Ali Topan Wartawan Jalanan 3
Ali Topan Wartawan Jalanan Karya Teguh Esha Bagian 3
135 Redaktur Pelaksana mengangguk, menepuk bahu Ali Topan, kemudian naik tangga menuju ruang kerjanya di tingkat II.
Ali Topan segera meneruskan pekerjaannya. Selang beberapa menit, selesai. Ia serahkan berita itu kepada Heni yang menerimanya dengan senyum manis.
"Ngetiknya kok cepat, Dik" Apa sudah pernah jadi wartawan"" tanya perempuan itu.
"Kalau soal ngetik sih, lumayan Mbak. Waktu sekolah dulu bikin karya tulis sih. Tapi soal beritanya, saya bikin kayak laporan saja. Rasanya sih, seru juga," kata Ali Topan sambil nyengir.
"Nanti kan diedit oleh Redaktur Pelaksana."
"Redaktur Pelaksana. Apaan sih""
"Itu lho, orang yang tadi omong-omong sama situ. Dia yang memeriksa berita disini," kata Sekretaris Redaksi.
Harry menggamit Ali Topan. "Kita cabut yuk""
Ali Topan oke. Lantas keduanya minta diri pada Heni.
"Salam untuk Redaktur Pelaksana, Pak Gun." kata Ali Topan sebelum melangkah keluar pintu. Sekretaris Redaksi mengangguk sambil tersenyum manis sekali. Dia suka pada anak muda yang sikapnya enak ini. Bicaranya polos, tongkrongannya mantep. Pakaiannya serampangan, tapi tak mengurangi ketampanan wajahnya, demikian penilaian Sekretaris Redaksi itu. Diam-diam dia berharap semoga anak jalanan itu sering datang ke kantornya.
Jalan Gajah Mada sejajar dengan Jalan HayamWuruk. Di antara keduanya, tergolek Kali Ciliwung yang lebih menyerupai got besar penampung air, sampah dan debu dari daerah sekitarnya, daripada sungai dalam arti sesungguhnya. Keruh, kotor.
Ali Topan menyeberangi jembatan setapak yang
136 melintang di antara dua jalan tersebut. Mereka naik bis SMS jurusan Kebayoran. Sepanjang perjalanan Ali Topan berkhayal setinggi langit, seolah-olah berita yang dibuatnya itu mampu meledakkan Jakarta.
Ali Topan hampir-hampir tak percaya, ketika esok paginya di kios Munir ia dan Harry membaca berita dan foto hasil karya mereka dimuat pada halaman satu harian Ibu Kota. Judulnya diganti "Anak kecil ditodong" dan sub-judulnya "Kickers-nya dilucuti."
"Huuaaiyoo! Berita gue dimuaaat! Gue jadi wartawaaan! Alhamdulillaaah...," Ali Topan berteriak, meledakan segala perasaan gembira, takjub, bahagia dan sebagainya yang ia rasai. Ia memeluk Harry dan mengangkatnya sekejap. "Terima kasih, Har... terima kasih. Lu nanem budi besar ke diri gue, Har... Thank You" kata Ali Topan lagi.
Munir menepuk-nepuk bahu Ali Topan dengan senyum gembira. "Hebat lu, Pan.Aku salut. Cepat sekali kau menemukan jalan hidup. Selamat," kata Munir. "Selamatjuga buat kau, Har. Kompak-kompaklah terus," lanjutnya pada Harry. "Dan kalau satu hari nanti kalian jadi wartawan besar, jangan lupa sama aku, tukang kios suratkabar dan majalah, ya. Kalau lupa, aku nggak mau jual suratkabar yang memuat tulisan kalian," kata Munir lagi, menyemangati Ali Topan dan Harry.
Ali Topan tersenyum lebar. "Gue bukan potongan orang yang melupakan kawan, Nir. Kawan bagi gua harganya nggak ternilai," ucap Ali Topan. "Ngomong-ngomong kenapa nama kita ngga ditulis lengkap, Har " Cuma AT dan H aje...," lanjutnya.
"Kalau soal nama, mungkin itujustru untuk melindungi keselamatan kau, supaya tidak diincar oleh penjahatnya," kata Munir. Harry membenarkan.
137 "Itu memang peraturan suratkabar, Pan. Nggak penting. Yang penting siang ini kita ambil honornya," kata Harry.
Mereka mengambil honorarium hari itu juga, sekitar jam satu siang. Lumayan, Rp 6.000. Yang lebih lumayan lagi, Heni memberitahu, bahwa Redaktur Pelaksana secara khusus mengundang mereka untuk bicara di ruang kerjanya.
Mereka harus menunggu setengah jam, karena Redaktur Pelaksana sedang "rapat rutin" dengan beberapa reporter. Semen
tara menunggu itu, Harry merasa agak tegang membayangkan undangan itu. Mimpipun ia tak pernah untuk dapat berbicara secara khusus dengan salah satu pemimpin koran besar itu. Berulang-ulang ia bertanya kepada Sekretaris Redaksi, masalah yang kiranya menjadi motif undangan tersebut. Tapi Heni cuma menjawab tidak tahu, tunggu saja nanti. Ketegangan Harry berkembang menjadi perkiraan negatif. Dia berpikir tentang kemungkinan telah berbuat suatu kesalahan dan bakal dapat sanksi dari Ibu Kota.
Ali Topan tampak tenang-tenang saja mengisap rokok kretek Jie Sam Soe yang baru dibelinya di depan kantor Ibu Kota dengan uang honorariumnya. Mereka membagi dua sama besar honor Rp 6.000 itu. Harry Rp 3.000, Ali
Topan Rp 3.000. Pak Gun, Redaktur Pelaksana menyambut mereka dengan hangat di ruang kerjanya yang sejuk oleh pendingin udara. Ia tampak lebih luwes dan terbuka dibandingkan pertemuan pertama tempo hari. Ia mengambilkan dua botol minuman ringan dari dalam kulkas kecil di sudut ruang untuk para tamunya.
"Kita langsung saja ke maksud saya mengundang adik-adik ke sini," katanya sesudah dua tetamunya membasahi
138 kerongkongan mereka dengan beberapa tegukan kecil.
"Mm. kira-kira adik-adik tahu maksud saya"" katanya lagi.
Kedua tamunya menggelengkan kepala. Orang itu memandang dua tamunya berganti-ganti. Matanya tak menyembunyikan sesuatu kegembiraan.
"Harry," katanya, "rupanya kau serius di bidang kewartawanan ya" Sejak pertama saya amati, fotomu ada kemajuan. Penulisan berita mungkin kau kurang bakat.,"
Harry mengangguk. Redaktur Pelaksana beralih keAli Topan yang mengawasinya dengan tajam. Beberapa detik sang Redaktur mencoba mengadu pandang dengan anak muda itu, untuk melihat sampai di mana ketegaran hati si anak muda. Tak sedikitpun ia lihat sinar gugup atau kecut hati di mata si anak muda. Akhirnya ia menyulut sebatang rokok untuk mengalihkan pandangannya. Perasaannya sempat berdesir. Tak satupun reporternya pernah menatapnya begitu tajam, berani dan mantap. Tapi si anak muda yang pada perjumpaan pertama sudah menarik simpatinya, punya tatapan mata yang menyelidik.
"Ng. Ali Topan"" kata Redaktur Pelaksana.
"Ya." "Sudah baca beritamu yang dimuat hari ini""
"Ya." "Ada komentar""
Ali Topan berpikir sejenak. Sejak Sekretaris Redaksi menyampaikan pesan, ia sudah punya perkiraan, undangan ini ada sangkut-pautnya dengan berita yang dibuatnya. Sejak mula ia menangkap simpati yang terpancar di mata orang itu. Sebagai orang yang baru dikenal, ia merasa diperhatikan oleh sang Redaktur Pelaksana.
139 "Ada komentar"" Redaktur bertanya lagi.
"Itu berita yang saya buat pertama kali dan langsung dimuat, di halaman depan lagi. Saya sangat senang, terima kasih Pak Gun." jawab Topan hati-hati.
"Senang karena dimuat atau karena honornya," gurau si Pak Gun.
"Dua-duanya." "Komentar lain""
"Justru saya ingin tahu komentar anda sebagai orang top disini."
"Tulisan kamu bolehlah. Tapi lebih mirip cerita kriminal. Terlalu panjang dan berliku-liku sebagai berita. Ma-kanya saya persingkat.Apa memang suka bikin cerpen""
"Belum pernah," kata Ali Topan, "bikin berita itu juga kebetulan. Yang mendorong kawan saya ini," sambungnya sambil menengok ke arah Harry.
"Sekolah atau kuliah" Di mana""
"Di jalanan." "Hh"" Wartawan itu bertanya lebih lanjut tentang sekolah dan latar belakang keluarganya. Ali Topan menjawab seperlunya soal sekolah. Soal keluarganya ia mengelak.
"Sebetulnya Bapak mau apa sih sama kami"" katanya mengalihkan pembicaraan yang menyangkut pribadinya.
"Mmmm. saya tertarik sama kalian. Terus terang, jarang ada anak seumur kalian berminat di bidang kewartawanan. Saya tergoda rasa ingin tahu dorongan kalian nulis di Ibu Kota. Kok tidak ke koran lain" Harian Ibu Kota suka dibilang koran tukang becak dan sopir-sopir bis"Yaah, koran rakyat kelas bawah lah, kasarnya."
"Bapak kelas bawah atau kelas atas"" tanya Ali Topan sambil mengulum senyum nakal. Redaktur itu kaget mendengar pertanyaan yang berani. Ia meraba maksud terten140
tu dalam pertanyaan Ali Topan. Hm rasanya belum pernah dia menemukan seorang anak muda yang sikap dan kata-katanya sepertiAliTopa
n. Ia mengulum senyum cerah.
"Kalian mau serius di bidang kewartawanan atau cuma iseng-iseng"" "Saya serius, Pak!"
"Bagus" Cita-citamu dulu ingin jadi apa""
"Cita-cita lu apa, Har"" Ali Topan mengoper pertanyaan ke Harry.
"Saya... saya ingin jadi fotografer yang... yang... yang sukses," kata Harry.
"Kamu, Pan"" tanya si Redaktur.
"Saya tanya kamu""
"Sederhana. Saya ingin jadi orang berilmu yang berguna dalam kehidupan ini, Pak," kata Ali Topan.
"Orang tua kamu siapa dan bekerja di mana "" tanya Pak Gun. Ali Topan tertegun.
"Ayah saya Amir namanya. Dia ber-bisnismen dan saya tidak suka membicarakan tentang dia," kata Ali Topan wajahnya muram.
"Ibumu bekerja juga""
Ali Topan diam, menatap muka Pak Gun, Harry melihat ketegangan wajah Ali Topan.
"Anda mengundang kami untuk urusan orang tua atau urusan diri kami sendiri"" tanya Ali Topan. Ia berdiri sikapnya berwibawa.
Naluri kewartawanan Pak Gun menangkap suatu drama keluarga di balik sikap Ali Topan yang enggan berbicara tentang orang tuanya.
Segera ia bersikap bijak. "Begini... Begini... saya terkesan dan bersimpati pada kalian, anak-anak muda yang berjuang dalam kehidupan ini. Teruslah berkarya,
141 dan memperdalam ilmu kewartawanan," katanya. Pak Gun membuka laci mejanya.
"Saya mau memberi pinjaman beberapa buku tentang kewartawanan. Mungkin kalian tertarik dan ada minat membaca buku-buku ini," sambungnya. Empat buah buku berbentuk stensilan tak terlalu tebal ia berikan pada Ali Topan dan Harry.
Ali Topan membaca sekilas judul buku-buku stensilan itu. Buku pertama, agak tipis, berjudul "KodeEtikJurna-listik." Buku kedua, lebih tebal, berjudul "Wartawan Ideal"" Buku ketiga berjudul "Berita"" Buku ke empat "News Photography". Buku pertama terbitan PWI, sedangkan dua buku yang lain cuma mencantumkan inisial pengarangnya, G.M. Buku "News Photography" berbahasa Inggris, terbitan Amerika Serikat.
"Anda karang sendiri"" tanya Ali Topan.
"Bawa dan baca semua isinya. Kukira itu lebih penting dari siapapun pengarangnya."
"Mm. saya selalu menilai sebuah buku juga dari pengarangnya. Sebuah buku toh bukan hanya kumpulan kertas dengan barisan kata-kata""
"Right!" kata redaktur itu dengan mata bersinar, "Nah, saya pikir cukup untuk kali ini. Satu waktu kita bertemu lagi. Okey" Terima kasih atas kedatangan kalian."
"Terimakasih atas undangan dan buku-buku ini," sahut Topan. Ia berdiri diikuti Harry. Keduanya keluar dan turun di tingkat bawah.
Sekretaris Redaksi sedang sibuk melayani banyak tamu. Keduanya cuma melambaikan tangan dan berjalan terus meninggalkan kantor itu.
Di dalam bis menuju Kebayoran, Harry menggamit Ali Topan.
"Lu kalau menghadapi orang mantap ya, Pan," kata
142 Harry. "Sama-sama makan nasi. Kalo doi makan menyan baru kita pasang kuda-kuda," sahut Ali Topan.
Beberapa orang penumpang ketawa geli mendengar ucapan Ali Topan. Harry pura-pura melihat ke luar jendela. Ia malu banyak orang menengok ke arah mereka.
Ali Topan mengalihkan perhatian dengan membaca buku "Wartawan Ideal."
Harry turun di bunderan Air Mancur di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Dia hendak ke kantor Berita Dunia di Jalan Tanah Abang II, untuk membayar cicilan tustel pada Mas Muharjo.
Ali Topan terus ke Kebayoran. Dia bermaksud pergi ke Rumah Sakit Fatmawati, menengok ibunya yang masih beristirahat di sana. Di samping itu ia ingin duduk di bawah pohon di tepi lapangan golf yang berdampingan dengan rumah sakit, untuk membaca tiga buku pinjaman redaktur Ibu Kota itu.
143 SEBELAS Sepanjang perjalanan Ali Topan merenung. Dalam hatinya ia bersyukur kepada Tuhan yang telah mengakrabkannya dengan Harry, dan lewat Harry
ia berkenalan dengan dunia kewartawanan. "Hari ini adalah satu hari yang ajaib," gumamnya. Hari
ia menulis berita pertama, yang dimuat pada suratkabar
Ibu Kota. Ada suatu yang lepas bernama pertanyaan dan tantangan yang ia ucapkan kepada Anna Karenina tempo hari, ketika gadis itu bertanya di restoran American Hamburger, "Kalau nggak kuliah kamu akan jadi apa"" Yang ia jawab dengan pertanyaan pula, "Kalau kamu kuliah akan jadi apa""
Itu adalah persoalan eksistensial: jadi, menjadi. Sejak di s
ekolah dulu Ali Topan sudah bertanya-tanya mengapa para pejabat negara yang tamatan universitas-universitas dan perguruan-perguruan tinggi dalam maupun luar negeri itu korupsi, dan boleh dibilang tidak ada prestasi mereka sedikitpun untuk mengangkat derajat rakyat ke level yang lebih tinggi.
Ali Topan ingat ia pernah menulis artikel di majalah OSIS yang berjudul Sekolah Tinggi Tanda Tangan. Dalam tulisan itu ia menyatakan: Jika para pejabat tinggi pemerintahan kerjanya cuma menanda-tangani surat-surat hutang ke luar negeri, tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Para pengemis dan abang-abang becak pun bisa mengerjakan itu semua.
Ia tidak boleh menulis lagi, dan Majalah OSIS dikenai
144 sensor ketat, gara-gara tulisannya itu.
Kini ia merasa ada sesuatu celah untuk membuktikan, tanpa kuliah di UI. Ia akan dapatmenjadi seseorang yang berarti di masa depan. Perjalanan panjang untukmenjadi seseorang kumulai hari ini, kata hatinya sendiri.
KetikaAli Topan tiba di rumah sakit, mamanya sedang tidur. Ia meletakkan suratkabar Ibu Kota di atas meja ruang inap mamanya. Kepada Suster Cut Mina yang bertanya, Ali Topan berkata, "Berita yang saya tulis dimuat pada halaman satu HarianIbu Kotaitu" Informasi itu segera tersebar di kalangan perawat dan dokter-dokter.
Harian Ibu Kota yang dijual oleh dua orang pengecer laku keras di rumah sakit siang itu. Dan Ali Topan - anak jalanan yang keren, berambut gondrong, bercelana blue jeans lusuh, berjaket blue jeans yang lengannya buntung, dan yang setia menunggui mamanya di Ruang VIP- ngetop di kawasan itu. Sebab sejak hari pertama ia datang menjenguk mamanya, sosok yang jantan dan tampangnya menakjubkan telah menyedot perhatian perawat-perawat ruang VIP.
Sore harinya, Dokter Romeo Sandi, Kepala Bagian Ruang VIP yang mengontrol kondisi Nyonya Amir mendengar informasi dari seorang perawat tentang "berita" yang di tulis Ali Topan.
Usai memeriksa Ny. Amir, dokter Romeo Sandi menjabat tangan Ali Topan yang ikut melihat mamanya. "Saya baca berita yangAnda tulis di HarianIbu Kota hari ini. Saya tidak menyangka anda seorang wartawan. Selamat. Saya senang berkenalan dengan Anda," kata dokter yang simpatik itu.
Ali Topan sempat bengong sesaat mendengar sikap dokter Romeo yang menghargai dirinya sebagai wartawan.
145 "Wartawan"" gumam Ali Topan.
Dokter Romeo Sandi menepuk bahuAli Topan, kemudian melanjutkan pengontrolannya ke pasien-pasien lainnya.
Betapa dahsyat penghargaan kepada seorang wartawan, katanya dalam batin. Buktinya, seorang dokter senior yang menduduki jabatan penting di rumah sakit besar menyatakan salut. Demikian pula beberapa perawat yang sebelumnya bersikap kurang bagus, berubah lebih baik.
Betapa tinggi penghargaan orang kepada seorang wartawan. Itu fakta yang terrekam pada batin Ali Topan, meskipun ia tidak merasa sebagai wartawan. Ia hanya "kebetulan" ketemu seorang bocah yang dirampas sepatunya oleh penjahat, dan "ceritanya" itu dimuat di suatu suratkabar. Tiba-tiba "peristiwa kebetulan itu" membuat dirinya terangkat ke suatu keadaan yang menakjubkan !
Seperti mimpi. Tapi bukan mimpi... *** Hari-hari bulan Juni mendatangi Jakarta bersama penyakit flu, muntaber dan beberapa jenis penyakit massal lainnya. Udara panas, kering dan berdebu, terutama pada siang hari.Anak Gunung Krakatau di Selat Sunda memang sedang aktif, menyemburkan lava dan gas panas. Malam hari udara dingin oleh hujan deras dan tiupan angin kencang.
Sudah empat belas hari Ny. Amir dirawat di rumah sakit. Keadaan fisiknya berangsur sembuh, namun Ny. Amir masih suka bengong, tak mau bicara. Beberapa kali pada malam hari ketika hujan deras, Ny. Amir berteriak histeris. Bayangan tragedi tabrakan mobilnya yang
146 menewaskan Tommy meneror jiwanya.
Hari itu hari kelima belas Ny. Amir dirawat. Sejak kemarin Ali Topan merasa tak enak badan. Ia terkena flu : batuk, pilek, kepalanya pusing dan demam.
Malam ini hujan deras sekali. Ali Topan menggigil di kursi ruang tunggu ruang VIP. Suhu tubuhnya tinggi, mulutnya terasa pahit. Perutnya laper, tapi ia tak berselera makan. Pagi tadi ia cuma makan beberapa sendok nasi, sepotong tempe, sep
otong tahu goreng dan sebutir telor bebek asin dengan sambal kecap yang diberi potongan potongan bawang merah dan cabe rawit sepuluh biji.
Jam delapan lewat, usai menemani dokter Romeo Sandi memeriksa para pasien, Cut Mina mendatangi Ali Topan yang sedang menggigil. Jaketnya basah. "Anda kena flu, kata perawat bermata ebony itu sambil menyentuh leherAliTopan dengan punggung tangannya. "Panas sekali," sambungnya. "Ayo ke dokter Romeo sebelum ia pulang," lanjutnya lagi. Ali Topan mengangguk. Kepalanya pusing sekali.
Cut Mina bergegas ke ruang kantor dokter Romeo di dalam ruang pavilyun itu.Ali Topan mengikuti perlahan.
Dokter Romeo sedang mengenakan jaket kulit yang biasa ia pakai pulang seusai tugas malamnya, ketika Cut Mina mengetuk pintu.
Dokter Romeo membuka pintu. "Ada apa, Suster"" ia bertanya. Ia melihat Ali Topan berjalan pelahan.
"Ali Topan kena flu, Dok," kata Cut Mina.
"Memang sedang musimnya.Ayo masuk," kata dokter Romeo. Ia berjalan ke mejanya, dan mengeluarkan alat penyuntik serta sebotol kecil obat antibiotika dari laci meja.
Ali Topan masuk dan duduk di kursi. "Wartawan tum-bangjuga oleh flu, ya"" kata dokter Romeo. Ia menyentuh
147 leher, pipi dan jidat Ali Topan. Ia pun memeriksa mata dan tenggorokanAliTopan. Laluiamembersihkanjarum suntik dengan alkohol dan menyedot obat cair bening botol bertutup karet dengan alat penyuntik tersebut. "Mojok sana. Buka pantatnya, eh celananya" kata dokter Romeo. Ali Topan melihat sekilas ke Cut Mina yang berdiri di pintu. "Nah, biar suster Mina yang menyuntik."
Mau tak mauAliTopan berdiri dan melangkah ke pojok ruang kecil itu. Ia meloloskan celananya sebatas pantat. Sambil berdiri, pantatnya disuntik oleh suster Mina. "Uhhh!" Ali Topan mengejang ketika jarum suntik menembus bagian pantatnya dan cairan obat disuntikan oleh suster Mina.
"Kalau nyuntik ehhh.., kalau disuntik Uh !," kata dokter Romeo, ngeledek.
"Ah, saya belum pernah nyuntik, Dok. Masih orisinil," kata Ali Topan.
"Heh... heh... heh...," dokter Romeo terkekeh-kekeh. "Suster terima kasih," kata Ali Topan.
Suster Mina mengusap bekas suntikan di pantat Ali Topan dengan kapas berakohol lalu ia mematahkanjarum suntik dari tabungnya yang terbuat dari plastik. Lalu ia buang jarum beserta suntikannya itu.
Dokter Romeo mengambil tiga macam obat, yang ia peroleh sebagai contoh dari pabrik obat, dari tasnya, sementara Ali Topan duduk lagi di depannya.
Dokter Romeo merinci obat-obatan tersebut di atas meja. "Yang kemasan perak dan merah ini diminum tiga kali sehari. Yang hijau ini multivitamin, minum dua kali sehari," kata dokter Romeo.
"Terima kasih, Dokter. Berapa saya harus bayar"" kata Ali Topan.
Dokter Romeo menatap wajah Ali Topan. "Untuk
148 seorang anak yang berbakti kepada mamanya, nggak usah bayar. Gratis, okey"" katanya sambil berdiri.
"Terima kasih, Dokter," kata Ali Topan sambil mengulurkan tangannya yang disambut hangat oleh dokter Romeo. Ali Topan berdiri, meraup dan memasukan obat itu ke saku jaketnya. Lalu ia ke luar diikuti suster Mina. "Jaket Anda basah. Kalau mau, ayo kita ke asrama saya. Saya akan meminjami jaket saya," kata suster Mina.
"Anda baik hati sekali, suster... mau memperhatikan saya," kata Ali Topan haru.
"Panggil saja Mina, atau kakak...," kata Cut Mina. "Ayo, kita berjalan kaki saja. Asrama saya di belakang rumah sakit ini," lanjutnya.
Cut Mina mengambangkan payungnya yang bergambar bunga-bungaan berwarna kuning merah. Di bawah payung itu mereka berjalan menyeberangi halaman yang disiram hujan, ke bagian belakan rumah sakit Fatmawati. Hujan makin deras disertai angin kencang. Ali Topan dan Cut Mina terus berjalan. ***
Bulan Juli, minggu pertama.
Hujan mulai berkurang. Ny. Amir sudah pulang ke rumahnya, diantar Ali Topan, minggu lalu. Pak Amir tak di rumah waktu itu. "Mbok mana tahu, Pan. Sudah dua hari bapak ndak pulang," kata Mbok Yem, ketika Ali Topan menilpon ke rumah ayahnya untuk memberi tahu bahwa mamanya sudah boleh pulang.
Untunglah Windy, kakak Ali Topan, pulang. Windy usaishooting film "Setan, Sex, Kemenyan dan Kondom" ia dapat menemani mamanya dirumah.
Windy sudah mendengar d ari Mbok Yem tentang Ali Topan yang meninggalkan rumah. Windy sebetulnya berhati baik, tapi sejak kecil ia tidak diajari budi pekerti
149 yang baik dan tidak dilatih mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah, hingga ia tumbuh jadi gadis bego.
Sejak kecil Windydimanjakan dengan limpahan harta-benda oleh papa dan mamanya. Ia dan Boyke -abangnya- tumbuh dan besar menjadi orang-orang yang berkepribadian lemah, berwatak angkuh dan keras kepala. Mereka sejak kecil dicekoki basa-basi, bukan ketulusan. Mereka khas orang-orang materialis yang hanya menghargai materi, termasuk kalau memandang orang lainnya. Mereka hanya "menghitung" atau menganggap "ada" orang-orang yang kaya. Orang-orang yang miskin tidak dianggap oleh mereka.
Mengapa Ali Topan berbeda" Karena dia dianugrahi watak yang bagus. Dan sejak kecil diasuh oleh Mbok Yem dengan cinta, kasih-sayang yang tulus. Mbok Yem pun melatih Ali Topan membersihkan kamarnya sendiri, mengepel, mencuci piring dan bahkan memasak. Yang lebih penting, si Mbok menyemaikan benih-benih kepercayaan atau keimanan dengan Allah kepada Ali Topan, melalui observasi sederhana tentang berbagai ciptaan Allah yang bisa dilihat, didengar dan dirasai. Tentang langit, bumi, pepohonan, hujan, burung-burung yang terbang berkicau, ikan-ikan dalam akuarium, tentang petir dan guruh, awan yang berarak, buahan dan sayur-mayur. Juga tentang bumi, bulan, bintang-bintang dan matahari. Tentang fajar, siang, senja dan malam hari. Dalam jiwa Mbok Yem ada unsur keibuan dan keguruan yang cocok dengan batin seorang anak yang memang membutuhkan santapan rohani yang sehat.
Siang itu, sehari setelah mengantarkan mamanya pulang dari rumah sakit, Ali Topan berbicara dengan Windy di beranda rumah Pak Amir.
"Pan! Kenapa sih lu"" Gue denger dari Mbok Yem lu
150 nggak mau lagi tinggal di rumah ini. Apa mau lu, sih"" kata Windy dengan nada suara tinggi dan menghakimi.
Ali Topan tak segera menjawab. Ia sejak dulu tak suka cara bicara Windy yang selalu membentak, mengumpat dan tak peduli perasaan orang lain. Dan memvonis tanpa
fakta! "Tega amat lu! Gue rasa mama kecelakaan itu gara-gara mikirin lu! Sadar dong lu!" bentak Windy lagi.
"Eh, monyet! Lu bisa ngomong secara baik-baik apa kaga"" kata Ali Topan.
"Eh! Sialan lu! Ngatain gue monyet! Lu tuh yang kayak monyet! Dasar anak keras kepala! Dari dulu lu begitu! Kagak kena dibilangin!" kata Windy. Matanya membelalak.
"Lu yang keras kepala, ngatain gue keras kepala. Goblok! Lu tuh anak bego, Windy. Kayak Mama, Papa dan si Boyke! Lu orang bego semua," kata Ali Topan.
"Lu yang bego!" kata Windy. Ia menyalakan rokok putih dan menghisapnya. "Sok lu! Ngatain semua orang bego! Yang bego elu! udah enak dirumah, apa-apa ada, malah lu pergi! Kagak mau kuliah! Mau jadi ape lu entar"" lanjutnya.
Windy tak pernah menang kalau ngomong dengan Ali Topan. Ia -dalam batinnya- sejak dulu mengakui kalau adiknya itu memang pake fakta dan logika. Sedangkan Windy hanya mengandalkan statusnya sebagai seorang kakak yang harus dituruti oleh adiknya. Dan ia tahu, Ali Topan tak pernah mau menuruti omongan yang tidak lojik. Tapi Windy, seperti juga orangtuanya, dan orang-orang yang "merasa berkuasa" lainnya, selalu berusaha memaksakan, menekan dan menindas logika.
Bagaimana mungkin" "Gue tau dari kecil lu kagak bisa dibilangin! Tapi
151 sebagai kakak wajib hukumnya bagi gue untuk nasehatin elu!" kata Windy.
