Pencarian

Di Kaki Bukit Cibalak 2

Di Kaki Bukit Cibalak Karya Ahmad Tohari Bagian 2


Tiba-tiba Bu Camat bertepuk tangan. Berdua Bu Runtah mereka menuntun Sanis ke luar. "Pengantin" itu didudukkan di sebuah kursi di hadapan para ibu yang berjumlah empat belas orang itu. Mereka bertepuk tangan. Sanis merasa entah berada di mana dirinya saat itu. Apa yang terasa di hatinya tidak jelas: malu, bangga, dan terharu. Matanya berkaca-kaca.
"Sayang, pinggangnya masih rata," kata seorang ibu dari belakang.
"Kalau dadanya sudah montok, cantiknya luar biasa," kata seorang lagi.
"Oh. Bu Runtah beruntung. Tanpa rias pun gadis itu sudah cantik. Aku tidak tahu, apakah Bu Runtah yang sungguh-sungguh pandai merias atau gadis modelnya yang memang menarik."
Episode 19 Selagi para ibu itu bergunjing tentang Bu Runtah dengan gadis modelnya, Bu Camat berdiri.
"Para Ibu, yang duduk di hadapan Anda adalah model pengantin perempuan yang telah dirias oleh Bu Runtah. Dengan ini saya nyatakan Bu Runtah lulus dengan pujian."
Semua bertepuk tangan. Wajah Bu Runtah bingar. Istri Lurah Tanggir itu tertawa dan terharu sehingga air matanya berjatuhan. Namun kebanggaan yang dirasakan oleh Bu Runtah tidak akan menyamai kebanggaan di hati Sanis. Hati remaja itu mekar. Kejadian di pagi itu takkan terlupakan. Oh, apalagi Bu Camat masuk ke belakang dan keluar lagi bersama Bambang Sumbodo. Pemuda itu membawa perkakas potret. Bagaimanapun Sanis berusaha menahan, toh hatinya berdebar keras.
"Nah, itu pengantin laki-lakinya!" terdengar suara dari belakang. Bambang hanya mengangkat pundak. Ia bersiap memotret Sanis yang duduk tegang dan menangis. Bu Runtah cepat maju dan menghapus air mata itu. Sanis merinding ketika melihat bulu-bulu tangan Bambang yang sedang mengatur letak untaian melati di dadanya.
"Ayo, jangan murung. Tarik dagumu dan luruskan punggung," Bu Camat memberi perintah.
"Kalau cemberut begitu dia malah cantik, lho," ujar istri Lurah Wadasan. Sanis tersenyum sedikit mendengar seloroh itu. Detik yang bagus bagi Bambang untuk memijit tombol tustelnya.
Pertemuan itu usai menjelang tengah hari. Para istri lurah dan ibu-ibu yang lain bubar. Sanis membersihkan diri di kamar mandi kemudian berpakaian biasa kembali. Dan Bu Runtah tetap ingat pesan suaminya. Itulah, maka ia tidak buru-buru minta diri kepada Bu Camat. Bersama
nyonya rumah, Sanis, dan Bambang, Bu Runtah duduk-duduk di ruang tamu. Dengan alasan ingin melihat kebun anggrek, Bu Runtah minta diantar oleh nyonya rumah ke pekarangan samping. Di ruang tamu tinggal Sanis berdua dengan Bambang. Putra Pak Camat itu hampir menamatkan pendidikannya di APDN. Ia sudah dewasa dan sama sekali tidak canggung menghadapi Sanis yang sejak tadi selalu diam dan menunduk. Tentu saja Bambang ingin berbicara dengan gadis di hadapannya. Tetapi ia tidak mempunyai kata-kata untuk mengawali sebuah percakapan. Maka Bambang hanya memperhatikan Sanis: alisnya, bibirnya, dan betisnya. Pada saatnya nanti, Sanis akan menjadi gadis yang sangat menawan, kata Bambang dalam hati. Kalau benar gadis kecil ini menjadi kesayangan Pambudi, pemuda itu sungguh beruntung. Tetapi Bambang juga merasa masygul, gadis semuda itu sudah ditaksir orang. "Oh, itu bukan urusanku."
Sesungguhnya Bambang tidak mengenal Pambudi secara pribadi. Ia hanya menaruh hormat kepada pemuda Tanggir itu sejak berita Mbok Ralem mengisi Harian Kalawarta. Bambang tahu betul peran Pambudi dalam usaha menolong Mbok Ralem dari ancaman penyakit kanker. Walaupun kedudukan Bambang sebagai putra
Camat bisa membuatnya dihormati oleh sesama pemuda yang sebaya, nyatanya ia merasa kecil bila berhadapan dengan pribadi Pambudi.
Benar, Sanis tidak berani berbicara, bahkan mengangkat wajahnya ke arah Bambang pun tidak. Namun hatinya berbicara macam-macam. Pemuda ini gagah, lebih gagah daripada Pambudi. Keluarganya kaya dan terpandang. Sekolahnya lebih tinggi, dan banyak lagi kelebihannya. Pantas Jirah tergila-gila. Ia bisa merasakan apa yang dirasakan oleh sahabatnya
itu. Sanis tidak berani meneruskan lamunannya. Ia teringat anak siapa dirinya. Anak seorang modin di Tanggir, tidak lebih. Maka gadis itu bangkit, dan berjalan tergesa-gesa menyusul Bu Runtah ke kebun anggrek. Bambang tersenyum melihat kelakuan Sanis. Sekali lagi ia berkata dalam hati, "Gadis Tanggir ini memang cantik, bahkan lebih cantik daripada Endah Priastuti. Tetapi Endah bukan lagi anak-anak. Endah sudah pandai bergelayutan di pundakku."
Bagaimana" tanya Pak Dirga segera setelah melihat istrinya pulang. "Wah, Pak, aku lulus dengan pujian. Pokoknya Bu Camat puas, sangat puas." "Syukurlah. Dan yang itu" "Apa Oh, ya, Bambang Sumbodo, bukan"
"Ya. Menurut penglihatanmu, benarkah Bambang menaruh minat kepada Sanis"
"Wah, aku tidak begitu yakin, Pak. Yang jelas Sanis tidak mau duduk berdua terlalu lama dengan Bambang, padahal aku telah memberi kesempatan yang bagus bagi mereka. Tapi, Pak, Bambang-lah yang memotret Sanis setelah ia siap dengan riasnya. Ini gambarnya, cantik, ya Cantik, ya, Pak Cantik sekali, bukan"
Mata istri Lurah Tanggir itu sangat saksama memperhatikan perubahan garis pada wajah suaminya. Tetapi Pak Dirga adalah laki-laki dengan sepikul pengalaman. Ia tahu ke mana arah pertanyaan istrinya. Maka dengan keahlian seorang bajul ia berkata, "Suami gadis ini nanti tentu seorang laki-laki yang mujur. Bambang Sumbodo bisa menjadi pasangannya yang cocok!"
Pak Dirga sengaja memberi tekanan yang nyata pada kata "Bambang", supaya rasa was-was di hati istrinya lenyap. Padabal batin Lurah Tanggir itu berkata, "Kalau kamu sendiri berkata bahwa Sanis cantik, mestikah aku berkata sebaliknya Dengar kata Eyang Wira tentang pisang apupus cinde. Sanis adalah pisang apupus cinde itu, dan aku adalah lurah di Desa Tanggir ini."
Tidak disenangi oleh seorang lurah memang bukan berarti malapetaka yang mematikan, tetapi sangat mengganggu ketenteraman hati seorang petani sederhana seperti ayah Pambudi. Orang tua itu merasa, Lurah membencinya. Bila ada pertemuan di Balai Desa, Lurah selalu membuang muka dengan cara yang amat mencolok. Tetapi itu belum seberapa. Beberapa hari yang lalu ayah Pambudi pergi ke Balai Desa. Ia hendak meminta surat-surat yang diperlukan untuk mengajukan permohonan kredit bimas. Orang tua itu dibiarkan menunggu lama sekali, sedangkan Pak Dirga enak-enak saja merokok bersama Poyo. Ketika akhirnya Lurah mau melayani ayah Pambudi, ia berkata dengan nada yang amat menyakitkan, "Kenapa sampean minta surat keterangan kepadaku, dan bukan ke Redaksi harian Kalawarta di Yogya"
Episode 20 Sikap dan perlakuan semacam itulah yang selalu diterima oleh ayah Pambudi dari lurahnya sendiri. Bahkan ayah Pambudi pun tahu ia sedang dikucilkan dari sesama warga Tanggir. Demikian, maka orang tua itu mulai merenungkan masalah yang menyebabkan dirinya mendapat perlakuan demikian. Tentu semuanya bermula dari perbedaan pendapat antara Lurah dan anaknya sendiri, Pambudi. Dua pribadi itu terlalu berbeda, sehingga kerja sama di antara keduanya tidak mungkin terjadi. Kalau di Tanggir harus ada Pak Dirga, Pambudi harus lenyap atau sebaliknya. Melihat kenyataan yang ada, Pambudi-lah yang harus mengalah. Itu hasil renungan ayah Pambudi sendiri.
Apa yang dirasakan oleh ayahnya, dapat dimengerti oleh Pambudi. Maka ia tidak terkejut ketika suatu malam ja diajak oleh ayahnya berbicara tentang keruwetan itu.
"Anakku, bagaimana juga kita harus menyadari diri kita yang kecil. Ayah sudah tua. Apa yang paling kuharapkan sekarang adalah ketenteraman lahir dan batin. Pasti kau sudah tahu ke mana tujuan pembicaraan ini. Ayah merasa amat prihatin karena Lurah menganggapmu sebagai orang
yang tidak disukai di desa ini. Bahkan karena aku adalah ayahmu, Lurah juga menjadi benci padaku. Turutilah tutur kata para orang tua: Wani ngalah, luhur wekasane. Berani mengalah, menjadikan kita luhur pada akhirnya."
Pambudi diam, merenungkan kata-kata ayahnya. Ada benarnya, tetapi mengapa aku harus mengalah pikirnya. Betulkah dalam hal ini harus ada pemenang sehingga harus ada pula yang kalah Sungguh aku bisa mengerti mengapa Pak Dirga tidak menyukaiku dan kemudian juga membenci ayahku. Urusan dialah! Pokoknya aku bertindak atas keyakinan sendiri, keyakinan dengan dasar yang kuat: kebenaran. Memang aku tidak mampu memaksakan agar kebenaran selalu menang. Namun dengan sengaja tunduk kepada kepalsuan sungguh memalukan.
Melihat Pambudi terus diam ayahnya kembali berbicara.
"Ayah tahu, anakku, kau tidak punya salah sedikit pun kepada Lurah atau siapa pun di Balai Desa itu. Sayang, keadaan sudah sangat tidak menguntungkan dirimu sendiri. Ingat, anakku, ini Desa Tanggir. Orang-orang di sini percaya bahwa seseorang tidak mungkin menjadi lurah kalau ia tidak dijatuhi wahyu cakraningrat. Keyakinan itu diperkuat oleh kenyataan kenapa Pak Dirga yang terpilih tahun yang lalu, bukan Pak Badi yang terkenal memiliki keluhuran budi. Jadi dengan keyakinan semacam itu para penduduk akan tetap menjunjung tinggi
lurahnya, meskipun lurahnya itu selalu bertindak menurut kemauannya sendiri dan merugikan penduduk."
Jadi Ayah mengharapkan saya berbuat apa sekarang" kata Pambudi.
"Dengar, Nak, sudah lama Ayah merenungkan masalah ini. Ayah ingin kau menyingkir dari desa ini untuk kepentinganmu sendiri serta atas keputusan dan pertimbangarmu. Bukan lari sebagai orang yang dikalahkan. Dengan demikian sekaligus kau menolong Ayah, sebab Lurah tidak akan membenciku lagi. Sungguh, anakku, aku merasa bukan hanya Lurah yang merasa tidak senang padaku. Lama-lama aku merasa terasing di desaku sendiri. Pikirkanlah!"
"Kalau begitu aku harus menentukan motivasi baru dalam hidupku ini," bisik Pambudi pada hatinya sendiri. "Apa dan bagaimana motivasi yang baru itu, itulah masalahnya. Ayam-ayamku telah memberi enam puluh butir telur setiap hari. Aku memiliki pengetahuan dasar yang lumayan untuk berusaha sebagai petani yang maju. Jadi aku sama sekali tidak berkecil hati terhadap masa depanku sendiri. Dan rasanya, Bukit Cibalak dengan segala kehidupan yang mengelilinginya sudah menjadi sebagian dari hidupku. Bahkan di Tanggir ini hidupku diperenak dengan bumbu kecintaan terhadap - ya - Sanis! Tetapi aku harus berpikir lebih jauh. Nyatanya keadaan sekarang sangat mengganggu ketenteraman hidup ayahku, dan aku sungguh-sungguh maklum."
"Bagaimana, anakku, mengapa kau diam"
"Ya, Ayah, aku tahu perasaan Ayah."
"Aku juga tahu perasaawnu, Nak, Namun jangan bingung. Kamu masih muda. Tidak akan terlambat bila kau hendak menempuh jalan hidup baru, apalagi bila kau yakin bahwa dengan cara itu mungkin keadaanmu akan jadi lebih baik."
"Tegasnya, Ayah ingin agar aku berangkat dari Tanggir dan kemudian mencari kehidupan di tempat lain, bukan"
"Ya!" "Apakah Ayah juga tahu bahwa tidak gampang mencari pekerjaan sekarang"
"Memang Ayah sering mendengar orang bicara tentang sulitnya mencari lapangan kerja. Tetapi Ayah berdoa untukmu, semoga Tuhan memberimu jalan. Dan usaha yang sedang kaulakukan di rumah ini bisa kaupercayakan pada Ayah. Percayalah, Ayah dapat mengurus ayam-ayammu itu."
"Baik, Ayah. Tetapi berilah aku kesempatan berpikir dulu barang beberapa hari. Tentu Ayah maklum, apa yang hendak kuputuskan bukanlah perkara sepele. Aku harus mempertimbangkannya dengan sungguh-sungguh."
Sebelum matanya terpejam, Pambudi mengumbar angan-angannya. Sulit baginya untuk menentukan ke mana ia harus mencari tempat yang baru, tempat ia dapat mengembangkan motivasi hidupnya yang baru. Ia tidak mempunyai saudara yang tinggal di kota atau di mana saja yang kiranya patut ia tuju. Ada seorang pamannya yang tinggal di Sumatra, tetapi Pambudi tidak mau ke sana. Ia tidak berani pergi terlalu jauh, mengingat kedua orangtuanya sudah lanjut usia. Kemudian pemuda itu mulai menghitung-hitung teman sekol
ahnya dulu. Gatot sudah menjadi letnan dan tinggal di Pangkalan Udara Halim, namun Pambudi tidak yakin apakah ia masih dapat menemukannya. Engkos menjadi pegawai Kantor Pos di Cirebon, Yadi menjadi pengusaha penggilingan beras, dan Imam menjadi dokter. Tarso masih tinggal
bersama orangtuanya, kerjanya merokok sepanjang hari. Semua bekas teman sekolahnya itu tidak ada yang menarik Pambudi.
Nah, kecuali Topo. Ia masih kuliah di Yogya. Dulu Topo menjadi sahabat karib Pambudi, duduk sebangku. Teman membuat contekan dan teman mencuri pepaya yang tumbuh di belakang gedung SMA. Anak pensiunan polisi itu layak kutemui, pikir Pambudi. Kalau Topo tidak dapat memberikan pertolongan, paling tidak ia patut kumintai pandangan-pandangannya.
Episode 21 Seminggu kemudian Pambudi sudah berada di Yogya. Setelah betisnya pegal karena keluar-masuk jalan dan gang, ia menemukan tempat pondokan Topo, sebuah kamar berdinding bilik di bawah atap emper. Segala perkakas ada dalam kamar itu: kompor, panci-panci, rentangan tali untuk mencantelkan kolor dan handuk, serta tumpukan buku yang menempel ke dinding. Pada ujung dipan satu-satunya ada piring dan cangkir seng. Di ujung lain ada kamus tertindih ensiklopedia. Melihat kedatangan Pambudi, Topo tercengang sejenak, lalu, "Hai, maling pepaya, apa yang kaucari di sini"
"Yah, aku mencari sesama maling. Kudengar dia di sini, hampir menjadi doktorandus!" "Dasar kampret kamu. Sudah, sudahlah. Dari mana kau ini"
"Dari kampung, sengaja hendak menemuimu di sini. Dulu kau sering membantuku dengan melempar kertas contekan. Semacam itulah yang kuminta dari kau sekarang."
