Lintang Kemukus Dinihari 3
Lintang Kemukus Dinihari Karya Ahmad Tohari Bagian 3
Menyangkut gowok ini persoalan rumit akan muncul bila si anak laki-laki tidak mau berpisah lagi dari gowok-nya. Padahal secara pasti dia sudah mempunyai calon istri pilihan orang tua. Gowok selalu berdiri di atas angin karena biasanya dia janda at
au perempuan penjaja diri. Memang ada suami yang merelakan istrinya menjadi gowok, namun yang demikian ini amat jarang terjadi.
"Jadi sesudah meronggeng nanti, Srintil kuminta tinggal beberapa hari lamanya menemani anakku, Waras. Soal upah, aku ulangi, sampean tak perlu khawatir."
Sakarya dan Kartareja kembali bertukar pandang. Tetapi Srintil tertawa terpingkal-pingkal. "Lucu, ya, Nek, lucu!"
"Lucu" Baiklah. Tetapi kamu, Wong Ayu, bersedia menjadi gowok bagi anakku, bukan"" kata Sentika sambil menatap jenaka kepada Srintil.
"Wah, bagaimana ya"" gelak Srintil pecah lagi. "Bagaimana, Nyai Kartareja"" "Terserah sampean sajalah. Tetapi bagiku, bagaimana upahnya." "Tetapi aku belum pernah menjadi gowok."
"Maka sampean akan mendapat pengalaman," sela Sentika. Sementara itu tangan laki-laki Alaswangkal itu merogoh sakunya.
"Lha iya. Ini uang untuk panjer meronggeng. Dan ini buat panjer menjadi gowok. Ambil semua, tetapi nyatakan dulu kesanggupan sampean."
Episode 35 Sekiranya orang-orang Dukuh Paruk itu mengerti siapa Sentika sebenarnya mereka tidak usah terkejut. Uang yang diletakkan di atas meja tertumpuk setebal jari. Cincin emas di dekatnya berbentuk iris penjalin setebal drenges, bunga sirih. Srintil sendiri terperangah. Disadarinya atau tidak, mulutnya bergumam, "Jadi anak Bapak sudah disunat""
"Disunat oleh seorang lelaki dukun sunat, sudah. Lha iya. Tetapi disunat oleh sampean, belum! Lha iya."
Semuanya tertawa. Kecuali Srintil yang hanya tersipu. Di dalam hatinya muncul keraguan. Sanggup meronggeng sekaligus menjadi gowok, atau tidak. Soal meronggeng tidak jadi masalah, tetapi jadi gowok" Srintil sudah bersumpah dalam hati tidak akan melayani laki-laki yang memburunya. Laki-laki yang menganggap tak ada sisa nilai lagi setelah terjadi transaksi jual-beli, di mana Srintil sama sekali tak berperan dalam penentuan. Marsusi misalnya. Srintil ingin memiliki hak memilih dan ikut menentukan dalam setiap urusan yang menyangkut dirinya. Memiliki dirinya. Atau Srintil akan meminjamkan dirinya bila hal itu menjadi kepentingannya, bukan kepentingan orang lain semata.
Siapa pun di Dukuh Paruk tahu pikiran demikian menyimpang dari kebiasaan seorang ronggeng. Srintil juga. Tetapi pada usia delapan belas tahun itu Srintil tahu bahwa penyimpangan demikian harus dilakukan bila dia ingin mempunyai andil dalam dirinya sendiri. "Lha iya. Kok semuanya diam. Aku menunggu jawaban kalian, jawabanmu, Jenganten," ujar Sentika. Dan meludah merah. "Kalian tahu aku harus cepat pulang agar tidak kemalaman di tengah jalan, Alaswangkal jauh, lho! Dan andongku sudah lama menunggu di Dawuan." Semua mata memandang ke arah Srintil. Ini juga penyimpangan. Biasanya Kartareja atau Sakarya berani mengambil keputusan tanpa melihat roman muka Srintil lebih dulu. Tetapi kini bahkan
wibawa Srintil mampu mencegah siapa saja yang ingin berkata sugestif. Tiba-tiba mata Srintil memancarkan cahaya kuasa. Wajahnya melukiskan citra keangkuhan.
"Aku akan datang ke Alaswangkal pada hari Kemis Pahing untuk meronggeng. Lihat saja nanti apakah aku juga bersedia menjadi gowok bagi anak Bapak. Hanya itu kesanggupanku." Selesai berkara demikian Srintil dengan wajah beku, bangkit hendak meninggalkan ruangan. Goder yang merengek dalam embanan diciuminya puas-puas. Sentika cepat-cepat mcnyemburkan remah sirih dari mulutnya ke tanah.
"Nanti dulu, Wong Ayu! Lha iya. Aku kan orang tua. Masakan aku tidak mengerti perasaanmu, kemauanmu. Duduklah sebentar. Aku belum selesai."
Oleh cara pendekatan Sentika hati Srintil meleleh. Dia menurut, duduk kembali di samping neneknya.
"Coba dengarkan, Jenganten. Aku sudah senang sampean bersedia meronggeng di rumahku. Soal menjadi gowok, aku setuju; bagaimana nanti saja bila sampean sudah berada di Alaswangkal. Lha iya. Maka ambillah uang ini. Dan pakai juga cincin ini. Aku sungguh tidak rugi memberikan cincin ini kepada sampean. Tak peduli apakah sampean mau atau tidak mau menjadi gowok. Lha iya. He-he-he."
Suasana yang kemudian berkembang adalah bukti kecakapan Sentika: orang-orang hampir tidak mungkin berkata "tidak". Srintil pasif saja ketika
Sentika datang mendekat dan memegang telapak tangannya. Uang dan cincin itu sekejap saja sudah berada dalam telapak tangan ronggeng itu. Sentika sendiri yang meletakkannya di sana. Dan mengatupkannya sekalian dengan remasan. "Nah, gampang, kan" Lha iya!"
Sentika meninggalkan Dukuh Paruk dengan hati yang entah mengapa, puas. Padahal tujuannya pergi ke pedukuhan itu tidak sepenuhnya berhasil. Dia masih harus mencari seorang perempuan sebagai cadangan bilamana Srintil benar-benar tidak bersedia menjadi gowok. Boleh jadi Sentika bukan laki-laki kekecualian, yang menganggap kembang dari Dukuh Paruk demikian mengesankan sehingga orang merasa lebih suka menuruti kehendaknya daripada marah atau kecewa terhadapnya.
Matahari membuat bayang-bayang sepanjang setengah badan. Sentika mempercepat jalannya. Dalam perhitungannya dia akan sampai ke rumah setelah malam jatuh. Tak mengapa, pikirnya. Aku telah menemukan seorang ronggeng yang belum pernah kulihat sepanjang hidup; kecantikannya. Kemis Pahing nanti dia akan menari di rumahku. Kini dia telah menggenggam uangku dan cincinku.
Selama seminggu menunggu kedatangan Kemis Pahing tak ada sesuatu yang berkesan tercatat di Dukuh Paruk. Atau, katakanlah, Srintil menjadi lebih ketat mendekap Goder karena Tampi bunting lagi. Sementara Dukuh Paruk yang tua kelihatan makin renta oleh udara yang lebih dingin. Kemarau datang lagi ke Dukuh Paruk buat kesekian juta kali. Dan Dukuh Paruk selalu menyambutnya dengan ramah. Kepiting membuat lubang lebih dalam di tepi pematang agar dirinya masih bisa mendapat air tanah. Siput mengunci diri dalam rumah kapurnya, pintunya dilak dengan lendir beku agar tidak setitik uap air pun bisa keluar. Siput dan binatang-binatang lunak sejenisnya akan beristirahat panjang hingga musim penghujan mendatang.
Burung-burung air pergi meninggalkan Dukuh Paruk. Tak seekor bluwak pun masih kelihatan di sana. Trinil dan hahayaman sudah lebih dulu lenyap menuju rawa-rawa di muara Sungai Serayu dan Citandui. Kerajaan mereka yang kini menjadi lumpur kering dikuasai oleh puyuh dan branjangan. Burung-burung ini membuat sarang dari rumput kering atau sisa batang padi yang telah renyah termakan terik matahari. Puyuh akan memperdengarkan suaranya yang samar dan berat. Samar, sehingga bagi telinga yang tidak terbiasa takkan bisa membedakan mana suara puyuh dan mana suara desau angin.
Sementara puyuh mengeluarkan suaranya dari balik penyamarannya di antara rerumputan kering, maka branjangan beriang-gembira sambil kejer di angkasa. Kelincahannya menantang terik matahari. Kicaunya adalah gabungan suara hampir semua jenis burung. Kadang dia berkicau seperti kutilang, kadang seperti jalak, podang, bahkan cucakrawa. Boleh jadi hanya suara burung gagak yang tidak berhasil ditiru oleh branjangan.
Di tanah Dukuh Paruk semua pepohonan mulai mengurangi kerimbunan daun. Beringin di puncak pekuburan melepaskan ribuan daun kuning bila angin berembus. Daun pisang dan keladi muda tumbuh lebih sempit. Rumpun-rumpun bambu meranggas. Alam telah mengajar mereka bahwa untuk mempertahankan hidup mereka harus hemat air selama kemarau. Yang agak menyendiri adalah pohon mangga dan bungur. Keduanya malah mulai berbunga ketika kemarau menjelang.
Episode 36 Ketika Dukuh Paruk mulai meranggas itulah suatu pagi Srintil berangkat ke Alaswangkal. Dari Dawuan mereka naik bus tua yang hanya datang ke kota kecamatan itu. Perangkat calung serta gendang tertumpuk di atap kendaraan itu. Para penumpang yang semula terkantuk atau pusing oleh bau asap motor mendadak jadi bersemangat ketika melihat Srintil beserta rombongan naik. Kebanyakan penumpang sudah tahu siapa Srintil. Mulut mereka mulai usil. Ada yang bangkit dari tempat duduk agar dapat lebih jelas melihat Srintil: masih cantikkah dia atau bahkan menjadi lebih cantik lagi. Mereka hanya sekedar ingin melihat karena mereka sadar menggunakan jasa Srintil dalam arti apa pun juga memerlukan banyak uang.
Mestilah celoteh cabul itu bisa berkepanjangan apabila Srintil melayaninya. Nyatanya Srintil tidak memberi tanggapan apa pun. Melihat mereka yang bermulut usil pun tidak
. Diam dan diam. Apabila Srintil harus menoleh maka hal itu dilakukan demi Nyai Kartareja yang duduk di sampingnya. Ini pun berlangsung dalam gerakan yang bermartabat. Sesuatu telah muncul ke permukaan dalam hubungan antara Srintil dan Nyai Kartareja. Selama enam tahun Srintil menjadi anak asuhan yang patuh sepenuhnya kepada Nyai Kartareja. Kini mulai kelihatan Nyai Kartareja surut ke belakang oleh martabat yang secara pasti mulai dimiliki oleh Srintil. Dua jam dalam kendaraan, kemudian rombongan dari Dukuh Paruk turun di daerah sepi berhutan jati. Seorang laki-laki tua bercawat lancingan tergopoh-gopoh menjumpai Kartareja.
"Saya Mertanakim," katanya. "Saya utusan Pak Sentika untuk menjemput sampean semua."
"Ah, ya. Terima kasih." jawab Kartareja. "Apakah ada tenaga buat mengangkut bawaan kami""
"Lha, orang-orang ini! Sampean semua tinggal berjalan bersama saya."
"Jauh"" "Paling-paling dua jam perjalanan." jawab Mertanakim tanpa perubahan emosi pada wajahnya.
Para pembawa barang berjalan di depan. Lama-kelamaan mereka jauh meninggalkan rombongan. Jalan itu sempit, naik-turun dan berlapis batu cadas yang besar dan kasar. Selama perjalanan rombongan tak putus-putusnya berpapasan dengan orang-orang yang mengangkut singkong. Yang laki-laki memikul dan yang perempuan menggendong. Semua mereka adalah orang-orang upahan Pak Sentika, kata Mertanakim. Mereka mengangkuti singkong dari Alaswangkal sampai ke pangkalan di tepi jalan besar. Dari sana singkong akan dibawa ke pabrik tapioka dengan pedati atau truk.
Hingga setengah jam perjalanan rombongan belum melihat satu pun rumah penduduk. Jalan yang mereka lalui masih berpagar ladang singkong dan hutan jati. Beberapa kali Srintil minta dituntun karena harus meliwati titian pohon nyiur sebatang. Di suatu tikungan, di bawah sebatang pohon angsana yang besar, Srintil melihat sebuah warung. Meski jauh dari pemukiman penduduk warung kecil itu kelihatan laris. Para pelanggan adalah pemikul-pemikul singkong. Yang dijual di sana tidak lebih dari air asam yang dimaniskan dengan gula merah serta tape singkong. Lagi-lagi singkong.
Srintil menghabiskan dua gelas air asam. Keringat terbit di sekujur tubuhnya. Dua orang laki-laki berlomba memberikan tempat duduknya kepada Srintil.
"Iya, kalian bangkit semua. Ini tamu-tamu dari Dukuh Paruk," ujar Mertanakim mengusir para pemikul yang semula duduk tenang.
Lima laki-laki, semuanya bercawat lancingan, bangkit bersama. Mereka menyingkir lalu bergerombol di dekat pikulan singkong masing-masing. Tetapi mata mereka tetap tertinggal di warung; pada diri Srintil yang sedang memijit-mijit betisnya. Mereka adalah laki-laki gunung dalam arti yang sebenar-benarnya. Di mata mereka Srintil adalah perempuan paling cantik yang pernah mereka lihat. Dan keramaian yang sudah sekian lama mereka nantikan akan terlaksana nanti malam; pentas ronggeng di rumah Sentika. Kegembiraan yang terpendam muncul dalam garis-garis harapan pada wajah mereka.
"Apa kira-kira masih jauh lagi, Kang Kartareja"" kata Sakum yang merasa paling sengsara bila melangkahkan kaki pada jalan yang belum dikenalnya.
"Memang masih jauh," kata Mertanakim. "Tetapi sampean tak perlu berkecil hati. Majikan kami sudah mempersiapkan sambutan yang istimewa bagi sampean. Semua."
Perjalanan diteruskan dan matahari mulai terik. Tetapi udara bertiup sejuk. Nyamannya udara gunung. Mereka berjalan beriringan, Mertanakim menjadi kepala barisan. Bila perjalanan melintasi punggung bukit terpaparlah pemandangan luas ke bawah. Lereng-lereng yang hijau oleh tanaman singkong atau sama sekali merah bila ubi kayu itu telah dicabuti. Jauh di sana hutan jati yang sunyi. Dan di sana-sini kelihatan pohon wangkal yang tegar. Jalan setapak kelihatan mengular melingkar bukit dan hilang-tampak oleh lebatnya pepohonan. Kelengangan suasana pegunungan hanya digoda oleh kicau burung kacer yang bersembunyi dalam kerimbunan perdu di lereng jurang.
Satu-dua rumah mulai kelihatan. Beratap ilalang yang kelabu. Kandang-kandang kambing yang terpisah. Atapnya tertutup tanaman rambat, waluh, atau labu. Anak-anak lelaki dan perempuan keluar.
Semuanya telanjang. Laki-laki dewasa juga keluar. Semuanya menyandang parang. Dan kelihatan sekali mereka bangga dengan parangnya. Ada juga anak laki-laki, meski masih telanjang tetapi menyandang parang di pinggang. Mereka, baik yang dewasa maupun yang anak-anak, hanya
melihat dan membisu. Toh wajah mereka menampilkan kesan kegembiraan. Nanti malam akan ada pertunjukan luar biasa di rumah Sentika. Pentas ronggeng dari Dukuh Paruk.
Hampir tengah hari ketika rombongan dari Dukuh Paruk memasuki kampung Alaswangkal. Pemukiman penduduk berupa kelompok-kelompok rumah yang terdiri atas paling banyak lima gubuk ilalang. Setiap kelompok terpisah oleh tegalan yang luas. Srintil mulai dihinggapi perasaan kecil hati. Jauh dari Dukuh Paruk, akankah dia berpentas dalam rumah ilalang yang kecil dan kusam itu"
Tetapi perasaan Srintil berubah cepat ketika Mertanakim mengacungkan tangan ke depan. "Kita hampir sampai. Itulah rumah Pak Sentika, majikan kami, majikan semua orang di sini."
Episode 37 Rumah yang ditunjuk oleh Mertanakim belum jelas kelihatan. Namun dari jauh sudah tampak pekarangan yang berpagar pohon puring. Di halamannya tumbuh pohon-pohon sawo yang rindang. Ada juga pohon kemuning. Halamannya berlantai batu kerikil yang rata dan teratur rapi. Makin dekat ke sana sosok keseluruhan rumah itu makin nyata. Pintu masuk ke halaman berupa gapura tembok. Memang tidak bagus buatannya tetapi cukup memberi kesan wibawa. Bangunan rumah terdiri atas tiga bubungan bergaya tingasan, beratap genting dengan hiasan ukiran seng. Dindingnya kayu jati yang mengkilap oleh pernis baru. Pekarangannya amat luas dengan rumah-rumah yang lebih sederbana di kiri dan kanan bangunan utama. Dalam rumah-rumah tambahan ini terlihat tumpukan karung-karung gaplek; dagangan utama lainnya milik Sentika.
Ketika langkah Srintil sampai di bawah pohon sawo di tengah halaman hatinya berbisik; inilah rumah yang sebenar-benarnya rumah. Rumah yang memberi kesan selaras dengan selera alam, rumah yang tidak menjadi tuan bagi pepohonan dan bebatuan di sekitarnya. Bahkan Srintil melihat dua ekor burung layang-layang keluar masuk ke beranda. Pada dahan yang bercabang, dalam kerimbunan pohon sawo, dilihatnya keluthuk, kandang lebah madu yang terbuat dari batang kelapa dibelah. Pada ujung-ujung pelepah kelapa di samping rumah bergantungan sarang burung manyar. Keluarga unggas yang cerewet. Namun suara riuh mereka tidak menjadi nada sumbang. Suara burung-burung di alam bebas; suara yang hanya patuh kepada aba-aba alam. Sentika muncul di pintu depan bersama istrinya. Wajahnya kelihatan demikian hidup, apalagi dengan geraham yang tidak berhenti mengunyah sirih. Mata Nyai Sentika terpaku pada Srintil yang meski tampak lelah namun daya tariknya tak sedikit pun berkurang.
"Saudara-saudaraku dari Dukuh Paruk! Mari, mari. Kami sudah lama menunggu. Dan kami sudah khawatir; jangan-jangan kalian tidak suka datang ke gubuk kami yang terpencil ini."
"Wah, kasihan, Jenganten yang cantik ini," ujar Nyai Sentika sambil menyalami Srintil. "Maafkan kami yang telah memaksa sampean berjalan demikian jauh. Aduh, anakku wong ayu, mari masuk."
Tujuh orang dari Dukuh Paruk, tak seorang pun bisa menyambut keramahan suami-istri Sentika dengan kata-kata. Kehangatan tuan rumah malah membungkam mulut Kartareja dan teman-temannya. Mereka hanya tersenyum dan tertawa. Dalam senyum mereka tergambar rasa segan, atau rendah diri, setelah melihat kenyataan Sentika sungguh seorang yang kaya. Sentika seperti raja kecil di kampung pegunungan itu. Ketika memasuki rumah Sentika orang-orang Dukuh Paruk berjalan sedikit membungkuk. Kecuali Srintil. Sikapnya sangat biasa. Dia memang seperti yang
lain: mengakui bahwa Sentika memiliki kelebihan tertentu. Tetapi Srintil merasa tidak harus menekuk tulang punggung di hadapan laki-laki yang serba dituakan di Alaswangkal itu. Kartareja duduk berhadapan dengan Sentika di meja utama yang berbentuk bundar. Istrinya ditemani Nyai Sentika duduk di atas balai-balai besar di pinggir ruangan. Sakum dan tiga penabuh lainnya mengelilingi meja di sebelah kiri. Srintil tidak mau duduk.
Dengan penampilan yang penuh martabat Srintil langsung meminta kamar buat beristirahat. Kartareja kelihatan tidak menyukai tindakan Srintil. Bagi Kartareja bertamu berarti siap menjadi barang. Soal pengaturan menjadi hak tuan rumah.
"Eh, lha iya. Anakku, kami sudah menyediakan tempat bagimu. Nyai, bawalah anakmu ini ke sana." Mertanakim tidak bohong. Sentika memang telah menyiapkan sambutan yang hampir berlebihan bagi rombongan ronggeng Dukuh Paruk. Kopi segera keluar bersama dodol, kue lapis, dan ketan. Rokok dibagikan sebungkus tiap orang. Buahnya, pisang ambon dan salak. Bahkan juga kelapa muda. Dan karena hari memang sudah siang maka waktu makan pun tiba. Sekali lagi orang-orang Dukuh Paruk itu merasa terlalu dimanjakan. Nasi dari padi gogo dengan lodeh rebung dan gulai ayam. Sambal terasi dengan cabai merah.
Selesai makan siang hanya tinggal Sentika dan Kartareja yang masih duduk di beranda. Sakum dan tiga rekannya boleh memilih sendiri tempat beristirahat. Ada beberapa hal yang harus dibicarakan antara tuan rumah dengan kepala rombongan ronggeng.
"Aku akan menyelenggarakan tayub, Kang," kata Sentika mengawaii bicaranya. "Bagaimana pendapat sampean""
"Ah, ya. Sebetulnya ronggeng tak bisa dipisahkan dengan tayuban. Malah tanpa tayuban sebenarnya pentas ronggeng kehilangan daya tariknya. Tetapi beberapa tahun terakhir ini kami dilarang mengadakan acara tayuban. Larangan resmi, Kang."
"Tetapi aku sudah bertekad melaksanakannya. Lha iya. Aku jamin tak ada sesuatu kesulitan yang akan sampean hadapi. Lagi pula, Alaswangkal ini sangat jauh dari perkampungan lain. Lurah di sini bisa saya atur. Dan tayuban itu khusus bagi si Waras, anakku yang lelaki satu-satunya itu. Lha iya. Bagaimana, Kang""
"Kalau begitu sampean sudah bisa menebak jawaban saya." "Dan aku sudah mendapat satu peti minuman keras dari tauke-ku di kota." "Wah, bisa semringah permainan nanti malam."
"He-he-he, lha iya. Tetapi masih ada satu lagi, Kang. Dan ini yang terpenting; apakah Srintil sudah bersedia menjadi gowok" Aku akan sangat kecewa bila Srintil datang kemari hanya buat meronggeng."
Kartareja tersenyum dengan nada kecewa. "Sampean harus memaafkan aku, Kang. Soalnya meskipun sudah sampai kemari, tetapi aku tidak bisa memberi kepastian. Aku persilakan sampean berbicara langsung dengan Srintil. Siapa tahu."
"Siapa tahu""
"Ya, Kang. Siapa tahu Srintil mengubah pikirannya setelah sampai di Alaswangkal ini. Siapa tahu malah Srintil sendiri yang ingin menjadi gowok setelah melihat anak laki-laki sampean." Sentika tidak berkata lebih lanjut. Pikirannya buntu. Apabila Srintil menolak menjadi gowok, memang, Sentika sudah menyiapkan seorang perempuan lain. Tetapi perempuan itu dalam segala hal bukan tandingan Srintil. Boleh dikatakan perempuan itu tidak akan memberikan gengsi.
Episode 38 Sementara itu di kamarnya Srintil sama sekali tidak beristiraliat. Sejak masuk ke kamar itu pikiran pertama yang muncul di kepala adalah bagaimana dia bisa mengintip anak perjaka tuan rumah. Bagi Srintil, ini perlu sebelum dia memutuskan menerima atau menolak menjadi gowok. Apabila anak Sentika itu rakus dan semena-mena seperti Marsusi, atau bermata keropos seperti Sakum, Srintil pasti akan menolaknya. Masalahnya siapa tahu Waras mirip laki-laki berdasi kupu-kupu itu: Tri Murdo. Atau bila benar kata Sentika bahwa anaknya baru berusia tujuh belas. Yang ini mengesankan. Bila menjalani peran sebagai gowok adalah yang baru bagi Srintil maka melayani laki-laki yang berusia lebih muda adalah hal baru lainnya. Dua hal baru sekaligus. Bagaimana juga Srintil merasa ditantang.
Tetapi sampai bosan mengintip lewat jendela Srintil belum juga melihat seseorang yang dipanggil dengan nama Waras. Tadi ketika pergi ke sumur Srintil memperhatikan setiap laki-laki muda yang pantas sebagai anak Sentika. Tidak ada. Yang kelihatan adalah laki-laki pekerja, perempuan-perempuan pekerja, serta perempuan-perempuan bergiwang dan berkalung besar. Yang terakhir ini tentulah anak-anak Sentika sendiri. Toh penantian itu berakhir juga. Nyai Kartareja buru-buru masuk ke kamar Srintil dan mengajaknya lebih d
ekat ke jendela. "Aku sudah melihatnya," katanya.
"Mana dia""
"Sebenar lagi Waras akan terlihat dari jendela ini." "Nyai yakin""
"Tentu. Aku sedang berada di belakang rumah bersama beberapa perempuan ketika seorang anak muda datang dari arah hutan jati. Orang-orang memberi tahu aku bahwa dialah Waras, anak majikan yang sedang dikauli."
"Bagaimana dia""
"Lihat sendiri nanti. Aku malah belum melihatnya dengan jelas. Nah, itu. Itu!"
Di sana, kira-kira dua puluh meter dari jendela, Srintil melihat seorang anak muda datang diiringi seorang anak kecil. Kesan pertama langsung membuyarkan angan-angan Srintil. Waras bertubuh tipis, jangkung. Dan kelihatan lebih jangkung dengan pakaiannya yang terdiri atas kaus singlet dan celana setinggi lutut. Rambumya dipotong model polka, membuat leher dan kepalanya lebih memanjang ke atas. Pundaknya kurus dan sempit. Tangannya mirip sepasang seruling, kuning pucat dan tanpa otot. Dan rupanya sepasang kaki itu hanya tumbuh memanjang dan memanjang, tidak pernah bertambah besar.
Makin dekat, Srintil makin jelas melihat. Bila benar Waras berusia tujuh belas maka wajahnya jauh lebih muda. Belum jelas gambar kelelakiannya. Dan yang hampir tak bisa dimengerti oleh Srintil adalah sesuatu yang kelihatan amat disayang oleh perjaka Alaswangkal ini. Seekor anak burung podang. Di Dukuh Paruk, Srintil biasa melihat anak burung dipelihara oleh manusia. Tetapi manusia kecil sepuluh tahunan, bukan perjaka jangkung seperti Waras. Ketika melihat bagaimana Waras menyuapi burungnya dengan seekor belalang, Srintil lalu berbalik. Diam sesaat sambil menatap Nyai Kartareja. Bibirnya bergerak-gerak dan menyusul ledakan tawanya. "Eh, jangan keras-keras, Jenganten!"
Srintil terus tertawa sambil membenamkan wajahnya ke pangkuan Nyai Kartareja. Istri dukun ronggeng ini terpaksa menekan kepala Srintil agar suara tawanya tidak menerobos ke luar jendela.
Akhirnya Srintil bangkit. Sambil mengusap matanya dia berkata lirih. "Nyai, sekarang ajari aku bagaimana menjadi gowok. Ajari aku!"
"Eh, Jenganten sudah mau menjadi gowok" Tetapi aku tak bisa mengajari sampean. Aku sendiri tak pernah menjadi gowok."
"Kira-kira saja."
"Nanti dulu, Jengaten. Mengapa baru sekarang sampean menyatakan kesediaan menjadi gowok"" Sekarang bukan hanya Srintil yang tertawa melainkan Nyai Kartareja. Mata mereka basah karena tawa yang berlebihan. Entah mengapa mereka lupa sedang berada di rumah orang. Nyai Kartareja masih berusaha memperpanjang suasana lucu itu dengan berkata, "Dulu ketika sampean menjalani malam bukak-klambu, sampean terkena ruda paksa. Kini tiba saat bagi sampean membuat perhitungan terhadap kaum lelaki!"
