Pencarian

Avonturir 1

Balada Si Roy 02 Avonturir Karya Gola Gong Bagian 1


BALADA SI ROY 02 - AVONTURIR
PENGARANG: GOLA GONG Edit & Convert Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
kepada avonturir muda! I. AVONTURIR Burung hantu tua yang bijak duduk di pohon ek Makin banyak ia melihat, makin sedikit ia berkata Makin sedikit ia berkata, makin banyak ia mendengar Mengapa kita tidak bisa seperti burung tua itu"
Robert L. Montgomery *** LANGIT timur di pagi hari masih dipulas warna abu-abu. Warna kemerah-merahan pertanda fajar pun belum tampak. Belum membias. Seluruh belahan timur disapu warna kelabu pekat.
Sepi sekali pagi ini. "Roy pergi, Ma," suaranya pelan sambil mencium kening mamanya.
Anak-beranak itu berangkulan. Melampiaskan kerinduan yang nanti pasti selalu hadir mengganjal. Ya, mereka menghabiskannya pagi itu. Perpisahan ini memang tidak untuk selamanya. Walaupun untuk beberapa saat, yang namanya berpisah, ya tetap berpisah. Tidak enak dirasakan.
Mamanya hanya bisa menangisi keberangkatannya.
"Pakailah ini, Roy," Roni memakaikan gelang baharnya ke pergelangan tangan sobatnya.
"So long," Mumu menepuk bahunya.
Lalu Roy memandangi sobatnya, lelaki berkumis rapi itu, dan merangkulnya. "Tolong jagain Mama ya, Di. Aku percayakan semuanya sama kamu."
"Good luck!" Edi balas merangkul. "Aku nggak mau baca yang sedih-sedih di suratmu nanti!"
Roy meringis. Menatap mamanya yang mulai berkaca-kaca matanya. Semakin membanjir dan bergulir jatuh ke pipinya. Si bandel mengusapnya perlahan. Ada DX putih berhenti tidak jauh dari mereka.
Seorang gadis cantik membuka pintu dan terburu-buru menyerbu ke arah mereka. Betapa mempesonanya gadis itu. Betapa kemilau. "Roy!" teriaknya tidak mau kehilangan.
DewiVenus! Semua memandangnya. O, betapa bercahayanya dia pagi ini. Sepertinya Tuhan sengaja memberikan yang teristimewa kepada Roy lewat Venus itu, di saat-saat keberangkatannya.
Roy memegang jemarinya. Memperkenalkan kepada mamanya.
"Cantik sekali kawanmu ini, Roy," mamanya tersenyum.
Venus itu menyelipkan sepucuk surat ke tangannya.
"Thank's!" Roy gembira menggenggam suratnya.
Kini remaja bandel itu mulai menyandang ranselnya. Sekali lagi dia memandang orang-orang yang dicintai dan disayanginya. Nanti Roy pulang, Ma, batinnya. Dan dia tidak menoleh lagi.
Dia membiarkan orang-orang memandangi keberangkatannya.
Dia tidak menoleh, karena dia tidak ingin melihat mamanya meneteskan air mata lagi.
*** Roy, keputusan memang ada pada kamu. Ani sih, hanya bisa ngedoain saja, biar kamunya selamat dunia-akhirat. T api, sebelum kamu pergi dengan avonturirmu itu, cobalah dulu minta petunjuk sarna Tuhan, karena tidak ada seorang pun yang tahu apa sebenarnya yang terbaik buat kita, kecuali Tuhan.
Kenapa baru kamu katakan semalam, Roy" Sementara hari-hari bagi kita sudah tidak ada lagi. Ani lama sekali menunggu. Perempuan hanya bisa begitu, menunggu. Ya, menunggu. Tapi, Ani bahagia kok. Ani merasa sudah begitu dekat dengan kamu. Sekarang Ani hanya bisa ikhlaskan diri sama Tuhan. Semoga dengan cara itu, Ani bisa mengobati kerinduan dan bahagia.
Pesan Ani, Roy (sori, ngajarin), jangan lupa baca Alhamdulillah dan Subhanallah. Amalkanlah kedua kata yang mengagung-agungkan Tuhan itu! Dua kata itu sangat ringan di lidah, tapi betapa beratnya di timbangan Tuhan. Berdoalah padaNya dengan hati khusyuk dan keyakinan bahwa, doa kamu itu bakalan dikabulkan.
Betul katamu, Roy, kapan kita bisa jumpa lagi" Atau memang kita tidak akan pernah jumpa lagi" Ani takut sekali kemungkinan terakhir yang terjadi. Siapa pernah tahu, Roy"
Ani pasti selalu merindukan kamu, Roy. Jangan lupa surat-suratnya. Cerita-cerita avonturirnya. See you, Roy! Always
Kertas biru itu masih dipandanginya. Masih digenggamnya. Selembar foto kini dinikmatinya. Cahaya bulan yang bulat persis di atas kepalanya, begitu indah meneranginya. Berbinar ke seluruh alun-alun Surra Kencana. Di sebelah sana, puncak Pangrango pun menjulang jelas begitu indahnya.
Roy sudah dua malam berada di puncak Gunung Gede ini. Puncak gunung yang sudah teramat sering diinjak-injak para petualang muda dan dijadikan tempat malam Minggu-an bagi anak-anak Metropolitan.
Remaja bandel itu sedang me
renungi keberadaannya. Mamanya memang, pada akhirnya, tidak pernah memaksakan kehendaknya. Wanita empat puluhan itu hanya menyodorkan permasalahan dan alternatifnya saja. Wajar, namanya juga orang tua. Mereka pasti dong khawatir, jika melihat anaknya salah jalan. Mereka harus memperingatkan dan menunjukkan jalan keluamya. Tapi pada akhimya, itu tadi, semua dikembalikan kepada si anak.
"Roy!" teriak seorang perempuan melambaikan tangannya. "Jangan ngelamunin si doi aja, dong!" ledeknya meneruskan kegembiraannya, bemyanyi-nyanyi bersama kelompoknya.
Mereka anak-anak gunung. Anak-anak yang setiap weekend tiba selalu tidak pernah kerasan di rumah; bosan dengar suara bising kendaraan dan sesaknya udara kota besar.
"Sini dong, Roy!" panggilnya lagi. Yayu, namanya. Cewek produk Metropolitan. Semua diukur asal senangnya saja. Praktisnya saja. Dia tidak pernah mau peduli apakah bapak-ibunya yang sibuk bergelut untuk hidup di belantara kota besar, masih sempat khawatir atau tidak memikirkan anak-anaknya.
"Sebentar!" teriak Roy mengemasi catatan perjalanannya. Lalu berlari ke perkemahan mereka. Ikut bemyanyi-nyanyi. Ikut menghangatkan badan di depan api
unggun. Mereka, anak-anak gunung, begitu riangnya diselimuti cahaya bulan pumama. Kembang edelweiss yang terhampar pun ikut memantulkan warna keperak-perakannya. Gembiralah terus, wahai Anak-anak gunung!
Malam pumama di puncak gunung, oala, sukar dilukiskan. Kita coba, yuk! Bagaimana kalau seperti melihat dewa-dewi dengan jubah emasnya turun ke bumi mengikuti sinar pumama" Atau kalian punya perumpamaan sendiri" Silakan. Yang jelas, gunung dan bulan memang punya kekuatan magis. Bisa-bisa kita tenggelam ke dasarnya!
Menjadi petualang memang mengasyikkan. Semakin berat tantangannya, malah semakin asyik. Jiwa kita kadangkala merasa kerdil kalau sedang disiksa oleh alam. Tapi, coba kalau kita berhasil mengatasinya, oh, betapa pongahnya kita bertepuk dada dan berteriak kepada orang-orang, "Ini dadaku, mana dadamu!"
Jangan coba-coba menaklukkan alam, apalagi melawannya. Itu berbahaya. Sungguh. Alam jangan ditaklukkan dan dilawan. Tapi harus diakrabi. Jadikanlah alam itu sahabat, guru, dan bunda kita. Kalau kita sudah bisa menjadikan diri kita bagian dari alam, niscaya kita akan bisa menemukan hakikat hidup yang sesungguhnya.
Ya, kadangkala para petualang suka lupa kepada raja di raja petualang sesungguhnya. Yang di atas kita, Tuhan. Masih ingat tragedi Gunung Salak" Empat petualang yang tewas di pedalaman Irian" Budi Belek dan Tom di Sungai Alas" Lalu papa kamu sendiri, Roy! Sebenarnya kalau kita membuka lembaran-lembaran tragis para petualang, oh, betapa semestinya kita harus lebih prihatin dan mawas diri.
Lantas kamu, Roy" Dia duduk memisah di sebuah batu besar. Memandang ke mana saja dia mau memandang. Ke bulan. Ke bintang. Dan kepada dirinya sendiri, siapakah aku" Mau pergi ke mana aku" Apakah yang sedang aku cari"
Dia menyadari semua bermula dari matinya Joe, anjing herder hadiah dari almarhum papanya. Dari situlah sebetulnya hidupnya bermula. Lalu Venus" Roy sadar bahwa, meratapi sebuah perpisahan adalah bodoh sekali! Dia memang mengakui ada yang menjalari perasaannya. Ah! Dengan waktu pun aku bisa melupakannya! Menguburnya! batinnya keras.
Baginya cinta sejati baru ditemukannya pada diri mamanya seorang. Ya, itulah cinta sesungguhnya. Cinta seorang ibu terhadap anaknya. Tulus dan murni. Sedangkan arti cinta di zaman sekarang adalah seksualitas, materiel. Kalau sudah mau sama mau, tinggal angkat telepon saja, lalu appointment. Tidak sulit.
"Ehem!" Yayu mengagetkannya. "Dari tadi gua lihat, kerjanya ngelamun melulu." Dia duduk di sebelah Roy. Roy tersenyum, merangkulnya. "Yang laen sudah pada tidur "" Dia melihat ke perkemahan yang tampak sepi itu.
"Lagi pada asyik mereka!" Yayu tertawa geli. Roy meringis. Dia mencomot rokok. Menyodorkannya. Yayu mencomot sebatang. Roy menyalakan Zipponya. Mereka menghirup rokoknya dengan nikmat, sehingga cuaca alun-alun Surya Kencana yang dipagut dingin bisa terusir sejenak. Lalu mereka saling merapatkan duduknya. Saling rangkul.
"Inget yang di rumah
, ya"" Yayu meninggikan kerah jaketnya. Mengembuskan asap rokoknya berulang-ulang.
"He-eh," sambil mengangguk. "Gua lagi mikirin mama. Kasihan Mama, dia sendirian. Sedang apa ya, dia""
"Emangnya elu mau ke mana, sih""
"Ke mana aja. Ke mana kaki gua mau melangkah."
"Apa enaknya sih, jalan sendirian "" Yayu keheranan. "Nggak ada temen buat ngegosip. Sepi banget, tuh!"
"Soal temen ngegosip, itu bukan masalah. Itu bisa gua temuin di perjalanan. Kayak flu inilah, contohnya."
"Yo-i juga. Tapi, kenapa mesti sendirian""
"Buat gua, ke mana-mana memang lebih asyik sendirian. Risiko beda pendapat di perjalanan nggak bakalan ada. Gua lebih dituntut untuk nggak selalu ngegantungin diri sama orang lain.
"Gua lebih dituntut untuk bisa selfcontrol."
Yayu menerawang, "Gua nggak kepikir nyampe situ, tuh. Buat gua, Roy, naek gunung cuma hura-hura doang. Ngelupain rutinitas metropolitan yang ngebosenin; ngejar-ngejar bis kota, dipanggang matahari, dan bau sampahnya!"
Alam semakih hening dan mati.
"Gua ngantuk banget," Yayu menguap. "Nebeng di tenda elu, ya!" "Masuk aja. Ada sleeping bag di dalem." "Elu belon ngantuk, Roy""
"Gua masih betah ngelamun!" dia tersenyum, mengedipkan matanya.
Memang, ke mana-mana sendirian lebih dituntut untuk tanggap terhadap sekeliling. Kita jadi banyak belajar ketika mengatasi masa-masa sulit dan memecahkannya sendirian. Kalau kita sudah berhasil mengatasi situasi semacam itu, berbahagialah wahai kawan, yang termasuk ke dalam golongan itu.
