Pencarian

Kemuning 1

Kemuning Karya Maria A Sardjono Bagian 1


weblog http://ebukita.wordpress.com
http://ottoy.wordpress.com
email ottoys@yahoo.com Tatkala DEWO terpaksa menikahi gadis yg dihamilinya pacarnya wulandarai merasa amat risi dan tertekan karena setiap orang di Tawangmangu merasa iba kepadanya. Harga dirinya sangat terluka oleh perhatian berlebihan itu karena sebenarnya dia bukan gadis rapuh yang patut dikasihani- Perlakuan orang orang di sekelilingnya itu. justru membuat Wulan merasa dirinya pecundang, orang yang terkalahkan dan tersingkirkan. Oleh sebab itulah ia tidak sudi menumpahkan air mata hanya untuk menangisi kekasih yang tidak setia.
Tetapi ternyata Wulandari keliru. Menangis itu perlu. Karenanya ketika Eko mampu menyibak konflik yang ada di batinya, tangisnya pun akhirnya tumpah di atas dada laki-laki itu. dann dalam perjalanan waktu, keakraban mereka berkembang menjadi cinta yang tumbuh dengan suburnya. Persamaan kisah, minat. dan cara pandang mematrikan hati mereka berdua.
Namun sayang, Tawangmangu bukanlah Jakarta. Kisah cinta antara Wulandari. anak pemilik perkebunan yang kaya raya, dan Eko, anak salah seorang mandor perkebunan itu sulit diterima oleh keluarga kedua belah pihak maupun oleh komunitas setempat Terlebih karena sistem nilai feodalisme begitu kuatnya dalam hierarki dunia perkebunan dan darah priyayi yg mengalir ditubuh wulandari terlalu kuat
Okh Maria A Sardiono CM 401 01 Ml Pencili PI CiranicJia PuMaka Ulama jl palmcmh Sclatan 24--26. Jakarta 10270 Dcsam A ilusira>i sampul oWl D"ri Kocndoro Br. Ditcrbilkan pertairu kali olch PencrtMl PT GranwJia Piulaka Ulama. anggoca IKAPI. Jakarta, Marei 2001
Perpusttkaan Nasional: Katalog Oalam Tcrbilan (KDT)
SARDJONO Man* A Kemunin8>Man> A. Sardjono Jakarta: Gramedia Pustaka
Uuma. 2000. 272 him.; 18 cm ISBN 979 - 686 - 308 - I , I Judul
813 Diccuk olch Pcricukan PT Putt Prima. Jakarta hi di I liar tanggung jawab Percctakan
Satu MeNYADARi mobil tidak lagi berjalan, aku ter-bangun. Kubuka mataku dan kulayangkan pan-danganku keluar jendcla. Ah, alangkah senang hati-ku. Kami berdua telah tiba di tempat dengan sclamat. Maka begitu mesin mobil dimatikan, dengan perasaan tak sabar kubuka pintunya lebar-lebar dan aku meloncat keluar. Dan begitu kakiku yang pcgal ini mcnginjak tanah, udara malam beraroma bunga kemuning langsung saja menyergap hidungku. Aduh, alangkah segarnya. Alangkah mc-nenteramkan. Alangkah nikmatnya. Dan terutama alangkah puas hatiku bisa menikmati kembali betapa segarnya aroma kemuning malam hari di kampung halamanku ini.
Dengan hati yang sama berbunganya dengan kemuning yang berjajar rapi di tapi pagar halaman, kuresapi aroma itu dengan menghirupnya kuai-kuat. Dan kemudian kedua belah lenganku ku-rentangkan lebar-lebar sambil berputar-putar di te-ngah halaman dan tersenyum gembira.
"Mbak, turunkan barang-barangnya dulu. Kok malah berdansa sendirian seperti orang hilang
ingatanl" Masih duduk di balik kemudi, adikku
Tita mencgur dengan suara jcngkcl. Dimarahi adik. aku tidak kesal. Aku sungguh
mcngeni kejengkelannya. Kami berdua baru saja mclalui perjalanan panjang dari Jakarta ke Solo dan berlanjui sampai ke Tawangmangu dengan mengemudi mobil secara bergantian. Dan sejak dari'tempat kami bcristirahat untuk makan malam di kota Salatiga sampai di depan rumah orangtua kami di Tawangmangu ini, aku tcrtidur nycnyak seperti orang mati, dan baru lerbangun begitu sampai di tempat. Tita-lah yang mengemudi. Jadi kumengerti benar kejengkelannya terhadapku.
"Oke, Non. sabarlah. " Aku tertawa menenang-kannya. 'Tetapi tolonglah dimengerti saat ini aku sedang meresapi betapa senangnya kembali ke pangkuan tanah tumpah darah kita, kampung halaman tercinla ini."
"Dan sebeniar lagi juga ke pangkuan Mas Dewo, kan"" rasa jengkel Tita luntur. Dia menyeringai sambil menyusul keluar dari mobil. 'Tetapi, se-belum bersenang-senang dengan kekasihmu itu urusilah barang-barangmu dulu. Berakit-rakitlah dahulu, berenang-renang kemudian. Bersakit-sakit-lah dahulu, bersenang-senang kemudian." "Gombal kau Tita!" Aku melotot. "Gombal atau bukan, sekali lagi kuingatkan urusilah barang-barangmu dulu." Tita mengancam. Tetapi air
mukanya sama gembiranya denganku. Kembali ke rumah memang sangat menyenang"Kalau tidak...""
"Kalau tidak, pintu mobilnya akan kukunci. Dan kuncinya akan kukantongiTita menyeringai lagi. Aku tahu betul, ancamannya itu cuma ancaman kosong belaka. Barang-barangnya juga masih dalam
mobil. Tetapi dasar keberuntunganku sedang tiba. Se-belum aku mengangkat barang-barangku dari mobil seperti yang disuruh Tita, orang rumah sudah men-dengar suara mobil masuk ke halaman. Mas Danu, kakak lelakiku itu, keluar dan langsung membantu membawakan koper-koper kami. Dan tak berapa lama kemudian, Yu Rapiah ikut keluar dan me-nolong membawakan barang-barang kami yang lain.
Sementara itu di ambang pintu rumah yang terbuka lebar, Bapak dan Ibu berdiri memperhatikan semua kcsibukan yang terjadi di hadapan mereka. Wajah keduanya tampak gembira dan lega. Aku mengerti betul perasaan mereka ketika melihatku dan Tita telah sampai ke rumah dengan selamat. Kemarin dulu melalui Ibu sebagai juru bicaranya, mereka sempat mengemukakan ketidaksetujuan mereka ketika kukatakan bahwa aku dan Tita akan pulang berdua saja. Apalagi ketika mereka menge-tahui bahwa kami memilih pulang lewat jalur pantai Utara yang padat lalu lintasnya.
"Kalian berdua tidak boleh pulang sendirian saja!" begitulah yang dikatakan ibuku kemarin dulu melalui telepon. Aku yakin betul, Bapak pasti sedang berdiri di belakangnya. Dan aku juga tahu betul apa alasan ketidaksetujuan mereka itu.
"Biarkan mobilnya dittnggal. Bapakmu bisa me-nyuruh orang untuk mengambilnya kapan-kapan."
"Kenapa tidak boleh. Bu"" Aku bcrtanya dengan nada meneniang. "Karena kami bcrdua perempuan dan masih muda pula. Begitu, kan""
"Ya. Jelas sekali alasan itu, Wulan. Jarak per-jalanan dari Jakarta ke Tawangmangu itu jauh sekali. Apalagi lewat kota Semarang. Jalur Utara padai sekali lalu lintasnya. Ada banyak bus, truk gandengan, mobil kontainer, dan macam-macam kendaraan besar lainnya. Dan kalian berdua masih gadis-gadis muda yang..."
'Tidak akan terjadi apa-apa, Bu" Aku memotong. "Secara umum. lelaki dan perempuan mempunyai kemampuan mengemudi mobil yang sama. Dan secara individual, Ibu tahu bahwa aku dan Tita sudah bisa mengemudi sejak masih duduk di awal SMU. Sedangkan perjalanan antara Tawangmangu-Solo bukan hal baru bagi kami berdua. Dengan mata setengah terpejam pun kami bisa mengemudi bolak-balik antara kedua tempat itu. " . "Jangan sombong, Nduk." Ibu tertawa. "Sombong dan percaya diri mcrupakan sesuatu yang berbeda Iho, Bu."
'Ta sudahlah kalau begitu. Tctapi pesan Ibu dan Bapak, berhati-hatilah kalian di jalan. Dan jangan ngebut."
"Baik, Bu. Kami akan berangkat pagi-pagi sekali supaya bisa tiba di tempat sebclum malam. Doakan agar perjalanannya lancar."
'Tanpa diminta pun, Ibu dan Bapak akan mendoakan kalian berdua. Dan jangan lupa untuk menyampaikan salam hormat dan rasa terima kasih kami kepada keluarga Bapak Salch atas kebaikan mereka. Enam tahun lebih hidup bersamamu dan empat tahun juga dengan Tita bukanlah waktu yang menyenangkan bagi mereka..." Ibu menghenti-kan bicaranya dan menggantikannya dengan suara tawanya lagi.
Kali ini aku ikut tertawa, teringat bagaimana Bapak dan Ibu Saleh pernah mengcluh kepada Ibu tentang sulitnya mengawasi kami berdua. Banyak sekali teman kami yang datang silih berganti ke paviliun rumah mereka yang kami kontrak. Lelaki maupun perempuan.
"Kedua putri Ibu itu termasuk populer dan di-sukai," kata mereka waktu Ibu datang menjenguk kami. 'Temannya banyak sekali. Saya harap Ibu jangan menyalahkan kami kalau kami tidak bisa mengawasi mereka dengan baik."
"Jangan khawatir Bu Saleh. Mereka cukup me-ngetahui mana yang baik dan mana yang sebalik-nya. Buat saya yang penting, asal Bapak dan Ibu Saleh tidak merasa terganggu oleh mereka berdua." Begitu Ibu menanggapi pcrkataan Bapak dan Ibu Saleh waktu itu. "Dan kalau perlu, janganlah segan-segan menegur mereka. Perlakukan mereka seperti tcrhadap putri-putri Bapak-Ibu berdua."
Pada kenyataannya sebclum Ibu meminta Bapak dan Ibu Saleh supaya menganggap aku dan Tita seperti keluarga sendiri, mereka berdua telah mem-perlakukan kami deng
an amat baik. Mereka juga
mcnyayangi kami. Kala Bu Saleh, kehadirank:u dan Tita bisa menjadi obat penawar rindu kcpada ketiga anak mereka yang telah menikah. Karcna itu scandainya pun Ibu tidak memintaku untuk menyampaikan rasa terima kasih kepada keluarga Pak Saleh. aku dan Tita pasti akan melakukannya scndiri. Terlebih jika itu dikaitkan dengan paviliun yang dikontrakkan mereka kcpada kami berdua. Kami tahu, di kota Jakarta ini cukup sulit menemu-kan tempat kos yang nyaman seperti milik Pak Saleh itu. Tempatnya cantik dan bersih. Tcrdiri dari ruang tamu yang luas, satu kamar tidur yang juga cukup besar. dapur mini yang menyenangkan merangkap ruang makan. Kamar mandinya juga bagus. Di depan, ada teras yang bisa diisi satu meja kecil dan dua buah kursi. Memang harga kontrakannya tergolong mahal. Tetapi tempat itu bukan saja menyenangkan dan nyaman untuk di-tinggali, tetapi juga memiliki beberapa kelebihan. Telepon, misalnya. Dan juga listrik. Sebab kami diperbolehkan memakai listrik melebihi yang se-harusnya untuk pengoperasian komputer sebagai sarana studi kami. Tetapi lebih dari semua itu, keluarga Pak Saleh-lah yang membuat kami berdua merasa amat kerasan tinggal di tempat itu.
