Pencarian

Love From My Heart 1

Love From My Heart Karya Endik Koeswoyo Bagian 1


Love From My Heart Oleh: Endik Koeswoyo " all rights reserved
Hak cipta dilindungi undang-undang
Desain Sampul: Endik Koeswoyo
Tata Letak: Creative BBB Penyunting: Tim BBB Diterbitkan oleh: Perberbit BBB
(Lini Independent Penerbitan Online)
E-Novel http://endikkoeswoyo.blogspot.com
http://endikpenulis.multiply.com
http://pionbanget.blogspot.com
SATU Angin pagi yang datang menggetarkan sendi-sendi yang tersikap dari balik selimut
tipis. Pagi yang cukup cerah walau hanya bertahan beberapa menit saja. Sebentar lagi pasti
akan berganti dengan udara pengap dan deru kendaraan bermesin yang sangat
mengganggu. Belum lagi debu jalanan di musim kemarau ini. Semua sepertinya berubah
sangat cepat. Kisah indah burung kutilang dan ayam jantan di pagi hari kini benar-benar
menjadi dongeng. Burung kutilang yang bernyanyi sekarang berganti dengan berita pagi
yang penuh emosi. Kerusuhan, demo dan belum lagi cekokan gosip selebriti. Hah...di
mana burung nuri pagi ini, atau di mana burung gereja tidur malam tadi"
Sepagi ini Han telah terbangun, menyibak asap-asap yang tertinggal diruangan itu.
Tersenyum manis melihat beberapa temanya yang masih tidur dilantai, beralaskan
permadani merah pekat dengan ukiran bunga-bunga putih. Menuju kamar mandi
merupakan pilihan yang terbaik, mengguyur tubuh yang lemas dengan bergayung-gayung
air dingin sambil berdendang lagu melayu. Setelah merasa segar kembali, pemuda itu
mulai membangunkan teman-temannya yang masih saja terlena dengan mimpi paginya.
"Hai &kuliah nggak!" katanya pada Arif, yang sedang mendengkur.
"Jam berapa"" masih dengan nada yang sama, malas.
"Sudah jam delapan!" cara bicaranya terkesan kalem, tenang dan seakan penuh
kedamaian memaksa Arif untuk tersenyum. Setelah Arif, Jack dan Pay dibangunkannya
satu persatu, Han melangkah kekamar mandi. Benar-benar pagi yang indah. Beberapa
menit setelah itu Pay dan Jack sudah siap berangkat.
"Han &berangkat dulu ya!" ucap Jack sembari tersenyum simpul.
"Masuk jam berapa"" tanya Han meyakinkan.
"Jam sepuluh, cuman sekarang ada tugas motret," Pay menimpalinya.
"Ya &hati-hati, mungkin nanti aku segera menyusul," sambil melambaikan tangan
pada mereka berdua yang sudah berada diatas motor.
Persahabatan yang indah yang mungkin tidak dimiliki orang lain. Kini tinggal Arif
dan Han yang sedang duduk dikursi ruang tamu. Keduanya berbincang sebelum berangkat ke kampus.
"Semalam dapat berapa halaman Han"" Arif membuka obrolan pagi itu.
"Lumayan dapat dua puluh halaman lebih," Han tampak mengusap wajah letihnya.
"Wah &hebat, makan-makan dong!"
"Iya kalau tembus, kalau tidak" Kamu tau sendirikan kalau penerbit itu nggak mau
asal menerbitkan"" Han tersenyum kecil melihat semangat sahabatnya itu.
"Bukankah ceritamu bagus"" Sahut Arif cepat.
"Siapa yang menilai" Bagus kalau tidak menjual"" Han memberikan sebuah alasan.
"Tergantung cara kita saja, bagaimana bisa menarik minat mereka" Menjual atau
tidak itu urusan distributor dan marketing!"" sanggah Arif lagi.
"Ha &ha &jangan berhayal dulu deh!" Han menepuk bahu sahabatnya itu.
"Lho kalau tidak dapat uang, ngapain harus menulis"" celetuk Arif dengan pelan
sekali lagi. "Sebuah kepuasan." jawab Han singkat.
"Hanya itu"" tanya Arif lagi.
"Entahlah &"
Suasana hening sesaat. "Rokokku mana ya"" Arif berdiri sambil mencari-cari rokoknya diatas meja.
"Habis, beli sana!" Han menyodorkan selembar uang pada Arif.
"Cuma rokok""
"Sama jeruk hangat juga bisa!" Han tersenyum pada sahabatnya yang sudah
mendekati pintu. Tak lama kemudian Arif telah muncul dengan secangkir kopi dan jeruk hangat.
Duduk kembali dikursi itu. Sahabat yang satu ini sungguh mengagumkan, pokoknya
keren. Selalu menjadi teman terbaik saat susah dan senang. Mudah menyesuaikan diri
dengan berbagi macam situsi.
"Sarapan dulu Han""
"Bentar lagi, masih belum lapar benar. Lagian situasi krisis seperti ini sebaiknya
kita tidak membiasakan diri untuk sarapan pagi. Ha...ha..." Han tertawa kecil.
Arif tidak ikut tertawa. Pemuda itu hanya memandang tajam sahabatnya yang
masih ngakak. Sesaat suasana menjadi hening. Lalu kepulan asap mulai memenuhi
ruangan pagi itu. Ya...b egitulah pemuda, rokok lebih utama dari pada sarapan pagi.
"Bagaimana dengan pacar barumu"" Arif membuka kebisuan sesaat itu.
"Pacar baru, yang mana""
"Yang kemarin datang kesini!" tersenyum seakan mengejek lawan bicaranya, dan
tentunya itu adalah Han yang duduk tidak begitu jauh di sampingnya.
"Oh &itu bukan pacar baruku, tapi teman baru yang minta tolong," Han seakan
memberi sebuah penjelasan pada sahabatnya.
"Kamu itu cakep, keren abis, punya bakat, pokoknya semuanya ada padamu,
tapi &"" Arif terdiam tidak dilanjutkan ucapannya tadi.
"Tapi kenapa"" sebuah pertanyaan yang membutuhkan sebuah jawaban segera.
"Tidak bisa mencari pacar, ha &ha &!" Arif tertawa sekali lagi.
Mereka berdua tertawa, entah karena bahagia atau sedih atau hanya tawa yang
dibuat-buat untuk memecah rasa penat di hati.
"Apa kamu punya"" Han balik bertanya pada Arif yang masih terpingkal.
"Nah &itulah kesalahan kita, kenapa kita tidak berusaha mencari ya""
"Memang mudah"" Han balik bertanya.
"Sepertinya, kita ini tidak terlalu jelek!"" Sebuah pembelaan yang wajar dan
terkesan klasik dan itu membuatnya tertawa lagi.
"Ha &ha &alasan kuno, apa kamu juga sudah berkaca""
"Ha &berkaca" Belum perlu Han! Belum perlu kita untuk berkaca terlalau lama,"
Arif mengeluarkan sebuah penyangkalan.
" Sebenarnya ada banyak alasan kenapa kita belum mempunyai pacar Rif." Han
menyandarkan tubuhnya ke sofa coklat itu.
"Apa Han"" Sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
"Entahlah, itu yang harus kita cari," sahut Han sekenanya.
"Apa kita terlalu takut"" Arif memegang kepalanya sendiri.
"Takut untuk apa"" Han balik bertanya pada sahabatnya yang tampak bingung itu.
"Ya &untuk berbagi cinta," sahut Arif pelan.
"Apa kamu dapat merasakannya dariku""Han bertanya sekali lagi.
"Tidak &! Bahkan kamu paling suka mengamati wanita cantikkan"" Arif
tersenyum kecil. "Berarti kita normal-normal saja"" tanya Han sekali lagi.
"Sepertinya ya &," dengan nada yang sedikit ragu, lalu mengambil cangkir kopi dan meneguk cairan hitam itu.
Cukup lama mereka terdiam. Mengembara ke masa lalunya masing-masing.
"Han &kudengar kamu dulu punya banyak pacar ya""
Arif memandang Han, mengharap sebuah jawaban yang pasti bukan sebuah
gurauan. Matanya tajam mengorek-mengorek kedalam hati lawan bicaranya. Memasukkan
tangan-tangannya yang kokoh dan berusaha mengeluarkan semua isi dalam otak yang
terpendam lama sekali. "Kata siapa""
"Kata temanmu satu SMU."
"Nggak kok, memang ada yang mau sama aku"" Han berusaha membantah
perkataan sahabatnya itu.
"Serius Han!" Arif tampak penasaran.
"Kalau iya kenapa, kalau tidak kenapa"" Han mengajukan pertanyaan tuntutan.
"Ya &sekedar buat nambah ilmu," Arif menjuhut gelas berisi kopi di hadapannya.
Dia seakan benar-benar mengharapkan jawabannya adalah "iya".
"Iya &tapi itu dulu," sahut Han pelan sambil menunduk.
"Berapa lama""
"Tiga tahun lalu," Han seakan mengingat masa itu.
"Pacarmu banyak"" Arif mengatur posisinya, mengharapkan sebuah cerita yang
seakan sangat menarik baginya.
"Kalau aku cerita apa kamu percaya""
"Percaya, aku tau kamu bukan seorang pembohong," Arif tersenyum kecil.
"Dari mana kamu tau"" Han berusaha meyakinkan hatinya.
"Kita tinggal satu rumah tidak sebentar, lagian kamu orangnya tertutup dan pasti
punya banyak cerita yang hanya kamu simpan sendiri!" Arif memberikan sebuah argumen
tasi. Sebelum memulai ceritanya, Han mengangguk-anggukan kepala. Menikmati jeruk
hangat yang sudah mulai dingin, menikmati kepulan asap penat dari batang rokok yang
sedari tadi tetap dipegang erat.
"Sebenarnya tidak banyak."
Matanya menerawang jauh, tidak memperhatikan lawan bicaranya yang tentunya
sudah menunggu lama bagaimana cerita selanjutnya.
"Berapa"" "Saat itu yang benar-benar bareng hanya tiga orang," Han menghentikan
ucapannya. "Tiga orang"" Arif sekan terperangah dengan jawaban itu.
"Iya, memang kenapa""
Han melihat kearah Arif yang seakan tidak percaya.
"Hebat &, gumannya pelan. "Terus"" Sambil menepuk pundak pemuda
disampingnya. Lagi-lagi Arif seakan kagum dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Ya &biasa saja," jawab Han lirih.
"Biasa"" "Iya," jelasnya sekali lagi.
"Aku serius Han!"
"Aku juga serius, memang biasa saja, jalan-jalan, makan, ketempat hiburan, keluar
kota, menginap di hotel, bercanda, bertengkar, ya &cuma itu-itu saja."
"Semuanya""
"Yang pasti tidak dalam waktu yang bersamaan," Han tersenyum sekali lagi.
"Lalu sekarang""
"Sudah putus semua," Han tersenyum kecut sesaat kemudian.
"Kenapa"" tanya Arif antusias.
"Yang satu sudah menikah dan punya anak, yang satu kuliah, yang satu lagi akan
segera menikah." "Dari ketiganya, apa kamu mempunyai perasaan yang berbeda""
"Tidak, semuanya sama."
"Sama bagaimana""
"Aku sama-sama mencintai mereka, sehari saja aku tidak melihatnya serpertinya
sudah setahun." Arif hanya diam sambil melihat Han yang seakan menerawang jauh mengingat
semua. "Lalu, bagaimana kalian bisa putus"" lanjutnya pelan.
"Mereka meninggalkan aku begitu saja," Han menunduk pelan mengingat
semuanya. "Kenapa"" ucap Arif singkat.
"Mungkin aku bukan lelaki yang baik, lagian aku juga bukan orang kaya. Cinta itu tidak jauh berbeda dengan Ice Cream Rif! Nikmatnya ketika baru diambil dari mesin
pendingin. Kalau sudah lumer ya rasanya bikin gimana gituh!""
Arif diam sebentar, berusaha memahami kata-kata sahabatnya sedetik yang lalu.
"Eh &apa yang kalian lakukan saat dikamar hotel"" Arif terlihat sedikit malu-malu.
"Biasa," sahut Han singkat.
"Ayolah ceritakan!"
"Paling makan-makan, duduk dilobi kamar, nonton film drama roman, mandi
bareng, lalu tidur."
"Apa mereka mau diajak gituan""
"Gituan apa"" Han pura-pura tidak tau.
"Ya &gitu deh!"
"Tergantung, kadang mau kadang juga tidak."
