Pencarian

Merpati Tak Pernah Ingkar 1

Merpati Tak Pernah Ingkar Janji Karya Mira W Bagian 1


Merpati Tak Pernah Ingkar Janji
Mira W. djvu: otoy http://otoy-ebookgratis.blogspot.com/
Edit & Convert to Txt, Jar, Pdf: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
BAB I "Romo boleh mempercayakan Maria pada kami," kata Suster Cecilia tegas. "Di SMA putri ini tidak ada anak laki-laki. Tidak ada guru pria. Dari pegawai tara usaha sampai ke tukang kebun, semuanya wanita."
"Saya percaya ini sekolah yang baik," sahut Pak Handoyo puas. "Sepuluh tahun di bawah pimpinan Suster Cecilia, tidak pernah terdengar ada skandal atau kericuhan muncul di sini. Tapi tolong. Suster, jangan panggil saya Romo. Saya sudah bukan seorang pastor lagi."
"Maaf." Tidak ada nada mengejek dalam senyum Suster Cecilia. Senyumnya begitu tulus. Membuat Pak Handoyo merasa lebih tenang. "Dalam pakaian seperti ini pun Pak Handoyo tidak berubah. Apalagi jenggot itu masih di sana, saya seperti melihat kembali Pak Handoyo mengenakan jubah putih, mengajar kami para calon biarawati dua puluh tahun yang lalu."
Pak Handoyo menghela napas panjang. Sekilas Suster Cecilia melihat wajahnya mengerut sedih.
"Saya tidak ingin sejarah hitam hidup saya menimpa Maria juga," katanya lebih perlahan.
seakan-akan tidak rela kalau anak perempuannya yang berjalan seperti dayang di belakang mereka mendengar kata-katanya. "Selama ini Maria tidak pernah duduk di bangku sekolah. Sejak keeil dia saya didik sendiri. Saya panggil guru ke rumah untuk mengajarnya. Karena dia cukup cerdas dan rajin, dia dapat melewati ujian SMP-nya dengan nilai-nilai yang tidak mengecewakan. Suster lihat sendiri ijazahnya, bukan""
"Angka-angkanya memang cukup mengagumkan untuk seorang murid yang hanya belajar di rumah. Usaha Pak Handoyo tampaknya tidak sia-sia."
"Sebenarnya Banvumas lebih cocok untuk Maria. Tapi saya ingin dia menjadi biarawati setelah lulus SMA. Saya ingin dia bisa menggantikan ibunya, menyerahkan dirinya untuk Tuhan di biara ini."
"Keinginan yang luhur sekali." gumam Suster Cecilia sambil mengerutkan dahi. "Tapi apa Bapak tidak lupa menanyakan kehendak Maria sendiri""
"Begitu dia lahir, saya telah menyerahkannya kepada Tuhan," sahut Pak Handoyo tegas. "Barangkali dengan demikian saya dapat mohon ampun pada Kristus karena telah mencuri mempelai-Nya."
Suster Cecilia tertegun. Sejenak dia sampai lupa melangkah. Dan gadis yang berjalan dengan kepala tertunduk di belakangnya itu hampir saja menabraknya.
"Maaf." cetus gadis itu antara terkejut dan gugup. Matanya yang selalu bersorot ketakutan menggelepar-gelepar gelisah dan panik. Tangannya menggapai-gapai udara, seolah-olah mencari pegangan di sana.
Suster Cecilia memandangnya dengan iba. Gadis ini sama sekali tidak cantik. Semua yang ada di wajahnya serba tidak enak dilihat.
Hidungnya kepanjangan seperti hidung Pinokio. Matanya terlalu besar untuk mukanya yang sekurus itu. Bertambah tidak sedap lagi dilihat karena matanya selalu berkeliaran dengan gelisah. Menyorotkan ketakutan yang misterius.
Tulang pipinya menonjol seperti batu karang yang mencuat tajam di wajahnya yang tirus. Cuma bibirnya yang tipis yang mengulaskan segaris keindahan di parasnya. Tapi kalau dia tersenyum, bibirnya malah menggariskan seringai kesedihan. Seolah-olah dengan senyum itu pun dia masih mengajak dunia untuk menangis bersamanya.
Rambutnya yang panjang sampai ke pinggang dijalin menjadi dua. Gaun kelabunya yang polos dan berpotongan teramat sederhana hampir menyapu lantai karena panjangnya. Dan sepatu tenisnya yang berwarna putih bersih, modelnya sudah minta ampun kunonya.
Di Banyumas sana barangkali penampilannya masih bisa dimaafkan, pikir Suster Cecilia sambil menghela napas panjang. Tapi di Jakarta! Dia benar-benar seperti makhluk purbakala yang sudah harus diawetkan di museum!
"Tidak apa-apa," tukas Suster Cecilia lembut. Diulurkannya tangannya untuk meraih gadis itu.
Tetapi diperlakukan demikian, Maria malah bertambah salah tingkah. Apalagi ketika dilihatnya beberapa orang gadis yang sedang bersenam pagi di halaman sekolah menatapnya sambil melotot, seperti melihat hantu.
"Ayo, Maria," ajak Suster Cecilia lebih keras.
"Tidak apa-apa. Mereka teman-temanmu. Gadis-gadis di sini baik-baik semua."
Sejenak Maria tampak ragu. Ditatapnya Suster Cecilia dengan bingung. Tanpa berkata apa-apa lagi Suster Cecilia menarik tangan gadis itu. Dan mereka cepat-cepat menyusul Pak Handoyo yang sudah agak jauh berjalan di depan. Tetapi sambil melangkah pun Maria masih mencuri-curi menoleh ke belakang.
"Gile!" cetus salah seorang di antara gadis-gadis itu sambil berkacak-pinggang. Matanya tidak lepas-lepas mengawasi Maria. "Monster dari planet mana tuh"!"
"Calon Suster!" sambung temannya yang menatap Maria dengan mata melotot, seakan-akan hendak menelannya bulat-bulat.
"Congek kamu!" potong gadis lainnya dengan suara paling kasar yang pernah didengar Maria. Hampir pingsan dia mendengar bentakan gadis itu. "Dengar negak Suster Cecilia bilang apa tadi"! Dia bakal jadi teman kita kok!"
"Wah, rusak!" sergah gadis yang satunya lagi dengan seringai mengerikan. "Belum sebulan pasti sudah habis kita kerjain!"
Maria sering melihat seringai semacam itu pada gambar-gambar iblis milik ayahnya. Bedanya, iblis di dalam gambar berbulu hitam dan bertanduk. Kadang-kadang bersayap pula.
Dan tentu saja Mana tidak tahu apa artinya 'dikerjain'. Tapi melihat seringai gadis itu, maksud-nya pasti tidak kalah mengerikan dibandingkan
dengan senyumnya. Dan Maria menggeletar ketakutan. bulu romanya meremang semua.
"Saya tidak mau sekolah, Ayah!" rintih Maria setelah tidak tahan lagi berdiam diri. "Saya takut!"
"Takut apa"" Pak Handoyo meletakkan kitab Injil yang sedang dibacanya. Begitu hati-hati, seolah-olah buku itu terbuat dari kristal. "Kamu tidak usah takut selama Kristus ada di sampingmu! Cuma dosa yang dapat membuat kita takut! Karena cuma dosalah yang dapat menjauhkan diri kita dari Tuhan! Selama kamu tidak berdosa, kamu tidak usah takut!"
"Saya takut pada mereka, Ayah!"
"Mereka siapa""
"Teman-teman sekolah saya...."
"Ah, apa yang kamu takutkan" Mereka gadis baik-baik. Dididik di sekolah yang keras memegang disiplin. Ayah sudah menyelidiki apa yang mereka ajarkan pada murid-murid. Agama merupakan mata pelajaran utama di sana."
"Tapi saya takut...."
"Ayah tidak akan memasukkan kamu ke sana kalau tidak yakin sekolah itu baik. Maria."
"Saya tidak takut sekolah. Ayah! Tapi saya takut pada murid-muridnya! Mereka begitu kasar... begitu Mengerikan...."
"Itu hanya karena kamu belum biasa berada di antara mereka. Ini Jakarta, Maria. Kamu harus Pandai menjaga diri. Ingatlah, hanya tiga tahun Tuhan mencobamu. Kalau kamu lulus dari Pencobaan ini, tidak ada lagi pesona dunia yang
dapat menggodamu. Ramu akan masuk biara. Dan dipersiapkan untuk menjadi mempelai Tuhan...."
Percuma meminta pengertian Ayah, pikir Maria gundah. Kalau dia masih berada di sana. Ayah pasti akan melanjutkan khotbahnya. Lebih baik dia masuk ke kamar. Dan menemui sendiri Tuhan-nya.
Tuhan lebih dapat diajak bicara daripada Ayah. Tuhan selalu sabar mendengarkan. Dan Dia tidak pernah membantah. Tidak pernah menjejalkan khotbah-khotbah yang membosankan. Tidak pernah mencekokkan nasihat-nasihat yang selalu membuat Maria merasa dirinya penuh berlumuran dosa. Tidak pernah melarang ini, melarang itu, seolah-olah cuma di dalam rumah mereka saja yang suci.
Di luar. dunia penuh kejahatan. Karena itu mesti dijauhi. Seperti laki-laki. Itu makhluk yang tidak boleh ada di dalam kehidupan Maria. Tidak boleh ada nama seorang laki-laki pun yang tergores di otaknya. Kecuali, tentu saja, nama ayahnya. Dan nama Kristus.
Benarkah Tuhan sebengis itu" Pikiran yang sama selalu singgah di kepala Maria setiap kali matanya berpapasan dengan mata Kristus di atas meja sembahyangnya.
Mata yang lembut itu, yang selalu bersorot tenang dan mengasihi... benarkah Yesus sedingin ayahnya" Ah, tidak mungkin! Tatapan-Nya begitu hangat... begitu sabar... begitu penuh pengertian....
Dan patung Bunda Maria yang selalu mengawasinya dari atas meja sembahyangnya... wajah Perawan Tersuci yang demikian mulia dan penuh kasih sayang... O, mereka demikian penuh pengertian! Mengapa Ayah tidak dapat mewarisi sifat-sifat
Mereka" Jika Ayah ben
ar pengikut Tuhan, mengapa Ayah tidak dapat bersikap semanis Tuhan"
Ayah selalu taat pada perintah-perintah Allah. Rajin berdoa. Patuh mengikuti ajaran-ajaran Kitab Suci. Tapi Ayah tidak pernah bersikap ramah.
Ayah penuh dengan larangan dan ancaman. Tidak ada kedamaian dalam dirinya. Padahal bukankah Raja Damai yang setiap hari disembahnya"
"O, Tuhan! Begitu banyak hal yang belum kumengerti!" bisik Maria sambil berlutut di depan meja sembahyangnya. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam. Dipejamkannya matanya dengan khusuk. "Tapi kuserahkan saja semuanya ke dalam tangan-Mu.... Di sisi-Mu aku merasa aman. Dalam pelukan kasih sayang-Mu tak ada yang harus kutakuti...."
Ada perasaan hangat menjalar ke sudut hati Maria yang paling dingin. Tiba-tiba saja dia merasa memperoleh kekuatan baru. Tapi semangat yang baru timbul itu langsung buyar begitu dia teringat kembali kepada tatapan teman-temannya.
Mereka begitu kasar. Begitu mengerikan.... Maria masih dapat membayangkan tatapan mereka. Seringai mereka. Kata-kata mereka....
"Lihat! Orang aneh itu menuju kemari!" teriak Nurul, yang punya pos paling strategis. Bangku paling depan, di sudut dekat pintu.
Tina yang duduk di sebelahnya langsung mengulurkan kepalanya ke arah pintu.
"Anak baru!" desisnya sambil menyeringai lebar. "Dikorbankan buat kelas kita rupanya!"
"Buset, sudah sebesar itu masih diantar ayahnya!" sambung Rena yang sudah terbang ke pintu. "Pantas saja seperti perawan lepas pingitan!"
"Eh. lu tau nggak. Rul"" bisik Tina dengan mata melotot.
"Apaan sih""
"Dia nggak pakai BH lho!"
"Aduh. tu mata!" Nurul mengikik geli. "Mata apa sinar-X sih""
"Sst! Si Onta datang!" seru Rena sambil terbirit-birit kabur ke bangkunya kembali. Begitu pantatnya yang berlemak tebal seperti pelana menyentuh bangku, pintu kelas terbuka.
Suster Cecilia melangkah masuk diiringi Maria dan ayahnya. Kelas yang hingar-bingar seperti pasar bubar itu langsung sepi seperti kuburan pada pukul dua belas malam
"Selamat pagi. Suster!" serentak semua mulut berbunyi.
"Hm." Suster Cecilia hanya mendengus dingin. Matanya yang tajam menelusuri setiap sudut kelas, seakan-akan mencari tempat persembunyian biang ribut yang menghingarbingarkan kelas. Dari luar tadi dia sudah mendengar bagaimana ributnya kelas mi. Sekarang tiba-tiba saja semuanya menjadi hening. Setiap siswi duduk di bangkunya masing-masing dengan tertib. "Tidak ada guru"" Bu Tari belum datang, Suster."
"Sudah berdoa""
"Belum, Suster."
"Tunggu apa lagi" Kalian kan sudah besar, tidak perlu dikomando terus. Sudah berapa kali saya bilang, sebelum dan sesudah pelajaran, kalian mesti berdoa!"
Tidak ada yang menjawab. Hanya suara derit bangku dan sepatu-sepatu yang bergeseran dengan lantai yang terdengar ketika mereka serentak berdiri.
"Nurul, pimpin teman-temanmu berdoa."
"Baik, Suster," sahut Nurul sopan dan patuh, jinak seperti anak burung merpati.
Bukankah dia gadis yang berkacak-pinggang kemarin itu" Yang menatapnya lekat-lekat seperti belum pernah melihat orang" Maria tidak mengerti bagaimana dia bisa begitu sopan sekarang!
"Atas nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, Amin...," Nurul mulai memimpin teman-temannya berdoa. "Bapa kami yang ada di surga..."
Dan Endang menginjak kaki Nike.
"Sst! Lihat!" bisiknya sambil mengerling ke arah Maria. "Khusuk amat sembahyangnya!"
Nike mengangkat mukanya. Dan hampir lupa menundukkannya kembali. Belum pernah dia melihat ada seorang pun di antara teman-temannya yang berdoa sekhidmat itu. Kepalanya ditundukkan dalam-dalam. Matanya terpejam rapat. Tangannya disusun membentuk sembah...
"Wah, benar-benar orang suci yang dikirim ke kelas kita nih, Dang!" bisiknya kagum. "Kamu yakin dia bukan malaikat""
"Lihat saja nanti, dia bisa terbang nggak kalau kita jailin!"
*** "Bapak lihat sendiri," kata Suster Cecilia sambil melangkah ke luar dari dalam kelas, "mereka gadis-gadis yang baik. Murid-murid yang bermoral dan berdisiplin tinggi."
"Kelas yang tertib." Pak Handoyo mengangguk, anggukkan kepalanya. "Pada zaman yang rusak ini, di tengah-tengah kota maksiat seperti Jakarta, sungguh sulit mene
mukan gadis-gadis yang terdidik baik seperti mereka. Saya percayakan Maria kepada Anda. Suster Cecilia. Didiklah dia sebaik teman-temannya."
Ada bunyi gedebuk yang cukup keras dari arah kelas. Sekejap Pak Handoyo menoleh. Tapi ketika dilihatnya Suster Cecilia tidak berhenti melangkah, disusulnya segera direktris SMA itu.
*** Maria merayap bangun dengan wajah merah-padam. Pantatnya yang menghantam lantai terasa nyeri. Punggungnya yang membentur meja pun lumayan sakitnya. Tapi lebih sakit lagi hatinya.
Teman-temannya mengelilinginya sambil tertawa geli. Gadis yang menjegal kakinya itu malah sedang tertawa terbahak-bahak. Begitu senangnya, seolah-olah dunia ini dia yang punya.
"Kalau mau jadi warga kelas ini, mesti kenalan dulu sama lantainya!" ejek Rena sambil mencibir. "Kebetulan rokmu memang cocok buat ngepel!"
"Eh. kamu nggak pakai BH, ya"" tanya Tina penasaran Ditariknya rambut Maria yang dijalin dua sampai ke pinggang. "Bapakmu nggak pernah beliin kamu BH""
"Heran! Itu melulu yang diurusin dari tadi!" potong Nurul sambil mengikik geli. "Kamu AC-DC kali, ya""
"Soalnya aku belum pernah lihat anak SMA nggak pakai BH!"
"Nobra, tau nggak"!" sela Endang. "Mode tuh!"
Dengan susah payah Maria menghindari teman-temannya, merayap bangun menuju ke bangkunya. Digigitnya bibirnya, menahan tangis.
Ke neraka seperti inikah ayahnya mengirimnya" Mengapa Ayah sampai hati menjebloskannya ke sarang kawanan serigala ini"
Selangkah lagi sebelum Maria mencapai bangkunya, seorang gadis tegak menghadang di depannya. Dan Maria tertegun kaget. Dia masih mengenali seringai iblis yang terpampang di hadapan matanya. Iblis tanpa tanduk....
"Halo," sapa Luna tenang. "Siapa namamu""
"Maria," sahut Maria secepat lidahnya dapat digerakkan kembali.
Terus terang, Maria terpana juga mendengar sapaan gadis itu. Tadinya dia sudah bersiap-siap untuk menerima serangan baru. Berjaga-jaga kalau gadis ini juga berniat untuk membuatnya jatuh-bangun. Tapi sapaannya begitu tenang. Begitu datar. Tanpa emosi.
"Bukan begitu caranya memperkenalkan dirimu." Ada senyum di bibir Luna. Maria melihat sudut bibirnya kembali naik, membentuk seringai yang tidak mudah dilupakan. "Kelas ini punya aturan sendiri untuk menerima murid baru. Kamu harus berlutut sambil menyebut nama lengkapmu di depan setiap teman-temanmu. Baru kamu dibaptiskan Untuk menjadi salah seorang dari kami."
"Tidak mau!" protes Maria antara marah dan takut. "Saya hanya mau berlutut di hadapan Tuhan!"
