Pencarian

De Buron 1

De Buron Karya Maria Jaclyn Bagian 1


De Buron Maria Jaclyn PINTU jati itu menjeblak terbuka, kemudian seorang cowok berhambur keluar dengan panik. Wajahnya tampak pucat dan tegang. Rambutnya basah gara-gara keringat, begitu juga seluruh wajahnya. Namun bukan itu yang dipikirkannya sekarang. bukan juga parfum di kausnya yang sudah bercampur keringat dan mengeluarkan bau yang mungkin sanggup membunuh semua binatang liar di dunia. Satu-satunya gambar yang memenuhi kepalanya sekarang cuma isi kamar yang baru saja dilihatnya. Mengerikan. Sungguh.
Ia menoleh ke kanan-kiri dengan panic, kemudian memutuskan segera berlari dari tempat itu. Ia menuruni tangga sepi yang tidak mungkin terjadi selain di tengah malam atau di waktu makan siang seperti ini, melewati meja-meja penuh kertas bertebaran yang pemiliknya sedang asyik melahap nasi uduk atau nasi goreng di warung terdekat. Terus berlari keluar dari kantor itu.
Jantungnya berdebar keras, seakan-akan ada seseorang yang menyalakan house music bervolume tinggi tepat di sebelah telinganya. Yang pasti, saat itu ia tidak sempat berpikir sedikit pun mengenai apa kata cewek-cewek jika melihatnya berpenampilan kumal seperti ini dan berlari keluar dari sebuah kantor dengan gerak-gerik ala pencuri yang habis merampok uang miliaran rupiah. Ia benar-benar tidak peduli, karena yang terjadi jauh lebih mengerikan dari sekadar pencurian.
Berulangkali cowok itu bergumam sendiri. Setengah mati berharap tidak ada orang yang melihatnya keluar dari kantor itu. Namun ternyata malang nasibnya. Seorang office boy yang tidak pergi makan (dalam rangka diet karena ditolak cewek kesukaannya dengan alasan orang gendut selalu bau keringat) baru saja keluar dari gudang ketika cowok itu keluar dari pintu ruang direktur.
Begitu anak muda yang berlari pergi itu tidak kelihatan lagi, sang office boy segera menghampiri ruang direktur dengan heran-sambil bergumam semangat anak muda yang bikin iri, mereka masih punya semangat berlari-lari di siang bolong superterik seperti ini-dan mengetuk pintu yang sedikit terbuka.
Tidak ada jawaban. Pintu bergeser terbuka ketika tangannya hendak mengetuk lagi. Si office boy mengoceh lagi, "Anak muda zaman sekarang malas amat nutup pintu sih"" Pemandangan yang dilihatnya membuat pegawai itu mengatupkan mulut dan terbelalak sampai bola matanya nyaris keluar dari rongganya.
Sesaat kemudian, teriakkan membahana menggetarkan kaca kantor mewah itu seperti gempa bumi berkekuatan Sembilan skala Richter yang melanda Bumi.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA...!!!!!!!!!!"
*** SATU Love is when my smile looks beautiful
Whenever I remember his face
*** JAKARTA-Senin, 5 September
KIMLY menggigit-gigit sedotannya sambil melirik sekilas ke arah Lylla dengan bibir dicibirkan. Es jeruk Kimly sudah nyaris habis, namun makanan pesanan Lylla sama sekali belum disentuh. Padahal tidak ada yang salah dengan mi ayam itu. Bahkan tanpa harus mencicipinya, Kimly bisa merasakan bakmi itu dilidahnya. Dagingnya yang besar-besar dan kecoklatan tampak gurih, baunya membuat air liur menetes, dan sudah ada semangkuk sambal superpedas yang tersedia untuk membuat acara makan menjadi lebih ramai dengan desahan-desahan hot.
Namun tampaknya Lylla tidak tertarik sama sekali. Buktinya, Lylla masih setia berkutat dengan Koran kriminal yang dibentangkan menutupi dirinya.
"lly"" Tidak ada jawaban. "ly "." Masih tidak ada jawaban. "LYLLA." Idem. "Lylla, La, La, La, La, La, La, La, La, La, La, La..."
"Apaan sih""!!" Akhirnya Lylla tampak terganggu dengan suara aneh Kimly, kemudian menurunkan korannya dan menatap Kimly penuh dendam.
"Lagi ngapain sih"" Kimly bertanya penasaran.
"Iya tumben lo baca Koran. Makanan pun dicuekin. Padahal biasanya lo makan kayak abis puasa setaun," sambung Ardel asal.
"Enak aja! Jadi maksud lo, gue gembul"" Dahi Lylla bekernyit menatap Ardel.
Ardel menjulurkan lidah. Lylla membalasnya, kemudian dengan cuek segera berkutat lagi dengan korannya. "Jangan ganggu dulu deh, lagi seru."
"Seru" Gue baru tahu ada berita di Koran yang menurut lo ser
u," komentar Kimly bingung, tidak mematuhi permintaan Lylla.
Lylla kembali menurunkan korannya dan menatap kedua temannya dengan mata berbinar-binar ala Sinchan.
"Denger ya, sebagai generasi penerus Bangsa, penting dong mengetahui kondisi Negara kita sendiri! Salah satunya gue baca Koran," jawab Lylla berlagak menggurui. Ardel dan Kimly tertawa ngikik tanpa bisa ditahan.
"Sejak kapan lo ketularan guru kewarganegaraan kita""
"Yeee... pada belom baca sih!" balas Lylla membela diri. "Ini nih lebih seru daripada berita artis yang ngerebutin harta gono-gini sama mantan suaminya."
"Berita seru apaan sih"" tanya Ardel penasaran.
Lylla memperlihatkan halaman Koran yang tadi sedang dibacanya. Ardel mengernyit.
"Ooooohhh... tentang pembunuhan itu, ya"! Yang cowoknya keren, kan" Ikutan baca dong!"
Ardel segera bersemangat dan segera pindah duduk ke sebelah Ardel. Kemudian sosok mereka berdua segera menghilang di balik Koran.
Kimly memandang kedua sahabatnya sambil ternganga lebar. Yang Kimly tahu, Koran adalah bacaan terakhir yang akan disantap Lylla selain buku catatan Sejarah-nya. Mungkin memang benar ada berita yang lebih dari menarik. Kimly sendiri memang suka ketinggalan info, hanya tahu segelintir kabar tentang kejadian hangat yang sedang terjadi. Entah dari cerita Bi Ima tentang perceraian artis anu atau kebetulan melewati TV yang sedang menyala saat menayangkan liputan tentang perkawinan artis lain. Dia mungkin juga tahu dari judul Koran yang sepintas lalu dilihatnya setiap kali mobilnya berhenti di lampu merah dan penjual Koran mulai merajalela beraksi.
"Pembunuhan kan berita biasa," kata Kimly bingung.
Ardel dan Lylla menggeser Koran mereka dan melongo menatap Kimly. Wajah mereka terlihat bingung, kasihan, sekaligus kaget.
"Yang ini tuh beda, !" seru Ardel dengan nada terluka, seakan-akan kata-kata Kimly sudah mengiris hatinya.
Lylla menghela napas. Menggeser piring kosong milik Kimly dan Ardel, kemudian menaruh korannya di atas meja sehingga Kimly dapat membaca headline-nya.
BURONAN MUDA MEMBUNUH BOS AYAHNYA
Di bawah headline ada foto cowok sepantaran mereka. Foto ala KTP yang pasti dipasang sedapatnya oleh pihak Koran, mungkin karena kejar terbit.
Kimly memerhatikan wajah cowok itu. Tatapannya tajam, tulan pipinya kokoh, dan wajahnya tidak menyiratkan keramahan. Ia memang tampak seperti pembunuh. Tidak heran.
Diseberang Kimly, Lylla mulai melahap bakmi ayam pesanannya-yang sudah dingin. Akhirnya sadar juga kalau perutnya sedari tadi bersenandung ria.
"Ada saksi mata yang ngeliat dia keluar dari kamar direktur. Ternyata dia abis ngebunuh si direktur. Sekarang masih belom ketangkap, kabur entah kemana," Lylla menjelaskan di sela-sela makannya,
"Ohhh...," Kimly membulatkan mulut dengan ekspresi datar. Sampai sekarang Kimly belum mengerti dimana spesialnya kasus pembunuhan ini.
"Ah, elo, kok cuma gitu doang sih respons-nya" Ini tuh berita yang lagi hangat-hangatnya, soalnya pembunuhnya cakep banget dan seumuran kita! Aduuhhh... daripada ngebunuh, mendingan jadian sama gue aja deh...." Ardel memandang foto cowok itu dengan gemas.
Lylla melemparinya dengan tisu sambil tersenyum geli. "Enak aja! Lo kan udah punya David, yang ini buat gue dong!" serunya.
"Ya udah, milik kita bersama deh!" balas Ardel sambil tersenyum lebar.
"Deal!" Lylla menyambut tangan Ardel dan menjabatnya. "Denger-denger sih, anak-anak kelas kita juga lagi heboh ngomongin nih cowok!"
"Pasti lah! Siapa sih yang nggak doyan makhluk keren kayak gini"!" kata Ardel melirik Kimly sambil tersenyum jail.
Ardel dan Lylla tertawa cekikikan sambil muja-muja cowok buronan itu. Kimly kembali menatap foto si pembunuh.
Keren siiiiih... tapi emangnya sudah nggak ada lagi cowok keren di sekolah yang bisa mereka kecengin"
"Kenapa coba harus buronan"" tanya Kimly. Lylla dan Ardel bareng-bareng menoleh kea rah Kimly.
"Cari suasana baru, ," jawab Ardel malu-malu.
"Iya, rasanya... lebih menantang kalo naksir cowok berbahaya...," lanjut Lylla.
Mendengarnya Kimly tambah ternganga. Sahabatnya
sudah gila. Kimly Cuma bisa menopang dagu sambil memutar bola mata.
"Dasar. Buronan aja punya fans club," gumam Kimly, "kurang kerjaan."
Seorang cowok tiba-tiba melewati meja di depan Kimly. Ia melambai tangan pada Kimly, yang disambut dengan munculnya rona merah di pipi cewek itu. Kedua tangannya menyadari Kimly gelagapan, kemudian setelah melihat siapa yang membuat teman mereka itu tersipu-sipu, Ardel dan Lylla menoleh kea rah Kimly. Keduanya bertatapan, lalu mencondongkan tubuh ke depan dan menyuruh Kimly mendekat.
"Lo masih jadian sama Nino, "" tanya Lylla, dahinya mengernyit heran.
"Iya, gimana sih" Dia kan playboy!" sambung Ardel.
Kimly mengangkat alis. "Nino nggak seburuk yang kalian piker ah! Malahan dia baik dan perhatian banget," katanya membela Nino.
"Cieeee... jadi ceritanya, elo nih yang bakal ngubah dia jadi anak baik"" goda Lylla menyentil hidung Kimly.
Kimly tersenyum malu. Namun sebenarnya, hatinya resah.
*** Sumpah, cowok itu kelihatan menyedihkan banget! Bajunya basah kuyup karena keringat, tak tersisa sebercak kecil pun bagian yang kering. Rambutnya lepek dan sudah berhari-hari tidak mengering saking kotornya. Bibirnya pucat seperti tembok dan perutnya terdengar sangat bersemangat mengeluarkan bunyi-bunyian protes karena sudah beberapa hari ini tidak diberi santapan layak.
Selama ini cowok itu memang cuma bisa membeli gorengan di pinggir jalan, tapi uangnya habis kemarin pagi. Sejak saat itu, ia tidak makan apa-apa lagi sampai sekarang.
Cowok itu mengempaskan punggungnya ke tembok gang. Dalam sekejab ia sudah menjadi selebriti kondang yang fotonya terpampang di Koran-koran bergengsi. Ia bahkan tidak bisa pulang ke rumahnya sendiri yang pasti sudah digandrungi berkompi-kompi petugas berwajib. Ia berani bertaruh mereka sudah memasang tenda di halaman rumahnya dan berjaga setiap hari kalau-kalau ia menampakan diri. Tapi ia tidak akan sebodoh itu. Yang bisa dilakukannya sekarang hanya melarikan diri dan bersembunyi.
Setelah tenaganya sedikit pulih cowok itu memutuskan segera kembali berjalan. Tidak lucu kan, kalau tiba-tiba ada orang yang memergokinya sedang berselonjor pasrah di pinggir gang.
Jalanan di perumahan ini sangat sepi dan tenang, seperti suasana kompleks vila di puncak. Cowok itu agak lega karena setidaknya ia tidak harus melewati tempat ini sambil berlari ngibrit karena takut wajahnya dikenali. Namun tiba-tiba terdengar suara orang bercakap-cakap di sudut tikungan. Kontan cowok itu panik luar biasa. Wajahnya sudah sangat familiar dan siapa pun pasti bakal langsung menjerit begitu melihatnya. Itu kalau yang melihat perempuan. Kalau laki-laki, bisa-bisa ia langsung digebuki sampai babak belur, atau malah mungkin bernasib lebih parah.