Arif manggut-manggut tanda sependapat atau barang kali tanda kalau dia sudah
mengerti dan puas dengan cerita yang singkat itu, "saat kalian putus apa kamu sedih""
tanya Arif sekali lagi. "Iya &bahkan aku hampir bunuh diri," jawab Han singkat.
"Serius"" Arif tampak tidak yakin dengan jawaban itu.
"Iya. Tapi apa kamu percaya dengan ceritaku"" Han balik bertanya untuk kesekian
kalinya. Han hanya tersenyum melihat Arif yang menerawang jauh tidak menjawab
pertanyaannya. "Kamu, pernah pacaran"" Kini Han yang mengeluarkan pertanyaan itu.
"Dulu, tapi nggak lama," sahut Arif pelan.
"Kenapa"" "Aku tidak suka diatur-atur," sahut Arif yakin.
"Berapa kali""
"Cuma sekali, setelah itu aku sepertinya takut sama cewek."
Sudah hampir habis kopi dan jeruk hangat itu. Han dan Arif masih sama-sama
terdiam berkelana jauh mengejar kisah yang mungkin meninggalkan mereka.
"Han &kenapa kamu sekarang tidak mencari pacar lagi""
"Aku juga tidak tau, mungkin aku trauma atau barang kali memang nggak ada
yang mau! Ha &ha &," sebuah tawa yang dipaksakan.
"Apa Jack dan Pay punya pacar ya & Han""
"Sepertinya belum, kamu bisa lihatkan""
"Apanya"" Arif tampak bingung dengan jawaban itu.
"Ya &kelakuan mereka, sama-sama bloon seperti kita dan hanya berani tersenyum
bila melihat wanita cantik atau sekedar bersiul malu-malu," Han tersenyum mengingat
sahabat-sahabatnya itu. "Ayo kita makan dulu, ngomongin itu pasti tidak ada habisnya. "
Arif beranjak dari kursi itu dan Han hanya mengikutinya, melangkah menuju
warung di belakang rumah.
Angin pagi tidak lagi dingin, kini telah bercampur dengan debu-debu jalanan dan
deru mobil-mobil mewah. Matahari telah naik sepenggalah, memancarkan sinar panasnya
yang menusuk kedalam hati. Mungkin juga menusuk ke dalam tulang-tulang kedua remaja
itu. Memaksa mereka untuk berjalan lebih cepat dan sedikit menahan nafas. Duniaku,
duniamu atau dunia siapa saja yang hendak berpijak di tanah ini seakan semakin pengap
saja. Melangkah dengan hati-hati di balik hisapan asap rokok yang bercampur debu. Debu
yang seakan bercampur keringat di pagi ini. Semua masih belum menemukan apa-apa,
hanya kegelisahan untuk mencari tau apa yang di carinya.
Begitu juga dengan kedua sahabat itu, yang mereka cari belum juga di temukan.
Apakah kebahagian akan bisa menjadi senyum untuk selamanya. Apakah mereka mampu
bertahan di dunia yang semakin pengap dan penuh dengan penipuan dan rayuan busuk
antar sesama. Belum lagi alam yang semakin tidak bersahabat. Belum lagi ekonomi yang
semakin mencekik. Apakah tidak ada hak untuk selalu tertawa" Apakah ice cream akan
s elalu menjadi menu santapan senggang orang-orang-orang kaya"
DUA "Han lihat &gadis secantik dia terkena HIV positif!" Arif menyodorkan koran yang
dibacanya. "Mana"" Han mengambil koran pagi itu dari tangan Arif dan membacanya, lalu
melihat foto wanita dengan rambut sebahu itu.
"Han &apa ada ya yang mau menikah sama dia""
"Mungkin juga ada," Han masih saja membacanya.
"Kasihan ya"" Arif menghela nafas panjang.
"Tidak juga, aku hanya salut dengan kata-katanya."
"Mana Han""
"Nih &"Aids hanya untuk orang-orang yang berdosa saja"!" menunjukan tulisan
yang dimaksud pada sahabatnya yang sedang menikmati masakan Padang itu.
"Apa benar"" Arif mengerutkan dahinya.
"Ya &siapa yang tau Rif, mungkin benar mungkin juga salah," Han menarik nafas
panjang. "Tapi seandainya aku bertemu dengannya, aku mau menikahinya"" lanjutnya
lagi. "Hah &menikahinya"" Arif seakan tidak percaya pada kata-kata sahabatnya.
"Kenapa"" Han tersenyum sembari melirik Arif yang sepertinya terkejut dengan
kata-katanya. "Kamu akan menikahinya"" Tanya Arif sekali lagi.
"Iya!" Han menjawabnya dengan tegas.
"Gila &apa tidak ada wanita lain""
"Bukan begitu masalahnya, lihat dia berkata bila ada lelaki yang mau
menikahinya itu adalah mukzijat dari Tuhan, siapa tau mukzijat itu adalah kamu atau
aku"" Mendengar kata-kata itu Arif terdiam sejenak. Angin yang menerobos dinding
bambu membuat bulu kuduknya berdiri sesaat secara tiba-tiba.


Love From My Heart Karya Endik Koeswoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi apa kamu mau bermain-main dengan nyawamu""
"Hidup mati seseorang ditentukan oleh Sang Pencipta, benarkan""
"Tapi sekarang bukan jamannya Cinderella, tidak ada lagi sepatu kaca yang
mempertemukanmu dengan sang putri, tidak ada pula pangeran yang akan datang dengan
sepatu kacanya! Kalau boleh jujur, cinta itu datangnya dari hati, bukan dari mukjijat."
"Maksudnya"" Han mengajukan pertanyaan itu.
Arif tidak menjawab pertanyaan itu, dia hanya diam mengambil koran dari tangan
Han. Lalu membacanya sekali lagi.
"Rif &seandainya dia datang padamu dan memintamu menjadi suaminya apa kamu
mau"" "Aku tidak tau," Arif menghela nafas panjang.
"Ha &ha &dengan wanita normal saja kamu takut, apa lagi wanita seperti itu."
"Kenapa kamu tertawa Han""
"Entahlah, aku juga bingung Rif," Han menghela nafas pelan.
Han menepiskan piring kosong di hadapannya. Diambilnya segelas air putih lalu
menenggaknya hingga habis. Arif masih mengamati baris-baris huruf kecil di hadapannya.
Setelah membacanya sampai selesai, lagi-lagi pemuda itu menghela nafas.
"Sebenarnya, aku nanti harus pulang," Arif melipat koran itu dan menaruhnya di
atas meja. Di samping gelasnya yang juga sudah kosong.
"Kemana Rif""
"Pulang kampung, aku sudah lama tidak pulang."
"Jam berapa"" tanya Han meyakinkan.
"Mungkin malam, biar lebih tenang dan bisa tidur di-bus," sahutnya lagi.
Mereka berdua terdiam, Arif sibuk dengan tusuk giginya, sedangkan Han seakan
memikirkan sesuatu yang entah itu apa. Sesuatu yang hanya di ketahui oleh dirinya
sendiri, atau bahkan dia juga tidak pernah tau apa yang di lakukannya saat itu.
"Kamu tidak kekampus""
Pertanyaan itulah yang menyadarkan Han dari diam singkatnya. Matanya kini tidak
lagi kosong, ada senyum sahabatnya di sana.
"Tidak, lagi males Rif."
Kedua sahabat itu kini telah berjalan lagi kembali kerumah. Hanya kali ini mereka
lebih banyak diam dan membisu.
"Aku kekampus dulu ya!" celetuk Arif ketika sampai di depan pintu.
"Ya &," sahut Han pelan. "Hati-hati, salam buat semuanya," lanjutnya sesaat kemudian.
"OK." Arif meninggalkan Han sendiri dirumah itu. Rumah kontrakan mereka berempat,
dengan pagar bunga mawar. Sungguh sebuah rumah yang pantas dihuni oleh gadis-gadis
cantik. Indah & Dari luar terlihat sangat bersih dan rapi, bunga-bunga dihalaman depan tumbuh
subur, sepatu tersusun rapi diteras. Sebuah kolam kecil dengan ikan warna-warni. Juga cat
warna biru laut menambah suasana romantis yang selalu membawa kedamaian dan
ketenangan. Memang aneh bila mereka ber-empat belum ada yang mempunyai kekasih. Han
adalah pemuda yang lumayan tampan, diusianya yang ke-duapuluh dua ini dia sudah
pernah berkeliling keberbagai pulau Jawa, Kalimantan, Sumatra, Bali bahkan pulau
Lo mbok dengan pantai Senggiginya yang Indah, suka menulis cerpen, puisi dan novel.
Walau dia menerbitkannya secara indie. Penghasilannya cukup untuk makan atau
setidaknya untuk tambahan uang saku. Jack yang anak orang kaya itu juga tidak
mempunyai sifat sombong, selalu rapi kemanapun dia pergi. Pay juga sangat ramah tamah,
suka humor dan mempunyai hobi yang unik, memelihara hara ikan. Sopan dalam bertutur
sapa dan selalu menghormati siapa saja. Begitu juga dengan Arif, sesuai dengan namanya
bijaksana walau terkesan agak kaku dalam berbicara, tapi ide-idenya cemerlang, selalu
juara didalam kelas. Tapi kenapa tidak satupun gadis mendekati mereka"
Terkadang mereka ber-empat bercanda hingga larut malam, sebuah persahabatan
yang indah benar-benar indah. Dari berbagai tempat berbeda bertemu disuatu kota dan
menjadi teman. Itulah mereka, walau tanpa cinta tetap tersenyum dengan semangat yang
sama. Sukses menurut ukuran masing-masing. Menurut mimpi sendiri-sendiri.
TIGA Sudah larut malam, namun Han masih belum tidur. Membuka-buka lagi koran tadi
siang, mengamati gambar seorang wanita cantik disudut kanan bawah, mengamati
rambutnya yang tergerai sebahu, mengamati bibirnya yang merah merekah. Lalu pemuda
itu hanya bisa tersenyum sambil melipatnya kembali.
"Han &sudah malam masih belum tidur""
Jack membuka pintu kamar. Tersenyum sesaat lalu melangkahkan kakinya menuju
sebuah kursi yang ada di sisi ruangan. Jack memandang sahabatnya dengan tatapan yang
cukup tajam sebelum mengalihkan pandangannya kesebuah poster hitam putih di sisi
dinding yang lainnya. "Eh &kamu Jack, dari mana""
Han bangun dari tempat tidurnya, lalu duduk ditepi ranjang.
"Dari tempat teman ngambil foto, mikirin apa"" sambung Jack.
Jack mengambil posisi yang nyaman di kursi itu. Matanya kini beralih kearah
lembaran koran yang masih di pegang Han.
"Ah &nggak, habis membaca koran," kemudian dia menyodorkan koran itu pada
Jack. "Kata Arif, kamu jatuh cinta ya"" senyumnya penuh tanda tanya seakan tidak percaya.
Tangannya sigap menyambut koran itu.
"Ha &ha &bukan jatuh cinta," Han tertawa lebar, memandang Jack yang hanya
tersenyum simpul. "Lalu"" "Baca aja, tuh ada beritanya!"Han menunjuk kolom bawah koran yang barus saja
disodorkannya pada Jack. "Mana"" "Tuh &cewek yang ada disudut bawah halaman depan."
Jack membacanya dengan serius, suasana menjadi hening. Hanya terdengar musik
sayup-sayup dari radio dikamar sebelah. Matanya bergerak cepat dari satu sisi ke sisi lainnya mengikuti barisan huruf-huruf kecil itu. Mencernanya dengan otak lalu
melanjutkannya kembali. "Kagum sama dia"" Jack menunjuk gambar wanita itu.
"Iya, memang kenapa"" Han tetap tersenyum pada sahabatnya itu, meraka sungguh
saling perhatian. Seperti sepasang saudara yang sedang menimbang perasaan untuk lebih
bisa saling mengerti. "Tidak apa-apa, asal jangan jatuh cinta!"
"Kalo aku jatuh cinta dan menikahinya, apa kamu masih mau menjadi sahabatku""
Jack hanya diam, mengamati Han. Memandang sedalam mungkin kearahnya,
sepertinya dia menelusuri relung-relung hati sahabatnya itu. Mancari arti sebuah
pertanyaan yang baru saja dilontarkan. Memang terkesan seperti sebuah gurauan
menjelang malam. Hanya saja itu serius bagi Han. Dan angin malam juga mengangguk
pelan mengiyakan. Belum lagi lagu sahdu yang melantun, walau terkesan cengeng
namuan syairnya nyata. "Aku tidak bisa menjawabnya sekarang, Han."