Kedua sahabat lama itu terlibat dalam suasana kenangan masa bersekolah. Pambudi duduk di atas satu-satunya kursi, Topo bersila di atas dipan.
Habis dengan percakapan senda gurau, Pambudi menerangkan dengan sungguh-sungguh maksud kedatangannya.
"Banyak sekali yang akan saya minta darimu, Kawan, tetapi yang pertama, tampunglah aku di kamarmu yang mewah ini."
"Seal tidur gampang. Soal makan juga gampang asal kau tidak mengurangi jatahku. Namun yang membuatku tertarik adalah watakmu yang awet. Dulu kau menantang guru civics, yang mendukung adanya presiden seumur hidup, untuk berdebat. Bu Warni kauledek sampai menangis karena dandanannya telah mengimbau berahimu. Sekarang apa lagi Kau menjadi pesona nan tidak disenangi oleh para pamong desa di kampungmu. Heibaaat."
"Wah, doktorandus keong kamu ini. Baik kita tunda diskusi penting ini. Tunjukkan aku di mana biasanya kau membuang sisa-sisa makanan dan kencing. Di mana sumur, karena aku mau mandi, lalu tidur."
Bilik yang sempit itu kini dijejali lagi dengan sebuah ransel. Penghuni kolong dipan bertambah dengan sebuah jinjingan plastik, sepasang sepatu, dan sepasang sandal jepit. Topo tidak bisa tidur dengan mengangkangkan kaki sekarang.
Lepas magrib Pambudi keluar, kembali lagi dengan sepuluh kilo beras dan sebungkus abon. Temannya itu tidak merokok, maka ketika Pambudi menawarkan sebatang kretek Topo menjawab, "Lebih baik serahkan padaku uang dua ratus perak, aku ingin bakso."
Malam itu Topo tidak membuka buku. Ia masih dikuasai nostalgia masa bersekolah di SMA bersama Pambudi. Pembicaraan mereka berkisar pada masalah yang konyol-konyol, seolah-olah kehidupan mereka saat itu merupakan periode yang komikal. Ketika Pambudi berkata baftwa Topo dulu sering menipu penjual dage goreng di belakang sekolah, mereka tertawa bersama. "Tetapi kemudian kau yang memasukkan makanan itu ke dalam dompet Astuti, bukan" Lalu Topo menyambung lagi, "Pam, kauingat Bu Asrifah, guru bahasa Indonesia itu"
"Ya, aku ingat."
"Di Yogya ini, bahkan di kota seperti Yogya ini, aku belum pernah melihat seorang perempuan dengan gigi yang gingsul dan secantik Bu Asrifah. Kau percaya"
Topo tampak sedih, seperti ia sedang menyayangkan terjadinya sesuatu hal. Tetapi kemudian ia terbahak ketika Pambudi berkata, "Lalu mengapa dulu kau tidak menantang suami Bu Asrifah yang nyinyir dan tua itu berduel"
Sampai pukul sepuluh malam mereka masih terus berbincang. Akhirnya mereka sampai kepada hal yang serius. Topo yang mengalihkan pembicaraan i
tu. "Pam, kukira banyak anak muda seperti kita ini yang mempunyai semangat Don Quichote, meskipun tarafnya berbeda-beda. Terkadang kita ingin segera mengenakan baju besi, memanggul tombak, dan lari menantang musuh. Tetapi ingat, hanya Arjuna vang kecil yang dapat mengalahkan Nirwatakawaca yang raksasa. Hanya si kecil Daud yang bisa menang atas Goliath. Semuanya cerita lama. Bukti kebenaran kataku itu adalah apa yang telah kaualami sendiri. Aku percaya bulat, kau punya iktikad yang bening di desamu sendiri. Kau menginginkan kemajuan yang sehat, kau memikirkan perbaikan dalam kehidupan masyarakat. Kau hendak membawa suara dan nilai-nilai pembaharuan ke tengah kalangan orang-orang yang memiliki pengetahuan dasar tentang pembangunan pun belum. Akibatnya kau sendiri yang jatuh, bukan"
"Benar kau, Sahabat. Toh akhirnya aku diam. Di Tanggir aku tidak menentang apa pun atau siapa pun."
"Aku percaya. Tetapi Lurah telanjur menganggapmu sebagai si kecil yang terlalu banyak tahu. Pengalaman dengan Mbok Ralem yang kauceritakan tadi siang, membuat lurahmu waspada. Ternyata kau dapat mengangkat masalah di desamu menjadi bahan berita yang tersebar ke mana-mana. Pasti hal itu sangat tidak disenangi oleh lurahmu, bahkan siapa pun yang sekarang merasa punya wewenang di sana."
"Nanum sebenarnya aku akan tetap bertahan di desaku bila kedua orangtuaku tidak menjadi merana karenanya."
"Pokoknya sudahlah, Pam. Semuanya telah terjadi. Bukan memandang ke belakang yang harus kaulakukan sekarang, tetapi ke depan. Inilah saatnya kau mempercayai kata-kata seorang admiral yang sedang menghadapi pemberontakan anak buahnya sendiri, 'I have not begun to fight yet.' Kau belum cukup mempunyai modal untuk menantang berkelahi kepalsuan dan kemunafikan yang terjadi di desamu."
"Hmm, aku baru saja mendengar ucapan seorang calon doktorandus. Teruskanlah, apa yang mesti aku lakukan sekarang"
"Masuk kampus! Aku tidak ragu sedikit pun untuk berkata, bahwa apa yang layak kaulakukan sekarang ini adalah bersekolah lagi."
Pambudi terperangah. Bukan oleh maksud kata-kata Topo, tetapi oleh tekanan dan cara sahabatnya menyampaikan ucapan itu. Begitu tandas dan meyakinkan. Bukan untuk pertama kali pemuda Tanggir itu menerima anjuran demikian. Bahkan ia sendiri sering memikirkan kemungkinan itu. Namun apakah aku mampu membiayai sekolahku pikir Pambudi. Lagi pula aku yakin, banyak hal yang dapat dilakukan oleh seorang pemuda yang hanya berpendidikan menengah. Dan sesungguhnya telah terbukti, aku pun dapat hidup meskipun melepaskan keinginan untuk menamatkan pendidikan tinggi.
Episode 22 "Kau ini bagaimana. Kawan, kalau keadaanku memungkinkan, sudah sejak dulu aku meneruskan sekolah," kata Pambudi.
"Yang kaumaksud pasti soal biaya, bukan"
"Persis!" "Itu kekeliruanmu yang lainnya. Kau selama ini tidak mempunyai gambaran yang wajar tentang dirimu sendiri. Percaya atau tidak, yang jelas sekarang kau lebih kaya daripadaku. Lihat baju yang tergantung di paku itu, tidak pangling"
Pambudi memandang ke arah yang ditunjuk oleh temannya. Sebuah baju dril bekas seragam polisi yang sudah dipakai Topo sejak dia masih di SMA beberapa tahun yang lalu.
Ada keraguan merasuki jiwa Pambudi. Suatu kesadaran yang membawa cakrawala pemikiran yang luas, lebih kritis. Ia sadar, setelah meninggalkan kampungnya, ia menjadi seorang yang sungguh-sungguh tidak memiliki pekerjaan, apalagi jaminan masa depan yang patut. Nah, ia hampir menemukan hal yang amat penting yang sejak semula sudah dipikirkannya; motivasi baru yang akan memberinya semangat hidup. Bila ia mendapat suatu pekerjaan, di situlah ia dapat mengembangkan motivasi hidupnya. Itu baru kemungkinan. Padahal bila ia menuruti anjuran Topo, justru ia sudah memulai dengan motivasi itu. Sambil menyelam toh ia bisa mencari siput di bawah air; sambil bersekolah toh ia bisa menunggu sampai buah itu layak dipetik. Ya - Sanis.
Tengah malam Pambudi tertidur. Sebelum melingkarkan badannya dalam kain sarung ia berjanji kepada Topo akan mempertimbangkan usulnya baik-baik. Menjadi mahasiswa! Merdu juga kedengarannya, pikir Pambudi sebelum lelap.
Menerima a tau tidak menerima usul Topo, jadi atau tidak jadi mahasiswa. Satu di antaranya harus dipilih oleh Pambudi, dan ternyata tidak gampang. Kalau aku menolak usul Topo, berarti aku hanya mengandalkan kemungkinan mendapat pekerjaan. Siapa pun tidak akan berani menjamin bahwa pekerjaan yang mungkin kuperoleh nanti dapat menjadi andalan hidup yang patut, bahkan nyatanya pekerjaan itu sendiri belum kuperoleh. Kalau aku memutuskan bersekolah lagi, banyak kesulitan yang akan kuhadapi. Bagaimanapun tepatnya perkataan Topo, aku tak bisa meremehkan masalah biaya kuliah itu. Kedua, aku harus menggali kembali pelajaran-pelajaran yang sudah bertahun-tahun terpendam. Sungguh, aku sudah lupa apa arti Kempetai atau di mana persisnya letak Pulau Morotai. Lagi pula apakah memasuki sebuah perguruan tinggi begitu gampang, mengingat perbandingan yang sangat timpang antara jumlah tamatan SLA dan daya tampung perguruan-perguruan tinggi
"Pam," kata Topo pada suatu malam sesudah makan nasi dengan lauk abon dan sambal kecap. "Sudah kukatakan aku lebih miskin daripada kamu. Ternyata aku bisa mencapai tingkat pendidikan yang sekarang. Jadi aku yakin, kau pun akan bisa memperoleh apa yang telah kudapat. Tahun pelajaran baru akan dimulai tujuh bulan lagi. Masih tersedia banyak waktu bagimu untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian masuk. Kalau kau dapat memperoleh nilai ujian yang layak, aku dapat menolongmu. Walaupun dulu aku jago nyontek, pokoknya sekarang aku seorang asisten dosen. Jangan khawatir kau akan terdesak oleh calon lain selama nilaimu patut."
"Sababatku, sewaktu di SMA dulu pasti kau jauh lebih tolol daripada aku. Namun dengan tulus kuakui sekarang, kau telah memperoleh kemajuan. Kau seorang calon doktorandus, seorang asisten dosen. Layak kalau aku sangat memperhatikan kata-katamu. Di samping itu, setelah beberapa hari aku di sini, kepastian yang jelas sudah datang. Demi masa depanku sendiri, sesuatu yang tepat harus kulakukan. Kau yang menunjukkan kepastian itu, Kawan, kuterima usulmu dengan penuh kesadaran. Terima kasih. Dan bukankah aku tidak terlalu bebal bila memutuskan untuk menjadi seorang mahasiswa"
Kehidupan yang rutin mulai dilakukan oleh Pambudi. Pagi-pagi menanak nasi dan merebus air untak berdua. Sesudah Topo berangkat ke kampus ia membuka buku-buku pelajaran SMA yang didatangkan oleh sahabatnya itu. Sulit juga memahami kembali pelajaran yang telah lama membeku di otaknya. Bahkan hanya dengan susah payah, atas bantuan Topo, Pambudi dapat mengingat kembali kaidah-kaidah bahasa Inggris. Dua bulan lamanya Pambudi bekerja keras. Kemudian ia mampu menyelesaikan soal-soal ilmu pasti dan ilmu kimia yang rirgan-ringan. Diskusi-diskusi kecil yang dilakukannya bersama Topo membantu Pambudi menghafal kembali pelajaran-pelajaran ilmu sosial.
Selain mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian masuk, Pambudi mulai memikirkan masalah keuangan. Ia mengirim surat kepada orangtuanya, meminta perhatian agar ternak ayamnya dipelihara sebaik-baiknya. Pambudi mengusulkan kepada ayahnya agar orang tua itu menggaji orang untuk mengurus peternakan kecil itu dengan diberi petunjuk yang jelas. "Hasil usaha peternakan itu akan menjadi sumber utama biaya sekolahku," kata Pambudi dalam suratnya.
Tujuh bulan harus dilalui Pambudi sebelum tiba saatnya menempuh ujian masuk. Waktu sekian lama dirasakan terlalu panjang bila hanya diisi dengan menghafal pelajaran-pelajaran yang justru pernah dikuasainya. Uang 90.000 yang dibawanya dari Tanggir akan terus berkurang bila Pambudi tidak mencari sumber penghasilan baru. Apalagi Topo telah meminjamnya sebanyak 10.000, katanya untuk membeli sebuah buku terbitan luar negeri.
Karena itu Pambudi berusaha mendapatkan pekerjaan sementara. Tiga buah tempat pompa bensin telah ia datangi, ketiganya menyatakan tidak bisa menerima tenaga baru. Demikian juga beberapa perusahaan. Sebuah perusahaan pengiriman barang membutuhkan seorang pengawal truk angkutan, tetapi Pambudi tidak mungkin mengisi lowongan itu. Seorang pengawal barang harus mau bermalam di sembarang tempat, padahal di malam hari Pambudi harus belajar. Kemudian Topo mem
beri nasihat, "Coba sembunyikan ijazah SMA-mu, barangkali kau akan lebih mudah mendapat pekerjaan sementara itu." Pambudi menurut. Ternyata manjur, seminggu kemudian dia sudah tampak bersama-sama kuli-kuli bangunan melakukan pengecoran di sebuah proyek pembangunan gedung.
Bolehlah, tiga ribu rupiah plus uang makan. Dengan penghasilan itu Pambudi dapat menyelamatkan uang simpanannya dari pemakaian sehari-hari. Bahkan pemuda Tanggir itu mendapatkan pengalaman-pengalaman baru. Ternyata hidup bersama kuli-kuli itu menyenangkan hatinya. Mereka hangat dan bersahabat. Istilah "join" di kalangan mereka
berarti mengisap sebatang rokok secara berganti-gantian, kadang-kadang sampai empat-lima orang.
Episode 23 Sayang, hanya satu setengah bulan Pambudi bekerja bersama kuli-kuli itu. Suatu malam Topo memperingatkan dia bahwa pekerjaan itu terlalu banyak menghabiskan tenaganya. "Bagaimana kau bisa belajar bila sepulang dari kerja badanmu sudah lelah," kata Topo. "Kemarin aku telah menelepon Nyonya Wibawa. Kutanyakan padanya apakah dia bisa menerimamu bekerja di sana. Kau bisa diterima di sana. Janda itu memiliki dua buah toko jam tangan, dan aku pernah bekerja setahun padanya. Datanglah ke sana besok pagi. Kau sudah kuperkenalkan. Tetapi bekerja pada nyonya itu, bukan hanya melayani toko. Pekerjaanmu nanti termasuk juga tugas-tugas kacung, maaf."
Penampilan pertama kali harus memberi kesan yang pantas, begitu kata orang. Pambudi mempercayai hal itu. Maka ketika hendak berangkat menemui Nyonya Wibawa, Pambudi mengenakan pakaian yang paling baru. Sepatunya disemir, rambutnya disisir ke belakang supaya tidak tampak terlalu gondrong. Sampai di tempat yang dituju Pambudi tidak menemukan keramahan. Nyonya Wibawa, atau Oei Eng Hwa nama aslinya, menyambut Pambudi sambil memberi makan anjingnya. Karena Topo yang membawa Pambudi, pemuda itu tidak dimintai keterangan macam-macam. Anak Tanggir itu hanya diberi penjelasan singkat tentang pekerjaan yang harus dilaksanakan. Tetapi perintah pertama yang diberikan oleh Nyonya itu adalah, "Tolong belsihkan sepeda Mulyani itu. Ini sudah ampel jam tuju, ya! Mulyani musti pigi sekola, ya. Toko buka jam delapan, ya."
Apa yang dikatakan Topo tentang pekerjaan di toko arloji itu benar semuanya. Selain menjadi pelayan toko, Pambudi harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain: menyapu, mengepel, atau mengantarkan babu ke pasar.
