Pencarian

Miss Cupid 1

Miss Cupid Karya Mia Arsjad Bagian 1


MISS CUPID Mia Arsjad TINKA tersenyum lebar di depan kaca. Giginya yang putih dan kecil-kecil berderet rapi. Sambil menyiulkan lagu New York New York-nya Frank Sinatra, jari-jari lincah Tinka menyisir rambut cepaknya yang berwarna cokelat tua keemasan.
Sambil terus bersiul-siul sampai bibirnya monyong, jemari mungilnya meraup hair gel dari meja, menyapukan ke rambutnya, dan cling! Rambut cepak trendinya langsung berdiri alias rancung-rancung.
"Ka, lo lama banget sih"" tiba-tiba Dika, adik cowoknya, sudah berdiri di depan pintu sambil cemberut. Ujung sepatunya mengetuk-ngetuk lantai tak sabar.
Memang seminggu terakhir setiap pagi Tinka rutin bersiul sepanjang satu lagu. Kalau belum beres satu lagu, dia nggak bakal berangkat ke sekolah. Alhasil, Dika yang kebagian telat karena selalu nebeng Tinka.
"Ih, sewot! Lo kan udah tau gue selalu-dan-mesti-menjalani rutinitas bersiul satu lagu setiap pagi," sahut Tinka di sela-sela siulannya. "Lagian kan lo yang nebeng gue. Kalo nggak mau nunggu, naek angkot sana," sambungnya judes.
Dika mencibir kesal. "Lagian apa gunanya sih, kegiatan siul-siul lo itu""
Siulan Tinka makin kencang. Bibirnya maju sampe tiga sentimeter, pake ada gerimisnya, lagi.
"Latihan otot bibir, tau! Biar seksi," jawab Tinka setelah menyelesaikan bait terakhir lagunya.
"IH!" Dika bergidik jijik dan buru-buru kabur, menyelamatkan diri sebelum Tinka mengeluarkan teori tentang bibir seksi yang pasti dia dapat dari majalah cewek.
"Reseee...! kan lo juga yang bangga kalo bibir gue seksi!" jerit Tinka.
Setelah memasukkan HP-nya ke tas, Tinka becermin sekali lagi.
"He-he... udah keren," katanya pada diri sendiri.
Tinka melenggang ke ruang makan. Dika yang dari tadi duduk manis sambil cemberut, membuang napas lega melihat Tinka muncul.
"Yuk..." Tinka menyambar roti isi telur dari meja dan langsung menuju rak sepatu.
"Tinka, kamu makan jangan sambil berdiri gitu dong," tegur mamanya yang juga sedang sarapan.
"Mama, jangan nasehatin Tinka duduk terus makan sekarang, aku bisa telat. Mendingan Mama beliin buku teks lagu-lagu pendek deh buat dia," gerutu Dika.
Alis mama mengerut bingung. "Kok gitu""
"Iya, biar acara siul-siulnya jadi cepet kalo lagunya pendek."
Mama tersenyum geli mendengar jawaban Dika.
"Kamu hari ini dapet setoran, ya"" tanya Mama pada Tinka yang masih sibuk mengikat tali sepatunya.
"Iya. Kok Mama tau sih""
"Soalnya kamu nyengir melulu," ucap Mama sambil menyentil hidung Tinka.
Hari ini memang hari Ike membalas jasa Tinka. T-shirt hijau toska bergambar anak ayam yang ia taksir di distro favoritnya. Eh, jasa. Jasa apa yang membuat Ike dengan senang hati dan sukarela membelikan kaus impian Tinka"
Jawabannya : birjod. Biro jodoh. Yap, biro jodoh alias mak comblang.
Entah kapan dan bagaimana ujung-pangkalnya, Tinka terkenal sebagai mak comblang canggih dan tokcer. Di SMA Tri Persada, Tinka sudah terkenal mulai dari anak kelas satu sampai kelas tiga. Klien-kliennya pun hampir tidak ada yang gagal. Sampai-sampai Tinka dapat julukan Miss Cupid. Itu lho, malaikat imut-imut dan hobi bawa panah sama busur, terus dengan senang hati menembakkan panah bermata cintanya langsung ke hati sepasang manusia.
Pokoknya yang dicomblangi Tinka pasti jadian. Kalau putus, ya salah mereka sendiri. Intinya, tugas Tinka membuat mereka jadian. Tinka juga tidak sembarangan menerima misi. Katanya, Tinka punya bakat melihat kans kliennya, kira-kira bisa jadi atau nggak. Tidak jarang Tinka menolak kliennya karena dia melihat tidak ada kemungkinan untuk berhasil. Pokoknya, predikat Miss Cupid itu pas banget deh buat Tinka!
Tapi dia juga dengan senang hati menerima misi Suti, teman sebangkunya waktu kelas satu. Suti itu biasa aja. Cewek kutu buku, berkacamata minus, penampilannya juga jauh dari modis. Suti itu baik hati, sabar, ramah, dan sebenarnya manis itu, curhat pada Tinka. Dia naksir Tio. Anak kelas sebelah yang superpinter dan juga superkeren. Dia ini salah satu cowok ngetop di sekolah. Dengan kepiawaiannya membaca situasi, Tinka berhasil membuat Suti
jadian sama Tio. Dan mereka masih pacaran sampai sekarang, saat hampir kenaikan kelas tiga.
Keberhasilan kasus Suti ini menggemparkan seisi sekolah. Tio sama Suti! Berkat Tinka. Mungkin itu awal mulanya Tinka menjadi supertenar.
Oh ya, kembali ke hari ini. Hari ini Ike sudah janji membawa T-shirt yang ia janjikan ke sekolah. Misi Tinka berhasil lagi. Semalam Rino menyatakan cintanya pada Ike. Berkat campur tangan Tinka, tentunya.
"Oke deh, Mam, aku cabs dul, ya" Nih, wayang orang udah nebeng brisik banget sih."
"Yeee... kalo nggak terpaksa banget mah malessss." Dika menjulurkan lidahnya.
Mama cuma bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan kedua anaknya. "Udah, sana berangkat."
Tinka dan Dika mencium tangan Mama.
Honda Jazz kuning Tinka diparkir di bawah pohon mangga favoritnya yang teduh dan banyak buahnya. Dilahapnya potongan terakhir roti isi telur yang ia bawa dari rumah, lalu bergegas turun dengan senyum sumringah. Siapa sih yang nggak sumringah menyongsong rezeki pada pagi hari. Betul kata orang-orang tua, jangan bangun kesiangan. Nanti rezekinya dipatok ayam.
"Pagi, Pak Oniiiiiiiii..." Dengan semangat '45 Tinka menyapa Pak Oni, tukang parkir sekolahnya. Pak Oni sedang duduk di kursi kayu di bawah pohon mangga sambil menghirup kopi pahit.
"Eh, Non Tinka. Narik setoran ye hari ini""
Kepala cepak Tinka mengangguk-angguk penuh semangat. Tau aja nih, Pak Oni. "Ntar Pak Oni dapet persen deh..."
"Nah... gitu dong, Non. Bapak doain deh kliennya tambah banyak."
Tinka tertawa lebar. "Thank you, Pak Oni. Kalo Pak Oni punya order, saya kasih diskon deh. Siapa tau anak Pak Oni mau cepet naik pelaminan. Hehehe..."
Tinka berjalan meninggalkan lapangan parkir. Lagi-lagi sambil bersiur, kali ini lagu dangdut Jatuh Bangun.
"Hei!" tepukan halus di punggungnya hampir membuat Tinka terjungkal saking kagetnya. Maklum, bersiul sambil melamun sampai-sampai nadanya agak lebih deket ke keroncong daripada dangdut. Hebat, kan" Bersiul lagu keroncong. Keahlian khusus tuh.
"Gila, kaget gue." Tinka mengelus-elus dadanya kayak nenek-nenek latah kena lemparan petasan.
Di depannya berdiri Maya. Sobatnya itu nyengir kuda melihat reaksi Tinka yang over.
"Sori deh... kok lo jadi jantungan gini sih"" ucap Maya lembut.
"Lo tuh, yang bikin kaget."
Maya tertawa renyah. Serenyah kerupuk udang yang baru digoreng.
Tinka menatap sobatnya. Heran, bisa-bisanya dia sobatan sama Maya padahal mereka begitu berbeda. Maya tipe cewek idola cowok-cowok. Cantik, tinggi, lemah lembut, sabar, dan bla bla bla... pokoknya memenuhi syarat banget deh.
Tinka" Kelihatan dong dari kelakuannya. Kayak cacing kepanasan. Cuek, lincah-tepatnya hiperaktif dan sporty. Tampang Tinka sih cute, tapi galak. Jangan sekali-kali minta Tinka pelihara rambut panjang. Buat Tinka, itu sama aja kayak disuruh melihara tuyul atau jin botol alias mustahil. Harus pake sampo khusus, creambath, hair spa... baru ngebayanginnya aja udah capek!
Cowok-cowok segan deketin Maya karena dia anggun, mereka segan deketin Tinka karena dia galak.
Maya sih belum pernah tuh butuh bantuan Tinka. Iya lah, mau cowok mana aja dia sih tinggal tunjuk. Wong hampir semua cowok di sekolah naksir dia.
Sebulan yang lalu dia baru putus sama kapten voli sekolah, anak kelas 3 IPA3.
"Lo kok pagi-pagi gini udah ceria banget, Ka"" Maya mengibaskan rambutnya persis iklan sampo.
"Biasaaaa..." Mereka berdua langsung berjalan beriringan menuju kelas.
Sesampainya disana, Ike sudah berdiri di depan pintu. Tangannya menenteng kantong karton berlabel distro langganan Tinka. Ia langsung tersenyum begitu melihat Tinka.
"Tinkaaaaaaaaaaaaaaa... lo top banget deh. Sumpriiiiit!" jeritnya. Anak-anak lain yang bergerombol di teras depan sambil menunggu bel masuk, langsung sibuk berbisik-bisik melihat aksi Ike berlari menyongsong Tinka dengan gaya India.
"Lo emang tokcer, Ka. Nggak salah gue pilih lo jadi mak comblang gue." Ike berjingkrak-jingkrak heboh sambil memeluk Tinka.
"Gue...! Mana, mana kaos anak ayam gue""
Ike menyerahkan bungkusan di tangannya. "Nih."
"Merci." Dengan semangat Tinka membuka bungkusan dari Ike.
Bel berbunyi nyaring. Tinka masuk kelas sambil melompat-lompat kecil karena kegirangan.
*** Waktu istirahat Tinka menarik Maya ke toilet. Maya yang memang dasarnya kelewat lembut alias lambat, kerepotan mengikuti langkah Tinka.
"Ngapain sih, Ka" Kebelet pipis"" omel Maya.
"Gue mau nyoba kaos baru gue."
Maya cuma bisa pasrah. Kalau ada maunya, Tinka susah dibendung, apalagi waktu kegirangan gini.
"Lo tunggu depan pintu, oke, sista"" Tinka menutup pintu bilik kamar mandi.
"Ka"" panggil Maya dari luar.
"Hm"" sahut Tinka dari dalam kamar kecil.
"Lo aneh banget sih" Sibuk aja ngurusin urusan cinta orang-orang, nah lo sendiri nggak cari pacar"" tanya Maya iseng.
"Hmmm," Tinka bergumam. "Kayaknya gue belum butuh deh sekarang. Lagian profesi gue menguntungkan kok."
Terdengar krasak-krusuk Tinka mengganti baju.
"Tiga bulan lalu gue dapet benda pink dari Karin. Sebulan lalu dapet tas transparan dari Dina. Dua minggu lalu dapet dompet mini gambar Snoopy dari Dea. Nah, sekarang dapet T-shirt dari Ike."
Pintu kamar kecil terbuka.
"Menguntungkan dooong!"" ujar Tinka sambil bergaya di depan Maya. "Keren nggak, May""
Tinka memutar-mutar badannya seperti model kawakan.
"Keren. Pas banget deh, Ka. Lo pesen ke Ike pake nyebut ukuran segala
ya"" Tinka mengedipkan sebelah mata. "Ya dooong. Misi khusus sih. Lo tau kan cowoknya si Via itu judesnya minta ampun."
Maya cekikikan. "Dasar. Untung lo nggak disemprot, tau-tau ngajak tu cowok kenalan."
"Yoi. Malah pertamanya dia sangka gue yang naksir gue. Ih, amit-amit! Judes gitu."
Tinka berjalan masuk kembali ke bilik kamar mandi untuk memakai seragamnya lagi.
"Ka, menurut gue lo perlu juga lho, cari cowok. Masa mak comblang profesional nggak bisa nyomblangin diri sendiri," ucap Maya saat Tinka di dalam bilik.
"Maya, Maya... Mak nggak perlu cowok sekarang. Kalo Mak mau, Mak tinggal ngedip-dip," sahut Tinka sambil meniru suara dukun nenek-nenek. Mereka tertawa keras bersama. "Atau, gue tinggal memanah hati gue sendiri pake panah cupid gue yang canggih itu, terus satu lagi ke hati cowok yang gue incer. Dijamin tokcer. Masa Miss Cupid nggak bisa cari jodoh sendiri, ya nggak"!"
Maya mengangguk-angguk setuju. Iya juga sih. Buktinya di gambar-gambar yang dia lihat Cupid selalu bermuka ceria dan senyum. Pastinya mereka nggak ada masalah cari jodoh sendiri, dong" Maya geleng-geleng sendiri. Ngapain sih mikirin begituan"
Di dalam, Tinka terdiam sesaat. Ada juga ganjalan hatinya yang sudah lama menyesakkan dada. Apa yang Maya bilang memang benar. Satu-satunya cowok yang pernah jadi pacarnya Cuma Wira , itu pun cuma bertahan dua bulan. Wira yang posesif tidak tahan dengan sifat Tinka yang periang, supel, dan banyak teman.
Tinka membuang napas berat. Mungkin hampir semua orang berpikir seperti Maya.
Tinka, si Miss Cupid, gagal cari jodoh buat diri sendiri.
HARI INI Tinka benar-benar sial. Jazz kuning kesayangannya mogok gara-gara dibawa nge-date sama Dika. Yang punya salah sama sekali tidak bertanggung jawab, pagi-pagi buta Dika kabur berangkat sekolah naik bus kota. Kabur menyelamatkan diri sebelum dibombardir kata makian dan timpukan benda-benda ajaib oleh Tinka.
"Maaa... aku nggak usah sekolah deh ya"" rengek Tinka.
Tidak terbayang olehnya berangkat sesiang ini dari rumah naik bus kota. Bisa-bisa baru besok nyampe sekolah. Mana pelajaran pertama Bahasa Indonesia pula. Bu Dini, wali kelasnya, pasti melotot deh. Tapi Mama paling anti anak-anaknya bolos.
"Tinka, kamu kan nggak terlambat tiap hari. Masa Bu Dini nggak mau maklum sih"" tukas Mama membela Bu Dini.
"Aduuuh, Mama. Nggak tau Bu Dini sih. Dia malah seneng, Ma. Dia kan paling anti sama kita yang bawa mobil. Kesenjangan sosial, katanya. Ngomelnya pasti tambah panjang kalo tau aku telat gara-gara mobilku mogok. Aku kan nggak mungkin bilang busnya mogok juga makanya aku telat, Ma. Ya, Ma, ya" Masa Mama tega sih," cerocos Tinka panjang lebar.
"Kalo masih ngomong terus sama Mama disini, bisa-bisa kamu d
iomelin sampe pohon Mama yang Mama tanem di belakang berbuah," ucap Mama tegas.
Tinka tahu Mama sudah tidak bisa dibantah. Sambil menekuk bibirnya ke bawah mirip bulldog, dia menenteng tasnya lalu berpamitan. Ia menyeret langkahnya dengan malas. Siapa tau Mama berubah pikiran karena iba. Tapi pastinya sih harapan semacam itu sia-sia. Pokoknya tak ada kata bolos buat Mama. Bolos aja sudah salah. Apalagi kalau ditambah pura-pura sakit. Salahnya jadi dua kali lipat.
Perjalanan dari rumah ke halte depan terasa jauh banget. Tinka bolak-balik melirik jam tangannya.
Ada juga sedikit keberuntungan buat Tinka hari ini. Bus yang dia tunggu langsung nongol begitu dia sampai di halte. Buru-buru Tinka melompat naik ke dalam bus yang penuh sesak itu. Semilir bau-bauan tujuh rupa langsung mampir ke hidung Tinka. Dari wangi parfum murahan yang sering diobral di kios-kios, sampai wangi sabun colek bercampur keringat.