Meledak tawa teman-temannya. Nurul malah terkekeh-kekeh sampai keluar air mata.
"Apa kubilang!" seru Nike lantang. "Orang suci yang dikirim ke kelas kita hari ini!"
"Kelas kita sudah kelewat bejat," sambung Endang sambil menyeringai. "Nabi ini dikirim untuk mengutuk kelas kita. menjadi seperti Sodom dan Gomorah!"
"Sebentar lagi kamu ikut sinting seperti dia, Dang!"
"Dan minggu depan kamu ikut-ikutan mencopot BH-mu!"
Sekali lagi teman-temannya tertawa riuh. Cuma Luna yang tidak ikut tertawa. Dia hanya tersenyum. Tapi Maria lebih ngeri melihat senyum itu daripada tawa teman-temannya yang lain.
"Lebih baik kamu lakukan sendiri sebelum kami yang melakukannya untukmu." katanya tenang tapi penuh ancaman. "Di mana-mana murid baru memang harus diplonco! Kecuali mungkin di sekolahmu!"
"saya tidak pernah sekolah."
"Lalu dari mana kamu dapat STTB-mu" Beli ijazah aspal, ya""
"Saya belajar sendiri di rumah. Ayah memanggil guru untuk saya. Lalu saya ikut ujian negara."
"O..." Membulat bibir teman-temannya. "Pantas kamu norak! Kuper! Kamu harus diajari bagaimana caranya bermasyarakat!"
Dan selama sepuluh menit berikutnya, Maria memperoleh pengalaman yang paling buruk dalam hidupnya. Rambutnya ditarik-tarik ke sana kemari. Tubuhnya didorong-dorong seperti mobil mogok. Dan tasnya dilempar-lemparkan dari tangan ke tangan.
Isinya bertebaran ke mana-mana. Kotak rotinya yang berisi nasi goreng buatannya sendiri malah masih tertinggal di atas meja guru ketika Bu Tari datang.
"Apa ini"" Bu Tari mengerutkan dahinya dengan heran.
"Nasi goreng bikinan anak baru, Bu!" sahut Nurul lantang. "Buat Ibu seba
gai salam perkenalan!"
"Hush! Jangan jail kamu!" belalak Bu Tari. "Yang mana anak baru" Coba berdiri."
Sambil menghapus air matanya, lambat-lambat Maria berdiri.
"Lho, mengapa kamu menangis"" tanya Bu Tari heran. "Teman-temanmu nakal""
"Ini hari pertama Maria masuk sekolah. Bu!" cetus Rena dengan berani. "Dia sedih karena harus berpisah dengan ayahnya!"
"Diam kamu, Rcna! Ibu tidak tanya kamu!" Lalu sambil menoleh kepada Maria, tanya Bu Tari lembut, "Siapa namamu""
"Namanya Bunda Maria, Bu!"
"Nike, kalau kamu tidak dapat diam, Ibu suruh keluar!"
Sambil saling pandang, Nike bertukar senyum dengan Endang.
Siapa namamu"" ulang Bu Tari lebih lembut. "Maria, Bu," sahut Maria tanpa berani mengangkat kepalanya.
"Baiklah, kamu boleh duduk, Maria. Jangan takut mengadu pada Ibu bila teman-temanmu nakal. Biar nanti Ibu laporkan pada Suster Cecilia. Mereka memang gadis-gadis berandal!"
Gadis berandal, pikir Maria resah. Ke tempat seperti inikah Ayah mengirimnya" Tapi... bukankah kata Ayah mereka gadis baik-baik yang berpendidikan, bermoral, dan berdisiplin tinggi"
BAB II Kalau saja teman-temannya tidak nakal, sebenarnya Maria suka bersekolah di sana. Guru-gurunya baik, pintar, dan pengetahuannya luas pula. Dengan cepat pengetahuan umum Maria bertambah, jauh lebih pesat daripada jika dia hanya belajar sendiri saja di rumah.
Guru-gurunya lebih banyak, sehingga ilmu pengetahuan yang mereka ajarkan pun lebih komplet: Praktikum-praktikum sederhana di laboratorium sekolah sangat menunjang ilmu-ilmu yang diajarkan, sehingga teori-teori yang dipaparkan di kelas menjadi lebih mudah dipahami.
Belum lagi grup-grup belajar yang diadakan di antara mereka, membuat begitu banyak hal yang semula gelap bagi Maria menjadi tidak membingungkan lagi.
Bukan itu saja. Ada sebuah mata pelajaran lagi yang mendorong semangat Maria untuk masuk sekolah. Olahraga. Inilah pelajaran yang tidak Pernah diperolehnya di rumah. Padahal pelajaran itu sangat menyenangkan. Bukan saja tubuhnya yang terasa segar, pikirannya pun menjadi lebih lapang.
Hari pertama ikut pelajaran olahraga, Maria memang menjadi bahan tertawaan dan olok-olok teman-temannya. Soalnya dia tidak punya celana olahraga.
Ayahnya tidak pernah mengizinkan Maria memperlihatkan pahanya. Katanya paha mulus yang terbuka mengundang dosa. Tapi gadis-gadis di sini semuanya mengenakan celana olahraga. Maria jadi bingung.
"Ala. sudahlah! Jangan pakai apa-apa!" seloroh Nurul sambil membuka roknya di depan Maria, seolah-olah Maria cuma sesosok patung batu yang tidak punya mata. "Nggak boleh pakai celana, kan" Ya sudah, nggak usah pakai!"
Hampir saja Maria memejamkan matanya ketika paha Nurul yang mulus terpampang berani di depan matanya. Lebih-lebih ketika tanpa ragu-ragu gadis itu pun membuka bajunya dan menggantinya dengan kaus olahraga.
Buru-buru Maria memalingkan mukanya. Rasanya wajahnya panas terbakar. Tetapi ke mana pun dia memalingkan mukanya, ada saja teman yang sedang membuka bajunya.
Kamar ganti pakaian mereka memang cuma satu. Di dekat WC. Sebuah ruangan yang cukup luas, tanpa jendela. Di dindingnya bergantungan lemari-lemari pakaian dan sebuah cermin yang cukup lebar. Siswi-siswi lebih suka menukar baju mereka di sana daripada di dalam WC, Lebih cepat. Tidak bau. Dan tidak ada kemungkinan baju mereka akan jatuh ke tempat yang basah.
"Idih! Dia malu lihat kita!" teriak Endang sambil tertawa geli.
Bagi mereka, berganti pakaian di dalam satu ruangan sudah bukan hal yang perlu memerahkan muka lagi. Toh sama-sama perempuan. Malu dengan siapa"
Mereka sibuk dengan pakaian masing-masing. Tidak ada yang memperhatikan orang lain. Lagi pula siapa yang tertarik" Sama-sama perempuan kok. Sejenis. Serupa. Walaupun tak sama.
Tapi hari ini muncul makhluk aneh di tengah-tengah mereka. Dia perempuan. Tapi tidak berani melihat rekan-rekannya berganti baju. Lucunya, dia yang jadi malu sendiri.
Mukanya merah-padam. Dan tampaknya dia berusaha keras supaya tidak usah melihat ke sekelilingnya. Tentu saja semua temannya jadi tergelitik untuk mengolok-olokkannya.
"Nggak usah malu-malu deh
!" Sengaja Tina membuka bajunya di depan Maria. Dibusungkannya dadanya ke muka gadis itu. Begitu dekatnya sampai Maria dapat melihat betapa bagusnya BH Tina. Dan betapa indahnya bukit yang terlindung di baliknya.
"Sakit kamu, Tin!" Nike memukul punggung Tina dari belakang. "Bisa pingsan dia!"
"Makanya mesti dibiasakan!" Tanpa ragu-ragu Tina meraih tangan Maria dan meletakkannya di atas pahanya. "Ini pahaku. Rabalah semaumu! Supaya kamu tidak norak lagi!"
Tetapi Maria malah menarik tangannya dengan segera. Dan tergopoh-gopoh lari ke pintu dengan muka merah-padam. Teman-temannya tertawa geli.
"Wah, benar-benar anak enam tahun dalam tubuh gadis enam belas tahun!" komentar Elita sambil Menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kasihan!"
"Ah, dia cuma kuper! Lama-lama juga biasa! Cuma perlu banyak latihan!"
Dan cuma Maria yang tahu apa yang kemudian terjadi. Ketika guru Olahraga mereka masuk ke ruang ganti, ditemukannya Maria sedang menangis tersedu-sedu di sudut ruangan.
Sia-sia Bu Harti berusaha mengorek pengaduan Maria. Dia begitu shock sampai tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun.
Hari itu pelajaran Olahraga memang dibatalkan. Teman-teman Maria dihukum jemur di halaman. Tetapi Maria sudah mendapat pengalaman baru. Semalam-malaman dia memikirkan BH milik Tina.
Alangkah indahnya. Tak pantaskah kalau dia juga memakainya" Buah dadanya memang belum tumbuh seranum milik teman-temannya. Tapi juga tidak serata papan. Sudah ada daging yang membukit di sana. Biarpun belum menonjol.
Tidak sadar Maria meraba-raba dadanya sendiri. Dan dia memperoleh sensasi aneh yang belum pernah dirasakannya selama ini. Mukanya terasa panas walaupun kamarnya gelap gulita dan dia berada seorang diri di kamar itu.
Lalu dia teringat paha Tina. Paha yang putih dan mulus. Yang terpampang menantang di depan matanya ketika gadis itu mengangkat kakinya dan menaikkannya ke atas bangku di sampingnya.
Ada keingintahuan yang mendesak kuat di hati Maria. Semulus itu jugakah pahanya" Selama ini paha itu selalu dekat dengan dirinya. Selalu bersama-sama dalam keadaan apa pun. selalu digosoknya bersih-bersih kalau mandi dengan sabun.
Tapi tidak pernah dia punya waktu utuk menikmatinya benar-benar. Merabanya dengan
penuh perasaan. Baru sekarang dia menyadari betapa putihnya pahanya! Paha yang tidak pernah disentuh sinar matahari! Mulusnya pun tidak kalah dengan milik Tina! Ah.
Tak sadar Maria tersenyum sendiri. Dan suara nyanyian ayahnya tiba-tiba menyentakkan keheningan kamar.
Bukan baru sekali ini Maria mendengar ayahnya menyanyi. Ayah memang selalu menyenandungkan kidung-kidung rohani setiap malam. Tetapi baru malam ini Maria merasa takut mendengar nyanyian ayahnya.
Tiba-tiba saja Maria merasa berdosa. Dia telah meraba-raba dada dan pahanya sendiri. Dengan tidak sadar dia telah memuja dan menikmati miliknya sendiri! Bagian tubuh yang harus dirahasiakan dan ditabukan! Tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain. Itu pesan Ayah!
O, kalau saja Ayah tahu, apa yang telah dilakukan teman-temannya siang tadi! Di kamar ganti pakaian yang penuh dengan iblis-iblis betina yang liar itu! Aduh, mereka memang keterlaluan!
Maria selalu ingin menangis setiap kali teringat kejadian itu. Dia malu. Amat malu. Pada dirinya sendiri. Pada teman-temannya. Dan... pada Tuhan!
Tak tertahankan lagi Maria melompat dari tempat tidurnya. Berlutut di depan meja sembahyangnya. Dan berdoa minta ampun pada Tuhan.
Maria masih berlutut dengan khusuknya ketika lambat-lambat pintu terbuka. Dan ayahnya melo-ngok ke dalam.
"Saya tetap tidak mengizinkan Maria mengenakan celana pendek, apa pun nama celana itu dan apa pun alasannya. Untuk berolahraga kita tidak perlu memamerkan paha. Dia bisa memakai rok seperti biasa!"
"Saya tidak ingin berdebat. Pak Handoyo," sahut Suster Cecilia sabar. "Celana olahraga dibutuhkan untuk berolahraga. Tujuannya bukan untuk memamerkan apa-apa. Tapi sekedar untuk memudahkan gerak."
"Tapi saya tetap keberatan. Suster Cecilia. Saya minta dispensasi untuk Maria."
"Itu berarti dispensasi untuk tidak mengikuti pelajaran Olahraga. Saya tidak dapat membayangkan Ma
ria melakukan senam lantai dengan mengenakan rok. Bagaimana dia harus melakukan koprol misalnya""
"Dia bisa mengenakan celana panjang. Saya tidak ingin seorang pun melihat pahanya. Maria calon biarawati."
Dan jadilah Maria berolahraga dengan celana panjang. Bukan cuma panjang, sekaligus longgar. Tentu saja mula-mula dia jadi bahan tertawaan teman-temannya.
"Jago silat kesasar!" ejek Rena.
"Bukan!" bantah Nurul lincah. "Tukang sate! Lihat saja. celananya hitam, dari katun lagi!"
Tapi lama-kelamaan mereka jadi terbiasa juga-Orang aneh itu memang sering menimbulkan bahan tertawaan. Setiap hari ada-ada saja yang ditertawakan.
Tapi lambat-laun mereka mulai menyukainya Dan merasa kehilangan kalau Maria tidak ada. Apalagi dia mahir sekali main volley. Meskipun
belum pernah main sebelumnya-jangankan main, melihat saja belum pernah - rupanya Maria punya bakat alamiah. Pukulan smesnya keras. Setiap bola tanggung di depan jaring pasti disikatnya tanpa ampun.
Kelihatannya Maria keranjingan betul main volley. Setiap ada pelajaran Olahraga, dia dengan bersemangat selalu mengikutinya. Padahal teman-temannya sekali setiap bulan pasti minta izin untuk tidak ikut. Entah untuk apa.
"Kalau mainmu tetap bagus begini, barangkali kamu bisa terpilih menjadi anggota tim bola volley sekolah kita, Mar," kata Elita waktu mereka beristirahat.
Maria menghentikan minumnya. Dan menatap Elita dengan heran. "Tim apa""
"Regu bola volley sekolah kita akan bertanding dengan sekolah lain tanggal dua bulan depan. Kamu mau ikut""
"Tentu," sahut Maria bersemangat. Sekilas Elita melihat mata yang selalu gelisah itu bercahaya. "Tapi... apa saya bisa terpilih""
"Bu Har pasti sudah melihat bakatmu. Sebagai penyerang, kamu lebih dapat diandalkan daripada Luna yang cuma bisa teriak-teriak."
"Ah, Luna kan jauh lebih berpengalaman...."
"Pengalaman mudah dicari. Mar. Bakat sudah mesti ada!"
Eh, di sini ngumpetnya kunyuk gua!" Dengan gemas Nurul memukul bahu Elita! "Dicari ke mana-mana sampai pegal! Gua kira lu udah ikut hilang bersama Palapa B2!"
"Sialan lu!" Elita terbatuk-batuk ketika sirop yang sedang diteguknya langsung melompat ke dalam
tenggorokan karena kagetnya. "Nggak boleh lihat orang lain senang!"
"Ngapain kalian di sini"!" Tina sudah menjatuhkan dirinya di bangku tukang es serut sebelum diundang. "Ada rejeki diam-diam saja! Sadis kamu, El! Es serutnya satu. Bang! Jangan pakai susu! Lagi diet!"
"Eh, siapa yang ngundang kalian kemari"" protes Elita segera. "Nggak ada jatah, ya! Bayar sendiri-sendiri!"
"Lho. ini hari pertama kamu bawa Maria ke sini, kan""
"Ada urusan apa" Nggak mesti bayar parkir sama kamu, kan""
"Nggak sih! Tapi ini aturan sekolah kita, Mar!" kata Tina sambil tersenyum ke arah Maria. Membuat dada Maria berdegup takut. Permainan apa lagi ini" Mereka mau apa lagi" "Yang pertama kali minum di sini mesti traktir kita!"
"Aturan apaan tuh!" sembur Elita. "Kamu yang bikin" Nggak usah, ya! Pokoknya hari ini aku yang traktir Maria! Tapi cuma dia! Kamu bayar sendiri!"
"Aku, El"" potong Nurul tak mau kalah. "Aku kebagian dong, ya" Ingat, nanti siang kita punya janji!"
"Janji apaan"" "Berenang. Masa lupa""
"Apa kena-mengenanya berenang sama es serut"" "Lho, kamu yang ngajak aku berenang, kan"" "Lalu""
"Ya, minumnya juga dong! Hitung-hitung persekot buat nanti siang. Aku kawal kamu deh! Taruhan, si Dedi nggak bakal berani ngikutin kamu!"
"Sialan. Gua diperas," gerutu Elita jengkel.
"Siropnya jangan terlalu banyak, Bang," kata Nurul gesit. "Gigi lagi ngadat nih!"
"Aku pergi dengan Maria siang nanti, Rul," kata Elita tiba-tiba. "Nggak perlu kamu."
Yang terkejut bukan cuma Nurul. Maria Juga. Tina sampai tidak jadi menyedot es serutnya.
"Maria"" cetusnya kaget. Tawanya meledak hebat sampai tubuhnya terguncang-guncang seperti ada gempa. "Berenang" Pakai rok""
"Aku tidak bisa berenang, El," sahut Maria antara malu dan menyesal. Dia menyesal karena tidak dapat menemani Elita. Padahal selama ini, dialah yang paling baik di antara teman-temannya yang lain.
"Nggak apa-apa. Nanti kuajari."
"Tapi..." "Dia disuruh berenang pakai apa
, El"" potong Nurul geli.
"Diam kamu!" "Aku ikut, ah!" "Ke mana""
"Ke mana lagi" Tentu saja ke kolam renang! Ingin lihat orang berenang pakai celana panjang!"
"Waduh, ngumpul di sini rupanya!" cetus Endang yang baru datang bersama Luna dan Nike. "Pantas saja kelas sepi!"
"Sudah dicari tuh!" kata Nike kepada teman-temannya. Padahal dia sendiri duduk memesan bakso. "Nanti Bu Har marah-marah lagi!"
"Minum dulu, ah! Haus!" sahut Nurul sambil Melahap es serutnya. "Mobil juga perlu minum kalau habis jalan jauh. Apalagi orang!"
"Wah, rupanya ada yang traktir nih." Luna tersenyum memandang Maria yang sedang menyendok es serutnya dengan hati-hati.
