Pencarian

Cinta Sang Naga 1

Cinta Sang Naga Karya V. Lestari Bagian 1


Cinta Sang Naga V. Lestari Edit & Convert : inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Cerita ini merupakan khayalan belaka. Andaikata ada kemiripan nama, baik itu nama orang dan nama tempat, maupun peristiwa yang disebut di dalamnya, dengan keadaan sebenarnya, maka itu pasti merupakan kebetulan belaka.
-I- Restoran Sang Naga sedang penuh-penuhnya. Semua tempat terisi. Padahal tamu-tamu terus berdatangan. Mereka terpaksa berdiri saja di pintu melayangkan pandang ke meja-meja. Dan juga kepada mereka yang sedang duduk. Meja mana yang piring-piringnya hampir kosong atau sudah kosong" Dan tamu mana yang sudah mulai menyusut mulut atau mencungkil-cungkil gigi" Nah, tempat itulah yang perlu diincar agar dapat segera ditubruk begitu para tamu tadi bangkit berdiri. Tak jarang ada yang menggerutu, walau cuma dalam hati, kok tega-teganya orang-orang itu makan berlambat-lambat, bangkit pun berlama-lama, seakan tak peduli pada orang yang sudah lama menunggu dengan perut lapar dan kaki pegal.
Bagi sebagian orang pemandangan demikian mungkin terasa lucu dan juga aneh. Di kawasan itu Restoran SANG NAGA bukanlah satu-satunya restoran. Atau kalau mau mencari yang khusus, SANG NAGA juga bukan satu-satunya restoran Cina di tempat itu. Kenapa ada orang yang begitu setianya memilih makanan" Karena makanannya tersohor lezat" Atau tempatnya nyaman" Ataukah servisnya yang prima" Atau ketagihan"
Tapi buat sebagian orang lain, lebih-lebih yang mengaku berpengalaman keluar masuk restoran, pemandangan demikian dianggap sudah lazim. Merasa heran apalagi sampai menertawakan cuma menandakan bahwa orang bersangkutan pasti norak, atau jarang masuk restoran! Kelarisan sebuah restoran tidak hanya ditentukan oleh satu dua faktor yang nyata saja. Makanan lezat, atau servis prima, atau tempat yang nyaman, tidak cukup menjamin. Konon, masih ada faktor X yang tidak kelihatan tapi secara nyata ikut berperan. Sedang faktor X itu tidak cuma satu dua saja. Dan karena ada kata depan 'konon' itulah, maka masalahnya seperti tak bisa terpecahkan secara pasti. Apa sesungguhnya sebab kelarisan"
Pertanyaan semacam itu bukan saja timbul di benak orang-orang yang merasa geregetan karena kalah bersaing atau orang yang juga punya minat mengusahakan bidang yang sama, tapi juga di benak orang yang mencoba kepingin tahu dengan mencicipi segala rasa yang terhidang di situ. Di antara mereka yang tergolong kelompok paling belakang itu ternyata ada saja yang merasa belum menemukan kepuasan sesudahnya. Ah, semua rasa di situ kok biasa-biasa saja. Tak ada yang sungguh-sungguh istimewa, atau begitu istimewanya hingga dapat membuat orang ketagihan.
Mestinya, istilah 'ketagihan' itu tidak tepat dipakai dalam urusan mengenyangkan perut. Arti kata itu saja mengandung sesuatu yang buruk. Ketagihan itu menandakan ketergantungan atau keterikatan di mana orang sulit melepaskan diri, seperti halnya dalam pemakaian obat bius. Tapi ternyata susah juga mencari istilah lain yang lebih tepat lagi. Nyatanya ada orang yang selesai mencicipi rasa dan suasana SANG NAGA lantas berkomentar, "Wah, cuma biasa-biasa saja, kok!" Tapi toh kemudian dia datang dan datang lagi untuk makan di situ! Sayang tak ada yang mengorek keterangan darinya, apa sebab ia berbuat begitu.
Yang jelas, keadaan itu bukan merupakan masalah bagi sang pemilik restoran, Tuan Liong Hok Kie. Justru itu merupakan berkah baginya. Rezeki melimpah yang tak perlu diperdebatkan lagi. Itu memang haknya. Ia sudah memperolehnya secara halal. Kenapa orang mesti meributkan dan mengherankan" Tak ada yang perlu diherankan!
Sebenarnya, Tuan Liong punya perkiraan dan kesimpulan sendiri perihal kesuksesannya. Itu logis. Tapi semua itu disimpannya baik-baik. Bukan karena ia tak mau ditiru atau khawatir diserobot orang, tapi karena menganggap tak ada gunanya bicara macam-macam. Di samping itu sesungguhnya ia memang belum merasa pasti.
Namanya sendiri mengandung arti yang besar. Liong itu berarti naga, dan itulah nama yang diberikannya pada restorannya. Sedang Hok Kie berarti rezeki, dan rezeki itu pun jadi m
iliknya. Hanya itu saja yang kerap kali dikemukakannya manakala ada orang bertanya. Dan bila ditanggapi dengan keraguan. "Ah, masa iya karena nama saja" nyatanya nama saya juga menandakan kebesaran, tapi saya kok nggak mau besar-besar!" maka ia cuma tersenyum saja. Lalu menjawab dengan sikap merendah, "Ah, saya sendiri juga nggak ngerti kok. Tapi siapa tahu besok lusa rezeki ini bukan bagian saya lagi."
Tapi seperti halnya setiap keberuntungan, dia pun merasa ada saja yang kurang dalam keberhasilannya. Ia tidak punya anak lelaki. Padahal baginya anak lelaki itu berharga sekali. Dan tak kepalang penting. Lebih berharga dan lebih penting daripada uang, walaupun tanpa uang orang susah hidup. Pendeknya, ia mau menukar sebagian rezekinya yang melimpah itu dengan seorang anak lelaki. Ya, cukup seorang saja, mengingat ia sudah memiliki tiga orang anak perempuan.
*** Dari sudutnya yang nyaman dan terlindung di atas loteng, Tuan Liong menyapu pandangan ke ruang bawah. Ruang yang lega dan luas itu seperti tidak terasa lagi lega dan luasnya saking padat orang. Ia tersenyum puas. Setiap kepala orang di bawah itu membawa rezeki berlimpah untuknya. Mudah-mudahan Anda sekalian akan datang dan datang lagi. Mungkin besok lusa. Mungkin minggu depan. Atau bulan depan. Pendeknya, kapan saja.
Asal datang lagi. Ya, datanglah lagi. Itu selalu harapannya yang paling utama.
Kemudian pandang Tuan Liong menuju ke sudut dekat pintu. Lalu terpaku di sana. Lama ia memperhatikan. Di sana terletak meja kasir. Di belakangnya duduk tiga orang gadis. Ketiganya memiliki kemiripan wajah satu sama lain meskipun dandanan rambut berbeda-beda. Dan ketiganya cantik. Sama-sama berkulit kuning, berhidung mancung, bermulut mungil, dan bermata tidak terlalu sipit.
Tuan Liong tersenyum puas lagi. Pemandangan itu menghibur kekecewaannya. Biarpun ia tidak punya anak lelaki, tapi ketiga putrinya cantik-cantik. Semua orang bilang begitu. Ya, ketiganyalah yang duduk di belakang meja kasir itu. Mereka selalu di sana pada jam-jam di mana orang sibuk mengisi perut.
Banyak orang bilang, putri-putrinya itu mirip bintang film Hong Kong.. Pantasnya memang begitu karena ia sendiri tidak suka nonton film. Pendeknya, pujian itu menimbulkan kebanggaan selangit di hati Tuan Liong. Cuma yang kerap menjengkelkannya adalah gurau beberapa teman dekatnya. Ya, saking dekatnya mungkin mereka merasa boleh seenaknya saja bicara. Mereka bilang, ketiga putrinya itu tidak punya kemiripan dengannya. Bapaknya jelek, tapi anaknya kok bisa cantik. Tapi biar sajalah. Itu tidak jadi persoalan. Memang dia jelek. Dan istrinyalah yang cantik.
Jadi tak perlu diherankan kenapa para putrinya pun cantik. Mereka mewarisi kecantikan sang ibu. Itu suatu keberuntungan. Bayangkan kalau para putrinya mewarisi kejelekannya. Pasti ia takkan memiliki kebanggaan itu sekarang.
Tapi ingatan akan istrinya, nyonya Linda, membuat wajah Tuan Liong menjadi muram seketika. Senyum dan ekspresi kepuasan tak ada lagi di situ. Lebih-lebih ketika matanya segera menangkap orang yang tengah berada dalam pikirannya. nyonya Linda juga ada di ruang yang sama.
Di sudut yang lain, pada meja yang merapat ke tembok, Nyonya Linda sedang duduk menemani dua orang tamu. Kedua tamunya itu pria yang nampaknya tidak terlalu muda lagi. Mungkin berusia di atas empat puluh. Mereka bertiga terlibat dalam pembicaraan yang kelihatan mengasyikkan. Sesekali Nyonya Linda tertawa, memperlihatkan deretan giginya yang sempurna.
Tapi bukan pemandangan itu yang membuat Tuan Liong menjadi murung. Keadaan itu sudah biasa. Jadi sudah sering dilihatnya. Nyonya Linda sesekali suka menemani kenalan dan relasinya yang kebetulan dijumpainya sedang makan di situ. Itu toh termasuk juga servis. Dia sebagai nyonya rumah selayaknya berlaku ramah tamah. Dilayani makan oleh seorang nyonya yang cantik sudah tentu sangat menyenangkan. Mungkin juga hal itu merupakan salah satu faktor kelarisan. Jadi tidak patut Tuan Liong jengkel atau cemburu. Ah, cemburu"
Sebenarnya, kalaupun Tuan Liong merasa cemburu, toh dia sadar bahwa itu tidak sepatu
tnya. Sebagai lelaki dia merasa dirinya sudah kurang jantan. Bahkan mungkin juga tidak jantan lagi. Dengan kecemasan dan kengerian yang disimpannya sendiri, ia merasa dirinya lambat laun mulai dihantui impotensi. Padahal istrinya cantik dan menggairahkan. Padahal banyak lelaki merasa iri kepadanya. Sungguh menyedihkan, menggemaskan, membuat marah. Tapi susahnya ia tidak bisa menumpahkan semua itu, tanpa menelanjangi diri sendiri. Yang tahu cuma Linda. Sudah pasti Linda tahu. Kalaupun tidak merasa pasti, Linda tentunya tidak bodoh untuk menduga. Sudah cukup lama, entah berapa lama tepatnya, tak ada jalinan hubungan seks antara mereka berdua. Padahal di usianya yang keempat puluh lima, Linda masih kelihatan awet muda dan segar. Juga sedikit genit. Mustahil kalau ia tidak memiliki gairah lagi. Tapi nyatanya Linda tidak bertanya-tanya, apalagi menuntut.
Keadaan itu sepertinya memenuhi keinginan Tuan Liong sendiri. Jangan sampai dia ditanya. Jangan pula didesak atau dituntut. Dengan demikian rahasianya akan aman terjamin. Tapi ternyata keadaan itu juga tidak memuaskan. Ia heran. Ia tidak mengerti. Apa sebab Linda tidak menanyakan" Apakah Linda sendiri memang sudah kehilangan gairah, walaupun di luar dia tetap kelihatan genit" Ataukah toleransi dan pengertian Linda sangat mendalam" Untuk mengiyakan pertanyaan yang muncul sendiri itu rasanya sulit, karena Tuan Liong tidak percaya! Sebegitu Iamanya hidup berdampingan, lebih dari dua puluh tahun, ia tentu sudah kenal benar siapa dan bagaimana Linda. Sebagai istri dan sebagai perempuan.
Pada akhirnya semua keadaan itu saling bertautan Akibatnya adalah kesedihan dan kekecewaan yang sama. Dengan kelemahannya itu jelas ia tidak mungkin bisa punya anak lagi. Baik dari Linda, yang usianya sudah tak muda lagi, maupun dari seorang gundik misalnya. Jelas, harapannya akan anak laki-laki harus ia buang jauh-jauh.
Kembali Tuan Liong memandang ke ruang bawah, arah meja kasir dekat pintu. Lagi-lagi ia merasa terhibur. Anaknya memang perempuan semua. Tapi cantik-cantik. Menyenangkan dan mempesonakan untuk dipandangi. Sungguh pelipur lara. Mana kala ia sedang diserang kerinduan akan anak lelaki, lalu merasa sedih, jengkel, dan segala kemuraman lainnya, tak perlu ia mencari obat macam-macam. Cukuplah ia memandangi anak-anak gadisnya Mereka adalah penghiburnya.
Di belakang meja, ketiganya selalu duduk di tempat yang sama. Sesekali kalau salah satu berhalangan, mereka cukup berdua. Dan kalau dua yang berhalangan, yang tertinggal akan ditemani ibunya atau salah satu karyawan. Tapi selalu diusahakan agar tetap ada yang hadir di situ, walaupun cuma seorang. Bagaimanapun, Tuan Liong menyadari bahwa para putrinya itu termasuk daya tarik. Tak sedikit yang bilang begitu. Mereka secara positif memastikan, bahwa gadis-gadis itulah daya pikat restorannya. Bukan makanannya, bukan servisnya, bukan kenyamanan ruangnya atau ini itunya yang lain, melainkan gadis-gadis itu. Ya, mereka adalah tiga dara SANG NAGA!
Dari tempatnya duduk, Tuan Liong jelas dapat melihat bagaimana mata para tamu lelaki sering sekali dilayangkan pada gadis-gadisnya. Sambil makan mereka memandang dan memandang. Barangkali apa pun yang dimakan akan terasa lezat bila yang dipandang sungguh memikat hati. Dan kalau betul begitu, barangkali indria penglihatan lebih dominan daripada indria pencicip. Ah, bagaimana kalau misalnya ada batu besar di dalam nasi, atau benda asing lainnya"
Terhadap kesimpulan itu Tuan Liong sendiri kurang merasa yakin. Bila benar demikian, tentulah restorannya ini melulu dipenuhi orang-orang lelaki. Nyatanya tidak. Para tamunya bermacam ragam. Ada gadis-gadis, ibu-ibu, nenek-nenek, dan juga anak-anak kecil. Ia menilai hal itu sebagai kewajaran semata. Kalaupun mata para tamu lelaki sebentar-sebentar tertuju ke sudut yang sama, maka itu wajar saja. Mana sih ada lelaki yang tidak terbetot matanya bila melihat wanita cantik, kecuali dia kurang normal"
Tuan Lions sendiri tidak menghendaki kesim-pulan itu jadi kepastian. Menggantungkan kelarisan usahanya melulu pada anak-anak gadisnya bisa buruk akibatn
ya. Pada suatu ketika putri-putrinya itu tentu akan menikah dan pergi mengikuti suami mereka. Mustahil mereka mau dipajang terus di situ"
Lili, si sulung, selalu duduk paling dekat ke pintu. Ia memiliki penampilan paling feminin dibanding kedua adiknya. Rambutnya panjang dengan potongan seperti Farah Fawcett dalam serial TV Charlie's Angels. Ia pun selalu mengenakan gaun yang modelnya serba feminin dengan perpaduan warna yang harmonis.
