Cahaya Bertasbih 4
Cahaya Bertasbih Karya Suffynurcahyati Bagian 4
Diana seperti kehabisan tenaga. gak sanggup lagi menahan kekuatan orang orang yang menahannya. hingga tanpa ia sadari, jarum suntik di tangannya sudah tertancap pada tubuh seseorang diantara kerumunan.
Diana terpaku bisu melihat kondisi seseorang yang kini tengah berdiri kaku memegangi lengan yang sudah tertusuk jarum suntik miliknya. dan kemungkinan, dalam waktu satu jam, racun yang masuk ke dalam tubuh orang itu akan bereaksi.
*** 21. Takdir yang menepi air langit tak henti membasahi daratan bumi dan seisinya. mereka turun bersamaan dalam volume kecil. bagian dari cairannya menelusuri dedaunan lalu mengikuti tulang daun yang menyirip. bak setetes embun menyejukan. mereka menjadikan dedaunan tersebut menari nari pada habitatnya. mengayun ayun pada dahan yang hijau
sang fajar bersiap menunjukan wujudnya. hampir setengah bagian dari cahayanya menyelinap masuk melalui celah tirai jendela besar di salah satu kamar. menerangi aktifitas disana. seolah mereka ingin tahu apa yang selanjutnya terjadi setelah badai besar menimpa dua insan manusia yang sedang berada disana.
"kok perih ya, ay?"
"namanya juga obat luar, mas. tahan sedikit ya" Sina mengoleskan sedikit obat salep lalu mengusapnya ke bagian pergelangan tangan kiri suaminya. Dana yang menjabat sebagai pasien sehari Sina, hanya mengamati aktifitas istrinya mengobati lecet dan gatal gatal yang dideritanya.
"pelan pelan ya sayang" rintih Dana menahan perih yang berasal dari obat tersebut. kulitnya sudah sangat sensitif dengan bahan kulit rupanya. baru beberapa jam mengenakan jam tangan kulit dari Sarah. kulitnya mengalami gatal gatal yang luar biasa. bahkan menjadi lecet karena terlalu kuat ia menggaruknya.
Sina terlihat begitu hati hati. kedua matanya engga berpaling dari luka tersebut." gerak tangannya meski lambat tapi pasti. bahkan tak jarang gadis itu meniup niup area luka Dana agar suaminya tidak merasakan sakit.
"akhirnya selesai juga" Sina melihat hasil kerjanya "bismillahirahmannirahim, cepat sembuh ya" Sina menepuk nepuk luka itu dengan ujung jari seolah memberinya mantra ajaib. ia pun kembali ke posisinya. bersandar pada bantal empuk dibelakangnya. Dana mengulum senyum.
"kalau boleh tahu, Siapa yang memberi kamu nama Sabriana Cahaya?" Dana menaruh kedua tangannya di atas paha Sina yang sedang duduk meluruskan kakinya di atas tempat tidur." sedang ia duduk di tepi ranjang.
"Ibu dan Ayah. lalu mereka sepakat untuk memakai nama panggilanku Sina" bola mata gadis itu bergerak gerak. Dana tak bosan mengikuti pergerakannya.
"sepertinya aku mulai tahu mengapa mereka memakai Sina sebagai nama panggilanmu" Dana menyibak anak rambut Sina yang basah. sejak hari ini ia suka sekali melihat seorang gadis berkeringat lalu keringat tersebut membasahi area tepi kepala. karena itu mengingatkan dirinya pada malam pertamanya dengan Sina. sejenak ia ingin mengulang malam itu.
"apa?" sina memiringkan kepalanya. rambut hitamnya berayun ayun kecil"perpaduan nama Ayahmu dan kamu jika dipadu menjadi Ibnu Sina. kamu tahu beliau siapa?" Sina bergeming. dulu sekali ayah pernah memberi tahu arti dari dua nama itu.
"Ibnu Sina adalah seorang filusuf dan dokter pada masanya. dan dia memiliki karya yang paling terkenal yakni, buku yang berjudul The Book of Healing" penjelasan gadis itu mendapat respon baik dari Dana.
"benar sekali" Dana mencolek hidung bangir Sina "biar ku tambahkan ya" Dana memberi jeda
"Abu ali Al husayn bin Abdullah bin Sina atau sering dipanggil ibnu sina kelahiran iran. beliau seorang filusuf dan dokter pada masanya. namun orang orang sering menyebutnya sebagai bapak kedokteran modern. karya beliau yang paling terkenal ialah the book of healing dan the canon of medicine yang dikenal sebagai qonun, lalu dijadikan kitab rujukan dasar ilmu kedokteran modern"
Sina mengangguk mengerti. penjelasan Dana barusan, persis seperti yang dijelaskan ayah waktu itu. sayang sekali daya ingat gadis itu masih minim.
"dan kamu adalah dokter pribadiku. kalau ibnu Sina memiliki The Book of Healing. maka kamu memiliki The Healing of my life" ia tatap lagi bola mata istrinya tengah berbinar kemudian tercipta lengkungan indah bak pelangi dari bibir Sina.
"lantas kenapa kamu menyebutku aya. bukan Sina?"
Dana ingin jujur bahwa yang menyarankan nama tersebut adalah mamanya. tapi jangan sebut ia Dana kalau tidak mempunyai seribu alasan.
"karena nama Aya hanya memiliki 3 huruf didalamnya. seperti aku menjadikan kamu sosok yang namanya tiga kali disebut rasulullah. ibumu.. ibumu.. ibumu.. lalu ayahmu" Dana menggenggam erat kedua tangan Sina menatapnya intens. "kelak kamu akan menjadi ibu dari anak anak kita" tiba tiba saja Sina mendadak terserang diabetes. rayuan Dana lebih maut ketimbang rayuannya saat itu. untung saja wanita tercipta dari tulang rusuk pria. kalau mereka tercipta dari mulut pria, mungkin Sina tidak kalah jago dalam merayu seperti ini.
"mas, 3 Titik" Sina menipiskan bibirnya. lalu sesuatu mendarat di bibir itu. sentuhan jari Dana meraba lembut benda berwarna merah muda tersebut. " ya sayang" jawab pria itu lembut.
"jangan menggenggam terlalu erat. tanganku masih sakit" Dana refleks menarik genggaman dari tangan Sina. ia lupa kalau keadaan istrinya masih belum pulih. kedua pergelangan tangannya masih dalam balutan perban dikarenakan pergelangan tangan tersebut terlalu lama mengalami gesekan dari tali serabut. belum lagi Sina mengalami kekurangan cairan. sehingga harus dibawa ke rumah sakit. tapi ia menolak untuk dirawat disana. ia memilih di rawat di rumah ibu mertuanya.
"yasalam.. maaf.. aku lupa" Dana mengelus elus permukaan tangan istrinya. rencana membuat Sina bersemu merah karena rayuannya pun gagal.
"tiba tiba saja aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu yang sejak kemarin ku pendam" raut Sina berubah serius. begitupun Dana. ia tak kalah serius.
"apa itu?" Sina terdiam sejenak dalam waktu agak lama. berharap tidak ada yang salah atas pertanyaannya ini. tapi sungguh, tidak enak sekali rasanya jika ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.
"kamu tidak melakukan apapun dengan Sarah, kan?" tanyanya takut takut. seharusnya Dana yang takut dengan pertanyaan tersebut. karena jika Sina sudah cemburu, negara Api akan bertransmigrasi ke kediamannya.
"kamu sudah menanyakan ini tiga kali, ay. kalau tebakanku benar, apa kamu cemburu?" Dana menaikan satu alisnya. Sina berjengit.
"ini bukan tentang cemburu atau bukan. jawabanmu kemarin masih mengganjal pikiranku. ya, aku tahu kamu tidak melakukan apapun dengan Sarah. tapi,.." Sina menarik nafas "bisakah kamu menyakinkan aku bahwa itu benar benar tidak terjadi?" kedua alisnya bertaut meninggi. memberi sorot keraguan disana.
Dana tersenyum jail. "baiklah kalau itu mau mu. aku akan membuktikannya"
"benarkah" pembuktian yang seperti apa?" ada sorot berharap dari bola mata gadis itu. tubuhnya menegak senang.
"kamu akan mengetahuinya nanti malam" Dana menyeringai.
Sina mencium aroma mesum dari seringai itu. ia hafal sekali arti seringai tesebut." semoga Dana tidak sedang menginginkan sesuatu yang membuat dirinya hamil.
"ahh.. tiba tiba aku melupakan sesuatu" Sina beranjak dari tempat tidur "aku harus membantu mama mu menyiapkan makan siang" gadis itu berjalan meninggalkan Dana yang sedang terkekeh geli menatap kepergian istrinya. sepintas ia melihat perubahan cara berjalan Sina. agak terpincang pincang. apa effeknya se ekstrem itu" pikiran Dana memutar
*** Seorang wanita berdiri di bawah naungan pohon kamboja tua, dimana rantingnya meliuk liuk mengikuti perintah hidupnya. ia edarkan pandangan mata ke penjuru pemakaman, tak ada satupun yang datang mengunjungi tempat pemakaman itu. ia menghela napas.
kali ini pandangannya terarah pada segunduk tanah yang
berhiaskan ukiran kayu sebagai Nisan di salah satu ujungnya. seakan duka tiada henti terus mengitari kepalanya.
salahkah jika aku menginginkan kamu, bahagia, nak,
salahkah jika aku menginginkan kamu selalu tersenyum kala duka menimpa tubuh rapuhmu, nak,
salahkah jika aku menghalalkan" segala cara hanya untuk mendapatkan sesuatu yang bernama cinta. dan itu untukmu.
salahkah jika aku berharap mendapatkan yang terbaik darimu..
mengapa Tuhan itu jahat"
aku belum sempat membahagiakanmu. tapi Dia sudah merebutmu dari aku.
mengapa Tuhan itu tidak adil"
aku belum sempat menggendong cucuku. tapi Dia membuatmu tertidur di tempat menyeramkan ini..
tidak inginkah kamu bangun lalu memeluk ibumu ini sayang"
Aufa telah selesai membacakan surat yasin dan al fatihah. ia pun beranjak berdiri mengambil alih memegang handle kursi roda yang diduduki Diana. wanita paruh baya itu menatap kosong sebuah makam yang masih tercium aroma mawar disana. tertulis sebuah nama pada nisan yang berdiri kokoh diujung makam itu.
Siti Dandeliana Sarah binti James Frank
perbandingan nama yang sangat kontras. tapi itu memang benar adanya. Diana menjalin hubungan terlarang dengan pria berkebangsaan Amerika. mereka menjalin kasih sejak James berpindah ke apartemen yang berlokasi tak jauh dari rumah Diana. semenjak James tahu bahwa Diana hamil. keberadaannya seperti ditelan bumi.
Sarah meninggal setelah mengalami kelumpuhan pada paru parunya. ia bisa saja diselamatkan, walau hanya kemungkinan kecil. dan kondisi janinnya sudah tidak bisa diselamatkan.
Pancuronium bromide atau yang dikenal dengan Pavulon adalah obat penenang otot yang pada dosis tertentu bisa menghentikan nafas dengan melumpuhkan kerja diafragma dan paru-paru.
Dosis yang dipakai Diana untuk membunuh Sina sangat banyak. semua itu karena ambisi busuknya sudah menggerogoti hati. sehingga tidak segan segan memberi Dosis sebanyak itu.
namun Takdir berkata lain. senjata itu justru berbalik menyerang putri kesayangannya. putri yang ia banggakan dalam melaksanakan apapun perintahnya. sampai ia tak sadar tangannya sendiri yang telah menghabisi nyawa Sarah.
andai Sarah tidak membelokan kekuatan tangan Diana yang mengarahkan jarum suntik itu pada Sina. mungkin dia tidak akan berakhir di liang lahat seperti ini.
entah mendapat energi darimana, kekuatan Sarah bisa sampai melebihi Diana.
"bu.. kita pulang yuk. ibu harus istirahat" Aufa mengelus pundak Diana secara lembut. Diana tak menjawab. matanya kosong menatap lurus kedepan. seolah tidak mendengar suara apapun kecuali bisikan batinnya.
Aufa melingkarkan tangannya ke leher Diana dari belakang. mendekapnya agar hangat. menghirup aroma lavender khas parfum diana.
"ya Allah.. berilah Saudaraku Sarah jalan ke surgaMu tanpa hisab.." lirih Aufa meneteskan sebening embun dari mata kini membasahi jilbab juga rambut Diana. andai ia bisa memilih, lebih baik dirinya yang berada di posisi Sarah.
"ampunilah dosanya. lapangkanlah kuburnya dan berilah cahaya penerang disana..."
Diana mendengar rintihan doa itu. namun tak mengubah raut datar nan kosong yang terpancar.
tiba tiba raut datar tersebut berubah aneh. ada sorot ketakutan disana. Diana seperti kehabisan oksigen. nafasnya tercekat. matanya melotot takut. tubuhnya gemetar hebat. Aufa merasakan perubahan itu setelah dua orang pria datang menghampiri mereka.
"jauhkan dia dari aku! jauhkan! cepat!" Diana mengerang ketakutan seperti melihat malaikat pencabut nyawa. tubuhnya gusar berusaha keluar dari kursi roda.
"bu tenang.. bu" Aufa menenangkan. mengelus ngelus tubuh Diana. tapi tak berpengaruh. Diana malah semakin seperti orang kesurupan.
"pergi kalian! pergi!" Diana menunjuk nunjuk dua pria tersebut dengan sekuat tenaga sampai sampai kursi roda yang didudukinya hampir terjungkal ke depan.
"Sarah! lihat nak! mereka mencoba membunuh mama! tolong mama, nak! bawa mama bersamamu!" Diana malah semakin parah. mengajak bicara makam sarah. ia beringsut turun memeluk makam diana seraya meronta ronta. Aufa semakin tak kuasa melihat kondisi Diana. ia berusaha menarik Diana dari posisinya seraya menangis terisak.
"tolong mama sarah! suntik mati dia!"
Aufa membiarkan dua pria itu membantunya meraih tubuh diana agar kembali ke kursi rodanya. tentu Diana semakin meronta ronta tidak karuan.
"lihat Sarah! mereka akan menyuntik mati mama!"
salah satu pria menyuntikan jarum suntik ke lengan diana. hingga beberapa detik setelahnya Diana kembali tenang. tak ada lagi tangis miris terdengar.
"sebaiknya untuk sementara, jangan bawa nyonya diana ke tempat ini dulu. karena itu akan semakin membuatnya trauma hebat. kamu lihat sendiri tadi bagaimana tersiksanya dia sampai harus merangkak di makam anaknya" ujar salah satu pria berkemeja putih ditemani rekannya memakai seragam safari berwarna putih. pada bagian saku baju tersebut terpampang logo dan nama Rumah sakit jiwa yang berlokasi berada di bilangan kota grogol.
"baik dok. mungkin dirawat di rumah sakit akan membuat ibu semakin membaik. maaf sudah merepotkan anda sehingga harus menemani saya kesini" Aufa tersenyum pada Dokter muda dihadapannya.
"bagaimanapun juga. nyonya Diana adalah pasien khusus saya. sudah menjadi kewajiban saya melakukan apapun demi kesembuhan beliau" Dokter itu tersenyum lebar namun manis. tubuhnya tegap tinggi sampai sampai Aufa harus mendongak jika berbicara dengannya. rahangnya kokoh. bahunya datar. ada satu yang menarik perhatian Aufa. yakni terletak pada alisnya yang sedikit bercabang.
"sekali lagi saya ucapkan terimakasih banyak dokter Syihab" Aufa menangkup telapak tangannya seraya tersenyum. setelah sebelumnya ia membaca pin tag name pada saku kemejanya.
dokter Syihabuddin Akmal. nama yang bagus. sesuai dengan perawakan pria itu.
merekapun membawa Diana meninggalkan pemakaman Sarah.
"ketika do' dan takdir saling tarik menarik dalam kehidupan. maka sisipkan harapan disana. agar jika suatu saat jika mereka berhenti. ada secuil harapan yang tersisa" dokter Syihab berjalan mengiringi langkah Aufa menyusuri tiap blok pemakaman.
"anda benar. karena suatu hari nanti Takdir itu bisa menepi sesuka perintahNya. tak peduli kemana harus menepi sehingga tersisa hanya doa yang diisi sebuah harapan disana"
Syihab mengulum senyum. menoleh pada gadis disebelahnya. tersirat sesuatu di sorot matanya.
"nyonya Diana pasti bangga mempunyai anak sepertimu"
siapa yang sangka pipi Aufa sekarang bersemu. hati nya mengingatkan bahwa itu bukan kalimat pujian. jangan terbawa perasaan.
*** 22. imbalan pahala dariNya
Aufa membaca detail tiga lembaran pada tiga map coklat ditangannya. mengamati selembar foto yang disisipkan pada lembaran tersebut. membaca biodata dari atas hingga ke bawah. alisnya terkadang berkerut tatkala menemukan fakta yang ia temukan dari biodata tersebut.
"proposal yang kamu pegang itu dari Ramzi Assofyan. anak kyai Lutfi, teman Ayah sewaktu dipesantren. anaknya baik. tidak sombong. dan berwibawa" Cokro melirik kegiatan Aufa. gadis itu masih menimang nimang proposal yang baru saja di deskripsikan ayahnya. ia melihat lagi foto sosok yang bernama Ramzi tersebut.
"nah kalau yang kamu pegang di tangan satunya itu dari Zidan Ahmad. putra bungsu teman ayah sesama sopir. anaknya qana'ah sekali. sederhana. sejujurnya ayah lebih suka yang seperti itu. tapi kembali kepada keputusanmu" ada sorot mata berharap dari mata Cokro. jika dulu ia bersih keras menunda Aufa untuk menikah. sekarang ia begitu bersemangat sekali bila Aufa hendak menikah. bahkan ia sempat mempromosikan Aufa pada rekan rekannya. dari rekan sepengajiannya. rekan kerjanya. bahkan rekan sesama pengurus organisasi di lingkungan rumahnya. walau ia belum tahu apakah Aufa siap untuk berta'aruf.
"kalau yang ini yah" sepertinya fida kenal" Aufa mengetuk ngetuk bibirnya seraya berpikir. ia menoleh meminta jawaban dari Cokro.
"Ayah sebenarnya juga bingung. proposal ini ayah terima dari pakde Ibnu. saking semangatnya, ayah tidak sempat menanyakan siapa pemiliknya. coba kamu baca saja profil lengkapnya" Cokro menunjuk proposal satunya dengan wajah.
"namanya Ridwan Abbasy. dia bekerja di salah satu perusahaan swasta terbesar di jakarta. umurnya 25 tahun. hobbynya olahraga memanah. pernah menjabat sebagai....."
Cokro menoleh heran menatap anak gadisnya.
"kenapa berhenti?"
Aufa memerhatikan lagi foto dan biodata lengkap pria bernama Ridwan Abbasy tersebut. dan benar. ia seperti pernah bertemu dengan pria itu. tapi dimana" otaknya mengingat lebih keras lagi. didukung membaca profilnya lebih detail lagi.
"tuh kan benar! Fida kenal dia yah" Aufa menepuk jidatnya merasa seperti berhasil memecahkan sebuah teka teki rahasia. "dia Abbas. mantan pacar Sina sekaligus..." Cokro menyesal jika aufa menggantung lagi ucapannya. bibir pria itu menipis ragu.
"pria yang sebelumnya akan menikah dengan almarhum Sarah" jawaban itu terdengar melemah. Aufa menunduk. seperti ada beban besar tiba tiba menimpa tubuhnya. seakan sulit untuk bangkit lalu menatap Cokro yang kini justru lebih terheran heran. mengapa Ibnu memberi proposal ta'aruf Abbas kepada putrinya" bukankah menurut sepengetahuan Cokro. Ibnu termasuk orang yang sangat selektif dalam memilih. ia ingat sekali sewaktu Ibnu bersih keras menghasut dirinya agar bercerai dari diana karena ia tahu bagaimana akhlak buruk Diana. lantas bagaimana dengan abbas" laki laki itu saja pernah menjadi mantan kekasih anaknya. apa yang bisa dibanggakan darinya"
Cokro mengambil nafas panjang. ia tahu sekali ada banyak keraguan yang menimpa putrinya. apalagi dengan tiba tiba dirinya memberi tiga proposal ta'aruf sekaligus. tentu akan lebih memberatkan Aufa.
"yasudah. kamu pertimbangkan baik baik. jangan terburu buru. ayah tahu kamu bimbang" Cokro membawa Aufa dalam dekapannya. mengelus puncak kepala putrinya.
"untuk proposal milik Abbas, sebaiknya ayah tanyakan dulu kepada pakdemu. ayah tidak ingin putri sholehah ayah di imami oleh pria tidak baik. ayah yakin kamu gadis yang baik, maka harus mendapatkan yang baik pula"
Aufa melingkarkan tangannya diperut Cokro dari samping.
"fida tidak bilang Abbas itu tidak baik yah, fida yakin pakde ibnu punya alasan kuat mengapa menerima proposal ta'aruf itu. bukankah selama ini Ayah percayakan fida kepada pakde ibnu" Cokro mengangguk. ucapan Aufa ada benarnya juga. tapi tetap ada secuil keraguan yang menggerogoti pikirannya. apalagi ia mengetahui bahwa Abbas adalah pria yang akan menikahi almarhum Sarah. bagaimanapun juga, ia harus tanyakan pada Ibnu.
"tapi, untuk kesekian kalinya ayah bertanya padamu. apakah kamu siap untuk menikah?" Aufa menarik diri seraya menatap wajah Cokro. sudah nampak kerutan kecil disekitar area kantung mata pria itu.
"bagaimana kalau ayah dulu saja yang menikah" Aufa tersenyum jail "agar nanti kelak fida menikah, tidak ada kecemasan dalam diri fida karena meninggalkan ayah sendiri" gadis itu memang pandai sekali berkata manis. membujuk rayu seperti malaikat kecil yang menolak untuk dipulangkan ke langit.
"jadi kamu bosan merawat ayah?"
Cokro hampir melotot sebal. berpura pura agar Aufa takut. ia takut sekali jika Cokro sudah marah.
"ayah jangan marah dulu. fida kan cuma bercanda" gadis itu menepuk nepuk lembut lengan Cokro secara manja. Cokro berhasil. ia tersenyum sumringah.
"itu artinya kamu setuju untuk menikah" Cokro menaik turunkan alisnya genit. hampir ia terkekeh geli melihat ekspresi malu putrinya. wajahnya mudah sekali bersemu. tak lama ia mendapat cubitan ringan di lengannya.
"aduh.. sakit, nak" Cokro meringis kecil.
"abisnya ayah ngeselin" Aufa mempoutkan bibirnya gemas. pria berwajah hangat itu tertawa kecil menimbulkan gerakan naik turun dari perutnya yang hampir membuncit.
*** Dana terduduk manis bersandar pada kursi kebesarannya. kerinduan pada kursi kesayangannya itu kini tersalurkan. namun kehadirannya kembali di kantor tak membuat kegelisahan pria itu memudar. bahkan sedari tadi ia nampak tegang.
Dana memainkan ujung bolpoint ditangannya menunggu kedatangan seseorang. dan tak sampai beberapa jam, seseorang itu datang tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
"assalamualaikum" suaranya pelan namun terdengar. Dana menjawab salam tersebut.
"lo kenapa ga bilang Maudy hari ini ga masuk kerja" malah kata pak Sastra, udah dua hari dia absen" tanpa ba bi bu, Dana memilih to the point. Idzar menarik nafas pendek.
"dia bukan absen bang. tapi dia udah resign sejak dua hari yang lalu. gue udah minta pak Sastra buat tahan mba Maudy. tapi ya gitu. sampai sekarang gue bingung kenapa dia mendadak resign dan buru buru. jadi maaf kalau gue gagal jalanin amanah lo" Idzar tertunduk setelah itu.
Dana bergeming sesaat. memikirkan sesuatu yang menari nari di otaknya. jika Maudy memang resmi resign. lalu siapa yang akan menggantikannya"
"its oke. gue ngerti" Dana berayun ayun di kursinya "mau tidak mau kita harus mengikhlaskan kepergiaannya. tapi andai ia mau berbicara baik baik. setidaknya dia bisa dapat apresiasi khusus dari perusahaan karena sudah mengabdi cukup lama" Dana menghela nafas "terkadang rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau daripada rumput di rumah sendiri"
"trus apa rencana lo?"Idzar mengambil minuman kaleng dari kulkas berukuran mini di salah satu sudut ruangan kemudian meminumnya.
"cari penggantinya. kali ini lo harus ikut andil ya" Dana menunjuk Idzar dengan bolfoint di tangannya. "gue butuh lo sama pak Sastra buat merekrut assisten baru. dan jangan orang sembarangan. ya minimal kinerjanya harus seperti assisten sebelumnya"
"kenapa bukan istri lo aja bang. malah biar lo bisa pantau dia" saran yang menggelikan. tiba tiba saja Dana berpikir bagaimana jika ia benar benar menjadikan Sina assistennya. bukannya fokus bekerja yang ada ruangan kerjanya dijadikan tempat bercumbu setiap hari. dan kemesuman pria itu akan semakin akut. maklum saja naluri seorang lelaki yang baru saja menikah. ada beberapa hormon yang meningkat drastis.
