Pencarian

Merpati Tak Pernah Ingkar 2

Merpati Tak Pernah Ingkar Janji Karya Mira W Bagian 2


"Hm," Ayah mendengus puas sambil meletakkan tas itu kembali. "Sudah berdoa"" Maria mengangguk lesu.
"Belajar! jangan pikir apa-apa lagi. Tahun depan Ayah akan minta pada Suster Cecilia agar kamu diizinkan ikut ujian SMA. Biar lulus lebih cepat."
Dan lebih cepat masuk biara, pikir Maria sedih. Dia mencintai Tuhan. Mengasihi Yesus Menyayangi Bunda Maria. Dia mau mengabdikan seluruh hidupnya untuk Tuhan. Tapi haruskah dengan cara begini.'
Ayah bersikap seolah-olah Ayah sendirilah yang hendak masuk biara. Bukan putrinya! Padahal setiap manusia diberi kehendak bebas oleh Tuhan. Begitu kata Suster Cecilia dalam pelajaran agama.
Tidak ada paksaan untuk masuk biara. Banyak jalan lain untuk mengabdi kepada Tuhan. Tapi mengapa Ayah begitu menginginkan dia menjadi biarawati" Tidak sayangkah dia pada Maria" Masuk biara berarti harus berpisah dengan Ayah, bukan"
Di ambang pintu sekali lagi Pak Handoyo menoleh. Maria masih melamun seperti tadi. Menatap buku. tapi dengan tatapan hampa!
Pak Handoyo menjadi curiga Ditatapnya seluruh isi kamar itu sekali lagi Dan tatapannya berhenti di tempat tidur.
Sudah lama dia tidak pernah menggeledah kasur lagi. Sejak beberapa kali tidak menemukan apa-apa di sana.
Terus terang Pak Handoyo agak malas membongkar kasur. Dia alergi terhadap kapuk. Mengendus bau kapuk saja dia sudah sepuluh kali bersin. Tapi malam ini sikap Maria amat mencurigakan.
Anak itu memang pendiam. Pemurung. Sering melamun. Tapi naluri Pak Handoyo sebagai seorang ayah membisikkan sesuatu yang lain. Ada rahasia di mata gadis itu. Maria pasti menyembunyikan sesuatu!
Tanpa disangka-sangka, Pak Handoyo berbalik. Dan melangkah kembali ke dalam kamar. Dia langsung menuju ke tempat tidur.
Lalu sebelum Maria sempat mencegah, ayahnya telah mengangkat kasur itu.... Dan bikini yang belum sempat disembunyikannya teronggok di sana!
Terbelalak mata Pak Handoyo. Dia sampai tidak jadi bersin walaupun hidungnya sudah gatal. Direnggutnya benda berwarna hijau itu dengan ganas. Lalu dengan kemarahan berkobar, dia berpaling pada Maria.
Gadis itu menatapnya dengan mata terbeliak ketakutan. Tangannya menutupi mulutnya, seakan-akan mencegah keluarnya jeritan yang sudah berulang-ulang bergema di dadanya.
"Apa ini"!!" geram Pak Handoyo sengit. Dilemparkannya bikini itu ke muka Maria. "Kurang ajar! Baru setengah tahun sekolah, sudah berani membuat malu Ayah!"
Seperti alap-alap terluka, Pak Handoyo menyambar bikini itu. Mengoyak-ngoyaknya dengan geram. Dan belum puas melampiaskan amarahnya,
diseretnya Maria ke tempat tidur. Ditamparnya pipinya berulang-ulang.
Seakan-akan belum puas juga, Pak Handoyo menyulut bikini itu dengan korek apinya. Mengambil sebatang sapu. Dan memukuli pantat Maria. Gadis itu cuma dapat merintih sambil menangis di tempat tidur.
"Tidak usah sekolah lagi!" bentak Pak Handoyo gusar. "Buat apa sekolah kalau dirimu jadi rusak begini"!" Ditendangnya meja tulis Maria sampai terbalik. Dibantingnya tasnya. Dihancurkannya semua isinya. Dan dirobek-robeknya buku-bukunya.
Belum puas juga, ditendangnya kursi yang menghalangi jalannya. Dan dia keluar sambil membanting pintu.
Lama Maria masih terisak-isak seorang diri di tempat tidur. Seluruh tubuhnya terasa sakit. Mukanya. Badannya. Kakinya...
Dilayangkannya tatapannya ke seluruh kamar yang berantakan. Kursi dan meja terbalik. Potongan kertas-kertas bertebaran di lantai. Cabikan-cabikan kain yang sebagian besar sudah menjadi abu berserakan di sana-sini. Tetapi Maria paling terpukul melihat buku-buku pelajarannya yang terkoyak-koyak menjadi serpihan-serpihan kecil yang tidak berguna....
Maria menjatuhkan dirinya ke lantai. Memunguti serpihan-serpihan buku itu. Lalu menangis tersedu-sedu.
Ketika Maria menengadah, Tuhan Yesus masih memandangnya dengan lembut. Dengan penuh Pengertian. Penuh kasih sayang...
Tak tahan lagi Maria membuang dirinya ke depan meja sembahyangnya. Satu-satunya benda di kamar
itu yang tidak disentuh Ayah. Tidak diobrak-abrik dan diporak-porandakan.
"O. Yesus!" pekik Maria sambil menangis tersedu-sedu. "Saya tidak tahan lagi! Ambillah saya! SaYa ingin berada bersama-Mu, di tempat yang tiada lagi penderitaan, kekerasan, kerusakan!"
Tapi malam itu Tuhan tidak datang mengambil Maria. Tuhan hanYa datang menghibur dalam mimpi gadis Maria yang tertidur di depan meja sembahyangnya karena keletihan dan kesedihan.
*** "Itu hadiah ulang tahun dari kami, Suster!" protes Nurul dan teman-temannya marah.
Sekarang mereka tahu mengapa hari ini Maria tidak masuk sekolah. Mula-mula mereka kira karena kejadian di kolam renang itu. Karena Guntur marah. Atau karena Maria sedih Guntur tidak mengantarkannya pulang.
Tapi pagi ini Pak Handoyo datang ke kantor Kepala Sekolah. Dan Suster Cecilia cukup bijaksana dengan menanyakan terlebih dahulu asal mula bikini itu kepada teman-teman Maria.
"Maria tidak pernah memintanya!" desis Tina sengit. "Dia malah tidak tahu namanya! Kami yang memberikannya!"
"Dan Maria tidak pernah memakainya, Suster!" sambung Elita panas. "Dia bilang Suster melarang gadis-gadis memakai baju yang terlalu terbuka. Dosa, katanya!"
Ada keharuan menyelinap kE hati Suster Cecilia. Matanya langsung berkaca-kaca. Dia dapat mem-
bayangkan apa yang telah dialami gadis itu semalam. Padahal dia tidak bersalah!
Melihat sikap Suster Cecilia, kegaduhan di kelas Maria mereda dengan sendirinya. Mereka terdiam. Terhenyak mengamati Suster Cecilia yang tegak mematung dengan wajah muram.
"Mengapa ayah Maria seperti itu, Suster"" tanya Elita dengan suara basah. "Maria gadis yang baik. Mengapa dia tidak boleh menjadi gadis yang normal" Mengapa dia tidak boleh mengecap kebebasan dan kegembiraan masa remaja seperti kami""
"Tidak semua yang menggembirakan itu dosa kan, Suster"" desak Nurul penasaran. "Mengapa Maria mesti selalu dikungkung dan dikekang""
"Dia berbeda dengan kalian," sahut Suster Cecilia lambat-lambat.
"Tapi dia sama seperti kami, Suster!" bantah Tina bersemangat. "Suster yang bilang, dia juga punya hati, punya perasaan seperti kami! Karena itu kami tidak boleh mengganggunya!"
"Kalau begitu, mengapa kalian masih mengganggunya dengan bikini itu""
"Kami tidak punya niat mengganggu, Suster!" serempak seluruh kelas menyahut. "Kami hanya ingin membuatnya gembira! Kami ingin mengajarinya berenang! Dan kami ingin melihatnya cantik dengan bikini itu! Salahkah kami, Suster""
"Kami hanya ingin supaya Maria tidak merasa minder lagi, Suster! Kami mengajaknya ikut dalam semua kegiatan kami!"
"Dan mengenakan baju yang sama seperti kami! Supaya dia tidak tampak seperti orang aneh!"
"Saya mengerti maksud kalian," sahut Suster Cecilia sabar. "Maksud kalian mungkin baik. Tapi
caranya keliru. Sejak kecil Maria telah dididik dan ditempa untuk menjadi seorang biarawati. Cara kalian memperlakukan dia justru menjerumuskannya ke dalam konflik-konflik. Konflik dengan jiwanya sendiri. Maupun dengan ayahnya."
"Kami hanya ingin menolongnya, Suster," sahut Elita sedih. "Kata Suster dulu, tidak ada wanita yang dilahirkan untuk menjadi biarawati, bukan" Kita semua diberi kehendak bebas oleh Tuhan. Kitalah yang harus menentukan jalan hidup kita sendiri. Kita pula yang harus memilih dengan cara apa kita akan mengabdi kepada Tuhan!"
"Kamu benar, Elita," sahut Suster Cecilia lunak. "Tapi apakah kamu sudah pernah menanyakan kehendak Maria sendiri""
Elita menggelengkan kepalanya. Teman-temannya juga.
"Saya sudah," sambung Suster Cecilia tenang. "Maria sendiri menginginkan jadi biarawati."
Sengaja Suster Cecilia berhenti sebentar. Memberi kesempatan pada gadis-gadis itu untuk saling pandang.
"Tapi dia juga masih kepingin sekolah, Suster!" cetus Nike tiba-tiba. "Maria gadis yang cerdas. Sayang kalau t
idak sekolah!" "Dan yolleynya jago, Suster!" sambung Tina. "Maria gemar sekali main volley!"
"Dia boleh sekolah lagi kan, Suster"" tanya Endang harap-harap cemas.
"Saya akan berusaha melunakkan hati ayahnya," sahut Suster Cecilia mantap. "Tapi kalau Maria sekolah lagi, maukah kalian berjanji akan mem bantunya untuk mencapai cita-citanya""
Gadis-gadis itu saling pandang sebelum perlahan-lahan menganggukkan kepala mereka.
*** "Bikini itu hadiah ulang tahun dari teman-temannya." Sepanjang perjalanan pulang hanya kata-kata Suster Cecilia yang tegas itu yang berdengung di kepala Pak Handoyo. "Maria tidak pernah memintanya. Dan dia tidak pernah memakainya!"
Ada segurat penyesalan menggores hati Pak Handoyo. Dia telah terburu nafsu menghukum Maria. Padahal dia tidak bersalah. Kasihan.
Bergegas Pak Handoyo melangkah pulang. Dia harus menemui Maria. Tentu saja dia tidak akan meminta maaf. Tidak pernah dilakukannya selama ini. Tapi dari sikapnya saja, pasti Maria tahu ayahnya telah memaafkannya.
Pak Handoyo tidak pernah bersikap manis. Memanjakan anak hanya akan membuat gadis itu menjadi liar. Jadi Pak Handoyo cuma akan menegur Maria. Dengan suara yang biasa-biasa saja. Tidak marah. Tapi juga tidak lembut.
Dia akan memberi Maria uang. Dan menyuruhnya mencari buku-buku pelajaran untuk sekolah esok pagi.
Tetapi sesampainya di rumah, Pak Handoyo tercengang. Maria tidak ada di sana. Padahal biasanya anak itu tidak pernah ke mana-mana!
Amarahnya timbul kembali. Ke mana Maria" Ke rumah salah seorang temannya"
Dengan jengkel Pak Handoyo kembali ke sekolah. Dan Suster Cecilia terpaksa minta pada murid-
muridnya untuk melaporkan padanya kalau sepulangnya dari sekolah nanti, mereka menemui Maria di rumah.
"Kalau Maria ke rumahku, aku nggak mau lapor," gerutu Tina kesal. "Biar saja bokap yang sinting itu kelabakan!"
"Kalau Maria minta suaka ke rumahku, tidak akan kuizinkan dia pulang!" sambung Elita mantap. "Ibuku sudah tahu kok. Aku sering cerita tentang Maria."
"Tapi abangmu banyak!" goda Nurul. "Bisa gagal dia jadi biarawati!"
"Masa bodoh! Aku juga terus terang lebih senang kalau dia nggak usah jadi biarawati!"
Tetapi sampai jauh malam Maria tidak dapat ditemukan. Dia tidak ada di rumah teman-temannya. Esok paginya, teman-temannya menjadi gempar.
"Jangan-jangan diculik si Guntur!" cetus Nurul cemas.
"Ah, masa dia begitu berani!" bantah Rena. "Nanti aku cari di rumahnya!"
Tapi di rumah Guntur pun Maria tidak ada.
"Dia nggak tahu rumahku!" sahut Guntur mantap. "Sudah dicari di rumah sakit""
Sepanjang sore itu teman-teman Maria beramai-ramai mencarinya. Mereka pergi ke tempat-tempat yang mungkin didatangi Maria. Tetapi gadis itu tetap tidak ditemukan. Padahal sepanjang hari hujan turun cukup lebat. Dan bertambah deras dengan bertambah larutnya malam.
Pak Handoyo sedang berdoa di depan altar kecilnya ketika pintu rumahnya diketuk orang. Bergegas dia membuka pintu. Dan melihat Bu Harti
basah kuyup meskipun ada payung terkembang di tangannya.
"Maria sudah ditemukan, Pak," kata Bu Harti sebelum Pak Handoyo sempat membuka mulut. "Sekarang dia ada di rumah sakit. Radang paru-paru, kata dokter."
*** "Maria ditemukan terkapar di belakang biara di samping sekolah," kata Bu Harti yang menemani Pak Handoyo ke rumah sakit. "Mungkin sudah dua hari dia di sana. Kelaparan, kedinginan, dan kehujanan menambah parah batuknya. Kata teman-temannya dia memang pilek sejak hari Senin."
Aku malah tidak tahu, keluh Pak Handoyo dalam hati. Anak itu tidak pernah menceritakan penyakitnya. Tapi mau apa dia bersembunyi di belakang biara"
"Saya dan teman-temannya membawa Maria pulang. Dan memanggil dokter. Maaf, kami mendahului Bapak. Tapi dokter menyuruh kami langsung membawanya ke rumah sakit."
"Dia tidak apa-apa"" tanya Pak Handoyo kaku.
"Batuk-batuk hebat. Dan sesak napas. Badannya panas tinggi, sampai menggigil."
Tetapi ketika ayahnya datang, Maria sudah dapat menyapa meskipun hidungnya masih dihubungkan dengan pipa oksigen. Kepalanya pun masih dikompres es.
Teman-teman Maria sebagian besar sudah pulang. Tinggal Guntur dan E
lita yang masih berjaga. Tetapi begitu Pak Handoyo datang, Elita menyuruh Guntur lekas-lekas keluar. Dia sendiri langsung
menyelinap pergi begitu ayah Maria duduk di dekat pembaringan anaknya.
"Antar aku pulang, Tur," kata Elita sesampainya mereka di luar. "Sudah malam nih."
"Lho, kok kamu keluar juga""
"Ah, sebel! Tampangnya sepet banget! Alergi gua dekat-dekat orang kayak gitu."
"Gurumu gimana dong" Masa kita tinggal aja" Ntar digarap orang!"
"Katanya Bu Harti bisa pulang sendiri."
"Kalau begitu cabut aja yuk!"
"Kamu nggak marah sama Maria, Tur""
"Ah, sama anak kayak begitu gimana bisa marah sih""
"Kamu betul-betul naksir dia, Tur"" "Kepingin juga sih cobain. Tapi window shopping dulu, ah!"
"Jangan begitu, Tur! Dia kan lain! Hatinya belum ada solderannya!"
"Justru karena dia masih inrijden aku jadi penasaran kepingin ngetes. Kalau cakepnya sih nggak seberapa! Sudah kuper, bokapnya maut lagi!"
"Kalau kamu nggak serius, mendingan jangan deh, Tur! Kasihan dia. Masa sih kamu tega mempermainkan gadis seperti Maria""
"Lho, belum tentu mau dijadikan mainan kok!"
"Cari cewek lain aja deh, Tur. Yang tahan bantingan!"
"Nggak deh, nggak dibanting-banting!" gurau Guntur. "Cuma dibalik-balik. Pelan-pelan aja."
"Serius nih, Tur. Dia kan orang. Bukan martabak!"
"Eh, siapa bilang sih aku main-main" Apa tampangku kayak badut""
"Bukan badut! Bajul! Makanya aku jadi curiga!"
Guntur tertawa lebar. "Heran, kamu sekarang jadi budiman sosiawan dermawan! Ketitisan dewa apa sih"" Disulutnya sebatang rokok. Dihembuskannya asapnya dengan nikmat. Tidak peduli Elita ikut menghisap karbon monoksidanya.
"Masih juga ngisap rokok!" gerutu Elita sambil mengibaskan asap yang menyerbu hidungnya. "Nggak tahu ya, perokok punya kemungkinan untuk menderita kanker paru 23,7 kali lebih besar daripada orang yang tidak merokok!"
"Ah, tetanggaku tidak merokok, tapi dia mati juga ketabrak mobil," kilah Guntur tenang-tenang.
