Pencarian

Dari Langit 11

Dari Langit Karya Rizal Mallarangeng Bagian 11


Tentu, dalam proses penyaluran aspirasi politik, bisa terjadi bermacam ekses, seperti yang berusaha digambarkan oleh Juwono. Tapi kita harus mengerti, ekses adalah ekses, produk sampingan yang ada atau tidaknya sebenarnya tak tertalu penting.
Kalau ekses-ekses itu bisa dihilangkan, masyarakat Amerika pun pasti akan bersyukur. Kalau tidak, no big deal. Yang penting bagi mereka, substansi proses politik Amerika terus berjalan, yaitu proses perwakilan masyarakat majemuk terbuka.
12 Juli 1997 Demokrasi Amerika amerika dikuasai oleh oligarki elite. Sumber kekuasaan oligarki ini: uang. Inilah pendapat dasar Juwono Sudarsono tentang politik Amerika sebagaimana ditulisnya di Gatra akhir-akhir ini.
Di Gettysburg pada 1863 Abraham Lincoln berpidato tentang Amerika. Amerika, kata Lincoln, adalah sebuah negeri "yang dipersembahkan bagi sebuah gagasan bahwa manusia diciptakan sama". Dan karena itu pemerintahan Amerika diatur mengikuti semboyan: "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat".
Kalau Juwono benar, kita hanya bisa mencibirkan idealisme Lincoln semacam ini. Sebab hingga kini politik Amerika ternyata diatur hanya oleh segelintir elite yang berkantong tebal di Washington. Pendapat Juwono ini tergolong sangat keras. Agar pendapat sekeras ini tak menjadi retorika belaka, Juwono harus mendukungnya dengan argumen yang kukuh dan bukti yang meyakinkan. Sayangnya, kedua hal ini tak kita temukan.
Ralph Nader dan Hedrick Smith-yang dikutip Juwono untuk mendukung argumennya-tak dianggap serius dalam dunia pemikiran di Amerika. Mereka lebih dianggap sebagai popularizers of ideas. Pendapat Smith, misalnya, bahwa dasar kekuasaan politik di Amerika adalah "uang, uang, dan uang", bersumber pada asumsi Marxisme yang paling vulgar. Dengan argumen semacam ini sulit bagi kita untuk mengerti kompleksitas dinamika politik.
Analisis Juwono, dalam banyak hal, bersumber pada argumen C. Wright Mills, seorang pemikir yang lebih serius ketimbang Nader dan Smith. Walaupun dikemukakan pada akhir 1950-an, argumen Mills ini hingga sekarang masih cukup populer di berbagai kalangan. Salah satu sebabnya: ia memungkinkan kita sangat menyederhanakan masalah dan kemudian menuding.
Di mana kelemahan Mills dan Juwono" Di negeri mana pun-demokratis atau tidak, di Washington atau di Jakarta- selalu ada lapisan elite. Hal ini sangat trivial, kita bisa memakluminya tanpa harus berpikir keras. Yang sesungguhnya relevan sebagai persoalan politik adalah sifat kekuasaan para elite itu. Inilah yang membedakan antara sistem yang demokratis dan yang otoriter.
Mills agaknya tak menyadari persoalan sederhana ini. "Konsep elite kekuasaan," kata Mills menjelaskan dalam bukunya yang terkenal, The Power Elite, "tak terkait samasekali dengan cara pengambilan keputusan. Konsep ini berhubungan dengan siapa yang terlibat dalam proses tersebut". Dengan konsep seperti ini, Mills dengan sadar tak mempedulikan sifat kekuasaan politik. Sebaliknya, yang ia tekankan adalah komposisi aktor politik.
Ketidakpedulian Mills terhadap sifat kekuasaan politik dan sebaliknya perhatian Mills yang terpusat pada siapa yang berkuasa itulah yang mengaburkan pandangannya tentang persoalan politik dan demokrasi di Amerika.
Ketidakpedulian semacam inilah yang secara konseptual tak memungkinkan Mills membedakan antara Jefferson dan Lenin, antara Roosevelt dan Hitler. Dan ini pula yang menjebak tokoh-tokoh teori tentang elite lainnya, seperti Mosca dan Michels.
Jika sifat kekuasaan dijadikan kriteria utama maka pertanyaan penting yang berhubungan dengan demokrasi adalah:
Apakah kontrol terhadap elite politik berjalan" Apakah pemilihan terhadap mereka fair dan terbuka" Bagaimana cara mereka mengambil keputusan" Apakah pers dibredel" Dan di hadapan kriteria-kriteria inilah potret kita terhadap politik Amerika tak sesederhana tudingan Juwono.
Dalam proses pengambilan keputusan, misalnya, yang paling penting dalam sistem Amerika adalah mekanisme yang memungkinkan perdebatan terbuka di antara para elite di Kongres, Senat, dan Gedung Putih. Tentu saja kombinasi kekuatan uang, ide, karisma pribadi, dan organisasi memengaruhi hasil akhir perdebatan ini. Tapi semua ini tak bisa menghilangkan fakta dasar bahwa, di antara para elite di Washington, perdebatan terbuka berlangsung terus-menerus. Dan rakyat, berkat pers yang bebas, menyaksikannya secara luas.
Kalau kita ikuti, perdebatan dalam perumusan kebijakan di Kongres, Senat, dan Gedung Putih sering berlangsung bertele-tele dan sering emosional. Hal ini untuk sebagian orang membosankan dan berlebihan. Tapi justru di balik perdebatan yang berkepanj
angan itu terletak esensi sifat kekuasaan Amerika. Perdebatan-perdebatan ini sesungguhnya adalah bentuk tawar-menawar yang terus-menerus antara penguasa dan rakyat.
Gingrich dan Clinton-sebagaimana elite politik di negeri mana pun-memang "memerintah" dan merumuskan kebijakan. Dan rakyat-sebagaimana rakyat di mana pun-berada di tepi panggung. Tapi di negeri Jefferson dan Lincoln ini mekanisme yang menghubungkan rakyat dan para elite adalah tawar-menawar itu, persuasi, argumen, dan pada akhirnya kepercayaan. Di negeri yang otoriter hubungan rakyat dan penguasa lebih ditopang kecemasan dan sinisme.
Semua ini tak berarti bahwa demokrasi Amerika adalah demokrasi yang sempurna. Pidato Lincoln di Gettysburg itu betapapun adalah sebuah ideal yang tak boleh kita kacaukan dengan kenyataan.
Barangkali ada segi-segi dan argumen Juwono yang cukup menggambarkan beberapa kelemahan demokrasi di Amerika.
Namun jika argumen seperti ini disampaikan berulang-ulang dan disimpulkan terlalu jauh, ia bukan saja akan mengaburkan potret besar demokrasi Amerika, melainkan juga, seperti yang dikatakan Daniel Bell terhadap pikiran-pikiran Mills, akan memberi kesan bahwa setiap kekuasaan politik-demokratis atau tidak-pada dasarnya adalah konspirasi gelap. Dan karena itu hanya meluaskan sinisme terhadap cita-cita pencapaian masyarakat yang lebih bebas.
5 Agustus 1997 Demokrasi, Alan Greenspan, dan Sembilan Sulaiman
demokrasi hanya bisa berjalan baik bila yang memegang kekuasaan bukan cuma rakyat dan wakilnya. Suara rakyat memang suara Tuhan, namun dalam beberapa hal penting suara ini harus sayup, bahkan tak boleh terdengar. Inilah kenyataan dalam demokrasi modern, sebagaimana terjadi di Amerika Serikat, yang jarang kita pahami.
Salah satu contoh terbaik dari hal itu adalah peranan Alan Greenspan. Dirut Bank Federal AS ini sering dianggap sebagai manusia paling berkuasa di Washington DC. Presiden dan wakil-wakil rakyat di kongres bisa memainkan tarif pajak, mengirim tentara ke Kosovo, membatasi tindakan aborsi dan seba-gainya. Namun, hanya Alan Greenspan yang berhak mengambil keputusan dalam menentukan kebijakan moneter.
Dengan menaikkan atau menurunkan tingkat suku bunga, dia bisa mengharu-birukan ekonomi AS, dalam hitungan detik. Uang adalah darahnya kapitalisme modern, dan tingkat suku bunga berfungsi sebagai katup yang menentukan seberapa banyak darah itu mengalir untuk memutar roda perekonomian. Kalau Greenspan gila sedikit, bursa saham di Wall Street akan gunjang-ganjing dan jutaan orang bisa kehilangan pekerjaan.
Jika ia bertindak bijaksana, para investor akan lega dan pertumbuhan ekonomi bisa berlangsung pesat, sebagaimana terjadi dalam delapan tahun terakhir di bawah pemerintah Bill Clinton. Tidak heran, tokoh pertama yang dikunjungi George W. Bush di Washington DC setelah ia dinyatakan sebagai pemenang Pemilu 2000 adalah Alan Greenspan, bukan Bill Clinton atau tokoh-tokoh politik lainnya.
Berbeda dengan posisi seorang presiden atau para politisi di Kongres, kekuasaan Greenspan tidak berdasarkan pada pilihan rakyat. Ia memang diangkat oleh presiden dan disetujui Senat, lembaga perwakilan negara bagian.
Tetapi setelah itu, ia bebas melakukan apapun. Dalam hal ini, ia bertindak sebagai seorang Platonic guardian, Sang Penjaga Kemaslahatan Bersama yang terpisah dan dipisahkan dari dinamika politik. Tanpa dipengaruhi suara dan desakan rakyat, ia mengelola elemen terpenting dari perekonomian Amerika hanya bertolak pada apa yang dianggapnya baik dan perlu.
Selain peran Alan Greenspan, contoh lainnya adalah peran sembilan hakim agung di tingkat pusat (pemerintah federal). Kesembilan tokoh inilah yang mengambil keputusan final dalam segala hal yang menyangkut hukum dan keadilan. Di atas mereka tidak ada lagi otoritas yang lebih tinggi. Karena itu, mereka kerap disebut kalangan pers AS sebagai The Nine Solomons, Sembilan Sulaiman.
Otoritas hukum adalah fondasi tiap negara modern, sama dengan peranan uang dalam ekonomi modern. Setiap tindakan individu yang berdampak pada individu lainnya diatur dan dibata
si oleh hukum. Jadi bisa dibayangkan betapa mendasarnya kekuasaan Sembilan Sulaiman itu. Bahkan dalam pemilihan presiden pun, jika kebuntuan politik terjadi seperti kita saksikan beberapa saat lalu dalam Pemilu 2000, merekalah yang memberi keputusan terakhir untuk menentukan siapa yang berhak muncul sebagai pemenang.
Sama dengan Greenspan, hakim-hakim agung ini diangkat oleh presiden dengan persetujuan Senat. Tetapi, lebih dari Greenspan, mereka berkuasa praktis untuk seumur hidup. Setelah diangkat, mereka tidak dapat diganti dan tidak lagi dapat dikontrol siapapun. Agar tak terjangkau desakan rakyat dan tarik-menarik kepentingan politik, mereka ditempatkan di langit kekuasaan. Tidak lebih dan tidak kurang, merekalah aktor-aktor yang oleh Plato, pemikir Yunani klasik itu, disebut sebagai filsuf-negarawan.
Keterbatasan Demokrasi Mengapa peranan semacam itu harus ada" Mengapa sistem demokrasi modern membiarkan dua hal terpenting dalam kehidupan masyarakat, yaitu uang dan hukum, diatur oleh tokoh-tokoh yang tak terpilih dalam pemilu dan karena itu tidak ber-tanggungjawab langsung terhadap rakyat" Bukankah rakyat yang paling berkuasa dalam setiap sistem demokrasi"
Jawabannya sederhana. Berbeda dengan yang dikatakan Jean-Jacques Rousseau, filsuf romantik Prancis pra- Revolusi, rakyat tidak memiliki kepentingan tunggal yang bersifat umum. Dengan menyebut "rakyat", kita sebenarnya menyederhanakan sebuah mozaik kepentingan yang rumit. Baik kaum pengusaha maupun pekerja, misalnya, merupakan bagian sah dari rakyat. Kedua kelompok ini adalah warganegara yang membayar pajak dan menjadi subyek yang dilindungi hukum yang sama. Namun, kepentingan keduanya bisa berbeda, atau dalam beberapa hal tertentu mungkin berlawanan. Di antara kaum pengusaha pun, sebagaimana juga terjadi di antara kaum pekerja, ada beragam kepentingan yang tidak selalu seiring.
Bayangkan kekacauan yang akan terjadi jika arus peredaran uang harus senantiasa mengikuti dinamika kepentingan yang kompleks itu. Para politisi yang membawa kepentingan kaum pengusaha akan mendesak otoritas moneter untuk menurunkan suku bunga, tanpa peduli pada risiko-risiko jangka panjang bagi keseluruhan sistem perekonomian.
