Dari Langit 10
Dari Langit Karya Rizal Mallarangeng Bagian 10
Dalam hal inilah sebenarnya terletak salah satu perbedaan antara saya serta Goenawan Mohamad dan ketiga aktivis Koalisi Ornop tersebut. Kami tidak berpikir bahwa ada satu golongan pun yang berhak mengatakan bahwa dirinya adalah pihak yang mewakili nurani dan kebenaran (atau, dalam istilah favorit Mochtar Pabottingi cs., "kepentingan jangka panjang"). Para guru besar dan kaum intelektual pun bisa berpikiran sempit, dengan moral yang bobrok.
Titik berangkat kami berdua adalah Pemilu 1999. Dengan segala kekurangannya, pemilu ini adalah Pemilu yang sah, yang menghasilkan sekian banyak politisi di parlemen yang berhak mengatakan bahwa merekalah wakil rakyat yang legitimate. Dan dalam sistem hukum kita, salah satu kewenangan mereka adalah mengubah dan merumuskan konstitusi.
Tentu saja, aspek legal-formal dan prosedural semacam ini bukanlah akhir dari semua argumen. Bisa saja sebuah metode pengambilan keputusan yang benar dan sah menghasilkan sebuah hal yang secara substantif keliru, serta dalam konsekuensinya berbahaya secara ekstrem bagi rakyat banyak. Jika hal ini terjadi, terbuka kemungkinan untuk mengkritik, bahkan menolak metode yang sah tersebut.
Karena itu, hasil atau produk keputusan yang dihasilkan oleh suatu prosedur yang benar juga perlu dikaji. Jadi, dalam hal ini yang harus dilihat bukanlah kualitas para perumusnya (kaum politisi di parlemen, misalnya) tetapi produk-produk konkret yang mereka hasilkan.
Di sinilah biang perkara berikutnya yang dipersoalkan oleh Bambang Widjojanto, Todung Mulya Lubis, dan Mochtar Pabottingi harus dipersoalkan. Betulkah, seperti yang dikatakan oleh Mochtar Pabottingi, misalnya, bahwa secara substansial
"hasil rangkaian amandemen atas UUD 1945 samasekali tidaklah memodali negara kita untuk melangkah lebih maju..."" Dalam konteks transisi demokrasi, apakah Konstitusi 2002 dengan empat amandemennya sepenuhnya merupakan langkah mundur, atau sebaliknya"
Untuk mendukung pendapat yang samasekali negatif, seperti yang dilontarkan oleh Mochtar Pabottingi, harus ada susunan argumen yang logis yang menerangkan bahwa pemilihan langsung presiden dengan dua tahap, misalnya, atau pelucutan wewenang MPR dalam menunjuk presiden sebagai mandataris adalah hal-hal yang akan meruntuhkan atau mengacaukan proses transisi demokrasi.
Sayangnya, Mochtar Pabottingi cs. tidak kunjung membangun argumen semacam itu. Yang muncul adalah argumen-argumen yang mencampuradukkan antara apa yang ada dalam aturan-aturan tertulis yang merupakan produk hukum tertinggi (konstitusi) dan kenyataan bobroknya situasi politik kita sekarang ini. Kita bisa sepaham bahwa situasi politik sekarang sedang dalam krisis yang menyedihkan, tetapi kita bisa berbeda dalam melihat apakah sebuah aturan merupakan aturan yang baik dan ideal untuk membantu menyelesaikan krisis tersebut.
Selain itu, ada pula argumen-argumen mereka yang menyamakan begitu saja kelemahan yang merupakan bagian dari ketidaksempurnaan dengan kekeliruan yang secara ekstrem berbahaya bagi kehidupan demokrasi. Dalam soal hubungan DPR dan presiden, misalnya, seperti yang saya singgung dalam kolom saya sebelumnya, sayang sekali bahwa prinsip check and balances tidak tampak secara eksplisit. Bagi Bambang Widjojanto dan Mochtar Pabottingi, kelemahan semacam ini menandakan bahwa langit sudah runtuh.
Mereka lupa bahwa prinsip itu tetap terkandung dalam Konstitusi 2002, walau secara implisit. Bahwa hal ini bisa membawa konflik kelembagaan di masa depan, tentu saja. Tapi konflik semacam ini, kalau toh terjadi, tetap bisa dihadapi secara kreatif dalam aturan-aturan yang ada (oleh Mahkamah Konstitusi, misalnya). Dalam hal ini harus diingat bahwa di Amerika Serikat hingga hari pun ini ketegangan kelembagaan dalam kasus-kasus tertentu, antara lembaga presiden dan Kongres dalam memutuskan tindakan ekstrem seperti perang, masih tetap terjadi.
Jadi kelemahan memang ada, tetapi Goenawan Mohamad dan saya melihatnya lebih sebagai bagian dari ketaksempurnaan yang mungkin tidak dapat dihindari dari proses politik demokratis, setidaknya untuk saat ini.
Singkatnya, buat kami, langit belum runtuh. Malah sebaliknya. Dari segi substansinya, empat amandemen yang dikandung dalam Konstitusi 2002 adalah sebuah lompatan ke depan dalam konteks transisi demokrasi.
Sejak awal kemerdekaan, salah satu soal besar yang ada dalam sistem ketatanegaraan kita adalah masalah yang berhubungan dengan hak-hak politik individu dan kewenangan negara. Kemerdekaan berpendapat, misalnya, diakui secara malu-malu, yang membuka kemungkinan bagi aparat negara untuk mengesahkan secara hukum tindakan mereka yang merampas kebebasan berpendapat. Soekarno melakukan hal ini, demikian pula Soeharto. Mereka dapat melakukan hal demikian tanpa jelas-jelas dianggap melanggar UUD 1945.
Sekarang semua itu sudah berbeda, karena pengakuan terhadap hak-hak politik individu ditulis se
cara eksplisit, tidak lagi malu-malu. Kalau Mochtar Pabottingi cs. mengatakan bahwa tidak ada paradigma baru yang tampak dalam Konstitusi 2002, saya kira mereka keliru: pergeseran perimbangan legal antara negara dan individu, antara otoritas publik dan batas kebebasan, adalah pergeseran paradigmatik yang tidak kecil artinya.
Kaum politisi, kata Alexander Pope, penyair Inggris abad ke-18, tak mungkin terhindar dari kearifan-kearifan masa silam.
Kalimat-kalimat yang tertulis dalam Konstitusi 2002 mungkin memang cukup sederhana, tapi ia adalah hasil pergulatan panjang dalam sejarah, yang dari segi konseptual perdebatannya sudah dimulai bukan hanya sejak adanya Panita Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tiga tahun silam, tetapi sudah ada sejak awal kemerdekaan, bahkan sejak awal pergerakan kebangsaan kita.
Demikian pula dengan beberapa pasal lainnya, seperti bertahannya hubungan agama dan negara sebagaimana yang selama ini telah kita kenal, bergesernya kekuasaan pusat ke daerah, munculnya lembaga baru seperti Dewan Perwakilan Daerah serta Mahkamah Konstitusi, serta diterimanya metode pemilihan presiden secara langsung.
Semua ini adalah unsur kelembagaan baru yang telah hadir dalam bentuk gagasan di masyarakat bukan hanya dalam era reformasi dalam empat tahun terakhir ini.
Bahwa semua itu tidak otomatis akan membuat kita lebih demokratis secara seketika, saya kira kita semua sepakat. Tetapi pandangan yang mengatakan bahwa unsur-unsur baru itu samasekali tidak berguna, atau justru akan menghambat proses demokrasi, pada hemat saya adalah pandangan yang terlalu pesimistis.
Karena itulah mungkin tidak berlebihan jika peran MPR dalam mengetuk hasil akhir rangkaian perubahan konstitusi pada Agustus silam diberi apresiasi yang layak. Apa yang perlu dikecam harus dikecam. Demikian pula, jika sesuatu yang baik muncul, seharusnya kita bisa berkata, our compliment is in order.
Dan yang menarik buat saya adalah sebuah fakta bahwa pembaruan penting bisa juga dilahirkan oleh sebuah lembaga perwakilan yang tak berisi tokoh pendiri bangsa sekaliber Soekarno, Hatta, Sjahrir. Para politisi di Senayan saat ini hanyalah sejenis aktor di panggung publik yang dengan mudah padanannya dapat kita temukan di lembaga parlemen di negeri demokratis mana pun.
Sebagian orang mungkin menangis sedih, dan sebagian lagi meluapkan kecaman, terhadap ketiadaan tokoh-tokoh besar tersebut. Tapi bagi saya justru di situlah salah satu kelebihan Konstitusi 2002: ia lahir lewat tangan-tangan kaum politisi yang, seperti kata Goenawan Mohamad, bukanlah wakil Tuhan, dan bukan pula wakil para setan.
Dari tangan-tangan seperti itu tak terhindarkan adanya berbagai kelemahan. Tapi republik kita memang bukan republik Plato, di mana kesempurnaan datang dalam sebuah paket besar sekaligus.
20 Oktober 2001 Tunda Dulu Sistem Distrik
dalam menyusun sistem politik baru yang demokratis, kini kita dihadapkan pada beberapa pilihan politik yang mendasar. Salah satu pilihan itu berhubungan dengan sistem pemilihan (electoral system) yang akan diterapkan untuk menentukan para politisi yang berhak memperoleh kursi di lembaga legislatif. Sejak pemilu pertama pada 1955 hingga pemilu terakhir Orde Baru, sistem yang berlaku adalah sistem proporsional. Kini kita harus menentukan, apakah sistem yang sama dilanjutkan atau kita memilih sistem yang samasekali baru, yaitu sistem distrik"
Kalau kita ikuti pendapat yang populer di kalangan tokoh-tokoh reformis saat ini, jawaban terhadap pilihan itu tampaknya sudah agak jelas: sistem distrik akan diperjuangkan sebagai sistem baru dalam pemilu yang akan datang. Argumen para tokoh reformis itu bervariasi, namun pada intinya mereka beranggapan bahwa dengan sistem distrik para pemilih akan lebih mengenal tokoh yang dipilihnya. Karena itu, menurut mereka, dengan menggunakan sistem ini kualitas demokrasi kita bisa ditingkatkan.
Argumen semacam itu memang cukup masuk akal. Namun, sebelum pada akhirnya pilihan dijatuhkan pada sistem distrik, sebaiknya kita berpikir lebih jauh mengenai kelemahan-kelemahannya yang mendasar
dan persyaratan utama yang dibutuhkan agar sistem demokrasi kita bisa berjalan baik.
Personalisasi Politik Ada dua persoalan utama dalam sistem distrik yang patut kita pikirkan bersama. Pertama, sistem ini cenderung memperlemah basis kepartaian dan, sebaliknya, mendorong meluasnya "personalisasi" politik. Mengapa"
Pemilih dalam sistem ini tidak lagi terutama memilih partai, tapi orang per orang. Seperti yang terjadi dalam proses pemilu di Amerika Serikat, setiap tokoh lokal yang populer di kawasan pemilihnya (distrik), akan memperoleh kursi di lembaga legislatif nasional, dengan atau tanpa dukungan partai. Untuk terpilih menjadi wakil rakyat, seseorang tidak lagi perlu meniti karir dalam partai apapun. Artinya, partai tidak lagi menjadi lembaga utama dalam proses mobilisasi, kaderisasi, dan pendidikan politik. Dan karena itu ikatan-ikatan kepartaian pun cenderung akan menjadi sangat lemah.
Kecenderungan semacam itu akan berakibat cukup fatal sebab saat ini, untuk memperkukuh fondasi sistem demokrasi kita, partai-partai politik justru harus diperkuat, bukan sebaliknya. Selama 30 tahun di bawah kepemimpinan Soeharto kehidupan kepartaian dibabat habis. Dan karena itu, setelah Soeharto turun dari kursi kekuasaan, dinamika kehidupan kepartaian praktis harus kita mulai dari awal lagi.
Tanpa sistem kepartaian yang kuat, gedung legislatif di Senayan bisa-bisa akan berisi individu-individu yang tidak memiliki basis ikatan dan loyalitas yang jelas. Mereka akan cenderung bergerak seperti himpunan burung yang terbang dengan seribu arah yang berbeda. Tawar-menawar dan negosiasi kepentingan, yang memang normal terjadi dalam lembaga legislatif, tidak lagi bertumpu pada kepentingan partai, tapi pada kepentingan individual para wakil rakyat. Hal ini nantinya akan mengakibatkan tingginya derajat ketidakpastian dalam interaksi politik di lembaga perwakilan kita.
Lokalisasi Politik Persoalan kedua sistem distrik adalah kecenderungannya dalam mendorong "lokalisasi" politik. Sebagian besar individu yang terpilih sebagai wakil rakyat dalam sistem distrik dengan sendirinya adalah tokoh-tokoh daerah. Mereka akan berusaha merebut suara dengan bersandar pada platform politik lokal, bukan nasional.
Gedung MPR/DPR di Senayan akan "diserbu" oleh aktor-aktor daerah yang berasal dari berbagai kabupaten di seantero penjuru Tanah Air. Aktor-aktor ini akan bertarung dalam panggung politik nasional untuk memperjuangkan kepentingan politik lokal-kalau tidak begitu, mereka tidak lagi akan terpilih dalam pemilu berikutnya.
Dalam pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto, aspirasi dan kepentingan daerah selalu takluk di bawah kepentingan nasional. "Bias nasional" semacam ini, kalau kita menggunakan sistem distrik, mungkin akan kita balikkan menjadi "bias lokal". Artinya, dari titik ekstrem yang satu kita bergerak ke titik ekstrem lainnya.
Dalam praktik, setiap wakil rakyat di parlemen hanya akan mendukung sebuah kebijakan pemerintah di Jakarta jika kebijakan tersebut secara langsung dapat memperkuat posisi dia di kalangan pemilihnya. Bisa dibayangkan, mengingat begitu bervariasinya unsur dan komposisi daerah kita, betapa penyusunan kebijakan nasional nantinya akan menjadi sangat rumit dan berlarut-larut.
Tunda Dulu Karena kedua persoalan semacam itulah maka saya menganjurkan agar penerapan sistem distrik ditunda dulu, setidaknya untuk satu periode pemilu. Kalau kita memang akan mengadakan pemilu enam bulan atau setahun lagi, sebagaimana yang dijanjikan Presiden Habibie, sebaiknya kita menggunakan sistem pemilihan yang selama ini sudah kita gunakan, yaitu sistem proporsional.
Anjuran ini saya berikan bukan karena saya menentang reformasi. Justru sebaliknya. Langkah-langkah reformasi hanya akan berhasil jika kita memikirkannya dengan matang. Selain itu pekerjaan yang menunggu kita masih sangat banyak, dari perubahan undang-undang, reorganisasi kepartaian, penerapan asas-asas trias politica, dan sebagainya. Dengan memaksakan penggunaan sistem distrik secepat-cepatnya, kita hanya akan menambah beban yang tidak perlu bagi
"bayi demokrasi" yang baru saja kita lahirkan.
Sistem proporsional memang banyak kelemahannya juga. Tapi berbagai kelemahan ini bukanlah penyebab terjadinya sistem otoriter dan meluasnya NKK (nepotisme, kolusi, korupsi) di bawah pemerintahan Soeharto. Sejak 1971, sistem pemilu apapun yang digunakan pasti tidak akan membuat kita lebih demokratis dan bersih dari NKK, karena pemerintahan Soeharto sangat kuat dan dominan dalam mengatur dan mengkooptasi setiap elemen dalam masyarakat.
Jadi, kalau kita menggunakan sistem pemilu yang selama ini sudah kita pakai, tidak berarti bahwa kita akan terus mempertahankan sistem otoriter dan melanggengkan NKK. Sejauh aturan dan pelaksanaan pemilunya demokratis-misalnya dengan dihilangkannya lembaga litsus dan diterapkannya Pasal 28 UUD 1945 dengan konsekuen-maka hasil akhirnya juga akan demokratis, yang diwujudkan dalam pemerintahan dan lembaga legislatif yang mencerminkan komposisi kepentingan dan aspirasi rakyat.
2 Juni 1998 Menuju Pelembagaan Reformasi
saat ini proses reformasi memasuki periode kritis. Apa yang mungkin terjadi di depan pada dasarnya bisa disederhanakan ke dalam dua alternatif, yaitu consolidated anarchy dan consolidated democracy. Alternatif pertama terjadi jika periode kritis yang terjadi sekarang tidak berhasil kita lewati: transisi politik mengalami perumitan ke dalam, involusi, tanpa perkembangan kelembagaan yang lebih baik. Dalam situasi ini, aksi-aksi reformasi hanya berlangsung secara ad hoc, tanpa pola yang jelas dan tanpa penciptaan dasar kelembagaan baru.
Bahkan lebih buruk lagi, aksi-aksi demikian terjadi bersamaan dengan aksi atau inisiatif politik lainnya yang berlawanan dengan logika reformasi itu sendiri. Karena itu dalam situasi consolidated anarchy, situasi politik yang tercipta akan ditandai oleh derajat ketidakpastian yang tinggi, sinisme, aksi-aksi anarkis dari massa kelas bawah serta kecurigaan etno-religius yang berlarut-larut. Bukan tidak mungkin, dalam beberapa tahun, kondisi seperti ini akan membawa kita kembali ke periode otoritarian dengan cirinya yang militeristik dan sultanistik.
Sebaliknya, jika periode kritis ini bisa kita lewati dengan relatif mulus maka kita akan menuju pada alternatif kedua. Dalam hal ini proses transisi yang sekarang terjadi akan berujung pada penciptaan sebuah sistem yang lazim disebut sebagai consolidated democracy.
Dalam sistem itu konflik-konflik mendasar yang kita saksikan sekarang memang tidak akan selesai, tetapi setidaknya konflik-konflik tersebut terlembagakan, dan dengan demikian setiap aktor yang terlibat di dalamnya bisa mematuhi aturan main politik yang sama yang mereka pandang sebagai aturan yang absah. Masyarakat pun akan kembali ke kehidupan yang "normal"; normal dalam pengertian bahwa pertarungan di ruang publik hanya dimainkan oleh para politisi, aktivis, dan tokoh-tokoh publik, sementara warganegara umumnya mengisi ruang privat dalam kegiatan keseharian yang tenang.
Tentu saja kita semua berharap bahwa alternatif kedua itulah yang akan kita lalui. Kita akan menjadi salah satu model demokrasi yang menarik buat negeri sedang berkembang lainnya. Negeri kita akan menjadi contoh yang baik untuk mencari penyelesaian damai dari konflik besar yang sedang terjadi dalam era pasca- Perang Dingin ini, yaitu konflik etnik dan agama.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana kita mencapai alternatif kedua tersebut" Bisakah kita mencapainya secara damai dan tertib" Adakah semacam "kehendak sejarah" bagi kita untuk berhasil menjadi negeri demokratis"
Terus-terang, tidak ada jawaban yang pasti terhadap pertanyaan-pertanyaan itu-kemampuan ilmu pengetahuan sosial sangat terbatas; lagi pula, seperti kata Max Weber, hanya para demagog yang suka dan bisa melakukan prediksi bagi masa depan, bukan ilmuwan sosial. Dalam tulisan ini saya hanya bisa mengemukakan beberapa prasyarat agar alternatif kedua itu bisa dicapai.
*** Apakah prasyarat-prasyarat itu" Dalam pikiran saya ada dua prasyarat yang saling berkaitan, yaitu keinginan dan kemampuan bernegosiasi serta pemilihan prioritas
politik yang jelas dan realistis. Kenapa kedua hal itu penting" Untuk menjawab hal ini kita harus melihat dulu sifat transisi politik yang terjadi sejak runtuhnya rezim Orde Baru.
Kalau mau disederhanakan, transisi politik yang terjadi sejak tiga bulan terakhir diwarnai oleh perimbangan kekuatan secara negatif di antara berbagai kelompok dan kekuatan politik, di kalangan reformis maupun di kalangan kaum yang berkuasa sekarang.
Maksud saya adalah tidak satu pun kelompok, sejak saat menjelang turunnya Soeharto hingga saat ini, yang betul-betul memiliki sufficient power untuk menang secara mutlak. Kaum reformis dan kelas menengah memiliki kekuatan moral dan kebenaran argumen. Tapi mereka terpecah, tanpa organisasi, dan dengan jumlah yang relatif kecil; jika kaum reformis tidak memiliki kelemahan semacam ini, maka jelas situasi kita akan sangat berbeda dari saat ini. Demikian pula dengan kaum yang selama ini menjadi bagian dari the ancient regime: mereka memiliki dukungan organisasi dan uang, tapi mereka pun terpecah dan, yang terpenting, sebagian dari mereka mengalami proses delegitimasi dan demoralisasi yang dahsyat.
Karena ketiadaan sufficient power untuk menang secara mutlak itulah maka semua pihak, baik kaum reformis maupun dari para penjaga status quo, hanya menang sebagian (atau kalah sebagian, tergantung darimana kita memandangnya). Sebagian tuntutan kaum reformis dipenuhi (Soeharto turun), tapi sebagian lagi terlupakan; sebagian keinginan pemerintah terpenuhi, tapi sebagian lagi dihujat habis-habisan.
Karena perimbangan kekuatan semacam itulah maka transisi politik kita bisa disebut sebagai reforma pactada, reformasi yang harus dinegosiasikan, seperti yang terjadi di Spanyol pada pertengahan 1970-an misalnya. Dalam transisi semacam ini, karena masing-masing hanya memiliki "sebagian" dari kekuatan yang dibutuhkan untuk memenangkan pertarungan politik, maka setiap pihak yang bermain dalam arena politik, baik kaum reformis yang terdiri atas berbagai macam kelompok itu maupun kaum yang memegang kekuasaan, harus sanggup melakukan tawar-menawar untuk mencapai tahap reformasi yang lebih lanjut, yaitu tahap pelembagaan.
Karena itulah, sebagaimana yang saya katakan di atas, keinginan dan kemampuan bernegosiasi saat ini merupakan syarat mutlak untuk mendorong proses transisi politik kita setahap lebih maju.
Kita harus mengerti bahwa consolidated democracy adalah sebuah tujuan politik. Dalam reforma pactada, tujuan politik hanya dapat dicapai melalui negosiasi. Hal ini kelihatannya sederhana tapi buat saya, dalam konteks transisi kita sejak Soeharto turun, justru pada aspek inilah kita bisa melihat satu hal yang sangat mengkhawatirkan. Kita sudah terlalu lama tidak terlatih untuk berkompromi, mencari titik temu, bukan perbedaan kepentingan.
Semua pihak, termasuk kaum reformis sendiri, seringkali menuntut suatu hal yang menyempitkan ruang-ruang untuk melakukan kompromi. Dari pihak pemerintah, selain melakukan beberapa langkah yang menarik, desakralisasi kekuasaan dan simbol kepresidenan misalnya, juga terlalu banyak memperlihatkan ketidakpekaan pada semangat zaman yang baru sehingga terkesan mereka lebih menjadi bagian dari masa lalu, dan karena itu menyulitkan langkah-langkah mereka sendiri dalam membuka ruang dialog dengan berbagai kekuatan pembaruan.
Selain itu, negosiasi hanya mungkin terbuka jika ada semacam rasa percaya (trust) di antara pihak-pihak yang berperan di arena publik. Sayangnya, yang justru meluas sekarang adalah chronic distrust, sebuah rasa tidak percaya pada siapa saja, termasuk di antara kaum reformis itu sendiri.
*** Prasyarat yang berikutnya adalah kemampuan untuk men-ciptakan prioritas reformasi atau agenda politik yang sederhana dan realistis. Dalam hal ini kaum reformis "di luar sistem" maupun simpatisan ide-ide reformasi "di dalam sistem" harus mampu melihat dengan jelas bahwa prioritas terpenting dalam tahap transisi saat ini adalah penciptaan pemilu yang bersih, jujur, dan adil sehingga lembaga legislatif yang akan menjadi produknya dianggap sebagai lembaga yang absah.
Hanya lembaga inilah yang dapat mengupayakan terjadinya pelembagaan reformasi sebagaimana yang saya singgung di atas tadi. pemilu yang bersih, dengan kata lain, adalah jembatan untuk mencapai tahap reformasi lebih lanjut.
Seperti juga pada aspek negosiasi tadi, soal pemilihan prioritas ini kelihatannya sederhana dan sepele. Tapi kalau kita membaca koran dan mengikuti berita serta ulasan televisi saat ini, saya kira kita justru akan melihat bahwa di semua kalangan sense of priority ini belum tampak-sebelum 21 Mei 1998, prioritas kaum reformis jelas, yaitu tumbangnya Soeharto; sekarang, adakah yang bisa memberi penjelasan sederhana tentang hal apa yang terpenting yang harus dilakukan" Kita baca, dengar dan lihat terlalu banyak hal yang ingin diperjuangkan atau dilakukan secara serempak. Kita kebanjiran agenda reformasi. Akibatnya: proses reformasi kehilangan fokus yang jelas.
Dengan memilih pemilu yang bersih sebagai prioritas dalam agenda reformasi, kita mungkin terpaksa harus melupakan untuk sementara beberapa hal yang mungkin menarik tapi tidak mendesak jika dilihat dari perspektif yang lebih luas (misalnya, tuntutan perombakan kabinet). Dalam hal ini kita memang harus memilih.
Kita hendaknya tidak melupakan bahwa politik pada dasarnya adalah sebuah seni untuk menentukaan pilihan dalam situasi yang terbatas. Kalau kita ingin mengerjakan semua hal sekaligus dalam waktu singkat, saya khawatir realitas politik akan menghukum kita melalui krisis dan ketidakpastian yang berlanjut terus-menerus.
9 September 1998 Tiga Faktor Penyebab SI MPR
sidang istimewa (si) mpr tidak terjadi begitu saja. Ia terjadi bukan karena para anggota partai di DPR ingin menjatuhkan seorang presiden, bukan pula karena Megawati Soekarnoputri dan PDI Perjuangan sudah patah arang dengan seseorang yang sejak awal dikenal sebagai "sahabat politik" mereka.
Hal-hal itu memang ikut memberi warna pada proses politik yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Namun, faktor-faktor penyebab yang lebih fundamental, causa prima SI MPR, harus dicari di tempat lain.
Beberapa ilmuwan politik telah mencoba menunjukkan bahwa prahara politik yang kita alami selama periode pasca-Soeharto ini pada dasarnya bersumber pada kelemahan-kelemahan mendasar yang ada pada konstitusi kita, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Bagi pandangan ini, terjadinya SI MPR hanyalah salah satu dimensi saja dari prahara itu, sebuah peristiwa politik yang mungkin tak terhindarkan mengingat begitu tak jelas dan kelirunya beberapa pasal yang ada dalam konstitusi kita.
Pandangan semacam ini dalam beberapa hal benar. Konstitusi kita memang jauh dari sempurna. Salah satu sebabnya adalah karena ia dirumuskan dan ditulis dalam situasi yang menjepit dan tergesa-gesa oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada Juni 1945. Rentang waktu yang digunakan dalam proses penulisan kurang lebih hanya tiga minggu. Bagaimana mungkin kita merumuskan hukum-hukum dasar bagi suatu bangsa yang besar dan kompleks hanya dalam 20 hari"
Bandingkanlah hal itu dengan proses perumusan dan penulisan konstitusi Amerika Serikat. Setelah republik modern pertama dalam sejarah ini memproklamasikan kemerdekaannya pada 4 Juli 1776, ratifikasi konstitusi baru terjadi empat belas tahun kemudian. Dan dalam proses perumusan yang panjang ini terjadi banyak perdebatan yang sangat memukau di antara para founding fathers negeri itu, seperti Thomas Jefferson dan James Madison. Selama bertahun-tahun, mereka berdebat, berkirim surat, mengadu argumen tentang konsep kekuasaan, tentang hal-hal yang paling dasar dari sebuah masyarakat modern, dan bentuk-bentuk pemerintahan yang paling baik untuk mengaturnya. Hasil-hasil perdebatan inilah, salah satunya, yang mewarnai konstitusi AS.