Singkat kata, rumah Pak Saleh ikut menjadi penunjang keberhasilan studi kami. Selama cmpat tahun lebih kuliah di Fakultas Psikologi dan dua tahun kemudian mcngambil gelar sarjana strata dua di bidang yang sama, aku tak pernah pindah tempat. Bahkan kemudian Tita menyusulku ketika
aku masuk semester lima di jenjang strata satuku waktu itu. Nasib juga membawanya harus kuliah di Jakarta seperti aku. Tetapi dia mcngambil jurusan ekonomi. Dan seperti diriku pula. dia juga berhasil mcnyelcsaikan kuliahnya di jenjang strata satu dalam waktu empat tahun.
Bcgitulah, tadi pagi-pagi sekali kami pamit lagi kepada keluarga Pak Saleh. Mereka meminta kami berdua tidak memutuskan hubungan baik yang telah tcrjalin selama beberapa tahun ini. Karena memang menyukai keluarga yang baik hati itu, pcrmintaan mereka kami sambut dengan senang hati dan kami jadikan bekal di jalan. Maka dengan bckal itu pulalah aku dan Tita berangkat ke Tawangmangu pagi tadi jam cnam lewat sepuluh menit. Dan jam setengah dclapan kurang delapan menit malam ini. aku dan Tita sudah berada di halaman rumah orangtua kami.
Dengan tertawa lebar, Bapak menyambut kami berdua.
"Wulan, Tita, dengarkan perkataan Bapak," kata-nya kepada kami dengan suara penuh kasih. "Kali ini kalian pulang ke rumah bukan lagi sebagai mahasiswa yang sedang menjenguk kampung ha-lamannya. Melainkan sebagai sang pemenang yang pulang dengan membawa gelar sarjana."
'Terima kasih, Pak," aku menjawab senang. Cara Bapak berkata itu membuat diriku terasa
begitu berarti. "Nah, sckarang kemarilah kalian berdua!" Bapak mengembangkan lengannya. Dcngan senang hati
ku dan Tita masuk ke dalam pelukannya. "Selamat datang kalian berdua. putri-putn kebanggaan Bapak' "Terima kasih. Pak.
Setelah lepas dari pelukan Bapak, Ibu ganti memeluk dan meneiumi pipi kami berdua ganti-berganti.
"Setelah bertahun-tahun tinggal di Jakarta, mudah-mudahan kota kecil yang sepi dan agak jauh dari kota bcsar ini tidak membuat kalian menjadi bosan." katanya kemudian.
'Tidak, Bu." aku menjawab sambil menyeringai. "Kami datang justru untuk membuat kota ini tidak sepi lagi. Apalagi membosankan. Setidaknya, di rumah inilah!"
Kami semua tertawa. Dan kemudian seperti biasanya kalau aku atau saudara-saudara kandungku baru puiang dari bepergian, malam itu pun Ibu menyuruh Yu Rapiah menyediakan air panas untuk mandi dan membuatkan kami minuman hangaL Maka begitulah sesudah mandi dan berganti pakaian yang enak dipakai, aku dan Tita menyesap minuman cokelat susu kami pelan-pelan di ruang keluarga yang luas dan terasa hening ini. Sementara itu Mas Danu, yang juga mendapat bagian se-cangkir cokelat susu yang sama, scdang menghirup minumannya itu sambil menonton telcvisi. Tetapi aku tahu seperti diriku dan Tita, dia juga menikmati kebersamaan kami. Suatu rasa kebersamaan yang juga kuresapi kemanisannya. Scbab kusadari sung-guh kini bahwa mulai malam ini aku dan Tita akan
kembali menjadi bagian dalam keluarga ini
lagi. Kchadiranku dan Tita telah melcngkapi ke-sempurnaan keluarga yang semula pincang karena ketidakhadiran kami berdua. Paling tidak, itulah yang tcrjadi sebclum kami berdua mencntukan ke mana kaki kami bcrikutnya akan melangkah nanti. Sebab bagiku, aku masih bclum tahu apa yang akan kulakukan untuk hari esok dan lusa.
Dengan bermacam pikiran yang simpang siur seperti itulah aku terdiam dan menikmati ke-heningan suasana di tengah keluargaku kembali. Sementara itu angin malam yang berembus masuk melalui jendela masih saja mengirimkan aroma wanginya bunga kemuning. Mengenai bunga itu pun pikiranku sempat singgah. Namanya bunga kemuning tetapi bunganya tidak satu pun yang berwarna kuning. Melainkan putih. Dan sempat kupcrhatikan tadi, cahaya lampu taman menyuguh-kan pemandangan yang indah. Kombinasi daun kemuning berwarna hijau dengan bunga-bunga berwarna putih yang bcrtaburan di atasnya, tampak sungguh memesona.
"Kenapa Wulan, kok diam saja"" tanya Ibu tiba-tiba. "Biasanya, kau paling banyak bicara."
Pertanyaan Ibu yang tiba-tiba itu membuatku tersentak. Aku mcnoleh ke arah perempuan yang amat kucintai itu. Cepat-cepat pertanyaannya ku-jawab untuk menyenangkan hatinya.
"Pertama karena capai dan mengantuk, Bu. Kedua, karena udara malam yang dingin dan bersih ini mcmbuatku jadi enggan bcrgerak. Sudah lama aku bcrada di kota yang panas dan bcrdebu, Bu.
Sckarang aku ingin meresapi suasana ini. Lalu a in Segar Gunung Lawu yang dititipi aroma wangi kemuning dan juga sccangkir minuman yang nikmat ini, membuatku merasa sangat bahagia," kataku sambil meletakkan cangkirku yang telah kosong. "Sungguh senang rasanya Wulan bisa ber-kumpul kembali dengan keluarga dalam suasana semanis ini. Suasana yang tidak bisa Wulan temu-kan di Jakarta. Terima kasih, Bu."
"Terima kasih kembali, Wulan!" Ibu tersenyum manis- 'Tetapi meskipun demikian, sekarang sebaik-nya kau dan Tita segera beristirahat. Pasti kalian berdua lelah dan mengantuk. "
'Tetapi Mbak Wulan lebih memerlukan istirahat daripada aku, Bu!" Tita menyela pembicaraan. "Kenapa"" Mas Danu yang bertanya. "Supaya besok pagi-pagi bisa langsung berlari ke rumah Mas Dewo!"
Mengira perkataan Tita akan disambut dengan tawa dan goda oleh yang lain-lain, aku merasa heran tatkala melihat kenyataan yang kuhadapi. Ibu, Bapak, dan bahkan juga Mas Danu yang suka usil itu tidak berkomentar apa pun. Bahkan aku merasa, mereka bertiga sedang pura-pura tidak mendengar perkataan Tita.
Menyadari itu, tiba-tiba saja hatiku merasa tidak enak. Firasatku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Tetapi yang tidak beres itu apa, aku tidak bisa menduga sedikit pun. Jadi entahlah apa yang terjadi pada diri Mas Dewo. Sakitkah dia" Atau apa"
Tetapi memang hams kuakui, sudah sebulan lebih aku dan Mas Dewo tidak mengadakan kontak dalam bentuk apa pun. Padahal biasanya setiap beberapa hari sekali kami saling berhubungan dengan telepon. Sebab memang, selama satu bulan lebih ini aku sendiri sedang disibukkan oleh ber-bagai macam hal selain menyempurnakan tesis dan lalu menyiapkan diri untuk ujian. Sedangkan untuk mengepak semua barang-barangku saja sudah menyita waktu dan tenagaku. Belum lagi waktu yang kupakai untuk mencari oleh-oleh buat sekian orang di sekitar rumah orangtuaku. Maka kupikir, Mas Dewo memang sengaja tidak menghubungiku karena dia ingin memberiku waktu untuk me-nyelesaikan semua itu.
Kini sesudah firasat tak enak itu melintasi hatiku, aku tidak lagi menganggap kejadian itu sebagai sesuatu yang berkaitan dcngan kesibukanku meng-hadapi ujian maupun persiapanku pulang ke kam-pung halaman. Padahal tadi di sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Tawangmangu, aku mempunyai prasangka saat ini lelaki itu sedang merencanakan suatu kejutan untukku setelah satu tahun tidak bertemu dan sebulan lebih tidak bertukar berita. Aku yakin sekali dia sudah tahu bahwa hari ini aku dan Tita akan pulang dan tidak kembali lagi ke Jakarta. Menurut pengalaman yang sudah-sudah, Ibu dan Yu Rapiah tak pernah bisa menyimpan berita kepulangan kami. Siapa saja yang mereka jumpai
di jalan atau di pasar pasti mereka beritahu bahwa aku dan Tita pulang hari ini. Apalagi kepulangan kami kali ini untuk seterusnya. Kecuali tentu saja untuk menghadin han wisuda kami nanti. Jadi entahlah apa yang terjadi pada Mas Dewo sampai Bapak, Ibu. dan Mas Danu seperti sudah bersepakat untuk tidak menyinggung nama lelaki itu di hadapanku.
Berpikir seperti itu, diam-diam aku melirik ke arah mereka bertiga. ingin membaca air muka mereka. Tetapi mataku malah bertabrakan dengan pandangan Tita. Rupanya adikku itu pun merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan. Sebab ku-lihat, sinar matanya mengandung tanda tanya yang besar.
Sebenarnya pertanyaan yang ada di hatiku mau-pun di hati Tita itu bukanlah sesuatu yang meng-herankan. Sebab biasanya Mas Danu sangat suka menggodaku kalau nama Dewo sudah mulai masuk ke dalam pembicaraan kami. Pipiku bisa menjadi merah padam dibuatnya. Tetapi malam ini, sepatah kata pun dia tidak memberi komentar atas perkataan Tita tadi. Sungguh, rasanya ingin sekali aku mengctahui apa yang ada di dalam hatinya. Namun karena aku sedang berada dalam keadaan lelah dan mengantuk, perasaan tak enak itu ku-singkirkan jauh-jauh dari hatiku. Aku tak mau memikirkannya. Setidaknya untuk malam ini saja. Aku ingin agar istirahatku malam ini tidak ter-ganggu. Karena itulah sampai aku masuk ke kamar tidurku beberapa waktu kemudian. sepatah kata pun mengenai pertanyaan batin itu tak kuueapkan. Dan untunglah aku bisa tidur dcngan cukup nyenyak. Udara pegunungan di Tawangmangu memang menyegarkan. Jauh sekali bedanya dengan udara pengap Jakarta yang panas dan berdebu. Selain itu. tubuhku dalam kondisi kecapekan. Jadi begitu kepalaku menyentuh bantal, aku langsung tertidur.