Sepetinya Jack yakin kalau sahabatnya memang tidak sekedar ngelantur. Setiap
perkataan Han pastilah mengandung makna di pipkirannya. Semua memang terkesan
aneh. Dan memang seperti itulah Han. Seperti sebuah gunung berapi yang selalu diam
namun membahayakan. Seperti seekor semut kecil yang hanya berjalan hilir mudik
sendiri, hanya saja selalu menyapa sahabatnya bila bertemu muka. Seperti laut yang
tenang namun menyimpan sejuta pesona bahkan bisa menghancurkan.
"Kenapa"" tanya Han singkat.
"Ya &masalahnya sangat berat buatku," sahut Jack sambil mengusap rambutnya.
"Berat" Apanya yang berat""
"Ya &aku belum bisa memberikan jawaban itu sekarang, perlu berpikir lebih lama
lagi," Jack tampak bingung dengan pertanyaan Han itu.
"H a &ha &jangan terlalu dipikirkan, lagian wanita itu jauh dan aku tidak tau dia
tinggal dimana""
"Tapi kalau sudah jodohmu, dan kamu dikirimkan padanya sebagai mukzijat""
"Ya &harus disyukuri," jawab Han enteng.
"Sejauh mana Tuhan mengatur umat-Nya, tidak ada yang tau," ucap Jack lirih.
"Tidak juga dengan pertemuanku dengannya""
"Ya &bisa saja kamu adalah pangeran yang dikirimkan untuknya. Kamu juga tidak
tau kalau dia adalah jalan untuk menemukan cintamu. Masih banyak alternative lain
tentang sebuah cerita Han!"
"Tapi apa kamu percaya tentang Cinderella dan sepatu kacanya""
"Aku lebih percaya dengan kisah Nawangwulan dan Joko Tarub," kata Jack pelan.
"Tentang selendang bidadari itu"" tegas Han.
"Yuup &atau tentang Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso."
"Kenapa Jack"" tanya Han lagi.
"Mereka pada akhirnya tidak bisa bersama," sahut Jack lirih.
"Romeo"" "Aku tidak tau, tapi rasanya tidak mungkin kamu rella mati demi gadis itu."
"Seandainya aku melakukan itu"" Han meyakinkan sahabatnya dengan senyum
kecilnya. "Maka akulah yang menangisi mayatmu untuk yang pertama kali."
"Kenapa"" "Kamu orang paling aneh yang aku kenal. Kamu juga manusia langka yang aku
temukan. Posisi imajinermu sangat memukauku. Belum lagi cara berpikirmu ketika kamu
adalah manusia normal."
"Ha &ha &memangnya aku terkadang menjadi tidak normal""
"Kenapa tertawa Han" Kamu tidak menjadi normal ketika yang kamu pegang
adalah buku dan bolpoin. Kamu bisa kemana saja dan berbuat apa saja dengan itu."
"Semua tergantung yang menilai Jack! Tapi kalianlah sahabat terbaik yang pernah
aku punya." "Tapi apapun yang kita alami pastilah telah di perhitungkan oleh Sang Pencipta."
"Tentang mati dan hidup""
"Yuup &" sahut Jack yakin.
"Aku suka itu jack, aku suka!"
Sepertinya mereka berdua semakin serius membahas wanita dalam Koran itu.
Membicarakan tentang kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi. Menjadikannya
sebuah guyonan sebelum tidur. Atau barang kali mereka ingin menciptakan dongeng baru
tentang sebuah kisah romatis yang dramatik.
"Han &aku tidur dulu ya!" Jack melangkah keluar dari kamar.
"Jack! Arif dan Pay sudah tidur""
"Sudah dari tadi, met malam semoga kamu menemukannya dalam mimpi,
ha &ha &," sambil tertawa Jack meninggalkan ruangan itu, menutup pintu kembali dan
melangkah menuju ruangan diseberang.
Han merebahkan tubuhnya kembali. Mebiarkannya terlentang tanpa selimut.
Matanya menerawang jauh. Hampir lima belas menit dia terdiam, terbaring dan masih
belum juga terpejam. Tiba-tiba saja dia teringat sebuah buku tentang HIV yang didapatnya
beberapa hari lalu saat seminar. Pemuda dengan rambut sedikit panjang itu lalu bangun,
turun dari ranjang dan melangkah kearah rak-buku disudut ruangan. Melihat satu demi
satu buku yang tersusun rapi itu. Pada akhirnya dia tersenyum, sepertinya buku yang
dicari telah ketemu. Sebuah buku kecil berwarna pink. Dengan senyumnya yang khas, dia
kembali ketempat tidur dan membacanya halaman demi halaman.
EMPAT "Han &bangun, sudah siang!"
"Entar dulu ah!" jawab Han malas.
"Tumben kamu se-siang ini masih molor""
Han membalikkan tubuhnya, tapi tidak menjawab pertanyaan Arif. Hanya
memandang dari balik bantal yang ditutupak di diwajah.
"Kamu nggak kuliah""
"Nggak," sahutnya dengan nada malas.
"Ya sudah, molor terus!" Arif meninggalkan kamar itu, berjalan kearah ruang tamu
lalu menemui kedua sahabatnya yang sudah menunggu.
"Mana Rif"" tanya Pay.
"Siapa Pay""
"Han," "Masih molor, tidak mau bangun."
"Biarin aja, hari ini dia tidak ada kuliah," celetuk Jack cepat.
Sepertinya tiga pemuda sebaya itu sudah terlihat rapi. Jack, Pay dan Arif duduk
diruang tamu, dimeja kecil itu telah berjajar cangkir-cangkir berisi kopi.
"Ada yang aneh pada diri Han akhir-akhir ini""
"Ah &Pay, seperti tidak tau siapa dia saja""
"Tapi Jack, sudah siang gini belum bangun!"
"Mungkin tadi malam tidak tidur."
"Ngapain""
"Biasa, nyelesain novel terbaruya."
"O &pantesan, jarang keluar dari kamar."
"Rif, kenapa kamu hanya diam saja"" Jack melihat kearah Arif yang hanya terdiam
sambil menikmati rokoknya.
"Apa kalian percaya pada jodoh""
Kedua temannya hanya diam, tidak langsung
menjawab pertanyaan Arif.
"Kalo aku sih &percaya," Jack memberi sebuah jawaban walau agak ragu.
"Kalau kamu Pay"" Arif menatap Pay dengan tajam.
"Percaya, hanya saja jodoh tidak akan diturunkan begitu saja."
"Maksudnya"" tanya Arif belum puas dengan jawaban itu.
"Ya &kita harus mencarinya! Kita harus berkorban untuk mendapatkannya, dan
tentunya jodoh kita adalah seseorang yang tepat di hati kita."
Mereka saling melihat, terdiam lalu tertawa.
"Ha &ha &berarti kita harus mulai mencari dari sekarang!" Pay lalu tertawa.
"Ha &ha &Rif, memang mudah cari pacar" Memang mudah mencari cinta" Kalau
yang kita harapkan bukan cinta pertama lalu bagaimana"" Jack memberikan beberapa
pertanyaan di sela tawanya.
"Berusaha tidak ada salahnya Jack," sanggah Arif lagi.
"Tidak usah ribut, itu masalah kecil," celetuk Pay.
"Masalah kecil Pay""
"Iya, mungkin kita saja yang tidak sadar kalau banyak cewek yang naksir sama
kita-kita"" "Putri itu tidak datang bila kita tidak mencarinya," guman Pay pelan sesaat
kemudian. "Ha &ha &mungkin juga ya"" Jack seakan bertanya pada dirinya sendiri.
Sedangkan Arif hanya bisa tersenyum simpul sambil memandang kedua sahatnya
itu. "Sudah ah &pagi-pagi yang dibahas malah jodoh!" ungkap Arif hendak menutup
pembicaraan. "Ye &yang mulai kan kamu!" bantah Jack.
"Iya, tapi batal," Arif pura-pura sewot.
"Ha &ha &,"mereka bertiga tertawa bersamaan.
"Ayo, sudah siang nanti telat!" Pay menyahut tas pinggangnya yang ada di meja.
Setelah membawa cangkir-cangkir itu kebelakang mereka berangkat kekampus.
Sedangkan Han masih terlelap dalam tidur pagi. Menikmati mimpinya bersama
Cinderella, dengan Roro Jonggrang dan Nawangwulan. Atau barangkali dia telah
memberikan sepatu kaca itu pada gadis cantik yang di impikannya.
LIMA "Jack, kamu tadi dicari Han!" Pay menghampiri Jack.
"Katanya dia tidak kekampus""
"Mungkin berubah pikiran, aku baru saja ketemu di loby."
"Dia masih disana Pay""
"Iya." "Aku kesana dulu ya!"
"Ya." Jack meninggalkan kantin, menelusuri lorong itu menuju keruang loby. Beberapa
kali dia menyapa teman yang berpapasan dengannya.
"Ada apa Han"" Jack langsung menyapa Han yang sedang duduk dikursi panjang
sambil melihat televisi. "Eh & kamu bisa kirim e-mail nggak""
"Ha &hari gini nggak bisa kirim e-mail ha &ha &"" sambil menirukan sebuah iklan
Jack menjawab pertanyaan Han.
"Hus &jangan keras-keras!"
"Kenapa"" "Malu." "Ah &kamu sih, punya komputer cuma bisa buat ngetik doang, gaul dong!"
"Ah &iya-iya, bisa nggak""
"Bisa, kapan"" jawab Jack meyakinkan Han.
"Tahun depan!" "Ceileh &ngambek nich"" goda Jack.
"Bisa nggak""
"Aku masih ada satu mata kuliah lagi."
"Ya sudah, aku menunggu disini!"
"Kamu mau nungguin aku"" Jack tampak tidak yakin.
"Iya, emang kenapa""


Love From My Heart Karya Endik Koeswoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tumben, sepenting apakah e-mail itu""
"Ah &tidak usah banyak tanya napa""
"Iya &iya &aku masuk dulu ya!"
"Yuup." "Yakin mau nunggu"" Jack bertanya sekali lagi.
"Iyaaaaa &," Han tampak sebel.
Teriakan pemuda itu membuat beberapa orang yang duduk-duduk di-loby melihat
kearah mereka. Jack dan Han hanya tersenyum.
"Kamu sabar ya!" Jack tersenyum, lalu dengan nada mengejek dan sambil
memegang bahu Han dia berkata seperti itu.
Walau tau kalau dia mengerjainya, Han malah tersenyum simpul padanya walau
tidak lagi memperhatikan Jack yang melangkah pergi meninggalkannya.
Setelah Jack pergi, Han membuka tasnya. Mengeluarkan Koran yang tadi malam
dibaca. Lagi-lagi Han mengamati gambar wanita disudut bawah Koran itu. Setelah puas
memandangnya dia melangkah keluar, memandang sebuah tempat sampah didekat pintu
masuk dan melemparkan koran itu kedalamnya.
"Kalau mukzijat itu adalah aku, maka kita pasti akan bertemu. Akan kuberikan
sepatu kaca dari dalam mimpiku padanya. Akan kuberikan cintaku, walau bukan lagi cinta
pertama," suaranya lirih namun dapat terdengar.
Han kembali kedalam ruangan itu, duduk ditempatnya semula.
Setelah meyakinkan dirinya sendiri, pemuda hitam manis dengan baju hitam itu
kembali duduk di kursi panjang.
"Han &novelnya sudah jadi belum belum"" seorang gadis dengan rambut sebahu
menghampirinya. Nina gadis cantik dengan kulit bersih. Teman satu kampus Han.
"Eh &kamu Nin. Belum jadi
masih sembilan puluh halaman."
"Rencananya berapa halaman"" sambil duduk disampingku.
"Paling seratus lima puluh. Tidak ada kuliah"" lanjut Han berbasa-basi.
"Baru keluar, kamu""
"Tidak ada," jawab Han singkat.
"Tumben tidak ada kuliah tapi tetap kekampus""
"Lagi bete, tidak ada teman dirumah."
"Main kekostku aja yuk!" Nina tersenyum kecil.
"Sekarang"" Han mengerutkan dahinya.
"Iya, sekalian ngantar aku pulang."
"Kamu tidak bawa motor"" tanya Han lagi.
"Dipakai Adek," jelas Nina.
"Tapi makan dulu ya"" Han memberikan sebuah pendapat.
"Kamu belum makan""
"Belum." "Didekat kostku ada warung yang enak kok, kamu pasti suka."
"Serius"" Han tersenyum.
"Iya." "Berangkat sekarang"" tanya Han.