"Tapi aku nggak mau ikut-ikutan mengisap asap rokokmu! Itu namanya kamu membagi penyakitmu kepadaku!"
"Tiap hari kamu nyedot asap bus! Apa bukan racun tuh" Pakai masker deh mulai besok! Biar kamu dikira makhluk dari bulan!"
"Kalian belum pulang"" tegur Bu Harti yang tahu-tahu sudah berada di belakang mereka.
"Belum, Bu," sahut Elita cepat. "Biar Guntur yang antar Ibu pulang, ya" Sudah malam."
Celaka, gerutu Guntur dalam hati. Cari penyakit ni anak!
"Kamu sendiri"" Bu Harti balik bertanya.
"Ya pulang juga dong, Bu! Masa nginap di sini""
"Kalau begitu antar kamu dulu, ya" Nanti ibumu menunggu-nunggu di rumah. Sudah malam, kan" Biar Ibu belakangan."
"Kita lihat saja yang mana yang lebih dekat deh, Bu," sela Guntur tidak sabar. Dibuangnya puntung rokoknya begitu saja ke lantai. Diinjaknya dengan Sepatunya.
"Dasar nggak berbudaya!" gerutu Elita "Ada tempat sampah juga percuma!"
"Ah, cerewet! Rumah sakit ini bukan punya kamu kok!"
"Elita benar," menimpali Bu Harti. "Sebagai pelajar yang baik, seharusnya kamu memberi contoh yang baik pula. Memang kelihatannya sepele, tapi merupakan kebiasaan yang baik kalau kamu membiasakan diri menjaga kebersihan lingkungan."
Hhh, bawel, gerutu Guntur dalam hati. Mau nebeng aja udah banyak tingkah, apalagi kalau aku yang numpang!
"Maria bagaimana. Bu"" tanya Elita di dalam mobil.
"Keadaannya sudah lebih baik. Tapi dia masih harus dirawat."
*** Selama Maria dirawat, teman-temannya bergantian menjenguk. Cuma Guntur yang tidak dapat bebas berkunjung. Soalnya ayah Maria selalu mengawasi semua teman anaknya.
"Pakai rok saja deh, Tur," gurau Nurul geli. "Biar boleh masuk!"
"Atau pakai baju putih, Tur!" sambung Endang tak mau kalah. "Biar dikira perawat!"
"Sialan," gerutu Guntur yang masih menunggu di depan deretan kamar-kamar pasien lain. Dia sudah datang sejak tadi. Tapi tidak bisa masuk. Ayah Maria masih berada di dalam terus. Sementara teman-teman putrinya seenaknya saja melenggang masuk.
"Lekas sembuh ya, Mar," bisik Elita di sisi tempat tidur Maria. "Biar bisa cepat sekolah lagi."
"Kami sudah bergantian menyalinkan catatan untukmu, Mar," sambung Tina. "Juga catatanmu yan
g dulu dirobek ayahmu."
Maria menatap teman-temannya dengan terharu.
"Suster Cecilia dan guru-guru kita juga akan kemari, Mar," kata Nike tak mau kalah. "Sebentar lagi juga mereka datang."
"Terima kasih," sahut Maria lemah.
"Guntur juga ada di depan, Mar," bisik Nurul sambil melirik Pak Handoyo. "Dia nggak bisa masuk! Habis ayahmu di situ terus!"
Ada senyum membayang di bibir Maria yang pucat. Teman-temannya jadi tambah bersemangat. Peduli apa pemuda itu brengsek kalau kehadirannya justru dapat membuat Maria bahagia"!
"Nanti habis jam berkunjung dia pasti kemari," bisik Tina bersemangat.
Nike menoleh dengan heran. Tapi baru saja mulutnya terbuka untuk membantah, Tina telah menginjak kakinya. Dan Nike tidak jadi menjerit ketika masuk seorang dokter muda bersama perawatnya.
"Bagaimana, Maria"" sapa dokter itu ramah. Dia memegang nadi Maria. Meletakkan tangannya di dahi gadis itu. Dan menempelkan stetoskopnya di dada pasiennya. "Merasa lebih enak""
Maria cuma mengangguk. "Bagus. Keadaanmu sudah jauh lebih baik. Nanti makannya agak banyak, ya. Biar tidak usah diinfus lagi."
"Terima kasih, Dokter," bisik Maria lemah. Dokter muda itu tersenyum ke arah Maria. Lalu Mengangguk kepada teman-temannya dan berjalan
ke luar diiringi perawatnya. Begitu tubuhnya hilang dari pandangan, teman-teman Maria langsung ribut.
"Buset! Dokternya cakep banget! Betah deh Maria di sini!"
"Masih preman nggak, ya""
"Biar sudah pesanan orang, aku masih mau kasih persekot!"
"Huu, kalau aku sih lebih baik dapat yang mukanya tambal sulam, tapi masih tangan pertama!"
"Ala, apa susahnya sih bayar BBN biar dia sudah jadi milik orang lain juga"" "Apa sih BBN"" "Bea Balik Nama!" "Ih! Memangnya mobil!"
Mereka tertawa geli. Membuat Maria ikut merasakan kehangatan dan keriangan teman-temannya kembali.
Alangkah bahagianya dapat berada di tengah-tengah mereka lagi. Belajar bersama. Berdoa bersama. Bertanding bersama. Bergurau sepanjang hari.
Tetapi begitu tatapannya terbentur pada ayahnya yang sedang termenung di depan pintu, kegembiraan Maria langsung surut kembali.
Ayah tidak suka tingkah bebas teman-temannya. Tidak suka mendengar tawa mereka. Gurau mereka. Padahal bukankah dunia remaja itu dunia yang penuh canda" Tidak pernah mudakah Ayah" Mengapa dia selalu murung"
"Apa yang kamu cari di belakang biara"" geram Ayah sengit ketika mereka pertama kali bertemu malam itu.
"Anak liar! Meninggalkan rumah untuk berkeliaran di luar! Seperti gelandangan saja!"
Itulah kata-kata ayahnya yang pertama. Bukan kata-kata yang bernada kuatir. Bukan menanyakan penyakitnya lebih dulu. Kalau saja dia tidak sedang sakit separah ini, Maria yakin, Ayah pasti sudah memukulnya lagi.
Tidak tahukah Ayah apa yang dicarinya di belakang biara itu" Dia mencari Tuhan! Mencari kedamaian. Ketenangan...
Bukankah Ayah selalu mengatakan di sanalah tempat yang paling damai" Tapi biarawati itu malah menyuruhnya pulang. Padahal Maria sudah bertekad untuk tinggal di sana saja.
"Kamu masih terlalu muda," kata biarawati yang menemuinya siang itu. "Datanglah lagi jika pilihanmu telah mantap. Kami pasti menerimamu di sini. Tapi pikirkanlah dulu sebaik-baiknya. Biara bukan tempat pelarian."
Maria memang pergi dari sana. Tapi dia tidak pulang. Dia menyelinap ke belakang. Dan tinggal di sana.
Tidak makan. Tidak minum. Tidur beratapkan langit. Hanya mendengarkan dentang lonceng gereja. Dan kidung-kidung rohani yang mengalun syahdu.
Lalu ketika Maria sudah berada antara sadar dan tidak, ketika pintu surga terasa sudah begitu dekat, ada orang yang menemukannya. Dia dibawa kembali ke dalam biara. Kali ini Suster Cecilia ada di sana.
Baru saja kentongan berbunyi, teman-teman Maria langsung beranjak ke luar. Waktu berkunjung telah habis.
"Biar si Tua lekas pergi," bisik Nurul. "Dan Guntur masih sempat masuk."
"Pulang, Oom!" cetus Endang ketika dilihatnya Pak Handoyo masih termenung di pintu. "Waktu sudah habis!"
Tanpa menoleh kepada Endang, Pak Handoyo menghampiri ranjang anaknya.
"Cepat sembuh," katanya dengan suara datar. "Biar bisa cepat sekolah lagi."
Maria cuma mengangguk. Y a, mau bicara apa lagi" Ayahnya masih tetap mengatur. Entah sampai kapan. Dan... masih tetap tanpa emosi. Atau... dia cuma tidak ingin menunjukkannya..."
Setelah menengok-nengok sekali lagi, barangkali ingin melihat kalau-kalau dokter yang tampan itu datang lagi, baru Pak Handoyo mengikuti arus para pengunjung yang sedang berbondong-bondong keluar. Tepat saat itu, Guntur cepat-cepat menyelinap ke dalam kamar.
Maria yang sudah memejamkan matanya membelalak kaget ketika Guntur menegurnya. Lebih-lebih ketika melihat pemuda itu sudah berada di sisi tempat tidurnya.
Kebetulan teman-teman sekamar Maria tidak mempedulikan kehadirannya. Yang seorang sedang tidur. Karena tidak ada seorang pun yang mengunjunginya waktu jam berkunjung tadi.
Yang seorang lagi sedang asyik membaca majalah. Dia memang tidak henti-hentinya membaca majalah, sampai ditegur perawat.
Dan yang ketiga memang sedang menganggur. Dia melirik Guntur ketika pemuda itu masuk. Tapi pura-pura membalikkan badannya ke dinding waktu Guntur menghampiri ranjang Maria.
Memang repot sekamar dengan remaja. Waktu jam berkunjung, ributnya bukan main, seolah-olah sekolah mereka pindah ke sini.
Gadis-gadis itu berceloteh begitu bebasnya seakan-akan mereka berada di halaman sekolah, bukan di rumah sakit. Selesai jam berkunjung masih ada pula seorang pemuda yang menyelinap masuk! Hhh.
"Mar," kata Guntur cepat-cepat, "lekas sembuh, ya. Ini kubawakan buku-buku novel untukmu. Ceritanya bagus-bagus. Baca deh kalau lagi nganggur! Asal jangan ketagihan saja, ya!"
"Terima kasih," bisik Maria terharu. Ada senyum membayang di bibirnya. "Kamu tidak marah lagi pada saya""
"Marah" Ah, siapa bilang aku marah"" "Kamu kesal karena saya tidak jadi berenang, kan"" "Cuma kecewa." "Saya tidak bisa..."
"Aku mengerti," potong Guntur. "Sudahlah, jangan pikirkan apa-apa lagi. Kalau kamu sembuh nanti, kita jalan-jalan saja. Kamu boleh pakai jubah, dari leher sampai ke kaki pun aku tidak peduli. Pokoknya kita pergi berdua!"
Seorang perawat masuk ke kamar sebelah. Menengok kalau-kalau masih ada pengunjung yang belum pulang dan perlu sedikit diusir.
Lekas-lekas Guntur menyelinap ke bawah ranjang. Teman sekamar Maria yang sedang membaca
majalah itu meliriknya dengan curiga. Tapi dia tidak berkata apa-apa. Cuma mengangkat bahu.
Sedetik kemudian seorang perawat melongok di ambang pintu. Ketika dilihatnya kamar itu kosong, dia pergi lagi. Dan Guntur merayap keluar dari bawah tempat tidur.
Tidak sengaja kaki Guntur menyenggol pispot. Dan benda itu terpelanting dengan menerbitkan suara berisik. Untung tidak ada isinya. Soalnya tutupnya sudah terpental ke bawah ranjang yang lain.
Pasien yang sedang tidur itu tersentak bangun. Tapi yang sedang membaca majalah cuma mendengus kesal. Yang tertawa geli justru perempuan yang sedang pura-pura membalik ke dinding itu.
"Lebih baik kamu cepat keluar," katanya sambil tersenyum-senyum. "Sebentar lagi suster cerewet itu pasti kembali ke sini!"
"Ah, biar saja," sahut Guntur santai. "Paling-paling dimarahi!"
Tapi ketika perawat itu benar-benar kembali, Maria-lah yang menyuruh Guntur pergi.
"Kalau tidak ketahuan, besok kamu masih bisa kemari lagi," katanya cemas.
"Aku pasti kemari lagi," sahut Guntur tegas. "Sampai besok!" Dia mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum sebelum melompat ke kebun melalui jendela.
Perawat yang masuk sedetik kemudian hanya sempat menangkap bayangan orang di kebun. Tapi tidak menduga dari sinilah orang itu berasal. Sambil menggerutu dia memungut pispot itu, mencari tutupnya, dan membawanya ke kamar mandi.
Maria menghela napas lega. Dan memejamkan matanya untuk berdoa. Ya, Tuhan! Mudah-mudahan Guntur dapat lolos dengan selamat! Supaya dia bisa datang kemari lagi esok... dan Maria tertegun. Mukanya terasa panas.
Bolehkah mengharapkan pemuda itu datang kembali" Untuk apa" Dia sendiri juga tidak tahu.
Dia menyenangi pemuda itu. Barangkali karena Guntur adalah lambang kebebasan bagi hidup Maria yang penuh larangan dan kungkungan.
Dinamika dan romantika kehidupan remaja Guntur yang bebas dan ceria merupakan dongeng muluk yang h
ampir tidak mungkin diraih oleh Maria. Tetapi yang sekaligus selalu menggoda rasa ingin tahunya.
*** "Besok Maria pulang," kata Guntur sambil berjalan cepat-cepat memasuki gerbang rumah sakit. "Itu berarti mulai besok dia masuk penjara lagi."
"Habis mau apa"" tanya Elita. "Mau kamu culik""
"Dia sudah cukup kuat. Aku ingin mengajaknya jalan-jalan."
Nurul dan Tina bersorak serempak.
"Bagaimana caranya, Tur" Mau kamu bius semua orang di rumah sakit ini""
"Kalian mau membantu, kan"" desak Guntur serius. Begitu seriusnya dia sampai Elita dan teman-temannya saling pandang dengan tegang.
"Mau kamu bawa ke mana dia"" tanya Elita curiga.
"Pokoknya dia pasti senang."
"Kamu janji akan mengembalikan dia dengan utuh""
"Siip! Keringatnya yang menetes pun akan kutampung dan kukembalikan pada kalian!"
"Serius nih. Tur! Kami tidak mau kamu merusak dia!"
"Eh, apa aku ada tampang kapal perusak""
"Ah, sudah dah!" potong Nurul tak sabar. "Rusak nggak rusak, pokoknya dia senang! Batinnya tertekan tuh! Bokapnya sih sadis!"
"Aku juga mau bikin dia senang," sanggah Elita tegas. "Sekali-sekali dia rileks di luar, lepas dari pingitan bokapnya. Tapi aku mau dia tetap Maria kita yang bersih!"
"Kamu mesti janji nggak akan merusaknya, Tur," sambung Tina bersemangat. "Baru kami mau membantumu!"
"Oke, oke! Apa aku mesti teken kontrak" Atau mesti bersumpah""
"Kalau kamu berani mengganggu dia, kami akan mengganyangmu beramai-ramai!"
"Buset!" Guntur pura-pura mengurut dada. "Nggak ada bapaknya, malaikat pelindungnya sekompi!"
"Tapi bagaimana caranya kita meloloskan Maria""
"Gampang. Teman sekamarnya kan sekarang tinggal satu"!"
"Satu juga orang, Tur! Punya mulut komplit satu set!"
"Kamu ajak dia ngobrol, Rul."
"Uaaah... bisa karatan mulutku, Tur! Dia cerewetnya seperti petasan injak! Lagi pula sampai kapan aku mesti ngomong sama dia""
"Cukup sampai Maria sempat bertukar pakaian dengan Tina!"
"Hah"!" belalak Tina kaget. "Tukar pakaian dengan aku""
"Kamu mesti pura-pura jadi pasien sampai Maria pulang!"
"Walah! Aku paling takut disuntik, Tur!"
"Suster-suster sudah tahu kisahnya Maria! Mereka pasti simpati pada kita! Dan kamu dibebaskan dari hukuman suntik, Tin!"
"Waduh, aku takut, Tur! Cari sukarelawan lain saja deh!"
"Ala, takut apa sih" Dokternya cakep, susternya manis-manis. Kamu cuma perlu tidur terus sampai Maria pulang!"
"Tapi..." "Soalnya badanmu yang paling cocok dengan badan Maria! Rambutmu pun lumayan panjangnya. Kalau kamu berkerubung selimut dari leher sampai ke kaki, nggak ada yang tahu deh! Taruhan!"
"Mau kamu bawa ke mana Maria"" desak Elita curiga.
"Pokoknya akan kujadikan hari ini hari yang tidak terlupakan untuk Maria!"
"Untukku juga!" keluh Tina mengkal. "Aku belum pernah masuk rumah sakit!"
"Bagaimana kalau bokapnya tahu"" cetus Elita ragu.
"Ah, dia nggak bakal tahu! Kami sudah kembali sebelum waktu berkunjung nanti malam! Kalau si Tua keburu datang, kamu sembunyi saja di WC, Tin!"
"Ampun! Aku mimpi apa sih tadi malam""
*** Mula-mula tentu saja Maria terkejut. Dan spontan menolak usul teman-temannya.
Kabur dari rumah sakit" Ya, Tuhan! Tak pernah terpikirkan olehnya! Tapi... berjalan-jalan dengan Guntur... barangkali bisa menyingkirkan beban berat yang menindih dadanya....
"Jiwamu tertekan," kata Nurul dengan gaya seorang psikolog. "Kamu perlu pelepasan."