Keesokan harinya pagi-pagi sekali waktu mata-hari masih berada di pcraduannya, aku sudah ba-ngun. Cepat-cepat aku meloncat dari tempat tidurku dan segera membuka jendela kamarku lebar-lebar. Sambil mcmandang halaman rumah kami yang luas dan masih tampak remang itu, aku bertumpu di bingkainya dan berlama-lama berdiri di situ. Aroma bunga kemuning lagi-lagi langsung me-nyerbu penciumanku. Sungguh menyegarkan. Baik diantar oleh angin malam maupun oleh angin pagi bersama sejuknya udara pegunungan, aroma itu selalu menyenangkan hatiku. Tak pemah sekali pun aku merasa bosan menikmatinya.
Bunga kemuning dan aromanya yang khas itu sudah akrab dengan diriku. Bahkan menjadi bagian dari kehidupanku. Sudah sejak mulai belajar ber-jalan dua puluh lima tahun yang lalu, aku melihat pagar besi yang mengelilingi bagian depan halaman rumah kami itu tak pemah berdiri sendirian. Selalu diberi tirai jajaran kemuning dengan daunnya yang menghijau. Dan sering kali di antara daunnya yang hijau, bertaburan bunganya yang putih kecil-kecil dan beraroma wangi. Karenanya setiap aku berada jauh dari rumah dan membayangkannya dengan kerinduan, setiap kali pula kemuning ke-sayanganku ikut terbayang di pelupuk mataku.
Dan bahkan serasa tercium olehku wangi bunga-nya.
Sungguh kebeiulan sekarang ini aku pulang ke rumah pada saal kemuning sedang berbunga. Na-mun pagi ini aku terbangun tanpa perasaan damai yang biasanya kurasakan kalau mencium udara segar beraroma wangi kemuning. Aku tahu apa sebabnya. Pikiranku mulai dipenuhi lagi oleh pertanyaan-pertanyaan di seputar Mas Dewo yang belum terjawab ini. Dan firasat tak enak yang semalam kurasakan. kini semakin menebar ke seluruh relung balinku. Sangat tidak enak rasanya. bagaimanapun juga hari ini adalah hari pertamaku berada di kampung halaman.
Suara pintu dibuka seseorang, membuyarkan la-munanku. Saat menoleh aku melihat Tita sedang melangkah masuk ke kamarku sesudah menutup pintunya kembali. Tubuhnya masih terbalut baju tidur yang sudah pudar warnanya. Tetapi aku yakin sekali, baju itu termasuk baju tidurnya yang paling nyaman dipakai. Dan karenanya sering dicuci se-hingga memudarkan warnanya. Aku juga memiliki beberapa baju tidur kesayangan yang sudah pudar warnanya. Bahkan karena seringnya dicuci, ada yang sudah tipis kainnya. Tetapi dipakai untuk tidur, bukan main nyamannya.
"Mbak, apa acaramu hari ini"" Begitu masuk. gadis
itu langsung melontarkan pertanyaan sambil mengempaskan tubuhnya ke atas tempat tidurku.
"Mencuci mobil, lalu ke rumah Dini."
"Daripada mencuci mobil dan mcngunjungi
habat masa kccilmu yang baru punya bayi lagi itu, tidakkah lebih baik kalau kau menjumpai Mas
Dewo"" Mcndengar pertanyaannya, aku menatap air muka Tita. Dari pandangan matanya, aku tahu dia sedang memancing reaksiku. Karenanya aku menyeringai sebab pancingannya berhasil.
"Kalau saranmu kuiyakan Ta, apa jawabanmu"" Aku ganti memancingnya.
"Aku tidak akan banyak mcmbcrimu komcntar kecuali lakukan saja apa yang dikatakan oleh suara hatimu. Yang penting Mbak, buanglah dulu apa yang mengganjal hatimu. Caranya, dengan mencari sumbcr masalahnya."
"Oke. Tetapi aku mau berkuda ke Gerojogan Scwu dulu." Pikirku, usul Tita boleh juga. Namun pergi ke air terjun Gerojogan Sewu merupakan kebutuhan batin yang harus kupenuhi lebih dulu. Di tempat itulah aku biasa mencari ketenangan dan kedamaian bila perasaanku sedang tidak enak.
"Pagi-pagi begini tempat itu belum buka. Mbak." Tita mengingatkan.
"Ah, seperti kita ini tidak kcnal siapa penjaganya sih"" Aku menaikkan alis mataku. "Apalagi di sana aku cuma mau mencari damai. Masa iya aku dilarang masuk."
"Terserah. kalau begitu." Tita mcngangkat tubuhnya. Kini dia duduk bersila di atas tempat tidurku itu. 'Tetapi aku pesan padamu. jangan lama-lama di sana Iho, Mbak. Nanti kalau kau tidak kelihatan saat sarapan, orang rumah pasti menanyakanmu.
Dan siapa lagi yang mereka tanyai kalau bukan aku."
"Kehilangan diriku saat sarapan bukanlah hal baru bagi mereka. Ta." Aku menyeringai lagi.
"Betul. Siapa sih yang tidak tahu kelakuanmu yang suka nganeh-nganehi. Contohnya, saat orang lain mengelilingi sarapan. kau malah mengelilingj sawah. Dari sawah yang satu ke sawah yang lain hanya untuk mencari bclut."
Dulu di masa awal remajaku, aku memang suka sekali mencari belut dan kemudian menyuruh pem-bantu rumah tangga untuk membuatkan keripik belut yang renyah hasil perburuanku itu. Biarpun Ibu marah-marah dan lalu membelikanku sekilo keripik belut agar aku tidak keluyuran di sawah. tetap saja aku sering menghilang pada pagi hari. Ibu tidak tahu bahwa bagiku bukan bclut itu yang kuinginkan. tetapi petualangan yang kualami. Per-nah aku harus memukul mati seekor ular yang kukira belut. Pernah pula pagi-pagi sekali ketika hari masih remang aku naik ke punggung bukit yang teijal hanya untuk mengambil tanaman liar yang indah. Entah daunnya yang bagus, entah pula bunganya yang cantik. Yang penting bisa kubawa pulang lalu kutanam di muka jendela kamarku untuk kupandangi keindahannya. Hanya untuk hal-hal scmacam itu saja aku telah mempcr-taruhkan keselamatanku tanpa mengingat perasaan ibuku. Apa yang terjadi seandainya aku jatuh tcr-guling-guling dan mengalami patah tulang tanpa seorang pun yang mclihatku" Tapi hal itu tak
terpikirkan olehku. Yah, aku dulu memang tidak memiliki akal yang panjang. Ada-ada saja ulahku. Teguran orangtua hampir-hampir tidak masuk ke
telingaku. Kini diingatkan oleh Tita pada kejadian yang sering terjadi dulu di masa awal remajaku, aku
tcrtawa gcli. "Nah jika sudah tahu begitu, apa keberatanmu kalau aku pergi sekarang"" tanyaku kemudian se-sudah bayang-bayang masa lalu itu kusingkirkan.
"Aku pribadi sih tidak merasa keberatan, Mbak. Tetapi pagi ini kan hari pertama kita kembali di rumah ini. Aku tidak ingin Bapak dan Ibu merasa cemas." Tita menjawab dengan serius. Aku menatap tajam mata Tita.
"Ta. aku merasa ada sesuatu yang sebetulnya ingin kaukatakan kepadaku," kataku kemudian. "Ya. kan""
Tita tidak bisa menjawab perkataanku dcngan segera sehingga aku semakin merasa yakin bahwa memang ada sesuatu yang sedang berkecamuk di dalam kepalanya yang cantik itu.
"Berterusteranglah Tita, kau pasti mcmpunyai pikiran yang sama seperti yang ada di kcpalaku ini mengenai Mas Dewo. Ya, kan""
"Ya." Akhirnya Tita berterus terang sesudah menarik napas panjang.
Aku juga menarik napas panjang. Sejak kami berdua merantau ke Jakarta untuk sama-sama me-nuntut ilmu, hubungan dekat kami berdua semakin terasa kekcntalannya. Ada banyak persamaan n
asib di antara kami. Ada banyak pula persamaan pe-rasaan di antara kami berdua jika mcnghadapi suatu peristiwa. Lcbih-lebih belakangan ini ketika kami sama-sama sedang mcnghadapi persoalan yang serupa. Dia mcnyusun skripsi untuk gelar sarjana strata satunya dan aku menyusun tesis untuk meraih gelar sarjana strata dua. Sering kali kami bam tidur menjelang pagi sesudah berdiskusi tentang pekerjaan kami masing-masing. Dan rupa-, nya sekarang pun setelah kembali ke rumah orang-tua kami, Tita masih tetap memperlihatkan ke-dekatannya denganku. Masalah Mas Dewo menjadi perhatiannya juga.
"Rupanya Bapak. Ibu. dan Mas Danu menyim-pan sesuatu mengenai Mas Dewo. Aku langsung dapat menangkapnya," kataku kemudian.
"Ya, aku juga merasakan hal yang sama." Tita menganggukkan kepalanya. "Karenanya kalau kau sampai tidak kelihatan pada saat sarapan nanti, Bapak dan Ibu pasti merasa cemas."
"Bisa kubayangkan itu," sahutku. "Tetapi biar saja 1 ah."
Tita ganti menatapku. Kemudian dengan hati-hati dia mengeluarkan pertanyaan yang sesungguh-nya juga menjadi pertanyaan batinku.
"Apa kira-kira yang terjadi pada Mas Dewo ya Mbak"" gumamnya. "Sakit" Pindah dari Tawang-mangu atau apa""
"Firasatku lebih buruk dari itu, Ta."
"Jangan menebak-nebak dulu, Mbak. Nah, sana. sekarang pergilah untuk mencari udara segar. w
tapi jangan lama-lama." Sambil mengatakan hal
itu, Tita menyelinap keluar dari kamarku. me-ninggalkan sarannya itu untukku. "Baru sesudah itu mencari berita tentang dia. Setelah mandi dan sarapan nanti, aku akan menemanimu mencari
berita." Kuanggukkan kepalaku. Kemudian sesudah menggosok gigi, kutukar gaun tidurku dengan celana jins dan kaus longgar berwarna merah yang kulaptsi dengan sehelai jaket. Berkuda di Tawang-mangu pada pagi hari begini, dinginnya sungguh terasa sampai ke tulang. Jaket akan mclindungiku dari sengatan rasa dingin itu. Setelah mengenakan jaket. kuraih pula topi lebarku yang sudah hampir satu tahun lamanya hanya tersangkut saja di kapstok. Baru kemudian sesudah merasa siap tem-pur aku melangkah keluar.
Langkah kakiku langsung menuju ke kandang tempat Bapak menyimpan delapan ekor kuda kami. Kuda-kuda itu biasa dipergunakan oleh pegawai Bapak untuk mengawasi perkebunan. Kalau hari libur, kuda-kuda itu dipergunakan untuk menambah penghasilan dengan menyewakannya kepada para turis. Baik turis domestik maupun turis dari manca negara. Kuda-kuda Bapak termasuk kuda yang bagus dan sehat. Secara bcrkala Bapak memeriksa-kan kuda-kuda itu ke dokter hewan setempat. Dan karenanya, kuda-kuda milik Bapak tampak lebih mcnarik untuk ditunggangi.