Senja di Alaswangkal terasa datang lebih cepat. Perbukitan di sebelah barat membuat sinar matahari redup sebelum waktunya. Suara ratusan burung manyar bertambah riuh sebelum surut perlahan-lahan, kemudian senyap. Ayam yang berpuluh ekor jumlahnya mencari tempat tidur masing-masing di atas pepohonan serta bubungan gubuk tempat menyimpan kayu bakar. Kadang terjadi ketibutan di antara mereka karena perebutan tempat yang nyaman. Dengung lebah madu tak terdengar lagi. Ada seekor gagak berteriak-teriak karena diserbu sepasang burung keket. Kemudian lengang. Langit yang menghitam mulai berhiaskan kelap-kelip bintang. Tidak seperti di Dukuh Paruk, langit senja di Alaswangkal penuh dengan kalong yang terbang dalam satu arah menuju daerah perburuan. Mereka akan menyerbu pohon beringin atau pohon salam yang sedang berbuah. Atau yang pasti: kalong-kalong itu akan mencuri nira dari tabung-tabung bambu yang dipasang oleh para penyadap kelapa.
Rumah Sentika terang benderang oleh tiga buah lampu pompa. Berandanya yang luas dan berlantai ubin batu telah disiapkan sebagai arena ronggeng. Meja-meja ditata di bagian tepi. Bagian tengah kira-kira dua puluh meter persegi dibiarkan kosong. Tikar pandan yang halus digelar di sana.
Penonton yang pertama datang adalah kaum perempuan bersama anak-anak mereka. Sentika sudah sering menggelar pentas ronggeng. Bahkan bisa dikatakan setiap punya hajat orang paling kaya di Alaswangkal itu nanggap ronggeng. Tetapi ba
ru sekali inilah ronggeng yang datang
bernama Srintil dari Dukuh Paruk; sebuah nama yang ketenarannya jauh menembus batas wilayah Dawuan.
Episode 39 Hari makin gelap dan makin banyak sinar obor dari gerumbul-gerumbul di Alaswangkal yang bergerak menujur rumah Sentika. Mereka datang membawa hati yang meriah. Yang masih anak-anak akan terpuaskan rasa ingin tahunya. Yang laki-laki dengan berahi atau nostalgia mereka. Yang perempuan dengan kebanggaan aneh; mereka akan puas melihat seorang perempuan, Srintil, menunjukkan kekuatan fitrahnya terhadap bangsa laki-laki. Bagi perempuan-perempuan kampung hanya dalam tontonan ronggenglah mereka bisa menyaksikan kaum laki-laki dipermainkan oleh lawan jenisnya. Bukan sebaliknya seperti yang mereka alami sehari-hari. Halaman rumah Sentika sudah dipenuhi penonton. Pandangan ke dalam beranda tidak terhalang apa pun karena dinding depan sudah disingkirkan. Di tengah halaman, pada titik di mana langit tidak terhalang dedaunan, ada pedupaan yang mengepul. Dekat pedupaan tertancap gayung. Meski kemarau jelas sudah datang tetapi Kartareja tidak berani mengambil risiko. Maka dia selalu berupaya mencegah turunnya hujan.
Sangat berbeda dengan kcramaian di luar adalah sebuah sudut di dalam rumah Sentika. Di sana Srintil dipertemukan dengan Waras. Sentika yang mempertemukan keduanya setelah mendengar kesediaan Srintil menjadi gowok. Pada mulanya pertemuan itu disaksikan juga oleh hampir semua keluarga besar Sentika. Srintil menerima keramahan yang begitu tulus. Seakan dia sudah benar-benar menjadi anggota keluarga itu. Kemudian tanpa canggung Srintil meminta agar dia di tinggal hanya berdua dengan Waras. Tak seorang pun tersinggung oleh permintaan Srintil itu. Malah sebaliknya. Sentika dan anak-anaknya boleh berbesar hati karena melihat pertanda Srintil ingin lebih akrah dengan Waras.
Sudut yang sengaja dipisahkan itu lengang.
"Aku akan menyebutmu Kakang, meski aku yang lebih tua," kata Srintil mengawali pembicaraannya.
Waras yang kelihatan bingung semenjak ditinggal sendiri kelihatan bertambah bimbang. Tetapi kemudian Waras tersenyum. Senyum seorang anak. Srintil juga tersenyum.
"Nah, jadi kau tidak berkeberatan kupanggil Kang, bukan""
"Kok begitu, ya""
"Memang harus begitu."
"Lalu aku harus menyebut apa kepadamu""
"Srintil. Namaku Srintil. Itu saja."
"Ya. Gampang sekali."
"Memang gampang. Dan, Kang, kau senang bertayub, kan"" "Nonton tayuban, begitu""
"Bukan. Kau menari bersamaku."
"Aku tidak bisa menari. Tetapi Ayah pandai. Nah, menarilah bersama ayahku. Aku yang menonton. Hore... "
"Ah, bukan begitu. Kakang yang harus menari. Gampang sekali, Kang." "Yang bisa menari itu ayahku. Kok aku yang harus menari. Bagaimana"" "Begini, Kang. Kalau kau mau menari, nanti ada upah buatmu." "Upah""
"Ya. Aka akan memberimu upah; nanti, sehabis pertunjukan, kau akan kutemani."
"Kautemani" Aku sudah punya teman. Banyak sekali. Mereka membantu mencari belalang untuk makan burungku."
"Ah, itu kan teman kecil-kecil. Maksudku, nanti kalau Kakang tidur, aku akan menemanimu." "Kalau begitu di mana Emak tidur" Dipan itu tidak muat untuk tidur bertiga. Eh, tetapi kita bisa menggelar tikar di lantai. Kita tidur bertiga. Aku di tengah. Emak dan kamu di pinggir. Nah, hebat, kan""
Srintil tidak tertawa meski hatinya tergelitik bukan main. Ada malapetaka tertentu yang telah menghimpit hidup Waras. Boleh jadi malapetaka itu berlangsung sejak lama. Srintil dapat melihat dan mcrasakan tapak kaki bencana itu pada postur tubuh dan perilaku Waras. Dia tidak mungkin tertawa. Bahkan dia menelan ludah karena iba. Dipegangnya tangan Waras yang kurus seperti buluh. Rasanya Sruitil sedang memegang tangan seorang anak kecil: lembut tanpa otot. "Tidak, Kang. Nanti malam kita hanya akan tidur berdua. Aku dan Kakang. Aku akan bernyanyi rengeng-rengeng agar tidurmu pulas. Emakmu tidak bisa bernyanyi, bukan"" "Tetapi Emak bisa mengelus-elus."
"Aku juga bisa."
"Emak bisa mengipas-ipas."
"Aku juga bisa. Pintar."
"Kamu. Anu, kamu juga mau menemani bila malam hari aku ingin kencing di belakang"" "Ya, tentu."
"Bila sebelum tidur aku ingin berma
in-main, bagaimana"" "Wah, itu bagus."
"Hore! Kalau begitu kamu sangat baik. Aku suka padamu."
Waras bangkit memeluk Srintil, mendekapnya dan menciuminya. Sruitil pasrah saja. Atau geli. Tak ada rangsangan berahi.
Tetapi dari tempatnya yang terlindung suami-istri Sentika memperhatikan ulah anaknya dengan harapan melambung. Mata keduanya berkaca-kaca karena rasa haru. Apa yang selama ini mereka harapkan sudah terjadi. Waras menciumi perempuan. Waras mendekap seorang ronggeng: sesuatu yang bisa dikatakan sebagai pertanda bahwa Waras mempunyai minat terhadap lawan jenis. Memang baru merupakan pertanda, belum mengenai langsung keadaan Waras yang sebenarnya. Namun bagi Sentika dan istrinya hal itu untuk sementara sudah cukup. Kegembiraan Nyai Sentika meluap. Dipanggilnya anak-anak yang semuanya sudah menjadi istri orang.
"He, kemari kamu! Riwed, Darkem, Blokeng, Trombol! Lihat itu adik kalian. Lihat, Waras sedang menciumi ronggeng!"
Jam delapan malam Sakum dan teman-temannya siap menghadapi alat musik masing-masing. Oleh pelayanan luar biasa yang diberikan oleh tuan rumah seluruh anggota rombongan ronggeng kelihatan penuh semangat. Srintil sedang berdandan, ditemani oleh Nyai Kartareja. Anak-anak Sentika memperhatikan si Ronggeng dengan penuh kekaguman. Di luar penonton mulai riuh. Teriakan mulai terdengar agar mereka yang di depan mengambil posisi jongkok atau duduk. Anak kecil dan kaum perempuan berdesakan.
Episode 40 Sentika tampil ke bagian tengah beranda yang kosong. Kepada para penonton Sentika menyatakan hajatnya. Mereka diminta menjadi saksi bahwa pada malam itu, dengan tontonan ronggeng, maka kaul Sentika sudah tunai. Kaul demi anak lelaki satu-satunya yang kini duduk di kursi dengan wajah gembira dan saku baju menggembung penuh uang. Waras kelihatan sangat ceria, keceriaan sehari-hari yang diperlihatkan oleh Waras bila dia sedang bermain-main dengan anak burung kepodangnya.
Kegembiraan penonton tercetus ketika tangan-tangan terlatih mulai menggarap irama calung dalam lagu Sekar Gadung. Sakum yang kelihatan berada dalam kondisi terbaiknya langsung menjadi titik perhatian semua penonton. Matanya yang keropos, tangannya yang cekatan dan senggakannya yang kocak dan konyol. Penonton bertepuk riuh. Sebungkus rokok terbang ke arah para penabuh datang dari arah kepadatan orang. Bungkus pertama disusul oleh yang lain dan beberapa di antaranya melayang dari gerombolan penonton perempuan.
Namun semua orang diam ketika Srintil muncul penonton berdesakan kemudian tenang penuh penantian. Di sana Srintil berdiri anggun. Pribadi dan sosoknya yang sedang berada dalam puncak kemekaran segera menyita perhatian semua orang. Buat sementara saat lamanya Srintil tetap berdiri di tempatnya. Kedua sudut bibirnya sedikit tertarik ke dalam, matanya memancarkan cahaya bening embun pagi. Keseluruhan wajahnya adalah citra wibawa dan pesona yang muncul bersamaan. Dalam waktu yang sekejap itu Srintil telah berhasil membuktikan kepada khalayak bahwa yang empunya malam pertunjukan bukan Sentika, bukan pula Waras anaknya, melainkan Srintil pribadi tanpa seorang pun bisa menggugatnya.
Kemudian Srintil melangkah maju dan duduk dengan anggun di hadapan para penabuh yang sejak tadi terus mengalunkan Sekar Gadung. Srintil mengangkat muka, seakan sedang meyakinkan kepada penonton akan kecantikan wajahnya. Lalu suaranya yang bening masuk, mengalir, dan menjadi irama calung. Sedetik kemudian pecah tepuk tangan ratusan penonton di halaman rumah Sentika. Kegembiraan yang mencekam jiwa semua orang pun mulai.
Ketika memutuskan menerima menjadi gowok bagi Waras maka timbul kesadaran baru di hati Srintil. Bahwa dirinya adalah perempuan dalam falsafah yang amat dalam. Perempuan yang harus mampu berperan banyak di hadapan seorang laki-laki muda yang nyaris tersingkir dari identitas kelelakiannya, seorang perjaka yang tumbuh dalam malapetaka kejiwaan. Kesadaran yang tulus dari naluri seorang ronggeng sejati. Dan kesadaran itu muncul amat besar sebagai warna suatu gerak tari yang hanya bisa dibaca oleh jiwa yang peka terhadap gelombang batin.
Ada ratusan pasang mata menonton Srintil meronggeng. Orang-orang terpenting desa Alaswangkal ada di sekitar arena, tak terkecuali lurahnya. Tetapi Srintil merasa sedang menari di hadapan satu orang: seorang anak muda yang mengharuskan Srintil merasa sebagai ibunya, kadang adiknya, dan kadang teman sepermainannya. Suatu masa warna suara Stintil begitu lembut dan dalam penampilan wajah teduh sebagai gambaran seorang ibu yang sedang mendekap dan mengelus anaknya. Kadang suara Srintil penuh semangat, geraknya cekatan, seperti seorang ibu yang sedang mengajari anaknya berjalan. Dan kadang Srintil melirik dan tersenyum kepada Waras, gerakannya menantang seakan Srintil sedang menggugah naluri kelelakian perjaka Alaswangkal itu.
Dalam keterbelakangannya Waras bisa merasakan sentuhan yang membangkitkan semangat. Dari tempat duduknya di tepi arena kelihatan wajah Waras berseri-seri. Matanya bercahaya. Tetapi ketika Stintil menari dan mendekat sambil mencondongkan wajah, Waras tidak berbuat sesuatu yang sangat diharapkan oleh penonton, terutama ayah dan ibunya. Waras tidak mencium Srintil melainkan hanya meletakkan kedua telapak tangan masing-masing di pipi kiri dan kanan ronggeng itu. Toh adegan yang kurang memuaskan itu tak luput dari kepekaan naluri Sakum yang buta. Tepat ketika tangan Waras menempel di pipi Srintil mulut Sakum meruncing: "ciusssss". Dan penonton pun bersorak-sorai. Waras bertepuk tangan berjingkrak seperti anak kambing selesai menguras tetek induknya.
Babak demi babak terus berlanjut. Alaswangkal yang biasa sepi tersembunyi di belakang hutan jati dan ladang singkong jadi semarak oleh irama calung. Dan sorak-sorai warganya yang malam ini berkumpul di halaman rumah Sentika menonton Srintil berjoget. Tuan rumah sudah menyuruh orang-orangnya mengeluarkan guci-guci berisi ciu. Setcngah jam kemudian mulai terdengar suara-suara yang tidak terkendali. Beberapa peminum mulai mabuk. Lurah Alaswangkal kelihatan gelisah karena syarafnya mulai dikacau oleh ciu. Kemudian laki-laki yang sudah kempot pipi itu bangkit, terhuyung-huyung melangkah ke tengah arena. Dengan mengangkangkan kaki dan membuka kedua tangannya lebar-lebar lurah Alaswungkal mulai bertandak, mengajak Srintil bertayub. Dari mulutnya terdengar tembang yang kacau. Tetapi wajahnya merah terbakar oleh berahi dan minuman keras.
Mula-mula Srintil mengira kedatangan lurah Alaswangkal akan membuat Waras kecewa. Ternyata dugaannya jauh meleset. Waras malah bertepuk tangan memberi semangat kepada lurahnya. Dia berteriak-teriak kegirangan ketika melihat Pak Lurah memasukkan tangan ke dada Srintil buat menaruh uang dan beraksi di sana. Dan pada akhirnya Waras bangkit. Dengan genggaman tangan penuh uang Waras meniru lurahnya. Pada saat yang tak pernah luput mulut Sakum meruncing; "cesssss".
Kemeriahan di rumah Sentika usai sesudah ayam jantan berkokok. Selama tujuh jam Srintil berjoget dan bertembang. Selama itu Srintil melayani sekian banyak laki-laki yang membawanya bertayub dan sekian banyak laki-laki baru puas bila Srintil duduk di atas pangkuannya. Dua-tiga kali Srintil harus masuk ke kamar buat memperbaiki busananya terutama di bagian dada.
Sebanyak itu pula dia harus kembali mengoles bedak di pipi karena pada bagian yang jernih itu paling sering bersentuhan dengan kulit lelaki.
Ketika sinar matahari mulai menyentuh punggung-punggung bukit di Alaswangkal dan mengusir halimun dari sana, Srintil masih lelap di kamarnya di rumah Sentika. Sementara rumah saudagar singkong itu sudah ramai oleh pembantu laki-laki dan perempuan yang banyak jumlahnya. Anak-anak Sentika masih di sana menikmati suasana baru karena di rumah orang tua mereka tinggal seorang ronggeng. Bukan sembarang tinggal. Mulai hari ini Srimil menjadi gowok. Bagaimana sikap Waras terhadap gowoknya itulah yang menjadi daya tarik saudara-saudaranya.
Episode 41 Waras bangun seperti biasa, tepat ketika anak burung piaraannya mulai mencecet. Tetapi kali ini Waras tidak berminat melayani anak burung podang itu. Turun dari tempat tidur Waras mencari emaknya yang sudah sibuk mengatur urusan dapur. "Di mana dia, Mak"" "Dia siapa""
"Yang tadi malam menari. Yang tadi malam kumasuki uang ke dadanya. Di mana dia" Dia tidak pulang, kan""
Nyai Sentika menjatuhkan pundaknya. Ada rasa lega menyapu hatinya. Lega. Perempuan itu yakin anak lelaki satu-satunya itu benar-benar lelaki. Waras memang waras, buktinya dia menanyakan Srintil. Mata Nyai Sentika berkaca-kaca.
"Dia masih tidur, Nak. Kau senang pada Srintil, Nak""
"Senang. Dia cantik ya, Mak""
"Kau mengerti orang cantik""
"Ya. Karena matanya tidak seperti matamu. Kulitnya halus dan mulutnya merah seperti mulut anak burung podang. Jadi dia cantik ya, Mak""
"Ya." "Aku akan membangunkannya. Akan kuajak dia bermain-main." "Eh, jangan. Tunggu sampai dia bangun." Waras kelihatan kecewa. Merengut dia.
"Lebih baik kau pergi mandi sekarang. Srintil tidak akan mau bermain dengan siapa pun yang belum mandi dan berpakaian rapi."
"Begitu, Mak""
"Memang begitu. Nah, ayolah ke sumur."
Waras berlari melompat-lompat. Orang-orang mengikutinya dengan pandangan mata dan senyum. Ada kelucuan yang tragis. Dan hanya Nyai Sentika yang menyimpan harapan besar di balik senyumnya yang samar dan tertahan.
Jam delapan pagi ketika Srintil membuka mata didapatinya seorang perempuan duduk tenang di dekatnya. Nyai Sentika. Tanpa kikuk sedikit pun Srintil bangkit lalu membenahi pakaiannya yang poranda. Rambutnya yang terurai, disanggul sekenanya. Segala gerak-gerik itu berada langsung di bawah tatapan mata Nyai Sentika yang tak kunjung puas mengagumi kesegaran tubuh ronggeng Dukuh Paruk itu.
"Ah, sudah bangun, Jenganten""
"Ya, Nyai. Sudah siang""
"Belum begitu. Jam delapan kira-kira. Ah, ya. Nyai Kartareja bersama rombongannya sudah berangkat pulang. Semuanya sudah beres."
Srintil hanya tersenyum ringan. Nyai Sentika tersenyum puas. Ada masalah yang hendak disampaikan oleh Nyai Sentika kepada Srintil. Bahwa dia dan suaminya hendak segera meninggalkan rumah. Sentika sungguh-sungguh pergi ke kota untuk beherapa hari lamanya. Nyai Sentika hendak menyingkir, bersembunyi di salah satu rumah tetangga. Dan semua anak-anak Sentika siang ini akan pulang ke rumah masing-masing.
"Seharusnya kami menyediakan sebuah rumah khusus untuk sampean dan Waras. Tetapi rasanya lebih baik kami mengalah buat sementara demi anakku si Waras. Untuk tidur pilihlah kamar mana yang kalian suka, selain kamar pribadi kami tentu saja. Dan dengan ini saya serahkan anak saya kepada sampean. Ah, dia memang demikian keadaannya. Sesungguhnya saya merasa malu. Tetapi, sudahlah. Pokoknya saya percayakan kepada sampean."
"Nah! Dia sudah bangun!" ujar Waras yang tiba-tiba muncul di pintu kamar. Bajunya baru dan sakunya penuh uang. Sepasang kaki yang panjang dan lurus muncul di bawah celana hitam sepanjang lutut.
"Apa katanya, Mak" Dia mau bermain-main bersamaku, bukan""
"Tentu saja, Kang," jawab Srintil mendahului Nyai Sentika. "Nanti kita bermain-main sepuas hati. Tetapi sekarang aku mau mandi dulu. Kakang menunggu di sini."
"Jangan lama-lama."
"Ya." "Nanti kamu berdandan seperti tadi malam."
"Ya." Tetapi Waras tidak mau menunggu. Dia mengikuti Srintil ke sumur dengan langkah-langkah gembira. Sumur itu berada di lembah di belakang rumah Sentika. Waras sendiri yang menimba dan mengisi jolang. Bak mandi yang terbuat dari kayu itu segera luber.
"Nah, mandilah. Saya di sini."
"Kakang di situ""
"Ya." "Jangan. Kakang pergi dulu."
"Tidak. Soalnya saya juga selalu di sini bila emak mandi."
"Begitu"" "Ya. He! Tadi malam aku menaruh uang di dadamu. Coba lihat, masih ada"" "Sudah saya simpan, Kang. Sekarang tidak lagi di sini."
"Betul" Nah, tapi aku ingin lihat."
"Jangan, Kang, jangan."
"Kamu sudah berkata, kita berteman. Kamu mau menipu, ya." "Tentu saja tidak, Kang." "Lalu mengapa aku tak boleh melihat dadamu""
Srintil hampir gagal menahan tawanya. Sambil berjongkok menghadap Waras dibukalah pinjungnya. Dadanya terbuka penuh. "Nah, tak ada uang, bukan""
"Ya. Aku percaya sekarang. Tetapi tetek emakku gepeng, mengapa punyamu tidak""
Sekali ini Srintil tidak bisa menemukan jawaban. Maka diciduknya air dengan tangannya lalu dicipratkannya ke arah Waras. Perjaka Alaswangkal itu berteriak girang.
Tak ada pengertian lain baginya kecuali bahwa permainan yang menyenangkan sudah dimulai. Waras kembali menimba air untuk langsung menyiram tubuh Srintil. Permainan berubah menjadi hiruk-pikuk. Dan di tempat-tempat yang tersembunyi beberapa pasang mata mengawasi segalanya. Ada yang tersenyum karena merasa geli. Tetapi kebanyakan orang tersenyum karena rasa kasihan.
Episode 42 Hari ini rumah Sentika menjadi belantara dalam dongeng. Sepasang anak binatang bermain, bersuka-ria dalam keceriaan yang hanya bisa dimiliki oleh anak rusa atau anak kucing. Srintil yang mengambil semua prakarsa. Mula-mula dia mengajak Waras bermain penganten-pengantenan. Srintil berdandan. Cantiknya bukan main-main. Waras diberi blangkon ayahnya. Mereka duduk bersanding.
"Dalam dongeng, Kakang adalah suamiku. Aku istrimu," kata Srintil, "Nah, karena aku sudah menjadi istrimu, maka aku minta uang buat berbelanja."
Dan seterusnya. Kali lain Srintil meminta Waras membelah kayu bakar buat memasak. Waras bekerja di samping rumah dengan semangat yang tidak bisa dikatakan sebagai main-main. Keringatnya membasahi badan. Telapak tangannya lecet oleh gagang kapak. Tetapi hasilnya hanya berupa serpihan-serpihan kayu dalam jumlah yang memalukan. Sementara itu Srintil keluar ke belakang rumah membawa bakul kecil. Dipetiknya pucuk singkong dan daun kecipir. Siapa mengira perempuan yang kelihatan tahu betul tentang urusan dapur itu adalah seorang ronggeng. Semua orang dusun tahu seni memetik sayur-mayur dan seni membawa bakul. Srintil melakukan kedua-duanya dengan jitu, kewes, dan pantes. Keluwesan seorang istri sejati yang hanya mungkin tampil karena Srintil menghayati sepenuhnya peran sebagai gowok.
Atau lebih dari itu. Kesadarannya untuk mewakili dunia perempuan menumbuhkan rasa tanggung jawab ketika menghadapi seseorang yang mempunyai masalah kelelakian. Tanggungjawab itu secara naluri berlanjut menjadi kesadaran yang muncul dalam citra yang sempurna. Lihat, betapa luwes gaya Srintil memetik daun singkong muda. Pohon itu hampir tak tergerak. Betapa cantik gaya Srintil membawa bakul. Keterpaduan antara keluwesan bentuk tangan dan liku-liku pinggul. Amat pas dan menawan, lentur dan indah.
Hampir tengah hari permainan masak-masakan sudah selesai. Srintil memanggil Waras yang masih giat membelah kayu di samping rumah. Nasi dengan lauk tempe goreng, sambal, dan lalaban sudah ditata di meja makan. Srintil tidak lupa menyediakan sejumput tembakau yang diambilnya dari lemari. Waras masuk. Wajahnya mengkilat oleh keringat.
Tangannya kotor. Srintil mengambil air dari tempayan dengan gayung. Waras dimintanya mencuci tangan.
"Habis penganten-pengantenan lalu masak-masakan. Nanti apa lagi"" tanya Waras. Mulutnya penuh nasi.
Srintil berpikir sejenak. Suara anak burung podang mencecet di kurungan.
"Nanti tinggal bermain tidur-tiduran. Kakang lelah karena habis bekerja membelah kayu. Aku pun lelah karena bekerja di dapur. Jadi kita tinggal tidur. Senang ya, Kang""
"Ya. Tetapi nanti dulu. Aku harus mencari belalang buat burungku."
"Jangan, Kang. Kakang jangan ke mana-mana. Aku sudah ingin tidur. Aku ingin tidur bersamamu." Waras hanya sejenak mengangkat wajah. Kemudian kembali menyuap nasi. "Jadi kamu suka bermain tidur-tiduran" Itu kesukaanmu, ya""
Srintil menjawab dengan tarikan ujung bibir yang dipadu dengan pandangan mata redup. Suatu pancaran sugesti yang terarah langsung kepada sisi paling primitif pada diri seorang lelaki. Pancaran yang selayaknya bisa menggetarkan syaraf, mengusik jantung agar berdenyut lebih kuat dan lebih cepat. Apalagi yang mengirimkan rangsangan itu adalah Srintil; duta dunia perempuan yang secara naluriah sadar betul akan fungsi keberadaannya.
Tetapi Waras hanya tertegun sesaat. Karena setidaknya secara samar dia bisa membaca. Bahwa senyum Srintil tidak sama dengan senyum emaknya. Bahwa pandangan mata Srintil terasakan aneh; terasa menggoyang halus naluri dasar yang selama ini tak pernah disadari oleh Waras. Dalam keterbatasannya Waras melihat ada sesuatu pada sinar mata Srintil.
"Aku pernah menangkap burung perkutut di malam hari," kata Waras
tiba-tiba. "Pakai obor." "Burung""
"Kamu belum pernah melihat burung perkutut tidur" Burung itu tidur berdua-dua, berdempetan." "Mungkin begitu."
"Siang hari kadang-kadang mereka bergendongan. Kawin. Aku sering melihatnya. Temanku pernah menangkap sepasang burung jalak yang kawin dan nguwil dari atas pohon dan jatuh ke tanah. Jadi burung-burung suka kawin, ya""
"Mungkin begitu."
"Kambing juga suka kawin. Ayam juga suka kawin. Nah, kamu pernah melihat monyet kawin"" "Belum pernah."
"Wah, hebat. Aku senang sekali melihatnya."
Waras terus bercerita tentang kekawinan binatang-binatang yang pernah dilihatnya. Lancar, tanpa emosi apa pun. Srintil mendengarkannya dengan penuh minat, dengan penuh penantian. Bahwa pada gilirannya Waras akan bercerita juga tentang kekawinan yang lain. Tetapi cerita demikian tak kunjung keluar dari mulut anak perjaka Sentika itu. Waras merasa bercerita tentang aspek kehidupan yang baginya tak mungkin terjadi pada manusia, tentang dunia yang hampa dari keberadaannya.
Tetapi Srintil berhasil membawa Waras masuk ke kamar, mengajaknya bermain tidur-tiduran. Konsep tentang tidur bagi Waras terlalu sederhana. Yakin merebahkan diri di samping emak, miring-meringkuk. Tangan kanan bersembunyi di pangkal ketiak emak dan tangan kiri bermain kain kutangnya. Atau memijit-mijit puting teteknya. Dan demikian jugalah yang dilakukannya terhadap Srintil.
Mula-mula Srintil merasa yang biasa terjadi, terjadilah. Dia menunggu dalam kesadaran seorang ronggeng yang sebenarnya, dengan kerelaan yang hampir mutlak, tanpa sedikit pun menyelipkan kepentingan pribadi di sana. Tetapi penantian itu tawar bahkan kosong. Waras hanya berhenti pada bermain kain kutangnya sambil merengek pelan seperti bayi. Makin lama geraknya makin lemah. Matanya tertutup kemudian terdengar dengkurnya yang teratur dan panjang. Waras lelap dalam mimpi seorang bocah.