Tentu, selain soal ketergesaan, kekurangan-kekurangan yang ada dalam UUD 1945 juga disebabkan oleh beberapa faktor lain, seperti paham-paham besar yang populer di kalangan tokoh-tokoh bangsa kita waktu itu, minimnya ahli hukum tata negara yang betul-betul piawai, pengaruh kolonialisme Jepang dan Belanda, dan sebagainya.
Namun , apapun sebabnya, kekurangan-kekurangan itu bersifat mendasar, riil, dan jika digunakan untuk betul-betul mengatur sebuah masyarakat modern yang kompleks, akibatnya akan negatif, untuk menggunakan sebuah kata yang agak netral.
Contohnya adalah pada aturan-aturan yang menentukan posisi lembaga-lembaga negara yang utama seperti MPR, DPR, dan Presiden. Dalam satu hal, sebagian kalangan bisa menafsirkan bahwa hubungan yang ada di antara ketiga lembaga ini serupa dengan hubungan-hubungan yang umumnya ada dalam sistem presidensial, di mana seorang presiden memainkan peran yang sangat dominan dalam memutar roda pemerintahan. Dalam hal lain lagi, sebagian kalangan yang berbeda bisa menyimpulkan bahwa sistem pemerintahan yang dimaksudkan oleh konstitusi kita sesungguhnya bersifat parlementer dalam cara kerjanya.
Perbedaan-perbedaan penafsiran semacam itulah yang membuka ketidakpastian dan mendorong para aktor di panggung politik untuk melakukan perseteruan tanpa pola yang jelas, serta untuk mengambil langkah-langkah yang sering mengejutkan. Salah satu faktor mengapa Presiden Abdurrahman Wahid, misalnya, sering mengambil langkah-langkah soliter yang terkesan tidak mempedulikan para politisi di DPR mungkin bisa dijelaskan dari sudut ini: dia menyangka dan menafsirkan sendiri bahwa posisinya sangat kuat, sebagaimana layaknya seorang chief executive dalam suatu sistem presidensial.
Ruang ketidakpastian dan kelemahan dalam hukum-hukum dasar itulah yang pada dasarnya menggiring para politisi, baik yang berada di partai maupun di dunia pemerintahan, ke dalam sebuah situasi yang kembangan-kembangannya telah kita saksikan dalam setahun terakhir. Ujung dari semua ini sekarang sudah memasuki daerah pertaruhan "hidup-mati" dalam wujudnya yang terlembaga, yaitu penyelenggaraan SI MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid.
*** Selain faktor konstitusional seperti itu, terjadinya SI MPR juga disebabkan oleh hadirnya dua faktor lain, yaitu cair dan lenturnya konfigurasi politik kita, serta kelemahan Abdurrahman Wahid sendiri sebagai seorang pemimpin pemerintahan modern.
Dalam soal konfigurasi politik, semua persoalan yang ada dapat dilihat dengan jelas pada komposisi perolehan suara partai-partai besar dalam Pemilu 1999 yang silam. Komposisi ini bersifat sedemikian rupa sehingga tidak ada satu partai pun yang bisa mendominasi arena politik. Artinya, para politisi, baik yang berada di parlemen maupun di lembaga eksekutif, harus melakukan tawar-menawar terus-menerus, sebuah hal yang tentu saja diperburuk oleh beberapa ketidakpastian yang ada dalam konstitusi kita mengenai batas-batas serta kewajiban-kewajiban yang harus ada dalam proses semacam ini.
Sebenarnya, untuk sementara waktu kelemahan semacam ini mungkin bisa diatasi jika muncul seorang pemimpin atau politisi yang tangkas, populer, serta pandai memanfaatkan peluang untuk membangun konsensus dan dukungan politik terhadapnya. Pemimpin semacam ini, dengan segala sum-berdaya yang tersedia, misalnya dengan memanfaatkan posisi eksekutif yang memiliki peluang-peluang khusus untuk memerintah, bisa memperkecil dampak negatif dari cairnya hubungan-hubungan yang ada dalam arena politik.
Itulah yang diharapkan dari Abdurrahman Wahid saat ia diangkat sebagai presiden, lewat sebuah proses pemilihan demokratis yang mengalahkan Megawati, Ketua PDI-P yang waktu itu oleh sebagian kalangan dianggap terlalu bersebelahan dengan kelompok Islam. Sebagai Pemimpin NU, organisasi Islam terbesar di Tanah Air, ia dikenal sangat toleran, seorang pluralis yang tumbuh dari tradisi pesantren yang pekat. Sebagai salah satu komentator persoalan-persoalan sosial budaya yang terkemuka, ia dikenal cerdas dan jenaka. Sebagai politisi yang harus mengarungi berbagai karang politik Orde Baru, ia diakui sebagai tokoh yang pandai berkelit sambil sesekali menggigit.
Singkatnya, Abdurrahman Wahid naik ke tampuk kekuasaan dengan berbagai harapan besar dan dukungan yang luas dari masyarakat pada umumnya. Di kalangan pers asing pun, nama Abdurrahman Wahid tidak kurang harumnya.
Sayang nya, sejarah membuktikan bahwa harapan itu hanya sekadar harapan. Sebagai pemimpin sebuah organisasi pemerintahan modern yang bernama Negara Republik Indonesia, Presiden Abdurrahman Wahid terlalu sering mengacaukan banyak hal yang tidak semestinya terjadi. Ia lupa pada batas-batas yang harus dijaga sepenuhnya oleh seorang pemimpin yang ber-tanggungjawab, seperti batas antara apa yang publik dan yang privat, apa yang rasional dan yang irasional, apa yang boleh dan tidak boleh dijadikan alat dalam percaturan kekuasaan.
Sama sedihnya, ia juga ternyata melupakan begitu saja sebuah dalil primer dalam politik: kalau bisa memperbanyak kawan, kenapa menambah musuh" Yang terlihat pada Abdurrahman Wahid dalam setahun terakhir ini adalah upayanya, yang hampir sepenuhnya tak terpahami, untuk mencari musuh terus-menerus. Bahkan, banyak pihak yang semula menjadi pendukung antusiasnya terdesak, dipojokkan, dan kemudian mengambil jalan yang samasekali berseberangan dengannya, atau malah menjadi musuh politiknya yang fanatik.
*** Hasil dari semua itulah yang kita lihat sekarang. Selama setahun sistem politik kita yang masih rentan ini mengolah faktor-faktor yang saya jelaskan di atas dengan berbagai guncangan dan prosesnya sendiri. Sebagian dari guncangan ini bisa diramalkan sebelumnya, sebagian lagi tidak.
Hal yang terakhir ini misalnya terlihat pada betapa terkejutnya kita melihat gejala yang sering disebut sebagai the fading away of the state, memudarnya otoritas negara dan pemerintahan dalam banyak interaksi kemasyarakatan. Kita masih memiliki pemerintah secara formal, tetapi dalam banyak urusan di mana ia sangat dibutuhkan (Ambon, Sampit, Poso, dan se-bagainya), ia menghilang dan hampir menjadi aktor yang tidak relevan kehadirannya, kalau tidak malah mempersulit situasi yang sudah sulit.
Sekarang ketiga faktor itu bertemu sedemikian rupa sehingga "metode" pengolahan yang tersisa adalah Sidang Istimewa MPR, sebuah penyelesaian kelembagaan yang kita harapkan berlangsung secara damai dan tertib.
Max Weber pernah berkata para demagog dan para peramal tidak mendapat tempat dalam dunia ilmu sosial. Kita memang tidak pernah bisa meramalkan masa depan. Namun, tentu tidak keliru jika kita berharap bahwa SI MPR akan mengantarkan datangnya sebuah pemerintahan baru yang lebih efektif dan mampu membantu masyarakat dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. Semoga!
22 Juli 2001 Konsensus Elite dan Politik Kekuatan
(Tanggapan buat Denny JA)
setelah pemilu dua tahun silam, sebenarnya sudah bisa terbaca persoalan politik kita yang fundamental.
Persoalan ini bersumber pada komposisi dukungan yang diperoleh partai-partai besar, di mana tidak satu pun di antara mereka yang memiliki suara mayoritas mutlak, sebuah kondisi yang diperlukan untuk melahirkan force majeure dalam berhadapan dengan pilihan-pilihan tindakan publik. PDI-P memang muncul sebagai pemenang pemilu, namun dukungan riil yang dimilikinya tidak memadai untuk membentuk pemerintahan baru.
Kita harus berhadapan dengan konsekuensi dari kenyataan politik semacam itu. Sejauh ini apa yang tampak di mata adalah potret yang buram. Sulit mencari prestasi pemerintah yang saat ini bisa dibanggakan. Lembaga eksekutif sepertinya tidak memiliki otoritas apapun untuk melakukan langkah-langkah penting dan mengandung risiko, sementara hubungan-hubungan politik di lembaga perwakilan terus-menerus bersifat cair dan penuh kontroversi.
Sesungguhnya Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berpeluang untuk mengurangi dampak negatif dari keterpecahan politik yang kita hadapi. Dengan kekuasaan formal dan simbolik yang cukup besar sebagai presiden, ia bisa membujuk dan membentuk koalisi yang mampu menjadi poros politik untuk mendukung pemerintahannya. Tapi, ternyata Gus Dur tidak memiliki kemampuan untuk itu. Bukannya memberi solusi, ia malah menjadi bagian dari persoalan itu sendiri, dan dilema transisi demokrasi yang kita alami menjadi semakin kompleks.
Adakah jalan ke luar dari semua itu" Salah satu jawaban populer yang sering kita baca di berbagai media bertolak
dari teori konsensus elite. Menurut para pendukung teori ini, karakter transisi politik kita mirip dengan apa yang terjadi di berbagai negeri lain yang mengalami proses reforma pactada, sebuah istilah akademis untuk menggambarkan proses reformasi yang dinegosiasikan di antara kaum elite. Demokratisasi bisa berjalan maju di berbagai negeri ini karena kaum elite membuat pakta di antara mereka dan sepakat membagi kekuasaan serta memerintah secara bersama.
Kita harus meniru proses seperti itu. Secara teknis, menurut pendukung teori ini, proses negosiasi politik cukup mudah dilakukan karena di negeri kita kaum elite yang benar-benar menentukan sebenarnya hanya segelintir orang. Merekalah yang harus bertemu secara rutin untuk menuntaskan berbagai isu besar yang ada. Inilah jalan terbaik, sebuah solusi pragmatis yang mampu membawa kita ke luar dari kebuntuan politik saat ini.
Buat saya, solusi lewat konsensus elite kedengarannya memang menarik. Apalagi, ia memang agak sesuai dengan salah satu elemen dalam kultur politik kita yang sering menekankan konsensus, kompromi, dan dialog dalam berhadapan dengan masalah-masalah yang ada. Setiap berhadapan dengan sebuah impasse, kita selalu berseru agar para elite bertemu, berkumpul mencari jalan ke luar bersama.
Namun, betapapun menariknya solusi semacam ini, saya tetap melihat bahwa ia mengandung berbagai kelemahan yang tak terhindarkan. Salah satunya adalah masalah teknis yang terkait dengan setiap proses pembagian kekuasaan. Bagaimana porsi pembagian peran dan tanggungjawab dari segelintir kaum elite yang terlibat dalam kesepakatan itu" Bagaimana perbedaan kekuatan dan dukungan riil dari tokoh-tokoh ini tercermin dalam perumusan kebijakan dan pengelolaan roda pemerintahan"
Dalam arena ekonomi, misalnya, pemerintah harus mengambil serangkaian kebijakan, dari penentuan anggaran tahunan, pajak, utang, nasib BUMN hingga ke hubungan kita dengan IMF dan Bank Dunia. Siapa yang bertanggungjawab terhadap apa" Haruskah pengambilan kebijakan terpenting dipercayakan pada tokoh PDI-P dan Golkar, dua partai dengan dukungan rakyat terbesar, serta soal yang remeh-temeh diberikan pada tokoh-tokoh PAN, PKB, PPP dan elite nonpartai" Maukah mereka diberi porsi remeh-temeh" Bagaimana persisnya pengaturan semacam ini"
Karena rumitnya, saya khawatir bahwa solusi kesepakatan elite hanya mengalihkan persoalan yang ada, bukan menyelesaikannya. Memang, persoalan teknis demikian bisa dihindari dengan asas "semua untuk satu, satu untuk semua". Tapi, dengan begini, kita berhadapan dengan persoalan lain lagi, sebuah persoalan yang lebih bersifat prinsipiil ketimbang sekadar persoalan pengaturan teknis kekuasaan.
Jika PDI-P dan PAN misalnya, masing-masing dengan 34% dan 7% dukungan suara rakyat, diberi peran dan tang-gungjawab yang sama dalam menentukan soal-soal besar yang kita hadapi, sesungguhnya buat apa lagi kita menyelenggarakan pemilu" Bukankah pesta demokrasi ini justru diadakan untuk melihat pilihan-pilihan rakyat" Tidakkah sistem demokrasi, sebagai sebuah metode pengambilan keputusan publik, diterapkan justru agar perbedaan pilihan-pilihan demikian tercermin dalam proses perumusan kebijakan pemerintah, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif"
Karena berbagai kelemahannya, saya cenderung menganjurkan agar kita berpikir secara mendalam sebelum mencoba solusi kesepakatan elite. Solusi ini hanya bisa diterima jika jalan lain memang sudah tidak ada, atau kalaupun ada, ia akan melahirkan situasi yang lebih buruk lagi.
Untungnya, dalam menghadapi dilema transisi demokrasi, kita sebenarnya masih memiliki pilihan lain. Asumsi dasar dari solusi yang berbeda ini adalah perlunya penciptaan kekuatan riil yang bisa mendominasi panggung politik, paling tidak hingga Pemilu 2004. Persoalan politik, seperti kata Machiavelli, harus diselesaikan dengan power politics, bukan dengan nasihat-nasihat moral serta imbauan-imbauan normatif agar kaum elite bertemu dan membuat konsensus.
Dalam kondisi kita sekarang, persyaratan bagi munculnya kekuatan besar yang sanggup mendominasi panggung politik hanya
bisa tercapai jika PDI-P dan Golkar membangun koalisi bersama. Dukungan suara rakyat buat keduanya hampir mencapai 60 persen, sebuah jumlah yang memadai untuk digunakan sebagai modal politik bagi pemerintahan yang efektif. Dengan kekuatan riil yang dimilikinya, koalisi kedua partai ini dapat mengambil langkah-langkah kebijakan baru yang tegas, memberi kepastian politik dan melembagakan demokrasi.
Jalan ke luar semacam ini secara teknis lebih mudah (membagi kekuasaan di antara dua partai dengan jumlah suara hampir sama jauh lebih sederhana) serta secara prinsipiil tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah demokrasi. Dalam hal yang terakhir ini kita harus ingat bahwa demokrasi bermula dan berakhir di kotak suara. Hingga pemilu berikutnya PDI-P dan Golkar memiliki hak penuh untuk memegang kendali utama roda pemerintahan di negeri kita.
Pertanyaan kita kemudian tentunya: mungkinkah koalisi demikian terwujud" Bagaimana prosesnya" Bukankah PDI-P dan Golkar dalam Pemilu 1999 merupakan seteru yang saling menggigit" Yang satu besar karena menjadi korban Orde Baru, yang lain karena menjadi alat Orde Baru-mungkinkah keduanya bertemu"
Jawaban saya, sangat mungkin. Dalam politik tak ada kawan dan musuh abadi. Secara ideologis kedua partai ini sesungguhnya hampir tidak memiliki perbedaan mendasar. Selain itu, proses politik di lembaga legislatif yang terjadi sekarang, yaitu penentuan Memorandum Kedua dan SI MPR buat menentukan nasib Gus Dur, tampaknya sedang menggiring terjadinya koalisi besar itu secara alamiah. Kalau proses ini berlanjut dan mandat Gus Dur ditarik kembali, Megawati otomatis akan menjadi presiden dan Akbar Tandjung berpeluang besar untuk menempati posisi kedua di RI. Kalau semua ini terjadi, setidaknya secara de facto PDI-P dan Golkar sudah berada dalam perahu yang sama, dan perumusan koalisi besar yang dominan tinggal selangkah lagi.
Tentu saja semua itu bisa gagal. Proses penentuan memorandum buat Gus Dur dapat berhenti di tengah jalan dan kita kembali melihat dunia politik yang berputar di tempat. Di sinilah terletak peran kaum pemimpin yang mampu bertindak dan melihat jauh ke masa depan. Mampukah Megawati dan Akbar Tandjung menjadi historical actors, pelaku-pelaku sejarah yang membawa rakyatnya ke arah perubahan fundamental" Beranikah mereka"
Dengan kekuatan dan dukungan riil yang mereka miliki, keduanya sekarang memperoleh kesempatan emas untuk berbuat sesuatu yang sangat bermanfaat bagi orang banyak. Semoga mereka merebut kesempatan ini.
25 April 2001 Kegagalan SI MPR: Rahmat Terselubung
gagalnya sidang tahunan MPR 2001 dalam mengubah metode pemilihan presiden tentu mengecewakan banyak pihak. Dari kalangan yang kecewa ini, MPR mungkin dianggap sebagai lembaga dengan legitimasi yang merosot drastis karena menunda pengesahan hal-hal penting yang sudah menjadi kebutuhan sejarah.
Saya bisa memaklumi kekecewaan semacam itu. Namun, di pihak lain, saya juga melihat bahwa dengan menunda selama setahun, kita justru memiliki peluang untuk memengaruhi para wakil rakyat agar merumuskan metode pemilihan presiden yang lebih baik ketimbang dua altematif yang ada dalam Sidang Tahunan MPR lalu.
Kedua alternatif itu punya kelemahan-kelemahan yang mendasar. Dalam sistem yang diusulkan oleh PDI-P, misalnya, jika pada pemilihan langsung tidak ada kandidat yang memperoleh suara 50 persen+1, penentuan presiden akan dilakukan dalam sidang MPR. Sistem pemilihan semacam ini tidak mengurangi, tetapi justru menambah, tingkat ketidakpastian yang melekat dalam sistem politik kita.
Katakanlah dalam beberapa periode pemilu akan muncul seorang kandidat yang sangat populer dan cukup karismatis, maka persyaratan mayoritas mutlak (50 persen+1) dapat dipenuhi dalam pemilihan tingkat pertama.
Hasilnya adalah seorang presiden dengan posisi yang relatif kuat karena memiliki legitimasi langsung dari rakyat. Namun, dalam periode pemilu lainnya, kandidat semacam itu tidak muncul. Dan seperti yang terjadi selama ini, MPR kembali memilih siapa yang berhak menjadi orang nomor satu di negeri kita.
Jadi, dalam pr insipnya, sistem yang ditawarkan PDI-P mengandung dualisme legitimasi. Pada periode yang satu, kita memiliki presiden yang langsung dipilih rakyat. Pada periode lainnya, kita harus dipimpin oleh kepala pemerintahan yang dipilih oleh MPR. Kadang kita memakai sistem yang bekerja dengan karakter presidensial, kadang kita kembali lagi dengan sistem politik semi-parlementarian seperti yang ada sekarang. Dengan kemungkinan seperti ini, kerinduan kita untuk melihat sistem politik yang lebih sederhana dan memberi kepastian yang lebih besar pasti hanya akan menjadi angan-angan yang indah.
Alternatif lainnya, yaitu metode pemilihan yang ditawarkan PPP dan PKB, memang dapat menghindari kelemahan semacam itu. Dalam sistem ini, jika tidak ada kandidat yang mencapai mayoritas mutlak, pemilu akan diulang dan rakyat kembali harus memilih salah seorang dari dua kandidat yang mencapai posisi teratas dalam pemilu tingkat pertama.
Walau alternatif ini relatif lebih baik ketimbang alternatif pertama, ada pertanyaan yang masih harus dijawab oleh para pendukung sistem pemilihan bertingkat ini. Kalau memang pemilihan tingkat kedua harus kembali ke rakyat lagi, kenapa harus repot-repot mengulang pemilu, dengan kemungkinan hasil akhir yang berbeda samasekali" Kenapa harus dua tingkat" Kenapa tidak sekali pemilu saja"
Terhadap pertanyaan demikian, jawaban yang sering kita dengar terbagi dalam dua argumen. Argumen pertama pada intinya berkata bahwa hanya dengan kemenangan dengan mayoritas mutlaklah legitimasi presiden dapat menjadi kuat, dan hanya pada pemilihan tingkat kedualah posisi mayoritas mutlak ini dapat tercapai. Buat saya, argumen ini mengacaukan pengertian legitimasi dan dukungan politik.
Legitimasi adalah soal prosedur yang sah. Jika kita sepakat bahwa dalam pemilu tingkat pertama siapapun yang mencapai dukungan terbesar, dengan prinsip plurality, akan menjadi presiden, berarti baik kemenangan dengan 35 persen, 45 persen, maupun 65 persen dukungan suara rakyat akan sama sahnya. Yang penting di sini, kemenangan itu dicapai dengan mengikuti prosedur yang ada, bukan jumlah nominal suara yang berhasil dicapai.
Argumen kedua terhadap pertanyaan di atas berkata bahwa jika pemilu hanya dilaksanakan sekali, daerah luar Jawa akan terus tertinggal karena para kandidat presiden hanya akan berkonsentrasi merebut suara di Pulau Jawa. Saya tidak pernah tahu bagaimana argumen seperti ini bisa dibuktikan.
Bahwa ada konsentrasi penduduk di Pulau Jawa yang sangat besar, kita semua mengerti. Tapi kita juga tahu bahwa penduduk Pulau Jawa adalah entitas demografis, bukan politis. Secara politis, Pulau Jawa tidak pernah satu dan homogen. Karena itu, kekhawatiran bahwa para kandidat presiden hanya akan berkonsentrasi untuk memenangi pemilu di Pulau Jawa sebenamya adalah kekhawatiran tanpa dasar yang jelas.
Singkatnya, metode pemilihan presiden yang ditawarkan oleh PPP dan PKB sebenarnya hanya memperpanjang rantai politik, tanpa dasar yang benar-benar meyakinkan. Kita harus menyaksikan pertarungan dua ronde yang agak rumit hanya karena konsepsi tentang legitimasi yang keliru dan kecemasan yang tak berdasar.
Karena itulah, gagalnya Sidang Tahunan MPR dalam mengambil keputusan tentang metode pemilihan presiden pada Jumat malam lalu saya anggap lebih sebagai blessing in disguise, rahmat terselubung.
Setahun adalah waktu yang cukup untuk meyakinkan para wakil kita di lembaga tertinggi itu bahwa kedua alternatif yang ada sekarang bukanlah metode pemilihan yang ideal. Kalau kita memang ingin berubah ke arah yang lebih baik dengan sistem politik yang sederhana dan lebih memberi kepastian, yang paling ideal adalah sistem pemilihan langsung dengan satu tingkat dan berdasarkan pada prinsip plurality.
18 November 2001 Indonesia: Persoalan Demokratisasi
I perpolitikan di akhir masa Orde Baru (Orba) berubah. Perubahan ini mungkin terlalu lambat dan terlalu diatur dari atas. Namun, peristiwa-peristiwa politik yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini merupakan petanda yang bagus bahwa otoritarianisme Orba menjadi lebih lun
ak. Terdapat banyak contoh untuk mendukung argumen ini: mulai dari keberhasilan Megawati, pengadilan militer setelah Pembunuhan Massal Dili, pembentukan Komite Hak Asasi Manusia, jumlah pemogokan buruh yang semakin banyak, kritik pers dan mahasiswa yang semakin tajam, dan persaingan yang setengah terbuka di kalangan beberapa elite kekuasaan utama, dan sebagainya. Semua ini tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan transformasi politik yang terjadi di Thailand awal 1990-an dan Korea Selatan pada akhir 1980-an. Pentingnya kasus-kasus Indonesia ini hanya bisa dipahami sepenuhnya jika kita berpikir bahwa lima tahun sebelumnya, tidak ada seorang pun yang berani untuk berspekulasi bahwa Megawati, misalnya, akan menjadi Ketua PDI, atau bahwa Habibie akan menekan militer dengan berbagai manuver politiknya dalam merehabilitasi Petisi 50 dan memilih para sekutunya untuk menjadi pengurus inti Golkar. Selain itu, bahasa pers, jika kita membandingkannya dengan yang terjadi 2 tahun yang lalu, misalnya, sekarang ini jauh kurang eufimistik.
II Pertanyaan pertama: Mengapa perpolitikan Orba berubah" Jawaban untuk pertanyaan ini adalah bahwa Orba terjebak oleh keberhasilan ekonominya sendiri. Secara ekonomi, apa yang terjadi di Indonesia dalam 20 tahun terakhir adalah sebuah mukjizat. Sementara sebagian besar negara Dunia Ketiga mengalami persoalan ekonomi yang begitu besar pada 1970-an dan khususnya pada 1980-an, ekonomi Indonesia berjalan dengan relatif baik.
Mukjizat ekonomi ini mengubah negeri itu dalam beberapa hal. Dua di antaranya adalah, pertama, hal itu menciptakan jaringan aktivitas ekonomi yang lebih luas di luar kontrol pemerintah. Jaringan ekonomi swasta ini kompleks dan pada dasarnya merupakan sumber kekuasaan politik yang sangat penting yang bisa dimobilisasi oleh mereka yang ada di luar pemerintah. Interaksi sosial di wilayah ekonomi swasta ini tidak bisa dengan mudah dikontrol oleh komunitas politik. Interaksi yang kompleks ini adalah apa yang disebut Schumpeter sebagai "skema hal-ihwal kaum borjuis", yang membantu mengubah Eropa (Barat) feodal menjadi bangsa-bangsa demokratis.
Kedua, hal itu menciptakan suatu masyarakat "baru" yang sering disebut masyarakat sipil. Yang pertama di atas merujuk pada panggung, arena tindakan; sementara yang kedua merujuk pada para aktornya. Mereka ini-yakni para anggota masyarakat sipil-adalah orang-orang yang berpendidikan, yang mempertaruhkan hidup mereka dalam aktivitas-aktivitas ekonomi swasta, dan yang biasanya berpikir bahwa roti semata-mata tidak memadai untuk mencapai suatu kehidupan yang baik. Dalam bahasa Hegelian, apa yang umumnya dilakukan oleh para aktor baru ini adalah mencari pengakuan sebagai seorang manusia politik yang independen-dengan kata lain, mereka pada dasarnya akan mendukung terciptanya sebuah sistem politik di mana mereka, dan bukan para penguasa, adalah sang tuan.
Pendeknya, keberhasilan ekonomi Orba menghasilkan pra-syarat-prasyarat struktural (yakni, panggung dan para aktornya) yang bertindak sebagai dasar perubahan politik yang kita lihat sekarang ini.
Sebagian orang berkata, dengan alasan yang baik, bahwa semata-mata keberhasilan ekonomi tidak dapat menjelaskan proses-proses politik dan arah tujuannya. Politik, bagi mereka, sangat otonom. Karena itu, mereka berkata bahwa jalannya perubahan politik di akhir masa pemerintahan Soeharto harus dilihat terutama dari dinamika internal rezim: perbedaan dan ketegangan yang semakin besar di kalangan para pemain kunci Orba membuka ruang bagi partisipasi politik yang lebih luas.