"Lu kira elu ngebilangin atau nasehatin gue" Lu tuh dari dulu bukannya ngasih nasehat! Lu cuma nyela, ngumpat, dan memvonis gue. Cara ngomongan lu aje selalu ngebentak-bentak bikin sakit ati gue! Tapi ke orang lain, apalagi kalo ada mau lu, lu bisa ngomong alus, ngerayu... Sadar nggak lu"" kata Ali Topan.
"Udah deh... percuma ngomong sama lu! Kayak ngomong sama tembok!" kata Windy kesal.
"Tunggu dulu... belon tuntas omongan kita. Kan lu kemaren yang minta gue dateng ke sini buat omong-omong. Gue perlu-perluin dateng. Kita ngomong buka-bukaan aje...," kata Ali Topan dingin. "Kalo gue salah lu buktiin di mana salah gue, kalo elu bener lu tunjukin di mana kebenaran lu," lanjutnya.
"Gue cuma pengen tau, kenapa lu perg
i dari rumah ini"! Dan kenapa lu kagak mau kuliah"" kata Windy sambil mengangkat kakinya ke atas meja.
Ali Topan hendak menyepak kaki Windy dari atas meja, tapi tak jadi. Ia merasa ia kini bukan warga rumah orangtuanya. Ia sudah menyatakan ke luar. Ia seorang tamu. Windy pihak yang punya rumah, jadi suka-suka dia menaruh kaki di meja, begitu perasaan Ali Topan.
"Kok lu diem"!" kata Windy lagi.
"Daripada gue berantem sama papa, mendingan gue pergi," kata Ali Topan.
"Itu salah! Lu ngalah dong! Emangnya lu mau ngebuang silsilah, nggak mau ngakuin papa sebagai papa
lu"!" "Eh Wind! Gue nggak pernah ngomong bahwa gue nggak ngakuin papa sebagai papa gue. Itu udah takdir. Jadi elu jangan muter balikin fakta. Gue pergi dari rumah
152 ini karena gue udah muak di rumah ini. Gue tertekan. Batin gue...," kata Ali Topan sedih.
"Itu salah lu sendiri kalo tertekan! Lagian siapa yang menekan lu"! Rumah gede, makan tinggal makan, doku tinggal minta! Lu aje yang kagak mau bersandiwara kayak gue," kata Windy.
"Lu mau jadi gelandangan" Kumpul sama gembel-gembel, preman-preman dan manusia-manusia sampah lainnya"" tanya Windy, sinis.
"Banyak orang-orang rumahan yang jiwanya lebih gembel, lebih preman dan lebih sampah dari orang-orang jalanan Windy...," kata Ali Topan. Ia melayangkan pandangannya ke dalam rumah, lalu berbalik, berjalan meninggalkan Windy yang terdiam.
Ali Topan melewati halaman, menepuk bahu Amin, tukang kebun yang sedang memberi pupuk tanaman. Lalu keluar, berjalan kaki menyusuri jalanan. Ke depan. Ia harus "jadi". "Menjadi" walau tak tahu apa yang terjadi.
Percakapan dengan Windy memunculkan suatu ide yang bagus dalam benak Ali Topan. Ia akan melakukan serangkaian wawancara dengan apa yang dibilangWindy sebagai "manusia-manusia sampah ".
"Omongan kakakku itu aku nilai sebagai tantangan buat kita, Har. Dan juga buat sodara-sodara dan teman-teman kita di jalanan. Omongan itu boleh dibilang mewakili anggapan orang-orang gedongan yang sok, sombong, angkuh dan goblok! Yang mengira makhluk-makhluk di jalanan itu sampah! Bukan orang! Jadi, kita akan buktikan kepada monyet-monyet itu, bahwa orang-orang jalanan itu manusia juga. Dengan segala kekurangan dan kelebihan mereka," kata Ali Topan, mendoktrin Harry.
153 Harry setuju saja. Karena memang dia merasa dengan pikiran-pikiran Ali Topan. Dia merasa naik derajat bekerja sama dengan Ali Topan yang cerdas, sigap dan berani.
Untuk sementara, mereka menjadikan bagian belakang kios Oji sebagai tempat tinggal. Dan mereka menyusun daftar orang-orang jalanan yang akan mereka wawancarai: Oji penjual kembang, Munir penjual suratkabar dan majalah, Tresno pengamen Pasar Kaget.
"Dan satu sohib gue, seorang preman yang udah sadar. Namanya Hasan Dinar, panggilannyaAcang. Dia lulusan Cipinang dan Nusakambangan. Sekarang jadi guru ngaji di kalangan preman," kata Ali Topan.
"Tapi... Pan..., apa redaktur Ibu Kota mau memuat cerita-cerita tentang teman-teman kita itu"" tanya Harry.
"Kita coba aja," kata Ali Topan.
*** Wawancara dengan Fauzi alias Oji dilakukan malam harinya, sekitar jam delapan malam. Sebelumnya, sore harinya, Harry sudah memotret Oji dengan latar belakang bunga-bunga di kiosnya.
"Lu mau nanya apa sih, Pan" Gue jadi malu. Lurah bukan, Camat bukan, pake diwawancarain lagi. Kagak bakal ada yang baca deh. Lu percaya gue," kata Oji, berpura-pura.
"Lu mau kagak" Gue kagak maksa, nih..," kata Ali Topan.
"Ya mauuu...," kata Oji sembari cengengesan.
"Nah, sekarang kita mulai. Lu jawab aje apa yang gue tanya. Pertama, siapa orangtua lu, berapa orang lu beso-dara kandung, siapa nama bini lu, kalau udah punya anak, berapa anak lu, apa pendidikan lu, kapan lu mulai dagang kembang dan kenapa lu milih usaha dagang kembang,"
154 kata Ali Topan. "Atu-atu, Pan. Bingung gue ngejawabnye kalo lu nanya ngeberontot begitu..," kata Oji.
"Itu gambaran umumnya. Nanti gue urut satu persatu pertanyaannye," kata Ali Topan sambil bersiap-siap menuliskan cerita si Oji.
Fauzi alias Oji usia 24 tahun adalah anak ke enam dari sembilan bersaudara anak Pak Fuad, petani bunga di kawasan Rawa Belong, Jakarta Barat. Pendidi
kan formalnya sampai kelas satu SMA. Sejak kecil ia bekerja membantu ayahnya, hingga Oji cukup mengerti urusan perbungaan, utamanya bunga anggrek.
Oji sudah kawin dengan Sanem, perempuan Tegal, beranak dua, namanya Siti Katleya dan Mawar Pagi.
"Cakep nama anak-anak lu, Ji," kata Ali Topan, "Ah, baru lu aje yang bilang nama anak-anak gue cakep, Pan. Waktu gue kasih nama dulu, baba gue, nyak gue, ame permili-permili gue pade nyap-nyap semua. Kate nyak gue, mentang-mentang petani kembang punya anak dinamain nama kembang. Entar layu lu," celoteh si Oji.
"Tapi gue antepin aje. Anak-anak gue, gue bikinnya capek, terserah gue namenye, bener kagak, Pan. Mereka sih pada ngusulin nama-nama perempuan Arab, tapi gue catet aje itu nama-nama. Kagak gue pake," kata Oji.
"Kenape"" sela Harry.
"Alasan gue sih ringkes aje. Supaya anak-anak gue didemenin orang-orang kaya, orang-orang berpangkat, bagaikan... eh bagaikan lagi, kayak kembang anggrek sama kembang mawar yang namenye gue pakein ke anak-anak gue itu.Yang demen beli kembang kan orang-orang kaya ama orang-orang berpangkat, iya kagak" Kalo orang miskin boro-boro beli kembang, beli beras pera iye bakal nangsel kampung tengahnye. Pan kagak
155 lucu kalo gue namain anak-anak gue Beras Pera atau Tales Bogor," kata Oji sembari ngakak.
Ali Topan dan Harry ikutan ngakak terbahak-bahak sampai keluar airmata mereka. Tawa lepas di malam hari itu sungguh menghibur hati, meringankan beban batin Ali Topan.
Sampai 'tuntas' Ali Topan mewawancarai Oji yang ternyata pandai bercerita. Ali Topan mencatat hampir semua cerita tukang kembang yang baik hati itu.
Usai wawancara, sekitar jam sepuluh lewat dua puluh menit malam. "Bakal dimuat apa kagak cerita gue itu, Pan"!" tanya Oji.
"Gue usahain," kata Ali Topan.
"Iya dah, terime kasi, sekarang gue mau pulang dulu ye," kata Oji. Ia merogoh saku celananya, mengambil uang Rp 1.000 dan hendak menggenggamkannya ke tangan Ali Topan. "Ini bakal beli roko ye," katanya.
"Apaan" Kagak perlu!" kata Ali Topan sambil menge-pret tangan Oji. "Wartawan itu kagak boleh terima duit dari orang yang diwawancarai. Gue baru baca peratur-annye," lanjutnya.
"Emang ada peraturannye"" tanya Oji.
"Ada," sahut Ali Topan. "Udah lu pulang aje. Bini lu entar kesemutan kelamaan nungguin elu," sambungnya.
"Iya dah. Salam lekum," kata Oji sambil berjalan ke depan kiosnya.Ali Topan dan Harry membalas salam itu.
Tak lama kemudian terdengar suara mesin motor Honda CB 100 dinyalakan Oji."Gue cabut, Paan!" teriak
Oji. "Yei!!" balas Ali Topan.
Suara sepeda motor yang dikendarai Oji memecah kesunyian malam, dan segera menjauh. "Dahsyat juga kisah si Oji, Pan. Mudah-mudahan
156 redaktur Ibu Kota mau memuatnya," kata Harry.
"Mudah-mudahan...," kata Ali Topan.
Bayangan bulan bergerak di permukaan danau kecil Blok C yang dikelilingi kios-kios bunga. Teratai-teratai putih dan ungu bermekaran mengambang.
157 DUA BELAS Sekitar jam setengah delapan pagi Ali Topan dan Harry sudah berada di kios Munir. Harry langsung memotret kesibukan Munir menata majalah dan surat-surat kabar di rak kiosnya.
"Tumben-tumbenan kalian datang pagi. Dan lantas main jeprat-jepret tanpa omong. Mau dimasukin suratkabar," kata Munir.
"Iya, Nir. Kami mau wawancarai kau. Tentang perjuangan kau sebagai penjual majalah dan suratkabar," kata Ali Topan.
"Aah... nggak perlulah! Seperti apaan aja. Aku tak mau," kata Munir. "Baru bikin berita sekali saja gaya kalian sudah seperti wartawan-wartawan kawakan. Pagi-pagi sudah cari mangsa. Aku lagi yang mau dijadikan mangsa hah hah hah," lanjut Munir.
"Tolonglah, Nir... Aku dan Harry baru mulai menapak karir, nih. Kami bersepakat menuliskan kisah-kisah orang-orang jalanan. Kemarin kami sudah mewawancarai Oji, kawanku yang buka kios bunga di Blok C," kata Ali Topan.
"Aku tak mau. Titik. Kalian cari mangsa yang lain saja," kata Munir. "Kalau kau mau baca suratkabar atau majalah seperti biasanya, baca saja, Pan," lanjutnya."Kau kira aku artis yang haus publisitas.Aku tak berminat jadi orang terkenal, Pan. Sorry," lanjutnya lagi.
"Serius, nih"" tanya Ali Topan.
"Kapan aku main-main" Seperti bar
u kenal aku sebulan dua bulan saja kau," kata Munir.
158
Ali Topan Wartawan Jalanan Karya Teguh Esha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau bilang kemarin aku hebat dan kau semangati aku berjuang terus, tapi sekarang kau menolak aku wawancarai. Nggak klop dong omongan dengan tindakan lu," kata Ali Topan.
Munir menghentikan kegiatannya mengatur majalah dan suratkabar. Ia menatap Ali Topan. "Nggak klop gimana" Kau jangan bikin aku tersinggung, Pan!Aku ini sarjana pendidikan tamatan Universitas Medan Area, maka aku tahu kalau kegiatan tulis menulis itu sangat penting untuk mencerdaskan suatu bangsa! Aku sendiri tak bisa menulis, maka ku bilang kau hebat... Dan aku sepenuh hati mengatakannya. Aku turut gembira, bangga, bahagia kau ternyata bisa menulis dan tulisan kau dimuat di suratkabar! Kau sudah aku anggap sebagai adikku sendiri .Aku kenal kau. Kau anak baik, kau cerdas, dan semangat juang kau tinggi. Maka aku semangati kau supaya maju terus sampai benar-benar mencapai sukses! Sukses buat kau sendiri, sukses buat beratus-ratus juta rakyat yang selama ini dibodohkan oleh orang-orang bodoh di negeri kita ini. Paham kau"" kata Munir.
Ali Topan terdiam. Ia selalu terkesan pada Munir. Nasionalis.
"Soal aku tak mau kau wawancarai itu soal lain. Tak ada hubungannya dengan dukunganku sama kau! Kau tahu alasanku"" lanjut Munir.
"Ia menyodorkan sebatang rokok ke Ali Topan dan menyalakan korek apinya untuk Ali Topan.
"Apa alasan kau"" kata Ali Topan setelah menghisap beberapa hisapan asap rokok.
"Bapakku mau aku jadi politikus. Dia itu orang PNI, Partai Nasionalis Indonesia yang sudah dibubarkan pemerintah karena tak mau bergabung dengan PDI, Partai Demokrat Indonesia bikinan Pemerintah. Dia mau aku
159 yang masuk PDI untuk membawakan aspirasi-aspirasi orang-orang nasionalis.Aku tak mau, karena aku merasa tak cocok sama politik. Buat aku, politikus sudah gagal membawa rakyat dan bangsa ini ke arah kemajuan. Berapa banyak politikus, tapi bangsa kita masih bodoh saja! Aku lebih percaya kepada profesi guru, pendidik. Aku bercita-cita mendirikan sekolah, tapi nasib bicara lain. Aku terdampar di ibukota, dan jadi penjual suratkabar dan majalah. Nah, kalau kau wawancara aku dan dimuat di suratkabar, maka akan ada dua orang yang tertikam perasaannya. Aku dan bapakku di Siantar sana. Mengerti kau"" kata Munir.
Ali Topan mengangguk. "Aku mengerti. Tapi aku menolak alasan yang tidak tepat itu," kata Ali Topan.
"Haah" Apa kau bilang"" Munir tampak heran.
"Tadi kau bilang, banyak politikus tapi rakyat masih bodoh. Tapi kau lupa, banyak juga guru di Indonesia, bangsa kita pun masih tolol. Kesimpulannya, para politikus dan guru-guru yang banyak itu sama-sama gagal mencerdaskan rakyat," kata Ali Topan.
Munir ternganga. "Iya juga ya," katanya. "Hebat kau. Kritik kau mengena," lanjutnya.
"Udahlah, jangan menghebat-hebatkan aku. Aku biasa-biasa aja. Normal. Sewajarnya. Tapi... di jaman abnormal dan tidak wajar ini, orang-orang yang normal dan wajar tampak hebat. Nah, kembali ke soal tadi.Terlau mengada-ada kalau perasaan kau dan bapak kau tertikam hanya karena pandangan kau dimuat di suratkabar. Itu cengeng namanya. Sedangkan lu sendiri ngebilangin gue supaya jangan cengeng...," kata Ali Topan.
Munir menggaruk-garuk kepalanya. "Yaah, terserah lu deh...," katanya sambil melanjutkan kerjanya.
"Jadi gue tulis omongan kita tadi ya""
160 "Kau aturlah bagaimana baiknya," kata Munir sambil menunjukkan jempol tangan kanannya.
"Makasih, Nir," kata Ali Topan. Ia memandang Harry yang tampak leg a ."Kita langsung ke Priok, Har, ke rumah Hasan Dinar," lanjutnya.
"Kau aturlah bagaimana baiknya," kata Harry meniru omongan Munir. Ali Topan dan Munir tertawa mendengarnya.
"Nir, kami cabut dulu. Horas!" kata Ali Topan.
"Horas!" sahut Munir.
Ali Topan dan Harry bergerak ke arah terminal biskota yang berjarak sekitar dua ratus meter sebelah Barat laut Pasar Melawai.
Langit cerah. Manusia berjubel, berjalan dengan wajah tegang, runyam dan tertekan seperti tentara-tentara kalah perang...
*** Mereka naik bis PPD jurusan Pasar Senen, Jakarta Pusat, dan dari sana nyambung lagi naik biskota ke terminal Tanjung Priok di Jakarta Utara. Dari situ naik oj
ek sepeda ke arah Cilincing di arah timur. Di situlah Pasar Uler, tempat pedagang blue jeans, sepatu dan barang-barang bawaan para kelasi luar negeri yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok.
Panas. Banyak manusia berbagai ras. Sibuk. Menggairahkan. Itulah suasana khas pelabuhan laut di mana-mana.
"Ini kawasan sangar. Mata jangan jelalatan, berjalan musti mantap tapi muka jangan tegang," bisik Ali Topan kepada Harry yang baru pertama kali kekawasan itu.
"Hasan Dinar buka kios kecil di belakang sana," lanjut Ali Topan. Ia berjalan beberapa langkah di muka. Harry
161 berjalan perlahan sambil memotret ke arah Ali Topan yang berjalan sigap di antara jubelan manusia yang menyesaki lorong-lorong kecil di Pasar itu.
Tiba-tiba seseorang bertubuh kurus, berpeci, menerjang Harry hingga terjengkang. Tustel Canonnya mengenai tubuh seseorang di belakangnya.
"Mau apa di sini" Kamu espe ya!" hardik si penerjang sambil menodongkan pisau badik ke arah jantung Hary yang tergeletak di lorong itu.
"Bunuh saja, Daeng!" teriak seseorang.
Harry terbelalak, gemetar ketakutan. Orang-orang mengerumuni dia. Seseorang menginjak kakinya, seseorang lainnya merampas tustelnya. Harry mengira dirinya bakal mati terbunuh tanpa tahu sebab-musababnya.
"Berhenti! Dia kawan saya! Dan saya saudaranya Daeng Acang!" Suara Ali Topan menghardik orang-orang yang mengerumuni Harry. Mereka semua melihat ke Ali Topan yang muncul di antara kerumunan orang.
"Siapa kamu"" kata si orang berbadik sambil menorehkan badiknya ke baju Harry, hingga baju di bagian dada Harry robek!
Ali Topan menatap tajam orang berbadik dan orang yang tadi menginjak kepala Harry. Pandanganya kuat berwibawa.
"Saya Ali Topan! Saya minta maaf kalau kawan saya melakukan kesalahan di sini!" kata Ali Topan tegas.
"Kamu apanya Daeng Acang"" tanya orang berbadik yang telah menyimpan badiknya di sela pinggang celananya.
"Dia sodara saya, Daeng Zaenal," kata seseorang berperawakan tinggi, kurus, berwajah ke arab-araban yang keras.
162 "Maafkan saya DaengAcang. Saya kira orang ini espe. Dia bikin foto-foto di sini tadi," kata Daeng Zaenal, si orang berbadik itu.
Ali Topan mengulurkan tangannya dan melangkah ke Daeng Zaenal. "Sekali lagi saya mintakan maaf untuk Harry, kawan saya ini. Dia baru belajar foto. Dia bukan espe," kata Ali Topan.
Daeng Zaenal menjabat tangan Ali Topan dengan hangat. Keberingasan wajahnya hilang berganti wajah persaudaraan. Ali Topan memeluk Daeng Zaenal, lalu mengulurkan tangannya ke orang Ambon yang tadi menginjak kepala Harry.
"Beta juga minta maaf," kata orang Ambon yang tubuhnya tinggi, besar, dan lengan kanannya dipenuhi tatto. "Nama beta Willem Siwabesi. Kalau ale Daeng Ali sodara Daeng Acang, maka ale beta punya sodara juga," lanjutnya. Ali Topan mengangguk-angguk, sambil memandang Harry yang berdiri culun di sebelahnya.
"Damai, Har.Maapin, mereka salah paham," kataAli Topan.
"Beta minta maaf, Bung," kataWillem Siwabesi sambil menjabat tangan dan memeluk Harry. Daeng Zaenal pun minta maaf, menjabat tangan dan memeluk Harry.
Seseorang memberikan tustel Canon ke Harry. "Hampir saja pindah tangan tustelnya," kata orang yang badannya gemuk, pendek dan kepala botak. Semua yang hadir di situ tertawa.
Ali Topan menggandeng Harry, menghampiri Daeng Hasan Dinar. "Salam alaikum, Daeng Hasan," kata Ali Topan. Daeng Hasan membalas salam itu dengan wajah ramah dan memeluk Ali Topan.
"Har, kenalkan abang ogut, Daeng Hasan," kata Ali Topan ke Harry. Harry mengulurkan kedua tangannya ke
163 Daeng Hasan. Ia pun dipeluk oleh Daeng Hasan. Lalu mereka bersama-sama ke kios Daeng Hasan.
Kios itu berupa bangunan dari papan berukuran dua kali tiga meter persegi. Atapnya dari sirap Kalimantan. Tiga sisi dinding ruangnya -kiri, kanan dan belakang- berfungsi pula sebagai rak-rak tempat, berslof-slofrokok 555, John Player Special dan Benson & Hedges; tas-tas samsonite dan tas-tas kulit wanita; celana-celana dan jaket blue jeans merk Lee dan Levi's; sepatu-sepatu bikinan Itali; baju-baju dan barang-barang luar negeri lainnya.
"Situasi negara saat ini sedang tegang. Gerakan-gerakan mahasiswa anti-koru
psi, anti hutang luar negeri dan antiABRI marak di mana-mana. Intel-intel berkeliaran, termasuk di kawasan Priok, khususnya di Pasar Uler sini yang dicurigai menjadi tempat barang-barang selundupan. Maka tadi itu, ketika Harry mempoto lantas dianggap espe oleh Daeng Zaenal. Itu pelajaran penting kalau memasuki daerah yang baru pertama kali di datangi," kata Daeng Hasan. "Untung Daeng Ali... he he he." Daeng Hasan tertawa geli.
Ali Topan tersenyum lebar. "Gara-gara peristiwa tadi saya dapat ceplosan nama Bugis dari orang Ambon. Daeng Ali... boljug," kata Ali Topan.
"Nokam itoku pantokes bakal loku, Pan... Kudoku diselokamin. DaengAli... DaengAli... he he he he... Ento-kar malokem kokit selokaman, Pan," kata Daeng Hasan.
"Yei, bang. Trimkokas," kataAli Topan sambil mengulum senyum.
Harry -yang rasa kaget dan ngerinya belum sirna- cuma diam saja. Ia sungguh merasa seperti baru terbangun dari mimpi buruk.
Singkat cerita, malam harinya, Daen Hasan
164 menyelenggarakan acara"selamatan" untuk pengukuhan nama Daeng buatAli Topan di rumah makan Makassar di ujung Pasar Uler. Daeng Zaenal, Willem Siwabesi dan beberapa tetua Bugis, Makassar, Ambon, Banten, Madura, dan pentolan-pentolan warga Tanjung Priok lainnya hadir atas undangan Daeng Hasan. Jumlahnya sekitar lima puluh orang, hingga Daeng Yusuf, pemilik rumah makan "Bugis Makassar" menggelar tikar dan suratkabar bekas di jalanan depan rumah makannya untuk duduk para undangan.
Para undangan itu umumnya memakai pakaian daerah masing-masing.
Daeng Hasan duduk bersila bersamaAli Topan, Harry, Daeng Zaenal, dan Willem Siwabesi di atas tumpukan papan-papan kayu yang disusun, menjadi pentas, di tengah ruang.
"Salamu alaikum Saudara-saudara, Bapak-bapak para tetua Bugis, Makassar, Banten, Madura, Irian, Aceh, Palembang, Riau, Minang, Batak, dan warga Priok yang terhormat. Terima kasih atas kehadiran Saudara-saudara dan Bapak-bapak sekalian memenuhi undangan saya.
Sebelum bicara lebih lanjut, saya perkenalkan dulu adik batin saya yang bernama Ali Topan," kata Daeng Hasan di awal acara.AliTopan berdiri dan membungkukkan tubuhnya ke arah para hadirin yang menyambutnya dengan tepuk tangan riuh.
"Dan seorang lagi, sahabatnya yang bernama Harry," lanjut Daeng Hasan. Harry pun berdiri dan membungkukkan badan ke arah para hadirin, yang disambut juga dengan tepuk tangan riuh.
"Tadi siang ada peristiwa salah paham kecil yang alhamdulillah akhirnya menjadi perdamian dan persaudaraan. Tadi siang itu, adik saya Ali Topan dan Harry
165 yang baru jadi wartawan datang dengan maksud mewawancarai saya untuk di muat di suratkabar. Harry yang suka memotret, telah memotret kesibukan di Pasar Uler tadi siang. Daeng Zaenal menyangka Harry itu espe yang mau memata-matai kita, sehingga Daeng Zaenal dan bung Willem Siwabesi marah.
"Alhamdulillah salah paham itu telah selesai. Saudara Ali Topan yang pernah menyelamatkan diri saya dari kejaran aparat waktu saya masih dinas aktip sebagai perampok bank, bertindak bijak," kata Daeng Hasan yang disambut tepuk tangan riuh.
"Bagaimana ceritanya, Daeng"" tanya seorang tua berbusana hitam-hitam. IaTubagus Rahmat, tetua Banten di Priok.
"Seperti dalam pilem, Ki Tubagus Rahmat... seperti dalam pilem," kata Daeng Hasan. Ia memandang Ali Topan dan menepuk-nepuk lengan Ali Topan.
"Waktu itu.., dua tahun yang lalu.. saya bersama partner saya merampok bank di Pasar Mayestik, Kebayoran. Kami berhasil, tapi begitu keluar dari bank itu, ada orang yang berteriak rampok, rampook! Pas di dekat bank ada patroli gabungan. Kami dikejar. Saya lari masuk Pasar dan keluar di jalan belakang pasar. Dua aparat dan orang-orang mengejar. Saya ditembakin, tapi Tuhan masih melindungi. Pelor aparat cuma menyerempet paha saya.
"Di saat genting itu, ada anak muda gondrong naik motor pelan. Saya melompat ke boncengannya dan saya bilang, tolong saya, tolong saya! Nggak pake nanya lagi, anak muda itu ngegas motornya, menyelamatkan saya, lolos dari kejaran aparat," tutur Daeng Hasan. Para hadirin bertepuk tangan riuh lagi.
"Yang saya salut, si anak muda penyelamat itu, menge166
butkan motornya melawan a
rus lalu lintas. Dia mengambil jalan-jalan tikus sampai ke perkebunan karet di daerah Parung. Di Parung, saya ditampung oleh seorang saudara. Dan anak muda penyelamat itu, yaituAli Topan ini, kembali ke Jakarta!" kata Daeng Hasan.Tepuk tangan riuh menggema di rumah makan itu.
Daeng Hasan memelukAliTopan. Laluiamelanjutkan "pidatonya". "Kembali ke acara malam ini... Tadi siang sewaktu terjadi peristiwa salah paham, Ali Topan mengatakan bahwa ia adalah saudara saya. Bung Willem Siwa-besi menyangka dia orang Bugis, sehingga dia memanggil Ali Topan dengan daeng. Daeng Ali."
Para hadirin bertepuk tangan lagi. Willem Siwabesi tersenyum lebar. "Soalnya dia bilang doi sodara Daeng Hasan, Jadi beta kira doi orang Bugis. Beta panggil doi Daeng Ali...," kata Willem Siwabesi. Para hadirin tertawa.
"Ya, ya.. di Priok sini kita semua saudara. Saudara batin, saudara hati. Saudara darah bisa berdarah-darah, tapi saudara batin atau saudara hati kita saling menyayangi dan mengasihi, setuju Bapak-bapak, Sudara-saudara"" kata Daeng Hasan.
"Setujuuuu!!" sahut para hadirin diiringi tepuk tangan riuh lagi.
"Nah, saya rasa nama Daeng yang diberikan oleh saudara kitaWillem Siwabesi kepadaAli Topan perlu disela-mati. Ini peristiwa langka. OrangAmbon beri nama daeng yang khas panggilan orang Bugis kepada anak muda dari Jawa. Dan Ali Topan suka dengan panggilan daeng itu. Nah, Bapak-bapak dan Saudara-saudara sebangsa setanah air, malam ini, saya Daeng Hasan bin Muhammad Isa, dengan mengucapkan Bismillahitohmanirrohim mengukuhkan panggilan
167 daeng buat penyelamat saya Ali Topan. Mulai hari ini kita panggil doi Daeng Ali!" kata Daeng Hasan yang disambut gemuruh tepukan tangan para hadirin.
Daeng Hasan menjabat tangan Ali Topan, diikuti Willem Siwabesi, Daeng Zaenal, Harry, para tetua suku dan hadirin lainnya.