"Kalau kamu tidak merasa terganggu sich," Nina tersenyum senang.
Han dan Nina berdiri, menuju ketempat parkir. Sebentar kemudian mereka telah
berada diatas motor dan siap berangkat.
Selama dalam perjalan tidak banyak yang mereka bicarakan. Baik Han maupun
Nina seakan hanya menikmati lalu lalang kendaraan sepanjang jalan yang mereka lewati.
"Han &aku kok tidak pernah melihatmu jalan bareng dengan seorang wanita""
"Lha &sekarang ini, memang kamu laki-laki"" Han tertawa kecil.
Sebuah cubitan kecil mendarat dipinggang pemuda itu.
"Maksudku dengan pacar kamu!" tegas Nina lagi.
"Lagi dalam tahap negoisai," jawab Han sekenanya.
"Apanya"" Nina penasaran.
"Ya &calon pacarnya," lanjut Han masih dengan senyumnya.
"Pacar kok nego sih"" Nina cemberut manja.
"Habis mau di apain lagi, langsung jadian""
"Ha &ha &kamu lucu juga ya"" Nina jadi tertawa.
"Iya &aku kan pernah jadi badut," Han menggoyang kepalanya.
Nina tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawaban yang sekenanya itu.
"Mana warungnya""
"Tuh & didepan belok kanan!" Nina menunjuk sebuah pertigaan di depan mereka.
Setelah melewati pertigaan itu, Han menghentikan motornya didepan sebuah
warung yang ramai pengunjung.
"Wah &ramai banget."
"Begitulah, apa-apa kalau enak dan sesuai pasti laku."
"Ah &belum tentu, buktinya aku yang enak, sesuai, baik dan tidak sombong belum
juga laku"" Han menggoda Nina.
Nina melirik kearah pemuda tampan di hadapannya yang tertawa lebar. Bila di
lihat dari jarak yang cocok, pemuda itu tidak jauh beda dengan Nugie, potongan
rambutnya, tingginya bahkan caranya tersenyum juga mirip.
"Kamu duduk aja disana, biar aku yang ambil!" Nina menunjuk sebuah meja
kosong disudut ruangan itu, dan hanya meja itulah yang kosong dari sekian banyak meja
yang berjajar. Han melangkah kearah meja yang dimaksud dan memberikan sedikit senyuman
saat melihat Nina berjalan kearah kerumunan orang yang antri mengambil menu. Setelah
cukup lama menunggu, akhirnya Nina datang dengan dua porsi makanan yang sama.
"Kok kamu tau aku suka ayam goreng dan sayur asem"" Han tampak heran dengan
menu di hadapannya. "Aku sering melihat kamu makan dengan menu seperti ini dikantin," Nina
tersenyum bangga. "Kamu tau nggak" Baru kali ini lho, aku dilayani oleh gadis secantik kamu," Han
tersenyum sambil melirik kearah Nina.
"Tuh &kan mulai merayu!" Nina tampak malu-malu.
"Suer," sambil mengangkat tangannya.
"Beneran"" tanya Nina yang semakin tersipu.
"Mau percaya silahkan, enggak juga nggak apa-apa!"
Mereka lalu mulai menyantap makanan itu, sesekali Han melihat kearah gadis
didepannya. Saat beradu pandang mereka hanya saling tersenyum.
"Han &dengar-dengar dari kalian ber-empat belum ada yang punya pacar ya""
"E &mau jawaban yang jujur apa yang asal""
"Yang jujur dong!"
"Bener." "Beneran"" Nina meyakinkan.
"Iya." "Alasannya"" tanya Nina lagi.
"Nggak tau, mungkin nggak laku."
"Kurasa, tidak ada yang kurang dari kalian ber-empat."
"Emang gitu""
"Sepertinya iya."
Han lalu terdiam, begitu juga Nina. Setelah selesai makan mereka berdua
melanjutkan perjalan ketempat kost-nya Nina. Sesampainya di depan pintu pemuda itu
tertegun. "Wah &kamarmu bagus ya""
"Biasa saja, silahkan masuk."
"Sebenarnya aku takut lho!"
"Takut apa""
"Kalau masuk kedalam," Han tersenyum kecil sambil menyandarkan tubuhnya di
daun pintu. "Kenapa"" Nina tampak heran.
"Biasanya aku langsung tertidur bila berada disebuah kamar yang indah dan
bersih," memandang beberapa luk
isan yang menempel di-dinding kamar itu.
"Ya sudah tidur aja, tidak ada yang marah kok."
Setelah masuk keruangan itu Han langsung merebahkan tubuh dikasur busa
beralaskan seprei biru dengan bunga-bunga sedikit merah. Sebuah guling berwarna pink di
peluknya dengan erat. "Tidur saja nanti pasti kubangunkan, aku mau ngerjain tugas dulu."
Nina duduk menghadap komputer.
Tidak lama kemudian susana telah menjadi hening. Nina sibuk dengan
komputernya dan Han telah terbang kealam mimpi yang indah.
ENAM Han membuka mata, dan sangat terkejut melihat gadis cantik itu telah berada
disampingnya. Apalagi tangan gadis itu melingkar dipinggangnya. Pemuda itu mengusap-usap mata sepertinya tidak percaya dengan apa yang dialaminya, kemudian mengamati
wajah ayu Nina yang terlelap. Suara merdu lagu syahdu melantun pelan. Han lalu
mengamati jam dinding yang ada dikamar itu, sudah menunjukkan angka satu dini hari.
Hanya diam yang dia bisa, memandang lagi kearah gadis yang memeluknya dengan erat.
Entah berapa lama Han mengamatinya, berbagai macam pikiran berkecamuk
didalam otaknya, antara percaya dan tidak percaya. Lalu dia mangangkat tangan Nina
pelan-pelan. Pemuda itu memutuskan bangun dan menengok keluar melalui jendela kaca,
tak ada siapun diluar sana. Hanya terdengar nyaian jangkrik-jangkrik kecil. Han
melanglah menuju kamar mandi dipojok ruangan itu. Mencuci muka sambil mengamati
bayangannya dicermin kecil yang menempel di dinding. Setelah itu Han keluar, duduk
dikursi dekat komputer sambil memandang Nina yang tertidur. Tak henti-hentinya dia
mengamati gadis itu, cantik dan ah &pikirannya jadi ngelantur.
"Sudah bangun Han""
Suara gadis itu mengagetkan lamunan pemuda itu.
Han hanya tersenyum kecut.
"Sudah tidak usah dipikirkan, tidur lagi aja lagi!" dari atas kasur busa itu Nina
berbicara padanya. "Kenapa aku tidak dibangunkan dari tadi Nin"" ucap Han pelan.
"Kamu tidurnya pulas sekali, aku jadi tidak tega."
Nina lalu bangun dari tempat tidurnya, menghampiri Han yang terduduk lesu
dikursi. Gadis itu lalu memegang tangannya.
"Sudah tidak usah dipikirkan, tidur lagi!" sambil menarik lengan pemuda yang
terdiam sedari tadi. Dia hanya menurut saja saat Nina menarik tangan lemas itu dengan pelan. Kini
mereka berdua telah kembali berada diatas pembaringan. Lagi-lagi Han hanya memandang gadis yang ada disampingnya itu, mengamati lekuk-lekuk tubuh yang
terbungkus daster tipis warna biru dengan bunga-bunga mawar warna-warni. Desah
nafasnya terdengar pelan bersamaan dengan tangan gadis itu yang kembali melingkar
dipinggangnya. Mata mereka beradu pandang, saling menyelam kedalam hati masing-masing.
Cukup lama mereka hanya saling menatap tanpa ada sepatah katapun yang terucap. Lalu,
Han melingkarkan tangannya ketubuh sintal itu.
"Sorry ya Nin, aku jadi merepotkanmu."
"Merepotkan apanya""
Suara manja Nina seakan menggetarkan hati, dan Han hanya bisa terdiam lagi.
Tidak menjawab pertanyaan dari Nina. Tubuh mereka semakin dekat, pelukan itu semakin
erat. Entah siapa yang memulai, bibir itu kini telah semakin dekat dan sangat dekat. Desah
nafas itu kini telah menjadi satu.
TUJUH "Baru pulang Han"" sapa Arif pelan.
"Iya." Han duduk disofa, disamping Arif yang sedang menikmati secangkir kopi sambil
membaca Koran pagi itu. "Semalam tidur mana""
Han hanya diam, tidak menjawab pertanyaan Arif.
"Jack kemarin marah-marah, katanya nyari kamu tidak ketemu""
Melihat Han yang hanya diam, Arif lalu bertanya lagi pada Han yang baru saja
datang. "Ada masalah Han""
"Tidak." Di raihnya cangkir kopi yang ada diatas meja dan tentunya itu milik sahabatnya.
Meneguknya sedikit dan mengembalikannya lagi ketempat semula.
"Kamu tadi malam tidur mana"" tanya Arif dengan raut muka heran.
"Kalau aku jawab, kamu janji tidak akan bilang siapa-siapa"" Han akhirnya buka
mulut juga. "Paling hanya ngomong Jack dan Pay."
"Janji"" "Iya, paling-paling cuma mereka berdua!" Arif tampak ingin segera tau jawaban
Han. "Dikamarnya Nina."
"Ha &! Dikamarnya Nina"" dengan nada sangat terkejut.
"Iya," mengambil koran yang dipegang Arif.
"Jack &Pay &teman kita sudah punya pacar!" Arif berteriak memanggi
l kedua temannya yang masih didalam kamar.
"Hus &siapa yang pacaran"" hardik Han.
"Tapi, buktinya semalam kamu tidur sama Nina!"
"Bukan berarti aku pacaran kan"" mukanya tampak memerah.
Dengan senyum simpul, Han berusaha menyangkal pendapat Arif. Sedangkan Jack,
dan Pay yang baru keluar langsung duduk bersama diruang itu.
"Kemarin kemana, aku cari-cari tidak ketemu""
Jack langsung menanyakan itu pada Han.
"Sory Jack, kemarin aku ngantar Nina pulang."
"Terus, dia tidur disana sekalian!" Arif memotong pembicaraan mereka berdua.
"Iya, Han" Kamu tidur dengan Nina si-bahenol itu"" Pay tampaknya juga tidak
mau ketinggalan berita hangat itu.
Han hanya tersenyum pada mereka bertiga yang jelas masih penasaran akan sebuah
jawaban yang pasti. "Iya," menjawabnya dengan pelan tapi pasti adalah satu-satunya pilihan yang bisa
terucap saat itu. "Pantesan, kemarin menghilang bagai ditelan bumi," gerutu Jack.
"Sory, Jack," Han menatap Jack.
"Itu bukan masalah besar, kamu ninggalin aku juga tidak apa-apa, tapi &"
"Tapi apa jack""
"Sebagai gantinya, sebagai pengobat rasa jengkelku padamu, kamu harus cerita
tentang semua kejadian, dari kemarin di loby kampus sampai pagi ini!" Jack tersenyum
bangga dengan idenya. "Ah &itu masalah lain Jack," Han tampak malu-malu.
"Lain" Apanya yang lain""
"Ha &ha &baiklah, tapi janji tidak akan membicarakannya didepan teman-teman
yang lain"" Setelah didesak, akhirnya dengan terpaksa Han mau menceritakannya.
"Iya &," jawab mereka bertiga hampir bersamaan.
"Tapi kamipun juga punya syarat, ceritanya harus runtun, jelas dan menggunakan
bahasa yang baik dan benar!"
Seperti seorang hakim yang mengadili tersangkanya, Jack memberikan sebuah
penjelasan disertai dengan gerakan tangannya.
"Ha &ha &terserah yang bercerita dong!"
"Wah &mau aman nggak""
"Iya deh Jack," lagi-lagi Han harus menuruti permintaan teman-teman pagi itu.
"OK "" Jack minta pendapat yang lain.
Pay dan Arif mengangguk cepat.
"Begini, siang itu aku duduk diloby, menunggu teman yang kuliah, lalu Gadis itu
datang." Sepertinya Han sedikit malu untuk mulai bercerita. Sementara teman-teman hanya
mendengarkan saja. "Lalu dia memintaku mengantarnya pulang, sebelum sampai tempat kost-nya, kami
makan dulu. Disebuah warung yang ramai pengunjung. Aku disuruhnya duduk disebuah
meja disudut ruangan. Nina mengambilkanku sepiring nasi lengkap dengan sayur asem
dan ayam goreng," lanjutnya lagi.