Saya tidak melihat alasan mengapa kita menolak gagasan bahwa politik memiliki kehidupannya sendiri ini. Selain Indonesia, kita bisa memperlihatkan banyak contoh yang menegaskan proposisi ini. Masyarakat di bawah Kekaisaran Kedua merupakan suatu masyarakat yang sangat maju, dan memiliki sektor ekonomi kapitalis modern yang sangat maju. Namun, ketika Hitler muncul, masyarakat sipil menyerahkan kekuasaan mereka ke tangan beberapa demagog. Singapura merupakan contoh lain yang sangat bagus. Adanya sektor ekonomi yang sangat
modern dan masyarakat sipil dalam negara-kota ini tidak diikuti, sampai sekarang, oleh muncul dan berkembangnya sistem demokratis.
Apa yang bisa kita katakan adalah bahwa tanpa keberhasilan ekonomi dan dampaknya pada wilayah sosial, dalam kasus Indonesia, ketegangan di dalam rezim tidak akan menghasilkan bentuk perubahan-perubahan politik yang kita lihat sekarang ini (Dalam kasus Jerman, kita dapat berkata bahwa rekonstruksi pasca-Perang, yang membangun kembali demokrasi, tidak akan berhasil dengan mudah tanpa adanya masyarakat sipil dan sektor ekonomi kapitalis modern yang sebelumnya telah ada). Kita harus ingat bahwa pada awal dan pertengahan 1970-an, ketika Soeharto tidak sekuat sekarang, juga ada perbedaan dan persaingan di dalam rezim. Alih-alih demokratisasi, perbedaan dan persaingan ini menghasilkan kekuasaan otoriter yang lebih terpusat di mana Soeharto praktis berkuasa sendirian.
Sebuah kasus bagus untuk melihat bagaimana kombinasi perubahan sosio-ekonomi dan persaingan elite menghasilkan berbagai perubahan politik dapat dilihat dalam bangkitnya kekuatan Islam dalam dua atau tiga tahun terakhir: kebutuhan Soeharto akan dukungan dari kelompok-kelompok Islam untuk mengimbangi militer searah dengan jumlah kelas menengah dan intelektual Muslim yang semakin meningkat (sebagaimana yang berulang kali dikatakan Nurchilish Madjid: mereka merupakan salah satu produk penting dari keberhasilan ekonomi). Para pendukung utama Habibie bukanlah kelompok-kelompok Islam dari "masyarakat lama" (misalnya NU, Muhammadiyah, dan Media Dakwah/kuasi-Masyumi). Para pendukungnya adalah "para intelektual baru" (sebagian besar dari mereka dikirim oleh pemerintah untuk belajar di AS dan Eropa), para mahasiswa di berbagai universitas (yang sangat disubsidi oleh pemerintah), para elite birokrasi (yang sebagian besar menikmati berbagai privilese ekonomi dan politik dalam proses perluasan ekonomi tersebut). Tanpa mereka, Habibie tidak akan memiliki basis yang jelas.
III Akankah berbagai perubahan tersebut memunculkan sebuah sistem politik yang demokratis" Untuk menjawab pertanyaan ini, kita tentu saja harus memperjelas apa yang kita maksud dengan "demokrasi". Bagi saya, penjelasan terbaik tentang demokrasi diberikan oleh Schumpeter dalam karya besarnya, Capitalism, Socialism, and Democracy. Demokrasi Schumpeterian adalah sebuah sistem persaingan yang terbuka dan fair di kalangan elite politik untuk mendapatkan kekuasaan. Rakyat (yang kebebasan "negatif" dasarnya diakui) merupakan hakim terakhir yang memutuskan siapa yang akan memerintah mereka. Dengan demikian, para elite yang bersaing tersebut harus memainkan permainan politik, sementara rakyat bermain kartu dan melihat sepakbola: hubungan di antara keduanya diteguhkan melalui mekanisme pemilu yang jujur dan terbuka.
Penting untuk diingat bahwa ketika Schumpeter berbicara tentang demokrasi, ia berbicara tentang tujuan-tujuan politik (misalnya, persaingan terbuka di kalangan elite), bukan tentang tujuan-tujuan ekonomi. Ia membuat suatu pembedaan yang sangat jelas antara wilayah politik dan wilayah ekonomi. Dengan demikian, dalam perdebatan tentang Indonesia sekarang ini, hal ini berarti bahwa demokrasi adalah satu hal, dan pertumbuhan ekonomi atau liberalisasi ekonomi adalah hal lain. Untuk mencapai tujuan ekonomi, hadirnya demokrasi bisa baik atau buruk.
Sebagian kalangan tidak mengakui pembedaan ini. Kadang mereka tampak berbicara tentang demokratisasi, namun apa yang mereka bayangkan sebenarnya adalah liberalisasi ekonomi atau kemajuan ekonomi.
Dengan konsepsi tentang demokrasi yang sederhana ini, apa yang bisa kita katakan tentang Indonesia pada akhir 1980-an dan 1990-an" Sekarang ini pertanyaan ini tampak memberikan jawabannya sendiri. Munculnya Megawati dan Habibie, misalnya, bisa dipahami sebagai munculnya politisi-politisi sipil yang lebih kuat yang, dengan basis yang lebih kuat, bisa bersaing dengan para perwira militer. Sampai sekarang ini, selain Soeharto, para perwira militer tersebut masih merupakan pemegang kekuasaan terkuat di negeri ini. Jika Megawati dan
Habibie bisa bertindak sebagaimana para politisi yang baik dalam memperluas dan memperkuat basis mereka, bukan mustahil persaingan elite dalam politik pasca-Soeharto akan menghasilkan suatu jenis interaksi politik yang satu langkah lebih dekat pada interaksi demokratis.
Sejauh ini Habibie telah memperlihatkan bahwa ia adalah seorang politisi yang sangat bagus. Megawati, sejauh ini, dianggap oleh banyak orang sebagai simbol kepemimpinan alternatif yang mampu menarik dukungan luas dari mereka yang tidak puas dengan keadaan yang ada sekarang ini. Fakta-fakta ini memperlihatkan pada kita bahwa, dalam kaitannya dengan proses demokratis, perubahan politik yang kita lihat sekarang ini menuju ke arah yang benar.
Saya memahami bahwa pandangan ini sangat optimistik, yang bagi sebagian orang dianggap didasarkan pada asumsi yang salah tentang proses politik atau watak komunitas politik Indonesia. Berbagai kritik terhadap pandangan ini bisa dirangkum ke dalam dua argumen. Yang pertama mengatakan bahwa jika kita melihat pada sifat masyarakat Indonesia pada awal 1990-an, masyarakat tersebut masih merupakan "masyarakat lama" sebagaimana yang kita lihat pada 1950-an dan 1960-an. Tidak ada yang berubah secara mendasar: politik aliran masih berlaku, mungkin tersembunyi, namun bagaimanapun berfungsi sebagai pembagian dasar masyarakat yang setiap saat bisa dimanfaatkan lagi oleh para elite politik.
Karena itu, argumen tersebut beranggapan bahwa satu-satunya sumber kekuasaan, simbolis atau riil, yang bisa dimobilisasi oleh Megawati atau Habibie, misalnya, adalah sumber kekuasaan yang berada dalam wilayah politik aliran tersebut. Hal ini berarti bahwa Megawati, misalnya, harus memobilisasi hantu lama tersebut-ini adalah satu-satunya pilihan yang ia miliki. Menurut argumen ini, jika hal ini terjadi, maka kita harus melupakan demokrasi, karena militer akan terpaksa mengambil langkah keras dan menerapkan aturan yang lebih ketat agar hantu lama tersebut tidak bangkit lagi, atau karena- jika militer tidak melakukan apapun, suatu hal yang sangat tidak mungkin-apa yang akan terjadi samasekali bukan demokrasi karena demokrasi tidak pernah bisa dibangun berdasarkan politik "tradisional" ini.[Perhatikan bahwa mereka yang mengikuti argumen ini tidak pernah menyetujui demokrasi Schumpeterian yang, dalam konteks kita sekarang ini, bisa dikemukakan seperti ini: sejauh terdapat persaingan yang terbuka dan jujur, apapun sumberdaya yang dimobilisasi (apakah keagamaan, etnis, atau kelas) para politisi tidak menjadi masalah. Demokrasi adalah proses, bukan substansi politik.]
Argumen kedua menyatakan bahwa persaingan elite yang semakin besar yang kita lihat sekarang ini sebenarnya merupakan suatu persaingan yang "dikontrol": Megawati, Habibie, Harmoko, Try Sutrisno, Faisal Tanjung, dan praktis setiap orang di panggung utama, adalah boneka-boneka Soeharto- mereka bertindak dan berperilaku sebagaimana yang diinginkan atau diizinkan Soeharto. Semua yang sedang kita lihat adalah bagian dari Skema Besar Soeharto. Jika Soeharto merencanakan sesuatu, itu dapat dipastikan bukan demokrasi.
Apa yang muncul setelah Soeharto" Argumen kedua ini memberi suatu penjelasan yang sederhana: bahwa akan ada Soeharto lain yang muncul dari militer (yang masih terlalu kuat dan terlalu terkonsolidasi untuk bisa disaingi oleh para pemain lain) yang akan mengulangi lagi cerita lama. Soeharto baru ini mungkin akan memberi satu atau dua kompromi sebagai kosmetik orde terbaru tersebut, namun garis dasar politik otoriter tersebut tetap tidak berubah.
Jika argumen pertama yakin bahwa masyarakat Indonesia tidak berubah dan karena itu tidak mampu memainkan politik baru yang diperlukan untuk membangun demokrasi, argumen kedua percaya bahwa "boneka-boneka" Soeharto tersebut tidak memiliki rencana sendiri, atau tidak mampu memanfaatkan kesempatan apapun untuk mendapatkan kekuasaan apapun. Boneka adalah boneka.
Kedua argumen ini cukup masuk akal. Ada beberapa bagian dari argumen-argumen ini yang sangat sulit disangkal. Namun, keduanya gagal meyakinkan saya karena beberapa alasan
. Kritik utama saya untuk argumen pertama tersebut adalah bahwa ia gagal memahami bahwa dalam dua dekade terakhir masyarakat telah diubah oleh perkembangan ekonomi. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa "masyarakat lama" dan hantu lama politik aliran tersebut tidak lagi ada, atau bahwa semua itu tidak lagi bisa dimobilisasi oleh elite-elite politik.
Hal ini semata-mata berarti bahwa, sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya, telah ada begitu banyak orang (aktor) dan wilayah interaksi sosio-ekonomi (panggung) yang cocok untuk demokrasi. Mereka mungkin, atau mungkin tidak, bisa dimobilisasi secara baik dalam proses perubahan politik. Pada titik ini kita berbicara tentang kepemimpinan dan ketram-pilan politik: sekarang ini terserah para elite akan mengambil kartu yang mana, yang baru atau yang lama. Argumen pertama salah ketika mengatakan bahwa sebagian besar elite harus mengambil kartu lama untuk bisa bertahan.
Kritik lain terhadap argumen pertama ini adalah bahwa ia melihat politik aliran sebagai sesuatu yang pada dasarnya berbahaya bagi demokrasi. Argumen ini gagal melihat bahwa sangat mungkin bagi sistem kompetisi elite yang terbuka dan fair (demokrasi) untuk menampung pengelompokan politik yang plural. Jika Habibie secara terbuka memobilisasi komunitas Islam, apa masalahnya bagi demokrasi sejauh ia setuju dengan aturan-aturan dasar dan tertulis dari persaingan" Jika ia menang, hal itu mungkin tidak baik bagi ekonomi. Lalu kenapa" (Bagi George Will dan William Buckley Jr., kemenangan Clinton tidak bagus bagi perekonomian, namun mereka tidak berkata bahwa pemilu itu tidak demokratis).
Pada titik ekstrem, benar bahwa hantu lama tersebut sangat tidak baik bagi demokrasi: hantu itu menjebak orang dalam kebencian dan permusuhan lama tanpa ada pemecahan. Namun, sejauh ini saya tidak melihat ada elite penting yang memberi tanda bahwa ia akan membawa garis lama tersebut ke titik ekstrem (bagaimanapun mereka tidak sebodoh itu).
Untuk argumen kedua, kritik saya hampir serupa. Di sini saya harus menyebut "hukum" konsekuensi yang tidak diniatkan. Katakanlah benar bahwa semua persaingan yang meningkat ini sebenarnya merupakan persaingan yang telah "dirancang", yang diatur oleh Soeharto untuk satu tujuan: memelihara kekuasaannya.
Saya tidak melihat alasan mengapa tujuan ini hanya bisa dicapai dengan mengorbankan proses demokratis. Jika Soeharto hanya bisa memelihara kekuasaannya beberapa tahun ke depan dengan membiarkan para elite di sekitarnya bersaing satu sama lain, bukankah hal ini juga berarti bahwa proses demokratisasi awal sebenarnya telah dimulai" Dari sejarah kita tahu bahwa banyak negara mulai melakukan demokratisasi bukan dengan letupan-letupan di jalan, melainkan dengan rengekan dan intrik di istana.
Tentang masalah Soeharto baru. Seperti yang telah saya katakan di atas, argumen kedua ini yakin bahwa setelah persaingan yang "dirancang" tersebut, ketika Soeharto meninggal, militer akan kembali menciptakan seorang Soeharto. Argumen ini pada dasarnya naif. Saya tidak perlu mengulangi lagi bahwa Indonesia pada 1990-an bukanlah Indonesia pada 1960-an. Selain itu, militer sekarang ini tidak lagi sangat kuat, sebagaimana yang dikemukakan argumen ini. Militer sekarang ini telah kehilangan sebagian besar kekuatan persuasinya-sebagaimana yang ia miliki menjelang runtuhnya Orde Lama. Untuk mencip-takan Soeharto baru, sumberdaya apa yang sekarang militer miliki" Kekerasan terbuka sekarang ini tidak begitu bermanfaat sebagai alat politik utama-terlalu mahal akibatnya.
Hingga sekarang ini umum dipercaya bahwa militer adalah pihak yang melindungi dan menjaga Soeharto dalam kekuasaannya. Saya kira kini pandangan ini salah. Hubungan tersebut juga bisa dibalik. Soeharto-lah yang melindungi dan menjaga posisi para perwira militer sekarang ini dalam politik sipil. Saya sangat yakin bahwa ketika Soeharto sudah tidak ada lagi di panggung politik, kekuatan militer akan sangat merosot. Sejauh ini saya tidak pernah mendengar gagasan apapun dari para perwira tinggi tersebut yang memberi tahu kita apa yang akan mereka l
akukan jika mereka kehilangan si Orang Besar itu. Sebagaimana yang kita tahu dari banyak kasus belakangan ini, jika Orang Besar mereka tersebut memiliki kepercayaan pada orang lain yang berasal dari elite sipil, mereka-para perwira tinggi militer itu-terkesan kebingungan, tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, dan bertindak hanya sebagai seorang "reaksioner". Apakah mereka adalah jenis para perwira yang akan menciptakan seorang Soeharto baru"
BAB VIII Setelah Perang: Tentang Amerika dan Isu-isu Internasional
Gore, Bush, dan Kita rakyat amerika serikat akan memilih presiden baru, pada 7 November. Sampai saat ini persaingan masih amat ketat. Secara kuantitatif kecenderungan yang terlihat menunjukkan sebuah gejala yang lazim disebut statistical dead heat, posisi dominan seorang kandidat masih ada dalam jangkauan kesalahan sampel penelitian.
Meski demikian, apa yang terjadi dalam sepekan terakhir menunjukkan, George W. Bush, Gubernur Negara Bagian Texas dan putra mantan Presiden George Bush, sudah mulai sedikit di atas angin. Wakil Presiden Albert Gore memang masih bisa menikung tajam dan mencuat pesat di saat-saat terakhir. Tetapi, kalau itu tidak terjadi, era kaum demokrat akan segera berakhir dan negeri Paman Sam sekali lagi akan memasuki era kaum republikan.
Apa dampak perubahan itu buat kita" Akankah warna dan prioritas kebijakan luar negeri AS berubah dengan cukup berarti" Apakah Presiden Bush akan lebih baik ketimbang Presiden Gore, dipandang dari sudut kepentingan kita"
Jawaban saya cenderung positif, meski bisa keliru besar, sebab dalam politik banyak hal dapat berubah tanpa sebab-sebab yang jelas. Namun, bila Anda saksama mengikuti kampanye Bush dan Gore selama sebulan terakhir serta mendengar rencana-rencana kebijakan luar negeri mereka, maka mungkin Anda tidak akan banyak berbeda pendapat dengan saya.
Albert Gore lebih mewakili arus moralisme dalam politik luar negeri. Buat politisi seperti dia, posisi Amerika Serikat sebagai satu-satunya negeri adikuasa menciptakan peluang emas untuk mencapai tujuan-tujuan moral di tiap pelosok dunia melalui kekuatan riil yang dimilikinya di bidang ekonomi dan militer. Kompleksitas tindakan dan pilihan kebijakan dalam politik internasional direduksi menjadi manichaean choice, yaitu pilihan-pilihan antara baik dan buruk, jahat dan mulia, secara hitam-putih. Dalam hal ini dunia lebih dipandang sebagai arena realisasi nilai -nilai moral, apapun definisinya, dan politik luar negeri hanyalah salah satu alat untuk mencapainya.
Tentu saja tidak ada politisi di Washington DC yang akan sanggup menerapkan doktrin moralisme secara konsekuen tanpa mempertimbangkan kepentingan-kepentingan praktis negerinya secara realistis. Namun, pada Gore, setidaknya dari apa yang bisa diamati dalam proses kampanye pemilu sejauh ini, nuansa moralisme terlihat kental. Dia cenderung memandang dunia lebih sebagai seorang misionaris. Ditambah sosok kepribadiannya yang cenderung agresif, politisi dari Negara Bagian Tennessee ini akan semakin menguatkan kecenderungan AS untuk bertindak sebagai polisi global dalam soal-soal yang berkaitan dengan berbagai isu kontemporer, seperti hak-hak asasi dan lingkungan hidup.
Bagi kita, kebijakan Gore akan menciptakan dampak yang dilematis dan kontraproduktif. Bantuan dan hubungan ekonomi, misalnya, akan makin sering diukur dengan berbagai kriteria non-ekonomi yang cenderung menyudutkan para pengambil keputusan ekonomi, baik di Jakarta maupun di Washington DC.
Waktu Tragedi Atambua terjadi beberapa waktu lalu, Presiden Bank Dunia James Wolfensohn sempat mengeluarkan ancaman agar Indonesia segera bertindak tegas menyelesaikannya. Selama lebih dari 30 tahun, baru pertama kali seorang pejabat tertinggi Bank Dunia menyampaikan ancaman semacam itu secara eksplisit, mengenai sesuatu hal yang sebenarnya tidak berhubungan samasekali dengan pelaksanaan program-program pembangunan dan reformasi ekonomi. Di bawah Gore, hal seperti ini kemungkinan besar akan makin sering terjadi.
Di bidang politik, dampaknya mungkin bukan hanya kontr
aproduktif, tetapi juga bisa tragis. Kini pemerintah dan aparat keamanan membutuhkan kepercayaan diri dan ruang bernafas yang memadai untuk menerapkan hukum serta menyelesaikan persoalan-persoalan separatisme. Pemerintah, polisi, dan tentara sampai sekarang tidak berani bertindak tegas menegakkan otoritas mereka sebagai penegak hukum dan alat pertahanan negara antara lain karena mereka terus dihantui reaksi dunia, yang dalam hal ini paling diwarnai suara Amerika Serikat.
Gore akan membuat suara seperti itu makin nyaring, dan ruang yang ada bagi pemerintah kita untuk mengambil tindakan-tindakan tegas serta mengandung risiko akan makin sempit. Akibatnya mudah ditebak: pemerintah makin ragu mengambil keputusan, kerusuhan sosial serta gelora pemberontakan terus terjadi, dan daftar korban makin panjang. Inilah ironi politik luar negeri yang terlalu moralistik. Ia dijalankan dengan motivasi mulia, tetapi hasil akhirnya justru bisa menambah penderitaan manusia dalam jumlah besar.
*** Berbeda dengan Gore, George W. Bush adalah wakil yang hampir sempurna dari arus realisme dalam politik. Bagi dia dan penasihat-penasihat terdekatnya, seperti Condoleeza Rice, Paul Wolfowitz, dan Jenderal Colin Powell, kebijakan luar negeri hanya mengabdi pada satu tujuan, yaitu kepentingan AS yang riil.
Mereka menyadari keterbatasan kemampuan AS dalam memaksakan kehendaknya di seluruh belahan dunia. Bagi mereka, justru karena posisi AS sebagai satu-satunya negeri adikuasa, maka kaum politisi harus ekstra hati-hati dalam melakukan proyeksi kekuatan ke manca negara.
Bush tentu tidak mungkin menghindar sepenuhnya dari tuntutan agar kebijakan luar negeri pemerintahanya juga mencerminkan sentimen moral rakyat AS yang sangat memuja demokrasi dan hak-hak asasi. Tetapi, orang seperti Bush, Rice, Wolfowitz, dan Powell mengerti, demokrasi hanya bisa tumbuh dalam masyarakat yang telah siap untuk itu. Proses demokratisasi di Asia atau di Afrika tidak bisa terjadi hanya lewat dekrit yang dikeluarkan Gedung Putih.
Bila ternyata Bush cs. ingin dan bisa membantu proses demokratisasi dalam sebuah masyarakat, dalam situasi yang normal mereka cenderung akan melakukannya lebih dengan menekankan metode-metode non-politis, seperti intensifikasi hubungan dan bantuan ekonomi, bantuan pendidikan, kesehatan, dan semacamnya.
Dilihat dari kacamata kepentingan kita, justru hal itulah sekarang yang sebenarnya sangat dibutuhkan.
Jika Gore menjadi Presiden, posisi menteri luar negeri di kabinetnya kemungkinan akan diisi Richard Holbrooke, Dubes AS di PBB yang sangat agresif itu. Lewat Holbrooke kita mungkin akan makin banyak mendapat ceramah dan tuntutan-tuntutan moralistik tanpa pertimbangan yang saksama akan kompleksitas faktor-faktor domestik.
Kalau Bush yang terpilih, salah satu kandidat kuat untuk menduduki posisi penting itu adalah Paul Wolfowitz, tokoh simpatik yang pernah menjadi dubes populer di Jakarta. Berbeda dengan Holbrooke, dia sangat mengerti berbagai kompleksitas yang ada dalam masyarakat Indonesia. Di tangan seorang Wolfowitz (atau Colin Powell), pelaksanaan politik luar negeri AS akan menjadi lebih elegan dan realistis. Dan bagi kita, semua itu tentu lebih baik.
2 November 2000 Pemilu AS, Drama Politik, dan Tuntutan Akal Sehat
sejak awal kampanye, semua orang sudah tahu bahwa persaingan Wakil Presiden Al Gore dan Gubernur Texas George W. Bush akan seru. Tetapi tidak ada satu pun yang menduga bahwa semuanya akan berlangsung seseru dan seketat yang terjadi dalam beberapa hari belakangan ini. Sejak Selasa malam, rakyat AS menyaksikan sebuah drama politik besar yang hanya datang sekali atau dua kali dalam seabad.
Belum pernah terjadi dalam sejarah Amerika modern, jabatan politik tertinggi yang oleh rakyat dianggap sebagai personifikasi sistem demokrasi mereka ditentukan hanya oleh segelintir pemilih.
Empat dekade silam kompetisi antara Richard Nixon dan John Kennedy juga berlangsung ketat. Tetapi perbedaan dukungan bagi keduanya di Negara Bagian Illinois, yang waktu itu menjadi penentu untuk memenangkan jumlah kesel
uruhan dewan pemilih, electoral college, masih berkisar pada angka ratusan ribu.
Sekarang, menurut hasil penghitungan ulang versi Associated Press, Bush berhasil mengungguli Gore di Florida hanya dengan perbedaan 327 suara. Memang, komite pemilu setempat masih menunggu penghitungan kertas suara yang datang dari penduduk Florida yang bermukim di luar AS (mereka memberi batas waktu hingga 17 November). Namun sudah bisa ditebak, komposisi perbedaan suara tidak akan banyak berubah. Karena warga Florida di luar negeri umumnya adalah kaum republikan, Bush tetap akan menang, dengan perbedaan di bawah dua atau tiga ribu suara.
Artinya, kurang dari 0,1 persen dari jumlah pemilih di Florida yang pada akhirnya menentukan siapa yang menjadi presiden ke-43 AS, sebuah jabatan politik yang juga kerap dikatakan sebagai jabatan terpenting di dunia. Oleh kalangan pers AS, kemenangan seperti ini dijuluki sebagai razor-thin victory, kemenangan setipis pisau silet.
Dengan hasil akhir seperti itu, tidak heran jika kubu Al Gore, di bawah pimpinan mantan Menlu Warren Christopher dan Ketua Kampanye William Daley, enggan menerima begitu saja kekalahan mereka. Karena itu, dalam tiga hari belakangan ini rakyat Amerika menyaksikan sesuatu yang hanya disaksikan oleh nenek-moyang mereka pada abad ke-19: dengan mengerahkan pengacara, aktivis, pendeta dan massa, kubu yang terancam kalah menuntut pemilu ulang di beberapa kawasan pemilihan serta membuka kemungkinan yang bisa menggiring negeri mereka ke arah kebuntuan politik.
Akal Sehat Semua itu membuat banyak orang menduga dalam beberapa hari mendatang, retorika politik di kubu kaum republikan dan kubu kaum demokrat akan semakin tajam dan memanas.
Pada hemat saya, krisis dan pertikaian Bush-Gore tidak akan berlangsung terlalu lama. Tuntutan paling keras yang disuarakan oleh kubu Al Gore sesungguhnya bersandar pada argumen yang sangat lemah. Mereka menuduh bahwa desain kertas suara di Palm Beach, sebuah kabupaten di Florida Selatan dengan 400.000 pemilih, membingungkan dan menipu rakyat. Karena kebingungan ini setidaknya ada 3.000-an suara pendukung Gore yang tanpa sadar beralih ke Patrick Buchanan, sebuah jumlah yang cukup besar untuk memenangkan Gore mengingat perbedaan suara yang begitu tipisnya.
Namun, kalau kita perhatikan desain kertas suara yang dalam tiga hari terakhir sudah menjadi buah bibir di setiap rumahtangga di AS itu, sesungguhnya tidak ada hal yang membingungkan di dalamnya. Di situ terlihat sangat jelas bahwa di sisi setiap nama kandidat ada tanda panah yang menunjukkan lingkaran mana yang harus dicoblos. Anak saya yang berumur tujuh tahun pasti bisa memilih lingkaran mana yang ditujukan untuk Bush, Gore, Buchanan, dan seterusnya.
Lagi pula, desain kertas suara itu sudah digunakan pada pemilu empat tahun lalu, dan dibuat oleh kaum demokrat sendiri. Seminggu sebelum Pemilu 2000, contoh kartu suara sudah dikirimkan ke setiap pemilih dan dibicarakan secara luas di setiap koran lokal. Pada saat itu tidak terlontar satu pun keberatan dari warga Palm Beach. Bahkan pada menit terakhir sebelum pemilih mencoblos, tersedia beberapa anggota komite pemilih yang bisa menjawab berbagai pertanyaan kalau masih ada ketidakjelasan yang tersisa.
Dengan semua itu, kalau memang ada yang masih mengklaim, beberapa hari setelah pemilu berlangsung, bahwa pemilu harus diulang karena dia bingung, apakah itu bukan sesuatu hal yang terlalu dicari-cari" Apakah rakyat AS begitu bodohnya sehingga untuk mengerti arah tanda anak panah saja tidak bisa, dan memerlukan satu atau dua hari untuk merenungkannya" Setiap pemilih adalah warga dewasa yang harus bertang-gungjawab terhadap tindakannya. Kalau mereka keliru dan bingung, kenapa 100 juta pemilih lainnya harus menanggung akibatnya"
Karena menyadari lemahnya argumen kubu Al Gore dan potensi bahaya dari retorika politik yang memanas serta ketidakpastian politik yang berlarut-larut, sejumlah tokoh dan organisasi yang semula mendukung Gore sudah mulai berbalik arah. Contoh paling jelas bisa terlihat pada koran paling berpengaruh di AS, yaitu
The New York Times dan The Washington Post. Kedua koran ini secara terbuka mendukung Gore sebelum pemilu kemarin. Tetapi, dalam tajuk rencana yang terbit Jumat, 10 November, mereka mengecam keras langkah-langkah kubu Gore.