Gaya melompatnya dibuat senatural mungkin supaya terlihat sudah ahli. Tinka takut ada yang tahu kalau dia jarang naik bus, kemudian dijailin, dicopet, di-hiiii. Di dalam bus Tinka nyaris tidak bisa bernapas. Tinggi badannya yang pas-pasan membuat posisinya sangat tidak menguntungkan. Mukanya persis berhadapan dengan ketiak bapak brewokan yang baunya minta ampun.
Tinka setengah mati menahan napas. Saking kuatnya menahan napas, sampai-sampai Tinka kentut sedikit.
"Bang, nggak ada tempat kosong nih"" Tinka bertanya pada kenek sambil menyerahkan ongkosnya.
"Non, namanye juge bus kote. Ye untung-untungan aje. Kalo dapet ye untung, kalo kagak ye apes, nyiumin ketek," jawab Si Abang kenek nyebelin. Sementara Si Bapak brewok mendelik karena merasa tersindir.
Perjalanan dua puluh menit itu sungguh menyiksa buat Tinka. Mana Si Bapak belum turun-turun, lagi. Otomatis ketiaknya makin amit-amit baunya gara-gara keringat. Tinka bergidik sedikit waktu matanya tertuju pada noda kekuningan di ketiak kemeja putih Bapak itu. Orang ini nekat
juga. Jelas-jelas produksi keringatnya berlebihan, masih ngotot pakai baju putih. Dan dasinya" Ya ampun! Beli dimana dia dasi berpola bunga matahari yang noraknya melewati batas normal kenorakan manusia biasa
itu" Bus berhenti di halte depan sekolah Tinka. Dengan gerakan superlincah Tinka menerobos ketiak-ketiak para penumpang yang terangkat, lalu melompat turun. Aaahh... udara segar.
Mata Tinka tertuju pada Bapak brewok tadi, yang juga turun di halte sekolahnya. Pengalaman mencium ketiaknya selama dua puluh menit membuat Tinka tergelitik untuk bertanya.
"Bapak turun disini juga"" tanyanya sok akrab.
Si Bapak menoleh, lalu mengangguk. "Iya. Bapak sih rumahnya memang disini. Tapi lagi bosen aja, Neng, makanya dari subuh Bapak naek bus tadi muter-muter kota. Itu lho, yang kata turis-turis namanya siti tur. Jalan-jalan keliling kota naik bus. Makanya Bapak dandan keren begini."
Jawaban bapak itu bikin Tinka melongo. Kurang kerjaan amat. Mana bau, lagi. "Oh..." tanpa ba-bi-bu lagi Tinka berlari menuju gerbang sekolahnya yang sudah sepi.
"Psst, psst, Pak Oni."
Pak Oni yang asyik tidur di kursi kayu kesayangannya melonjak kaget. "Lho, Non Tinka" Mana Si Kuning"" tanya Pak Oni tergopoh-gopoh membuka pagar. Matanya lirak-lirik penasaran mencari Si Kuning.
"Si Kuning lagi demam," jawab Tinka asal. "Makasih, Pak Oni." Lalu Tinka melesat sampai nyaris nyangkut di dahan pohon mangga yang menjuntai.
Kelasnya begitu hening. Pasti Bu Dini lagi menulis teori-teorinya di papan tulis. Gawat. Ini buah simalakama namanya. Masuk, pasti Bu Dini ngamuk. Bolos" Mama yang ngamuk. Tinka mengatur napasnya. Sambil mengingat-ingat latihan pernapasan ibu-ibu hamil yang sering dia lihat di TV, Tinka mencoba mempraktekkannya dengan modal ingatan yang lupa-lupa ingat, ditambah daya monyong bibir yang maksimal.
"Assalamualaikum." Suara Tinka bergetar persis suara penyanyi seriosa.
"Waalaikumsalam." Suara berat Bu Dini terdengar bagai petir di siang bolong. Matanya menatap tajam ke arah Tinka.
"Tinka, Tinka, Tinka," ujar Bu Dini menyebut namanya dengan gaya Nyonya-nyonya Belanda. Ti
nka makin keder dibuatnya.
"Kamu sudah terlambat setengah jam. Setengah jam! Kamu tau artinya""
Tiga puluh menit" Jawab Tinka dalam hati. Tinka menggeleng-geleng pasrah.
"Kamu sudah melewatkan satu bab penjelasan saya. Mengerti""
Kali ini Tinka mengangguk-angguk.
Bu Dini ini ya, ibaratnya kereta, dia ini kereta ekspres monorail yang supercepat itu. Setengah jam cukup baginya untuk menjelaskan satu bab. Yang tidak menyimak, silahkan terima nasib.
"Tinka!" bu Dini membuat Tinka terlonjak kaget. Seisi kelas menahan senyum.
"I... iya, b... bu"" rasanya Tinka bakal ngompol sebentar lagi. Dia paling tidak tahan dipermalukan di depan umum.
"Kamu sudah sangat rugi karena saya tidak akan mengulang. Sekarang cari tempat duduk kamu!"
Tinka mengalihkan pandangan ke arah bangkunya. Hah" Siapa tuh yang duduk di bangkunya"
Seorang cowok yang tidak dia kenal duduk di bangkunya di sebelah Rio. Tinka menatap Maya dengan tatapan bertanya-tanya. Maya cuma balas menatap pasrah dari bangkunya di sudut lain.
"Bangku saya ada orangnya, Bu..." suara Tinka semakin hopeless.
"Ya, memang ada orangnya. Memang buat duduk orang toh" Kalau saya taroh sapi di bangku kamu, baru kamu boleh heran," tukas Bu Dini cuek sambil terus menulis di papan tulis. Tinka makin bingung. Masa berdiri sampai pelajaran selesai sih"
"Tinka, karena saya pikir kamu tidak mungkin datang, jadi bangku kamu saya berikan pada orang lain. Kamu silahkan duduk di bangku saya. Cari jalan keluarnya setelah pelajaran saya," jelasnya tegas.
Walhasil, dua jam pelajaran Tinka duduk di meja guru. Tengsin-sin.
"Gue titip tas." Tinka memasukkan tas ke laci mejanya. Cowok baru itu cuma menatap bingung, lalu mengangguk.
Tinka bergegas menghampiri Maya dan menyeretnya keluar.
"Ntar, ntarrr... gue masukin buku dulu."
"Buruan, May, kita ke kantin kek, ke WC kek, atau ke mana kek." Tinka menarik-narik tangan Maya. Ujung rambut cepaknya bergoyang-goyang.
Mereka berdua ke kantin, duduk di pojokan tempat Mang Dep, Si tukang bakso.
"Dua, Mang. Biasaaa, spesial buat kita," Tinka memesan.
Mang Dep dengan cekatan membuat dua mangkok bakso pesanan pelanggannya yang cantik-cantik.
"May, tuh cowok siapa sih" Kok duduk di bangku gue sih"" sambil mengomel, tangan Tinka sibuk menuang sambal Mang Dep yang pedasnya minta ampun.
"Anak baru. Namanya Rocky, dari Amerika katanya. Keren ya"" jawab Maya yang sibuk memotong baksonya jadi kecil-kecil supaya mulutnya yang imut tak harus mangap selebar buaya untuk melahap bulatan daging yang enak itu.
"Yeee... bukan waktunya deh, May, ngomong gitu. Dia duduk di bangku gue kok lo sebut dia keren""
"Lo kayak nggak tau Bu Dini aja, Ka. Lo tadi telat, nggak ada berita. Bu Dini yakin banget lo pasti bakal dateng, makanya bangku yang dianter Pak Oni buat Rocky dia suruh balikin lagi. Buat ngehukum lo."
Tinka melahap baksonya bulat-bulat dengan geram. Dasar bu Dini. "Uhuk... uhuk... air, May, air." Tiba-tiba Tinka keselek bakso.
Maya buru-buru menyodorkan segelas air mineral. "Makanya. Kesel sih kesel, tapi nelen bakso segede bola ping-pong bulet-bulet sama aja bunuh diri. Nggak keren tau, mati keselek bakso." Maya cekikikan geli.
"Sialan lo." Tinka mengurut-urut tenggorokannya. "Trus gue gimana dong sekarang""
"Ngomong aja sama si Rocky, suruh dia minta bangku ke Pak Oni."
"Ih, kan gue nggak kenal."
"Iya, tapi dia kan anak baru, masa dia nggak mau."
Maya menuang kecap banyak-banyak ke potongan-potogan kecil baksonya dan menyuapnya satu per satu.
"Kelamaan!" Tinka meraup semua bakso dari mangkok Maya dengan sendok dan melahapnya.
"Tinkaaaaa...! Itu gue save the best for last."
"Gue nyelametin lo, tau. Masa telat masuk kelas gara-gara motongin bakso jadi kecil-kecil. Mendingan gue, gara-gara mobil mogok." Tinka tertawa terbahak-bahak sambil kabur.
"Bayar ya, May!" teriaknya dari kejauhan.
"Kurang ajaaaar... " teriak Maya.
*** "Gue Tinka," Tinka memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.
"Gue tau." Cowok itu membalas uluran tangan Tinka.
"Nama lo 'Tau'"" tanya T
inka bego. "Katanya Rocky."
"Nama gue Rocky. Tapi gue tau kalo nama lo Tinka." Suaranya berat dan agak serak. Bruce Willis, kali.
"Lo tau juga dong itu bangku gue""
Rocky mengangguk sambil tersenyum tipis.
"Gue nggak mau pindah. Lo pindah, ya" Ya, ya" Gampang kok, tinggal minta bangku ke Pak Oni."
Rocky tersenyum lagi. Agak kaget mendengar Tinka yang supercuek memperkenalkan diri hanya demi mendapatkan bangku kesayangannya kembali.
"No problem. Nanti gue ke Pak Oni. Thanks.
Tinka mengacungkan jempol ke arah Rocky. "Thanks ya, Rocky."
"Eh, keren juga nama lo, Rock!" sambung Tinka sambil melompat-lompat ke arah Maya, persis kelinci.
"Gimana, oke kan"" Maya menyambut Tinka.
"Siiip. Tapi orangnya dingin amat. Untung mau pindah. Kalo nggak gue mesti duduk sendirian. Tidaaakk, gue udah soulmate banget, lagi, sama si lebay Rio." Tinka cengengesan membayangkan tampang Rio, sobat sekaligus teman sebangkunya yang merasa dirinya cowok terkeren seantero sekolah dan berbadan paling oke, harus duduk sama cowok sedingin Rocky. Bisa gila Rio kalau sehari aja nggak ngomongin soal penampilan. Atau baju terkeren dengan model tergaul keluaran terbaru. Dasar lebay. Cita-citanya aja sudah jelas. Model atau bintang sinetron. Supaya gampang menggaet cewek-cewek paling keren dan terkenal, pastinya.
"Ntar sore jadi ke rumah gue, Ka""
"Jadi dong. Gue perlu bawa apa nih dari rumah""
Malam ini giliran Tinka menginap di rumah Maya. Biasa... pajamas party, tapi cuma berdua. Ngegosip, nonton VCD, haha-hihi, kayak remaja-remaja bule.
"Bawa bakso mentahnya ibu yang mangkal di sebelah rumah lo itu aja. Bakso goreng enak kali, buat ngemil," usul Maya.
"Beres." Dua cewek centil itu langsung masuk ke kelas dan duduk begitu bel berbunyi. Hoaahhmmm, pulangnya masih lama nih.
Rumah Maya yang serbaputih itu tampak mencolok dari tikungan. Tinka sudah mengendarai si kuning kesayangannya. Rupanya waktu Tinka pergi ke sekolah, Mama dengan baik hati pulang dulu dari kantornya pas jam makan siang dan membawa montir dari kantor Papa yang sedang dinas selama satu tahun di kuala lumpur.
Tinka membunyikan klaksonnya di depan pagar rumah mewah Maya.
Mang Chiko membuka pagar dan mempersilahkan Tinka masuk. Mang Chiko ini lucu deh. Ketika baru datang dari kampung, dia kaget banget waktu Tinka memanggilnya lewat interkom. Mang Chiko lari terbirit-birit sambil berteriak histeris. Gigi palsunya terlempar lima meter akibat berteriak terlalu heboh.
"Mang Chiko, Maya mana""
"Ada, Neng. Lagi duduk di kolam renang."
"Hah"" Sambil mengangkut gembolan tas sebesar koper untuk naik haji, Tinka menghampiri Maya yang sedang duduk santai di tepi kolam renang.
"May, bantuin gue dooong... "
"Wah, bawaannya kayak pengungsi Afghanistan. Banyak amat."
Maya buru-buru membantu Tinka yang cemberut kerepotan. Mereka langsung naik ke kamar Maya.
Tinka menjatuhkan badan di ranjang Maya yang bernuansa pink. Girlie banget. Kasur pink, bed cover pink, selimut pink, boneka pink, semua pink.
"Huaaaahhh... capek gue. Bad day hari ini. Gara-gara ketek Si Bapak brewok."
"Hihihi... lagian, kenapa juga lo ngadep ke ketek dia"" Maya melempar sekaleng jus dari freezer mininya.
"Hahaha... lo pikir gue ada pilihan, hah" Kalo ada, gue udah taro muka gue di jendela. Masalahnya di belakang gue lebih parah." Tinka menenggak
jusnya. "Memangnya ada yang lebih parah daripada ketek bapak-bapak brewokan,
Ka"" "Hah! Ada mas-mas yang tingginya setinggi gue, May, daaaaannn nggak kalah baunya dari si bapak brewok. Daripada gue ciuman sama mas-mas itu waktu bus ngerem mendadak, mending gue nyium bau ketek, tau! Nggak rela ciuman pertama gue direbut bibir jontor Si Mas itu. Mick Jagger mending. Ih!"
"Hahaha...!!!" Maya tertawa histeris membayangkan tampang Si Mas dan Bapak brewok. Benar-benar buah simalakama.
*** HARI INI Tinka datang kecepatan. Kapok rupanya kena marah Bu Dini. Tinka mencoret-coret halaman belakang bukunya. Order lagi sepi nih, belum ada klien baru setelah Ike yang happy ending sama Si Judes.
"Pagi, Non.. . " rupanya Rio si cowok gaya.
"Yo, kok sepi sih""
"Yeee... kita aja kali yang kerajinan. Biasanya jam segini mah emang sepi," tukasnya sambil sesekai mengusap rambutnya yang rapi dengan jemarinya.
"Nah, lo ada apa datang pagi banget"" Tinka mengeluarkan sebatang
cokelat. "Mau""
"Nggak ah. Gue lagi persiapan kasting iklan jamu pinter buat pelajar. Gue nggak mau dong ada jerawat yang nongol pas gue kasting."
Tinka cengengesan. "Iklan jamu antibolot maksud lo""
Rio mencibir. "Jamu pinter buat pelajar."
"Yaaahh, terserah lo deh. Tapi kalo lo jerawatan kan bisa sekalian main iklan jamu untuk jerawat dan bisul. Ya, nggak""
Rio cemberut. Dasar sadis sobatnya yang satu ini. Beda banget sama Maya yang baik dan lemah lembut juga keibuan. Dia udah naksir Maya sejak SMP. Dan untungnya, berkat makhluk tengil bernama Tinka, dia jadi bisa
bersahabat dengan Maya. Biarpun mereka bertiga dikenal sebagai tiga sahabat, Rio tetap memendam rasa suka buat Maya. Biarpun Maya nggak sadar dan cuek gonta-ganti pacar. Rio yakin, suatu saat, apalagi kalau dia sudah jadi artis terkenal, Maya pasti berpaling padanya.
Jadi, bisa aja kan iklan jamu pinter buat pelajar ini menjadi gerbangnya menuju kesuksesan karier dan cinta"
"Eh, Yo, ngapain lo dateng pagi-pagi" Kok nggak jawab" Sebelum lo nanya, kalo gue males kena semprot bu Dini. Tengsin."
Rio terkikik. "Lumayan, kan, duduk di meja guru. Kapan lagi coba""
"Sialan lo." "Tinka, gini lho, gue punya misi buat lo. Kebetulan lo datang pagi."
Alis Tinka bertaut bingung. "Misi""
"Iya... misi. Mau ya, terima misi gue"" Rio setengah memaksa.
