Jentera Bianglala 1
Jentara Bianglala Karya Ahmad Tohari Bagian 1
Jentara Bianglala (Buku Ketiga Dari Trilogi)
Oleh Ahmad Tohari Edit & Convert Jar: Inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Jentera Bianglala Episode 1 Ketika Dukuh Paruk menjadi karang abang lemah ireng pada awal tahun 1966 hampir semua dari kedua puluh tiga rumah di sana menjadi abu. Waktu itu banyak orang mengira kiamat bagi pedukuhan kecil itu telah tiba. Siapa yang masih ingin bertahan hidup harus meninggalkan Dukuh Paruk. Karena hampir segala harta-benda, padi, dan gaplek musnah terbakar, bahkan juga kambing dan ayam. Lalu siapa yang tetap tinggal di atas tumpukan abu dan arang itu boleh memilih cara kematian masing-masing; melalui busung-lapar atau melalui keracunan ubi gadung atau singkong beracun.
Tetapi Dukuh Paruk sampai kapan pun tetap Dukuh Paruk. Dia sudah cukup pengalaman dengan kagetiran kehidupan, dengan kondisi-kondisi hidup yang paling bersahaja. Dan dia tidak mengeluh. Dukuh Paruk hidup dalam kesadarannya sendiri yang amat mengagumkan. Dia sudah diuji dengan sekian kali mala petaka tempe bongkrek, dengan kemiskinan langgeng dan dengan kebodohan sepanjang masa.
Memang. Mala petaka kobaran api yang hampir memusnahkan Dukuh Paruk secara keseluruhan dalam geger politik 1965 itu adalah pengalaman yang paling dahsyat tergores dalam lintasan hidup Dukuh Paruk. Hari-hari pertama sesudah kebakaran besar itu adalah hari-hari kebisuan. Setiap keluarga berkumpul, jongkok di bekas rumah masing-masing hampir tanpa suara kecuali desah panjang dan kadang tangis kaum perempuan. Mereka tanpa makanan dan tempat tinggal. Malam hari mereka membuat sudhung, semacam sarang berangka batang singkong yang ditutupi dengan rumput dan kelaras pisang. Dan kematian akibat lapar segera akan menjadi kenyataan karena tak seorang pun manusia luar Dukuh Paruk merasa perlu memberi bantuan kepada puak yang sedang diamuk mala petaka hebat itu. Hanya karena Dukuh Paruk masih menyimpan singkong yang tumbuh di sekitarnya maka orang-orang di sana berhasil menyambung hidup.
Kemudian Dukuh Paruk memperoleh napas pertama ketika ternyata Sakarya, kamitua pedukuhan itu, hanya dua minggu ditahan. Demikian juga Kartareja dan istrinya serta para penabuh calung seperti Sakum dan dua orang lainnya. Mereka kemudian hanya diwajibkan melapor setiap hari ke markas tentara di Dawuan. Tetapi Srintil belum kembali. Ya. Tetapi Srintil belum kembali, itulah aspirasi semua warga Dukuh Paruk yang tak pernah berani terucapkan. Srintil belum kembali ke Dukuh Paruk dan entah di mana dia sekarang dan bagaimana pula keadaannya.
Mengapa Srintil belum juga kembali adalah bagian dari kegagapan Dukuh Paruk dalam hal membaca pesan sejarahnya; sejarah yang telah membawa obor raksasa dan membuat rumah-rumah di sana menjadi abu. Bahkan bukan hanya rumah-rumah yang
musnah, tetapi juga jiwa Dukuh Paruk yang hancur karena kelimbungan ketika mereka harus mempertanyakan kembali perikeberadaan mereka sendiri dan harus bagaimanakah mereka sekarang. Sebuah teka-teki yang amat sulit menindih Dukuh Paruk yang bebal. Lihatlah alis-alis mereka yang selalu berkerenyit, wajah-wajah runduk dan penuh ketakutan serta gugup ketika menghadapi tatapan mata orang luar. Dan pasrah. Itulah daya terakhir Dukuh Paruk. Pasrah dalam diam paripurna sehingga Dukuh Paruk hampir tak mengeluarkan kata-kata, bahkan ketika mereka secara gotong-royong bergiliran membuat gubuk-gubuk baru. Bambu dipotong-potong dan daun kelapa dianyam sebagai atap dan dinding. Maka pada bulan kedua gubuk-gubuk kecil sudah berdiri di atas tanah yang masih menyisakan abu dan arang. Dukuh Paruk kembali mempunyai tempat berlindung dari curah hujan dan terik matahari.
Kemudian dari manakah Dukuh Paruk hendak memulai denyut kehidupannya ketika kebisuan masih mencekam" Dari tawa anak-anak, dari suara lesung ketika gaplek ditumbuk atau dari asap yang mengepul di dapur" Tidak. Denyut Dukuh Paruk dimulai dari percik suara polong orok-orok yang pecah menyebar bijinya ketika panas matahari menjerang, dari derit batang bambu yang bergesekan ketika angin lembut bertiup. Dan dari sepasang burung brondol yang sibuk mengangkut rumput-rumput kering
dari permukaan tanah ke balik kelebatan tandan pinang di atas sana. Atau dari pancuran di bawah pohon bungur itu. Pancuran air yang tidak ingin tahu akan segala macam bencana yang telah sekian kali menimpa orang-orang yang biasa bersibak dengan kesejukannya. Pancuran itu terus mengucur, lengkung seperti kristal hidup, lalu pecah di atas batu pekat berhias lumut di sisi-sisinya. Ribuan tetes air memercik ke segala arah. Mereka menangkap sinar matahari yang menerobos dedaunan, membiaskannya dengan sempurna dalam bentuk kabut bianglala.
Bagaimanapun juga Dukuh Paruk ternyata mampu menarik napas pertama kehidupannya. Perihal kemampuan mempertahankan hidup Dukuh Paruk hanya bisa disamakan dengan lumut kerak di atas batu cadas. Lumut kerak yang diam dan seakan mati di musim kemarau. Kering dan mengelupas. Namun dalam kematiannya lumut kerak menyimpan daya kehidupan. Sporanya terbungkus dalam kista yang segera mampu memutar daur kehidupannya ketika tetes air pertama atau bahkan sekadar kelembaban udara menyentuhnya. Dukuh Paruk adalah lumut kerak yang rupanya diciptakan untuk menunaikan tugas hidup dalam kondisi yang paling minimal. Dukuh Paruk masih ada meski tanpa senyum apalagi tawa. Dia masih ada meski dia hampir tidak tahu lagi makna keberadaannya.
Ada sebuah rumah yang tersisa ketika Dukuh Paruk terbakar. Rumah itu kecil dan hanya di waktu pagi terkena sinar matahari karena terkurung rumpun bambu. Penghuninya seorang nenek bungkuk dan semua orang Dukuh Paruk boleh jadi sudah lupa siapa namanya yang asli atau nama suaminya yang sudah lama mati. Nenek itu selalu dipanggil dengan nama cucunya di belakang: Nenek Rasus.
Sudah beberapa hari Nenek Rasus tidak kuasa lagi turun dari pembaringan. Dan siapa pun merasa bahwa nenek yang sudah amat renta itu hampir ajal. Ada yang mengatakan apa yang sedang terjadi pada Nenek Rasus adalah perkara alami; karena usia yang lanjut maka nenek itu sedang melangkah mendekati hari-hari akhirnya. Tetapi ada juga yang mengatakan, seharusnya Nenek Rasus masih kuasa berjalan terbungkuk-bungkuk minta makan kepada sanak-saudara sesama warga Dukuh Paruk.
Yang menyebabkannya ambruk adalah kenyataan bahwa satu-satunya cucu tidak kunjung muncul, bahkan ketika hari-hari semakin genting.
Selagi masih mampu mengeluarkan suara maka Rasus-lah yang selalu dipanggil-panggil. Dalam gerak mata yang samar Nenek Rasus mengharap seseorang mau memanggil cucunya pulang. Semua orang menangkap pesan itu, tetapi tak seorang pun merasa sanggup melaksanakannya. Tidak juga Sakarya, kamitua Dukuh Paruk. Menghubungi seorang tentara demi nenek yang sedang di tepi ajal sekalipun tak mungkin dilakukan oleh orang Dukuh Paruk. Suasana yang tidak memungkinkannya. Suasana hanya memberikan kelonggaran sedikit bagi Dukuh Paruk, yakni sekadar untuk bernapas dalam diam atau berjalan sambil menundukkan kepala. Dukuh Paruk setelah menyala seperti obor besar adalah Dukuh Paruk yang dipaksa harus tahu diri dalam segala hal. Pasrah dan tak usah banyak cingcong. Apabila ada seorang warganya yang mau mati, maka matilah, lalu kuburkan dan habis perkara.
Episode 2 Hanya Nenek Rasus sendiri yang terus berusaha menghubungi cucunya. Mungkin melalui denyut-denyut terakhir nadinya nenek renta itu memanggil cucunya pulang. Atau ketika bibir Nenek Rasus kelihatan bergerak-gerak, maka sebenarnya dia sedang memohon kepada kekuatan adikodrati agar pesannya disampaikan kepada cucunya yang kini berada entah di mana.
Ketika semua orang merasakan guncangan hebat pada hampir seluruh tatanan serta nilai-nilai kehidupan. Ketika kegelisahan serta ketidakpastian demikian mencekam. Dan ketika ikatan kebersamaan hidup berada pada puncak taruhan yang amat menakutkan. Maka adalah fitrah manusia untuk mendapatkan tempat yang teduh, tempat jiwa dapat memperoleh kembah ketenangannya. Dan tak usah dipertanyakan lagi mengapa pada saat seperti itu orang ingin segera memperoleh kepastian bahwa lembaga tempat dia menyerahkan kesetiaan dasarnya tidak rusak. Lembaga ini adalah ibu yang selalu bersedia memberi ketenangan jiwa, dan itu bisa berupa rumpun-rumpun bambu yang menja
di saksi kelahirannya, bisa berupa pancuran air yang mengucur abadi atau bisa berupa haribaan seorang nenek yang sudah apek. Atau gabungan kesemuanya yang secara bersama-sama telah menyusui seorang anak manusia sejak lahir sampai dia mempunyai kesadaran tentang makna keberadaannya. Merekalah yang paling berhak menerima penyerahan kesetiaan dasar seorang manusia warga kehidupan.
Bersama dengan kesatuannya, Rasus sedang bertugas di sebuah wilayah di bagian tenggara Jawa Tengah, hampir dua ratus kilometer jauhnya dari Dukuh Paruk. Kadang Rasus merasa dirinya adalah seorang cucu durhaka karena sudah empat tahun dia tidak menjenguk Dukuh Paruk. Sudah sekian lama dia menitipkan seorang nenek pikun kepada rasa kebersamaan puaknya. Namun rasa bersalah itu selalu pupus sendiri, entah karena kesibukannya sebagai tentara atau karena Rasus sudah bertekad membiarkan Dukuh Paruk hidup seperti apa adanya. Dukuh Paruk dengan sumpah-serapahnya, dengan irama calungnya, dan dengan seorang ronggeng cantik bernama Srintil. Rasus tidak hendak menyentuh kemandirian tanah airnya yang kini sudah jauh dan terpencil.
Tetapi geger tahun 1965 serta-merta mengubah sikap Rasus terhadap Dukuh Paruk. Dalam rongga matanya mulai terbayang jelas sebuah rumah kecil yang hampir tertutup oleh rumpun bambu. Telinganya mulai mendengar suara anak-anak yang sedang ramai bermain layang-layang yang terbuat dari daun gadung kering. Atau dengung kumbang tahi yang menyeberang pekarangan kosong ketika pagi masih sangat berembun. Makin hari terasa suasana Dukuh Paruk makin memenuhi kalbunya. Lambaian Dukuh Paruk yang tua menyentak-nyentak hatinya. Dan sentakan itu jadi terasa semakin kuat manakala Rasus ingat bahwa menurut selentingan yang sampai kepadanya Dukuh Paruk terbawa-bawa dalam rapat propaganda. Rasus sungguh berharap dukuhnya tidak mengalami sesuatu yang genting. Namun entah mengapa Rasus tidak berhasil menenangkan dirinya sendiri. Entah mengapa pula sosok neneknya yang renta dengan keriput wajahnya terlalu sering muncul dalam ingatan Rasus.
Andaikan Rasus bukan seorang tentara yang kini harus berada dalam sikap siaga penuh karena negara dinyatakan dalam keadaan bahaya, pastilah dia akan segera mengajukan permohonan cuti. Namun keadaan memaksa hak cuti bagi setiap prajurit dihapuskan entah sampai kapan. Maka untuk mengetahui keadaan tanah kelahirannya Rasus hanya bisa bertanya melalui surat. Sersan, dulu Kopral, Pujo yang pernah sekian lama menjadi sahabat satu kesatuan, kini menjadi komandan markas perwira urusan teritorial di kecamatan Dawuan. Kepadanyalah Rasus menulis surat, minta tolong agar dia diberi tahu perikeadaan Dukuh Paruk.
Balasan dari Sersan Pujo demikian cepat dan singkat. Balasan melalui telegram memberi tahu Rasus bahwa neneknya sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tak ada kata permintaan agar Rasus segera pulang. Ya. Rasus mengerti pengirim telegram itu adalah Sersan Pujo. Dia tidak berhak meminta apalagi memerintahkan apa pun terhadap prajurit yang bukan bawahannya. Rasus menerima dengan segala kepedihan, bahwa pada suatu saat dan keadaan tertentu maka ajal seorang nenek harus dianggap kecil; gaya telegram Sersan Pujo itulah buktinya.
Namun Rasus berharap betapapun rawan situasi keamanan saat itu masih ada tersisa hak kemanusiaan yang bersifat pribadi. Maka dengan membawa telegram dari Sersan Pujo, Rasus menghadap komandan kesatuannya. Dia minta izin hendak pergi meninggalkan tugas guna melepas kepergian nenek kandungnya. Izin diberikan, namun Rasus harus berhadapan dengan wajah gelap komandannya.
Dengan kendaraan pertama yang bisa dihentikannya Rasus berangkat ke Dukuh Paruk. Pukul empat sore Rasus tiba di Dawuan. Turun dari kendaraan Rasus dijemput oleh seorang anak buah Sersan Pujo. Rasus diminta singgah dulu di markas sebelum meneruskan perjalanan ke Dukuh Paruk.
"Aku tahu, kamu ingin secepatnya melihat Nenek. Tetapi sebelum itu berilah aku kesempatan menunaikan tugasku sendiri yang menyangkut dirimu," kata Sersan Pujo kepada Rasus. Gaya Sersan Pujo sangat resmi hampir kaku.
"Tentu saja, Sersan. Silakan."
"Pertama, kuminta kamu mena
nggalkan senjatamu, juga pisau di pinggangmu itu."
Rasus memenuhi permintaan Sersan Pujo tanpa kata-kata apa pun. Kemudian keduanya duduk dalam suasana yang lebih kendur.
"Nenekmu masih hidup hari ini. Kepastian ini kuperoleh dari orang-orang Dukuh Paruk yang apel kemari tadi pagi."
"Ah, syukur. Yang sangat kukhawatirkan ialah bila sampai aku terlambat. Maka terima kasih, Sersan. Telegram yang Sersan kirimkan membuat aku sempat menunggu saat-saat terakhir hidup Nenek."
"Ya. Dan satu pesanku. Kita sama-sama prajurit, maka kita dituntut memiliki ketabahan. Ketabahan dalam menghadapi apa pun. Kuulangi, ketabahan dalam menghadapi apa pun!"
Rasus merasa ada pesan tertentu dalam kata-kata Sersan Pujo. Dan barusan dia mendengar ada orang Dukuh Paruk yang dikenai wajib apel. Rasus ingin mendapat kejelasan tetapi Sersan Pujo tidak memberinya kesempatan.
"Nah, silakan kamu meneruskan perjalanan ke Dukuh Paruk. Jangan lupa, kamu seorang prajurit."
"Baik, Sersan."
Dukuh Paruk sedang menanti seorang anaknya pulang. Penantian yang harus diberi makna apa karena Dukuh Paruk sesudah menyala menjadi obor besar adalah Dukuh Paruk yang merenung dan amat gering. Segala sendi kehidupan yang dari generasi ke generasi telah membentuk pribadi Dukuh Paruk menjadi demikian goyah hampir runtuh. Dukuh Paruk telah kehilangan rasa percaya diri amat sangat sehingga dia tidak tahu pasti dengan cara atau sikap bagaimanakah dia menyambut kedatangan sang anak bila suatu ketika dia muncul.
Episode 3 Dan sang anak sedang berjalan dalam langkah-langkah panjang lurus menuju kerindangan rumpun bambu di mana dia dilahirkan menjadi warga kehidupan. Makin mendekati gerumbul Dukuh Paruk langkah Rasus makin cepat. Lalu tiba-tiba dia terjebak dalam kelengangan yang aneh. Rasus berhenti dan menatap ke depan. Di manakah rumah Sakum yang biasa tampak dari ujung pematang" Juga di manakah kilau atap seng rumah Kartareja"
Rasus melangkah lagi. Namun kelengangan bahkan makin mencekam. Tidak ada anak-anak berkeliaran di halaman dan tidak terdengar suara mereka. Oh! Dan Rasus berdiri beku, dahinya berkerut-kerut. Dia berusaha keras membaca dan meyakini kenyataan yang tergelar di hadapannya. Rumah-rumah puaknya telah berubah menjadi gubuk-gubuk kecil tak ubahnya seperti dangau sawah. Oh, Dukuh Paruk, mengapa engkau rupanya" Mala petaka apa pula yang telah menimpamu selama aku di rantau"
Pada saat pundak Rasus jatuh, sebuah jawaban yang pasti bisa menerangkan segalanya. Intuisinya bekerja demikian cepat menghubung-hubungkan faktor-faktor kekinian dengan segala cirinya, dengan segala hukum dialektikanya. Apabila Rasus
teringat pada masa lalu Dukuh Paruk terbawa arus keberingasan propaganda politik maka segala sesuatu tak usah dipertanyakan lagi. Ya. Kemudian Rasus merasakan sesuatu yang amat pahit masuk lalu mengental di dasar hatinya.
Kini Rasus melangkah lagi. Mengambang, seakan telapak kakinya tidak menginjak tanah. Dua orang anak kecil yang tak sengaja melihat kedatangannya lari terbirit, lalu menerobos pintu gubuk dan bersembunyi dengan wajah pucat. Orang-orang perempuan mengintip dari celah dinding anyaman daun kelapa. Mereka tidak berani menampakkan diri bahkan sesudah mereka yakin tentara yang datang adalah Rasus, saudara mereka sendiri.
Ketika Dukuh Paruk merasa sedang berada dalam puncak kehancuran harga diri, ketika sejarah terasa telah menyingkirkannya ke wilayah aib kehidupan, maka sesungguhnya Dukuh Paruk sangat berharap pertolongan akan datang dari putra terbaiknya. Dukuh Paruk ingin menyembunyikan wajah ke balik punggung Rasus yang sudah jadi tentara. Tetapi tak seorang pun di sana yakin akan sikap Rasus; simpati terhadap Dukuh Paruk yang suatu saat menyala menjadi obor raksasa atau malah sebaliknya. Dalam keluguannya Dukuh Paruk telah membaca sejarah bahwa hubungan darah bisa bungkam dan pekak ketika terjadi penjungkirbalikan tata nilai yang menggegerkan kehidupan.
Lihatlah kaum lelaki dan perempuan yang sedang berkumpul di rumah Nenek Rasus berdiri membisu ketika meraka melihat putra terbaik itu datang. Ketakutan masih menjadi warna yang paling menyolok pada
wajah-wajah mereka. Rasus sudah melihat sisa abu dan arang, lalu rumah-rumah liliput dan anak-anak yang lari ketakutan. Semuanya adalah garis besar jawaban tentang apa yang baru menimpa Dukuh Paruk. Dan jawaban yang rinci, mendasar, dan lengkap terbaca dengan jelas pada penampilan orang-orang yang sedang berkumpul di sana. Mereka adalah prasasti hidup, monumen tanpa kata, yang mencatat secara amat teliti tentang perilaku, sejarah yang telah memperlakukan Dukuh Paruk semaunya. Rasus seakan melihat kobaran api yang telah membakar puaknya pada alis Sakum. Dia seakan melihat ketakutan dan kepanikan luar biasa pada keriput wajah Sakarya. Dan Rasus seakan mendengar jerit yang melengking ketika dia melihat air mata kaum perempuan mulai berjatuhan.
Satu langkah lebih jauh Rasus sudah larut dalam kehancuran puaknya. Dia tak kuasa lagi menatap wajah Sakarya, Kartareja atau lainnya. Dia tak kuasa lagi menyaksikan air mata perempuan yang turun membasahi pipi-pipi kurus dan pucat. Rasus berjalan goyang. Sikap tabah yang dipesankan oleh Sersan Pujo berhasil menjaga tubuh Rasus tidak roboh. Tetapi Rasus tak berhasil menahan air mata ketika dia sudah berdiri di samping tubuh neneknya.
"Nek, aku datang. Aku Rasus, Nek."
Dan tubuh lusuh di bawah kain gombal itu tak kuasa memberi tanggapan apa pun. "Zaa ilaaha illallaah."
Kemudian Rasus duduk di tepi balai-balai. Masih terlihat samar denyut urat darah di sisi leher neneknya. Masih ada gerakan halus di dada. Namun Rasus merasa neneknya
sudah tak mampu lagi berkomunikasi dengan siapa pun. Hayat masih ada tetapi roh, siapa tahu, telah pergi lebih dahulu.
Diperlukan waktu lima atau enam menit bagi Rasus buat menyadari di mana dan pada keadaan bagaimana dirinya kini berada. Kemudian desah yang berat menandakan Rasus telah berhasil mengalahkan segala gejolak rasa. Setelah mengusap wajah neneknya dengan lembut, Rasus berdiri lalu membalikkan badan. Kini dia kembali menghadapi wajah Dukuh Paruk; wajah penuh pengakuan bersalah, wajah penuh permohonan maaf kepada kehidupan. Namun Dukuh Paruk harus mengakui kenyataan, kehidupan hanya mau memberikan maaf melalui sang waktu yang sering suka mengulur tangan yang begitu panjang. Maka Dukuh Paruk amat sulit meyakini apakah kehidupan mau memaafkannya. Apabila maaf itu tidak diperoleh, Dukuh Paruk harus mau hancur dikunyah sejarah. Dan kehancuran itulah sketsa yang terlukis pada wajah orang-orangnya.
Rasus bukan hanya merekam kehancuran itu. Dia bahkan merasa bersama-sama puaknya, hancur. Malah Rasus merasa berdiri pada tempat yang lebih sulit; dia anak Dukuh Paruk tetapi dituntut memiliki wawasan yang jauh lebih luas daripada sekadar kepentingan dan kehidupan puaknya.
Masih belum sepatah kata pun terucap, Rasus bergerak menyalami Sakarya, Kartareja, dan orang-orang Dukuh Paruk lainnya. Kata-kata yang kemudian keluar dari mulutnya terdengar berat namun tenang.
"Sedulur-sedulurku semua, apakah kalian selamat""
Sepi. Tak terdengar suara yang segera menjawab. Orang-orang hanya bisa menundukkan kepala dan menelan ludah. Orang-orang sedang menikmati sentuhan lembut yang mengelus jiwa. Sedulur. Rasus tetap menyebut mereka saudara. Sebutan yang begitu lumrah namun menjadi sangat istimewa bagi sekelompok manusia sisa kobaran api di Dukuh Paruk. Sakarya terbatuk. Bibirnya bergerak-gerak. Namun kata-katanya tak kunjung keluar.
"Ya, Cucuku Wong Bagus," ucap Sakarya akhirnya. "Kami semua, saudara-saudara sampean, bagaimanapun juga masih mendapat keselamatan."
"Syukurlah, Kek."
"Dan kami sangat senang, akhirnya sampean pulang. Lha, nenek sampean itu. Untung sampean belum terlambat."
"Ya, Kek." "Sudah belasan hari kami menungguinya, Ah, kukira nenek sampean memang sudah tua, sangat tua. Lalu, bukankah sampean hendak menunggui Nenek hingga selesai""
"Ya. Ah, tetapi entahlah, Kek. Aku hanya diberi izin tiga hari."
Episode 4 "Jadi kamu hanya mau tinggal tiga hari di sini"" tanya Sakum. Dia berdiri dan matanya yang keropos berkedip-kedip.
"Hai, Sakum! Tidak pantas ber-kamu kepada seorang tentara."
"Ah, ya. Aku lupa. Seharusnya aku menyebut Pak Tentara. Rasus tentu gagah se
karang. Sampean sudah punya istri, Pak Tentara""
"Belum, Kang." "Kebetulan. Srintil juga masih sendiri. Eh, tetapi entah di mana dia sekarang. Sampean tahu di manakah dia sekarang""
Wajah Rasus menegang dan dia tidak berhasil menyembunyikan keterkejutannya. Rasus sudah berjanji kepada dirinya sendiri tidak akan berbicara siapa saja orang Dukuh Paruk yang pernah ditahan. Sebab segalanya tak terelakkan dan sudah terjadi. Lagi pula pada mulanya Rasus menyangka semua warga puaknya yang ditahan telah kembali ke Dukuh Paruk. Kini Rasus tahu Srintil yang demikian lama punya arti amat penting bagi dirinya justru menjadi satu-satunya orang Dukuh Paruk yang masih ditahan entah di mana.
"Aku, aku tidak tahu, Kang. Aku tidak tahu di mana sekarang Srintil ditahan," jawab Rasus sambil menggelengkan kepala.
"Ah, kasihan dia, Pak Tentara. Lalu siapa lagi kalau bukan sampean yang bisa menolong Srintil. Nah, cari dia, bawa pulang kemari dan jadikan dia istri sampean. Wah, pantas
betul." "Sakum, sudahlah. Yang macam itu bukan urusanmu," potong Sakarya. "Lagi pula pantaskah kamu bicara macam-macam di dekat Nenek Rasus yang sedang sakit payah""
Malam hari hampir semua orang Dukuh Paruk berkumpul di rumah Nenek Rasus dan sekitarnya. Perihal Nenek Rasus mereka sudah tahu, retapi cucunya yang baru pulang setelah empat tahun meninggalkan Dukuh Paruk adalah lain. Bukan semata-mata orangnya yang ingin mereka ketahui, karena yang terutama adalah bagaimana sikap Rasus; masihkah dia memiliki kesetiaan dasar terhadap Dukuh Paruk serta darah dan daging Ki Secamenggala. Dukuh Paruk yang merasa disingkirkan ke wilayah paling aib karena dihubung-hubungkan dengan penyebab geger 1965 amat merindukan pamong baru. Pamong yang bisa dijadikan secuil kebanggaan hidup dan pengayom. Dan Rasus adalah orang yang paling didambakan bila benar dia masih memiliki kesetiaan dasar itu. Kini orang-orang Dukuh Paruk ingin membuktikannya.
Rasus menyambut puaknya dengan senyum, dengan mata berseri. Bukan karena tahu dia sedang diselidiki. Dia gamit pipi anak-anak di gendongan emak masing-masing. Seorang anak malah diambilnya dari gendongan seorang perempuan, ditimang-timangnya, diciuminya. Rasus mencium masa lalunya, mencium bau Dukuh Paruk, mencium pangkuan emaknya. Hatinya bergetar oleh rasa keterikatan dan keprihatinan atas ulah sejarah yang telah membawa obor besar yang telah membakar Dukuh Paruk, sejarah yang membuat Dukuh Paruk sangat mudah terkejut meski hanya oleh keresek bunyi bengkarung di atas sampah kering, apalagi oleh bunyi langkah orang bersepatu.
Dukuh Paruk yang kini selalu menunduk bila menghadapi tatapan mata orang luar, Dukuh Paruk yang serba takut karena sudah tak secuil pun memiliki rasa percaya diri.
Buat kali pertama sejak tiga bulan berselang terlihat senyum pada wajah-wajah orang Dukuh Paruk. Kesejukan pertama telah menyentuh hati ketika mereka yakin Rasus tidak berubah. Dia tetap anak Dukuh Paruk. Dia masih mau menciumi anak-anak yang berbau anyir. Pandangan matanya sejuk dan sejati, tidak seperti pandangan orang-orang luar yang terasa amat menyiksa. Oh, sungguh tidak terbayangkan kehancuran yang harus dipikul oleh orang Dukuh Paruk apabila Rasus sama seperti semua orang; memandang Dukuh Paruk seakan tidak layak lagi menjadi warga kehidupan.
Namun senyum Dukuh Paruk belum bisa berkembang menjadi tawa riang. Semua sadar Rasus dalam keprihatinannya sendiri. Maka orang-orang Dukuh Paruk sudah puas bila Rasus menyapanya dengan ramah, memanggil mereka dengan sebutan paman, kakang, bibi atau lainnya. Kemudian mereka membiarkan Rasus kembali ke dekat tubuh neneknya yang sedang menunggu saat terakhir.
Menjelang tengah hari tinggal beberapa orang lelaki dan perempuan yang masih tinggal di rumah Nenek Rasus. Rasus duduk menemani Sakarya, Kartareja, dan Sakum, tetapi lebih sering duduk di tepi balai-balai menunggui neneknya. Dua perempuan sudah tertidur berimpitan di sebuah lincak. Kartareja memejamkan matanya sambil menyandar ke belakang. Sakum mendungkup sambil duduk. Hanya Sakarya yang masih jaga. Mereka kelihatan lusuh karena sudah beberapa malam menjaga N
enek Rasus. Pada akhirnya Sakarya pun lelap di kursinya.
Tiba-tiba cuping hidung Rasus bergerak-gerak. Dia mencium sesuatu; bukan bau kain gombal neneknya yang sering kali basah, bukan bau asap kemenyan tetapi sesuatu yang lain. Bau mayat. Rasus mencondongkan muka melihat wajah neneknya lebih dekat. Masih ada napas. Ya, dari embusan napas yang sangat pelan itu sudah tercium bau kematian. Kemudian Rasus menoleh kepada Sakarya. Tidur, semuanya tidur. Hening dan hampa merayap perlahan dan merangkul Rasus dari segala arah. Rasus merasa dirinya mengapung dalam kekosongan.
