Pencarian

Negara Kelima 6

Negara Kelima Karya Es Ito Bagian 6


Dari dalam tas kulit berwarna hitam, Nyonya Amanda mengeluarkan sebuah ponsel. Berbeda dengan ponselnya yang terkesan elegan dengan paduan batu safir pada pinggirnya, ponsel yang ia keluarkan itu lebih cocok untuk gadis-gadis baru dewasa. Cukup besar dengan tambahan kamera dan video di dalamnya. Ia memencet-mencet ponsel itu, lalu ia serahkan pada Timur Mangkuto. Tangannya tampak menggigil ketika menyerahkan benda itu.
"Saya takut..." ia berkata tertahan.
Durasi dua menit. Posisi kamera statis. Video kamera pada ponsel itu merekam sesuatu yang tidak seharusnya terekam. Seorang gadis muda dengan penuh gairah tengah melakukan hubungan seksual dengan seorang laki-laki. Durasi dua menit, mereka puaskan hasrat. Diakhiri dengan tawa.
"Siapa ini""
Wajah Timur Mangkuto menjadi merah setelah melihat rekaman pada file berbentuk video yang ter-dapat pada ponsel itu. Nyonya Amanda meraih ponsel itu, lalu ia pencet lagi dan serahkan kembali pada Timur Mangkuto.
"Yang tadi belum semua..."
Durasi dua menit. Posisi kamera statis. Adegan yang sama. Tetapi dengan gadis dan laki-laki berbeda.
Eva Duani terbangun mendengar suara dan erangan yang keluar dari dalam ponsel. Beberapa kali ia me-nahan ludah jijik melihat adegan dalam video pendek itu. Timur Mangkuto menatap Nyonya Amanda penuh tanda tanya, berharap dari mulut perempuan itu segera keluar penjelasan yang pasti.
"Salah satu dari dua gadis itu adalah Maureen!"
Ia tertunduk, menangis sesenggukan kemudian menyandarkan diri pada jok mobil yang empuk.
Setelah menenangkan diri sejenak, ia mulai bi
sa bercerita. Ponsel itu ia temukan siang hari setelah kematian Maureen. Ia temukan dalam tumpukan pa-kaian pada lemari kamar Maureen. Ponsel itu menggunakan nomor yang berbeda, lain dari nomor yang biasa digunakan oleh puterinya itu. Malam harinya, ia membuka isi ponselnya. Rekaman video itu ia temukan tidak sengaja. Muncul begitu saja. Puteri bungsunya yang sering bersikap manja telah melakukan perbuatan itu. Ia tidak
pernah buka mulut pada siapa pun hingga saat ini. Bahkan rahasia ini ia jaga juga dari polisi yang mengadakan penyelidikan. Sulit bagi dirinya un-tuk tidak mengakui bahwa semua ini adalah aib.
Kombes Atmakusumah tampaknya benar-benar bisa meyakinkan janda kaya itu bahwa Timur Mangkuto bukan pelaku pembunuhan. Dan hanya Timur Mangkuto yang bisa menemukan pembunuh anaknya. Sehingga ia berani membuka semua hal yang ia sem-bunyikan selama ini, kepada Timur Mangkuto.
"Siapa gadis yang satu lagi"" potong Timur Mangkuto.
"Alish." "Alish juga adalah anggota genk Lidya, Maureen, dan Ovi"" Timur Mangkuto mencari kepastian.
"Iya," Nyonya Amanda kembali terisak, tidak kuasa menahan tangis. "Hingga saat ini tidak ada yang tahu bagaimana nasib dia."
"Masing-masing dengan pacar mereka""
Nyonya Amanda menganggukkan kepala. Timur Mangkuto mulai mengerti kenapa perempuan itu me-rasa perlu bercerita tentang masalah keluarganya se-belum memperlihatkan rekaman video. Kemungkinan baru dari kasus ini muncul. Timur Mangkuto mulai takut, kalau dua kasus yang tengah ia hadapi ini sebenarnya tidak berhubungan.
"Kenapa tidak lapor polisi, Bu"" Eva Duani ber-bicara dengan nada lirih. "Saya takut..."
"Takut kalau ini akan diangkat media"" "Salah satunya!"
Berbeda dengan keyakinan Timur Mangkuto. Eva Duani malah berimajinasi menghubungkan dua kasus ini. Ia sering meneliti berbagai ritual masa silam menduga jangan-jangan yang dilakukan oleh anak-anak ingusan itu lebih dari sekadar seks semata, mungkin semacam ritual. Seks bagian dari ritual kelompok tertentu atau bahkan mungkin KePaRad. Lalu mungkin karena sesuatu dan lain hal, Lidya mengancam akan membuka rahasia kelompok kepada ayahnya. Ia di-bunuh, tiga orang kawan dekatnya ikut menjadi korban untuk tutup mulut. Tetapi ketika keyakinan ini ia paparkan kepada Timur Mangkuto, perwira muda buron itu hanya menjawab pendek.
"Kita tidak lagi bisa meraba-raba kasus. Ini harus diselidiki."
Keluar dari pintu tol Cilegon, mobil berbelok ke arah kanan menuju pelabuhan penyeberangan Merak.
Lewat telepon, Uni Reno memberi tahu Timur Mangkuto. Bahwa Makwo Katik naik bis ANS jurusan Bukittinggi. Bis itu tidak sedang membawa pe-num-pang. Hanya saja Uda War, sopir bis itu, diminta untuk membawa bis ke Bukittinggi untuk memperkuat armada lokal bis.
Makwo Katik ditawari untuk ikut dengan bis sebab pe numpangnya tidak lebih dari sepuluh orang. Dari Jalan Pemuda dekat Rawamangun bis itu baru be-rangkat sekitar pukul sepuluh malam. Sudah menjadi kebiasaan, sebelum menyeberang, bis ANS selalu ber-henti di rumah makan Rajawali. Timur Mangkuto berharap, walaupun tidak sedang membawa pe-num-pang bis ia juga berhenti di rumah makan yang terletak lima kilometer sebelum pelabuhan.
Jalanan aspal berdebu harus mereka lewati. Lalu lalang kendaraan berat dari dan menuju pelabuhan
penyeberangan seperti keramaian siang di Jakarta. Su-dah lebih dari satu jam sejak titik pergantian hari, Timur Mangkuto merasa sudah terlambat. Tiba-tiba ia berteriak ketika dari arah kanan jalan sebuah bis besar berwarna putih akan keluar dari rumah makan Rajawali.
"Ambil kanan, Pak," perintahnya.
"Tapi..." sopir itu tampak ragu-ragu.
"Sekarang! Lewati saja pembatas jalan," Timur Mang kuto yakin bis yang tengah berusaha keluar itu adalah ANS yang ia kejar. #
61 Dalam kegelapan, Profesor Budi Sasmito coba mencari-cari korek gas milik Steve yang tadi ditaruh dekat kursi. Tangannya meraba-raba. Ia tidak mengerti kenapa Steve diam saja. Sementara, dentang jam terdengar menunjukkan pukul dua belas malam.
Setelah lama mencari, akhirnya korek api gas berhasil ia dapatkan. Ia menyalakan kemudian membalikkan badan berjalan ke arah Steve. Ia kage
t melihat tempat duduk itu kosong. Lebih kaget lagi ketika sebuah tangan menyentuh pundaknya. Ia membalikkan badan lagi. Ia terpekik sebab satu sosok beberapa senti lebih tinggi dari dirinya telah mencengkeram lehernya.
Laki-laki dengan pakaian serba gelap. Kerah baju gelapnya agak menaik menutupi bagian tengkuk. Pada bagian tengkuk terdapat garis-garis putih mengilat. Garis-garis itu membentuk sebuah pola dimensi tiga, sebuah gambar piramid.
Keringat dingin mulai mengucur dari sela-sela tepi kening Profesor Budi Sasmito. Tiba-tiba saja bulu romanya berdiri. Sosok itu seperti malaikat maut yang tengah dalam misi menjemput nyawanya.
"Tolong, jangan..." Profesor Budi Sasmito memohon.
"Jangan bunuh saya. Saya akan melakukan apapun untuk..."
Sosok gelap itu meniup api yang masih menyala dari korek gas itu. Ia memperkuat cengkeramannya pada leher Profesor Budi Sasmito. Tampaknya ia sangat menikmati ketakutan Profesor Budi Sasmito.
"Melakukan apa pun"" sosok itu mengeluarkan suara berat.
"Iya, saya akan menukarkan apa saja untuk nyawa saya! Tolong, jangan bunuh saya."
Sosok itu melemahkan cengkeramannya pada leher Profesor Budi Sasmito.
"Steve, nyalakan lampunya"" suara sosok itu sekarang berubah menjadi satu suara yang selama ini akrab di telinga Profesor Budi Sasmito.
Tidak lama tegangan listrik naik kembali. Lampu kamar kembali menyala. Profesor Budi Sasmito se-makin heran. Perasaan bercampur baur ketika melihat Steve mengunci pintu kamarnya. Ia membalikkan ba-dan menatap sosok yang tadi mencengkeramnya, "Melvin!" Ia berseru tertahan.
Melvin tersenyum. Ia melepaskan kancing bagian a-tas pakaian warna gelapnya. Ia berjalan mendekati Steve.
"Bagaimana kalian saling kenal"" Profesor Budi Sasmito seakan tidak percaya melihat kenyataan itu.
"Sekarang Anda tidak akan merasa pintar sendiri lagi, Prof"" Melvin tersenyum licik. "Semua ini hanya skenario, Prof. Sekadar skenario biasa."
"Apa maksud dengan kata-katamu"" keberanian Profesor Budi Sasmito perlahan-lahan bangkit.
"Steve tadi hanya memancing-mancing Anda, Prof. Aku dari tadi sudah menunggu di luar. Kami hanya melakukan permainan kucing dan tikus. Dimainkan dulu sebelum dimakan." Melvin mendekatinya. "Duduk, Prof."
"Ada apa dengan ini semua"" Profesor Budi Sasmito masih ingin mencari kepastian.
"Anda terlalu congkak, Prof," Steve menyela. "Merasa menguasai permainan ini, padahal dari awal kami yang memegang kendali permainan."
"Kami"" "Ya, kami!" jawab Melvin. "Tetapi kenapa""
"Bagian yang Anda janjikan untuk kami berdua sangat sedikit, Prof," lanjut Melvin. "Itu sebabnya sebulan yang lalu aku menghubungi nomor yang biasa menelpon Anda di ponsel. Masalah Steve tidak jauh berbeda dengan bagianku. Kami sepakat untuk bekerja sama. Sejak itu kami yang mengendalikan permainan, Prof."
"Tetapi bukankah kita bisa merundingkan kembali pembagian uang itu""
Melvin tersenyum sinis mendengar tawaran itu. Steve menyahuti senyumnya.
"Sudah terlambat, Prof. Anda tidak lagi kami butuhkan." Melvin tertawa pelan. "Aku sudah me-nguasai Timur Mangkuto. Ia akan melaporkan setiap temuannya padaku. Aku baru saja me-nyelamat-kannya..."
"Setan! Jadi kau punya agenda tersendiri ketika mengalihkan pasukan itu""
"Ha...ha...ha... Anda mulai cerdas Prof," Melvin tergelak puas. "Tetapi temuan Anda ini boleh juga. Kami tetap akan gunakan. 25 juta dollar dibagi dua dan dikurangi dengan lima juta yang sudah Anda kantongi, bukan jumlah yang sedikit, Prof""
Profesor Budi Sasmito merasa kalimat itu sebagai
sebuah ancaman. Tetapi ia mencoba tetap bersikap tenang.
"Tetapi hidup kalian tidak akan tenang. Setiap saat aku bisa membongkar rahasia kalian berdua."
"Ha...ha...ha..." kali ini giliran Melvin dan Steve yang tertawa berbarengan. "Anda belum tahu kami, Prof."
"Apa maksud kalian""
Mata Profesor Budi Sasmito tiba-tiba mendelik. Bola matanya seakan mau meloncat keluar. Dari balik pakaian gelapnya, Melvin mengeluarkan sebuah belati.
"Anda dan kami sebenarnya sama Prof," Melvin bergerak mendekat. "Sama-sama tamak! Tetapi sayang-nya aku mencium bau kubur dari tubuh Anda!"
Profesor Budi Sasmito berjalan mundur ke
arah jendela. Ia sadar dua orang itu tidak sedang main-main. Wajahnya benar-benar pucat pasi.
"Tunggu! Tolong, aku mohon jangan bunuh aku. Kalian boleh mengambil semua jatahku, termasuk lima juta dollar itu. Sepanjang sisa hidupku, rahasia kalian akan terjaga. Tolong, aku mohon."
"Terlambat Prof! Belati ini akan menari di ulu hati Anda. Membentuk lukisan piramid di atasnya!"
Melvin mendekat. Profesor Budi Sasmito merentangkan tangan kanannya masih memohon. Tetapi kata-kata terakhir Melvin membangkitkan emosinya, "Melvin, jadi kau yang membunuh puteri Riantono""
"Dan tiga orang korban lainnya. Dua orang temannya dan satu orang perwira muda polisi sok tahu itu!" tambah Steve dengan tenang seolah-olah itu adalah hal yang biasa baginya.
Tiba-tiba Melvin menurunkan ujung belatinya. Ia geli melihat ketakutan yang membayang pada wajah Profesor
Budi Sasmito. "Baiklah Prof, aku tidak ingin Anda mati pe-nasaran," Melvin duduk santai pada sofa ruangan itu. "Aku dan Steve telah lama merencanakan semua alur cerita ini. Aku menarik perhatian puteri Riantono. Gadis yang kesepian itu menemukan sosok yang ia butuhkan dalam diriku. Aku membawanya ke Hotel Xabhira, kemudian membunuhnya. Tentu dengan ban-tuan Steve agar tidak seorang pun mencurigaiku. Lalu aku pura-pura memberitahu Riantono. Ia datang ke hotel. Singkat begitu saja. Ia terpancing. Ia tidak mau kariernya terhambat gara-gara anaknya ditemukan mati di Hotel Xabhira. TKP dipindahkan, pembunuhnya sulit ditelusuri. Kecuali dari tanda yang aku buat pada ulu hatinya."
"Bajingan!" Profesor Budi Sasmito memandang jijik.
Melvin memberi isyarat dengan jari telunjuknya. Ia masih ingin melanjutkan cerita.
"Anda meremehkan keberadaan singkatku dulu bergabung dengan kelompok patriotik. Walaupun tidak mendapatkan apa-apa dan tidak mampu memecahkan teka-teki lima negara mereka, setidaknya aku bisa mendapat gambaran dari ritual-ritual mereka. Pakaian berwarna gelap ini salah satunya. Pakaian yang aku gunakan untuk membunuh teman gadis itu. Gadis-gadis malang yang terlalu banyak tahu. Pakaian yang juga aku kenakan untuk membunuh Rudi, Inspektur Satu polisi yang serba ingin tahu juga!" Melvin menyalakan satu batang rokok.
"Aku berhasil menanamkan kesan bahwa pelaku dari semua rentetan peristiwa ini adalah KePaRad. Kami berhasil mendorong Riantono untuk semakin meningkatkan perburuannya terhadap KePaRad. Kami semakin dekat dengan benda itu."
"Bagaimana Prof"" Steve mengangkat alisnya. Profesor Budi Sasmito tidak menanggapi pertanyaan. Ia meraih kretek yang tergeletak di depan Steve. Melvin bantu menyulutkan apinya. Profesor Budi Sasmito sadar kematiannya tidak lebih lama dari umur puntung rokok yang ia bakar.