"Eits, eits. Tunggu, tunggu. Lo mau make jasa mak comblang gue" Mau nyoba panah asmara gue"!" Tinka histeris. "Lo naksir cewek""" Horeee...!!! Boleh, boleh. Who's the lucky girl, my man"" Tinka menepuk-nepuk punggung Rio heboh. "Nggak nyangka prinsip playboy cap eceng gondok lo luntur juga. Jadi akhirnya hati lo terpaut satu cewek nih""
Tinka terdiam ketika melihat Rio menatapnya dengan pandangan please-deh-Ka-gue-belum-selesai-ngomong. Tinka malah bikin Rio makin grogi. Siapa yang nggak grogi, coba" Jelas-jelas selama ini Rio sok berikrar nggak mau terikat pada satu cewek. Apalagi saat ia menapaki jalan emas menuju ketenaran.
"Oke, oke. Cerita, cerita. But still... I'm very happy for you. Hehe." Tinka tidak bisa menahan girang karena Rio naksir seseorang.
Rio menarik napas dalam-dalam. Dengan gerakan slow motion Rio meraih tangan Tinka.
"Lo nggak naksir gue, kan, Yo"" bisik Tinka panik.
Rio melotot. Gerakan dramatisnya gagal. "Ya nggak lah, mimpi apa gue naksir lo""
Susah payah Tinka menahan tawa. "Oke. Oke. Ulang, ulang. Pegang tangan gue lagi." Tinka meletakkan tangan Rio di tempat semula.
Rio manyun. " To the point aja deh."
"Bagus. Siapa"" Tinka mencondongkan kepalanya.
"Gue... suka sama... si... -Maya," ucap Rio sambil berbisik, lalu meringis. "HAH"" Tinka histeris. Jadi selama ini...
"Sssst... " tangan Rio dengan cepat membungkam mulut ember Tinka. "Jangan ngejerit dong ah."
Tiba-tiba sosok Rocky terlihat memasuki kelas. Mereka berdua langsung terdiam.
"Oke, Rio. Ini masalah serius buat profesi gue, juga persahabatan kita bertiga. Kita obrolin nanti, pas istirahat. Di depan aula, oke"" desis Tinka di kuping Rio.
Rio mengangguk-angguk. Matanya menatap kagum ke arah Maya-yang baru datang dan kini asyik membolak-balik PR nya-malah kelihatannya sebentar lagi ngiler. Ih.
"Rio, entah cuma perasaan gue, atau emang dari tadi lo ngeliatin gue" Mau pinjem PR, ya"" Maya yang tiba-tiba berbalik membuat Rio serasa kepergok nyolong ayam di halaman tetangga.
"Eh, nggak. Emangnya gue nggak boleh liat ke sana"" elaknya asal.
Tinka cekikikan. Tiba-tiba matanya menangkap sosok Rocky, yang sedang tenang meletakkan buku-bukunya di meja. Dia terlihat menulis sesuatu di bukunya. PR kali. Seminggu sudah Rocky jadi anak baru, tapi sepengetahuan Tinka, Rocky belum banyak teman. Cuma Sandy dan Ray yang duduk di depannya terlihat agak akrab dengannya. Kacamata minus Rocky yang berbingkai kotak memang
mewakili otaknya yang cemerlang. Dia begitu dingin. Lempeng. Cuek. Atau pemalu ya"
"Kira-kira jadi saingan lo nggak tuh anak baru"" goda Tinka sambil menyikut Rio.
"Maksud lo"" Rio menyibakkan poni Hua Ce Lei-nya.
"Maksudnya, ada kemungkinan dong fans-fans lo beralih ke dia. Anak baru lho, dari Amrik, lagi." Tinka makin jail. Dia tau banget Rio paling takut kehilangan fans. Apalagi kalau sampai kalah tenar.
Tak lama kemudian Maya beranjak dari bangkunya. Rambutnya diikat tinggi, langkahnya anggun menghampiri bangku Tinka dan Rio.
"Tuh, buruan lo dateng."
"Jangan ngeledek terus dong, Ka. Mana lo mau pake acara nyidang gue di depan aula segala, lagi. Biar gue menikmati kecantikan Maya kek. Bosen gue liat duri landak di kepala lo."
Tinka mendelik sewot. "Pokoknya awas kalo Maya sekarang sampe curiga," ancam Rio.
"Pada gosip apa sih"" Maya duduk nyempil di bangku Tinka.
"Mamat," Rio asal sebut. Entah apa yang lewat di kepalanya sampai-sampai ia menyebut nama Mamat.
"Mamat" Siapa Mamat" Anak baru lagi"" Maya sibuk mencari-cari di sekeliling kelas. "Mana""
Rio menatap Tinka panik. Matanya berkedip-kedip hebat minta bantuan.


Miss Cupid Karya Mia Arsjad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mamat tuh kembaran lo," tambah Tinka. Maya tambah bingung.
Tinka menahan tawa melihat Maya kebingungan, hidungnya kembang-kempis. Dia tahu Maya paling nggak tahan kalau tahu Tinka punya rahasia sama orang lain.
"Serius deh, Ka," sungut Maya sambil merengut. Kayak belalang sembah.
"Nggak! Nggaaaak...! Lo gampang banget diboongin, lagian makhluk satu ini aja lo percaya. Maklum, ada anak baru, cowok keren pula. Berpotensi banget buat menandingin popularitas abang satu ini hehehe... "
Mendengar jawaban Tinka, sepotong penghapus Pelican melayang ke jidatnya.
"Aduhhh! Rio, awas lo... "
"Hihihi... " Rocky masih tampak tenang dan hening di seberang sana. Mulutnya tampak mengunyah permen karet. Jarinya memutar-mutar pensil.
"Rock! Lagi bikin PR, ya" Mau nyontek punya gue" Atau punya Rio" Dia jago fisika lhooo..." teriak Tinka tiba-tiba.
"Auw!" jemari raksasa Rio mencubit lengan Tinka.
Rocky menatap Tinka dan tersenyum tipis.
"No, thanks... Tinka," jawabnya kalem.
"Ah, menurut gue dia biasa-biasa aja. Nggak keren-keren amat. Kayaknya bukan tipe yang bakal digila-gilai cewek," bisik Rio sirik.
"Rocky, katanya Rio... Hmphhh."
Tinka terempas keras ke kursi ketika Rio membekap mulutnya.
"Ugh! Rio... lo pikir lo mafia Italia ya, pake bekep-bekep mulut orang! Tangan lo... aduuhhh. Berapa bulan purnama nggak lo cuci, hah"!" Tinka bersungut-sungut sambil mengusap pantatnya yang linu.
Rocky menatap sebentar insiden lucu itu. Lagi-lagi tersenyum sekilas, lalu kembali asyik dengan buku PR-nya.
"Brrr... dingiiiiiiinn. Cool banget yeee boowww"" celetuk Maya cuek.
Satu per satu penghuni kelas II C berdatangan. Rocky tampak mulai berbaur dengan cowok-cowok di sekitarnya, terutama dengan Sandy dan Ray. Dua cowok ini termasuk deretan papan atas cowok most wanted di sekolah. Tentunya juga termasuk deretan saingan terberat Rio. Sandy kapten tim basket sekolah merangkap wartawan mading. Badannya tinggi banget, 180 centimeter. Buat Tinka, Sandy tu persis raksasa. Dengan body-nya yang cuma 160 centimeter pas, Tinka bisa sakit leher tiga hari tiga malam kalau ngobrol berlama-lama dengan Sandy. Terus ada Ray. Dia kapten kesebelasan sepak bola sekolah. Tampangnya cool, kulitnya cokelat terbakar matahari. Tingginya sih cuma 168 centimeter, tapi buat cewek-cewek, Ray itu seksi. Pokoknya harus menyaingi cowok dua ini, Rio harus modal dandan habis-habisan. Berpenampilan dan bergaya seperti model catwalk papan atas.
Rocky tampak lucu berkumpul akrab dengan mereka. Rocky berkulit putih (kelamaan kena salju, kali), tinggi juga sekitar 175 centimeter, body-nya ramping berisi, istilah Maya sih body cowok gaul zaman sekarang. Kacamatanya itu lho, bikin dia terlihat serius dan jarang olah raga (sok tahu banget).
"Rock, lo tau nggak, bakal ada kompetisi fisika antar sekolah"" tanya Sandy sambil sibuk menyalin PR.
"Tau," jawab Rocky pendek.
"Rock, Rock.. . maksud si Sandy, lo nggak minat ngikut"" sambung Ray yang juga sedang menyalin PR dengan gerakan superkilat. Kadang-kadang dia meringis kesakitan karena tiba-tiba jarinya keram dan nggak bisa ditekuk.
"Oh. Mau, kayaknya. Tapi gue rada males ikut prosedur pendaftarannya. Mana pake interview segala."
"Wah, gile, kepinteran tingkat tinggi nih. Kayaknya udah nyaris level olimpiade," gumam Tinka yang menguping sedari tadi.
Maya yang masih nyempil di sebelah Tinka, mengernyit. "Kok lo usil ke si Rocky sih" Ada klien yang suka" Atau... lo naksir dia"" bisik Maya jail.
Mata Tinka kontan melotot mendengar ucapan Maya. "Enak aja. Batu es gitu, bisa beku gue dicuekin. Cinta perlu kehangatan, tau!" semprot Tinka.
Maya cekikikan geli. "Sok tau ya lo, kayak pernah jatuh cinta aja."
Kontan tangan Tinka yang lincah menjambak kucir kuda Maya.
"Eh, cewek-cewek, bisa tenang nggak seeeeeeeehh"""" kata Rio.
"Yeeeee... suka-suka kita dong," balas Tinka dan Maya kompak, lalu tertawa berbarengan.
Sementara itu Rocky, Sandy, dan Ray masih sibuk berdiskusi tentang kompetisi fisika, walaupun sebenarnya di antara mereka cuma Rocky yang mengerti apa itu fisika.
Akhirnya bel tanda istirahat berbunyi. Biarpun bunyi bel yang bernada lagu Kuch Kuch Hota Hai itu benar-benar bikin malu (bayangin apa kata sekolah sebelah), tapi bunyi bel itu tetep bikin seisi sekolah melek lagi. Apalagi Tinka. Akibat kehiperaktifannya, dia paling nggak tahan disuruh duduk diam.
"Rio, buruan ikut gue."
"Iya, iya. Nggak sabaran amat sih." Dengan malas-malasan Rio bangkit dari kursinya.
Tinka dan Rio berjalan tergopoh-gopoh ke arah taman di depan aula.
"Jalannya cepetan dikit dooong. Lelet banget sih, kayak orang kebelet pipis," sungut Tinka kesal sambil menyeret Rio. Ini anak apa nggak bisa gesit semenit pun, ya"
Akhirnya mereka sampai di bangku besi di bawah pohon beringin. Napas Rio tersengal-sengal akibat diseret-seret Tinka. Dasar tukang dandan. Giliran disuruh olahraga malesnya minta ampun.
"Oke, Rio. Lo udah gila ya, naksir Maya"" cecar Tinka to the point.
"Yeee... kok malah dimarahin" Hak asasi dong, Ka, gue naksir Maya. Emang apa salahnya""
Tinka geram dan mencubit tangan Rio. "Iya, gue ngerti, tapi lo udah gila ya"" semprot Tinka lagi. "Dia kan sahabat kita."
Rio mengangkat kedua tangannya. "So""
"So, gue nggak mau. Nggak mau. Titik. Berarti selama ini lo ada maksud terselubung dong deket-deket Maya" Berarti selama ini persahabatan kita nggak ikhlas dong" Berarti kalo kalian pacaran gue sendirian" Kambing congek" Nggak, nggak! Lagian masa sih Maya harus gue relain sama banci tampil kayak lo sih" Gue udah tau lo luar-dalem atas-bawah kanan-kiri,riiiiioooooooo..."
"Yaaaa... Tinka. Bantuin dong. Lagian apa salahnya sih sahabat jadi pacar" Malah bagus, kan" Kita udah saling kenal. Pasti malah jadi tambah klop," Rio maksa.
"Nggak. Ini udah nggak lucu lagi," Tinka berkeras.
"Lho, emang siapa yang ngelucu" Ini serius, Ka. Cinta itu serius. Sekalipun buat gue si petualang cinta," kata Rio sok yakin.
"Tapi... " "Tolong deh, Tinkayyyyy, masa orang laen lo bantuin gue nggak. Ya, Ka" Gue kasih upeti deeeeehh, lo mau apa aja, tinggal sebut."
Mendengar kata "upeti", Tinka langsung nyengir. "Hmm... kaos kaki garis-garis yang kemaren gue liat di Sox World. Tapi gue nggak janji lo pacaran lho. Gue cuma janji lo jadi lebih deket sama Maya. Gimana" Kalo mau lebih, lo usaha aja sendiri."
"Oke, siippp." Setelah bersalaman ala penjabat dapat tander, mereka langsung menuju kantin. Wajah Maya pasti sudah membentuk seribu tekukkan, saking bete-nya ditinggal.
Benar saja. Di kantin Maya duduk di depan warung Mang Dep. Mukanya menekuk, bibirnya manyun, dan jemarinya mengetuk-ngetuk meja dengan kesal. Saking kerasnya ketukan Maya, mangkuk bakso di depannya bergetar kecil terkena gempa bumi lokal.
"Bagus ya... main rahasia-rahasiaan" Dari mana lo" Ngaku!"" dampratnya judes.
"Nggg..." Rio tergagap-gagap.
"Dari aula," sahut Tinka.
"Alasan"" cecar Maya.
"Rio pengen e'ek. Tapi malu di WC depan, makany
a di WC belakang aula."
Rio melotot. Alasan apaan tuh" Bikin malu aja.
"Nah, lo ngapain" E'ek juga"" desis Maya pelan.
"Ya nggak lah... kebetulan gue perlu ke WC juga. Ternyata WC-nya penuh, jadi gue kudu ngantre. Mana yang masuk kayaknya pada pipis seliter
gitu... " Sikut Rio menghantam punggung Tinka. "Penjelasannya nggak perlu sedetail itu kali," umpatnya kesal.
"Oke, reason accepted. Tapi kalo rahasia-ra-ha-siaan lagi, gue bawa lo ke salon," ancam Maya.
"Kok ke salon"" Tinka dan Rio berbarengan.
"Rambut lo pada mau gue botakin!!!"
"Yaa... jangan dong. Udah Hua Zhe Lei gini. Kalo botak pasaran bisa turun."
Tinka cekikikan melihat kepanikan Rio.
"May, Rio bentar lagi pingsan, lho. Lo sama aja nyuruh dia disunat dua kali kalo harus ngerusak rambutnya," ucap Tinka sambil menahan tawa.
Maya mencibir. "Dasar banci tampil, nggak penting banget."
Rio cuma manyun dan menatap Tinka sebal. Apa sih isinya kepala Tinka" Kok bisa-bisanya ngomongin orang lagi ngebom di WC" Sama kecengannya, lagi. Mendadak Rio menyesal menceritakan rahasianya yang sudah disimpan bertahun-tahun itu. Dasar Tinka.
Semenit kemudian Rio sudah sibuk meracik bumbu kuah baksonya. "Huh... hah... Mang Dep, ni sambel cabe rawitnya beli di neraka, ya" Pedes amattt... "
"Sori, permisi." Tiba-tiba pundak Rio ditepuk seseorang.
Rupanya Rocky. Ia datang bersama Sandy dan Ray.
"Eh... iya. Silakan, silakan. Nikmatilah hidangan bakso Mang Dep," cerocos Rio kayak iklan. Sumpah malu-maluin. Padahal Rio nyaris berhasil menyembuhkan penyakit latahnya.
Yang lain kontan cekikikan.
"Rock, lo jangan ngaget-ngagetin si Rio. Tu anak rada jantungan," goda Sandy.
"Sialan lo,. Gue cuma beramah-tamah mempromosikan bakso Mang Dep yang tersohor di sekolah ini." Rio makin ngelantur dan malu-maluin.
"Tapi bener lho, Rock, bakso di sini uenak buanget. Cobain deh. Iya kan, May"" Tinka menimpali dengan sangat heroik.
"Iya, iya. Murah, lagi," sambung Maya. Nggak penting banget.
Rocky cuma senyam-senyum canggung. Gara-gara Maya kali ya" Cowok mana sih yang nggak gemetar diajak ngomong Maya. Sandy dan Ray saja yang sudah hampir dua tahun sekelas masih tercengang-cengang.
"Iya deh, gue coba. Thanks for the information, ya guys," jawabnya ramah, tetapi tetap dingiiiiinn.
Lalu mereka bertiga memesan bakso pada Mang Dep yang ternyata dari tadi ikut cekikikan. "Ternyata Mas Rocky grogian ya," celetuknya jail.