"Kalau tidak, kamu bisa sakit!" sambung Elita pula. "Bukan sakit badan, tapi sakit jiwa!"
Cuma Tina yang diam saja. Dalam hati dia sudah seratus kali berdoa mudah-mudahan Maria tetap tidak mau!
Berbaring seperti pasien di ranjang itu... Brrr! Jangan-jangan ada bekas darah di kasurnya.... Lebih celaka lagi... kalau ranjang ini bekas orang mati! Aduh, dia paling takut setan! Paling ngeri melihat darah!
"Guntur sedang menunggumu di luar," bujuk Nurul separuh mengancam. "Kalau kamu tidak mau keluar juga, dia yang akan menerobos masuk!"
"Oh, jangan!" pekik Maria tertahan. Matanya berkeliaran dengan paniknya. Mencuri-curi lihat ke arah ayahnya yang masih duduk di dekat pintu seperti seorang sipir penjara. Wajahnya angker. Tatapannya bengis
.

Merpati Tak Pernah Ingkar Janji Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia tidak takut lagi pada ayahmu. Katanya hari ini toh sudah hari terakhir kamu di sini."
"Jangan... ayah akan marah sekali...."
"Kamu mau keluar""
"Saya takut...."
"Tidak ada yang perlu ditakuti. Tina akan menggantikanmu di sini sampai nanti sore. Sebelum ayahmu datang, kalian sudah pulang."
"Dan perawat-perawat di sini""
"Oh, itu urusan Tina!"
Sialan, maki Tina dalam hati. Bagaimana kalau ada seorang di antara mereka yang tidak mau bekerja sama" Memangnya aku punya apa"
"Mulai besok, kamu pasti dipingit lagi, Mar," bujuk Nurul bersemangat. "Ayahmu pasti meningkatkan pengawasannya dua kali lebih keras! Jangan-jangan sekolahmu pun diantar-jemput!"
"Guntur mau mengajakmu nonton, Mar," sambung Elita. "Kamu belum pernah nonton bioskop, kan""
Maria menggeleng bingung.
"Kalian bisa menonton pertunjukan yang siang. Sore sebelum ayahmu datang, kamu sudah kembali ke sini."
"Barangkali ini kesempatanmu yang terakhir untuk pergi dengan Guntur, Mar," bujuk Nurul lagi.
"Tapi ingat, Mar, lelaki tetap lelaki," potong Elita tegas. "Mereka selalu mencari kesempatan. Ingat, kamu cuma mau diajak ke tempat-tempat yang ramai. Yang banyak orang. Rumah makan. Bioskop. Toko. Kalau dibawa ke tempat sepi, kamu mesti menolak. Kalau dia memaksa, kamu harus teriak-teriak."
Nurul menginjak kaki Elita dengan gemas.
"Lho, kok malah nakut-nakutin gitu sih"!"
"Aku belum percaya seratus persen pada si Guntur! Tangannya saja seperti Octopussy!"
"Kenapa kamu dorong-dorong Maria dong kalau begitu""
"Supaya dia senang! Siapa tahu dia nggak punya kesempatan seperti ini lagi" Sia-sia dong masa remajanya! Masa nonton saja nggak pernah"!"
Dan bunyi kentongan menyentakkan mereka semua. Waktu telah habis. Ayah Maria bangkit dan masuk ke dalam kamar, menghampiri ranjang putrinya.
"Ayah pulang dulu," katanya dengan suara datar. Tanpa menoleh kepada teman-teman putrinya dia langsung keluar.
Nurul harus menahan diri agar tidak menjulurkan lidahnya di belakang punggung laki-laki itu. Semata-mata untuk menghormati Maria.
"Ayo, Mar! Cepat!" Tanpa menunggu sampai ayah Maria cukup jauh dari tempat itu, Elita menarik tangan Maria. "Kamu sudah cukup kuat, kan" Ayo, lekas ganti bajumu!"
"El, aku WO saja deh," bisik Tina yang sedang didorong-dorong teman-temannya ke kamar mandi. "Aku takut nih!"
"Ala, cepat ganti bajumu!"
Tanpa menghiraukan protes-protes Maria maupun Tina, Elita mendorong mereka ke kamar mandi. Dan menutup pintunya. Di sudut ruangan, Nurul sedang asyik mengobrol dengan teman sekamar Maria.
"Sudah punya anak, Tante""
"Sudah punya cucu," sahut perempuan itu sambil mengerutkan dahi. Heran. Biasanya anak-anak ini tidak pernah memandang sebelah mata pun kepadanya. Kok hari ini tanya-tanya anak segala.
"Aduh!" cetus Nurul kaget. Tentu saja dia hanya berpura-pura. Tapi si Tante betul-betul terkejut. "Ada apa""
"Nggak sangka deh! Tante belum ada tampang nenek!"
Ada senyum melintasi bibir yang kering itu. Padahal sejak jatuh sakit sebulan yang lalu, dia tidak pernah lagi tersenyum.
"Bukan cuma kamu yang bilang begitu," katanya bangga.
"Cucunya berapa sih, Tante"" tanya Nurul lagi tanpa ingat dia sudah mengajukan pertanyaan itu atau belum tadi.
Sialan, kenapa jadi seperti petugas sensus begini" Ke mana sih anak-anak itu" Mengapa mereka lama sekali" Tukar pakaian saja seperti merias pengantin!
"Kalian tidak mau pulang"" Si Tante mengangkat sebelah alisnya dengan heran. "Sebentar lagi pasti diusir. Di sini streng lho!"
"Teman-teman sedang menemani Maria ke kamar mandi. Katanya tidak mau buang air kecil di pispot."
"Oh, Maria sudah sembuh kok! Kemarin sudah bisa jalan-jalan sama Tante ke luar."
"Nah, itu dia!" cetus Nurul lega, ketika melihat teman-temannya keluar dari dalam kamar mandi. Tapi begitu dia ingat tugasnya, cepat-cepat dia mengalihkan lagi perhatian si Tante.
"Pulang ya, Mar," kata Elita sambil mencium pipi Tina yang sudah berbaring di ranjang. Berkerudung selimut seperti penderita malaria. Sengaja dia mengucapkan kata-katanya dengan suara keras. Supaya didengar si tante.
Tina mengangguk tanpa menjawab. Tetapi dalam ha
ti, dia sudah seribu kali memaki. Sialan. Dia belum pernah dicium teman gadisnya. Kecuali kalau sedang berulang tahun. Dan panasnya berselubung selimut begini! Hhh! Sudah panas, pengap lagi! "Pulang dulu ya, Tante," potong Nurul begitu
Melihat Elita sudah menggandeng Maria ke luar.
Padahal si tante sedang seru-serunya menceritakan cucunya. Tanpa menunggu sampai si tante selesai, Nurul langsung mengejar Elita.
*** "El, saya takut..." bisik Maria gemetar. Dia mogok melangkah begitu melihat seorang perawat mendatangi mereka dari arah depan.
"Ah, acuh aja! Masa sih dia kenali kamu dalam arus manusia sebanyak ini""
"Tapi saya takut, El. Tidak jadi saja ya""
"Aduh, sudah kepalang basah, Mar! Tanggung!"
"Hai!" sapa Guntur begitu melihat Maria. Wajahnya demikian berseri-seri sampai Elita jadi curiga dan berbalik kuatir.
"Buset! Sampai nggak kenalin, Mar!" cetus Guntur kagum. Ditatapnya Maria sampai yang ditatap menjadi salah tingkah. "Soalnya belum pernah lihat kamu pakai jeans dan T-shirt begini!"
"Ah..." desah Maria tersipu-sipu. Wajahnya merah sampai ke telinga. Debar yang aneh mengusik jantungnya. Mengusir ketakutan yang menggerogoti jantung itu sejak tadi. Sekarang Elita-lah yang ragu.
"Aku ikut, Tur!" cetusnya tiba-tiba. Dia merasa bertanggung jawab atas keselamatan Maria. "Kita naik taksi saja, yuk!"
"Wah, bertiga terlalu banyak, El!" Guntur menyeringai lebar sambil mengedipkan sebelah matanya. "Tapi jangan kuatir! Aku bawa oleh-oleh untukmu!"
Guntur melirik ke tempat parkir motor. Dan sekarang baru Elita melihat Rusman. Pemuda itu sedang duduk dengan gagahnya di atas motornya.
"Kita pergi berempat"" Elita mengangkat sebelah alisnya. Begitu gayanya kalau dia sedang curiga.
"Kamu punya ide lain""
"Jangan coba-coba mengakali aku, Tur!"
"Tentu saja tidak, Godmother! Nah, kita pergi sekarang atau besok pagi""
Tanpa menunggu jawaban Elita, Guntur menarik tangan Maria. Dan mempersilahkannya naik ke atas motornya.
Sejenak Maria tampak ragu. Dia mengawasi motor itu dengan bingung.
"Saya harus duduk di mana""
"Terserah," sahut Guntur separuh bergurau. "Di depan boleh, di belakang pun boleh. Tapi kalau kamu duduk di depan, kita bakaljadi tontonan di sepanjang jalan!"
"Maksud saya..." desah Maria kemalu-maluan, "bagaimana saya harus duduk...."
"Biasa. Dengan pantatmu."
"Menyamping begini atau..."
"Lebih baik begitu. Lingkarkan lenganmu di pinggangku. Peluk erat-erat supaya kamu tidak jatuh."
"Ah, saya belum pernah naik motor...."
"Sekarang kamu sudah pernah. Dan sebelum malam tiba, kamu sudah pernah mencicipi semua yang selama ini belum pernah kamu bayangkan!"
Hati-hati Maria duduk di boncengan motor Guntur. Begitu hati-hatinya dia seolah-olah motor itu bisa menggigit.
Sabar, kata Guntur kepada dirinya sendiri. Salahmu sendiri. Mau pacaran dengan orang udik. Kuper. Norak. Nah, rasain deh lu! Naik motor saja repotnya kayak naik onta!
"Sudah siap"" tanya Guntur setelah dia duduk di atas motornya. Dan setelah empat belas kali menghela napas panjang.
"Saya harus berpegangan ke mana"" tanya Maria bingung dan gugup. Keringat dingin membasahi sekujur tubuh dan wajahnya.
"Tadi kan sudah kubilang, peluk pinggangku."
"Tapi... saya malu...."
"Kalau kamu jatuh terjungkal di jalanan, lebih malu lagi!"
"Nggak apa-apa, Mar!" seru Elita yang sudah duduk di boncengan motor Rusman. "Pegang saja pinggangnya erat-erat! Aku akan menjagaimu!"
Hm, Guntur tersenyum dalam hati. Lihat saja nanti, siapa yang perlu dijagai! Dan dia menggeliat geli ketika jari-jari Maria meraba pinggangnya.
"Aduh! Jangan gelitiki pinggangku dong!"
Yang terkejut bukan cuma Guntur. Maria sendiri juga. Dia terlonjak mundur. Hampir jatuh ke belakang. Lupa sedang duduk di atas motor yang sempit.
Lekas-lekas Guntur meraihnya. Diambilnya tangan gadis itu. Diletakkannya di pinggangnya.
Refleks Maria menariknya kembali. Tapi motor telah melonjak maju. Dan tubuhnya tersentak. Hampir terhempas ke belakang.
Tidak ada pilihan lain. Terpaksa Maria buru-buru merangkul pinggang Guntur. Bukan cuma lengannya yang mencapit erat seperti kepiting. Tubuhn
ya pun melekat rapat di punggung Guntur. Dan dia menggigil ketakutan sambil memejamkan matanya.
"Lagi ngapain"" tanya Guntur di sela-sela deru motornya. Dia tahu bukan cuma getaran motornya
yang membuat tubuh gadis itu berguncang-guncang. "Berdoa""
Tidak ada jawaban. Sekejap Guntur menoleh ke belakang. Ditatapnya gadis yang sedang melekat seperti lintah di punggungnya itu sambil tersenyum geli.
"Buka dong matamu! Kamu kan lagi naik motor, bukan jetcoaster!"
"Jangan cepat-cepat...," rintih gadis itu. "Saya takut...."
"Oke, kita merayap seperti siput!"
Sambil mengurangi kecepatan motornya, Guntur membelai tangan halus yang melekat di pinggangnya. Dan yang terkejut bukan cuma Maria. Guntur juga. Tangan itu... astaga dinginnya!
"Waduh!" cetus Guntur kaget. "Tanganmu dingin seperti es!"
"Ke mana nih, Tur"" teriak Rusman ketika motornya berhasil merendengi motor Guntur.
"Terserah situ," sahut Guntur seenaknya. "Kita kan masing-masing punya otonomi sendiri! Kapan dapat SIM kalau bawa instruktur terus!"
"Ikuti saja terus, Man!" potong Elita. "Aku belum yakin kok, dia jujur!"
Tetapi tidak mudah mengikuti motor Guntur. Apalagi di tengah-tengah arus lalu lintas semacam ini. Dan tampaknya Rusman juga tidak ingin membuntuti mereka.
Sengaja Rusman melarikan motornya sedemikian rupa sehingga terhadang lampu merah sementara motor Guntur berhasil lolos. Dan dalam beberapa menit saja, mereka sudah kehilangan jejak.
"Pulang, Tur." rintih Maria ketakutan. "Sudah malam."
"Ah, buat apa sih pulang cepat-cepat." Dengan santai Guntur menggandeng Maria keluar dari dalam gedung bioskop. "Filmnya bagus, ya""
Maria cuma mengangguk. Kesenangan yang diperolehnya sepanjang siang ini langsung buyar ketika diketahuinya sudah pukul berapa sekarang. Dia memang tidak punya jam tangan. Tapi jam dinding di kafetaria sudah menunjukkan pukul tujuh kurang seperempat!
Itu berarti waktu berkunjung di rumah sakit telah berlangsung tiga perempat jam. Dan mereka belum pulang juga! Oh, Maria tidak dapat membayangkan bagaimana kemarahan ayahnya!
Tetapi Guntur seperti tidak ikut merasakan kecemasan Maria. Tenang-tenang saja dia mengambil motornya. Dan melarikan motor itu ke rumahnya. Bukan ke rumah sakit!
"Ke mana, Tur"" desah Maria gemetar, ketika dilihatnya motor mereka membelok dan memasuki halaman sebuah gedung bertingkat.
"Ke rumahku," sahut Guntur tenang-tenang.
"Ke rumahmu"" belalak Maria kaget. "Kita sudah terlambat, Tur!"
"Ah, santai saja. Baru jam tujuh. Masih sore."
"Tapi jam berkunjung di rumah sakit sudah berakhir, Tur!"
"Ya, nggak apa-apa," sahut Guntur seenaknya.
"Tapi ayahku, Tur!" rintihnya separuh menangis.
Sekarang Maria yakin. Pemuda ini memang ingin menipunya. Dia sengaja memancingnya keluar dari rumah sakit. Sengaja mengajaknya berjalan-jalan. Nonton bioskop. Sekarang ke rumahnya pula.
Apa pula yang ingin diperlihatkannya di rumah ini" Seharusnya mereka lekas-lekas pulang. Kembali ke rumah sakit sebelum Ayah datang.
Bukankah begitu janji Guntur kepada teman-temannya tadi" Dan Elita... benarkah dia juga ikut mempermainkannya" Ah, rasanya tidak mungkin! Dia begitu baik... Titik air mata Maria mengingat semuanya itu.
Ketika Guntur menghentikan motornya di depan rumah dan mengajak Maria turun, dia melihat kilatan air mata di pipi gadis itu. Dan tiba-tiba saja dia merasa trenyuh.
Gadis ini sungguh amat berbeda dengan gadis-gadis lain yang pernah dipermainkannya. Sepanjang siang Guntur telah membawanya ke mana-mana. Diperlihatkannya toko-toko dengan gaun yang indah-indah. Perempuan mana yang tidak tertarik kepada baju yang bagus-bagus"
Maria memang tertarik. Tapi tidak berniat untuk memilikinya. Ketika Guntur hendak membelikannya, Maria menolak dengan halus. Dan dia tetap menolak apa pun alasan Guntur.
Penolakannya sungguh-sungguh. Bukan cuma pura-pura, sekedar tahan harga atau malu-malu kucing. Di mulut tidak di hati mau.
Guntur sudah mengajaknya menikmati pemandangan kota Jakarta dari yang paling mewah sampai ke tempat yang paling aduhai. Maria memang terkesan. Tapi tidak terpengaruh.
Debu-debu kota Metropolitan seakan
-akan tak pernah mampu mengotori kesucian pikiran gadis itu. Gemerlapnya emas Monas pun tak dapat menyilaukan matanya.. Tak mampu melawan kilauan sinar Ilahi yang memancar dari kemurnian hatinya.
Makanan-makanan yang lezat boleh memporak-porandakan lidah dan perutnya. Tapi tidak jiwanya. Dan keteguhan imannya membuat Guntur-lah yang justru jadi terpengaruh.
Di sini. di rumahnya, dia dapat melakukan apa saja. Membujuk. Merayu. Menipu. Bahkan mengasari gadis itu untuk memenangkan taruhannya dengan teman-temannya. Kalau Maria sudah tidak suci lagi, biara mana yang masih mau menerimanya"
Tetapi Guntur tidak sampai hati. Ada sesuatu di dalam mata gadis itu yang tidak dapat dilawannya. Tuhankah yang datang berperang melawannya melalui mata gadis itu"
Guntur tak pernah mengenal makhluk yang bernama Tuhan itu. Orang tuanya pun tak pernah memperkenalkannya. Tetapi melalui gadis ini, gadis yang polos, lugu, dan kurang pergaulan, Guntur dipaksa untuk mengenal suatu kekuatan lain yang tidak kelihatan.