"Lalu"" "Kami makan tanpa banyak pembicaraan yang kami lakukan. Setelah makan, kami
ketempat kost-nya. Semula aku hanya berdiri didepan pintu, terkagum-kagum dengan tata
ruang dan kebersihan kamar itu."
Han menghentikan cerita, menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya pelan.
Belum ada komentar dari teman-temannya, mereka masih menunggu.
"Lalu dia memintaku masuk, sebenarnya aku menolak dan ingin pulang saja.
Karena aku lelah dan tertarik dengan kamar itu, aku akhirnya tertidur," lanjut Han yang
wajahnya semakin memerah.
"Nina"" celetuk Jack.
"Dia mengerjakan tugas, duduk didepan komputernya."
"Lalu"" sepertinya Arif yang paling penasaran.
"Lalu aku terbangun, tapi itu sudah jam satu malam."
"Nina"" lagi-lagi Arif berinisiatif menanyakan sang gadis.
"Dia telah memelukku dengan erat, aku menjadi semakin takut saat aku melihat
jam dinding itu sudah menunjukkan angka satu."
"Lalu"" celetuk Jack antusias.


Love From My Heart Karya Endik Koeswoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku hanya diam untuk beberapa saat, hingga aku memutuskan untuk pergi ke-kamar mandi, membasuh mukaku dan berkaca. Setelah itu aku duduk di depan computer,
mengamati Nina yang tertidur pulas," wajah Han semakin merah.
"Cuma gitu"" Jack semakin antusias.
"Tidak, dia terbangun. Berbicara sebentar dan dia menyuruhku tidur lagi. Nina menarikku dengan manja, sedangkan aku hanya menurut saja."
"Lalu kamu bercinta""
"Jack, jaga pembicaraanmu, memang aku semudah itu"" Han pura-pura marah.
"Ha &ha &," melihat sahabatnya pura-pura marah mereka malah tertawa.
"Setelah sampai diatas tempat tidur aku tidak bisa memejamkan mata, aku hanya
bisa melihat lekuk-lekuk tubuhnya yang tertutup kain tipis berwarna biru muda."
"Kalian tidak bercinta"" tanya Jack lagi.
"Tidak." "Hah &sama sekali"" sepertinya Jac
k tidak percaya dengan apa yang diceritakan
"Tidak, aku hanya mencium bibirnya."
"Setelah itu""
"Ya &Cuma sampai disitu, kami hanya berciuman sampai aku tertidur lagi."
"Ha &ha &aku tidak bisa membayangkan jika kamu harus telanjang, ha &ha &."
Mendengar perkataan Jack itu, semua tertawa termasuk Han. Mereka masih saja
membicarakan kejadian semalam, berbagi pendapat atau barang kali saling curhat.
DELAPAN Malam telah hampir berganti pagi, namun Han masih belum juga memejamkan
mata. Bila kemarin malam tertidur dengan seorang gadis disampingnya, kini hanya
bantal-bantal bisu yang menemani. Mungkin juga dia merasakan kesepian yang sangat.
Bila tadi pagi dia dipaksa bicara oleh teman-teman, kini dia hanya duduk
termenung didepan komputer, tanpa melakukan apapun. Sedetik setelah itu Han beranjak
dari kursi, melangkah menuju keatas ranjang, mengamati alroji kesayangan yang telah
menunjukkan angka tiga, tentunya saat itu sudah jam tiga pagi. Memejamkan mata lalu
terlelap. Malam yang sunyi tanpa mimpi mungkin saja di alaminya...
Pagi telah tiba, saat pintu kamar terbuka berlahan. Arif masuk kedalam dan
membangunkan Han yang masih terlena oleh mimpi.
"Han &bangun, ada yang nyari tuh!"
Tapi Han belum juga menyahut, hingga Arif harus mengulangi perkataannya lagi.
"Han, bangun &ada yang nyari tuh!" kali ini sambil mengguncang-guncang tubuh
sahabatnya. "Siapa"" "Tuh diluar, cepetan."
Arif meninggalkannya yang masih terlentang ditempat tidurnya.
"Han &cepetan, aku mau berangkat kekampus," sambil melongok sekali lagi ke
dalam kamar. "Kasihan dia tidak ada yang menemani," Lanjutnya setengah berteriak.
Arif menutup pintu kamar itu kembali, melangkah keluar dan menemui seseorang
diruang tamu. "Tunggu sebentar ya, Nin!"
"Iya, santai saja."
"Aku harus kuliah, sorry banget tidak bisa menemani."
"Iya, hati-hati."
Arif langsung meninggalkan Nina diruang tamu.
Cukup lama Nina menunggu diruang tamu, beberapa kali dia terlihat melihat jam
di-dinding ruang itu. Dia beranjak, melangkahkan kakinya menuju kamar. Membuka pintu
kamar itu dengan hantinya yang sedikit deg-degan.
Setelah membuka pintu, gadis itu mengamati seluruh ruangan.
"Rapi," gumamnya, dengan senyum khas bidadari cantik.
Dia melihat Han yang masih terlentang tanpa mengenakan baju. Mungkin saat itu
Han dalam keadan setengah sadar setelah Arif membangunkannya beberapa menit yang
lalu. Nina lalu duduk didepan computer, memandangnya yang terbaring diatas tempat
tidur . Dia mendekatkan dirinya.
"Han &bangun, sudah siang!"
Suara lembut itu seakan langsung menusuk kedalam telinga dan langsung
membuyarkan mimpi pemuda itu.
"Eh &Nin, sudah lama"" sambil menutup tubuhnya dengan selimut.
"Kenapa, malu ya""
"Ah, enggak," walaupun sebenarnya dia malu, karena saat itu tidak mengenakan
baju. "Kamu tidak kuliah""
"Tidak, hari ini kosong. Maaf ya, aku tidak tau kalau yang datang kamu."
"Ah &tidak apa-apa, memangnya kamu tidak tidur semalam""
"Tidur, tapi sudah pagi. Aku madi dulu ya Nin," pemuda itu beranjak dari ranjang,
melangkah keluar. Nina hanya tersenyum sambil mengamatinya. Han sempat melihat gadis itu
mengambil sebuah buku dirak lalu merebahkan tubuhnya diranjang sambil membaca buku
tersebut. Dengan senyumnya, pemuda itu meninggalkan kamarnya.
Saat Han masuk kembali, Nina tidak juga memperhatikannya, dia lebih asyik
dengan buku yang dibacanya.
"Itu buku pertamaku," sambil menunjuk buku yang dibaca Nina.
"Buat aku ya!" "Ya &bawa saja, tuh dirak masih banyak lagi."
Sambil mengusap-usap rambutnya yang basah dengan handuk warna biru. Setelah
yakin rapi, Han melangkah menuju pembaringan memposisikan diri disebelah Nina.
Gadis itu hanya tersenyum sambil mengusap kepala Han dengan penuh kasih sayang.
"Kamu tidak kuliah Nin""
"Sudah, tadi masuk jam delapan pagi. Setelah itu langsung kesini."
"Adikmu sudah pulang"" tanya Han lagi.
"Sudah, beberapa menit setelah kamu meninggalkan kamarku."
"Kamu bilang kalau aku semalam tidur ditempatmu""
"Iya, dia paling tau aroma cowok, ha &ha &"
Han ikut tertawa, menatap bibir gadis cantik yang merekah itu. Mungkin juga saat
itu dadanya berdebar. Dia seakan enggan berpaling dari
bibir yang benar-benar merah
merekah. "Apa kata Adikmu""
"Dia tidak percaya kalau kamu hanya menciumku," gadis itu tersenyum simpul,
menatap lawan bicaranya dalam-dalam. Sementara aku yang ditatapnya hanya diam.
"Kamarmu rapi juga ya""
"Ah &lebih rapi kamarmu," Han tampak merendah malu-malu.
"Apakah ada wanita yang masuk kesini selain aku""
"Belum ada, paling Arif, Jack dan Pay, selain itu belum ada."
"Sama sekali""
"Iya." "Suer"" "Iya." "Apakah Ibumu juga tidak pernah masuk kesini"" Nina tersenyum simpul.
"Tidak, Ibuku tidak pernah kesini."
"Kenapa"" "Mungkin dia terlalu sibuk, lagian Ibuku tinggalnya jauh dari sisni."
"Dimana"" "Kalimantan," jawab Han singkat.
Nina hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara itu pemuda yang ada
disampingnya hanya tersenyum.
Obrolan itu memang terkesan kaku. Hanya saja setelah beberapa saat kemudian
semua menjadi wajar biasa. Bahkan beberapa kali Nina memukul pundak Han dengan
mesra lalu keduanya tertawa. Ya...seperti sepasang kekasih yang di mabuk asmara. Saling
bercerita dan bercanda. SEMBILAN Hari telah beranjak sore saat Jack dan Pay datang. Mereka berdua duduk disofa
melepas lelah. Sepertiga menit kemudaian Arif datang dan langsung bergabung dengan
mereka. Wajahnya memerah karena sengatan matahari yang bercampur debu jalanan.
"Mana Han""
"Emang aku bapaknya"" Jawaban Pay itu mebuat mereka tertawa.
"Tumben Rif kuliah sampai sore""
"Lagi banyak tugas Jack."
"Coba lihat Han dikamarnya, siapa tau dia pingsan."
"Iya Rif, seharian tidak keluar betah banget ya tuh anak""
Arif melangkah masuk, membuka pintu kamar Han pelan-pelan. Dia tersenyum
melihat sahabatnya tertidur, apalagi seorang gadis memeluknya dengan erat. Dia menutup
kembali pintu kamar itu pelan-pelan agar tidak mengusik mimpi sahabatnya yang sedang
berdua dengan gadis itu. "Sst &jangan berisik, Han lagi tidur," Arif kembali pada kedua temannya diruang
tamu. "Hah &jam segini belum bangun""
"Pelan-pelan Pay, dia sedang dipeluk bidadari cantik."
"Siapa"" sepertinya Jack juga penasaran.
"Tuh cewek yang semalam tidur dengannya."
"Nina"" mereka berdua menanyakan hal yang sama.
"Iya." "Wah &kita bakal bisa menepis gossip nih," Pay tertawa pelan.
"Gosip apa"" sambil mendekatkan kepalanya pada Pay.
"Gosip kalau kita homo Jack &ha &ha &."
Mereka bertiga tertawa terbahak-bahak, lalau sebentar kemudian mereka terlihat
sedikit menahan tawa. "Iya &kita akan punya seseorang yang merawat bunga-bunga ditaman, terus, akan
ada yang membuatkan kopi saat bangun tidur, terus &akan ada yang nyapu dan bersih-bersih rumah, ha &ha &" Jack tampak mebayangkan sesuatu.
"Ssst &pelan-pelan kalau mereka bangun bisa kacau," Arif meminta kedua
sahabatnya untuk mengurangi volume suara mereka.
Sepertinya mereka sangat bahagia dengan kehadiran Nina. Sepertinya pula mereka
sangat merindukan seorang wanita diantara mereka.
"Eh &kalian sudah datang"" Suara itu sangat mengejutkan obrolan mereka bertiga.
"Sudah bangun Nin, sini ngobrol ama kita-kita," Jack langsung berdiri, menyambut
kehadiran Nina yang muncul tiba-tiba. Mempersilahkan wanita itu duduk didekat mereka.
Nina hanya bisa tersenyum. Dia tidak menyangka sambutan yang di dapatnya sangat
hangat. "Terimakasih ya Jack."
"Biasa aja, anggap rumah sendiri," kata Jack lagi.
"Belum mandi ya""Pay ikutan mengajukan sebuah pertanyaan.
"Iya Pay" Jawaban itu tentu saja diikuti dengan senyum yang malu-malu.
"Boleh kok mandi disini."
"Tidak membawa peralatan mandi, lagian juga mau pulang."
"Pulang"" Ketiga sahabat itu saling memandang mendengar jawaban Nina.
"Jangan pulang dulu, pakai peralatan madiku saja." Arif dengan senang hati
menawarkan peralatan mandinya.
"Apa mau diambilkan ditempatmu"" Jack tidak kalah serunya dalam menawarkan
jasanya. "Tak beliin aja ya, butuh apa saja""
"Ah &kalian jangan bercanda dong!"
"Tidak, kami tidak bercanda," sepertinya jawaban Jack memang serius, apalagi
diikuti anggukan kedua temannya.
"Nggak usah repot-repot, pakai punya Han juga tidak apa-apa," pipi gadis itu
memerah, sebuah tanda kalau dia malu atau tersanjung dengan perkataan teman-temannya
itu. "Kamu mandi dulu biar aku mengambilkan pak
aianmu di-kost ya"" Pay langsung
berdiri, bersiap untuk berangkat.