Sejak bekerja pada Nyonya Wibawa, Pambudi lebih gampang mengatur waktunya. Ia bisa belajar dengan teratur dalam jadwal yang pasti. Apalagi Topo seorang kutu buku, sehingga Pambudi ikut terbawa ke dalam suasana yang benar-benar efisien. Gajinya cukup untuk belanja makan yang sederhana, bahkan Pambudi bisa pergi ke bioskop malam Minggu kalau ia suka. Uang sewa kamar sudah dibayar oleh Pambudi, empat bulan sekaligus. Setiap bulan tabungannya bertambah dengan kiriman yang in terima dari ayahnya. Jadi ternak ayamku diurus dengan baik oleh Ayah, pikir Pambudi.
Pada sore hari biasanya Mulyani ikut ke depan melayani para pembeli. Meskipun sudah tiga bulan lamanya Pambudi bekerja di situ, Mulyani belum pernah sekali pun berbicara dengan Pambudi, selain mengenai masalah pembayaran dari pembeli misalnya. Di waktu senggang anak Nyonya Wibawa itu lebih suka duduk diam menekuni teka-teki silang yang dimuat dalam majalah atau koran. Kemudian Pambudi tahu bahwa Mulyani lebih berminat kepada teka-teki itu daripada berita atau artikel lainnya. Iklan film kungfu pun tidak menarik hatinya.
Suatu ketika Mulyani tampak gelisah dan kesal. Di depannya terpapar sebuah teka-teki silang yang besar. Ia tidak mampu menjawab semua pertanyaan. Mulyani putus asa, lalu meninggalkan majalah itu di atas kaea etalase. Karena senggang Pambudi mengambil majalah itu dan meneruskan menjawab teka-teki yang tidak terselesaikan oleh anak majikannya. Setelah penuh diam-diam Pambudi mengirimkannya kepada redaksi.
Dua minggu kemudian Mulyani menerima wesel sebesar 2.500 rupiah. Rupanya jawaban yang dikirimkan oleh Pambudi lolos undian. Tentu saja Mulyani terkejut. Dengan malu-malu Pambudi menerangkan duduk persoalannya.
"Kalau beg itu kau yang berhak atas wesel ini, Pam," kata Mulyani. Itulah pertama kali dia mengajak berbicara pegawainya.
"Oh, tidak. Aku hanya meneruskan pekerjaan-pekerjaanmu. Lagi pula aku tidak merasa memiliki majalah itu. Maka aku mengirimkan jawaban itu atas namamu, dan kaulah yang berhak atas hadiahnya."
Mulyani tersenyum. Sesungguhnya ia tidak pernah menginginkan hadiah semacam itu. Ia tidak akan mengirimkan jawabannya meskipun ia sering berhasil menjawab seluruh pertanyaan dengan betul. Baginya, teka-teki silang hanya hobi belaka.
Keesokan harinya sepulang sekolah, Mulyani menyerahkan sebuah amplop kepada Pambudi. "Pam, wesel itu telah kuuangkan. Ambillah itu." "Lho, tidak, Mul. Sungguh, itu uangmu." "Pokoknya ambil uang itu, atau aku akan marah."
Gadis itu merengut. Pambudi menjadi rikuh. Di sinilah kelemahan laki-laki pada umumnya, bukan, bila berhadapan dengan lawan jenis yang bermuram. Secara samar Pambudi telah mengetahui adat Mulyani yang selalu merajuk bila kehendaknya tidak dituruti. Maka Pambudi mengalah.
Sesudah kejadian itu, ada tugas tambahan bagi Pambudi, kalau toko sepi ia membantu Mulyani menyalurkan hobinya mengisi teka-teki silang. Sering Mulyani menantang, kalau dapat menjawab penuh sebuah teka-teki, Pambudi boleh menerima sebungkus keripik usus ayam. Mul mulai mengetahui makanan kegemaran pegawainya itu. Atau untuk menguji ketangkasan otak Pambudi, gadis anak Nyonya Wibawa itu sering membaca soal teka-teki secara cepat dan beruntun. Pambudi harus menjawabnya.
"Yang berpendapat bahwa kekuasaan datang dari laras bedil."
"Mao Tse Tung."
"Untuk membabat hutan, harus memegang hak ini." "Konsesi."
"Penulis Mein Kampf."
"Adolf Hitler."
"Orang ini terkenal sebagai The Grand Old Man." "Agus Salim."
"X kali X sama dengan semacam persetujuan rahasia."
Pambudi menepuk dahinya sendiri. Berputar-putar sambil menunduk. Lama sekali ia berpikir, tetapi pertanyaan itu belum juga terjawab.
Mulyani tertawa girang melihat Pambudi kebingungan. Ia mendekati pemuda Tanggir itu, sampai dekat sekali. "Kita makan pangsit bersama kalau kau bisa menebaknya," kata Mulyani.
Panas juga hati Pambudi. Ia menoleh, dan sekali ini ia berani menatap Mulyani dengan jelas. Segar kulit gadis itu. Alis dan matanya khas Mandarin. Tetapi leher itu! Jenjang dan punya kerutan-kerutan halus yang melingkar seperti leher Pradnyaparamita, Ken Dedes. Angin semilir di jantung Pambudi. Akhirnya wajah Pambudi menjadi cerah. Masa bodoh dengan teori Sigmund Freud, tetapi karena tatapan Mulyani otaknya seperti dipacu.
Episode 24 "X kali X sama dengan semacam persetujuan rahasia. Jawabnya, kongkalikong. Nah, seporsi pangsit untukku."
Seharusnya Mulyani segera menuliskan jawaban itu. Tetapi tidak. Ia menggulung majalahnya lalu memukulkannya ke pipi Pambudi sambil melonjak kegirangan. Ada dua tangan yang saling pegang: yang satu putih kekuning-kuningan, yang satu cokelat. Ada dua pasang mata yang tiba-tiba saling pandang: yang sepasang redup dan sipit, yang lainnya bulat dan tajam.
Nyonya Wibawa batuk dan meludah, "Cuh!" Anjingnya menyalak, "Hwuf!"
Pambudi tidak pernah mengatakan pernah bersekolah selain di sekolah dasar. Tetapi Mulyani tidak yakin. Ia tahu Pambudi mempunyai pengetahuan yang lumayan. Karena merasa penasaran, Mulyani merencanakan suatu saat akan menguji Pambudi. Dengan demikian ia akan lebih mengenal siapa sebenarnya yang menjadi pelayan toko milik orangtuanya itu.
Begitulah, suatu sore Mulyani meminta Pambudi supaya jangan segera pulang setelah toko tutup. "Bantulah aku mengerjakan soal-soal ilmu pesawat," pintanya. Mula-mula Pambudi menolak dengan alasan ia sungguh tidak mengerti apa itu ilmu pesawat. Namun lagi-lagi Pambudi harus mengalah setelah melihat Mulyani mulai merengut.
Mulyani duduk di kelas dua SMA. Tentu saja Pambudi dapat menguasai semua mata pelajaran di kelas itu, apalagi sekarang ia seolah-olah menjadi murid kelas tiga SMA yang siap menghadapi ujian masuk perguruan tinggi. Jadi soal ilmu pesawat yang disodorkan oleh anak majikannya dapat diselesaikan dengan cepat. Tidak puas dengan satu soal Mulyani menambahnya dengan beberapa
soal lagi, semuanya dibereskan oleh Pambudi.
Menjelang ulangan umum, Mulyani memintanya membantu belajar. "Daripada mengundang seorang guru les kan bayarannya mahal, Ma," kata Mulyani kepada Nyonya Wibawa, karena ia tahu mamanya keberatan.
Pada saat belajar bersama itulah kedua anak muda itu saling mengenal lebih baik. Pambudi merasa percuma bersandiwara terus-menerus. Maka ia berkata dengan jujur siapa dia sebenarnya. Dikatakannya pula kepada Mulyani, mungkin hanya tinggal tiga bulan lagi ia bekerja pada orangtuanya.
"Kalau lulus ujian masuk, aku harus berhenti bekerja."
"Wah, kalau begitu bakal ada yang merasa kehilangan. Maksudku, siapa lagi yang akan membantuku mengisi teka-teki silang"
"Apa artinya soal tetek bengek itu, Mul. Lagi pula aku masih akan tinggal di kota Yogya ini."
"Seandainya kau tidak lulus, bagaimana"
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu. Atau kau berharap aku gagal"
"Wah, bukan begitu, malah sebaliknya. Kudoakan agar kau berhasil. Dan, Pam, mengapa kau harus berhenti bekerja bila menjadi mahasiswa Seandainya kau tetap bekerja di sini sambil kuliah, bagaimana"
"Kukira mamamu tidak akan mempekerjakan seorang yang hanya bisa bekerja setengah hari." "Kalau aku yang meminta, bagaimana"
Pambudi terkejut karena Mulyani mendekatkan mukanya, sehingga kedua pipi mereka hampir bersentuhan. Mata Mulyani menatap dalam. Mata yang menunggu jawaban yang pasti.
"Entahlah, Mul, aku tak bisa memutuskannya sekarang. Yang penting, kita telah bersahabat. Persahabatan tidaklah sesempit kotak-kotak teka-teki silang, bukan"
"Nah, kau mulai berbicara dengan hanya menggunakan otak. Aku benci, benci pada orang yang tidak bisa menghargai perasaan. Persahabatan harus juga dihiasi dengan perasaan. Pam, kukira kau tak mempunyai cukup perasaan."
Pada Hari Raya Imlek, toko tutup dua hari. Pambudi pulang ke Tanggir. Banyak persoalan yang harus ia bereskan dengan orangtuanya. Pertama, ia ingin melihat kesehatan orangtuanya, lalu menyampaikan kepada mereka maksudnya hendak meneruskan sekolah. Ia juga ingin melihat peternakan yang kini menjadi sangat penting artinya. Kalau benar Pambudi dapat menjadi mahasiswa, hasil peternakan itulah yang akan memberinya biaya.
Empat bulan ditinggal oleh Pambudi, Desa Tanggir tidak mengalami perubahan apa-apa. Pagi-pagi orang pergi ke sawah atau naik ke Bukit Cibalak mencari apa saja yang dapat dijual di pasar. Para penderes naik-turun pohon kelapa mengambil dan memasang tabung bambu penadah nira. Mereka hanya bercelana pendek meskipun hari kadang-kadang sangat dingin. Yang punya kegiatan di pasar sudah meninggalkan rumah sebelum matahari terbit. Pukul sembilan mereka pulang. Menjelang tengah hari, istri para penderes telah selesai memasak dan mencetak gula kelapa. Cetakan itu adalah sekerat tabung bambu sepanjang jari telunjuk. Mereka menjual gula kelapa itu kepada Mbok Sum. Bila seorang yang baru berangkat kemudian berpapasan dengan temannya yang sudah kembali dari rumah Mbok Sum, ia akan bertanya. "Berapa harga gula sekarang Tidak turun lagi"
Kelihatannya Tanggir hidup dalam tarikan-tarikan napas yang tenang. Tetapi di balik ketenangan itu beberapa orang sedang mengembangkan intrik untuk menjatuhkan Pambudi. Bisik-bisik menjalar di antara penduduk Tanggir yang tidak pernah peduli apakah kabar itu benar atau tidak. Fitnah itu dengan cepat menjalar dari mulut ke telinga, dari kuping ke mulut dan ke telinga lainnya. Hanya beberapa orang yang sejak semula merasa dekat dan percaya kepada Pambudi yang tidak terpengaruh oleh berita itu, bahwa kepergian Pambudi ke Yogya bersangkut paut dengan hilangnya uang lumbung koperasi Desa Tanggir sebanyak
125.000 rupiah. Itulah yang sedang menjadi pokok pembicaraan setiap ada orang yang berkumpul di Tanggir. Orang-orang itu terlalu bodoh untuk menilai berita itu. Mereka pun tidak tahu siapa yang mula-mula meniupkan kabar demikian.
Episode 25 Kedatangan kembali Pambudi di desanya sendiri mendapat sambutan dingin. Orang Tanggir seakan-akan kehilangan watak aslinya yang peramah. Begitu Pambudi berjumpa dengan seorang tetangga sedesanya ia sudah menerima pandangan mata ya
ng menyelidik dan curiga. Bahkan Pak Danu hanya menjawab tanpa menoleh ketika Pambudi menegurnya.
Setelah beristirahat sebentar, Pambudi bertanya kepada ibunya mengapa orang-orang Tanggir kelihatan lain sikapnya.
Sambil mengusap air mata, ibu yang sudah tua itu menerangkan segalanya dengan jelas kepada Pambudi. "Anakku, kau didakwa melarikan uang milik lumbung koperasi sebanyak 125.000 rupiah. Kata orang, buktinya ada dalam buku lumbung."
"Kampret!" teriak Pambudi dalam hati. "Ini pasti perbuatan Lurah Tanggir dan Poyo. Pengecut! Akan kubuktikan di depan pengadilan siapa yang menggarong uang itu. Penduduk Tanggir harus yakin bahwa aku masih tetap si Pambudi yang dulu, yang menganggap kejujuran adalah hal yang wajar yang harus dihormati oleh semua orang. Aku bukan hanya menghormati, bahkan sudah dan akan tetap mengamalkannya. Aku harus membela diri, karena tuduhan terhadap diriku sudah keterlaluan. Aku harus menantang mereka sampai ke depan hakim. Harus!"
Dan, angin kemarau datang dari selatan. Menyapu punggung Bukit Cibalak, menerbangkan serat-serat kapuk dan bunga ilalang. Pohon sentolok menyebarkan bijinya menurut perintah alam; sebutir bijinya melekat pada ujung polong. Bila sudah cukup masak polong yang membawa biji itu lepas tertiup angin, berputar dan terbang jauh seperli seekor laron. Biji yang baru akan tumbuh jauh dari induknya. Sayang, angin kemarau juga membawa bau yang khas, sebab penduduk Tanggir belum tahu kebaikan kakus yang tertutup.
Tetapi bagaimanapun angin yang sejuk itu telah membantu Pambudi kembali kepada keseimbangan hatinya. Mula-mula dalam hatinya terdengar gaung suara ayahnya, "Wani ngalah luhur wekasane. Berani mengalah luhur akhirnya." Menyusul suara Topo bergema, "Ingat, hanya Arjuna yang kecil yang dapat mengalahkan Nirwatakawaca yang raksasa, hanya si kecil Daud yang bisa mengalahkan Goliath. Toh Don Quichote tidak berhasil menumbangkan sebuah kincir angin meskipun memakai baju besi dan pedang jenawi. Lalu, camkanlah, "I have not begun to fight yet." Akhirnya Pambudi mendengar suara dirinya sendiri, "Bagaimana dengan rencanaku untuk meneruskan sekolah, bila aku direpotkan oleh urusan Lurah Tanggir dan si Poyo itu. Biar, ya, biarlah. Demi kepentinganku sendiri untuk kembali ke sekolah, aku harus diam. Masih ada mahkamah yang lebih tinggi, Tuhan pribadi yang akan menjadi hakim. Mudah-mudahan saja tidak semua orang Tanggir menganggap diriku sebusuk itu."
Untunglah, selain kabar busuk itu Pambudi menemukan hal lain yang membesarkan hatinya. Kedua orangtuanya sehat. Hasil petemakan ayahnya naik. Sekarang setiap hari ayah Pambudi mengumpulkan 83 butir telur dari kandang ayam itu.
Sebelum kembali ke Yogya, Pambudi berkunjung ke rumah Sanis. Yang pertama menemuinya adalah ibu gadis itu. Pambudi tahu, Sanis ada di rumah. Tetapi ia tidak segera keluar meskipun kedatangan Pambudi diketahuinya. Sesudah tiga kali dipanggil oleh ibunya barulah
Sanis keluar. Rambutnya acak-acakan, rok dalamnya mengintip keluar. Dan tak tampak rasa kangen sedikit pun pada sikapnya. Boleh jadi Sanis termasuk warga Tanggir yang mendakwaku mencuri uang lumbung koperasi itu, paling tidak mencurigainya, pikir Pambudi.