The New York Times menulis, tindakan mereka akan "meracuni udara politik", sementara The Washington Post menuding bahwa William Daley yang memimpin tim "perlawanan" kaum demokrat di Florida telah mengayun "langkah-langkah lebih lanjut yang tidak bertanggungjawab". Kedua koran ini secara implisit menganjurkan agar Gore menerima kekalahan dengan besar hati, kalau penghitungan suara terakhir pada 17 November memang menunjukkan posisi Bush tetap tak tergoyahkan.
Dan saya kira Gore akan tunduk pada tuntutan akal sehat semacam itu. Demokrasi Amerika yang dasar-dasarnya dicip-takan oleh Thomas Jefferson dan James Madison terlalu besar dan terlalu penting untuk dihancurkan hanya oleh ambisi kekuasaan segelintir orang.
Setelah drama politik ini berakhir, rakyat AS akan kembali melihat kehidupan politik yang berjalan normal. Bertahun-tahun kemudian, mereka akan mengenang Pemilu 2000 sebagai salah satu ujian yang membuktikan bahwa sistem demokrasi mereka adalah sistem yang matang, dan mereka layak ber-bangga karenanya.
12 November 2000 Darurat Sipil di Cincinnati
"KERUSUHAN SUDAH TAK TERKENDALIKAN LAGI. Kaum perusuh telah membahayakan keselamatan serta harta benda penduduk kota kita. Dengan sangat menyesal saya memutuskan, mulai malam ini seluruh kawasan kota berada dalam situasi darurat sipil."
Itulah yang dikatakan Charles Luken, Walikota Cincinnati, Kamis dua pekan lalu, 12 April, di hadapan wakil masyarakat yang memenuhi gedung DPRD setempat. Dengan pengumuman ini, Cincinnati, salah satu kota besar AS di Negara Bagian Ohio yang cukup banyak menyimpan sejarah perjuangan anti-per-budakan, berada langsung di bawah komando polisi dan walikota. Kebebasan dibatasi dan warga kota dilarang ke luar rumah dari pukul 8 malam hingga pukul 6 keesokan paginya.
Keputusan drastis itu adalah reaksi terhadap rangkaian peristiwa yang berlangsung beberapa hari berturut-turut sejak tewasnya Timothy Thomas, seorang pemuda berkulit hitam, di tangan seorang polisi berkulit putih. Bagi warga keturunan Afrika di Cincinnati, tindakan polisi yang sewenang-wenang ini adalah cermin dari ketidakadilan rasial. Buat mereka, prasangka polisi sudah sedemikian buruknya sehingga setiap orang berkulit hitam yang dianggap mencurigakan akan ditahan atau ditembak tanpa penyelidikan yang lebih saksama.
Tidak aneh, dengan amarah yang meluap, berbagai kelompok warga keturunan Afrika melakukan protes terhadap kematian Timothy Thomas. Pada hari pertama, ungkapan protes mereka di pusat kota berlangsung cukup tertib. Namun, di hari kedua berubah: mereka mulai melempar, membakar, dan menjarah. The Cincinnati Enquirer, salah satu koran lokal yang cukup ternama, menggambarkan bahwa saat itu sebagian kawasan kota yang mereka cintai sudah mirip Lebanon, sebuah daerah tak bertuan yang mengerikan.
Situasi tak berubah pada hari ketiga. Malah, sebagian warga kaum hitam sudah semakin kehilangan kendali. Mereka mulai menyakiti warga lainnya yang tak berdosa. Salah seorang di antara mereka bahkan menembak seorang polisi, yang untungnya waktu itu sedang memakai rompi anti-peluru.
Setelah penembakan polisi itulah Charles Luken lalu memutuskan pemberlakuan undang-undang darurat sipil. Dia dan para anggota DPRD Cincinnati, yang sebagian adalah politisi keturunan Afrika, tidak melihat pilihan lain.
Mereka ingin mencegah terjadinya eskalasi kerusuhan dengan sikap tegas; kalau perlu, dengan senjata. Malah, Charles Luken juga menegaskan bahwa bila kerusuhan semakin meningkat dalam beberapa hari, ia tidak akan segan untuk meminta turunnya tentara cadangan, The National Guard, yang lebih terlatih untuk bersikap keras.
Yang menarik, keputusan Walikota Cincinnati seperti itu tidak diprotes secara luas oleh publik Amerika. Bahkan setelah keputusan itu diambil, pers nasional AS tidak menganggap Charles Luken melakukan tindakan kontrove
rsial yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan dan hak-hak asasi. The New York Times, koran paling berpengaruh di AS, tidak menulis tajuk tentang hal ini. Berita mengenai kebijakan tegas di Cincinnati hanya dimuat di halaman A10.
Koran-koran lokal di Negara Bagian Ohio memang mengulas peristiwa itu dengan panjang-lebar. Berbagai sudut persoalan yang ada di Cincinnati dibahas dengan mendalam, seperti persoalan ketimpangan rasial, kemiskinan, dan prasangka polisi. Namun, tidak ada satu pun berita yang mempertanyakan atau mengkritik keputusan pemberlakuan situasi darurat sipil itu. Di koran-koran ini akan sia-sia kalau kita mencari kutipan dari kaum aktivis hak asasi manusia yang biasanya dikenal galak-di negeri orang ataupun di negeri mereka sendiri.
Mengapa publik Amerika diam saja terhadap pemberlakuan situasi darurat sipil itu" Apakah karena dalam hal ini sasarannya adalah kaum berkulit hitam" Saya kira tidak. Dalam satu hal, itu harus dimengerti secara historis.
Dalam sejarah negeri ini, belum pernah terjadi peristiwa aparat keamanan memakai otoritas mereka yang khusus, seperti yang dimungkinkan oleh situasi darurat itu, untuk merebut kekuasaan dari kaum politisi. Rakyat Amerika tidak pernah mengalami hidup di bawah "rezim keamanan" dan, karena itu, mereka terbebas dari trauma sejarah yang banyak ditemukan di negeri sedang berkembang, termasuk di negeri kita.
Dalam hal lain lagi, hal itu mungkin lebih berhubungan dengan pandangan umum mengenai hubungan order dan kebebasan. James Madison, salah seorang perumus konstitusi AS pada akhir abad ke-18, pernah berkata bahwa tanpa ketertiban dan aturan hukum yang tegas, tidak akan ada kebebasan dan hak-hak asasi. Kedua hal terakhir ini harus diperjuangkan dan dijunjung tinggi oleh setiap individu, tapi semuanya harus berlangsung dalam kerangka hukum yang jelas dan tanpa merugikan atau membahayakan individu lainnya. Pandangan inilah yang menjadi semacam kesepakatan bersama, sebuah kontrak sosial yang mengatur hubungan rakyat dan pemerintah yang mereka pilih sendiri. Hal ini menjadi dasar filosofis yang dipegang teguh dan tak pernah dipertanyakan lagi.
Apa yang dilakukan oleh Walikota Charles Luken di Cincinnati, karena itu, bisa dilihat sebagai sebuah penegasan kembali pandangan semacam itu, dalam bentuknya yang sangat eksplisit. Jadi, kita tidak perlu heran jika keputusan dia berlalu begitu saja tanpa penolakan keras dari publik Amerika.
29 April 2001 Presiden Bush dan Pertaruhan Amerika
drama akbar itu berakhir sudah. Rabu (13/12) malam pekan lalu, lewat pidato yang memukau, Wakil Presiden Al Gore dengan besar hati menerima kekalahannya dan menyampaikan selamat buat George W. Bush. Apa yang bermula sebagai konflik partisan antara dua kandidat dan dua partai politik me -ngenai jumlah suara yang mereka dapatkan dalam Pemilu 2000, berakhir dengan peneguhan kembali kebesaran Amerika. Dalam persaingan, mereka bertarung sepenuh hati seperti beruang yang terluka, tetapi setelah hakim bicara, semua pihak patuh dan menerima keputusan pengadilan, betapapun menyakitkan keputusan itu.
Tanggungjawab kepemimpinan di negeri pelopor demokrasi ini akan segera beralih ke pundak George W. Bush. Pada 20 Januari nanti dia akan disumpah sebagai Presiden ke-43 Amerika Serikat, menggantikan Bill Clinton. Di depannya sudah terbentang setumpuk masalah besar dan sejak sekarang dia harus meyakinkan rakyatnya, dia pantas mendapat kehormatan untuk memimpin mereka semua.
Im a uniter, not a divider, saya seorang pemersatu, bukan pemecah-belah. Inilah mantra Bush selama masa kampanye pemilu. Setelah dilantik nanti, tantangan pertama yang dihadapi adalah bagaimana ia mewujudkan mantra itu setelah perseteruan pasca-pemilu yang luarbiasa seru selama 36 hari. Ia harus mampu merangkul kembali pendukung Partai Demokrat yang merasakan kepahitan mendalam akibat kekalahan mereka di Florida. Sebagai presiden, Bush dituntut menunjukkan bahwa pemerintah yang dipimpinnya akan membela dan mengangkat nasib mereka.
Dalam dunia kebijakan, tantangan terbesar Bush bersumber pad
a masalah klasik dalam kapitalisme modern, yaitu bagaimana ia merumuskan kembali perimbangan peran negara dan pasar, bagaimana ia mengatasi tarik-menarik antara langkah-langkah birokratis dan aksi-aksi sukarela di masyarakat. Sebagai wakil kaum Republikan, agenda kebijakan Bush selama masa kampanye dengan jelas memperlihatkan, ia ingin mengikuti jejak Ronald Reagan dan mendorong perluasan peran pasar dengan inovasi-inovasi yang berani.
Hal ini, misalnya, terlihat dalam programnya melakukan pemotongan pajak yang besar (1,3 triliun dollar AS selama 10 tahun ke depan) dan pada saat yang sama mendorong langkah-langkah privatisasi program kesejahteraan sosial, social security. Program terakhir ini, yang dimulai Presiden Franklin D. Roosevelt pada 1935, adalah ikon paling penting negara kesejahteraan ala Amerika, dan karena itu sering dianggap sakral, bahkan juga oleh kaum Republikan.
Bagi Bush dan para penasihat terdekatnya, kedua pilihan kebijakan besar itu penting dilakukan mengingat dalam 10 tahun ke depan, karena pertimbuhan ekonomi yang pesat, pemerintah AS akan menikmati surplus besar, yaitu sekitar 2,2 triliun dollar AS. Surplus yang fantastis ini tidak boleh digunakan pemerintah untuk makin memperluas perannya. Rakyatlah yang harus langsung menikmati rezeki itu, dalam bentuk pemotongan pajak yang tidak pandang bulu, across the board.
Ketimbang kaum birokrat dan politisi, rakyatlah yang lebih tahu bagaimana membelanjakan uang sebesar itu.
Dari Langit Karya Rizal Mallarangeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Memang tidak begitu jelas bagaimana Bush bisa memotong pajak yang demikian besar sekaligus membiayai privatisasi program kesejahteraan sosial yang lebih sering dikenal sebagai program jaminan pensiun, sebagaimana diinginkannya. Namun, dalam pikiran dia dan para penasihatnya, Amerika tidak punya pilihan selain melakukan langkah berani ini, sebab tanpa privatisasi, program sosial terpenting itu akan bangkrut dalam satu generasi ke depan.
Kini tiga pekerja di AS menanggung seorang pensiunan (setiap pekerja harus membayar pajak jaminan kesejahteraan yang langsung digunakan negara federal untuk membiayai kaum pensiunan). Dalam 20 tahun, karena perkembangan demografis yang tidak terhindarkan, perimbangan ini akan menjadi 2,1:1. Artinya hanya sekitar dua orang yang bekerja untuk menanggung seorang pensiunan. Akibatnya, pada 2020, tanpa program privatisasi kesejahteraan sosial, negara tidak lagi mungkin membiayai puluhan juta kaum berumur yang kebanyakan menggantungkan hidupnya pada program itu. Bisa dibayangkan malapetaka seperti apa yang akan menunggu jika ini terjadi.
Singkatnya, Bush ingin agar pasar-bukan pemerintah serta kaum birokrat-yang berdiri di posisi terdepan menyongsong peluang menghadapi tantangan Amerika di masa depan. Inilah perbedaan hakiki antara Bush dan Gore, antara kaum Republikan dan kaum Demokrat, dan ini pula yang menjadi pertaruhan politik terbesar dalam pemilu yang baru saja berakhir.
Pertanyaannya kemudian, mampukah Bush menghadapi tantangan-tantangan besar itu dan mewujudkan agenda politiknya" Dengan mandat memerintah yang amat terbatas karena dia hanya mengalahkan Al Gore dengan selisih suara amat tipis, bisakah Bush mengambil langkah-langkah besar dan berani"
Hanya sejarah yang akan menjawab semua itu. Hambatan yang ada di depan Bush kini luarbiasa besar, seperti Gunung Himalaya politik yang sulit didaki. Dari hasil Pemilu 2000, komposisi kursi di Kongres terbagai hampir sama rata antara kaum Republikan dan kaum Demokrat. Di Senat (lembaga perwakilan negara bagian) perimbangannya persis 50-50 dan di House of Representatives (DPR) kaum Republikan hanya unggul 11 kursi, sebuah jumlah yang jauh dari memadai untuk mendukung agenda politik Bush.
Dalam sistem politik AS, jika perimbangan seperti itu terjadi, biasanya yang akan tercipta adalah apa yang sering disebut political gridlock, kebuntuan politik. Dalam situasi semacam ini, tidak satu pun inisiatif kebijakan mendasar dapat dilahirkan.
Satu-satunya cara agar Bush bisa menghindari situasi demikian adalah dengan berusaha merangkul kaum Demokrat yang moderat, yaitu mereka yang selama ini
dikenal sebagai The New Democrats. Ia harus bisa melakukan hal ini tanpa meninggalkan basis pendukungnya di Partai Republik, dan tanpa berkompromi terlalu jauh dalam pelaksanaan agenda yang sudah ia janjikan selama pemilu.
*** Semua hal itu amat tidak mudah. Satu-satunya harapan, Bush mungkin bisa berhasil mengatasinya terletak pada kualitas kepemimpinan Bush sebagaimana tercatat selama dia memainkan peran sebagai Gubernur Texas, salah satu negara bagian terbesar di AS.
Bush bukan seorang ideolog, dan dia tidak memiliki minat untuk menjadi filsuf-negarawan. Namun, selama memimpin Texas, dia membuktikan dirinya sebagai seorang deal-maker ulung, dengan kepribadian menarik yang dengan alamiah gampang menarik simpati banyak orang. Di negara bagian yang kaya minyak ini, Bush amat berhasil dalam bekerjasama dan menarik dukungan kaum Demokrat.
Apakah langkah-langkahnya yang berhasil di Texas juga bisa diterapkan di Washington DC" Sebagian pengamat cukup skeptis terhadap hal ini. Tetapi, sebagian lagi tetap menaruh harapan besar. Kalau kaum skeptis yang benar, pada Pemilu 2004 kita akan melihat Al Gore (atau Senator Hillary Clinton) merontokkan pemerintahan Bush. Namun, jika kaum optimistis yang benar, George W. Bush akan mencatatkan namanya dengan tinta emas dalam sejarah Amerika, sebagaimana yang dilakukan Ronald Reagan lebih sepuluh tahun lalu.
19 Desember 2000 Setelah Perang perang usai sudah, dan kini kita bertanya bagaimana nasib Irak selanjutnya. Sejarah akan menilai Perang Teluk II bukan pada prosedur terjadinya, melainkan pada hasil akhirnya, yaitu Irak yang demokratis dan meninggalkan segala kepahitan yang dialaminya di bawah kepemimpinan Saddam Hussein. Kalau hal ini tercapai, Perang Teluk II akan dicatat sebagai perang yang membebaskan, bukan sebaliknya.
Sejauh ini cukup banyak kalangan yang meragukan bahwa Irak akan mengikuti keberhasilan Jepang dan Jerman. Di akhir Perang Dunia II, kedua negeri ini porak-poranda (jauh lebih buruk ketimbang Irak) dan diduduki oleh pasukan sekutu yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Tapi setelah itu, yang terjadi adalah keajaiban. Dalam satu dekade, keduanya menjadi negeri demokrasi yang stabil. Dan setelah itu, dari puing-puing kehancuran, mereka tumbuh menjadi dinamo ekonomi yang bahkan dapat menyaingi negeri-negeri penakluk mereka.
Irak tidak mungkin mengulang pengalaman kedua negeri itu. Masyarakat Jepang dan Jerman adalah masyarakat yang relatif homogen, sementara masyarakat Irak terpecah tajam dalam garis-garis etnis dan agama. Jauh sebelum PD II, Jepang dan Jerman telah mengadopsi modernitas dan telah tumbuh menjadi dinamo industri. Jepang pada 1905 telah mengalahkan Rusia pada saat Irak masih di bawah penaklukan Imperium Ottoman.
Singkatnya, bagi kaum yang pesimistis, Irak dalam tahun-tahun mendatang adalah negeri yang akan semakin terperosok dalam kelam, dengan siklus kekerasan yang tanpa henti. Nasib Somalia dan Haiti, bukannya Jepang dan Jerman, adalah masa depan Irak.
Tapi betulkah" Tentu saja jalan Irak akan lebih panjang dan sulit ketimbang apa yang telah dialami Jepang dan Jerman. Masyarakat Irak memang terbelah dalam garis etnis (Arab dan Kurdi) dan agama (Sunni dan Syiah). Tapi kemajemukan bukanlah musuh demokrasi. Dengan konstruksi sistem politik yang tepat, ia malah dapat menjadi sumber kekuatan.
Saya setuju dengan pandangan Thomas Friedman, kolumnis The New York Times yang tajam itu, bahwa keunikan Irak adalah karena ia merupakan satu-satunya negeri di dunia Arab yang memiliki empat hal sekaligus, yaitu minyak, air, otak, dan tradisi sekularisme. Arab Saudi dan Kuwait hanya memiliki minyak, Israel cuma punya otak, sementara di Suriah dan Mesir hanya ada air dan tradisi sekularisme.
Dengan modal semacam itu, tidak ada alasan bangsa Irak tidak bisa mulai membangun negerinya. Dengan jatuhnya rezim Saddam Hussein, peluang itu sekarang terbuka. Kalau ada yang bisa Irak pelajari sekarang dari Jepang dan Jerman, hal itu terletak pada kemampuan kedua negara ini untuk segera melupakan kepahitan masa lalu dan lebih memikirkan m
asa depan segera setelah perang usai. Menolak sikap defeatism, bangsa Jepang dan Jerman tidak mengorek luka mereka terus-menerus. Bahkan terhadap AS, sang penakluk mereka, kedua negeri ini bersikap konstruktif. Bukannya meminta AS segera hengkang setelah situasi normal kembali, Jepang dan Jerman justru menggunakan negeri adikuasa ini untuk terus membela dan membantu mereka dalam masa-masa sulit selama Perang Dingin, bahkan hingga saat ini.
Memang, keberhasilan Irak juga tidak ditentukan hanya oleh diri mereka sendiri, setidaknya untuk saat ini.
Sekarang peranan AS adalah sebuah force majeure. Tidak ada yang dapat memulihkan kembali hukum dan ketertiban di Irak dalam dua atau tiga bulan ke depan kecuali kekuatan AS (kekuatan PBB hanya macan kertas, sebagaimana terbukti di Bosnia dan Rwanda beberapa tahun silam). Negeri penakluk ini harus menjamin bahwa infrastruktur dan berbagai kebutuhan dasar kembali tersedia, serta birokrasi pemerintahan yang minimal dapat berfungsi kembali. Namun, setelah itu apa"
Yang saya khawatirkan adalah, karena desakan politik dalam negeri atau karena hal lainnya, AS cepat angkat kaki dari Irak, seperti yang terjadi di Somalia setelah puluhan tentaranya tewas oleh amukan massa. Fareed Zakaria menulis di majalah Newsweek pekan silam bahwa Negeri Abang Sam bisa segera hengkang atau membantu membangun demokrasi di Irak, tetapi tidak keduanya sekaligus.
Sejak awal, selain alasan keamanan nasional, Presiden Bush dan para pembantunya, seperti Dick Cheney, Donald Rumsfeld, Condoleeza Rice, dan Paul Wolfowitz, menyiratkan bahwa perang terhadap rezim Saddam Hussein dilakukan berdasarkan prinsip democratic imperialism.
Dalam menjalankan peran sebagai imperator demokrasi, AS tentu bisa bertindak bijaksana dengan mengajak semakin banyak negara untuk terlibat di dalam proses pemerintahan transisi dan pembangunan kembali infrastruktur Irak. Dalam hal ini peran PBB sangat penting, setidaknya untuk memperkuat aspek legitimasi dan meyakinkan rakyat Irak bahwa dunia bersama mereka. Setelah Perang Dunia II, Sir Winston Churchill pernah berkata, in war resolution, in peace magnamity. Kearifan ini harus disuarakan kembali oleh Presiden Bush dan para pembantunya.
Setelah lima tahun menjadi semacam prokonsul Romawi di Jepang, Jenderal MacArthur kembali ke negerinya dengan diiringi tangis oleh sebagian warga di Tokyo. Dua tahun setelah kepergian MacArthur, AS memulihkan sepenuhnya kedaulatan pemerintahan Jepang, yang samasekali sudah meninggalkan cirinya yang militeristik dan otoriter.
Dengan kebijakan yang tepat, dan juga sedikit keberuntungan, hal itu. bukan tidak mungkin terulang di Irak.
Yang jelas, jika Irak memang bisa memanfaatkan peluang yang sekarang terbuka, di kawasan Timur Tengah akan muncul sebuah model negara yang baru samasekali. Di kawasan ini demokrasi dan pembangunan ekonomi adalah kata-kata yang asing. Sebagaimana Jepang memberi contoh keberhasilan pada negeri-negeri di Asia Timur, Irak bisa menjadi mercusuar dan memulai sebuah proses yang menguak harapan negeri-negeri tetangganya.
27 April 2003 Sirkus Amerika" bagi juwono sudarsono, panggung politik Amerika Serikat saat ini sudah menyerupai sirkus (Gatra, 5 Juli 1997). Dengan sejumlah aktor pemeran-seperti senator, presiden, pengusaha, aktivis buruh, dan wartawan-Amerika mempertontonkan proses politik yang hanya layak menjadi bahan tertawaan.
Betapa tidak" "Untuk beberapa bulan selama 1995-1996," tulis Juwono, "Gedung Putih berubah menjadi hotel penginapan orang-orang Asia." Dengan contoh ini, antara lain, Juwono ingin menggambarkan bahwa sirkus Amerika itu ternyata adalah pertunjukan yang dimaksudkan bukan untuk menyenangkan penontonnya (yaitu rakyat Amerika), melainkan hanya untuk mengeruk keuntungan buat para pemeran sirkus itu sendiri. Para pemain sirkus itu berkolusi!
Bisakah sirkus itu diubah, direformasi" Tak mungkin lagi. Bagi Juwono, panggung politik Amerika sudah sedemikian parahnya sehingga usaha perubahan apapun pasti akan sia-sia. Sambil mengutip sebuah film klasik Hollywood, Mr. Smith Goes
to Washington, Juwono berkata bahwa tipe politikus seperti Mr. Smith, seorang politikus yang jujur dan idealis, sudah tak mungkin lagi ditemukan di Washington. Zaman bagi aktor politik yang jujur sudah lewat.
Apa yang bisa kita katakan terhadap "analisis" politik Amerika seperti ini" Pertama-tama tentu kita bisa perlihatkan kepada Juwono, beberapa fakta yang disodorkannya, kalau bukan keliru, sangatlah bersifat selektif.
Katakanlah soal Gedung Putih yang menurutnya berubah menjadi "hotel penginapan orang-orang Asia", selama beberapa bulan itu. Memang beberapa "kawan dekat" Clinton yang berkebangsaan Asia diundang menginap di Gedung Putih, termasuk di antaranya barangkali adalah James Riady, bos Grup Lippo. Tak perlu diragukan lagi bahwa selain sopan santun perkawanan, undangan menginap ini juga pasti bermotif ekonomi (Clinton butuh dana kampanye).
Tapi kita tak boleh lupa bahwa selama masa kepresidenan Clinton, ribuan orang sudah berkunjung ke Gedung Putih, dan ratusan di antaranya sempat diundang menginap oleh keluarga Clinton. Jadi para pengusaha Asia itu hanya sebagian kecil dari "tamu-tamu istana". Sebagian besar lainnya malah, menurut Harian The New York Times, bukanlah pengusaha. Mereka berasal dari berbagai kalangan: artis, penyair, penulis, pemenang Hadiah Nobel, kawan lama Clinton dan Hillary, tokoh masyarakat, serta bekas pejabat.
Dengan kata lain, kalau kita tak terlalu selektif memilih fakta seperti yang dilakukan Juwono, kita justru bisa berkata bahwa beragamnya tamu yang menginap di Gedung Putih sesungguhnya bisa menjadi semacam simbol yang mencerminkan betapa pusat kekuasaan di Amerika bersifat terbuka. Pusat kekuasaan tak dianggap angker, terisolasi, unfriendly. Berapa banyak sih istana kepresidenan di dunia ini yang demikian terbuka bagi publik"
Selain pemilihan fakta yang selektif seperti itu, Juwono tampaknya terlalu terpaku pada ekses, sehingga lupa untuk lebih memperhatikan substansi proses politik serta hakikat kekuasaan di Amerika.
Memang seringkali politisi dan pemimpin di Negeri Paman Sam ini bertindak aneh-aneh, menurut ukuran kita. Apa yang mereka lakukan sering menggelikan, seperti pemain sirkus politik. Lebih jauh lagi, dalam banyak forum publik, sikap saling menuduh dan saling menyalahkan sering muncul di antara mereka. Mereka saling sikat dan saling sikut. Kalau Thomas Hobbes, filsuf Inggris di abad ke - 17, hidup lagi sekarang, maka dia mungkin berkata bahwa kebenaran teorinya ternyata sudah terbukti di Washington: seorang politikus adalah srigala bagi politikus lainnya.
Mengapa ekses-ekses seperti ini sampai terjadi" Sebabnya tak lain adalah tingkat kompetisi politik yang sangat tinggi. Di Amerika tak dikenal sistem komando dan sistem penyeragaman. Politisi mereka tak mengenal metode 4-D (datang, duduk, diam, duit). Kalau "mandataris" mereka, yaitu Presiden Clinton, bilang A, jangan harap kemudian akan terdengar suara kor berkepanjangan menyerukan A.
Politisi Amerika harus bertarung, beradu argumen untuk memengaruhi kebijakan publik. Ia harus membuktikan bahwa ia memang layak mewakili kepentingan kelompok yang memilihnya. Kalau tidak, ia tak lagi akan terpilih dalam pemilihan berikut.
Dengan tingkat kompetisi yang tinggi semacam ini, Amerika dapat menyalurkan berbagai aspirasi masyarakatnya yang sangat majemuk. Rakyat Amerika adalah rakyat yang cerewet, kritis, dengan kepentingan yang sangat beragam. Dengan rakyat seperti ini, wajar saja jika politisi mereka harus pula menari-nari dengan banyak kepentingan, tuntutan, dan harapan.