"Ah &tidak usah Pay, merepotkan saja."
"Tidak apa-apa, biar aku ambilkan pakaianmu."
"Ah &jadi merepotkan kalian semua."
"Tidak apa-apa, asalkan nanti kita masak bersama dan makan malam bersama.
Bagaimana setuju"" Pay meminta pendapat mereka.
"Setuju &." Jawaban itu keluar dari mulut Jack dan Arif. Sementara Nina hanya
tersipu malu. Pancaran binar bahagia terlihat jelas di wajahnya.
"Bagai mana Nin setuju tidak""
"Eh &bagaimana ya"" Nina tampak semakin malu-malu mau.
"Setuju aja deh."
"Iya deh Pay, tapi ini tidak merepotkan kalian kan""
"Tidak," lagi-lagi tanpa dikomando mereka mengeluarkan jawaban yang sama.
Nina melangkah masuk lagi kedalam kamar, memandang Han yang masih terlelap
tidur sore itu. Menutup kembali pintu kamar, lalu membuka pakaiannya didepan cermin,
mengambil handuk dan melilitkannya ditubuhnya yang sintal itu. Melangkah lagi menuju
kamar mandi. Setelah mandi dia kembali lagi, duduk didepan cermin. Membuka tas
kecilnya, mengeluarkan beberapa alat rias. Menyisir rambutnya yang basah, memakai
bedak dan sedikit lips ice.
Sepertinya Han telah membuka matanya dari tadi walau tidak beranjak dari
tempatnya semula. Han terkejut melihat Nina duduk didepan cermin, apalagi gadis itu
hanya mengenakan haduk yang menutupi sebagian tubuhnya. Han menatapnya dari atas
tempat tidur. Nina masih saja asyik dengan cermin didepannya tanpa tau sepasang mata
mengamatinya. Pintu kamar itu diketuk pelan.
"Nin &in bajumu, kutaruh didepan pintu."
Sepertinya itu suara Pay, Nina melangkah kearah pintu. Melihat gadis itu berdiri,
Han memejamkan mata lagi. Setelah mengambil sebuah tas didepan pintu, Nina kembali
lagi kedepan cermin, melihat kearah Han yang masih terbaring. Dia tersenyum karena
mengira pemuda itu belum bangun. Dilepaskan handuk itu, membuka tasnya dan mulailah
dia mengenakan pakainnya satu persatu. Sementara Han hanya bisa melihatnya, melihat
gadis itu berpakaian sambil sesekali menarik nafas panjang. Setelah yakin rapi, Nina
melangkah kearah pemuda yang pura-pura tidur. Mencium keningnya dengan mesra.
"Han &bangun sudah sore."
Han membuka mata, memandang gadis cantik itu. Ada semacam perasaan yang berkecamuk dihati, sepertinya sebuah pertanyaan "apa yang baru saja kulihat benar-benar dia"".
Han bangun, beranjak dari tempat tidur. Tanpa sepatah katapun dia lalu berdiri,
mengambil handuk yang ada dikursi dan pergi kekamar mandi.
SEPULUH Dimeja makan telah tersedia berbagai menu masakan. Tidak lupa ayam goreng dan
sayur asem. Semua telah duduk kursi masing-masing bersiap untuk menyantap makan
malam bersama. "Maaf ya bila masakannya kurang enak."
"Dari aromanya saja saya sudah tau kalau ini lezat."
Jawaban Pay itu diiringi dengan senyum yang lain, termasuk Nina. Walau agak
kaku, acara makan malam itu terlihat sangat romantis. Apalagi ditambah dengan alunan
merdu lagu klasik dari ruang tengah, Sebuah lilin ditengah meja bulat oval itu
dan &kehadiran Nina diantara mereka seakan membawa sebuah kedamaian. Begitulah,
suasana menjadi semakin hangat dengan gurauan mereka berlima. Bila biasanya hanya
makan diwarung belakang, kini mereka bisa menikmati makan dirumah sendiri, dimeja
makan sendiri dan dipiring sendiri.
"Ternyata lebih nyaman makan bersama-sama dirumah sendiri ya""
"Iya, soalnya kita tidak perlu repot-repot ngantri, dan yang paling penting tidak
usah bayar, ha &ha &"
"Kalo bisa begini terus, mungkin kita akan betah dirumah ini."
"Terus yang masak kamu, Pay""
"Ha &ha &sepertinya kita harus kursus memasak pada Nina Jack."
Nina hanya tersenyum malu, dia melihat kearah Han yang asyik menikmati makan
malam itu tanpa banyak bicara seperti teman yang lain. Karena dalam benaknya sedang
membayangkan kalau saja Nina adalah gadis dalam Koran itu. Membayangkan kalau
gadis itu adalah pemilik sepatu kaca yang selama ini selalu hadir dalam mimpinya.
"Han &kenapa kamu hanya diam saja""
Mendengar pertanyaan Arif itu, Han kaget dan buyarlah semua lamunannya.
"Ah &aku hanya merasa heran."
"Heran dengan apa""
"Ya &heran dengan yang masak."
"Kenapa Han""
"Tidak kusangka Rif, masakanny
a enak." "Ha &.ha &." Mereka tertawa lagi mendengar jawaban itu, dan pastinya tawa itu
membuat Nina malu-malu. Selesailah sudah acara makan malam pertama itu. Mereka masih saja duduk-duduk
melingkar dimeja makan. Menikmati hidangan penutup sambil terus bercengkrama. Nina
mulai merapikan piring-piring kotor dan mencucinya. Keempat cowok itu masih asyik
menikmati rokoknya masing-masing. Seyum dan tawa mereka penuh dengan kebahagiaan.
"Nin &setelah ini jangan pulang dulu ya!" tanya Jack singkat.
"Kenapa Jack"" Nina balik bertanya.
"Kita harus melihat film drama romantis terbaru," ucap Jack mantap.
"Ha &ha &sejak kapan kamu suka nonton film romantis""
"Sejak kehadiran Nina, Pay!"
Disambut tawa yang lain. Arif membantu Nina mencuci piring, Pay dan Jack beralih keruang tengah,


Love From My Heart Karya Endik Koeswoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyiapkan vcd player. Jack menggelar karpet dan mengambil beberapa bantal dari
kamarnya. Pay mengganti lampu diruangan itu dengan yang lebih redup. Sungguh
suasana yang romantis. Han masih belum beranjak dari tempat duduk dimeja makan. Arif
kemudian menyusul kedua temannya keruang tengah.
"Nin &maafkan teman-temanku, mereka memang usil. Apapun yang dikatakan
mereka jangan kamu masukkan kedalam hati ya""
Gadis itu hanya menjawab dengan senyum termanisnya. Setelah mencuci
tangannya, dia duduk disamping Han.
"Asalkan kamu senang aku juga senang Han," kata Nina dengan senym tulus.
"Tapi Nin""
"Sudah tidak usah dipikirkan, aku tidak akan menuntutmu yang macam-macam."
Han terdiam, seakan memutar otak untuk mengartikan ucapan gadis itu.
"Kamu percaya kalau Cinderella mempunyai sepatu kaca""
"Percaya, aku menyukai cerita itu. Kenapa""
Pada akhirnya dia hanya tersenyum dan tidak meberikan jawaban atas pertanyaan
yang di loontarkan gadis itu. Dia menggandeng tangan gadis itu dan melangkah keruang
tengah. Duduk diantara teman-teman. Pemutaran film romantis dimulai, mereka semua terdiam menyaksikan adegan demi adegan. Menikmatinya dan mengapresiasikan dengan
imajinasi masing-masing. Hanya sesekali terdengar suara batuk-batuk kecil dari mereka.
Setelah selesai melihat film itu mereka saling pandang, tersenyum lalu tertawa.
"Ternyata asyik juga ya"" Arif bertanya pada sahabat-sahabatnya.
Mereka hanya tersenyum. "Besok pinjam lagi Pay!"
Komentar singkat itu sepertinya adalah sebuah komentar yang jujur dari dalam hati.
Diawali dengan Jack yang pamit tidur lebih dulu, diikuti Pay dan Arif yang melangkah
menuju kamarnya masing-masing. Hanya tinggal Han dan Nina yang kini sedang melihat
acara di televisi. "Nin &kamu tidur saja dikamarku."
"Kamu"" "Ah &gampang, aku biasa tidur didepan teve."
"Wah &aku paling takut tidur sendiri, apalagi ini bukan kamarku."
Han terdiam, memandang gadis itu, membayangkan betapa hangatnya tidur
dipelukannya. "Tapi apa kamu merasa aman bila tidur denganku""
"Apa yang harus aku takutkan, buktinya kemarin aku aman-aman saja."
Lagi-lagi Han harus terdiam dengan jawaban singkat itu. Dan pemuda itu hanya
mampu memandang gadis cantik yang duduk didekatnya. Bajunya yang berwarna merah
jambu, serasi dengan kulitnya yang putih bersih.
"Ya sudah, kutemani. Tapi aku buat kopi dulu ya!"
Han beranjak dari duduknya, mematikan televisi dan melangkah menuju ke dapur.
Nina mengikutinya dan hanya memperhatikan pemuda iru menyeduh secangkir kopi.
Setelah selesai mereka lalu masuk kedalam kamar.
"Kamu tidur dulu ya, aku harus menyelesaikan tulisanku."
Gadis itu merebahkan tubuhnya diranjang, sementara Han duduk menghadap
komputernya. Menikmati secangkir kopi panas yang baru di buatnya tadi. Merangkai kata
demi kata menyusunnya menjadi sebuah kalimat, lalu tak lama kemudian jadilah sebuah
cerita. Cukup lama dia duduk ditempat itu, sesekali Han menoleh kearah gadis yang
terlelap diranjang. Kini Han telah merebahkan tubuhnya disamping bidadari cantik yang terlelap.
Mentupkan selimut padanya dan mulailah dia memejam mata. Walau agak sulit pada
akhirnya dia juga terlelap.
SEBELAS Kedekatan Han dengan Nina sepertinya membawa kebahagian tersendiri pada
teman-temannya. Kini Pay, Jack dan Arif lebih suka berada dirumah, ngobrol dengan Nina
sambil mengerjakan tugas. Sekali merek
a jalan-jalan ke mall atau sekedar duduk ditaman
kota. Bila mereka sudah berkumpul sepertinya kebahagiaan itu tidak akan hilang. Canda
dan tawa selalu saja menghiasi rumah mungil itu. Taman dihalaman depan terlihat
semakin indah. Tidak ada satupun sampah dilantai. Juga tidak ada pakaian kotor yang
tergantung di gantungan pakaian kamar mandi.
Bila Nina pulang ke kost-nya, salah satu dari mereka pasti menjemputnya lagi
dengan berbagai alasan dan gadis itu hanya bisa mengiyakan saja. Nina seakan telah
menjadi bagian dari keluarga itu, lebih sering dirumah itu dari pada ditempat kost-nya.
Pakainnya-pun telah tersusun rapi dalam almari Han. Beberapa alat kecantikannya juga
tertata rapi dimeja kecil depan cermin. Dikamar itu pula kini dia sering tidur.
Sepertinya ada yang aneh dengan Han. Pemuda itu sering terdiam diteras depan
sambil memandang gadis itu menyirami bunga atau lebih asyik dengan buku-buku bacaan.
Matanya selalu menerawang jauh, jauh sekali. Bila malam tiba, dia hanya duduk didepan
komputer sesekali dia membayangkan wanita cantik dalam Koran. Gadis cantik pengidap
HIV itu tidak pernah bisa hilang dari pikirannya.
"Kenapa kehadiran Nina yang cantik ini tidak juga merubah perasaan hatiku, tidak
sedikitpun"" dia bertanya pada dirinya sendiri pada suatu sore.
"Han &kamu kenapa""
Pertanyaan itu membuyarkan lamunannya.
"Ah &tidak apa-apa Jack."
"Kangen ya sama Nina, sabar lagi dijemput Pay."
"Jack, aku sedang bingung dengan ini semua."
"Kenapa"" "Ah &sudahlah."
Han lebih memilih untuk tidak melanjutkan ucapanya, mengambil sebatang rokok
dan menghisapnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan pelan.
"Kalian bertengkar""
"Tidak." "Lalu"" "Ya &hanya bingung saja."
"Dia hamil""
"Gila kamu, menyentuhnya saja tidak!"
"Ha &jadi selama ini apa yang kalian lakukan""
"Tidak ada." "Sama sekali""
"Ya &paling-paling ngobrol lalu tidur."