Tokoh kita ini merenungi lagi keberadaannya. Betulkah apa yang sudah aku lakukan ini" Betulkah keputusanku untuk pergi ke mana saja kaki melangkah"
Ayolah, Roy! Jangan guncang seperti ini. Kalau ragu-ragu, mumpung baru satu langkah, pulang saja! Di rumah, mamamu pasti akan memelukmu penuh sukacita dan memanjakan hidup kamu. Venus-mu juga akan menyelimuti dengan cahaya kemilaunya. Nah! Tunggu apa lagi, Roy" Pulanglah! Cepat kemasi tenda dan ranselmu! Cepat turuni Gunung Gede ini! Cepat, Roy, cepat!
Gila! Roy mengutuki suara batinnya. Aku tidak akan memakan impianku sendiri. Aku pantang menelan kata-kataku sendiri. Aku sudah melangkahkan kaki kananku. Itu berarti harus disusul dengan langkah selanjutnya, kaki kiri! Begitu seterusnya! No retreat no surrender!
Kabut semakin memagut. Semakin membekukan tubuh. Dingin menusuk. Roy menggigil. Suara giginya yang beradu gemeretuk. Dia menguap, masuk ke tendanya. Dilihatnya Yayu sudah asyik bersembunyi di dalam sleeping bag. Asyik dengan mimpi metropolitannya.
Tidurlah, Roy. Besok matahari akan terasa hangat kita nikmati.
*** II. ZIARAH Hangat mentari musim semi, mandikan ini dengan cahayamu Hangat angin selatan, hembuskan napasmu perlahan Dan rumput hijau di atas, tegaklah tenang damai Selamat malam yang tercinta, selamat malam.
-Mark Twain *** SI PETUALANG jalanan memasang tendanya. Air gemericik, cik cik cik... dari kali kecil, merdu di telinganya. Bening airnya. Sejak tadi dia ingin berkecipak di kali itu, membasuh bau keringat dan debu jalanan.
Dia memperhatikan bukit yang tubuh di pesawahan itu. Bukit yang rindang, teduh, dan damai. Di bukit itulah pusara papanya. Ya, di bukit itulah jasad papanya berbaring, di antara darah biru dan budaya feodal keluarga. Sebuah pekuburan keluarga. Berada di sebuah desa antara Cianjur-Sukabumi. Sebuah tempat yang hanya bisa kita nikmati pada lukisan-lukisan di pinggir jalan atau lukisan-lukisan yang dipikul. Lukisan tentang gunung, sungai, sawah, dan cahaya matahari pagi.
Tadinya Roy disuruh mondok di rumah Pak Lurah. Tapi dia bersikeras memasang tenda saja. Cuma kemping, Pak, begitu alasan Roy. Paling bisa dia. Lalu alasannya lagi, udara di kota sudah kotor dan pesawahan berubah jadi tembok. Pak Lurah sih, manggut-manggut saja. Aneh juga, pikirnya. Orang desa setengah mati pingin ke kota, melihat gedung pencakar langit, merasakan naik bis tingkat yang suka ngebut dan ceroboh menaikturunkan muatan, atau mengagumi Tugu Monas sambil membayangkan kalau saja emas kiloan itu dijadikan mas kawin. Tapi, orang kotanya malah pingin ke desa. Dunia sudah kebalik! pikir Pak Lurah lagi.
"Mau ke mana"" tegur
Roy ketika dilihatnya seorang anak kecil berpakaian si Unyil melintas. Di tangannya ada cangkul dan arit terselip di pinggang.
"Ke sana, Kak," anak kecil itu menunjuk ke arah bukit.
"Apa itu"" Roy pura-pura tidak tahu.
"Kuburan." "Kuburan"" dia keheranan. "Kuburan siapa""
Ahmad, anak kecil itu, menyebutkan nama seseorang. Nama keluarga papanya. Lalu dengan berbagai cara, Roy menawarkan bantuan untuk ikut membersihkan kuburan itu. Ahmad kelihatan ragu-ragu sekali untuk mengiyakan. Dia melihat ke sekeliling dulu sebelum mengangguk pelan-pelan.
Roy memang merindukan papanya. Sejak upacara penguburan papanya, sejak opa-oma dan kerabatnya memandang mereka dengan sorot mata hina, dia dan mamanya tidak pemah datang untuk ziarah ke kuburan papanya lagi. ltu sudah sepuluh tahun ke belakang.
Roy kelihatan sedang mengingat-ingat letak kuburan papanya. Diperhatikannya kuburan yang berjejer rapi bagai petak-petak Perumnas. Pohon-pohon meneduhinya. Hamparan rumut jadi permadaninya. Yang masih bisa diingatnya adalah, dua buah kuburan besar, yang menjadi titik pusat di pekuburan ini. Kata mamanya, dua kuburan besar itu adalah kuburan buyutnya.
Lalu matanya terbentur ke sebuah kuburan terpisah. Terasing dan dikucilkan. Rumput liar meranggas, mencakar-cakar gundukan tanah merah tidak benisan itu.
"Kuburan siapa itu "" Roy berjalan ke sana.
"Cucunya yang itu!" Ahmad menunjuk pada dua kuburan besar di tengah-tengah itu. Dan dia mengikuti langkah Roy. "Kok, nggak diurus"" "Kata Bapak, jangan." "Jangan" Kenapa"" "Juragan yang menyuruhnya begitu." "Masa iya, sih"" Roy jengkel sekali.
Ini tidak adil! Orang yang sudah mati berarti sudah putus hubungan dengan keduniawian.
Tapi, kenapa papanya masih saja diributkan" Sepertinya mereka tidak rela kalau papanya bisa istirahat dengan tenang dan damai.
"Yang itu kuburan siapa"" Roy menunjuk pada dua buah kuburan yang masih baru. Tanah merah masih basah dan segar. Dan masih ada sisa-sisa bunga yang baru ditahurkan orang.
"Tuan Budi dan Nyonya. Kakaknya kuburan yang ini," Ahmad menunjuk kuburan yang dikucilkan itu. "Tuan Budi dan Nyonya mati kecelakaan. Tabrakan. Baru sebulan dikuburkan."
Roy mengusap wajahnya. Menarik napas panjang. Papanya terlahir bungsu dari empat bersaudara. Berarti tinggal dua lagi kakak papanya yang masih hidup. Yang cikal perempuan, Tante Monik, namanya. Kemudian Dom Doni, Oom Budi, dan si bungsu yang bandel, papanya. Dia memang tidak pernah mengenal saudara dan kerabat papanya. Opa-omanya juga. Padahal umumnya cucu selalu bermanja-manja kepada kakek-neneknya. Sudah pareumeun obor, kata peribahasa Sunda-nya.
"Hari Minggu besok, Teh Rani pasti ziarah ke sini."
"Teh Rani" Siapa dia""
"Putri satu-satunya Tuan Budi dan Nyonya."
Rani. Si bandel mengingat-ingat nama bagus tadi. "Pinjem aritnya!" Roy mengambil sendiri arit yang terselip di. pinggang Ahmad. Lalu langsung membabati rumput yang meranggasi kuburan papanya.
"Jangan, Kak!" Ahmad sia-sia menghalanginya.
"Sudah, bersihkan saja kuburan Tuan Budi dan Nyonya itu!" Roy tidak menggubrisnya. Meneruskan membabati rumput lagi.
Ahmad kebingungan sekali. Kalau saja bapaknya tahu, wah, repot. Dan kalau saja Ahmad tahu betapa kelopak mata Roy berkaca-kaca ketika membabati rumput itu. Kalau saja dia memergoki ketika Roy mengusap air matanya yang bergulir. Kalau saja dia tahu bahwa kuburan itu adalah kuburan papanya Roy. Kalau saja dia tahu... Tapi untung, Ahmad tidak tahu apa-apa.
Roy menelan air liurnya. Tenggorokannya kering. Dadanya sesak. Jiwanya merintih. Lalu dia mengusap keringat di keningnya. Memperhatikan kuburan papanya yang mulai terbebas dari keterasingan.
Setelah ini dengan batu nisan dan tahuran kembang, oh, indahnya! batinnya. Dia menyapu pandang. Berlari ke sana kemari, memetiki kembang liar. Tidak peduli kembang apa namanya. Yang penting kembang. Bisa ditahurkan di pusara papanya. Dan bisa kelihatan sudah diziarahi orang.
Roy terisak-isak meremas tanah merah itu.
"Kakak menangis"" Ahmad menyentuh pundaknya hati-hati.
Roy mengangguk, "Kakak inget Bapak, Ahmad." "Sudah meninggal""
"Ya. Sedih sekali ditinggal Bapak. Makanya,
Ahmad nggak boleh nakal sama orang tua, ya," Roy menasihatinya.
Matahari sudah menyembunyikan sinarnya. Wajah desa pun sunyi. Semakin menimbulkan kesan damai. Terhindar dari bercak-bercak moral kota besar dan bau busuk mulut para pemabuk.
Roy semalaman meraut batang pohon untuk dibuat kayu nisan kuburan papanya. Dia berusaha semalaman untuk mewujudkan impiannya. Dia bekerja keras untuk itu. Untuk pengenal bahwa, kuburan itu ada bernama.
Semalam suntuk dia meraut dengan pisau belatinya. Melawan kantuk dan kesedihannya.
Sampai pagi dia melakukannya. Sampai kokok ayam terdengar. Sampai para petani membenamkan kakinya di lumpur. Sampai matahari bersinar. Sampai dia tertidur
kelelahan sendiri, merangkul kayu nisannya.
*** "Kak, bangun, Kak!" Ahmad mengguncang-guncangkan tubuh Roy. Berulang-ulang dia melakukannya.
Roy menggeliat. Kayu nisannya terlepas. "Kamu, Ahmad," dia merasa terusik. Kantuknya menyerang lagi. Tidurnya memang belum lengkap.
Tidak jauh dari mereka, seorang gadis bersidekap. Sorot matanya penuh harap memandangi tubuh Roy. Gadis itu ramping bagai peragawati ibukota. Rambutnya yang hitam lebat mengkilap dikepang dua. Kulitnya putih bersih, jarang terkena debu jalan dan sengat matahari siang. Dia cantik sekali.
Dia adalah bidadari yang turun meluncur lewat pelangi. Seorang gadis menak, yang tidak akan pernah bercerita tentang kesusahannya kepada orang-orang. Dan mulutnya tidak akan pernah mencicipi makanan yang pahit-pahit.
Dia adalah gadis semata wayang yang dilahirkan di atas kekayaan dan kehormatan. Yang sudah terbiasa dininabobokan. Sekarang" Betapa hati gadis kepang dua itu berguncang, ketika menyadari kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan! Kini dia dihadapkan pada kenyataan hidup, menjadi seorang gadis yatim-piatu.
"Selamat siang," tiba-tiba mulutnya yang mungil basah terbuka. Suaranya bergetar. Dadanya berdebar.
Roy langsung terlonjak kaget begitu mendengar suara tadi. Dia meringis melihat ada bidadari berdiri di depannya. Buru-buru dia merapikan dirinya.
"Pagi, eh, siang juga," senyum nakalnya keluar juga.
Dia melihat Ahmad yang diam-diam memberi isyarat kepadanya. Jari-jari tangannya melukiskan lingkaran memanjang dua buah. lalu telunjuknya menunjuk ke arah bidadari yang berdiri cemas di depannya. Apaan, sih" dahi Roy berkerut.
"Kamu yang membersihkan kuburan Oomku"" tanya bidadari itu hati-hati. Sepertinya dia takut lelaki di depannya ini tersinggung.
Roy memandangi seluruhnya yang ada pada gadis kepang dua itu. "Ya, aku." Masih keheranan memandanginya. Lalu samar-samar dia mulai meraba isyarat yang dimaksud Ahmad tadi. Itu pasti ada hubungannya dengan dua buah kuburan yang masih baru.
Rani" Rani-kah bidadari ini" Dia meneliti lagi lebih saksama seluruhnya yang ada pada bidadari ini. Segalanya. Lalu dia merasa seperti pernah mengenalnya. Pernah melihatnya. Bahkan... pernah membencinya.
"Jadi..., betul kamu"" bidadari itu belum percaya.