Kemudian, acara selamatan yang menakjubkan malam itu dilanjutkan dengan acara makan Coto Makassar dan hidangan khas Bugis yang menakjubkan.
Usai acara, sekitar jam sepuluh malam, Ali Topan dan Harry diberi masing-masing celana dan jaket bluejeans oleh Daeng Hasan. Dan masing-masing ransel US Marine dari Wllem Siwabesi. Sedangkan Daeng Zaenal memberi masing-masing sepatu kets dan baju putih Arrow, khusus untuk Harry, Daeng Zaenal memberi badiknya.
Daeng Yusuf, ketua warga Bugis-Makassar, memberi badik dan kain sarung tenunan Bugis untuk Ali Topan. Julius Raweyai, ketua warga Papua memberi koleka dan tameng Papua. Sutan Ahmad, ketua warga Minang memberi buku resep makanan masakan Padang. Edwin Sigarlaki, ketua warga Menado memberi sambal ikan Roa, makanan khas Menado yang lezat. Pak Nuzur, ketua warga Riau memberi buku riwayat raja-raja Melayu tulisan tangannya. Rampan Borneo, ketua warga Dayak -Kalimantan, memberi sekeranjang obat racikan dari akar dan tumbuhan hutan.
Ki Tubagus Rahmat memberi sebuah cincin perak bermata batu zamrud. Tubagus Rahmat meloloskan cincin yang ia pakai itu ke jari manis Ali Topan. Pas. "Cincin ini pemberian uwak saya almarhum Tubagus Salam Hidayatullah, seorang jawara yang memimpin perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang di
168 Ujung Kulon. Di bagian dalamnya ada ukiran kalimat Tauhid, Syahadat La ilahailla Allah yang artinya Tidak ada sembahan kecuali Allah. Pakailah cincin ini untuk kebaikan. Dan yang lebih penting, camkansyahadah atau satu kesaksian yang haq itu dalam dirimu," fatwa Tubagus Rahmat.
Teuku Aziz, ketua warga Aceh memberikan sejilid Buku Al Quran dengan terjemahan BahasaAceh. "Kitab ini diwahyukan oleh Allah Robbal alamin kepada Muhammad Rosul Allah dan Pengkhotam para Nabi, sebagai Petunjuk untuk manusia. Kalau kau manusia, gunakan Al Quran sebagai Petunjuk keselamatanmu di dunia dan akhirat, Daeng Ali," kata Teuku Aziz dengan suara yang lembut menyejukkan kalbu.
Jam sepuluh lewat sembilan belas menit malam, Ali Topan dan Harry pamit. Willem Siwabesi dan Daeng Zaenal mengantarkan mereka naik sepeda motor sampai ke kios Oji.
Malam itu bintang gemintang berkedip-kedip di langit nan cerah. Bulan menjelang punama raya. Kelelawar-kelelawar besar terbang bagaikan bayang-bayang.
Kolam Blok C tenang. Teratai-teratai ungu, putih dan merah muda bermekaran. Jengkrik dan belalang malam menyuarakan kebebasan.
AliTopan mandi di sumur kecil di pinggir kolam. Harry meniup harmonika memainkan lagu Bob Dylan : The times there are changing...
*** Seminggu kemudian, tulisan Ali Topan tentang Oji, Munir dan "peristiwa" salah paham yang berakhir perdamaian serta pemberian nama Daeng, berturut-turut selama tiga hari dimuat oleh Harian Ibu Kota. Seri tulisan itu diberi judul "Rakyat Jalanan" oleh GM, sang Redak169
tur Pelaksana. "Tulisanmu ekspresif, kadang impresif, dan berani menggunakan ungkapan-ungkapan khas jalanan. Boleh juga. Relatif original, baik gagasan maupun penyampaiannya," kata GM, si Redpel pada hari pemuatan artikel pertama dari seri tersebut. "Tidak mudah memperjuangkan artikel serimu itu, Ali Topan. Ada juga yang menentang dalam Rapat Redaksi kemarin. Khususnya beberapa reporter muda yang mungkin merasa mendapat pesaing dan dua wartawan senior yang beranggapan kamu terlampau cepat diberi peluang hingga kamu bisa merasa besar kepala," lanjut GM.
"Terima kasih, Pak," kata Ali Topan terharu oleh dukungan yang diberikan GM. "Mudah-mudahan saya tau diri, nggak ge er," lanjutnya.
"Pemimpin Redaksi kirim pesan, apa kalian mau melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Kewartawanan. Beliau punya yayasan yang dapat memberi beasiswa,"
kata GM. Ali Topan melihat ke Harry. "Gimana, Har"" tanyanya.
"Daeng Ali gimana"" Harry balik bertanya.
Si Daeng Ali tersenyum. Ia memandang wajah GM. "Kami memasuki kewartawanan tanpa melalui Sekolah Tinggi. Maka biarlah kami menjadi wartawan dengan cara jalanan. Sekolah kami di jalanan," kata Ali Topan.
"Baik, kalau itu sudah menjadi pilihan kalian."
"Sampaikan salam dan terima kasih kami kepada bapak Pemimpin Redaksi dan seluruh teman yang bersimpati," kata Ali Topan.
"Insya Allah, Daeng Ali," kata GM sambil tersenyum dan menjabat tangan dua anak jalanan itu erat-erat. Dan GM menyuruh mereka terus mewawancarai orang-orang jalanan.
170 TIGA BELAS Langit kelam. Udara mulai kerontang. Pasar Kaget jam sepuluh malam. Ali Topan dan Harry minum Ovaltine dan makan roti bakar di kios Edos. Mereka akan mewawancarai Tresno dan Surman, dua pengamen Pasar Kaget yang sering tidur di Gelanggang Bulungan.
Mereka bisajuga mengarang lagu-lagu balada bertema cinta dan sebagainya. Ali Topan pernah menuliskan beberapa syair untuk lagu-lagu mereka.
Tresno itu arek Malang, usianya 22 tahun. Ia pernah kuliah sampai tingkat II di Sekolah Tinggi Hukum di Malang. Perawakannya tinggi besar, suaranya lembut, wajahnya keras, hatinya baik. Sedangkan Surman anak Cirebon, tamatan STM. Usianya 21 tahun, tinggi kurus, suka ngebodor, dan suaranya bariton. Mereka sangat berharap jumpa pemandu bakat di Pasar Kaget yang mau membawa mereka ke produser rekaman kaset. Sudah tiga tahun mereka di Jakarta, tapi harapan tersebut belum menjadi kenyataan.
Tresno dan Surman sedang menyanyikan lagu di kios bubur ayam Hens sekitar lima belas meter dari kios rotbak tempat Ali Topan dan Harry duduk. Mereka berdua tersenyum melihat Ali Topan dan Harry.
Lagu cinta usai dinyanyikan oleh Tresno dan Surman. Para pemakan bubur ayam memberi Rp 50 kepada mereka Surman. Lalu duo Pasar Kaget itu berjalan ke kios Soto Betawi di samping roti bakar. Seorang lelaki berambut cepak yang sedang makan soto segera mengusir Tresno dan Surman. "Jangan mengganggu
171 orang makan!" katanya dengan mata tak enak.
"Kami juga nyari makan, Mas...," gerutu Surman. Sambil berjalan ke kios Sate Padang di sebelah kios bubur ayam.
"Apa kamu bilang"" hardik lelaki berambut cepak itu sambil berdiri. Temannya yang juga berambut cepak menarik tangannya, hingga lelaki itu duduk kembali. "Anak ngamen saja kok diladeni," kata temannya.
Tresno memetik gitarnya. Surman mengangkat ukulele yang diarahkan keAliTopan. "Dines malem dulu, Pan !," kata Surman.
Ali Topan melambaikan tangan ke arah Surman.
Ia agak tertegun ketika pandangannya beradu dengan pandangan seorang lelaki RPKAD yang menengok ke arahnya dari kios sate Padang itu. Lalu lelaki itu melanjutkan makannya.
Surman bicara. "Selamat
malam saudara-saudara sebangsa setanah air. Saya Surman van Cirebon dan kawan saya Tresno Ngalam akan menghibur Anda," katanya dengan semangat.
"Kami akan menyanyikan satu lagu yang syairnya ditulis oleh kawan saya Ali Topan yang sedang makan roti bakar. Judul syairnya Indonesia Kaya. Melodi lagunya adalah refrein lagu Indonesia Raya karya WR. Supratman. Lagu ini mau diusulkan menjadi lagu kebangsaan he... he... he.. Selamat mendengarkan he he he," celoteh Surman
Lelaki berambut cepak di kios bubu ayam menengok ke Surman. Yang ditengok mulai menyanyi:
Indonesia kaya katanya siapa
tanahnya airnya punya siapa
Indonesia kaya yang kaya siapa
rakyatnya kok makin miskin saja...
172 Indonesia kaya kok banyak hutangnya Katanya Indonesia Kaya...
Demikianlah saudara-saudara sebangsa dan setanah
air" "He! Kamu subversib ya!" lelaki cepak berteriak dari tempat makannya sambil menuding Surman. Orang-orang di sekitar situ memusatkan pandangan mereka ke lelaki yang segera berdiri dan berjalan menghampiri Surman. Lelaki itu mencengkeram lengan Surman. "Kamu mau makar ya"" katanya.
"Mbakar apa, Pak"" kata Surman dengan muka bloon.
"Jangan banyak omong! Ayo ikut saya!" lelaki cepak itu menarik lengan Surman. Tapi Surman bertahan.
"Ini orang ngapain siih"" kata Surman sambil berusaha melepaskan cengkeraman orang itu.
Ali Topan melihat adegan itu.
"Kayaknya akan ada setori, Har," kata Ali Topan sambil bangkit dan bergegas menghampirii Surman. Harry menyusul sambil menyiapkan tustelnya.
"Ada apa, Sur"" tanya Ali Topan.
"Nggak tau nih, tiba-tiba orang ini marah-marah"
"Kamujangan ikut campur!Atau kamu saya bawajuga, mau!" hardik oknum cepak itu.
"Urusannya apa dulu nih" Kawan saya ini salah apa sama Anda"" tanya Ali Topan.
"Urusan belakangan! Sekarang kalian ikut saya!" kata orang itu.
"Lho anda ini siapa kok main bawa orang"" kata Ali Topan. Harry memotret adegan itu.
"Saya intel! Kamu mau apa" Ayo ikut semua!" Orang itu membuka jaketnya dan menongolkan sepucuk pistol kaliber 35 mm yang tergantung di dadanya. Lalu, dengan
173 kasar ia menarik Surman dan Tresno.
AliTopan berbisik ke Harry: "Kamu lekas cabut, Har... cuci filmnya, dan ganti dengan film baru. Aku mau mendampingi Surman dan Tresno..."
Harry segera pergi. Ali Topan menyusul oknum yang membawa Surman dan Tresno ke luar dari Pasar Kaget. Lelaki berbaret RPKAD di kios sate Padang memandangi kepergian Ali Topan. "Ogut suka ngelokit tongkrongan na'ak itoku," katanya kepada seorang gadis cantik yang duduk di sebelahnya.
*** Surman, Tresno dan Ali Topan dibawa naik jip Toyota Kanvas oleh dua lelaki cepak yang mengaku intel itu ke markas Kodim di jalan Hang Lekir. Bangunan markas itu bertingkat dua. Temboknya bercat putih, yang sebagian plesterannya bocel-bocel dan berlumut. Suasananya angker. Beberapa orang berpakaian tentara maupun sipil memperlihatkan wajah dan sikap kaku ketika Surman, Tresno dan Ali Topan turun dari jip yang membawa mereka.
"Pak... kalau saya salah saya minta maaf, Paaak..," rengek Surman dengan mimik ketakutan. "Ampuun, Paak.. saya jangan dikerangkeng," lanjutnya.
"Tak usah minta ampun!" kata oknum cepak itu sambil mendorong Surman dan Tresno ke pintu markas.
"Maling ayam, ya"" tanya seseorang berpakaian tentara yang duduk di meja piket dekat pintu masuk ruang depan markas itu.
"Kasus subversib! Mereka coba-coba bikin makar di Blok M," kata intel yang membawa anak-anak jalanan itu.
"Wah, kita karungi saja," kata si petugas piket.
174 "Pral, masukkan ke kamar kelas tiga kawanan preman jalanan ini, biar mereka istirahat dulu. Besok baru kita periksa," kata seorang kekar berkaos oblong putih yang pangkal lengannya bertato laba-laba.
"Kalian ikut saya!" katanya kepada Surman, Tresno dan Ali Topan. Kopral itu membawa mereka ke satu kamar berukuran tiga meter persegi yang berterali besi.
Ali Topan, Surman, dan Tresno dimasukkan ke dalam sel tersebut, lalu pintu sel itu digembok dari luar. "Sudah banyak orang yang mati di kamar ini," kata si kopral, dengan ekspresi kaku.
Surman menggerutu dengan dialek Cirebonan, "Ghara-ghara syair lagu kebangsaan lu... kitajadi appess,
P an... " "Aah... soal apes itu kan karena suara lu aja sember waktu lu nyanyiin lagu itu," kata Ali Topan kalem.
"Wah, shuara oghut sudhah khayak Rulhing Setun dibhilang shember, On. Buktinya oghut nghamhenin laghu-laghu lhaen khok nggha dhithangkhep. Inhi sudhah pasthi ghara-ghara syahir lhu," gerutu Surman lagi. "Ghua shampe dibhilang shubvershib khan bherat, yha On" lanjutnya. Ia memanggil On sebagai balikan No dari nama Tresno. Bahasa walikan, pengucapan terbalik kata-kata khas arema-arek Malang, suatu kota di Jawa Timur.
Tresno diam. "On... jhawhab dhong perthanyaan ghua. Shubvershib ithu bherat yha"" Surman menanya lagi sambil menowel lengan Tresno.
"Embuh, Sur. Ayas kadit itreng" kata Tresno.
"Khitha bhisa dikharungin, On...," kata Surman menowel lengan Ali Topan. "Lhu yhang thangghung jhawab yha."
175 "Maksud lu"" tanya Ali Topan kesal.
"Lhu ajha yhang dikharungin," kata Surman.
"Mana karungnya" Bawain sepuluh trok, entar gue borongin ke tukang loak Taman Puring," kata Ali Topan.
"Inhi anhak ghimanha shiih" Oghut nghomang sherius kok mhalah bhecandha bhae..," gerutu Surman.
Ali Topan memandangi wajah Surman yang kayak bebek. "Sur! Daripada lu ngegerutu, mendingan kita nyanyi lagu Didalam Bui Koes Bersaudara. Suasananya pas banget. Kalo lu sama Tresno jadi penyanyi top nanti, lu bisa ceritain kalo diwawancarain wartawan bahwa lu pernah nyanyiin lagu itu di dalam bui beneran," kata Ali Topan.
"Nghomhong shamha lhu nggha mudheng ghua," gerutu Surman. "Orhang dibhui bhukhannya prihathin khok mhalah ngajhak nyhanyhi. Shushunan othak lhu ithu ghimanha shih. Gimhanha menurhut lhu, On."
"Bener iku. Wis kita nyanyi ae bareng-bareng timbang dicokoti lamuk. Subversib opo subversob dudu urusan awak-awak, Rek. Ayo, Pan digetno pisan ceke rame" kataTresno. Ia mengambil gitarnya, lau memainkan lagu Didalam Bui karya Tonny Koeswoyo yang ia tulis ketika ia dan adik-adiknya yaitu Nomo, Yon, dan Yok Koeswoyo dibui di masa "Orde Lama" karena menyanyikan lagu-lagu rock and roll yang dibilang musik ngak ngik ngok oleh penguasa.
"Kon suworo ijis ayas suworo orol, Pan," kata Tresno. "Sur, kon nekwedi menengo ae, gak usah kolem-kolem," lanjutnya kepada Surman.
"Yha ngghak bhisa beghitu dhong. Dibhuinyha sham-ha-shamha, nyhanyhinyha yha shamha-shamha. Taphi kalho dhikharunghin lhu berdhua aja yha," kata Surman sambil memetik senar ukulelenya.
176 Dan mereka pun bernyanyilah :
Waktu ku di dalam bui Ku bersedih dan bernyanyi Di malam sunyi...
Ibu dan ayah menanti berdoa setiap hari aku kembali... Walaupun diriku dikurung selalu
Tetapi aku ingat selalu Tuhanku.
Kuncikan semua pintu Matikan semua lampu Kamar kurungku Hatiku kan tetap tenang Karena ada sinar terang dari Tuhanku...
Usai mereka nyanyikan lagu itu, tiba-tiba lampu sel mereka padam. Dan terdengar teriakan si kopral, "Ayo nyanyi teruus! Lagu-lagu Koes Bersaudara ya! Kalau berhenti saya karungi kalian!" Lampu sel menyala lagi.
Wah! Ali Topan dkk kaget gembira.
"Apa ogut bilang " Tentara sekarang kan lagi setres semua. Jadi perlu kita hibur..," kata Ali Topan.
"Lho kok malah berhenti "" kata si kopral yang mendatangi mereka sambil melemparkan sebungkus rokok Dji Sam Soe lewat terali besi. "Komandan suka lagu-lagu Koes Bersaudara dan Koes Plus.Ayo nyanyi lagi!" lanjutnya.
"Makasih, Kapten !" kata Ali Topan
177 "Lho kok malah pangkat saya dinaikkan" Sontoloyo kamu. Memangnya kamu komandan saya... Ayo lekas menyanyi!" katanya dengan nada riang.
Mereka pun menyanyi lagu-lagu pop Koes Bersaudara dan Koes Plus.
"Psst... kita nyanyikan lagu-lagu yang romantis, yang menyentuh supaya tentara-tentara itu makin kendor urat syarafnya," bisik Ali Topan.
"Iyo," sahut Tresno. "Aturen ae, Pan. Kon sing apal lagu-lagune Koes Bersaudara karo Koes Plus."
Maka mereka pun menyanyikan lagu-lagu yang dipilihkan Ali Topan :
Telaga Sunyi Lagu Untuk Ibu Pagi Yang Indah Sekali Kisah Sedih Di Hari Minggu
Why Do You Love Me Kembali ke Jakarta Andaikan Kau Datang dan beberapa judul lainnya...
Tiap usai sutu lagu terdengar tepuk-tangan dan sorakan gembira tentara-tentara dari kopral sampai kolonel yang menonton mer
eka dari lapangan kecil di antara markas induk dan sel tempat Ali Topan dkk dikurung. Malah tentara-tentara itupun turut bernyanyi dengan suara dikoesplus-koesplus-kan.
Sekitar jam sembilan Ali Topan, Tresno dan Surman nyanyi, lalu disuruh berhenti. Mereka diberi makan nasi bungkus berlauk rendang. Usai makan mereka disuruh tidur. Esok harinya mereka dikeluarkan dari sel oleh si kopral. "Komandan mau omong-omong sama kalian. Awas, jangan kurang ajar ya. Nanti dimasukin sel lagi
178 kamu," kata si kopral. Nadanya bersahabat.
"Kita malah kelebihan ajaran, Pak. Ajaran yang nggak bener," kata Ali Topan.
"Ya jangan mau," kata si kopral.
Singkat cerita, Ali Topan, Tresno, dan Surman dibawa ke ruang Komandan Kodim di markas induk. Komandan Kodim itu berpangkat kolonel, wajahnya, wajah Batak yang tampan. Ia duduk di depan meja yang dipenuhi buku-buku suratkabar dan majalah. Seperangkat mebel ada di sudut ruang.
"Silahkan duduk, Adik-adik... Wah, nyanyian kalian bagus sekali semalam. Saya dan anak-anak buah saya suka sekali," kata komandan berpangkat kolonel infantri itu. Namanya Sinaga.
"Terima kasih, Pak Naga," kata Ali Topan.
"Pak Naga" Ha ha ha.. baru kali ini ada manusia memanggil saya Naga. Biasanya Pak Sinaga." Pak Sinaga tertawa.
Ia berdiri, menghampiriAliTopan, Surman danTresno yang masih berdiri. Ia mengulurkan tangannya ke anak-anak jalanan itu. "Siapa nama Adik-adik ""
"Ali Topan" "Tresno" "Surman"
"Ayo duduk," kata Pak Sinaga.
Terdengar ketukan di pintu. Seorang wanita berkain kebaya masuk membawa minuman kopi di atas nampan. "Kopinya, Dan," katanya.
"Yak. Terima kasih," sahut komandan.
Pelayan wanita itu menaruh cangkir-cangkir kopi di meja, lalu ke luar lagi.
Komandan menyodorkan rokok. Ali Topan dkk masing-masing mengambil sebatang. Komandan
179 menyalakan korek apinya untuk menyulut rokok mereka.
"Bagaimana" Enak rasanya di bui"" tanya komandan.
"Lumayan, Pak," sahut Ali Topan. Komandan tertawa.
"Mengapa. Kok kalian disel" Bikin apa kalian"" tanya komandan. Ali Topan memandang Tresno dan Surman. Dua kawan itu diam.
"Saya menulis syair Indonesia Kaya, Pak," kata Ali Topan.
"Oo, begitu"" kata komandan. Ia melihat keAli Topan.
"Katanya kalian mengubah lagu kebangsaanlndonesia Rayai Coba, saya ingin tahu bagaimana bunyinya""
Kolonel Sinaga memandangi tiga anak jalanan itu. Ia terkesan pada kejujuran Ali Topan. Dan ketenangannya.
"Coba nyanyikan, saya ingin dengar," kata Komandan Kodim.
Ali Topan menyanyikan syair lagu Indonesia Kaya.
Komandan Kodim menggeleng-gelengkan kepalanya. "Wah gawat bener, syairnya. Itu berbahaya, dik," kata Komandan Kodim, usai mendengarAliTopan menyanyi. "Anda sendiri yang mengarang syair itu "" lanjutnya.
"Iya, Dan," sahut Ali Topan.
"Bukan orang lain""
"Bukan... " "Maksud dan tujuannya apa""
"Menurut saya, lagu Kebangsaan Indonesia Raya yang dikarang oleh WR. Supratman, kata-katanya memang perlu diganti karena terlalu panjang, dan syairnya terlalu bombastis," kata Ali Topan.
"Wuaduh! Baru kali ini saya dengar kritik terhadap lagu kebangsaan Indonesia Raya. Kalau enggak mendengar sendiri saya tidak percaya...," kata Komandan Kodim.
Ali Topan Wartawan Jalanan Karya Teguh Esha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terdengar ketukan di pintu.
180 "Masuk!" kata Komandan Kodim.
Seorang tentara berpangkat Letnan Dua masuk. Ia memberi hormat militer kepada Komandannya. "Siap! Lapor! Letnan Giran sudah datang, ingin menghadap komandan. Dan Pak Robert Oui juga ingin menghadap. Laporan selesai! Siaap!"
"Persilahkan mereka masuk," kata Dandim.
"Siap! Laksanakan!" Letnan itu menghormat lagi lalu keluar. Tak lama kemudian ia masuk lagi mengantar intel yang membawa Ali Topan dkk. Ke markas kodim tadi malam. Kini ia berpakaian militer. Namanya Giran. Dan satu orang lainnya adalah lelaki berbaret RPKAD yang beberapa kali berjumpa Ali Topan di Blok M.
Letnan Giran menghormat komandannya, kemudian ia dan lelaki berbaret RPKAD berjabat tangan dengan Komandan Kodim.
Mereka memandang dengan pandangan netral ke Ali Topan dkk.
"Nah ini Letnan Giran yang tadi malam mendengar yang kalian nyanyikan. Dan yang satu lagi Pak Robert Oui, beliau kawan baik saya. Sudah kenal kan"" kata Komandan Kodim.
"Belum..," kataAli Topan, Tresno dan Surman serempak.
"Aaah.. nggak perlulah kenalan sama saya, saya ini tentara.... dan tentara itu, ABRI itu, kejam... mau menangnya sendiri... dan suka masuk ke kampus-kampus untuk membubarkan acara mahasiswa... ya, nggak" Ya, nggak"" kata Letnan Giran dengan gaya dan ekspresi wajahnya seperti pemain ludruk. Gaya ngeledek diri sendiri untuk menyindir orang lain. Ia, Komandan Kodim dan Robert Oui memandangi Ali Topan, Surman dan Tresno.
181 "Iya apa enggak"" tanya Letnan Giran lagi.
"Iyhaa..," kata Surman.
"Tidaaak," kata Tresno.
"Eh, thidhaak," kata Surman lagi tersipu-sipu.
Letnan Giran, Kolonel Sinaga dan Robert Oui menahan tawa. "Iya apa tidak"" tanya Letnan Giran lagi.
"Tidaak...," kata Tresno dan Surman.
"Kok kamu diam saja"" kata Letnan Giran ke Ali Topan.
"Saya tidak berkomentar," kata Ali Topan.
"Takut ya" Kalau di Kodim sini takut komentar" Iya"" lanjut Letnan Giran.
Ali Topan diam saja. Ia, berfikir letnan intel itu cuma mau memancing-mancing reaksinya saja terhadapABRI. Sudah menjadi fenomena umum sampai tahun 1978 ini, citra ABRI lebih membela kepentingan kekuasaan negara dan bisnis daripada menjadi pembela rakyat.
Maka berkali-kali mahasiswa protes dan turun ke jalan menuntut perbaikan penyelenggaraan negara yang penuh penyimpangan. Tentara masuk ITB, UI, dan lainnya untuk membubarkan mimbar bebas mahasiswa berulang kali terjadi. Intel berkeliaran di mana-mana dan telah menjadi semacam hantu yang menakutkan rakyat. Banyak aktivis mahasiswa, seniman dan tokoh-tokoh publik yang menyuarakan perbaikan negara ditangkapi dan dijebloskan ke dalam penjara. Sungguh sangat menyedihkan..
Ali Topan terdiam merenungi kenyataan buruk yang ia baca melalui suratkabar dan majalah sejak kelas satu SMA, di kios Munir di Blok M. Kesan Ali Topan terhimbas oleh sosok dan citra buruk ABRI itu.
Kini ia dan dua orang pengamen jalanan merasai langsung kesan tersebut, walau tidak persis sama.
182 Penuturan sinis Letnan Giran tentang tentara membuktikan bahwa kalanganABRI sendiri mengetahui sosok dan citra mereka di negeri ini.
Ali Topan pribadi selama ini tak punya pengalaman berurusan dengan ABRI, kecuali ketika ia dibawa ke kantor polisi karena pengaduan orangtua Anna Karenina tempo hari. Sikap polisi menurut dia seperti manusia lainnya, ada yang baik, ada yang bururk.
"Adik-adik, Saudara-saudara sekalian. Kata orang-orang bijak, kita ambil hikmah dari peristiwa ini. Terutama bagi adik-adik yang masih muda-muda, masih remaja. Jangan bersikap atau bertindak atau melakukan sesuatu apapun tanpa difikir terlebih dahulu," kata sang Komandan Kodim.
"Bikin syair ya bikin syair.Itu bagus. Orang yang bisa bikin syair itu termasuk orang-orang pinter lho! Tapi ya bikinlah syair yang membangkitkan semangat pembangunan, membangun bangsa dan negara. Janganlah bikin syair seperti tadi itu. Apa judulnya" Indonesia Kayai Judulnya bagus.Tapi itu tidak baik. Apalagi idenya untuk mengubah lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Itu akan membuat banyak orang marah, karena lagu kebangsaan Indonesia Raya itu sudah merupakan sesuatu yang suci, yang tidak boleh diganggu-gugat, seperti halnya Bendera Merah Putih, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kalau itu diubah atau diganti, yang mengubahnya pasti akan berhadapan dengan ABRI, Pemerintah dan segenap kekuatan bangsa Indonesia, Faham maksud saya"" lanjutnya.
"Iyha, Phaak," sahut Surman segera.
Tresno mengangguk. Ali Topan meminum kopinya, lalu menyulut sebatang
183 rokok. Ia tak berkomentar. Baginya, kata-kata yang berbau indoktrinasi sudah sering ia baca di surat-surat kabar dan majalah-majalah. Dan ia lihat serta dengar di televisi.
"Saya percaya, Adik-adik, terutama si pembuat syair tak bermaksud apa-apa. Karena iseng-iseng saja. Atau mungkin supaya dibilang gagah oleh teman-temannya. Orang yang protes-protes dan berani mengkritik pemerintah itu sekarang kan dianggap gagah oleh kalangannya" Seperti mahasiswa-mahasiswa dan tokoh-tokoh vokal itu."
"Saya kira tak usah melebar ke mahasiswa atau vokalis itu, Pak Kolonel," Ali Topan memotong "ceramah" Kolonel Sinaga.
"Lho, saya hanya memberi contoh. Kalau Anda tidak seperti mereka, itu bagus. Kita semua tahu, dan menyadari, bahwa pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah itu tidak memuaskan semua pihak.Tapi itulah perjuangan. Ada proses...," kata komandan Kodim. "Setuju "" lanjutnya.
