok Yem. Dan Mbok Yem pasti terkekeh-kekeh. Membayangkan muka Mbok Yem yang terkekeh-kekeh itu Hadi jadi tersenyum sendiri. Geli dia.
"MbokYem sayang, aku datang lagi... ,"kata Hadi pada dirinya sendiri. Maka ia jadi terkekeh-kekeh pula sambil menghidupkan mesin motornya. Dia masih tersenyum-senyum sendiri di jalanan menuju ke rumah Ali Topan.
Di rumah Ali Topan, Mbok Yem sedang menemui tukan sayur bernama Bang Entong. Bang Entong, orang Betawi Aseli merupakan tukang sayur langganan Mbok Yem. Ada historisnya kenapa Mbok Yem memilih Bang Entong, sebab dari Bang Entong dia bisa kursus praktis bahasa Jakarta.
Bang Entong sudah selesai memberikan sayur yang dibeli Mbok Yem. Dia menghitung-hitung harga penjualannya.
"Awas, jangan naikin harge seenaknye, ye. Saye udeh kenyang banget diomelin nyonye saye, Bang Entong," kata Mbok Yem. Bang Entong cuma tertawa kecil. Dia masih repot menghitung-hitung harga penjualan sayurannya. Mbok Yem jadi sewot. Dia ingin Bang En-tong menjawab, sebab dengan begitu dia bisa berdialog.
"He, Bang Entong, kuping lu budek ye" Gue nanyain, lu jawabin dong. Nanti gue bise sewot, eh elu gue kagak bayar bayar acan ye," kata Mbok Yem. Bang Entong ketawa terbahak-bahak mendengar omongan Mbok Yem.
"YaAlloh, Mbok. Ngocehnya jangan kasar kasar dong. Ntar diketawain tetangge," kata Bang Entong, "nih semuenye dua rebu tige ratus jigo," kata Bang Entong.
"Udeh pakek diskon tuh"
Jangan lupe ye, diskonnye
168 sepuluh persen. Kalok kurang gue berenti aje jadi langganan. Pokoknye bisa putus aje hubungan kite," kata Mbok Yem.
"Ngarti dah ngarti," kata Bang Entong sembari nyolek paha Mbok Yem, "eh jangan kate sepuluh persen, sembilan pulu persen juga saye kasiin, Mbok. Asal .," tambahnya.
"Asal ape"".
"Asal ente mudaan lagi tige pulu taon," kata Bang Entong. Dia menjulurkan tangannya untuk menyolek Mbok Yem, tapi Mbok Yem mengepret tangan itu. "Jangan suka begitu ah, malu dilihat tetangga," kata Mbok Yem tersipu-sipu.
"Kalok malu, buruan dah bayarinnye. Pacar-pacar aye yang laen udeh pade ngebet nungguin saye," kata Bang Entong. Mbok Yem melotot. Rada cemburu juga mendengar omongan Bang Entong. "Ya udah, pergi buruan ke pacarnye nyang laen. Kagak usyah kemariin lagi," kata Mbok Yem, merajuk. Bang Entong menggaruk-garuk pantatnya sembari cengar-cengir.
"Ayo dong sayang" Mbok Yem biar udeh tuaan, pokoknye saye paling betah aje di sini. Ayo dong buruan duitnye, sayang," rayu Bang Entong. Mbok Yem masih merengut, padahal hatinya berbunga kena rayuan Bang Entong yang "kontemporer" itu.
"Awas kalok saya denger Bang Entong pacaran sama babu-babu laen. Putus aje hubungan kite," kata Mbok Yem. Ia mengeluarkan uang Rp 2.500,- untuk membayar sayur mayur yang dibelinya.
"Kembalinye besok aje ye" Kagak ade duit kecil nih, sayang," kata bang Entong. Dia menggoda Mbok Yem.
"Tak ada kembali, tak boleh pergi," kata Mbok Yem. Bang Entong melemparkan uang kembali ke tampah
169 tempat sayur mayur mbok Yem.
"Permisii. Trime kasii," kata bang Entong. Dia mengangkat pikulannya, kemudian berjalan pergi. Pantatnya sengaja digoyang-goyangkan dengan "sexy". Mbok Yem menggigit bibirnya melihat goyangan pantat bang Entong. Dia terpesona oleh goyangan pantat tukang sayur itu.
Sesudah Bang Entong tidak tampak lagi barulah Mbok Yem mengangkat tampah dan berjalan masuk ke dalam rumah. Baru sampai pintu, dia berhenti karena mendengar suara sepeda motor memasuki halaman rumah. Hadi, pengendara motor itu melambaikan tangan ke arahnya.
"Halo, saya dateng lagi," Hadi berseru. Ia mematikan mesin motornya, memarkir di tengah halaman, lalu menghampiri Mbok Yem.
"Lho, kok dateng-dateng lagi"Ada urusan penting lagi ya Dik Hadi," kata Mbok Yem. Hadi mengambil surat dari dalam map.
"Biasa. Surat panggilan. Ibu dan bapak harus menghadap hari ini juga. Anaknya kurang ajar di sekolahan," kata Hadi. Mbok Yem memberengut.
"Kurang ajar" Siapa yang kurang ajar" Jangan sembar-angan ngatain Ndoro saya kurang ajar, nanti saya sampluk kowe, Di," kata Mbok Yem, bersungut-sungut.
"Pokoknya terserah. Saya nggak mau banyak bicara lagi," kata Hadi. Dia menaruh surat panggilan itu di atas sayur mayur, kemudian berbalik ke tempat motornya. Dia menghidupkan motornya lalu meninggalkan rumah Ali Topan.
Mbok Yem berjalan masuk ke dalam rumah. Dia menaruh sayur mayur di dapur. Ia mengambil surat panggilan itu dan diamat-amatinya dengan seksama.
170 Kemudian ia berjalan ke ruang tengah. Surat panggilan itu ditaruhnya dia atas meja.
Nyonya Amir muncul dari kamarnya. Wajahnya pucat sekali. Dia sakit selesma.
"Ada surat dari sekolahannya Den Bagus, Ndoro Putri," kata Mbok Yem. Dia mengambil surat dari atas meja, menyerahkannya pada Nyonya Amir.
Nyonya Amir membuka surat itu dan membacanya. Ekspresi wajahnya tak berubah. Dia melipat kembali surat itu dan memasukkannya ke dalam sampulnya.
"Aku sedang sakit. Tidak bisa datang," katanya. Surat itu diberikan lagi pada Mbok Yem.
"Katanya penting sekali, Ndoro Putri. Harus datang ke sekolahan Den Bagus," kata Mbok Yem.
"Aku sakit," kata Ny. Amir. Lalu dia berjalan ke kursi dan duduk di situ. Termangu-mangu.
Mbok Yem segera menyingkir dari hadapan Nyonya Amir. Di dalam hatinya dia menggerutu dan mencaci-maki 'ndoro putrinya'. Anak sendiri tidak diurusi, anak orang lain disayang seperti suami, demikian gerutuan Mbok Yem. Tapi Nyonya Amir tetap berdiam diri, termangu-mangu, entah memikirkan hal apa.
Mbok Yem tidak tahu. Yang dia tahu, berdasarkan pengalaman menerima surat dan pembicaraan dengan Hadi, Den Bagus Ali Topan-nya sedang
dilanda kesusahan di sekolah. Ia sayang betul padaAliTopan tapi ia tak bisa apa-apa. Ia cuma babu. Babu tua. Dengan pikiran 'tak habis pikir', Mbok Yem masuk ke dapur dan meneruskan kerjanya.
*** Nyonya Surya sedang mencuci tangan di dapur rumahnya. Ia telah selesai 'meruwat' bonsai, pohon-pohon kerdil kesayangannya. Boy bersiul-siul lagi tak jelas di
171 kamar mandi yang terletak di dekat dapur. Boy memang 'penggemar' kamar mandi. Dan penghuni rumah sudah maklum dengan 'kegemarannya' yang khas itu.
"Boy! Boy!" Ny. Surya berteriak.
Boy tetap bersiul-siul di kamar mandi. Dia kurang mendengarkan teriakan Nyonya Surya.
Nyonya Surya berteriak-teriak lagi, memanggil namanya.
"Yak! Sebentar!" Boy menyahut dari kamar mandi.
Tak lama kemudian, Boy ke luar dari kamar mandi. Wajahnya tampak berseri-seri, tapi jalannya agak loyo. Ia ke dapur menjumpai Nyonya Surya.
"Boy, sebentar lagi tolong antarkan aku ke salon ya. Aku mau krimbat," kata Nyonya Surya.
"Bolehlah. Tapi tak lama kan"" tanya Boy, "aku kan harus menjemput Anna," tambahnya.
"Ah, ah, kau penuh perhatian pada Anna. Aku senang
sekali." Boy menyeringai. Ia mengusap-usap wajahnya. Bel berdering.
"Siapa lagi, pagi-pagi begini sudah mertamu," kata Nyonya Surya, "tolong lihat, Boy. Kalau Nyonya Winata, bilang aku sudah pergi," tambahnya.
Boy bergegas ke ruang depan. Ia melihat Hadi berdiri di depan pintu.
"Bung siapa" Ada urusan apa ke sini"" tanya Boy, tanpa membuka pintu. Hadi berdiri dan memandangnya dengan aneh. Sok bener, gumam Hadi. Boy akhirnya membuka pintu.
"Di sini rumah Anna Karenina"" tanya Hadi.
"Iya, betul, ada apa""
Hadi menyodorkan surat panggilan.
"Apa ini"" tanya Boy.
172 "Bung baca saja sendiri," kata Hadi. Kemudian ia pamit dan berjalan pergi meninggalkan rumah itu. Boy membalik-balik surat itu, lalu bergegas ke dapur, menemui Nyonya Surya.
"Siapa Boy"". tanya Ny. Surya.
"Dari sekolah si Anna," kata Boy sambil menyerahkan surat. Nyonya Surya terbelalak. "Dari sekolah si Anna" Ada apa sih"" tanyanya. Segera dibukanya surat itu. Dan dibacanya.
"Waduh Boy, Boy, Boy! Kita cepat-cepat ke sekolah si Anna. Ini surat panggilan penting. Waduh, ada apa ya" Udah, cepat sana siap-siap, aku nggak jadi ke salon," kata Ny. Surya. Ia segera lari, terbirit-birit, ke kamarnya.
Tak berapa lama Boy dan Nyonya Surya naik mobil menuju SMA Bulungan I. Di perjalanan, mereka saling bertanya jawab, menduga-duga. Mengenai maksud dan tujuan surat panggilan itu.
Di kantor Direktur SMA Bulungan I, Ali Topan dan Anna Karenina duduk menghadap Pak Broto Panggabean. Ibu Dewi duduk di kursi, di dekat pintu.
Hadi datang, tergopoh-gopoh. Langsung memberi laporan pada bossnya. "Surat sudah saya sampaikan ke rumah Anna Karenina, Pak. Sebentar lagi mungkin mereka datang," kata Hadi.
"Orang Ali Topan"" tanya Pak Broto Panggabean.
"Saya tidak tahu, Pak. Tapi suratnya sudah saya sampaikan pada Mbok Yem," kata Hadi.
"Mbok Yem" Siapa dia"" tanya Pak Broto.
"Itu.itu. pembantu rumah Ali Topan, Pak," kata
Hadi. "Oh ya" Baiklah," kata Pak Broto. Hadi lantas ke luar dari ruang itu. Pak Broto Panggabean memandang Ali Topan. "Ke
173 mana orang tua kau, Ali Topan"" tanyanya.
"Saya tak tahu, Pak. Jika mereka pergi tak pernah memberi tahu saya," sahut Ali Topan. Pak Broto, Ibu Dewi, dan Anna Karenina terkejut mendengar jawaban Ali Topan yang tegas itu.
"Jangan asbun kau!," kata Pak Broto. Beliau melotot ke arah Ali Topan.
"Bukan asbun, pak, tapi fakbun," kata Ali Topan.
"Apa itu fakbun""
"Fakta bunyi!" Heh heh heh, Pak Broto tertawa terkekeh kekeh. Ketawanya yang spontan itu mengejutkan Ibu Dewi. Ibu guru centil itu melotot. Ha ha ha. Ali Topan tertawa. Lalu diam. Ibu Dewi makin sengit. Ia merasa diledek.
Ibu Dewi melotot, merengut, wajahnya merah menahan marah. Tapi Ali Topan cengar-cengir saja. Beberapa waktu kemudian, Hadi masuk, mengiring Nyonya Surya dan Boy. Nyonya Surya terkesiap melihat Ali Topan dan Anna.
"Selamat pagi. Selamat pagi. Mari. Silakan," kata Pak Broto. Nyonya Surya dan Boy masuk, diperkenalkan lebih dulu dengan Ibu Dewi.
Nyonya Surya dan Boy masih menatap Anna dan Ali Topan.
"Ada apa ini, An," kata Nyonya Surya dengan nada dingin. Pak Broto menyela. "Aaa, begini... silahkan duduk dulu. Begini. sebetulnya tidak ada perkara yang serius, tapi Ibu kami undang untuk sekedar konsultasi saja mengenai. mengenai. putri Ibu..," kata Pak Broto.
"Anna! Kau bikin apa di sini ha"!" Nyonya Surya menghardik anaknya. Lalu dia menuding Ali Topan dan berkata keras: "Kamu bikin apa sama anak saya" Memang kamu anak kurang ajar!"
174 "Sabar, sabaar, Ibu. Biar Ibu Dewi menjelaskan duduk perkaranya," kata Pak Broto Panggabean. Hati guru kepala ini agak menyesal melihat perkembangan yang tidak enak. Harusnya dia kelarkan saja persoalan, tanpa membuat pertemuan semacam ini. Tapi semuanya sudah terlanjur.
Ibu Dewi dengan lancar tentu dengan tambahan bumbu-bumbu penyedap kata-kata dan mimik yang dramatis. Tak percuma dia ikut grup teater tatkala kuliah di IKIP dulu. Dramatis betul suasana dibikinnya. "Begitulah, Ibu Surya. Saya selaku guru pengawas yang ditugaskan langsung oleh Departemen merasa bertanggung jawab penuh atas nama baik sekolah ini, dan untuk mecegah supaya murid-murid tidak terjuremus ke jurang kenistaan dan kenakalan remaja," demikian kata penutup Ibu Dewi. Nyonya Surya, Boy dan Anna tampak tegang. Tapi Ali Topan malah tersenyum kecil.
"Ibu Dewi, tadi itu ada kesalahan kecil. Bukan terjuremus, tapi terjerumus," kata Ali Topan.
Ibu Dewi melengak. Demikian pula hadirin lainnya. Mulut Ibu Dewi terbuka. Sebelum ia bicara, Ali Topan sudah buka mulut: "Menurut tata bahasa Indonesia yang baik, pembicaraan Ibu Dewi agak kurang teratur, hingga sulit dipahami maknanya," Mak! Langsung wajah Ibu Dewi merah sebagai muka orang Belanda kesentrong sinar mentari.
"Kurang ajar!" perkataan itu ke luar dengan dahsyat dari mulut Ibu Dewi. Seluruh emosinya meledak. Ia tak tahan menerima aksi Ali Topan. Ia pikir kemarahannya sudah setinggi langit, tapi Ali Topan tak bergeming. Dengan tenang ia menyodok kaki kemarahannya yang rapuh. Soal tata bahasa masih sempat dibawa-bawanya. Benar-benar kurang ajar!
175 Ibu Dewi menghentakkan kaki, lalu ke luar ruang. Ia tersedu sedan. Suasana di dalam ruangjadi hening. Langkah-langkah Ibu Dewi yang nyaring merupakan ilustrasi suara yang terdengar. Tek tok tek tok tek tok. Makinjauh, makin berkurang bunyi hak sepatu lancipnya menjejak lantai koridor sekolah.
Kelas-kelas yang dilewatinya hening. Para murid dan guru melongok sejenak. Melihat kelebatan Ibu Dewi, mereka menerka, pasti ada sesuatu yang terjadi.
Ibu Dewi ke luar dari gedung sekolah. Ia memanggil taksi President yang lewat. Taksi berhenti. Sopirnya membukakan pintu. Ibu Dewi masuk ke dalam."Ke Jalan Jendral Sudirman. Departemen P dan K,""kata Ibu Dewi. Sopir taksi manggut, kemudian menancap gas taksinya.
Di ruang direktur, suasana terasa runyam bagi Anna Karenina. Seujung kukupun ia tak menyangka kalau situasi berkembang ruwet begitu. Ia baru tahu dan yakin akan "Siapa Ali Topan," sebagaimana diceritakan oleh Maya. Ali Topan itu susah ditebak adatnya. 'Nyentrik sih,' demikian kata Maya. 'Dia sebetulnya anak yang baik. Tapi suka nekat. Dan nekatnya nggak ketulungan.' Begitu rekomendasi yang diterima Anna, pada hari-hari yang lewat.