Cowok itu tidak mau mengambil resiko apa pun. Tanpa berpikir panjang, ia segera menyelinap ke rumah yang gerbangnya sedang terbuka lebar. Mungkin si satpam sedang dipanggil majikannya di dalam rumah.
Ceroboh sekali! Tapi ini keuntungan buatnya.
Cowok itu segera menyelinap ke semak-semak di antara pepohonan di taman yang luas. Terdengar suara percakapan di dalam rumah yang bertambah keras.
Gawat. Cowok itu mengusap asal-asalan dahinya yang basah, mencoba mencari akal. Kemudian matanya terpaku pada pintu di sisi rumah. Jantungnya berdebar keras.
Seandainya saja... Ia segera menyelinap mendekati pintu itu, kemudian menyentuh kenop pintu dengan harapan meluap-luap. Semoga saja permohonannya terkabul. Cowok itu menarik napas panjang dan memutar kenop pintu pelan-pelan.
Ceklek. Tidak dikunci. Kosong pula.
GOD BLESS ME...!!! *** Rumah Kimly termasuk salah satu yang paling hijau di kompleksnya. Taman luas yang memanjang dari halaman depan sampai halaman samping dipenuhi berbagai pohon. Mulai dari pohon palem botol, pohon belimbing wuluh, pohon cabe, pohon jeruk sampai pohon cemara. Ia sangat menyukai suasana rumahnya yang rindang. Apalagi kamarnya terletak di sisi rumah yang langsung berhadapan dengan taman samping.
Siang itu perutnya luar biasa lapar, sehingga bukannya ngeloyor masuk ke kamarnya
lewat pintu yang menghadap halaman samping (iseng-iseng, dulu Kimly pernah menamainya pintu adem-karena nyambung langsung dengan taman) seperti yang biasa Kimly lakukan, Kimly malah masuk lewat pintu depan. Setelah meletakkan tasnya sembarangan di ruang tamu, Kimly langsung menuju meja makan dan menyendok makan siangnya dengan buas. Bi Ima memerhatikannya dengan tersenyum geli.
"Lapar, Non"" tanyanya.
"Iya, bi. Laper banget," jawab Kimly dengan mulut penuh, yang tentu saja langsung membuatnya tersedak. Ia terbatuk-batuk dan megap-megap kehabisan napas. Bi Ima jadi panik.
"Minum, Non! Minum."
Kimly mengambil gelas, menenggak isinya sampai habis, kemudian menghela napas bersamaan dengan Bi Ima.
"Makanya, Non, kalo makan jangan sambil ngomong," kata Bi Ima sambil tertawa geli. Ia mengambil gelas Kimly yang kosong kemudian mengisinya lagi.
"Bi Ima ngajakin ngomong sih," balas Kimly sambil melanjutkan makannya.
"Iya, tapi makanannya di telan dulu dong!"
"Iya, Iya." "Oh iya, Non, kamar Non sudah diberesin tuh."
"Iya, makasih, Bi, ada su-" serta merta Kimly menhentikan kalimatnya, menggulung kembali kata-kata "surat buat Kimly" dilidahnya. Ia menjadi muram. "Ngg... nggak jadi deh, Bi."
Suasana menjadi sepi. Hanya terdengar dentingan sendok dan garpu Kimly yang beradu dengan piringnya. Bi Ima tahu ada sesuatu yang mengganggu anak majikannya itu, tapi tidak berani bertanya apa-apa. Lagi pula kalaupun bertanya, ia tahu jawabannya tidak akan memuaskan. Bi Ima memang telah merawat Kimly sejak kecil, tapi tetap saja dia masih tidak mengerti jalan pikiran Kimly.
"OH IYA, Non! Sudah tahu tentang pembunuhan itu belum"" seru Bi Ima tiba-tiba, membuat Kimly kaget dan menelan kentangnya bulat-bulat. Cewek itu batuk-batuk lagi sampai matanya berair. Kimly mengambil gelas dan menghabiskan isinya lagi. Bi Ima mengelus-elus punggung Kimly dengan panic.
"Aduh, Bibi jangan bikin kaget dong!" seru Kimly setelah terbebas dari kentang telur puyuh sialan itu. Lumayan asyik juga buat nyangkut di tenggorokan.
Bi Ima meringis sambil mengisi gelas Kimly lagi. "Maaf, Non, habis ingatnya tiba-tiba sih... jadi ngomongnya juga tiba-tiba...," kata Bi Ima kemudian, kemudian kembali segera bersemangat. "Oh iya, Non, itu, si pembunuh ganteng itu..."
"Iya... iya... udah tau!" balas Kimly tidak tertarik.
Heran, kenapa sih hari ini banyak banget yang tertarik sama cowok buronan itu" Bahkan Bi Ima yang biasanya suka berita artis pun terlihat menggebu-gebu ketika membicarakan dia. Mungkin besok Kimly bisa membujuk teman-temannya untuk menjadikan Bi Ima salah satu anggota fans club buronan itu.
"Aduuuuhhh... dia dibicarain semua orang di TV lho, Non! Pemerintah aja sampai nyesel, kenapa anak muda kayak dia bisa sampai membunuh. Aduuuuh..., non, serem banget deh... sadis banget... Bibi sampai ngeri...," kata Bi Ima bergidik.
"Emangnya kenapa, Bi""
"Dia kan mukulin kepala korban pakai asbak, sampai kepalanya hancur. Bibi sampai tutup mata pas nonton adegan rekonstruksinya...," seru Bi Ima dengan gaya melankolis.
"Yeee... bibi, kalo takut ya nggak usah nonton!" balas Kimly. "Lagipula mayatnya nggak mungkin dikasih liat kan""
"Dikotak-kotakin sih, Non..."
"Disensor maksudnya""
"Iya, disensor, Non! Tapi kan tetep aja serem, Non. Kayak nggak tau bibi aja, kalo liat apa-apa pasti dihayati sepenuh hati," kata Bi Ima sedikit tersipu-sipu. "Eh, Non, Bibi bilangin aja ya. Hati-hati dijalan, ntar ketemu si pembunuh itu lagi. Dia kan belum ditangkap!"
"Iya, Bi, iya...," Kimly menuruti saja kata-kata Bi Ima.
Padahal itu nyaris mustahil kan" Mana mungkin sih buronan polisi menampakkan diri di depan Kimly"! Pasti sekarang dia sedang bersembunyi di suatu tempat terpencil dan jauh dari jangkauan manusia lain.
Berhubung sedang menikmati makan siangnya, Kimly sempat bersimpati pada si buronan. Sekarang cowok itu pasti sedang lapar berat. Kasihan juga sih. Padahal kalau dipenjara, buronan itu pasti dikasih makan. Walaupun pasti tidak akan seenak masakan Bi Ima, setidaknya ada makanan yang tersedia untuk mengga
njal perut. Kimly beranjak berdiri setelah isi piringnya bersih. Kalau sudah kenyang, hati pun senang. Berita-berita yang dianggap tidak penting pun segera hilang.
"Bi, Kimly ke kamar dulu, ya!" kata Kimly.
Segera mengambil tas dan berjalan menghampiri pintu kamarnya (yang ini dinamai pintu pengap). Biasanya Bi Ima selalu berhasil menyulap kamarnya menjadi superrapi, superbersih, dan superwangi. Tapi tidak hari ini. ketika Kimly membuka pintu, di lantai kamar itu tampak bercak-bercak tapak kaki bekas lumpur dan kamar Kimly samar-samar berbau aneh, seperti bau sampah bercampur makanan busuk.
Belum sempat Kimly mencari tahu apa yang menebarkan bau itu, matanya tiba-tiba terpaku pada amplop tertutup yang ada di meja belajarnya. Amplop itu tanpa nama dan alamat pengirim. Kimly meletakkan tas sekolahnya dan mengambil surat itu, kemudian duduk di ranjang. Suasana hatinya yang sudah sangat suram kini bertambah gelap. Kimly sudah bisa menerka-nerka isi surat itu. Pasti bernada sama seperti surat-surat yang pernah ia dapat sebelumnya.
Kimly tidak pernah berani menyuruh Bi Imah membuang surat-surat itu kimly tidak ingin Bi Ima bertanya macam-macam. Kimly merasa, cukup Kimly saja yang tahu masalah sepribadi ini.
Kimly segera membuka amplop putih itu dan segera membaca. Tulisan di dalamnya tidak dibuat dengan bolpoin, melainkan dengan potongan-potongan huruf dari Koran yang ditempel membentuk kata-kata. Siapa pun sang pengirim, kimly terpaksa mengacungkan dua jempol untuk keisengannya membuat kerajinan tangan seperti ini.
TinggAlin nino. lO gAk pAnTEs buAT diA. jElEk!
Kimly menggigit bibir. Menarik napas kuat-kuat. Seharusnya dia sudah terbiasa dengan surat semacam ini yang pasti dating setiap hari. Namun entah mengapa hatinya terasa lebih sakit. Kimly merasa kesal, namun tak tahu harus melakukan apa. Di amplop putih yang sudah sobek itu hanya tertulis namanya dan stempel pos di atas perangko. Tidak ada alamat dan nama pengirim seperti biasa. Tapi sebenarnya Kimly sudah tahu siapa pengirimnya. Pasti cewek itu.
Tenang, kim... nggak usah sedih! Nggak ada gunanya punya perasaan kayak gitu.
Kimly bangkit. Berniat menutup pintu pengap yang sedari tadi menjeblak terbuka. Kimly tidak mau dilihat orang lain ketika sedang sedih dan tertekan, walau Bi Ima sekalipun. Kimly tak suka jika harus membagi kesedihannya dengan orang lain.
Ketika mengayunkan daun pintu pengap, tiba-tiba ia menyadari ada sepasang sepatu penuh lumpur kering di balik pintu. Kimly mendongak, lalu menatap langsung sepasang mata yang sedang balas menatapnya dengan pandangan liar.
Kalau mendapatkan kejutan seperti itu, semua orang pasti kurang-lebih akan melakukan hal yang sama seperti Kimly. Terlonjak kaget setengah mati. Kemudian berteriak.
"AAAAA~hmph-" Sebelum teriakkan Kimly sempat merajalela, orang itu segera memutar tubuh Kimly dan menahan cewek itu dari belakang, lalu menutup mulutnya dengan tangan. Kimly berusaha memberontak namun tenaga orang itu amat kuat. Jantung Kimly berdebar dua kali lebih keras.
Dengan kakinya orang itu menutup pintu pengap. Ia basah karena keringat. Benar-benar basah sampai tangannya yang membekap mulut Kimly pun lembap. Mungkin itu salah-satu alas an kenapa Kimly ogah menggigit jarinya, selain kenyataan tenaga orang itu kuat banget.
Kimly merasa sesuatu yang dingin dan basah menempel di lehernya, membuatnya bergidik dan diam mematung, menghentikan rontaannya yang sejak tadi pasti begitu merepotkan pria itu.
Orang itu membawa senjata!
Pisau" Belati" Golok"
Keringat dingin menetes di dahinya. Kimly melirik panik ke meja. Fotonya yang sedang tersenyum... foto Nino yang juga tersenyum... lampu meja... tumpukan buku catatan... tempat alat tulis... cutter-nya masih ada di antara bolpoin dan pensil.
Kimly memejamkan mata, berdoa dalam hati.
"Tolong jangan berisik, saya tidak mau menyakiti kamu," bisik orang itu parau.
Suaranya dalam dan berat membuat Kimly semakin bergidik.
Kimly merasakan tubuhnya merinding ketakutan. Perutnya mulas, dan isinya seperti sedang di kocok bartender
professional. Kimly tidak pernah mengalami hal seaneh ini. kimly takut banget sampai nyaris pingsan.
Sebenarnya siapa orang ini" maling" Penculik" Pembunuh bayaran"
"Kamu janji nggak bakal teriak"" tanya orang itu, masih dengan suara pelan dan parau.
Gemetaran, Kimly mengangguk ngeri dan berharap ia segera dilepaskan. Mungkin ia bisa meminta bantuan jika sudah lepas. Tapi bisa juga sebelum itu terjadi, orang ini akan menunjukkan fungsi sebenarnya senjata yang dia bawa.
Menyayat... menusuk... membacok...
Kimly menelan ludah. Setidaknya orang itu tidak akan bisa kabur dengan mudah jika ada orang lain yang menyadari teriakan Kimly.
Perlahan-lahan orang itu melepaskan genggamannya dan membiarkan Kimly melompat menjauh darinya. Kimly berbalik dengan sisa keberaniannya.
Kimly merasa pernah mengenalinya. Dia!!! Cowok buronan itu...!