"Ya, aku," mata Roy mulai menghunjam perasaannya. "Lantas, kenapa""
"Nggak... , nggak apa-apa," suaranya jadi gugup.
"Kuburan itu merusak. keindahan," Roy tampak gelisah. "Makanya aku bersihkan."
"Kamu..., kamu siapa""
"Aku bukan siapa-siapa," Roy mempermainkan kayu nisannya. "Aku hanya petualang jalanan, yang kebetulan tersesat ke sini. Yang kebetulan merasa nggak enak melihat ada kuburan diperlakukan tidak adil," kalimatnya mendesak perasaannya.
Roy menatapnya tajam. Mereka akhimya saling pandang. Saling menyelami, menggali, dan membongkar peristiwa sepuluh tahun ke belakang, ke sebuah drama yang menakutkan.
Roy tiba-tiba mengatupkan gerahamnya.
Bidadari itu tertunduk, menggigiti bibirnya.
Mereka kini sedang bergelut dengan badai di hati masing-masing. Sementara Roy dengan dendam dan lukanya, gadis kepang dua itu larut dalam penyesalan yang berkepanjangan.
Sebenarnya. begitu Roy menyadari gadis kepang dua ini putrinya Tuan Budi, dia ingin betul merangkulnya, karena dialah saudara perempuannya! Tapi ketika itu pula muncul desakan lain yang melemparkannya ke drama menyakitkan itu.
"Kamu Rani"" ragu-ragu Roy bertanya.
"Ya, akulah gadis kecil tak tahu diri itu."
"Bet ulkah"" Roy masih belum yakin. "Gadis kecil yang menyemprot aku dan mamaku dengan air ledeng"!" kini suaranya mulai tinggi. "Ya, akulah gadis kecil itu," Rani terisak-isak.
"Juga yang menyuruh kawan-kawan kecilmu memuntahkan kue-kue jualanku"!" Roy mencekal bahunya. Mengguncang-guncang tubuhnya dengan kasar dan gemas. "Ya, aku," tangisnya meratap.
Luka lama kembali menganga. Terbayang lagi di pelupuknya ketika dia dan mamanya bersilaturahmi ke opa-omanya, ternyata disambut dengan semprotan air ledeng oleh gadis kecil itu, bidadari yang kini ada di depannya. Juga ketika dia berjualan kue-kue di depan sekolah elite itu, lagi-lagi dia ketemu gadis kecil sialan itu. Yang menyuruh kawan-kawan kecilnya memuntahkan kue-kue dagangannya, sehingga sejak itu dia jadi membenci perempuan. Itulah sebabnya maka dia selalu meninggalkan gadis-gadis yang mencintainya, karena di situlah dia bisa merasakan nikmatnya sebuah dendam yang terbalas. Dia sadar, ini memang tidak baik. Tapi anehnya, dia memasabodohkannya dulu.
"Lantas mau apa kemari, heh"!" hardiknya geram. "Mau menghinaku lagi"!" Dia cekal lagi bahu gadis itu.
Rani semakin menjadi tangisnya.
"Ayo, cepat! Aku siap mendengarnya!"
Rani mengerem tangisnya. Napasnya turun-naik, sesak sekali. Sorot matanya kosong. Dia sembunyikan wajahnya. isaknya masih terdengar, penuh penyesalan.
Roy dengan kesal melepaskan cekalannya. Dia sebetulnya tidak tahan mendengar ratapan seperti itu. Dia lalu menendang batu kecil sekuat-kuatnya, hingga terpelanting jauh ke tengah sungai, hanyut dan tenggelam ke dasarnya.
"Setiap hari, aku selalu menanyakan tentang kalian, Roy," masih dengan isaknya.
Roy tengadah ke langit. Bidadari ini memanggil namaku, batinnya. Bidadari ini tampaknya sudah berubah. Sudah berbeda dengan gadis kecil yang dulu aku benci. Dia kini tampak begitu menderita, penuh beban.
Lalu Roy mengambil kayu nisannya. Berjalan tanpa menghiraukan Rani. Dia menuju bukit itu.
Hatinya betul-betul gelisah, karena dipenuhi oleh penderitaan bidadari itu. Ketika sampai di pintu gerbang, Pak Amin menghalangi langkahnya. Dia kuncen di pekuburan keluarga ini.
"Aden, siapa"" Kuncen itu bertanya hormat sekali.
Roy menerobos saja. Dia meronta ketika Pak Amin memegangi tangannya. "Biar dia masuk, Pak!" Rani berteriak.
Roy tergesa-gesa masuk begitu kuncen itu melepaskan pegangannya. Dia meloncati satu dua kuburan yang menghalangi langkahnya. Hanya satu di benaknya, kuburan papanya!
Dia berhenti di depan sebuah kuburan. Berdiri lurus dengan langit. Menengadah menentang matahari. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi. Kayu nisan yang digenggamnya teracung-acung. Lalu sekuat tenaga dia menancapkannya!
Si bandel bersimpuh. Luruh. Segalanya di luar batas kesadarannya. Kenapa aku mesti ketemu gadis kecil itu lagi" Di tempat seperti ini" batinnya memprotes. Ya, betapa hari-hari itu sangat sulit ditebak apa maunya. Lalu dia merasa seperti tong sampah di pinggir jalan. Tempat orang lewat membuang kejengkelan dan sumpah-serapahnya.
Bijaksanalah, Roy! batinnya yang lain mengingatkan. Rani adalah saudara perempuanmu, kakakmu. Sekarang jiwanya sedang labil. Sedang guncang. Tegakah kamu, Roy, ketika dia sedang meratapi kepergian kedua orang tuanya, kamu pun ikut-ikutan menggedornya, dengan melemparkannya ke masa lalunya" Ke masa yang tampaknya dia sendiri sangat menyesalinya, Roy!
Sebetulnya apa yang dikatakan Rani bahwa, sepeninggalnya dia selalu menanyakan kabar Roy dan mamanya, itu bukan omong-kosong belaka. Setelah beranjak dewasa, dia selalu mencari tahu kepada papa-mamanya, opa-omanya, Tante Monik, serta Oom Doni, perihal Roy dan mamanya, yang pernah diperlakukannya semena-mena. Sayang usahanya sia-sia. Dan sayang, Roy sendiri tidak menyadari semuanya.
Roy menyeret langkahnya. Dia menghampiri Rani yang sedang bersimpuh di kuburan kedua orang tuanya. Dia merasa ditusuk-tusuk perasaan bersalah, karena ikut mendera jiwanya. Apalagi ketika melihat air mata yang mengalir deras tak ada hentinya pada kelopak matanya.
"Ran," suara Roy tercekat. "Aku menyesal sekali dengan kejadian tadi." Dia menghela napas.
"Aku ikut berduka cita atas kematian Oom Budi dan Tante." Ikut berjongkok di samping Rani, yang masih luruh dengan tangisnya. Rani meremas-remas tanah merah itu.
"Sudahlah," Roy menyentuh pundaknya. "Tidak ada gunanya kita meratapi orang yang sudah mati. Relakan mereka pergi."
Rani menatapnya. Dia mengusap pipinya yang basah. Sorot matanya berkilat-kilat penuh harapan. "Roy," suaranya masih tertelan isaknya.
"Tabahkan hati kamu," Roy pun mengusap pipinya.
"Jadi..., kamu memaafkan aku, Roy"" dia ragu-ragu.
Roy membimbingnya untuk berdiri. "Kita belum kenalan, ya"" Si bandel mengalihkan suasana. Senyum nakalnya menghias. "Nama kamu, siapa"" Tawa kecilnya terdengar.
Rani tersenyum girang. Rona merah menjalari wajahnya yang tadi pucat. Giginya yang putih berbaris, cemerlang sekali. "Rani," tawanya pun terdengar. "Kamu"" lucu sekali nadanya.
"Roy," si bandel menyebut namanya. Dia merapikan rambut depannya yang jatuh di keningnya. Memandanginya lama-lama. "Kamu cantik sekali, Rani," pujinya. "Beruntung deh, cowok yang bisa jadi pacar kamu," godanya.
Rani tersipu-sipu. Dia memeluk tubuh Roy. "Kamu juga tampan, Roy," bisiknya bahagia. Dia semakin erat memeluknya.
Mereka sama-sama saling menumpahkan kegembiraan, kerinduan, dan kebahagiaan. Mereka seperti baru menemukan kembali sesuatu yang hilang entah ke mana. Menemukan sesuatu yang mereka tunggu dan dambakan sejak lama.
Kita selamanya memang tidak akan bisa hidup dengan kesalahan dan dendam kepada orang lain. Kita membutuhkan rasa kasih sayang, apalagi sebagai sesama saudara. Dan itulah sekarang yang diperoleh kedua makhluk Tuhan itu.
Kita tidak akan pernah bisa melukiskan perasaan orang-orang seperti mereka saat itu. Tidak akan pernah bisa. Tidak akan pernah ada warna-warna cat pelukis mana pun yang bisa dituangkan ke atas kanvas, atau sederet kalimat puitis untuk merangkaikannya. Tidak akan pernah bisa. Kecuali: Tuhan.
III. GADIS KEPANG DUA "Pergilah ke barat, Anak muda, dan tumbuhlah bersama alam."
-Horace Greeley *** Wonder biru itu merayap memasuki ujung sebelah barat kota yang pernah beken dengan sebutan Parijs van Java. Kota yang orang-orangnya selalu antusias berbondong-bondong ke Senayan apabila tim kesayangannya, Persib, bertanding. Kota yang kini kalau musim hujan sudah bisa menyaingi Jakarta dengan lautan airnya. Kota yang selalu kebingungan dengan bangunan-bangunan bersejarah dan soal sampah.
"Sudah sampai," bisik Roy di telinganya.
Rani, gadis kepang dua itu, membuka kelopak matanya. Menggeliat. Kata orang, pekerjaan yang paling nikmat ya menggeliat itulah. Apalagi sambil menguap, wuih, rasanya semua beban jadi hilang. Coba, deh.
"Ke alun-alun dulu, Roy. Aku mau ngasih hadiah sama kamu."
Roy bersorak, "Nggak ditawarin juga mau!"
Di bumi kita alun-alun sudah jadi ciri khas kota tradisional. Apalagi untuk kota kabupaten, alun-alun adalah jantung kota. Coba kalian telusuri kota-kota di khatulistiwa ini, pasti yang pertama ditanyakan, "Alun-alun sebelah mana, ya"" Karena di sanalah semua kegiatan terpusat. Mulai dari kantor bupati, kantor pos, bank, mesjid, gereja, dan perkantoran lainnya. Alun-alun juga bisa berfungsi sebagai pusat kebudayaan kota. Setiap hari nasional atau hari besar, alun-alun akan ramai oleh beragam kegiatan. Apalagi Lebaran. Wah, semua orang tumplek ke sana. Lantas kita sholat Ied sambil ngeceng! Aih, aih.
Bola mata Roy jelalatan. Cewek Bandung yang terkenal cantik dan centil menyembul dari segala penjuru. Tidak ada habisnya. Semuanya khusus menyambut Roy. Bandung memang pantas dijuluki Kota Kembang.
Ada dua cewek ber-rok jeans mini plus T-shirt manyala, melintas di depannya. Mereka cewek-cewek belasan tahun yang cerah-ceria. Mereka berjalan bagai sedang jaipongan saja, sambil melirik Roy, dan berbisik-bisik. Kelihatannya mereka berpikir, kalau saja bumi ini tidak ada kami, gadis-gadis cantik, oh, betapa akan gersangnya wajah bumi ini!
"Hai, Cewek!" goda si bandel konyol sekali, sambil mengedipkan matanya. "Hai juga!" mereka balas mengedip.
Roy, dasar sableng, menguntit mereka. Dia sudah lupa pada Rani, yang sejak tadi nyengir saja melihat kelakuan saudaranya i
ni. "Jangan diobral, dong!" Rani menggandeng lengannya dengan gemas. "Biar dikirain pacar kamu!" katanya.
Roy keki juga. Lantas mereka bergandengan melintasi alun-alun. Tukang foto amatiran menyerbu mereka.
"Difoto, yuk!" ajak Roy.
"Idih... , norak!"
"Ayolah," Roy menarik lengan Rani ke dekat tangga Mesjid Agung. Merangkulnya.