Episode 43 Srintil bangkit. Gerakannya lembut agar Waras tidak terjaga. Kemudian dipandanginya perjaka itu. Srintil merasa yakin ada sesuatu yang harus dikutuk; sesuatu yang telah membuat Waras tinggal antara ada dan tiada dalam dunianya. Bahkan Srintil takkan mau mengerti meskipun sesuatu ini misalnya bernama kersane sing akarya jagat, kehendak Sang Mahasutradara. Karena dalam kesadarannya sebagai ronggeng Srintil merasa menjadi malam yang harus berpasangan dengan siang. Atau sejuknya air yang harus menjadi penawar panasnya api. Srintil adalah keperempuanan. Maka dia merasa amat dirugikan ketika menghadapi tiadanya kelelakian. Segala sesuatu di dunia ini ada berpasang-pasangan, demikian pengetahuan dasar Srintil. Pengetahuan yang telah mengakar menjadi keyakinan yang sulit tergeser. Maka selama yakin dirinya perempuan, dia yakin pula bahwa Waras adalah laki-laki dengan kelelakiannya. Menjadi
gowok ialah menjadi seniman pemangku naluri kelelakian. Dan menemukannya kembali bila kelelakian itu hilang. Srintil tidak lupa untuk itulah dia didatangkan ke Alaswangkal. Tetapi lebih dari itu, tanpa mendapat sebutan gowok pun Srintil akan melakukannya dengan kesadaran milik pribadi yang tak bisa diperbandingkan dengan perempuan mana pun, tidak juga dengan Nyai Sentika, perempuan yang telah melahirkan Waras.
Maka malam hari ketika riuh burung manyar yang bersarang pada pohon nyiur telah lama sepi. Dan kegaduhannya digantikan oleh kalong-kalong yang berebut buah salam. Dan di sana bulan menyembul di atas punggung bukit, permainan tidur-tiduran diulang. Srintil berperan lebih berani; menggiring dan menuntun hingga sampai ke titik yang tak mungkin berlanjut. Yakni ketika Srintil meminta Waras memperagakan pengetahuannya tentang sepasang monyet dengan diri mereka berdua sebagai pelaku. Waras kelihatan demikian bingung kemudian menampik. "Itu kan monyet. Kita tak boleh melakukannya. Saru. Kata emak, itu saru dan sembrono. Ora ilok. Dan aku tidak pernah melihat orang berbuat seperti monyet itu. Apa kamu pernah melihatnya"" Dengan pertimbangan yang dalam Srintil menjawab dengan anggukan kepala. Waras terpesona. Dipandangnya Srintil dengan tatapan mata penuh rasa heran, sungguh-sungguh heran. Melalui ang
gukan kepala itu sesungguhnya Srintil sedang melakukan upaya kali terakhir. Penjajagan. Tetapi yang terbaca dari wajah Waras adalah sikap memustahilkan hubungan ragawi antara dua manusia lelaki dan perempuan, apa pun namanya. Srintil harus mendan ludah berkali-kaii karena harus meyakini keadaan Waras: dia benar-benar hilang dari dunia kelelakian dan Srintil pasti tak sanggup lagi menemukannya kembali. Srintil menyerah dalam kekecewaan yang amat sangat. Bukan karena tak terpenuhinya kebutuhan pribadi, melainkan karena kenyataan bahwa pada suatu ketika keperempuanannya sama sekali tidak berarti, hal mana belum pernah sekali pun terbayangkan.
Malam itu Srintil hanya menyediakan diri sebagai perbandingan oleh Waras. Teteknya penuh, tidak gepeng seperti tetek Nyai Sentika. Pipinya kencang, lengannya padat, dan tubuhnya lebih hangat. Mulutnya seperti bayi, harum. Malam itu Waras tidur lebih awal dan lebih lelap. Tidak sekali pun dia bertanya mengapa mereka hanya tinggal berdua dalam rumah yang besar itu. Dia lupa akan emaknya dengan siapa selama ini dia bergantung.
Tiga malam berikutnya adalah pengulangan malam yang pertama. Tetapi Srintil merasa ada sesuatu di luar kamarnya. Dia mencium bau sirih. Dalam kelengangan yang hampir sempuma itu Srintil juga mendengar suara tarikan napas di luar kamar. Dan Srintil sadar, sesuatu harus diperbuatnya. Maka kakinya membuat gerakan-gerakan teratur sehingga menimbulkan suara tertentu. Kemudian dipijitnya hidung Waras yang sedang lelap. Waras melenguh dan Srintil mengeluh secara profesional.
Andaikata Srintil tahu bahwa dua orang yang berada di luar kamar saling berpegangan dengan kepuasan hati yang luar biasa. Andaikan Srintil tahu bahwa kemudian Nyai Sentika dan suaminya berjingkat pergi dengan keyakinan penuh bahwa Waras adalah lelaki yang tidak kurang secuil pun. Dan andaikan Srintil mengerti bahwa gerakan-gerakan kakinya telah membuat orang-orang tua semacam Sentika dan istrinya terkenang akan semangat masa muda, lalu mereka mencari tempat yang baik buat bernostalgia.
Pada hari keempat semuanya selesai. Pagi-pagi sekali Srintil minta diri kepada suami-istri Sentika. Waras tidak tahu karena dia belum bangun. Terjadilah perpisahan yang penuh emosi. Nyai Sentika, bahkan juga anak-anaknya yang perempuan menangis. Srintil ikut menangis. Nyai Sentika memeluk dan mengelus Srintil dengan rasa sayang melebihi rasa terhadap anak kandungnya.
Bersama kabut tipis yang mulai lenyap oleh cahaya matahari Srintil berjalan menuruni bukit, meninggalkan Alaswangkal. Di belakangnya berjalan Mertanakim yang disuruh majikannya mengawal Srintil sampai ke Dukuh Paruk. Sebuah sapu tangan dalam genggaman Srintil penuh uang. Tetapi hanya Srintil pribadi yang tahu bahwa uang yang banyak itu tidak bisa mengusir rasa perih dalam hatinya. Perih karena sesungguhnya Srintil pulang membawa kegagalan yang tidak kepalang. Waras tidak mungkin dilupakannya sepanjang masa; simpati bagi seorang manusia dalam kemalangan abadi. Atau, haruskah Srintil tahu bahwa Waras menangis sejadi-jadinya, melolong, dan berguling-guling ketika dia tahu bahwa Srintil telah meninggalkannya, kembali ke dunia yang kecil terpencil; Dukuh Paruk"
Tidak seorang pun di Dukuh Paruk mempunyai kalender. Bila pun ada tak seorang pun di sana bisa membaca bahwa waktu telah berjalan sampai pada tahun 1964. Dukuh Paruk tetap tegak dan makin gagah dengan ronggeng cantik berusia delapan belas tahun. Dukuh Paruk meraih masa ketenaran yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Bila rombongan ronggeng Dukuh Paruk naik pentas bukan lagi puluhan melainkan ratusan orang yang berkerumun menontonnya. Boleh jadi musik calung dengan tembang Banyumasan adalah hal yang sudah terlalu biasa bagi mereka. Tetapi tentang diri Srintil masalahnya menjadi terlalu istimewa. Dia adalah kesegaran dan gairah hidup. Memandangnya, bahkan hanya sekedar mengenangnya, menjadikan orang sejenak terlepas dari perkara keseharian, suatu hal yang diakui atau tidak menjadi kebutuhan setiap orang. Dan bagi tiap lelaki Srintil adalah angan-angan, kupu yang melambung dan membuat banyak lelaki ingin mena
ngkapnya. Episode 44 Tidak sedikit rumah tangga yang kisruh karena suami benar-benar berusaha memiliki Srintil dan mengambilnya sebagai istri. Banyak anak muda yang memaksa menjual tanah karena ingin tampil pantas dan berkelayakan menggandeng Srintil. Dan semuanya tidak peduli apakah Srintil sungguh-sungguh cantik atau hanya kelihatan cantik berkat susuk yang tersembunyi di balik alis, bibir, atau pinggulnya.
Tetapi di Dukuh Paruk sungguh tidak ada masalah kerumahtanggaan. Tak ada seorang istri pun yang merasa rugi oleh kecantikan Srintil. Boleh jadi karena semua orang di sana masih terikat dalam pertalian darah. Atau karena terikat dalam tatanan nilai yang tersendiri. Sudah biasa di sana seorang istri yang sedang hamil tua atau baru melahirkan menyuruh suaminya meminta jasa kepada Srintil. Nasihat dukun bayi kepada para suami juga bernada sama. "Awas, jangan dulu menjamah istrimu sebelum seratus hari. Mintalah kepada Srintil bila tak bisa menahan diri." Atas kesadaran primordial biasanya Srintil rela memberikan jasa. Namun dalam perkembangannya tak ada lelaki Dukuh Paruk yang memiliki cukup keberanian untuk mendekati Srintil. Bukan hanya karena Srintil sudah demikian kaya menurut ukuran Dukuh Paruk. Atau karena penampilan lahirnya yang sudah jauh berbeda dengan rata-rata orang di pedukuhan itu. Tetapi terutama karena kepribadian Srintil yang bermartabat. Srintil tidak sama dengan ronggeng-ronggeng sebelumnya yang menjadikan uang satu-satunya nilai tukar. Semua orang sudah mencatat bahwa Srintil hanya akan melayani laki-laki yang dia sukai. Atau catatan lain yang istimewa; Srintil senang menerima lelaki yang beristri cantik. Entahlah. Dan apabila laki-laki itu termasuk ke dalam jenisnya yang tidak suka berpetualang maka Srintil yang mengambil prakarsa. Srintil mulai menggodanya.
Pada tahun 1964 itu Dukuh Paruk tetap cabul, sakit, dan bodoh. Perubahan kecil hanya menyangkut Srintil, Sakarya, dan Kartareja. Rumah mereka berkapur bahkan berjendela kaca. Kartareja bisa mempunyai lampu pompa. Demikian juga Sakarya. Selebihnya adalah Dukuh Paruk yang sudah dikenal orang dari generasi ke generasi. Bahkan pada tahun-tahun itu Dukuh Paruk semakin kusam. Pedukuhan yang kecil itu mustahil menghindar dari keruntuhan sistem ekonomi yang sudah lama menggejala secara umum di seluruh negeri.
Atau bila Dukuh Paruk tidak mampu mengerti tentang keadaan ekonomi nasional maka setidaknya dia merasa bahwa alamlah yang menguji mereka. Pelepah pisang dan nyiur runduk, dedaunan luruh dan rumpun-rumpun bambu meranggas. Sawah amat luas yang mengelilingi Dukuh Paruk kering dan gersang. Semuanya terjadi karena kemarau yang menjerang lama melebihi biasanya. Sekali turun hujan maka sawah menghijau oleh tanaman padi. Orang Dukuh Paruk ikut berharap dapat panen, buruh menuai padi. Tetapi berbagai hama datang lebih dulu. Tikus atau walang sangit. Bahkan celeng yang entah datang dari mana ikut merusak harapan orang-orang Dukuh Paruk.
Hanya karena pedukuhan itu bernama Dukuh Paruk maka penghuninya mampu memperlambat datangnya busung lapar. Orang-orang di sana pintar mengolah iles-iles, ubi gadung, atau keladi-keladi gatal seperti senthe urang dan lompong bandung. Bahan-bahan itu diolah dengan cara-cara khusus sehingga mereka tidak mabuk oleh racun iles-iles atau ubi gadung. Lidah mereka tidak menjadi kelu oleh gatalnya keladi-keladi liar. Anehnya orang-orang Dukuh Paruk enggan ikut mengganyang daging tikus. Padahal pada masa itu soal makan daging tikus ramai dipropagandakan orang. Tidak jarang para penganjur berdemonstrasi memakan sate daging tikus di tengah rapat-rapat umum.
Ketika kesulitan pangan menimpa kebanyakan orang maka pentas ronggeng jarang terdengar. Bagaimana juga orang mengutamakan nasi daripada ronggeng dan calung. Kadang Srintil tetap tinggal di rumah hingga berbulan lamanya, menunggu masa panen yang baik tiba. Menunggu saat orang yang hendak mengawinkan atau menyunatkan anak memiliki cukup uang buat biaya berhajat. Pada saat seperti itu Srintil harus melewati masa yang membosankan. Tetapi pada tahun 1964 itu, ketika paceklik merajalela di
mana-mana, ronggeng Dukuh Paruk malah sering naik pentas. Bukan di tempat-tempat orang berhajat melainkan di tengah rapat umum baik siang atau malam hari. Karena sering berada di tengah rapat itu maka rombongan ronggeng Dukuh Paruk mengenal Pak Bakar; orang yang selalu berpidato berapi-api. Pak Bakar dari Dawuan yang amat pandai berbicara, sudah beruban tetapi semangatnya luar biasa. Di mata Srintil, Bakar adalah secrang ayah yang sangat layak. Ramah, dan kelihatannya paham akan banyak hal termasuk perasaan pribadi Srintil. Kebapakannya tidak hanya dibuktikan dengan bayaran tinggi yang selalu diberikannya kepada Srintil tetapi juga dengan sikapnya yang dingin terhadap tujuan-tujuan erotik. Bakar juga memberikan hadiah kepada Srintil beserta rombongannya berupa seperangkat alat pengeras suara; perkakas elektronik pertama yang masuk dan sangat dibanggakan oleh orang Dukuh Paruk.
Dukuh Paruk yang bersahaja serta-merta menerima Bakar sebagai orang bijak yang bisa memimpin dan melindunginya. Bila datang ke sana ahli pidato itu mendapat penghormatan sebagai seorang kamitua laiknya. Kata-katanya dituruti, pengaturannya dijalankan. Satu-satunya jalan yang menjadi pintu masuk ke Dukuh Paruk kini berhias lambang partai. Orang-orang merasa bangga karena itulah pengaturan Bakar. Di depan rumah Kartareja juga dipasang sebuah papan. Tak ada orang Dukuh Paruk yang bisa membaca tulisan dalam papan itu. Namun setidaknya mereka tahu tulisan di sana bersangkutan dengan kesenian renggeng. Kartareja sebagai ketua
rombongan ronggeng Dukuh Paruk harus memasang papan itu di depan rumahnya. Itu pun
pengaturan Bakar. Semua patuh, kecuali Sakarya.
Dan suatu ketika Sakarya mempertanyakan hal itu kepada Kartareja.
"Sampean masih ingat ketika kita pentas pada malam Agustusan setahun yang lalu""
"Ya, tentu. Mengapa"
"Waktu itu kita disebut sebagai kelompok seniman rakyat. Padahal kita tidak pernah mengumumkan nama apa pun. Kemudian ada satu kejadian, aku dilarang membakar kemenyan dan memasang sesaji. Yang menyebut kita seniman rakyat dan melarangku memasang sesaji dialah orangnya. Pak Bakar. Saya tahu pasti. Kini orang itu malah sering datang kemari. Bagaimana, ya""
"Menurut sampean bagaimana, Kang""
Episode 45 "Itulah. Yang jelas hal semacam ini baru sekarang kita alami. Sejak dulu ronggeng ya ronggeng. Tidak harus pakai nama atau papan nama. Dukuh Paruk sejak dulu ya Dukuh Paruk. Tanpa gambar partai di mulut jalan itu pun pedukuhan kita ini bernama Dukuh Paruk. Nah, Kartareja. Bagaimana ini""
Kartareja diam. "Dan ini," sambung Sakarya. "Bagaimana kalau kita selalu dilarang memasang sesaji! Ini pelanggaran adat yang bukan main. Kartareja, aku amat takut menerima akibatnya."
Kartareja masih diam. Tetapi dia mempunyai perasaan yang sama dengan kakek Srintil itu.
"Aku mengerti, Kang. Sayang, semuanya ini kok ya menyangkut Pak Bakar. Dia telah berbuat baik terhadap kita. Kita terlanjur menerima kebaikan-kebaikannya. Atau, mungkinkah kita memutuskan hubungan dengan dia. Bila demikian, Kakang tahu caranya""
Giliran Sakarya yang diam. Kedua-duanya diam. Memutuskan hubungan adalah perkara yang hampir tak dikenal di Dukuh Paruk. Kalaupun harus terjadi maka harus ada alasannya yang nyata, pertengkaran misalnya. Sedangkan Bakar tidak membawa pertengkaran. Dia hanya mencegah Sakarya membakar dupa dan memasang sesaji sesaat pentas ronggeng hendak mulai. Dan itu pun selalu terjadi di luar Dukuh Paruk. Sebaliknya, Bakar datang ke pedukuhan itu membawa sikap kebapakan, memberikan perangkat pengeras suara, bahkan yang terakhir Bakar memberi pakaian lengkap bagi para penabuh calung. Srintil mendapat kain dan perlengkapan lainnya. Sampurnya kain pelangi berwarna merah jingga.
"Ah, begini saja, Kang," kata Kartareja.
"Bagaimana""
"Perkara papan nama dan gambar-gambar itu tak usah kita pikirkan benar. Karena aku melihat di mana-mana di luar Dukuh Paruk sama keadaannya. Kukira kini sedang zamannya. Kalau zaman sedang menghendaki demikian, bukankah kita tinggal patuh""
"Memang, siapa pula yang bisa menampik kersaning zaman. Tetapi perkara sesaji menyangkut semua orang
Dukuh Paruk dan leluhurnya, Ki Secamenggala. Zaman apa pun tidak boleh mengubah tata cara ini. Aku bilang tidak boleh!"
"Itu pun ada pemecahannya, Kang. Begini. Kalau kita hendak berangkat pentas, sesaji kita laksanakan dulu di sini. Atau bahkan di makam Eyang Secamenggala. Kukira ini sama saja."
Sesungguhnya Sakarya tidak puas dengan jawaban Kartareja. Menjadi pemangku trah Dukuh Paruk baginya bukanlah perkara gampangan. Dan nuraninya tetap, tidak rela bila Dukuh Paruk berubah. Dia tetap ingin melihat Dukuh Paruk seperti aslinya. Terutama tentang sikap seluruh warganya terhadap arwah moyang mereka, Eyang Secamenggala. Namun Sakarya merasa telah terlampau tua buat berpikir yang berat-berat. Dia sadar betul dirinya sudah mencapai usia di mana banyak keinginan harus tetap tinggal menjadi keinginan. Tiada tenaga lagi buat melaksanakannya menjadi kenyataan. Akhirnya dia menerima kata-kata Kartareja.
Atau karena ternyata kemudian Bakar memang berhenti pada titik yang bersahaja. Di luar Dukuh Paruk, Bakar berpropaganda macam-macam, yang pasti sulit dimengerti oleh orang Dukuh Paruk. Misalnya tentang perjuangan kaum tertindas untuk mendapatkan kembali hak-haknya. Perjuangan dan hak adalah hal yang boleh seribu kali diterangkan di Dukuh Paruk, dan orang di sana akan tetap bingung memikirkannya. Dukuh Paruk yang percaya bahwa hidup ini mestilah demikian adanya dan merupakan sebuah pakem yang sudah kering tinta, maka tak perlu ada perjuangan. Dan hak hanya kelihatan samar di bawah sikap yang nrimo pandum.
Tidak. Bakar tidak bicara macam-macam di Dukuh Paruk. Dia hanya ingin Srintil dan rombongannya menjadi alat penarik massa, sekaligus mendaulatnya. Tujuan itu sudah berhasil dicapai dengan modal tak seberapa: pengeras suara, pakaian-pakaian, serta sikap kebapakan. Juga slogan-slogan yang telah diubah menjadi syair untuk mengganti lirik tembang tradisional. Jadilah rombongan ronggeng Dukuh Paruk bagian yang pasti rapat-rapat propaganda yang diselengarakan oleh Bakar beserta orang-orangnya. Rapat selalu berlangsung hingar-bingar. Pengunjung bukan main banyak. Mereka datang demi Bakar atau demi Srintil. Yang demikian ini tidak penting bagi Bakar. Pokoknya massa yang amat banyak telah berkumpul dan dia berkesempatan mengolah emosi mereka. Hanya emosi, karena seorang dengan kepala penuh teori seperti Bakar pasti tahu bahwa lebih dari itu, tentang kesadaran ideologi misalnya, sulit dimengerti oleh orang-orang dusun. Orang-orang bersahaja itu kebanyakan tidak memiliki sarana batin buat memahami konsep ideologi apa pun.
Kalaulah mau dibuat catatan tentang ideologi dasar orang-orang dusun maka di sana ada keyakinan mesianistik. Bahwa mereka dalam penantian akan datangnya Ratu Adil. Dari sisi inilah Bakar paling sering muncul. Secara tidak langsung kelompoknya ingin diakui sebagai pengejawantahan Ratu Adil yang akan memberi keadilan, misalnya dengan janji pembagian tanah yang sama rata sama rasa. Catatan membuktikan bahwa dengan cara ini Bakar berhasil. Adalah Srintil yang tidak tahu apakah dalam hidup ini diperlukan rapat-rapat, pidato, dan pawai-pawai. Atau segala kegiatan hura-hura, itu. Dan Srintil yang tidak mengerti tujuan rapat-rapat yang belakangan selalu diikutinya dan dia mengisi acara kesenian. Srintil yang menjadi unsur paling penting bagi Dukuh Paruk adalah anak kandung keluguan alam dan kehidupan. Dia yang hidup atas dasar kepercayaan menjalani alur cetak biru yang sudah ditentukan baginya, cetak biru seorang ronggeng.
Alur itu sudah ditempuhnya dengan kerelaan sempurna. Menjadi ronggeng yang diterimanya sebagai tugas hidup, ialah menjadi pemangku naluri primitif, nalun berahi yang membebaskan diri dari norma dan etika yang menyusul kemudian. Itulah dunianya, kesadarannya. Dalam kesadaran itu Srintil merasa pasti ada sesuatu yang hilang ketika dia berpentas pada rapat-rapat propaganda itu. Srintil takkan pernah mampu berkata demikian. Namun nalurinya secara pasti merasakan adanya pendangkalan makna keberadaannya. Ronggeng adalah keperempuanan yang menari, menyanyi, serta kerelaan melayani kelelakian. Dia pastilah bersifat mand
iri dan mendasar. Tetapi selama mengikuti Bakar, untuk apa dan siapa dia meronggeng sungguh menjadi pertanyaan yang sulit dijawabnya.
Episode 46
Lintang Kemukus Dinihari Karya Ahmad Tohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meski dalam wawasan yang sederhana Srintil merasa pentas ronggeng dalam rapat-rapat itu sekedar pelengkap. Memang meriah, tetapi lain. Gempita tetapi kering makna. Apalagi dengan lirik tembang yang sudah banyak diubah. Penonton selalu dalam keberingasan yang tidak bisa dimengerti dan karenanya Srintil kadang merasa ngeri. Bahkan Sakum yang buta dua belah mata ikut mewarnai perubahan yang dirasakan Srintil. Penabuh calung itu kehilangan dirinya; kekocakan spontan yang selalu tepat ketika ronggeng menggoyang pinggulnya. Sakum, dengan kepekaan dan kehalusan perasaannya mampu menangkap keringnya pentas ronggeng yang digelar bersama rapat-rapat propaganda itu.
Acap kali Srintil merenung mengapa segala perasaan itu baru datang setelah kebaikan-kebaikan Bakar bertumpuk menjadi utang budi yang sulit dihindari. Pernah sekali dicobanya menolak naik panggung yang diselenggarakan oleh Bakar. Tetapi ketika utusan Bakar datang menjemputnya mulut Srintil terkunci. Kata tidak yang sudah lama dipersiapkannya tidak kunjung terucap. Akhirnya pada tahun 1964 menjelang tahun berikutnya Dukuh Paruk dan ronggengnya berbaur dalam satu pengertian dengan kelompok Bakar. Srintil mendapat julukan baru yang cepat menjadi tenar: Ronggeng Rakyat. Sebutan ronggeng Dukuh Paruk kian tersingkir. Tetapi makin jarang terdengar nama Dukuh Paruk, Srintil makin merindukannya. Dukuh Paruk yang meskipun tanpa pengeras suara atau lambang-lambang partai dan tetap melarat dan cabul, tetapi lugu dan sejati. Lirik tembangnya tidak usah diganti dengan slogan-slogan. Tak perlu hingar-bingar dan hura-hura rapat. Kerinduan Srintil akan dunianya memuncak setelah mendapat pengalaman baru bersama Bakar; pengalaman baru yang menggoncangkan jiwanya. Suatu ketika sehabis rapat di mana Srintil mengisi acara kesenian, ratusan penonton mabuk. Mereka kesurupan, kemudian mereka beramai-ramai merojeng padi. Mereka membabat padi menguning di sawah-sawah entah milik siapa. Malam yang amat rusuh karena kemudian datang para pemilik sawah untuk mempertahankan padi mereka. Polisi datang tetapi tujuh orang terlanjur tercampak berlumur darah.
Kegaduhan pertama disusul oleh yang kedua, sebulan kemudian, dan yang ketiga pada bulan berikutnya lagi. Dalam kerusuhan yang terakhir keadaannya demikian genting karena terjadi siang hari dan melibatkan ratusan orang dari pihak perojeng dan para pemilik sawah. Perang pacul dan sabit hanya gagal karena polisi tidak terlambat datang. Namun kengerian yang terjadi membuat Srintil mengambil kata putus. Sakarya mendukungnya. Cucu dan kakek itu mendatangi rumah Bakar di Dawuan dengan keluhan yang telah meningkat menjadi tuntutan. "Pak Bakar," kata Sakarya penuh kekesalan. "Kami orang-orang Dukuh Paruk tidak ingin dilibatkan dengan kerusuhan-kerusuhan itu. Bila demikian terus keadaannya samalah artinya sampean menjerumuskan kami. Orang Dukuh Paruk tidak menyukai kekerasan. Pak Bakar, buat selanjutnya kami tak mau ikut rapat-rapat itu."
"Ya, Pak," sela Srintil. "Akhirnya orang pasti menghubungkan kami dengan kerusuhan di sawah-sawah itu."
"Ah, kalian orang-orang Dukuh Paruk," kata Bakar masih dengan sikap kebapakannya. "Kalian tak perlu terpengaruh oleh perasaan cengeng semacam itu. Yang sedang terjadi adalah sebuah aksi massa, sebuah gerakan kaum miskin yang sekian lama mengalami ketidakadilan. Mereka berkeringat mengerjakan sawah para pemilik tanah. Tetapi mereka tak pernah ikut memetik hasilnya kecuali sekedar untuk hidup, bahkan kurang dan itu. Kini saatnya mereka menuntut hak."
"Dengan cara kekerasan semacam itu""
"Dengan cara apa pun."
"Jadi sampean menyetujui gerakan para perojeng itu""
"Aku tak bisa mencegah sebuah aksi massa yang sedang berjuang menuntut hak." "Maka jadilah! Cukup sekian. Kami takkan mencampuri urusan sampean. Tetapi jangan sekali-kali sampean urusi bagian kami orang-orang Dukuh Paruk. Kami tidak ingin terlibat dalam kerusuhan apa pun."
"Nanti dulu, Kang Sakarya," ujar Bakar sambil tersenyu
m. "Aku yakin betul, apa yang terjadi di sawah-sawah itu seharusnya tidak asing bagi semua orang Dukuh Paruk. Nah, apa kalian mengira aku tidak tahu siapa dan bagaimana kelakuan nenek moyang kalian""
Sakarya terperanjat. Kata-kata Bakar tak diduganya sama sekali. Kata-kata itu mengandung penghinaan, menyangkut moyang Dukuh Paruk yang amat dikeramatkan oleh sekalian keturunannya. Ki Secamenggala yang semasa hidupnya menjadi bromocorah, pemimpin rampok yang tidak hanya sekali-dua membunuh korbannya. Tetapi bagaimana jua Ki Secamenggala adalah laki-laki dari siapa darah semua orang Dukuh Paruk berasal.
"Oh, Pak Bakar. Sampean telah menyinggung perasaan kami. Tetapi sesungguhnya sampean tidak mengerti sepenuhnya siapa Ki Secamenggala, moyang kami. Sampean lupa bahwa moyang kami tidak mati dalam peristiwa perampokan atau kerusuhan lainnya. Dia mati dengan tenang di tempat sepi di Dukuh Paruk dalam masa tua yang penuh penyesalan. Aku sendirilah kini pemangku wasiat-wasiat yang diucapkannya menjelang akhir hayat. Kami dilarang keras berbuat sesuatu yang merugikan orang lain, apalagi dengan kekerasan."