"gue udah janji sama diri gue sendiri. gue ga bakal mempekerjakan istri gue. dia harus jadi full wife dan ibu dari anak anak gue" Idzar mengangguk. lalu beranjak dari kursi " yauda nanti gue bantu lo buat cari assisten manager baru. yang penting persyaratannya lo siapin aja. nanti gue sebarin si kampus gue"
"persyaratannya udah terpasang di mading kantor dekat loby. atau nanti gue copyin buat lo" Dana merebut minuman dari tangan Idzar.
"yeh, si jangkung! lo punya banyak juga noh di kulkas" sungut Idzar menarik kembali minuman bersodanya lalu pergi meninggalkan Dana di ruangan.
*** jalanan kota nampak sangat ramai dipadati kendaraan bermotor. kendaraan roda empat juga tak kalah eksis dari peredarannya. tak hanya padat, tapi juga kemacetan selalu mendominasi mereka. volume kendaraan di sore hari memang tidak sebanyak di pagi hari dimana itu adalah jam para manusia sibuk dengan pekerjaannya dan anak anak dengan sekolahnya.
tapi entah ada angin apa. kemacetan sore ini sangat drastis. tidak biasanya motor yang dikendarai Idzar mengalami macet yang luar biasa. setidaknya ia bisa menyalip lewat jalan lain. tapi untuk hari ini, ia harus berdiam dalam kemacetan tak berujung.
suara klakson semakin menggema layaknya orkestra musik klasik. dan umpatan umpatan kasar sudah menjadi langganan telinganya.
"mba! bisa cepet ga! ini udah panjang macetnya!" teriak salah satu pengendara mobil pick up yang membawa dekorasi pengantin.
"sabar dong mas, ini lagi saya check dimana yang bermasalah. kalau mas mau cepat ya bantuin" jawab ketus seorang gadis yang ternyata menjadi dalang kemacetan tak berujung ini. Idzar mencondongkan tubuhnya ke kanan berusaha melihat. rupanya mobil gadis itu mogok di tengah jalan. sejenak Idzar berdecak. mengumpat dalam hati. bukan karena keadaan gadis itu, melainkan ketidak pedulian yang sudah mendarah daging pada manusia manusia disekitarnya tersebut. kebanyakan mereka menuntut sebuah hasil tanpa ikut andil dalam prosesnya.
"mobilnya kenapa mba?" Idzar sudah berdiri disamping gadis berjilbab putih memakai long cardi hitam dan celana skinny dipadu sepatu kets berwarna putih.
"ga tahu nih, mas tiba tiba mogok. saya check aki nya gak ada masalah sih. saya bingung mana lagi yang bermasalah. bukannya mereka bantuin. malah teriak teriak. gimana saya ga tambah pusing" ungkap gadis itu. wajahnya agak menghitam sedikit karena bergelut dengan oli yang hinggap pada mesin dan berpindah ke wajah kuning langsatnya. kesan pertama Idzar berubah sepersekian detik terhadap gadis tersebut.
"coba mba starter di dalam biar saya coba check problemnya" gadis itu menurut. Idzar mencoba mengutak ngatik mesin mobil tersebut. mencari cari penyebab mobil itu mogok. kini dia menjadi sasaran umpatan para pengendara mobil yang memanjang ke belakang. namun idzar cukup menanggapi umparan tersebut dengan lambaian tangan maaf seraya tersenyum. semoga mereka mengerti kondisi yang dialami dirinya dan gadis didalam sana.
"coba nyalain mba!" teriaknya dari balik cover penutup mesin mobil. namun nihil mobil itu tidak menunjukan perkembangan sedikitpun.
"ga bisa mas" Idzar mengutak ngatik lagi keadaan mesin tersebut. sesekali ia mengusap peluh yang kini membasahi area wajahnya.
"mas sebenarnya bisa ga sih" kalau ga bisa mending ga usah. biar saya bawa ke bengkel" Idzar mengernyit dalam aktifitasnya. ada yang aneh dari perkataan gadis itu. bukannya berterimakasih malah berbicara seperti itu.
"bagaimana mas" bisa ga" atau saya bawa aja ke bengkel" gadis itu keluar dari mobil kemudian menghampiri idzar. memerhatikan aktifitas pria itu.
"sabar mba. ini kan lagi dikerjain"
"tapi mas beneran bisa kan" mas mengerti tentang mobil kan?" Idzar terhenti lalu menoleh kepada gadis yang kini ia tahu memiliki mata coklat.
"mba bisa sabar ga. kalau mba terus berbicara, saya jadi ga konsen. yang ada mobil mobil disana tuh" Idzar menunjuk barisan kendaraan yang memanjang "bakal terus maki maki mba, dan juga saya pastinya" Idzar hampir kesal namun masih bisa menahan.
"ya maka dari itu mas bisa cepet ga" saya juga ga tahan berdiri disini" gadis itu lebih ngotot. Idzar hanya berdiam seraya mengucap istighfar berulang kali. sambil mencoba memperbaiki mesin mobil. keruwetannya semakin bertambah dengan ocehan gadis disebelahnya ini.
"coba mba, starter lagi" Idzar berdoa dalam hati semoga saja mobil itu kembali pulih. kalau tidak, mau tidak mau sebelum gadis itu membawanya ke bengkel, ia harus jadi korban amarah gadis menyebalkan itu.
"alhamdulillah. bisa mas"
Idzar mengelus dada lega. akhirnya usahanya membuahkan hasil. gadis itu memarkirkan mobilnya ke pinggir jalan membiarkan kendaraan yang memanjang disana berjalan menghirup udara segar.
"terimakasih ya mas" gadis itu memberi dua lembar uang lima puluh ribu kepada Idzar. spontan Idzar menolak pemberian itu dengan tangannya.
"maaf mba. saya cuma niat membantu bukan niat mendapatkan imbalan" jawab Idzar sopan lalu tersenyum. Gadis itu bergeming dalam waktu lama.
"yakin mas menolak uang ini?" gadis itu menaruh kembali uangnya ke dalam dompet "saya hutang budi loh sama situ"
Idzar tersenyum lagi. "mba cukup berterimakasih sama Allah, setelah itu Allah yang akan memberi imbalan pahala buat saya" jawaban yang mencengangkan. gadis itu sempat salah menilai Idzar. ia pikir dia seperti laki laki lain yang cenderung mengharapkan imbalan berupa uang atau setidaknya perkenalan dengan gadis secantik dirinya atau paling tidak nomor ponsel. kebanyakan yang ia temui yang seperti itu.
"ya sudah kalau begitu. semoga mas ga nyesel ya" untung saja idzar tidak mengenal gadis itu. dan untungnya ini pertemuan pertama dan berharap jangan ada pertemuan berikutnya dengan gadis dihadapannya ini. bisa bisa habis kesabaran idzar menghadapi keangkuhan yang di miliki gadis itu.
"kalau begitu saya permisi mba"
"eh tunggu mas!"
Idzar menghentikan langkahnya lalu berbalik. Gadis itu menyodorkan dua lembar tissue basah dari tasnya.
"setidaknya terima ini saja. muka mas kotor kena oli" kali ini ia menerima tissue tersebut. kemudian ia tertawa kecil. gadis itu mengernyit bingung.
"terimakasih mba. mungkin mba juga harus bercermin. oli di wajah mba lebih banyak dari saya"
sahut Idzar menahan tawa lalu berbalik pergi menaiki motornya meninggalkan gadis itu yang sedang berkaca lewat cermin mini ditangannya. ia menganga hebat melihat kondisi wajahnya yang cemong. benar kata pria tadi. oli di wajahnya lebih banyak. dan kini ia harus menanggung malu atas kejadian tadi.
gadis itu menghentak hentakan kakinya sebal.
*** 23. Tsabita Ilana Idzar berjalan terburu buru dari koridor kampus menuju sekolah alam untuk mengajar kelas weekend. setelah cukup berlama lama menghabiskan waktunya di perpustakaan mencari referensi untuk kegiatan mengajarnya. kini ia harus tiba di sekolah alam al anwar paling tidak dalam waktu setengah jam. semoga tidak ada kemacetan seperti kemarin atau gadis rempong yang menjadi dalang kemacetan seperti waktu itu.
setelah sampai di parkiran kemudian ia memakai segala atribut safety di tubuhnya. sebelum menaiki motor maticnya, Idzar membaca sms yang diterima dari Dana. pesan itu berisi agar Dana segera menyebarkan brosur lowongan pekerjaan sebagai assisten di perusahaan kakaknya. sedetik kemudian Idzar berdecak seraya mengetikan beberapa pesan pada ponselnya.
"punya abang satu bawelnya minta ampun" gerutu Idzar. ia pun bersiap menaiki motornya.
ketika motor yang dikendarainya nyaris menuju gerbang. seseorang memberhentikan laju motor tersebut. dia menoleh.
"loh, mas yang tempo hari nolongin saya, kan?" Idzar membuka kaca helmnya. memerhatikan lawan bicaranya berada dalam mobil. rupanya dia adalah gadis rempong yang tempo hari ia bantu ketika mobilnya mogok. sejenak idzar menghela nafas. kesialan apa lagi yang akan menimpanya. tebak idzar dalam hati.
"bukan. kamu salah orang kayaknya" idzar berbohong. suaranya meredam dari balik helm sportnya. sungguh ia hanya tidak ingin mengalami kesialan dua kali dengan gadis itu. tapi ia melihat si gadis--yang ia belum tahu namanya itu-- memicing curiga.
"mas ga boleh bohong. motor yang punya plat bernomor B 8610 ISI kan mas doang" Idzar menelan ludah. sempat sempatnya gadis itu menghafal plat motornya. ia mendengus pendek. mengakui kekalahan membohongi gadis itu. "terus kalau iya kenapa?" jawab Idzar ketus. kesan pertama itu sangat berpengaruh pada pertemuan selanjutnya. alih alih ia berharap agar tidak ada pertemuan kedua, kenapa sekarang gadis itu muncul lagi"
gadis itu melonjak girang. ia segera keluar dari mobil berdiri dihadapan Idzar "jadi kamu kuliah disini juga?" kemudian ia mengulurkan tangan kanannya "aku Tsabita. atau.. sabit" nada bicaranya terdengar kaku. Idzar menarik satu alisnya. belum merespon perkenalan itu.
"Idzar" balas Idzar tanpa merespon jabatan tangan gadis--yang kini ia tahu bernama Sabit. dia hanya membuka helm lalu menangkupkan telapak tangan. Sabit mengerti lalu menarik tangannya canggung.
"apa kamu sibuk hari ini" aku ingin mengajak kamu makan. anggap saja sebagai balas budi dari aku atas pertolongan kamu" tawar sabit begitu antusias. walaupun terdengar agak terbata bata. mungkin karena gugup atau semacamnya. terlihat sekali dari cara ia menatap Idzar. kaku.
"gue sibuk. lain waktu saja" Idzar memakai kembali helmnya. kedua tanganya sudah bertengger pada stang motor.
"tunggu! bagaimana kalau aku minta waktu kamu 5 menit.. eh!" 10 menit" kedua tangan sabit sudah lebih dulu bertengger pada lampu depan motor. berusaha menahan idzar "kita makan di warung dekat sini. aku yang traktir. bagaimana?" Sabit tetap memperjuangkan balas budi yang harus segera dilaksanakan agar hutangnya lunas. tapi nampaknya tawaran itu sama sekali tidak dihiraukan Idzar. pria itu malah menutup kaca helmnya kemudian bersiap untuk tancap gas.
"aku tidak akan pergi sampai kamu terima tawaran aku!"
Idzar berdecih seraya menghembuskan nafas. benar dugaannya. selalu ada saja masalah yang ditimbulkan gadis itu. sekarang dia justru nekat berdiri tegap dihadapan motor sambil merentangkan kedua tangan untuk menghalau jalan Idzar.
"inget kalimat pertama lo tadi ga?" tanya Idzar setelah membuka lagi helmnya. Sabit bergeming beberapa detik.
"tadi lo tanya, gue sibuk atau engga kan. ya gue jawab gue sibuk. sekarang lo maksa gue buat nerima tawaran lo" Idzar menoleh ke sembarang arah lalu kembali menatap lawan bicaranya "itu artinya ada unsur pemaksaan dibalik tawaran yang terselubung" Idzar mengusap phlitrum lalu mendengus kasar. waktunya terbuang sia sia hanya untuk meladeni gadis bulan--begitu ia menyebutnya--beradu argumen omong kosong seperti ini.
"kalau sudah mengerti. gue mohon dengan sangat. menyingkir dari sana" Idzar menjentikan jari telunjuknya bergerak ke kanan sebagai tanda mengusir. Sabit terdiam kaku. wajahnya tertunduk dalam waktu lama. Idzar bersendekap memandang Sabit. berusaha tetap tenang dibalik kegondokannya hari ini.
"aku janji. cukup hari ini. dan...tidak akan ada lagi pemaksaan berikutnya" kalimat itu terucap mantap bersamaan tatapan yakin dari bola mata berwarna cokelat itu. ada sisi memohon yang terpancar dari sana. Idzar hampir saja lupa diri melihat keindahan lain dari mata itu. akhirnya dengan segala berat hati ia menghela nafas frustasi lalu mengambil keputusan yang mungkin sangat salah.
"janji adalah hutang. pertanggung jawabkan hutangmu kelak" jawaban itu menandakan iya. Sabit tersenyum lebar seraya melonjak kecil.
"tapi, gue keberatan kalau kita hanya makan berdua" senyum lebar itu menurun kecil.
"lantas?" mata Idzar berkeliling mencari sesuatu. bukan sesuatu. lebih tepatnya sosok seseorang yang biasanya pada jam jam ini ia sudah berjalan melewati gerbang. tak butuh waktu lama, mata itu menangkap satu sosok.
"Aufa" teriak Idzar ke arah jam dua" dimana Aufa sedang berdiskusi sambil berjalan dengan teman lainnya. Idzar melambai lambaikan tangannya agar gadis itu menghampirinya.
*** "jadi kamu kuliah sambil bekerja" wah.. pasti seru deh" ucap Sabit takjub di sela kegiatan makan mereka di salah satu rumah makan sederhana tak jauh dari kampus. niat awal Idzar mengajak Aufa agar gadis rempong itu merasa jenuh dengan kehadiran orang baru. nyatanya, niat itu malah menjadi boomerang untuknya. lihat saja sekarang Idzar sudah seperti obat nyamuk diantara kedua gadis berbeda kepribadian tersebut.
"iya." seru banget. memang sih awalnya pasti capek. tapi lama kelamaan capek itu hilang. apalagi kalau kita sudah menyukai pekerjaan itu" Aufa lebih seru menjawabnya. dari sisi lain, mereka sama sama ceria. sama menyukai hal hal baru. sama sama" heboh. melihat kesamaan yang tersembunyi dari dua sisi berbeda itu menyenangkan hati rupanya. diam diam Idzar saling membandingkan dua gadis cantik dihadapannya.
"bakal ada kepuasan tersendiri kalau kamu membiayai kuliah kamu dengan hasil keringat sendiri. ditambah lagi akan semakin termotivasi untuk serius dalam belajar. kalau aku pribadi ya, aku jadi lebih bisa menghargai diri sendiri" tutur Aufa panjang lebar setelah menelan mie goreng baksonya. Sabit mengangguk paham mendengar dengan seksama penuturan Aufa.
"lalu bagaimana cara kamu membagi waktu?"
"itu sih sepinter pinternya kamu mengatur waktu aja. siapkan waktu untuk bekerja. waktu untuk kuliah. dan waktu untuk istirahat. asal,..harus selalu siapkan waktu untuk ibadah" Idzar tersenyum kecil. membenarkan penjelasan Aufa.
"kalau begitu, aku mau dong bekerja ditempat kamu sekarang" lagi lagi Sabit melonjak girang. Idzar hampir terjungkal ke belakang karena kelincahan gadis itu.
"boleh. kalau tidak salah sekolah al anwar sedang butuh tenaga pengajar baru. mungkin kamu,--"
"kemarin kan kita baru saja merekrut guru baru, fa. lo lupa?" potong Idzar cepat. sebisa mungkin ia mencari alasan agar Sabit tidak mengajar ditempat ia bekerja. ia hanya kasihan pada muridnya nanti jadi tertular hyperaktif.
"memangnya iya ya" kok aku gak tahu ya, dzar. kamu dapat info darimana?" Aufa berpikir keras seraya mengerutkan dahinya. Idzar menelan ludah sekali.
"i.. iya beneran. lo kudet sih" kalimat Idzar agak gugup. matanya bergerak kesana kemari. jika Aufa menyadari itulah salah satu tanda orang yang sedang berbohong. matanya enggan menatap lawan bicara.
"yah.. sayang banget, bit" Aufa mengulai pasrah "tapi nanti kalau aku ada info kerja part time aku kabarin ke kamu. bagaimana?" Sabit menggaguk semangat
matanya berbinar cemerlang. tak lama dia menoleh kepada pria yang sedari tadi hanya jadi obat nyamuk diantara mereka.
"mas.." "panggil gue Idzar aja. gue gak pernah nikah sama mba lo" jawab Idzar masih ketus. sontak Sabit menipiskan bibirnya seraya menghela nafas.
"jangan ketus ketus, dzar jadi cowo. nanti gak ada yang mau loh. ga enak tahu jomblo lama lama" celetuk Sabit. menimbulkan pelototan kecil dari Idzar.
"walaupun lama, yang penting gue jomblo mulia"
Sabit terkekeh atas jawaban Idzar. bagaimanapun juga jomblo ya jomblo. tidak ada istilah jomblo mulia. pikirnya
"fa, temen kamu ini lama lama kok ngeselin tapi ngangenin ya" Aufa yang di ajak bicara hanya bisa tertawa meringis hambar. sedang Idzar sudah hampir emosi dibuatnya. entah di lahirkan dari planet mana gadis satu ini.
"oiya. sudah 10 menit lebih kayaknya. lo ga lupa, kan?" Idzar bersiap mengenakan jaket dan tas punggungnya. Sabit yang melihatnya agak panik.
"eh, jadi beneran sepuluh menit?"
"kan janji lo sepuluh menit. malah ini sudah lima belas menit. jadi lo korupsi waktu gue lima menit. dan lo juga janji setelah ini gak ada pemaksaan berikutnya kan?" Sabit menggigit bibirnya. hingga akhirnya gadis itu menurut. setidaknya balas budinya terbayar. walau harus ada drama untuk mencapainya.
"terimakasih ya sebelumnya"
Idzar tersenyum kecil. "yuk! fa" "tunggu!" Sabit sudah berdiri dihadapan Aufa dan Idzar yang hendak pergi meninggalkan tempat. Idzar yang hampir naik pitam memutar bola matanya malas.
"kalian ga pergi berdua, kan?" Sabit memicing matanya berkilat penuh intimidasi. kali ini Aufa mencoba menjelaskan dengan versi dirinya.
"aku bawa motor. Idzar bawa motor. karena kami satu tujuan, biasanya idzar mengikuti dari belakang" jika Aufa yang sudah berbicara. seakan atmosfer ketegangan menghindar. aura permusuhan pun terasa bersahabat. gaya bicara nya sopan dan lembut seperti air yang memadamkan kobaran api. bibir gadis itu pun tak pernah lepas dari senyum.
"sudah jelas?" merasa kehadirannya hanya mengganggu, Sabit menyerah. ia membiarkan dua insan tersebut berjalan meninggalkan tempat. ada yang berubah dari dalam dirinya. dia bukan type wanita yang mengemis ngemis perhatian laki laki. dia juga bukan type wanita yang blak blakan dalam berbicara dengan lawan jenis. dia harap ini bukan perasaan aneh yang mereka sebut cinta. semoga ini hanya nafsu kagum yang bersifat sementara.
*** "nyokap bagaimana keadaannya?" tanya Idzar sembari meletakan buku buku pada rak besar yang berwarna warni. dia menyusunnya berdasarkan alphabet.
"belum ada perkembangan. kalau aku mengajaknya bicara, aku seperti berhadapan dengan mayat hidup. tapi aku yakin, ibu pasti dengar semua ucapanku" Aufa tersenyum dibalik kegiatannya membuat origami berbentuk burung kemudian diberi tali pengait pada setiap ujung sayapnya hingga menjadi sebuah rangkaian burung berwarna warni yang sedang terbang di langit langit. Aufa tersenyum berbinar akan hasil kerjanya.
"kapan kapan, aku boleh ikut kamu ketemu bu Diana?" ada dua alasan dari pertanyaan tersebut hingga Aufa memberhentikan kegiatan melipatnya kemudian menoleh kepada pria yang membelakanginya.
"coba ulang pertanyaan kamu, dzar. aku sepertinya tidak mendengar" Idzar menoleh kebelakang sebentar lalu kembali menyusun buku. "kapan kapan aku boleh tidak ikut kamu menemui bu diana?"
Aufa tertawa kecil. memperlihatkan deretan giginya nan rapi. jika tertawa mata gadis itu tenggelam tertimbun dua pipinya yang agak gempal. Idzar tidak menyadari tawa tersebut. ada sesuatu lain yang membuat pria itu tak menyadari suara apapun kecuali teriakan hatinya.
"sejak kapan kosa kata kamu mulai berubah" penggunan kata 'lo-gue' nya sudah kadarluarsa rupanya"
Idzar tertawa pendek. menertawai dirinya sendiri. Aufa bisa melihat ketika pria itu tengah menahan tawa. bahunya bergunjang kecil.
"boleh kan sekali kali, fa" jawab Idzar sekenanya.
"boleh sekali, dzar. malah kalau perlu selamanya lebih bagus. jujur, aku senang mendengarnya" Aufa tersenyum. ada perasaan menyenangkan mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan Aufa.
"gue.. eh! sorry" Idzar menggeleng kecil "aku usahakan bikin kamu seneng deh kalau begitu" lanjutnya diseratai cengiran polos khas Idzar.
sementara dibelakangnya, Aufa tersipu dalam sikap tenangnya. kalau saja dia tidak bisa mengontrol hati, mungkin hati ini sudah berjingkrak kegirangan.
"tapi kamu beneran mau ikut aku jenguk ibu?" itu alasan kedua yang ia temukan dari pertanyaan Idzar. karena semenjak peristiwa penculikan Sina waktu itu, hanya Idzar yang belum menjenguk Diana. bahkan ia tidak hadir ke pemakaman Sarah.
"iya. sebagai ganti karena aku tidak bisa hadir di pemakaman Sarah" Idzar berbalik dan menemui Aufa beralih membuat kerajinan tangan lain. yakni tembikar yang terbuat dari kertas marmer berwarna warni. kertas itu dibuat menjadi beberapa potongan memanjang dengan dua warna berbeda. setelah itu disusun selang seling terus menerus sampai membentuk persegi yang lebar.
"oke deh. mungkin lusa aku jenguk ibu" Idzar mengangguk paham. tangannya turut aktif membuat tembikar dalam satu meja besar disana.
"oh iya ngomong ngomong kamu kenal Sabit dimana?" pertanyaan yang cukup membuat mood idzar memburuk. jangan tanya lagi rautnya seperti apa ketika aufa menanyakan gadis bulan rempong itu.
"di jalan. di tengah kemacetan yang cetar membahana ulala" jawaban yang sangat garing. pikir Aufa. tidak sesuai dengan mimik wajahnya yang datar seperti papan. Aufa membiarkan idzar melanjutkan kronologisnya.
"mobil dia mogok. dan mogoknya itu bikin macet jalan. yauda aku tolong. bukannya terimakasih malah kasih aku duit" Idzar menjeda sebentar "berterimakasih sih, tapi caranya yang salah. aku di anggapnya seperti orang orang kebanyakan yang mengharap pamrih lewat pertolongan terselubung. jadi jangan salahkan aku kalau aku bersikap kurang bersahabat dengan dia" ungkap idzar. tembikar di tangannya hampir selesai. ia memutar mutar hasil kerajinan tangannya di udara. mengamati dengan seksama.
"mungkin kadar positif thinking kamu harus ditambah. bukan aku membela dia ya. hanya saja terkadang kita melihat sesuatu dari kacamata kita sendiri. ada baiknya lihatlah dari sisi yang lain. mungkin saja, dalam kesehariannya Sabit memang terbiasa melakukan itu dan dia belum paham bahwa ada beberapa orang yang kurang suka menerima perlakuan tersebut, seperti kamu itu" Aufa mendongak menatap idzar sebentar lalu menunduk fokus pada mainannya.
"sama seperti kadar syariat dan iman seseorang. syariat itu perlu. sangat perlu. tapi jika tidak dibarengi dengan iman, maka kesalahan orang lain saja yang nampak dimata kita. dan contoh lainnya seperti kadar antara beriman dan istiqamah. kalau manusia sudah beriman saja. masih ada istiqamah yang dipertanyakan" Aufa mengulum senyum hangat. senyum embun yang menyejukan sang fajar. seolah senyum itu mewakili makna apa yang tersirat di dalamnya.
Idzar menyunggingkan senyum paham sembari meneruskan kegiatannya. siapa yang tahu kini ada kupu kupu sedang memutar mutar di tubuhnya. menggelitik hati dan otaknya agar mereka membuat satu kesatuan. agar tidak ada ketidak kontrasan diantara keduanya. karena terkadang jika hati sudah memutuskan A otak memilih B.