Rahasia Bunga Cubung Biru 3 Telapak Emas Beracun Jan Jin Que Yu Karya Gu Long Memanah Burung Rajawali 34
Dalam hal inilah sebenarnya terletak salah satu perbedaan antara saya serta Goenawan Mohamad dan ketiga aktivis Koalisi Ornop tersebut. Kami tidak berpikir bahwa ada satu golongan pun yang berhak mengatakan bahwa dirinya adalah pihak yang mewakili nurani dan kebenaran (atau, dalam istilah favorit Mochtar Pabottingi cs., "kepentingan jangka panjang"). Para guru besar dan kaum intelektual pun bisa berpikiran sempit, dengan moral yang bobrok.
Titik berangkat kami berdua adalah Pemilu 1999. Dengan segala kekurangannya, pemilu ini adalah Pemilu yang sah, yang menghasilkan sekian banyak politisi di parlemen yang berhak mengatakan bahwa merekalah wakil rakyat yang legitimate. Dan dalam sistem hukum kita, salah satu kewenangan mereka adalah mengubah dan merumuskan konstitusi.
Tentu saja, aspek legal-formal dan prosedural semacam ini bukanlah akhir dari semua argumen. Bisa saja sebuah metode pengambilan keputusan yang benar dan sah menghasilkan sebuah hal yang secara substantif keliru, serta dalam konsekuensinya berbahaya secara ekstrem bagi rakyat banyak. Jika hal ini terjadi, terbuka kemungkinan untuk mengkritik, bahkan menolak metode yang sah tersebut.
Karena itu, hasil atau produk keputusan yang dihasilkan oleh suatu prosedur yang benar juga perlu dikaji. Jadi, dalam hal ini yang harus dilihat bukanlah kualitas para perumusnya (kaum politisi di parlemen, misalnya) tetapi produk-produk konkret yang mereka hasilkan.
Di sinilah biang perkara berikutnya yang dipersoalkan oleh Bambang Widjojanto, Todung Mulya Lubis, dan Mochtar Pabottingi harus dipersoalkan. Betulkah, seperti yang dikatakan oleh Mochtar Pabottingi, misalnya, bahwa secara substansial
"hasil rangkaian amandemen atas UUD 1945 samasekali tidaklah memodali negara kita untuk melangkah lebih maju..."" Dalam konteks transisi demokrasi, apakah Konstitusi 2002 dengan empat amandemennya sepenuhnya merupakan langkah mundur, atau sebaliknya"
Untuk mendukung pendapat yang samasekali negatif, seperti yang dilontarkan oleh Mochtar Pabottingi, harus ada susunan argumen yang logis yang menerangkan bahwa pemilihan langsung presiden dengan dua tahap, misalnya, atau pelucutan wewenang MPR dalam menunjuk presiden sebagai mandataris adalah hal-hal yang akan meruntuhkan atau mengacaukan proses transisi demokrasi.
Sayangnya, Mochtar Pabottingi cs. tidak kunjung membangun argumen semacam itu. Yang muncul adalah argumen-argumen yang mencampuradukkan antara apa yang ada dalam aturan-aturan tertulis yang merupakan produk hukum tertinggi (konstitusi) dan kenyataan bobroknya situasi politik kita sekarang ini. Kita bisa sepaham bahwa situasi politik sekarang sedang dalam krisis yang menyedihkan, tetapi kita bisa berbeda dalam melihat apakah sebuah aturan merupakan aturan yang baik dan ideal untuk membantu menyelesaikan krisis tersebut.
Selain itu, ada pula argumen-argumen mereka yang menyamakan begitu saja kelemahan yang merupakan bagian dari ketidaksempurnaan dengan kekeliruan yang secara ekstrem berbahaya bagi kehidupan demokrasi. Dalam soal hubungan DPR dan presiden, misalnya, seperti yang saya singgung dalam kolom saya sebelumnya, sayang sekali bahwa prinsip check and balances tidak tampak secara eksplisit. Bagi Bambang Widjojanto dan Mochtar Pabottingi, kelemahan semacam ini menandakan bahwa langit sudah runtuh.
Mereka lupa bahwa prinsip itu tetap terkandung dalam Konstitusi 2002, walau secara implisit. Bahwa hal ini bisa membawa konflik kelembagaan di masa depan, tentu saja. Tapi konflik semacam ini, kalau toh terjadi, tetap bisa dihadapi secara kreatif dalam aturan-aturan yang ada (oleh Mahkamah Konstitusi, misalnya). Dalam hal ini harus diingat bahwa di Amerika Serikat hingga hari pun ini ketegangan kelembagaan dalam kasus-kasus tertentu, antara lembaga presiden dan Kongres dalam memutuskan tindakan ekstrem seperti perang, masih tetap terjadi.
Jadi kelemahan memang ada, tetapi Goenawan Mohamad dan saya melihatnya lebih sebagai bagian dari ketaksempurnaan yang mungkin tidak dapat dihindari dari proses politik demokratis, setidaknya untuk saat ini.
Singkatnya, buat kami, langit belum runtuh. Malah sebaliknya. Dari segi substansinya, empat amandemen yang dikandung dalam Konstitusi 2002 adalah sebuah lompatan ke depan dalam konteks transisi demokrasi.
Sejak awal kemerdekaan, salah satu soal besar yang ada dalam sistem ketatanegaraan kita adalah masalah yang berhubungan dengan hak-hak politik individu dan kewenangan negara. Kemerdekaan berpendapat, misalnya, diakui secara malu-malu, yang membuka kemungkinan bagi aparat negara untuk mengesahkan secara hukum tindakan mereka yang merampas kebebasan berpendapat. Soekarno melakukan hal ini, demikian pula Soeharto. Mereka dapat melakukan hal demikian tanpa jelas-jelas dianggap melanggar UUD 1945.
Sekarang semua itu sudah berbeda, karena pengakuan terhadap hak-hak politik individu ditulis se
cara eksplisit, tidak lagi malu-malu. Kalau Mochtar Pabottingi cs. mengatakan bahwa tidak ada paradigma baru yang tampak dalam Konstitusi 2002, saya kira mereka keliru: pergeseran perimbangan legal antara negara dan individu, antara otoritas publik dan batas kebebasan, adalah pergeseran paradigmatik yang tidak kecil artinya.
Kaum politisi, kata Alexander Pope, penyair Inggris abad ke-18, tak mungkin terhindar dari kearifan-kearifan masa silam.
Kalimat-kalimat yang tertulis dalam Konstitusi 2002 mungkin memang cukup sederhana, tapi ia adalah hasil pergulatan panjang dalam sejarah, yang dari segi konseptual perdebatannya sudah dimulai bukan hanya sejak adanya Panita Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tiga tahun silam, tetapi sudah ada sejak awal kemerdekaan, bahkan sejak awal pergerakan kebangsaan kita.
Demikian pula dengan beberapa pasal lainnya, seperti bertahannya hubungan agama dan negara sebagaimana yang selama ini telah kita kenal, bergesernya kekuasaan pusat ke daerah, munculnya lembaga baru seperti Dewan Perwakilan Daerah serta Mahkamah Konstitusi, serta diterimanya metode pemilihan presiden secara langsung.
Semua ini adalah unsur kelembagaan baru yang telah hadir dalam bentuk gagasan di masyarakat bukan hanya dalam era reformasi dalam empat tahun terakhir ini.
Bahwa semua itu tidak otomatis akan membuat kita lebih demokratis secara seketika, saya kira kita semua sepakat. Tetapi pandangan yang mengatakan bahwa unsur-unsur baru itu samasekali tidak berguna, atau justru akan menghambat proses demokrasi, pada hemat saya adalah pandangan yang terlalu pesimistis.
Karena itulah mungkin tidak berlebihan jika peran MPR dalam mengetuk hasil akhir rangkaian perubahan konstitusi pada Agustus silam diberi apresiasi yang layak. Apa yang perlu dikecam harus dikecam. Demikian pula, jika sesuatu yang baik muncul, seharusnya kita bisa berkata, our compliment is in order.
Dan yang menarik buat saya adalah sebuah fakta bahwa pembaruan penting bisa juga dilahirkan oleh sebuah lembaga perwakilan yang tak berisi tokoh pendiri bangsa sekaliber Soekarno, Hatta, Sjahrir. Para politisi di Senayan saat ini hanyalah sejenis aktor di panggung publik yang dengan mudah padanannya dapat kita temukan di lembaga parlemen di negeri demokratis mana pun.
Sebagian orang mungkin menangis sedih, dan sebagian lagi meluapkan kecaman, terhadap ketiadaan tokoh-tokoh besar tersebut. Tapi bagi saya justru di situlah salah satu kelebihan Konstitusi 2002: ia lahir lewat tangan-tangan kaum politisi yang, seperti kata Goenawan Mohamad, bukanlah wakil Tuhan, dan bukan pula wakil para setan.
Dari tangan-tangan seperti itu tak terhindarkan adanya berbagai kelemahan. Tapi republik kita memang bukan republik Plato, di mana kesempurnaan datang dalam sebuah paket besar sekaligus.
20 Oktober 2001 Tunda Dulu Sistem Distrik
dalam menyusun sistem politik baru yang demokratis, kini kita dihadapkan pada beberapa pilihan politik yang mendasar. Salah satu pilihan itu berhubungan dengan sistem pemilihan (electoral system) yang akan diterapkan untuk menentukan para politisi yang berhak memperoleh kursi di lembaga legislatif. Sejak pemilu pertama pada 1955 hingga pemilu terakhir Orde Baru, sistem yang berlaku adalah sistem proporsional. Kini kita harus menentukan, apakah sistem yang sama dilanjutkan atau kita memilih sistem yang samasekali baru, yaitu sistem distrik"
Kalau kita ikuti pendapat yang populer di kalangan tokoh-tokoh reformis saat ini, jawaban terhadap pilihan itu tampaknya sudah agak jelas: sistem distrik akan diperjuangkan sebagai sistem baru dalam pemilu yang akan datang. Argumen para tokoh reformis itu bervariasi, namun pada intinya mereka beranggapan bahwa dengan sistem distrik para pemilih akan lebih mengenal tokoh yang dipilihnya. Karena itu, menurut mereka, dengan menggunakan sistem ini kualitas demokrasi kita bisa ditingkatkan.
Argumen semacam itu memang cukup masuk akal. Namun, sebelum pada akhirnya pilihan dijatuhkan pada sistem distrik, sebaiknya kita berpikir lebih jauh mengenai kelemahan-kelemahannya yang mendasar
dan persyaratan utama yang dibutuhkan agar sistem demokrasi kita bisa berjalan baik.
Personalisasi Politik Ada dua persoalan utama dalam sistem distrik yang patut kita pikirkan bersama. Pertama, sistem ini cenderung memperlemah basis kepartaian dan, sebaliknya, mendorong meluasnya "personalisasi" politik. Mengapa"
Pemilih dalam sistem ini tidak lagi terutama memilih partai, tapi orang per orang. Seperti yang terjadi dalam proses pemilu di Amerika Serikat, setiap tokoh lokal yang populer di kawasan pemilihnya (distrik), akan memperoleh kursi di lembaga legislatif nasional, dengan atau tanpa dukungan partai. Untuk terpilih menjadi wakil rakyat, seseorang tidak lagi perlu meniti karir dalam partai apapun. Artinya, partai tidak lagi menjadi lembaga utama dalam proses mobilisasi, kaderisasi, dan pendidikan politik. Dan karena itu ikatan-ikatan kepartaian pun cenderung akan menjadi sangat lemah.
Kecenderungan semacam itu akan berakibat cukup fatal sebab saat ini, untuk memperkukuh fondasi sistem demokrasi kita, partai-partai politik justru harus diperkuat, bukan sebaliknya. Selama 30 tahun di bawah kepemimpinan Soeharto kehidupan kepartaian dibabat habis. Dan karena itu, setelah Soeharto turun dari kursi kekuasaan, dinamika kehidupan kepartaian praktis harus kita mulai dari awal lagi.
Tanpa sistem kepartaian yang kuat, gedung legislatif di Senayan bisa-bisa akan berisi individu-individu yang tidak memiliki basis ikatan dan loyalitas yang jelas. Mereka akan cenderung bergerak seperti himpunan burung yang terbang dengan seribu arah yang berbeda. Tawar-menawar dan negosiasi kepentingan, yang memang normal terjadi dalam lembaga legislatif, tidak lagi bertumpu pada kepentingan partai, tapi pada kepentingan individual para wakil rakyat. Hal ini nantinya akan mengakibatkan tingginya derajat ketidakpastian dalam interaksi politik di lembaga perwakilan kita.
Lokalisasi Politik Persoalan kedua sistem distrik adalah kecenderungannya dalam mendorong "lokalisasi" politik. Sebagian besar individu yang terpilih sebagai wakil rakyat dalam sistem distrik dengan sendirinya adalah tokoh-tokoh daerah. Mereka akan berusaha merebut suara dengan bersandar pada platform politik lokal, bukan nasional.
Gedung MPR/DPR di Senayan akan "diserbu" oleh aktor-aktor daerah yang berasal dari berbagai kabupaten di seantero penjuru Tanah Air. Aktor-aktor ini akan bertarung dalam panggung politik nasional untuk memperjuangkan kepentingan politik lokal-kalau tidak begitu, mereka tidak lagi akan terpilih dalam pemilu berikutnya.
Dalam pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto, aspirasi dan kepentingan daerah selalu takluk di bawah kepentingan nasional. "Bias nasional" semacam ini, kalau kita menggunakan sistem distrik, mungkin akan kita balikkan menjadi "bias lokal". Artinya, dari titik ekstrem yang satu kita bergerak ke titik ekstrem lainnya.
Dalam praktik, setiap wakil rakyat di parlemen hanya akan mendukung sebuah kebijakan pemerintah di Jakarta jika kebijakan tersebut secara langsung dapat memperkuat posisi dia di kalangan pemilihnya. Bisa dibayangkan, mengingat begitu bervariasinya unsur dan komposisi daerah kita, betapa penyusunan kebijakan nasional nantinya akan menjadi sangat rumit dan berlarut-larut.
Tunda Dulu Karena kedua persoalan semacam itulah maka saya menganjurkan agar penerapan sistem distrik ditunda dulu, setidaknya untuk satu periode pemilu. Kalau kita memang akan mengadakan pemilu enam bulan atau setahun lagi, sebagaimana yang dijanjikan Presiden Habibie, sebaiknya kita menggunakan sistem pemilihan yang selama ini sudah kita gunakan, yaitu sistem proporsional.
Anjuran ini saya berikan bukan karena saya menentang reformasi. Justru sebaliknya. Langkah-langkah reformasi hanya akan berhasil jika kita memikirkannya dengan matang. Selain itu pekerjaan yang menunggu kita masih sangat banyak, dari perubahan undang-undang, reorganisasi kepartaian, penerapan asas-asas trias politica, dan sebagainya. Dengan memaksakan penggunaan sistem distrik secepat-cepatnya, kita hanya akan menambah beban yang tidak perlu bagi
"bayi demokrasi" yang baru saja kita lahirkan.
Sistem proporsional memang banyak kelemahannya juga. Tapi berbagai kelemahan ini bukanlah penyebab terjadinya sistem otoriter dan meluasnya NKK (nepotisme, kolusi, korupsi) di bawah pemerintahan Soeharto. Sejak 1971, sistem pemilu apapun yang digunakan pasti tidak akan membuat kita lebih demokratis dan bersih dari NKK, karena pemerintahan Soeharto sangat kuat dan dominan dalam mengatur dan mengkooptasi setiap elemen dalam masyarakat.
Jadi, kalau kita menggunakan sistem pemilu yang selama ini sudah kita pakai, tidak berarti bahwa kita akan terus mempertahankan sistem otoriter dan melanggengkan NKK. Sejauh aturan dan pelaksanaan pemilunya demokratis-misalnya dengan dihilangkannya lembaga litsus dan diterapkannya Pasal 28 UUD 1945 dengan konsekuen-maka hasil akhirnya juga akan demokratis, yang diwujudkan dalam pemerintahan dan lembaga legislatif yang mencerminkan komposisi kepentingan dan aspirasi rakyat.
2 Juni 1998 Menuju Pelembagaan Reformasi
saat ini proses reformasi memasuki periode kritis. Apa yang mungkin terjadi di depan pada dasarnya bisa disederhanakan ke dalam dua alternatif, yaitu consolidated anarchy dan consolidated democracy. Alternatif pertama terjadi jika periode kritis yang terjadi sekarang tidak berhasil kita lewati: transisi politik mengalami perumitan ke dalam, involusi, tanpa perkembangan kelembagaan yang lebih baik. Dalam situasi ini, aksi-aksi reformasi hanya berlangsung secara ad hoc, tanpa pola yang jelas dan tanpa penciptaan dasar kelembagaan baru.
Bahkan lebih buruk lagi, aksi-aksi demikian terjadi bersamaan dengan aksi atau inisiatif politik lainnya yang berlawanan dengan logika reformasi itu sendiri. Karena itu dalam situasi consolidated anarchy, situasi politik yang tercipta akan ditandai oleh derajat ketidakpastian yang tinggi, sinisme, aksi-aksi anarkis dari massa kelas bawah serta kecurigaan etno-religius yang berlarut-larut. Bukan tidak mungkin, dalam beberapa tahun, kondisi seperti ini akan membawa kita kembali ke periode otoritarian dengan cirinya yang militeristik dan sultanistik.
Sebaliknya, jika periode kritis ini bisa kita lewati dengan relatif mulus maka kita akan menuju pada alternatif kedua. Dalam hal ini proses transisi yang sekarang terjadi akan berujung pada penciptaan sebuah sistem yang lazim disebut sebagai consolidated democracy.
Dalam sistem itu konflik-konflik mendasar yang kita saksikan sekarang memang tidak akan selesai, tetapi setidaknya konflik-konflik tersebut terlembagakan, dan dengan demikian setiap aktor yang terlibat di dalamnya bisa mematuhi aturan main politik yang sama yang mereka pandang sebagai aturan yang absah. Masyarakat pun akan kembali ke kehidupan yang "normal"; normal dalam pengertian bahwa pertarungan di ruang publik hanya dimainkan oleh para politisi, aktivis, dan tokoh-tokoh publik, sementara warganegara umumnya mengisi ruang privat dalam kegiatan keseharian yang tenang.
Tentu saja kita semua berharap bahwa alternatif kedua itulah yang akan kita lalui. Kita akan menjadi salah satu model demokrasi yang menarik buat negeri sedang berkembang lainnya. Negeri kita akan menjadi contoh yang baik untuk mencari penyelesaian damai dari konflik besar yang sedang terjadi dalam era pasca- Perang Dingin ini, yaitu konflik etnik dan agama.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana kita mencapai alternatif kedua tersebut" Bisakah kita mencapainya secara damai dan tertib" Adakah semacam "kehendak sejarah" bagi kita untuk berhasil menjadi negeri demokratis"
Terus-terang, tidak ada jawaban yang pasti terhadap pertanyaan-pertanyaan itu-kemampuan ilmu pengetahuan sosial sangat terbatas; lagi pula, seperti kata Max Weber, hanya para demagog yang suka dan bisa melakukan prediksi bagi masa depan, bukan ilmuwan sosial. Dalam tulisan ini saya hanya bisa mengemukakan beberapa prasyarat agar alternatif kedua itu bisa dicapai.
*** Apakah prasyarat-prasyarat itu" Dalam pikiran saya ada dua prasyarat yang saling berkaitan, yaitu keinginan dan kemampuan bernegosiasi serta pemilihan prioritas
politik yang jelas dan realistis. Kenapa kedua hal itu penting" Untuk menjawab hal ini kita harus melihat dulu sifat transisi politik yang terjadi sejak runtuhnya rezim Orde Baru.
Kalau mau disederhanakan, transisi politik yang terjadi sejak tiga bulan terakhir diwarnai oleh perimbangan kekuatan secara negatif di antara berbagai kelompok dan kekuatan politik, di kalangan reformis maupun di kalangan kaum yang berkuasa sekarang.
Maksud saya adalah tidak satu pun kelompok, sejak saat menjelang turunnya Soeharto hingga saat ini, yang betul-betul memiliki sufficient power untuk menang secara mutlak. Kaum reformis dan kelas menengah memiliki kekuatan moral dan kebenaran argumen. Tapi mereka terpecah, tanpa organisasi, dan dengan jumlah yang relatif kecil; jika kaum reformis tidak memiliki kelemahan semacam ini, maka jelas situasi kita akan sangat berbeda dari saat ini. Demikian pula dengan kaum yang selama ini menjadi bagian dari the ancient regime: mereka memiliki dukungan organisasi dan uang, tapi mereka pun terpecah dan, yang terpenting, sebagian dari mereka mengalami proses delegitimasi dan demoralisasi yang dahsyat.
Karena ketiadaan sufficient power untuk menang secara mutlak itulah maka semua pihak, baik kaum reformis maupun dari para penjaga status quo, hanya menang sebagian (atau kalah sebagian, tergantung darimana kita memandangnya). Sebagian tuntutan kaum reformis dipenuhi (Soeharto turun), tapi sebagian lagi terlupakan; sebagian keinginan pemerintah terpenuhi, tapi sebagian lagi dihujat habis-habisan.
Karena perimbangan kekuatan semacam itulah maka transisi politik kita bisa disebut sebagai reforma pactada, reformasi yang harus dinegosiasikan, seperti yang terjadi di Spanyol pada pertengahan 1970-an misalnya. Dalam transisi semacam ini, karena masing-masing hanya memiliki "sebagian" dari kekuatan yang dibutuhkan untuk memenangkan pertarungan politik, maka setiap pihak yang bermain dalam arena politik, baik kaum reformis yang terdiri atas berbagai macam kelompok itu maupun kaum yang memegang kekuasaan, harus sanggup melakukan tawar-menawar untuk mencapai tahap reformasi yang lebih lanjut, yaitu tahap pelembagaan.
Karena itulah, sebagaimana yang saya katakan di atas, keinginan dan kemampuan bernegosiasi saat ini merupakan syarat mutlak untuk mendorong proses transisi politik kita setahap lebih maju.
Kita harus mengerti bahwa consolidated democracy adalah sebuah tujuan politik. Dalam reforma pactada, tujuan politik hanya dapat dicapai melalui negosiasi. Hal ini kelihatannya sederhana tapi buat saya, dalam konteks transisi kita sejak Soeharto turun, justru pada aspek inilah kita bisa melihat satu hal yang sangat mengkhawatirkan. Kita sudah terlalu lama tidak terlatih untuk berkompromi, mencari titik temu, bukan perbedaan kepentingan.
Semua pihak, termasuk kaum reformis sendiri, seringkali menuntut suatu hal yang menyempitkan ruang-ruang untuk melakukan kompromi. Dari pihak pemerintah, selain melakukan beberapa langkah yang menarik, desakralisasi kekuasaan dan simbol kepresidenan misalnya, juga terlalu banyak memperlihatkan ketidakpekaan pada semangat zaman yang baru sehingga terkesan mereka lebih menjadi bagian dari masa lalu, dan karena itu menyulitkan langkah-langkah mereka sendiri dalam membuka ruang dialog dengan berbagai kekuatan pembaruan.
Selain itu, negosiasi hanya mungkin terbuka jika ada semacam rasa percaya (trust) di antara pihak-pihak yang berperan di arena publik. Sayangnya, yang justru meluas sekarang adalah chronic distrust, sebuah rasa tidak percaya pada siapa saja, termasuk di antara kaum reformis itu sendiri.
*** Prasyarat yang berikutnya adalah kemampuan untuk men-ciptakan prioritas reformasi atau agenda politik yang sederhana dan realistis. Dalam hal ini kaum reformis "di luar sistem" maupun simpatisan ide-ide reformasi "di dalam sistem" harus mampu melihat dengan jelas bahwa prioritas terpenting dalam tahap transisi saat ini adalah penciptaan pemilu yang bersih, jujur, dan adil sehingga lembaga legislatif yang akan menjadi produknya dianggap sebagai lembaga yang absah.
Hanya lembaga inilah yang dapat mengupayakan terjadinya pelembagaan reformasi sebagaimana yang saya singgung di atas tadi. pemilu yang bersih, dengan kata lain, adalah jembatan untuk mencapai tahap reformasi lebih lanjut.
Seperti juga pada aspek negosiasi tadi, soal pemilihan prioritas ini kelihatannya sederhana dan sepele. Tapi kalau kita membaca koran dan mengikuti berita serta ulasan televisi saat ini, saya kira kita justru akan melihat bahwa di semua kalangan sense of priority ini belum tampak-sebelum 21 Mei 1998, prioritas kaum reformis jelas, yaitu tumbangnya Soeharto; sekarang, adakah yang bisa memberi penjelasan sederhana tentang hal apa yang terpenting yang harus dilakukan" Kita baca, dengar dan lihat terlalu banyak hal yang ingin diperjuangkan atau dilakukan secara serempak. Kita kebanjiran agenda reformasi. Akibatnya: proses reformasi kehilangan fokus yang jelas.
Dengan memilih pemilu yang bersih sebagai prioritas dalam agenda reformasi, kita mungkin terpaksa harus melupakan untuk sementara beberapa hal yang mungkin menarik tapi tidak mendesak jika dilihat dari perspektif yang lebih luas (misalnya, tuntutan perombakan kabinet). Dalam hal ini kita memang harus memilih.
Kita hendaknya tidak melupakan bahwa politik pada dasarnya adalah sebuah seni untuk menentukaan pilihan dalam situasi yang terbatas. Kalau kita ingin mengerjakan semua hal sekaligus dalam waktu singkat, saya khawatir realitas politik akan menghukum kita melalui krisis dan ketidakpastian yang berlanjut terus-menerus.
9 September 1998 Tiga Faktor Penyebab SI MPR
sidang istimewa (si) mpr tidak terjadi begitu saja. Ia terjadi bukan karena para anggota partai di DPR ingin menjatuhkan seorang presiden, bukan pula karena Megawati Soekarnoputri dan PDI Perjuangan sudah patah arang dengan seseorang yang sejak awal dikenal sebagai "sahabat politik" mereka.
Hal-hal itu memang ikut memberi warna pada proses politik yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Namun, faktor-faktor penyebab yang lebih fundamental, causa prima SI MPR, harus dicari di tempat lain.
Beberapa ilmuwan politik telah mencoba menunjukkan bahwa prahara politik yang kita alami selama periode pasca-Soeharto ini pada dasarnya bersumber pada kelemahan-kelemahan mendasar yang ada pada konstitusi kita, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Bagi pandangan ini, terjadinya SI MPR hanyalah salah satu dimensi saja dari prahara itu, sebuah peristiwa politik yang mungkin tak terhindarkan mengingat begitu tak jelas dan kelirunya beberapa pasal yang ada dalam konstitusi kita.
Pandangan semacam ini dalam beberapa hal benar. Konstitusi kita memang jauh dari sempurna. Salah satu sebabnya adalah karena ia dirumuskan dan ditulis dalam situasi yang menjepit dan tergesa-gesa oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada Juni 1945. Rentang waktu yang digunakan dalam proses penulisan kurang lebih hanya tiga minggu. Bagaimana mungkin kita merumuskan hukum-hukum dasar bagi suatu bangsa yang besar dan kompleks hanya dalam 20 hari"
Bandingkanlah hal itu dengan proses perumusan dan penulisan konstitusi Amerika Serikat. Setelah republik modern pertama dalam sejarah ini memproklamasikan kemerdekaannya pada 4 Juli 1776, ratifikasi konstitusi baru terjadi empat belas tahun kemudian. Dan dalam proses perumusan yang panjang ini terjadi banyak perdebatan yang sangat memukau di antara para founding fathers negeri itu, seperti Thomas Jefferson dan James Madison. Selama bertahun-tahun, mereka berdebat, berkirim surat, mengadu argumen tentang konsep kekuasaan, tentang hal-hal yang paling dasar dari sebuah masyarakat modern, dan bentuk-bentuk pemerintahan yang paling baik untuk mengaturnya. Hasil-hasil perdebatan inilah, salah satunya, yang mewarnai konstitusi AS.