Yeni, si tengah, juga duduk di tengah-tengah di antara kedua saudaranya. Rambutnya dikeriting model kribo. Dandanannya sering berganti-ganti. Sesekali ia tampil feminin dengan model gaun mirip kakaknya. Lain kali ia tampil dengan tambahan sentuhan maskulin walaupun penampilan femininnya lebih dominan. Misalnya bila ia mengenakan celana panjang ketat dengan blus berbunga-bunga indah serta berenda-renda.
Irma, si bungsu, selalu berpenampilan maskulin. Rambutnya dipotong pendek dan selalu mengenakan celana panjang, lebih sering blue jeans. Blusnya kalau tidak T-shirt tentu dari bahan katun bermotif kotak-kotak atau polos saja. Tak pernah atau jarang sekali ada motif bunga-bunga melekat padanya. Tapi justru penampilan seperti itu kelihatan pas sekali padanya. Dia pantas begitu. Sepertinya cocok dengan pribadinya dan juga gerak-geriknya yang tangkas serba cepat sekalinya dia melangkahkan kaki.
Dengan kekhasan masing-masing itu, mereka bertiga jadi kelihatan sempurna bila berpadu. Tidak pernah membosankan untuk dipandangi dan dibanding-bandingkan. Selalu menyegarkan. Mereka seperti bunga-bunga yang berbeda jenis dan warna, tapi sama cantiknya.
Satu hal yang kerap disayangkan para tamu adalah ketiga dara itu lebih banyak dalam posisi duduk. Yang nampak cuma tubuh bagian atas. Wajah mereka jarang berekspresi macam-macam. Hanya senyum dan ucapan terima kasih saja yang diperoleh para tamu saat akan pulang. Tak mengherankan bila ada salah satu dari ketiga gadis bangkit berdiri, lebih-lebih bila dia berjalan, maka mata para tamu akan tertarik padanya, lalu melotot dan memperhatikan, melahap pemandangan yang sangat jarang itu. Sepertinya setiap gerak ketiga dara itu mengandung magnit bagi mata tamu. Itulah yang selalu terjadi tak peduli tamu sedang menikmati hidangannya di saat perut mereka tengah lapar. Karena itu sering kali nampak pemandangan menggelikan. Ada tamu yang membiarkan mi yang tengah dilahapnya bergelantungan dari mulutnya untuk beberapa saat lamanya, sementara biji matanya bergulir mengikuti sasaran. Jelas baginya momen itu terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja. Makanan masih bisa dimakan di saat berikut, tapi pemandangan itu tidak bisa terulang. Tamu lain sempat tersedak ketika makanan yang belum halus terkunyah tertelan begitu saja. Mungkin dia kaget ketika sang dara tiba-tiba berdiri hingga ia terpukau dan karenanya melupakan isi mulutnya.
Tapi karena seisi ruang makan sedang sama-sama terpesona mereka tidak punya kesempatan untuk merasa geli. Bahkan mungkin juga tidak " menyadari bahwa beberapa peristiwa menggelikan telah terjadi. Hanya orang yang berada di luar, yang tidak ikut terpukau dan terpesona, bisa menangkap peristiwa itu. Salah satunya adalah Tuan Liong.
Toh dia tidak lagi tertawa bila melihat hal serupa terjadi. Mungkin karena sudah terlalu sering melihat. Yang timbul hanyalah kesan puas namun tak menentu. Ia puas karena para putrinya masih merupakan daya tarik besar bagi tamu-tamunya. Tapi ia juga merasa tak pasti. Sampai berapa lama hal semacam itu bisa berlangsung"
Dua gadisnya yang tertua sudah mempunyai pacar. Hanya Irma, si bungsu, yang menurut pengetahuan Tuan Liong, belum tertarik kepada siapa pun. Usia Irma masih muda, sembilan belas. Tapi seorang gadis justru sedang mekar-mekarnya di usia itu. Dia memang tak kekurangan pemuja. Hanya saja minatnya yang belum ada. Tuan Liong merasa pasti akan hal itu karena melihat sikap Irma yang dingin-dingin saja kepada para pemuda.
Kadang-kadang hal itu membuat ia merasa waswas. Jangan-jangan Irma kurang normal. Lebih-lebih bila Tuan Liong menghubungkan hal itu dengan tingkah dan penampilan Ir
ma yang kejantan-jantanan.
Tapi bila dibandingkan dengan kedua putrinya yang tertua, hubungannya dengan Irma adalah yang paling akrab. Irma lebih spontan dan terbuka kepadanya. Irma suka bertanya, suka bercerita. Dalam diri Irma, Tuan Liong seperti menemukan seorang teman dalam kesepian.
Dan tempatnya yang tenang di atas loteng, Tuan Liong mengalihkan pandang kepada Nyonya Linda, istrinya. Cuma sebentar saja. Lalu ia buru-buru mengalihkan pandangnya lagi. Tidak. Lebih baik jangan memandang ke sana. Nanti hati dan perasaannya akan terbakar. Tapi bagaimanapun dia sudah melihat. Kesan sudah timbul. Dan ia tak bisa menghapusnya. Istrinya masih menemani kedua tamu yang tadi juga. Alangkah lamanya mereka makan. Tapi bukan soal itu yang mengganggu. Wajah Linda begitu ceria, bersinar dengan kegembiraan. Senyum dan tawa tak pernah lenyap dari wajahnya. Dia nampak cantik dan segar, tak akan kalah bila dibandingkan dengan ketiga putrinya yang masih belia. Tapi yang menyedihkan bagi Tuan Liong, penampilan seperti itu tak dilihatnya bila Linda berada di sampingnya!
Ia menatap para pelayan, yang merupakan orang-orang yang paling banyak bergerak di ruang bawah itu. Dengan seragam putih hitam mereka kelihatan rapi. Tidak terlalu menyolek untuk dibedakan dengan para tamu bila dilihat sepintas lalu. Tapi dasi kupu-kupu yang melekat di leher cukup jadi ciri. Dan itu pun manusiawi, begitu menurut Irma. Ya, seragam seperti itu memang berdasarkan saran Irma. Tuan Liong sendiri tidak mementingkan hal yang satu itu. Buat dia seragam pelayan tidak penting. Tidak perlu bagus-bagus. Dan tidak ada hubungannya dengan soal manusiawi segala. Yang penting hanyalah agar para pelayan itu bisa segera dibedakan dari orang-orang lainnya. Terlalu rapi, apalagi kalau terlalu bagus, bisa membuat orang keliru. Pelayan bisa disangka tamu. Dan lebih celaka lagi bila tamu disangka pelayan. Karena itu, dulu para pelayan diberinya seragam kuning-kuning, karena warna kuning bukan saja mencolok mata tapi juga mudah kelihatan di dalam gelap. Dulu tidak ada yang meributkan, karena Irma masih kecil ketika itu. Tapi setelah Irma tambah dewasa dan tambah banyak buah pikirannya, Tuan Liong juga tidak menolak saran-saran Irma. Walaupun tidak sependapat toh dia senang, karena itu berarti Irma mau ikut ambil bagian secara aktif dalam usahanya. Apalagi Irma dapat mengajukan alasan-alasan kuat bagi setiap saran yang diajukannya. Irma tidak seperti kedua kakaknya yang lebih suka membantu secara pasif. Ternyata dalam diri Irma, Tuan Liong juga melihat kehadiran seorang anak laki-laki!
Kemudian terlihat olehnya seorang pria yang juga berseragam pelayan berjalan memintasi ruangan, lalu mengajak bicara seorang rekannya. Sesudah itu ia memandang berkeliling ruangan dengan wajah ramah sambil berjalan lambat-lambat. Tak berapa lama dia lenyap dari pandangan mata Tuan Liong". Dia adalah Henson Purba, pemimpin dan koordinator para pelayan. Tapi dalam kenyataannya tugasnya bukan hanya itu. Henson juga bisa merangkap tugas macam-macam. Dia bisa jadi pengawas keamanan, pengawas kebersihan, dan pengawas berbagai hal lainnya. Tapi dia juga bisa disuruh membantu dalam persoalan pajak!
Lama-kelamaan Henson jadi seperti tangan kanan Tuan Liong. Tenaganya dibutuhkan. Tapi hal itu pun kadang-kadang mengganggu perasaan Tuan Liong juga. Perasaan pribadinya sendiri menyukai anak muda Batak itu, tapi toh ada yang kurang enak mengganjal. Dia lebih suka andaikata Henson itu seorang pemuda keturunan Cina juga. Rasanya akan lebih srek. Lebih leluasa. Lebih merasakan kesamaan. Mungkin juga ia termakan omongan kawan-kawannya. Mereka bilang, ia tidak percaya sama orang sendiri tapi lebih percaya pada orang lain. Bukan cuma kawan-kawannya yang bilang begitu, tapi sanak-saudaranya juga.
Lantas Irma tampil untuk meneguhkan pendiriannya yang goyah. "Biar saja orang mau ngomong apa juga, Pa! Yang penting kan orangnya baik. Paling-paling mereka ribut karena iri!" katanya berulang kali.
Mungkin karena sadar akan hal itu juga maka Henson tidak mau meninggalkan ciri pelayannya. Ia tetap memakai da
si kupu-kupunya walaupun Tuan Liong sendiri menganjurkan agar ia menanggalkannya saja. Barulah kalau ia harus dinas keluar dasi itu dilepaskannya. Henson tetap mengenakannya meskipun statusnya jelas lebih tinggi dari hanya seorang pelayan. Baginya seolah bukan persoalan kalaupun ia dianggap tamu sebagai pelayan. Andaikata hal itu sampai terjadi maka ia pun akan bersikap sebagai pelayan tanpa berat hati. Itu adalah sikap yang rendah hati, begitu penilaian Irma kepada ayahnya.
Tapi lain lagi pendapat Nyonya Linda yang sebenarnya berambisi menempatkan seorang keponakannya di tempat Henson. Menurut Nyonya Linda, Henson terpaksa bersikap begitu karena tak punya pilihan lain, yaitu ia takut kalau-kalau pekerjaan itu lepas dari tangannya!
Sebenarnya, keponakan Nyonya Linda itu pernah dicoba bekerja di situ. Tapi ternyata ia tidak bisa menandingi cara kerja dan hasil kerja Henson. Jangan kata melebihi, mencoba untuk menyamai saja ia tidak bisa. Untuk memulai dari bawah, yaitu jadi pelayan dulu seperti yang telah dilakukan Henson pada mulanya, ia tidak mau. Inginnya langsung jadi pimpinan. Tentu saja Tuan Liong tidak mungkin mengabulkan keinginan seperti itu, walaupun istrinya sendiri yang jadi backing.
Tak mengherankan kalau Nyonya Linda tidak begitu menyukai Henson. Ia punya antipati pribadi, walaupun dalam hati harus mengakui ketrampilan Henson. Pada akhirnya ia tidak lagi berusaha mendongkel Henson dari kedudukannya meskipun tetap bersikap dingin dan sesekali kasar. Tapi Henson seolah tak bisa merasa tersinggung. Entah dia memang sudah kebal atau berkulit badak. Lama-lama Nyonya Linda jadi bosan sendiri, lalu berganti sikap masa bodoh. Toh kadang-kadang ia masih saja merasa heran. Apakah memang ada sebab lain kenapa Henson begitu ngotot"
-II- Dari tempatnya di sudut, Henson bisa memandang ke sekitar ruangan dengan leluasa. Matanya yang tajam dan kritis berusaha menemukan kekurangan-kekurangan. Tapi ia berusaha agar tidak memandang ke arah di mana nyonya Linda duduk. Tidak akan menyenangkan kalau ia sampai berbenturan pandang dengan Nyonya Linda. Pasti ia akan dianggap kurang ajar. Jadi lebih baik tahu diri saja.
Tapi ia tahu betul siapa kedua tamu Nyonya Linda yang semeja itu. Yang satu adalah Tanujaya dan lainnya adalah Peter Lim. Keduanya bukan orang sembarangan bila ditilik dari isi kantungnya. Mereka adalah cukong-cukong yang cukup punya nama di bidang perdagangan. Sudah sejak beberapa bulan terakhir ini keduanya menjadi langganan tetap di Restoran SANG NAGA. Dan sering kali juga ditemani Nyonya Linda bila nyonya ini sedang senggang. Mengingat kedua tamu itu bukan orang sembarangan mestinya hal itu wajar saja. Mendapat tamu istimewa sebagai langganan adalah suatu keistimewaan. Bukan saja reputasi jadi menaik tapi tamu semacam itu pun dapat menarik tamu-tamu lainnya.
Walaupun kedua pria itu boleh dikata sebaya, tapi penampilan mereka berbeda satu sama lain. Tanujaya bertubuh gemuk pendek, berkulit kuning dan berwajah bundar seperti bulan purnama. Matanya yang sipit akan hilang bila pipinya bergerak naik. Sedang Peter Lim bertubuh tinggi agak kurus, berkulit lebih cerah, dan berwajah mirip Indo. Itu disebabkan karena ia memiliki nenek orang Jerman. Perangainya agak pongah sementara Tanujaya jauh lebih ramah dan uangnya gampang keluar. Itu terlihat kalau ia memberikan tip pada para pelayan.
