Pencarian

Miss Cupid 3

Miss Cupid Karya Mia Arsjad Bagian 3


Tak lama kemudian Tinka dan Maya turun ke ruang makan. Mama dan Rocky sedang menyantap roti goreng buatan mama. Tinka dan Maya tampak kaget melihat Rocky duduk manis di meja makan. Mulutnya penuh roti goreng.
"Nah, tuh. Gadis-gadis udah pada turun. Ini nih, Rocky udah nunggu dari tadi mau ngetok kamar kamu, tapi katanya... "
"Gue liat nyokap lo bikin roti goreng. Mendingan makan rot
i goreng dulu. Gue laper nih, jalan kaki dari rumah. Hehe," potong Rocky sambil mengelus-elus perutnya yang penuh. Mama bingung menatap Rocky, namun akhirnya diam.
"Udah lama"" tanya Tinka gugup.
Maya lebih parah, mukanya merah padam. Dia benar-benar takut Rocky mendengar obrolan mereka tadi. Cuping hidungnya kembang-kempis menahan panik. Tampang Maya jadi mirip banteng rodeo.
"Lumayan, ada kali enam roti. Nih, baru mau ketujuh," jawab Rocky cengengesan.
"Dasar rakus!" Tinka melotot. "May, duduk gih. Kalo nggak buru-buru, makhluk satu ini bisa abis satu gerobak lagi. Di sekolah aja kayaknya makannya dikit, bales dendamnya di rumah. dasar cowok bermasalah." Tinka mencibir geli.
Ragu-ragu Maya menarik kursi di sebelah Tinka. Sekarang kayaknya bukan waktu yang tepat buat duduk dekat-dekat Rocky. dadanya berdegup kencang, mau ditaruh dimana mukanya kalau ternyata Rocky mendengar semuanya tadi. Napasnya semakin tak teratur, rasanya pengin nangis. Biarpun Rocky kelihatan santai-santai aja, tapi kali ini Maya asli gugup. "Emmm, gue kayaknya pulang aja deh, takut macet. Ntar kemaleman. Tante, Maya pulang dulu, ya""
"Lhooo, kok gitu" Keenakan dong si Rocky ini, jatah lo pasti dimakan dia nih, mana Dika belum pulang, lagi. Jangan pulang dulu doooongg..."
"Ng-nggak deh. Gue masih kenyang kok. Tadi kan ngemil banyak di kamar lo. Ya, Ka" Besok ngobrol lagi di sekolah." Maya pengin buru-buru kabur. Dia memang paling nggak bisa dihadapkan sama situasi kayak gini. Maya itu paling nggak kuat malu. Untung kali ini reaksinya nggak langsung mewek.
Tinka akhirnya sadar gelagat aneh Maya. "Ya udah. Ati-ati, ya" Mau gue anter ke depan""
"Nggak usah, lo makan aja. Di halaman rumah lo nggak ada pembunuh bayaran, kan"" Maya mengedipkan sebelah mata penuh arti. "Tante, Maya pulang ya. Rocky, gue duluan," pamitnya sambil bergegas keluar.
"Kenapa sih" PMS ya"" tanya Rocky yang cuma tahu PMS.
"PMS-PMS! Sok tau ah. Emang PMS apaan""
"Penyakit Menular Seksual," jawab Rocky benar tapi ngawur.
Tinka ngakak, mama juga. "Makanya, big boy, kalo nggak tau nggak usah ngomong. Mending abisin tu roti. Kotak, kotak deh muka lo. Hehehe."
Rocky menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Abis PMS apaan dong" Rocky jadi ingat Sandy dan Ray yang selalu menyebut-nyebut PMS. Jangan-jangan mereka juga nggak tau apa artinya.
"Ah, yang bener lo, Man" Si Maya suka sama lo"" Sandy danRay yang malam itu datang dan menginap di rumah Rocky sampai terkaget-kaget histeris.
Rocky mengacungkan dua jari tanda suer. Dia sudah menceritakan dengan lengkap plus iklan semua yang dia dengar tadi. Dia benar-benar nggak nyangka. Syok.
"Man, kalo lo ditaksir Maya, lo bukan lagi kejatuhan duren. Lo udah ketimpa pohon duren! Sama pohon-pohonnya. Gilaaa..." seloroh Sandy sambil merem-melek.
"Iya, gila," timpal Ray datar. Tangannya sibuk mengutak-atik gitar.
"Gue musti gimana, monyong"! Bukan waktunya terkagum-kagum gitu." Sandy dan Ray saling pandang. Keduanya lalu tersenyum jail.
"Gue bilang sih, ya lo sikat aja, Man. Jarang-jarang si Maya naksir orang. Lo mikirin apa lagi sih, Maaaaaaaaaaaann"""" cecar Sandy.
Ray mengangguk setuju. "Gila! Masalahnya, Sandy man, gue nggak suka sama Maya-Man," kata Rocky sambil menggoyang-goyang telunjuknya di depan hidung Sandy. Makhluk satu ini memang nggak bisa lihat cewek cakep dikit. Maunya nyosoooooooorrr.... aja.
"Bego! Ini Maya, Man, Maya! She's one of the most wanted girl in town, beybeh!"
"Yeah, beybeh" beo Ray. Ray memang ganteng. Sayang kadang suka rada bego.
Rocky memutar bola matanya. Dua makhluk ajaib. "Masalahnya gue nggak suka," Rocky ngotot.
Tiba-tiba muka Sandy berubah serius. "Man, lo naksir orang lain, ya""
Seketika wajah Rocky memerah. Dia terdiam.
"Wahhhh, beneran nih. Siapa nih"" desak Sandy.
"Tinka"" celetuk Ray bikin kaget.
Rocky makin merah padam. "Apaan sih"" tukasnya salting.
"Bener dugaan gue," gumam Ray. Sandy terbelalak.
"Lo suka Tinka" Gileeeee, Rocky naksir cewek. Biar Tinka juga nggak papa sih. Dia oke kok. Lucu. Keren. Gue duk
ung, gue dukung," cerocos Sandy. Tangannya menepuk-nepuk pundak Rocky.
Mata Rocky memandang kedua temannya dengan tatapan memelas. Kenapa pada saat-saat dibutuhkan kedua sobatnya ini berubah jadi bego.
"Hellooo... guys" Tinka itu Miss Cupid, remember" Sekarang she's on a mission. Maya, gue" Get it"" Rocky merentangkan tangan.
Sandy dan Ray tampak berpikir keras. Tapi beberapa detik kemudian keduanya tampak baru menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Sandy dan Ray menjentikkan jarinya berbarengan, persis film kartun.
"Jadi lo mau gimana dong"" tanya Ray akhirnya.
"Arrrrrggggh! Itu kan pertanyaan gue tadi" Gue musti gimana"" omel Rocky kesal. "Lo berdua katanya experienced soal cewek. Tapi kok lo berdua nggak punya cewek" Gue jadi curiga," selidik Rocky.
"Rocky, my man. Gue udah bosen sama cewek di sekolah kita. Semua udah lewat. Gue pengen cari yang di luaran. Hehehe. Tapi kalo Maya sih gue tampung," ujar Sandy jumawa.
"Idem," sambung Ray nggak penting.
"Udahlah. Yang jelas gue nggak mau ngecewain Tinka," putus Rocky. Direbahkannya badan kekarnya di atas kasur. Tangannya mengacak-acak rambut di kepalanya yang pusing. Harusnya jalan-jalan ke Bandung ini jadi momen seru buat dia dan Tinka. "Hhhhhhhhh..." Rocky menghela napas
panjang. "Jadi lo mau nyatain sama Tinka" Atau mau terima Maya"" tanya Sandy penasaran.
"Nggak tau deh."
"TINKA, bangun. Kamu jadi ke Bandung, nggak"" Mama mengguncang-guncang tubuh Tinka iyang masih terlelap di balik selimut tebalnya. Sudah jam 04.00, janjinya Rocky akan menjemput Tinka sekitar jam 04.30. Setengah jam lagi. Dari setengah jam yang lalu mama sudah mondar-mandir membangunkan Tinka, tapi dia balik lagi ke dalam selimut.
"Hmmm... emang sekarang jam berapa sih, Ma"" tanyanya sambil ngulet. Tadi malam tidurnya agak larut. Maya menelepon hampir semalaman.
Mama menyodorkan beker mungil Tinka ke depan matanya. "HAAAAAHHHH"" Aduh, aduh, gawat, setengah jam lagi!" Tinka melonjak dari kasurnya. "Mama kok baru bangunin aku sihhh" Bentar lagi aku dijemput nih," Tinka ngedumel sambil menarik handuk dari gantungan.
"Mama udah bangunin kamu dari tadi. Kamunya aja turunan kebo. Tidur lagi, tidur lagi," balas mama.
"Kalo gitu Mama mamanya anak kebo dong," balas Tinka jail sambil melesat ke kamar mandi.
Di kamar mandi Tinka tak bersiul-siul seperti biasa. Waktunya sedikit banget. Dia mengguyur badannya sambil lompat-lompat kedinginan. Dia sama sekali belum menyiapkan apa-apa untuk pergi. Mau pakai baju apa juga belum tahu. Tinka hari ini mandi superkilat. Lima menit kemudian dia sudah berada di kamar, membongkar-bongkar lemari pakaian. Matanya sekarang segar setelah tadi diguyur air dingin.
"Maaaaaa, liat ransel item aku nggak"""" jeritnya sambil terus mengaduk-aduk isi lemarinya, mencari baju yang pas.
"Kamu liat aja di kamar Dika. Dipinjem dia, kali," balas mama.
Tinka menjatuhkan pilihan pada T-shirt biru, warna favoritnya. Tangan dan kerahnya berwarna putih, di dadanya ada gambar hidung babi berwarna putih. Dikenakannya jins biru belel dengan lipatan besar di bawahnya, model yang lagi ngetren sekarang. Terakhir, kaus kaki biru muda dan sepatu boxing putih-biru kesayangannya. Tinka lalu ke kamar Dika mencari tas hitamnya. Tepat banget dugaan mama, tas hitam favoritnya bertengger manis di sandaran kursi belajar Dika. Cepat-cepat diambilnya tas itu.
"Tinkaaaaa, ini Rocky dateng," panggil mama.
Tepat waktu juga manusia satu itu. Secepat kilat Tinka memasukkan dua batang cokelat almond kesukaannya, keripik pedas, air mineral, dan topi putih kesayangannya. Tidak lupa dompet dan HP-nya dimasukkan ke tasnya. Tinka langsung melesat keluar dari kamarnya. Di ruang tengah Rocky asyik mengobrol dengan mama.
"Nah, tuh Tinka. Buruan deh berangkat, nanti kesiangan sampe Bandung. Nggak sempet jalan-jalan kan rugi," tukas mama sambil menyodorkan segelas cokelat panas pada Tinka. Oh ya, selain gila warna biru, Tinka juga suka banget sama cokelat. Cokelat batangan, permen cokelat, susu cokelat, pokoknya cokelaaaattt...
"Yuk, Rock! Ready""" Let's go!" kata Tin
ka sambil mengepalkan sebelah tangan mirip peserta Benteng Takeshi.
Tinka dan Rocky langsung pamitan sama mama. Tak lupa mama memberi wejengan-wejengan dan bekal makanan buat di jalan. Rupanya subuh-subuh tadi mama membuatkan sandwich buat bekal mereka.
"Kita jemput siapa dulu, Rock"" Tinka mengait sabuk pengamannya. Udara pagi Jakarta dingin juga. Sialnya, Tinka lupa bawa jaket.
"Maya dulu, kali, rumahnya kan deket dari sini. Kalo masih ngantuk tidur aja lagi, Ka, yang nyetir gue ini," ucap Rocky sambil tetap menatap lurus ke jalan. Sesekali ia menyalakan wiper penghapus embun yang menghalangi pandangan.
Tinka merentangkan kedua tangannya. Ngulet. "Hoaahhmm, sebenernya gue emang masih ngantuk. Tapi gue ogah tidur lagi. Ntar kalo ada yang ganteng-ganteng lewat gue nggak liat, lagi, rezeki dipatok ayam deh," jawab Tinka. Ia sedikit terkejut dengan sikap gentle Rocky tadi. Uihhhm, macho.
Rumah Maya terlihat sepi. Pagarnya setinggi raksasa. Tinka memencet nomor HP Maya. Rasanya malas kalau harus turun dan memencet bel.
"Halo"" suara Maya menjawab telepon terdengar ceria, tepatnya centil.
"Non, kita udah di depan neeehhh, buruan. Kita masih harus jemput Rio."
"Iyaaa, bentar ya, bentar. Gue tinggal pake sepatu kok."
Ngapain dulu sih Maya" Padahal Tinka yakin dia pasti sudah bangun dari tadi. Dia kan yang paling semangat. Ini hari penting buat Maya, mana mungkin dia bangun kesiangan"
Lima menit kemudian terlihat Maya membuka pintu pagar. Tinka terkaget-kaget melihat Maya, dan kayaknya Rocky juga. Mata Rocky melotot dengan mulut mangap. Gila aja, Maya dandan abis-abisan. Rok jins mini
biru tuanya yang hipster, dipasangkan dengan kemben putih dan di luar kembennya, Maya pake jaket wol rajutan bermodel long coat mirip yang dipakai Rachel Green di serial Friends. Sepatunya tali-tali hak runcing warna putih, dan rambutnya... kayaknya ini yang dibikin lama-dikepang kecil-kecil acak. Keren sih. Tapi, halooooo""" Jalan-jalannya kan cuma ke Bandung, bukan ke London lagi musim salju" Oh iya, belum lagi kalung mutiara bundar-bundar yang bertengger di lehernya plus make up lengkap. Maya cantik banget, lebih tepat model siap show daripada backpacker.
"Sorry lama, ya, guys," sapanya sambil masuk ke mobil.
Tinka menyikut Rocky yang masih terbengong-bengong dan jadi patung. Ekspresi Rocky terlihat antara kagum dan bingung.
"Wah, pantes lama, ya"" gumam Rocky, yang disambut sikutan lebih kencang dari Tinka. Reaksi apaan tuh! tapi Maya malah tersipu-sipu malu karena merasa dipuji. Padahal kan belum tentu.
"Buset deh! Nggak ribet tuh, rok mini sama hak tingginya"" Tinka gatal pengin bertanya. Belum lagi tas jinjingnya yang ternyata anteng bertengger di tangan kiri. Rupanya Maya pol-polan buat hari ini.
Mobil Rocky melaju menuju rumah Rio. Tinka menerka-nerka, kira-kira Rio pakai baju apa, ya" Dia juga kan suka ajaib. Posisi duduk ditukar. Demi melancarkan misi Maya duduk di depan, Tinka ngungsi ke belakang. Alasannya Maya kan pakai rok mini, biar kakinya bisa selonjoran. Mana tadi buat naik mobil perlu perjuangan gitu. Tau sendiri, mobil Rocky tinggi banget.