Para politisi yang dekat dengan kaum buruh akan melakukan desakan lain lagi. Singkatnya, tingkat suku bunga akan mencerminkan perimbangan kekuatan dan tarik-menarik kepentingan politik, bukan perimbangan faktor-faktor fundamental dalam ekonomi. Setiap ekonom tahu, hal ini dalam jangka panjang akan membawa sistem perekonomian ke tepi jurang yang terjal.
Dalam dunia hukum, akibatnya juga tidak berbeda. Hukum hanya menjadi kepanjangan tangan proses politik. Para hakim akan berubah menjadi kaum aktivis yang mewakili kepentingan-kepentingan praktis dalam masyarakat. Hukum menjadi budak rakyat, dan kelompok rakyat yang paling kuat akan menjadi Tuhan yang memegang komando atas segalanya. Pada ujungnya yang akan terjadi dengan semua itu adalah hilangnya batas antara kekuasaan dan keadilan, antara kekuatan dan kebenaran.
Dengan kata lain, rakyat bukan entitas yang seragam, sempurna dan serba mulia. Ketidaksempurnaan inilah yang mengharuskan sistem demokrasi mengerti batas-batasnya dan membiarkan tokoh-tokoh seperti Alan Greenspan dan Sembilan Sulaiman memainkan peranan vitalnya.
Demokrasi Amerika tahan uji dan berjalan relatif efektif antara lain karena kesadaran akan keterbatasan demokrasi seperti itu berakar cukup dalam, baik di kalangan elite maupun rakyat umumnya.
Pelajaran Bagi kita, itulah pelajaran berharga. Sebagai negeri yang baru mulai menciptakan dasar-dasar sistem demokrasi, kita harus menyadari bahwa sistem yang ideal ini memiliki sejumlah keterbatasan. Karena itu, kita memerlukan lembaga-lembaga tertentu, seperti Bank Indonesia dan Mahkamah Agung, untuk berperan tanpa dicampuri kekuatan rakyat maupun kekuasaan elite politik.
Sejauh ini, sayangnya, kesadaran demikian masih sering tersingkirkan oleh dinamika percaturan kekuasaan politik. Apa yang terjadi pada Bank Indonesia dan proses pemilihan Ketua Mahkamah Agung belakangan
ini menggambarkan hal itu. Sama dengan pada era-era sebelumnya, kedua lembaga penting ini masih terlalu banyak berperan sebagai kepanjangan tangan pihak-pihak di luar dirinya.
Proses penyusunan pembagian kerja serta pembatasan kekuasaan memang tidak mudah, apalagi jika menyangkut hal-hal fundamental, seperti hukum dan uang. Tetapi kita harus belajar melakukannya mulai sekarang. Kalau tidak, kapan lagi"
15 Januari 2001 Barack Obama: Superstar Politik Jalan Tengah
SETIAP GENERASI di Amerika Serikat tampaknya selalu memunculkan seorang superstar politik. Kali ini Barack Obama, 45 tahun, yang tampil mengisi peran itu. Ia muncul secara tak terduga dan dalam waktu relatif singkat mampu mengubah peta politik, menumbuhkan harapan dan gairah baru.
Demokrasi Amerika menjadi semakin hidup. Hillary Clinton telah membuka kemungkinan bagi sebuah sejarah baru, presiden perempuan pertama di negeri Paman Sam. Kini Obama juga menjanjikan hal yang sama: presiden kulit hitam pertama di negeri yang sama.
Konvensi Partai Demokrat dan pemilu presiden memang masih setahun lagi, tapi sejak saat ini pun daya tarik kompetisi politik yang dilakoni oleh tokoh-tokoh menarik dan berbakat (di Partai Republik ada Rudy Giuliani, pahlawan peristiwa 9/11, dan John McCain, pahlawan Perang Vietnam) sudah mulai mencuri perhatian publik.
Di kalangan Partai Demokrat sendiri, kemunculan Obama tak urung membuat kubu Hillary Clinton kalang kabut.
Semula senator dari New York dan mantan First Lady ini dianggap sebagai kandidat teratas. Akan tetapi, sekarang posisi itu mulai goyah, dan momentum politik beralih ke Obama.
obama yang melewati masa kecilnya di Indonesia ini (dia menyebut dirinya sebagai Jakarta's street kid) sekarang sedang menunggangi gelombang pasang yang terus membawanya ke posisi yang semakin tinggi. Di mana letak kekuatan superstar baru ini"
Sama dengan Bill Clinton dan Ronald Reagan sebelumnya, obama memiliki kemampuan sebagai orator dengan pribadi yang karismatik. Kefasihan dan caranya berbicara, tekanan suaranya, tatapan matanya, gerak tubuhnya: semua elemen-elemen dasar ini saling memperkuat dan memunculkan citra seorang pemimpin yang sungguh-sungguh, kredibel, menawan, dan membangkitkan simpati serta harapan sekaligus. Kekuatan karisma inilah yang melembutkan kritik yang banyak ditujukan terhadapnya sebagai seseorang yang masih hijau dalam panggung pemerintahan.
Selain itu, pengalaman hidupnya juga merupakan manifestasi The American Dream itu sendiri. Sama seperti Colin Powell, dari keluarga menengah bawah obama berhasil meniti tangga sukses menjadi senator kulit hitam ke-3 dalam sejarah AS, setelah sebelumnya menjadi dosen di Universitas Chicago, senator di Negara Bagian Illinois, dan presiden dari jurnal bergengsi, Harvard Law Review, sewaktu ia masih belajar di Universitas Harvard, salah satu perguruan tinggi terbaik di AS. Publik Amerika mudah jatuh hati pada cerita sukses semacam ini, apalagi oleh seorang anak muda kulit hitam yang tak suka mengeluh dan menyalahkan situasi di sekelilingnya, termasuk sejarah perbudakan di Amerika.
Penulis Besar Tidak kurang dari semua kelebihan yang dimilikinya, daya tarik obama terletak pada ide-ide yang dilontarkannya dan kemampuannya sebagai seorang penulis. Memoar yang ditulisnya sepuluh tahun lalu, Dreams from My Father, tentang masa kecilnya hingga menyelesaikan kuliahnya, tentang keluarga dan lingkungan dekatnya di Chicago, kini menjadi bestseller dan oleh kolumnis terkenal majalah Time, Joe Klein, dianggap sebagai salah satu memoar terbaik yang pernah ditulis seorang politisi Amerika. Dengan memoar semacam ini, jika Obama tidak meniti karier di dunia politik, barangkali ia tetap bisa tumbuh dan mengukir nama harum sebagai salah satu penulis besar Amerika.
Bukunya yang terbaru, The Audacity of Hope, dalam waktu singkat juga telah menempati posisi bestseller. Sama dengan Dreams, dalam buku ini kita bisa melihat betapa Obama memiliki sensibilitas yang tinggi terhadap dimensi-dimensi manusiawi dari setiap persoalan yang ditemuinya. Ia sangat peka terh
adap ironi dan tragedi dalam interaksi sosial, serta mampu menceritakan semua itu dalam penuturan yang sederhana namun cerdas dan mengalir mengenai orang-orang yang pernah bersentuhan dengannya.
Namun, berbeda dengan buku sebelumnya, kali ini Obama menulis tentang dunia kebijakan, politik, masalah sosial, agama, hingga hubungan internasional. Ia menulis dengan mata yang tertuju pada Gedung Putih, dan karena itu menawarkan sebuah platform kebijakan dari seorang kandidat presiden. Dan, dalam melakukannya, ia tidak terjebak dalam analisis-analisis yang kering, tetapi membingkainya dengan anekdot, cerita, dan ungkapan-ungkapan yang memberi jiwa pada analisis-analisis tersebut.
Di situlah terletak salah satu kekuatan buku ini. Setiap persoalan politik atau isu kebijakan selalu dimulai dan diakhiri dengan cerita tentang manusia, tentang kepedihan dan harapannya, tentang kekuatan dan kelemahannya. Di sini ia memperlihatkan bahwa dunia politik dan kebijakan tidak berada di ruang hampa, tetapi berhubungan langsung dengan nasib dan kehidupan manusia-manusia yang riil.
Politik Jalan Tengah Dari segi substansi dan spektrum ide-ide yang ditawarkannya, Barack Obama bisa digolongkan sebagai politisi moderat dari tradisi liberal Amerika. Atau secara lebih sederhana ia bisa disebut sebagai the third way politician, politisi jalan tengah dalam tradisi yang telah dirintis Bill Clinton dan Tony Blair. Hal inilah yang membedakan Obama dengan banyak politisi kulit hitam yang cenderung memilih garis ekstrem, baik di kiri (Jesse Jackson) maupun di kanan (Alan Keyes).
Dalam membangun ekonomi Amerika, ia mengakui pentingnya peran mekanisme pasar, namun ia tetap ingin mengembangkan peran negara yang sehat dan efektif. Dalam kehidupan keagamaan, ia bisa bersimpati terhadap kaum konservatif, namun ia mengerti betul bahwa tradisi sekularisme Amerika adalah tradisi sakral yang harus terus-menerus diperkuat. Dalam menjembatani perbedaan kaum Demokrat dan kaum Re-publikan, ia ingin membangun a vital center, sebuah konsensus bersama yang mempertemukan secara kreatif pandangan-pandangan yang bertentangan.
Hampir dalam setiap isu, hal semacam itulah yang kita temui dalam buku setebal 375 halaman ini. Intuisi Obama adalah mencari moderasi dan jalan tengah. Ia ingin merangkul sebanyak mungkin kalangan. Untuk itu, ia bahkan sanggup mencari kebenaran pada lawan-lawan politiknya dan mengakui bahwa kaum Republikan seringkali memiliki pandangan yang lebih baik.
Kaum pengkritik Obama barangkali dapat menemukan titik lemah dalam pandangan dan intuisi seperti itu. Sebagian orang bisa berkata bahwa intuisi demikian sudah menjadi sebuah obsesi. Sementara sebagian lagi dapat menuduh bahwa jalan tengah bukanlah sebuah jalan ke luar, melainkan sebuah pelarian, sebuah jalan pintas untuk menghindari pilihan-pilihan sulit yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin.
Kritik demikian cukup mengandung kebenaran. Namun, satu hal yang jelas: Obama bukanlah seseorang yang tidak mampu menghadapi pilihan-pilihan sulit dan selalu menghindari risiko. Ia adalah salah satu dari sedikit politisi yang secara tegas menentang tindakan Bush di Irak yang waktu itu sangat populer. Sekarang, setelah Perang Irak dianggap gagal, hampir semua orang mengecam Bush-tetapi pada saat awal, Obama mengambil risiko besar dengan memilih untuk melawan arus.
Adapun mengenai jalan tengah sebagai proposisi kebijakan, barangkali memang saat ini Amerika lebih membutuhkannya. Sejarah melahirkan aktor-aktornya sendiri. Setelah zaman Bush, Amerika sekarang dahaga akan datangnya seorang pemimpin yang merangkul, seorang heal-maker, seorang yang sanggup membangun jembatan bagi begitu banyak perbedaan yang ada.
Tentu saja, politisi yang piawai harus mampu menjawab persoalan-persoalan praktis. Seorang heal-maker harus juga sanggup menjadi seorang deal-maker. Tanpa itu, ia hanya akan menjadi seorang nabi, bukan pemimpin pemerintahan. Karena itu, yang paling penting adalah akal sehat dan kemampuan untuk melihat fakta sebagaimana adanya. Jalan tengah sebagai sebuah proposisi kebijakan dalam
praktiknya ternyata sangat fleksibel. Seperti yang bisa dilihat pada pemerintahan Bill Clinton dan Tony Blair, ia terkadang bergeser ke kanan dalam isu-isu ekonomi karena memang tidak ada lagi pilihan yang lebih baik dalam mengatasi persoalan-persoalan praktis untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat di zaman ini. Barack Obama pun akan melakukan hal itu jika ia memang menang dalam pemilu tahun depan. Dan mungkin, kalau membaca tulisan-tulisannya, ia akan melakukannya dengan lebih baik dan simpatik.
Apapun, cerita tentang Obama masih akan panjang. Untuk saat ini kita patut memberi selamat kepada publik Amerika.
Negeri mereka seolah tidak pernah berhenti melahirkan pemimpin berbakat yang penuh inspirasi. Mereka pantas bersyukur. Dan sebagai sahabat, dari jauh kita turut bertepuk tangan.