AliTopan duduk dengan gaya masa bodo. Ia sedikitpun tidak memandang ke arah Nyonya Surya dan Boy. Sekilas tadi, waktu masuk, ia melirik mereka, dan menangkap sinar mata yang tak enak buat dipandang. Makanya ia tak menggubris mereka. Ia duduk dengan tenang, menggosok-gosok dengkulnya.
"Heh! Ali Topan! Kau benar-benar trouble maker! Aku tak bisa bicara apa-apa lagi. Rasanya aku cuma ingin menempeleng kau. Tapi aku tahu itu tidak pantas," kata Pak Broto Panggabean. Nadanya dingin. Ali Topan acuh
176 tak acuh saja. Dia mengartikan omongan direktur sekolah itu secara lain. Pak Broto tak berani menepelengnya, sebab, dulu pernah ada peristiwa, Pak Idris, guru olahraga menampar Ali Topan, kemudian, sehari sesudah peristiwa itu, Pak Idris digebuki berandal-berandal Pasar Melawai. Mengingat itu, Ali Topan tersenyum.
"Kenapa kau tersenyum, heh"" tanya Pak Broto. Ali Topan menoleh, memandang tepat di antara dua biji mata direktu
r sekolahnya. Lalu ia tersenyum lagi, senyuman yang susah diterka Pak Broto, apakah senyuman itu asal senyuman, ataukah senyuman menganggap enteng.
"Kau keluarlah! Nanti kutempeleng kau!" hardik Pak Broto. Ali Topan berdiri. Tapi ia tidak beranjak dari tempatnya. Ia menoleh ke arahAnna Karenina. Gadis itu pucat pasi.Wajahnya melukiskan kecamuk perasaannya.
"Annajuga boleh ke luar, Pak"" tanyaAliTopan sambil menoleh ke arah Pak Broto.
"Anna tetap tinggal di sini!" Nyonya Surya berteriak. Tangannya mencekal lengan Anna.
"Saya harap Anna tidak dijatuhi hukuman apapun akibat peristiwa ini, Pak Broto. Semua kesalahan atas rekening saya," kata Ali Topan. Ia melirik Pak Broto, kemudian melangkah ke pintu. Boy menghadang di pintu. Wajah Boy tegang, matanya mengandung sinar kebencian yang hebat. Ali Topan berhenti tepat di depan Boy. Boy masih menghadang.
"Numpang lewat," kata Ali Topan. Tapi Boy tetap menghadang. Pelahan Ali Topan menengadah. Sinar matanya menyapu wajah Boy. Boy bergidik melihat sinar mata Ali Topan yang sangat beringas. Tanpa sadar dia menyingkir ke tepi. Ali Topan mendengus, lalu berjalan ke luar. Ia kembali ke kelasnya.
Walaupun ia sudah tidak berada di ruang Direktur, tapi
177 'wibawa' dari sikapnya membuat orang-orang di ruang itu terpaku. Pak Broto mengusap-usap dagunya, Nyonya Surya dan Boy saling memandang, dan Anna Karenina menunduk. Masing-masing berpikir tentang Ali Topan.
Akhirnya Boy bicara. "Anak begitu mustinya dipecat saja dari sekolah ini, Pak. Kalau tidak, dia bisa bikin hitam nama bapak danjadi racun bagi murid-murid lain."
Nyonya Surya menyambung, "Itu sangat betul, Pak. Lihat saja, anak saya jadi korbannya yang entah yang ke berapa. Dan ibu guru tadi. Ibu Dewi, dibuatnya begitu marah."
Pak Broto diam saja. Kepalanya manggut-manggut macam burung kuntul di tengah sawah. Manggut-manggut itu gayanya yang khas, dan tidak selalu berarti mengiyakan pendapat orang lain.
"Yah. Begitulah. Saya tidak bisa bicara apa-apa lagi. Kita tunggu berita dari Ibu Dewi. Saya kira dia akan melapor ke Departemen P dan K. Nah, terima kasih atas kedatangan Ibu. Saya harap komunikasi begini bisa dilanjutkan demi kebaikan bersama, guru, orang tua murid dan si murid sendiri. Begitu"" kata Pak Broto. Ia ingin mengakhiri pertemuan.
"Tapi, bagaimana selanjutnya" Harus ada sanksi berat untuk anak berandal itu. Kalau tidak, saya bisa bikin besar ini perkara. Saya kenal orang-orang berkuasa di Hankam. Jadi, betul-betul bapak harus bertindak," kata Nyonya Surya. Pak Broto manggut-manggut lagi menyungging senyum yang khas Medan.
"Ibu tunggu kabar saja," katanya. Kemudian ia berpaling ke Anna dan berkata, "Nah, Anna boleh kembali ke dalam kelas. Seperti kata Ali Topan tadi, kesalahan semuanya atas rekening dia."
Anna Karenina mengangguk. Ia berpaling ke arah
178 ibunya. Nyonya Surya memandang pula kepadanya. Boy ikut melihat Anna.
"Lebih aman kau pulang saja sekarang, Anna," kata Boy. Anna menatap mata Boy, lalu dengan gaya tidak senang, ia melengos.
"Iya, begitu juga baik. Ayo, Anna, ambil tas kamu," kata Nyonya Surya, kemudian ia berpaling ke arah Boy, "Boy, kawal dia," katanya.
Dengan kesal Anna menuruti "kebijaksanaan" itu. Ia pamit pada Pak Broto. Pak Broto mengelus rambut muridnya, lalu meng antar ke luar ruang. Boy, mengikuti Anna dari belakang. Nyonya Surya juga pamit. Ia berjalan mengikuti Boy dan Anna.
Pak Broto memperhatikan mereka, kemudian masuk ke dalam kantornya.
"Hadiiiii!," serunya. Hadi datang segera.
"Ada apa, Pak""
Pak Broto melotot. "Pakai tanya lagi. Mana es teh buatku" Dan Dji Sam Soe sebungkus, bon dulu di kantin. Cepat kau! Kepalaku pening melihat muka kau yang macam beruk itu!" hardik Pak Broto. Ia melampiaskan kedongkolan pada Hadi.
"Siap, Pak!" kata Hadi. Lalu berjalan mundur ke pintu. Sampai di luar ia berlari sekencang-kencangnya ke kantin.
"He, bibi! Mana es teh aku" Dan Dji Sam Soe sebungkus, ngebon dululah! Cepat kau antar ke kamar Bapak kita, Si Broto Panggabean, bah!" kata Hadi pada bibi kantin. Bibi kantin tertawa.
"Kalau di sini berani bilang Si Broto Panggabean. Kalau di depan orangnya. huh!
, bisa dibikin beres kamu, Di," kata Bibi Kantin. Sambil tertawa-tawa, segera membuat es teh manis. Setelah selesai, ia berikan es teh dan
179 sebungkus Dji Sam Soe pada Hadi. "Salam buat Pak Broto," kata bibi kantin. "Salam pakai cium""
"Hus!" Bibi kantin melotot. Hadi terbahak-bahak sambil pergi membawa es teh dan Dji Sam Soe.
Begitu Hadi sampai dan menaruh gelas es teh manis, langsung Pak Broto menyambar minuman itu dan menenggak seperti orang menenggak tuak. Segelas es teh manis amblas dengan sekejap mata. Lalu membuka bungkus Dji Sam Soe dengan gigi taringnya.
Hadi segera mengundurkan diri. Pintu kantor Pak Broto ditutupnya dari luar. Hadi tahu, pada saat seperti itu, Pak Broto tidak boleh diganggu gugat.
Pak Broto mengambil sebatang Dji Sam Soe, mengeluarkan tembakau separuh. Kemudian ia mengambil bungkusan ganja dari laci mejanya. Ganja itu dicampur dengan tembakau yang sudah dikeluarkannya, kemudian dimasukkan lagi ke dalam rokok. Sisa tembakau dan ganja disimpannya di dalam amplop. Pak Broto sulit menghilangkan kebiasaan mengganja yang
dilakukan sejak masih muda, di Medan dulu.
*** Sebuah pesawat terbang kertas melayang di dalam kelas. Pesawat itu melayang-layang, lalu menukik, dan mendarat di kepala Maya. Lantas terdengar suara ketawa dari teman-temannya. Ketawa Ali Topan terdengar paling keras. Ia yang melayangkan pesawat terbang kertas itu.
Maya tidak marah. Ia tahu, Ali Topan sedang kesal. Anna Karenina sudah pulang bersama Ibunya dan Boy. Di depan pintu, tadi, Boy berdiri dengan gaya sok angker. AliTopan melemparnya dengan sebutirpermen Chiclets. Kena kepalanya. Ketika Anna mengambil tasnya, ia tak
180 berkata apa-apa. Wajahnya merunduk.
Ridwan menghampiri Ali Topan. Ia berbisik-bisik. Ali Topan mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu Ridwan kembali ke tempat duduknya.
Ali Topan berdiri. Ia mengambil tas sekolahnya, lalu berjalan ke pintu. Teman-temannya memperhatikan.
Di tengah pintu, sambil tetap menghadap ke luar, Ali Topan berseru: "He, kenyung-kenyung. Gua poskul duluan. Kalian belajar baek-baek, ye"!"
"Iyeeeee..," teman-temannya serempak menyahut.
Lantas Ali Topan berlalu. Langkahnya tenang, pandangannya lurus ke depan. Ia terus berjalan, melewati koridor, kantor guru-guru, pintu gerbang sekolah dan menyeberangi jalan.
Ia terus berjalan. Pelan tapi pasti. Menuju Jalan Panglima Polim Tiga, tempat tukang tambal ban motor & mobil.
Motornya sudah siap ketika ia sampai. Bannya sudah ditambal, dan bodinya sudah dibersihkan oleh penambal ban.
"Ada berapa lobang"" tanya Ali Topan. "Dua lobang. Pakunya panjang sih," kata penambal ban.
"Brokap"".
"Dua lobang, duaratus deh."
Ali Topan membayar Rp 200, lalu mengambil sepeda motornya.
Tak lama kemudian, ia sudah nangkring di atas motornya. Ia tak ngebut. Motornya dijalankannya pelan-pelan.
Ia langsung pulang ke rumahnya.
181 EMPAT BELAS Esoknya, sekitar pukul 10.00 Waktu Indonesia Barat, Hadi datang ke rumahAliTopan, membawa sepucuk surat keputusan Direktur SMA Bulungan I, mengenai skorsing. Selama satu bulan penuh, ia tidak diizinkan mengikuti pelajaran sekolah.
Yang menerima surat itu Nyonya Amir. Ali Topan sedang berada di kamarnya.
NyonyaAmir membaca surat keputusan itu, kemudian pergi ke kamar Ali Topan. Ia masuk ke kamar anaknya dan mendapati Ali Topan sedang tidur-tiduran. Nyonya Amir duduk di ranjang Ali Topan. "Kamu tidak sekolah hari ini"" tanya Nyonya Amir. "Males," jawab Ali Topan. "Kenapa males"" "Kemarin ribut di sekolah." "Kenapa ribut""
"Biasa." "Biasa apa"" "Soal cewek."
"Lho, sudah punya cewek" Kok mama nggak di kasih
tahu"" Ali Topan tak menjawab. Ia merasa aneh. Mamanya kok lain sekali hari ini" Kok menaruh perhatian banget" Ia menelentang, memandang ibunya. Ibunya tampak tersenyum. Tapi wajahnya pucat sekali.
"Ada apa"" tanya Ny. Amir.
"Mama tumben nanya-nanya. Udah insap ya"" kata Ali Topan.
182 Mamanya terperanjat. Wajahnya yang pucat makin pucat. Tapi senyumnya masih diusahakan keluar, untuk mengurangi rasa kagetnya.
"Kepala Sekolahmu mengirim ini," kata NyonyaAmir. Ia menunjukkan surat pada anaknya.
"Apa itu" Surat skorsingya" Atau Ali dipe
cat dari sekolah"" tanya Ali Topan.
"Baca saja sendiri," kata NyonyaAmir. Ia memberikan surat itu pada anaknya. Ali Topan membaca surat itu. Ekspresi wajahnya tidak berubah. Tenang-tenang saja tampaknya.
"Kamu nakal betul ya di sekolah, kok sampai di skors begitu lama. Jangan nakal dong Ali."
"Ha ha ha. Jaman sekarang memang jamannya orang nakal, Mama. Kalau nggak ada orang nakal, nggak rame dunia," kata Ali Topan.
Nyonya Amir tertegun. Darahnya tersirap. Kata-kata anaknya terasa sebagai ratusan jarum yang menancap di ulu hatinya. Dipandangnya wajah anaknya, tapi terbayang wajah lelaki tanggung yang bukan anaknya. Semakin ia memandang Ali Topan, semakin terbayang wajah anak-anak muda yang menjadi "gigolo"-nya. Kepalanya terasa pening mendadak. Pandangan matanya berkunang-kunang.
"Apa kamu bilang"" bisiknya. Ali Topan memandangnya. Sepasang mata seakan-akan layu. Sinar matanya suram, mengandung kecewa.
"Maaf, Mama, Ali nggak suka keadaan di rumah ini. Ali nggak mengerti kemauan mama dan papa. Terus terang Ali kecewa," kata Ali Topan.
NyonyaAmir tertegun. Peningnya menjadi-jadi. Sebetulnya rasa pening itu hampir tak bisa ditahannya, tapi ke-aku-annya sebagai seorang ibu tidak bisa menerima
183 ucapan anaknya, sekalipun ucapan itu mengandung kebenaran.
"Kamu memang tidak akan pernah bisa mengerti!" gumamnya. Lalu ia bangkit, dan segera berjalan ke luar. Pintu kamarAli Topan dibantingnya. Surat hukuman dari sekolah melayang jatuh kelantai.
Sesaat Ali Topan memandang daun pintu yang dibanting dan surat hukuman yang terletak dilantai.Lalu iapun bangkit, dari tempat tidurnya. Matanya terasa panas. Sekuat tenaga ia tahan airmata yang hendak ke luar, namun sia-sia. Iapun menunduk. Butir-butir airmata jatuh ke lantai. Ia menangis, terisak-isak.
Dadanya terasa sesak, hatinya terasa hampa. Ia ingin sekali berteriak sekuat-kuatnya. Ia ingin meledakkan seluruh perasaan yang terpendam lama, rasa kecewa berasal dari rasa kehilangan sesuatu, yaitu perhatian ibunya. Dulu mamanya nggak begitu. Masih biasa-biasa saja. Seperti mamanya waktu ia masih kecil. Meskipun cerewet, dan kalau bicara membentak-bentak, tapi masih waras. Mamanya berubah sejak tahu suaminya main perempuan. Dia jadi kacau.
Ia tidak berteriak. Ia hanya terisak-isak. Ia tak mau berteriak kepada ibunya, walaupun sekujur tubuh dan seisi jiwanya ingin berteriak, Hentikan, hentikan semua kegilaan di rumah ini!!!
Ia memejamkan mata sejenak dan menarik napas panjang-panjang. Kedua tangannya mengepal. Ditinjunya udara berkali-kali untuk melampiaskan tekanan perasaan di dalam jiwanya.
Akhirnya ia terkulai lemas.
Perlahan dibukanya kelopak matanya.
Bibirnya terbuka. Ia menyebut nama Tuhan.
Lalu ia berjalan mengambil celana blue jeans dan jaket-
184 nya. Dikenakannya pakaian itu, kemudian sepatunya.
Dengan tubuh terkulai ia pergi ke kamar mandi. Diciduknya air, diusapnkan ke wajahnya. Demikian berkali-kali. Sesudah itu ia menyenduk air dengan tangannya, untuk berkumur-kumur. Lalu ia ke luar.
Tak lama kemudian, Ali Topan naik motor meninggalkan rumahnya. Ia ngebut!
*** Ali Topan memacu motornya di jalanan. Wajahnya muram. Pikirannya kusut. Ia merasa sebagai anak paling malang di Jakarta.
Dalam keadaan risau begini, ia ingin sendiri. Ia tidak membutuhkan siapapun. Tidak Gevaert, tidak Bobby, dan tidak Dudung! walaupun mereka teman-teman sepermainan, ia sedikit sekali bicara tantang keadaannya di rumah. Teman-temannya itu mendengar-dengar perihal rumah tangganya yang kacau balau, tapi bukan dari dia.
Kebayoran memang bukan sekecil Subang, tapi untuk urusan permainan seks-gelap, seperti yang dikerjakan oleh kedua orangtuanya, rasanya setiap hidung anak Kebayoran tahu. Terutama ikhwal ibunya, yang mendapat sebutan Tante Dun Hill -karena selalu merokok Dun Hill- setiap pemuda hidung belang rasanya belum sah kalau belum pernah pergi dengannya, begitu kelakar para muda Kebayoran.