Dari pekerjaannya yang lebih banyak mengamat-amati sekitarnya, Henson jadi kenal baik para langganan berikut perangai mereka. Tak jarang ia pun berhasil menangkap pembicaraan para tamu, dari gosip sampai pembicaraan serius. Lagak Henson yang diam dengan wajah tanpa ekspresi membuat kehadirannya kerap terlupakan. Dan kerenanya dia jadi memberikan keleluasaan berbicara pada mereka. Ataukah karena orang menganggapnya cuma sebagai pelayan yang bukan apa-apa"
Terdengar suara berdenting tak jauh dari tempat Henson berdiri. Ada tamu menjatuhkan sendok ke lantai. Dengan sigap Henson melompat ke sana, lalu berjongkok memungutnya. Tapi dalam saat yang singkat, ketika posisi tubuhnya membungkuk itu, pandangnya semp
at tertarik ke satu arah tertentu. Entah kenapa sampai ke sana ia juga tidak tahu. Ia memandang ke bawah taplak meja, terus melampaui beberapa meja lainnya, sampai ke satu meja tertentu. Di kolong meja itu ada pemandangan yang berbeda daripada biasanya. Di sana ada tiga pasang kaki. Dua pasang tertutup celana panjang, sedang yang sepasang nampak mulus putih karena pemiliknya bergaun. Tapi salah sebuah kaki yang mulus putih itu tidak menapak ke lantai, melainkan ditumpangkan ke atas paha yang bertutup celana panjang di sebelahnya. Di atas kaki mulus putih itu nampak sebuah tangan bergerak-gerak. Pasti tangan itu milik orang yang pahanya ketumpangan si kaki mulus putih.
Bagi Henson, pemandangan itu tentu saja bukan persoalan serius. Banyak tamu yang suka bertingkah mesra sambil makan. Tapi pada saat ia menegakkan tubuh kembali dan tetap menujukan pandangnya ke arah yang sama segera diketahuinya siapa saja pemilik kaki-kaki tadi. Kaki mulus putih dimiliki Nyonya Linda, sedang paha yang ketumpangan adalah milik Peter Lim!
Henson kaget. Sedikit pun persangkaannya tak ke sana. Tapi dengan cepat wajahnya menjadi biasa lagi, seolah tak melihat apa-apa. Tapi ia sempat melayangkan pandang ke sudut dekat pintu, di mana ketiga dara duduk. Irma sedang menatapnya. Segera Henson mengangguk kecil, hampir tak terlihat. Tapi Irma pun cepat memalingkan pandangnya lagi. Sikap Irma seolah acuh tak acuh.
Namun Henson merasa, Irma sudah cukup lama memperhatikan gerak-geriknya.
Setelah memberikan instruksi kepada salah seorang anak buahnya untuk mengganti sendok tamu yang jatuh tadi, Henson beranjak ke belakang.
Sementara itu, di ruang makan perhatian para tamu sedang tergugah ke satu arah. Irma bangkit berdiri. Tubuhnya yang tinggi semampai nampak menjulang. Celana jeansnya yang biru berpadu dengan blus merah jambu berkotak-kotak. Gagah dan sportif, tapi toh tetap feminin. Para tamu terpukau lalu memandang tanpa risi dan segan. Sepertinya dengan makan di situ maka mereka pun berhak memandang sepuas hati.
"Aku mau ke belakang dulu," kata Irma kepada kedua kakaknya.
Keduanya cuma mengangguk acuh tak acuh. Mereka pun tidak mempedulikan sikap para tamu. Mungkin juga sudah terlalu biasa diperhatikan dan dipandangi sehingga tidak merasa apa-apa lagi.
Irma berjalan dengan cepat ke belakang. Gerakannya gesit. Langkahnya panjang-panjang sesuai ukuran kakinya. Dengan mengenakan celana panjang dia memang jadi kelihatan lebih tinggi, lebih semampai. Banyak tamu pria yang menahan napas mereka sewaktu memandangi Irma. Ada yang sudah selesai makan tapi tak mau pergi dulu, karena menunggu saat Irma kembali ke mejanya. Mudah-mudahan saja tidak lama.
*** Henson berada di gudang. Ia sudah mempunyai rencana untuk mengadakan inyentarisasi sekaligus pembersihan gudang. Tidak hanya barang-barang baru dan bekas yang tersimpan di situ, tapi juga barang rongsokan. Suatu kejorokan yang bisa menyusahkan nanti. Rencananya itu sudah disetujui Tuan Liong. Tapi pengerjaannya sudah tentu tidak bisa dilaksanakan pada jam-jam sibuk seperti saat itu. Sekarang ia cuma memanfaatkan waktu luangnya untuk sekadar melihat dan mengatur rencana pelaksanaannya nanti. Pintu terbuka. Irma melangkah masuk. Henson membalikkan tubuhnya dengan cepat dan wajahnya segera menjadi cerah. Ekspresinya melembut dan matanya berbinar. Ia tersenyum.
"Sudah kuduga, kau ada di sini," kata Irma, tersenyum juga.
"Oh, kau mencariku"" tanya Henson sambil mendekat. Suaranya perlahan. Ia tak ingin kedengaran orang lain.
"Ya," sahut Irma, perlahan juga. "Ada yang mau kutanyakan."
Henson berdiri sangat dekat. Keduanya dapat merasakan hembusan napas masing-masing. Mereka berpandangan sejenak. Tatapan keduanya seolah saling mengait tak mau lepas. Ada daya tarik yang membangkitkan pesona.
Akhirnya Irma menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Ia menunjuk pintu. Henson mengangguk, mengerti maksud Irma. Ia bergegas ke pintu, membukanya sedikit lalu menutupnya kembali. Kemudian cepat-cepat ia mendekati Irma lagi dan tanpa mengatakan apa-apa ia memeluk Irma yang membalasnya
dengan pegangan kuat. Keduanya sama melepaskan napas panjang seakan momen seperti itu telah memberi mereka kelegaan yang amat sangat. Tapi setelah ciuman singkat keduanya cepat melepaskan pelukan.
"Ada apa"" bisik Henson.
Irma melirik ke pintu. Buru-buru Henson kembali mengintip seperti tadi. Ia menggelengkan kepalanya tanda aman.
"Kau kenapa tadi" Kulihat wajahmu agak aneh sewaktu membungkuk-bungkuk tadi. Apa yang kaulihat di kolong"" tanya Irma tak sabar.
"Ah, matamu tajam. Tapi... kupikir soal itu tidak perlu kuberitahukan padamu," kata Henson ragu-ragu. Pertanyaan Irma itu terlalu mendadak dan di luar persangkaannya. Ia belum siap mencari jawaban. Lebih dari itu, ia juga tidak tahu apakah cukup bijaksana bila ia berterus terang. Tapi keraguannya malah membuat Irma semakin penasaran.
"Ayo dong ceritakan. Aku tahu, pasti ada sesuatu. Semakin kausembunyikan, semakin penting. Ayo, jangan sok, ya," Irma merajuk.
Terpaksa Henson menceritakan apa saja yang dilihatnya di kolong meja barusan. "Tapi, sebaiknya kau tidak usah resah. Itu urusan ibumu, eh, Nyonya Linda, sepenuhnya," hiburnya di akhir cerita.
Tapi wajah Irma yang mungil nampak serius.
"Oh, jadi Oom Peter itu punya hubungan dengan Mama," gumamnya.
"Jangan beritahu ayahmu, Ir." "Untuk sementara ini tidak. Ah, nantilah kita bicarakan lagi. Aku sudah terlalu lama pergi."
Henson memberi ciuman kilat di pipi Irma sebelum gadis itu beranjak ke pintu.
Tapi baru saja Irma merapatkan pintu, ia melihat ibunya mendatangi. Irma terkejut, dan wajahnya segera membersitkan warna merah. Nyonya Linda menatap tajam padanya dengan kening berkerut. "Ngapain kau di situ"" ia bertanya.
"Oh, saya... sedang melihat-lihat barang, Ma," jawab Irma gugup.
"Barang apa"" Nyonya Linda belum puas.
"Ah, iseng saja, Ma," jawab Irma sambil melangkah terburu-buru.
Walaupun Nyonya Linda tidak bertanya lagi, tapi untuk beberapa saat lamanya ia tetap berdiri di tempatnya dengan wajah berkerut. Setelah Irma tak kelihatan lagi, ia bergegas menuju gudang. Lalu dengan sentakan mendadak ia membukanya. Di dalam ia melihat Henson yang kaget dan salah tingkah.
"Tadi Non Irma ke sini""
"Ya, Nya," jawab Henson tanpa ragu-ragu. Ia cukup cerdik untuk memperkirakan bahwa Nyonya Linda pasti sudah tahu.
"Mau apa dia ke sini""
"Non menanyakan rencana saya untuk membereskan gudang ini, Nya," sahut Henson dengan hormat.
"Emangnya Tuan sudah tahu tentang rencanamu itu""
"Sudah, Nya. Tuan sudah setuju."
"Hem. Heran, gudang sudah beres begini kok mau dibereskan lagi."
"Barang-barang rongsokan itu sebaiknya dibuang atau disingkirkan saja, Nya. Kotor. Banyak kecoa jadinya. Saya khawatir kalau-kalau ada pemeriksaan nanti."
"Wah, jauh betul pemikiranmu. Paling-paling yang diperiksa cuma dapur dan ruang makan. Mana mungkin mereka mau masuk ke gudang segala. Mereka juga nggak tahu bahwa ini gudang."
"Tapi siapa tahu mereka menanyakan, nya. Kalau semua bersih, kan nama baik restoran kita jadi meningkat."
"Apa katamu" Restoran kita" Emangnya, ini restoran kamu juga"" sindir Nyonya Linda dengan tajam.
Wajah Henson memerah. Tapi ia diam dan memandang ke bawah. Diakuinya ia sudah salah bicara. Mungkin ia terlalu semangat berbicara. Atau terlalu berlega hati, karena pertanyaan Nyonya Linda perihal Irma sudah beralih. Biarlah ia disindir dan dikasari asal jangan dicurigai dalam hal yang satu itu. Toh ia sudah cukup kenyang menerima perlakuan seperti itu. Ia sadar betapa antipatinya Nyonya Linda kepadanya. Tentu saja ia sendiri bukan tak jengkel, balikan kadang-kadang bencinya tak kepalang, tapi pikiran tentang Irma selalu bisa menenangkan. Biar saja.
"Kuingatkan kau. Son. Jangan jadi besar kepala mentang-mentang dipercaya Tuan."
"Tidak. Nya." Henson tetap memandang ke bawah, berdiri tegak dengan kedua tangan di belakang punggung. Sikapnya seperti orang yang siap menerima hukuman tanpa protes. Ya, hukuman apa saja. Kalau diperhatikan sesungguhnya sikap itu menggelikan. Sikap yang terlalu rendah hati itu bisa juga diartikan sebagai cemoohan. Tapi nyo
nya Linda tidak menyadari hal itu.
Untung Henson tidak menatap ke wajah Nyonya Linda, karena ekspresi Nyonya ini penuh kebencian. Dan juga penuh selidik. Ingin sekali nyonya Linda menemukan kesalahan Henson, agar dapat segera mendepaknya pergi. Coba kalau laki-laki ini berani melawan, atau kurang ajar misalnya, dia dapat mengadukannya kepada sang suami. Kalau perlu bisa ditambahi bumbu supaya lebih seru. Tapi laki-laki ini ternyata begitu lembek.
"Dan ingat, Son. Jangan suka dekat-dekat pada Non Irma!"
Barulah Henson kaget. Tapi ia berusaha keras agar tidak mengangkat mukanya untuk menatap Nyonya Linda, padahal ia ingin sekali berbuat begitu. Ia ingin tahu apa alasan Nyonya Linda di balik peringatannya. Mungkin di mata atau wajahnya bisa terbaca. Tapi Henson tidak berani, ia takut nanti menemukan kesimpulan yang lebih mengejutkan lagi.
Nyonya Linda berlalu, meninggalkan beban di hati Henson.
Ketika Henson kembali ke ruang makan, ia melihat Irma sudah disibukkan kembali oleh tugasnya di sisi kedua kakaknya. Dan Nyonya Linda sudah duduk kembali menemani tamu yang lain. Kali ini sepasang suami istri. Sedang Tanujaya dan Peter sudah tak kelihatan lagi.
Suasana masih tetap ramai, tapi tak seramai saat-saat sebelumnya. Ada beberapa meja yang kosong meskipun tamu masih saja berdatangan. Silih berganti mereka datang dan pergi.
Tiba-tiba terdengar jeritan keras seorang wanita. Jeritan itu melengking nyaring, sangat mengagetkan. Semua orang tertegun, terpaku, lalu sama menoleh ke arah sumber suara.
Di salah satu meja, seorang wanita masih saja menjerit histeris walaupun suaranya tak lagi sekeras permulaan. Dia meraung dengan mata membelalak ngeri menatap piringnya. Sesudah itu, ia memalingkan mukanya dari meja, menunduk lalu muntah-muntah dengan mengeluarkan suara keras seakan berusaha untuk mengeluarkan segenap isi lambungnya!
Henson berlari ke sana. Irma menyusul. Mereka berdua paling dulu tiba dibanding yang lain. Bila Irma segera menolong sang wanita yang muntah-muntah, Henson buru-buru menyambar piring yang terletak di depan wanita itu. Matanya yang tajam cepat menangkap sumber keributan yang terletak di atas piring tersebut. Seekor kecoa! Makhluk menjijikkan itu sudah mati. tersiram kuah dan berbaur dengan sayur capcay! Sepintas lalu dia tidak nampak nyata karena masakan itu terdiri dan berbagai macam sayuran dan daging. Tapi sudah jelas tidak ada satu restoran pun yang sengaja menyertakan kecoa ke dalam masakan capcay-nya! Bila bekicot sudah naik derajat jadi makanan tergolong elit, tidak demikian halnya dengan kecoa.
Tanpa tanya-tanya lagi, Henson segera menyerahkan piring tersebut kepada salah seorang anak buahnya dan menyuruhnya agar membawa-nya pergi. Ia sadar piring itu harus disembunyikan dari mata para tamu lain. Sesudah itu dengan sigap ia mendekati pasangan si wanita yang malang tadi, mungkin juga suaminya. Momennya tepat, karena pada saat itu sang suami sudah merah padam wajahnya, siap meledakkan amarahnya tanpa peduli pada situasi dan kondisi. Sementara itu, Irma dengan didampingi Lili mengajak serta membimbing wanita tadi ke ruang dalam.