Jack terdiam, memandangnya dengan penuh tanya.
"Kamu memang lelaki yang hebat."
"Hebat apanya""
"Ya &lelaki yang hebatlah &."
Saat mereka sedang terlibat dalam perbincangan serius itu, Arif muncul dan
langsung duduk dilantai. "Serius amat, ngomongin apa""
"Nih &sobatmu lagi bingung."
"Kenapa Han""
"Tidak ada apa-apa Rif."
"Kalo ada masalah ngong dong, siapa tau kita bisa membantu."
Han tidak juga bicara, begitu juga dengan jack.
"Eh &ngomong-ngomong, berapa kali kalian bercinta dalam satu malam""
Han dan Jack memandang kearah Arif, pertanyaan itu sepertinya membuat Han
kecewa. "Jadi kamu menganggap aku dan dia bercinta setiap malam""
Arif terdiam, dia tau kalau pertanyaanya itu menyinggung perasaan sahabatnya.
"Sudahlah Han, wajar kalua Arif menanyakan hal itu."
"Sory Han, tapi apakah salah bila aku bertanya padamu tentang hal itu, kalian
sudah lebih dari dua minggu selalu tidur dalam satu kamar yang sama."
"Iya &tapi aku belum pernah sekalipun bercinta dengannya."
"Ha &belum pernah," Arif seakan tidak percaya kata-kata itu.
"Iya!" "Kenapa"" "Aku tidak tau, bahkan saat aku melihatnya telanjang aku hanya bisa diam."
"Ha &hanya diam, jangan-jangan kamu kelainan""
"Tidak Rif, hasrat kelakia-lakianku tetap ada, tapi entah kenapa aku mampu
menahannya" "Apa yang kamu pikirkan saat itu""
"Wanita dalam koran."
Jawaban singkat itu membuat Jack dan Arif terdiam. Memandang dalam kearah
Han yang tertunduk lesu. "Jadi kamu belum bisa melupakan wanita itu""
"Iya Rif." "Ah &." Desah lirih dari mulut Arif seakan penuh rasa kecewa.
"Jack &antar aku ke-internet!"
"Kapan"" "Sekarang." "Rif &kalo Nina datang, bilang padanya aku keluar sebentar."
"Iya." Han dan Jack pergi meninggalkan Arif yang masih duduk diteras itu. Mereka
menuju sebuah warnet yang tak jauh dari tempat itu.
"Han &aku berharap kamu tidak menemukan gadis pujaanmu itu," ucap Jack tiba-tiba.
"Kenapa"" tukas Han sambil mengerutkan keningnya.
"Aku tidak tau."
"Tidak tau apanya"" tanya Han lagi.
"Ya...pokoknya aku mendukungmu! Karena hatiku berkata begitu!"
"Sok main perasaan"" Han mencibir.
"Bukan! Aku mulai sadar bahwasanya cinta itu sebenarnya tidak hanya satu!" tegas
Jack. "Nyindir nich ceritanya"" Han tersenyum kecil.
"Bukan nyindir! Tapi emang begitu kenyataannya!
Cinta pertama, kapan kamu
rasakan" Lalu cinta kedua, ka[an kamu rasakan" Sekarang" Cinta keberapa" Apakah
rasanya beda" Sama Han! Sama! Semua cinta yang kamu rasakan itu ya begitu-begitu
saja!" tegas Jack panjang lebar.
"Begitu saja gimana"" Han tersenyum kecil.
"Ya begitu! Gelisah! Bingung! Kangen! Deg-degan! Seputar itu dech!"
"Ha &ha &"
Han tertawa begitu juga Jack, walau sedikit dipaksakan. Duduk bersebelahan
disebuah ruang bersekat dinding tipis dengan ruang disebelahnya. Hanya sesekali saja
mereka berbicara. Setelah merasa cukup mereka kembali. Dalam perjalan dari warnet itu
tak ada pembicaraan diantara mereka berdua. Laju motor itu pelan tapi pasti, menelusuri
gang-gang kecil dan tidak lama kemudian telah tiba dirumah itu kembali.
DUA BELAS Pada suatu sore yang cerah, dimana burung-burung pipit bernyanyi riang di atas
pucuk-pucuk cemara. Saat tukang bakso sedang asyik ngerumpi dengan beberapa ibu-ibu
langganannya. Saat anak-anak kecil sedang berkejar-kejaran didepan gang rumah mungil
itu, Han dan Arif duduk diteras marmer sambil menikmati secangkir kopi manis. Kepulan
asap rokok mereka berdua membubung tinggi keangkasa lepas.
"Han &apa Nina tau kalau kamu tidak menyukainya""
"Aku menyukainya Rif, tapi aku belum bisa menentukan apakah aku akan menjadi
kekasihnya." "Kenapa"" "Nah &alasan itulah yang sedang kucari. Dan kata-kata itu datangnya dari sini!"
Han menunjuk dadanya sendiri.
"Kalo suatu saat nanti dia tau kamu tidak menyukainya, apa ya &yang kan terjadi""
pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya.
"Semoga tidak terjadi apa-apa, lagian belum tentu kan dia menyukaiku" Kamu
sendiri kan yang bilang aklau cinta datangnya dari hati""
"Ha &setiap hari dia disini, masak tidak menyukaimu""
"Mungkin juga dia suka salah satu dari kalian."
"Ha &ha &kalau dia menyukaiku, pastinya dia akan tidur dikamarku, bukan
kamarmu!" sergah Arif cepat untuk meyakinkan sahabatnya.
"Rif, aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan gadis itu."
"Apa""sahut Arif.
"Aku belum bisa memastikan, itu hanya perasaanku saja," Han tampak ragu.
"Eh &ngomong-ngomong bagaimana kabar wanita dalam Koran itu""
"Masih nunggu balasan, kemarin aku dan Jack sudah kirim e-mail, menanyakan
alamatnya," "Ya &kalau itu sudah menjadi keputusanmu, aku pasti mendukungmu. Tapi kamu
jangan sampai membuat Nina kecewa atau sakit hati," Arif menunduku seakan mencari
sesuatu yang hilang. "Bagaimana caranya""
"Setidaknya kamu tidak merubah sikapmu padanya, tetaplah baik, sayangi dia
seperti kamu menyanyangi adikmu, atau apalah &yang penting dia jangan sampai tau
kalau kamu mempunyai idaman lain!" Arif meberikan sebuah pendapat yang menurutnya
paling baik. "Sampai kapan itu harus kulakukan""
"Sampai semua benar-benar telah siap, Kamu, Nina dan kita semuanya."
Pembicaraan mereka terhenti saat seoarang pemuda datang.
"Mas &maaf mengganggu, ini rumahnya mas Han ya &"" Pemuda itu bertanya
dengan sopan setelah memarkir motornya didekat pintu pagar.
"Iya &ada yang bisa saya Bantu""Arifpun tidak kalah sopan dengan pemuda yang
baru datang, walaupun pemuda itu jauh lebih muda dari Arif, namun tetap saja
dihormatinya. "Mas Han-nya ada""
"Ini Han!" Arif menunjuk kearah Han yang hanya tersenyum.
"Oh &iya perkenalkan Mas, saya Dedi." sambil mengulurkan tangannya pada
Han, kemudian pada Arif. Perkenalan singkat itu membuat mereka lebih akrab.
"Ada apa Ded, kok mencari Han""
"Oh &gini Mas, saya sangat berterima kasih pada Mas Han."
"Kenapa"" "Karena Mas Han telah bisa menumbuhkan semangat hidup pada kaka saya," kata
Dedi dengan mantap. Han dan Arif saling pandang, tidak mengerti perkataan pemuda lima belas tahun
itu. "Maksudnya"" Han melontarkan sebuah pertanyaan pada Dedi.
"Karena Mas-lah, kakak saya bisa kembali tersenyum," ucap Dedi lagi dengan
mantap. "Kakakmu siapa"" tanya Arif.
"Nina." "Nina"" celetuk Han dan Arif bersamaan.
"Iya." "Oh &kamu adiknya Nina"" tanya Arif sekali lagi meyakinkan pendengarannya.
"Iya & Mas Arif."
"Lho, memang selama ini kakakmu tidak pernah tersenyum"" Han menanyakan itu
sambil tersenyum ramah. "Seperti itulah, sering melamun," ucap Dedi seakan mengenang apa yang terjadi
pada Nina kakaknya. "Kenapa"" tanya han lagi penasaran.
"Biasa Mas Han, semacam trauma."
"Oleh apa""
"Oleh cinta." Dedi tersenyum sambil mengucapkan kata itu.
"Jadi kakakmu baru putus cinta"" tanya Han lagi.
"Iya, tapi saya harap Mas Han tidak menyinggungnya dalam waktu dekat ini."
Lagi-lagi Han dan harif hanya bisa saling pandang, tersenyum lalu mengangguk-anggukkan kepala mereka.
"Kak Nina bilang kepada saya, kalau dirumah ini dia menemukan suasana baru,
penuh kedamaian. Penuh kasih sayang yang dia harapkan selama ini. Katanya di rumah
inilah dia menemukan semua yang dia inginkan!" Dedi memberikan sebuah penjelasan
yang cukup panjang dan jelas.
"Ha &ha &biasa saja, kebetulan diantara kami berempat tidak ada yang punya
saudara perempuan, jadi saat ada cewek yang datang, perhatian langsung tertuju padanya,
ha &ha &," Arif tertawa sambil menepuk bahu Dedi.
"Mas &sekarang dia dimana""
"Lagi jalan-jalan ke mall sama Pay dan Jack, paling sebentar lagi juga pulang,"
sahur Arif. "Kalau begitu saya pamit dulu ya."
"Kenapa, tidak menunggunya datang"" tanya Han.
"Tidak Mas," sahut Dedi singkat.
"Wah &padahal kita mau makan malam bersama," lanjut Han sambil mengamati
pemuda dihadapannya. "Terima kasih," Dedi menunduk hormat.
"Iya deh &hati-hati ya," kata Han lagi.
"Mas Han &jangan bilang padanya kalau saya datang kesini ya!" Dedi tersenyum
simpul.

Love From My Heart Karya Endik Koeswoyo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iya &hati-hati."Kemudian Han dan Arif mengantarnya hingga depan pagar.
Melambaikan tangan dengan senyum lebar yang sangat bersahabat. Dedi menghilang
disebuah tikungan gang itu. Mereka berdua kembali duduk diteras.
"Ternyata perkiraanmu benar Han," kata Arif sesaat kemudian.
"Tentang apa"" Han mengerutkan dahinya.
"Sesuatu yang aneh pada gadis itu."
"Aku lebih tenang sekarang, setidaknya tidak ada lagi yang mengganjal dihatiku,"
kata Han singkat. Meraka berdua tersenyum lagi, kembali menikmati suasana sore itu dengan senyum
yang lebih lepas, dengan kelakar-kelakar manis yang selalu dikuti tawa lebar.
TIGA BELAS Malam itu Han masih sibuk dengan komputernya. Nina masih terlalu asyik dengan
candanya diruang tengah bersama Jack dan Pay, Arif sudah terbawa kealam mimpi
dikamarnya. Seperempat menit kemudian, Han merebahkan tubuhnya. Mengamati
kamarnya yang semakin rapi, melihat seprei biru diatas kasur. Dia tau seprei itu bukan
miliknya, itu punya Nina. Mengamati vas bunga kecil diatas meja dekat cermin yang
tertata rapi berdampingan dengan beberapa kosmetik. Lalu pemuda itu hanya bisa
tersenyum, memeluk guling dan memejamkan matanya, walau tidak tidur, dia tetap diam
tidak bergerak. Sejurus kemudian, Han merasakan ada yang datang, dari Aromanya saja dia tau
kalau itu Nina, tapi dia tidak merubah posisi atau bergerak. Han memilih untuk tetap diam.
Nina merebahkan tubuhnya disamping Han, mungkin dia mengira pemuda itu telah
tertidur. Pelan tapi pasti Nina melingkarkan tangannya kepinggang Han yang
membelakanginya. Gadis cantik itu tidak memejamkan matanya tapi menerawang jauh
entah kemana. Dari matanya yang bening itu menitikkan air mata. Desah nafasnya seakan
sesak oleh isak yang tertahan, dan itu menimbulkan satu pertanyaan pada pemuda yang
dipeluknya. Han dapat merasakannya karena mereka sangat dekat. Karena mereka hanya
terhalang sehelai kain yang mereka kenakan.
Perlahan-lahan Han membalikkan tubuh, mengamati gadis itu dengan senyumnya.