*** 24. Tamu penebar luka walimah berjalan dengan lancar. semua terlaksana dengan nyaris sempurna. pihak WO menjalankan tugas mereka secara profesional. yang lebih memuaskan bagi Sina ketakjuban dirinya berada di atas pelaminan megah dengan nuansa serba bunga mawar putih. sesuai dengan makna namanya. dekorasi didominasi dengan warna putih dan soft pink. secara khusus sina memilih warna itu. karena sewaktu SMP, ia pernah memimpikan menjadi seorang pengantin diantara mawar putih dan ribuan warna pink mengelilinginya. tak lupa sang pangeran surga yang mendampinginya.
Sejenak gadis itu berpikir. kebahagiaan tak melulu soal harta maupun tahta. tak melulu soal uang atau apapun yang bisa dibeli dengan benda mati tersebut. kebahagiaan hanya sekedar mensyukuri apa yang Tuhan berikan. Sina setuju dengan beberapa pepatah mengatakan 'bersyukurlah maka kamu akan bahagia. bukan bahagia dulu baru bersyukur' kurang lebih seperti itu. keluarga yang harmonis. suami yang bertanggung jawab namun menyebalkan adalah secuil kebahagiaan Sina. bahkan jika ia boleh memilih, dia tidak ingin acara walimah dibuat terlalu mewah. terkesan berlebihan menurutnya. tapi sebagai wanita ia tentu mengerti sekali keinginan Dana untuk bisa membahagiakan istrinya. dan siapa yang tahu, Dana menjadi satu satunya pria yang selalu membuatnya jatuh cinta berulang kali.
dan setelah seminggu kemudian, Sina juga Dana beserta dua keluarga besar Prama dan keluarga Raharjo berkumpul di kediaman yang kini resmi menjadi kediaman Sina dan Dana. kejutan kali ini, Dana membangun sebuah rumah dibilangan jakarta selatan. rupanya sejak dirinya di angkat menjadi manager perusahan, dia sudah merencanakan membangun rumah impian tersebut. kini dia juga Sina tinggal memanen hasilnya.
"jadi keputusan kalian untuk tinggal disini sudah bulat" sudah dipikirkan matang matang?" Prama meyakinkan kembali keputusan putra dan menantunya tersebut.
"iya pa. kami ingin belajar mandiri. kami ingin belajar mengatasi kerikil kerikil tajam yang sudah menunggu rumah tangga kami" jawab Dana bijak disertai kuluman senyum menawan.
"rumah ayah bakal sepi deh" Ibnu mendesah "tidak ada yang bisa ayah bully lagi nanti" Sina yang melihat ekspresi ayah seketika meleleh kemudian duduk disebelahnya.
"nanti sina bakal sering ke rumah ayah kok. trus ayah bebas ngebully sina lagi" hibur Sina memeluk lengan Ibnu erat.
"Ibnu, betul kata putrimu. kamu kan juga bisa mengunjungi mereka sesekali. mulailah dari sekarang agar mereka bisa membangun rumah tangga yang harmonis" prama menyarankan. Ibnu mengangguk kecil "baiklah. tapi kalian belum memberi kami satu hadiah lagi" ucapan Ibnu misterius. kedua pria paruh baya itu saling melirik aneh satu sama lain. senyum mereka layaknya seringai harimau yang menakutkan.
"segera beri kami cucu"
sekarang siapa yang lebih bersemangat" yap! siapa lagi kalau bukan Dana. kini yang berseringai tidak hanya dua, melainkan tiga.
ditengah kerumunan pria berbahaya, suara bel pintu menyelamatkan Sina. Dana yang hendak berdiri menuju sumber suara
"biar aku saja mas yang buka" Sina langsung berdiri dan keluar rumah menuju pagar. sina mendapati seorang wanita berdiri disana. bayangannya samar. Sina mempertegas penglihatannya. wanita itu membelakanginya.
Cahaya Bertasbih Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"maaf, anda siapa ya?" wanita itu pun berbalik. sorot mata tajam itu menjadi penyambut kehadirannya.
"sudah lupa sama aku?" Sina tahu betul si pemilik suara tersebut. ia mengumbar senyum hangat seraya mendekat wanita tersebut.
"mba Maudy apa kabar" kangen ihh" Sina memeluk erat tubuh mungil wanita yang sudah lama tidak bertemu sejak dirinya menikah dengan Dana. Maudy tidak membalas pelukan itu. ia berdiri kaku seperti patung.
"ayo mba kita masuk. aku mau cerita ban,---"
"brugh!!" ucapan Sina terpotong bersamaan dengan tindakan Maudy mendorong tubuh Sina hingga gadis itu ambruk dalam keadaan meringkuk.
"mba,.." mba kenapa?" Sina memegangi sikutnya. ia berusaha bangkit "mba sakit ya?" tanya Sina khawatir. ia sudah berdiri sempurna mengamati perubahan Maudy.
"iya! aku sakit! aku sakit hati gara gara kamu, Sina!" Maudy melotot tajam. tatapannya membunuh. Sina mundur tiga langkah perlahan
"kenapa mundur" takut?" jelas saja Sina semakin takut. sebuah benda tajam bernama pisau sudah bertengger di tangan Maudy "kemarilah. bukankah kamu merindukanku?" Sina semakin mundur. Maudy semakin maju. perbandingan langkah mereka satu banding satu.
"mba,.. mba mau apa sebenarnya?" antara mengendalikan emosi dan panik bercampur menjadi satu. mata Maudy menyeramkan. seperti bukan Maudy yang sina kenal.
"apa tidak ada pertanyaan lain yang lebih ku rindukan heuh?"" Maudy mengangkat sikutnya ketika sina tersudut oleh tiang besar fondasi rumah barunya. ia Shock kemudian menutup matanya kuat kuat.
"ini yang aku inginkan"
bukan sebuah tusukan maupun darah ataupun rasa sakit karena pisau tajam yang menyerang Sina, melainkan ia mendengar tawa Maudy yang disusul tangisan menyayat hati. Maudy ambruk di tanah. dua bahunya bergetar dan ia meraung raung seperti orang gila.
Sina meraba area wajahnya. ia pikir pisau tersebut akan mengenai dirinya. namun pisau itu sudah tergeletak sejak Maudy ambruk.
"aku mencintai Dana.. sangat mencintainya!" Maudy menjambak jilbab dan kakinya menendang nendang, selanjutnya ia merangkak ke arah pintu gerbang. jemari lentik Maudy mencengkram jeruji dengan kuat. Sina melihat lingkaran hitam di mata Maudy.
"kenapa kamu tega melakukan ini padaku,Sina"! aku mencintai Dana sebelum kamu mengenalnya! dan sekarang kamu memiliki dia seutuhnya tanpa berjuang sedikitpun!"
Sina terhenyak. kedua matanya menatap tidak percaya. jadi ini alasan Maudy mengundurkan diri dari perusahaan. Sina menggigit bibir bawahnya merasa bersalah. kakinya bergerak mendekati Maudy. rasa iba menuntunnya untuk menyentuh gadis itu.
"Dana...," Maudy memanggil manggil nama Dana dengan nada menyakitkan. tiba tiba Sina merasakan ngilu pada sendi tubuhnya saat mendengar suara Maudy putus asa.
"Azka Syandana Prama.. aku mencintaimu"
"Maudy?" suara khas itu membuat kepala Sina menoleh. Dana berdiri di sisi istrinya. dua matanya menatap Maudy. ada luka di mata itu. Dana berjalan menuju pagar lalu membukanya dan begitu tubuh mereka tidak terhalang jeruji lagi, Maudy menyerbu Dana kemudian memeluk pria bermata sayu itu erat erat dan menangis di dada suami Sina tersebut.
Maudy memeluk Dana.... Maudy memeluk Suamiku... ada rasa perih yang tidak Sina ketahui yang entah berasal darimana. terutama saat Dana memeluk Maudy. setiap sentuhannya seperti jutaan sayatan yang dihujamkan di kulit. setiap tepukan di bahu Maudy seperti luka yang ditaburi garam.
apa pantas seorang yang sudah berstatus suami orang memeluk wanita lain tepat dihadapan istrinya" ya, setelah menyadari pengakuan Maudy tentang perasaan terpendamnya kepada Dana. tapi Dana adalah suaminya sekarang. lalu kemana Dana yang tempo hari menolak pelukan dari Sarah" Sina ingat betul bagaimana Dana menolak miris pelukan dari Sarah. dan sekarang"
"Maudy.. kamu baik baik saja" maudy?" Dana memegang dagu gadis dipelukannya. dua mata maudy bergerak gerak entah apa yang digumamkannya. perlahan Maudy mendekati wajah Dana. meniadakan jarak diantara mereka. jantung Sina berdenyut cepat menyadari apa yang akan dilakukan maudy terhadap suaminya. ini tidak bisa dibiarkan.
Sina berjalan cepat ke arah mereka kemudian melepas paksa keduanya. Maudy sempoyongan dan jatuh di tanah. kepalanya terkulai" dan samar terdengar isakan dari bibirnya.
Dana hampir melotot akan perlakuan istrinya itu.
"kalau tadi aku bisa mengerti keadaan Maudy. tapi sekarang, maaf sekali. bagaimanapun juga kamu adalah suamiku" Siapa yang tahu dalam nada tegar Sina, ia menyimpan ribuan sayatan luka yang mendalam. ada sorot mata berbeda yang terpancar dari Sina.
"tapi apa kamu tidak kasihan melihat kondisi dia sekarang, ay?" ada apa dengan Dana" kenapa ia memilih membela wanita lain ketimbang dirinya. Sina menghela nafas. menahan gumpalan kobaran api cemburu yang semakin memanas. andai api itu nyata, mungkin tubuhnya sudah gosong.
"aku bukan wanita yang menoleransi sentuhan karena rasa kasihan, mas. kalau kamu merasa kasihan padanya, biar aku yang memeluknya sebagai sesama wanita. bukan dengan pria yang bukan mahramnya"
Dana terdiam. mengucap istighfar berulang kali." matanya memejam sesaat. menyadari keteledorannya. kekhawatirannya pada Maudy justru berujung bencana menyakitkan bagi istrinya. ia berdiri terpaku melihat Sina berusaha menuntun tangan Maudy merangkul tubuhnya. agak kesulitan saat dia berusaha bangkit membawa tubuh Maudy yang melemas. Dana hendak membantu namun Sina menepis uluran tangan Dana.
"aku bisa sendiri!" Sina berlalu melewati Dana dengan susah payah. nafasnya terdengar ngos ngosan. sedetika Sina melirik suaminya tanpa ekspresi apapun.
rahang Dana mengeras. juga mengepalkan tangannya disamping. menyesali perbuatan pertamanya yang sudah mengecewakan Sina. ia tahu sekali gadis itu sedang terluka. gadis itu merasakan cemburu yang luar biasa. tapi justru dibalik perasaan itu semua, Sina justru tetap mempedulikan keadaan Maudy.
*** beruntung ada dokter Syihab hadir ditengah tengah dua keluarga tersebut. berkat undangan secara pribadi dari Aufa selaku anak dari pasiennya. dengan senang hati menerima undangan tersebut. dan kehadirannya membawa pertolongan untuk menangani kondisi psikis Maudy saat ini. berhubung dia adalah seorang dokter ahli kejiwaan.
"biarkan dia tidur beberapa jam. setelah itu otaknya akan kembali fresh dan kita masih harus memberinya penyemangat serta support untuk permasalahnnya. kondisi seperti ini, sudah banyak yang mengalami. dan biasanya anak anak remaja yang menginjak dewasa. karena pada masa itu, dalam menyimpan sebuah perasaan mereka tidak lagi mengungkapkan secara langsung kepada seseorang yang dicintainya melainkan menyimpannya dalam diam. itu hanya sebagian besar. kembali lagi kepada psikis mereka" jelas Syihab panjang lebar memaparkan pernyataannya disertai alasan. ia berjalan keluar menuju ruang keluarga. ada Aufa yang mengekor.
"tapi apa itu tidak berpengaruh dengan kehidupan dia selanjutnya dok" bagaimanapun juga jalan hidupnya masih panjang. dan dia tidak mungkin terus terusan mengharapkan cintanya kepada orang tersebut" Syihab menarik bibirnya simetris.
"maka dari itu. harus ada andil dari keluarga serta orang terdekat yang memberinya support. berilah sedikit motivasi. ajak mereka berkomunikasi. saling tukar pikiran. terakhir beri mereka kesibukan" Aufa mengangguk paham. kini mereka duduk di sofa ruang keluarga. ada Idzar disana. Syihab sempat menyapa pria itu.
"mungkin bisa saya tambahkan dok" Aufa berniat memberi usul lain. syihab mengangguk antusias "selain dorongan dari keluarga. mungkin juga perdekat diri kepada Allah. perbanyak berkhalwat kepadaNya. karena ketika kita berkhalwat dengan Dia. jarak manusia dan Tuhan hanya berbatas kepala dan tempat sujud. akan ada rasa ketika Tuhan memeluk kita dengan kasih dan ridhoNya" Aufa tersenyum polos. kedua pria disana mengangguk setuju.
"sebenarnya sih, mencintai dalam diam itu tidak salah. hanya saja cara mereka menanggulangi akibat dari mencintai itu yang salah. karena pada dasarnya, dalam mencintai seseorang. baik itu secara diam diam atau terang terangan, mempunyai resiko yang sama. sama sama akan tersakiti. sebab ketika manusia memilih mencintai makhlukNya, ada akan dua kemungkinan. ditinggalkan atau meninggalkan" kali ini Idzar yang berbicara "maka dari itu, alangkah baiknya. ketika kita memilih mencintai seseorang, selipkan satu ruang keikhlasan di dalam hati. lalu selipkan satu ruang untuk mengisi sisi buruk seseorang tersebut. jadi jika mereka pergi atau kita yang meninggalkan. hati sudah standby untuk mengikhlaskan. tak akan ada perasaan kecewa ataupun rasa kehilangan" tambahnya lagi. Syihab yang mendengar pun tak henti tersenyum terkesima dengan ulasan yang diberikan Idzar. sebagai seorang dokter yang bergelut mengenai hati jiwa atau pikiran, belum memikirkan kesana. ini diluar pemikirannya. pria seperti idzar patut diacungi jempol. batin Syihab memuji.
"sepertinya kamu sudah pengalaman sekali dalam urusan percintaan. pemaparan kamu barusan jauh dari pemikiran saya. sungguh"
Idzar tertawa kecil. dia kalau sudah malu karena mendapat pujian selalu melakukan gerakan menggaruk kepala walau tidak gatal "tidak juga dok, saya hanya belajar dari kisah teman teman saya yang sering mengalami kegalauan karena lawan jenis. dari situ saya memiliki pemahaman bahwa. rasa kehilangan itu ada karena manusia merasa memiliki. bahkan dirinya sendiripun tidak akan" bertahan lama di dunia. suatu saat akan diambil oleh pemilik kekal mereka yakni Allah"
"ya.. kamu benar sekali.. dan hanya belajar dari kisah teman teman saya yang sering mengalami kegalauan karena lawan jenis. dari situ saya memiliki pemahaman bahwa. rasa kehilangan itu ada karena manusia merasa memiliki. bahkan dirinya sendiripun tidak akan" bertahan lama di dunia. suatu saat akan diambil oleh pemilik kekal mereka yakni Allah"
"ya.. kamu benar sekali.. dan satu sama lain. dan saling menebak nebak hati satu sama lain. siapa yang sangka dalam perbincangan tersebut. baik Idzar maupun Syihab saling memuji dalam hati. ada secuil rasa iri ketika keduanya nampak akrab dengan Aufa.
*** malam menyapa disertai kegelapan yang hangat. berisi kesunyian tanpa sepi. berpeluh peluh melawan siang hingga ia menyingkir halus. kini malam mengambil alih. membawa rembulan sebagai penerang. membawa bintang sebagai penghias. membawa rasa dingin yang tercipta lewat hembusan semilir angin.
Sedari tadi sina memposisikan dirinya tidur membelakangi Dana. sisa kekecewaan tadi siang masih menjadi ampas yang mengering di hati.
"kamu masih marah denganku, ay?" tanya Dana menghadapkan tubuhnya pada punggung Sina. tak apa untuk saat ini istrinya itu membelakanginya.
Sina tidak menjawab. "maaf aku sudah menyakitimu, ay.. aku hanya tidak bisa melihat seorang wanita menderita" Sina mendengus acuh." menaikan satu bahunya.
"lantas, bagaimana dengan almarhum sarah" dia lebih menderita dibanding mba Maudy. tapi kamu bisa menolak pelukannya" Dana enggan membela diri. bagaimanapun juga ia tetap bersalah. pria selalu salah dan wanita memang selalu benar. hidup wanita! batin Dana menggerutu.
"maka dari itu aku minta maaf. aku menyesal sudah menyakitimu" Dana menyentuh punggung halus Sina. memberi kehangatan yang menyebar ke seluruh tubuh gadis--yang masih membelakanginya.
"jangan menyentuhku dengan tanganmu. tanganmu bekas memeluk wanita lain. aku tidak suka" balas sina ketus seraya menaikan bahunya agar Dana berhenti melakukan itu.
semakin dilarang, Dana semakin tertantang. itulah naluri seorang pria. mungkin para kaumnya berprinsip larangan ada untuk dilakukan. tapi itu hanya berlaku untuk kehidupan percintaan Dana. bukan untuk hal lainnya.
tangan Dana menyusuri tubuh Sina dari atas. mengabsen tiap jengkal dari ujung kepala.
"kubilang jangan menyentuhku! aku masih marah sama kamu, mas" protes sina merasa terganggu dengan setiap sentuhan yang diberikan suaminya. bukan terganggu lebih tepatnya, melainkan ada perasaan aneh yang menghipnotis otaknya agar berhenti berpikir. sedangkan malam ini dia sudah berjanji untuk mendiamkan Dana sampai besok. semoga pertahanannya tidak runtuh oleh ulah tangan jail Dana.
"yakin masih marah sama aku?" Dana memperdekat jarak tubuhnya. menenggelamkan wajahnya dalam cekungan leher Sina. tercium wangi sabun dengan aroma mawar.
"yakin sekali. jangan deket deket deh" Sina berusaha melepas diri ketika tangan Dana mengunci tubuhnya. tangan itu sudah melingkar sempurna di perut Sina.
"membentak suami itu dosa loh, ay. dan menyenangkan hati suami itu pahalanya berlipat. kamu mau pilih dosa atau pahala?" dan jurus rayuan maut Dana pun beraksi. terbukti manjur. wajah Sina yang awalnya menekuk hingga ribuan lipatan, kini berubah. rautnya menimang nimang kalimat yang diucapkan Dana.
"kamu mengancamku?" Sina menoleh sedikit. ada ketakutan dari matanya.
"ada salah satu hadist mengatakan bahwa setiap istri yang menyakiti suaminya dengan lisannya, maka dia dapat kutukan Allah dan murkanya serta mendapat laknat dan kutukan dari para Malaikat dan semua manusia" Dana menopang kepalanya dengan tangan kirinya. misinya hampir berhasil. Sina menggerak gerakan matanya kesana kemari mencari alasan lain. gadis itu mulai khawatir akan murka Allah. jika benar seperti itu, artinya...
"kamu menang malam ini" Sina membalikan tubuhnya. kini keduanya meniadakan jarak diantara mereka. Sina bisa merasakan hembusan nafas Dana menyebar lalu meresap ke pori pori wajahnya.
"aku baru tahu satu hal tentang kamu"Sina menarik satu sudut bibirnya. penasaran apa yang Dana ucapkan selanjutnya. rayuan mautnya lagikah"
"jika sedang marah, wajah memerahmu itu semakin membuat kamu nampak mempesona"
"rayuan kamu ga mempan. aku tuh sebel sama kamu. bisa bisanya memeluk wanita lain dihadapan istri sendiri. dimana perasaan kamu mas" anggap saja itu sisa sisa emosi tadi pagi. dan emosi itu cukup diobati dengan sebuah pelukan hangat yang diberikan dana kepada sina.
"kamu bales dendam sama aku waktu kamu cemburu sama idzar" heum?" Sina memencet hidung bangir Dana. pria itu meringis kecil.
"ih, cemburu sama idzar" kapan?" Dana agak ngotot. bahunya menaik sedikit.
"waktu aku nunjukin surat cuti ke dia, waktu kamu pergokin aku sama dia" sedikit lagi Dana bergerak. kemungkinan terjadilah bertemunya dua kubu hangat dari mereka.
Dana mengingat sebentar. setelah itu ia tertawa lebar.
"kok ketawa?" "itu kan sebelum kita menikah. jadi waktu itu kamu anggap aku cemburu" apa itu artinya kamu sudah menyukai ku sejak lama?" Dana belum mau berhenti dari aktifitas tertawanya.
jadi?" aghh.. kenapa keadaan jadi berbalik. harusnya dia marah. bukan berbalik menertawai. gerutu sina dalam hati.
wajah gadis itu semakin memerah lalu mendengus kesal. ia pun berbalik membelakangi Dana bersama segenap rasa malu yang terkelupas tanpa sisa. rasanya malam ini Sina ingin menyekik leher Dana dengan sekuat tenaga.
*** 25. generasi Cahaya "jadi ayah kamu menerima tiga proposal ta'aruf sekaligus?" Idzar hampir mengeluarkan makanan dari mulutnya. bisa bisanya Aufa memberi kabar mengejutkan ini sampai sampai nasi goreng yang baru disuapnya ingin melompat keluar.
Aufa mengangguk lemah sambil mengaduk ngaduk abstrak bakmienya.
"udah di istikharahin ketiganya?" tanya Idzar terlihat penasaran, setelah meminum air mineral hangat di meja.
"sudah. tapi,.. " Aufa menggigit bibir bawahnya. alisnya saling bertaut. apa tidak apa apa jika ia menceritakannya kepada Idzar" bola matanya bergerak ke kanan ke kiri.
"tapi apa, fa" kamu belum mau cerita ke aku?" daya menebak Idzar tepat sasaran. ada nada kecewa disana.
"semoga setelah aku ceritain, kamu bisa kasih solusi ke aku ya, dzar" pinta Aufa memelas. dari situ ia menganggap bahwa sosok Idzar adalah sosok laki laki penakluk masalah.
"iya Aufa,.." jawabnya meledek disertai cengiran kecil.
"setelah aku istikharah selama kurang lebih dua minggu, aku belum mendapatkan petunjuk apapun, dzar. apa karena aku belum pernah bertemu ketiga orang tersebut kali ya" walaupun ada satu sih, yang udah pernah aku lihat secara langsung wajahnya"
"ohya" siapa?" sahut Idzar meragu. ada keingin tahuan yang mendalam. tapi ada kekhawatiran juga yang terselip di hatinya.
"Abbas" jawaban itu membuat Idzar hampir tersedak. buru buru ia mengontrol diri.
"Abbas mana ya, aku seperti ga asing sama namanya deh"
"laki laki yang sempat akan menikah dengan almarhum sarah, dzar. kamu memang pernah mendengar namanya waktu insiden penculikan sina itu. tapi kamu belum pernah melihat wujud abbas itu seperti apa" jelas Aufa.
"lantas" bagaimana dengan dia" sudah ada petunjuk hatikah?" sejenak, Idzar berdoa agar Aufa menjawab tidak atau belum. entah ambisi dari mana. hanya saja, cerita Aufa hari ini seperti taburan garam di atas sebuah luka. perih.
"nihil. sama saja dengan yang lain" Idzar menghela nafas kecil. secuil kelegaan menari nari dalam tubuhnya.
Aufa terdiam setelah itu. menunggu bagaimana tanggapan Idzar. tapi nampaknya pria itu masih sibuk menikmati sisa dua suapan terakhir nasi goreng kambing kesukaannya.
mata Aufa berkeliling sejenak mengamati pengunjung warung makan sederhana yang tak jauh dari kampus. biasanya jam jam segini, Tsabit sudah standby disini untuk bertemu Idzar. tapi ia belum melihat tanda tanda keberadaannya.
"pasti kamu nunggu solusi aku kan?" Idzar menaik turunkan alisnya seraya mengulum senyum. ia menghabiskan segelas minumannya.
"oke. mungkin sedikit solusi dari aku ya. tapi sebelumnya aku tanya dulu sama kamu" Idzar melipat kedua tangan di atas meja. menatap Aufa tajam "apa kamu sungguh sungguh akan menikah dengan salah satu kandidat pilihan ayah kamu" walaupun sampai saat ini atau besok dan seterusnya kamu tetap tidak menemukan jawaban sekalipun?"
ada harapan lain dari pertanyaan itu. Aufa menipiskan bibirnya seraya memutar otak. menyinkronkan hati dan logikanya.
"engga tahu" jawab Aufa menggeleng kecil. Idzar tersenyum hangat.
"ikuti kata hati kamu aja fa. kalau sampai sekarang hati kamu belum menunjukan tanda tanda untuk salah satu dari mereka, yauda biar waktu yang menjawab sampai Allah membolak balikan hati kamu dan dilabuhkan dimana hati kamu nanti" solusi bijak yang dilontakan Idzar sedikit menggugah hati Aufa. setiap lontaran per katanya bak mantra pembeku.
"atau jangan jangan kamu sudah punya kandidat lain selain mereka bertiga?" Aufa mencerna sejenak dugaan itu. setelah sadar, ia terkesiap seraya merapatkan bibirnya. dugaan Idzar seperti tamparan kecil untuknya. sedang Idzar yang melihat ekspresi itu mengindikan bahunya sambil menahan tawa.