11 Maret 2007 Masalah Kerjasama kita sekarang ini memasuki sebuah era yang dicirikan oleh internasionalisasi perekonomian domestik. Hampir setiap hal penting dalam perekonomian kita sekarang ini pada dasarnya bersifat global. Dalam keadaan baru ini, karena alasan-alasan yang akan segera saya jelaskan, kerjasama ekonomi di antara negara-negara besar, sampai tingkat tertentu, dikehendaki. Ker-jasama ini mungkin sangat sulit diwujudkan. Namun, sebagaimana yang dikatakan oleh Kindleberger, "Seperti demokrasi, kejujuran, dan pernikahan yang stabil, [kerjasama dalam kepemimpinan ekonomi] merupakan suatu hal yang lebih baik ketimbang pilihan-pilihan yang ada."
Sejak 1970-an, hegemoni perekonomian Amerika Serikat (AS) menurun. Eropa, Jepang, dan kini NICs, serta banyak perusahaan multinasional dan entitas subnasional, telah muncul ke panggung utama ekonomi dunia. AS sekarang ini merupakan pengutang terbesar di dunia. Pada 1950-an, andil US. atas produk dunia adalah 40%, pada akhir 1980-an turun menjadi hanya sekitar 22%. Setelah Perang Dunia II, AS memproduksi 30% barang manufaktur dunia; pada akhir 1980-an menurun menjadi hanya 13% (Gilpin, 1987: 344). Sebagaimana yang dijelaskan Nye (1990), meskipun tidak ada negara yang mampu menggantikan AS sebagai pemimpin ekonomi dan politik dunia, menjadi semakin jelas bahwa AS sekarang ini tidak memiliki kemampuan ekonomi maupun kehendak politik untuk memimpin dunia sendirian, sebagaimana yang dilakukannya selama masa pasca-Perang.
Dalam keadaan seperti ini, kepemimpinan ekonomi dunia hanya bisa diwujudkan dengan kerjasma di antara negara-negara besar, yakni Jepang, Jerman, Prancis, Inggris, dan tentu saja, AS (G5). Tanpa kepemimpinan kooperatif mereka di wilayah tertentu, stabilitas tatanan ekonomi liberal dunia kita akan sangat sulit dijaga, apalagi diperluas. Salah satu kunci paling penting dari pertumbuhan ekonomi dunia yang begitu besar selama tahun-tahun pasca-Perang adalah kepemimpinan AS. Amerika memberikan stabilitas dan likuiditas yang sangat dibutuhkan bagi penyesuaian ekonomi negara-negara yang tercabik oleh perang agar bisa memasuki era baru. AS juga mengawasi terjaganya tatanan ekonomi liberal dunia dengan memperkuat, misalnya, GATT, IMF, dan IBRD. Kini, dengan merosotnya kekuasaan AS, tinggal G5 yang bisa memberikan kepemimpinan.
Beberapa contoh bisa menjelaskan mengapa kepemimpinan kooperatif tersebut diperlukan dalam perekonomian baru dan global ini. Dalam dua dekade terakhir, Jepang dan NICs muncul sebagai pesaing besar Eropa dan AS. Untuk membendung aliran masuk produk-produk manufaktur yang lebih murah dari NICs, Eropa menjalankan mekanisme-mekanisme merkantilis serta neo-merkantilis. Dari 1980- 1983, misalnya, total impor manufaktur EEC yang terkena restriksi meningkat dari 11% menjadi 13% (Gilpin, 1987: 207).
Di AS, argumen-argumen neo-merkantilis juga dijalankan oleh banyak pemimpin kongres-terlepas dari retorika mereka tentang keunggulan perdagangan bebas, mereka mendukung proteksionisme non-tarif untuk melindungi industri-industri domestik yang gagal (Ray, 1988). Total impor manufaktur AS yang mengalami proteksi meningkat lebih dari dua kali lipat dari 1980 hingga 1983, yakni dari 6% menjadi 13% (Gilpin, 1987: 207).
Jika kecenderungan proteksio
nisme di kedua sisi Atlantik ini terus meningkat hingga tak terkendali, perdagangan liberal dunia kita akan terancam, dan perang perdagangan sekali lagi akan muncul di hadapan kita.
Contoh yang lain dapat ditemukan jika kita melihat apa yang sedang terjadi dalam hubungan fiskal dan moneter di antara negara-negara besar. Jika administrasi AS memutuskan untuk merangsang output dengan perluasan fiskal, akibatnya hanya akan meningkatkan defisit AS jika Jepang dan Jerman tidak memutuskan untuk memperluas instrumen-instrumen fiskal mereka. Jika ketiga negara ini bersama -sama memutuskan untuk memperluasnya, ketiganya akan menjadi lebih baik.
Jika Bundesbank memutuskan menaikkan suku bunga (seperti yang dilakukannya beberapa bulan yang lalu) untuk mengendalikan inflasi dan mengkompensasi biaya unifikasi yang sangat besar, likuiditas yang lebih besar tentu saja akan mengalir ke Jerman. Namun Italia, Spanyol, Prancis, dan UK akan berteriak (seperti yang mereka lakukan satu atau dua hari setelah keputusan Bundesbank tersebut): jika mereka juga menaikkan suku bunga, persoalan utama mereka (pengangguran) akan menjadi lebih akut, namun jika mereka tetap mempertahankan suku bunga rendah, para investor finansial akan meninggalkan negara mereka dan terbang ke Berlin atau Hamburg.
Pendeknya, hubungan moneter dalam perekonomian baru kita sangat terkait satu sama lain sehingga banyak negara, tanpa melakukan suatu kesalahan, bisa mendapatkan masalah ekonomi yang besar hanya karena keputusan moneter sebuah bank sentral. Di sini kerjasama berarti bahwa masing-masing pemerintahan setuju untuk tidak membahayakan dan menghancurkan stabilitas ekonomi satu sama lain dengan mengambil langkah moneter yang "egoistik".
Jadi, kepemimpinan yang kooperatif sangat diinginkan. Masalahnya: apakah hal itu bisa dijalankan" Apakah mungkin negara-negara besar tersebut bersepakat menyangkut beberapa hal mendasar, dan bertindak sesuai dengan kesepakatan tersebut" Agar berjalan, kerjasama menuntut dikesampingkannya keuntungan ekonomi jangka-pendek, jika perlu. Jika Jerman, misalnya, ingin mengeruk apapun keuntungan ekonomi yang ada di depan matanya, kerjasama tidak akan mungkin. Memang, kita masih harus melihat bagaimana, dalam watak politik dunia yang anarkis ini, pemerintah-pemerintah bisa mengedepankan kepentingan semua.
Selain itu, politik nasional, seperti yang dijelaskan oleh Alan Greenspan, "mengharuskan kerangka waktu pemenuhan yang jauh lebih pendek ketimbang yang diperlukan untuk... ker-jasama untuk menyerahkan keuntungan ke suatu negara...". (1988: 61). Karena itu, dorongan bagi masing-masing pemerintahan untuk bertindak sendiri sangat besar. Inilah yang menjelaskan mengapa kerjasama sejauh ini berjalan dengan baik hanya pada masa krisis, ketika pemerintah bisa dengan jelas melihat bahwa dalam jangka pendek, jika mereka tidak bertindak bersama, mereka semua terancam bahaya.
Selain itu, agar berjalan, kerjasama menuntut masing-masing pemerintahan bersepakat menyangkut sebuah model ekonomi dan juga menyangkut pemecahan persoalan bersama mereka. Jika Jepang dan AS melihat persoalan defisit AS dengan cara yang berbeda, kerjasama tidak akan mungkin. Sayangnya, sejauh ini, hal inilah yang terjadi: Jepang beranggapan bahwa para konsumen AS tidak cukup menabung, sementara AS beranggapan bahwa Jepang terlalu banyak membeli produknya sendiri dan pada saat yang sama terlalu melindungi pasar domestiknya dari ekspor AS. Di sini kerjasama yang dijalankan oleh AS dan Jepang, jika jenis ketidaksepakatan tersebut terjadi, hanya akan menjadi selubung internasional.
Dengan demikian, kerjasama tidak mudah. Terlalu banyak rintangan bagi sebuah kerjasama yang efektif. Cooper dengan jelas menangkap poin ini ketika ia berkata bahwa "dunia menghabiskan 50 tahun untuk mencapai kerjasama internasional dalam sebuah wilayah yang sudah sangat jelas seperti kesehatan publik" (1988: 101). Berapa tahun yang kita perlukan untuk mewujudkan kerjasama dalam, misalnya, hubungan moneter, yang di mata sebagian besar orang jauh lebih tidak jelas dibanding kesehatan publik"
Daftar Rujukan 1. Cooper, Richard N. 1988, "Cooperation: Is It Desirable" Is It Likely"", The Washington Quarterly, Spring 1988.
2. Feldstein, Martin ed., 1988, International Economic Cooperation, The Univ. of Chicago Press.
3. Fischer, Stanley, 1988, "International Macroeconomic Policy Coordination", dalam Feldstein, Martin, ed., 1988, International Economic Cooperation, The Univ. of Chicago Press.
4. Gilpin, Robert (1987), The Political Economy of International Relations, Princeton Univ. Press.
5. Greenspan, Alan, 1988, "Prospects for International Economic Cooperation", dalam Feldstein, Martin, ed., 1988, International Economic Cooperation, The Univ. of Chicago Press.
6. Kindleberger, Charles P., 1981, "Dominance and Leadership in the International Economy", International Studies quarterly, Vol. 25, Juni.
7. Nye, Joseph S., Jr., 1990, Bound to Lead, Basic Books.
BAB IX Catatan Pribadi Pak Bill dalam Hidup Saya
pertama kali saya bertemu Bill Liddle adalah di ruang senat mahasiswa Fisipol UGM, dalam suatu acara diskusi mahasiswa di tahun 1989. Dia kebetulan sedang berada di Yogjakarta dan salah satu kelompok studi di UGM mengundangnya berbicara mengenai politik Orde Baru; sementara saya diminta untuk menanggapinya mewakili kaum aktivis mahasiswa.
Isi diskusi kami saya tidak ingat lagi. Tetapi yang masih terus melekat dalam memori saya adalah percakapan singkat dengan Bill Liddle di parkiran Fisipol UGM, di bawah pohon ketapang, setelah diskusi tersebut.
"prof. Liddle, kalau saya mau melanjutkan kuliah di Amerika Serikat setelah lulus nanti, Anda bisa bantu memberi rekomendasi"" kira-kira begitu pertanyaan saya pada dia (karena belum kenal sebelumnya, saya masih memanggilnya "Prof. Liddle", bukan "Pak Bill" yang menjadi panggilan akrabnya.)
Sampai sekarang, 18 tahun kemudian, saya masih ingat dengan baik jawaban dia, termasuk ekspresinya saat menjelaskan apa saja yang saya perlukan untuk bisa diterima sebagai mahasiswa pasca-sarjana dalam studi ilmu politik di AS. Dengan ramah dia membuka harapan buat saya dan menekankan bahwa semua itu sebenarnya cukup mudah sejauh saya memiliki nilai-nilai yang baik saat lulus nanti.
Sebelum kami berpisah dia sempat menekankan bahwa jika dibutuhkan dia pasti akan senang membantu dan memberikan rekomendasi, apalagi kalau universitas yang saya pilih adalah The Ohio State University, tempatnya mengajar. Dia mempersilakan saya untuk menulis surat ke Columbus (waktu itu belum ada email) setelah saya lulus nantinya.
Tentu saja perasaan saya agak melambung. Sebelum itu sebenarnya saya juga sudah bertanya-tanya tentang hal yang sama pada Arief Budiman, Umar Kayam, Herbert Feith, dan Mohtar Mas'oed, yang beberapa tahun sebelumnya menyelesaikan studi di Columbus, Ohio. Tetapi dengan penjelasan dan kontak dengan Bill Liddle, yang waktu itu sudah dianggap sebagai salah seorang Indonesianis senior di AS, saya pikir jalan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi di negeri Paman Sam sudah semakin terbuka.
Setahun kemudian, setelah lulus dari Fisip UGM dan kemudian mendapat kepastian bahwa saya menerima beasiswa Fulbright, saya mengontak Bill Liddle. Lamaran saya untuk studi ilmu politik diterima di beberapa universitas di AS, termasuk di Columbia University, New York, serta di OSU. Terus terang, waktu itu pilihan saya cenderung ke yang pertama, sebab universitas ini termasuk dalam Ivy League (kelompok universitas terbaik di AS), dengan program studi filsafat politik yang sangat kuat serta lokasinya yang berada di "pusat peradaban".
Tetapi saya juga masih bimbang. Soalnya adalah dana dari beasiswa Fulbright, seingat saya, "hanya" US$25.000 per tahun, sementara untuk kuliah di Columbia yang dibutuhkan adalah US$40.000 setahun. Saya tidak tahu bagaimana menutup gap sebesar itu. Waktu itu belum ada lembaga semacam Freedom Institute yang dapat membantu mencarikan dana tambahan bagi mahasiswa berprestasi yang mendapat beasiswa di luar negeri.