Bau mayat. Bau yang berasal dari proses perubahan jaringan organik yang terurai. Proses itu berjalan amat lambat dan sangat alami. Hayat Nenek Rasus ditakdirkan berakhir bukan karena kerusakan pada organ-organ tubuhnya, melainkan karena habisnya kemampuan kerja mekanisme sistem ragawinya. Seperti sebuah mesin yang akan mati karena kehabisan bahan bakar, perlepasan energi terakhirnya adalah gerakan-gerakan tersendat dan sporadik. Rasus melihat napas neneknya tiba-tiba menjadi cepat. Kedua matanya mendadak terbuka penuh, mulutnya ternganga. Secara keseluruhan wajah Nenek Rasus adalah gambar kengerian dan ketakutan yang amat sangat. Kemudian suatu gerakan yang berasal dari perut dengan cepat naik ke dada dan berhenti tiba-tiba di tenggorokan. Nenek Rasus seperti hendak terbatuk, namun yang terjadi hanyalah muntahan sedikit cairan. Itulah gerakan terakhir pada jasad yang sudah demikian lusuh. Tak tersisa tenaga sedikit pun buat menutupkan kelopak mata atau mengatupkan mulut. Hayat telah berjabat tangan dengan maut. Sebuah sosok keakuan telah larut sempurna dalam keberadaan semesta. Sebentuk unikum yang mewujud selama lebih dari tujuh puluh tahun di Dukuh Paruk telah lenyap dan kembali menjadi debu bagian universum. Rohnya kembali kepada Yang Mahaempunya. "Innalillahi wa inna ilaihi roji'un," gumam Rasus. Diusapnya wajah jasad neneknya agar
kelopak matanya tertutup. Diangkatnya rahang yang kini terpaut pada sepasang urat mati agar terkatup. Selimut kain diangkat schingga menutup seluruh jasad. Lalu Rasus berdiri termenung, bersedakap. Hening merangkulnya semakin erat. Dan mengapa Rasus baru merasakan kesadaran yang amat dalam" Sadar akan hubungan ajaib dan penuh rahasia antara jasad dirinya dengan jasad yang terbujur di hadapannya. Satu mata rantai yang membentuk garis keturunan telah sirna dan mata rantai berikut adalah diri Rasus sendiri. Denyut jantung seorang nenek telah berhenti, tetapi denyut keturunan yang menjalin kehidupan terus berlanjut. Rasus amat sadar denyut itu kini makin terasa dalam dadanya. Keharuan terusik dan air mata Rasus meleleh.
Episode 5 Waktu satu atau dua menit yang telah membawa Rasus ke tepi kesadaran keakuannya terasa demikian lama. Ketika telinganya menangkap suara burung celepuk Rasus merasa telah kembali ke alam keseharian. Sunyi. Di depannya mayat Nenek yang tertutup kain dari kaki hingga ke kepala. Di belakangnya dua orang perempuan tua tidur berimpitan dalam satu lincak. Di sana Sakarya, Kartareja, dan Sakum terlena di tempat duduk masing-masing. Ada kunang-kunang masuk, terbang sekeliling ruang. Ada keresek tikus busuk di samping rumah. Burung celepuk kembali mengumandangkan suaranya. Sakarya terjaga, mengusap waiah dengan kedua telapak tangan, lalu ditatapnya Rasus yang sedang berdiri khusyuk. Dahi Sakarya berkerut karena hatinya menangkap makna suasana.
"Bagaimana"" tanya Sakarya sambil bangkit.
"Ya, Kek. Nenek sudah bagus. Baru saja," jawab Rasus tenang.
"Oh, sampean tidak membangunkan aku""
"Kejadiannya amat cepat, Kek. Sudahlah. Nenek sudah bagus."
Sakarya menunduk dan pundaknya jatuh. Perlahan-lahan dia mendekat ke balai-balai. Khidmat, dibukanya kain penutup hingga tampak wajah mendiang Nenek Rasus. Buat kesekian kali Sakarya menatap citra kematian pada wajah tanpa hayat dan tanpa roh. Sama-sama tanpa roh, namun monumen yang terbuat dari jaringan organik memang tidak sama dengan tubuh yang sedang tidur. Mayat adalah visualisasi proses terlepasnya nama dari kedirian, bahkan proses runtuhnya sebentuk fungsi keberadaan.
Dan Sakarya hanya bisa menghayati kematian dalam sebuah kidung yang selalu ditembangkan bila ada warga Dukuh Paruk meninggal.
Wenang sami ngawruhana pati. Wong ngagesang tan wurung palastra. Yen mati ngendi parane. Saengga manuk mabur, mesat saking kurunganeki. Ngendi parane benjing, aja nganti kliru. Upama wong aneng dunya, asesanjan mangsa wurunga yen mulih. Maring nagri kamulyan.
Rasus belum pernah memikirkan secara sungguh-sungguh ajaran yang terkandung dalam kidung itu. Namun setidaknya Rasus bisa menangkap adanya wawasan yang masih sumir rentang hakikat kematian. Ada kalimat dalam kidung itu yang mengatakan, manusia hidup, tak urung bakal tiada, dan bahwa akhir perjalanan setiap manusia adalah nagri kamulyan, rahmat Ilahi. Entah sistem nilai mana yang dijadikan
referensi oleh Sakarya buat menghayati kandungan kidungnya. Anehnya Rasus merasa sumber referensi yang digunakan oleh Sakarya sesungguhnya adalah sistem nilai yang kini benar-benar dianutnya. Sistem nilai itu punya diktum tentang kematian; sesungguhnya dari Tuhanlah asal segala sesuatu dan kepada Tuhan jua semuanya bakal kembali.
Keesokan hari ketika setiap renik embun larut kembali dalam udara, semua warga Dukuh Paruk berjalan mengiring jasad Nenek Rasus ke makamnya. Tak seorang pun tertinggal, semua berada dalam barisan panjang mengikuti lorong yang naik ke bukit pekuburan Dukuh Paruk. Mereka adalah semut yang beriringan dalam diam. Kematian Nerick kasus adalah dukacita pertama sesudah mala petaka kobaran api yang membakar Dukuh Paruk empat bulan sebelumnya; kematian yang makin mempererat ikatan puak. Dalam kehancuran martabat yang luar biasa Dukuh Paruk hanya bisa melakukan upaya amat pasif dan primitif untuk mempertahankan keberadaannya sebagai warga kehidupan. Dan orang yang tidak mengerti akan kehancuran jiwa Dukuh Paruk boleh jadi mengatakan bahwa iring-iringan yang sedang menaiki bukit pekuburan Dukuh Paruk itu adalah barisan orang yang sedih karena kematian seorang kerabatnya. Orang yang tidak tahu nestapa Dukuh Paruk tidak bisa mengerti bahwa mereka yang sedang mengiring mayat adalah orang-orang yang membawa keprihatinan mendalam dan hanya bisa dihibur dengan cara memperkokoh buhul kesetiaan dasar, membuktikan kebersamaan dalam nestapa dan dukacita. Kematian Nenek Rasus adalah kesempatan pertama buat menggambarkan tangis Dukuh Paruk, tangis yang tak mungkin cukup diwakilkan kepada sedu-sedan dan air mata.
Selesai pemakaman orang-orang menuruni bukit pekuburan, masih dalam kebisuan. Hanya Rasus dan Sakarya yang masih tinggal. Keduanya masih jongkok menghadapi gundukan tanah yang menimbun jasad Nenek Rasus. Sepi sekaii sehingga terdengar jelas suara burung-burung, suara butir buah beringin yang jatuh menimpa daun, dan suara kumbang yang terbang- hinggap pada bunga kamboja. Rasus meremas tanah yang renyah dan Sakarya seperti sedang menanti kesempatan buat mengatakan sesuatu.
"Nenek sampean ini beberapa tahun lebih muda daripadaku," kata Sakarya akhirnya.
"Jadi aku yang lebih tua. Maka aku merasa umurku juga akan berakhir tidak lama lagi." Rasus mengangkat muka.
"Cucuku, aku juga sama dengan nenekmu yang ingin ditunggui cucu ketika ajal tiba. Tetapi aku tidak yakin apakah Srintil bisa pulang manakala aku mati. Inilah beban berat yang selalu kupikirkan siang dan malam. Apakah sampean bisa menolongku, Cucuku Wong Bagus""
Rasus tergagap. Ditatapnya wajah Sakarya lalu menunduk lagi. "Menolong bagaimana, Kek""
"Yah, sesungguhnya berat aku mengatakannya. Aku ingin minta bantuanmu mengusahakan Srintil cepat kembali. Ah, tidak. Aku mengerti itu tidak mungkin. Tetapi setidaknya, maukah sampean mencari tahu di manakah Srintil kini berada" Oh, cucuku. Betapa aku ingin tahu keadaan Srintil. Apabila dia masih hidup maka di mana
dan bagaimana keadaannya sekarang. Apabila dia sudah meninggal maka di manakah kuburnya."
Urat tenggorokan Rasus terasa mengerut. Keperihan Dukuh Paruk memang disebabkan oleh dua luka, kedua-duanya ikut terasakan sepenuhnya oleh Rasus. Luka pertama adalah rudapaksa hebat yang telah membakar Dukuh Paruk hampir habis dan kenisbian sejarah yang
memandang Dukuh Paruk adalah sisi aib kehidupan. Luka kedua adalah kenyataan Srintil belum kembali. Srintil yang memanggul sekian banyak simbol Dukuh Paruk masih terbenam dalam ketidakpastian. Dan ketidakpastian Srintil tidak bisa lain kecuali dirasakan oleh puaknya sebagai ketidakpastian Dukuh Paruk sendiri. Rasus sadar sepenuhnya bahwa ketidakpastian lebih mengerikan daripada mala petaka tempe bongkrek yang telah beberapa kali menimpa Dukuh Paruk, atau lebih mengerikan daripada kobaran api besar yang telah menghanguskan Dukuh Paruk empat bulan berselang. Tenggorokan Rasus mengerut lagi.
"Bagaimana, Cucuku""
"Oh, ya. Akan kuusahakan sebisa-bisanya. Tetapi tak ada jaminan usahaku mencari keterangan di mana Srintil berada akan berhasil. Kakek tahu, keadaan masih sangat genting."
Sakarya mengosongkan parunya dalam desah panjang. Ada percik kegembiraan pada wajahnya.
"Ya, asal sampean mau berusaha sudah cukup membuatku merasa besar hati. Lalu ada lagi yang ingin kusampaikan padamu."
Episode 7 Srintil hampir kehabisan napas. Ketika langkah pertamanya menginjak tanah Dukuh Paruk ambruklah dia. Tas kecil yang berisi pakaian satu atau dua lembar, terlempar ke samping. Srintil tertelungkup mencium tanah. Jeritnya serta-merta menghentikan semua gerakan anak-anak yang sedang berkeliaran. Mereka terpaku memandang seorang perempuan yang sedang berusaha merangkul tanah sambil menangis. Sekejap kemudian muncul beberapa orang lelaki dan perempuan. Nyai Sakarya yang paling pertama sadar akan apa yang dilihatnya. Dia berlari kemudian menubruk Srintil yang masih terkulai di tanah.
"Oalah, Gusti Pengeran! Gusti, Gusti. Srintil pulang. Srintil, Cucuku Wong Ayu! Engkau masih hidup" Eman, eman, Cucuku. Engkau masih hidup""
Srintil yang lunglai digeluti oteh tiga orang perempuan sambil menangis. Dia kemudian dipapah karena tak mampu lagi berjalan sendiri. Namun Srintil kembali menjerit ketika dari balik genangan air matanya dia melihat Dukuh Paruk sudah sangat berubah. Dan tangisnya makin menjadi-jadi manakala Srintil membenamkan wajahnya ke pangkuan neneknya, Nyai Sakarya.
Dukuh Paruk kembali menjatuhkan pundak-pundak yang berat, kembali bersimbah air mata. Srintil sudah kembali setelah sekian tahun menjadi sumber ketidakpastian yang memanggang semua orang Dukuh Paruk. Srintil sudah kembali. Sebuah jimat telah
berada kembali ke pangkuan ibunya. Dukuh Paruk lega. Dan sekaligus berduka karena kepulangan Srintil tidak bisa tidak telah membuka kembali nestapa lama ketika ujung pedang menuding Dukuh Paruk bersangkut-paut dengan penyebab mala petaka 1965. Nestapa apa namanya ketika Dukuh Paruk merasa seakan tidak boleh lagi ikut merasa memiliki matahari, bumi, dan langit" Nestapa apa namanya ketika Dukuh Paruk merasa segala cicak dan tokek ikut mencibir dan menertawakannya" Dan nestapa apa namanya ketika Dukuh Paruk hanya merasa sebagai tinja kehidupan" Tinja yang harus ada pada diri orang paling bermartabat sekalipun, namun tinja sendiri jauh dari segala martabat.
Semua warga puak berkumpul di rumah Sakarya. Semua ingin melihat dan meyakinkan diri dengan pasti bahwa kerabat yang paling mereka hargakan sudah datang dari antah-berantah. Namun tumpahan segala perasaan hanyalah kebisuan. Dan sedu-sedan perempuan, kebingungan anak-anak. Selebihnya, diam. Hanya Sakarya yang berjalan berputar-putar sambil menggendong tangan. Baginya kepulangan Srintil mempunyai nilai khas; kekhawatirannya akan mati tanpa ditunggui oleh seorang cucu kesayangan kini lenyap.
Srintil duduk rapat dengan tubuh neneknya. Dengan mata sembab dipandangnya seluruh kerabat seorang demi seorang. Ketika melihat Goder berdiri bergayutan pada tangan Tampi, wajah Stintil berubah. Matanya bersinar, mata seorang ibu sejati yang telah sekian lama terpaksa berpisah dengan anaknya dan kini keduanya berhadap-hadapan. Tetapi Goder tak mampu membaca makna sinar mata seorang yang sudah lama tidak dilihatnya. Goder menyembunyikan diri di balik tubuh Tampi. Bahkan dia menangis keras-keras ketika Srintil membopongnya, mendekapnya kuat-kuat dan menciuminya. Beberapa orang perempuan menundukkan kep
ala, tidak tega melihat kerinduan Srintil ditampik oleh Goder.
Sejak hari pertama kemunculan Srintil di tengah kaum kerabat Dukuh Paruk, banyak orang ingin tahu pengalamannya selama dua tahun lebih dia lenyap dari tengah pergaulan umum. Tidak sedikit orang yang ingin mengerti pengalaman Srintil dari hari ke hari, bahkan dari jam ke jam atau dari detik ke detik. Orang ingin tahu barangkali ada sesuatu yang luar biasa dalam pengalaman Srintil itu. Hasrat yang tidak aneh karena pada setiap diri terkandung kadar kecenderungan menyukai hal-hal sensasi. Atau demi tujuan yang lebih nyata, keobyektifan sebuah biografi misalnya, orang menginginkan catatan lengkap dan jujur tentang pengalaman Srintil.
Kemudian, mungkinkah kiranya seorang penyusun riwayat hidup yang paling unggul sekalipun mampu menyelesaikan pekerjaannya bila yang harus dia susun adalah biografi Srintil" Karena pertama, tak seorang pun bersedia memberi keterangan di mana dan bagaimana Srintil selama masa dua tahun lebih itu. Kedua, Srintil sudah mengunci dirinya pada satu tekad bulat bahwa dia tidak akan berkata apa pun dan kepada siapa pun tentang pengalamannya. Ketiga, sebenarnya orang bisa berharap pada suatu ketika kelak Srintil menerbitkan sebuah memoar. Namun harapan ini pasti sia-sia karena Srintil sama sekali buta huruf.
Maka orang akhirnya harus percaya akan keperkasaan sang waktu, akan kecanggihan isi perutnya yang mampu menyimpan segala rahasia sejarah. Tetapi akan ada orang mengatakan, menyerah kepada kunci waktu adalah kelemahan dan keputusasaan yang harus dibuang jauh. Orang-orang semacam ini tetap tidak puas apabila rekaman
sejarah Srintil sepanjang dua tahun terhapus percuma dan hanya direlakan menjadi bagian rahasia sejarah. Sejarah adalah sejarah. Kedudukan sejarah sebagai guru kehidupan tak mungkin disingkirkan. Kedewasaan dan kearifan hidup bisa dibina, baik dengan sejarah tentang kepahlawanan dan budi luhur maupun dengan sejarah tentang pengkhianatan dan kebejatan manusia.
Atau sejarah sesungguhnya tak pernah berhenti membuat catatan. Apabila sejarah tidak membuat catatan dalam prasasti atau lembaran kertas maka dia membuatnya di tempat lain. Tentang riwayat hidup seorang manusia misalnya, maka sejarah pertama-tama mencatatnya pada kepribadian si manusia itu sendiri. Pengalaman-pengalaman yang lembut dan santai mungkin tidak tercatat dalam garis-garis kehidupan secara nyata. Namun pengalaman-pengalaman yang keras dan getir tentu akan tergores dalam-dalam pada jiwa, pada sikap dan perilaku, dan tak mustahil akan mengubah sama sekali kepribadian seseorang.
Misalnya, mengapa Srintil segera lari kocar-kacir sesaat dia diturunkan dari sebuah jip di mulut pematang pamang yang menuju Dukuh Paruk. Tanpa sekali pun menoleh ke belakang Srintil terus berlari seperti pipit dikejar alap-alap, jatuh-bangun, jatuh dan bangun lagi. Dan Srintil ambruk tertiarap ketika kakinya menginjak kembali bumi Dukuh Paruk.
Dan mengapa Srintil pada hari-hari pertama kepulangannya hanya bisa diam dan diam. Mengapa pula Srintil kelihatan amat lelah dan wajahnya kelihatan jauh lebih tua dari usianya yang baru dua puluh tiga tahun. Demikian. Namun pada pekan kedua Srintil kelihatan keluar rumah. Masih lesu. Jalannya lambat dan selalu menatap bumi. Srintil bergerak ke arah rumah Tampi. Sesudah perasaannya mengendap tiba-tiba berkecamuk rasa rindu kepada Goder. Tidak sekali pun Srintil pernah berpikir bahwa Goder bukan anaknya meski bocah yang sudah berusia empat tahun itu lahir dari rahim Tampi.
Tetapi Goder sudah pangling akan Srintil. Dia menyuruk ke selangkangan Tampi ketika Srintil hendak menyentuh badannya. Srintil tidak berputus asa, terus merayu dan mengajuk. Dan Goder tetap menghindar. Akhirnya Srintil bangkit mengusap air mata. "Tampi, apakah kamu mengajari Goder membenciku"" kata Srintil sambil mengisak
Episode 8 "Oalah, Jenganten. Tidak, sekali-kali tidak," ujar Tampi dengan rasa pekewuh yang sangat.
Dan Srintil terus menangis, menutup muka dengan kedua tangannya. Isaknya tertahan-tahan. Adalah Srintil sendiri atau boleh jadi orang-orang seperti dia yang merasakan
betapa nelangsa manakala uluran tangan dan kasih sayangnya ditampik oleh seorang bocah. Kelakuan Goder membuat Srintil amat mudah bertanya, "Betulkah aku telah menjadi orang yang demikian tak berharga hingga seorang bocah pun tak mau menerima uluran tanganku""
"Mak, kenapa dia menangis, Mak"" kata Goder tiba-tiba. "Karena kamu nakal. Kamu tak mau dibopongnya," jawab Tampi.
"Siapa dia, Mak""
"Oalah, Anakku! Dia juga emakmu. Emakmu ada dua, aku dan dia."
Mata Goder membulat. Bening dan tanpa berkedip ditatapnya Srintil yang masih menangis.
"Betul dia emakku juga""
"Betul." "Mengapa tidak pernah datang kemari"" "Dia baru pulang dari bepergian."
"Jauh"" "Jauh sekali." "Sekarang dia membawa oleh-oleh""
"Oh, aku lupa, Nak," ujar Srintil. Suaranya parau. "Tetapi aku punya uang. Engkau ingin apa, Nak""
Goder kelihatan ragu. Sekali lagi matanya yang bening menatap Srintil. Dua pasang mata, satu bening dan satu letih serta kuyu saling tatap mencari makna. Dengan kebeningannya mata Goder menangkap kesejatian, satu hal yang amat peka dalam jiwa seorang bocah. Atau karena tetes-tetes air susu yang pernah dicecap Goder dari dada perempuan di hadapannya maka tali jiwa antara keduanya segera tersambung kembali. Batas keterasingan terkikis sedikit demi sedikit sampai akhirnya Goder tidak merasa ada kejanggalan lagi bahwa perempuan yang baru pulang dari jauh adalah emaknya juga.
Sementara Srintil melihat dalam kedua bola mata Goder sebuah dunia yang putih-bersih, jauh lebih putih dan bersih daripada dunianya sendiri, dunia orang dewasa di mana dia mewujud. Srintil merasa telah menempuh perjalanan hidup yang amat meletihkan jiwa dan raganya dan buntu pada sebuah tanda tanya besar. Srintil ingin mengundurkan diri dari kenyataan, dan mata Goder itu. Ada dunia jernih dan teduh di sana. Dengan penuh kecewa dan rasa iri Srintil mengakui dunia yang kelihatan pada mata Goder bukan miliknya. Namun bukankah tiada alangan baginya numpang berteduh barang sejenak, numpang mengaso dari keletihan yang amat sangat" Tiada alangan, karena mata Goder akhirnya bersinar memancarkan keramahan. Pintu dunianya terbuka bagi seorang perempuan yang pernah menyusuinya dan kini amat mendambakan tempat secuil buat bernaung.
"Kamu minta apa, Nak"" ulang Srintil sambil tersenyum, senyum yang pertama sejak kepulangannya dari keterasingan. Didekatinya Goder, kemudian Srintil jongkok hingga wajahnya sangat dekat dengan wajah bocah itu.
"Aku ingin anu. Apa ya, Mak"" Goder menoleh kepada Tampi.
"Nah, terserah. Kamu mau apa""
"Aku ingin ondol-ondol."
"Hanya itu" Bagaimana dengan gembus""
"Ya, gembus juga. Apa uangmu banyak""
"Banyak," jawab Srintil pasti.
"Kalau begitu aku ingin beli balon."
"Baik, Nak. Sekarang mari kita pulang. Uangku di rumah."
Srintil mengembangkan kedua tangannya. Dua atau tiga detik Srintil merasa benar-benar hidup kembali ketika dia melihat Goder bangkir dan berlari ke dalam pelukannya. Oh, betapa sejuk rasanya; sebuah dunia kecil namun pernah makna kemanusiaan. Dan dunia kecil itu sungguh berada dalam rangkulan Srintil. Dipeluk, dibopong kemudian dibawa pulang dalam langkah-langkah yang mantap. Ketika Srintil melintas ada bunga waru lepas dari tangkai, menggulir jatuh tanpa bunyi. Serba kuning, kecuali pangkal kelopaknya yang merah tua. Ada ayam betina mengiring anak-anaknya, ada celeret melesat dari pohon ke pohon. Dan Srintil terus berjalan. Goder lekat di dadanya.
Seorang yang sedang hanyut dalam gelombang badai dan terapung-apung dalam situasi yang tidak dapat dikenalinya, telah berhasil meraih sehelai papan buat sekadar mengapung. Srintil sudah berhasil meraih harapan bahwa dirinya akan bisa bertahan dari tarikan kenisbian zaman yang akan membuatnya menjadi kerak kehidupan. Hari-hari dalam dunia seorang bocah berusia empat tahun adalah saat pertama buat Srintil menikmati ceria kecambah manusia. Srintil menjual sebuah gelang emas buat keperluan sehari-hari dan buat Goder. Banyak orang bertanya, mengapa Srintil sangat memanjakan anak Tampi itu. Dan Srintil tidak peduli. Sebaliknya Srintil bertanya dalam hati, mengapa orang-orang tidak tahu bahwa di
rinya harus rela kehilangan apa saja demi tempat berteduh yang amat dia dambakan. Dan mengapa orang-orang tidak tahu bahwa tempat yang teduh itu hanya bisa dia temui pada cahaya mata seorang anak yang tertawa riang. Hanya tawa riang Goder yang mampu membuat Srintil lupa akan penggal sejarah amat getir yang baru dilaluinya.
Berita kepulangan Srintil sudah merambat sampai ke pasar Dawuan melalui celoteh Nyai Kartareja. Orang-orang di pasar itu kemudian melihat buktinya ketika suatu pagi Srintil muncul di sana sambil membopong Goder. Seperti sedang menghadapi sesuatu yang luar biasa orang-orang pasar menyambut kedatangan Srintil dengan perhatian penuh. Tetapi mereka diam. Pertingkahan zaman kala itu memberi norma baru; penampilan yang antusias ketika berhadapan dengan seorang yang baru pulang dari keterasingan adalah tidak sesuai dengan selera suasana. Dan Srintil-lah yang peka terhadap selera suasana di sekitarnya. Maka dia sesungguhnya tidak sekali-kali hendak masuk ke pasar Dawuan bila bukan karena Goder merajuk minta jajan. Bahkan Srintil
tidak sekali-kali hendak keluar dari Dukuh Paruk kalau bukan kewajiban melapor ke Dawuan sekali seminggu.
Lalu mengapa tak ada orang yang cukup awas terhadap bibir Srintil yang bergetar, tungkai yang bergetar, ketika dia berada di tengah pasar" Mungkin pula tak ada orang mengerti bahwa Srintil merasa tatapan mata orang-orang sekelilingnya seperti serpih bambu yang menusuk jantungnya. Dan apakah Babah Gemuk itu bisa merasakan nestapa dalam jiwa Srintil ketika dia membuka seloroh"
"E, kamu longgeng Dukuh Paluk, bukan" E, kamu lama sekali tidak kelihatan. Kamu tetap cantik. Na, aku ada banyak balang bagus. Mau tas, sandal atau hailnet""
"Tidak, Bah. Terimakasih," jawab Srintil sedingin keringat di kuduknya.
Episode 9 "Na, kamu tidak pupulan, ya! Haya, olang cantik tidak pupulan. Nanti cantikya ilang. Na, aku ada pupul olang Hong Kong punya. Ada gincu olang Jepang punya. Haya. Mulah-mulah. Nanti aku mau tidul di Dukuh Paluk. He-he-he."
Babah Gemuk bergerak hendak menggamit pundak Srintil. Namun tidak jadi karena dia melihat Srintil mendadak berdiri menjadi patung. Matanya menatap dingin, kemudian berlalu menuju arah yang dituntut Goder.
Orang-orang pasar, terutama para perempuan, memperhatikan perubahan pada penampilan Srintil. Sanggulnya rendah, sanggul perempuan kebanyakan, sehingga tengkuknya tersembunyi. Dulu Srintil selalu menyanggul rambutnya tinggi-tinggi sehingga tengkuknya, salah satu hiasan kecantikannya, seakan ditawarkan kepada siapa saja yang melihatnya. Kebayanya menutup jauh di bawah pinggul dan kainnya kombor gaya perempuan petani. Tidak ketat dan ketika melangkah betis Srintil tetap tersembunyi di balik kainnya. Dan perubahan yang paling mengesankan orang-orang pasar Dawuan adalah perilaku Srintil. Matanya selalu menghindar dari tatapan orang yang melihatnya. Wajahnya kaku, sungguh-sungguh tanpa senyum.
Srintil berada dalam pasar Dawuan hanya sepanjang waktu yang diperlukan untuk membeli jajanan buat Goder. Sekian pasang mata terus mengikutinya ketika Srintil berjalan meninggalkan pasar. Seorang perempuan penjual sirih mendesah, seakan ada beban berat di hatinya.
"Tadi, aku ingin memberi dia sirih dan pinang," kata penjual sirih tadi kepada perempuan lain di sebelihnya, "kulihat bibir Srintil sangat pucat. Sehelai daun sirih akan membuat bibirnya semringah, dan itu pantas baginya."
"Lho. Lalu mengapa sampean tidak melakukannya""
"Entahlah, Mbakyu. Padahal dulu aku selalu melakukannya bila Srintil datang ke sini. Sekarang aku jadi takut salah."
"Bila itu alasan sampean, aku pun sama. Sebenarnya aku ingin juga bertanya sekadar tentang keselamatannya. Tetapi ya itu, entah mengapa aku tidak berani. Bibirku terasa berat. Ah, entahlah."
"Dan, Mbakyu. Kita lihat orang-orang lelaki juga tak ada yang bersuara kecuali Babah Gemuk. Mereka tidak seperti biasa, banyak seloroh dan celoteh bila Srintil datang. Kok jadi begini, ya""
"Anu, jadi sampean merasa kasihan kepada Srintil""
Yang ditanya mengerutkan kening. Jawaban yang kemudian diucapkannya adalah suara lirih dan tertahan di ro
ngga mulut. "Bagaimana ya, Mbakyu" Apa tidak salah bila kita merasa kasihan kepada orang seperti
Srintil"" "Wah, aku tidak tahu. Ya, barangkali begini. Bagi perempuan yang suaminya pernah menggendak Srintil maka masalahnya menjadi bersahaja; perempuan semacam itu pasti merasa tidak perlu bersikap kasihan terhadap Srintil. Itu layak. Lalu... Ah, sudahlah."
Tiba-tiba kedua perempuan itu menjadi sibuk dengan dagangan masing-masing. Mantri pasar lewat mengedarkan karcis kontribusi. Perempuan pedagang sirih buru-buru membuka kocek, lalu menyerahkan sehelai uang kepada mantri dan menerima karcis berwarna kuning. Pasar Dawuan kembali sibuk. Tetapi orang-orang di sana mencatat pagi itu telah datang seseorang yang dulu selalu membawa suasana bergairah dan kini muncul kembali dengan kecompang-campingan jiwa yang tergambar jelas dari segala perilakunya. Demikian compang-camping citra diri Srintil sehingga orang pasar Dawuan atau siapa saja tidak mampu mengambil sikap yang jujur dan wajar terhadap dia yang baru pulang dari keterasingan itu.
Dukuh Paruk pada tahun 1969 adalah Dukuh Paruk yang tetap miskin dan bodoh. Dan Dukuh Paruk tiga tahun sesudah dilanda kobaran api adalah tempat terpencil yang kehilangan banyak ciri utamanya. Tak ada lagi suara calung dan tembang ronggeng. Makam Ki Secamenggala yang secara turun-temurun menjadi anutan kehidupan batin orang Dukuh Paruk kelihatan tak terawat. Suara calung, tembang ronggeng serta pemujaan terhadap makam Ki Secamenggala adatah urusan-urusan yang sedang tidak cocok dengan selera kenisbian sejarah. Dukuh Paruk hanya diam menerima perlakuan sejarah. Dan boleh jadi hanya Sakarya yang diam-diam berani mengunjungi cungkup makam di puncak bukit pekuburan Dukuh Paruk itu.
Tetapi Sakarya telah merasakan kekalahan hidup yang pasti. Dia merasa peran hidupnya sudah mandul, tanpa arti. Apalah arti perwujudannya apabila Dukuh Paruk tidak lagi memukul calung, tidak lagi menyanyikan lagu-lagu ronggeng karena kedua-duanya akan mengungkit kebencian terhadap Dukuh Paruk. Kedua-duanya tidak sesuai dengan tuntutan kehidupan yang sedang menghendaki Dukuh Paruk mengaku bersalah karena dianggap ikut berperan dalam keonaran sejarah. Sebagai pihak yang dianggap
mempunyai kesalahan historis yang tidak kepalang maka Dukuh Paruk tidak boleh tertawa. Dukuh Paruk mesti diam dan merunduk.
Dukuh Paruk tak lagi memerlukan seorang kamitua dalam arti yang sudah mentradisi, demikian pikir Sakarya setiap kali dia termenung di bawah beringin dekat cungkup makam Ki Secamenggala. Makin sering termenung makin kuat keyakinan demikian. Dan tanpa terasa keyakinan itu menggerogoti semangat hidupnya. Suatu hari Sakarya meletakkan sebuah batu di samping cungkup. Kemudian kepada Kartareja dikatakan bahwa di bawah batu itulah nanti dia harus dikubur. Sakarya telah mengundang sugesti bagi kematiannya sendiri. Maut menjemputnya tidak lama kemudian. Sakarya meninggal dalam kekalahan. Dan hanya satu hal yang mungkin dapat membesarkan hati orang tua itu, yakni kenyataan Srintil berada di dekatnya ketika dia meregang nyawa.