"be..belum kok" jawab aufa kikuk. kedua tangannya kembali sibuk memutar mutar garpu di atas permukaan bakmie.
"belum" tandanya akan?"
Idzar minta di ruqyah sepertinya. kenapa hari ini dia hobby sekali menggoda Aufa. mungkin sudah turunan dari kakaknya yang hobby sekali menggoda istrinya. bedanya, Idzar tidak mesum. bukan tidak, tapi belum.
"jadi, hanya itu solusi dari kamu?" Aufa sengaja mengalihkan pembicaraan. menghindari tanda tanda merona di wajahnya akibat keisengan Idzar.
"yap!" Senyum idzar melebar "dan aku yakin itu solusi terbaik dari kakak Abidzar Ahda haha" gaya dan suaranya dilebih lebihkan layaknya seorang motivator mario teguh. tapi versi Idzar malah lebih mirip dewa neptunus pengusaha lautan bikini bottom.
"ketawa kamu nyeremin" Aufa memutar bola matanya dan pandangannya berhenti pada seseorang di ambang pintu. matanya berkeliling menyapu sekitar.
"Tsabit" Aufa melambai ke arah pintu "disini" teriaknya lagi. Tsabit menurut. ia melangkah lebih cepat.
"aku cari cari ternyata kalian disini. pasti baru selesai makan" Tsabit menaruh tasnya. duduk disebelah Aufa.
"iya . kamu pesen aja. kita tungguin kok"
"kita?" Idzar menarik wajahnya mundur "kamu aja, fa nungguin dia. aku engga. abis ini aku harus sebarin pamflet perusahaan" Idzar beranjak setelah memasukan bukunya. alasan lainya karena kehadiran Tsabit tentunya. lebih baik menghindar daripada ia berdosa karena terus terusan bersikap ketus dengan gadis itu.
"pamflet lowongan kerja di prams coorporation bukan?" tanya Tsabit mengurungkan niat idzar untuk melangkah. dia menoleh.
"maksud kamu pamflet ini, kan?" Tsabit menunjukan selebaran yang berisi lowongan pekerjaan di Prams Coorporation tersebut. itu pamflet yang sama dengan yang Idzar copy.
"dapet darimana?"
"ada yang memasangnya di mading dekat musholla. yauda aku ambil aja" jawab Tsabit polos. dari jawaban itu Idzar baru menyadari satu hal. satu hal bodoh akibat kecerobohannya. bukankah tsabit kuliah di kampus yang sama" tentu saja ia bisa dengan mudah mendapatkan selebaran itu. dan selebaran di mading itu dia sendiri yang memasangnya.
"kebetulan tuh. kamu coba aja melamar kerja disana" tawar Aufa. Idzar mendadak ingin sakit telinga saja. tawaran itu terdengar horror.
"udah kok. tadi aku udah kirim lamaranku via email"
bahaya! umpat idzar "fa, duluan ya. assalamualaikum"
Tsabit dan Aufa menjawab salam seraya terbengong bengong menatap kepergian Idzar. pria itu berjalan lebih cepat dari biasanya sampai sampai sempat menabrak salah satu meja.
misi Idzar selanjutnya adalah membujuk Dana agar tidak menerima Tsabit sebagai Assisten managernya. bahkan kalau perlu ia lakukan apapun yang dana inginkan. pokoknya jangan sampai gadis rempong itu bekerja satu atap dengannya.
*** dua kupu kupu terbang memutar mengelilingi bunga mawar putih yang masih kuncup. mereka seolah menari nari menyambut agar bunga itu segera tumbuh mekar sempurna. bersama rintikan air bak hujan mengguyur mereka. air yang berasal dari tempat menyiram kembang yang sedari tadi dipegang pemiliknya.
gadis cantik berjilbab rawis berwarna coklat muda dan memakai sweater hitam. tengah menyiram bunga bunga kesayangannya yang baru beberapa minggu ini ditanamnya. walau masih keadaan kuncup. bunga bunga tetap nampak cantik ditemani daun dan batang yang melindunginya. seolah mereka adalah bodyguard bagi sang bunga agar terlindung dari ulah tangan usil manusia tidak bertanggung jawab.
selagi asyik menyiram. sebuah tangan menyusup dari sisi kanan dan kiri tubuh gadis itu lalu menguncinya dalam dekapan hangat.
"mulai deh mulai 3 Titik jangan disana mas.. aku geli" Sina merasakan hembusan memenuhi area bawah telinga sebelah kanan. Dana memendamkan wajahnya pada area tersebut tak mempedulikan komplain istrinya.
"coba kamu lihat apa yang aku bawa" perintah Dana masih dalam posisinya. Sina menoleh kedepan. dan terpampanglah setangkai bunga mawar dihadapannya. senyum gadis itu merekah. tapi senyum itu tak berlangsung lama.
"aku sukanya mawar putih"
Dana menopang dagu di bahu Sina. "tapi mawar merah itu cocok buat kamu, ay. merah itu melambangkan keberanian dan kesexyan seorang wanita. dan wanita itu ya kamu" entah Dana mengcopy kata kata itu darimana. justru terdengar aneh ditelinga Sina.
"tapi aku maunya mawar putih, mas" rengek sina lalu berbalik menghadap suaminya.
"jadi kamu menolak mawar merah pemberianku ini?" Sina mengangguk cepat. bibirnya mengerucut.
"ada syaratnya"
"apa?" Dana menunjuk bibirnya dengan telunjuk. Sina tahu arti gerak tubuh itu. tak mau jadi istri durhaka. ia pun menurut.
Sina mendekatkan wajahnya kepada Dana seraya memejamkan mata. sayangnya, belum sempat gadis itu menjalankan syarat yang diberikan, tiba tiba Sina merasa mual. ia menjauh dari Dana sambil menutup mulut.
"kamu kenapa ay?" Dana mendekati Sina yang membelakanginya. Sina seperti akan memuntahkan sesuatu.
"kamu belum mandi ya mas?" mendengar itu, Dana mengangkat ketiak kanannya lalu membaui aroma tubuhnya.
"sudah. memangnya aku masih bau ya?" Dana memasang wajah bingung. tumben sekali istrinya sensitif terhadap bau.
"masih mas. kamu pake parfum ga sih?" Sina merunduk lagi. perutnya seperti di aduk aduk dengan ribuan centong semen. wajahnya hampir pucat.
"ya pakailah ay. aku pakai parfum hadiah dari kamu itu" Sina mengendus sedikit.
"tapi kok baunya masih,---hueeek" lagi lagi sina memuntahkan apa apa yang keluar dari mulutnya. kini ia memilih berjongkok di sudut pekarangan. Dana yang iba melihatnya berinisiatif menolong Sina. tapi sina keburu menahan sambil mengulurkan tangan kirinya.
"kayaknya kamu jangan deket deket aku dulu deh. aroma kamu bikin mual mas" Sina mengusap peluh di dahinya. wajahnya pucat. kenapa hari ini ia merasa kesal sekali dengan Dana. apa karena mawar merah itu" Dana jadi merasa terintimidasi olehnya. pria itu tak henti mengerutkan dahi atas perilaku Sina. apakah dirinya sebau itu"
*** "bagaimana keadaan kamu" sudah membaik?" Dana masuk ke dalam kamar membawa nampan berisi susu dan sup tanpa garam ditambah sepiring potongan strawberry. ia membawanya ke tempat tidur.
Sina tidak menjawab. wajahnya masih pucat.
"kamu makan dulu ya. mau aku suapi?" Sina buru buru menggeleng. ia mengambil alih nampan dari tangan Dana lalu menyuap sup terlebih dahulu. Dana menatap iba istrinya. ini kedua kalinya Sina sakit setelah sebelumnya ia mendadak sakit setelah prosesi akad nikah. dan kali ini, entah Dana harus percaya apa tidak, istrinya sakit karena mencium aroma tubuhnya. apa sudah ada penelitian khusus mengenai hal itu" sepertinya ini kasus pertama di indonesia tentang aroma yang bisa menyebabkan manusia mual mual. batin dana mengomel.
"apa masih terasa mual?" Dana hendak memijit pundak sina. tapi lagi lagi Sina mencegah perlakuan itu. ia menepis tangan Dana. wajahnya nampak tidak bersahabat. Dana masih berpikir positif. ingat! wanita selalu benar!
"singkirkan buah ini. aku tidak suka" Sina menunjuk potongan buah strawberry dengan ujung garpu. jangan tanyakan berapa jumlah kebingungan Dana malam ini.
"loh, ini kan buah kesukaan kamu ay. kamu suka strawberry kan"
"pokoknya singkirkan. aku mual terhadap baunya, mas" tak tega melihat raut memelas istrinya, Dana menurut. ia memindahkan piring berisi potongan strawberry ke meja lampu disebelahnya.
"kita ke dokter ya, ay?" Sina menggeleng lagi. ia bahkan enggan menjawab kalau bukan hal penting. pandangannya pun hanya fokus pada makanan dihadapannya. seolah melihat Dana seperti" melihat monster.
"kamu lagi PMS ya sayang?" tebakan Dana kesekian kalinya yang hanya dijawab dengan gelengan kepala. ia menghela nafas panjang. mengumpulkan segenap kesabarannya. sebenarnya ada apa dengan Sina" mengapa ia mendadak dingin terhadap suaminya"
setelah menghabiskan makanannya. Dana menaruh nampan di atas meja. memposisikan dirinya lagi tepat disebelah Sina. memandang istrinya dari samping. tetap terlihat cantik walau dalam keadaan sakit sekalipun. tapi akan lebih cantik lagi kalau dia tidak sakit. dan semakin cantik lagi kalau dia tidak bersikap dingin kepadanya.
"aku pijitin ya" tanpa menunggu persetujuan, Dana memijit lembut lengan Sina. untungnya Sina tidak protes dengan perlakuan yang ini.
terdengar sekali nafas istrinya nampak tak beraturan. Dana terus memijit dengan penuh ketulusan.
"mas.. aku mau,---" Sina bangkit dari tempat tidur. berlari menuju wastafel sambil memegangi mulut. ia kembali mual kemudian memuntahkan isi perutnya.
Dana menyusul "ay?"
"mas, aku mohon. untuk beberapa hari ini tolong jangan dekat dekat denganku. please.." Sina memohon dengan sangat. kalimat itu terdengar menyedihkan. terutama buat Dana. sampai hati sina mengatakan hal itu kepada suaminya.
"tapi aku sudah mandi dan memakai parfum lain, ay"
" tetap saja aku mual, mas.. tolong mengerti aku. apa kamu mau aku tersiksa seperti ini?" Dana semakin tak tega melihatnya. ia memilih melangkah mundur menjauh dari wastafel.
"tunggu!" Dana berbalik tersenyum kecil. berharap sina berubah pikiran "ya?"
"kamu terlihat jelek sekali malam ini, mas" sina kembali menunduk ke wastafel tanpa mempedulikan Dana. sekarang bertambah lagi penyebab sakit istrinya. aroma tubuh dan wajah jelek katanya"
apa setelah ini Sina akan mengatakan bahwa dirinya monster" atau virus mematikan"
ini pertama kalinya seorang Dana terlihat jelek bahkan dimata istrinya sendiri. mungkin rasa mual itu mengakibatkan Sina kesulitan membedakan mana virus mematikan, mana virus menyeramkan. tapi keduanya nampak sama dimata sina jika melihat Dana.
kalau sampai besok Sina masih tetap mual seperti itu, mau tidak mau Dana harus siap dikuliti harga dirinya sebagai pria.
"mas, malam ini kamu tidur di sofa aja ya. kamu ga mau kan,--"
"aku tersiksa karena mual mual melihat kamu dan mencium aroma tubuh kamu" potong Dana dengan wajah malas. "kamu mau mengatakan itu kan, ay?"
"hueekkk,--" Dana berjengit ngeri. lalu buru buru membawa satu bantal dan satu selimut" menuju sofa yang letaknya dekat jendela kamar.
*** keesokan paginya, Dana menerima sebuah kiriman yang dikirim ke alamat kantornya. sebuah kotak persegi berwarna biru muda berhiaskan pita dengan warna senada.
kotak tersebut berisi sepucuk surat berwarna pink dan benda pipih berukuran sekitar sepuluh senti. ia kenal sekali benda itu. benda itu pernah dilihatnya sewaktu Sarah hamil.
tunggu! hamil" Dana cepat cepat membaca isi surat tersebut. agar rasa penasarannya terjawab.
ku kira Cahaya hanya ada satu.
tapi rupanya, Cahaya itu banyak. dan juga indah..
dan kamu akan memiliki Cahaya berikutnya yang tak kalah Indah.
Generasi cahaya yang kau tanam maka akan tumbuh dan lahir dari induk Cahaya.
maka aku percaya, Cahaya kedua akan berada menyertai kita.
menjadi bagian dari darah daging kita.
yang mendambamu selalu. Sabriana Cahaya :* *** 26. Apalah apalah "Oke, tahan!" Ckrek! "Ganti gaya, ay. Tangan kanan kamu pegang kalung lalu tangan kirinya taruh di bahu kiri" perintah sang fotografer sekaligus suaminya tersebut.
"Seperti ini?" "Ya ya. Tahan ya sayang"
Ckrek! Dana melihat hasil jepretannya. Sina berinisiatif untuk melihat hasilnya juga. Mereka duduk di kursi panjang yang berada di halaman belakang.
"Kok yang ini hasilnya jelek, mas?"
Tangan Sina turut aktif mengoperasikan kamera. Dan menghentikan pada salah satu hasil foto yang menurutnya tidak bagus.
"Bagus, ah" elak Dana dengan mata menyipit sambil memerhatikan objek yang ditunjuk istrinya.
"Lihat dong, mas. Muka ku terlihat pucat"
"Ini bukan pucat. Ini seni, ay"
"Seni darimana, mas. Aku jadi terlihat seperti sedang sakit. Coba perhatiin deh"
Alih alih Dana memerhatikan hasil foto, ia malah menatap Sina. Sambil tersenyum sendiri memandang keindahan Tuhan di hadapannya.
"Perhatiin fotonya mas. Bukan akunya"
"Aku lebih suka melihat objek yang nyata ketimbang benda dua dimensi ini. Memandangi kamu seperti merasakan kebesaran Tuhan yang luar biasa hebat. Menciptakan seorang bidadari tanpa sayap" pujinya. Mata pria itu menembus bola mata Sina. Seolah mencari keindahan lain yang barangkali terselip disana. Segala ungkapan yang terlontar laksana taburan gula dipermukaan donat.
"Sudah merayunya?" Sina berharap suaminya itu berhenti meracuni dirinya dengan dzat dzat manis yang tercipta dari mulutnya yang mengandung glukosa berlebih.
"Belum" Dana tersenyum polos "kamu jangan berfikir aku sedang merayu. Aku sedang mengabsen detail detail ornamen nyata bernyawa yang indah disini" Dana menunjuk kening istrinya. Lalu perlahan turun menyusuri hidung paruh burung elang. Semakin turun lalu mendarat di bibir. Warna pink alami tersembul dari benda lembut menggoda itu.
"Kadang aku merasa akulah manusia paling egois. Aku tidak ingin berbagi istri dengan Tuhan. Aku tidak ingin Tuhan suatu saat memanggilmu kapanpun. Karena aku ingin kamu tercipta untukku. Hanya untukku. Meskipun aku tahu, kamu, aku dan kita adalah mutlak milikNya. Maka bagaimana caranya agar jiwa ini selalu dekat denganmu" Marilah kita bertasbih atas cintaNya. Memanjat lantunan do'a atas sebuah cinta di atas satu nama. Agar kelak kita dapat kembali bercumbu disurgaNya"
Entah sejak kapan tubuh Dana dan Sina sudah tiada jarak diantara mereka. Dana bisa dengan puas menatap setiap inci perhiasan dunia miliknya itu.
Sina memilih memeluk erat suaminya. Sebagai tanda bahwa kalimat rayu yang ia dengar telah membuatnya tak berdaya. Membuatnya tak henti mengutuk dirinya sendiri karena tidak bisa konsisten. Pertahanannya selalu runtuh kala Dana sudah berhasil mengambil kuasa penuh gejolaknya yang menumpuk.
"Rasanya tidak adil kalau aku tidak membuat kamu merasakan apa yang aku rasakan, mas" Sina menarik tubuhnya. Memberi hembusan nafas segar aroma minta memenuhi wajah sayu suaminya.
"Aku menunggu" "Allah menyatukan kita melalui tanganNya. Melalui takdirNya yang nyata. Melalui sebait puisi yang tak sempat terucap. Melalui untaian Do'a yang sempat salah. Melalui keraguan keraguan yang mengakar tunjang. Melalui umpatan umpatan benci yang bergumul di batin" Sina mengerjap lalu ditemukannya sosok yang sama. Ia menghela nafas.
"Kalau boleh ku meminta, maka maukah kamu menjadi Fajarku kala siang bersiap menimpa. Maukah kamu menjadi cairan segar di gurun tak berpenghuni. Maukah kamu menjadi setetes embun kala dahaga tak henti membuatnya mati. Maukah kamu menjadi pelita kala kegelapan mendominasi kehidupanku yang membutuhkan seberkas cahaya. Dan maukah kamu menjadi seseorang yang kehadirannya begitu dinantikan surga. Maukah kamu membawa aku dan kita menuju tempat terindah yang telah Dia janjikan?"
"Sekarang aku merasakan apa yang kamu rasakan, ay" genggaman tangan Dana pada istrinya semakin erat.
"Apa?" "Aku merasa bahwa istri ku ini sedang meminta adik untuk Biya" lontaran itu mendapat pelototan membunuh dari Sina. Bisa bisanya Dana berpikir seperti itu.
"Masssss...." ujar Sina geram dan tidak akan membiarkan Dana kabur begitu saja.
*** 27. kembar" "Sekarang, jujur sama aku. Apa
"Sekarang, jujur sama aku. Apa Dana sambil bersendekap. Matanya tajam membunuh. Justru semakin membuat Sina terheran heran. Rahasia apa" Bukankah yang hobby menyimpan rahasia itu adalah dia", pikir Sina.
"Yakin sekali. Memang apa yang sudah kamu temukan, heum?" Tantang Sina. Jadi, suaminya itu mau menguji kejujurannya. Oke baiklah.
"Ini" Selembar foto landscape yang usang sampai sampai Dana harus meniup permukaannnya agar debu debu disana pergi. Menampakan dua wajah gadis. Gadis pertama, ia yakin sekali bahwa itu istrinya. Tapi setelah melihat gadis satunya, ia menjadi tidak yakin kalau gadis pertama tadi adalah istrinya. Lalu yang mana istri aslinya tersebut"
"Eh, kamu menemukan foto ini dimana, mas" aku cari cari ini loh. Hebat ih, kamu bisa nemuin" alih alih terkejut atau apa, Sina malah kegirangan sambil mengusap ngusap foto tersebut.
"Aku menemukannya terselip diantara tumpukan berkas pernikahan kita" Dana tersadar sesuatu. "Hei, yang ingin aku tanyakan adalah, sejak kapan kamu mempunyai saudara kembar?" Pertanyaan itu justru membuat Sina terhenti dari ekspresi bahagianya. Ia mendongak seraya menaikan satu alisnya.
"Kamu tidak mengenalnya?"
"Mengenali siapa" Keduanya mirip dengan kamu. Bagaimana aku bisa membedakan" Dana mengambil selembar foto usang tersebut. Mengamatinya sekali lagi. Siapa tahu penglihatannya mengalami gangguan. Dan hasilnya nihil. Keduanya bak pinang dibelah dua.
"Sekarang, gunakan feeling atau keyakinanmu" perintah Sina wajahnya serius dan mengarah pada foto "menurut kamu, aku yang mana?"
Ini bencana namanya. Seharusnya ia tidak memberikan foto tersebut pada istrinya. Dan seharusnya dia yang marah tentang identitas sina yang tersembunyi. sekarang jadi dia yang tersudut. Lalu, apa yang harus ia lakukan" Menebaknya dengan asal atau menguras otaknya mencari tahu mana istrinya di dalam foto itu. Bagaimana jika tebakannya salah"
"Kalau aku benar, aku dapat apa?"
Sina memutar bola mata. Selalu seperti ini. Kadang otaknya mendadak amnesia. Selama ini ia menikah dengan seorang pengusaha atau lintah darat, sih" Pamrih sekali.
"Apapun yang kamu inginkan"
Senyum mengembang sempurna di bibir pria itu. Senyum bahagia, layaknya memenangkan undian mobil dari lembaran bungkus kopi. Kira kira seperti itulah gambaran kebahagiaannya.
"Tapi kalau kamu salah, kamu harus menerima resikonya" siapa bilang Sina tidak bisa mengancam balik. Seharusnya setelah ini Dana mengalami penurunan semangat.
"Ayolah sayang. Suamimu ini sedang kalut karena kemunculan foto ini. Aku sedang tidak ingin bermain teka teki dengan kamu" akhirnya Dana menyerah sebelum berperang juga. Ia tahu sekali resiko apa yang akan dialaminya kalau nanti jawabannya salah.
"Tapi aku ingin tahu seberapa jelinya kamu membedakan mana istrimu dan mana yang bukan, mas" kalimat itu perlahan terdengar seperti rengekan manja seorang balita. Kalau sudah begini, Dana bisa apa" Pria itu menarik nafas panjang.
"Baiklah. Tapi aku membatalkan perjanjian tadi. aku tidak sanggup menerima resiko yang akan kamu beri nantinya" ungkap Dana pasrah dan mulai meneliti foto kramat itu. Sedang istrinya menyimpan senyum geli.
"Coba senyum" perintah Dana kemudian mensejajarkan foto tersebut dengan wajah istrinya yang memberi senyum terbaiknya sesuai dengan yang di foto. Semakin kesini, semakin mudah untuk membedakan dua sosok disana. Ada titik titik perbedaan yang nampak dari keduanya. Dari garis wajah mulai nampak perbedaan diantaranya. Lalu perlahan menuju mata yang jika diamati lebih dalam, perbedaannya lebih mencolok.
"Menurutku, kamu yang ini" mata sina mengikuti arah telunjuk Dana yang mengarah pada sosok gadis berjilbab merah. Ia ingin terperangah takjub, tapi tidak jadi. Ia malah merubah rautnya menjadi datar.
"Benar tidak?" Tanya Dana ditibani perasaan sangsi. Apalagi setelah merasakan aura mistis yang terasa dari tatapan istrinya. Semoga saja feeling buruknya salah.
"Sudah berapa lama kita menikah?" Itu bukan jawaban. Melainkan pertanyaan. Dan bukan pertanyaan itu yang Dana harapkan. Tentu saja ini firasat buruk baginya.
"Lima tahun sembilan bulan dua minggu tiga hari" jawaban yang benar. dan jangan salah. Dana punya kelebihan mengingat yang super. Sina mengakui itu.
"Dalam lima tahun kita menikah, dan kamu memilih gadis berjilbab merah itu?" Baiklah, sinyal bahaya sudah menguing nguing di kepala. Bersiap mengeluarkan amunisi untuk menghadapi amarah dari nyonya besar.
"Apa jawabanku salah,ay" Aku merasa di foto itu kamu yang berjilbab merah" mata Dana bergerak gerak berusaha untuk jujur "pertama, garis wajah kalian berbeda. Aku hafal sekali garis wajah istriku tidak seperti ini" ia menunjuk si gadis berjilbab hitam.
"Kedua, kelopak mata kalian yang paling mencolok. Kelopak matamu besar. Tentu saja aku tahu?" jelas Dana merangkum isi otaknya. Ia menarik nafas dan melanjutkan deskripsinya.
"Dan terakhir, ini bagian favouriteku. mustahil" aku tidak mengetahui bagaimana bentuk bibir ranum istriku. Lihatlah" mata Dana mengarah pada foto dan istrinya secara bergantian. "Tidak ada pemilik benda indah ini selain kamu" tiba tiba ada yang mendorong tindakan Dana menyentuh bagian yang disebutnya barusan.
"Dan aku si pemilik mutlak kedua setelah kamu. Tidak ada yang lain" suasana berubah hening. Hanya terdengar detak detak yang tersembunyi di dada. Mencari tahu apa yang terjadi setelah ini. Kedua pasang mata saling bertemu dalam satu garis lurus. Seolah menyambungkan antara keindahan yang satu dengan yang satunya hingga membentuk jembatan penelusur mimpi. Mencari makna makna yang terselip. Dirabanya bibir ranum pink istrinya itu. Namun tidak berlangsung lama karena ada tangan lainya yang menghempasnya perlahan. Yakni tangan Sina. Ditatapnya suaminya itu dengan tatapan aneh.
"Sayangnya jawaban kamu salah, mas" jawaban singkat itu berakhir disertai membalikan badan lalu berjalan melangkah pergi meninggalkan Dana yang mulai detik ini dirundung bahaya perang dunia ketiga.
"WHATSS?"" Pekik pria itu tidak percaya.
Sedang Sina yang kini sudah berada di kamar terkekeh geli menuangkan tawa yang sedari tadi ditahannya.