Maya, Tinka, dan Rio duduk di kursi luar kios bakso Mang Dep. Ini tempat paling enak. Meski bagian dalam kios ada kipas angin, kalau kepedesan tetap aja gerah banget. Tinka dan Maya sibuk melahap baksonya sambil ber-huhah-huhah. Rio menyeruput kuahnya sedikit-sedikit.
Ketiga cowok tadi duduk di bangku dalam. Mereka juga tampak sibuk melahap bakso. Karena jarak mereka dekat, Tinka bisa mendengar percakapan cowok-cowok itu dengan cukup jelas. Maklum, sudah terlatih saat menjalankan misi, jadi walaupun pelan tetap terdengar oleh kuping Miss Cupid.
"Lo nggak naksir si Maya itu, Rock" Number one in school tuh," bisik Ray pelan. Terlihat Sandy mengangguk sekilas.
Maya memang beruntung. Tiap cowok pasti jatuh hati melihatnya. Tinka membuang napas.
"Kenapa, Ka"" tanya Maya heran.
"Nggak, nggak. Tadi ngisep udaranya kebanyakan," jawabnya asal, lalu buru-buru pasang kuping lagi.
"Rock, menurut lo gimana si Maya itu"" desak Ray.
"Cantik," jawab Rocky pendek.
"That's it"""" Sandy nggak puas. "Cuma cantik" Lo nggak naksir""
Rocky menyuap baksonya bulat-bulat. "Ya, that's it. Naksir gimana, ngomong aja baru tadi," jawabnya dengan mulut penuh. Hihi, lucu juga si Rocky ini, kenapa nggak jawab dulu baru nyuap sih"
"Tapi ada kemungkinan naksir, kan" Dia kan ideal banget. Lagian lo kan udah ampir dua minggu lo di sekolah ini, masa nggak ada yang diincer"" korek Sandy.
Rocky mengangkat bahu. "Maybe. Emang belum ada aja. Emangnya kenapa sih""
Sandy dan Ray mengangkat bahu bareng-bareng. "Lo normal, kan""
Rocky melotot dan menonjok kedua temannya sekaligus. "Sialan lo pada!"
Lalu mereka tertawa terbahak-bah
ak. Tinka menyeruput es jeruknya. Kupingnya masih siaga menunggu percakapan selanjutnya. Dipikir-pikir, ngapain sih dia kurang kerjaan memata-matai Rocky" Yang jelas bukan karena dia naksir. Tinka penasaran aja. Kok orang satu ini lempeng banget, nggak akrab-akrab sama seisi kelas sih" Pemalu atau kuper"
"Rock, lo nggak minat ikutan klub"" tanya Ray lagi. Sandy seperti biasa, mengangguk setuju.
"Pengen sih. Actually, di sekolah lama gue di Amrik gue ikutan klub soccer," jawabnya. Bahasa Indonesia-nya yang campur aduk membuat kalimatnya jadi kedengeran keren.
Dalam hati Tinka terheran-heran, benar apa nggak sih" Kok tampang Rocky kayak orang buta olahraga" Dia belum bisa buktiin, habis setiap jam pelajaran olahraga Rocky belum pernah ikut. Kakinya sakit, katanya.
"Oh ya"" respons Ray antusias. "Posisi lo apa""
"Kapten," jawab Rocky, melafalkannya dengan bunyi "kepten". Bule banget deh.
"Serius"" Ray makin semangat. "Lo masuk tim kita deeeehhh..."
"Nggak bisa." "Why"" kali ini Sandy angkat bicara.
"Kompetisi musim panas lalu kaki gue terkilir. Kata dokter, gue harus istirahat dua bulan."
Ray terlihat kecewa. Niatnya punya pemain asing di liga SMA dua minggu lagi pupus.
"Berapa lama sisa waktu istirahat lo"" desak Sandy.
Rocky tampak berpikir. "Kurang-lebih satu minggu lagi."
Lalu pembicaraan itu berakhir, karena mereka bertiga lalu kembali ke kelas sambil terus ngobrol. Mana mungkin Tinka nguntit di belakang.
"Ka, cabut yuk." Maya membuyarkan lamunan Tinka.
"Yuk." Tinka tiba-tiba sadar Rio sudah tidak ada di sana. "Mana si Rio""
"Udah kabur. Mau ke WC katanya."
KRIIIIIIIIIIINGGGGGGGGG...
Telepon di rumah Maya berdering nyaring.
"Ya, halo""
"May, gue nih." Terdengar suara Tinka di seberang sana.
"Hoaaaahhmmm... oh lo, Ka. Apaan sih, siang bolong gini nelepon" Gue lagi tidur siang, tau."
"Yeee... hari Minggu dipake tidur. Gembrot lo ntar, tau rasa. Kalo sibuk diet gue juga yang susah. Masa lo yang diet gue ikutan nggak boleh makan," cerocos Tinka.
Maya terkekeh. "Iya, iya, cerewet. Ada apa""
"Lo mau ikutan nggak sore ini""
"Kemana"" "Latihan jadi suporter tim sepak bola sekolah. Mereka kan mau ikutan
liga." "Kok suporter latihan""
"Usulnya Bu Dini tuh. kan kaptennya Sandy, jadi dia pengen dukungannya seheboh mungkin. Kita bakal latihan bikin ombak-ombak gitu deh. Sama yel-yel. Yuk, kelas kita wajib lho," Tinka menjelaskan panjang-lebar.
Maya memuntir-muntir kabel telepon. Sebenarnya hari ini dia mau berleha-leha sampai siang. Rese banget sih Bu Dini. Ganggu hari libur orang aja.
"Yah... kalo gitu sih jawabannya musti iya dong," jawab Maya.
"Emang." "Rio ikut""
"Ya ikut. Dia kan kegatelan. Biar latihan suporter doang, kan lumayan tuh buat banci tampil kayak dia. Biar cewek-cewek pada nempel kali," sungut Tinka.
Maya tertawa geli. "Dia tuh suporter sejati. Lagian lo sewot amat si Rio doyan tampil gaya""
"Tampil gaya" Tampil heboh kali. Eh, kok lo belain dia sih" Emang lo suka ya sama si Rio"" pancing Tinka usil. Kali aja misinya langsung berhasil.
"HAH"" pekikan Maya bikin Tinka nyaris budek. "Kok lo nanyanya aneh gitu sih" Masa gue naksir Rio" Lagian siapa yang belain" Lo ngaco banget sih, kayak baru kenal Rio aja. Dia kan emang gitu bawaannya," cerocos Maya.
"Iyaaaa... iyaaaa... kan siapa tau. Iseng aja gue nanya. Jadi intinya lo nggak naksir Rio, kan""
"Tinka!" "Iyaaa... iyaaa... ya udah. Jadi, lo jemput gue jam berapa""
Maya melotot. "Kok gue yang jemput" Kan lo yang ngajak""
Tinka cekikikan kayak kuntilanak. "Abis si Kuning dipake nge-date lagi sama Dika. Gue sumpahin mogok!"
Maya menghela napas. Kelakuan. "Ya udah, jam setengah empat."
"Siiiipp. Udah ya" Mata nyokap gue udah mau keluar tuh, kebanyakan melototin gue. Bye."
Maya buru-buru lari ke kamarnya. Secepat kilat dia mengeluarkan baju-bajunya dari lemari. Nggak boleh saltum, harus modis, harus keren. Jarang-jarang kegiatan sekolah bisa pakai baju bebas.
Akhirnya pilihan Maya jatuh pada jins Levi's warna biru tua belel yang superhipster, tank to
p putih bentuk singlet yang lagi ngetren dengan gambar apel di tengahnya. Sepatu sneakers-nya yang berwarna putih bersetrip hijau sudah nangkring di depan lemari.
Rupanya kegiatan Maya pilih-pilih baju cukup lama. Diliriknya jam dinding pink yang menggantung. Sudah jam setengah tiga. Ia buru-buru mandi, dandan, dan melaju ke rumah Tinka dengan BMW putihnya.
Ponsel Maya berbunyi. "Halo""
"Sampe mana nih, May"" rupanya Tinka.
"Gue sebentar lagi nyampe di depan pager rumah lo. Itung mundur aja dari sepuluh," jawab Maya.
"Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua, satu... " dengan tololnya Tinka nurut. "Mana""""
"Kan gue bilang itung mundur dari sepuluh. Gue nggak bilang sampe berapa, kan"" Maya tersenyum penuh kemenangan.
"Oke... min satu, min dua, min tiga..." lanjut Tinka.
"Bloon! Nih gue udah sampe!" Maya cekikikan mendengar kelakuan sobatnya.
Dilihatnya Tinka berlari-lari kecil menuju mobilnya. Tinka mengenakan T-shirt hijau, upeti dari Ike. Celana jinsnya model kebanjiran dengan sepatu boxing berwarna putih setrip hijau-hitam. Tinka itu memang cute, kayak orang Jepang. Rambutnya dihiasi bandana putih.
"Hehe... lo terlambat minus tiga detik," celetuknya begitu masuk mobil.
"Lol!" "Dari salon, May" Rambutnya lurus bener."
"Sirik. Rambut gue kan emang selalu indah," canda Maya sambil mengibaskan rambutnya, lalu menjawil rambut Tinka. "Abis duduk dalam pesawat jet, Ka" Kok rambutnya berdiri semua"" balasnya.
Tinka ngakak. "Rambut gue kan selalu berdiri. Melambangkan kemerdekaan," jawabnya asal.
Maya kembali memacu mobilnya menuju rumah Rio. Cowok itu dengan segala usaha juga minta dijemput. Kalau jalan sendiri naik bus takut keringetan katanya. Dasar.
Rumah Rio lumayan jauh dari rumah Tinka, tapi memang searah menuju lapangan sekolah. Di depan pagar rumahnya Rio tampak sudah nangkring dengan manis. Bibirnya komat-kamit kepanasan.
DIIIIIIIIIIINNNNN! "Eh, copot, lepas, copot...!" jeritnya latah.
"Buruan naik," ledek Tinka sambil membukakan pintu belakang.
Dandanan Rio heboh berat. Kaus kutung warna merah bertuliskan "I'm the one you love" berwarna ungu tua. Celananya dong. Celana jins pipa ala Tao Ming Tse warna hitam, ikat pinggang paku-paku, dan... sepatu model Doc Mart. Rambutnya" Pakai bandana Tao Ming Tse juga. Ya ampuuuuuuunn...
Pertahanan Maya menahan tawa jebol. "Hahahha... lo mau kemana sih, Yo" Heboh banget. Pesta kostum"" jerit Maya histeris.
Yang disindir cuma mendelik.
"Kalo gue keren yang untung kan kalian-kalian juga," ucap Rio akhirnya.
"Iya nih, Maya. Sirik aja kalo Rio mau ikutan lomba mirip Tao Ming Tse," timpal Tinka ngakak nggak kalah geli. "Masa lo nggak sadar Rio mirip banget Tao Ming Tse sih, May" Lo nggak sadar Rio keren banget""
Rio melotot galak. Katanya mau bantuin. Kok ekstrim gitu. "Tao Ming Tse, mei youw la... hahahah!" Tinka lebih histeris lagi.
Rio bersungut-sungut kesal. Dasar nggak setia kawan. "Udah diem! Gue turun nih!" rajuknya.
"Daaaaaaaaaahhh...!" Maya dan Tinka berbarengan bikin Rio tambah kesel.
"Tuh si Rocky. Rajin juga tuh anak baru," tunjuk Rio ke luar jendela.
"Hah, mana"" jawab Tinka ogah-ogahan.
Maya masih berkutat parkir paralel. Dia paling benci parkir paralel. Kayaknya Maya udah pernah nabrak lima kali waktu lagi parkir paralel.
"Tuh, tuh..." tunjuk Rio lagi.
Tinka mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Rio. Dilihatnya Rocky dengan pakaian kasual sedang melangkah menuju stadion. Rambutnya tetap tersisir rapi seperti biasa. Kacamatanya juga bertengger manis di hidung mancungnya.
"Lo berdua kenapa sih" Kan wajar banget Rocky disini. Pertama, dia anak kelas kita. Kedua, apa anehnya anak cowok main di stadion"" selidik Maya usul.
"Tau nih, Tinka."
"Yeee... kok gue sih"" Tinka sewot.
Maya cuma geleng-geleng melihat dua makhluk ajaib itu.
"Udah nih, parkirnya"" tanya Tinka saat mobil Maya benar-benar berhenti.
"Udah deh, nggak usah kurang ajar." Maya memasang kunci setir dan merapikan dandanannya lewat spion.
"Maksud Tinka, parkirnya kok ngga
k bunyi, May" Tumben," sambung Rio serasa dapat angin.
Maya melotot dan buru-buru keluar dari mobil diikuti Tinka dan Rio.
Dari kejauhan Tinka masih bisa melihat sosok Rocky berjalan santai menuju lapangan. Dia terlihat berbeda dengan baju bebas. Celana jins gombrongnya terlihat begitu pas dengan T-shirt merah marun yang ia kenakan.
"Ternyata si Rocky modis juga ya, Ka"" ucap Maya seperti membaca pikiran Tinka.
Tinka mengangguk serius. Biarpun tidak melepas kacamatanya, Rocky tetap terlihat lain tanpa seragam sekolahnya.
"Yo, ampun deh. Jangan melongo gitu. Terpesona sih terpesona, kesambet baru tau!" Tinka menepuk tangan Rio.
Pastinya Rio bukan terpesona. Tapi waspada terhadap ancaman. Kayaknya Rocky berpotensi jadi saingan baru nih.
Di dalam arena sepak bola yang berbentuk stadion itu sudah penuh sesak. Sebagian besar bergaya pol-polan agar terlihat mencolok.
"Tau nggak lo" Ini kalo burung udah kayak musim kawin. Liatin aja pada heboh gini. Betina menarik perhatian sang jantan... kuurrr... kuurrrr..." celoteh Tinka sambil melihat ke sekelilingnya.
Pandangannya tertuju pada Rocky yang ternyata duduk tiga baris di depannya. Dia terlihat asyik sendiri memandang ke arah lapangan. Pasti dia sendirian karena Obuet ikut main dalam tim dan Sandy belum datang. Atau mungkin dia melamun karena ingat masa jayanya waktu di Amrik. Segala kemungkinan itu mengusik pikiran Tinka yang selalu ingin tahu.
Maya mengoper selembar kertas berisi yel-yel pada Tinka. Di sudut kertas itu terlihat tulisan kecil "Oleh:Mrs. Dini." Apa coba"
Tinka terbelalak. "Ih! Norak amat! Ini yel-yel apa puisi cinta"!" pekiknya.
Maya ikut-ikutan membaca isi kertas itu. "Ihhhhh!"
"Apaan sih"" Rio merebut kertas yel dari tangan Maya. "Ih, siapa yang bikin nih""
Tinka heran kenapa Bu Dini tega bikin yel-yel separah ini.
Begini bunyinya : "Kami cinta Indonesia. Kami cinta Tri Persada. Yes! Yes! Horeeeeeeee..."
Segera setelah "hore", semua harus langsung membuat ombak manusia seperti di TV.
"Kok si Rocky bawa gembolan sih" Dia mau ikut main kali ya"" ucap Maya sambil dengan anggun-seperti biasa-menyibakkan rambut.
"Nggak mungkin," jawaban Tinka terdengar pasti, ia masih ingat obrolan tiga cowok itu tentang kaki Rocky yang terkilir.
"Tuh, buktinya dia duduk di kursi penonton kayak kita," tunjuk Tinka.
"Iya sih... tapi kali aja dia cadangan," Maya masih ngotot.
"Neng, di mana-mana cadangan duduknya juga bareng tim yang lain di lapangan. Masa di kursi penonton" Kayak lagi nyamar aja. David Beckham iya nyamar, nah Rocky"" Tinka merepet dengan tampang sok jenius.
Tak lama kemudian terlihat Bu Dini melangkah dengan gaya Miss World ke depan tribun. Tangannya memegang tongkat konduktor paduan suara. Gayanya pol abis.
"Busyet, dikira kita mau paduan suara buat world choir, kali ya"" bisik Tinka ke kuping Maya.
"Hihihi... gue rasa ini yel-yel berirama klasik. Aliran Pavarotti gitu."
"Heh lo berdua! Mending pada diem deh, ntar dibikin malu lagi kayak si Tinka. Di depan kelas lumayan, nah ini di depan stadion. Gosipnya bisa nyampe satu kelurahan." Rio menyikut Maya dan Tinka. Ini anak memang kadang suka hiperbolis.
Terlihat Bu Dini memegang pengeras suara alias toa dan siap-siap berkoar.
"Anak-anakku sekalian..." mulainya dengan suara menggelegar. "Seperti kalian tahu, minggu depan tim kita akan ikut liga SMA. Untuk mendukung mereka, kita pun harus berlatih menjadi suporter yang baik agar mereka bersemangat."