Mendengar derit suara pintu kandang dibuka, Pak Kirman salah seorang pegawai Bapak yang
tidur di kamar dekat salah satu gudang, keluar dengan tergopoh.
"Lho. Den Wulan sudah datang to!" la menegur-ku dengan sikap ramah dan air muka gembira Aku mengenal Pak Kirman sudah sejak aku masih amat kecil. "Saya kira siapa tadi yang datang ke sini pagi-pagi begini. Bagaimana kabarnya. Den""
"Kabar baik. Pak Man. Maaf Iho Pak, aku telah membangunkanmu."
"Saya sudah bangun sejak tadi kok." Pak Kirman menurunkan kain sarungnya yang semula mem-bungkus seluruh tubuhnya. Kini sarung itu dipakai-nya dengan cara yang semestinya. "Den Wulan mau bcrkuda ke mana dan apa tidak capek sesudah seharian kemarin mengarungi perjalanan panjang""
"Setelah tidur nyenyak semalam suntuk, aku sudah segar kembali kok, Pak Man. Apalagi aku cuma mau berkuda di dekat-dekat sini saja. Dan tidak akan lama-lama." Aku menjawab sambil ter-tawa man is.
Pak Kirman dan istrinya yang tidak mempunyai anak perempuan, sangat menyayangiku. Apa pun yang kuinginkan, selalu dikabulkan mereka. Apalagi Pak Kirman tak pernah tega mclihat tangisku. Kalau aku minta mainan yang dipikul penjual keliling dan pcrmintaanku ditolak ibuku, aku sering lari ke tempat Pak Kirman. Dengan diam-diam dia mengambil uang dari saku eclana komprangnya yang bcrwarna hitam dan dibelikannya aku mainan yang kuinginkan itu. Entah itu sebuah kitiran dari kertas warna-warni, entah pula kupu-kupu beroda
dua tcrbuat dari kaleng yang diberi gagang panjang. Kalau gagangnya didoro
ng, sayap kupu-kupu itu akan naik-turun dan berbunyi klik-klak-klik. Dan seperti mainanku yang lain yang juga dibelikan oleh Pak Kirman, kupu-kupu itu kusimpan di rumahnya. Kalau kubawa ke rumah. ibuku pasti akan menanyakan dari mana aku mendapatkan mainan itu dan Pak Kirman akan dimarahi ibuku.
Setelah aku menjadi besar, kasih Pak Kirman dan istrinya kepadaku tidak juga berubah. Kalau dia mendengar aku pulang untuk berlibur, ada saja makanan yang dikirimkan Mbok Kirman untukku dan Tita. Dia masih ingat, aku paling suka makanan apa pun yang dibuat dari singkong. Dan kebctulan. dia memang ahlinya membuat makanan yang ter-buat dari singkong. Gethuk, sawut, kue kacamata, lemet, jongkong, keripik, baiung kt4\vuk goreng, atau cuma singkong goreng biasa. Tetapi meskipun digorcng biasa, singkong goreng Mbok Kirman gurih, empuk. dan enak. Katanya. sebclum digoreng. singkong itu dikukus dulu dengan bumbu-bumbunya.
"Tetapi hati-hati lho Den. Jangan berkuda ke tempat-tempat yang banyak kabutnya." Pak Kirman berjalan di sampingku.
"Aku tidak akan berkuda di lercng bukit kok. Pak."
"Itu bagus. Memang sebaiknya bcrkuda di jalan
aspal saja." "Ya."
"Den Wulan mau naik kuda yang mana"" Lclaki lua, yang masih tampak kckar dan gagah karena
sejak mudanya banyak mempergunakan tubuh dan ototnya untuk bekerja itu, membuka pintu kandang.
"Si Bawuk saja, Pak." Aku memilih kuda yang paling kukenal.
"Baik. Akan saya pasangkan pelananya." "Nanti pulang dari berkuda, aku akan menjenguk Mbok Kirman. Ada sedikit oleh-olehku untuknya. Dan juga ada sesuatu untuk Pak Man." "Kok repot-repot /o. Den." "Apanya yang repot sih, Pak"" Aku tertawa. "Uangnya juga bukan uangku kok. Tetapi uang kiriman Bapak yang kupakai untuk membeli oleh-oleh. Aku kan belum berpenghasilan sendiri." Pak Kirman ikut tertawa. "Mudah-mudahan sesudah jadi sarjana dan pandai. Den Wulan akan mendapat pekerjaan yang bagus dengan gaji setumpuk," katanya kemudian.
"Amin." Aku tersenyum manis. 'Terima kasih atas doanya."
Sesudah pamit Pak Kirman, aku langsung me-nunggang si Bawuk, kuda yang paling sering ku-tunggangi. Kemudian perlahan-lahan aku keluar dari pekarangan yang membatasi halaman rumah Bapak dengan tanah perkebunannya yang luas itu menuju ke arah Gerojogan Sewu. Tempat itu adalah salah satu tempat di Tawangmangu yang selalu kurindukan. Bagiku, tempat itu bukan cuma sekadar tempat rekreasi belaka. Tetapi merupakan tempat pelarianku kalau sedang menghadapi masalah. D\ tempat itu pulaiah aku sering duduk untuk menikmati kesendirianku.
gerojogan sewu adalah nama air terjun di daerah Tawangmangu yang pada hari libur ramai dikunjungi orang. Untuk menuju ke tempat itu, orang harus turun melalui anak tangga yang jumlahnya banyak sekali. melingkar-lingkar. Kalau beruntung, kita bisa melihat monyet-monyet jinak bergelantungan di antara pepohonan di sekitar tempat itu. Monyet-monyet itu lucu-lucu. Ada yang sibuk bermain cermin dan mengagumi wajahhya sendiri. Ada yang menunggu lemparan makanan dari pengunjung.
Di beberapa tempat perhentian yang teduh oleh banyaknya pepohonan, dibuat dangau-dangau untuk istirahat bagi mereka yang merasa lelah naik atau turun tangga. Di tempat itu orang bisa mendengar berbagai macam suara burung dan jeritan monyet yang suaranya meniantul berbaur dengan gcmuruh-nya suara air terjun. Kalau memejamkan mata, duduk di situ rasanya seperti sedang berada di hutan belantara.
Ke tempat rekreasi itulah pagi itu aku pergi dengan menunggang si Bawuk yang bulunya cokelat kehitaman. Di pagi hari yang baru merekah
itu arloji yang melilit pergclangan tanganku mC-nunjuk pukul enam lewat sembilan menit,
Seperti yang kukatakan kepada Pak Kirman tadi aku memilih lewat di tepi jalan raya untuk mcng-hindari jalan-jaian yang tidak rata. Tetapi sebagai akibatnya, aku sering berjumpa dengan para peda-gang yang lalu-Ialang di tempat itu. Mereka ber-jalan cepat sekali sambil memikul atau menggen-dong dagangan mereka. Pisang, jeruk, ubi, jagung. sayuran. jajanan pasar, dan lain sebagainya. Se-bagian besar di antara mereka menuju ke arah pasar. Sebagian lainnya menuju ke penginapan-pengi
napan yang tersebar di tempat itu untuk men-jajakan dagangan mereka.
Seperti yang sudah kuduga, di sepanjang per-jalanan menuju Gerojogan Sewu itu ada saja orang yang menegur atau menyapaku. Dan seperti biasa-nya pula, wajah mereka selalu tampak mants jika berhadapan dengan siapa pun yang termasuk ang-gota keluarga Bapak.
"Lho, sudah kembali ke Tawangmangu lagi to Den Wulan..." begitu mereka menyapaku dengan ramah. "Kapan sampainya di sini""
Atau, "Pagi-pagi begini mau berkuda ke mana. Den" Apa tidak kedinginan""
Ada juga yang menanyakan keadaan Bapak dan Ibu. Dan aku menanggapi setiap sapaan itu dcngan sama ramahnya, sadar bahwa mereka adalah bagian dari kehidupanku dan terutama kchidupan keluarga-ku. Mereka bukan hanya sekadar tetangga atau kenalan belaka. Tetapi lebih dari itu.
Bapak memiliki warisan berwujud tanah per-kebunan yang luas dari kakekku. Sebagai anak tunggal meskipun Bapak bertugas di Solo, tanah warisan itu tetap dirawatnya baik-baik. Dcngan menggaji sejumlah orang, Bapak melanjutkan usaha pertanian kakekku. Dulu di tahun lima puluhan dan enam puluhan, jeruk, arbei, dan pisang merupa-kan usaha terbesamya. Dan jeruk keprok dari perkebunan kakekku itu termasuk primadonanya. Buahnya besar-besar dan manis. Jeruk-jeruk itu dikirim ke Jakarta dan ke kota-kota besar lainnya. llampir semua orang di daerah Tawangmangu tahu keluarga kami. Sekarang sesudah jeruk tidak lagi menjadi primadona, kebun kami juga ditanami berbagai macam tanaman yang cukup menguntung-kan. Bunga-bungaan, tanaman hias, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Sesudah Bapak pensiun dan me-netap penuh di Tawangmangu ini, usaha tersebut semakin berkembang. Dan meskipun sudah menjadi pumawirawan, pangkatnya yang Brigjen Angkatan Darat itu tetap saja menjadi salah satu alasan mengapa Bapak dihormati orang. Untuk orang desa, pangkat seperti itu dianggap hebat. Sudah begitu. karena orang tahu bahwa dalam tubuh Bapak mengalir darah bangsawan tinggi yang bagi orang Solo dan sekitarnya juga merupakan alasan untuk menghonnatinya. Di sini, sistem feodalisme masih belum lenyap seluruhnya.
Namun meskipun demikian, sesungguhnya Bapak bukan dihormati karena pangkat dan kebangsawan-nya itu tetapi terutama karena kemampuannya untuk
turun tangan sendiri memajukan daerah di sekitar perkebunannya. Ada beberapa kebun buah dan jagung milik orang lain yang semula kembang-kempis tetapi kini tampak maju seielah dipelopori oleh Bapak, baik dalam cara penanamannya, pena-nganan hamanya, dan akhimya juga pemasarannya.
Di Tawangmangu seperti yang sudah kukatakan tadi, Bapak memang termasuk orang terpandang. Dan sebagai anaknya, aku kena cipratannya. Di mana-mana aku sering dihormati dan disapa dengan ramah. Sesekali aku merasa bangga juga menjadi putri Bapak. Tetapi pagi ini aku ingin menyendiri. tak ingin disapa orang. Karenanya sesudah disapa beberapa kali oleh orang-orang yang berjumpa denganku di jalan. cepat-cepat aku membelokkan kudaku masuk ke jalan-jalan kecil yang sepi untuk menghindari mereka. Dan sesampai di muka pintu gerbang Gerojogan Sewu, kutambatkan kudaku dan menitipkannya kepada penjaganya.