.... *** Tamat *** Jodoh Di Gunung Kendeng 2 Wiro Sableng 118 Batu Pembalik Waktu Kisah Para Penggetar Langit 6
Diana seperti kehabisan tenaga. gak sanggup lagi menahan kekuatan orang orang yang menahannya. hingga tanpa ia sadari, jarum suntik di tangannya sudah tertancap pada tubuh seseorang diantara kerumunan.
Diana terpaku bisu melihat kondisi seseorang yang kini tengah berdiri kaku memegangi lengan yang sudah tertusuk jarum suntik miliknya. dan kemungkinan, dalam waktu satu jam, racun yang masuk ke dalam tubuh orang itu akan bereaksi.
*** 21. Takdir yang menepi air langit tak henti membasahi daratan bumi dan seisinya. mereka turun bersamaan dalam volume kecil. bagian dari cairannya menelusuri dedaunan lalu mengikuti tulang daun yang menyirip. bak setetes embun menyejukan. mereka menjadikan dedaunan tersebut menari nari pada habitatnya. mengayun ayun pada dahan yang hijau
sang fajar bersiap menunjukan wujudnya. hampir setengah bagian dari cahayanya menyelinap masuk melalui celah tirai jendela besar di salah satu kamar. menerangi aktifitas disana. seolah mereka ingin tahu apa yang selanjutnya terjadi setelah badai besar menimpa dua insan manusia yang sedang berada disana.
"kok perih ya, ay?"
"namanya juga obat luar, mas. tahan sedikit ya" Sina mengoleskan sedikit obat salep lalu mengusapnya ke bagian pergelangan tangan kiri suaminya. Dana yang menjabat sebagai pasien sehari Sina, hanya mengamati aktifitas istrinya mengobati lecet dan gatal gatal yang dideritanya.
"pelan pelan ya sayang" rintih Dana menahan perih yang berasal dari obat tersebut. kulitnya sudah sangat sensitif dengan bahan kulit rupanya. baru beberapa jam mengenakan jam tangan kulit dari Sarah. kulitnya mengalami gatal gatal yang luar biasa. bahkan menjadi lecet karena terlalu kuat ia menggaruknya.
Sina terlihat begitu hati hati. kedua matanya engga berpaling dari luka tersebut." gerak tangannya meski lambat tapi pasti. bahkan tak jarang gadis itu meniup niup area luka Dana agar suaminya tidak merasakan sakit.
"akhirnya selesai juga" Sina melihat hasil kerjanya "bismillahirahmannirahim, cepat sembuh ya" Sina menepuk nepuk luka itu dengan ujung jari seolah memberinya mantra ajaib. ia pun kembali ke posisinya. bersandar pada bantal empuk dibelakangnya. Dana mengulum senyum.
"kalau boleh tahu, Siapa yang memberi kamu nama Sabriana Cahaya?" Dana menaruh kedua tangannya di atas paha Sina yang sedang duduk meluruskan kakinya di atas tempat tidur." sedang ia duduk di tepi ranjang.
"Ibu dan Ayah. lalu mereka sepakat untuk memakai nama panggilanku Sina" bola mata gadis itu bergerak gerak. Dana tak bosan mengikuti pergerakannya.
"sepertinya aku mulai tahu mengapa mereka memakai Sina sebagai nama panggilanmu" Dana menyibak anak rambut Sina yang basah. sejak hari ini ia suka sekali melihat seorang gadis berkeringat lalu keringat tersebut membasahi area tepi kepala. karena itu mengingatkan dirinya pada malam pertamanya dengan Sina. sejenak ia ingin mengulang malam itu.
"apa?" sina memiringkan kepalanya. rambut hitamnya berayun ayun kecil"perpaduan nama Ayahmu dan kamu jika dipadu menjadi Ibnu Sina. kamu tahu beliau siapa?" Sina bergeming. dulu sekali ayah pernah memberi tahu arti dari dua nama itu.
"Ibnu Sina adalah seorang filusuf dan dokter pada masanya. dan dia memiliki karya yang paling terkenal yakni, buku yang berjudul The Book of Healing" penjelasan gadis itu mendapat respon baik dari Dana.
"benar sekali" Dana mencolek hidung bangir Sina "biar ku tambahkan ya" Dana memberi jeda
"Abu ali Al husayn bin Abdullah bin Sina atau sering dipanggil ibnu sina kelahiran iran. beliau seorang filusuf dan dokter pada masanya. namun orang orang sering menyebutnya sebagai bapak kedokteran modern. karya beliau yang paling terkenal ialah the book of healing dan the canon of medicine yang dikenal sebagai qonun, lalu dijadikan kitab rujukan dasar ilmu kedokteran modern"
Sina mengangguk mengerti. penjelasan Dana barusan, persis seperti yang dijelaskan ayah waktu itu. sayang sekali daya ingat gadis itu masih minim.
"dan kamu adalah dokter pribadiku. kalau ibnu Sina memiliki The Book of Healing. maka kamu memiliki The Healing of my life" ia tatap lagi bola mata istrinya tengah berbinar kemudian tercipta lengkungan indah bak pelangi dari bibir Sina.
"lantas kenapa kamu menyebutku aya. bukan Sina?"
Dana ingin jujur bahwa yang menyarankan nama tersebut adalah mamanya. tapi jangan sebut ia Dana kalau tidak mempunyai seribu alasan.
"karena nama Aya hanya memiliki 3 huruf didalamnya. seperti aku menjadikan kamu sosok yang namanya tiga kali disebut rasulullah. ibumu.. ibumu.. ibumu.. lalu ayahmu" Dana menggenggam erat kedua tangan Sina menatapnya intens. "kelak kamu akan menjadi ibu dari anak anak kita" tiba tiba saja Sina mendadak terserang diabetes. rayuan Dana lebih maut ketimbang rayuannya saat itu. untung saja wanita tercipta dari tulang rusuk pria. kalau mereka tercipta dari mulut pria, mungkin Sina tidak kalah jago dalam merayu seperti ini.
"mas, 3 Titik" Sina menipiskan bibirnya. lalu sesuatu mendarat di bibir itu. sentuhan jari Dana meraba lembut benda berwarna merah muda tersebut. " ya sayang" jawab pria itu lembut.
"jangan menggenggam terlalu erat. tanganku masih sakit" Dana refleks menarik genggaman dari tangan Sina. ia lupa kalau keadaan istrinya masih belum pulih. kedua pergelangan tangannya masih dalam balutan perban dikarenakan pergelangan tangan tersebut terlalu lama mengalami gesekan dari tali serabut. belum lagi Sina mengalami kekurangan cairan. sehingga harus dibawa ke rumah sakit. tapi ia menolak untuk dirawat disana. ia memilih di rawat di rumah ibu mertuanya.
"yasalam.. maaf.. aku lupa" Dana mengelus elus permukaan tangan istrinya. rencana membuat Sina bersemu merah karena rayuannya pun gagal.
"tiba tiba saja aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu yang sejak kemarin ku pendam" raut Sina berubah serius. begitupun Dana. ia tak kalah serius.
"apa itu?" Sina terdiam sejenak dalam waktu agak lama. berharap tidak ada yang salah atas pertanyaannya ini. tapi sungguh, tidak enak sekali rasanya jika ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.
"kamu tidak melakukan apapun dengan Sarah, kan?" tanyanya takut takut. seharusnya Dana yang takut dengan pertanyaan tersebut. karena jika Sina sudah cemburu, negara Api akan bertransmigrasi ke kediamannya.
"kamu sudah menanyakan ini tiga kali, ay. kalau tebakanku benar, apa kamu cemburu?" Dana menaikan satu alisnya. Sina berjengit.
"ini bukan tentang cemburu atau bukan. jawabanmu kemarin masih mengganjal pikiranku. ya, aku tahu kamu tidak melakukan apapun dengan Sarah. tapi,.." Sina menarik nafas "bisakah kamu menyakinkan aku bahwa itu benar benar tidak terjadi?" kedua alisnya bertaut meninggi. memberi sorot keraguan disana.
Dana tersenyum jail. "baiklah kalau itu mau mu. aku akan membuktikannya"
"benarkah" pembuktian yang seperti apa?" ada sorot berharap dari bola mata gadis itu. tubuhnya menegak senang.
"kamu akan mengetahuinya nanti malam" Dana menyeringai.
Sina mencium aroma mesum dari seringai itu. ia hafal sekali arti seringai tesebut." semoga Dana tidak sedang menginginkan sesuatu yang membuat dirinya hamil.
"ahh.. tiba tiba aku melupakan sesuatu" Sina beranjak dari tempat tidur "aku harus membantu mama mu menyiapkan makan siang" gadis itu berjalan meninggalkan Dana yang sedang terkekeh geli menatap kepergian istrinya. sepintas ia melihat perubahan cara berjalan Sina. agak terpincang pincang. apa effeknya se ekstrem itu" pikiran Dana memutar
*** Seorang wanita berdiri di bawah naungan pohon kamboja tua, dimana rantingnya meliuk liuk mengikuti perintah hidupnya. ia edarkan pandangan mata ke penjuru pemakaman, tak ada satupun yang datang mengunjungi tempat pemakaman itu. ia menghela napas.
kali ini pandangannya terarah pada segunduk tanah yang
berhiaskan ukiran kayu sebagai Nisan di salah satu ujungnya. seakan duka tiada henti terus mengitari kepalanya.
salahkah jika aku menginginkan kamu, bahagia, nak,
salahkah jika aku menginginkan kamu selalu tersenyum kala duka menimpa tubuh rapuhmu, nak,
salahkah jika aku menghalalkan" segala cara hanya untuk mendapatkan sesuatu yang bernama cinta. dan itu untukmu.
salahkah jika aku berharap mendapatkan yang terbaik darimu..
mengapa Tuhan itu jahat"
aku belum sempat membahagiakanmu. tapi Dia sudah merebutmu dari aku.
mengapa Tuhan itu tidak adil"
aku belum sempat menggendong cucuku. tapi Dia membuatmu tertidur di tempat menyeramkan ini..
tidak inginkah kamu bangun lalu memeluk ibumu ini sayang"
Aufa telah selesai membacakan surat yasin dan al fatihah. ia pun beranjak berdiri mengambil alih memegang handle kursi roda yang diduduki Diana. wanita paruh baya itu menatap kosong sebuah makam yang masih tercium aroma mawar disana. tertulis sebuah nama pada nisan yang berdiri kokoh diujung makam itu.
Siti Dandeliana Sarah binti James Frank
perbandingan nama yang sangat kontras. tapi itu memang benar adanya. Diana menjalin hubungan terlarang dengan pria berkebangsaan Amerika. mereka menjalin kasih sejak James berpindah ke apartemen yang berlokasi tak jauh dari rumah Diana. semenjak James tahu bahwa Diana hamil. keberadaannya seperti ditelan bumi.
Sarah meninggal setelah mengalami kelumpuhan pada paru parunya. ia bisa saja diselamatkan, walau hanya kemungkinan kecil. dan kondisi janinnya sudah tidak bisa diselamatkan.
Pancuronium bromide atau yang dikenal dengan Pavulon adalah obat penenang otot yang pada dosis tertentu bisa menghentikan nafas dengan melumpuhkan kerja diafragma dan paru-paru.
Dosis yang dipakai Diana untuk membunuh Sina sangat banyak. semua itu karena ambisi busuknya sudah menggerogoti hati. sehingga tidak segan segan memberi Dosis sebanyak itu.
namun Takdir berkata lain. senjata itu justru berbalik menyerang putri kesayangannya. putri yang ia banggakan dalam melaksanakan apapun perintahnya. sampai ia tak sadar tangannya sendiri yang telah menghabisi nyawa Sarah.
andai Sarah tidak membelokan kekuatan tangan Diana yang mengarahkan jarum suntik itu pada Sina. mungkin dia tidak akan berakhir di liang lahat seperti ini.
entah mendapat energi darimana, kekuatan Sarah bisa sampai melebihi Diana.
"bu.. kita pulang yuk. ibu harus istirahat" Aufa mengelus pundak Diana secara lembut. Diana tak menjawab. matanya kosong menatap lurus kedepan. seolah tidak mendengar suara apapun kecuali bisikan batinnya.
Aufa melingkarkan tangannya ke leher Diana dari belakang. mendekapnya agar hangat. menghirup aroma lavender khas parfum diana.
"ya Allah.. berilah Saudaraku Sarah jalan ke surgaMu tanpa hisab.." lirih Aufa meneteskan sebening embun dari mata kini membasahi jilbab juga rambut Diana. andai ia bisa memilih, lebih baik dirinya yang berada di posisi Sarah.
"ampunilah dosanya. lapangkanlah kuburnya dan berilah cahaya penerang disana..."
Diana mendengar rintihan doa itu. namun tak mengubah raut datar nan kosong yang terpancar.
tiba tiba raut datar tersebut berubah aneh. ada sorot ketakutan disana. Diana seperti kehabisan oksigen. nafasnya tercekat. matanya melotot takut. tubuhnya gemetar hebat. Aufa merasakan perubahan itu setelah dua orang pria datang menghampiri mereka.
"jauhkan dia dari aku! jauhkan! cepat!" Diana mengerang ketakutan seperti melihat malaikat pencabut nyawa. tubuhnya gusar berusaha keluar dari kursi roda.
"bu tenang.. bu" Aufa menenangkan. mengelus ngelus tubuh Diana. tapi tak berpengaruh. Diana malah semakin seperti orang kesurupan.
"pergi kalian! pergi!" Diana menunjuk nunjuk dua pria tersebut dengan sekuat tenaga sampai sampai kursi roda yang didudukinya hampir terjungkal ke depan.
"Sarah! lihat nak! mereka mencoba membunuh mama! tolong mama, nak! bawa mama bersamamu!" Diana malah semakin parah. mengajak bicara makam sarah. ia beringsut turun memeluk makam diana seraya meronta ronta. Aufa semakin tak kuasa melihat kondisi Diana. ia berusaha menarik Diana dari posisinya seraya menangis terisak.
"tolong mama sarah! suntik mati dia!"
Aufa membiarkan dua pria itu membantunya meraih tubuh diana agar kembali ke kursi rodanya. tentu Diana semakin meronta ronta tidak karuan.
"lihat Sarah! mereka akan menyuntik mati mama!"
salah satu pria menyuntikan jarum suntik ke lengan diana. hingga beberapa detik setelahnya Diana kembali tenang. tak ada lagi tangis miris terdengar.
"sebaiknya untuk sementara, jangan bawa nyonya diana ke tempat ini dulu. karena itu akan semakin membuatnya trauma hebat. kamu lihat sendiri tadi bagaimana tersiksanya dia sampai harus merangkak di makam anaknya" ujar salah satu pria berkemeja putih ditemani rekannya memakai seragam safari berwarna putih. pada bagian saku baju tersebut terpampang logo dan nama Rumah sakit jiwa yang berlokasi berada di bilangan kota grogol.
"baik dok. mungkin dirawat di rumah sakit akan membuat ibu semakin membaik. maaf sudah merepotkan anda sehingga harus menemani saya kesini" Aufa tersenyum pada Dokter muda dihadapannya.
"bagaimanapun juga. nyonya Diana adalah pasien khusus saya. sudah menjadi kewajiban saya melakukan apapun demi kesembuhan beliau" Dokter itu tersenyum lebar namun manis. tubuhnya tegap tinggi sampai sampai Aufa harus mendongak jika berbicara dengannya. rahangnya kokoh. bahunya datar. ada satu yang menarik perhatian Aufa. yakni terletak pada alisnya yang sedikit bercabang.
"sekali lagi saya ucapkan terimakasih banyak dokter Syihab" Aufa menangkup telapak tangannya seraya tersenyum. setelah sebelumnya ia membaca pin tag name pada saku kemejanya.
dokter Syihabuddin Akmal. nama yang bagus. sesuai dengan perawakan pria itu.
merekapun membawa Diana meninggalkan pemakaman Sarah.
"ketika do' dan takdir saling tarik menarik dalam kehidupan. maka sisipkan harapan disana. agar jika suatu saat jika mereka berhenti. ada secuil harapan yang tersisa" dokter Syihab berjalan mengiringi langkah Aufa menyusuri tiap blok pemakaman.
"anda benar. karena suatu hari nanti Takdir itu bisa menepi sesuka perintahNya. tak peduli kemana harus menepi sehingga tersisa hanya doa yang diisi sebuah harapan disana"
Syihab mengulum senyum. menoleh pada gadis disebelahnya. tersirat sesuatu di sorot matanya.
"nyonya Diana pasti bangga mempunyai anak sepertimu"
siapa yang sangka pipi Aufa sekarang bersemu. hati nya mengingatkan bahwa itu bukan kalimat pujian. jangan terbawa perasaan.
*** 22. imbalan pahala dariNya
Aufa membaca detail tiga lembaran pada tiga map coklat ditangannya. mengamati selembar foto yang disisipkan pada lembaran tersebut. membaca biodata dari atas hingga ke bawah. alisnya terkadang berkerut tatkala menemukan fakta yang ia temukan dari biodata tersebut.
"proposal yang kamu pegang itu dari Ramzi Assofyan. anak kyai Lutfi, teman Ayah sewaktu dipesantren. anaknya baik. tidak sombong. dan berwibawa" Cokro melirik kegiatan Aufa. gadis itu masih menimang nimang proposal yang baru saja di deskripsikan ayahnya. ia melihat lagi foto sosok yang bernama Ramzi tersebut.
"nah kalau yang kamu pegang di tangan satunya itu dari Zidan Ahmad. putra bungsu teman ayah sesama sopir. anaknya qana'ah sekali. sederhana. sejujurnya ayah lebih suka yang seperti itu. tapi kembali kepada keputusanmu" ada sorot mata berharap dari mata Cokro. jika dulu ia bersih keras menunda Aufa untuk menikah. sekarang ia begitu bersemangat sekali bila Aufa hendak menikah. bahkan ia sempat mempromosikan Aufa pada rekan rekannya. dari rekan sepengajiannya. rekan kerjanya. bahkan rekan sesama pengurus organisasi di lingkungan rumahnya. walau ia belum tahu apakah Aufa siap untuk berta'aruf.
"kalau yang ini yah" sepertinya fida kenal" Aufa mengetuk ngetuk bibirnya seraya berpikir. ia menoleh meminta jawaban dari Cokro.
"Ayah sebenarnya juga bingung. proposal ini ayah terima dari pakde Ibnu. saking semangatnya, ayah tidak sempat menanyakan siapa pemiliknya. coba kamu baca saja profil lengkapnya" Cokro menunjuk proposal satunya dengan wajah.
"namanya Ridwan Abbasy. dia bekerja di salah satu perusahaan swasta terbesar di jakarta. umurnya 25 tahun. hobbynya olahraga memanah. pernah menjabat sebagai....."
Cokro menoleh heran menatap anak gadisnya.
"kenapa berhenti?"
Aufa memerhatikan lagi foto dan biodata lengkap pria bernama Ridwan Abbasy tersebut. dan benar. ia seperti pernah bertemu dengan pria itu. tapi dimana" otaknya mengingat lebih keras lagi. didukung membaca profilnya lebih detail lagi.
"tuh kan benar! Fida kenal dia yah" Aufa menepuk jidatnya merasa seperti berhasil memecahkan sebuah teka teki rahasia. "dia Abbas. mantan pacar Sina sekaligus..." Cokro menyesal jika aufa menggantung lagi ucapannya. bibir pria itu menipis ragu.
"pria yang sebelumnya akan menikah dengan almarhum Sarah" jawaban itu terdengar melemah. Aufa menunduk. seperti ada beban besar tiba tiba menimpa tubuhnya. seakan sulit untuk bangkit lalu menatap Cokro yang kini justru lebih terheran heran. mengapa Ibnu memberi proposal ta'aruf Abbas kepada putrinya" bukankah menurut sepengetahuan Cokro. Ibnu termasuk orang yang sangat selektif dalam memilih. ia ingat sekali sewaktu Ibnu bersih keras menghasut dirinya agar bercerai dari diana karena ia tahu bagaimana akhlak buruk Diana. lantas bagaimana dengan abbas" laki laki itu saja pernah menjadi mantan kekasih anaknya. apa yang bisa dibanggakan darinya"
Cokro mengambil nafas panjang. ia tahu sekali ada banyak keraguan yang menimpa putrinya. apalagi dengan tiba tiba dirinya memberi tiga proposal ta'aruf sekaligus. tentu akan lebih memberatkan Aufa.
"yasudah. kamu pertimbangkan baik baik. jangan terburu buru. ayah tahu kamu bimbang" Cokro membawa Aufa dalam dekapannya. mengelus puncak kepala putrinya.
"untuk proposal milik Abbas, sebaiknya ayah tanyakan dulu kepada pakdemu. ayah tidak ingin putri sholehah ayah di imami oleh pria tidak baik. ayah yakin kamu gadis yang baik, maka harus mendapatkan yang baik pula"
Aufa melingkarkan tangannya diperut Cokro dari samping.
"fida tidak bilang Abbas itu tidak baik yah, fida yakin pakde ibnu punya alasan kuat mengapa menerima proposal ta'aruf itu. bukankah selama ini Ayah percayakan fida kepada pakde ibnu" Cokro mengangguk. ucapan Aufa ada benarnya juga. tapi tetap ada secuil keraguan yang menggerogoti pikirannya. apalagi ia mengetahui bahwa Abbas adalah pria yang akan menikahi almarhum Sarah. bagaimanapun juga, ia harus tanyakan pada Ibnu.
"tapi, untuk kesekian kalinya ayah bertanya padamu. apakah kamu siap untuk menikah?" Aufa menarik diri seraya menatap wajah Cokro. sudah nampak kerutan kecil disekitar area kantung mata pria itu.
"bagaimana kalau ayah dulu saja yang menikah" Aufa tersenyum jail "agar nanti kelak fida menikah, tidak ada kecemasan dalam diri fida karena meninggalkan ayah sendiri" gadis itu memang pandai sekali berkata manis. membujuk rayu seperti malaikat kecil yang menolak untuk dipulangkan ke langit.
"jadi kamu bosan merawat ayah?"
Cokro hampir melotot sebal. berpura pura agar Aufa takut. ia takut sekali jika Cokro sudah marah.
"ayah jangan marah dulu. fida kan cuma bercanda" gadis itu menepuk nepuk lembut lengan Cokro secara manja. Cokro berhasil. ia tersenyum sumringah.
"itu artinya kamu setuju untuk menikah" Cokro menaik turunkan alisnya genit. hampir ia terkekeh geli melihat ekspresi malu putrinya. wajahnya mudah sekali bersemu. tak lama ia mendapat cubitan ringan di lengannya.
"aduh.. sakit, nak" Cokro meringis kecil.
"abisnya ayah ngeselin" Aufa mempoutkan bibirnya gemas. pria berwajah hangat itu tertawa kecil menimbulkan gerakan naik turun dari perutnya yang hampir membuncit.
*** Dana terduduk manis bersandar pada kursi kebesarannya. kerinduan pada kursi kesayangannya itu kini tersalurkan. namun kehadirannya kembali di kantor tak membuat kegelisahan pria itu memudar. bahkan sedari tadi ia nampak tegang.
Dana memainkan ujung bolpoint ditangannya menunggu kedatangan seseorang. dan tak sampai beberapa jam, seseorang itu datang tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
"assalamualaikum" suaranya pelan namun terdengar. Dana menjawab salam tersebut.
"lo kenapa ga bilang Maudy hari ini ga masuk kerja" malah kata pak Sastra, udah dua hari dia absen" tanpa ba bi bu, Dana memilih to the point. Idzar menarik nafas pendek.
"dia bukan absen bang. tapi dia udah resign sejak dua hari yang lalu. gue udah minta pak Sastra buat tahan mba Maudy. tapi ya gitu. sampai sekarang gue bingung kenapa dia mendadak resign dan buru buru. jadi maaf kalau gue gagal jalanin amanah lo" Idzar tertunduk setelah itu.
Dana bergeming sesaat. memikirkan sesuatu yang menari nari di otaknya. jika Maudy memang resmi resign. lalu siapa yang akan menggantikannya"
"its oke. gue ngerti" Dana berayun ayun di kursinya "mau tidak mau kita harus mengikhlaskan kepergiaannya. tapi andai ia mau berbicara baik baik. setidaknya dia bisa dapat apresiasi khusus dari perusahaan karena sudah mengabdi cukup lama" Dana menghela nafas "terkadang rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau daripada rumput di rumah sendiri"
"trus apa rencana lo?"Idzar mengambil minuman kaleng dari kulkas berukuran mini di salah satu sudut ruangan kemudian meminumnya.
"cari penggantinya. kali ini lo harus ikut andil ya" Dana menunjuk Idzar dengan bolfoint di tangannya. "gue butuh lo sama pak Sastra buat merekrut assisten baru. dan jangan orang sembarangan. ya minimal kinerjanya harus seperti assisten sebelumnya"
"kenapa bukan istri lo aja bang. malah biar lo bisa pantau dia" saran yang menggelikan. tiba tiba saja Dana berpikir bagaimana jika ia benar benar menjadikan Sina assistennya. bukannya fokus bekerja yang ada ruangan kerjanya dijadikan tempat bercumbu setiap hari. dan kemesuman pria itu akan semakin akut. maklum saja naluri seorang lelaki yang baru saja menikah. ada beberapa hormon yang meningkat drastis.