*** Love is when my smile looks beautiful
Whenever I remember his face
*** JAKARTA-Masih Senin, 5 September
SOROT matanya yang tajam kini terlihat ketakutan. Pakaiannya kumal dan basah. Matanya melirik liar ke sana-sini, sepertinya takut ada yang menyadari kehadirannya di sini selain Kimly. Sekarang Kimly tahu darimana lumpur kering di lantai kamarnya dan bau busuk itu berasal. Pakaian kumal, sepatu kets kotor dan keadaan cowok itu sudah menjelaskan semuanya. Cowok itu benar-benar tanpak mengerikan dan 100% kelihatan seperti penjahat.
Kimly melongok melihat senjata yang nyaris membunuhnya tadi.
Pisang"! Kimly melongo. Ia berhalusinasi. Mana mungkin buronan membawa pisang sebagai senjata" Kimly mengerjap-ngerjapkan mata, berharap dapat melihat jelas kenyataan yang ada di hadapannya. Namun bentuk pisang itu tidak berubah menjadi pistol atau pisau. Warnanya tetap kuning cemerlang. Bukan hitam atau abu-abu mengilap.
Orang itu tampaknya menyadari keanehan yang dirasakan Kimly. Ia mengikuti arah pandang Kimly, ke arah tangannya yang menggengam buah kuning itu erat. Cowok itu meringis kecil, senyumnya tampak amat dipaksakan. Ia menyodorkan pisang tersebut ke arah Kimly.
"Mau"" tawarnya tertahan. "Maaf, saya mengambilnya dari kulkas. Cuma buat menggertak. Takut kamu teriak."
Kimly mengambilnya, kemudian menjauh darinya, sama sekali tidak percaya dengan alasan mustahil itu. Kalau Nino datang dan menodongnya dengan pisang, Kimly akan percaya cowok itu sedang bercanda. Tapi buronan seperti orang yang di depannya ini tentu tidak akan bercanda dengan orang yang tidak dikenal seperti Kimly. Dikoran bahkan disebutkan angkatan bersenjata pusat dan daerah sudah memasukkan orang itu sebagai salah satu target utama yang berbahaya dan harus segera ditangkap.
"Ma-mau apa kamu"" bisik Kimly takut.
Cowok itu mendekat, Kimly meloncat selangkah ke belakang.
"Ja-jangan mendekat! Nan-ti saya teriak!"
Tampaknya gertakan itu berhasil karena cowok itu berhenti dan tampak panik sambil kembali menoleh ke arah jendela berkali-kali. Mungkin ini saat yang tepat untuk berteriak, Namun lidah Kimly terlalu keluh untuk mengeluarkan suara selain bisikkan.
"Maaf saya bikin kamu takut. Saya nggak tahu lagi harus ke mana. Sudah tiga hari saya sembunyi ke mana-mana, sampai akhirnya saya sampai diperumahan ini," kata cowok itu menjelaskan.
Kimly mendengar nada sedih dalam suaranya. Apa Kimly berhalusinasi lagi" Tapi kayaknya nggak deh. Kimly baru menyadari bahkan sedari tadi pun ia tidak mengalami halusinasi atau fatamorgana. Semua ini nyata. Dan cowok buronan yang digandrungi cewek-cewek itu sekarang tidak lebih dua meter di depannya.
Kimly langsung luluh begitu melihat sorot mata cowok itu. Sorot yang penuh perasaan tertekan pada wajah yang sekarang kotor dan cekung. Wajah yang berbeda dengan foto di surat kabar Lylla. Kenyataannya cowok itu terlihat berantakan. Liar. Berandal.
Kimly bego! Jangan percaya omongannya! Dia buronan! Pembunuh!
"Kamu... percaya sama saya"" tanya cowok itu ragu-ragu.
Kimly merasakan tatapan memohon dari mata cowok di depannya. Kimly berusaha menghilangkan perasaan iba dari hatinya, tapi sulit sekali.
"Kamu mau apa"" tanya Kimly pe
lan. Suaranya bergetar. Cowok itu menunduk. "Saya... nggak tau. Nggak ada yang bisa saya mintai tolong. Nggak ada yang bisa bantu saya menuntut kebenaran."
"Maksud kamu... kamu nggak bersalah""
Kimly meneliti air muka cowok itu kalau-kalau dia hanya berpura-pura. Namun entah aktingnya terlalu sempurna atau memang ia berkata jujur. Kimly merasa ketakutannya mulai memudar. Mungkin karena dilihatnya cowok itu tidak bersenjata, atau karena sekarang dia memilih duduk bersilah di lantai dengan kepala tertunduk, daripada menyandra Kimly untuk meminta tebusan.
"...Orang itu... Pak Direktur sudah begitu waktu saya masuk. Dia sudah tidak bernyawa. Saya takut. Saya kabur. Darahnya banyak sekali. Mengerikan...," suaranya tercekat di tenggorokan. Napasnya tidak teratur. Walau cowok itu tidak benar-benar menangis sambil berderai air mata.
Kimly dapat merasakan ketakutan cowok itu. Kimly menyerah pada rasa iba yang memang tak bisa hilang.
Kimly duduk di tepi ranjangnya. Tercenung. Hal aneh berturut-turut datang hari ini. Pertama, teman-temannya tiba-tiba saja rela membaca Koran demi melihat artikel tentang cowok yang sedang tertunduuk di hadapannya sekarang. Lalu, Bi Ima yang ikut-ikutan suka pada berita kriminal-lebih tepatnya pada kasus cowok ini juga. Kemudian, kunjungan tiba-tiba sang objek berita hari ini, lengkap dengan berita di Koran dan TV tentang pembunuhan itu semuanya bohong.
Hingga detik ini Kimly sendiri masih sulit percaya cowok yang mendatanginya sekarang adalah cowok yang sama dengan sosok di foto Koran Lylla. Kimly memang pernah berangan-angan tersenggol selebriti ganteng ketika sedang melihat-lihat majalah mode di toko buku, atau tidak sengaja bertabrakan di kolam renang, yang pasti kebetulan-kebetulan yang semacam itulah. Namun tidak pernah terlintas dalam pikirannya Kimly akan bertemu pembunuh bruntal yang sedang heboh dielu-elukan cewek-cewek di sekolahnya.
Terlintas di pikiran Kimly tanggapan teman-temannya jika sekarang ia menelpon mereka dan berkata, "Hai, cowok buronan itu lagi duduk-duduk di kamarku, lho!"
Mungkin Ardel akan langsung menjerit, "Gila! Telepon polisis, kim! Cepet! Eh, tapi jangan lupa, sebelum dia ditangkep, foto-foto dulu!"
Lylla mungkin lebih mengkhawatirkan keselamatan Kimly, "Elo nggak pa-pa kan, kim" Sekarang tarik napas dalam-dalam ya. Santai aja. Tenang. Nggak usah panik. Semua bakal baik-baik aja. Eh, ngomong-ngomong... beneran cakep, ya""
Yang pasti si pengirim surat kaleng akan menemukan alasan yang bisa membuat Kimly diputusin Nino:
" " Kimly membawa masuk cowok ke kamarnya. (Terlepas dari kenyataan cowok itu masuk sendiri tanpa diundang. Pengirim surat itu pasti tidak akan mau peduli pada kejadian sebenarnya. Percaya deh!)
" "Mereka berpelukan di dalam kamar tertutup (Walaupun berpelukan itu dalam hal ini adalah keadaan ketika si cowok menyekap mulut Kimly, dan Kimly berusaha memberontak melepaskan diri.)
" "Kimly akan dikatai sebagai cewek jelek (julukan favorit si pengirim surat untuknya) yang berteman dnegan buronan liar. (padahal tahu namanya juga tidak, gimana bisa dibilang teman")
Lamunan Kimly yang sudah melenceng ke mana-mana itu dipecahkan hati-hati oleh si cowok buronan.
"Kamu... percaya""
Kimly menoleh menatapnya. Mengarahkan sudut matanya ke dalam mata cowok itu. Sebodo amat dengan komentar si pengirim surat. Tatapan cowok itu tampak jujur. Sama sekali sarat kebohongan. Tidak meragukan.
Kimly mengangguk kecil. Cowok itu tampak baru saja terlepas dari beban yang begitu berat dari dadanya. Untuk pertama kalinya Kimly melihat sudut bibir cowok itu tertarik ke atas membentuk senyum, membuat Kimly menyadari dia punya tiga garis wajah yang mengurat seperti kumis kucing di masing-masing pipinya kalau tersenyum.
"Terima kasih." Suaranya terdengar lebih bebas di telinga Kimly.
Kimly tidak membalas senyumnya. Untuk saat ini, kepercayaan Kimly saja pasti sudah menjadi anugerah terindah bagi cowok itu. Kimly jadi teringat pada pisang di tangannya yang berkeringat. Masih tersisa kesejukan lemari es pada buah itu di genggaman
Kimly. Ia menyodorkannya.
Dia PASTI lapar! "Buat kamu," ujar Kimly pelan.
Cowok itu mengambil pisang di tangan Kimly dan segera mengupasnya. Dimakannya pisang itu dalam dua suap. Kimly salah. Ternyata cowok itu tidak hanya lapar. Dia benar-benar amat sangat lapar.
Kimly beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju lemari es. Kimly mengambil beberapa buah pisang dan sebotol air dingin. Salah satu alasan yang membuatnya merasa keputusan untuk memercayai cowok itu tidak bersalah adalah karena lemari es tetap utuh-walaupun perut cowok itu lebih dari sekadar keroncongan. Bahkan tadi ia mengembalikan pisang yang dipakainya sebagai senjata. Lagi pula-sekali lagi-tidak ada buronan beneran yang menggunakan pisang sebagai senjata.
"Makasih... Kimly," kata cowok itu begitu ia mendapatkan pisang dan air dingin.
"Kok kamu tau nama saya"" Kimly tertegun heran.
Cowok itu kemudian terlihat gugup dan salah tingkah.
"Ngg... ng... dari...," cowok itu mencari-cari sesuatu yang dapat menolongnya dan matanya menemukan buku yang tergeletak di atas meja, "...itu"
Kimly menoleh untuk melihat benda yang ditunjuk si cowok buronan. Di sampul buku tertulis namanya dengan rapi dan sangat mudah terbaca.
Cowok itu kembali tertunduk dan memakan pisangnya. Ia teringat kembali tulisan nama Kimly sebagai penerima amplop surat kaleng yang sempat dilihatnya tadi. Ia tahu, hal terakhir yang ingin diketahui Kimly, bahwa ada orang lain yang membaca surat pribadinya. Lebih baik cowok itu tidak berkata apa-apa. Daripada langsung diusir keluar dari tempat yang mungkin bisa jadi persembunyian barunya.
"Kamu...," Kimly membuka suara.
Cowok itu menoleh. "Nama saya raditya. Mungkin kamu sudah tau. Nama itu sudah ditulis di surat kabar dan disebut berpuluh-puluh kali di TV belakangan ini," kata cowok itu pelan. Nada suaranya terdengar pahit.
Kimly tidak berkata apa-apa. Tidak mengomentari kata-kata si cowok buronan. Tidak juga mengakui bahwa sebenarnya ia baru pertama kali mendengar nama itu.
*** Kimly melongo mendengar kata-kata raditya.
"Maksud kamu"" ulangnya tidak yakin. raditya telihat salah tingkah.
"Ngg... maksud saya... kalau boleh saya tinggal..."
Ia tidak meneruskan kata-katanya begitu melihat wajah Kimly. Kimly mengerti maksud Raditya. Cowok itu buronan. Polisi mencarinya. Tapi dia kabur. Dan tidak ingin ditangkap. Jadi dia perlu perlindungan.
Dan dia memilih Kimly. "Bukannya saya mau kabur dari hukum. Saya cuma tidak mau ditangkap karena kejahatan yang tidak saya perbuat," raditya menjelaskan dengan menggebu-gebu.
"Tapi kenapa aku"" tanya Kimly pelan.
raditya terlihat sangat bersalah. Wajahnya menyiratkan keputus asaan. Suaranya kembali memelan. "Saya nggak tau lagi harus ke mana dan melakukan apa. Nggak ada yang percaya sama saya, selain kamu..."
Itu karena aku bego! Suara dalam pikiran Kimly berusaha menghilangkan perasaan manusiawinya. Namun Kimly belum siap menjadi monster. Kimly masih punya hati. Dan hati itu sekarang berpihak pada cowok di depannya dengan begitu rela.