Persoalan lain yang juga memusingkan saya adalah sebelum melanjutkan kuliah di AS saya ma
u kawin dulu dengan pacar saya, Dewi, yang waktu itu juga sudah menyelesaikan studinya di jurusan antropologi UGM. Kami sudah cukup lama pacaran dan saya tidak ingin meninggalkan dia bertahun-tahun, hidup sendiri di perantauan.
Kawin dulu, urusan belakangan-begitu tekad kami waktu itu. Tapi kemudian "urusan belakangan" ini semakin membuat saya berpikir. Kalau untuk hidup sendiri saja beasiswa Fulbright masih kurang, bagaimana pula saya bisa menghidupi istri" Bagaimana jika kami punya anak nantinya" Hidup di New York dengan anak yang masih kecil dan kehidupan ekonomi pas-pasan a la mahasiswa di perantauan: apakah kehidupan keluarga yang normal bisa saya jalani serta proses belajar tidak akan terganggu karena memikirkan the basic necessities of a normal life"
Semua itu saya singgung dalam surat pada Bill Liddle. Beberapa saat kemudian saya menerima surat balasan darinya yang cukup panjang. Dia membujuk saya untuk memilih OSU dan mengatakan bahwa setelah saya menyelesaikan program master dan beasiswa Fulbright berakhir, dia akan meyakinkan teman-temannya di fakultas untuk menerima saya dalam program doktor, dengan beasiswa dari universitas dalam bentuk TA (teaching assistanship).
Selain itu dia juga menambahkan bahwa untuk kehidupan keluarga saya Columbus pasti jauh lebih baik dan ramah ketimbang New York City. Columbus lebih kecil, lebih bersahabat, serta lebih murah. Singkatnya, Dewi dan saya pasti akan lebih merasa nyaman di Columbus, apalagi jika kami nantinya akan membesarkan seorang anak.
Surat Bill Liddle itulah yang membantu saya untuk menjatuhkan pilihan pada OSU. Arief Budiman, begitu mendengar hal ini, langsung berkata, "Ngapain lu ke sana, jauh banget." (Maksudnya, jauh dari kota-kota besar di pantai timur dan pantai barat yang menjadi pusat kosmopolitanisme AS). Tapi cepat-cepat Arief menambahkan, "Saya kenal Bill. Orangnya baik banget."
Tiga bulan setelah kawin, Dewi dan saya berangkat ke AS pada awal Agustus 1992. Di pesawat saya meyakinkan Dewi bahwa hidup baru yang akan kami jalani di Ohio nanti pasti menyenangkan, dengan lingkungan yang baik, dan saya bisa lebih memusatkan perhatian untuk belajar.
Setiba di Columbus pada awal September kami langsung membereskan apartemen dan berbagai persiapan lainnya. Setelah semua urusan yang cukup melelahkan ini selesai saya mengajak Dewi menemui Bill Liddle di kantornya, waktu itu masih di Neil Hall, sambil berjalan kaki menyusuri kampus Buckeye di awal musim gugur yang indah itu.
Itulah kedua kalinya saya bertemu Bill Liddle. Saya menyampaikan salam beberapa kawan di Yogja, dan dia menjelaskan lebih jauh tentang kehidupan universitas di AS dan tentang kota Columbus. Dalam pertemuan ini, sambil tersenyum dia sempat mengatakan bahwa perjanjian pertama antara dia dan saya adalah jika kami bertemu bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Dia ingin terus melatih bahasa Indonesianya yang memang sudah hampir sempurna itu. Perjanjian berikutnya: kalau dia menulis kolom atau makalah dalam bahasa Indonesia, dia berharap saya mau mengoreksi isi dan bahasanya. (Kemudian saya tahu, "perjanjian" semacam ini juga berlaku untuk semua mahasiswanya, sebelum dan setelah sa-ya.)[Sebenarnya, Bill Liddle tidak perlu terlalu kuatir dengan kemampuan bahasa Indonesianya. Dari segi bahasa, kolom dan artikel yang ditulisnya tidak banyak yang perlu diubah. Di antara banyak Indonesianis yang saya kenal hanya Ben Anderson yang sedikit berada di atas kemampuan Bill Liddle. Untuk mengekspresikan pikiran dalam bahasa Indonesia dia hampir tidak menemukan kesulitan samasekali, kecuali dalam percakapan cepat, kata ganti "kami" dan "kita" selalu menjadi batu sandungan yang permanen sebagaimana umumnya yang dialami oleh setiap orang yang tumbuh dari lingkungan berbahasa Inggris. Dalam soal bahasa, tokoh yang paling dia kagumi di Indonesia adalah Goenawan Mohamad, yang dijulukinya The Indonesian Shakespeare.] Seingat saya, dalam pertemuan ini juga, saya mulai memanggilnya dengan sapaan "Pak Bill".
Pada kuartal pertama salah satu matakuliah yang saya pilih adalah poliscience 741: P
olitics of the Developing World, yang diisi oleh Pak Bill. Untuk matakuliah ini, sebagai tugas akhir, saya menulis dua paper. Yang pertama mengulas kesinambungan dan perubahan pemikiran Samuel Huntington lewat dua bukunya, Political Order in Changing Societies (1968) dan The Third Wave of Democratization (1991). Draft pertama yang saya serahkan hanya diberinya catatan singkat dan saya diminta untuk menulis revisi yang lebih serius. Setelah beberapa hari begadang saya kemudian menyerahkan hasil revisi yang sudah jauh berbeda dari sebelumnya, jumlah halamannya juga berkembang, dari 15 menjadi 24.
Dalam dua atau tiga hari saya menerima kembali paper ini dari Pak Bill. Di dalamnya sudah banyak berisi catatan dan coretan dia, baik dalam mengoreksi bahasa Inggris saya maupun dalam memberi penekanan ide-ide yang ada di dalamnya. Di halaman terakhir paper ini dia memberi komentar, dengan tulisan tangannya yang tinggi-kurus, dengan lekukan yang tajam itu: "[This is] a very big improvement from the first draft. Your summary really captured the heart of the two books... imaginative, thoughtful, serious..."
Dia memberi nilai A untuk paper pertama ini, yang tentu saja sangat menyenangkan perasaan saya sebagai mahasiswa yang baru dua bulan berada di Columbus dan baru mulai mengenal sistem perkuliahan di AS.
Untuk paper yang kedua rupanya saya agak kurang beruntung. Dalam paper ini saya membahas perubahan pemikiran Peter L. Berger dalam melihat peran sistem kapitalisme di negara berkembang, juga lewat dua bukunya yang agak berbeda, Pyramids of Sacrifice (1974) dan The Capitalist Revolution (1986).
Komentarnya di halaman akhir paper kedua ini: "Your discussion at the end was not quite as directly as you might have. Also, you should have made a clearer separation between the two books at the beginning... But it's a good start-a well organized paper...." Paper ini diberinya nilai A minus.
Setelah lulus poliscience 741 saya masih mengikuti beberapa kelas Pak Bill. Tetapi minat saya sejak awal sebenarnya bukan terutama ingin belajar tentang politik Indonesia atau mengkhususkan diri hanya pada studi perbandingan politik yang menjadi bidang spesialisasi Pak Bill. Salah satu persoalan saya adalah saya tidak memiliki cukup kesabaran untuk mempelajari satu atau dua hal saja. Terkadang kepala dan hati tidak sinkron: yang satu sudah penuh sesak, sementara yang satunya lagi masih terus tertarik dengan berbagai topik lainnya.
Untungnya Pak Bill memahami dan menerima hal itu. Saya, dan saya kira semua mahasiswa yang pernah berada di bawah bimbingan Pak Bill, merasa bersyukur bahwa dia benar-benar mempraktikkan semboyan tut wuri handayani. Ia membiarkan mahasiswanya untuk berkembang sendiri, mencari pengetahuan dan menelusuri minat masing-masing. Dari belakang ia seringkali hanya melontarkan pertanyaan dan mengajak diskusi.
*** Salah satu wilayah yang saya gemari adalah sejarah liberalisme, dalam pengertian klasik. Di UGM, pada tahun-tahun awal, saya termasuk aktivis mahasiswa kiri. Tetapi menjelang lulus saya semakin menempuh the road less traveled by dalam konteks pergerakan kemahasiswaan saat itu: saya semakin bergerak ke kanan. Di Columbus perubahan ini semakin insentif dan saya mencoba memahami lebih jauh tradisi pemikiran liberal.
Pak Bill menyambut baik hal itu dan mendorong saya untuk melakukannya dengan serius. Tapi saya tahu hatinya sebenarnya agak mendua. Bagaimanapun, dia adalah seorang pengikut setia Franklin D. Roosevelt dan secara intelektual menjadi bagian dari arus progresif di negerinya, sebuah tradisi intelektual yang dasar-dasarnya tidak selalu berimpitan dengan pemikiran liberal klasik.
Kalau dalam membaca perkembangan di Indonesia dan di negara berkembang umumnya, diskusi kami berdua biasanya berakhir dengan kesepakatan: demokrasi dan modernitas perlu diperjuangkan, ekonomi pasar diperluas, kesejahteraan ditingkatkan dan pemerintah diefisienkan. Selebihnya adalah isu-isu kembangan, seperti peran militer, pertumbuhan kelas menengah, kekuatan Islam, kebudayaan politik, peran partai dan semacamnya.
P erdebatan di antara kami paling-paling hanya berkisar pada metode mencapainya, cakupan dan kecepatan pencapaiannya, serta perbedaan dalam mengevaluasi isu-isu kembangan yang mengitarinya.
Tetapi begitu mendiskusikan negara maju, khususnya AS, maka dinamika diskusi kami agak meninggi. Saya biasanya memuji Ronald Reagan dan mencoba memahami godfather intelektual yang berada di balik kemunculan tokoh politik ini, dari F.A. Hayek, Milton Friedman, William F. Buckley Jr. hingga Irving Kristol yang dianggap sebagai pionir gerakan neokon itu. Kalau sudah begini bukan satu atau dua kali saja Pak Bill menyinggung Richard Rorty, tokoh posmo-pragmatis yang brilian itu, dengan akibat yang agak memicu perputaran darah saya, sebab dalam beberapa tulisannya Rorty kadang menyinggung bahwa munculnya Reagan sebenarnya tidak lebih hanyalah sebentuk pencurian harta yang dilakukan oleh kaum berduit terhadap kelas menengah dan kelas bawah. Tentu saja saya sadar juga bahwa Pak Bill mengutip Rorty bukan karena "teori ekonomi" yang terlalu sederhana itu, tetapi karena pendapat Rorty yang membela tradisi progresif AS dengan penjelasan filosofis yang memang tajam dan mendalam.
Kalau sudah sampai pada tingkat itu biasanya diskusi kami berakhir tanpa kesimpulan apa-apa selain pada kesadaran bahwa kami tidak mungkin bisa mengubah pendapat masing-masing, setidaknya untuk sementara waktu. Dan seingat saya, karena dasarnya memang seorang guru, tidak pernah sekalipun Pak Bill marah terhadap kritik yang saya lontarkan; malah, kalau pendapat saya agak lemah di matanya dia kerap merekomendasikan satu atau dua buku yang harus saya baca.
Topik lain yang seingat saya juga sering memunculkan diskusi hangat di antara kami berdua adalah masalah separatisme dan eksistensi keindonesiaan. Saya melihat masalah ini dengan berusaha menggabungkan dua aliran pemikiran, yaitu kaum pelopor argumen raison d'etat di satu pihak serta kaum liberal klasik di pihak lain.
Memang, penggabungan kedua aliran ini agak kontradiktif. Tetapi jika dilihat secara sequential, keduanya sebenarnya saling membutuhkan: yang satu harus mendahului yang lain.
Dalam praktik hal ini berarti bahwa sebelum demokrasi dan ekonomi pasar dapat berjalan dengan baik, unit organisasi politiknya, yaitu negara-bangsa, harus relatif beres dulu. Demokrasi dan pasar bekerja dalam sebuah konteks, dan di mana-mana dalam sejarah, konteksnya yang modern adalah negara-bangsa tersebut. Sebaliknya jika unit politik ini masih terus dipersoalkan atau terganggu, misalnya oleh separatisme atau kontestasi oleh negara lain, maka banyak hal yang tidak mungkin tumbuh dengan sehat.