Rio sudah berdiri dengan manis di depan rumahnya. Tinka sedikit mengelus dada lega, hari ini dandanan Rio normal. Jins sama kaos ketat ala distro yang dilapis jaket jins berwarna senada dengan celananya.
"Aduuuuuh, perginya kepagian nihhhh. Masih ngantuk!! Liat nih mata gue berkantong," rajuknya begitu masuk mobil. Kepalanya langsung nemplok di atas bantal yang memang dibawa Rocky.
Jakarta pagi itu masih sepi. Rocky menginjak pedal gas dalam-dalam. Jarang-jarang bisa ngebut di Jakarta pas jalanan lancar kayak gini. Sesekali mereka berhenti di lampu merah. Rio sudah mulai sibuk mengunyah bekalnya. Ternyata isi ranselnya berbagai macam jenis roti dengan berbagai macam rasa.
"Eh, gembul! Bagi-bagi dooooonggg. Buncit mendadak lho, bikin orang ngiler." Tinka mencoba meraih ransel di pangkuan Rio. Dengan sigap Rio menahan ranselnya. Persis orang utan kalau makanannya mau direbut. Jelek banget.
"Idih! Pelit." Tinka masih berusaha merebut rans
elnya. Rio malah memutar-mutar ranselnya gaya pivot kalau lagi main basket. Bukan basah ketek lho. Hehehe. Alhasil mereka berdua jumpalitan di jok belakang. Sampai akhirnya Tinka terjungkal dan jidatnya kepentok pintu. Bibirnya juga sukses mencium ujung sepatu Rio yang baunya amit-amit. Rio langsung mematung, sebentar lagi pasti ngamuk nih si kepala landak. Benar
aja. "Pelit banget sihhhhhhh! Kejedok pintunya sih nggak sakit, tapi punya temen pelit bikin malu lahir batin tau! Mana pake acara nyium ujung sepatu, lagi, IHHHHH! Ada nggak sih barang-barang lo yang dicuci kurang dari setaun sekali" Ini sepatu udah nggak dicuci berapa kali motong kambing sihhhhh""" BAUUUUUUU...!" Tinka ngamuk sambil menggosok-gosok bibirnya. Musnah sudah ciuman pertamanya. Bukan sama cowok keren, tapi malah sama ujung sepatu Rio.
Rocky ngakak dari balik spion. Rio langsung bersungut-sungut sambil manyun. Maya menahan napas, dia tau banget Rio paling malas mencuci barang-barangnya, kecuali kolor sama seragamnya. Yek!
"Jangan ngamuk dulu dong! Makanya dengerin dulu penjelasannya."
"Penjelasan apa"!" tanya Tinka galak.
"Rotinya udah punya jadwal, tau," sungut Rio.
"Hah" Jadwal" Jadwal, apa" Jadwal les" Roti keju les piano, roti cokelat les gitar, roti srikaya les balet, roti kacang les salsa, hihiihihihihehehehahahaha...!"
Dari maksudnya ngamuk, Tinka langsung ketawa ngakak. Nggak bisa ngebayangin roti-roti bulat nan gendut itu loncat-loncat di tempat les. Rocky dan Maya ikut tertawa. Marah apa melawak sih"
Bibir Rio langsung maju kayak hidung Pinokio. "Ya nggak gitu, bloon! Udah ada jam-jamnya gue mau makan yang mana. Ada urutannya, tau, makanya gue mau kasih roti yang belum punya jadwal. Jangan ngambil sendiri, kan musti gue liat dulu jadwalnya," sungutnya sambil mengaduk-aduk ransel rotinya.
"Dasar. Lo mimpi apaan sih" Ketemu raja roti" Roti kok punya jadwal, direktur iya punya jadwal," gumam Tinka. Langsung disambut timpukan roti raksasa di jidatnya.
"IKHLAS NGGAK SEEEEEHHHHHHHHH""" Tinka langsung men-smack down Rio yang menjerit-jerit minta ampun.
Rocky memegang perutnya karena geli. Tinka selalu bisa bikin suasana rame. Ada aja ulahnya yang membuat orang tertawa. Maya ber-haha-hihi kecil. Kayaknya memang perhatian lagi terpusat di Tinka. Semua orang happy dekat-dekat Tinka, termasuk Rocky.
Jam 08.45 mobil raksasa Rocky sudah antre di gerbang keluar tol Pasteur Bandung. "Ladieeeesss and gentle man, bangun. Udah nyampe niiiihh," teriaknya membangunkan tiga penumpangnya yang ngorok semua.
"Kita kemana dulu"" Tinka memeluk sandaran kepala Rocky. Wajahnya jadi begitu dekat dengan Rocky. Rocky menahan degup jantungnya yang bertambah cepat plus darahnya yang berdesir-desir. Mukanya bersemu merah.
"Emmm, Ka, kayaknya foto dulu. Iya, foto dulu, jadi kalo tugas fotonya udah beres, kita bebas jalan-jalan," jawabnya gagap.
"Kok muka lo merah gitu sih" Capek ya" Mau gue gantiin nyetir"" Tinka menepuk-nepuk pipi Rocky. Muka Rocky tambah merah. Tinka, Tinka, andaikan dia tahu.
Rocky betul-betul salut sama Tinka. Dia perhatian sama orang, selalu membantu orang, membuat orang senang. Dan dia sendiri nggak sadar. Tinka tuh baiiiikkk banget. Tanpa ada niatan apa-apa. Cuma baik.
"Nggak, gue nggak apa-apa kok. Kayaknya udaranya bikin muka gue merah."
"Rock, kita bakal ke FO nggak sih"" tanya Maya tiba-tiba.
"Lo pengen ke FO" Ntar kita mampir deh," jawab Rocky.
"Tapi kayaknya selesein tugasnya dulu deh, Rock." Tetap Tinka dengan segala perhatiannya.
Jalan-jalan di Braga sudah mulai macet. Terlihat orang lalu lalang berjogging menikmati hari Minggu. Rocky memarkir mobilnya di salah satu hotel. Dengan cuek Tinka mengeluarkan jurus turis mau jalan-jalan seperti di Ratu Plaza waktu itu. Sukses. Satpam hotel itu dengan senang hati mengizinkan mobil mereka parkir sepuasnya. Apalagi ada selipan uang rokok dari tangan mungil Tinka. Mereka memang harus jalan kaki supaya lebih leluasa memotret objek-objek yang bagus.
"Nggak bisa naik mobil aja nihh" Kan panas. Mana debuan, lagi." Maya kerepotan dengan dandananny
a sendiri merengek-rengek dengan suara lembutnya.
"Lo mau tunggu di mobil" Ntar gue nyalain AC biar nggak kepanasan. Cuma bentar kok," Rocky menawarkan.
"Iya deh," Maya setuju.
"Lo mau gue temenin, May"" tanya Tinka khawatir.
"Nggak usah. Lo jalan aja. Lagian lo lebih tahu Bandung, kan" Ntar Rocky nyasar, lagi. Rio mana bisa diandelin," tolak Maya. Dia nggak tega melihat Tinka yang semangat banget pengen ikut motret. Sebenarnya dia pengen sih ditemenin.
"Bener nih""
Maya mengangguk meyakinkan.
"Ya udah, tapi gue anter lo ke mobil deh," kata Tinka sambil berjalan di sisi Maya, mengantarnya ke mobil. Rocky semakin salut melihat perhatian Tinka pada sahabatnya.
Udara memang sudah agak-agak panas. Mobil sudah ramai berlalu lalang. Rocky membidikkan kamera ke gedung-gedung kuno dan suasana hilir mudik Braga. Sesekali ia memotret Tinka dan Rio yang dengan centilnya berpose tanpa malu-malu. Sampai-sampai seorang bapak tukang parkir tertipu. Disangkanya mereka sedang pemotretan majalah.
"Wah, ini teh lagi pemotretan majalah, Den"" tanya bapak itu antusias. Tangannya sibuk merapikan rambut klimisnya.
"Emangnya kenapa, Pak"" tanya Tinka iseng.
Si Bapak mengusap rambutnya sambil menaik-naikkan alis. "Yahhhh... kali aja perlu figuran tukang parkir gitu, Neng. Bapak bisa akting, sedikit-sedikit mah," katanya sambil lagi-lagi menaik-naikkan alis.
Rocky mengulum senyum. Memangnya sinetron, pakai figuran segala"
"Wahhhh, Pak. Ini pemotretannya nggak pake dibayar. Saya aja sukarelawan," jawab Tinka geli.
"Eta mah teu naon, Neengg, tidak apa-apa. Demi meniti karier di dunia potomodel, Bapak siap digratisin," ujarnya kocak. Sebelah tangannya mengeluarkan sisir plastik dari kantong belakang celananya.
Jadilah foto Tinka nyengir kuda dengan background bapak tukang parkir akting bertugas dengan mata melirik telak ke kamera. Tak lupa seyum genitnya yang menggoda.
"Kalo ada yang mau poto Bapak lagi, datang wae kesini. Bapak siap," pesan bapak itu saat Tinka, Rocky, dan Rio beranjak pergi. Serius rupanya bapak itu mau jadi model.
"Rocky, gue mau dong difoto." Rio pasang aksi di tiang lampu. Gayanya India banget.
Sudah hampir satu jam mereka berputar-putar di Braga. Objek foto yang mereka dapat sudah sampai satu setengah rol film. Ketiganya masih berjalan dengan semangat, meskipun udara Bandung sudah semakin panas. Bandung sudah tidak seperti dulu, sejuk dan asri. Polusinya sudah mirip Jakarta. Angkot-angkot menyalip-nyalip seenak perut. Belum lagi pengemis dan pengamen yang seliweran di mana-mana. Sementara bangunan-bangunan mal dan Factory Outlet semakin mewah, jalan-jalan semakin kumuh dan rusak.
"Kayaknya gue haus deh." Tinka menyeka keringat. Saking asyiknya, mereka belum berhenti sekali pun untuk minum. "Tas gue ada minumannya, tapi di mobil," keluhnya.
Rio mengangguk. "Iya. Mana roti jam sepuluh gue ketinggalan, lagi."
"Roti jam sepuluh, roti jam sepuluh! Suruh ganti sif aja!" omel Tinka.
Rocky menepuk-nepuk kepala Tinka. "Tuh ada warung, beli minum dulu yuk" Fotonya udahan kok." Mereka berjalan ke warung yang ditunjuk Rocky.
"Bang, cola dingin tiga," pesan Rocky.
GLEK, GLEK, GLEK. Setelah kehausan dari tadi rasanya segeeeeeerrrr banget.
"Satu lagi, Bang," Rio memesan.
"Ih, haus apa haus" Ntar roti-roti berjadwal lo kelelep, lagi. Udah pada dilesin berenang belum"" goda Tinka.
Rio manyun. "Yuk, ah. Kasian si Maya. Ntar kecantol satpam hotel, lagi." Tinka ingat Maya yang ditinggal sendirian di mobil.
"Boleh nggak beli minum satu lagi di plastik""
"RRRIIIOOOO... "
Mobil Rocky meluncur ke arah Bandung utara. Mereka memutuskan untuk makan siang di Lembang dan langsung ke Tangkuban Perahu. Diputuskan untuk ke tempat wisata dulu baru jalan-jalan di Bandung. Hiburan di Bandung kan buka sampai malam. Begitu memasuki kawasan Lembang, udara mulai terasa dingin. Tinka membuka jendelanya lebar-lebar. Di sepanjang jalan berderet pedagang kelinci. Tinka yang memang tergila-gila pada binatang menatap senang sambil menjerit-jerit melihat kelinci-kelinci lucu itu.
"Kita mampir yuk"" usul Rocky.
"Asyiiiiikk...!" sorak Tinka senang.
Mereka berempat turun di salah satu kios pedagang kelinci. Tinka langsung dengan semangat menggendong kelinci-kelinci itu satu per satu. Rio yang pada dasarnya penakut cuma berani mengelus-elus. Maya menatap geli. Buat dia kelinci itu sama kayak ayam. Cuma buat dimakan.
"Ka, awas lho. Bulunya bisa bikin bengek," bisik Maya tertahan.
Tinka malah memeluk kelinci kecil berwarna hitam di tangannya. "Ihhhh, Maya. Ini tuh lucu buangettt."
Maya bergidik. "Lo suka yang mana"" tanya Rocky tiba-tiba. Tangannya memegang beberapa ekor kelinci. "Pilih aja. Gue beliin deh sepasang, balesan parkit lo waktu itu."
Mata Tinka membulat senang. "Yang bener"" katanya riang.
Rocky mengangguk. Matanya tanpa sadar menatap senang pada ekspresi riang Tinka.
"Tinka, ntar nyokap lo ngomel lho, di rumah lo kan udah banyak banget binatang," ujar Maya, seperti tak rela Rocky membelikan kelinci buat Tinka. Ada perasaan cemburu di dalam hatinya. Kan dia yang menyatakan suka, kok Tinka yang dimanjain. Tapi buru-buru ditepisnya perasaan itu. Mungkin Tinka begini ini ya salah satu taktiknya supaya Rocky nggak curiga.
"Nggak mungkiiiiiin, nyokap gue juga maniak binatang kok." Tinka masih memeluk-meluk kelinci kecil.
"Pilih aja, lo suka yang mana," kata Rocky lagi.
Tinka bingung, semuanya lucu. "Gini aja, kan waktu itu parkitnya gue yang pilihin, sekarang kelincinya lo yang pilihin," kata Tinka sambil terus memeluk-meluk kelinci lain.
Rocky tersenyum riang. "Oke! Nih pilihan gue, jantan yang ini." Rocky menggendong seekor kelinci kecil hitam yang tadi dipegang Tinka. "Betinanya yang ini." Rocky mengangkat seekor kelinci putih yang sama kecilnya. "Suka nggak, item-putih" Kali aja anak-anaknya ada yang abu-abu, belang-belang, bintik-bintik."
"Tengkyuuuuu! Lucu banget nih! Ntar kalo beranak gue bagi deeehhh."
Rocky membeli dua kelinci sekaligus rumah-rumahan bambu alias kandangnya yang dijual di situ. Tinka meletakkan kandang berisi kelincinya di atas bak mobil Rocky. Mereka langsung makan di salah satu restoran ayam goreng di Lembang, dan langsung menuju Tangkuban Perahu di daerah Cikole. Perjalanan mereka melewati pohon-pohon pinus yang rindang. Tinka paling suka melihat suasana alam seperti itu. Apalagi Rocky. Dia tampak sangat menikmati perjalanan. Jendelanya dibuka lebar-lebar, angin bertiup kencang melalui kaca jendela.
"Kemping pasti asyik, ya"" celetuk Tinka.
"Boleh tuh masuk list rencana adventure kita," sambut Rocky gembira.
Maya menatap gelisah. Selepas makan dia cuma diam dan menatap ke luar jendela. Pikirannya berkecamuk antara menunggu momen besarnya hari ini dan pikiran bahwa Tinka dan Rocky sudah sangat akrab. Malah mereka punya list rencana adventure segala. Kok dia nggak tahu sih"
Bau belerang mulai menyengat hidung. Mereka sudah mulai mendekati tempat parkir yang terletak di atas. Rio batuk-batuk.