Tapi apa yang akan terjadi selanjutnya" Apa Kimly harus tinggal bersama cowok itu di kamar yang sama" Setiap malam tidur di kamar yang sama pula" terus, apa yang akan terjadi kalau Bi Ima memergoki mereka " apakah Bi Ima akan berteriak dan membiarkan tetangga mengetahuinya" Lalu apa seseorang akan menelepon polisi dan mengadukan tentang buronan hilang yang ternyata tinggal bersama Kimly" Lalu apakah foto KTP (alias: Kartu Tanda Pelajar; karena Kartu Tanda Penduduk Kimly belum selesai diurus) Kimly juga akan muncul di surat-surat kabar dengan headline:
BURONAN MUDA TINGGAL BERSAMA SISWI SMA
Lalu apa ia akan dibawa ke penjara khusus perempuan dan menghabiskan masa mudanya di sana" Apakah Lylla dan Ardel akan datang mengunjunginya sambil membawa Koran criminal yang memampangkan fotonya besar-besar" Tidakkah Nino bakal malu punya pacar criminal dan memutuskan hubungan mereka dengan segera"
"Ayolah... kamu bisa bantu saya. Kita kan seumuran, setidaknya paling-paling nggak beda jauh. Kamu mau kan bantu saya"
Saya nggak bakal macem-macem, kok," bujuk raditya hati-hati.
Kimly menelan ludah. Ia menutup mata. Merasa pusing dengan keadaan seperti ini. Kepalanya berdenyut-denyut.
Kenapa ia harus mengalami semua ini" kenapa Raditya harus dating ke rumahku"
Kimly merasa tatapan penuh harap Raditya yang patuh menunggu jawaban menghujani dirinya.
Perlahan Kimly mengangguk.
Kali ini raditya tidak lagi menyembunyikan kegembiraannya. Wajahnya bahagia seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat panda di kebun binatang. Cowok itu kemudian memeluk Kimly sambil berulang-ulang mengucapkan terima kasih. Kimly tersentak kaget, berusaha melepaskan diri. Untung Raditya segera menyadari kelakuannya dan melepaskan diri.
"Ma-maaf...," katanya salah tingkah.
Kimly tertunduk. Ia berjalan keluar kamar melewati pintu adem, meninggalkan raditya yang melongo dengan wajah ketakutan.
"kim..." raditya tak mampu mencegah kepergian cewek itu. Cuma satu hal yang membuatnya tegang. Kimly akan mengadukannya pada polisi. Tapi karena apa" Karena ia memeluk cewek itu" Raditya langsung merasa sangat kesal pada dirinya sendiri karena tidak bisa menahan diri. Ia mondar-mandir di kamar Kimly, merasa bingung. Sekarang apa yang harus dilakukannya" Memanjat pohon rumah Kimly dan kabur" Tapi ke mana" Tidak ada tempat baginya untuk bersembunyi.
Pintu adem terbuka lagi. raditya menoleh sambil memasang kuda-kuda untuk membela diri. Siapa tahu ada yang langsung menerjangnya dan mengikatnya dengan tali rafia. Namun betapa leganya cowok itu ketika melihat wajah Kimly di balik pintu. Sendirian. Ditangannya ada baju bersih.
"Baju bekas. Punya papa," kata Kimly pelan. Ia menyodorkan baju yang diambilnya dari gudang.
Dengan penuh terima kasih, raditya mengambil baju itu dan memeganginya erat-erat. Dalam hati ia merasa bersyukur karena menemukan penyelamat sebaik Kimly.
*** Kimly mengguyur air dingin ketubuhnya. Segar. Tapi perasaan khawatir tidak hilang-hilang. Malah jantungnya semakin berdebar saja. Pikiran-pikiran aneh mulai bermunculan di kepalanya yang sekarang terselimuti busa-busa sampo.
Sekarang ia sedang mandi di kamar mandi yang ada di kamarnya. Dan di luar sana ada cowok tak dikenal (oke, sedikit dikenal. Setidaknya ia tahu namanya raditya) yang dituduh sebagai pembunuh sadis dan mengerikan-sekaligus punya banyak fans cewek. Itu berarti ada kemungkinan cowok itu playboy sebelum menjadi buronan. Toh dia kan digemari cewek setengah mati, bahkan setelah masuk ke black list kepolisian. Dan yang namanya playboy pasti sudah berpengalaman. Maksudnya dengan urusan dengan lawan jenis. raditya itu pasti sudah sangat mengerti bagaimana caranya menaklukan cewek, entah cewek itu mau atau tidak.
Memikirkan hal itu, Kimly bergidik. Ia membenarkan shower agar pancuran airnya semakin deras menimpa kepalanya. Mungkin dengan begitu ia bisa berpikir dingin. Namun perasaan takut itu tidak juga hilang. Malahan sekarang isi perutnya terasa melintir. Bagaimana jadinya kalau Kimly keluar raditya menyerang dirinya"
Membayangkan hal itu sungguh membuat Kimly menyesal kenapa dengan begitu bodoh ia mau menolong cowok buronan itu. Mungkin saja semua ekspresi sedih cowok itu hanya topeng agar ia bisa bersembunyi dari kejaran polisi. Kalau begitu sebelum Raditya sempat mencelakakan dirinya, Kimly harus segera melapor kepada yang berwajib.
Kimly mematikan keran dengan tekad bulat. ia segera handukan dan memakai pakaiannya rapi-tidak ada kancing yang terlewatkan dan tidak ada belahan yang mengundang kejantanan.
Kimly menarik napas dalam-dalam, kemudian menyapukan pandangan ke sekelilingnya. Kamarnya memang besar, nyaman dan kering. Daerah yang basah Cuma di bathtub, dipakai untuk menggelar tikar pun bisa. Sebenarnya sih Kimly bisa saja menunggu di sini, sampai Bi Ima menyadari Kimly hilang dan mencarinya di kamar. Kemudian Bi Ima akan menelepon polisi dan menangkap cowok itu. Namun Kimly tidak bisa mengambil risiko. Nyawa Bi Ima bisa-bisa dalam bahaya kalau cowok itu sampai ngamuk. Tidak ada cara lain, Kimly tetap harus menghadapi ini sendiri.
Kimly mengambil pengering rambut yang tergeletak di pinggir wastafel. Mungkin benda itu bisa membantu membuat orang pingsan.
Oke, sekarang Kimly siap menghadapi apa pun yang tengah menunggunya di luar sana.
Kimly membuka pintu. raditya sedang duduk di tengah kamar. Bersilah. Menatapnya. Dipangkuannya ada baju bersih Kimly. Ekspresinya persis seperti binatang peliharaan yang menunggu majikannya dengan patuh.
Sekali lagi Kimly kaget melihat kelakuan raditya yang begitu sopan. Ia menjadi ragu dengan tekadnya semula. Kimly menggeleng-geleng keras.
Jangan bego! Itu cuma tipu muslihat! raditya tuh buronan, dia sudah jelas!
Dirasakannya tatapan raditya yang tidak juga lepas dari dirinya. Kimly bergidik takut. Jangan-jangan cowok itu sedang merencanakan sesuatu yang jahat ke Kimly.
Kalau begitu, cepat bertindak sebelum terlambat, Kim!


De Buron Karya Maria Jaclyn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mmm... mandi gih... sekalian ganti baju...," kata Kimly pelan. Sebisa mungkin ia berbicara dengan nada datar, agar tidak ada sedikitpun nada yang bisa disangka mengundang oleh cowok itu.
raditya beranjak berdiri dan berjalan ke arahnya. Kimly mundur selangkah bermaksud menjauh. Digenggamnya alat pengering rambut itu erat-erat. Ia tidak pernah memukul orang dengan alat itu sebelumnya. Tapi dalam keadaan terdesak mungkin saja tenaga dalamnya dapat keluar dan merobohkan cowok itu kalau dia macam-macam.
Namun raditya tidak melakukan apa pun padanya. Cowok itu cuma bergumam terima kasih dan melirik sekilas ke arah pengering rambut itu sebelum menghilang di balik kamar mandi. Begitu pintu ditutup, Kimly segera menghampiri meja telepon dan duduk di tempat tidur.
Sekarang waktunya. Kalau Kimly tidak melaporkan keberadaan raditya si buronan, bisa jadi Kimly yang akan jadi korban berikutnya. Bahkan mungkin juga keselamatan orang di rumahnya akan terancam. Kalaupun raditya tidak melakukan kejahatan apa pun padanya, bisa-bisa Bi Ima memergokinya berada di sini. Kalau sudah begitu, Kimly juga akan ditangkap dan dituduh sebagai komplotan buronan itu.
Dan pengirim surat kaleng itu akan punya alas an lain untuk merebut Nino dari Kimly. Kimly pasti dihukum penjara seumur hidup. Ia tidak akan bisa memikirkan percintaan lagi selamanya.
Sebaliknya, kalau Kimly melapor, nyawanya akan baik-baik saja. Mungkin sesaat Kimly akan dikenal orang sebagai cewek berjasa menangkap buronan muda, dan Kimly akan kerepotan dengan tatapan orang di sana-sini. Kemudian setelah itu hidupnya akan tenang kembali. Pasti.
Kimly mengangkat ganggang telepon dengan tekad yang kembali membara. Kimly akan menelepon polisi, melaporkan keberadaan raditya yang mereka cari, dan mengusir cowok itu untuk selama-lamanya.
Terdengar suara air yang mengalir dari dalam kamar mandi. Sayup-sayup cowok itu menyenandungkan lagu dengan suara riang.
I drove for miles and miles
And wound up at your door
(She Will Be Loved, Maroon 5)
Dasar buronan! Tunggu saja! Dia nggak bakal nyanyi-nyanyi riang kayak gitu lagi kalau tahu yang menyambutnya begitu keluar dari kamar mandi adalah polisi!
Kimly menekan nomor polisi yang dilihatnya dari daftar telepon darurat (pemadam kebakaran, ambulans, Telkom, bandara, bioskop, sampai restoran fast food terdekat) yang ditempel Bi Ima di tembok sebelah meja belajar. Cewek itu menunggu nada panjang yang belum diangkat di seberang. Dilihatnya lantai kamarnya sudah kembali bersih, tidak ada lumpur kering di mana-mana. Kimly memandangi kamarnya dengan bingung. Matanya terhenti pada tempat sampah di sudut ruangan. Di dalamnya tergeletak manis kulit-kulit pisang yang berwarna kekuningan. Dicarinya kulit pisang yang tadi dimakan cowok itu di atas lantai. Tidak ada. Semuanya sudah dibuang ke tempat sampah itu.
Kimly memandangi tempat sampah itu.
CKLEK "Kantor polisi, bisa dibantu"" terdengar suara di seberang.
Kimly membuka mulut, namun tidak ada yang keluar. Selama ini ia tidak tahu ada buronan yang memerhatikan kebersihan. Apakah ini bagian dari sandiwara cowok itu" Begitu juga sorot matanya, siulan cerianya saat mandi, dan pelukan lega (juga bau)-nya. Apa ada sandiw
ara sesempurna itu" "Halo" Halo"" suara berat itu kembali terdengar. Kali ini bernada tidak sabar sekaligus khawatir.
"Ah-ma-maaf, Pak. Ada, ada bur-bur-" buronan, ayo cepat bilang, "b-burung gagak, Pak. Saya takut. Tapi ternyata burungnya udah pergi," ucap Kimly akhirnya. Suaranya bergetar, namun entah kenapa setelah mengatakan hal itu hatinya menjadi lega. "Burung gagak kan nyeremin, Pak. Katanya lambang kematian gitu. Saya takut. Saya kan lagi sendirian di rumah, nggak tau siapa yang harus saya telepon. Tanpa sadar saya mencet nomor polisi, hehehe."
Dasar bego! Bego! Bego! Beg-SUDAHLAH. Biar saja bego.
Kimly memutuskan untuk percaya pada cowok itu.
"Ooohhh... cuma gara-gara itu" Kamu jangan mempermainkan polisi, dong! Dasar nakal!" nada di seberang sana terdengar lega.
"I-iya, Pak. Maaf, Pak. Maaf."
"Ya sudah, jangan ulangi lagi ya. Ngomong-ngomong, tadi kamu bilang lagi sendirian di rumah""
"Iya, Pak." Terdengar nada menggoda. "Mau ditemenin""
Kimly bergidik. Suaranya sedingin es di kutub utara. "Enggak, makasih."
Kimly membanting telepon. Dasar polisi gadungan! Jijik ih!
Pasti ada orang iseng yang sedang main-main ke kantor polisi dan seenaknya mengangkat telepon. Tidak mungkin kan, polisi beneran berbuat hal tidak bermoral kayak gitu"
"Terima kasih."
Kimly menoleh terkejut. raditya sudah selesai mandi dan sekarang sedang berdiri di depan pintu. Menatap ke arahnya. Tersenyum. Tiga pasang gurat wajah itu muncul lagi...
Merasa salah tingkah, Kimly segera beranjak berdiri, menarik salah satu bantal di atas ranjang, dan mengempaskannya ke dada raditya. Sebelum cowok itu sempat berkata apa pun, Kimly sudah mendorong cowok itu masuk kembali ke dalam kamar mandi, kemudian menutup pintu dengan suara keras. Kimly menahan pintu kamar mandi itu dan menguncinya dari luar.