Kematian Sakarya membuat Dukuh Paruk makin lusuh dan ringkih. Dan Srintil kehilangan payung yang meski telah cabik-cabik tetapi dialah satu-satunya tempat bernaung. Dalam ketiadaan tempat bernaung itu maka kehadiran Goder dalam hidup Srintil menjadi jauh lebih bermakna. Karena Goder menawarkan dunia lain, dunia anak-anak yang teduh dan sejati; jernih, tanpa pamrih, tanpa keserakahan nafsu dan berahi. Dalam mata Goder Srintil tak melihat sedikit pun sisa keonaran sejarah 1965, tak ada tuduhan atau tuntutan apa pun yang ditujukan kepadanya. Goder tidak pernah menghina Srintil dengan lirikan mata atau cibiran bibir. Bagi Srintil, Goder adalah dunia yang mau menerimanya secara utuh dan jujur, maka Srintil amat kerasan tinggal di sana.
Lihatlah Srintil yang mulai tertawa karena melihat Goder gagal menangkap capung, dan wajah Srintil yang berseri-seri karena melihat Goder berani menghadapi ayam betina yang galak. Jiwa yang sudah mampu tersenyum dan tertawa adalah jiwa yang mulai menangkap makna kebetahan hidup. Lambat-laun
Srintil mulai menangkap kembali bobot kehidupan yang bisa menjadi benih nilai-diri. Lima atau enam bulan sejak kepulangannya dari keterasingan mata Srintil mulai hidup, kulitnya mulai hidup, dan wajahnya mulai hidup. Satu demi satu kepahitan pengalaman sejarahnya terdesak ke alam bawah sadar. Dan meski kegetiran itu tetap menjadi cacat potensial, namun ternyata citra kesegaran raganya mulai bangkit seperti kerakap terkena hujan.
Episode 10 Usianya hampir genap dua puluh tiga tahun. Watak alam terlalu perkasa sehingga betapapun hebat tragedi yang baru dialami Srintil, citra kemudaannya masih banyak tersisa. Lalu mengapa ada satu sisi dalam kehidupan ini yang tidak peduli terhadap nestapa seseorang" Bahkan mengapa Srintil sendiri tidak merasa, kesegaran dirinya sedang dinanti seseorang.
Suatu pagi Nyai Kartareja berangkat meninggalkan Dukuh Paruk dengan tujuan yang hanya dia sendiri tahu. Di pasar Dawuan Nyai Kartareja naik andong yang akan berangkat ke Wanakeling. Ketika matahari tergelincir, Nyai Kartareja sampai di rumah yang dituju. Tuan rumah baru pulang dari tempat kerja dan sedang berbicara dengan anak gadisnya. Melihat kedatangan Nyai Kartareja, laki-laki setengah baya itu menyuruh anak gadisnya menyingkir.
"Oh, orang Dukuh Paruk," sambut Marsusi dengan wajah gembira. "Mari masuk."
"Terima kasih. Ah, sampean sudah kelihatan senang begitu. Belum tentu aku membawa kabar baik, bukan""
"Kalau bukan kabar baik, mengapa jauh-jauh sampean datang kemari"" "Wah, aku mengaku kalah."
"Begitulah seharusnya. Nah, sekarang katakan. Tetapi lirih saja."
"Apa yang harus kukatakan bila sampean sudah mengerti arti kedatanganku""
"Jadi Srintil sudah kelihatan seperti biasa," ujar Marsusi entah untuk siapa.
"Masalahnya kukira, tinggal kapan sampean pergi ke sana."
"Ke sana" Apakah sampean mengira aku akan pergi ke Dukuh Paruk""
"Apa salahnya, Pak. Sekarang sampean sudah jadi duda. Kukira tidak aneh, seorang duda pergi menemui seorang perempuan yang masih hidup sendiri."
"Ya. Tetapi zaman apakah sekarang ini" Tidak, Nyai. Aku ingin bertemu Srintil di luar Dukuh Paruk. Dan kuminta Nyailah yang mengaturnya. Terserah di mana, asal tidak di Dukuh Paruk."
"Wah, berat. Berat, Pak."
"Tetapi aku percaya sampean bisa. Dan lihat di sana, Nyai."
Marsusi menunjuk ke halaman. Ada sepeda motor, bukan sebuah Harley Davidson sisa zaman perang, melainkan sebuah Vespa baru.
"Katakan kepada Srintil, bila dia mau motor itu akan menjadi miliknya. Dan aku tidak main-main."
Nyai Kartareja mengerutkan kening, kagum mendengar ucapan Marsusi. Pantas, sejak mendengar kepulangan Srintil laki-laki dari perkebunan Wanakeling ini secara teratur meminta keterangan tentang keadaan Srintil, pikir Nyai Kartareja.
"Pak Marsusi, sampean sendiri sudah berkata zaman apakah sekarang ini. Aku tidak bisa sebebas dulu lagi. Aku merasa tidak sanggup membawa Srintil keluar dari Dukuh Paruk."
"Lho! Jadi dari jauh datang kemari sampean hanya ingin melapor bahwa Srintil sudah bisa tertawa dan badannya sudah segar kembali""
"Oh, tidak hanya itu. Aku juga akan berusaha membujuk Srintil agar dia mau menuruti kemauan sampean. Pokoknya aku bersedia membantu apa saja asal bukan membawa Srintil ke luar Dukuh Paruk. Aku tidak sanggup."
"Tetapi aku tak mungkin pergi ke dukuhmu, Nyai. Tak mungkin."
"Ah, ya. Aku ingat. Tiap-tiap tanggal satu dan tanggal lima belas Srintil pergi lapor-diri ke Dawuan. Kukira itulah satu-satunya kesempatan bagi sampean menjumpai Srintil di luar Dukuh Paruk. Bagaimana""
Marsusi tidak menjawab. Namun dari wajahnya terlihat pertanda bahwa kebuntuan di hatinya mulai mencair. Dan tangannya kelihatan ringan saja ketika dia memberikan sejumlah uang kepada Nyai Kartareja yang kemudian minta diri.
Ketika terjadi kebakaran besar di Dukuh Paruk banyak pepohonan terjerang kobaran api, lalu meranggas dan mati. Ada sebatang pohon pinang di belakang rumah Srintil yang mampu bertahan hidup setelah merana beberapa bulan lamanya. Pelepah-pelepah yang merah terbakar sudah luruh diganti dengan pelepah baru yang hijau dan segar. Kelopak baru merekah menumpahkan mayang seperti pamor
putih terurai. Mayang yang lebih tua telah berubah menjadi tandan yang runduk penuh buah pinang. Dari balik kelebatan tandan pinang itu terdengar keresek dua burung kecil yang sedang membangun sarang. Lembar demi lembar daun ilalang yang dicuri dari atap gubuk orang Dukuh Paruk disusun menjadi sebuah dunia kecil yang bersembunyi di ketinggian pohon pinang.
Kesibukan sepasang burung kecil itu kadang diselingi oleh sedikit heboh di antara keduanya. Mereka berkejaran dan kawin. Kadang keduanya terbang jauh melintasi sawah amat luas yang mengelilingi Dukuh Paruk buat mencari biji padi-padian. Pulang kembali dengan tembolok penuh tenaga untuk melanjutkan kegiatan mereka hingga datang mambang petang.
Tingkah sepasang burung kecil itu sudah beberapa hari menjadi perhatian Srintil. Sambil mengawal Goder bermain Srintil terlalu sering menatap ke atas pohon pinang, memperhatikan sebuah dunia kecil yang damai dan berdaulat; dunia tanpa pengalaman pahit, tanpa ketakutan dan kekhawatiran. Oh, tidak. Sore itu Srintil melihat seekor burung gagak hinggap di atas pohon pinangnya. Burung yang hitam dan besar itu mengobrak-abrik sarang burung kecil karena ingin menjarah telur atau anaknya. Si burung kecil menghindar dan hanya bisa melihat dari jauh dunianya dihancurleburkan. Srintil tergagap dan bangkit hendak menyusul Goder. Tetapi di sampingnya telah berdiri Nyai Kartareja.
"E, lha. Ada apa, Jenganten" Kok terkejut""
"Ah, anu. Tidak ada apa-apa, Nyai. Aku mau menyusul Goder."
"Dia sedang asyik bermain baling-baling. Biarlah dia. Aku ingin bicara. Penting."-
Srintil menatap Nyai Kartareja dengan mata membulat. Rasa was-was tergambar jelas di wajahnya.
"Penting""
"Ya. Penting." "Tetapi tanggal satu yang lalu aku pergi melapor ke Dawuan. Tanggal lima belas nanti pasti aku akan pergi lagi. Yang itu takkan kulupakan. Pasti, Nyai."
"E, lha. Yang hendak kusampaikan kepada sampean ini bukan masalah wajib lapor."
"Jadi aku tidak salah" Bukan tentang kesalahanku""
"Bukan. Bukan!"
Nyai Kartareja memberi kesempatan kepada Srintil menata kembali napasnya yang terengah-engah. Perempuan tua itu cukup bersabar menanti sampai darah yang mendadak lenyap kembali mengisi kulit wajah Srintil. Dan rasa trenyuh tidak terhindarkan karena Nyai Kartareja menyadari betapa ringkih keadaan jiwa Srintil; dia menjadi demikian gugup hanya karena akan disampaikan kepadanya sesuatu yang penting.
"Anu, Jenganten. Wong aku mau bercerita tentang nasib sendiri. Sejak dulu aku memang sengsara. Tetapi tidak seperti sekarang ini. Dulu, terus terang, aku bisa nunut sampean. Sekarang, Jenganten, bagiku soal makan saja adalah perkara yang tidak pasti. Maka aku mempunyai usul, bagaimana bila sampean memberi kesempatan kembali kepadaku, kesempatan numpang penghidupan."
Episode 11 "Numpang"" kata Srintil setelah menatap Nyai Kartareja lama dan dalam. "Numpang penghidupan" Bagaimana mungkin karena aku sendiri tidak mempunyai penghasilan apa pun""
"Ah, Jenganten, bagaimana juga sampean tidak sama dengan aku. Sampean masih muda. Dan siapa bilang sampean tidak cantik" Di mana saja, pada zaman apa saja, perempuan cantik tidak sama dengan perempuan yang buruk, bukan""
"Nanti dulu, Nyai. Sampean mau berkata apa sebenarnya""
"Begini, Jenganten. Tadi sampean berkata bahwa sampean tidak mempunyai penghasilan apa pun. Maka bagaimana bila sampean berbuat sesuatu agar sampean kembali mempunyai penghasilan seperti dulu. Persoalannya mudah bagi sampean, tinggal mau atau tidak."
"Nyai, katakan dengan jelas."
"Baiklah. Kemarin aku bertemu dengan seseorang yang sangat berharap bisa sekadar melepaskan kepusingan hidup bersama sampean. Marsusi, Jenganten. Sampean masih ingat Marsusi, bukan""
Ada segumpal kabut yang tiba-tiba membuat pandangan mata Srintil baur. Ada orong-orong yang masuk ke dalam telinganya lalu berbunyi sekeras-kerasnya. Darah kembali lenyap dari wajah anak Dukuh Paruk itu. Bibirnya yang pucat bergetar. Bintik keringat serta-merta muncul di permukaan kulitnya. Dada Srintil turun-naik menahan
pergulatan rasa di dalamnya, antara murka dan penyesalan yang dalam, antara pilu dan kemaraha
n. Wajah Srintil berubah cepat antara pucat-pasi dan rona kemerahan.
"Oalah, Gusti Pengeran," tangis Srintil dalam ratap tertahan. "Nyai, kamu ini kebangeten! Kamu menyuruh aku kembali seperti dulu" Kamu tidak membaca zaman" Kamu tidak membaca betapa keadaanku sekarang" Oalah, Gusti... "
"Eh, sabar dulu, Jenganten. Dengar dulu kata-kataku! Siapa bilang ada orang yang tidak mengerti keadaan sampean. Tetapi apakah sampean hanya mau mementingkan diri sendiri dan tidak mau mengerti urusan perut orang Dukuh Paruk yang hanya bisa nunut sampean""
"Aku memang tidak mau tahu. Orang Dukuh Paruk bisa hidup tanpa bergantung kepadaku. Orang Dukuh Paruk biasa makan iles-iles, bahkan bonggol pisang. Lakukan itu dan jangan meminta aku kembali berbuat kesalahan. Oalah, Nyai. Kamu hanya mengalami dua minggu di tahanan. Sedangkan aku dua tahun. Cukup, Nyai. Cukup!" "Nanti dulu, Jenganten. Marsusi sekarang sudah menjadi duda. Dan dia bersedia memberimu sebuah Vespa bila sampean mau. Siapa tahu Marsusi bermaksud mengambil sampean menjadi istrinya. Pikirlah dengan tenang, Jenganten."
"Tidak, Nyai. Kamu tahu. Aku juga tahu siapa Marsusi. Dan kamu masih percaya ada laki-laki yang mau mengawini perempuan bekas tahanan""
"E, lha, baiklah kalau begitu. Tetapi renungkan, Jenganten. Marsusi atau laki-laki mana saja tidak salah bila dia bermaksud mengawini sampean atau sekadar bersenang-senang. Semua orang tahu siapa sampean, bukan""
"Oalah, Nyai, mereka tidak salah. Semua orang tidak salah. Akulah tempat segala kesalahan hidup. Jadi akulah yang harus tahu diri. Semua orang menuntut aku tidak banyak tingkah karena hal itu tidak mereka sukai. Berbuat sesuatu yang tidak mereka sukai samalah artinya dengan melakukan kesalahan. Nyai tahu apa yang akan kutanggung bila aku dianggap kembali berbuat salah""
Nyai Kartareja diam, menutup bibirnya rapat-rapat lalu berjalan meninggalkan Srintil yang masih sibuk mengusap air mata. Ada erosi yang terasa menggerus kesuburan yang mulai bersemi di hati Srintil. Pupus hijau hendak dipatahkan oleh tangan orang Dukuh Paruk sendiri. Srintil memperhatikan Nyai Kartareja dengan pandangan mata masygul dan kecewa, amat kecewa.
Oh, Nyai Kartareja. Ketika muda kamu pun pernah menjadi ronggeng seperti diriku, konon. Bedanya dulu engkau seorang ronggeng bobor, tidak laku. Namun mestinya kamu seperti aku, mengenal kelelakian telanjang sejak kita baru mendapat haid yang pertama. Dan aku sudah mengerti laki-laki Dukuh Paruk, laki-laki luar Dukuh Paruk, bahkan laki-laki di tempat keterasingan. Kita sudah sama-sama tahu apa dan bagaimana kelelakian itu. Kini aku dan jiwaku sedang bertanya, apakah kepahitan hidup yang harus kutanggung bukan karena justru aku mengenal terlalu banyak segi kelelakian" Apakah bukan karena aku merasa menjadi duta keperempuanan sehingga aku merasa harus melayani segala kepentingan kelelakian sampai kepada arti yang paling primitif sekalipun" Bukankah karena diriku yang ronggeng, maka sejarah telah membawaku ke puncak ketiadaan makna hidup di tempat terasing"
Oh, Nyai Kartareja. Rupanya kamu tidak sedikitpun terusik oleh sekian banyak pertanyaan itu. Kamu bebal. Atau kamu memang tidak peduli akan keperihanku sehingga kamu tega mendatangkan perkara kelelakian telanjang ke hadapanku" Nyai Kartareja, kamu kebangeten. Oalah, Gusti...
"Mak menangis" Mengapa Emak menangis""
Jentara Bianglala Karya Ahmad Tohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suara jernih itu datang dari arah samping belakang. Srintil menoleh setelah berupaya menghapus sisa tangisnya. Kemudian dilihatnya wajah Goder yang mengandung segudang pertanyaan.
"Emak menangis" Ada yang nakal, ya""
"Oh, tidak, Nak. Emak tidak menangis."
"Tetapi Emak menangis. Siapa yang nakal""
Oh, sepasang bola mata yang bening! Mestikah aku berkata kepadamu, mestikah kukotori kejernihanmu dengan pengakuan bahwa bagiku kehidupan ini penuh kenakalan" Tidak. Duniamu terlalu bersih dan aku tidak akan memperkenalkan kenakalan-kenakalan hidup kepadamu karena aku sangat berkepentingan dengan kesejatianmu agar aku boleh berlindung di dalamnya.
Srintil berusaha keras menahan tangisnya lalu mengangkat Goder ke dalam dekapannya. Pintu bambu berderit,
Srintil dan Goder lenyap di baliknya. Gubuk ilalang itu kemudian senyap, senyap sekali meski di dalamnya ada dua dunia yang sangat berbeda.
Bila sawah amat luas yang mengelilingi Dukuh Paruk sedang memberi harapan panenan yang baik maka siapa mengira di tengah lautan padi menguning itu tersimpan ironi yang sudah turun-temurun. Dukuh Paruk tak pernah ikut panen karena hanya satu-dua orang di sana yang mempunyai sawah, itu pun tak seberapa luas. Setiap musim panen Dukuh Paruk hanya ikut embret, memburuh menuai padi. Dan anak-anak Dukuh Paruk tidak tahu bahwa seharusnya mereka bertanya mengapa orang tua mereka melarat seumur-umur, tidak mempunyai sawah barang secuil. Anak-anak tidak mengerti apa-apa. Mereka hanya tahu musim panen selalu membawa suasana semringah. Adalah kesemringahan yang khas ketika anak-anak perempuan Dukuh Paruk pergi ke sawah mengambil batang padi yang tidak bernas lalu membuat puput. Seruling batang padi yang diberi sistem megafon dari daun kelapa mampu menciptakan kemerduan yang unik. Nadanya bergelombang demikian rupa sehingga amat mudah berbaur dalam desau angin ketika menyapu pepohonan. Iramanya yang tidak mengenal keteraturan tangga nada justru mudah menyatukannya dengan ombak lautan padi yang menggelar hamparan warna dari kuning tua, kuning keemasan dan hijau lembut.
Episode 12 Ketika gadis-gadis lain sudah berkenalan dengan permainan buatan pabrik, perawan-perawan kecil Dukuh Paruk tetap akrab dengan ilo-ilo gontho, puput. Mereka tahu
suara yang terbaik dihasilkan oleh batang padi wulung. Mereka juga tahu bila menginginkan suara yang lebih nyaring maka puput harus direndam sebentar di dalam air. Dan bila ditiup menentang arus angin, suara puput jadi muncul tenggelam seperti bulan hilang-tampak di balik awan.
Seorang lelaki sedang berdiri di bawah pohon di pinggir jalan yang menuju pasar Dawuan. Dari sana dia dapat melihat dengan jelas sosok Dukuh Paruk. Dia juga dapat mendengar suara puput yang sampai ke telinganya bersama kicau burung branjangan dan ciplak. Branjangan berhenti pada titik yang tetap di angkasa, dan kicaunya adalah tiruan yang sempurna suara segala jenis burung yang dinyanyikannya berganti-ganti. Dia bisa berjam-jam tetap di langit sambil terus ngoceh. Hanya bahaya alap-alap yang mampu mengusik branjangan dari tempatnya. Sementara ciplak terbang berputar-putar dan berkicau hanya karena ingin menarik perhatian betinanya. Dia akan menukik tajam bila betinanya sudah memberi tahu di mana dia berada.
Tidak jelas apakah lelaki yang sedang berdiri di bawah pohon itu menaruh minat terhadap alunan suara puput yang ditiup oleh seorang gadis kecil di Dukuh Paruk" Atau, apakah dia terkesan oleh kemeriahan angkasa di atas hamparan padi menguning" Yang pasti Marsusi tak henti-hentinya memperhatikan titik singgung pematang panjang dengan tepian Dukuh Paruk. Dia sedang menanti Srintil keluar untuk pergi melapor ke Dawuan. Dan keberadaan Marsusi di bawah pohon itu adalah bagian dari keputusan yang telah diambilnya melalui pergulatan jiwa yang seru.
Marsusi sadar betul akan selera kenisbian sejarah kontemporer yang akan menuding dengan keji lelaki mana saja yang bermaksud menjalin hubungan dengan seorang perempuan bekas tahanan. Marsusi mengerti niat bermanis-manis dengan Srintil akan mengundang risiko dari yang paling ringan berupa cibiran masyarakat sampai yang paling berat berupa goyahnya status sebagai orang penting dalam dinas perkebunan di Wanakeling. Soalnya, Marsusi sungguh rela dikatakan seperti perjaka tanggung yang merasa amat sulit melupakan anak Dukuh Paruk yang selalu berpacak gulu sambil melirik dan tersenyum dalam angannya. Dan kenyataan bahwa dia kini seorang duda benar-benar membuat kenangan itu tumbuh subur.
Maka dua hari berselang Marsusi mengambil keputusan yang berani. Didatanginya petugas yang biasa mencatat pelaporan Srintil. Bukan di kantor melainkan di rumahnya. Pada dasarnya mereka sudah saling kenal karena keduanya sama-sama orang kantoran. Lagi pula siapa orangnya di Dawuan yang tidak mengenal Marsusi karena dia termasuk orang pertama yang mampu memiliki sepeda motor
di wilayah kecamatan itu.
"Njanur gunung, Pak Marsusi, tumben sampean mau menyempatkan diri datang ke rumahku," kata Darman, si petugas. "Mau menawarkan pohon-pohon karet tua yang mau sampean tebang" Kalau demikian, percayalah, aku tidak punya uang."
"E, kalau sampean memang memerlukan kayu bakar, jangan khawatir. Besok akan saya kirim satu truk," jawab Marsusi penuh kesungguhan.
"Ah, tidak. Aku cuma berolok-olok."
"Namun aku tidak menganggap sampean berolok-olok. Besok akan saya kirim kayu bakar satu truk dan gratis."
"Lho, aku cuma main-main."
"Terserah, tetapi aku bersungguh-sungguh."
"Wah, apa boleh buat."
"Nah, lebih baik begitu. Karena aku pun amat memerlukan bantuan sampean. Kalau tidak, mungkin aku tidak berada di sini sekarang."
"Begitu" Lalu apa kiranya yang bisa kuberikan kepada Pak Marsusi""
Suasana yang cair dan akrab sudah lahir tanpa susah-payah. Tetapi Marsusi tidak segera menjawab pertanyaan Darman. Dikeluarkannya rokok untuk tuan rumah dan untuk dirinya sendiri. Asap segera mengepul seakan menjadi bukti bahwa suasana benar-benar sudah siap menjadi saksi pembicaraan antara kedua lelaki itu. "Begini, Mas Darman. Aku memerlukan sedikit keterangan tentang Srintil," kata Marsusi dengan suara rendah.
"Srintil"" tanya Darman. Kepalanya condong ke depan dan matanya membulat.
"Betul, Mas. Sampai kapankah kiranya Srintil dikenai wajib lapor""
"Wah, nanti dulu. Mengapa sampean bertanya tentang Srintil""
"Terus terang, ini berhubungan dengan keadaanku yang sudah menjadi duda."
"Ah, ya. Lalu mengapa Srintil""
Kata-kata Darman putus dan berlanjut hanya di dalam hatinya; selagi semua orang bekerja keras menghapus jejak koneksitas dengan orang-orang yang terlibat peristiwa 1965, mengapa Marsusi berbuat sebaliknya"
"Mas Darman, sesungguhnya aku malu berterus terang. Tetapi bagaimana ya, aku benar-benar tidak bisa melupakannya."
"Baik, Pak Marsusi. Asal sampean camkan, situasinya bisa berkembang demikian rupa sehingga dapat menyulitkan diriku."
"Oh, aku sadar betul, Mas Darman. Akan kujaga sekuat tenaga agar segala akibat tindakanku, akulah yang menanggung, aku seorang. Sekarang katakan, kapan kiranya Srintil bebas dari kewajiban melapor."
"Biasanya sesudah lepas masa satu tahun. Saat ini Srintil baru melewati masa enam bulan. Sampean mau mengawininya""
"Sangat mungkin. Dan masa selama enam bulan ini aku bisa mengamati perkembangan. Nah, Mas Darman, sekarang sampean sudah tahu. Maka harap maklum bila suatu ketika sampean melihat aku melakukan pendekatan tertentu terhadap anak Dukuh Paruk itu." "Ya. Namun ingat... "
"Oh, itu pasti. Akan kujaga nama dan martabar sampean sebaik-baiknya. Dalam satu segi aku tidak rela dikatakan sudah tua. Sungguh! Tetapi dalam hal menjaga rahasia orang, apalagi dia yang sudah bersedia membantuku, percayalah, aku memang sudah tua."
Maka, demikian. Dua hari kemudian Marsusi berdiri di bawah pohon di tepi jalan besar yang menuju pasar Dawuan. Marsusi mengambil sikap demikian rupa sehingga sekilas akan terlihat dia sedang menikmati harapan panen dari sawah yang demikian luas. Namun andaikan burung-burung branjangan mempunyai tingkat kesadaran seperti manusia maka mereka akan melihat Marsusi yang gelisah. Marsusi yang terlampau sering membuang puntung rokok yang masih panjang untuk diganti dengan yang baru. Dan Marsusi merasa telah berdiri satu tahun meski sebenarnya dia belum seperempat jam di sana.
Episode 13 Kemudian sebuah titik hitam yang bergerak di tepi Dukuh Paruk membuat Marsusi merasa lega. Titik itu berjalan sepanjang pematang ke arah jalan besar, makin dekat ke tempat Marsusi berdiri. Kian dekat sosok itu makin nyata, dia seorang perempuan. Dan bila ada seorang perempuan yang berkulit bersih keluar dari Dukuh Paruk maka dialah Srintil.
Marsusi kelihatan agak gelisah. Tetapi wajahnya terang dan senyumnya terlukis samar. Srintil muncul tanpa embel-embel seorang anak kecil. Hal ini tidak bisa terjadi apabila Nyai Kartareja tidak melakukan tugas yang diberikan Marsusi kepadanya. Belalang dan capung beterbangan di hadapan Srintil yang terus melangkah, dan setengah badannya tenggelam dal
am lautan padi. Burung ciplak berteriak-teriak dan terbang berputar-putar. Dia khawatir akan nasib betinanya yang sedang mengerami telur dalam sarangnya tak jauh dari pematang yang dilalui Srintil. Ada hahayaman terkejut lalu melesat menjauh. Namun dalam kegugupannya burung yang berwarna cokelat itu sempat membuang kotorannya sambil terbang.
Srintil dan Marsusi tinggal terpisah dalam jarak satu petak sawah. Sementara Marsusi sudah mengenal secara pasti siapa yang datang, Srintil belum memperhatikan secara saksama lelaki yang sedang berdiri di bawah pohon itu. Srintil baru dapat membaca suasana dengan jelas setelah langkahnya hampir mencapai jalan besar. Lalu tiba-tiba Srintil berhenti. Diperhatikannya dengan perasaan cemas Marsusi yang bergerak mendekat ke mulut pematang.
"Ah, kamu agak terlambat. Pak Darman sudah lama menunggu. Aku dimintanya menjemputmu agar cepat. Ayolah."
Srintil berdiri seperti tonggak di tengah hamparan padi kuning yang mengombak. Mulutnya terbuka, kulit dahinya berkerut demi ketegangan jiwa yang mulai terasa.
Wajah Srintil kelihatan makin keruh ketika Marsusi maju lagi beberapa langkah sambil melambaikan tangan.
"Ayolah, kamu sudah terlambat. Kamu kugonceng supaya cepat." "Aku... aku akan berjalan sendiri, Pak," jawab Srintil terbata.
"Eh, jangan menolak perintah karena hal itu tidak baik bagimu. Apalagi bila nanti kamu sampai terlambat. Ayolah."
Adalah semua orang Dukuh Paruk termasuk Srintil; mereka tidak tahu apa-apa tentang sistem atau jalinan birokrasi kekuasaan. Dalam wawasan mereka semua priayi adalah sama, yakni tangan kekuasaan. Setiap priayi boleh datang atas nama kekuasaan tak peduli mereka adalah hansip, mantri pasar, opas kecamatan atau seorang pejabat dinas perkebunan negara seperti Marsusi. Dan ketika kekuasaan menjadi aspek yang paling dominan dalam kehidupan masyarakat, orang Dukuh Paruk seperti Srintil tidak mungkin mengerti perbedaan antara polisi, tentara atau pejabat perkebunan. Semuanya adalah tangan kekuasaan dan Srintil tidak mungkin bersikap lain kecuali tunduk dan pasrah. Apalagi dalam kata-kata Marsusi terselip nada ancaman. Maka Srintil perlahan-lahan dan gamang mulai bergerak. Sambil menatap kakinya yang basah oleh sisa-sisa embun pagi di rumput pematang Srintil berjalan mengikuti Marsusi. Motor dihidupkan, kemudian Srintil mendapat tawaran yang amat ramah.
"Naiklah." Srintil menarik napas panjang sebelum akhirnya dia mengalah terhadap tawaran Marsusi. Duduknya tegar dan janggal karena Srintil tidak terbiasa membonceng sepeda motor. Atau karena hatinya tetap tidak mau berdekatan dengan Marsusi.
Jarak dua kilometer sampai ke kantor instansi di mana Srintil harus melapor setiap dua minggu hanya ditempuh dalam beberapa menit. Namun Srintil merasa telah menempuh masa berbulan-bulan lamanya. Dalam masa itu dia melihat orang-orang yang terperangah dan bertanya, "Srintil sudah mulai berani pelesiran" Apakah Srintil tidak khawatir akan diciduk kembali""
Ketika lewat di depan pasar Dawuan Srintil melihat 'kehidupan bebas' tercengang. Kehidupan bebas seakan tersinggung pada titiknya yang paling peka. Mereka yang menghendaki Srintil tetap melata dan meratap sebagai pengakuan bersalah terhadap kehidupan, terkejut dan terperangah melihat Srintil bergoncengan dengan seorang laki-laki. Melalui tatapan mata yang tajam mereka menilai sikap Srintil sebagai perilaku sembrono, tidak tahu diri. Srintil telah berbuat sesuatu yang menantang selera kenisbian sejarah.
Atau, apakah Srintil tahu siksaan hebat pada jiwanya hanya disebabkan oleh dramatisasi yang dilakukan oleh hatinya sendiri" Memang, orang belum lupa bagaimana Srintil menjadi ratu panggung dalam rapat-rapat propaganda yang menyebabkan khalayak mabuk, lalu mereka menyerbu sawah dan merojeng padi, tak peduli entah milik siapa. Orang juga tidak lupa bahwa pada beberapa peristiwa perojengan padi telah jatuh korban, beberapa petani pemilik sawah jatuh terkapar dalam upaya mempertahankan milik sah mereka. Srintil tidak mungkin membebaskan diri dari
keterlibatan moral dalam peristiwa semacam itu. Dan puncaknya adalah usaha penjungkirbal
ikan secara total seluruh tatanan kehidupan oleh orang-orang seperti Bakar pada bulan September 1965. Padahal setiap orang sudah mencatat dengan guratan yang dalam bahwa Bakar yang telah mati diamuk masa itu demikian menyatu dengan ronggeng Dukuh Paruk pada tahun-tahun menjelang 1965.