"Uuuuuhhh... baunya kayak kentut," keluhnya sambil menutup hidung.
"Alaaaaaaah, sok banget sih. Semua yang nempel di badan lo juga bau. Belerang bau-bau gini bagus untuk kesehatan. Ujung sepatu lo" Baunya udah menyebabkan sesak napas," ledek Tinka.
"Dooooooh, dendamnya masih belum tuntas, Jeng" Masih untung yang lo cium tadi baru ujung sepatu, gimana kalo ujung jempol" balas Rio nggak mau kalah.
"Iiiiiiiih, gue langsung bertapa di air terjun tujuh tingkat!"
Udara dingin dan bau belerang semakin menusuk ketika mereka sampai di pelataran parkir kawasan wisata. Pengunjung Tangkuban Perahu hari itu cukup ramai. Setiap Minggu tempat itu memang selalu penuh pengunjung. Rata-rata dari seputaran Jawa Barat.
"Katanya kita bisa turun ke kawah lho, bisa ngerebus telor segala. Atau bisa hiking mini muterin gunung, seru tuh," Rocky berkata penuh semangat.
"Boleh juga tuh, sekalian latihan otot-otot gue yang kaku," sambut Rocky. Tinka ikut mengangguk-angguk. Maya tampak tidak begitu antusias. Dengan dandanannya hari ini, dia lebih berharap jalan-jalan shopping dan makan di Bandung, terus nyatain cinta di kafe romantis yang berte
baran di kota kembang itu. kakinya terasa malas kalau harus "berpetualang". Semua mata menatapnya, belum lagi cowok-cowok kampungan yang jail bersuat-suit menggodanya.
Mereka berjalan turun sudah sekitar lima belas menit. Rocky begitu penasaran memasak telur di kawah. Jins baggy-nya agak basah terkena kubangan-kubangan kecil. Maya berjalan berjinjit-jinjit, berusaha untuk tidak jatuh. Tapi tampaknya sepatu hak tingginya justru paling kuat menancap tanah.
"Kayaknya lo harus beli sandal jepit deh. Bentar lagi lo bisa ngejungkel," Tinka berkata sambil memberi kode ke arah Maya. It's show time.
Maya cepat tanggap dengan kode Tinka. "Aduuuuh, iya nih. Kaki gue sakit, takutnya hak sepatu gue bentar lagi patah," Maya berakting. Sebenarnya memang iya, lama-lama hak sepatunya pasti patah dipake jalan di tempat kayak gini. "Anterin gue yuuuk"" Maya akting lagi sambil menatap Tinka.
"Aduuuuuuhhhh, kaki gue udah nggak sanggup kalo musti balik lagi ke bawah, kan jauh," tolak Tinka sambil mengedipkan sebelah mata.
"Gue aj-AUWWWWW!" Rio menjerit karena dicubit Tinka. Tinka melotot sampai matanya nyaris mencelat keluar. Rio langsung mengerti. "Aduuh, kaki gue juga. Kayaknya udah rada bengkak malah," ucapnya ngeles.
"Rocky, lo anterin Maya, ya" Gue sama Rio tunggu sini aja, di atas tadi kan ada warung yang jual sandal jepit. Oh iya, bawain gue bakwan, ya" Hehehe." Tinka meletakkan pantatnya di sebatang kayu yang melintang.
"Ya udah. Yuk." Rocky membantu Maya berjalan. Maya masih sempat melirik ke arah Tinka yang mengacungkan jempolnya, lalu mereka berdua kembali mendaki. Tinka menatap nanar. Dia kaget, tiba-tiba ada perasaan aneh melihat Rocky berjalan berdua Maya, apalagi Tinka tahu Maya bakal "nembak" Rocky. Tinka tambah kaget begitu sadar dia nggak rela Rocky pacaran sama Maya. Kerongkongannya tercekat. Apa-apaan ini" Dia menepis segala pikiran dalam dadanya. Seperti terlambat menyadari sesuatu, Tinka langsung menghibur diri dengan mengingat sepatu transparan yang dijanjikan Maya. Lagian memang ini yang dia mau, kan" Nyomblangin "
"Lo kenapa sih" Itu tadi kan kesempatan gue jalan sama Maya. Kok malah dilarang"" omel Rio. "Lo nyembunyiin sesuatu"" tembaknya lagi.
"Hah" Nyembunyiin apa maksud lo"" Tinka bertanya kaget.
"Lho, buktinya, jelas-jelas tadi itu kesempatan langka, tapi lo malah nyubit gue terus nyuruh-" kalimat Rio terputus.
"Apaan sih" Kok lo ngeliatin gue kayak gitu" Ada yang aneh di muka gue""
"Jangan bilang lo lagi nyomblangin Maya sama Rocky," lanjut Rio datar sambil menatap mata Tinka lekat-lekat.
"Ap-apa" Maksud lo apaan sih"" elak Tinka.
Rio mencengkeram bahu Tinka tiba-tiba. "Jangan bohong. Gue kenal banget sama lo. Iya, kan" Ngaku!" desaknya gusar.
Tinka diam. "Ka" Bener, kan, dugaan gue."
Tiba-tiba saja lidah Tinka mati rasa. "Ng-nggak. Gu-gue..." Tapi mata Rio betul-betul seperti menelanjangi. Tinka nggak sanggup! "Iya," jawab Tinka lemas.
Rio lebih lemas lagi. Matanya menatap kosong. Mulutnya menganga kaget. Pokoknya mengenaskan. "Tega banget lo."
Tinka diam menatap Rio. Mengakui. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya.
"Sekarang gimana"" tanya Rio. "Jadi lo belain Rocky" Jadi permintaan gue waktu itu cuma pura-pura lo terima"" emosi Rio naik.
"Yo, bukan gitu..."
"Terus" Terus apaaaa" Alasan lo apaaaaa""""
"Ini bukan misinya Rocky, tapi... misinya Maya," jawab Tinka nggak enak.
Kondisi Rio malah makin parah. Maya suka sama Rocky" Tinka bantuin Maya jadian sama Rocky""" Ini pengkhianatan besar-besaran!!! Rio diam sejenak.
"Yo"" panggil Tinka khawatir. Jangan-jangan ini anak mendadak gila saking stres.
Tiba-tiba Rio menoleh dramatis. "Tapi gue nggak dendam sama lo! Gue bakal buktiin kalo gue bisa bikin Maya berpaling ke gue!!! Rocky bakal dapet saingan!"
Tinka melongo. Dia malah makin nggak enak. Ini sih bakalan ruwet! Apalagi mengingat Rio sering nggak tahu malu!
Tinka membenamkan muka ke antara kedua lututnya. Dia nggak nyangka Rio begitu peka, "Terserah deh, Yo, yang jelas gue minta maaf."
Rio tersenyum. "Lo juga suka sama Roc
ky, kan"" Bagaikan disambar geledek Tinka langsung panik. "HAH""" Gosip banget lo! Fitnah! Tuduhan tanpa dasar!"
Makhluk aneh itu malah tambah senyam-senyum jail. "Alaaaaaaaaaaahhh... udah, lo ngaku aja! Gue juga udah tau. Emangnya gue kenal lo baru semenit" Seumur jagung" Seumur tikus putih""
"Seumur pohon jambu! Dasar tukang gosip."
"Ka, gue kasih tau, ya" Mendingan lo bertindak. Jujur pada diri sendiri. Daripada lo nyesel belakangan..." katanya sok bijak. Asli, tampangnya nggak cocok. Maksain banget.
Tinka mengucek-ngucek rambutnya yang nggak gatal. Semua pikiran berkecamuk jadi satu. Semua terlambat. Dia sadar terlambat. Tinka mengeluarkan sebatang cokelat dari ransel. "Lo mau, nggak" Katanya cokelat bisa bikin happy." Tinka menyodorkan cokelatnya pada Rio.
"Thanks for being a goodfriend ya, tapi udahlah, gue nggak apa-apa kok. Gue malah lagi berdoa nih, mudah-mudahan Maya sukses. Lo tau, nggak, gue bakal dapet apa""
Rio menggeleng. Menggaruk rambutnya yang seminggu nggak karmas.
"Sepatu impian gue,..." jawab Tinka sok ceria. Dia menggigit cokelatnya. Baru kali ini cokelat kesukaannya terasa pahit.
Maya menatap punggung bidang Rocky yang berjalan di depannya. Sesekali Rocky berhenti dan menoleh ke belakang untuk menolong Maya yang kerepotan jalan dengan sepatu haknya. Keduanya terdiam sepanjang perjalanan. Maya mengatur napas untuk mengumpulkan kekuatan. Rocky sama sekali bingung harus ngomong apa, sementara dia tahu inilah saat yang dibicarakan Tinka dan Maya.
"Rocky," panggil Maya pelan.
"Nah, tuh warungnya. Yuk," ucap Rocky berusaha mengulur waktu. Dia benar-benar bingung. Digandengnya tangan Maya untuk membantunya berjalan, matanya lurus ke depan.
Maya langsung duduk di kursi kayu yang sudah reyot. Tumitnya lecet-lecet, sakitnya minta ampun. Rocky terlihat sibuk memilih-milih sandal jepit yang tergantung di jendela warung.
"May, nih, cukup nggak"" Rocky menyodorkan sepasang sandal jepit merah.
Maya menerima sandal itu dan langsung meraih telapak tangan kanan Rocky. "Duduk dulu dong." Maya memberi kode agar Rocky duduk di sebelahnya.
Rocky menurut. "Kenapa, May"" tanyanya. Jantungnya bergemuruh hebat. Inilah saatnya, katanya dalam hati.
Maya bergerak-gerak gelisah. Ditariknya napas dalam-dalam. "Rock, emmmm, gue... "
"Gue pengen kenal lo lebih deket," kata Maya akhirnya.
Rocky menatap wajah Maya. "Maksud lo""
"Gue pengen lebih deket sama lo. Lebih dari biasanya," lanjut Maya penuh harap.
Rocky menundukkan kepala. Ia berpikir keras. Entah kenapa, yang terlintas di otaknya adalah kata-kata Tinka bahwa dia sangat ingin Maya dan Rocky jadian. Terbayang di matanya wajah berseri-seri Tinka yang selalu membela Maya, sahabat kesayangannya.
Kesimpulannya... "Boleh aja, May, boleh." Rocky menepuk pnuggung tangan Maya. Tidak ada kata "ya" atau "nggak", cuma "boleh". Dan Rocky benar-benar berharap Maya bisa mengerti.
Dan Maya ternyata mengerti....
Memang bukan jawaban itu yang Maya mau. Setidaknya lebih romantis sedikit. Tapi Rocky si pemalu yang grogian, bisa jawab "boleh" pada Maya. Tiba-tiba Maya begitu senang hingga tak sadar matanya sudah berair. Terharu. Dia nggak pernah nyangka bakal segampang ini. Bakal sesederhana ini. Begitu cepatnya Rocky menyetujui. Rasanya Maya pengen lompat tinggi-tinggi sambil teriak-teriak. Tapi dia cuma memeluk lengan Rocky. "Makasih banget ya! Aduuuuuhhh, gue sampe lemes banget," katanya sambil langsung bergelayut manja di lengan cowok barunya itu. Maya sempat merasa Rocky gemetar. Mungkin dia masih grogi.
Rocky melepaskan pegangan Maya dan bangkit dari kursi. "Yuk, nanti Tinka sama Rio kasian kelamaan nunggu," ajak Rocky. "Sepatu lo masukin ke kantong plastik aja. Bentar ya, gue mintain dulu."
Maya melepaskan sepatu hak putihnya dan menggantinya dengan sandal jepit yang dibelikan Rocky. Maya berjanji dalam hati untuk menyimpan sandal jepit merah itu. Barang pertama yang dia terima dari Rocky.
Rocky kembali dengan kantong plastik hitam. "Nih," Rocky menyodorkan kantong plastik itu pada Maya. Di tangan kirinya mene
nteng sepasang sandal jepit baru berwarna biru.
"Sandal birunya buat siapa"" tanya Maya.
"Buat Tinka. Kasian dia, nanti sepatunya basah, lagi. Kita kan mau main-main di air anget di bawah nanti," jawab Rocky sambil memasukkan sandal itu ke kantong hitam yang sama.
Tinka dan Rio mengunyah cokelat sambil memandang pemandangan sekitar Tangkuban Perahu yang asri. Udara siang itu mulai semakin menusuk ditambah bau belerang yang menyengat.
"Tuhhhh mereka. Wooooiiiii, lama banget seeeeeehhh"" Kita nyaris jadi patung es, you know. Kalo diem duingin bangeeeeetttt," Rio berteriak menyambut Rocky dan Maya.
"Bakwan gueeeee"" timpal Tinka, menyembunyikan kecemasannya. Entah kecemasan apa.
Maya memandang Rocky ketika mereka sampai di hadapan Tinka dan Rio. "Boleh nggak gue bilang sama mereka" Mereka kan sobat kita," tanya Maya. Rocky mengangguk.
Maya menatap Rio dan Tinka bergantian. Lalu seakan tak bisa menahan senyum, Maya nyengir lebar banget. "Guyyyys, kenalin nih, Rocky. Cowok gue," katanya dengan mata bersinar-sinar senang.
Rio tercengang. Tinka, entah apa perasaannya. Lututnya lemas. Antara bahagia misinya berakhir dan kecewa, entah karena apa. Kehilangan Rocky" Sedetik kemudian dia tersadar. Dengan sikap seceria mungkin ia menepuk pundak jangkung Rocky.
"Rocky, my man! Lo berhasil menggaet Maya" Huebat, huebat, dia susah lho suka sama cowok! Selamat, selamat, kapan kita makan-makan" By the way, bakwan buat gue mana""""
Rocky menatap Tinka dengan tatapan yang nggak bisa diartikan, lalu tersenyum. "Bukan bakwan. Nih, sandal jepit! Ntar sepatu lo basah, lagi." Disodorkannya kantong plastik pada Tinka.
Tinka membuka bungkusan itu. Dia terkesiap. Darahnya berdesir. Sandal jepit biru. Warna favoritnya. " Thanks," ucap Tinka sambil menelan ludah. Pahit.
Sementara Rio tampak syok karena tak menyangka mereka bakal jadian hari ini juga. Ini sih gila!
Perjalanan pulang menjadi lebih hening. Setelah mengantar Maya yang berkeras ingin belanja di FO, mereka langsung pulang ke Jakarta. Tinka tertidur lelap. Selain lelah, dia seperti kehilangan semangat untuk cerewet seperti biasanya. Begitupun Rio, sepanjang jalan suara ngoroknya terdengar berisik. Daripada melihat pujaan hatinya bermesra-mesraan dengan cowok lain, mendingan tidur. Sesekali suara Maya terdengar berusaha mengajak ngobrol Rocky yang tampak begitu serius menyetir mobilnya.
"Kasian Tinka, capek banget kayaknya dia," ucap Rocky pelan. Dia berhenti sebentar dan mengambil selimut dari kantong kursi. "Ka, pake nih. Dingin. Ntar masuk angin," katanya sambil menepuk halus bahu Tinka.
