Pencarian

Joe 2

Balada Si Roy Joe Karya Gola Gong Bagian 2


Roy, namanya. Petualangan adalah mimpi-mimpinya. Bukan apa-apa, dia ingin jadi laki-laki. Jantan bukan berarti harus berbadan kokoh macam Stallone atau berbulu dada macam George Michael. Tapi bisa mengambil sikap, punya prinsip, dan berani menanggung konsekuensinya.
Seperti malam ini, dia membuktikannya. Membuka pintu gerbang spanyola. Wiwik sedang berada di teras, seperti menunggu seseorang.
"Hai," suara Roy masih bergetar.
"Hai!" ketus sekali suara si sensual itu. Perasaan bencinya semakin bergolak. Ujung matanya meneliti seluruhnya yang ada pada lelaki yang pernah menyakiti hatinya.
"Boleh aku masuk"" suara Roy pelan penuh harapan. "Aku lagi nunggu seseorang!" senyum sinisnya tampak. "Siapa"" nada cemburu begitu saja terlontar dari mulutnya. "Nanti juga. tahu!"
Roy sudah tidak bisa membendung tanggulnya lagi. Air deras menjebolnya. Dia mencekal bahu gadis itu. Merapatkannya ke dinding. Menciumi bibirnya. Terdengar suara Hardtop.
Wiwik meronta-ronta, mendorong tubuh Roy. Dia lari ketakutan menuju pintu gerbang.
Borsalino! maki Roy. Roy menuntun sepeda balapnya. Terseok-seok menyandang luka peperangan. Tapi dia masih tetap mampu mengangkat wajahnya, menatap nyalang tiga pasang muda-mudi yang menertawakannya.
"Kok buru-buru, Roy"" ledek Dulah.
"Nggak tahu nih, kenapa. Aku, kok tiba-tiba, kepingin muntah begitu melihat kalian datang," suara Roy datar tapi mengandung kekuatan. Sorot matanya memang beringas. Borsalino tidak bisa meladeni sulutan api Roy, karena pasangan mereka melarangnya. Mereka hendak enjoy malam ini. Tidak usah kita lukiskan di atas kanvas bagaimana sepotong hati yang terbakar asmara, yang apinya dibiarkan berkobar semakin besar tanpa ada yang mau memadamkannya.
Kita bisa melihat si Roy mengayuh sepeda balapnya dengan membabi buta. Sampai-sampai tenaga dan napasnya mau berhenti!
Kenapa bisa begini, Roy"
*** Remaja bandel ini sedang menekuni bidak-bidak catur secara ngawur dan tidak bergairah. Pensiunan kapten itu dengan mudah membuatnya babak-belur.
Roy sudah merobohkan rajanya dua kali. Pikirannya memang tidak tercurah ke pion-pion. Kadangkala dia seperti sedang berpikir untuk melangkahkan pion selanjutnya, padahal tidak. Dia cuma bengong saja. Pikirannya kosong, menerawang jauh ke suatu tempat, ke sebuah wajah. Si sensual sialan itu!
"Kamu jalan, Roy," bisik Ani. Dia kini boleh menemani, tapi dengan syarat, jangan ribut.
Mengganggu konsentrasi, kata bapaknya.
"Aku" Oh, ya," dia semakin linglung saja. Lalu tanpa gairah dia merobohkan rajanya lagi. Tiga kosong! Dia menyulut rokok. Gelisah sekali. Beranjak dan minta permisi.
"Saya kalah, Pak," Roy pamitan.
"Kamu maennya ngawur," pensiunan kapten itu kurang puas. "Lain kali saya balas, Pak."
Ani mengantarkan ke pintu gerbang, "Kok buru-buru, Roy"" dia jelas sangat kecewa. "Sering-sering kemari, ya!"
Telinga Roy tidak mendengar. Langkahnya gontai. Jiwanya terasing dari bumi ini. Gadis sensual itu betul-betul membuat jiwanya merana.
Sudah beberapa kali dia bolak-balik di depan mata spanyola itu. Hardtop yang diparkir di jalan membuatnya gelisah dan membara darahnya. Samar-samar dia bisa meraba dua bayangan yang asyik berkencan di ruangan dalam. Itu sangat menyakitkan matanya. Dia meratapi cintanya.
*** Dia kini melewati setiap detiknya dengan kegelisahan. Kadangkala dia sering mendengar bisikan-bisikan gaib yang menyuruhnya untuk berbuat di luar jalur kepercayaan agamanya. Mengigau, berteriak histeris, dan tersenyum sendiri kini jadi sobatnya. Setiap tidur, dia merasa seperti dipanggang di pembakaran, atau merasakan sekujur tubuhnya ditusuk-tusuk.
Kawan-kawannya hanya mengelus da
da dan prihatin menonton perubahan drastis ini. Roy gila! Begitu selentingan di antara mereka yang doyan sensasi. Dimaklum saja dan itu beralasan. Kita pun pasti akan begitu kalau melihat seseorang tersenyum-senyum sendiri tanpa suatu sebab.
Ani, si Venus, hanya memperhatikan dari jauh saja. Kadangkala dia menitikkan air matanya. Betapa banyak pergulatan yang mesti dihadapi remaja bandel ini. Seperti tidak habis-habisnya. Kata guru madrasahnya dulu, "Tuhan menyayangi hambanya tidak dengan memberikan keenakan duniawi, tapi justru memberikannya dengan cobaan-cobaan." Itu untuk menguji imannya.
Yang paling antusias memonitor perkembangan akhir Roy adalah Wiwik. Sebenarnya dia tidak begitu menyangka akan sejauh itu akibatnya. Tapi sudah kepalang! Dia rupanya ingin Roy pun merasakan, bagaimana sakit dan merananya bila sedang memendam cinta tak terbalas.
Dia dulu begitu, Roy! Sekarang dia ingin agar Roy, lelaki umumnya, menyadari bahwa kaum perempuan itu, tidak selamanya bisa dijadikan boneka yang seenaknya dilempar sana dilempar sini. Perempuan pun punya kekuatan dan kemampuan untuk membalas sakit hatinya. Walaupun harus dengan cara yang kurang bisa dipertanggungjawabkan.
Remaja bandel itu sedang di ambang kehancuran! Mamanya membawa ke dokter. Sehat-sehat saja, begitu kata diagnosa bapak dokter. Hanya stress saja. Mamanya memang sependapat. Kita sudah tahu tentang tragedi Joe, anjing herdernya. Lalu Andi, sobatnya yang tewas kecelakaan, dan Toni yang diamputasi kaki kirinya.
"Ada apa sih, Roy"" mamanya mengusap rambut anaknya yang kusut dan gondrong.
"Boleh Mama tahu" Barangkali ada sesuatu yang kamu pendam" Masalah
cewek" "Kamu jatuh cinta, ya"" mamanya tersenyum geli.
Roy tersipu-sipu. Lalu dia bercerita lagi tentang mimpi menyeramkan itu. Tentang bau kemenyan, kerinduan, dan tradisi lama rakyat Banten. Menyadari pengobatan secara medis tidak membawa perubahan positif, akhirnya dia memasrahkan kepada tradisi turun-temurun keluarganya. Wanita 40-an itu memang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan itu. Tapi pendidikan modern dan zaman sudah menuntutnya realistis. Tapi melihat kasus anaknya ini, mau tidak mau, dia memaksanya kembali ke tradisi lama itu.
Uwak-nya membawa Roy ke seorang kiai di suatu tempat di daerah selatan. Suatu lokasi yang terhindar dari bunyi mesin produk jepang dan napas orang-orang serakah. Lokasi di mana kita bisa menikmati cericitnya burung dan panorama pesawahan, serta gemericik air di bebatuan. Lokasi di mana kita bisa meresapi ciptaan Tuhan. Remaja bandel itu duduk di tikar. Cahaya obor menyelimuti seluruh ruangan yang terbuat dari bahan-bahan alamiah. Bayangan mereka bergoyang-goyang mengikuti gemulainya cahaya obor. Wajah kiai itu bersinar bagai rembulan, mencerminkan kepribadian dan kepercayaan diri.
Itu melukiskan betapa sudah banyak dia mengecap pahit-manisnya kehidupan.
Mulut kiai itu komat-kamit, mengagungkan ayat-ayat suci. Air bening di cangkir kaleng itu disodorkannya. Beberapa butir garam sudah melarut ke dalamnya.
"Minum air ini, Nong," suaranya lembut bijaksana.
Lalu sebuah rantang berisi air didekatkan ke mulutnya. Berkomat-kamit lagi. Dia menyuruh Roy mendekat. Perlahan-lahan air itu disiramkan ke rambutnya. Anehnya, air itu ibarat punya mata, menelusuri setiap lekuk-lekuk tubuhnya. Tidak ada satu pun bagian yang terlewat. Tubuhnya basah-kuyup hanya karena diguyur dengan air satu rantang" Ajaib!
Jiwa Roy menggigil. Lalu ada keanehan lagi ketika tangan kiai itu mengusap-usap keningnya. Perlahan-lahan tangannya menarik sesuatu yang terasa halus di kening Roy. Sebuah ijuk sapu lidi!
Roy semakin menggigil. "Abah sarankan, jangan terlalu mengandalkan hal-hal yang bersifat duniawi saja. Itu tidak kekal. Dan jangan sembarangan menyakiti hati orang. Ingat itu, Nong!
"Rajin-rajinlah sholat agar terhindar dari niat buruk orang maupun syaitan.
"Itu saja pesan Abah." Kiai itu mengakhiri wejangannya.
Sungguh, Roy tidak menduga kalau Wiwik akan setega itu mempermainkannya. Dia memang ingin jadi lelaki. Karenanya dia selalu berusaha untuk berjiwa besar. Dia memang menyadari berada pada posisi yang
salah. Satu lagi ketakjuban tentang kota ini bertambah. Dia semakin menyukainya dan ingin menggelutinya. Ini sebuah petualangan. Pergulatan hidup. Sejarah memang tidak pernah bohong. Tapi, sungguh, dia tidak akan pernah mau mengulanginya. Mengerikan, Bung!
*** Remaja bandel itu menggeliat nikmat. Orang-orang malas memang selalu mengatakan bahwa, "Tidak ada yang paling nikmat di bumi ini selain menggeliat dan menguap". Ada-ada saja,
Semalam tidurnya nyenyak sekali. Setelah bersujud ke Tuhannya, dia mengenakan sepatu ketsnya. Setiap Minggu pagi alun-alun kota Serang selalu ramai oleh orang-orang yang joging. Ya, ada yang betul-betul ingin sehat, ada pula yang sekadar ngeceng dan rendezvous. Remaja sekarang memang tidak pernah kehabisan akal untuk soal bercinta. Zaman Siti Nurbaya sudah tidak ada dalam kamus mereka.
Dasar dia memang bandel, tampak sudah menjajari seorang gadis bercelana pendek dari jeans dan kaus kutung. Postur tubuhnya tinggi ramping. Padat berisi seperti Sarwendah, pahlawan piala Uber kita yang kini tenggelam. Keringat sudah membuat tubuhnya kuyup.
Tipe begini biasanya hobi maen basket atau voli, Roy menebak-nebak. Ternyata salah. Sok tahu kamu, Roy! Namanya Ongki. Anak SMA 2. Sebentar lagi sweet seventeen. Dan gadis hitam manis ini jagoan badminton di ini.
"Pelan-pelan dong," napas Roy megap-megap.
Dia berhenti. Mengatur napasnya. Ongki pun berhenti. Mereka melakukan senam ringan. Cool down, kata Dokter Sadoso.
"Baru bangun sakit, ya"" tanya si dark sweet lady.
"He-eh! Habis kena pelet," Roy mulai dengan senyum nakalnya.
Ongki, si dark sweet lady, tersenyum renyah.
"Aku boleh melet kamu," guraunya riang.
Mereka tertawa. Matahari mulai membiaskan sinar merahnya di langit timur. Sinar itu merayap dan membias ke mana-mana. Dan embun pun mulai ketakutan menguap satu-satu. Tugasnya untuk menyegarkan daun-daun dan suasana pagi usai sudah.
Dan mang-mang becak kini menggeliat. Mereka masih menyisakan menguap sekali lagi, karena tidurnya tidak pernah lengkap. Coba kita perhatikan golongan lemah yang disinyalir ekonominya morat-marit ini. Walaupun. mereka hanya bisa tidur meringuk, menekukkan tulangnya karena becak tempat tidurnya begitu sempit. Tapi lihatlah, mereka masih tetap percaya diri dan gembira mengayuh pedal becaknya. Dari mulut mereka kit a tidak akan pernah mendengar satu pun keluhan tentang bronchitis atau reumatik. Mereka mengunyah sendiri penderitaannya. Tapi coba bicara soal nomor buntut sarna mereka! Tidak akan ada habis-habisnya mereka membicarakan itu.
*** Roy dengan kegembiraan seperti dulu memasuki kantin. Menuju bangku di sudut, tempat langganannya bersama RAT, kelompoknya dulu. Dia kini menyapa kawan-kawannya dengan cerah-ceria. Orang-orang yang masih keheranan tidak digubrisnya.
Dia melihat Edi, sang Ketua OSIS dan sekaligus KM di kelasnya, sedang duduk melamun. Roy tersenyum, "Boleh ikut duduk, Di""
"Ini kan.tempat kamu biasa duduk, Roy," Edi juga balas tersenyum. Tapi terasa hambar. Dia memang terlahir dari lingkungan kebanyakan. Sebuah keluarga besar yang selalu kewalahan mengatur uang belania sehari-hari dan masalah uang sekolah.
Roy memesan nasi uduk. "Kamu mau, Di""
"Kebetulan, saya belum sarapan," tanpa sungkan-sungkan dia mengiyakan. "Kelihatannya kamu happy sekali hari ini."
"Ya, aku merasa segar sekali hari ini. Aku baru terbangun dari mimpi buruk,
Di!" Edi tersenyum. Kumisnya yang berjejer rapi semakin menambah kewibawaannya sebagai seorang pemimpin. Dia sebenarnya sudah sering mendengar tentang si bandel ini, yang begitu saja melejit digunjingkan orang. Si bandel ini memang eksplosif dan penuh sensasi. Semua orang sepertinya menunggu-nunggu, apalagi yang bakal dilakukan dan terjadi padanya.
Mereka sebenarnya jarang bercakap-cakap. Seperlunya saja, karena Roy merasa segan kepadanya. Sebagai Ketua OSlS dan KM di kelasnya, Edi sering memperingatkan Roy untuk tidak melanggar peraturan sekolah dan mencoreng nama baik kelasnya. Ini prestise. Di mana-mana, seorang pemimpin selalu ingin memperlihatkan kemampuan terbaiknya dalam masa jabatannya.
Secara pribadi, Edi menyukai figur si ba
ndel ini, yang tidak pernah pilih-pilih dalam bergaul. Yang selalu melihat seseorang dari sisi manusianya. Dia sering melihat Roy nangkring dengan koboi-koboi, mang-mang becak, atau pedagang kaki lima. Si bandel ini memang lebih gampang dijumpai di jalan. Energinya memang berlebihan. Sukar dikendalikan.
"Saya banyak nyusahin kamu ya, Di""
"Nyebelin malah!" Edi tertawa.
"Nggak ada seninya kan, kalau kamu punya anak buah penurut semua!" Roy juga tertawa.
Belum lagi habis sarapannya, Roy melihat Wiwik melintas di depan. Dia buru-buru menenggak teh manisnya. Melap bibirnya dengan punggung tangannya. "Saya pergi dulu! Maen-maen ke rumah, Di!" Roy berlari membayar kasir dan tergesa-gesa rnenyambar filternya dari asbak.
"Thank's, Roy!" Edi memandangi punggung nya. Tubuh si bandel itu kukuh. Langkahnya penuh keyakinan dan pasti. Dia bisa menebak karakternya dari bentuk rahangnya yang keras dan sorot rnatanya yang berkilat-kilat. Mata seorang pernburu! Petualang!
"Aku ingin bicara sebentar, Wik!" Roy mencegat jalannya. Menarik lengannya ke tempat yang sepi di gang.
Wiwik terkesiap. Wajahnya pias. Dia tidak mampu membuka mulut dan tidak bisa rnengatakan apa-apa. Dia mulai rnenyadari bahwa tali-tali yang diikatkan ke tubuh Roy sudah cerai-berai!
"Aku paling nggak seneng punya musuh, Wik! Aku paling seneng berkawan, dengan siapa saja. Aku paling mengagungkan persahabatan.
"Sungguh, aku nggak nyangka karena ulahkulah kamu jadi begitu benci dan dendam sama aku.
"Aku sangat menyesal, Wik. Maafkan aku."
Si sensual itu meremas saputangannya. Hatinya hancur. Dia tidak berani rnengangkat wajahnya. Dia merasa kedoknya sudah terkelupas dan ditelanjangi.
"Cukup sekali saja ya, Wik. Berat risikonya. Bukan sama aku, tapi sama Tuhan.
"Aku nggak akan membencimu, Wik. Yang sudah, sudahlah. "Kamu mau kan bersahabat denganku "" Roy mengangkat dagunya. Tersenyum bersahabat. Itulah Roy, Dia sudah sering mengalami kisah yang membuat jiwanya matang. Dia sudah bisa memilih mana yang baik dilakukan dan tidak. Dia tidak akan pernah membenci seseorang kalau sumber kesalahan ada padanya. Terhadap anak kecil pun dia tidak akan merasa jatuh wibawanya kalau meminta maaf.
"Ayolah, aku. ingin mendengar mulutmu yang merah ini bicara, Wik! Sepatah kata atau dua patah kata saja. Itu pun sudah menandakan bahwa, kamu memaafkan aku.
"Aku memang pantas dibenci. Tapi, bukankah Tuhan juga maha pengampun""
"Aku..., ah!" Wiwik berlari. Terisak-isak.