"Mari, Tuan, kita selesaikan masalahnya di dalam"" Henson berkata pelan dengan ramah dan wajah penuh sesal. Di belakangnya berdiri Nyonya Linda dengan sikap bingung. Ia pun sudah tahu karena sempat melihat isi piring yang terburu-buru dibawa ke belakang tadi. Hal itu membuat ia takut, karena sadar betul apa akibatnya kalau semua tamu sampai tahu. Sedang situasi semacam itu belum pernah ia alami.
"Mari, Tuan" Kami menyesal sekali," Henson mengulangi ajakannya dengan suara yang diperkirakannya hanya bisa didengar oleh pria di depannya. Dan tentu saja juga oleh Nyonya Linda yang berdiri di dekatnya.
Kemarahan pria itu pun mereda. Apalagi istrinya pun sudah berjalan ke ruang dalam dengan dibimbing oleh Irma dan Lili.
Ketabahan Henson menumbuhkan keberanian Nyonya Linda. Ia ikut membujuk tamu pria itu. Akhirnya, si tamu berdiri dan melangkah menyusul istrinya. Di belakangnya, Henson dan Nyonya Linda bergegas mengiringi.
Sementara itu, lant ai yang kotor sudah bersih kembali. Para tamu meneruskan makan mereka yang barusan terganggu. Kemungkinan besar tak ada yang melihat kehadiran kecoa di piring tadi. Memang sebagian tamu memalingkan muka saat wanita tadi muntah-muntah. Pemandangan seperti itu di saat sedang makan tentu tidak menyenangkan. Tapi hal itu juga membawa keuntungan karena mereka tidak sempat melihat sang kecoa.
Penyelesaian antara tamu suami istri dengan pihak restoran SANG NAGA sudah tercapai. Tuan Liong di pihak restoran menawarkan ganti rugi disertai pernyataan maaf sebesar-besarnya, tapi dengan permintaan agar peristiwa itu tidak dipublikasikan melainkan dianggap selesai seakan tak pernah terjadi. Jadi jangan hendaknya diceritakan kepada orang lain. Tapi tentu saja Tuan Liong juga menyatakan bahwa kejadian itu sama sekali di luar kehendak siapa pun. Tidak ada kesengajaan. Dan tentu saja juga bukan karena kejorokan sang koki, yang mati-matian bersumpah tidak tahu menahu tentang asal-usul kecoa dalam masakannya. Pada mulanya si tamu marah-marah dan terus mengomel panjang-pendek, bahkan disertai dengan sumpah serapah bahwa mereka tidak akan mau lagi makan di situ sampai mati. Tapi sikap rendah hati yang dihadapinya rupanya membuat emosinya surut. Tawaran ganti rugi diterimanya. Semula ia menuntut jumlah yang keterlaluan besarnya, hingga Nyonya Linda melotot dibuatnya. Tapi setelah berlangsung tawar menawar, maka kesepakatan tercapai. Tuan Liong tidak merasa terlalu rugi mengingat keributan itu tidak sampai geger, sedang si tamu serasa mendapat durian runtuh. Toh kecoa itu tidak sampai termakan. Ia juga senang ketika Henson menawarkan masakan istimewa yang bisa dipilihnya sendiri untuk diantarkan ke rumahnya nanti. Tawaran itu spontan diterimanya dan dengan bernafsu sekali ia memilih menu. Masakan paling istimewa dan tentunya paling mahal. Mereka bisa makan di rumah dengan enak. Sudah gratis, dapat pula imbalan.
"Asal jangan ada kecoanya lagi," kata si tamu, pura-pura masih jengkel.
Tuan Liong sama sekali tidak merasa keberatan dengan tawaran yang diajukan Henson itu. Tapi Nyonya Linda tidak demikian. Setelah kedua tamu itu pergi, ia marah-marah.
"Kau terlalu lancang," omelnya kepada Henson. "Seenaknya saja menawarkan masakan, tanpa tanya-tanya dulu. Sok pintar kamu. Dia kan sudah dapat duit!"
"Saya ingin memperoleh alamatnya, Nya. Kalau tidak pakai cara itu, mustahil ia mau memberikan alamatnya."
"Emangnya untuk apa alamatnya itu"" tanya Nyonya Linda tak mengerti.
"Siapa tahu kita perlu menyelidikinya nanti, Nya," jawab Henson sabar. "Saya pikir, orang itu pantas juga dicurigai. Siapa tahu dia sendiri yang menaruh kecoa itu di piringnya""
"Oh!" seru Nyonya Linda terkejut. Kemungkinan seperti itu sama sekali tak terpikir olehnya.
Tuan Liong ikut terbelalak. "Betul kau, Son. Siapa tahu dia sengaja mau memeras kita. Rasanya orang itu baru pernah kulihat. Yang pasti dia bukan langganan."
"Memang benar, Tuan. Kalau langganan sudah pasti kita kenal," Henson memastikan.
"Lantas bagaimana"" tanya Tuan Liong.
"Biarlah masakan pesanannya itu saya yang antar, Tuan."
"Kau selidiki sekalian."
"Baik, Tuan." Ketika Henson kembali ke ruang depan, Tuan Liong memujinya. "Dia pintar, bukan" Coba kalau nggak ada dia, repot juga kita, Ma."
Tapi Nyonya Linda mencibir. "Jangan terlalu sering memujinya. Nanti dia jadi besar kepala, Pa. Lama-kelamaan dia akan menganggap restoran ini miliknya.
"Ah, masa." "Itulah, kau terlalu percaya orang lain," kata Nyonya Linda jengkel.
"Tapi, dia pantas dipercaya, bukan" Buktinya sudah banyak."
"Orang suka selingkuh kalau terlalu dipercaya. Buktinya juga sudah banyak."
Tuan Liong menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tahu, istrinya tidak menyukai Henson. Tapi ia toh kecewa karena Linda tak sependapat dengannya. Itulah yang hampir selalu terjadi. Mereka acap kali tak sependapat. Linda tak pernah atau jarang tertawa ceria bila berada di dekatnya. Mau tak mau Tuan Liong jadi teringat pemandangan tadi. Istrinya begitu asyik dan gembira bercengkerama dengan Tanujaya dan Peter. Y
a, kok bisa" Ia senang melihat situasi kembali normal. Tapi kejadian tadi tetap mengganjal perasaannya. Peristiwa semacam itu tak pernah terjadi sebelumnya. Apakah itu merupakan suatu pertanda buruk" Ia takut. Selama ini diam-diam ia menyimpan keyakinan, bahwa orang tak selamanya bisa bertahan dalam kondisi puncak. Selalu ada saatnya menaik, tapi juga akan ada saatnya menurun. Terus bertahan di puncak itu susah. Mungkin lebih susah daripada usaha mencapainya. Tapi, walaupun menyadari hal itu, rasa takut tetap ada.
Ia tahu, penyelesaian masalah tadi hanya untuk sementara. Walaupun sudah diberi uang, tamu tadi belum pasti akan mengunci terus mulutnya. Lebih-lebih istrinya yang sempat jadi histeris itu. Barangkali sekarang ini saja ia sudah menyampaikan cerita itu kepada beberapa orang, dan beberapa orang itu pun akan menyampaikannya lagi kepada sekian orang berikutnya. Terus dan terus sampai.... Berarti, tamatlah sudah reputasi restorannya. Jangankan kecoa, lalat atau bahkan seekor semut pun, bila sampai terdapat di dalam masakan, bisa merusak nama baik sebuah restoran.
Tuan Liong teringat akan pengalaman seorang rekannya, sama-sama pemilik restoran laris. Kelarisan usaha selalu mengundang iri hati orang lain. Lebih-lebih saingan di bidang yang sama. Demikian pula nasib yang dialami si rekan itu. Entah dari mana asal mulanya, tahu-tahu beredar isyu bahwa restoran si rekan itu menggunakan black magic supaya bisa laris, dan caranya adalah dengan membubuhi ramuan-ramuan mengerikan ke dalam masakan-masakannya. Apa saja ramuan mengerikan itu sungguh tak masuk di akal. Tapi ternyata, cukup banyak orang termakan isyu itu. Tiba-tiba restorannya jadi sepi. Si pemilik jadi bingung, bagaimana cara mengatasi persoalan itu. Untuk mengeluarkan bantahan resmi atau pernyataan resmi rasanya kurang cocok, karena yang dihadapi bukanlah tuduhan yang bersilat resmi pula. Cuma isyu, yang beredar dari mulut ke mulut, dan karenanya sulit diketahui sumbernya.
Ceritanya pun sudah tidak keruan lagi bentuknya. Sudah mulur melar ke sana kemari karena ditambahi bumbu macam-macam supaya lebih sensasional lagi.
Peristiwa itu diketahui betul oleh Tuan Liong karena mendengar ceritanya langsung dari si rekan yang malang itu. Akhirnya, jalan keluar yang diambil si rekan itu adalah dengan menyebarkan isyu juga, tapi isinya berlawanan dengan yang pertama. Tepatnya, isyu bantahan. Tentu saja, karena namanya isyu, maka diberi pula tambahan bumbu sensasi. Misalnya tentang adanya klik sejenis mafia yang bermaksud menjatuhkan. Bagaimana efeknya cara seperti itu susah diikuti secara pasti. Mampukah kontra-isyu itu terus menyebar dan yang lebih penting, mampukah ia mempengaruhi orang yang mendengarnya agar percaya dan selanjutnya mau menyebarkannya lebih jauh" Hasil nyata yang bisa dilihat adalah dari para tamu yang datang. Meskipun harus memakan waktu cukup lama, sedikit demi sedikit jumlah tamu bertambah lagi. Tapi ternyata kemudian restoran itu tidak bisa lagi mencapai target seperti semula, saat isyu belum menteror. Barangkali ia masih bisa disebut beruntung, karena bagaimanapun tidak sampai bangkrut.
Terpikir oleh Tuan Liong untuk menghubungi kembali si rekan itu. Ia akan menceritakan masalah yang kini dihadapinya. Siapa tahu ia bisa mendapat saran berharga, mengingat si rekan sudah berpengalaman. Tapi dengan tersentak ia membatalkan niat itu. Tidakkah dengan melaksanakan niat itu berarti ia sendiri sudah menyebarkan cerita itu" Dan bukankah si rekan itu, bagaimanapun dekatnya, tetap merupakan seorang saingan dagang" Ia ingat, beberapa kali si rekan itu pernah memuji-muji kelarisan usahanya. Memang nadanya memuji, tapi siapa tahu di balik itu tersimpan iri hati dan kedengkian yang hanya diketahui pemiliknya sendiri" Siapa tahu pengalaman buruknya itu membangkitkan niat untuk menjatuhkan orang lain dengan cara yang kurang lebih sama" Ya, siapa tahu dialah di pengirim kecoa laknat itu"
Dengan terkejut Tuan Liong menyadari, bahwa peristiwa yang barusan dialaminya itu telah membuat ia susah mempercayai orang. Memang sejak dulu ia sudah tahu, bah
wa dunia dagang banyak mengandung intrik-intrik jahat, di mana persaingan tajam membuat orang menghalalkan segala cara untuk menyingkirkan sesamanya asal diri sendiri bisa survive dan sukses. Tapi selama itu, sekadar tahu saja tidak cukup untuk menyadarkan kalau belum mengalami sendiri. Dulu ia tidak mungkin begitu saja mencurigai orang, apalagi bila orang itu teman baik.
Untung ada Henson. Lagi-lagi Tuan Liong merasa bersyukur. Saat ini rupanya cuma Henson seorang yang layak dipercaya.
Nyonya Linda mendekati. "Tiba-tiba aku teringat, Pa. Henson bermaksud membereskan gudang."
"Ya, memang betul. Sudah kusetujui. Itu bagus, kan" Tandanya dia rajin."
"Jangan-jangan ada barang yang ia kehendaki. Pura-pura saja mau membereskan."
"Biar saja, kalau barang itu memang sudah tidak kita pakai lagi. Buat apa kalau cuma memenuhi tempat saja""
Nyonya Linda cemberut. Kemudian berkata lagi, "Katanya, di situ banyak kecoa."
"Mungkin juga."
"Hei, gara-gara si Henson ngomong soal kecoa, jadinya ada kecoa betul-betulan, Pa!"
Tuan Liong menatap istrinya dengan perasaan terganggu. "Ah, itu kan cuma kebetulan saja."
"Siapa tahu kecoanya memang berasal dari gudang."
"Lantas, kecoanya menyelusup sendiri ke dalam capcay," sindir Tuan Liong.
"Huh, ngeledek," sungut Nyonya Linda sambil bergegas pergi.
Tuan Liong tidak mempedulikan. Ia kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri.
*** Pikiran Henson tak lepas dari persoalan itu. Mungkinkah adanya kecoa itu akibat kelalaian yang tak disengaja saja" Misalnya pada saat masakan siap di piring sang kecoa terbang lalu hinggap di atasnya, kepanasan kemudian mati tanpa dilihat siapa-siapa, baik oleh koki maupun pelayan yang membawanya atau siapa pun yang kebetulan berada di dapur saat itu.
Henson penasaran. Tapi pada saat sibuk sepcxti itu tak mungkin menanyai sang koki, yang biasa dipanggil Cek A Piang, ataupun orang-orang lain yang punya hubungan dengan masakan yang malang itu. Untuk mencurigai Cek A Piang rasanya susah juga, karena ia sudah bekerja di situ selama lebih dari lima tahun dan dikenal loyalitasnya. Orangnya pun baik dan suka membantu. Dan yang paling disenangi dari dirinya adalah ia tidak pernah pelit dalam hal makanan. Kadang-kadang ia membuat nasi goreng yang sedap untuk para pelayan. Sudah tentu tidak seistimewa seperti menu bagi para tamu, tapi bagi para pelayan rasanya sudah tak kepalang sedapnya. Memang hal itu sudah diketahui Tuan Liong mengingat para karyawan di situ mendapat makan dua kali sehari. Tapi usaha Cek A Piang untuk membuat makanan jatah mereka itu menjadi sedap dan membangkitkan selera tidaklah dianjurkan. Apalagi menurut Nyonya Linda, para pelayan cukup makan nasi dengan sambal dan ikan asin saja. Toh di rumah sendiri mereka juga makan seperti itu. Tapi Cek A Piang rupanya tidak menghiraukan pendapat Nyonya Linda. Sementara Nyonya Linda sendiri tidak berani melarang, karena khawatir kalau-kalau Cek A Piang tersinggung lalu ngambek. Di dalam setiap restoran, tenaga koki paling penting dan paling dibutuhkan. Dari tangannyalah lahir aneka masakan sedap yang merupakan daya tarik utama bagi para tamu.