"Shethujhuuu !," kata Surman.
Tresno mengangguk lagi. Ali Topan memandangi wajah si Komandan Kodim, Letnan Giran dan Robert Oui. Mereka pun memandangi dia. DanAli Topan tidak tunduk pada pandangan mereka. Ada sesuatu yang terasa tidak pas dalam batinnya, tapi ia tidak mengungkapkannya. Ia hanya ingin segera keluar dari Markas Kodim itu.
"Saya rasa cukup, Letnan."
"Siap, komandan!" sahut Letnan Giran.
"Tolong Anda antarkan lagi mereka ke rumah masing-masing."
"Siap! Laksanakan!"
"Saya tak usah diantarkan, komandan," kataAliTopan.
184 "Lho, mengapa"" tanya Kolonel Sinaga.
"Tak apa-apa...," kata Ali Topan.
"Yang lainnya bagaimana""
Surman dan Tresno tidak segera menjawab.
"Ayolah, biar diantar oleh Letnan Giran ini," kata komandan Kodim.
"Oyi, Pan," kata Tresno.
"Iyha, Phan," Surman membeo.
Ali Topan berdiri, mengulurkan tangannya ke Komandan Kodim, Letnan Giran dan Robert Oui. Tiga orang itu menjabat tangannya.
"Permisi," kataAliTopan. Ia berjalan membawa ransel US Marine yang berisi celana dalam, kaos oblong, sikat gigi, dompet berisi KTP dan beberapa ribu uang honor dari harian Ibu Kota, serta buku catatan dan bolpen.
"Itu anak memang istimewa," kata Robert Oui.
"Saya rasa begitu. Terasa punya pendirian anak muda. Dia berwibawa," kata Komandan Kodim.
185 EMPAT BELAS Beberapa hari kemudian, Ali Topan membawa artikel tentang peristiwa yang ia alami di markas Kodim itu ke kantor Harian Ibu Kota, dan memberikannya langsung ke GM. Artikel itu disertai foto Letnan Giran hasil potretan Harry. Tapi artikel itu ditolak oleh
GM. "Jangan cari penyakit, Pan! Bisa dibredel suratkabar ini kalau memuat tulisan itu!" kata GM. "Dan kalau redaktur yang lainnya tahu artikel ini, mereka akan memboikot semua tulisanmu. Sedangkan kamu baru mau belajar jadi wartawan," lanjutnya.
"Jadi... apa arti slogan yang dicetak di bawah judul harian ini, Pak"" tanya Ali Topan.
"Yang mana" Saya lupa.."
"Membangun Bangsa dan Negara Seutuhnya..."
"Ooh itu" Kamu masih terlalu muda untuk mengetahui artinya..." Kata GM. "Sudahlah, saya mengerti kamu kecewa. Kamu teruskanlah menulis serial rakyat jalanan
itu." Ali Topan terdiam. Nggak di rumah ayahnya, nggak di luar rumah itu, selalu saja ada persoalan-persoalan yang membikin kecewa dia punya nurani.
Semangat menulisnya tiba-tiba kendor.
Harry berusaha menghibur dia, dan mencoba membangkitkan semangatnya untuk melanjutkan wawancara dengan rakyat jalanan, setelah dua senja Ali Topan berdiam diri saja di belakang kios Oji.
"Fotoku dulu berkali-kali ditolak, tapi aku nggak putus
186 asa. Aku pernah dapat momen bagus, seorang oknum memukuli seorang tukang parkir di Pasar Senen, karena ban serep mobilnya hilang di tempat parkir. Foto itu ditolak oleh GM karena bisa dianggap menjelek-jelekkan ABRI. Seminggu kemudian aku memotret seorang letnan kolonel berpakaian seragam menolong seorang gembel yang ditabrak-lari di jalan Melawai Raya. Perwira itu turun dari mobilnya, mengangkat gembel yang berlumuran darah dan membawanya ke rumah sakit. Foto itu dimuat oleh GM dan dibayar dua kali lipat dari biasanya, Daeng Ali," kata Harry.
AliTopan tersentak mendengar panggilan"DaengAli" itu. Spirit Bugis tiba-tiba mengaliri dirinya. Kilasan peristiwa di Tanjung Priok yang membuat dirinya menyandang nama Daeng Ali terbayang. Ketulusan rasa persaudaraan warga di sana terkenang. Indah sekali. Dan ia pun teringat pesan Munir, penjual majalah dan suratkabar: Jangan cengeng, jangan gentar dan jangan melanggar hukum.
Senja panas. Udara kering.
Oji muncul dari pintu bersama seorang tukang kayu. "Pan! Ini kawan gue Asdi, tukang kayu. Gue suruh die bikinin rumah bedeng buat lu sama Harry. Biar legaan dikit lu" kata Oji. "Mulai besok die kerja ame keneknye. Gue minta dua ari kelar. Jadi selama dua ari ini lu pindahin harta-benda lu berdua ke dalem. Gue udah sediain kotak kardus dua
biji," lanjutnya. "Iye, terima kasih," kata Ali Topan
"Terima kasih, Ji." "
"Iye gue terima.. he he he he he," kata Oji sambil terkekeh-kekeh. Lugu sekali. Omongannya tak pakai basa-basi. Langsung. Apa yang ada dalam hati, itu yang diucapkannya.
187 "Baru sebentar berjalan bersama kamu, aku mengalami banyak kejutan, Daeng Ali," kata Harry.
"Hidup adalah rangkaian-rangkaian peristiwa yang tak terduga. Duka derita, pilu dan kuciwa ada di sepanjang perjalanan manusia. Tapi cinta... ya, cinta... yang indahnya terungkapkan melalui mekarnya bunga-bunga pada semua pagi yang penuh warna mampu menghapus semua duka dan menyembuhkan semua luka. Dan doa yang diterima menyempurnakan kita sebagai manusia...," kata Ali Topan. Harry bengong, terheran-heran.
"Dari mana kamu dapetin kata-kata kelas tinggi itu, Daeng," kata Harry.
"Dari sobekan majalah pembungkus ikan asin kesukaanku yang dibeli MbokYem dari tukang sayur keliling di rumah orangtuaku dulu," kata Ali Topan. "Itu potongan sajak seorang penyair yang dia tulis buat seorang hostes dalam cerita pendek y ang nama pengarangnya aku nggak tau karena tersobek," lanjutnya.
Senja panas. Udara kering seperti ikan asin.
188 LIMA BELAS Kios Munir tak begitu ramai. Dua orang ibu rumah tangga membuka-buka majalah hiburan, ketika Ali Topan datang. Ia sendirian. Harry sedang pulang ke Yogya menengok orangtuanya.
"Selamat pagi, Mister Munir. Banyak berkah hari ini"" sapa Ali Topan. Munir tersenyum lebar.
"Kemana aja" Baru nongol, Pan"" kata Munir.
Salah satu ibu rumah tangga yang dandanannya menor menengok ke arah Ali Topan. Ali Topan melihat ke wajahnya. Keduanya sama-sama kaget. Ekspresi wajah ibu tadi berubah tak sedap. Ia tak pernah lupa pada anak muda yang sempat bikin story yang gawat dengan anaknya, Anna Karenina.
"Selamat pagi, Tante Surya," tegur Ali Topan yang cepat dapat menguasai keadaan. Tegurannya yang cukup sopan itu tak dijawab oleh Nyonya Surya.
" Wie is hij, mevrouw" tanya temannya dalam bahasa Belanda, dengan kening berkerut. Pandangannya seakan-akan menjilati jeans Ali Topan yang suwir-suwir dan penuh debu.
"Hij is een idiote" sahut Ny. Surya, "kom, we zullen gaan," katanya lagi. Tanpa permisi pada Munir, Ny. Surya dan temannya menaruh majalah itu sembarangan, kemudian mereka pergi dengan langkah cepat.
Munir bengong melihat mereka pergi begitu saja.
"Siapa dia, Pan" Apa lu kenal"" tanya Munir sambil mengatur majalahnya kembali.
"Yang itu tadi Tante Surya namanya. Anaknya dulu
189 pernah macarin gue," kata Ali Topan sembari nyengir.
"Kok kelihatannya sewot banget""
"Nggak tau. 'Kali di rumahnya tadi minum pil sewot."
Munir ketawa mendengar jawaban jenaka itu.
"Ada majalah apa yang baru, Nir""
"Oh, Intisari tuh! Gue baca Wee Gee jadi ingat kau, Pan. Baca deh. Barangkali kau bisa ngetop kayak dia," kata Munir. Dia mengambilkan Intisari untukAli Topan.
"Wee Gee"" gumam Topan, "belum pernah dengar
gue." "Baca aja dulu. Dia kayak lu juga, anak jalanan. Tapi jalanan di New York," kata Munir.
Ali Topan menaruh pantat di anak tangga, lantas asyik membaca tentang Wee Gee, seorang gelandangan yang kemudian menjadi tukang potret khusus peristiwa kejahatan dan jadi jutawan serta terkenal di seluruh dunia karena profesinya itu. Ia menyebut dirinya sendiri sebagai juru potret Murder Inc yang artinya "perusahaan pembunuhan."
Begitu asyik Ali Topan membaca kisah yang menarik hatinya itu, sehingga ia tak menyadari ada dua orang lelaki mengawasinya dari sebuah Toyota Corolla yang diparkir di depan toko sepatu Bata. Satu orang duduk di belakang setir, agak tua, berkumis lebat. Yang seorang lagi duduk di sebelahnya, pakai kacamata polaroid.
Munir tauAli Topan diawasi oleh kedua orang itu, tapi ia tak berkehendak mengusik keasyikan Ali Topan.
Munir melihat orang berkacamata turun dari mobil, kemudian berjalan lurus ke arah Ali Topan.
"Ssst! Pan, ada oknum nyariin lu," bisik Munir. Ali Topan menghentikan bacaannya. Ia melirik Munir yang memberi kode ke arah si pendatang. Ali Topan langsung menatap sosok yang menghampirinya. Ia mengenali
190 orang itu sebagai pembeli bunga di pondok Oji tempohar
i, yang mengaku sebagai penyanyi pop yang baru datang dari luar negeri.
"Helo, Jack," tegur sosok itu, "masih ingat saya""
"Karyadi"" desis Ali Topan, "penyanyi pop yang katanya beken di Jerman"" sambungnya menirukan nada Karyadi yang rada sok tempohari.
Karyadi tertegun oleh teguran sinis Ali Topan. Ia tampak likat, salah tingkah. Senyum "artis" berusaha ia kembangkan, namun senyuman itu gagal menutupi wajah dan sikapnya yang tampak sangat tegang. Ia membuka kacamatanya. Matanya merah seperti orang kurang tidur. Sinarnya muram.
"Hi jack! Maaf saya mengganggu ya... Ng... saya lagi bingung sekali..katanya. Gaya sok-nya tak ada lagi. Ia benar-benar tampak kebingungan. Sebentar-sebentar kepalanya menengok sekitarnya, mengawasi orang-orang lain, seperti mencari seseorang.
Ali Topan berpikir sejenak. Karyadi merupakan orang aneh baginya. Pada pertemuan pertama, sesungguhnya Ali Topan rada mpet dengan lagak lagunya yang sengak. Kini, orang ini datang dengan wajah bingung dan sinar mata kuyu seperti orang yang sedang ditimpa kesusahan.
Ali Topan memutuskan untuk mengetahui lebih jauh tentang orang "aneh" ini. Ia menutup Intisariyang belum selesai dibacanya, kemudian menaruh majalah itu di tumpukannya semula.
"Nir, nanti gue baca lagi. Gue mau ada urusan bentar nih," katanya.
"Kalo mau bawa, bawa aja, Pan," kata Munir. Ia memberikan Intisari itu kepada Ali Topan kembali.
"Terima kasih, Nir," kata Ali Topan. Ia berdiri, berhadapan dengan Karyadi yang agak heran melihat
191 keakraban anak muda itu dengan penjual majalah.
"Ada apa, jack"" kata Ali Topan sambil menyentuh lengan Karyadi.
"Aduh, saya betul-betul ingin minta tolong. Ada yang hendak saya bicarakan. Kita bicara di restoran situ, yuk," kata Karyadi sambil menunjuk restoran Padang Jaya di tingkat atas.
Keduanya menaiki tangga, masuk ke restoran. Mereka mengambil tempat di meja sudut ruang. Karyadi mengawasi orang-orang di dalam restoran sejenak. Pelayan menghampirinya.
"Makan apa, jack"" kata Karyadi.
Ali Topan yang masih belum bisa menerka maksud dan tujuan Karyadi, menggoyangkan tangannya. "Saya sudah makan," katanya.
"Jangan kuatir, saya yang bayar," Karyadi ngotot.
"Ada apa sih, kokAnda kelihatan bingung sekali," kata Ali Topan. Ia langsung memblaaf Karyadi. Menghadapi orang yang dianggapnya aneh itu, Ali Topan tak mau terlalu lama bersikap pasif. Ia langsung menembak dengan kata-kata, agar persoalannya menjadi jelas. Taktiknya tepat. Karyadi tampak makin bingung. Berulang-ulang ia mengusap keringat di dahinya dengan saputangan.
"Pesan apa, Oom"" kata pelayan.
"Minum, minum saja," sahutnya, kemudian ia mendekatkan wajahnya ke Ali Topan, "minum apa, minum apa"" katanya.
"Lemon tea... ng... teh manis dikasih jeruk nipis," kata Ali Topan.
"Saya juga lemon tea."
Pelayan mencatat pesanan itu, kemudian diberikan ke temannya di dapur.
192 Karyadi memasang rokok kretek pada pipa gading.Ali Topan menyalakan api untuknya.
"Thanks, jack. Ng. kita minum dulu, baru ngomong ya. Ng. biar saya agak tenang sedikit."
Ali Topan yang mulai bosan menghadapi tingkah Karyadi yang kagak puguh juntrungannya itu, membuka Intisari, kemudian membaca kisah Wee Gee yang tertunda tadi dengan gaya tak memandang sebelah mata pada Karyadi.
"He, jack.jack! Baca apa""
Ali Topan menurunkan bacaannya karena Karyadi menowel-nowel lengannya.
"Minum dulu, biar pikiran situ nggak kacau, baru bicara nanti," tembak Ali Topan.
Pelayan datang menaruh dua gelas teh jeruk di meja. Karyadi menaruh segelas di depan Ali Topan.
"Ya, ya.kita minum dulu ya""
Ia minum sedikit, dilihat oleh Ali Topan dengan pandangan lucu. Ini orang sarap, demikian pikiran Ali Topan.
"Nah, begini. Mm. oh, ya, saya musti panggil apa ya" Bung, Dik atau apa""
"Panggil saja Ali Topan," sahut si anak muda.
"Mm... tapi saya sudah lapor polisi... mm Markus ... anak saya hilang."
Ali Topan mengerutkan keningnya.
"Kamu bisa menolong carikan anak saya"Tolong, saya minta tolong""
AliTopan menghirup minumannya sementara Karyadi berkisah lebih lanjut tentang anaknya yang hilang.
"Kemarin sore, saya dan istri saya pergi ke rumah seorang famili di Jalan R
adio Dalam. Markus di rumah bersama tiga orang pembantu. Ketika kami pulang sekitar
193 jam sebelas malam, mereka melapor bahwa Markus tidak ada. Satu sama lain tidak ada yang tahu ke mana dia. Sampai hari ini, Markus belum ketemu. Saya dan istri sangat cemas memikirkannya," kata Karyadi.
Ia kemudian memandang Ali Topan seolah-olah Ali Topan itu kawanan orang yang suka menculik anak kecil. Ali Topan menangkap pandangan mata yang tak enak itu, tapi dia diamkan saja. Pikirannya sedang penuh dengan khayalan dahsyat. Ia berpikir tentang kemungkinan menjadi semacam Wee Gee. Penculikan anak kiranya bisa jadi headline di Ibu Kota, demikian pikirnya.
"Kira-kira kamu tahu sindikat yang suka menculik anak kecil disini"" tanya Karyadi.
Sungguh menyebalkan! Pandangan matanya, mimiknya dan ucapannya, secara keseluruhan seperti ditujukan oleh seorang hakim kepada seorang terdakwa saja.
Kini barulah Ali Topan menerka, motif Karyadi mengajaknya bicara, secara tidak langsung ia mengira dirinya termasuk kawanan orang yang suka menculik anak kecil. Karyadi memang berpikir begitu ketika melihat Ali Topan duduk membaca majalah di anak tangga. Paling tidak, ia punya dugaan bahwa Ali Topan itu krosboi yang tahu sedikit banyak soal-soal begituan.
"Kamu ini mau jual obat, mau minta tolong atau mau cari setori sama saya" Kita baru ketemu sekali. Kamu belum tau siapa saya dan saya nggak ada urusan sama kamu. Jangan cari gara-gara deh," kataAli Topan dengan dingin. "Anak kamu kek, atau bapak kamu yang ilang, masa bodo! Saya nggak senang sama cara kamu nanya saya!" Ali Topan berkata keras.
Karyadi tertegun mendengar ucapan tandas tanpa tedeng aling-aling itu. Ia tak menyangka Ali Topan ber194
kata sekeras itu. Dengan wajah menyesal ia berusaha menetralkan keadaan.Tampangnya tak lagi sepa. "Maaf. Saya menyesal telah membuat Anda marah. Saya benar-benar bermaksud minta tolong," ucap Karyadi terbata-bata.
Ali Topan menyulut sebatang rokok dan memutuskan untuk menahan emosinya. Sejak pertemuan pertama ia merasa tidak simpati pada pelagak ini. Tapi ada rasa penasaran lain yang mendorongnya agar tetap bersabar. Urusan anak hilang itu berita, dan berarti duit, itu saja pikirannya.
Sejak mula ia merasa ada sesuatu yang aneh di dalam diri Karyadi itu. Kini, ia bermaksud mengikuti keanehan tersebut dengan jalan membiarkan dirinya tetap duduk di depan lelaki itu.
Keduanya duduk diam. Karyadi tak berani lagi memancarkan pandangan "menghina" kepada Ali Topan.
"Saya orang baru di sini. Baru datang dua bulan disini, bertahun-tahun di Eropa. Jadi maaf kalau kelakuan atau sikap saya kurang begitu enak. Istri saya orang Jerman, namanya Angela. Sejak tadi malam menangis terus di rumah. Saya sudah ke polisi, pembantu rumah saya tiga orang sudah ditahan di sana, tapi anak saya belum ketemu. Dari kantor polisi tadi, saya muter-muter kota dengan panik. Saya capek, saya ke Blok M sini dengan tukang taksi di bawah itu. Kemudian saya lihat kamu. Saya ingat pertemuan kita di tukang kembang tempohari. Saya coba-coba minta tolong," kata Karyadi, seperti bicara pada teman lamanya saja.
"Jadi benar-benar anak kamu hilang" Anak yang dulu ikut ke tukang kembang itu"" tanya Ali Topan, kalem.
"Iya, benar! Markus itu, anak saya satu-satunya!"
"Jadi sudah lapor polisi" Lalu tiga pembantu rumah
195 kamu ditahan di kantor polisi" Apa menurut kamu mereka yang jadi penjahatnya" Siapa sih nama mereka""
"Polisi menahan mereka untuk minta keterangan saja. Pembantu rumah saya itu namanya Isah dan Mimah. Idris, suaminya Isah, mereka yang sebetulnya menjaga Markus jika saya dan istri pergi."
"Kau di sini tinggal di rumah siapa" Kok sudah bisa percaya sama pembantu rumah""
Karyadi diam sejenak, memandang anak muda kita. Sejak mulajumpa, ada sesuatu daya tarik yang mengesankannya. Ia yang banyak melihat hippies di Eropa tidak heran dengan gaya pakaian anak muda yang serampangan ini. Sesuatu yang menarik itu datang dari roman muka dan pancaran matanya yang cerdik dan mantap, mengesankan wibawa. Istrinya sendiri, perempuan Jerman itu, sempat memberi komentar khusus ketika melihat si anak muda pertam
a kali di tukang kembang. Matanya tajam ya, demikian komentarAngela yang dikatakan padanya tempo hari.
"Bagaimana kalau kamu ikut saja ke rumah saya. Di sana kita bisa lebih banyak bicara," kata Karyadi.
"Di mana rumah kamu""
"Di Jalan Tumaritis Tiga Nomor 28, Cilandak. Dekat kompleks Subud."
"Saya masih ada perlu lain. Nanti siang saja saya ke sana."
"Jam berapa""
Ali Topan melihat jam dinding rumah makan. Pukul 10.47.
"Jam dua belas lewat lima saya datang," kata Topan. "Kamu betul datang""
"Kebiasaan saya menetapi janji, kecuali jika Tuhan mengatur lain," sahut Ali Topan dengan dingin.
196 "Saya tunggu," kata Karyadi. Ia berdiri hendak merogoh uang untuk membayar minuman. Ali Topan cepat menaruh Rp 100 di meja.
"Saya bayar sendiri," kata Ali Topan, lantas mendahului keluar restoran. Ia turun ke tempat Munir. Tak lama kemudian Karyadi lewat di depannya, terus berjalan menuju mobil.
AliTopan sempat mencatat nomor polisi taksi gelap itu ketika mereka meninggalkan pelataran parkir.
"Itu Karyadi 'kan, Pan. Dimana lu kenal dia"" tanya Munir setelah mereka lenyap dari pandangan. Ali Topan memandang heran ke arah Munir.
"Kok tau lu kalo dia Karyadi""
"Beberapa majalah muat berita dia."
"Ah, yang bener" Coba gue lihat majalahnya."
Munir mengambilkan beberapa majalah hiburan dari tumpukan majalah terbitan minggu lalu yang sudah lewat. Dia memberikan dua buah kepada Ali Topan.
"Mula-mula gue nggak ngenalin, tapi begitu dia lewat tadi, gue yakin dia Karyadi. Sejak jadi wartawan pungut di harian Ibu Kota, malas baca majalah ya, Pan."
Ali Topan tak menjawab. Ia sibuk membalik-balik majalah itu. Benar kata Munir, ada berita tentang Karyadi di situ, lengkap dengan foto-fotonya. Tiba-tiba ia makin tertarik untuk mempelajari orang itu.
"Gue sendiri baru tahu kalo dia orang populer, Nir. Sungguh mati. Gue pikir dia orang sarap yang kagak puguh juntrungannye aje," kata Ali Topan sambil menutup majalah-majalah itu, "gue pinjem sehari majalah lu, Nir. Gue ada bisnis sama dia."
"Bisnis apaan" Mau ikut rekaman sama dia lu""
"Pokoknya lu denger kabar aje deh dari gue. Eh, Nir, kalo si Harry kesini nyari gue, lu tulung pesenin gue
197 tunggu di tempat biasa, ye. Makasih, Nir. Gue mau buru-buru nih," kata Ali Topan sambil bergegas pergi.
"Tempat biasa di mana, Pan. Blok P"" teriak seorang anak muda beraksen Medan yang berjualan mainan anak-anak di depan kios Munir.
Ali Topan mengepalkan tinju ke arahnya sambil menyeringai. Ia berjalan cepat ke dalam pasar.
Dari sebuah telepon umum disamping markas keamanan Pasar Melawai, Ali Topan menghubungi redaksi Ibu Kota. Beruntung ia, sekali call bisa langsung menyambung. Sekretaris Redaksi menerimanya.
"Halo Ibu Kota, Ali Topan disini."
"Halo Ali Topan. Apa kabar""
"Hey, Mbak. Pak Redpel ada" Saya dapat berita bagus nih buat halaman satu. Masih bisa masuk apa nggak" Tolong sambungkan ke Redpel deh."
"Sebentar, Topan."
Sekretaris Redaksi menyambungkan dengan Redaktur Pelaksana yang sedang mengedit naskah berita di ruang kerjanya.
"Halo, G.M. disini."
"Selamat pagi, Pak. Ali Topan disini. Saya dapat berita bagus. Apa bisa dimuat di halaman satu besok""
"Soal apa" Faktanya bagaimana""
"Penculikan anak, pak. Markus anak Karyadi hilang kemarin. Sudah lapor polisi. Tiga pembantu rumah tangga ditahan di kantor polisi. Bagaimana pak""
"Apa kau sudah cek kebenaran sumber berita""
"Sudah. Sumber berita langsung Karyadi, ayah si korban."
"Karyadi" Karyadi siapa""
"Itu, Pak. Penyanyi pop yang baru datang dari luar negeri. Baru dua bulan di sini, anaknya ilang diculik
198 orang." "Kantor polisi mana yang menangani perkara ini""
"Jaksel, Pak." "Foto si korban dan orangtuanya kau dapat"" "Belum, tapi bisa saya dapatkan, Pak. Sayajanji dengan ayah korban bertemu di rumahnya jam dua belas nanti,
Pak." "Kau garap deh! Soal penahanan tiga pembantunya di kantor polisi biar aku yang cek dari sini. Jika kau bisa serahkan naskah dan foto tidak lewat jam dua.. "
"Terima kasih, Pak!"
Ali Topan memutuskan hubungan. Ia harus bergerak cepat. Semangatnya terangsang untuk memperoleh berita kesukaan pembaca Ibu Kota. Penculikan anak, b
ayangkan! Sambil berjalan cepat ke sebuah toko buku untuk membeli bolpen dan notes kecil, pikirannya dibakar khayalan menjadi seorang Wee Gee lokal.
Dari toko buku ia bergegas ke terminal bis kota. Ia ingin datang tepat pada waktu perjanjian.
Gang Tumaritis setiap hari dilaluinya jika naik bis ke RSF untuk menengok ibunya. Jaraknya sekitar setengah kilometer sebelum RSF.
Ia naik bis Gamadi dan duduk tenang di kursi paling belakang, persis dekat pintu. Ia melanjutkan membaca kisah Wee Gee yang tertunda.
Seekor herder sebesar anak sapi tiduran dengan malas di teras rumah Karyadi. Pintu halaman berjeruji besi digembok dari dalam. Ali Topan berdiri di depan pintu, mencari-cari bel. Tak ada bel. Pintu rumah pun tertutup. Suasana sepi.
Ali Topan yakin bahwa waktu perjanjian belum lagi sampai.Tentu Karyadi belum datang, dan di rumah cuma ada herder yang malas itu, pikir Ali Topan.
199 Ia tidak tahu, sepasang mata coklat milik Nyonya Karyadi mengintip dari celah gordyn kaca rumahnya.
Ali Topan memukul-mukul besi dengan sebuah batu. Tetap tak adajawaban.Agak kesal, ia duduk di buk depan pintu, mengamati rumah dan sekitarnya.
Rumah itu berukuran sedang, bentuknya seperti villa di Puncak. Halamannya ditumbuhi rumput rapi dan tanaman hias yang sangat terpelihara, menandakan sentuhan tukang kebun yang telaten.
Tumaritis Tiga adalah gang buntu. Ali Topan menghitung hanya ada dua belas rumah di gang itu. Masing-masing tertutup pagar besi. Rumah Karyadi nomer dua dari ujung gang yang buntu. Ujung gang turun dan membelok ke kanan bentuknya. Rumah terakhir di balik tikungan, tak terlihat dari jalan. Ali Topan cuma melihat pintu pagar halamannya saja.
Iseng-iseng, Ali Topan menyiuli anjing herder. Si anjing tidak bereaksi.
"He, anjing bego! Ke mane boss lu" Suruh bukain pintu gih!" serunya. Si anjing itu menengok pun tidak.
Sekali lagi Ali Topan memukul-mukul pintu besi. Matanya yang tajam menangkap gerakan gordyn yang tersingkap. Ali Topan bermaksud iseng, mencari sebutir kerikil untuk menimpuk herder bego di teras. Ia berharap anjing itu menggonggong dan si pengintip membukakan pintu. Dia timpuk pas kepala si anjing. Herder itu cuma menggeleng sesaat, lantas diam lagi seperti orang teler.
Ia bermaksud menimpuk lagi, ketika instingnya memberikan kisikan. Ali Topan secara reflek melihat ke arah belakang. Sempat dilihatnya beberapa biji kepala di rumah sebelah. Ali Topan merasa yakin mereka memperhatikan gerak-geriknya.
Mereka pikir gue tukang culiknya 'kali, pikir Ali
200 Topan. Setengah kesal, dia timpuk sebuah kepala yang menyembul dari balik pagar sebuah rumah.
"Aduh!" teriak orang itu. Rupanya timpukanAli Topan pas kena kepalanya.Ali Topan menunggu tukang ngintip itu keluar dari rumahnya. Sia-siaAgaknya ia takut keluar.
Sebuah mobil masuk gang. Ali Topan mengenali Corolla yang dinaiki Karyadi.