Barangkali saya terlalu kaku dalam mengikuti konsekuensi pemikiran semacam itu dalam melihat kasus-kasus konkret, misalnya di Aceh dan Papua. Yang jelas, setiap kali hal itu kami bicarakan suhu diskusi akan meninggi. Pak Bill tidak menentang cara berpikir saya, tetapi dia lebih peka pada dimensi kemanusiaan serta sangat tidak yakin bahwa kaum militer (alat sekaligus pengendali nation-state di zaman Orba) bisa menahan diri dan menyelesaikan ketegangan di daerah. Di Aceh Pak Bill memiliki pengalaman yang cukup panjang dan seringkali dia menimba dari pengalaman ini untuk menjelaskan pendapatnya.
Harus saya akui, dalam soal ini, diskusi kami sering membuat saya merenung sendiri. Saya kuatir bahwa saya terlalu terjebak dalam dunia gagasan sehingga agak melupakan bahwa fondasi kehidupan adalah manusia-manusia konkret yang memiliki perasaan dan hidup masing-masing. Tetapi saya juga ragu, jika humanisme semacam ini saya ikuti terus ke ujungnya, termasuk dalam melihat proses pembentukan negara-bangsa, maka pembelaan terhadap sebuah unit politik yang disebut sebagai Republik Indonesia menjadi sangat rapuh, dengan konsekuensi jangka panjang yang justru ingin dihindari oleh setiap kaum humanis.
Kalau sudah berputar-putar seperti itu biasanya saya kemudian mencari bacaan-bacaan baru yang dapat membantu saya. Tetapi terus terang, dalam soal ini, setelah sekian tahun, sampai sekarang pun saya belum dapat menyelesaikan dilema yang ada dalam p
ikiran saya. Kalau diungkit, hal itu masih terus menggantung. Mungkin penyelesaiannya bukan terletak pada dataran konseptual tetapi pada proses kehidupan yang terus mengalir dan membawa kenyataan dan harapan baru.
*** Salah satu topik yang menjadi top hit pada pertengahan 1990-an, sebelum era reformasi, berkisar di seputar isu tentang the nature of the New Order-bagaimana memahaminya, bagaimana mendudukkan peran Soeharto, pencapaian serta kegagalannya. Semakin lama berada di Columbus tanpa sadar saya semakin mendekati posisi Pak Bill dalam isu-isu ini. Hal demikian barangkali tidak langsung terkait dengan pergerakan ideologis seperti yang saya singgung sebelumnya, tetapi lebih berhubungan dengan pengertian yang lebih baik, setidaknya menurut saya, terhadap kompleksitas kehidupan dan kenyataan masyarakat Indonesia.
Pak Bill sendiri melihat orba dalam banyak seginya. Kalau misalnya dia menggali sejarah kemunculan rezim yang dibangun Soeharto ini, dia tidak akan terpaku hanya pada pembahasan peristiwa pembunuhan kaum komunis. Kalau memang membahas tragedi tersebut biasanya dia melihatnya dalam perspektif yang luas, yang berhubungan dengan dinamika politik saat itu, tanpa terjebak pada penghakiman sebuah rezim pemerintahan. Sebaliknya, kalau memuji keberhasilan pembangunan ekonomi Orba, hal ini tidak berarti bahwa dia memberi pembenaran pada sebuah sistem politik yang otoriter.
Dalam melihat peran Soeharto secara khusus hal yang sama dia lakukan pula. Pak Bill bukan seorang Marxis tetapi dalam hal ini ia tidak berbeda jauh dengan Marx, dalam 18th Brumaire: manusia memang membuat sejarah, tetapi dalam melakukannya mereka tidak bisa seenaknya sendiri, man makes history, but they do not make it as they please. Soeharto, dalam pandangan Pak Bill, adalah seorang tokoh di panggung politik yang bertindak secara rasional dalam mencapai tujuannya, membuka peluang dan menghadapi tantangan berdasarkan sumberdaya politik yang dimilikinya.
Kesadaran akan peran aktor dalam sejarah itulah yang menjadi salah satu ambisi teoretis Pak Bill. Dari kasus Indonesia yang bersifat khusus, dia ingin membangun sebuah pengertian umum yang lebih jauh tentang peran kepemimpinan, peran tokoh dalam perubahan-sebuah tema besar yang biasanya dibahas dengan menggabungkan ide-ide dari berbagai disiplin keilmuan.
Selain berusaha mewujudkan ambisi keilmuannya, Pak Bill juga tidak lupa menulis di media populer Indonesia, terutama harian Kompas dan majalah Tempo. Dia sangat bangga dengan posisinya sebagai seorang kolumnis, dan periode paling produktif Pak Bill sebagai kolumnis kebetulan bersinggungan dengan periode saya belajar di Columbus.
Bagi saya hal itu mendatangkan keasyikan sekaligus kerepotan tersendiri. Terkadang pagi-pagi benar, atau menjelang tengah malam, dia menelpon ke apartemen saya, memberitahukan bahwa satu lagi kolom dia sudah selesai. Artinya, saya harus segera ke Derby Hall mencari hardcopy-nya di kotak surat saya (setelah zaman email, hal ini jauh lebih mudah) dan mengedit bahasanya.
Tidak jarang setelah menulis kolom, apalagi jika isinya bernada kritik terhadap pemerintah atau terhadap suatu kecenderungan dalam masyarakat Indonesia, Pak Bill menyampaikan keluh-kesah dan perasaan bersalah. Dia terlalu sensitif, tidak ingin dianggap sebagai orang asing, dari Amerika Serikat lagi, yang selalu menggurui orang Indonesia. Hal ini membuatnya sangat hati-hati, malah beberapa kali kebingungan sendiri merumuskan posisi yang tepat manakala berada dalam diskusi atau polemik yang hangat dan tajam.
Kalau sudah begitu, yang biasanya saya lakukan adalah mengingatkan sambil mengejek sedikit. "Pak Bill, kita semua manusia universal. Tidak ada pengkotakan Indonesia-Amerika, Timur-Barat. Hak Anda mengkritik Indonesia tidak lebih dan tidak kurang dibanding hak saya. Lagian, ilmu juga bersifat universal. Apa urusannya dengan ketersinggungan satu dua kelompok yang masih berpikir primordial""
Setiap kali saya mengatakan hal seperti itu, reaksi Pak Bill hampir selalu sama. "Anda benar. Anda mungkin benar..." Namun dari raut wajahnya say
a tahu bahwa sesungguhnya dia tidak pernah benar-benar yakin mengatakannya.
*** Saya bersyukur bahwa hubungan kami berdua tumbuh dari sekadar hubungan guru-murid, profesor-asisten. Setelah satu atau dua tahun hubungan kami justru lebih terasa sebagai sahabat. Hal semacam ini juga pasti dirasakan oleh mahasiswa Pak Bill lainnya, mulai dari Mohtar Mas'oed, Makarim Wibisono, Salim Said, Bahtiar Effendy, Denny JA, Saiful Mujani, Eep Saefulloh Fatah, Takeshi Kohno, Blair King, Dody Kuskridho Ambardi dan yang lainnya.
Rumah Pak Bill yang luas dan nyaman di Upper Arlington sering menjadi tempat berkumpul teman-teman yang belajar di Columbus, lengkap dengan keluarga masing-masing, baik dalam merayakan malam tahun baru, 17 Agustusan, 4 Julian, atau jika ada teman dan tamu yang datang dari Indonesia. Setiap kali ada pertemuan semacam ini dia selalu memamerkan salah satu kelebihannya yang jarang tertandingi oleh mahasiswanya, yaitu memasak, terutama rendang Aceh. Istri Pak Bill yang ramah dan baik hati itu, Wanda Carter, selalu memberi toleransi yang luas jika beranda atau ruang tamunya kemudian berubah menjadi arena para talking heads dengan diskusi yang berkepanjangan.
Pak Bill juga sering mampir ke tempat mahasiswanya. Se-ringkali dia mengetuk pintu apartemen saya, membawa sebuah bungkusan kertas coklat yang di dalamnya berisi roti tawar yang masih hangat, buatan tangannya sendiri. Dewi dan saya sebenarnya juga sering membuat roti sendiri. Tetapi harus kami akui, setelah bertahun-tahun mencoba bermacam kombinasi resep, roti tawar kami tidak pernah seempuk dan segurih roti Pak Bill.
Seringkali kami juga mengadakan acara barbecue bersama kawan-kawan yang lain. Salah satu yang terus saya ingat adalah sebuah acara barbecue di halaman belakang apartemen saya di Trumbull Court, Buckeye Village, sehari setelah Pak Harto lengser pada 21 Mei 1998.
Saya mengerahkan segenap keahlian untuk memanggang ayam dan rusuk sapi kegemaran anak saya, Guntur, yang waktu itu masih berusia lima tahun. Takeshi Kohno, seorang kawan dari Jepang yang juga sedang menyelesaikan program doktor dalam studi Indonesia di OSU, menyempatkan diri mengambil bendera Merah Putih dari kantornya. Kawan-kawan lain juga ikut dan meluapkan perasaan dengan cara masing-masing.
Dari jauh kami semua ingin merasa terlibat, turut serta dalam proses perubahan yang sedang terjadi di tanah air.
Sore itu Pak Bill datang lengkap dengan seluruh keluarganya, Wanda, Caitlin, Adam, Craig dan Hedwig. Bagi kami peristiwa peralihan kekuasaan di Jakarta adalah sebuah momen sejarah. Bagi Pak Bill makna peristiwa itu lebih khusus lagi. Setelah lulus dari Yale Univeristy dia memulai kariernya sebagai pengamat Indonesia bertepatan dengan periode peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Lebih 30 tahun karir profesionalnya dia bangun dengan menulis dan meneliti orde Baru, Pak Harto, TNI dan semacamnya. Kini, praktis dalam sehari, semua itu sudah berlalu.
Jadi, sambil menghirup asap berbecue, di tengah perayaan kami menyongsong datangnya era baru di tanah air, terasa juga sebuah suasana nostalgia, sebuah kesadaran bahwa suatu tahap dalam kehidupan sudah lewat dan tidak mungkin kembali lagi. Tapi seingat saya sore itu Pak Bill tak tampak larut dalam perasaan melankolik. Kalau saya lihat kembali foto-foto yang mengabadikan suasana sore di penghujung musim semi itu, yang tampak adalah senyum lebar dan mata yang berbinar. Dan salah satu foto favorit dalam album keluarga kami, yang terus menghiasi meja kerja saya sampai sekarang, adalah foto Guntur yang sedang tersenyum sambil berdiri memegang ujung bendera Merah Putih yang dibawa oleh Takeshi, diapit oleh kedua orangtuanya, sementara Hedwig, menantu Pak Bill, lewat di belakang sambil memegang piring yang berisi ayam dan rusuk bakar yang mak nyus itu.
Peristiwa lain yang juga tidak pernah saya lupakan adalah pada saat Pak Bill menelpon ke apartemen saya sekitar jam 1 dinihari, 20 Oktober 1999. "Anda berlangganan CNN" Saya ke tempat Anda sekarang." Rupanya saluran TV langganan dia kebetulan sedang rusak, sementara CNN s
edang menyiarkan secara langsung pemungutan suara di MPR untuk memilih presiden pengganti BJ Habibie, antara Gus Dur atau Megawati. Peristiwa seru ini berlangsung siang hari di Jakarta tetapi karena Columbus berada di belahan bumi yang persis berlawanan, siaran CNN dimulai tepat tengah malam dan berlangsung hingga subuh.
Sekitar 15 menit setelah menelepon Pak Bill muncul di pintu apartemen saya, membuka jaketnya, dan langsung duduk di sofa mengikuti siaran CNN. Sekian jam kami tidak banyak bicara, mengikuti pencatatan suara yang menegangkan. Tubuh Pak Bill yang tinggi kurus itu melingkar di sofa saya, wajahnya lurus menatap TV.
Setelah Gus Dur akhirnya terpilih dengan suara terbanyak Pak Bill menghela napas panjang. Saya lihat matanya berkaca-kaca. Dia tidak banyak bicara, tetapi saya mengerti gumpalan perasaannya.
Dia kenal Gus Dur sejak lama. Pada tokoh inilah (pemimpin Islam moderat, intelektual, aktivis sosial) dia banyak berharap. Pak Bill begitu mencintai Indonesia dan pada dinihari itulah dia langsung menyaksikan betapa proses demokrasi menghasilkan the best of all possible worlds. Begitu banyak harapan, begitu banyak kemungkinan baik yang dapat terjadi di masa depan-dan semua itu mungkin diwujudkan oleh seorang tokoh, seorang sahabat, yang memang sejak lama telah ia ramalkan akan menjadi pemimpin Indonesia.
Saya sendiri, seingat saya, selain merasa senang dan takjub akan denyut perputaran sejarah yang demikian intens, sebenarnya pada saat itu juga mulai merasa kuatir. Di kepala saya menggumpal sekian pertanyaan.