"Aku yang bayar kok!" potong Elita cepat. "Tapi cuma Maria!"
"Pelit, ah." gerutu Endang yang sudah ikut-ikutan memesan bakso. "Yang baru saja yang diservis!"
"Biar aku yang bayar bakso buat Maria." kata Luna tenang-tenang.
"Oh. jangan!" Maria tersentak kaget. Hampir saja es tersedak masuk ke dalam jalan napasnya. "Terima kasih."
"Wah. rejeki jangan ditolak. Mar!" Nurul menepuk bahunya. Begitu kuat sampai hampir terlepas mangkuk dari tangannya. "Pemali tuh!"
"Bang. baksonya buat semua teman-teman saya," kata Luna dengan gagahnya.
Nurul dan Endang sampai bertepuk tangan karena girangnya.
"Bagus. Na! Nggak percuma babemu koruptor!"
"Anak-anak satu tiga yang merasa punya kaki lekas menggelinding ke kelas! Ditunggu Jendril!" teriak Rena dari jauh.
"Sini dulu. Ren! Ada rejeki nih!" Nurul balas berteriak. "Daripada kamu bolak-balik terus di situ Kayak mesin foto kopi!"
"Kamu ulang tahun. Rul"" Membulat mata Rena. Mulutnya juga.
"Iya, yang ketiga kali tahun ini!"
"siapa yang kaulan nih" Mimpi kejatuhan Palapa, ya.
"Ah, nggak usah tanya-tanya deh! Pokoknya
jatahmu bakso lima biji! Lebih bayar sendiri!"
"lumayan! Bonbinku memang sudah pada nagih!"
"Kebon binatang." bisik Elita pada Maria yang Sudah Pusing. Kebingungan mendengar celoteh
teman-temannya. Istilah mereka memang ada-ada saja. Tidak pernah ada di kamus Maria. "Kami menjuluki perut si Rena kebon binatang. Soalnya cacingnya banyak. Dan selalu minta makan!"
Pantas saja perutnya gendut, pikir Maria geli, mulai menyukai kelakar teman-temannya. Kalau tidak konyol, mereka kadang-kadang memang lucu. Saling ejek. Saling olok. Saling menertawakan...
Karena merasa geli, tak sadar Maria tersenyum. Meskipun senyumnya selalu dibayangi seringai kesedihan, itulah senyumnya yang pertama bagi teman-temannya. Tidak heran mereka gembira bukan main.
"Nah, gitu dong, Mar! Banyak senyum biar awet muda!"
"Senyumnya boleh juga, Mar! Coba dong sekali lagi! Lumayan buat ngusir lalat!"
"Ayo, kita makan untuk merayakan senyum Maria yang pertama!" seru Nurul sambil mengangkat mangkuk baksonya tinggi-tinggi.
"Yang itu kasih Maria dulu!" Dengan tenang Luna merebut mangkuk dari tangan Nurul. "Ini kan pesta untuk dia! Kamu belakangan!" "Wah, curang! Yang itu baksonya lebih banyak! Kuahnya penuh lagi!"
Tanpa menghiraukan protes Nurul, dengan tenang Luna menyodorkan mangkuk bakso itu ke tangan Maria.
"Terima kasih," sahut Maria, terharu oleh kebaikan teman-temannya.
"Lho, jangan nangis dong. Mar!" cetus Tina ketika dilihatnya mata Maria berkaca-kaca. "Di sini sih traktir-traktiran makanan soal biasa! Lain kali juga
giliranmu datang! Tunggu saja! Pasti nggak lama


Merpati Tak Pernah Ingkar Janji Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi!" "Semuanya sudah dapat"" tanya Luna tanpa
mengacuhkan kegaduhan teman-temannya. "Ayo,
kita mulai makan! Buat teman baru kita... Maria!"
Diiringi tepuk tangan riuh teman-temannya, Maria mulai menyendok baksonya yang pertama. Tapi bakso itu ternyata tidak sendirian. Ada bakso yang lebih besar lagi di bawahnya. Terendam kuah.
Ketika Maria menyendok lebih dalam lagi untuk mengangkat bakso besar itu ke permukaan, mukanya langsung memucat. Dia memekik ngeri. Dan terkulai lemas sebelum teman-temannya yang lain menyadari apa yang terjadi.
"Mar! Mar! Ada apa"" Buru-buru Elita merangkul temannya. Tapi gadis itu sudah keburu pingsan.
Nurul-lah yang mengangkat tikus-tikusan karet itu dari tanah. Mangkuk dan bakso-baksonya bergelimpangan di dekatnya.
*** "Keterlaluan kamu, Na!" geram Elita ketika mereka sedang menjalani hukuman jemur di halaman sekolah. "Bercandamu kelewat sadis!"
"Sekali lagi aku disuruh menghadap Batara Surya begini, kulitku bisa hitam seperti kuli pelabuhan, gerutu Tina jengkel. "Udeh deh jangan bercanda lagi sama dia!"
Tetapi Luna cuma tersenyum tenang. Dan senyumnya baru hilang ketika Suster Cecilia muncul di depan mereka.
"Sekali lagi saya dengar kalian mengganggu Maria, kalian akan saya skors!" ancamnya dingin.
"Dia memang tidak sama dengan kalian. Tapi jangan sampai perbedaan itu justru dipakai untuk mengasingkannya. Untuk mengolok-olok dia. Kalian justru harus membantu supaya dia dapat cepat menyesuaikan diri. Apa kalian tidak kasihan padanya" Di rumah Maria punya seorang ayah yang keras. Dia sudah tidak punya ibu. Tidak punya saudara. Tidak punya teman. Di sini kalian masih sampai hati mengganggunya" Kalian benar-benar gadis yang tidak punya perasaan!"
Hampir semua kepala tertunduk dalam di hadapan Suster Cecilia. Tapi hanya Elita yang maju ke muka dengan wajah penuh penyesalan.
"Kami semua menyesal, Suster," katanya sungguh-sungguh. "Apakah kami boleh menemui Maria" Kami ingin minta maaf."
"Maria sudah sadar, tapi belum dapat mengatasi emosinya. Dia sudah saya suruh pulang. Karena tidak mungkin lagi hari ini dia dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Kalian tahu apa yang menunggunya di rumah""
"Kamu pasti tidak sekolah!" Dengan berang Pak Handoyo mondar-mandir di depan putrinya yang tertunduk ketakutan di hadapannya. "Tidak mung-kin sepagi ini sudah pulang! Ayah tahu sekali pukul berapa sekolah usai! Tidak mungkin sekolah sebaik Itu membubarkan murid-muridnya sebelum waktunya! Biar tidak ada guru, murid tetap tidak diizinkan pulang! Kamu kira ayahmu mudah dibohongi" Lihat Maria!"
Dengan ketakutan Maria mengangkat wajahnya. Dan menatap ayahnya dengan air mata berlinang. "Kamu bolos, ya"!"
Maria menggeleng ketakutan. Bibirnya menggeletar menahan tangis.
"Lalu mengapa sudah pulang" Kabur"!"
Sekali lagi Maria menggeleng putus asa.
"Jangan membuat malu ayahmu di depan Suster Cecilia!" bentak Pak Handoyo geram. "Ayah sudah mengenal suster itu lama sebelum kamu lahir! Besok Ayah akan menghadap Suster Cecilia. Awas, kalau Ayah dapat laporan jelek! Sekarang pergi ke kamarmu! Mengaku dosa dan menjalani hukuman. Jangan harap kamu boleh makan kalau belum menyelesaikan dua ratus kali Bapa Kami dan dua ratus kali Salam Maria!"
BAB III Begitu regu bola volley sekolah Maria memasuki lapangan, penonton yang terdiri dari pelajar-pelajar SMA itu langsung bersorak-sorai dengan riuhnya. Celana olahraga mereka yang hitam pekat dengan T-shirt kuning menyala memang amat kontras dengan seragam lawan yang berwarna hijau putih.
"Penampilan sih keren," ejek seorang siswi dari sekolah lawan. "Tapi lihat saja nanti di lapangan! Pasti keok!"
"Belum tentu," sanggah Rena bersemangat. Hari itu dia hadir di tengah-tengah penonton sebagai suporter regunya. Jauh-jauh hari dia sudah menyiapkan terompet-terompet kertas untuk kawan-kawannya. Soalnya peluit tidak boleh dibawa masuk ke lapangan. Kuatir para pemain terkecoh. Mengira Yang berbunyi peluit wasit. "Tahun lalu kami jadi runner-up Tahun ini pasti juara!"
"Eh, jangan takabur! Di atas langit masih ada langit!" potong seorang penonton dari sekolah lain, yang sekolahnya sejak siang-siang sudah masuk kotak.
"Ah, nggak usah berkotek kamu!" sahut Rena dengan nada menghina. "Sekolahmu sih nggak
masuk hitungan! Melawan nenek-nenek barangkali kalian baru bisa menang!"
"Wah. sombongnya!" sambar seorang pemuda, entah dari sekolah mana. Penonton hari ini memang berjubel. Siswi-siswi dari kedua sekolah yang akan bertanding berbaur dengan murid-murid dari sekolah lain yang datang hanya sekedar untuk menonton. Pertandingan tahun ini memang ulangan final tahun lalu. Dan kalau kedua musuh bebuyutan ini bertemu, pertandingan biasanya berjalan seru. "Regu yang sok begini tidak pantas jadi juara!"
"Kenapa tidak"!" sanggah Johan yang sejak tadi duduk di samping Rena. "Itu namanya semangat untuk menang. Bertanding kan memang untuk m
engalahkan lawan, bukan cuma untuk berhura-hura dengan alasan mempererat tali persahabatan"!"
"Aku sokong pendapatmu, Han!" sorak Dedi, yang sudah lama naksir Elita.
Tidak heran meskipun putri-putri sekolahnya sendiri sudah kalah, Dedi tetap memerlukan datang untuk menonton Elita memimpin teman-temannya bertanding. Di lapangan, Dedi tahu gadis itu memang keras dan dingin. Tapi di luar, hatinya lembut dan baik. Sayang, kelihatannya dia tidak membalas perhatian Dedi.
"Eh, ada yang pakai celana panjang!" cetus seorang pemuda dari sekolah lawan. "Itu pelatihnya kok ikut main sih"!"
"Itu anggota baru regu kami!" potong Rena bersemangat. "Namanya Maria! Lihat saja smesnya nanti! Kalau kena kepala teman-teman putrimu, pasti gegar otak!"
"Taruhan, kakinya pasti palsu!" sembur pemuda yang lain, yang senyumnya selancang tatapannya.
"Banyak korengnya kali!" sambung seorang gadis dari sekolah lawan.
Dan mulailah mereka berteriak-teriak menteror Maria.
"Jangan hiraukan mereka," bisik Elita yang berjalan di samping Maria. "Acuh aja! Jangan dengar apa yang mereka teriakkan. Konsentrasimu bisa buyar!"
Tetapi bagaimanapun Maria berusaha untuk menerapkan nasihat Elita, dia tidak mungkin menulikan telinganya terhadap teriakan-teriakan mereka. Konsentrasinya langsung buyar. Dan permainannya jadi kacau.
Berkali-kali Maria gagal. Teman-temannya sendiri lama-lama ikut menjadi kesal. Dan mereka tidak dapat menahan mulutnya lagi untuk mengejek Maria.
Diteror kawan dan lawan, Maria bertambah grogi. Permainannya ambruk sama sekali. Celakanya, permainan Maria yang buruk itu ikut mempengaruhi permainan teman-temannya. Terpaksa Bu Harti minta time out.
"Yang kayak gitu yang katanya bisa bikin gegar otak!" sindir Rusman kepada Rena. "Main aja kagak becus! Nggak salah bawa tuh"!"
Merah-padam wajah Rena. Dia mengepal-ngepal-kan tangannya dengan gemas.
"Ayo, Maria!" teriaknya setelah kesabarannya habis. "Kamu mau main apa cuma mau nampang di situ""
"Lha kakinya aja kayu disuruh main volley!" ejek guntur menyakitkan sekali. "Mestinya kan dia bertanding sama anak-anak YPAC!"
"Maria, ini kesempatanmu satu-satunya untuk merebut simpati teman-temanmu," kata Bu Harti setelah dia kewalahan meredakan tangis Maria "Sekarang jangan menangis. Jangan dengarkan mereka. Pokoknya kamu main. Minta pertolongan Tuhan...."
Dan Bu Harti tertegun. Tiba-tiba saja Maria menghentikan tangisnya. Dan mengangkat wajahnya. Matanya yang berlinang air mata menatap Bu Harti sampai yang ditatap jadi gelagapan.
"Apa Tuhan juga mengurusi hal-hal yang kecil begini"" desah Maria hampir berbisik.
"Kecil katamu" Sekolahmu sudah di ambang juara! Kauanggap kecil kegagalan jerih-payah teman-temanmu cuma karena kepandiranmu""
Tuhan mau mendengarkan saya"" bisik Maria tidak percaya. Matanya yang merah berair berkedip-kedip menatap Bu Harti. "Mereka juga berdoa minta menang, kan""
Astaga. Bu Harti menghela napas panjang. Semua salahku. Lain kali aku harus lebih memperhatikan pembinaan mentalnya. Jangan cuma fisiknya saja yang digembleng! Anak ini betul-betul lain daripada yang lain. Benar-benar pengalaman unik bagiku sebagai guru Olahraga!
"Berdoalah pada Tuhan. Maria," kata Bu Harti sungguh-sungguh. "Siapa pun yang menang, itu terserah Tuhan. Tapi kita harus berusaha! Dengan tuhan di sisimu, lupakanlah siapa yang menjadi lawanmu! Jangan dengarkan penonton. Pokoknya serang!"
Dan Maria yang kemudian masuk kembali ke lapangan bukan Maria yang tadi dicemooh habis-
habisan. Dia main begitu bersemangatnya sampai tak pelak lagi, dialah bintang lapangan hari itu.
Rena dan teman-temannya yang tadi sudah ikut-ikutan berteriak-teriak mengejek, kini berbalik mengelu-elukannya. Mereka bersorak-sorak seperti orang kesetanan.
"Wah, dia benar-benar hebat!" cetus Guntur kagum. "Aku jadi tambah ngebet kepingin lihat kakinya!"
"Kakinya sama seperti kakiku!" Rena membelalak judes. "Bukan kaki palsu!"
"Ah, masa." Rusman tersenyum geli. "Kakimu sih seperti gedebok pisang!"
"Sialan!" geram Rena sengit. "Sekali-sekali mesti cobain kaki gua mampir di mulut lu!"
Pemuda-pemuda itu tertawa terb
ahak-bahak. "Gadis-gadis dari SMA putri memang rata-rata lebih galak!" komentar Dedi. "Maklum, nggak pernah lihat cowok sih!"
"Dan lebih agresif!" sambung Johan sambil melirik Rena. "Lihat, lenganku habis dicubiti!"
"Sori, kalau lagi geregetan, aku suka lupa!" Menyeringai Rena, melihat kulit lengan Johan yang sudah matang biru. "Habis si Maria menggemaskan betul sih!"
Ketika Maria berhasil menyemes bola yang membawa regu mereka kepada kemenangan terakhir, teman-temannya langsung turun ke lapangan
menyerbunya. "Hebat kamu, Mar!" teriak Nurul sambil merangkulnya erat-erat, tidak peduli badan Maria masih basah bersimbah peluh.
"Hidup Maria!" pekik Tina separuh histeris, dikecupnya pipi Maria kanan dan kiri.
"Selamat, Mar!" Endang menjabat tangannya erat-erat.
"Permainanmu maut, Maria!" Nike menubruk Maria dari belakang sambil melompat, sampai Maria terdorong ke depan.
Dan Rena menyambutnya dalam rangkulan lengan-lengannya yang kokoh. Sekejap Maria merasa pengap ketika mukanya amblas ke tengah-tengah gumpalan daging berlemak yang empuk. Untung Rena segera melepaskannya lagi.
"Selamat, Mar!" katanya gembira. "Sekolah kita menang!"
Maria hampir kewalahan melayani spontanitas teman-temannya. Air matanya berlinang haru, tapi bibirnya merekahkan senyum. Dia sudah tidak dapat lagi membedakan yang mana teman-temannya yang mana anak-anak dari sekolah lain. Soalnya mereka semua berdesak-desakan hendak menyalaminya. Dan seorang pemuda bertubuh tinggi besar mendesak ke depan. Tangannya diulurkannya melampaui bahu teman-temannya.
"Selamat, Maria!" seru Guntur, susah payah mendekati gadis itu. "Mainmu bagus sekali! Benar nggak sih kakimu dari kayu""
Maria tertegun. Tapi tidak lama. Sebelum dia sempat mundur, tangan pemuda itu, entah disengaja entah tidak, menyentuh dadanya tepat di bagian yang terlarang....
Dan Maria tersentak kaget. Mukanya merah-padam. Dia langsung memutar tubuhnya. Menguakkan kerumunan teman-temannya. Dan lari ke kamar ganti pakaian.
"Gile!" cetus Guntur keheran-heranan. "Dia nggak pakai BH!"
*** "Kenapa, Mar"" tanya Elita heran, ketika dia menemukan Maria sedang menangis di kamar ganti. "Teman-teman kita sedang dimabuk kemenangan, kok kamu malah nangis"!"
Bukannya menjawab, Maria malah tambah tersedu-sedu.
"Lho, kenapa"" desak Elita makin bingung. "Ada yang jail sama kamu""
"Guntur mencolek dadanya," potong Rena yang tahu-tahu sudah ikut masuk ke sana. "Kurang ajar memang tu anak! Tangannya nggak pernah disekolahin!"
"Itu sih biasa, Mar," bujuk Nurul yang sedang mengganti baju. "Cowok memang begitu. Kamu nggak usah nangis! Dijailin cowok artinya kamu menarik perhatiannya! Kalau dia nggak tertarik sama kamu, buat apa ia repot-repot jailin""
"Ah, itu kan pendapatmu!" sela Elita. "Kamu sih memang perempuan eksperimen! Tapi Maria bukan cewek seperti kamu!"