"Saya cuma sebentar saja kok, Pak. Bayar tidak"" tanyaku sambil tersenyum.
Tidak usah. Wong belum dibuka kok." "Kalau begitu, uang ini untuk beli rokok saja," kataku sambil menyelipkan dua lembar uang lima ribuan ke tangannya. Jumlah yang cukup banyak untuk orang desa yang kehidupannya penuh dengan kescderhanaan.
Pcnjaga itu mcngucapkan tcrima kasih dengan wajah berseri-sen. Dan aku langsung turun mclalui ratusan anak tangga yang melingkar-lingkar. Suara berbagai macam burung dan monyet di kejauhan
menimbulkan suasana tersendiri di hatiku. Dan semakin ke bawah, semakin suara-suara itu dibauri oleh gemuruhnya suara air terjun yang konon kata orang tingginya sekitar seribu meter sehingga di-sebut Gerojogan Sewu. Soal kebenarannya, tak seorang pun berani memastikannya. Tetapi memang airnya terjun dari tempat yang amat tinggi.
Kuangkat wajahku dan kutatap bukit-bukit ber-hutan di sekelilingku. Kalau bukan lahir di daerah itu. pasti gentar juga hatiku berada sendiri saja dan mende
ngar berbagai macam suara seperti itu.
Di daerah datar dekat Gerojogan Sewu, aku duduk di atas sebuah batu besar di dekat sungai. Kutatap air terjun yang menimbulkan suara gemu-ruh dan bergenia di lembah yang menghijau ini. Berada seorang diri dan dikelilingi bukit-bukit bcr-hutan seperti itu memang bisa membuat hati orang terasa tercekam. Tetapi aku tidak takut. Tempat itu sudah sangat akrab denganku. Aku bahkan sangat menikmati kesendirianku berada di tengah-tengah alam yang indah itu dan berlama-lama di situ sampai aku lupa waktu dan pada janjiku kepada Tita untuk pulang cepat.
Di tempatnya yang agak terbuka. kutatapi embun-cmbun yang berkilauan di ujung-ujung rum-put dan di atas daun-daunan yang mulai memanear-kan pelangi nuansa warna cahaya mentari pagi. Dan kuhirup udara bersih yang sedemikian me-limpahnya tcrhidang di sekelilingku. Ah, kalau saja orang Jakarta menyadari bahwa mereka telah kchilangan keindahan dan kebersihan udara seperti
yang sekarang ini sedang kunikmati dcngan sebebas-bebasnya.... Masihkah mereka akan me-ngotorinya dengan berbagai macam sampah limbah pabrik, asap kendaraan. melakukan pcncbangan pohon dan pcnggundulan bukit. dan menggantikan-nya dengan lapangan golf alau gedung-gcdung tinggi yang tak memberi naungan sejuk scbagai-mana halnya dengan pepohonan di sekitarku ini"
Dengan hati senang kuangkat wajahku mcnatap perbukitan yang mengurungku di tempat itu. Suara yang ditimbulkan tumpahnya air dari atas itu mc-nimbulkan suasana tersendiri yang tidak kutemukan di tempat lain. Tetapi meskipun saat itu aku sedang tenggelam dalam pesona sedemikian itu, toh hadir-nya seseorang di dekatku masih bisa kutangkap dengan perasaanku dan dengan segera mercnggutku dari suasana yang tak pcrnah membosankan itu. Aku menoleh. Darahku jadi tersirap begitu melihai kehadiran Mas Dewo yang tidak kusangka-sangka itu. Dia berdiri di bawah pohon dan menatapku tanpa berkedip. Dalam keadaan sehat dan segar. Tidak ada tanda-tanda dia dalam keadaan sakit seperti salah satu dugaanku.
Aneh rasanya. Dengan cara yang tak kumengerti apa sebabnya, tiba-tiba saja aku merasa ada se-macam jurang lebar yang memisahkan kami berdua. Rasanya, kedekatan yang telah terjalin selama tiga lahun di antara kami berdua itu telah terurai lepas. Bahkan rasa asing mulai mcnyelinap ke hatiku tatkala pandang mataku bcrtubrukan dengan matanya yang masih terus menatapku tanpa berkedip itu.
Merasa tertekan oleh perasaan aneh yang selama ini tak pemah kurasakan terhadap lclaki yang berdiri di hadapanku itu, aku berusaha menguasai keadaan yang tak menyenangkan itu dengan lebih dulu menyapanya.
"Halo Mas Dewo..."
"Halo, Wulandari..." Lelaki itu menjawab sapaan-ku dengan suara lembutnya yang sudah amat ku-kenal. "Apa kabar""
"Kabar baik, Mas." Aku menjawab kaku.
Mendengar sapaannya kubalas, Mas Dewo me-langkah pelan-pelan dan mendekati tempatku du-duk. Kemudian dengan sikap canggung dia me-nyusulku duduk di atas batu yang tak jauh dari tempat aku duduk. Sama sekali tidak ada peluk dan cium sebagaimana biasanya kalau kami lama tak bertemu. Betul-betul aneh rasanya. Sebab kurasakan sungguh, ada yang telah bcrubah di antara kami berdua. Bukan hanya dalam hal kekakuan basa-basi yang terucap dari mulut kami tadi saja, tetapi juga pada scluruh sikap kami.
"Kebetulan tadi pagi aku melihatmu lewat di depan wartelku." Kudengar lelaki itu menjelaskan tentang kehadirannya itu. "Lekas-lekas aku me-nyusulmu dengan motor dari kejauhan. Dan ku-tunggu sampai beberapa saat kemudian bam aku menyusulmu turun..."
Aku tidak menjawab sebab tidak tahu apa yang hams kukatakan untuk menanggapi penjelasannya itu. Apakah perlu kutanyakan mengapa dia me-nyusulku sampai kemari, misalnya. Jadi kutunggu
saja apa lanjutan bicaranya. Apalagi aku baru saja mendcngar tentang usahanya membuka wartel. Selama ini. tak scpatah kata pun dia menceritakan tentang wartelnya itu kepadaku. Sepertinya, aku ini orang lain saja baginya. Padahal aku adalah kekasihnya. Setidaknya. belum ada kata-kata yang diucapkan secara jelas bahwa hubungan kami berdua telah putus.
Karena aku tidak memberi komentar a
pa pun, maka seperti yang sudah kuduga tadi, Mas Dewo melanjutkan lagi bicaranya.
"Wulan, pasti kau sudah mendengar berita itu..." katanya kemudian.
"Berita yang mana lagi"" Aku bertanya dengan suara di hidung. Ingin kuberi kesan padanya seolah aku sudah tahu berita itu. Tetapi sebenarnya aku tidak tahu apa-apa. Apakah dia akan menceritakan usaha wartelnya itu"
"Jangan pura-pura tak tahu, Wulan." Mas Dewo berkata tak sabar. "Kabar mengenai perkawinanku tiga minggu mendatang sudah ramai dibicarakan orang. Pasti berita itu sudah sampai ke telingamu sebelum kedua belah kakimu menapak kembali di bumi Tawangmangu ini."
Aku tak sanggup berkata apa pun. Darahku tersirap lagi. Bahkan rasanya bumi di sekitarku ini sedang berguncang keras seperti sedang terjadi gempa bumi dengan kekuatan yang paling besar. Dan semua yang ada di sekitarku seperti runtuh menimpa kepalaku. Tetapi meskipun demikian dengan seluruh'sisa kekuatanku yang masih ada, aku
berusaha untuk tidak memperlihatkan rasa terkejut-ku.
"Ya, aku sudah mendengar itu..." dustaku beberapa saat kemudian. Sakit sekali dadaku ketika aku mengucapkan perkataan itu.
"Wulan, aku... aku menyesal sekali kenapa semua ini hams terjadi padaku. Ketidakhadiranmu di dekatku membuatku sering merasa kesepian. Jumlah waktu perjumpaan kita tidak banyak. Dan tiga tahun bukan waktu yang sebcntar..."
"Ya, aku menyadari itu," aku memotong pcr-kataannya. "Selama tiga tahun ini kita hanya ber-jumpa sekitar lima kali saja."
"Itulah, Wulan. Acap kali aku merindukanmu..." Mas Dewo mendesah. "Nah, kau ingat pada Titik, kan""
"Ya." Hm, siapa yang tidak ingat kepada Titik. Gadis manis yang orangtuanya memiliki rumah makan di dekat pasar itu sangat tergila-gila kepada Mas Dewo yang memang ganteng dan menjadi pemuda idaman di daerah ini.
"Dalam kesepianku itu, dia berhasil membuatku lupa diri sehingga otakku tak bisa diajak berpikir sehat..." Suara Mas Dewo terdengar menggeletar... "Sebagai akibatnya, dia... dia mengandung. Dan aku hams mempertanggungjawabkan apa yang telah kami lakukan. Aku sungguh sangat menyesal dan..."
"Sudahlah. Itu tidak penting lagi buat kita berdua," aku memotong perkataannya dan menekan rasa mual yang tiba-tiba menyerangku. Dadaku
sampai terasa sesak karenanya. Jadi inilah jawaban dari semua pertanyaan yang menggoda batinku sepanjang malam dan pagi ini.
'Tetapi aku ingin mohon ampun kepadamu, Wulan. Aku benar-benar menyesali semua peristiwa ini sebab tak terpikirkan olehku bahwa ternyata kesalahan yang tak kusengaja itu bisa berakibat besar seperti ini. Sering kali aku sangat marah kepada diriku sendiri. kenapa aku bisa terjatuh begini. Padahal hatiku seratus persen masih ada padamu..."
"Cukup, Mas. Aku tidak ingin membicarakannya lebih jauh." Dengan susah payah aku memotong lagi perkataannya. Perasaanku saat itu sangat kacau. "Ambil saja hikmahnya, Mas. Bahwa kita berdua tidak berjodoh."
"Wulan, kalau saja sekarang ini keadaannya masih sama seperti tahun lalu pastilah hari ini akan kita isi dengan acara kangen-kangenan..." suara Mas Dewo terdengar semakin menggeletar. Kulirik, matanya tampak basah. Tetapi sedikit pun hatiku tidak tersentuh.
"Jangan bermimpi yang bukan-bukan. Realistis-lah, Mas. Jadi, silakan tinggalkan aku sendirian. Aku tidak ingin ada orang yang membicarakan pertemuan ini sebagai sesuatu yang telah kita ren-canakan." 'Tetapi Wulan..."
"Pergilah, Mas. Jaga nama baikku. Jaga nama baikmu juga. Kau adalah calon pcngantin. Masa iya sekarang menjumpai seorang gadis yang baru
kembali dari Jakarta. Jadi, mcngertilah itu dan pergilah. Tinggalkan aku sendiri!"
Kali itu Mas Dewo yang sudah kenal betul sifatku yang tak bisa ditawar dalam hal-hal yang menyangkut prinsip hidupku, terpaksa berdiri dari tempatnya duduk. Kemudian sesudah pamit dengan suara pelan dan nada sedih, dia pergi meninggalkan tempat yang pemah menjadi tempat kenangan bagi kami berdua ini.