Roy tidak berusaha mencegahnya. Seseorang memang perlu mengalami meneguk air pahit dulu dalam hidupnya, agar lain waktu kalau mengalami meneguk air pahit lagi, lidahnya sudah terbiasa. Minimal, dia pernah mengalami dalam mencari jalan keluar untuk mengatasi masa-masa yang sulit.
Si bandel kini berjalan. Ke mana saja kakinya mau berjalan. Dia tidak peduli dengan tiga jam pelajaran yang mesti diikutinya lagi, Juga tidak peduli dengan hujan rintik-rintik bulan Januari yang mulai memukuli bumi. Memukuli hatinya.
Ada kaleng susu menghalangi langkahnya. Ditendangnya kuat-kuat. Persis terlempar ke selokan yang airnya kecoklatan dan kotor banyak sampah. Kaleng susu itu hanyut terapung-apung. Mungkin akan sampai ke Teluk Banten. Terbawa arus ombak ke tengah lautan.
Sendirian di tengah laut.
Ya, sendirian. VIII. BIG ROSE "Kalau aku berdiri di gunung kesunyian jiwaku, mendengar suara zaman, cemas rasaku mendengar bunyi yang palsu dan kecapi batinku putus, karena hanya bisa mengeluarkan lagu yang merdu, lagu angin pegunungan, lagu ombak di pantai danau tanah airku. Oh, tanah tumpah darahku, banyak suara yang keluar dari lembabmu sekarang, yang tidak kukenal, tidak kukenal, tidak dapat ditiru.
-Sanusi Pane HUJAN sejak subuh tadi belum berhenti Saat-saat beginilah yang dinantikan mang-mang becak. Orang-orang yang biasanya enjoy jalan kaki ke sekolah, terpaksa membagikan uang jajannya. Bagi yang biasa diberi uang saku memang tidak ada masalah. Tapi yang tidak" Atau guru-guru yang gajinya pas-pasan untuk bayar kreditan perumnas/BTN, belum dipotong iuran-iuran lainnya"
Hujan di pagi hari, di saat berangkat kerja atau sekolah, bagi orang-oran
g seperti mereka adalah neraka!
Tapi the show must go on!
Kalau saja setiap guru punya mobil dan gajinya sesuai derigan kondisi zaman, betapa mereka akan bahagia dan leluasa mencurahkan ilmu-ilmunya kepada murid-muridnya, tanpa harus memikirkan apakah uang bayaran anaknya sudab lunas dan jatah beras selama sebulan mencukupi"
Remaja Roy sedang memikirkan itu, karena kebetulan tetangga sebelahnya seorang Oemar Bakri. Pak Dahlan, namanya. Seorang duda tanpa anak. Menurut cerita orang-orang, istrinya meninggal ketika melahirkan.
Seorang ibu yang meninggal ketika melahirkan adalah mati syahid, begitu kata Alquran. Betapa bahagianya orang-orang yang dilahirkan semacam itu. Lantas Pak Dahlan hidup sendirian, menelan kegetiran hidupnya sendirian. Mendekatkan diri kepada Tuhan. Dan meleburkan dirinya dengan anak didiknya.
Sudah jam 7.30.. Mereka masih menunggu hujan reda. Tampak Pak Dahlan mengayuh sepeda kumbangnya. Hujan memang tinggal rintik-rintik. Roy pun mengikutinya. Dia menjajari sepeda kumbang yang terseok-seok jalannya. Bannya perlahan menggilas genangan air.
Seorang guru SD yang sudah mengabdi puluhan tahun. Entah sudah berapa puluh dokter, insinyur, atau menteri yang diciptakannya. Wajah yang tua itu begitu bahagia bersinar-sinar. Roy iri sekali melihatnya.
"Masih hujan, Pak," sapa Roy hormat.
"Apa boleh buat, Nak. Tugas lebih penting. Hujan toh, cuma air," kalimatnya penuh tanggung-jawab.
Sebelum mereka berpisah di simpang empat, Roy mendengar sebuah kalimat yang mengharuskannya mengoreksi diri, bagaimana arti hidup bagi orang tua itu.
"Hati-hati terhadap dirimu sendiri, Nak. Musuhmu ada di dalam jiwa kamu. Dan hanya kamu sendiri yang bisa mengalahkannya, bukan orang lain."
Roy tersipu-sipu. Ketika Roy sudah sampai di sekolah, hujan malah membesar. Dia mengibas-ngibaskan rambutnya. Airnya tepercik ke mana-mana. Disisirnya rambutnya yang basah dengan jari-jari tangannya. Iseng-iseng dia melihat ke majalah dinding, karena sudah jam 8.00 begini, sekolah masih sepi.
Dia membaca ada pengumuman Open tournament Badminton antar SLTA, dan beberapa buah sajak. Lalu dia meringis ketika membaca sebuah sajak yang ditempeli gambar celana blue jeans. Cuma sajak gombal.
Tapi sajak gombal itu untuknya.
Kepada Roy hidup bagimu celana blue jeans
(seminggu berapa kali dicuci, sih")
petualangan dan ehem-ehem senyummu bikin mabuk
(kayak senyumnya Mickey Rourke)
bagi-bagi dong, senyumnya!
'Rose' 'Rose'! lagi-lagi Roy meringis.
Ketika RAT, kelompoknya masih komplet dulu, mereka sering enjoy di Anyer Beach atau Carita Beach.
Rose adalah sebuah nama kembang yang harumnya semerbak kemana-mana. Itu adalah sebuah nama kelompok. Mereka tiga cewek yang centil, lincah, dan kreatif. Ternyata dampak dari terlalu banyak nonton film Amerika dan baca majalah pop terasa sekali. Sebuah nama yang mengandung imajinasi. Kenikmatan yang sukar diperoleh. Ibarat kalau kita tidak hati-hati memetik kembang ros, pasti tertusuk durinya.
Rose pun begitu. Jinak-jinak merpati, kata pepatah lama. Mereka sudah kondang paling suka ngegombalin cowok yang gampang ge-er. Oh ya, jangan coba-coba deh, main api dengan mereka, nanti kebakar sendiri.
Rose memang anak-anak orang berada, orang yang berkompeten di kota ini. Tapi kekayaan tidak membuat mereka buta terhadap lingkungan. Terutama lingkungan kelas bawah. Mereka sering punya inisiatif mengkordinir kawan-kawannya untuk mengumpulkan baju-baju bekas, lalu dibagi-bagikan kepada anak-anak yatim-piatu. Atau juga membagi-bagikan nasi bungkus kepada pengemis, penjaga pintu kereta api (yang ini sering dilupakan jasa-jasanya), dan mang-mang becak.
Civic warna ros adalah trademark mereka. Setiap sore Civic merah ros itu rajin JJS, ngukur jalan, sambil ngeceng dan memberi hiburan buat cowok-cowok bandel yang suka nongkrong. Kadangkala mereka suka membunyikan klakson atau melambaikan tangan kalau ada cowok yang masuk nominasi mereka. Itulah, kenapa jangan main api
dengan mereka. lni bisa berbahaya buat cowok yang suka gampang ge-eran.
*** Roy sedang nangkring di sanggar lukis. Sebuah sanggar lukis satu-satunya di kota ini. Dia meman
g lagi doyan melihat orang.orang yang menumpahkan idenya dengan coret-coret di kanvas. Baginya keindahan itu ada di mana-mana. Secara natural pun dia bisa melihat sebuah keindahan dari seorang penjual jamu yang berjalan gemulai menggendong bakul jamunya di keramaian kota. Atau melihat seorang polantas yang menyeberangkan seorang buta agar terhindar dari kecelakaan.
Keindahan baginya hidup. Tuhan menciptakan alam semesta ini demikian indahnya. Gunung-gunung menjulang ke langit dengan segala isinya; pohon dan binatang. Tapi kenapa justru manusia serakah menebangi pohon-pohonnya dan menembaki binatang-binatangnya" Ah, peduli amat!
Civic merah ros itu berhenti di depannya.
"Roy!" panggil yang pegang kemudi. Diah, namanya. Rambutnya yang sebahu, bagian pinggirnya selalu dikelabang dan ditempeli manik-manik. "Hai!" Roy berlari menuju mereka. "Ngikut, yuk!" kata Dea membuka pintu belakang.
"Ke mana kita"" Roy sudah mengempaskan diri di jok belakang. Melirik ke Dea. Gadis manis. Roy paling suka melihat cara jalan gadis ini. Pantatnya yang gede selalu bergoyang-goyang ibarat penari jaipong.
"Kamu mau kan bantuin kita"" yang duduk di samping Diah bicara. Ita, namanya. Kecil mungil. Roy suka memanggilnya Pinokio. Lucu dan menggemaskan. Rambutnya tidak pernah lepas dari banda. Hari ini warna merah, besoknya ganti biru. Dan hari lainnya berubah hijau. Sepertinya si mungil ini punya banda tujuh warna untuk bisa dipakai bergantian setiap hari.
"Ngebantu bikin sajak" Yang kemaren bagus juga tuh!" sindir Roy mangkel.
Rose tertawa. Diah memarkir mobilriya di Lintong. Sebuah tempat jajanan bagi remaja-remaja yang doyan ngeceng dan ngegosip. Tempat ini memang selalu ramai setiap bubaran sekolah. Cowok-cewek di sini mengincar, mencari siapa kira-kiranya teman untuk kencan di malam Minggu. Tentang nama "lintong" sendiri, tidak ada hubungannya dengan nama orang Batak.
Mereka mengambil tempat di sudut kiri, agar bisa leluasa melihat dan dilihat orang. Diah memesan bakso tahu empat porsi.
"Kami punya ide yahud, Roy!" Diah memulai pembicaraan.
"Positip"" Roy menyulut rokoknya.
"Jelas, dong.!" kata Dea.
"Tentang remaja yang kreatif!" Ia menimpali.
"To the point saja."
"Oke!" Diah meneguk es jeruknya dulu.
"Begini, Roy. Kita sering mendengar omongan orang tua kita tentang para remaja. Mereka bilang bahwa, para remaja itu bisanya cuma santai doang. Tidak bisa diajak kompromi dan sudah tidak tanggap lagi dengan lingkungannya "
"Itu sudah klise," potong Roy.
"Aku belum habis bicara, Roy!" Diah serius sekali.
"Oke, teruskan."
"Melihat kondisi seperti itu, lantas kami ingin mewujudkan ide-ide kami untuk menghapus imej dan opini itu. Kami ingin para orang tua mengakui bahwa, kaum remaja itu nggak seburuk yang mereka duga.
"Yah... , berkarya untuk kota kecil kita ini dululah.
"Kami mau bikin 'Lomba Lukis tingkat SD dan TK'. Mungkin untuk tingkat SD dibatasi sampai kelas tiga saja."
"Dan kalau ada sisanya dari uang pendaftaran yang masuk, akan kami sumbangkan ke Sekolah Luar Biasa di kota kami," Dea menambahi.
"Wah, good idea!" Roy mengacungkan ibu jarinya sambil mengunyah bakso tahunya.
"Apa kegiatan ini nggak ngeganggu sekolah kalian" Sebentar lagi kan ujian akhir" Otak kalian bakal terperas nanti," Roy mengingatkan. "Soal ujian itu urusan kami!" Diah meyakinkan Roy. "Noproblem!" Ita tersenyum manis.
"Kami bisa membagi waktu, Roy," Dea juga nggak mau kalah.
"Oke kalau begitu. Lantas apa hubungannya dengan saya""
Ketiga cewek cantik dan centil ini saling pandang. Mereka mesem-mesem dan tertawa kecil. Roy gemes sekali dipermainkan begitu.
"Kami sepakat memilih kamu sebagai ketua panitia pada acara lomba lukis ini!" kata Diah melirik Roy.
Roy meringis. Lalu dia tertawa, "Ada-ada saja. Kalian ini bagaimana, sih" Masih banyak orang yang pantas untuk jabatan itu! Edi, Ketua OSIS kita, misalnya!
"Saya mah jadi penonton baelah," logat Bandungnya keluar.
"Pilihan kami cuma kamu!" Diah semakin serius.
"Kamu nggak usah kerja, tinggal duduk-duduk saja sebagai ketua. Semuanya sudah siap kok," Dea tertawa kecil.
"O-o! Tanpa kompromi dulu" Kenapa ketuanya nggak sekalia
n cewek saja" Jadi betul-betul full emansipasi!"
"Kalau cewek semua, nggak lucu, Roy! Biar ada intermesonya dikitlah. Kalau kepanitiaan lagi pusing, misalnya, kan bisa kehibur sama senyum sang ketua"" Diah mesem-mesem.
"Makanya bagi-bagi dong senyumnya, Roy!" ledek Dea.
"Biar kami mabuk!" Ita ikut meledek.
Gila! Roy meringis. Di salah-tingkah juga diserang cewek-cewek sialan ini. Mereka sebetulnya berniat baik. Malah sangat manusiawi sekali. Menyisihkan sesuatu buat diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan.
"Kalian memang sableng!" Roy tertawa."Okelah. Walaupun saya ini cuma jadi etalase saja di kepanitiaan ini."
"Nah, gitu dong!" mereka tertawa gembira.
"Tapi," Roy memotong.
"Lho, kok ada tapinya"" protes Diah.
"Saya menuntut royalti!"
"Royalti apa"" Dea kebingungan.
"Ini kerja sosial, Roy!" Ita mengingatkan.
Roy mesem-mesem saja. Hatinya bersorak girang bisa membalas mempermainkan mereka.
"Saya menuntut royalti dari senyum saya!" Roy tertawa. "Maksudnya"" tanya Diah.
"Dalam satu hari, kalian mesti menghitung berapa kali saya tersenyum. Dan kalikan senyum saya itu. dengan berapa dolar!" Roy tertawa ngakak, dan berlari menghindari cubitan-cubitan yang gemes geregetan dari mereka. .
Mereka semakin tampak akrab. Itulah remaja sesungguhnya. Membikin sebuah kelompok, nongkrong fame-fame di jalan, atau hura-hura, boleh-boleh saja. Itu hak setiap manusia. Tapi cobalah kita belajar membedakan mana hak dan kewajiban kita sebagai manusia. Selain sebagai pertanggungjawaban moral kita terhadap sesama, juga terhadap Tuhan.
*** Roy sedang berada di sebuah bank. Menyisihkan beberapa lembar dari sisa honornya. Kemarin cerpennya nongol lagi di Hai. Dia teliti angka nol yang baru mencapai lima itu. Dia memang sedang mengangankan sebuah trail Enduro atau Binter KE. Kadangkala dia suka cemburu melihat Tom Cruise dengan jaket kulit dan kacamata BL, yang dilatarbelakangi F16, atau Indro Warkop dengan Harley Davidsonnya.
Ada seorang gadis, hitam manis, terburu-buru masuk. Postur tubuhnya tinggi ramping. Padat berisi. Hati Roy bersorak girang.
"Hai," sapa Roy.
"Hai lagi," si hitam manis tersenyum ramah. "Ongki, ya" Masih inget sama saya""
"Siapa, ya"" Ongki menggigit bibir. Mengingat-ingat sesuatu sambil tersenyum sangat menyenangkan sekali bagi yang melihatnya. Tambah manis. Roy tidak bosan melihatnya.
"Roy" O ya, Roy! Sori deh. Apa kabar, Roy""
"Baik. Mau ngambil duit""
"He-eh. Buat beli raket. Kok, nggak kelihatan joging lagi"" "Nunggu dipelet kamu." Mereka tertawa.
"Mau ikut kejuaraan antar SLTA bulan depan"" "Yo-i! Tahun kemaren saya juaranya, Roy." "Sekarang ada kans""
Ongki tersenyum kecil. Menggeleng lemah. "Kayaknya nggak tuh." "Kenapa" Kamu kan tahu potensi kamu sendiri." "Lutut kanan saya beberapa minggu terakhir ini sakit sekali, Roy." "Mungkin terlalu di-forsir""
"Nggak juga sih. Tapi yang jelas, saya lagi sweet seventeen, Roy!" Ongki tertawa bagus.
"Falling in love"" "Maybe."
Mereka masih tertawa ketika keluar dari bank. Sebuah pertemuan yang menyenangkan.
*** Alun-alun kota Serang hari Minggu. Begitu cerah dan meriah oleh orang-orang. Setelah bapak bupati memberikan wejangan tentang kemerdekaan dan generasi muda, balon-halon pun dilepaskan ke udara sebagai pertanda bahwa lomba lukis tingkat SD dan TK dimulai.
Rose memang sedang belajar menuju profesionalisme. Mereka memang memanfaatkan babe-babenya yang rata-rata berkompeten di kota ini untuk menghubungi para sponsor dan co-sponsor. Untuk maksud baik, toh tidak ada salahnya! Soalnya di kota kecil ini, para orang tua selalu kebingungan setiap waktu luang tiba. Hari liburan dan Minggu, misalnya. Ke mana mereka akan membawa putra-putrinya rekreasi di sekitar kota" Sebuah tempat seperti Pasundan Plaza di Bandung atau Dunia Fantasi di Jakarta, memang sangat diimpi-impikan di sini. Jangankan tempat seperti itu! Yang kecil-kecilan dululah!
Karena itulah, Rose, membaca situasi memprihatinkan itu. Ke mana mereka akan pergi membawa rekreasi putra-putrinya di hari Minggu" Lomba lukis inilah alternatifnya. Masuk dalam daftar acara mereka yang biasanya kosong. Yang biasanya hanya duduk
berjam-jam nonton acara TV yang membosankan.
Dalam lomba lukis ini setiap peserta hanya dibebani uang pendaftaran saja. Itu pun dengan timbal-balik kaus. Setiap peserta tinggal mencari nomor di mana dia akan duduk mencorat-coretkan idenya.