"gue udah janji sama diri gue sendiri. gue ga bakal mempekerjakan istri gue. dia harus jadi full wife dan ibu dari anak anak gue" Idzar mengangguk. lalu beranjak dari kursi " yauda nanti gue bantu lo buat cari assisten manager baru. yang penting persyaratannya lo siapin aja. nanti gue sebarin si kampus gue"
"persyaratannya udah terpasang di mading kantor dekat loby. atau nanti gue copyin buat lo" Dana merebut minuman dari tangan Idzar.
"yeh, si jangkung! lo punya banyak juga noh di kulkas" sungut Idzar menarik kembali minuman bersodanya lalu pergi meninggalkan Dana di ruangan.
*** jalanan kota nampak sangat ramai dipadati kendaraan bermotor. kendaraan roda empat juga tak kalah eksis dari peredarannya. tak hanya padat, tapi juga kemacetan selalu mendominasi mereka. volume kendaraan di sore hari memang tidak sebanyak di pagi hari dimana itu adalah jam para manusia sibuk dengan pekerjaannya dan anak anak dengan sekolahnya.
tapi entah ada angin apa. kemacetan sore ini sangat drastis. tidak biasanya motor yang dikendarai Idzar mengalami macet yang luar biasa. setidaknya ia bisa menyalip lewat jalan lain. tapi untuk hari ini, ia harus berdiam dalam kemacetan tak berujung.
suara klakson semakin menggema layaknya orkestra musik klasik. dan umpatan umpatan kasar sudah menjadi langganan telinganya.
"mba! bisa cepet ga! ini udah panjang macetnya!" teriak salah satu pengendara mobil pick up yang membawa dekorasi pengantin.
"sabar dong mas, ini lagi saya check dimana yang bermasalah. kalau mas mau cepat ya bantuin" jawab ketus seorang gadis yang ternyata menjadi dalang kemacetan tak berujung ini. Idzar mencondongkan tubuhnya ke kanan berusaha melihat. rupanya mobil gadis itu mogok di tengah jalan. sejenak Idzar berdecak. mengumpat dalam hati. bukan karena keadaan gadis itu, melainkan ketidak pedulian yang sudah mendarah daging pada manusia manusia disekitarnya tersebut. kebanyakan mereka menuntut sebuah hasil tanpa ikut andil dalam prosesnya.
"mobilnya kenapa mba?" Idzar sudah berdiri disamping gadis berjilbab putih memakai long cardi hitam dan celana skinny dipadu sepatu kets berwarna putih.
"ga tahu nih, mas tiba tiba mogok. saya check aki nya gak ada masalah sih. saya bingung mana lagi yang bermasalah. bukannya mereka bantuin. malah teriak teriak. gimana saya ga tambah pusing" ungkap gadis itu. wajahnya agak menghitam sedikit karena bergelut dengan oli yang hinggap pada mesin dan berpindah ke wajah kuning langsatnya. kesan pertama Idzar berubah sepersekian detik terhadap gadis tersebut.
"coba mba starter di dalam biar saya coba check problemnya" gadis itu menurut. Idzar mencoba mengutak ngatik mesin mobil tersebut. mencari cari penyebab mobil itu mogok. kini dia menjadi sasaran umpatan para pengendara mobil yang memanjang ke belakang. namun idzar cukup menanggapi umparan tersebut dengan lambaian tangan maaf seraya tersenyum. semoga mereka mengerti kondisi yang dialami dirinya dan gadis didalam sana.
"coba nyalain mba!" teriaknya dari balik cover penutup mesin mobil. namun nihil mobil itu tidak menunjukan perkembangan sedikitpun.
"ga bisa mas" Idzar mengutak ngatik lagi keadaan mesin tersebut. sesekali ia mengusap peluh yang kini membasahi area wajahnya.
"mas sebenarnya bisa ga sih" kalau ga bisa mending ga usah. biar saya bawa ke bengkel" Idzar mengernyit dalam aktifitasnya. ada yang aneh dari perkataan gadis itu. bukannya berterimakasih malah berbicara seperti itu.
"bagaimana mas" bisa ga" atau saya bawa aja ke bengkel" gadis itu keluar dari mobil kemudian menghampiri idzar. memerhatikan aktifitas pria itu.
"sabar mba. ini kan lagi dikerjain"
"tapi mas beneran bisa kan" mas mengerti tentang mobil kan?" Idzar terhenti lalu menoleh kepada gadis yang kini ia tahu memiliki mata coklat.
"mba bisa sabar ga. kalau mba terus berbicara, saya jadi ga konsen. yang ada mobil mobil disana tuh" Idzar menunjuk barisan kendaraan yang memanjang "bakal terus maki maki mba, dan juga saya pastinya" Idzar hampir kesal namun masih bisa menahan.
"ya maka dari itu mas bisa cepet ga" saya juga ga tahan berdiri disini" gadis itu lebih ngotot. Idzar hanya berdiam seraya mengucap istighfar berulang kali. sambil mencoba memperbaiki mesin mobil. keruwetannya semakin bertambah dengan ocehan gadis disebelahnya ini.
"coba mba, starter lagi" Idzar berdoa dalam hati semoga saja mobil itu kembali pulih. kalau tidak, mau tidak mau sebelum gadis itu membawanya ke bengkel, ia harus jadi korban amarah gadis menyebalkan itu.
"alhamdulillah. bisa mas"
Idzar mengelus dada lega. akhirnya usahanya membuahkan hasil. gadis itu memarkirkan mobilnya ke pinggir jalan membiarkan kendaraan yang memanjang disana berjalan menghirup udara segar.
"terimakasih ya mas" gadis itu memberi dua lembar uang lima puluh ribu kepada Idzar. spontan Idzar menolak pemberian itu dengan tangannya.
"maaf mba. saya cuma niat membantu bukan niat mendapatkan imbalan" jawab Idzar sopan lalu tersenyum. Gadis itu bergeming dalam waktu lama.
"yakin mas menolak uang ini?" gadis itu menaruh kembali uangnya ke dalam dompet "saya hutang budi loh sama situ"
Idzar tersenyum lagi. "mba cukup berterimakasih sama Allah, setelah itu Allah yang akan memberi imbalan pahala buat saya" jawaban yang mencengangkan. gadis itu sempat salah menilai Idzar. ia pikir dia seperti laki laki lain yang cenderung mengharapkan imbalan berupa uang atau setidaknya perkenalan dengan gadis secantik dirinya atau paling tidak nomor ponsel. kebanyakan yang ia temui yang seperti itu.
"ya sudah kalau begitu. semoga mas ga nyesel ya" untung saja idzar tidak mengenal gadis itu. dan untungnya ini pertemuan pertama dan berharap jangan ada pertemuan berikutnya dengan gadis dihadapannya ini. bisa bisa habis kesabaran idzar menghadapi keangkuhan yang di miliki gadis itu.
"kalau begitu saya permisi mba"
"eh tunggu mas!"
Idzar menghentikan langkahnya lalu berbalik. Gadis itu menyodorkan dua lembar tissue basah dari tasnya.
"setidaknya terima ini saja. muka mas kotor kena oli" kali ini ia menerima tissue tersebut. kemudian ia tertawa kecil. gadis itu mengernyit bingung.
"terimakasih mba. mungkin mba juga harus bercermin. oli di wajah mba lebih banyak dari saya"
sahut Idzar menahan tawa lalu berbalik pergi menaiki motornya meninggalkan gadis itu yang sedang berkaca lewat cermin mini ditangannya. ia menganga hebat melihat kondisi wajahnya yang cemong. benar kata pria tadi. oli di wajahnya lebih banyak. dan kini ia harus menanggung malu atas kejadian tadi.
gadis itu menghentak hentakan kakinya sebal.
*** 23. Tsabita Ilana Idzar berjalan terburu buru dari koridor kampus menuju sekolah alam untuk mengajar kelas weekend. setelah cukup berlama lama menghabiskan waktunya di perpustakaan mencari referensi untuk kegiatan mengajarnya. kini ia harus tiba di sekolah alam al anwar paling tidak dalam waktu setengah jam. semoga tidak ada kemacetan seperti kemarin atau gadis rempong yang menjadi dalang kemacetan seperti waktu itu.
setelah sampai di parkiran kemudian ia memakai segala atribut safety di tubuhnya. sebelum menaiki motor maticnya, Idzar membaca sms yang diterima dari Dana. pesan itu berisi agar Dana segera menyebarkan brosur lowongan pekerjaan sebagai assisten di perusahaan kakaknya. sedetik kemudian Idzar berdecak seraya mengetikan beberapa pesan pada ponselnya.
"punya abang satu bawelnya minta ampun" gerutu Idzar. ia pun bersiap menaiki motornya.
ketika motor yang dikendarainya nyaris menuju gerbang. seseorang memberhentikan laju motor tersebut. dia menoleh.
"loh, mas yang tempo hari nolongin saya, kan?" Idzar membuka kaca helmnya. memerhatikan lawan bicaranya berada dalam mobil. rupanya dia adalah gadis rempong yang tempo hari ia bantu ketika mobilnya mogok. sejenak idzar menghela nafas. kesialan apa lagi yang akan menimpanya. tebak idzar dalam hati.
"bukan. kamu salah orang kayaknya" idzar berbohong. suaranya meredam dari balik helm sportnya. sungguh ia hanya tidak ingin mengalami kesialan dua kali dengan gadis itu. tapi ia melihat si gadis--yang ia belum tahu namanya itu-- memicing curiga.
"mas ga boleh bohong. motor yang punya plat bernomor B 8610 ISI kan mas doang" Idzar menelan ludah. sempat sempatnya gadis itu menghafal plat motornya. ia mendengus pendek. mengakui kekalahan membohongi gadis itu. "terus kalau iya kenapa?" jawab Idzar ketus. kesan pertama itu sangat berpengaruh pada pertemuan selanjutnya. alih alih ia berharap agar tidak ada pertemuan kedua, kenapa sekarang gadis itu muncul lagi"
gadis itu melonjak girang. ia segera keluar dari mobil berdiri dihadapan Idzar "jadi kamu kuliah disini juga?" kemudian ia mengulurkan tangan kanannya "aku Tsabita. atau.. sabit" nada bicaranya terdengar kaku. Idzar menarik satu alisnya. belum merespon perkenalan itu.
"Idzar" balas Idzar tanpa merespon jabatan tangan gadis--yang kini ia tahu bernama Sabit. dia hanya membuka helm lalu menangkupkan telapak tangan. Sabit mengerti lalu menarik tangannya canggung.
"apa kamu sibuk hari ini" aku ingin mengajak kamu makan. anggap saja sebagai balas budi dari aku atas pertolongan kamu" tawar sabit begitu antusias. walaupun terdengar agak terbata bata. mungkin karena gugup atau semacamnya. terlihat sekali dari cara ia menatap Idzar. kaku.
"gue sibuk. lain waktu saja" Idzar memakai kembali helmnya. kedua tanganya sudah bertengger pada stang motor.
"tunggu! bagaimana kalau aku minta waktu kamu 5 menit.. eh!" 10 menit" kedua tangan sabit sudah lebih dulu bertengger pada lampu depan motor. berusaha menahan idzar "kita makan di warung dekat sini. aku yang traktir. bagaimana?" Sabit tetap memperjuangkan balas budi yang harus segera dilaksanakan agar hutangnya lunas. tapi nampaknya tawaran itu sama sekali tidak dihiraukan Idzar. pria itu malah menutup kaca helmnya kemudian bersiap untuk tancap gas.
"aku tidak akan pergi sampai kamu terima tawaran aku!"
Idzar berdecih seraya menghembuskan nafas. benar dugaannya. selalu ada saja masalah yang ditimbulkan gadis itu. sekarang dia justru nekat berdiri tegap dihadapan motor sambil merentangkan kedua tangan untuk menghalau jalan Idzar.
"inget kalimat pertama lo tadi ga?" tanya Idzar setelah membuka lagi helmnya. Sabit bergeming beberapa detik.
"tadi lo tanya, gue sibuk atau engga kan. ya gue jawab gue sibuk. sekarang lo maksa gue buat nerima tawaran lo" Idzar menoleh ke sembarang arah lalu kembali menatap lawan bicaranya "itu artinya ada unsur pemaksaan dibalik tawaran yang terselubung" Idzar mengusap phlitrum lalu mendengus kasar. waktunya terbuang sia sia hanya untuk meladeni gadis bulan--begitu ia menyebutnya--beradu argumen omong kosong seperti ini.
"kalau sudah mengerti. gue mohon dengan sangat. menyingkir dari sana" Idzar menjentikan jari telunjuknya bergerak ke kanan sebagai tanda mengusir. Sabit terdiam kaku. wajahnya tertunduk dalam waktu lama. Idzar bersendekap memandang Sabit. berusaha tetap tenang dibalik kegondokannya hari ini.
"aku janji. cukup hari ini. dan...tidak akan ada lagi pemaksaan berikutnya" kalimat itu terucap mantap bersamaan tatapan yakin dari bola mata berwarna cokelat itu. ada sisi memohon yang terpancar dari sana. Idzar hampir saja lupa diri melihat keindahan lain dari mata itu. akhirnya dengan segala berat hati ia menghela nafas frustasi lalu mengambil keputusan yang mungkin sangat salah.
"janji adalah hutang. pertanggung jawabkan hutangmu kelak" jawaban itu menandakan iya. Sabit tersenyum lebar seraya melonjak kecil.
"tapi, gue keberatan kalau kita hanya makan berdua" senyum lebar itu menurun kecil.
"lantas?" mata Idzar berkeliling mencari sesuatu. bukan sesuatu. lebih tepatnya sosok seseorang yang biasanya pada jam jam ini ia sudah berjalan melewati gerbang. tak butuh waktu lama, mata itu menangkap satu sosok.
"Aufa" teriak Idzar ke arah jam dua" dimana Aufa sedang berdiskusi sambil berjalan dengan teman lainnya. Idzar melambai lambaikan tangannya agar gadis itu menghampirinya.
*** "jadi kamu kuliah sambil bekerja" wah.. pasti seru deh" ucap Sabit takjub di sela kegiatan makan mereka di salah satu rumah makan sederhana tak jauh dari kampus. niat awal Idzar mengajak Aufa agar gadis rempong itu merasa jenuh dengan kehadiran orang baru. nyatanya, niat itu malah menjadi boomerang untuknya. lihat saja sekarang Idzar sudah seperti obat nyamuk diantara kedua gadis berbeda kepribadian tersebut.
"iya." seru banget. memang sih awalnya pasti capek. tapi lama kelamaan capek itu hilang. apalagi kalau kita sudah menyukai pekerjaan itu" Aufa lebih seru menjawabnya. dari sisi lain, mereka sama sama ceria. sama menyukai hal hal baru. sama sama" heboh. melihat kesamaan yang tersembunyi dari dua sisi berbeda itu menyenangkan hati rupanya. diam diam Idzar saling membandingkan dua gadis cantik dihadapannya.
"bakal ada kepuasan tersendiri kalau kamu membiayai kuliah kamu dengan hasil keringat sendiri. ditambah lagi akan semakin termotivasi untuk serius dalam belajar. kalau aku pribadi ya, aku jadi lebih bisa menghargai diri sendiri" tutur Aufa panjang lebar setelah menelan mie goreng baksonya. Sabit mengangguk paham mendengar dengan seksama penuturan Aufa.
"lalu bagaimana cara kamu membagi waktu?"
"itu sih sepinter pinternya kamu mengatur waktu aja. siapkan waktu untuk bekerja. waktu untuk kuliah. dan waktu untuk istirahat. asal,..harus selalu siapkan waktu untuk ibadah" Idzar tersenyum kecil. membenarkan penjelasan Aufa.
"kalau begitu, aku mau dong bekerja ditempat kamu sekarang" lagi lagi Sabit melonjak girang. Idzar hampir terjungkal ke belakang karena kelincahan gadis itu.
"boleh. kalau tidak salah sekolah al anwar sedang butuh tenaga pengajar baru. mungkin kamu,--"
"kemarin kan kita baru saja merekrut guru baru, fa. lo lupa?" potong Idzar cepat. sebisa mungkin ia mencari alasan agar Sabit tidak mengajar ditempat ia bekerja. ia hanya kasihan pada muridnya nanti jadi tertular hyperaktif.
"memangnya iya ya" kok aku gak tahu ya, dzar. kamu dapat info darimana?" Aufa berpikir keras seraya mengerutkan dahinya. Idzar menelan ludah sekali.
"i.. iya beneran. lo kudet sih" kalimat Idzar agak gugup. matanya bergerak kesana kemari. jika Aufa menyadari itulah salah satu tanda orang yang sedang berbohong. matanya enggan menatap lawan bicara.
"yah.. sayang banget, bit" Aufa mengulai pasrah "tapi nanti kalau aku ada info kerja part time aku kabarin ke kamu. bagaimana?" Sabit menggaguk semangat
matanya berbinar cemerlang. tak lama dia menoleh kepada pria yang sedari tadi hanya jadi obat nyamuk diantara mereka.
"mas.." "panggil gue Idzar aja. gue gak pernah nikah sama mba lo" jawab Idzar masih ketus. sontak Sabit menipiskan bibirnya seraya menghela nafas.
"jangan ketus ketus, dzar jadi cowo. nanti gak ada yang mau loh. ga enak tahu jomblo lama lama" celetuk Sabit. menimbulkan pelototan kecil dari Idzar.
"walaupun lama, yang penting gue jomblo mulia"
Sabit terkekeh atas jawaban Idzar. bagaimanapun juga jomblo ya jomblo. tidak ada istilah jomblo mulia. pikirnya
"fa, temen kamu ini lama lama kok ngeselin tapi ngangenin ya" Aufa yang di ajak bicara hanya bisa tertawa meringis hambar. sedang Idzar sudah hampir emosi dibuatnya. entah di lahirkan dari planet mana gadis satu ini.
"oiya. sudah 10 menit lebih kayaknya. lo ga lupa, kan?" Idzar bersiap mengenakan jaket dan tas punggungnya. Sabit yang melihatnya agak panik.
"eh, jadi beneran sepuluh menit?"
"kan janji lo sepuluh menit. malah ini sudah lima belas menit. jadi lo korupsi waktu gue lima menit. dan lo juga janji setelah ini gak ada pemaksaan berikutnya kan?" Sabit menggigit bibirnya. hingga akhirnya gadis itu menurut. setidaknya balas budinya terbayar. walau harus ada drama untuk mencapainya.
"terimakasih ya sebelumnya"
Idzar tersenyum kecil. "yuk! fa" "tunggu!" Sabit sudah berdiri dihadapan Aufa dan Idzar yang hendak pergi meninggalkan tempat. Idzar yang hampir naik pitam memutar bola matanya malas.
"kalian ga pergi berdua, kan?" Sabit memicing matanya berkilat penuh intimidasi. kali ini Aufa mencoba menjelaskan dengan versi dirinya.
"aku bawa motor. Idzar bawa motor. karena kami satu tujuan, biasanya idzar mengikuti dari belakang" jika Aufa yang sudah berbicara. seakan atmosfer ketegangan menghindar. aura permusuhan pun terasa bersahabat. gaya bicara nya sopan dan lembut seperti air yang memadamkan kobaran api. bibir gadis itu pun tak pernah lepas dari senyum.
"sudah jelas?" merasa kehadirannya hanya mengganggu, Sabit menyerah. ia membiarkan dua insan tersebut berjalan meninggalkan tempat. ada yang berubah dari dalam dirinya. dia bukan type wanita yang mengemis ngemis perhatian laki laki. dia juga bukan type wanita yang blak blakan dalam berbicara dengan lawan jenis. dia harap ini bukan perasaan aneh yang mereka sebut cinta. semoga ini hanya nafsu kagum yang bersifat sementara.
*** "nyokap bagaimana keadaannya?" tanya Idzar sembari meletakan buku buku pada rak besar yang berwarna warni. dia menyusunnya berdasarkan alphabet.
"belum ada perkembangan. kalau aku mengajaknya bicara, aku seperti berhadapan dengan mayat hidup. tapi aku yakin, ibu pasti dengar semua ucapanku" Aufa tersenyum dibalik kegiatannya membuat origami berbentuk burung kemudian diberi tali pengait pada setiap ujung sayapnya hingga menjadi sebuah rangkaian burung berwarna warni yang sedang terbang di langit langit. Aufa tersenyum berbinar akan hasil kerjanya.
"kapan kapan, aku boleh ikut kamu ketemu bu Diana?" ada dua alasan dari pertanyaan tersebut hingga Aufa memberhentikan kegiatan melipatnya kemudian menoleh kepada pria yang membelakanginya.
"coba ulang pertanyaan kamu, dzar. aku sepertinya tidak mendengar" Idzar menoleh kebelakang sebentar lalu kembali menyusun buku. "kapan kapan aku boleh tidak ikut kamu menemui bu diana?"
Aufa tertawa kecil. memperlihatkan deretan giginya nan rapi. jika tertawa mata gadis itu tenggelam tertimbun dua pipinya yang agak gempal. Idzar tidak menyadari tawa tersebut. ada sesuatu lain yang membuat pria itu tak menyadari suara apapun kecuali teriakan hatinya.
"sejak kapan kosa kata kamu mulai berubah" penggunan kata 'lo-gue' nya sudah kadarluarsa rupanya"
Idzar tertawa pendek. menertawai dirinya sendiri. Aufa bisa melihat ketika pria itu tengah menahan tawa. bahunya bergunjang kecil.
"boleh kan sekali kali, fa" jawab Idzar sekenanya.
"boleh sekali, dzar. malah kalau perlu selamanya lebih bagus. jujur, aku senang mendengarnya" Aufa tersenyum. ada perasaan menyenangkan mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan Aufa.
"gue.. eh! sorry" Idzar menggeleng kecil "aku usahakan bikin kamu seneng deh kalau begitu" lanjutnya diseratai cengiran polos khas Idzar.
sementara dibelakangnya, Aufa tersipu dalam sikap tenangnya. kalau saja dia tidak bisa mengontrol hati, mungkin hati ini sudah berjingkrak kegirangan.
"tapi kamu beneran mau ikut aku jenguk ibu?" itu alasan kedua yang ia temukan dari pertanyaan Idzar. karena semenjak peristiwa penculikan Sina waktu itu, hanya Idzar yang belum menjenguk Diana. bahkan ia tidak hadir ke pemakaman Sarah.
"iya. sebagai ganti karena aku tidak bisa hadir di pemakaman Sarah" Idzar berbalik dan menemui Aufa beralih membuat kerajinan tangan lain. yakni tembikar yang terbuat dari kertas marmer berwarna warni. kertas itu dibuat menjadi beberapa potongan memanjang dengan dua warna berbeda. setelah itu disusun selang seling terus menerus sampai membentuk persegi yang lebar.
"oke deh. mungkin lusa aku jenguk ibu" Idzar mengangguk paham. tangannya turut aktif membuat tembikar dalam satu meja besar disana.
"oh iya ngomong ngomong kamu kenal Sabit dimana?" pertanyaan yang cukup membuat mood idzar memburuk. jangan tanya lagi rautnya seperti apa ketika aufa menanyakan gadis bulan rempong itu.
"di jalan. di tengah kemacetan yang cetar membahana ulala" jawaban yang sangat garing. pikir Aufa. tidak sesuai dengan mimik wajahnya yang datar seperti papan. Aufa membiarkan idzar melanjutkan kronologisnya.
"mobil dia mogok. dan mogoknya itu bikin macet jalan. yauda aku tolong. bukannya terimakasih malah kasih aku duit" Idzar menjeda sebentar "berterimakasih sih, tapi caranya yang salah. aku di anggapnya seperti orang orang kebanyakan yang mengharap pamrih lewat pertolongan terselubung. jadi jangan salahkan aku kalau aku bersikap kurang bersahabat dengan dia" ungkap idzar. tembikar di tangannya hampir selesai. ia memutar mutar hasil kerajinan tangannya di udara. mengamati dengan seksama.
"mungkin kadar positif thinking kamu harus ditambah. bukan aku membela dia ya. hanya saja terkadang kita melihat sesuatu dari kacamata kita sendiri. ada baiknya lihatlah dari sisi yang lain. mungkin saja, dalam kesehariannya Sabit memang terbiasa melakukan itu dan dia belum paham bahwa ada beberapa orang yang kurang suka menerima perlakuan tersebut, seperti kamu itu" Aufa mendongak menatap idzar sebentar lalu menunduk fokus pada mainannya.
"sama seperti kadar syariat dan iman seseorang. syariat itu perlu. sangat perlu. tapi jika tidak dibarengi dengan iman, maka kesalahan orang lain saja yang nampak dimata kita. dan contoh lainnya seperti kadar antara beriman dan istiqamah. kalau manusia sudah beriman saja. masih ada istiqamah yang dipertanyakan" Aufa mengulum senyum hangat. senyum embun yang menyejukan sang fajar. seolah senyum itu mewakili makna apa yang tersirat di dalamnya.
Idzar menyunggingkan senyum paham sembari meneruskan kegiatannya. siapa yang tahu kini ada kupu kupu sedang memutar mutar di tubuhnya. menggelitik hati dan otaknya agar mereka membuat satu kesatuan. agar tidak ada ketidak kontrasan diantara keduanya. karena terkadang jika hati sudah memutuskan A otak memilih B.