Kekuatan yang mampu mengalahkan kesombongannya. Yang mampu membuatnya bergerak untuk naik kembali ke motornya.
Dia tidak peduli teman-temannya akan menertawakannya. Mengejeknya. Menagih sesumbarnya. Dia akan membawa Maria pulang. Sekarang juga.
Tetapi sebelum Guntur sempat naik ke motornya, pintu depan terhempas terbuka. Dan empat orang pemuda langsung menghambur ke luar.
"Benar, mereka yang datang!" seru pemuda yang paling depan. "Kok nggak masuk, Tur" Mau pesta sendiri di luar, ya""
Tanpa menghiraukan teman-temannya lagi, Guntur naik ke motornya. Tetapi pemuda yang paling
dekat langsung menghadang sambil memegangi kemudi motor Guntur.
"Mau ke mana, Tur"" tanyanya heran.
"Minggir deh!" Dengan kasar Guntur mendorong temannya. Dan menghidupkan mesin motornya. Tetapi pemuda yang paling dekat dengan Maria sudah menariknya turun.
"Silakan masuk, Mer!" katanya sambil tertawa lebar. "Di dalam sudah disiapkan acara untukmu!"
"Jangan ganggu dia, Tot!" geram Guntur marah.
Tetapi Gatot telah menyeret Maria masuk ke dalam. Dan Maria terhenyak kaget ketika mengenali pemuda itu. Dialah bajingan yang pernah mengganggunya dulu!
"Masih kenali saya"" Gatot tersenyum mengejek.
Dan rasa terkejut Maria belum hilang ketika muncul kejutan baru... Elita muncul dari dalam bersama Rusman!
"Maria!" jerit Elita sebelum Maria sempat membuka mulut. "Astaga! Kamu masih di sini"!"
"El!" rintih Maria separuh menangis. "Bawalah saya pulang!"
"Kurang ajar!" geram Elita kepada Rusman. "Mau apa kalian bawa Maria kemari"!"
"Kita ada acara khusus buat dia!" Rusman menyeringai sinis. "Mana Guntur""
"Jadi kalian bersekongkol!"
"Nggak apa-apa, kan" Supaya dia cepat dewasa! Mana si Guntur" Waduh, jadi juga dia memenangkan taruhan!"
"Taruhan"!" Naik alis Elita.
"Kalau dia berhasil membawa Maria kemari, dia menang!"
"Kurang ajar!" geram Elita sengit. Ditamparnya pipi Rusman dengan marah. Tapi Rusman menangkap tangannya dengan gesit.
"Eh, jangan munafik! Apa kamu juga kepingin lihat blue filter""
"Kamu juga mau nonton kan. Mer"" Gatot menyeringai ke arah Maria. "Yuk, kita ke dalam!"
"Saya mau pulang!" desah Maria ketakutan.
"Lepaskan dia. Tot!" bentak Guntur yang sudah menerobos masuk diikuti ketiga orang temannya.
"Lho. kenapa" Filmnya belum mulai kok! Sabar dong!"
Tanpa banyak bicara lagi Guntur mendorong Gatot dan menghela Maria lepas dari cengkeraman pemuda itu.
"Eh, mau kamu bawa ke mana, Tur" Jangan serakah dong!"
"Ajak Elita pulang, Man!" kata Guntur kepada Rusman tanpa menghiraukan teman-temannya. Dia sendiri membawa Maria ke pintu keluar. Tetapi sebelum dia berhasil membuka pintu, salah seorang temannya telah datang menghadang.
"Acara belum selesai, Tur! Kamu nggak boleh meninggalkan ruangan!"
Dengan kasar Guntur mendorongnya agar tidak menghalangi jalan. Ketika temannya maju hendak menghadang pula, Guntur langsung meninjunya. Suasana jadi, gaduh.
"Apa-apaan nih, Tur"" gerutu Gatot jengkel. "Kamu kemasukan malaikat apa sih"!"
Tetapi perkelahian sudah terjadi. Terpaksa teman-temannya turun tangan melerai.
"Jangan ganggu dia!" Terenga
h-engah Guntur berusaha melepaskan diri dari cengkeraman teman-temannya. "Dia bukan gadis untuk kita!"
"Tapi kita sudah punya acara untuk dia, Tur!" bantah Rusman. "Supaya dia nggak norak lagi!"
"Mari, Mer! Kami sudah punya acara untukmu!"
Dengan gaya memuakkan, Gatot membawa Maria ke ruang dalam. Ada beberapa pasangan yang sedang berdansa di dalam ruangan yang hingar-bingar oleh suara musik dan pengap karena asap rokok itu.
Gatot mengajak Maria melewati mereka untuk masuk ke sebuah ruangan lain yang lebih gelap. Ada beberapa remaja yang sedang duduk menonton video. Dan melihat adegan yang terpampang di layar TV, Maria langsung memejamkan matanya.
Entah bagaimana cara Guntur melepaskan diri dari teman-temannya. Tahu-tahu dia sudah muncul di belakang mereka. Tanpa berkata sepatah pun, dia merenggut T-shirt Gatot dan memukulnya. Kemudian dia membawa Maria ke luar. "Bawa Maria pulang, El," katanya kepada Elita. Ketika Rusman memperlihatkan tanda-tanda akan menghalangi, dia pun mendapat sebuah jotosan yang membuatnya jatuh tunggang-langgang.
"Pakai saja motorku," sambung Guntur kepada Elita. "Aku akan menahan mereka di sini."
Guntur sudah menoleh kepada Maria, tetapi belum sempat mengucapkan sepatah kata pun, Gatot sudah bangkit menghampiri sambil melemparkan segenggam uang ke mukanya. "Ini uang taruhanmu, Tur! Kamu mau apa lagi"" "Biarkan mereka pergi," sahut Guntur dingin. "Mana acara lucu yang kamu janjikan"" protes
teman-temannya yang sudah datang mengerubunginya. "Katanya ada calon biarawati nonton film biru!"
"Jangan ganggu mereka lagi!" Guntur sengaja tegak menghalangi teman-temannya yang masih penasaran hendak mengejar Maria. "Aku tuan rumah di sini! Kalau kalian masih banyak tingkah, kuusir semua!"
*** Rumah sakit sudah gempar ketika Elita datang bersama Maria. Tina sudah dibawa ke kantor direktur rumah sakit untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pak Handoyo pun sudah hadir di sana, lengkap dengan para perawat yang bertanggung jawab.
Seandainya saja di sana tidak ada orang lain, pastilah Maria sudah dihajar habis-habisan oleh ayahnya. Untung pula malam itu Maria belum diperbolehkan pulang. Dia sudah ngeri membayangkan hukuman ayahnya seandainya pulang ke rumah.
Di sini Ayah hanya dapat memarahinya. Dan melihat cara Pak Handoyo memarahi anaknya, mau tak mau timbul rasa kasihan di antara para perawat dan dokter-dokter yang hadir.
Mereka sudah mendengar dari Tina bagaimana cara Pak Handoyo memperlakukan anaknya. Mereka juga sudah dapat menerima alasan yang dikemuka-kan Elita untuk melarikan Maria.
Tentu saja Elita tidak menyebut-nyebut nama Guntur. Dia mengakui semua itu sebagai perbuatannya sendiri. Dengan dialah Maria pergi. Dia pula
yang membujuk Maria. Tapi mereka cuma berjalan-jalan dan menonton bioskop.
Tentu saja Elita pun mendapat peringatan keras seperti Tina. Setelah dimarahi, mereka berdua diperbolehkan pulang.
"Saya akan melaporkan perbuatan kalian berdua kepada Suster Cecilia!" ancam Pak Handoyo, menambahi hukuman mereka.
Dan Elita tidak perlu menunggu terlalu lama. Esok pagi juga, dia dan Tina sudah langsung dipanggil ke kantor Kepala Sekolah.
Dengan sabar Suster Cecilia mendengarkan cerita mereka.
"Maksud kalian memang baik," katanya sambil menghela napas. "Tapi caranya keliru. Cara seperti itu sama sekali tidak terpuji. Menculik Maria dari rumah sakit, apa pun alasannya, bukan perbuatan yang terpuji. Kalian telah memberi malu nama sekolah kita. Apakah kalian menyesal dan berjanji tidak akan melakukan tindakan seperti ini lagi""
Berbareng Elita dan Tina mengangguk.
"Baiklah. Kali ini saya maafkan. Tapi sebagai hukuman, selama seminggu ini kalian setiap hari harus membersihkan halaman. Datanglah sejam lebih pagi dari biasa. Akan saya tunggu kalian di sini. Terlambat datang berarti tambahan hukuman sehari lagi."
BAB VII Hari pertama masuk sekolah setelah dua minggu terkapar sakit merupakan hari istimewa bagi Maria. Dia merasa seperti anak baru lagi.
Cuma bedanya kali ini teman-temannya menyambut kehadirannya dengan manis. Bukan dengan ejekan-ejekan dan cemooha
n-cemoohan seperti waktu pertama kali dia masuk ke kelas ini.
Nurul sengaja membawa kue-kue buatan tangannya sendiri dan mengajak teman-temannya makan bersama. Sementara Elita membawa coklat untuk dibagi-bagikan, seakan-akan hari itu Maria berulang tahun lagi.
Maria amat terharu menerima sambutan teman-temannya. Mereka seolah-olah berlomba-lomba ingin menghiburnya.
Semua catatan pelajaran selama dia tidak masuk sekolah, bahkan termasuk juga catatan yangdirobek-robek ayahnya dulu, sudah lengkap disalin oleh mereka. Yang malas menyalin, menitipkan tugasnya pada mesin foto kopi. Pokoknya semua kebagian tugas.
Guru-gurunya juga bersedia memberi pelajaran tambahan kepada Maria untuk mengejar ketinggalan
pelajarannya selama dia tidak masuk sekolah. Dan bukan itu saja. Rena yang biasanya agak judes, kini malah menghadiahkan sebuah album yang berisi foto-foto pesta ulang tahunnya.
Entah siapa yang iseng menjepret adegan dansa Maria dengan Guntur. Tapi foto-foto itu lengkap menghiasi album yang dihadiahkan Rena untuk Maria. Tersipu-sipu Maria memandangi foto itu.
"Kamu masih marah sama Guntur, Mar"" tanya Elita sambil mengamati-amati wajah temannya.
"Ah, tidak," sahut Maria polos. "Saya sudah lama memaafkannya."
"Aku ikut bersalah, Mar. Aku juga ikut membujukmu." "Lupakan saja, El."
"Guntur memang brengsek. Dia terkenal gemar mempermainkan gadis-gadis. Pacarnya seperti mobilnya. Ganti setiap tahun. Tapi setelah mengenalmu, kukira dia sudah berubah. Siapa sangka dia malah mempermainkan kita semua."
"Kalau ketemu dia lagi akan kulempari mukanya dengan telur busuk!" geram Tina sengit.
"Jangan," cegah Nurul segera. "Kita harus cari akal untuk membalas perbuatan mereka! Kali ini kita kalah. Tapi lain kali kita harus berhasil mempermainkan cowok-cowok edan itu!"
"Sudahlah, Rul," cegah Maria sabar. "Mereka hanya ingin mempermainkan saya."
"Kamu betul-betul nggak marah, Mar"" desak Nurul penasaran. "Nggak kesal""
Maria cuma menggeleng sambil tersenyum. "Yang sudah lewat sudahlah," katanya tenang. "Pelajaran juga buat saya."
"Astaga. Mar!" Nurul menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tidak percaya. "Kamu betul-betul malaikat!"
*** "Saya tidak bisa menyimpan album itu di rumah, EL" kata Maria kepada Elita pada waktu jam istirahat. "Titip sama kamu, ya""
"Pulang sekolah nanti berikan saja kepadaku," sahut Elita mantap.
"Terima kasih, El. Sekarang saya mau ke WC dulu ya. Perut saya sakit."
"Kenapa, Mar"" bisik Elita agak kuatir. "Mukamu pucat lho!"
"Ah, memang masih agak pucat." Maria memaksakan sepotong senyum di bibirnya. "Tapi saya sudah sembuh. Sudah tidak batuk. Tidak pernah panas lagi."
"Kuantar yuk." "Nggak usah, El. Baunya tidak enak di sana."
"Nggak apa-apa. Namanya juga WC!"
"Kamu tunggu di luar saja."
"Tapi kamu teriak-teriak kalau pingsan, ya""
Tentu saja Elita cuma bergurau. Maria pun menyambutnya dengan senyum-simpul. Tapi ketika Maria benar-benar berteriak dari dalam WC, Elita sampai terlompat kaget.
"Mar!" serunya sambil menggedor-gedor pintu. "Kamu kenapa""
Beberapa orang teman mereka yang kebetulan sedang berada di sana ikut mengerubungi Elita di depan pintu.
"Mar!" teriak Elita sekali lagi ketika tidak didengarnya jawaban Maria. "Kenapa, Mar""
"El..." rintih Maria lemah. Nadanya gugup dan sangat ketakutan. "Tolong saya...."
"Kamu kenapa"" teriak Elita cemas.
"Cepat panggil Suster Cecilia atau Bu Har," perintah Elita kepada anak-anak yang mengerubunginya. "Bilang, Maria sakit lagi!"
Cepat-cepat mereka keluar. Yang sebagian lari ke kantor Kepala Sekolah. Yang lain kabur ke ruang guru.
"Buka pintunya, Mar!" seru Elita panik. "Biar aku masuk!"
Begitu pintu perlahan-lahan terbuka, cepat-cepat Elita menyelinap masuk. Dan menguncinya lagi.
Maria sedang bersandar lemah ke dinding. Mukanya pucat-pasi. Matanya terbelalak ketakutan.
"Kenapa, Mar"" Dengan gugup Elita menggenggam lengannya. "Apamu yang sakit""
Ketakutan Maria menunjuk ke bawah. Dan mata Elita terbelalak melihat carian merah yang mengalir di sela-sela paha Maria... terus ke kakinya....
"Ya Allah, Mar!" pekik Elita terkejut. "K
amu..."" Maria menggeleng sama gugupnya. Matanya menggelepar-gelepar dengan panik. Bibirnya mendesah resah.
Pintu WC diketuk dari luar. Lalu terdengar suara Suster Cecilia. Tenang dan berwibawa. Meskipun masih menyembunyikan nada kuatir.
Cepat-cepat Elita membuka pintu. Begitu Suster Cecilia masuk, Maria mengerut ketakutan. Tapi Suster Cecilia hanya memandangnya sekejap. Lalu dia sudah tahu apa yang terjadi.
Segera diusirnya siswi-siswi yang masih berkerumun di depan pintu. Dimintanya Maria membersih-
kan darah yang meleleh di kakinya. Lalu dibimbingnya gadis itu ke luar.
Tapi di luar teman-temannya masih berkerumun menonton. Saling berbisik-bisik sambil tersenyum mencemooh. Dengan susah payah Bu Harti dan Bu Mien berusaha membubarkan kerumunan mereka.
Maria dibaringkan di ruang P3K. Dan Suster Cecilia memberi instruksi singkat kepada Bu Endang yang menjaga ruangan itu. Lalu dia memanggil Elita.
"Kamu sudah dapat menstruasi, Elita"" tanyanya dengan suara datar, seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa.
Elita mengangguk gugup. "Tapi saya tidak menyangka..."
"Jadi ini kejadian biasa," potong Suster Cecilia tegas. Dia memandang langsung ke mata Elita. Dan matanya yang tajam berwibawa itu seakan-akan ingin menghujamkan keyakinan di hati Elita. "Seorang gadis yang menginjak masa remaja mendapat haid. Itu soal biasa, bukan""
"Ya, Suster...," sahut Elita gelagapan. "Tapi saya tidak menyangka Maria tidak tahu.... Saya tidak berpikir sampai ke sana...."
Suster Cecilia mengangguk sebelum Elita sempat mengakhiri kata-katanya. "Jadi katakan kepada teman-temanmu, ini kejadian biasa. Tidak ada apa-apa. Maria hanya mendapat haidnya yang pertama."
"Ya, Suster...," sahut Elita gugup.
"Sekarang kamu boleh kembali ke kelas."
*** "Kamu sudah mendapat pelajaran biologi, Maria"" tanya Suster Cecilia dengan tenang. Dia duduk dengan sabar di tepi pembaringan Maria.
Gadis itu mengangguk dengan gugup. Matanya menatap Suster Cecilia dengan ketakutan.
"Kamu pasti tahu, jika seorang wanita menginjak masa remaja, dia akan mendapat haid atau menstruasi sekali setiap bulan, bukan""
Ragu-ragu Maria mengangguk.
"Nah, inilah haidmu yang pertama."
Mata Maria membelalak ketakutan. Mulutnya ternganga bingung.