Betapa gembira dan lucunya anak-anak penerus bangsa itu. Ditunggui dengan bangga oleh orangtuanya. Kadangkala para orang tua itu memberikan semangat bila melihat si anak putusasa karena sudah dengan kertas yang kesekian lukisannya belum
juga jadi. Ketika matahari persis di titik kulminasi, acara ditunda dulu. Makan siang, dong! Nah, ketika panitia yang kesemuanya cewek itu berkumpul hendak mengambil jatah nasi bungkusnya, Roy membuat gebrakan! Dia menyuruh nasi bungkus jatah mereka dibagi-bagikan kepada mang-mang becak atau pengemis, atau siapa saja yang jarang mendapatkan menu makan siang seperti nasi bungkus ini. Ada memang satu dua yang keberatan karena sudah kebelet lapar. Tapi Roy tetap pada keputusannya.
"Saya ketua di sini!" lagaknya seperti sang penguasa.
"Tapi saya punya penyakit maag!" prates seseorang.
"Kita kan bisa makan di rumah!" bentak Roy.
Akhirnya mereka setuju juga. Roy mesem-mesem. Cewek-cewek ini doyan makan juga, bisiknya. Mereka kemudian jajan ala kadarnya untuk mengganjal perut. Bakso, misalnya, yang paling tepat.
Langit betul-betul bisa diajak kompromi, sehingga lomba lukis berjalan mulus. Dimeriahkan dengan ice cream party dari pihak sponsor, hari Minggu ini jadinya begitu istimewa.
Tidak ada. gangguan atau keonaran yang biasa nya selalu dibuat oleh sekelompok orang yang iri bila melihat ada orang yang berbuat baik. Di zaman sekarang segalanya memang jadi serba terbalik. Yang hitam jadi dibilang putih, dan begitu kebalikannya.
Hanya saja ada persaingan terselubung di antara para orang tua, sehingga kita suka bingung, yang sedang berlomba itu anaknya atau orang tuanya"
Terlihat dari mobil-mobil yang berderet diparkir di sekeliling alun-alun (kata tukang parkir sih, ini rezeki!), dan perhiasan yang bertengger di tubuh, atau dari obrolan mereka. Terutama ibu-ibu yang suka over dosis. Misalnya, anak saya itu juara kelas lho, kata ibu. Atau, anak saya saban hari pasti pinginnya makan dengan daging ayam. Ada lagi, yang ini mungkin lucu. Anak saya kalau mandi nggak pake sabun merek anu, wah, nggak bakalan mandi deh. Ada-ada saja. Tapi wajar, ya. Soalnya, di mana-mana seorang ibu akan merasa bahagia jika sudah bisa membangga-banggakan anak-anaknya terhadap orang lain. Selagi kecil, kalian pun pasti pernah dibangga-banggakan oleh ibu kalian. Coba deh, tanyakan sarna ibu kalian. Pendeknya, lomba lukis hari Minggu itu sukses!
*** Rose sendiri merayakan keberhasilan lomba lukis itu dengan api unggun semalam suntuk di Anyer Beach.
"Kami atas nama kepanitiaan, mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada kamu, Roy. Yang ternyata begitu banyak mengorbankan waktunya untuk lomba lukis ini.
"Ternyata tidak hanya senyum yang kami dapatkan, tapi lebih dari itu. Tentang kedisiplinan, untuk tidak mementingkan diri kita sendiri, dan rasa persaudaraan terhadap sesama," Diah berhenti sebentar memandangi kawan-kawannya yang duduk melingkari api unggun.
Malam itu ada dua puluh orang gadis yang kelelahan tapi wajahnya bersinar-sinar, plus seorang lelaki yang bersandar di batang pohon kelapa. Lelaki itu seperti tidak peduli dengan sekelilingnya.
Kalau kita perhatikan sorot matanya yang sayu, itu karena tempo hari dia pernah merasa kehilangan sesuatu di pantai ini. Itu, ombak yang berdebur itu! Yang tempo hari menelan nyawa Joe, anjing herdernya!
Roy menyulut filternya. Mengisapnya perlahan.
"Untuk itu, kami persilakan kepada Roy untuk maju ke muka!" Diah memanggilnya, "Roy
Roy diam saja menikmati kesendiriannya. Dia baru tersadar ketika Dea dan Ita menariknya ke tengah. Bayangan tentang kepedihan itu sedikit-sedikit terbakar hilang oleh api unggun. Dia memandangi gadis-gadis yang mengelilinginya:
Mereka semua mesem-mesem ke arahnya.
"Sori, saya ngelamun tadi," Roy nyengir.
"Huuuu!" ada yang bersorak meledeknya.
"Saya nggak akan ngomong banyak nih, abis udah lapar banget! Kalian
juga lapar kan"" Roy asal bunyi saja.
"Huuuuu!" Roy tertawa konyol. "Heh, dengerin nih! Ada satu kalimat yang ingin saya sampaikan sama kalian. Ini mesti dicamkan!
"Kita ini ibarat batu kerikil. Tapi jangan lupa, batu kerikil yang sekarang bertebaran ini, kalau disatukan, akan berubah menjadi sebuah monumen!"" "Akan kita hiasi kota tercinta ini dengan kerikil-kerikil tadi. "Thank's!" Roy membungkuk kepada mereka. Semua bertepuk tangan.
"Sori, ada tambahan dikit! Royaltinya jangan lupa!" "Huuuuuu!"
Roy cengengesan saja. Lantas dia kelabakan ketika melihat gadis-gadis itu menyerbunya. Mereka menghadiahinya ciuman di pipi. Kalau saja ada cermin, Roy bisa menghitung ada dua puluh warna merah dari merek lipstik yang berlainan menempel di pipinya.
Malam semakin bergulir. Ombak berdebur. Api unggun mulai redup. Roy berdiri di pantai sendirian. Ombak menjilati kakinya. Matanya menerawang ke laut lepas. Ke batas pandang. Kerlap-kerlip lampu sampan para nelayan bergoyang-goyang.
Hanya suara angin dan binatang malam saja yang menemaninya.
IX. DARK SWEET LADY Orang yang tidak pernah merasa kecewa adalah orang yang tidak mempunyai cita-cita. -Pope
DARA hitam manis itu bersimbah keringat di pinggir lapangan. Kulitnya jadi mengkilap. Handuknya bergerak mengusap bagian tubuhnya yang basah. Sesekali dia meneguk XL-nya.
Nunung, musuh bebuyutannya, sudah masuk kembali ke lapangan. Ini final kejuaraan antar SLTA. Dalam dua kali pertemuan mereka, Nunung belum pernah menang. Kendati Nunung selalu memaksanya bertarung dalam tiga set. Tapi sekarang" Dengan kondisi lutut nyeri begini, apa Ongki bisa mengalahkannya lagi"
Ongki, si dark sweet lady, membetulkan letak deker yang membungkus lutut kanannya. "Lutut sialan!" makinya kesal. Dia pelan-pelan menyeret kaki kanannya masuk Ke lapangan.
Roy memandangnya dari tribun. Menikmati lukisan setengah basah itu. Ibarat patung pualam. Kalau saja dipajang di etalase toko atau dilelang, dia yakin patung pualam itu akan diperebutkan para kolektor, yang tidak pernah memusingkan berapa biji nol dikeluarkan hanya untuk sekadar gengsi. Yang tidak mempedulikan betapa akan lain ceritanya kalau nilai-nilai not itu ditukarkan fungsinya. Disumbangkan ke orang-orang terlantar, misalnya. Atau dimanfaatkan untuk kegiatan spiritual. Tapi, siapa mau peduli"
Serve lambung dari Nunung dikembalikan Ongki ke sudut kiri. Lob-lob melelahkan lagi. Ini bisa bahaya, karena Ongki selalu memaksa menyeret kaki kanannya. Bola ke sudut kirinya dibiarkan saja. Out! Kontrol bola yang bagus. Pindah bola.
Ongki minta izin melap keringatnya.


Balada Si Roy Joe Karya Gola Gong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayo, Ki!" Ongki hapal betul teriakan tadi. Dia melihat Roy melompati pagar tribun, mengacungkan huruf "'v" dengan jari telunjuk dan tengahnya. "Lupakan dulu tentang lutut kamu!" nasihat Roy. Ongki meringis.
"Jangan kebawa maen reli. Serve pendek saja, lalu gebuk!" Ongki mengangguk.
Nunung sedari tadi sudah mondar-mandir di lapangan. Lagaknya seperti sudah memenangkan pertandingan saja. Tepuk riuh dari para pendukungnya semakin membuatnya besar kepala.
Tubuhnya seakan terbang melayang saking girangnya.
Set pertama tadi dimenangkan Ongki, 11- 8.
Kini Ongki serve. Skor 4 lawan 7. Serve pendek saja. Diangkat Nunung ke sudut kiri. Persis dalam jangkauannya. Kakinya mengentak. Tangannya berkelebat. Nunung terkejut sekali melihat bulu angsa itu sudah menyusur deras di samping kirinya.
Serve pendek lagi. Bahkan tipis di atas net. Nunung ragu-ragu untuk menyodoknya. Tapi ketika bola itu hampir menyentuh garis depan, Nunung buru-buru mengedutnya. Tapi tanggung lagi. Ongki dengan ganas menggebuknya.
Tetap serve pendek. Nunung menyentuh tipis. Ongki melayani tipis lagi. Diangkat ke belakang. Smash overhead! Nunung menggerutu karena tidak bisa menangkisnya.
Serve lagi. Dan dengan kecerdikan luar biasa, Ongki menyentakkan pergelangan tangannya. Nunung sudah terlanjur menubruk ke depan. Disangkanya serve pendek, tapi bola melambung ke atas. Tertipu dia.
8 lawan 7! Empat angka diperolehnya dengan mudah. Pendukungnya kini bersorak membakar semangatnya. Ongki jadi bisa melupakan nyeri lutut kanannya.
Dia serve pen dek lagi. Nunung menubruknya. Untung Ongki waspada. Lob-lob melelahkan lagi. Kadangkala kita seperti melihat dua orang penari yang gemulai dan energik menyabet-nyabetkan tangannya. Berkelebatan ke sana kemari seperti seorang samurai.
Ketika Nunung mengangkat bola, Ongki mengentakkan tubuhnya. Dia melayang sambil menebaskan tangannya. Kepala raketnya ditebas memutar mengikuti pergelangan tangannya, sehingga laju bola yang mestinya deras berhenti di tengah jalan, seperti direm mendadak.
Nunung sejenak terpaku. Dia mengira Ongki men-smash-nya. Tapi entah ada kekuatan apa yang membuatnya nekat menubruk ke depan, menjatuhkan badannya, menjangkau bulu angsa sialan itu.
Ajaib! Bola itu melambung tipis di atas net. Bergulir amat manisnya. Ongki tampak gugup sekali inenyentuhnya. Dikedut ke belakang, oleh Nunung. Mereka berkelebatan lagi.
Ongki terpancing main reli lagi. Roy hanya bisa berdoa dan menahan napas. Dia melihat Nunung mempermainkan lutut Ongki yang nyeri dengan lob, lalu drop shot silang, dan dilob lagi. Kelihatan sekali Origki didikte permainannya. Beberapa kali dia selalu ketinggalan langkah.
Tiba-tiba para penonton dikejutkan oleh jerit kesakitan. Begitu menyayat dan putus asa! Orang-orang serempak berdiri. Roy sendiri sudah melompati pagar, memburu ke tengah lapangan.
Ongki meringis memegangi lutut kanannya. Dia menyeret langkahnya ke pinggir lapangan. Meminta tempo kepada wasit. Nunung tampak gelisah dan tidak sabar lagi untuk menyudahi permainan.
"Masih kuat"" Roy tersenyum memberi semangat.
Ongki menggeleng kecewa. Matanya yang jernih mengelilingi tribun. Dia menggerutu, kesal sekali. Dia berusaha tersenyum untuk menutupi kekecewaannya. Tapi Roy sudah keburu melihatnya.
"Cowokmu nggak dateng"" Roy tersenyum nakal.
Ongki tersipu-sipu. Ya, Eri mana" Janjinya untuk partai final dia akan datang nonton. Buktinya" Kalau begini. terus-menerus, mendingan putus saja! Bukankah dalam pacaran itu harus tumbuh saling pengertian dan perhatian"
Tapi Eri tidak! Egois! Dia memang tidak suka badminton. Tapi menanyakan sekadar basa-basi, apa susahnya" Kegemarannya hanya ngebrik dan main bola sodok bersama kelompoknya. Dua jenis permainan yang hanya buang-buang waktu saja. Sedangkan Ongki sudah mau peduli dengan apa-apa yang disukai Eri. Weekend ke pantai, misalnya. Padahal itu paling dibencinya karena kulitnya akan semakin hitam saja.
Eri jangankan nonton Ongki main, menanyakan perkembangan badminton pun tidak pernah. Padahal piala-piala kejuaraan, berjejer di ruang tengah.
Lantas kenapa memilih Eri, Ongki" Ya, namanya cinta. Tidak ada batasannya. Tidak pandang bulu. Seperti dulu Sangkuriang yang naksir berat sama Dayang Sumbi, ibunya sendiri. Atau Ken Arok yang gara-gara melihat betis Ken Dedes, nekat membunuh rajanya, Tunggul Ametung. Belum lagi Caesar dan Antonius yang bertekuk lutut karena senyum Cleopatra, sehingga mengkhianati istri dan bangsanya. Siapa tahu itu terjadi pada kita juga"
Akhirnya Ongki harus merelakan gelar yang sudah disandangnya selama dua tahun. Sekarang giliran yang lain. Semua orang, toh mendambakan juga menjadi seorang nomor satu. Kenapa itu tidak diberikan kepada yang lain dulu" Nunung melonjak gembira. Wajar, karena ini adalah impiannya sejak dulu. Dia berlari menyalami Ongki yang dengan sportif menerima kekalahannya.
"Main kamu bagus tadi," Roy menghiburnya sambil membantu membereskan raket-raketnya.
Ongki diam saja. Sebenarnya hati si hitam manis itu merintih kecewa. Air matanya sudah jatuh menyatu dengan keringatnya. Dia berkali-kali mengutuki lututnya. Dia beranjak ke luar gedung. Roy memapahnya sambil membawakan tas dan raket-raketnya.
"Makasih," Ongki meringis. "Kamu baik sekal, Roy."
"Manusia kan harus tolong-menolong," Roy tersenyum.
Ongki memperhatikan wajah lelaki tampan tapi keras ini. Sorot matanya kadangkala memang suka kelihatan murung. Dia begitu serius memperhatikanku, bisiknya lagi. Hatinya kadang-kadang bergetar juga kalau bertubrukan dengan mata lelaki ini. Tadinya Ongki hanya menganggap Roy sebagai lelaki sableng yang biasanya banyak ditemui nongkrong tidak ada kerjaan di jalan.
Tapi sekarang" Ketika dia sedang dikecamuk rasa ketidakpuasan terhadap Eri, kenapa dia kini jadi lain terhadap lelaki bandel ini"
"Biar aku yang bawa motor!" Roy memarkir Super Cub itu. Di tempat parkir, Ongki melihat Corolla biru.
Di dalamnya ada Eri sedang bermesraan dengan seorang gadis. Eri malah sengaja memencet klaksonnya. Bunyinya menyakitkan telingapya. Roy buru-buru menjalankan motor. Dia bisa merasakan kegelisahannya.
"Minggu depan aku ulang tahun," kata Ongki memberi tahu.
"Ini semacam undangan""
"He-eh," Ongki tertawa kecil. Dia jadi lupa kekalahannya yang menyakitkan
tadi. " Sweet seventeen""
"He-eh!" Ongki betul-betul merasa terhibur bercakap-cakap dengan si bandel ini. Ah, bukankah masih banyak pertempuran berikutnya" Next time better, Ongki! Kalau kita tenggelam dalam kekalahan, itu bisa bahaya. Jadikanlah kekalahan itu awal kesuksesan yang tertunda. Rencanakanlah untuk mencapai kesuksesan itu. Tanaman pun kalau
disiram dan dipelihara, tentunya akan tumbuh subur! Begitu pun kita. Cobalah.
*** Remaja Roy baru keluar dari kantor BP. Wajahnya jelas sekali kusut. Kawan-kawannya yang melihatnya pun sudah bisa menebak apa yang terjadi. Dia menuju kantin. Sudah tidak interes dengan sisa pelajaran di kelasnya. Seperti biasanya duduk di sudut. Memesan air putih. Menelan beberapa butir lagi secara sembunyi-sembunyi.
Sorot matanya semakin sayu. Murung. Bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan kepada mamaku" Batinnya lesu. Dia barn saja kena sangsi peraturan sekolah. Diskors selama satu minggu!
Bagaimana, Roy" Ada Venus dan dua orang kawannya masuk ke kantin. Mereka mengambil tempat dekat jendela, biar angin menyejukkan tubuh mereka yang habis berolahraga. Mereka memesan es jeruk.
Roy memanggil Venus itu. Ani tampak terkejut. Dia tidak tahu kalau ada Roy. Dia merasakan getaran-getaran itu bergelora lagi setiap melihat si sableng ini. Dia menghampiri meja Roy.
"Hai," sapa Roy. Suaranya belel, "Apa kabar ""
"Baik. Kamu kurus sekali, Roy," Ani duduk Memperhatikan si bandel.
Roy meringis. Menyulut rokoknya.
Ani menggelengkan kepalanya, "Kamu perokok berat. Bibir kamu semakin hitam, Roy!"
Roy tertawa getir. Tapi anehnya dia mematikan rokoknya. Lalu menyelipkannya di bibir. Mempermainkannya dari ujung bibir kanan ke kirinya, meniru sobatnya almarhum, Andi. Ternyata susah juga. Beberapa kali rokok itu jatuh.