*** "Dia cewek pilihan Tuhan!" bentak Rena kepada Guntur ketika mereka sedang berkumpul minum limun dingin di pinggir jalan. "Calon biarawati, tahu nggak"! Kamu jangan kurang ajar sama dia! Dikutuk Tuhan, nggak sampai ke rumah kamu nanti!"
"Diseruduk sapi teler kamu baru tahu rasa!" sambung Tina bersemangat. "Lancang amat sih tu tangan!"
"Calon biarawati"" Guntur menyeringai geli. "Pantas aja bajunya kayak orang kedinginan begitu!
Kenapa dia nggak pakai jubah aja sekalian turun ke lapangan"!"
"Pantas saja kita kalah!" komentar Rusman. "Kita melawan malaikat sih!"
"Ah. udah kalah sih ngaku aja!" gerutu Rena judes. "Siapa tadi yang taruhan sama gue"!"
"Oke. oke. Non!" Rusman menyeringai masam. "Mau berapa mangkuk baksonya""
"Bakso kepalamu! Kamu tadi janji traktir sate ayam!
"Lho. kamu sudah segembrot ini masih belum kapok juga makan enak" Diet dong! Diet!"
"Pokoknya nggak sekarang! Kamu jangan mungkir janji! Traktir aku sate ayam!"
"Ajak Maria juga, Ren!" sela Guntur bersema-ngat. "Biar aku yang traktir dia!"
"Duh. kalau ada barang baru. gesit deh kamu!" sindir Tina. "Tapi sama Maria sih jangan mimpi! Dia bukan tipemu!"
"Satemu kutambah dua porsi lagi kalau kamu berhasil mengajak dia, Ren!" bujuk Guntur tak mau kalah.
'Huu. sate sih apaan! Kalau Maria yang kamu mau. upahnya mesti bistik ayam!"
Bistik gajah pun boleh, Ren! Kamu tinggal pilih aja di Bonbin Ragunan, mau yang mana! Besok binatang itu sudah jadi bistik di piringmu!"
Teman-temannya tertawa geli. Tambah banyak binatang piaraan di perutmu, Ren!" desis Endang sambil tersenyum. "Kamu mesti punya RPH sendiri!" "Apaan tuh RPH""
"Huu, dasar telmi! Rumah jagal, tahu nggak"!"
"Kapan nih, Ren"" desak Guntur pantang menyerah.
"Apanya kapan"" "Maria."
"Eh, sejak kapan aku jadi germo"" "Serius nih!"
"Nggak bisa kalau dia sih! Calon biarawati kok. Kamu mau bersaing sama Tuhan"!"
"Siapa bilang aku mau pacaran sama dia""
"Habis kamu mau ngapain dong""
"Cuma mau lihat kakinya!" "Tungguin aja besok di depan sekolahan!"
"Waduh, si Onta galak!"
"Lho, memangnya kamu disuruh ngapain" Kamu cuma kepingin lihat kaki Maria, kan" Nah, besok dia pakai seragam. Roknya nggak terlalu panjang kok. Pelototin deh kakinya sampai keluar biji matamu!"
*** Malam itu Maria benar-benar tidak bisa tidur. Dia sudah hampir dua jam berdoa. Sudah mengulang-ulang doa Bapa Kami dan Salam Maria sampai seratus kali. Tapi perasaan berdosa itu tetap tak mau hilang juga dari sudut hatinya.
Pemuda itu telah menyentuh bagian yang paling suci di dadanya.... Aduh. kalau saja ayahnya tahu... dia pasti sudah dibunuh!
Tapi... Ayah memang tidak tahu. Tuhan-lah yang tahu. Dan mata Yesus di alas sana seperti Menatapnya dengan sedih.... Benarkah Yesus sedih"
Berlinang air mata Maria. Dia tidak ingin membuat Yesus sedih. Tapi pemuda kurang ajar itu!
Maria mencoba mengingat-ingat wajahnya dengan susah payah. Hanya sekilas memang dia memandang mukanya. Tidak ada waktu lagi. tapi yang sekilas itu sudah cukup. Dia ingat matanya yang lancanng. Senyumnya yang kurang ajar. Dan... wajahnya yang tampan... tubuhnya yang tinggi tegap...
Ah. panas muka Maria membayangkannya. Inilah pertama kali dia membayangkan wajah seorang laki-laki! Dan kata Ayah, itu dosa! Dosa besar!
"Maria, kamu belum tidur"!"
Itu pasti suara Ayah! Siapa lagi. Mereka cuma tinggal berdua di rumah ini. Tapi bagi Maria, suara yang sudah sangat dikenalnya itu tiba-tiba menjadi halilintar yang memekakkan telinga.
"saya baru selesai berdoa...," sahut Maria ketakutan.
"Tadi Ayah kemari dua kali. Kamu masih berdoa."
Mana ingin supaya ayahnya lekas-lekas meninggalkan kamarnya. Tetapi Pak Handoyo malah melangkah masuk dan duduk di kursi. Dia menyalakan lampu. Dan sinar lampu yang terang benderang menyoroti wajah Maria yang memerah.
"ada apa""" tanya Pak Handoyo curiga. "tidak ada apa-apa...," sahut Maria gugup. Dicobanya memalingkan mukanya supaya ayahnya tidak usah melihat betapa merah wajahnya.
Kamu berdusta." Suara Ayahnya begitu dingin. "kamu pasti berbuat dosa!" "Saya sudah mengaku dosa dan minta ampun pada Tuhan," sahut Maria ketakutan. "Saya sudah menjalani hukuman...."
"Kamu bikin apa"!" mengguntur suara ayahnya. Matanya membelalak marah. Penuh tuduhan. Membuat Maria bertambah panik. "Tadi siang saya bertanding..." "Ayah tahu," potong Pak Handoyo tak sabar "Regu saya menang." "Itu juga Ayah sudah tahu." "Permainan saya bagus sekali..." "Jangan sombong! Sombong itu dosa!" "Mula-mula permainan saya jelek... saya berdoa minta tolong pada Tuhan..."
"Tidak sepatutnya merepotkan Tuhan dengan hal-hal kecil begitu! Jangan menyebut nama Allah Tuhan-mu tidak dengan hormat!"
"Tapi Tuhan menolong saya, Ayah!" desis Maria dengan mata bersinar-sinar. "Kami menang!" "Hm," Pak Handoyo mendengus dingin. "Lalu"" "Mereka mengelu-elukan saya...." Senyum Maria memudar. Perlahan-lahan parasnya memerah. "Teman-teman bahkan memeluk saya...." Muka Maria bertambah merah-padam. Matanya berkeliaran dengan gelisah.
"Perempuan"!" Mendelik mata Pak Handoyo. Napasnya tertahan sekejap.
Maria mengangguk dengan ketakutan. "Hm," Pak Handoyo menghembuskan napasnya yang sempat tertahan tadi. "Tidak ada anak laki-laki di sana"" "Ada...."
"mereka tidak memelukmu juga, kan""
Maria mengangkat mukanya dengan terkejut. "tentu saja tidak, Ayah!" cetusnya spontan, "Jangan berdusta! Itu perint
ah Allah yang kesembilan!"
"Tapi saya tidak berdusta, Ayah!"
"Hm." Pak Handoyo mendengus lagi. Kali ini lebih lunak. "Pergilah tidur."
Tetapi ayahnya tidak langsung keluar. Dia memeriksa isi tas Maria lebih dulu. Membolak-balik setiap lembar bukunya. Membaca semua tulisan Maria sampai yang sekecil-kecilnya. Dia baru keluar setelah puas memeriksa. Dan Maria menghela napas lega.
"Hai!" sapa Guntur begitu Maria melewati tempat persembunyiannya. Sudah hampir setengah jam dia menunggu Maria di sini. Sabar seperti harimau menunggu mangsanya.
Mana tersentak kaget. Mukanya langsung memucat begitu mengenali pemuda itu.
"Kaget, ya"" Guntur maju mendekati gadis itu sambil tersenyum.
Tapi Maria sudah lebih cepat lagi membalikkan tubuhnya. Memeluk bukunya erat-erat ke dada. Dan lari terbirit-birit masuk ke halaman sekolah.
"Sialan." gerutu Guntur hampir tak terdengar. "Ditegur kok malah kabur!"
Beberapa anak yang kebetulan melihatnya tertawa geli. Tetapi Guntur belum putus asa. Dia memanjat pohon dan melongok dari atas dinding yang membatasi halaman sekolah.
"Maria!" teriaknya pantang menyerah. "Nanti siang pulang sekolah saya jemput kamu! Kita pergi berenang!"
Tergopoh-gopoh Maria berlari-lari masuk ke dalam kelas. Begitu tergesa-gesanya dia, sampai
hampir menabrak Nurul yang sedang parkir di depan pintu.
"Aduh! Ada apa sih, Maria"" cetusnya heran. "Ada orang yang mau memperkosamu""
Tanpa menghiraukan seloroh teman-temannya, Maria langsung lari ke bangkunya. Dan menjatuhkan diri di sana. Dia menelungkup ke atas meja. Menutupi mukanya dengan ketakutan.
"Waduh, ada apa sih"" gerutu Endang sambil pura-pura mengurut dada. "Tiap hari melihat lagak lagumu yang aneh, lama-lama aku ikut jadi teler juga nih!"
"Ayo, Papa! Papa jangan marah beta!" Nike bersenandung mengejek. "Dia cuma cuma cuma colek beta!"
"Oh, dia lagi rupanya!" gerutu Tina yang juga sedang bengong melihat tingkah laku Maria. "Dia datang lagi""
"Nongol di tembok kayak monyet!" komentar Rena yang baru saja masuk ke dalam kelas. "Ngajak Maria berenang nanti siang!"
"Wah, itu berita besar!" pekik Nurul gembira, seolah-olah dia yang diajak berenang. "Tunggu apa lagi, Mar""
"Bilang sama si Guntur jangan ganggu Maria lagi, Ren," pinta Elita kesal, ketika mereka sedang makan di kantin waktu istirahat.
"Lho, apa salahnya kalau dia naksir Maria" Kok kamu yang cembokur" Tuh, si Dedi bagianmu!" Maria bukan seperti kita...." "Ah, siapa bilang" Dia juga punya hati kok! Dia
juga perempuan! Gadis remaja seperti kita! Memang cuma kamu doang yang butuh cowok"" "Ingat pesan Suster Cecilia, Ren!" "Lha. kita kan nggak ganggu dia lagi! Kita cuma ingin dia senang. Jadi gadis normal seperti kita!"
"Dan buat Rena, gadis normal itu mesti punya pacar!" sindir Tina. "Nggak peduli biar dapat mesin giling kayak si Guntur juga!"
"Dia kan disogok," sambung Endang sambil menyeringai mengejek. "Kalau berhasil menyodorkan Maria, dia boleh minta apa saja pada si Guntur!"
"Wah. pengkhianat!" gerutu Nurul kesal. "Guntur kan dari sekolah lawan kita! Kalau Maria ambruk dan regu kita kalah, mereka senang!"
"Ih. ngelantur!" geram Rena gemas. "Ini sih nggak ada urusan sama pertandingan! Si Guntur ngebet sama Maria, masak aku larang"" "Kamu disogok, ya""
"Disogok apaan"" kilah Rena jengkel. "Persekot saja belum terima!"
"Kamu yakin Guntur serius"" "Eh. kamu kayak yang plonco saja dalam urusan beginian. Rul! Masa ada cowok datang-datang sudah serius sih" Memangnya ini zaman apa""
"Tapi cowoknya jangan yang kualitet si Guntur dong, Ren!"
"Abis musti yang gimana dong" Yang kayak si Johan" Idih, itu sih jatahku!"
"Kalau kamu serius mau bikin senang Maria, korbankan si Johan buat dia!"
"Kalian yakin Johan lebih paten dari si Guntur"" "Yang terang dia lebih alim!" "Tapi nggak tahan bantingan!" "Kamu mau pacaran atau yudo""
"Eh, pacaran sama cewek model Maria mesti kuat mental! Salah-salah bisa ikut teler kayak kita!"
*** "Aih! Jangan dicampur ke situ, Mar!" Buru-buru Elita merebut tabung reaksi dari tangan Maria. Dan meletakkannya di atas rak. "Bisa meledak!"
Maria tersentak kaget. M ukanya langsung memucat. Matanya terbelalak panik. Hampir saja dia membuat kesalahan yang bodoh. Salah mencampur zat-zat kimia bisa berakibat fatal. Salah-salah ruang praktikum kimia mereka bisa terbakar.
"Itu alkohol, Mar!" desis Elita, belum hilang rasa terkejutnya. "Dan yang di bawahmu itu api! Kamu melamun, ya""
Maria masih shock. Belum dapat bicara sepatah pun. Sekejap tadi dia memang melamun. Dan inilah akibatnya.
Untung ada Elita! Kalau tidak... Aduh! Buru-buru dia memejamkan matanya. Dan mengucap syukur kepada Tuhan. Elita mengawasi temannya sambil menghela napas.
"Terima kasih, El," kata Maria perlahan-lahan setelah dia selesai berdoa. "Tuhan telah memakai tanganmu untuk menghindarkan kita dari malapetaka...."
"Lain kali lebih hati-hati, Mar," sahut Elita sabar. "Jangan melamun!"
"Saya nggak bisa konsentrasi, EL.," keluh Maria Putus asa.
"Apa sih yang kamu pikirkan"" "saya bingung..." "Cowok itu" Si Guntur""
"Ah... " Wajah Maria segera berubah kemerah-merahan Matanya menggelepar-gelepar dalam kepanikan.
"Jangan acuhkan dia! Diamkan saja! Nanti juga dia bosan. Dan pergi mencari permainan baru!"
Tetapi Guntur tidak bosan-bosannya mengejar-ngejar Maria. Siang itu juga dia sudah stand by di depan sekolah Maria.
Begitu melihat pemuda itu tegak di depan sekolah. Maria langsung kabur. lari masuk ke dalam sekolah kembali. Dan tidak mau keluar lagi dari sana.
"Betul-betul perawan tingting!" gerutu Guntur jengkel. "Masa baru ditegur saja sudah kabur""
"Bukan," sahut Rena tenang, "perawan pi-ngitan!"
"Ajak dia keluar. Ren!"
"Mendingan kamu lekas-lekas menggelinding pergi. Tur!"
"Lho. kenapa""
"Teman-temanku sudah siap mengeroyokmu!" "Masa ngajak dia pergi aja nggak boleh" Ini sekolah apa biara"!" "Surat kelakuan baikmu meragukan!" Kalau begitu kamu yang harus kasih aku rekomendasi, Ren!"
"Wah. aku sendiri tidak percaya kok sama kamu!" "Jadi aku mesti berusaha sendiri nih"" Guntur menyeringai bandel. "Oke, Neng! Lihat saja nanti! Kalau aku nggak berhasil, jangan panggil lagi namaku!"
dan Guntur tidak perlu menunggu terlalu lama
untuk memainkan lakonnya. akal kuno sebenarnya. tapi pasti gadis seperti Maria belum pernah dengar. Berpikir ke sana saja belum.
Sudah tiga hari Guntur menguntit Maria, Dia tahu sekali jalan apa saja yang mesti dilewatinya kalau pulang. Kebetulan, turun dari bus, Maria mesti jalan kaki sedikit. Dan gang itu sepi. Apalagi siang hari begini.
Guntur cuma perlu minta tolong pada kedua orang temannya. Sengaja dipilihnya yang tampangnya paling rusak. Dan bereslah semuanya.
Tepat pada saat Maria berteriak-teriak minta tolong. Guntur datang menolongnya. Dia menghajar kedua bajingan itu sampai babak-belur dan lari tunggang-langgang.
"Sialan si Guntur!" geram Gatot sambil meludah. Dan dia lebih jengkel lagi melihat ludahnya bercampur darah. "Berlagak jadi pahlawan, kita dipermaknya benar-benar!"
"Beraninya mengganggu wanita!" geram Guntur dengan gaya Zorro menang main anggar. Dihampiri-nya Maria yang sedang meringkuk ketakutan di dekat selokan. "Kamu tidak apa-apa""
Maria menggeleng ketakutan. Dia tidak berani membalas tatapan Guntur.
"Jangan..." rintihnya ketika Guntur sampai di dekatnya. Guntur jadi tertegun. "Jangan apaan"" desisnya heran. "Jangan ganggu saya...." "Lho! Saya justru mau menolongmu!" "Saya takut...." Maria gemetar ketakutan. Dengan panik dia mundur-mundur menjauhi Guntur.
Mari saya antarkan pulang!" "Jangan!" teriak Maria histeris. Begitu kerasnya sampai Guntur tersentak kaget.
"Kenapa" Saya temanmu kok! Saya tidak akan mengganggu kamu!"
"Jangan!" rintih Maria panik. "Jangan... tolong saya... jangan...."
Guntur tidak jadi mendesak maju. Diam-diam dia ngeri melihat mata gadis itu. Mata itu menggelepar-gelepar ketakutan. Tatapannya liar seperti binatang jalang masuk perangkap.
Gilakah gadis ini" Guntur sering melihat orang ketakutan. Tapi tidak ada yang seperti ini!
"Saya tidak akan mengganggumu," keluh Guntur antara iba dan jengkel. "Kalau kamu tidak mau saya antarkan, ya sudah. Sana pulanglah!"
Tergopoh-gopoh Maria berlari-lari meninggalkan pemuda itu. Dia
menerjang pintu halaman begitu saja. Melompat ke depan pintu. Dan menggedornya seperti ada kebakaran.
Tidak ada dua detik kemudian ayahnya telah muncul di ambang pintu. Dia terkejut melihat betapa pucatnya wajah gadis itu.
"Maria!" sergahnya bingung. "Ada apa"" Direngkuhnya bahu anaknya. Tapi Maria lebih cepat lagi menerobos ke dalam.
Pak Handoyo menatap lebih dulu ke luar. Mencari-cari sebab ketakutan anaknya. Tapi tidak ada apa-apa di sana. Sambil mengangkat bahu dia menutup pintu. Dan mengikuti putrinya. "Ada apa"" tanyanya curiga. Tetapi Maria belum dapat bicara. Dia masih terengah-engah mengatur napasnya. Mulutnya
terbuka tertutup seperti ikan kurang air. Tapi tidak ada suara yang keluar.