"Kau membunuh gadis itu hanya untuk men-dorong Riantono memburu KePaRad"" tanya Profesor Budi Sasmito tak percaya.
"Bukankah dengan jalan itu aku bisa memasukkan Anda ke dalam tim Detsus Antiteror, Prof"" Melvin tersenyum bangga. "Timur Mangkuto, polisi yang sial. Ia telah berada dalam genggamanku sekarang. Pembunuhan terhadap Anda akan semakin menguatkan dugaan bahwa pelaku rentetan pembunuhan selama ini memang Timur Mangkuto. Kami tidak lagi butuh Anda, Prof!"
Profesor Budi Sasmito cepat-cepat mematikan rokoknya. Ia ingin memberi kesan untuk terakhir kalinya bahwa usianya lebih panjang dari usia rokoknya itu. Ia mencoba untuk tenang menghadapi maut, tidak lagi gugup, dan takut.
"Blessshhh..." Darah mengucur dari ulu hatinya.*
62 "Pantek!" Suara berat itu terdengar tepat usai pintu dibanting. Seorang laki-laki tambun dengan sisiran rambut rapi mengumpat dalam bahasa Minang. Hampir saja ekor bis yang ia kemudikan menabrak Land Cruiser yang tiba-tiba menghalangi jalan keluar parkiran rumah makan Rajawali. Ia berpikir pastilah sopir Land Cruiser itu tengah mabuk atau mungkin tengah terpengaruh obat seperti penyakit orang kaya Jakarta. Ia sudah siap akan menghajar sopir mobil mewah itu. Dalam kamus-nya tidak ada kalimat damai, bahkan di rimba raya jalan lintas Sumatera pun akan ia layani orang yang menantangnya.
"Pantek!" ia mengumpat sekali lagi ketika mendekati Land Cruiser. "Keluar kau!"
T idak terdengar jawaban dari dalam mobil mewah. Ia memukul-mukul kap depan mobil. Dari bagian tengah mobil, pintu terbuka. Timur Mangkuto tersenyum gembira, ia mendapatkan bis ANS. "Uda War!" serunya.
Laki-laki itu tampak kaget mendengar namanya dipanggil. Ia mengalihkan pandangan pada sumber suara. Lama tertegun, akhirnya ia dapat mengenali sumber suara. "Oihhh Mangkuto! Benar kau jadi buronan negara saat
ini"" "Itulah Da War! Aku perlu bicara dengan Makwo Katik sekarang. Apa benar beliau ikut Da War""
"Betul. Dari mana kau tahu"" Timur Mangkuto tidak menjawab pertanyaannya. Bersama dengan sopir bis ANS itu ia naik ke atas bis. Ia dapati Makwo Katik tengah sibuk berbicara dengan orang di sampingnya.
"Apalagi masalahmu"" Makwo Katik kaget dengan kedatangannya.
"Aku perlu bantuan Makwo. Teka-teki itu hampir pecah, hanya saja sekarang aku butuh Makwo." "Tambo lagi""
"Bukan, masalah itu sudah tuntas diceritakan Malin Saidi"
Makwo Katik mengerti kalau Timur Mangkuto mengejar dirinya sejauh ini pastilah urusannya benar-benar berat. Ia berbicara sebentar dengan Uda War. Kemudian mengemasi dua tas kecil berisi pakaian dan oleh-oleh. Ia memutuskan untuk menunda ke-pulang-annya ke Bukittinggi. Pindah masuk ke dalam Land Cruiser yang masih menghalangi bis ANS.
Seperti hanya sekadar menjemput orang, Land Cruiser itu kembali bergerak menuju Jakarta. Hanya saja di bagian tengahnya sekarang ada tambahan satu penumpang, Makwo Katik. Setelah berbasa-basi dan berkenalan dengan perempuan pemilik mobil itu, Makwo Katik langsung menanyakan inti permasalahan.
"Apa masalah kalian yang belum tuntas""
"Ceritakan tentang PDRI, Makwo," pinta Eva Duani.
"Kenapa"" "Mungkin kunci pembebasanku dari tuduhan ada di sa
na, Makwo," Timur Mangkuto tersenyum pahit.
Kebiasaan Makwo Katik sebelum bercerita adalah dengan memulainya dengan satu batang kretek. Tetapi di mobil mewah dengan kaca tertutup, ia tidak bisa melakukan ritual itu. Apalagi ia duduk berdampingan dengan perempuan pemilik mobil. Ia menelan ludah, menahan geram. Tidak ada pilihan untuk sekian ratus menit. Ia harus menyimpan kreteknya.
"Apa yang sudah kalian tahu tentang PDRI"" ia menatap Eva Duani yang membalikkan tubuh ke bela-kang dari jok depan.
"Apa 22 Desember 1948 memiliki makna tertentu untuk PDRI, Makwo"" Eva Duani menyela.
"Itu tanggal dibentuknya kabinet PDRI oleh Sjafrudin Prawiranegara di Halaban," Makwo Katik menjawab mantap tanpa perlu berpikir panjang.
Eva Duani dan Timur Mangkuto bersorak hampir bersamaan. Waktu memang kurang berpihak pada me-reka tetapi setidaknya mereka tidak salah dalam mengisi waktu yang sempit itu. 22 Desember 1948 sebagaimana interpretasi gabungan teka-teki Negara Keempat sudah pasti sangat berhubungan dengan PDRI. Apalagi Makwo Katik dengan mantap menjawab bahwa pada tanggal itu Sjafrudin Prawiranegara membentuk kabinet PDRI.
"Halaban""
"Bekas onderneming dekat dengan kota Payakumbu-ah di luhak 50 Koto," Makwo Katik menjelaskan.
"Lho, bukannya ibukota PDRI di Koto Tinggi"" sela E-Ya Duani.
Makwo Katik tersenyum. Ia tahu jarang sekali ada se jarawan yang tertarik dengan masalah pemerintahan darurat yang telah menjadi penyambung nyawa Republik.
"PDRI adalah pemerintahan tanpa ibukota. Kalau-pun ada, ibukotanya adalah hutan belantara yang berpindah-pindah!"
Ketika matahari memberi siang kepada selatan, utara ditimpa malam yang panjang. Para Penjemput menyambung nyawa dari negara yang sekarat. Tempo ketika waktu lama mencari asal kedatangan para Pen-jemput Pertama. Tempat yang dijanjikan tetapi terlupa. Perjalanan panjang me-nyusuri masa silam dari Para Penjemput Pertama. Puncak-puncak kedua menjadi pelindung. Hingga orang-orang menyeberangi berhala menghantam impian dan menyebar kerusakan dalam janji dan runding. Negara Keempat hilang ter-pendam orang-orang yang tidak ingin kehi-langan muka. mereka terlupa tetapi sejarah akan mencari asalnya...sejarah akan mencari asalnya
"Itulah Para Penjemput Negara Keempat. Mereka menyusuri tempat asal kedatangan pertama. Ketika negara ini tengah sekarat, mereka menyusuri belantara hutan Minangkabau untuk tetap meyakink
an dunia luar bahwa Indonesia bentuk lain dari Nusantara yang telah tenggelam masih berdiri," gumam Eva Duani.
Keterangan dari Makwo Katik semakin meyakinkan E-Ya Duani bahwa Negara Keempat adalah PDRI. Tetapi ia belum begitu puas. Ia minta Makwo Katik untuk bercerita lebih detail tentang PDRI sehingga ia jadi mengerti keseluruhan cerita dan mengetahui tem-pat mana yang harus didatangi untuk mendapatkan Serat Ilmu.
Laki-laki gaek itu tersenyum getir ketika bercerita tentang PDRI. Ia dan PDRI adalah bagian dari sejarah yang terlupakan. Bagian dari perjalanan republik yang
tertutupi oleh sejarah-sejarah lain yang justru tidak perlu tetapi dibesar-besarkan. Tiap tanggal, hari, jam bahkan detik dari perjalanan PDRI ia ingat. Walaupun ia bukan bagian dari rombongan yang menyusuri bagian tengah Sumatera untuk mempertahankan kedaulatan yang terus-menerus diburu oleh pesawat cocor merah Belanda.
Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 dj am 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Ibu-Kota Jogyakarta. Djika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat mendjalahkan kewadjibannja lagi, kami menguasakan ke-pada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra
"Kawat Hatta pada 19 Desember kepada Syafrudin yang tengah berada di Bukittinggi tidak pernah sampai. Surat itu dikirim beberapa saat sebelum ia dan Sukarno ditangkap Belanda," demikian Makwo Katik memulai ceritanya.
Hanya naluri para pemimpin yang tengah berada di Bukittinggi yang bisa menyelamatkan republik ini. Sebagaimana Yogja, Bukittinggi adalah pusat komando dan kekuatan politik di Sumatera juga digempur oleh Belanda pada 19 Desember 1948 bersamaan dengan pendudukan Yogja oleh Belanda. Kolonel Hidayat, Komando Teritorium Sumatera, Teuku Mohamad Hasan, Gubernur Sumatera, dan Syafrudin Prawiranegara mengikuti naluri mereka yang berpikir bahwa pemerintahan di Yogja telah lumpuh, berembuk dan memutuskan untuk membentuk pemerintahan darurat. Tempatnya pada sebuah rumah kecil di tepi Ngarai Sianok.
21 Desember malam, pengungsian dimulai dari Bukittinggi ketika Belanda berhasil masuk. Perjalanan menuju daerah Halaban sebuah onderneming dekat kota Payakumbuh, 33 kilometer dari Bukittinggi. Kekuatan TNI dipecah menjadi beberapa bagian. Sebagian meng-ikuti Syafrudin untuk menegakkan pemerintahan, se-bagian lagi mengikuti Kolonel Hidayat dalam rencana long march Sumatera. Sedangkan pasukan inti Sumatera Barat di bawah pimpinan perwira paling senior di Sumatera Barat, Letkol Dahlan Djambek, mundur ke Kamang. Dua belas kilometer dari Bukittinggi. Se-lanjut-nya Kamang adalah pusat kekuatan militer republik paling efektif pada waktu itu.
"Pada awal kedatangan TNI dan Dahlan Djambek, kami orang Kamang menolak. Kami menganggap TNI pengecut, tidak sebanding dengan keberanian kami orang-orang Kamang," Makwo Katik tersenyum meng-ingat masa-masa sulit itu. "Tetapi Dahlan Djambek orang Kurai membuktikan bahwa ia cukup pantas untuk memimpin perlawanan dari Kamang! Usiaku baru mendekati dua puluh dan aku bekerja untuk Dahlan waktu itu."
22 Desember 1948 Panglima Besar Jenderal Sudirman di Jawa dilanda gelisah. Ia kecewa para pemimpin sipil ingkar janji. Mereka yang dulu ber-teriak akan ikut gerilya ternyata justru menyerah pada Belanda dengan beragam alasan. Penyakit menggerogoti usia mudanya. Fisiknya lemah tetapi kemarahannya semakin besar terhadap para pemimpin sipil. Hanya keikhlasan perjuangan yang meredakan semuanya. Pada tanggal yang sama di Halaban, Sjafrudin dengan ke-tegarannya membentuk kabinet PDRI pertama.
Perdjoangan tidak boleh dihentikan begitu sadja dengan ditangkapnya presiden dan anggota pemerintahan RI lainnja. Menghentikan perdjoangan berarti pengchianatan terhadap cita-cita semula dan terhadap korban-korban jang telah djatuh mati atau cacat seumur hidup dalam perdjoangan
Demikian Makwo Katik mengingat-ngingat pidato Sja-frudin yang diberitakan orang dari mulut ke mulut ketika mendirikan PDRI.
Karena pergerakan pasukan Belanda dengan legiun pribuminya semakin gencar, pad
a 24 Desember 1948 rombongan Halaban dibagi dua. Rombongan pertama langsung dipimpin oleh Sjafrudin, Ketua dan Perdana Menteri PDRI menuju arah Pekanbaru. Satu rom-bongan lagi dipimpin oleh Sutan Mohamad Rasjid, Gubernur Sumatera Barat yang dalam kabinet Sjafrudin merangkap sebagai Menteri Keamanan, sosial, pem-bangunan, dan perburuhan menuju arah Koto Tinggi.
"Yang aku dengar dalam perjalanan itu mereka juga harus membawa peralatan dan pemancar radio yang berat. Tetapi kata tentara yang menyingkir ke Kamang waktu itu radio sangat penting. Selain senapan, radio adalah senjata yang jauh lebih berguna sebagai mulut untuk telinga orang asing," Makwo Katik me-lengkapi ceritanya.
25-26 Desember 1948 rombongan berada di Bang-kinang. Tetapi Belanda terus memburu hingga beberapa kali pesawat mustang Belanda menembaki dari atas udara. Posisi PDRI terdeteksi oleh Belanda. Perjalanan ke Pekanbaru dibatalkan karena ternyata Pekanbaru telah diduduki Belanda. Diputuskan untuk berangkat menuju sebuah dusun terpencil bernama Taratak Buluah.
Sebagian kendaraan harus dibenamkan karena tidak bisa menyeberangi Sungai Kampar. Se-hingga sisa perjalanan selanjutnya harus ditempuh dengan berjalan kaki oleh sebagian besar rombongan.
29 Desember 1948 perjalanan dilanjutkan me-nuju Teluk Kuantan. Tetapi Belanda masih bisa dan terus mengikuti. Pesawat cocor merah menghujani daerah itu dengan tembakan.
5 Januari 1949 rombongan meninggalkan Teluk Kuantan menuju Kiliran Jawo, daerah bagian Tengah Selatan Minangkabau.
"Darmasraya"" Eva Duani menyela cerita Makwo Katik.
"Ya, itu bagian dari Darmasraya yang terlupa. Kira-kira tempatnya sama dengan tempat tentara Majapahit dulu tinggal menunggu runding dengan Datuak Katumanggungan dan Parpatiah nan Sabatang."
Keterangan itu melambungkan Eva Duani. Minangkabau Tengah memang menjadi pusat dinamika Minangkabau sejak masa Dapunta Hyang bergerak untuk mendirikan Sriwijaya. Dua orang dara juga berasal dari daerah tersebut. Dan pada saat PDRI, daerah ini kembali memegang peranan penting.
"Sjafrudin Prawiranegara atau Pak Sjaf biasa ia dipanggil. Laki-laki Banten itu sangat dihormati di Minangkabau. Jarang sekali kami orang Minang bisa hormat pada orang lain seperti kepada Sjafrudin," ujar Makwo Katik.
7 Januari 1949 rombongan Sjafrudin berkumpul di daerah Abai Sangir. Kemudian dibagi-bagi lagi. Sebagian kembali ke daerah Payakumbuh untuk me-mantau situasi, sebagian lagi melanjutkan perjalanan menuju daerah yang selanjutnya akan menjadi per-hentian terakhir. Daerah
yang diperkirakan akan sulit dijangkau oleh Belanda. Daerah yang penduduknya bisa dipercaya untuk menegakkan PDRI, Bidar Alam.
"Demikianlah orang-orang itu mempertahankan RI di hutan. Sjafrudin menegakkan merah putih di belantara Sumatera sementara Sudirman mengibarkan merah putih di perbukitan Jawa," Makwo Katik mengeluh panjang seperti menyesali jaman. "Tetapi generasi sekarang peduli apa kalian dengan semua itu. Orang-orang besar telah mati dan pergi, sementara kalian yang ditinggalkan semakin tidak siap untuk bertarung dengan jaman sebagaimana mereka dulu."