Tetapi saya lebih memilih diam dan mengantarkan Pak Bill, setelah siaran itu selesai, mengambil jaketnya dan menuju pintu untuk kembali ke Upper Arlington, menyetir mobilnya menembus gelap di musim gugur.
Dalam kehidupan mahasiswa, masa yang paling menyenangkan sekaligus menguras energi adalah masa penelitian dan penulisan disertasi. Tidak ada lagi kuliah, paper dan ujian. Tetapi pada saat yang sama segenap pikiran harus dicurahkan untuk meneliti serta menulis satu topik yang spesifik dan menyumbangkan sebuah pengertian baru, atau merevisi pengertian lama, mengenai topik tersebut.
Pada umumnya penulisan disertasi dibagi dalam dua tahap, yaitu tahap penelitian dan pengumpulan bahan serta tahap analisis dan penulisannya. Untuk itu, pada awal April 1996, saya sekeluarga ke Indonesia dan selama 10 bulan saya harus menggali informasi dan melakukan wawancara di Jakarta yang berkaitan dengan topik disertasi saya, yaitu peran ide dalam perubahan kebijakan ekonomi. Saya bukan peneliti yang tekun dan karena itu periode penelitian ini saya lewati tidak dengan hasil yang maksimal.
Setelah tahap ini saya lalui, kami balik lagi ke Columbus. Seharusnya saya langsung menulis dan menyelesaikan disertasi. Tetapi saya merasa bahan yang ada belum memadai dan juga perumusan ide di kepala saya belum kental benar. Selain itu, hanya beberapa bulan setelah kami tiba lagi di Columbus krisis moneter terjadi dan situasi di Jakarta gonjang-ganjing, yang tentu saja sangat menarik untuk diamati tetapi dengan akibat bahwa perhatian dan fokus pikiran saya jadi terbelah. Jadinya, selama kurang lebih setahun penulisan disertasi saya hanya berjalan di tempat.
Pak Bill sangat sabar, bahkan mungkin terlalu sabar. Melihat situasi penulisan saya yang belum jelas, dia tidak pernah mendesak atau menegur saya. Sesekali dia bertanya, tetapi umumnya dia menunggu saja, berharap bahwa masa-masa tanpa kejelasan itu segera berlalu.
Saya mulai lagi mengerjakan disertasi pada pertengahan 1998, dan bab demi bab segera mengalir ke Pak Bill. Setiap kali saya menyerahkan satu bab, beberapa hari kemudian halamannya sudah penuh dengan komentar dan coretan Pak Bill. Saya revisi, dia koreksi lagi, demikian seterusnya sehingga naskah yang ada memuaskan kami berdua.
Itulah masa yang paling menyenangkan selama saya belajar di Columbus. Puncaknya adalah pada saat bab-bab terakhir sudah mendekati penyelesaian, menjelang musim dingin 1999. Semua langkah saya jadi lebih ringan dan hidup terasa penuh dan berharga.
Saat disertasi saya ram pung Pak Bill termasuk dalam salah satu dari empat komite penguji. Dia lebih banyak mendengarkan serta membiarkan tiga profesor lainnya untuk bertanya. Kalau tidak lupa, salah satu pertanyaan dia adalah tentang Max Weber dan Clifford Geertz, bagaimana saya menghubungkan peran ide-ide yang ada dalam disertasi saya dengan kebudayaan dan jaringan makna yang banyak ditulis oleh kedua tokoh pemikir tersebut.
Saya tidak ingat lagi jawaban saya. Yang saya ingat adalah, setelah ujian tersebut selesai, Pak Bill bersama ketiga anggota komite lainnya menandatangani sebuah formulir yang mengesahkan kelulusan saya. Setelah itu kami berdua, beserta beberapa kawan, keluar ruangan dan menyusuri Oval Mall untuk mencari makan siang.
*** Setelah diwisuda pada musim panas 2000 saya dan keluarga masih tinggal lagi di Columbus, mengajar beberapa mata-kuliah selama setahun. Walaupun sudah cukup lama berada di AS saya masih ingin memperpanjang masa tinggal kami beberapa saat lagi. Guntur saat itu masih kelas 1 SD, dia sangat menyenangi lingkungannya dan kami ingin kemampuan bahasa Inggrisnya betul-betul baik sebelum pulang ke Indonesia. Dewi juga masih sangat menikmati pekerjaannya sebagai personal banker di Huntington Bank yang tepat berada di tengah kota Columbus.
Selain itu, mengajar kelas saya sendiri di universitas merupakan tantangan tersendiri, sebuah pekerjaan yang menyenangkan dan mengenalkan saya lebih jauh dengan alam pemikiran mahasiswa yang berasal dari berbagai negara.
Saya mendapat sebuah ruangan kecil sebagai ruang kerja di lantai 4 Derby Hall, tepat di atas kantor Pak Bill.
Jika sempat saya selalu mampir ke lantai bawah atau mengajak Pak Bill ngobrol sambil makan siang di Oval Mall di depan fakultas.
Beberapa saat setelah wisuda, Pak Bill mendorong saya untuk mengirimkan naskah disertasi saya ke beberapa penerbit universitas di AS dan Australia. Dia yakin disertasi tersebut layak untuk diterbitkan. Saya tentu senang dengan usul tersebut dan langsung mengikuti sarannya.
Tiga bulan kemudian saya mendapat surat dari East-West Center, University of Hawaii. Waktu itu lembaga ini sedang bekerjasama dengan Stanford University dan sedang mencari naskah-naskah di seputar topik ekonomi-politik Asia untuk diterbitkan. Mereka tertarik dengan disertasi saya, dengan beberapa catatan: selain merevisi beberapa bagian, saya masih harus menambah satu bab lagi di bagian akhir, semacam epilog, yang menghubungkan tahun penelitian disertasi saya (1989-1992) dengan apa yang terjadi setelah itu, terutama dengan adanya krismon di Indonesia pada tahun 1997-1998.
Waktu membaca surat tersebut hati saya bercabang. Saya senang bahwa sebuah lembaga yang ternama telah membuka kesempatan untuk menerbitkan disertasi saya. Tetapi saya juga galau, sebab untuk itu saya masih harus melakukan penelitian beberapa bulan lagi, melengkapi data dan menulis sebuah bab tambahan. Terus terang, setelah mengerjakannya selama tiga tahun saya sudah jenuh membaca topik di seputar disertasi saya. Saya ingin menghirup udara segar dengan mengikuti topik-topik lainnya yang juga saya gemari.
Seperti biasa, saya membawa persoalan itu ke Pak Bill. Dia mendorong saya untuk melakukan penelitian tambahan. Dia meyakinkan saya bahwa hasil akhirnya nanti pasti akan bermanfaat untuk mengerti situasi Indonesia dengan lebih baik lagi.
Tetapi dia juga tahu bahwa hati saya sudah berada di tempat lain, tidak lagi berada di seputar topik disertasi itu. Dia juga tahu bahwa saya sebenarnya tidak pernah benar-benar ingin menempuh sebuah karier di dunia akademis semata-se-buah hal yang dibutuhkan sebagai sumber motivasi agar saya mau meluangkan waktu tambahan beberapa bulan meneliti dan menulis.
Setelah beberapa saat akhirnya saya putuskan untuk mengikuti kata hati saya. Pak Bill dapat memahami sepenuhnya keputusan ini, walaupun saya tahu bahwa dia sebenarnya agak sedih juga.
*** Pada awal Juni 2001 kami sekeluarga kembali ke Indonesia, setelah sembilan tahun di Columbus melewati masa-masa yang indah dan mengesankan. Bersama teman-teman lain Pak Bill mengantark
an kami ke bandara. Tidak banyak yang bisa kami bicarakan. Waktu terasa berlalu begitu cepat. Di pesawat, Guntur dan Dewi menitikkan air mata.
Hidup berjalan terus, dari tahap yang satu ke tahap lainnya. Tetapi Columbus akan tetap berada di hati kami, selamanya.
Terimakasih, Pak Bill. Selamat ulang tahun ke-70.
31 Desember 2007 Surat Buat Semua saya ingin mengucapkan terimakasih atas perhatian dan simpati Anda semua, baik yang berada di tanah air maupun yang di luar negeri. Dalam waktu singkat, lewat Facebook, milis-milis di Internet, maupun media massa konvensional di tanah air, begitu banyak yang memberi komentar, salam persahabatan, dukungan, pertanyaan, keraguan, hingga kritik yang tajam terhadap saya.
Teknologi membuka berbagai kemungkinan baru, termasuk dalam menyatukan perhatian beragam komunitas dari berbagai belahan dunia untuk menyampaikan pendapat secara cepat dan personal. Hal ini tentu perlu disambut dengan tangan terbuka.
Saya minta maaf sebab tidak mungkin membalas satu per satu sapaan yang datang kepada saya.
Dalam kesempatan ini, saya hanya ingin menyampaikan bahwa alasan utama bagi saya untuk tampil sekarang adalah untuk memberi alternatif baru dalam proses pemilihan kepemimpinan nasional. Sebenarnya, soal ini bukanlah soal saya sebagai pribadi, tetapi persoalan sebuah generasi dan sebuah bangsa yang harus terus bergerak maju.
Sejak 10 tahun terakhir, pilihan-pilihan kepemimpinan nasional tidak banyak berubah. Gus Dur dan Amien Rais tampaknya masih ingin ikut pemilihan presiden tahun depan, mendampingi Presiden SBY dan Wapres Kalla serta Megawati. Begitu juga Jenderal (purn.) Wiranto dan Letjen (purn.) Prabowo. Mungkin Sultan Hamengku Buwono X dan Letjen (purn.) Sutiyoso juga akan turut serta.
Saya menghormati tokoh-tokoh senior tersebut. Tapi apakah pilihan kepemimpinan nasional harus berkisar hanya di seputar mereka, sebagaimana yang terjadi setelah Soeharto lengser" Apakah di Indonesia terjadi stagnasi dalam sirkulasi kepemimpinan nasional, sehingga wajah-wajah baru tidak mungkin muncul samasekali" Jika di Amerika Serikat muncul Obama (47 tahun) dan di Rusia ada Medvedev (44 tahun), mengapa kita tidak" Bukankah Republik Indonesia sebenarnya dipelopori oleh para tokoh yang saat itu berusia muda, seperti dr Tjipto Mangunkusumo, HOS Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, Sjahrir"
Somebody has to do something. Kita harus menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa besar yang dinamis, berjalan mengikuti perubahan zaman dengan membuka diri terhadap berbagai kemungkinan baru. Kita harus berkata kepada para senior tersebut, we respect you, Sir and Madam. But please give some space to our new generation. Sudah saatnya generasi baru kepemimpinan di Indonesia turut serta dalam penentuan kehidupan bersama pada level politik yang tertinggi.
Pemikiran seperti itulah yang memberanikan saya untuk tampil sekarang. Dengan segala kelemahan yang ada, saya bersyukur mendapat kesempatan untuk melakukannya. Memang, kalau dipikir-pikir, kata beberapa kawan dekat saya, keputusan itu agak gila. Lebih banyak beraninya ketimbang pertimbangan yang dingin dan rasional.
Saya bukan menteri atau mantan menteri. Saya bukan ketua umum partai, bukan presiden atau mantan presiden, bukan jenderal berbintang, bukan anak proklamator, bukan pejabat tinggi, bukan bekas panglima TNI, bukan pula orang kaya-raya atau anak orang kaya-raya. "Rizal," kata kawan- kawan dekat saya itu, "You are a bit crazy. No, damn crazy.!"
Bahkan, bukan hanya kawan-kawan saya saja, bekas guru besar saya di Columbus, AS, yang sangat saya sayangi pun, Prof. Bill Liddle, berkomentar lirih, "The time is not yours yet. My dear Celli (nama kecil saya), you don't have any chance whatsoever."
Terhadap semua itu, saya hanya bisa menjawab, "Mungkin Anda benar." Semboyan kampanye saya pun bunyinya rada mirip, If there is a will, there is a way. Pada tahap awal ini, yang ada hanyalah kehendak, kemauan, keberanian, dan hampir tidak ada lagi yang lainnya. Terhadap Bill Liddle saya sempat membalas emailnya dengan kalimat ini: Pak Bill, t
he "will" is here, and I am working out the "way".
Mungkin saya akan berhasil, mungkin pula tidak. Tapi saya ingin menegaskan satu hal: soalnya bukanlah kalah atau menang, sukses atau gagal. Bahkan sebenarnya, seperti saya telah saya singgung tadi, soalnya bukanlah tentang Rizal Mallarangeng atau siapapun. Soalnya adalah soal sebuah generasi dan sebuah negeri yang kita cintai yang harus bergerak maju, membuka peluang dan kemungkinan-kemungkinan baru.