"Lekas bilang, ada apa!" bentak Pak Handoyo tidak sabar lagi.
"Ada... ada orang jahat!" menggagap Maria. Matanya berkeliaran dengan paniknya.
"Tukang copet""
Maria menggeleng ngeri. Matanya menatap ayahnya dengan ketakutan.
"Kamu ditodong""
Sekali lagi Maria menggeleng.
"Pemuda-pemuda berandal...," desahnya terputus-putus.
"Kamu diganggu"" Berdiri kumis Pak Handoyo. Matanya membelalak marah.
"Untung ada yang menolong ...."
"Kamu diapakan"" desak Pak Handoyo sengit.
Maria menggeleng lagi. "Saya cepat-cepat lari pulang.... Mereka berkelahi.... Saya takut, Ayah!"
"Kurang ajar!" geram Pak Handoyo marah. "Pasti anak-anak berandal di ujung gang sana! Nanti malam Ayah adukan pada Pak RT!" Ditatapnya anaknya yang masih menggeletar ketakutan itu tajam-tajam. "
"Mereka memegangmu"" desaknya curiga.
Maria mengangguk kecut. "Kalau begitu kamu harus menjalani upacara Pertobatan! Ikut Ayah, Maria!"
dengan patuh tertatih-tatih Maria mengikuti ayahnya. Bersama-sama mereka berlutut di depan altar kecil di ruangan yang khusus diperuntukkan ayahnya untuk berdoa.
Tanpa menghiraukan Maria yang letih dan lapar, Pak Handoyo memulai upacara pertobatan itu. Mereka berdoa bersama-sama.
Lalu Maria harus mencabik-cabik pakaiannya tanda sesal dan tobat. Dia harus menangis dan berteriak-teriak pada Tuhan, memohon ampun. Kemudian dia harus mengulang-ulang doa beberapa puluh kali. Sampai ayahnya puas.
*** Hati-hati Maria mengendap-endap mendekati pintu gerbang sekolah. Buku-bukunya dipeluknya erat-erat ke dada. Kakinya telah bersiap-siap untuk lari.
Tetapi sampai di pintu masuk, tidak ada seorang pun yang menegurnya. Maria jadi ragu. Dia berhenti sejenak. Dan menoleh ke belakang.
Tidak ada siapa-siapa. Cuma anak-anak sekolah yang sedang berbondong-bondong masuk. Satu-dua orang yang dikenalnya menyapanya sambil tersenyum. Yang lain lewat dengan acuh tak acuh. Menoleh pun tidak.
Yang sedang terburu-buru malah tidak melihat ada Maria di sana. Mereka menyenggol tubuhnya seenaknya. Seolah-olah dia cuma benda asing yang menghalangi jalan.
Sekali lagi Maria menoleh. Mencari-cari seseorang di luar sana. Tapi yang dicarinya tetap tidak kelihatan batang hidungnya. Dan segurat perasaan kecewa yang aneh menggores hatinya.
Dia tidak ada di sana. Padahal biasanya dia selalu menunggu di situ. Setiap pagi.
Maria memang masih selalu lari meninggalkannya. Dan mereka tidak pernah sempat berkomunikasi. Tapi kehadiran pemuda itu sudah merupakan kebiasaan. Sekali dia tidak hadir, Maria malah merasa kehilangan.
"Tunggu siapa, Mar"" tegur Endang heran. Dia ikut-ikutan menoleh ke belakang. Tapi tidak dilihatnya orang yang kira-kira sedang ditunggu oleh Maria. "Guntur""
"Ah." Maria tersipu-sipu menyembunyikan wajahnya yang memerah.
"Lho, kok aneh kamu ini! Dia datang kamu lari, dia pergi kamu cari!"
"Saya menunggu Elita...."
Sesudah bicara Maria baru tertegun. Dia sudah dapat berdusta! Astaga, begitu mudahnya! Begitu lancarnya lidahnya mengarang dusta! Ya Tuhan, ampuni dosanya!
Endang tersenyum bijak. "Sudah kamu cari di kelas"" sindirnya. "Kamu kan baru datang. Barangkali Elita sudah ada di sana. Yuk, aku masuk duluan."
Tanpa menunggu lagi, Maria lekas-lekas me-nyusul Endang.
"Lho, katanya tunggu Elita"" gurau Endang pula.


Merpati Tak Pernah Ingkar Janji Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah." Maria menunduk tersipu-sipu.
"Bergaul dengan anak laki-laki bukan dosa. Mar," kata Endang separuh menasihati. Heran
, setiap gadis bisa tiba-tiba jadi nenek-nenek kalau bicara dengan Plonco ini. "Guntur memang agak brengsek. barangkali dia tidak cocok untuk jadi pacarmu yang
Pertama. Kamu bisa kaget-kaget terus. Sakit
Jantung!" "Boleh pinjam PR-mu, Dang"" potong Maria gelagapan.
"Ah, jangan pura-pura! PR-mu pasti sudah beres. Kenapa mesti malu kalau ngomongin anak laki-laki" Setiap gadis puma pacar. Mungkin untukmu pemuda yang seperti Johan lebih cocok. Dia alim. Serius. Tidak banyak tingkah. Susahnya, dia kurang agresif. Sedangkan kamu dingin. Beku. Jadi tidak ada titik permulaannya!"
"Nah. dikasih tipu apa lagi dia"" songsong Elita begitu melihat mereka masuk ke dalam kelas.
"Ah. cuma nasihat," sahut Endang tanpa ragu-ragu. "Dia nunggu Guntur. Tapi nggak datang!"
"Ah," desah Maria kemalu-maluan. "Saya tidak nunggu siapa-siapa kok!"
"Di sekolah kita memang tidak ada anak laki-laki," potong Rena tak sabar. "Tapi itu bukan berarti kita dilarang bergaul dengan pemuda-pemuda! Memangnya kita mau dijadikan PT semua!"
"Betul, Mar," sokong Nike bersemangat. "Kalau nggak percaya, tanya saja Suster Cecilia! Kita tidak dilarang bergaul dengan cowok! Pacaran bukan dosa kok!"
"Hm, kalian lupa!" Luna tersenyum. Tenang tapi sadis. "Teman kita ini calon biarawati!"
"Tapi sekarang kan belum!" potong Endang tak mau kalah. "Nah, apa salahnya mencicipi masa pacaran dulu" Masa remaja kan masa yang paling indah! Dan cinta pertama adalah cinta yang paling berkesan!"
Tak tahan lagi Maria mendengar ocehan teman-temannya. Buru-buru dia keluar lagi dari dalam kelas. Pura-pura pergi ke WC.
Pacaran. Cinta pertama. Masa remaja. Ah, semua itu tidak pernah ada baginya!
Kadang-kadang Maria iri pada teman-temannya. Mengapa mereka boleh begitu bebas" Tidak ada yang mereka takuti. Hidup begitu indah bagi mereka. Merah muda dan manis. Seperti sirop.
Lain benar dengan dirinya. Apa isi hidupnya kecuali doa" Sejak lahir Ayah telah menyerahkannya kepada Tuhan. Sejak lahir hidupnya telah ditentukan. Jalannya telah digariskan. Nasibnya telah diatur. Dan semua itu menuju ke suatu titik. Biara.
Benarkah dia tidak punya hak untuk memilih" Benarkah tidak ada pintu lain baginya"
Sebelum bertemu dengan teman-temannya, bergaul dengan mereka, Maria memang tidak pernah memikirkannya. Terpikir ke sana saja tidak. Tapi kini, semua itu seperti godaan yang setiap saat selalu mengganggunya. Meresahkan pikirannya.
Pengalamannya memang bertambah banyak. Pikirannya tambah luas. Pelajarannya maju pesat. Tapi dosanya pun makin bertambah.... Berdusta... Memikirkan seorang laki-laki... Ah, benarkah semua itu dosa"
"Bergaul dengan anak laki-laki bukan dosa, Mar!" Endang begitu mantap. Begitu yakin dengan Pendapatnya. Entah siapa yang mengajari.
"Kalau nggak percaya, tanya saja Suster Cecilia!" komentar Nike tak mau kalah. "Kita tidak dilarang bergaul dengan cowok!"
Suster Cecilia. Tiba-tiba saja nama itu berkelebat di kepala Maria Nike benar. Ke sanalah dia harus bertanya.
Suster Cecilia bijaksana dan sabar. Dia juga orang suci. Mengabdikan seluruh, hidupnya untuk Tuhan. Tapi dia tidak seperti Ayah!
Dia jarang marah. Jarang main hukum saja. Lembut. Dan penuh pengertian. Seperti Yesus. Seperti Bunda Maria. Dia pasti tempat yang tepat untuk bertanya.
"Saya mengerti. Maria." Suster Cecilia menghela napas panjang setelah terdiam sesaat. "Saya memang sudah menduga, suatu hari kamu akan datang dengan pertanyaan ini. Saya hargai kebe-ranianmu untuk menanyakannya langsung kepada saya." Ditatapnya gadis yang sedang tertunduk malu di hadapannya itu. "Kamu gadis yang jujur. Polos. Dan lugu. Tapi kamu pun gadis yang terlambat bergaul. Kurang pergaulan, istilah teman-temanmu. Tapi itu semua bukan salahmu. Kamu hanya menerima apa yang sejak kecil diberikan kepadamu. Satu hal teman-temanmu benar. Kita memang tidak dilarang bergaul dengan laki-laki. Tuhan mencipta-kan dua jenis manusia, pria dan wanita. Bukan untuk saling membenci dan memusuhi. Tapi untuk saling membantu dan saling mencintai. Dari merekalah lahir anak-anak manusia yang akan melanjutkan keturunan, melanjutkan karya Ilahi
mengisi dunia ini. Jadi semua itu bukan dosa, Maria. Semua itu merupakan sesuatu yang luhur. Tetapi..." Suster Cecilia menghentikan kata-katanya sejenak, "...untuk sebagian kecil wanita, ada tugas lain yang tidak kalah luhurnya selain menikah dan mempunyai anak, yaitu tugas mengabdi kepada Tuhan dan
kepada sesama manusia. Jalan inilah yang diinginkan ayahmu untuk dirimu, Maria. Dan oleh karena kamu telah jauh-jauh hari disediakan untuk Tuhan, kamu harus menjaga kesucianmu baik-baik. Kamu tidak akan mempersembahkan barang yang tidak suci kepada Tuhan Yang Mahasuci, bukan""
Maria menggeleng patuh. Sekarang dia mengangkat mukanya. Dan membalas tatapan Suster Cecilia dengan tatapan yang paling polos yang pernah dilihat biarawati itu.
"Tapi mengapa di sini tidak ada seorang pria pun, Suster""
"Itu cuma tradisi, Maria. Tradisi dari pendahulu-pendahulu saya yang telah berlangsung lebih dari dua puluh tahun. Secara pribadi, sebenarnya saya sendiri tidak setuju. Di zaman modern ini. wanita tidak boleh dipisahkan dari pria. Mereka harus dibiarkan maju bersama-sama, bersaing bebas dalam menuntut ilmu. Tentu saja asal tahu batas-batasnya dalam pergaulan. Jadi saya tidak melarangmu bergaul dengan siapa pun. Tapi kamu harus berjanji akan menjaga dirimu sebaik-baiknya."
"Terima kasih, Suster." Lambat-lambat Maria berdiri. "Saya permisi dulu."
Maria baru menginjak ambang pintu kantor tatkala direktris sekolah itu memanggilnya lagi. Ketika dia menoleh, dilihatnya Suster Cecilia sedang menatapnya dengan sungguh-sungguh.
"Saya senang kamu datang pada saya," kata Suster Cecilia lembut. "Kalau ada persoalan lagi, maukah kamu berjanji untuk datang pada saya pula""
BAB IV Begitu Maria masuk ke dalam kelas, serentak teman-temanm a berdiri dan bersama-sama me-nyanyikan Panjang Usia sambil bertepuk tangan. Terkejut dan bingung, Maria mundur kembali ke pintu. Diawasinya saja teman-temannya dengan heran. Apa lagi ini" Sejenis permainan baru"
Maria sudah bersiap-siap untuk mengambil langkah seribu ketika lagu itu berakhir. Nurul menghampirinya dengan membawa sebuah bungkusan yang dibungkus rapi dengan kertas berwarna-warni. Maria mundur dengan ketakutan sambil melirik bungkusan itu.
"Selamat ulang tahun, Maria!" ujar Nurul cepat-cepat, takut Maria keburu kabur. Atau lebih celaka lagi, pingsan di tempat. "Ini hadiah untukmu. Dari kami."
Sejenak Maria tertegun. Matanya menatap Nurul antara terkejut dan ragu. Ulang tahun" Dari mana mereka tahu dia berulang tahun hari ini" Dan untuk apa semua ini"
Selama enam belas tahun berulang tahun, baru Kali ini ada orang yang memberikan hadiah kepadanya. Mengucapkan selamat. Pakai nyanyi-
nyanyi segala. Biasanya ulang tahunnya lewat dengan begitu saja. Tak ada bedanya. Sama seperti hari-hari lainnya. Tidak ada yang peduli. Ayah tidak. Dia sendiri juga tidak. Apa istimewanya hari ulang tahun"
"Lho, kok jadi bengong!" seru Rena tidak sabar. "Ayo, Mar, terima tuh! Jangan dipelototin aja!"
"Jangan takut, Mar," bujuk Nike. "Nggak ada tikusnya kok!"
Tetapi Maria masih tertegun bingung menatap bungkusan di tangan Nurul. Bergerak saja dia tidak berani. Terpaksa Elita yang maju ke depan. Diambilnya tangan Maria. Kemudian dengan lembut dibawanya menyentuh bungkusan yang dipegang Nurul.
"Ambil, Mar," katanya sabar. "Nggak usah takut. Ini hadiah ulang tahun dari kami semua. Untukmu. Tanda kami ikut berbahagia karena umurmu telah bertambah setahun lagi. Mudah-mudahan kamu diberkati umur panjang."
Maria menoleh pada Elita. Matanya menatap gadis itu dengan bengong. Mula-mula dengan Pandangan heran. Bingung. Kemudian lambat-lambat berubah haru. Air mata mulai menggenangi matanya. Tapi bibirnya merekahkan senyum keharuan.
"Wah, mulai lagi acara nangis," gerutu Rena tidak Sabar. "Heran, apa-apa mesti nangis!" "Hush! Sabar dong!" Tina menyodok pinggang Rena dengan sikunya. "Namanya juga orang udik! Anak kuper!"
"Tapi aku belum pernah ketemu yang ekstrem begini!" "Justru di situlah seninya!"
"Selamat ulang tahun. Mar." Elita mengecup pipi gadis itu dengan lembut. tindakannya segera diikuti oleh semua
temannya. Kecuali Luna. Dia cuma menonton sambil berpangku tangan.
Maria menyambuti ucapan selamat mereka dengan penuh keharuan. Dia menangis. Sekaligus tersenyum.
"Bahagia"" bisik Elita di tengah-tengah kegembiraan teman-temannya.
Maria cuma dapat mengangguk. Air matanya berlinang-linang.
"Itulah seninya berteman. Suka-duka yang dibagi bersama terasa lebih mengesankan."
Tiba-tiba saja Maria melepaskan diri dari kerumunan teman-temannya. Sambil membawa kadonya, dia berlari ke luar.
"Hai. mau ke mana"" teriak Elita dan Nurul berbareng.
"Ke kapel!" sahut Maria terharu.
"Lho. ngapain ke sana""
"Berterima kasih kepada Tuhan." Senyum Maria melebar. Matanya bersinar-sinar sampai Nurul silau melihatnya. "Tuhan begitu baik telah memberikan kebahagiaan ini kepada saya!"
"Ampun!" keluh Nurul lemas. "Kita yang beli kado. terima kasihnya untuk Tuhan!"
"Hush!" Elita menginjak kaki Nurul dengan gemas. "Kafir kamu! Orang beriman memang mesti seperti dia! Semua yang baik datang dari Tuhan! Kita harus selalu ingat dan bersyukur kepada-Nya!"
"Tapi apa nggak bisa ditunda dulu" Kadonya saja belum dibuka!"
"Mar! Tunggu, Mar!" teriak Tina penasaran-"Buka dulu dong kadonya! Baru kamu boleh pergi!"
Maria menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke arah teman-temannya sambil tersenyum. Mukanya memerah antara malu dan bahagia.
"Di mana bukanya"" tanyanya tersipu-sipu.
"Di sini dong!" sahut Nike. "Di mana lagi""
Terpaksa Maria kembali ke dalam kelas. Dikerumuni teman-temannya, dibukanya bungkusan itu dengan hati-hati. Dadanya berdebar-debar. Antara harap-harap cemas. Apa isinya" Sebuah kejutan lagi seperti dulu"
Maria masih ingat tikus karet di dalam baksonya. Dan dia sudah bersiap-siap untuk melemparkan bungkusan itu jauh-jauh kalau terasa ada benda lunak menjijikkan menyentuh jari-jarinya....
Tapi tidak ada apa-apa. Yang keluar cuma sebuah kartu ucapan selamat yang sangat indah. Maria sampai terpesona melihatnya. Belum pernah dia melihat kartu sebagus itu.
"Bukan itu hadiahnya!" sergah Rena tidak sabar. "Itu sih cuma kartu ucapan selamat! Ayo, buka lagi dong!"
"Sabar kenapa sih!" Tina mendorong kepala Rena dengan tangannya. "Nggak boleh lihat orang lain senang!"
"Nah, lihat kartu saja seperti baca sun t cinta!
Hati-hati Maria membuka bungkusan yang terdapat di dalam bungkusan yang pertama. Dan dia terperangah melihatnya. Hampir memekik kaget, sebuah... apa ini"
Maria sendiri tidak tahu. Dia hanya tahu warnanya hijau tua. Indah sekali. Bahannya sangat empuk.
Bajukah ini" Bagaimana memakainya" Dibukanya lipatan baju itu... dan dia tertegun lagi...
Astaga! Sebuah celana dalam dan... BH"! Teman-temannya bersorak riuh.
'Ttu baju renang untukmu, Maria!" cetus Nurul tidak sabar. "Namanya bikini!"