"Aku diskors." "Berapa hari "" Ani tampaknya sudah menduga itu. "Seminggu."
"Kok, sebentar"" sindir Ani. Lagi-lagi Roy meringis.
"Terus terang saja, Roy, sebenarnya saya kecewa melihat kamu nggak bisa sekolah dengan baik.
"Kenapa, sih" Sementara berjuta-juta orang mendambakan untuk bisa sekolah seperti kita! Tapi kamu menyepelekannya, menyia-nyiakannya!
"Ini memang bukan urusan saya.. Tapi janganlah mengambinghitamkan situasi! Tentang Joe dan Andi, ingat, itu takdir, Roy!
"Kamu masih mendengarkan, Roy""
"Ya, saya masih mendengarkan," Roy menguap.
"Coba kamu renungkan, berapa banyak uang yang sudah dikeluarkan untuk membiayai sekolah kamu, Roy" Apa kamu pikir uang itu diperoleh oleh mamamu dengan minta-minta"!
"Roy"!" Ani menepuk tangannya.
"Hmm...," Roy mengangkat mukanya. Berat sekali.
"Kenapa sih, kamu tidak ingin mewujudkan keinginan mamamu" Apa susahnya sih sekolah" Mencari ilmu"" Hening sebentar.
"Roy.!" Ani menepuk lagi lengannya. "O, sori," Roy gelagapan. Dia tertidur tadi.
Dia menutup wajahnya dengan telapak tangannya. Kelopak matanya sebentar-bentar terasa turun. Diusap-usapnya kedua matanya. "Masih mau mendengarkan, Roy"" Roy dengan malas mengangguk.
"Cobalah sekarang mulai mengubah sikapmu, Roy. Sifat ugal-ugalanmu itu harus dibuang!"
Roy sudah tidak mampu mendengarkan lagi kalimat-kalimat Venus itu. Kepalanya menggelosor begitu saja di meja. Ani menepuk bahunya. Hatinya sebenarnya menangis menyaksikan seonggok daging yang begitu rapuh. Dia tidak tahu harus berbuat apa.
"Aku panggil Edi, ya!" Maya, si centil, buru-buru berlari.
Sedangkan si mungil, Nining, menemani Ani yang tampak kebingungan sekali. Mereka mengerti sekali perasaan Ani waktu ini. Dan mereka juga ikut terenyuh melihat lelaki bandel yang ke
lihatannya frustrasi ini.
Ani menyuruh Pak Didi, penjaga kantin, membawa segayung air. Mereka mengguncang-guncangkan bahunya. Hanya bergeming sedikit. Si bandel itu begitu nyaman dan damai ketika tidur. Mungkin dia sedang mimpi ketemu papanya, Joe, dan Andi.
Edi tergesa-gesa datang menerobos mereka. Napasnya masih turun naik. Rupanya dia lari tadi. Pelan-pelan dia menyentuh tubuh Roy. Lalu diguncang-guncangnya. Tidak bergeming. Dipercikkannya air ke wajah Roy. Tampak wajahnya bergerak-gerak.
"Roy!" dengan kesal Edi memencet hidungnya.
Roy membuka kelopak matanya dengan malas.
Tertutup lagi. Mau tidak mau Edi mengguyur kepalanya. Roy gelagapan. Orang-orang tertawa juga melihat kelakuannya yang konyol.
"Heh, ada di mana aku"" Roy kebingungan mengusap wajahnya yang basah.
"Di neraka!" hardik Edi mangkel.
Venus itu menutup mulutnya, menahan ketawanya.
"Sialan! Hujan, ya"" Roy menengadah. Mengibaskan rambutnya. Air bercipratan ke mana-mana. "Jam berapa, Di"" tanyanya linglung. "Pulang saja, Roy!" Edi memapahnya.
Roy mengangguk. Jalannya limbung. "See you, Ani!" suaranya belel. Dengan konyol dia mengedipkan matanya. Kelakuannya mentah dan seperti orang bloon.
Ani diam saja. Menggigit bibirnya. Tampak dia prihatin sekali melihatnya. Kenapa si bandel ini diciptakan untuk selalu akrab dengan kegagalan" Kehancuran"
Mau ke mana sebetulnya kamu, Roy" Hidup ini memang hanya sekali. Masa remaja, kata sebagian orang, jangan dilewatkan. Itu betul! Tapi bukan begitu caranya. Ada banyak cara yang positif untuk mengisinya.
Ani tidak habis pikir, ternyata di balik tubuhnya yang kukuh itu tersembunyi jiwa yang rapuh. Labil! Lalu dia merasa ada air mata menetes di kelopak matanya.
"Aku kuat jalan, kok!" Roy menepiskan pegangan Edi. "Lepaskan!" dia berusaha melepaskan pegangannya.
Tapi Edi tidak melepaskannya. Dia memanggil becak. Roy masih ogah-ogahan. Dengan kesal Edi menariknya.
"Apa-apaan ini"!"
Edi menatapnya tajam. Bola matanya begitu berwibawa. Roy berusaha menentangnya. Tapi matanya teramat sayu untuk melawan sorot mata itu.
"Kataku, lepaskan!" Roy menghardik. Dia berprinsip, tidak akan ada satu pun yang berhak mengaturnya. Mengatur hidupnya. Akulah tuan bagi hidupku sendiri!
"Anak tidak tahu diri!" Edi mendudukkan Roy dengan paksa ke dalam becak. "Kamu tampak seperti badut, Roy!" makinya.
"Ini bukan urusanmu, Edi!"
"Siapa bilang bukan urusanku, heh"! Aku pemimpin kamu di sekolah ini, mengerti"!" Edi menekan bahunya agar Roy tidak meronta-ronta.
Dia memandangi wajah Roy, sobat barunya yang paling susah diatur. Bagaimana pula perasaan mamanya kalau melihat anak kesayangannya seperti sekarang ini" batinnya.
Apa yang kamu cari, Roy" bisiknya. Tablet-tablet laknat itu nikmatnya cuma sebentar. Tapi kesengsaraannya mencengkeram hidup kamu! Seharusnya kamu bersyukur punya seorang ibu yang begitu memperhatikanmu. Menyayangimu.
Betapa teganya kamu melukai perasaan mamamu, Roy!
Kalau saja Roy bisa mendengat suara batin Edi seperti tadi betapa dia akan merasa berutang budi padanya. Apalagi sekarang Edi ikut naik ke becak, mengantarnya pulang. Bukankah sahabat sejati adalah di saat suka dan duka"
Tapi Roy tidak tahu apa-apa. Sekarang dia sedang menikmati kesendiriannya.
Sendirian. X. ROY BOY BLUES 1 duka adalah luka luka karena ujung pisau tapi aku enggan mengobati karena duka lain bakal datang
-Heri H Haris PASAR lama yang sudah diratakan dengan tanah sebentar lagi akan berubah bentuk menjadi beton-beton dan tembok yang menjulang ke langit. Bisa jadi nantinya serupa dengan Aldiron atau Palaguna. Sesuatu yang diimpi-impikan remaja di sini untuk ngegosip dan ngeceng. Terus terang saja, kota ini boleh dibilang ketinggalan. Padahal sudah berumur lima abad, hanya satu setengah jam dari Jakarta, dan berdiri pada lintas Jawa-Sumatra. Apalagi kalau musim hujan, jalan-jalannya yang berlubang dan berdebu jadi becek tidak keruan. Sungguh berbeda dengan Cilegon (baru saja jadi Kotip), 17 km sebelah baratnya, yang semakin pesat berkembang jadi kota industri. Segala fasilitas tersedia di sana!
Di Serang, jangan deh kalian tanya mau beli ini-itu di supermark
et mana" Orang Serang pasti ketawa. Di supermi! pasti itu jawabannya. Di Serang, jangankan supermarket, yang minimarket saja nggak ada! jauh berbeda dengan Cilegon. Kalian mau enjoy ke mana saja, please! Mau ojring, ada diskotek. Week end, wow..., banyak cottage menghadap Selat Sunda. Yang seneng boling, di Anyer Beach Motel tersedia! Padahal Cilegon tadinya adalah sebuah kampung, kecamatan. Ironis! Pernah ada selentingan dari mulut ke mulut tentang jikalau Rakata, anak Krakatau, meletus, kota industri itu pasti musnah! Masya Allah!
Remaja Roy tidak mau peduli dengan itu. Itu urusan kaum teknokrat. Kini dia sedang di ambang kejenuhannya. Dia bosan dengan dengan rutinitas dan diam seperti ini. Dia ingin pergi. Dia ingin mendengar nasib orang-orang yapg ditemuinya di jalan, atau juga membagikan kegelisahannya. Kadangkala dia merasa iri bila melihat burung. Begitu bebas.
Setelah matinya Joe, dia merasa kesepian. Merasa tidak mampu menebak dirinya lagi. Dan petualangan memang pelariannya yang sempurna. Kompensasi" Oke, katakan saja begitu. Tapi, toh lebih bagus ketimbang ke kaca-kaca dan bangku sekolah.
Yang ada di benak Roy sekarang adalah menyandang ransel, menyusuri jalan, mandi matahari, dan menghirup bau alam! Karena dengan alam dia berharap akan bisa melupakan segala kegetirannya. Bau alam memang sudah memanggil-manggilnya.
Tapi bagaimana dengan mamanya"
"Mama tidak akan kecewa kalau Roy berterus terang"" hati-hati bicaranya. "Ada apa, Roy""
"Melihat rapor Roy yang kebakaran semester kemaren, mungkin tahun ini Roy mesti mengulang, Ma," dia tidak berani memandang wajah mamanya.
"Mama kurang senang mendengar omongan tadi, Roy. Betapa pesimisnya anak Mama! Kenapa kamu jadi loyo begini ""
"Roy ingin berhenti sekolah, Ma. Untuk sementara."
Mamanya terkesima mendengar perkataan Roy. Wanita itu merasa ada godam memukul jiwanya. Hati orang tua mana yang tidak cemas mendengar dari mulut anaknya sendiri kalimat seperti tadi" Lantas nanti mau jadi apa, Roy" Jangankan jebolan SLTA, yang universitas pun sekarang masih ngantri buat beli karcis lowongan kerja!
Roy menjelaskan, apalah bedanya kalau diteruskan sekolah tapi tetap tidak naik kelas, dengan berhenti dulu untuk kembali mengulang pada tahun ajaran barn berikutnya" Ya, apalah bedanya"
Mamanya tidak bisa berkata apa-apa. Dia lalu teringat ketika mendiang suaminya bersikeras untuk tetap melakukan pendakian, padahal cuaca sedang musim hujan.
Sekarang terjadi pada Roy, anak lelakinya. Yang keseluruhannya adalah reinkarnasi mendiang suaminya. Keras kepala dan teguh pada prinsipnya. Apakah aku akan kehilangan lagi mutiara yang selalu aku gosok agar mengkilat dipandang orang"
"Dengan petualangan, Roy ingin melupakan Joe, Ma."
"Tapi itu tidak berarti harus meninggalkan sekolah, Roy."
"Berat sekali untuk mengejar ketinggalannya, Ma. Lagian Roy sudah dicap
jelek, Ma." "Kamu harus mencobanya, Roy. Apa susahnya mencari ilmu kalau kitanya
ikhlas"" Sekolah memang sangat penting. Harus dinomorsatukan dari yang lainnya. Tuhan juga sudah menjanjikan bahwa, akan ditinggikan beberapa tingkat derajatnya buat orang-orang yang berilmu. Manusia tidak dipandang dari hartanya, tapi dari ilmunya. Tidak tertarikkah dengan firman Tuhan itu, Roy" Kamu tahu kan salah satu yang bisa menolong orang dari siksa kubur" Ilmu yang diamalkan!
"Kasihan mamamu, Roy," kata Edi, sang ketua OSIS.
Edi kini sering tidur di rumah Roy. Rumahnya memang sempit untuk menampung keluarganya yang sepuluh orang. Sedangkan dia butuh konsentrasi dalam studi. Roy sendiri cepat sekali tersentuh jiwanya ketika Edi mengutarakan keluhannya. Di rumahnya ada kamar kosong. Apa salahnya dimanfaatkan" Mamanya malah sangat setuju sekali. Siapa tahu dengan adanya Edi, Roy bisa mendingan dan mau ikut belajar bersamanya.
Edi sendiri pandai membawa diri. Dalam sekejap dia sudah ikut menyatu dan bahkan mulai dianggap sebagai bagian dalam keluarga kecil itu. Setiap pagi Edi selalu bangun lebih awal, menyiapkan sarapan nasi goreng. Semua dikerjakannya dengan gembira.
Edi memang bisa menemukan kedamaian di sini. Di rumahnya, semua keluarganya sibuk
dengan urusannya sendiri. Dia anak paling bontot dari delapan bersaudara. Semua kakaknya sibuk cari duit buat kebutuhan mereka. Bapaknya pensiunan militer, yang jujur dan berpegang teguh pada .prinsipnya, sehingga setelah revolusi usai tidak mendapatkan apa-apa. Di hari, tuanya, bapaknya kelihatan lebih betah menghabiskan waktunya dengan burung-burung piaraannya daripada memperhatikan nasib anak-anaknya.
"Aku jenuh, Di! Aku sudah rindu hawa pegunungan! Tulang-tulangku sudah mengeras ingin melangkah! Petualangan! Ya, itu saja yang kini menghantuiku!"
Roy duduk dengan kesal di tepi pembaringan. Mengacak-acak rambutnya. Membuka laci mejanya. Mengambil beberapa butir tablet laknat itu! Ditelannya! Semua begitu cepat dan tergesa-gesa. Edi memperhatikannya dengan prihatin. Sepengetahuannya, Roy sudah meninggalkan benda-benda laknat itu.
"Kenapa kamu lakukan itu lagi, Roy"" Roy meringis, "Ini urusanku!" "Mamamu tahu"" "Masa bodoh!"
"Lantas bagaimana dengan rencana petualanganmu, kalau kamu masih tenggelam dengan obat-obat itu ""
"Tetap jadi." "Kamu tega meninggalkan mamamu sendirian" Bagaimana nanti kalau mamamu sakit karena sedih yang berkepanjangan"
"Ayolah, Roy! Ketika kamu pulang setelah petualangan nanti, yang kamu dapatkan hanya segunduk tanah, pusara mamamu, bahagiakah kamu dengan petualanganmu itu"!"
"Di! Kalau setiap orang tenggelam oleh bayang-bayang sebab-akibat yang menakutkan itu, maka dunia tidak akan pernah mengenal siapa itu Columbus, Soekarno, Stephen Biko, dan bahkan nabi kita, Muhammad!
"Kamu bisa memahami itu, Di"!"
Hening. Roy berbaring di kasurnya. Lagu Home Sweet Home-nya Peter Gabriel merintih-rintih di telinganya. Lagu itu semakin menindih perasaannya. Roy sebenarnya anak baik, begitu mencintai mamanya. Kalaupun dia melakukan kesalahan, dia selalu berusaha tidak. memperlihatannya pada mamanya. Menyembunyikannya. Ini jelas tidak baik. Menipu diri sendiri.
Kita memang bisa menipu orang tua kita, saudara, kawan-kawan, dan sekeliling kita. Tapi ada yang di atas: Tuhan! Yang tidak akan pernah bisa kita bohongi.
Roy terlelap. Menikmati kesendiriannya.
*** Bumi Serang sejak sore tadi basah terus. Hanya rintik-rintik memang. Roy duduk di bibir jendela. Airnya tiris ke dalam.. Dia membiarkan saja. Udara dingin menyergap kamarnya, tubuhnya. Itu pun dibiarkannya saja.
Si bandel itu dilahirkan hari Jumat. Persis ketika papanya sholat Jumat. Kata para sesepuh, bayi yang lahir di hari Jumat, persis ketika azan lohor, dia akan menjadi orang yang ringan-tangan. Suka menolong orang. Makanya tidak bakalan kaya-kaya.
Tapi kalau ingin kaya, orang itu harus menjadi dukun! Yaitu dukun yang sudah mengerti apa itu bisnis dan profesionalisme. Roy suka tertawa kalau mengingat itu.
Atau kisah kecil lainnya. Misalnya ketika di TV sedang kondang film seri Jungle Jim, dia ikut latah terjun-terjunan ke sungai, hanyut-hanyutan dengan batang pisang kalau sedang banjir, dan bergelayutan dengan tali. Atau bergelut menusuki batang pisang (dia menganggap sedang bertarung dengan buaya dengan belatinya, yang berakhir belati itu menancap di jidatnya!
Belum lagi film seri Gorda, robot perkasa itu. Dia ketularan mencoba mengangkati benda-benda berat di rumahnya. Alhasil, ketika dia mengangkat radio sebesar lemari, langsung menimpa tubuhnya. Jidatnya dijahit lagi!
Belum bosan mendengar kisah kecil si bandel ini" Oke, satu lagi! Tentang Superman, lelaki dari planet Krypton, sang pembela kebenaran. Dia lantas selalu mendambakan mengenakan uniform dengan jubah merah-biru itu. Bisa menghancurkan tembok dengan mata lasernya, mengangkat dan menghentikan kendaraan yang sedang melaju cepat. Rasa petualangan konyolnya menyeretnya untuk meniru manusia super khayalan Amerika itu. Dia berdiri di tengah jalan, menyongsong sebuah oplet! Dia kira oplet itu akan berhenti atau membanting setir. Nyatanya" Hoho, dia terbaring di rumah sakit!
Jidatnya memang penuh luka-luka jahitan. Karenanya, dia selalu menjatuhkan rambutnya ke depan" Untuk menutupi luka-luka masa kecilnya. Jidatnya sudah berantakan, Kalau diteliti, akan terlihat beberapa jahitan di sana.