"Begitu"" "Jadi sejak saat ini ronggeng Dukuh Paruk kularang mengikuti rapat-rapat."
"Ya, Pak. Aku tak mau lagi menari bila sesudah itu terjadi keributan," ujar Srintil. Bakar termenung sejenak. Mengangguk-angguk, kemudian wajahnya kembali tenang. "Baiklah. Kukira kalian memang perlu istirahat."
"Dan sampean hendaknya mengambil kembali lambang partai dan papan nama itu dari Dukuh Paruk."
"Ah, tidak sejauh itu. Biarkan papan itu terpasang di sana. Aku takkan mengambilnya. Siapa pun tidak boleh menyingkirkannya. Siapa yang berbuat begitu pasti akan menghadapi kemarahan pemuda-pemudaku. Nah, kalian tidak ingin melihat kerusuhan, bukan""
Episode 47 Srintil bersama kakeknya pulang dengan hati lega. Keduanya merasa telah keluar dari keterikatan yang semula sulit dihindarkan. Sakarya berharap akan kembali melihat Dukuh Paruk mapan seperti semula. Pada ujung usianya Sakarya tidak ingin melihat pusakanya berubah. Memang di sana masih ada lambang partai serta simbol sebuah lembaga kesenian. Namun hal itu bisa diterima oleh Sakarya sebagai nilai tukar seperangkat pengeras suara yang diberikan oleh Bakar kepada orang-orang Dukuh Paruk.
Goder yang kini dua tahun dan sudah pintar berjalan bisa lebih lama menikmati keibuan Srintil. Siapa mengira bahwa antara keduanya hanya dihubungkan oleh naluri dasar seorang perempuan dan kebersihan hati seorang bayi. Tubuh Goder yang selalu telanjang gemuk seperti terong. Subur seperti kecambah. Bersama Srintil Goder memperoleh banyak hal yang tidak pernah diterima oleh bayi-bayi Dukuh Paruk lainnya. Dia mempunyai semua mainan yang bisa dibeli di pasar Dawuan. Kadang Srintil bahkan berbuat hal yang berlebihan, misalnya membeli beberapa ekor kambing atas nama Goder, memotong ayam atas nama Goder. Dan sebidang sawah yang dibeli Srintil tahun lalu kini tercatat atas nama Goder.
Orang mengatakan Srintil demikian memanjakan Goder karena dia khawatir anak itu akan diambil kembali oleh emaknya, Tampi. Boleh jadi. Namun Srintil sendiri merasa kebaikannya terhadap Goder belum senilai dengan kebahagiaan yang dia rasakan karena bisa memeluk anak itu setiap hari. Goder adalah harapan masa depan bila nasib kebanyakan ronggeng terjadi pula atas dirinya: hidup sendiri di hari tua karena peranakan rusak.
Beberapa hari lamanya calung ronggeng Dukuh Paruk tetap tersimpan di tempatnya. Dukuh Paruk terasing dari kebisingan rapat-rapat dan pawai-pawai politik yang panasnya menjerang desa-desa di sekitarnya. Dengan mengambil sikap tidak mau tahu dan membisu orang-orang di sana yakin telah memelihara pedukuhan dalam wataknya yang asli. Namun ketenangan Dukuh Paruk tidak berlangsung lama. Suatu hari Sakarya menangis keras karena mendapati cungkup makam Ki Secamenggala poranda dirobohkan orang. Dukuh Paruk terluka parah tepat pada sisinya yang paling peka.
Dalam sekejap semua warga naik ke pekuburan di puncak bukit itu. Anak-anak dituntun emaknya. Sakum yang buta terlunta-lunta mengikuti langkah anaknya. Semuanya dengan kesedihan d
an kemarahan yang tidak kepalang. Dua orang perempuan tua menangis, sungguh-sungguh menangis.
"Ini pasti ulah Bakar. Asu buntung dia. Bajingan!" umpat Sakarya dengan suara parau. "Monyet munyuk itu jengkel karena kita tidak mau lagi bekerja sama dengan mereka. Asu buntung!"
"Kita tidak bisa menerima semua ini!" teriak Kartareja. "Oh, Eyang. Semoga yang merusak makammu ini mampus termakan pathek dan bubul. Atau raja singa sekalian!"
"He, Darkim! Cabut dan bakar lambang partai di mulut jalan itu. Cabut juga papan nama di depan rumah Kartareja."
Seorang muda yang disebut Darkim lari menuruni bukit pekuburan Dukuh Paruk, siap menjalankan perintah Sakarya. Tetapi seorang laki-laki lain menghentikannya. Yang terakhir ini muncul dari balik semak membawa sebuah caping bambu bercat hijau, bertuliskan sesuatu yang tak seorang pun bisa membunyikannya.
"Caping ini kutemukan di balik semak. Kita tak pernah mempunyai barang seperti demikian. Ini pasti milik bajingan-bajingan yang telah merusak cungkup makam.
Suasana menjadi hening tetapi tetap tegang. Semua mata memandang caping hijau itu. Dan meski mereka tak bisa membaca tetapi mereka telah mengerti sesuatu. Caping hijau. Orang-orang Bakar tak pernah memakai caping seperti itu.
Sakarya menjatuhkan pundak dan mendesah. Sambil menggendong kedua tangan orang tertua di Dukuh Paruk berjalan berkeliling menatap reruntuhan cungkup makam. "Pulanglah, anak-anak. Ambillah perkakas kalian. Kita perbaiki cungkup Eyang Secamenggala sekarang juga."
Berita tentang perusakan makam Ki Secamenggala cepat tersebar ke mana-mana, tanpa seorang Dukuh Paruk pun menceritakan hal yang merampas kehormatan mereka itu keluar. Dan para perusak yang memakai caping hijau. Pada tahun 1965 itu siapa pun tahu kelompok petani mana yang suka berpawai atau berkumpul dalam rapat dengan tutup kepala seperti itu. Belum pernah sekali pun Dukuh Paruk merasa terhina demikian dalam. Dia muram dan diam menahan murka. Semua warga memusatkan kebersamaan rasa, siap membayar kembali dengan tunai penghinaan yang telah mereka terima. Dan balas dendam itu hanya tertunda karena orang-orang Dukuh Paruk belum menemukan nama para penghina itu.
Polisi yang mendapat laporan kejadian di Dukuh Paruk hanya menambah kekecewaan orang di sana. Sampai lima hari lamanya polisi belum bisa memberi keterangan siapa sebenarnya para pelaku. Bahkan polisi membuat Sakarya lebih jengkel dengan melarang keras orang Dukuh Paruk mengambil tindakan sendiri dalam masalah makam Ki Secamenggala itu.
Akhirnya orang Dukuh Paruk menemukan jalan buat melampiaskan murka. Bukan dengan jalan mengayun parang atau meninju kepala orang-orang bercaping hijau, melainkan dengan cara menerima ajakan Bakar untuk meramaikan kembali rapat-rapat propaganda. Srintil kembali menari dengan semangat luar biasa. Dia tidak peduli lagi apakah menari demi keramaian rapat sesuai dengan roh sejati seorang ronggeng. Dengan tarian yang lebih berani dan menantang Srintil merasa sedang membalas serangan orang-orang bercaping hijau atas nama Dukuh Paruk, atas nama arwah Ki Secamenggala yang makamnya baru saja dirusak orang. Sakum menemukan kembali cirinya: membakar setiap pentas dengan seruan-seruan yang jitu dan cabul. Bahkan Sakum ikut berteriak lantang ketika dalam pidatonya Bakar mengucapkan kata-kata serangan terhadap kaum bercaping hijau.
Murka tidak kepalang yang mengusik Dukuh Paruk membuat ronggengnya tidak kehabisan semangat. Pada akhir bulan September 1965 it Srintil sudah dua minggu manggung terus-menerus di arena pasar malam di lapangan kota Dawuan atas nama kelompok Bakar. Dua minggu yang jor-joran, sarat dengan pemberontakan budaya. Tayub yang secara resmi dilarang pemerintah, pada pasar malam bulan September 1965 itu digalakkan kembali dengan semena-mena. Siapa saja boleh naik panggung rakyat buat berjoget atau menciumi Srintil sepuas hati. Cuma-cuma
Episode 48 Sampailah hari pertama bulan Oktober. Hari pertama yang disusul hari-hari berikutnya, suatu masa yang tidak bisa dimengerti oleh siapa pun di Dukuh Paruk. Tiba-tiba mereka merasakan kehidupan menjadi gagu dan limbung. P
asar malam bubar tanpa pengumuman apa pun. Dawuan, terutama pasarnya yang biasa ramai kian hari kian sepi. Orang-orang kelihatan lebih banyak diam dan menunggu.
Kebingungan yang melanda Dukuh Paruk sedikit demi sedikit mencair. Dimulai dengan selentingan berita bahwa di Jakarta, sebuah negeri antah berantah bagi orang Dukuh Paruk, telah terjadi pembunuhan-pembunuhan. Pelaku pembunuhan adalah orang-orang semacam Bakar. Korbannya adalah pejabat-pejabat negara. Tetapi pada mulanya Dukuh Paruk menampik berita ini. "Itu kan baru kata orang," kata Sakarya. "Siapa pun yang membawa kabar itu pasti tidak menyaksikannya sendiri."
Kemudian suatu malam muncul Bakar bersama tiga temannya di Dukuh Paruk. Sakarya dan Kartareja yang ingin bertanya tentang banyak hal hanya mendapat jawaban singkat. Dan Bakar kelihatan sudah kehilangan ketenangannya.
"Pokoknya tidak ada apa-apa. Kalian mesti tetap tenang."
"Sampean sendiri kelihatan gugup," kata Sakarya.
"Terus-teranglah. Apa yang sebenarnya sedang terjadi""
"Di Jakarta para tentara sedang saling bunuh."
"Perang"" "Ya." "Akan sampai ke sini"" "Bisa jadi."
"Kami harus bagaimana""
"Tenang, kataku. Kalian tidak tahu apa-apa. Dan satu hal; kami akan berada di sini dua-tiga hari. Tetapi kalian harus tutup mulut. Jangan banyak bicara bila tidak ingin ada pelor nyasar."
Bakar lenyap setelah tiga hari berada di rumah Sakarya. Selama itu dia bersama teman-temannya hanya keluar bila berhajat. Itu pun dilakukannya malam hari. Berita tentang Bakar sampai ke Dukuh Paruk seminggu kemudian. Rumahnya habis dimangsa api. Juga beberapa rumah lain milik orang-orangnya. Polisi atau tentara menahan mereka.
"Aku makin tidak mengerti, Kang," kata Kartareja kepada Sakarya suatu malam. "Kabar di luar makin mengerikan. Terus terang aku khawatir Dukuh Paruk akan tetap dihubungkan dengan Bakar. Bila demikian halnya, bagaimana, Kang""
Pertanyaan itu mengambang sekian lama tanpa jawaban. Beberapa orang yang menanti Sakarya membuka mulut akhirnya mengerti bahwa kamitua Dukuh Paruk itu pun dalam keadaan bimbang.
Hanya karena sadar sebagai seorang sesepuh maka Sakarya bertutur. Suaranya bergetar dalam tengorokan.
"Inilah yang dulu saya katakan, dalam hidup segala hal mestilah dilakukan pada batas kewajaran. Karena keselamatan berada di tengah antara dua hal yang saling berlawanan. Jadi keselamatan adalah jalan tengah, atau kewajaran atau keberimbangan. Yang kita saksikan akhir-akhir ini adalah kehidupan sang serba tidak wajar, melampaui batas. Dan kehidupan takkan kembali berimbang sebelum dia mengalami akibat ketidakwajaran itu. E, anakku, cucuku, kita sendiri telah ikut-ikutan lupa."
Semua pendengar menundukkan kepala. Sakarya telah berbicara dalam bahasa dan wawasan Dukuh Paruk sehingga tak ada makna yang luput dari pernahaman anak-cucunya. Keheningan terus mengembang. Suara burung celepuk bersahutan mendaulat udara Dukuh Paruk. Orang di sana sudah terbiasa niendengar suara unggas itu. Tetapi kali ini mereka merasakan adanya pesan halus dari alam pekuburan Dukuh Paruk; pesan yang tidak mudah dipahami dan yang hanya membuat orang-orang merasa kecil tak berdaya.
"Jadi kita harus bagaimana, Kek"" kata Srintil memecah keheningan.
"Kita hanya tinggal pasrah, eling, dan waspada. Aku minta kalian yang muda-muda berjaga-jaga, meronda pedukuhan kita setiap malam. Yang tua-tua bersiap, Jumat Kliwon mendatang kita akan membersihkan makam Eyang Secamenggala. Kita akan slametan. Mara bahaya yang mungkin menimpa kehidupan harus kita tumbal."
Awal kemarau tahun 1966. Malam yang sangat dingin menyertakan kecemasan yang meluas. Annjng-anjing liar yang beringas karena terangsang bau darah. Atau mayat-mayat yang tidak diurus secara layak. Angin tenggara membawa bau bunga bangkai. Dini hari di langit timur muncul tanda keperkasaan alam. Lintang kemukus menggaris langit dengan ujungnya yang runcing kemilau. Suara malam ialah bunyi langkah sepatu yang berat. Dan letupan bedil sekali-sekali.
Orang Dukuh Paruk belum sempat menyelenggarakan selamatan. Suatu malam puluhan orang datang mengendap-endap mengepung rapat pemukiman terpencil itu. Ke
datangan mereka diketahui oleh anak-anak muda yang meronda. Dukuh Paruk bangun buat mempertahankan diri. Semua laki-laki mengambil kentongan, memukulnya serentak hingga terjadi suasana genting tak terperikan. Semua perempuan ikut memukuli benda apa saja. Semua anak menjerit ketakutan. Para pengepung lari mengundurkan diri.
Keesokan hari semua orang Dukuh Paruk berkumpul di rumah Sakarya. Wajah mereka adalah wajah-wajah lugu yang menyimpan ketakutan luar biasa. Sakarya menangis. Di hadapannya berhimpun seluruh darah daging Ki Secamenggala yang datang mencari perlindungan. Mereka hanya bisa disamakan anak-anak ayam yang lari berlindung ke bawah sayap induknya dari sambaran burung elang. Perempuan-perempuan mengusap air mata. Anak-anak bergayut di lengan emak dengan pertanyaan besar muncul dari mata mereka yang masih bening. Semua laki-laki membisu.
"Aku akan pergi ke kantor polisi!" kata Srintil tiba-tiba. "Aku akan bertanya kepada mereka apa kesalahan kita."
"Ya. Aku setuju." ujar Kartareja. "Kami hanya meronggeng. Kita sama sekali tidak merojeng padi siapa pun. Srintil, aku akan menyertaimu ke kantor polisi."
"Jangan, cucuku. Kamu harus tetap di sini bersamaku. Kamu jangan ke mana-mana," tangis Nyai Sakarya.
"Kita yakin tidak bersalah. Kita harus mencari pengayoman. Polisi harus memberi pengayoman kepada kita; kaula yang tidak bersalah."
Kata-kata Kartareja menimbulkan sedikit harapan dan percaya diri. Hanya Nyai Sakarya yang mempertahankan Srintil agar jangan pergi ke kantor polisi. Tetapi nenek itu mengalah karena Srintil bersikeras.
"Aku mengenal mereka, Nek. Juga komandannya," kata Srintil.
Episode 49 Ketika Srintil dan Kartareja berangkat semua mata mengikutinya. Harapan terakhir sudah dilayangkan. Dukuh Paruk menanti dengan berbagai pertanyaan tetap mengusik hati. Seorang kusir andong melihat Srintil bersama Kartareja berjalan di ujung pematang hampir mencapai jalan besar. Tetapi kusir itu tidak menghentikan kendaraannya, tidak pula menawarkan jasa seperti biasa. Orang-orang yang pulang dari pasar Dawuan tidak menyapa ketika berpapasan dengan ronggeng Dukuh Paruk itu. Mereka berjalan menunduk menghindari pandangan mata Srintil. Pasar Dawuan telah kehilangan kehangatan bagi ronggeng yang dulu sangat dipuja. Para pedagang di sana memandang dingin kepada Srintil yang lewat di hadapan mereka, langsung menuju kantor polisi.
Sampai di depan kantor yaing dituju Kartareja berhenti termangu. Jelas sekali keraguannya. Tetapi Srintil terus melangkah. "Ayolah, Kek. Orang tak bersalah tidak perlu merasa takut." Di kantor itu ternyata bukan hanya polisi, melainkan tentara juga ada di sana. Mereka segera mengenal siapa yang sedang melangkah memasuki halaman. Mereka saling pandang karena pada saat genting seperti itu dua orang yang dikenal sering tampil bersama Bakar muncul di kantor polisi. Namun Komandan Polisi dan seorang tentara menyilakan Srintil dan Kartareja masuk. Yang lain berdiri dengan sikap kaku.
"Kami datang kemari hendak bertanya, Pak," kata Srintil dengan keberanian yang masih tersisa. "Tadi malam beberapa orang datang mengepung rumah-rumah kami. Tentulah mereka bermaksud buruk. Maka kami ingin minta perlindungan karena kami merasa tidak berbuat salah apa pun. Apabila kami dikatakan salah maka tolong, Pak. Katakan apakah kesalahan kami." Pak Komandan gelisah. Tangannya bergerak tak menentu. Matanya tak berani menatap Srintil. Padahal benar dia telah mengenal ronggeng Dukuh Paruk itu. Bahkan kemudian dia bangkit masuk ke kamar lain diikuti oleh seorang tentara. Kedua laki-laki berpistol itu berbicara dengan suara kecil.
"Mereka malah datang sendiri. Bagaimana ini"" "Betul nama-nama mereka tercantum dalam daftar""
"Ini, lihat," kata Komandan Polisi sambil membuka catatan yang mulai kumal.
"Saya kira ini kebetulan. Setidaknya menghemat pekerjaan." "Jadi begitu"" "Begitu saja."
Komandan keluar lagi. Wajahnya keras. Resmi. Pandangannya lurus ke depan, ke halaman kantor. "Tentang orang yang mengepung Dukuh Paruk akan kami selidiki. Tetapi di luar masalah itu ada hal penting yang akan kami sampaikan buat kalian berdua. B
ahwa Saudara Kartareja dan Saudara Srintil termasuk orang-orang yang harus kami tahan. Ini perintah atasan. Dan kami hanya melaksanakan tugas."
Srintil mendengar seluruh ucapan Komandan. Kata-kata itu menjadi masukan yang ternyata amat sulit dijabarkan menjadi pengertian dan kesadaran. Ketika pengertian itu baru muncul samar jiwanya menampik dengan keras. Seluruh proses yang terjadi pada diri Srintil memerlukan tenaga ekstra. Jantung berdenyut lebih cepat dan darah terpusat pada otak dan pusat-pusat syaraf. Wajah Srintil pucat tidak kebagian darah. Tangan dan kakinya berkeringat dingin. Dan Srintil tergagap dalam upaya menggapai dirinya kembali.
"Tahan" Kami ditahan""
Srintil mencoba tersenymn sebagai usaha terakhir menolak kenyataan. Tetapi senyum itu berhenti pada gerak bibir seperti orang hendak menangis. Lama sekali wajahnya berubah menjadi topeng dengan garis-garis muka penuh ironi. Topeng itu tidak hilang ketika dua orang berseragam membawanya ke ruang tahanan di belakang kantor. Srintil berjalan tanpa citra kemanusiaan. Tanpa citra akal budi, tanpa roh. Srintil menjadi sosok yang bergerak seperti orang-orangan dihembus angin.
Hingga siang hari warga Dukuh Paruk menanti Srintil dan Kartareja pulang. Mereka bergerombol-gerombol di dalam dan di luar rumah Sakarya. Tak seorang pun pergi bekerja. Sementara di langit burung dadali terbang berputar-putar mencari mangsa. Induk ayam berkotek-kotek menghimpun semua anak di bawah lindungan sayapnya.
Dukuh Paruk hampir senyap. Anak-anak pun kehilangan gairah bermain karena melihat orang tua mereka berwajah murung. Hanya terdengar suara kambing-kambing mengembik. Sejak pagi ternak-ternak itu tidak dibukakan kandang. Dan anak-anak yang menangis karena emak mereka tidak menyalakan api di tungku.
Matahari sudah masuk ke belahan langit barat. Dua orang yang ditunggu belum juga datang. Wajah-wajah itu makin gelap. Makin sering terdengar suara mendesah. Dalam keheningan yang amat mencekam itu tiba-tiba terdengar seorang anak berteriak. Ada orang datang. Beberapa orang lelaki menghambur ke luar halaman. Di hati mereka terbit harapan. Tetapi harapan itu hanya sedetik tinggal, kemudian lenyap, dan berubah menjadi ketakutan. Yang datang bukan Srintil bukan pula Kartareja, melainkan lima orang berseragam. Sepatu berat dan bedil di tangan mereka lebih dari cukup buat melenyapkan darah dari wajah semua orang Dukuh Paruk, menghapus semua sisa keberanian dan rasa percaya diri.
Dukuh Paruk mewakilkan dirinya kepada Sakarya. Kakek renta ini sejenak memejamkan mata, menghadap ke dalam diri sendiri buat membaca pesan yang dibawa oleh kilasan Sang Waktu. Ya, dia harus sumarah kepada kersaning zaman. Zaman yang telah nyata menampakkan diri sebagai
lima laras bedil dan lima wajah membaja di hadapannya. Hidup adalah berperan menjadi wayang atas sebuah cerita yang sudah dipastikan dalam pakem. Keyakinan demikian tidak sedetik pun pernah lepas dari Sakarya. Membela diri dari nasib buruk ketika zaman sudah mengulurkan tangannya adalah sia-sia. Bukan hanya karena Sakarya telah kehilangan keberanian. Tetapi karena dia percaya bahwa keperkasaan zaman mustahil tertandingi oleh kekuatan seorang manusia.
Kedalaman jiwa Sakarya memungkinkannya mampu bersikap diam dalam arti yang sebenarnya. Wajahnya kembali hidup dan polos, siap menerima apa pun dan perlakuan apa pun. Diam yang pada saat-saat tertentu harus diambil sebagai sikap paling santun manakala ketidakberdayaan manusia harus diperlihatkan. Siang itu Dukuh Paruk yang bodoh dan melarat tidak berbuat apa-apa ketika Sakarya, Nyai Kartareja, Sakum, dan dua orang lainnya dibawa oleh para petugas keamanan. Mereka digabungkan dengan Srintil dan Kartareja dalam tahanan. Hanya air mata dan tangis perempuan. Dan ketakutan menghantu yang membuat Dukuh Paruk makin kuyu dan lusuh. Dukuh Paruk tanpa Srintil, Sakarya, dan Kartareja adalah Dukuh Paruk tanpa ronggeng. Dia tidak punya martabat apa-apa.
Episode 50 Dan nasib sebenarnya yang harus dipikul oleh Dukuh Paruk baru terjadi dua hari kemudian. Dini hari ketika langit timur berhias kejayaan lintang kemukus, Dukuh
Paruk menyala, menyala. Api menggunung membakar Dukuh Paruk. Atap seng rumah Kartareja membubung ke langit bersama asap tebal yang menjulang seperti pohon raksasa. Rumah Sakum yang compang-camping hanya bertahan beberapa menit sebelum jadi abu dalam kobaran yang gemuruh. Jerit tangis dan lolongan manusia disambut dengan ledakan-ledakan bambu terbakar. Kepanikan luar biasa di tengah ketidakberdayaan mempertahankan diri.
Seorang perempuan berlari sengit sambil mengepit bayinya dalam ketiak dan berteriak-teriak mencari anak-anaknya yang lain. Ada laki-laki tua berdiri memeluk batang pinang hanya beberapa langkah dari onggokan api yang mulai membesar. Demikian kuat pelukan itu sehingga diperlukan rudapaksa buat melepaskannya. Ketika terlepas ternyata laki-laki itu sudah kejer. Pemandangan yang sangat kocar-kacir sedikit mereda manakala semua perempuan telah berhasil menemukan anak mereka masing-masing. Kaum lelaki teringat kentongan. Mereka memukulnya serentak dengan semangat menggila. Gemuruh yang membahana membuat orang-orang di sekitar Dukuh Paruk keluar rumah. Mereka menyaksikan api unggun menjulang di tengah-tengah sawah. Mereka juga mendengar lengkingan-lengkingan suatu puak yang sedang melihat dunia mereka punah tepat di depan mata.
Para petugas yang kemudian datang hanya menemukan beberapa gubuk yang tidak ikut terbakar. Dan bangkai lima ekor kambing yang mati terpanggang karena pemiliknya tak sempat membuka pintu kandang. Orang-orang resmi itu tidak bisa tinggal lama di tengah bangkai Dukuh Paruk. Mereka harus menghadapi sekian puluh pasang mata yang menggugat pertanggungjawaban atas nama kemanusiaan. Tetapi mereka tidak bisa memberikan apa-apa.
Banyak cerita yang dilontarkan orang tentang kepunahan Dukuh Paruk. Ada yang mengatakan Dukuh Paruk telah menerima bagiannya yang sah. Sang Mahasutradara memiliki selera dalam menggelar permainannya berupa alam semesta ini, tetapi Dukuh Paruk, sadar atau tidak telah mengabaikannya. Pendapat lain mengatakan, itulah hukum dialektika pergolakan politik yang acap kali berupa ironi sejarah dan ironi kemanusiaan. Musnahnya Dukuh Paruk hanya salah satu bukti yang kecil. Ada lagi yang berpendapat peristiwa yang dialami oleh Dukuh Paruk tidak berlatar perkara yang canggih melainkan sederhana saja. Di sana hanya ada perkara balas
dendam para petani yang marah karena padi mereka dirojeng beberapa musim berturut-turut. Mereka tahu yang merojeng adalah orang-orang Bakar yang semuanya telah ditahan. Maka Dukuh Paruk terkena getah, setidaknya karena ronggengnya sering muncul bersama Bakar dalam rapat-rapat propaganda. Pendapat ini sekaligus menyepelekan kemungkinan terlibatnya sentimen keagamaan. Juga sentimen politik karena Dukuh Paruk sepanjang sejarahnya tidak bisa memahami politik serta ideologi politik apa pun.
Masih ada satu pendapat yang amat bersahaja. Bahwa yang telah terjadi di Dukuh Paruk tak lebih daripada banyolan sejarah yang hanya disebabkan oleh sebuah caping bambil bercat hijau. Apabila Dukuh Paruk tidak kelewat bebal seharusnya mereka tahu bahwa Bakar-lah orangnya yang merobohkan makam Ki Secamenggala. Dengan hanya meninggalkan sebuah caping hijau Dukuh Paruk terkecoh. Kemarahannya tertuju kepada kelompok lain dan ronggengnya kembali bergabung dengan Bakar demi membayar kesumat terhadap kaum caping hijau. Segalanya bisa terjadi jauh berbeda bila ronggeng Dukuh Paruk ketika itu tetap meninggalkan kelompok Bakar. Ketika rerumputan mulai tumbuh di tanah reruntuhan Dukuh Paruk, banyak orang bertanya tentang seseorang yang telah sekian lama berperan dalam satu sisi kehidupan. Srintil; di mana dia dan bagaimana. Bahwa pergolakan hidup Srintil yang sebenarnya baru dimulai sejak hari pertama dia masuk tahanan, ada dalam sebuah catatan. Catatan itu diawali dengan kisah seorang ronggeng cantik berusia dua puluh tahun. Dia dipenjarakan secara fisik dan dikurung secara psikis dalam tembok sejarah yang muncul sebagai keserakahan nafsiyah serta petualangan. Diperlukan kondisi-kondisi tertentu agar orang bisa membuka catatan lengkap itu. Kondisi-kondisi itu bisa jadi berupa waktu yang
mampu mencairkan segala emosi. Atau kedewasaan sikap dan kejujuran agar orang memiliki keberanian mengakui kebenaran sejarah. Maka pada suatu ketika orang dapat membuka catatan tentang Srintil. Atau catatan itu bakal lenyap selama-lamanya menjadi bagian rahasia kehidupan Dukuh Paruk.