Kemudian, apakah sejarah hanya bertingkah melalui panglima tunggalnya yang bernama kekuasaan" Mestinya, tidak. Tetapi Srintil tidak akan pernah mampu tahu. Dia tidak tahu, selain mempunyai panglima, sejarah juga punya nurani yang seperti demikian adanya, tidak pernah muncul dalam bentuk hura-hura, tidak resmi-resmian, tetapi kukuh duduk dan tak pernah berhenti bertembang tentang keberimbangan hidup. Tembang nurani sejarah mungkin tampil sebagai tangis seorang bayi yang merengek dan merajuk, mengapa tetek emaknya kempis. Mungkin juga muncul sebagai air mata beberapa perempuan di pasar Dawuan yang trenyuh ketika melihat keberuntungan Srintil yang diberi beban terlalu berat bila dibanding dengan keringkihan pundaknya. Nurani sejarah bisa juga menampakkan diri sebagai falsafah orang-orang bersahaja yang suka berkata, "Aja dumeh maring wong sing lagi kanggonan luput," jangan bersikap sia-sia terhadap mereka yang sedang terjebak dalam kesalahan.
Tidak. Srintil tidak akan punya kesadaran sampai ke sana. Srintil merasa hanya punya satu kesadaran bahwa pakem hidup yang harus dijalaninya ialah peran dalam sisi aib kehidupan. Sampai kapan, Srintil tidak tahu. Rahasianya mungkin terletak pada arah obah-mosiking zaman, perkembangan sang waktu sendiri. Maka ketika sang waktu menuntutnya memikul beban sejarah, Srintil hanya pasrah. Bagi anak Dukuh Paruk ini beban sejarah ialah keharusan melata-lata di hadapan 'martabat kehidupan', menyesali diri secara habis-habisan, jangan sekali-kali berjalan dengan meluruskan leher, serta lihat-lihatlah apakah kehidupan berkenan memberi izin bila sesekali Srintil ingin tersenyum.
Episode 14 Sejak dibebaskan dari tahanan enam bulan yang lalu Srintil sudah sebelas kali memhuat cap jempol di hadapan Darman. Sudah sekian kali pula dia berhadapan langsung dengan wajah penguasa sejarahnya. Namun setiap kali datang melaporkan diri selalu saja ruas-ruas tulang kakinya gemetar. Padahal orang-orang seperti Darman bukan mesin, tentu saja.
Selorohnya mulai muncul. Dan ketika menuntun tangan Srintil membubuhkan cap jempol, tangan Darman tidak pernah jujur. Kecuali hari itu ketika Srintil datang bersama Marsusi, sikap Darman sungguh resmi. Mungkin karena Marsusi benar-benar melaksanakan kata-katanya, mengirim satu truk kayu bakar ke rumah Darman.
Selesai dengan urusan cap jempol, Srintil minta diri. Caranya, Srintil menekuk lutut dalam-dalam di hadapan para petugas dengan wajah yang sungguh-sungguh menghinakan diri. Kemudian Srintil melangkah ke luar dan Marsusi menghentikannya. "Nanti dulu. Kamu akan kuantar sampai ke tempat semula."
"Terima kasih, Pak. Aku biasa pulang seorang diri."
"Ah, lebih baik ikut Pak Marsusi," sela Darman. "Silakan. Membonceng Vespa baru pasti enak. Ya, kan""
Srintil bingung seperti munyuk dirubung orang. Kemudian demi anu atau demi satu truk kayu bakar maka Dirman mengambil kata putus,
"Bila aku yang menyuruh kamu membonceng Pak Marsusi, apakah kamu masih menolak juga""
Wajah yang bingung itu serta-merta berubah menjadi topeng yang penuh garis-garis ketakutan. Srintil terpaku dan hanya bergerak karena kemudian Darman memberi perintah dengan goyangan dagunya. Sementara Marsusi berjalan sebagai prajurit yang menang perang. Sebuah adegan yang berulang, Srintil duduk kaku di jok belakang motor Marsusi. Ketika motor sudah berjalan tubuh Srintil menjadi bagian yang terpisah dari sesuatu yang bergerak. Punggungnya condong ke belakang dan kedua tangannya bertumpu seperti orang yang akan mencari posisi duduk tetapi tak pernah mantap. Pandangan mata Srintil tertuju ke bawah sehingga dunia dirasakannya lari ke belakang dengan cepat.
Sejak meninggalkan halaman kantor Darman, Marsusi masih tetap pada tujuan yang sudah direncanakannya. Dia sudah menemukan tempat di belakang pasar Dawuan, tempat dari mana arus informa
si kepentingan-kepentingan asusila terpusat. Marsusi sudah mempunyai ketetapan di tempat itu dia akan berbicara dengan Srintil. Marsusi akan meminta semuanya dengan menanggung segala risiko. Atau Marsusi akan meminta sedikit saja, namun rela memberi banyak.
Namun ketika perjalanan hampir mencapai sebuah simpang tiga ada pikiran baru yang membuat Marsusi mengambil keputusan mendadak. Dibelokkannya motornya ke kiri, masuk ke jalan kecil yang menuju daerah perkebunan karet Wanakeling. Ketika 'barang' yang sangat diinginkannya sudah berada di tangan, mengapa tidak langsung membawanya pulang ke rumah" pikir Marsusi.
Srintil yang sejak semula mengira hendak diantar sampai ke ujung pematang yang menuju Dukuh Paruk, langsung merasa adanya penyimpangan. Mulutnya bergerak-gerak, namun kata-katanya tak kunjung keluar.
"Mau... mau... mau ke mana, Pak""
"Ah, tenanglah. Kita mau pulang."
"Pulang ke mana""
"Ke Wanakeling. Lho, ke mana lagi""
"Pak... " "Tenanglah. Aku bukan tukang culik. Kita ke Wanakeling dulu. Nanti kamu kuantar kembali ke Dukuh Paruk."
"Aku... aku tidak mau, Pak. Aku ingin segera pulang."
"Dengarlah. Aku ingin berbicara kepadamu dan ini bukan perkara main-main. Nyai Kartareja pernah berkata sesuatu kepadamu, bukan""
"Tetapi aku tidak mau."
Srintil menghentak-hentak dalam duduknya sehingga motor baru itu oleng.
"Berhenti, Pak! Aku mau turun di sini. Berhenti, Pak!"
"Eh, jangan goyah. Nanti jatuh."
"Aku tidak mau ikut sampean. Berhenti, Pak!"
"Nanti dulu. Kamu belum mendengar apa yang hendak kusampaikjn padamu."
Beberapa kali Srintil berusaha terjun. Namun setiap kali diurungkannya; batu-batu di atas jalan pegunungan itu bergerak seperti mata gergaji besar yang akan menggorok apa saja yang jatuh ke permukaannya. Akhirnya Srintil pasrah. Duh, Gusti, apa lagi yang akan kutanggung"
Jalan pegunungan itu kini menembus hutan jati. Pepohonan berdiri tegar dan tumbuh rapat, dan kelihatan angkuh terhadap pohon-pohon kecil di bawahnya. Cabang-cabangnya tumbuh ke segala arah untuk menangkap semua sinar matahari dan membiarkan pakis-pakisan hanya hidup dalam sinar temaram sepanjang hari. Kepongahan. Relung-relung pakis itu hidup di bawah kepongahan pohon-pohon besar. Lalu mengapa acap terjadi sebuah hasrat besar atau
rencana besar tidak mencapai tujuan hanya karena sebuah perkara kecil yang tidak pernah masuk hitungan" Seorang prajurit perkasa bisa mati di tengah peperangan bukan karena peluru lawan, melainkan oleh gigitan ular yang kelihatan demikian lemah. Dan hasrat Marsusi untuk membawa Srintil ke Wanakeling gagal hanya karena kecerobohannya mengendalikan sepeda motor. Ketika melewati ruas jalan yang sangat rusak motor baru itu kelihatan melompat-lompat dalam kecepatan yang berubah-ubah secara dramatik. Pada suatu saat yang amat singkat pantat Srintil terangkat karena guncangan, dan pada saat yang amat singkat itu Marsusi menarik gas. Motor melesat dan Srintil sejenak mengapung di udara. Sesuatu yang sejak semula terpisah jadi benar-benar berpisah. Pantat Srintil tidak jatuh kembali ke atas jok melainkan terhempas ke permukaan jalan. Tubuh Srintil terbanting dan berguling-guling, sementara Marsusi terus melaju karena tidak tahu sesuatu telah terjadi di belakangnya.
Mula-mula Srintil marasa ribuan batang pohon jati berputar cepat mengelilingi kepalanya. Putaran itu makin melambat dan akhirnya berhenti tinggal menjadi sosok hutan yang bergoyang. Srintil menoleh ke kiri dan masih melihat di kejauhan Marsusi dan motornya menghilang di balik tanjakan. Srintil berusaha bangkit dan kakinya terasa sakit. Ketika dilihat, ada luka berdarah pada mata kaki serta lutut kirinya. Di telapak tangan ada kerikil kecil menancap. Dan darah menitik ketika kerikil itu terlepas. Perih.
Setelah berhasil mengembalikan ketenangannya Srintil melangkah ke pinggir. Tak terlihat seorang manusia pun di jalan kecil yang menembus hutan jati itu. Namun yang pasti Srintil sadar harus menggunakan kesempatan kebebasan yang tak sengaja telah diperolehnya. Nalurinya mengajarkan, Marsusi akan segera berbalik dan mencari Srintil begitu dia tahu jok belakang motornya
telah kosong. Namun dengan kaki yang terasa amat sakit Srintil tidak mungkin segera berjalan pulang ke Dukuh Paruk. Apabila hal itu dilakukannya, bahkan misalnya dengan kaki yang sehat, Marsusi pasti akan bisa menyusulnya.
Episode 15 Maka Srintil berjalan terpincang-pincang menjauhi jalan, dan di suatu tempat dia melihat lorong setapak yang masuk ke hutan jati. Lorong itu pastilah jalan para pencari kayu karena Srintil sudah mendengar suara mereka. Tak lama kemudian kelihatan dua perjaka tanggung menuruni bukit membawa sepikul kayu bakar. Seorang lagi di belakang mereka memikul dua gulung daun jati. Ketika berpapasan mereka berhenti dan memandang Srintil dengan heran. Di antara para pencari kayu atau daun jati ada beberapa perempuan. Tetapi ketiga perjaka tanggung itu belum sekali pun pernah melihat Srintil berada di tengah hutan jati.
"Eh, rasanya aku pernah mengenal perempuan itu. Tetapi siapa, ya""
"Aku ingat. Dia ronggeng Srintil. Mula-mula aku pangling. Tetapi akhirnya aku kenal dengan pasti. Dia orang Dukuh Paruk yang dulu sering meronggeng."
"Oh, ya! Aku jadi ingat sekarang. Tetapi mau ke mana dia" Dan mengapa jalannya terpincang-pincang""
"Benar. Kukira dia memang ronggeng Srintil. Maka, ayo kita ikuti dia. Kayu bakar dan daun jati bisa kita tinggal sebentar di sini. Mari, kita lihat pertunjukan yang menarik!"
"He, kamu ngomong apa" Apa Srintil mau meronggeng di tengah hutan""
"Tolol! Kamu rupanya lupa akan munyuk-munyuk jantan di atas pohon jati besar dekat jurang sana."
"Ah, ya. Munyuk-munyuk itu menjadi cabul bila meihat orang perempuan. Dan kini yang akan mereka lihat adalah Srintil yang cantik. Ayo, kita naik lagi."
"Bila kalian anak munyuk maka kalian senang melihat ulah konyol munyuk-munyuk di pohon jati itu. Silakan, Anak munyuk. Aku sendiri mau pulang."
Cincong antara ketiga perjaka tanggung itu ternyata hanya menghasilkan gelak yang panjang. Mereka meneruskan perjalanan menuruni bukit dan ingatan mereka tetap pada munyuk yang cengar-cengir, munyuk yang menggeram dan membuat gerakan-gerakan yang amat tidak senonoh. Ulah munyuk-munyuk itu bagi para pencari kayu menjadi bukti akan kebenaran dongeng sensasional bahwa suatu ketika pernah terjadi perkosaan antarjenis. Sekelompok bangkokan, munyuk besar, beramai-ramai menjagal seorang perempuan lalu menggagahinya. Dan bagi orang-orang bersahaja seperti para
pencari kayu itu, tiadalah beda antara dongeng dan kisah nyata. Kedua-duanya menyatu sebagai kebenaran dalam mitos yang sulit diganggu gugat.
Srintil merasa heran ketika menyadari dirinya sedang duduk tanpa teman di tengah hutan jati. Namun kebisuan alam cepat membawa Srintil kembali mengenal suasana di luar dan di dalam dirinya sendiri. Di sekelilingnya adalah pohon-pohon besar yang sejenis, jati. Dan di bawah pohon-pohon besar itu tumbuh sekian banyak tetumbuhan kecil yang tak terhitung jumlahnya, dari lumut yang menyelimuti batu dan kulit kayu hingga berbagai jenis paku-pakuan yang menutup lereng-lereng jurang. Dari tanaman perdu dan gelagah sampai tumbuhan merambat yang sulurnya membuat jalinan ruwet, seruwet akar-akaran yang merayap di permukaan dan yang menghunjam tanah.
Ketika angin bertiup jutaan daun jati saling bergesek membuat deru yang berirama. Semuanya bergoyang. Tetapi pada ketika itulah Srintil menangkap makna kebersamaan yang amat mengagumkan. Kebersamaan yang berimbang, yang mungkin sudah mulai disusun sejak ribuan juta tahun yang lalu. Setiap sulur muda tidak gagal meraih ruang hidup meski harus menembus jalinan sesama yang demikian canggih, setiap ujung akar tidak gagal mencapai tanah. Ada beringin kecil tumbuh di atas batang pohon yang lapuk. Dan roh kebersamaan memberi kesempatan sehingga akar beringin kecil bisa merayap mencapai tanah. Dedaunan tersusun demikian rupa sehingga sinar matahari atau biasnya menjamah rata.
Angin kembali bertiup, kini disertai bunyi daun-daun yang luruh. Kerotok suara burung pelatuk dari kejauhan. Dan suara seorang pencari kayu yang terdengar sayup. Srintil menegakkan kepala. Itu suara tembang seorang amatiran yang menirukan kutut manggung. Entah mengapa
Srintil merasa tersentak. Bukan karena dia juga hafal lirik lagu itu, bukan pula suara si pencari kayu demikian jelek dan acak-acakan, tetapi karena tiba-tiba Srintil merasa ada sesuatu yang sangat menarik berkaitan dengan keresahan jiwanya.
Gending Kutut Manggung adalah sebuah langen swara berahi yang digubah demikian halus, penuh selera estetik dan jelas sekali lahir dari wawasan tentang kehidupan yang mendasar. Kutut manggung adalah penghayatan atas naluri keprimitifan berahi dalam tertib nilai tertentu sehingga terjadi beda antara berahi manusia dan berahi munyuk. Dia bertanggung jawab dan memiliki arah yang pasti yakni garis perhubungan antara manusia dan selera Penguasa Alam. Dia halus sehingga hanya orang dewasa tertentu bisa mengerti apa yang dimaksud wis wayahe lingsir wengi, perkutute arsa muni atau perkutute njaluk ngombe. Kutut manggung adalah pelukisan hasrat perhubungan ragawi antara lelaki dan perempuan dalam wawasan tertib kosmik; bahwa si lelaki dan si perempuan adalah suami-istri, dan bahwa motivasi perhubungan ragawi itu adalah upaya mencapai tata-raharjaning bangsa manusia yakni keselarasan hidup.
Namun wawasan berahi kutut manggung juga memberi tempat kepada aspek 'humaniora', sehingga meski kudus dan sakral maka perhubungan berahi yang tertib itu masih juga mengandung kadar kegenitan. Maka ada anggunge memanas ati, yakni pergombalan yang merangsang hati. Juga dalam senggakan kutut manggung ada warna kemesraan, namun dalam gaya euphemisme sehingga wilayah kecabulan tak perlu terjamah.
Dalam pengertian yang tidak begitu mendalam Srintil mengerti penghayatan berahi menurut persepsi kutut manggung karena Nyai Kartareja pernah mengatakannya. Nyai Kartareja berbuat demikian untuk mengajari Srintil tentang perbedaan antara penghayatan berahi menurut versi kutut manggung dan versi ronggeng. Dulu Srintil sangat percaya bahwa penghayatan versi ronggeng adalah lebih unggul karena tiadanya tertib susila sehingga wilayah penghayatannya adalah kelelakian secara umum, bukan kelelakian dalam diri seorang lelaki tertentu. Karenanya dulu Srintil yakin menjadi seorang ronggeng lebih terhormat daripada menjadi seorang perempuan somahan. Namun penghayatan dan aktuasi berahi gaya ronggeng yang longgar, kasar, dan mentah tidak mengarah kepada keselarasan hidup. Bahkan ternyata peronggengan telah membawa Srintil ke rumah tahanan selama dua tahun. Selama itu Srintil kehilangan kediriannya hampir secara mutlak, dan setelah bebas jiwanya masih terkerangkeng entah sampai kapan. Kerangkeng yang hanya mungkin terkuak apabila Srintil bisa membuktikan dirinya bukan lagi duta keperempuanan bagi kelelakian yang umum dan telanjang, melainkan duta keperempuanan bagi seorang lelaki tertentu yakni suami.
Episode 16 Potongan-potongan lirik Gending Kutut Manggung masih terdengar, baur dalam desau angin dan suara burung-burung. Srintil tidak lagi menegakkan kepala. Dia menunduk, pikirannya penuh dengan khayalan indah tentang seorang perempuan yang mendapat sebutan ibu rumah tangga, seorang perempuan yang rela dan sadar hanya mengikatkan diri kepada seorang lelaki. Indah, karena Srintil sungguh tidak mendengar ada seorang perempuan yang mengalami kepahitan dalam penjara karena dia memilih peran hidup sebagai ibu rumah tangga. Indah, karena Srintil belum pernah mendengar cerita tentang perempuan yang tersisih menjadi aib kehidupan karena dia menjadi istri seorang lelaki.
Srintil mengangkat muka dan jauh di sana kelihatan olehnya pucuk daun aren yang baru mekar. Kuning muda, dan kesegarannya terlihat kontras dengan warna sekelilingnya. Ada alap-alap terbang mengitari pohon aren itu, barangkali sedang mengintai mangsa yang bersembunyi. Mata Srintil mengikuti alap-alap yang terus berputar. Lama-lama matanya hanya menangkap pandangan yang serba samar, sampai muncul sebuah bayangan yang jelas. Rasus. Mengapa kira-kira dua belas tahun yang lalu ketika masih sangat muda, Rasus sudah tidak setuju aku menjadi ronggeng" Mungkin Rasus hanya ingin membela kepentingan pribadi. Tetapi mungkinkah pikiran Rasus itu adalah duta nurani kehidupan karena rong
geng Dukuh Paruk sesungguhnya tidak selaras dengan maksud tertinggi kehidupan" Tiba-tiba Srintil menutup wajah dengan tangan karena jawaban atas pertanyaannya sendiri adalah rekaman amat pahit pengalaman selama dalam tahanan, perilaku kenisbian sejarah yang telah meruntuhkan bangunan kediriannya, perilaku para pengejawantah kewenangan yang telah meluluhkan martabat kemanusiaannya.
Ada seberkas sinar matahari menerobos kerimbunan hutan jati dan jatuh ke tubuh Srintil. Pepohonan sudah membentuk bayangan di timur, dan Srintil ingin pulang. Orang Dukuh Paruk pasti sudah cemas karena mengira dirinya ditahan kembali. Goder tentu menangis karena jajan yang ditunggunya tidak kunjung tiba. Tetapi Srintil tidak yakin apakah dalam perjalanan pulang nanti takkan berjumpa Marsusi. Dan kakinya terasa nyeri, padahal Srintil terpisah tujuh kilometer dari Dukuh Paruk.
Srintil bangkit, berjalan menuruni lorong setapak menuju jalan pegunungan yang membelah hutan jati. Dia tidak tahu pasti apa yang bakal dialaminya sebelum sampai ke Dukuh Paruk. Mungkin akan bertemu kembali dengan Marsusi atau akan tergeletak tak kuat berjalan. Yang jelas Srintil mendadak berhenti ketika dia baru mencapai satu turunan. Di depan sana ada seorang lelaki yang sedang menaruh sepeda motor di bawah bayangan pohon, kemudian berdiri bertolak pinggang dan matanya menyapu tepian hutan jati. Marsusi telah mendapat keterangan dari tiga orang pencari kayu tentang jalan yang harus ditempuh untuk menemukan tempat di mana Srintil berada. Perburuan segera bermula karena Marsusi melihat sosok yang bergerak tergesa-gesa dan menjauh.
Suasana hutan jati merangsang naluri primitif tentang perburuan. Jantung Marsusi berdenyut keras dan menimbulkan semangat binatang jantan raja rimba. Wajahnya berubah beringas dan keringat dengan cepat membasahi kulitnya. Meskipun bibir Marsusi tersenyum tipis tetapi pandangan matanya keras. Langkahnya perkasa diiringi suara daun kering arau bekicot yang terinjak sepatu kanvas. Dan Marsusi adalah laki-laki yang amat berpengalaman berjalan di hutan.
Sejak mengetahui Srintil lenyap dari jok belakang motornya, berbagai perasaan memusingkan kepala Marsusi. Yang pertama terbayangkan oleh Marsusi adalah Srintil yang terjatuh dan cedera berat. Ini kecerobohan yang memalukan dan sedikit-banyak bertentangan dengan citra keperwiraan seorang lelaki, sekaligus mempersulit kedudukan Marsusi sendiri. Namun Marsusi merasa tidak bisa berbuat lain kecuali menemukan kembali Srintil dengan segera buat meralat kecerobohannya, tanpa sedikit pun niat hendak mengubah niat semula.
Namun ternyata yang dihadapinya adalah lain. Tiga perjaka tanggung itu memberi kesaksian bahwa Srintil tidak cedera berat, hanya jalannya jadi pincang. Dan kenyataan lain, Srintil menghindar. Lalu mengapa orang harus heran tentang hati yang semula mengandung penyesalan dan rasa tanggung jawab tiba-tiba berubah menjadi liar. Andaikan Srintil tidak lari menjauh, sesungguhnya Marsusi akan bersikap lembut dan siap dengan segudang permintaan maaf. Tetapi karena Srintil menghindar maka dalam sekejap Marsusi berubah menjadi pemburu yang sangat bergairah karena sudah melihat mangsanya bergerak.
"Srintil! Tunggu. Mau ke mana, kau""
Meski luka di kakinya terasa amat sakit karena tergesek belukar Srintil terus maju, kemudian melingkar ke kanan menuruni tebing menuju jalan. Ada petunjuk dari antah-berantah yang mengajari Srintil bahwa dia tidak mungkin bergerak lebih cepat dari Marsusi dan sesaat lagi dia bakal tersusul. Petunjuk itu juga mengatakan bahwa tak ada sesuatu yang bisa mencegah apa pun niat Marsusi kecuali langit dan matahari. Maka Srintil harus berusaha sekuat tenaga mencapai tempat terbuka sebelum Marsusi menangkapnya. Jalan pegunungan!
Sementara itu Marsusi yang sudah berubah sepenuhnya menjadi seorang pemburu, makin bergelora karena Srintil tidak mengacuhkan panggilannya. Harga dirinya tersinggung, dan segala hasratnya menjadi demikian sederhana; menguasai Srintil dalam kesunyian hutan jati, kemudian persoalannya menjadi sederhana pula. Tetapi
Marsusi membuat kekeliruan. Disangkanya Srintil
akan bergerak lebih jauh masuk ke dalam hutan. Maka Marsusi terus menaiki lorong setapak dengan harapan bisa memotong lintasan pelarian buruannya. Dari ketinggian tertentu Marsusi berhenti untuk mengamati situasi perburuan. Dan terkejut setelah menyadari goyangan-goyangan semak yang diretas Srintil bergerak mendekati jalan. Marsusi berbalik menuruni lorong tetapi terlambat, jarak yang memisahkan dirinya dengan Srintil sudah terlalu jauh.
Ketika mencapai jalan pegunungan Srintil sudah kehabisan tenaga. Rasa sakit sudah tidak tertanggung sehingga Srintil jatuh terduduk tepat di tengah jalan. Langit dan matahari menyaksikan tangisnya. Langit dan matahari menyaksikan luka pada lutut dan mata kaki Srintil bertambah parah. Darah mengalir lebih banyak.
Marsusi muncul dua menit kemudian. Seorang pemburu telah melumpuhkan mangsanya. Bangga karena merasa menang membuat langkah Marsusi kelihatan gagah. Namun kebanggaan itu sirna secara mendadak ketika Marsusi melihat dari dekat sosok buruannya. Srintil duduk bersimpuh di tengah jalan menghadap matahari yang sudah condong di barat. Kainnya cabik-cabik dan dibiarkan tersingkap sampai ke pahanya. Hasrat kebinatangan Marsusi sempat tepercik namun segera padam karena ada darah mengalir dari dua luka di kaki Srintil.
Siapa melumpuhkan siapa" Marsusi telah melumpuhkan Srintil atau Marsusi telah dilumpuhkan oleh kadar kemanusiaannya sendiri" Atau menurut moral perburuan sendiri, seorang pemburu sejati pasti akan kehilangan keberingasan bila menghadapi binatang buruan yang lumpuh dan merintih-rintih menahan sakit. Dan tetes-tetes darah itu mulai membentuk genangan di atas batu.
Episode 17 Marsusi tertegun. Ombak yang bergelora telah berubah menjadi riak-riak kecil namun tetap tidak bisa tenang. Kemudian Marsusi melihat sekeliling, mungkin karena tak ingin kegagapannya disaksikan orang. Lengang. Kecuali seekor burung tlimukan yang melintas cepat menyeberang udara terbuka lalu lenyap di tebing jurang. Suara angin dan suara burung prenjak yang sedang berkejaran. Wajah Marsusi kusut dan kendur. Darah itu. Marsusi mengeluarkan sapu tangan. Dia sangat ingin memberikan jasa membersihkan luka di kaki Srintil. Tetapi Srintil beringsut menjauh lalu membersihkan sendiri darahnya dengan ujung kain.
"Srintil, mari. Kamu kuantar pulang ke Dukuh Paruk," kata Marsusi dengan suara tenggorokan. Setengah menit menunggu jawaban Srintil terasa amat lama.
"Tidak. Aku akan tetap duduk di sini. Berbuatlah sesuatu kepadaku di sini mumpung langit dan matahari menyaksikan sampean, Pak Marsusi... "
Srintil melihat seseorang mengendarai sepeda datang dari barat, dan Marsusi pasti tidak melihat karena membelakangi.
"Pak Marsusi, sampean lihat sendiri kakiku luka. Dan seluruh badanku terasa sakit. Aku sudah tidak bisa berbuat sesuatu meskipun misalnya sampean sangat menghendakinya."
"Ya, ya. Maka mari pulang. Kamu tidak mungkin berjalan sendiri."
"Pak Marsusi, aku minta sampean membiarkan aku pulang sendiri."
Laki-laki pengendara sepeda yang membawa dua gulung daun jati pada bagasinya terheran-heran melihat adegan di hadapannya. Lebih heran lagi karena seorang perempuan yang sedang bersimpuh di tengah jalan memintanya berhenti.
"Kang, sampean mau ke mana""
"Lha, aku ya mau pulang."
"Ke mana""
"Lha, ya ke Pecikalan. Aku kan orang Pecikalan. Sampean orang Dukuh Paruk, kan""
"Sampean mengenal aku""
"Lha, siapa yang tidak mengerti sampean""
"Kebetulan, Kang. Aku minta dengan sangat sampean mau menolongku. Mau"" "Menolong bagaimana""
"Antarkan aku pulang ke Dukuh Paruk. Sampean tidak malu menggoncengkan aku"" "Lha, aku kan Partadasim. Aku orang Pecikalan."
"Iya. Aku kan Srintil, orang Dukuh Paruk. Kita satu kelurahan. Maka aku minta tolong kepada sampean. Mau, kan""
"Ya mau saja. Lalu apa tidak salah, karena sampean kan... kan... kan..."
"Tidak! Tidak salah," potong Marsusi yang sejak tadi merasa terkunci mulutnya. "Orang Pecikalan harus mau menolong orang Dukuh Paruk."
"Ya, ya. Tetapi mengapa harus aku" Bapak sendiri bagaimana" Dan apa sebenarnya yang telah terjadi""
"Ah, begini, Kang Parta," ujar Srintil. "Tadi aku sedan
g berjalan di sini. Tiba-tiba ada seekor kerbau lari. Aku takut dan lari ke pinggir. Kemudian aku jatuh. Bapak ini sudah cukup menolongku dengan menemani aku sampai kamu datang."
"Ya, ya." "Nah, bawalah Mbakyu Srintil ini ke Dukuh Paruk. ini, kamu saya beri upah," kata Marsusi sambil menyodorkan lembar-lembar ribuan. Partadasim terperangah.
"Lho, Bapak ini bagaimana" Aku kan Partadasim orang Pecikalan." "Aku sudah tahu. Mengapa""
"Aku tidak minta upah. Aku sudah cukup senang berkesempatan menggoncengkan ronggeng Dukuh Paruk karena aku sudah lama memimpikannya. Tetapi, betul, kan" Aku tidak salah" Kalau aku ditangkap karena menggoncengkan orang yang ter... ter... terlibat, Bapak yang bertanggung jawab, kan""
"Tentu. Kamu boleh mengatakan kepada siapa saja, akulah yang menyuruh kamu menggoncengkan Srintil."
Dengan susah-payah Srintil berhasil duduk di bagasi sepeda Partadasim. Kedua kakinya setengah berselonjor di atas gulungan daun jati. Meski kelihatan janggal namun Srintil malah senang karena posisi demikian sedikit mengurangi rasa sakit pada lukanya.
Burung brondol sudah beberapa kali menetaskan telur di dalam sarangnya. Setiap kali hendak menetaskan telur yang baru, dicurinya lembar-lembar atap ilalang rumah Sakum untuk menambal-sulam sarang yang lama. Mereka tak bosan-bosannya kawin dan bertelur. Entah siapa yang mengajari bahwa hanya dengan cara itu maka kelangsungan hidup jenisnya akan bertahan. Sebab alap-alap siap menyambar burung-burung kecil itu kapan dan di mana saja. Gagak dan bengkarung hijau gemar mencuri telur mereka. Dari sepasang brondol ketika kali pertama mereka membuat sarang dari atap ilalang rumah Sakum kini telah berbiak menjadi empat pasang. Andaikan alam tidak menyediakan pemangsa burung brondol maka jumlah mereka pasti sudah jauh lebih banyak.
Waktu kemarau kelompok burung brondol itu mencari makan jauh meninggalkan Dukuh Paruk ke tempat-tempat di mana rumput atau padi-padian masih bisa tumbuh. Mereka pergi menempuh bahaya menjadi mangsa alap-alap kala melintasi hamparan sawah kering yang sangat luas, karena pada saat seperti itu tak ada lagi makanan di sekitar sarang mereka. Pagi-pagi sekali mereka berangkat dan pulang ketika matahari sepenggalan. Sore mereka terbang kembali ke tempat yang sama, pulang ketika matahari hampir terbenam. Ketika pergi-pulang itulah mereka melintasi serombongan manusia yang sedang mondar-mandir di tengah sawah di sebelah barat Dukuh Paruk. Mobil mereka kelihatan jauh di tepi jalan besar.