Tampaknya kata-kata itu diucapkan Makwo Katik untuk menyindir Nyonya Amanda yang ia lihat telah terkulai lemah, tidur. Ia yang telah hidup lebih dari tujuh puluh tahun seperti mengerti penyakit orang kaya. Mereka selalu ingin menjadi pusat perhatian untuk apa pun, bahkan kalau perlu mereka jadikan pusat perhatian pada masa lalu menjadi sesuatu yang tidak menarik.
"Kabar yang aku dengar waktu itu, Sjafrudin terpaksa meninggalkan Bidar Alam pada 22 April 1949 setelah Belanda mendekat dan menghajar daerah itu dengan bom beberapa saat setelah kepergian Sjafrudin. Dua rombongan PDRI, Bidar Alam, dan Koto Tinggi, akhirnya bertemu di Sumpur Kudus. Masing-masing tempat berjarak empat belas hari jalan kaki," lanjut Makwo Katik.#
63 Saat Timur Mangkuto melirik jam tangannya, waktu
sudah mendekati pukul se-tengah tiga dini hari. Sebentar lagi mereka akan sampai kembali di pintu tol Kebun Jeruk. Nyonya Amanda masih lelap dalam tidurnya. Sementara sopir Land Cruiser tidak menunjukkan tanda-tanda lelah. Ia
mungkin sama sekali tidak me-ngerti tentang apa yang tengah diperbincangkan oleh tiga orang asing di dalam mobil majikannya.
"Tetapi Kelompok Bangka sama sekali tidak menghormati PDRI. Mereka melakukan runding dengan Belanda tanpa memberi tahu PDRI sebagai pemerintahan yang sah. Sesuatu yang juga tidak bisa diterima Panglima Besar di Jawa yang dari awal sudah kecewa pada pimpinan sipil RI di Yogja. Semua ke-kuatan pada saat itu hanya tunduk pada pemerintahan gerilya PDRI di Bidar Alam, termasuk TNI di Jawa. Tetapi kelompok Bangka..." demikian Makwo Katik melanjutkan ceritanya.
"Kelompok Bangka"" Eva Duani terlonjak.
"Iya, para pemimpin republik yang diasingkan oleh Belanda di Bangka!"
"Aku mengerti sekarang!"
Eva Duani berteriak girang. Ia menyalakan lampu dalam kabin mobil sehingga membuat Nyonya Amanda
terbangun. Perempuan itu hanya diam. Eva Duani mencari-cari buku atlas yang tadi mereka bawa. Ia tidak membutuhkan waktu lama untuk kemudian ber-suara lagi.
Hingga orang-orang menyeberangi berhala menghantam impian menyebar kerusakan dalam janji dan runding. "Kelompok Bangka itulah yang dimaksud dengan orang-orang menyeberangi Berhala."
"Bagaimana bisa"" Timur Mangkuto masih bingung.
"Berhala adalah nama selat di Timur Sumatera. Tetapi Profesor Sunanto Arifin atau siapa pun yang membuat teka-teki Negara Keempat ini telah melakukan sedikit kesalahan dalam mendeskripsikan selat itu..."
"Kesalahan apa""
"Ia meletakkan selat berhala sebagai lautan yang me misahkan Sumatera dengan Pulau Bangka. Padahal Selat Berhala terletak di utara, memisahkan Sumatera dengan pulau-pulau kecil yang kita kenal sebagai kepulauan Riau," teka-teki itu sudah pecah tetapi dahi Eva Duani masih berkernyit. "Tetapi kenapa mereka sebut Negara Keempat hilang terpendam""
Negara Keempat hilang terpendam orang-orang yang tidak ingin kehilangan muka. Mereka terlupa tetapi sejarah akan mencari asalnya...sejarah akan mencari asalnya.
Mobil telah melewati pintu tol Kebun Jeruk, bergerak menuju arah Grogol. Tidak tampak tanda-tanda Makwo Katik lelah dalam bercerita. Setiap per-tanyaan selalu ada jawabnya.
"Sejak pemimpin Republik yang ditawan di Bangka membuka runding dengan Belanda, peran PDRI terhapuskan. Pemimpin-pemimpin sipil yang tadi me-nolak
gerilya bersama Jenderal Sudirman itu tiba-tiba kembali muncul sebagai pahlawan dalam perundingan. Mereka dipuja tetapi pertaruhan nyawa di belantara Sumatera untuk menegakkan negara terlupa. Mungkin karena peristiwa itu tidak terjadi di Jawa sehingga gampang dilupa."
Kata-kata Makwo Katik terdengar seperti perulangan kegelisahan pelaku sejarah di luar Jawa. keheranan yang senantiasa menimpa mereka, kenapa peristiwa penting yang mereka lakukan tidak terdengar lagi kabarnya, sementara banyak hal tidak penting digembar-gemborkan.
"Sejarah kita terlalu banyak berbicara tentang tanah Jawa. Pulau lainnya seakan tidak penting! Kadang-kadang aku ingin masa-masa bergolak hidup kembali. Biar orang tahu akan sejarah. Minangkabau kemudian menjadi perintang bagi pusat."
Makwo Katik sepertinya berusaha mengarahkan cerita pada ketidakpuasan daerah pada pusat, tuntutan reformasi dan otonomi dari PRRI dan Permesta yang dijawab dengan kekerasan senjata oleh Sukarno, Djuanda, dan Nasution yang kemudian ternyata dimanfaatkan oleh PKI.
"Aku masih ingat..." Makwo Katik menerawang. "Di lapangan besar Kota Padang 20 Februari 1958. Ahmad Hussein mencampakkan semua tanda pangkat dan jabatannya ke tanah. Di depan para pemuda, hilang sudah kesabarannya pada Jakarta. Sumatera Barat kem-bali bergolak, Ventje di Minahasa mendukung dengan Permesta. Daerah bergerak bukan untuk menghancurkan Indonesia. Justru karena mereka mencintai Indonesia, tidak ingin negeri ini dimanipulasi segelintir orang di Jakarta. Ketika aku dengar Dahlan Djambek kembali menjadikan Kamang sebagai basis perlawanan terhadap agresi tentara pusat ke Minangkabau, aku ditangkap oleh tentara pusat. Untung tidak ditembak mati sebagaimana banyak tahanan PRRI lainnya."
Tiba-tiba Makwo Katik tertawa sendiri. Baik Timur Mangkuto maupun Eva Duani tidak berani untuk menyela apalagi
memotongnya. Walaupun mereka sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan, orang itu mereka dengarkan terus.
"Tetapi sekarang apa" Generasi macam apa" Lapangan besar tempat Ahmad Hussein mencampakkan tanda pangkat simbol perlawanan itu telah menjadi lapangan tempat anak muda dimanja joget suka-suka. Orang-orang berteriak mencintai negeri ini tetapi tidak pernah paham apa itu arti mencintai. Daerah tidak lebih dari bayangan pusat yang menindas. Tidak akan ada lagi daerah-daerah progresif seperti Minangkabau dan Minahasa di tahun lima delapan."
Hingga mendekati daerah Grogol, Makwo Katik masih terus mengeluh tentang keadaan sekarang. Ketika laki-laki tua itu akhirnya menyadari bahwa dua anak muda itu tidak lagi butuh ceritanya, setidaknya untuk saat ini, ia baru berhenti.
"Kamu tahu kenapa KePaRad menganggap PDRI adalah Negara Keempat mereka dan bukan RI""
"Mungkin karena juga berada di Minangkabau Tengah," Timur Mangkuto menjawab sekenanya bisik-an Eva Duani.
"Bukan!" wajah gadis itu berbinar-binar. "Mereka memilih PDRI karena pemerintahan itu adalah integrasi ide dan gagasan bukan sekadar integrasi wilayah. Bayangkan kabinet PDRI yang tersebar dari hutan Sumatera, daratan
Jawa hingga anggota kabinet yang tengah berada di India. Bayangkan juga daerah secuil yang dikuasi oleh PDRI, tetapi ide dan gagasan mereka tidak pernah punah untuk merah putih yang berkibar. PDRI adalah integrasi ide dan gagasan yang sangat murni. Itu sebabnya KePaRad menganggap mereka lanjutan dari cita-cita Atlantis yang tenggelam."
"Dan Serat Ilmu"" potong Timur Mangkuto.
Eva Duani terdiam. Ia menyandarkan tubuh pada jok depan mobil menatap jauh ke depan. Semua jawaban mengenai teka-teki Negara Keempat sudah ia dapatkan dari cerita Makwo Katik. Pikirannya me-nerawang pada kawat Hatta yang tidak pernah sampai kepada Syafrudin. Kemudian meloncat-loncat pada rute dan perjalanan PDRI hingga melewati daerah Minangkabau Tengah atau Darmasraya. Ia yakin ada seseorang atau beberapa orang dalam rombongan Syafrudin yang membawa benda itu. Dan seharusnya benda itu berada di Bidar Alam sekarang, bukan di Koto Tinggi atau bahkan Halaban.
"Di Bidar Alam, bagian selatan Sumatera Barat. Di tempat itulah seharusnya KePaRad mendeklarasikan Negara Kelima mereka!"
Waktu kembali tidak berpihak pada mereka. Ku-rang dari sepuluh jam lagi di tempat yang berjarak seribu kilometer lebih, KePaRad akan mendeklarasikan negara mereka.
Timur Mangkuto tertunduk lesu. Kali ini sulit bagi dirinya untuk mengatakan belum kalah dan habis. Bungkus kretek yang tampak menyembul di saku kemeja Makwo Katik ia ambil. Kaca mobil ia buka sedikit tanpa peduli pada Nyonya Amanda dan ia nyalakan kreteknya. Ia merasa sudah habis!#
64 Mayat Profesor Budi Sasmito ditemukan terlentang di
atas sofa panjang. Luka tusukan sedalam kurang lebih sepuluh sentimeter tidak hanya merobek kulitnya. Tetapi juga merobek bagian dalam tubuhnya. Mulutnya sedikit menganga. Darah yang terlihat hitam tercecer pada sofa kulit warna biru. Goresan piramid dengan belahan diagonal kembali tergambar pada ulu hatinya.
Riantono tidak habis pikir. Ia kecolongan lagi. Ia mengutuki dirinya kenapa tidak memberikan penjagaan pada Profesor gaek itu. Beberapa petugas terlihat masih menyelidiki TKP. Riantono memandang ke sudut ka-mar. Melvin tersandar, dua orang petugas lain mem-bantu membalut luka pada tangan kirinya.
Ia sebelumnya meminta Melvin untuk datang menjemput Profesor Budi Sasmito ke apartemennya. Namun sebagaimana pengakuan Melvin, ia terlambat sepuluh menit. Ia mendapati seseorang berpakaian gelap baru saja keluar dari kamar itu. Ia berusaha mencegahnya lari mengejar lift, tetapi yang ia dapatkan sabetan belati. Luka pada tangan kirinya tidak begitu dalam, cuma rasa perih. Pistol yang ia bawa tertinggal di dalam mobil.
"Bagaimana kondisimu"" Riantono mendekati Melvin.
"Lumayan, Dan."
"Sial, kita kecolongan lagi!" umpat Riantono.
Seorang petugas keamanan tampak memberikan keterangan pada salah seorang polisi berpakaian preman. Riantono mendekati dua orang itu.
"Apa yang kamu lihat"" ia memotong begitu saja.
"Tidak ada apa -apa, Pak." "Yakin"" "Ya, kecuali satu orang." "Siapa""
"Laki-laki yang membantu perwira yang luka itu turun ke bawah. Perawakannya seperti orang asing. Tetapi bisa berbahasa Indonesia."
"Penghuni sini"" Riantono menatap petugas keamanan itu penuh selidik.
"Bukan Dan!" dari arah belakang Melvin berteriak. "La ki-laki itu baru selesai bertamu dari kamar teman wanitanya. Ketika itu ia melihat aku limbung kena sabetan belati dan didorong oleh sosok berwarna gelap itu, ia membawaku pada petugas keamanan, kemudian ia langsung pergi."
Keterangan itu tampaknya tidak terlalu menarik perhatian Riantono. Ia lebih tertarik memikirkan siapa kira-kira sosok dengan pakaian berwarna gelap. Ia kembali mendekati Melvin.
"Kau sempat melihat wajahnya"" Satu batang kretek ia sodorkan pada Melvin. Raut wajah Melvin tampak ragu mendapat pertanyaan seperti itu.
"Aku mulai takut dengan kesimpulan ini, Dan," Melvin tidak langsung menjawab. "Takut kenapa""
"Takut kalau dugaan kita selama ini benar."
"Timur Mangkuto"" Riantono tidak mampu me-nahan suaranya.
Melvin menganggukkan kepala pelan. Sosok itu menutupi kepala dengan kain berwarna hitam. Tetapi dari garis wajahnya Melvin mengaku bisa menyimpulkan bahwa sosok itu adalah Timur Mangkuto.#
65 Sepuluh menit menjelang pukul tiga dini hari, Land
Cruiser berwarna gelap itu tiba di Pondok Indah. Eva Duani dan Makwo Katik turun dari mobil dan menginap di rumah Nyonya Amanda. Sementara Timur Mangkuto dan Nyonya Amanda ditemani sopirnya meneruskan perjalanan dini hari ini.
Mereka akan mendatangi kediaman Bernard, pacar Maureen yang terlibat adegan mesum dalam video pada ponsel. Walaupun sudah merasa hilang harapan untuk menaklukkan waktu menuju Bidar Alam, Timur Mangkuto tidak ingin dipecundangi lagi oleh waktu dalam menuntaskan kasus kematian Maureen. Setidaknya, ia menemukan titik terang dari rekaman video.
Rumah Bernard berada tidak jauh dari kediaman Nyonya Amanda. Setelah kematian Maureen baru sekali ia datang ke rumah Nyonya Amanda. Itu pun bersama-sama dengan teman-temannya yang lain. Sejak itu tidak ada lagi kabar mengenai laki-laki muda. Biasanya ketika Maureen masih hidup, paling tidak tiga atau empat kali dalam seminggu Bernard datang ke rumah. Kadang sekadar bertamu tetapi lebih sering karena mengantarkan atau menjemput Maureen. Ia selalu menganggap baik anak laki-laki itu. Bahkan saking percayanya, ia tidak
peduli ketika keduanya berpelukan dan berciuman di depan matanya. Tetapi semua itu adalah kelalaian yang sempurna dari orang tua. Sekarang Nyonya Amanda menyesalinya. Mencintai anak ternyata bukan sekadar memberi kebebasan.
Setelah beberapa kali coba menghubungi lewat ponsel, akhirnya ia terhubung dengan Bernard. Dari nada suaranya, Nyonya Amanda menangkap semacam kekhawatiran. Tetapi Bernard tidak bisa menolak ketika Nyonya Amanda mengatakan sudah berada di depan rumahnya.
"Ada yang perlu kita bahas mengenai Maureen." Kata-kata itu cukup untuk memaksa Bernard un-tuk keluar dari rumah. Seorang pembantu meng-antarkannya hingga pagar. Sebuah Land Cruiser berwarna gelap telah menunggu di depan pagar. Bernard tidak meninggalkan pesan apa-apa kepada si pembantu kecuali isyarat telunjuk di mulut. Ia masuk ke dalam Land Cruiser, mencoba bersikap tenang.