"Hei! Heiii!!! raditya menggedor-gedor pintu.
"Ssssttt... jangan berisik! Nanti ketauan!" seru Kimly sambil bersandar pada pintu kamar mandi. "Kamu tidur di sana saja!"
"APAAA!"" *** TIGA Love is when my eyes are amazing
Since he is the only one I see
*** JAKARTA-Selasa, 6 September
KIMLY menopang dagu, memerhatikan teman-temannya. Lylla sudah membawa koran yang lain, tapi tentu saja topiknya tetap sama. Buronan itu.
"Ahhhh...," Lylla mendesah bahagia sambil memeluk korannya puas. Ardel yang sedang sibuk menyalin PR mendongak dengan wajah tertarik.
"Gimana" Gimana"" tanyanya. "Di koran ditulis apa""
"Dia masih bebas. Nggak ada yang tau keberadaannya. Jejaknya menghilang begitu aja. Hebat banget ya! Bener-bener cowok gue," cetus Lylla sambil tersenyum lebar, seakan-akan buronan itu benar-benar miliknya.
"Enak aja!" Ardel menjitak kepala Lylla sambil tertawa. "Cowok kita bersama!"
"Iya! Iya!" Mereka berdua tertawa. Entah apa yang ditertawakan, Kimly tidak terlalu mengerti. Seandainya saja mereka tahu bahwa setelah mandi, buronan itu kelihatan keren banget. Seandainya saja mereka tahu buronan yang mereka puja itu sedang mendekam di kamar mandi Kimly. Seandainya saja mereka tahu ingin rasanya Kimly menjitak kepala cowok itu (Kimly terinspirasi oleh Ardel yang tadi menjitak kepala Lylla) karena sudah membuatnya tidak bisa tidur semalaman.
Sebenarnya sih memang bukan salah raditya jika Kimly ketakutan pintu kamar mandinya bakal terbuka lalu cowok itu keluar dan mengapa-apakan dirinya. Karena kalaupun raditya playboy, memangnya cuma itu yang dipikirkannya" Apalagi sekarang cowok itu sedang punya masalah berat.
Bukan salah cowok itu juga kalau suara dengkuran yang menandakan ia sedang tidur bisa membuat Kimly salah tingkah dan gugup. Cowok itu kan pasti capek luar biasa karena sudah luntang-lantung kabur ke sana kemari hari-hari belakangan ini.
Karena akhirnya Kimly bisa menutup mata karena benar-benar mengantuk, beberapa jam kemudian Kimly sudah dibangunkan jam bekernya. Walau di dalam mimpi, Kimly sempat melihat punggung Nino dan nyaris memeluknya dari belakang dalam permainan petak umpet. Kimly pun terbangun dengan mata yang sulit banget terbuka saking ngantuknya, dan
wajah jengkel berat. Dalam keadaan seperti ini, Kimly berjalan sempoyongan ke arah kamar mandi dan berusaha membuka pintunya dengan gedoran, tarikan (sampai sempat terjengkang beberapa kali), dan teriakkan kesal sebelum akhirnya menyadari gerendel kamar mandi itu-yang langsung dipasangnya kemarin sore sebagai salah satu usaha menjaga diri-berfungsi dengan baik.
Kimly membuka gembok dan kunci kamar mandi. Ketika pintu terbuka, dia melihat raditya tengah duduk di atas kloset, memangku bantal yang diberikan kepadanya, dan menatap Kimly dengan tatapan memelas. Kimly melihat darah segar perlahan-lahan mengalir turun dari hidung cowok itu. Rupanya dia kedinginan sampai mimisan.
Kimly tidak tahu siapa yang tampak lebih menyedihkan, dia atau cowok itu. Tapi karena saat ini kekesalannya sedang meletup-letup seperti gunung berapi, dia tidak punya waktu untuk beriba-iba ria pada cowok itu. Dia segera menyepak raditya dari kamar mandi, suatu perbuatan yang menandakan Kimly sedang super bete-kalau sedang normal, mana berani sih dia menyepak buronan"
Barulah sesudah sendirian di kamar mandi, dia merasa tenang. Pintu telah dikuncinya-gemboknya juga dibawa, untuk berjaga-jaga agar cowok itu tidak balas dendam dan menguncinya dari luar. Tapi kemudian Kimly menyadari baru saja ada cowok yang melihatnya baru bangun tidur dengan rambut jabrik ke sana sini, mata sembap, dan wajah terkucel di seluruh dunia.
*** Kimly menutup keran wastafel. Di sebelahnya ada anak cewek yang sedang mengolesi bibirnya dengan lipgloss. Kimly melirik sekilas, kemudian berbalik dan berjalan menuju pintu masuk-sekaligus pintu keluar-kamar mandi cewek.
"Tunggu." Cewek itu menutup wadah bulat lipgloss-nya, mengulum dan memastikan bibirnya sudah terlihat mengilap juga mengundang, kemudian menatap Kimly dari kaca wastafel. Kimly berbalik dan memandanginya. Ekspresi wajah Kimly datar, walau sebenarnya ia malas berbicara dengan cewek itu.
"Kemarin gue jalan bareng Nino," kata cewek itu.
Kata-kata itu memeras hati Kimly, namun tak mengubah ekspresinya.
"Nggak percaya!" balas Kimly dingin, membalas tatapan cewek lipgloss itu dari balik cermin.
Beberapa cewek yang menggunakan kamar mandi memerhatikan mereka, kemudian buru-buru keluar. Cewek lipgloss itu berbalik dan mendekat ke arah Kimly, memojokkannya ke tembok kamar mandi. Kimly bersyukur tubuhnya lebih tinggi daripada cewek itu.
"Cewek nggak tau diri! Apa surat yang gue kasih nggak cukup buat lo sadar, hah" Belom nyadar juga kalo lo terlalu jelek buat Nino"" bisik cewek itu sengit.
Kimly bergidik. Tidak berkata apa pun. Memandang cewek lipgloss itu dalam-dalam, kemudian menepis tangan cewek si pengirim surat kaleng yang tadi ditopangkan ke tembok.
"Nggak tau malu! Elo nggak pantes buat Nino, Jelek! NGACA DONG!" seru cewek itu.
Kimly membuka pintu kamar mandi, kemudian keluar. Pintu menutup, menelan umpatan-umpatan cewek itu, kini suaranya tergantikan suara gaduh khas jam istirahat. Padangan anak-anak sekolah yang sedang beristirahat memenuhi mata Kimly. Kimly menarik napas lega.
"Hei," seseorang menepuk pundaknya.
Kimly menoleh. Seorang cowok berdiri di sebelahnya. Tersenyum kearahnya dengan sebelah tangan di kantong celana. Tentu saja cowok itu cakep luar biasa. Vokalis band sekolahnya, pujaan hati semua cewek. Pacarnya.
Kimly tersenyum. Dengan sebelah tangannya yang bebas, cowok itu merangkul bahu Kimly.
"Udah makan"" tanya Nino.
"Belum," balas Kimly. "Kamu""
"Belum juga. Yuk ke kantin! Laper, nih!"
Kimly mengangguk. Tidak masalah jika ada cewek yang terus mengiriminya surat kaleng selama ada Nino yang dapat membuat hatinya berbunga-bunga dan melupakan segala kesedihan. Rasanya semua menjadi lebih indah jika bersama cowok itu. Pizza kantin yang biasa pun rasanya jadi enak banget.
Kimly memandangi Nino yang juga balas memandang dirinya. Tatapan Nino... ooh... tatapan itu dalaaam sekali... mata indah yang dibingkai bulu mata lentik... apakah sekarang Kimly sedang bermimpi"
CROT CROOT CROOOOT...!!! Terdengar bunyi menjijikkan. Kimly membelalak
dan menunduk ke piring. Pizanya sekarang sudah tak berbentuk karena penuh cairan kental berwarna hitam. Ternyata tanpa sadar tangan Kimly mengambil botol kecap dan menuangnya ke piringberisi pizza.
Nino tertawa ngakak. Saat itu tak terhingga malunya Kimly. Cewek itu tidak tahu harus melakukan apa. Dia mencoba ikut tertawa, tapi tawa cowok itu malah semakin keras ketika melihat wajah cengengesan Kimly yang pasti tampak bego banget. Akhirnya Kimly berhenti cengengesan dan duduk diam, memerhatikan dengan pasrah cairan kecap yang ternyata juga sudah mengotori rok abu-abunya. Satu lagi alas an kenapa cewek pengirim surat itu membenci Kimly setengah mati: Kimly jorok.
Nino masih tertawa keras, membuat semua orang di kantin kearah mereka dan tertawa melecehkan Kimly setelah mengerti apa yang terjadi. Kimly Cuma bisa tertunduk malu.
"no... udah donggg... semuanya kan pada ngeliatin...," bisik Kimly.
"Biar aja! Habis kamu lucu banget sih!!! Makan kok aneh banget, masa pizza pake kecap"! Padahal kamu udah gede, udah kelas dua SMA! BUAHAHAHAHAHAHA...," tawa Nino kembali meledak.
Saat itu ingin rasanya Kimly mengubur diri ke tanah. Bahkan Nino pun menertawakannya yang seperti anak kecil. Begonia dia, gara-gara kegirangan makan bareng Nino, lantas jadi sembarangan begitu. Kimly jadi berpikir, apa jadinya kalau Nino melihatnya baru bangun tidur dengan wajah superkacau seperti tadi pagi. Tawanya pasti akan menggelegar hingga sejauh 10 blog dari rumah Kimly. Mungkin Nino bakal langsung sakit jantung saking hebohnya ketawa.
"Kamu jangan bikin aku malu dong, kim...!" seru Nino di tengah tawanya.
Entah kenapa saat itu hati Kimly terasa tertusuk. Sakit. Kimly bersyukur karena yang melihatnya bangun tidur adalah raditya. Bukan Nino.
Seseorang mendatangi meja makan mereka. Kimly menoleh dan melihat salah satu anggota band sekolah mereka. Nino menoleh dan tawanya mereda.
"Gimana jadinya"" tanya Nino.
"Oke, minggu ini kita tampil. Jadwal latihan ada di ruangan klub," kata cowok itu. Ia menoleh tampknaya baru menyadari kehadiran Kimly. "Oh ya, ajak juga cewek lo! Siapa namanya" Nngggg... gue lupa."
"Kimly," sambung Kimly pelan.
Cowok itu meringis sambil menyodorkan tangan Nino sudah tertawa lagi begitu melihat wajah Kimly, kali ini sambil memukul-mukul meja. Dengan wajah memerah Kimly menyambut uluran tangan cowok itu.
"Sori, gue lupa. Gue jarang liat lo sih!"
Cowok itu kemudian melepaskan tangannya dan kembali menoleh kearah Nino, bertanya-tanya kenapa dia tertawa sampai seperti itu. Segala harapan Kimly agar Nino merahasiakan kejadian barusan pupus begitu Nino membuka mulut dan menceritakan semuanya. Si anak band menoleh ke piring Kimly, kemudian tertawa keras bersama Nino.
Alasan kesembilan kenapa yang lebih pantas bersanding dengan Nino adalah si cewek lipgloss: Nino cowok popular, sedangnya Kimly bukan. Si cewek lipgloss vokalis band Nino dan merupakan salah satu cewek tercantik di sekolah, sedangkan Kimly bukan siapa-siapa yang namanya pun tak pantas diingat bahkan oleh teman pacarnya sendiri.
*** Begitu Kimly pulang ke rumah, sepucuk surat tampak menunggu kehadirannya. Kimly membukanya. Surat yang biasa. Pengirim yang biasa. Isi yang biasa.
DAsAr nggAk Tau mAlu! ngAcA Dong! nino pAnTEs dApET yAng lEbih dAri lO!
Di belakangnya, pintu kamar mandi diketuk beberapa kali dari dalam. Terdengar suara sayup raditya.
"kim..., sudah pulang" Boleh buka pintu" Boleh minta pisang lagi" Saya laper nih...," seru si cowok buronan dengan suara tertahan.
Kimly tetap mematung. Ironis banget membayangkan dirinya berdiri dengan surat ancaman dan buronan yang minta makan di belakang. Kimly merasa dirinya amat bodoh.
Alas an kesepuluh kenapa dia harus berpisah dengan Nino: Kimly memang nggak pantas buat cowok itu.
*** Kimly berpangku tangan sambil memandangi cowok buronan yang sedang makan pisang dengan lahap. Dia heran, kenapa ada orang yang suka banget sama pisang. Seperti monyet saja. Dia mengutarakan hal itu pada raditya. Sungguh perbuatan yang berani, salah-salah cowok itu bisa mengamu
k karena dikatai monyet dan langsung mencekiknya. Dia kan tersangka pembunuhan. Tapi saat itu suasana hati Kimly lagi kacau hingga ngomongnya pun ngawur.