Jika ternyata saya hanya bisa menjadi "si Kabayan yang merindukan bulan", saya secara pribadi sudah cukup puas karena saya sudah mencoba menunjukkan bahwa Indonesia tidak membeku, stagnan dengan pilihan-pilihan yang itu-itu saja selama bertahun-tahun.
Namun, kalau toh ada sedikit harapan yang bisa dikatakan saat ini, saya sebenarnya menangkap sebuah isyarat, bahwa dalam masyarakat kita ada sebuah kerinduan terhadap sesuatu yang baru dan segar. Tapi saat ini masih terlalu dini untuk membuat analisis dan proyeksi berdasarkan isyarat dini ini. Untuk sementara, saya sudah merasa senang bahwa sekarang sudah mulai ada wacana yang memperbincangkan generasi baru sebagai pilihan kepemimpinan. Kita telah memecahkan glass-ceiling yang membatasi kita selama ini dalam membicarakan kemungkinan baru tersebut di forum publik.
Dengan wacana akan pilihan baru tersebut, siapapun orangnya, kita bisa mengatakan kepada dunia, bahkan kepada diri kita sendiri, we are a country on the move. Zaman berubah, Indonesia berubah. Zaman bergerak, Indonesia bergerak.
Buat saya secara pribadi, tentu semua itu mengandung dua sisi, sebagaimana setiap hal yang kita lakukan dalam kehidupan ini. This is a serious business, but I am taking it easy. Memang, ada beberapa hal yang menuntut pengorbanan dalam berbagai hal, termasuk kritik pedas terhadap diri saya pribadi. Tapi, saya sengaja memulai semua ini dari Banda Neira, salah satunya dari bekas rumah pengasingan dr Tjipto Mangunkusumo, sebagaimana yang terlihat dalam iklan "Dari Sabang sampai Merauke".
Entah kenapa, saya tidak pernah berhenti kagum terhadap tokoh pergerakan kebangsaan yang satu ini, sejak masih mahasiswa sampai sekarang. Dia lahir tahun 1886 dan menjadi dokter generasi pertama hasil didikan Belanda. Sebagai dokter muda pada tahun 1920-an, dia sebenarnya bisa menduduki posisi sangat terhormat sebagai pegawai pemerintah jajahan, apalagi dia pernah mendapat penghargaan tinggi dari Belanda, Order van Oranye, karena keberhasilannya membasmi wabah pes di Malang.
Tapi ternyata dia memilih jalan berbeda dan, bersama Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara, meletakkan batu pertama perjuangan politik menuju Indonesia merdeka. Dan karena itu, dia diasingkan ke Banda Neira. Di pulau terpencil inilah, di rumah yang disediakan Belanda, ia melewati hari-harinya selama 12 tahun, 1927-1939. Ia meninggal sebelum sempat menyaksikan negeri yang dicintainya berhasil merebut kemerdekaan.
Bagi saya, dr Tjipto Mangunkusumo adalah sebuah inspirasi, sebuah cerita kehidupan tentang kerelaan menanggung konsekuensi dari sebuah cita-cita. Dan setiap orang, setiap kali mengambil tindakan penting, pasti mengalami hal yang sama, dalam konteks yang berbeda-beda.
Dalam konteks saya, pengorbanan yang ada terlalu kecil untuk menjadi bahan cerita. Yang ada adalah rasa terimakasih kepada banyak sahabat yang telah mendorong dan memungkinkan langkah yang saya tempuh. This is a road less-traveled by, kata Robert Frost, dan karena itu saya pun belum bisa menerka titik akhir dari perjalanan ini. Semuanya bergantung pada dukungan Anda dan masyarakat umumnya.
Sejauh ini, satu hal yang menyenangkan saya adalah begitu banyaknya perhatian dan tanggapan dari warga Indonesia yang sedang belajar maupun bekerja di luar negeri-Amerika Serikat, Jepang, Inggris hingga Bahrain. Dari Sabang sampai Merauke yang saya tampilkan di Youtube dapat disaksikan dari seluruh belahan dunia, secara serempak, kapan saja, dan dalam situasi apa saja.
Saya pernah sekolah, mengajar dan hidup 8 tahun di Columbus, AS. Saat itu belum ada Youtube, dan saya teringat betapa menyenangkannya mendap
at kabar yang hangat dari tanah air. Tapi waktu itu hanya ada bacaan koran dan email. Dengan teknologi baru, apa yang dilihat dan didengar di Metro TV, SCTV, RCTI dan TVOne oleh warga kita di Wamena, Jayapura juga bisa disaksikan oleh mahasiswa kita di Tokyo, Washington DC., dan kota-kota lainnya di dunia.
Hal tersebut patut disyukuri. Kerinduan begitu banyak warga kita di luar negri akan kehangatan berita di tanah air, serta keterlibatan dalam peristiwa atau isu yang sama, dapat terpuaskan. Hal ini membawa dampak positif, berupa ikatan kebangsaan yang makin menebal, yang melewati tapal batas negara. Perasaan memiliki tanah air yang sama dan semangat yang sama akan semakin kental, walaupun, atau justru ketika, derap globalisasi semakin intensif.
Kalau saya boleh mengungkapkan kegembiraan, itulah yang bisa saya katakan sekarang. Saya sudah menyiapkan dua lagi iklan susulan, yang masing-masing akan dimuat selama 2 minggu di berbagai TV nasional dan lokal, hingga setelah 17 Agustus nanti. Ketiga seri iklan inilah yang saya sebut sebagai Trilogi Harapan Baru dan menjadi dasar filosofis awal kampanye saya. Mudah-mudahan sambutan terhadapnya juga akan sebaik yang ada saat ini.
Kepada kawan-kawan yang masih belum puas pada jawaban sementara ini, saya mohon maaf. Selain buku saya yang sudah terbit beberapa tahun lalu (Mendobrak Sentralisme Ekonomi, Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), dan banyak tulisan-tulisan saya di berbagai media massa (dapat dilihat di www.freedom-institute.org), saya memang masih butuh waktu untuk merumuskan hal-hal yang lebih konkret.
Pada saatnya nanti, saya akan menjelaskan semua pemikiran saya, yang saya harapkan dapat sedikit menjawab begitu banyak pertanyaan yang ada.
Salam hangat. Jakarta, 22 Juli 2008 Sumber Tulisan Bab I: Individualisme dan Utopia:
Tentang Filsafat Sosial, Politik, dan Ekonomi
" Freedom: Sebuah Kerangka Umum, dalam Hamid Basyaib (ed.), Membela Kebebasan: Percakapan tentang Demokrasi Liberal, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006, hlm. 3-14.
" Individualisme dan Utopia, Kompas, 12 Februari 1996.
" Isaiah Berlin, Ummat, 24 November 1997.
" Wajah Lain Machiavelli, Kompas, 6 Oktober 1997.
" Liberal Kiri, Sosialis Kanan, Gatra, 28 September 1996.
" Barat dan Demokrasi, Gatra, 7 Juni 1997.
" Demokrasi dan Liberalisme, dalam Hamid Basyaib (ed.), Membela Kebebasan: Percakapan tentang Demokrasi Liberal, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006, hlm. 135-144.
" Individu vs Masyarakat, dalam Hamid Basyaib (ed.), Membela Kebebasan: Percakapan tentang Demokrasi Liberal, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006, hlm. 14-24.
" Persamaan di Depan Hukum, dalam Hamid Basyaib (ed.), Membela Kebebasan: Percakapan tentang Demokrasi Liberal, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006, hlm. 25-33.
" Arief Budiman, Gatra, 17 Agustus 1996.
" Ilmuwan dan Aktivis, Gatra, 30 November 1996.
" Manifesto Sang Pemberontak, belum pernah diterbitkan, ditulis di Columbus, Ohio, AS, 1993-1995.
" Nozick, belum pernah diterbitkan, ditulis di Columbus, Ohio, As,
1993-1995. " Tentang Kebebasan Berlin vs Taylor, belum pernah diterbitkan, ditulis di Columbus, Ohio, AS, 1993-1995.
" Kontrak Sosial: Pedang Rousseau, belum pernah diterbitkan, ditulis di Columbus, Ohio, AS, 1993-1995.
" Membela Kaum Pluralis, belum pernah diterbitkan, ditulis sekitar di Columbus, Ohio, AS, 1993-1995.
" Huntington: Dari Keteraturan ke Demokrasi, belum pernah diterbitkan, ditulis di Columbus, Ohio, AS, 1993-1995.
" Guncangan Besar, pengantar dalam Francis Fukuyama, Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 2005.


Dari Langit Karya Rizal Mallarangeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Alexis de Tocqueville: Penemu Teori Demokrasi, Pengantar dalam Jhon Stone & Stephen Mennell (ed), Alexis de Toequeville tentang Revolusi, Demokrasi, dan Masyarakat, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005
BAB II: Pertimbangkan Kembali Masyarakat: Tentang Negara, Pasar, dan Masyarakat
" Munculnya Negara: Antara Teori Konflik dan Integratif, belum pernah diterbitkan, ditulis di Columbus, Ohio, AS, 1993-1995.
" Pendekatan Otonomi Negara: Bagaimana Mengkritiknya", belum perna
h diterbitkan, ditulis di Columbus, Ohio, AS, 1993-1995.
" Pertimbangkan Kembali Masyarakat, belum pernah diterbitkan, ditulis di Columbus, Ohio, AS, 1993-1995.
" Struktur dan Aktor: Mengapa Politik Orde Baru Bertahan", belum pernah diterbitkan, ditulis di Columbus, Ohio, AS, 1993-1995.
" Revolusi Cina, belum pernah diterbitkan, ditulis di Columbus,
Ohio, AS, 1993-1995. " Memperkuat Negara, pengantar untuk buku Francis Fukuyama,
Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad ke-21, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, November 2005.
Bab III: Pedang Saleh Afiff: Tentang Isu-isu Ekonomi-Politik
" Teori Konspirasi dan Krisis Moneter (Bersama M. Chatib Basri), Tempo, 14 Februari 1998.
" Blok Cepu: Mission Accomplished Tempo, 27 Maret 2006.
" Kaum Intelektual, BBM, dan Iklan Freedom Institute, Kompas, 3 Maret 2005.
" Pedang Saleh Afiff, Kompas, 28 Agustus 1997.
" Profesor Widjojo, Gatra, 18 Oktober 1997.
" Sudradjat, Bravo, Gatra, 15 Februari 1997.
" Friedman, Gatra, 2 Agustus 1997.
" George Soros, Gatra, 22 Maret 1997.
" Alan Greenspan, Sang Maestro di Balik Dolar, Kompas, 11 November 2007.
" Resensi Buku: The Man Who Fed the World (Nobel Peace Prize Laureate Norman Borlaug and His Battle to End World Hunger); Penulis: Leon Hesser; Penerbit: Durban House; Tahun: 2006. Kompas Minggu, 22 Oktober 2006.
" Indonesia pada 1995: Pertarungan Kekuasaan dan Kebijakan, Asian Survey, Februari 1996.
" Indonesia pada 1996: Tekanan dari Atas dan Bawah, Asian Survey, Februari 1997.
" Demokrasi dan Kapitalisme: Kasus Asia Timur dan Tenggara, belum pernah diterbitkan, ditulis di Columbus, Ohio, AS, 1993-1995.
" Max Weber dan Kapitalisme, belum pernah diterbitkan, ditulis di Columbus, Ohio, AS, 1993-1995.
" Nabi yang Gagal, belum pernah diterbitkan, ditulis di Columbus,
Ohio, AS, 1993-1995. " Roti sebagai Senjata, belum pernah diterbitkan, ditulis di Columbus,
Ohio, AS, 1993-1995. " Anggur Lama dalam Botol Baru, belum pernah diterbitkan, ditulis di Columbus, Ohio, AS, 1993-1995.
" Reformasi Ekonomi di Cina dan Uni Soviet, belum pernah diterbitkan, ditulis di Columbus, Ohio, AS, 1993-1995.
" The Brave New World, belum pernah diterbitkan, ditulis di Columbus, Ohio, AS, 1993-1995.
" Merosotnya Third-Worldism, belum pernah diterbitkan, ditulis di Columbus, Ohio, AS, 1993-1995.
" Apa yang Harus Kita Lakukan bagi Dunia Ketiga", belum pernah diterbitkan, ditulis di Columbus, Ohio, AS, 1993-1995.
" Kapitalisme, Sosialisme, dan Dunia Ketiga, belum pernah diterbitkan, ditulis di Columbus, Ohio, AS, 1993-1995.