Suara Bu Dini berapi-api sambil mengepalkan tinju ke udara. Semangat apa ngajak berantem sih sebenarnya"
"Bagaimana, kalian sudah tau teksnya""
"SUDAH, BU..." jawab anak-anak serempak.
Akhirnya, dengan segala daya dan upaya mereka berlatih gerakan-gerakan ajaib yang diminta Bu Dini. Bagaimanapun juga, ini toh untuk tim sekolah mereka juga.
Latihan suporter tersebut berlangsung kira-kira satu jam. Bibir mereka nyaris bengkak permanen akibat terlalu sering teriak-teriak.
"Duh, bibir gue perih nih. Jontor, lagi," keluh Tinka sambil mengusap bibirnya.
"Bagus, kan, kayak Angelina J
olie," sahut Maya nggak penting. Angelina Jolie apaan, kayak kesengat tawon iya. Bengkak gini.
" Yo, bibir lo aman-aman aja"" Tinka melirik bibir Rio. Yang punya bibir malah sibuk sok ngulum-ngulum bibir.
"Oi! Gue pengen liat bibir lo." Jari telunjuk Tinka menusuk pinggang Rio.
"Auwwwwww... " "Ahahaha-hahahah... bibir paling parah. Parah!" Tinka tergelak geli melihat bibir Rio yang manyun gede banget kayak baru ditonjok Mike Tyson.
"Tuh, kan... udah liat malah dihina," rajuk Rio pasrah.
Dengan bibir manyun semua ketiganya menuju mobil Maya. Mereka mau buru-buru pulang sebelum Bu Dini tiba-tiba dapat ide gila yang lain lagi. Ih, no way. Nehi.
"Coffee Bean, yuk"" ajak Maya. Ia memasukkan kunci kontak mobil. Hari ini memang cerah banget, rugi kalau langsung pulang. Apalagi salah satu hobi Maya memang nongkrong di kafe.
"Yah... sayang banget, May. Hari ini budget gue cuma cukup buat beli batagor." Tinka mengeluarkan beberapa lembar ribuan dari kantongnya.
"Gue lupa bawa dompet. Lagian gue lagi nabung," sambung Rio.
"Buat kawin lari"" tanya Tinka jail.
"Ya udah, ya udah. Gue yang bayar, gimana" Tapi gue yang order. Kalian tinggal pasrah doang. Oke, nggak"" tawar Maya bagai hujan di musim kemarau buat kedua temannya.
Kepala cepak Tinka dan kepala berambut Hua Zhe Lei Rio mengangguk bareng.
"Tapi pasti ntar gue ganti uang lo, May. Atau gue traktir lo balik bulan depan. Beneran deh, gue traktir lo bulan depan. Beneran deh, gue lupa bawa dompet. Bukannya gue lagi nggak punya uang lho." Mati-matian Rio ngeles. Gila apa, kepergok bokek di depan kecengan"
Tinka melirik sambil cekikikan.
"Nyantai aja, lagi, Yo. Lo kok panik gitu sih" Emangnya kalo lo lagi nggak punya duit kenapa"" Maya menghidupkan mesin dan berusaha keluar dari posisi parkir paralelnya.
"Here we go again..." Tinka memasang sabuk pengamannya, lalu bersandar
tegang. Rio yang panik langsung ikut tegang.
"Huh! Mana sih orangnya" Kok belum balik" Susah, kan, ngeluarin mobilnya," rutuk Maya putus asa. Jeep double cabin di depannya benar-benar mepet. Buat orang normal jarak segitu masih bisa maju-mundur keluar dari parkir. Tapi Maya" Boro-boro maju-mundur, nginjek gas aja nggak berani.
"Mana bannya gede-gede, lagi. Mobil gue bisa gepeng," lanjutnya sambil tetap tidak tega menginjak gas. "Ada yang mau ngeluarin, nggak"" ia menawarkan pada kedua penumpangnya.
"Nggak deh, kalo nabrak ntar gue yang disemprot, lagi. Mana tu mobil serem gitu. Yang punya kayaknya lebih serem lagi," tolak Tinka.
Maya menoleh pada Rio. "May, lo bukannya tau kendaraan paling canggih yang bisa gue setir baru sampe tahap motor bebek" Itu aja sering kecebur got."
"Gimana lo mau ngajak Maya kencan... auw!" pekik Tinka waktu Rio menjewer kupingnya. Tinka menyipitkan mata ketika di kaca spion dilihatnya Rocky datang ke arah mereka.
"Ada Rocky tuh."


Miss Cupid Karya Mia Arsjad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terus kenapa" Lo naksir dia, Ka" Kok tau aja dia dateng"" selidik Maya.
"Yeee.... curigaan aja. Gue kan berusaha cari bala bantuan. Lo minta aja dia ngeluarin mobil ini. Masa dia nggak bisa nyetir sih" Atau minta tolong aja dia dorongin tu mobil gajah, masa nggak kuat. Lagian kan ada Rio." Ada-ada saja ide Tinka waktu lagi mepet begini.
Emang dasar anak ajaib, waktu Rocky sampai, dengan cuek Tinka membuka jendela dan melongok keluar.
"Rock! Rock-Rock! Hei,!" panggilnya setengah berteriak.
Rocky menoleh ke arah Tinka dan melempar senyum misteriusnya seperti biasa.
"Ada apa"" tanya Rocky sopan sambil menghampiri Tinka. Gayanya ya biasa, cool and confident.
Dalam hati Tinka bertanya-tanya usil. Rocky sebenarnya emang ramah dan cool atau jaim sih" Jadi orang kok tenang bener.
"Rock, tolongin kita-kita dooongg," rengeknya nggak tahu malu. Jelas-jelas mereka nggak akrab bicaranya sok manja gitu. Genit.
"Mogok"" tanya Rocky simpatik.
"Bukan. Hehee... nggak biasa parkir paralel. Nggg... nggak bisa keluar. Dia lho, dia," jelas Tinka sambil menunjuk Maya yang merengut.
Tinka menggaruk kepala. "Jadi, bisa keluarin mobil ini atau dorong mobil gajah itu biar menjauh"" pintanya
dengan sangat malu. Hari gini masa Maya nggak becus parkir paralel. Dasar SIM tembak.
Rocky mengulum senyum. "Bisa," jawabnya santai.
Tinka memekik kegirangan. Coffee Bean, here we come!
"Eh, Rock... perlu gue bantuin dorong"" tanya Tinka antusias dan langsung melompat turun dari mobil.
"Nggak usah, lo duduk di mobil aja."
Dengan santai Rocky berjalan ke arah mobil raksasa itu.
"Wah, turunan Hercules nih. Dorong mobil segede mushola sendirian," celetuk Tinka takjub melihat Rocky berjalan menuju Jeep itu dengan heroik. Tapi... tapi... lho" Lho"
Pip, pip. Rocky mengarahkan remote kunci ke arah mobil itu. tangannya bersiap meraih handel pintu.
"Sori banget ya, jadi ngalangin jalan," ujarnya kalem sambil mengangguk berpamitan.
Trio di mobil Maya cuma bisa melongo menyaksikan kejadian tadi. Nggak nyangka, Rocky si kalem mobilnya sangar banget.
Rocky menstarter mobilnya dan keluar dari parkiran. Tampangnya jadi sedikit beda di belakang kemudi mobil macho itu. Keren.
"Nggak nyangka gue, dia bawa mobil begituan," celetuk Maya.
Tinka manggut-manggut setuju. "Iya. Gue pikir paling sangar mobilnya van doang."
"Itu sih di mana sangarnya" Mobil keluarga sih iya."
Tinka yang memang buta mobil cuma cengegesan.
"Akhirnya... " Dengan lega Maya menginjak gas dan maju dengan lancar.
"Emang dasar nggak pro. Masa ada orang nyetir nggak bisa parkir," ledek Tinka.
"Khusus parkir paralel doang! Parkir normal gue bisa, lagi!" balas Maya ketus.
SETUMPUK bendera warna-warni dan spanduk raksasa tergeletak di atas meja Tinka. Sore ini hari H-nya liga SMA yang bikin heboh itu. Sialnya, Tinka dapat tugas jadi koordinator suporter kelas mereka.
"Gila, kenapa musti gue, coba" Emang gue ada tampang suporter sejati" Emang gue punya tampang maniak bola" Mana ni bendera bau, lagi. Bekas kali!!!!" Mulut kecil Tinka merepet persis petasan banting. Berisik banget. Rambut cepaknya jadi kusut karena keseringan digaruk-garuk pake tangan dibantu dengan tenaga dalam.
Rio buru-buru ambil tindakan bantu-bantu Tinka, sebelum mejanya yang nempel sama meja Tinka ikut diobrak-abrik.
"Non, jangan ngamuk gitu dong. Sini, sini gue bantuin. Lagian ada untungnya lho dapet kepercayaan gini..." ujar Rio sok bijak. Tangannya sibuk memilah bendera-bendera kecil untuk dibagi-bagikan.
Tinka melotot sampai matanya jadi gede banget. "APA" Ayo sebutin satu keuntungannya... SEBUTIN!!!"
Rio jadi gelagapan. "Em... anu... untungnya... untungnya... satu ya""
"Apa hayo, apa"""" cecar Tinka rese.
"Yeee... kok jadi marah sih" Kan gue cuma berusaha menghibur."
Bibir Tinka makin manyun. Tangannya kembali sibuk mengobrak-abrik bendera-bendera suporter yang menggunung di mejanya.
Maya akhirnya datang sambil melenggang santai. Dia tampak bingung melihat Tinka dan Rio sibuk dengan setumpuk kain warna-warni di depan mereka.
"Woi! Pada ngapain sih" Sumbangan buat korban banjir ya"" tanya Maya polos dengan suaranya seperti biasa, lembut dan mendayu-dayu. Tapi kalimatnya bikin Tinka dan Rio melongo.
"Hah" Pertanyaannya ada yang lebih intelek nggak" Masa iya kain-kain nggak jelas bentuknya gini buat korban banjir" Mau buat apaan" Ngepel"" Tinka darah tinggi. Rio yang sesak napas mencium bau tumpukan kain di depannya sudah nggak bisa ngomong lagi, cuma bisa mengangguk penuh semangat.
"Lho, kok jadi darah tinggi gitu" Gue kan cuma nanya. Lagian ini apaan
sih"" "Bu Dini, wali kelas kebanggaan kita itu, tiba-tiba memercayakan tugas mulia ini ke gue. Ternyata hukuman gara-gara gue terlambat belum berakhir," keluh Tinka panjang-lebar.
"Tugas mulia apa"" Maya masih belum mengerti juga.
"Jadi koordinator suporter kita yang heboh itu," jawab Tinka putus asa. "Lo nggak ada niat bantuin kita, May" Cuma mau nonton doang"" tanyanya lemas.
Maya meletakkan tas di bangku Rio dan langsung ikut sibuk sebelum rambut Tinka tambah jigrak karena meledak marah.
Tiba-tiba sepasang tangan lain ikut membantu.
"R-Rocky..."" saking kagetnya, Tinka cuma bisa bilang begitu, mirip adegan sinetron. Norak banget.
"Kalo bertiga doang , kapan beresnya"" jawab Rocky pendek dan terus bekerja sambil diam.
Pekerjaan memilah-milah bendera berlangsung hening. Tinka yang paling nggak bisa diam mulai jebol pertahanannya. Kalau semua pada ikut diam gara-gara Rocky, bisa-bisa jadi bisu beneran.
"Rock, mobil lo gede banget ya" Nggak berat tuh"" Tinka memulai pembicaraan dengan topik yang sangat tidak penting. Memangnya mobil buat diangkat-angkat, apa"
"Nggak berat kok, mobil gede gitu enak, mantep. Tapi gue lebih suka kalo setirnya agak berat," jawab Rocky sambil terus menatap bendera-bendera di tangannya dari balik kacamatanya.
"Kok gitu"" Maya ikut nimbrung.
"Kalo buat gue, mobil Jeep gitu lebih enak sedikit berat. Biar nggak oleng."
"Lo suka Jeep ya"" tanya Tinka masih penasaran.
Rocky mengangguk. "Gue suka banget offroad," jawabnya sambil tersenyum, tampak senang dengan pertanyaan Tinka.
Hah" Offroad" Tinka terkaget-kaget dalam hati. Si pendiam satu ini penuh kejutan juga. Pemain sepak bola, offroader. Tinka jadi mulai kagum sama Rocky. Tanpa sadar pipi Tinka bersemu merah. Aduuuhhh... kok jadi kagum sama Rocky" Masa naksir sih" Tinka menggeleng-geleng tak percaya.
"Ka, Ka... lo kenapa" Pusing ya" Pusing"" Rio panik melihat Tinka geleng-geleng kepala.
"Lo mau gue anter ke UKS" Lo kebanyakan nunduk kali, Ka."
Duh, Rocky ikut-ikutan, lagi. Tinka geleng-geleng tambah kenceng. Jelek banget. Mana muka Rocky deket banget, lagi. Wuih... sepasang mata di balik kacamata minusnya ternyata keren juga. Mampus gue, masa sih gue beneran naksir Rocky" Ucap Tinka dalam hati.
Maya mengguncang-guncang bahu Tinka tiba-tiba, ngeh kalau Tinka mulai kehilangan kewarasannya. Hehehe.
"Lo kenapa sih""
Tinka tersadar dan langsung malu. "Ah... eh... nggak, nggak. Gue nggak pa-pa. Tau-tau gue kayak terbayang-bayang lagunya Maroon 5, This Love. Tau, kan... This love.." begitu sadar Tinka jadi tolol dan nyanyi Maroon 5 sambil cengengesan.
Maya menatap Tinka curiga. "Lo kebayang Maroon 5 atau house music" Kok gedek-gedek gitu, kayak orang tripping," selidiknya.
Rocky dan Rio cengengesan bingung. Aneh banget sih.
Mereka mulai sibuk lagi. Tapi sekarang benar-benar dalam diam. Yang lain diam kebingungan, Tinka diam melamun. Wah, kayaknya dia bener-bener suka.
Ah, kenapa musti Rocky sih" Cowok gagu gitu sama cewek. Mana mungkin gue yang nyatain duluan" Lagian PDKT-nya mau sampe kapan" Mending kalo dia juga suka sama gue. Orang dia baik banget sama semua orang. Ramah sama semua orang, biarpun dengan gayanya yang dingin itu. Terus, siapa tahu dia udah punya cewek. Ah, pendiam begitu mana mau pacaran" Lupain aja deh, Tinka ngedumel bimbang dalam hati.
Tinka membalas tatapan Rio yang dari tadi melirik ke arahnya. Rio mendelik-delik memberi kode "lo kenapa sih""
"Beressss..." Sambil merentangkan tangannya Tinka berteriak lega.
"Busyeeetttttttttt, tangan gue bau banget. Gue cuci tangan dulu, ya," Rio melesat ke kamar mandi.
"Iya nih, bau banget. Gue juga ah." Maya ikut-ikutan.
"Kayaknya kalian musti lari deh. Bentar lagi Pak Dave masuk," Tinka mengingatkan sambil memasukkan bendera-bendera tadi ke kardus mie instan.
"Lo nggak cuci tangan"" tanya Rocky.
"Nggak ah. Males gue. Ntar aja kalo gue udah megang bendera-bendera bau ini sepuluh kali, baru gue cuci tangan," jawab Tinka asal.
Rocky nyengir. Dasar gokil. "Ya udah, gue balik ke bangku gue dulu," katanya sambil melengang pergi.
"Thanks ya, Rock... " Tinka melambaikan tangan lemas. Jantungnya sudah normal kembali. Pasti tadi cuma karena muka Rocky terlalu dekat, dan cowok itu ngomongin hal-hal keren yang bisa bikin cewek berimajinasi yang keren-keren pula.
"Fiuuuuhh... ternyata tadi perasaan doang." Tinka membuang napas lega.
Stadion Gelora Muda yang jadi tempat terselenggaranya liga SMA sudah penuh sesak dengan para penonton yang sebagian besar siswa sekolah yang bertanding. Suporter SMA Tri Persada berkumpul di satu sisi lapangan. Mereka sudah memegang bendera yang dibagikan Tinka tadi siang. Hari ini SMA Tri Persada akan melawan SMA Bakti Utama.