"Enak kok!" jawab cowok itu, sama sekali tidak terlihat tersinggung.
raditya mengalihkan perhatiannya dari pisang di tangan, memandangi Kimly dnegan ekspresi tak terbaca. Sejenak matanya seperti menemukan sesuatu pada wajah Kimly. Cewek itu tak menyukai sorot mata raditya. Seakan-akan raditya tahu isi hati Kimly saat itu, betapa sakitnya dia setiap kali teringat kejadian di kantin tadi pagi. Tapi kalaupun cowok itu menyadari kegundahan Kimly, dia tak mengatakan apa pun.
"Sudah nggak mimisan"" tanya Kimly basa-basi.
"Enggak. Saya kan kuat!" balas cowok itu dengan nada bangga. Ia mengangkat sebelah alis dan menawari Kimly pisang. "Mau" Enak, manis."
"Nggak suka! Bi Ima menaruhnya di kulkas. Heran, nggak bosen-bosen juga dia! Padahal biasanya nggak satu buah pisang pun aku sentuh, sampai akhirnya busuk," oceh Kimly.
Ujung bibir cowok itu tertarik sebelah. "Mungkin dia punya firasat bakal ada orang yang datang dan menghabiskan pisang-pisang itu," sahutnya.
"Maksudnya kamu" Kalau pisang sih, habisin aja semuanya. Tapi jangan pernah sentuh pir hijau," ancam Kimly.
raditya Cuma nyengir, menampakkan lagi guratan aneh di pipinya.
"Oh, iya, boleh nanya"" tanya cowok itu.
Dahi Kimly berkernyit. Ragu-ragu, Kimly mengangguk.
"Ada berapa pelayan di sini""
"Mm... Bi Ima..., terus satu orang pembantu lagi, dan satu orang satpam." Kimly memandang wajah Raditya. "Kenapa" Takut ketauan" Tenang, Bi Ima udah aku larang masuk kamar, apalagi buat ngebersihin kamar mandi."
Kimly tidak mau mengambil risiko kalau-kalau Bi Ima (yang mau membersihkan kamar mandi) sampai pingsan dengan karbol di tangan ketika melihat buronan yang sedang diincar polisi duduk di kloset kamar mandi Kimly.
"Makasih. Kalo gitu, saya yang bakal bersihin kamar mandi kamu," ujar raditya lega. "Oh, ya, kamu nggak punya sopir""
"Ada, tapi itu sopir kantor. Tugasnya Cuma nganterin ke sekolah sama jemput doang. Selebihnya dia balik ke kantor."
"Ngg... lalu... orangtuamu kerja ya" Kapan mereka pulang" Mereka kok nggak pernah masuk ke sini"" Raditya melihat raut wajah Kimly berubah muram dan merasa bersalah seketika. "Ma-maaf."
"Nggak pa-pa. Iya, mereka kerja, dua-duanya. Pergi pagi, pulang malam. Jarang di rumah, jarang di Jakarta, jarang di Indonesia. Hari libur atau hari biasa nggak ada bedanya. Nggak pernah masuk ke sini, jadi kamu nggak usah khawatir," jawab Kimly. Dalam setiap kalimat cewek itu terasa samar-samar kepahitan yang sepertinya susah payah disembunyikan. raditya terdiam. Suasana menjadi sepi, sampai Kimly tiba-tiba berdiri. Dan mengambil dompetnya.
"raditya...," suaranya sudah terdengar normal.
raditya lega. "Raditya," katanya.
"Apa"" "Panggil Radit aja. Hemat tenaga." Lagi-lagi cowok itu nyengir.
"Oke, Radit. Sekarang tolong masuk kamar mandi."
"Apa!"" "Aku mau pergi," kata Kimly.
Cowok itu menampilkan wajah tidak suka. "Tapi emangnya nggak ada tempat lain" Masa di kamar mandi" Kamu tega" Saya nggak bakal macem-macem kok!" protes Radit.
"Nggak ada tempat lain. Kamu mau diliat orang" Udah, cepet masuk!" perintah Kimly sambil berkacak pinggang. Menurutnya inilah pilihan yang terbaik. Dengan begini, cowok itu tidak akan punya kesempatan melihat-lihat barangnya.
Cowok itu sekali lagi menampilkan wajah protes, tapi dia berdiri juga. Dibuangnya kulit pisang ke tempat sampah.
"Masa' manusia disuruh tidur di kamar mandi sih" Lagian saya kan nggak bakal kabur. Kamu tahu saya nggak punya tempat lain untuk kabur."
Cowok itu masih giat melancarkan protes, namun Kimly menariknya masuk ke kamar mandi. Cowok itu tak bisa memberontak lagi. Lagipula seharusnya dia tahu dia tidak punya hak untuk protes.
"Pokoknya jangan buat suara sedikit pun. Aku cuma mau pergi sebentar. Nanti kamu boleh keluar lagi," ujar Kimly.
Mendengar hal itu wajah Raditya berubah ceria.
Pintu ditutup dan digembok. Kimly memasukkan kuncinya ke kantong celana dan
memastikan kunci itu tidak akan hilang. Kimly tidak bisa membayangkan jika kunci itu sampai hilang. Raditya tidak akan bisa keluar dari sana dan Kimly akan serba salah. Jika Kimly melapor pada orang lain, polisi akan tahu dan menahannya karena telah member tempat tinggal pada buronan. Tapi jika Kimly tidak bilang apa-apa pada siapa pun, ia juga akan masuk penjara karena kasus penyekapan. Intinya, kunci itu tidak boleh hilang!
Terdengar ketukan kecil dari kamar mandi.
"Kimly, kamu nggak akan lama, kan" Bener ya" Saya nggak mau di sini terus sampai besok pagi," seru cowok itu. Nadanya terdengar khawatir.
Mau tidak mau Kimly tersenyum geli.
Dasar, buronan kok minta macam-macam!
"Aku pergi dulu."
Cowok itu tidak membalas kata-kata Kimly. Ia mulai sibuk bersenandung dengan suara sangat pelan. Dijamin, Bi Ima yang berada di luar kamar Kimly tidak akan mendengarnya sekalipun ia menempelkan telinga ke tembok.
Lagu lama yang dinyanyikan Glenn Frey. Judulnya The One You Love. Kimly pernah mendengar lagu itu di rumah oomnya.
I know you need a friend Someone you can talk to Who will understand What you're going through
When it comes love There's no easy question Only you can say what you're gonna do
Kimly tertegun. Apakah raditya benar-benar tahu isi hatinya saat ini" Ia berusaha menepis bayangan itu jauh-jauh dan mengalihkan pikirannya.
Mungkin cowok itu cuma iseng...
*** Sudah 15 menit Kimly mondar-mandir di daerah pakaian dalam. Diremasnya kuat-kuat tangannya yang berkeringat dingin. Pasalnya dalam perjalanan ke warteg untuk membelikan Raditya nasi bungkus (kan kasihan kalau makannya Cuma pisang. Bisa-bisa radit jadi monyet beneran!), Kimly tiba-tiba terpikir sesuatu yang sensitif dan membuat pipinya bersemu merah.
Kimly sudah meminjamkan baju dan celana using ayahnya dan memberikan sikat gigi baru, ditambah lagi memperbolehkan cowok itu memakai sabun peach kesayangannya. Tapi tiba-tiba ia teringat satu benda, yang sangat mendesak namun sampai kapan pun tidak akan pernah ia pinjamkan... celana dalam!
Radit kan tidak mungkin pergi ke mana-mana sambil membawa celana dalam ekstra di dalam sakunya. Itu berarti walaupun Radit sudah memakai baju dan celana bersih, celana dalamnya masih sama. Memikirkan hal itu saja Kimly jadi gatal-gatal. Tapi Radit pasti terpaksa melakukannya, kecuali kalau cowok itu memutuskan tidak memakai celana dalam. Iiihhh!!!
Tanpa sadar Kimly bergidik. Ia buru-buru naik mikrolet dan pergi. Ke pusat perbelanjaan terdekat yang menjual pakaian. Dan di sinilah Kimly sekarang. malu setengah mati di daerah sensitif pria.
Kimly menyadari beberapa orang sudah mencuri-curi pandang ke arahnya dengan heran. Daripada jadi tontonan aneh, Kimly memutus merenggut satu set celana dalam cowok (beli 3 gratis 1) dan langsung menuju kasir dengan kepala tertunduk. Setelah itu Kimly keluar dari pusat perbelanjaan dengan langkah-langkah panjang secepat kilat.
Kimly kemudian masuk ke warteg terdekat dan memesan nasi bungkus ukuran jumbo. Kontan semua orang di warteg menoleh dan melotot. Bahkan ada seorang bapak yang menjatuhkan tempe goring yang sedang dipegangnya. Kimly jadi salah tingkah karena dipelototi semua orang. Bahkan Ibu penjaga warung pun memandanginya.
"Ngg... buat... buat makan bareng kok, Bu! Bukan aku sendiri yang makan," cetus Kimly sambil meringis salah tingkah.
Semua orang di dalam warteg mendesah lega mendengarnya. Dilihat dari sudut mana pun, Kimly tidak terlihat seperti cewek doyan makan porsi jumbo.
"Iya, iya. Ibu piker juga ndak mungkin adik makan sendiri, kan"!" ujar ibu warteg itu, kemudian tertawa bersama pria-pria lain. Semuanya kembali menikmati makanan mereka dan ibu warung memberikan uang kembalian pada Kimly.
"Tapi kayaknya aku makan sendiri aja deh semuanya...," gumam Kimly iseng, seolah-olah sedang bicara sendiri namun dengan suara yang dapat didengar semua orang di warung.
Bapak yang tadi menjatuhkan tempenya tersedak tahu goreng begitu kata-kata Kimly. Semua orang disekitarnya menjadi panic. Ibu warung mengisi gelas bapak itu
yang sudah kosong. Pria lain di sebelahnya sibuk memukul-mukul punggung bapak itu.
Kimly keluar warung sambil tersenyum geli dan (sedikit) merasa bersalah pada si bapak yang tersedak tahu itu. Tetapi hatinya menjadi lebih ceria sekarang, walaupun perasaan sedihnya masih enggan hilang. Satu-satunya obat yang bisa menyembuhkannya adalah Nino. Tetapi Nino bukan tipe cowok yang suka menelepon cewek-walaupun itu ceweknya sendiri-kalau tidak ada keperluan apa pun yang baginya penting. Nino cowok yang supercuek terhadap perasaan orang lain. Kimly menerima hal itu sepenuh hati. Bukankah cinta selalu menerima apa adanya"
Kimly berjalan di pinggir trotoar, mencari-cari mikrolet jurusan rumahnya. Dalam keadaan seperti ini, ingin rasanya punya sopir beneran, bukan sopir kantor yang Cuma bisa Kimly temui dalam perjalanan dari dank e sekolah. Selebihnya, si sopir kembali ke habitat aslinya-kantor ayah Kimly.
Di tangannya ada nasi bungkus berlauk lengkap yang menggiurkan. Perutnya mengeluh. Kimly baru ingat, dia belum makan siang. Tadi begitu pulang ia langsung masuk kamar, membebaskan Radit dari kamar mandi dan menggunakan kesempatan itu untuk mandi.
Mata Kimly tertuju pada motel kecil di seberang jalan. Menurut kabar angin-yang bukan sekadar kabar angin, alias beneran-motel itu digunakan untuk mencari hiburan. Kimly melongo dari kejauhan. Mengintip. Setiap kamar punya garasi sendiri-sendiri. Sebagian besar garasi tertutup rapat, yang berarti ada mobil di dalamnya. Motel itu sering dijuluki motel garasi oleh orang-orang disekitar sini.
Kimly melihat mobil sedan hitam masuk ke motel dan langsung masuk ke dalam garasi yang paling dekat dengan pintu keluar. Bersamaan dengan itu, ada mikrolet kosong berhenti di pinggir jalan, menghalangi pandangannya. Kimly naik dan duduk di salah satu kursinya, kemudian kembali memandang ke arah motel dengan perasaan ingin tahu.
Orang kayak apa sih yang doyan ke motel itu"
Seorang wanita keluar dari kursi di sebelah kemudi sedan itu. Wajahnya ber-make-up medok, membuat Kimly teringat pada artis-artis kabuki Jepang, walau sebenarnya memang tidak seekstrem itu. Jasnya terbuka di sebelah dada dan sepertinya ia tidak menggunakan dalaman, sehingga belahan dadanya yang besar dan mengerikan terlihat sangat jelas. Wanita itu menyibakkan rambutnya yang dicat warna plum dan berlagak bak miss universe. Tanpa sadar Kimly mengernyit jijik.
Pintu kemudi terbuka. Seorang pria turun.
Mata Kimly terbelalak lebar.