*** 24. Tamu penebar luka walimah berjalan dengan lancar. semua terlaksana dengan nyaris sempurna. pihak WO menjalankan tugas mereka secara profesional. yang lebih memuaskan bagi Sina ketakjuban dirinya berada di atas pelaminan megah dengan nuansa serba bunga mawar putih. sesuai dengan makna namanya. dekorasi didominasi dengan warna putih dan soft pink. secara khusus sina memilih warna itu. karena sewaktu SMP, ia pernah memimpikan menjadi seorang pengantin diantara mawar putih dan ribuan warna pink mengelilinginya. tak lupa sang pangeran surga yang mendampinginya.
Sejenak gadis itu berpikir. kebahagiaan tak melulu soal harta maupun tahta. tak melulu soal uang atau apapun yang bisa dibeli dengan benda mati tersebut. kebahagiaan hanya sekedar mensyukuri apa yang Tuhan berikan. Sina setuju dengan beberapa pepatah mengatakan 'bersyukurlah maka kamu akan bahagia. bukan bahagia dulu baru bersyukur' kurang lebih seperti itu. keluarga yang harmonis. suami yang bertanggung jawab namun menyebalkan adalah secuil kebahagiaan Sina. bahkan jika ia boleh memilih, dia tidak ingin acara walimah dibuat terlalu mewah. terkesan berlebihan menurutnya. tapi sebagai wanita ia tentu mengerti sekali keinginan Dana untuk bisa membahagiakan istrinya. dan siapa yang tahu, Dana menjadi satu satunya pria yang selalu membuatnya jatuh cinta berulang kali.
dan setelah seminggu kemudian, Sina juga Dana beserta dua keluarga besar Prama dan keluarga Raharjo berkumpul di kediaman yang kini resmi menjadi kediaman Sina dan Dana. kejutan kali ini, Dana membangun sebuah rumah dibilangan jakarta selatan. rupanya sejak dirinya di angkat menjadi manager perusahan, dia sudah merencanakan membangun rumah impian tersebut. kini dia juga Sina tinggal memanen hasilnya.
"jadi keputusan kalian untuk tinggal disini sudah bulat" sudah dipikirkan matang matang?" Prama meyakinkan kembali keputusan putra dan menantunya tersebut.
"iya pa. kami ingin belajar mandiri. kami ingin belajar mengatasi kerikil kerikil tajam yang sudah menunggu rumah tangga kami" jawab Dana bijak disertai kuluman senyum menawan.
"rumah ayah bakal sepi deh" Ibnu mendesah "tidak ada yang bisa ayah bully lagi nanti" Sina yang melihat ekspresi ayah seketika meleleh kemudian duduk disebelahnya.
"nanti sina bakal sering ke rumah ayah kok. trus ayah bebas ngebully sina lagi" hibur Sina memeluk lengan Ibnu erat.
"Ibnu, betul kata putrimu. kamu kan juga bisa mengunjungi mereka sesekali. mulailah dari sekarang agar mereka bisa membangun rumah tangga yang harmonis" prama menyarankan. Ibnu mengangguk kecil "baiklah. tapi kalian belum memberi kami satu hadiah lagi" ucapan Ibnu misterius. kedua pria paruh baya itu saling melirik aneh satu sama lain. senyum mereka layaknya seringai harimau yang menakutkan.
"segera beri kami cucu"
sekarang siapa yang lebih bersemangat" yap! siapa lagi kalau bukan Dana. kini yang berseringai tidak hanya dua, melainkan tiga.
ditengah kerumunan pria berbahaya, suara bel pintu menyelamatkan Sina. Dana yang hendak berdiri menuju sumber suara
"biar aku saja mas yang buka" Sina langsung berdiri dan keluar rumah menuju pagar. sina mendapati seorang wanita berdiri disana. bayangannya samar. Sina mempertegas penglihatannya. wanita itu membelakanginya.
Cahaya Bertasbih Karya Suffynurcahyati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"maaf, anda siapa ya?" wanita itu pun berbalik. sorot mata tajam itu menjadi penyambut kehadirannya.
"sudah lupa sama aku?" Sina tahu betul si pemilik suara tersebut. ia mengumbar senyum hangat seraya mendekat wanita tersebut.
"mba Maudy apa kabar" kangen ihh" Sina memeluk erat tubuh mungil wanita yang sudah lama tidak bertemu sejak dirinya menikah dengan Dana. Maudy tidak membalas pelukan itu. ia berdiri kaku seperti patung.
"ayo mba kita masuk. aku mau cerita ban,---"
"brugh!!" ucapan Sina terpotong bersamaan dengan tindakan Maudy mendorong tubuh Sina hingga gadis itu ambruk dalam keadaan meringkuk.
"mba,.." mba kenapa?" Sina memegangi sikutnya. ia berusaha bangkit "mba sakit ya?" tanya Sina khawatir. ia sudah berdiri sempurna mengamati perubahan Maudy.
"iya! aku sakit! aku sakit hati gara gara kamu, Sina!" Maudy melotot tajam. tatapannya membunuh. Sina mundur tiga langkah perlahan
"kenapa mundur" takut?" jelas saja Sina semakin takut. sebuah benda tajam bernama pisau sudah bertengger di tangan Maudy "kemarilah. bukankah kamu merindukanku?" Sina semakin mundur. Maudy semakin maju. perbandingan langkah mereka satu banding satu.
"mba,.. mba mau apa sebenarnya?" antara mengendalikan emosi dan panik bercampur menjadi satu. mata Maudy menyeramkan. seperti bukan Maudy yang sina kenal.
"apa tidak ada pertanyaan lain yang lebih ku rindukan heuh?"" Maudy mengangkat sikutnya ketika sina tersudut oleh tiang besar fondasi rumah barunya. ia Shock kemudian menutup matanya kuat kuat.
"ini yang aku inginkan"
bukan sebuah tusukan maupun darah ataupun rasa sakit karena pisau tajam yang menyerang Sina, melainkan ia mendengar tawa Maudy yang disusul tangisan menyayat hati. Maudy ambruk di tanah. dua bahunya bergetar dan ia meraung raung seperti orang gila.
Sina meraba area wajahnya. ia pikir pisau tersebut akan mengenai dirinya. namun pisau itu sudah tergeletak sejak Maudy ambruk.
"aku mencintai Dana.. sangat mencintainya!" Maudy menjambak jilbab dan kakinya menendang nendang, selanjutnya ia merangkak ke arah pintu gerbang. jemari lentik Maudy mencengkram jeruji dengan kuat. Sina melihat lingkaran hitam di mata Maudy.
"kenapa kamu tega melakukan ini padaku,Sina"! aku mencintai Dana sebelum kamu mengenalnya! dan sekarang kamu memiliki dia seutuhnya tanpa berjuang sedikitpun!"
Sina terhenyak. kedua matanya menatap tidak percaya. jadi ini alasan Maudy mengundurkan diri dari perusahaan. Sina menggigit bibir bawahnya merasa bersalah. kakinya bergerak mendekati Maudy. rasa iba menuntunnya untuk menyentuh gadis itu.
"Dana...," Maudy memanggil manggil nama Dana dengan nada menyakitkan. tiba tiba Sina merasakan ngilu pada sendi tubuhnya saat mendengar suara Maudy putus asa.
"Azka Syandana Prama.. aku mencintaimu"
"Maudy?" suara khas itu membuat kepala Sina menoleh. Dana berdiri di sisi istrinya. dua matanya menatap Maudy. ada luka di mata itu. Dana berjalan menuju pagar lalu membukanya dan begitu tubuh mereka tidak terhalang jeruji lagi, Maudy menyerbu Dana kemudian memeluk pria bermata sayu itu erat erat dan menangis di dada suami Sina tersebut.
Maudy memeluk Dana.... Maudy memeluk Suamiku... ada rasa perih yang tidak Sina ketahui yang entah berasal darimana. terutama saat Dana memeluk Maudy. setiap sentuhannya seperti jutaan sayatan yang dihujamkan di kulit. setiap tepukan di bahu Maudy seperti luka yang ditaburi garam.
apa pantas seorang yang sudah berstatus suami orang memeluk wanita lain tepat dihadapan istrinya" ya, setelah menyadari pengakuan Maudy tentang perasaan terpendamnya kepada Dana. tapi Dana adalah suaminya sekarang. lalu kemana Dana yang tempo hari menolak pelukan dari Sarah" Sina ingat betul bagaimana Dana menolak miris pelukan dari Sarah. dan sekarang"
"Maudy.. kamu baik baik saja" maudy?" Dana memegang dagu gadis dipelukannya. dua mata maudy bergerak gerak entah apa yang digumamkannya. perlahan Maudy mendekati wajah Dana. meniadakan jarak diantara mereka. jantung Sina berdenyut cepat menyadari apa yang akan dilakukan maudy terhadap suaminya. ini tidak bisa dibiarkan.
Sina berjalan cepat ke arah mereka kemudian melepas paksa keduanya. Maudy sempoyongan dan jatuh di tanah. kepalanya terkulai" dan samar terdengar isakan dari bibirnya.
Dana hampir melotot akan perlakuan istrinya itu.
"kalau tadi aku bisa mengerti keadaan Maudy. tapi sekarang, maaf sekali. bagaimanapun juga kamu adalah suamiku" Siapa yang tahu dalam nada tegar Sina, ia menyimpan ribuan sayatan luka yang mendalam. ada sorot mata berbeda yang terpancar dari Sina.
"tapi apa kamu tidak kasihan melihat kondisi dia sekarang, ay?" ada apa dengan Dana" kenapa ia memilih membela wanita lain ketimbang dirinya. Sina menghela nafas. menahan gumpalan kobaran api cemburu yang semakin memanas. andai api itu nyata, mungkin tubuhnya sudah gosong.
"aku bukan wanita yang menoleransi sentuhan karena rasa kasihan, mas. kalau kamu merasa kasihan padanya, biar aku yang memeluknya sebagai sesama wanita. bukan dengan pria yang bukan mahramnya"
Dana terdiam. mengucap istighfar berulang kali." matanya memejam sesaat. menyadari keteledorannya. kekhawatirannya pada Maudy justru berujung bencana menyakitkan bagi istrinya. ia berdiri terpaku melihat Sina berusaha menuntun tangan Maudy merangkul tubuhnya. agak kesulitan saat dia berusaha bangkit membawa tubuh Maudy yang melemas. Dana hendak membantu namun Sina menepis uluran tangan Dana.
"aku bisa sendiri!" Sina berlalu melewati Dana dengan susah payah. nafasnya terdengar ngos ngosan. sedetika Sina melirik suaminya tanpa ekspresi apapun.
rahang Dana mengeras. juga mengepalkan tangannya disamping. menyesali perbuatan pertamanya yang sudah mengecewakan Sina. ia tahu sekali gadis itu sedang terluka. gadis itu merasakan cemburu yang luar biasa. tapi justru dibalik perasaan itu semua, Sina justru tetap mempedulikan keadaan Maudy.
*** beruntung ada dokter Syihab hadir ditengah tengah dua keluarga tersebut. berkat undangan secara pribadi dari Aufa selaku anak dari pasiennya. dengan senang hati menerima undangan tersebut. dan kehadirannya membawa pertolongan untuk menangani kondisi psikis Maudy saat ini. berhubung dia adalah seorang dokter ahli kejiwaan.
"biarkan dia tidur beberapa jam. setelah itu otaknya akan kembali fresh dan kita masih harus memberinya penyemangat serta support untuk permasalahnnya. kondisi seperti ini, sudah banyak yang mengalami. dan biasanya anak anak remaja yang menginjak dewasa. karena pada masa itu, dalam menyimpan sebuah perasaan mereka tidak lagi mengungkapkan secara langsung kepada seseorang yang dicintainya melainkan menyimpannya dalam diam. itu hanya sebagian besar. kembali lagi kepada psikis mereka" jelas Syihab panjang lebar memaparkan pernyataannya disertai alasan. ia berjalan keluar menuju ruang keluarga. ada Aufa yang mengekor.
"tapi apa itu tidak berpengaruh dengan kehidupan dia selanjutnya dok" bagaimanapun juga jalan hidupnya masih panjang. dan dia tidak mungkin terus terusan mengharapkan cintanya kepada orang tersebut" Syihab menarik bibirnya simetris.
"maka dari itu. harus ada andil dari keluarga serta orang terdekat yang memberinya support. berilah sedikit motivasi. ajak mereka berkomunikasi. saling tukar pikiran. terakhir beri mereka kesibukan" Aufa mengangguk paham. kini mereka duduk di sofa ruang keluarga. ada Idzar disana. Syihab sempat menyapa pria itu.
"mungkin bisa saya tambahkan dok" Aufa berniat memberi usul lain. syihab mengangguk antusias "selain dorongan dari keluarga. mungkin juga perdekat diri kepada Allah. perbanyak berkhalwat kepadaNya. karena ketika kita berkhalwat dengan Dia. jarak manusia dan Tuhan hanya berbatas kepala dan tempat sujud. akan ada rasa ketika Tuhan memeluk kita dengan kasih dan ridhoNya" Aufa tersenyum polos. kedua pria disana mengangguk setuju.
"sebenarnya sih, mencintai dalam diam itu tidak salah. hanya saja cara mereka menanggulangi akibat dari mencintai itu yang salah. karena pada dasarnya, dalam mencintai seseorang. baik itu secara diam diam atau terang terangan, mempunyai resiko yang sama. sama sama akan tersakiti. sebab ketika manusia memilih mencintai makhlukNya, ada akan dua kemungkinan. ditinggalkan atau meninggalkan" kali ini Idzar yang berbicara "maka dari itu, alangkah baiknya. ketika kita memilih mencintai seseorang, selipkan satu ruang keikhlasan di dalam hati. lalu selipkan satu ruang untuk mengisi sisi buruk seseorang tersebut. jadi jika mereka pergi atau kita yang meninggalkan. hati sudah standby untuk mengikhlaskan. tak akan ada perasaan kecewa ataupun rasa kehilangan" tambahnya lagi. Syihab yang mendengar pun tak henti tersenyum terkesima dengan ulasan yang diberikan Idzar. sebagai seorang dokter yang bergelut mengenai hati jiwa atau pikiran, belum memikirkan kesana. ini diluar pemikirannya. pria seperti idzar patut diacungi jempol. batin Syihab memuji.
"sepertinya kamu sudah pengalaman sekali dalam urusan percintaan. pemaparan kamu barusan jauh dari pemikiran saya. sungguh"
Idzar tertawa kecil. dia kalau sudah malu karena mendapat pujian selalu melakukan gerakan menggaruk kepala walau tidak gatal "tidak juga dok, saya hanya belajar dari kisah teman teman saya yang sering mengalami kegalauan karena lawan jenis. dari situ saya memiliki pemahaman bahwa. rasa kehilangan itu ada karena manusia merasa memiliki. bahkan dirinya sendiripun tidak akan" bertahan lama di dunia. suatu saat akan diambil oleh pemilik kekal mereka yakni Allah"
"ya.. kamu benar sekali.. dan hanya belajar dari kisah teman teman saya yang sering mengalami kegalauan karena lawan jenis. dari situ saya memiliki pemahaman bahwa. rasa kehilangan itu ada karena manusia merasa memiliki. bahkan dirinya sendiripun tidak akan" bertahan lama di dunia. suatu saat akan diambil oleh pemilik kekal mereka yakni Allah"
"ya.. kamu benar sekali.. dan satu sama lain. dan saling menebak nebak hati satu sama lain. siapa yang sangka dalam perbincangan tersebut. baik Idzar maupun Syihab saling memuji dalam hati. ada secuil rasa iri ketika keduanya nampak akrab dengan Aufa.
*** malam menyapa disertai kegelapan yang hangat. berisi kesunyian tanpa sepi. berpeluh peluh melawan siang hingga ia menyingkir halus. kini malam mengambil alih. membawa rembulan sebagai penerang. membawa bintang sebagai penghias. membawa rasa dingin yang tercipta lewat hembusan semilir angin.
Sedari tadi sina memposisikan dirinya tidur membelakangi Dana. sisa kekecewaan tadi siang masih menjadi ampas yang mengering di hati.
"kamu masih marah denganku, ay?" tanya Dana menghadapkan tubuhnya pada punggung Sina. tak apa untuk saat ini istrinya itu membelakanginya.
Sina tidak menjawab. "maaf aku sudah menyakitimu, ay.. aku hanya tidak bisa melihat seorang wanita menderita" Sina mendengus acuh." menaikan satu bahunya.
"lantas, bagaimana dengan almarhum sarah" dia lebih menderita dibanding mba Maudy. tapi kamu bisa menolak pelukannya" Dana enggan membela diri. bagaimanapun juga ia tetap bersalah. pria selalu salah dan wanita memang selalu benar. hidup wanita! batin Dana menggerutu.
"maka dari itu aku minta maaf. aku menyesal sudah menyakitimu" Dana menyentuh punggung halus Sina. memberi kehangatan yang menyebar ke seluruh tubuh gadis--yang masih membelakanginya.
"jangan menyentuhku dengan tanganmu. tanganmu bekas memeluk wanita lain. aku tidak suka" balas sina ketus seraya menaikan bahunya agar Dana berhenti melakukan itu.
semakin dilarang, Dana semakin tertantang. itulah naluri seorang pria. mungkin para kaumnya berprinsip larangan ada untuk dilakukan. tapi itu hanya berlaku untuk kehidupan percintaan Dana. bukan untuk hal lainnya.
tangan Dana menyusuri tubuh Sina dari atas. mengabsen tiap jengkal dari ujung kepala.
"kubilang jangan menyentuhku! aku masih marah sama kamu, mas" protes sina merasa terganggu dengan setiap sentuhan yang diberikan suaminya. bukan terganggu lebih tepatnya, melainkan ada perasaan aneh yang menghipnotis otaknya agar berhenti berpikir. sedangkan malam ini dia sudah berjanji untuk mendiamkan Dana sampai besok. semoga pertahanannya tidak runtuh oleh ulah tangan jail Dana.
"yakin masih marah sama aku?" Dana memperdekat jarak tubuhnya. menenggelamkan wajahnya dalam cekungan leher Sina. tercium wangi sabun dengan aroma mawar.
"yakin sekali. jangan deket deket deh" Sina berusaha melepas diri ketika tangan Dana mengunci tubuhnya. tangan itu sudah melingkar sempurna di perut Sina.
"membentak suami itu dosa loh, ay. dan menyenangkan hati suami itu pahalanya berlipat. kamu mau pilih dosa atau pahala?" dan jurus rayuan maut Dana pun beraksi. terbukti manjur. wajah Sina yang awalnya menekuk hingga ribuan lipatan, kini berubah. rautnya menimang nimang kalimat yang diucapkan Dana.
"kamu mengancamku?" Sina menoleh sedikit. ada ketakutan dari matanya.
"ada salah satu hadist mengatakan bahwa setiap istri yang menyakiti suaminya dengan lisannya, maka dia dapat kutukan Allah dan murkanya serta mendapat laknat dan kutukan dari para Malaikat dan semua manusia" Dana menopang kepalanya dengan tangan kirinya. misinya hampir berhasil. Sina menggerak gerakan matanya kesana kemari mencari alasan lain. gadis itu mulai khawatir akan murka Allah. jika benar seperti itu, artinya...
"kamu menang malam ini" Sina membalikan tubuhnya. kini keduanya meniadakan jarak diantara mereka. Sina bisa merasakan hembusan nafas Dana menyebar lalu meresap ke pori pori wajahnya.
"aku baru tahu satu hal tentang kamu"Sina menarik satu sudut bibirnya. penasaran apa yang Dana ucapkan selanjutnya. rayuan mautnya lagikah"
"jika sedang marah, wajah memerahmu itu semakin membuat kamu nampak mempesona"
"rayuan kamu ga mempan. aku tuh sebel sama kamu. bisa bisanya memeluk wanita lain dihadapan istri sendiri. dimana perasaan kamu mas" anggap saja itu sisa sisa emosi tadi pagi. dan emosi itu cukup diobati dengan sebuah pelukan hangat yang diberikan dana kepada sina.
"kamu bales dendam sama aku waktu kamu cemburu sama idzar" heum?" Sina memencet hidung bangir Dana. pria itu meringis kecil.
"ih, cemburu sama idzar" kapan?" Dana agak ngotot. bahunya menaik sedikit.
"waktu aku nunjukin surat cuti ke dia, waktu kamu pergokin aku sama dia" sedikit lagi Dana bergerak. kemungkinan terjadilah bertemunya dua kubu hangat dari mereka.
Dana mengingat sebentar. setelah itu ia tertawa lebar.
"kok ketawa?" "itu kan sebelum kita menikah. jadi waktu itu kamu anggap aku cemburu" apa itu artinya kamu sudah menyukai ku sejak lama?" Dana belum mau berhenti dari aktifitas tertawanya.
jadi?" aghh.. kenapa keadaan jadi berbalik. harusnya dia marah. bukan berbalik menertawai. gerutu sina dalam hati.
wajah gadis itu semakin memerah lalu mendengus kesal. ia pun berbalik membelakangi Dana bersama segenap rasa malu yang terkelupas tanpa sisa. rasanya malam ini Sina ingin menyekik leher Dana dengan sekuat tenaga.
*** 25. generasi Cahaya "jadi ayah kamu menerima tiga proposal ta'aruf sekaligus?" Idzar hampir mengeluarkan makanan dari mulutnya. bisa bisanya Aufa memberi kabar mengejutkan ini sampai sampai nasi goreng yang baru disuapnya ingin melompat keluar.
Aufa mengangguk lemah sambil mengaduk ngaduk abstrak bakmienya.
"udah di istikharahin ketiganya?" tanya Idzar terlihat penasaran, setelah meminum air mineral hangat di meja.
"sudah. tapi,.. " Aufa menggigit bibir bawahnya. alisnya saling bertaut. apa tidak apa apa jika ia menceritakannya kepada Idzar" bola matanya bergerak ke kanan ke kiri.
"tapi apa, fa" kamu belum mau cerita ke aku?" daya menebak Idzar tepat sasaran. ada nada kecewa disana.
"semoga setelah aku ceritain, kamu bisa kasih solusi ke aku ya, dzar" pinta Aufa memelas. dari situ ia menganggap bahwa sosok Idzar adalah sosok laki laki penakluk masalah.
"iya Aufa,.." jawabnya meledek disertai cengiran kecil.
"setelah aku istikharah selama kurang lebih dua minggu, aku belum mendapatkan petunjuk apapun, dzar. apa karena aku belum pernah bertemu ketiga orang tersebut kali ya" walaupun ada satu sih, yang udah pernah aku lihat secara langsung wajahnya"
"ohya" siapa?" sahut Idzar meragu. ada keingin tahuan yang mendalam. tapi ada kekhawatiran juga yang terselip di hatinya.
"Abbas" jawaban itu membuat Idzar hampir tersedak. buru buru ia mengontrol diri.
"Abbas mana ya, aku seperti ga asing sama namanya deh"
"laki laki yang sempat akan menikah dengan almarhum sarah, dzar. kamu memang pernah mendengar namanya waktu insiden penculikan sina itu. tapi kamu belum pernah melihat wujud abbas itu seperti apa" jelas Aufa.
"lantas" bagaimana dengan dia" sudah ada petunjuk hatikah?" sejenak, Idzar berdoa agar Aufa menjawab tidak atau belum. entah ambisi dari mana. hanya saja, cerita Aufa hari ini seperti taburan garam di atas sebuah luka. perih.
"nihil. sama saja dengan yang lain" Idzar menghela nafas kecil. secuil kelegaan menari nari dalam tubuhnya.
Aufa terdiam setelah itu. menunggu bagaimana tanggapan Idzar. tapi nampaknya pria itu masih sibuk menikmati sisa dua suapan terakhir nasi goreng kambing kesukaannya.
mata Aufa berkeliling sejenak mengamati pengunjung warung makan sederhana yang tak jauh dari kampus. biasanya jam jam segini, Tsabit sudah standby disini untuk bertemu Idzar. tapi ia belum melihat tanda tanda keberadaannya.
"pasti kamu nunggu solusi aku kan?" Idzar menaik turunkan alisnya seraya mengulum senyum. ia menghabiskan segelas minumannya.
"oke. mungkin sedikit solusi dari aku ya. tapi sebelumnya aku tanya dulu sama kamu" Idzar melipat kedua tangan di atas meja. menatap Aufa tajam "apa kamu sungguh sungguh akan menikah dengan salah satu kandidat pilihan ayah kamu" walaupun sampai saat ini atau besok dan seterusnya kamu tetap tidak menemukan jawaban sekalipun?"
ada harapan lain dari pertanyaan itu. Aufa menipiskan bibirnya seraya memutar otak. menyinkronkan hati dan logikanya.
"engga tahu" jawab Aufa menggeleng kecil. Idzar tersenyum hangat.
"ikuti kata hati kamu aja fa. kalau sampai sekarang hati kamu belum menunjukan tanda tanda untuk salah satu dari mereka, yauda biar waktu yang menjawab sampai Allah membolak balikan hati kamu dan dilabuhkan dimana hati kamu nanti" solusi bijak yang dilontakan Idzar sedikit menggugah hati Aufa. setiap lontaran per katanya bak mantra pembeku.
"atau jangan jangan kamu sudah punya kandidat lain selain mereka bertiga?" Aufa mencerna sejenak dugaan itu. setelah sadar, ia terkesiap seraya merapatkan bibirnya. dugaan Idzar seperti tamparan kecil untuknya. sedang Idzar yang melihat ekspresi itu mengindikan bahunya sambil menahan tawa.