Suara penonton terdengar riuh rendah. Kompetisi liga SMA kali ini dimeriahkan penampilan marching band sekolah masing-masing. Di tengah kumpulan colour guard alias pemain bendera tim marching band SMA Tri Persada, terlihat Agni, cewek paling centil satu sekolah, berjingkrak-jingkrak heboh. Dandanannya menor berat kayak lenong. Rupanya itu yang bikin penonton heboh. Agni lebih mirip maskot daripada colour guard.
"Ka, si Agni pake doping kali ya"" ujar Maya geli sambil memandang Agni.
"Gue rasa dia sebentar lagi ngejungkel. Gila apa, sepatu bot gitu dipake jejingkrakan kayak monyet lepas dari kebun binatang." Tinka cekikikan.
"DOR!" "Riiiiiooo..." Maya mengelus dadanya kaget. Ini anak kurang kerjaan amat.
"Gimana, gimana"" Rio memaksa duduk di antara Tinka dan Maya. Tangan kirinya menenteng sekantong plastik camilan.
"Lo mau nonton bioskop apa mau nonton bola sih" Aduuuhhh... lo jangan nyempil gini dooongg. Pantat gede... uh... sempit, tau!" Tinka ngomel-ngomel.
"Aduuuuhh... panasnyaaa"" Rio mengipas-ngipas dengan tangannya.
"Iya lah, namanya juga stadion bola. Lo kira mal, dingin"" Tinka mencubit pinggang Rio.
"ADUUUUUHHH!!!"
Maya juga ikut-ikutan sibuk kipas-kipas. Rambutnya digelung tinggi-tinggi karena gerah.
"Ini, lagi ikut-ikutan. Lo berdua tari kipas aja gih. Hehehe... " Tinka menaikkan sebelah alisnya. Mendadak tampangnya berubah jail.
"Eh tau nggak, setelah gue liat-liat ya..." Tinka mengusap-usap dagunya.
"Tinka, please... " Rio menatap memelas. Anak ini pasti mau ngomong yang aneh-aneh deh.
"Kayaknya lo berdua... "
"Bakpao isi kacang ijo!!!" pekik Rio mendadak.
Maya dan Tinka melotot heran.
"Gue suka banget bakpao isi kacang ijo. Lo suka nggak, May" Ntar gue beliin deh." Keringat sebesar butiran jagung meluncur di dahi Rio. Kenapa juga otaknya cuma bisa menemukan kata bakpao isi kacang ijo di saat genting seperti tadi.
Kali ini Maya yang mendelik. "Lo kenapa sih" Eh, tadi lo mau ngomong apaan, Ka" Kita berdua kenapa""
"Iya, tadi gue mau bilang, kayaknya lo berdua..."
"Dodol duren juga gue suka!" pekik Rio lagi.
"Rio! Lo kenapa sih" Nggak penting banget deh. Tinka kan mau ngomong. Jangan dipotong-potong gitu dong! Kan jadi nggak jelas. Lo mau ngomong apaan tadi, Ka" Awas aja ya kalo lo motong lagi. Mau lo doyan bakpao kek, dodol kek, gue nggak peduli," ultimatum Maya galak.
Rio langsung bungkam. Jantungnya dag-dig-dug nggak keruan. Matanya berkedip heboh memberi kode pada Tinka supaya jangan ngomong aneh-aneh.
Tinka tersenyum jail. Menarik napas dalam-dalam. "Menurut gue, kayaknya lo berdua boleh juga sekali-sekali nyobain makan di warung bubur ayam yang baru di deket rumah gue. Enak banget deh," katanya sambil cengar-cengir ke arah Rio yang kelihatan nyaris pingsan waktu denger kalimat Tinka yang sama sekali jauh dari bayangan. "Kok lo kaget gitu, Yo""
"Apa hubungannya sama kita berdua yang sama-sama sibuk kipas-kipas""
Tinka mengangkat bahu. "Nggak ada," jawabnya cuek.
"Nggak ada"!"
"Lho, emangnya wajib ada hubungannya"" Rio langsung lemas. Dasar jail!
Dua tim yang akan bertanding sudah tampak di lapangan. Mereka berbaris dan berfoto bersama terlebih dulu. Lalu mereka bersalaman. Selanjutnya kapten masing-masing tim maju dan wasit melempar koin menentukan bola pertama.
Tapi kok... lho.. lho" Ada yang aneh deh. Itu kan bukan Sandy. Tinka menyipitkan mata. Ia yakin itu bukan Sandy.
"May, lo liat deh. Itu bukan Sandy, kan"" Tinka menyikut pinggang Maya.
Maya ikut-ikutan menyipitkan mata. "Yo, liat, Yo. Sandy bukan sih""
Rio juga ikut-ikutan. "Iya tuh, bukan Sandy. Siapa sih""
Sepertinya suporter Tri Persada mulai sadar kapten tim mereka bukan Sandy. Suara gaduh penonton membahana. Semua penasaran siapa cowok berambut lurus belah tengah dan berkulit putih yang mirip tokoh komik-komik Jepang itu.
Di tengah suara keheranan penonton, tiba-tiba pengeras suara berbunyi.
"Perhatian. Kami ingin mengumumkan, karena Sandy Stevent, kapten tim SMA Tri Persada mengalami cedera saat latihan, maka kapten tim SMA Tri Persada digantikan oleh Rocky S
tevan. Terima kasih." Pengumuman singkat dari Pak Jo, pelatih tim sekolah, cukup dahsyat dan langsung membuat gempar.
"HAH""" Rocky" Rocky si pendiam"" jerit Tinka.
"Yang bener"" Maya kaget setengah mati.
"Tuh, kan. Bener dugaan gue. Anak baru itu pasti nyembunyiin sesuatu. Sok jaim doang."
Tinka memandang cowok keren di lapangan itu. Masa iya itu si Rocky" Biasanya Rocky tidak pernah lepas dari kacamatanya. Rambutnya selalu tersisir rapi ke belakang. Sekarang kacamatanya entah ke mana, rambutnya menjuntai di dahi. Ini sih kayak Clark Kent di Superman. Dari cowok pemalu berkacamata tahu-tahu jadi jagoan. Untung aja Rocky nggak pakai kolor di luar kayak Superman, hehe.
Tapi serius, pemandangan ini benar-benar bikin seisi lapangan melotot. Siapa cowok keren yang tiba-tiba nongol jadi kapten itu" Cewek-cewek histeris dapat incaran baru. Rocky is totally different, tiba-tiba jadi selebriti. Tinka merasakan dadanya berdesir lagi.
Hah, nggak bisa, nggak bisa. Ini penipuan namanya. Dasar cowok sok jaim. Masa gue naksir lagi gara-gara dia melepas kacamata" No way. Tadi emang cuma sugesti. Nggak banget deh naksir cowok split personality gitu, umpat Tinka dalam hati. Apa maksudnya coba, pura-pura jaim pakai kedok pemalu kayak gitu"
Pertandingan berjalan seru. Ternyata si Rocky canggih juga. Permainannya benar-benar lihai. Kaki terkilir yang dibicarakannya di kantin tak terlihat bekasnya sama sekali. Dia terlihat lincah berlari ke sana-sini. Poninya melambai-lambai tertiup angin waktu dia berlari, sesekali jatuh di dahi. Cewek-cewek histeris melihat idola baru mereka beraksi.
"Aihhhh... gileeeee. Nggak nyangka gue. Keren abiiiiiisssssss," jerit seorang cewek histeris sambil melambai-lambaikan benderanya.
"Iya, ya. Rocky kok beda banget," suara Maya yang lembut menimpali hampir tak terdengar.
"Apa, May""
"Rocky keren," ucapnya lebih keras.
Tinka menautkan alisnya sambil merengut.
"Kok lo bukannya seneng sih" Kan tambah satu lagi cowok keren di kelas kita." Maya terheran-heran melihat reaksi Tinka.
"Sebel aja. Apa maksudnya coba, tampil kayak cowok pemula tiap hari" Ini penipuan namanya!" sungutnya.
"Malu kali," celetuk Rio.
"Malu kenapa" Keren kok malu."
"Ya malu aja. Mana gue tau kenapa" Kan gue bilang kali aja dia malu. Bisa aja kan cakep-cakep dia bolot misalnya""
"Itu sih maunya lo, dasar sirik," timpal Maya. Rio langsung ciut. Kok kecengannya itu sadis banget.
"Uh, emang artis," sungut Tinka.
"Kok sewot sih, Ka"" Maya ikut-ikutan jadi pembela Rocky.
"Besok dunia pasti kebalik," ucap Tinka.
Maya dan Rio berpandang-pandangan. "Maksud lo""
Tinka diam tak menjawab. Dia kembali sibuk berkonsentrasi pada pergumulan di lapangan. Rocky masih lincah berlari-lari. Tampaknya tim sekolah mereka bakal menang. Dilihatnya Sandy dengan tangan di-gips duduk di kursi cadangan sambil melompat-lompat girang.
"Kami cinta Indonesia, kami cinta Tri Persada. Yes! Yes! Horeeeee..."
Riuh rendah yel-yel suporter membakar semangat seluruh anggota tim. Bendera-bendera bau yang sempat bikin hidung Tinka bengek berkibar-kibar di tangan para suporter.
"Nggak sia-sia gue ngerapiin bendera-bendera itu," Tinka nyengir bangga.
Pertandingan makin seru. Waktu tinggal beberapa menit lagi. Akhirnya setelah perjuangan abis-abisan SMA Tri Persada mengalahkan lawannya 3-1. Suporter SMA Tri Persada langsung berteriak girang. Mereka mengelu-elukan nama Rocky yang dianggap sukses membawa timnya pada kemenangan. Sepertinya Rocky bakal jadi the next idol nih.
PEMANDANGAN di kelas hari ini asli bikin melongo. Meja Rocky penuh sesak sama cewek-cewek sekelas dan entah dari mana lagi. Eit, si Agni Heboh juga ada. Busyet, dandanannya menor amat. Belum lagi Febby, model lokal yang baru merintis karier di seputar Jakarta Selatan. Ih, Dea juga ada. Dea salah satu cewek terpopuler di sekolah. Wajahnya imut dengan rambut kriwil ala Rachel Maryam, bibir mungilnya terlihat bergerak-gerak manja. Rocky yang berada di tengah-tengah mereka tampak senyam-senyum, berusaha ramah pada semuanya. Gila juga cowok ini, ja
im-jaim ternyata tebar pesona. Yang untung Sandy dan Ray. Mereka dengan pede ikut-ikutan meladeni cewek-cewek itu.
"Gile lu, Rock. Untung banget dong ya, tangan gue patah. Kalo nggak lo mana mau main buat tim kita. Daaaaaaaann... lo nggak bakalan tenar mendadak gini," ujar Sandy, merasa berjasa besar atas rezeki berlimpah itu.
"Iiiihhh... Rocky lebih keren daripada lo, lagi," Agni bergenit ria.
"Sialan. Kalo bukan gue yang jadi partner latihannya tiap sore, kakinya pasti belom sembuh, bawel!" Sandy nggak rela disebut kalah keren.
"Emang kaki lo kenapa sih, Rocky"" tanya Dea dengan suara manjanya.
"Ummm... my legs, kaki... kaki... gue terkilir. Dulu. Few months ago," Rocky
tergagap-gagap. "Rock, lo musti membiasakan diri. Masa grogi gitu. Mau gue latih mental"" Ray ngakak melihat Rocky gugup. Dilihatnya dahi Rocky mulai berkeringat. Keringat dingin. Tapi anak itu masih senyam-senyum.
Tinka melangkah melewati kerumunan itu.
"Pagi, Ka," sapa Rocky sambil melambai sekilas dari mejanya.
"Pagi. Sibuk nih. Perlu bolpoin tambahan nggak"" ucap Tinka jail sambil berlalu.
Wajah Rocky yang berharap diselamatkan Tinka langsung berubah memelas.
"Yo, cuma ngeliatin" Nggak ikutan"" goda Tinka.
Rio tampak geram melihat cewek-cewek genit itu. Gila, bisa-bisanya mereka bela-belain berkerumun di kelas ini cuma demi seorang Rocky yang biasa-biasa aja. Jelas-jelas Rocky nggak sekeren dia. Nggak semodis dia. Pokoknya menurut Rio, Rocky bukan tipe cowok idola. Kenapa sih cewek-cewek jadi menggila cuma gara-gara anak baru itu mendadak lepas kacamata"
"Biarin lah. Cewek-cewek itu nggak penting. Yang penting buat gue sekarang cuma Maya. Pamor gue turun juga nggak papa. Maklumlah, kalo liat barang baru orang emang suka kalap. Apalagi cewek," keluhnya sambil menghibur diri sendiri.
"Hehehhe... cinta mati, Yo" Lo yakin banget sih Maya nggak suka sama Rocky" Lo kan liat sendiri, kemaren dia juga ikut melongo sambil ngiler."
"Yaaahhh... lo kok gitu siihh" Tinkayyyyyyyy... lo my only hope, tau!" rengeknya putus asa.
"Kan waktu itu gue udah bilang nggak janji." Tinka memasukkan tangan ke dalam laci meja, merogoh tempat pensil dan binder yang selalu ia tinggal di sekolah.
"Hah" Apaan nih"" Ditariknya lima amplop dari dalam lacinya.
"Tagihan, kali. Lo banyak utang ya""
"Enak aja." Dibukanya amplop-amplop itu satu per satu. Matanya terbelalak kaget.
"Kenapa" Beneran tagihan""
"Nih, baca semua. Rocky udah benar-benar jadi saingan lo tuh!" Tinka menyodorkan kertas-kertas itu.
Mata Rio hampir mencelat keluar membaca kertas-kertas yang disodorkan Tinka.
"Gila! Bener-bener gila," gerutunya dengan nada iri.
Kertas-kertas itu berisi orderan buat Tinka. Biasa, orderan buat Miss Cupid. Yang bikin melotot, lima-limanya minta dicomblangin sama... ROCKY! Gila apa" Sekali datang lima orderan untuk satu orang yang sama.
Rio mengembalikan semua kertas tersebut pada Tinka. "Lo pilih yang mana"" tanya Rio penasaran.
"Nggak ada!" Tinka membaca nama pengirimnya satu per satu. Siti, Cahya, Ourel, Silvia, Salma. Semuanya cewek biasa-biasa aja. Maksudnya, nggak terlalu menonjol. Tapi bukannya jelek. Nggak mungkin memilih, soalnya itu sama aja pilih kasih. Lagian kansnya kecil. Cewek-cewek lain, termasuk cewek-cewek top sekolah pada heboh dan dengan pede usaha sendiri. Mana mungkin Tinka terima order dari salah satu pengirim surat" Salah-salah jadi kerja rodi. Lagian, siapa tahu Rocky suka sama salah satu cewek cantik nan modis itu. Lima cewek ini" Buktinya mereka sendiri aja nggak pede ikut nimbrung. Mustahil. Dia nggak bisa menerima satu pun. Dia nggak boleh pilih kasih. Apalagi dia nggak tahu pasti surat siapa yang datang duluan. Yang jelas, dilihat dari sudut mana pun kansnya benar-benar kecil.
"Kok"" "Rio, lo pikir gue dukun" Gue mak comblang profesional. Nggak pake jampi-jampi. Gue juga nggak mungkin pilih-pilih. Bisa ancur reputasi gue."
Di sudut sana Maya tampak ikut asyik memerhatikan Rocky sambil tersenyum-senyum sendiri. Dia juga sama sekali nggak menyangka, ternyata di balik kacamata dan
sikap canggungnya Rocky keren banget. Apalagi kalau ingat ternyata dia main sepak bola, hobi offroad. Wah.
Tinka berjalan ke arah Sandy. Ditariknya tangan Sandy yang sedang asyik menggoda cewek-cewek yang mengerumuni Rocky.
"Eh, eh, Tinka! Gue mau dibawa kemana" Aduh... aduh..."
"Rock, gue pinjem pengawal lo bentar, ya"" kata Tinka pada Rocky sambil terus menyeret Sandy yang ribut beraduh-aduh.
Tinka mendudukkan Sandy dengan paksa di kursi taman.
"Kenapa sih, Ka" Lo udah mulai nyadar kalo diri lo ternyata cute, ya" Trus lo mau nyatain sama gue""
BLETAK! Kepala Sandy kena timpuk koin gopean.
Sandy mengusap-usap kepalanya. "Sadis lo. Trus napa dong""
"Iyel. Jelasin ke gue... kenapa tiba-tiba si Rocky kutu buku itu, yang cuma ikut kompetisi matematika tiba-tiba jadi kapten sepak bola"" cerocos Tinka.
"Kan tangan gue patah." Sandy menunjuk tangannya yang di-gips.