Dan ayahnya" Tak ada rotan, akar pun jadi, kelakar mereka. Artinya, tak ada perempuan lacur, bencongpun
jadi! "Gilak!" teriak Ali Topan.
Ia kaget sendiri mendengar teriakannya, sebab pengendara mobil di sampingnya m
elotot ke arahnya, kaget.
Ali Topan mengebutkan motornya di antara mobil-mobil sedan di jalur cepat Jalan Raya Jendral Sudirman.
185 Seharusnya ia masuk ke jalur lambat, tempat khusus bagi pengendara motor yang dicampur dengan biskota. Tapi ia tak peduli jalur lambat. Ia ingin cepat. Ia tak peduli sumpah serapah oom-oom di dalam mobil yang marah karena ia tidak mematuhi aturan lalulintas jalan raya. Ia sedang sumpek.
Ia mengepotkan motornya di antara kendaraan lainnya dengan kecepatan 80 sampai 90 km per jam. Ia terus menggeblas. Lewat kolong jembatan Semanggi. Dua polisi lalulintas yang sedang patroli menudingnya. Tapi Ali Topan masa bodo saja. Ia menggeblas terus. Polisi mengejarnya.
Di Bendungan Hilir ia masuk ke jalur lambat. Kecepatan motornya dikuranginya. Ia menyelipkan motornya di balik bis PPD, hingga polisi patroli kehilangan jejaknya.
Polisi itu celingukan, mencari-cariAli Topan. Ia heran, cepat betul anak tanggung itu menghilang. Ia tidak tahu Ali Topan bersembunyi di balik bis kota. Ali Topan mengintip polisi yang melaju ke depan sambil celingukan mencarinya.
Sampai Bunderan Hotel Indonesia, Ali Topan masih merendengi bis PPD. Ia melihat penumpang dan kondektur bis PPD ketawa-tawa melihatnya. Mereka tahu kelakuannya mempermainkan polisi.
"Udah, kebut aje, polisinya udah ngilang," kata kondektur bis. Ali Topan diam saja. Malas menjawab.
Lepas dari bunderan HI, Ali Topan memacu motornya kembali. Ia lurus ke arah utara. Ia ingin segera sampai di pantai Bina Ria, salah satu tempat yang disenanginya untuk menyendiri.
Matahari mulai tenggelam di makan laut barat. Langit berwarna merah marong. Ombak makin besar dan angin
186 makin kencang. Ali Topan berdiri tegak menatap cakrawala. Rambutnya yang hitam lebat dan gondrong dihembus angin, menambah kegagahannya.
Sekujur tubuhnya lusuh. Dan perutnya terasa lapar. Sudah berjam-jam ia merenung sendiri berdialog dengan angin dan laut. Sepatunnya penuh pasir. Demikian pula celana jeans-nya.
Ia berjalan ke tepi pantai. Dimasukkannya kakinya ke laut, sebatas paha. Celana dan bajunya basah kuyup. Ia mengambil pasir dari dalam laut. Digenggammya pasir itu, lalu dilemparkannya ke tengah. Kemudian ia mencuci wajahnya dengan air laut. Dijilatinya tangannya yang basah. Asin. Dan agak pahit. Hausnya makin mencekik.
Akhirnya ia berbalik, berjalan menuju semak tempat ia memarkir motornya. Diangkatnya sang motor, ditepuk-tepuknya sadelnya. Lalu ia menyemplakinya.
Sebelum berlalu, ia menoleh ke arah laut. "Aku pulang dulu ya laut, kapan-kapan aku ke sini lagi," katanya.


Ali Topan Anak Jalanan Karya Teguh Esha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lantas ia hidupkan motornya, dan berlalu dari situ.
*** Sementara itu di rumah Anna. Ia duduk di hadapan bapaknya, di ruang tengah. Boy dan ibunya turut juga dalam pertemuan itu. Anna sedang dimarahi oleh bapaknya perkara hubungannya dengan Ali Topan.
"Kenapa jadi begini, Anna" Papa kan sudah bilang berkali-kali agar membatasi pergaulan dengan anak anak yang tidak cocok dengan derajat kita. Kau harus selalu ingat bahwa kau masih punya tetesan darah bangsawan. Itu masih berlaku, walaupun orang bilang sekarangjaman modern. Bagaimanapun modernnya jaman, tetapi tetap ada perbedaan derajat antara tetesan bangsawan dengan tetesan darah rakyat biasa yang tidak jelas asal usulnya," kata Pak Surya.
187 "Saya tak mengerti soal itu, Papa," sahut Anna.
"Kau memang tak pernah mau mengerti. Pokoknya, mengerti atau tidak, Papa ingin kau menurut aturan, titik! Di sekolah yang dulu, kau bergaul sembarangan. Sesudah dipindahkan ke sekolah baru, masih begitu saja," kata Pak Surya.
"Mustinya dia sekolah di rumah saja, biar tak bikin pusing orangtua. Saya pun sanggup mengajarnya, kalau diminta," sela Boy.
Anna benci sekali mendengar ucapan Boy. Kebenciannya ditunjukkan dengan cara melihat Boy dengan pandangan jijik.
"Gua nggak mau belajar sama kamu, bangsat!" kata Anna.
Semua kaget mendengar makian Anna. Tak ada yang menyangka dia berani memaki Boy. Boy melengak, tapi segera berpura-pura tenang. Ia mengawasi Anna. Boy tersenyum kecil.
"Sejak kau pakai kalung itu, kau suka marah-marah, An"" kata Boy. Ucapan yang acuh tak acuh itu justru bera
kibat hebat. Anna membelalak.
"Oh, begitu kau bilang, Boy"" kata Pak Surya, "Coba kulihat kalungmu, An," ucapnya pada Anna. Pak Surya menjamah kalung di leher Anna. Anna mencoba mengelak, tapi tangan ayahnya sudah menyentuh kalung itu.
"Coba buka," kata Pak Surya. Anna diam saja.
"Diguna-gunai melalui kalung itu dia, Pa," kata nyonya Surya yang sangat terpengaruh oleh ucapan Boy.
"Coba buka, Papa mau lihat," kata Pak Surya kembali.
Anna masih diam. Tapi wajahnya memperlihatkan penolakan yang hebat. Ia sangat marah pada Boy, benci pada hasutannya yang dipercaya oleh ayah dan ibunya.
188 Kedua orangtuanya memang sangat percaya pada tahayul.
Pak Surya menarik kalung Anna perlahan. Anna tetap bertahan. Berulang-ulang Pak Surya memintanya untuk membuka kalung itu.
"Besok papa belikan kalung emas bermata berlian untuk ganti kalung ini, Anna. Bukalah," kata pak Surya. Anna menggeleng-nggelengkan wajahnya. Air matanya berlinang.
"Biar... biar Anna pakai kalung ini saja, Papa. Boleh ya Papa" Kalung ini tida ada guna-gunanya... percaya deh Papa.," kata Anna dengan bibir bergetar menahan perasaan yang tertekan.
"Aaaah, cerewet!" kata Pak Surya, sambil menyentak kalung itu. Putus!Anna memekik. Lehernya terasa sakit, tapi hatinya lebih sakit lagi. Maka iapun menangislah. Terisak-isak.
Pak Surya menggenggam kalung itu. Ia mencium-cium benda itu, seperti kelakuan dukun klenik yang sedang mengendus setan.
"Hm. Hm... bau melati... ini pasti ada apa-apanya...," gumam Pak Surya. Ia melihat ke istrinya, lalu mengangsurkan kalung itu. Nyonya Surya membaui kalung itu, mengendus-ngendus dengan penuh semangat. Pikirannya sudah dipenuhi oleh guna-guna. Begitu terbaui olehnya bunga melati, iapun mengangguk-angguk. Ia menoleh ke arah Boy. Boy melirik Anna dengan gaya sinis betul. Sinar "kemenangan" menyertai tatapan sinisnya itu.
Anna Karenina tak tahan melihat kelakuan mereka. Dalam kedongkolannya, ia merasa sedikit geli. Tentu saja kalung itu bau melati, karena memang diolesinya kalung dari Ali Topan dengan parfum Jasmine yang bau
189 sari melati. Ia ingin menjelaskan hal itu, tapi ketika dilihatnya kelakuan ayah ibunya seperti dukun, ia membatalkan maksudnya.
"Untung Boy memberi ingat. Kalau tidak, bahaya! Bisa kecolongan lagi kita," kata nyonya Surya. Pak Surya mengangguk-anggukkan kepalanya, seperti burung kun-tul. Boy ikut-ikutan mengangguk-angguk. Anna ingin sekali meludahi muka Boy. Ingin sekali.
"Besok bawa anakmu ke Mbah Ruspi, Ma," kata Pak Surya. Mbah Ruspi yang dimaksudkannya itu adalah seorang tua yang menjadi dukun keluarga.
"Saya tidak mau!" kata Anna dengan keras.
"Tuh, tuh, guna-gunanya masih nempel," kata Nyonya Surya. Pak Surya langsung mendekati Anna. Disentuhnya dahi Anna, dengan maksud meraba-raba "setan" yang dianggapnya menyarangi Anna. Anna menepis tangan ayahnya.
"Wah, setannya bandel betul! Melawan!" kata Pak Surya. Gila betul orangtua ini. Dia menangkapnya tangan Anna. Lalu dipegangnya kuat-kuat. Pikirannya dipenuhi bayangan anaknya kena guna-guna. Sebelah tangannya mengusap dahi Anna. Anna memejamkan matanya. Ia tak sanggup menahan kesedihan hati yang bercampur rasa marah yang sangat. Perlakuan orangtuanya sungguh keterlaluan.
Ia cuma bisa menangis. Terisak-isak.
Pak Surya melepaskan sentuhannya. Ia membiarkan Anna menangis. Malah ditontonnya anaknya yang sedang menangis.
*** Ali Topan sampai di jalan Thamrin. Perutnya lapar. Ia mengebutkan kendaraannya supaya cepat sampai di kebayoran. Pikirannya sudah mendahului sampai di
190 warung Tegal di belakang kantor polisi Komwil 74, salah satu tempatnya biasa makan dengan teman-temannya.
Di depan gedung Sarinah ia terkesiap. Mobil ayahnya tampak di antara kendaraan yang lain. Ditancapnya gas motornya untuk menyusul mobil itu.
Mobil itu memang mobil ayahnya. Pak Amir tampak sedang tertawa-tawa, menyetir mobilnya. Di sebelahnya duduk seorang perempuan. Ia sama sekali tak mengira kalau anaknya sedang membuntuti di samping sebuah mobil lain di belakangnya.
"Badanku capek, pegel semua. Kau harus memijati aku Marta," kata pak Amir, sambil menyubit paha perempuan bawaannya. Marta
mengaduh, tapi membiarkan tangan Pak Amir tetap di atas pahanya. Bahkan ketika tangan itu menggerayang ke mana-mana tetap dibiarkannya.
"Sabar ah, sabar... sebentar lagi aku tekuk semua tulang-tulang, OomAmir, supaya hilang capeknya," kata Marta.
"Wah, kalau tulang ditekuk-tekuk, tambah capek
dong." "Iya, capek, tapi kan enak," sambil tertawa cekikikan.
Pas dia ketawa begitu, Ali Topan merendengi mobil Pak Amir. Ali Topan memandang tajam ke arah ayahnya, PakAmir kaget melihatAliTopan. Setir mobilnya sampai terlepas dan mobilnya sedikit ngepot. Marta ikut kaget karena mobil itu hampir menghajar mobil lain.
Pak Amir mencoba tersenyum wajah ke anaknya, tapi Ali Topan menampakkan wajah murka.
"Dari mana kau"" sapa Pak Amir, mencoba beramah tamah.
AliTopan tak menjawab. Ia membuang pandangannya. Lalu memacu motornya ke depan. Pak Amir malah
191 melambatkan mobilnya. "Siapa sih, Oom"" tanya Marta.
"Anak saya.," kata Pak Amir.
"Wah, ganteng ya. Bisa pinjem dong saya...," kata Marta.
"Hus! Bapaknya saja, jangan anaknya...," kata Pak Amir. Ia melotot. Tapi tangannya menggerayangi paha Marta kembali.
"Nanti dia mengadu ke ibunya. Bisa gawat nih, Oom," kata Marta.
"Nggak, nggak. Dia nggak suka ngadu. Nanti kalau ngadu saya tempelengi," sahut Pak Amir.
Mereka sampai di bundaran Hotel Indonesia. Lampu lalulintas hijau. Pak Amir terus membelokkan mobilnya ke Hotel Indonesia.
Ali Topan mengebutkan motornya. Perutnya yang lapar tiba-tiba tak terasa lagi. Kelaparannya lenyap, kalah oleh kepahitan hatinya. Seringkali ia memergoki ayahnya membawa perempuan, yang sekali lirik saja diketahuinya sebagai perempuan bawaan. Bahkan pernah dulu ia bersama Bobby, Dudung dan Gevaert berlibur ke daerah Puncak, dan mengintip orang bercinta di sebuah villa. Yang diintipnya ayahnya sendiri.
Tak terasa ia sampai di bunderan Senayan. Matanya perih kena angin dan debu malam. Diusapnya matanya dengan tangan kiri, lalu mengebut lagi ke jurusan CSW.
Wajah Anna Karenina terbayang tiba-tiba. Dan rindunya pun datang bersama bayangan wajah gadisnya. Tiba-tiba pula hatinya berdetak. Serasa ada sesuatu yang tidak enak mengganjal perasaannya. Tiba-tiba ada suatu tarikan perasaan yang kuat, keinginannya bertemu dengan Anna. Ia ingin tahu apakah Anna dimarahi oleh orangtuanya karena persoalan di sekolah sianghari tadi.
192 Tiba-tiba pikiran khasnya muncul, didorong oleh instink aneh yang dimilikinya. Ali Topan memang punya instink tajam. Ia sering bergerak instinktif. Spontan.
Begitu instinknya memberi sinyal berupa perasaan ingin ketemu Anna, Ali Topan langsung menuruti kehendak itu. Ia menahan rasa laparnya. Motornya langsung ditujukan ke arah rumahAnna. Dia ingin datang ke rumah gadisnya.
*** Anna Karenina masih duduk diam di kursinya. Ia masih tetap dibanjiri nasehat dan petuah oleh ayah dan ibunya.
Sudah bosan dia mendengar petuah dan nasehat yang diobral, yang itu ke itu melulu.
Tapi untuk beranjak pergi, ia masih ngeri. Ia belum pernah memberontak secara total. Pemberontakannya selama ini cuma terbatas pada memaki Boy, atau membantah omongan orangtuanya secara kecil-kecilan, dan akhirnya menangis.
Keluarga Anna Karenina memang termasuk keluarga yang sedikit sableng. Istilah ilmiahnya, ayah dan ibu Anna, kehilangan rasionalisme dalam mendidik anak-anak mereka. Emosi lebih berbicara. Subyektif sekali. Mereka melihatAnna dan Ika sebagai anak kecil melihat boneka-boneka.
Anak-anak tak punya hak cukup untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Hukum wajib dan larangan, semata-mata datang dari pihak orangtua. Kebebasan berpendapat, kebebasan menentukan apa yang disukai dan tidak disukai oleh Anna dan Ika, cuma ada di dalam hati. Tak pernah diberi kesempatan. Mereka lupa, betapa masyarakat di luar rumah setiap saat berubah, begitu cepat. Kaum muda makin menuntut kebebasan, dan memperoleh hal itu dari masyarakat, sedangkan kaum
193 tua yang koppig menjadi dungu dan tolol, membunuh wibawanya sendiri, karena memusuhi hak kebebasan anak-anak mereka.
Perang nilai, pembaharuan dan kekolotan yang penuh basa basi dan kemunafikan, melahirkan banyak kepahitan. Di antara kepahitan it
u makin banyaknya jumlah ' unwanted child, bayi-bayi yang dicetak dalam kepanikan. Motif cinta ataukah nafsu, begitu kabur. Dan tidak menjadi peduli.
Ika Jelita, kakak perempuanAnna Karenina, termasuk dalam kasus itu. Ia memangjelita bagai porselen. Sialnya, ayah dan ibunya menganggap Ika seperti barang antik, bukan sebagai manusia. Rumah merupakam semacam museum. Ika seperti patung kuno yang ditaruh di dalam lemari kaca. Hanya bisa dilihat, boleh ditaksir, tapi tak boleh menaksir orang yang disukainya. Sampai pada waktunya ia pantas pacaran, pacarpun dipilihkan oleh orangtuanya. Ada anak jendral pensiunan, ada anak dokter jiwa, ada anak pedagang kaya, dan ada keturunan bangsawan Yogya.