"Apakah suratku sampai, Kak" tanya Sanis, suaranya datar dan beku. Bahkan sinar mata Sanis tidak menerjemahkan kejujuran. Kalau Pambudi percaya akan kata-kata orang tua bahwa sikap lahir adalah utusan sikap batin. Kalau Pambudi tahu bahwa sesungguhnya Sanis tidak pernah mengiriminya surat. Dan ternyata Pambudi masih mampu menyuarakan kearifan.
"Suratmu belum kuterima. Tak mengapa, barangkali masih dalam perjalanan."
Ketika berkata demikian Pambudi tersenyum polos, seperti seorang ayah yang mengetahui kata-kata anaknya adalah palsu. Bagaimanapun Pambudi tidak akan memojokkan Sanis dengan persangkaan yang buruk. Toh ia sudah dapat meraba sikap Sanis sekarang.
Suasana pura-pura itu terus berlangsung sampai saat Pambudi minta diri. Sanis melepas tamunya dengan mengarahkan matanya ke awang-awang. Memang ia menyalami Pambudi, tetapi pada saat yang sama ingatannya justru sedang melayang kepada seorang pemuda cakap yang d
ulu memotretnya: Bambang Sumbodo!
WAJAR apabila Pak Barkah selalu teringat kepada Pambudi. Semenjak harian Kalawarta mengetengahkan masalah Mbok Ralem setahun yang lalu, oplahnya naik dua ribu. Bagi sebuah harian daerah seperti Kalawarta kenaikan sebesar itu sangat besar artinya. Rupanya orang Yogya khususnya menjadi sadar bahwa biarpun alon-alon jalannya, ada penerbitan koran di kota itu. Para pembaca pada umumnya menjadi lebih percaya kepada Kalawarta setelah ternyata harian itu mampu membuat misi kemanusiaan yang telah mengangkat Mbok Ralem dari penderitaannya. Juga para pembaca tahu bahwa koran-koran besar di Jakarta scring mengutip berita dari Kalawarta, terutama sepanjang menyangkut berita daerah Jawa Tengah.
Pemimpin Redaksi melihat saat yang baik untuk melancarkan kampanye pengembangan hariannya. Untuk melaksanakan keinginannya itu Pak Barkah menunjuk Pendi Toba sebagai pelaksana proyek. Tetapi Pak Barkah boleh kecewa, karena Pendi Toba angkat kaki ke Jakarta. Anak Pulau Samosir itu baru menyelesaikan pengumpulan data yang sangat berguna bagi pengembangan Kalawarta ketika pergi. Sebuah harian yang besar membutuhkan tenaga anak muda yang sangat aktif dan potensial itu.
Pada saat itu Pak Barkah telah mengetahui Pambudi tinggal di kota yang sama, Yogyakarta, karena pemuda itu sendiri telah dua kali mengunjungi Pak Barkah. Menurut pendapat pemimpin Redaksi Kalawarta itu, Pambudi tidak terlalu banyak berbeda dengan Pendi Toba. Anak dari Tanggir itu kemauannya keras. Pengetahuan umumnya baik. Kejujurannya sangat tampak. Dan satu hal lain yang tak dapat diungkiri oleh Pak Barkah, Pambudi menyimpan semacam obligasi moral pada harian Kalawarta. Jadi Pambudi sangat patut mengisi lowongan yang ditinggalkan oleh si Pendi itu. Masalahnya, apakah Pambudi suka bergabung dengan keluarga Kalawarta atau tidak. Begitulah pikiran Pak Barkah pada akhirnya.
Episode 26 "Dik Pambudi," kata Pak Barkah pada suatu malam di rumahnya. "Aku menghendaki hubungan yang lebih hidup di antara kita berdua. Bagaimana kalau kau kuminta menggantikan Pendi
Toba" "Pak, saya tidak yakin pada kemampuan saya sendiri dalam bidang jurnalistik. Apakah mungkin seorang pelayan toko tiba-tiba berubah menjadi jurnalis Kedua, sebentar lagi bila lulus saya harus kuliah."
"Oh, aku melihat pintu perundingan telah terbuka. Dik Pambudi, sungguh benar kata-katamu tadi. Tidak gampang menjadi seorang wartawan dadakan. Tetapi jangan kaulupakan, bahwa yang membuka pintu bagimu adalah aku sendiri, pemimpin Redaksi Kalawarta. Jadi soalnya tinggal padamu, mau atau tidak menerima tawaranku itu. Percayalah, aku telah memikirkan sejauh mungkin sebelum memutuskan tawaran itu padamu. Tugasmu yang pertama nanti adalah meneruskan pekerjaan yang telah dimulai oleh Pendi Toba. Kau tidak akan bekerja dari nol. Data yang telah berhasil dikumpulkan oleh Pendi Toba sudah agak lengkap dan berbobot pula. Nanti kau dapat membacanya sendiri. Dan aku sama sekali tidak mau menghalangimu masuk ke perguruan tinggi. Malah aku akan membantumu sebisa-bisaku. Kuberitahu sekarang, biar bagaimanapun jeleknya, aku ini seorang sarjana publisistik. Selain memimpin Kalawarta, aku juga mengajar di universitas yang ingin kaumasuki. Seandainya nilai ujianmu bukan yang terburuk, percayalah, tahun pelajaran mendatang kau sudah menjadi mahasiswa. Paham"
"Ya, Pak," jawab Pambudi dengan hati berdebar. Ia melihat harapan yang besar. Tujuannya untuk meneruskan kuliah akan lebih gampang terlaksana.
"Mudah-mudahan Kalawarta dapat menggajimu sebanyak yang kauterima dari pemilik toko arloji itu."
"Kalau saya misalnya sudah mulai bersekolah, bagaimana"
"Yah, yang namanya redaksi harian selalu memiliki staf yang bekerja sore, bahkan malam hari. Aku yang akan mengaturnya nanti, sehingga waktu belajarmu tidak terganggu."
Masa kerja Pambudi pada toko milik Nyonya Wibawa dipersingkat satu bulan. Tak ada ucapan terima kasih yang diterima Pambudi dari majikannya ketika ia berpamitan. Nyonya itu hanya menghitung lalu membayar gaji Pambudi, kemudian kembali mengelus-elus anjingnya. Tetapi ada air mata menitik ke pipi Mulyani.
"B enar, kan, Pam, kau tidak menghargai yang namanya perasaan" bisik Mulyani sambil menyalami Pambudi. Wajahnya menunduk. Pemuda itu merasakan tangan Mulyani bergetar halus. Ujung jempol kakinya bergerak-gerak di lantai. Sejuk, seolah-olah angin dari Bukit Cibalak meniup hati Pambudi.
"Maaf, Mul, maaf. Aku mengundurkan diri dari sini bukan karena aku ingin mengakhiri persahabatan kita."
"Aku... aku tahu, Pam. Itulah, sudah kumengerti kau selalu bertindak atas dasar putusan yang logis belaka. Tetapi aku tahu juga sekali ini kau takkan mengalah. Aku akan senang bila sekali-sekali kau berkunjung kemari. Mau, bukan"
"Sediakanlah sebakul teka-teki silang."
"Dan segerobak keripik usus ayam."
"Mul, mungkin pada suatu saat akan muncul gambar seorang gadis dalam harian Kalawarta. Gadis itu langsing, berwajah teduh, dan bermata Mandarin. Akan kutulis, gadis itu mempunyai hobi yang luar biasa: mengisi teka-teki silang!"
Mulyani mencubit punggung Pambudi keras sekali. Pemuda itu meringis kesakitan. Di belakang mereka Nyonya Wibawa memandang dengan benci. "Cuh, cuh," dia meludah. Anjingnya berbuat sama, "Hwuf, hwuf."
Tetapi sekali ini Mulyani nekat. Ia tidak peduli, bahkan Mulyani menggandeng Pambudi berjalan ke luar.
"Pam, kalau Mandigo main, kau harus menonton bersamaku. Kukatakan harus, dengar" "Dengan senang hati selama mamamu tidak menyuruh anjingnya mcrobek betisku." "Kalau Mama tidak ingin aku kabur ke Bandung lagi!"
Membaca hasil penelitian Pendi Toba, Pambudi yakin, anak Batak itu encer otaknya, lebar lensa matanya. Telah diselidikinya sejauh mana peredaran Kalawarta. Dicatat pula kelompok masyarakat yang bagaimana kebanyakan pembaca Kalawarta. Diadakannya perbandingan jumlah menurut usia, pekerjaan, bahkan kesukuan. Dengan mengadakan semacam angket kecil Pendi Toba dapat menentukan rubrik mana yang disukai dan yang tidak disukai pembaca. Demikian maka diketahui kelemahan-kelemahan Kalawarta. Dalam hal ini Pendi Toba mengusulkan dibukanya rubrik-rubrik baru dan menghapuskan rubrik yang ternyata kurang menarik minat para pembaca.
Dari data itu dapat diketahui bahwa di dalam masyarakat ada kelompok yang amat patut mendapat perhatian khusus. Kelompok itu berpendidikan menengah atas, jumlahnya banyak serta berpenghasilan tetap pula. Mereka tersebar merata di semua tempat, dari kota sampai ke gunung-gunung. Terutama mereka yang tinggal di tempat terpencil, pasti membutuhkan bahan bacaan yang segar dan ringan serta sesuai dengan kepentingan mereka. Para guru sekolah dasar, itulah mereka.
Sayang, ada satu hal dalam kesimpulan yang dibuat oleh Pendi Toba yang tidak disetujui Pambudi. Menurut Pendi Toba, untuk menjadikan para guru langganan Kalawarta yang setia, harus ada hubungan resmi antara Kalawarta dan Dinas P dan K. "Ini namanya numpang! Aku tidak akan setuju pada hal demikian. Kalawarta harus mempunyai kepribadian. Harus mandiri," kata Pambudi.
Mengenai kelemahan Kalawarta, Pendi Toba mencatat antara lain, Kalawarta terlalu kejawa-jawaan. Padahal orang sekarang, terutama para pemuda, mempunyai pandangan yang melewati batas-batas kesukuan, bahkan dalam hal-hal tertentu mereka melewati batas-batas kebangsaan. Juga Kalawarta keliru karena mengambil sikap terlalu hati-hati bila berhadapan dengan nilai-nilai baru yang sedang berkembang di tengah masyarakat. Memang, dengan memuji secara apriori nilai-nilai lama, Kalawarta dapat mengharapkan pujian dari orang-orang tua. Ini yang namanya koran yang menjunjung nilai-nilai ketimuran!
Episode 27 Harus kita sendiri yang memulai, tulis Pendi Toba selanjutnya. Penyalahtafsiran nilai-nilai ketimuran sama jeleknya dengan pameran isi celana dalam yang konon berasal dan kebudayaan Barat. Akhirnya orang harus berpikir kritis dan objektif, misalnya mengapa di negeri ini belum pernah dipentaskan secara utuh cerita Arjuna Wiwaha. Mengapa orang tidak berani menampilkan adegan Arjuna yang sedang digeluti tujuh bidadari bugil yang diamuk syahwat. Tetapi anehnya tak ada orang yang menyangkal Arjuna Wiwaha adalah buatan Indonesia, yang mestinya termasuk bercorak ketimuran.
Dalam melaksanakan rencana peng
embangan Kalawarta, Pambudi seakan menggelindingkan sebuah bola dari atas tebing. Hampir semua yang harus dikerjakannya sudah mendapat petunjuk tertulis dari Pendi Toba. Ia hanya mengubah sedikit saja, yaitu yang menyangkut pendekatan terhadap para guru sekolah dasar. Pambudi akan mengusulkan kepada Pak Barkah cara lain untuk mengimbau para calon yang diharapkan akan menjadi langganan Kalawarta itu. "Mencari dukungan ke Kantor P dan K secara resmi terlalu kekanak-kanakan. Membuka rubrik baru 'Warta Pendidikan' barangkali akan lebih berhasil," kata Pambudi kepada Pak Barkah. Sebagai langkah pertama akan diusulkan supaya diadakan sayembara mengarang cerita pendek yang ditujukan kepada para guru sekolah dasar. Dengan demikian perhatian pertama para calon langganan Kalawarta akan timbul.
"Baik, Pam, aku bersedia menangani sendiri rubrik 'Warta Pendidikan'. Kebetulan aku seorang pengajar pula. Akan kuusahakan agar para guru yang tinggal di tempat terpencil pun merasa memiliki rubrik itu. Lalu apa rencanamu dengan sayembara mengarang cerita pendek
itu" "Sesuai dengan tujuannya, syarat-syarat yang harus dipenuhi para peserta harus seringan mungkin. Misalnya naskah-naskah tidak harus diketik, karena kita tahu, tidak semua guru dapat melaksanakannya."
"Temanya" "Temanya cinta! Percintaan yang mereka alami sewaktu para guru itu menjadi murid SPG. Saya mengusulkan tema itu bukan tanpa alasan. Sewaktu saya menjadi murid SMA dulu, seorang teman perempuan memberi saya hadiah sebuah kata-kata mutiara: Dalam lintasan cinta, semua orang menjadi seniman! Tidak peduli siapa yang menemukan kata-kata itu, tetapi kita yakin, percuma saja membantah kebenarannya."
"Hebat. Memang, aku yang sudah tua ini pun akan sangat bergairah bila disuruh menulis cerita yang berputar-putar di atas gambar panah dan jantung hati. Kau hebat, Pam."
"Tetapi Bapak jangan lupa, kita harus menyediakan hadiah serta piagam-piagam. Semua peserta harus mendapat hadiah, paling tidak sehelai piagam. Ini penting."
"Ya, penting untuk mendapatkan sesuatu yang lebih penting. Minat para guru terhadap Kalawarta."
"Masih ada yang lebih penting, uang langganan mereka!"
Seminggu kemudian Kalawarta terbit dengan wajah yang sedikit berubah. Ada beberapa rubrik tetap yang hilang, dan dua rubrik baru muncul. Rubrik "Warta Pendidikan" diurus langsung oleh Pak Barkah. Sekali ini ia mencantumkan gelarnya, menjadi Drs. Barkah. "Aku perlu menggunakan titelku demi kepercayaan dan wibawa," ujarnya. Orang tidak akan ambil pusing bahwa gelar kesarjanaannya bukan untuk bidang pendidikan, melainkan bidang jurnalistik.
"Akan kuberikan hadiah istimewa padamu bila pengikut sayembara ternyata melebihi dua ratus orang," kata Pak Barkah.
"Tergantung juga pada besarnya hadiah yang tersedia."
"Kurelakan Vespa tua itu. Kukira masih dapat dijual seharga 600.000."
"Mari kita tunggu hasilnya, Pak."
Apa yang terjadi di Tanggir dapat dilihat, didengar, bahkan dirasakan oleh Bambang Sumbodo. Meskipun ia kuliah di APDN, Semarang, Bambang sangat sering kembali ke rumah orangtuanya, Camat Kalijambe. Kota kecil Kahjambe bahkan sebenarnya terletak dalam wilayah Desa Tanggir. Jadi Bambang juga mendengar desas-desus yang memburuk-burukkan nama Pambudi. Walaupun Bambang hanya mendengar nama itu, tetapi sesungguhnya secara diam-diam ia menghormatinya. Pambudi yang masih semuda itu telah memiliki pribadi yang utuh. Bukan suatu kebetulan kalau Bambang mengagumi pemuda yang mempunyai kepribadian seperti Pambudi itu. Dalam banyak segi sebenarnya mereka mempunyai kesadaran yang sama, terutama yang menyangkut nilai-nilai kemasyarakatan. Tetapi Bambang tidak seleluasa Pambudi dalam mengembangkan kesadarannya, karena bagaimanapun juga ia putra seorang camat. Ia sering merasa masygul apabila ayahnya bertindak mewakili suatu nilai yang sebenarnya sangat bertentangan dengan keyakinan Bambang sendiri. Misalnya, mengapa ibunya sendiri menjadi orang kedua yang paling berkuasa di Kecamatan Kalijambe. Ibunya merasa berhak memberi perintah kepada ibu-ibu lurah, juga para lurah sendiri dan bahkan pegawai-pegawai Kecamatan harus taat kepa
da ibunya. Tentang Pambudi. Bambang yakin bahwa bisik-bisik buruk yang menjelek-jelekkan pemuda Tanggir itu palsu belaka. Ia merasa wajib membelanya, setidak-tidaknya ia harus berbicara dengan Pambudi. Tetapi Bambang tahu, Pambudi sudah berada di Yogya dan alamatnya di sana tidak diketahui. Untuk menjumpai Pambudi di Yogya, Bambang harus menemui orangtua pemuda itu lebih dulu. Tak disangkanya ayah Pambudi terang-terangan menolak memberikan alamat anaknya. Dengan susah payah Bambang meyakinkan orang tua itu bahwa ia sama sekali tidak bermaksud buruk terhadap Pambudi. Malah ibu Pambudi menangis terisak-isak ketika mengatakan, "Sudahlah, Pak, mau diapakan lagi anak saya itu. Ia sudah menyingkir jauh dari desa ini. Dia sudah mengalah. Anak saya pasti sadar siapa dirinya, anak orang kecil seperti kami ini."