"Benar kamu Bernard""
Lewat spion dalam mobil, Timur Mangkuto memer-hatikan wajah remaja itu. Ia memperkirakan umur Bernard tidak lebih dari sembilan belas tahun. Ram-but-nya cukup panjang, tetapi tertata dengan bentuk rapi tanpa gel. Badannya kurus sebagaimana ia lihat dalam rekaman video ketika Bernard melakukan hu-bungan intim dengan Maureen. Timur Mangkuto geleng-geleng kepala. Anak sebesar itu sudah tidak sabar melakukan apa yang belum seharusnya mereka lakukan.
"Iya..." suara Bernard diliputi kecemasan.
Bernard mulai merasa tidak nyaman. Ia menatap Nyonya Amanda yang ada di sampingnya berusaha
mencari kepastian. Tetapi wanita itu tidak bereaksi.
Saat ini ia tengah duduk berdampingan dengan remaja yang telah melepaskan keperawanan anaknya dengan suka rela. Bernard berusaha mencari tahu siapa laki-laki yang duduk di samping sopir. Tetapi
ia tidak sempat lagi mengetahui siapa laki-laki yang berada di depannya ketika tangan laki-laki itu terjulur ke be-lakang. Sebuah ponsel sekarang tergenggam di tangan Bernard. Ia menggigil, sesekali ia melirik Nyonya Amanda dengan penuh ketakutan.
"Tolong, jangan kasih tahu orang tua saya..." Bernard mulai ketakutan.
"Itu urusan yang berbeda," Timur Mangkuto berusaha untuk terus menekan. "Apa yang kalian la-kukan ini""
"Maureen yang memintanya Tante, kado untuk hadiah ulang tahunnya!"
"Plaaakkkk!" Satu tamparan keras mendarat di pipi kanan Bernard, ia meringis kesakitan. Satu tamparan lagi kemudian mendarat. Nyonya Amanda hilang kesabaran. Semua beban yang ia alami selama beberapa hari belakangan seakan tertumpahkan kepada Bernard. Nyonya Amanda tidak terkendalikan. Ia mencekik leher Bernard. Remaja itu berusaha untuk melakukan per-lawanan.
Timur Mangkuto membalikkan badannya ke be-lakang cepat memisahkan dua orang itu.
"Nyonya Amanda! Jangan buat permasalahan ini semakin rumit," ia menghardik dengan keras.
Bernard baru sadar dengan siapa ia saat ini berhadapan. Walaupun terlihat agak samar, ia bisa me-ngenali wajah pria yang tadi menengahi. Laki-laki yang selama dua hari terakhir paling sering muncul di televisi.
Tubuhnya menggigil, ia menatap Nyonya Amanda seperti memohon ampunan.
"Apa yang kalian lakukan itu"" Timur Mangkuto mengulangi pertanyaannya.
"Kami melakukan hubungan seks. Hanya itu," ia memohon. "Tolong Pak, jangan apa-apakan saya..."
"Kenapa harus direkam""
"Saya baru tahu kalau itu direkam setelah kematian Maureen, Pak," Bernard tampaknya berbicara dengan sungguh-sungguh. "Tampaknya mereka merekamnya diam-diam ketika berhubungan intim dengan pacar masing-masing."
Timur Mangkuto meraih kerah baju Bernard. Ia tarik anak muda ringkih itu sehingga wajah mereka sekarang berhadapan.
"Anjing kau! Tentu kamu tahu banyak tentang rentetan pembunuhan itu""
"Ss....saya tidak tahu apa-apa, Pak. Sumpah"
"Bohong!" "Benar Pak." "Kenapa satu per satu mereka dibunuh"" "Saya tidak tahu, Pak. Maaf, saya masih sulit melupakan Maureen. Saya benar-benar kehilangan..." "Bukkkkkkkk!"
Bogem mentah dari tangan kasar Timur Mangkuto te pat mengenai hidung remaja itu. Ia ikut emosi ketika mendengar Bernard bicara tentang rasa kehilangan.
"Kenapa mereka dibunuh"" Timur Mangkuto mengulangi pertanyaannya.
Bernard mengelap luka yang mengucur dari dua lubang hidungnya. Ia mulai sadar, laki-laki di depannya tidak sedang main-main. Setiap saat nyawanya bisa
melayang. "Mereka dibunuh karena rekaman ini juga"" "Rekaman siapa""
"Lidya! Lidya dibunuh oleh pacarnya ketika me-reka akan mengadakan hubungan intim untuk pertama kalinya. Tidak sengaja semua itu terekam oleh webcam yang diaktifkan dengan jaringan internet. Pada awalnya tiga orang temannya ingin menyaksikan adegan intim Lidya secara langsung melalui internet tanpa harus diketahui pacarnya. Tetapi bencana dan malapetaka itu datang..."
"Siapa"" "Maksud, Bapak"" "Siapa pacarnya""
Bernard menggeleng. Ia mengaku, hingga saat ini belum pernah sekalipun melihat rekaman itu. Bahkan sekadar kenal pacar Lidya saja ia tidak tahu. Yang ia kenal cuma pacar Alish, itu pun sekadar kenal. Cerita itu ia dapatkan dari telepon Alish beberapa jam setelah kematian Maureen dan Ovi.


Negara Kelima Karya Es Ito di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa yang menyimpan rekaman itu"" Timur Mangkuto mendekatkan wajahnya.
"Mereka bertiga menyimpannya. Tetapi dua sudah diambil oleh pembunuh."
"Data video itu pada labtop""
Bernard menganggukkan kepalanya. Timur Mangkuto mulai mengerti, kenapa Labtop dua orang gadis yang terbunuh setelah Lidya ikut hilang se-bagaimana cerita yang pernah disampaikan oleh Rudi.
"Tinggal satu orang yang kemungkinan besar menyimpan data itu, yaitu Alish."
"Di mana dia sekarang""
Bernard menelan ludah. Ia menarik napas ke-mudian
menggelengkan kepala. "Di mana"" Timur Mangkuto menarik lagi kerah bajunya
"Saya tidak tahu, Pak."
"Kau bilang ada kontak dengan Alish""
"Cuma sekali, Pak."
Timur Mangkuto melepaskan kerah baju Bernard. Untuk beberapa saat ia terdiam. Sebuah ide kemudian muncul di benaknya.
"Orang tuamu tentu masih percaya kalau kau masih perjak
a..." "Iya, Pak." "Ayahnya salah seorang pemuka agama terkemuka di Indonesia," Nyonya Amanda menyela.
Timur Mangkuto tertawa senang. Sekarang ia tahu, Bernard mengetahui lebih banyak daripada yang ia akui. Anak muda itu sangat takut kepada orang tuanya. Apalagi posisi publik yang diembannya.
"Kau mau rekaman ini menyebar luas"" Timur Mangkuto mengancam.
"Aku rela rekaman itu beredar luas. Toh, anakku juga sudah tiada," di luar dugaan Nyonya Amanda ikut menekan.
Wajah Bernard pucat pasi. "Tolong jangan...jangan Pak..."
"Lalu di mana Alish dan rekaman itu sekarang"" "Saya tidak tahu." "Masih bersikukuh""
Timur Mangkuto minta sopir menghentikan laju mobil. Ia buka pintu tengah mobil, lalu menatap Bernard.
"Keluar kau sekarang. Tidak ada gunanya. Sepuluh jam dari sekarang, kau akan jadi berita utama di mana
mana. Semua orang di Indonesia akan berkomentar tentang permainanmu di ranjang."
Ia menunggu reaksi Bernard. Nyonya Amanda tidak menyangka Timur Mangkuto akan bertindak sejauh ini. Pintu tengah mobil sudah terbuka, Bernard tampak ragu-ragu. Ia seperti berada pada dua puncak kemungkinan. Kedua-keduanya adalah mimpi buruk.
"Baik saya akan katakan. Tetapi saya tidak mau rekaman video itu tersebar," ia akhirnya menyerah.
"Esok hari, semua mimpi burukmu akan sirna. Aku janji."
Kalimat singkat Timur Mangkuto sedikit menghibur tetapi tidak bisa menghilangkan raut ketakutan dari wajah Bernard.*
66 Eva Duani tidak menyerah begitu saja walaupun teka-teki Negara Keempat yang dianggap sebagai kunci utama misteri telah memupuskan harapan mereka untuk mengejar waktu. Bidar Alam, negeri kecil di ujung selatan Sumatera Barat, tidak mungkin mereka capai sebelum pukul dua belas siang nanti. Tetapi naluri dan keyakinannya mengatakan ayahnya masih berada di Pulau Jawa. Setidaknya dengan terus berusaha mencari setiap celah dari kemungkinan teka-teki ini, ia bisa menghidupkan harapan untuk dapat menemukan ayahnya.
Setelah masuk ke dalam rumah Nyonya Amanda, ia tidak langsung tidur. Sementara Makwo Katik cepat terlelap setelah salah seorang pembantu mengantarkannya ke kamar. Eva Duani kembali berkutat mencermati satu persatu teka-teki beserta semua kesimpulan yang sudah mereka dapatkan.
Kecuali sebagian dari teka-teki Negara Kelima, semua teka-teki itu telah mereka pecahkan. Ia mem-buka lagi keterangan yang terdapat dalam dialog Timaeus and Critias yang ia bawa terus sejak kemarin pagi. Pikirannya menerawang jauh. Ia merasa ada kejanggalan dalam dialog karangan Plato itu. Ada sesuatu yang tidak dijelaskan secara lengkap.
"Apa yang menyebabkan Atlantis tenggelam""
Zeus, pemimpin para dewa yang memerintah berdasarkan undang-undang dan mengetahui segala sesuatunya. Menyadari ras terhormat itu dalam keadaan menyedihkan, ia ingin memberikan hukuman pada mereka. Sehingga mereka berhati-hati dan memperbaiki diri. Ia mengumpulkan semua dewa di tempat mereka yang paling suci, yang terletak di pusat dunia tempat di mana segala sesuatu dicip-takan. Dan ketika ia sudah memanggil mereka semua, dia berbicara...
Kalimat pada bagian akhir dialog Criteas tidak mengarah pada satu kesimpulan yang jelas. Kecuali keterangan yang terdapat pada salah satu bagian awal Timaeus. Eva Duani tidak lagi menemukan keterangan mengenai sebab-sebab tenggelamnya Atlantis.
Tidak lama kemudian terjadilah gempa dan banjir besar. Dalam satu hari satu malam malapetaka menghancurkan Atlantis. Semua prajurit tenggelam ke dasar bumi. Dan Pulau Atlantis hilang di dasar laut. Karena alasan itu kemudian laut di sekitar itu tidak dapat dilalui dan dilayari karena terdapat onggokan lumpur. Ini disebabkan oleh pulau-pulau yang tenggelam.
"Gempa dan banjir besar..." Eva Duani bergumam sendiri. "Apakah itu bagian dari berakhirnya zaman es atau pemicu dari zaman es."
Ia coba mengingat-ingat segala sesuatu yang ia ketahui tentang berakhirnya tiap masa dan zaman di bumi. Ada hujan meteor yang mungkin menyebabkan berakhirnya jaman Jurassic. Ada pula letusan vulkanik yang
mengakibatkan berakhirnya zaman lainnya.
Ia mencoba mereka-reka apa yang menyebabkan berakhirnya zaman es atau Pleistocene y
ang diperkirakan berakhir paling tidak belasan ribu tahun lalu. Sehingga besaran volume airnya menenggelamkan Benua Atlantis.
Eva Duani beralih duduk ke depan labtop milik Nyonya Amanda dan menghubungkannya dengan te-lepon sehingga bisa koneksi internet. Ia mencari-cari apa yang mungkin menyebabkan berakhirnya zaman es.
"Pemanasan global!" ia mendesis sendiri.
Tetapi dahinya kembali berkernyit. Sulit untuk menjelaskan pemanasan global pada masa silam. Benda, zat atau partikel apa yang memungkinkan terhalangnya pantulan cahaya matahari kembali dari bumi sehingga mengurung bumi. Menimbulkan efek rumah kaca dan terjadilah pemanasan global yang kemudian menyebabkan sebagian besar es mencair.
"Apa"" ia bertanya-tanya.
Terjebaknya panas matahari di bumi hanya dimungkinkan oleh partikel debu dan asap yang me-nutup bumi seperti efek polusi abad 20. Tetapi sulit bagi Eva Duani untuk menemukan partikel-partikel purba yang mungkin secara kontinyu dengan skala besar menjebak panas dan cahaya matahari di bumi. Kecuali....
"Satu letusan vulkanik yang sangat besar."
Jari tangannya kemudian menari-nari lagi di atas papan ketik komputer. Ia mulai mencari data apa saja yang mungkin ditemukan di internet, menyangkut letusan vulkanik terbesar yang pernah terjadi di muka bumi. Sayangnya yang ia temukan hanya data letusan selama lima ratus tahun terakhir yang sempat terekam oleh manusia lewat ingatan dan cerita turun temurun maupun
melalui data tertulis. Ia nyaris menutup data-data yang terpapar sampai matanya menangkap sesuatu kemudian mengkliknya.
27 Agustus 1883, letusan Krakatau di Hindia Belanda (kemudian dikenal sebagai Indonesia) menewaskan tidak kurang dari 36.417 jiwa. Sebagian besar tewas akibat sapuan gelombang tsunami yang ditimbulkan oleh gempa vulkanik. Semburan lahar dan abunya mencapai ketinggian 80 km. Se-mentara abunya mengelilingi bumi selama beberapa tahun. Saat itu cahaya matahari tampak berwarna biru dan bulan tampak oranye di Amerika Utara dan Eropa
Ledakannya menimbulkan gelombang pasang se-tinggi 40 meter yang menyapu bersih pantai sepanjang Teluk Lampung dan pantai barat sekitar Banten. Rangkaian gempa bumi men-jalar sampai ke Australia Selatan, Sri Lanka, dan Filipina. Gelombang suara letus-annya terus merambat hingga sejauh dan selama 12 jam kemudian. Suara letusan-nya terdengar sampai dengan Kepulauan Rodriguez yang berjarak 4.653 km dari gunung ini dan terdengar oleh kira kira 1/13 penghuni planet bumi. Merupakan suara terdahsyat yang pernah tercatat dalam sejarah manusia.
Gunung Krakatau Lama (sebelum letusan) tingginya kala itu mencapai 2.000 meter dengan radius 11 km. Tapi, ketika meletus, ledakannya mengakibatkan tiga perempat tubuhnya hancur dan menyisakan gugusan tiga pulau kecil: Pulau Sertung, Pulau Panjang, dan Pulau Krakatau Besar. 44 tahun kemudian lahir keajaiban baru. Sekitar 1927 para nelayan yang tengah melaut di Selat Sunda tiba-tiba terkejut. Kepulan asap hitam di permukaan laut menyembul seketika di antara tiga pulau yang ada. Hanya
setahun setelah misteri kepulan asap di laut, serta merta muncul benda aneh. "Wajah" asli benda aneh itu makin hari semakin jelas dan ternyata itulah yang belakangan disebut Gunung Anak Krakatau.
Letusan 1883 adalah perulangan dari letusan Krakatau purba ribuan tahun lalu dan menyebabkan terbentuknya kaldera besar yang sekarang dikenal dengan nama Selat Sunda. memisahkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera di Indonesia.
Mata Eva Duani yang mulai sayu kembali nyalang setelah membaca penggalan artikel internet itu. Ia menyeruput teh hangat yang tadi dihidangkan oleh pembantu rumah. Ia berusaha menrekonstruksi berapa tinggi sesungguhnya Krakatau sebelum letusan 1883.