Ali Topan Wartawan Jalanan Karya Teguh Esha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dewi Lintah 2 Dewa Linglung 4 Mengganasnya Siluman Gila Guling Pendekar Naga Mas 2
135 Redaktur Pelaksana mengangguk, menepuk bahu Ali Topan, kemudian naik tangga menuju ruang kerjanya di tingkat II.
Ali Topan segera meneruskan pekerjaannya. Selang beberapa menit, selesai. Ia serahkan berita itu kepada Heni yang menerimanya dengan senyum manis.
"Ngetiknya kok cepat, Dik" Apa sudah pernah jadi wartawan"" tanya perempuan itu.
"Kalau soal ngetik sih, lumayan Mbak. Waktu sekolah dulu bikin karya tulis sih. Tapi soal beritanya, saya bikin kayak laporan saja. Rasanya sih, seru juga," kata Ali Topan sambil nyengir.
"Nanti kan diedit oleh Redaktur Pelaksana."
"Redaktur Pelaksana. Apaan sih""
"Itu lho, orang yang tadi omong-omong sama situ. Dia yang memeriksa berita disini," kata Sekretaris Redaksi.
Harry menggamit Ali Topan. "Kita cabut yuk""
Ali Topan oke. Lantas keduanya minta diri pada Heni.
"Salam untuk Redaktur Pelaksana, Pak Gun." kata Ali Topan sebelum melangkah keluar pintu. Sekretaris Redaksi mengangguk sambil tersenyum manis sekali. Dia suka pada anak muda yang sikapnya enak ini. Bicaranya polos, tongkrongannya mantep. Pakaiannya serampangan, tapi tak mengurangi ketampanan wajahnya, demikian penilaian Sekretaris Redaksi itu. Diam-diam dia berharap semoga anak jalanan itu sering datang ke kantornya.
Jalan Gajah Mada sejajar dengan Jalan HayamWuruk. Di antara keduanya, tergolek Kali Ciliwung yang lebih menyerupai got besar penampung air, sampah dan debu dari daerah sekitarnya, daripada sungai dalam arti sesungguhnya. Keruh, kotor.
Ali Topan menyeberangi jembatan setapak yang
136 melintang di antara dua jalan tersebut. Mereka naik bis SMS jurusan Kebayoran. Sepanjang perjalanan Ali Topan berkhayal setinggi langit, seolah-olah berita yang dibuatnya itu mampu meledakkan Jakarta.
Ali Topan hampir-hampir tak percaya, ketika esok paginya di kios Munir ia dan Harry membaca berita dan foto hasil karya mereka dimuat pada halaman satu harian Ibu Kota. Judulnya diganti "Anak kecil ditodong" dan sub-judulnya "Kickers-nya dilucuti."
"Huuaaiyoo! Berita gue dimuaaat! Gue jadi wartawaaan! Alhamdulillaaah...," Ali Topan berteriak, meledakan segala perasaan gembira, takjub, bahagia dan sebagainya yang ia rasai. Ia memeluk Harry dan mengangkatnya sekejap. "Terima kasih, Har... terima kasih. Lu nanem budi besar ke diri gue, Har... Thank You" kata Ali Topan lagi.
Munir menepuk-nepuk bahu Ali Topan dengan senyum gembira. "Hebat lu, Pan.Aku salut. Cepat sekali kau menemukan jalan hidup. Selamat," kata Munir. "Selamatjuga buat kau, Har. Kompak-kompaklah terus," lanjutnya pada Harry. "Dan kalau satu hari nanti kalian jadi wartawan besar, jangan lupa sama aku, tukang kios suratkabar dan majalah, ya. Kalau lupa, aku nggak mau jual suratkabar yang memuat tulisan kalian," kata Munir lagi, menyemangati Ali Topan dan Harry.
Ali Topan tersenyum lebar. "Gue bukan potongan orang yang melupakan kawan, Nir. Kawan bagi gua harganya nggak ternilai," ucap Ali Topan. "Ngomong-ngomong kenapa nama kita ngga ditulis lengkap, Har " Cuma AT dan H aje...," lanjutnya.
"Kalau soal nama, mungkin itujustru untuk melindungi keselamatan kau, supaya tidak diincar oleh penjahatnya," kata Munir. Harry membenarkan.
137 "Itu memang peraturan suratkabar, Pan. Nggak penting. Yang penting siang ini kita ambil honornya," kata Harry.
Mereka mengambil honorarium hari itu juga, sekitar jam satu siang. Lumayan, Rp 6.000. Yang lebih lumayan lagi, Heni memberitahu, bahwa Redaktur Pelaksana secara khusus mengundang mereka untuk bicara di ruang kerjanya.
Mereka harus menunggu setengah jam, karena Redaktur Pelaksana sedang "rapat rutin" dengan beberapa reporter. Semen
tara menunggu itu, Harry merasa agak tegang membayangkan undangan itu. Mimpipun ia tak pernah untuk dapat berbicara secara khusus dengan salah satu pemimpin koran besar itu. Berulang-ulang ia bertanya kepada Sekretaris Redaksi, masalah yang kiranya menjadi motif undangan tersebut. Tapi Heni cuma menjawab tidak tahu, tunggu saja nanti. Ketegangan Harry berkembang menjadi perkiraan negatif. Dia berpikir tentang kemungkinan telah berbuat suatu kesalahan dan bakal dapat sanksi dari Ibu Kota.
Ali Topan tampak tenang-tenang saja mengisap rokok kretek Jie Sam Soe yang baru dibelinya di depan kantor Ibu Kota dengan uang honorariumnya. Mereka membagi dua sama besar honor Rp 6.000 itu. Harry Rp 3.000, Ali
Topan Rp 3.000. Pak Gun, Redaktur Pelaksana menyambut mereka dengan hangat di ruang kerjanya yang sejuk oleh pendingin udara. Ia tampak lebih luwes dan terbuka dibandingkan pertemuan pertama tempo hari. Ia mengambilkan dua botol minuman ringan dari dalam kulkas kecil di sudut ruang untuk para tamunya.
"Kita langsung saja ke maksud saya mengundang adik-adik ke sini," katanya sesudah dua tetamunya membasahi
138 kerongkongan mereka dengan beberapa tegukan kecil.
"Mm. kira-kira adik-adik tahu maksud saya"" katanya lagi.
Kedua tamunya menggelengkan kepala. Orang itu memandang dua tamunya berganti-ganti. Matanya tak menyembunyikan sesuatu kegembiraan.
"Harry," katanya, "rupanya kau serius di bidang kewartawanan ya" Sejak pertama saya amati, fotomu ada kemajuan. Penulisan berita mungkin kau kurang bakat.,"
Harry mengangguk. Redaktur Pelaksana beralih keAli Topan yang mengawasinya dengan tajam. Beberapa detik sang Redaktur mencoba mengadu pandang dengan anak muda itu, untuk melihat sampai di mana ketegaran hati si anak muda. Tak sedikitpun ia lihat sinar gugup atau kecut hati di mata si anak muda. Akhirnya ia menyulut sebatang rokok untuk mengalihkan pandangannya. Perasaannya sempat berdesir. Tak satupun reporternya pernah menatapnya begitu tajam, berani dan mantap. Tapi si anak muda yang pada perjumpaan pertama sudah menarik simpatinya, punya tatapan mata yang menyelidik.
"Ng. Ali Topan"" kata Redaktur Pelaksana.
"Ya." "Sudah baca beritamu yang dimuat hari ini""
"Ya." "Ada komentar""
Ali Topan berpikir sejenak. Sejak Sekretaris Redaksi menyampaikan pesan, ia sudah punya perkiraan, undangan ini ada sangkut-pautnya dengan berita yang dibuatnya. Sejak mula ia menangkap simpati yang terpancar di mata orang itu. Sebagai orang yang baru dikenal, ia merasa diperhatikan oleh sang Redaktur Pelaksana.
139 "Ada komentar"" Redaktur bertanya lagi.
"Itu berita yang saya buat pertama kali dan langsung dimuat, di halaman depan lagi. Saya sangat senang, terima kasih Pak Gun." jawab Topan hati-hati.
"Senang karena dimuat atau karena honornya," gurau si Pak Gun.
"Dua-duanya." "Komentar lain""
"Justru saya ingin tahu komentar anda sebagai orang top disini."
"Tulisan kamu bolehlah. Tapi lebih mirip cerita kriminal. Terlalu panjang dan berliku-liku sebagai berita. Ma-kanya saya persingkat.Apa memang suka bikin cerpen""
"Belum pernah," kata Ali Topan, "bikin berita itu juga kebetulan. Yang mendorong kawan saya ini," sambungnya sambil menengok ke arah Harry.
"Sekolah atau kuliah" Di mana""
"Di jalanan." "Hh"" Wartawan itu bertanya lebih lanjut tentang sekolah dan latar belakang keluarganya. Ali Topan menjawab seperlunya soal sekolah. Soal keluarganya ia mengelak.
"Sebetulnya Bapak mau apa sih sama kami"" katanya mengalihkan pembicaraan yang menyangkut pribadinya.
"Mmmm. saya tertarik sama kalian. Terus terang, jarang ada anak seumur kalian berminat di bidang kewartawanan. Saya tergoda rasa ingin tahu dorongan kalian nulis di Ibu Kota. Kok tidak ke koran lain" Harian Ibu Kota suka dibilang koran tukang becak dan sopir-sopir bis"Yaah, koran rakyat kelas bawah lah, kasarnya."
"Bapak kelas bawah atau kelas atas"" tanya Ali Topan sambil mengulum senyum nakal. Redaktur itu kaget mendengar pertanyaan yang berani. Ia meraba maksud terten140
tu dalam pertanyaan Ali Topan. Hm rasanya belum pernah dia menemukan seorang anak muda yang sikap dan kata-katanya sepertiAliTopa
n. Ia mengulum senyum cerah.
"Kalian mau serius di bidang kewartawanan atau cuma iseng-iseng"" "Saya serius, Pak!"
"Bagus" Cita-citamu dulu ingin jadi apa""
"Cita-cita lu apa, Har"" Ali Topan mengoper pertanyaan ke Harry.
"Saya... saya ingin jadi fotografer yang... yang... yang sukses," kata Harry.
"Kamu, Pan"" tanya si Redaktur.
"Saya tanya kamu""
"Sederhana. Saya ingin jadi orang berilmu yang berguna dalam kehidupan ini, Pak," kata Ali Topan.
"Orang tua kamu siapa dan bekerja di mana "" tanya Pak Gun. Ali Topan tertegun.
"Ayah saya Amir namanya. Dia ber-bisnismen dan saya tidak suka membicarakan tentang dia," kata Ali Topan wajahnya muram.
"Ibumu bekerja juga""
Ali Topan diam, menatap muka Pak Gun, Harry melihat ketegangan wajah Ali Topan.
"Anda mengundang kami untuk urusan orang tua atau urusan diri kami sendiri"" tanya Ali Topan. Ia berdiri sikapnya berwibawa.
Naluri kewartawanan Pak Gun menangkap suatu drama keluarga di balik sikap Ali Topan yang enggan berbicara tentang orang tuanya.
Segera ia bersikap bijak. "Begini... Begini... saya terkesan dan bersimpati pada kalian, anak-anak muda yang berjuang dalam kehidupan ini. Teruslah berkarya,
141 dan memperdalam ilmu kewartawanan," katanya. Pak Gun membuka laci mejanya.
"Saya mau memberi pinjaman beberapa buku tentang kewartawanan. Mungkin kalian tertarik dan ada minat membaca buku-buku ini," sambungnya. Empat buah buku berbentuk stensilan tak terlalu tebal ia berikan pada Ali Topan dan Harry.
Ali Topan membaca sekilas judul buku-buku stensilan itu. Buku pertama, agak tipis, berjudul "KodeEtikJurna-listik." Buku kedua, lebih tebal, berjudul "Wartawan Ideal"" Buku ketiga berjudul "Berita"" Buku ke empat "News Photography". Buku pertama terbitan PWI, sedangkan dua buku yang lain cuma mencantumkan inisial pengarangnya, G.M. Buku "News Photography" berbahasa Inggris, terbitan Amerika Serikat.
"Anda karang sendiri"" tanya Ali Topan.
"Bawa dan baca semua isinya. Kukira itu lebih penting dari siapapun pengarangnya."
"Mm. saya selalu menilai sebuah buku juga dari pengarangnya. Sebuah buku toh bukan hanya kumpulan kertas dengan barisan kata-kata""
"Right!" kata redaktur itu dengan mata bersinar, "Nah, saya pikir cukup untuk kali ini. Satu waktu kita bertemu lagi. Okey" Terima kasih atas kedatangan kalian."
"Terimakasih atas undangan dan buku-buku ini," sahut Topan. Ia berdiri diikuti Harry. Keduanya keluar dan turun di tingkat bawah.
Sekretaris Redaksi sedang sibuk melayani banyak tamu. Keduanya cuma melambaikan tangan dan berjalan terus meninggalkan kantor itu.
Di dalam bis menuju Kebayoran, Harry menggamit Ali Topan.
"Lu kalau menghadapi orang mantap ya, Pan," kata
142 Harry. "Sama-sama makan nasi. Kalo doi makan menyan baru kita pasang kuda-kuda," sahut Ali Topan.
Beberapa orang penumpang ketawa geli mendengar ucapan Ali Topan. Harry pura-pura melihat ke luar jendela. Ia malu banyak orang menengok ke arah mereka.
Ali Topan mengalihkan perhatian dengan membaca buku "Wartawan Ideal."
Harry turun di bunderan Air Mancur di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Dia hendak ke kantor Berita Dunia di Jalan Tanah Abang II, untuk membayar cicilan tustel pada Mas Muharjo.
Ali Topan terus ke Kebayoran. Dia bermaksud pergi ke Rumah Sakit Fatmawati, menengok ibunya yang masih beristirahat di sana. Di samping itu ia ingin duduk di bawah pohon di tepi lapangan golf yang berdampingan dengan rumah sakit, untuk membaca tiga buku pinjaman redaktur Ibu Kota itu.
143 SEBELAS Sepanjang perjalanan Ali Topan merenung. Dalam hatinya ia bersyukur kepada Tuhan yang telah mengakrabkannya dengan Harry, dan lewat Harry
ia berkenalan dengan dunia kewartawanan. "Hari ini adalah satu hari yang ajaib," gumamnya. Hari
ia menulis berita pertama, yang dimuat pada suratkabar
Ibu Kota. Ada suatu yang lepas bernama pertanyaan dan tantangan yang ia ucapkan kepada Anna Karenina tempo hari, ketika gadis itu bertanya di restoran American Hamburger, "Kalau nggak kuliah kamu akan jadi apa"" Yang ia jawab dengan pertanyaan pula, "Kalau kamu kuliah akan jadi apa""
Itu adalah persoalan eksistensial: jadi, menjadi. Sejak di s
ekolah dulu Ali Topan sudah bertanya-tanya mengapa para pejabat negara yang tamatan universitas-universitas dan perguruan-perguruan tinggi dalam maupun luar negeri itu korupsi, dan boleh dibilang tidak ada prestasi mereka sedikitpun untuk mengangkat derajat rakyat ke level yang lebih tinggi.
Ali Topan ingat ia pernah menulis artikel di majalah OSIS yang berjudul Sekolah Tinggi Tanda Tangan. Dalam tulisan itu ia menyatakan: Jika para pejabat tinggi pemerintahan kerjanya cuma menanda-tangani surat-surat hutang ke luar negeri, tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Para pengemis dan abang-abang becak pun bisa mengerjakan itu semua.
Ia tidak boleh menulis lagi, dan Majalah OSIS dikenai
144 sensor ketat, gara-gara tulisannya itu.
Kini ia merasa ada sesuatu celah untuk membuktikan, tanpa kuliah di UI. Ia akan dapatmenjadi seseorang yang berarti di masa depan. Perjalanan panjang untukmenjadi seseorang kumulai hari ini, kata hatinya sendiri.
KetikaAli Topan tiba di rumah sakit, mamanya sedang tidur. Ia meletakkan suratkabar Ibu Kota di atas meja ruang inap mamanya. Kepada Suster Cut Mina yang bertanya, Ali Topan berkata, "Berita yang saya tulis dimuat pada halaman satu HarianIbu Kotaitu" Informasi itu segera tersebar di kalangan perawat dan dokter-dokter.
Harian Ibu Kota yang dijual oleh dua orang pengecer laku keras di rumah sakit siang itu. Dan Ali Topan - anak jalanan yang keren, berambut gondrong, bercelana blue jeans lusuh, berjaket blue jeans yang lengannya buntung, dan yang setia menunggui mamanya di Ruang VIP- ngetop di kawasan itu. Sebab sejak hari pertama ia datang menjenguk mamanya, sosok yang jantan dan tampangnya menakjubkan telah menyedot perhatian perawat-perawat ruang VIP.
Sore harinya, Dokter Romeo Sandi, Kepala Bagian Ruang VIP yang mengontrol kondisi Nyonya Amir mendengar informasi dari seorang perawat tentang "berita" yang di tulis Ali Topan.
Usai memeriksa Ny. Amir, dokter Romeo Sandi menjabat tangan Ali Topan yang ikut melihat mamanya. "Saya baca berita yangAnda tulis di HarianIbu Kota hari ini. Saya tidak menyangka anda seorang wartawan. Selamat. Saya senang berkenalan dengan Anda," kata dokter yang simpatik itu.
Ali Topan sempat bengong sesaat mendengar sikap dokter Romeo yang menghargai dirinya sebagai wartawan.
145 "Wartawan"" gumam Ali Topan.
Dokter Romeo Sandi menepuk bahuAli Topan, kemudian melanjutkan pengontrolannya ke pasien-pasien lainnya.
Betapa dahsyat penghargaan kepada seorang wartawan, katanya dalam batin. Buktinya, seorang dokter senior yang menduduki jabatan penting di rumah sakit besar menyatakan salut. Demikian pula beberapa perawat yang sebelumnya bersikap kurang bagus, berubah lebih baik.
Betapa tinggi penghargaan orang kepada seorang wartawan. Itu fakta yang terrekam pada batin Ali Topan, meskipun ia tidak merasa sebagai wartawan. Ia hanya "kebetulan" ketemu seorang bocah yang dirampas sepatunya oleh penjahat, dan "ceritanya" itu dimuat di suatu suratkabar. Tiba-tiba "peristiwa kebetulan itu" membuat dirinya terangkat ke suatu keadaan yang menakjubkan !
Seperti mimpi. Tapi bukan mimpi... *** Hari-hari bulan Juni mendatangi Jakarta bersama penyakit flu, muntaber dan beberapa jenis penyakit massal lainnya. Udara panas, kering dan berdebu, terutama pada siang hari.Anak Gunung Krakatau di Selat Sunda memang sedang aktif, menyemburkan lava dan gas panas. Malam hari udara dingin oleh hujan deras dan tiupan angin kencang.
Sudah empat belas hari Ny. Amir dirawat di rumah sakit. Keadaan fisiknya berangsur sembuh, namun Ny. Amir masih suka bengong, tak mau bicara. Beberapa kali pada malam hari ketika hujan deras, Ny. Amir berteriak histeris. Bayangan tragedi tabrakan mobilnya yang
146 menewaskan Tommy meneror jiwanya.
Hari itu hari kelima belas Ny. Amir dirawat. Sejak kemarin Ali Topan merasa tak enak badan. Ia terkena flu : batuk, pilek, kepalanya pusing dan demam.
Malam ini hujan deras sekali. Ali Topan menggigil di kursi ruang tunggu ruang VIP. Suhu tubuhnya tinggi, mulutnya terasa pahit. Perutnya laper, tapi ia tak berselera makan. Pagi tadi ia cuma makan beberapa sendok nasi, sepotong tempe, sep
otong tahu goreng dan sebutir telor bebek asin dengan sambal kecap yang diberi potongan potongan bawang merah dan cabe rawit sepuluh biji.
Jam delapan lewat, usai menemani dokter Romeo Sandi memeriksa para pasien, Cut Mina mendatangi Ali Topan yang sedang menggigil. Jaketnya basah. "Anda kena flu, kata perawat bermata ebony itu sambil menyentuh leherAliTopan dengan punggung tangannya. "Panas sekali," sambungnya. "Ayo ke dokter Romeo sebelum ia pulang," lanjutnya lagi. Ali Topan mengangguk. Kepalanya pusing sekali.
Cut Mina bergegas ke ruang kantor dokter Romeo di dalam ruang pavilyun itu.Ali Topan mengikuti perlahan.
Dokter Romeo sedang mengenakan jaket kulit yang biasa ia pakai pulang seusai tugas malamnya, ketika Cut Mina mengetuk pintu.
Dokter Romeo membuka pintu. "Ada apa, Suster"" ia bertanya. Ia melihat Ali Topan berjalan pelahan.
"Ali Topan kena flu, Dok," kata Cut Mina.
"Memang sedang musimnya.Ayo masuk," kata dokter Romeo. Ia berjalan ke mejanya, dan mengeluarkan alat penyuntik serta sebotol kecil obat antibiotika dari laci meja.
Ali Topan masuk dan duduk di kursi. "Wartawan tum-bangjuga oleh flu, ya"" kata dokter Romeo. Ia menyentuh
147 leher, pipi dan jidat Ali Topan. Ia pun memeriksa mata dan tenggorokanAliTopan. Laluiamembersihkanjarum suntik dengan alkohol dan menyedot obat cair bening botol bertutup karet dengan alat penyuntik tersebut. "Mojok sana. Buka pantatnya, eh celananya" kata dokter Romeo. Ali Topan melihat sekilas ke Cut Mina yang berdiri di pintu. "Nah, biar suster Mina yang menyuntik."
Mau tak mauAliTopan berdiri dan melangkah ke pojok ruang kecil itu. Ia meloloskan celananya sebatas pantat. Sambil berdiri, pantatnya disuntik oleh suster Mina. "Uhhh!" Ali Topan mengejang ketika jarum suntik menembus bagian pantatnya dan cairan obat disuntikan oleh suster Mina.
"Kalau nyuntik ehhh.., kalau disuntik Uh !," kata dokter Romeo, ngeledek.
"Ah, saya belum pernah nyuntik, Dok. Masih orisinil," kata Ali Topan.
"Heh... heh... heh...," dokter Romeo terkekeh-kekeh. "Suster terima kasih," kata Ali Topan.
Suster Mina mengusap bekas suntikan di pantat Ali Topan dengan kapas berakohol lalu ia mematahkanjarum suntik dari tabungnya yang terbuat dari plastik. Lalu ia buang jarum beserta suntikannya itu.
Dokter Romeo mengambil tiga macam obat, yang ia peroleh sebagai contoh dari pabrik obat, dari tasnya, sementara Ali Topan duduk lagi di depannya.
Dokter Romeo merinci obat-obatan tersebut di atas meja. "Yang kemasan perak dan merah ini diminum tiga kali sehari. Yang hijau ini multivitamin, minum dua kali sehari," kata dokter Romeo.
"Terima kasih, Dokter. Berapa saya harus bayar"" kata Ali Topan.
Dokter Romeo menatap wajah Ali Topan. "Untuk
148 seorang anak yang berbakti kepada mamanya, nggak usah bayar. Gratis, okey"" katanya sambil berdiri.
"Terima kasih, Dokter," kata Ali Topan sambil mengulurkan tangannya yang disambut hangat oleh dokter Romeo. Ali Topan berdiri, meraup dan memasukan obat itu ke saku jaketnya. Lalu ia ke luar diikuti suster Mina. "Jaket Anda basah. Kalau mau, ayo kita ke asrama saya. Saya akan meminjami jaket saya," kata suster Mina.
"Anda baik hati sekali, suster... mau memperhatikan saya," kata Ali Topan haru.
"Panggil saja Mina, atau kakak...," kata Cut Mina. "Ayo, kita berjalan kaki saja. Asrama saya di belakang rumah sakit ini," lanjutnya.
Cut Mina mengambangkan payungnya yang bergambar bunga-bungaan berwarna kuning merah. Di bawah payung itu mereka berjalan menyeberangi halaman yang disiram hujan, ke bagian belakan rumah sakit Fatmawati. Hujan makin deras disertai angin kencang. Ali Topan dan Cut Mina terus berjalan. ***
Bulan Juli, minggu pertama.
Hujan mulai berkurang. Ny. Amir sudah pulang ke rumahnya, diantar Ali Topan, minggu lalu. Pak Amir tak di rumah waktu itu. "Mbok mana tahu, Pan. Sudah dua hari bapak ndak pulang," kata Mbok Yem, ketika Ali Topan menilpon ke rumah ayahnya untuk memberi tahu bahwa mamanya sudah boleh pulang.
Untunglah Windy, kakak Ali Topan, pulang. Windy usaishooting film "Setan, Sex, Kemenyan dan Kondom" ia dapat menemani mamanya dirumah.
Windy sudah mendengar d ari Mbok Yem tentang Ali Topan yang meninggalkan rumah. Windy sebetulnya berhati baik, tapi sejak kecil ia tidak diajari budi pekerti
149 yang baik dan tidak dilatih mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah, hingga ia tumbuh jadi gadis bego.
Sejak kecil Windydimanjakan dengan limpahan harta-benda oleh papa dan mamanya. Ia dan Boyke -abangnya- tumbuh dan besar menjadi orang-orang yang berkepribadian lemah, berwatak angkuh dan keras kepala. Mereka sejak kecil dicekoki basa-basi, bukan ketulusan. Mereka khas orang-orang materialis yang hanya menghargai materi, termasuk kalau memandang orang lainnya. Mereka hanya "menghitung" atau menganggap "ada" orang-orang yang kaya. Orang-orang yang miskin tidak dianggap oleh mereka.
Mengapa Ali Topan berbeda" Karena dia dianugrahi watak yang bagus. Dan sejak kecil diasuh oleh Mbok Yem dengan cinta, kasih-sayang yang tulus. Mbok Yem pun melatih Ali Topan membersihkan kamarnya sendiri, mengepel, mencuci piring dan bahkan memasak. Yang lebih penting, si Mbok menyemaikan benih-benih kepercayaan atau keimanan dengan Allah kepada Ali Topan, melalui observasi sederhana tentang berbagai ciptaan Allah yang bisa dilihat, didengar dan dirasai. Tentang langit, bumi, pepohonan, hujan, burung-burung yang terbang berkicau, ikan-ikan dalam akuarium, tentang petir dan guruh, awan yang berarak, buahan dan sayur-mayur. Juga tentang bumi, bulan, bintang-bintang dan matahari. Tentang fajar, siang, senja dan malam hari. Dalam jiwa Mbok Yem ada unsur keibuan dan keguruan yang cocok dengan batin seorang anak yang memang membutuhkan santapan rohani yang sehat.
Siang itu, sehari setelah mengantarkan mamanya pulang dari rumah sakit, Ali Topan berbicara dengan Windy di beranda rumah Pak Amir.
"Pan! Kenapa sih lu"" Gue denger dari Mbok Yem lu
150 nggak mau lagi tinggal di rumah ini. Apa mau lu, sih"" kata Windy dengan nada suara tinggi dan menghakimi.
Ali Topan tak segera menjawab. Ia sejak dulu tak suka cara bicara Windy yang selalu membentak, mengumpat dan tak peduli perasaan orang lain. Dan memvonis tanpa
fakta! "Tega amat lu! Gue rasa mama kecelakaan itu gara-gara mikirin lu! Sadar dong lu!" bentak Windy lagi.
"Eh, monyet! Lu bisa ngomong secara baik-baik apa kaga"" kata Ali Topan.
"Eh! Sialan lu! Ngatain gue monyet! Lu tuh yang kayak monyet! Dasar anak keras kepala! Dari dulu lu begitu! Kagak kena dibilangin!" kata Windy. Matanya membelalak.
"Lu yang keras kepala, ngatain gue keras kepala. Goblok! Lu tuh anak bego, Windy. Kayak Mama, Papa dan si Boyke! Lu orang bego semua," kata Ali Topan.
"Lu yang bego!" kata Windy. Ia menyalakan rokok putih dan menghisapnya. "Sok lu! Ngatain semua orang bego! Yang bego elu! udah enak dirumah, apa-apa ada, malah lu pergi! Kagak mau kuliah! Mau jadi ape lu entar"" lanjutnya.
Windy tak pernah menang kalau ngomong dengan Ali Topan. Ia -dalam batinnya- sejak dulu mengakui kalau adiknya itu memang pake fakta dan logika. Sedangkan Windy hanya mengandalkan statusnya sebagai seorang kakak yang harus dituruti oleh adiknya. Dan ia tahu, Ali Topan tak pernah mau menuruti omongan yang tidak lojik. Tapi Windy, seperti juga orangtuanya, dan orang-orang yang "merasa berkuasa" lainnya, selalu berusaha memaksakan, menekan dan menindas logika.
Bagaimana mungkin" "Gue tau dari kecil lu kagak bisa dibilangin! Tapi
151 sebagai kakak wajib hukumnya bagi gue untuk nasehatin elu!" kata Windy.