Bukan tak ganteng, bukan tak punya cinta, tapi Ika sudah punya pacar. Namanya Muhammad Iqbal, anak Betawi asli. Ia anak yang soleh dan cukup terpelajar. Miskinpun tidak, karena orangtuanya punya sawah dan kebun buah-buahan. Tabiatnya baik. Orangnya rendah hati.Yang utama, Ika mencintainya, dan iapun mencintai Ika dengan sepenuh hati. Tapi, Tuan dan Nyonya Surya tidak setuju Ika pacaran dengan Muhammad Iqbal. Iqbal kampungan, kata mereka. Dan segerobak kejelekan lainnya yang diada-adakan.
Ika dan Iqbal bercinta lewat pintu belakang. Backstreet. Orangtua Ika tahu. Larangan jatuh. Aturan diperketat. Mereka lupa, makin ketat aturan, makin deras larangan,
194 makin hebat cinta berjuang mencari jalannya.
Sampai pada batas cinta tak bisa kompromi dengan peraturan rumah, Ika-pun hamil oleh Iqbal. Atas dasar cinta sama cinta, suka sama suka. Dan, orangtua akhirnya tak punya kesaktian lagi, kecuali mengusir Ika dengan bekal caci-maki. Begitu ceritanya.
Kini Anna mengalami nasib sama walau tak serupa. Orangtuanya masih belum kapok. Mereka tak mau menimba pelajaran dari pengalaman mereka sendiri. Jiwa anaknya tak diselami, kemauannya tidak ditimbang-timbang. 'Pokoknya, prek deh buatAli Topan,' demikian keputusan mereka.
Mereka tak menyadari, orangtua pun bisa kuwalat kalau mengkorup hak asasi anaknya. Mereka lupa bahwa mereka bukan Sang Maha Kuasa. Padahal Tuhan telah menanamkan benih cinta di setiap hati umat-Nya. Dan benih itu punya bunga-bunga. Bunga bunga cinta punya keindahan masing-masing. Dan, tak bisa ditahan mekar dan wanginya. Kalau menahan mekarnya bunga, kalau membekap wanginya, itulah melawan takdir.
Rupanya, pikiranTuan dan Nyonya Surya tidak sampai ke situ. Jadinya, mereka takabur. Menganggap enteng cinta muda-mudi. Kalau diterus-teruskan, mereka menganggap enteng Tuhan anak-anak itu. Mereka pikir, barangkali, Tuhan anak-anak muda berbeda dengan Tuhan mereka.
Anna, Ia gadis yang sedikit nyentrik. Kemauannya lebih keras dari Ika, kakaknya. Bedanya dengan Ika, Anna lebih ekstrovert, terbuka. Ia masih punya setitik harapan, orang tuanya membolehkan ia bergaul dengan Ali Topan. Tapi ia kecewa, karena Ali Topan sudah distempel sebagai pemuda begajulan.
Yang mencemaskan Anna, adalah manusia bernama
195 Boy. Sebagai gadis, Anna punya perasaan, Boy menaksirnya. Taksiran itu habis-habisan. Boy pandai menyembunyikan minatnya dari pandangan orangtua Anna. Tapi nafsu yang terpancar dari dua matanya, tak lolos dari pandangan Anna. Anna ngeri betul pada Boy. Matanya seperti mata tukang perkosa di film-film. Buas dan lapar
betul! Selama iniAnna cuma bisa memendam kengeriannya. Lagi pula ia tidak bisa sembarangan omong, khawatir kalau Boy menjadi-jadi, jika tahu Anna membaca jalan pikirannya yang mesum. Anna khawatir Boy jadi ge-er alias gede rasa.
KehadiranAli Topan dalam hidupnya membawa kesejukan di dalam hati. Tapi orang tuanya menganggap justru sebagai badai yang memporak-porandakan segalanya. Tanpa alasan yang masuk akal. Hingga Anna kesal dan mulai nekat. Diam-diam ia sudah ambil keputusan untuk memberontak, merebut haknya, seperti
Ika. *** Ketukan di pintu membuat semua orang menoleh. Dan semua orang itu terkejut ketika tahu siapa tamu mereka. Ali Topan!
Sejenak mereka terpana. Tuan Surya mengernyitkan dahi, Nyonya Surya menunjukkan aksi bengong, Boy meringis, dan Anna berhenti menangis!
Ali Topan berdiri tegak. Ia menanti persilaan dari si em
punya rumah. Ternyata persilaan itu tak kunjung datang. Yang datang justru kejutan lain.
"Usir anak gila itu, Boy!" seru Tuan Surya.
Tersirap darah Anna mendengarnya. Ia mengangkat kepalanya, melihat ke arah Boy yang berjalan ke pintu.
Anna jadi nekat. Dengan sebat ia bergerak, berlari ke
196 pintu. "Anna! Kembali!" ayahnya berteriak. Tapi Anna tetap berlari, membuka pintu.
"Topaaan.," bisik Anna, tangannya menyentuh lengan Ali Topan. Ali Topan tersenyum. Mereka saling menggenggam tangan, tak menggubris Boy yang meringis di dekat mereka.
Genggaman itu lepas ketika Tuan Surya datang dan menggeprak tangan mereka! Anna Karenina ditariknya ke dalam, lalu ia berdiri murka di depan Ali Topan.
"Jahanam! Pergiiii!" hardiknya.
Ali Topan menganggukkan kepalanya dengan sopan namun gagah. Kemudian ia memutar badannya, dan berjalan dari hadapan orangtua yang murka itu.
Diiringi isak tangis Anna Karenina, ia menyemplak motornya, lantas pergi dari rumah itu.
Hatinya puas bisa bertemu dengan Karenina.
197 LIMA BELAS Munir, pemilik kios koran dan majalah di samping toko sepatu Bata Blok M, sedang repot membenahi dagangannya ketika Ali Topan datang. Ali Topan langsung menyomot Kompas.
"Nir, ada berita rumah digusur atau tukang becak ditangkepin"" kata Ali Topan.
"DiKompasada, tapi yang lebih seru dilbu Kota, gong. Nenek-nenek diperkosa kira-kira juga ada di situ," kata Munir. Ia memberikan Ibu Kota pada Ali Topan.
"Makasih!" sahut Ali Topan, kemudian ia duduk di bangku milik Munir. Ia membaca.
Munir meneruskan kerjanya, mengatur koran-koran dan majalah.
Seorang petugas keamanan Blok M datang ke kios itu dan berdiri di dekat Munir. Ia menyomot beberapa majalah.
"Minjam dulu ah, buat bacaan di kantor," katanya.
Munir tak menjawab. Mulutnya separuh ternganga.Ali Topan melirik ke arah petugas keamanan itu. Kebetulan si petugas memandangnya.
"Ada apa liat-liat"" kata si petugas.
Ali Topan kaget. Dalam hatinya ia berkata, galak amat petugas itu.
"Situ kenapa liat-liat saya"" kata Ali Topan.
Si petugas melengak. Ia melotot.
"Mau saya gampar kamu"" katanya.
"Lho, ada kasus apa"" kata Ali Topan sembari mema-
198 jang senyuman bertendens. Si petugas tak menjawab. Tapi matanya makin melotot.
"Jangan melotot begitu dong, nanti saya takut," kata Ali Topan. Munir dan beberapa penjual mainan anak-anak tersenyum mendengar omonganAli Topan. Mereka senang melihat petugas keamanan yang sok itu dipermainkan oleh Ali Topan.
"Mau gua gampar" Banyak bacot kau!" kata si petugas. Ia bergerak mendekati Ali Topan, tangannya diangkat untuk menggampar Ali Topan. Langsung saja Ali Topan berdiri.
"Kalau mau dipecat sama bapak saya, coba gampar!" kata Ali Topan. Ia berkacak pinggang. Gagah sekali.
Petugas keamanan keder juga melihat gaya Ali Topan, lagi pula ia berpikir siapa gerangan bapak si anak muda ini.
"Bapak kamu siapa"" tanyanya, melembut. "Bapak saya orang!"
Munir dan teman-temannya tertawa. Petugas keamanan melihat ke arah mereka. Wajahnya merah padam menahan amarah. Tapi ia tak berani bertindak sembarangan.
"Bapak kamu jendral ya"" tanya si petugas, meyakinkan dirinya sendiri.
"Punya KTP apa enggak, berani berani nanya bapak saya" Nanti saya sebut nama bapak saya, situ kaget lagi. Udah pergi sana saya tak ada tempo melayani situ," kata Ali Topan. Lantas ia duduk kembali, dan melanjutkan bacaannya. Petugas keamanan ragu sejenak, tapi kemudian ia memutuskan untuk menuruti perasaan kedernya. Sambil menyandang perasaan malu, ia ngeloyor pergi.
"Gila lu, Pan! Untung dia ngeri, kalau dia kalap kan repot lu," kata Munir.
199 "Waah, boss kita ini hebat 'kali. Gertakannya mantap 'kali. Hebaaat," kata seorang penjual mainan. Ali Topan cuma tersenyum.
"Gertakan begitu ada elmunya tuh, bukan sembarang gertakan," kata Ali Topan sembari tersenyum lebar.
"Elmu apa, Boss"" kata penjual mainan anak-anak.
"Wah, itu nggak boleh sembarangan dikasih tahu," kata Ali Topan. Ia menaruh Kompas dan Ibu Kota, lalu ngeloyor pergi.
"Makasih, Nir," katanya.
"Sama sama," kata Munir.
Ali Topan berhenti sebentar di toko Bata, melihat lihat. Lalu berjalan lagi ke arah Pasar Melawai bagian b
elakang. Melewati lorong-lorong kecil bagian toko-toko tekstil, ia bersiul-siul lagu sembarangan. Sapaan halo dari para pegawai toko-toko tekstil dijawabnya dengan halo juga.
Di ujung lorong ada seorang gadis memanggil namanya.
"Hai, Maya, ngapain"" sahut Ali Topan sambil menghampiri Maya yang tersenyum manis.
"Disuruh mama beli kain kelambu," kata Maya.
"Lho, kok masih pakai kelambu" Kan ada Raid"""
"Mama alergi kalau bau obat-obatan semprot, jadi pakai kelambu. Kamu dari mana" Kangen deh," kata Maya.
"Kalau kangen, beliin rokok dong," kata Ali Topan.
Penjual tekstil yang mendengar omongan itu, kertawa he he he. Maya yang sudah hafal kebiasaan Ali Topan mengangguk pertanda paham.
"Tunggu sebentar ya, saya selesaikan transaksi dulu," kata Maya. Ia pun membayar harga kain kelambu yang telah dibelinya.
200 Tak lama kemudian, kedua teman itu berjalan menuju kios rokok yang terletak di samping bioskop Kebayoran. Maya membelikan sebungkus Dji Sam Soe danAliTopan menyatakan terima kasih sepenuh hatinya.
"Ke mana kita" Ada cerita apa di sekolah" Bagaimana kabar cewek gua" Apakah Ibu Dewi sudah meninggal dunia" Dan Pak Brotpang apa sehat sehat atau masih pilek"" pertanyaan Ali Topan beruntun menyambar kuping Maya.
Maya tertawa renyai. Ia senang betul pada Ali Topan. Segalanya deh. Stel habis senangnya pada Ali Topan. Memang, Maya diam-diam memendam perasaan naksir pada temannya yang keren dan badung itu. Tapi taksirannya cuma mampu dipendam di dasar laut nuraninya, sebab ia maklum bahwaAli Topan tak ada minat padanya dalam soal cinta menyinta.
Cukup kasihan sebenarnya kalau ada gadis sedikit manis seperti Maya, yang punya cita-cita memeluk gunung padahal menyusuri bukitnya pun sudah ngeri dia, ngeri kalau ditolak. Dan, tidak mengherankan tidak pula disesalkan kalau Maya memendam sedikit birahi pada anak manusia yang kerennya stel habis model Ali Topan, sebab, bidadaripun, umpama katanya, jika melihat cucuAdam yang tampangnya orisinil sepertiAli Topan, runtuhlah imannya dan bisa kejadian ia minta pensiun sebagai bidadari.
Maya bercerita perihalAnna Karenina yang setiap hari nampak sendu dan merana, perihal ulangan ulangan yang membadai menjelang ujian, perihal Ibu Dewi yang makin merajalela dan perihal macam macam yang bisa diceritakan.
"Wah, kasihan kekasih hati pujaan jantung gua, May," kata Ali Topan, "hatinya tersiksa menanggung derita.
201 Tapi tolong bilang sama dia, May, jangan kuatir tentang nasib gua, gua cukup makan, cukup minum dan istirahat nyenyak."
"Anna kuatir kalau kamu nggak lulus ujian nanti. Si Meinar malah bilang sama Anna, kalau perlu dia mau lapor papanya, supaya urusan skorsing kamu ditinjau kembali. Kan papa si Meinar jendral di Hankam. Tapi cewek kamu nggak mau," kata Maya.
"Wah, betul itu, jangan bawa bawa Hankam deh buat soal sepele kayak gini, entar diketawain marmut kan repot kita" Jangan deh, jangan mengundang kekuatan luar. Tapi bilang sama Meinar, gua mengucapkan terima kasih atas i'tikad baiknya," kata Ali Topan. Terharu perasaannya mendengar rencana Meinar, teman sekelasnya yang cukup dahsyat itu.
"Terus kamu nggak belajar" Nanti gimana dong kalau nggak lulus, mengulang lagi setahun""
"Soal belajar kan nggak cuma di sekolahan, Maya. Apalagi sekolahan brengsek begitu, keseringan sekolah bisa miring otak kita. Pokoknya, kalau gua nggak lulus ujian nanti, lu boleh sunat gua lagi."
"Ih! Geli!" Ali Topan ketawa. Maya menutup mulutnya dengan tas sekolahnya, menahan tawa pula. Rasanya, kata-kata paling jorok pun yang keluar dari mulut Ali Topan, indah kedengaran di kupingnya.
Mereka sudah sampai di pelataran Pasar Melawai. Di dekat tempat parkir motor, Ali Topan melihat petugas keamanan yang galak, melihat ke arahnya. Sinar mata orang itu tampak mencorong, mengandung amarah. Di sebelahnya ada seorang temannya lagi yang juga menga-wasiAliTopan. BekesiurhatiAliTopan, merasakan gela-
202 gat yang kurang cocok dengan seleranya saat itu. Ada Maya, tak enak bikin setori. Tapi Ali Topan bukan Ali Topan namanya, kalau di saat gawat tidak menemukan akal kancil. Sekira tiga langkah sampai di depan petugas keamana
n itu, ia memandang Maya dengan serius. Lalu ia berkata dengan nada keras.
"Papa si Meinar pangkatnya Mayor Jendral apa Letnan Jendral, May" Rasanya udah naek pangkat dong dia. Masa dari dulu cuma Mayor Jendral terus" Kan kariernya di Hankam hebat tuh!"
Maya memandang Ali Topan dengan perasaan heran. Yang lebih heran, sampai mundur selangkah, adalah dua petugas keamanan. Mendengar Ali Topan menyebut jendral, ngerilah hati mereka. Lantas beliau-beliau itu pura-pura membuang muka ke atap Pasar Melawai.
Ali Topan berjalan dengan gaya koboy, mengambil motornya. Dihidupkannya motor, dan sengaja dimainkannya gas motornya sekeras-kerasnya, hingga Maya menutup kuping dan berteriak-teriak. Ia baru berhenti berteriak setelah Ali Topan menormalkan gas motornya.
"Kalau mau ngebut saya nggak mau diantar pulang, mendingan jalan kaki," kata Maya, mengajuk.
"Sorry boy." "Boy lagi, emangnya gua cowok."
He he he he he he he. Ha ha ha ha ha ha.. Hu hu h u hu hu hu hu. Ho ho hi hu ho ho hi hu. Ali Topan kumat urakannya. Sepanjang jalan ke rumah Maya ia tertawa renyai bak kicauan burung kukuk beluk. Jalan motor dilambat-kannya hingga Maya senanglah hatinya. Berbunga betul hati Maya bisa memeluk pinggang Ali Topan. Rasanya, matipun tidak penasaran.
Ketika motor sampai di rumah Maya, buyarlah lamunan indah gadis itu. Pelukan tangannya di pinggang
203 Ali Topan merosot otomatis. Wajahnya rada tersipu-sipu bak wajah perawan dicolek penyamun. "Mampir dulu"" kata Maya.
"Makasih deh. Lain kali saja. Oom masih ada urusan laen," kata Ali Topan. Sembari melepas senyum bertendens, ia memacu sepeda motornya. Ia bermaksud menjenguk sahabatnya, Bobby, mau nanya soal-soal
ulangan dan catatan-catan pelajaran sahabat itu.
*** Bobby sedang mendengarkan kaset Dino, Dessy and Billy, ketika Ali Topan nongol di kamarnya.
"Hello friend, apakah revolusi sudah selesai"" tegur Ali Topan sembari menyelipkan sebatang Dji Sam Soe di bibirnya.