Dia te rsenyum mengingat gambar-gambar masa kecilnya. Hatinya merasa terhibur. Masa lalu memang indah. Sepahit apa pun, pasti akan tetap manis untuk dikenang. Tapi.jangan sampai tenggelam olehnya. Bahaya. Bisa membunuh secara perlahan. Silakan coba, kalau nggak percaya.
Roy menuju laci mejanya. Lihat matanya, begitu murung. Lihat jalannya, begitu limbung.
Dia membuka lacinya. Mengambil sebuah foto. Di sana tampak orang tuanya begitu bahagia menggendongnya. Mamanya tertawa. Papanya tampak mencubit pipinya. Betapa bahagianya dia waktu itu!
Aku belum puas mereguknya! batinnya merintih.
Edi masuk ke kamarnya. Dia sudah terbiasa selonong boy. Tubuhnya berbasah-basah. Roy melemparkan kaus kering. "Mamamu mana"" "Kayaknya tidur di rumah Uwak!" "Nggak kamu susul, Roy"" "Hujan sialan!" Roy memaki. "Ada payung kan, Roy""
"Hari apa sekarang, Di"" Roy mengalihkan pembicaraan.
Baginya hari bergerak bagai roda jalanan saja. Tidak terasa dan tidak bisa diingat, apakah hari ini Senin atau Selasa. Itu sudah pasti ekses dari terlalu banyaknya meminum obat bius!
"Rabu!" Berarti baru tiga hari Roy diskors sekolahnya. Roy berjalan ke ruang tamu. Dia menyenggol piring yang tergeletak di bufet. Piring itu pecah bergemerincing. Dia memaki mengambili pecahannya. Edi membantunya.
Di ruang tamu Roy memandangi potret papanya yang menyandang ransel, jeans lusuh, dan berlatar sebuah gunung yang ditaklukkannya. Betapa gagah dia! batinnya
kagum. Mamaku memang pantas bersanding dengan lelaki itu!
*** Roy sedang nangkring di depan toko kaset. Menggombali cewek-cewek yang baru pulang sekolah. Dia melihat ada Binter KE diparkir. Tanpa ragu-ragu dia nangkring di sadelnya. Lagaknya seperti seorang Popo Hartopo saja.
"Sudah nih, pikniknya"" tegur seseorang mesem-mesem.
Roy tersipu-sipu. Turun dari motor. "Dijual nggak nih""
"Mau beli" Sudah jelek gini."
"Iya. Tapi mau dijual nggak""
"Serius"" "Dua rius." Tanpa sepengetahuan mamanya, Roy menjual barang-barang peninggalan almarhum papanya. Tip dek, sepeda balap, koleksi kaset, dan arloji penyelamnya. Tabungannya pun hampir tudes! Dia betul-betul sudah kebelet dengan binter KE itu.
Lantas membayangkan dirinya melahap tikungan-tikungan dan merajai balapan yang rutin diadakan saban malam Minggu.
"Motor siapa itu"" Mamanya kurang senang begitu melihat Roy memarkir KEnya di halaman rumah.
"Beli bekas, Ma."
"Sepeda balapmu"" "Roy jual, Ma."
Wanita 40-an itu tergesa-gesa menuju kamarnya. Meneliti isi kamarnya. Tapi dia masih terhibur begitu melihat mesin tik tua peninggalan mendiang suaminya. "Kamu tahu kan barang-barang yang kamu jual itu warisan papamu"" Roy diam saja.
"Roy!" Di luar kebiasaannya, mamanya menghardik.
"Ma, Roy nggak ada maksud menyepelekan Papa. Itu masa lalu, Ma. Akankah kita tenggelam terus oleh masa lalu itu, Ma""
"Mama tahu itu! Tapi, kenapa kamu jual"! Tahukah kamu, Roy, bahwa dengan barang-barang yang kamu jual itu, Mama bisa menyalurkan kerinduan kepada papamu"!" Mamanya terisak-isak.
Roy merasa tercabik-cabik. Terenyuh.
"Cobalah mengerti Roy, Ma," hati-hati dia bicara.
"Kamu juga mati mengerti kondisi Mama, Roy""
"Roy masih muda, Ma. Roy ingin mereguk masa muda seperti Papa dulu menikmatinya."
"Lagaknya seperti anak orang kaya saja kamu, Roy! Mama betul-betul kecewa punya anak macam kamu!"
"Apa Roy bilang, Ma" Jangan pindah kemari! Coba kalau kita tetap di Bandung, ceritanya tentu tidak akan seperti ini"
"Joe tidak akan mati! Tidak akan semrawut seperti ini! Sepeda balap, tip dek, arloji...."
"Cukup!" Mamanya membanting pintu.
Tiba-tiba Roy pun merasa muak. Entah kepada siapa. Dia berlari ke luar. Di pintu dia bertubrukan dengan Edi. Dia tidak menggubrisnya.
Roy sudah meraung-raungkan gas KE-nya. Giginya gemeretuk. Sorot matanya menerawang entah ke mana. Rambutnya tergerai. Jaket Levi's-nya berkibar. Dia melesat, menyalurkan kegelisahannya pada roda dan aspal jalanan.
Tiba-tiba ada dua motor menyalipnya. Pengendara GP itu memanas-manasinya dengan melakukan zig-zag. Sedangkan yang memakai RX melonjak-lonjak mengangkat roda depannya.
Roy tidak kalah gertak. Tangannya meregang. Gasnya meraung-raung.
Diangkatnya roda depan. Mereka kini sejajar. Saling pandang. Darah remaja mereka bergolak. Mereka melesat.
Di tikungan karesidenan mereka masih sejajar. Roni, joki GP, menyalipnya. Hampir-hampir bersenggolan. Suara knalpot menulikan mereka dari sekeliling. Sepertinya jalanan itu punya mereka saja, Ya, mereka sudah lupa ada akibatnya nanti kalau celaka. Suara knalpot memang memberikan kenikmatan tersendiri buat para berandal. Nyawa jadinya tidak berharga lagi.
Bagi lelaki yang doyan nongkrong, mencari kawan barn memang bukan masalah. Kadangkala dengan sebatang rokok, kita akan menambah perbendaharaan kawan kita. Atau dengan cara seperti tadi. Atau kalian juga: punya cara sendiri untuk memperoleh kawan baru"
Akhirnya mereka berembuk, mencari jalan keluar agar bisa eksis di kota kecil ini. Apalagi gang-gang yang begitu menjamur menyaingi CV-CV (baca: pemborong). Apa salahnya kalau kita pun mengikuti trend"
"Oke. Bagaimana kalau RM"" kata Mumu, joki yang mahir dengan RX. Sampai-sampai dia berani akrobatik tidur-tiduran di atas sadel motor dengan kecepatan 100 km/jam. Atau memegang setir kanan dengan tangan kiri dan sebaliknya.
Apa itu RM" Inisial nama mereka: Roy, Roni, dan Mumu! Praktis dan mudah diingat. Boleh juga.
RM tidak lama lantas melejit ke permukaan, sebagai kelompok yang merajai jalanan. Kadang-kala mereka seperti sudah bosan hidup kalau sudah di atas motor. Sekolah mereka hancur-hancuran. Bagi mereka, sekolah hanyalah pengisi waktu saja. Selebihnya, di jalanan!
Kalau generasi muda seperti mereka semua, wah, bagaimana nasib bangsa ini"
*** Rumah yang berhalaman luas itu sedang semarak oleh tawa cerah para remaja. Mobil-mobil berderet dan motor pun diparkir rapi. Dengan pakaian bagus-bagus para pria menggandeng pasangan masing-masing. Mereka adalah pasangan yang anggun dan serasi malam ini. Kalau saja orang-orang tua kita menyaksikari peristiwa malam ini, betapa mereka akan iri dan ngiler melihatnya.
Kado-kado sudah ditumpuk.
Hidangan sudah dicicipi. Ongki, si dark sweet lady, mengenakan gaun serba putih. Cahaya lampu memantulkan sinar keperak-perakan dari gaunnya. Bagian atasnya terbuka, sehingga ada keindahan menyembul di sana. Bau wangi masih akan tercium di hidung kita, walaupun dia sudah lewat.
Dia selalu menaburkan senyumnya kepada para tamu. Tapi lihat, dia begitu gelisah. Matanya sedari tadi mencari-cari seseorang.
Ke mana kamu, Roy" batinnya gelisah.
Apa boleh buat, lagu-lagu sudah harus dinyanyikan. Happy sweet seventeen, Ongki!
Sementara itu di tempat lain, Roy dengan malas bangkit dari tidurnya yang panjang. Azan magrib baru saja lewat di telinganya dan tidak digubrisnya. Semuanya sudah berubah. Ibarat siang dan malam. Atas dan bawah. Semuanya berputar. Berjalan mengikuti matahari. Begitu cepat.
Dia menuju dapur. Jalannya sempoyongan. Dia mengambil makan malamnya. Ada telor dadar.
"Kamu yang masak"" Roy melihat Edi sedang menekuni bukunya di meja
makan. "He-eh." "Mama belum pulang juga, Di""
"Selagi kamu tidur, mamamu pulang tadi."
"Aku nggak dibangunkan""
"Mungkin kalau aku guyur, kamu baru bangun," Edi tertawa. "Kenapa nggak kamu susul saja mamamu, Roy""
"Hari apa sekarang, Di"" Roy tidak menggubris pertanyaan Edi tadi. "Malam Minggu!"
"Malam Minggu...," dia sedang mengingat-ingat sesuatu.
"Ongki sweet seventeen malam ini," Edi mengingatkan.
"O-o!" buru-buru Roy menyambar handuknya. "Jam berapa, Di""
"Delapan!" Edi kini selalu menemani Roy, selagi mamanya tidur di rumah uwaknya. Edi memang kewalahan juga mengerem tingkah-laku Roy. Kalau saja Edi tidak melihat mamanya Roy, yang setiap menceritakan perubahan anak lelakinya dengan menangis, ah, apa peduliku" Tapi apa salahnya menolong meluruskan seseorang dari kekhilafan"
Sebetulnya Roy merasa rindu sekali pada mamanya. Biasanya malam-malam bunyi mesin jahitnya memenuhi seisi rumah. Menghibur hatinya bagai musik tradisional atau seruling gembala di pesawahan. Tapi sekarang rumah ini sepi. Hatinya juga sepi. Hidupnya pun semakin sepi.
Lantas dia becermin, merapikan rambutnya. Dia tiba-tiba merasa asing melihat bayangannya. Sorot mata itu begitu asing, ti
dak dikenalnya. Itu bukan punyaku! teriak batinnya.
Dengan kalap dia membuka laci. Diaduk-aduknya. Tergesa-gesa dan panik dia mengobrak-abrik isi laci.
"Edi!" teriaknya gusar.
Edi sudah berdiri di pintu. Sorot matanya tajam. "Kamu sembunyikan di mana, Di" Cepat ke sinikan!"
Edi tidak beranjak dari tempatnya. Dia semakin lekat-lekat menelanjangi Roy. Matanya seperti mau menelannya. Inilah yang paling ditakutkan Roy. Sorot mata itu penuh daya hipnotis. Roy tidak pernah bisa menentangnya.
"Come on, Di!Please,"rengek Roy.
Edi tetap diam. Roy tampak kesal sekali. Dia menjambak rambutnya sendiri. Dia menghambur-hamburkan isi laci mejanya. "Jangan sok pahlawan, Di! Aku nggak suka caramu, Di!" bentaknya.
Dia mengamuk memporakporandakan kamarnya.
"Masa bodoh kamu mau ngomong apa, Roy! Yang terang, ini demi kebaikan kamu juga," tenang dan berwibawa suaranya.
"Huh!" tanpa diduga Roy melayangkan tinjunya.
Edi menghindar ke samping dengan tenang. Dia menggeleng-gelengkan kepala ketika melihat Roy tersungkur, terdorong tenaganya sendiri. Sekali lagi Edi menghindar dari terkaman Roy. Mereka bergumul seru. Tapi dengan mudah Edi meringkusnya.
"Tolong aku, Di," Roy terisak-isak.
"Untuk apa obat-obat itu, Roy" Ayo, belajarlah realistis!
"Kamu yang pertama aku kenal dulu begitu tegar dan perkasa. Nyatanya sekarang" Kalau ada apa-apa larinya ke obat! Mana kelaki-lakianmu, heh"!"
"Aku nggak butuh nasihat, Di! Aku butuh obat! Ayo berikan, Di! Cepat!"
"Aku sobatmu, Roy. Aku nggak ingin punya kawan yang hancur gara-gara benda laknat itu.
"Selama aku masih jadi ketua OSIS di sekolah, aku nggak ingin ada anak buahku yang terlibat dengan narkotika!
"Kamu mau membenciku, silakan. Tapi aku bermaksud baik, Roy1 Untuk kamu, bukan untuk aku! Camkan itu!"
"Jadi tetap nggak akan kamu berikan""
"Sudah aku buang ke wc!"
"Oh!" Roy memukul kepalanya. "Sebodoh itu kamu, Di!" "Kasihan mamamu, Roy. Setiap hari aku selalu mendengar rintihan dan ratapannya tentang kamu, anak lelaki satu-satunya. "Mamamu sangat mencintaimu, Roy!"
"Jangan libatkan mamaku ke dalam masalah ini!" Roy menyambar jaket Levi'snya. Buru-buru memakainya. "Ingat! Aku paling nggak suka kalau urusanku dicampuri orang lain!"
Roy sudah melesat dengan KE-nya. Dia melampiaskan kekesalannya di aspal jalanan yang bisu. Menikmati beberapa tikungan tajam dengan kenikmatan tiada tara.
Di atas sadel motorlah kini Roy bisa menemukan keasyikan hidup sebagai lelaki. Lalu dia bersajak:


Balada Si Roy Joe Karya Gola Gong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hidup hanya untuk sebuah kenangan
sadel motor, debu jalan, dan kecup perempuan ya, hidup adalah kenangan!
XI. ROY BOY BLUES 2 tujuh belas lilin kehidupan selamat tinggal, O masa kecil baru kemarin rasanya mimpi tapi kini telah. berakhir sejahtera, sejahtera, sejahtera
melati mulai kuncup dan bermekaran :selamat datang!
-Heri H Harris RUMAH besar itu semakin hening. Lampu sudah dimatikan sejak tadi. Ongki bergetar menyalakan tujuh belas lilin warna-warni yang menancap indah di kue tart. Cahaya lilin-lilin lalu membias ke seluruh ruangan. Bergoyang gemulai, menjadikan malam ini semakin indah.
Ongki merasakan tubuhnya bergetar. Bagaimana tidak" Inilah saatnya bagi kaum wanita untuk lebih instropeksi, lebih dewasa dalam menentukan sikap. Tujuh belas tahun adalah sebuah perjalanan panjang untuk menempa jiwa kita.
Merpati mulai dilepas, terbang sendiri dengan segala risikonya.
Acara tiup lilin dimulai. Ongki mengisap udara sekuat-kitatnya. Pipinya sudah menggelembung. Dan para undangan pun seperti membagi-bagikan tenaganya untuk memadamkan tujuh belas lilin itu.
Tiba-tiba puncak acara itu dirobek oleh suara knalpot motor yang memekakkan telinga. Bising! Orang-orang menggerutu menuju ke halaman, melihat siapa gerangan para pengacau itu.
Tapi Ongki tersenyum. Matanya berbinar.
Ada tiga sepeda motor meraung-raung di halaman. Yang memakai jaket Levi's mengangkat lengan kirinya. Serempak mereka mengendorkan gas. Lalu sepi.
Ongki menyembul di kerumunan. Wajahnya semakin berseri-seri. Dia melambaikan tangannya, menyuruh mereka masuk. Roy tersenyum, turun dari KE-nya. Menyisir rambutnya dengan jari-jari tangannya. .
"Siapa mereka"" bis
ik seseorang. "Anak-anak RM," kata yang lainnya.
"Malam ini mereka ditantang sama Bigben. Dan pemenangnya nanti melawan pemenang antara Borsalino dan Jetpom!"
"Wah, jalanan bakal rame malam ini!" "Polisi-polisi mesti kerja lembur!"
"Taruhan""
"Oke. Aku pegang RM!"
"Borsalino!" Roy menyibak kerumunan. Tersenyum ramah kepada orang-orang. Dia memperhatikan busana-busana terakhir yang rapi disetrika. Boneka-boneka etalase, bisiknya geli. Lalu iseng-iseng dia membandingkan blue jeans lusuhnya dengan busana mereka. Lantas dia tertawa kecil.
Ongki menyambutnya bagai seorang putri yang kangen karena ditinggal berburu oleh pangerannya. Wajahnya memancarkan sinar rembulan. Sorot matanya gemerlap bagai bintang-gemintang.
"Hai," Roy tersenyum.
"Hai." "Happy sweet seventeen, Ki."
"Thank's" "Aku nggak punya kado."
Ongki tersenyum, "Dengan datangnya kamu, itu pun sudah merupakan kado istimewa buatku, Roy," dia menggigit bibirnya. Begitu basah. Menggemaskan. Roy mencium punggung tangannya. Ongki merasa gemetar. "Suruh masuk kawan-kawanmu, Roy." "Aku nggak lama, Ki. Ada urusan." Sorot mata Ongki meredup. Dia kecewa sekali. "Besok aku mau ke BatuKuwung. Ikut, yuk!" Ongki mengangguk girang.
"See you tomorrow!" Roy meninggalkannya. Dia masih menoleh, melemparkan senyum lagi.
RM sudah melesat. Roda depannya melonjak-lonjak. Meninggalkan asap knalpot buat mereka. Ongki tidak bisa melakukan apa-apa, walaupun ingin sekali dia melambaikan tangannya. Dia lalu merasa matanya berkaca-kaca. Entah kenapa, tuh.