"Mmmmm, thanks, Rocky." Tinka menarik selimut ke tubuhnya lalu membaginya dengan Rio, lalu tidur lagi.
"Rock, gue juga ngantuk nih," kata Maya ketika Rocky sudah kembali serius menyetir.
Rocky menepuk tangan Maya. "Tidur gih, gue nggak apa-apa kok."
Maya tidur dengan sedikit bimbang. Rocky bahkan tidak menawarinya selimut.
Dan semua orang pun terlelap. Kecuali Rocky, dengan segala macam pikiran berkecamuk di kepalanya.
NGGAK terasa sudah seminggu jadian. Pulang-pergi sekolah bareng, ke kantin bareng, jalan-jalan bareng. Maya benar-benar berusaha selalu berduaan dengan Rocky. Tinka yang biasanya sering bersama Rocky, kini rela berduaan dengan Rio. Mereka semakin jarang nongkrong bareng. Bahkan ngobrol dengan Maya atau Rocky pun jarang, karena di kelas pun Maya dengan bangganya duduk di dekat Rocky setiap ada waktu kosong di sela-sela jam pelajaran. Tentu bikin panas dan iri cewek-cewek fans Rocky yang biasanya selalu bergerombol di situ. Kehadiran Maya sebagai pacar resmi Rocky mau nggak mau bikin mereka semua harus menyingkir. Belum lagi akhir-akhir ini Rio mendadak jadi makin overacting cari perhatian Maya. Bikin pusing. Yang tambah bikin ribet, Rio jadi hobi curhat.
"Ohhhh, si Maya. Dia sih emang jaringnya cowok-cowok. Kirain si Tinka. Kalo dia sih, gue berani bersaing lah ya. Kalo Maya... tunggu dudanya aja deeehhh," celetuk Agni saat pertama kali tahu.
"Iya, si Maya sih level tinggi. Gue pikir dia nggak tertarik," sambung Dea.


Miss Cupid Karya Mia Arsjad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kuping Tinka p anas banget. Rio langsung menepuk pundak Tinka.
"Dasar cewek-cewek gatel! Nggak ada Maya juga Rocky nggak bakalan mau sama lo-lo pada. Buktinya tiap hari lo semua dicuekin. Masih berani banding-bandingin sama Tinka. Dia ini orang yang paling akrab sama Rocky, tau! Daripada lo semua... "
"Udah-udah, percuma lo ngomong sama mereka." Tinka menarik tangan Rio yang berteriak-teriak berang untuk duduk kembali. Dia benar-benar nggak terima Tinka diperlakukan begitu. Rocky dan Maya yang belum balik dari kantin tidak tahu apa yang dialami Tinka hari ini.
"Yeeeeee... kirain lo cemen, Yo! Lo bisa juga ya, marah-marah belain orang. Nah, lo pacaran aja. Kayaknya lo cinta sama Tinka," serang Dea sengit. Mereka semua langsung pergi sambil cekikikan.
Rio semakin geram. Dia berkeras ingin mengadukan kejadian tadi pada Rocky dan Maya. Tapi Tinka melarang. Dia pikir pasti percuma. Rocky nggak bakalan sanggup menghadapi gerombolan cewek itu. Tinka dan Rio merasa hari-hari setelah Rocky dan Maya jadian begitu berbeda. Nggak seceria biasanya. Biasanya Rocky rajin main ke rumah Tinka, seminggu ini tidak pernah sama sekali. Dia begitu sibuk mengikuti acara Maya kemana-mana. Shopping, salon, kafe, senam, dan segudang kegiatan lain, yang dulu selalu dilakukan Maya bersama Tinka atau sendirian. Maya juga tidak punya waktu lagi buat Tinka dan Rio, otomatis Rocky pun begitu.
"Lo kok bisa diem gitu sih, Ka" Biasanya juga lo sadis kalo marah." Rio heran.
Tinka membolak-balik buku PR-nya. "Ah, males gue ngeladenin yang begituan. Lagian mereka juga udah bete berat, kan, Rocky udah punya pacar," jawabnya setenang mungkin.
"Kenapa sih lo nggak ngaku aja kalo lo suka sama Rocky"" Rio mulai lagi. "Rio, please deh," jawab Tinka males. Rio mengangkat bahu.
Tak lama kemudian Rocky dan Maya kembali dari kantin. "Ka," panggil Maya ceria.
Tinka menoleh ke arah Maya yang sudah kembali ke bangkunya. Maya melambaikan tangan memanggil Tinka.
"Bentar ye," ucap Tinka pada Rio.
Maya tampak sibuk mengaduk-aduk tas besarnya, mencari sesuatu. "Ada apa Nyonya Rocky"" goda Tinka.
"Ihhh, rese." Maya memukul lengan Tinka. "Nih," katanya sambil menyerahkan bungkusan pada Tinka.
"Hehehe," Tinka cengengesan sambil menerima bingkisan dari Maya. Isi bungkusan itu sepatu yang dijanjikan Maya. "Asyiiikkk, sepatu baru. Ngeceng ahhhhh... "
"Eh, May, lo suka mawar, nggak"" celetuk Rio.
"Hah"" "Mawar. Bunga mawar."
Maya makin bingung. "Iya, gue tau. Bunga mawar. Kenapa emangnya""
"Emm... ntar gue beliin, ya"" kata Rio sok perhatian.
Maya menatap Tinka heran. Penuh tanda tanya. Waktu itu nawarin cokelat, terus dua hari lalu nawarin ikat rambut... sekarang mawar"
Tinka mengangkat bahu. "May, jalan yuk"" ajak Tinka. Rasanya kangen banget sudah seminggu mereka jarang sama-sama.
"Kemana"" tanya Maya sambil menyisir rambut. Sejak jadian, Maya makin hobi dandan. Sedikit-sedikit ngaca, yang jelas dia jadi makin cantik.
"Ke mana kek. Eh, ada butik baru lho. Kesana aja yuk"" tiba-tiba Tinka teringat butik baru yang diceritakan mama tadi malam. Mama tahu butik itu dari anak teman mama yang hobi banget belanja.
"Gimana, ya" Kayaknya gue nggak bisa deh, Ka. Sori ya"" jawab Maya dengan wajah memelas.
"Emangnya lo mau ke mana""
Maya memandang Rocky yang sedang sibuk ngobrol dengan Sandy dan Ray. Akhir-akhir ini pun Sandy dan Ray agak kehilangan Rocky. Apalagi Sandy. Soalnya Ray masih bisa bertemu dengan Rocky pada saat latihan sepak bola.
"Gue mau nonton sama Rocky," sambung Maya. Matanya menatap Tinka minta maaf.
"Yaaaaaa, mentang-mentang penganten baru, udah lupa ya sama kita berdua," Tinka melirik ke arah Rio.
"Eh, gimana kalo kita ikutan nonton"" celetuk Rio. "Nonton apaan sih, May" Gimana, Ka, kita ik-AWWWW!!!!!" jerit Rio kenceng waktu ujung jempolnya diinjak Tinka dengan gemas.
"Ya udah deh. Have fun, ya, Say," kata Tinka sambil melotot ke arah Rio. "Sori banget ya""
Akhirnya sore itu Tinka jalan-jalan berdua Rio. Mereka makan siang bareng di warung nasi rames dekat sekolah. Mobil raksasa Rocky melintas. Rocky dan M
aya melambai ke arah mereka. Tinka menghela napas, mungkin mereka memang lagi pengen berduaan.
"Pesen gih," Tinka membuyarkan lamunan Rio yang tampak sakit hati dilewati begitu saja. Bibirnya dimaju-majukan ke depan dengan pipi gembung karena sibuk cemberut. Mukanya jadi mirip ikan kembung. Jelek banget.
"Lo sihhhh," kata Rio tiba-tiba.
"Apaan sih""
"Coba tadi kita ikut. Paling nggak si Rocky sekarang nggak berduaan aja sama Maya..." sungut Rio, tetap dengan bibir manyun.
"Lho, kok lo sewot" Ya biarin aja mereka berduaan. Mereka kan pacaran."
Jawaban yang bikin bete. Rio makin merengut. "Kok lo gitu sih" Lo kan tau gue naksir Maya" Terus janji lo sama gue gimana" Gue kan klien lo. Hayo""
Tinka menggeleng-geleng. "Tau ah!"
"Mustinya lo aja yang jadian sama Rocky," sungut Rio sambil terus pasang muka ikan kembung.
"Yeeeee, kok ngatur"" Tinka ngakak lihat muka Rio yang kembang-kempis.
Plaza Senayan sore itu tidak terlalu ramai. Akhirnya Rio sama Tinka jalan-jalan ke PS, gara-gara Rio yang ngotot menolak pergi ke butik. Cewek banget, katanya. Akhirnya mereka memutuskan jalan-jalan di mall.
"Mau kemana nih"" Tinka menjawil lengan Rio.
"Tau. Bingung gue. Makan aja yuk""
"Busyet, itu perut apa karung beras" Amit-amit, kita kan baru aja makan." Perut Tinka masih kenyang banget.
"Ya, kalo gitu mau ngapain""
"Udah deh. Masa Maya sama Rocky doang yang nonton, kita nonton aja yuk"" Tinka menyeret tangan Rio menuju bioskop. Rasanya suntuk banget.
Tinka nggak tahu kenapa dia harus bete. Masa iya gara-gara Rocky" Tinka nggak mau Rio tahu. Dia sendiri yang waktu itu bilang kalau dia rela Rocky jadian sama Maya. Malah dia juga yang bilang sama dirinya sendiri kalau dia memang senang misinya buat Maya berhasil. Tapi rasa kehilangan tetap ada dalam hati Tinka. Rasanya dia kehilangan dua sahabatnya sekaligus.
Apalagi Rocky. Dibandingkan Maya, Rocky sebenarnya lebih sering mengisi waktunya akhir-akhir ini, mengingat dia dan Rocky punya hobi dan minat yang sama. Dia jadi ingat sepasang kelinci yang diberikan Rocky waktu mereka pergi ke Bandung, juga sandal jepit biru yang diam-diam Tinka simpan rapi di kamarnya. Entah kenapa sandal jepit itu punya arti besar buat Tinka. Belum lagi sekarang Tinka musti mikirin Rio yang tetap maksa mau ngedeketin Maya.
"Eh, landak! Kok malah bengong sih" Mau nonton apaan"" Rio menyadarkan Tinka dari lamunannya. Mereka sudah tiba di depan loket bioskop. Mata Rio mencari-cari judul film baru yang terpajang di atas loket.
Tinka mengedarkan pandangan ke sekeliling bioskop. Lalu ia mengajak Rio melihat-lihat poster film yang dipajang di seputar bioskop. Ini memang kebiasaan Tinka. Dia paling suka melihat-lihat gambar cuplikan film yang akan diputar. Menurut Tinka, yang gambarnya paling oke, itu yang harus ditonton. Matanya tertuju pada cuplikan gambar film animasi lucu, tentang kucing yang tenar banget, Garfield. Stiker lucu bergambar Garfield menempel di kaca. Tiba-tiba...
"Ups, sori." Seseorang menyenggol Tinka. Akibatnya dompet yang dipegang Tinka terjatuh. Cewek yang tadi menyenggol Tinka membungkuk untuk memugut dompet Tinka.
Tinka terkejut bukan kepalang saat cewek itu berdiri dan menyerahkan dompet itu padanya. " Thanks," jawab Tinka gugup. Dia lalu buru-buru menyusul Rio yang sedang serius mengamati gambar-gambar film lain yang dipajang.
"Yo, Yo, darurat, darurat!" seru Tinka.
"Apaan sih"" Rio bingung. "Kenapa, sakit perut" Tuh WC, takut, ya" Mau gue temenin"" tebak Rio sekenanya.
Tinka melotot. "Sialan! Sini, sini!" ujarnya sambil menarik Rio ke sudut bioskop yang agak sepi. Mata Tinka celingukan mirip detektif swasta yang lagi cari buruan. Belum lagi wajahnya kelihatan supergelisah. Gimana nggak" Cewek yang tadi itu Oik! Oik-nya Dika! Tinka sempat melihat punggung cowok yang menemaninya, dan dia yakin itu bukan Dika. Tinka menceritakan kejadian tadi pada Rio.
Oik memang keterlaluan. Dari tempat Tinka dan Rio berdiri, terlihat Oik bergelayut manja di lengan cowok itu. Cowok itu terlihat sudah berumur dua puluhan lebih, yang jelas palin
g tidak sudah mahasiswa. Atau mungkin eksekutif muda. Tinka makin panas ketika melihat Oik dengan cueknya berangkulan dengan santainya di depan umum. Ugh!
"Ih, gilingan! Masa yang kayak begitu si Dika mau"" Rio mencibir geli.
"Ssssst, jangan kenceng-kenceng. Kita harus cari cara nih, buat ngejebak uler keket itu!" bisik Tinka geram. Untung Oik belum pernah kenal Tinka. Dengan leluasa Tinka dapat berkeliaran di sekitarnya. Tinka benar-benar ingin tahu film apa yang mereka tonton. Dilihatnya Oik berdiri di depan loket dan membayar tiketnya. Tinka langsung mengeluarkan HP-nya dan memencet nomor.
"Halo, Dika""
"Emmmmhh... kenapa, Ka"" sahut Dika.
"Di mana lo""
"Di rumah, kenapa""
Tinka menceritakan apa yang dia lihat dengan semangat. Dika ngotot itu mungkin oom atau saudara Oik. Dia benar-benar tidak bisa terima apa yang diceritakan Tinka, dia terlalu sayang sama Oik. Bujukan Tinka akhirnya
berhasil. Dika mau menyusul ke PS untuk menyaksikan sendiri apa yang diceritakan Tinka.
Setengah jam kemudian Dika tiba di bioskop. Sayangnya, Oik dan pacarnya sudah masuk ke studio. Tinka geram banget pengen Dika melihat kelakuan Oik. Selama ini Dika selalu membela Oik, padahal Tinka tahu pasti cewek itu cuma memanfaatkan Dika. Hari ini bisa dibilang hari yang paling ditunggu-tunggu Tinka, buat membuktikan sama adik satu-satunya itu kalau selama ini dia dan mama benar. Bahwa Oik itu brengsek.
Mereka bertiga duduk di kafe selama menunggu Oik keluar dari bioskop. Hampir dua jam lamanya mereka menunggu. Akhirnya Oik terlihat keluar dari bioskop. Tangannya masih bergelayut mesra di lengan cowok pasangannya. Sambil bercanda dan terkikik genit, Oik dengan cuek sesekali mengusap pipi cowok itu. Oik melirik Dika yang tampak tegang. Rahangnya mengencang marah. Baru kali ini Tinka melihat Dika segarang ini.
"Gue harus ke sana," ucap Dika dingin. Matanya menatap tajam.
"Gila lo, jangan ribut di sini," tahan Tinka.