Tamat tamat Rahasia Pedang Naga Langit 1 Dewa Linglung 23 Buronan Dari Mataram Si Jenius Dungu 1
Menyangkut gowok ini persoalan rumit akan muncul bila si anak laki-laki tidak mau berpisah lagi dari gowok-nya. Padahal secara pasti dia sudah mempunyai calon istri pilihan orang tua. Gowok selalu berdiri di atas angin karena biasanya dia janda at
au perempuan penjaja diri. Memang ada suami yang merelakan istrinya menjadi gowok, namun yang demikian ini amat jarang terjadi.
"Jadi sesudah meronggeng nanti, Srintil kuminta tinggal beberapa hari lamanya menemani anakku, Waras. Soal upah, aku ulangi, sampean tak perlu khawatir."
Sakarya dan Kartareja kembali bertukar pandang. Tetapi Srintil tertawa terpingkal-pingkal. "Lucu, ya, Nek, lucu!"
"Lucu" Baiklah. Tetapi kamu, Wong Ayu, bersedia menjadi gowok bagi anakku, bukan"" kata Sentika sambil menatap jenaka kepada Srintil.
"Wah, bagaimana ya"" gelak Srintil pecah lagi. "Bagaimana, Nyai Kartareja"" "Terserah sampean sajalah. Tetapi bagiku, bagaimana upahnya." "Tetapi aku belum pernah menjadi gowok."
"Maka sampean akan mendapat pengalaman," sela Sentika. Sementara itu tangan laki-laki Alaswangkal itu merogoh sakunya.
"Lha iya. Ini uang untuk panjer meronggeng. Dan ini buat panjer menjadi gowok. Ambil semua, tetapi nyatakan dulu kesanggupan sampean."
Episode 35 Sekiranya orang-orang Dukuh Paruk itu mengerti siapa Sentika sebenarnya mereka tidak usah terkejut. Uang yang diletakkan di atas meja tertumpuk setebal jari. Cincin emas di dekatnya berbentuk iris penjalin setebal drenges, bunga sirih. Srintil sendiri terperangah. Disadarinya atau tidak, mulutnya bergumam, "Jadi anak Bapak sudah disunat""
"Disunat oleh seorang lelaki dukun sunat, sudah. Lha iya. Tetapi disunat oleh sampean, belum! Lha iya."
Semuanya tertawa. Kecuali Srintil yang hanya tersipu. Di dalam hatinya muncul keraguan. Sanggup meronggeng sekaligus menjadi gowok, atau tidak. Soal meronggeng tidak jadi masalah, tetapi jadi gowok" Srintil sudah bersumpah dalam hati tidak akan melayani laki-laki yang memburunya. Laki-laki yang menganggap tak ada sisa nilai lagi setelah terjadi transaksi jual-beli, di mana Srintil sama sekali tak berperan dalam penentuan. Marsusi misalnya. Srintil ingin memiliki hak memilih dan ikut menentukan dalam setiap urusan yang menyangkut dirinya. Memiliki dirinya. Atau Srintil akan meminjamkan dirinya bila hal itu menjadi kepentingannya, bukan kepentingan orang lain semata.
Siapa pun di Dukuh Paruk tahu pikiran demikian menyimpang dari kebiasaan seorang ronggeng. Srintil juga. Tetapi pada usia delapan belas tahun itu Srintil tahu bahwa penyimpangan demikian harus dilakukan bila dia ingin mempunyai andil dalam dirinya sendiri. "Lha iya. Kok semuanya diam. Aku menunggu jawaban kalian, jawabanmu, Jenganten," ujar Sentika. Dan meludah merah. "Kalian tahu aku harus cepat pulang agar tidak kemalaman di tengah jalan, Alaswangkal jauh, lho! Dan andongku sudah lama menunggu di Dawuan." Semua mata memandang ke arah Srintil. Ini juga penyimpangan. Biasanya Kartareja atau Sakarya berani mengambil keputusan tanpa melihat roman muka Srintil lebih dulu. Tetapi kini bahkan
wibawa Srintil mampu mencegah siapa saja yang ingin berkata sugestif. Tiba-tiba mata Srintil memancarkan cahaya kuasa. Wajahnya melukiskan citra keangkuhan.
"Aku akan datang ke Alaswangkal pada hari Kemis Pahing untuk meronggeng. Lihat saja nanti apakah aku juga bersedia menjadi gowok bagi anak Bapak. Hanya itu kesanggupanku." Selesai berkara demikian Srintil dengan wajah beku, bangkit hendak meninggalkan ruangan. Goder yang merengek dalam embanan diciuminya puas-puas. Sentika cepat-cepat mcnyemburkan remah sirih dari mulutnya ke tanah.
"Nanti dulu, Wong Ayu! Lha iya. Aku kan orang tua. Masakan aku tidak mengerti perasaanmu, kemauanmu. Duduklah sebentar. Aku belum selesai."
Oleh cara pendekatan Sentika hati Srintil meleleh. Dia menurut, duduk kembali di samping neneknya.
"Coba dengarkan, Jenganten. Aku sudah senang sampean bersedia meronggeng di rumahku. Soal menjadi gowok, aku setuju; bagaimana nanti saja bila sampean sudah berada di Alaswangkal. Lha iya. Maka ambillah uang ini. Dan pakai juga cincin ini. Aku sungguh tidak rugi memberikan cincin ini kepada sampean. Tak peduli apakah sampean mau atau tidak mau menjadi gowok. Lha iya. He-he-he."
Suasana yang kemudian berkembang adalah bukti kecakapan Sentika: orang-orang hampir tidak mungkin berkata "tidak". Srintil pasif saja ketika
Sentika datang mendekat dan memegang telapak tangannya. Uang dan cincin itu sekejap saja sudah berada dalam telapak tangan ronggeng itu. Sentika sendiri yang meletakkannya di sana. Dan mengatupkannya sekalian dengan remasan. "Nah, gampang, kan" Lha iya!"
Sentika meninggalkan Dukuh Paruk dengan hati yang entah mengapa, puas. Padahal tujuannya pergi ke pedukuhan itu tidak sepenuhnya berhasil. Dia masih harus mencari seorang perempuan sebagai cadangan bilamana Srintil benar-benar tidak bersedia menjadi gowok. Boleh jadi Sentika bukan laki-laki kekecualian, yang menganggap kembang dari Dukuh Paruk demikian mengesankan sehingga orang merasa lebih suka menuruti kehendaknya daripada marah atau kecewa terhadapnya.
Matahari membuat bayang-bayang sepanjang setengah badan. Sentika mempercepat jalannya. Dalam perhitungannya dia akan sampai ke rumah setelah malam jatuh. Tak mengapa, pikirnya. Aku telah menemukan seorang ronggeng yang belum pernah kulihat sepanjang hidup; kecantikannya. Kemis Pahing nanti dia akan menari di rumahku. Kini dia telah menggenggam uangku dan cincinku.
Selama seminggu menunggu kedatangan Kemis Pahing tak ada sesuatu yang berkesan tercatat di Dukuh Paruk. Atau, katakanlah, Srintil menjadi lebih ketat mendekap Goder karena Tampi bunting lagi. Sementara Dukuh Paruk yang tua kelihatan makin renta oleh udara yang lebih dingin. Kemarau datang lagi ke Dukuh Paruk buat kesekian juta kali. Dan Dukuh Paruk selalu menyambutnya dengan ramah. Kepiting membuat lubang lebih dalam di tepi pematang agar dirinya masih bisa mendapat air tanah. Siput mengunci diri dalam rumah kapurnya, pintunya dilak dengan lendir beku agar tidak setitik uap air pun bisa keluar. Siput dan binatang-binatang lunak sejenisnya akan beristirahat panjang hingga musim penghujan mendatang.
Burung-burung air pergi meninggalkan Dukuh Paruk. Tak seekor bluwak pun masih kelihatan di sana. Trinil dan hahayaman sudah lebih dulu lenyap menuju rawa-rawa di muara Sungai Serayu dan Citandui. Kerajaan mereka yang kini menjadi lumpur kering dikuasai oleh puyuh dan branjangan. Burung-burung ini membuat sarang dari rumput kering atau sisa batang padi yang telah renyah termakan terik matahari. Puyuh akan memperdengarkan suaranya yang samar dan berat. Samar, sehingga bagi telinga yang tidak terbiasa takkan bisa membedakan mana suara puyuh dan mana suara desau angin.
Sementara puyuh mengeluarkan suaranya dari balik penyamarannya di antara rerumputan kering, maka branjangan beriang-gembira sambil kejer di angkasa. Kelincahannya menantang terik matahari. Kicaunya adalah gabungan suara hampir semua jenis burung. Kadang dia berkicau seperti kutilang, kadang seperti jalak, podang, bahkan cucakrawa. Boleh jadi hanya suara burung gagak yang tidak berhasil ditiru oleh branjangan.
Di tanah Dukuh Paruk semua pepohonan mulai mengurangi kerimbunan daun. Beringin di puncak pekuburan melepaskan ribuan daun kuning bila angin berembus. Daun pisang dan keladi muda tumbuh lebih sempit. Rumpun-rumpun bambu meranggas. Alam telah mengajar mereka bahwa untuk mempertahankan hidup mereka harus hemat air selama kemarau. Yang agak menyendiri adalah pohon mangga dan bungur. Keduanya malah mulai berbunga ketika kemarau menjelang.
Episode 36 Ketika Dukuh Paruk mulai meranggas itulah suatu pagi Srintil berangkat ke Alaswangkal. Dari Dawuan mereka naik bus tua yang hanya datang ke kota kecamatan itu. Perangkat calung serta gendang tertumpuk di atap kendaraan itu. Para penumpang yang semula terkantuk atau pusing oleh bau asap motor mendadak jadi bersemangat ketika melihat Srintil beserta rombongan naik. Kebanyakan penumpang sudah tahu siapa Srintil. Mulut mereka mulai usil. Ada yang bangkit dari tempat duduk agar dapat lebih jelas melihat Srintil: masih cantikkah dia atau bahkan menjadi lebih cantik lagi. Mereka hanya sekedar ingin melihat karena mereka sadar menggunakan jasa Srintil dalam arti apa pun juga memerlukan banyak uang.
Mestilah celoteh cabul itu bisa berkepanjangan apabila Srintil melayaninya. Nyatanya Srintil tidak memberi tanggapan apa pun. Melihat mereka yang bermulut usil pun tidak
. Diam dan diam. Apabila Srintil harus menoleh maka hal itu dilakukan demi Nyai Kartareja yang duduk di sampingnya. Ini pun berlangsung dalam gerakan yang bermartabat. Sesuatu telah muncul ke permukaan dalam hubungan antara Srintil dan Nyai Kartareja. Selama enam tahun Srintil menjadi anak asuhan yang patuh sepenuhnya kepada Nyai Kartareja. Kini mulai kelihatan Nyai Kartareja surut ke belakang oleh martabat yang secara pasti mulai dimiliki oleh Srintil. Dua jam dalam kendaraan, kemudian rombongan dari Dukuh Paruk turun di daerah sepi berhutan jati. Seorang laki-laki tua bercawat lancingan tergopoh-gopoh menjumpai Kartareja.
"Saya Mertanakim," katanya. "Saya utusan Pak Sentika untuk menjemput sampean semua."
"Ah, ya. Terima kasih." jawab Kartareja. "Apakah ada tenaga buat mengangkut bawaan kami""
"Lha, orang-orang ini! Sampean semua tinggal berjalan bersama saya."
"Jauh"" "Paling-paling dua jam perjalanan." jawab Mertanakim tanpa perubahan emosi pada wajahnya.
Para pembawa barang berjalan di depan. Lama-kelamaan mereka jauh meninggalkan rombongan. Jalan itu sempit, naik-turun dan berlapis batu cadas yang besar dan kasar. Selama perjalanan rombongan tak putus-putusnya berpapasan dengan orang-orang yang mengangkut singkong. Yang laki-laki memikul dan yang perempuan menggendong. Semua mereka adalah orang-orang upahan Pak Sentika, kata Mertanakim. Mereka mengangkuti singkong dari Alaswangkal sampai ke pangkalan di tepi jalan besar. Dari sana singkong akan dibawa ke pabrik tapioka dengan pedati atau truk.
Hingga setengah jam perjalanan rombongan belum melihat satu pun rumah penduduk. Jalan yang mereka lalui masih berpagar ladang singkong dan hutan jati. Beberapa kali Srintil minta dituntun karena harus meliwati titian pohon nyiur sebatang. Di suatu tikungan, di bawah sebatang pohon angsana yang besar, Srintil melihat sebuah warung. Meski jauh dari pemukiman penduduk warung kecil itu kelihatan laris. Para pelanggan adalah pemikul-pemikul singkong. Yang dijual di sana tidak lebih dari air asam yang dimaniskan dengan gula merah serta tape singkong. Lagi-lagi singkong.
Srintil menghabiskan dua gelas air asam. Keringat terbit di sekujur tubuhnya. Dua orang laki-laki berlomba memberikan tempat duduknya kepada Srintil.
"Iya, kalian bangkit semua. Ini tamu-tamu dari Dukuh Paruk," ujar Mertanakim mengusir para pemikul yang semula duduk tenang.
Lima laki-laki, semuanya bercawat lancingan, bangkit bersama. Mereka menyingkir lalu bergerombol di dekat pikulan singkong masing-masing. Tetapi mata mereka tetap tertinggal di warung; pada diri Srintil yang sedang memijit-mijit betisnya. Mereka adalah laki-laki gunung dalam arti yang sebenar-benarnya. Di mata mereka Srintil adalah perempuan paling cantik yang pernah mereka lihat. Dan keramaian yang sudah sekian lama mereka nantikan akan terlaksana nanti malam; pentas ronggeng di rumah Sentika. Kegembiraan yang terpendam muncul dalam garis-garis harapan pada wajah mereka.
"Apa kira-kira masih jauh lagi, Kang Kartareja"" kata Sakum yang merasa paling sengsara bila melangkahkan kaki pada jalan yang belum dikenalnya.
"Memang masih jauh," kata Mertanakim. "Tetapi sampean tak perlu berkecil hati. Majikan kami sudah mempersiapkan sambutan yang istimewa bagi sampean. Semua."
Perjalanan diteruskan dan matahari mulai terik. Tetapi udara bertiup sejuk. Nyamannya udara gunung. Mereka berjalan beriringan, Mertanakim menjadi kepala barisan. Bila perjalanan melintasi punggung bukit terpaparlah pemandangan luas ke bawah. Lereng-lereng yang hijau oleh tanaman singkong atau sama sekali merah bila ubi kayu itu telah dicabuti. Jauh di sana hutan jati yang sunyi. Dan di sana-sini kelihatan pohon wangkal yang tegar. Jalan setapak kelihatan mengular melingkar bukit dan hilang-tampak oleh lebatnya pepohonan. Kelengangan suasana pegunungan hanya digoda oleh kicau burung kacer yang bersembunyi dalam kerimbunan perdu di lereng jurang.
Satu-dua rumah mulai kelihatan. Beratap ilalang yang kelabu. Kandang-kandang kambing yang terpisah. Atapnya tertutup tanaman rambat, waluh, atau labu. Anak-anak lelaki dan perempuan keluar.
Semuanya telanjang. Laki-laki dewasa juga keluar. Semuanya menyandang parang. Dan kelihatan sekali mereka bangga dengan parangnya. Ada juga anak laki-laki, meski masih telanjang tetapi menyandang parang di pinggang. Mereka, baik yang dewasa maupun yang anak-anak, hanya
melihat dan membisu. Toh wajah mereka menampilkan kesan kegembiraan. Nanti malam akan ada pertunjukan luar biasa di rumah Sentika. Pentas ronggeng dari Dukuh Paruk.
Hampir tengah hari ketika rombongan dari Dukuh Paruk memasuki kampung Alaswangkal. Pemukiman penduduk berupa kelompok-kelompok rumah yang terdiri atas paling banyak lima gubuk ilalang. Setiap kelompok terpisah oleh tegalan yang luas. Srintil mulai dihinggapi perasaan kecil hati. Jauh dari Dukuh Paruk, akankah dia berpentas dalam rumah ilalang yang kecil dan kusam itu"
Tetapi perasaan Srintil berubah cepat ketika Mertanakim mengacungkan tangan ke depan. "Kita hampir sampai. Itulah rumah Pak Sentika, majikan kami, majikan semua orang di sini."
Episode 37 Rumah yang ditunjuk oleh Mertanakim belum jelas kelihatan. Namun dari jauh sudah tampak pekarangan yang berpagar pohon puring. Di halamannya tumbuh pohon-pohon sawo yang rindang. Ada juga pohon kemuning. Halamannya berlantai batu kerikil yang rata dan teratur rapi. Makin dekat ke sana sosok keseluruhan rumah itu makin nyata. Pintu masuk ke halaman berupa gapura tembok. Memang tidak bagus buatannya tetapi cukup memberi kesan wibawa. Bangunan rumah terdiri atas tiga bubungan bergaya tingasan, beratap genting dengan hiasan ukiran seng. Dindingnya kayu jati yang mengkilap oleh pernis baru. Pekarangannya amat luas dengan rumah-rumah yang lebih sederbana di kiri dan kanan bangunan utama. Dalam rumah-rumah tambahan ini terlihat tumpukan karung-karung gaplek; dagangan utama lainnya milik Sentika.
Ketika langkah Srintil sampai di bawah pohon sawo di tengah halaman hatinya berbisik; inilah rumah yang sebenar-benarnya rumah. Rumah yang memberi kesan selaras dengan selera alam, rumah yang tidak menjadi tuan bagi pepohonan dan bebatuan di sekitarnya. Bahkan Srintil melihat dua ekor burung layang-layang keluar masuk ke beranda. Pada dahan yang bercabang, dalam kerimbunan pohon sawo, dilihatnya keluthuk, kandang lebah madu yang terbuat dari batang kelapa dibelah. Pada ujung-ujung pelepah kelapa di samping rumah bergantungan sarang burung manyar. Keluarga unggas yang cerewet. Namun suara riuh mereka tidak menjadi nada sumbang. Suara burung-burung di alam bebas; suara yang hanya patuh kepada aba-aba alam. Sentika muncul di pintu depan bersama istrinya. Wajahnya kelihatan demikian hidup, apalagi dengan geraham yang tidak berhenti mengunyah sirih. Mata Nyai Sentika terpaku pada Srintil yang meski tampak lelah namun daya tariknya tak sedikit pun berkurang.
"Saudara-saudaraku dari Dukuh Paruk! Mari, mari. Kami sudah lama menunggu. Dan kami sudah khawatir; jangan-jangan kalian tidak suka datang ke gubuk kami yang terpencil ini."
"Wah, kasihan, Jenganten yang cantik ini," ujar Nyai Sentika sambil menyalami Srintil. "Maafkan kami yang telah memaksa sampean berjalan demikian jauh. Aduh, anakku wong ayu, mari masuk."
Tujuh orang dari Dukuh Paruk, tak seorang pun bisa menyambut keramahan suami-istri Sentika dengan kata-kata. Kehangatan tuan rumah malah membungkam mulut Kartareja dan teman-temannya. Mereka hanya tersenyum dan tertawa. Dalam senyum mereka tergambar rasa segan, atau rendah diri, setelah melihat kenyataan Sentika sungguh seorang yang kaya. Sentika seperti raja kecil di kampung pegunungan itu. Ketika memasuki rumah Sentika orang-orang Dukuh Paruk berjalan sedikit membungkuk. Kecuali Srintil. Sikapnya sangat biasa. Dia memang seperti yang
lain: mengakui bahwa Sentika memiliki kelebihan tertentu. Tetapi Srintil merasa tidak harus menekuk tulang punggung di hadapan laki-laki yang serba dituakan di Alaswangkal itu. Kartareja duduk berhadapan dengan Sentika di meja utama yang berbentuk bundar. Istrinya ditemani Nyai Sentika duduk di atas balai-balai besar di pinggir ruangan. Sakum dan tiga penabuh lainnya mengelilingi meja di sebelah kiri. Srintil tidak mau duduk.
Dengan penampilan yang penuh martabat Srintil langsung meminta kamar buat beristirahat. Kartareja kelihatan tidak menyukai tindakan Srintil. Bagi Kartareja bertamu berarti siap menjadi barang. Soal pengaturan menjadi hak tuan rumah.
"Eh, lha iya. Anakku, kami sudah menyediakan tempat bagimu. Nyai, bawalah anakmu ini ke sana." Mertanakim tidak bohong. Sentika memang telah menyiapkan sambutan yang hampir berlebihan bagi rombongan ronggeng Dukuh Paruk. Kopi segera keluar bersama dodol, kue lapis, dan ketan. Rokok dibagikan sebungkus tiap orang. Buahnya, pisang ambon dan salak. Bahkan juga kelapa muda. Dan karena hari memang sudah siang maka waktu makan pun tiba. Sekali lagi orang-orang Dukuh Paruk itu merasa terlalu dimanjakan. Nasi dari padi gogo dengan lodeh rebung dan gulai ayam. Sambal terasi dengan cabai merah.
Selesai makan siang hanya tinggal Sentika dan Kartareja yang masih duduk di beranda. Sakum dan tiga rekannya boleh memilih sendiri tempat beristirahat. Ada beberapa hal yang harus dibicarakan antara tuan rumah dengan kepala rombongan ronggeng.
"Aku akan menyelenggarakan tayub, Kang," kata Sentika mengawaii bicaranya. "Bagaimana pendapat sampean""
"Ah, ya. Sebetulnya ronggeng tak bisa dipisahkan dengan tayuban. Malah tanpa tayuban sebenarnya pentas ronggeng kehilangan daya tariknya. Tetapi beberapa tahun terakhir ini kami dilarang mengadakan acara tayuban. Larangan resmi, Kang."
"Tetapi aku sudah bertekad melaksanakannya. Lha iya. Aku jamin tak ada sesuatu kesulitan yang akan sampean hadapi. Lagi pula, Alaswangkal ini sangat jauh dari perkampungan lain. Lurah di sini bisa saya atur. Dan tayuban itu khusus bagi si Waras, anakku yang lelaki satu-satunya itu. Lha iya. Bagaimana, Kang""
"Kalau begitu sampean sudah bisa menebak jawaban saya." "Dan aku sudah mendapat satu peti minuman keras dari tauke-ku di kota." "Wah, bisa semringah permainan nanti malam."
"He-he-he, lha iya. Tetapi masih ada satu lagi, Kang. Dan ini yang terpenting; apakah Srintil sudah bersedia menjadi gowok" Aku akan sangat kecewa bila Srintil datang kemari hanya buat meronggeng."
Kartareja tersenyum dengan nada kecewa. "Sampean harus memaafkan aku, Kang. Soalnya meskipun sudah sampai kemari, tetapi aku tidak bisa memberi kepastian. Aku persilakan sampean berbicara langsung dengan Srintil. Siapa tahu."
"Siapa tahu""
"Ya, Kang. Siapa tahu Srintil mengubah pikirannya setelah sampai di Alaswangkal ini. Siapa tahu malah Srintil sendiri yang ingin menjadi gowok setelah melihat anak laki-laki sampean." Sentika tidak berkata lebih lanjut. Pikirannya buntu. Apabila Srintil menolak menjadi gowok, memang, Sentika sudah menyiapkan seorang perempuan lain. Tetapi perempuan itu dalam segala hal bukan tandingan Srintil. Boleh dikatakan perempuan itu tidak akan memberikan gengsi.
Episode 38 Sementara itu di kamarnya Srintil sama sekali tidak beristiraliat. Sejak masuk ke kamar itu pikiran pertama yang muncul di kepala adalah bagaimana dia bisa mengintip anak perjaka tuan rumah. Bagi Srintil, ini perlu sebelum dia memutuskan menerima atau menolak menjadi gowok. Apabila anak Sentika itu rakus dan semena-mena seperti Marsusi, atau bermata keropos seperti Sakum, Srintil pasti akan menolaknya. Masalahnya siapa tahu Waras mirip laki-laki berdasi kupu-kupu itu: Tri Murdo. Atau bila benar kata Sentika bahwa anaknya baru berusia tujuh belas. Yang ini mengesankan. Bila menjalani peran sebagai gowok adalah yang baru bagi Srintil maka melayani laki-laki yang berusia lebih muda adalah hal baru lainnya. Dua hal baru sekaligus. Bagaimana juga Srintil merasa ditantang.
Tetapi sampai bosan mengintip lewat jendela Srintil belum juga melihat seseorang yang dipanggil dengan nama Waras. Tadi ketika pergi ke sumur Srintil memperhatikan setiap laki-laki muda yang pantas sebagai anak Sentika. Tidak ada. Yang kelihatan adalah laki-laki pekerja, perempuan-perempuan pekerja, serta perempuan-perempuan bergiwang dan berkalung besar. Yang terakhir ini tentulah anak-anak Sentika sendiri. Toh penantian itu berakhir juga. Nyai Kartareja buru-buru masuk ke kamar Srintil dan mengajaknya lebih d
ekat ke jendela. "Aku sudah melihatnya," katanya.
"Mana dia""
"Sebenar lagi Waras akan terlihat dari jendela ini." "Nyai yakin""
"Tentu. Aku sedang berada di belakang rumah bersama beberapa perempuan ketika seorang anak muda datang dari arah hutan jati. Orang-orang memberi tahu aku bahwa dialah Waras, anak majikan yang sedang dikauli."
"Bagaimana dia""
"Lihat sendiri nanti. Aku malah belum melihatnya dengan jelas. Nah, itu. Itu!"
Di sana, kira-kira dua puluh meter dari jendela, Srintil melihat seorang anak muda datang diiringi seorang anak kecil. Kesan pertama langsung membuyarkan angan-angan Srintil. Waras bertubuh tipis, jangkung. Dan kelihatan lebih jangkung dengan pakaiannya yang terdiri atas kaus singlet dan celana setinggi lutut. Rambumya dipotong model polka, membuat leher dan kepalanya lebih memanjang ke atas. Pundaknya kurus dan sempit. Tangannya mirip sepasang seruling, kuning pucat dan tanpa otot. Dan rupanya sepasang kaki itu hanya tumbuh memanjang dan memanjang, tidak pernah bertambah besar.
Makin dekat, Srintil makin jelas melihat. Bila benar Waras berusia tujuh belas maka wajahnya jauh lebih muda. Belum jelas gambar kelelakiannya. Dan yang hampir tak bisa dimengerti oleh Srintil adalah sesuatu yang kelihatan amat disayang oleh perjaka Alaswangkal ini. Seekor anak burung podang. Di Dukuh Paruk, Srintil biasa melihat anak burung dipelihara oleh manusia. Tetapi manusia kecil sepuluh tahunan, bukan perjaka jangkung seperti Waras. Ketika melihat bagaimana Waras menyuapi burungnya dengan seekor belalang, Srintil lalu berbalik. Diam sesaat sambil menatap Nyai Kartareja. Bibirnya bergerak-gerak dan menyusul ledakan tawanya. "Eh, jangan keras-keras, Jenganten!"
Srintil terus tertawa sambil membenamkan wajahnya ke pangkuan Nyai Kartareja. Istri dukun ronggeng ini terpaksa menekan kepala Srintil agar suara tawanya tidak menerobos ke luar jendela.
Akhirnya Srintil bangkit. Sambil mengusap matanya dia berkata lirih. "Nyai, sekarang ajari aku bagaimana menjadi gowok. Ajari aku!"
"Eh, Jenganten sudah mau menjadi gowok" Tetapi aku tak bisa mengajari sampean. Aku sendiri tak pernah menjadi gowok."
"Kira-kira saja."
"Nanti dulu, Jengaten. Mengapa baru sekarang sampean menyatakan kesediaan menjadi gowok"" Sekarang bukan hanya Srintil yang tertawa melainkan Nyai Kartareja. Mata mereka basah karena tawa yang berlebihan. Entah mengapa mereka lupa sedang berada di rumah orang. Nyai Kartareja masih berusaha memperpanjang suasana lucu itu dengan berkata, "Dulu ketika sampean menjalani malam bukak-klambu, sampean terkena ruda paksa. Kini tiba saat bagi sampean membuat perhitungan terhadap kaum lelaki!"