"Hai, revolusi mendingin karena Che Guevara sedang diskors oleh Fidel Castro," sahut Bobby.
"Bagaimana dengan konsep-konsep penanaman modal, Aljabar dan Kimia Organik dalam rangka pembangunan ujian kita""
"Ada tuh di tas gua. Lengkap dengan data-data komisi buat pejabat yang berwenang memutuskan."
Ali Topan melemparkan sebatang Dji Sam Soe ke arah Bobby yang tetap duduk relaks di tempat tidurnya.
"Apakah LNG-nya bisa dirojer""
Ali Topan melemparkan korek api cap orang keling mikul kendi. Bobby menyulut rokoknya dengan gaya teknokrat. Gaya tinggi.
Ali Topan mengambil tas Bobby dari rak buku, lalu memberikan tas itu pada pemiliknya. Ia tidak mau mengambil sendiri buku catatan Aljabar dan Kimia di situ. Bobby mengambilkan buku-buku dan catatannya.
"Lu apa-apa minta dilayani. Kapan berentinya kelakuan begitu, friend," kata Bobby.
204 "Itulah yang dinamakan tatakrama,friend. John Lenon menyebutnya etiket. Yang udah-udah, gua baca di buku Can 't Buy Me Love sih begitu. Kalau gelas ada tatakannya, kalau manusia ada tatakramanya, begitu friend."
"Buku apa" Can 't Buy Me Lovel Nggak salah tuh, yang gua baca sih buku Blowin'In the Wind" kata Bobby, senyum dia.
"Yeaaah, sama juga. Tapi yang lebih klasik mah di buku Pileuleuyan yang diedit oleh Nyi Upit Sarirosa," sahut Ali Topan, disambungnya dengan heh he heh heh. Bobby pun ber-heh heh heh heh pula.
Ali Topan mencatat apa yang perlu dicatatnya. Ringkas. Sempurna. Bobby sudah hafal kejeniusan Ali Topan dalam urusan pelajaran. Dia sudah bosan heran dan bertanya-tanya, bagaimana caranya otak Ali Topan bekerja. Ia yang punya catatan rapi, belajar cukup getol, tapi jarang dapat angka tujuh pada setiap ulanganAljabar atau Kimia. Sedangkan Ali Topan yang rasanya ke sekolah cuma iseng, dan hidupnya semi acak-acakan, ulangannya paling apes dapat 8. Kalau nggak sungkan sama Pak Guru, dia selalu dapat 9 atau 10. Brilian-lah, begitu kalau orang Barat bilang.
"Jadi skorsing gua berakhir pas dua hari menjelang minggu tenang, Bob" Lama juga gua cuti nih," kata Ali Topan, seusai merapikan catatannya.
"Nggak juga. Gua denger sih, Pak Borot mau meninjau keputusan itu. Dia tiap hari negosiasi sama Bu Dewi. Gua
rasa sih skorsing lu dipersingkat. Paling-paling lu disuruh minta maaf secara tertulis di atas plat segel."
"Minta maap" Lu kira lebaran pake acara minta maap. Emoh aku!"
"Lantas apa maumu" Apa yang kau cari, Ali Topan"" kata Bobby. Dia ini paling doyan omong gaya tinggi,
205 gaya teknokrat sama Ali Topan.
"Aku tak mau apa-apa dalam hidup yang singkat ini. Yang kucita-citakan adalah menjadi suami yang baik bagi istriku dan menjadi ayah yang baik bagi anak-anakku kelak, kalau Tuhan mengizinkan lho," sahut Ali Topan dengan irama tukang pantun.
"Seandainya Tuhan tidak memberi izin kepadamu, apakah yang kau cari AliTopan"" tanya Bobby, menahan tawa.
"Seandainya ada acara begitu ya tidak apa-apa, sebab Tuhan itu Maha Bijaksana." "Bijaksana apa bijaksini."
"Eh lu jangan kurang ajar, Bob! Dosa ngoceh semba-rangan becandain Tuhan. Lu kire Tuhan itu statusnye kayak Oom lu" Baek-baek lu ngoceh. Ntar bisu ngga ketauan sebabnye lu," kata Ali Topan. Serius die.
Bobby senyum-senyum kecil. Tapi hatinya memang takut. Dia merasa keterlaluan dalam soal Tuhan. Untuk menetralisir suasana, dia membesarkan volume musik Dino, Dessy and Billy-nya.
"Ngomong punya ngomong, gimana kabar Dudung sama Gevaert" Apa semuanya baek""
"Baek, cuman rada kurang ajar."
"Di pasal berape kurang ajarnye""
"Di pasal perkosaan. Masak sih, Dudung and Gevaert berani-beranian naksir perempuan. Si Dudung naksir si Meiske anak Gang Kembang, Si Gevaert naksir Farah anak Jalan Tumaritis. Berbarengan lagi cintanya, kan
repot"" "Kapan peristiwanye" Dan gimana silsilahnye si Farah sama si Meiske itu" Anak orang baek-baek apa anak seniman" Anak ABRI atawa anak pegawe negri" Di mana lahirnye, di mana bahenolnye" Pegimane guratan
206 nasibnya, ngajak kaya apa ngajak miskin" Itu semua musti diitung dulu, Bob."
"Nah, itu die, Boss. Gua kan repot. Tiap istirahat udah pade bedua-duaan, kayak pejabat sama bintang pilem gitu. Rasenye, pengen gua goreng aje itu anak dua. Bandel sih, dapet perempuan nggak bagi-bagi."
"Ooh begituuu" Coba deh nanti Oom tanya mereka, kenapa tidak membagi perempuan padamu, Bobiiih."
"Eh, jangan manggil Bobih begitu dong, kayak panggilan orang Gunung Kembung... "
Kedua sobat itu tertawa bersama-sama. Renyah. Sesudah capek ketawa dan bosen ngobrol, Ali Topan permisi pulang.
"Nanti malem ke rumah Gevaert, Bob. Kongko-kongko."
"Jangan kebanyakan kongko, ujian sudah di depan congor kita, Pan. Ntar ngga lulus gua bisa ngga diaku anak oleh babe gua."
"Oh ya"" *** Malam harinya mereka berkumpul. Ceritanya belajar bareng, tapi toh acara saling 'ngeledek' tetap berjalan. Tiga nama perempuan: Anna Karenina, Farah dan Meiske merupakan topik yang menyenangkan Bobby. Ia menyatakan bahwa perempuan itu cenderung merusak karier, mengganggu pelajaran. Ia mengatakan, sebelum jadi sarjana, sebaiknya orang lelaki jangan pacaran sama perempuan. Bahaya, katanya.
"Tergantung perempuannya, kalau hatinya memang busuk, ya merusak, kalau hatinya baik ya bikin baik, Bob. Kalau si Farah mah, rasanya berhati emas," kata Gevaert.
"Berapa karat""
207 "Dua puluh lima karat!" "Wah. Monas kalah dong""
"Jangan sentimen lu. Belon kena sentuh perempuan lu ya" Sekali kena panah asmara, mabok dah lu." "Oh ya""
"Iya." "Yah, mudah-mudahan deh gua kuat iman. Rasanya sih, tipe ideal gua belum lahir ke dunia. Kalau perempuan biasa saja sih, sorry deh, geli gua. Paling dikit sih selevel sama Putri Caroline dari Monaco."
"Lu ngomong gitu waras apa lagi sakit"" kata Ali Topan.
"Waras. Kenapa" Gua kan gini-gini masih ada tetesan darah biru. Bangsawan Yogya, mack. Asal paham saja."
"Oo darah nenek moyang lu kecampuran tinta dong" Lu jual ke pabrik Parker bisa laku tuh."
Sampai disitu ledek-meledek selesai. Ali Topan tahu, kalau diteruskan, Bobby bisa kalap. Omongan dibelokkan ke buku-buku pelajaran. Demikian sampai jauh malam.
208 ENAM BELAS Enam belas hari sebelum ujian, skorsing Ali Topan dicabut. Pak Broto Panggabean berhasil melembutkan hati Ibu Dewi, sehingga AliTopan tak perlu minta maaf di atas kertas bersegel. Soalnya Pak Broto pernah memanggil Ali Topan, Ali Topan berkeras lebih baik tidak us
ah ikut ujian daripada disuruh minta maaf. Pak Broto yang bijaksana memahami kekerasan jiwa muridnya. Lantas segalanya bisa diselesaikan dengan caranya yang bijak.
Kepada Ibu Dewi ia memberi jaminan pribadi dan mengatakan bahwa Ali Topan menyatakan penyesalan, secara lisan serta berjanji tidak berbuat ulah liar lagi. Kepada Ali Topan ia berkata bahwa Ibu Dewi juga menyatakan penyesalan telah membesar-besarkan persoalan. Begitu cara Pak Broto Panggabean.
Sampai hari ujian sekolah tiba, teman-teman sekelas melihat bahwa hubungan Ali Topan dan Anna Karenina mendingin. Mereka mengira peristiwa yang lalu menjadi sebab gawatnya hubungan itu. Ali Topan jarang bicara dengan Anna. Dan, Anna pun mengambil sikap yang sama. Sebetulnya tidak begitu. Itu cuma taktik mereka saja. Ali Topan telah memberi surat pada Anna. Isinya singkat.


Ali Topan Anak Jalanan Karya Teguh Esha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anna sayang. Sampai ujian selesai, kita bikin situasi mendingin dulu deh. Kamu belajar baik-baik, sayapun demikian. Kamu berkonsentrasi untuk lulus, sayapun demikian pula. Sesudah ujian selesai, kita bikin
209 keindahan yang lebih dari masa lalu. Pokoknya, begitu deh. Kita bersandiwara sedikit, biar nggak jadi bahan
gosip. Okey sayang" Harus okey dong. Cintamu selalu, Ali Topan.
Demikian bunyi surat yang disampaikan langsung oleh Ali melalui kantor pos. Surat itu dialamatkan ke rumah Anna, dengan nama pengirim Siti Sundari.
Maka ujianpun berlangsung seperti yang direncanakan oleh pemerentah. Tenang, lancar dan beres.
Para murid menjalani ujian dengan perasaan seperti bapak dan ibu mereka.Ada yang gelisah, ada yang grogi, ada yang deg deg gung, ada yang tenang dan ada pula yang menggerung-gerung karena merasa goblog. Tapi tak ada yang bunuh diri.
Ali Topan merasa mantap. Anna Karenina pun demikian pula. Bobby sedikit grogi. Dudung pas-pas-an. Gevaert stel yakin.
"Kita telah bekerja maksimal, kalau nggak ada sabotase rasanya kita boleh mendaftar ke UI. Coba Dung, besok tanya ke UI apa pendaftaran mahasiswa baru sudah dibuka untuk umum," kata Ali Topan ketika hari terakhir ujian telah mereka lewati.
"Bagian naon"" tanya Dudung.
"Bagian yang bisa demonstrasi!" sahut Ali Topan, lalu ketawa yang disambut oleh ketiga temannya dengan nada yang berlainan.
Hari libur melahirkan peristiwa yang aneh bagi 4 sekawan itu. Gevaert diusir oleh orangtua Farah ketika ia berkunjung ke rumah perempuan yang ditaksirnya itu.
210 Soalnya sederhana. Pada suatu malam ia kepergok mencipok pipi Farah di teras rumah pas bapak si Farah melongok dari celah pintu. Sejak peristiwa naas itu, Gevaert patah arang.
"Nyipoknya cuma sedikit, tapi malunya itu nggak ketulungan, mack," kata Gevaert kepada Dudung. Ia tak berani mengadukan ikhwalnya ke Ali Topan, takut temannya itu mendatangi rumah Farah dan melabrak bapak si Farah. Dia mengadu pada Dudung, sebab merasa senasib.
Dudung sendiri mengalami malam apesjuga. Rupanya, Meiske itu punya pacar seabreg-abreg. Ketika Dudung mengunjunginya pertama kali pada suatu malam Minggu, di rumah Meiske berderet tiga buah mobil. Fiat 125 dan Mercedes 200 milik anak-anak geng Ngos-ngosan, sedangkan Toyota Hardtop milik anak geng Remember Me. Di depan hidung Dudung, yang datang pakai motor saja, Meiske dicium oleh Troy, anak gang Remember Me. Nyiumnya sih nyerobot, hingga Dudung dan anak-anak geng Ngos-ngosan yang melihat jadi merinding. Tapi berhubung Meiske cengar-cengir saja, urusan tidak bisa ditarik panjang.
"Harga diri gua rasanya kebanting banget, Vaert. Soal tampang sih, berani diadu gua, tapi soal materi nyerah deh," kata Dudung bersungut-sungut, "gua pikir si Meiske nggak materialis, eh ternyata gila harta juga," tambahnya.
"Menang di tampang kalah di bensin, gitu Dung" Lu jajal lain kali, bawa bensin dua drum," kata Gevaert.
"Buat apa""
"Buat bakar rumah si Meiske!" Dudung menyeringai.
"Nasib kita kayak cerita di komik saja, kebagian
211 apesnya melulu. Gua mau nekat kayak si Topan, belum sanggup rasanya. Gila, babe si Farah punya pestol. Kalau gua ditembak bisa celaka. Iya kalau kena jantung langsung meninggal, kalau kena mata kaki kan nyeri betul, Dung," kata Gevaert.
"Kabar dia samaAnna giman
a ya"Ada perkembangan baru apa kagak ya" Perlu juga kita tanya boss kita. Jangan kita melulu yang kebagian apes, dia juga mesti ngerasain dong," kata Dudung.
Ketika mereka menemuiAliTopan di rumahnya, wajah pemimpin mereka tampak memuaskan. Ali Topan baru selesai membaca surat dari Anna, pakai tanda romantis. Surat itu ditandai dengan tanda gambar gincu dari bibirnya.
"Waduh, sudah sampai taraf hot," kata Gevaert ketika Ali Topan memperlihatkan tanda gambar bibir itu. "Udah ditentukan apa belon"" tanya Dudung.
"Apanya"" "Kawinnya!" "Gua bagian nerima kadonya aja, Pan. Kali-kali aja ada arloji yang nyelip," kata Gevaert menggoda.
"Gua bagian nyari orkesnya. Bakal ngibing," kata Dudung.
Ali Topan berhaha-hihi mendengar olok-olok kedua temannya itu.
"Cita-cita sih setinggi bintang, sayang bintangnya ngga selamanya bersinar terang, mack. Rasanya sih gua bakal backstreet. Gua sendiri sih nggak doyan backstreet-backstreet-an, tapi Anna nekat aja," kata Ali Topan.
"Rasanya semua orang pacaran di dunia ini pakai acara backstreet. Orang dulu backstreet-nya lebih serem, itu kata papa gua, Pan," kata Gevaert.
"Iya, tapi mereka kan nggak fair. Rasanya gua belum
212 pernah dengar ada orang tua ngakubackstreetpadajaman mereka pacaran dulu. Memang begitu, seperti kata orang bijaksana, manusia sering lupa dengan kelakuannya sendiri. Ibarat King Kong di depan kacamata ngga keliatan tapi Cucu Monyet di seberang hutan keliatan sampai ke biji-bijinya! Aih, sudahlah, ngomong soal orangtua bikin capek kita aja, Vaert. Pokoknya kita bikin sejarah sendiri sajalah," kata Ali Topan dengan gagah. Kalau dia sudah bicara yang agak berbau filsafat, teman-temannya mengiyakan saja. Kagum.
"Jadi, gimana sambungan percintrongan lu sama Anna"" tanya Gevaert lagi.
"Ali Topan berusaha, Tuhan menentukan," jawab Ali Topan, "kalian bantu doa saja," sambungnya.
"Ada komisinya dong""
"Ada! Ada! Tinggal pilih saja, mau kepalan tangan kanan atau tangan kiri. Tangan kanan masuk kuburan, tangan kiri nyangkut di rumah sakit," sahut Ali Topan sambil tersenyum khas.
Dudung meleletkan lidahnya. Gevaert menggaruk-garuk kulit kepalanya. Mereka memandang Ali Topan yang sangat mereka kagumi kegagahannya.
"Tunggu kabar lebih lanjut deh, kalian. Gua mau bikin kejutan cinta dalam beberapa hari ini," kataAli Topan. Ia mengerjapkan mata ke arah Dudung dan Gevaert, lalu
berjalan pergi meninggalkan mereka.
*** Tidak sulit bagiAli Topan melaksanakan niatnya untuk berhubungan dengan Anna, walaupun telepon di rumah Anna disensor. Ia pergi ke rumah Maya dan minta tolong gadis itu menilponkan Anna. Begitu hubungan sudah didapat, Maya memberikan kesempatan kepada Ali Topan.
213 Nyonya Surya yang menerima tilpon dan menyampaikan pada Anna, tidak pernah mengira bahwa yang kemudian mengobrol di pesawat telepon itu Ali Topan yang sangat dibencinya. Ia tidak tahu, pembicaraan di tilpon itu adalah pembicaraan yang gawat.Ali Topan dan Anna merencanakan pertemuan rahasia.