Merah-padam muka Maria. Ah, teman-temannya pasti mengolok-oloknya lagi. Masa dia harus memakai... uh, pakaian seperti ini" Ya, Tuhan! Bisa pingsan ayahnya!
"Saya... tidak berani memakainya...," rintih Maria jengah.
"Memang juga nggak disuruh pakai di sini!" jawab Endang geli. "Bisa pingsan Suster Cecilia! Di kolam renang. Mar!"
"Satu bungkusan lagi, Mar!" sambar Nurul tak sabar. "Yang lebih kecil itu!"
Dengan tangan gemetar Maria membuka bungkusan yang satu lagi. Dan wajahnya bertambah merah terbakar!
yang ini sudah pernah dilihatnya melingkari dada Tina.... Warnanya coklat muda. Bahannya lembut. Tidak terlalu besar. Tapi manis.
"Pakai mulai besok, Mar!" cetus Tina bersemangat. "Kamu kan wanita! Sudah gadis remaja! Masa mau jadi anak-anak terus!"
Maria menutup mukanya dengan tersipu-sipu-Teman-temannya langsung menertawakannya.
*** Hati-hati Maria mengunci pintu kamarnya.. Ayah sedang berdoa. Pasti lama. Dia punya banyak kesempatan sebelum Ayah masuk ke sini. Dibalik -kannya patung Bunda Maria yang selalu mengawasi
nya sambil tersenyum. Sekarang patung itu menghadap ke dinding.
"Maafkan saya, Bunda yang tersuci," bisik Maria sambil membuat tanda salib.
Lalu hati-hati Maria menurunkan gambar Tuhan Yesus yang sedang mengangkat sebelah tangan-Nya untuk memberkati. Diletakkannya tertelungkup di atas tempat tidur.
Salib pun diturunkan. Setelah didekapkannya erat-erat ke dada, disimpannya baik-baik di dalam laci.
Ragu-ragu Maria tertegun sejenak di tengah ruangan. Ada kitab Injil di atas meja sembahyangnya. Disimpannya pula di dalam laci.
Selama beberapa detik Maria menoleh-noleh ke seluruh kamarnya. Tidak ada apa-apa lagi. Tidak ada yang melihat. Tapi dia masih bimbang. Dihampirinya tempat tidurnya. Dibukanya bungkusan yang disembunyikannya di bawah kasur. Dan dikeluarkan BH itu dengan hati-hati.
Sesaat sebelum dilepaskannya bajunya, matanya terbentur pada gambar Tuhan Yesus di atas tempat tidur. Dibalikkannya dengan hati-hati. Ditatapnya. mata Tuhan Yesus. Marahkah Dia"
Tetapi mata itu tetap menatapnya selembut kemarin. Mata yang penuh pengertian. Penuh kasih Sayang....
"Oh, Tuhan! Maafkan saya!" bisik Maria sambil membalikkan kembali gambar itu. Diletakkannya tertelungkup kembali di atas tempat tidur. lalu Maria membuka bajunya. Dan dikenakannya BH itu- Berkali-kali dia berputar-putar di depan cermin. Ah, alangkah pasnya. Enak. Dan nyaman
Sekali lagi Maria berputar. Dan dia tersenyum sendiri. Dikenakannya bajunya. Ada yang menonjol di bagian dada. Begitu serasi dengan lekuk tubuhnya yang lain. Besar di dada, mengecil di pinggang... lalu melebar di pinggul....
Hm, postur tubuh seorang wanita sejati.... Dilepaskannya jalinan rambutnya. Digeraikannya rambut yang hitam panjang itu ke punggung. Oi, indahnya!
Maria tidak bosan-bosannya menikmati bayangan dirinya di dalam cermin.... Ah, mata yang menatap dengan kemalu-maluan itu... Wajah yang pucat dan merah berganti-ganti.... Duh. seandainya dia-punya pemerah bibir untuk memoles bibirnya yang pucat...
Dan tatapannya berhenti pada bikini di atas tempat tidurnya. Tiba-tiba saja timbul keinginan yang amat kuat untuk mencobanya. Mengapa tidak" Di sini tidak ada orang lain....
Bergegas Maria melepaskan pakaiannya. Dan mengenakan bikini....
Ah, yang hijau-hijau itu amat kontras dengan kulit tubuhnya yang putih bersih. Walaupun lekuk tubuhnya tidak terlalu indah, belum tumbuh bukit-bukit yang mempesona untuk ditonjolkan, di depan maupun di belakang, di atas maupun di bawah, tak urung Maria mengagumi dirinya. Rasanya dia tidak ingin melepaskan bikini itu.
Apa salahnya memakainya semalam-malaman" Di tempat tidur. Bukan di kolam renang. Dan nyanyian ayahnya tiba-tiba menerpa telinganya. Selesai menyanyi, Ayah pasti kemari.
Bergegas Maria menjejalkan BH-nya ke bawah kasur. Lalu buru-buru dikenakannya kembali pakaiannya. Ayah tidak pernah menggeledah tubuh
nya. Bikini itu pasti aman di sini. Tapi yang di bawah kasur" Ayah tidak segan-segan memeriksa ke sana.
Terpaksa Maria mengikat BH itu di pinggangnya. Dan mengenakan daster yang longgar. Yang tebal bahannya. Yang ramai motifnya. Ah, Ayah pasti tidak tahu. Lekas-lekas dibereskannya kembali kamarnya.
Patung Bunda Maria sudah menengok kembali ke tempat yang biasa. Memandang Maria sambil tersenyum sabar. Gambar Tuhan Yesus sudah kembali pula ke tempat-Nya yang semula. Mata-Nya yang penuh kasih sayang menatap Maria dengan penuh pengertian.
Salib telah tergantung pula di tempat yang paling tinggi. Itulah Anak Domba Allah yang menebus dosa manusia. Dosa Maria juga.
Dosakah memakai BH" Memakai bikini" Dosakah mempertontonkan lekak-lekuk tubuhnya kepada orang lain" Dosakah memamerkan keindahan tubuhnya" Dosakah berusaha untuk terlihat lebih cantik"
Ah, sia-sia Maria memohon jawaban. Dia berlutut. Berdoa. Memohon ampun. Bertanya. Tapi yang membingungkan itu masih tetap rahasia bagi dirinya.
*** "Sudah nyerah, Tur"" tegur Rena ketika dia bertemu Guntur pada sebuah pagelaran tari dan nyanyi untuk kawula muda. "Kapok nyabet biarawati kita" Kok nggak pernah nongol lagi"" "Kapok sih belum." Guntur menyeringai masam.
"Cuma break dulu deh. Cakepnya nggak seberapa, lagunya teler kayak lepasan Grogol!"
"Kan di situ seninya! Yang model begitu nggak sepuluh tahun sekali keluarnya. Tur!"
"Kalau mau jadi mak comblang, cari aja korban yang lain deh, Ren! Gua masih pingin waras!"
"Tapi kan nggak ada yang bonafid kayak kamu!"
"Bonafid dengkulmu! Yan
g begitu sih nggak lihat mobil, nggak ngerti dandanan! Percuma nampang juga!"
"Tapi sekarang sih sudah ada kemajuan, Tur. Tiap hari kan kita indoktrinasi terus!"
"Yah, asal jangan kalian saja yang ketularan dia! Satu aja udah cukup repot!"
"Ulang tahunku minggu depan. Datang ya, Tur""
"Ulang tahun lagi" Kan dulu udah!"
"Udah lima belas kali. Tapi yang keenam belas belum. Minggu depan. Datang, ya""
"Malam Minggu""
"Malam Senin juga boleh. Tapi udah nggak ada siapa-siapa. Nggak ada makanan. Tinggal makanan buat si Bleki doang."
"Ada acara bebas""
"Hhh. rusak tu otak!"
"Udah dari sononya, Ren! Kelainan bawaan sih!" "Pokoknya teman-temanku yang cakep-cakep komplet deh di sana!" "Biarawatimu juga"" "Wah. usul yang bagus!"
"Dan ide yang paling gila," sela Johan yang sejak tadi diam saja. "Pasti bakal ada acara kebaktian rohani!"
"Pokoknya siip deh! Kalian datang saja. Tinggal pilih!"
"Kalau aku milih kamu, Ren"" "Bilang saja sama Johan. Barangkali dia mau tukar tambah!"
"Jangan dong, Tur! Kamu harus menghormati kedaulatanku!"
BAB V Lama Suster Cecilia tertegun bingung. Maria memang selalu datang mengganggunya dengan pertanyaan yang aneh-aneh. Tapi dia insaf, murid yang satu ini memang serba istimewa. Dia menuntut perhatian yang jauh lebih besar.
Problem Maria memang banyak. Sebaliknya, pengalamannya amat sedikit. Dia seperti rusa hutan yang tiba-tiba masuk ke kota metropolitan. Serba canggung dan serba bingung. Tapi pertanyaannya hari ini benar-benar membingungkan Suster Cecilia.
"Suster, apa saya boleh memakai BH" Rena mengundang saya pada pesta ulang tahunnya malam Minggu besok."
"Gadis yang memakai BH tidak berdosa, Maria," sahut Suster Cecilia sabar. Dicarinya kata-kata yang sebijaksana mungkin. "Tapi itu tergantung apa kamu memerlukannya atau tidak""
"Saya ingin memakai gaun, Suster. Tanpa BH, dada saya terlihat rata. Jelek sekali. Apakah tidak berdosa untuk terlihat cantik, Suster""
"Tentu saja tidak, Maria." Suster Cecilia tersenyum sabar. "Setiap wanita diciptakan dengan kecantikan masing-masing. Tapi memakai baju yang
mempertontonkan sebagian besar tubuh, apalagi bagian-bagian yang terlarang, dapat memancing timbulnya nafsu yang tidak baik pada sebagian orang yang melihat. Itulah dosa."
"Baju saya cukup sopan, Suster. Tidak ada bagian yang cukup terbuka."
"Saya percaya padamu, Maria. Tapi apa ayahmu sudah setuju""
"Besok Ayah berangkat ke Banyumas. Menjual tanah kami, Suster."
Suster Cecilia mengangkat alisnya. Dahinya berkerut.
"Tapi harus kamu tanyakan dulu sebelum ayahmu berangkat, Maria. Kalau diizinkan, baru kamu boleh pergi."
"Baik, Suster."
"Dan ingat, Maria..." Suster Cecilia menggenggam tangan Maria erat-erat. "...jaga dirimu. Sekali kamu ternoda, kamu akan menyesal seumur hidup. Siapa yang akan pergi bersamamu"" "ELita akan menjemput saya."
Elita." Suster Cecilia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Hm, saya bisa mempercayainya."
"Besok Ayah sudah kembali," Pesan Pak Handoyo
sebelum berangkat. "Jangan ke mana-mana. Kunci
pintu baik-baik." "Ya, Ayah," sahut Maria patuh. Hatinya berdebar bingung. Bilang" Jangan" Minta izin" Tidak usah" ayah sudah melangkahi ambang pintu. Dia tegak
sebentar di sana. Memberkati rumahnya. Mohon pertolongan Tuhan agar menjagai rumah itu.
Maria menatap ayahnya yang sedang berdoa dengan gelisah.
"Jangan ke mana-mana!" kata Ayah tadi. Ah, Ayah pasti melarang dia pergi ke pesta ulang tahun Rena. Padahal dia benar-benar ingin pergi!
Apa salahnya pergi ke pesta" Dia belum pernah ke tempat semacam itu! Lagi pula Elita yang akan menjemputnya. Dia baik. Bisa dipercaya. Suster Cecilia pun mempercayainya....
Suster Cecilia! Apa katanya kemarin" "Kalau diizinkan, baru kamu boleh pergi!" Izin. Mana pernah Ayah mengizinkannya" Ayah selalu melarang! Percuma ditanya. Jawabnya pasti tidak. Ayah selalu menganggap pesta itu buruk. Perbuatan iblis. Ah. Maria jadi bingung!
sementara itu Ayah sudah turun ke halaman. Sekejap timbul niat Maria untuk mengejarnya. Minta izin. Dia akan membujuk. Memohon. Kalau perlu meratap! Tapi ... ada gunanyakah semua itu"
Hati ayahnya keras seperti batu granit. Air mata pun tidak dapat meluluhkannya. Dia kejam. Emosinya pun sudah mati. Biar Maria mengancam akan membunuh diri di hadapannya sekalipun, Ayah pasti menolak! Jadi buat apa lagi permohonan itu"
Dan Maria tersentak. Tubuh Ayah telah hilang dari pandangan. Dia berlari ke halaman. Dan menoleh ke gang.
Ayah sedang melangkah menjauhinya. Punggungnya yang mulai bungkuk tampak rapuh disinari matahari sore yang masih tajam menyengat.
Maria sudah membuka mulutnya untuk memanggil, Tapi tidak ada suara yang keluar. Suaranya tersekat di tenggorokan. Dan Ayah hilang lagi dari pandangan. Lenyap di kelok jalan.
Habislah sudah. Tidak ada waktu lagi untuk minta izin. Maria menangis tersedu-sedu di pintu pagar.
*** Lama Maria memandangi dirinya di dalam cermin. Gaun merah mudanya amat menawan. Elita yang memilihkan untuknya kemarin.
Uang Maria memang tidak cukup. Tapi Elita dan Nurul rela meminjamkan uang kepadanya. Entah sampai kapan.
Maria tidak menyangka ada gaun semahal itu! Seharga sekarung beras! Tabungannya bertahun-tahun ludes tanpa bekas! Itu pun masih belum cukup!
"Segitu sih belum mahal, Mar." Nurul tertawa geli. "Ada gaun yang berharga sepuluh kali ini, tahu nggak""
"Sepuluh kali lipat"" belalak Maria tidak percaya. "Lihatlah nanti waktu pesta. Gaunmu ini tidak berarti apa-apa!"
Tapi ini gaun terbagus yang pernah dimilikinya! Mimpi pun belum pernah dia akan dapat memiliki gaun seindah ini! Jadi masa bodoh dengan pendapat orang lain! Dan sekarang ... gaun seindah ini tidak akan dipakainya"
Elita sudah meminjamkan sepatu yang sesuai. sepatu bertumit tinggi yang pada mulanya agak merepotkan untuk dipakai berjalan. Perlu sedikit latihan supaya gaya jalannya jangan seperti pingguin. Dan wajahnya... ah! Elita sudah meminjamkan lipstick dan maskara-
nya pula. dengan sedikit kursus kilat siang tadi, rasanya dia sudah bisa memoles mukanya.
Matanya akan terlihat lebih hidup. Begitu kata Nurul tadi. Bibirnya juga akan tampak lebih memikat.
Nurul malah sudah ikut-ikutan meminjamkan bandonya. Katanya akan terlihat lebih cantik kalau rambutnya dilepas saja. Jangan dijalin. Digerai bebas ke punggung. Dan dihiasi sebuah bando yang akan bertengger di atas kepalanya....
O, entah mengapa si Bawel itu ikut-ikutan jadi baik! Mungkin terpengaruh Elita. Temannya yang satu ini memang yang paling baik.
Ah. Maria pasti mengecewakan Elita kalau tidak datang malam ini. Dia sudah berjanji akan menjemputnya. Dan mengantarkannya pulang pula. Nah. mau apa lagi" Apa pula yang ditakutkan"
Semuanya teman-teman sendiri. Begitu kata Rena tadi. Dan Maria merasa lega. Teman-temannya memang kadang-kadang bandel. Brengsek, menurut istilah yang sering didengarnya. Tapi sekarang Maria baru tahu, hati mereka banyak yang baik.
Rasa kesetiakawanan mereka cukup besar. Keinginan mereka untuk membela nama sekolah pun tidak memalukan. Dan sikap persatuan mereka lebih menonjol kalau regu salah satu cabang olahraga sekolah mereka bertanding dengan sekolah lain. Karena Maria merupakan anggota aktif yang berbakat, dengan sendirinya hubungannya dengan teman-temannya menjadi lebih akrab.
Ah. Maria sering tersenyum sendiri kalau teringat hari-hari pertamanya masuk sekolah dulu. Dia ingat bagaimana perlakuan teman-temannya terhadap dirinya.
Kadang-kadang mereka memang keterlaluan, Ih, dia jadi malu sendiri kalau ingat. Tapi banyak Juga
hal-hal manis yang dilaluinya sebagai pengalaman berteman.
"Itulah pergaulan," komentar Elita kalau Maria memaparkan isi hatinya. "Kamu boleh pintar, tapi kalau kamu tidak bisa bergaul, kamu pasti tersisih di masyarakat. Manusia kan makhluk sosial!"
Dan tekad Maria pun mantaplah sudah. Dia harus hadir. Dia akan datang ke pesta Rena. Ini pengalaman yang pasti tak kan terlupakan seumur hidupnya. Ayah tidak usah tahu. Dan Ayah pasti tidak tahu!
*** Sudah dua belas kali Maria melihat kejam kecil di atas meja. Hampir setengah delapan. Padahal Elita berjanji menjemputnya pukul tujuh. Ada apa" Lupakah dia"
Ada segurat kekecewaan menoreh hati Maria. Kalau Elita saja sudah tidak dapa
t dipercaya... siapa lagi yang dapat diandalkannya" Lebih baik dia tidak usah pergi saja!
Tapi gaun ini... Maria menoleh kembali ke dalam cermin. Rasanya Maria tidak ingin melepaskannya lagi. Dia terlihat begitu berbeda dengan gaun ini.
Lebih-lebih wajahnya... uh, dia sendiri hampir tidak mengenali dirinya sendiri.... Matanya benar-benar terlihat lebih hidup. Lebih menyilaukan dengan olesan mascara dan eyeshadow yang cukup
Dan bibirnya... hm. Merah menantang. Amat manis kelihatannya bila dibawa tersenyum....
Rambutnya... Oh, indahnya tergerai bebas begi-tu... hitam, lebat, panjang.... Kalau saja sejak dulu
dia menyadari, betapa indah sebenarnya rambutnya...
Tapi... ah, wajahnya tidak cantik. Hidungnya terlalu panjang. Matanya terlalu besar. Tulang pipinya menonjol. Cuma bibirnya yang agak lumayan.