"Lu kira elu ngebilangin atau nasehatin gue" Lu tuh dari dulu bukannya ngasih nasehat! Lu cuma nyela, ngumpat, dan memvonis gue. Cara ngomongan lu aje selalu ngebentak-bentak bikin sakit ati gue! Tapi ke orang lain, apalagi kalo ada mau lu, lu bisa ngomong alus, ngerayu... Sadar nggak lu"" kata Ali Topan.
"Udah deh... percuma ngomong sama lu! Kayak ngomong sama tembok!" kata Windy kesal.
"Tunggu dulu... belon tuntas omongan kita. Kan lu kemaren yang minta gue dateng ke sini buat omong-omong. Gue perlu-perluin dateng. Kita ngomong buka-bukaan aje...," kata Ali Topan dingin. "Kalo gue salah lu buktiin di mana salah gue, kalo elu bener lu tunjukin di mana kebenaran lu," lanjutnya.
"Gue cuma pengen tau, kenapa lu perg
i dari rumah ini"! Dan kenapa lu kagak mau kuliah"" kata Windy sambil mengangkat kakinya ke atas meja.
Ali Topan hendak menyepak kaki Windy dari atas meja, tapi tak jadi. Ia merasa ia kini bukan warga rumah orangtuanya. Ia sudah menyatakan ke luar. Ia seorang tamu. Windy pihak yang punya rumah, jadi suka-suka dia menaruh kaki di meja, begitu perasaan Ali Topan.
"Kok lu diem"!" kata Windy lagi.
"Daripada gue berantem sama papa, mendingan gue pergi," kata Ali Topan.
"Itu salah! Lu ngalah dong! Emangnya lu mau ngebuang silsilah, nggak mau ngakuin papa sebagai papa
lu"!" "Eh Wind! Gue nggak pernah ngomong bahwa gue nggak ngakuin papa sebagai papa gue. Itu udah takdir. Jadi elu jangan muter balikin fakta. Gue pergi dari rumah
152 ini karena gue udah muak di rumah ini. Gue tertekan. Batin gue...," kata Ali Topan sedih.
"Itu salah lu sendiri kalo tertekan! Lagian siapa yang menekan lu"! Rumah gede, makan tinggal makan, doku tinggal minta! Lu aje yang kagak mau bersandiwara kayak gue," kata Windy.
"Lu mau jadi gelandangan" Kumpul sama gembel-gembel, preman-preman dan manusia-manusia sampah lainnya"" tanya Windy, sinis.
"Banyak orang-orang rumahan yang jiwanya lebih gembel, lebih preman dan lebih sampah dari orang-orang jalanan Windy...," kata Ali Topan. Ia melayangkan pandangannya ke dalam rumah, lalu berbalik, berjalan meninggalkan Windy yang terdiam.
Ali Topan melewati halaman, menepuk bahu Amin, tukang kebun yang sedang memberi pupuk tanaman. Lalu keluar, berjalan kaki menyusuri jalanan. Ke depan. Ia harus "jadi". "Menjadi" walau tak tahu apa yang terjadi.
Percakapan dengan Windy memunculkan suatu ide yang bagus dalam benak Ali Topan. Ia akan melakukan serangkaian wawancara dengan apa yang dibilangWindy sebagai "manusia-manusia sampah ".
"Omongan kakakku itu aku nilai sebagai tantangan buat kita, Har. Dan juga buat sodara-sodara dan teman-teman kita di jalanan. Omongan itu boleh dibilang mewakili anggapan orang-orang gedongan yang sok, sombong, angkuh dan goblok! Yang mengira makhluk-makhluk di jalanan itu sampah! Bukan orang! Jadi, kita akan buktikan kepada monyet-monyet itu, bahwa orang-orang jalanan itu manusia juga. Dengan segala kekurangan dan kelebihan mereka," kata Ali Topan, mendoktrin Harry.
153 Harry setuju saja. Karena memang dia merasa dengan pikiran-pikiran Ali Topan. Dia merasa naik derajat bekerja sama dengan Ali Topan yang cerdas, sigap dan berani.
Untuk sementara, mereka menjadikan bagian belakang kios Oji sebagai tempat tinggal. Dan mereka menyusun daftar orang-orang jalanan yang akan mereka wawancarai: Oji penjual kembang, Munir penjual suratkabar dan majalah, Tresno pengamen Pasar Kaget.
"Dan satu sohib gue, seorang preman yang udah sadar. Namanya Hasan Dinar, panggilannyaAcang. Dia lulusan Cipinang dan Nusakambangan. Sekarang jadi guru ngaji di kalangan preman," kata Ali Topan.
"Tapi... Pan..., apa redaktur Ibu Kota mau memuat cerita-cerita tentang teman-teman kita itu"" tanya Harry.
"Kita coba aja," kata Ali Topan.
*** Wawancara dengan Fauzi alias Oji dilakukan malam harinya, sekitar jam delapan malam. Sebelumnya, sore harinya, Harry sudah memotret Oji dengan latar belakang bunga-bunga di kiosnya.
"Lu mau nanya apa sih, Pan" Gue jadi malu. Lurah bukan, Camat bukan, pake diwawancarain lagi. Kagak bakal ada yang baca deh. Lu percaya gue," kata Oji, berpura-pura.
"Lu mau kagak" Gue kagak maksa, nih..," kata Ali Topan.
"Ya mauuu...," kata Oji sembari cengengesan.
"Nah, sekarang kita mulai. Lu jawab aje apa yang gue tanya. Pertama, siapa orangtua lu, berapa orang lu beso-dara kandung, siapa nama bini lu, kalau udah punya anak, berapa anak lu, apa pendidikan lu, kapan lu mulai dagang kembang dan kenapa lu milih usaha dagang kembang,"
154 kata Ali Topan. "Atu-atu, Pan. Bingung gue ngejawabnye kalo lu nanya ngeberontot begitu..," kata Oji.
"Itu gambaran umumnya. Nanti gue urut satu persatu pertanyaannye," kata Ali Topan sambil bersiap-siap menuliskan cerita si Oji.
Fauzi alias Oji usia 24 tahun adalah anak ke enam dari sembilan bersaudara anak Pak Fuad, petani bunga di kawasan Rawa Belong, Jakarta Barat. Pendidi
kan formalnya sampai kelas satu SMA. Sejak kecil ia bekerja membantu ayahnya, hingga Oji cukup mengerti urusan perbungaan, utamanya bunga anggrek.
Oji sudah kawin dengan Sanem, perempuan Tegal, beranak dua, namanya Siti Katleya dan Mawar Pagi.
"Cakep nama anak-anak lu, Ji," kata Ali Topan, "Ah, baru lu aje yang bilang nama anak-anak gue cakep, Pan. Waktu gue kasih nama dulu, baba gue, nyak gue, ame permili-permili gue pade nyap-nyap semua. Kate nyak gue, mentang-mentang petani kembang punya anak dinamain nama kembang. Entar layu lu," celoteh si Oji.
"Tapi gue antepin aje. Anak-anak gue, gue bikinnya capek, terserah gue namenye, bener kagak, Pan. Mereka sih pada ngusulin nama-nama perempuan Arab, tapi gue catet aje itu nama-nama. Kagak gue pake," kata Oji.
"Kenape"" sela Harry.
"Alasan gue sih ringkes aje. Supaya anak-anak gue didemenin orang-orang kaya, orang-orang berpangkat, bagaikan... eh bagaikan lagi, kayak kembang anggrek sama kembang mawar yang namenye gue pakein ke anak-anak gue itu.Yang demen beli kembang kan orang-orang kaya ama orang-orang berpangkat, iya kagak" Kalo orang miskin boro-boro beli kembang, beli beras pera iye bakal nangsel kampung tengahnye. Pan kagak
155 lucu kalo gue namain anak-anak gue Beras Pera atau Tales Bogor," kata Oji sembari ngakak.
Ali Topan dan Harry ikutan ngakak terbahak-bahak sampai keluar airmata mereka. Tawa lepas di malam hari itu sungguh menghibur hati, meringankan beban batin Ali Topan.
Sampai 'tuntas' Ali Topan mewawancarai Oji yang ternyata pandai bercerita. Ali Topan mencatat hampir semua cerita tukang kembang yang baik hati itu.
Usai wawancara, sekitar jam sepuluh lewat dua puluh menit malam. "Bakal dimuat apa kagak cerita gue itu, Pan"!" tanya Oji.
"Gue usahain," kata Ali Topan.
"Iya dah, terime kasi, sekarang gue mau pulang dulu ye," kata Oji. Ia merogoh saku celananya, mengambil uang Rp 1.000 dan hendak menggenggamkannya ke tangan Ali Topan. "Ini bakal beli roko ye," katanya.
"Apaan" Kagak perlu!" kata Ali Topan sambil menge-pret tangan Oji. "Wartawan itu kagak boleh terima duit dari orang yang diwawancarai. Gue baru baca peratur-annye," lanjutnya.
"Emang ada peraturannye"" tanya Oji.
"Ada," sahut Ali Topan. "Udah lu pulang aje. Bini lu entar kesemutan kelamaan nungguin elu," sambungnya.
"Iya dah. Salam lekum," kata Oji sambil berjalan ke depan kiosnya.Ali Topan dan Harry membalas salam itu.
Tak lama kemudian terdengar suara mesin motor Honda CB 100 dinyalakan Oji."Gue cabut, Paan!" teriak
Oji. "Yei!!" balas Ali Topan.
Suara sepeda motor yang dikendarai Oji memecah kesunyian malam, dan segera menjauh. "Dahsyat juga kisah si Oji, Pan. Mudah-mudahan
156 redaktur Ibu Kota mau memuatnya," kata Harry.
"Mudah-mudahan...," kata Ali Topan.
Bayangan bulan bergerak di permukaan danau kecil Blok C yang dikelilingi kios-kios bunga. Teratai-teratai putih dan ungu bermekaran mengambang.
157 DUA BELAS Sekitar jam setengah delapan pagi Ali Topan dan Harry sudah berada di kios Munir. Harry langsung memotret kesibukan Munir menata majalah dan surat-surat kabar di rak kiosnya.
"Tumben-tumbenan kalian datang pagi. Dan lantas main jeprat-jepret tanpa omong. Mau dimasukin suratkabar," kata Munir.
"Iya, Nir. Kami mau wawancarai kau. Tentang perjuangan kau sebagai penjual majalah dan suratkabar," kata Ali Topan.
"Aah... nggak perlulah! Seperti apaan aja. Aku tak mau," kata Munir. "Baru bikin berita sekali saja gaya kalian sudah seperti wartawan-wartawan kawakan. Pagi-pagi sudah cari mangsa. Aku lagi yang mau dijadikan mangsa hah hah hah," lanjut Munir.
"Tolonglah, Nir... Aku dan Harry baru mulai menapak karir, nih. Kami bersepakat menuliskan kisah-kisah orang-orang jalanan. Kemarin kami sudah mewawancarai Oji, kawanku yang buka kios bunga di Blok C," kata Ali Topan.
"Aku tak mau. Titik. Kalian cari mangsa yang lain saja," kata Munir. "Kalau kau mau baca suratkabar atau majalah seperti biasanya, baca saja, Pan," lanjutnya."Kau kira aku artis yang haus publisitas.Aku tak berminat jadi orang terkenal, Pan. Sorry," lanjutnya lagi.
"Serius, nih"" tanya Ali Topan.
"Kapan aku main-main" Seperti bar
u kenal aku sebulan dua bulan saja kau," kata Munir.
158
Ali Topan Wartawan Jalanan Karya Teguh Esha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau bilang kemarin aku hebat dan kau semangati aku berjuang terus, tapi sekarang kau menolak aku wawancarai. Nggak klop dong omongan dengan tindakan lu," kata Ali Topan.
Munir menghentikan kegiatannya mengatur majalah dan suratkabar. Ia menatap Ali Topan. "Nggak klop gimana" Kau jangan bikin aku tersinggung, Pan!Aku ini sarjana pendidikan tamatan Universitas Medan Area, maka aku tahu kalau kegiatan tulis menulis itu sangat penting untuk mencerdaskan suatu bangsa! Aku sendiri tak bisa menulis, maka ku bilang kau hebat... Dan aku sepenuh hati mengatakannya. Aku turut gembira, bangga, bahagia kau ternyata bisa menulis dan tulisan kau dimuat di suratkabar! Kau sudah aku anggap sebagai adikku sendiri .Aku kenal kau. Kau anak baik, kau cerdas, dan semangat juang kau tinggi. Maka aku semangati kau supaya maju terus sampai benar-benar mencapai sukses! Sukses buat kau sendiri, sukses buat beratus-ratus juta rakyat yang selama ini dibodohkan oleh orang-orang bodoh di negeri kita ini. Paham kau"" kata Munir.
Ali Topan terdiam. Ia selalu terkesan pada Munir. Nasionalis.
"Soal aku tak mau kau wawancarai itu soal lain. Tak ada hubungannya dengan dukunganku sama kau! Kau tahu alasanku"" lanjut Munir.
"Ia menyodorkan sebatang rokok ke Ali Topan dan menyalakan korek apinya untuk Ali Topan.
"Apa alasan kau"" kata Ali Topan setelah menghisap beberapa hisapan asap rokok.
"Bapakku mau aku jadi politikus. Dia itu orang PNI, Partai Nasionalis Indonesia yang sudah dibubarkan pemerintah karena tak mau bergabung dengan PDI, Partai Demokrat Indonesia bikinan Pemerintah. Dia mau aku
159 yang masuk PDI untuk membawakan aspirasi-aspirasi orang-orang nasionalis.Aku tak mau, karena aku merasa tak cocok sama politik. Buat aku, politikus sudah gagal membawa rakyat dan bangsa ini ke arah kemajuan. Berapa banyak politikus, tapi bangsa kita masih bodoh saja! Aku lebih percaya kepada profesi guru, pendidik. Aku bercita-cita mendirikan sekolah, tapi nasib bicara lain. Aku terdampar di ibukota, dan jadi penjual suratkabar dan majalah. Nah, kalau kau wawancara aku dan dimuat di suratkabar, maka akan ada dua orang yang tertikam perasaannya. Aku dan bapakku di Siantar sana. Mengerti kau"" kata Munir.
Ali Topan mengangguk. "Aku mengerti. Tapi aku menolak alasan yang tidak tepat itu," kata Ali Topan.
"Haah" Apa kau bilang"" Munir tampak heran.
"Tadi kau bilang, banyak politikus tapi rakyat masih bodoh. Tapi kau lupa, banyak juga guru di Indonesia, bangsa kita pun masih tolol. Kesimpulannya, para politikus dan guru-guru yang banyak itu sama-sama gagal mencerdaskan rakyat," kata Ali Topan.
Munir ternganga. "Iya juga ya," katanya. "Hebat kau. Kritik kau mengena," lanjutnya.
"Udahlah, jangan menghebat-hebatkan aku. Aku biasa-biasa aja. Normal. Sewajarnya. Tapi... di jaman abnormal dan tidak wajar ini, orang-orang yang normal dan wajar tampak hebat. Nah, kembali ke soal tadi.Terlau mengada-ada kalau perasaan kau dan bapak kau tertikam hanya karena pandangan kau dimuat di suratkabar. Itu cengeng namanya. Sedangkan lu sendiri ngebilangin gue supaya jangan cengeng...," kata Ali Topan.
Munir menggaruk-garuk kepalanya. "Yaah, terserah lu deh...," katanya sambil melanjutkan kerjanya.
"Jadi gue tulis omongan kita tadi ya""
160 "Kau aturlah bagaimana baiknya," kata Munir sambil menunjukkan jempol tangan kanannya.
"Makasih, Nir," kata Ali Topan. Ia memandang Harry yang tampak leg a ."Kita langsung ke Priok, Har, ke rumah Hasan Dinar," lanjutnya.
"Kau aturlah bagaimana baiknya," kata Harry meniru omongan Munir. Ali Topan dan Munir tertawa mendengarnya.
"Nir, kami cabut dulu. Horas!" kata Ali Topan.
"Horas!" sahut Munir.
Ali Topan dan Harry bergerak ke arah terminal biskota yang berjarak sekitar dua ratus meter sebelah Barat laut Pasar Melawai.
Langit cerah. Manusia berjubel, berjalan dengan wajah tegang, runyam dan tertekan seperti tentara-tentara kalah perang...
*** Mereka naik bis PPD jurusan Pasar Senen, Jakarta Pusat, dan dari sana nyambung lagi naik biskota ke terminal Tanjung Priok di Jakarta Utara. Dari situ naik oj
ek sepeda ke arah Cilincing di arah timur. Di situlah Pasar Uler, tempat pedagang blue jeans, sepatu dan barang-barang bawaan para kelasi luar negeri yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok.
Panas. Banyak manusia berbagai ras. Sibuk. Menggairahkan. Itulah suasana khas pelabuhan laut di mana-mana.
"Ini kawasan sangar. Mata jangan jelalatan, berjalan musti mantap tapi muka jangan tegang," bisik Ali Topan kepada Harry yang baru pertama kali kekawasan itu.
"Hasan Dinar buka kios kecil di belakang sana," lanjut Ali Topan. Ia berjalan beberapa langkah di muka. Harry
161 berjalan perlahan sambil memotret ke arah Ali Topan yang berjalan sigap di antara jubelan manusia yang menyesaki lorong-lorong kecil di Pasar itu.
Tiba-tiba seseorang bertubuh kurus, berpeci, menerjang Harry hingga terjengkang. Tustel Canonnya mengenai tubuh seseorang di belakangnya.
"Mau apa di sini" Kamu espe ya!" hardik si penerjang sambil menodongkan pisau badik ke arah jantung Hary yang tergeletak di lorong itu.
"Bunuh saja, Daeng!" teriak seseorang.
Harry terbelalak, gemetar ketakutan. Orang-orang mengerumuni dia. Seseorang menginjak kakinya, seseorang lainnya merampas tustelnya. Harry mengira dirinya bakal mati terbunuh tanpa tahu sebab-musababnya.
"Berhenti! Dia kawan saya! Dan saya saudaranya Daeng Acang!" Suara Ali Topan menghardik orang-orang yang mengerumuni Harry. Mereka semua melihat ke Ali Topan yang muncul di antara kerumunan orang.
"Siapa kamu"" kata si orang berbadik sambil menorehkan badiknya ke baju Harry, hingga baju di bagian dada Harry robek!
Ali Topan menatap tajam orang berbadik dan orang yang tadi menginjak kepala Harry. Pandanganya kuat berwibawa.
"Saya Ali Topan! Saya minta maaf kalau kawan saya melakukan kesalahan di sini!" kata Ali Topan tegas.
"Kamu apanya Daeng Acang"" tanya orang berbadik yang telah menyimpan badiknya di sela pinggang celananya.
"Dia sodara saya, Daeng Zaenal," kata seseorang berperawakan tinggi, kurus, berwajah ke arab-araban yang keras.
162 "Maafkan saya DaengAcang. Saya kira orang ini espe. Dia bikin foto-foto di sini tadi," kata Daeng Zaenal, si orang berbadik itu.
Ali Topan mengulurkan tangannya dan melangkah ke Daeng Zaenal. "Sekali lagi saya mintakan maaf untuk Harry, kawan saya ini. Dia baru belajar foto. Dia bukan espe," kata Ali Topan.
Daeng Zaenal menjabat tangan Ali Topan dengan hangat. Keberingasan wajahnya hilang berganti wajah persaudaraan. Ali Topan memeluk Daeng Zaenal, lalu mengulurkan tangannya ke orang Ambon yang tadi menginjak kepala Harry.
"Beta juga minta maaf," kata orang Ambon yang tubuhnya tinggi, besar, dan lengan kanannya dipenuhi tatto. "Nama beta Willem Siwabesi. Kalau ale Daeng Ali sodara Daeng Acang, maka ale beta punya sodara juga," lanjutnya. Ali Topan mengangguk-angguk, sambil memandang Harry yang berdiri culun di sebelahnya.
"Damai, Har.Maapin, mereka salah paham," kataAli Topan.
"Beta minta maaf, Bung," kataWillem Siwabesi sambil menjabat tangan dan memeluk Harry. Daeng Zaenal pun minta maaf, menjabat tangan dan memeluk Harry.
Seseorang memberikan tustel Canon ke Harry. "Hampir saja pindah tangan tustelnya," kata orang yang badannya gemuk, pendek dan kepala botak. Semua yang hadir di situ tertawa.
Ali Topan menggandeng Harry, menghampiri Daeng Hasan Dinar. "Salam alaikum, Daeng Hasan," kata Ali Topan. Daeng Hasan membalas salam itu dengan wajah ramah dan memeluk Ali Topan.
"Har, kenalkan abang ogut, Daeng Hasan," kata Ali Topan ke Harry. Harry mengulurkan kedua tangannya ke
163 Daeng Hasan. Ia pun dipeluk oleh Daeng Hasan. Lalu mereka bersama-sama ke kios Daeng Hasan.
Kios itu berupa bangunan dari papan berukuran dua kali tiga meter persegi. Atapnya dari sirap Kalimantan. Tiga sisi dinding ruangnya -kiri, kanan dan belakang- berfungsi pula sebagai rak-rak tempat, berslof-slofrokok 555, John Player Special dan Benson & Hedges; tas-tas samsonite dan tas-tas kulit wanita; celana-celana dan jaket blue jeans merk Lee dan Levi's; sepatu-sepatu bikinan Itali; baju-baju dan barang-barang luar negeri lainnya.
"Situasi negara saat ini sedang tegang. Gerakan-gerakan mahasiswa anti-koru
psi, anti hutang luar negeri dan antiABRI marak di mana-mana. Intel-intel berkeliaran, termasuk di kawasan Priok, khususnya di Pasar Uler sini yang dicurigai menjadi tempat barang-barang selundupan. Maka tadi itu, ketika Harry mempoto lantas dianggap espe oleh Daeng Zaenal. Itu pelajaran penting kalau memasuki daerah yang baru pertama kali di datangi," kata Daeng Hasan. "Untung Daeng Ali... he he he." Daeng Hasan tertawa geli.
Ali Topan tersenyum lebar. "Gara-gara peristiwa tadi saya dapat ceplosan nama Bugis dari orang Ambon. Daeng Ali... boljug," kata Ali Topan.
"Nokam itoku pantokes bakal loku, Pan... Kudoku diselokamin. DaengAli... DaengAli... he he he he... Ento-kar malokem kokit selokaman, Pan," kata Daeng Hasan.
"Yei, bang. Trimkokas," kataAli Topan sambil mengulum senyum.
Harry -yang rasa kaget dan ngerinya belum sirna- cuma diam saja. Ia sungguh merasa seperti baru terbangun dari mimpi buruk.
Singkat cerita, malam harinya, Daen Hasan
164 menyelenggarakan acara"selamatan" untuk pengukuhan nama Daeng buatAli Topan di rumah makan Makassar di ujung Pasar Uler. Daeng Zaenal, Willem Siwabesi dan beberapa tetua Bugis, Makassar, Ambon, Banten, Madura, dan pentolan-pentolan warga Tanjung Priok lainnya hadir atas undangan Daeng Hasan. Jumlahnya sekitar lima puluh orang, hingga Daeng Yusuf, pemilik rumah makan "Bugis Makassar" menggelar tikar dan suratkabar bekas di jalanan depan rumah makannya untuk duduk para undangan.
Para undangan itu umumnya memakai pakaian daerah masing-masing.
Daeng Hasan duduk bersila bersamaAli Topan, Harry, Daeng Zaenal, dan Willem Siwabesi di atas tumpukan papan-papan kayu yang disusun, menjadi pentas, di tengah ruang.
"Salamu alaikum Saudara-saudara, Bapak-bapak para tetua Bugis, Makassar, Banten, Madura, Irian, Aceh, Palembang, Riau, Minang, Batak, dan warga Priok yang terhormat. Terima kasih atas kehadiran Saudara-saudara dan Bapak-bapak sekalian memenuhi undangan saya.
Sebelum bicara lebih lanjut, saya perkenalkan dulu adik batin saya yang bernama Ali Topan," kata Daeng Hasan di awal acara.AliTopan berdiri dan membungkukkan tubuhnya ke arah para hadirin yang menyambutnya dengan tepuk tangan riuh.
"Dan seorang lagi, sahabatnya yang bernama Harry," lanjut Daeng Hasan. Harry pun berdiri dan membungkukkan badan ke arah para hadirin, yang disambut juga dengan tepuk tangan riuh.
"Tadi siang ada peristiwa salah paham kecil yang alhamdulillah akhirnya menjadi perdamian dan persaudaraan. Tadi siang itu, adik saya Ali Topan dan Harry
165 yang baru jadi wartawan datang dengan maksud mewawancarai saya untuk di muat di suratkabar. Harry yang suka memotret, telah memotret kesibukan di Pasar Uler tadi siang. Daeng Zaenal menyangka Harry itu espe yang mau memata-matai kita, sehingga Daeng Zaenal dan bung Willem Siwabesi marah.
"Alhamdulillah salah paham itu telah selesai. Saudara Ali Topan yang pernah menyelamatkan diri saya dari kejaran aparat waktu saya masih dinas aktip sebagai perampok bank, bertindak bijak," kata Daeng Hasan yang disambut tepuk tangan riuh.
"Bagaimana ceritanya, Daeng"" tanya seorang tua berbusana hitam-hitam. IaTubagus Rahmat, tetua Banten di Priok.
"Seperti dalam pilem, Ki Tubagus Rahmat... seperti dalam pilem," kata Daeng Hasan. Ia memandang Ali Topan dan menepuk-nepuk lengan Ali Topan.
"Waktu itu.., dua tahun yang lalu.. saya bersama partner saya merampok bank di Pasar Mayestik, Kebayoran. Kami berhasil, tapi begitu keluar dari bank itu, ada orang yang berteriak rampok, rampook! Pas di dekat bank ada patroli gabungan. Kami dikejar. Saya lari masuk Pasar dan keluar di jalan belakang pasar. Dua aparat dan orang-orang mengejar. Saya ditembakin, tapi Tuhan masih melindungi. Pelor aparat cuma menyerempet paha saya.
"Di saat genting itu, ada anak muda gondrong naik motor pelan. Saya melompat ke boncengannya dan saya bilang, tolong saya, tolong saya! Nggak pake nanya lagi, anak muda itu ngegas motornya, menyelamatkan saya, lolos dari kejaran aparat," tutur Daeng Hasan. Para hadirin bertepuk tangan riuh lagi.
"Yang saya salut, si anak muda penyelamat itu, menge166
butkan motornya melawan a
rus lalu lintas. Dia mengambil jalan-jalan tikus sampai ke perkebunan karet di daerah Parung. Di Parung, saya ditampung oleh seorang saudara. Dan anak muda penyelamat itu, yaituAli Topan ini, kembali ke Jakarta!" kata Daeng Hasan.Tepuk tangan riuh menggema di rumah makan itu.
Daeng Hasan memelukAliTopan. Laluiamelanjutkan "pidatonya". "Kembali ke acara malam ini... Tadi siang sewaktu terjadi peristiwa salah paham, Ali Topan mengatakan bahwa ia adalah saudara saya. Bung Willem Siwa-besi menyangka dia orang Bugis, sehingga dia memanggil Ali Topan dengan daeng. Daeng Ali."
Para hadirin bertepuk tangan lagi. Willem Siwabesi tersenyum lebar. "Soalnya dia bilang doi sodara Daeng Hasan, Jadi beta kira doi orang Bugis. Beta panggil doi Daeng Ali...," kata Willem Siwabesi. Para hadirin tertawa.
"Ya, ya.. di Priok sini kita semua saudara. Saudara batin, saudara hati. Saudara darah bisa berdarah-darah, tapi saudara batin atau saudara hati kita saling menyayangi dan mengasihi, setuju Bapak-bapak, Sudara-saudara"" kata Daeng Hasan.
"Setujuuuu!!" sahut para hadirin diiringi tepuk tangan riuh lagi.
"Nah, saya rasa nama Daeng yang diberikan oleh saudara kitaWillem Siwabesi kepadaAli Topan perlu disela-mati. Ini peristiwa langka. OrangAmbon beri nama daeng yang khas panggilan orang Bugis kepada anak muda dari Jawa. Dan Ali Topan suka dengan panggilan daeng itu. Nah, Bapak-bapak dan Saudara-saudara sebangsa setanah air, malam ini, saya Daeng Hasan bin Muhammad Isa, dengan mengucapkan Bismillahitohmanirrohim mengukuhkan panggilan
167 daeng buat penyelamat saya Ali Topan. Mulai hari ini kita panggil doi Daeng Ali!" kata Daeng Hasan yang disambut gemuruh tepukan tangan para hadirin.
Daeng Hasan menjabat tangan Ali Topan, diikuti Willem Siwabesi, Daeng Zaenal, Harry, para tetua suku dan hadirin lainnya.