"Foto satu, Pak!" teriak Roy cuek saja. "Senyum, dong! Masa sih, difoto nekuk begitu" Nggak lucu, ah!"
"Biarin!" "Aku kepingin difoto sama kamu, Rani. Lagi berdua. Lagi senyum bahagia. Buat kenanganku nanti." Serius sekali nada Roy tadi.
Rani jadi terenyuh juga. Kemudian dia balas merangkulnya. Menjatuhkan rambut kepang duanya ke dadanya. Tersenyum ke arah kamera. Tukang foto sih, mesem-mesem saja. Oke, siap! Lampu blitz pun berkelebat menyilaukan.
Buat kalian yang belum pemah ke Bandung, jangan kaget kalau mendapatkan alun-alun Bandung yang jauh dari perkiraan semula. Memang tidak sama dengan alun-alun yang ada di kota atau kampung lain. Alun-alun Bandung bukan lagi lapangan rumput, tapi sudah berubah bentuk menjadi tembok beton, air mancur, dan lautan manusia. Mungkin nasibnya sebentar lagi diikuti alun-alun plaza di Malang.
Tempat ini sudah jadi etalase. Tembok-tembok meriah, mewah, dan gemerlap mengurung berimpitan. Sehingga Masjid Agung di sebelah baratnya kelihatan jadi begitu terasing. Lantas bagaimana kita bisa berdoa khusyuk kalau sekeliling kita hiruk-pikuk begitu" Rani menarik Roy ke sebuah toko. "Levi's kamu mesti diganti. Sudah bulukan, bau lagi!" selorohnya.
"Yuhuuu!" Roy bersorak. Dia langsung memilih-milih model dan ukuran. Mencobanya dan bergaya di muka cermin. "Keren, nggak"" katanya berlagak di depan Rani.
Rani nyengir saja "Langsung dipake"" katanya heran.
"He-eh," Roy cuek saja menyerahkan Levi's bulukannya kepada penjaga toko. "Tolong bungkusin ya!" suruhnya.
Penjaga toko itu mesem-mesem. Beli baru, kok langsung dipakai" Norak banget! begitu pikir si penjaga toko. Tidak lazim dilihatnya, memang. Tapi itulah Roy. Dia paling doyan sensasi, walaupun kecil. Tapi bukankah kecil itu indah"
Tiba-tiba ada segerombol lelaki yang sengaja merusak kebahagiaan dan keakraban mereka. Terutama yang memakai rompi dan jaket parasut. Mereka dengan sengaja dan kasar menyenggol-nyenggol.
"Diemin aja, Roy," Rani menariknya agar menjauh, "Mereka koboi-koboi tengik di sekolahku."
"Ceile... , segitunya yang lagi indehoy," yang berompi mengolok-oloknya. "Sombong ni yeee," yang berparasut menimpali, bahkan tangannya menjawil dagu Rani.
Rani menepisnya, "Apa maumu sih, Wan!"
Roy mulai gusar. Dia menghalau para begundal itu. Yang berompi tidak mau terima. Dia melayangkan bogemnya. Tapi sebelum menyentuh sasaran, Roy mencekal pergelangan tangannya. Memelintir dan mendorongnya kepada kawan-kawannya.
Perkelahian itu berlangsung cepat dan tergesa-gesa. Roy memang bisa memasukkan beberapa tinjunya, tapi dia pun harus menerima banyak pukulan di tubuhnya. Satu lawan empat, jelas tidak seimbang. Tidak manusiawi.
"Sakit, Roy"" Rani cemas sekali melihat bibirnya berdarah.
Roy meringis. Memaki-maki. "Kamu tahu siapa mereka""
Rani menarik napas, "Aku yang nyopir, Roy," dia mengalihkan pembicaraan.
Si bandel menyerahkan kunci mobil. Kelihatannya dia ingin mendengar jawaban atas pertanyaannya tadi. Tapi, Rani tampaknya menundanya dulu. Tidak enak, banyak orang.
Wonder biru itu meluncur ke daerah atas.
Di daerah Cipaganti yang lengang, Rani menja lankan mobilnya pelan-pelan. Penerangan di sekitar sini remang-remang kalau malam hari. Tiba-tiba dia terpekik kaget menginjak pedal remnya. Roy terlonjak ke depan. Sebuah CJ hitam melintang menghalangi mobil mereka. Penumpangnya berlompatan turun. Para begundal tadi!
"Bajingan!" dengan berang Roy membuka pintu.
Rani tidak keburu mencegahnya. "Roy!" itu saja yang keluar dari mulutnya. Dia cemas sekali ketika melihat Roy sudah dikelilingi para begundal itu. "Ada apa lagi, heh"! Masih belon puas"!" hardik Roy.
Iwan meringis sinis. Melemparkan puntung rokok ke kaki Roy. Sorot mata Roy berkilat-kilat. Dia sedang memperhitungkan jarak yang aman untuk bertindak. Iwan memang persis d
alam jangkauannya. Kalau dia bergerak, berarti Roy harus memukul gong terlebih dahulu.
Nyatanya persis begitu. Iwan dengan angkuh maju. Naluri berkelahi Roy menyentak. Kaki kanannya berkelebat membentur rahang musuhnya. Iwan terjerembap. Mengerang kesakitan, ketiga kawannya keder juga melihat gong pertama tadi. Roy bergerak ke sana kemari. Yang memakai rompi merangsek dari depan. Yang berjaket loreng menerjang dari samping. Seorang lagi dari belakang. Mereka serentak mengepung. Diserang dari segala arah Roy betul-betul kewalahan, dan dia bukan seorang pendekar dalam serial kungfu.
Rani dengan cemas memencet klakson sesering-seringnya. Sekeras-kerasnya. Dia berharap semoga orang-orang di daerah sini pada keluar mendengarnya.
Beberapa orang yang terusik oleh bunyi klakson memang keluar. Mereka mengumpat-umpat, Berusaha melerai pengeroyokan itu. Para begundal itu pada kabur. Pengecut. Tindakan yang tidak patut kita tiru.
Roy melemparkan tubuhnya ke jok belakang. Tidur-tiduran. Kepalanya pening sekali. Dia mengusap bibirnya yang berdarah.
"Ke rumah sakit ya, Roy," Rani khawatir melihatnya. Hatinya tidak enak, karena gara-garanyalah Roy jadi babak belur begini.
"Siapa si Iwan itu, Ran""Roy memijiti keningnya. "Kelihatannya dia sangat cemburu sama aku," katanya lagi.
Rani tercenung. Menarik napas dulu. "Aku pernah pacaran sama dia, Roy," pelan suaranya.
"Mantan ni yee," ledek Roy melupakan memar di wajahnya.
Rani tertawa hambar. "Dia sombong banget. Terlalu ngebanggain babenya yang punya bintang dua. Lama-lama aku nggak suka. Mendingan putus aja," ceritanya datar.
"Dia cakep, lho," ledek Roy lagi.
"Masih cakepan kamu, Roy," Rani balas menggoda. "Aku mau cari cowok yang seperti kamu nanti. Cakep dan punya tanggung jawab." Roy tertawa geli, "Jangan!"
"Kenapa"" "Cowok macem begini bahaya. Playboy!" tawanya lagi.
Wonder itu berhenti di depan sebuah rumah besar. Halamannya luas. Pohon-pohon meneduhi pelatarannya. Rani memencet klakson mobilnya.
"Duilah..., gede banget rumah kamu, Ran!" Roy berdecak kagum. "Sama siapa kamu tinggal di sini""
"Sama Mang dan Bik Sukri," katanya melongokkan kepalanya dari jendela mobil. "Mang Sukriiii!" teriaknya.
Mang Sukri, lelaki tiga puluhan, tergesa-gesa berlari, membukakan pintu gerbang. Sementara Bik Sukri menunggu tuan putrinya di teras.
Mereka mengangguk memberi salam. Dan memandangi Roy dengan heran.
"O, ya. Sini Mang, Bik." Rani bisa menebak rasa ingin tahu mereka. "Ini Roy, anaknya Oom Romi. Inget kan"" dia mengingatkan.
Roy tersenyum menyalami mereka, "Apa kabar Mang, Bik"
"Baik, Aden," Mang Sukri mengangguk masih keheranan. "Kok, Mamang baru
ngelihat"" "Sepeninggal Papa, kami pulang ke Banten, Mang."
"Aduuuh, Mamang inget sekarang. Tuan Romi yang meninggal di gunung itu, ya"" Dia memegangi lengan Roy, sambil memperhatikan memar-memar di wajahnya.


Balada Si Roy 02 Avonturir Karya Gola Gong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Roy tersenyum saja. Mengikuti Rani yang menuju ke ruang tengah. Gadis kepang dua itu menyuruh si bibik menjerang air.
"Kamar yang ini diberesin .ya, Bik," katanya sopan.
Jam dinding berbunyi sembilan kali. Roy sudah nangkring di depan layar gelas. Dia paling doyan dan gemes melihat acara jam sembilan ini. Mendengar bualan dan janji tentang perdamaian. Melihat bom-bom yang begitu mudah diledakkan. Menyaksikan mayat-mayat. Merasakan kelaparan anak-anak Ethiopia. Menyaksikan semuanya: borok-borok dunia!
Sementara Roy sedang asyik dengan layar gelasnya, diam-diam Rani memencet angka-angka telepon itu. Hatinya sebetulnya deg-degan juga. Ini kesempatan baik untuk mempertemukan opa-omanya dengan cucu lelaki satu-satunya. Ya, kapan lagi" Roy besok sudah menyandang ransel lagi. Sedangkan opa-omanya sangat mendambakan ingin melihat cucu lelakinya, setelah semua anak-anaknya memberikan cucu-cucu perempuan. Hanya si bungsu yang bandellah, Romi, yang ternyata. memberikannya impian itu: cucu lelaki!
Rani sendiri tidak mempunyai saudara. Menurut cerita mamanya, dia lahir secara prematur. Setelah mamanya mengandung untuk yang kedua kalinya dan keguguran, dokter melarang papa-mamanya untuk bermimpi memperoleh anak lagi.
"Roy, aku mandi dulu, ya," Rani berusaha m
enutupi perbuatannya tadi, menelepon opa-omanya. Paling-paling setengah jam lagi, mereka akan berkumpul di sini.
Lalu Roy meneliti foto-toto yang tergantung. Dia melihat Rani sedang tersenyum bahagia diapit kedua orang tuanya. Cantik sekali mamanya, batinnya. Kemudian ada foto keluarga. Dia tersenyum geli ketika menyadari hanya papanyalah yang tidak mengenakan pakaian adat sunda. Sableng! Roy tidak habis pikir.
Tiba-tiba terdengar bunyi klakson mobil mengagetkannya. Roy mengintip lewat celah gorden. Baby-Benz itu lampunya masih menyorot. Mang Sukri tergesa-gesa berlari ke luar.
"Siapa tamunya, Bik"" Roy ingin tahu. Dia merasa tidak enak juga. Siapa sih, yang mau bertamu malam-malam, kalau bukan kerabatnya sendiri"
Opa-oma" batinnya gelisah. Wah, celaka! Soalnya Roy pernah berjanji tidak akan mau bertemu dengan mereka kalau tidak dengan mamanya. Dia sangat menghargai perasaan mamanya. Perasaan seorang istri yang suaminya dicampakkan begitu saja oleh keluarganya, setelah mereka resmi berumah.tangga.
"Juragan sepuh, Aden," Bik Sukri memberi tahu.
O, God! dengan panik Roy mengenakan sepatunya. Menyambar rariselnya. Menerobos ke belakang. Dia tidak mempedulikan Bik Sukri yang menjerit-jerit menghalanginya.
Roy dengan jengkel memandangi tembok dua meteran itu. Tanpa pikir panjang tangannya berputar-putar, mengambil ancang-ancang untuk melemparkan ranselnya. Weesss! Ranselnya terbang. Buk! Suara ranselnya berdebum di seberang. Lalu dia mengambil tolakan. Hup! Tangannya sudah mencekal bibir tembok. Sekuat tenaga dia menarik tubuhnya ke atas. Pelan-pelan dulu. Ayo, Roy! Uh! Dia mengeluh. Linu-linu pada tubuhnya sehabis berkelahi tadi masih terasa. Dia turun dulu....