Han tau gadis itu menangis, Kemudian tangannya mengusap air mata itu dengan penuh
kasih sayang. "Menangislah didadaku Nin & curahkan semuanya disini,"Han membimbing
kepala gadis itu untuk disandarkan didadanya. Tangisan Nina semakin menjadi
sesampainya didada bidang yang sebenarnya berdebar kencang. Air matanya tertumpah
bagaikan banjir bandang yang tertahan ribuan tahun lamanya. Han mendekapnya dengan
erat, membelai rabutnya dengan sejuta kasih sayang. Sungguh roman yang tidak dapat
ditebak. Perasaan yang tersembunyikan oleh senyum itu tetap menjadi sebuah kisah yang
terpendam. Cukup lama gadis itu menangis, sampai pada akhirnya dia tersenyum diantara
pipinya yang basah, diantara air mata yang menggenang didada pemuda yang hanya
terdiam dari tadi. Han mengusap sisa-s
isa air mata yang mengikis bedak tipis diwajah
Nina yang tetap ayu. Membiarkan sebagian tubuh gadis itu berada diatas tubuhnya, sambil
sesekali menyibak rambutnya yang tergerai bebas.
"Tidurlah Nin."
"Terima kasih ya, kamu telah menjadi sahabat terbaikku selama ini."
"Aku juga berterima kasih padamu, karena kamu juga aku jadi rajin kuliah."
Gadis itu meletakkan kepalanya kembali, kali ini dengan senyumnya bukan dengan
air mata. "Han &apa kamu pernah putus cinta"" tanya Nina tiba-tiba.
"Pernah bahkan tidak sekali," ucap Han dengan jujur.
"Apa kamu membenci mantan-mantanmu"" tanya Nina lagi.
"Tidak, bahkan kami masih sering makan bareng atau sekedar berlibur ketepi
pantai berdua kalau ada waktu."
"Kalau dia bersama pacar barunya, apa kamu tidak sakit hati""
"Pertama sih iya, tapi lama-kelamaan jadi terbiasa, kalau kita sudah yakin kenapa
tidak." "yakin dengan apa"" Nina menatap Han.
"Dengan perasaan kita sendiri, seberapapun sakit hati itu tidak akan bisa hilang bila
kita tidak berusaha untuk melupankannya walau itu sangatlah sulit."
"Apa kamu sekarang sudah mempunyai ganti""
"Sementara belum, tapi aku masih ingin sendiri. Menyelesaikan kuliah, kerja lalu
cari pacar lagi," Han tersenyum mengatakan itu, setidaknya dia sudah mengungkap sedikit
persaanku dan telah membuka suatu tabir atau bisa dikatakan sebuah penolakan secara
halus. Gadis itu tersenyum, memandang kearah Han dan meletakkan kepalanya lagi.
"Nin &apa kamu pernah putus cinta""
"Pernah, bahkan tidak sekali."
"Ha &ha &." Han tertawa karena gadis itu menggunakan jawaban yang sama
dengan apa yang dikatakannya beberapa menit yang lalu.
"Berapa kali""
"Ah &aku malu mengatakannya," Nina merebahkan kepalanya lagi.
"Kenapa harus malu""
"Nggak tau."Gadis itu semakin manja, pipinya memerah dan beberapa kali dia
melihat kearah Han yang masih saja tersenyum.
"Aku mengira semua lelaki sama Han."
"Maksudnya"" Han membelai rambut gadis itu.
"Ya &berkenalan dengan cewek, jadian lalu berakhir diranjang. Setelah itu putus
cari lagi dan begitu seterusnya."
"Ternyata"" Han mengajukan sebuah pertanyaan singkat.
"Ternyata tidak semuanya,"katanya pasti.
"He &he &."Tawa kecil itu membuat suasana malam itu menjadi semakin hangat.
"Maaf ya Nin, aku datang kekota ini dengan sejuta harapan, berharap menemukan cinta
dan dapat hidup dengan mapan. Tapi kenyataannya adalah sebaliknya. Dulu aku mengira
dapat mendapatkan cinta dengan cepat, instant-lah &tapi ternyata cinta itu sangat rumit
untuk dimegerti, sangat susah untuk dipahami," lanjut Han.
"Apa kamu sudah mendapatkannya saat ini"" tanya Nina lagi.
"Aku tidak tau, kalau dulu aku berharap kekasihku adalah wanita cantik sekarang
tidak lagi. Kalau dulu aku berharap hidup serba kecukupan, sekarang tidak lagi. Aku
hanya berharap dapat mewujudkan impianku, bersanding dengan orang yang aku cintai.
Hanya itu &." Nina terdiam sejenak, menarik nafasnya dalam-dalam setelah mendengar curahan
hati dari lelaki yang sekarang mendekapnya dengan penuh kehangatan dan lelaki itu
tetaplah Han. Pemuda yang berharap menemukan pemilik sepatu kaca dalam mimpinya.
"Han &apakah kamu mau berjanji padaku""
Han tidak menjawab, berpikir keras untuk memberikan kata "Ya", takut gadis itu
akan memintanya menjadi pacar atau kekasih, dia takut itu. Atau mungkin pemuda itu
yang terlalu "gr" sehingga mempunyai pikiran yang macam-macam.
"Han &apakah kamu mau berjanji padaku"" Gadis itu mengulang pertanyaan yang
sama setelah sekian menit tidak ada jawaban.
"Ya," dengan suara sangat pelan, seakan sangat berat namun akhirnya kalimat itu
yang terucap. "Kamu jangan marah ya"" kata Nina semakin melemah.
"Ya," ucap Han lirih.
"Tapi sebelumnya aku minta maaf padamu, karena selama ini aku hanya mencari
tempat bertambat untuk membuang semua rasa kecewaku. Aku tidak tau kenapa aku
memilihmu sebagai dermaga untuk kusinggahi."
Han membelai rambut Nina, menarik nafas pelan dan menghembuskannya dengan
pelan namun penuh arti adalah pilihan paling tepat. Semua sesak itu telah hilang
bersamanya. "Han &apa kamu merasa kalau aku mempermainkanmu""
"Tidak," sahut Han yakin.
"Sebelum aku mengenalmu lebih dekat,
aku sangat membenci laki-laki, terlalu
sering aku sakit hati olehnya. Lalu kamu dan ketiga sahabatmu mampu merubah itu
semua, aku menyayangi kalian semua," matanya berkaca-kaca.
"Aku harus berjanji apa padamu Nin"" lanjut Han sambil menatap Nina tajam.
"Jangan mencari pacar dulu ya!" pinta Nina penuh harap.
"Kenapa"" Han tersenyum kecil.
` "Karena aku masih membutuhkan kasih sayang dari kalian, kalianlah yang mampu
membuatku tersenyum. Hanya kamu dan teman-temanmu Han &"
"Iya," sambil tersenyum lebar, seakan Han terbebas dari semua rasa bersalah.
Terbebas dari penjara praduga yang pengap. Han bebas karena tidak harus mengucapkan
cinta pada gadis itu. "Nin &aku berjanji, aku akan melakukan apapun yang kamu pinta."
"Semuanya""
"Ha &ha &memangnya aku mailakat yang bisa memberimu apa saja""
Sedetik kemuadian mereka tertawa. Hilang sudah isak tangis dan kepenatan yang
tersimpan lama, berganti dengan tawa yang tentunya membuat mereka bahagia.
"Sekarang yang aku pikirkan adalah hubungan kita Han."
"Kenapa"" "Kedekatan kita sudah melebihi dari sekedar teman, tapi kita tidak pacaran kan""
"Itu juga yang selama ini mengganjal dipikiranku, lalu menurutmu bagaimana""
"Aku juga bingung, jujur saja ya, aku senang berada dipelukanmu, aku senang
dekat denganmu bahkan bahagia, tapi rasa cinta itu tidak ada sama sekali, hanya rasa
sayang yang begitu besar," kata itu mengalir dengan pelan dan penuh kejujuran.
"Akupun juga merasakan hal yang sama, bahagia bisa bersamamu, aneh ya kita
ini"" Dengan senyumnya yang tulus, gadis itu bangun. Mendekatkan wajahnya kepadan
Han. Sepertiga detik kemudian bibir lembut itu sudah berada dikeningnya. Sungguh
romantis, gerai rambutnya hampir menutupi seluruh wajah pemuda itu, lembut. Desah
nafas itu jelas tertahan.
Malam dengan sendirinya berganti pagi, mereka berdua masih saja menjadi satu.
Saling mendekap dalam mimpi yang indah, dalam lamunan yang tentunya tanpa batas.
Lamunan yang berbeda, atau barangkali jauh berbeda, walau dari tempat yang sama
asalnya, dari kamar itu, dari ranjang itu dan tentunya dari dekapan itu.
EMPAT BELAS Matahari sudah bersinar dengan gagahnya, membelai apa saja dari satu sisi dan
membiarkan sisi lainnya tetap teduh. Ibu-ibu telah pulang dari pasar atau sekedar
mengantar putra kecilnya sekolah. Keindahan pagi itu juga dirasakan oleh Nina, dari
jendela kaca kamar itu dia membiarkan sebagian tubuhnya terkena sinar pagi. Mebiarkan
titik air dari rambutnya jatuh kelantai saat sisir membelai rambut basah itu berlahan.
Sementara Han hanya terdiam memandangnya, sepagi ini dia telah disuguhi pemandangan
yang tidak seharusnya dilihatnya. Tubuh indah yang basah itu membuatnya terbangun
sepagi ini. Sebenarnya Han tidak ingin melihatnya, namun entah kenapa dia juga tidak
memalingkan wajah atau sekedar menutupi sedikit mata dengan bantal atau selimut.
"Nin &kamu sudah bangun"" mengusap-usap matanya dengan gerak perlahan.
"Eh &mimpi apa"" gadis itu menghampiri Han setelah merapikan handuknya.
Sesaat kemudian Nina mengambil selimut warna biru lalu melipatnya. Memberikan
sebuah kecupan hangat dikening sebelum dia mengambilkan handuk.
"Mandi dulu ya &habis itu kita berangkat kekampus!"
"Kamu ada kuliah"" tanya Han sembari tersenyum.
"Iya, kamu juga ada kan""
"Iya," Han melangkahkan kaki lelah ini menuju kamar mandi.
Didepan pintu kamar telah berdiri Jack dengan senyumnya. Membawa sebuah
tanya dengan jawaban segera.
"Gimana Han""
"Sudah beres, diantara kami tidak ada lagi sakit hati."
"Sukurlah Han, aku berangkat dulu ya!"
"Ya &hati-hati, sebentar lagi aku menyusul,"
"Kamu ada kuliah"" Jack menghentikan langkahnya.
"Ada, Pak Hendro," sahut Han tegas.
"Ha &ha &tumben, kamu mau masuk mata kuliah Pak Hendro""
"Nggak enak tiap hari cuma nitip absen," Han tersenyum kecil.
"Mudah-mudahan kamu betah dikelas!"
Jack melangkah pergi, semantara Han melanjutkan perjalanan kecilnya menuju
kamar mandi. Setelah mandi lalu kembali lagi kekamar.
"Sudah siap ya""
Han melihat kearah Nina yang telah selesai berdandan.
"Cepetan ya!" "Iya &cowokkan tidak perlu bedak," senyumnya yang manis itu pasti mendebarkan
hati siapa saj a yang melihatnya. Dengan senyum, mereka berdua berangkat kekampus. Membawa sisa dari mimpi
yang mungkin tertinggal, mendekapnya dengan erat untuk diulang lagi nanti malam.
"Ini adalah kuliah pagiku yang pertama," guman Han pelan sambil memasukkan
beberapa buku kedalam tasnya.
"Selama ini kamu tidak pernah masuk""
"Tidak, paling pagi jam sepuluh."
Obrolan itu terus saja berlanjut, terbawa bersama laju pelan sepeda motor.
Sesampainya di kampus Nina langsung menuju keruang atas, sementara Han memilih
untuk kekantin. Menikmati secangkir kopi dengan sedikit susu coklat. Menikmati pisang
goreng hangat sambil sesekali menghisap rokok. Beberapa temannya menyapa, di
balasnya dengan senyum termanis pagi itu. Beberapa menit kemudian dia melangkah
keluar, menuju ke dalam kelas yang beberapa bulan ini tidak pernah di kunjungi. Memilih
bangku dibelakang dekat seorang gadis agak gemuk. Mengeluarkan buku baru yang masih
kosong dan menunggu Pak Dosen datang.
Kisah Membunuh Naga 19 Gento Guyon 1 Tabib Setan Rahasia Gelang Pusaka 6
^