Tentu, selain soal ketergesaan, kekurangan-kekurangan yang ada dalam UUD 1945 juga disebabkan oleh beberapa faktor lain, seperti paham-paham besar yang populer di kalangan tokoh-tokoh bangsa kita waktu itu, minimnya ahli hukum tata negara yang betul-betul piawai, pengaruh kolonialisme Jepang dan Belanda, dan sebagainya.
Namun , apapun sebabnya, kekurangan-kekurangan itu bersifat mendasar, riil, dan jika digunakan untuk betul-betul mengatur sebuah masyarakat modern yang kompleks, akibatnya akan negatif, untuk menggunakan sebuah kata yang agak netral.
Contohnya adalah pada aturan-aturan yang menentukan posisi lembaga-lembaga negara yang utama seperti MPR, DPR, dan Presiden. Dalam satu hal, sebagian kalangan bisa menafsirkan bahwa hubungan yang ada di antara ketiga lembaga ini serupa dengan hubungan-hubungan yang umumnya ada dalam sistem presidensial, di mana seorang presiden memainkan peran yang sangat dominan dalam memutar roda pemerintahan. Dalam hal lain lagi, sebagian kalangan yang berbeda bisa menyimpulkan bahwa sistem pemerintahan yang dimaksudkan oleh konstitusi kita sesungguhnya bersifat parlementer dalam cara kerjanya.
Perbedaan-perbedaan penafsiran semacam itulah yang membuka ketidakpastian dan mendorong para aktor di panggung politik untuk melakukan perseteruan tanpa pola yang jelas, serta untuk mengambil langkah-langkah yang sering mengejutkan. Salah satu faktor mengapa Presiden Abdurrahman Wahid, misalnya, sering mengambil langkah-langkah soliter yang terkesan tidak mempedulikan para politisi di DPR mungkin bisa dijelaskan dari sudut ini: dia menyangka dan menafsirkan sendiri bahwa posisinya sangat kuat, sebagaimana layaknya seorang chief executive dalam suatu sistem presidensial.
Ruang ketidakpastian dan kelemahan dalam hukum-hukum dasar itulah yang pada dasarnya menggiring para politisi, baik yang berada di partai maupun di dunia pemerintahan, ke dalam sebuah situasi yang kembangan-kembangannya telah kita saksikan dalam setahun terakhir. Ujung dari semua ini sekarang sudah memasuki daerah pertaruhan "hidup-mati" dalam wujudnya yang terlembaga, yaitu penyelenggaraan SI MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid.
*** Selain faktor konstitusional seperti itu, terjadinya SI MPR juga disebabkan oleh hadirnya dua faktor lain, yaitu cair dan lenturnya konfigurasi politik kita, serta kelemahan Abdurrahman Wahid sendiri sebagai seorang pemimpin pemerintahan modern.
Dalam soal konfigurasi politik, semua persoalan yang ada dapat dilihat dengan jelas pada komposisi perolehan suara partai-partai besar dalam Pemilu 1999 yang silam. Komposisi ini bersifat sedemikian rupa sehingga tidak ada satu partai pun yang bisa mendominasi arena politik. Artinya, para politisi, baik yang berada di parlemen maupun di lembaga eksekutif, harus melakukan tawar-menawar terus-menerus, sebuah hal yang tentu saja diperburuk oleh beberapa ketidakpastian yang ada dalam konstitusi kita mengenai batas-batas serta kewajiban-kewajiban yang harus ada dalam proses semacam ini.
Sebenarnya, untuk sementara waktu kelemahan semacam ini mungkin bisa diatasi jika muncul seorang pemimpin atau politisi yang tangkas, populer, serta pandai memanfaatkan peluang untuk membangun konsensus dan dukungan politik terhadapnya. Pemimpin semacam ini, dengan segala sum-berdaya yang tersedia, misalnya dengan memanfaatkan posisi eksekutif yang memiliki peluang-peluang khusus untuk memerintah, bisa memperkecil dampak negatif dari cairnya hubungan-hubungan yang ada dalam arena politik.
Itulah yang diharapkan dari Abdurrahman Wahid saat ia diangkat sebagai presiden, lewat sebuah proses pemilihan demokratis yang mengalahkan Megawati, Ketua PDI-P yang waktu itu oleh sebagian kalangan dianggap terlalu bersebelahan dengan kelompok Islam. Sebagai Pemimpin NU, organisasi Islam terbesar di Tanah Air, ia dikenal sangat toleran, seorang pluralis yang tumbuh dari tradisi pesantren yang pekat. Sebagai salah satu komentator persoalan-persoalan sosial budaya yang terkemuka, ia dikenal cerdas dan jenaka. Sebagai politisi yang harus mengarungi berbagai karang politik Orde Baru, ia diakui sebagai tokoh yang pandai berkelit sambil sesekali menggigit.
Singkatnya, Abdurrahman Wahid naik ke tampuk kekuasaan dengan berbagai harapan besar dan dukungan yang luas dari masyarakat pada umumnya. Di kalangan pers asing pun, nama Abdurrahman Wahid tidak kurang harumnya.
Sayang nya, sejarah membuktikan bahwa harapan itu hanya sekadar harapan. Sebagai pemimpin sebuah organisasi pemerintahan modern yang bernama Negara Republik Indonesia, Presiden Abdurrahman Wahid terlalu sering mengacaukan banyak hal yang tidak semestinya terjadi. Ia lupa pada batas-batas yang harus dijaga sepenuhnya oleh seorang pemimpin yang ber-tanggungjawab, seperti batas antara apa yang publik dan yang privat, apa yang rasional dan yang irasional, apa yang boleh dan tidak boleh dijadikan alat dalam percaturan kekuasaan.
Sama sedihnya, ia juga ternyata melupakan begitu saja sebuah dalil primer dalam politik: kalau bisa memperbanyak kawan, kenapa menambah musuh" Yang terlihat pada Abdurrahman Wahid dalam setahun terakhir ini adalah upayanya, yang hampir sepenuhnya tak terpahami, untuk mencari musuh terus-menerus. Bahkan, banyak pihak yang semula menjadi pendukung antusiasnya terdesak, dipojokkan, dan kemudian mengambil jalan yang samasekali berseberangan dengannya, atau malah menjadi musuh politiknya yang fanatik.
*** Hasil dari semua itulah yang kita lihat sekarang. Selama setahun sistem politik kita yang masih rentan ini mengolah faktor-faktor yang saya jelaskan di atas dengan berbagai guncangan dan prosesnya sendiri. Sebagian dari guncangan ini bisa diramalkan sebelumnya, sebagian lagi tidak.
Hal yang terakhir ini misalnya terlihat pada betapa terkejutnya kita melihat gejala yang sering disebut sebagai the fading away of the state, memudarnya otoritas negara dan pemerintahan dalam banyak interaksi kemasyarakatan. Kita masih memiliki pemerintah secara formal, tetapi dalam banyak urusan di mana ia sangat dibutuhkan (Ambon, Sampit, Poso, dan se-bagainya), ia menghilang dan hampir menjadi aktor yang tidak relevan kehadirannya, kalau tidak malah mempersulit situasi yang sudah sulit.
Sekarang ketiga faktor itu bertemu sedemikian rupa sehingga "metode" pengolahan yang tersisa adalah Sidang Istimewa MPR, sebuah penyelesaian kelembagaan yang kita harapkan berlangsung secara damai dan tertib.
Max Weber pernah berkata para demagog dan para peramal tidak mendapat tempat dalam dunia ilmu sosial. Kita memang tidak pernah bisa meramalkan masa depan. Namun, tentu tidak keliru jika kita berharap bahwa SI MPR akan mengantarkan datangnya sebuah pemerintahan baru yang lebih efektif dan mampu membantu masyarakat dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. Semoga!
22 Juli 2001 Konsensus Elite dan Politik Kekuatan
(Tanggapan buat Denny JA)
setelah pemilu dua tahun silam, sebenarnya sudah bisa terbaca persoalan politik kita yang fundamental.
Persoalan ini bersumber pada komposisi dukungan yang diperoleh partai-partai besar, di mana tidak satu pun di antara mereka yang memiliki suara mayoritas mutlak, sebuah kondisi yang diperlukan untuk melahirkan force majeure dalam berhadapan dengan pilihan-pilihan tindakan publik. PDI-P memang muncul sebagai pemenang pemilu, namun dukungan riil yang dimilikinya tidak memadai untuk membentuk pemerintahan baru.
Kita harus berhadapan dengan konsekuensi dari kenyataan politik semacam itu. Sejauh ini apa yang tampak di mata adalah potret yang buram. Sulit mencari prestasi pemerintah yang saat ini bisa dibanggakan. Lembaga eksekutif sepertinya tidak memiliki otoritas apapun untuk melakukan langkah-langkah penting dan mengandung risiko, sementara hubungan-hubungan politik di lembaga perwakilan terus-menerus bersifat cair dan penuh kontroversi.
Sesungguhnya Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berpeluang untuk mengurangi dampak negatif dari keterpecahan politik yang kita hadapi. Dengan kekuasaan formal dan simbolik yang cukup besar sebagai presiden, ia bisa membujuk dan membentuk koalisi yang mampu menjadi poros politik untuk mendukung pemerintahannya. Tapi, ternyata Gus Dur tidak memiliki kemampuan untuk itu. Bukannya memberi solusi, ia malah menjadi bagian dari persoalan itu sendiri, dan dilema transisi demokrasi yang kita alami menjadi semakin kompleks.
Adakah jalan ke luar dari semua itu" Salah satu jawaban populer yang sering kita baca di berbagai media bertolak
dari teori konsensus elite. Menurut para pendukung teori ini, karakter transisi politik kita mirip dengan apa yang terjadi di berbagai negeri lain yang mengalami proses reforma pactada, sebuah istilah akademis untuk menggambarkan proses reformasi yang dinegosiasikan di antara kaum elite. Demokratisasi bisa berjalan maju di berbagai negeri ini karena kaum elite membuat pakta di antara mereka dan sepakat membagi kekuasaan serta memerintah secara bersama.
Kita harus meniru proses seperti itu. Secara teknis, menurut pendukung teori ini, proses negosiasi politik cukup mudah dilakukan karena di negeri kita kaum elite yang benar-benar menentukan sebenarnya hanya segelintir orang. Merekalah yang harus bertemu secara rutin untuk menuntaskan berbagai isu besar yang ada. Inilah jalan terbaik, sebuah solusi pragmatis yang mampu membawa kita ke luar dari kebuntuan politik saat ini.
Buat saya, solusi lewat konsensus elite kedengarannya memang menarik. Apalagi, ia memang agak sesuai dengan salah satu elemen dalam kultur politik kita yang sering menekankan konsensus, kompromi, dan dialog dalam berhadapan dengan masalah-masalah yang ada. Setiap berhadapan dengan sebuah impasse, kita selalu berseru agar para elite bertemu, berkumpul mencari jalan ke luar bersama.
Namun, betapapun menariknya solusi semacam ini, saya tetap melihat bahwa ia mengandung berbagai kelemahan yang tak terhindarkan. Salah satunya adalah masalah teknis yang terkait dengan setiap proses pembagian kekuasaan. Bagaimana porsi pembagian peran dan tanggungjawab dari segelintir kaum elite yang terlibat dalam kesepakatan itu" Bagaimana perbedaan kekuatan dan dukungan riil dari tokoh-tokoh ini tercermin dalam perumusan kebijakan dan pengelolaan roda pemerintahan"
Dalam arena ekonomi, misalnya, pemerintah harus mengambil serangkaian kebijakan, dari penentuan anggaran tahunan, pajak, utang, nasib BUMN hingga ke hubungan kita dengan IMF dan Bank Dunia. Siapa yang bertanggungjawab terhadap apa" Haruskah pengambilan kebijakan terpenting dipercayakan pada tokoh PDI-P dan Golkar, dua partai dengan dukungan rakyat terbesar, serta soal yang remeh-temeh diberikan pada tokoh-tokoh PAN, PKB, PPP dan elite nonpartai" Maukah mereka diberi porsi remeh-temeh" Bagaimana persisnya pengaturan semacam ini"
Karena rumitnya, saya khawatir bahwa solusi kesepakatan elite hanya mengalihkan persoalan yang ada, bukan menyelesaikannya. Memang, persoalan teknis demikian bisa dihindari dengan asas "semua untuk satu, satu untuk semua". Tapi, dengan begini, kita berhadapan dengan persoalan lain lagi, sebuah persoalan yang lebih bersifat prinsipiil ketimbang sekadar persoalan pengaturan teknis kekuasaan.
Jika PDI-P dan PAN misalnya, masing-masing dengan 34% dan 7% dukungan suara rakyat, diberi peran dan tang-gungjawab yang sama dalam menentukan soal-soal besar yang kita hadapi, sesungguhnya buat apa lagi kita menyelenggarakan pemilu" Bukankah pesta demokrasi ini justru diadakan untuk melihat pilihan-pilihan rakyat" Tidakkah sistem demokrasi, sebagai sebuah metode pengambilan keputusan publik, diterapkan justru agar perbedaan pilihan-pilihan demikian tercermin dalam proses perumusan kebijakan pemerintah, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif"
Karena berbagai kelemahannya, saya cenderung menganjurkan agar kita berpikir secara mendalam sebelum mencoba solusi kesepakatan elite. Solusi ini hanya bisa diterima jika jalan lain memang sudah tidak ada, atau kalaupun ada, ia akan melahirkan situasi yang lebih buruk lagi.
Untungnya, dalam menghadapi dilema transisi demokrasi, kita sebenarnya masih memiliki pilihan lain. Asumsi dasar dari solusi yang berbeda ini adalah perlunya penciptaan kekuatan riil yang bisa mendominasi panggung politik, paling tidak hingga Pemilu 2004. Persoalan politik, seperti kata Machiavelli, harus diselesaikan dengan power politics, bukan dengan nasihat-nasihat moral serta imbauan-imbauan normatif agar kaum elite bertemu dan membuat konsensus.
Dalam kondisi kita sekarang, persyaratan bagi munculnya kekuatan besar yang sanggup mendominasi panggung politik hanya
bisa tercapai jika PDI-P dan Golkar membangun koalisi bersama. Dukungan suara rakyat buat keduanya hampir mencapai 60 persen, sebuah jumlah yang memadai untuk digunakan sebagai modal politik bagi pemerintahan yang efektif. Dengan kekuatan riil yang dimilikinya, koalisi kedua partai ini dapat mengambil langkah-langkah kebijakan baru yang tegas, memberi kepastian politik dan melembagakan demokrasi.
Jalan ke luar semacam ini secara teknis lebih mudah (membagi kekuasaan di antara dua partai dengan jumlah suara hampir sama jauh lebih sederhana) serta secara prinsipiil tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah demokrasi. Dalam hal yang terakhir ini kita harus ingat bahwa demokrasi bermula dan berakhir di kotak suara. Hingga pemilu berikutnya PDI-P dan Golkar memiliki hak penuh untuk memegang kendali utama roda pemerintahan di negeri kita.
Pertanyaan kita kemudian tentunya: mungkinkah koalisi demikian terwujud" Bagaimana prosesnya" Bukankah PDI-P dan Golkar dalam Pemilu 1999 merupakan seteru yang saling menggigit" Yang satu besar karena menjadi korban Orde Baru, yang lain karena menjadi alat Orde Baru-mungkinkah keduanya bertemu"
Jawaban saya, sangat mungkin. Dalam politik tak ada kawan dan musuh abadi. Secara ideologis kedua partai ini sesungguhnya hampir tidak memiliki perbedaan mendasar. Selain itu, proses politik di lembaga legislatif yang terjadi sekarang, yaitu penentuan Memorandum Kedua dan SI MPR buat menentukan nasib Gus Dur, tampaknya sedang menggiring terjadinya koalisi besar itu secara alamiah. Kalau proses ini berlanjut dan mandat Gus Dur ditarik kembali, Megawati otomatis akan menjadi presiden dan Akbar Tandjung berpeluang besar untuk menempati posisi kedua di RI. Kalau semua ini terjadi, setidaknya secara de facto PDI-P dan Golkar sudah berada dalam perahu yang sama, dan perumusan koalisi besar yang dominan tinggal selangkah lagi.
Tentu saja semua itu bisa gagal. Proses penentuan memorandum buat Gus Dur dapat berhenti di tengah jalan dan kita kembali melihat dunia politik yang berputar di tempat. Di sinilah terletak peran kaum pemimpin yang mampu bertindak dan melihat jauh ke masa depan. Mampukah Megawati dan Akbar Tandjung menjadi historical actors, pelaku-pelaku sejarah yang membawa rakyatnya ke arah perubahan fundamental" Beranikah mereka"
Dengan kekuatan dan dukungan riil yang mereka miliki, keduanya sekarang memperoleh kesempatan emas untuk berbuat sesuatu yang sangat bermanfaat bagi orang banyak. Semoga mereka merebut kesempatan ini.
25 April 2001 Kegagalan SI MPR: Rahmat Terselubung
gagalnya sidang tahunan MPR 2001 dalam mengubah metode pemilihan presiden tentu mengecewakan banyak pihak. Dari kalangan yang kecewa ini, MPR mungkin dianggap sebagai lembaga dengan legitimasi yang merosot drastis karena menunda pengesahan hal-hal penting yang sudah menjadi kebutuhan sejarah.
Saya bisa memaklumi kekecewaan semacam itu. Namun, di pihak lain, saya juga melihat bahwa dengan menunda selama setahun, kita justru memiliki peluang untuk memengaruhi para wakil rakyat agar merumuskan metode pemilihan presiden yang lebih baik ketimbang dua altematif yang ada dalam Sidang Tahunan MPR lalu.
Kedua alternatif itu punya kelemahan-kelemahan yang mendasar. Dalam sistem yang diusulkan oleh PDI-P, misalnya, jika pada pemilihan langsung tidak ada kandidat yang memperoleh suara 50 persen+1, penentuan presiden akan dilakukan dalam sidang MPR. Sistem pemilihan semacam ini tidak mengurangi, tetapi justru menambah, tingkat ketidakpastian yang melekat dalam sistem politik kita.
Katakanlah dalam beberapa periode pemilu akan muncul seorang kandidat yang sangat populer dan cukup karismatis, maka persyaratan mayoritas mutlak (50 persen+1) dapat dipenuhi dalam pemilihan tingkat pertama.
Hasilnya adalah seorang presiden dengan posisi yang relatif kuat karena memiliki legitimasi langsung dari rakyat. Namun, dalam periode pemilu lainnya, kandidat semacam itu tidak muncul. Dan seperti yang terjadi selama ini, MPR kembali memilih siapa yang berhak menjadi orang nomor satu di negeri kita.
Jadi, dalam pr insipnya, sistem yang ditawarkan PDI-P mengandung dualisme legitimasi. Pada periode yang satu, kita memiliki presiden yang langsung dipilih rakyat. Pada periode lainnya, kita harus dipimpin oleh kepala pemerintahan yang dipilih oleh MPR. Kadang kita memakai sistem yang bekerja dengan karakter presidensial, kadang kita kembali lagi dengan sistem politik semi-parlementarian seperti yang ada sekarang. Dengan kemungkinan seperti ini, kerinduan kita untuk melihat sistem politik yang lebih sederhana dan memberi kepastian yang lebih besar pasti hanya akan menjadi angan-angan yang indah.
Alternatif lainnya, yaitu metode pemilihan yang ditawarkan PPP dan PKB, memang dapat menghindari kelemahan semacam itu. Dalam sistem ini, jika tidak ada kandidat yang mencapai mayoritas mutlak, pemilu akan diulang dan rakyat kembali harus memilih salah seorang dari dua kandidat yang mencapai posisi teratas dalam pemilu tingkat pertama.
Walau alternatif ini relatif lebih baik ketimbang alternatif pertama, ada pertanyaan yang masih harus dijawab oleh para pendukung sistem pemilihan bertingkat ini. Kalau memang pemilihan tingkat kedua harus kembali ke rakyat lagi, kenapa harus repot-repot mengulang pemilu, dengan kemungkinan hasil akhir yang berbeda samasekali" Kenapa harus dua tingkat" Kenapa tidak sekali pemilu saja"
Terhadap pertanyaan demikian, jawaban yang sering kita dengar terbagi dalam dua argumen. Argumen pertama pada intinya berkata bahwa hanya dengan kemenangan dengan mayoritas mutlaklah legitimasi presiden dapat menjadi kuat, dan hanya pada pemilihan tingkat kedualah posisi mayoritas mutlak ini dapat tercapai. Buat saya, argumen ini mengacaukan pengertian legitimasi dan dukungan politik.
Legitimasi adalah soal prosedur yang sah. Jika kita sepakat bahwa dalam pemilu tingkat pertama siapapun yang mencapai dukungan terbesar, dengan prinsip plurality, akan menjadi presiden, berarti baik kemenangan dengan 35 persen, 45 persen, maupun 65 persen dukungan suara rakyat akan sama sahnya. Yang penting di sini, kemenangan itu dicapai dengan mengikuti prosedur yang ada, bukan jumlah nominal suara yang berhasil dicapai.
Argumen kedua terhadap pertanyaan di atas berkata bahwa jika pemilu hanya dilaksanakan sekali, daerah luar Jawa akan terus tertinggal karena para kandidat presiden hanya akan berkonsentrasi merebut suara di Pulau Jawa. Saya tidak pernah tahu bagaimana argumen seperti ini bisa dibuktikan.
Bahwa ada konsentrasi penduduk di Pulau Jawa yang sangat besar, kita semua mengerti. Tapi kita juga tahu bahwa penduduk Pulau Jawa adalah entitas demografis, bukan politis. Secara politis, Pulau Jawa tidak pernah satu dan homogen. Karena itu, kekhawatiran bahwa para kandidat presiden hanya akan berkonsentrasi untuk memenangi pemilu di Pulau Jawa sebenamya adalah kekhawatiran tanpa dasar yang jelas.
Singkatnya, metode pemilihan presiden yang ditawarkan oleh PPP dan PKB sebenarnya hanya memperpanjang rantai politik, tanpa dasar yang benar-benar meyakinkan. Kita harus menyaksikan pertarungan dua ronde yang agak rumit hanya karena konsepsi tentang legitimasi yang keliru dan kecemasan yang tak berdasar.
Karena itulah, gagalnya Sidang Tahunan MPR dalam mengambil keputusan tentang metode pemilihan presiden pada Jumat malam lalu saya anggap lebih sebagai blessing in disguise, rahmat terselubung.
Setahun adalah waktu yang cukup untuk meyakinkan para wakil kita di lembaga tertinggi itu bahwa kedua alternatif yang ada sekarang bukanlah metode pemilihan yang ideal. Kalau kita memang ingin berubah ke arah yang lebih baik dengan sistem politik yang sederhana dan lebih memberi kepastian, yang paling ideal adalah sistem pemilihan langsung dengan satu tingkat dan berdasarkan pada prinsip plurality.
18 November 2001 Indonesia: Persoalan Demokratisasi
I perpolitikan di akhir masa Orde Baru (Orba) berubah. Perubahan ini mungkin terlalu lambat dan terlalu diatur dari atas. Namun, peristiwa-peristiwa politik yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini merupakan petanda yang bagus bahwa otoritarianisme Orba menjadi lebih lun
ak. Terdapat banyak contoh untuk mendukung argumen ini: mulai dari keberhasilan Megawati, pengadilan militer setelah Pembunuhan Massal Dili, pembentukan Komite Hak Asasi Manusia, jumlah pemogokan buruh yang semakin banyak, kritik pers dan mahasiswa yang semakin tajam, dan persaingan yang setengah terbuka di kalangan beberapa elite kekuasaan utama, dan sebagainya. Semua ini tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan transformasi politik yang terjadi di Thailand awal 1990-an dan Korea Selatan pada akhir 1980-an. Pentingnya kasus-kasus Indonesia ini hanya bisa dipahami sepenuhnya jika kita berpikir bahwa lima tahun sebelumnya, tidak ada seorang pun yang berani untuk berspekulasi bahwa Megawati, misalnya, akan menjadi Ketua PDI, atau bahwa Habibie akan menekan militer dengan berbagai manuver politiknya dalam merehabilitasi Petisi 50 dan memilih para sekutunya untuk menjadi pengurus inti Golkar. Selain itu, bahasa pers, jika kita membandingkannya dengan yang terjadi 2 tahun yang lalu, misalnya, sekarang ini jauh kurang eufimistik.
II Pertanyaan pertama: Mengapa perpolitikan Orba berubah" Jawaban untuk pertanyaan ini adalah bahwa Orba terjebak oleh keberhasilan ekonominya sendiri. Secara ekonomi, apa yang terjadi di Indonesia dalam 20 tahun terakhir adalah sebuah mukjizat. Sementara sebagian besar negara Dunia Ketiga mengalami persoalan ekonomi yang begitu besar pada 1970-an dan khususnya pada 1980-an, ekonomi Indonesia berjalan dengan relatif baik.
Mukjizat ekonomi ini mengubah negeri itu dalam beberapa hal. Dua di antaranya adalah, pertama, hal itu menciptakan jaringan aktivitas ekonomi yang lebih luas di luar kontrol pemerintah. Jaringan ekonomi swasta ini kompleks dan pada dasarnya merupakan sumber kekuasaan politik yang sangat penting yang bisa dimobilisasi oleh mereka yang ada di luar pemerintah. Interaksi sosial di wilayah ekonomi swasta ini tidak bisa dengan mudah dikontrol oleh komunitas politik. Interaksi yang kompleks ini adalah apa yang disebut Schumpeter sebagai "skema hal-ihwal kaum borjuis", yang membantu mengubah Eropa (Barat) feodal menjadi bangsa-bangsa demokratis.
Kedua, hal itu menciptakan suatu masyarakat "baru" yang sering disebut masyarakat sipil. Yang pertama di atas merujuk pada panggung, arena tindakan; sementara yang kedua merujuk pada para aktornya. Mereka ini-yakni para anggota masyarakat sipil-adalah orang-orang yang berpendidikan, yang mempertaruhkan hidup mereka dalam aktivitas-aktivitas ekonomi swasta, dan yang biasanya berpikir bahwa roti semata-mata tidak memadai untuk mencapai suatu kehidupan yang baik. Dalam bahasa Hegelian, apa yang umumnya dilakukan oleh para aktor baru ini adalah mencari pengakuan sebagai seorang manusia politik yang independen-dengan kata lain, mereka pada dasarnya akan mendukung terciptanya sebuah sistem politik di mana mereka, dan bukan para penguasa, adalah sang tuan.
Pendeknya, keberhasilan ekonomi Orba menghasilkan pra-syarat-prasyarat struktural (yakni, panggung dan para aktornya) yang bertindak sebagai dasar perubahan politik yang kita lihat sekarang ini.
Sebagian orang berkata, dengan alasan yang baik, bahwa semata-mata keberhasilan ekonomi tidak dapat menjelaskan proses-proses politik dan arah tujuannya. Politik, bagi mereka, sangat otonom. Karena itu, mereka berkata bahwa jalannya perubahan politik di akhir masa pemerintahan Soeharto harus dilihat terutama dari dinamika internal rezim: perbedaan dan ketegangan yang semakin besar di kalangan para pemain kunci Orba membuka ruang bagi partisipasi politik yang lebih luas.