Keringat jatuh dari keningnya. Suara gaduh mulai terasa di rumah besar itu. Roy memaki kesal. Dia kini berpacu dengan waktu. Ayo, Roy, cepat!
Dia kembali mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya. Menekukkan kedua lututnya. Wajahnya tegang mendongak tertuju ke ujung atas tembok.
"Roy!" teriakan histeris itu mengganggu konsentrasinya. Memukuli hatinya. Ah!
Go, Roy! batinnya mengeras. Ya, go, go, go!
Hup! Jemari-jemari Roy mencengkeram bibir tembok. Dengan sepenuh tenaga dia mengentakkan tenaganya pada kedua lengannya. Yeaaaah! dia berteriak. Tubuhnya terangkat pelan-pelan. Kaki kanannya sudah mengait di atas.
Semua orang menonton perjuangannya.
"Jangan lakukan itu, Roy!" Rani semakin histeris, berusaha memburunya. Tangannya menggapai-gapai hendak meraih ujung kaki Roy yang masih menjuntai. "Kembalilah, Roy! Oh!" dia menangis meratap:ratap. "Opa, lakukanlah sesuatu!" dia mengguncang-guncangkan tubuh opanya, yang tidak bergeming melihat peristiwa menegangkan tadi.
"Roy..., oh!" dia membenamkan tangisnya kepada omanya.
Sebetulnya Roy ingin sekali mendengar opanya berteriak menyuruhnya membatalkan niatnya. "Roy!" seperti memanggil namanya saja. Atau, "Kembali!" Roy pasti akan melompat turun, berlari menyongsong mereka. Tapi, nyatanya tidak.
Opa memang gagah sekali. Seorang pensiunan ambtenar zaman kolonial dulu. Sebetulnya Roy ingin berbalik dan berlari memeluknya. Bermanja-manja pada tubuhnya. Dan bercerita tentang petualangannya. Tapi, nyatanya tidak. Roy masih bisa menangkap sebersit sinar penuh harapan dari mata Rani, gadis kepang dua itu. Next time, Rani! Percayalah, suatu saat kita akan berkumpul lagi. Untuk saat ini, aku tidak akan bisa menyakiti perasaan mamaku untuk yang kesekian kalinya.
So long! Roy melompat. Bergulingan. Berlari menerobos semak-semak. Berlari menyeret ranselnya. Menyeret gelisahnya. Menyeret semuanya. Sejauh-jauhnya.
Lari, Roy, lari! Ya, itu saja yang ada di benak Roy.
IV. REUNI Dunia memang milik orang-orang pemberani! (kata beberapa orang)
*** Avonturir bandel itu menyeret langkahnya. Hati-hati sekali. Sepertinya dia ingin membuat surprise untuk ketiga sobatnya. Dia mengatur napasnya. Lagu Satisfaction-nya Rolling Stones menyambar-nyambar telinganya. Mengentak-entak jiwanya. Dia langsung menggelora setiap kali mendengar lagu enerjik itu. Semua anak muda juga pasti begitu. Kalian pun begitu. Coba saja dengar lagunya.
Dia menuju pavilyun. Merapat k
e tembok. Suara ketawa nyaring menyulut kegembiraannya. Itu Posma! sorak batinnya. Si Batak yang kalau ketawa paling keras dan tidak ambil pusing dengan sekeliling. Anak seorang pendeta, yang kalau di rumahnya, berubah drastis jadi alim. Jangankan merokok, ketawa saja dia tidak berani. Biasanya dia akan mencak-mencak kalau ada kawannya yang kepergok merokok di rumahnya. "Heh, Babe gua!" bentaknya memperingatkan. Roy sendiri paling sering tuh, ngerjain si Batak. Malahan dia sengaja merokok di depan pendeta itu. Lantas kalau Roy main ke rumahnya, di pintu, dia digeledah dulu. Semua barang yang mencurigakan (yang bakalan menjatuhkan wibawanya di depan babenya) disita oleh si Batak. Lucu
juga, ya. Roy menggedor pintu keras-keras. Dia cuek saja pintu itu mau rusak atau tidak.
"Jangkrik!" gerutu seseorang. Ini Jimmi! Anak Minahasa yang lahir di Cirebon dan gede di Bandung, sehingga dia orang tidak bisa ngomong Manado. Malahan nginjak tanah leluhumya saja belum pemah. Badannya tinggi atletis. Gagah seperti umumnya anak Manado. Roy paling kenal perangai sobatnya yang satu ini. Temperamental. Mudah naik darah dan gampang mengumpat.
Terdengar suara kaki diseret. Dari mulutnya ada lagu Roxane disiulkan. Hohoho, ini si Yuke, yang paling doyan sama lagu The Police itu.
Cowok keren keturunan Cina. Tapi tidak pemah minder bergaul. Karenanya dia begitu mengagumi Bung Karno yang melahirkan ide kelima kalimat ajaib di perisai burung Garuda itu.
"Hai, guy!" Roy meninju bahunya.
"Roy!" pekik Yuke kaget. Dia menarik Roy.
"Serigala kita balik lagi!" teriaknya gembira. Roy tersungkur ke dalam. Meringis kesakitan.
"Jangkrik!" Jimmi menghambur. "Kunyuk kamu!" Roy meronta.
"Kenapa, kamu"" Posma meneliti wajah sobatnya. "Dipukuli orang"" prihatin sekali nadanya.
"Jangkrik! Sama anak-anak mana, Roy"" Jimmi mulai gerah.
Roy menggelesor di lantai. Bersandar di. tembok. Yuke mengambil air putih. Roy meneguknya pelan-pelan. Bibirnya yang pecah terasa pedih.
Darah kelihatan mengering di sana. Dia menjilatinya dengan ujung lidahnya. Lalu dia memandangi ketiga sabat lamanya.
"Apa kabar, Spider"" Roy tersenyum menyodorkan lengannya.
Mereka menyatukan lengannya erat-erat.
"Masih kompak, Roy!" Yuke balas tersenyum.
"Tapi kita jarang hiking lagi tanpa kamu, Roy," Posma menambahi.
Spider adalah kelompok mereka ketika sama-sama di sini. Mereka sudah menuliskannya. di mana-mana setiap kali bertualang. Dengan piloks mereka mencoretkannya di gerbong-gerbong kereta api, di pabon-pabon, batu-batu, tiang listrik, atau mungkin di pagar rumah kalian" Graffiti memang sedang merajalela. Jangari kalian tiru. Jangan kalian budayakan.
"Berapa orang mereka, Roy"" Yuke yang kamarnya selalu jadi markas, menyodorkan bajigur hangat.
"Empat orang," Roy menguap. "Eh, kok sepi" Papih-Mamih pada ke mana, Ke""
"Ke Puncak, sama saudaraku yang dari Semarang," Yuke menerangkan. Dia anak sulung dari tiga bersaudara. Adiknya dua orang, perempuan semua. Papih Yuke seorang pengusaha yang sukses, seperti umumnya orang Cina.
"Kamu tahu mereka anak-anak mana, Roy"" tanya Posma.
Roy mengangguk pelan. "Kita balas kunyuk-kunyuk itu!" Jimmi mengumpat kesal.
"Kamu bisa ngasih kenang-kenangan juga sama mereka"" tanya Yuke.
"Aku kira yang dua orang nggak beda denganku. Terutama yang namanya Iwan," Roy menghirup bajigurnya.
Spider kini komplet lagi. Mereka bergelora lagi. Si serigala duduk di tengah, bercerita kepada ketiga sobat lamanya. O, ya, tentang sebutan serigala itu, karena Roy memang rakus bagai serigala. Dia selalu mengintai dan memangsa buruannya. Setelah puas, dia meninggalkan buruannya. begitu saja. Lalu mengintai lagi, dan memangsanya yang lain.
"Joe mati, Roy"" Yuke belum mau percaya. Ketiga sobatnya merenung. Mereka merasa kehilangan sekali setelah Roy menceritakan kematian Joe, anjing herdernya. Padahal trademark mereka adalah Joe. Masih terbayang setiap mereka bertualang, Joe selalu berada di depan membim bing mereka. Atau mereka selalu menjadikan Joe sebagai tukang pos, kalau ada cewek yang mereka taksir. Sekarang Joe mati"
"Kegagalan adalah sobatku di sana. Semua yang aku sayangi m
usnah. Mati.. Sepertinya Tuhan menyuruhku untuk mengingat sisa umurku.
"Padahal aku baru tujuh belas tahun!"
"Kamu jadi dewasa, Roy," Yuke merangkulnya.
Roy memejamkan matanya. Berusaha untuk tidur. "Besok aku cerita banyak, deh,." katanya merapatkan selimut.
"Besok jadi ke Jalan Kalimantan"" tanya Jimmi. "Bagaimana, Roy"" Posma meminta pendapat. "Pas bubaran sekolah, kita ke sana," kata Roy. Yuke menarik kedua sobatnya agar menjauh. "Jangan diganggu," bisiknya.
Remaja bandel itu merasa lelah sekali. Tubuhnya seperti ditusuk-tusuk. Nyeri dan linu. Apalagi memar di tulang pipinya, seperti ditarik-tarik saja dagingnya ini.
O, Gusti, sedang apa mamaku di rumah" Tiba-tiba dia ingat mamanya. Ah!
*** Spider sudah nangkring di Jalan Kalimantan. Yuke memarkir Jimny kuningnya persis di sebelah CJ hitam itu. Roy malah cuek saja duduk-duduk di kapnya. Lagaknya seperti yang punya saja. Dia sedari tadi menggombali cewek-cewek dari sekolah favorit itu.
Pas bubaran, Roy melihat koboi-koboi itu. Dia memberi kode kepada ketiga sobatnya, yang mengawasinya di dalam mobil. Dia lalu secara aktraktif berdiri di kap CJ itu. Menyuiti cewek-cewek kenes menggemaskan yang melenggang di depannya. Ih, norak sekali kelakuannya.
"Heh, Kunyuk! Turun kamu!" bentak Iwan berang melihat mobilnya diinjak-injak begitu.
Roy masih belum peduli. "Budek kamu, ya"!" Iwan menyambitnya dengan bungkusan rokok. "Turun, Kunyuk!" bentaknya lagi.
"Ada kunyuk di sini, Wan"" Roy meloncat persis di hadapan mereka. "Siapa yang kunyuk"
"Kamu"" Mereka terlonjak kaget. "Masih inget sama saya"" Roy menatap mereka tajam sekali. Iwan melirik Joni. Mereka tertawa terbahak-bahak. "Ngapain ke sini, heh"! Kepingin dipermak lagi"" ejek Iwan.
Joni maju mencekal kerah jaket Roy, tapi bandel menepisnya. "Mau ribut di sini"" tantang Roy.
Iwan menarik lengan Joni. Orang-orang yang baru-bubaran sekolah sudah berkerumun. Mereka tampaknya tidak senang pelataran sekolahnya dijadikan arena tinju. Mereka sangat menyukai kerukunan sesama pelajar.
Mereka lebih mengutamakan ilmu ketimbang tinju.
"Nanti malem diterusin, Roy"!" teriak Jimmi dari mobil. "Itu pun kalau banci-banci ini punya nyali!" sindirnya terbahak-bahak.
"Oke, gimana kalau di Gelap Nyawang"" tantang Iwan.
"Akur!" Jimmi menyetujui. "Midnight!" dia memastikan waktunya.
Para begundal itu cepat-cepat berloncatan ke CJ hitamnya. Roy juga buru-buru menyelinap ke Jimnynya. Dia khawatir kepergok Rani, saudaranya, si gadis kepang dua.
"Nanti malem!" Joni mengepalkan tinjunya.
Lalu terdengar suara ban berderit. bergesekan dengan aspal.
*** Jimny kuning itu diparkir di tempat yang terlindung. Spider tenang-tenang saja. Buat mereka perkelahian seperti berolahraga saja. Selama masih memakai kepalan tangan, mereka mau terlibat di dalamnya. Kadangkala dengan berkelahi, mereka bisa merasakan betapa sakitnya dipukul itu. Betapa pentingnya mempertahankan. diri itu. Dan betapa pentingnya mengalami atau mengatasi situasi mencekam itu.