Senja di Alaswangkal terasa datang lebih cepat. Perbukitan di sebelah barat membuat sinar matahari redup sebelum waktunya. Suara ratusan burung manyar bertambah riuh sebelum surut perlahan-lahan, kemudian senyap. Ayam yang berpuluh ekor jumlahnya mencari tempat tidur masing-masing di atas pepohonan serta bubungan gubuk tempat menyimpan kayu bakar. Kadang terjadi ketibutan di antara mereka karena perebutan tempat yang nyaman. Dengung lebah madu tak terdengar lagi. Ada seekor gagak berteriak-teriak karena diserbu sepasang burung keket. Kemudian lengang. Langit yang menghitam mulai berhiaskan kelap-kelip bintang. Tidak seperti di Dukuh Paruk, langit senja di Alaswangkal penuh dengan kalong yang terbang dalam satu arah menuju daerah perburuan. Mereka akan menyerbu pohon beringin atau pohon salam yang sedang berbuah. Atau yang pasti: kalong-kalong itu akan mencuri nira dari tabung-tabung bambu yang dipasang oleh para penyadap kelapa.
Rumah Sentika terang benderang oleh tiga buah lampu pompa. Berandanya yang luas dan berlantai ubin batu telah disiapkan sebagai arena ronggeng. Meja-meja ditata di bagian tepi. Bagian tengah kira-kira dua puluh meter persegi dibiarkan kosong. Tikar pandan yang halus digelar di sana.
Penonton yang pertama datang adalah kaum perempuan bersama anak-anak mereka. Sentika sudah sering menggelar pentas ronggeng. Bahkan bisa dikatakan setiap punya hajat orang paling kaya di Alaswangkal itu nanggap ronggeng. Tetapi ba
ru sekali inilah ronggeng yang datang
bernama Srintil dari Dukuh Paruk; sebuah nama yang ketenarannya jauh menembus batas wilayah Dawuan.
Episode 39 Hari makin gelap dan makin banyak sinar obor dari gerumbul-gerumbul di Alaswangkal yang bergerak menujur rumah Sentika. Mereka datang membawa hati yang meriah. Yang masih anak-anak akan terpuaskan rasa ingin tahunya. Yang laki-laki dengan berahi atau nostalgia mereka. Yang perempuan dengan kebanggaan aneh; mereka akan puas melihat seorang perempuan, Srintil, menunjukkan kekuatan fitrahnya terhadap bangsa laki-laki. Bagi perempuan-perempuan kampung hanya dalam tontonan ronggenglah mereka bisa menyaksikan kaum laki-laki dipermainkan oleh lawan jenisnya. Bukan sebaliknya seperti yang mereka alami sehari-hari. Halaman rumah Sentika sudah dipenuhi penonton. Pandangan ke dalam beranda tidak terhalang apa pun karena dinding depan sudah disingkirkan. Di tengah halaman, pada titik di mana langit tidak terhalang dedaunan, ada pedupaan yang mengepul. Dekat pedupaan tertancap gayung. Meski kemarau jelas sudah datang tetapi Kartareja tidak berani mengambil risiko. Maka dia selalu berupaya mencegah turunnya hujan.
Sangat berbeda dengan kcramaian di luar adalah sebuah sudut di dalam rumah Sentika. Di sana Srintil dipertemukan dengan Waras. Sentika yang mempertemukan keduanya setelah mendengar kesediaan Srintil menjadi gowok. Pada mulanya pertemuan itu disaksikan juga oleh hampir semua keluarga besar Sentika. Srintil menerima keramahan yang begitu tulus. Seakan dia sudah benar-benar menjadi anggota keluarga itu. Kemudian tanpa canggung Srintil meminta agar dia di tinggal hanya berdua dengan Waras. Tak seorang pun tersinggung oleh permintaan Srintil itu. Malah sebaliknya. Sentika dan anak-anaknya boleh berbesar hati karena melihat pertanda Srintil ingin lebih akrah dengan Waras.
Sudut yang sengaja dipisahkan itu lengang.
"Aku akan menyebutmu Kakang, meski aku yang lebih tua," kata Srintil mengawali pembicaraannya.
Waras yang kelihatan bingung semenjak ditinggal sendiri kelihatan bertambah bimbang. Tetapi kemudian Waras tersenyum. Senyum seorang anak. Srintil juga tersenyum.
"Nah, jadi kau tidak berkeberatan kupanggil Kang, bukan""
"Kok begitu, ya""
"Memang harus begitu."
"Lalu aku harus menyebut apa kepadamu""
"Srintil. Namaku Srintil. Itu saja."
"Ya. Gampang sekali."
"Memang gampang. Dan, Kang, kau senang bertayub, kan"" "Nonton tayuban, begitu""
"Bukan. Kau menari bersamaku."
"Aku tidak bisa menari. Tetapi Ayah pandai. Nah, menarilah bersama ayahku. Aku yang menonton. Hore... "
"Ah, bukan begitu. Kakang yang harus menari. Gampang sekali, Kang." "Yang bisa menari itu ayahku. Kok aku yang harus menari. Bagaimana"" "Begini, Kang. Kalau kau mau menari, nanti ada upah buatmu." "Upah""
"Ya. Aka akan memberimu upah; nanti, sehabis pertunjukan, kau akan kutemani."
"Kautemani" Aku sudah punya teman. Banyak sekali. Mereka membantu mencari belalang untuk makan burungku."
"Ah, itu kan teman kecil-kecil. Maksudku, nanti kalau Kakang tidur, aku akan menemanimu." "Kalau begitu di mana Emak tidur" Dipan itu tidak muat untuk tidur bertiga. Eh, tetapi kita bisa menggelar tikar di lantai. Kita tidur bertiga. Aku di tengah. Emak dan kamu di pinggir. Nah, hebat, kan""
Srintil tidak tertawa meski hatinya tergelitik bukan main. Ada malapetaka tertentu yang telah menghimpit hidup Waras. Boleh jadi malapetaka itu berlangsung sejak lama. Srintil dapat melihat dan mcrasakan tapak kaki bencana itu pada postur tubuh dan perilaku Waras. Dia tidak mungkin tertawa. Bahkan dia menelan ludah karena iba. Dipegangnya tangan Waras yang kurus seperti buluh. Rasanya Sruitil sedang memegang tangan seorang anak kecil: lembut tanpa otot. "Tidak, Kang. Nanti malam kita hanya akan tidur berdua. Aku dan Kakang. Aku akan bernyanyi rengeng-rengeng agar tidurmu pulas. Emakmu tidak bisa bernyanyi, bukan"" "Tetapi Emak bisa mengelus-elus."
"Aku juga bisa."
"Emak bisa mengipas-ipas."
"Aku juga bisa. Pintar."
"Kamu. Anu, kamu juga mau menemani bila malam hari aku ingin kencing di belakang"" "Ya, tentu."
"Bila sebelum tidur aku ingin berma
in-main, bagaimana"" "Wah, itu bagus."
"Hore! Kalau begitu kamu sangat baik. Aku suka padamu."
Waras bangkit memeluk Srintil, mendekapnya dan menciuminya. Sruitil pasrah saja. Atau geli. Tak ada rangsangan berahi.
Tetapi dari tempatnya yang terlindung suami-istri Sentika memperhatikan ulah anaknya dengan harapan melambung. Mata keduanya berkaca-kaca karena rasa haru. Apa yang selama ini mereka harapkan sudah terjadi. Waras menciumi perempuan. Waras mendekap seorang ronggeng: sesuatu yang bisa dikatakan sebagai pertanda bahwa Waras mempunyai minat terhadap lawan jenis. Memang baru merupakan pertanda, belum mengenai langsung keadaan Waras yang sebenarnya. Namun bagi Sentika dan istrinya hal itu untuk sementara sudah cukup. Kegembiraan Nyai Sentika meluap. Dipanggilnya anak-anak yang semuanya sudah menjadi istri orang.
"He, kemari kamu! Riwed, Darkem, Blokeng, Trombol! Lihat itu adik kalian. Lihat, Waras sedang menciumi ronggeng!"
Jam delapan malam Sakum dan teman-temannya siap menghadapi alat musik masing-masing. Oleh pelayanan luar biasa yang diberikan oleh tuan rumah seluruh anggota rombongan ronggeng kelihatan penuh semangat. Srintil sedang berdandan, ditemani oleh Nyai Kartareja. Anak-anak Sentika memperhatikan si Ronggeng dengan penuh kekaguman. Di luar penonton mulai riuh. Teriakan mulai terdengar agar mereka yang di depan mengambil posisi jongkok atau duduk. Anak kecil dan kaum perempuan berdesakan.
Episode 40 Sentika tampil ke bagian tengah beranda yang kosong. Kepada para penonton Sentika menyatakan hajatnya. Mereka diminta menjadi saksi bahwa pada malam itu, dengan tontonan ronggeng, maka kaul Sentika sudah tunai. Kaul demi anak lelaki satu-satunya yang kini duduk di kursi dengan wajah gembira dan saku baju menggembung penuh uang. Waras kelihatan sangat ceria, keceriaan sehari-hari yang diperlihatkan oleh Waras bila dia sedang bermain-main dengan anak burung kepodangnya.
Kegembiraan penonton tercetus ketika tangan-tangan terlatih mulai menggarap irama calung dalam lagu Sekar Gadung. Sakum yang kelihatan berada dalam kondisi terbaiknya langsung menjadi titik perhatian semua penonton. Matanya yang keropos, tangannya yang cekatan dan senggakannya yang kocak dan konyol. Penonton bertepuk riuh. Sebungkus rokok terbang ke arah para penabuh datang dari arah kepadatan orang. Bungkus pertama disusul oleh yang lain dan beberapa di antaranya melayang dari gerombolan penonton perempuan.
Namun semua orang diam ketika Srintil muncul penonton berdesakan kemudian tenang penuh penantian. Di sana Srintil berdiri anggun. Pribadi dan sosoknya yang sedang berada dalam puncak kemekaran segera menyita perhatian semua orang. Buat sementara saat lamanya Srintil tetap berdiri di tempatnya. Kedua sudut bibirnya sedikit tertarik ke dalam, matanya memancarkan cahaya bening embun pagi. Keseluruhan wajahnya adalah citra wibawa dan pesona yang muncul bersamaan. Dalam waktu yang sekejap itu Srintil telah berhasil membuktikan kepada khalayak bahwa yang empunya malam pertunjukan bukan Sentika, bukan pula Waras anaknya, melainkan Srintil pribadi tanpa seorang pun bisa menggugatnya.
Kemudian Srintil melangkah maju dan duduk dengan anggun di hadapan para penabuh yang sejak tadi terus mengalunkan Sekar Gadung. Srintil mengangkat muka, seakan sedang meyakinkan kepada penonton akan kecantikan wajahnya. Lalu suaranya yang bening masuk, mengalir, dan menjadi irama calung. Sedetik kemudian pecah tepuk tangan ratusan penonton di halaman rumah Sentika. Kegembiraan yang mencekam jiwa semua orang pun mulai.
Ketika memutuskan menerima menjadi gowok bagi Waras maka timbul kesadaran baru di hati Srintil. Bahwa dirinya adalah perempuan dalam falsafah yang amat dalam. Perempuan yang harus mampu berperan banyak di hadapan seorang laki-laki muda yang nyaris tersingkir dari identitas kelelakiannya, seorang perjaka yang tumbuh dalam malapetaka kejiwaan. Kesadaran yang tulus dari naluri seorang ronggeng sejati. Dan kesadaran itu muncul amat besar sebagai warna suatu gerak tari yang hanya bisa dibaca oleh jiwa yang peka terhadap gelombang batin.
Ada ratusan pasang mata menonton Srintil meronggeng. Orang-orang terpenting desa Alaswangkal ada di sekitar arena, tak terkecuali lurahnya. Tetapi Srintil merasa sedang menari di hadapan satu orang: seorang anak muda yang mengharuskan Srintil merasa sebagai ibunya, kadang adiknya, dan kadang teman sepermainannya. Suatu masa warna suara Stintil begitu lembut dan dalam penampilan wajah teduh sebagai gambaran seorang ibu yang sedang mendekap dan mengelus anaknya. Kadang suara Srintil penuh semangat, geraknya cekatan, seperti seorang ibu yang sedang mengajari anaknya berjalan. Dan kadang Srintil melirik dan tersenyum kepada Waras, gerakannya menantang seakan Srintil sedang menggugah naluri kelelakian perjaka Alaswangkal itu.
Dalam keterbelakangannya Waras bisa merasakan sentuhan yang membangkitkan semangat. Dari tempat duduknya di tepi arena kelihatan wajah Waras berseri-seri. Matanya bercahaya. Tetapi ketika Stintil menari dan mendekat sambil mencondongkan wajah, Waras tidak berbuat sesuatu yang sangat diharapkan oleh penonton, terutama ayah dan ibunya. Waras tidak mencium Srintil melainkan hanya meletakkan kedua telapak tangan masing-masing di pipi kiri dan kanan ronggeng itu. Toh adegan yang kurang memuaskan itu tak luput dari kepekaan naluri Sakum yang buta. Tepat ketika tangan Waras menempel di pipi Srintil mulut Sakum meruncing: "ciusssss". Dan penonton pun bersorak-sorai. Waras bertepuk tangan berjingkrak seperti anak kambing selesai menguras tetek induknya.
Babak demi babak terus berlanjut. Alaswangkal yang biasa sepi tersembunyi di belakang hutan jati dan ladang singkong jadi semarak oleh irama calung. Dan sorak-sorai warganya yang malam ini berkumpul di halaman rumah Sentika menonton Srintil berjoget. Tuan rumah sudah menyuruh orang-orangnya mengeluarkan guci-guci berisi ciu. Setcngah jam kemudian mulai terdengar suara-suara yang tidak terkendali. Beberapa peminum mulai mabuk. Lurah Alaswangkal kelihatan gelisah karena syarafnya mulai dikacau oleh ciu. Kemudian laki-laki yang sudah kempot pipi itu bangkit, terhuyung-huyung melangkah ke tengah arena. Dengan mengangkangkan kaki dan membuka kedua tangannya lebar-lebar lurah Alaswungkal mulai bertandak, mengajak Srintil bertayub. Dari mulutnya terdengar tembang yang kacau. Tetapi wajahnya merah terbakar oleh berahi dan minuman keras.
Mula-mula Srintil mengira kedatangan lurah Alaswangkal akan membuat Waras kecewa. Ternyata dugaannya jauh meleset. Waras malah bertepuk tangan memberi semangat kepada lurahnya. Dia berteriak-teriak kegirangan ketika melihat Pak Lurah memasukkan tangan ke dada Srintil buat menaruh uang dan beraksi di sana. Dan pada akhirnya Waras bangkit. Dengan genggaman tangan penuh uang Waras meniru lurahnya. Pada saat yang tak pernah luput mulut Sakum meruncing; "cesssss".
Kemeriahan di rumah Sentika usai sesudah ayam jantan berkokok. Selama tujuh jam Srintil berjoget dan bertembang. Selama itu Srintil melayani sekian banyak laki-laki yang membawanya bertayub dan sekian banyak laki-laki baru puas bila Srintil duduk di atas pangkuannya. Dua-tiga kali Srintil harus masuk ke kamar buat memperbaiki busananya terutama di bagian dada.
Sebanyak itu pula dia harus kembali mengoles bedak di pipi karena pada bagian yang jernih itu paling sering bersentuhan dengan kulit lelaki.
Ketika sinar matahari mulai menyentuh punggung-punggung bukit di Alaswangkal dan mengusir halimun dari sana, Srintil masih lelap di kamarnya di rumah Sentika. Sementara rumah saudagar singkong itu sudah ramai oleh pembantu laki-laki dan perempuan yang banyak jumlahnya. Anak-anak Sentika masih di sana menikmati suasana baru karena di rumah orang tua mereka tinggal seorang ronggeng. Bukan sembarang tinggal. Mulai hari ini Srimil menjadi gowok. Bagaimana sikap Waras terhadap gowoknya itulah yang menjadi daya tarik saudara-saudaranya.
Episode 41 Waras bangun seperti biasa, tepat ketika anak burung piaraannya mulai mencecet. Tetapi kali ini Waras tidak berminat melayani anak burung podang itu. Turun dari tempat tidur Waras mencari emaknya yang sudah sibuk mengatur urusan dapur. "Di mana dia, Mak"" "Dia siapa""
"Yang tadi malam menari. Yang tadi malam kumasuki uang ke dadanya. Di mana dia" Dia tidak pulang, kan""
Nyai Sentika menjatuhkan pundaknya. Ada rasa lega menyapu hatinya. Lega. Perempuan itu yakin anak lelaki satu-satunya itu benar-benar lelaki. Waras memang waras, buktinya dia menanyakan Srintil. Mata Nyai Sentika berkaca-kaca.
"Dia masih tidur, Nak. Kau senang pada Srintil, Nak""
"Senang. Dia cantik ya, Mak""
"Kau mengerti orang cantik""
"Ya. Karena matanya tidak seperti matamu. Kulitnya halus dan mulutnya merah seperti mulut anak burung podang. Jadi dia cantik ya, Mak""
"Ya." "Aku akan membangunkannya. Akan kuajak dia bermain-main." "Eh, jangan. Tunggu sampai dia bangun." Waras kelihatan kecewa. Merengut dia.
"Lebih baik kau pergi mandi sekarang. Srintil tidak akan mau bermain dengan siapa pun yang belum mandi dan berpakaian rapi."
"Begitu, Mak""
"Memang begitu. Nah, ayolah ke sumur."
Waras berlari melompat-lompat. Orang-orang mengikutinya dengan pandangan mata dan senyum. Ada kelucuan yang tragis. Dan hanya Nyai Sentika yang menyimpan harapan besar di balik senyumnya yang samar dan tertahan.
Jam delapan pagi ketika Srintil membuka mata didapatinya seorang perempuan duduk tenang di dekatnya. Nyai Sentika. Tanpa kikuk sedikit pun Srintil bangkit lalu membenahi pakaiannya yang poranda. Rambutnya yang terurai, disanggul sekenanya. Segala gerak-gerik itu berada langsung di bawah tatapan mata Nyai Sentika yang tak kunjung puas mengagumi kesegaran tubuh ronggeng Dukuh Paruk itu.
"Ah, sudah bangun, Jenganten""
"Ya, Nyai. Sudah siang""
"Belum begitu. Jam delapan kira-kira. Ah, ya. Nyai Kartareja bersama rombongannya sudah berangkat pulang. Semuanya sudah beres."
Srintil hanya tersenyum ringan. Nyai Sentika tersenyum puas. Ada masalah yang hendak disampaikan oleh Nyai Sentika kepada Srintil. Bahwa dia dan suaminya hendak segera meninggalkan rumah. Sentika sungguh-sungguh pergi ke kota untuk beherapa hari lamanya. Nyai Sentika hendak menyingkir, bersembunyi di salah satu rumah tetangga. Dan semua anak-anak Sentika siang ini akan pulang ke rumah masing-masing.
"Seharusnya kami menyediakan sebuah rumah khusus untuk sampean dan Waras. Tetapi rasanya lebih baik kami mengalah buat sementara demi anakku si Waras. Untuk tidur pilihlah kamar mana yang kalian suka, selain kamar pribadi kami tentu saja. Dan dengan ini saya serahkan anak saya kepada sampean. Ah, dia memang demikian keadaannya. Sesungguhnya saya merasa malu. Tetapi, sudahlah. Pokoknya saya percayakan kepada sampean."
"Nah! Dia sudah bangun!" ujar Waras yang tiba-tiba muncul di pintu kamar. Bajunya baru dan sakunya penuh uang. Sepasang kaki yang panjang dan lurus muncul di bawah celana hitam sepanjang lutut.
"Apa katanya, Mak" Dia mau bermain-main bersamaku, bukan""
"Tentu saja, Kang," jawab Srintil mendahului Nyai Sentika. "Nanti kita bermain-main sepuas hati. Tetapi sekarang aku mau mandi dulu. Kakang menunggu di sini."
"Jangan lama-lama."
"Ya." "Nanti kamu berdandan seperti tadi malam."
"Ya." Tetapi Waras tidak mau menunggu. Dia mengikuti Srintil ke sumur dengan langkah-langkah gembira. Sumur itu berada di lembah di belakang rumah Sentika. Waras sendiri yang menimba dan mengisi jolang. Bak mandi yang terbuat dari kayu itu segera luber.
"Nah, mandilah. Saya di sini."
"Kakang di situ""
"Ya." "Jangan. Kakang pergi dulu."
"Tidak. Soalnya saya juga selalu di sini bila emak mandi."
"Begitu"" "Ya. He! Tadi malam aku menaruh uang di dadamu. Coba lihat, masih ada"" "Sudah saya simpan, Kang. Sekarang tidak lagi di sini."
"Betul" Nah, tapi aku ingin lihat."
"Jangan, Kang, jangan."
"Kamu sudah berkata, kita berteman. Kamu mau menipu, ya." "Tentu saja tidak, Kang." "Lalu mengapa aku tak boleh melihat dadamu""
Srintil hampir gagal menahan tawanya. Sambil berjongkok menghadap Waras dibukalah pinjungnya. Dadanya terbuka penuh. "Nah, tak ada uang, bukan""
"Ya. Aku percaya sekarang. Tetapi tetek emakku gepeng, mengapa punyamu tidak""
Sekali ini Srintil tidak bisa menemukan jawaban. Maka diciduknya air dengan tangannya lalu dicipratkannya ke arah Waras. Perjaka Alaswangkal itu berteriak girang.
Tak ada pengertian lain baginya kecuali bahwa permainan yang menyenangkan sudah dimulai. Waras kembali menimba air untuk langsung menyiram tubuh Srintil. Permainan berubah menjadi hiruk-pikuk. Dan di tempat-tempat yang tersembunyi beberapa pasang mata mengawasi segalanya. Ada yang tersenyum karena merasa geli. Tetapi kebanyakan orang tersenyum karena rasa kasihan.
Episode 42 Hari ini rumah Sentika menjadi belantara dalam dongeng. Sepasang anak binatang bermain, bersuka-ria dalam keceriaan yang hanya bisa dimiliki oleh anak rusa atau anak kucing. Srintil yang mengambil semua prakarsa. Mula-mula dia mengajak Waras bermain penganten-pengantenan. Srintil berdandan. Cantiknya bukan main-main. Waras diberi blangkon ayahnya. Mereka duduk bersanding.
"Dalam dongeng, Kakang adalah suamiku. Aku istrimu," kata Srintil, "Nah, karena aku sudah menjadi istrimu, maka aku minta uang buat berbelanja."
Dan seterusnya. Kali lain Srintil meminta Waras membelah kayu bakar buat memasak. Waras bekerja di samping rumah dengan semangat yang tidak bisa dikatakan sebagai main-main. Keringatnya membasahi badan. Telapak tangannya lecet oleh gagang kapak. Tetapi hasilnya hanya berupa serpihan-serpihan kayu dalam jumlah yang memalukan. Sementara itu Srintil keluar ke belakang rumah membawa bakul kecil. Dipetiknya pucuk singkong dan daun kecipir. Siapa mengira perempuan yang kelihatan tahu betul tentang urusan dapur itu adalah seorang ronggeng. Semua orang dusun tahu seni memetik sayur-mayur dan seni membawa bakul. Srintil melakukan kedua-duanya dengan jitu, kewes, dan pantes. Keluwesan seorang istri sejati yang hanya mungkin tampil karena Srintil menghayati sepenuhnya peran sebagai gowok.
Atau lebih dari itu. Kesadarannya untuk mewakili dunia perempuan menumbuhkan rasa tanggung jawab ketika menghadapi seseorang yang mempunyai masalah kelelakian. Tanggungjawab itu secara naluri berlanjut menjadi kesadaran yang muncul dalam citra yang sempurna. Lihat, betapa luwes gaya Srintil memetik daun singkong muda. Pohon itu hampir tak tergerak. Betapa cantik gaya Srintil membawa bakul. Keterpaduan antara keluwesan bentuk tangan dan liku-liku pinggul. Amat pas dan menawan, lentur dan indah.
Hampir tengah hari permainan masak-masakan sudah selesai. Srintil memanggil Waras yang masih giat membelah kayu di samping rumah. Nasi dengan lauk tempe goreng, sambal, dan lalaban sudah ditata di meja makan. Srintil tidak lupa menyediakan sejumput tembakau yang diambilnya dari lemari. Waras masuk. Wajahnya mengkilat oleh keringat.
Tangannya kotor. Srintil mengambil air dari tempayan dengan gayung. Waras dimintanya mencuci tangan.
"Habis penganten-pengantenan lalu masak-masakan. Nanti apa lagi"" tanya Waras. Mulutnya penuh nasi.
Srintil berpikir sejenak. Suara anak burung podang mencecet di kurungan.
"Nanti tinggal bermain tidur-tiduran. Kakang lelah karena habis bekerja membelah kayu. Aku pun lelah karena bekerja di dapur. Jadi kita tinggal tidur. Senang ya, Kang""
"Ya. Tetapi nanti dulu. Aku harus mencari belalang buat burungku."
"Jangan, Kang. Kakang jangan ke mana-mana. Aku sudah ingin tidur. Aku ingin tidur bersamamu." Waras hanya sejenak mengangkat wajah. Kemudian kembali menyuap nasi. "Jadi kamu suka bermain tidur-tiduran" Itu kesukaanmu, ya""
Srintil menjawab dengan tarikan ujung bibir yang dipadu dengan pandangan mata redup. Suatu pancaran sugesti yang terarah langsung kepada sisi paling primitif pada diri seorang lelaki. Pancaran yang selayaknya bisa menggetarkan syaraf, mengusik jantung agar berdenyut lebih kuat dan lebih cepat. Apalagi yang mengirimkan rangsangan itu adalah Srintil; duta dunia perempuan yang secara naluriah sadar betul akan fungsi keberadaannya.
Tetapi Waras hanya tertegun sesaat. Karena setidaknya secara samar dia bisa membaca. Bahwa senyum Srintil tidak sama dengan senyum emaknya. Bahwa pandangan mata Srintil terasakan aneh; terasa menggoyang halus naluri dasar yang selama ini tak pernah disadari oleh Waras. Dalam keterbatasannya Waras melihat ada sesuatu pada sinar mata Srintil.
"Aku pernah menangkap burung perkutut di malam hari," kata Waras
tiba-tiba. "Pakai obor." "Burung""
"Kamu belum pernah melihat burung perkutut tidur" Burung itu tidur berdua-dua, berdempetan." "Mungkin begitu."
"Siang hari kadang-kadang mereka bergendongan. Kawin. Aku sering melihatnya. Temanku pernah menangkap sepasang burung jalak yang kawin dan nguwil dari atas pohon dan jatuh ke tanah. Jadi burung-burung suka kawin, ya""
"Mungkin begitu."
"Kambing juga suka kawin. Ayam juga suka kawin. Nah, kamu pernah melihat monyet kawin"" "Belum pernah."
"Wah, hebat. Aku senang sekali melihatnya."
Waras terus bercerita tentang kekawinan binatang-binatang yang pernah dilihatnya. Lancar, tanpa emosi apa pun. Srintil mendengarkannya dengan penuh minat, dengan penuh penantian. Bahwa pada gilirannya Waras akan bercerita juga tentang kekawinan yang lain. Tetapi cerita demikian tak kunjung keluar dari mulut anak perjaka Sentika itu. Waras merasa bercerita tentang aspek kehidupan yang baginya tak mungkin terjadi pada manusia, tentang dunia yang hampa dari keberadaannya.
Tetapi Srintil berhasil membawa Waras masuk ke kamar, mengajaknya bermain tidur-tiduran. Konsep tentang tidur bagi Waras terlalu sederhana. Yakin merebahkan diri di samping emak, miring-meringkuk. Tangan kanan bersembunyi di pangkal ketiak emak dan tangan kiri bermain kain kutangnya. Atau memijit-mijit puting teteknya. Dan demikian jugalah yang dilakukannya terhadap Srintil.
Mula-mula Srintil merasa yang biasa terjadi, terjadilah. Dia menunggu dalam kesadaran seorang ronggeng yang sebenarnya, dengan kerelaan yang hampir mutlak, tanpa sedikit pun menyelipkan kepentingan pribadi di sana. Tetapi penantian itu tawar bahkan kosong. Waras hanya berhenti pada bermain kain kutangnya sambil merengek pelan seperti bayi. Makin lama geraknya makin lemah. Matanya tertutup kemudian terdengar dengkurnya yang teratur dan panjang. Waras lelap dalam mimpi seorang bocah.