"Tidak ada yang perlu dikuatirkan. Itu hanya suatu tanda bahwa kamu sudah menjadi wanita dewasa sekarang. Selama lima sampai tujuh hari, kamu akan mengalami perdarahan seperti ini. Lebih baik kamu memakai pembalut wanita seperti yang diberikan oleh Bu Endang tadi. Pembalut-pembalut seperti itu dapat dibeli di toko dalam bungkusan plastik atau dus. Kamu mungkin akan merasa perutmu sakit sedikit. Tapi keluhan seperti itu biasanya hanya datang pada hari pertama atau kedua. Sesudahnya kamu tidak akan merasakan apa-apa lagi. Menstruasimu akan berhenti dengan sendirinya. Dan akan datang kembali bulan depan kira-kira pada tanggal yang sama. Mungkin pada hari-hari sebelumnya kamu juga akan merasakan ketegangan atau malah sedikit sakit pada buah dada atau pinggangmu. Tapi kamu tidak usah kuatir. Gejala semacam itu biasa dialami wanita sebelum haidnya datang. Ada lagi yang ingin kamu tanyakan, Maria""
"Apa... apa yang harus saya katakan pada Ayah"" rintih Maria bingung.


Merpati Tak Pernah Ingkar Janji Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ayah! Cuma itu yang dipikirkannya!
"Biar saya yang bicara dengan ayahmu," sahut Suster Cecilia tegas. "Sekarang kamu pulang saja.
Saya sudah minta Bu Endang mengambilkan buku-bukumu di kelas. Besok pagi datanglah bersama ayahmu kemari. Tidak usah takut. Tidak ada yang perlu dikuatirkan."
Tetapi yang paling dikuatirkan Maria justru baru ditemukannya di rumah. Album itu masih terbawa di dalam tasnya! Dalam kebingungan dia telah melupakan kehadiran album itu! Elita belum sempat mengambilnya!
*** "Eh, masih berani nongol di sini"!" geram Elita begitu dia melihat Guntur menunggu di depan sekolah. "Mau ngapain lagi""
"Minta dikeroyok cewek, ya!" Tina mendesis sengit. "Sayang aku belum punya telur busuk!"
"Benar-benar muka badak tuh!" sembur Nurul tidak kalah judesnya. "Nggak tahu malu!"
"Aku datang mau minta maaf," sahut Guntur tanpa menghiraukan kemarahan teman-tem
an putrinya. "Mana Maria""
"Sudah pulang!"
"Pulang"" Menyipit mata Guntur. "Dia sakit lagi""
"Gara-gara kamu!" "Dia masih marah""
"Maria nggak pernah marah!" potong Tina sengit. Diangkatnya tasnya tinggi-tinggi. Diayunkannya ke punggung Guntur. "Kami yang marah!"
"Dia nggak marah"" desak Guntur tanpa menghiraukan perbuatan Tina. "Betul Maria nggak marah""
"Minggir deh kamu, Nyong!" Tanpa menghiraukan Guntur lagi Elita meninggalkannya pergi. "Pokoknya mulai sekarang kami tidak mau lagi mengenal kalian! Sana, cari gadis dari sekolah lain yang bisa kalian permainkan seenaknya saja!"
"Tapi aku benar-benar menyesal, Rul," kata Guntur kepada Nurul, satu-satunya gadis yang masih mau mendengarkan penyesalannya. "Kalau aku tidak bisa bertemu dengan Maria lagi, tolong berikan surat ini kepadanya, ya" Tolong deh, Rul!"
"Ah, kok pakai perantara segala sih! Berikan saja sendiri! Takut, ya""
"Aku justru kuatir Maria yang nggak mau ketemu aku lagi, Rul!"
"Apa upahnya""
"Bilang saja kamu mau apa""
"Boleh baca surat ini""
"Kenapa tidak""
"Di depan kelas""
"Silakan. Asal Maria tidak marah."
Nurul tersenyum-simpul. Ditimang-timangnya surat bersampul merah muda itu. "Romantis juga kamu, ya. Pakai surat-suratan segala. Memangnya kamu serius""
"Aku sudah janji nggak main-main lagi, Rul!"
"Maksudku dengan Maria""
"Kukatakan juga percuma. Kamu pasti tidak percaya!"
"Kamu betul-betul naksir Maria"" "Mula-mula sih cuma main-main. "Sekarang aku serius, Rul."
"Wah, saingan sama Tuhan dong kamu! Dia kan calon biarawati!"
"Saingan sama siapa pun aku nggak peduli!"
*** Ketika Maria sampai di rumah, ayahnya memang belum pulang. Tetapi ketika dia bergegas hendak membawa album itu kembali ke sekolah, Ayah muncul di pintu pagar.
Buru-buru Maria berlari kembali ke kamarnya. Diselipkannya begitu saja album itu di bawah tempat tidurnya. Memang bukan tempat yang aman. Ayah sering menggeledahnya juga. Tetapi kalau Maria berpura-pura sakit dan tidur, Ayah pasti tidak akan menyuruhnya turun dari ranjang.
"Pagi-pagi sudah pulang," gerutu Pak Handoyo begitu dia melihat Maria berbaring di tempat tidur. "Sakit lagi""
Dengan jengkel Pak Handoyo menghampiri tempat tidur. Dipegangnya dahi Maria. Dan Maria menunggu dengan hati berdebar-debar.
"Tidak panas. Apamu yang sakit" Malas sekolah" Sudah terlalu lama tiduran terus"!"
"Perut," sahut Maria ketakutan. "Kata Suster Cecilia disuruh istirahat...."
"Hm," gerutu Pak Handoyo sambil meninggalkan kamar. "Besok harus sekolah! Tidak ada alasan sakit!"
"Suster Cecilia minta Ayah datang menghadap...."
"Ada apa lagi""
Wajah ayahnya langsung berubah bengis. Suaranya tajam menyengat. Penuh kecurigaan. Ditatapnya
Maria dengan tatapan yang membuat Maria tiba-tiba merasa dirinya seperti pencuri yang tertangkap basah.
"Awas kalau ada laporan jelek lagi tentang dirimu!" ancam ayahnya geram. "Kesabaran Ayah sudah habis!"
*** "Tapi dia masih anak-anak!" geram Pak Handoyo sengit. Dia duduk di depan meja tulis Suster Cecilia. Mendengarkan laporan Suster Cecilia dengan wajah merah-padam.
"Ini hanya fenomena biologis biasa, Pak Handoyo," sanggah Suster Cecilia tegas. "Setiap gadis remaja pasti akan mengalaminya suatu saat dalam hidupnya!"
"Tapi tidak sekarang! Maria masih kecil!" "Umurnya sudah enam belas tahun lebih empat bulan, Pak Handoyo. Dia sudah bukan anak-anak lagi!"
"Saya menghendaki dia memperolehnya sesudah berada di dalam biara nanti!"
"Tapi ini bukan kesalahan Maria, Pak Handoyo! Dia tidak dapat mengaturnya. Semua teman sekelasnya sudah mendapat haid. Ada beberapa malah sudah memperolehnya ketika mereka masih duduk di bangku SMP, bahkan di SD!"
"Saya sungguh kecewa!"
"Jangan membebani Maria dengan perasaan bersalah karena mendapat haid, Pak Handoyo. Itu
tidak baik untuk perkembangan jiwanya. Dia masih sangat muda. Masih hijau. Kurang pengalaman. Kurang pergaulan pula. Haid tidak identik dengan dosa!"
"Sesuatu yang kotor!" geram Pak Handoyo dengan wajah merah terbakar. "Setelah memperolehnya, seorang anak kecil yang suci bersih, teman-teman Yesus yang terkasih, berubah menjadi
seorang wanita! Makhluk penggoda yang membuat manusia menyandang dosa asal! Dan terusir dari Taman Firdaus!"
"Yesus Kristus, Anak Domba Allah yang hidup, telah menebus dosa itu, Pak Handoyo!"
"Tapi manusia masih terus membuat dosa!" kilah Pak Handoyo sengit. "Sekarang Maria sudah di ambang pintu dosa. Setiap saat dia bisa berbuat dosa. Dia harus secepatnya masuk biara, Suster. Tidak usah sekolah lagi. Aturlah agar Maria segera dapat masuk biara di sini."
"Jangan terburu nafsu, Pak Handoyo." Suster Cecilia menghela napas menahan kesal. "Maria masih terlalu muda. Berilah dia kesempatan untuk tumbuh menjadi dewasa. Pada saat itu, dia baru dapat menentukan pilihan hidupnya!"
"Mungkin pada waktu itu sudah terlambat! Saya ingin Maria masuk biara sekarang juga, Suster!"
"Tapi kita tidak boleh memaksanya! Kita harus menanyakan kehendaknya dulu. Semua manusia punya kehendak bebas, Pak Handoyo. Kita harus menghargai hak Maria!"
"Dia juga menginginkannya!" sahut Pak Handoyo
mantap. "Sejak dia lahir, saya telah menghembuskan keinginan itu dalam setiap helaan napasnya!"
"Saya mau masuk biara, Suster," sahut Maria dengan air mata berlinang. "Tapi tidak sekarang. Saya masih ingin sekolah. Masih ingin bergaul dengan teman-teman."
"Kamu harus masuk sekarang," geram pak Handoyo tegas. "Kalau mereka menolakmu, Ayah akan mengurungmu di rumah! Sampai mereka mau menerimamu! Mulai detik ini, kesucianmu sudah di tepi jurang. Setiap saat bisa jatuh terjerumus ke dalam jurang dosa!"
"Pak Handoyo, berilah Maria kesempatan untuk menenangkan diri!" pinta Suster Cecilia iba.
Tetapi Pak Handoyo memang keras kepala.
"Sejak lahir dia telah kupersembahkan kepada Tuhan!" katanya kepada Pastor Matias yang hadir pula di sana. Suster Cecilia yang memintanya untuk turut melunakkan hati ayah Maria.
"Bukan demikian caranya mempersembahkan seorang anak untuk melayani Tuhan, Pak Handoyo. Ini cara yang keliru. Tuhan tidak merestui pemaksaan. Seperti apa pun bentuknya. Apa pun tujuannya."
"Tidak ada pemaksaan, Romo Matias. Ini bentuk persembahanku yang terbesar untuk Tuhan. Aku mempersembahkan anakku sendiri. Anakku satu-satunya. Untuk Tuhan."
"Tapi yang Bapak persembahkan itu anak Bapak. Manusia yang punya kehendak bebas. Bukan diri Bapak sendiri."
"Romo lupa. Tuhan minta Abraham mengorbankan Iskak anaknya sebagai korban persembahan, bukan dirinya sendiri!"
"Tapi apakah Bapak yakin, Tuhan meminta Maria""
"Aku telah mengambil milik Tuhan, Romo. Biarlah Tuhan mengambil milikku juga."
BAB VIII "Dua puluh tahun yang lalu ayahmu seorang pastor yang berwibawa, Maria," tutur Suster Cecilia di depan Maria yang sedang menangis. "Dia terkenal keras, ortodoks, tak kenal kompromi. Karena sifat-sifatnya itu, ayahmu sering berselisih pendapat dengan rekan-rekannya sendiri. Seminggu sekali, kami para calon biarawati di biara ini diberi kesempatan menerima pelajaran bahasa Latin dari ayahmu. Entah bagaimana permulaannya, tiba-tiba saja salah seorang di antara kami mengundurkan diri. Calon biarawati itu akhirnya menikah dengan ayahmu. Dan dia adalah ibumu."
Suster Cecilia menghela napas panjang sebelum melanjutkan ceritanya.
"Sebagaimana kamu ketahui, seorang pastor seperti juga seorang biarawati, terikat janji untuk hidup selibat, tidak menikah. Keputusan ayahmu membuat dia mengundurkan diri sebagai pastor, karena permohonan dispensasinya ditolak. Mereka menikah dan pindah ke Banyumas. Ketika melahirkan, ibumu meninggal. Ayahmu merasa sangat berdosa. Dan dia telah bersumpah untuk menyilih dosanya dengan mempersembahkan bayinya kepada
Tuhan. Kamulah bayi itu, Maria. Sekarang kamu mengerti mengapa ayahmu berkeras memaksamu masuk biara" Karena dia telah mempersembahkan dirimu kepada Tuhan sejak kamu lahir. Ayahmu takut kamu tidak tahan godaan. Karena itu dia memaksamu masuk sekarang juga. Karena dia menganggap biaralah tempat yang paling aman untuk menjaga kesucianmu dan memelihara sumpahnya. Dulu saya tidak ingin menceritakan kisah ini kepadamu. Tapi sekarang saya merasa tidak adil kalau kamu tidak mengetahuinya."
Sepanjang perjalanan pulang Mari
a mengkaji cerita Suster Cecilia. Tidak adil memang, mempersembahkan dirinya sebagai pembayar hutang ayahnya pada Tuhan.
Tapi Maria mencintai ayahnya. Dan mengasihi Tuhan. Dia rela mempersembahkan dirinya. Sekarang juga. Dia akan menemui ayahnya di rumah. Dan minta agar ayahnya menyerahkannya ke biara hari ini juga.
Tapi sesampainya di ambang pintu rumahnya, Maria tidak jadi masuk. Matanya terbelalak ketakutan. Bibirnya gemetar. Dan seluruh tubuhnya langsung mengejang seperti terkena sengatan listrik.
Bergegas seperti dikejar hantu, Maria kabur dari rumahnya. Dan tidak berani lagi kembali ke sana.
Ayahnya sedang merobek-robek foto albumnya. Serpihan-serpihan foto itu bertebaran di lantai. Maria tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukan ayahnya terhadap dirinya kalau sampai Ayah menemukannya!
*** "Saya tidak berani pulang, El!" tangis Maria di depan teman-temannya. "Saya takut! Ayah pasti
memukul saya... mengurung saya... selama-lamanya... sampai mereka mau menerima saya di biara...."
"Keterlaluan!" geram Elita sengit. "Kita adukan pada polisi yuk!"
"Ah, polisi bisa apa!" bantah Nurul. "Ini kan bukan perbuatan kriminal!"
"Lebih baik kita ngadu ke Suster Cecilia!" usul Tina gemas.
"Ah, percuma! Ayah Maria nggak takut kok sama Suster Cecilia!"
"Habis bagaimana dong""
"Malam ini kamu tinggal saja di rumahku dulu, Mar," usul Elita.
"Ih, abangmu banyak!" bantah Nurul. "Nanti ada yang duel!"
"Pokoknya Maria aman bersamaku. Asal kalian bisa jaga rahasia!"
"Tapi Ayah pasti mencari saya, El!" rintih Maria cemas.
"Biar saja. Besok kita cari jalan lain."
"Jalan apa"" potong Tina, masih ingat kejadian di rumah sakit. "Aku sudah kapok lho, El!"
"Pokoknya kita harus melindungi Maria!" sahut Elita tegas. "Dengan jalan apa pun!"
"Tapi kasihan kalau Ayah mencari saya ke mana-mana, El," desah Maria bingung.
"Gampang. Tulis saja surat."
"Surat"" "Tanpa alamat."
"Tapi saya belum pernah menulis surat...." "Ah, itu soal kecil! Aku yang tulis!" Tetapi kata-kata Elita di dalam surat yang dibuatnya untuk ayah Maria terlalu keras. Terlam-
pau kasar di telinga Maria. Dia tidak sampai hati.
Ayah pasti marah. Sedih. Kesal. Kecewa... Maria tidak ingin lagi menambah penderitaannya. Jadi akhirnya dia cuma menulis sembilan belas patah kata.
"Ayah. saya belum berani pulang. Tapi suatu hari kelak, saya pasti akan kembali untuk menepati janji Ayah pada Tuhan."
Mengantarkan surat itu ke rumah Maria merupakan tugas pertama untuk Nurul. Dia tahu sekali bagaimana caranya supaya surat itu dapat sampai ke sana. Tanpa sepengetahuan ayah Maria.
Sementara itu Elita sibuk membujuk ayahnya agar Maria diperbolehkan tinggal bersama mereka malam itu.
"Boleh saja." sahut ayah Elita sabar. "Tapi bagaimana dengan ayahnya" Jangan sampai kita dituduh menculik anak gadis orang."
"Beres deh, Pa! Itu sih urusan Elita!"
*** Pak Handoyo menghempaskan dua helai potongan foto di atas meja Suster Cecilia.
"Suster kenal anak laki-laki ini"!" geramnya sengit.
Dalam sehari saja Pak Handoyo sudah bertambah tua sepuluh tahun. Rambutnya tidak tersisir rapi. Kumisnya tumbuh liar. Dan wajahnya kumal.
Hanya matanya yang tidak berubah. Mata yang tak pernah tersenyum itu tetap bersorot dingin dan keras. Tak kenal kompromi.
Dia telah mencari Maria ke mana-mana. Tapi yang ditemukannya malah surat. Sepotong kertas
tanpa alamat. Dan surat itu malah menambah kemarahannya.
Anak gadisnya pasti kabur! Melarikan diri dengan pemuda ini! Pemuda yang berani mengajaknya berdansa!
Dengan sabar Suster Cecilia merapatkan kembali potongan-potongan foto itu. Dan dahinya langsung berkerut.
Dia tidak kenal siapa pemuda yang sedang berdansa dengan Maria ini. Tetapi dia dapat mengenali gadis-gadis lain yang juga sedang asyik berdansa. Endang dan Nike.