214 TUJUH BELAS Dua hari kemudian di Taman Ria Senayan. Matahari bergerak pelahan, sinarnya menghangati pagi. Ali Topan dan Anna Karenina berjalan bergandengan tangan dari pintu masuk menuju pohon flamboyan yang tegak di tepi danau Angsa Hitam. Disebut Danau Angsa Hitam sebab danau itu tempat memelihara angsa-angsa hitan yang didatangkan dari luar negeri.
Bunga-bunga flamboyan melayang ditiup angin, menari-nari bagaikan balerina, jatuh ke permukaan danau, sopan tampaknya.
"Pagi yang indah sekali," gumam Ali Topan sambil memandang wajah Anna Karenina, "seindah lagu Koes Bersaudara," sambungnya. Kemudian, sambil melangkah pelahan, Ali Topan menyenandungkan lagu Pagi yang Indah Sekali ciptaan Tonny Koeswoyo. Anna Karenina mendengarkan dengan seksama senandung Ali Topan:
Pagi yang indah sekali Membawa hati bernyanyi Walau gadisku 'tlah pergi
Dan tak kan mungkin kembali............
Anna Karenina tercekam mendengarkan syair lagu yang dinyanyikan Ali Topan. Ia berhenti melangkah. Matanya sayu mengawasi Ali Topan.
"Gadismu t'lah pergi" Siapa yang pergi" Kenapa dia pergi, Topan"" tanya Anna Karenina dengan lemah
215 lembut. AliTopan memandangAnna. Ia tersenyum, lalu menggandeng Anna, berjalan lagi menuju rerumputan di bawah flamboyan. Ali Topan duduk, tapi Anna tetap berdiri.
"Ayo duduk, Anna...," kata Ali Topan. "Kamu belum menjawab pertanyaanku." "Soal nyanyian tadi"" Anna Karenina mengangguk. Ali Topan tertawa kecil.
"Yang pergi itu gadisnya Tonny Koeswoyo, bukan gadisnya Ali Topan. Perginyapun di dalam lagu. Ngerti, An"" kata Ali Topan, "ayo duduk dong. Jangan sampai pagi yang indah ini pecah oleh kesedihan yang aneh," sambungnya.
"Kamu merasa sedih"" tanya Anna sambil duduk di depan Ali Topan.
Ali Topan tak menjawab. Ia memandang Anna Karenina dengan seksama. Tampak olehnya sinar mata gadis itu menyimpan kesedihan, walaupun bibirnya mengulum senyuman.
"Kamu merasakan kesedihan yang aneh"" tanyaAnna lagi. Ali Topan mengangguk. Ia memang merasakan sesuatu, semacam kesedihan yang halus sekali, tidak kentara, tapi hadir dalam suasana yang indah.
"Kamu sih nyanyi lagu itu. Lagunya bagus, tapi sedih
ya"" "Iya," kata Ali Topan polos.
"Seharusnya kita gembira bisa bertemu."
"Ya, seharusnya begitu. Nah, ayolah kita bergembira. La la la la la la kataAliTopan. Iapun bertralala, cukup keras, sehingga sepasang angsa hitam yang sedang berenang berduaan di danau kecil menengok ke arahnya.
216 Ali Topan menunjuk ke arah angsa-angsa hitam, lalu berkata terus:
"Lihat, lihatlah! Angsa angsa hitam memandang kita. Mungkin keduanya berbisik-bisik, bicara tentang kita, An. Tuh, tuh, tuh mereka tersenyum pada kita."
"Mana ada angsa tersenyum""
"Pasti mereka tersenyum. Dan pasti mereka bisik bisik tentang kita. Kamu tahu apa yang mereka bicarakan,
An"" "Tahu." "Apa""
"Yang jantan bilang, he liat tuh Si Ali Topan sedang merayu ceweknya."
Ali Topan tertawa tergelak gelak mendengar perkataan Anna yang sungguh di luar dugaannya. Sukacita sekali hati Ali Topan. Demikian pula hal Anna Karenina. Pasangan remaja yang sedang diamuk cinta itu lantas lupa pada kesedihan yang baru saja mereka bicarakan.
"Kamu tau apa ngga, kenapa angsa itu bulunya hitam"" tanya Ali Topan.
"Nggak tauk!" "He, pikir dulu dong. Belum apa-apa udah bilang nggak
tauk!" "Kami juga mikir dong, kalau ngasih pertanyaan yang bener. Angsa bulu hitamlah ditanya kenapa bulunya hitam. Kamu tanya aja sendiri ke angsanya, jangan tanya saya," kata Anna Karenina. "Kalau kamu bertanya kenapa saya cantik, mungkin saya bisa jawab," sambungnya sembari mengulum senyuman bertendens.
AliTopan melengak. TernyataAnna pandai pula berseloroh.
"Lho, kamu cantik toh" Saya baru tahu." Kata Ali Topan. Wajahnya distel bodo.
217 Anna kaget mendengar perkataan itu.
"Menurut kamu, saya ini cantik apa tidak""
"Menurut saya sih biasa-biasa saja," sahut Ali Topan.
"Uh! Memerah lah wajah Anna mendengar perkataan yang lugas itu. Mulutnya terbuka bahna bengongnya. Ia menjublag seperti patung. Matanya berkedap kedip seperti angsa hitam.
"Lho, mengapa" Apa saya salah omong""
Anna menggeleng. "Kamu marah""
Anna menggeleng lagi. Sinar matanya mendingin. Tadi itu ia punya niat bermanja manja padaAliTopan. Ia ingin sekali dipuji cantik oleh Ali Topan. Ternyata jawaban yang ke luar bukan sebagaimana yang diinginkan.
Ali Topan segera meraba perasaan Anna. Sambil memajang senyuman, iapun berkata lembut, "Jangan marah dong. Siapa yang tidak tahu kalau kamu cantik" Lihat! Bunga flamboyan, angsa hitam dan telaga serta seisi taman ria ini, masih kalah cantik denganmu, Anna. Tadi itu, saya bilang kamu biasa-biasa saja, supayajangan kelewat mekar, tau""
"Nggak!" "Nggak tau"" "Masa bodo!"
"Siapa yang bodo""
"Kamu!" Ali Topan ketawa keras sekali.Anna tampak keki betul oleh godaan-godaannya. WajahAnna cemberut, omongannya ketus, tapi sinar matanya makin lama makin berbinar. Ada keriaan di antara cahaya matanya.
Ali Topan menjentik ujung hidung Anna. Dan gadis itupun tersenyumlah.
"Kamu nakal,. Suka menggoda saya," kata Anna.
218 "Lho, apa kamu nggak pengen saya goda""
Anna mendelik, bahna kagetnya.
"Pengen" Pengen" Amit amit jabang bayi! Emangnya saya perempuan murahan ya/!" kataAnna. Dia mendelik terus sampai biji matanya hampir keluar. Marah betul rupanya.
"Lho, saya main-main kok kamu serius"" kata Ali Topan dengan penuh kerendahan hati. Ditatapnya Anna, ditembaknya gadis itu dengan senyuman yang polos, dan diusapnya anak rambut yang jatuh di kening sang gadis.
Maka hati Anna luluh. Kemarahannya mereda. Senyumnya muncul kembali pelahan lahan.
"Ali Topaaan...," gumam Anna. Manja.
"Hm" Apa sayang""
"Kamuu.. Kamu... "
"Kenapa"" "Jangan nakal ya""
Ali Topan tak menjawab. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya saja. Anna Karenina menatapnya, menunggu jawaban. Tapi Ali Topan tak mau menjawab.
"Kamu nggak denger saya ngomong"" tanya Anna.
"Dengar." "Saya harap kamu jangan nakal ya" Ngerti maksud saya""
Ali Topan tak mengerti bahwa maksud Anna, janganlah ia nakal dalam pengertian bangor, main-mainkan perempuan. Kalau hati Anna bisa ngomong, tidak lebih tidak kurang, kata-kata yang ke luar dari hatinya adalah: "I love you, my darling. I love you banget. Tapi youmusti love mejuga dong. You jangan love cewek
lain .. " "Kalau lelaki nggak nakal bisa sepi Kebayoran. Nggak ada entertainment," kata Ali Topan,yang masih bodo
219 dalam soal percintaan. Kata-kata bersayap yang ke luar dari mulut Anna, sulit ditangkapnya. Dia pikir, Anna berharap agar ia jangan suka ngebut, tidak boleh begadang, dilarang bergentayangan di jalanan, dan lain lain kegiatan rutinnya.
"Ah, kamu...," kata Anna, "susah mengerti."
"Lho, kan betul. Kalau anak lelaki nggak berandalkan lucu. Anak lelaki diam di rumah udah liwat jamannya,
Anna." "Liwat gimana""
"Iya, sudah liwat, kayak tukang bakso. Nanti kalau ada lagi jaman yang lain, kita panggilin deh," seloroh Ali Topan.
Anna Karenina tertawa geli. LeluconAli Topan benar-benar pas di hatinya. Hatinya terbebas, rasanya dunia lain sekali. Lebih indah dan lebih menyenangkan.
Dipandanginya wajah Ali Topan yang keren.
AliTopanpun memandangi wajahAnna yang profilnya mirip film Diana Rigg.
"Anna.. " "Hm""
"Bagaimana perasaan kamu pagi ini"" Anna Karenina mendongak ke arah langit, menahan senyum kecil di bibirnya, lalu menjawab, "Biasa biasa
saja." "Kurang ajar. Kamu balas dendam ya""
Anna mendelik karena makian itu.
"Ih! Kamu kalau omong seenak perut aja!" kata Anna dengan keras, "lihat-lihat orangnya dong, kamu pikir saya ini babu kamu apa, seenaknya memaki kurang ajar! Saya benci kamu!" sambungnya.
Dengan wajah kaku dan sinar mata menyala-nyala, Anna segera berdiri. Ali Topan menyekap mulutnya. Ia
220 merasa menyesal. Makian kurang ajar itu begitu los menyeplos ke luar dari mulutnya.
"Anna.. Saya tidak bersungguh-sungguh mamaki
kamu. Saya menyesal betul ....," kata Ali Topan. Ia
berdiri pula, merendengiAnna. Tapi Anna segera mama-lingkan muka ke arah angsa hitam yang berenang-renang di danau buatan.
"Anna.....," kata Ali Topan, lembut sekali.
Anna diam saja. Hatinya kesal betul. Baru pertama kali dalam hidupnya ada orang memakinya kurang ajar, dan orang itu justru Ali Topan yang disayanginya. Dalam hatinya ia merasa sedih betul. Baru mulai jatuh sayang, baru mulai bersemi bunga bunga cinta, orang itu sudah berani memakinya kurang ajar secara lugas. Bagaimana kalau sudah kawin nanti dan beranak cucu" Barangkali bisa dibelah-belahnya tulang belulangku, demikian kata hati Anna.
Anna termenung. Hatinya sedih betul. Ingin rasanya berlari menjauhiAli Topan yang kasar, tapi ada perasaan lain yang menahannya. Ia sendiri tak tahu daya tarik apa yang menyebabkan ia tak sanggup berbuat apa-apa di depan Ali Topan. Jangankan berhadapan, pada saat ia berjauhan, tak saling tampak muka, angan-angan dan perasaannya tetap lengket pada Ali Topan.
Tak terasa airmata membasahi pipiAnna. Ia menangis. Terbayang olehnya, jalan nekat yang diambilnya untuk bisa bertemuAli Topan pagi ini. Pada saat ibunya ke wc, dan Boy sedang membeli bensin, Anna pergi dari rumahnya. Ia mencegat taksi yang segera membawanya ke warung gado-gado Bibi Sexy. Ali Topan sudah menunggu. Dari warung Bibi Sexy, mereka langsung ke Taman Ria Senayan.
Merana betul hatinya mengingat makian yang
221 diterimanya dari Ali Topan. Ia cuma bisa menangis.
"Anna. jangan menangis.," bisik Ali Topan, sambil membelai rambut Anna dengan jemar
inya. Tapi Anna semakin menangis. Bahunya terguncang-guncang menahan tangisan. Ingin rasanya berlari ke tengah danau dan membenamkan kepalanya di dalam air. Ingin rasanya membunuh diri. Tapi itu semua tak sanggup dilakukannya. Ia cuma bisa menangis. Dan menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya. Airmata mengalir di antara jemarinya.
Plak! Plok! Plak! Plok! Plak! Plok!
Bunyi gamparan yang keras terdengar di belakangnya. Anna menoleh, refleks. Apa yang terjadi membuatnya heran, dan otomatis mengerem tangisannya. Ali Topan telah menggampari dirinya sendiri. Kedua pipinya berwarna merah, darah mengalir dari bibirnya!
"Topaaaan!"Anna memekik, tubuhnya direbahkan ke Ali Topan. Mereka berpelukan. Anna membenamkan kepalanya di pelukan Ali Topan, dan Ali Topan mengusap-usap rambut gadisnya.
Angin berhembus. Bunga-bunga flamboyan berguguran, melayang seperti kupu-kupu merah. Angsa-angsa hitam berenang berkejaran. Indah sekali.
*** Jam tiga siang lewat beberapa menit, mereka meninggalkan Taman Ria Senayan. Anna senyum, demikian pula Ali Topan. Ali Topan dengan gembira memboncengkan Anna Karenina. Pelukan Anna di pinggangnya terasa kuat dan hangat.
Rupanya, kehangatan masih belum boleh berlama-lama mereka rasakan.Tepat di depan rumah Panbers Club
222 Band di Jalan HangTuah Raya, sebuah Mercy memotong motor Ali Topan, dan menggiringnya ke pinggir jalan. Dua manusia bertampang murka turun dari Mercy itu. Ayah Anna dan Boy.
"Kamu bawa lari anakku, he"!" begitu kata ayahAnna sambil langsung menghantam muka Ali Topan dengan tinjunya. Bug! Bug!AliTopan terjengkang saja dari sadel motornya! Melihat Ali Topan terjengkang, Boy ikut nimbrung, menyepak perut Ali Topan! Begh! Begitu dia mengayunkan kakinya, hendak menyepak kepala, Ali Topan berkelit dan menangkap kaki itu. Langsung dipuntirnya, dan Boy langsung menggrusak jatuh!
Fans Panbers yang kebetulan memenuhi rumah grup itu, berhamburan ke luar, menonton pergumulan itu!
Anna yang mencoba memisahkan, ditarik ke dalam mobil oleh ayahnya. Ia meronta ronta dan menjerit jerit, tapi tak berdaya.
"Boy! Sudah!" teriak Tuan Surya. Boy mendengar teriakan itu, tapi ia tak berdaya memenuhinya, Ali Topan yang gusar mengamuk bagaikan badai! Dihajarnya Boy habis habisan. Dalam sekejap, mata Boy bengapn. Dan giginya rontok dua kena dengkul Ali Topan.
Para penonton bersorak sorai.
Hayooo! Hayooo! Hembat teruuuuus! Sodok! Sodok! Libas! Libas! Horeeeeee! Yihuuuuuuuuy!
Sorak sorai itu terhenti, ketika Tuan Surya m,engacungkan laras pistol ke arah Ali Topan, dan berkata dingin: "Berhenti! Atau saya tembak kamu!"
Ali Topan menghentikan hajarannya. Ia memandang Tuan Surya dengan penuh kebencian. Ia ingin rasanya menghajar batok kepala orang tua itu., supaya copot dari batang lehernya. Tapi ada Anna di antara mereka..
Boy beringsut-ingsut ke mobil.
223 Tuan Surya mebukakan pintu, Boy pun masuklah.
Disopiri Tuan Surya, mereka berlalu. Anna duduk di belakang, memandang Ali Topan. Sepanjang jalan ia memprotes ayahnya. Tapi si ayah tak menggubris protes itu. Ia langsung menancap pedal gas Mercy, menuju rumah.
Ali Topan menjetik-jentikkan tanah yang mengotori pakaiannya. Orang-orang masih berkerumun memandangnya.
"Ada apa sih"" satu orang bertanya.
Ali Topan melirik orang itu.
"Ada tawon!" sahutnya, asal nyeplos.
Orang-orang ketawa. Tapi Ali Topan tidak. Ia segera menuju motornya, lantas minggat dari hadapan penonton-penonton gratisan itu.
224 DELAPAN BELAS Sejak peristiwa makdikipa di depan rumah Panbers, Anna Karenina berstatus orang tahanan di rumahnya sendiri. Ke mana-mana dikuntit t'ruus. Perkara dimarahi, cuma caci maki dalam bahasa Arab saja yang belum diterimanya. Bahasa Belanda, bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa daerah, sudah.