Episode 43 Srintil bangkit. Gerakannya lembut agar Waras tidak terjaga. Kemudian dipandanginya perjaka itu. Srintil merasa yakin ada sesuatu yang harus dikutuk; sesuatu yang telah membuat Waras tinggal antara ada dan tiada dalam dunianya. Bahkan Srintil takkan mau mengerti meskipun sesuatu ini misalnya bernama kersane sing akarya jagat, kehendak Sang Mahasutradara. Karena dalam kesadarannya sebagai ronggeng Srintil merasa menjadi malam yang harus berpasangan dengan siang. Atau sejuknya air yang harus menjadi penawar panasnya api. Srintil adalah keperempuanan. Maka dia merasa amat dirugikan ketika menghadapi tiadanya kelelakian. Segala sesuatu di dunia ini ada berpasang-pasangan, demikian pengetahuan dasar Srintil. Pengetahuan yang telah mengakar menjadi keyakinan yang sulit tergeser. Maka selama yakin dirinya perempuan, dia yakin pula bahwa Waras adalah laki-laki dengan kelelakiannya. Menjadi
gowok ialah menjadi seniman pemangku naluri kelelakian. Dan menemukannya kembali bila kelelakian itu hilang. Srintil tidak lupa untuk itulah dia didatangkan ke Alaswangkal. Tetapi lebih dari itu, tanpa mendapat sebutan gowok pun Srintil akan melakukannya dengan kesadaran milik pribadi yang tak bisa diperbandingkan dengan perempuan mana pun, tidak juga dengan Nyai Sentika, perempuan yang telah melahirkan Waras.
Maka malam hari ketika riuh burung manyar yang bersarang pada pohon nyiur telah lama sepi. Dan kegaduhannya digantikan oleh kalong-kalong yang berebut buah salam. Dan di sana bulan menyembul di atas punggung bukit, permainan tidur-tiduran diulang. Srintil berperan lebih berani; menggiring dan menuntun hingga sampai ke titik yang tak mungkin berlanjut. Yakni ketika Srintil meminta Waras memperagakan pengetahuannya tentang sepasang monyet dengan diri mereka berdua sebagai pelaku. Waras kelihatan demikian bingung kemudian menampik. "Itu kan monyet. Kita tak boleh melakukannya. Saru. Kata emak, itu saru dan sembrono. Ora ilok. Dan aku tidak pernah melihat orang berbuat seperti monyet itu. Apa kamu pernah melihatnya"" Dengan pertimbangan yang dalam Srintil menjawab dengan anggukan kepala. Waras terpesona. Dipandangnya Srintil dengan tatapan mata penuh rasa heran, sungguh-sungguh heran. Melalui ang
gukan kepala itu sesungguhnya Srintil sedang melakukan upaya kali terakhir. Penjajagan. Tetapi yang terbaca dari wajah Waras adalah sikap memustahilkan hubungan ragawi antara dua manusia lelaki dan perempuan, apa pun namanya. Srintil harus mendan ludah berkali-kaii karena harus meyakini keadaan Waras: dia benar-benar hilang dari dunia kelelakian dan Srintil pasti tak sanggup lagi menemukannya kembali. Srintil menyerah dalam kekecewaan yang amat sangat. Bukan karena tak terpenuhinya kebutuhan pribadi, melainkan karena kenyataan bahwa pada suatu ketika keperempuanannya sama sekali tidak berarti, hal mana belum pernah sekali pun terbayangkan.
Malam itu Srintil hanya menyediakan diri sebagai perbandingan oleh Waras. Teteknya penuh, tidak gepeng seperti tetek Nyai Sentika. Pipinya kencang, lengannya padat, dan tubuhnya lebih hangat. Mulutnya seperti bayi, harum. Malam itu Waras tidur lebih awal dan lebih lelap. Tidak sekali pun dia bertanya mengapa mereka hanya tinggal berdua dalam rumah yang besar itu. Dia lupa akan emaknya dengan siapa selama ini dia bergantung.
Tiga malam berikutnya adalah pengulangan malam yang pertama. Tetapi Srintil merasa ada sesuatu di luar kamarnya. Dia mencium bau sirih. Dalam kelengangan yang hampir sempuma itu Srintil juga mendengar suara tarikan napas di luar kamar. Dan Srintil sadar, sesuatu harus diperbuatnya. Maka kakinya membuat gerakan-gerakan teratur sehingga menimbulkan suara tertentu. Kemudian dipijitnya hidung Waras yang sedang lelap. Waras melenguh dan Srintil mengeluh secara profesional.
Andaikata Srintil tahu bahwa dua orang yang berada di luar kamar saling berpegangan dengan kepuasan hati yang luar biasa. Andaikan Srintil tahu bahwa kemudian Nyai Sentika dan suaminya berjingkat pergi dengan keyakinan penuh bahwa Waras adalah lelaki yang tidak kurang secuil pun. Dan andaikan Srintil mengerti bahwa gerakan-gerakan kakinya telah membuat orang-orang tua semacam Sentika dan istrinya terkenang akan semangat masa muda, lalu mereka mencari tempat yang baik buat bernostalgia.
Pada hari keempat semuanya selesai. Pagi-pagi sekali Srintil minta diri kepada suami-istri Sentika. Waras tidak tahu karena dia belum bangun. Terjadilah perpisahan yang penuh emosi. Nyai Sentika, bahkan juga anak-anaknya yang perempuan menangis. Srintil ikut menangis. Nyai Sentika memeluk dan mengelus Srintil dengan rasa sayang melebihi rasa terhadap anak kandungnya.
Bersama kabut tipis yang mulai lenyap oleh cahaya matahari Srintil berjalan menuruni bukit, meninggalkan Alaswangkal. Di belakangnya berjalan Mertanakim yang disuruh majikannya mengawal Srintil sampai ke Dukuh Paruk. Sebuah sapu tangan dalam genggaman Srintil penuh uang. Tetapi hanya Srintil pribadi yang tahu bahwa uang yang banyak itu tidak bisa mengusir rasa perih dalam hatinya. Perih karena sesungguhnya Srintil pulang membawa kegagalan yang tidak kepalang. Waras tidak mungkin dilupakannya sepanjang masa; simpati bagi seorang manusia dalam kemalangan abadi. Atau, haruskah Srintil tahu bahwa Waras menangis sejadi-jadinya, melolong, dan berguling-guling ketika dia tahu bahwa Srintil telah meninggalkannya, kembali ke dunia yang kecil terpencil; Dukuh Paruk"
Tidak seorang pun di Dukuh Paruk mempunyai kalender. Bila pun ada tak seorang pun di sana bisa membaca bahwa waktu telah berjalan sampai pada tahun 1964. Dukuh Paruk tetap tegak dan makin gagah dengan ronggeng cantik berusia delapan belas tahun. Dukuh Paruk meraih masa ketenaran yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Bila rombongan ronggeng Dukuh Paruk naik pentas bukan lagi puluhan melainkan ratusan orang yang berkerumun menontonnya. Boleh jadi musik calung dengan tembang Banyumasan adalah hal yang sudah terlalu biasa bagi mereka. Tetapi tentang diri Srintil masalahnya menjadi terlalu istimewa. Dia adalah kesegaran dan gairah hidup. Memandangnya, bahkan hanya sekedar mengenangnya, menjadikan orang sejenak terlepas dari perkara keseharian, suatu hal yang diakui atau tidak menjadi kebutuhan setiap orang. Dan bagi tiap lelaki Srintil adalah angan-angan, kupu yang melambung dan membuat banyak lelaki ingin mena
ngkapnya. Episode 44 Tidak sedikit rumah tangga yang kisruh karena suami benar-benar berusaha memiliki Srintil dan mengambilnya sebagai istri. Banyak anak muda yang memaksa menjual tanah karena ingin tampil pantas dan berkelayakan menggandeng Srintil. Dan semuanya tidak peduli apakah Srintil sungguh-sungguh cantik atau hanya kelihatan cantik berkat susuk yang tersembunyi di balik alis, bibir, atau pinggulnya.
Tetapi di Dukuh Paruk sungguh tidak ada masalah kerumahtanggaan. Tak ada seorang istri pun yang merasa rugi oleh kecantikan Srintil. Boleh jadi karena semua orang di sana masih terikat dalam pertalian darah. Atau karena terikat dalam tatanan nilai yang tersendiri. Sudah biasa di sana seorang istri yang sedang hamil tua atau baru melahirkan menyuruh suaminya meminta jasa kepada Srintil. Nasihat dukun bayi kepada para suami juga bernada sama. "Awas, jangan dulu menjamah istrimu sebelum seratus hari. Mintalah kepada Srintil bila tak bisa menahan diri." Atas kesadaran primordial biasanya Srintil rela memberikan jasa. Namun dalam perkembangannya tak ada lelaki Dukuh Paruk yang memiliki cukup keberanian untuk mendekati Srintil. Bukan hanya karena Srintil sudah demikian kaya menurut ukuran Dukuh Paruk. Atau karena penampilan lahirnya yang sudah jauh berbeda dengan rata-rata orang di pedukuhan itu. Tetapi terutama karena kepribadian Srintil yang bermartabat. Srintil tidak sama dengan ronggeng-ronggeng sebelumnya yang menjadikan uang satu-satunya nilai tukar. Semua orang sudah mencatat bahwa Srintil hanya akan melayani laki-laki yang dia sukai. Atau catatan lain yang istimewa; Srintil senang menerima lelaki yang beristri cantik. Entahlah. Dan apabila laki-laki itu termasuk ke dalam jenisnya yang tidak suka berpetualang maka Srintil yang mengambil prakarsa. Srintil mulai menggodanya.
Pada tahun 1964 itu Dukuh Paruk tetap cabul, sakit, dan bodoh. Perubahan kecil hanya menyangkut Srintil, Sakarya, dan Kartareja. Rumah mereka berkapur bahkan berjendela kaca. Kartareja bisa mempunyai lampu pompa. Demikian juga Sakarya. Selebihnya adalah Dukuh Paruk yang sudah dikenal orang dari generasi ke generasi. Bahkan pada tahun-tahun itu Dukuh Paruk semakin kusam. Pedukuhan yang kecil itu mustahil menghindar dari keruntuhan sistem ekonomi yang sudah lama menggejala secara umum di seluruh negeri.
Atau bila Dukuh Paruk tidak mampu mengerti tentang keadaan ekonomi nasional maka setidaknya dia merasa bahwa alamlah yang menguji mereka. Pelepah pisang dan nyiur runduk, dedaunan luruh dan rumpun-rumpun bambu meranggas. Sawah amat luas yang mengelilingi Dukuh Paruk kering dan gersang. Semuanya terjadi karena kemarau yang menjerang lama melebihi biasanya. Sekali turun hujan maka sawah menghijau oleh tanaman padi. Orang Dukuh Paruk ikut berharap dapat panen, buruh menuai padi. Tetapi berbagai hama datang lebih dulu. Tikus atau walang sangit. Bahkan celeng yang entah datang dari mana ikut merusak harapan orang-orang Dukuh Paruk.
Hanya karena pedukuhan itu bernama Dukuh Paruk maka penghuninya mampu memperlambat datangnya busung lapar. Orang-orang di sana pintar mengolah iles-iles, ubi gadung, atau keladi-keladi gatal seperti senthe urang dan lompong bandung. Bahan-bahan itu diolah dengan cara-cara khusus sehingga mereka tidak mabuk oleh racun iles-iles atau ubi gadung. Lidah mereka tidak menjadi kelu oleh gatalnya keladi-keladi liar. Anehnya orang-orang Dukuh Paruk enggan ikut mengganyang daging tikus. Padahal pada masa itu soal makan daging tikus ramai dipropagandakan orang. Tidak jarang para penganjur berdemonstrasi memakan sate daging tikus di tengah rapat-rapat umum.
Ketika kesulitan pangan menimpa kebanyakan orang maka pentas ronggeng jarang terdengar. Bagaimana juga orang mengutamakan nasi daripada ronggeng dan calung. Kadang Srintil tetap tinggal di rumah hingga berbulan lamanya, menunggu masa panen yang baik tiba. Menunggu saat orang yang hendak mengawinkan atau menyunatkan anak memiliki cukup uang buat biaya berhajat. Pada saat seperti itu Srintil harus melewati masa yang membosankan. Tetapi pada tahun 1964 itu, ketika paceklik merajalela di
mana-mana, ronggeng Dukuh Paruk malah sering naik pentas. Bukan di tempat-tempat orang berhajat melainkan di tengah rapat umum baik siang atau malam hari. Karena sering berada di tengah rapat itu maka rombongan ronggeng Dukuh Paruk mengenal Pak Bakar; orang yang selalu berpidato berapi-api. Pak Bakar dari Dawuan yang amat pandai berbicara, sudah beruban tetapi semangatnya luar biasa. Di mata Srintil, Bakar adalah secrang ayah yang sangat layak. Ramah, dan kelihatannya paham akan banyak hal termasuk perasaan pribadi Srintil. Kebapakannya tidak hanya dibuktikan dengan bayaran tinggi yang selalu diberikannya kepada Srintil tetapi juga dengan sikapnya yang dingin terhadap tujuan-tujuan erotik. Bakar juga memberikan hadiah kepada Srintil beserta rombongannya berupa seperangkat alat pengeras suara; perkakas elektronik pertama yang masuk dan sangat dibanggakan oleh orang Dukuh Paruk.
Dukuh Paruk yang bersahaja serta-merta menerima Bakar sebagai orang bijak yang bisa memimpin dan melindunginya. Bila datang ke sana ahli pidato itu mendapat penghormatan sebagai seorang kamitua laiknya. Kata-katanya dituruti, pengaturannya dijalankan. Satu-satunya jalan yang menjadi pintu masuk ke Dukuh Paruk kini berhias lambang partai. Orang-orang merasa bangga karena itulah pengaturan Bakar. Di depan rumah Kartareja juga dipasang sebuah papan. Tak ada orang Dukuh Paruk yang bisa membaca tulisan dalam papan itu. Namun setidaknya mereka tahu tulisan di sana bersangkutan dengan kesenian renggeng. Kartareja sebagai ketua
rombongan ronggeng Dukuh Paruk harus memasang papan itu di depan rumahnya. Itu pun
pengaturan Bakar. Semua patuh, kecuali Sakarya.
Dan suatu ketika Sakarya mempertanyakan hal itu kepada Kartareja.
"Sampean masih ingat ketika kita pentas pada malam Agustusan setahun yang lalu""
"Ya, tentu. Mengapa"
"Waktu itu kita disebut sebagai kelompok seniman rakyat. Padahal kita tidak pernah mengumumkan nama apa pun. Kemudian ada satu kejadian, aku dilarang membakar kemenyan dan memasang sesaji. Yang menyebut kita seniman rakyat dan melarangku memasang sesaji dialah orangnya. Pak Bakar. Saya tahu pasti. Kini orang itu malah sering datang kemari. Bagaimana, ya""
"Menurut sampean bagaimana, Kang""
Episode 45 "Itulah. Yang jelas hal semacam ini baru sekarang kita alami. Sejak dulu ronggeng ya ronggeng. Tidak harus pakai nama atau papan nama. Dukuh Paruk sejak dulu ya Dukuh Paruk. Tanpa gambar partai di mulut jalan itu pun pedukuhan kita ini bernama Dukuh Paruk. Nah, Kartareja. Bagaimana ini""
Kartareja diam. "Dan ini," sambung Sakarya. "Bagaimana kalau kita selalu dilarang memasang sesaji! Ini pelanggaran adat yang bukan main. Kartareja, aku amat takut menerima akibatnya."
Kartareja masih diam. Tetapi dia mempunyai perasaan yang sama dengan kakek Srintil itu.
"Aku mengerti, Kang. Sayang, semuanya ini kok ya menyangkut Pak Bakar. Dia telah berbuat baik terhadap kita. Kita terlanjur menerima kebaikan-kebaikannya. Atau, mungkinkah kita memutuskan hubungan dengan dia. Bila demikian, Kakang tahu caranya""
Giliran Sakarya yang diam. Kedua-duanya diam. Memutuskan hubungan adalah perkara yang hampir tak dikenal di Dukuh Paruk. Kalaupun harus terjadi maka harus ada alasannya yang nyata, pertengkaran misalnya. Sedangkan Bakar tidak membawa pertengkaran. Dia hanya mencegah Sakarya membakar dupa dan memasang sesaji sesaat pentas ronggeng hendak mulai. Dan itu pun selalu terjadi di luar Dukuh Paruk. Sebaliknya, Bakar datang ke pedukuhan itu membawa sikap kebapakan, memberikan perangkat pengeras suara, bahkan yang terakhir Bakar memberi pakaian lengkap bagi para penabuh calung. Srintil mendapat kain dan perlengkapan lainnya. Sampurnya kain pelangi berwarna merah jingga.
"Ah, begini saja, Kang," kata Kartareja.
"Bagaimana""
"Perkara papan nama dan gambar-gambar itu tak usah kita pikirkan benar. Karena aku melihat di mana-mana di luar Dukuh Paruk sama keadaannya. Kukira kini sedang zamannya. Kalau zaman sedang menghendaki demikian, bukankah kita tinggal patuh""
"Memang, siapa pula yang bisa menampik kersaning zaman. Tetapi perkara sesaji menyangkut semua orang
Dukuh Paruk dan leluhurnya, Ki Secamenggala. Zaman apa pun tidak boleh mengubah tata cara ini. Aku bilang tidak boleh!"
"Itu pun ada pemecahannya, Kang. Begini. Kalau kita hendak berangkat pentas, sesaji kita laksanakan dulu di sini. Atau bahkan di makam Eyang Secamenggala. Kukira ini sama saja."
Sesungguhnya Sakarya tidak puas dengan jawaban Kartareja. Menjadi pemangku trah Dukuh Paruk baginya bukanlah perkara gampangan. Dan nuraninya tetap, tidak rela bila Dukuh Paruk berubah. Dia tetap ingin melihat Dukuh Paruk seperti aslinya. Terutama tentang sikap seluruh warganya terhadap arwah moyang mereka, Eyang Secamenggala. Namun Sakarya merasa telah terlampau tua buat berpikir yang berat-berat. Dia sadar betul dirinya sudah mencapai usia di mana banyak keinginan harus tetap tinggal menjadi keinginan. Tiada tenaga lagi buat melaksanakannya menjadi kenyataan. Akhirnya dia menerima kata-kata Kartareja.
Atau karena ternyata kemudian Bakar memang berhenti pada titik yang bersahaja. Di luar Dukuh Paruk, Bakar berpropaganda macam-macam, yang pasti sulit dimengerti oleh orang Dukuh Paruk. Misalnya tentang perjuangan kaum tertindas untuk mendapatkan kembali hak-haknya. Perjuangan dan hak adalah hal yang boleh seribu kali diterangkan di Dukuh Paruk, dan orang di sana akan tetap bingung memikirkannya. Dukuh Paruk yang percaya bahwa hidup ini mestilah demikian adanya dan merupakan sebuah pakem yang sudah kering tinta, maka tak perlu ada perjuangan. Dan hak hanya kelihatan samar di bawah sikap yang nrimo pandum.
Tidak. Bakar tidak bicara macam-macam di Dukuh Paruk. Dia hanya ingin Srintil dan rombongannya menjadi alat penarik massa, sekaligus mendaulatnya. Tujuan itu sudah berhasil dicapai dengan modal tak seberapa: pengeras suara, pakaian-pakaian, serta sikap kebapakan. Juga slogan-slogan yang telah diubah menjadi syair untuk mengganti lirik tembang tradisional. Jadilah rombongan ronggeng Dukuh Paruk bagian yang pasti rapat-rapat propaganda yang diselengarakan oleh Bakar beserta orang-orangnya. Rapat selalu berlangsung hingar-bingar. Pengunjung bukan main banyak. Mereka datang demi Bakar atau demi Srintil. Yang demikian ini tidak penting bagi Bakar. Pokoknya massa yang amat banyak telah berkumpul dan dia berkesempatan mengolah emosi mereka. Hanya emosi, karena seorang dengan kepala penuh teori seperti Bakar pasti tahu bahwa lebih dari itu, tentang kesadaran ideologi misalnya, sulit dimengerti oleh orang-orang dusun. Orang-orang bersahaja itu kebanyakan tidak memiliki sarana batin buat memahami konsep ideologi apa pun.
Kalaulah mau dibuat catatan tentang ideologi dasar orang-orang dusun maka di sana ada keyakinan mesianistik. Bahwa mereka dalam penantian akan datangnya Ratu Adil. Dari sisi inilah Bakar paling sering muncul. Secara tidak langsung kelompoknya ingin diakui sebagai pengejawantahan Ratu Adil yang akan memberi keadilan, misalnya dengan janji pembagian tanah yang sama rata sama rasa. Catatan membuktikan bahwa dengan cara ini Bakar berhasil. Adalah Srintil yang tidak tahu apakah dalam hidup ini diperlukan rapat-rapat, pidato, dan pawai-pawai. Atau segala kegiatan hura-hura, itu. Dan Srintil yang tidak mengerti tujuan rapat-rapat yang belakangan selalu diikutinya dan dia mengisi acara kesenian. Srintil yang menjadi unsur paling penting bagi Dukuh Paruk adalah anak kandung keluguan alam dan kehidupan. Dia yang hidup atas dasar kepercayaan menjalani alur cetak biru yang sudah ditentukan baginya, cetak biru seorang ronggeng.
Alur itu sudah ditempuhnya dengan kerelaan sempurna. Menjadi ronggeng yang diterimanya sebagai tugas hidup, ialah menjadi pemangku naluri primitif, nalun berahi yang membebaskan diri dari norma dan etika yang menyusul kemudian. Itulah dunianya, kesadarannya. Dalam kesadaran itu Srintil merasa pasti ada sesuatu yang hilang ketika dia berpentas pada rapat-rapat propaganda itu. Srintil takkan pernah mampu berkata demikian. Namun nalurinya secara pasti merasakan adanya pendangkalan makna keberadaannya. Ronggeng adalah keperempuanan yang menari, menyanyi, serta kerelaan melayani kelelakian. Dia pastilah bersifat mand
iri dan mendasar. Tetapi selama mengikuti Bakar, untuk apa dan siapa dia meronggeng sungguh menjadi pertanyaan yang sulit dijawabnya.
Episode 46
Lintang Kemukus Dinihari Karya Ahmad Tohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meski dalam wawasan yang sederhana Srintil merasa pentas ronggeng dalam rapat-rapat itu sekedar pelengkap. Memang meriah, tetapi lain. Gempita tetapi kering makna. Apalagi dengan lirik tembang yang sudah banyak diubah. Penonton selalu dalam keberingasan yang tidak bisa dimengerti dan karenanya Srintil kadang merasa ngeri. Bahkan Sakum yang buta dua belah mata ikut mewarnai perubahan yang dirasakan Srintil. Penabuh calung itu kehilangan dirinya; kekocakan spontan yang selalu tepat ketika ronggeng menggoyang pinggulnya. Sakum, dengan kepekaan dan kehalusan perasaannya mampu menangkap keringnya pentas ronggeng yang digelar bersama rapat-rapat propaganda itu.
Acap kali Srintil merenung mengapa segala perasaan itu baru datang setelah kebaikan-kebaikan Bakar bertumpuk menjadi utang budi yang sulit dihindari. Pernah sekali dicobanya menolak naik panggung yang diselenggarakan oleh Bakar. Tetapi ketika utusan Bakar datang menjemputnya mulut Srintil terkunci. Kata tidak yang sudah lama dipersiapkannya tidak kunjung terucap. Akhirnya pada tahun 1964 menjelang tahun berikutnya Dukuh Paruk dan ronggengnya berbaur dalam satu pengertian dengan kelompok Bakar. Srintil mendapat julukan baru yang cepat menjadi tenar: Ronggeng Rakyat. Sebutan ronggeng Dukuh Paruk kian tersingkir. Tetapi makin jarang terdengar nama Dukuh Paruk, Srintil makin merindukannya. Dukuh Paruk yang meskipun tanpa pengeras suara atau lambang-lambang partai dan tetap melarat dan cabul, tetapi lugu dan sejati. Lirik tembangnya tidak usah diganti dengan slogan-slogan. Tak perlu hingar-bingar dan hura-hura rapat. Kerinduan Srintil akan dunianya memuncak setelah mendapat pengalaman baru bersama Bakar; pengalaman baru yang menggoncangkan jiwanya. Suatu ketika sehabis rapat di mana Srintil mengisi acara kesenian, ratusan penonton mabuk. Mereka kesurupan, kemudian mereka beramai-ramai merojeng padi. Mereka membabat padi menguning di sawah-sawah entah milik siapa. Malam yang amat rusuh karena kemudian datang para pemilik sawah untuk mempertahankan padi mereka. Polisi datang tetapi tujuh orang terlanjur tercampak berlumur darah.
Kegaduhan pertama disusul oleh yang kedua, sebulan kemudian, dan yang ketiga pada bulan berikutnya lagi. Dalam kerusuhan yang terakhir keadaannya demikian genting karena terjadi siang hari dan melibatkan ratusan orang dari pihak perojeng dan para pemilik sawah. Perang pacul dan sabit hanya gagal karena polisi tidak terlambat datang. Namun kengerian yang terjadi membuat Srintil mengambil kata putus. Sakarya mendukungnya. Cucu dan kakek itu mendatangi rumah Bakar di Dawuan dengan keluhan yang telah meningkat menjadi tuntutan. "Pak Bakar," kata Sakarya penuh kekesalan. "Kami orang-orang Dukuh Paruk tidak ingin dilibatkan dengan kerusuhan-kerusuhan itu. Bila demikian terus keadaannya samalah artinya sampean menjerumuskan kami. Orang Dukuh Paruk tidak menyukai kekerasan. Pak Bakar, buat selanjutnya kami tak mau ikut rapat-rapat itu."
"Ya, Pak," sela Srintil. "Akhirnya orang pasti menghubungkan kami dengan kerusuhan di sawah-sawah itu."
"Ah, kalian orang-orang Dukuh Paruk," kata Bakar masih dengan sikap kebapakannya. "Kalian tak perlu terpengaruh oleh perasaan cengeng semacam itu. Yang sedang terjadi adalah sebuah aksi massa, sebuah gerakan kaum miskin yang sekian lama mengalami ketidakadilan. Mereka berkeringat mengerjakan sawah para pemilik tanah. Tetapi mereka tak pernah ikut memetik hasilnya kecuali sekedar untuk hidup, bahkan kurang dan itu. Kini saatnya mereka menuntut hak."
"Dengan cara kekerasan semacam itu""
"Dengan cara apa pun."
"Jadi sampean menyetujui gerakan para perojeng itu""
"Aku tak bisa mencegah sebuah aksi massa yang sedang berjuang menuntut hak." "Maka jadilah! Cukup sekian. Kami takkan mencampuri urusan sampean. Tetapi jangan sekali-kali sampean urusi bagian kami orang-orang Dukuh Paruk. Kami tidak ingin terlibat dalam kerusuhan apa pun."
"Nanti dulu, Kang Sakarya," ujar Bakar sambil tersenyu
m. "Aku yakin betul, apa yang terjadi di sawah-sawah itu seharusnya tidak asing bagi semua orang Dukuh Paruk. Nah, apa kalian mengira aku tidak tahu siapa dan bagaimana kelakuan nenek moyang kalian""
Sakarya terperanjat. Kata-kata Bakar tak diduganya sama sekali. Kata-kata itu mengandung penghinaan, menyangkut moyang Dukuh Paruk yang amat dikeramatkan oleh sekalian keturunannya. Ki Secamenggala yang semasa hidupnya menjadi bromocorah, pemimpin rampok yang tidak hanya sekali-dua membunuh korbannya. Tetapi bagaimana jua Ki Secamenggala adalah laki-laki dari siapa darah semua orang Dukuh Paruk berasal.
"Oh, Pak Bakar. Sampean telah menyinggung perasaan kami. Tetapi sesungguhnya sampean tidak mengerti sepenuhnya siapa Ki Secamenggala, moyang kami. Sampean lupa bahwa moyang kami tidak mati dalam peristiwa perampokan atau kerusuhan lainnya. Dia mati dengan tenang di tempat sepi di Dukuh Paruk dalam masa tua yang penuh penyesalan. Aku sendirilah kini pemangku wasiat-wasiat yang diucapkannya menjelang akhir hayat. Kami dilarang keras berbuat sesuatu yang merugikan orang lain, apalagi dengan kekerasan."