"Pesta dansa semacam ini diadakan di sekolah"" desak Pak Handoyo kesal. "Atau di rumah salah seorang temannya""
"Maria pernah menanyakan pendapat saya tentang undangan yang diterimanya dari salah seorang temannya. Rena ulang tahun. Saya rasa pesta ini diadakan di rumahnya."
"Dan Suster mengizinkan Maria per
gi"" "Dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, ya," sahut Suster Cecilia tegas. "Tapi saya tetap menyuruh Maria untuk minta izin pada Bapak."
"Pertimbangan-pertimbangan tertentu!" geram Pak Handoyo sambil mengatupkan rahangnya, menahan marah. "Ternyata Suster Cecilia sendiri juga ikut menyebabkan kaburnya Maria!"
"Bukan saya," bantah Suster Cecilia tegas. "Bukan pula orang lain. Tapi Bapak sendiri yang telah salah mendidiknya!"
"Saya"" belalak Pak Handoyo sengit. "Suster sendiri yang telah mengizinkan Maria pergi ke pesta gila-gilaan ini! Dan bertemu dengan anak-anak muda rongsokan yang tidak bermoral!"
"Saya percaya pada anak-anak didik saya," sahut Suster Cecilia mantap. "Mereka mungkin nakal. Tapi tidak sejahat yang Bapak kira."
"Dan pesta gila ini"!"
"Itu cuma pesta ulang tahun, Pak Handoyo. Setiap gadis boleh menyelenggarakannya. Dansa cuma bumbu dalam pesta muda-mudi. Dan pesta hanya salah satu romantika kehidupan remaja. Jika para pelakunya gadis-gadis yang terdidik dan bermoral baik seperti murid-murid saya, saya yakin pesta mereka bukan pesta gila-gilaan."
"Suster terlalu lemah! Terlampau memberi kebebasan pada mereka! Ini akibatnya! Anak saya yang jadi korban! Saya menyesal menyekolahkan Maria di sini!"
"Pak Handoyo-lah yang harus belajar dari pengalaman. Maria lari karena terlalu dikekang! Kita sebagai orang tua memang tidak boleh memberi kebebasan yang berlebihan kepada anak-anak kita. Tapi kalau kita memberi mereka tanggung jawab dan kepercayaan, mereka tidak akan mengecewakan kita."
"Untuk Maria semuanya berbeda! Sejak lahir dia sudah milik Tuhan! Dia tidak boleh bergaul dengan segala macam penyakit begini! Hhh, saya yakin, Suster, dia pasti kabur bersama pemuda ini! Saya harus mencarinya! Suster tahu di mana alamatnya""
"Teman-teman Maria pasti tahu. Tapi Pak
Handoyo, jangan sembarangan menuduh sebelum ada buktinya!"
*** Begitu Suster Cecilia masuk ke dalam kelas, Elita langsung mengirim tatapan kilat pada teman-temannya. Dan Nurul membaca nada penuh ancaman di mata itu.
"Awas, kalau ada yang tahu Maria ada di rumahku," ancam Elita tadi. "Pokoknya yang tahu cuma kita berlima. Nurul, Nike, Endang, Tina, dan aku. Rena sengaja tidak kuberi tahu dulu. Dia dekat sama Luna. Dan anak itu masih kuragukan itikad baiknya terhadap Maria!"
"Maria tidak pulang ke rumah sejak kemarin siang," kata Suster Cecilia setelah dia tegak di muka kelas. Wajahnya sangat muram. "Ada yang tahu di mana dia berada""
Sepi. Seluruh kelas sunyi seperti kuburan. Teman-teman sekelas Maria saling pandang dengan bingung.
Suster Cecilia melayangkan tatapannya ke seluruh kelas. Dan tatapannya berhenti di wajah Elita. Gadis itu membalas tatapannya dengan berani.
Tetapi Suster Cecilia yang berpengalaman telah membaca sesuatu di dalam mata itu. Nalurinya mengatakan, Elita pasti merahasiakan sesuatu.
"Kamu juga tidak tahu, Elita"" desak Suster Cecilia tajam.
"Tidak, Suster," sahut Elita tegas.
"Baiklah," gumam Suster Cecilia sabar. "Kalau ada yang tahu di mana Maria berada, jangan ragu-ragu menghubungi saya. Mungkin kalian ingin
berbuat baik pada Maria. Tapi percayalah, saya tahu yang terbaik untuknya."
Apa yang terbaik untuk Maria, Suster" pekik Elita dalam hati. Pulang ke rumah untuk dimarahi ayahnya" Dipukuli dan dikurung di dalam kamar"
Dapatkah Suster merasakan ketakutannya" Kesedihannya" Mengapa orang tua selalu menindas anak-anaknya seperti seorang penguasa" Siapa yang mengatakan orang tua berhak melakukan apa saja terhadap anaknya"
"Rena," cetus Suster Cecilia tiba-tiba.
"Ya, Suster"" Rena membalas tatapan Kepala Sekolah dengan dada berdebar-debar. Dia benar-benar tidak tahu di mana Maria berada. Apa Suster Cecilia tidak percaya"
"Kamu juga tidak tahu di mana Maria sekarang"" Rena menggeleng dengan sungguh-sungguh. "Tapi kamu pasti tahu di mana alamat pemuda ini."
Suster Cecilia mengeluarkan cabikan foto yang membuat paras Rena langsung memucat. Nurul melirik kilat ke arah Elita. Tetapi Elita cuma menyeringai puas.
Silakan cari di rumah Guntur! Mudah-mudahan ayah Maria sempat merepotkan pemuda itu. Biar
rasa dia! "Kamu mengundangnya waktu pesta ulang tahunmu. Mustahil kamu tidak tahu alamatnya."
Rena mengerling teman-temannya dengan bingung. Seakan-akan mencari dukungan. Tapi dia tidak menemukan jawaban apa-apa di mata mereka. Tina malah sudah membuang muka ke tempat lain. Endang pura-pura tidak melihat.
"Di mana rumahnya, Rena"" desak Suster Cecilia tegas. "Kamu tahu, bukan""
"Tahu, Suster," sahut Rena ragu-ragu. "Tapi saya lupa...."
Elita bertukar pandang dengan Nurul sambil mengulum senyum.
"Bagus sekali," kata Suster Cecilia sabar. "Nah, bagaimana caramu mengundang dia ke pestamu""
"Kami bertemu di Balai Sidang, Suster," sahut Rena spontan.
Teman-temannya tersenyum geli.
"Dan kamu tidak punya buku catatan alamatnya""
Suster Cecilia tersenyum dingin. "Baiklah. Sekarang kamu boleh pulang. Jangan kembali ke sekolah sebelum kamu menemukan alamatnya."
"Saya punya, Suster!" sela Luna tiba-tiba.
Suster Cecilia langsung menoleh ke arah suara itu.
"Punya apa, Luna""
"Buku catatan alamat teman-teman."
"Bagus sekali. Kamu tahu siapa pemuda ini""
"Namanya Guntur, Suster," sahut Luna lantang.
Rena membelalak kesal ke arah Luna. Teman-temannya pun mulai ikut menggerutu. Cuma Elita, Nurul, Nike, Tina, dan Endang yang tetap tenang.
"Alamatnya""
"Ada di sini, Suster." Luna menyodorkan sebuah buku kecil.
"Terima kasih, Luna. Kerja samamu hari ini akan selalu saya ingat."
"Huu!" Rista mencibir sinis setelah Suster Cecilia keluar dari dalam kelas. "Mau dialem kamu, Na!"
"Cari muka, ya"!" gerutu Firda gemas.
"Lho, kalian tidak menyesal kalau biarawati kita
diculik si Guntur"" belalak Luna, pura-pura marah.
"Diculik atau tidak, pokoknya Guntur sudah game sama kamu, Na!" menyeringai Nurul. "Mendingan cari obyek baru deh!"
Seperti teman-temannya, Nurul pun tahu, Luna adalah gadis Guntur tahun yang lalu. Meskipun sekarang mereka sudah tak pernah berjalan bersama-sama lagi, Nurul tahu dalam hatinya Luna masih mengharapkan Guntur.
Luna begitu kecewa ketika mengetahui Guntur menaruh perhatian pada Maria, gadis yang tidak pernah dianggap saingannya. Gadis yang kecantikannya di bawah nilai rata-rata itu yang kini mengalahkannya!
BAB IX Mendengar suaranya saja Guntur sudah tahu siapa yang datang. Siapa lagi kalau bukan teman-temannya. Naik motor dengan knalpot terbuka. Bisingnya bukan main. Seolah-olah orang lain tidak punya telinga. Atau tidak berhak menikmati ketenangan. Padahal baru pukul lima sore.
Mungkin tetangga sebelah masih enak-enak tidur. Atau sedang santai menikmati secangkir teh sambil membaca majalah. Atau cuma mendengarkan alunan lagu-lagu yang tenang dari radio.
Tapi mereka memang tidak peduli. Siapa yang dapat melarang mereka, warga negara kelas satu, remaja penuh harapan yang akan menjadi ahli-ahli waris republik ini"
Lihat saja bagaimana cara mereka mengendarai motornya. Atau menyeberang jalan kalau pulang sekolah. Semua pemakai jalan yang lain harus mengalah, seolah-olah cuma mereka yang bayar pajak.
Malas-malasan Guntur melemparkan bukunya. Dan melangkah ke luar.
"Halo, Boss!" sapa Gatot begitu melihat Guntur. "Sudah siap""
"Ayo, Tur! Cabut!" seru Rusman dari atas motornya. Mesin motornya menderu-deru menyakitkan telinga.
"Nggak jadi pergi," sahut Guntur sambil duduk di teras depan rumahnya. "Besok ada EHB. Ujian kan tinggal dua bulan lagi."
"Eh, kamu sakit. Tur"!" Hariman langsung mematikan mesin motornya dengan heran. "Tumben betah di rumah."
"Biarawatimu ada di dalam, ya"" goda Rusman sinis.
"Sejak malam itu nggak pernah ketemu dia lagi."
"Jadi kamu sakit apa, Tur" Ngapain tunggu rumah" Wah. punya acara sendiri nih!"
"Huu, dasar congek! Sudah dibilang mau belajar!"
"Kayak bukan kamu yang ngomong, Tur!" cetus Hariman keheran-heranan. "Sejak kapan sore-sore begini kamu belajar""
"Udeh deh jangan berisik!" potong Guntur tidak sabar. "Pokoknya hari ini aku nggak mau pergi! Habis perkara!"
"Tapi malam ini ada acara syuur di rumah Hans Item! Dia punya cewek-cewek baru buat kita! Yang satu Indo, Tur! Katanya bintang film!"
"Ah, nanti aku nonton filmnya saja di video."
"Kam u sakit apa sih, Tur""
"Apa lagi kalau bukan malaria tropikangcn!" ejek Gatot sinis. "Doinya sudah masuk biara kali!"
"Wah, dibandingkan cewek-eewek koleksinya si Hans Item, biarawatimu nggak ada apa-apanya, Tur!"
"Pergi deh! Aku sudah bosan lihat tampang kalian!
"Kau serius tidak mau pergi, Tur"" desak Tiar penasaran.
"Eh, mesti diusir ya"!"
"Nanti kamu menyesal, Tur!"
"Pokoknya aku nggak minta ganti rugi sama kalian! Sana deh pergi!"
"Eh, Tur! Ada yang cari kamu nih! Kamu ngutang belum bayar, ya"" teriak Hariman mengatasi kebisingan deru mesin motor teman-temannya.
"Siapa lagi sih"!" Guntur mengangkat kepalanya dan menoleh ke pintu halaman dengan malas. Tetapi matanya langsung menyipit begitu dia mengenali laki-laki itu.
Sudah kuduga, pikir Pak Handoyo geram. Pemuda-pemuda berandal seperti inilah yang membawa kabur Maria!
Tanpa memberi kesempatan pada Guntur untuk menyapa, Pak Handoyo sudah langsung membentak dengan kasar,
"Di mana Maria"!"
"Buset!" Gatot pura-pura mengurut dada. "Galak amat! Kamu ngutang berapa duit sih, Tur""
"Jangan main-main!" geram Pak Handoyo bengis. "Di mana anak saya""
"Astaga!" Rusman menyeringai masam. "Kamu melarikan anak gadis orang, Tur""
"Wah, pantas saja dia tidak mau pergi!" Tiar tertawa dengan kurang ajar sekali. "Bah, punya simpanan dia rupanya! Ada yang perlu dijaga di dalam, Tur""
"Maria... pergi lagi"" desah Guntur tanpa menghiraukan seloroh teman-temannya.
"Jangan pura-pura!" Pak Handoyo menghampiri Guntur dengan marah. "Lekas katakan, di mana kamu sembunyikan anak saya"!"
"Saya tidak tahu di mana Maria, Pak," sahut Guntur bingung. "Saya malah tidak tahu dia pergi lagi...."
"Bohong! Kamu berandal yang merusak anak saya!"
"Ciii! Anak siapa yang kaurusak, Tur"" ejek Tiar sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Jangan main-main!" bentak Pak Handoyo sengit ke arah Tiar. "Kalian tahu apa hukuman pemuda-pemuda berandal yang melarikan anak gadis orang"!"
"Tidak, Pak," sahut Tiar dengan gaya yang menyebalkan. "Tapi saya juga tidak tahu siapa anak Bapak!"
"Kami tidak tahu ke mana Maria pergi, Pak," sambung Guntur sabar. "Tapi kami akan ikut mencarinya. Kapan Maria pergi""
"Dia menghilang sejak kemarin," geram Pak Handoyo berang. "Dan saya menemukan ini di kamarnya!"
Dengan kasar Pak Handoyo melemparkan cabi-kan-cabikan foto ke muka Guntur. Potongan-potongan itu jatuh ke lantai. Dan Guntur langsung memungutnya. Mukanya segera berubah begitu mengenali foto itu.
"Kamu yang merusak anakku! Sekarang pasti kamu pula yang mengajaknya kabur!"
"Buset! Siapa sih ni orang, Tur"" geram Rusman yang mulai naik darah. "Galak amat!" "Calon mertuaku," sahut Guntur asal saja.
Meledak kemarahan Pak Handoyo. Sebelum teman-teman Guntur sempat tertawa, dia telah mengepal tinjunya. Dan menjotos Guntur dengan berang.
Melihat Guntur terhuyung-huyung mundur, Gatot tak dapat menahan dirinya lagi. Dia langsung mencabut pistol ayahnya yang sering dibawanya ke mana-mana. Dikokangnya pelatuknya. Dibidikkan-nya ke arah Pak Handoyo. Tentu saja maksudnya cuma untuk menggertak. Kalau sedang bergaya begini, dia sering merasa dirinya tiba-tiba menjadi Clint Eastwood.
Tetapi Pak Handoyo tidak dapat ditakut-takuti. Apalagi oleh seorang bocah. Bukannya mundur, dia malah maju menghampiri laras pistol Gatot.
"Tembaklah kalau berani," tantangnya sengit. "Biar aku punya alasan untuk menjebloskan kalian ke dalam penjara!"
Sekejap teman-temannya melihat pancaran berbahaya keluar dari mata Gatot. Dan Rusman yang berdiri paling dekat terlambat untuk mencegah. Jari Gatot yang memeluk pelatuk telah bergerak.
Pada saat yang kritis itu, Guntur melompat dan menerjang Pak Handoyo dengan nekat. Hanya terdengar sekali letusan. Sesudah itu semuanya menjadi hening. Guntur jatuh tersungkur bersama Pak Handoyo.
*** "Malam ini kamu mesti tidur di kamarku, Mar," kata Elita setelah mereka selesai makan malam. "Kamar tamu mau dipakai oleh teman abangku.
Malam ini mereka pulang dari Bandung. Si Gareng kuliah di ITB."
"Gareng"" Maria mengangkat alisnya dengan heran. "Kok namanya begitu""
"Nama panggilan."
"Kenapa dipan ggil Gareng"" "Habis mukanya jelek kayak Gareng."
"Ah. masa." "Dia anak laki-laki yang bungsu. Ibuku paling sayang padanya. Itu nama kesayangan dari Ibu kok!"
Maria tersenyum geli. Dan senyumnya langsung hilang begitu melihat kamar Elita.
Dia belum pernah melihat ruangan yang lebih berantakan daripada kamar itu. Dan bukan itu saja. Dindingnya penuh dengan gambar laki-laki. Bermacam-macam posenya. Beraneka ragam model rambutnya.


Merpati Tak Pernah Ingkar Janji Karya Mira W di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lebih tidak keruan lagi pakaiannya. Dari yang tidak pakai baju sampai yang tubuhnya penuh dengan bulu-bulu ayam. Dari yang rambutnya botak sampai yang berjambul di tengah seperti jengger ayam jantan. Dari yang cuma memeluk gitar sampai yang merangkul seorang gadis yang... yang... membuat pipi Maria memerah dengan sendirinya....
"Nah, gimana"" tantang Elita sambil tersenyum bangga.
"Gambar-gambar siapa ini, El"" cetus Maria bingung.
"Itu namanya poster," sahut Elita sambil mencabut poster yang paling dekat dengan ranjang Maria. "Dinding ini sengaja kukosongkan. Untukmu. Kamu boleh mengisinya dengan gambar siapa
saja. Gambar Bunda Mana kek. Gambar Guntur kek."
"Ah, saya nggak punya gambar apa-apa."
"Ini radio. Ada kasetnya juga. Kamu boleh setel jika ingin mendengarkan lagu."