Di samping kebaikan Cek A Piang itu, dari dirinya pun tak pernah terdengar keluhan apa-apa. Jadi kemungkinan bahwa dia yang sengaja menaruh kecoa dalam masakannya sendiri sangat kecil. Sama sekali tidak ada alasan untuk itu. Toh dia perlu ditanyai kalau-kalau ia melihat sesuatu yang janggal. Lantas pikiran Henson beralih ke para pelayan. "Pak Henson," tegur seseorang. Henson menoleh terkejut. Sakri, salah seorang pelayan, sudah berada di dekatnya tanpa ia sadari. "Ada apa, Kri"" ia bertanya cepat ketika melihat keraguan di wajah Sakri. Jangan-jangan Sakri batal menyampaikan apa yang ingin dikatakannya. "Apa Si Udin sedang disuruh keluar, Pak"" "Udin" Ah, nggak. Hari ini tidak ada yang disuruh keluar. Kenapa"" "Dia tidak ada, Pak." "Ah, rasanya tadi ada."
"Ya, tadi memang ada. Bahkan kalau nggak salah dia yang ngantar makanan ke meja empat. Ya, kalau nggak salah... rasanya sih dia," kata Sakri agak ragu-ragu.
"Meja empat" H ei, itu kan yang bikin ribut tadi"" seru Henson tertahan. Tiba-tiba ia merasa telah menemukan kejanggalan itu.
"Betul, Pak." "Ah, kenapa kau tidak bilang dari tadi" Coba kaucari lagi dia. Barangkali ada di WC, di gudang,
atau di mana. Dan kautanyai pula teman-temanmu yang lain. Barangkali ada yang melihat atau dititipi pesan oleh Udin."
"Baik, Pak." Sakri segera berlalu. Sedang Henson juga bergerak, ikut mencari.
Di dapur, niatnya untuk bertanya-tanya kepada Cek A Piang kembali ia urungkan. Bukan saja karena kesibukan Cek A Piang yang tak henti-hentinya memasak, tapi wajahnya pun nampak murung. Sekali ia menoleh, menatap Henson lalu melengos lagi. Henson mengerti, Cek A Piang merasa tertekan oleh peristiwa tadi. Itu tentu karena rasa tanggung jawabnya yang besar.
Untuk beberapa saat lamanya Henson berdiri saja memandangi kesibukan Cek A Piang.
"Aku merasa terhina, Son," kata Cek A Piang tiba-tiba.
"Kenapa, Cek"" tanya Henson. Pura-pura tak mengerti.
"Terlalu. Masakanku dimasukin kecoa. Siapa sih yang jahat begitu" Ya, pasti ada yang masukin. Emangnya kecoa itu bisa masuk sendiri ke dalamnya"" Cek A Piang mengomel dengan tangan tak berhenti kerja.
"Tenanglah, Cek. Nanti saya cari orangnya."
Cek A Piang menatap Henson sebentar. "Kau percaya, bukan aku yang sengaja berbuat begitu""
"Sudah tentu, Cek."
"Oh, terima kasih, Son. Senang rasanya ada orang yang ngomong begitu."
Cek A Piang bisa tersenyum lagi. Tapi Henson sudah meninggalkannya untuk mencari Sakri. Pada saat seperti itu sulit juga membebani para pelayan dengan pekerjaan yang lain.
Sakri menemuinya. "Betul, Pak. Udin sudah nggak kelihatan lagi batang hidungnya. Ada yang melihat dia pergi terburu-buru. Tanpa bilang apa-apa. Yang melihatnya mengira dia sedang disuruh keluar, jadi tidak menanyakan apa-apa."
"Betul dia yang membawakan masakan berkecoa itu""
"Betul, Pak." "Kau tahu alamatnya""
"Sebentar, Pak. Saya tanyakan Ateng dulu. Dia paling tahu, karena pergi dan pulang selalu sama-sama Udin."
Tak berapa lama Sakri sudah kembali bersama Ateng, yang selanjutnya memberi informasi yang dibutuhkan Henson. Sesudahnya, ia mengkonsul-tasikan dulu hal itu dengan Tuan Liong. Tapi Tuan Liong menyerahkan penyelesaian sepenuhnya kepadanya.
Akhirnya Henson mengajak Ateng mencari Udin ke rumahnya. Henson membonceng Ateng di sepeda motor yang biasa dipakainya, milik Tuan Liong. Ia berpikir, mengajak Ateng lebih efisien daripada kalau ia harus mencari sendiri alamat Udin.
Ternyata Udin sudah tidak bertempat tinggal di situ lagi. Menurut induk semang Udin, siang itu Udin terburu-buru mengangkut semua barangnya dan menyatakan akan pindah. Tapi ongkos sew a kamar sudah dilunasinya, termasuk tunggakannya selama dua bulan terakhir. Jadi bagi pemilik rumah, persoalan sudah tak ada lagi. Dia malah senang kalau Udin pergi, karena Udin senang menunggak bayaran. Capek menagihnya, tapi mengusir pun tidak tega, begitu kata si induk semang.
"Kelihatannya dia lagi banyak uang. Seperti baru gajian gitu. Uang yang diberikannya pada saya masih licin dan bersih. Seperti baru keluar dari percetakan," tutur si induk semang yang doyan bicara.
"Apa dia sering kedatangan tamu, Bu"" tanya Henson.
"Tamu" Ah, rasanya sih nggak pernah."
Mereka berdua segera pamit.
"Jangan-jangan memang si Udin yang berbuat, Pak," gumam ateng sebelum Henson menghidupkan motornya.
"Mungkin juga. Tapi sebaiknya kau jangan bilang apa-apa dulu kepada yang lain. Tunggu sampai persoalannya menjadi jelas. Bisakah kau menyimpan rahasia""
"Oh, bisa, Pak. Tapi, kenapa dia sampai begitu, ya""
"Coba pikirkan. Kau dan dia sering seiring sejalan. Apa dia pernah mengemukakan isi hatinya padamu, misalnya dia punya dendam atau keluhan lain kepada majikan kita""
"Tidak pernah. Pak. Biarpun kami sering jalan bersama, tapi dia tidak pernah cerita apa-apa tentang dirinya sendiri. Paling-paling ngobrol soal lain yang nggak ada hubungannya."
"Ya, sudahlah. Cuma aku ingin minta bantuan-mu. Teng."
"Boleh. Pak." "Kalau kau memperoleh informasi peri
hal Udin. cepat beritahu aku. Dan jangan ribut-ribut dulu, sebab kalian bisa kena getahnya juga. Coba saja pikirkan. Gara-gara perbuatan Udin, ya, kalau memang dia yang berbuat, maka kalau kelak ada lagi kejadian serupa dengan cepat kalianlah yang akan kena tuding. Padahal belum tentu, kan" Pendeknya, sedikit-sedikit dicurigai. Mana enak begitu""
"Betul sekali, Pak. Nanti saya ingatkan teman-teman juga."
"Bantuanmu sangat kuhargai, Teng. Tuan Liong pun pasti tidak akan melupakan jasamu."
"Saya sendiri kepingin bisa seperti Pak Henson."
"Seperti aku""
"Ya. Saya dengar, Pak Henson juga seperti kami dulunya. Tapi sekarang..."
"Ah, sekarang pun aku masih pelayan kok." "Nggak dong, Pak. Sekarang lain."
Henson tertawa. "Wah, pembicaraan kita jadi ngelantur. Jangan buang waktu, Teng. Tapi kalau kau masih ingin berbincang soal tadi, silakan datang ke tempat pemondokanku saja. Bisa lebih leluasa."
"Terima kasih, Pak," sahut Ateng senang.
"Aku pikir, sebaiknya sekarang kau pulang sendiri saja, Teng. Kuberi kau ongkos. Sampaikan pada Tuan Liong bahwa aku mau pergi ke rumah tamu yang bikin ribut tadi itu."
"Baik, Pak." Mereka berpisah. Beruntung bagi Henson, bahwa ia tidak susah menemukan rumah tamu tadi. Tuan Freddy, begitu nama yang diberikan si tamu itu, ternyata menempati rumah yang cukup bagus. Sebuah mobil kecil berada di garasi. Mungkin itu pertanda pemiliknya ada di rumah.
Perkiraan Henson tepat. Ia disambut Tuan Freddy dengan sikap ramah.
"Barusan saja masakannya sudah kami terima," kata Tuan Freddy dengan senyum cerah. "Sudah kami periksa. Kali ini tidak ada kecoanya."
Henson tersenyum juga. Rupanya Tuan Freddy tidak bermaksud menyindir, melainkan bercanda saja. Wajah Tuan Freddy terlalu cerah untuk menyimpan sisa kemarahannya tadi.
"Bagaimana Nyonya, Tuan" Apakah sudah sehat""
"Oh, sudah. Wah, Anda penuh perhatian, ya." Freddy tak bisa menyembunyikan kekaguman dan juga keheranannya. Dia ingat, dulu ia pernah makan di sebuah restoran lalu mengalami hal yang kurang menyenangkan. Ketika sedang asyik makan, ia menggigit sepotong tulang ayam yang semestinya tak ada. Celakanya tulang itu menusuk gusinya sampai sakitrnya tak kepalang. Selera makannya langsung hilang walaupun perutnya masih lapar. Tapi ketika ia menyampaikan protesnya, malah ia yang diperlakukan judes dan ketus. "Soal kecil begitu saja ribut. Cuma begitu kan lumrah"" demikian sungut si pemilik.
Tapi kemudian ia berpikir, bahwa restoran besar seperti SANG NAGA itu tentulah ekstra hati-hati menjaga reputasinya. Jadi peristiwa tadi sangat mencemaskan mereka. Ya, mereka takut. Karena itulah ia diperlakukan seperti raja. Wajar saja. Tak urung perasaannya jadi melambung.
"Memang sebuah restoran itu harus bisa menjaga nama baiknya," katanya sok tahu.
Henson memandang Freddy sebentar. Lalu ia manggut-manggut. "Anda benar, Tuan. Tapi ada hal lain yang perlu saya tanyakan. Itu untuk kepentingan Anda."
"Kepentingan saya"" Freddy membelalakkan mata.
"Begini, Tuan. Apakah Anda kenal atau pernah mengenal pelayan yang membawakan makanan buat Anda tadi""
Freddy mengerutkan kening. Susah payah ia berpikir. "Wah, wah, yang mana, ya" Yang membawakan makanan" Ah, kok mukanya saya lupa. Semua pelayan kayaknya sama saja sih. Rasanya sih tidak kenal. Belum pernah lihat sebelumnya. Coba tunggu sebentar. Saya panggil istri saya dulu."
Freddy lalu berteriak memanggil istrinya yang bergegas keluar. Tanya jawab segera berlangsung antara keduanya. Nyonya Freddy berulang kali menggeleng keras. "Tidak. Saya pasti tidak kenal. Belum pernah lihat seumur hidupku."
"Ya, sudah. Nggak apa-apa," kata Henson ramah.
"Memangnya kenapa sih"" tanya kedua suami istri itu hampir berbareng.
"Begini. Kami hampir yakin bahwa yang melakukan perbuatan tadi adalah pelayan yang membawa makanan buat Anda. Soalnya, sesudah ribut-ribut itu dia menghilang. Padahal dia tidak, punya masalah dengan pihak kami. Maksud saya, dengan pihak restoran. Jadi kami pikir, masih ada kemungkinan bahwa dia punya masalah dengan Anda."
Freddy terkejut. "Masalah apa" Saya tidak punya masalah dengan siapa-siapa."
"Itu hanya suatu kemungkinan, Tuan. Masih ada kemungkinan bahwa dia cuma orang suruhan."
"Oh, kalau begitu bisa saja dia disuruh orang untuk menjelekkan Restoran SANG NAGA. Buat apa ngincer saya" Saya tidak punya musuh. Tidak pula punya masalah dengan siapa-siapa."
"Memang mungkin. Tapi sekali lagi itu cuma kemungkinan. Belum pasti, bukan" Jadi masih ada kemungkinan yang lain lagi."
Freddy termenung. Sesungguhnya, dia bukan tak punya musuh. Dan bukan pula tak punya masalah. Tapi mana sih ada orang yang mau terus terang mengakui hal itu"
"Jadi kedatangan saya ini dengan itikad baik, Tuan," sambung Henson. "Kami berusaha mencari pelayan yang pergi itu untuk memperoleh keterangan lebih jelas darinya. Tapi bersamaan dengan itu kami juga mengharapkan kerja sama yang baik dari Anda. Kita sama-sama punya kepentingan mengingat adanya kemungkinan-kemungkinan tadi."


Cinta Sang Naga Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Freddy menatap Henson dengan pandang was-was. "Kerja sama yang bagaimana itu"" ia bertanya.
"Biarlah masalah itu kami tangani sendiri saja. Jadi Anda serahkan sepenuhnya kepada kami. Dan cara paling baik adalah dengan tidak menyiarkan cerita itu kepada orang lain. Demi nama baik kita bersama."
Freddy termenung sebentar. "Ah, jadi Anda belum percaya akan janji saya"" tanyanya kemudian.
"Oh, bukan begitu, Tuan. Saya datang dengan itikad baik. Kalau tidak, buat apa saya datang mengabarkan""
Freddy mengangguk. "Ya, saya percaya. Terima kasih. Jadi, Anda tidak akan menyerahkan persoalan itu kepada polisi""
"Kami kira belum perlu, Tuan."
Freddy mengulurkan tangan untuk menjabat
tangan Henson. Di samping berjanji ia juga mengucapkan terima kasih.
Henson tersenyum puas. Ia yakin, janji yang diucapkan Freddy kali ini lebih tulus dan sungguh-sungguh dibanding tadi. Ia percaya, Freddy akan memenuhi janjinya. Dan melihat kecemasan di wajah Nyonya Freddy ia pun yakin sang nyonya akan mengikuti jejak suaminya. Bila mulut keduanya sudah dapat dipastikan akan tertutup, mereka boleh berlega hati. Setidaknya untuk sementara.