"Lalu berapa pula tinggi Krakatau purba""
Ia tersenyum mulai mendapatkan simpul teori. Harapannya kembali berkobar untuk secepatnya ber-temu dengan sang ayah. Ia membuka lagi teka-teki Negara Kelima.
Negara Kelima adalah kebangkitan masa silam. Ketika matahari hadir tanpa ba-yangan, keputusan diambil pada puncak yang terlupakan. Para Penjemput menuai janji kejayaan masa silam. Itu adalah saat penentuan, ketika
Para Penjemput tidak lagi ingat akan masa lalu berbilang tahun tetapi mendamba masa lalu berbilang ribuan tahun.
"Keputusan diambil pada puncak yang terlupakan"" Eva Duani hampir berteriak keras menyadari ia telah menemukan sesuatu yang menjadi kekeliruannya selama ini. Dan mungkin juga menjadi kekeliruan ayahnya yang
memfokuskan pencarian pusat Atlantis di Laut Cina Selatan. Ia membandingkan teka-teki Negara Kelima dengan teka-teki Negara Kedua hingga Negara Keempat. Pada teka-teki Negara Kedua hingga Keempat, tidak disebut-sebut puncak yang terlupakan tetapi puncak-puncak kedua. Itu yang membedakan teka-teki Negara Kelima dengan teka-teki Negara Kedua hingga Negara Keempat.
"Minangkabau bukan bekas pusat Atlantis. Ia hanyalah titik kedatangan, karena itu disebut puncak-puncak kedua," Eva Duani mengulum senyum. "Puncak yang terlupakan seharusnya adalah puncak pertama. Dan puncak pertama adalah Atlantis yang tenggelam dengan sisa Puncak Krakatau."
Itu adalah saat penentuan, ketika Para Penjemput tidak lagi ingat akan masa lalu berbilang tahun tetapi mendamba masa lalu berbilang ribuan tahun.
Bidar alam adalah kesimpulan yang benar untuk teka-teki Negara Keempat. Tetapi akan menjadi kesimpulan yang salah jika disebut sebagai puncak yang terlupakan di mana KePaRad akan mendeklarasikan Negara Kelima mereka. Eva Duani merasa tidak sabar untuk mengabarkan penemuannya ini kepada Timur Mangkuto. Ia ingin segera berteriak. Hari ini mereka mungkin bisa menang.
Sebab puncak yang terlupakan itu adalah Krakatau! Di pulau sekaligus gunung kecil anak Krakataulah sekarang ayah seharusnya berada, batin Eva Duani.
Kesimpulan itu sudah bisa ia pastikan. Krakatau adalah puncak Atlas, puncak tertinggi pada masa Atlantis. Deretan pegunungan dari Sumatera berujung pada Krakatau yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau
Sumatera. Dari Aceh hingga Nusa Tenggara yang dulunya adalah satu Benua Lemuria berderet gunung-gunung dari Leuser di Aceh hingga Rinjani di Nusa Tenggara. Eva Duani berusaha membayangkan kejadian sesungguhnya.
Negeri-negeri yang melingkupi kota adalah dataran yang dikelilingi oleh gunung-gunung yang membujur ke arah laut. Deretan gunung itu terlihat seperti bujur tajam halus menuju satu arah sejauh 3.000 stadia. Tetapi bujur yang melintasi bagian tengah negeri itu hanya berjarak 2.000 stadia. Deretan gunung dan dataran ini mengarah ke selatan dan tidak bisa dilihat dari utara. Gunung-gunung yang mengitari pulau ini dipuja karena jumlahnya yang banyak, ukurannya yang besar, dan juga karena keindahannya.
Bencana itu dimulai dengan meletusnya Krakatau purba yang terletak di pusat imperium Atlantis. Letusan itu menyebabkan terjadinya gempa vulkanik. Gempa vulkanik yang besar akan menimbulkan gelombang Tsunami yang tinggi. Inilah banjir yang disebut-sebut oleh Plato yang telah menenggelamkan Atlantis dan orang-orang di dalamnya. Sedangkan debu dan par-tikel-partikel akibat letusan dari Krakatau yang sangat besar dan tinggi melingkupi atmosfer bumi. Menghambat cahaya matahari untuk terpantul kembali. Setiap saat pantulan dan panasnya kembali ke bumi. Terjadilah efek rumah kaca akibat debu dan partikel yang mengurung bumi. Es mulai mencair, menggenangi, dan menenggelamkan Benua Lemuria. Sisa letusan meninggalkan kaldera besar, sekarang dikenal sebagai Selat Sunda. Bagian-bagian tinggi dari Benua Lemuria yang tersisa adalah Nusantara yang
dikenal sebagai kepulauan Indonesia.
"Semuanya berawal dari letusan Atlas atau Krakatau purba. Dan itulah hukuman Zeus yang tidak sempat dituliskan oleh Plato!"
Eva Duani menarik nafas lega. Teka-teki itu sudah tuntas terjawab. Sekarang tinggal bagaimana ia dan Timur Mangkuto mencari celah-celah keberuntungan dalam kasus ini. Sebab siang nanti pada tempat yang hanya berjarak sekitar seratus mil lebih dari Jakarta, pada Gunung Anak Krakatau, Negara Kelima akan dideklarasikan.
"Keturunan Atlantis dan keturunan Iskandar Yang Agung tidak pernah mencapai Ultima Thule itu, Krakatau Purba. Pusat dari dunia lama yang disebut-sebut sebagai Atlantis."
Eva Duani memencet-mencet nomor telepon selulernya. Ia se
perti sudah mengerti harus menghubungi siapa pada saat ini.#
67 Bunyi lift berdenting, pintu terbuka. Lantai delapan
Apartemen Orchid yang memiliki jumlah delapan belas lantai di daerah Pejaten tampak sepi pada jam empat pagi. Bernard tahu kamar mana yang harus ia tuju. Sebuah kamar yang menghadap ke arah Jalan Pejaten Raya. Ia mengetuk pintu kamar. Beberapa kali ketukan tidak terdengar sahutan dari dalam. Ia mulai memanggil-manggil.
"Pierre..." "Siapa di luar""
Terdengar sahutan dari dalam, Bernard mendekatkan wajahnya ke pintu. "Bernard."
"Bernard" Ada apa kamu ke sini dini hari seperti ini"" Terdengar bunyi kunci diputar dari dalam. Tidak lama pintu terbuka setengah. Sebuah tangan dari dalam langsung menyeret tubuh Bernard. Kemudian pintu kamar dikunci kembali dari arah dalam.
"Keadaan gawat, bangunin Alish." Dada Bernard naik turun ketika masuk ke dalam kamar. Temannya masih tampak bingung tetapi ia mulai was-was. Pierre, penghuni apartemen itu, tampaknya tidak perlu membangunkan orang yang dimaksud Bernard.
Sebab suara teriakan Bernard cukup untuk membangunkannya. Seorang remaja puteri ber-usia mendekati tujuh belas tahun mengenakan baju tidur minim mendekati keduanya.
"Ada apa"" ia terlihat tegang.
"Mamanya Maureen tahu apa yang kita lakukan""
"Kita"" Pierre bingung
"Video ML kita!"
"Shit!" Pierre menatap Alish seperti menyalahkan pacarnya yang baru berusia belasan tahun itu. "Lalu""
"Dia menginginkan rekaman video terakhir Lidya." "Dia""
"Mamanya Maureen! Dia ada di bawah sekarang bersama anggota polisi yang menjadi buron."
Wajah Alish dan Pierre langsung pucat mendengar ke terangan itu. Mereka tidak menyangka Bernard de-ngan mudahnya menunjukkan tempat persembunyian Alish pada polisi itu.
"Pembunuh itu""
"Entahlah. Kalian tahu sendiri, aku belum pernah melihat video ML-nya Lidya"
"Bukan video ML tetapi video pembunuhan," ujar Alish.
Alish tiba-tiba menangis, lalu tersandar di dinding. Remaja cantik berkulit bersih itu merasa pagi ini pelariannya berakhir sudah. Tidak lama lagi ia akan menyusul tiga temannya yang lain. Selama beberapa hari bersembunyi di apartemen pacarnya ini ternyata harus ditemukan juga.
"Kenapa kamu kasih tahu mereka tempat ini"" Pierre tampak marah.
"Mereka mengancam akan membeberkan video aku
dan Maureen. Aku takut kalau mama dan Papa sampai tahu..."
"Shit" lagi-lagi Pierre yang berwajah seperti orang-orang Eropa itu mengumpat.
"Sebaiknya kita serahkan saja Video itu kepada mereka..." usul Bernard.
"Tidak!" seru Pierre. "Aku tidak akan menyerahkan video ini kepada pembunuh Lidya, Ovi, dan Maureen."
"Lalu, kalian mau apakan video itu. Melaporkan semua ini ke polisi juga tidak berani."
"Kalau kita lapor ke polisi, kau mau video kita juga dibeberkan""
Ketiganya terdiam. Pierre mondar-mandir di dalam kamar mencoba mencari celah untuk lari dari masalah ini.
"Alish, ganti baju kau!" ia berseru.
"Ada apa"" Bernard kelihatan bingung.
"Kita akan lari lewat tangga belakang apartemen!"
Bernard tidak mungkin bisa mencegah rencana Pierre. Ia sadar risiko yang harus ia hadapi jika lari dari buronan polisi di Land Cruiser itu. Tetapi ia merasa setiap pilihan yang diambil tampaknya tidak terlalu jauh berbeda. Ia memilih lari melewati tangga belakang mengikuti Pierre dan Alish.
Tangga darurat pada dinding belakang apartemen dirancang berkelok-kelok. Mereka menuruninya dengan hati-hati. Sesekali Alish menjerit karena licinnya tangga besi yang jarang terpakai. Bunyi langkah kaki mereka redam dengan sesekali cara jalan jinjit. Tinggal beberapa anak tangga lagi dan mereka akan segera menyeberangi tembok belakang yang tidak dijaga petugas keamanan gedung.
"Bukkk..." Sebuah pukulan tepat mendarat di rahang Pierre ketika ia baru saja menjejakkan kaki di tangga terakhir paling bawah. Seseorang berpakaian gelap begitu saja muncul di bawah tangga, seakan sudah menebak apa yang akan mereka lakukan. Pierre berupaya untuk mengadakan perlawanan. Tetapi sosok berpakaian gelap itu terlalu tangguh untuknya. Satu tendangan melingkar kembali tepat mengenai rahangnya.
"Ayo naik lagi," terdengar perintah disertai todongan pist
ol dengan ujung mengilat.*
68 Tiga orang itu terpaksa kembali menaiki tangga darurat. Alish menangis. Nasibnya tidak lama lagi akan sama dengan tiga orang teman dekatnya. Diam-diam ia menyesali kegilaan yang selama ini mereka lakukan.
Mereka sampai kembali di depan kamar. Bernard mengenali laki-laki berpakaian gelap itu sebagai sosok yang tadi juga menghajarnya di dalam mobil Land Cruiser. Ia tidak mengerti bagaimana laki-laki itu bisa tahu mereka akan melarikan diri lewat jalan belakang.
Timur Mangkuto sengaja menunggu di bawah. Pada a-walnya ia meminta Bernard membawa labtop itu saja. Ia tidak mau kehadirannya di apartemen itu tampak oleh penjaga. Tetapi bunyi denting besi dari bagian belakang apartemen membuat ia lari ke arah situ. Dan menemukan tiga orang remaja ingusan itu tengah berusaha melarikan diri lewat tangga besi darurat.
"Baik, mana videonya"!" Timur Mangkuto memandang tajam Pierre.
Pierre dan Alish saling berpandangan. Kemudian mereka menatap laki-laki bercambang tipis itu dalam-dalam. Seolah-olah berusaha mencari kepastian, siapa sosok yang tengah mereka hadapi saat ini.
"Mana videonya"!" ia mengulangi permintaannya tadi.
Timur Mangkuto mulai hilang kesabaran. Ia mendekati Pierre lalu menodongkan pistol tepat di kening laki-laki. Alish menjerit ketakutan.
"Bbbaik.. .tapi tolong jangan.. .bunuh kami..." kata Pierre tanpa daya.
Ia mengeluarkan labtop dari dalam tas yang tadi ia bawa lari. Timur Mangkuto memintanya untuk menyalakan labtop. Ia membakar kretek, me-ngem-buskan asap dalam-dalam.
"Siapa namamu""
"Pierre, Pak." "Ohhh...sekolah apa kuliah"" Timur Mangkuto mencoba untuk sedikit mencairkan suasana. "Kuliah Pak""
"Dan gadis ini, Alish bukan" Pacar kamu dan kalian telah berhubungan intim"" "Iya Pak."
"Anjing kalian," bergumam seenaknya. "Kuliah mana kamu""
Pierre sebenarnya tersinggung mendengar gumam-an itu. Apalagi kemudian laki-laki bercambang tipis yang ia tahu buronan polisi itu menghembuskan asap rokoknya tepat di wajahnya. Tetapi ia tidak punya pilihan lain. Ia menyebut kuliah di salah satu per-guruan tinggi negeri terkemuka.
"Hah!" Timur Mangkuto agak kaget. "Masa kamu kuliah di kampus UI. Anak muda kayak kamu bisa kuliah di kampus itu" Kamu tidak ikut ujian nasional masuknya""
Pierre mengangguk. Laki-laki itu benar-benar tengah menghakiminya. "Saya masuk lewat jalur khusus, Pak..."
"Ha...ha...ha..." Timur Mangkuto tertawa memotong. "Berapa puluh juta orang tuamu mengeluarkan uang untuk
membunuh kesempatan anak-anak miskin yang pintar""
Timur Mangkuto memang pernah mendengar beberapa perguruan tinggi negeri terkemuka membuka kesempatan kepada orang yang mampu untuk masuk tanpa seleksi akademis yang adil. Ia ingin terus meng-hakimi anak kaya itu, tetapi labtop itu sudah berhasil dinyalakan Bernard dan Alish.
Hotel Xabhira, nama itu sempat terlihat dari sendai jepit yang melintas sebentar di kamera. Video itu gambarnya terpotong-potong. Seperti berasal dari pengiriman data yang cepat dengan kualitas gambar yang tidak terlalu bagus.
Di pinggir ranjang, Lidya tengah ber-bicara dengan seorang laki-laki. Pada awalnya canda tawa. Hingga keduanya membuka pakaian. Lalu berbicara lagi.
"Benar, kamu masih perawan""
"Iya Om," Lidya tersenyum manja sambil memeluk laki-laki itu. "Semua untuk Om malam ini!"
"Hmm..." Laki-laki itu tampak berpikir agak lama.
"Lidya sayang, gimana kalau kamu tutup mata sekarang. Membelakangi Om."
Lidya mengikuti permintaan laki-laki itu. Ia membelakangi laki-laki itu. Laki-laki itu meraih sesuatu dari atas meja yang terletak tidak jauh dari ranjang.
Seutas kawat tergenggam di tangannya.
"Tutup matanya sayang, jangan buka dulu." Ia meregangkan kawat itu. membentangkannya di atas tengkuk Lidya seperti tengah mengukur lingkar leher si gadis.
"Ayo dong. Om," Lidya merenggut manja.
"Sabar, sayang!"