"Udah tanggung, Ka," Dika pergi sebelum Tinka dan Rio sempat menahannya. Mereka berdua cuma bisa menahan napas, siap-siap menyaksikan apa yang bakal terjadi.
Dika menghampiri Oik yang sedang asyik bermesraan. Tangannya menyentak tangan Oik dan membuat cewek itu menghadap ke arahnya. Wajah Oik pucat seketika.
"Jadi ini maksud lo nganter Nyokap ke supermarket" Jadi sekarang nyokap lo udah berubah jadi cowok"" cecar Dika sengit. Napasnya tersengal-sengal marah. Dia sudah tidak memerdulikan tatapan orang-orang. Dika benar-benar murka.
"Dika"" Cuma itu yang keluar dari mulut Oik.
"Lo emang cewek bensin! Matre! Nyesel gue nggak dengerin Tinka. Ternyata emang bener, lo emang... lo emang... murahan!" maki Dika pedas. Ia langsung membalikkan badan dan pergi meninggalkan Oik yang terbengong-bengong malu. Wajahnya merah menahan tangis. Sementara cowok yang bersamanya dengan kurang ajar pergi meninggalkan Oik, tampaknya malu berat atas kejadian tadi. Dia melenggang pergi. "Sori, Ik, gue nggak tau lo punya cowok," ucapnya sebelum pergi.
Tinka tersenyum penuh kemenangan. Ber-tos ria dengan Rio.
Hari ini memang tidak terlalu menyenangkan buat Tinka. Rocky dan Maya yang cuek. acara nonton yang gagal, dan adiknya memergoki sang pacar selingkuh. Tapi paling tidak, hari ini Dika menyaksikan sendiri kebusukan Oik. Paling tidak, mulai hari ini adiknya tidak lagi menjadi bulan-bulanan
Oik. Tinka mengintip dari balik pintu kamar Dika. Sejak pulang dari mall dan insiden Oik tadi sore, Dika mengurung diri di kamar. Mama khawatir setengah mati. Yang paling parah, Dika mogok makan. Artinya dia lagi superstres. Biasanya, selalu rajin berebut makanan sore alias kue-kue enak buatan mama sama Tinka. Hari ini" Sekarang sudah nyaris makan malam, tapi Dika belum juga keluar dari persembunyiannya. Dia asli jadi tikus mondok. Ngumpet di balik selimut sambil melamun. Mama jadi kelabakan dan mengultimatum Tinka untuk menengok adiknya yang lagi patah hati. Huh, mama nggak tau aja, Tinka kan juga lagi setengah patah hati.
TOK... TOK... Hening. "Dik"" Tetap hening. Tinka mendorong pintu kamar Dika hingga sed
ikit terbuka. Dilihatnya adik semata wayangnya sedang melamun memandang ke luar jendela. Drama abis. Ternyata Dika sentimental juga. Tinka berjingkat-jingkat menghampiri Dika. Dia berjalan sepelan mungkin, takut Dika kaget terus kena serangan jantung saking kagetnya.
"Dik, lo disuruh Mama makan tuh," ucap Tinka pelan.
Dika memalingkan wajahnya yang suntuk dan menatap Tinka sekilas. "Nggak ah. Gue kenyang, ntar aja."
"Kenyang" Emang lo abis makan apaan"" tanya Tinka heran. Setahunya, dari tadi Dika sama sekali belum makan apa-apa. Minum juga belum.
"Makan ati!" jawab Dika dingin.
"Yeeeeee, jangan gitu dong. Lo yakin nggak papa kalo cumi-cuminya gue yang abisin"" ancam Tinka.
Dika menggeleng lemas. "Nggak. Makan aja gih, kali aja lo jadi jago renang. Lo kan berenangnya bego," katanya asal. Bisa-bisanya dia ngeledek kelemahan berenang Tinka pada saat kayak gini.
"Ih! Kok gitu" Mentang-mentang patah hati jadi sensi. Lagian emang gue mau berenang gaya cumi-cumi"" Tinka ngeloyor pergi.
Dika kayaknya masih syok berat. Syok stadium tinggi. Belum bisa diajak ngomong lagi. Bagusnya memang harus dibiarin menyendiri dulu, biar tenang. Paling-paling nanti kalau lapar turun sendiri.
"Mana Dika"" tanya mama yang sibuk membereskan meja makan.
"Biarin aja dulu, Ma, namanya juga lagi patah hati. Makan tak enak tidur tak nyenyak," Tinka berdangdut ria. Dia jadi ingat ungkapan, kalau lagi jatuh cinta semua terasa enak. Sampai-sampai tahi kucing rasa cokelat. Berarti sekarang" Dika kan lagi patah hati berat, artinya cokelat rasa tahi kucing dong" Uweeeeeeekkkkkk... kayaknya Tinka mau libur dulu makan cokelat sejam.
"Mama udah tau dari dulu, si Oik itu memang nggak bener," umpat mama.
Tinka mengangguk-angguk semangat. "Selama ini kan Tinka yang paling dirugikan. Si Kuning jadi sering mogok, bensinnya ludes, belum lagi Dika hobi ngutang buat nraktir si centil itu. sekarang bebaaaaassss... tapi kasian Dika. Kayaknya dia betulan cinta sama uler keket itu. ugh!"
"Biarinlah, Ka, si Dika kan juga harus belajar," lanjut mama sambil mencomot sepotong ayam.
Mama dan Tinka akhirnya makan malam berdua. Sampai larut malam Dika sama sekali tidak keluar kamar.
TINKA bengong sendirian di kamar. Hari Minggu. Biasanya pagi-pagi gini, Rocky bakal nongol dengan baju jogingnya yang penuh keringat, minta sarapan di rumahnya. Mungkin Rocky sekarang lagi sibuk nganterin Maya senam atau ke salon, kebiasaan Maya tiap hari Minggu.
Tinka bisa bayangin, Rocky pasti hampir mati kebosenan. Dia kan paling nggak tahan kalau harus duduk diam, mana Maya kan bukannya sebentar di salon. Istilah Tinka, daripada Maya yang ke salon, mendingan salonnya yang ke rumah Maya. Kalau bisa mas-mas dan mbak-mbak tukang salonnya ajak nginep sekalian, saking lamanya perawatan yang dijalani Maya tiap Minggu.
Hari ini bakal jadi hari paling suntuk sedunia. Bayangin aja, Rocky punya pacar, Dika jadi tikus mondok (masih dengan aksi patah hati bergelung di bawah selimut), Rio ikut-ikutan kabur ke puncak sama teman-teman SD-nya. Boseeeeeeeennnnn...
"Tinkaaa," suara mama bikin Tinka melompat dari tempat tidur. Kagetnya minta ampun.
"Apa, Ma""
"Ada Maya niiiihhhhh," jerit mamanya lagi. Buat apa sih Mama pasang interkom ke ruangan-ruangan kalau masih pake cara tradisional alias teriak-teriak begitu"
"Suruh masuk ke kamarku aja, Ma," jawab Tinka lewat interkom. Sayang dong, udah masangnya lama, nggak dipake. Mama kadang-kadang suka gaptek. Tinka curiga, jangan-jangan mama nggak pake interkomnya gara-gara bingung harus mencet tombol yang mana. Hehehe...
"Tinkaaaaa," Maya menyeruak masuk dan langsung menyeruduk Tinka sampai terjengkang di atas kasurnya.
"Aduuuuuhhhhh, kenapa sihhhh" Kangen sih kangen, tapi jangan jadi banteng gini dongggggg, sakit, tau!" Tinka mengelus-elus kepalanya yang kejeduk tembok.
Maya buru-buru mengusap kepala Tinka. "Aihhhh.... maap, maap. Sakit
ya"" "Uhhhh. Nggaaaaaaakkkkk, cuma benjol," jawab Tinka judes.
"Jangan ngambek dong, jangan sekarang. Gue lagi SOS nihhhh, SAR, SAR, perlu bantuannnnn, mau curhaaa
aatttttttt," Maya merepet.
Tinka membetulkan posisi duduknya. Apa lagi nih" Kemarin cuek bebek, sekarang datang-datang SOS. Dasar bebek nggak punya pendirian. Tinka siap-siap menarik napas, Maya kalau curhat panjaaaaaaaaaaanggg... banget. Kadang-kadang ada iklannya, saking panjangnya materi curhatan Maya. Tinka juga harus siap-siap fisik, takutnya dia pingsan karena kelamaan konsentrasi dengerin isi curhat Maya.
Tinka menatap sohibnya sekilas, mukanya ditekuk-tekuk, kayaknya serius nih. Kadang-kadang Tinka pengen bilang sama Maya kalau dia bisa mendeteksi kadar kemarahan Maya dari jumlah tekukan di mukanya. Yakin seyakin-yakinnya, Maya pasti ngamuk kalau Tinka bilang dia bisa lihat tekukan mukanya. Itu sama saja Maya gagal merawat muka. Jadi, mendingan Maya belum perlu tahu tentang tekukan mukanya.
"Kenapa sih" Histeris amat." Rekor nih. Kalau ini gara-gara Rocky, berarti cowok itu memenuhi syarat untuk masuk Guinness Book of Record karena bisa membuat Maya uring-uringan sampai histeris.
Maya paling jarang curhat gara-gara cowok sampai histeris, dia paling cuek kalau soal pacaran, paling anti pusing masalah cowok. Kalau curhat paling gitu-gitu aja, belum pernah sampai histeris gini. Yang dulu-dulu, kalau mulai rese atau nggak cocok, ya udah putus. Gampang banget deh. Apalagi Maya kan banyak yang ngantrein.
Maya menyandarkan punggung di tembok sambil selonjoran di kasur. Dia kemudian membuang napas panjang. "Kesel, tau nggak gue," katanya sambil cemberut. "Rocky tuh bener-bener bikin gue bingung," lanjutnya masih bersungut-sungut.
"Emang kenapa si Rocky" Lo kan baru pacaran dua minggu, May, sampe histeris gitu... dua minggu kan masih masa bulan madu." Boleh juga nih Rocky, baru dua minggu bisa bikin Maya panik begini.
"Lo ngomong deh sama dia, pleaseeeeeee," tembak Maya.
"Hah" Kok gue" Lagian gue musti ngomong apa" Ada-ada aja," tolak Tinka.
Maya langsung menatap Tinka memelas. Yang begini nih, Tinka paling sebel. Tatapan berbintang-bintang ala Sinchan, yang akhirnya pasti bikin Tinka menyerah lalu menuruti kemauan Maya. Dasar.
"Tuh kan, tuh kan... lo jangan mulai deh. Jangan pake jurus mata sedih gitu
deh." "PLEASE...!" Maya makin ngotot melihat Tinka nyaris luluh.
Tinka diam. "Tinka, PLEASEEEEE... demi gue... kan lo kenal baik sama dia. Ya" Ya""
Tinka garuk-garuk kepala.
"Ka, upeti tambahan dehhhhh..." Rayuan maut terakhir.
Tinka menyerah. "Iya deh, iya. Dasar rese lo ya. Usaha mak comblang gue kan nggak termasuk asuransi berantem. Gue lagi mau istirahat, tau, mau menikmati masa-masa liburan," omel Tinka.
Maya cuek aja. Biar Tinka ngomel-ngomel yang penting dia setuju mau membantu. Titik.
"Ada apa sih"" tanya Tinka.
"Kesel gue, Ka. Rocky kayak nggak serius gitu sama gue, padahal gue udah pol-polan, tau, buat dia. Hari ini tuh harusnya dia jalan sama gue, dibatalin coba. Jelas-jelas dia janji sama gue udah dari dua hari yang lalu, tiba-tiba Sandy bilang ada rapat strategi atau apa lah di ekskul bola, tapi dadakan. Nggak bisa gitu dong, kan jarang-jarang latihan bola off gitu, kok tahu-tahu pake rapat strategi segala. Gue sih nggak papa kalo dia nggak ada janji sama gue, tapi ini kan udah janji..." sungut Maya panjang, sepanjang gerbang rel kereta ekonomi.
Maya menarik napas. "Dia kan udah latihan sepak bola dua kali seminggu. Kan jarang-jarang hari Minggu dapet libur, hari ini juga libur gara-gara Minggu tenang sebelum mulai latihan intensif mulai minggu depan. Tuh coba, mulai minggu depan kan udah padet banget, pasti nggak ada off-nya," sambung Maya berapi-api. Saking semangatnya, Maya sampai melotot-melotot garang. Tinka jadi takut.
"Terus nih, Ka, yang paling gue sebelin, paling bete-in, dia cuek, gitu lho! Cuma bilang gini nih, 'May, sorry ya, gue musti rapat, perginya lain kali aja.' Gitu. Terus dia cabut, padahal gue udah dandan giniiiiii...
SEBEEEEEEEELLLLLLLL!!!!!"
Tinka menatap Maya. Dia baru sadar Maya rapi banget, ready to nge-date, gitu deh. Hehehehe, tapi pas Rocky pergi, dia langsung ke sini tanpa ganti baju. Rok dan sweater mininya masih melek
at manis di badannya. "Ya, nggak pa-pa kali. Kan jarang-jarang dia batalin janjinya," bela Tinka.
"IH! Kok lo belain dia sih"! Biasanya dia nggak ada janji lain, artinya dia nggak harus milih, jadi artinya beda. Ini beda, dia harus milih antara gue yang udah dijanjiin duluan, sama rapat bola yang dadakan itu! Milih, Ka, milih!" tegas Maya nggak rela.
Duh, kok Maya jadi ribet gini sih" Masa gitu doang ngamuknya sampai gila-gilaan gini, gimana kalau si Rocky selingkuh" Bisa mental pohon-pohon di kebun dia tiup. Kayaknya percuma nih berdebat sama Maya pas lagi kayak gini, pasti makin lama malah makin ngotot. Makin lama, makin lapeeeeeeeeeerr... sekarang kan sudah masuk jam makan siang.
"Iya deh, iya, ntar gue coba ngomong. Tapi gue nggak janji, ya" Gue aja nggak tau mau ngomong apa. Menurut gue sih si Rocky nggak salah-salah amat," tukas Tinka polos.
Maya langsung melotot. "Iya, iya, Rocky salah," ralat Tinka.
Maya nyengir lebar. "Gitu donggggg, you're my very best friend!"
Dasar. Dia yang pacaran, Tinka yang repot.
Tinka memencet nomor telepon Rocky. Maya ada-ada saja, jadi dia terpaksa nelepon Rocky, padahal sejak Rocky pacaran sama Maya, Tinka jarang banget ngobrol sama Rocky. Kesempatannya ngobrol ya di sekolah, bareng Maya. Rocky juga jadi jarang menelepon Tinka. HP dan telepon rumahnya harus selalu stand by, kalau sewaktu-waktu Maya menghubungi. Main ke rumah Tinka juga jarang. Kayaknya Rocky kecapekan banget.
"Halo"" suara Rocky yang agak serak menjawab telepon.
Tinka sempat gugup. Dia kaget ketika tiba-tiba dadanya berdegup kencang. Apa-apaan sih" "Hei, Rocky, gue nih. Tetanggaaaa..." Tinka buru-buru menetralkan suaranya.