Sambil memacu motornya pulang, Henson mengenang wajah manis Irma. Hasil kerjanya hari ini pasti akan mengundang pujian Irma. Dan juga... ah, tidakkah itu merupakan hadiah tak ternilai untuknya"
-III- Mereka memang belum bisa berlega hati. Keesokan harinya sebuah koran yang cukup terkemuka di Ibu Kota memuat berita singkat tentang peristiwa itu. Sebuah restoran yang laris dan sudah punya nama ternyata tega-teganya menyertakan seekor kecoa di dalam masakannya! Demikian salah satu kalimat yang ada dalam berita itu. Terasa mengejek dan sadis, seakan hal itu merupakan suatu kesengajaan. Dengan kata lain, berita itu pun bisa dianggap sebagai tuduhan tak langsung. Dan walaupun nama restoran tidak ditulis secara lengkap melainkan inisialnya saja, tapi lokasinya disebutkan, hingga bisa dipastikan banyak orang akan tahu. Terutama para langganan. Sungguh menimbulkan kejutan. Tidakkah berita koran lebih cepat menyebar dibanding isyu dari mulut ke mulut" Dan sifatnya pun resmi serta jelas. Bisa pula dibaca dan ditegaskan berulang-ulang. Padahal media yang satu itu sama sekali tak terpikir sebelumnya. Kecoa di dalam capcay ternyata bisa masuk koran!
Mereka jadi geger. Terutama Nyonya Linda.
"Habislah kita! Ya, habislah sudah! Dasar koran sialan! Main muat saja tanpa selidik dulu. Barangkali wartawannya dibayar tuh. Pasti!" Nyonya Linda mengomel panjang pendek.
Henson dan Tuan Liong berpandangan. Di wajah Tuan Liong nampak kebingungan dan juga ketidakberdayaan. Ceracau Nyonya Linda menambah kebingungannya. Sedang Henson diam saja walaupun otaknya tak berhenti berpikir. Ia sadar, tak mungkin menyela pembicaraan Nyonya Linda. Ia harus sabar menunggu gilirannya.
Ketiga gadis juga diam. Sesekali Irma menatap Henson, tapi tidak lama. Sementara kedua kakaknya bersikap tidak peduli. Seperti Henson, mereka pun tahu bahwa pada saat seperti itu sang ibu harus diberi prioritas berbicara.
Kemudian Nyonya Linda menujukan pandangnya ke arah Henson. "Ini juga gara
-gara taktikmu yang salah itu! Coba pikir, siapa yang paling mungkin membocorkan soal itu kepada wartawan kalau bukan tamu rakus itu" Sudah dikasih duit, diberi makanan enak, eh, masih pula bermulut jahat! Gara-gara kau! Kau bodoh! Tolol!"
Memerah wajah dan telinga Henson, tapi ia menundukkan muka.
Irma menggigit bibirnya. Ia jengkel bukan karena masalah itu, tapi karena sikap ibunya. Ia pun jengkel karena ayahnya diam saja. Dengan diam itu, ayahnya jadi seolah membenarkan sikap ibunya. Tapi ia sendiri tidak berani membela. Sejak ibunya memergokinya keluar dari gudang sehabis bertemu dengan Henson ia lebih hati-hati menjaga sikap. Tapi kadang-kadang ia merasa gemas dan ingin sekali berontak. Biar terang-terangan memperlihatkan sikap dan keinginannya. Berbuat sembunyi-sembunyi itu bukan saja menegangkan, tapi juga meresahkan. Selalu terpikir kapan akan ketahuan, kapan akan tertangkap basah. Tapi Henson selalu mencegah niat berontaknya itu. Jangan. Sabar dulu. Tak bisa lain, ia merasa harus mematuhi Henson. Ia sadar, Henson benar. Jadi ia menaruh respek kepada pemuda itu. Semuda itu usianya, toh ia tahu bahwa semakin pandai seseorang menahan nafsu dan emosinya, maka semakin tinggi pula martabatnya. Sejak kenal dan mulai akrab dengan Henson, ia sendiri banyak berubah. Dari seorang yang manja, keras kepala, dan selalu mau menang sendiri ia berangsur-angsur jadi ramah, lembut, dan mau memperhatikan orang lain. Ia merasakan betul perubahan dirinya itu. Karenanya, sering kali ia merasa heran kenapa orang tua dan saudara-saudaranya tak pernah memberi sesuatu komentar atas perubahan itu. Mungkinkah mereka tidak menyadari hal itu, dan tetap menganggap bahwa dia yang dulu dengan yang sekarang sama saja" Pikiran itu mengecewakan. Dia sudah berjerih-payah untuk berubah. Dia sudah merasa lebih baik, dan lebih maju. Tapi penghargaan untuk itu tak ada. Bahkan disadari pun tidak. Cuma Henson seorang yang memberinya pujian. Hal itulah yang mendorongnya semakin dekat kepada Henson.
Kemudian Nyonya Linda mengakhiri tudingannya kepada Henson dengan pertanyaan, "Nah, kalau sudah terlanjur begini, apa lagi yang bisa kaulakukan"" Nadanya menghina dan penuh keyakinan, bahwa Henson akan gugup dan terpojok.
Henson mengangkat muka, memandang Nyonya Linda sebentar, lalu berkata dengan tenang, "Kalau disetujui, saya akan pergi sekarang juga ke redaksi koran itu untuk menjelaskan masalahnya. Saya pun akan mencoba menanyakan siapa sumber berita walaupun kemungkinan kecil mereka mau memberi tahu. Tapi penjelasan dari pihak kita perlu, Nya. Setelah masalahnya diketahui umum, tak ada jalan lain lagi. Mereka harus tahu, bahwa itu bukan kesengajaan."
Irma menatap Henson dengan bangga.
Tapi Nyonya Linda masih mencoba menyudutkan. "Apa yang mau kaujelaskan lagi" Sudah jelas kecoa itu memang ada di dalam masakan. Tak mungkin bisa kita bantah, toh""
"Saya tidak bermaksud membantah, Nya. Saya hanya akan menjelaskan."
"Ya. Tapi caranya gimana"" tanya Nyonya Linda setengah membentak.
"Seperti apa yang saya utarakan kepada Tuan Freddy. Pasti mereka akan sependapat, bahwa kejadian itu merupakan kesengajaan dari orang yang bermaksud jahat. Kalau bukan tertuju pada kita, maka kemungkinan tertuju pada Tuan Freddy. Bila memang tak ada latar belakangnya, kenapa si Udin mesti menghilang setelah dia membawa masakan itu" Pasti dia disuruh orang yang bermaksud jahat. Tidak bisa lain. Orang koran itu pasti punya kecerdasan untuk memperkirakan hal itu."
"Tapi kenapa mereka sembarang muat laporan orang tanpa mengecek lagi kebenarannya""
"Kadang-kadang mereka mengejar berita seperti orang kelaparan. Apa saja ditubruk dan dimakan tanpa sempat memilih. Apalagi kalau sensasional dan menarik."
Nyonya Linda terdiam. Barulah Tuan Liong manggut-manggut. "Aku setuju dengan pendapat dan idemu itu, Son. Jadi sebaiknya kau pergi sekarang saja."
Henson tersenyum senang. Ia cepat berdiri dengan perasaan seolah ia baru mampu menghisap zat asam lagi. Ia sudah melupakan sama sekali perlakuan Nyonya Linda kepadanya. Yang dihadapinya sekarang adalah tanta
ngan yang membangkitkan gairahnya.
"Pulang dari sana saya akan mampir ke rumah Tuan Freddy, ya Tuan"" ia bertanya kepada Tuan Liong.
"Untuk apa""
"Membicarakan berita koran itu. Sekalian menanyakan apakah dia tersangkut, atau memang dialah sumber berita."
"Tak mungkin dia mau berterus terang!" sela Nyonya Linda.
"Mungkin saya bisa tahu apakah dia berbohong atau tidak."
"Huh." Nyonya Linda melengos saja sewaktu Henson pamit padanya.
Tiba-tiba Lili mengejar Henson. Irma membelalakkan mata.
"Mudah-mudahan kau berhasil, Son!" kata Lili ramah. "Aku pikir kau cukup pintar, kok."
"Terima kasih, Non Lili," jawab Henson dengan perasaan tersentuh. Jarang-jarang Lili mau bicara padanya.
Irma tak mau kalah. Ia berseru, "Aku juga mendoakan kau, Son!"
"Terima kasih, Non Irma."
Mereka saling memberikan senyum terang-terangan untuk pertama kalinya. Lili telah memberikan jalan, hingga kelihatannya jadi wajar saja. Tapi Nyonya Linda menatap dengan selidik. Matanya seolah mau mengorek, hingga Henson jadi ngeri. Seperti ada kesepakatan, Henson dan Irma sama membuang pandang ke arah lain. Lebih baik jangan cari gara-gara.
Tapi perhatian Nyonya Linda sudah beralih lagi. Kali ini Yeni bersuara, "Tentu saja aku juga mendoakan kamu, Son! Itu kan sama dengan mendoakan diri sendiri. Kalau kau berhasil, yang senang siapa"" Lalu ia tertawa terbahak.
"Terima kasih, Non Yeni," kata Henson dengan irama suara tak berubah. Ia tahu, Yeni setengah mengejek. Tapi tak jelas siapa yang diejeknya.
Apakah kedua saudaranya atau ibunya. Mungkin juga yang pertama, karena Yeni akrab dengan ibunya dibanding kedua saudaranya. Dalam pandangan Henson, Yeni agak judes. Dalam hal itu, ia banyak mirip dengan ibunya.
"Apakah Mama tidak ikut mendoakan"" tanya Irma setelah Henson berlalu. Ia tidak tahan untuk mengemukakannya. Setelah Henson pergi ia jadi lebih leluasa.
"Huh, buat apa"" bentak Nyonya Linda sambil mencibir.
"Kan hasilnya juga buat kita, Ma" Tuh seperti kata Ci Yeyen tadi. Kita juga jadi mendoakan buat diri sendiri," kata Irma nekat.
Nyonya Linda menatap jengkel. Ia merasa tak ada yang mendukungnya. Suaminya pun masih saja diam tepekur. Lalu ia mengatakan dengan ketus, "Aku mau mendoakan kalau saja dia bukan orang..., orang...."
Kata-kata itu belum selesai terucapkan ketika Tuan Liong bangkit berdiri dengan menyentakkan tubuhnya, hingga dengan terkejut Nyonya Linda menutup mulutnya. Tapi Tuan Liong tidak mengatakan apa-apa. Ia pergi dalam keadaan tetap diam.
Tiga pasang mata menatap sang ibu, hingga yang ditatap jadi kikuk.
"Begitulah papamu. Selalu memihak si Henson. Dia lebih sayang sama orang luar daripada orang sendiri," gerutu Nyonya Linda sekalian membela diri.
"Ah, kayaknya dia itu setia, Ma. Bahkan saya heran kok dia bisa begitu setia. Padahal di sini gajinya kecil. Cuma makan doang yang kenyang," kata Lili.
Wajah Irma sedikit memerah. Tapi ia berbuat seakan tidak memperhatikan ucapan Lili. Toh ia memasang telinga dan mata serta menyimpan kata-kata itu baik-baik, seperti halnya setiap penilaian yang didengarnya perihal Henson. Ucapan Lili seperti itu baru pernah ia dengar. Ah, jadi sudah ada yang merasa heran" Padahal selama ini ia yakin hanya dirinya berdua Henson saja yang tahu. Kesetiaan seseorang tidak begitu saja diberikan tanpa adanya unsur-unsur penyebab.
"Setia apaan" Jangan bilang begitu dulu sebelum tahu betul isi hatinya. Dan isi hati si Henson itu, mana kita tahu"" Kata Nyonya Linda kesal. Ia selalu begitu setiap ada yang membela Henson.
"Di sini tenaganya dibutuhkan, Ma," Yeni mengingatkan. "Kalau tidak ada Henson, Papa pasti repot."
"Salah papamu! Kenapa terlalu percaya sama Henson seorang" Emangnya nggak ada orang lain"" kata Nyonya Linda dengan muka ditengadahkan.
"Ada sih ada, Ma," Irma ikut bicara. Ia tidak tahan diam saja. "Cuma pada goblok. Kayak si A Kiong itu..."
"A Kiong goblok katamu" seru Nyonya Linda berang. "Dia bukan goblok, tapi dia kurang diberi kesempatan oleh papamu."
"Kalau dia lebih banyak diberi kesempatan, pantasnya di sini ja
di kacau. Malasnya juga minta ampun. Tapi makannya banyak deh, Ma," Irma mengoceh dengan senang. Ia tahu ibunya senang pada A Kiong karena pemuda itu adalah keponakan kesayangannya. Tapi A Kiong tidak bisa menggeser Henson, apalagi menyingkirkannya. Ayahnya tahu betul kualitas pemuda itu berkat laporan-laporan yang diberikannya.
Nyonya Linda melotot. Kalau saja Irma masih kecil, pasti ia sudah mengayunkan tangan untuk menggebuk atau mencubit. Seperti dulu. Si bungsu yang bandel ini memang paling sering membuat ia jengkel. Tapi sekarang ia tidak bisa melakukan hal itu lagi. Irma sudah dewasa. Dan Irma kesayangan ayahnya.
Lili tersenyum diam-diam. Sementara Yeni mengorek-ngorek kukunya seolah tidak mendengar.
Situasi itu membuat Irma senang. Ia senang melihat ibunya blingsatan karena marah, padahal tadi ia sempat merasa ngeri hingga berusaha menutup mulutnya. Lebih-lebih bila pembicaraan menyangkut soal Henson. Tapi tiba-tiba saja ia teringat cerita Henson tentang ibunya dan Peter. Apa saja perbuatan kedua orang itu selain bersentuhan kaki" Jangan-jangan masih ada lainnya, yang lebih hebat lagi. Ia marah, merasa perbuatan itu sebagai pengkhianatan terhadap ayahnya. Jadi sekarang ia bisa membalas. Sudah lama ia merasa kurang senang terhadap ibunya karena perlakuan ibunya terhadap Henson, tapi selama itu ia selalu berpikir bahwa pada suatu ketika pendirian ibunya pasti akan berubah bila Henson dapat menunjukkan bakat dan prestasinya. Ia sendiri yakin akan potensi yang dimiliki Henson. Kalau tidak begitu, mana mungkin ia bisa mengagumi"
"Kau seperti papamu," gerutu Nyonya Linda. "Kau terlalu memberi hati kepada si Henson. Kalian puji-puji dia. Tak heran kalau dia jadi besar kepala. Lebih-lebih kau. Awas, jangan kau dekat-dekat dia!"