"be..belum kok" jawab aufa kikuk. kedua tangannya kembali sibuk memutar mutar garpu di atas permukaan bakmie.
"belum" tandanya akan?"
Idzar minta di ruqyah sepertinya. kenapa hari ini dia hobby sekali menggoda Aufa. mungkin sudah turunan dari kakaknya yang hobby sekali menggoda istrinya. bedanya, Idzar tidak mesum. bukan tidak, tapi belum.
"jadi, hanya itu solusi dari kamu?" Aufa sengaja mengalihkan pembicaraan. menghindari tanda tanda merona di wajahnya akibat keisengan Idzar.
"yap!" Senyum idzar melebar "dan aku yakin itu solusi terbaik dari kakak Abidzar Ahda haha" gaya dan suaranya dilebih lebihkan layaknya seorang motivator mario teguh. tapi versi Idzar malah lebih mirip dewa neptunus pengusaha lautan bikini bottom.
"ketawa kamu nyeremin" Aufa memutar bola matanya dan pandangannya berhenti pada seseorang di ambang pintu. matanya berkeliling menyapu sekitar.
"Tsabit" Aufa melambai ke arah pintu "disini" teriaknya lagi. Tsabit menurut. ia melangkah lebih cepat.
"aku cari cari ternyata kalian disini. pasti baru selesai makan" Tsabit menaruh tasnya. duduk disebelah Aufa.
"iya . kamu pesen aja. kita tungguin kok"
"kita?" Idzar menarik wajahnya mundur "kamu aja, fa nungguin dia. aku engga. abis ini aku harus sebarin pamflet perusahaan" Idzar beranjak setelah memasukan bukunya. alasan lainya karena kehadiran Tsabit tentunya. lebih baik menghindar daripada ia berdosa karena terus terusan bersikap ketus dengan gadis itu.
"pamflet lowongan kerja di prams coorporation bukan?" tanya Tsabit mengurungkan niat idzar untuk melangkah. dia menoleh.
"maksud kamu pamflet ini, kan?" Tsabit menunjukan selebaran yang berisi lowongan pekerjaan di Prams Coorporation tersebut. itu pamflet yang sama dengan yang Idzar copy.
"dapet darimana?"
"ada yang memasangnya di mading dekat musholla. yauda aku ambil aja" jawab Tsabit polos. dari jawaban itu Idzar baru menyadari satu hal. satu hal bodoh akibat kecerobohannya. bukankah tsabit kuliah di kampus yang sama" tentu saja ia bisa dengan mudah mendapatkan selebaran itu. dan selebaran di mading itu dia sendiri yang memasangnya.
"kebetulan tuh. kamu coba aja melamar kerja disana" tawar Aufa. Idzar mendadak ingin sakit telinga saja. tawaran itu terdengar horror.
"udah kok. tadi aku udah kirim lamaranku via email"
bahaya! umpat idzar "fa, duluan ya. assalamualaikum"
Tsabit dan Aufa menjawab salam seraya terbengong bengong menatap kepergian Idzar. pria itu berjalan lebih cepat dari biasanya sampai sampai sempat menabrak salah satu meja.
misi Idzar selanjutnya adalah membujuk Dana agar tidak menerima Tsabit sebagai Assisten managernya. bahkan kalau perlu ia lakukan apapun yang dana inginkan. pokoknya jangan sampai gadis rempong itu bekerja satu atap dengannya.
*** dua kupu kupu terbang memutar mengelilingi bunga mawar putih yang masih kuncup. mereka seolah menari nari menyambut agar bunga itu segera tumbuh mekar sempurna. bersama rintikan air bak hujan mengguyur mereka. air yang berasal dari tempat menyiram kembang yang sedari tadi dipegang pemiliknya.
gadis cantik berjilbab rawis berwarna coklat muda dan memakai sweater hitam. tengah menyiram bunga bunga kesayangannya yang baru beberapa minggu ini ditanamnya. walau masih keadaan kuncup. bunga bunga tetap nampak cantik ditemani daun dan batang yang melindunginya. seolah mereka adalah bodyguard bagi sang bunga agar terlindung dari ulah tangan usil manusia tidak bertanggung jawab.
selagi asyik menyiram. sebuah tangan menyusup dari sisi kanan dan kiri tubuh gadis itu lalu menguncinya dalam dekapan hangat.
"mulai deh mulai 3 Titik jangan disana mas.. aku geli" Sina merasakan hembusan memenuhi area bawah telinga sebelah kanan. Dana memendamkan wajahnya pada area tersebut tak mempedulikan komplain istrinya.
"coba kamu lihat apa yang aku bawa" perintah Dana masih dalam posisinya. Sina menoleh kedepan. dan terpampanglah setangkai bunga mawar dihadapannya. senyum gadis itu merekah. tapi senyum itu tak berlangsung lama.
"aku sukanya mawar putih"
Dana menopang dagu di bahu Sina. "tapi mawar merah itu cocok buat kamu, ay. merah itu melambangkan keberanian dan kesexyan seorang wanita. dan wanita itu ya kamu" entah Dana mengcopy kata kata itu darimana. justru terdengar aneh ditelinga Sina.
"tapi aku maunya mawar putih, mas" rengek sina lalu berbalik menghadap suaminya.
"jadi kamu menolak mawar merah pemberianku ini?" Sina mengangguk cepat. bibirnya mengerucut.
"ada syaratnya"
"apa?" Dana menunjuk bibirnya dengan telunjuk. Sina tahu arti gerak tubuh itu. tak mau jadi istri durhaka. ia pun menurut.
Sina mendekatkan wajahnya kepada Dana seraya memejamkan mata. sayangnya, belum sempat gadis itu menjalankan syarat yang diberikan, tiba tiba Sina merasa mual. ia menjauh dari Dana sambil menutup mulut.
"kamu kenapa ay?" Dana mendekati Sina yang membelakanginya. Sina seperti akan memuntahkan sesuatu.
"kamu belum mandi ya mas?" mendengar itu, Dana mengangkat ketiak kanannya lalu membaui aroma tubuhnya.
"sudah. memangnya aku masih bau ya?" Dana memasang wajah bingung. tumben sekali istrinya sensitif terhadap bau.
"masih mas. kamu pake parfum ga sih?" Sina merunduk lagi. perutnya seperti di aduk aduk dengan ribuan centong semen. wajahnya hampir pucat.
"ya pakailah ay. aku pakai parfum hadiah dari kamu itu" Sina mengendus sedikit.
"tapi kok baunya masih,---hueeek" lagi lagi sina memuntahkan apa apa yang keluar dari mulutnya. kini ia memilih berjongkok di sudut pekarangan. Dana yang iba melihatnya berinisiatif menolong Sina. tapi sina keburu menahan sambil mengulurkan tangan kirinya.
"kayaknya kamu jangan deket deket aku dulu deh. aroma kamu bikin mual mas" Sina mengusap peluh di dahinya. wajahnya pucat. kenapa hari ini ia merasa kesal sekali dengan Dana. apa karena mawar merah itu" Dana jadi merasa terintimidasi olehnya. pria itu tak henti mengerutkan dahi atas perilaku Sina. apakah dirinya sebau itu"
*** "bagaimana keadaan kamu" sudah membaik?" Dana masuk ke dalam kamar membawa nampan berisi susu dan sup tanpa garam ditambah sepiring potongan strawberry. ia membawanya ke tempat tidur.
Sina tidak menjawab. wajahnya masih pucat.
"kamu makan dulu ya. mau aku suapi?" Sina buru buru menggeleng. ia mengambil alih nampan dari tangan Dana lalu menyuap sup terlebih dahulu. Dana menatap iba istrinya. ini kedua kalinya Sina sakit setelah sebelumnya ia mendadak sakit setelah prosesi akad nikah. dan kali ini, entah Dana harus percaya apa tidak, istrinya sakit karena mencium aroma tubuhnya. apa sudah ada penelitian khusus mengenai hal itu" sepertinya ini kasus pertama di indonesia tentang aroma yang bisa menyebabkan manusia mual mual. batin dana mengomel.
"apa masih terasa mual?" Dana hendak memijit pundak sina. tapi lagi lagi Sina mencegah perlakuan itu. ia menepis tangan Dana. wajahnya nampak tidak bersahabat. Dana masih berpikir positif. ingat! wanita selalu benar!
"singkirkan buah ini. aku tidak suka" Sina menunjuk potongan buah strawberry dengan ujung garpu. jangan tanyakan berapa jumlah kebingungan Dana malam ini.
"loh, ini kan buah kesukaan kamu ay. kamu suka strawberry kan"
"pokoknya singkirkan. aku mual terhadap baunya, mas" tak tega melihat raut memelas istrinya, Dana menurut. ia memindahkan piring berisi potongan strawberry ke meja lampu disebelahnya.
"kita ke dokter ya, ay?" Sina menggeleng lagi. ia bahkan enggan menjawab kalau bukan hal penting. pandangannya pun hanya fokus pada makanan dihadapannya. seolah melihat Dana seperti" melihat monster.
"kamu lagi PMS ya sayang?" tebakan Dana kesekian kalinya yang hanya dijawab dengan gelengan kepala. ia menghela nafas panjang. mengumpulkan segenap kesabarannya. sebenarnya ada apa dengan Sina" mengapa ia mendadak dingin terhadap suaminya"
setelah menghabiskan makanannya. Dana menaruh nampan di atas meja. memposisikan dirinya lagi tepat disebelah Sina. memandang istrinya dari samping. tetap terlihat cantik walau dalam keadaan sakit sekalipun. tapi akan lebih cantik lagi kalau dia tidak sakit. dan semakin cantik lagi kalau dia tidak bersikap dingin kepadanya.
"aku pijitin ya" tanpa menunggu persetujuan, Dana memijit lembut lengan Sina. untungnya Sina tidak protes dengan perlakuan yang ini.
terdengar sekali nafas istrinya nampak tak beraturan. Dana terus memijit dengan penuh ketulusan.
"mas.. aku mau,---" Sina bangkit dari tempat tidur. berlari menuju wastafel sambil memegangi mulut. ia kembali mual kemudian memuntahkan isi perutnya.
Dana menyusul "ay?"
"mas, aku mohon. untuk beberapa hari ini tolong jangan dekat dekat denganku. please.." Sina memohon dengan sangat. kalimat itu terdengar menyedihkan. terutama buat Dana. sampai hati sina mengatakan hal itu kepada suaminya.
"tapi aku sudah mandi dan memakai parfum lain, ay"
" tetap saja aku mual, mas.. tolong mengerti aku. apa kamu mau aku tersiksa seperti ini?" Dana semakin tak tega melihatnya. ia memilih melangkah mundur menjauh dari wastafel.
"tunggu!" Dana berbalik tersenyum kecil. berharap sina berubah pikiran "ya?"
"kamu terlihat jelek sekali malam ini, mas" sina kembali menunduk ke wastafel tanpa mempedulikan Dana. sekarang bertambah lagi penyebab sakit istrinya. aroma tubuh dan wajah jelek katanya"
apa setelah ini Sina akan mengatakan bahwa dirinya monster" atau virus mematikan"
ini pertama kalinya seorang Dana terlihat jelek bahkan dimata istrinya sendiri. mungkin rasa mual itu mengakibatkan Sina kesulitan membedakan mana virus mematikan, mana virus menyeramkan. tapi keduanya nampak sama dimata sina jika melihat Dana.
kalau sampai besok Sina masih tetap mual seperti itu, mau tidak mau Dana harus siap dikuliti harga dirinya sebagai pria.
"mas, malam ini kamu tidur di sofa aja ya. kamu ga mau kan,--"
"aku tersiksa karena mual mual melihat kamu dan mencium aroma tubuh kamu" potong Dana dengan wajah malas. "kamu mau mengatakan itu kan, ay?"
"hueekkk,--" Dana berjengit ngeri. lalu buru buru membawa satu bantal dan satu selimut" menuju sofa yang letaknya dekat jendela kamar.
*** keesokan paginya, Dana menerima sebuah kiriman yang dikirim ke alamat kantornya. sebuah kotak persegi berwarna biru muda berhiaskan pita dengan warna senada.
kotak tersebut berisi sepucuk surat berwarna pink dan benda pipih berukuran sekitar sepuluh senti. ia kenal sekali benda itu. benda itu pernah dilihatnya sewaktu Sarah hamil.
tunggu! hamil" Dana cepat cepat membaca isi surat tersebut. agar rasa penasarannya terjawab.
ku kira Cahaya hanya ada satu.
tapi rupanya, Cahaya itu banyak. dan juga indah..
dan kamu akan memiliki Cahaya berikutnya yang tak kalah Indah.
Generasi cahaya yang kau tanam maka akan tumbuh dan lahir dari induk Cahaya.
maka aku percaya, Cahaya kedua akan berada menyertai kita.
menjadi bagian dari darah daging kita.
yang mendambamu selalu. Sabriana Cahaya :* *** 26. Apalah apalah "Oke, tahan!" Ckrek! "Ganti gaya, ay. Tangan kanan kamu pegang kalung lalu tangan kirinya taruh di bahu kiri" perintah sang fotografer sekaligus suaminya tersebut.
"Seperti ini?" "Ya ya. Tahan ya sayang"
Ckrek! Dana melihat hasil jepretannya. Sina berinisiatif untuk melihat hasilnya juga. Mereka duduk di kursi panjang yang berada di halaman belakang.
"Kok yang ini hasilnya jelek, mas?"
Tangan Sina turut aktif mengoperasikan kamera. Dan menghentikan pada salah satu hasil foto yang menurutnya tidak bagus.
"Bagus, ah" elak Dana dengan mata menyipit sambil memerhatikan objek yang ditunjuk istrinya.
"Lihat dong, mas. Muka ku terlihat pucat"
"Ini bukan pucat. Ini seni, ay"
"Seni darimana, mas. Aku jadi terlihat seperti sedang sakit. Coba perhatiin deh"
Alih alih Dana memerhatikan hasil foto, ia malah menatap Sina. Sambil tersenyum sendiri memandang keindahan Tuhan di hadapannya.
"Perhatiin fotonya mas. Bukan akunya"
"Aku lebih suka melihat objek yang nyata ketimbang benda dua dimensi ini. Memandangi kamu seperti merasakan kebesaran Tuhan yang luar biasa hebat. Menciptakan seorang bidadari tanpa sayap" pujinya. Mata pria itu menembus bola mata Sina. Seolah mencari keindahan lain yang barangkali terselip disana. Segala ungkapan yang terlontar laksana taburan gula dipermukaan donat.
"Sudah merayunya?" Sina berharap suaminya itu berhenti meracuni dirinya dengan dzat dzat manis yang tercipta dari mulutnya yang mengandung glukosa berlebih.
"Belum" Dana tersenyum polos "kamu jangan berfikir aku sedang merayu. Aku sedang mengabsen detail detail ornamen nyata bernyawa yang indah disini" Dana menunjuk kening istrinya. Lalu perlahan turun menyusuri hidung paruh burung elang. Semakin turun lalu mendarat di bibir. Warna pink alami tersembul dari benda lembut menggoda itu.
"Kadang aku merasa akulah manusia paling egois. Aku tidak ingin berbagi istri dengan Tuhan. Aku tidak ingin Tuhan suatu saat memanggilmu kapanpun. Karena aku ingin kamu tercipta untukku. Hanya untukku. Meskipun aku tahu, kamu, aku dan kita adalah mutlak milikNya. Maka bagaimana caranya agar jiwa ini selalu dekat denganmu" Marilah kita bertasbih atas cintaNya. Memanjat lantunan do'a atas sebuah cinta di atas satu nama. Agar kelak kita dapat kembali bercumbu disurgaNya"
Entah sejak kapan tubuh Dana dan Sina sudah tiada jarak diantara mereka. Dana bisa dengan puas menatap setiap inci perhiasan dunia miliknya itu.
Sina memilih memeluk erat suaminya. Sebagai tanda bahwa kalimat rayu yang ia dengar telah membuatnya tak berdaya. Membuatnya tak henti mengutuk dirinya sendiri karena tidak bisa konsisten. Pertahanannya selalu runtuh kala Dana sudah berhasil mengambil kuasa penuh gejolaknya yang menumpuk.
"Rasanya tidak adil kalau aku tidak membuat kamu merasakan apa yang aku rasakan, mas" Sina menarik tubuhnya. Memberi hembusan nafas segar aroma minta memenuhi wajah sayu suaminya.
"Aku menunggu" "Allah menyatukan kita melalui tanganNya. Melalui takdirNya yang nyata. Melalui sebait puisi yang tak sempat terucap. Melalui untaian Do'a yang sempat salah. Melalui keraguan keraguan yang mengakar tunjang. Melalui umpatan umpatan benci yang bergumul di batin" Sina mengerjap lalu ditemukannya sosok yang sama. Ia menghela nafas.
"Kalau boleh ku meminta, maka maukah kamu menjadi Fajarku kala siang bersiap menimpa. Maukah kamu menjadi cairan segar di gurun tak berpenghuni. Maukah kamu menjadi setetes embun kala dahaga tak henti membuatnya mati. Maukah kamu menjadi pelita kala kegelapan mendominasi kehidupanku yang membutuhkan seberkas cahaya. Dan maukah kamu menjadi seseorang yang kehadirannya begitu dinantikan surga. Maukah kamu membawa aku dan kita menuju tempat terindah yang telah Dia janjikan?"
"Sekarang aku merasakan apa yang kamu rasakan, ay" genggaman tangan Dana pada istrinya semakin erat.
"Apa?" "Aku merasa bahwa istri ku ini sedang meminta adik untuk Biya" lontaran itu mendapat pelototan membunuh dari Sina. Bisa bisanya Dana berpikir seperti itu.
"Masssss...." ujar Sina geram dan tidak akan membiarkan Dana kabur begitu saja.
*** 27. kembar" "Sekarang, jujur sama aku. Apa
"Sekarang, jujur sama aku. Apa Dana sambil bersendekap. Matanya tajam membunuh. Justru semakin membuat Sina terheran heran. Rahasia apa" Bukankah yang hobby menyimpan rahasia itu adalah dia", pikir Sina.
"Yakin sekali. Memang apa yang sudah kamu temukan, heum?" Tantang Sina. Jadi, suaminya itu mau menguji kejujurannya. Oke baiklah.
"Ini" Selembar foto landscape yang usang sampai sampai Dana harus meniup permukaannnya agar debu debu disana pergi. Menampakan dua wajah gadis. Gadis pertama, ia yakin sekali bahwa itu istrinya. Tapi setelah melihat gadis satunya, ia menjadi tidak yakin kalau gadis pertama tadi adalah istrinya. Lalu yang mana istri aslinya tersebut"
"Eh, kamu menemukan foto ini dimana, mas" aku cari cari ini loh. Hebat ih, kamu bisa nemuin" alih alih terkejut atau apa, Sina malah kegirangan sambil mengusap ngusap foto tersebut.
"Aku menemukannya terselip diantara tumpukan berkas pernikahan kita" Dana tersadar sesuatu. "Hei, yang ingin aku tanyakan adalah, sejak kapan kamu mempunyai saudara kembar?" Pertanyaan itu justru membuat Sina terhenti dari ekspresi bahagianya. Ia mendongak seraya menaikan satu alisnya.
"Kamu tidak mengenalnya?"
"Mengenali siapa" Keduanya mirip dengan kamu. Bagaimana aku bisa membedakan" Dana mengambil selembar foto usang tersebut. Mengamatinya sekali lagi. Siapa tahu penglihatannya mengalami gangguan. Dan hasilnya nihil. Keduanya bak pinang dibelah dua.
"Sekarang, gunakan feeling atau keyakinanmu" perintah Sina wajahnya serius dan mengarah pada foto "menurut kamu, aku yang mana?"
Ini bencana namanya. Seharusnya ia tidak memberikan foto tersebut pada istrinya. Dan seharusnya dia yang marah tentang identitas sina yang tersembunyi. sekarang jadi dia yang tersudut. Lalu, apa yang harus ia lakukan" Menebaknya dengan asal atau menguras otaknya mencari tahu mana istrinya di dalam foto itu. Bagaimana jika tebakannya salah"
"Kalau aku benar, aku dapat apa?"
Sina memutar bola mata. Selalu seperti ini. Kadang otaknya mendadak amnesia. Selama ini ia menikah dengan seorang pengusaha atau lintah darat, sih" Pamrih sekali.
"Apapun yang kamu inginkan"
Senyum mengembang sempurna di bibir pria itu. Senyum bahagia, layaknya memenangkan undian mobil dari lembaran bungkus kopi. Kira kira seperti itulah gambaran kebahagiaannya.
"Tapi kalau kamu salah, kamu harus menerima resikonya" siapa bilang Sina tidak bisa mengancam balik. Seharusnya setelah ini Dana mengalami penurunan semangat.
"Ayolah sayang. Suamimu ini sedang kalut karena kemunculan foto ini. Aku sedang tidak ingin bermain teka teki dengan kamu" akhirnya Dana menyerah sebelum berperang juga. Ia tahu sekali resiko apa yang akan dialaminya kalau nanti jawabannya salah.
"Tapi aku ingin tahu seberapa jelinya kamu membedakan mana istrimu dan mana yang bukan, mas" kalimat itu perlahan terdengar seperti rengekan manja seorang balita. Kalau sudah begini, Dana bisa apa" Pria itu menarik nafas panjang.
"Baiklah. Tapi aku membatalkan perjanjian tadi. aku tidak sanggup menerima resiko yang akan kamu beri nantinya" ungkap Dana pasrah dan mulai meneliti foto kramat itu. Sedang istrinya menyimpan senyum geli.
"Coba senyum" perintah Dana kemudian mensejajarkan foto tersebut dengan wajah istrinya yang memberi senyum terbaiknya sesuai dengan yang di foto. Semakin kesini, semakin mudah untuk membedakan dua sosok disana. Ada titik titik perbedaan yang nampak dari keduanya. Dari garis wajah mulai nampak perbedaan diantaranya. Lalu perlahan menuju mata yang jika diamati lebih dalam, perbedaannya lebih mencolok.
"Menurutku, kamu yang ini" mata sina mengikuti arah telunjuk Dana yang mengarah pada sosok gadis berjilbab merah. Ia ingin terperangah takjub, tapi tidak jadi. Ia malah merubah rautnya menjadi datar.
"Benar tidak?" Tanya Dana ditibani perasaan sangsi. Apalagi setelah merasakan aura mistis yang terasa dari tatapan istrinya. Semoga saja feeling buruknya salah.
"Sudah berapa lama kita menikah?" Itu bukan jawaban. Melainkan pertanyaan. Dan bukan pertanyaan itu yang Dana harapkan. Tentu saja ini firasat buruk baginya.
"Lima tahun sembilan bulan dua minggu tiga hari" jawaban yang benar. dan jangan salah. Dana punya kelebihan mengingat yang super. Sina mengakui itu.
"Dalam lima tahun kita menikah, dan kamu memilih gadis berjilbab merah itu?" Baiklah, sinyal bahaya sudah menguing nguing di kepala. Bersiap mengeluarkan amunisi untuk menghadapi amarah dari nyonya besar.
"Apa jawabanku salah,ay" Aku merasa di foto itu kamu yang berjilbab merah" mata Dana bergerak gerak berusaha untuk jujur "pertama, garis wajah kalian berbeda. Aku hafal sekali garis wajah istriku tidak seperti ini" ia menunjuk si gadis berjilbab hitam.
"Kedua, kelopak mata kalian yang paling mencolok. Kelopak matamu besar. Tentu saja aku tahu?" jelas Dana merangkum isi otaknya. Ia menarik nafas dan melanjutkan deskripsinya.
"Dan terakhir, ini bagian favouriteku. mustahil" aku tidak mengetahui bagaimana bentuk bibir ranum istriku. Lihatlah" mata Dana mengarah pada foto dan istrinya secara bergantian. "Tidak ada pemilik benda indah ini selain kamu" tiba tiba ada yang mendorong tindakan Dana menyentuh bagian yang disebutnya barusan.
"Dan aku si pemilik mutlak kedua setelah kamu. Tidak ada yang lain" suasana berubah hening. Hanya terdengar detak detak yang tersembunyi di dada. Mencari tahu apa yang terjadi setelah ini. Kedua pasang mata saling bertemu dalam satu garis lurus. Seolah menyambungkan antara keindahan yang satu dengan yang satunya hingga membentuk jembatan penelusur mimpi. Mencari makna makna yang terselip. Dirabanya bibir ranum pink istrinya itu. Namun tidak berlangsung lama karena ada tangan lainya yang menghempasnya perlahan. Yakni tangan Sina. Ditatapnya suaminya itu dengan tatapan aneh.
"Sayangnya jawaban kamu salah, mas" jawaban singkat itu berakhir disertai membalikan badan lalu berjalan melangkah pergi meninggalkan Dana yang mulai detik ini dirundung bahaya perang dunia ketiga.
"WHATSS?"" Pekik pria itu tidak percaya.
Sedang Sina yang kini sudah berada di kamar terkekeh geli menuangkan tawa yang sedari tadi ditahannya.
.... *** Tamat *** Jodoh Di Gunung Kendeng 2 Wiro Sableng 118 Batu Pembalik Waktu Kisah Para Penggetar Langit 6