"Kamu cantik kalau mau dandan, Mar!" kata Nurul siang tadi. 'Tidak ada wanita yang jelek. Yang ada cuma wanita yang tidak tahu bagaimana caranya supaya terlihat cantik!"
"Cobalah, Mar," pinta Elita ketika Maria masih tetap menolak untuk didandani. "Kalau kamu nggak puas, nggak usah pakai!"
"Tapi ayah saya..."
"Make-up ini bisa dihapus kok, Mar," potong Nurul tak sabar. "Kita coba dulu. Lalu kita hapus lagi. Oke""
"Nanti kamu boleh pinjam alat make-up-ku, Mar," sambung Elita. "Boleh kamu bawa pulang. Aku masih ada yang lain."
Dan sapuan jari-jemari Elita memang tidak mengecewakan. Maria sendiri hampir tidak percaya melihat hasilnya. Kalau tidak malu pada teman-temannya, rasanya dia segan menoleh ke tempat lain. Tak bosan-bosannya dia memandangi wajahnya dalam cermin kecil yang disodorkan Elita.
"Lihat"" Elita tersenyum puas. "Kamu cantik, kan""
Lama Maria menatap cermin itu sebelum menoleh ke arah Elita dengan kemalu-maluan.
"Benarkah... benarkah... saya cantik"" desahnya tak percaya.
"Betul, Mar! Apalagi kalau rambutmu dilepas! Jangan dijalin dua begini! Kuno!"
Dan sekarang Maria tegak di sini. Menatap ragu ke dalam cermin. Sebentar-sebentar menoleh dengan cemas ke jam kecil di atas meja.
Setengah delapan lewat lima menit... Mengapa Elita belum datang juga" Ah, Maria melepas sepatunya dengan kesal. Dia pasti dipermainkan lagi! Tapi... Elita! Benarkah dia seiseng itu"
Dan klakson mobil terdengar tepat di depan pintu pagar rumahnya. Di gang yang lumayan sempitnya, Elita pasti tidak bisa parkir lama-lama.
Bergegas Maria menyambar sepatunya. Dan berlari-lari ke luar sambil menjinjing sepatu itu. Diterjangnya saja pintu depan. Dan dia menahan napas.
Mobil! Tepat di muka rumahnya. Pasti Elita! Tanpa berpikir dua kali cepat-cepat Maria mengunci pintu. Dan berlari-lari ke luar.
Pintu depan mobil sebelah kiri langsung terbuka begitu Maria tiba di samping mobil itu. Dia Melongok ke dalam dan mulutnya yang sudah siap menegur langsung mengejang....
"Masuklah," kata pemuda di belakang kemudi itu.
Cuaca cukup gelap. Tapi Maria sudah dapat mengenalinya dengan sekali pandang saja. Dan dia mundur dengan ketakutan.
"nggak usah takut! Aku yang akan mengantarmu Ke rumah Rena!"
Buru-buru Maria menutup kembali pintu mobil dan Sudah bergerak untuk masuk kembali ke halaman rumahnya ketika klakson bajaj menyentak-kan telinganya.
"Ayo, Neng! Lekas naik!" seru sopir bajaj itu ditengah-tengah deru mesin yang membisingkan telinga. "Jangan bertingkah, ah!"
"Elita nggak bisa menjemputmu," teriak Guntur dari dalam mobil tanpa menghiraukan kemarahan bajaj yang tidak bisa lewat itu.
Gang di depan rumah Maria memang sempit. Dan mobil Guntur berhenti terlalu ke tengah. Akibatnya bajaj di belakangnya tidak dapat lewat.
Terpaksa Maria naik ke dalam mobil. Tidak tahan mendengar bisingnya deru mesin bajaj yang berbaur dengan teriakan-teriakan kemarahan pengemudinya. Alangkah kotornya makian orang itu. Alangkah kasarnya Jakarta!
"Kenapa sih nggak mau ikut"" gerutu Guntur jengkel. "Takut, ya""
"saya janji pergi dengan Elita...," sahut Maria gugup. Mukanya pucat. Matanya gelisah. Peluh membasahi sekujur tubuhnya. Walaupun mobil itu dingin seperti di dalam gua es.
Mereka hanya berdua saja di dalam mobil ini.... O, Tuhan! Dia benar-benar t
akut! Dia belum pernah berada berdua saja dengan seorang laki-laki selain ayahnya.... Dan Ayah bilang laki-laki itu... Ah, meremang bulu tengkuk Maria!
"Elita nggak bisa datang!"
"Ke mana dia""
"Pergi dengan pacarnya."
"Dedi"" "Huu, Dedi sih nggak masuk hitungan! Rusman, tahu nggak"! Itu yang dia naksir dari dulu! Dedi sih apaan! Nggak bonafid!"
Rusman. pikir Maria bingung. Dia sudah Pernah melihat pemuda itu. Tidak jauh bedanya dengan pemuda ini. Tampangnya tidak sejujur Dedi. Ah, Elita pasti salah pilih!
Maria memang sering mendengar teman-temannya membicarakan Elita. Sudah lama dia menaruh hati pada Rusman. Tapi pemuda itu tidak pernah membalas perhatiannya. Yang mengejar-ngejar Elita justru Dedi.
Terus terang Maria lebih senang kalau Elita memilih pemuda itu saja. Dedi lebih bisa dipercaya. Rusman sebaliknya. Teman-teman mereka sering membicarakan pemuda itu. Katanya dia sering berganti-ganti pacar!
Diam-diam Maria mendengarkan gosip-gosip semacam itu. Hal yang baru di dalam hidupnya. Pacaran. Cemburu. Saling rebut kekasih orang lain. Kejar-mengejar pacar. Dan aneh. Lama-lama Maria ikut gemar mendengarkannya. Meskipun cuma terbatas pada mendengarkan saja.
"Kok diam aja"" tegur Guntur ketika diliriknya gadis itu bengong saja melihat ke depan.
"Bagaimana kalau Elita menjemput saya ke rumah""
Buset, nggak ngerti juga, gerutu Guntur dalam hati. Dasar bego! Elita-mu tidak akan datang! Tidak Percuma kukirim Rusman ke rumahnya! "Elita pergi dengan Rusman." sahut Guntur tegas. "Mungkin mereka menjemput saya"" "Mereka menyuruhku menjemput kamu!" Maria menghela napas. Begitu kerasnya sampai menoleh. Kenapa" Keberatan"" tidak ada jawaban. Guntur jadi gemas. "Apa bedanya sih kalau aku yang jemput" Kan sampai juga! Takut dibawa kabur, ya" Atau mesti pastor yang jemput kamu""
"Kata Suster Cecilia," sahut Maria polos, "saya hanya boleh pergi dengan Elita." "Lho, kenapa begitu"" "Dia bisa dipercaya."
Meledak tawa Guntur. "Malam ini kamu tahu, nggak ada yang bisa dipercaya!"
"Tapi saya percaya pada Tuhan!"
"Nah, minta tolonglah pada Tuhan-mu! Buat apa kamu takut kalau begitu""
"Elita ada di pesta itu"" tanya Maria ragu-ragu.
"Tergantung ke mana Rusman membawanya."
"Lalu... siapa yang mengantarkan saya pulang"" desah Maria ngeri "Saya... saya tidak berani pulang sendiri...."
Guntur menyeringai lebar. "Mintalah padaku." "Kamu mau mengantarkan saya pulang"" "Kalau kamu jadi patnerku, itu memang tugasku!"
"Kamu tidak malu..."" Maria menggigit bibirnya dengan tiba-tiba. Parasnya langsung memerah.
"Malu"" Guntur menoleh sekilas. Lalu dia tersenyum. "Aku malah bangga!"
"Saya tidak cantik...."
"Dan kamu kuper! Norak! Udik!"
Maria menunduk sedih. Air matanya berlinang.
"Jadi kenapa kamu mau membawa saya" Nanti kamu ditertawakan teman-temanmu!"
"Sebab aku ingin membawamu! Dan aku bangga karena sebelum ini tidak ada seorang pun yang bisa membawa kamu ke pesta!"
Maria menggigit bibirnya menahan tangis.


Merpati Tak Pernah Ingkar Janji Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya ingin seperti teman-teman yang lain..." katanya terbata-bata. "Tapi saya berbeda..."
"Kamu sendirilah yang membuat perbedaan itu! Kalau kamu normal seperti teman-temanmu, kamu tidak bakal dijadikan bulan-bulanan begini!"
"Kamu pikir saya tidak mau seperti mereka" Saya cuma tidak bisa!"
"Karena kamu ingin jadi biarawati""
"Ayahlah yang telah mempersembahkan saya kepada Tuhan. Sejak saya lahir."
Ada pukulan yang tidak kelihatan meninju dada Guntur. Tiba-tiba saja dia merasa bersimpati pada gadis ini.
"Seluruh hidup saya telah didikte oleh Ayah. Nasib saya telah ditentukan sejak saya lahir...."
"Kamu bisa berontak kalau tidak mau!"
"Kamu belum kenal ayah saya. Lagi pula saya memang mencintai Tuhan. Saya rela menyerahkan seluruh hidup saya untuk-Nya."
"Wah, kepalaku jadi pusing," keluh Guntur. "Kamu nggak punya saudara""
"Saya anak tunggal. Ibu meninggal ketika
melahirkan saya. Setitik perasaan yang dia sendiri tidak tahu apa namanya merayap di sudut hati Guntur yang paling dalam. Selama ini belum pernah perasaan semacam itu menyelinap ke hatinya. Dia sendiri merasa aneh. Kamu mau turun di depan pintu" Sa
ya parkir mobil dulu."
"Saya ikut kamu," sahut maria gugup. "Lho, di depan pintu ada teman-temanmu kok! Kamu nggak usah takut!"
"Saya malu..." "Kamu benar-benar belum pernah pergi ke pesta" Pesta nenek-nenek dan kakek-kakek juga belum""
Maria menggeleng. Dalam gelap matanya menatap Guntur dengan jujur.
"Pesta anak-anak juga belum"" Maria menggeleng lagi.
Astaga, Guntur menghela napas. Benar-benar ajaib!
"Berapa umurmu"" "Enam belas "
Spontan. Jujur. Tanpa ditutup-tutupi. Tanpa dikorting. Padahal gadis-gadis biasanya pantang menyebutkan umur mereka. Ah, dia benar-benar gadis yang paling jujur yang pernah dijumpainya!
"Di kotamu dulu. kamu belum pernah pergi ke pesta ulang tahun temanmu"" "saya tidak punya teman." "Teman sekolah"" "Saya tidak sekolah."
Guntur tertegun bingung. Sampai tidak dapat mengajukan pertanyaan lagi.
"Saya belajar sendiri di rumah. Ayah memanggil guru."
"Ayahmu benar-benar sadis!" "Ayah melarang saya bergaul dengan pria. Ayah takut sekolah akan merusak jiwa saya."
"Ibumu pasti laki-laki!" geram Guntur gemas.
"Ibu"" ulang Maria bingung.
"Ayahmu pasti kawin dengan laki-laki juga-Bukankah dia melarang putrinya bergaul dengan laki-laki" Nah, dia juga pasti tidak suka bergaul dengan wanita!"
"Ayah ingin saya tetap utuh dan suci seperti waktu saya dilahirkan."
"Jadi tidak boleh kena polusi sama sekali""
"Saya harus mempersembahkan diri saya kepada Tuhan dalam keadaan suci murni "
"Waktu kamu dilantik jadi biarawati" Nah, kenapa kamu disekolahkan sekarang""
"Ayah ingin saya mengabdikan diri di biara itu. Dan Ayah ingin saya pandai seperti Ibu. Kata Ayah, Ibu lulusan SMA."
"Hhh, aneh!" Guntur memarkir mobilnya sambil menggerutu. "Orang tua seperti ayahmu itu sudah nggak model lagi sekarang! Sudah mesti dimuseumkan!"
"Ayah cuma ingin saya pintar dan baik seperti Ibu. Salahkah itu""
"Tapi kejam menjadikan seorang anak sebagai duplikat ibunya!"
Sambil masih menggerutu Guntur turun dari mobilnya. Mengunci pintu. Dan membukakan pintu buat Maria.
"Kita masuk"" tanya Maria bimbang.
"Kamu mau di mobil terus""
"Tapi saya malu...."
"Acuh saja." "Kamu nggak malu jalan sama saya"" "Coba kulihat dulu. Kamu pincang nggak"" Buru-buru Maria berdiri.
"Hm." Guntur menahan senyumnya. "Kamu Pakai kaki palsu""
Maria menggeleng dengan segera. "Nah, aku mesti lihat dulu kakimu."
kaki... saya..."" Gemetar bibir Maria. "Duduklah dulu. Angkat longdress-mu sedikit. Aku harus melihat dulu kakimu."
"itu syaratmu"" keluh Maria bingung.
"Terang dong! Gadis pincang nggak pantas jadi partnerku!"
"saya tidak pincang!" protes Maria tersinggung. Diangkatnya gaun panjangnya dengan kesal. Dan sepasang betis putih dan mulus terpampang menantang di depan mata Guntur.
"Hm, indah!" komentar Guntur menahan se-nyum. "Nah, ayo masuk! Kamu tidak memalukan kok!"
Guntur mengulurkan lengannya. Tapi Maria pura-pura tidak melihat.
*** Begitu Maria masuk, semua temannya langsung lupa yang pesta Rena. Bukan Maria. Serentak mereka semua lari mengerubungi Maria.
"Amboi, cakepnya!" Luna mencibirkan bibirnya. "Lihat tu muka, kayak kanvas belepotan cat!"
"Dan dadanya!" Rena mengikik geli. "Bukitnya tumbuh dalam sehari!"
"Wah. kece juga nih suster!" komentar Ronald sambil memukul bahu Guntur yang berjalan di sisi Maria. "Kapan lu nyusul jadi pastor, Tur""
"Pokoknya gua pasti undang lu!" sahut Guntur sambil menarik Maria ke lantai dansa. "Disko yuk""
"Disko"" Maria menoleh heran. Seperti bebek mendengar petasan.
"Dansa." "Di sini"" Memucat wajah Maria. "Di mana lagi"" gurau Guntur. "Di tempat tidur"" "Saya tidak bisa dansa!" "Ah, gampang! Goyang-goyang aja. Salah juga nggak ada yang tahu!"
"Minum dulu, Mar!" Nurul datang membawakan segelas minuman dingin. "Mukamu pucat sekali. Ntar keburu semaput!"
"Di mana Elita, Rul""
"Belum kelihatan dari tadi."
"Ah," Maria mengeluh bingung, "ke mana dia""
"Sudah kubilang, dia pergi sama Rusman!" gerutu Guntur kesal. "Jangan pikirkan dia lagi deh! Yuk kita dansa!"
Tanpa menghiraukan protes-protes Maria, Guntur membawanya ke lantai dansa.
"Hai!" sapa teman-teman mereka yang s
edang asyik berdisko. Maria hanya tersenyum kemalu-maluan. Dia berjalan separuh ditarik oleh Guntur di sela-sela pasangan-pasangan yang sedang berdansa.
"Awas pecah, Tur!" goda Endang. "Barang antik tuh! Hati-hati pakainya!"
"Beres." Tersenyum Guntur. "Pokoknya barang kembali dengan utuh!"
"Eh, barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan lho!" sambung Nike lincah.
Silau mata Maria melihat dandanan teman-temannya malam ini. Nurul benar. Di pesta semacam ini, gaunnya yang seharga sekarung beras itu tidak berarti apa-apa. Tenggelam dalam semaraknya gaun teman-temannya.
Dan yang gemerlapan itu masih diramaikan lagi
oleh kilauan perhiasan di lengan, leher, dan telinga
mereka. Karena di sekolah dilarang memakai perhiasan, di Pesta semacam inilah mereka baru dapat memamerkan miliknya. Meskipun kadang-
kadang hanya berupa barang imitasi - itu pun tidak jarang merupakan barang pinjaman - mereka tidak
segan-segan memindahkan toko perhiasan ke tubuh mereka.
"Ayo, jangan malu-malu, goyang saja," kata Guntur sambil mulai berdisko. "Dengarkan irama musik itu, ikuti alunannya, lupakan teman-temanmu. Anggap saja di sini cuma ada kamu dan aku. Jangan minder! Kamu nggak kalah kok sama mereka!"
"Benar"" Maria menatap Guntur dengan tatapan tidak percaya. Matanya yang jujur berkedip-kedip penuh harap. "Saya juga cantik seperti mereka""
"Kamu cantik," sahut Guntur tegas.
Ada sinar berpendar-pendar di mata yang selalu murung itu. Kamu cantik! Dan itu diucapkan oleh seorang pemuda yang setampan Guntur! Ya, Tuhan! Benarkah dia cantik"
Oh, ada perasaan yang sulit dilukiskan di hati Maria. Perasaan bangga bercampur haru. Perasaan yang sama seperti perasaan yang mengaduk-aduk hatinya kalau Guntur berjalan di sisinya. Memegang tangannya. Menggandengnya melewati Luna yang menatap mereka dengan tatapan yang belum pernah dilihatnya bersorot di mata itu. Mengajaknya berdansa. Atau cuma sekedar minum dan ngobrol. Ah. Guntur begitu tampan! Mungkin yang paling tampan di pesta ini! Dan dengan dialah Maria berjalan!
"Kamu senang"" tanya Guntur setelah hampir setengah jam mereka berdansa.
Maria mengangguk sambil tersenyum. Matanya menatap Guntur dengan penuh terima kasih. Sedikit pun dia tidak berusaha untuk menyembunyikan kebahagiaannya. Dia begitu polos seperti sebuah
buku yang terbuka. Setiap orang dapat membaca isi hatinya.
"Lihat, kamu sudah bisa dansa!"
"Ah." Maria menunduk kemalu-maluan. Konsentrasinya langsung buyar. Dansanya jadi kacau. Beberapa kali dia menginjak kaki Guntur.
"Capek" Mau istirahat dulu""
"Kita boleh duduk""
"Tentu saja! Sudah lapar""
"Boleh ditunda sebentar lagi""
"Nggak ada yang larang. Di pesta ini kita boleh berbuat apa saja. Sesuka hati."
Guntur membawa Maria ke bangku di sudut ruangan. Dan mengambilkan minuman dingin untuk gadis itu.