Irma agak terkejut. Kedua kakaknya memandang padanya.
"Ah, si Henson itu kan cakep juga, Ma," kata Yeni sambil ketawa mengikik. "Cuma sayang kantungnya kosong."
Nyonya Linda melotot. Tapi wajah Irma lagi-lagi memerah. Lebih-lebih setelah Yeni menatapnya lama-lama dengan penuh selidik.
"Hati-hati lho, Ma! Nanti Irma bisa tergoda oleh si Henson!" seru Yeni.
Kini Irma yang melotot. Ia memandang marah kepada kakaknya. Tak urung rona merah di wajahnya semakin kentara. Melihat itu Yeni tertawa semakin keras.
"Sudahlah, godain orang saja," Lili membela Irma.
Tapi Yeni belum merasa puas, lebih-lebih setelah ia melihat bahwa ibunya tampak semakin meradang termakan gurauannya. Nyonya Linda memang memandang pada Irma lebih tajam dan menyelidik seakan mau mengorek isi hatinya.
"Pantesan si Herman yang jatuh bangun mengejar-ngejar Irma dianggap angin saja. Kalau disenyumi malah melengos. Bukan si Herman aja yang sial begitu. Juga si Jon, si Leo, si Roy, dan entah siapa lagi. Dilihat sebelah mata pun nggak. Padahal yang ganteng ada, yang kaya pun ada. Mau yang gimana lagi sih"" demikian Yeni menyerang Irma.
Dengan cepat situasi sudah berubah. Persoalan Henson menjadi persoalan Irma.
"Itu sih gimana orangnya dong, Yen. Irma punya hak menolak siapa saja yang tak disukainya," Lili kembali membela, sebelum Irma sempat bicara. "Jadi kau jangan usil. Urus saja persoalanmu sendiri."
Yeni melirik kakaknya dengan wajah kurang senang. "Tapi Irma kan adik kita, Ci. Gimana kalau dia sampai tergoda oleh orang seperti Henson misalnya""
Irma memandang Lili dengan tegang, ingin tahu apa yang akan dikatakan kakaknya itu. Emosinya yang tadi melonjak oleh pancingan Yeni jadi mereda.
"Emangnya si Henson itu kenapa" Dia kan manusia juga seperti kau," sahut Lili tenang.
"Cici kok membela sih" Emangnya Cici setuju kalau Irma pacaran dengan Henson"" tanya Yeni penasaran.
Sementara itu Nyonya Linda memandangi ketiga putrinya silih berganti dengan saksama. Tiba-tiba saja ia merasakan betapa banyak hal yang tidak diketahuinya selama ini. Terutama mengenai ketiga putrinya. Ia sudah terbiasa melihat mereka seperti robot dalam fungsi dan peran yang sama dari hari ke hari. Tidak pernah berubah. Itu-itu saja. Komunikasi yang terjalin pun melulu tentang hal-hal yang sama. Baru setelah te
rjadi guncangan seperti kejadian belakangan ini tiba-tiba semuanya jadi kelihatan lain. Bahkan suaminya juga. Tapi ia tidak bisa memahami bahwa kemungkinan penyebabnya adalah dirinya sendiri. Tak pernah sadar bahwa ia sudah terlalu asyik dengan diri sendiri. Ia menganggap para anggota keluarganya berusaha menutup diri masing-masing dari jangkauannya. Hal itu tentu tak boleh dibiarkan. Apalagi ketiga putrinya itu merupakan mutiara keluarga, pada siapa reputasi mereka dipertaruhkan. Tak boleh ada yang salah melangkah. Salah berarti fatal, walaupun salah atau benar itu berdasarkan perhitungannya sendiri.
Sebelum menjawab pertanyaan Yeni, Lili melirik Irma sebentar. Rona merah di pipi Irma sudah lenyap. Lalu Lili tersenyum. Ia sengaja bicara berlambat-lambat. "Gimana aku bisa bilang setuju kalau aku nggak tahu apa-apa tentang Irma dan Henson" Emangnya mereka berdua itu betul-betul pacaran"" tanyanya dengan nada yang sangat ingin tahu.
Diam-diam Irma menarik napas lega. Ia tahu, dirinya cuma dijadikan olok-olok semata. Mereka sama sekali tidak tahu jelas perihal hubungannya dengan Henson. Ia bisa bersikap lebih tenang. Dan juga berani. Kepalanya ditegakkan. Lalu ia menentang mata ibunya. Keberaniannya semakin membesar bila ia teringat dan membayangkan hubungan ibunya dengan Peter. Keberanian yang didorong oleh kebencian.
Irma tersenyum. "Ah, ribut amat sih," katanya, seolah menganggap percakapan itu sebagai kebodohan.
Tapi Yeni tidak mempedulikan sikap Irma. ia jadi penasaran sendiri. "Apa Mama dan Ci Lili mau tahu" Tanya dong si Irma sendiri. Kepingin tahu apa jawabnya. Kalau nggak kenapa-napa kok dia jadi merah tadi. Oh ya, aku juga suka melihat mereka berdua saling pandang. Saling tersenyum."
"Cuma itu saja"" tanya Lili.
"Ya. Apakah ada yang lainnya"" tantang Irma. Ia bertekad tidak akan membiarkan wajahnya memerah lagi. Dan itu hanya bisa terjadi kalau ia gugup atau merasa bersalah. Padahal untuk perbuatan itu ia toh tidak perlu merasa bersalah.
"Lho, yang paling tahu kan cuma Irma. Tanya dong sama dirimu sendiri, Ir. Tanyalah dia, Ma," desak Yeni.
Irma jadi berang. "Kenapa sih kau ini, Ci Yen" Tiba-tiba mendesakku kayak gitu" Emangnya aku terdakwa"" ia bertanya sengit.
"Bukan begitu, Ir," suara Yeni melembut. Ngeri juga ia melihat kemarahan Irma. Sering kali anak ini tidak boleh disepelekan. Papa menyayanginya. Sering menyebutnya pintar. Huh. Tapi sekarang ini kesempatan bagus untuk membalas. Paling tidak memberinya pelajaran. Mentang-mentang disayang.
"Lantas apa"" tantang Irma.
"Kau ini masih kecil. Masih ingusan dalam soal cinta. Jangan coba-coba pacaran dengan sembarang lelaki. Apalagi lelaki yang asal-usulnya begitu berbeda- Oh, memang zaman sekarang yang namanya pembauran itu sudah bukan barang baru lagi. Kuno kalau masih diributkan. Tapi si Henson itu sebenarnya siapa sih" Orang tuanya kayak apa" Dan dia pelayan, lagi!"
Sekarang wajah Irma memerah lagi, tapi kali ini karena marah. Emosinya selalu tergelitik bila merasa Henson dihina.
"Umurmu kan cuma beda dua tahun daripada-ku. Mentang-mentang sudah punya pacar. Tapi si Anton itu juga siapa sih" Orang tuanya kayak apa" Nenek moyangnya kayak apa" Jangan-jangan perampok, pembajak, penyelundup, atau... atau..." Irma kehabisan imajinasi.
Tapi saat itu pun Yeni sudah memekik sambil melompat, siap mencakar Irma. Namun Lili segera menghadang. "Sudah, sudah. Apa-apaan sih" Kan tadinya kita cuma bercanda, kok jadi berantem sungguhan. Kau duluan sih. Yen. Kau ngejek Irma terus."
Yeni terduduk dengan wajah mau menangis. "Habis dia kurang ajar. Keterlaluan menghina orang. Nenek moyang dibawa-bawa. Coba kalau si Anton tahu," katanya dengan suara serak.
"Kau duluan yang keterlaluan," Irma tak mau kalah.
"Tapi aku bermaksud baik. Kau kan adikku. Apa nggak boleh aku menasihati""
"Bukan nggak boleh, tapi nggak perlu!" kata Irma ketus.
Yeni membelalakkan matanya yang berair. Dalam pertengkaran mulut dengan Irma hampir selalu ia kalah. Sungguh menjengkelkan. Tapi bukan melulu karena perasaan kalah itu, melainkan sebab lain. Ia
sudah gagal membujuk Irma agar mau menerima cinta Herman. Padahal Herman adalah adik Anton, pacarnya sendiri. Bukan cuma Herman yang minta tolong padanya, tapi juga Anton. Dan ia ingin sekali menyenangkan hati Anton.
Melihat wajah Irma menampakkan kemenangan, Yeni semakin jengkel. Lalu ia menoleh kepada ibunya. Ia pun heran karena cukup lama ibunya bungkam tanpa menyela pertengkarannya dengan Irma. Ia melihat dahi ibunya berkerut tanda sedang berpikir. Dan pandang ibunya sebentar-sebentar tertuju kepada Irma. Buru-buru Yeni mengatakan, "Kok Mama diam saja" Apakah Mama tidak kepingin tahu" Wah, jangan-jangan Mama senang juga sama si Henson. Pura-pura aja..."
"Diam!" bentak Nyonya Linda.
Yeni terkejut. Lalu cemberut merajuk. Kok malah dia yang dibentak. Senyum di wajah Lili dan Irma menambah gemas.
Tapi Nyonya Linda tidak memandang kepada Yeni. Ia menatap Irma.
"Jawab pertanyaan Mama, Irma! Apakah kau punya hubungan dengan Henson""
Irma tertegun sebentar. Ia kaget. Demikian pula Lili. Tapi Yeni ganti tersenyum. Rasakan.
"Tentu saja punya, Ma," jawab Irma tenang. "Bagaimana tidak punya hubungan, kan Henson kerja di sini" Lho saya kan sesekali perlu bicara dengan dia. Perlu tanya ini itu. Mentang-mentang saya belum punya pacar lantas dicurigai begitu saya tersenyum dan memandang pada seseorang. Emangnya ini zaman kuno" Coba, kenapa saya selalu menolak anak-anak muda itu" Mereka nyebelin semua. Bau parfumnya aja dari jauh sudah bikin enek. Apalagi si Herman. Dia paling nyebelin dari semua!" Irma bicara cepat, khawatir dijegal.
Yeni menggertakkan gigi. Ia tahu, Irma sengaja menyinggungnya.
"Bukan hubungan macam itu yang kutanyakan. Pura-pura aja kau!" bentak nyonya Linda.
"Hubungan apa sih, Ma""
"Hubungan cinta tentu saja! Apa lagi sih"" sela Yeni tak sabar.
Irma memandang ibunya. Nyonya Linda mengangguk. "Ya. Jawab saja!" katanya dingin.
Irma melompat dari duduknya, lalu mengentakkan kaki. "Saya tidak senang diperlakukan seperti ini!" serunya.
"'Senang atau tidak senang, apa salahnya kau menjawab"" desak Nyonya Linda. Secara tak sadar ia tengah melampiaskan rasa tidak sukanya kepada putri bungsunya ini. Suatu perasaan yang timbul setelah menganggap bahwa Irma terlampau akrab dengan ayahnya. Suaminya lebih me-nyayangi Irma daripada dirinya. Dan itu sudah lama. Mungkin sejak Irma lahir. Sampai timbul perasaan, bahwa Irma datang untuk menyainginya. Tapi, bagaimanapun dingin perlakuannya kepada Irma, anak itu tidak kekurangan kehangatan. Dia memperolehnya dari sang ayah.
Mereka saling tatap. Tubuh Irma gemetar. Dulu ia tak pernah berani menentang, apalagi melawan. Memang dulu tak pernah ada konflik. Tapi itu pun karena ia selalu menghindar. Nalurinya cukup peka untuk menyadari perasaan negatif ibunya. Sekarang, ia tak bisa menghindar. Haruskah ia melawan" Toh ia tidak ingin menyerah. Ia tidak ingin menyangkal, karena itu merupakan sikap pengecut. Tapi kalau ia mengaku maka itu berarti ia telah mengkhianati Henson. Ia tak ingin Henson dipecat. Setidaknya jangan sekarang kalaupun hal itu harus terjadi.
"Memang tidak salah, Ma," sahut Irma pelan, sambil memutar otaknya. "Tapi caranya kok memaksa seperti ini" Saya didesak dan dibentak-bentak tanpa ujung pangkal. Persoalan kecoa kok jadi beralih kepada saya" Ingatlah. Yang kita bicarakan tadi adalah soal kecoa di dalam capcay, bukan soal siapa pacaran dengan siapa."
"Jawablah dulu."
"Saya heran. Saya yang tidak merasa berbuat salah apa-apa diperlakukan seolah orang punya dosa yang disuruh mengaku. Tapi orang lain yang betul-betul berdosa tidak diapa-apakan. Dia bisa tenang-tenang menyimpan salahnya."
"Orang lain siapa"" tanya Nyonya Linda heran. Mau tak mau ia jadi ingin tahu.
Irma memandang lekat pada ibunya sebelum menjawab.
"Oom Peter, Ma!" katanya, tak begitu keras tapi tegas.
Serentak wajah Nyonya Linda berubah. Ekspresi garangnya lenyap. Di matanya ada kekagetan yang sangat. Tapi cuma sebentar, karena ia berusaha keras untuk memulihkan dirinya lagi. Toh Irma sempat melihat, karena ia cermat memperhatikan. Memang
hanya ia yang melihat. Tapi ia merasa cukup. Terlalu banyak bicara bisa salah. Buru-buru ia membalikkan tubuhnya, lalu bergegas pergi.
"Hei, Irma! Emangnya Oom Peter kenapa"" seru Lili.
Tapi Irma berpura-pura tidak mendengar. Dengan kakinya yang panjang ia melangkah cepat.
Dalam sekejap ia sudah lenyap dari pandangan ketiga orang di belakangnya.
Lili dan Yeni berpaling kepada ibu mereka.
"Apa sih yang dimaksud Irma, Ma"" tanya kedua gadis itu hampir berbarengan.
nyonya Linda mengangkat bahunya. "Sinting!" dengusnya.
Lili dan Yeni saling berpandangan. Mereka tidak berani bertanya-tanya. Ekspresi wajah sang ibu sungguh tidak sedap dilihat.