Alap Alap Laut Kidul 1 Gadis Cilik Di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi Bukit Pemakan Manusia 18
Jentara Bianglala (Buku Ketiga Dari Trilogi)
Oleh Ahmad Tohari Edit & Convert Jar: Inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Jentera Bianglala Episode 1 Ketika Dukuh Paruk menjadi karang abang lemah ireng pada awal tahun 1966 hampir semua dari kedua puluh tiga rumah di sana menjadi abu. Waktu itu banyak orang mengira kiamat bagi pedukuhan kecil itu telah tiba. Siapa yang masih ingin bertahan hidup harus meninggalkan Dukuh Paruk. Karena hampir segala harta-benda, padi, dan gaplek musnah terbakar, bahkan juga kambing dan ayam. Lalu siapa yang tetap tinggal di atas tumpukan abu dan arang itu boleh memilih cara kematian masing-masing; melalui busung-lapar atau melalui keracunan ubi gadung atau singkong beracun.
Tetapi Dukuh Paruk sampai kapan pun tetap Dukuh Paruk. Dia sudah cukup pengalaman dengan kagetiran kehidupan, dengan kondisi-kondisi hidup yang paling bersahaja. Dan dia tidak mengeluh. Dukuh Paruk hidup dalam kesadarannya sendiri yang amat mengagumkan. Dia sudah diuji dengan sekian kali mala petaka tempe bongkrek, dengan kemiskinan langgeng dan dengan kebodohan sepanjang masa.
Memang. Mala petaka kobaran api yang hampir memusnahkan Dukuh Paruk secara keseluruhan dalam geger politik 1965 itu adalah pengalaman yang paling dahsyat tergores dalam lintasan hidup Dukuh Paruk. Hari-hari pertama sesudah kebakaran besar itu adalah hari-hari kebisuan. Setiap keluarga berkumpul, jongkok di bekas rumah masing-masing hampir tanpa suara kecuali desah panjang dan kadang tangis kaum perempuan. Mereka tanpa makanan dan tempat tinggal. Malam hari mereka membuat sudhung, semacam sarang berangka batang singkong yang ditutupi dengan rumput dan kelaras pisang. Dan kematian akibat lapar segera akan menjadi kenyataan karena tak seorang pun manusia luar Dukuh Paruk merasa perlu memberi bantuan kepada puak yang sedang diamuk mala petaka hebat itu. Hanya karena Dukuh Paruk masih menyimpan singkong yang tumbuh di sekitarnya maka orang-orang di sana berhasil menyambung hidup.
Kemudian Dukuh Paruk memperoleh napas pertama ketika ternyata Sakarya, kamitua pedukuhan itu, hanya dua minggu ditahan. Demikian juga Kartareja dan istrinya serta para penabuh calung seperti Sakum dan dua orang lainnya. Mereka kemudian hanya diwajibkan melapor setiap hari ke markas tentara di Dawuan. Tetapi Srintil belum kembali. Ya. Tetapi Srintil belum kembali, itulah aspirasi semua warga Dukuh Paruk yang tak pernah berani terucapkan. Srintil belum kembali ke Dukuh Paruk dan entah di mana dia sekarang dan bagaimana pula keadaannya.
Mengapa Srintil belum juga kembali adalah bagian dari kegagapan Dukuh Paruk dalam hal membaca pesan sejarahnya; sejarah yang telah membawa obor raksasa dan membuat rumah-rumah di sana menjadi abu. Bahkan bukan hanya rumah-rumah yang
musnah, tetapi juga jiwa Dukuh Paruk yang hancur karena kelimbungan ketika mereka harus mempertanyakan kembali perikeberadaan mereka sendiri dan harus bagaimanakah mereka sekarang. Sebuah teka-teki yang amat sulit menindih Dukuh Paruk yang bebal. Lihatlah alis-alis mereka yang selalu berkerenyit, wajah-wajah runduk dan penuh ketakutan serta gugup ketika menghadapi tatapan mata orang luar. Dan pasrah. Itulah daya terakhir Dukuh Paruk. Pasrah dalam diam paripurna sehingga Dukuh Paruk hampir tak mengeluarkan kata-kata, bahkan ketika mereka secara gotong-royong bergiliran membuat gubuk-gubuk baru. Bambu dipotong-potong dan daun kelapa dianyam sebagai atap dan dinding. Maka pada bulan kedua gubuk-gubuk kecil sudah berdiri di atas tanah yang masih menyisakan abu dan arang. Dukuh Paruk kembali mempunyai tempat berlindung dari curah hujan dan terik matahari.
Kemudian dari manakah Dukuh Paruk hendak memulai denyut kehidupannya ketika kebisuan masih mencekam" Dari tawa anak-anak, dari suara lesung ketika gaplek ditumbuk atau dari asap yang mengepul di dapur" Tidak. Denyut Dukuh Paruk dimulai dari percik suara polong orok-orok yang pecah menyebar bijinya ketika panas matahari menjerang, dari derit batang bambu yang bergesekan ketika angin lembut bertiup. Dan dari sepasang burung brondol yang sibuk mengangkut rumput-rumput kering
dari permukaan tanah ke balik kelebatan tandan pinang di atas sana. Atau dari pancuran di bawah pohon bungur itu. Pancuran air yang tidak ingin tahu akan segala macam bencana yang telah sekian kali menimpa orang-orang yang biasa bersibak dengan kesejukannya. Pancuran itu terus mengucur, lengkung seperti kristal hidup, lalu pecah di atas batu pekat berhias lumut di sisi-sisinya. Ribuan tetes air memercik ke segala arah. Mereka menangkap sinar matahari yang menerobos dedaunan, membiaskannya dengan sempurna dalam bentuk kabut bianglala.
Bagaimanapun juga Dukuh Paruk ternyata mampu menarik napas pertama kehidupannya. Perihal kemampuan mempertahankan hidup Dukuh Paruk hanya bisa disamakan dengan lumut kerak di atas batu cadas. Lumut kerak yang diam dan seakan mati di musim kemarau. Kering dan mengelupas. Namun dalam kematiannya lumut kerak menyimpan daya kehidupan. Sporanya terbungkus dalam kista yang segera mampu memutar daur kehidupannya ketika tetes air pertama atau bahkan sekadar kelembaban udara menyentuhnya. Dukuh Paruk adalah lumut kerak yang rupanya diciptakan untuk menunaikan tugas hidup dalam kondisi yang paling minimal. Dukuh Paruk masih ada meski tanpa senyum apalagi tawa. Dia masih ada meski dia hampir tidak tahu lagi makna keberadaannya.
Ada sebuah rumah yang tersisa ketika Dukuh Paruk terbakar. Rumah itu kecil dan hanya di waktu pagi terkena sinar matahari karena terkurung rumpun bambu. Penghuninya seorang nenek bungkuk dan semua orang Dukuh Paruk boleh jadi sudah lupa siapa namanya yang asli atau nama suaminya yang sudah lama mati. Nenek itu selalu dipanggil dengan nama cucunya di belakang: Nenek Rasus.
Sudah beberapa hari Nenek Rasus tidak kuasa lagi turun dari pembaringan. Dan siapa pun merasa bahwa nenek yang sudah amat renta itu hampir ajal. Ada yang mengatakan apa yang sedang terjadi pada Nenek Rasus adalah perkara alami; karena usia yang lanjut maka nenek itu sedang melangkah mendekati hari-hari akhirnya. Tetapi ada juga yang mengatakan, seharusnya Nenek Rasus masih kuasa berjalan terbungkuk-bungkuk minta makan kepada sanak-saudara sesama warga Dukuh Paruk.
Yang menyebabkannya ambruk adalah kenyataan bahwa satu-satunya cucu tidak kunjung muncul, bahkan ketika hari-hari semakin genting.
Selagi masih mampu mengeluarkan suara maka Rasus-lah yang selalu dipanggil-panggil. Dalam gerak mata yang samar Nenek Rasus mengharap seseorang mau memanggil cucunya pulang. Semua orang menangkap pesan itu, tetapi tak seorang pun merasa sanggup melaksanakannya. Tidak juga Sakarya, kamitua Dukuh Paruk. Menghubungi seorang tentara demi nenek yang sedang di tepi ajal sekalipun tak mungkin dilakukan oleh orang Dukuh Paruk. Suasana yang tidak memungkinkannya. Suasana hanya memberikan kelonggaran sedikit bagi Dukuh Paruk, yakni sekadar untuk bernapas dalam diam atau berjalan sambil menundukkan kepala. Dukuh Paruk setelah menyala seperti obor besar adalah Dukuh Paruk yang dipaksa harus tahu diri dalam segala hal. Pasrah dan tak usah banyak cingcong. Apabila ada seorang warganya yang mau mati, maka matilah, lalu kuburkan dan habis perkara.
Episode 2 Hanya Nenek Rasus sendiri yang terus berusaha menghubungi cucunya. Mungkin melalui denyut-denyut terakhir nadinya nenek renta itu memanggil cucunya pulang. Atau ketika bibir Nenek Rasus kelihatan bergerak-gerak, maka sebenarnya dia sedang memohon kepada kekuatan adikodrati agar pesannya disampaikan kepada cucunya yang kini berada entah di mana.
Ketika semua orang merasakan guncangan hebat pada hampir seluruh tatanan serta nilai-nilai kehidupan. Ketika kegelisahan serta ketidakpastian demikian mencekam. Dan ketika ikatan kebersamaan hidup berada pada puncak taruhan yang amat menakutkan. Maka adalah fitrah manusia untuk mendapatkan tempat yang teduh, tempat jiwa dapat memperoleh kembah ketenangannya. Dan tak usah dipertanyakan lagi mengapa pada saat seperti itu orang ingin segera memperoleh kepastian bahwa lembaga tempat dia menyerahkan kesetiaan dasarnya tidak rusak. Lembaga ini adalah ibu yang selalu bersedia memberi ketenangan jiwa, dan itu bisa berupa rumpun-rumpun bambu yang menja
di saksi kelahirannya, bisa berupa pancuran air yang mengucur abadi atau bisa berupa haribaan seorang nenek yang sudah apek. Atau gabungan kesemuanya yang secara bersama-sama telah menyusui seorang anak manusia sejak lahir sampai dia mempunyai kesadaran tentang makna keberadaannya. Merekalah yang paling berhak menerima penyerahan kesetiaan dasar seorang manusia warga kehidupan.
Bersama dengan kesatuannya, Rasus sedang bertugas di sebuah wilayah di bagian tenggara Jawa Tengah, hampir dua ratus kilometer jauhnya dari Dukuh Paruk. Kadang Rasus merasa dirinya adalah seorang cucu durhaka karena sudah empat tahun dia tidak menjenguk Dukuh Paruk. Sudah sekian lama dia menitipkan seorang nenek pikun kepada rasa kebersamaan puaknya. Namun rasa bersalah itu selalu pupus sendiri, entah karena kesibukannya sebagai tentara atau karena Rasus sudah bertekad membiarkan Dukuh Paruk hidup seperti apa adanya. Dukuh Paruk dengan sumpah-serapahnya, dengan irama calungnya, dan dengan seorang ronggeng cantik bernama Srintil. Rasus tidak hendak menyentuh kemandirian tanah airnya yang kini sudah jauh dan terpencil.
Tetapi geger tahun 1965 serta-merta mengubah sikap Rasus terhadap Dukuh Paruk. Dalam rongga matanya mulai terbayang jelas sebuah rumah kecil yang hampir tertutup oleh rumpun bambu. Telinganya mulai mendengar suara anak-anak yang sedang ramai bermain layang-layang yang terbuat dari daun gadung kering. Atau dengung kumbang tahi yang menyeberang pekarangan kosong ketika pagi masih sangat berembun. Makin hari terasa suasana Dukuh Paruk makin memenuhi kalbunya. Lambaian Dukuh Paruk yang tua menyentak-nyentak hatinya. Dan sentakan itu jadi terasa semakin kuat manakala Rasus ingat bahwa menurut selentingan yang sampai kepadanya Dukuh Paruk terbawa-bawa dalam rapat propaganda. Rasus sungguh berharap dukuhnya tidak mengalami sesuatu yang genting. Namun entah mengapa Rasus tidak berhasil menenangkan dirinya sendiri. Entah mengapa pula sosok neneknya yang renta dengan keriput wajahnya terlalu sering muncul dalam ingatan Rasus.
Andaikan Rasus bukan seorang tentara yang kini harus berada dalam sikap siaga penuh karena negara dinyatakan dalam keadaan bahaya, pastilah dia akan segera mengajukan permohonan cuti. Namun keadaan memaksa hak cuti bagi setiap prajurit dihapuskan entah sampai kapan. Maka untuk mengetahui keadaan tanah kelahirannya Rasus hanya bisa bertanya melalui surat. Sersan, dulu Kopral, Pujo yang pernah sekian lama menjadi sahabat satu kesatuan, kini menjadi komandan markas perwira urusan teritorial di kecamatan Dawuan. Kepadanyalah Rasus menulis surat, minta tolong agar dia diberi tahu perikeadaan Dukuh Paruk.
Balasan dari Sersan Pujo demikian cepat dan singkat. Balasan melalui telegram memberi tahu Rasus bahwa neneknya sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tak ada kata permintaan agar Rasus segera pulang. Ya. Rasus mengerti pengirim telegram itu adalah Sersan Pujo. Dia tidak berhak meminta apalagi memerintahkan apa pun terhadap prajurit yang bukan bawahannya. Rasus menerima dengan segala kepedihan, bahwa pada suatu saat dan keadaan tertentu maka ajal seorang nenek harus dianggap kecil; gaya telegram Sersan Pujo itulah buktinya.
Namun Rasus berharap betapapun rawan situasi keamanan saat itu masih ada tersisa hak kemanusiaan yang bersifat pribadi. Maka dengan membawa telegram dari Sersan Pujo, Rasus menghadap komandan kesatuannya. Dia minta izin hendak pergi meninggalkan tugas guna melepas kepergian nenek kandungnya. Izin diberikan, namun Rasus harus berhadapan dengan wajah gelap komandannya.
Dengan kendaraan pertama yang bisa dihentikannya Rasus berangkat ke Dukuh Paruk. Pukul empat sore Rasus tiba di Dawuan. Turun dari kendaraan Rasus dijemput oleh seorang anak buah Sersan Pujo. Rasus diminta singgah dulu di markas sebelum meneruskan perjalanan ke Dukuh Paruk.
"Aku tahu, kamu ingin secepatnya melihat Nenek. Tetapi sebelum itu berilah aku kesempatan menunaikan tugasku sendiri yang menyangkut dirimu," kata Sersan Pujo kepada Rasus. Gaya Sersan Pujo sangat resmi hampir kaku.
"Tentu saja, Sersan. Silakan."
"Pertama, kuminta kamu mena
nggalkan senjatamu, juga pisau di pinggangmu itu."
Rasus memenuhi permintaan Sersan Pujo tanpa kata-kata apa pun. Kemudian keduanya duduk dalam suasana yang lebih kendur.
"Nenekmu masih hidup hari ini. Kepastian ini kuperoleh dari orang-orang Dukuh Paruk yang apel kemari tadi pagi."
"Ah, syukur. Yang sangat kukhawatirkan ialah bila sampai aku terlambat. Maka terima kasih, Sersan. Telegram yang Sersan kirimkan membuat aku sempat menunggu saat-saat terakhir hidup Nenek."
"Ya. Dan satu pesanku. Kita sama-sama prajurit, maka kita dituntut memiliki ketabahan. Ketabahan dalam menghadapi apa pun. Kuulangi, ketabahan dalam menghadapi apa pun!"
Rasus merasa ada pesan tertentu dalam kata-kata Sersan Pujo. Dan barusan dia mendengar ada orang Dukuh Paruk yang dikenai wajib apel. Rasus ingin mendapat kejelasan tetapi Sersan Pujo tidak memberinya kesempatan.
"Nah, silakan kamu meneruskan perjalanan ke Dukuh Paruk. Jangan lupa, kamu seorang prajurit."
"Baik, Sersan."
Dukuh Paruk sedang menanti seorang anaknya pulang. Penantian yang harus diberi makna apa karena Dukuh Paruk sesudah menyala menjadi obor besar adalah Dukuh Paruk yang merenung dan amat gering. Segala sendi kehidupan yang dari generasi ke generasi telah membentuk pribadi Dukuh Paruk menjadi demikian goyah hampir runtuh. Dukuh Paruk telah kehilangan rasa percaya diri amat sangat sehingga dia tidak tahu pasti dengan cara atau sikap bagaimanakah dia menyambut kedatangan sang anak bila suatu ketika dia muncul.
Episode 3 Dan sang anak sedang berjalan dalam langkah-langkah panjang lurus menuju kerindangan rumpun bambu di mana dia dilahirkan menjadi warga kehidupan. Makin mendekati gerumbul Dukuh Paruk langkah Rasus makin cepat. Lalu tiba-tiba dia terjebak dalam kelengangan yang aneh. Rasus berhenti dan menatap ke depan. Di manakah rumah Sakum yang biasa tampak dari ujung pematang" Juga di manakah kilau atap seng rumah Kartareja"
Rasus melangkah lagi. Namun kelengangan bahkan makin mencekam. Tidak ada anak-anak berkeliaran di halaman dan tidak terdengar suara mereka. Oh! Dan Rasus berdiri beku, dahinya berkerut-kerut. Dia berusaha keras membaca dan meyakini kenyataan yang tergelar di hadapannya. Rumah-rumah puaknya telah berubah menjadi gubuk-gubuk kecil tak ubahnya seperti dangau sawah. Oh, Dukuh Paruk, mengapa engkau rupanya" Mala petaka apa pula yang telah menimpamu selama aku di rantau"
Pada saat pundak Rasus jatuh, sebuah jawaban yang pasti bisa menerangkan segalanya. Intuisinya bekerja demikian cepat menghubung-hubungkan faktor-faktor kekinian dengan segala cirinya, dengan segala hukum dialektikanya. Apabila Rasus
teringat pada masa lalu Dukuh Paruk terbawa arus keberingasan propaganda politik maka segala sesuatu tak usah dipertanyakan lagi. Ya. Kemudian Rasus merasakan sesuatu yang amat pahit masuk lalu mengental di dasar hatinya.
Kini Rasus melangkah lagi. Mengambang, seakan telapak kakinya tidak menginjak tanah. Dua orang anak kecil yang tak sengaja melihat kedatangannya lari terbirit, lalu menerobos pintu gubuk dan bersembunyi dengan wajah pucat. Orang-orang perempuan mengintip dari celah dinding anyaman daun kelapa. Mereka tidak berani menampakkan diri bahkan sesudah mereka yakin tentara yang datang adalah Rasus, saudara mereka sendiri.
Ketika Dukuh Paruk merasa sedang berada dalam puncak kehancuran harga diri, ketika sejarah terasa telah menyingkirkannya ke wilayah aib kehidupan, maka sesungguhnya Dukuh Paruk sangat berharap pertolongan akan datang dari putra terbaiknya. Dukuh Paruk ingin menyembunyikan wajah ke balik punggung Rasus yang sudah jadi tentara. Tetapi tak seorang pun di sana yakin akan sikap Rasus; simpati terhadap Dukuh Paruk yang suatu saat menyala menjadi obor raksasa atau malah sebaliknya. Dalam keluguannya Dukuh Paruk telah membaca sejarah bahwa hubungan darah bisa bungkam dan pekak ketika terjadi penjungkirbalikan tata nilai yang menggegerkan kehidupan.
Lihatlah kaum lelaki dan perempuan yang sedang berkumpul di rumah Nenek Rasus berdiri membisu ketika meraka melihat putra terbaik itu datang. Ketakutan masih menjadi warna yang paling menyolok pada
wajah-wajah mereka. Rasus sudah melihat sisa abu dan arang, lalu rumah-rumah liliput dan anak-anak yang lari ketakutan. Semuanya adalah garis besar jawaban tentang apa yang baru menimpa Dukuh Paruk. Dan jawaban yang rinci, mendasar, dan lengkap terbaca dengan jelas pada penampilan orang-orang yang sedang berkumpul di sana. Mereka adalah prasasti hidup, monumen tanpa kata, yang mencatat secara amat teliti tentang perilaku, sejarah yang telah memperlakukan Dukuh Paruk semaunya. Rasus seakan melihat kobaran api yang telah membakar puaknya pada alis Sakum. Dia seakan melihat ketakutan dan kepanikan luar biasa pada keriput wajah Sakarya. Dan Rasus seakan mendengar jerit yang melengking ketika dia melihat air mata kaum perempuan mulai berjatuhan.
Satu langkah lebih jauh Rasus sudah larut dalam kehancuran puaknya. Dia tak kuasa lagi menatap wajah Sakarya, Kartareja atau lainnya. Dia tak kuasa lagi menyaksikan air mata perempuan yang turun membasahi pipi-pipi kurus dan pucat. Rasus berjalan goyang. Sikap tabah yang dipesankan oleh Sersan Pujo berhasil menjaga tubuh Rasus tidak roboh. Tetapi Rasus tak berhasil menahan air mata ketika dia sudah berdiri di samping tubuh neneknya.
"Nek, aku datang. Aku Rasus, Nek."
Dan tubuh lusuh di bawah kain gombal itu tak kuasa memberi tanggapan apa pun. "Zaa ilaaha illallaah."
Kemudian Rasus duduk di tepi balai-balai. Masih terlihat samar denyut urat darah di sisi leher neneknya. Masih ada gerakan halus di dada. Namun Rasus merasa neneknya
sudah tak mampu lagi berkomunikasi dengan siapa pun. Hayat masih ada tetapi roh, siapa tahu, telah pergi lebih dahulu.
Diperlukan waktu lima atau enam menit bagi Rasus buat menyadari di mana dan pada keadaan bagaimana dirinya kini berada. Kemudian desah yang berat menandakan Rasus telah berhasil mengalahkan segala gejolak rasa. Setelah mengusap wajah neneknya dengan lembut, Rasus berdiri lalu membalikkan badan. Kini dia kembali menghadapi wajah Dukuh Paruk; wajah penuh pengakuan bersalah, wajah penuh permohonan maaf kepada kehidupan. Namun Dukuh Paruk harus mengakui kenyataan, kehidupan hanya mau memberikan maaf melalui sang waktu yang sering suka mengulur tangan yang begitu panjang. Maka Dukuh Paruk amat sulit meyakini apakah kehidupan mau memaafkannya. Apabila maaf itu tidak diperoleh, Dukuh Paruk harus mau hancur dikunyah sejarah. Dan kehancuran itulah sketsa yang terlukis pada wajah orang-orangnya.
Rasus bukan hanya merekam kehancuran itu. Dia bahkan merasa bersama-sama puaknya, hancur. Malah Rasus merasa berdiri pada tempat yang lebih sulit; dia anak Dukuh Paruk tetapi dituntut memiliki wawasan yang jauh lebih luas daripada sekadar kepentingan dan kehidupan puaknya.
Masih belum sepatah kata pun terucap, Rasus bergerak menyalami Sakarya, Kartareja, dan orang-orang Dukuh Paruk lainnya. Kata-kata yang kemudian keluar dari mulutnya terdengar berat namun tenang.
"Sedulur-sedulurku semua, apakah kalian selamat""
Sepi. Tak terdengar suara yang segera menjawab. Orang-orang hanya bisa menundukkan kepala dan menelan ludah. Orang-orang sedang menikmati sentuhan lembut yang mengelus jiwa. Sedulur. Rasus tetap menyebut mereka saudara. Sebutan yang begitu lumrah namun menjadi sangat istimewa bagi sekelompok manusia sisa kobaran api di Dukuh Paruk. Sakarya terbatuk. Bibirnya bergerak-gerak. Namun kata-katanya tak kunjung keluar.
"Ya, Cucuku Wong Bagus," ucap Sakarya akhirnya. "Kami semua, saudara-saudara sampean, bagaimanapun juga masih mendapat keselamatan."
"Syukurlah, Kek."
"Dan kami sangat senang, akhirnya sampean pulang. Lha, nenek sampean itu. Untung sampean belum terlambat."
"Ya, Kek." "Sudah belasan hari kami menungguinya, Ah, kukira nenek sampean memang sudah tua, sangat tua. Lalu, bukankah sampean hendak menunggui Nenek hingga selesai""
"Ya. Ah, tetapi entahlah, Kek. Aku hanya diberi izin tiga hari."
Episode 4 "Jadi kamu hanya mau tinggal tiga hari di sini"" tanya Sakum. Dia berdiri dan matanya yang keropos berkedip-kedip.
"Hai, Sakum! Tidak pantas ber-kamu kepada seorang tentara."
"Ah, ya. Aku lupa. Seharusnya aku menyebut Pak Tentara. Rasus tentu gagah se
karang. Sampean sudah punya istri, Pak Tentara""
"Belum, Kang." "Kebetulan. Srintil juga masih sendiri. Eh, tetapi entah di mana dia sekarang. Sampean tahu di manakah dia sekarang""
Wajah Rasus menegang dan dia tidak berhasil menyembunyikan keterkejutannya. Rasus sudah berjanji kepada dirinya sendiri tidak akan berbicara siapa saja orang Dukuh Paruk yang pernah ditahan. Sebab segalanya tak terelakkan dan sudah terjadi. Lagi pula pada mulanya Rasus menyangka semua warga puaknya yang ditahan telah kembali ke Dukuh Paruk. Kini Rasus tahu Srintil yang demikian lama punya arti amat penting bagi dirinya justru menjadi satu-satunya orang Dukuh Paruk yang masih ditahan entah di mana.
"Aku, aku tidak tahu, Kang. Aku tidak tahu di mana sekarang Srintil ditahan," jawab Rasus sambil menggelengkan kepala.
"Ah, kasihan dia, Pak Tentara. Lalu siapa lagi kalau bukan sampean yang bisa menolong Srintil. Nah, cari dia, bawa pulang kemari dan jadikan dia istri sampean. Wah, pantas
betul." "Sakum, sudahlah. Yang macam itu bukan urusanmu," potong Sakarya. "Lagi pula pantaskah kamu bicara macam-macam di dekat Nenek Rasus yang sedang sakit payah""
Malam hari hampir semua orang Dukuh Paruk berkumpul di rumah Nenek Rasus dan sekitarnya. Perihal Nenek Rasus mereka sudah tahu, retapi cucunya yang baru pulang setelah empat tahun meninggalkan Dukuh Paruk adalah lain. Bukan semata-mata orangnya yang ingin mereka ketahui, karena yang terutama adalah bagaimana sikap Rasus; masihkah dia memiliki kesetiaan dasar terhadap Dukuh Paruk serta darah dan daging Ki Secamenggala. Dukuh Paruk yang merasa disingkirkan ke wilayah paling aib karena dihubung-hubungkan dengan penyebab geger 1965 amat merindukan pamong baru. Pamong yang bisa dijadikan secuil kebanggaan hidup dan pengayom. Dan Rasus adalah orang yang paling didambakan bila benar dia masih memiliki kesetiaan dasar itu. Kini orang-orang Dukuh Paruk ingin membuktikannya.
Rasus menyambut puaknya dengan senyum, dengan mata berseri. Bukan karena tahu dia sedang diselidiki. Dia gamit pipi anak-anak di gendongan emak masing-masing. Seorang anak malah diambilnya dari gendongan seorang perempuan, ditimang-timangnya, diciuminya. Rasus mencium masa lalunya, mencium bau Dukuh Paruk, mencium pangkuan emaknya. Hatinya bergetar oleh rasa keterikatan dan keprihatinan atas ulah sejarah yang telah membawa obor besar yang telah membakar Dukuh Paruk, sejarah yang membuat Dukuh Paruk sangat mudah terkejut meski hanya oleh keresek bunyi bengkarung di atas sampah kering, apalagi oleh bunyi langkah orang bersepatu.
Dukuh Paruk yang kini selalu menunduk bila menghadapi tatapan mata orang luar, Dukuh Paruk yang serba takut karena sudah tak secuil pun memiliki rasa percaya diri.
Buat kali pertama sejak tiga bulan berselang terlihat senyum pada wajah-wajah orang Dukuh Paruk. Kesejukan pertama telah menyentuh hati ketika mereka yakin Rasus tidak berubah. Dia tetap anak Dukuh Paruk. Dia masih mau menciumi anak-anak yang berbau anyir. Pandangan matanya sejuk dan sejati, tidak seperti pandangan orang-orang luar yang terasa amat menyiksa. Oh, sungguh tidak terbayangkan kehancuran yang harus dipikul oleh orang Dukuh Paruk apabila Rasus sama seperti semua orang; memandang Dukuh Paruk seakan tidak layak lagi menjadi warga kehidupan.
Namun senyum Dukuh Paruk belum bisa berkembang menjadi tawa riang. Semua sadar Rasus dalam keprihatinannya sendiri. Maka orang-orang Dukuh Paruk sudah puas bila Rasus menyapanya dengan ramah, memanggil mereka dengan sebutan paman, kakang, bibi atau lainnya. Kemudian mereka membiarkan Rasus kembali ke dekat tubuh neneknya yang sedang menunggu saat terakhir.
Menjelang tengah hari tinggal beberapa orang lelaki dan perempuan yang masih tinggal di rumah Nenek Rasus. Rasus duduk menemani Sakarya, Kartareja, dan Sakum, tetapi lebih sering duduk di tepi balai-balai menunggui neneknya. Dua perempuan sudah tertidur berimpitan di sebuah lincak. Kartareja memejamkan matanya sambil menyandar ke belakang. Sakum mendungkup sambil duduk. Hanya Sakarya yang masih jaga. Mereka kelihatan lusuh karena sudah beberapa malam menjaga N
enek Rasus. Pada akhirnya Sakarya pun lelap di kursinya.
Tiba-tiba cuping hidung Rasus bergerak-gerak. Dia mencium sesuatu; bukan bau kain gombal neneknya yang sering kali basah, bukan bau asap kemenyan tetapi sesuatu yang lain. Bau mayat. Rasus mencondongkan muka melihat wajah neneknya lebih dekat. Masih ada napas. Ya, dari embusan napas yang sangat pelan itu sudah tercium bau kematian. Kemudian Rasus menoleh kepada Sakarya. Tidur, semuanya tidur. Hening dan hampa merayap perlahan dan merangkul Rasus dari segala arah. Rasus merasa dirinya mengapung dalam kekosongan.