"Buku-buku itu boleh saya bereskan, El"" Maria menunjuk buku-buku dan majalah-majalah yang berserakan di lantai.
"Boleh saja." Elita tertawa bebas. "Tapi jangan keki kalau besok sudah berantakan lagi!"
"Saya boleh membersihkan kamar ini""
"Tentu saja. Si Inem memang kularang masuk kemari. Lancang dia. Aku yakin dia sering meminjam kaset-kaset ini. Mendengarkannya di kamarnya sendiri. Tentu saja kalau aku nggak ada di rumah. Minyak wangiku juga cepat habis kalau dia bersih-bersih di sini!"
"Poster-poster ini juga boleh saya turunkan""
"Lho, jangan dong! Itu kan poster-poster penyanyi-penyanyi kesayanganku! Aku nggak bisa tidur sebelum melihat mereka!"
"Tapi saya malah tidak bisa tidur kalau melihat gambar-gambar seperti ini!"
"Makanya mesti dibiasakan! Kamu kan gadis Metropolitan sekarang! Jangan norak dong!"
"Saya juga senang melihat gambar orang-orang yang cakep, El. Tapi cakep bukan hanya berarti bagus luarnya saja, kan" Biar bagus kalau tidak sopan penampilannya, kan cuma memalukan saja""
"Soalnya batasan antara sopan dan tidak itu yang berbeda, Mar! yang sopan untukku mungkin tidak sopan untuk ukuranmu!"
Maria tidak menjawab. Dibereskannya saja buku-buku dan majalah-majalah yang berset akan di
lantai. Dikumpulkannya kaset-kaset yang bertebaran sampai ke bawah ranjang. Dan dibersihkannya tempat-tempat yang debunya sudah sekilo kalau dikumpulkan dan ditimbang.
Tidak enak melihat temannya bekerja sendiri, terpaksa Elita ikut turun tangan membantu. Dan tiba-tiba saja seekor 'kerbau' menyeruduk masuk tanpa pemberitahuan lagi.
"Di mana jeans-ku, El"" Dengan gemas dipukulnya pantat gadis yang sedang membungkuk di bawah tempat tidur itu. "Pulangin dong kalau pinjam!"
Yang terbelalak kaget bukan cuma gadis yang sedang menjerit tertahan itu. Pemuda yang memukulnya juga.
"Astaga!" Dia mundur selangkah dengan terkejut. "Ada babu baru rupanya!"
"Hush!" bentak Elita yang muncul di belakangnya. Begitu muncul dia langsung memukul bahu pemuda itu. "Dia teman sekolahku, tahu nggak!"
"Ngapain lembur di sini""
"Dia tinggal di sini. Menemaniku."
"Lho, kamu masih perlu baby-sitter""
"Jangan pedulikan dia, Mar," kata Elita pada Maria yang masih tertegun di dekat tempat tidur sambil memegang sapu. "Si Gareng memang usil. Dia abangku. Tapi kalau dia jail, kamu boleh mencubitnya."
"Aku juga boleh mencubitnya kalau dia nakal, El""
"Sudah, pergi kamu! Awas ya, kalau berani ganggu Maria, kuadukan pada Papa!"
"Bonekamu masih kurang ya, El"" ejek Gareng sambil menyeringai mengejek. "Masih perlu tambah satu boneka hidup""
"Sudah kubilang pergi!" Dengan gemas Elita mengejar Gareng untuk mencubitnya. Tapi dengan gesit pemuda itu lari menghindar.
Di tangga, mereka hampir bertabrakan dengan ibu Elita yang sedang bergegas naik.
"Astaga!" desis Ibu kesal. Cepat-cepat dia berpegangan pada tangga. Takut terguling ke bawah di
terjang anak-anaknya. "Apa-apaan sih""
"Gareng nakal, Ma!" geram Elita gemas. "Masa dia berani memukul pantat Maria!"
"Ada telepon untukmu, El!" kata ibunya tanpa menghiraukan pengaduan Elita. "Katanya penting. Dari rumah sakit!"
"Rumah sakit"" belalak Elita terkejut.
Dan yang tersentak bukan cuma Elita. Maria juga.
"Jangan-jangan Ayah saya, El!" desahnya dengan wajah pucat-pasi. "Firasat saya sudah tidak enak sejak tadi!"
"Ah, jangan kuatir dulu. Paling-paling si Nurul jatuh dari motor. Nggak bisa bayar uang muka jadi dia telepon kemari."
Tetapi begitu menerima telepon, wajah Elita langsung berubah. Ketenangannya pun langsung buyar. Jelas sekali terlihat dia berusaha mengatasi emosinya.
"Kami akan segera ke sana."
Cuma itu yang dapat diucapkan oleh Elita. Sesudah itu dia tidak bisa menguasai dirinya lagi. Dilepaskannya teleponnya begitu saja. Lalu dia terkulai lemas. Buru-buru Gareng menopangnya.
"Ada apa, El"" tanyanya bingung. "Siapa yang kecelakaan""
"Ayah, El"" desak Maria separuh menangis. Tetapi Elita sudah tidak dapat ditanya lagi. Dia sudah menangis.
*** "Peluru itu terbenam di hatinya," kata Dedi murung. "Dokter-dokter sedang berusaha mengeluarkannya melalui pembedahan."
"Dan... ayah Maria"" tanya Elita, menahan tangis.
Maria sendiri sudah tidak dapat berkata apa-apa lagi. Berdiri tegak pun dia sudah hampir tidak mampu. Mesti ditopang oleh Elita dan Gareng.
"Di kantor polisi bersama Gatot dan teman-temannya."
"Ayah..." ratap Maria pilu. Selain kata itu dia tidak mampu lagi mengucapkan sepatah kata pun. Dia malah hampir-hampir tak kuasa lagi membendung tangisnya.
Satu per satu teman-temannya berdatangan setelah Tina ditelepon oleh Gareng. Ketika Nurul muncul, dokter baru saja selesai mengoperasi Guntur.
"Peluru sudah berhasil dikeluarkan," kata Dokter Suryadi dengan wajah murung. Melihat wajah dokter itu saja, Elita dan teman-temanya sudah putus asa. "Tapi keadaannya sangat kritis. Peluru menembus usus sebelum menghancurkan hatinya. Dan kalian harus tahu, hati tidak dapat diangkat. Perdarahan pun cukup banyak. Sekarang dia masih belum sadar. Kalau dia tidak berhasil melampaui masa kritisnya dalam beberapa menit ini, tidak ada harapan lagi."
Bukan hanya Maria yang memekik histeris. Teman-temannya juga. Hampir tidak dapat dipercaya! Pemuda ganteng itu! Pemuda yang lincah. Periang. Enerjik. Sekarang dia terkapar dalam keadaan coma. Setiap saat nyawa dapat berlalu dari tubuhnya! Dan tubuh itu akan terdiam untuk selama-lamanya. Terbujur kaku dalam pelukan kematian.... O, maut! Mengapa kaucengkeramkan kukumu justru pada saat keinsafan sudah datang menyapa" Guntur memang pemuda berandal. Tapi dia sudah sadar. Dan berusaha memperbaiki dirinya. Mengapa dia masih harus dihukum" Mengapa dia tidak diberi kesempatan untuk membuktikan kein-safannya"
"Selamat, Maria!" terngiang kembali di telinga Maria ucapan Guntur yang pertama dulu. "Mainmu bagus sekali. Benar nggak sih kakimu dari kayu""
"Kamu cantik!" katanya di pesta ulang tahun Rena.
"Jangan ganggu dia!" bentaknya tegas kepada teman-temannya. "Dia bukan gadis untuk kita!"
Dan sekarang pemuda yang nakal tapi baik hati itu terkapar antara hidup dan mati... karena perbuatan ayahnya!
O, Ayah! Ayah! Belum puaskah Ayah memporak-porandakan hidupku" Mengapa harus kauhancurkan pula hidup orang lain" Temanku yang terbaik! Teman priaku satu-satunya!
*** Ruang ICU yang hening itu hanya diisi oleh desah napas Guntur yang tersendat-sendat. Dalam dan
berat. Sebuah pipa oksigen yang dimasukkan ke hidungnya membantu pernapasannya.
Lengannya pun masih diinfus. Sementara di lengan yang lain, menghunjam jarum transfusi darah.
Maria menunggu agak jauh dari tempat tidur Guntur. Tidak mungkin terlalu dekat dengan tempat tidurnya. Terlalu banyak alat-alat pembantu di sana.
Lagi pula Maria tidak boleh mengganggu kesibukan para perawat yang sedang memonitor keadaan Guntur. Dan di sana ada orang tuanya pula.
Teman-teman Maria yang lain menunggu di luar. Mereka sengaja memberi kesempatan terakhir kepada Maria untuk berada di dekat Guntur. Karena walaupun tida
k diucapkan mereka semua sependapat, tidak ada harapan lagi untuk Guntur. Setiap saat dia bisa pergi.
Dokter memang masih berusaha menolong seda-pat-dapatnya. Mereka tidak boleh tinggal diam selama jantung pasien masih tetap berdenyut.
Sesudah denyutnya hilang pun mereka masih belum menyerah. Beberapa kali pijatan jantung luar masih dilakukan untuk mencoba mempertahankan hidup pasiennya.
Tetapi keputusan terakhir di tangan Tuhan. Dengan Penciptanyalah manusia telah berjanji kapan dia harus kembali.
Nurul telah menyerahkan surat Guntur kepada Maria. Dia beranggapan tidak ada lagi waktu yang lebih tepat selain saat ini.
"Kalau aku tidak bisa bertemu lagi dengan Maria, tolong berikan surat ini kepadanya, ya""
Menitik air mata Nurul kalau teringat kata-kata Guntur yang terakhir kepadanya itu.
Sudah punya firasatkah dia" Pemuda yang tidak pernah serius itu menulis surat! Sudah tahukah dia tidak mungkin bertemu lagi dengan Maria"
"Kalau kamu buka surat ini, Mar, artinya kita tidak sempat bertemu lagi," Guntur mengawali suratnya dengan kata-kata yang memedihkan hati Maria. "Karena aku yakin sesudah kejadian malam itu, kamu pasti tidak mau lagi bertemu denganku. Iya kan, Mar" Aku bisa mengerti alasanmu. Semua memang salahku. Aku telah mempermainkan kamu. Menjadikan kamu obyek taruhan dengan teman-temanku. Terus terang mula-mula aku memang tidak serius dengan kamu. Aku tidak pernah serius dengan gadis mana pun kok, Mar! Tanya teman-temanmu deh kalau nggak percaya! Tapi entah mengapa setelah kita berada bersama-sama seharian itu, aku mulai tertarik kepadamu. Serius nih, Mar! Jadi kalau biara penuh atau kalau kamu ditolak karena tidak memenuhi syarat jadi biarawati atau ayahmu sakit-sakitan terus sehingga dia berubah pikiran, lebih baik menjadikan kamu dokter daripada pertapa, tolong ingat aku, Mar! Aku masih selalu menunggumu! Aku akan belajar baik-baik, merapikan rambutku, menukar T-shirt dan jeans kumalku dengan kemeja putih dan dasi supaya ayahmu tidak malu punya menantu seperti aku. Benar nih, Mar! Aku janji! Kapan kita bisa bertemu lagi, Maria""
Sekarang kita bertemu lagi, Tur! pekik Maria dalam hati. Sekarang aku berada di dekatmu. Dapat kupandangi sepuas-puasnya wajahmu yang pucat-pasi. Sayang matamu terpejam rapat.... Bisa kudengarkan desah napasmu.... Kurasakan kesakit-anmu.... Masih merasa sakitkah engkau di sana" Atau semuanya sudah terlupa dalam tidurmu yang lelap" Aku akan tetap menunggu di sini, Tur. Aku akan tetap menunggu sampai kamu membuka matamu dan melihat aku di sini!
"Tensinya makin menurun. Dok," lapor perawat pada dokter yang baru datang mengontrol.
Dokter itu melakukan pemeriksaan singkat sebelum menggeleng-gelengkan kepalanya dengan muram.
"Mungkin ada perdarahan baru," desahnya perlahan. "Kita harus mengadakan laparotomi kembali. Tapi pasien sudah masuk dalam keadaan shock berat. Saya tidak yakin dia berhasil mengatasi shock-nya. dan kita masih keburu membuka perutnya kembali...."
"Jangan, Tuhan! pekik Maria dalam hati. Jangan biarkan dia pergi! Akan kupersembahkan seluruh hidupku sebagai ganti hidupnya!
Dan Ibu Guntur memekik tertahan melihat cairan kehitam-hitaman yang disedot ke dalam botol melalui pipa yang dihubungkan dengan mesin yang bertugas membersihkan jalan pernapasan Guntur. Sejak tadi cairan di dalam botol itu berwarna putih walaupun tidak jernih.
Sejenak Guntur seperti bergerak-gerak. Lalu jarum yang memonitor denyut jantung Guntur bergerak tak teratur. Melukiskan garis naik-turun yang kacau.
Ibu Guntur menutup mukanya. Dan menangis perlahan di bahu suaminya.
Maria tidak tahan lagi. Dia menghambur ke luar. Berlari dan berlari terus. Tanpa menghiraukan panggilan teman-temannya.
Begitu saja Maria melompat ke dalam taksi yang kebetulan berhenti di depan rumah sakit. Dia baru turun setelah si sopir taksi tidak tahu lagi ke mana hendak membawanya.
Gadis ini pasti sakit ingatan, pikir pengemudi taksi itu dengan perasaan iba. Atau jiwanya terganggu karena pacarnya meninggal. Kasihan. Malam-malam begini masih berkeliaran di jalan. Sudah hampir pukul dua belas!
Tanpa berk ata apa-apa lagi Maria mengeluarkan semua uang yang ada di dompetnya. Diberikannya semuanya kepada si pengemudi taksi yang sedang kebingungan itu.
Lalu tanpa menghiraukan apa-apa lagi Maria berlari di sepanjang kaki lima. Menembus keheningan malam. Sampai kakinya tidak bisa diangkat lagi. Dan dia jatuh tersungkur ke tanah.
Tak tahu Maria sudah berapa lama dia menangis sambil berdoa di sana. Dia baru mengangkat wajahnya ketika telinganya lapat-lapat mendengar suara alunan organ dan dentang lonceng gereja.
Lalu dia melihat patung itu. Patung yang menjulang tinggi di hadapannya. Patung yang mirip dengan gambar Yesus di kamarnya. Di kaki-Nya-lah dia tersungkur. Dan tiba-tiba saja ada secercah kedamaian menjalari hati Maria.
"Kupersembahkan seluruh hidupku sebagai ganti hidupnya, Tuhan!" bisik Maria, terharu. "Kuserahkan diriku seutuhnya ke dalam tangan-Mu!"
BAB X Selesai berdoa Suster Maria keluar dari kapel kecil di samping biara. Dia melangkah anggun menelusuri jalan setapak yang menerobos ke koridor rumah sakit. Kerudung putihnya sekali-sekali melambai-lambai diterbangkan angin malam yang nakal.
Suasana di sana memang agak gelap. Hanya ada sebuah lampu TL sepuluh Watt sebagai penerangan. Tetapi Suster Maria tidak takut. Dia sudah biasa berjalan di sini.
Setiap malam sebelum tidur Suster Maria akan mengontrol sekali lagi keadaan rumah sakit yang dikelolanya. Rumah sakit kecil di lereng pegunungan, milik sebuah yayasan Katolik yang dipercayakan kepadanya.
Hanya ada seorang dokter dan tiga orang perawat di sana. Dua orang di antaranya calon biarawati pula.
Memang bukan sebuah rumah sakit yang komplet. Kapasitasnya pun hanya tiga puluh tempat tidur. Tetapi rumah sakit itu tidak pernah kosong.
Malah jika sedang penuh, misalnya waktu ada wabah kolera dulu, lorong-lorongnya pun digunakan sebagai bangsal untuk orang sakit. Kasur-kasur
tambahan diangkut dari dalam biara. Sehingga pernah beberapa kali terjadi, Suster Maria dan rekan-rekannya terpaksa tidur tanpa alas.
Rumah sakit itu memang bukan sebuah rumah sakit yang hebat. Tidak pernah masuk koran. Tidak pernah mendapat kunjungan pejabat dari pusat. Apalagi sumbangan para dermawan.
Kasus-kasus penyakit yang seharusnya masih bisa tertolong bila pasien itu dirawat di rumah sakit pusat yang lengkap, kadang-kadang terpaksa direlakan pergi karena tidak ada fasilitas. Tetapi bagaimanapun untuk penduduk di sekitarnya, rumah sakit itu telah menjadi berkat tersendiri. Sesuai dengan doa Suster Maria setiap malam.
"Jadikanlah aku alat damai sejahtera-Mu, Tuhan. Agar di tempat keputusasaan aku membawa harapan, di tempat kesakitan aku membawa kesembuhan, dan di tempat duka cita aku membawa suka cita."
Selama tujuh belas tahun makna doa itu telah menyatu dengan perilaku Suster Maria sehari-hari. Bukan hanya pada saat dia mengabdi Tuhan di dalam biaranya yang sepi, tapi juga pada saat merawat dan mendampingi pasien di dalam rumah sakitnya yang hiruk-pikuk.