Kemudian, acara selamatan yang menakjubkan malam itu dilanjutkan dengan acara makan Coto Makassar dan hidangan khas Bugis yang menakjubkan.
Usai acara, sekitar jam sepuluh malam, Ali Topan dan Harry diberi masing-masing celana dan jaket bluejeans oleh Daeng Hasan. Dan masing-masing ransel US Marine dari Wllem Siwabesi. Sedangkan Daeng Zaenal memberi masing-masing sepatu kets dan baju putih Arrow, khusus untuk Harry, Daeng Zaenal memberi badiknya.
Daeng Yusuf, ketua warga Bugis-Makassar, memberi badik dan kain sarung tenunan Bugis untuk Ali Topan. Julius Raweyai, ketua warga Papua memberi koleka dan tameng Papua. Sutan Ahmad, ketua warga Minang memberi buku resep makanan masakan Padang. Edwin Sigarlaki, ketua warga Menado memberi sambal ikan Roa, makanan khas Menado yang lezat. Pak Nuzur, ketua warga Riau memberi buku riwayat raja-raja Melayu tulisan tangannya. Rampan Borneo, ketua warga Dayak -Kalimantan, memberi sekeranjang obat racikan dari akar dan tumbuhan hutan.
Ki Tubagus Rahmat memberi sebuah cincin perak bermata batu zamrud. Tubagus Rahmat meloloskan cincin yang ia pakai itu ke jari manis Ali Topan. Pas. "Cincin ini pemberian uwak saya almarhum Tubagus Salam Hidayatullah, seorang jawara yang memimpin perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang di
168 Ujung Kulon. Di bagian dalamnya ada ukiran kalimat Tauhid, Syahadat La ilahailla Allah yang artinya Tidak ada sembahan kecuali Allah. Pakailah cincin ini untuk kebaikan. Dan yang lebih penting, camkansyahadah atau satu kesaksian yang haq itu dalam dirimu," fatwa Tubagus Rahmat.
Teuku Aziz, ketua warga Aceh memberikan sejilid Buku Al Quran dengan terjemahan BahasaAceh. "Kitab ini diwahyukan oleh Allah Robbal alamin kepada Muhammad Rosul Allah dan Pengkhotam para Nabi, sebagai Petunjuk untuk manusia. Kalau kau manusia, gunakan Al Quran sebagai Petunjuk keselamatanmu di dunia dan akhirat, Daeng Ali," kata Teuku Aziz dengan suara yang lembut menyejukkan kalbu.
Jam sepuluh lewat sembilan belas menit malam, Ali Topan dan Harry pamit. Willem Siwabesi dan Daeng Zaenal mengantarkan mereka naik sepeda motor sampai ke kios Oji.
Malam itu bintang gemintang berkedip-kedip di langit nan cerah. Bulan menjelang punama raya. Kelelawar-kelelawar besar terbang bagaikan bayang-bayang.
Kolam Blok C tenang. Teratai-teratai ungu, putih dan merah muda bermekaran. Jengkrik dan belalang malam menyuarakan kebebasan.
AliTopan mandi di sumur kecil di pinggir kolam. Harry meniup harmonika memainkan lagu Bob Dylan : The times there are changing...
*** Seminggu kemudian, tulisan Ali Topan tentang Oji, Munir dan "peristiwa" salah paham yang berakhir perdamaian serta pemberian nama Daeng, berturut-turut selama tiga hari dimuat oleh Harian Ibu Kota. Seri tulisan itu diberi judul "Rakyat Jalanan" oleh GM, sang Redak169
tur Pelaksana. "Tulisanmu ekspresif, kadang impresif, dan berani menggunakan ungkapan-ungkapan khas jalanan. Boleh juga. Relatif original, baik gagasan maupun penyampaiannya," kata GM, si Redpel pada hari pemuatan artikel pertama dari seri tersebut. "Tidak mudah memperjuangkan artikel serimu itu, Ali Topan. Ada juga yang menentang dalam Rapat Redaksi kemarin. Khususnya beberapa reporter muda yang mungkin merasa mendapat pesaing dan dua wartawan senior yang beranggapan kamu terlampau cepat diberi peluang hingga kamu bisa merasa besar kepala," lanjut GM.
"Terima kasih, Pak," kata Ali Topan terharu oleh dukungan yang diberikan GM. "Mudah-mudahan saya tau diri, nggak ge er," lanjutnya.
"Pemimpin Redaksi kirim pesan, apa kalian mau melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Kewartawanan. Beliau punya yayasan yang dapat memberi beasiswa,"
kata GM. Ali Topan melihat ke Harry. "Gimana, Har"" tanyanya.
"Daeng Ali gimana"" Harry balik bertanya.
Si Daeng Ali tersenyum. Ia memandang wajah GM. "Kami memasuki kewartawanan tanpa melalui Sekolah Tinggi. Maka biarlah kami menjadi wartawan dengan cara jalanan. Sekolah kami di jalanan," kata Ali Topan.
"Baik, kalau itu sudah menjadi pilihan kalian."
"Sampaikan salam dan terima kasih kami kepada bapak Pemimpin Redaksi dan seluruh teman yang bersimpati," kata Ali Topan.
"Insya Allah, Daeng Ali," kata GM sambil tersenyum dan menjabat tangan dua anak jalanan itu erat-erat. Dan GM menyuruh mereka terus mewawancarai orang-orang jalanan.
170 TIGA BELAS Langit kelam. Udara mulai kerontang. Pasar Kaget jam sepuluh malam. Ali Topan dan Harry minum Ovaltine dan makan roti bakar di kios Edos. Mereka akan mewawancarai Tresno dan Surman, dua pengamen Pasar Kaget yang sering tidur di Gelanggang Bulungan.
Mereka bisajuga mengarang lagu-lagu balada bertema cinta dan sebagainya. Ali Topan pernah menuliskan beberapa syair untuk lagu-lagu mereka.
Tresno itu arek Malang, usianya 22 tahun. Ia pernah kuliah sampai tingkat II di Sekolah Tinggi Hukum di Malang. Perawakannya tinggi besar, suaranya lembut, wajahnya keras, hatinya baik. Sedangkan Surman anak Cirebon, tamatan STM. Usianya 21 tahun, tinggi kurus, suka ngebodor, dan suaranya bariton. Mereka sangat berharap jumpa pemandu bakat di Pasar Kaget yang mau membawa mereka ke produser rekaman kaset. Sudah tiga tahun mereka di Jakarta, tapi harapan tersebut belum menjadi kenyataan.
Tresno dan Surman sedang menyanyikan lagu di kios bubur ayam Hens sekitar lima belas meter dari kios rotbak tempat Ali Topan dan Harry duduk. Mereka berdua tersenyum melihat Ali Topan dan Harry.
Lagu cinta usai dinyanyikan oleh Tresno dan Surman. Para pemakan bubur ayam memberi Rp 50 kepada mereka Surman. Lalu duo Pasar Kaget itu berjalan ke kios Soto Betawi di samping roti bakar. Seorang lelaki berambut cepak yang sedang makan soto segera mengusir Tresno dan Surman. "Jangan mengganggu
171 orang makan!" katanya dengan mata tak enak.
"Kami juga nyari makan, Mas...," gerutu Surman. Sambil berjalan ke kios Sate Padang di sebelah kios bubur ayam.
"Apa kamu bilang"" hardik lelaki berambut cepak itu sambil berdiri. Temannya yang juga berambut cepak menarik tangannya, hingga lelaki itu duduk kembali. "Anak ngamen saja kok diladeni," kata temannya.
Tresno memetik gitarnya. Surman mengangkat ukulele yang diarahkan keAliTopan. "Dines malem dulu, Pan !," kata Surman.
Ali Topan melambaikan tangan ke arah Surman.
Ia agak tertegun ketika pandangannya beradu dengan pandangan seorang lelaki RPKAD yang menengok ke arahnya dari kios sate Padang itu. Lalu lelaki itu melanjutkan makannya.
Surman bicara. "Selamat
malam saudara-saudara sebangsa setanah air. Saya Surman van Cirebon dan kawan saya Tresno Ngalam akan menghibur Anda," katanya dengan semangat.
"Kami akan menyanyikan satu lagu yang syairnya ditulis oleh kawan saya Ali Topan yang sedang makan roti bakar. Judul syairnya Indonesia Kaya. Melodi lagunya adalah refrein lagu Indonesia Raya karya WR. Supratman. Lagu ini mau diusulkan menjadi lagu kebangsaan he... he... he.. Selamat mendengarkan he he he," celoteh Surman
Lelaki berambut cepak di kios bubu ayam menengok ke Surman. Yang ditengok mulai menyanyi:
Indonesia kaya katanya siapa
tanahnya airnya punya siapa
Indonesia kaya yang kaya siapa
rakyatnya kok makin miskin saja...
172 Indonesia kaya kok banyak hutangnya Katanya Indonesia Kaya...
Demikianlah saudara-saudara sebangsa dan setanah
air" "He! Kamu subversib ya!" lelaki cepak berteriak dari tempat makannya sambil menuding Surman. Orang-orang di sekitar situ memusatkan pandangan mereka ke lelaki yang segera berdiri dan berjalan menghampiri Surman. Lelaki itu mencengkeram lengan Surman. "Kamu mau makar ya"" katanya.
"Mbakar apa, Pak"" kata Surman dengan muka bloon.
"Jangan banyak omong! Ayo ikut saya!" lelaki cepak itu menarik lengan Surman. Tapi Surman bertahan.
"Ini orang ngapain siih"" kata Surman sambil berusaha melepaskan cengkeraman orang itu.
Ali Topan melihat adegan itu.
"Kayaknya akan ada setori, Har," kata Ali Topan sambil bangkit dan bergegas menghampirii Surman. Harry menyusul sambil menyiapkan tustelnya.
"Ada apa, Sur"" tanya Ali Topan.
"Nggak tau nih, tiba-tiba orang ini marah-marah"
"Kamujangan ikut campur!Atau kamu saya bawajuga, mau!" hardik oknum cepak itu.
"Urusannya apa dulu nih" Kawan saya ini salah apa sama Anda"" tanya Ali Topan.
"Urusan belakangan! Sekarang kalian ikut saya!" kata orang itu.
"Lho anda ini siapa kok main bawa orang"" kata Ali Topan. Harry memotret adegan itu.
"Saya intel! Kamu mau apa" Ayo ikut semua!" Orang itu membuka jaketnya dan menongolkan sepucuk pistol kaliber 35 mm yang tergantung di dadanya. Lalu, dengan
173 kasar ia menarik Surman dan Tresno.
AliTopan berbisik ke Harry: "Kamu lekas cabut, Har... cuci filmnya, dan ganti dengan film baru. Aku mau mendampingi Surman dan Tresno..."
Harry segera pergi. Ali Topan menyusul oknum yang membawa Surman dan Tresno ke luar dari Pasar Kaget. Lelaki berbaret RPKAD di kios sate Padang memandangi kepergian Ali Topan. "Ogut suka ngelokit tongkrongan na'ak itoku," katanya kepada seorang gadis cantik yang duduk di sebelahnya.
*** Surman, Tresno dan Ali Topan dibawa naik jip Toyota Kanvas oleh dua lelaki cepak yang mengaku intel itu ke markas Kodim di jalan Hang Lekir. Bangunan markas itu bertingkat dua. Temboknya bercat putih, yang sebagian plesterannya bocel-bocel dan berlumut. Suasananya angker. Beberapa orang berpakaian tentara maupun sipil memperlihatkan wajah dan sikap kaku ketika Surman, Tresno dan Ali Topan turun dari jip yang membawa mereka.
"Pak... kalau saya salah saya minta maaf, Paaak..," rengek Surman dengan mimik ketakutan. "Ampuun, Paak.. saya jangan dikerangkeng," lanjutnya.
"Tak usah minta ampun!" kata oknum cepak itu sambil mendorong Surman dan Tresno ke pintu markas.
"Maling ayam, ya"" tanya seseorang berpakaian tentara yang duduk di meja piket dekat pintu masuk ruang depan markas itu.
"Kasus subversib! Mereka coba-coba bikin makar di Blok M," kata intel yang membawa anak-anak jalanan itu.
"Wah, kita karungi saja," kata si petugas piket.
174 "Pral, masukkan ke kamar kelas tiga kawanan preman jalanan ini, biar mereka istirahat dulu. Besok baru kita periksa," kata seorang kekar berkaos oblong putih yang pangkal lengannya bertato laba-laba.
"Kalian ikut saya!" katanya kepada Surman, Tresno dan Ali Topan. Kopral itu membawa mereka ke satu kamar berukuran tiga meter persegi yang berterali besi.
Ali Topan, Surman, dan Tresno dimasukkan ke dalam sel tersebut, lalu pintu sel itu digembok dari luar. "Sudah banyak orang yang mati di kamar ini," kata si kopral, dengan ekspresi kaku.
Surman menggerutu dengan dialek Cirebonan, "Ghara-ghara syair lagu kebangsaan lu... kitajadi appess,
P an... " "Aah... soal apes itu kan karena suara lu aja sember waktu lu nyanyiin lagu itu," kata Ali Topan kalem.
"Wah, shuara oghut sudhah khayak Rulhing Setun dibhilang shember, On. Buktinya oghut nghamhenin laghu-laghu lhaen khok nggha dhithangkhep. Inhi sudhah pasthi ghara-ghara syahir lhu," gerutu Surman lagi. "Ghua shampe dibhilang shubvershib khan bherat, yha On" lanjutnya. Ia memanggil On sebagai balikan No dari nama Tresno. Bahasa walikan, pengucapan terbalik kata-kata khas arema-arek Malang, suatu kota di Jawa Timur.
Tresno diam. "On... jhawhab dhong perthanyaan ghua. Shubvershib ithu bherat yha"" Surman menanya lagi sambil menowel lengan Tresno.
"Embuh, Sur. Ayas kadit itreng" kata Tresno.
"Khitha bhisa dikharungin, On...," kata Surman menowel lengan Ali Topan. "Lhu yhang thangghung jhawab yha."
175 "Maksud lu"" tanya Ali Topan kesal.
"Lhu ajha yhang dikharungin," kata Surman.
"Mana karungnya" Bawain sepuluh trok, entar gue borongin ke tukang loak Taman Puring," kata Ali Topan.
"Inhi anhak ghimanha shiih" Oghut nghomang sherius kok mhalah bhecandha bhae..," gerutu Surman.
Ali Topan memandangi wajah Surman yang kayak bebek. "Sur! Daripada lu ngegerutu, mendingan kita nyanyi lagu Didalam Bui Koes Bersaudara. Suasananya pas banget. Kalo lu sama Tresno jadi penyanyi top nanti, lu bisa ceritain kalo diwawancarain wartawan bahwa lu pernah nyanyiin lagu itu di dalam bui beneran," kata Ali Topan.
"Nghomhong shamha lhu nggha mudheng ghua," gerutu Surman. "Orhang dibhui bhukhannya prihathin khok mhalah ngajhak nyhanyhi. Shushunan othak lhu ithu ghimanha shih. Gimhanha menurhut lhu, On."
"Bener iku. Wis kita nyanyi ae bareng-bareng timbang dicokoti lamuk. Subversib opo subversob dudu urusan awak-awak, Rek. Ayo, Pan digetno pisan ceke rame" kataTresno. Ia mengambil gitarnya, lau memainkan lagu Didalam Bui karya Tonny Koeswoyo yang ia tulis ketika ia dan adik-adiknya yaitu Nomo, Yon, dan Yok Koeswoyo dibui di masa "Orde Lama" karena menyanyikan lagu-lagu rock and roll yang dibilang musik ngak ngik ngok oleh penguasa.
"Kon suworo ijis ayas suworo orol, Pan," kata Tresno. "Sur, kon nekwedi menengo ae, gak usah kolem-kolem," lanjutnya kepada Surman.
"Yha ngghak bhisa beghitu dhong. Dibhuinyha sham-ha-shamha, nyhanyhinyha yha shamha-shamha. Taphi kalho dhikharunghin lhu berdhua aja yha," kata Surman sambil memetik senar ukulelenya.
176 Dan mereka pun bernyanyilah :
Waktu ku di dalam bui Ku bersedih dan bernyanyi Di malam sunyi...
Ibu dan ayah menanti berdoa setiap hari aku kembali... Walaupun diriku dikurung selalu
Tetapi aku ingat selalu Tuhanku.
Kuncikan semua pintu Matikan semua lampu Kamar kurungku Hatiku kan tetap tenang Karena ada sinar terang dari Tuhanku...
Usai mereka nyanyikan lagu itu, tiba-tiba lampu sel mereka padam. Dan terdengar teriakan si kopral, "Ayo nyanyi teruus! Lagu-lagu Koes Bersaudara ya! Kalau berhenti saya karungi kalian!" Lampu sel menyala lagi.
Wah! Ali Topan dkk kaget gembira.
"Apa ogut bilang " Tentara sekarang kan lagi setres semua. Jadi perlu kita hibur..," kata Ali Topan.
"Lho kok malah berhenti "" kata si kopral yang mendatangi mereka sambil melemparkan sebungkus rokok Dji Sam Soe lewat terali besi. "Komandan suka lagu-lagu Koes Bersaudara dan Koes Plus.Ayo nyanyi lagi!" lanjutnya.
"Makasih, Kapten !" kata Ali Topan
177 "Lho kok malah pangkat saya dinaikkan" Sontoloyo kamu. Memangnya kamu komandan saya... Ayo lekas menyanyi!" katanya dengan nada riang.
Mereka pun menyanyi lagu-lagu pop Koes Bersaudara dan Koes Plus.
"Psst... kita nyanyikan lagu-lagu yang romantis, yang menyentuh supaya tentara-tentara itu makin kendor urat syarafnya," bisik Ali Topan.
"Iyo," sahut Tresno. "Aturen ae, Pan. Kon sing apal lagu-lagune Koes Bersaudara karo Koes Plus."
Maka mereka pun menyanyikan lagu-lagu yang dipilihkan Ali Topan :
Telaga Sunyi Lagu Untuk Ibu Pagi Yang Indah Sekali Kisah Sedih Di Hari Minggu
Why Do You Love Me Kembali ke Jakarta Andaikan Kau Datang dan beberapa judul lainnya...
Tiap usai sutu lagu terdengar tepuk-tangan dan sorakan gembira tentara-tentara dari kopral sampai kolonel yang menonton mer
eka dari lapangan kecil di antara markas induk dan sel tempat Ali Topan dkk dikurung. Malah tentara-tentara itupun turut bernyanyi dengan suara dikoesplus-koesplus-kan.
Sekitar jam sembilan Ali Topan, Tresno dan Surman nyanyi, lalu disuruh berhenti. Mereka diberi makan nasi bungkus berlauk rendang. Usai makan mereka disuruh tidur. Esok harinya mereka dikeluarkan dari sel oleh si kopral. "Komandan mau omong-omong sama kalian. Awas, jangan kurang ajar ya. Nanti dimasukin sel lagi
178 kamu," kata si kopral. Nadanya bersahabat.
"Kita malah kelebihan ajaran, Pak. Ajaran yang nggak bener," kata Ali Topan.
"Ya jangan mau," kata si kopral.
Singkat cerita, Ali Topan, Tresno, dan Surman dibawa ke ruang Komandan Kodim di markas induk. Komandan Kodim itu berpangkat kolonel, wajahnya, wajah Batak yang tampan. Ia duduk di depan meja yang dipenuhi buku-buku suratkabar dan majalah. Seperangkat mebel ada di sudut ruang.
"Silahkan duduk, Adik-adik... Wah, nyanyian kalian bagus sekali semalam. Saya dan anak-anak buah saya suka sekali," kata komandan berpangkat kolonel infantri itu. Namanya Sinaga.
"Terima kasih, Pak Naga," kata Ali Topan.
"Pak Naga" Ha ha ha.. baru kali ini ada manusia memanggil saya Naga. Biasanya Pak Sinaga." Pak Sinaga tertawa.
Ia berdiri, menghampiriAliTopan, Surman danTresno yang masih berdiri. Ia mengulurkan tangannya ke anak-anak jalanan itu. "Siapa nama Adik-adik ""
"Ali Topan" "Tresno" "Surman"
"Ayo duduk," kata Pak Sinaga.
Terdengar ketukan di pintu. Seorang wanita berkain kebaya masuk membawa minuman kopi di atas nampan. "Kopinya, Dan," katanya.
"Yak. Terima kasih," sahut komandan.
Pelayan wanita itu menaruh cangkir-cangkir kopi di meja, lalu ke luar lagi.
Komandan menyodorkan rokok. Ali Topan dkk masing-masing mengambil sebatang. Komandan
179 menyalakan korek apinya untuk menyulut rokok mereka.
"Bagaimana" Enak rasanya di bui"" tanya komandan.
"Lumayan, Pak," sahut Ali Topan. Komandan tertawa.
"Mengapa. Kok kalian disel" Bikin apa kalian"" tanya komandan. Ali Topan memandang Tresno dan Surman. Dua kawan itu diam.
"Saya menulis syair Indonesia Kaya, Pak," kata Ali Topan.
"Oo, begitu"" kata komandan. Ia melihat keAli Topan.
"Katanya kalian mengubah lagu kebangsaanlndonesia Rayai Coba, saya ingin tahu bagaimana bunyinya""
Kolonel Sinaga memandangi tiga anak jalanan itu. Ia terkesan pada kejujuran Ali Topan. Dan ketenangannya.
"Coba nyanyikan, saya ingin dengar," kata Komandan Kodim.
Ali Topan menyanyikan syair lagu Indonesia Kaya.
Komandan Kodim menggeleng-gelengkan kepalanya. "Wah gawat bener, syairnya. Itu berbahaya, dik," kata Komandan Kodim, usai mendengarAliTopan menyanyi. "Anda sendiri yang mengarang syair itu "" lanjutnya.
"Iya, Dan," sahut Ali Topan.
"Bukan orang lain""
"Bukan... " "Maksud dan tujuannya apa""
"Menurut saya, lagu Kebangsaan Indonesia Raya yang dikarang oleh WR. Supratman, kata-katanya memang perlu diganti karena terlalu panjang, dan syairnya terlalu bombastis," kata Ali Topan.
"Wuaduh! Baru kali ini saya dengar kritik terhadap lagu kebangsaan Indonesia Raya. Kalau enggak mendengar sendiri saya tidak percaya...," kata Komandan Kodim.
Ali Topan Wartawan Jalanan Karya Teguh Esha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terdengar ketukan di pintu.
180 "Masuk!" kata Komandan Kodim.
Seorang tentara berpangkat Letnan Dua masuk. Ia memberi hormat militer kepada Komandannya. "Siap! Lapor! Letnan Giran sudah datang, ingin menghadap komandan. Dan Pak Robert Oui juga ingin menghadap. Laporan selesai! Siaap!"
"Persilahkan mereka masuk," kata Dandim.
"Siap! Laksanakan!" Letnan itu menghormat lagi lalu keluar. Tak lama kemudian ia masuk lagi mengantar intel yang membawa Ali Topan dkk. Ke markas kodim tadi malam. Kini ia berpakaian militer. Namanya Giran. Dan satu orang lainnya adalah lelaki berbaret RPKAD yang beberapa kali berjumpa Ali Topan di Blok M.
Letnan Giran menghormat komandannya, kemudian ia dan lelaki berbaret RPKAD berjabat tangan dengan Komandan Kodim.
Mereka memandang dengan pandangan netral ke Ali Topan dkk.
"Nah ini Letnan Giran yang tadi malam mendengar yang kalian nyanyikan. Dan yang satu lagi Pak Robert Oui, beliau kawan baik saya. Sudah kenal kan"" kata Komandan Kodim.
"Belum..," kataAli Topan, Tresno dan Surman serempak.
"Aaah.. nggak perlulah kenalan sama saya, saya ini tentara.... dan tentara itu, ABRI itu, kejam... mau menangnya sendiri... dan suka masuk ke kampus-kampus untuk membubarkan acara mahasiswa... ya, nggak" Ya, nggak"" kata Letnan Giran dengan gaya dan ekspresi wajahnya seperti pemain ludruk. Gaya ngeledek diri sendiri untuk menyindir orang lain. Ia, Komandan Kodim dan Robert Oui memandangi Ali Topan, Surman dan Tresno.
181 "Iya apa enggak"" tanya Letnan Giran lagi.
"Iyhaa..," kata Surman.
"Tidaaak," kata Tresno.
"Eh, thidhaak," kata Surman lagi tersipu-sipu.
Letnan Giran, Kolonel Sinaga dan Robert Oui menahan tawa. "Iya apa tidak"" tanya Letnan Giran lagi.
"Tidaak...," kata Tresno dan Surman.
"Kok kamu diam saja"" kata Letnan Giran ke Ali Topan.
"Saya tidak berkomentar," kata Ali Topan.
"Takut ya" Kalau di Kodim sini takut komentar" Iya"" lanjut Letnan Giran.
Ali Topan diam saja. Ia, berfikir letnan intel itu cuma mau memancing-mancing reaksinya saja terhadapABRI. Sudah menjadi fenomena umum sampai tahun 1978 ini, citra ABRI lebih membela kepentingan kekuasaan negara dan bisnis daripada menjadi pembela rakyat.
Maka berkali-kali mahasiswa protes dan turun ke jalan menuntut perbaikan penyelenggaraan negara yang penuh penyimpangan. Tentara masuk ITB, UI, dan lainnya untuk membubarkan mimbar bebas mahasiswa berulang kali terjadi. Intel berkeliaran di mana-mana dan telah menjadi semacam hantu yang menakutkan rakyat. Banyak aktivis mahasiswa, seniman dan tokoh-tokoh publik yang menyuarakan perbaikan negara ditangkapi dan dijebloskan ke dalam penjara. Sungguh sangat menyedihkan..
Ali Topan terdiam merenungi kenyataan buruk yang ia baca melalui suratkabar dan majalah sejak kelas satu SMA, di kios Munir di Blok M. Kesan Ali Topan terhimbas oleh sosok dan citra buruk ABRI itu.
Kini ia dan dua orang pengamen jalanan merasai langsung kesan tersebut, walau tidak persis sama.
182 Penuturan sinis Letnan Giran tentang tentara membuktikan bahwa kalanganABRI sendiri mengetahui sosok dan citra mereka di negeri ini.
Ali Topan pribadi selama ini tak punya pengalaman berurusan dengan ABRI, kecuali ketika ia dibawa ke kantor polisi karena pengaduan orangtua Anna Karenina tempo hari. Sikap polisi menurut dia seperti manusia lainnya, ada yang baik, ada yang bururk.
"Adik-adik, Saudara-saudara sekalian. Kata orang-orang bijak, kita ambil hikmah dari peristiwa ini. Terutama bagi adik-adik yang masih muda-muda, masih remaja. Jangan bersikap atau bertindak atau melakukan sesuatu apapun tanpa difikir terlebih dahulu," kata sang Komandan Kodim.
"Bikin syair ya bikin syair.Itu bagus. Orang yang bisa bikin syair itu termasuk orang-orang pinter lho! Tapi ya bikinlah syair yang membangkitkan semangat pembangunan, membangun bangsa dan negara. Janganlah bikin syair seperti tadi itu. Apa judulnya" Indonesia Kayai Judulnya bagus.Tapi itu tidak baik. Apalagi idenya untuk mengubah lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Itu akan membuat banyak orang marah, karena lagu kebangsaan Indonesia Raya itu sudah merupakan sesuatu yang suci, yang tidak boleh diganggu-gugat, seperti halnya Bendera Merah Putih, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kalau itu diubah atau diganti, yang mengubahnya pasti akan berhadapan dengan ABRI, Pemerintah dan segenap kekuatan bangsa Indonesia, Faham maksud saya"" lanjutnya.
"Iyha, Phaak," sahut Surman segera.
Tresno mengangguk. Ali Topan meminum kopinya, lalu menyulut sebatang
183 rokok. Ia tak berkomentar. Baginya, kata-kata yang berbau indoktrinasi sudah sering ia baca di surat-surat kabar dan majalah-majalah. Dan ia lihat serta dengar di televisi.
"Saya percaya, Adik-adik, terutama si pembuat syair tak bermaksud apa-apa. Karena iseng-iseng saja. Atau mungkin supaya dibilang gagah oleh teman-temannya. Orang yang protes-protes dan berani mengkritik pemerintah itu sekarang kan dianggap gagah oleh kalangannya" Seperti mahasiswa-mahasiswa dan tokoh-tokoh vokal itu."
"Saya kira tak usah melebar ke mahasiswa atau vokalis itu, Pak Kolonel," Ali Topan memotong "ceramah" Kolonel Sinaga.
"Lho, saya hanya memberi contoh. Kalau Anda tidak seperti mereka, itu bagus. Kita semua tahu, dan menyadari, bahwa pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah itu tidak memuaskan semua pihak.Tapi itulah perjuangan. Ada proses...," kata komandan Kodim. "Setuju "" lanjutnya.