Larangan ke luar rumah berlaku 24 jam, kecuali pergi dengan ibunya dan Boy. Lebih sial lagi, diam-diam ayahnya menghubungi Tekhab, polisi Team KhususAnti Bandit, untuk keamanan dan ketertiban Anna.
Sudah jelas Anna kesal dan bosen memperoleh perlakuan kurang ajar itu. Tapi ia masih belum bisa bergerak. Pesawat telepon pun tidak boleh disentuhnya. Komunikasi diblokir sa
ma sekali. Ia ingin minggat. Itu keputusan hatinya.
Keinginan itupun datanglah pada suatu malam. Ayah dan ibunya sedang menemui tetamu di ruang depan. Boy sedang disuruh beli rokok dan "seafood" untuk menjamu tetamu. Para pelayan sedang repot di dapur.
Anna bersiap-siap. Untuk men- check situasi, ia pura-pura pergi ke dapur. "Beliin kue pukis, Dah!" kata Anna pada Saodah, pelayan khususnya. Diberikannya uang Rp.500 pada Saodah. "Cepetan ya," Anna lagi. Meyakinkan. "Iya, Non," sahut Saodah.
Begitu Saodah pergi, Anna Karenina segera beraksi. Ia masuk ke kamar mandi, dan mengunci pintunya dari dalam. Dari balik tumpukan pakaian kotor di kamar man-
225 di, diambilnya tas plastik berisi celana jeans dan tiga buah kaos oblong.
Kamar mandi itu berjendela kaca yang cuma digerendel saja. Di luarnya, terdapat taman bunga anggrek milik Nyonya Surya, di samping kiri rumah.
Anna membuka gerendel jendela dengan hati-hati. Kemudian, ia molos dari jendela itu. Tidak seorangpun tahu.
Sampai di luar, ia memasang kupingnya. Terdengar tawa ria para tamu dan orangtuanya dari kamar tamu, dan dengan dentingan cangkir-cangkir dari arah dapur.
Setelah melongok-longok ke kanan kiri, Anna berlari, mengendap-endap di antara pohon-pohon anggrek.
Untuk mencapai jalan raya, ia harus melewati pintu bambu. Dari pintu itu, ia masih harus melewati halaman depan rumahnya yang terbuka. Jika ayah atau ibunya melihat ke arah halaman, sudah pasti ia ketahuan. Anna tak mau gegabah. Ia mengatur langkah selanjutnya, sambil tetap merunduk di antara pohon-pohon anggrek.
Saat repot mencari akal, mobil Mercy masuk ke halaman. Anna kaget. Dan nyalinya menciut. Jika Boy sampai tahu, gagallah rencananya.
Bor memarkir Mercedes di depan pintu, hingga agak menutupi pandangan dari dalam ke luar. Anna mendengar pintu mobil di tutp dan langkah kaki Boy menuju rumah. Dengan menguatkan hati, ia bergerak sebat ke pintu bambu. Dibukanya pintu itu perlahan-lahan. Kemudian melongok ke luar. Hatinya lega tatkala melihat situasi membantu rencananya. Mobil Mercedes menghalangi pandangan langsung ayah dan ibunya. Ia bisa berjalan jongkok, atau merangkak, jika Tuhan mengizinkan, dalam beberapa detik ia sudah bisa mencapai jalan raya. Setelah itu, urusan bisa lebih sip.
226 Anna mengatur nafasnya. Disebutnya nama Tuhan. Lalu ia beraksi. Digigitnya tas plastik berisi pakaian dan dompet uangnya, kemudian ia merangkak cepat. Jarak yang cuma beberapa meter saja terasa panjang baginya. Hampir-hampir ia tersungkur karena kepalanya terasa pening tiba-tiba. Maklum, ia belum pernah merangkak lagi semenjak bayi dulu. Matanya berkunang-kunang, tapi ditahannya sekuat tenaga. Jika kali ini gagal, tak ada kesempatan lagi, demikian kata hatinya. Semangatnya untuk bebas tergugah lagi, bernyala-nyala. Diteruskannya merangkak. Terus. Terus. Terus. Akhirnya sampai juga.
Anna ternegah-engah di depan pintu halaman rumahnya. Kaki dan tangannya terasa pegal.Telapak tangannya perih. Tapi hatinya tetap kuat.
Ia berjalan ke pohon mahoni di tepi jalan di depan rumahnya. Dari situ ia menoleh, memandang ke arah rumah. Cahaya lampu menerangi halaman. Genting-genting hitam. Hatinya tercekat, dilanda kesedihan, ketika melihat rumahnya. Ingin ia tetap tinggal. Tapi perasaannya tak sanggup menahan tekanan yang dilancarkan oleh orangtuanya.Apalagi ada Boy, manusia yang tak disukainya.
Suara tawa ayahnya memenuhi udara. Terbahak-bahak.Anna menggigit bibirnya. Ia muak pada suara itu. Suara tawa orang yang egois dan kejam.
Tanpa buang tempo lagi, Anna berlari menyeberangi jalan. Sebuah taksi kebetulan lewat. Distopnya.
"Ke mana"" tanya sopir taksi, setelah Anna masuk ke dalam taksinya.
"Ke rumah Maya!" sahut Anna, tanpa sadar.
"Ke rumah Maya" Di mana"" tanya sopir taksi.
Anna menyebutkan alamat Maya. Pak sopir taksi
227 mengantarkannya, tanpa banyak bicara.
Taksi berhenti di depan rumah Maya. Argometer menunjukkan Rp 360. Anna memberikan Rp 500.
"Nggak usah dikembaliin," katanya.
"Terima kasih."
Taksi pergi lagi. Anna Karenina berdiri, melihat arlojinya. Jam 21.07. Sesudah taksi menghilang di tikungan, Anna masuk ke rumah Ma
ya. Pembantu rumah membukakan pintu untuknya.
"Lho, Neng Anna" Sama siapa malem-malem ke sini" Neng Maya lagi nonton pilem sama bapak dan ibu," bisik Bik Isah, pembantu rumah Maya.
"Pergi"" Bik Isah mengangguk. "Ada perlu penting"" Anna berpikir sebentar. "Boleh pinjem telepon, Bik""
"Boleh, boleh. Silakan."
Anna diantarkan ke tempat telepon. Bik Isah memperhatikannya dengan heran.
"Rupanya seperti sedang bingung, Neng""
"Ah, nggak ada apa-apa, Bik!" kata Anna sambil memutar nomer tilpon.
*** AliTopan sedang mengambil apel dari lemari es, ketika tilpon berdering. Mula-mula dibiarkannya deringan itu. Lama-lama ia merasa risi.
Ia pergi ke tempat telepon, dan mengangkat gagangnya. Lantas ia terkejut ketika mendengar suara Anna.
"Halo! Anna! Apa kabar""
Secara singkat Anna membeberkan kisahnya. "Okey! Okey! Aku datang!" kata Ali Topan.
228 Kemudian, tanpa membuang tempo lagi, ia bergegas ke kamarnya, mengambil jaket, lalu keluar mengambil motornya.
Kurang dari lima menit, Ali Topan sudah sampai di rumah Maya. Dijumpainya Anna yang menunggu di kamar tamu.
"I laiii..." "Hai....." Keduanya berhai-hai dan tertawa riang. "Kangen deh." "Aku juga kangen."
Mereka tertawa lagi. Lalu saling berpegangan tangan. Saling memandang. Keduanya tak mampu berkata-kata lagi. Sorot mata penuh kerinduan telah berarti sangat banyak.
"Hem! Hem!" Bik Isah berdehem dari pintu.Ali Topan dan Anna baru tersedar bahwa mereka sedang berada di rumah orang.
"Yuk, kita pergi," kata Ali Topan.
"Yuk," kata Anna.
Mereka pamit pada Bik Isah.
"Lho, nggak nunggu"" Bik Isah nyeletuk.
"Nunggu siapa"" tanya Ali Topan.
"Nunggu diusir."
"Sialan lu, Bik! Becanda kaya anak-anak sekolahan aje," kata Ali Topan. Tapi ia tidak marah. Annapun tersenyum. Rasanya, keindahan pertemuan mereka mampu mengusap dan mendinginkan rasa marah yang bagaimanapun besarnya.
Di luar hawa dingin. Ali Topan mencopot jaketnya, dikenakannya pada Anna.
"Kamu aja yang pakai. Dingin," kata Anna.


Ali Topan Anak Jalanan Karya Teguh Esha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biarin. Kamu aja yang pakai." Ali Topan memaksa.
229 Akhirnya Anna mau juga. "Ke mana kita""
"Ke rumah Mbak Ika, di Depok."
Ali Topan menghidupkan motornya. Anna membonceng di belakangnya.
"Pegangan baik-baik, An."
Anna menurut. Dirapatkannya badannya ke punggung Ali Topan dan dipeluknya tubuh gacoannya dengan erat dan wah. Lantas sepasang remaja yang sedang dibadai cinta itu, berlalu, menyatu dengan malam, menuju Depok yang terletak di luar kota.
Di rumah Anna sedang ada acara makan malam. Pak Surya dan istrinya ramah sekali menjamu tetamunya. Di mata para relasi, keluarga Surya memang dikenal ramah-tamah dan baik budi bahasanya.
"Mana anakmu, Sur"" tanya Pak Karno, tetamunya.
"Dia sedang ngadat, mengeram di kamarnya," kata Pak Surya.
"Lho, kenapa ngadat" Suruh keluar dong." "Tidak mau dia. Biarlah."
Pak Karno memanggil Saodah yang mengantarkan tusukan gigi.
"He, bik, panggilkan nonamu. Bilang, mau dikasih duit sama Pak Karno, gitu," kata Pak Karno. Bik Saodah melihat ke arah majikannya, menunggu persetujuan.
"Tak usah, tak usah bilang mau dikasih duit. Bilang saja, Pak Karno ingin ketemu. Sana, cepat," kata Pak Surya.
Saodahpun pergilah ke kamar nonanya. Ia memutar pegangan pintu. Terkunci. Ia mengetuk lebih keras dan memamnggil lebih gencar, tetap tak ada jawaban. Akhirnya ia kembali lagi ke ruang makan, melaporkan
230 hasil kerjanya yang sia-sia.
"Saya nggak dijawab, Tuan."
"Lho, kenapa ngga dijawab""
"Saya kurang paham. Barangkali Neng Anna sudah tidur. Tadi saya disuruh beli kue pukis, tapi sewaktu saya antarkan, pintu kamarnya dikunci."
"Lho, kok bisa begitu"" tanya Pak Surya.
"Apa makan pil tidur" Atau narkotik"" tanya Pak Karno. Orang ini memang sedikit bego. Profesinya pelukis ekspresif, jadi kalau ngoceh juga ekspresif betul.
"Hus!" istrinya yang pendiam, meng-hus-nya. Pak Karno tertawa terkekeh-kekeh.
"Aku cuma berkelakar saja," katanya. Tapi kelakarnya kali ini tak masuk di otak Pak Surya yang sedang diganggu oleh pikiran curiga.
"Coba aku lihat dia!" kata Pak Surya, lantas segera bangkit dari kursinya dan berjalan menuju kamar Anna.
"Anna! An! Annaaaa! Buka pintuu!" seru Pak Surya. Berulang-ul
ang ia memanggil nama anaknya, berkali-kali ia menggedor pintu kamar itu, tapi bunyi kentutpun tak terdengar dari dalam.
Akhirnya beliau penasaran seperti Oma Irama. Dan bermaksud membongkar pintu.
"Bongkar saja pintunya, Pap!" seru istrinya, memberi semangat. Sang istri merasa malu pada tetamunya, karena anaknya bandel, tak mau mendengar panggilan orangtua.
Ditonton oleh tetamunya, Pak Surya memasang kuda-kuda. Tangan kanannya diangkat ke atas, tangan kirinya ditekuk ke bawah puser. Kaki kanannya ditekuk sedikit ke belakang seperti gaya Iswadi menendang bola, sedang kaki kirinya diajukan ke depan seperti gaya tukang nandak di Pasar Senen. Setelah mengempos nafas sesaat, diterjanglah pintu kamar Anna. Gubragh! Jebollah pintu
231 yang terbuat dari tripleks itu. Pak Surya kehilangan keseimbangan dirinya, ngusruk ke dalam kamar yang kosong!
"Haaah"" ia cuma bisa bengong, karena tak menjumpai Anna di dalam kamar.
Pak Karno dan Nnyona Surya yang terbirit-birit ke dalam kamar, menjadi heran pula.
"Lho, kosong" Ke mana anakmu"" tanya Pak Karno sambil membantu Pak Surya berdiri.
"Kemana dia Mam"" Pak Surya malah balik bertanya pada istrinya. Nyonya Surya cuma menagngkat bahu saja. Boy yang terburu-buru datang, dan para babu yang kaget karena mendengar suara gedubragan, juga menampilkan wajah tak tahu.
"Anakmu minggat, Mam!" kata Pak Surya.
"Lho, kok minggat" Gimana to duduk-perkaranya"" Pak Karno menyela, "apa dia tak betah di rumahnya""
Pak Surya dan istrinya saling berpandangan.
"Coba cari dulu di sekeliling rumah, Mam," kata Pak Surya. Istrinya menurut. Kemudian, semua orang mencari Anna. Pencaharian yang sia-sia.
"Boy, siapkan mobil!" kata Pak Surya, setelah pasti anaknya kabur dari rumah. Kemudian ia menoleh ke Pak Karno. "Wah, maafkan saya, Pak Karno. Saya musti cari anak saya. Teruskan daharnya, biar ditemani istri saya
saja." "Waa, iyaa, anak hilang musti dicari. Soal makan, tidak usah ditemani juga tidak apa-apa, Pak Surya.," kata Pak Karno dengan nada polos.
"Terima kasih atas pengertiannya..kata Pak Surya.
"Mudah-mudahan anakmu cepet ketemu," balas Pak Karno.
Lalu keduanya saling membungkuk seperti gaya
232 pegawai kraton Yogya. "Saya pamit dulu. Permisiiii." "Monggoooo" sahut tetamunya. Pak Surya segera keluar.
"Cepat jalan, Boy!" perintahnya, ketika sudah masuk ke dalam mobil.
"Ke mana""
"Pokoknya jalan saja dulu."
Boy patuh. Mobil dijalankan cepat meninggalkan rumah, diikuti pandangan mata cemas dari Nyonya Surya dan para pembantu rumahnya.
Jam 02.37 dinihari, Pak Surya dan Boy pulang ke rumah. Tanpa Anna.
Ny Surya membukakan pintu untuk mereka.
"Bagaimana, Pa"" tegurnya.
"Tak ada. Sudah kucari ke mana-mana," sahut Pak Surya, lesu. "Jadi, bagaimana dong""
"Esok saja kita cari lagi. Kalau perlu minta bantuan polisi. Sekarang aku letih, ingin tidur," kata Pak Surya menggerumel.
Nyonya Surya termangu-mangu mendengar kata-kata suaminya. Perasaannya melayang ke masa lalu. Kenangannya langsung ke Ika, yang akhirnya kawin tanpa rencana.
"Apa dia tak pergi sama anak bergajul itu, Pa"" tanya Nyonya Surya. Yang dimaksudkannya Ali Topan.
"Besok sajalah kita urus lagi. Kepalaku pening, tak bisa mikir apa-apa lagi, Mam...," kata Pak Surya, lalu masuk ke kamar tidurnya.
233 SEMBILAN BELAS Depok adalah sebuah kota kecil yang terletak di antara Jakarta dan Bogor. Kota ini terkenal dengan "Belanda" Depoknya, yakni satu macam masyarakat pribumi yang "di-belanda-kan" oleh orang-orang Belanda pada zaman penjajahan dulu. Menurut ceritanya, beberapa keluarga pribumi Depok diberi nama famili Belanda, diajar berbicara Belanda dan apapun yang berbau penjajah gila tersebut.
Setelah Indonesia merdeka dan Belanda pergi dari Depok, kelompok masyarakat binaan penjajah itu berkembang tanpa majikan. Kultur yang ke-belanda-belandaa-an terbentur lagi pada kultur pribumi asli. Tapi sampai sekarang, sisa-sisa budaya "binaan" "tu masih membekas pada kelompok masyarakat Depok.
Maka, orang luar Depok akan heran, kalau menjumpai orang Depok yang kerjanya jadi tukang gali sumur, kulit tubuhnya putih karena panu yang merata di sekujur tubuhnya, bisa bica
ra Belanda. Rudy dan Riem De Wolf dari grup The Blue Diamond yang beken itu, juga kelahiran Depok.
Ika dan suaminya menempati sebuah rumah kecil di dekat rumah kelahiran Rudy dan Riem. Rumah mereka kecil tapi asyik, merupakan hadiah perkawinan dari ayah Iqbal. Ika yang mendesak untuk tinggal di Depok, karena merasa tidak betah hidup di Jakarta, berdekatan dengan orangtua yang membencinya.