Bau mayat. Bau yang berasal dari proses perubahan jaringan organik yang terurai. Proses itu berjalan amat lambat dan sangat alami. Hayat Nenek Rasus ditakdirkan berakhir bukan karena kerusakan pada organ-organ tubuhnya, melainkan karena habisnya kemampuan kerja mekanisme sistem ragawinya. Seperti sebuah mesin yang akan mati karena kehabisan bahan bakar, perlepasan energi terakhirnya adalah gerakan-gerakan tersendat dan sporadik. Rasus melihat napas neneknya tiba-tiba menjadi cepat. Kedua matanya mendadak terbuka penuh, mulutnya ternganga. Secara keseluruhan wajah Nenek Rasus adalah gambar kengerian dan ketakutan yang amat sangat. Kemudian suatu gerakan yang berasal dari perut dengan cepat naik ke dada dan berhenti tiba-tiba di tenggorokan. Nenek Rasus seperti hendak terbatuk, namun yang terjadi hanyalah muntahan sedikit cairan. Itulah gerakan terakhir pada jasad yang sudah demikian lusuh. Tak tersisa tenaga sedikit pun buat menutupkan kelopak mata atau mengatupkan mulut. Hayat telah berjabat tangan dengan maut. Sebuah sosok keakuan telah larut sempurna dalam keberadaan semesta. Sebentuk unikum yang mewujud selama lebih dari tujuh puluh tahun di Dukuh Paruk telah lenyap dan kembali menjadi debu bagian universum. Rohnya kembali kepada Yang Mahaempunya. "Innalillahi wa inna ilaihi roji'un," gumam Rasus. Diusapnya wajah jasad neneknya agar
kelopak matanya tertutup. Diangkatnya rahang yang kini terpaut pada sepasang urat mati agar terkatup. Selimut kain diangkat schingga menutup seluruh jasad. Lalu Rasus berdiri termenung, bersedakap. Hening merangkulnya semakin erat. Dan mengapa Rasus baru merasakan kesadaran yang amat dalam" Sadar akan hubungan ajaib dan penuh rahasia antara jasad dirinya dengan jasad yang terbujur di hadapannya. Satu mata rantai yang membentuk garis keturunan telah sirna dan mata rantai berikut adalah diri Rasus sendiri. Denyut jantung seorang nenek telah berhenti, tetapi denyut keturunan yang menjalin kehidupan terus berlanjut. Rasus amat sadar denyut itu kini makin terasa dalam dadanya. Keharuan terusik dan air mata Rasus meleleh.
Episode 5 Waktu satu atau dua menit yang telah membawa Rasus ke tepi kesadaran keakuannya terasa demikian lama. Ketika telinganya menangkap suara burung celepuk Rasus merasa telah kembali ke alam keseharian. Sunyi. Di depannya mayat Nenek yang tertutup kain dari kaki hingga ke kepala. Di belakangnya dua orang perempuan tua tidur berimpitan dalam satu lincak. Di sana Sakarya, Kartareja, dan Sakum terlena di tempat duduk masing-masing. Ada kunang-kunang masuk, terbang sekeliling ruang. Ada keresek tikus busuk di samping rumah. Burung celepuk kembali mengumandangkan suaranya. Sakarya terjaga, mengusap waiah dengan kedua telapak tangan, lalu ditatapnya Rasus yang sedang berdiri khusyuk. Dahi Sakarya berkerut karena hatinya menangkap makna suasana.
"Bagaimana"" tanya Sakarya sambil bangkit.
"Ya, Kek. Nenek sudah bagus. Baru saja," jawab Rasus tenang.
"Oh, sampean tidak membangunkan aku""
"Kejadiannya amat cepat, Kek. Sudahlah. Nenek sudah bagus."
Sakarya menunduk dan pundaknya jatuh. Perlahan-lahan dia mendekat ke balai-balai. Khidmat, dibukanya kain penutup hingga tampak wajah mendiang Nenek Rasus. Buat kesekian kali Sakarya menatap citra kematian pada wajah tanpa hayat dan tanpa roh. Sama-sama tanpa roh, namun monumen yang terbuat dari jaringan organik memang tidak sama dengan tubuh yang sedang tidur. Mayat adalah visualisasi proses terlepasnya nama dari kedirian, bahkan proses runtuhnya sebentuk fungsi keberadaan.
Dan Sakarya hanya bisa menghayati kematian dalam sebuah kidung yang selalu ditembangkan bila ada warga Dukuh Paruk meninggal.
Wenang sami ngawruhana pati. Wong ngagesang tan wurung palastra. Yen mati ngendi parane. Saengga manuk mabur, mesat saking kurunganeki. Ngendi parane benjing, aja nganti kliru. Upama wong aneng dunya, asesanjan mangsa wurunga yen mulih. Maring nagri kamulyan.
Rasus belum pernah memikirkan secara sungguh-sungguh ajaran yang terkandung dalam kidung itu. Namun setidaknya Rasus bisa menangkap adanya wawasan yang masih sumir rentang hakikat kematian. Ada kalimat dalam kidung itu yang mengatakan, manusia hidup, tak urung bakal tiada, dan bahwa akhir perjalanan setiap manusia adalah nagri kamulyan, rahmat Ilahi. Entah sistem nilai mana yang dijadikan
referensi oleh Sakarya buat menghayati kandungan kidungnya. Anehnya Rasus merasa sumber referensi yang digunakan oleh Sakarya sesungguhnya adalah sistem nilai yang kini benar-benar dianutnya. Sistem nilai itu punya diktum tentang kematian; sesungguhnya dari Tuhanlah asal segala sesuatu dan kepada Tuhan jua semuanya bakal kembali.
Keesokan hari ketika setiap renik embun larut kembali dalam udara, semua warga Dukuh Paruk berjalan mengiring jasad Nenek Rasus ke makamnya. Tak seorang pun tertinggal, semua berada dalam barisan panjang mengikuti lorong yang naik ke bukit pekuburan Dukuh Paruk. Mereka adalah semut yang beriringan dalam diam. Kematian Nerick kasus adalah dukacita pertama sesudah mala petaka kobaran api yang membakar Dukuh Paruk empat bulan sebelumnya; kematian yang makin mempererat ikatan puak. Dalam kehancuran martabat yang luar biasa Dukuh Paruk hanya bisa melakukan upaya amat pasif dan primitif untuk mempertahankan keberadaannya sebagai warga kehidupan. Dan orang yang tidak mengerti akan kehancuran jiwa Dukuh Paruk boleh jadi mengatakan bahwa iring-iringan yang sedang menaiki bukit pekuburan Dukuh Paruk itu adalah barisan orang yang sedih karena kematian seorang kerabatnya. Orang yang tidak tahu nestapa Dukuh Paruk tidak bisa mengerti bahwa mereka yang sedang mengiring mayat adalah orang-orang yang membawa keprihatinan mendalam dan hanya bisa dihibur dengan cara memperkokoh buhul kesetiaan dasar, membuktikan kebersamaan dalam nestapa dan dukacita. Kematian Nenek Rasus adalah kesempatan pertama buat menggambarkan tangis Dukuh Paruk, tangis yang tak mungkin cukup diwakilkan kepada sedu-sedan dan air mata.
Selesai pemakaman orang-orang menuruni bukit pekuburan, masih dalam kebisuan. Hanya Rasus dan Sakarya yang masih tinggal. Keduanya masih jongkok menghadapi gundukan tanah yang menimbun jasad Nenek Rasus. Sepi sekaii sehingga terdengar jelas suara burung-burung, suara butir buah beringin yang jatuh menimpa daun, dan suara kumbang yang terbang- hinggap pada bunga kamboja. Rasus meremas tanah yang renyah dan Sakarya seperti sedang menanti kesempatan buat mengatakan sesuatu.
"Nenek sampean ini beberapa tahun lebih muda daripadaku," kata Sakarya akhirnya.
"Jadi aku yang lebih tua. Maka aku merasa umurku juga akan berakhir tidak lama lagi." Rasus mengangkat muka.
"Cucuku, aku juga sama dengan nenekmu yang ingin ditunggui cucu ketika ajal tiba. Tetapi aku tidak yakin apakah Srintil bisa pulang manakala aku mati. Inilah beban berat yang selalu kupikirkan siang dan malam. Apakah sampean bisa menolongku, Cucuku Wong Bagus""
Rasus tergagap. Ditatapnya wajah Sakarya lalu menunduk lagi. "Menolong bagaimana, Kek""
"Yah, sesungguhnya berat aku mengatakannya. Aku ingin minta bantuanmu mengusahakan Srintil cepat kembali. Ah, tidak. Aku mengerti itu tidak mungkin. Tetapi setidaknya, maukah sampean mencari tahu di manakah Srintil kini berada" Oh, cucuku. Betapa aku ingin tahu keadaan Srintil. Apabila dia masih hidup maka di mana
dan bagaimana keadaannya sekarang. Apabila dia sudah meninggal maka di manakah kuburnya."
Urat tenggorokan Rasus terasa mengerut. Keperihan Dukuh Paruk memang disebabkan oleh dua luka, kedua-duanya ikut terasakan sepenuhnya oleh Rasus. Luka pertama adalah rudapaksa hebat yang telah membakar Dukuh Paruk hampir habis dan kenisbian sejarah yang
memandang Dukuh Paruk adalah sisi aib kehidupan. Luka kedua adalah kenyataan Srintil belum kembali. Srintil yang memanggul sekian banyak simbol Dukuh Paruk masih terbenam dalam ketidakpastian. Dan ketidakpastian Srintil tidak bisa lain kecuali dirasakan oleh puaknya sebagai ketidakpastian Dukuh Paruk sendiri. Rasus sadar sepenuhnya bahwa ketidakpastian lebih mengerikan daripada mala petaka tempe bongkrek yang telah beberapa kali menimpa Dukuh Paruk, atau lebih mengerikan daripada kobaran api besar yang telah menghanguskan Dukuh Paruk empat bulan berselang. Tenggorokan Rasus mengerut lagi.
"Bagaimana, Cucuku""
"Oh, ya. Akan kuusahakan sebisa-bisanya. Tetapi tak ada jaminan usahaku mencari keterangan di mana Srintil berada akan berhasil. Kakek tahu, keadaan masih sangat genting."
Sakarya mengosongkan parunya dalam desah panjang. Ada percik kegembiraan pada wajahnya.
"Ya, asal sampean mau berusaha sudah cukup membuatku merasa besar hati. Lalu ada lagi yang ingin kusampaikan padamu."
Episode 7 Srintil hampir kehabisan napas. Ketika langkah pertamanya menginjak tanah Dukuh Paruk ambruklah dia. Tas kecil yang berisi pakaian satu atau dua lembar, terlempar ke samping. Srintil tertelungkup mencium tanah. Jeritnya serta-merta menghentikan semua gerakan anak-anak yang sedang berkeliaran. Mereka terpaku memandang seorang perempuan yang sedang berusaha merangkul tanah sambil menangis. Sekejap kemudian muncul beberapa orang lelaki dan perempuan. Nyai Sakarya yang paling pertama sadar akan apa yang dilihatnya. Dia berlari kemudian menubruk Srintil yang masih terkulai di tanah.
"Oalah, Gusti Pengeran! Gusti, Gusti. Srintil pulang. Srintil, Cucuku Wong Ayu! Engkau masih hidup" Eman, eman, Cucuku. Engkau masih hidup""
Srintil yang lunglai digeluti oteh tiga orang perempuan sambil menangis. Dia kemudian dipapah karena tak mampu lagi berjalan sendiri. Namun Srintil kembali menjerit ketika dari balik genangan air matanya dia melihat Dukuh Paruk sudah sangat berubah. Dan tangisnya makin menjadi-jadi manakala Srintil membenamkan wajahnya ke pangkuan neneknya, Nyai Sakarya.
Dukuh Paruk kembali menjatuhkan pundak-pundak yang berat, kembali bersimbah air mata. Srintil sudah kembali setelah sekian tahun menjadi sumber ketidakpastian yang memanggang semua orang Dukuh Paruk. Srintil sudah kembali. Sebuah jimat telah
berada kembali ke pangkuan ibunya. Dukuh Paruk lega. Dan sekaligus berduka karena kepulangan Srintil tidak bisa tidak telah membuka kembali nestapa lama ketika ujung pedang menuding Dukuh Paruk bersangkut-paut dengan penyebab mala petaka 1965. Nestapa apa namanya ketika Dukuh Paruk merasa seakan tidak boleh lagi ikut merasa memiliki matahari, bumi, dan langit" Nestapa apa namanya ketika Dukuh Paruk merasa segala cicak dan tokek ikut mencibir dan menertawakannya" Dan nestapa apa namanya ketika Dukuh Paruk hanya merasa sebagai tinja kehidupan" Tinja yang harus ada pada diri orang paling bermartabat sekalipun, namun tinja sendiri jauh dari segala martabat.
Semua warga puak berkumpul di rumah Sakarya. Semua ingin melihat dan meyakinkan diri dengan pasti bahwa kerabat yang paling mereka hargakan sudah datang dari antah-berantah. Namun tumpahan segala perasaan hanyalah kebisuan. Dan sedu-sedan perempuan, kebingungan anak-anak. Selebihnya, diam. Hanya Sakarya yang berjalan berputar-putar sambil menggendong tangan. Baginya kepulangan Srintil mempunyai nilai khas; kekhawatirannya akan mati tanpa ditunggui oleh seorang cucu kesayangan kini lenyap.
Srintil duduk rapat dengan tubuh neneknya. Dengan mata sembab dipandangnya seluruh kerabat seorang demi seorang. Ketika melihat Goder berdiri bergayutan pada tangan Tampi, wajah Stintil berubah. Matanya bersinar, mata seorang ibu sejati yang telah sekian lama terpaksa berpisah dengan anaknya dan kini keduanya berhadap-hadapan. Tetapi Goder tak mampu membaca makna sinar mata seorang yang sudah lama tidak dilihatnya. Goder menyembunyikan diri di balik tubuh Tampi. Bahkan dia menangis keras-keras ketika Srintil membopongnya, mendekapnya kuat-kuat dan menciuminya. Beberapa orang perempuan menundukkan kep
ala, tidak tega melihat kerinduan Srintil ditampik oleh Goder.
Sejak hari pertama kemunculan Srintil di tengah kaum kerabat Dukuh Paruk, banyak orang ingin tahu pengalamannya selama dua tahun lebih dia lenyap dari tengah pergaulan umum. Tidak sedikit orang yang ingin mengerti pengalaman Srintil dari hari ke hari, bahkan dari jam ke jam atau dari detik ke detik. Orang ingin tahu barangkali ada sesuatu yang luar biasa dalam pengalaman Srintil itu. Hasrat yang tidak aneh karena pada setiap diri terkandung kadar kecenderungan menyukai hal-hal sensasi. Atau demi tujuan yang lebih nyata, keobyektifan sebuah biografi misalnya, orang menginginkan catatan lengkap dan jujur tentang pengalaman Srintil.
Kemudian, mungkinkah kiranya seorang penyusun riwayat hidup yang paling unggul sekalipun mampu menyelesaikan pekerjaannya bila yang harus dia susun adalah biografi Srintil" Karena pertama, tak seorang pun bersedia memberi keterangan di mana dan bagaimana Srintil selama masa dua tahun lebih itu. Kedua, Srintil sudah mengunci dirinya pada satu tekad bulat bahwa dia tidak akan berkata apa pun dan kepada siapa pun tentang pengalamannya. Ketiga, sebenarnya orang bisa berharap pada suatu ketika kelak Srintil menerbitkan sebuah memoar. Namun harapan ini pasti sia-sia karena Srintil sama sekali buta huruf.
Maka orang akhirnya harus percaya akan keperkasaan sang waktu, akan kecanggihan isi perutnya yang mampu menyimpan segala rahasia sejarah. Tetapi akan ada orang mengatakan, menyerah kepada kunci waktu adalah kelemahan dan keputusasaan yang harus dibuang jauh. Orang-orang semacam ini tetap tidak puas apabila rekaman
sejarah Srintil sepanjang dua tahun terhapus percuma dan hanya direlakan menjadi bagian rahasia sejarah. Sejarah adalah sejarah. Kedudukan sejarah sebagai guru kehidupan tak mungkin disingkirkan. Kedewasaan dan kearifan hidup bisa dibina, baik dengan sejarah tentang kepahlawanan dan budi luhur maupun dengan sejarah tentang pengkhianatan dan kebejatan manusia.
Atau sejarah sesungguhnya tak pernah berhenti membuat catatan. Apabila sejarah tidak membuat catatan dalam prasasti atau lembaran kertas maka dia membuatnya di tempat lain. Tentang riwayat hidup seorang manusia misalnya, maka sejarah pertama-tama mencatatnya pada kepribadian si manusia itu sendiri. Pengalaman-pengalaman yang lembut dan santai mungkin tidak tercatat dalam garis-garis kehidupan secara nyata. Namun pengalaman-pengalaman yang keras dan getir tentu akan tergores dalam-dalam pada jiwa, pada sikap dan perilaku, dan tak mustahil akan mengubah sama sekali kepribadian seseorang.
Misalnya, mengapa Srintil segera lari kocar-kacir sesaat dia diturunkan dari sebuah jip di mulut pematang pamang yang menuju Dukuh Paruk. Tanpa sekali pun menoleh ke belakang Srintil terus berlari seperti pipit dikejar alap-alap, jatuh-bangun, jatuh dan bangun lagi. Dan Srintil ambruk tertiarap ketika kakinya menginjak kembali bumi Dukuh Paruk.
Dan mengapa Srintil pada hari-hari pertama kepulangannya hanya bisa diam dan diam. Mengapa pula Srintil kelihatan amat lelah dan wajahnya kelihatan jauh lebih tua dari usianya yang baru dua puluh tiga tahun. Demikian. Namun pada pekan kedua Srintil kelihatan keluar rumah. Masih lesu. Jalannya lambat dan selalu menatap bumi. Srintil bergerak ke arah rumah Tampi. Sesudah perasaannya mengendap tiba-tiba berkecamuk rasa rindu kepada Goder. Tidak sekali pun Srintil pernah berpikir bahwa Goder bukan anaknya meski bocah yang sudah berusia empat tahun itu lahir dari rahim Tampi.
Tetapi Goder sudah pangling akan Srintil. Dia menyuruk ke selangkangan Tampi ketika Srintil hendak menyentuh badannya. Srintil tidak berputus asa, terus merayu dan mengajuk. Dan Goder tetap menghindar. Akhirnya Srintil bangkit mengusap air mata. "Tampi, apakah kamu mengajari Goder membenciku"" kata Srintil sambil mengisak
Episode 8 "Oalah, Jenganten. Tidak, sekali-kali tidak," ujar Tampi dengan rasa pekewuh yang sangat.
Dan Srintil terus menangis, menutup muka dengan kedua tangannya. Isaknya tertahan-tahan. Adalah Srintil sendiri atau boleh jadi orang-orang seperti dia yang merasakan
betapa nelangsa manakala uluran tangan dan kasih sayangnya ditampik oleh seorang bocah. Kelakuan Goder membuat Srintil amat mudah bertanya, "Betulkah aku telah menjadi orang yang demikian tak berharga hingga seorang bocah pun tak mau menerima uluran tanganku""
"Mak, kenapa dia menangis, Mak"" kata Goder tiba-tiba. "Karena kamu nakal. Kamu tak mau dibopongnya," jawab Tampi.
"Siapa dia, Mak""
"Oalah, Anakku! Dia juga emakmu. Emakmu ada dua, aku dan dia."
Mata Goder membulat. Bening dan tanpa berkedip ditatapnya Srintil yang masih menangis.
"Betul dia emakku juga""
"Betul." "Mengapa tidak pernah datang kemari"" "Dia baru pulang dari bepergian."
"Jauh"" "Jauh sekali." "Sekarang dia membawa oleh-oleh""
"Oh, aku lupa, Nak," ujar Srintil. Suaranya parau. "Tetapi aku punya uang. Engkau ingin apa, Nak""
Goder kelihatan ragu. Sekali lagi matanya yang bening menatap Srintil. Dua pasang mata, satu bening dan satu letih serta kuyu saling tatap mencari makna. Dengan kebeningannya mata Goder menangkap kesejatian, satu hal yang amat peka dalam jiwa seorang bocah. Atau karena tetes-tetes air susu yang pernah dicecap Goder dari dada perempuan di hadapannya maka tali jiwa antara keduanya segera tersambung kembali. Batas keterasingan terkikis sedikit demi sedikit sampai akhirnya Goder tidak merasa ada kejanggalan lagi bahwa perempuan yang baru pulang dari jauh adalah emaknya juga.
Sementara Srintil melihat dalam kedua bola mata Goder sebuah dunia yang putih-bersih, jauh lebih putih dan bersih daripada dunianya sendiri, dunia orang dewasa di mana dia mewujud. Srintil merasa telah menempuh perjalanan hidup yang amat meletihkan jiwa dan raganya dan buntu pada sebuah tanda tanya besar. Srintil ingin mengundurkan diri dari kenyataan, dan mata Goder itu. Ada dunia jernih dan teduh di sana. Dengan penuh kecewa dan rasa iri Srintil mengakui dunia yang kelihatan pada mata Goder bukan miliknya. Namun bukankah tiada alangan baginya numpang berteduh barang sejenak, numpang mengaso dari keletihan yang amat sangat" Tiada alangan, karena mata Goder akhirnya bersinar memancarkan keramahan. Pintu dunianya terbuka bagi seorang perempuan yang pernah menyusuinya dan kini amat mendambakan tempat secuil buat bernaung.
"Kamu minta apa, Nak"" ulang Srintil sambil tersenyum, senyum yang pertama sejak kepulangannya dari keterasingan. Didekatinya Goder, kemudian Srintil jongkok hingga wajahnya sangat dekat dengan wajah bocah itu.
"Aku ingin anu. Apa ya, Mak"" Goder menoleh kepada Tampi.
"Nah, terserah. Kamu mau apa""
"Aku ingin ondol-ondol."
"Hanya itu" Bagaimana dengan gembus""
"Ya, gembus juga. Apa uangmu banyak""
"Banyak," jawab Srintil pasti.
"Kalau begitu aku ingin beli balon."
"Baik, Nak. Sekarang mari kita pulang. Uangku di rumah."
Srintil mengembangkan kedua tangannya. Dua atau tiga detik Srintil merasa benar-benar hidup kembali ketika dia melihat Goder bangkir dan berlari ke dalam pelukannya. Oh, betapa sejuk rasanya; sebuah dunia kecil namun pernah makna kemanusiaan. Dan dunia kecil itu sungguh berada dalam rangkulan Srintil. Dipeluk, dibopong kemudian dibawa pulang dalam langkah-langkah yang mantap. Ketika Srintil melintas ada bunga waru lepas dari tangkai, menggulir jatuh tanpa bunyi. Serba kuning, kecuali pangkal kelopaknya yang merah tua. Ada ayam betina mengiring anak-anaknya, ada celeret melesat dari pohon ke pohon. Dan Srintil terus berjalan. Goder lekat di dadanya.
Seorang yang sedang hanyut dalam gelombang badai dan terapung-apung dalam situasi yang tidak dapat dikenalinya, telah berhasil meraih sehelai papan buat sekadar mengapung. Srintil sudah berhasil meraih harapan bahwa dirinya akan bisa bertahan dari tarikan kenisbian zaman yang akan membuatnya menjadi kerak kehidupan. Hari-hari dalam dunia seorang bocah berusia empat tahun adalah saat pertama buat Srintil menikmati ceria kecambah manusia. Srintil menjual sebuah gelang emas buat keperluan sehari-hari dan buat Goder. Banyak orang bertanya, mengapa Srintil sangat memanjakan anak Tampi itu. Dan Srintil tidak peduli. Sebaliknya Srintil bertanya dalam hati, mengapa orang-orang tidak tahu bahwa di
rinya harus rela kehilangan apa saja demi tempat berteduh yang amat dia dambakan. Dan mengapa orang-orang tidak tahu bahwa tempat yang teduh itu hanya bisa dia temui pada cahaya mata seorang anak yang tertawa riang. Hanya tawa riang Goder yang mampu membuat Srintil lupa akan penggal sejarah amat getir yang baru dilaluinya.
Berita kepulangan Srintil sudah merambat sampai ke pasar Dawuan melalui celoteh Nyai Kartareja. Orang-orang di pasar itu kemudian melihat buktinya ketika suatu pagi Srintil muncul di sana sambil membopong Goder. Seperti sedang menghadapi sesuatu yang luar biasa orang-orang pasar menyambut kedatangan Srintil dengan perhatian penuh. Tetapi mereka diam. Pertingkahan zaman kala itu memberi norma baru; penampilan yang antusias ketika berhadapan dengan seorang yang baru pulang dari keterasingan adalah tidak sesuai dengan selera suasana. Dan Srintil-lah yang peka terhadap selera suasana di sekitarnya. Maka dia sesungguhnya tidak sekali-kali hendak masuk ke pasar Dawuan bila bukan karena Goder merajuk minta jajan. Bahkan Srintil
tidak sekali-kali hendak keluar dari Dukuh Paruk kalau bukan kewajiban melapor ke Dawuan sekali seminggu.
Lalu mengapa tak ada orang yang cukup awas terhadap bibir Srintil yang bergetar, tungkai yang bergetar, ketika dia berada di tengah pasar" Mungkin pula tak ada orang mengerti bahwa Srintil merasa tatapan mata orang-orang sekelilingnya seperti serpih bambu yang menusuk jantungnya. Dan apakah Babah Gemuk itu bisa merasakan nestapa dalam jiwa Srintil ketika dia membuka seloroh"
"E, kamu longgeng Dukuh Paluk, bukan" E, kamu lama sekali tidak kelihatan. Kamu tetap cantik. Na, aku ada banyak balang bagus. Mau tas, sandal atau hailnet""
"Tidak, Bah. Terimakasih," jawab Srintil sedingin keringat di kuduknya.
Episode 9 "Na, kamu tidak pupulan, ya! Haya, olang cantik tidak pupulan. Nanti cantikya ilang. Na, aku ada pupul olang Hong Kong punya. Ada gincu olang Jepang punya. Haya. Mulah-mulah. Nanti aku mau tidul di Dukuh Paluk. He-he-he."
Babah Gemuk bergerak hendak menggamit pundak Srintil. Namun tidak jadi karena dia melihat Srintil mendadak berdiri menjadi patung. Matanya menatap dingin, kemudian berlalu menuju arah yang dituntut Goder.
Orang-orang pasar, terutama para perempuan, memperhatikan perubahan pada penampilan Srintil. Sanggulnya rendah, sanggul perempuan kebanyakan, sehingga tengkuknya tersembunyi. Dulu Srintil selalu menyanggul rambutnya tinggi-tinggi sehingga tengkuknya, salah satu hiasan kecantikannya, seakan ditawarkan kepada siapa saja yang melihatnya. Kebayanya menutup jauh di bawah pinggul dan kainnya kombor gaya perempuan petani. Tidak ketat dan ketika melangkah betis Srintil tetap tersembunyi di balik kainnya. Dan perubahan yang paling mengesankan orang-orang pasar Dawuan adalah perilaku Srintil. Matanya selalu menghindar dari tatapan orang yang melihatnya. Wajahnya kaku, sungguh-sungguh tanpa senyum.
Srintil berada dalam pasar Dawuan hanya sepanjang waktu yang diperlukan untuk membeli jajanan buat Goder. Sekian pasang mata terus mengikutinya ketika Srintil berjalan meninggalkan pasar. Seorang perempuan penjual sirih mendesah, seakan ada beban berat di hatinya.
"Tadi, aku ingin memberi dia sirih dan pinang," kata penjual sirih tadi kepada perempuan lain di sebelihnya, "kulihat bibir Srintil sangat pucat. Sehelai daun sirih akan membuat bibirnya semringah, dan itu pantas baginya."
"Lho. Lalu mengapa sampean tidak melakukannya""
"Entahlah, Mbakyu. Padahal dulu aku selalu melakukannya bila Srintil datang ke sini. Sekarang aku jadi takut salah."
"Bila itu alasan sampean, aku pun sama. Sebenarnya aku ingin juga bertanya sekadar tentang keselamatannya. Tetapi ya itu, entah mengapa aku tidak berani. Bibirku terasa berat. Ah, entahlah."
"Dan, Mbakyu. Kita lihat orang-orang lelaki juga tak ada yang bersuara kecuali Babah Gemuk. Mereka tidak seperti biasa, banyak seloroh dan celoteh bila Srintil datang. Kok jadi begini, ya""
"Anu, jadi sampean merasa kasihan kepada Srintil""
Yang ditanya mengerutkan kening. Jawaban yang kemudian diucapkannya adalah suara lirih dan tertahan di ro
ngga mulut. "Bagaimana ya, Mbakyu" Apa tidak salah bila kita merasa kasihan kepada orang seperti
Srintil"" "Wah, aku tidak tahu. Ya, barangkali begini. Bagi perempuan yang suaminya pernah menggendak Srintil maka masalahnya menjadi bersahaja; perempuan semacam itu pasti merasa tidak perlu bersikap kasihan terhadap Srintil. Itu layak. Lalu... Ah, sudahlah."
Tiba-tiba kedua perempuan itu menjadi sibuk dengan dagangan masing-masing. Mantri pasar lewat mengedarkan karcis kontribusi. Perempuan pedagang sirih buru-buru membuka kocek, lalu menyerahkan sehelai uang kepada mantri dan menerima karcis berwarna kuning. Pasar Dawuan kembali sibuk. Tetapi orang-orang di sana mencatat pagi itu telah datang seseorang yang dulu selalu membawa suasana bergairah dan kini muncul kembali dengan kecompang-campingan jiwa yang tergambar jelas dari segala perilakunya. Demikian compang-camping citra diri Srintil sehingga orang pasar Dawuan atau siapa saja tidak mampu mengambil sikap yang jujur dan wajar terhadap dia yang baru pulang dari keterasingan itu.
Dukuh Paruk pada tahun 1969 adalah Dukuh Paruk yang tetap miskin dan bodoh. Dan Dukuh Paruk tiga tahun sesudah dilanda kobaran api adalah tempat terpencil yang kehilangan banyak ciri utamanya. Tak ada lagi suara calung dan tembang ronggeng. Makam Ki Secamenggala yang secara turun-temurun menjadi anutan kehidupan batin orang Dukuh Paruk kelihatan tak terawat. Suara calung, tembang ronggeng serta pemujaan terhadap makam Ki Secamenggala adatah urusan-urusan yang sedang tidak cocok dengan selera kenisbian sejarah. Dukuh Paruk hanya diam menerima perlakuan sejarah. Dan boleh jadi hanya Sakarya yang diam-diam berani mengunjungi cungkup makam di puncak bukit pekuburan Dukuh Paruk itu.
Tetapi Sakarya telah merasakan kekalahan hidup yang pasti. Dia merasa peran hidupnya sudah mandul, tanpa arti. Apalah arti perwujudannya apabila Dukuh Paruk tidak lagi memukul calung, tidak lagi menyanyikan lagu-lagu ronggeng karena kedua-duanya akan mengungkit kebencian terhadap Dukuh Paruk. Kedua-duanya tidak sesuai dengan tuntutan kehidupan yang sedang menghendaki Dukuh Paruk mengaku bersalah karena dianggap ikut berperan dalam keonaran sejarah. Sebagai pihak yang dianggap
mempunyai kesalahan historis yang tidak kepalang maka Dukuh Paruk tidak boleh tertawa. Dukuh Paruk mesti diam dan merunduk.
Dukuh Paruk tak lagi memerlukan seorang kamitua dalam arti yang sudah mentradisi, demikian pikir Sakarya setiap kali dia termenung di bawah beringin dekat cungkup makam Ki Secamenggala. Makin sering termenung makin kuat keyakinan demikian. Dan tanpa terasa keyakinan itu menggerogoti semangat hidupnya. Suatu hari Sakarya meletakkan sebuah batu di samping cungkup. Kemudian kepada Kartareja dikatakan bahwa di bawah batu itulah nanti dia harus dikubur. Sakarya telah mengundang sugesti bagi kematiannya sendiri. Maut menjemputnya tidak lama kemudian. Sakarya meninggal dalam kekalahan. Dan hanya satu hal yang mungkin dapat membesarkan hati orang tua itu, yakni kenyataan Srintil berada di dekatnya ketika dia meregang nyawa.