"Weitsss! Ada angin apa nih"" suara Rocky terdengar senang.
"Emmm... gue mau ngomong," ujar Tinka to the point. Makin lama ngomong sama Rocky, jantungnya makin nggak karuan.
"Ngomong apa""
Tinka terdiam sebentar. Setelah beberapa detik, ia menceritakan maksudnya, tentang Maya yang datang ke rumahnya terus curhat habis-habisan. "Dia sampe histeris gitu, Rock, kayaknya dia bener-bener sedih deh," Tinka menekankan.
Terdengar Rocky menarik napas. Lalu diam.
"Rock"" panggil Tinka.
Rocky berdehem. "Rock," panggil Tinka lagi.
Rocky menghela napas berat. "Tinka, lo tau nggak" Gue capek banget hari ini. Hhhh... pas denger lo yang nelepon tadi, gue semangat lho, lo kan selalu ceria gitu. Tapi ternyata lo mau nyampein pesennya Maya, ya"" kata Rocky, lalu langsung cepat-cepat melanjutnya. "Tapi nggak pa-pa lah. Lo udah susah-susah nelepon gue, ngasih tau gue. Besok gue jelasin ke Maya, oke"" jawabnya lemas.
"Nahhhhh, gitu doooonggg... thanks ya" Ya udah, gue mau bobo dulu." "Ka"" panggil Rocky menggantung.
"Apa"" "Nggak deh. Nggak jadi. Sleep well deh. Gue janji nggak bakal ngecewain lo," tukasnya.
"Thank you, Rocky, gue emang nggak salah ngandelin lo." "Lo tetep selalu bisa ngandelin gue kok," sahut Rocky pelan. Tinka tidak mendengarnya. "Apa, Rock"" "Nggak... ya udah, ya" Gue capeeeeeekkkk." "Okeeeeeeee... dah Rocky!"
Beres. Tapi tadi apa maksudnya, semangat waktu tahu Tinka yang nelepon"
Tinka memencet nomor telepon Maya.
"Heh, ibu negara! Masalah lo udah beres."
"Aduuuuuuuhhhh, makasih ya""
"Makasih-makasih," omel Tinka.
Tinka nggak ngerti sama Maya. Rocky segitu baiknya, masih juga kurang. Maunya cowok yang kayak gimana sih" Padahal tiap hari Rocky ngikutin Maya kemana-mana. Rela nunggu di salon, nunggu di tempat senam, nunggu shopping. Jarang-jarang kan ada cowok model kayak gini"
Tinka jadi ingat salah satu cowok Maya yang dulu, Sion. Anak kuliahan tingkat dua. Boro-boro nungguin di salon, jemput sekolah aja walau Maya cuma telat semenit ngamuknya persis godzilla. Tinka pernah marah sama Maya gara-gara Sion. Maya kok mau-maunya dibentak-bentak di depan umum. Sion memang keren, ganteng, kaya, tapi pshyco! Untung akhirnya Maya sadar terus putus. Kalo nggak... Tinka bisa nekat menghajar Sion sampai babak belur. Kalau perlu sewa preman. Tapi ini Rocky. Rocky hampir nggak pernah nyakitin hati cewek, saking baiknya. Masiiiiii
iiiihhhh aja kurang. "Dia bilang apa"" tanya Maya penasaran.
"Dia bilang, besok lo liat aja. Lapor ya sama gue""
"Hehehehe... " "May, update twitt yuk""
"Hah"" "Jangan lupa pake hastag #Rockymayabaikan ." "Sip deh!"
"Ya udah ah, gue ngantuk nih!" "Met bobo ya""
"Iya, iya, udah ah... gue kangen nih." "Sama siapa"" Maya terlonjak kaget. "Sama Rio." Tinka menutup teleponnya lalu cekikikan geli.
TINKA sukses berat bikin Rocky minta maaf sama Maya soal rapat strategi bola waktu itu. Rocky langsung minta maaf sama Maya dengan kata-kata yang manis. Apalagi sebelum tidur Tinka sempat mengirim SMS berisi pesan-pesan sponsor supaya dia berkata-kata manis. Maya senengnya nggak ketulungan. Dengan tulus ikhlas dan penuh rasa cinta, Maya memberi Tinka kemeja keren warna biru muda. Tinka suka banget sama kemeja barunya, tapi Maya jadi sering minta tolong hal yang sama ke Tinka. Hampir setiap ada masalah sama Rocky, Maya selalu mengadu dan minta Tinka ngomong sama Rocky. Tinka tetap dengan kelemahannya; tatapan bintang-bintang ala Sinchan dan akhirnya ngalah dan mau bicara sama Rocky. Usaha Maya sukses, Rocky selalu menuruti kata-kata Tinka. Dalam waktu satu kali 24 jam, cling! Rocky langsung jadi seperti apa yang Maya mau. Gampang, kan"
Hari ini tim Rocky bakal tanding sepak bola lagi. Rocky dan teman-temannya kelihatan siap tempur. Sandy terus-menerus heboh membahas strategi pertahanan di kelas bareng Rocky.
"Ka, lo nggak bisa terus-terusan manjain Maya kayak gitu," tegur Rio di parkiran siang itu.
"Manjain apa"" Tinka berlagak pilon.
"Ya gitu... masalah Rocky. jangan jadi bego mendadak deh."
Tinka terdiam sejenak. "Gue kan cuma nolong cari jalan keluar," kata Tinka bela diri. "Lagian, emang kenapa sih" Lo cemburu" Takut kalo mereka berdua makin nempel" Waktu nerima lo jadi klien, gue kan nggak ngejamin berhasil."
Rio memutar bola matanya kesal. "Tinka, lo jangan pura-pura nggak ngerti gitu lah. Lo juga tau kan lo tu sebenernya nyampein apa yang Maya mau, dan lo tau banget Rocky nggak pernah bisa nolak permintaan lo. Bukannya itu manjain Maya namanya"" sungut Rio panjang-lebar. Kalau ngomel Rio bisa berubah jadi ibu-ibu arisan.
"Yeeeeee... bukan salah gue dong. Rocky kan bisa aja nolak, dianya aja nggak pernah nolak," balas Tinka.
Rio mengangkat bahu. "Terserah lo deh. Tapi nanti kalo ada apa-apa, gue nggak ikutan ya" Gue udah ngasih tau lo," tegas Rio serius.
"Hihihi. Kok lo bisa serius gini sih" Udah ah! Ntar lo jadi keriput lho, kebanyakan serius. Otot muka lo kan nggak kuat dipake serius... mending lo mikir strategi buat deketin cewek selain Maya. Nggak tega gue kalo lo nungguin Maya yang cinta mati gitu sama Rocky."
Tinka tau kok, selama ini tindakan dia itu salah. Tapi mau gimana lagi" Ditolak kasihan Maya, diterima satu saat pasti ada akibatnya. Maya terlalu keenakan, dia mau Rocky berubah jadi cowok idamannya. Kriteria impian cewek-cewek. Ganteng, pintar, baik, dan penurut.
"Lo mau nonton bola nggak"" Tinka menstarter si Kuning.
"Pulang dulu, ya" Ganti baju dulu." Rio mengibaskan tangan di depan badannya yang masih terbungkus seragam.
"Keganjenan! Mau ngecengin siapa sih di stadion bola" Langsung aja ah, males gue nyetir bolak-balik, mana yang nebeng nggak bisa nyetir," ledek Tinka.
Rio cemberut. "Ya udah... tapi makan dulu, ya""
Tinka memacu mobilnya ke kedai nasi di dekat sekolahnya. Tinka suka ajaib kalau lagi laper. Pernah dulu Tinka maleeeeeeeeeees banget kalau harus berhenti buat makan, jadi di perjalanan pulang waktu itu-yang macet banget-hampir satu jam setengah, Rio yang tadinya cuma merengek-rengek biasa tiba-tiba jadi heboh. Pertama-tama mulutnya monyong kayak ikan mas koki, megap-megap. Habis itu dia melenguh kayak anak sapi. Katanya perutnya asli nggak kuat lagi. Katanya cacing-cacing di perutnya lagi demo.
"Cacing di perut lo nggak demo lagi"" sindir Tinka.
"Nggak, tepat waktu sih. Lagian ini kan tanggal muda, jadi baru pada gajian." Rio melahap sepotong besar tahu goreng.
"Hmmm, kalo demo lagi pecat aja, cari cacing baru," seloroh Tinka a
sal. Makanan di kedai ini enak-enak semua. Rio makan hampir tiga piring, antara lapar dan menderita busung lapar, rakus banget. Tinka habis satu setengah piring. Mereka langsung menuju lapangan bola setelah puas makan.
Tampaknya semua orang pengen duduk di tempat strategis. Baru jam tiga, tribun nyaris penuh. Aneka spanduk dan poster pendukung dari sekolah-sekolah dipasang di seluruh penjuru stadion. Tinka sendiri bawa telapak tangan raksasa, yang dia bikin sendiri karena terinspirasi Joey di serial Friends. Pokokknya dia sudah siap berheboh ria, apalagi Rocky jadi kapten lagi.
"Maya mana ya"" celetuk Rio.
"Ah, paling di bawah bareng Rocky di tempat pemain, kan dia pacarnya kapten," jawab Tinka cuek, matanya memandang sekeliling. Kali aja ada cowok keren dari sekolah tetangga. Sambil menyelam makan ikan. Minum air mah biasa. Mending makan ikan, kenyang.
Pertandingan berjalan sukses. Sekolah Tinka lagi-lagi unggul. Mereka menang 3-1. Tinka jejingkrakan kayak orang utan waktu Sandy dan Rocky menyarangkan bola. Sampai-sampai Pak Kusno, guru kesenian, yang ikut nonton langsung memeragakan tari Kecak Bali di tengah-tengah tribun saking senangnya.
Sampai pertandingan berakhir, Tinka sama sekali nggak melihat Maya. Rocky sih dia lihat. Sampai HP-nya berdering pas dia sampai di rumah.
"Halo"" "Tinkaaaa... " rengek Maya panjang. Apa lagi nih"
"Rocky bener-bener nggak punya perasaan..."
"Kenapa lagi" Dia nggak mau nganterin lo""
"Bukaaaaannnnnn... "
"Dia milih bola lagi dibanding elo""
"Bukaaaaaaaaannnn... "
"Dia nggak mau nungguin lo di salon""
"Bukkkaaaaannnnnn... dia nungguin gue, dia milih gue daripada bola. Malah tadi selesai tanding dia mau nganter gue ke toko buku," jelas Maya.
"Terus kenapa dong"" Tinka heran.
"Dia emang nurutin semua mau gue, nggak pernah mentingin yang lain lagi, tapi dia kayak robot. Ngikut gue kemana-mana tapi dieeeeeeeeeeemmmmmm... melulu. Gue tanya, jawabnya seupil, kadang-kadang malah ngangguk sama geleng doang. Dia bener-bener kayak nganggep gue nggak ada. Dia serius nggak sihhhh"""" cerocosnya.
"Mayaaaa... lo bener-bener deh. Jangan kayak anak kecil gitu dong. Oke, kali ini gue ngomong lagi sama Rocky. Tapi ini yang terakhir kali, ya," sahut Tinka agak kesal.
"Bener, ya""
"Ya. Tapi inget, ini terakhir kalinya," ujar Tinka tegas.
*** Tinka meminta Rocky menemuinya di tukang sate dekat tikungan rumah mereka. Malam itu dingin juga, sampai Tinka harus pake sweter. Rocky datang pakai kaos oblong abu-abu dan celana training. Sambil berjalan tangannya dimasukkan ke saku celana. Matanya kelihatan capek banget.
Kayaknya dia sama sekali belum sempat istirahat.
"Hei," sapa Tinka.
"Hei. Udah lama"" Rocky duduk di bangku kayu tukang sate. "Belum."
"Ada apa, Ka"" tanya Rocky sambil menatap Tinka. Matanya agak merah.
"Sori ya, ganggu malem-malem gini. Ini masalah Maya," jawab Tinka takut-takut.
"Kenapa lagi Maya"" raut muka Rocky tiba-tiba berubah.
Tinka meneguk Cola-nya karena gugup. "Emmm, Maya bilang lo kok jadi dingin sih" Terus..." Tinka membeberkan ceritanya. Wajah Rocky terlihat resah.
"Lo mau gue gimana"" tanyanya. Nadanya mulai aneh. "Lo marah, ya"" Tinka menatap Rocky ragu.
"Nggak, nggak... udah, bilang aja gue harus gimana"" tukasnya tak sabar.
"Emmm... gimana kek, lo perhatian dikit kek, jangan terlalu cuek. Ngertiin perasaan Maya juga dong. Inget lho, dia sobat gue, lo jangan nyakitin dia," serang Tinka tanpa ampun.
Tiba-tiba wajah Rocky berubah marah. Bibirnya dikatup rapat, rahangnya mengeras. "Ngertiin perasaan Maya"" tanyanya dingin. "Lo nggak salah""
"Kok lo jadi marah gitu sih"" Tinka ikut panas.
"Iya jelas aja gue marah! Lo minta gue ngertiin perasaan Maya, terus pernah nggak lo mikir ngomong sama Maya supaya dia ngertiin perasaan gue, hah" Lo pikir selama ini apa gue masih kurang" Gue harus nganter Maya ke salon, shopping, ke kafe, senam, nggak ngumpul sama anak-anak lagi... gue jadi sopir Maya tiap hari, dan lo anggep gue masih nggak ngertiin Maya"!" sembur Rocky terengah-engah.
Tinka terdiam. Melihat itu, Rocky melanjutkan dengan berang. "Semua yang gue lakuin akhir-akhir ini kesukaan Maya!!! Gue nggak pernah lagi ngelakuin apa yang gue suka, semua kesukaan Maya, sampe gue nggak boleh deket sama lo!!!" teriak Rocky panas.
"Apa"" tanya Tinka nggak percaya.
"Iya! Gue nggak boleh deket sama lo. Maya cemburu. Gue nurutin semua kemauan Maya. Kalau bukan demi lo..." Rocky berhenti mendadak, kaget karena omongannya sendiri.
Tinka memandang Rocky tak percaya. "Apa""
Rocky diam. "APA"" Tinka bertanya gusar.
Rocky memegang bahu Tinka. "Gue suka sama lo. Gue sayang sama lo. Semua yang gue lakuin cuma demi lo... "
"Tapi... " potong Tinka.
Rocky meletakkan telunjuknya di bibir Tinka. "Gue denger waktu lo ngomong sama Maya. Gimana lo pengen banget Maya seneng. Gue tau lo mau Maya jadian sama gue. Gue pengen bikin lo seneng, gue nggak tau gimana caranya bikin lo seneng. Gue pikir kalo gue nurutin mau lo supaya gue jadian sama Maya, lo pasti seneng banget. Gue pengen liat lo seneng," lanjut Rocky lemah.
"Tapi gue nggak pernah tau." Tinka lemas. Lututnya serasa mau lepas, dia nyaris tak kuat berdiri lagi.