Bambang pulang. Ia tidak merasa kecewa atas sikap yang ditunjukkan oleh kedua orangtua Pambudi. Sebaliknya, Bambang dapat memahami mengapa mereka begitu mengkhawatirkan nasib anaknya. Fitnah telah memukul pemuda Tanggir itu dengan telak.
Beberapa saat sebelum sampai ke jalan besar, Bambang teringat kepada Sanis. Pasti gadis itu mengetahui alamat Pambudi di Yogya. Vespa kuning itu membelok ke kanan menuju rumah Pak Modin.
Episode 28 Di halaman samping rumah, Sanis sedang menata ikan asin di atas tampah. Ikan-ikan itu baru dibilasnya supaya kadar garamnya berkurang. Sanis mendengar sebuah Vespa yang berhenti di depan rumahnya. Matanya terbelalak ketika menyadari siapa yang datang. Tampahnya diletakkannya sembarangan, lalu ia lari masuk ke numah. Sampai di pintu Sanis menoleh ke
belakang. Ia ingin meyakinkan dirinya bahwa pendatang itu adalah pemuda gagah yang dulu memotretnya.
"Bu... Bu... Buuu! Pak... Pak... Paaak!"
Sepi. Di dalam, Sanis mencium telapak tangan. Mestinya semenjak pagi aku memakai gaun kuning itu. Naluri gadis itu menyuruhnya lari ke depan cermin. Ia menyisir rambutnya cepat-cepat, kemudian mencuci tangannya di dapur. Sambil berlari ke luar ia mengelap tangannya dengan kain gorden. Sekarang ia berhadapan dengan Bambang yang sudah lima menit berdiri di luar. Hati Sanis penuh dengan perasaan yang bercampur baur. Dan andaikata ada kalimat yang dapat melukiskan perasaannya dengan lebih tepat, tentu tidak akan terbaca. Saat itu Sanis merasa amat sangat senaaang sekali. Dan salah tingkah!
"Dik, aku datang kemari karena ada hal yang akan kutanyakan."
"Pada siapa, Kak"
"Padamu." Byar. Sebuah kembang api meletupkan sinar warna-warni menerangi hati Sanis. Jantungnya menekan darah kuat-kuat ke kepala gadis itu. Pipinya merah, bibirnya gemetar. Tangan Sanis berkeringat.
"Aku ingin bertanya padamu, Dik." "Tentang apa"
"Tentang Pambudi. Kau tentu tahu di mana sekarang dia tinggal."
"Hm, anu. Oh, barangkali dia sekarang di Yogya. Ya, benar, sekarang dia tinggal di Yogya." "Maksudku, alamat rumahnya di kota itu." "Wah, nanti dulu. Kulihat suratnya."
Mendadak kembang api itu padam di hati Sanis. Rasa tawar mulai terasa. Gadis itu bangkit, masuk ke dalam. Bambang melihat sepintas Sanis memakai baju yang terlalu pendek. Namun Bambang percaya, gadis itu tidak bermaksud memamerkan tungkainya yang lurus, dan mulai berbentuk sesuai dengan usianya yang sedang meninggalkan masa kanak-kanak. Baju yang dikenakan Sanis sudah lusuh, dua tahun yang lalu baju itu pasti cukup panjangnya.
Di dalam kamar, Sanis tidak segera mencari surat yang diterimanya dari Pambudi. Sudah lama ia tidak ingin menerimanya. Lagi pula Sanis merasa lebih perlu segera bertukar baju selagi masih ada kesempatan. Roknya berwarna merah gelap dengan baju rajutan berwarna kuning tua. Kaus itu ketat sehingga dapat mewakilinya berkata, "BH-ku berukuran 28 sekarang, dan pinggulku mulai tampak, bukan"
"Apa sebenarnya urusanmu dengan Pambudi, Kak" tanya Sanis sambil menyerahkan amplop yang bertuliskan alamat Pambudi.
"Agak sulit menerangkannya, Dik. Yang jelas Pambudi adalah seorang pemuda yang baik. Aku mengaguminya dengan sungguh-sungguh."
"Kemudian" "Pasti kau mengerti, Pambudi menjadi korban kabar bohong sekarang. Ada orang yang ingin merusak nama baiknya. Sudah kukat
akan Pambudi seorang pemuda yang baik. Aku tak pernah meragukan kejujurannya. Oleh karena itu aku ingin menemuinya di Yogya. Tidak apa-apa, aku hanya akan mengatakan ia tidak perlu berkecil hati oleh kabar buruk yang menyangkut dirinya. Mudah-mudahan simpati yang kuberikan dengan ikhlas, akan mengurangi beban batinnya. Hanya itu."
"Dalam suratnya yang terakhir Kak Pam menyatakan hendak meneruskan sekolah. Sekarang dia bekerja pada harian Kalawarta."
"Syukurlah kalau begitu. Pambudi telah menemukan hal yang paling tepat baginya. Kuliah, yah, memang sayang kalau pemuda secakap dia hanya puas dengan pendidikan menengah atas. Nah, kewajiban Dik Sanis adalah memberi semangat kepada Pambudi."
"Lho, mengapa aku, Kak Mengapa aku yang harus memberinya semangat"
"Eh, jangan lupa, ini Desa Tanggir. Sebutir kerikil yang jatuh di lubuk sana akan terdengar suaranya sampai ke mana-mana. Pokoknya, bantulah dia mencapai keinginannya. Aku percaya, Pambudi mempunyai masa depan yang baik. Oh, tentu kalian berdua mempunyai masa depan yang baik."
Tak ada kata-kata lain yang keluar dari mulut Sanis. Kosong hatinya. Oh, si gagah ini tidak memberikan apa-apa padaku. Rasanya ia sama sekali tidak tahu bagaimana perasaanku padanya. Bambang, kau tidak tahu bahwa sejak kau memotretku dulu, aku tak dapat melupakanmu. Tapi kau, malah mendorongku agar lebih dekat pada Pambudi. Bambang, apa yang hebat pada Pambudi itu Tidak sadarkah kau bahwa segala yang ada padamu lebih baik daripada Pambudi
Bambang Sumbodo pulang. Ada yang luruh di hati Sanis ketika Vespa-nya menghilang di tikungan. Sanis lari ke kamar, tengkurap di kasur, dan menangis. Karena dadanya sesak, ia telentang. Rusuk-rusuk bambu di atasnya seakan membaur, menciptakan bayangan yang aneh-aneh. Mula-mula tampak wajah Bambang yang cakap. Tangan pemuda itu yang penut bulu mendekat ke pipi Sanis, yang kemudian menggigil. Tetapi bayangan itu terhapus oleh munculnya wajah Pambudi. Kumisnya amat jarang dan luar biasa buruknya. Hanya saja Pambudi mempunyai sorot mata yang kuat, mata seorang yang berkepribadian kokoh. Tetapi haruskah aku melupakan Bambang dan mulai lagi membuka hati untuk Pambudi
Pertanyaan itu takkan mungkin terjawab oleh Sanis sendiri. Usianya yang baru menginjak lima belas tahun takkan memberinya kemampuan untuk menjawab persoalan demikian.
Episode 29 Laki-laki cucuk emas adalah laki-laki yang mempunyai ujung penis emas. Itu arti harfiah. Yang dimaksud oleh istilah yang masih berlaku di Tanggir itu ialah semacam hak yang dimiliki oleh seorang laki-laki untuk menggauli perempuan yang mana pun. Para dalang menyebutnya wahyu lanang jagat.
Dalam sejarahnya seorang lurah adalah laki-laki yang paling perkasa yang menguasai sekelompok orang. Tentulah ia mempunyai kekuasaan mutlak dalam kelompoknya, karena tak seorang pun yang dapat mengalahkannya. Ia mengawini semua perempuan yang ia kehendaki, dan takkan ada yang menentangnya. Gibon, sejenis kera yang hidup di belantara Afrika, atau
rusa kutub misalnya, mempunyai pola hidup demikian. Dan itu bukan karena mereka meniru-niru kelakuan manusia.
Seorang penggembala kambing pun tahu hal itu, "Lihat, bandot yang paling kuat dan paling besar tanduknya, mengawini setiap betina yang ia sukai. Tak ada bandot lain yang berani mengajaknya berkelahi. Dan tampaknya setiap betina lebih senang mengandung bayi si perkasa daripada anak bandot yang cacingan."
Atas penelitiannya sendiri Pak Dirga yakin bahwa Bambang tidak mengharapkan Sanis. Ini dia! Memang benar, Lurah Tanggir itu tahu, Sanis sering menerima surat dari Pambudi, tetapi apa artinya bocah ingusan yang sudah dienyahkannya itu. Pak Dirga merasa telah mengalahkan Pambudi. Logika yang primitif mengajarkan, milik yang kalah menjadi hak si pemenang. Dan Pak Dirga tidak pernah melupakan kata-kata Eyang Wira. "Dulu, para demang atau lurah berhak memetik pisang apupus cinde." Sanis tumbuh menjadi gadis yang paling cantik di Tanggir. Ia amat layak mendampingi laki-laki yang paling berkuasa di desa ini: aku! Begitu Pak Dirga membenarkan naluri bajulnya.
Orang Tanggir menyaksikan perkembangan ini. Yang b
ersembahyang di surau Pak Modin bertambah satu orang, Pak Dirga. Selesai sembahyang Pak Dirga selalu singgah ke rumah orangtua Sanis yang memang bersebelahan dengan surau itu. Kepada Pak Modin, Lurah Tanggir sekarang memanggil "Pak", dan sikapnya penuh dengan tata krama. Kalau anak gadis tuan rumah keluar menghidangkan teh dan kue-kue, Pak Dirga berpura-pura bertanya ini dan itu kepada ayahnya. Atau ia mendadak menyalakan rokok. Padahal dengan lirikan sekilas ia menikmati betis dan tengkuk Sanis yang telah mengundang air liurnya.
Ada seorang kebayan tua yang menjadi anak buah Pak Dirga. Ia merasa umurnya sudah terlalu banyak bagi jabatannya sebagai salah seorang pamong Desa Tanggir. Tetapi tidak berarti ia telah bosan dengan sawah bengkok yang ia terima karena jabatannya itu. Kebayan tua itu tahu bagaimana cara agar Lurah tidak segera menghentikannya. Kehendak Lurah harus diturutinya. Sekarang orang tua itu sudah arif benar akan hal yang sedang didambakan oleh Pak Dirga. Maka ketika ia menerima perintah untuk menjumpai Pak Modin, kebayan tua itu langsung maklum. Tugas yang ia terima untuk melamar Sanis bagi Pak Dirga akan ia tunaikan dengan gemilang.
Begitulah, beberapa saat sebelum penduduk Tanggir meniup lampu-lampu, Kebayan sudah muncul di rumah Sanis. Tata cara melamar seorang gadis sudah dipahaminya benar.
Selesai mengutarakan maksudnya, Kebayan menyodorkan sebuah bungkusan. Duta Pak Dirga yang membuka bungkusan itu, isinya dibagi menjadi dua bagian. Yang sebagian jelas berupa tumpukan uang kontan, lainnya masih terbungkus oleh sebuah saputangan.
Ayah Sanis memandang sejenak bawaan yang terpajang di atas meja itu. Ia belum menjawab sepatah pun kepada utusan Pak Dirga. Pak Modin tampak agak bingung, apalagi sedari tadi istrinya belum juga muncul kembali dari dapur. Entah tenaga apa yang mendorongnya, ayah Sanis bangkit menuju kamar tidur anaknya. Di sana Sanis nyenyak, tidak mengetahui bahwa sesuatu yang penting sedang terjadi atas dirinya. Rasa haru merasuk ke hati Pak Modin ketika memandang wajah Sanis. Dia berusia lima belas, pantas baginya menerima lamaran seorang laki-laki, pikir Pak Modin. Aku sering mendengar kata orang bahwa anakku cantik, tetapi aku tak mau mengatakan apa-apa karena aku ayahnya.
Ketika ayah Sanis keluar, istrinya sudah duduk menghadapi Kebayan. Perempuan itu termenung ketika suaminya meminta pertimbangannya. Namun akhirnya ibu Sanis berkata,
"Pak, sebenarnya kita patut merasa senang mendapat penghormatan ini. Tetapi, Pak, kita kan tahu, Nak Pambudi juga mengharapkan Sanis. Memang benar dia belum datang melamar Sanis kemari. Atau kita bangunkan saja anakmu itu"
Yang ditanya hanya mengertakan keningnya. Pak Modin bukan tidak tahu tentang sikap Pambudi terhadap anaknya. Bahkan ia juga tahu perkataan istrinya itu hanya merupakan pertanda bahwa istrinya merasa keberatan Sanis diperistri oleh Pak Dirga. Alasannya mudah dimengerti. Ibu Sanis tidak menyenangi adat lurahnya yang sering berganti istri. Melihat suasana yang tidak jernih itu, Kebayan menyela.
"Keliru sekali bila kalian tidak segera menerima lamaran ini. Pikirlah baik-baik. Gadis bodoh mana yang tidak mau menjadi istri seorang lurah Ingat, anak kalian akan menjadi perempuan yang paling dihormati di desa ini. Lurah kita baik, amat baik. Umurnya, yah, kalian tahu sendiri. Walaupun sudah beruban Pak Dirga tidak setua aku, misalnya. Ingat juga akan hal ini. Surau kalian sedang diusulkan agar dipugar dengan biaya dari Pemerintah. Siapa yang akan menolong mendatangkan uang sebesar satu juta rupiah sampai ke tangan kalian kalau bukan lurah kita. Satu juta! Dan lupakan pemuda yang bernama Pambudi itu. Ia telah menghilang entah ke mana. Namanya telah cemar. Menurut catatan dalam buku perlumbungan, Pambudi telah melakukan kecurangan. Ia membawa lari uang koperasi sebesar 125.000 rupiah."


Di Kaki Bukit Cibalak Karya Ahmad Tohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak mungkin!" tiba-tiba ibu Sanis berkata ketus. "Pambudi anak yang baik. Ia tidak mungkin melakukan pekerjaan sehina itu. Ia difitnah. Sekarang dia berada di Yogya."
"Bukan saatnya berbicara seperti itu, Bu," sela ayah Sanis. "Soal Pambudi adalah masalah lain.
Kita bicarakan saja apa yang sedang kita hadapi ini."
Episode 30 "Betul," kata Kebayan. "Siapa pun tidak ada yang ingin mencelakakan anaknya. Kalau kalian mengawinkan Sanis dengan lurah kita, kalian telah bertindak sangat bijaksana. Kalian mendudukkan Sanis di atas kursi kemuliaan."
"Tidak!" kata ibu Sanis tegas.
"Hus! Aku yang akan memutuskannya. Nah, Pak Kebayan, sampai di sini dulu pembicaraan
kita." "Nanti dulu, aku ini bukan anak kecil. Aku utusan seorang lurah. Aku harus mendapat jawaban yang jelas."
"Pulanglah, tinggalkan bawaan ini di sini."
"Artinya kalian menerima lamaran Pak Dirga! Nah, begini. Uang yang saya bawa ini berjumlah 150.000, untuk kalian berdua. Yang berada dalam bungkusan itu adalah cincin, gelang, dan kalung emas untuk Sanis. Masih ada lagi, surat-surat keterangan sebuah sepeda motor atas nama anakmu. Motor itu sekarang masih di toko. Sesudah pernikahan, anakmu akan ke sana kemari dengan motor. Nah...! Aku sendiri akan berkaul berguling dari puncak Cibalak bila anak gadisku dilamar oleh seorang lurah. Sayang, semua anakku kudisan di betis. Kalian lebih beruntung!"