"Eh, si Irma sama sekali tidak menjawab pertanyaan itu, Ci!" Yeni mengingatkan kakaknya. "Dia pergi menghindar. Pinter dia. Ya, kenapa dia tidak mau menjawab""
"Sudah, diam!" bentak Nyonya Linda.
Yeni mau membuka mulutnya, tapi Lili buru-buru menarik tangannya. Mereka berdiri pelan-pelan setelah diam beberapa saat lamanya, lalu cepat-cepat berlalu dari situ. Tak ubah apa yang dilakukan Irma barusan.
"Sinting!" dengus Nyonya Linda.
*** Sementara keempat perempuan anggota keluarganya ribut berceloteh itulah Tuan Liong mendapat ide baru. Ia setengah berlari menuju ke luar rumah, berharap masih menemukan Henson.
Untung Henson masih di halaman sedang mengutik-ngutik motornya.
"Belum pergi, Son""
"Belum, Tuan. Mau ganti busi dulu."
"Untung kau belum pergi." Henson menatap.
"Oh, ada pesan lain, Tuan""
"Ya. Ada yang mau kusampaikan. Tadi nggak terpikir."
Henson segera menunda pekerjaannya. Lalu berdiri dengan sikap hormat, seperti biasanya kalau sedang diajak bicara.
"Teruskan saja. Nggak usah ditunda. Kau jadi bisa cepat pergi," cegah Tuan Liong. "Kita bicara sambil kau meneruskan kerjamu."
Henson menurut. "Begini, Son. Bukankah kau sebentar mau menemui redaktur koran tadi" Nah, kalau nanti ditanya apa kedudukanmu di sini, kau mau bilang apa"
"Gampang, Tuan. Saya utusan dari Restoran SANG NAGA."
Tuan Liong menggeleng-gelengkan kepala. "Ah, tidak cocok itu. Kau harus memberi keyakinan kuat pada mereka dengan penampilan yang berwibawa. Sebagai utusan bisa saja pesuruh, atau pelayan, bukan""
"Lantas bagaimana, Tuan""
"Katakanlah, bahwa kau manajer SANG NAGA."
Henson menghentikan gerak tangannya. Ia tertegun sebentar. Kemudian tersenyum. "Baik. Akan saya katakan begitu," sahutnya tanpa perasaan apa-apa. Sebagai karyawan tentu saja dia tinggal melaksanakan suruhan. Kalau disuruh
mengaku direktur pun boleh saja. Toh disuruhnya begitu.
"Tapi itu bukan main-main. Son. Sungguhan. kok. Mulai hari ini, eh. saat ini, kau kuangkat jadi manajer restoranku. Tapi sudah tentu dasi kupu-kupu itu harus kaubuang. Masa manajer berseragam pelayan" Soal gaji kita bicarakan nanti sesudah kau pulang."
Henson berdiri. Wajahnya cerah. "Terima kasih, Tuan," katanya dengan penuh perasaan. Begitu saja ia teringat pada Irma. Kau punya bakat jadi manajer, begitu kata Irma. Ternyata sekarang jadi sungguhan.
"Apakah Nyonya sudah tahu, Tuan""
"Belum. Belum ada yang tahu. Yang penting antara kita harus ada kerja sama yang baik. Kau sudah tahu banyak tentang seluk beluk restoran ini. Tidak susah lagi bagimu mengambil oper sebagian pekerjaanku."
"Ya, Tuan. Terima kasih," kata Henson dengan kegembiraan yang terasa aneh. Barusan saja ia dimaki-maki, dikatai goblok segala. Tahu-tahu si goblok ini malah naik pangkat. Tapi ini bukan mimpi. Ini musibah yang membawa berkah.
Sepanjang jalan hati Henson bernyanyi-nyanyi. Ya, Irma akan gembira sekali. Apakah Irma yang mempromosikan dirinya kepada Tuan Liong" Pasti tidak. Irma sudah berjanji tidak akan melakukan hal-hal seperti itu. Pendeknya mereka berdua sudah sama-sama berjanji tidak akan melakukan hal-hal yang akan menarik prasangka buruk orang.
Ia bangga akan Irma. Gadis semuda itu juga punya bakat dalam menilai orang. Ya, tentu saja ia bangga karena mendapat penilaian tinggi dari Irma. Justru hal itulah yang membuat Irma tertarik padanya. Tidak susah meyakini hal itu.
Kebang gaan itu menebalkan rasa cinta. Irma memahami dan mengerti dirinya. Kau kelihatannya senang mengatur orang, menggerakkan orang agar melakukan kerja sama terpadu dan terarah. Dan kau bukannya cuma senang, tapi kau juga punya kemampuan. Demikian kata Irma kepadanya. Karena itulah Irma memintanya agar bersabar dalam mempertahankan kerjanya di situ. Walaupun cuma jadi pemimpin pelayan, tapi itu toh memimpin dan mengatur juga namanya. Kau punya bakat jadi pemimpin, puji Irma yang membuat dadanya sempat menggelembung. Ya, seorang pemimpin tentunya tidak cuma bisa mengatur orang, tapi ia juga harus mampu menjalin hubungan baik dengan orang-orang yang diaturnya. Itu juga kata Irma. Heran. Tahu dari mana" Oh, itu kan nggak susah. Logis toh" Begitu ucap Irma. Ah, Irma. Irma.
Irma memintanya agar menahan perasaan terhadap perlakuan ibunya. Yang punya restoran ini kan Papa, bukan Mama. Demikian Irma. Pada mulanya memang susah. Tapi lama-lama ia jadi biasa menghadapi Nyonya Linda. Tidak susah lagi untuk memasukkan ocehan Nyonya Linda ke dalam kuping kirinya, lalu mengeluarkannya lewat kuping kanannya. Perasaan pun sudah kebal berkat adanya harapan itu. Kalau mau senang harus sakit dulu.
Irma sudah berpesan padanya. Sedapatnya jangan jadi supir taksi, atau supir bis, atau kondektur, atau tukang parkir, atau profesi lain yang sejenis, walaupun itu banyak dijalani orang Batak di Ibu Kota. Alasan Irma, ia tidak cocok untuk pekerjaan semacam itu. Bakatnya lain. Jadi jangan menyia-nyiakan. Tentu saja ia menyadari kebenaran ucapan Irma itu. Entahlah kalau pada suatu saat memang tak ada jalan lain, karena manusia membutuhkan kerja. Dan sudah jelas mereka yang berprofesi seperti di atas itu pun akan memilih pekerjaan lain yang lebih baik dan berwibawa kalau saja ada kesempatan untuk itu. Ia sendiri pernah jadi kondektur. Tapi ternyata suaranya tidak bisa keras untuk menyerukan nama-nama terminal yang akan disinggahi. Garo-gol! Garogol! Hal itu membuat rekannya yang jadi supir menertawakan, "Emangnya lu bukan Batak""
Bekal ilmunya memang cuma sedikit. Lulus dari SMA ia berangkat dari kampungnya di Pematang Siantar menuju Jakarta, kota harapan bagi banyak orang seperti dirinya. Di Jakarta, konon orang miskin bisa jadi kaya. Caranya jangan ditanya. Pokoknya macam-macam.
Sampai hari ini sudah kurang lebih empat tahun ia bermukim di Jakarta, tapi nyatanya belum juga jadi kaya. Bahkan akan jadi apa dia kelak belum bisa ia bayangkan. Baginya, yang disebut hari esok adalah betul-betul besok, sehari sesudah hari ini. Pengalaman membuatnya merasa tidak pantas berkhayal muluk. Demikian pula kegembiraannya sekarang tidak sampai membuat ia terlalu tinggi berangan-angan. Ia harus membuktikan dulu bahwa dirinya memang pantas dijadikan manajer. Perasaan rendah diri jadi pengekang. Bekal kekuatannya memang hanya pengalaman. Ia tidak patut terlalu bangga. Ia harus terus belajar! Belajar!
-IV- Keesokan harinya, suasana di Restoran SANG NAGA tidak seramai seperti hari-hari sebelumnya. Pada saat-saat yang merupakan jam makan, beberapa meja masih kosong dan tetap saja kosong.
Mereka, keluarga Liong dan Henson, tidak merasa heran. Keadaan itu merupakan risiko atas pemberitaan koran kemarin yang sudah diperkirakan. Jadi biarlah keadaan seperti ini berlangsung untuk hari ini. Asal jangan untuk seterusnya. Karena itu dengan tegang mereka menunggu hasil kerja Henson. Tak terkecuali Nyonya Linda.
Tapi Henson hanya melaporkan perihal aktivitasnya kemarin siang kepada Tuan Liong seorang. Dan ketika dicecari pertanyaan oleh Nyonya Linda yang penasaran, ia cuma menjawab, "Saya sudah dipesan Tuan untuk tidak cerita dulu, Nya. Silakan Nyonya menanyakannya kepada Tuan saja." Lalu ia diam tak peduli diomeli panjang pendek oleh Nyonya Linda.
Sedang Tuan Liong pun bungkam. "Tunggu saja beritanya di koran. Katanya, kemungkinan lusa baru keluar. Lalu kita lihat hasilnya," jawabnya singkat atas pertanyaan istrinya. Terpaksa Nyonya Linda menyimpan keingintahuannya dan mengekspresikan kejengkelannya dengan menggerutu.
Perihal kenaikan pangkat Henson pun-
masih dalam suasana rahasia. "Jangan bilang siapa-siapa dulu," pesan Tuan Liong. "Kita tunggu saatnya yang baik nanti. Yang penting antara kita dulu. Nanti akan kuumumkan secara resmi."
Tentu saja Henson hanya bisa mengiyakan. Ia tahu, suasana dalam lingkungan kerja seperti itu sering kali tidak memakai cara formal, tapi lebih banyak bersifat pribadi. Semuanya berdasarkan kepercayaan belaka. Memang restoran itu cukup bonafid dengan omset besar dan keuntungan pun lumayan, tapi dikelola secara kekeluargaan. Hubungan antara majikan dan karyawan pun seperti itu. Tak ada ikatan kerja yang resmi tercantum dalam selembar kertas. Tak ada surat resmi kenaikan pangkat. Semuanya lewat mulut. Tanpa saksi, tanpa bukti. Kenaikan gaji pun begitu.
Selama Henson bekerja di situ, ada sekitar dua tahun, ia sudah beberapa kali mengalami kenaikan gaji. Dan setiap bulan ia menerima gajinya langsung dari tangan Tuan Liong sendiri. Tak mengherankan kalau suatu ketika Tuan Liong mengatakan, "Eh, berapa ya gajimu"" Dia lupa! Henson yang mengingatkan. Dengan jujur ia mengatakan jumlah yang sebenarnya. Peristiwa yang kemudian diceritakannya pada Irma ini disambut dengan tertawa geli oleh Irma.
"Ah, kenapa tidak kaunaikkan sendiri saja gajimu"" begitu Irma mengatakan. Tentu tidak. Bukan karena ia tidak berani, atau terlalu jujur, tapi ia khawatir kalau-kalau Tuan Liong cuma bermaksud mengujinya saja. Irma sendiri tentu lebih suka kalau ia bersikap jujur.
Tapi sesekali Tuan Liong suka bermurah hati. Kalau sedang membayar gaji, ia memberi tambahan begitu saja. "Nih, aku kasih tambah! Buat jalan-jalan, ya" Mungkin dengan pacarmu," katanya bergurau. Dan gurauan itu menimbulkan senyum Henson. Senyum yang maknanya hanya diketahui oleh dirinya sendiri. Ah, kalau saja Tuan Liong tahu siapa pacarnya yang sebenarnya. Akan marahkah dia"
Tentu saja, permintaan Tuan Liong untuk merahasiakan kenaikan pangkat dan kegiatannya di saat-saat terakhir itu tidak bisa dipatuhi Henson secara utuh. Irma merupakan kekecualian! Kepada gadis itu ia tak menyimpan rahasia.
Setiap hari kerja, Irma mengikuti les bahasa Inggris selama dua jam di waktu pagi. Pada saat seperti itu restoran masih tutup. Jadi bagi Irma, maupun bagi Henson, saat-saat itu merupakan kesempatan untuk bertemu. Untuk itu mereka mempunyai tempat sendiri, yaitu warung tegai. Ada beberapa warung yang letaknya tak jauh dari tempat les. Mereka mengunjungi secara bergiliran. Hari ini di yang satu, besok di yang lain, dan begitu seterusnya. Bercengkerama sambil memakan penganan kelas rakyat. Ubi goreng atau rebus, pisang goreng atau rebus, dan sejenisnya. Ternyata rasanya sangat nikmat. Makan sambil bercerita dan bersentuhan, bebas memandang dan bebas bicara. Serasa di surga. Tidak ada yang mengimpit, tidak ada yang melarang.
Tapi tentu saja mereka tidak bisa lama-lama. Paling-paling sejam. Lalu harus bergegas pulang. Untuk itu Irma harus korupsi waktu. Les yang dua jam dikatakannya tiga jam. Berbohong sedikit tidak apa. Bagaimanapun, pertemuan antara insan yang berpacaran itu penting. Bukan hanya untuk melepas rindu, tapi yang penting adalah komunikasi.
Seperti sudah diperkirakannya, Irma sangat gembira mendengar cerita Henson. Optimismenya tinggi. Tapi cerita Irma membuat Henson prihatin. "Kalau begitu, kita harus lebih hati-hati, Ir. Hindari pertemuan kalau sedang kerja. Pokoknya jangan sampai ada yang mencurigai."
Irma setuju. Ia sabar menunggu.
Demikian pula hari itu. Suasana yang tidak seramai dan sesibuk biasa membuat keduanya lebih banyak memiliki kesempatan untuk saling memandang lebih sering. Tapi tidak. Buat apa mencuri sedikit dengan risiko besar"
Henson mengonsentrasikan perhatiannya ke arah tamu-tamu. Dasi kupu-kupunya sudah ia tanggalkan, walaupun kemejanya tetap putih dan celananya tetap hitam. Dia tidak menampakkan perubahan menyolok. Biasa saja. Tapi kalau diperhatikan lebih cermat sebenarnya ada yang berbeda daripada biasanya. Dadanya lebih tegap, jalannya lebih mantap, dan ekspresi wajahnya lebih berwibawa. Penampilan seperti itu membuat ia kelihatan gagah. Tapi
Renjana Pendekar 5 Orang Orang Sisilia The Sicilian Karya Mario Puzo Our Story 2
^