Tidak sampai hitungan detik. Laki-laki itu menjerat leher Lidya dengan kawat itu. Gadis itu meronta, kemudian meng-gelinjang. Tetapi jeratan itu terlalu cepat mem-bekapnya. Tidak sampai satu menit, gadis itu terkulai lemah.
Pandangan laki-laki itu beralih pada labtop yang menyala di ata
s meja. Matanya awas memerhatikan kabel dari labtop itu yang mengarah ke atas. Gambar itu tiba-tiba hilang semua. Ia menemukan kamera tersembunyi.
Timur Mangkuto terdiam, genggaman pistolnya lepas. Keringat dingin mengalir deras dari pori-pori kepalanya. Tiga orang anak muda yang berada ber-samanya di dalam kamar terdiam, tegang. Perlahan-lahan ketakutan mereka sirna pada laki-laki bercambang tipis ini.
"Bagaimana ini semua terjadi""
Alish tidak bisa menahan untuk bercerita. Semua-nya berawal dari keisengan mereka berempat. Mereka membuat komitmen untuk ritual melepaskan keperawanan mereka. Caranya dengan memperlihatkan video adegan intim mereka bersama pacar masing-masing.
Maureen dan Alish telah melepaskan ke-perawanan mereka dengan cara itu. Sedangkan Ovi memang belum punya pacar. Maureen dan Alish menggunakan fasilitas video kamera pada ponsel untuk merekam diam-diam adegan intim tersebut. Pada awalnya tanpa sepengetahuan pacar masing-masing.
Lidya ingin memberikan kejutan lain. Ia ingin mempertontonkan langsung adegan intim dengan pacarnya itu kepada tiga orang temannya. Dengan meng-gunakan fasilitas messenger pada internet, hal itu bisa terjadi. Tepat tengah malam labtop teman-temannya di rumah
masing-masing langsung terhubung. Mereka berencana menyaksikan adegan itu secara langsung untuk pertama kali. Sekaligus kali pertama pula mereka tahu wajah pacar Lidya yang akan menjebol ke-pe-rawanannya.
"Kalian tahu siapa pacar Lidya yang ia panggil om i-tu"" Timur Mangkuto menatap satu per satu remaja ingusan itu.
"Tidak!" jawab mereka serempak.
"Tetapi pasti orang itu juga yang telah membunuh Maureen dan Ovi," lanjut Pierre.
Timur Mangkuto menahan nafas. "Pacar Lidya adalah Komisaris Polisi Melvin Donovan. Usianya 36 tahun, dua kali usia kalian. Dan dia adalah wakil dari ayah Lidya di Markas Polisi. Laki-laki ini pula ternyata yang telah membunuh rekan saya."
Melvin, dialah pembunuh Lidya. Timur Mangkuto tidak habis pikir bagaimana kedua orang ini berpacaran dalam usia yang terpaut jauh itu. Celakanya lagi, Melvin adalah orang kepercayaan Riantono, ayah Lidya dalam perburuan dirinya. Ia mulai mengerti kenapa Melvin harus cepat-cepat membunuh Rudi. Sebab kunci pembunuhannya ada pada anak-anak ini. Merekalah yang sempat merekam adegannya di labtop masing-masing. Dan Rudi memfokuskan anak-anak sebagai unit penyidikannya.
"Melvin memanfaatkan KePaRad," ia bergumam. "Tampaknya ada tujuan yang ia ingin ia capai dari pembunuhan itu."
Simbol piramid dengan belahan diagonal pada bagian sisinya jelas digunakan oleh Melvin untuk mengalihkan perhatian polisi. Ia kecoh perhatian polisi yang memang tengah tertuju pada KePaRad dan me-mang benar-benar mampu menyelamatkan dirinya. Sayang, Melvin terlalu
disibukkan dengan perburuan dirinya sehingga tidak sempat lagi menemukan Alish.
"Bagaimana ia tahu kalian satu per-satu""
"Setelah kami menyaksikan Lidya terbunuh, Maureen langsung menghubungi ponsel Lidya. Laki-laki itu mengangkatnya. Maureen mengancam akan melaporkan dan membeberkan pembunuhan itu. Tetapi ia malah mengancam balik akan membunuh kami satu persatu..." Alish kembali terisak. "Lidya tampaknya sering bercerita tentang kami. Dan laki-laki itu sadar labtop Lidya terhubung dengan webcam dan me-ngirim-kan gambar ke labtop kami masing-masing."
"Generasi sampah!"
Timur Mangkuto seperti menyesali kenapa Rudi harus tewas untuk anak-anak kaya yang menjadi sam-pah peradaban ini. Tetapi ia mencoba bersikap se-layaknya seorang polisi. Kasus ini sudah terpecahkan dan ia tidak peduli lagi dengan KePaRad. Tetapi ia masih harus memikirkan cara untuk bisa menangkap Melvin. Ia berada pada posisi yang tidak terlalu bagus saat ini. Matanya mencari-cari sesuatu. Ia mendatangi telepon yang terletak di sudut kamar kemudian me-mencet-mencet nomor.
"Eva..." "Ya...Timur"" suara itu terdengar agak berat.
"Aku sudah temukan siapa pembunuh itu."
Tidak terdengar sahutan dari seberang telepon. Timur Mangkuto beberapa kali coba menghubungi. Hingga sebuah suara ia dengar.
"Timur Mangkuto, selamat!" terdengar tawa setelah itu dari suara seorang laki-laki.
"M elvin, bajingan!" Jantung Timur Mangkuto seperti berhenti berdenyut. Eva Duani telah berada di tangan Melvin saat ini. Entah bagaimana hal itu terjadi. Tetapi ia menduga, Eva Duani menemukan sesuatu kemudian meng-hu-bungi Melvin. Ia menyesal telah memberi tahu Eva Duani, untuk melaporkan setiap perkembangan kasus ini kepada Melvin. "Mana Eva"" Timur Mangkuto
"Ia selamat bersamaku. Tetapi nyawanya sangat tergantung dengan labtop itu." "Apa maksudmu""
"Bagaimana kalau kita melakukan barter yang saling menguntungkan"" terdengar suara tawa mengejek di seberang telepon, "Kau dapat Eva-mu. Aku dapat labtopku."
"Kejahatanmu sudah terungkap, percuma saja!"
"Percuma" Apa nyawa Eva Duani juga percuma. Baiklah, selamat..."
"Tunggu...tunggu..." keringat dingin membasahi tubuh Timur Mangkuto. "Baik aku setuju barter. Kapan dan di mana""
"45 menit dari sekarang di gudang kosong dengan parkiran penuh mobil tua di Jalan Joe Jagakarsa. Aku tahu kau masih di Jakarta," suara itu meninggi. "Ingat jangan coba-coba menghubungi pihak lain sebelum labtop itu jatuh ke tanganku. Terlambat lima menit, nyawa perempuan ini melayang!"
"Teeeettttt..."
Hubungan telepon diputus. Timur Mangkuto tiba-tiba menjadi kalut. Lebih kalut dibanding pengepungan yang tadi ia alami di rumah Eva Duani.
"Ada kabel telepon"" ia melirik Pierre.
"Ada, Pak." Timur Mangkuto berhitung dengan waktu se-karang. Terlambat lima menit saja, ia bisa menyesal seumur hidup.
Ia mengeluarkan sebuah kartu nama dari balik dompetnya. Selama sepuluh menit ia sibuk me-nger-jakan sesuatu di depan labtop itu.
"Berapa ukuran file data video ini"" ia melirik Bernard.
"Sekitar tiga puluh Mega Byte," justru Pierre yang menjawab lagi.
"Apa ada alat kecil yang bisa menyimpan data sebesar ini""
"USB Flash Disk1." kata Pierre dan Bernard berbarengan.
Dari dalam laci meja belajarnya, Pierre mengeluarkan benda itu. Tidak lebih dari satu menit meng-kopi data dari hard disk komputer.
Timur Mangkuto mengemasi laptop, kemudian lari menuruni tangga darurat. Ia meminta sopir pribadi dan Nyonya Amanda yang menunggu di bawah men-cari taksi.
"Aku sudah menemukan pembunuh anak Anda. Sekarang aku mau bertemu dengannya. Doakan saja!" Land Cruiser itu cepat menderu meninggalkan Nyonya Amanda yang masih kebingungan.*
69 pada saat Eva Duani menghubungi, Melvin masih berada di sekitar Apartemen Carpe Diem, kediaman Profesor Budi Sasmito.
"Saya tahu keberadaan KePaRad, Komisaris." Kalimat itu membuat ia bergerak cepat menjemput Eva Duani di kediaman Nyonya Amanda. Ia mengatakan pada perempuan itu bahwa rumah itu tidak cukup aman untuk pembicaraan mereka. Lalu mereka berdua meninggalkan rumah tanpa pesan sedikit pun pada para pembantu.
Pikiran Melvin langsung kalut, mendengar penuturan Eva Duani tentang apa yang tengah dilakukan Timur Mangkuto. Ia merasa tidak lama lagi rahasianya akan terbongkar oleh perwira muda polisi itu. Ia akhirnya membawa Eva Duani menuju sebuah gudang kosong tempat puluhan mobil ringsek diparkir sepanjang halamannya.
Dugaannya tepat. Tidak lebih dari sejam kemudian Timur Mangkuto menelepon Eva Duani. Memberitahukan bahwa Melvin adalah pelaku pembunuhan berantai. Ia tidak punya banyak pilihan selain melakukan transaksi nyawa dengan labtop yang baru saja ia dapat.
Eva Duani terikat pada satu tiang besi yang menyangga loteng gudang kosong, sementara Melvin duduk
pada kursi kumal disampingnya. Ia terus menerus mengepulkan asap rokok. Raut wajah Eva Duani tampak benar-benar lelah. Ia menyandarkan tubuhnya pada besi bulat kecil tempat kedua pergelangan tangannya itu diikat.
Empat menit sebelum batas waktu yang diberikan o-leh Melvin, terdengar derum suara mobil di luar. Waktu sudah menunjukkan pukul empat lebih seperempat. Terdengar langkah kaki memasuki gudang.
"Melvin, di mana kau""
"Jalan lurus ke depan, belok kanan, Inspektur!"
Penerangan dalam gudang itu hanya kretek yang me nyala di bibir Melvin. Timur Mangkuto mendekati sumber suara.
"Mana Eva Duani""
"Timur!!!" terdengar pekikan Eva Duani tidak jauh dari sumber suara Melvin.
"Mendekat lima langkah, ke arah tiang penyangga Inspektur!"
Timur Mangkuto melangkah dengan hati-hati da-lam keremangan gudang itu. Ia mengikuti nyala kretek Melvin.
"Berhenti!" perintah Melvin. "Keluarkan labtopnya, nyalakan dan tunjukkan padaku bahwa file video itu masih ada."
"Lepaskan dulu Eva Duani," Timur Mangkuto menawar. "Nyalakan dulu!" "Lepaskan..."
Tidak terdengar sahutan dari Melvin. Yang terdengar hanya bunyi pelatuk pistol ditarik. Timur Mangkuto mengikuti keinginan Melvin. Ia menyalakan labtop.
Cahaya yang muncul pada monitor labtop itu cukup untuk menerangi sebagian kecil ruangan gudang itu. Ia lihat Eva Duani tengah terikat di tiang besi penyangga
atap gudang. Melvin menodongkan satu pucuk pistol tepat di kepalanya.
"Geser meja itu ke sini, letakkan labtop di atasnya mengarah padaku!" Melvin memberikan perintah lagi.
Timur Mangkuto menggeser meja kotor itu ke arah Melvin, kemudian meletakkan labtop di atasnya. Ia kemudian membuka file yang diinginkan Melvin.
"Baik, aku akan lihat file itu."
Melvin berjalan ke arah meja itu yang hanya berjarak tiga meter dari posisi awalnya. Ia tetap menodongkan pis tol pada Eva Duani. Timur Mangkuto melihat itu satu-satunya kesempatan baginya untuk melumpuhkan Melvin. Ia cepat menarik pistol dari balik pinggangnya.
"Dorrr! Dorr!" "Auuuuhh!!!" terdengar suara seperti raungan. "Timur!!!" Eva Duani histeris.
Melvin sudah menyadari gelagat Timur Mangkuto. Ketika laki-laki itu menarik pistol, ia telah terlebih dahulu menembakkannya. Dua kali tepat mengenai pergelangan tangan kanan Timur Mangkuto. Melvin mendekati Timur Mangkuto yang terhuyung. Ia menendang pistol itu hingga terlempar jauh.
"Bukkk!!! Bukkk! Bukkk!"
Pukulan menggunakan gagang pistol itu tepat bersarang di pinggir kiri rahang Timur Mangkuto. Dua buah pukulan berikutnya menggunakan dengkul tepat bersarang pada perut Timur Mangkuto.
"Kau tidak ada apa-apanya dibandingkan aku, Timur Mangkuto!" ia menjambak rambut tipis Timur Mangkuto.
Melvin memborgol tangan Timur Mangkuto kemudian mengikatkannya bersama-sama dengan Eva Duani. Ia mengamati labtop itu. Kemudian tersenyum sendiri ketika
menemukan apa yang ia cari.
Klik kanan Delete Yes Ia menatap Timur Mangkuto yang tampak menahan sakit. Darah terus mengucur dari pergelangan tangannya. Eva Duani tidak bisa berbuat apa-apa. Matanya berkaca-kaca melihat kondisi Timur Mangkuto.
"Apa ada hal lain yang kau sembunyikan, Inspektur Satu Timur Mangkuto""
"Bajingan kau Melvin!" Timur Mangkuto mem-buang ludah. "Aku pikir kau polisi baik. Ternyata seorang pembunuh."
"Eitttt...." Melvin memain-mainkan telunjuknya tepat di pucuk hidung Timur Mangkuto. "Menjadi polisi baik tidak akan menghasilkan apa-apa di dunia ini."
"Apa yang sebenarnya kau inginkan dari pembunuhan
itu"" "Uang! Apa ada hal yang lebih berharga dari uang" Serat Ilmu yang dimiliki KePaRad itu akan membuat hidupku seperti berada di surga."
"Polisi korup! Kau berkomplot dengan Budi Sasmito""
"Dulu, sekarang tidak lagi," Melvin tergelak. "Aku baru saja membunuhnya. Persis seperti cara aku membunuh Rudi. Kau tahu, Rudi bahkan menghidangkan satu cangkir kopi, sebelum aku membunuhnya!"
"Bajingaaannn!" teriak Timur Mangkuto.
"Terkutuk!" Eva Duani tidak kuasa menahan tangisnya.
Melvin tidak memedulikan tanggapan dua orang itu. Ia menyalakan satu batang rokok lagi. Ia tampaknya
belum merasa aman. Ia menggeledah seluruh pakaian Timur Mangkuto. Pada saku depan celana Timur Mangkuto, tangannya berhenti. Sebuah benda kecil ia keluarkan.
"Woow, penyimpan data, Inspektur," ia menimang-nimang benda itu. "Flash disk, cukup untuk me-nyim-pan file videoku, bukan""
"Sial!" umpat Timur Mangkuto. Ia merasa me-nyesal tidak menitipkan saja benda itu kepada tiga orang remaja yang tadi ia temui.
"Inspektur! Anda tengah berhadapan dengan perwira paling jenius di Polda Metro Jaya. Jadi, percuma saja kau menggunakan beragam trik untuk menipuku," dari dalam sebuah tas hitam. Melvin mengeluarkan lem-baran kain gelap. "Aku sudah men-settingmu untuk tidak mati, syukurilah itu. Sebab aku butuh cerita yang sempurna mengenai rentetan pembunuhan itu. Baju berwarna gelap ini, masih terasa bau amis darahnya. Timur
Mangkuto, terimalah kenyataan. Kau adalah pembunuh dari Budi Sasmito dan empat korban lainnya!"