"Shethujhuuu !," kata Surman.
Tresno mengangguk lagi. Ali Topan memandangi wajah si Komandan Kodim, Letnan Giran dan Robert Oui. Mereka pun memandangi dia. DanAli Topan tidak tunduk pada pandangan mereka. Ada sesuatu yang terasa tidak pas dalam batinnya, tapi ia tidak mengungkapkannya. Ia hanya ingin segera keluar dari Markas Kodim itu.
"Saya rasa cukup, Letnan."
"Siap, komandan!" sahut Letnan Giran.
"Tolong Anda antarkan lagi mereka ke rumah masing-masing."
"Siap! Laksanakan!"
"Saya tak usah diantarkan, komandan," kataAliTopan.
184 "Lho, mengapa"" tanya Kolonel Sinaga.
"Tak apa-apa...," kata Ali Topan.
"Yang lainnya bagaimana""
Surman dan Tresno tidak segera menjawab.
"Ayolah, biar diantar oleh Letnan Giran ini," kata komandan Kodim.
"Oyi, Pan," kata Tresno.
"Iyha, Phan," Surman membeo.
Ali Topan berdiri, mengulurkan tangannya ke Komandan Kodim, Letnan Giran dan Robert Oui. Tiga orang itu menjabat tangannya.
"Permisi," kataAliTopan. Ia berjalan membawa ransel US Marine yang berisi celana dalam, kaos oblong, sikat gigi, dompet berisi KTP dan beberapa ribu uang honor dari harian Ibu Kota, serta buku catatan dan bolpen.
"Itu anak memang istimewa," kata Robert Oui.
"Saya rasa begitu. Terasa punya pendirian anak muda. Dia berwibawa," kata Komandan Kodim.
185 EMPAT BELAS Beberapa hari kemudian, Ali Topan membawa artikel tentang peristiwa yang ia alami di markas Kodim itu ke kantor Harian Ibu Kota, dan memberikannya langsung ke GM. Artikel itu disertai foto Letnan Giran hasil potretan Harry. Tapi artikel itu ditolak oleh
GM. "Jangan cari penyakit, Pan! Bisa dibredel suratkabar ini kalau memuat tulisan itu!" kata GM. "Dan kalau redaktur yang lainnya tahu artikel ini, mereka akan memboikot semua tulisanmu. Sedangkan kamu baru mau belajar jadi wartawan," lanjutnya.
"Jadi... apa arti slogan yang dicetak di bawah judul harian ini, Pak"" tanya Ali Topan.
"Yang mana" Saya lupa.."
"Membangun Bangsa dan Negara Seutuhnya..."
"Ooh itu" Kamu masih terlalu muda untuk mengetahui artinya..." Kata GM. "Sudahlah, saya mengerti kamu kecewa. Kamu teruskanlah menulis serial rakyat jalanan
itu." Ali Topan terdiam. Nggak di rumah ayahnya, nggak di luar rumah itu, selalu saja ada persoalan-persoalan yang membikin kecewa dia punya nurani.
Semangat menulisnya tiba-tiba kendor.
Harry berusaha menghibur dia, dan mencoba membangkitkan semangatnya untuk melanjutkan wawancara dengan rakyat jalanan, setelah dua senja Ali Topan berdiam diri saja di belakang kios Oji.
"Fotoku dulu berkali-kali ditolak, tapi aku nggak putus
186 asa. Aku pernah dapat momen bagus, seorang oknum memukuli seorang tukang parkir di Pasar Senen, karena ban serep mobilnya hilang di tempat parkir. Foto itu ditolak oleh GM karena bisa dianggap menjelek-jelekkan ABRI. Seminggu kemudian aku memotret seorang letnan kolonel berpakaian seragam menolong seorang gembel yang ditabrak-lari di jalan Melawai Raya. Perwira itu turun dari mobilnya, mengangkat gembel yang berlumuran darah dan membawanya ke rumah sakit. Foto itu dimuat oleh GM dan dibayar dua kali lipat dari biasanya, Daeng Ali," kata Harry.
AliTopan tersentak mendengar panggilan"DaengAli" itu. Spirit Bugis tiba-tiba mengaliri dirinya. Kilasan peristiwa di Tanjung Priok yang membuat dirinya menyandang nama Daeng Ali terbayang. Ketulusan rasa persaudaraan warga di sana terkenang. Indah sekali. Dan ia pun teringat pesan Munir, penjual majalah dan suratkabar: Jangan cengeng, jangan gentar dan jangan melanggar hukum.
Senja panas. Udara kering.
Oji muncul dari pintu bersama seorang tukang kayu. "Pan! Ini kawan gue Asdi, tukang kayu. Gue suruh die bikinin rumah bedeng buat lu sama Harry. Biar legaan dikit lu" kata Oji. "Mulai besok die kerja ame keneknye. Gue minta dua ari kelar. Jadi selama dua ari ini lu pindahin harta-benda lu berdua ke dalem. Gue udah sediain kotak kardus dua
biji," lanjutnya. "Iye, terima kasih," kata Ali Topan
"Terima kasih, Ji." "
"Iye gue terima.. he he he he he," kata Oji sambil terkekeh-kekeh. Lugu sekali. Omongannya tak pakai basa-basi. Langsung. Apa yang ada dalam hati, itu yang diucapkannya.
187 "Baru sebentar berjalan bersama kamu, aku mengalami banyak kejutan, Daeng Ali," kata Harry.
"Hidup adalah rangkaian-rangkaian peristiwa yang tak terduga. Duka derita, pilu dan kuciwa ada di sepanjang perjalanan manusia. Tapi cinta... ya, cinta... yang indahnya terungkapkan melalui mekarnya bunga-bunga pada semua pagi yang penuh warna mampu menghapus semua duka dan menyembuhkan semua luka. Dan doa yang diterima menyempurnakan kita sebagai manusia...," kata Ali Topan. Harry bengong, terheran-heran.
"Dari mana kamu dapetin kata-kata kelas tinggi itu, Daeng," kata Harry.
"Dari sobekan majalah pembungkus ikan asin kesukaanku yang dibeli MbokYem dari tukang sayur keliling di rumah orangtuaku dulu," kata Ali Topan. "Itu potongan sajak seorang penyair yang dia tulis buat seorang hostes dalam cerita pendek y ang nama pengarangnya aku nggak tau karena tersobek," lanjutnya.
Senja panas. Udara kering seperti ikan asin.
188 LIMA BELAS Kios Munir tak begitu ramai. Dua orang ibu rumah tangga membuka-buka majalah hiburan, ketika Ali Topan datang. Ia sendirian. Harry sedang pulang ke Yogya menengok orangtuanya.
"Selamat pagi, Mister Munir. Banyak berkah hari ini"" sapa Ali Topan. Munir tersenyum lebar.
"Kemana aja" Baru nongol, Pan"" kata Munir.
Salah satu ibu rumah tangga yang dandanannya menor menengok ke arah Ali Topan. Ali Topan melihat ke wajahnya. Keduanya sama-sama kaget. Ekspresi wajah ibu tadi berubah tak sedap. Ia tak pernah lupa pada anak muda yang sempat bikin story yang gawat dengan anaknya, Anna Karenina.
"Selamat pagi, Tante Surya," tegur Ali Topan yang cepat dapat menguasai keadaan. Tegurannya yang cukup sopan itu tak dijawab oleh Nyonya Surya.
" Wie is hij, mevrouw" tanya temannya dalam bahasa Belanda, dengan kening berkerut. Pandangannya seakan-akan menjilati jeans Ali Topan yang suwir-suwir dan penuh debu.
"Hij is een idiote" sahut Ny. Surya, "kom, we zullen gaan," katanya lagi. Tanpa permisi pada Munir, Ny. Surya dan temannya menaruh majalah itu sembarangan, kemudian mereka pergi dengan langkah cepat.
Munir bengong melihat mereka pergi begitu saja.
"Siapa dia, Pan" Apa lu kenal"" tanya Munir sambil mengatur majalahnya kembali.
"Yang itu tadi Tante Surya namanya. Anaknya dulu
189 pernah macarin gue," kata Ali Topan sembari nyengir.
"Kok kelihatannya sewot banget""
"Nggak tau. 'Kali di rumahnya tadi minum pil sewot."
Munir ketawa mendengar jawaban jenaka itu.
"Ada majalah apa yang baru, Nir""
"Oh, Intisari tuh! Gue baca Wee Gee jadi ingat kau, Pan. Baca deh. Barangkali kau bisa ngetop kayak dia," kata Munir. Dia mengambilkan Intisari untukAli Topan.
"Wee Gee"" gumam Topan, "belum pernah dengar
gue." "Baca aja dulu. Dia kayak lu juga, anak jalanan. Tapi jalanan di New York," kata Munir.
Ali Topan menaruh pantat di anak tangga, lantas asyik membaca tentang Wee Gee, seorang gelandangan yang kemudian menjadi tukang potret khusus peristiwa kejahatan dan jadi jutawan serta terkenal di seluruh dunia karena profesinya itu. Ia menyebut dirinya sendiri sebagai juru potret Murder Inc yang artinya "perusahaan pembunuhan."
Begitu asyik Ali Topan membaca kisah yang menarik hatinya itu, sehingga ia tak menyadari ada dua orang lelaki mengawasinya dari sebuah Toyota Corolla yang diparkir di depan toko sepatu Bata. Satu orang duduk di belakang setir, agak tua, berkumis lebat. Yang seorang lagi duduk di sebelahnya, pakai kacamata polaroid.
Munir tauAli Topan diawasi oleh kedua orang itu, tapi ia tak berkehendak mengusik keasyikan Ali Topan.
Munir melihat orang berkacamata turun dari mobil, kemudian berjalan lurus ke arah Ali Topan.
"Ssst! Pan, ada oknum nyariin lu," bisik Munir. Ali Topan menghentikan bacaannya. Ia melirik Munir yang memberi kode ke arah si pendatang. Ali Topan langsung menatap sosok yang menghampirinya. Ia mengenali
190 orang itu sebagai pembeli bunga di pondok Oji tempohar
i, yang mengaku sebagai penyanyi pop yang baru datang dari luar negeri.
"Helo, Jack," tegur sosok itu, "masih ingat saya""
"Karyadi"" desis Ali Topan, "penyanyi pop yang katanya beken di Jerman"" sambungnya menirukan nada Karyadi yang rada sok tempohari.
Karyadi tertegun oleh teguran sinis Ali Topan. Ia tampak likat, salah tingkah. Senyum "artis" berusaha ia kembangkan, namun senyuman itu gagal menutupi wajah dan sikapnya yang tampak sangat tegang. Ia membuka kacamatanya. Matanya merah seperti orang kurang tidur. Sinarnya muram.
"Hi jack! Maaf saya mengganggu ya... Ng... saya lagi bingung sekali..katanya. Gaya sok-nya tak ada lagi. Ia benar-benar tampak kebingungan. Sebentar-sebentar kepalanya menengok sekitarnya, mengawasi orang-orang lain, seperti mencari seseorang.
Ali Topan berpikir sejenak. Karyadi merupakan orang aneh baginya. Pada pertemuan pertama, sesungguhnya Ali Topan rada mpet dengan lagak lagunya yang sengak. Kini, orang ini datang dengan wajah bingung dan sinar mata kuyu seperti orang yang sedang ditimpa kesusahan.
Ali Topan memutuskan untuk mengetahui lebih jauh tentang orang "aneh" ini. Ia menutup Intisariyang belum selesai dibacanya, kemudian menaruh majalah itu di tumpukannya semula.
"Nir, nanti gue baca lagi. Gue mau ada urusan bentar nih," katanya.
"Kalo mau bawa, bawa aja, Pan," kata Munir. Ia memberikan Intisari itu kepada Ali Topan kembali.
"Terima kasih, Nir," kata Ali Topan. Ia berdiri, berhadapan dengan Karyadi yang agak heran melihat
191 keakraban anak muda itu dengan penjual majalah.
"Ada apa, jack"" kata Ali Topan sambil menyentuh lengan Karyadi.
"Aduh, saya betul-betul ingin minta tolong. Ada yang hendak saya bicarakan. Kita bicara di restoran situ, yuk," kata Karyadi sambil menunjuk restoran Padang Jaya di tingkat atas.
Keduanya menaiki tangga, masuk ke restoran. Mereka mengambil tempat di meja sudut ruang. Karyadi mengawasi orang-orang di dalam restoran sejenak. Pelayan menghampirinya.
"Makan apa, jack"" kata Karyadi.
Ali Topan yang masih belum bisa menerka maksud dan tujuan Karyadi, menggoyangkan tangannya. "Saya sudah makan," katanya.
"Jangan kuatir, saya yang bayar," Karyadi ngotot.
"Ada apa sih, kokAnda kelihatan bingung sekali," kata Ali Topan. Ia langsung memblaaf Karyadi. Menghadapi orang yang dianggapnya aneh itu, Ali Topan tak mau terlalu lama bersikap pasif. Ia langsung menembak dengan kata-kata, agar persoalannya menjadi jelas. Taktiknya tepat. Karyadi tampak makin bingung. Berulang-ulang ia mengusap keringat di dahinya dengan saputangan.
"Pesan apa, Oom"" kata pelayan.
"Minum, minum saja," sahutnya, kemudian ia mendekatkan wajahnya ke Ali Topan, "minum apa, minum apa"" katanya.
"Lemon tea... ng... teh manis dikasih jeruk nipis," kata Ali Topan.
"Saya juga lemon tea."
Pelayan mencatat pesanan itu, kemudian diberikan ke temannya di dapur.
192 Karyadi memasang rokok kretek pada pipa gading.Ali Topan menyalakan api untuknya.
"Thanks, jack. Ng. kita minum dulu, baru ngomong ya. Ng. biar saya agak tenang sedikit."
Ali Topan yang mulai bosan menghadapi tingkah Karyadi yang kagak puguh juntrungannya itu, membuka Intisari, kemudian membaca kisah Wee Gee yang tertunda tadi dengan gaya tak memandang sebelah mata pada Karyadi.
"He, jack.jack! Baca apa""
Ali Topan menurunkan bacaannya karena Karyadi menowel-nowel lengannya.
"Minum dulu, biar pikiran situ nggak kacau, baru bicara nanti," tembak Ali Topan.
Pelayan datang menaruh dua gelas teh jeruk di meja. Karyadi menaruh segelas di depan Ali Topan.
"Ya, ya.kita minum dulu ya""
Ia minum sedikit, dilihat oleh Ali Topan dengan pandangan lucu. Ini orang sarap, demikian pikiran Ali Topan.
"Nah, begini. Mm. oh, ya, saya musti panggil apa ya" Bung, Dik atau apa""
"Panggil saja Ali Topan," sahut si anak muda.
"Mm... tapi saya sudah lapor polisi... mm Markus ... anak saya hilang."
Ali Topan mengerutkan keningnya.
"Kamu bisa menolong carikan anak saya"Tolong, saya minta tolong""
AliTopan menghirup minumannya sementara Karyadi berkisah lebih lanjut tentang anaknya yang hilang.
"Kemarin sore, saya dan istri saya pergi ke rumah seorang famili di Jalan R
adio Dalam. Markus di rumah bersama tiga orang pembantu. Ketika kami pulang sekitar
193 jam sebelas malam, mereka melapor bahwa Markus tidak ada. Satu sama lain tidak ada yang tahu ke mana dia. Sampai hari ini, Markus belum ketemu. Saya dan istri sangat cemas memikirkannya," kata Karyadi.
Ia kemudian memandang Ali Topan seolah-olah Ali Topan itu kawanan orang yang suka menculik anak kecil. Ali Topan menangkap pandangan mata yang tak enak itu, tapi dia diamkan saja. Pikirannya sedang penuh dengan khayalan dahsyat. Ia berpikir tentang kemungkinan menjadi semacam Wee Gee. Penculikan anak kiranya bisa jadi headline di Ibu Kota, demikian pikirnya.
"Kira-kira kamu tahu sindikat yang suka menculik anak kecil disini"" tanya Karyadi.
Sungguh menyebalkan! Pandangan matanya, mimiknya dan ucapannya, secara keseluruhan seperti ditujukan oleh seorang hakim kepada seorang terdakwa saja.
Kini barulah Ali Topan menerka, motif Karyadi mengajaknya bicara, secara tidak langsung ia mengira dirinya termasuk kawanan orang yang suka menculik anak kecil. Karyadi memang berpikir begitu ketika melihat Ali Topan duduk membaca majalah di anak tangga. Paling tidak, ia punya dugaan bahwa Ali Topan itu krosboi yang tahu sedikit banyak soal-soal begituan.
"Kamu ini mau jual obat, mau minta tolong atau mau cari setori sama saya" Kita baru ketemu sekali. Kamu belum tau siapa saya dan saya nggak ada urusan sama kamu. Jangan cari gara-gara deh," kataAli Topan dengan dingin. "Anak kamu kek, atau bapak kamu yang ilang, masa bodo! Saya nggak senang sama cara kamu nanya saya!" Ali Topan berkata keras.
Karyadi tertegun mendengar ucapan tandas tanpa tedeng aling-aling itu. Ia tak menyangka Ali Topan ber194
kata sekeras itu. Dengan wajah menyesal ia berusaha menetralkan keadaan.Tampangnya tak lagi sepa. "Maaf. Saya menyesal telah membuat Anda marah. Saya benar-benar bermaksud minta tolong," ucap Karyadi terbata-bata.
Ali Topan menyulut sebatang rokok dan memutuskan untuk menahan emosinya. Sejak pertemuan pertama ia merasa tidak simpati pada pelagak ini. Tapi ada rasa penasaran lain yang mendorongnya agar tetap bersabar. Urusan anak hilang itu berita, dan berarti duit, itu saja pikirannya.
Sejak mula ia merasa ada sesuatu yang aneh di dalam diri Karyadi itu. Kini, ia bermaksud mengikuti keanehan tersebut dengan jalan membiarkan dirinya tetap duduk di depan lelaki itu.
Keduanya duduk diam. Karyadi tak berani lagi memancarkan pandangan "menghina" kepada Ali Topan.
"Saya orang baru di sini. Baru datang dua bulan disini, bertahun-tahun di Eropa. Jadi maaf kalau kelakuan atau sikap saya kurang begitu enak. Istri saya orang Jerman, namanya Angela. Sejak tadi malam menangis terus di rumah. Saya sudah ke polisi, pembantu rumah saya tiga orang sudah ditahan di sana, tapi anak saya belum ketemu. Dari kantor polisi tadi, saya muter-muter kota dengan panik. Saya capek, saya ke Blok M sini dengan tukang taksi di bawah itu. Kemudian saya lihat kamu. Saya ingat pertemuan kita di tukang kembang tempohari. Saya coba-coba minta tolong," kata Karyadi, seperti bicara pada teman lamanya saja.
"Jadi benar-benar anak kamu hilang" Anak yang dulu ikut ke tukang kembang itu"" tanya Ali Topan, kalem.
"Iya, benar! Markus itu, anak saya satu-satunya!"
"Jadi sudah lapor polisi" Lalu tiga pembantu rumah
195 kamu ditahan di kantor polisi" Apa menurut kamu mereka yang jadi penjahatnya" Siapa sih nama mereka""
"Polisi menahan mereka untuk minta keterangan saja. Pembantu rumah saya itu namanya Isah dan Mimah. Idris, suaminya Isah, mereka yang sebetulnya menjaga Markus jika saya dan istri pergi."
"Kau di sini tinggal di rumah siapa" Kok sudah bisa percaya sama pembantu rumah""
Karyadi diam sejenak, memandang anak muda kita. Sejak mulajumpa, ada sesuatu daya tarik yang mengesankannya. Ia yang banyak melihat hippies di Eropa tidak heran dengan gaya pakaian anak muda yang serampangan ini. Sesuatu yang menarik itu datang dari roman muka dan pancaran matanya yang cerdik dan mantap, mengesankan wibawa. Istrinya sendiri, perempuan Jerman itu, sempat memberi komentar khusus ketika melihat si anak muda pertam
a kali di tukang kembang. Matanya tajam ya, demikian komentarAngela yang dikatakan padanya tempo hari.
"Bagaimana kalau kamu ikut saja ke rumah saya. Di sana kita bisa lebih banyak bicara," kata Karyadi.
"Di mana rumah kamu""
"Di Jalan Tumaritis Tiga Nomor 28, Cilandak. Dekat kompleks Subud."
"Saya masih ada perlu lain. Nanti siang saja saya ke sana."
"Jam berapa""
Ali Topan melihat jam dinding rumah makan. Pukul 10.47.
"Jam dua belas lewat lima saya datang," kata Topan. "Kamu betul datang""
"Kebiasaan saya menetapi janji, kecuali jika Tuhan mengatur lain," sahut Ali Topan dengan dingin.
196 "Saya tunggu," kata Karyadi. Ia berdiri hendak merogoh uang untuk membayar minuman. Ali Topan cepat menaruh Rp 100 di meja.
"Saya bayar sendiri," kata Ali Topan, lantas mendahului keluar restoran. Ia turun ke tempat Munir. Tak lama kemudian Karyadi lewat di depannya, terus berjalan menuju mobil.
AliTopan sempat mencatat nomor polisi taksi gelap itu ketika mereka meninggalkan pelataran parkir.
"Itu Karyadi 'kan, Pan. Dimana lu kenal dia"" tanya Munir setelah mereka lenyap dari pandangan. Ali Topan memandang heran ke arah Munir.
"Kok tau lu kalo dia Karyadi""
"Beberapa majalah muat berita dia."
"Ah, yang bener" Coba gue lihat majalahnya."
Munir mengambilkan beberapa majalah hiburan dari tumpukan majalah terbitan minggu lalu yang sudah lewat. Dia memberikan dua buah kepada Ali Topan.
"Mula-mula gue nggak ngenalin, tapi begitu dia lewat tadi, gue yakin dia Karyadi. Sejak jadi wartawan pungut di harian Ibu Kota, malas baca majalah ya, Pan."
Ali Topan tak menjawab. Ia sibuk membalik-balik majalah itu. Benar kata Munir, ada berita tentang Karyadi di situ, lengkap dengan foto-fotonya. Tiba-tiba ia makin tertarik untuk mempelajari orang itu.
"Gue sendiri baru tahu kalo dia orang populer, Nir. Sungguh mati. Gue pikir dia orang sarap yang kagak puguh juntrungannye aje," kata Ali Topan sambil menutup majalah-majalah itu, "gue pinjem sehari majalah lu, Nir. Gue ada bisnis sama dia."
"Bisnis apaan" Mau ikut rekaman sama dia lu""
"Pokoknya lu denger kabar aje deh dari gue. Eh, Nir, kalo si Harry kesini nyari gue, lu tulung pesenin gue
197 tunggu di tempat biasa, ye. Makasih, Nir. Gue mau buru-buru nih," kata Ali Topan sambil bergegas pergi.
"Tempat biasa di mana, Pan. Blok P"" teriak seorang anak muda beraksen Medan yang berjualan mainan anak-anak di depan kios Munir.
Ali Topan mengepalkan tinju ke arahnya sambil menyeringai. Ia berjalan cepat ke dalam pasar.
Dari sebuah telepon umum disamping markas keamanan Pasar Melawai, Ali Topan menghubungi redaksi Ibu Kota. Beruntung ia, sekali call bisa langsung menyambung. Sekretaris Redaksi menerimanya.
"Halo Ibu Kota, Ali Topan disini."
"Halo Ali Topan. Apa kabar""
"Hey, Mbak. Pak Redpel ada" Saya dapat berita bagus nih buat halaman satu. Masih bisa masuk apa nggak" Tolong sambungkan ke Redpel deh."
"Sebentar, Topan."
Sekretaris Redaksi menyambungkan dengan Redaktur Pelaksana yang sedang mengedit naskah berita di ruang kerjanya.
"Halo, G.M. disini."
"Selamat pagi, Pak. Ali Topan disini. Saya dapat berita bagus. Apa bisa dimuat di halaman satu besok""
"Soal apa" Faktanya bagaimana""
"Penculikan anak, pak. Markus anak Karyadi hilang kemarin. Sudah lapor polisi. Tiga pembantu rumah tangga ditahan di kantor polisi. Bagaimana pak""
"Apa kau sudah cek kebenaran sumber berita""
"Sudah. Sumber berita langsung Karyadi, ayah si korban."
"Karyadi" Karyadi siapa""
"Itu, Pak. Penyanyi pop yang baru datang dari luar negeri. Baru dua bulan di sini, anaknya ilang diculik
198 orang." "Kantor polisi mana yang menangani perkara ini""
"Jaksel, Pak." "Foto si korban dan orangtuanya kau dapat"" "Belum, tapi bisa saya dapatkan, Pak. Sayajanji dengan ayah korban bertemu di rumahnya jam dua belas nanti,
Pak." "Kau garap deh! Soal penahanan tiga pembantunya di kantor polisi biar aku yang cek dari sini. Jika kau bisa serahkan naskah dan foto tidak lewat jam dua.. "
"Terima kasih, Pak!"
Ali Topan memutuskan hubungan. Ia harus bergerak cepat. Semangatnya terangsang untuk memperoleh berita kesukaan pembaca Ibu Kota. Penculikan anak, b
ayangkan! Sambil berjalan cepat ke sebuah toko buku untuk membeli bolpen dan notes kecil, pikirannya dibakar khayalan menjadi seorang Wee Gee lokal.
Dari toko buku ia bergegas ke terminal bis kota. Ia ingin datang tepat pada waktu perjanjian.
Gang Tumaritis setiap hari dilaluinya jika naik bis ke RSF untuk menengok ibunya. Jaraknya sekitar setengah kilometer sebelum RSF.
Ia naik bis Gamadi dan duduk tenang di kursi paling belakang, persis dekat pintu. Ia melanjutkan membaca kisah Wee Gee yang tertunda.
Seekor herder sebesar anak sapi tiduran dengan malas di teras rumah Karyadi. Pintu halaman berjeruji besi digembok dari dalam. Ali Topan berdiri di depan pintu, mencari-cari bel. Tak ada bel. Pintu rumah pun tertutup. Suasana sepi.
Ali Topan yakin bahwa waktu perjanjian belum lagi sampai.Tentu Karyadi belum datang, dan di rumah cuma ada herder yang malas itu, pikir Ali Topan.
199 Ia tidak tahu, sepasang mata coklat milik Nyonya Karyadi mengintip dari celah gordyn kaca rumahnya.
Ali Topan memukul-mukul besi dengan sebuah batu. Tetap tak adajawaban.Agak kesal, ia duduk di buk depan pintu, mengamati rumah dan sekitarnya.
Rumah itu berukuran sedang, bentuknya seperti villa di Puncak. Halamannya ditumbuhi rumput rapi dan tanaman hias yang sangat terpelihara, menandakan sentuhan tukang kebun yang telaten.
Tumaritis Tiga adalah gang buntu. Ali Topan menghitung hanya ada dua belas rumah di gang itu. Masing-masing tertutup pagar besi. Rumah Karyadi nomer dua dari ujung gang yang buntu. Ujung gang turun dan membelok ke kanan bentuknya. Rumah terakhir di balik tikungan, tak terlihat dari jalan. Ali Topan cuma melihat pintu pagar halamannya saja.
Iseng-iseng, Ali Topan menyiuli anjing herder. Si anjing tidak bereaksi.
"He, anjing bego! Ke mane boss lu" Suruh bukain pintu gih!" serunya. Si anjing itu menengok pun tidak.
Sekali lagi Ali Topan memukul-mukul pintu besi. Matanya yang tajam menangkap gerakan gordyn yang tersingkap. Ali Topan bermaksud iseng, mencari sebutir kerikil untuk menimpuk herder bego di teras. Ia berharap anjing itu menggonggong dan si pengintip membukakan pintu. Dia timpuk pas kepala si anjing. Herder itu cuma menggeleng sesaat, lantas diam lagi seperti orang teler.
Ia bermaksud menimpuk lagi, ketika instingnya memberikan kisikan. Ali Topan secara reflek melihat ke arah belakang. Sempat dilihatnya beberapa biji kepala di rumah sebelah. Ali Topan merasa yakin mereka memperhatikan gerak-geriknya.
Mereka pikir gue tukang culiknya 'kali, pikir Ali
200 Topan. Setengah kesal, dia timpuk sebuah kepala yang menyembul dari balik pagar sebuah rumah.
"Aduh!" teriak orang itu. Rupanya timpukanAli Topan pas kena kepalanya.Ali Topan menunggu tukang ngintip itu keluar dari rumahnya. Sia-siaAgaknya ia takut keluar.
Sebuah mobil masuk gang. Ali Topan mengenali Corolla yang dinaiki Karyadi.
Ali Topan Wartawan Jalanan Karya Teguh Esha di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dewi Lintah 2 Dewa Linglung 4 Mengganasnya Siluman Gila Guling Pendekar Naga Mas 2