Ibu Sanis sudah tidak lagi mendengar ocehan Kebayan. Ia segera lari ke kamar, menubruk anaknya yang masih terus tidur nyenyak. Ibu Sanis menangis menjadi-jadi. Baginya, apa pun
jabatan Pak Dirga, ia tetap seorang laki-laki dengan watak bajul buntung. Ibu Sanis sendiri pernah hampir menjadi mangsanya sewaktu muda dulu. "Oh, anakku, kau yang lahir dari perutku sendiri, kau akan menjadi musuh Bu Runtah. Aku sama-sama perempuan seperti dia. Aku bisa merasakan pahitnya orang dimadu. Getir."
Tanggir kembali hangat oleh pergunjingan. Pak Lurah hendak kawin lagi. Sanis akan menjadi madu Bu Runtah. Ada yang mengatakan Sanis memang layak menjadi istri Lurah. Ada juga yang berpendapat, orangtua Sanis tega terhadap Pambudi lantaran emas dan pangkat. Tetapi Jirah tidak peduli apa-apa. Ia hanya berjingkrak, melompat-lompat sehingga lupa roknya tersingkap. "Idiiih! Sanis akan segera merasakan tengiknya ketiak seorang kakek!"
Sesungguhnya Bu Runtah sering merasa, suatu saat akan terjadi peristiwa yang sangat menekan batinnya ini. Nalurinya sudah lama memperingatkannya, bahkan dulu sebelum Bu Runtah memutuskan untuk menerima lamaran suaminya yang sekarang hendak menjadikan Sanis sebagai istri mudanya. Bu Runtah sadar sepenuhnya bahwa suaminya telah enam kali menikah sebelum mengawininya. Tetapi perempuan itu berharap Pak Dira tidak akan mencari istri yang kedelapan. Dan terbukti sekarang, harapannya kosong belaka. Suka atau tidak suka perempuan itu akan segera memperoleh seorang madu, jauh lebih muda dan jauh lebih cantik, seorang gadis yang pernah dijadikannya model hampir satu setengah tahun yang lalu. Sejak terbukti bahwa suaminya benar-benar hendak mengawini Sanis, Bu Runtah setiap malam menangis dan menangis. Bukan hanya karena hendak dimadu itu saja, tetapi ia pun masih dipersedih pula oleh terjualnya tiga buah gelang, dua buah kalung emas, dan satu hektar sawah. Semua hartanya itu habis untuk membiayai suaminya, hingga menjadi seorang lurah sekarang.
Perih! Perih yang amat menyakitkan. Hanya itu yang terasa oleh Bu Runtah. Sakit karena dimadu, karena malu, karena hartanya yang harganya berjuta-juta rupiah telah hilang. Kenapa aku harus menerima ketidakadilan ini Kenapa suamiku tidak tahu diri, dari mana ia memperoleh biaya untuk menjadi lurah Oh, Gusti Pengeran, tepatilah janji-Mu untuk mengabulkan doa umat manusia yang teraniaya!
Atas anjuran orang-orang tua yang merasa kasihan terhadap dirinya, Bu Runtah hendak melakukan ikhtiar.
Begitulah, di pedukuhan kecil sana, pada suatu malam pedupaan Eyang Wira kembali mengepul. Selain semua jimat yang biasa dikeluarkan, terlihat sebuah ulek. Benda penggilas sambal itu terbuat dari kayu jeruk, dan sekarang terikat dengan seutas benang hitam.
Menjelang tengah malam, Bu Runtah dipanggil menghadap Eyang Wira. Kemudian dukun itu menyuruh tamunya pergi ke sumur, mandi keramas. Selama tamunya ke belakang, kakek itu berjalan mondar-mandir mengelilingi pedupaannya. Bila asap pedupaannya mengecil, ditaburkanny
a serbuk kemenyan ke dalam tungku.
Eyang Wira berusia tujuh puluhan. Istrinya meninggal beberapa tahun yang lalu. Yang melayani makan-minum kakek itu adalah anak perempuannya yang bungsu, yang tinggal di belakang rumah Eyang Wira.
Selesai mandi Bu Runtah menyisir rambutnya. Gulungan setagen dimasukkan ke dalam tas tangannya. Sebuah saputangan ikut teranyam dalam sanggulnya, supaya rambut Bu Runtah cepat kering. Kemudian perempuan itu bersimpuh di hadapan Eyang Wira, karena tidak
memakai setagen, sebagian kulit perut di bawah kancing kebayanya tampak. Hal ini tampak pula oleh Eyang Wira yang kemudian menjadi gelisah. Tiba-tiba kakek itu mengambil sikap bersemadi. Mulutnya membaca mantra. Kayu penggilas sambal itu diayun-ayunkan di atas atap pedupaan, lalu ditiupi mantra.
"Aku sudah tahu, pada suatu saat kau akan datang kemari. Banyak istri lurah yang datang padaku dengan membawa masalah yang sama."
"Iya, Eyang, saya minta pertolongan."
"Kau mau dimadu, bukan"
"Ya, Eyang sudah tahu."
"He-he, kalau mendengar hendak dimadu, setiap perempuan menjadi ribut. Kenapa" "Entahlah, Eyang, pokoknya saya minta pertolongan."
"He-he, aku mengerti. Bila sampai dimadu engkau hanya akan menjadi istri pertama, bukan istri utama. Suamimu hanya datang sebulan sekali bila istri mudanya berkain kotor. Kau tidak pernah lagi pergi ke undangan berdua, sebab suamimu lebih bangga menggandeng istri yang muda. Di rumah istri mudanya suamimu baru tidur menjelang pagi, tetapi di atas kasurmu dia sudah mendengkur pada pukul sembilan malam. He-he, dan ini..." - ia mencubit kulit perut perempuan itu - "takkan pernah berisi bayi lagi."
Episode 31 "Sudahlah, Eyang, usahakan agar perkawinan mereka batal." "He-he, kau mau memberi upah apa"
Eyang Wira mendekatkan muka, dekat sekali, sehingga istri Lurah Tanggir itu dapat mencium bau busuk yang tersebar melalui mulut Kakek Dukun. Bu Runtah meluruskan punggungnya.
"Eyang minta upah apa"
"He-he, wong ayu, upah yang kuminta itu sudah kaubawa. Kembang selasih, yah, hanya kembang selasih!"
"Oh, Eyang, saya tak membawa kembang selasih. Yang saya bawa ini kembang setaman." "He-he, wong ayu, kau tidak tahu kembang selasih"
"Tahu, Eyang. Di pasar banyak orang menjual kembang itu. Tetapi yang saya beli kembang setaman."
"Bukan. Bukan di pasar. Kau membawa kembang selasih itu sekarang."
Eyang Wira tersenyum. Matanya berbinar. Manik-maniknya turun-naik seperti celeret gombel. Bu Runtah bingung jadinya. Ia tak mengerti apa yang dimaksud oleh kakek dukun itu. Dengan gerakan tangan yang lambat, Eyang Wira meletakkan tangannya pada pundak pasiennya. Matanya hampir tertutup ketika laki-laki tua itu bersenandung.
"Kembang selasih, kembang selasih tilikana asih, kinumbaha bersih.
Kembang selasih, kembang selasih tilikana asih, kinumbaha bersih... "
"Nah, mengerti, wong ayu Kalau syarat itu kaupenuhi, hajatmu pasti terkabul."
Bu Runtah merasa sangat masygul. Sekarang ia tahu apa yang diminta oleh Eyang Wira. Wah, sembrono. Dalam telinganya masih terngiang, "Kembang selasih, kembang selasih. Tilikana asih, kinumbaha bersih." Ini pameo percabulan. Dukun tua itu mengajaknya berzina! Bu Runtah merasa kepalanya pening. Setelah beberapa saat ia dapat berpikir tenang, lalu menarik napas panjang. Kemudian Bu Runtah termangu-mangu.
Memang, pikir Bu Runtah. Sudah lama sekali aku dibiarkan tidur sendiri. Bahkan suamiku hendak mengambil seorang istri muda. Suamiku sama sekali tidak setia, ia pengkhianat. Kelakuan suaminya patut mendapat balasan yang setimpal, biar adil! Perzinaan pun jadilah, toh suamiku tidak puas dengan seorang istri.
Tidak. Pikiran Bu Runtah cepat berubah. Ia menangis dan eling. Suara dari kebeningan hatinya memperingatkan perempuan itu. Bukankah aku telah berjalan jauh ke rumah dukun ini untuk suatu tujuan, dan bukan percabulan Aku sedang berikhtiar agar suamiku kembali padaku. Mengapa aku sendiri mau ikut gila Belum tentu suamiku telah menjamah si Sanis itu. Tidak!
Bu Runtah mengangkat muka, siap menolak syarat yang diminta oleh Eyang Wira. Ketika itulah pandangan mata Bu Runtah ditangkap oleh sepasang mata cokelat yang
seakan berpijar. Makin ditatap mata Eyang Wira makin kuat memancarkan daya magis. Perempuan di hadapan kakek itu terisap kekuatannya, lemas, lemas, dan akhirnya lunglai terkulai.
Entah berapa lama Bu Runtah terkena sihir. Entah apa yang terjadi pada dirinya ketika ia sama sekali tidak sadar. Namun yang pertama kali teringat kembali olehnya adalah ketika ia dituntun oleh Eyang Wira keluar dari kamar. Risi di selangkangannya.
"Sudah, tak apa-apa, bukan Kau telah memberikan apa yang kuminta. Percayalah, kau akan memperoleh kembali setiap tetes yang menjadi hakmu. Sekarang lihat, apa ini"
"Pisang, Eyang," suara Bu Runtah kering. Ia menahan tangis.
"Masih kaku dan kencang. Ambillah. Nah, kupas dan makan isinya."
Bu Runtah patuh. "Bagaimana kulit pisang itu sekarang" tanya kakek itu. "Lemas, Eyang."
"Ya! Seperti kulit pisang itulah barang suamimu sekarang. Lemas. Maka biarlah dia kawin lagi karena hal itu sudah terlambat untuk dicegah. Kau jangan kecewa sebab madumu akan tetap perawan. Suamimu sudah tidak bisa melepaskan hajat. Barangnya lemas seperti kulit pisang yang baru kaumakan tadi."
Ketika melihat Bu Runtah termangu-mangu, Eyang Wira cepat tanggap. Maka ia segera menyambung kata-katanya.
"He-he, jangan khawatir, barang suamimu tidak akan terus lemas seperti kulit pisang. Dengar, ulek ini kaugantung di tempat yang tersembunyi. Selama benda ini dalam keadaan tergantung suamimu tetap menjadi laki-laki yang loyo. Kau harus menjaga agar suamimu tidak mengetahui benda yang kaugantung itu. Percayalah, bila sudah tumbuh jamur pada ulek itu, suamimu akan menceraikan istrinya. Kau harus cepat-cepat melepas benda yang kaugantung itu bila kau masih menginginkan malam pengantin yang kedua. He-he... "
Bukan karena benci terhadap Desa Tanggir, Bukit Cibalak, atau orang-orang yang tinggal di wilayah itu. Bukan, meskipun ternyata Pambudi tiga tahun lamanya tidak pulang kampung. Memang, ia pernah beberapa kali menengok orangtuanya, tetapi Pambudi tidak pernah tinggal lebih dari dua hari di Tanggir. Waktu liburan pun dihabiskan Pambudi di Yogya. Buku-buku pelajaran dan pekerjaannya hampir menghabiskan seluruh waktunya. Semua sungguh bukan kesia-siaan bagi pemuda Tanggir itu. Harian Kalawarta berkembang, walaupun lambat tetapi mantap. Pegawainya dapat menikmati gaji yang layak. Dalam perkembangannya Pambudi menjadi tangan kanan Pak Barkah dalam keluarga Kalawarta. Meskipun begitu Pak Barkah memberikan kesempatan yang longgar kepada Pambudi untuk menjadi mahasiswa yang cakap. Pemuda Tanggir itu telah menempuh ujian untuk memperoleh gelar sadana muda.
Episode 32 Tulisan-tulisan Pambudi dalam Kalawarta sudah dikenal orang secara luas. Ia mempunyai kegemaran mengetengahkan masalah-masalah kemasyarakatan, cara yang khas Pambudi. Bahasanya sederhana, lugas, dan komikal. Orang tidak harus menarik alis kuat-kuat bila membaca tulisan Pambudi, meskipun masalah yang dikemukakannya sensitif, bahkan mungkin mampu memancing suasana panas. Seri tulisannya yang terakhir diberi judul "Kemajuan di Pedesaan Perlu Arah yang Lebih Jelas", mendapat sambutan yang luas. Hal ini terbukti dari banyaknya surat yang diterima oleh Redaksi Kalawarta dari para pembaca.
Tetapi tentu saja tidak semua orang menyukai pemikiran Pambudi, setidak-tidaknya Camat Kalijambe. Kepala wilayah tersebut merasa tidak enak, sebab Pambudi menjadikan wilayah Kalijambe sebagai objek penelitian untuk seri tulisannya. Andaikata Pambudi hanya mengemukakan segi-segi yang baik, pasti ia malah mendapat hadiah dari Pak Camat. Soalnya Pambudi menulis dengan berpegang pada asas pokok jurnalisme, objektivitas.
"Saya merasa tersinggung," kata Pak Camat yang sedang dihadapi oleh anaknya sendiri, Bambang Sumbodo. "Seharusnya Pambudi berembuk dulu dengan saya sebelum ia menulis tentang daerah ini. Dengan demikian ia tidak melangkahi tata krama. Lagi pula ia dapat memperoleh data resmi yang ada pada saya. Sungguh saya tidak mengerti mengapa tulisan-tulisan Pambudi begitu kritis, bahkan sinis. Apakah karena ia merasa terbuang dari desanya sendiri Jangan-jangan karena Lurah Tanggir mengawini kesukaannya
, apa pun yang ada di daerah ini tampak buruk di matanya."
Bambang Sumbodo yang semenjak tadi menekuni tulisan Pambudi dalam Kalawarta, menghentikan bacaannya. Kemudian ia menanggapi ucapan ayahnya.
"Saya kira, urusan antara Sanis, Pambudi, dan Lurah Tanggir adalah perkara kebetulan. Selebihnya saya berpendapat, bagaimanapun tulisan dan pikiran Pambudi patut diperhatikan. Dia memandang kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh daerah ini menurut pandangannya sendiri. Ibarat terhadap sebuah piring, kita selalu memandang bidangnya yang cekung. Kita
hampir tidak pernah melihat bagian bidangnya yang cembung. Pambudi mengajak kita melihat kemajuan di sini dari segi yang lain.
Misalnya tulisan Pambudi yang satu ini. Dia berpendapat, hendaknya kita jangan menafsirkan secara tergesa-gesa seolah-olah banyaknya barang konsumsi mahal yang sudah dipunyai oleh orang desa membuktikan desa itu sudah maju. Banyaknya sepeda motor, mobil, TV, atau lainnya bukan menjadi pertanda mutlak adanya kemajuan di desa tersebut. Banyak orang bisa memiliki barang-barang mahal, sebetulnya mereka telah menjual barang modal: sawah, kerbau, atau pohon kelapa. Banyak orang desa yang dapat membangun rumah gedung, tetapi sawahnya bertambah sempit, bahkan habis sama sekali.
Ayah, bukankah tulisan Pambudi itu berdasarkan hal yang nyata Dan bagaimana tanggapan Ayah atas tulisan Pambudi yang satunya ini: Kita telah lengah membiarkan para pedagang menempa masyarakat yang bodoh menjadi konsumen yang patuh, bahkan fanatik. Contoh yang faktual adalah perbuatan seorang tani miskin yang merasa sangat bangga karena bisa membeli obat semprot nyamuk otomatis seharga seribu rupiah, sementara anak-istrinya makan nasi oyek. Hal demikian bisa terjadi karena iklan-iklan terus-menerus dilemparkan dengan gencar ke tengah-tengah masyarakat yang masih terbelakang."