Kain itu dilemparkan tepat di samping Timur Mangkuto. Kemudian ia melemparkan Flash Disk itu hingga hancur berkeping-keping. Sementara Labtop itu ia bawa ke sudut ruangan yang lebih gelap, kemudian ikut ia hancurkan. Ia mengeluarkan telepon geng-gamnya.
Tidak lama terdengar raungan sirene polisi mengarah ke gudang itu. Melvin telah menghubungi unit polisi patroli. Tampaknya Riantono dan beberapa orang perwira ikut dalam rombongan itu. Ia mendekati Timur Mangkuto dan Eva Duani untuk terakhir kalinya,


Negara Kelima Karya Es Ito di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Setting yang sempurna bukan, Inspektur" Para polisi sudah datang, aku akan dianggap pahlawan ka-rena berhasil membekukmu. Sedangkan kau, tinggal menunggu
hukuman mati. Dan perempuan cantik yang telah menyembunyikan pembunuh berdarah dingin ini, paling tidak, bisa dituntut dua puluh tahun penjara," Melvin kembali tertawa.
Sekitar lima unit mobil polisi menerobos masuk ke dalam gudang. Sorotan lampunya membuat keadaan di dalam gudang terang benderang.
"Aku telah menangkap mereka!"
Melvin berjalan mendekati kerumunan polisi yang bergerak masuk. Riantono menyambutnya dengan bangga. "Kerja yang bagus, Melvin!"
"Terima kasih, Dan," ia balas menatap Riantono. "Memuakkan, Timur Mangkuto mengakui semua perbuatannya berikut barang bukti. Aku mau istirahat sepanjang hari ini, Dan. Aku shock mendengar pengakuan Timur Mangkuto."
Riantono menganggukkan kepala. Melvin menyalakan mesin mobilnya. Ia merasakan hawa kemenangan. Tetapi pekerjaannya belum selesai.*
70 Pada 23 September 2005 mendekati pukul dua belas
siang, matahari bersinar cerah. Pada daerah-daerah yang dilalui garis ekuator, tidak lama lagi benda-benda akan kehilangan bayangannya selama beberapa saat. Pada batas horison laut seakan menyatu dengan batas pemandangan biru tiada bertepi.
Gunung Anak Krakatau arah barat laut Provinsi Banten masuk ke dalam wilayah Provinsi Lampung. Sebuah pulau kecil dengan kontur gunung curam di tengah-tengahnya. Dulunya pada saat zaman es belum berakhir dan sebelum tsunami besar akibat letusan vulkaniknya menenggelamkan peradaban besar di sekitarnya, sebuah puncak tinggi gagah yang disebut-sebut sebagai puncak yang terlupakan pernah memuncaki daerah itu. Gunung itu adalah puncak selatan dari deretan pegunungan yang membelah bagian tengah Sumatera. Yang tersisa sekarang hanyalah gundukan kecil dari cerita mengenai kemegahan masa lalu. Sisanya tenggelam di dasar laut. Sebagian lagi menjadi puncak kecil dari gunung yang jauh berada di dasar laut.
Pada lereng selatan pulau, beberapa titik hitam tampak bergerak menyemut menuju satu arah. Sebagian lagi sudah berkumpul pada satu titik tengah. Titik-titik hitam
itu adalah orang-orang yang me-ngenakan jubah hitam dengan pola-pola piramid berwarna putih mengilat tergambar pada bagian belakang menutupi tengkuk. Mereka berkerumun dalam bentuk lingkaran bergelombang dengan inti satu lingkaran kecil. Barisan orang-orang itu membentuk empat lingkaran. Semakin ke tengah semakin mengecil.
Di tengah-tengah lingkaran terpancang pilar-pilar besar setinggi lebih kurang satu meter. Sedangkan pilar-pilar itu sendiri mengelilingi satu pilar inti yang lebih tinggi. Bagian atasnya landai, datar, dan terlihat licin mengilap. Satu benda pipih seperti lempengen emas besar diletakkan persis di atas benda itu. Pada lempengan terdapat gambar teratai dengan delapan kelopak mahkota.
Tiap lingkaran tampaknya menunjukkan derajat keanggotaan dari kelompok. Semakin ke tengah dan semakin mengecil maka semakin besar derajat keanggotaannya.
Lingkaran paling luar, sekitar lima puluh orang lebih, tempat Para Pemula berbaris. Lebih ke dalam diisi oleh tidak lebih dari sepuluh orang Para Pengawal. Sedangkan lingkaran paling dalam yang seharusnya diisi oleh Para Pembuka tampak masih kosong. Ritual ini dilakukan terbatas untuk segelintir anggota yang dianggap mewakili ratusan dari anggota lainnya. Mereka adalah Para Penjemput yang terpilih untuk menjemput masa lalu yang tenggelam.
Pilihannya sudah nyata untuk semua Penjemput. Masa ahad telah berg
anti. Masa waktu telah terdiami. Tempat-tempat mulai tenggelam. Badai dan gelombang telah menerjang. Angkasa mulai terkuak.
Cahaya matahari semakin menerkam.
Angin pun bergerak pelan menghantam.
Ooo Para Penjemput dari puncak yang terlupakan.
Saatnya sudah tiba. Janjinya hanya empat negara.
Sekarang Negara Kelima dari puncak yang terlupa.
Negara Kelima puncak dari segala puncak peradaban.
Membawa dunia pada orang-orangnya.
Oooo Para Penjemput dari kota yang hilang.
Pesisir yang diserang. Pedalaman yang menghinakan.
Pemimpin dari segala keserakahan.
Kita telah kembali menuai janji ribuan tahun.
Ilham Tegas memulai prosesi dengan kata-kata dan intonasi aneh. Angin laut yang mendesau-desau membuat jubahnya berkibar-kibar. Orang-orang yang berada pada lingkaran bergelombang memerhatikan dengan takjub tiap kata yang terucap dari mulut pria itu.
Dalam seperempat dari putaran waktu.
Matahari purba akan menunjuk jalan untuk kita.
Serat Ilmu akan memendarkan cahayanya.
Putih terpecah menjadi unsur-unsur tidak terduga.
Dalam pecahan warna kita mencari lagi putih sebagai
asalnya. Waktunya hampir tiba. Putih akan menjadi petunjuk.
Tataghata akan berpendar lalu memancarkan cahaya.
Putih petunjuk arah. Putih penunjuk peradaban baru.
Itu tempat di mana kita bangun yang kelima dari
yang pertama. 0o Para Pendahulu. Oo Para Penjemput Pertama. Oo Para Penjemput Kedua. Oo Para Penjemput Ketiga.
Kami para Penjemput Keempat akan menjemput Negara Kelima.
Setelah itu yang ada hanya diam. Semuanya menunggu apa yang akan terjadi berikutnya.
Para Pengawal saling berpandangan. Beberapa saat lagi, sesuai dengan jadwal yang ditentukan oleh Para Pembuka, Serat Ilmu akan dibawa keluar dan di-letakkan di atas lempeng emas Tataghata yang di-kelilingi oleh pilar-pilar pada bagian paling inti dari lingkaran itu.
Serat Ilmu ditinggalkan di dalam cerukan gua yang menggantung di tebing curam pulau. Para Pembuka akan mengambilnya di sana. Sebelum mereka dating ke tempat prosesi, mereka akan bersuara dari arah cerukan gua itu. Menyampaikan pesan-pesan langsung yang sangat ditunggu-tunggu oleh Para Penjemput dari berbagai tingkatan keanggotaan tersebut.
Matahari semakin mendekati titik tengah bumi. Mungkin tidak lebih sepuluh menit lagi, pusat tata surya itu akan berada tegak lurus terhadap bumi. Para Pengawal mulai gelisah. Belum juga terdengar suara menggema dari pengeras suara yang telah dihubungkan ke ceruk gua. Seharusnya Para Pembuka sudah menyampaikan pesannya lewat pengeras suara itu dari ceruk gua. Tetapi Ilham Tegas memberi isyarat pada Para Pengawal untuk tenang.
Terdengar suara berisik dari pengeras suara yang dihubungkan ke dalam ceruk gua. Para Pengawal me-narik nafas lega.
"Para Penjemput dari kejayaan yang tenggelam. Saatnya menunaikan janji ribuan tahun. Ketika manusia belum
berhitung dengan waktu. Waktunya telah dekat, waktunya tinggal dalam kerdipan mata dibanding abad- abad kekalahan dari kekuatan terpendam yang hilang..."
Suara pengeras suara tiba-tiba merusak ritual yang tengah dinikmati oleh Para Penjemput.
"Pak Amir, kami menginginkan benda itu sekarang juga!" suara itu berbeda dengan suara pertama yang juga berasal dari pengeras suara.
"Bagaimana kalian bisa temukan tempat ini""
"Itu bukan urusan Anda. Dua jam lamanya kami mencari jejak Anda di pulau ini. Kami menginginkan benda itu sekarang."
"Tidak! Jangan ganggu ritual ini. Bukankah kita sudah memiliki perjanjian..." suara pertama menyahut. Tampaknya ia tidak menyadari semua pembicaraan itu digemakan oleh pengeras suara pada Para Penjemput yang berbaris mengitari pillar-pillar dan lempeng emas Tataghata.
"Kami menginginkan benda itu sekarang juga!"
"Tidak. Anda melanggar kesepakatan kita, Steve. Anda membuyarkan mimpi anak muda yang telah lama aku kuasai ini!"
Para Penjemput yang berbaris rapi itu mulai kebingungan. Mereka mulai ribut mendengar suara yang digemakan oleh pengeras suara itu. Ilham Tegas ber-usaha untuk menenangkan mereka. Ia meminta Para Pemula untuk tetap berada di tempat itu. Sementara Para Pengawal akan bergerak menuju ceruk gua, me-mastikan apa yang tengah terjadi
. Mereka berlari me-nuju sumber suara di dalam ceruk gua menggantung pada dinding terjal pulau."
"Pak Udin""
Dino Tjakra sangat kaget mendapati laki-laki berjubah hitam yang tengah menggenggam Serat Ilmu di tangannya itu. Dua orang laki-laki berumur sekitar pertengahan tiga puluh tahun berada di dekatnya. Salah satu diantaranya menodongkan pistol pada Pak Udin, sopir yang biasa menemani Para Pengawal.
Dua orang laki-laki itu kaget melihat kedatangan beberapa orang yang mengenakan jubah itu. Ilham tegas menuruni tangga-tangga batu tebing yang terjal. Ia tidak memedulikan dua orang laki-laki yang te-ngah mengancam Pak Udin itu.
"Pak Udin, apa yang sebenarnya terjadi"" pan-dangan Ilham Tegas menusuk.
"Mereka berdua menginginkan benda itu. Mereka memaksaku..."
"Ha...ha...ha..." tawa Steve memotong kalimatnya.
"Kalian telah dibohongi laki-laki ini. Ia menjual mimpi Negara Kelima pada kalian. Agar kalian mencari benda ini. Ketika benda ini sudah kalian dapatkan, ia siap menjualnya melalui kami."
Steve melirik Melvin yang masih menodongkan senjata pada Pak Udin. Perjalanan mereka mencari tempat ini tidak sia-sia. Semua teori yang dipaparkan oleh Eva Duani tentang tempat ritual kelompok ini, ternyata benar. Tetapi mereka salah perhitungan. Tanpa disangka anak-anak muda itu muncul begitu saja. Namun mereka mencoba untuk bersikap tenang.
"Bukan, aku tidak bermaksud begitu. Aku juga percaya pada kebangkitan kejayaan yang telah lama terpendam!"
"Pak Udin, siapa Anda sebenarnya. Siapa Pak Amir" Dan mana Para Pembuka"" Genta menahan emosi.
Pak Udin menarik nafas, ia mengibaskan todongan pistol Melvin. Serat Ilmu masih ada dalam geng-gamannya.
"Tidak ada Para Pembuka. Yang ada hanya aku dan almarhum Sunanto Arifin yang mengaku sebagai Para Pembuka. Kamilah yang merancang semuanya. Sampai dengan dua bulan yang lalu sebelum ia me-ninggal. Kami ingin memberi kesan mitologi pada sosok Sunanto Arifin. Itu sebabnya kami mem-butuh- kan medium bernama Para Pembuka. Itu sebab-nya kami membuat jenjang hirarkis untuk kalian."
"Aku tidak percaya!!!" teriak Sardi Amin dari atas tebing. Ia tidak bisa menerima kenyataan ini.
"Jadi semua cerita ini hanya kebohongan" Tidak ada Para Pembuka. Tidak ada Revolusi" Tidak ada Negara Kelima"" Dino Tjakra menatap tak percaya.
"Kami juga mencita-citakan apa yang kalian inginkan!" Pak Udin membela diri. "Hanya saja kita harus realistis. Serat Ilmu ini memang berasal dari masa Atlantis tetapi kekuatannya hanya mitologi. Revolusi tidak akan bisa digerakkan hanya dengan ritual me-ngelilingi Serat Ilmu. Aku ingin menjual benda ini. Bayangkan 25 juta dollar. Sekian banyak senjata bisa kita dapatkan. Sekian ribu orang bisa kita gerakkan."
"Pengkhianat, siapa Anda sesungguhnya Pak Udin, Pak Amir" Tentunya Anda bukan sekadar sopir pribadi Profesor Sunanto Arifin""
Dari arah dalam ceruk gua itu terdengar suara batuk. Terdengar gesekan seperti kaki yang diseret berjalan. Profesor Duani Abdullah yang ditempatkan di dalam ceruk goa itu berusaha untuk keluar.
Kalian ingin tahu siapa Pak Amir ini atau Pak Udin yang kalian anggap sebagai sopir pribadi itu"" pandangannya mengarah pada anak-anak muda yang kecewa itu.
"Tolong jelaskan Prof"" Ilham Tegas berusaha tegar.
"Dari awal aku sudah menduga Nanto tidak sen-diri-an memecahkan teka-teki Atlantis ini. Pada saat di atas mobil pun aku sudah mencurigainya," ia me-melototi Pak Udin, laki-laki itu tampak gugup. "Laki-laki ini bernama Profesor Amirudin Syah. Ternyata setelah sekian tahun bermukim di Paris, kau balik juga. Tergoda oleh mimpi Nanto! Selain aku, Budi Sasmito dan Nanto, Amirudin Syah ini juga terlibat dalam usaha pencarian Atlantis ketika kami masih sama-sama di Paris. Tetapi sekian tahun lamanya ia tidak kembali ke Indonesia!"
Anak-anak muda Kelompok Patriotik benar-benar kece wa. Mereka tidak menyangka bahwa semua ke-seriusan mereka selama ini ternyata hanyalah per-mainan dua orang, Profesor Sunanto Arifin dan Profesor Aminudin Syah yang mengaku bernama Pak Udin, sopir pribadi Profesor Sunanto Arifin. Tidak ada Para Pembuka. Surat kaleng itu jelas langsung dimasukkan
Profesor Aminudin Syah. Lalu ia pura-pura me-nemu-kan ketika berperan sebagai Pak Udin.
"Berikan benda itu!"