"Iya, gue tau. Pemain tim lo kan ada sebelas oarng, belum termasuk cadangan. Ya, kan" Ya, kan" Trus kenapa Rocky" Gue jadi repot, tau!" protes Tinka.
"Lho" Kenapa lo yang repot""
"lo liat dong! Semua cewek pada heboh ngejer-ngejer si Superman itu, trus nih, lo liat!" Tinka melempar amplop-amplop orderannya ke pangkuan Sandy.
Cowok itu ngakak membaca isi amplop tersebut. "Bagus dong, Ka... lo kan jadi untung gede!"
"Hah" Gila ya" Masa gue mau nyomblangin lima cewek ke satu cowok""
"Ya, kalo Rocky-nya mau. Lagian itu kan resiko lo sebagai mak comblang kenamaan sekolah ini," jawab Sandy cuek.
"Ihhhhh... lo emang ngeselin ya"" Tinka memukul tangan Sandy yang ber""gips.
"AUUUUWWWWWWW... jangan marah ke gue dong."
"Lagian, jadi kapten patah tangan pas mau tanding! Nggak penting tau!"
Sandy cengengesan. "Namanya juga kecelakaan."
"Ayo balik ke kelas. Ntar gue disangka beneran suka sama lo. Bisa turun pasaran."
"Yeeee... Tinka."
Mereka berjalan kembali ke kelas. Tinka geleng-geleng melihat cewek-
cewek itu masih mengerumuni meja Rocky. Padahal sebentar lagi bel
masuk bakal berbunyi. Rocky masih tersenyum canggung dan terlihat
makin panik waktu Agni dengan centilnya merapatkan tubuh ke bahu
Rocky yang ternyata bidang.
"Rock... lain kali ajarin gue main bola ya""
IHHHHHHHH... "Yo, Yo..." terdengar suara berbisik memanggil Rio. Ternyata Maya. Dia melempar kertas kecil ke arah Rio. "Apaan tuh, Yo"" tanya Tinka.
"Tau nih, si Maya minta tukeran tempat duduk sama gue. Buat hari ini aja katanya. Tumben." Rio mengangguk ke arah Maya, yang langsung disambut acungan jempol cewek itu.
"Ada apaan sih, tumben minta tuker-tuker tempat duduk"" tanya Rio sebelum pindah ke bangku Maya.
"Mana gue tau. Nggak biasanya dia mau curhat di kelas."
Rio mengangkut tasnya. "Gue pindah dulu yeeee... dadaaaah, landak."
Tak lama kemudian Maya datang dan duduk di sebelah Tinka.
"Kenapa, May" Kangen banget sama gue" Hehe..."
"Ntar deh. Gue siapin mental dulu," katanya serius.
"Hehehe... kenapa sih" Lo naksir gue"" tanya Tinka jail.
"Ihhhhhhh..." Maya menjerit jijik sambil memilin-milin rambut panjangnya dengan gusar.
"Kenapa sih" Woi!" seru Tinka heran. Ia menjentikkan jari di depan mata Maya.
"Helloooooooouuuuwwww...""""
"Sini deh." Maya merangkup di depan telinga Tinka dan siap membisikkan sesuatu.
"Gue perlu bantuan lo," bisiknya superpelan.
"Bantuan apa" PR fisika" Matematika"" dengan cuek Tinka berbicara lantang. Maya buru-buru membungkam mulutnya.
"Jangan pake kenceng donggg... rahasia nih."
"Iya... iya, apaan""
"Gue minta bantuan lo... Miss Cupid," kata Maya ragu.
Tinka tersedak permen karet yang dari tadi dikunyahnya. "Apa""
"SSSSSSSTTT... "
"Ulang, ulang. Lo perlu bantuan gue" Sejak kapan" Lo kan nggak pernah perlu bantuan profesional kayak gue" Hehehehe..."
"Serius deh," tukas Maya sebal.
"Oke, oke. Tapi emang bener, kan" Lo kan nggak susah ngedapetin cowok-cowok yang lo mau."
Maya memutar-mutar pensil di tangannya. Iya sih... tapi kali ini...
"Siapa sih" Kok sampe seorang Maya minta tolong ke gue"" Tinka jadi penasaran juga.
"Tapi lo janji dulu mau
bantu." "Liat-liat targetnya dulu."
"Ah... nggak mau. Kalo lo janji, baru gue kasih tau," paksa Maya.
Tinka terdiam. Kapan lagi Maya minta dijodohin" Lagian gampang kali jodohin Maya. Dia kan idola cowok-cowok. Hehehe... kerja gampang, hasil cepat.
"Ongkosnya"" tanya Tinka jail.
"Apa aja yang lo mau, Ka," jawab Maya serius.
"Oki doki. Gue mau sepatu transparan yang gue liat di Plaza Senayan," tembaknya asal. Sepatu itu kan mahal banget.
"Deal!" sambut Maya antusias. Tinka sampai melongo.
"Serius lo, May"" ucapnya tak percaya.
Maya mengangguk cepat. "Serius."
"Ya udah. Tell me the name," sambar Tinka langsung, nggak mau rugi. Sepatu impiannya. Kapan lagi" Orderan lagi sepi, apalagi gara-gara Rocky dia nggak bisa terima orderan cewek-cewek. Mana semuanya ngorder Rocky.
Tiba-tiba bel masuk berbunyi. Semua cewek yang mengerubungi Rocky langsung bubar. Kelas langsung tertib ketika guru pelajaran pertama datang. Obrolan Tinka dan Maya pun terputus.
Di tengah pelajaran Tinka menyikut Maya. "Ssst, May."
"Hmm"" "Lo belum nyebutin nama cowok itu. I'm dying to know, gila," bisiknya.
Maya nyengir. Dia menulis sesuatu di secarik kertas dan menyodorkannya pada Tinka.
Seketika mata Tinka melotot. Lagi. "HAH"" "Kenapa, Ka" Ketelen, Ka, permen karetnya"" tanya Maya panik. "ROCKY"" jeritnya tertahan. Oh, no...
"Tinka, kok gitu sih" Wajar, kan" Dia emang keren kok. Liat aja fans-nya... " Maya jadi panik melihat reaksi Tinka.


Miss Cupid Karya Mia Arsjad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tinka manggut-manggut. Tapi, aduuuuuuhhhh... gimana dong"
"May, lo liat nih." Lagi-lagi Tinka menyodorkan surat-surat orderan yang dia dapat.
Ekspresi Maya berubah kaget begitu melihat kertas-kertas itu. Ternyata dia kalah cepat.
"Lo udah terima job dari mereka""
Tinka menggeleng. "Jadi"" "Gue tolak semua. Lo nggak liat tuh makhluk-makhluk yang ngerubungin" Lagian gue nggak bisa milih. Aduuuuhhh... lo orang ketiga yang gue jelasin soal etika bisnis mak comblang gue." Tinka jadi pusing.
"Hah" Lo belum terima job mereka"" Maya tiba-tiba girang.
Tinka menggeleng lagi. "Berarti lo bisa dooooooongg ngambil job dari gue" Pleaseeeee... gue kan sobat lo. Lagian gue kan jarang minta tolong lo, Ka. Ya, Ka" Ka... gue nggak bakal marah kalo gagal. Kalo nggak jadian, paling nggak gue deket deeeeehh..." paksa Maya.
Tinka terdiam lagi. Bener juga sih. Apalagi Maya kan tipe yang gampang dapet cowok. Salah satu the most wanted girl di sekolah. Kansnya imbang dong sama yang lain-lain itu. yah, kayaknya nggak apa-apa juga bantuin Maya. Demi persahabatan.
Tapi tiba-tiba Tinka ingat Rio. Perutnya mendadak mulas. Kacau! Kacau! Tinka harus bilang apa kalau sampai Rio tahu Maya naksir Rocky" Malah sampai minta bantuan profesional Tinka.
"Ya, Ka"" desak Maya lagi.
Tinka melongo sebentar saking bingungnya. "Lo kebangetan, May. Bikin gue di posisi sulit gini."
"Ya ampun, Ka, masa segitunya sih"" Maya yang nggak tahu apa yang Tinka hadapi merengek dengan tampang memelas. "Abis gue minta tolong sama siapa lagi dong kalo bukan sama lo, Ka""
Tinka tertunduk lemas. "Iya iya, tapi jangan bawel ya""
"Bener nih...""""
"Iya. Tapi bakal makan waktu. Gue bener-bener blank sama makhluk satu ini. Lagian lo kenapa nggak mau sendiri sih""
"Nggak ah... tengsin. Abis dia lempeng banget sama cewek." "Apes banget gue... kerja berrraaaaaattttt."
PLETAK. Kapur melayang dari arah depan, tepat mengenai jidat Tinka. "YANG bener kamu"" tanya mama nggak percaya.
"Sueeeeeeerrr... " Tinka mengacungkan dua jarinya.
"Siapa sih cowok itu" Kok Maya sampe butuh bantuan segala" Keren banget, Ka" Mama pernah liat, nggak"" Mama penasaran berat.
Tinka melahap pisang kejunya. "Mmmmammaa khayaknyha bhelum phernah lhiat dheehh... nyam... nyam..." jawabnya dengan mulut penuh. "Dia tuh anak baru. Dulu pemalu, tau-tau jadi keren. Kayak Superman gitu, Ma... dari Clark Kent jadi Superman. Berubaaaahhh!" cerita Tinka berapi-api.
Mama cekikikan melihat gaya anaknya yang penuh semangat.
"Ka... emang jadi bisa terbang"" kata mama rese.
"MAMA... bukaaaann. Jadi bisa main b
ola. Ah, yang itu nggak usah dibahas deh."
"Trus trus"" Mama masih penasaran.
"Ya gitu. Orderan lain aku tolak. Sama Maya aku diancem siihhh... huh."
"Kok kamu nggak naksir""
"Maaaaa... duh. Makasih banget kalo aku musti ikut rebutan kayak di pasar gitu. Si Agni aja ikutan."
"Agni centil itu""
Tinka mengangguk. Tuh kan, Mama aja takjub.
"Ma, omong-omong ni pisang keju banyak gini, ditata-tata, lagi. Buat apa sih" Buat aku sendirian"" Tinka menatap bingung berbagai macam makanan yang tertata di ruang tengah.
"Ya bukanlah. Lagian masa kamu segembul itu" Wah, bisa bangkrut Mama."
"Kalo gitu kenapa dong""
"Emang Mama belum cerita""
Tinka menggeleng sambil merebahkan kepala dengan manja di pangkuan Mama.
"Temen Mama kan ada yang baru dateng dari Amerika. Sekarang tinggal di kompleks sini."
"Oh, ya" Bule, Ma"" Tinka langsung semangat.
"Bukan sih. Tapi adiknya menikah sama bule, jadi waktu itu dia kerja di perusahaan iparnya itu." Mama mengusap rambut Tinka. "Emang kamu pengen dapet bule"" goda mama.
Tinka memanyunkan bibir. "Omong-omong, siapa nama cowok itu, Ka""
"Rocky." "Lucu amat namanya. Pasti manggilnya 'Rock'..." Mama aja sampe tau panggilan Tinka buat Rocky.
Tinka melahap potongan terakhir pisang kejunya. "Dika mana sih, Ma"" "Mama suruh jaga di depan. Temen Mama kan belum tau jalan." Tinka beranjak dari sofa. TING TONG!
"Nah, itu pasti dia."
Mama menarik tangan Tinka ke depan pintu. Dika datang dari halaman bersama seorang wanita cantik seusia Mama. Dandanannya modern sekali. Tinka sampai terkagum-kagum dan langsung bercita-cita bakal tetap gaya walaupun sudah tua nanti.
"Bianca, apa kabar"" wanita itu memeluk Mama.
"Baik. Sudah lama ya" Kamu sendiri gimana, Tria"" balas mama.
Tante Tria. Itu toh namanya. Cantik banget. Tinggi, lagi.
"Kamu udah kenal Dika, kan" Nah, ini kakaknya Tinka. Kelas dua SMA."
Tinka menjawab tangan Tante Tria. "Tinka, Tante," ucap Tinka manis.
"Sekolah dimana""
"Tri Persada, Tan."
"Wah, anak Tante juga. Sekelas nggak, ya" Dia juga kelas dua. Tuh, dia lagi ambil oleh-oleh di mobil." Tante Tria terlihat senang karena Tinka dan anaknya satu sekolah.
Perasaan Tinka jadi aneh. Anak baru, dari Amrik, jangan-jangan...
Tinka menatap cowok yang berjalan ke arah mereka sambil menenteng kantong oleh-oleh.
"Rocky"" Muka Tinka langsung jadi bloon.
"Tinka"" Rocky nggak kalah bloon.
"Kalian udah kenal"" Tante Tria tambah senang.
Rocky" Mama langsung tersenyum geli. Topik gosipnya nongol di depan pintu. Tinka jadi salah tingkah. Rocky selalu penuh kejutan.
"Tinka, ajak Rocky ke belakang deh, liat-liat taman," usul mama aneh.
Liat-liat taman" Sejak kapan ada tradisi ngajak tamu liat-liat taman di rumah ini"
"Rock, rumah lo deket gue"" cetus Tinka, bingung harus ngomong apa. Rocky mengangguk. "Iya."
"Kok lo nggak pernah bilang sih" Kaget gue, tiba-tiba lo nongol di rumah gue," sahutnya jujur.
Rocky nyengir kuda. Memangnya Tinka pikir dia nggak kaget, apa" "Sebenernya gue pengen kenalan sama tetangga dari kemaren-kemaren. Tapi kata Nyokap barengan aja, lagian dia kan paling hobi bawa oleh-oleh. Belakangan dia bilang punya temen tinggal di sini," jelas Rocky panjang-lebar. "Lagian kalo tau lo tinggal disini, gue udah punya temen main. Adik lo cowok, lagi, fun kan, kalo gue punya temen sekompleks," sesalnya.
Tinka memandang Rocky heran. Dia kelihatan tidak secanggung di sekolah. Tanpa seragam, lagi-lagi dia terlihat keren. Hari ini dia tidak memakai kacamatanya. Ups, Tinka jadi teringat Maya. Ini dia nih bintang jatuh. Rocky anak kenalan Mama, mau main ke rumah karena ada Dika. Tetangga lagi. Tinka bisa lebih cepat ngejalanin misinya. Sippp...
"Rock, kacamata lo mana" Trus, lo kok bisa main bola nggak pake kacamata" Kacamata gaya, ya""
"Enak aja. Ini kacamata minus. Tapi karena minusnya masih kecil, kalo nggak baca tulisan di papan tulis, gue masih bisa liat."
"Ooooooooo..." Tinka ber-O ria.
"Trus, ngapain dipake melulu""
Rocky nyengir. "Ya, males aja pake-lepas-pake. Bisa lecet idung gue," candan
ya. "Bercanda ya" Hehehehe... "
Rocky jadi salah tingkah. Tinka emang lucu banget, rambut cepak rancung-rancung, kulit item manis, gigi rapi. Cuma bawelnya, aduh, nggak tahaaaaaaaaaaannn...
"Liat apa, Rock"" rupanya Tinka sadar lagi diliatin.
"Nggak... lo lucu juga, ya," jawabnya polos.
Pipi Tinka seketika memerah. Dasar asal.
Mereka duduk di kursi taman, di depan kandang burung raksasa milik Tinka. Isinya parkit semua, dari warna putih sampai biru keunguan ada. Jumlahnya ada, kali, seratus.
"Banyak amat burung lo, Ka." Takjub juga Rocky melihat parkit berisik sebanyak itu.
"Lo perhatiin deh, Rock, parkit tu lucuuuuuu... banget. Pipinya tembem, ada buletan itemnya. Gemeeesss... pengen nyubit." Kalau ngomongin parkit, Tinka bisa lepas kontrol. Tapi dia memang pecinta binatang.
"Iya, ya, lucu. Gue minta dong sepasang. Gue suka banget binatang." Rocky menatap lekat-lekat burung-burung kecil itu. Memang lucu.
Tinka bingung. Cuek amat minta koleksi parkit kesayangannya" Beda banget sama Rocky yang di sekolah.
"Em... emmm... lo mau minta sepasang""
Rocky mengangguk sambil terus menatap parkit-parkit kecil yang berseliweran di dalam kandang. Tampaknya Rocky benar-benar serius sayang binatang. Mungkin nggak ada salahnya juga sih Tinka kasih dia sepasang.
"Boleh deh, tapi gue yang pilihin warnanya. Nggak boleh milih sendiri," putusnya.
Rocky tersenyum girang. Tinka lucu banget. Dia sayang, tapi masih juga mau memberinya sepasang.