Hari semakin malam. Pesta pun usai. Gelas-gelas sudah kosong. Bergeletakan. Lampu warna-warni mulai pudar. Ongki sendirian kini. Memandangi ketujuh belas lilin
itu. Dia menyalakannya lagi. Meniupnya pelan-pelan.
*** RM sudah nangkring di posnya, Yumaga Corner. Sebuah tempat persis di sebelah sudut tikungan jalan Yumaga (baca: Yusuf Martadilaga, nama seorang kolonel polisi, pahlawan Banten ketika masa revolusi dulu). Sebuah tempat yang persis di sudut tikungan, sehingga kalau ada koboi-koboi jalanan memacu kuda besinya, pasti selalu melahap tikungan Yumaga Corner ini. Apalagi kalau sore-sore ketika pohon flamboyan yang berjejer rapi berbunga, oh oh oh, betapa indahnya. Semua orang pasti tidak akan pernah tidak lewat Yumaga.
Apalagi, Bung, buat yang doyan JJS. Yumaga adalah kerongkongannya kota Serang. Karena di sudutnya cowok-cewek keren banyak yang kongkow. Bolehlah Yumaga Corner disamakan dengan Let's Go (lewat sekitar Dago )-nya Bandung.
Roy masih rileks tidur-tiduran di sadel KE-nya. Sudah beberapa kali deru motor lewat di depannya. Apalagi tadi anak-anak Bigben mendemonstrasikan standing dengan kecepatan lumaran. Mereka empat orang. Dan malam ini Bigben adalah lawan mereka.
Rencananya malam ini mereka akan balapan di jalan-jalan kota. Mereka sudah membuat rote tersendiri. Dari mulai karesidenan, membelok ke pasar, kembali ke alun-alun, dan lurus sepanjang jalan protokol. Padahal di sepanjang jalan protokol banyak terdapat gedung pemerintah.
Bisa kalian bayangkan, pada jam 00.00, ketika orang-orang sedang asyik di balik selimutnya, deru mesin meraung-raung di telinga mereka. Mengusik malam yang seharusnya dilewati dengan syahdu.
Tapi para berandal memasabodohkan itu!
Sebagai pemanasan, RM menyusuri jalanan pelan-pelan dulu. Roy berkali-kali mengangkat roda depan. Mumu, si joki RX tidur-tiduran. Sedang Roni dengan GP-nya, jongkok di pedal bagai koboi Texas yang melindungi diri dari tembakan pistol musuh.
Di depan karesidenan (persis bersebelahan dengan kabupaten), berpuluh-puluh sepeda motor diparkir. Dandanan para jokinya seperti di film-film gang Amerika.
RM memarkir motornya. Roy kalem-kalem saja. Dia menyulut rokoknya: Roni tampak mendekati salah seorang Bigben. Perang adu mulut, psy-war.
"Borsalino," Mumu mencolek Roy.
"Kenapa mereka""
"Nantang kamu."
"Kalahkan dulu Jetpom, baru lawan aku!"
Orang-orang sudah siap di sadel motornya. Bermacam jenis. Sekarang Jetpom, tiga motor, melawan Borsalino, empat motor. Dilihat dari kualitas kendaraan, Borsalino jelas lebih unggul. Tapi soal kenekatan, Jetpom jangan ditanya. Mereka tidak akan segan
-segan bersenggolan. Kalau perlu tabrakan, mati atau masuk rumah sakit sama-sama.
Ketujuh motor itu sudah meraung-raung. Sudab siap menyalurkan emosi para jokinya. Orang yang berlagak jadi starter mengibaskan kain putifnya. Mereka melesat! Jetpom dengan GL-nya kelihatan bisa mengngimbang Borsalino dengan GP-nya. Tampak Pendi berendengan dengan Dulah. Ketika sampai di tikungan, Dulah masuk ke. bagian dalam dan berusaha menendang Pendi ke luar jalur. Untung Pendi waspada, sehingga tidak membentur trotoar. Yang lainnya berusaha saling halang-menghalangi. Mereka membiarkan para pemimpinnya bertempur untuk menang mengibarkan panji kelompoknya.
Ada dua motor bersenggolan di tikungan. Bergulingan membentur trotoar. Untung mereka masih sempat melompat. Orang-orang menggotongnya ke pinggir. Lecet-lecet atau luka luar lainnya, no problem buat rnereka. Asal jangan patah tulang saja!
Sernua orang memacu motornya ke tikungan terakhir di Yumaga Corner. Mereka nangkring menonton aksi paling maut di sini. Karena siapa-siapa yang bisa melesat rnelahap tikungan terakhir ini, dialah pemenangnya.
Di kejauhan mulai terdengar deru mesin. Mengaum bagai raja rimba kelaparan. Orang-orang melihat dua lampu menyorot sejajar. Salah satunya memepet ke luar jalur. Ini pekerjaan nekat tapi sudah diperhitungkan. Yang satunya lagi sengaja rnalah rnerapatkan rnotornya. Sama-sama nekat. Mereka bersenggolan. Kendaraan itu limbung jalannya.
Semua orang menghela napas.
Akhirnya Pendi terperosok ke selokan. Dulah sendiri berhasil menguasai keseimbangan motornya, walaupun sernpat mengerem tadi, dia toh terpeleset juga.
Dulah dengan angkuh tersenyurn sinis kepada Roy, mengacungkan tinjunya. "Aku tunggu, Roy!" teriaknya.
Roy tersenyum saja. Menyulut rokoknya.
Duel meet mereka sudah ditunggu-tunggu!
*** RM memang bukan tandingan Bigben. Roy sendiri tidak ikut. Dia sengaja rnempersiapkannya untuk duel meet dengan Dulah, musuh bebuyutannya. Bigben, dia percayakan kepada Roni dan Mumu saja untuk menanganinya. Nyatanya Bigben tidak berkutik meladeni kedua sobatnya, yang memang sudah beken teramat nekat.
Sebenarnya ngebut maut seperti ini membahayakan sekali. Tapi, mesti bagaimana lagi" Di kota ini pemerintah daerah belum bisa menyalurkan keinginan para remajanya. Padahal daripada ngebut di jalan, kenapa tidak dibangun saja tempat untuk motocross"
Bagi anak berandal seperti mereka, peraturan-peraturan adalah bullshit belaka. Yang paling penting, mereka bisa melebihi saingan mereka. Dalam segala hal. Rasanya menjadi orang nomor satu itu adalah sebuah kebanggaan.
Duel meet tinggal beberapa saat lagi. Kedua orang yang masih berseteru itu sudah siap-sedia berpacu. Mereka tinggal menunggu aba-aba untuk melepaskan kopling mereka.
Dulah memainkan gasnya. Melirik sinis kepada Roy. Si bandel tersenyum, mengacungkan ibu jarinya. Gas mereka meraung bersahutan. Satu, dua..., tiga! Mereka melesat!
Orang-orang sudah menaiki motornya. Nangkring di setiap tikungan, menonton atraksi yang mendebarkan jantung ibu-ibu kita. Mereka selalu bertepuk tangan memberi support kepada jagoannya jika berhasil mempecundangi lawannya di setiap tikungan.
Di tikungan kantor pas, Roy sengaja mengekor saja. Dia penuh perhitungan sekali. Setelah posisi harus lagi, Roy menyentakkan kopling. KE-nya melesat ke depan bagai anak panah yang lepas dari busurnya. Dulih mengejarnya. Roy melakukan zig-zag, menghalangi laju motornya. Tapi Dulah nekat menerobos. Menendang dengan kaki kanannya. Roy agak menjaga jarak melihat kebrutalan musuhnya ini.
Mereka sudah mengelilingi alun-alun sebagai permulaan. Di tiap belokannya kadangkala mereka saling menyalip untuk mencelakakan musuhnya. Tidak ada lagi ketakutan dan kengerian di benak mereka. Deru mesin membutakan mereka dari semuanya.
Memasuki jalan protokol lagi, mereka mengencangkan gasnya. Jalan ini lurus sepanjang dua kilometer. Entah jarum di spedometer sudah menyentuh angka berapa, mereka terus menambah kecepatan angin menampar-nampar tubuh mereka. Rumah-rumah berlarian meninggalkan mereka. Segalanya bergerak cepat sekali.
Di kejauhan mereka melihat lampu merah
berputar menyala-nyala. Itu persis di depan kantor polisi. Rupanya polisi-polisi itu hendak menghentikan pertempuran mereka. Mobil-mobil patroli sengaja memblokir jalanan. Sirenenya dibunyikan sebagai pertanda ada peringatan untuk menghentikan laju motor.
Dulah dan Roy tampak panik sekali. Mereka yang sejajar saling pandang. Laju motor mereka cepat sekali. Tinggal satu belokan lagi di depan kalau mereka ingin lepas dari blokade itu. Tapi risikonya besar juga dengan kecepatan deras seperti ini. Apa boleh buat, mereka mengumpulkan konsentrasi ke belokan itu. Mereka mesti hati-hati dengan belokan itu, karena di samping kanannya ada selokan besar. Kalau membelok terlalu jauh, bisa kecebur ke sana!
Roy karena menggunakan trail, agak leluasa membelok. Dia menarik napas lega, hampir-hampir dia masuk selokan tadi. Tiba-tiba dia mendengar bunyi motor jatuh. Roy melihat Dulah bergulingan di aspal. Motornya kecebur selokan.
Tanpa mempedulikan Dulah yang mengerang kesakitan, Roy menyentakkan kopling, mengencangkan gas. Dia menuju posnya, Yumaga Corner.
"Cepat bubar! Ada police!" teriaknya kepada orang-orang.
Suara knalpot pun bersahutan. Tidak teratur. Tidak enak kedengarannya. Mereka menghambur, menyelamatkan diri masing-masing. Pada dinihari begini, mereka akan pulang ke mana" Mengetuk pintu rumah, sementara orang-orangnya sedang asyik dengan mimpi-mimpinya" Tegakah mengusiknya"
"Ke rumahku!" Roni berseru.
Roni memang kamarnya di pavilyun. Keluarganya tidak begitu peduli dia pulang jam berapa. Tidak pulang pun tidak masalah. Makanya dia diberi kamar di pavilyun, supaya tidak mengganggu seisi rumah kalau keluar-masuk dengan teman-temannya.
Bapaknya yang pengusaha (the haves juga dia) sering bepergian ke kota lain. Dan ibunya suka ikut sibuk arisan ini-itu dengan perkumpulan istri pemborong. Sedangkan dia cuma anak tunggal. Semuanya sibuk di luar! Otomatis aku pun sibuk di luar! katanya. Klise, ya"
Kamar Roni asyik punya. Komplet. Bapaknya memang sengaja menggantikan bentuk kasih-sayangnya dengan benda-benda itu. Sudah tuntutan zaman. Sudah membudaya. Kalau si anak butuh kecup sayang karena nilai rapornya bagus, si orang tua cukup rnemberinya hadiah sepeda atau tas baru. Roni sendiri kalau naik kelas sudah diiming-iming akan diberi hadiah sedan!
Roy sedang meneliti koleksi kaset Roni. Dia mencomot Tobacco Road-nya Johnny Winter. Membesarkan volumenya. Dia ikut berteriak-teriak menirukan suara kering sang vokalis.
"Tobacco roaaaaaaadddd!" teriak Roy bagai seorang rocker.
"Berisik, lu!" Mumu protes. "Mending kalau enak!"
Roni tertawa. "Roy, motormu betul dijual""
"He-eh. Ada yang minat""
"Banyak!" "Cepetan, deh!"
"Kenapa dijual, Roy"" kata Mumu.
"Aku butuh biaya buat avonturir. Sudah lama keinginan ini aku pendam. Sekarang terasa sudah meledak-ledak. Aku nggak sanggup lagi memendamnya. Aku ingin gunung ini memuntahkan laharnya."
"Sekolahmu""
"Semester kemaren raporku kebakaran. Sekarang, aku malah diskors! Apa lagi" Mendingan ke luar sekalian!"
Kedua kawannya memandang dengan heran. "Mau avonturir ke mana" Berapa lama""
"Sejak kecil kamu tahu apa cita-citaku" Kepingin keliling dunia seperti Tom Sawyer! Atau jadi jagoan seperti Old Shatterhand!
"Aku iri melihat turis-turis kere gentayangan di bumi kita ini. Dengan satu dolar, mereka bisa menikmati surga-surga yang dimiliki bumi kita ini. Tapi, kita dengan satu dolar pergi ke bumi mereka" Mungkin langsung mati!
"Turis-turis kere itu sudah pada tahu apa dan bagaimana Bali, Tana. Toraja, Dayak, Danau Toba, dan masih banyak lagi. Lha, kita"
"Ini nggak fair!"
Kedua kawannya mendengarkan saja.
Sementara suara kokok ayam jantan yang pertama sudah kedengaran, tapi mereka tidak akan pergi tidur. Percuma. Karena hari lain sudah datang lagi. Sudah harus diisi dengan sesuatu lagi.
Roy keluar melihat langit timur. Warna merah belum begitu merata, tapi mulai membias pelan-pelan. Dia lalu merenungkan segala hari-harinya. Betapa waktu berputar sedemikian cepatnya. Ya, sudah menjadi kebiasaan kita bahwa, sesuatu yang kita kerjakan itu baik atau buruk hasilnya, baru kita ketahui setelah kita mengerjaka
n. Kalau baik, kita tentu gembira. Kalau buruk, ya, paling-paling menyesal! Meski tiada guna!
Ah, aku percayakan pada hari esok dan lusa saja! batin si bandel.
XII. BATU KUWUNG Orang yang terus-menerus mencari kebahagiaan tak akan pernah menemukannya. Sebab, kebahagiaan itu diciptakan, bukan ditemukan.
-pepatah lama SUDAH hampir setengah tahun remaja Roy tinggal di kota sebelah barat Pulau Jawa ini, yang dulu lebih dikenal. sebagai ibu kota Karesidenan Banten. Sudah berkenalan dan mengalami banyak hal. Tentang tradisi turun temurun, sejarah Banten Lama, dan pantai Selat Sunda yang kini anak Krakataunya, Rakata, dihebohkan akan meletus lagi seperti ibunya dulu.
Banten memang mengandung keajaiban alam yang beragam.
"Sudah jam sepuluh! Kamu kan ada appointment sama Ongki mati ke Batu Kuwung.
"Jangan ngaret dong, Roy!" Roni mengingatkan.
"Oke, gua cabut dulu!" Roy menyela KE-nya. "Eh, Ron! Yang mau beli motor gua tuh, cepetan gitu!" dia terus melesat.
Roy memang semakin tidak keruan. Dia jadi tidak pernah ingat rumahnya. Dia habiskan waktunya, hari-harinya, dengan RM, kelompoknya. Ya, dia semakin segan untuk bertemu dengan mamanya.
Mamanya merasa kecewa dan sia-sia juga, karena berlian pujaannya sudah tidak mempedulikan sekolahnya lagi. Orang tua mana yang tidak akan bangga melihat anaknya dengan jubah dan toga kebesarannya"
Roy betul-betul sudah tidak menggubris sekolahnya lagi. Menghabiskan waktu saja! gerutunya. Kenapa" Karena sekarang soal avonturir saja yang ada di benaknya. Dia memang meledak-ledak. Kalau dia punya keinginan, itu berarti harus diwujudkan. Siapa pun orangnya, tidak akan ada yang mampu membendungnya. Go to hell! begitu katanya.
"Tapi tidak berarti itu harus mengorbankan sekolah, Roy. Avonturir kan bisa kamu lakukan kapan saja," begitu saran mamanya. "Ingat, Roy, di mata Tuhan derajat kita tidak dinilai dari keduniawiannya, tapi dari ilmunya.
"Kamu hidup bukan untuk sekarang saja, Roy. Tapi untuk nanti, masa depan kamu. Mama tidak bisa mewariskan harta. Lalu kalau tidak dengan ilmu, kamu mau jadi apa nanti"
"Mau menyandang ransel terus dari kota ke kota" Sementara kawan-kawanmu nanti sudah jadi sarjana semua""
"Tahun ajaran baru nanti, Roy pasti sekolah lagi, Ma."
"Kamu sudah besar. Sudah bisa menentukan mana yang baik dan buruk. Sebenarnya, Mama ingin kamu avonturir itu setelah lulus SMA nanti. Toh, kalau nanti kepingin kuliah, bisa kapan saja waktunya.
"Betapa Mama akan kesepian sepanjang hari, Roy," suara Mamanya seperti terputus di tenggorokan.
Roy diam saja. Di hatinya berkecamuk perasaan tega dan tidak tega untuk meninggalkan mamanya. Siapa nanti yang akan memijiti pundaknya setelah letih dengan mesin jahitnya" Yang mengantarkan jahitan ke para langganannya" Dan yang menemaninya ngobrol menjelng tidur" Siapa coba, Roy"
"Ma," Roy memegang tangan mamanya. "Tolonglah untuk sekali ini saja. Roy ingin melupakan Joe dulu, Ma."
"Roy... , ah!" Mamanya menangis. Memeluk Roy, menciumi pipinya. Roy-lah satu-satunya penawar rindu dan obat bagi rasa kehilangan atas mendiang suaminya. Roy pun merasakannya. Lantas harus bagaimana"
Orang tua mana sih, yang tidak akan sakit jiwanya, merintih batinnya apabila ditinggalkan anaknya ke tanah seberang untuk bekerja atau ikut suaminya" Kalau kalian tidak percaya, untuk yang perempuan, pasti akan merasakannya nanti. Betapa seorang anak itu lebih mahal harganya ketimbang apa pun. Ya, walaupun sekarang kabarnya mulai ada kasus-kasus yang memperjualbelikan bayi-bayi lucu dan tidak punya dosa.
Tapi aku harus pergi! batin Roy tetap keras.