Saya tidak melihat alasan mengapa kita menolak gagasan bahwa politik memiliki kehidupannya sendiri ini. Selain Indonesia, kita bisa memperlihatkan banyak contoh yang menegaskan proposisi ini. Masyarakat di bawah Kekaisaran Kedua merupakan suatu masyarakat yang sangat maju, dan memiliki sektor ekonomi kapitalis modern yang sangat maju. Namun, ketika Hitler muncul, masyarakat sipil menyerahkan kekuasaan mereka ke tangan beberapa demagog. Singapura merupakan contoh lain yang sangat bagus. Adanya sektor ekonomi yang sangat
modern dan masyarakat sipil dalam negara-kota ini tidak diikuti, sampai sekarang, oleh muncul dan berkembangnya sistem demokratis.
Apa yang bisa kita katakan adalah bahwa tanpa keberhasilan ekonomi dan dampaknya pada wilayah sosial, dalam kasus Indonesia, ketegangan di dalam rezim tidak akan menghasilkan bentuk perubahan-perubahan politik yang kita lihat sekarang ini (Dalam kasus Jerman, kita dapat berkata bahwa rekonstruksi pasca-Perang, yang membangun kembali demokrasi, tidak akan berhasil dengan mudah tanpa adanya masyarakat sipil dan sektor ekonomi kapitalis modern yang sebelumnya telah ada). Kita harus ingat bahwa pada awal dan pertengahan 1970-an, ketika Soeharto tidak sekuat sekarang, juga ada perbedaan dan persaingan di dalam rezim. Alih-alih demokratisasi, perbedaan dan persaingan ini menghasilkan kekuasaan otoriter yang lebih terpusat di mana Soeharto praktis berkuasa sendirian.
Sebuah kasus bagus untuk melihat bagaimana kombinasi perubahan sosio-ekonomi dan persaingan elite menghasilkan berbagai perubahan politik dapat dilihat dalam bangkitnya kekuatan Islam dalam dua atau tiga tahun terakhir: kebutuhan Soeharto akan dukungan dari kelompok-kelompok Islam untuk mengimbangi militer searah dengan jumlah kelas menengah dan intelektual Muslim yang semakin meningkat (sebagaimana yang berulang kali dikatakan Nurchilish Madjid: mereka merupakan salah satu produk penting dari keberhasilan ekonomi). Para pendukung utama Habibie bukanlah kelompok-kelompok Islam dari "masyarakat lama" (misalnya NU, Muhammadiyah, dan Media Dakwah/kuasi-Masyumi). Para pendukungnya adalah "para intelektual baru" (sebagian besar dari mereka dikirim oleh pemerintah untuk belajar di AS dan Eropa), para mahasiswa di berbagai universitas (yang sangat disubsidi oleh pemerintah), para elite birokrasi (yang sebagian besar menikmati berbagai privilese ekonomi dan politik dalam proses perluasan ekonomi tersebut). Tanpa mereka, Habibie tidak akan memiliki basis yang jelas.
III Akankah berbagai perubahan tersebut memunculkan sebuah sistem politik yang demokratis" Untuk menjawab pertanyaan ini, kita tentu saja harus memperjelas apa yang kita maksud dengan "demokrasi". Bagi saya, penjelasan terbaik tentang demokrasi diberikan oleh Schumpeter dalam karya besarnya, Capitalism, Socialism, and Democracy. Demokrasi Schumpeterian adalah sebuah sistem persaingan yang terbuka dan fair di kalangan elite politik untuk mendapatkan kekuasaan. Rakyat (yang kebebasan "negatif" dasarnya diakui) merupakan hakim terakhir yang memutuskan siapa yang akan memerintah mereka. Dengan demikian, para elite yang bersaing tersebut harus memainkan permainan politik, sementara rakyat bermain kartu dan melihat sepakbola: hubungan di antara keduanya diteguhkan melalui mekanisme pemilu yang jujur dan terbuka.
Penting untuk diingat bahwa ketika Schumpeter berbicara tentang demokrasi, ia berbicara tentang tujuan-tujuan politik (misalnya, persaingan terbuka di kalangan elite), bukan tentang tujuan-tujuan ekonomi. Ia membuat suatu pembedaan yang sangat jelas antara wilayah politik dan wilayah ekonomi. Dengan demikian, dalam perdebatan tentang Indonesia sekarang ini, hal ini berarti bahwa demokrasi adalah satu hal, dan pertumbuhan ekonomi atau liberalisasi ekonomi adalah hal lain. Untuk mencapai tujuan ekonomi, hadirnya demokrasi bisa baik atau buruk.
Sebagian kalangan tidak mengakui pembedaan ini. Kadang mereka tampak berbicara tentang demokratisasi, namun apa yang mereka bayangkan sebenarnya adalah liberalisasi ekonomi atau kemajuan ekonomi.
Dengan konsepsi tentang demokrasi yang sederhana ini, apa yang bisa kita katakan tentang Indonesia pada akhir 1980-an dan 1990-an" Sekarang ini pertanyaan ini tampak memberikan jawabannya sendiri. Munculnya Megawati dan Habibie, misalnya, bisa dipahami sebagai munculnya politisi-politisi sipil yang lebih kuat yang, dengan basis yang lebih kuat, bisa bersaing dengan para perwira militer. Sampai sekarang ini, selain Soeharto, para perwira militer tersebut masih merupakan pemegang kekuasaan terkuat di negeri ini. Jika Megawati dan
Habibie bisa bertindak sebagaimana para politisi yang baik dalam memperluas dan memperkuat basis mereka, bukan mustahil persaingan elite dalam politik pasca-Soeharto akan menghasilkan suatu jenis interaksi politik yang satu langkah lebih dekat pada interaksi demokratis.
Sejauh ini Habibie telah memperlihatkan bahwa ia adalah seorang politisi yang sangat bagus. Megawati, sejauh ini, dianggap oleh banyak orang sebagai simbol kepemimpinan alternatif yang mampu menarik dukungan luas dari mereka yang tidak puas dengan keadaan yang ada sekarang ini. Fakta-fakta ini memperlihatkan pada kita bahwa, dalam kaitannya dengan proses demokratis, perubahan politik yang kita lihat sekarang ini menuju ke arah yang benar.
Saya memahami bahwa pandangan ini sangat optimistik, yang bagi sebagian orang dianggap didasarkan pada asumsi yang salah tentang proses politik atau watak komunitas politik Indonesia. Berbagai kritik terhadap pandangan ini bisa dirangkum ke dalam dua argumen. Yang pertama mengatakan bahwa jika kita melihat pada sifat masyarakat Indonesia pada awal 1990-an, masyarakat tersebut masih merupakan "masyarakat lama" sebagaimana yang kita lihat pada 1950-an dan 1960-an. Tidak ada yang berubah secara mendasar: politik aliran masih berlaku, mungkin tersembunyi, namun bagaimanapun berfungsi sebagai pembagian dasar masyarakat yang setiap saat bisa dimanfaatkan lagi oleh para elite politik.
Karena itu, argumen tersebut beranggapan bahwa satu-satunya sumber kekuasaan, simbolis atau riil, yang bisa dimobilisasi oleh Megawati atau Habibie, misalnya, adalah sumber kekuasaan yang berada dalam wilayah politik aliran tersebut. Hal ini berarti bahwa Megawati, misalnya, harus memobilisasi hantu lama tersebut-ini adalah satu-satunya pilihan yang ia miliki. Menurut argumen ini, jika hal ini terjadi, maka kita harus melupakan demokrasi, karena militer akan terpaksa mengambil langkah keras dan menerapkan aturan yang lebih ketat agar hantu lama tersebut tidak bangkit lagi, atau karena- jika militer tidak melakukan apapun, suatu hal yang sangat tidak mungkin-apa yang akan terjadi samasekali bukan demokrasi karena demokrasi tidak pernah bisa dibangun berdasarkan politik "tradisional" ini.[Perhatikan bahwa mereka yang mengikuti argumen ini tidak pernah menyetujui demokrasi Schumpeterian yang, dalam konteks kita sekarang ini, bisa dikemukakan seperti ini: sejauh terdapat persaingan yang terbuka dan jujur, apapun sumberdaya yang dimobilisasi (apakah keagamaan, etnis, atau kelas) para politisi tidak menjadi masalah. Demokrasi adalah proses, bukan substansi politik.]
Argumen kedua menyatakan bahwa persaingan elite yang semakin besar yang kita lihat sekarang ini sebenarnya merupakan suatu persaingan yang "dikontrol": Megawati, Habibie, Harmoko, Try Sutrisno, Faisal Tanjung, dan praktis setiap orang di panggung utama, adalah boneka-boneka Soeharto- mereka bertindak dan berperilaku sebagaimana yang diinginkan atau diizinkan Soeharto. Semua yang sedang kita lihat adalah bagian dari Skema Besar Soeharto. Jika Soeharto merencanakan sesuatu, itu dapat dipastikan bukan demokrasi.
Apa yang muncul setelah Soeharto" Argumen kedua ini memberi suatu penjelasan yang sederhana: bahwa akan ada Soeharto lain yang muncul dari militer (yang masih terlalu kuat dan terlalu terkonsolidasi untuk bisa disaingi oleh para pemain lain) yang akan mengulangi lagi cerita lama. Soeharto baru ini mungkin akan memberi satu atau dua kompromi sebagai kosmetik orde terbaru tersebut, namun garis dasar politik otoriter tersebut tetap tidak berubah.
Jika argumen pertama yakin bahwa masyarakat Indonesia tidak berubah dan karena itu tidak mampu memainkan politik baru yang diperlukan untuk membangun demokrasi, argumen kedua percaya bahwa "boneka-boneka" Soeharto tersebut tidak memiliki rencana sendiri, atau tidak mampu memanfaatkan kesempatan apapun untuk mendapatkan kekuasaan apapun. Boneka adalah boneka.
Kedua argumen ini cukup masuk akal. Ada beberapa bagian dari argumen-argumen ini yang sangat sulit disangkal. Namun, keduanya gagal meyakinkan saya karena beberapa alasan
. Kritik utama saya untuk argumen pertama tersebut adalah bahwa ia gagal memahami bahwa dalam dua dekade terakhir masyarakat telah diubah oleh perkembangan ekonomi. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa "masyarakat lama" dan hantu lama politik aliran tersebut tidak lagi ada, atau bahwa semua itu tidak lagi bisa dimobilisasi oleh elite-elite politik.
Hal ini semata-mata berarti bahwa, sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya, telah ada begitu banyak orang (aktor) dan wilayah interaksi sosio-ekonomi (panggung) yang cocok untuk demokrasi. Mereka mungkin, atau mungkin tidak, bisa dimobilisasi secara baik dalam proses perubahan politik. Pada titik ini kita berbicara tentang kepemimpinan dan ketram-pilan politik: sekarang ini terserah para elite akan mengambil kartu yang mana, yang baru atau yang lama. Argumen pertama salah ketika mengatakan bahwa sebagian besar elite harus mengambil kartu lama untuk bisa bertahan.
Kritik lain terhadap argumen pertama ini adalah bahwa ia melihat politik aliran sebagai sesuatu yang pada dasarnya berbahaya bagi demokrasi. Argumen ini gagal melihat bahwa sangat mungkin bagi sistem kompetisi elite yang terbuka dan fair (demokrasi) untuk menampung pengelompokan politik yang plural. Jika Habibie secara terbuka memobilisasi komunitas Islam, apa masalahnya bagi demokrasi sejauh ia setuju dengan aturan-aturan dasar dan tertulis dari persaingan" Jika ia menang, hal itu mungkin tidak baik bagi ekonomi. Lalu kenapa" (Bagi George Will dan William Buckley Jr., kemenangan Clinton tidak bagus bagi perekonomian, namun mereka tidak berkata bahwa pemilu itu tidak demokratis).
Pada titik ekstrem, benar bahwa hantu lama tersebut sangat tidak baik bagi demokrasi: hantu itu menjebak orang dalam kebencian dan permusuhan lama tanpa ada pemecahan. Namun, sejauh ini saya tidak melihat ada elite penting yang memberi tanda bahwa ia akan membawa garis lama tersebut ke titik ekstrem (bagaimanapun mereka tidak sebodoh itu).
Untuk argumen kedua, kritik saya hampir serupa. Di sini saya harus menyebut "hukum" konsekuensi yang tidak diniatkan. Katakanlah benar bahwa semua persaingan yang meningkat ini sebenarnya merupakan persaingan yang telah "dirancang", yang diatur oleh Soeharto untuk satu tujuan: memelihara kekuasaannya.
Saya tidak melihat alasan mengapa tujuan ini hanya bisa dicapai dengan mengorbankan proses demokratis. Jika Soeharto hanya bisa memelihara kekuasaannya beberapa tahun ke depan dengan membiarkan para elite di sekitarnya bersaing satu sama lain, bukankah hal ini juga berarti bahwa proses demokratisasi awal sebenarnya telah dimulai" Dari sejarah kita tahu bahwa banyak negara mulai melakukan demokratisasi bukan dengan letupan-letupan di jalan, melainkan dengan rengekan dan intrik di istana.
Tentang masalah Soeharto baru. Seperti yang telah saya katakan di atas, argumen kedua ini yakin bahwa setelah persaingan yang "dirancang" tersebut, ketika Soeharto meninggal, militer akan kembali menciptakan seorang Soeharto. Argumen ini pada dasarnya naif. Saya tidak perlu mengulangi lagi bahwa Indonesia pada 1990-an bukanlah Indonesia pada 1960-an. Selain itu, militer sekarang ini tidak lagi sangat kuat, sebagaimana yang dikemukakan argumen ini. Militer sekarang ini telah kehilangan sebagian besar kekuatan persuasinya-sebagaimana yang ia miliki menjelang runtuhnya Orde Lama. Untuk mencip-takan Soeharto baru, sumberdaya apa yang sekarang militer miliki" Kekerasan terbuka sekarang ini tidak begitu bermanfaat sebagai alat politik utama-terlalu mahal akibatnya.
Hingga sekarang ini umum dipercaya bahwa militer adalah pihak yang melindungi dan menjaga Soeharto dalam kekuasaannya. Saya kira kini pandangan ini salah. Hubungan tersebut juga bisa dibalik. Soeharto-lah yang melindungi dan menjaga posisi para perwira militer sekarang ini dalam politik sipil. Saya sangat yakin bahwa ketika Soeharto sudah tidak ada lagi di panggung politik, kekuatan militer akan sangat merosot. Sejauh ini saya tidak pernah mendengar gagasan apapun dari para perwira tinggi tersebut yang memberi tahu kita apa yang akan mereka l
akukan jika mereka kehilangan si Orang Besar itu. Sebagaimana yang kita tahu dari banyak kasus belakangan ini, jika Orang Besar mereka tersebut memiliki kepercayaan pada orang lain yang berasal dari elite sipil, mereka-para perwira tinggi militer itu-terkesan kebingungan, tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, dan bertindak hanya sebagai seorang "reaksioner". Apakah mereka adalah jenis para perwira yang akan menciptakan seorang Soeharto baru"
BAB VIII Setelah Perang: Tentang Amerika dan Isu-isu Internasional
Gore, Bush, dan Kita rakyat amerika serikat akan memilih presiden baru, pada 7 November. Sampai saat ini persaingan masih amat ketat. Secara kuantitatif kecenderungan yang terlihat menunjukkan sebuah gejala yang lazim disebut statistical dead heat, posisi dominan seorang kandidat masih ada dalam jangkauan kesalahan sampel penelitian.
Meski demikian, apa yang terjadi dalam sepekan terakhir menunjukkan, George W. Bush, Gubernur Negara Bagian Texas dan putra mantan Presiden George Bush, sudah mulai sedikit di atas angin. Wakil Presiden Albert Gore memang masih bisa menikung tajam dan mencuat pesat di saat-saat terakhir. Tetapi, kalau itu tidak terjadi, era kaum demokrat akan segera berakhir dan negeri Paman Sam sekali lagi akan memasuki era kaum republikan.
Apa dampak perubahan itu buat kita" Akankah warna dan prioritas kebijakan luar negeri AS berubah dengan cukup berarti" Apakah Presiden Bush akan lebih baik ketimbang Presiden Gore, dipandang dari sudut kepentingan kita"
Jawaban saya cenderung positif, meski bisa keliru besar, sebab dalam politik banyak hal dapat berubah tanpa sebab-sebab yang jelas. Namun, bila Anda saksama mengikuti kampanye Bush dan Gore selama sebulan terakhir serta mendengar rencana-rencana kebijakan luar negeri mereka, maka mungkin Anda tidak akan banyak berbeda pendapat dengan saya.
Albert Gore lebih mewakili arus moralisme dalam politik luar negeri. Buat politisi seperti dia, posisi Amerika Serikat sebagai satu-satunya negeri adikuasa menciptakan peluang emas untuk mencapai tujuan-tujuan moral di tiap pelosok dunia melalui kekuatan riil yang dimilikinya di bidang ekonomi dan militer. Kompleksitas tindakan dan pilihan kebijakan dalam politik internasional direduksi menjadi manichaean choice, yaitu pilihan-pilihan antara baik dan buruk, jahat dan mulia, secara hitam-putih. Dalam hal ini dunia lebih dipandang sebagai arena realisasi nilai -nilai moral, apapun definisinya, dan politik luar negeri hanyalah salah satu alat untuk mencapainya.
Tentu saja tidak ada politisi di Washington DC yang akan sanggup menerapkan doktrin moralisme secara konsekuen tanpa mempertimbangkan kepentingan-kepentingan praktis negerinya secara realistis. Namun, pada Gore, setidaknya dari apa yang bisa diamati dalam proses kampanye pemilu sejauh ini, nuansa moralisme terlihat kental. Dia cenderung memandang dunia lebih sebagai seorang misionaris. Ditambah sosok kepribadiannya yang cenderung agresif, politisi dari Negara Bagian Tennessee ini akan semakin menguatkan kecenderungan AS untuk bertindak sebagai polisi global dalam soal-soal yang berkaitan dengan berbagai isu kontemporer, seperti hak-hak asasi dan lingkungan hidup.
Bagi kita, kebijakan Gore akan menciptakan dampak yang dilematis dan kontraproduktif. Bantuan dan hubungan ekonomi, misalnya, akan makin sering diukur dengan berbagai kriteria non-ekonomi yang cenderung menyudutkan para pengambil keputusan ekonomi, baik di Jakarta maupun di Washington DC.
Waktu Tragedi Atambua terjadi beberapa waktu lalu, Presiden Bank Dunia James Wolfensohn sempat mengeluarkan ancaman agar Indonesia segera bertindak tegas menyelesaikannya. Selama lebih dari 30 tahun, baru pertama kali seorang pejabat tertinggi Bank Dunia menyampaikan ancaman semacam itu secara eksplisit, mengenai sesuatu hal yang sebenarnya tidak berhubungan samasekali dengan pelaksanaan program-program pembangunan dan reformasi ekonomi. Di bawah Gore, hal seperti ini kemungkinan besar akan makin sering terjadi.
Di bidang politik, dampaknya mungkin bukan hanya kontr
aproduktif, tetapi juga bisa tragis. Kini pemerintah dan aparat keamanan membutuhkan kepercayaan diri dan ruang bernafas yang memadai untuk menerapkan hukum serta menyelesaikan persoalan-persoalan separatisme. Pemerintah, polisi, dan tentara sampai sekarang tidak berani bertindak tegas menegakkan otoritas mereka sebagai penegak hukum dan alat pertahanan negara antara lain karena mereka terus dihantui reaksi dunia, yang dalam hal ini paling diwarnai suara Amerika Serikat.
Gore akan membuat suara seperti itu makin nyaring, dan ruang yang ada bagi pemerintah kita untuk mengambil tindakan-tindakan tegas serta mengandung risiko akan makin sempit. Akibatnya mudah ditebak: pemerintah makin ragu mengambil keputusan, kerusuhan sosial serta gelora pemberontakan terus terjadi, dan daftar korban makin panjang. Inilah ironi politik luar negeri yang terlalu moralistik. Ia dijalankan dengan motivasi mulia, tetapi hasil akhirnya justru bisa menambah penderitaan manusia dalam jumlah besar.
*** Berbeda dengan Gore, George W. Bush adalah wakil yang hampir sempurna dari arus realisme dalam politik. Bagi dia dan penasihat-penasihat terdekatnya, seperti Condoleeza Rice, Paul Wolfowitz, dan Jenderal Colin Powell, kebijakan luar negeri hanya mengabdi pada satu tujuan, yaitu kepentingan AS yang riil.
Mereka menyadari keterbatasan kemampuan AS dalam memaksakan kehendaknya di seluruh belahan dunia. Bagi mereka, justru karena posisi AS sebagai satu-satunya negeri adikuasa, maka kaum politisi harus ekstra hati-hati dalam melakukan proyeksi kekuatan ke manca negara.
Bush tentu tidak mungkin menghindar sepenuhnya dari tuntutan agar kebijakan luar negeri pemerintahanya juga mencerminkan sentimen moral rakyat AS yang sangat memuja demokrasi dan hak-hak asasi. Tetapi, orang seperti Bush, Rice, Wolfowitz, dan Powell mengerti, demokrasi hanya bisa tumbuh dalam masyarakat yang telah siap untuk itu. Proses demokratisasi di Asia atau di Afrika tidak bisa terjadi hanya lewat dekrit yang dikeluarkan Gedung Putih.
Bila ternyata Bush cs. ingin dan bisa membantu proses demokratisasi dalam sebuah masyarakat, dalam situasi yang normal mereka cenderung akan melakukannya lebih dengan menekankan metode-metode non-politis, seperti intensifikasi hubungan dan bantuan ekonomi, bantuan pendidikan, kesehatan, dan semacamnya.
Dilihat dari kacamata kepentingan kita, justru hal itulah sekarang yang sebenarnya sangat dibutuhkan.
Jika Gore menjadi Presiden, posisi menteri luar negeri di kabinetnya kemungkinan akan diisi Richard Holbrooke, Dubes AS di PBB yang sangat agresif itu. Lewat Holbrooke kita mungkin akan makin banyak mendapat ceramah dan tuntutan-tuntutan moralistik tanpa pertimbangan yang saksama akan kompleksitas faktor-faktor domestik.
Kalau Bush yang terpilih, salah satu kandidat kuat untuk menduduki posisi penting itu adalah Paul Wolfowitz, tokoh simpatik yang pernah menjadi dubes populer di Jakarta. Berbeda dengan Holbrooke, dia sangat mengerti berbagai kompleksitas yang ada dalam masyarakat Indonesia. Di tangan seorang Wolfowitz (atau Colin Powell), pelaksanaan politik luar negeri AS akan menjadi lebih elegan dan realistis. Dan bagi kita, semua itu tentu lebih baik.
2 November 2000 Pemilu AS, Drama Politik, dan Tuntutan Akal Sehat
sejak awal kampanye, semua orang sudah tahu bahwa persaingan Wakil Presiden Al Gore dan Gubernur Texas George W. Bush akan seru. Tetapi tidak ada satu pun yang menduga bahwa semuanya akan berlangsung seseru dan seketat yang terjadi dalam beberapa hari belakangan ini. Sejak Selasa malam, rakyat AS menyaksikan sebuah drama politik besar yang hanya datang sekali atau dua kali dalam seabad.
Belum pernah terjadi dalam sejarah Amerika modern, jabatan politik tertinggi yang oleh rakyat dianggap sebagai personifikasi sistem demokrasi mereka ditentukan hanya oleh segelintir pemilih.
Empat dekade silam kompetisi antara Richard Nixon dan John Kennedy juga berlangsung ketat. Tetapi perbedaan dukungan bagi keduanya di Negara Bagian Illinois, yang waktu itu menjadi penentu untuk memenangkan jumlah kesel
uruhan dewan pemilih, electoral college, masih berkisar pada angka ratusan ribu.
Sekarang, menurut hasil penghitungan ulang versi Associated Press, Bush berhasil mengungguli Gore di Florida hanya dengan perbedaan 327 suara. Memang, komite pemilu setempat masih menunggu penghitungan kertas suara yang datang dari penduduk Florida yang bermukim di luar AS (mereka memberi batas waktu hingga 17 November). Namun sudah bisa ditebak, komposisi perbedaan suara tidak akan banyak berubah. Karena warga Florida di luar negeri umumnya adalah kaum republikan, Bush tetap akan menang, dengan perbedaan di bawah dua atau tiga ribu suara.
Artinya, kurang dari 0,1 persen dari jumlah pemilih di Florida yang pada akhirnya menentukan siapa yang menjadi presiden ke-43 AS, sebuah jabatan politik yang juga kerap dikatakan sebagai jabatan terpenting di dunia. Oleh kalangan pers AS, kemenangan seperti ini dijuluki sebagai razor-thin victory, kemenangan setipis pisau silet.
Dengan hasil akhir seperti itu, tidak heran jika kubu Al Gore, di bawah pimpinan mantan Menlu Warren Christopher dan Ketua Kampanye William Daley, enggan menerima begitu saja kekalahan mereka. Karena itu, dalam tiga hari belakangan ini rakyat Amerika menyaksikan sesuatu yang hanya disaksikan oleh nenek-moyang mereka pada abad ke-19: dengan mengerahkan pengacara, aktivis, pendeta dan massa, kubu yang terancam kalah menuntut pemilu ulang di beberapa kawasan pemilihan serta membuka kemungkinan yang bisa menggiring negeri mereka ke arah kebuntuan politik.
Akal Sehat Semua itu membuat banyak orang menduga dalam beberapa hari mendatang, retorika politik di kubu kaum republikan dan kubu kaum demokrat akan semakin tajam dan memanas.
Pada hemat saya, krisis dan pertikaian Bush-Gore tidak akan berlangsung terlalu lama. Tuntutan paling keras yang disuarakan oleh kubu Al Gore sesungguhnya bersandar pada argumen yang sangat lemah. Mereka menuduh bahwa desain kertas suara di Palm Beach, sebuah kabupaten di Florida Selatan dengan 400.000 pemilih, membingungkan dan menipu rakyat. Karena kebingungan ini setidaknya ada 3.000-an suara pendukung Gore yang tanpa sadar beralih ke Patrick Buchanan, sebuah jumlah yang cukup besar untuk memenangkan Gore mengingat perbedaan suara yang begitu tipisnya.
Namun, kalau kita perhatikan desain kertas suara yang dalam tiga hari terakhir sudah menjadi buah bibir di setiap rumahtangga di AS itu, sesungguhnya tidak ada hal yang membingungkan di dalamnya. Di situ terlihat sangat jelas bahwa di sisi setiap nama kandidat ada tanda panah yang menunjukkan lingkaran mana yang harus dicoblos. Anak saya yang berumur tujuh tahun pasti bisa memilih lingkaran mana yang ditujukan untuk Bush, Gore, Buchanan, dan seterusnya.
Lagi pula, desain kertas suara itu sudah digunakan pada pemilu empat tahun lalu, dan dibuat oleh kaum demokrat sendiri. Seminggu sebelum Pemilu 2000, contoh kartu suara sudah dikirimkan ke setiap pemilih dan dibicarakan secara luas di setiap koran lokal. Pada saat itu tidak terlontar satu pun keberatan dari warga Palm Beach. Bahkan pada menit terakhir sebelum pemilih mencoblos, tersedia beberapa anggota komite pemilih yang bisa menjawab berbagai pertanyaan kalau masih ada ketidakjelasan yang tersisa.
Dengan semua itu, kalau memang ada yang masih mengklaim, beberapa hari setelah pemilu berlangsung, bahwa pemilu harus diulang karena dia bingung, apakah itu bukan sesuatu hal yang terlalu dicari-cari" Apakah rakyat AS begitu bodohnya sehingga untuk mengerti arah tanda anak panah saja tidak bisa, dan memerlukan satu atau dua hari untuk merenungkannya" Setiap pemilih adalah warga dewasa yang harus bertang-gungjawab terhadap tindakannya. Kalau mereka keliru dan bingung, kenapa 100 juta pemilih lainnya harus menanggung akibatnya"
Karena menyadari lemahnya argumen kubu Al Gore dan potensi bahaya dari retorika politik yang memanas serta ketidakpastian politik yang berlarut-larut, sejumlah tokoh dan organisasi yang semula mendukung Gore sudah mulai berbalik arah. Contoh paling jelas bisa terlihat pada koran paling berpengaruh di AS, yaitu
The New York Times dan The Washington Post. Kedua koran ini secara terbuka mendukung Gore sebelum pemilu kemarin. Tetapi, dalam tajuk rencana yang terbit Jumat, 10 November, mereka mengecam keras langkah-langkah kubu Gore.