Steve berusaha merenggut benda itu dari tangan Profesor Aminudin Syah. Ia kalut, tidak menyangka percakapan mereka tadi masuk pengeras suara, sehingga menarik perhatian orang-orang ke sini. Melvin ikut kalap dan menodongkan senjatanya pada siapa saja yang berada di tempat itu.
"Kami sudah berikan uang muka, dua puluh per-sen!" teriak Steve.
Tarik-menarik terus terjadi. Steve terus berusaha merenggutnya. Tidak ada yang berusaha membantu Profesor Amirudin Syah. Semua terpaku, sulit bagi mereka menerima kenyataan, mimpi besar mereka terbunuh begitu saja oleh kebohongan Profesor Amirudin Syah. "Aku akan..."
Profesor Amirudin Syah mengeluarkan semua energinya untuk merenggutkan benda itu untuk terakhir kalinya. Ia berhasil namun energi yang besar itu membuat ia terdorong ke bibir balkon itu. Ia hilang keseimbangan. "Tenggelaaaammmm..."
Teriakan Profesor Amirudin Syah memecahkan kebekuan orang-orang yang berada di sekelilingnya. Batu-batu karang runcing menyambut tubuhnya di bawah. Sementara Serat Ilmu itu tidak langsung jatuh. Melayang-layang di udara menuju ke tengah lautan seolah tengah mencari titik tempat di mana dulu kuil Poseidon tenggelam.
"Sial!" Melvin memaki
Steve mengutuki diri. Ia menyesali kenapa mereka berdua tidak sabar menunggu datangnya malam. Sebab itu saat yang dijanjikan Profesor Amirudin Syah untuk menyerahkan benda itu. Ketamakan telah mem-buyar-kan semuanya. Mereka terlalu ingin mendapatkan ben-da itu secara gratis. Mereka berniat merebut benda itu langsung setelah mengetahui jawaban teka-teki lima negara.
Tetapi mereka memang tidak bisa percaya pada Profesor Amirudin Syah. Sebab laki-laki gaek itu se-orang petualang. Setiap saat ia bisa saja membatalkan perjanjian. Ia mengkhianati Sunanto Arifin kemudian mengkhianati anak-anak muda yang ia kuasai. Melvin dan Steve takut dikhianati juga. Itu sebabnya Melvin bersikeras menemukan tempat persembunyian kelom-pok
ini. Menguntit dan menemukan Profesor Amirudin Syah yang mereka kenal dengan nama Pak Amir hanya lewat hubungan telepon.
Melvin dan Steve berusaha melarikan diri. Mereka mendaki naik tangga-tangga batu tebing. Tidak ada yang berusaha mencegah mereka. Anak-anak muda telah kehilangan semangat hidup. Apa yang mereka lakukan selama ini terasa seperti omong kosong.
"Tenang, kita masih punya lima juta dollar dari duit Budi Sasmito!" Steve berusaha menghibur Melvin.
Mereka sampai di atas, siap meninggalkan pulau. Namun sebuah suara menghentikan mereka.
"Komisaris jenius, aku berhasil mengalahkanmu!"
Melvin melongok ke arah sumber suara. Ia ter-kejut menyadari siapa yang memanggilnya tadi.
"Sialan, Timur Mangkuto!"
"Ya, tidak salah," kata Timur Mangkuto semakin mendekat. "Kau pikir kau sudah menang""
Melvin dan Steve terkepung oleh dua peleton pasukan polisi. Di tengah-tengah pasukan itu Timur Mangkuto berdiri dengan tangan dibalut perban. Di sampingnya berdiri Kombes Riantono dan Kombes Atmakusumah, sementara Eva Duani berdiri di belakang.
"Menyerahlah, Komisaris!"
Menghadapi todongan senjata dari dua peleton yang telah mengelilinginya Melvin tidak punya pilihan lain. Ia menyerah. Ia dan Steve digelandang ke tengah pulau.
"Bagaimana Komisaris"" Timur Mangkuto mendekatinya lagi. "Kau tidak menyangka bukan" Sebelum menyerahkan labtop itu, aku telah mengirimkan file video ke alamat email Eva Duani."
Timur Mangkuto tersenyum sendiri mengingat-ingat
saat menegangkan itu. Ketika masih berada di dalam kamar Pierre, ia ingat kartu nama Eva Duani yang dilengkapi email.
File itu juga yang menyelamatkan dirinya ketika diinterogasi di Mapolda. Ia meminta Eva Duani mem-buka email dan, ternyata, bisa terkirim dengan baik. Polisi tidak punya pilihan selain memburu Melvin.
"Terserah!" Melvin tiba-tiba berteriak. "Riantono terlibat dalam semua kejadian ini. Ia mengetahui puteri-nya terbunuh di Hotel Xabhira. Tetapi janji bintang di pundak membutakannya. Bersama denganku, ia melakukan manipulasi TKP!"
Tatapan orang-orang menuju Riantono. Ia benar-benar meradang mend
engar kata-katanya. Emosinya meledak. Bayangan puterinya yang dicekik mati oleh Melvin semakin membuatnya sulit mengendalikan diri. Apalagi mengetahui kebohongan Steve yang dulu me-nga-takan puterinya sering menginap di Hotel Xabhira.
Riantono berjalan mendekati Melvin. Ia mencabut pistol dari balik pinggang dan membidikkannya tepat ke jantung Melvin.
"Komandan, jangan membuat keadaan semakin kacau!" seru Timur Mangkuto berteriak. "Melvin hanya ingin menjerumuskan Anda lebih jauh!"
"Tembak aku, Dan!" Melvin merasa menang. "Pu-teri Anda adalah gadis muda bodoh yang gampang dibohongi. Aku tidak tergoda oleh tubuhnya tetapi tergoda oleh nyawanya. Bodohnya lagi, ia amat me-nyayangiku. Nyawanya yang telah mendekatkanku pada Serat Ilmu. Ha...ha...ha..."
Terdengar lima tembakan menghentikan tawa Melvin. Lima peluru bersarang di jantungnya. Seketika itu ia
roboh. Riantono menjatuhkan pistolnya dan pada saat yang sama mengangkat tangan. Tetapi dari wajahnya menyiratkan kepuasan. Kehancuran sempurna bagi hidupnya.*
71 Perlahan-lahan Profesor Duani Abdullah mulai mampu
bangkit dari tempat tidur setelah dua belas jam lamanya dirawat di rumah sakit. Kehangatan cahaya matahari pagi menerobos ventilasi kamarnya. Eva Duani ter-bangun setelah semalaman menjaga ayahnya. Profesor Duani Abdullah mengelus-elus rambut lurus putrinya itu. Ia tersenyum. Eva Duani merenggut manja. "Sana, cuci muka!"
Segar dan tenang. Tidak ada lagi hal yang menggelayut dalam pikiran Eva Duani. Ia keluar dari kamar mandi dengan wajah cerah. Di samping ranjang ayah-nya ia lihat Makwo Katik telah datang. Entah bagai-mana laki-laki tua itu sudah berada di situ. Profesor Duani Abdullah memberi isyarat padanya untuk keluar dari dalam kamar. Ia tidak tahu yang menjadi per-bincangan dua orang tua yang baru saling kenal itu. Tetapi tampaknya penting sekali. Eva Duani seperti menemukan keceriaan lagi pada raut wajah ayahnya. Yang dulu hanya bisa ditemukan kala ibunya masih hidup.
Makwo Katik tampak ceria di pagi yang hangat itu. Tetapi ia mengerti dan tahu dari cerita Timur Mangkuto, Makwo Katik memang orang yang sangat lihai dalam
bercerita seperti kebanyakan orang-orang tua Minang.
Lorong rumah sakit cukup bersih. Eva Duani mencari kursi untuk duduk. Ia melongok ke kanan, satu kursi panjang membentang. Tetapi seorang lelaki dengan pakaian polisi lengkap sudah duduk di situ.
"Bukannya terlalu pagi untuk bertamu, Inspektur""
Timur Mangkuto mengulum senyum.
"Ah, aku rasa tidak."
Eva Duani menghenyakkan tubuhnya di samping Timur Mangkuto. Ia lega akhirnya semua berlalu dengan baik setelah jam demi jam menegangkan me-reka lalui.
"Tangannya bagaimana"" Eva Duani memerhatikan tangan kanan Timur Mangkuto.
"Sudah baikan kok," jawab Timur Mangkuto.
"Semuanya berakhir tragis ..." Eva Duani ber-gumam
lirih. Timur Mangkuto tidak menanggapi. Pandangannya jauh lurus ke depan. Rupanya Eva Duani tidak mau memperpanjang masalah dengan tidak meneruskan perkataannya.
"Dua kasus aneh dengan satu aktor untuk membuatnya saling berhubungan," Timur Mangkuto akhir-nya angkat bicara dari kediamannya.
"Iya," ujar Eva Duani.
"Satu kasus mengembalikan kita pada masa silam, membuat kita yakin pengertian tentang Nusantara tidaklah sepicik pengetahuan masa kini. Sedangkan satu kasus lagi menyadarkan kita akan realitas masa depan bangsa. Ternyata dari generasi hancur macam Lidya dan teman-teman puzzle-nya, masa depan bangsa ini direkat menjadi suatu cita-cita. Masa sekarang memang kejam. Tidak saja karena sebagian orang rela me-manipulasi
sejarah, tetapi juga manipulasi itu telah membentuk generasi muda yang picik. Sebagian men-cari hiburan dari kotoran masa lalu."
"Iya," ujar Eva Duani seraya mengangguk-angguk. "Genta dan teman-teman KePaRadnya mungkin adalah bagian dari generasi kita yang gelisah melihat negeri tanpa harga diri ini. Setiap kali kita berkaca maka yang kita temukan bukan bayangan kita di dalam kaca, tetapi seolah-olah bayangan bangsa lain yang telah maju. Itu sebabnya anak-anak muda bisa bertingkah seperti Lidya dan teman-temannya sebab mereka tidak lagi menemukan bayangannya sendiri.
Yang mereka temukan dalam kaca adalah bayangan dunia utara yang disampaikan oleh televisi yang khayali."
"Arus itu harus kita kembalikan. Selatan harus menemukan bayangan sendiri di dalam kaca, mungkin itu yang ingin ditemukan oleh KePaRad."
Eva Duani tertawa kecil. Ia merasa Timur Mangkuto mulai terpengaruh dengan mimpi KePaRad.
"Tetapi ceritanya tetap sama. Orang-orang tua memanipulasi mimpi anak muda untuk keuntungan mereka sendiri. Ketamakan orang-orang tualah yang menghancurkan negeri ini," Eva Duani menambahkan. "Bagaimana dengan semua tuduhan terhadap KePaRad""
"Sebagian besar konsepsi mereka hanyalah rencana tunggal Profesor Amirudin Syah dan Sunanto Arifin. Setelah Profesor Sunanto Arifin meninggal, sifat tamak Amirudin Syah muncul. Ia ingin membimbing anak muda sekaligus mendapatkan keuntungan di da-lam-nya. Isu mereka menguasai TNI dan sebagainya hanya kebohongan yang ditiupkan Profesor Amirudin Syah," kata Timur Mangkuto menarik nafas. "Semoga hukuman terhadap anak-anak muda ini tidak terlalu berat."
"Tetapi benar mereka mau melakukan revolusi""
"Ah," keluh Timur Mangkuto. "Anak muda cerdas mana di Indonesia ini yang tidak menginginkan revolusi. Bangsa ini sudah rusak."
"Kamu alat negara bukan""
"Aku benci dengan semua ini."
"Tetapi semua harus dihadapi bukan""
"Terkadang aku pikir percuma saja. Kepolisian seperti lumpur yang tidak akan pernah kering dan juga tidak akan pernah bisa dilarutkan air. Terlanjur kotor!"
Eva Duani memandang Timur Mangkuto dalam-dalam. "Timur, mutiara akan tetap mutiara walaupun terbenam dalam lumpur. Kelak kamu akan muncul ke permukaan."
"Butuh waktu yang lama bukan""
"Dan butuh...kesabaran."
"Serta pendamping hidup yang juga sabar dan mengerti..."
Timur Mangkuto sengaja memberi tekanan pada u-jung kalimatnya. Ia memandang lama pada Eva Duani. Perempuan itu tampak gelagapan. Ia tidak tahu harus berbuat apa.
"Besok, aku mau datang ke makam Rudi."
"Aku ikut," timpal Timur Mangkuto.
Keduanya terdiam lagi. Kata-kata Timur Mangkuto mengenai pendamping hidup tadi benar-benar mem-buat suasana menjadi beku. Eva Duani sebenarnya sudah mengerti ke mana arah pembicaraan Timur Mangkuto. Tetapi ia ragu dan takut akan membentur tembok yang sama dengan Rudi.
"Oh ya, Makwo Katik. Apa beliau tidak kesal harus kembali hanya untuk cerita satu jam dari Merak"" Eva
Duani berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Ah, biasa saja. Memang seharusnya sekarang beliau sudah masuk wilayah Ogan Komering seandainya lewat lintas Timur Sumatera. Tetapi tak apa. Lagi pula beliau sudah dapat misi baru di sini."
"Misi baru""
"Ya." "Misi apa""
"Hmmm...entahlah. Tetapi beliau menjanjikan itu untukku," Timur Mangkuto tersenyum-senyum. "Timur"" Eva Duani merenggut.
"Beliau tengah melamarkan kamu untukku se-karang di kamar!"
Raut muka Eva Duani tiba-tiba bersemu merah. Ia baru sadar kenapa tadi ayahnya menyuruh keluar. Kedua orang itu ternyata sudah punya agenda sendiri. Timur Mangkuto, perwira polisi kelahiran Kamang itu, mungkin telah meluluhkan hati ayahnya. Tetapi ia sendiri sulit untuk menolak walaupun merasa di-kelabui. Ia tidak bisa membohongi dirinya, walau ia juga menginginkannya.
"Berarti aku harus menyiapkan diri tersingkir""
"Lho kenapa"" alis Timur Mangkuto naik. Perasaannya meletup-letup. Eva Duani mengirim sinyal positif.
"Bukankah sudah jadi tabiat Orang Minang, jadi pio-ner, penggerak kemudian tersingkir. Kita harus siap untuk itu."
"Hee...he...he... Ya kita harus siap, berdua!"
Tidak ada lagi kata yang terucap. Timur Mangkuto menggenggam erat tangan Eva Duani. Seperti bisikan-bisikan kata tanpa bicara. Eva Duani balik me-man-dangnya.
"Kamu percaya dengan Atlantis dan Serat Ilmu itu""
Timur Mangkuto buka suara lagi.
"Entahlah. Tetapi teka-teki itu kembali tenggelam di tempat yang sama dengan tenggelamnya Atlantik purba. Nusantara kuno yang hingga kini dilupakan."
"Sebenarnya apa yang ingin disampaikan oleh KePaRad pada kita"" tanyanya sekali lagi.
"Seperti pernah diucapkan Profesor Sunanto Arifin mereka hanya ingin berteriak. Biar semua dunia tahu dan mengerti bahwa 'Nusantara ini bukan sekadar serpihan bekas k
olonial Belanda! Nusantara kita mung-kin lebih tua dari negeri-negeri utara. Hegemoni utara yang membuat negeri-negeri selatan menjadi kerdil dan lupa akan sejarah panjangnya sendiri'."*
Penulis ES Ito, lahir pada tahun seribu sembilan ratus delapan puluh satu. Ibunya seorang petani, bapaknya seorang pedagang.
Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Puri Rodriganda 3 Wiro Sableng 160 Dendam Makhluk Alam Roh Bangau Sakti 32
^