"Begitu"" "Jadi sejak saat ini ronggeng Dukuh Paruk kularang mengikuti rapat-rapat."
"Ya, Pak. Aku tak mau lagi menari bila sesudah itu terjadi keributan," ujar Srintil. Bakar termenung sejenak. Mengangguk-angguk, kemudian wajahnya kembali tenang. "Baiklah. Kukira kalian memang perlu istirahat."
"Dan sampean hendaknya mengambil kembali lambang partai dan papan nama itu dari Dukuh Paruk."
"Ah, tidak sejauh itu. Biarkan papan itu terpasang di sana. Aku takkan mengambilnya. Siapa pun tidak boleh menyingkirkannya. Siapa yang berbuat begitu pasti akan menghadapi kemarahan pemuda-pemudaku. Nah, kalian tidak ingin melihat kerusuhan, bukan""
Episode 47 Srintil bersama kakeknya pulang dengan hati lega. Keduanya merasa telah keluar dari keterikatan yang semula sulit dihindarkan. Sakarya berharap akan kembali melihat Dukuh Paruk mapan seperti semula. Pada ujung usianya Sakarya tidak ingin melihat pusakanya berubah. Memang di sana masih ada lambang partai serta simbol sebuah lembaga kesenian. Namun hal itu bisa diterima oleh Sakarya sebagai nilai tukar seperangkat pengeras suara yang diberikan oleh Bakar kepada orang-orang Dukuh Paruk.
Goder yang kini dua tahun dan sudah pintar berjalan bisa lebih lama menikmati keibuan Srintil. Siapa mengira bahwa antara keduanya hanya dihubungkan oleh naluri dasar seorang perempuan dan kebersihan hati seorang bayi. Tubuh Goder yang selalu telanjang gemuk seperti terong. Subur seperti kecambah. Bersama Srintil Goder memperoleh banyak hal yang tidak pernah diterima oleh bayi-bayi Dukuh Paruk lainnya. Dia mempunyai semua mainan yang bisa dibeli di pasar Dawuan. Kadang Srintil bahkan berbuat hal yang berlebihan, misalnya membeli beberapa ekor kambing atas nama Goder, memotong ayam atas nama Goder. Dan sebidang sawah yang dibeli Srintil tahun lalu kini tercatat atas nama Goder.
Orang mengatakan Srintil demikian memanjakan Goder karena dia khawatir anak itu akan diambil kembali oleh emaknya, Tampi. Boleh jadi. Namun Srintil sendiri merasa kebaikannya terhadap Goder belum senilai dengan kebahagiaan yang dia rasakan karena bisa memeluk anak itu setiap hari. Goder adalah harapan masa depan bila nasib kebanyakan ronggeng terjadi pula atas dirinya: hidup sendiri di hari tua karena peranakan rusak.
Beberapa hari lamanya calung ronggeng Dukuh Paruk tetap tersimpan di tempatnya. Dukuh Paruk terasing dari kebisingan rapat-rapat dan pawai-pawai politik yang panasnya menjerang desa-desa di sekitarnya. Dengan mengambil sikap tidak mau tahu dan membisu orang-orang di sana yakin telah memelihara pedukuhan dalam wataknya yang asli. Namun ketenangan Dukuh Paruk tidak berlangsung lama. Suatu hari Sakarya menangis keras karena mendapati cungkup makam Ki Secamenggala poranda dirobohkan orang. Dukuh Paruk terluka parah tepat pada sisinya yang paling peka.
Dalam sekejap semua warga naik ke pekuburan di puncak bukit itu. Anak-anak dituntun emaknya. Sakum yang buta terlunta-lunta mengikuti langkah anaknya. Semuanya dengan kesedihan d
an kemarahan yang tidak kepalang. Dua orang perempuan tua menangis, sungguh-sungguh menangis.
"Ini pasti ulah Bakar. Asu buntung dia. Bajingan!" umpat Sakarya dengan suara parau. "Monyet munyuk itu jengkel karena kita tidak mau lagi bekerja sama dengan mereka. Asu buntung!"
"Kita tidak bisa menerima semua ini!" teriak Kartareja. "Oh, Eyang. Semoga yang merusak makammu ini mampus termakan pathek dan bubul. Atau raja singa sekalian!"
"He, Darkim! Cabut dan bakar lambang partai di mulut jalan itu. Cabut juga papan nama di depan rumah Kartareja."
Seorang muda yang disebut Darkim lari menuruni bukit pekuburan Dukuh Paruk, siap menjalankan perintah Sakarya. Tetapi seorang laki-laki lain menghentikannya. Yang terakhir ini muncul dari balik semak membawa sebuah caping bambu bercat hijau, bertuliskan sesuatu yang tak seorang pun bisa membunyikannya.
"Caping ini kutemukan di balik semak. Kita tak pernah mempunyai barang seperti demikian. Ini pasti milik bajingan-bajingan yang telah merusak cungkup makam.
Suasana menjadi hening tetapi tetap tegang. Semua mata memandang caping hijau itu. Dan meski mereka tak bisa membaca tetapi mereka telah mengerti sesuatu. Caping hijau. Orang-orang Bakar tak pernah memakai caping seperti itu.
Sakarya menjatuhkan pundak dan mendesah. Sambil menggendong kedua tangan orang tertua di Dukuh Paruk berjalan berkeliling menatap reruntuhan cungkup makam. "Pulanglah, anak-anak. Ambillah perkakas kalian. Kita perbaiki cungkup Eyang Secamenggala sekarang juga."
Berita tentang perusakan makam Ki Secamenggala cepat tersebar ke mana-mana, tanpa seorang Dukuh Paruk pun menceritakan hal yang merampas kehormatan mereka itu keluar. Dan para perusak yang memakai caping hijau. Pada tahun 1965 itu siapa pun tahu kelompok petani mana yang suka berpawai atau berkumpul dalam rapat dengan tutup kepala seperti itu. Belum pernah sekali pun Dukuh Paruk merasa terhina demikian dalam. Dia muram dan diam menahan murka. Semua warga memusatkan kebersamaan rasa, siap membayar kembali dengan tunai penghinaan yang telah mereka terima. Dan balas dendam itu hanya tertunda karena orang-orang Dukuh Paruk belum menemukan nama para penghina itu.
Polisi yang mendapat laporan kejadian di Dukuh Paruk hanya menambah kekecewaan orang di sana. Sampai lima hari lamanya polisi belum bisa memberi keterangan siapa sebenarnya para pelaku. Bahkan polisi membuat Sakarya lebih jengkel dengan melarang keras orang Dukuh Paruk mengambil tindakan sendiri dalam masalah makam Ki Secamenggala itu.
Akhirnya orang Dukuh Paruk menemukan jalan buat melampiaskan murka. Bukan dengan jalan mengayun parang atau meninju kepala orang-orang bercaping hijau, melainkan dengan cara menerima ajakan Bakar untuk meramaikan kembali rapat-rapat propaganda. Srintil kembali menari dengan semangat luar biasa. Dia tidak peduli lagi apakah menari demi keramaian rapat sesuai dengan roh sejati seorang ronggeng. Dengan tarian yang lebih berani dan menantang Srintil merasa sedang membalas serangan orang-orang bercaping hijau atas nama Dukuh Paruk, atas nama arwah Ki Secamenggala yang makamnya baru saja dirusak orang. Sakum menemukan kembali cirinya: membakar setiap pentas dengan seruan-seruan yang jitu dan cabul. Bahkan Sakum ikut berteriak lantang ketika dalam pidatonya Bakar mengucapkan kata-kata serangan terhadap kaum bercaping hijau.
Murka tidak kepalang yang mengusik Dukuh Paruk membuat ronggengnya tidak kehabisan semangat. Pada akhir bulan September 1965 it Srintil sudah dua minggu manggung terus-menerus di arena pasar malam di lapangan kota Dawuan atas nama kelompok Bakar. Dua minggu yang jor-joran, sarat dengan pemberontakan budaya. Tayub yang secara resmi dilarang pemerintah, pada pasar malam bulan September 1965 itu digalakkan kembali dengan semena-mena. Siapa saja boleh naik panggung rakyat buat berjoget atau menciumi Srintil sepuas hati. Cuma-cuma
Episode 48 Sampailah hari pertama bulan Oktober. Hari pertama yang disusul hari-hari berikutnya, suatu masa yang tidak bisa dimengerti oleh siapa pun di Dukuh Paruk. Tiba-tiba mereka merasakan kehidupan menjadi gagu dan limbung. P
asar malam bubar tanpa pengumuman apa pun. Dawuan, terutama pasarnya yang biasa ramai kian hari kian sepi. Orang-orang kelihatan lebih banyak diam dan menunggu.
Kebingungan yang melanda Dukuh Paruk sedikit demi sedikit mencair. Dimulai dengan selentingan berita bahwa di Jakarta, sebuah negeri antah berantah bagi orang Dukuh Paruk, telah terjadi pembunuhan-pembunuhan. Pelaku pembunuhan adalah orang-orang semacam Bakar. Korbannya adalah pejabat-pejabat negara. Tetapi pada mulanya Dukuh Paruk menampik berita ini. "Itu kan baru kata orang," kata Sakarya. "Siapa pun yang membawa kabar itu pasti tidak menyaksikannya sendiri."
Kemudian suatu malam muncul Bakar bersama tiga temannya di Dukuh Paruk. Sakarya dan Kartareja yang ingin bertanya tentang banyak hal hanya mendapat jawaban singkat. Dan Bakar kelihatan sudah kehilangan ketenangannya.
"Pokoknya tidak ada apa-apa. Kalian mesti tetap tenang."
"Sampean sendiri kelihatan gugup," kata Sakarya.
"Terus-teranglah. Apa yang sebenarnya sedang terjadi""
"Di Jakarta para tentara sedang saling bunuh."
"Perang"" "Ya." "Akan sampai ke sini"" "Bisa jadi."
"Kami harus bagaimana""
"Tenang, kataku. Kalian tidak tahu apa-apa. Dan satu hal; kami akan berada di sini dua-tiga hari. Tetapi kalian harus tutup mulut. Jangan banyak bicara bila tidak ingin ada pelor nyasar."
Bakar lenyap setelah tiga hari berada di rumah Sakarya. Selama itu dia bersama teman-temannya hanya keluar bila berhajat. Itu pun dilakukannya malam hari. Berita tentang Bakar sampai ke Dukuh Paruk seminggu kemudian. Rumahnya habis dimangsa api. Juga beberapa rumah lain milik orang-orangnya. Polisi atau tentara menahan mereka.
"Aku makin tidak mengerti, Kang," kata Kartareja kepada Sakarya suatu malam. "Kabar di luar makin mengerikan. Terus terang aku khawatir Dukuh Paruk akan tetap dihubungkan dengan Bakar. Bila demikian halnya, bagaimana, Kang""
Pertanyaan itu mengambang sekian lama tanpa jawaban. Beberapa orang yang menanti Sakarya membuka mulut akhirnya mengerti bahwa kamitua Dukuh Paruk itu pun dalam keadaan bimbang.
Hanya karena sadar sebagai seorang sesepuh maka Sakarya bertutur. Suaranya bergetar dalam tengorokan.
"Inilah yang dulu saya katakan, dalam hidup segala hal mestilah dilakukan pada batas kewajaran. Karena keselamatan berada di tengah antara dua hal yang saling berlawanan. Jadi keselamatan adalah jalan tengah, atau kewajaran atau keberimbangan. Yang kita saksikan akhir-akhir ini adalah kehidupan sang serba tidak wajar, melampaui batas. Dan kehidupan takkan kembali berimbang sebelum dia mengalami akibat ketidakwajaran itu. E, anakku, cucuku, kita sendiri telah ikut-ikutan lupa."
Semua pendengar menundukkan kepala. Sakarya telah berbicara dalam bahasa dan wawasan Dukuh Paruk sehingga tak ada makna yang luput dari pernahaman anak-cucunya. Keheningan terus mengembang. Suara burung celepuk bersahutan mendaulat udara Dukuh Paruk. Orang di sana sudah terbiasa niendengar suara unggas itu. Tetapi kali ini mereka merasakan adanya pesan halus dari alam pekuburan Dukuh Paruk; pesan yang tidak mudah dipahami dan yang hanya membuat orang-orang merasa kecil tak berdaya.
"Jadi kita harus bagaimana, Kek"" kata Srintil memecah keheningan.
"Kita hanya tinggal pasrah, eling, dan waspada. Aku minta kalian yang muda-muda berjaga-jaga, meronda pedukuhan kita setiap malam. Yang tua-tua bersiap, Jumat Kliwon mendatang kita akan membersihkan makam Eyang Secamenggala. Kita akan slametan. Mara bahaya yang mungkin menimpa kehidupan harus kita tumbal."
Awal kemarau tahun 1966. Malam yang sangat dingin menyertakan kecemasan yang meluas. Annjng-anjing liar yang beringas karena terangsang bau darah. Atau mayat-mayat yang tidak diurus secara layak. Angin tenggara membawa bau bunga bangkai. Dini hari di langit timur muncul tanda keperkasaan alam. Lintang kemukus menggaris langit dengan ujungnya yang runcing kemilau. Suara malam ialah bunyi langkah sepatu yang berat. Dan letupan bedil sekali-sekali.
Orang Dukuh Paruk belum sempat menyelenggarakan selamatan. Suatu malam puluhan orang datang mengendap-endap mengepung rapat pemukiman terpencil itu. Ke
datangan mereka diketahui oleh anak-anak muda yang meronda. Dukuh Paruk bangun buat mempertahankan diri. Semua laki-laki mengambil kentongan, memukulnya serentak hingga terjadi suasana genting tak terperikan. Semua perempuan ikut memukuli benda apa saja. Semua anak menjerit ketakutan. Para pengepung lari mengundurkan diri.
Keesokan hari semua orang Dukuh Paruk berkumpul di rumah Sakarya. Wajah mereka adalah wajah-wajah lugu yang menyimpan ketakutan luar biasa. Sakarya menangis. Di hadapannya berhimpun seluruh darah daging Ki Secamenggala yang datang mencari perlindungan. Mereka hanya bisa disamakan anak-anak ayam yang lari berlindung ke bawah sayap induknya dari sambaran burung elang. Perempuan-perempuan mengusap air mata. Anak-anak bergayut di lengan emak dengan pertanyaan besar muncul dari mata mereka yang masih bening. Semua laki-laki membisu.
"Aku akan pergi ke kantor polisi!" kata Srintil tiba-tiba. "Aku akan bertanya kepada mereka apa kesalahan kita."
"Ya. Aku setuju." ujar Kartareja. "Kami hanya meronggeng. Kita sama sekali tidak merojeng padi siapa pun. Srintil, aku akan menyertaimu ke kantor polisi."
"Jangan, cucuku. Kamu harus tetap di sini bersamaku. Kamu jangan ke mana-mana," tangis Nyai Sakarya.
"Kita yakin tidak bersalah. Kita harus mencari pengayoman. Polisi harus memberi pengayoman kepada kita; kaula yang tidak bersalah."
Kata-kata Kartareja menimbulkan sedikit harapan dan percaya diri. Hanya Nyai Sakarya yang mempertahankan Srintil agar jangan pergi ke kantor polisi. Tetapi nenek itu mengalah karena Srintil bersikeras.
"Aku mengenal mereka, Nek. Juga komandannya," kata Srintil.
Episode 49 Ketika Srintil dan Kartareja berangkat semua mata mengikutinya. Harapan terakhir sudah dilayangkan. Dukuh Paruk menanti dengan berbagai pertanyaan tetap mengusik hati. Seorang kusir andong melihat Srintil bersama Kartareja berjalan di ujung pematang hampir mencapai jalan besar. Tetapi kusir itu tidak menghentikan kendaraannya, tidak pula menawarkan jasa seperti biasa. Orang-orang yang pulang dari pasar Dawuan tidak menyapa ketika berpapasan dengan ronggeng Dukuh Paruk itu. Mereka berjalan menunduk menghindari pandangan mata Srintil. Pasar Dawuan telah kehilangan kehangatan bagi ronggeng yang dulu sangat dipuja. Para pedagang di sana memandang dingin kepada Srintil yang lewat di hadapan mereka, langsung menuju kantor polisi.
Sampai di depan kantor yaing dituju Kartareja berhenti termangu. Jelas sekali keraguannya. Tetapi Srintil terus melangkah. "Ayolah, Kek. Orang tak bersalah tidak perlu merasa takut." Di kantor itu ternyata bukan hanya polisi, melainkan tentara juga ada di sana. Mereka segera mengenal siapa yang sedang melangkah memasuki halaman. Mereka saling pandang karena pada saat genting seperti itu dua orang yang dikenal sering tampil bersama Bakar muncul di kantor polisi. Namun Komandan Polisi dan seorang tentara menyilakan Srintil dan Kartareja masuk. Yang lain berdiri dengan sikap kaku.
"Kami datang kemari hendak bertanya, Pak," kata Srintil dengan keberanian yang masih tersisa. "Tadi malam beberapa orang datang mengepung rumah-rumah kami. Tentulah mereka bermaksud buruk. Maka kami ingin minta perlindungan karena kami merasa tidak berbuat salah apa pun. Apabila kami dikatakan salah maka tolong, Pak. Katakan apakah kesalahan kami." Pak Komandan gelisah. Tangannya bergerak tak menentu. Matanya tak berani menatap Srintil. Padahal benar dia telah mengenal ronggeng Dukuh Paruk itu. Bahkan kemudian dia bangkit masuk ke kamar lain diikuti oleh seorang tentara. Kedua laki-laki berpistol itu berbicara dengan suara kecil.
"Mereka malah datang sendiri. Bagaimana ini"" "Betul nama-nama mereka tercantum dalam daftar""
"Ini, lihat," kata Komandan Polisi sambil membuka catatan yang mulai kumal.
"Saya kira ini kebetulan. Setidaknya menghemat pekerjaan." "Jadi begitu"" "Begitu saja."
Komandan keluar lagi. Wajahnya keras. Resmi. Pandangannya lurus ke depan, ke halaman kantor. "Tentang orang yang mengepung Dukuh Paruk akan kami selidiki. Tetapi di luar masalah itu ada hal penting yang akan kami sampaikan buat kalian berdua. B
ahwa Saudara Kartareja dan Saudara Srintil termasuk orang-orang yang harus kami tahan. Ini perintah atasan. Dan kami hanya melaksanakan tugas."
Srintil mendengar seluruh ucapan Komandan. Kata-kata itu menjadi masukan yang ternyata amat sulit dijabarkan menjadi pengertian dan kesadaran. Ketika pengertian itu baru muncul samar jiwanya menampik dengan keras. Seluruh proses yang terjadi pada diri Srintil memerlukan tenaga ekstra. Jantung berdenyut lebih cepat dan darah terpusat pada otak dan pusat-pusat syaraf. Wajah Srintil pucat tidak kebagian darah. Tangan dan kakinya berkeringat dingin. Dan Srintil tergagap dalam upaya menggapai dirinya kembali.
"Tahan" Kami ditahan""
Srintil mencoba tersenymn sebagai usaha terakhir menolak kenyataan. Tetapi senyum itu berhenti pada gerak bibir seperti orang hendak menangis. Lama sekali wajahnya berubah menjadi topeng dengan garis-garis muka penuh ironi. Topeng itu tidak hilang ketika dua orang berseragam membawanya ke ruang tahanan di belakang kantor. Srintil berjalan tanpa citra kemanusiaan. Tanpa citra akal budi, tanpa roh. Srintil menjadi sosok yang bergerak seperti orang-orangan dihembus angin.
Hingga siang hari warga Dukuh Paruk menanti Srintil dan Kartareja pulang. Mereka bergerombol-gerombol di dalam dan di luar rumah Sakarya. Tak seorang pun pergi bekerja. Sementara di langit burung dadali terbang berputar-putar mencari mangsa. Induk ayam berkotek-kotek menghimpun semua anak di bawah lindungan sayapnya.
Dukuh Paruk hampir senyap. Anak-anak pun kehilangan gairah bermain karena melihat orang tua mereka berwajah murung. Hanya terdengar suara kambing-kambing mengembik. Sejak pagi ternak-ternak itu tidak dibukakan kandang. Dan anak-anak yang menangis karena emak mereka tidak menyalakan api di tungku.
Matahari sudah masuk ke belahan langit barat. Dua orang yang ditunggu belum juga datang. Wajah-wajah itu makin gelap. Makin sering terdengar suara mendesah. Dalam keheningan yang amat mencekam itu tiba-tiba terdengar seorang anak berteriak. Ada orang datang. Beberapa orang lelaki menghambur ke luar halaman. Di hati mereka terbit harapan. Tetapi harapan itu hanya sedetik tinggal, kemudian lenyap, dan berubah menjadi ketakutan. Yang datang bukan Srintil bukan pula Kartareja, melainkan lima orang berseragam. Sepatu berat dan bedil di tangan mereka lebih dari cukup buat melenyapkan darah dari wajah semua orang Dukuh Paruk, menghapus semua sisa keberanian dan rasa percaya diri.
Dukuh Paruk mewakilkan dirinya kepada Sakarya. Kakek renta ini sejenak memejamkan mata, menghadap ke dalam diri sendiri buat membaca pesan yang dibawa oleh kilasan Sang Waktu. Ya, dia harus sumarah kepada kersaning zaman. Zaman yang telah nyata menampakkan diri sebagai
lima laras bedil dan lima wajah membaja di hadapannya. Hidup adalah berperan menjadi wayang atas sebuah cerita yang sudah dipastikan dalam pakem. Keyakinan demikian tidak sedetik pun pernah lepas dari Sakarya. Membela diri dari nasib buruk ketika zaman sudah mengulurkan tangannya adalah sia-sia. Bukan hanya karena Sakarya telah kehilangan keberanian. Tetapi karena dia percaya bahwa keperkasaan zaman mustahil tertandingi oleh kekuatan seorang manusia.
Kedalaman jiwa Sakarya memungkinkannya mampu bersikap diam dalam arti yang sebenarnya. Wajahnya kembali hidup dan polos, siap menerima apa pun dan perlakuan apa pun. Diam yang pada saat-saat tertentu harus diambil sebagai sikap paling santun manakala ketidakberdayaan manusia harus diperlihatkan. Siang itu Dukuh Paruk yang bodoh dan melarat tidak berbuat apa-apa ketika Sakarya, Nyai Kartareja, Sakum, dan dua orang lainnya dibawa oleh para petugas keamanan. Mereka digabungkan dengan Srintil dan Kartareja dalam tahanan. Hanya air mata dan tangis perempuan. Dan ketakutan menghantu yang membuat Dukuh Paruk makin kuyu dan lusuh. Dukuh Paruk tanpa Srintil, Sakarya, dan Kartareja adalah Dukuh Paruk tanpa ronggeng. Dia tidak punya martabat apa-apa.
Episode 50 Dan nasib sebenarnya yang harus dipikul oleh Dukuh Paruk baru terjadi dua hari kemudian. Dini hari ketika langit timur berhias kejayaan lintang kemukus, Dukuh
Paruk menyala, menyala. Api menggunung membakar Dukuh Paruk. Atap seng rumah Kartareja membubung ke langit bersama asap tebal yang menjulang seperti pohon raksasa. Rumah Sakum yang compang-camping hanya bertahan beberapa menit sebelum jadi abu dalam kobaran yang gemuruh. Jerit tangis dan lolongan manusia disambut dengan ledakan-ledakan bambu terbakar. Kepanikan luar biasa di tengah ketidakberdayaan mempertahankan diri.
Seorang perempuan berlari sengit sambil mengepit bayinya dalam ketiak dan berteriak-teriak mencari anak-anaknya yang lain. Ada laki-laki tua berdiri memeluk batang pinang hanya beberapa langkah dari onggokan api yang mulai membesar. Demikian kuat pelukan itu sehingga diperlukan rudapaksa buat melepaskannya. Ketika terlepas ternyata laki-laki itu sudah kejer. Pemandangan yang sangat kocar-kacir sedikit mereda manakala semua perempuan telah berhasil menemukan anak mereka masing-masing. Kaum lelaki teringat kentongan. Mereka memukulnya serentak dengan semangat menggila. Gemuruh yang membahana membuat orang-orang di sekitar Dukuh Paruk keluar rumah. Mereka menyaksikan api unggun menjulang di tengah-tengah sawah. Mereka juga mendengar lengkingan-lengkingan suatu puak yang sedang melihat dunia mereka punah tepat di depan mata.
Para petugas yang kemudian datang hanya menemukan beberapa gubuk yang tidak ikut terbakar. Dan bangkai lima ekor kambing yang mati terpanggang karena pemiliknya tak sempat membuka pintu kandang. Orang-orang resmi itu tidak bisa tinggal lama di tengah bangkai Dukuh Paruk. Mereka harus menghadapi sekian puluh pasang mata yang menggugat pertanggungjawaban atas nama kemanusiaan. Tetapi mereka tidak bisa memberikan apa-apa.
Banyak cerita yang dilontarkan orang tentang kepunahan Dukuh Paruk. Ada yang mengatakan Dukuh Paruk telah menerima bagiannya yang sah. Sang Mahasutradara memiliki selera dalam menggelar permainannya berupa alam semesta ini, tetapi Dukuh Paruk, sadar atau tidak telah mengabaikannya. Pendapat lain mengatakan, itulah hukum dialektika pergolakan politik yang acap kali berupa ironi sejarah dan ironi kemanusiaan. Musnahnya Dukuh Paruk hanya salah satu bukti yang kecil. Ada lagi yang berpendapat peristiwa yang dialami oleh Dukuh Paruk tidak berlatar perkara yang canggih melainkan sederhana saja. Di sana hanya ada perkara balas
dendam para petani yang marah karena padi mereka dirojeng beberapa musim berturut-turut. Mereka tahu yang merojeng adalah orang-orang Bakar yang semuanya telah ditahan. Maka Dukuh Paruk terkena getah, setidaknya karena ronggengnya sering muncul bersama Bakar dalam rapat-rapat propaganda. Pendapat ini sekaligus menyepelekan kemungkinan terlibatnya sentimen keagamaan. Juga sentimen politik karena Dukuh Paruk sepanjang sejarahnya tidak bisa memahami politik serta ideologi politik apa pun.
Masih ada satu pendapat yang amat bersahaja. Bahwa yang telah terjadi di Dukuh Paruk tak lebih daripada banyolan sejarah yang hanya disebabkan oleh sebuah caping bambil bercat hijau. Apabila Dukuh Paruk tidak kelewat bebal seharusnya mereka tahu bahwa Bakar-lah orangnya yang merobohkan makam Ki Secamenggala. Dengan hanya meninggalkan sebuah caping hijau Dukuh Paruk terkecoh. Kemarahannya tertuju kepada kelompok lain dan ronggengnya kembali bergabung dengan Bakar demi membayar kesumat terhadap kaum caping hijau. Segalanya bisa terjadi jauh berbeda bila ronggeng Dukuh Paruk ketika itu tetap meninggalkan kelompok Bakar. Ketika rerumputan mulai tumbuh di tanah reruntuhan Dukuh Paruk, banyak orang bertanya tentang seseorang yang telah sekian lama berperan dalam satu sisi kehidupan. Srintil; di mana dia dan bagaimana. Bahwa pergolakan hidup Srintil yang sebenarnya baru dimulai sejak hari pertama dia masuk tahanan, ada dalam sebuah catatan. Catatan itu diawali dengan kisah seorang ronggeng cantik berusia dua puluh tahun. Dia dipenjarakan secara fisik dan dikurung secara psikis dalam tembok sejarah yang muncul sebagai keserakahan nafsiyah serta petualangan. Diperlukan kondisi-kondisi tertentu agar orang bisa membuka catatan lengkap itu. Kondisi-kondisi itu bisa jadi berupa waktu yang
mampu mencairkan segala emosi. Atau kedewasaan sikap dan kejujuran agar orang memiliki keberanian mengakui kebenaran sejarah. Maka pada suatu ketika orang dapat membuka catatan tentang Srintil. Atau catatan itu bakal lenyap selama-lamanya menjadi bagian rahasia kehidupan Dukuh Paruk.
Tamat tamat Rahasia Pedang Naga Langit 1 Dewa Linglung 23 Buronan Dari Mataram Si Jenius Dungu 1