"Wah, kita harus berhati-hati menilai tulisan seseorang. Apalagi kau seorang mantri polisi yang baru mendapat beslit. Sampai sejauh itu kita bisa menganggap Pambudi sedang menghafal teori-teori ilmu ekonomi. Tak mengapa walaupun tulisannya itu berbau teori pertentangan kelas. Cobalah baca tulisan Pambudi yang menyangkut desanya sendiri, Tanggir. Kau akan menemukan tendensi yang jelek padanya."
Pak Camat menyerahkan sehelai Kalawarta yang terbit sehari sebelumnya kepada Bambang. Anaknya menerima lembaran koran itu. Mantri polisi yang masih baru itu membetulkan letak kacamatanya, lalu mulai,
"Kehidupan kekoperasian di negeri ini dilandasi oleh suatu norma yang tidak tanggung-tanggung: undang-undang dasar negara, ditambah dengan seperangkat peraturan resmi lainnya. Tetapi kepercayaan penduduk Tanggir terhadap lembaga koperasi dirusak. Yang namanya koperasi di desa itu lebih tepat dinamakan badan usaha simpan-paksa-pinjam-sulit, dengan bunga pinjaman yang sangat tinggi. Keuntungannya memang besar karena koperasi itu telah meninggalkan asasnya yang utama: pelayanan sosial kepada seluruh anggota, bukan keuntungan semata-mata. Orang yang telah cukup berada malah gampang mendapat pinjaman dari lumbung koperasi. Orang semacam ini pasti akan mampu mengembalikan pinjaman itu dengan bunganya. Tetapi para anggota yang miskin, walaupun mereka juga membayar andil, sulit mendapat pinjaman. Adalah nyata bahwa banyak peminjam yang tidak mengembalikan pinjamannya. Namun dalam hal ini harus ada penelitian apakah peminjam itu beriktikad buruk atau karena benar-benar tidak mampu membayar kembali pinjamannya, dan inilah yang sebenarnya banyak terjadi. Kalau pengurus koperasi dapat mengambil sikap khusus terhadap para peminjam yang kaya, kenapa tidak juga kepada yang miskin, yang seharusnya lebih banyak diperhatikan. Jadilah lumbung koperasi di Tanggir suatu badan dagang murni yang telah dikuasai oleh pengurusnya secara mutlak. Pengurusnya sama sekali menutup mata, bahwa modal koperasi itu berasal dari para penduduk Tanggir, yang kaya dan yang melarat. Tentu, orang tidak percaya bahwa biaya pelantikan Kepala Desa Tanggir beberapa tahun yang lalu berasal dari uang milik koperasi yang diselewengkan... "
"Stop. Berhenti dulu, Bambang," sela Pak Camat
. "Tinggal sedikit lagi, Ayah, kita teruskan dulu.
Memang tidak gampang menemukan seorang lurah yang bersih. Sulit juga mencari seorang lurah yang mampu mengimbangi gagasan-gagasan pembaruan yang dicanangkan oleh orang-orang pandai di pusat. Lurah Tanggir bukan hanya tidak bersih dan tidak mampu, malah keadaan dirinya menjadi penghalang bagi terlaksananya gagasan-gagasan pembaruan dan pembangunan.
Pembangunan SD baru di Tanggir misalnya, dapat kita pakai sebagai alat peneliti siapa dan bagaimana penguasa di desa itu. Biaya pembangunan sebesar 4,35 juta, ditulis pada papan besar di halaman. Tetapi orang yang tidak terlalu pintar bisa mengatakan bahwa nilai bangunan itu tidak akan lebih dari dua juta. Orang yang tidak terlalu pintar juga dapat memaklumi mengapa Lurah Tanggir begitu royal dengan bekas istri mudanya... "
Episode 33 "Nah, itulah tulisan yang berisi iktikad buruk dan fitnah!"
"Wah, Ayah. Seorang terpelajar seperti Pambudi pasti tahu bahwa memfitnah seseorang dapat dipidana. Tentu Ayah pernah mendengar, ada kabar busuk yang pernah tersebar di Tanggir: Pambudi menggelapkan uang koperasi sebanyak 125.000 rupiah. Dapat kita tebak siapa yang membuat berita itu. Sekarang Pambudi sedang melancarkan serangan balasan. Kalau anak itu berbuat demikian, berarti ia sedang mengajak lurahnya berhadap-hadapan di depan pengadilan. Ayah, pertarungan akan menarik, namun Ayah akan terbawa-bawa. Bukan mustahil kalau Gubernur atau orang pusat sekalipun telah membaca tulisan Pambudi ini. Seandainya mereka turun tangan mendahului tindakan Ayah, bagaimana Sekali lagi Ayah akan dicap teledor. Salah-salah Ayah akan didakwa menutup-nutupi kecurangan seorang bawahan."
Pak Camat termenung, padahal hatinya terkejut. Lama sekali ia berdiam diri. Apa yang diucapkan oleh Bambang Sumbodo, memang benar. Sejak semula ia hendak mengatakan bahwa pendapat anaknya itu tidak salah. "Namun entah mengapa aku ingin menghindar dari kenyataan itu," kata Pak Camat dalam hati. "Oh, ya, rupanya aku sudah terbiasa dengan nilai yang mengutamakan kelenturan sikap, pragmatis. Akhirnya aku juga terbiasa membungkam hati nuraniku sendiri."
Keesokan hari Pak Camat menghadap Bupati. Ternyata atasannya sudah siap menerima laporan dari Camat Kalijambe itu. Sudah dua hari Bupati mengikuti tulisan Pambudi yang memfokuskan keadaan daerah yang termasuk wilayah kekuasaannya.
"Jangan sampai terjadi lagi aku ditegur Gubernur. Kita harus segera bertindak!" kata Bupati. "Bapak menyuruh saya membantah tulisan Pambudi"
"Tentu. Kumpulkan data yang resmi. Suruh seorang yang pandai menyusun suatu pernyataan bantahan, tetapi awas. Ambillah sikap yang tepat sehingga tidak tampak kita membela Lurah Tanggir. Jadi hati-hati dalam menyusun redaksi pemyataan itu. Kemudian gantilah Lurah Tanggir!"
Pak Camat kaget. Ia tidak mampu mengikuti logika atasannya. Tulisan Pambudi yang menyerang Lurah Tanggir harus dibantah, tetapi kemudian lurah itu harus diganti. Lama sekali Camat Kalijambe itu berpikir. Lalu ia menemukan pengertian jalan pikiran Bupati. Tulisan Pambudi harus dibantah demi kehormatan otoritas Pemerintah Daerah, yang tidak mungkin didikte oleh seorang wartawan harian kecil seperti Kalawarta. Pemecatan Lurah Tanggir juga perlu, sebab lama-lama ia berbahaya juga bagi nama baik Bupati dan segenap bawahannya.
"Ingat, dalam memberhentikan Lurah Tanggir, jangan sampai terkesan bahwa kita sedang menuruti kehendak Pambudi. Kita mempunyai wewenang dan martabat sendiri. Kita tidak usah diajari oleh orang luar. Harap diperhatikan!"
Bupati mengakhiri pertemuan singkat itu. Camat Kalijambe pulang. Sekarang agak bening hatinya. Namun ia harus mencari cara yang sebaik-baiknya untuk mencabut beslit Lurah Tanggir. Sehari penuh, sepulangnya dari Kabupaten, Camat Kalijambe duduk memikirkan bagaimana caranya agar ia mendapat alasan untuk memecat Pak Dirga. Bambang Sumbodo ikut membantu ayahnya.
"Kuakui masalahnya ruwet, seperti masalah Mbok Ralem dulu. Aku terpojok lagi," kata Pak Camat.
"Ayah, saya mempunyai usul." "Bagaimana"
"Panggil polisi. Laporkan semua tindakan Lurah Tanggir."
"Ooo, bocah bagu s, apa kaukira polisi belum tahu siapa Lurah Tanggir itu"
"Pokoknya Ayah harus mengambil tindakan menurut hukum, apa lagi"
"Bukan main! Anakku, kau mau mengatakan bahwa hukum harus ditegakkan meskipun langit jatuh, begitu Dengarlah, mantri polisi yang masih bau kencur! Urusan hukum itu kan hanya salah satu segi dalam kehidupan kita ini. Seorang pejabat tua seperti Ayah ini harus arif bila hendak menerapkan hukum terhadap suatu masalah. Masih banyak segi lain yang patut kita pertimbangkan sebelum kita memutuskan hendak menempuh jalan hukum. Misalnya Lurah Tanggir kita ajukan ke depan hakim, kemudian ia membela diri, 'Mengapa lurah itu, lurah sana, lurah anu tidak diperlakukan sama' Anakku, Bambang! Bayangkanlah seandainya pengadilan hanya sibuk mengurus perkara para lurah!"
"Dan Lurah Tanggir masih bersaudara dengan Sekda Kabupaten"
"Itu lagi." "Persis! Ayahku telah menjadi veteran tua," kata Bambang dalam hati.
"Sabarlah, akan kutempuh jalan kebijaksanaan. Sekali lagi kebijaksanaan."
"Maaf, Ayah, yang namanya kebijaksanaan selalu muncul dari kewenangan. Patokannya sangat subjektif dan baur. Kebijaksanaan tidak akan menyelesaikan masalah itu dengan tuntas. Ia hanya akan menggeser masalah itu ke samping, bukan menyelesaikannya sama sekali."
Sekali lagi Pak Camat bukan tidak percaya pada pendapat anaknya. Tetapi ia tidak mungkin menempuh cara yang diusulkan anaknya. Mengapa demikian, jawabannya akan segudang banyaknya.
Pokoknya, untuk membereskan masalah Lurah Tanggir, Pak Camat akhirnya menemukan sebuah cara: Diam-diam ia menyuruh seseorang menyelenggarakan meja judi. Dapat dipastikan Pak Dirga akan muncul di arena judi itu. Apalagi dengan bisik-bisik diberitakan, bahwa beberapa perempuan cantik akan melayani meja judi itu. Pada malam kedua Pak Dirga masuk perangkap. Seorang jaksa menangkap basah Lurah Tanggir itu sedang mengocok kartu.
Memang, siapa pun tahu, bukan baru sekali itu Pak Dirga bermain judi. Ia pejudi. Tetapi hal itu tidak penting. Yang jelas, sekarang ada alasan resmi untuk menjemur Pak Dirga di halaman kantor polisi. Langkah pertama yang telah ditempuh Pak Camat telah berhasil menjatuhkan Lurah Tanggir. Pendapat umum atas tindakan selanjutnya telah diarahkan dengan sempurna. Sesudah dijemur di halaman kantor polisi itu, beslit Pak Dirga dicabut. Gampang, sangat gampang. Diharapkan semua orang akan berkata, "Lurah Tanggir dipecat gara-gara ia bermain judi." Bukan dengan alasan lain, apa pun bunyinya.
Demikian, ternyata pemecatan Lurah Tanggir itu berbuntut pendek saja. Suatu ketika Pak Camat mendapat pujian Bupati karena prestasi ini.
Episode 34 Amat banyak yang dialami Pambudi selama tinggal di Yogya tiga tahun terakhir ini. Tahun pertama, setelah meninggalkan toko arloji itu ia bekerja pada harian Kalawarta. Pak Barkah membimbingnya sehingga anak Tanggir itu bisa menjadi seorang jurnalis tanpa pendidikan formal. Masih dalam tahun pertama, Pambudi masuk ke fakultas teknik. Sungguh, tanpa kemauan yang keras ia tidak akan mungkin menjadi mahasiswa yang pintar sebab ia kuliah sambil bekerja untuk Kalawarta. Juga tidak bisa diabaikan sikap Pak Barkah yang tidak hanya menganggap Pambudi sebagai pegawainya. Orang tua itu dengan sungguh-sungguh mengarahkan perkembangan Pambudi. Di samping Pambudi memang menjadi tenaga penting dalam harian Kalawarta, Pak Barkah masih mempunyai alasan moral untuk membina anak Tanggir itu lebih lanjut.
Tahun kedua, Pambudi mendapat pukulan batin yang keras. Sanis, yang sedang dinanti kematangannya, diambil oleh Pak Dirga. Pambudi tidak malu mengakui bahwa hatinya terguncang. Sakitnya kehilangan seorang kekasih, sakitnya menghadapi kenyataan bahwa dirinya tidak cukup berharga di mata anak Pak Modin itu. Lebih sakit daripada menerima dakwaan melarikan uang milik koperasi Desa Tanggir. Untung, ia berangsur-angsur dapat melupakan kesusahannya dengan bersikap terbuka. Pambudi waktu itu menceritakan dengan terus terang kepada Pak Barkah apa yang baru saja dialaminya. Senyum Pak Barkah, petuah-petuahnya, mampu meyakinkan Pambudi, bahwa bagi seorang laki-laki cinta bukanlah segalanya. Baga
imana Pambudi bisa meyakini kata-kata atasannya, terbukti ketika beberapa bulan kemudian Sanis sudah menjadi janda, Pambudi tidak lagi berminat padanya.
Pambudi naik ke tingkat dua pada fakultas teknik itu. Kejenuhannya sedikit berkurang ketika ternyata Mulyani menyusulnya menjadi mahasiswa pada fakultas yang sama. Mahasiswi yang baru saja dipelonco itu mengetahui keadaan Pambudi, yang baru saja kehilangan Sanis. Dari mana Mulyani tahu soal itu, hanya dialah yang bisa menerangkan. Yang jelas ia selalu berusaha agar Pambudi tidak terus-terusan murung. Mereka sering makan bakso bersama, nonton bersama. Dan yang paling sering mereka duduk-duduk di perpustakaan fakultas sambil menghadapi lembaran teka-teki silang dan keripik usus ayam.
Menjelang ujian kenaikan tingkat, Mulyani makin menyandarkan diri pada Pambudi. Malam-malam ia sering datang menyusul ke kantor Redaksi Kalawarta. Pambudi memang sering tidak pulang, belajar, bahkan tidur di tempat itu. Mulyani tidak peduli pada mamanya yang nyinyir. Paling-paling Mulyani hanya akan menelepon dari tempat Pambudi dan mengatakan kepada mamanya di mana ia saat itu berada. Pak Barkah percaya, kedua orang muda itu sudah dewasa, sehingga ia tidak pernah berkata apa pun selama mereka tahu membawa diri dan tidak mengurangi kelancaran kerja Kalawarta.
Mulyani berhasil naik ke tingkat dua, Pambudi ke tingkat tiga. Ada jam tangan baru di tangan kiri Pambudi. Ada baju baru melekat di badannya. Hanya mereka berdua yang tahu bahwa barang-barang itu pemberian Mulyani.
Tahun ketiga, Pambudi lulus ujian sarjana muda. Ia merasa senang dan bersyukur. Tetapi ia diam saja ketika Mulyani menciumnya. Pambudi bersiap-siap hendak menengok orangtuanya di Tanggir sambil menyampaikan kabar bahwa ia sudah lulus ujian. Ia baru akan berangkat tiga hati lagi karena akan menyelesaikan sebuah artikel yang sudah telanjur ditulisnya. Namun sebuah interlokal datang dari Tanggir. Ayahnya meninggal dengan mendadak karena terjatuh di dekat sumur. Keberangkatan Pambudi ke Tanggir dipercepat saat itu juga. Ia hanya sempat berpamitan kepada Pak Barkah.
Sampai di rumah, kakak perempuan dan ibunya menyambutnya dengan tangis. Tetapi Pambudi tetap tenang. Ia sangat yakin bahwa kematian adalah sekadar proses alami yang langsung dikendalikan oleh Tuhan dari arasy. Pemuda itu segera pergi ke sumur lalu bersembahyang di samping jenazah ayahnya. Kalau Pambudi meneteskan air mata bukanlah pertanda ia bersedih. Ia kecewa karena sebenarnya ia ingin memperlihatkan ijazah yang baru diraih kepada ayahnya. Hanya terlambat beberapa jam.
Banyak orang hadir melayat kematian itu. Lurah yang baru tidak ketinggalan. Pengganti Pak Dirga masih sangat muda, belum beristri, Hadi namanya. Pemuda itu berijazah STM. Menurut pandangan sekilas Hadi akan mampu membawa perbaikan-perbaikan di Tanggir. Ia juga sadar apa dan bagaimana pemuda Tanggir yang bernama Pambudi itu. Maka pada waktu datang melayat kematian ayah Pambudi, lurah baru itu berlaku hormat terhadap tuan rumah. Seolah-olah dengan sikapnya itu ia hendak menyatakan, "Aku berjanji akan bekerja lebih baik, lebih jujur daripada Pak Dirga!"