Kematian Sakarya membuat Dukuh Paruk makin lusuh dan ringkih. Dan Srintil kehilangan payung yang meski telah cabik-cabik tetapi dialah satu-satunya tempat bernaung. Dalam ketiadaan tempat bernaung itu maka kehadiran Goder dalam hidup Srintil menjadi jauh lebih bermakna. Karena Goder menawarkan dunia lain, dunia anak-anak yang teduh dan sejati; jernih, tanpa pamrih, tanpa keserakahan nafsu dan berahi. Dalam mata Goder Srintil tak melihat sedikit pun sisa keonaran sejarah 1965, tak ada tuduhan atau tuntutan apa pun yang ditujukan kepadanya. Goder tidak pernah menghina Srintil dengan lirikan mata atau cibiran bibir. Bagi Srintil, Goder adalah dunia yang mau menerimanya secara utuh dan jujur, maka Srintil amat kerasan tinggal di sana.
Lihatlah Srintil yang mulai tertawa karena melihat Goder gagal menangkap capung, dan wajah Srintil yang berseri-seri karena melihat Goder berani menghadapi ayam betina yang galak. Jiwa yang sudah mampu tersenyum dan tertawa adalah jiwa yang mulai menangkap makna kebetahan hidup. Lambat-laun
Srintil mulai menangkap kembali bobot kehidupan yang bisa menjadi benih nilai-diri. Lima atau enam bulan sejak kepulangannya dari keterasingan mata Srintil mulai hidup, kulitnya mulai hidup, dan wajahnya mulai hidup. Satu demi satu kepahitan pengalaman sejarahnya terdesak ke alam bawah sadar. Dan meski kegetiran itu tetap menjadi cacat potensial, namun ternyata citra kesegaran raganya mulai bangkit seperti kerakap terkena hujan.
Episode 10 Usianya hampir genap dua puluh tiga tahun. Watak alam terlalu perkasa sehingga betapapun hebat tragedi yang baru dialami Srintil, citra kemudaannya masih banyak tersisa. Lalu mengapa ada satu sisi dalam kehidupan ini yang tidak peduli terhadap nestapa seseorang" Bahkan mengapa Srintil sendiri tidak merasa, kesegaran dirinya sedang dinanti seseorang.
Suatu pagi Nyai Kartareja berangkat meninggalkan Dukuh Paruk dengan tujuan yang hanya dia sendiri tahu. Di pasar Dawuan Nyai Kartareja naik andong yang akan berangkat ke Wanakeling. Ketika matahari tergelincir, Nyai Kartareja sampai di rumah yang dituju. Tuan rumah baru pulang dari tempat kerja dan sedang berbicara dengan anak gadisnya. Melihat kedatangan Nyai Kartareja, laki-laki setengah baya itu menyuruh anak gadisnya menyingkir.
"Oh, orang Dukuh Paruk," sambut Marsusi dengan wajah gembira. "Mari masuk."
"Terima kasih. Ah, sampean sudah kelihatan senang begitu. Belum tentu aku membawa kabar baik, bukan""
"Kalau bukan kabar baik, mengapa jauh-jauh sampean datang kemari"" "Wah, aku mengaku kalah."
"Begitulah seharusnya. Nah, sekarang katakan. Tetapi lirih saja."
"Apa yang harus kukatakan bila sampean sudah mengerti arti kedatanganku""
"Jadi Srintil sudah kelihatan seperti biasa," ujar Marsusi entah untuk siapa.
"Masalahnya kukira, tinggal kapan sampean pergi ke sana."
"Ke sana" Apakah sampean mengira aku akan pergi ke Dukuh Paruk""
"Apa salahnya, Pak. Sekarang sampean sudah jadi duda. Kukira tidak aneh, seorang duda pergi menemui seorang perempuan yang masih hidup sendiri."
"Ya. Tetapi zaman apakah sekarang ini" Tidak, Nyai. Aku ingin bertemu Srintil di luar Dukuh Paruk. Dan kuminta Nyailah yang mengaturnya. Terserah di mana, asal tidak di Dukuh Paruk."
"Wah, berat. Berat, Pak."
"Tetapi aku percaya sampean bisa. Dan lihat di sana, Nyai."
Marsusi menunjuk ke halaman. Ada sepeda motor, bukan sebuah Harley Davidson sisa zaman perang, melainkan sebuah Vespa baru.
"Katakan kepada Srintil, bila dia mau motor itu akan menjadi miliknya. Dan aku tidak main-main."
Nyai Kartareja mengerutkan kening, kagum mendengar ucapan Marsusi. Pantas, sejak mendengar kepulangan Srintil laki-laki dari perkebunan Wanakeling ini secara teratur meminta keterangan tentang keadaan Srintil, pikir Nyai Kartareja.
"Pak Marsusi, sampean sendiri sudah berkata zaman apakah sekarang ini. Aku tidak bisa sebebas dulu lagi. Aku merasa tidak sanggup membawa Srintil keluar dari Dukuh Paruk."
"Lho! Jadi dari jauh datang kemari sampean hanya ingin melapor bahwa Srintil sudah bisa tertawa dan badannya sudah segar kembali""
"Oh, tidak hanya itu. Aku juga akan berusaha membujuk Srintil agar dia mau menuruti kemauan sampean. Pokoknya aku bersedia membantu apa saja asal bukan membawa Srintil ke luar Dukuh Paruk. Aku tidak sanggup."
"Tetapi aku tak mungkin pergi ke dukuhmu, Nyai. Tak mungkin."
"Ah, ya. Aku ingat. Tiap-tiap tanggal satu dan tanggal lima belas Srintil pergi lapor-diri ke Dawuan. Kukira itulah satu-satunya kesempatan bagi sampean menjumpai Srintil di luar Dukuh Paruk. Bagaimana""
Marsusi tidak menjawab. Namun dari wajahnya terlihat pertanda bahwa kebuntuan di hatinya mulai mencair. Dan tangannya kelihatan ringan saja ketika dia memberikan sejumlah uang kepada Nyai Kartareja yang kemudian minta diri.
Ketika terjadi kebakaran besar di Dukuh Paruk banyak pepohonan terjerang kobaran api, lalu meranggas dan mati. Ada sebatang pohon pinang di belakang rumah Srintil yang mampu bertahan hidup setelah merana beberapa bulan lamanya. Pelepah-pelepah yang merah terbakar sudah luruh diganti dengan pelepah baru yang hijau dan segar. Kelopak baru merekah menumpahkan mayang seperti pamor
putih terurai. Mayang yang lebih tua telah berubah menjadi tandan yang runduk penuh buah pinang. Dari balik kelebatan tandan pinang itu terdengar keresek dua burung kecil yang sedang membangun sarang. Lembar demi lembar daun ilalang yang dicuri dari atap gubuk orang Dukuh Paruk disusun menjadi sebuah dunia kecil yang bersembunyi di ketinggian pohon pinang.
Kesibukan sepasang burung kecil itu kadang diselingi oleh sedikit heboh di antara keduanya. Mereka berkejaran dan kawin. Kadang keduanya terbang jauh melintasi sawah amat luas yang mengelilingi Dukuh Paruk buat mencari biji padi-padian. Pulang kembali dengan tembolok penuh tenaga untuk melanjutkan kegiatan mereka hingga datang mambang petang.
Tingkah sepasang burung kecil itu sudah beberapa hari menjadi perhatian Srintil. Sambil mengawal Goder bermain Srintil terlalu sering menatap ke atas pohon pinang, memperhatikan sebuah dunia kecil yang damai dan berdaulat; dunia tanpa pengalaman pahit, tanpa ketakutan dan kekhawatiran. Oh, tidak. Sore itu Srintil melihat seekor burung gagak hinggap di atas pohon pinangnya. Burung yang hitam dan besar itu mengobrak-abrik sarang burung kecil karena ingin menjarah telur atau anaknya. Si burung kecil menghindar dan hanya bisa melihat dari jauh dunianya dihancurleburkan. Srintil tergagap dan bangkit hendak menyusul Goder. Tetapi di sampingnya telah berdiri Nyai Kartareja.
"E, lha. Ada apa, Jenganten" Kok terkejut""
"Ah, anu. Tidak ada apa-apa, Nyai. Aku mau menyusul Goder."
"Dia sedang asyik bermain baling-baling. Biarlah dia. Aku ingin bicara. Penting."-
Srintil menatap Nyai Kartareja dengan mata membulat. Rasa was-was tergambar jelas di wajahnya.
"Penting""
"Ya. Penting." "Tetapi tanggal satu yang lalu aku pergi melapor ke Dawuan. Tanggal lima belas nanti pasti aku akan pergi lagi. Yang itu takkan kulupakan. Pasti, Nyai."
"E, lha. Yang hendak kusampaikan kepada sampean ini bukan masalah wajib lapor."
"Jadi aku tidak salah" Bukan tentang kesalahanku""
"Bukan. Bukan!"
Nyai Kartareja memberi kesempatan kepada Srintil menata kembali napasnya yang terengah-engah. Perempuan tua itu cukup bersabar menanti sampai darah yang mendadak lenyap kembali mengisi kulit wajah Srintil. Dan rasa trenyuh tidak terhindarkan karena Nyai Kartareja menyadari betapa ringkih keadaan jiwa Srintil; dia menjadi demikian gugup hanya karena akan disampaikan kepadanya sesuatu yang penting.
"Anu, Jenganten. Wong aku mau bercerita tentang nasib sendiri. Sejak dulu aku memang sengsara. Tetapi tidak seperti sekarang ini. Dulu, terus terang, aku bisa nunut sampean. Sekarang, Jenganten, bagiku soal makan saja adalah perkara yang tidak pasti. Maka aku mempunyai usul, bagaimana bila sampean memberi kesempatan kembali kepadaku, kesempatan numpang penghidupan."
Episode 11 "Numpang"" kata Srintil setelah menatap Nyai Kartareja lama dan dalam. "Numpang penghidupan" Bagaimana mungkin karena aku sendiri tidak mempunyai penghasilan apa pun""
"Ah, Jenganten, bagaimana juga sampean tidak sama dengan aku. Sampean masih muda. Dan siapa bilang sampean tidak cantik" Di mana saja, pada zaman apa saja, perempuan cantik tidak sama dengan perempuan yang buruk, bukan""
"Nanti dulu, Nyai. Sampean mau berkata apa sebenarnya""
"Begini, Jenganten. Tadi sampean berkata bahwa sampean tidak mempunyai penghasilan apa pun. Maka bagaimana bila sampean berbuat sesuatu agar sampean kembali mempunyai penghasilan seperti dulu. Persoalannya mudah bagi sampean, tinggal mau atau tidak."
"Nyai, katakan dengan jelas."
"Baiklah. Kemarin aku bertemu dengan seseorang yang sangat berharap bisa sekadar melepaskan kepusingan hidup bersama sampean. Marsusi, Jenganten. Sampean masih ingat Marsusi, bukan""
Ada segumpal kabut yang tiba-tiba membuat pandangan mata Srintil baur. Ada orong-orong yang masuk ke dalam telinganya lalu berbunyi sekeras-kerasnya. Darah kembali lenyap dari wajah anak Dukuh Paruk itu. Bibirnya yang pucat bergetar. Bintik keringat serta-merta muncul di permukaan kulitnya. Dada Srintil turun-naik menahan
pergulatan rasa di dalamnya, antara murka dan penyesalan yang dalam, antara pilu dan kemaraha
n. Wajah Srintil berubah cepat antara pucat-pasi dan rona kemerahan.
"Oalah, Gusti Pengeran," tangis Srintil dalam ratap tertahan. "Nyai, kamu ini kebangeten! Kamu menyuruh aku kembali seperti dulu" Kamu tidak membaca zaman" Kamu tidak membaca betapa keadaanku sekarang" Oalah, Gusti... "
"Eh, sabar dulu, Jenganten. Dengar dulu kata-kataku! Siapa bilang ada orang yang tidak mengerti keadaan sampean. Tetapi apakah sampean hanya mau mementingkan diri sendiri dan tidak mau mengerti urusan perut orang Dukuh Paruk yang hanya bisa nunut sampean""
"Aku memang tidak mau tahu. Orang Dukuh Paruk bisa hidup tanpa bergantung kepadaku. Orang Dukuh Paruk biasa makan iles-iles, bahkan bonggol pisang. Lakukan itu dan jangan meminta aku kembali berbuat kesalahan. Oalah, Nyai. Kamu hanya mengalami dua minggu di tahanan. Sedangkan aku dua tahun. Cukup, Nyai. Cukup!" "Nanti dulu, Jenganten. Marsusi sekarang sudah menjadi duda. Dan dia bersedia memberimu sebuah Vespa bila sampean mau. Siapa tahu Marsusi bermaksud mengambil sampean menjadi istrinya. Pikirlah dengan tenang, Jenganten."
"Tidak, Nyai. Kamu tahu. Aku juga tahu siapa Marsusi. Dan kamu masih percaya ada laki-laki yang mau mengawini perempuan bekas tahanan""
"E, lha, baiklah kalau begitu. Tetapi renungkan, Jenganten. Marsusi atau laki-laki mana saja tidak salah bila dia bermaksud mengawini sampean atau sekadar bersenang-senang. Semua orang tahu siapa sampean, bukan""
"Oalah, Nyai, mereka tidak salah. Semua orang tidak salah. Akulah tempat segala kesalahan hidup. Jadi akulah yang harus tahu diri. Semua orang menuntut aku tidak banyak tingkah karena hal itu tidak mereka sukai. Berbuat sesuatu yang tidak mereka sukai samalah artinya dengan melakukan kesalahan. Nyai tahu apa yang akan kutanggung bila aku dianggap kembali berbuat salah""
Nyai Kartareja diam, menutup bibirnya rapat-rapat lalu berjalan meninggalkan Srintil yang masih sibuk mengusap air mata. Ada erosi yang terasa menggerus kesuburan yang mulai bersemi di hati Srintil. Pupus hijau hendak dipatahkan oleh tangan orang Dukuh Paruk sendiri. Srintil memperhatikan Nyai Kartareja dengan pandangan mata masygul dan kecewa, amat kecewa.
Oh, Nyai Kartareja. Ketika muda kamu pun pernah menjadi ronggeng seperti diriku, konon. Bedanya dulu engkau seorang ronggeng bobor, tidak laku. Namun mestinya kamu seperti aku, mengenal kelelakian telanjang sejak kita baru mendapat haid yang pertama. Dan aku sudah mengerti laki-laki Dukuh Paruk, laki-laki luar Dukuh Paruk, bahkan laki-laki di tempat keterasingan. Kita sudah sama-sama tahu apa dan bagaimana kelelakian itu. Kini aku dan jiwaku sedang bertanya, apakah kepahitan hidup yang harus kutanggung bukan karena justru aku mengenal terlalu banyak segi kelelakian" Apakah bukan karena aku merasa menjadi duta keperempuanan sehingga aku merasa harus melayani segala kepentingan kelelakian sampai kepada arti yang paling primitif sekalipun" Bukankah karena diriku yang ronggeng, maka sejarah telah membawaku ke puncak ketiadaan makna hidup di tempat terasing"
Oh, Nyai Kartareja. Rupanya kamu tidak sedikitpun terusik oleh sekian banyak pertanyaan itu. Kamu bebal. Atau kamu memang tidak peduli akan keperihanku sehingga kamu tega mendatangkan perkara kelelakian telanjang ke hadapanku" Nyai Kartareja, kamu kebangeten. Oalah, Gusti...
"Mak menangis" Mengapa Emak menangis""
Jentara Bianglala Karya Ahmad Tohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suara jernih itu datang dari arah samping belakang. Srintil menoleh setelah berupaya menghapus sisa tangisnya. Kemudian dilihatnya wajah Goder yang mengandung segudang pertanyaan.
"Emak menangis" Ada yang nakal, ya""
"Oh, tidak, Nak. Emak tidak menangis."
"Tetapi Emak menangis. Siapa yang nakal""
Oh, sepasang bola mata yang bening! Mestikah aku berkata kepadamu, mestikah kukotori kejernihanmu dengan pengakuan bahwa bagiku kehidupan ini penuh kenakalan" Tidak. Duniamu terlalu bersih dan aku tidak akan memperkenalkan kenakalan-kenakalan hidup kepadamu karena aku sangat berkepentingan dengan kesejatianmu agar aku boleh berlindung di dalamnya.
Srintil berusaha keras menahan tangisnya lalu mengangkat Goder ke dalam dekapannya. Pintu bambu berderit,
Srintil dan Goder lenyap di baliknya. Gubuk ilalang itu kemudian senyap, senyap sekali meski di dalamnya ada dua dunia yang sangat berbeda.
Bila sawah amat luas yang mengelilingi Dukuh Paruk sedang memberi harapan panenan yang baik maka siapa mengira di tengah lautan padi menguning itu tersimpan ironi yang sudah turun-temurun. Dukuh Paruk tak pernah ikut panen karena hanya satu-dua orang di sana yang mempunyai sawah, itu pun tak seberapa luas. Setiap musim panen Dukuh Paruk hanya ikut embret, memburuh menuai padi. Dan anak-anak Dukuh Paruk tidak tahu bahwa seharusnya mereka bertanya mengapa orang tua mereka melarat seumur-umur, tidak mempunyai sawah barang secuil. Anak-anak tidak mengerti apa-apa. Mereka hanya tahu musim panen selalu membawa suasana semringah. Adalah kesemringahan yang khas ketika anak-anak perempuan Dukuh Paruk pergi ke sawah mengambil batang padi yang tidak bernas lalu membuat puput. Seruling batang padi yang diberi sistem megafon dari daun kelapa mampu menciptakan kemerduan yang unik. Nadanya bergelombang demikian rupa sehingga amat mudah berbaur dalam desau angin ketika menyapu pepohonan. Iramanya yang tidak mengenal keteraturan tangga nada justru mudah menyatukannya dengan ombak lautan padi yang menggelar hamparan warna dari kuning tua, kuning keemasan dan hijau lembut.
Episode 12 Ketika gadis-gadis lain sudah berkenalan dengan permainan buatan pabrik, perawan-perawan kecil Dukuh Paruk tetap akrab dengan ilo-ilo gontho, puput. Mereka tahu
suara yang terbaik dihasilkan oleh batang padi wulung. Mereka juga tahu bila menginginkan suara yang lebih nyaring maka puput harus direndam sebentar di dalam air. Dan bila ditiup menentang arus angin, suara puput jadi muncul tenggelam seperti bulan hilang-tampak di balik awan.
Seorang lelaki sedang berdiri di bawah pohon di pinggir jalan yang menuju pasar Dawuan. Dari sana dia dapat melihat dengan jelas sosok Dukuh Paruk. Dia juga dapat mendengar suara puput yang sampai ke telinganya bersama kicau burung branjangan dan ciplak. Branjangan berhenti pada titik yang tetap di angkasa, dan kicaunya adalah tiruan yang sempurna suara segala jenis burung yang dinyanyikannya berganti-ganti. Dia bisa berjam-jam tetap di langit sambil terus ngoceh. Hanya bahaya alap-alap yang mampu mengusik branjangan dari tempatnya. Sementara ciplak terbang berputar-putar dan berkicau hanya karena ingin menarik perhatian betinanya. Dia akan menukik tajam bila betinanya sudah memberi tahu di mana dia berada.
Tidak jelas apakah lelaki yang sedang berdiri di bawah pohon itu menaruh minat terhadap alunan suara puput yang ditiup oleh seorang gadis kecil di Dukuh Paruk" Atau, apakah dia terkesan oleh kemeriahan angkasa di atas hamparan padi menguning" Yang pasti Marsusi tak henti-hentinya memperhatikan titik singgung pematang panjang dengan tepian Dukuh Paruk. Dia sedang menanti Srintil keluar untuk pergi melapor ke Dawuan. Dan keberadaan Marsusi di bawah pohon itu adalah bagian dari keputusan yang telah diambilnya melalui pergulatan jiwa yang seru.
Marsusi sadar betul akan selera kenisbian sejarah kontemporer yang akan menuding dengan keji lelaki mana saja yang bermaksud menjalin hubungan dengan seorang perempuan bekas tahanan. Marsusi mengerti niat bermanis-manis dengan Srintil akan mengundang risiko dari yang paling ringan berupa cibiran masyarakat sampai yang paling berat berupa goyahnya status sebagai orang penting dalam dinas perkebunan di Wanakeling. Soalnya, Marsusi sungguh rela dikatakan seperti perjaka tanggung yang merasa amat sulit melupakan anak Dukuh Paruk yang selalu berpacak gulu sambil melirik dan tersenyum dalam angannya. Dan kenyataan bahwa dia kini seorang duda benar-benar membuat kenangan itu tumbuh subur.
Maka dua hari berselang Marsusi mengambil keputusan yang berani. Didatanginya petugas yang biasa mencatat pelaporan Srintil. Bukan di kantor melainkan di rumahnya. Pada dasarnya mereka sudah saling kenal karena keduanya sama-sama orang kantoran. Lagi pula siapa orangnya di Dawuan yang tidak mengenal Marsusi karena dia termasuk orang pertama yang mampu memiliki sepeda motor
di wilayah kecamatan itu.
"Njanur gunung, Pak Marsusi, tumben sampean mau menyempatkan diri datang ke rumahku," kata Darman, si petugas. "Mau menawarkan pohon-pohon karet tua yang mau sampean tebang" Kalau demikian, percayalah, aku tidak punya uang."
"E, kalau sampean memang memerlukan kayu bakar, jangan khawatir. Besok akan saya kirim satu truk," jawab Marsusi penuh kesungguhan.
"Ah, tidak. Aku cuma berolok-olok."
"Namun aku tidak menganggap sampean berolok-olok. Besok akan saya kirim kayu bakar satu truk dan gratis."
"Lho, aku cuma main-main."
"Terserah, tetapi aku bersungguh-sungguh."
"Wah, apa boleh buat."
"Nah, lebih baik begitu. Karena aku pun amat memerlukan bantuan sampean. Kalau tidak, mungkin aku tidak berada di sini sekarang."
"Begitu" Lalu apa kiranya yang bisa kuberikan kepada Pak Marsusi""
Suasana yang cair dan akrab sudah lahir tanpa susah-payah. Tetapi Marsusi tidak segera menjawab pertanyaan Darman. Dikeluarkannya rokok untuk tuan rumah dan untuk dirinya sendiri. Asap segera mengepul seakan menjadi bukti bahwa suasana benar-benar sudah siap menjadi saksi pembicaraan antara kedua lelaki itu. "Begini, Mas Darman. Aku memerlukan sedikit keterangan tentang Srintil," kata Marsusi dengan suara rendah.
"Srintil"" tanya Darman. Kepalanya condong ke depan dan matanya membulat.
"Betul, Mas. Sampai kapankah kiranya Srintil dikenai wajib lapor""
"Wah, nanti dulu. Mengapa sampean bertanya tentang Srintil""
"Terus terang, ini berhubungan dengan keadaanku yang sudah menjadi duda."
"Ah, ya. Lalu mengapa Srintil""
Kata-kata Darman putus dan berlanjut hanya di dalam hatinya; selagi semua orang bekerja keras menghapus jejak koneksitas dengan orang-orang yang terlibat peristiwa 1965, mengapa Marsusi berbuat sebaliknya"
"Mas Darman, sesungguhnya aku malu berterus terang. Tetapi bagaimana ya, aku benar-benar tidak bisa melupakannya."
"Baik, Pak Marsusi. Asal sampean camkan, situasinya bisa berkembang demikian rupa sehingga dapat menyulitkan diriku."
"Oh, aku sadar betul, Mas Darman. Akan kujaga sekuat tenaga agar segala akibat tindakanku, akulah yang menanggung, aku seorang. Sekarang katakan, kapan kiranya Srintil bebas dari kewajiban melapor."
"Biasanya sesudah lepas masa satu tahun. Saat ini Srintil baru melewati masa enam bulan. Sampean mau mengawininya""
"Sangat mungkin. Dan masa selama enam bulan ini aku bisa mengamati perkembangan. Nah, Mas Darman, sekarang sampean sudah tahu. Maka harap maklum bila suatu ketika sampean melihat aku melakukan pendekatan tertentu terhadap anak Dukuh Paruk itu." "Ya. Namun ingat... "
"Oh, itu pasti. Akan kujaga nama dan martabar sampean sebaik-baiknya. Dalam satu segi aku tidak rela dikatakan sudah tua. Sungguh! Tetapi dalam hal menjaga rahasia orang, apalagi dia yang sudah bersedia membantuku, percayalah, aku memang sudah tua."
Maka, demikian. Dua hari kemudian Marsusi berdiri di bawah pohon di tepi jalan besar yang menuju pasar Dawuan. Marsusi mengambil sikap demikian rupa sehingga sekilas akan terlihat dia sedang menikmati harapan panen dari sawah yang demikian luas. Namun andaikan burung-burung branjangan mempunyai tingkat kesadaran seperti manusia maka mereka akan melihat Marsusi yang gelisah. Marsusi yang terlampau sering membuang puntung rokok yang masih panjang untuk diganti dengan yang baru. Dan Marsusi merasa telah berdiri satu tahun meski sebenarnya dia belum seperempat jam di sana.
Episode 13 Kemudian sebuah titik hitam yang bergerak di tepi Dukuh Paruk membuat Marsusi merasa lega. Titik itu berjalan sepanjang pematang ke arah jalan besar, makin dekat ke tempat Marsusi berdiri. Kian dekat sosok itu makin nyata, dia seorang perempuan. Dan bila ada seorang perempuan yang berkulit bersih keluar dari Dukuh Paruk maka dialah Srintil.
Marsusi kelihatan agak gelisah. Tetapi wajahnya terang dan senyumnya terlukis samar. Srintil muncul tanpa embel-embel seorang anak kecil. Hal ini tidak bisa terjadi apabila Nyai Kartareja tidak melakukan tugas yang diberikan Marsusi kepadanya. Belalang dan capung beterbangan di hadapan Srintil yang terus melangkah, dan setengah badannya tenggelam dal
am lautan padi. Burung ciplak berteriak-teriak dan terbang berputar-putar. Dia khawatir akan nasib betinanya yang sedang mengerami telur dalam sarangnya tak jauh dari pematang yang dilalui Srintil. Ada hahayaman terkejut lalu melesat menjauh. Namun dalam kegugupannya burung yang berwarna cokelat itu sempat membuang kotorannya sambil terbang.
Srintil dan Marsusi tinggal terpisah dalam jarak satu petak sawah. Sementara Marsusi sudah mengenal secara pasti siapa yang datang, Srintil belum memperhatikan secara saksama lelaki yang sedang berdiri di bawah pohon itu. Srintil baru dapat membaca suasana dengan jelas setelah langkahnya hampir mencapai jalan besar. Lalu tiba-tiba Srintil berhenti. Diperhatikannya dengan perasaan cemas Marsusi yang bergerak mendekat ke mulut pematang.
"Ah, kamu agak terlambat. Pak Darman sudah lama menunggu. Aku dimintanya menjemputmu agar cepat. Ayolah."
Srintil berdiri seperti tonggak di tengah hamparan padi kuning yang mengombak. Mulutnya terbuka, kulit dahinya berkerut demi ketegangan jiwa yang mulai terasa.
Wajah Srintil kelihatan makin keruh ketika Marsusi maju lagi beberapa langkah sambil melambaikan tangan.
"Ayolah, kamu sudah terlambat. Kamu kugonceng supaya cepat." "Aku... aku akan berjalan sendiri, Pak," jawab Srintil terbata.
"Eh, jangan menolak perintah karena hal itu tidak baik bagimu. Apalagi bila nanti kamu sampai terlambat. Ayolah."
Adalah semua orang Dukuh Paruk termasuk Srintil; mereka tidak tahu apa-apa tentang sistem atau jalinan birokrasi kekuasaan. Dalam wawasan mereka semua priayi adalah sama, yakni tangan kekuasaan. Setiap priayi boleh datang atas nama kekuasaan tak peduli mereka adalah hansip, mantri pasar, opas kecamatan atau seorang pejabat dinas perkebunan negara seperti Marsusi. Dan ketika kekuasaan menjadi aspek yang paling dominan dalam kehidupan masyarakat, orang Dukuh Paruk seperti Srintil tidak mungkin mengerti perbedaan antara polisi, tentara atau pejabat perkebunan. Semuanya adalah tangan kekuasaan dan Srintil tidak mungkin bersikap lain kecuali tunduk dan pasrah. Apalagi dalam kata-kata Marsusi terselip nada ancaman. Maka Srintil perlahan-lahan dan gamang mulai bergerak. Sambil menatap kakinya yang basah oleh sisa-sisa embun pagi di rumput pematang Srintil berjalan mengikuti Marsusi. Motor dihidupkan, kemudian Srintil mendapat tawaran yang amat ramah.
"Naiklah." Srintil menarik napas panjang sebelum akhirnya dia mengalah terhadap tawaran Marsusi. Duduknya tegar dan janggal karena Srintil tidak terbiasa membonceng sepeda motor. Atau karena hatinya tetap tidak mau berdekatan dengan Marsusi.
Jarak dua kilometer sampai ke kantor instansi di mana Srintil harus melapor setiap dua minggu hanya ditempuh dalam beberapa menit. Namun Srintil merasa telah menempuh masa berbulan-bulan lamanya. Dalam masa itu dia melihat orang-orang yang terperangah dan bertanya, "Srintil sudah mulai berani pelesiran" Apakah Srintil tidak khawatir akan diciduk kembali""
Ketika lewat di depan pasar Dawuan Srintil melihat 'kehidupan bebas' tercengang. Kehidupan bebas seakan tersinggung pada titiknya yang paling peka. Mereka yang menghendaki Srintil tetap melata dan meratap sebagai pengakuan bersalah terhadap kehidupan, terkejut dan terperangah melihat Srintil bergoncengan dengan seorang laki-laki. Melalui tatapan mata yang tajam mereka menilai sikap Srintil sebagai perilaku sembrono, tidak tahu diri. Srintil telah berbuat sesuatu yang menantang selera kenisbian sejarah.
Atau, apakah Srintil tahu siksaan hebat pada jiwanya hanya disebabkan oleh dramatisasi yang dilakukan oleh hatinya sendiri" Memang, orang belum lupa bagaimana Srintil menjadi ratu panggung dalam rapat-rapat propaganda yang menyebabkan khalayak mabuk, lalu mereka menyerbu sawah dan merojeng padi, tak peduli entah milik siapa. Orang juga tidak lupa bahwa pada beberapa peristiwa perojengan padi telah jatuh korban, beberapa petani pemilik sawah jatuh terkapar dalam upaya mempertahankan milik sah mereka. Srintil tidak mungkin membebaskan diri dari
keterlibatan moral dalam peristiwa semacam itu. Dan puncaknya adalah usaha penjungkirbal
ikan secara total seluruh tatanan kehidupan oleh orang-orang seperti Bakar pada bulan September 1965. Padahal setiap orang sudah mencatat dengan guratan yang dalam bahwa Bakar yang telah mati diamuk masa itu demikian menyatu dengan ronggeng Dukuh Paruk pada tahun-tahun menjelang 1965.