"Selamat malam, Suster Maria!" sapa Pak Kunto, yang punya pos tetap di ranjang yang paling ujung dekat pintu bangsal.
Sudah bertahun-tahun Pak Kunto dirawat di rumah sakit ini. Sejak keluarganya tidak mampu lagi membiayai pengobatan penyakit tbc-nya yang sudah parah. Paru-parunya telah bernanah. Tubuhnya pun tinggal tulang berbalut kulit.
Pasien langganan yang sudah termasuk inventaris rumah sakit ini ditempatkan di dalam bangsal isolasi bersama sembilan orang pasien tbc lainnya. Suara batuk mereka sudah ramai terdengar sejak Suster Maria masih berada di ujung koridor.
Setiap kali Suster Maria lewat di sana, pasti Pak Kunto yang pertama kali melihatnya. Dan pertama kali pula menyapanya.
Suster Maria akan meluangkan waktu untuk berhenti sebentar di sana. Mengobrol dan menghibur pasien sebatang kara yang semangat hidupnya sudah tidak sepadan lagi dengan keadaan fisiknya itu.
"Anginnya kencang sekali ya, Suster," kata Pak Kunto sambil menatap ke luar. "Nanti malam pasti hujan lebat."
"Pak Kunto kedinginan""
Suster Maria menatap dada tipis yang hanya berbalut selembar sarung itu dengan iba. Ya, seandainya saj
a dia punya cukup banyak uang untuk membelikan sehelai baju hangat untuk orang tua ini! Ah, jangankan pakaian, untuk membeli obat-obatannya pun rumah sakit sudah hampir kewalahan!
Penderita tbc harus diobati secara terus-menerus setiap hari. Dan penderita yang penyakitnya sudah separah Pak Kunto, memerlukan pengobatan yang teratur berbulan-bulan.
Kadang-kadang kalau obat suntiknya kebetulan sedang habis, Suster Maria terpaksa hanya menyuntikkan vitamin ke dalam tubuh Pak Kunto. Meskipun hatinya sedang menangis, Suster Maria harus tetap mengulum senyum di bibirnya.
Yah, di negeri ini berapa banyak orang kaya yang mampu membeli perhiasan seharga puluhan juta
rupiah, sementara di bangsal yang pengap ini, pasien tidak mampu membeli obat suntik yang hanya berharga beberapa puluh rupiah saja untuk mempertahankan hidupnya! Sungguh suatu ironi yang menyayat hati!
"Nggak apa-apa, Suster," sahut Pak Kunto dengan ketabahan yang kadang-kadang membuat Suster Maria terharu. "Bapak sudah biasa kok. Suster sendiri nggak kedinginan""
"Ah, saya kan pakai baju panjang, Pak Kunto. Tebal lagi. Pakai kerudung pula."
"Dulu Suster punya mantel. Sudah lama Bapak tidak pernah lihat lagi."
Suster Maria cuma tersenyum. Pak Kunto tidak perlu tahu kepada siapa mantel itu telah diberikannya.
"Suster Maria!" seru Suster Ranti dari pintu bangsal nomor tiga. "Pak Sardi, Suster!"
Cepat-cepat Suster Maria melangkah ke bangsal nomor tiga. Dia sudah tahu arti panggilan semacam itu. Seorang pasien telah bersiap-siap untuk mengucapkan selamat tinggal kepada dunia. Kepada penyakitnya juga.
Dan Suster Maria harus berada di sisi pasien itu. Harus menemaninya sampai suatu saat dia tidak mungkin ditemani lagi. Si pasien harus berjalan seorang diri ke suatu tempat yang tidak dikenalnya. Hanya doa Suster Maria yang dapat menyertainya.
*** Malam itu benar-benar malam yang sibuk. Hujan turun dengan lebatnya seperti yang telah diramalkan oleh Pak Kunto. Begitu derasnya arus air sampai
berhasil membobolkan tanggul. Dan banjir yang mengganas itu merobohkan sebuah jembatan yang baru selesai diperbaiki tepat pada waktu tengah malam.
Sebuah bis yang kebetulan lewat terjerumus ke dalam sungai. Lima belas orang penumpang yang luka-luka diangkut ke rumah sakit yang terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama.
Beberapa orang di antaranya sudah tidak dapat ditolong lagi. Mereka dikumpulkan di sudut dekat ruang darurat. Sementara ruang darurat itu sendiri, penuh sesak dengan pasien-pasien yang masih membutuhkan pertolongan.
Kalau di dalam ruang darurat kesibukan dan rintihan mewarnai suasana, maka di sudut sana, cuma kesepian yang mencekam. Hanya Suster Maria yang berada di situ, mempersiapkan mereka yang
akan memulai perjalanan panjangnya malam ini juga. Perjalanan menemui Sang Pencipta. Dokter
Lusi dengan ketiga orang perawatnya masih sibuk
menolong mereka yang luka-luka.
Pasien yang pertama telah berlalu sebelum Suster
Maria sempat membekalinya dengan kata-kata
hiburan dan doa. Sejenak dia menundukkan kepala.
Berdoa untuk arwah laki-laki itu.
Korban yang kedua masih merintih kesakitan sekali-sekali, meskipun dengan suara yang sudah hampir tidak terdengar lagi karena lemahnya. Suster Maria masih sempat menyuntikkan obat penghilang rasa sakit sesuai dengan instruksi Dokter Lusi. Dia juga masih sempat membisikkan kata-kata hiburan di telinga pasien itu. Masih sempat berdoa sebelum matanya terpejam untuk selama-lamanya.
Pasien ketiga juga masih hidup meskipun napasnya tinggal satu-satu. Mukanya berlumuran darah. Suster Maria harus membersihkannya dulu sebelum dapat mengenali wajahnya. Dan dia hampir tidak mempercayai matanya sendiri!
Laki-laki tinggi kurus dengan kumis dan jenggot yang tumbuh liar tak terurus itu... Ya, Tuhan! Benarkah dia... ayahnya"
*** Suster Maria duduk terpekur di lantai. Di samping sehelai tikar tua yang mengalasi tubuh ayahnya. Hati-hati diletakkannya kepala yang berlumuran darah itu di atas pangkuannya.
Darah yang menetes merah meronai jubah putihnya. Hanya dua sosok mayat yang menemani suasana pertemuannya dengan ay
ahnya. Pak Handoyo sendiri sudah berada dalam keadaan coma. Matanya terpejam rapat. Napasnya tinggal satu-satu. Tetapi Maria percaya, Ayah masih dapat mendengar suaranya. Merasakan belaian tangannya. Menikmati kasih sayang anaknya.
"Bukalah matamu, Ayah," bisik Maria, lebih menyerupai sebuah doa. "Tataplah anakmu sekejap saja, supaya Ayah dapat melihat janjimu telah menjelma menjadi kenyataan...."
Dan sesaat sebelum tarikan napasnya yang terakhir, pelupuk mata Pak Handoyo terbuka. Tidak ada lagi sinar kehidupan di mata itu. Tetapi bola matanya yang telah memutih seakan-akan menatap anaknya. Tanpa sorot kemarahan.
Dengan lembut Suster Maria mengatupkan kembali pelupuk mata ayahnya.
"Selamat jalan. Ayah," bisiknya menahan tangis. "Pergilah dengan tenang menghadap Tuhan. Hutang Ayah telah saya lunasi. Semoga jiwamu beristirahat dalam damai...."
Diambilnya kedua belah tangan ayahnya. Dilipatnya baik-baik di atas perutnya. Saat itu, barulah Suster Maria melihat benda yang masih berada dalam genggaman Pak Handoyo.
Hati-hati Suster Maria membuka genggaman tangan ayahnya. Dan sebuah leontin jatuh ke bawah. Suster Maria memungutnya. Dan melihat gambar dirinya di balik selapis kaca yang telah pecah.
Itu adalah fotonya tujuh belas tahun yang lalu. Ketika dia berdansa dengan Guntur di pesta ulang tahun Rena. Ayah telah menggunting foto yang telah dirobeknya itu. Melekatkannya di sini. Dan membawanya ke mana-mana sampai saat yang terakhir.
Tidak terasa air mata Suster Maria menitik. Mengalir di kedua belah pipinya. Seumur hidupnya Ayah tidak pernah mengungkapkan kasih sayang kepadanya. Tetapi pada saat kematian datang menjemputnya, cuma foto anaknya yang berada dalam genggamannya....
Lama Suster Maria masih terpekur merenungi jenazah ayahnya. Sampai sebuah sentuhan lembut di bahunya menyadarkannya kembali.
"Suster Maria, insinyur yang membangun jembatan yang roboh itu ingin bertemu. Dia berjanji akan menyelidiki sampai tuntas sabotase yang membawa musibah ini. Tapi sebelumnya, dia dan stafnya ingin membantu korban-korban yang luka. Mereka menanyakan kepada kita, apa yang dapat mereka bantu."
Perlahan-lahan Suster Maria mengangkat mukanya. Dan melihat wajah Suster Fransiska yang bersimbah peluh meskipun udara dingin menusuk tulang, Suster Maria sadar, dia tidak boleh terus-menerus tenggelam dalam kesedihan. Masih banyak tugas yang sedang menantinya.
"Tolong rawat jenazah-jenazah ini, Suster," katanya sambil meletakkan kepala ayahnya dengan hati-hati. "Biar saya yang bicara dengan mereka."
Lambat-lambat Suster Maria berdiri. Dan mengikuti Suster Fransiska ke luar.
"Ini Suster Maria, Pak," kata Suster Fransiska kepada seorang laki-laki gagah yang tegak di pintu kantor rumah sakit. "Beliau pimpinan kami di sini."
"Selamat malam, Suster," sapa pemuda yang mengenakan jaket kulit berwarna gelap, yang penuh dengan titik-titik air hujan itu. Rambut dan wajahnya basah meskipun di tangannya dia masih memegang sebuah topi.
Penerangan di sana tidak terlalu terang. Hanya lampu TL empat puluh Watt yang menyorot dari dalam kantor. Pemuda itu tegak membelakangi cahaya. Tetapi bagaimanapun gelapnya mukanya, Suster Maria masih dapat mengenalinya.
Sejenak mereka sama-sama terhenyak diam. Jarak tiga langkah di antara mereka seakan-akan menjadi jembatan ke masa silam. Tujuh belas tahun telah lewat. Tetapi Guntur masih dapat mengenali gadis polos dan lugu yang kini terbungkus dalam jubah biarawati yang penuh berlumuran darah itu.
Sebaliknya Suster Maria pun langsung teringat kepada seorang pemuda berandal yang di dalam suratnya telah berjanji untuk mengganti T-shirt dan jeans kumalnya dengan kemeja putih dan dasi.
Malam ini dia memang hanya mengenakan sehelai jaket kulit. Tapi dia telah menepati janjinya. Mengubah dirinya dari seorang berandal yang sia-sia menjadi seorang insinyur yang berguna.
Sedetik suasana hening mencekam mereka. Suster Fransiska telah bergegas kembali ke ruang darurat. Tidak ada orang lain di sana. Sementara di luar, hujan pun tinggal rintik-rintik.
Tak ada lagi gelegar halilintar yang memekakkan telinga. Tak ada
lagi desau angin yang mendirikan bulu roma. Tak ada lagi hujan lebat yang mengundang petaka. Semua telah sunyi kembali. Alam seakan-akan telah kembali ke peraduannya yang tenang tenteram.
"Tuhan menyertaimu, Guntur," sapa Suster Maria lembut, setelah ketenangan berhasil menyelimuti dirinya lagi.
"Maria!" desis Guntur tidak percaya. "Berbulan-bulan aku membangun jembatan di sini. Tidak pernah kusangka jarak yang memisahkan kita hanya tinggal belasan langkah!"
"Ada jarak yang tidak mungkin terseberangi lagi di antara kita sekarang, Guntur. Aku telah menemukan hidupku di sini."
"Dan meninggalkan aku bertahun-tahun hidup dalam kekosongan dan kesepian di luar sana""
"Kamu telah menemukan dirimu sendiri, Guntur. Aku bangga padamu."
"Kamu merawat orang sakit di sini, tapi membiarkan aku seorang diri ketika hidupku tinggal dalam hitungan detik""
"Ketika aku jatuh tersungkur di depan kaki Tuhan...." Mata Suster Maria bersinar-sinar ketika membayangkan malam tujuh belas tahun yang lalu
itu. "...aku percaya, Tuhan telah mendengar doaku Dan mengembalikan nyawamu."
"Dan kamu menukar hidupku dengan hidupmu sendiri""
"Hidup untuk Tuhan dan sesama manusia bukan pengorbanan, Guntur. Itu adalah hidup yang sangat indah."
"Dan kapan keindahan itu mewarnai hidupku juga""
"Jika kaubagi hidupmu untuk orang lain," sahut Suster Maria tenang.
Tak ada lagi gambaran gadis salah tingkah yang selalu ketakutan itu. Sebagai gantinya, berdiri kini di hadapannya seorang wanita yang agung dan mandiri. Seluruh pribadinya hangat bermandikan sinar Ilahi. Sorot matanya lembut tapi penuh kepercayaan diri dan kasih sayang.
Ketika Guntur diantarkan meninjau keadaan rumah sakit itu. dan melihat apa artinya seorang Maria bagi pasien-pasien di sini, tiba-tiba saja dia sadar, Maria terlalu mahal jika diciptakan hanya untuk melayaninya seorang diri.
Bukan cuma Guntur seorang yang membutuhkan Maria. Ada banyak orang yang ingin membagi penderitaannya dengan dia.
"Tadi kamu datang menanyakan apa yang dapat kamu bantu, bukan"" tanya Suster Maria, selesai mereka melihat-lihat keadaan rumah sakit itu. "Nah, kamu telah melihat semuanya. Begitu banyak yang dapat kamu lakukan untuk mereka. Bagaimana kalau kita mulai sekarang saja""
"Apa yang mesti kulakukan"" tanya Guntur sambil menghela napas. "Aku cuma bisa membangun jembatan."
"Kalian pinna mobil, kan" Tolong bawa pasien-pasien gawat ini ke rumah sakit yang lebih besar. Mereka membutuhkan pertolongan segera. Sesudah itu kembalilah kemari. Ada banyak pekerjaan yang dapat dilakukan oleh seorang insinyur di tempat yang terpencil seperti ini."
"Suster Maria." sela Suster Ranti tiba-tiba, "persediaan darah golongan A kita habis."
Dengan tenang Suster Maria berpaling ke arah Guntur.
"Dengarlah, Tuhan telah mengetuk pintu hatimu. Ada di antara kalian yang ingin menyumbang darah""
*** Sambil menunggu pasien-pasien yang sedang diangkut ke dalam mobilnya. Guntur mengawasi Maria dari kejauhan. Kesibukannya tidak pernah berkurang. Seakan-akan dua puluh empat jam sehari tidak pernah cukup untuknya.
Diam-diam Guntur teringat kepada Pak Handoyo. Tahu jugakah dia di mana anaknya sekarang"
Guntur tidak pernah melihatnya lagi sejak sore yang naas itu. Dia menghilang setelah perkaranya selesai. Belakangan dari Elita, Guntur mendengar kabar lain.
Kata Suster Cecilia, Pak Handoyo telah menjadi seorang pengabar Injil di pedalaman Irian Jaya. Dan dia tidak pernah lagi kembali ke Pulau Jawa. Seakan-akan dia ingin melupakan kesedihan demi kesedihan yang menimpanya di sini.
Anaknya hilang. Seorang pemuda yang tidak berdosa menjadi korban akibat perbuatannya. Dia sendiri ditahan selama beberapa bulan sebelum akhirnya dibebaskan dari segala tuduhan. Gatot-lah
yang harus mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Barangkali karena trauma psikis yang bertubi-tubi itulah akhirnya Pak Handoyo memutuskan untuk bekerja kembali di jalan Tuhan. Allah Maha Pengampun. Hanya sesudah berdamai kembali dengan Tuhan-nyalah Pak Handoyo menemukan ketenangan. Tetapi kalau saja dia sempat melihat anaknya sekarang, barangkali kebahagiaannya
akan bertambah sempurna. Merpatinya yang terbang lepas itu kini telah kembali ke sarang. Merpati memang tak pernah ingkar janji. Menjelang petang, dia pulang memenuhi janjinya.
"Sudah selesai, Pak," kata sopirnya. "Kita berangkat sekarang""
Tanpa menjawab Guntur naik ke mobilnya. Ketika perlahan-lahan mobil itu bergerak meninggalkan halaman rumah sakit, dia menoleh ke belakang sekali lagi.
Bayangan putih itu masih di sana. Kerudung putihnya melambai-lambai, seakan-akan mengajaknya kembali. Dan Guntur telah bertekad untuk kembali kemari.
Dia akan mendampingi Maria seumur hidupnya dalam menunaikan tugasnya. Ada banyak pekerjaan yang dapat dilakukan oleh seorang insinyur di tempat yang terpencil ini, kata Maria tadi".
Dan Guntur percaya pada kata-katanya. Dia juga percaya, tidak semua cinta harus diakhiri oleh sebuah perkawinan. Kadang-kadang ada tujuan yang lebih luhur lagi.
-Tamat- Malaikat Berdarah Biru 3 Pendekar Rajawali Sakti 42 Kembang Karang Hawu The Resistance 2
^