Sanis juga datang, naik Vespa. Ia makin cantik saja meskipun telah menjanda. Pambudi tahu, Sanis ingin berkata banyak, tetapi ia hanya melayaninya dengan sederhana. Bukan waktunya berbicara yang bukan-bukan selagi jenazah ayahnya terbujur menunggu saat penguburan. Lagi pula Pambudi tidak ingin kenangan lamanya tergelitik dan bangkit kembali.
Bambang Sumbodo datang tepat pada saat keranda diangkat. Pambudi tidak dapat menyantuninya dengan baik, karena ia ikut memanggul jenazah ayahnya. Syukurlah, Bambang serta Hadi ikut mengantarkan jenazah sampai ke Pekuburan Ampeljajar, di sebelah utara Bukit Cibalak.
Pulang dari pekuburan, tiga orang muda itu berjalan bersama-sama: Bambang Sumbodo, Hadi, dan Pambudi. Mereka sangat akrab bukan karena rasa simpati saja. Baik Bambang Sumbodo, maupun Hadi, sudah lama ingin berhadapan muka dengan Pambudi, anak muda Tanggir yang memiliki kepribadian amat menonjol. Karena rasa akrab itu Bambang lupa bahwa mereka baru saja mengub
urkan ayah Pambudi. Ia berseloroh.
"Pam, kulihat Sanis tadi di rumahmu. Mengapa kau tidak menahannya sekalian Kukira mataku tidak salah, aku telah melihat seorang janda yang baru berusia tujuh belas dan sangat cantik."
"Husy," desis Pambudi.
Tetapi Bambang mendesak terus dengan gencar. "Alaaah, Pam, aku kan tahu, dulu kau menginginkannya. Apa salahnya, tidak kena perawan, jandanya pun jadi."
"Tidak adil kalau kita tidak menawarkannya kepada Hadi, lurah kita yang baru dan masih bujangan ini. Seorang janda lurah akan turun derajatnya bila kemudian dikawim oleh laki-laki yang berpangkat lebih rendah. Ayo, siapa yang berani mendebat pendapatku ini"
Episode 35 Sesungguhnya Pambudi hanya berseloroh. Namun tak urung Hadi menjadi merah mukanya, karena secara kebetulan perasaan hatinya tertebak. Maka lurah muda itu tidak bisa berbuat lain kecuali celala-celili dengan senyum kecut. Dalam hati Hadi bersorak. Seandainya benar, Pambudi tidak lagi tertarik pada Sanis...
Sudah delapan hari Pambudi berada di Tanggir. Sebenarnya ia harus sudah berada di Yogya kembali, mengingat Pak Barkah akan terlalu repot bila ditinggalkannya terlalu lama. Namun Pambudi belum selesai membereskan segala urusan akibat kematian ayahnya. Ibu Pambudi kini tinggal seorang diri dan Pambudi belum memmuskan bagaimana selanjutnya. Kemungkinan yang sudah dipikirkannya adalah mendatangkan kakak perempuannya agar tinggal bersama orang tua itu. Dan untuk ini Pambudi belum berbicara dengan yang bersangkutan. Tetapi Pambudi percaya, kakaknya tidak akan berkeberatan, apalagi bila ia juga diserahi peternakan ayamnya.
Pambudi sedang memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu ketika seorang tamu datang bermobil. Menurut penglihatan Pambudi, tamunya tampak bertambah langsing. Bentuk mata Mulyani berubah, ada garis lipatan kecil di atas bulu matanya. Seperti bukan mata Mandarin. Lengkung rahang gadis itu bertambah lonjong.
"Hanya seorang diri, Mul" tanya Pambudi setelah mereka duduk berhadap-hadapan. "Berdua dengan Pak Sopir."
"Wah, sayang kau datang mendadak. Sebetulnya di samping rumah ini ada pohon manggis, buahnya masak-masak."
"Soal itu nanti saja. Terimalah dulu rasa simpatiku atas kematian ayahmu. Aku mendengar hal ini kemarin dari Pak Barkah, ketika aku mencarimu ke sana."
"Oh, ya, terima kasih, Mul."
"Kemudian..." Mulyani tidak meneruskan kata-katanya. Dipandangnya wajah Pambudi namun hanya sesaat. Yang dipandang menjadi bertanya-tanya dalam hati.
"Teruskan, Mul."
Tetapi Mulyani diam saja. Pambudi teringat ketika ia masih bekerja pada mama gadis ini. Mulyani seorang perajuk.
"Tetapi kau masih berkabung. Bagaimana, Pam"
"Tak mengapa, katakanlah. Aku telah dapat menerima kematian ayahku dengan ikhlas. Sekarang aku tidak berkabung lagi."
"Liburan masih lima hari lagi, bukan"
"Benar." "Apa rencanamu"
"Wah, sungguh aku tidak mempunyai rencana apa-apa. Paling-paling aku akan segera kembali ke Yogya, sebab Pak Barkah pasti sudah menungguku. Oh, maafkan sebentar, aku hendak menyuruh anak-anak memetik manggis."
Mulyani hendak menahan Pambudi agar tetap duduk. Ia merasa belum puas karena belum sempat menyampaikan hal yang amat penting baginya. Tetapi terlambat, Pambudi sudah bangkit dan masuk ke dalam. Ketika keluar lagi beberapa menit kemudian Pambudi langsung membidik Mulyani dengan tustelnya. Gadis itu kaget oleh sinar lampu blitz.
"Tidak lucu, Pam, sungguh."
"Memang aku tidak bermaksud membanyol."
"Bagaimana kalau aku marah"
"Baru sekali im kudengar seorang yang hendak marah pakai permisi dulu." "Tengik kau!"
"Lho, aku sudah mandi dengan sabun yang mengandung parfum Cleopatra. Jangan percaya pada kata-kata tukang iklan sebelum kau menciumnya sendiri."
Mulyani mencari sesuatu untuk dilemparkan kepada Pambudi. Sehelai saputangan putih melayang ke wajah pemuda itu. Tidak puas, Mulyani hendak menampar pipi Pambudi, tetapi tangannya tertangkap. Seorang anak kecil melihat adegan ini dan termangu. Ia menjatuhkan keranjang yang berisi buah manggis kemudian berlari cepat-cepat.
"Maaf, Mul. Aku memang keterlaluan. Tetapi cuma olok-olok."
"Aku marah betul, lho, Pam, aku marah."
"Ya, maka aku minta maaf."
"Kaukira segampang itu meminta maaf padaku Ada syaratnya!"
"Akan kupenuhi apa pun yang kausyaratkan, asal kaumaafkan aku."
"Betul Aku khawatir kau akan menolak syarat yang kuminta. Begini, Pam, sebaiknya kita jangan meneruskan pembicaraan ini di sini. Kita pergi ke Bandung. Kalau kau mau menggantikan Pak Sopir, olok-olokmu akan kumaafkan. Hayo, bagaimana"
"Wah, tawaran ini sangat mendadak. Tetapi tak pantas kutolak. Masalahnya hari sudah terlalu siang, Mul, pulangnya malam"
"Tak usah khawatir, mobilku berlampu, masih baru pula."
"Ya, aku tahu. Barangkali aku akan menolak ajakanmu bila kau membawa mobil tua."
"Dasar laki-laki! Pam, kau pasti tak merasa bahwa kata-katamu tadi sangat menyakitkan hatiku. Kau hanya berminat karena mobitku baru. Seandainya kau tahu bahwa mobil itu hanya berharga 50 juta..."
"Maaf, Tuan Putri. Mobil itu hanya berharga 50 juta. Tapi pemiliknya, tak ternilai harganya."
Kedua pipi Mulyani memerah. Tiba-tiba jantungnya terpacu. Dengan gerakan yang kikuk ia membuka dompet dan menarik lima ribuan. Mulyani kemudian keluar, memberikan uang itu kepada Pak Sopir. Laki-laki itu disuruhnya pulang ke Yogya, naik bus.
Pambudi bersiap-siap. Selama ia di kamar, ibunya menemani Mulyani di depan. Tetapi perempuan itu hanya menjadi pendengar. Barangkali ia malu karena logat Tanggir amat jauh berbeda dengan logat Yogya. Hanya dalam hati ibu Pambudi bertanya, mengapa anaknya tampak sangat akrab dengan gadis yang kuning dan tampaknya anak orang kaya.
Episode 36 Dalam perjalanan ke Bandung, Mulyani menjadi pendiam. Hanya sekali-sekali ia melirik Pambudi yang duduk di belakang kemudi. Atau ia mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Pambudi menghidupkan kaset, tetapi Mulyani mematikannya segera.
"Wah, aku jadi rikuh. Kau murung saja, Mul"
"Benar" tanya Mulyani tanpa menoleh.
"Sungguh, aku bingung. Aku tak mengerti!"
"Mengapa, Pam" "Aku yang harus bertanya, mengapa kau murung begitu."
"Pambudi, kau sungguh aneh. Kau sudah jadi sarjana. Apakah kau lupa bahwa pembicaraan kita di rumahmu tadi belum selesai"
"Oh, ya... " "Dengarlah, Pambudi. Sudah kukatakan, selain hendak menyampaikan rasa simpati atas kematian ayahmu, aku membawa masalah lain."
"Baiklah, sekarang katakan!"
Mulyani menunduk. Tangannya bermain-main dengan sebuah manggis yang dibawa Pambudi dari rumah.
Ini dia! Pambudi hafal benar, bila Mulyani sudah bersikap demikian, pasti ada sesuatu yang dituntutnya.
"Mul, bagaimana aku dapat mengetahui masalah yang kaumaksud, bila kau sendiri tidak mengatakannya"
"Benci, benciiii! Sejak pertama kali berbicara padamu empat tahun yang lalu aku sudah benci padamu. Kau tidak menghargai perasaan! Segalanya kauatasi dengan otakmu! Oh, maafkan aku, Mas Pam, aku telah berbicara kasar. Sekarang hentikan dulu mobil ini."
Pambudi patuh, menepikan mobil itu kemudian mematikan motornya. Di depan mereka ada tebing melandai yang berakhir pada sebuah sungai kecil. Di kiri-kanan mereka hutan karet. Dalam kesibukannya memarkir mobil, Pambudi merasa ada keanehan. Mulyani memanggilnya dengan sebutan "Mas". Tak pernah Mulyani berbuat demikian sebelumnya.
"Sungguh, Mas Pam, mestinya kau yang mengemukakan masalah yang akan kukatakan berikut ini. Bukan aku. Tetapi karena kau selalu begitu-begitu saja, aku telah melanggar naluriku sendiri sebagai seorang perempuan. Mas Pam, kita harus berbicara sekarang, kita harus berbicara... "
Pambudi menoleh ke samping. Sepasang mata menatapnya. Indra yang sedang tampil mewakili perasaan jiwa yang paling jujur. Hanya beberapa detik sepasang mata Mulyani memancarkan getaran-getaran lembut, pulsa nuraniah yang langsung ditangkap oleh jiwa Pambudi. Waktu yang sesingkat itu rupanya telah mengisap habis tenaga Mulyani. Napasnya terengah-engah, menangis, kemudian Mulyani bersandar pada pundak Pambudi.
"Mul," bisik Pambudi.
"Ya, Mas Pam." "Terpaksa aku menerima dakwaanmu sebagai orang yang kelewat egois. Semula aku adalah pegawaimu, lalu meningkat menjadi sahabatmu. Yang terakhir aku menjadi kakak kelasmu di fakultas. Ketiga peran itu telah kutunaikan dengan baik, bukan Sampai di titik ini
, masihkah ada sesuatu yang dapat kuberikan padamu"
"Kau bersungguh-sungguh dengan pertanyaan itu, Mas Pam"
"Tentu!" "Tak seorang pun mengatakan bahwa kau seorang pemuda dungu, aku pun tidak mengatakan demikian. Benarkah kau tidak tahu apa yang ingin kudengar darimu"
"Maksudku, aku ingin mendengar sendiri kau mengatakannya. Jangan kausuruh aku menebak-nebak."
"Sungguh, Mas Pam, kau laki-laki yang tidak berperasaan."
Kini Mulyani bukan hanya bersandar kepada Pambudi. Ia memeluk pemuda itu erat-erat. Tangisnya berderai lagi. Dalam hati Pambudi berkecamuk peperangan berbagai perasaan. Masing-masing perasaan menuntut Pambudi, mendesak agar dituruti. Ketika segalanya mengendap, Pambudi dapat berpikir tenang. Kesadaran muncul. Ia tahu siapa dirinya, suatu pengetahuan yang datang bersama kejujuran. Pambudi bercakap-cakap dengan dirinya sendiri.
"Aku seorang pemuda biasa yang berumur 27 tahun. Tak ada yang kurang pada diriku, utuh dan sehat. Apa yang dirasakan oleh Mulyani, aku pun merasakannya pula. Rasa cinta tidak mati, meskipun aku telah dikhianatinya. Apa salahnya kalau kuakui bahwa Mulyani segar dan lembut. Apa salahnya kalau aku berkata bahwa sudah lama aku tertarik padanya. Tetapi yang kutampilkan adalah sikap kemunafikan. Tak ada rasa rendah diri padaku terhadap Mulyani karena ia sangat kaya. Tidak ada juga rasa angkuh. Yang ada hanyalah suara akal sehat. Dengan sungguh-sungguh aku berusaha supaya aku tidak jatuh cinta kepada Mulyani, karena tentang cinta aku berpendirian sangat kolot: Rasa cinta hanya tersedia buat bekal perkawinan. Nah, aku hendak mengawini Mulyani Oh, seribu perbedaan yang harus
kusingkirkan sebelum aku memutuskan berbuat demikian. Cinta tidak akan lestari bila berjalan terlalu jauh dari kenyataan. Itulah sebabnya aku mendorong Kho Liong Bun supaya cepat menggandeng Mulyani ketika aku tahu jago bola basket di fakultasku itu tertarik kepada Mulyani. Sayang, Mul tidak melayaninya."
"Mul, apakah kau tidak sadar ada pemisah di antara kita berdua Bukankah kita berdua lahir dalam keadaan yang serba berbeda Apakah... "
"Sudah! Aku benciii! Mas Pam, kau berbicara seperti anak ingusan. Aku sadar dan aku tahu dengan jelas, tak ada beda apa pun antara kau dan aku. Atau setidaknya kau telah mengatakan aku tampak pantas ketika aku berkain kebaya pada saat graduation day dulu. Bahkan kaulihat, mataku telah dioperasi. Kau tak tahu untuk siapa semua itu kulakukan, bukan Karena pada dirimu tak ada yang namanya perasaan."
Pambudi terpojok. Ia harus mengakui bahwa percuma saja terus-menerus bermunafik-munafikan. Maka diangkatnya wajah Mulyani. Mereka bertatapan. Hati dan jiwa keduanya bertatapan.
Angin berdesau menembus hutan karet di kiri-kanan mereka. Pambudi hendak menuntun Mulyani keluar dari mobil. Tetapi urung setelah mereka melihat dua orang anak sedang memandikan kerbau di kali kecil di hadapan mereka. Keduanya masuk kembali. Mesin dihidupkan, tetapi Mulyani berbisik, suaranya dalam dan pelan, "Mas Pam, kita tidak jadi ke Bandung. Mari, antarkan aku pulang ke Yogya."
Mobil itu berbalik, kembali ke timur. Bukit Cibalak ada di samping kanan mereka. Cibalak diam, sabar menanti apa pun yang bakal terjadi pada dirinya. Tetapi seolah-olah Cibalak mengerti, seorang pencintanya sedang pergi meninggalkannya. Seandainya ia bisa bertutur kata, pastilah Cibalak akan berseru, "Karena Mulyani, apakah kau akan meninggalkan aku, Pambudi" Seruannya tidak pernah terdengar orang. Dan Bukit Cibalak membisu abadi.
Tamat tamat Pembalasan Dewibunga Kematian 2 Pendekar Kelana Sakti 6 Bidadari Kuil Neraka Tantangan The Dare 3
^