"Lo nggak pernah merhatiin tanda dari gue." Tatapan Rocky menerawang.
"Sekarang gue udah nggak mau gini lagi. Gue capek. Maya bikin gue stres. Gue mau putus."
Tinka terbelalak. "Jangan!" Tinka mencengkeram tangan Rocky. "Dia pasti marah banget sama gue, dia pasti kecewa. Maya nggak boleh kecewa, dia- dia-dia nggak pernah diputusin cowok."


Miss Cupid Karya Mia Arsjad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rocky menatap Tinka iba. Tangannya mengelus rambut cepak Tinka. "Lo bener-bener nggak ngerti. Ya udah lah, kalo emang itu yang bikin lo seneng. Yang penting gue udah lega."
"Gue nggak seneng, gue..."
"Udah, nggak pa-pa." Rocky mengelus pipi Tinka.
"Gue... gue," Tinka merasa lidahnya benar-benar kaku.
Antara sadar dan tidak, Tinka berlari meninggalkan Rocky. Apa-apaan ini" Rocky keterlaluan, kenapa pada saat kayak gini sih" Dia kan pacaran sama Maya, sobat karibnya. Siapa bilang Tinka nggak sayang sama Rocky. Memangnya siapa yang selama ini mengorbankan perasaan" Menjodohkan sobatnya sama cowok yang dia suka. Siapa bilang Tinka nggak cemburu" Rocky keterlaluan. Dia mikir apa sih, sampai bisa bilang begitu" Lihat Rocky jalan sama Maya adalah hal paling menyakitkan buat Tinka.
Tinka merebahkan tubuh di atas kasur. Bingung harus ngapain. Dia pengen teriak. Tapi mama pasti kaget, bisa-bisa dia disangka gila. Dika masih di kamar, belum keluar-keluar. Mama bisa panik kalau kedua anaknya jadi aneh. Baru sekali Tinka merasa kayak gini, dia harus gimana"
I can wait forever... alunan suara Air Supply terdengar miris dari radio. Kok bisa sih lagunya kayak gini" I can wait forever, if you say you'll be there too... Tinka langsung mematikan radionya dengan kesal. Bikin orang tambah sedih aja.
"Kamu kenapa sih"" tiba-tiba mama sudah berdiri di ambang pintu.
Tinka buru-buru duduk dan mengusap matanya yang nyaris menangis.
"Nggak papa. Lagunya Air Supplytuh, bikin merinding aja," jawabnya asal.
Mama tersenyum penuh pengertian.
Tinka bingung bagaimana besok ia harus bersikap bila bertemu Rocky. Maya.
Belum pernah Tinka suka pada seseorang seperti Rocky. Belum pernah Tinka benar-benar jatuh cinta sampai rela berkorban kayak sekarang ini. Tinka ingat cowok-cowok yang pernah jadi kecengannya. Semua nggak ada yang istimewa. Apa memang sudah waktunya dia jatuh cinta" Kenapa jadi rumit begini" Dia nggak mau Rocky putus sama Maya. Dia nggak mau Maya kecewa.
SUASANA di sekolah jadi terasa aneh. Tinka berusaha menghindar dari Rocky. Maya juga diam. Rio jadi kebingungan.
"Kalian kenapa sih""
"Lagi keabisan bahan pembicaraan," Tinka menjawab malas. "Maya sama Rocky marahan" Kok diem-dieman gitu"" "Lagi keabisan juga, kali." Rio makin bingung. "Kantin yuk"" ajak Rio. "Nggak ah, nggak laper."
"Aneh banget sih. Ya udah kalo nggak mau cerita, gue ke kantin dulu. Tapi gue siap ngedengerin lho." Rio bangkit dari bangkunya karena perutnya minta diisi.
Rocky berjalan menghampiri Tinka. "Hei," sapanya.
"Hai. Maya mana"" Grogi rasanya harus ngomong di situasi kayak gini.
" Ke WC. Lo nggak pa-pa"" tanya Rocky khawatir.
"Nggak. Lo mending ke sana lagi deh, sebelum Maya balik," usir Tinka halus.
Rocky mengangkat bahu dan beranjak pergi, namun ia sempat berhenti sebentar. "Ka, lo nggak harus selalu ngorbanin diri lo buat orang lain. Ada saatnya lo harus mikirin diri lo sendiri juga," tuturnya pelan. Ada kekecewaan terpancar di mata Rocky.
"Maya sahabat gue, Rock," jawab Tinka datar.
Rocky berlalu. Rasanya ada yang hilang. Hari-hari Tinka yang biasanya selalu ceria tanpa mengenal halangan, tiba-tiba jadi muram. Dia hanya melamun seharian. Pelajaran nggak ada yang masuk. Mungkin sudah hampir satu kotak kapur habis buat nimpuk Tinka. Dari warna merah, putih, biru, malah ada tutup spidol segala. Semua numpuk di meja Tinka, dari guru-guru yang berbeda. Yang ditimpuk tak kunjung sadar. Malah makin parah.
Maya dan Rocky tetap ke mana-mana bareng, padahal sebagai orang yang lagi pacaran, mereka berdua itu jarang ngomong. Rocky tampak betul-betul berusaha buat Tinka. Yang bikin Tinka tambah pusing, Maya masih rajin curhat dan minta tolong sama dia gara-gara sikap Rocky yang dianggap kurang perhatian. Tinka iya-iya doang, tapi dia sama sekali nggak bilang apa-apa sama Rocky.
*** "Tinka, Mama mau ngomong," ucap mama saat Tinka pulang sekolah. "Ada apa, Ma"" Tinka duduk di samping mama.
Mama mengusap kepala Tinka. "Kamu kenapa sih" Wali kelas kamu tadi nelepon Mama. Katanya kamu jadi sering ngelamun di kelas. Cerita dong... " kata mama.
"Ugh. Bawel banget sih guru-guru itu"" gerutu Tinka, "Bisanya ngadu sama Mama."
"Hus! Nggak boleh gitu. Maksudnya kan baik. Ada apa sih, Ka" Kamu
nggak pernah kayak gini. Sekali-sekalinya kamu kayak gini kan waktu si
Momon monyet kamu sakit terus mati. Parkit kamu ada yang sakit""
"Iiih, Mama. Nggak." Tinka menghela napas. Kayaknya dia memang harus cerita sama mama. Selama ini kan dia selalu terbuka sama mama. Lagian mama kan orangnya asyik. Dia selalu punya solusi, selalu punya cara.
Tinka selalu lega kalau habis cerita ke mama. Masalah ini juga jadi lebih baik, jadi Tinka pun bercerita.
"Gitu, Ma," tutupnya di akhir cerita.
"Tinka, Tinka... kirain Mama kamu kenapa." Mama merangkul bahu Tinka.
"Mama... ini masalah besar," rajuknya.
"Iya, iya... dasar kamu. Tinka, kamu harus percaya sama Maya." "Maksud Mama""
"Dia kan sahabat kamu. Kamu rela berkorban buat dia, bantuin dia. Seharusnya kalau dia sayang sama sahabatnya, dia juga pasti rela berkorban buat kamu," nasihat mama bijak.
"Ma, tapi Maya tuh nggak tau kalau Rocky suka sama aku."
"Lama-lama juga dia pasti tau." Mama mengusap bahu Tinka dengan sayang. Tinka memang bikin mama bangga.
*** Suara cempreng pengamen menjadi backsound Tinka yang sedang melamun.
"Cukup sekali aku merasaaaaaaaaa...a...a...a... kegagalan cinta... takkan
terulang kedua kaliiiiiii.. di dalam hidupkuuuuuu...
OOOOOOOOO... ya nasib, ya nasibbbb... mengapa beginiiiiiii... baru pertama bercinta, sudah menderitaaaaaa..."
"Mamaaaaaaa... kasih uang tuh pengamen... nyindir, kali. Biar cepetan pergiiiiii!" jerit Tinka dari dalam kamar.
"Oooooo... lagi ada yang mengalami kegagalan cinta ya, Bu" Ya nasib, ya nasib dooooongggggg," kata pengamen bencong itu. Kurang ajar.
Tinka meneruskan lamunannya. Dia melamunkan kata-kata mama tadi. Bener juga sih, harusnya Maya juga mau berkorban buat dia, kan dia sahabat Maya. Tinka lalu ingat kata-kata Rio juga, terus kata-kata Rocky. Apa iya, Tinka terlalu cuek sama diri sendiri" Cuma mikirin orang lain" Tinka kan maksudnya baik, dia care sama Maya. Lagian dia pikir Rocky pasti senang kalau bisa jadian sama Maya.
"Ka... " Entah muncul dari mana, tahu-tahu Maya sudah duduk di sampingnya.
"Hah" Lho.... kapan dateng lo" Kok nangis sih" Matanya bengkak gitu." Tinka panik. Antara takut ketahuan melamun soal Maya dan takut Maya kenapa-kenapa. Matanya asli sembap.
"Gue putus." "APAAAAAAAAAA""""""" jerit Tinka. Sialan Rocky, udah dibilang jangan nyakitin Maya. "Kurang ajar! Ayo, biar gue ngomong sama dia! Berani-beraninya bikin lo kayak gini
!" ujarnya berang. Maya buru-buru mencegah. "Jangan, Ka."
"Kenapa" Lo rela diginiin""" Lo kan nggak pernah nangis gara-gara
cowok!!!" "Bukan dia kok yang mutusin, tapi gue," jawab Maya.
Tinka terbelalak. "APAAAAAA""" Kenapa" Dia masih bikin lo kecewa""
Maya menggeleng. "Nggak, gue kok yang salah. Gue yang mutusin dia, pas dia minta maaf sama gue karena selalu bikin kita berdua kecewa."
"Lho" Terus kenapa lo putusin""
Maya mendesah. "Gue pikir nggak ada gunanya kali, Ka, pacaran model gini. Dia cuma nurutin apa yang kita perintahin ke dia. Bukan kemauan dia sendiri. Malah kalau gue pikir-pikir nih, kayaknya dia nggak bakalan nurut andai yang bilang gue, bukan lo... "
"Tapi, May... "
"Udahlah, biarin aja, abis gimana" Gue juga males jalan-jalan sama robot, dieeeeeeeemmm melulu. Dia emang nggak terlalu sayang, kali sama gue."
"Tapi lo nangis."
"Sekali-sekali nangis pas putus cinta boleh, kan"" jawab Maya diplomatis.
Tinka tercenung. Baru dipikirin, baru dilamunin, kejadian. Memang perasaan nggak bisa dipaksain. Semua kata-kata Rio benar. Akhirnya pasti ada akibatnya, mulai dari Rocky marah-marah histeris malam itu, sampai Maya yang tak disangka-sangka mutusin Rocky pake acara nangis segala. Kalau dipikir-pikir, ini semua gara-gara Tinka. Kayaknya misi mak comblangnya yang satu ini terlalu maksa buat pihak Rocky. Tinka mengingat-ingat kembali, Rocky memang belum pernah barang sekali pun bilang kalau dia suka sama Maya. Dia cuma bilang Maya cantik, feminin, udah. Kok Tinka bisa bego gitu, ya" Jelas-jelas sasarannya nggak ada rasa sama Maya, kenapa dia sama sekali nggak curiga sih" Hari-hari Maya mengadu juga Tinka sama sekali belum sadar, Rocky sebenarnya sama sekali bukan peduli soal Maya. Cowok itu cuma nurutin Tinka. Benar kata mama, Tinka cuma ngorbanin perasaan sendiri.
*** Kejadian sore itu semakin bikin semuanya serba canggung. Maya kikuk kalau ketemu Rocky, Tinka juga. Semua balik seperti semula. Maya sudah kembali lagi jalan bertiga dengan Rio dan Tinka. Rocky kembali asyik dengan Sandy dan Ray. Hubungan Tinka dan Rocky semakin aneh. Setelah putus dari Maya, terus semua jadi berantakan.
"Lo berdua jadi pada garing deh," cetus Rio hari itu. Semangat Rio tumbuh lagi begitu tahu Maya putus. Dia semakin semangat mengeluarkan jurus-jurus mengejar cewek yang dia dapat dari majalah remaja.
"Ih, apaan sih" Emang kita kerupuk"" jawab Tinka sekenanya.
"Tuh, kaaaaaan... garing." Rio cemberut. Semuanya jadi aneh banget. Masa sih Tinka jadi pendiam" Semua order ditolak, alasannya dia mau cuti. Memangnya dia pegawai bank apa, pakai acara cuti-cuti segala"
"Rio, sekarang kesempatan lo buat jadi yang terlucu di antara kita," saran Maya asal.
Manyun Rio makin menjadi-jadi. Tapi mendadak senyum lagi. "Eh, , kita nonton yuk"" Dasar nggak tahu keadaan.
Mata Tinka serta merta melotot seperti baisa.
"May, lo pasti nggak nyesel mutusin Rocky, kan"
ADUUUUUUHHHHH!!!!!" Kaki Rio diinjak keras oleh Tinka. Pertanyaan apaan tuh" Mau bikin suasana makin keruh"
"Nggak," jawab Maya pendek. "Lagian gue sekarang lagi PDKT sama Justin koklanjutnya enteng. Tapi langsung bikin Rio drop. Justin" Memangnya Maya buta" Nggak lihat ada Rio"
"Apa"" tanya Tinka tak percaya. "Lo kan baru putus dua hari""
"Ya, dalam waktu dua hari, gue berusaha ngobatin sakit hati gue. Terus gue ketemu Justin, anak IPA 3. Emangnya gue belum pernah cerita"" tukasnya santai.
Rio melongo. Hah" Yang benar saja" Dalam waktu dua hari"
Perasaan Tinka jadi tak keruan. Dia marah pada Maya. Dia dapat kesempatan pacaran sama Rocky, sementara Tinka" Cuma bisa menyimpan semuanya dalam hati dengan miris. Cuma bisa menatap mereka berdua. Sekarang" Baru putus dua hari Maya sudah bisa jatuh cinta sama cowok lain. Apa semuanya sama sekali tak berarti buat Maya" Semua usahanya" Bahkan Maya belum pernah sekalipun cerita soal Justin. Kenapa waktu mau ngedeketin Rocky, Maya harus minta tolong sama Tinka" Kenapa harus Rocky" Kenapa semuanya nggak adil buat Tinka"
"Cerita" Lo lupa ingetan, ya" Sejak lo ngadu terakhir kali sa
ma gue waktu itu terus lo putus, lo mana pernah ceitaaaaa"" Tinka meledak. Semuanya mulai keterlaluan. Memangnya Tinka dianggap apa" Bahkan sahabatnya sendiri yang selalu ia perjuangkan, sama sekali nggak peduli.
"Lho, Ka"" Maya panik.
"Lo emang keterlaluan, May! Kenapa sih lo sama sekali nggak pernah mikirin perasaan gue"! Lo cuma sibuk sama perasaan lo sendiri. Lo nggak adil!" teriak Tinka histeris. Dia bangkit dari kursi taman tempat mereka bertiga duduk, lalu berdiri ke arah parkiran mobil.