Hidup ini mesti diisi dengan beragam kegiatan. Janganlah mau terjebak ke dalam rutinitas. Hiduplah seperti lautan. Kadangkala tenang, sehingga walet-walet leluasa memangsa makanannya. Lain, waktu bergelombang, menaikturunkan sampan nelayan. Atau dengan badainya menggulung-gulung kampung nelayan di pesisir. Ya, hiduplah melawan arus untuk sampai ke hulu. Jangan mengikuti arus untuk sampai ke muara, karena kenikmatan hidup sebagai lelaki adalah terletak pada bisa-tidaknya kita keluar sebagai pemenang.
Ada dua CJ hitam berputar-putar. Lalu parkir di pajak timur. Mematikan lampunya. Semua penumpangnya berlompatan. Duduk-duduk di kap mobilnya.
"Enam orang," Posma menghitung.
"Aku dua. Kamu juga, Jimmi!" kata Roy meloncat ke luar.
Sudah pas jam 00.00. Suara loncengnya pasti berdentang di hati kalian. Udara dingin sekali. Semua mengisap rokok. Sudah saling berhadap-hadapan. Saling mengepalkan tangan:
"Tunggu apa lagi"!" Roy memecah kebisuan. Dia melempar puntung rokoknya ke hadapan mereka. Sisa asapnya masih mengepul. Iwan dengan geram menginjak-injaknya.
Tradisi lelaki lagi-lagi terjadi.
Roy berhasil menyarangkan tinjunya ke r
ahang musuhnya. Jimmi juga tidak mengalami kesulitan dengan kibasan kakinya. Satu musuhnya sudah kapok merasakan tendangan kakinya, minggir dari arena. Posma bergumul seru. Yuke malah berhasil membanting lawannya.
Buk! Roy tersungkur. Joni menerjangnya dari belakang. Iwan meringis sinis melihat kejadian tadi, tapi Jimmi tanpa ampun sudah menggebuk Joni. Kini Roy berhadapan dengan Iwan. Merangseknya. Mencecarnya dengan kombinasi pukulan yang biasa dilakukan para petinju.
Saking asyiknya menikmati pertempuran, mereka tidak menyadari ada suara sirene patroli polisi meraung-raung menembus malam. Mereka hanya bisa terperanjat dan diam di tempat saja, tidak sempat kabur. Rupanya fungsi nomor 510-110 sudah dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat, demi ketertiban umum.
Anak-anak badung itu akhirnya digiring ke Poltabes. Diinterogasi macam-macam. Dan untuk pengamanan (baca: biar kapok), mereka terpaksa harus merasakan menginap di dalam sel, di balik terali besi, sampai matahari menyembul keesokan harinya.
Pernahkah kalian membayangkan hidup kalian yang dibatasi oleh kurungan" Di mana menunggu satu detik seperti satu jam, satu menit seperti satu hari, sehari seperti setahun, dan menunggu fajar seperti seabad" Papillon dan Kusni Kasdut adalah orang-orang seperti itu. Di mana kebahagiaan yang hakiki buat orang seperti mereka adalah 'memilih mati sebagai orang merdeka'.
Tiba-tiba muncul dua orang berseragam coklat. Mereka membuka kunci sel. Menyuruh Iwan dan cecunguknya keluar. Sambil tersenyum mengejek, mereka mengucapkan selamat tidur nyenyak, dan dengan angkuhnya melenggang meninggalkan
gel. "Heh, kami gimana, Pak"" tanya Jimmi.
"Sudahlah..., anggap saja lagi kemping," kata Posma konyol. Seperti biasanya, tawanya yang keras menyusul. Bergema ke seluruh ruangan. "Jangkrik! Ini nggak fair!" protes Jimmi berang.
Yuke menghampiri Roy. "Keberangkatan kamu terpaksa ditunda dulu, Roy," katanya pelan. Lalu mencoba merebahkan tubuhnya di lantai.
Hari semakin bergulir ke pagi. Mereka kini asyik dengan lamunannya. Posma kelihatan merapat ke sebelah Yuke yang sudah sejak tadi anteng dengan mimpinya. Jimmi masih saja mengumpat-umpat.
Roy menyandar ke tembok. Merenungi hidupnya. Satu kisah lagi kini melengkapi batinnya. Dan dia tidak akan pernah puas mereguk kisah yang lain lagi. Roy melihat ketiga sobatnya sudah larut dalam mimpi mereka. Kini dia pun mencoba memejamkan matanya.
V. STASIUN aku seorang pengembara wajahMu ada di mana-mana di sini ada bukit, laut, langit, dan senja
jejakku tertinggal di sana aku seorang pengembara wajahmu ada di mana-mana adakah jejakku tertinggal di sini"
-Heri H Harris *** Pernahkah kamu membayangkan seorang remaja tampan dengan jeans lusuh menyandang ransel melompat ke bak truk, kucing-kucingan dengan kondektur kereta api, naik-turun gunung, menyeruak di keramaian kota, atau melintas di depan kamu"
Remaja tampan itu Roy-si avonturir bandel, atau kamu sendiri. Dia memang jadi objek sensasi setiap kali melintasi sebuah kota. Terutarna cewek-cewek yang sedang puber dan doyan ngegosip. Kadangkala dia pun ikut ngeceng kalau ada yang cakep. Bukankah ngeceng itu mengasyikkan" Gratis lagi.
Avonturir bandel itu baru saja melompat turun dari truk yang tadi membawanya. "Makasih, Mas!" Roy melambaikan tangannya.
Ini kota. Kroya, sebuah kecamatan di Kabupaten Cilacap. Tujuan Roy terus ke timur. Dia ber-liften untuk mencapainya. Dia tidak pernah mempedulikan kapan akan sampai ke sana. Pokoknya terus ke timur!
Roy membersihkan debu yang mengotori jeansnya. Keringat sudah menyatu di dalamnya.
Uh, gerahnya! Hari memang sedang terik. Dia menuju stasiun. Lumayan besar juga stasiun ini untuk ukuran sebuah kecamatan. Stasiun ini adalah persimpangan untuk jalur utara menuju Jakarta lewat Cirebon, dan jalur selatan lewat Bandung.
Di mana-mana stasiun sama saja. Besi malang-melintang dan gerbong-gerbong tua yang aus dimakan waktu. Tempat orang menurunkan dan menaikkan penumpang.
Tempat orang melepas lelah dengan duduk berangin-angin. Tempat ini memang tidak pernah mati. Dan kalau malam hari, biasanya golongan tertentu memanfaatka
nnya demi "hidup". Roy merebahkan tubuhnya pada bangku yang, kosong. Ranselnya dijadikan bantal. Tubuhnya penat sekali setelah diguncang-guncang truk tadi. Lelah. Dia memejamkan matanya. Angin sejuk dari arah timur berembus sepoi meninabobokannya.
Sebuah kereta mewah bergemuruh melewati stasiun, Di dalamnya tidak akan kita jumpai orang kebanyakan berjejalan, sehingga bau keringat dan omongan bercampur-baur. Ini adalah kereta buat orang-orang yang banyak duit agar tidak kepanasan dan terganggu tidurnya oleh pedagang asongan sepanjang perjalanan.
Roy menggeliat. Suara gemuruh kereta mewah tadi tidak digubrisnya.
Ada seseorang mengusik tidurnya.
"Ikut duduk," kata orang itu kalem.
Roy menggerutu. Bangku-bangku yang lain sudah pada penuh. Kelihatannya orang-orang sedang menunggu kereta selanjutnya. Tentunya kereta butut yang hanya mau berhenti di stasiun kecil ini.
Roy mencoba tidur lagi, walaupun dengan posisi kaki ditekuk. Dalam keadaan begini, kita memang harus terbiasa dengan berbagai macam kondisi. Dan Roy memang jacli terbiasa tidur dengan berbagai macam posisi.
"Punya korek"" orang itu mengusiknya lagi.
Dengan kesal Roy bangun. Menyalakan Zipponya. Dia pun menyulut rokok filternya. Dia tidak berminat melengkapkan tidurnya lagi.
"Mau kemana"" orang itu mengisap rokok kreteknya. "Mungkin ke Yogya, Mas," Roy seenaknya saja menjawab. "Saya ke Jakarta," kata orang itu tanpa ditanya.
Lalu orang itu bercerita tentang dirinya. Dia mengaku seorang perantau. Mau mencoba mengadu nasib di Jakarta dengan berjualan di kaki lima. Kata orang, di Jakarta segalanya bisa berubah jadi uang, asal kita mau berusaha, dan bekerja. Nggak di Jakarta juga, kalau kita mau berusaha dan bekerja, ya pasti berubah jadi uang. Bagaimana pendapat kalian"
"Di sini lagi ngapain"" Roy keheranan.
"Inilah masalahnya. Saya sudah menggelandang beberapa hari ini," katanya sambil mengeluarkan secarik kertas dari dalam tas kecilnya.
Ternyata surat keterangan kehilangan barang dari kepolisian. Roy merasa iba juga. Ditelitinya lelaki di depannya. Rambutnya kusut, matanya cekung, dan bibirnya hitam. Lelaki dua puluhan yang kurus karena kurang makan, begitu kesimpulannya.
Roy memanggil pedagang asongan. Dia mengambil sebungkus nasi. "Ayo, Mas," dia menawarkan.
Lelaki itu mengambil sebungkus. Mereka lalu makan dengan lahapnya. Sama-sama lapar rupanya. Roy mengarnbil sebungkus lagi. Lelaki itu juga.
"Nama saya Roy!" sambil makan dia memperkenalkan diri.
"Saya Rashid," lelaki itu pun menyebutkan namanya.
Dari arah timur ada kereta ekonomi masuk. Suaranya mendesis-desis. Para penumpang bergelantungan dan berdesakan di pintu-pintu gerbong. Tampak para pedagang asongan berebut mencari posisi. Dan yang mau bepergian pun mengemasi barang bawaannya, sambil berpikir bahwa kali ini pun tidak bakalan kebagian duduk.
"Ketika turun di stasiun Yogya, saya baru sadar bahwa tas saya hilang dicuri orang," Rashid bercerita. "Uang bagi saya tidak jadi masalah. Tapi surat-surat dan ijazah SMA saya, itu yang saya sesalkan."
Roy mendengarkan saja. "Ini cobaan dari Tuhan. Hari ini saya kena musibah, siapa tahu besok saya dapat rezeki," katanya.
"Asal jangan rezeki 'nomer' saja," Roy berkelakar.
Rashid tertawa, "Rezeki itu datangnya dari Tuhan. Kita hanya berusaha saja. Asal yang halal."
Betul juga, Roy sependapat dengan kalimat tadi. Kita memang harus yakin bahwa apa-apa yang bakalan menjadi bagian kira pasti akan sampai ke tangan kita. "Mas bilang, rezeki itu datang dari Tuhan"" Rashid mengangguk. "Tentu lewat perantara"" Dia mengangguk lagi. "Kalau saya jadi perantaranya, bagaimana"" "Maksudnya"" Rashid menatapnya.
Roy memang tidak mempedulikan apakah cerita Rashid tadi hanya sebuah karangan saja atau memang betul-betul terjadi. Dia hanya berpikir, bagaimana kalau kejadian itu menimpa dirinya. Apalah artinya selembar uang kalau kita menggunakannya untuk hal-hal negatif" Tapi, coba tanyakan kepada orang yang betul-betul membutuhkannya. Seratus rupiah bagi Eki yang anak pengusaha mungkin tidak ada artinya, tapi bagi Ujang si penjual koran, seratus rupiah itu adalah hartanya.
"Mumpung kere ta belum berangkat, Mas," Roy mengepalkan selembar uang ke tangannya. Tidak banyak, memang.
Rashid memandangnya. "Sekadar buat ngerokok, Mas," kata Roy lagi.
"Jangan nilai dari besar kecilnya ya, Mas," Roy tersenyum.
"Ya, saya mengerti. Sebetulnya saya malu sekali menerimanya."
"Ah, sudahlah. Kereta tampaknya mau berangkat."
"Makasih, ya. Sayang arah kita berlawanan," Rashid melambaikan tangannya, berlari ke kereta. Menggelayut di pintu. gerbong yang sesak.
Bunyi peluit melengking nyaring. Roda-roda mulai bergesekan. Menyeret beban yang semakin bertumpuk. Beban orang kebanyakan yang entah sampai kapan akan berakhir.