The New York Times menulis, tindakan mereka akan "meracuni udara politik", sementara The Washington Post menuding bahwa William Daley yang memimpin tim "perlawanan" kaum demokrat di Florida telah mengayun "langkah-langkah lebih lanjut yang tidak bertanggungjawab". Kedua koran ini secara implisit menganjurkan agar Gore menerima kekalahan dengan besar hati, kalau penghitungan suara terakhir pada 17 November memang menunjukkan posisi Bush tetap tak tergoyahkan.
Dan saya kira Gore akan tunduk pada tuntutan akal sehat semacam itu. Demokrasi Amerika yang dasar-dasarnya dicip-takan oleh Thomas Jefferson dan James Madison terlalu besar dan terlalu penting untuk dihancurkan hanya oleh ambisi kekuasaan segelintir orang.
Setelah drama politik ini berakhir, rakyat AS akan kembali melihat kehidupan politik yang berjalan normal. Bertahun-tahun kemudian, mereka akan mengenang Pemilu 2000 sebagai salah satu ujian yang membuktikan bahwa sistem demokrasi mereka adalah sistem yang matang, dan mereka layak ber-bangga karenanya.
12 November 2000 Darurat Sipil di Cincinnati
"KERUSUHAN SUDAH TAK TERKENDALIKAN LAGI. Kaum perusuh telah membahayakan keselamatan serta harta benda penduduk kota kita. Dengan sangat menyesal saya memutuskan, mulai malam ini seluruh kawasan kota berada dalam situasi darurat sipil."
Itulah yang dikatakan Charles Luken, Walikota Cincinnati, Kamis dua pekan lalu, 12 April, di hadapan wakil masyarakat yang memenuhi gedung DPRD setempat. Dengan pengumuman ini, Cincinnati, salah satu kota besar AS di Negara Bagian Ohio yang cukup banyak menyimpan sejarah perjuangan anti-per-budakan, berada langsung di bawah komando polisi dan walikota. Kebebasan dibatasi dan warga kota dilarang ke luar rumah dari pukul 8 malam hingga pukul 6 keesokan paginya.
Keputusan drastis itu adalah reaksi terhadap rangkaian peristiwa yang berlangsung beberapa hari berturut-turut sejak tewasnya Timothy Thomas, seorang pemuda berkulit hitam, di tangan seorang polisi berkulit putih. Bagi warga keturunan Afrika di Cincinnati, tindakan polisi yang sewenang-wenang ini adalah cermin dari ketidakadilan rasial. Buat mereka, prasangka polisi sudah sedemikian buruknya sehingga setiap orang berkulit hitam yang dianggap mencurigakan akan ditahan atau ditembak tanpa penyelidikan yang lebih saksama.
Tidak aneh, dengan amarah yang meluap, berbagai kelompok warga keturunan Afrika melakukan protes terhadap kematian Timothy Thomas. Pada hari pertama, ungkapan protes mereka di pusat kota berlangsung cukup tertib. Namun, di hari kedua berubah: mereka mulai melempar, membakar, dan menjarah. The Cincinnati Enquirer, salah satu koran lokal yang cukup ternama, menggambarkan bahwa saat itu sebagian kawasan kota yang mereka cintai sudah mirip Lebanon, sebuah daerah tak bertuan yang mengerikan.
Situasi tak berubah pada hari ketiga. Malah, sebagian warga kaum hitam sudah semakin kehilangan kendali. Mereka mulai menyakiti warga lainnya yang tak berdosa. Salah seorang di antara mereka bahkan menembak seorang polisi, yang untungnya waktu itu sedang memakai rompi anti-peluru.
Setelah penembakan polisi itulah Charles Luken lalu memutuskan pemberlakuan undang-undang darurat sipil. Dia dan para anggota DPRD Cincinnati, yang sebagian adalah politisi keturunan Afrika, tidak melihat pilihan lain.
Mereka ingin mencegah terjadinya eskalasi kerusuhan dengan sikap tegas; kalau perlu, dengan senjata. Malah, Charles Luken juga menegaskan bahwa bila kerusuhan semakin meningkat dalam beberapa hari, ia tidak akan segan untuk meminta turunnya tentara cadangan, The National Guard, yang lebih terlatih untuk bersikap keras.
Yang menarik, keputusan Walikota Cincinnati seperti itu tidak diprotes secara luas oleh publik Amerika. Bahkan setelah keputusan itu diambil, pers nasional AS tidak menganggap Charles Luken melakukan tindakan kontrove
rsial yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan dan hak-hak asasi. The New York Times, koran paling berpengaruh di AS, tidak menulis tajuk tentang hal ini. Berita mengenai kebijakan tegas di Cincinnati hanya dimuat di halaman A10.
Koran-koran lokal di Negara Bagian Ohio memang mengulas peristiwa itu dengan panjang-lebar. Berbagai sudut persoalan yang ada di Cincinnati dibahas dengan mendalam, seperti persoalan ketimpangan rasial, kemiskinan, dan prasangka polisi. Namun, tidak ada satu pun berita yang mempertanyakan atau mengkritik keputusan pemberlakuan situasi darurat sipil itu. Di koran-koran ini akan sia-sia kalau kita mencari kutipan dari kaum aktivis hak asasi manusia yang biasanya dikenal galak-di negeri orang ataupun di negeri mereka sendiri.
Mengapa publik Amerika diam saja terhadap pemberlakuan situasi darurat sipil itu" Apakah karena dalam hal ini sasarannya adalah kaum berkulit hitam" Saya kira tidak. Dalam satu hal, itu harus dimengerti secara historis.
Dalam sejarah negeri ini, belum pernah terjadi peristiwa aparat keamanan memakai otoritas mereka yang khusus, seperti yang dimungkinkan oleh situasi darurat itu, untuk merebut kekuasaan dari kaum politisi. Rakyat Amerika tidak pernah mengalami hidup di bawah "rezim keamanan" dan, karena itu, mereka terbebas dari trauma sejarah yang banyak ditemukan di negeri sedang berkembang, termasuk di negeri kita.
Dalam hal lain lagi, hal itu mungkin lebih berhubungan dengan pandangan umum mengenai hubungan order dan kebebasan. James Madison, salah seorang perumus konstitusi AS pada akhir abad ke-18, pernah berkata bahwa tanpa ketertiban dan aturan hukum yang tegas, tidak akan ada kebebasan dan hak-hak asasi. Kedua hal terakhir ini harus diperjuangkan dan dijunjung tinggi oleh setiap individu, tapi semuanya harus berlangsung dalam kerangka hukum yang jelas dan tanpa merugikan atau membahayakan individu lainnya. Pandangan inilah yang menjadi semacam kesepakatan bersama, sebuah kontrak sosial yang mengatur hubungan rakyat dan pemerintah yang mereka pilih sendiri. Hal ini menjadi dasar filosofis yang dipegang teguh dan tak pernah dipertanyakan lagi.
Apa yang dilakukan oleh Walikota Charles Luken di Cincinnati, karena itu, bisa dilihat sebagai sebuah penegasan kembali pandangan semacam itu, dalam bentuknya yang sangat eksplisit. Jadi, kita tidak perlu heran jika keputusan dia berlalu begitu saja tanpa penolakan keras dari publik Amerika.
29 April 2001 Presiden Bush dan Pertaruhan Amerika
drama akbar itu berakhir sudah. Rabu (13/12) malam pekan lalu, lewat pidato yang memukau, Wakil Presiden Al Gore dengan besar hati menerima kekalahannya dan menyampaikan selamat buat George W. Bush. Apa yang bermula sebagai konflik partisan antara dua kandidat dan dua partai politik me -ngenai jumlah suara yang mereka dapatkan dalam Pemilu 2000, berakhir dengan peneguhan kembali kebesaran Amerika. Dalam persaingan, mereka bertarung sepenuh hati seperti beruang yang terluka, tetapi setelah hakim bicara, semua pihak patuh dan menerima keputusan pengadilan, betapapun menyakitkan keputusan itu.
Tanggungjawab kepemimpinan di negeri pelopor demokrasi ini akan segera beralih ke pundak George W. Bush. Pada 20 Januari nanti dia akan disumpah sebagai Presiden ke-43 Amerika Serikat, menggantikan Bill Clinton. Di depannya sudah terbentang setumpuk masalah besar dan sejak sekarang dia harus meyakinkan rakyatnya, dia pantas mendapat kehormatan untuk memimpin mereka semua.
Im a uniter, not a divider, saya seorang pemersatu, bukan pemecah-belah. Inilah mantra Bush selama masa kampanye pemilu. Setelah dilantik nanti, tantangan pertama yang dihadapi adalah bagaimana ia mewujudkan mantra itu setelah perseteruan pasca-pemilu yang luarbiasa seru selama 36 hari. Ia harus mampu merangkul kembali pendukung Partai Demokrat yang merasakan kepahitan mendalam akibat kekalahan mereka di Florida. Sebagai presiden, Bush dituntut menunjukkan bahwa pemerintah yang dipimpinnya akan membela dan mengangkat nasib mereka.
Dalam dunia kebijakan, tantangan terbesar Bush bersumber pad
a masalah klasik dalam kapitalisme modern, yaitu bagaimana ia merumuskan kembali perimbangan peran negara dan pasar, bagaimana ia mengatasi tarik-menarik antara langkah-langkah birokratis dan aksi-aksi sukarela di masyarakat. Sebagai wakil kaum Republikan, agenda kebijakan Bush selama masa kampanye dengan jelas memperlihatkan, ia ingin mengikuti jejak Ronald Reagan dan mendorong perluasan peran pasar dengan inovasi-inovasi yang berani.
Hal ini, misalnya, terlihat dalam programnya melakukan pemotongan pajak yang besar (1,3 triliun dollar AS selama 10 tahun ke depan) dan pada saat yang sama mendorong langkah-langkah privatisasi program kesejahteraan sosial, social security. Program terakhir ini, yang dimulai Presiden Franklin D. Roosevelt pada 1935, adalah ikon paling penting negara kesejahteraan ala Amerika, dan karena itu sering dianggap sakral, bahkan juga oleh kaum Republikan.
Bagi Bush dan para penasihat terdekatnya, kedua pilihan kebijakan besar itu penting dilakukan mengingat dalam 10 tahun ke depan, karena pertimbuhan ekonomi yang pesat, pemerintah AS akan menikmati surplus besar, yaitu sekitar 2,2 triliun dollar AS. Surplus yang fantastis ini tidak boleh digunakan pemerintah untuk makin memperluas perannya. Rakyatlah yang harus langsung menikmati rezeki itu, dalam bentuk pemotongan pajak yang tidak pandang bulu, across the board.
Ketimbang kaum birokrat dan politisi, rakyatlah yang lebih tahu bagaimana membelanjakan uang sebesar itu.
Dari Langit Karya Rizal Mallarangeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Memang tidak begitu jelas bagaimana Bush bisa memotong pajak yang demikian besar sekaligus membiayai privatisasi program kesejahteraan sosial yang lebih sering dikenal sebagai program jaminan pensiun, sebagaimana diinginkannya. Namun, dalam pikiran dia dan para penasihatnya, Amerika tidak punya pilihan selain melakukan langkah berani ini, sebab tanpa privatisasi, program sosial terpenting itu akan bangkrut dalam satu generasi ke depan.
Kini tiga pekerja di AS menanggung seorang pensiunan (setiap pekerja harus membayar pajak jaminan kesejahteraan yang langsung digunakan negara federal untuk membiayai kaum pensiunan). Dalam 20 tahun, karena perkembangan demografis yang tidak terhindarkan, perimbangan ini akan menjadi 2,1:1. Artinya hanya sekitar dua orang yang bekerja untuk menanggung seorang pensiunan. Akibatnya, pada 2020, tanpa program privatisasi kesejahteraan sosial, negara tidak lagi mungkin membiayai puluhan juta kaum berumur yang kebanyakan menggantungkan hidupnya pada program itu. Bisa dibayangkan malapetaka seperti apa yang akan menunggu jika ini terjadi.
Singkatnya, Bush ingin agar pasar-bukan pemerintah serta kaum birokrat-yang berdiri di posisi terdepan menyongsong peluang menghadapi tantangan Amerika di masa depan. Inilah perbedaan hakiki antara Bush dan Gore, antara kaum Republikan dan kaum Demokrat, dan ini pula yang menjadi pertaruhan politik terbesar dalam pemilu yang baru saja berakhir.
Pertanyaannya kemudian, mampukah Bush menghadapi tantangan-tantangan besar itu dan mewujudkan agenda politiknya" Dengan mandat memerintah yang amat terbatas karena dia hanya mengalahkan Al Gore dengan selisih suara amat tipis, bisakah Bush mengambil langkah-langkah besar dan berani"
Hanya sejarah yang akan menjawab semua itu. Hambatan yang ada di depan Bush kini luarbiasa besar, seperti Gunung Himalaya politik yang sulit didaki. Dari hasil Pemilu 2000, komposisi kursi di Kongres terbagai hampir sama rata antara kaum Republikan dan kaum Demokrat. Di Senat (lembaga perwakilan negara bagian) perimbangannya persis 50-50 dan di House of Representatives (DPR) kaum Republikan hanya unggul 11 kursi, sebuah jumlah yang jauh dari memadai untuk mendukung agenda politik Bush.
Dalam sistem politik AS, jika perimbangan seperti itu terjadi, biasanya yang akan tercipta adalah apa yang sering disebut political gridlock, kebuntuan politik. Dalam situasi semacam ini, tidak satu pun inisiatif kebijakan mendasar dapat dilahirkan.
Satu-satunya cara agar Bush bisa menghindari situasi demikian adalah dengan berusaha merangkul kaum Demokrat yang moderat, yaitu mereka yang selama ini
dikenal sebagai The New Democrats. Ia harus bisa melakukan hal ini tanpa meninggalkan basis pendukungnya di Partai Republik, dan tanpa berkompromi terlalu jauh dalam pelaksanaan agenda yang sudah ia janjikan selama pemilu.
*** Semua hal itu amat tidak mudah. Satu-satunya harapan, Bush mungkin bisa berhasil mengatasinya terletak pada kualitas kepemimpinan Bush sebagaimana tercatat selama dia memainkan peran sebagai Gubernur Texas, salah satu negara bagian terbesar di AS.
Bush bukan seorang ideolog, dan dia tidak memiliki minat untuk menjadi filsuf-negarawan. Namun, selama memimpin Texas, dia membuktikan dirinya sebagai seorang deal-maker ulung, dengan kepribadian menarik yang dengan alamiah gampang menarik simpati banyak orang. Di negara bagian yang kaya minyak ini, Bush amat berhasil dalam bekerjasama dan menarik dukungan kaum Demokrat.
Apakah langkah-langkahnya yang berhasil di Texas juga bisa diterapkan di Washington DC" Sebagian pengamat cukup skeptis terhadap hal ini. Tetapi, sebagian lagi tetap menaruh harapan besar. Kalau kaum skeptis yang benar, pada Pemilu 2004 kita akan melihat Al Gore (atau Senator Hillary Clinton) merontokkan pemerintahan Bush. Namun, jika kaum optimistis yang benar, George W. Bush akan mencatatkan namanya dengan tinta emas dalam sejarah Amerika, sebagaimana yang dilakukan Ronald Reagan lebih sepuluh tahun lalu.
19 Desember 2000 Setelah Perang perang usai sudah, dan kini kita bertanya bagaimana nasib Irak selanjutnya. Sejarah akan menilai Perang Teluk II bukan pada prosedur terjadinya, melainkan pada hasil akhirnya, yaitu Irak yang demokratis dan meninggalkan segala kepahitan yang dialaminya di bawah kepemimpinan Saddam Hussein. Kalau hal ini tercapai, Perang Teluk II akan dicatat sebagai perang yang membebaskan, bukan sebaliknya.
Sejauh ini cukup banyak kalangan yang meragukan bahwa Irak akan mengikuti keberhasilan Jepang dan Jerman. Di akhir Perang Dunia II, kedua negeri ini porak-poranda (jauh lebih buruk ketimbang Irak) dan diduduki oleh pasukan sekutu yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Tapi setelah itu, yang terjadi adalah keajaiban. Dalam satu dekade, keduanya menjadi negeri demokrasi yang stabil. Dan setelah itu, dari puing-puing kehancuran, mereka tumbuh menjadi dinamo ekonomi yang bahkan dapat menyaingi negeri-negeri penakluk mereka.
Irak tidak mungkin mengulang pengalaman kedua negeri itu. Masyarakat Jepang dan Jerman adalah masyarakat yang relatif homogen, sementara masyarakat Irak terpecah tajam dalam garis-garis etnis dan agama. Jauh sebelum PD II, Jepang dan Jerman telah mengadopsi modernitas dan telah tumbuh menjadi dinamo industri. Jepang pada 1905 telah mengalahkan Rusia pada saat Irak masih di bawah penaklukan Imperium Ottoman.
Singkatnya, bagi kaum yang pesimistis, Irak dalam tahun-tahun mendatang adalah negeri yang akan semakin terperosok dalam kelam, dengan siklus kekerasan yang tanpa henti. Nasib Somalia dan Haiti, bukannya Jepang dan Jerman, adalah masa depan Irak.
Tapi betulkah" Tentu saja jalan Irak akan lebih panjang dan sulit ketimbang apa yang telah dialami Jepang dan Jerman. Masyarakat Irak memang terbelah dalam garis etnis (Arab dan Kurdi) dan agama (Sunni dan Syiah). Tapi kemajemukan bukanlah musuh demokrasi. Dengan konstruksi sistem politik yang tepat, ia malah dapat menjadi sumber kekuatan.
Saya setuju dengan pandangan Thomas Friedman, kolumnis The New York Times yang tajam itu, bahwa keunikan Irak adalah karena ia merupakan satu-satunya negeri di dunia Arab yang memiliki empat hal sekaligus, yaitu minyak, air, otak, dan tradisi sekularisme. Arab Saudi dan Kuwait hanya memiliki minyak, Israel cuma punya otak, sementara di Suriah dan Mesir hanya ada air dan tradisi sekularisme.
Dengan modal semacam itu, tidak ada alasan bangsa Irak tidak bisa mulai membangun negerinya. Dengan jatuhnya rezim Saddam Hussein, peluang itu sekarang terbuka. Kalau ada yang bisa Irak pelajari sekarang dari Jepang dan Jerman, hal itu terletak pada kemampuan kedua negara ini untuk segera melupakan kepahitan masa lalu dan lebih memikirkan m
asa depan segera setelah perang usai. Menolak sikap defeatism, bangsa Jepang dan Jerman tidak mengorek luka mereka terus-menerus. Bahkan terhadap AS, sang penakluk mereka, kedua negeri ini bersikap konstruktif. Bukannya meminta AS segera hengkang setelah situasi normal kembali, Jepang dan Jerman justru menggunakan negeri adikuasa ini untuk terus membela dan membantu mereka dalam masa-masa sulit selama Perang Dingin, bahkan hingga saat ini.
Memang, keberhasilan Irak juga tidak ditentukan hanya oleh diri mereka sendiri, setidaknya untuk saat ini.
Sekarang peranan AS adalah sebuah force majeure. Tidak ada yang dapat memulihkan kembali hukum dan ketertiban di Irak dalam dua atau tiga bulan ke depan kecuali kekuatan AS (kekuatan PBB hanya macan kertas, sebagaimana terbukti di Bosnia dan Rwanda beberapa tahun silam). Negeri penakluk ini harus menjamin bahwa infrastruktur dan berbagai kebutuhan dasar kembali tersedia, serta birokrasi pemerintahan yang minimal dapat berfungsi kembali. Namun, setelah itu apa"
Yang saya khawatirkan adalah, karena desakan politik dalam negeri atau karena hal lainnya, AS cepat angkat kaki dari Irak, seperti yang terjadi di Somalia setelah puluhan tentaranya tewas oleh amukan massa. Fareed Zakaria menulis di majalah Newsweek pekan silam bahwa Negeri Abang Sam bisa segera hengkang atau membantu membangun demokrasi di Irak, tetapi tidak keduanya sekaligus.
Sejak awal, selain alasan keamanan nasional, Presiden Bush dan para pembantunya, seperti Dick Cheney, Donald Rumsfeld, Condoleeza Rice, dan Paul Wolfowitz, menyiratkan bahwa perang terhadap rezim Saddam Hussein dilakukan berdasarkan prinsip democratic imperialism.
Dalam menjalankan peran sebagai imperator demokrasi, AS tentu bisa bertindak bijaksana dengan mengajak semakin banyak negara untuk terlibat di dalam proses pemerintahan transisi dan pembangunan kembali infrastruktur Irak. Dalam hal ini peran PBB sangat penting, setidaknya untuk memperkuat aspek legitimasi dan meyakinkan rakyat Irak bahwa dunia bersama mereka. Setelah Perang Dunia II, Sir Winston Churchill pernah berkata, in war resolution, in peace magnamity. Kearifan ini harus disuarakan kembali oleh Presiden Bush dan para pembantunya.
Setelah lima tahun menjadi semacam prokonsul Romawi di Jepang, Jenderal MacArthur kembali ke negerinya dengan diiringi tangis oleh sebagian warga di Tokyo. Dua tahun setelah kepergian MacArthur, AS memulihkan sepenuhnya kedaulatan pemerintahan Jepang, yang samasekali sudah meninggalkan cirinya yang militeristik dan otoriter.
Dengan kebijakan yang tepat, dan juga sedikit keberuntungan, hal itu. bukan tidak mungkin terulang di Irak.
Yang jelas, jika Irak memang bisa memanfaatkan peluang yang sekarang terbuka, di kawasan Timur Tengah akan muncul sebuah model negara yang baru samasekali. Di kawasan ini demokrasi dan pembangunan ekonomi adalah kata-kata yang asing. Sebagaimana Jepang memberi contoh keberhasilan pada negeri-negeri di Asia Timur, Irak bisa menjadi mercusuar dan memulai sebuah proses yang menguak harapan negeri-negeri tetangganya.
27 April 2003 Sirkus Amerika" bagi juwono sudarsono, panggung politik Amerika Serikat saat ini sudah menyerupai sirkus (Gatra, 5 Juli 1997). Dengan sejumlah aktor pemeran-seperti senator, presiden, pengusaha, aktivis buruh, dan wartawan-Amerika mempertontonkan proses politik yang hanya layak menjadi bahan tertawaan.
Betapa tidak" "Untuk beberapa bulan selama 1995-1996," tulis Juwono, "Gedung Putih berubah menjadi hotel penginapan orang-orang Asia." Dengan contoh ini, antara lain, Juwono ingin menggambarkan bahwa sirkus Amerika itu ternyata adalah pertunjukan yang dimaksudkan bukan untuk menyenangkan penontonnya (yaitu rakyat Amerika), melainkan hanya untuk mengeruk keuntungan buat para pemeran sirkus itu sendiri. Para pemain sirkus itu berkolusi!
Bisakah sirkus itu diubah, direformasi" Tak mungkin lagi. Bagi Juwono, panggung politik Amerika sudah sedemikian parahnya sehingga usaha perubahan apapun pasti akan sia-sia. Sambil mengutip sebuah film klasik Hollywood, Mr. Smith Goes
to Washington, Juwono berkata bahwa tipe politikus seperti Mr. Smith, seorang politikus yang jujur dan idealis, sudah tak mungkin lagi ditemukan di Washington. Zaman bagi aktor politik yang jujur sudah lewat.
Apa yang bisa kita katakan terhadap "analisis" politik Amerika seperti ini" Pertama-tama tentu kita bisa perlihatkan kepada Juwono, beberapa fakta yang disodorkannya, kalau bukan keliru, sangatlah bersifat selektif.
Katakanlah soal Gedung Putih yang menurutnya berubah menjadi "hotel penginapan orang-orang Asia", selama beberapa bulan itu. Memang beberapa "kawan dekat" Clinton yang berkebangsaan Asia diundang menginap di Gedung Putih, termasuk di antaranya barangkali adalah James Riady, bos Grup Lippo. Tak perlu diragukan lagi bahwa selain sopan santun perkawanan, undangan menginap ini juga pasti bermotif ekonomi (Clinton butuh dana kampanye).
Tapi kita tak boleh lupa bahwa selama masa kepresidenan Clinton, ribuan orang sudah berkunjung ke Gedung Putih, dan ratusan di antaranya sempat diundang menginap oleh keluarga Clinton. Jadi para pengusaha Asia itu hanya sebagian kecil dari "tamu-tamu istana". Sebagian besar lainnya malah, menurut Harian The New York Times, bukanlah pengusaha. Mereka berasal dari berbagai kalangan: artis, penyair, penulis, pemenang Hadiah Nobel, kawan lama Clinton dan Hillary, tokoh masyarakat, serta bekas pejabat.
Dengan kata lain, kalau kita tak terlalu selektif memilih fakta seperti yang dilakukan Juwono, kita justru bisa berkata bahwa beragamnya tamu yang menginap di Gedung Putih sesungguhnya bisa menjadi semacam simbol yang mencerminkan betapa pusat kekuasaan di Amerika bersifat terbuka. Pusat kekuasaan tak dianggap angker, terisolasi, unfriendly. Berapa banyak sih istana kepresidenan di dunia ini yang demikian terbuka bagi publik"
Selain pemilihan fakta yang selektif seperti itu, Juwono tampaknya terlalu terpaku pada ekses, sehingga lupa untuk lebih memperhatikan substansi proses politik serta hakikat kekuasaan di Amerika.
Memang seringkali politisi dan pemimpin di Negeri Paman Sam ini bertindak aneh-aneh, menurut ukuran kita. Apa yang mereka lakukan sering menggelikan, seperti pemain sirkus politik. Lebih jauh lagi, dalam banyak forum publik, sikap saling menuduh dan saling menyalahkan sering muncul di antara mereka. Mereka saling sikat dan saling sikut. Kalau Thomas Hobbes, filsuf Inggris di abad ke - 17, hidup lagi sekarang, maka dia mungkin berkata bahwa kebenaran teorinya ternyata sudah terbukti di Washington: seorang politikus adalah srigala bagi politikus lainnya.
Mengapa ekses-ekses seperti ini sampai terjadi" Sebabnya tak lain adalah tingkat kompetisi politik yang sangat tinggi. Di Amerika tak dikenal sistem komando dan sistem penyeragaman. Politisi mereka tak mengenal metode 4-D (datang, duduk, diam, duit). Kalau "mandataris" mereka, yaitu Presiden Clinton, bilang A, jangan harap kemudian akan terdengar suara kor berkepanjangan menyerukan A.
Politisi Amerika harus bertarung, beradu argumen untuk memengaruhi kebijakan publik. Ia harus membuktikan bahwa ia memang layak mewakili kepentingan kelompok yang memilihnya. Kalau tidak, ia tak lagi akan terpilih dalam pemilihan berikut.
Dengan tingkat kompetisi yang tinggi semacam ini, Amerika dapat menyalurkan berbagai aspirasi masyarakatnya yang sangat majemuk. Rakyat Amerika adalah rakyat yang cerewet, kritis, dengan kepentingan yang sangat beragam. Dengan rakyat seperti ini, wajar saja jika politisi mereka harus pula menari-nari dengan banyak kepentingan, tuntutan, dan harapan.
Rahasia Bunga Cubung Biru 3 Telapak Emas Beracun Jan Jin Que Yu Karya Gu Long Memanah Burung Rajawali 34