Jantungnya serasa berhenti berdetak. Hatinya terasa seperti diremas.
Papa"! Kimly mempertegas pandangannya. Belahan samping di rambut hitam keabu-abuan itu. Senyuman yang persis miliknya. Tidak salah lagi, pria yang sekarang tertawa dan merangkul wanita penyihir itu ayahnya! Mereka berjalan kea rah kamar motel.
Papa!!! Jangan masuk! Jangan!
Mikrolet mulai berjalan. Pintu kamar motel tertutup.
Motel garasi mulai menghilang dari pandangan, namun pandangan Kimly tetap terpaku ke sana. Hujan yang mulai turun deras membasahi jalanan pun tak mampu mengusik pikiran galau Kimly.
Ayahnya berduaan dengan wanita penyihir itu...
Ayahnya datang ke motel itu, ke motel yang selalu dihujatnya setiap kali mobil hitamnya lewat di jalan ini...
Ayahnya menyeleweng... Apa yang mereka lakukan"
Apa ayahnya mencubit mesrah pipi wanita itu"
Mencium bibir gempal yang merah membara itu"
Mengatakan rayuan cinta gombal"
Memeluk tubuh gempal wanita itu...
Menjijikkan! Kimly merasa mual. Perutnya yang kosong berbunyi. Namun ia tak lagi punya selera makan. Pandangannya kabur. Kepalanya sakit.
Padahal selama ini ia selalu memercayai ayahnya sebagai pria yang setia, yang hanya mencintai keluarganya, yang merasa amat puas dengan kehidupannya. Tak dapat dibayangkan ternyata ayahnya tidak puas dengan dirinya, tidak puas dengan keluarganya, sehingga menyeleweng.
Karena itukah ayahnya mencari kebahagiaan lain"
Karena itukah ayahnya mencari kasih sayang lain"
Karena itukah ayahnya berubah"
Mungkin ternyata Kimly memang belum benar-benar mengenal ayahnya. Mungk
in sosok yang selama ini berada di rumah bukanlah ayah yang sebenarnya. Mungkin tadi pria yang tersenyum genit itulah ayahnya yang sebenarnya, sosok yang tak pernah ia perhatikan di rumah.
Sebelum sempat mencegahnya, hati Kimly bertambah hancur dan jatuh berkeping-keping ke jurang tak berdasar.
*** Kimly tak tahu harus bersikap seperti apa. Ia tak biasa menangis seperti teman-temannya yang lain kalau menghadapi masalah. Cewek itu percaya tidak ada masalah yang dapat selesai dengan menangis, makanya sudah sejak lama ia tak pernah menangis lagi. Sebagai gantinya kepala Kimly sakit bukan main, seperti mau meledak saja.
"Kimly... udah pulang"" terdengar suara bisikan dari dalam kamar mandi.
Kimly menarik napas panjang. Mengambil kunci, dan membuka pintu. Radit tengah memandangi drinya.
"Basah kuyup tuh!" kata cowok itu, namun Kimly hanya membuang muka. Disodorkannya bungkusan nasi dan celana dalam.
"Buat saya"" Radit tampak tidak percaya.
Kimly mengangguk. Padahal tadi Kimly sudah menebak-nebak bagaimana reaksi cowok itu saat melihat celana dalam barunya. Namun sekarang rona merah di pipi cowok itu tidak lagi membuat Kimly tertarik.
Radit seperti bisa menduga ada hal buruk yang baru saja terjadi dan untunglah ia cukup bijaksana untuk tidak ikut campur. Ia cuma mengambil handuk Kimly yang digantung di kamar mandi, kemudian melemparnya ke arah Kimly. Tanpa berkata apa-apa.
Kimly segera menghanduki tubuhnya yang basah, namun apa pun yang Kimly lakukan saat ini sepertinya tidak akan bisa mengubah suasana hatinya. Kalau saja tiba-tiba muncul lubang dengan lidah-lidah api di bawah kakinya dan ia terjatuh ke dalamnya, membakar habis semua mimpi buruk yang tadi ia lihat, mungkin Kimly akan jadi cewek paling bahagia di dunia.
*** EMPAT Love is when I dream a fairy tale of us
Because I think about him every second I have
*** JAKARTA-Rabu, 7 September
LAGI-LAGI Lylla terlihat asyik sendiri dengan korannya. Ini berarti sudah tiga hari ia terbius dengan surat kabar. Benar-benar perubahan yang sangat besar pada diri cewek itu. Guru kewarganegaraan mereka yang selalu mempromosikan betapa pentingnya membaca surat kabar sampai mulutnya berbusa pasti akan menangis bahagia begitu tahu anjurannya dipatuhi salah seorang muridnya yang selama ini selalu antikoran. Yang pasti, mengapa alas an Lylla membaca Koran tidak lain dan tidak bukan adalah karena ada info tentang cowok buronan faforitnya, raditya.
Kimly memerhatikan temannya itu. Lylla berwajah menarik, dengan mata bulat, alis rapi hidung mungil, dan tahi lalat kecil di tulang pipi sebelah kanan, rambutnya ikal sebahu.
Mungkin Nino bakal bangga kalo Lylla yang jadi pacarnya...
Mungkin Papa tidak bakal menyeleweng kalau punya anak semanis Lylla...
Sebuah tangan melambai-lambai di depan wajah Kimly, membuatnya menoleh. Sepasang mata berbentuk almond yang dibingkai alais lebat tengah memandangi dirinya. Ardel meringis, memperlihatkan dua lesung pipi yang amat manis di kanan-kiri bibirnya.
Atau mungkin juga Ardel...
Yang pasti, bukan aku. "Idiihhh... makin sering bengong deh, lo!" kata Ardel sambil mencubit pelan tangan Kimly.
Kimly berusaha menarik ujung bibirnya sedikit.
"Ada apa sih" Lo punya masalah" Kayaknya muka lo gimanaaa gitu. Sedih amat," lanjut Ardel pelan.
Kimly menggeleng. Dia senang setidaknya teman baiknya menaruh perhatian padanya. Namun Kimly tidak sedikitpun berniat curhat dan menumpahkan semua masalah pada kedua temannya. Cukup dia sendiri yang menanggung semua beban ini.
"Bener lo nggak pa-pa"" tanya Ardel tidak percaya.
Kimly menggeleng lagi. "Nggak pa-pa kok! Gue cuma capek. Tau sendiri kan tugas kita banyak banget"!" jawabnya bralasan.
Alis Lylla terangkat sebelah. Ia mengangguk-angguk. "Iya sih... Tapi dapet tugas banyak, muka lo kok malah sedih" Kalo gue sih pasti kelihatan stress."
"Siapa bilang gue sedih"" sahut Kimly mengelak. "Gue tuh ngantuk, tau!"
Kimly menatap ke depan lagi. Beberapa teman sekelasnya sedang bermain basket. Sisanya berusaha (dan gagal) menjadi cheerleader di
pinggir lapangan. Hanya segelintir yang duduk-duduk jauh dari lapangan, biasanya karena bermaksud bergosip ria seperti yang sekarang dilakukan gerombolan cewek di dekatnya.
Kimly sendiri duduk di pinggir lapangan karena mengikuti keinginan Lylla. Temannya itu lebih bernafsu melahap berita tentang raditya-nya (sekarang Lylla kerajinan menambahkan kata kepemilikan di belakang nama si cowok buronan) daripada mengikuti pelajaran olahraga yang gurunya absen.
Cewek-cewek di dekat Kimly tampaknya sedang bergosip sambil cekikikan. Kira-kira ada tiga-empat anak. Kimly sering melihat mereka berjalan bersama si cewek lipgloss pengirim surat kaleng, sehingga ia tidak heran jika punggungnya tiba-tiba terasa panas karena pandangan bertubi-tubi cewek itu. Terdengar suara mereka, yang kayaknya sengaja dibesar-besarkan agar sang "objek" pembicaraan tidak sengaja mendengar percakapan mereka.
"...kecap manis, kecap manis! Mana ada sih makan piza pake kecap maniiiis"!"
"Idih. Jijay! Nggak heran lah, orang aneh, selera makan juga aneh! Orang najis, selera makannya juga najis!!!"
"Kalo gue jadi dia sih, ya ampuuuuuuun. Diliat Nino pula! Mendingan mati!"
"Dia gitu lhooo... gapunya malu, chiiiiiin...!"
Telinga Kimly terasa panas. Itu kan kecelakaan. Apa perlu dibesar-besarkan" Seolah-olah Kimly sudah nempelin pizza penuh kecap manis diwajah lalu cengengesan pada Nino seperti orang gila. Kalau memang begitu kejadiannya, Kimly tidak akan heran kalau semua orang di sekolah membicarakannya.
Masalahnya, Kimly kan nggak melakukan sesuatu yang memalukan banget. Maksudnya, please deh, semua orang kan juga pernah dua-tiga kali, bahkan malah mungkin puluhan kali bersikap ceroboh.
"KIM !" seru Lylla tiba-tiba, membuat Kimly dan cewek-cewek tadi tersentak kaget. "Seru banget lho korannya!"
Dari sudut mana pun terlihat Lylla sengaja menghentikan gossip keji cewe-cewek itu dengan jalan damai, yaitu mengalihkan perhatian Kimly. Kimly bersyukur punya teman seperti Lylla dan Ardel, yang selalu perhatian tanpa pernah terlalu mencampuri urusannya.
Ardel tampak benar-benar tertarik dengan berita itu. Dia bahkan mendorong Kimly untuk mendekat kea rah Lylla. Kimly menangkap tulisan besar di sudut Koran yang dihiasi foto polisi yang menangani kasus ini.
LANJUTAN KISAH BURONAN MUDA
Kimly mengambil alih Koran Lylla dan memerhatikan foto raditya di sudut Koran. Wajahnya tampak berbeda dengan wajah makhluk yang sekarang mendekam di kamar mandi rumahnya. Di dalam foto Raditya tampak jauh lebih sehat, jauh lebih bersih, dan jauh lebih bahagia.
"Gimana ceritanya, lyl"" tanya Ardel tanpa berniat membaca sendiri koran itu.
Lylla menoleh ke arah kedua temannya dan tersenyum lebar. Matanya berbinar-binar dan gayanya persis seperti ibu yang bangga karena anaknya menjuarai lomba mewarnai di sekolah.
"Dia belom ditangkap. Hebat, kan" Polisi masih menyelidiki kasusnya. Hmm. Pokoknya gue yakin raditya gue nggak bersalah!" ujar Lylla yakin sambil melipat kedua tangan di depan dada dan mengangkat kepalanya.
Kimly mendongak. "Dari mana lo tau Radit nggak bersalah"" tanyanya terkejut.


De Buron Karya Maria Jaclyn di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Karena dari mukanya udah... eh, tunggu-" Lylla menoleh cepat ke arah Kimly. "Radit""
"Ngg..." Waduh. Kimly baru tersadar, Koran-koran tidak menyebut cowok itu dengan nama panggilannya. Kepalanya langsung sibuk mencari-cari alasan.
Tapi Lylla sudah terlanjur tertawa keras. "Radit" ternyata lo nge-fans juga ya, ! Sampe bikin nama kesayangan gitu!"
"Ehem. Kimly, nggak nyangka deh...," goda Ardel sambil senyum-senyum. "Saingan kita nambah nih, Shill."
Kimly mengernyit. Namun jantungnya juga berdebar-debar. Tak tahu kenapa. Entah karena takut rahasianya menyembunyikan buronan dalam kamar tidurnya terbongkar atau karena terbayang-bayang wajah cowok itu.
"Nge-fans" Siapa yang nge-fans" Cowok doyan pisang gitu"!" seru Kimly tanpa berpikir. Ia langsung mengatupkan mulutnya sebelum sempat menambahkan, "juga suka nyanyi lagu aneh."
Celaka. Ia salah ngomong lagi.
Lylla berhenti tertawa dan bertatapan dengan Ardel. Sedetik kemudian keduanya kem
bali tertawa terbahak-bahak. Kimly melongo, sekaligus lega. Baru disadarinya sedari tadi ia menahan napas saking tegangnya.
"Ya ampuuuun, kim... ternyata segitunya lo nge-fans sama raditya gue , sampe-sampe lo ngayal tentang dia"!" seru Lylla di tengah-tengah tawanya.
"Jangan pisang deh, Kim, stoberi aja gimana"! Huahahahahahahha...!!!" Ardel memegangi perutnya yang sakit karena tertawa.
"Lupain aja," ujar Kimly malu.
"Nggak bisa dong! Pisang sama my raditya" Huahahahah...!!!" Lylla kesetanan.