Kalau si anak sudah membangkang begini, siapa yang mesti disalahkan" Orang tuakah yang salah karena terlalu memanjakan anaknya" Si anakkah yang salah karena mudah terpengaruh" Atau kondisi zaman yang salah" Wah wah, kalau kita menyalahkan keadaan, lantas kita ini mau ke mana"
Mamanya memang bisa memakluminya, seperti dia dulu selalu memaklumi Romi, mendiang suaminya, yang kalau malam Minggu suka jarang mengapeli karena asyik dengan pendakian gunungnya. Dan kini terjadi lagi pada Roy, anak mereka semata wayang, yang segala-galanya jelmaan
mendiang suaminya. "Begini saja, Roy. Apa yang menurut kamu memang baik untuk dilakukan, lakukanlah! Mama hanya bisa mendoakan saja." Air mata mamanya membahasahi pipinya.
"Roy hanya akan pergi kalau Mama merestui dan ikhlas, dengan apa yang akan Roy lakukan."
"Sekali lagi, kamu sudah dewasa. Sudah harus bisa mengambil keputusan
sendiri. "Untuk kamu, Roy. Bukan untuk siapa-siapa."
Dialog dengan mamanya itu masih terbayang dan menyelimutinya terus. Dia tahu sorot mata mamanya menyiratkan sesuatu yang takut kehilangan. Kehilangan dirinya. Kehilangan anak lelakinya.
Tegakah kamu, Roy" *** Roy sudah di depan rumah Ongki. Berputar-putar memencet klakson KE-nya. Dia malas masuk ke halaman rumah Ongki. Nantinya suka terlalu banyak prosedur.
Orang-orang tua sekarang selalu saja repot dan khawatir kalau anak gadisnya bepergian. Aneh. Seperti tidak pernah merasakan masa muda saja. Tapi itu wajar. Soalnya di kota ini untuk sekarang, yang kalau dulu sangat terkenal ke mana-mana dengan kefanatikan agama Islam-nya, kini bullshit belaka! Dekadensi moral dari kota besar macam Jakarta dan Bandung sudah menular ke sini. Betapa para remaja di kota ini sekarang sudah banyak yang kawin terpaksa.
"Sebentar, Roy!" Ongki, si hitam manis, berteriak kegirangan.
Roy nangkring saja di KE-nya. Asyik memperhatikan dan menikmati tubuh Ongki yang padat berisi, yang dibungkus celana ice washed dengan kombinasi baju Hawaii hijau muda. Amboi, keren banget! decaknya.
Mereka sudah melesat, ke arah selatan. Di kilometer lima (orang sini menyebutnya: pal lima), Roy membelokkan KE-nya ke kanan. Mulai memasuki areal kaki Gunung Karang. Di kiri-kanan sawah-sawah mulai menguning. Sebagian sudah dipanen. Mungkin sudah dibeli para tengkulak sialan, berada di gudang rumah kalian, atau juga sedang kalian makan dengan nikmat.
Hawa di areal kaki gunung ini sejuk. Tidak seperti Serang yang panas menyengat! Kadangkala orang Serang suka berkelakar, kalau saja Gunung Karang dipindahkan kemari, oh, betapa sejuk dan indahnya kota Serang nanti.
Mereka melewati perkampungan. Ciomas, namanya. Roy mengecilkan gas, karena jalan ini berlubang-lubang. Kampung ini sudah kondang ke mana-mana dengan golok Ciomas-nya, yang kalau ditebaskan ke pohon pisang, pohon itu akan mati dan tidak tumbuh lagi. Apalagi manusia! Golok itu memang tidak seperti golok biasa. Itulah keistimewaan golok Ciomas. Tidak sembarang orang bisa memilikinya. Sekarang saja sudah jarang orang yang memiliki golok ajaib itu, karena para sesepuhnya takut menurunkan atau mewariskannya kepada anak cucunya. Takut disalahgunakan! Begitu alasannya. Kalau dulu, golok ajaib itu sering dipergunakan untuk melawan penjajah.
Sayang memang. Padahal itu adalah sebuah sejarah yang mahal!
"Bawa baju renang"" tanya Roy.
"Bawa," Ongki merapatkan duduknya, sehingga Roy merasakan sesuatu menyentuh punggungnya. Hangat dan halus. Darah mudanya bergelofa. Ongki memang mesra sekali.
Roy memarkir KE-nya. Para pengunjung (baca: turis) di setiap hari libur lumayan juga. Batu Kuwung ini rimbun oleh pepohonan. Banyak bungalo sengaja dibangun di bukit-bukit. Tentunya buat orang kota besar yang ingrn enjoy atau pasangan yang lagi asyik-maksyuk.
Batu Kuwung adalah sebuah pemandian air panas, 32 km arah selatan Serang. Seperti pemandian Ciateur di Subang. Batu Kuwung diambil dari nama sebuah batu cekung yang sampai sekarailg masih mengeluarkan air panasnya (70-800 F). Air panas yang muncul dari perot bumi ini tidak mengandung belerang seperti um4mnya sumber air panas, tapi justru mengandung kadar yodium dan kalsium yang tinggi sekali. Sangat berguna untuk penyembuhan reumatik, polio, dan pegal-pegal.
Roy memeluk pinggang Ongki erat-erat. Betapa mesra dan gembiranya mereka
hari ini. "Langsung berenang"" Ongki menyandar manja.
"He-eh! Aku pingin cepet-cepet lihat body kamu yang sexy!" Roy tersenyum
nakal. Ongki memberengut. Mencubit lengannya. "Auw!" Roy menjerit kesakitan. "Kekencengan tuh nyubitnya, Ki!" gerutu Roy.
Si bandel merasa tertarik begitu melihat sebuah bak besar yang dipagari besi sekelilingnya. Airnya mendidih. Tampak Ongki mengeluarka
n dua butir telur dari tas punggungnya. Roy kegirangan, karena belum sarapan tadi. Telur-telur itu dicelupkannya. Tidak lama matang juga. Sambil makan telur rebus, Roy memandangi Ongki yang sedang membasahi tubuhnya di shower. Air yang menyembur lewat lubang-lubang kecil di atas kepalanya itu seperti memukuli tubuh molek yang bergerak menggiurkan bagai penari jaipongan.
Si bandel menelan air liurnya.
Berbahagialah wahai kaum hawa, yang dikaruniai keindahan tubuh oleh Tuhan. Tidak semua wanita dikaruniai sentuhan tangan sang Seniman Agung. Tapi kadangkala wanita suka kelewat batas dalam memanfaatkan keindahan tubuhnya. Susah memang. Manusia sudah komersialis. Semuanya diukur dengan materi. Uang sudah menjajah manusia!
Remaja bandel itu terjun ke kolam. Ongki menyusul kemudian. Mereka main kucing-kucingan di kolam, bagai ikan mas atau ikan hias di akuarium. Orang kalau sudah kerasukan Dewi Ratih dan Dewa Kamajaya suka lupa segalanya. Sekelilingnya. Kayaknya kalau ada kebakaran pun, mereka pasti cuek saja. Buktikan, deh.
"Mandi. air panas, yuk!" Roy menarik lengan Ongki.
Mereka tidak peduli tatapan orang-orang yang suka usil. Kalau ada yang tanya, jawab saja, "Pengantin baru!" kata Roy konyol.
Mereka menyewa kamar untuk kapasitas dua orang saja. Untuk kapasitas sekeluarga pun ada. Kamar ini berupa sebuah bak besar yang dialiri air panas dan dingin. Kita tinggal mengatur campurannya saja lewat keran. Mau yang anget-anget, silakan. Yang panas juga boleh, kalau tahan.
Kedua remaja yang dimabuk asmara itu sudah berendam. Dikurung tembok. Kata orang-orang tua, kalau kita berdua-duaan dengan lawan jenis kita dalam sebuah ruangan, apalagi tertutup, disitu biasanya ada malaikat di pihak kanan dan setan di pihak kiri. Seperti dua negara adikuasa yang memperebutkan sebuah negara saja. Mereka berperang saling mengalahkan. Nah, tinggal kita mau berpihak kepada siapa" Malaikat atau setan" Jangan pilih "atau"! Ini serius.
"Auw! Kepanasan, Roy!"
Roy tertawa nakal. Sengaja, kok.
"Lutut kamu masih sakit"" Roy mengatur campurannya lagi. Dibukanya keran yang dingin.
"Masih linu," Ongki membasahi rambutnya. Dia menyisir ke belakang dengan jari-jari tangannya. "Kata dokter, istirahat dulu kira-kira tiga bulanlah."
Roy mendekati si hitam manis. Sorot matanya tajam. Menyihir dan meluluhkan. Dia merapatkan tubuhnya. Gadis manis itu gemetaran merapat ke tembok. Dia begitu menanti-nanti babak selanjutnya. Matanya terpejam.
Kulit mereka sudah bersentuhan.
Bergumul. Suara napas mereka saja yang kedengaran.
"Jangan, Roy!" Ongki tersentak, mendorong tubuh Roy.
Roy gelagapan dan salah-tingkah, "Sori, Ki."
Ongki tertunduk menggigit bibirnya. Menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Hampir saja dia kehilangan sesuatu yang untuk zaman sekarang sudah menjadi sangat langka. Sesuatu yang teramat penting dalam keseluruhan hidup wanita. Sesuatu yang teramat sensitif.
Mereka kini duduk di sebuah batu besar. Memandangi pesawahan. Menghirup udara pegunungan. Udara segar yang kini sudah sangat susah dibeli di kota. Saban hari, di kota, kita terpaksa mengisap asap knalpot dan asap pabrik saja.
"Makasih kamu ingatkan tadi, Ki. Aku khilaf."
Ongki diam saja. Bagi Roy, cinta adalah perbuatan. Hanya itu. Ya, seperti tadi itu. Tidak lebih. Tidak sampai melompati pagar.
"Ki." "Hmm... "
"Maafkan aku, ya."
"Aku juga, Roy."
"Kita masih beruntung ya, Ki."
"He-eh. Tuhan melindungi kita."
Mereka semakin betah duduk di sana. Mata mereka begitu terhibur oleh hijaunya bukit-bukit. Semoga hal natural begini masih bisa bertahan terus sampai generasi cucu-cucu kita. Semoga tempat ini terhindar dari tangan-tangan serakah. Semoga tidak bernasib sial seperti bumi Kalimantan. Suara angin mendayu-dayu memainkan pucuk ilalang. Cericit burung mengincar batang-batang padi yang bunting. Dan matahari beberapa kali meronta dari kepungan mega.
Hening. "Ki," bisik Roy gelisah.
"Ada apa, Roy"" Ongki menyandarkan kepalanya. Tidur-tiduran. "Aku... , aku mau pergi, Ongki."
Ongki membetulkan letak duduknya, "Pergi ke mana, Roy" Ke Hongkong"" dia tersenyum geli.
Roy meringis, "Serius, Ki," nadany
a ada tekanan. "Aku mau avonturir," suaranya bergetar.
"Maksudmu, Roy"" nada Ongki terasa gelisah.
"Aku mau Indonesian Journey. Mungkin ke arah matahari terbit dulu, atau ke arah matahari tenggelam.
"Ah, itu terserah kakiku mau melangkah nanti."
Si hitam manis baru mengerti maksud si bandel. Dia termenung. Menatap ke arah lain. Menatap entah apa yang ditatap. Segalanya tiba-tiba saja terasa hampa. Menguap satu-satu ke angkasa. Musnah.
"Kamu mau bertualang, Roy"" cemas sekali nadanya. "Lantas sekolahmu"" ada kekecewaan di dalamnya. Ini menyakitkannya.
"Ya, aku mau bertualang.
"Tentang sekolah" Konditeku jelek sekali di sekolah, Ki. Percuma diterusin juga kalau pada akhirnya tetep nggak naik kelas.
"Tahun ajaran baru nanti, aku pasti balik lagi. Sekolah lagi. Pacaran sama kamu lagi," senyum nakalnya nongol.
"Roy!"" Ongki kecewa dan kesal. sekali. Dia membuang muka. Dia membenamkan wajahnya di sela lututnya. Isaknya kedengaran.
Ah, perempuan! Selalu saja segala persoalan disudahi dengan isak tangis.
"Denger, Ki," Roy mendekapnya. Membenamkan tangisnya ke dadanya. "Aku hanya memanfaatkan waktuku saja. Daripada waktuku ini aku pergunakan untuk yang nggak-nggak di sini, mendingan aku pake buat avonturir.
"Dengan avonturir, aku bisa banyak belajar, melihat, dan mengalami. Lelaki harus menggali ilmu langsung dari alam, dari sekelilingnya. Karena untuk hal yang satu ini tidak ada sekolahnya, Ki."
"Roy, aku..., ah!" Ongki memukul bahu Roy.
"Kamu mau pergi, itu urusan kamu! Ke Hongkong kek, ke Jepang kek, masa
bodoh! "Tapi, kenapa baru kamu katakan sekarang, Roy" Ketika aku sudah merasa dekat dengan kamu" Kenapa, Roy"
"Kamu jahat! Aku benci kamu, Roy! "Ini nggak fair!"
Ongki wajar saja begitu. Karena baru saja dia dikecewakan oleh sikap Eri, pacarnya tempo hari. Dan sekarang" Ketika dia baru saja menyalakan lagi lilin warna-warni di hatinya, menebarkan bunga yang wanginya semerbak ke mana-mana, tiba-tiba semuanya harus musnah lagi., Ya, musnah.
"Cobalah mengerti tentang aku, Ki" Petualangan adalah pelarianku yang sempurna.
"Ah, nggak akan ada orang yang bisa mengerti tentang aku!" Roy tampak jengkel. Dia berdiri dan melemparkan batu ke kali kecil di bawah sana.
"Sekarang giliran aku mau nanya sama kamu! Bisakah kamu juga mengerti tentang aku, Roy" Perasaan wanita umumnya" Bisakah kamu, Roy"!"
Roy menyulut rokoknya, "Kita sudah sama-sama dewasa, Ongki. Sudah harus bisa mengambil keputusan."
"Banyak-banyaklah belajar menghargai perasaan wanita, Roy! Lebih-lebih perasaan kekasihmu!" Ongki terisak-isak lagi. Roy mendengarkan saja.
"Lelaki memang egois! Maunya menang sendiri" Roy masih tetap mendengarkan.
"Apa kamu nggak khawatir dengan mamamu yang nanti kautinggal sendirian" Bagaimana kalau mamamu pada akhirnya meninggal, karena sedih yang berkepanjangan"
"Apa tidak kamu pikirkan itu, Roy""
"Soal mati, semua orang juga akan mati. Itu keharusan. Tidak sedang avonturir pun, kalau mamaku harus mati atau aku yang mati, ya, matilah. Nggak ada bedanya mati sekarang dengan mati ketika avonturir nanti. Semuanya tetap sama, mati.
"Ah! Kalau kita sekarang ketakutan oleh sebab-akibat yang mengerikan itu, tentang kematian tadi, misalnya. Wah, sampai sekarang aku mungkin nggak pernah tahu siapa itu Gandhi, Tjut Nyak Dhien, dan banyak lagi orang-orang yang mempertaruhkan nyawanya derni mewujudkan impian mereka.
"Mati adalah sebab-akibat, Ki. Sama saja halnya dengan jika kita rajin belajar tentu hasilnya kita pintar. Kita harus berani dong, mengambil risikonya."
"Sudah ceramahnya, Roy"!" suara Ongki ketus sekali. "Aku tambah benci sama kamu! Egois! Sok jagoanlah!" teriaknya sambil berlari meninggalkan si bandel.
Roy buro-buru menyambar lengannya. Menariknya. Mereka saling tarik-menarik. Tidak ada yang mau mengalah. Jadinya seperti dua regu yang sedang lomba tarik tambang saja. Lalu mereka terpeleset. Terperosok ke sawah yang masih belum ditandur.
"Huuuuh!" Ongki menggerutu jengkel.
"Huh juga." Dasar Roy sableng, malah tersenyum. Eh, tertawa lagi ketika orang sedang jengkel-jengkelnya.
Pakaian mereka jadi kotor berlumpur.
Ongki melemparnya dengan sege
nggam lumpur. Roy membalasnya. Malah dengan kalem dia memolesi pipi Ongki dengan lumpur. Dia tidak peduli Ongki menjerit-jerit karenanya. Akhirnya mereka jadi saling rebutan mengotori tubuh dengan lumpur.
"Rasain, nih!" Ongki menimpuknya. Dia tertawa senang karena lumpurnya persis kena punggung Roy.
Mereka jadi gembira lagi. Tertawa lagi. Lupa pada persoalan tadi. Lupa segala-galanya.
Roy lalu menuntun Ongki menuruni tebing. Menuju kali kecil yang airnya jernih. Mereka bergantian saling membersihkan pakaian dari lumpur. Bahkan sesekali mereka bercanda juga dengan mencipratkan air ke wajah.
Mereka menghabiskan kegembiraan mereka hari ini. Semuanya. Segalanya. Karena sepertinya bagi mereka tidak ada lagi hari esok. Tidak akan pernah mengecapnya lagi.
Ya, kadangkala kebahagiaan memang berumur pendek.
Entah kenapa. XIII. LET IT BE hidup hanya untuk sebuah kenangan
sadel motor, dehu jalan, dan kecup perempuan ya, hidup adalah kenangan!
-Heri H Harris REMAJA bandel itu masih mengelus-elus trail KE-nya. Tiba-tiba dia teringat lagi pada Joe, anjing herdernya, yang juga suka dielus-elusnya. Itu berarti, dia pun menyayangi sepeda motor itu.
Baru saja dia memiliki KE itu beberapa saat, walaupun harus mengorbankan barang-barang warisan papanya, kini dia harus melepaskannya lagi. Tekadnya memang sudah bulat. Petualangan! Dan itu butuh biaya untuk mewujudkannya.
O, bau alam itu sudah menyelimuti benaknya!