Aku menarik napas panjang. Kemenanganku pulang membawa gelar sarjana strata dua, runtuh berkeping-keping. Harapan-harapan yang bcrkem-bang dalam hatiku di sepanjang perjalanan kemarin tentang diriku dan Mas Dewo, hanc
ur berserakan. Dan sebagai gantinya, rasa gagal dan sia-sia mulai menyebar ke selumh batinku. Lambat-lambat, na-mun sakit sekali rasanya. Angan-angan yang me-lintas di kepalaku kemarin untuk segera memberi Mas Dewo isyarat agar dia mempersiapkan ke-luarganya untuk meminangku, hilang musnah tanpa bekas. Maka mulai hari ini, aku hams mengubah selumh rencana hidupku di masa depan. Nama Mas Dewo hams kucoret dari tempatnya semula. Dan masa depanku nanti, sama sekali tak ada lagi kaitannya dengan lelaki itu.
Kalau kukatakan bahwa pengkhianatan Mas Dewo tidak mempengamhi perasaanku, itu adalah suatu dusta. Sebab sampai beberapa waktu lamanya sejak lelaki itu meninggalkanku duduk sendirian di Gerojogan Sewu itu, hatiku sangat sakit. Apa pun alasannya, Mas Dewo telah menghapuskan
begitu saja seluruh relasi kami berdua. Bahkan juga relasi kedua belah pihak keluarga kami, seolah semua itu tak ada artinya. Tahun-tahun yang telah kami untai bersama-sama seperti menguap begitu saja seperti tak pernah terjadi. Tak pernah pula terbayangkan olehku bahwa akan begini akhir dari hubunganku dengan Mas Dewo. Padahal kami ber-pacaran sudah beberapa tahun lamanya. Dan se-belumnya pun kami telah berteman akrab. Bahkan sejak kecil pun kami sudah berteman.
Mas Dewo dan Mas Danu kakak lelakiku, ber-sekolah di tempat yang sama. Sejak mereka duduk di SD di Tawangmangu ini sampai di SMA Karanganyar dan kemudian kuliah di Solo, mereka selalu bersama-sama. Meskipun Mas Danu kuliah di Fakultas Ekonomi dan Mas Dewo kuliah di Akademi Akuntansi, mereka tinggal di tempat kos yang sama. Dan jika hari Sabtu tiba, mereka berdua pulang ke Tawangmangu bersama-sama pula dengan mobil Mas Danu. Dan keakraban yang terjalin di antara keluargaku dan keluarga Mas Dewo semakin meningkat ketika akhimya Mas Dewo dan aku menjadi sepasang kekasih.
Namun harus kuakui bahwa hubunganku dengan Mas Dewo bukanlah hubungan yang penuh dengan keindahan dan keromantisan. Aku sudah terlalu biasa dan terlalu akrab dengannya. Namun memang hanya dia sajalah satu-satunya lelaki yang memiliki banyak kecocokan dengan diriku. Setidaknya se-belum aku memutuskan untuk melanjutkan kuliahku ke jenjang yang lebih tinggi setelah aku bcrhasil
mcraih gelar kesarjanaan strata satu. Dua tahun yang lalu waktu aku mengatakan kepada Bapak mengenai niatku melanjutkan kuliah, Mas Danu segera mengajakku bicara empat mata.
"Apa yang ingin kaukatakan kepadaku, Mas"" Aku bertanya setelah kami hanya berdua saja.
"Aku hanya ingin tahu, apakah rencanamu itu sudah kaupikirkan matang-matang, Wulan." Begitu dia menjawab pertanyaanku waktu itu.
'Tentu saja sudah, Mas!" Aku menjawab dengan suara pasti. "Kau mengerti berul sifatku yang selalu ingin tahu dan ingin maju itu, kan""
"Ya, aku memang mengerti itu. Tetapi apakah rasa ingin tahu dan rasa ingin maju itu hanya bisa diraih melalui bangku kuliah""
"Ya, pasti itu. Sebab aku ingin menjadi dosen dan meniti karier di bidang psikologi. Dan lebih daripada itu, aku ingin mencoba untuk membedah buku-buku pegangan yang selama ini dipakai di bidang psikologi. Untuk itu kan harus ada orang-orang yang membimbingku, Mas!"
"Ya, aku tahu itu. Tetapi sebetulnya apa alasan-mu yang sebenarnya""
"Sederhana saja kok, Mas. Mataku mulai melihat bahwa selama ini kita telah terbiasa memakai teori-teori psikologi milik orang Barat sebagai tolok ukur untuk menganalisa semua hal yang menyang-kut masalah kejiwaan. Nah, apa sudah akuratkah itu" Dapatkah itu menjadi pegangan bagi seluruh dunia" Tidak adakah perbedaan cara pandang antara dunia Barat dan dunia Timur, misalnya" Dan juga
setelah hanyak membaca buku-buku acuan me-ngenai psikologi perkembangan termasuk proses perkembangan pembentukan konsep diri seseorang, aku melihat ada banyak keberpihakan bersifat scksis yang condong pada sistem nilai milik laki-laki... Nah berdasarkan pemikiran-pemikiran semacam itu-)ah terbayang dalam anganku bahwa di suatu ketika nanti aku akan mengadakan penelitian tentang perkembangan psikis manusia terhadap beberapa suku besar yang ada di Indonesia. Dan juga aku ingin meneliti pengalaman perempuan dan laki-
laki terhadap satu masalah urgen yang sama, untuk melihat segi kejiwaan mereka. Samakah cara mereka me-nyelesaikan masalah" Bedakah" Dan di mana yang sama dan di mana pula perbedaannya, ingin juga kuteliti. Lalu bagaimana pula prosesnya. Tentu yang ini untuk desertasiku menjadi doktor entah kapan di suatu saat nanti..."
Suaraku terhenti oleh tawa Mas Danu. Jclas sekali. ia sedang menertawakan pekataanku tadi. "Kenapa kau menertawakanku"" tanyaku kesal. "Sebab kau lucu, Wulan." Mas Danu masih saja tertawa.
"Apanya yang lucu"" Aku mulai melototkan mataku.
"Untuk kuliah di tingkat strata dua saja masih dalam rencana kok kau sudah memikirkan tingkat benkutnya. Dengan penuh semangat pula. Padahal dalam perkembangan waktu dan dengan bertambah-nya usia serta kematanganmu nanti, bisa saja kau leb.h tcrtarik pada topik yang lain. Jadi jangan
bcrmimpi dulu ah," katanya, juga masih sambil tertawa. "Nah, kembali ke soal semula tadi aku masih ingin tahu tentang tekadmu itu. Sekali lagi aku bertanya padamu, apakah keinginanmu untuk mclanjutkan kuliah itu benar-benar sudah kaupikir-kan dengan matang""
Aku tidak ikut tertawa oleh keterangannya itu. Kutatap mata Mas Danu dengan pandangan tajam karena aku mulai mencurigai sesuatu. Sebab aku tahu betul kakak lelakiku itu tidak termasuk go-longan orang yang suka mau tahu urusan orang. Sudah begitu, dia juga sangat mengenalku sebagai orang yang suka mempelajari hal-hal baru. Tetapi sekarang dia mcnanyakan hal itu sampai dua kali. Dan dalam tempo yang tidak begitu lama pula.
"Apa sebenamya yang ada di balik pertanyaanmu itu, Mas"" tanyaku kemudian dengan nada menye-lidik. "Tolong katakanlah itu dengan terus terang. Kau mengenal watakku dengan baik. Aku tidak suka menghadapi teka-teki seperti ini!"
"Begini, Wulan. Aku merasa entah apakah itu namanya firasat atau apa, silakan kaurenungkan. Tetapi yang jelas, belakangan ini aku sering me-nangkap sesuatu yang tersirat dari pcrkataan-perkataan Dewo kalau kami sedang membicarakan dirimu. Nah, soal benar atau tidaknya penangkapan-ku itu, tugasmulah untuk mcnyibaknya. Jadi kurasa ada baiknya kalau kau mencoba mclakukan saranku tadi. Renungkan masalah ini dengan sebaik-baiknya secara lebih mendalam dan..."
"Apanya yang harus kurenungkan. Mas" Kau
belum mengalakan apa-apa padaku. Jadi apa se-bcnarnya yang ingin kaukatakan kepadaku" Ayolah Mas, jangan berputar-putar saja." Aku memotong perkataan Mas Danu dengan perasaan jengkel. Dia sengaja menyeretku ke tempat yang terpencil dari pendengaran orang. tetapi isi bicaranya itu tidak jelas ujung maupun pangkalnya. Mas Danu menyeringai.
"Oke, aku akan mengatakannya secara langsung dan lebih jelas," sahutnya kemudian. 'Tetapi sc-belumnya aku ingin menanyakan satu hal lagi kepadamu, Wulan. Aku ingin tahu tentang rencana masa depanmu."
"Masa depan yang mana, misalnya""
"Masa depanmu bersama Dewo, misalnya. Apakah dia masih menjadi prioritas urutan paling atas""
"Ya, tentu saja."
"Kalau begitu, inilah yang sebenarnya ingin kukatakan kepadamu, yaitu pikirkanlah sekali lagi tentang rencanamu melanjutkan kuliah. Apakah itu betul-betul merupakan keinginan hatimu. Artinya, itu bukan karena pengaruh sesaat oleh situasi ter-tentu, misalnya. Kalau memang demikian, urung-kanlah saja niatmu kuliah lagi. Sebab kalau tidak. kau akan mempertaruhkan hubunganmu dengan Dewo."
"Pengaruh sesaat seperti apa misalnya, Mas"" Aku memotong lagi perkataan Mas Danu.
"Misalnya. pengaruh keinginan hati untuk tetap terus menjadi seorang mahasiswa. Dengan berbagai
alasannya, tentu saja. Mungkin hal itu disebabkan oleh pengaruh perasaan sentimentil karena kau belum mau berpisah dengan denyut kehidupan dunia kampus. Atau mungkin pula, itu karena kau belum siap untuk terjun di dalam masyarakat yang lebih bias. Atau boleh jadi...'*
"Jangan khawatir, Mas!" Aku memotong lagi perkataan Mas Danu yang belum selesai itu. Dengan kata-kata yang sesuai dengan suara hatiku pula. "Aku bersungguh-sungguh untuk melanjutkan kuliah karena aku memang menginginkannya. Bahkan, ilmu yang akan kuraih itu benar-benar merupakan cita-citaku. Jadi tak ada pengaruh sep
erti yang kaukhawatirkan itu. Nah, memangnya apa saja yang Mas Dewo katakan kepadamu" Kenapa kaubilang aku bisa mempertaruhkan hubunganku dengan dia""
"Dia tidak mengatakan apa-apa mengenai kc-inginanmu untuk melanjutkan kuliah itu. Tetapi seperti yang sudah kusinggung tadi, aku sering kali menangkap kebcratan hatinya terhadap ke-inginanmu itu."
"Dia mengatakan begitu""
"Secara nyata, tidak. Sudah kukatakan tadi, kan" Tetapi, beberapa kali aku menangkap keinginannya untuk melihatmu kembali ke Tawangmangu dan menetap di sini untuk scterusnya."
"Dan menikah dengannya, kan"" Aku memotong lagi perkataan Mas Danu.