Wajah kimly memerah dan memanas. Ia mengalihkan pandangannya ke lapangan basket yang masih dipakai teman-temannya. Dari kejauhan terlihat anak-anak kelas lain sedang berjalan menuju laboratorium. Di antara mereka ada Nino. Cowok itu kelihatan asyik mengobrol dengan segerombolan teman cewek dan cowoknya yang sejenis cewek-cewek penggosip di sebelah Kimly. Mereka menunjuk-nunjuk ke arahnya, kemudian tertawa terpingkal-pingkal. Kimly tertegun.
Nino masih membicarakan dirinya" Berapa orang sih yang mau Nino kasih tau tentang hal-yang menurutnya-sepele ini"
Dilihatnya cowok itu sedang melambai ke arahnya. Kimly tidak membalas. Nino melambaikan kedua tangannya. Sepertinya keukeuh minta ditanggapi sapaannya. Ia tidak tampak merasa bersalah sedikit pun. Kimly mengalihkan pandangan. Hatinya kembali berdenyut sakit.
"Nino keterlaluan banget," gerutu Lylla kesal, "kayak gitu aja pake digembar-gemborin ke semua orang."
Kedua temannya sudah berhenti tertawa dan sekarang memasang tampang serius.
Kimly menghela napas. "Cara pikir orang popular sama orang biasa kan beda, lyll. Nino menganggap kecerobohan gue itu aib besar buat dia," gumam Kimly.
"Kalo gitu putus aja, kim !" Ardel nggak kalah kesalnya.
Kimly menghela napas lagi. Kali ini lebih tergesah.
"Kalo Cuma gara-gara ini gue minta putus, kekanak-kanakan banget! Lagian...," sebelum Kimly kalimatnya, ia melihat Nino berlari menghampirinya. Lylla dan Via ikut menoleh.
Cewek-cewek penggosip di dekat mereka cekikikan dan melontarkan ejekan-ejekan tentang betapa-tidak-tahu-dirinya-cewek-jelek-yang-berpacaran-dengan-cowok-populer. Nino mengabaikan semua itu dan menarik Kimly berdiri dari pinggir lapangan. Kimly mengikutinya sambil menepuk-nepuk celana olahraganya yang berdebu. Nino membawanya ke bawah naungan pohon.
"Jangan gitu dong, kim " Kamu marah "" tanya Nino dengan nada tidak sabar.
Kimly hanya memandangi cowok itu. Bahkan disaat Nino menyakiti perasaannya , dia tetap berpikir wajah cowok itu memang benar-benar cakep. Wajah manis berlidah tajam.
"Kim , aku kan cuma bercanda. Waktu itu kamu tuh emang lucu banget, udah gede tapi cara makannya aneh. Ayolah, Kim. Masa' gitu aja ngambek" Kamu kan udah gede. Jangan ngambek dong...!" kata Nino dengan wajah menuntut yang terdengar lelah, seakan-akan Kimly yang bersalah.
Nino memegang kedua bahu Kimly dan menatap mata cewek itu dalam-dalam.
"Kamu marah"" tanyanya lagi.
Kimly terdiam dan menatap mata teduh Nino, kemudian menggeleng.
Muncul senyuman di wajah Nino. Senyum kebanggaan yang dulu menaklukkan hati Kimly. "Baguslah. Sudah ya!"
Cowok itu melepas pegangannya, kemudian segera berbalik dan menyusul teman-temannya tanpa menoleh lagi. Kimly memandangi kepergian Nino tanpa bicara sepatah kata pun.
Tiba-tiba Kimly teringat pada Radit. Kimly merasa cowok itu dapat membaca pikirannya, dapat melihat isi hatinya hanya dengan memandangai wajahnya. Kimly tidak menyukai caranya memandang. Tidak terlihat menyelidik memang, namun membuat cewek itu merasa seakan segala perasaaan tertulis jelas di mukanya.
Yah, kalaupun cowok itu memang tahu isi hatinya, Kimly tidak akan peduli. Toh dia bukan siapa-siapa. Kalau kasusnya sudah selesai, Radit pasti akan pergi dan mereka akan saling melupakan.
Tapi apa Nino memahami perasaan terdalam Kimly, walau sekali saja"
Kimly berjalan kembali ke arah teman-temannya. Kelihatan demam senandung raditya sudah menulari dirinya. Buktinya saja, lidahnya tidak bisa dikontrol untuk tidak menggumamkan sebait lagu kesayangannya.
Look at me You may think y ou see who I really am But you'll never know me (Reflection, Christina Aguilera)
Siang itu Kimly membeli nasi bungkus di tempat lain. (Kimly tidak mungkin minta makanan pada Bi Ima.) Ia tidak ingin lagi melihat hal-hal aneh lagi. Sudah cukup.
Dibukanya kamar mandi tempat Radit berada. Seperti biasa, cwok itu tengah berdiri di depan pintu, menanti kedatangannya. Radit sudah berganti pakaian dengan kausnya sendiri yang sudah dicuci. Kaus pemberian Kimly berada di jemuran dalam kamar mandi, sudah bersih dan dalam proses pengeringan, dibantu angin dari ventilasi kamar mandi.
Radit keluar tanpa bicara, menoleh sekilas ke arah meja, tempat surat kaleng hari itu tergeletak terbuka setelah dibaca, kemudian memusatkan perhatian sepenuhnya pada nasi bungkus yang dibawakan Kimly. Dilahapnya makanan itu dengan bernapsu.
"Katanya polisi menemukan tersangka lain," kata Kimly pelan, mengingat cerita panjang-lebar Lylla tentang raditya-nya setelah Kimly bertemu Nino. Tampaknya Kimly lupa dengan surat kalengnya yang belum disimpan.
Cowok itu tidak menoleh. Tapi sesaat menghentikan makannya.
"Pasti si Black," gumam Radit, kemudian menggigit tempenya.
"Si Black""
Kimly mengernyit. Dibayangkannya sosok anjing berbulu hitam legam yang mengibas-ngibaskan ekor dan menatap pasrah. Kimly semakin yakin cowok itu semakin aneh. Waktu itu menggunakan pisang sebagai senjata, sekarang malah menuduh anjing sebagai tersangka pembunuhan.
Cowok itu menoleh. Mereka bertatapan, membuat Kimly menemukan perbedaan lain antara Radit di dalam foto dengan Radit penghuni sementara kamar mandinya. Rambutnya sekarang lebih panjang, kira-kira sampai menyentuh bahu. Tubuhnya lebih kurus, bawah matanya hitam, dan wajahnya tegang. Mungkin Lylla dan Ardel akan langsung pingsan begitu bertemu langsung cowok itu, karena sekarang dia jauh lebih... lebih... cowok" Atau jantan" Liar..." Seksi"!
Pokoknya Radit di dalam foto jauh lebih culun.
Kimly merasa jantungnya berdebar. Kimly melengos. Berjalan menuju lemari es. Radit kembali menunduk memandang makanannya.
"Si Black itu orang yang berutang pada direktur yang dibunuh itu," Radit menjelaskan.
"Oh," Kimly tersenyum geli. Ternyata Si Black manusia bukan anjing. "Kenapa dipanggil Si Black, kalo gitu""
"Kulitnya item. Uhm, sebenarnya nggak item-item banget sih. Tapi gelap deh pokoknya. Dia sering berjemur di bawah matahari, makanya item gitu. Jadi saya panggil saja Si Black," kata cowok itu sambil terus makan.
Kimly kembali ke dekat Radit, melemparkan pisang ke pangkuan cowok itu, dan duduk di ranjang sambil membawa pir hijau kesukaannya. Raditya mengerti Kimly sedang memintanya menceritakan lebih lanjut kisah pembunuhan itu, walaupun cewek itu tidak mengatakannya.
"Jadi Bos yang terbunuh itu lintah darat. Dia suka meminjam uang pada orang-orang, tapi menuntut bunga yang sangat tinggi. Salah satu orang yang bermasalah adalah Si Black, dia sering datang untuk meminta penurunan bunga, tapi selalu ditolak Bos," Radit berhenti sebentar. Suaranya melemah. "Ayah bekerja di sana. Nggak terlalu tinggi jabatannya. Waktu itu kami sangat perlu uang untuk biaya ibu melahirkan, dan Bos Lintah"-Kimly kembali mengernyit, lagi-lagi cowok itu menggunakan istilah yang aneh-"menawari bantuan. Akhirnya Ayah terima."
"Bunganya besar"" sambung Kimly, menimang-nimang pirnya.
Cowok itu sudah selesai makan. Ia beranjak berdiri membuang bungkus makanan ke tong sampah, mencuci tangan, kemudian duduk lagi di tempatnya. Radit meminum air yang diberikan Kimly, kemudian mulai mengupas pisangnya.
"Pastinya. Besar banget, malah. Ayah nggak sangup bayar. Dan lama-lama bunganya semakin besar, semakin jauh harapan kami untung melunasi utang itu." Radit membuang kulit pisangnya ke tong sampah, cepat juga dia melahap buah itu.
"Jadi waktu itu, minggu lalu, saya datang ke kantor Bos Lintah, minta keringanan. Ayah nggak bisa kerja karena sakit... kebetulan saya dengar sebelumnya si Black juga datang, masih bertekad berkompromi dengan Bos Lintah. Tapi waktu saya datang, dia sudah... sudah..."
Suara Rad it menghilang. Pir yang baru saja ditelan Kimly serasa naik lagi ke tenggorokan. Ia seolah dapat mencium bau anyir darah yang dicium Raditya. Isi perutnya naik semua ke tenggorokan. Kimly merasa sangat mual, kepalanya mendadak pening. Kimly berlari menuju kamar mandi dan mengeluarkan isi perutnya.
Kimly menarik napas dalam-dalam. Ia membersihkan diri di wastafel. Dipandanginya sosok yang sedang menatapnya lewat cermin.
Dada Kimly berdenyut sakit. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengabaikan rasa sakit itu, lalu berlari keluar dari kamar mandi.
Raditya berdiri di depannya, membuat Kimly kaget. Cowok itu tidak berkata apa-apa. Raditya cuma menyodorkan segelas air putih. Kimly menerimannya dan segera menenggak isinya. Perasaanya jauh lebih baik sekarang.
"Terima kasih," katanya, memandang Raditya.
Cowok itu juga tengah menatapnya. Seperti biasa, dalam diam dan tanpa pandangan menyelidik, namun sinar matanya seolah menunjukkan ia tahu segalanya.
Yang mana sifat cowok itu sebenarnya" Radit yang selalu protes seperti anak kecil setiap Kimly menyuruhnya masuk ke kamar mandi" Atau Radit yang menatapnya nyaris tanpa senyuman, begitu serius, dan kelihatan sangat dewasa"
Kimly berjalan mendekati cowok itu. Kimly tak mau perasaannya diketahui orang lain. Nggak ada yang boleh tahu. Kimly mencari-cari sesuatu yang dapat dikerjakannya. Ia melihat surat kaleng yang entah sudah keberapa di meja, mengambilnya, dan menyimpannya bersama surat kaleng yang lain.
Begitu lacinya dibuka, isinya membuncah dan terjatuh berantakan. Kimly jadi panik. Segera dibereskannya surat-surat itu. Sekilas tertangkap tulisan-tulisan di sana.
CEwEk jElEk nggAk tAu Diri! Lo nggAk pAntEs buAt diA! TinggAlin diA! TAu Diri dOng! NgAcA, Oi! NgAcA!
Hatinya terluka sekarang. serasa sebilah pisau tajam telah melubanginya. Namun Kimly berusaha menahan rasa sakit itu-setidaknya di depan Radit. Kimly merasa tatapan si cowok buronan di belakang tubuhnya.
Radit mendekat dan segera membantu Kimly sambil tetap membisu.
Kimly tidak ingin surat-suratnya dibaca orang lain. Tanpa sadar tangannya gemetar. Surat-surat yang sudah dikumpulkannya menjadi berantakan. Sebagian menyusup di bawah kursi, sebagian terbang ke dekat ranjang.
Radit memegang tangan Kimly, menghentikan usaha cewek itu untuk mengumpulkan suratnya lagi. Betapa menenangkannya sentuhan itu. Radit mengambil alih surat di tangan Kimly, merapikan semuanya, kemudian memasukkannya kembali ke laci. Ia menutup laci tanpa sedikit pun menunjukkan ekspresi penasaran.
Setelah beres, Radit kembali duduk. Menatapnya lagi. Kimly masih tertunduk. Menarik napas dalam-dalam. Biasanya tarikan napas yang dalam dapat menenangkan hatinya-dan mungkin meredakan rasa sakit.
"Makan..." Kimly mendongak. "Apa""
Radit masih memandangnya. "Kamu belom makan sejak kemarin siang, kan""
Kimly tertegun. "Dari mana kamu tahu""
"Biasanya makan bisa bikin perasaan puas dan itu tergambar di wajah. Orang yang belum makan bakal kelihatan banget," jawab cowok itu.
Pedang Pelangi 23 Dewi Ular 80 Misteri Serigala Berkaki Tiga Bidadari Dari Thian San 2
^