"TINKA!" Maya berusaha mengejar, tapi dicegah Rio.
"Udah, gue aja. Dia terlalu banyak sakit hati," ucap Rio pelan sambil menyusul Tinka.
Tinka bersandar di mobilnya dan menangis sejadi-jadinya. Kenapa sih semuanya jadi begini" Gara-gara cowok, semuanya jadi berantakan. Perasaan Tinka nggak keruan. Dia agak menyesal membentak-bentak Maya seperti tadi.
"Ka..." Rio mengusap punggung Tinka yang berguncang hebat. "Lo jangan nangis gini dooooonggg... gue kan jadi ikut sedih..."
"Yooo..." Tinka menyurukkan kepala di dada Rio. Ternyata dada Rio bidang juga. Tinka jadi merasa nyaman. Rio mengusap-usap kepala Tinka.
"Kenapa jadi gini sihhh"" Huhuuuu..." tangisnya makin keras.
"Udahlah... semua udah terlanjur. Sekarang lo harus mikirin mau ngapain. Apa lo tetep mau ngebiarin Rocky pergi gitu aja""
"Kok lo tau""
"Gue kan pernah bilang, gue tuh sensitif, tau," katanya bangga. "Contoh dong gue. Biarpun Maya sekarang naksir Justin, gue nggak bakal nyerah..."
Tinka tersenyum kecut sambil mengangkat bahu. "Nggak tau ah. Sekarang aja gue jadi berantem sama Maya."
"Ka, kalo dia bener-bener sobat lo, harusnya dia tau apa yang terjadi sekarang ini. Lo jangan selalu ngesampingin diri sendiri terus jadi menderita gini dong. Gue juga tau, dulu lo pernah naksir Tristan, terus lo diem aja, kan, waktu Maya yang jadian""
Tinka semakin heran menatap Rio. Ternyata...
"Sekarang lo mendingan pulang deh. Pikirin mateng-mateng. Lagian semua udah jadi kayak gini, apa lagi yang lo harepin" Balik seperti dulu, kayak nggak ada apa-apa."
TUK! Segulung kertas kecil mampir di meja Tinka.
Gue mau ngomong sama lo. Nanti siang ya, di belakang aula. Luv, MAYA.
Tinka panik. Aduh, dia benar-benar belum siap berhadapan sama Maya. Harus ngomong apa nanti" Dia pasti nanya ini-itu. jawab apa coba" Tinka menyodorkan kertas kecil itu pada Rio.
"Gue musti gimana"" bisiknya. Sudah cukup koleksi kapurnya, dia nggak mau ditimpuk lagi gara-gara ribut.
"Ya dateng aja. Bagus, kan, dia punya inisiatif duluan" Jadi lo berdua nggak diem-dieman lagi. Gerah, tau nggak," jawab Rio.
"Gue musti ngomong apa""
"Ya nggak ngomong apa-apa, kan dia yang mau ngomong." Tinka melotot. Dasar.
BLETAK!.!! Kali ini penghapus papan tulis yang melayang ke meja Tinka. Tinka langsung bungkam. Daripada benjol"
Maya sudah menunggu di sana sewaktu Tinka datang. Dia mondar-mandir gelisah. Sesuai perintah Tinka, Rio disuruh ngumpet di balik pohon. Jaga-jaga kalau Tinka perlu bantuan. Kayak perang aja.
"May"" Tinka ragu-ragu.
"Tinka." Mereka berdua terdiam lamaaaaaa... banget. Rio sampai ketiduran sambil bersandar di pohon saking lamanya. Sebenarnya mau ngomong atau nggak sih" Mana kakiniya digigitin semut merah.
"Tinka, gue mitna maaf," ucap Maya akhirnya.
Tinka mengangguk, tapi tetap diam.
"Gue tau gue kesannya nggak ngerti perasaan lo. Lo harus bolak-balik ngomong sama Rocky, ngejodohin gue... gue tau pengorbanan lo," ujar Maya lagi. Yang dia tidak tahu, dalam hati Tinka sangat menikmati kedekatannya dengan Rocky.
"Tapi gue nggak bermaksud begitu. Gue..."
"Udahlah, May. Gue ngerti, gue seneng kok lo udah mau ngomong ke gue hari ini," potong Tinka. Dia nggak tahan kalau harus lama-lama bersentimental ria kayak gini.
"Makasih, ya"" Maya memeluk Tinka. "Ka, tapi apa maksudnya sih, waktu lo bilang gue nggak mikirin perasaan lo waktu itu""
Tinka terkesiap. Dia sama sekali ogah kalau harus cerita sama Maya soal ini. Dia belum siap cerita soal kejadian malam waktu dia bertemu Rocky pada Maya.
"Emmmm, maksud gue..."
"Si Rocky tuh suka sama Tinka." Tiba-tiba Rio muncul dari balik pohon. Gayanya persis Detektif Conan yang berhasil memecahkan masalah. Habis sudah kesabarannya kalau harus menunggu Tinka berlama-lama. Kemunculannya yang begitu tiba-tiba bikin Maya-apalagi Tinka- bengong. Lalu dengan cueknya, Rio menceritakan semua yang diceritakan Tinka. Sedetail-detailnya. Sampai-sampai sandal jepit biru pun ikut dibawa-bawa. Tinka nyaris menimpuk Rio pakai kunci mobil.
Maya ternganga tak percaya. "Yang bener""
Rio mengangguk mantap. "Ya ampuun,! Lo kenapa nggak bilang sama gue sihhh""" Mana mungkin gue diem aja kalau tau kayak gitu" Sekarang gimana"" Maya langsung histeris.
"Udah telat lagi, May. Rocky kayaknya udah males ngomong sama kita."
"Kita" Salah gue apa"" celetuk Rio. "Oh iya, gue kan nggak salah apa-apa" Naaaaahhhh, dia pasti mau percaya omongan gue." Rio serasa dapat ide cemerlang.
"Rio, please deh, jangannnnn!" Tinka merengek. Dia nggak mau timbul masalah baru.
Rio membungkam mulut Tinka.
*** Rocky memang jadi jauh banget. Tinka hampir nggak pernah ngomong lagi sama Rocky. Mereka cuma bertukar senyum tipis kalau bertemu nggak sengaja. Rocky sepertinya kecewa berat, karena setelah putus dari Maya, Tinka tetap menolak didekati. Dan kayaknya terlalu vulgar kalau Rio datang dan tiba-tiba bilang Tinka mau ngomong. Bisa-bisa Rocky merasa dipermainkan. Seenaknya aja menolak dekat terus tiba-tiba mau ngomong. Apalagi kondisi hubungan persahabatan mereka sudah jauh dari waktu pertama kali dulu.
"Rock!" panggil Ray.
"Kenapa"" Rocky menoleh dan menghentikan acara melahap baksonya. Bibirnya sedikit jontor kepedesan.
"Lo ada acara nggak minggu ini"" tanya Ray lagi.
Rio mengintip dari balik tembok kios, menguping pembicaraan mereka. Dia sedang cari waktu yang tepat buat ketemu Rocky.
"Kita mau syukuran, gitu, buat lo."
"Syukuran""
"Syukuran itu, waktu lo menang jadi kapten waktu itu. Di rumah Sandy," sambung Ray.
"Lho, kan udah lama" Sandy mana""
"Iya, soalnya nyokapnya Sandy siap masaknya baru minggu ini. Sibuk. Sandy lagi ke WC. Gimana,Man, mau nggak""
"Siapa aja""
"Yah, kita-kita aja kok. Paling beberapa undangan lain."
Rocky mengernyitkan alis, namun akirnya mengangguk. "Oke deh."
Ray mengacungkan jempol pada Rio yang ngumpet di balik dinding. Rio membalas acungan jempol Ray. Siiiiipppp, strateginya berhasil.
*** "APA" Gue nggak mau, nggak mau. Gila lo, ya!" Tinka ngamuk-ngamuk.
"Yeeeeee, lo jangan gitu dong. Gue udah susah-susah mengorbakan harga diri sama Sandy dan Ray. Emangnya gue cowok apaan, ngerayu-rayu mereka"""" Rio maksa.
"Ya, tapi kan lo nggak minta persetujuan gue."
"Kalo minta persetujuan kapan berhasilnyaaaaa"""" Rio kesal.
"Udahlah, Ka, turutin aja," bela Maya.
Tinka makin cemberut. Mereka ternyata sekongkol. Bikin pusing orang aja, emangnya ini masalah siapa" Asal!
"Awas lo, ya!" ancam Tinka.
"Gitu dooonggggggg. Gue doain lo sukses, sehat walafiat."
Tinka bersungut-sungut kesal. Susah punya sobat kayak Rio, suka seenak udelnya sendiri.
Tinka nggak bisa ngebayangin apa yang bakal terjadi nanti. Pasrah aja lah...
RUMAH Sandy tampak sepi. Adik Sandy yang masih kelas dua SD tampak bermain-main di halaman dengan anjing beigel-nya. Katanya ada syukuran, kok sepi banget sih" Rocky terheran-heran.
"Bian, Kak Sandy ada""
"Ada, masuk aja," jawabnya cuek. Matanya tak beralih dari anjingnya.
Rocky membuka pagar besi rumah Sandy. Saking belum pernah diminyakin, bunyinya berisik banget, bikin ngilu gigi. Rocky langsung menuju ruang tamu. Tapi nggak ada siapa-siapa. Kurang ajar, kalau sampai dia dikerjain, awas itu anak dua besok.
"Ndy," panggilnya.
"Masuk, Yooooo, kita ada di halaman belakang."
Rumah Sandy yang nggak terlalu besar ini istimewa lho. Biarpun rumahnya nggak terlalu besar, tapi halamannya luaaaaaaasssss banget. Jadi di belakang kadang-kadang bisa dipakai buat main bola. Canggih, kan"
Di belakang, Sandy lagi haha-hihi dengan yang lain.
"Mana" Katanya syukuran, kok sepi gini" Makanannya nggak ada," Rocky langsung
berhenti ngomong begitu melihat sosok Tinka yang sedang duduk di ayunan dan Maya yang nangkring di sebelah Rio. Ekspresinya susah diungkapkan. Kaget, senang, marah...
"Duduk, duduk, nikmati dong pestanya. Nyokap gue nggak jadi masak, jadi kita pesen pizza aja," Sandy ngeles.
Rocky duduk dengan canggung, di kursi satu-satunya yang disisakan buat
dia. Di sebelah ayunan Tinka.
"Aduh, gue musti nelepon Ray dulu nih. Katanya Obiet juga mau dateng, bentar ya. Mereka berdua kan suka lelet." Sandy beranjak pergi. Matanya mengerjap-ngerjap hebat ke arah Rio yang belum ngeh, masih asyik berbisik-bisik dengan Maya.
"Rio, gue pengen pipis."
"Terus"" Maya melotot dan menyikut pinggang Rio kencang. "ADUH!" "Temenin, gue takut anjing."
Rio langsung ngeh. Dia cepat-cepat berdiri dengan pinggang yang ngilu disikut Maya. Tapi lagi-lagi Rio tersenyum senang begitu ingat Maya yang mengajaknya.
"Eh, eh, gue ikut," Tinka panik.
"Diem aja di sini. Nanti pizzanya dimakan semut." Lalu mereka berdua kabur.
Tinggal Rocky dan Tinka bingung berduaan.
"Emmmm, ini rencana mereka, tau!" Ini kalimat pertama yang muncul dari mulut Tinka setelah sepuluh menit hening.
"Gue tau." "Hah"" "Iya, gue tau. Dasar kurang ajar!"
"Gue minta maaf, Rock," ucap Tinka nekat.
"Untuk"" "Untuk semuanya. Gue udah nyakitin perasaan lo, bikin lo nggak enak, semuanya lah," sambung Tinka.
"Gue juga minta maaf."
"Untuk"" "Bikin lo pusing, nyatain cinta pas gue masih jadian sama Maya. Gue tau lo pusing, itu salah gue."
"Tapi lo ngejauhin gue, nggak pernah usaha lagi," ucap Tinka heran.
"Gue nggak mau nyakitin lo lagi. Dan gue nggak mau ditolak lagi," Rocky menggantung kalimatnya.
"Tapi gue nggak bakal~" Tinka langsung menutup mulutnya malu.
"Nggak bakal apa"" desak Rocky. "Nggak bakal nolak gue" Lo bakal nerima gue""
Tinka diam. "Jawab, Ka. Gue nggak mau kecewa lagi." "Gue... mau nyoba."
Rocky menatap Tinka heran. "Nyoba apa""
Tinka tersenyum sekilas. "Nyoba pacaran sama orang yang gue suka."
Rocky serasa lemas. Rupanya selama ini ada orang yang Tinka suka. Dan dia sudah menunggu sekian lama, sampai hari ini tetap sia-sia.
"Gue ngerti. Maafin gue. Yang penting gue udah tau semuanya dengan jelas," tuturnya lemas. Lalu ia beranjak, siap-siap pergi.
"Eh, Rock, lo mau kemana""
"Pulang. gue harus menyendiri dulu. Nenangin pikiran," katanya lemas.
"Orang yang gue suka itu elo," sambar Tinka cepat.
Rocky terdiam tak memercayai pendengarannya. Dia langsung terduduk lemas, kali ini karena senang. Ternyata semuanya sama sekali tidak sia-sia.
"A-apa" Gue... gue..." Rocky gugup saking bingungnya.
"Udahlah, Rock, yang jelas gue mau nutup usaha mak comblang gue," sambung Tinka.
"Lho" Kan lo cukup sukses. Katanya mau buka usaha mak comblang taraf internasional""
"Nggak deh. Lagian sekarang mak comblangnya udah punya pacar. Nanti kalo mak comblang suka sama sasaran gue lagi, kan, lo juga yang repot." Tinka cekikikan.
Rocky merangkul Tinka. "Dasar!"
"Tapi ada misi khusus jasa mak comblang gue. Sebagai misi pamungkas."
"Jodoh buat siapa"" tanya Rocky penasaran.
"RIO." Lalu mereka berdua tertawa geli.
*** Sementara itu di dekat kamar mandi.
"May, siapa sih Justin" Apa sih bagusnya"" rasanya Rio harus cepat ambil tindakan sebelum Maya mendadak jadian sama orang bernama Justin itu.
Maya melirik heran. "Masa lo nggak tau""
"Emangnya dia orang penting, sampe gue harus tau""
Maya senyam-senyum. "Keren banget."
Rio cemberut. "Kenapa sih, Yo"" Melihat tampang Rio jadi aneh, Maya kebingungan sendiri.
Tak disangka tak diduga, Rio malah mengeluarkan sebuah bungkusan dari sakunya. "Nih."
"Apaan nih""
"Buka aja." Maya membuka kertas kado merah muda yang membungkus kado Rio. Taraaaa... sepasang antingsilver berinisial M.
"Rio" Kok..." Ulang tahun gue kan udah lewat..."
"Ini bukan kado ulang tahun, tapi... tapi... I love you..."
-end- Raja Silat 27 Raja Naga 09 Hantu Bersayap Renjana Pendekar 14
^