"Kira-kira seperti itulah antara lain yang ku-tangkap dari isi bicaranya."
"Lainnya""
"Dewo itu seorang lelaki Jawa berdarah ningrat yang lebih tinggi dari kita, Wulan. Daa lelaki Jawa ningrat tidak suka dilangkahi seorang istri. Dia hams menjadi orang nomor satu di dalam
keluarganya." "Itu aku tahu. Mas. Tetapi bahwa Mas Dewo yang sudah berpendidikan cukup tinggi juga masih berpikir seperti itu. aku kok meragukannya."
"Meskipun demikian. kau kan sudah menjadi sarjana psikologi. Wulan. Jadi pasti kau lebih tahu dari aku mengenai proses pembentukan identitas dan konsep diri seseorang. Nah. Dewo itu kan memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan keluarga besarnya. Kau pasti sudah melihat sendiri bagaimana hubungan kekerabatan dan sistem patriarkis yang masih begitu kental di dalam keluarga besar mereka. Padahal, dalam hal kekayaan dan pengamh keluarga kita di luaran sana, kau jauh di atas dia. Maka Wulan, kalau kau tetap akan melanjutkan kuliahmu, apalagi nantinya kau juga ingin merintis karier di dunia akademis yang lebih tinggi lagi, perbedaan yang ada di antara dirimu dan Dewo jadi akan semakin besar nantinya. Oleh karena itu Wulan, pikirkanlah sekali lagi keinginanmu itu dan timbanglah masak-masak tentang baik dan buruknya." Begitulah Mas Danu mcngakhiri pembicaraan empat mata kami. "Jadi seperti yang juga sudah kukatakan kepadamu tadi. janganlah kaupertaruhkan hubungan kasihmu dengan dia."
Aku masih ingat sesudah pcmbicaraanku dcngan Mas Danu itu, beberapa kali aku memancing-mancing isi hati Mas Dewo. Dan setelah kucermati ternyata memang benar, aku juga menangkap apa yang telah dilihat oleh Mas Danu. Dari cara bicara dan sikapnya, aku tahu bahwa Mas Dewo memang tidak menyetujui niatku untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.
Tetapi meskipun demikian aku tidak mau mc-runtuhkan begitu saja cita-citaku hanya karena Mas Dewo memiliki cara pandang yang menurutku agak buram itu. Dia harus memahami bahwa aku tidak pemah mempersoalkan siapa yang kalah dan siapa menang atau siapa pula yang lebih tinggi dan siapa yang lebih rendah di antara sepasang kekasih. Apalagi kalau sudah menjadi pasangan suami-istri nanti. Bagiku, suami dan istri adalah satu kesatuan yang saling mclengkapi dengan kc-lebihan dan kekurangannya masing-masing. Hal-hal lain yang ada pada masing-masing pihak seperti latar belakang keluarga, latar belakang pendidikan, kecantikan, kekayaan, gelar, dan lain sebagainya itu hanyalah atribut belaka. Bukan sesuatu yang hakiki sifatnya. Bukan sesuatu yang menyangkut inti kemanusiaannya.
Mas Dewo hams memahami hal-hal semacam itu. Dia tidak boleh terperangkap di dalam cara pandang yang mcnempatkan perempuan pada tataran yang lebih rendah daripada pria. Sebab kalau tidak. dia akan tetap berpandangan bahwa seorang laki-laki akan tumn harga dirinya apabila
mendapat istri yang lebih hcbat segalanya. Padahal laki-laki dan perempuan memiliki nilai dan "harga" yang sama. Siapa yang lebih hebat dan siapa yang kurang hebat, itu hanya faktor kebetulan saja. Dan hanya "tempelan" belaka yang tidak langgeng usia-nya. Setiap saat bisa berubah.
Aku ingat betul pada kejadian dua tahun yang silam sebelum aku kembali ke Jakarta. Waktu itu, selama seharian aku dan Mas Dewo berjalan-jalan di kota Solo. Ketika kami sedang singgah untuk makan di suatu tempat, tiba-tiba saja Mas Dewo menyinggung masa depan kami.
"Wulan, dua tahun bukan waktu yang sebentar Iho..." Begitu dia bergumam.
"Ya, memang. Tetapi juga bukan waktu
yang lama." "Lama atau tidak, yang jelas kau akan pergi ke Jakarta lagi dan kelak akan pulang kembali dengan gelar kesarjanaan yang lebih tinggi lagi. Aku kenal dirimu, Wulan." Mas Dewo berkata lagi sambil mempermainkan gelas di depannya. "Aku tidak yakin apakah setelah itu kau lalu puas dengan ilmu yang telah berhasil kauraih itu..."


Kemuning Karya Maria A Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maksudmur "Orang-orang sepertimu bukanlah orang yang akan cukup puas dengan ilmu yang sudah berhasil dicapai. Biasanya, mereka ingin terus maju lagi dan terus lagi. Dan lalu melupakan tujuan hidup yang utama."
"Tujuan hidup utama yang seperti apa maksud-mu, Mas""
"Menjadi seorang istri dan kemudian menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya," sahut Mas Dewo dengan pandangan penuh arti.
Kutahan napasku. Aku sadar, Mas Dewo mulai menginginkan kepastian hubungan yang selama ini telah terjalin di antara kami berdua. Dan aku tahu sebabnya... Mas Dewo sedang meragukan tekadku untuk memasuki kehidupan rumah tangga setelah kuliahku di tingkat strata dua nanti selesai. Padahal, scdikit pun aku tidak pemah merasa ragu untuk menikah dan membangun keluarga bersamanya. Bahwa di suatu ketika nanti aku ingin melanjutkan studiku lagi misalnya, bagiku itu tidak ada kaitan-nya dengan keinginanku untuk bcrumah tangga. Keduanya dapat berjalan seiring dan sejalan.
Melihatku terdiam, Mas Dewo mcngusikku lagi dengan pertanyaan yang senada.
'Tidak inginkah kau berumah tangga, Wulan""
"Aku seorang perempuan biasa yang normal, Mas. Tentu saja aku juga ingin menikah dan berkeluarga. Tetapi soal menuntut ilmu dan meniti karier, itu adalah sesuatu yang lain lagi." Ku-tanggapi perkataan Mas Dewo dengan sungguh-sungguh.
"Menurut pendapatku, di dalam kehidupan ini setiap orang dihadapkan pada bcrbagai macam peluang dan pilihan. Dan hanya satu piiihan saja yang hams diambilnya. Maka jikalau ada orang yang mengambil lebih dari satu pilihan, kenyataan nantinya pasti akan mcnunjukkan hanya akan ada satu saja di antara dua pilihan itu yang jalannya
mulus. Dan pilihannya yang Iain akan terpuruk dcngan sendirinya. Sebab hukum alam telah mem-buktikan bahwa setiap manusia memiliki ke-terbatasan. Kita tidak bisa mengambil semuanya."
Waktu ini aku hanya menganggukkan kepalaku saja tanpa memberinya komentar apa pun. Maka Mas Dewo menganggapku memiliki pendapat yang sama. Oleh sebab itu ketika beberapa waktu kemudian dia mengetahui bahwa aku lulus ujian masuk untuk menjadi mahasiswa S-2, berhari-hari lamanya kulihat air mukanya tampak mendung. Bahkan sampai hari keberangkatanku ke Jakarta, wajah mendungnya itu belum juga tersingkap dari air mukanya. Waktu dia bersama Mas Danu mengan-tarkan aku dan Tita ke stasiun Balapan Solo, dia tak banyak bicara seperti biasanya. Baru tatkala kami berdua terpisah dari yang lain, dia berbisik di dekatku.
"Dua tahun itu tidak sebentar," katanya dengan suara letih. "Aku pasti akan merindukanmu, Wulan."
Maka untuk menanggapi perkataannya itu, aku mengulangi kembali komentarku waktu itu.
"Memang. Tetapi juga bukan waktu yang lama. Jadi percayalah Mas, aku akan segera kembali lalu mulai mengatur masa depan kita." Aku menjawab bisikannya dengan nada menenangkan. "Lagi pula, aku pasti akan pulang kalau libur semesteran. Aku tak bisa terlalu lama berpisah denganmu dan juga dengan keluargaku."
Itu memang benar. Aku dan Tita selalu pulang setiap liburan semester tiba. Pada kepulanganku
yang pertama, hatiku mulai tenang ketika melihat wajah Mas Dewo tidak lagi mendung seperti se-belumnya. Bahkan liburan itu kami pergunakan dengan sebaik-baiknya. Acap kali kami berdua berjalan-jalan ke Solo untuk menonton film atau cuma untuk makan nasi liwet. Kadang-kadang juga ke Yogya. Entah untuk mencari sesuatu di Malioboro entah cuma mau membandingkan keratonnya dengan keraton Solo. Yang penting, kami bisa pergi berduaan saja. Namun sampai sedemikian jauhnya, dalam perjumpaan-perjumpaan kami waktu itu tak sepatah kata pun Mas Dewo menyinggung-nyinggung tentang studiku. Aku juga tidak ingin membicarakannya.
Kini dua tahun telah berlalu semenjak Mas Dewo mengantarkanku ke stasiun Balapan. Per-jumpaan kami yang terakhir terjadi
delapan bulan yang lalu. Dan seperti sebelumnya, Mas Dewo selalu bersikap manis kepadaku. Dan juga seperti waktu itu pula, dia masih tetap menghindari pem-bicaraan yang menyangkut studi dan karierku di masa mendatang. Bahkan perlakuannya terhadapku tampak lebih mesra sehingga diam-diam kubiarkan harapan tentang hubungan yang akan lebih baik di masa-masa mendatang, membubung tinggi.
Kini, aku telah berada di rumah untuk menetap kembali di Tawangmangu Tetapi harapan yang pemah mengisi dadaku delapan bulan yang lalu, telah lenyap. Kemenanganku membawa gelar ke-sarjanaan yang lebih tinggi, hilang musnah. Ke-gembiraanku untuk mengisi hari demi hari bersama
Mas Dewo. menguap entah ke mana. Dan untaian rencana hidupku ke masa depan. terurai lepas. Aku harus kembali ke titik nol untuk memintalnya kembali karena Mas Dewo tak lagi menjadi bagian dari hidupku. Bahkan juga tidak lagi menjadi
bagian dari hatiku. Acap kali selama berhari-hari bclakangan ini aku bertanya-tanya sendiri apakah diriku juga mem-punyai andil kesalahan atas pengkhianatan Mas Dewo. Dan apakah ini juga jawaban dari ke-khawatiran Mas Danu ketika dua tahun yang lalu ia mengajakku berbicara di empat mata. Ataukah seharusnya waktu itu aku mendengarkan sarannya dan menunda keinginanku untuk melanjutkan kuliah"
Tetapi acap kali pula sesudah memikirkan ma-salah itu berlama-lama dalam suasana hati yang menyesakkan dada, aku seperti diingatkan pada kesia-siaan. Bahwa sudah tidak relevan lagi kalau saat ini aku masih menyalahkan diriku sendiri. Apalagi menyalahkan Mas Dewo atau Titik, atau pula siapa pun orangnya. Sebab segala sesuatunya sudah terlanjur terjadi. Ibarat memasak nasi dan lalu menjadi bubur, sudah tidak bisa lagi diapa-apakan kecuali ditcrima dengan lapang dada.