"Bagaimana"" ejek Luna ketika Guntur melewati tempatnya. "Sudah selesai kursus kilatnya""
"Wah, dia lebih asyik daripada kamu!" Guntur balas mengejek. "Semuanya masih asli!"
Tentu saja Maria tidak dapat mendengar Pembicaraan mereka. Guntur menyodorkan minumannya tanpa berkata apa-apa.
"Terima kasih," sahut Maria terharu. "Kamu baik sekali."
Guntur tertawa lunak. "Apanya yang baik"" Mengambilkan minuman untuk saya."
"Itu sih sudah seharusnya!" "Kamu mau menjemput saya, mengajar saya berdansa..."
"Aku malah ingin mengajari kamu berenang!" "Berenang""
"Aku ingin mengajari kamu apa saja supaya kamu tidak norak dan kuper!"
"Ah, ayah saya pasti marah!"
"Boleh datang ke rumahmu"" "Kamu"" belalak Maria kaget. "Siapa lagi""
"Mau apa kamu ke sana"" "Bicara dengan ayahmu." "Aduh. jangan!"
"Harus ada orang yang berani membukakan matanya! Anaknya normal! Dia yang punya kelainan!"
"Jangan! Ayah pasti marah! Dan saya dilarang sekolah lagi!"
"Senin siang kujemput kamu pulang sekolah. Oke" Kita pergi berenang!"
"Jangan!" "Kamu tidak ingin ketemu lagi"" "Tentu! Tapi...""
"Jangan takut. Aku akan menjagamu." "Ayah melarang saya bergaul dengan laki-laki!" "Kuno! Ayahmu sendiri laki-laki!" "Kata Ayah. laki-laki itu perusak...." "Aku tidak akan mengganggumu. Aku cuma ingin
melihat kamu jadi gadis normal!"
Hampir pukul sebelas malam ketika Guntur menurunkan Maria di muka rumahnya. Gang di depan rumah Maria sudah sepi. tidak ada seorang pun yang lewat.
"Terima kasih mau mengantarkan saya pulang," kata Maria sambil bergerak untuk membuka pintu mobil. tapi Guntur memanggilnya. ketika ia menoleh, tiba-tiba saja pemuda itu mencium bibirnya.
Maria tersentak kaget. Hampir pingsan dia. Matanya terbelalak lebar. Mukanya pucat dan merah berganti-ganti. Jantungnya berdebar keras. Hampir rontok rasanya.
Dia sering mendengar teman-temannya bercerita tentang ciuman pertama. Dia memang sering membayangkannya. Tapi tak pernah mimpi akan ikut merasakannya pula! Apalagi dari seorang pemuda yang setampan Guntur! Oh.
Bergegas Maria melompat turun. Tanpa menoleh lagi, dengan tersipu-sipu, dia berlari masuk ke halaman. Cepat-cepat Guntur menerjang ke pintu sebelah kiri dan melongok dari jendela. "Maria!" panggilnya sekali lagi. Di depan pintu, Maria menoleh. Mukanya merah-padam. Tetapi matanya bersinar-sinar dalam kemilau kebahagiaan. Dan bibirnya tersenyum manis.
"Lusa kujemput kamu! Oke""
Tanpa menjawab, Maria membalik untuk masuk ke dalam. Tapi Guntur memanggilnya sekali lagi. Dan sama seperti tadi, Maria menoleh pula. Senin siang kita berenang, ya""
Karena Maria belum menjawab juga, sekali lagi Guntur berseru.
"Aku belum mau pergi kalau kamu belum bilang ya!"
Jendela sebelah rumahnya terbuka. Sebuah kepala beruban melongok ke luar. Maria menjadi gugup. tetapi Guntur tidak peduli seandainya semua orang di gang ini terjaga dari tidurnya sekalipun. "Aku boleh menjemputmu""
"Sst!" Maria menaruh jarinya di bibir Sambil melirik ketakutan ke arah tetangganya.
Tetapi Guntur malah berteriak lebih keras lagi "Senin siang, oke"" Buru-buru Maria mengangguk. Dia menyelinap ke dalam rumah. Dan menutup pintu. Dadanya masih naik-turun dengan cepatnya. Napasnya pun ter-engah-engah. Tapi Maria bersandar ke pintu itu sambil tersenyum malu.
Bibirnya masih dapat merasakan hangatnya kecupan Guntur. Matanya masih dapat membayangkan lembutnya tatapan pemuda itu. Belum pernah Maria menerima tatapan yang demikian lembut. Ah, bukan hanya lembut... tapi sekaligus hangat... mesra.... Mesrakah namanya tatapan semacam itu" Tatapan yang mampu menggetarkan jantungnya... mengajak hatinya menari-nari dalam alunan kebahagiaan"
Tak tahan lagi Maria menyimpan semua kebahagiaan itu untuk dirinya sendiri. Dia berlari-lari ke kamarnya. Menjatuhkan dirinya di depan meja sembahyangnya. Dan mengatupkan tangannya membentuk sembah.
"Terima kasih. Tuhan!" bisiknya dengan pipi kemerah-merahan. "Terima kasih karena Engkau telah memberikan seorang laki-laki yang sebaik dia!
Lalu matanya yang terpejam dalam kebahagiaan tiba-tiba terbelalak. Sebuah pertanyaan menyentakkan kesadarannya. Tidak marahkah Tuhan" Tidak cemburukah Yesus"
Tetapi mata Yesus masih tetap selembut kemarin. Tatapan-Nya tak pernah berubah. Penuh Pengertian dan kasih sayang. Bunda Maria pun masih tetap tersenyum. Sabar dan agung.
BAB VI "Maafkan saya, Mar," kata Elita begitu dia bertemu dengan Maria hari Senin pagi. "Saya tidak bisa menjemputmu malam Minggu kemarin."
"Oh, tidak apa-apa," sahut Maria dengan senyum yang setulus suaranya. Tidak ada nada kesal sama sekali.
Elita jadi merasa lebih terpukul lagi. Mendustai orang seperti Maria memang lebih terasa dosanya. Tapi malam itu dia memang dihadapkan pada pilihan yang sulit.
Rusman tiba-tiba saja datang ke rumahnya. Dan Elita tidak dapat meninggalkan pemuda yang sudah sekian lama diharapkan kedatangannya. Apa pun alasannya.
"Dia malah senang kamu nggak jemput, El!" Sambar Nurul sambil tersenyum-senvum. "Kamu tahu siapa yang jemput dia""
"siapa"" Elita menoleh dengan waspada. Mata-nya Menatap Nurul dengan tegang. Ketika dilihatnya Nurul cuma tersenyum-senyum, dia langsung berpaling pada Maria.
"Siapa, Mar"" desaknya serius.
"Tebak dong!" ejek Nurul. "Siapa pikirmu yang mau menjemput Maria""
"Kamu, Rul"" Elita menoleh lagi pada Nurul Tapi Nurul cuma mencibir. "Siapa sih"" geram Elita gemas. Dia berpa
ling lagi pada Maria. "Ayo dong. Mar, bilang! Siapa"" "Guntur," sahut Maria polos. Melebar mata Elita. Tapi mulutnya yang telah separuh terbuka dikatupkannya kembali. Sebuah pikiran ganjil melintas di otaknya. Tapi lekas-lekas ditindasnya kembali.
Maria sedang begitu gembira. Kelihatan dari sikapnya. Wajahnya. Tatapannya. Senyumnya. Elita tidak sampai hati mengecewakannya. Dia sudah mengecewakan Maria malam Minggu kemarin. Masa sekarang dia harus mengecewakannya lagi"
Tapi sepanjang hari itu Elita gelisah terus. Lebih-lebih ketika Maria menceritakan dia akan pergi dengan Guntur. Pulang sekolah.
"Dia akan mengajari saya berenang. Cuma... ah, sejak kemarin saya agak pilek. Barangkali karena tidak pernah keluar malam...."
"Dan ayahmu"" cetus Elita antara kaget dan heran.
"Mulai hari ini Ayah pergi dari pagi sampai sore Ayah sudah berhasil menjual rumah kami. Uang itu akan dipakai Ayah sebagai modal berdagang.
Jadi perawan pingitan ini sudah mulai lepas dari kontrol! Elita mengerutkan dahinya dengan bingung. Tentu saja Elita gembira kalau Maria dapat mengecap kebebasan seperti gadis-gadis lain. tapi dia takut kebebasan itu malah akan menjerumuskan nya! Dan kalau itu sampai terjadi... dia punya andil yang tidak kecil!
Elita-lah yang mengajak Maria ke pesta. Dia pula yang tidak datang menjemput gadis itu sehingga Guntur punya kesempatan untuk menggantikannya! Dan pemuda seperti Guntur benar-benar tidak dapat dipercaya!
"Aku ikut, Mar," kata Elita tiba-tiba. "Aku juga kepingin berenang. Kamu keberatan""
"Saya"" Mata Maria melebar dengan gembira. "Saya senang kamu ikut, El!"
Diam-diam Elita menghela napas. Anak ini benar-benar masih polos. Dia malah lebih senang pergi beramai-ramai. Padahal Guntur tentu mengharapkan yang sebaliknya!
"Kamu mau ikut berenang, Rul"" tanya Elita kepada teman-temannya.
"Kapan"" "Nanti siang. Pulang sekolah." "Boleh. Sama siapa"" "Guntur akan menjemput Maria." "Betul"" belalak Nurul heran. "Yuhui! Aku pasti ikut!"'
"Boleh ikut, Mar"" sambar Endang yang juga sudah mendengar kabar yang menjalar cepat seperti wabah itu.
"Tentu," sahut Maria dengan wajah berseri-seri. "Lebih banyak kan lebih ramai!"
"Ayo, Nik!" Endang mendesak Nike yang masih ragu-ragu. Soalnya nanti sore dia les piano. "Kapan lagi kita diajak" Lain kali Maria pasti lebih suka pergi berdua!"
"Iya deh, aku ikut!" kata Nike akhirnya. "Tapi mobil si Guntur muat nggak, ya""
"Kalau nggak muat, naik mobilku!" sambar Tina bersemangat. "Sekelas juga cukup!"
"Mobilmu yang merek Volvo itu ya, Tin"" ejek Nike geli. "Yang bertingkat""
Teman-temannya tertawa riuh. Tapi mereka sudah sepakat mau ikut semua. Diam-diam Elita menghela napas lega.
Rasain kamu. Tur, katanya sambil tertawa dalam hati. Malam Minggu kemarin kamu yang ngerjain saya. Sekarang saya balas! Kamu pikir kamu yang paling pintar" Tak akan saya biarkan kamu mengganggu biarawati kami!
*** Guntur terbelalak bingung melihat gadis sebanyak itu berderet-deret di depan sekolah. Sampai silau matanya.
"Astaga!" cetusnya sambil melongokkan kepalanya dari jendela mobilnya. "Mau demonstrasi ke mana kalian""
"Kami mau ikut berenang, Tur!" sahut Nurul yang paling lincah. "Kamu mau pergi berenang, kan""
"Buset!" Guntur menggaruk-garuk kepalanya. "Kolamnya juga nggak muat!"
"Gantian juga boleh, Tur." Elita tersenyum sinis. "Pokoknya kami ikut!" "Tapi aku cuma ngajak Maria!" "Kalau Maria pergi, kami semua juga pergi!" "Wah, gawat nih!"
"Ayo, Teman-teman! Naik!" Elita mengomando teman-temannya. "Tunggu apa lagi.""
"Waduh! Tunggu dulu! Mobilku nggak muat!" "Sebagian naik mobilku," potong Rena bersemangat. "Sisanya naik busnya si Tina!"
"Hush! Itu bukan busku tahu!" belalak Tina. "Tapi yang ikut aku boleh pakai karcis pelajarku!"
Dan sebelum Guntur dapat mencegah, anak-anak perempuan itu telah berdesak-desakan naik ke mobilnya. Justru Maria masih tertinggal di luar!
"Ayo, Mar! Naik!" seru Elita. "Nanti ketinggalan!"
"Biar saya ikut Tina saja," sahut Maria sabar.
"Bego!" Guntur menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Mobil ini spesial buat jemput kamu! Masa kamu ma
lah mau naik bus"!"
"Waduh! Tuan Besar Guntur murka!" Elita tertawa mengejek. "Lebih baik kamu cepat-cepat naik, Mar! Sini, masih ada tempat! Desak-desakan malah hangat!"
"Jangan, biar saya naik bus saja!"
Dan tanpa bisa dicegah lagi, Maria sudah berlari menyusul teman-temannya yang sedang mengejar bus!
"Mampus gua!" geram Guntur gemas. "Sebentar lagi gua pasti ikut gila!"
"Nguber cewek kayak dia aja otakmu sudah mesti diperiksa, Tur!" kata Luna yang duduk tepat di samping Guntur. "Memangnya persediaanmu sudah habis" Si Rusman sudah nggak ada stock cewek lagi untukmu""
"Yang seperti itu langka, tahu nggak" Masih orisinal! Ban serepnya saja belum turun!"
"Huu, gawat!" Luna mencibir kesal. "Yang tukang tukar-pinjam pacar seperti kamu saja masih
cari yang tangan pertama! Dasar cowok! Mau enaknya sendiri saja!"
*** Sudah hampir setengah jam Maria mengurung diri di dalam kamar ganti. Dia sudah mengenakan bikininya. Tapi tidak berani keluar. Sampai Elita menggedor-gedor pintunya.
"Mar" Sudah belum" Kok lama betul""
"Mar! Kamu masih hidup"" teriak Nurul tak sabar.
"Tunggu sebentar," sahut Maria gugup. Lemas.
"Kenapa" Celanamu hilang""
"Saya..." Menggagap Maria. Sekujur mukanya terasa panas. "Saya..."
"Ajak aku masuk, Mar!" Nurul mendorong pintu dengan gemas. Tapi pintu itu terkunci.
"Tunggu sebentar, Rul...."
"Ngapain lagi" Berdoa dulu""
"Saya malu...."
"Astaga!" Nurul melorot lemas. "Kalau malumu sampai besok, kita semua bisa nginap di sini!"
"Ada apa"" tanya Rena yang baru datang. "Dia semaput di dalam" Perlu bantuanku" Aku masih sanggup mendobrak pintu!"
"Huu, dasar buldozer!"
Dan pintu terbuka sebelum mereka sempat mengetuk lagi. Semua mata yang sedang tegang menatap ke pintu menjadi kecewa.
Maria memang sudah keluar. Tapi tanpa bikini. Dia sudah mengenakan roknya kembali. Dan bersandar lemas ke pintu. Matanya menatap teman-temannya dengan penuh penyesalan.
"Lho!" cetus Nurul antara bingung dan kesal. "Kok nggak jadi""
"Ke mana bikinimu, Mar"" sambung Nike heran. "Hilang""
"Maaf..." desah Maria perlahan, "saya tidak bisa...."
Satu per satu teman-temannya mengangkat bahu dan berjalan ke luar dengan lemas. Guntur yang sudah mengenakan celana renang dan sedang menunggu di tepi kolam melongo keheranan melihat mereka.
"Nggak jadi berenang"" tanyanya bingung. Matanya melebar melihat Maria yang keluar paling akhir, masih mengenakan rok biasa.
"Dia malu!" keluh Nurul separuh menggerutu.
"Malu"" Guntur terbelalak menatap Maria. "Kamu malu pakai baju renang""
"Kata Suster Cecilia, memakai baju yang mempertontonkan sebagian besar tubuh, apalagi bagian-bagian yang terlarang, dapat memancing nafsu. Dan itu dosa."
"Astaga." Guntur merosot lemas. "Jadi kamu mau berenang pakai longdress""
"Lebih baik kita ceburin saja dia ke kolam!" gerutu Luna pada Rena. "Bertingkah amat sih!"
"Sudahlah," Elita mencoba menengahi. "Lebih baik kita makan bakso tenis saja yuk!"
"Kamu juga nggak jadi berenang"" "Berenang pakai apa" Nggak bawa baju renang kok!"
"Jadi buat apa kalian kemari"" gerutu Guntur kesal.
"Ngawal Maria!" "Brengsek! Nyempit-nyempitin mobil aja!"
Maria meletakkan bukunya dengan sedih. PR masih banyak. Hapalan pun masih bertumpuk. tapi pikirannya tidak dapat diajak konsentrasi.
Sejak tadi cuma Guntur yang diingatnya. Marahkah dia" Dia sama sekali tidak menegur Maria lagi. Apalagi mengantarkannya pulang.
Ketika Elita menyindirnya, Guntur malah membentak jengkel, "Buat apa diantar pulang" Kan ada kalian" Pengawalnya, kan""
Ah, suaranya begitu sinis. Begitu menyakitkan. Dia pasti kesal. Marah Tapi Maria tidak dapat mengubah keputusannya Dia tidak dapat memakai baju yang demikian terbuka, baju apa pun namanya!
Dia memang sudah mengecewakan Guntur. Mengecewakan teman-temannya. Tapi paling tidak, dia tidak mengecewakan Tuhan! Tidak mengecewa-kan Suster Cecilia! Tidak mengecewakan ayahnya!
Duh, susahnya berusaha untuk tidak mengecewakan semua orang! Dan ayahnya masuk seperti hantu. Begitu tiba-tiba dan diam-diam.
Maria tidak tahu kapan ayahnya masuk. Tahu-tahu Ayah sudah tegak di sisinya. Dan mer
ampas bukunya. Membalik-balik halamannya.
Barangkali mencari surat" Atau sajak-sajak cinta" Atau... apa saja yang dikirim salah seorang teman prianya" Ah, Ayah memang selalu curiga!
"Belajar atau melamun"" gerutu Ayah jengkel. Dia membaca semua tulisan Maria. Dan baru puas
setelah tidak menemukan sesuatu yang mencuriga-kan. "Di mana tasmu""
Tanpa berpikir dua kali Maria mengambil tasnya dan menyerahkannya kepada ayahnya. Ayah mengaduk-aduk isinya dan menggeledah setiap sudut dan lekukan.
Kereta Berdarah 8 Pendekar Dari Hoa San Karya Kho Ping Hoo Jurus Tanpa Bentuk 16
^