Bab IV: Hentikan Kebiadaban:Tentang Integrasi Nasional, Separatisme, Konflik Etnik dan Daerah
" Akankah Sejarah Berulang", Kompas, 17 Agustus 2000.
" Pemberontakan Daerah dan Demokrasi, Kompas, 18 September 2000.
" Teori dan Kerusuhan di Dua Kota, Gatra, 11 Januari 1997.
" Jalan Skotlandia buat Aceh, Tempo, 8 Oktober 2000.
" Jalan California buat Papua, Kompas, 5 September 2003.
" Aceh, Ujian Pertama dan Terakhir, Kompas, 20 November 1999.
" Konflik Maluku dan Reorientasi Ilmu Sosial, Kompas, 9 Januari 2000.
" Hentikan Kebiadaban, Kompas, 2 Maret 2001.
" Dialog Frans Seda dan Amien Rais, Kompas, 30 Oktober 1996.
" Lincoln, Tempo, 16 Juli 2000.
Bab V: Hukum Liddle: Tentang Pemilu dan Partai Politik
" Hukum Liddle, Tempo, 27 Agustus 2000.
" Nasib Partai Golkar, Kompas, 10 Maret 2002.
" Konvensi Partai Golkar Akal-akalan", Kompas, 5 Agustus 2003.
" Konvensi Partai Golkar tidak Demokratis", Kompas, 19 Agustus 2003.
" 200 Partai, Siapa Takut", Tempo, 12 Januari 2003.
" Banteng dan Beringin, Berseteru atau Bersekutu", Tempo, 6 Juli 2003.
" PRD dan Megawati, Gatra, 10 Agustus 1996.
Bab VI: Dekrit Gus Dur: Tentang Kepemimpinan
" Tipe Kepemimpinan Baru, Forum, Juni 1997.
" Gus Dur di Titik Nadir, Tajuk, 3 Agustus 2000.
" Dari Langit, Tempo, 15 Juli 2001.
" Dekrit Gus Dur, Tempo, 30 Juli 2001.
" Megawati dan Soal Persiapan Jadi Presiden, Kompas, 17 Juli 2001.
" Megawati ke Amerika, Tempo, 17 September 2001.
" Bush Goyah, Pelajaran Buat Megawati, Kompas, 18 September 2
003. " Perlukah Setneg dan Setkab Dipisah", Tempo, 17 Februari 2002.
" Despot Paling Keji, belum pernah diterbitkan, ditulis di Columbus, Ohio, AS, 1993-1995.
Bab VII: Menuju Pelembagaan Reformasi: Tentang Isu-isu Seputar Reformasi
" Kaum Aktivis Kebablasan, Tempo, 19 Agustus 2002.
" Konstitusi 2002 dan Dua Perkara, Tempo, 20 Oktober 2002.
" Tunda Dulu Sistem Distrik, Kompas, 2 Juni 1998.
" Menuju Pelembagaan Reformasi, Kompas, 9 September 1998.
" Tiga Faktor Penyebab SI MPR, Kompas, 22 Juli 2001.
" Konsensus Elite dan Politik Kekuatan, Kompas, 25 April 2001.
" Kegagalan SI MPR. Rahmat Terselubung, Tempo, 18 November 2001.
" Indonesia: Persoalan Demokratisasi, belum pernah diterbitkan, ditulis di Columbus, Ohio, AS, 1993-1995.
Bab VIII: Setelah Perang: Tentang Amerika dan Isu-Isu Internasional
" Gore, Bush dan Kita, Kompas, 2 November 2000.
" Pemilu As, Drama Politik dan tuntutan akal Sehat Kompas, 12 November 2000.
" Darurat Sipil di Cincinnati, Tempo, 29 april 2001.
" Presiden Bush dan Pertaruhan Amerika, Kompas, 19 Desember 2000.
" Setelah Perang, Tempo, 27 april 2003.
" Sirkus amerika", Gatra,12 Juli 1997.
" Demokrasi amerika, Gatra, 5 agustus 1997.
" Demokrasi, aan Greenspan, dan Sembilan Sulaiman, Kompas, 15 Januari 2001.
" Barack Obama: Superstar Politik Jalan Tengah, Kompas, 11 Maret 2007.
" Masalah Kerjasama, belum pernah diterbitkan, ditulis di Columbus,
Ohio, aS, 1993-1995. Bab IX: Catatan Pribadi " Pak Bill dalam hidup Saya, dalam hamid Basyaib (ed.), Dari Columbus untuk Indonesia: 70 Tahun Bill Liddle dari Murid dan Sahabat, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008.
" Surat buat Semua, Kompas, 5 agustus 2008.
Tentang Penulis rizal mallarangeng lahir 29 Oktober 1964 di Makassar, Sulawesi Selatan. Kedua orangtuanya, baik ayah, Andi Mallarangeng, maupun ibu, Andi Asny, berasal dari keluarga yang banyak berkecimpung dalam dunia pemerintahan di berbagai pos, baik dalam pemerintahan kerajaan klasik Bugis, pemerintahan kolonial Belanda, maupun pemerintahan Republik.
Kakek buyutnya dari pihak ibu, La Temmu Page Arung Labuaja, adalah salah seorang panglima perang terakhir Kerajaan Bone yang bertahan sampai batas akhir (1905) dalam menghadang invasi Belanda. Cerita tentang tokoh ini diangkat oleh Fredericie, seorang sejarawan Belanda, ke dalam sebuah novel, Sang Jenderal (edisi Indonesia diterbitkan Grafiti Press, 1994). Lewat penunjukan Bung Karno, Andi Patoppoi, putra La Temmu Page dan ayah Andi Asny, menjadi tokoh Bugis pertama yang menjadi bupati di Jawa, yaitu di Grobogan, Jawa Tengah, 1954-1958.
Rizal kecil yang akrab disapa Celli sudah harus berpisah dari ayahnya sejak usia tujuh tahun. Ayahnya adalah Walikota Parepare, yang meninggal karena serangan jantung pada usia 36 tahun.
Sepeninggal ayahnya, Rizal bersama kakaknya, Andi Alfian Mallarangeng, dan ketiga adiknya berada dalam asuhan ibu dan kakeknya. Melewati pendidikan kanak-kanak di TK Katolik Parepare, Rizal kemudian melanjutkan ke jenjang berikutnya di SD dan SMP Frater Makassar. Salah satu kegemaran Rizal di masa kecil dan remaja adalah kegiatan pencinta alam dan mendaki gunung.
Selain belajar dan bermain, masa kecil Rizal dihabiskan dengan berlatih tenis. Karena prestasinya sebagai atlet tenis yunior, Rizal ditarik masuk ke sekolah khusus atlet nasional, SMAN Ragunan, Jakarta. Prestasinya yang tertinggi dalam olahraga ini adalah juara ke-2 pelajar se-ASEAN, di Bangkok, Thailand, 1981.
Setamat SMA, tahun 1984 Rizal melanjutkan studinya di Fisipol UGM, Yogyakarta. Sebagai mahasiswa, Rizal aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan, terutama dalam kelompok-kelompok diskusi. Di sinilah ia banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh pemikir seperti Soedjatmoko, Umar Kayam, Goenawan Mohamad, Arief Budiman, Y.B. Mangunwijaya, Marsillam Simanjuntak, dan Rahman Tolleng. Sesekali ia juga "turun gunung", dengan menjadi pemimpin dan peserta demonstrasi mahasiswa, yang waktu itu masih dianggap sangat riskan karena Soeharto dan rezim Orba sedang berada di puncak kekuasaan.
Aktivisme semacam it u yang kemudian membawa Rizal hingga ke Baghdad pada Januari 1991, saat Perang Irak meletus. Atas dorongan Prof. Herbert Feith, bersama Taufik Rahzen, ia dan para aktivis perdamaian se-dunia berkemah di perbatasan Kuwait-Irak untuk menentang tindakan Presiden Bush.
Selepas dari Fisipol UGM, Rizal menjadi asisten dosen di almamaternya, sekaligus menjadi redaktur opini harian Bernas bersama Emha Ainun Nadjib, Butet Kertaradjasa, dan Kuskridho "Dodi" Ambardi. Harian Bernas waktu itu baru saja diambil alih oleh harian Kompas.
Pada 1992 Rizal memperoleh beasiswa Fulbright untuk melanjutkan pendidikan ke Ohio State University, Columbus, AS. Rizal ke Columbus membawa serta istrinya, Dewi Tjakrawati, teman seangkatannya di UGM. Di universitas ini Rizal belajar di bawah bimbingan Prof. Bill Liddle.
Sambil kuliah ia sempat menjadi asisten dosen selama tiga tahun, dan sesekali meluangkan waktu untuk bekerja, baik di perpustakaan maupun menjadi loper koran. Ia memperoleh gelar doktor pada 2000 dalam studi politik, dan setelah itu menjadi pengajar di universitas ini hingga kepulangannya kembali ke Indonesia, Juni 2001.
Tiba kembali di Jakarta Rizal bergabung dengan CSIS, dan pada waktu yang hampir bersamaan ia juga diminta oleh Surya Paloh untuk bergabung dalam stasiun televisi yang baru didirikannya, Metro TV. Di stasiun TV ini Rizal berperan sebagai redaktur khusus dan pembawa acara talk-show, yang masih terus dilakukannya sampai sekarang.
Dua bulan di CSIS, Aburizal Bakrie, waktu itu Ketua Kadin, mengajak Rizal untuk mendirikan sebuah think tank tempat berkumpulnya para intelektual dan penulis muda. Ia menyambut baik ajakan ini dan, dengan mengajak kawan-kawannya, antara lain Ulil Abshar-Abdalla dan Ahmad Sahal (keduanya kini sedang berada di AS untuk menyelesaikan program doktor), mendirikan Freedom Institute.
Sementara melakukan semua itu, Rizal Mallarangeng juga terlibat satu kaki dalam dunia politik dan pemerintahan. Pada malam syukuran pengangkatan Megawati sebagai Presiden RI menggantikan Gus Dur, 23 Juli 2001, Taufiq Kiemas, suami Megawati, menelepon Rizal dari kediamannya di Jalan Teuku Umar, Menteng. Taufik Kiemas, yang dikenal Rizal sejak masih menjadi aktivis mahasiswa di UGM, mengajak Rizal untuk membantu Presiden Megawati dari dekat.
Dalam banyak perjalanan Presiden Megawati ke mancanegara, Rizal sering diminta ikut untuk membantu menuliskan pidato presiden serta memberikan berbagai pertimbangan manakala dibutuhkan.
Setelah Pemilu 2004 dan Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden, Aburizal Bakrie diangkat sebagai Menko Perekonomian, dan setahun kemudian Menko Kesra. Salah seorang tokoh terkaya Indonesia ini mengajak Rizal masuk ke dunia pemerintahan, sebagai staf khusus, suatu posisi yang setara dengan jabatan eselon I.
Dalam posisi ini Rizal juga ditemani oleh sahabat-sahabatnya. Mereka tergabung dalam suatu tim yang langsung berada di bawah Menko: Dr Chatib Basri, Dr Mohammad Ikhsan, Dr Raden Pardede, Lin Che Wei, Dr Raksaka Mahi, Dr Bayu Khrisnamurti, dan Mahendra Siregar MA. Tim ahli inilah yang ikut aktif membantu Pemerintah RI dalam melakukan negosiasi berbagai kasus penting, seperti Blok Cepu (Exxon), Cemex, hingga ke perumusan kebijakan subsidi BBM dan penyiapan perencanaan pembangunan infrastruktur.
Selain itu, sebagai staf khusus Menko Kesra, Rizal terlibat aktif menyelesaikan berbagai kasus dan bencana yang terjadi di berbagai daerah. Ia menjadi Ketua Tim Interdep Pemerintah RI dalam menyelesaikan kasus kelaparan di Yahukimo, Papua, penyelesaian percepatan pembangunan pasca -konflik sosial di Poso, Sulawesi Tengah, serta menjadi Wakil Ketua Delegasi RI dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Bali.
Pada Februari 2008, bersama adiknya, Choel Mallarangeng dan kawan-kawan dekatnya, Rizal Mallarangeng mendirikan Fox Indonesia, sebuah lembaga konsultasi politik profesional yang pertama di Indonesia.
Rizal dikaruniai dua anak, Guntur (15) dan Surya Mallarangeng (5). Kini, selain melakukan berbagai kegiatan di Jakarta, waktu Rizal cukup banyak dilewatkan di Rawa
leuga, Bogor, di kebunnya di ketinggian 1.100 meter di lembah Gunung Salak, berkebun jamur Tiram Putih, merawat kambing Boer, dan bertanam sayur-mayur.
Pendekar Pedang Sakti 11 Fear Street - Mimpi Buruk Bad Dreams Bulan Biru Di Mataram 1
^