Lima menit kemudian Tinka sudah berkutat di dalam kandang burung, berjuang menangkap sepasang burung untuk Rocky.
"Jadi, cowok itu Rocky anaknya Tante Tria""
"Ternyata, Ma..." jawab Tinka, masih shock. "Dan Tinka udah ngasih parkit Tinka sepasang. Hiks, hiks," isaknya lucu.
Dika menepuk bahu Tinka. "Berlebihan deh. Mama malah seneng, tau. Lo kan udah dioleh-olehin jaket Mango, jadi balesannya parkit lo itu. Ya nggak, Ma"" celetuknya asal.
"Enak aja, parkit gue nggak ternilai harganya tau!"
"Tapi Mama suka sama anaknya Tante Tria. Anaknya sopan. Ganteng, lagi," puji Mama sambil mengedip penuh arti ke arah Tinka.
Tinka mengangkat cangkir bekas minum tamu mereka dari atas meja lalu mendelik ke arah Mama. "Maksud Mama" Kok Mama ngedipin Tinka segala""
"Masa nggak ngerti" Atau lo pura-pura nggak ngerti" Maksud Mama, boleh juga tuh jadi calon menantu..." sambar Dika yakin.
Sebuah serbet langsung melayang ke arah Dika. "Jangan ikut campur deh, bawel. Mau nggak gue pinjemin mobil lagi lo""
"Emang gitu artinya kok. Iya kan, Ma"" balas Dika cengengesan sambil melempar balik serbet yang sempat nemplok di jidatnya.
"Rese ah!" tangan mungil Tinka menepis serbet yang hampir mendarat di mukanya.
"Udah, udah, kok malah ribut sih"" lerai mama. "Tapi Dika bener lho, Ka. Rocky tipe cowok idaman mertua kok."
"Mamaaaaaaa... "
Suara Britney Spears dengan Toxic-nya mengentak-entak di kamar Tinka. Anak itu berjingkrak-jingkrak di depan kaca. Maksudnya mau meniru dance Britney, tapi hasilnya lebih mirip Wau-wau. Itu lho, sejenis orang utan.
"Baby can't you see... I'm calling.... yeaaaahhh..." jeritnya menggila.
Bobsey, anjing old english peliharaan Tinka, melolong panik minta ampun. Soalnya kandangnya tepat di bawah kamar Tinka.
KRIIIIIIIIIIINGGG... Tinka mengecilkan volume CD player-nya, lalu menyambar gagang telepon paralel dari atas meja komputer.
"Ganggu aja... Halo""
"Tinka"" terdengar suara cewek yang sedikit asing. "Iya. Siapa nih""
"Gue... mm... gue Oliv," jawab suara di seberang sana.
Tinka membulatkan mata. "Oliv""
"Iya, gue anak IPA 2."
Arah pembicaraan yang seperti ini sudah tidak mengherankan buat Tinka. Kalau ada orang tak dikenal menelepon dia, tujuannya sangat gampang ditebak.
"Perlu bantuan gue"" tembak Tinka langsung.
Suara tersedak terdengar dari seberang sana. Kaget juga ditembak langsung
gitu. "Kok lo tau"" Biarpun kaget Oliv tetap ngotot penasaran.
"Hehehe... gue kan profesional. Lo nggak salah deh minta bantuan sama tangan ahli kayak gue. Ibaratnya, saking profesionalnya gue bisa lho nyomblangin
tikus got sama tikus mondok." Benar-benar kalimat iklan yang sama sekali nggak menarik. Masa orang disamain sama tikus mondok.
Mau nggak mau Oliv terkikik geli. Mak comblangnya lucu juga. Biasanya kan profesi yang berbau emak-emak (dukun maksudnya) nyeremin. Tapi yang satu ini memang lain.
"Jadi"" "Emmm... sebenernya, Ka, yang gue taksir anak kelas lo," lanjut Oliv ragu-ragu.
Seketika perut Tinka mulas. Ini sih sudah pasti...
"Rocky." Akhirnya nama itu keluar juga dari mulut Oliv.
Tarikan napas Tinka langsung panjang sepanjang gerbong kereta api. Buang napas...
"Liv, kayaknya agak susah deh," jawab Tinka jujur.
Desahan kecewa terdengar dari Oliv. "Emangnya dia udah punya pacar,
ya"" "Nggak sih. Tapi lo termasuk dalam waiting list cewek-cewek yang minta tolong gue."
"Semua targetnya Rocky""
"Ya iyalaaaaahh... kalo target lo orang lain udah dari tadi deal. Kebetulan gue lagi butuh jepit kecil-kecil. Hehehhe." Dasar nggak tahu malu.
"Emang nggak ada cowok lain ya, Liv" Sandy, Sandy" Nggak tertarik" Dia kan kapten benerannya. Rocky kan cuma stuntman." Tinka mempromosikan stoknya. Dia memang lagi pengin banget jepit rambut kecil-kecil aneka warna yang dia lihat di toko aksesori.
"Gimana ya" Gue sukanya Rocky. Sandy kayaknya udah nggak trendi deh," tiba-tiba Oliv jadi norak. Apaan coba, "udah nggak trendi"" Tank top
iya, ada nggak trendinya. Ini Sandy, coba" Kasihan Sandy, pamornya langsung surut.
"Kalo Rio"" seloroh Tinka spontan. Entah kenapa dia teringat Rio yang lagi uring-uringan pengen jadian sama Maya. Siapa tau kalo dia bisa jodohin Rio sama cewek lain seperti Oliv, Rio bisa ngelupain Maya. Kalau dilihat dari kadar kenorakannya, kayaknya mereka berdua cocok.
"Rio" Rio yang mana"" Oliv terdengar heran.
"Rio yang duduk sebangku sama gue. Emmm, itu lho, yang modis banget."
Oliv terdiam sejenak. "Yang dandanannya heboh itu ya""
Tinka terbatuk kecil karena kaget. "Heboh""
"Iya, yang norak itu, kan" Yang selalu megang-megang rambut tiap lima detik" Nggak mau ah! Sok kecakepan," tolak Oliv sadis.
Rasanya kalau Tinka lupa dia yang pertama-tama menawarkan Rio, pengen banget Tinka menyumpal mulut cewek sadis ini. Tega-teganya dia menghina-hina Rio di depan sahabatnya. Biarpun bener Rio norak (ups), tapi kan itu demi orang lain juga. Maksudnya biar enak dipandang.
"Ya, kalo gitu gue nggak bisa bantu. Sori, ya"" Melayang sudah jepit warna-warninya.
Telepon ditutup. "Fiuuhhh..." Tinka membanting badan ke kasurnya yang empuk. Lalu berbaring menghadap jendela. Ujung pohon palem bergoyang-goyang ditiup angin.
Diraihnya Momo, boneka sapi kesayangannya yang belang-belang dan gendut. "Momo... lo aja deh yang gue jodohin. Gue cariin sapi jantan, ya" Ya" Mau yang mukanya kayak Rocky""
Momo cuma menatap Tinka lucu dengan mata plastiknya yang juling.
"Emangnya Momo mau kamu jodohin sama siapa" Sapinya Mang Eman"" Ternyata mama sudah berdiri di depan pintu sambil senyum-senyum melihat Tinka bicara sendiri. Saking seriusnya, Tinka sampai tidak mendengar waktu mama membuka pintu kamarnya.
"Mama! Ngintip aku ya"""" Wajah Tinka merah padam.
Mama duduk di pinggir kasur Tinka yang berlapis seprai bergambar bintang-bintang biru muda. "Anak Mama kok kayak orang stres" Ngomong sama Momo. Mama buka pintu aja kamu sampe nggak denger."
"Ah, waktu kecil kan aku suka ngomong sama Pucay, Tomti, Hubi, Kinkin, Curmimo..." Tinka menyebut sederet panjang nama-nama bonekanya.
"Iya, iya, Mama tahu."
"Ma, Ma, tau nggak yang telepon tadi""
"Mama tau. Order Rocky lagi, kan"" senyumnya sambil menyentil hidung Tinka.
"Mamaaaaa... ngupingnya lama banget sihhhhh... "
Mama terkikik-kikik geli.
Dilemparnya Momo ke pinggiran kasur. Tinka meraih bantal raksasa berwarna biru laut dan merebahkan kepalanya.
"Bisa seret nih upeti bulan ini... masa semuanya pengennya Rocky," keluhnya pada mama.
"Yeeee... terserah dong, Ka. Masa orang-orang mau naksir Rocky nggak
boleh"" "Bukannya nggak boleh. Tapi cowok lain kan masih banyak, Maaa.."
Mama memandangi putrinya. Waja
h imut Tinka cemberut, kedua pipinya memerah karena terlalu bersemangat. Tinka memang lincah dan agak tomboy, tapi dia lucu, manis, gayanya juga selalu trendi. Selera fashion Tinka juga oke banget.
"Ma" Kenapa ngeliatin Tinka""
"Sayang, kenapa sih nggak kamu aja yang naksir Rocky" Mama setuju lho. Anaknya kayaknya baik, mana Mama kenal dekat mamanya."
"Ih, emangnya Mama serius nganggep Rocky cowok idaman mertua""
Mama mengangguk. "Lho, iya dong. Memang memenuhi syarat kok. Tetangga, lagi. Jadi kalo ngapel deket dan hemat."
Bibir Tinka langsung maju tiga sentimeter ke depan tanda protes. "Plis deh, Maaaaa... Mama kok jadi ikut-ikutan" Kalo gitu, Mama aja yang aku jodohin sama Rocky, gimana"" goda Tinka sebal karena dijodoh-jodohkan.
"Kamu ini." Untung Papa lagi nggak ada, kalau tidak pasti dia ikut-ikutan Mama menjodoh-jodohkan dia. Papa selalu paling heboh urusan Tinka punya cowok atau nggak. Setiap kali menelepon, pertanyaannya selalu sama. "Udah punya pacar belum""
"Tapi kamu baik juga, ngerelain parkit kamu yang sepasang itu."
"Huaaaaaaa... jangan diingetin. Sekarang parkitku tinggal sembilan puluh delapan."
"Tinkayyyy.... telepon nihhhhh..." suara Dika dari ruang TV terdengar memanggil Tinka.
"Halo"" "Ka, Maya nih."
"Heiiiii... ada apa, May, kangen sama gue" Baru juga setengah hari," ucap Tinka ge-er.
"Enak aja. Ngabisin energi aja kangen elo. Ka, gimana, udah ada info menarik belum""
"Adaaaaa... tapi besok di sekolah deh. Di telepon nggak seru. Oke""
"Yaaaaaa.. kok gitu" Sekarang dehh..." Maya penasaran setengah mati. Tinka memang paling bisa bikin orang merengek-rengek.
"Besok atau nggak sama sekali, hayooooo"" ancam Tinka nyebelin.
"Iya deh, besok."
"Oh ya, hari ini saingan lo tambah satu lhoooo... "
"Hah, siapa"" kontan Maya panik. "Siapa" Kasih tahu dooooong... bahaya,
nggak"" "Dah, Maya... besok, ya" Gue mau bobo dulu. Daaaaaaaahhhh... "
KLIK. "Jahat kamu," Mama gemas melihat Tinka yang hobi jail.
Cengiran Tinka makin lebar. "Hehehe... abissss, Maya, heboh banget. Baru sekali jadi klien aja rewel banget."
"Ma, mendingan sekarang bobo siang sama aku aja di sini."
"Enak aja bobo siang. Kamu tidur melulu kayak anak kebo aja." Mama melempar boneka hamster Hamtaro kecil ke muka Tinka. Lalu Mama turun untuk menonton TV kesukaannya.
Suara Britney Spears kembali mengalun dari kamar Tinka. Si Rocky ini memang semacam toxic buat cewek-cewek. Huh. Ngerepotin aja.
Jam delapan malam. Tinka memasukkan buku-buku sesuai daftar pelajaran besok ke tas raksasanya yang berwarna biru langit. Tinka memang tergila-gila warna biru.
Semua buku telah dikemas rapi. Tinka mengeluarkan diari kecilnya. Diari itu sudah bersamanya setahun ini. Tidak setiap hari Tinka menulis diari. Kalau lagi mood, atau ada yang sangat mendesak yang ingin ia ceritakan,
baru ia menulis. Diari yang (lagi-lagi) berwarna biru itu sudah penuh gambar lucu coretan iseng Tinka. Diambilnya pensil 2B yang selalu setia menemaninya saat ujian matematika. Walaupun nggak jado gambar, Tinka tetap nekat membuat gambar metamorfosis Rocky yang lugu. Digambarnya karikatur Rocky waktu dulu yang berkacamata dan culun, lalu gambar Rocky melepas kacamata, diselubungi asap, dan... TARAAA, jadilah Superman! Biarpun kayak gambar anak TK, tapi cukup menggambarkan kejadian sebenarnya kok.
Dear diary, Tau nggak" Sekarang sekolah gue, terutama kelas gue yang tadinya tenteram itu, lagi heboh, histeris, tak terbendung! Apa, coba"
Gara-gara si Rocky! Itu, si anak baru dari Amerika. Dengan nyebelinnya tiba-tiba dia bermetamorfosis dari cowok pemalu jadi kapten sepak bola yang keren! Gimana cewek-cewek nggak pada histeris" Yang lebih parah, gue terima job dari Maya. Dia naksir Rocky. Bayangin! SAMPE MA YA PERLU BANTUAN GUE!!!!!
MAYA!!!!! Gila nggak tuh" Bisa tertulis di tinta emas sebagai sejarah tuh! Maya. Hebat si Rocky... !
Tapi gue heran, kok orang-orang baru pada heboh sekarang ya"
Dulu, waktu belum ketauan dia sekeren hari ini, nggak ada yang ngelirik. Apa emang orang cuma dinilai da
ri tampang" Nggak adil amattt...
Eh, berarti gue bijak dong! Sebelum Rocky lepas kacamata, kok gue sempet sadar"Sadar dia keren, maksudnya. Waktu di kelas itu. Tuhhh... gue bijak kan"
Bukan Dika namanya kalau nggak rese. Terbukti dia tiba-tiba melongokkan kepalanya di pintu kamar Tinka sambil cengar-cengir.
"Ka, mobil lo besok gue pinjem lagi, ya"" pinta Dika penuh harap. Oik, pacar terbarunya, memang rada matre. Kemana-mana pengennya naik mobil. Minimal maunya naik taksi. Harus ada AC-nya. Daripada bangkrut buat bayar taksi jalan-jalan, mendingan Dika beli bensin mobil Tinka.
"Enak aja! Cewek lo dasar matre ya" Mobil gue kan yang jadi korban. Putusin aja tu cewek!"
"Yaaaa... plis deh, Ka. Lo masa nggak seneng liat adek tercinta bahagia" Oik kan asma... mana kuat panas-panasan"" Dika beralasan. Padahal yang namanya Oik itu sehat walafiat dan centilnya minta ampun. Boro-boro asma, flu aja jarang.
"Yeeee... kok jadi gue yang musti berkorban" Lagian cewek lo emang terkenal matre, tau! Trus lo nggak mikirin gue, waktu mobil gue lo bikin mogok" IHHHHHHHHHH..." Tinka menutup hidungnya. Saking baunya, cuma dibayangin saja sudah tercium.
Dika bersungut-sungut. "Pelit," umpatnya, lalu langsung kabur ke bawah.
"Jangan coba-coba ngerayu Mama buat pinjem mobil gue, ya! Mama juga nggak suka sama si centil itu, tauuuuu!!!!!!!!" jerit Tinka dari kamarnya.
Mama memang sebel juga sama Oik. Uang jajan bulanan Dika ludes buat nraktir Oik. Belum ongkos bengkel mobil, belum minta uang malam mingguan, kado...
Pokoknya nggak ada toleransi lagi deh soal Oik. Tinka pokoknya nggak suka. Titik.
Tinka menutup diarinya lalu dimasukkannya ke laci dan menguncinya. Di rumah ini nggak aman karena Dika isengnya suka kebangetan.
"Hoaaaaaaahhmmm... " sambil menguap lebar, Tinka merentangkan kedua tangan ke atas. Matanya sudah berat karena ngantuk. Ditariknya selimut dan Momo, lalu dia pun tidur.
JAZZ kuning Tinka meluncur dengan lincahnya.
"Ka... ayo donggg... kan baru ini gue punya pacar sekece Oik." Rupanya Dika masih belum menyerah. Ia masih sibuk merengek-rengek pada Tinka. Hari ini Oik minta diantar belanja peralatan make-up.
Bukit Pemakan Manusia 10 Pedang Siluman Darah 9 Demi Tahta Dan Cinta Naga Beracun 18
^