Roy melihat jam yang tertempel di dinding stasiun. Dia mendapat informasi bahwa sore ini ada kereta gerbong menuju ke timur. Dia beranjak mencari-cari gerbong. Kalau saja. Roy tahu apa yang terjadi terhadap Rashid selanjutnya.
Ketika Rashid meloncat ke dalam kereta dan dilihatnya Roy tidak memperhatikannya lagi, dia meloncat turun lagi, dan menyelinap di sela orang-orang lalu bergegas ke luar stasiun, tersenyum girang sambil meraba-raba uang selembar itu.
Ya, untung Roy tidak tahu kelanjutannya. Kalau saja dia tahu, betapa akan kecewanya dia. Betapa akan murkanya dia. Tapi, untung dia tidak tahu apa-apa.
Kini dia sudah berdiri di antara gerbong-gerbong, yang membawanya ke arah
timur. Angin menerpa wajah dan menggeraikan rambutnya.
*** Lain hari, ketika Roy sedang melepas lelah di stasiun kecil, datang seseorang mengusiknya.
"Ikut duduk," kata orang itu kalem.
Roy menggerutu. Bangku-bangku yang sedikit jumlahnya sudah pada penuh. "Punya api""
Roy menyalakan Zipponya. Dia meneliti lelaki itu.
"Mau ke mana""
"Ke Yogya," jawab Roy.
Avonturir bandel itu merasa pernah mengalami peristiwa kecil seperti ini. Seorang lelaki datang mengganggunya, ketika dia sedang asyik tertidur di Stasiun Kroya. Memulai percakapannya persis seperti tadi.
"Nggak pake Colt" Kan lebih cepet."
"Mau pake kereta saja. Santai kok, Mas."
"Saya mau ke Banjar ," katanya tanpa ditanya.
Persis sekali, batin Roy. Dia lalu menunggu percakapan selanjutnya. Ternyata tidak jauh berbeda. Orang ini mengaku baru saja di-PHK dari tempat kerjanya. Sekarang dia bermaksud mengadu untung di Banjar.
"Mas pasti kecopetan, ya"" tebak Roy merasa pasti.
Orang itu mengangguk. Mengeluarkan secarik kertas dati tasnya. Ternyata surat keterangan kehilangan barang dari kepolisian.
Olala! Roy mengerutkan dahi. Merenung. Kemudian bayang-bayang lelaki yang bernama Rashid melintas di benaknya. Kenapa lagi-lagi ada orang yang kecopetan" Kenapa lagi-lagi mesti dipertemukan dengan aku" bisik hatinya heran campur jengkel.
Terus-terang, Roy merasa jengkel juga. Sebetulnya dia ingin sekali menolongnya, terlepas dari benar-tidaknya cerita tentang kecopetan tadi.
Tapi, dalam kondisi seperti sekarang ini, jelas Roy tidak bisa berbuat apa-apa.
Roy menyerahkan lagi kertas itu. Beranjak dari duduknya. Menyandang ranselnya.
"Mau ke mana"" orang itu memegang tangan Roy. Dia tampak gelisah sekali.
"Saya mau naek Colt saja ke Yogya," kata Roy berlalu.
"Katanya mau naek kereta"" orang itu kelihatan kecewa.
Roy menggeleng. Dia semakin jengkel kepada lelaki itu.
Lalu Roy menengadah. Meringis. VI. SAHABAT PENA Dia melempar kerikil ke tengah.
Air beriak di matanya, kenangannya
bergoyang-goyang. Dia kembali melempar kerikil
lebih jauh ke tengah. Air bercipratan dan angsa pun
beterbangan. Kenangannya bergoyang-goyang.
Dia tidak melempar kerikil lagi.
-Heri H. Harris *** Remaja Roy terperangkap di sepanjang Malioboro. Dia tengah asyik memandangi garis-garis hujan, sambil menikmati filternya. Perutnya sudah kenyang, makan gudeg lesehan. Sehabis makan memang paling nikmat merokok, ya!
Dia melihat tukang ngamen yang tidak ada habisnya. Di sebelah kirinya ada pengamen, suami-istri, yang melagukan tembang Jawa. Di sananya lagi dua anak muda dengan lagu-lagu riang. Di sebelah sananya lagi...
Cari duit sekarang memang susah. Kadangkala ada segolongan orang yang begitu mudah mendapatkan dan menghabiskan uangnya. Betapa beruntungnya nasib anak seorang bintang film, anak Indo, anak teras, dan anak..., ya
ng memperoleh keberuntungan dilahirkan dengan takdir seperti itu. Lantas buat mereka adakah semboyan 'hidup ini perjuangan"' Tapi ngamen adalah jalan keluar yang terbaik ketimbang mencuri. Oh, apa mau ya, orang-orang merogoh koceknya lagi, setelah pengamen pertama dan kedua datang ke tempatnya"
Roy membuka-buka buku alamatnya. Dia punya sahabat pena di sini. Bermula dari surat pembaca di Hai Sayang, yang katanya menyukai cerpen-cerpennya, lalu berkembang ke surat-menyurat, sambil menawarkan kalau kebetulan ke kotanya, sudilah kiranya mampir.
Dia menerobos hujan ke seberang jalan. Masuk ke kotak kaca telepon umum. Memutar nomor. Sekali dua kali belum bisa nyambung. Dia memukul-mukul boksnya.
Orang sudah terbiasa begitu kalau teleponnya macet, supaya logam limapuluhannya keluar lagi. Roy memutar nomar lagi. Terdengar suara di seberang. Seorang gadis.
"Saraswati, saya sendiri," merdu dan bersahabat suaranya.
"Hai!" Roy gembira sekali bahwa yang menerima adalah yang dituju. "Saya Roy," katanya lagi.
"Roy"" suara di sana keheranan. "Siapa, ya""
"Sobat penamu," Roy tertawa kecil.
"Sobat penaku"" betul-betul masih keheranan.
"He-eh! Saya lagi nyasar ke sini. Boleh ke rumah nggak, nih""
"Ngg... , aku nggak punya sabat pena yang namanya Roy, tuh," masih penuh tanda tanya.
"Dari mana, sih""
"Yang penting sekarang, boleh nggak ke rumah"" Roy selalu tertawa. "Nanti gerimisnya keburu gede, nih!"
Saraswati memang penasaran sekali, "Oke deh, saya tunggu!"
"Nah, gitu dong. See you!" Roy meletakkan gagang telepon.
Malam baru saja menjelang dan hujan semakin membesar. Ini menyulitkan Roy untuk meneliti nomor rumah-rumah besar dan antik itu. Becaknya sudah berputar-putar sejak tadi dan Pak becaknya tampak kedinginan.
"Itu, Mas!" Roy menunjuk sebuah rumah. Setelah membayar ongkos, dia berbasah-basah memencet bel di pintu gerbang. Suara gonggongan anjing menjengkelkannya. Lalu dari dalam rumah keluar beberapa orang.
"Bawa payung, Man!" kata yang wanita kepada pembantunya.
"Selamat malam," Roy tampak kuyup melindungi ranselnya. Dia merasa kikuk juga diperhatikan mereka.
"Aduh, kok hujan-hujanan segala," Saraswati menyuruhnya masuk. "Sobat sewaktu di Jakarta, Pih," dia memperkenalkan kepada papih-mamih-nya.
Roy meringis mendengarnya.
"Bawa ke belakang dulu, Man. Ganti pakaiannya, Nak "
"Roy, Tante," si bandel memperkenalkan diri. Dan dengan malu-malu mengikuti Giman ke belakang. Dia mengganti pakaiannya sambil berpikir: Sableng kamu, Roy!
Di ruang tamu sudah tersedia teh hangat dan penganan. Saraswati tersenyum ke arahnya. Ramah sekali sambutannya. Rupanya dia ingin jadi tuan rumah yang baik bagi tamunya.
"Sori, ngerepotin," Roy tambah malu dan kikuk.
"Aku seperti pernah mengenal orang macem kamu, Roy. Tapi di mana, ya""
Roy tertawa kecil. Menyelipkan filternya di bibir. Dan ketika dia mendekatkan nyala api Zipponya ke ujung filternya, saat itulah dia leluasa memperhatikan Saraswati dengan ekor bola matanya. Gadis itu duduk bersila di sofa, santai dan rileks. Rambutnya sebahu dikuncir ke belakang. Hidungnya mancung. Dan senyumnya, oh! Roy langsung terkesima di kursinya, ketika wajah Dewi Venus membersit di sana. Lama dia menatapnya. Dadanya berdebar. Bibirnya bergetar. Dan rokoknya hampir saja jatuh.
Saraswati merasakan perubahan itu, "Kenapa" Dingin ya, Roy""
Roy tersentak. Terlempar ke alam sadarnya Roy tersentak. Terlempar ke alam sadarnya lagi. Buru-buru dia menguasai emosinya, "Oh, sori. Saya jadi inget temen, ketika memperhatikan kamu tadi," katanya. Tapi menunduk. Dia jadi tidak berani memandang gadis itu. Jadi takut kalau akan menjajahnya nanti.
Saraswati tertegun. Kenapa wajah lelaki ini berubah murung" batinnya. "Kamu sedang melakukan perjalanan jauh, ya""
Roy mengangguk cepat. Masih belum sanggup mengangkat kepalanya. Kenapa tiba-tiba Dewi Venus membuntuti" Mengganggu" gerutunya.
"Ya... , aku pernah kenal lelaki macem kamu. Dalam cerita-cerita yang biasa aku baca di majalah," kalimat Saraswati mulai menjurus ke sasaran.
Roy meringis. Dia mulai menyingkirkan bayang-bayang sialan itu. Kini dia bisa lengkap dengan cengiran nakalnya,
"Oh, ya" Maksud kamu, saya ini figur lelaki yang biasa dikhayalkan para pengarang picisan""
Saraswati tertawa senang, "Sekadar menebak. Aku hanya tahu nama kamu Roy. Itu saja. Selebihnya aku nggak tahu. Sebelum kamu ke sini tadi, aku periksa dulu daftar sobat penaku. Tapi, tidak ada yang bernama Roy.
"Lantas, siapa kamu" Jangan main tebak-tebakan, deh. Itu sudah klise," tawanya
lagi. "Nama itu nggak akan kamu temukan. Tapi, kita sering berkirim surat. Bahkan tuker foto segala, walaupun masing-masing mengirimkan foto yang bukan dirinya," Roy juga tertawa.
Saraswati memerah wajahnya. Dia menatap Roy penuh tanda-tanya. Kelihatannya sedang mengingat-ingat seseorang. Si bandel mesem-mesem melihatnya. "Kamu..., ah, ngga mungkin!"
Roy tertawa. Meminum teh. Saraswati geregetan sekali dengan pertemuan kecil ini. Surprise dan ada sensasi.
"Saya Gola Gong," kata Roy dengan cengiran nakalnya.
Saraswati menutup mulutnya. Dia belum mempercayainya. Matanya dibuka lebar-lebar. Dia mencekal pahanya yang dibungkus kulot. "Kamu Gola Gong""
Roy mengedipkan matanya. Konyol sekali.
"Sebetulnya aku mau mengatakan itu tadi," Sarawati tidak keruan hatinya. "Kenapa nggak"" "Aku nggak berani."
Roy tertawa, "Saya harus manggil kamu, apa""
"Kawan-kawan biasa manggil aku Sasha."
"Sasha," Roy mengulangnya. "Kayak merek bumbu masak."


Balada Si Roy 02 Avonturir Karya Gola Gong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka tertawa. Kemudian jadi cepat akrab. Mereka menghabiskan waktu seperti menggunakan kereta magnetik buatan.Jepang. Tidak terasa. Sehingga mereka seperti menyesali, kenapa malam begitu pendek.
"Saya permisi dulu," Roy pamitan.
"Kamu tidur di mana""
"Somewhere," Roy tertawa. "Pakaian yang basah, saya jemur dulu di sini. Nitip,
ya." "Di sini aman," senyumnya.
"Itu blue jeans-ku satu-satunya," Roy meringis. "Besok, nggak ada acara"" "Sepulang aku sekolah, kita. bisa jalan-jalan lihat kota Yogya." "Oke. Give my regard to your parents!"
Saraswati tersenyum, mengantarnya sampai di pintu gerbang. Hujan tinggal rintik-rintik saja.