"Bagaimana, jadi"" orang itu menyodorkan segepok uang.
"Kenapa tidak"" Roy mengambil uang itu.
Menjadi seorang petualang tidaklah gampang. Kita harus mau membuang kebiasaan sehari-hari kita di rumah. Keegoan dan sifat manja kita. Mata batin kita harus peka selama dalam petualangan, terhadap sekeliling kita, yang kita alami dan kita lihat.
Padahal kata sebagian orang, menjadi seorang petualang cuman cari penyakit, cari sengsara. Kenapa tidak diam di rumah saja, sih" Kan di rumah segalanya serba enak"
"Jadi berangkat besok, Roy"" Roni memperhatikannya. "Jadi," Roy rnasih menghitung uang itu. "Mamamu""
"No problem! Mamaku orang tua yang bijaksana. Beliau mau mengerti keinginan anaknya."
"Aku akan kehilangan kamu, Roy." "Ya, aku juga."
Mumu muncul di ambang pintu. Sikutnya lecet-lecet.
"Kenapa, lu"" Roni mencarikan obat merah.


Balada Si Roy Joe Karya Gola Gong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Borsalino sialan!" dia menerima obat merah itu. Memolesi luka-lukanya. Dia meringis perih.
"Aku kan lagi akrobatik. Eh, tau-tau aku dipepet sama Hardtop sialan itu!" Roy pura-pura tidak mendengar ceritanya. Dia malah asyik dengan lagu Many Rivers to Cross-nya The Animal. Ikut melagukannya pelan-pelan. "Dulah nantang kamu lagi, Roy," kata Mumu. Roni menepuk bahunya, "Kamu layani, Roy"" "Apaan"" Roy pura-pura tidak tahu. "Dulah nantang kamu!"
"Motor kan barusan aku jual," Roy tidur-tiduran. Bibirnya rnasih tetap mengikuti vokal Eric Burdon yang gagah itu.
"Pake motorku saja, Roy. Si Dulah kan pake GP juga," Roni menawarkan alternatif lain.
"Oke, kalau memang ini mau kalian," Roy bangkit. Menyambar jaket Levi'snya. "Jam berapa sekarang"" .
"Setengah delapan."
"Pinjem motormu dulu, Ron," Roy langsung mengambil kuncinya di meja. "Jemput aku di rumah Ani, ya!"
Aneh. Kenapa tiba-tiba dia ingat Dewi Venus" Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba seperti ada yang mengetuk hatinya. Membisiki hatinya.
Sedang apa kamu malam ini, Gadis" bisiknya.
Roy merasa seperti ada yang mau hilang dari hatinya. Dewi Venus! Dia harus melihatnya dulu. Dia ingin meraba-raba dan mengingat-ingat wajahnya, agar kalau rindu nanti, dia bisa mudah membayangkannya.
"Selamat malam," Roy menyapanya ketika Dewi Venus sedang membaca majalah di teras. Dia memarkir motornya.
"Tumben mau dateng," ledek Venus.
"Kangen." "Jadi, datengnya cuman lagi kangen doang"" Roy tertawa. Ani senang sekali melihatnya. "Orang tua kamu ke mana""
"Mau ketemu mereka"" dia bergurau terus. Roy lagi-lagi tertawa, "Basa-basi doang." "Mereka pergi kondangan. Putra oomku kawinan." "Kamu, kapan""
Ani tertawa lucu, "Nunggu dilamar kamu, deh."
Mereka tertawa, gembira sekali. Ya, betapa mereka gembira malam ini, karena bisa bertemu lagi. Bisa menyalurkan kerinduan yang selama ini hanya
dipendam saja. Roy merasa damai sekali apabila sudah melihat Venus ini. Dia mengibaratkan Venus ini adalah air jeruk yang mengguyur api hatinya. Dia memang tidak berani melakukan yang tidak-tidak setiap berdekatan dengan dia. Ada cahaya yang menyelimuti tubuhnya. Dia tidak berani menjamahnya.
Inikah cinta" bisiknya. Ah, sungguh tidak tahu diri kamu, Roy! Bercerminlah dulu! Betapa lusuh dan baunya jeansmu itu! Bisa-bisa rusak hidung Venus ini bila mencium aromanya!
Roy menyulut rokok. "Aku kira berhenti ngerokok," sindir Ani. Roy meringis. Anehnya dia mematikan rokoknya. Lalu menyelipkan di bibirnya. Mempermainkan rokok itu dari ujung bibir kiri ke kanannya. Sekarang dia sudah bisa melakukannya. Pelan-pelan dulu. Memang belum semahir Andi, sobatnya almarhum.
"Kalau lulus, nerusin kuliah di Bandung""
"He-eh. Kedua kakakku kan kuliah di sana juga. Kenapa""
"Nggak apa-apa. Pingin nanya aja."
"Mau minum apa, Roy""
"Air putih, deh."
Venus itu masuk ke dalam. Roy memperhatikan cara jalannya. Memperhatikan rambutnya. Betisnya. Segalanya. Semuanya. Dia menarik napas. Inikah malam terakhir aku melihatnya" Lalu kapan aku bisa melihatnya lagi"
Roy memperhatikan dua ekor cicak di dinding. Si jantan mengendap-endap hendak merebut perhatian si betina. Mereka bekejar-kejaran. Rupanya si jantan pantang menyerah. sebelum berhasil menaklukkan si betina.
"Kok, malah ngelamun"" Ani mengagetkannya.
Roy tersenyum, "Aku minum, ya!" dia meneguknya.
"Masa skors kamu kan sudah habis. Kok, nggak pernah kelihatan di sekolah"" "Aku keluar, Ani. Males!" Ani diam saja.
"Aku ke sini, betul-betul kangen sarna kamu." Ani tersenyum, "Makasih deh, dikangenin orang." "Aku serius, Ani!"
Venus itu terperanjat. Soalnya kalimat Roy tadi pakai tekanan. Kalau saja Roy tahu, betapa dia pun sebenarnya juga merasa kangen. Kalau saja ada pihak ketiga yang bisa mengerti perasaannya. Kalian mau jadi mak comblang"
"Besok aku mau pergi," Roy memulai persoalannya kenapa datang ke sini. Datar-datar saja. Dia pikir, Venus ini apa mau peduli"
"Avonturir"" Ani sudah bisa menebak ke mana arahnya. Tapi sebenarnya dia masih berharap, semoga pertanyaannya tadi tidak mengenai sasaran. Karena kalau betul, oh, betapa hari-harinya akan terasa sepi nanti. Hari-hari yang akan selalu diisinya dengan kerinduan.
Roy mengangguk, "Bagiku itulah jalan keluar yang paling baik untuk saat ini." Ani menunduk. Meremasi -jari-jarinya. "Aku ingin menulis sebuah roman, Ani.
"Ada seorang sastrawan barat yang menganjurkan, kalau ingin jadi pengarang, pergilah, merantaulah jauh ke negeri orang, dan tulislah pengalaman-pengalaman yang didapat.
"Kamu tahu kan, nggak ada sekolah yang bisa memberikan ijazah pengarang. Karenanya aku mesti mencari sendiri." Mereka sama-sama diam.
"Boleh aku minta fotomu, Ani"" Roy bersuara lagi. "Untuk apa""
"Untuk aku pandangi setiap saat. Setiap aku kelelahan, kesepian, dan rindu. sama kamu."
"Berapa lama, Roy""
"Tahun ajaran baru nanti mungkin pulang. Tapi, entahlah. Kalau masih betah, dengan avonturirku, ya tidak pulang. Kalau bosen, ya baru pulang.
"Lagian, percuma juga. pulang. Kamu kan sudah kuliah di Bandung."
"Kita kan bisa berkirim surat, Roy," Ani menyodorkan alternatif lain.
Heh, kenapa mereka jadi begitu takut merasa saling kehilangan"
"Ngambil jurusan apa kuliah nanti""
"Mungkin sastra Inggris."
"Aku akan kehilangan kamu, Ani."
Venus itu menggigit bibirnyaJantungnya berdebar keras dan cepat sekali. Betulkah yang diucapkan Roy tadi" Dia tidak dapat berkata-kata, selain lewat bahasa matanya.
"Roy," akhirnya dia mampu membuka mulutnya.
Remaja bandel itu siap mendengarkan apa saja yang akan keluar dari bibir menawan itu. Ayo, bicaralah! batinnya.
"Kamu dateng ke sini hanya untuk mengatakan selamat berpisah, begitu kan"" "Salah satunya memang itu." "Yang lainnya""
"Kapan kita bisa berjumpa lagi, misalnya. Atau memang kita tidak akan pemah berjumpa lagi""
"Kenapa baru kamu katakan sekarang, Roy""
Roy tidak bisa menjawabnya. Ini sangat menyiksanya.
Untung ada motor RX masuk ke halaman. Roni sudah meloncat turun. Mumu nangkring saja di sadel motor. Roy bisa menarik napa
s lega, serasa sudah lepas dari belenggu.
"Aku pergi dulu, Ani," Roy berdiri. Dia berusaha hendak memegang tangannya. Ani menjangkaunya.
Mereka berpegangan. Mengalirkan kerinduan lewat kehangatan itu. Hanya sesaat memang. Tapi mereka bisa mereguknya dengan sepenuh jiwa.
Ah, siapa pernah tahu tentang mati, rezeki, dan jodoh"
"So long, Ani," Roy sudah menghidupkan GP-nya.
"Roy!" Ani menghampirinya. "Aku selalu menunggu surat-suratmu nanti," dia menggigit bibirnya penuh harap.
Roy menempelkan telunjuknya ke bibir itu. Mengusapnya perlahan.
Asap knalpot membekas malam itu. Dewi Venus ingin mengumpulkannya. Menyimpannya dalam botol. Untuk kenangannya.
Ah! dia menangis. Berlari ke kamarnya. Mendekap erat bantalnya. Mendekap erat mimpi-mimpinya.
Dia menyesal sudah membiarkan perasaan ini tumbuh liar menggerogoti hatinya. Kalau tahu akhirnya akan begini, ah, dari dulu dia sudah mencabuti akar-akarnya. Meracuni tunas-tunasnya. Membakar habis mimpi-mimpinya. Semuanya!
Ya, siapa pernah tahu perasaan seseorang"
Tapi, biarlah itu terjadi, dengan sendirinya, Ani.
*** Ada berpuluh-puluh motor malam ini, berbagai jenis, berkumpul di kuburan Cina. Mereka masih berkelompok, merencanakan taktik yang tepat untuk memenangkan balapan motor ini.
Rutenya Serang-Anyer, sejauh 45 km.
Malam ini tampaknya aspal jalanan akan panas bergesekan dengan raja-raja gila. Membara oleh derum mesin dan teriakan anak muda.
"Roy!" teriak Dulah. "Malam ini riwayatmu habis!" katanya ketus dan sombong. Si bandel hanya mengepalkan tinjunya.
Persis jam 00.00. Para joki sudah meraung-raungkan mesin kuda besinya. Mereka tidak perlu komando untuk memulai balapan tradisional ini.
Mereka satu-satu, bahkan berkelompok, mulai menyentuh jalan. raya. Nah, ketika raja motor mereka bersentuhan dengan aspal yang dingin kena udara malam, saat itulah seperti ada yang menyentakkan pergelangan tangan mereka untuk mengencangkan gas.
Berpuluh-puluh motor melesat bagai peluru. Deru mesinnya menembus langit. Mengganggu tidurnya dewa-dewi. Mengganggu heningnya alam.
Ketajaman mata, rasa percaya diri, dan konsentrasi dibutuhkan sekali pada balapan seperti ini. Di mana kondisi jalan yang bergelombang, berlubang, dan gelap, siap menjerumuskan kita ke malapetaka yang dahsyat. Belum lagi di kiri-kanan, motor-motor yang melesat bagai anak panah, dengan derum mesinnya yang menusuk telinga dan mencengkeram jantung, sehingga kemungkinan bersenggolan atau tabrakan besar sekali. Juga tikungan-tikungan yang kalau malam hari seperti tidak ada habisnya, biasanya akan menjadi arena yang paling mengerikan.
Tapi anehnya, mereka tidak mempedulikan maut yang selalu mengintai.
Roy masih berada di tengah rombongan terdepan. Derum knalpot menyelimuti tubuhnya. Bising! Dia berkelit melewati beberapa motor. Menyambar-nyambar bagai burung nasar.
Lambat-laun rombongan besar itu mulai berpencar-pencar. Tergantung dari joki dan jenis motornya. Biasanya kalau ada seseorang atau sekelompok yang unggul di depan, mereka akan menunggu lawannya mengejar dulu. Lalu mereka akan berpacu lagi. Begitu seterusnya.
Garis finish semakin dekat. Motor-motor kesetanan.
"Ayo, Roy!" Dulah berteriak menandingi derum mesin.
Roy memberi kode kepada Mumu. Dengan nekat, Mumu menghalang-halangi mereka. Dia melakukan zig-zag di depan mereka. Roni semakin merapatkan tubuhnya. Mengencangkan pelukannya. Mereka seperti jadi satu.
Borsalino menyebar. Mereka mau mencuri-curi untuk menerobos zig-zag yang diperagakan Mumu. Pada saat inilah Roy melesat mempecundangi mereka. Mumu membiarkannya. Ini memang sudah mereka rencanakan.
Roy terus melesat. Orang-orang mengubernya! Angin menampar wajah mereka. Bintang-gemintang bertepuk riuh memeriahkan pekik mereka. Pekik para berandal. Gelora para berandal. Yang menganggap hidup ini hanya sekali dan mesti direguk sepuas-puasnya!
Bumi semakin terbakar oleh gelora mereka.
Akhimya mereka kelelahan. Derum knalpot pun begitu. Pekik mereka juga. Geloranya juga. Semuanya tertelan debur ombak, tenggelam ke dasamya. Terhirup angin pantai, terseret ke tengah lautan.
Ya, mereka kelelahan. Api unggun pun dinyalakan.
Pesta hura-hura dengan air kenikmatan dan asap memabukkan membius mereka. Sampai kokok ayam pertama kedengaran mereka merayakannya.
"Aku mengaku kalah, Roy," Dulah menyodorkan tangannya.
Mereka berjabatan tangan.. Hangat dan erat. Permusuhan sudah terkubur ke perut bumi; ke dasar lautan. Kadangkala persahabatan bisa dimulai dari mana saja. Ada yang dimulai dengan adu jotos dulu, sebatang rokok, atau mungkin kalian punya cara sendiri"
Mereka duduk di pantai. Debur ombak berdebur di hati mereka. Perkelahian tempo hari itu tiba-tiba melintas di benak mereka. Joe mati di sini, Roy!
Dulah melirik Roy. Dia gelisah sekali. "Aku memang pantas kamu benci, Roy. Di pantai ini Joe, anjing herdermu, kami bunuh. Aku memang yang menyuruh kawan-kawan .untuk melakukan itu.
"Aku menyesal sekali, Roy. Maafkan aku."
Roy sebenarnya marah sekali ketika mendengar kalimat Dulah tadi. Semuanya bangkit lagi. Meluap lagi sampai ke ubun-ubunnya. Tapi Dulah kini meminta maaf, Roy! Tuhan saja maha pengampun. Masa kamu kebalikannya, Roy"
Roy melemparkan amarahnya ke laut, kuat-kuat, lewat batu kerikil. Dia lantas tersenyum, menepuk-nepuk bahu Dulah. "Bagiku, hidup bukan untuk saling membenci, Dul. Tapi saling menghargai. Mengasihi.
"Kita lelaki, sama-sama punya kekuatan dan keberanian. Itu tergantung kepada kita, apakah bisa memanfaatkannya dengan baik. Atau hanya untuk ugal-ugalan dan sok jagoan."
"Aku harus belajar banyak dari kamu, Roy."
Roy tertawa kecil, "Belajarlah dari alam, dari sekelilingmu, Kawan! Karena alam adalah guru kita yang paling baik dan bijaksana," dia merangkul bahu sobat barunya.
"Aku dengar, besok kamu mati pergi avonturir" " Roy mengangguk.
Api unggun mulai meredup. Baranya beterbangan, berpijar-pijar kena empasan angin. Orang-orang bergeletakan di rumput. Botol-botol juga berserakan. Puntung-puntung rokok pun masih menyisakan asapnya sedikit lagi. Motor-motor diam kelelahan.
Angin laut menyelimuti mimpi-mimpi mereka. Mimpi para berandal.
Di pantai, ada sesosok yang diselimuti kegelapan. Sosok itu mematung. Membiarkan kakinya dijilati ombak. Sorot matanya hampa jauh ke lepas pandang.
Dia kini harus membiarkan segalanya terjadi apa adanya. Joe, anjing herdernya, mati di laut Selat Sunda ini. Kalau Joe memang harus mati dibunuh Borsalino, biarlah Joe mati. Biarlah itu terjadi. Sudah guratan nasib.
Ujung celana jeansnya basah. Dia masih tetap mematung di situ. Dia seolah-olah bagai melihat Joe meronta-ronta di dalam gulungan ombak itu. Meronta-ronta memanggilnya.
Biarkan itu terjadi, Roy. Biarlah itu terjadi. Ya, biarlah para narapidana memandang udara kebebasan di balik terali besinya. Biarlah angin merontokkan dedaunan di musim gugur. Biarlah para pengemis menadahkan kaleng-kaleng butut mereka. Biarlah copet-copet tetap gentayangan di bis-bis kota. Dan biarlah air sungai tetap bermuara ke laut.
Ya, biarlah itu terjadi kalau memang harus begitu.
Biarlah.... BERSAMBUNG KE BALADA SI ROY 02
Edit & Convert Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Rahasia Pulau Biru 2 Naga Pembunuh Lanjutan Golok Maut Karya Batara Utusan Dari Akhirat 1
^