Iqbal punya beberapa truk yang disewakan, di samping itu, ia menjadi leveransir pasir untuk proyek-proyek
234 pembangunan di Jakarta. Istrinya membuka usaha es mambo. Jadi, dalam soal materi mereka cukup, namun mereka masih merasa belum tentram benar. Setiap saat mereka menunggu agar Tuan dan Nyonya Surya mau mengakui Saibun sebagai cucu. Saibun adalah anak lelaki mereka yang sudah berumur satu setengah tahun.
"Aku khawatir, Papa dan Mama menuduh kita mendalangi pelarian Anna dan pacarnya itu. Kita makin dibenci saja nantinya," kata Ika pada suaminya. Mereka duduk di ruang kerja Iqbal di bagian depan rumah. Ali Topan dan Anna sudah dua hari di rumah mereka.
"Kamu merasa mendalangi apa tidak"" tanya Iqbal.
"Tidak." "Ya sudah." Ika memandang suaminya. Matanya memang memancarkan kekhawatiran yang besar. Ia khawatir, kasusnya akan terulang pada adiknya. Ia takut Anna hamil, seperti peristiwanya sendiri. Sebagai kakak-ia inginAnna pada saatnya-menikah dengan cara baik-baik.
"Kenapa bengong"" tanya suaminya.
"Kuatir." "Anna bunting"" Ika mengangguk.
"Nggak usah kuatir. Mereka anak baik. Nggak seperti kita," kata suaminya, sambil tersenyum. Ika pun tersenyum.
Jam berdentang, pukul sembilan.
Sepasang kupu-kupu terbang dekat mereka. Bagus warna bulunya.
"Bakal ada tamu gede nih," kata Iqbal.
"Moga-moga bawa rejeki," sahut istrinya, sambil memandang kupu-kupu yang terbang kian ke mari.
235 Jam setengah satu, Anna dan Ali Topan datang dari tempat main mereka, persawahan di bagian Timur Depok. Mereka pacaran di sawah-sawah.
Iqbal dan Ika tersenyum menyambut mereka.
"Sudah capek"" tanya Ika.
"Capek apa" Nggak capek, cuma laper," sahut Anna.
"Kalau lagi pacaran memang rasanya nggak capek-capek ya," goda Ika sambil bermain mata dengan suaminya.
"Idih! Bisa aja, Mbak Ika," sahut Anna. Wajahnya bersemu dadu, malu. Ali Topan tersenyum simpul saja.
"Nggak usah malu, kita udah paham. Kan kita juga pernah pacaran, ya Pa," Ika masih menggoda.
"Mana Saibun"" Anna mencoba mengalihkan pembicaraannya. Ia merasa malu digoda secara terbuka oleh kakaknya.
"Sedang main ke rumah tetangga. Belajar cari makan sendiri," kata Iqbal. Bicaranya pelahan, tapi bikin ketawa semua orang.
Saat mereka sedang ketawa-tawa, datanglah kejutan. Terdengar dua buah kendaraan berhenti di depan rumah mereka. Satu Jip Willys berisi empat orang polisi, satu lagi Mercedes Benz disopiri Boy, mengangkut Tuan dan Nyonya Surya.
Pucat wajahAnna melihat ayah-ibunya datang bersama alat negara. Ika juga agak gemetar. Ali Topan dan Iqbal tetap tenang.
Tuan dan Ny Surya tampak ragu-ragu turun dari mobil. Masih ada rasa angkuh. Jangankan menginjak rumah anak mantu, sedangkan si anak mantu datang ke ruamh minta berkah saja, mereka usir.
Para polisi bersiap. Dua orang polisi dari Komwilko 74, Jakarta Selatan, dua orang lagi polisi Depok sebagai
236 penunjuk jalan. "Ini rumahnya, Pak!" seorang agen polisi Depok berkata pada Pak Surya. Barulah Pak Surya turun, diikuti istrinya dan Boy. Mereka berdiri. Garang.
Iqbal membukakan pintu. Ika muncul di belakangnya, berlari menyambut orang-tuanya.
"Mamaaa! Papaaaa!" seru Ika. Ia membuka tangannya, hendak memeluk ayah dan ibunya. Tapi wajah orangtua-nya tegang. Jangankan menyambut dengan pelukan, tersenyum pun tidak! Apalagi ketika Tuan Surya melihat Iqbal, rasa bencinya kambuh dengan hebat.
"Mana Anna" Suruh keluar dia!" hardik Pak Surya.
"Silakan masuk Papa. Silakan Mama...," Ika memohon pada papa dan mamanya. Airmatanya berlinang-linang.
"Tak perlu! Tak perlu masuk!" kata Pak Surya.
Suasana tegang. Ketegangan yang mengharukan.
"Anna di sini, Ika"" suara lembut memecah ketegangan. Suara Nyonya Surya. Ibu ini akhirnya tak mampu menahan keharuan hatinya. Terlalu
lama ia memendam kerinduan. Terlalu lama ia mencoba mengalahkan kerinduan dengan keangkuhan.
Ika melihat ibunya. Airmatanya bercucuran. Bahagia sekali mendengar namanya dipanggil oleh sang Ibu yang dirindukannya.Tak sanggup berkata-kata, Ika menghambur ke pelukan ibunya. Ny Surya mendekap anaknya. Mereka bertangisan.
Saat itulah Anna Karenina muncul bersamaAli Topan! Anna berdiri di depan pintu.Tangannya mencekal lengan Ali Topan.
"Anna! Ke mari kau!" Pak Surya berteriak. Nadanya masih kerras dan kaku. Ia seperti tak terpengaruh oleh keharuan yang hadir dari pelukan Ika dan istrinya.
237 Anna tak beranjak dari tempatnya.
"Anna!" Anna tetap diam. Hatinya diliputi rasa haru melihat kakak dan ibunya bertangisan melepas kerinduan. Sekuat tenaga dicobanya menahan keharuan itu. Anna berpikir, orangtuanya membawa-bawa polisi untuk menangkap AliTopan. Maka itu ia bertahan. Ia tak mau meninggalkan Ali Topan.
Merah padam wajah Pak Surya karena Anna tak mematuhi instruksinya.
Ia berpaling pada alat-alat negara yang dibawanya, lalu menuding Ali Topan.
"Itu dia yang membawa lari anak saya! Tangkap dia,
Pak!" Dua polisi Komwilko 74 bergerak ke arah Ali Topan. Mereka menampilkan gaya David Toma yang suka mereka tonton di layar tivi.
"Papa! Apa-apaan sih! Suruh pergi orang-orang ini!" teriakAnna Karenina. Ia makin menguatkan cekalannya, memeluk Ali Topan. Ali Topan berdiri tegak, matanya tak gentar menatap agen-agen polisi yang mendekatinya.
"Bapak-bapak mau nangkep saya, apa ada surat perintahnya"" tanya Ali Topan.
Agen-agen polisi itu tersenyum. Salah seorang di antara mereka mengeluarkan surat perintah penangkapan dari kantong celananya dan menunjukkannya pada Ali Topan.
"Lebih baik adik ikut kami secara baik-baik. Jangan kami dipaksa mengambil jalan kekerasan," kata polisi itu sambil tangan kanannya mengusap-usap gagang pistol yang mencuat dari sarungnya.
"Dia nggak boleh ditangkap! Dia nggak bersalah! Saya yang mau lari ke sini!" Anna membentak polisi itu.
238 "Anna! Tutup mulut kamu!" hardik Pak Surya. Ia makin tak sabar melihat kelakuan anaknya. Anna menatap ayahnya. Wajahnya menegang. Tiba-tiba ia berteriak, sangat keras" "Kamu jahat, Papa!"
Bagaikan geledek cacian itu menyambar telinga Pak Surya. Mulutnya sampai terbuka, tak bisa omong apa-apa, bahna kaget dan gusarnya. Dan, tidak cuma dia. Semua yang hadir tak pernah menyangka, Anna memaki ayahnya secara terbuka.
"Sayaaaang... tidak boleh gitu...," suara lirih Ali Topan terdengar, mengkontra ketegangan situasi. Suara itu lembut, menyelusup sampai ke hati Anna Karenina. Pelan, namun penuh wibawa. Anna sampai mendongak, merasa tak percaya bahwa kata-kata itu keluar dari mulut Ali Topan.
Ali Topan tersenyum padanya. Senyuman yang mengandung kesedihan. Anna menangkap sinar sedih di mata Ali Topan.
"Kau pergilah ke ayah dan ibumu... Kau dengar"" bisik Ali Topan. Anna tak sanggup mendengarkan bisikan itu. Kata-kata yang sedih. Kata-kata seorang jantan yang kehilangan kasih-sayang. Sedih, namun tetap bersikap gagah.
"Kamu.. Kamu ke mana"" bisik Anna. "Kamu dengar perkataan saya"" Ali Topan balas berbisik. Anna mengangguk. "Kamu mau menurutinya""
Anna memandang Ali Topan. Perasaannya mengatakan, Ali Topan tengah bertempur dengan hatinya sendiri. Ali Topan sayang padanya, tapi tak mau menghancurkan hubungan antara orangtua dan anaknya. Ali Topan tahu, ia sejak mula tak disukai oleh orangtua Anna Karenina.
239 Puncak ketidaksukaan mereka terbukti dengan hadirnya alat-alat negara yang hendak menangkapnya.
Ia tidak takut. Ia hanya merasa sedih. Jika orangtua Anna tidak menyukainya, kenapa harus dimasukkan"
Semua orang menyaksikan adegan itu. Ali Topan membelai rambut, mengusap daguAnna, dengan lembut. Kemudian ia membimbing Anna, dibawanya ke tempat Tuan Surya.
Baru beberapa langkah, Anna berhenti. Ia tahu maksud Ali Topan sangat mulia. Ali Topan mengalahkan kepentingan dirinya, demi utuhnya sebuah keluarga.
"Topan...," bisik Anna. Pandangan mereka bertemu.
"Kamu dengar Anna. Ada saatnya kita bertemu, ada saatnya kita berpisah. Awan tak pernah abadi menahan sinar matahari. Kau mengerti""
bisik Ali Topan. Anna tak mengerti. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ali Topan tertawa kecil.
"Nah, lain hari kau akan mengerti... "
Ia membimbing Anna, menyerahkannya pada Pak Surya.
"Oom, saya sayang pada Anna, dan Anna pun sayang pada saya. Jika Oom dan Tante tidak suka pada saya, sayapun tidak bisa memaksa. Saya cuma berharap, Oom jangan menyakiti Anna. Dia tidak bersalah..," kata Ali Topan dengan gagah.
Tuan Surya mendengus seperti babi. Ia tak mau banyak bicara lagi.
Digamitnya Anna, dibawanya ke mobil. Boy segera menyusul. Lelaki itu dengan sigap duduk di belakang stir mobil.
Ny Surya menyusul kemudian, diantar oleh Ika.
"Ika boleh ke rumah, Papa"" tanya Ika.
Pak Surya mengangguk-angguk. "Datanglah, datang-
240 lah____" katanya berulang-ulang.
Meledaklah kebahagiaan Ika mendengar jawaban ayahnya. Dipeluknya kepala sang ayah. Diciuminya berulang-ulang pipi ayahnya. Pak Surya mengelus rambut anaknya.
Iqbal datang mendekati. Pak Surya menoleh padanya.
"Kau bawa anak-istrimu ke rumah malam ini ya...," katanya.
"Terima kasih, Pak," kata Iqbal.
"Nah. Kami pergi dulu. Urusan sudah selesai...," kata Pak Surya.
Nyonya Surya duduk di belakang, menghibur hati Anna.
Boy menghidupkan mesin mobil.
Kemudian mereka berlalu, meninggalkan para polisi, suami istri Iqbal dan Ali Topan, dengan perasaan dan pikiran yang berlainan.
Agen polisi Kebayoran menepuk pundak Ali Topan dari belakang. "JiwaAnda besar, Dik," katanya. Ika, Iqbal dan tiga polisi yang lain serentak mengangguk, mengiya-kan.
Ali Topan menggeraikan rambutnya.
"Kasih sayang yang besar membuat jiwa manusia besar, Pak. Sayang, tak setiap orang memilikinya...," sahut Ali Topan.
Agen polisi itu tersenyum.
"Tapi urusan dinas saya masih harus dijalankan. Adik turut ke Komwilko 74, untuk menjelaskan persoalannya. Okey"" kata polisi itu dengan nada ramah.
"Saya mah okey sajaa...," kataAli Topan, lalu sembari memandang Ika ia pun menyambung, "Jangankan ke Komwilko, ke kantor Presiden sekalipun, saya akan
241 pergi, jika diperlukan." Ika tersenyum mendengar jawaban yang mewah itu!
Langit putih. Matahari mencorong di atas Depok.
Angin bertiup dari Selatan, Debu debu cokelat beterbangan, mengusap wajah Ali Topan yang sedang memacu sepeda motornya. Keempat polisi di dalam jip Willys mengikutinya dari belakang. Mereka kembali Jakarta.
"Anak yang gagah itu mau kita apakan"" kata seorang polisi, pada temannya yang menyopir jip.
"Kita bikin jadi Tekhab saja, rasanya pas betul."
"Dia bisa jadi agen yang paling keren nantinya. Moga moga saja dia mau."
Ali Topan tak mendengar dialog itu. Ia sedang melamun. Panasnya sinar mentari, keringnya debu-debu jalanan Depok, tak mampu mengusir bayangan wajah Anna Karenina dari dalam hatinya. Ia sedih benar, namun bukan kesedihan yang cengeng. Ia tak menangis, namun hatinya merintih-rintih. Kasih sayang telah hilang. Tak seorangpun yang menjadi miliknya kini. Ia sendirian lagi.
"Annaaa, Annaaa, Annaaa," bisiknya.
Hanya suara angin yang menjawab bisikannya.
"Hampaaa, hampaaa, hampaaa," keluhnya lagi.
"Jangaaan, jangaaan, jangan menghampaa," angin serasa menjawab keluhannya. Angin itu berhembus dari dalam jiwanya sendiri.
Ali Topan tersadar. Ia menggertak gigi.
"Selaksa kesedihan, sejuta kekecewaan, tak boleh membuatku mati," bisiknya.
"Tuhan, berikan cintamu padaku."
"Tuhan, berikan cintamu padaku."
242 "Tuhan, berikan cintamu padaku."
Berkali-kali Ali Topan memanggil Tuhannya, untuk mengusir kesedihan.
Sampai akhirnya, semangatnya membadai lagi. Bayangan Anna Karenina yang tadinya bersatu dengan kesedihan, terasa melangit. Dalam khayalnya, ia memandang kepergian bayangan yang makin lama makin jauuuh. Cekaman suasana yang tak terlukiskan itu tanpa sadar mendorongnya untuk bernyanyi. Maka iapun bernyanyilah di atas motornya yang berjalan pelahan-lahan.
Pagi yang indah sekali Membawa hati bernyanyi Walau gadisku t'lah pergi Dan tak kan mungkin kembali
Hm yaaa.............. Selesai ALI TOPAN ANAK JALANAN "Membaca bukunya, kita seperti diajak menonton potret kehidupan remaja berandalan yang suka bergentayangan dijalan-jalan kota Jakarta. Struktur ceri
tanya kokoh, alurnya luwes dan dialog-dialog di setiap halaman jelas merefleksikan karakterisasi para tokoh."
Eddy Satya Dharma (Suara Karya, 14 November 1977)
"Buku yang memikat untuk bacaan remaja juga penting untuk orangtua masa kini.Kisah seorang anak muda yang punya kemungkinan besar untuk jadi tokoh terkemuka di masyarakat di kemudian hari!"
Zulkarnaini (Pelita, 23 Desember 1977)
"Tanyalah anak-anak muda baik cewek maupun cowok, siapa yang belum pernah baca Ali Topan. Mereka kaum muda itu. bukan hanya senang karena bahasanya pop, bahasa mereka, tapi Juga memang karena dunia anak muda dibela. Anak muda pengin sambil memejamkan mata, lantas terbang ke langit biru. Ali Topan adalah mimpi."
N. Wonoboyo (Minggu Merdeka, 19 Februari 1978)
"Teguh Esha berhasil nenghadirkan tokoh pemberontak dalam diri Ali Topan. Karakterisasinya kuat dan konsisten. Sebuah watak yang tak pernah berubah namun kuat dan patent. Ali Topan, novel dengan karakter!"
Yakob Sumarjo (Pikiran Rakyat, 17 Mei 1978)
Penerbit: PT Visi Gagas Komunika
Jl. Jati Agung No. 3 Jati Padang Pasar Minggu, Jakarta 12540 Telp. (021) 78831022, 7815236 e-mail: visiperspektif@plasa.com
Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Pendekar Pemetik Harpa 28 Rembulan Tenggelam Di Wajahmu Karya Tere Liye Nyi Bodong 2
^