Kemudian, apakah sejarah hanya bertingkah melalui panglima tunggalnya yang bernama kekuasaan" Mestinya, tidak. Tetapi Srintil tidak akan pernah mampu tahu. Dia tidak tahu, selain mempunyai panglima, sejarah juga punya nurani yang seperti demikian adanya, tidak pernah muncul dalam bentuk hura-hura, tidak resmi-resmian, tetapi kukuh duduk dan tak pernah berhenti bertembang tentang keberimbangan hidup. Tembang nurani sejarah mungkin tampil sebagai tangis seorang bayi yang merengek dan merajuk, mengapa tetek emaknya kempis. Mungkin juga muncul sebagai air mata beberapa perempuan di pasar Dawuan yang trenyuh ketika melihat keberuntungan Srintil yang diberi beban terlalu berat bila dibanding dengan keringkihan pundaknya. Nurani sejarah bisa juga menampakkan diri sebagai falsafah orang-orang bersahaja yang suka berkata, "Aja dumeh maring wong sing lagi kanggonan luput," jangan bersikap sia-sia terhadap mereka yang sedang terjebak dalam kesalahan.
Tidak. Srintil tidak akan punya kesadaran sampai ke sana. Srintil merasa hanya punya satu kesadaran bahwa pakem hidup yang harus dijalaninya ialah peran dalam sisi aib kehidupan. Sampai kapan, Srintil tidak tahu. Rahasianya mungkin terletak pada arah obah-mosiking zaman, perkembangan sang waktu sendiri. Maka ketika sang waktu menuntutnya memikul beban sejarah, Srintil hanya pasrah. Bagi anak Dukuh Paruk ini beban sejarah ialah keharusan melata-lata di hadapan 'martabat kehidupan', menyesali diri secara habis-habisan, jangan sekali-kali berjalan dengan meluruskan leher, serta lihat-lihatlah apakah kehidupan berkenan memberi izin bila sesekali Srintil ingin tersenyum.
Episode 14 Sejak dibebaskan dari tahanan enam bulan yang lalu Srintil sudah sebelas kali memhuat cap jempol di hadapan Darman. Sudah sekian kali pula dia berhadapan langsung dengan wajah penguasa sejarahnya. Namun setiap kali datang melaporkan diri selalu saja ruas-ruas tulang kakinya gemetar. Padahal orang-orang seperti Darman bukan mesin, tentu saja.
Selorohnya mulai muncul. Dan ketika menuntun tangan Srintil membubuhkan cap jempol, tangan Darman tidak pernah jujur. Kecuali hari itu ketika Srintil datang bersama Marsusi, sikap Darman sungguh resmi. Mungkin karena Marsusi benar-benar melaksanakan kata-katanya, mengirim satu truk kayu bakar ke rumah Darman.
Selesai dengan urusan cap jempol, Srintil minta diri. Caranya, Srintil menekuk lutut dalam-dalam di hadapan para petugas dengan wajah yang sungguh-sungguh menghinakan diri. Kemudian Srintil melangkah ke luar dan Marsusi menghentikannya. "Nanti dulu. Kamu akan kuantar sampai ke tempat semula."
"Terima kasih, Pak. Aku biasa pulang seorang diri."
"Ah, lebih baik ikut Pak Marsusi," sela Darman. "Silakan. Membonceng Vespa baru pasti enak. Ya, kan""
Srintil bingung seperti munyuk dirubung orang. Kemudian demi anu atau demi satu truk kayu bakar maka Dirman mengambil kata putus,
"Bila aku yang menyuruh kamu membonceng Pak Marsusi, apakah kamu masih menolak juga""
Wajah yang bingung itu serta-merta berubah menjadi topeng yang penuh garis-garis ketakutan. Srintil terpaku dan hanya bergerak karena kemudian Darman memberi perintah dengan goyangan dagunya. Sementara Marsusi berjalan sebagai prajurit yang menang perang. Sebuah adegan yang berulang, Srintil duduk kaku di jok belakang motor Marsusi. Ketika motor sudah berjalan tubuh Srintil menjadi bagian yang terpisah dari sesuatu yang bergerak. Punggungnya condong ke belakang dan kedua tangannya bertumpu seperti orang yang akan mencari posisi duduk tetapi tak pernah mantap. Pandangan mata Srintil tertuju ke bawah sehingga dunia dirasakannya lari ke belakang dengan cepat.
Sejak meninggalkan halaman kantor Darman, Marsusi masih tetap pada tujuan yang sudah direncanakannya. Dia sudah menemukan tempat di belakang pasar Dawuan, tempat dari mana arus informa
si kepentingan-kepentingan asusila terpusat. Marsusi sudah mempunyai ketetapan di tempat itu dia akan berbicara dengan Srintil. Marsusi akan meminta semuanya dengan menanggung segala risiko. Atau Marsusi akan meminta sedikit saja, namun rela memberi banyak.
Namun ketika perjalanan hampir mencapai sebuah simpang tiga ada pikiran baru yang membuat Marsusi mengambil keputusan mendadak. Dibelokkannya motornya ke kiri, masuk ke jalan kecil yang menuju daerah perkebunan karet Wanakeling. Ketika 'barang' yang sangat diinginkannya sudah berada di tangan, mengapa tidak langsung membawanya pulang ke rumah" pikir Marsusi.
Srintil yang sejak semula mengira hendak diantar sampai ke ujung pematang yang menuju Dukuh Paruk, langsung merasa adanya penyimpangan. Mulutnya bergerak-gerak, namun kata-katanya tak kunjung keluar.
"Mau... mau... mau ke mana, Pak""
"Ah, tenanglah. Kita mau pulang."
"Pulang ke mana""
"Ke Wanakeling. Lho, ke mana lagi""
"Pak... " "Tenanglah. Aku bukan tukang culik. Kita ke Wanakeling dulu. Nanti kamu kuantar kembali ke Dukuh Paruk."
"Aku... aku tidak mau, Pak. Aku ingin segera pulang."
"Dengarlah. Aku ingin berbicara kepadamu dan ini bukan perkara main-main. Nyai Kartareja pernah berkata sesuatu kepadamu, bukan""
"Tetapi aku tidak mau."
Srintil menghentak-hentak dalam duduknya sehingga motor baru itu oleng.
"Berhenti, Pak! Aku mau turun di sini. Berhenti, Pak!"
"Eh, jangan goyah. Nanti jatuh."
"Aku tidak mau ikut sampean. Berhenti, Pak!"
"Nanti dulu. Kamu belum mendengar apa yang hendak kusampaikjn padamu."
Beberapa kali Srintil berusaha terjun. Namun setiap kali diurungkannya; batu-batu di atas jalan pegunungan itu bergerak seperti mata gergaji besar yang akan menggorok apa saja yang jatuh ke permukaannya. Akhirnya Srintil pasrah. Duh, Gusti, apa lagi yang akan kutanggung"
Jalan pegunungan itu kini menembus hutan jati. Pepohonan berdiri tegar dan tumbuh rapat, dan kelihatan angkuh terhadap pohon-pohon kecil di bawahnya. Cabang-cabangnya tumbuh ke segala arah untuk menangkap semua sinar matahari dan membiarkan pakis-pakisan hanya hidup dalam sinar temaram sepanjang hari. Kepongahan. Relung-relung pakis itu hidup di bawah kepongahan pohon-pohon besar. Lalu mengapa acap terjadi sebuah hasrat besar atau
rencana besar tidak mencapai tujuan hanya karena sebuah perkara kecil yang tidak pernah masuk hitungan" Seorang prajurit perkasa bisa mati di tengah peperangan bukan karena peluru lawan, melainkan oleh gigitan ular yang kelihatan demikian lemah. Dan hasrat Marsusi untuk membawa Srintil ke Wanakeling gagal hanya karena kecerobohannya mengendalikan sepeda motor. Ketika melewati ruas jalan yang sangat rusak motor baru itu kelihatan melompat-lompat dalam kecepatan yang berubah-ubah secara dramatik. Pada suatu saat yang amat singkat pantat Srintil terangkat karena guncangan, dan pada saat yang amat singkat itu Marsusi menarik gas. Motor melesat dan Srintil sejenak mengapung di udara. Sesuatu yang sejak semula terpisah jadi benar-benar berpisah. Pantat Srintil tidak jatuh kembali ke atas jok melainkan terhempas ke permukaan jalan. Tubuh Srintil terbanting dan berguling-guling, sementara Marsusi terus melaju karena tidak tahu sesuatu telah terjadi di belakangnya.
Mula-mula Srintil marasa ribuan batang pohon jati berputar cepat mengelilingi kepalanya. Putaran itu makin melambat dan akhirnya berhenti tinggal menjadi sosok hutan yang bergoyang. Srintil menoleh ke kiri dan masih melihat di kejauhan Marsusi dan motornya menghilang di balik tanjakan. Srintil berusaha bangkit dan kakinya terasa sakit. Ketika dilihat, ada luka berdarah pada mata kaki serta lutut kirinya. Di telapak tangan ada kerikil kecil menancap. Dan darah menitik ketika kerikil itu terlepas. Perih.
Setelah berhasil mengembalikan ketenangannya Srintil melangkah ke pinggir. Tak terlihat seorang manusia pun di jalan kecil yang menembus hutan jati itu. Namun yang pasti Srintil sadar harus menggunakan kesempatan kebebasan yang tak sengaja telah diperolehnya. Nalurinya mengajarkan, Marsusi akan segera berbalik dan mencari Srintil begitu dia tahu jok belakang motornya
telah kosong. Namun dengan kaki yang terasa amat sakit Srintil tidak mungkin segera berjalan pulang ke Dukuh Paruk. Apabila hal itu dilakukannya, bahkan misalnya dengan kaki yang sehat, Marsusi pasti akan bisa menyusulnya.
Episode 15 Maka Srintil berjalan terpincang-pincang menjauhi jalan, dan di suatu tempat dia melihat lorong setapak yang masuk ke hutan jati. Lorong itu pastilah jalan para pencari kayu karena Srintil sudah mendengar suara mereka. Tak lama kemudian kelihatan dua perjaka tanggung menuruni bukit membawa sepikul kayu bakar. Seorang lagi di belakang mereka memikul dua gulung daun jati. Ketika berpapasan mereka berhenti dan memandang Srintil dengan heran. Di antara para pencari kayu atau daun jati ada beberapa perempuan. Tetapi ketiga perjaka tanggung itu belum sekali pun pernah melihat Srintil berada di tengah hutan jati.
"Eh, rasanya aku pernah mengenal perempuan itu. Tetapi siapa, ya""
"Aku ingat. Dia ronggeng Srintil. Mula-mula aku pangling. Tetapi akhirnya aku kenal dengan pasti. Dia orang Dukuh Paruk yang dulu sering meronggeng."
"Oh, ya! Aku jadi ingat sekarang. Tetapi mau ke mana dia" Dan mengapa jalannya terpincang-pincang""
"Benar. Kukira dia memang ronggeng Srintil. Maka, ayo kita ikuti dia. Kayu bakar dan daun jati bisa kita tinggal sebentar di sini. Mari, kita lihat pertunjukan yang menarik!"
"He, kamu ngomong apa" Apa Srintil mau meronggeng di tengah hutan""
"Tolol! Kamu rupanya lupa akan munyuk-munyuk jantan di atas pohon jati besar dekat jurang sana."
"Ah, ya. Munyuk-munyuk itu menjadi cabul bila meihat orang perempuan. Dan kini yang akan mereka lihat adalah Srintil yang cantik. Ayo, kita naik lagi."
"Bila kalian anak munyuk maka kalian senang melihat ulah konyol munyuk-munyuk di pohon jati itu. Silakan, Anak munyuk. Aku sendiri mau pulang."
Cincong antara ketiga perjaka tanggung itu ternyata hanya menghasilkan gelak yang panjang. Mereka meneruskan perjalanan menuruni bukit dan ingatan mereka tetap pada munyuk yang cengar-cengir, munyuk yang menggeram dan membuat gerakan-gerakan yang amat tidak senonoh. Ulah munyuk-munyuk itu bagi para pencari kayu menjadi bukti akan kebenaran dongeng sensasional bahwa suatu ketika pernah terjadi perkosaan antarjenis. Sekelompok bangkokan, munyuk besar, beramai-ramai menjagal seorang perempuan lalu menggagahinya. Dan bagi orang-orang bersahaja seperti para
pencari kayu itu, tiadalah beda antara dongeng dan kisah nyata. Kedua-duanya menyatu sebagai kebenaran dalam mitos yang sulit diganggu gugat.
Srintil merasa heran ketika menyadari dirinya sedang duduk tanpa teman di tengah hutan jati. Namun kebisuan alam cepat membawa Srintil kembali mengenal suasana di luar dan di dalam dirinya sendiri. Di sekelilingnya adalah pohon-pohon besar yang sejenis, jati. Dan di bawah pohon-pohon besar itu tumbuh sekian banyak tetumbuhan kecil yang tak terhitung jumlahnya, dari lumut yang menyelimuti batu dan kulit kayu hingga berbagai jenis paku-pakuan yang menutup lereng-lereng jurang. Dari tanaman perdu dan gelagah sampai tumbuhan merambat yang sulurnya membuat jalinan ruwet, seruwet akar-akaran yang merayap di permukaan dan yang menghunjam tanah.
Ketika angin bertiup jutaan daun jati saling bergesek membuat deru yang berirama. Semuanya bergoyang. Tetapi pada ketika itulah Srintil menangkap makna kebersamaan yang amat mengagumkan. Kebersamaan yang berimbang, yang mungkin sudah mulai disusun sejak ribuan juta tahun yang lalu. Setiap sulur muda tidak gagal meraih ruang hidup meski harus menembus jalinan sesama yang demikian canggih, setiap ujung akar tidak gagal mencapai tanah. Ada beringin kecil tumbuh di atas batang pohon yang lapuk. Dan roh kebersamaan memberi kesempatan sehingga akar beringin kecil bisa merayap mencapai tanah. Dedaunan tersusun demikian rupa sehingga sinar matahari atau biasnya menjamah rata.
Angin kembali bertiup, kini disertai bunyi daun-daun yang luruh. Kerotok suara burung pelatuk dari kejauhan. Dan suara seorang pencari kayu yang terdengar sayup. Srintil menegakkan kepala. Itu suara tembang seorang amatiran yang menirukan kutut manggung. Entah mengapa
Srintil merasa tersentak. Bukan karena dia juga hafal lirik lagu itu, bukan pula suara si pencari kayu demikian jelek dan acak-acakan, tetapi karena tiba-tiba Srintil merasa ada sesuatu yang sangat menarik berkaitan dengan keresahan jiwanya.
Gending Kutut Manggung adalah sebuah langen swara berahi yang digubah demikian halus, penuh selera estetik dan jelas sekali lahir dari wawasan tentang kehidupan yang mendasar. Kutut manggung adalah penghayatan atas naluri keprimitifan berahi dalam tertib nilai tertentu sehingga terjadi beda antara berahi manusia dan berahi munyuk. Dia bertanggung jawab dan memiliki arah yang pasti yakni garis perhubungan antara manusia dan selera Penguasa Alam. Dia halus sehingga hanya orang dewasa tertentu bisa mengerti apa yang dimaksud wis wayahe lingsir wengi, perkutute arsa muni atau perkutute njaluk ngombe. Kutut manggung adalah pelukisan hasrat perhubungan ragawi antara lelaki dan perempuan dalam wawasan tertib kosmik; bahwa si lelaki dan si perempuan adalah suami-istri, dan bahwa motivasi perhubungan ragawi itu adalah upaya mencapai tata-raharjaning bangsa manusia yakni keselarasan hidup.
Namun wawasan berahi kutut manggung juga memberi tempat kepada aspek 'humaniora', sehingga meski kudus dan sakral maka perhubungan berahi yang tertib itu masih juga mengandung kadar kegenitan. Maka ada anggunge memanas ati, yakni pergombalan yang merangsang hati. Juga dalam senggakan kutut manggung ada warna kemesraan, namun dalam gaya euphemisme sehingga wilayah kecabulan tak perlu terjamah.
Dalam pengertian yang tidak begitu mendalam Srintil mengerti penghayatan berahi menurut persepsi kutut manggung karena Nyai Kartareja pernah mengatakannya. Nyai Kartareja berbuat demikian untuk mengajari Srintil tentang perbedaan antara penghayatan berahi menurut versi kutut manggung dan versi ronggeng. Dulu Srintil sangat percaya bahwa penghayatan versi ronggeng adalah lebih unggul karena tiadanya tertib susila sehingga wilayah penghayatannya adalah kelelakian secara umum, bukan kelelakian dalam diri seorang lelaki tertentu. Karenanya dulu Srintil yakin menjadi seorang ronggeng lebih terhormat daripada menjadi seorang perempuan somahan. Namun penghayatan dan aktuasi berahi gaya ronggeng yang longgar, kasar, dan mentah tidak mengarah kepada keselarasan hidup. Bahkan ternyata peronggengan telah membawa Srintil ke rumah tahanan selama dua tahun. Selama itu Srintil kehilangan kediriannya hampir secara mutlak, dan setelah bebas jiwanya masih terkerangkeng entah sampai kapan. Kerangkeng yang hanya mungkin terkuak apabila Srintil bisa membuktikan dirinya bukan lagi duta keperempuanan bagi kelelakian yang umum dan telanjang, melainkan duta keperempuanan bagi seorang lelaki tertentu yakni suami.
Episode 16 Potongan-potongan lirik Gending Kutut Manggung masih terdengar, baur dalam desau angin dan suara burung-burung. Srintil tidak lagi menegakkan kepala. Dia menunduk, pikirannya penuh dengan khayalan indah tentang seorang perempuan yang mendapat sebutan ibu rumah tangga, seorang perempuan yang rela dan sadar hanya mengikatkan diri kepada seorang lelaki. Indah, karena Srintil sungguh tidak mendengar ada seorang perempuan yang mengalami kepahitan dalam penjara karena dia memilih peran hidup sebagai ibu rumah tangga. Indah, karena Srintil belum pernah mendengar cerita tentang perempuan yang tersisih menjadi aib kehidupan karena dia menjadi istri seorang lelaki.
Srintil mengangkat muka dan jauh di sana kelihatan olehnya pucuk daun aren yang baru mekar. Kuning muda, dan kesegarannya terlihat kontras dengan warna sekelilingnya. Ada alap-alap terbang mengitari pohon aren itu, barangkali sedang mengintai mangsa yang bersembunyi. Mata Srintil mengikuti alap-alap yang terus berputar. Lama-lama matanya hanya menangkap pandangan yang serba samar, sampai muncul sebuah bayangan yang jelas. Rasus. Mengapa kira-kira dua belas tahun yang lalu ketika masih sangat muda, Rasus sudah tidak setuju aku menjadi ronggeng" Mungkin Rasus hanya ingin membela kepentingan pribadi. Tetapi mungkinkah pikiran Rasus itu adalah duta nurani kehidupan karena rong
geng Dukuh Paruk sesungguhnya tidak selaras dengan maksud tertinggi kehidupan" Tiba-tiba Srintil menutup wajah dengan tangan karena jawaban atas pertanyaannya sendiri adalah rekaman amat pahit pengalaman selama dalam tahanan, perilaku kenisbian sejarah yang telah meruntuhkan bangunan kediriannya, perilaku para pengejawantah kewenangan yang telah meluluhkan martabat kemanusiaannya.
Ada seberkas sinar matahari menerobos kerimbunan hutan jati dan jatuh ke tubuh Srintil. Pepohonan sudah membentuk bayangan di timur, dan Srintil ingin pulang. Orang Dukuh Paruk pasti sudah cemas karena mengira dirinya ditahan kembali. Goder tentu menangis karena jajan yang ditunggunya tidak kunjung tiba. Tetapi Srintil tidak yakin apakah dalam perjalanan pulang nanti takkan berjumpa Marsusi. Dan kakinya terasa nyeri, padahal Srintil terpisah tujuh kilometer dari Dukuh Paruk.
Srintil bangkit, berjalan menuruni lorong setapak menuju jalan pegunungan yang membelah hutan jati. Dia tidak tahu pasti apa yang bakal dialaminya sebelum sampai ke Dukuh Paruk. Mungkin akan bertemu kembali dengan Marsusi atau akan tergeletak tak kuat berjalan. Yang jelas Srintil mendadak berhenti ketika dia baru mencapai satu turunan. Di depan sana ada seorang lelaki yang sedang menaruh sepeda motor di bawah bayangan pohon, kemudian berdiri bertolak pinggang dan matanya menyapu tepian hutan jati. Marsusi telah mendapat keterangan dari tiga orang pencari kayu tentang jalan yang harus ditempuh untuk menemukan tempat di mana Srintil berada. Perburuan segera bermula karena Marsusi melihat sosok yang bergerak tergesa-gesa dan menjauh.
Suasana hutan jati merangsang naluri primitif tentang perburuan. Jantung Marsusi berdenyut keras dan menimbulkan semangat binatang jantan raja rimba. Wajahnya berubah beringas dan keringat dengan cepat membasahi kulitnya. Meskipun bibir Marsusi tersenyum tipis tetapi pandangan matanya keras. Langkahnya perkasa diiringi suara daun kering arau bekicot yang terinjak sepatu kanvas. Dan Marsusi adalah laki-laki yang amat berpengalaman berjalan di hutan.
Sejak mengetahui Srintil lenyap dari jok belakang motornya, berbagai perasaan memusingkan kepala Marsusi. Yang pertama terbayangkan oleh Marsusi adalah Srintil yang terjatuh dan cedera berat. Ini kecerobohan yang memalukan dan sedikit-banyak bertentangan dengan citra keperwiraan seorang lelaki, sekaligus mempersulit kedudukan Marsusi sendiri. Namun Marsusi merasa tidak bisa berbuat lain kecuali menemukan kembali Srintil dengan segera buat meralat kecerobohannya, tanpa sedikit pun niat hendak mengubah niat semula.
Namun ternyata yang dihadapinya adalah lain. Tiga perjaka tanggung itu memberi kesaksian bahwa Srintil tidak cedera berat, hanya jalannya jadi pincang. Dan kenyataan lain, Srintil menghindar. Lalu mengapa orang harus heran tentang hati yang semula mengandung penyesalan dan rasa tanggung jawab tiba-tiba berubah menjadi liar. Andaikan Srintil tidak lari menjauh, sesungguhnya Marsusi akan bersikap lembut dan siap dengan segudang permintaan maaf. Tetapi karena Srintil menghindar maka dalam sekejap Marsusi berubah menjadi pemburu yang sangat bergairah karena sudah melihat mangsanya bergerak.
"Srintil! Tunggu. Mau ke mana, kau""
Meski luka di kakinya terasa amat sakit karena tergesek belukar Srintil terus maju, kemudian melingkar ke kanan menuruni tebing menuju jalan. Ada petunjuk dari antah-berantah yang mengajari Srintil bahwa dia tidak mungkin bergerak lebih cepat dari Marsusi dan sesaat lagi dia bakal tersusul. Petunjuk itu juga mengatakan bahwa tak ada sesuatu yang bisa mencegah apa pun niat Marsusi kecuali langit dan matahari. Maka Srintil harus berusaha sekuat tenaga mencapai tempat terbuka sebelum Marsusi menangkapnya. Jalan pegunungan!
Sementara itu Marsusi yang sudah berubah sepenuhnya menjadi seorang pemburu, makin bergelora karena Srintil tidak mengacuhkan panggilannya. Harga dirinya tersinggung, dan segala hasratnya menjadi demikian sederhana; menguasai Srintil dalam kesunyian hutan jati, kemudian persoalannya menjadi sederhana pula. Tetapi
Marsusi membuat kekeliruan. Disangkanya Srintil
akan bergerak lebih jauh masuk ke dalam hutan. Maka Marsusi terus menaiki lorong setapak dengan harapan bisa memotong lintasan pelarian buruannya. Dari ketinggian tertentu Marsusi berhenti untuk mengamati situasi perburuan. Dan terkejut setelah menyadari goyangan-goyangan semak yang diretas Srintil bergerak mendekati jalan. Marsusi berbalik menuruni lorong tetapi terlambat, jarak yang memisahkan dirinya dengan Srintil sudah terlalu jauh.
Ketika mencapai jalan pegunungan Srintil sudah kehabisan tenaga. Rasa sakit sudah tidak tertanggung sehingga Srintil jatuh terduduk tepat di tengah jalan. Langit dan matahari menyaksikan tangisnya. Langit dan matahari menyaksikan luka pada lutut dan mata kaki Srintil bertambah parah. Darah mengalir lebih banyak.
Marsusi muncul dua menit kemudian. Seorang pemburu telah melumpuhkan mangsanya. Bangga karena merasa menang membuat langkah Marsusi kelihatan gagah. Namun kebanggaan itu sirna secara mendadak ketika Marsusi melihat dari dekat sosok buruannya. Srintil duduk bersimpuh di tengah jalan menghadap matahari yang sudah condong di barat. Kainnya cabik-cabik dan dibiarkan tersingkap sampai ke pahanya. Hasrat kebinatangan Marsusi sempat tepercik namun segera padam karena ada darah mengalir dari dua luka di kaki Srintil.
Siapa melumpuhkan siapa" Marsusi telah melumpuhkan Srintil atau Marsusi telah dilumpuhkan oleh kadar kemanusiaannya sendiri" Atau menurut moral perburuan sendiri, seorang pemburu sejati pasti akan kehilangan keberingasan bila menghadapi binatang buruan yang lumpuh dan merintih-rintih menahan sakit. Dan tetes-tetes darah itu mulai membentuk genangan di atas batu.
Episode 17 Marsusi tertegun. Ombak yang bergelora telah berubah menjadi riak-riak kecil namun tetap tidak bisa tenang. Kemudian Marsusi melihat sekeliling, mungkin karena tak ingin kegagapannya disaksikan orang. Lengang. Kecuali seekor burung tlimukan yang melintas cepat menyeberang udara terbuka lalu lenyap di tebing jurang. Suara angin dan suara burung prenjak yang sedang berkejaran. Wajah Marsusi kusut dan kendur. Darah itu. Marsusi mengeluarkan sapu tangan. Dia sangat ingin memberikan jasa membersihkan luka di kaki Srintil. Tetapi Srintil beringsut menjauh lalu membersihkan sendiri darahnya dengan ujung kain.
"Srintil, mari. Kamu kuantar pulang ke Dukuh Paruk," kata Marsusi dengan suara tenggorokan. Setengah menit menunggu jawaban Srintil terasa amat lama.
"Tidak. Aku akan tetap duduk di sini. Berbuatlah sesuatu kepadaku di sini mumpung langit dan matahari menyaksikan sampean, Pak Marsusi... "
Srintil melihat seseorang mengendarai sepeda datang dari barat, dan Marsusi pasti tidak melihat karena membelakangi.
"Pak Marsusi, sampean lihat sendiri kakiku luka. Dan seluruh badanku terasa sakit. Aku sudah tidak bisa berbuat sesuatu meskipun misalnya sampean sangat menghendakinya."
"Ya, ya. Maka mari pulang. Kamu tidak mungkin berjalan sendiri."
"Pak Marsusi, aku minta sampean membiarkan aku pulang sendiri."
Laki-laki pengendara sepeda yang membawa dua gulung daun jati pada bagasinya terheran-heran melihat adegan di hadapannya. Lebih heran lagi karena seorang perempuan yang sedang bersimpuh di tengah jalan memintanya berhenti.
"Kang, sampean mau ke mana""
"Lha, aku ya mau pulang."
"Ke mana""
"Lha, ya ke Pecikalan. Aku kan orang Pecikalan. Sampean orang Dukuh Paruk, kan""
"Sampean mengenal aku""
"Lha, siapa yang tidak mengerti sampean""
"Kebetulan, Kang. Aku minta dengan sangat sampean mau menolongku. Mau"" "Menolong bagaimana""
"Antarkan aku pulang ke Dukuh Paruk. Sampean tidak malu menggoncengkan aku"" "Lha, aku kan Partadasim. Aku orang Pecikalan."
"Iya. Aku kan Srintil, orang Dukuh Paruk. Kita satu kelurahan. Maka aku minta tolong kepada sampean. Mau, kan""
"Ya mau saja. Lalu apa tidak salah, karena sampean kan... kan... kan..."
"Tidak! Tidak salah," potong Marsusi yang sejak tadi merasa terkunci mulutnya. "Orang Pecikalan harus mau menolong orang Dukuh Paruk."
"Ya, ya. Tetapi mengapa harus aku" Bapak sendiri bagaimana" Dan apa sebenarnya yang telah terjadi""
"Ah, begini, Kang Parta," ujar Srintil. "Tadi aku sedan
g berjalan di sini. Tiba-tiba ada seekor kerbau lari. Aku takut dan lari ke pinggir. Kemudian aku jatuh. Bapak ini sudah cukup menolongku dengan menemani aku sampai kamu datang."
"Ya, ya." "Nah, bawalah Mbakyu Srintil ini ke Dukuh Paruk. ini, kamu saya beri upah," kata Marsusi sambil menyodorkan lembar-lembar ribuan. Partadasim terperangah.
"Lho, Bapak ini bagaimana" Aku kan Partadasim orang Pecikalan." "Aku sudah tahu. Mengapa""
"Aku tidak minta upah. Aku sudah cukup senang berkesempatan menggoncengkan ronggeng Dukuh Paruk karena aku sudah lama memimpikannya. Tetapi, betul, kan" Aku tidak salah" Kalau aku ditangkap karena menggoncengkan orang yang ter... ter... terlibat, Bapak yang bertanggung jawab, kan""
"Tentu. Kamu boleh mengatakan kepada siapa saja, akulah yang menyuruh kamu menggoncengkan Srintil."
Dengan susah-payah Srintil berhasil duduk di bagasi sepeda Partadasim. Kedua kakinya setengah berselonjor di atas gulungan daun jati. Meski kelihatan janggal namun Srintil malah senang karena posisi demikian sedikit mengurangi rasa sakit pada lukanya.
Burung brondol sudah beberapa kali menetaskan telur di dalam sarangnya. Setiap kali hendak menetaskan telur yang baru, dicurinya lembar-lembar atap ilalang rumah Sakum untuk menambal-sulam sarang yang lama. Mereka tak bosan-bosannya kawin dan bertelur. Entah siapa yang mengajari bahwa hanya dengan cara itu maka kelangsungan hidup jenisnya akan bertahan. Sebab alap-alap siap menyambar burung-burung kecil itu kapan dan di mana saja. Gagak dan bengkarung hijau gemar mencuri telur mereka. Dari sepasang brondol ketika kali pertama mereka membuat sarang dari atap ilalang rumah Sakum kini telah berbiak menjadi empat pasang. Andaikan alam tidak menyediakan pemangsa burung brondol maka jumlah mereka pasti sudah jauh lebih banyak.
Waktu kemarau kelompok burung brondol itu mencari makan jauh meninggalkan Dukuh Paruk ke tempat-tempat di mana rumput atau padi-padian masih bisa tumbuh. Mereka pergi menempuh bahaya menjadi mangsa alap-alap kala melintasi hamparan sawah kering yang sangat luas, karena pada saat seperti itu tak ada lagi makanan di sekitar sarang mereka. Pagi-pagi sekali mereka berangkat dan pulang ketika matahari sepenggalan. Sore mereka terbang kembali ke tempat yang sama, pulang ketika matahari hampir terbenam. Ketika pergi-pulang itulah mereka melintasi serombongan manusia yang sedang mondar-mandir di tengah sawah di sebelah barat Dukuh Paruk. Mobil mereka kelihatan jauh di tepi jalan besar.
Alap Alap Laut Kidul 1 Gadis Cilik Di Jendela Karya Tetsuko Kuroyanagi Bukit Pemakan Manusia 18