Dia memandangi punggung lelaki sableng itu. Kenapa mesti ada pertemuan seperti tadi" pikirnya.
Hidup ini memang penuh kejutan dan keajaiban, yang kadangkala tidak kita duga. Kalian sendiri pasti pernah mengalaminya. Seperti ketika suatu hari kita bepergian dan tiba-tiba bertemu dengan sobat kecil kita, atau first love kita. Itulah kejutan, keajaiban, yang diciptakan Tuhan. Seorang Bukti Bangun, pedagang ikan asin dari Purwakarta, tentunya tidak bermimpi akan mendapat hadiah paket tur ke Amerika. Nah, itulah kejutan! Seperti juga petualang wanita Veronica. Itu juga keajaiban yang kita miliki, bumi Indonesia. Seorang putri yang akan dicatat sejarah karena keberaniannya.
Roy malam itu sedang bersandar di tembok stasiun. Tapi bukan dia saja malam itu. Ada segolongan orang yang menjadikan tempat itu untuk berrnalarn. Sebuah kehidupan lain bisa terjelma dan terekam di sana.
Si bandel meraba-raba foto Dewi Venus yang sudah mulai lusuh. Membanding-bandingkannya dengan Saraswati. Bagai pinang dibelah dua.
Hanya Saraswati tidak punya tahi lalat di dagu kirinya, seperti halnya Venus. Tapi Saraswati punya bola mata bagus.. Sepasang mata bola, begitu kata orang-orang.
Pertemuan tadi tidak disukainya, karena dia mesti terlempar lagi ke belakang. Padahal dia ingin bergerak terus ke depan. Ya, dia selalu berusaha untuk tidak mempedulikan lagi apa-apa yang sudah diperbuatnya, karena dia selalu berpikir ke perbuatan selanjutnya.
Misalnya seseorang menyapanya di jalan: Hei, Roy! Kadangkala dia suka kebingungan, siapa orang itu" Padahal, siapa tahu, orang itu adalah kawan di sekolahnya, atau yang pernah merasa ditolongnya. Katakanlah Roy itu pelupa. Kecuali kalau kepada orang-orang yang sangat teristimewa buatnya.
Kalian harus memakluminya, Ya, harus. Karena siapa tahu hal seperti itu, suatu
hari, akan Roy lakukan terhadap kalian juga.
*** "Oke, kita hitung!" Roy mulai menaiki anak tangga pertama, "Oke!" Saraswati pun meloncat dengan tangkas.
Mereka sedang menaiki anak tangga di makam Imogiri, sebelah selatan Yogya. Sebuah bukit gersang, tempat para raja dan bangsawan Mataram dimakamkan.
Terengah-engah mereka sampai d
i puncak bukit. "Empat ratus delapan!" Roy menyudahi hitungannya. "Empat ratus dua belas!" Saraswati yakin sendiri.
Mereka tertawa, karena hitungannya tidak sama. Kalian mungkin pernah ke Imogiri juga dan pernah menghitung anak-anak tangganya. Berapa ratus menurut hitungan kalian" Pasti kalian punya hitungan sendiri, ya" Jangan dipermasalahkan, deh. Itu urusan yang berkepentingan. Urusan dinas pariwisata setempat. Mereka duduk di pendopo, di pelataran makam. Ikut bergabung dengan para peziarah. Di depan mereka ada empat buah guci besar, yang kata para kuncen diisi air setahun sekali.
"Air di guci ini berkhasiat untuk menyembuhkan orang sakit," seorang kuncen menerangkan. Lalu menyebutkan lagi tentang berbagai kemungkinan khasiat dari benda-benda di makam ini.
Beberapa kuncen menawarkan botol-botol kosong seharga seratusan. Para peziarah berebutan membelinya. Lalu mereka mengisinya dengan air dari keempat guci besar itu. Sekadar untuk oleh-oleh pulang. Dan, siapa tahu, berkhasiat pula untuk menyembuhkan penyakit.
"Banyak yang minta berkah ke sini," bisik Sasha.
"Kamu sendiri"" ledek Roy.
"Pernah. Yaitu, minta berkah supaya bisa dipertemukan sama kamu." Dia tertawa.
Sayangnya selain hari Senin dan Jumat, para peziarah tidak boleh masuk ke lokasi makamnya. Juga ada ketentuan kalau kita akan masuk ke makamnya. Yang lelaki harus mengenakan pakaian peranakan, pakaian adat terdiri dari kain batik plus beskap, sedangkan wanitanya mengenakan kemben. Itu pertanda betapa mereka menghormati para leluhurnya.
"Ke Parangtritis, yuk!" Roy menarik lengan Sasha.
"Kamu nggak minta sesuatu "" Sasha tersenyum.
"Tadinya mau minta dicariin jodoh," Roy tertawa.
"Kenapa nggak minta""
"Jangankan jodoh, pacar aja belum punya!"
Mereka berlari kecil, meloncati anak tangga, menuruni bukit itu. Mereka saling berpegangan tangan. Seperti sejoli yang baru meresmikan hubungan cinta saja. Mereka tidak sadar melakukannya. Itu spontanitas, kok.
Ombak pantai selatan memang ganas. Suaranya berdebur bagai gemuruh petir dan siap menggulung apa saja. Itu mungkin kelebihannya dibandingkan dengan pantai-pantai yang lain, setelah hamparan pasirnya yang seperti padang pasir.
Kalau kita merenung sendirian di sini, wah, bisa bahaya. Bisa menimbulkan pikiran yang bukan-bukan. Ombaknya, langitnya yang seram, dan bukit karangnya yang mencekam, bisa membius kita. Menenggelamkan kita.
Roy melempar kerikil sekuat tenaga. Ternyata tidak sampai ke tengah laut. Saraswati juga ikut-ikutan mencoba melempar melewati padang pasir ini. Ternyata sama, tidak sampai menyentuh air laut. Mereka lalu duduk di bangku yang disediakan di sepanjang pantai. Melihat orang-orang yang bermain ombak, mengendarai k.uda, dan berfoto-foto untuk memori.
Sasha tampak sedang menalikan tali sepatu ketsnya yang terlepas. Roy memperhatikan seluruhnya yang ada pada gadis itu. Sepuas-puasnya. Dia larut dalam emosinya. Dalam kenangannya.
Merasa diperhatikan terus, Sasha mengangkat wajahnya. Kepergok sedang memandanginya, Roy gelagapan memandang ke arah lain. Dia gugup sekali mengisap filternya. Berkali-kali dia mengembuskan asapnya. Tidak beraturan. Asapnya menyebar ke mana-mana, sampai dia terbatuk.
Sasha tadi sempat juga menerobos sorot mata Roy yang berubah murung. Dia lalu merasa jadi dekat dan iba sekali kepada lelaki urakan ini. Ketika lelaki-lelaki seusianya kini sedang getol di bangku sekolah, eh, si urakan ini malah sedang asyik keluyuran. Indisipliner person, batinnya.
"Boleh aku tanya sesuatu, Roy""
"Asal jangan tentang wanita saja," Roy melirik gelisah.
"Justru itu yang akan kutanyakan."
Roy tercenung. "Apakah wajahku ini menakutkan, Roy"" Roy menatapnya. Menggeleng dengan cepat.
"Maksudku, apakah wajahku ini mengingatkan kamu kepada seseorang"" kalimat Sasha persis kena pada sasaran.
Serba salah Roy berdiri. Berjalan beberapa langkah, menghadap ke laut selatan. Gelegar ombak memukuli hatinya.
"Seseorang yang istimewa buatmu, Roy," Sasha semakin menyudutkan perasaannya. Dia kini berdiri di samping Roy. Juga memandang lepas ke laut selatan. "Sedang apa ya, Nyi Roro Kidul"" dia lalu mengalihkan pem
bicaraan. "Kamu percaya pada legenda itu""
"Percaya atau tidak, buatku nggak ada bedanya. Yang jelas, lautan itu menyimpan misteri ya, Roy. Seperti juga hidup."
Roy bersidekap. Angin sore menggeraikan rambut mereka. Matahari semakin bergulir. Beberapa orang mulai berkemas. Beberapa orang mulai ingat rumahnya.
"Maafkan aku, Roy. Aku nggak bermaksud mengorek luka lamamu," Sasha kedengarannya menyesal melihat Roy begitu murung.
Roy berusaha tersenyum, "Saya sentimentil, ya"" katanya. "Entahlah. Ini terjadi setelah saya melihat kamu, Sasha. Tapi kamu nggak usah mikir yang bukan-bukan, ya. Saya nggak ingin melibatkan kamu dengan perasaan saya ini.
"Tuhan mungkin bermaksud baik dengan pertemuan kecil ini. Mungkin agar saya kembali ingat kepada seseorang yang sudah saya lupakan. Ternyata melupakan seseorang yang pernah dekat dengan kita itu nggak baik," Roy berhenti sebentar.
Sasha mendengarkan saja. "Kamu memang mengingatkan saya kepada seseorang yang sangat istimewa," Roy tertawa kecut. "Mungkin lain hari Tuhan akan mempertemukan saya dengan seseorang yang mirip Papa dan Mama. Atau juga kawan-kawan yang lain. Sehingga saya bisa bercakap-cakap dengan mereka, untuk mengobati kerinduan."
"Kamu generasi muda yang gelisah, Roy." Roy tertawa getir, "Saya memang generasi muda yang gelisah dan marah terhadap lingkungan. Saya banyak mempunyai sobat. Tapi kenapa mereka yang dekat dengan saya, kadangkala begitu cepat pergi""
"Aku jadi ikut sentimentil, Roy," Sasha kembali duduk di bangku.
"Sori. Bukankah kita ke sini untuk piknik, heh"!" Roy menarik lengannya. "Kita pulang!" ajaknya.
"Roy!" Sasha berteriak karena jatuh ditarik tadi. Celananya penuh pasir. Dia menggerutu. Lalu berusaha membalas dengan melempar segenggam pasir.
Si bandel tertawa kesenangan. Dia berlari-lari, menghindari lemparan pasir. Lelaki ini begitu cepat berubah, batin Sasha. Sukar ditebak wataknya. Mesti betul-betul lengket luar dalam dulu, baru aku tahu tentang wataknya, batinnya lagi. Ya, baru saja dia jadi lelaki sentimentil, kini berubah jadi lelaki sableng menyebalkan! Dan Sasha hanya bisa menggelengkan kepalanya.
"Saya sebaiknya melanjutkan perjalanan lagi besok," kata Roy di atas bis.
"Begitu cepat""
"Itu lebih bagus. Kalau lama-lama di sini, saya takut kamu jadi ngebet sama saya," Roy tersenyum nakal.
"Jangan ge-er!" Sasha mencubit pahanya.
"Saya mau ke Solo dulu. Mau nengok sobat saya yang sedang dirawat di Rehabilitasi Centrum."
"Sobatmu, apanya yang cacat""
"Kaki kirinya diamputasi, akibat tabrakan!"
"Itulah buahnya jadi anak nakaI," Sasha tersenyum.
Mereka tidak bercakap-cakap lagi sepanjang perjalanan, karena benak masing-masing penuh pikiran. Paling-paling sesekali mereka saling mencuri pandang. Kalau
kepergok, mereka jadi tersenyum malu. Ada-ada saja.
*** Kota Yogya malam itu mau hujan lagi. Angin bertiup ke sana kemari menerbangkan dedaunan. Yang paling repot dengan kondisi semacam ini, ya siapa lagi kalau bukan orang-orang yang menggantungkan hidupnya langsung pada kemurahan alam.
"Nggak ada yang ketinggalan, Roy"" Roy menggeleng. Mengemasi ranselnya. "Boleh saya ke sini lagi"" tanya Roy di pintu gerbang.
"Kapan saja, Roy, pintu ini selalu terbuka," Sasha tersenyum.
"Saya akan datang dengan maksud lain nanti," Roy mengedipkan matanya. Konyolnya kumat lagi.
"Apa itu, Roy""
"Ah, sudahlah. Mungkin tempat itu sudah diisi orang lain," Roy tertawa riang. "Forget it!"
Iblis Angkara Murka 2 Pendekar Guntur Lanjutan Seruling Naga Karya Sin Liong Pesanggrahan Goa Larangan 3
^