Aku tahu dari pengalaman orang bahwa meng-alami patah hati itu sungguh menyakitkan. Tetapi ketika itu kualami sendiri, barulah kumcngerti betapa sangat sakitnya itu. Makan tidak enak. Tidur tidak bisa nyenyak. Semuanya scrba tidak enak dan tidakmenyenangkan.
Aku juga tahu bahwa patah hati bisa disebabkan oleh banyak hal. Tetapi ternyata, patah hati karena kekasih menghamili gadis lain yang tidak dia cintai dan terpaksa harus menikahinya, sungguh lebih-lebih lagi sakitnya. Dan menjadi pecundang yang dianggap berada pada tataran yang harus dikasihani atau dimengerti, benar-benar merupakan beban yang hampir tak tertanggungkan olehku. Oleh karena itu meskipun kupahami betul kasih sayang keluargaku yang mcnghibur dan menaruh perhatian khusus atas apa yang menimpa diriku, perhatian mereka yang berlebihan itu justru sangat meng-ganggu perasaanku. Hatiku sering amat tertekan karenanya. Tetapi yah, aku tidak boleh memper-lihatkan ketidaksukaanku itu bukan" Mereka ber-maksud baik dan tulus hati. Terlebih lagi, mereka juga tidak tahu bahwa aku lebih suka dibiarkan sendirian untuk menyelesaikan konflik batin yang sedang kualami ini.
Jadi pikirku kemudian, kalau dari pihak keluargaku aku tidak bisa menghentikan perhatian mereka yang berlebihan itu, maka cara yang lebih baik adalah aku sendiri yang menghentikannya meski secara setahap demi setahap. Antara lain dengan menggeluti berbagai macam kegiatan yang menyibukkan diriku sehingga mereka semua akan mengira perasaanku sudah kembali normal. Sebab aku tahu, dalam keadaan normal mereka kenal betul sifatku yang tak pernah mau diam. Jadi rasanya pula, tidaklah salah kalau pagi hari itu begitu bangun dan mandi, aku langsung mengendarai mobi! menuju ke Telaga Sarangan tanpa mengajak siapa pun. Bahkan aku hanya pamit kepada Yu Rapiah dan Mbok Sumi saja karena baru mereka berdua sajalah yang sudah bangun.
"Apa yang harus saya katakan kepada Bapak dan Ibu kalau mereka menanyakan Den Wulan"" tanya Yu Rapiah dengan air muka khawatir.
Aku tersenyum menatapnya. Mengerti betul bahwa kekhawatirannya itu ada kaitannya dengan gagalnya percintaanku.
"Katakan saja bahwa keinginanku pergi ke Sarangan itu mendadak sekali. Begitu aku terbangun tadi, begitu pula aku ingin pergi ke sana. Jadi semalam aku tidak pamit kepada mereka," sahutku. "Dan kau tak usah cemas, Yu. Aku ke sana buk
an untuk bunuh diri."
"Tetapi ini masih pagi sekali Iho, Den." Mbok Sumi ikut bicara. "Kenapa tidak menunggu sampai matahari terbit, baru berangkat""
'Tidak, Mbok Sumi. Aku justru ingin melihat matahari terbit di tengah perjalanan nanti."
'Tetapi sarapannya belum siap lho, Den." Mbok Sumi berkata lagi.
"Aku akan sarapan di jalan. Ada banyak waning yang akan kulewati nanti." Sambil tersenyum lagi, kutepuk bahu Mbok Sumi. "Sudahlah, jangan men-cemaskan hal-hal yang tidak perlu. Aku bukan anak kecil lagi. Bawakan aku setermos kecil teh manis saja kalau sudah ada."
"Sudah ada. Den. Tinggal menuangkan saja, wong masih panas."
Ketika sedang menunggu Mbok Sumi menuangkan teh manis ke termos kecil yang selalu kubawa kalau aku dan Tita pulang ke Jakarta, terdengar
suara seseorang di depan pintu dapur yang menuju
ke halaman belakang. "Kulonuwun..r
Kami bertiga serentak menoleh ke arah pintu dapur yang terbuka itu sambil menjawab secara
bersamaan pula. "Monggo..."
Kulihat, Mbok Kirman masuk ke dalam dapur sambil tertawa lebar. Di tangannya terdapat satu wadah yang terbuat dari anyaman bambu. Benda itu diletakkannya ke atas meja dapur yang berada di muka jendela.
"Kok pagi-pagi begini Den Wulan sudah bangun dan malah sudah tampak rapi dan cantik," sapanya. "Mau pergi ke mana to. Den""
"Mau ke Sarangan, Mbok."
"Ke Sarangan" Dengan siapa. Den""
"Sendirian saja, Mbok."
"Lho, kok sendirian saja to. Den"" Dahi Mbok Kirman berkerut.
"Memangnya harus pergi dengan siapa to, Mbok" Enakan pergi sendirian. Bebas!" Aku menjawab sambil tersenyum.
'Tetapi Den Wulan harus hati-hati lho. Bela-kangan ini banyak kabutnya!" Mbok Kirman berkata lagi. Kini sambil membuka bawaannya yang semula ditutupinya dengan daun pisang. "Ini Mbok membawa gethuk ubi jalar dan singkong rebus.
Singkongnya masih panas dan mempur Iho, Den. Enak buat sarapan."
"Wan kebelulan banget itu, Yu Sri!" Yu Rapiah tertawa senang. "Sarapan belum siap tetapi Den Wulan sudah mau pergi saja."
"Aku mau cepat-cepat pergi kok, Yu. Jadi bawa-kan saja beberapa potong. Biar nanti kumakan di
jalan." "Baik, Den." "Cepat Iho, Yu. Aku tidak mau kesiangan." Aku berkata sambil melihat arlojiku. Jam setengah enam kurang dua menit.
Tidak kukatakan kepada mereka bahwa aku ingin cepat-cepat pergi sebelum keluargaku ada yang bangun. Sebab aku tidak ingin kepergianku itu diiihat mereka. Terutama oleh Ibu. Sebab sudah bisa kuramalkan, mereka pasti tidak akan menye-tujui kepergianku. Kalaupun setuju, pasti mereka akan menyuruh salah seorang untuk menemaniku pergi. Entah Mas Danu, entah Tita. Atau mungkin juga Yu Rapiah.
Dengan perasaan lega karena aku bisa pergi tanpa diketahui oleh keluargaku, aku naik ke mobil. Tetapi sebelum mobil kujalankan, Mbok Kirman menyusulku.
"Den Wulan baik-baik saja, kan"" tanyanya sambil menjulurkan kepalanya lewat jendela mobil.
"Ya." Aku tertawa. Sadar betul bahwa berita tentang hubunganku dengan Mas Dewo sudah ter-sebar ke mana-mana. "Mbok Kirman tak usah cemas. Aku cuma mau jalan-jalan. Bukan untuk
bunuh diri. Aku masih sayang pada diriku sendiri
kok!" "Ya sudah, kalau begitu." Mbok Kirman ganti tertawa; "Tapi hat.-hati di jalan, Iho. Jangan
ngebut." "Ya." Mobil mulai kujalankan dan lalu kuhentikan lagi setelah maju sekitar dua meter jauhnya. Aku teringat sesuatu. Belakangan ini Mbok Kirman lebih sering mengirim makanan ke rumah. Dan selalu berupa makanan kesukaanku. Tetapi aku belum sempat mengucapkan terima kasih kepadanya padahal aku tahu apa yang dilakukannya itu me-rupakan bentuk dari perhatiannya yang khusus kepadaku karena peristiwaku dengan Mas Dewo. Maka cepat-cepat kulambaikan tanganku ke arah Mbok Kirman.
Melihat lambaian tanganku, perempuan gemuk tetapi termasuk cantik untuk ukuran desa itu ter-gopoh mendekat ke arah mobilku lagi.
"Ada apa, Den"" ia bertanya sambil menjulurkan lagi kepalanya lewat jendela mobil. Seperti tadi juga.
"Mbok, aku belum pernah mengatakan terima kasih kepadamu meskipun di hatiku sudah ribuan kali mengucapkannya," kataku sambil menggeng-gam tangannya yang berpegangan pada tepi jendela mobil. "Sejak masa kecilku dulu, kau selalu saja
menunjukkan perhatian dan keprihatinanmu ter-hadapku dengan caramu sendiri. Pagi ini aku harus mengucapkan terima kasihku yang tak terhingga..."
"Ah, perkara kecil saja kok dimasalahkan tor Mbok Kirman tertawa lagi. "Saya kira mau bilang apa tadi!"
Aku tersenyum. Tak tahan kukecup sekilas pipi. nya yang montok tetapi lembut dan halus kulitnya itu. Seperti Pak Kirman, dia juga menyayangiku.
"Nah, aku akan berangkat sekarang," kataku kemudian.
'Takut diketahui oleh Bapak dan Ibu, kan"" Kulihat mata Mbok Kirman berkaca-kaca. Pastilah dia tidak menyangka aku akan mencium pipinya.
"Ssst. Kau tahu saja Iho. Mbok!" Aku tersenyum lagi. Kemudian cepat-cepat kularikan mobilku keluar halaman, menuju ke jalan raya.
Kabut tipis bagai surra halus yang mengambang di udara, menyambut kepergianku.
Tiga jarak Tawangmangu ke Telaga Sarangan tidak begitu jauh. Kalau Tawangmangu berada di pung-gung Gunung Lawu di sekitar bagian Barat, Telaga Sarangan terletak di punggung gunung yang se-baliknya, kira-kira pada bagian sebelah tenggaranya. Jalan raya yang menghubungkan kedua tempat itu sangat menanjak dan banyak liku-likunya. Bahkan kalau hari hujan jalannya agak licin. Namun pemandangannya betul-betul sangat indah. Tanahnya pun subur. Tidak banyak bangunan dan perumahan dibangun orang di tempat itu sebagaimana halnya di Tawangmangu sehingga juga tidak banyak ham-batan yang mengganggu pandangan mata untuk menikmati pemandangan indah di sepanjang per-jaianan dari dan ke Telaga Sarangan.
Perbukitan di sekitar daerah Tawangmangu dan Telaga Sarangan yang indah dan dingin itu sering dipakai untuk kamping oleh anak-anak sekolah maupun oleh para mahasiswa. Terutama di sekitar daerah Cemoro Sewu. Di tempat itu selain terdapat pemancar teievisi, juga sering kali dipakai oleh anak-anak muda bahkan juga oleh para runs untuk
mengawali pendakian mereka ke Gunung Lawu. Dan yang selalu membuatku merasa senang berada di sana karena tempat itu bukan hanya indah pemandangannya tetapi juga memiliki hutan cemara yang subur dengan bau harumnya yang khas dan menyegarkan.
Dengan membayangkan kembali tempat yang kusukai itu, kularikan mobilku dengan kecepatan sedang. Jendela mobil kubuka lebar-lebar agar udara sejuk dan segar dari luar mengisi ruangan mobil dan paru-paruku. Kubiarkan pula rambutku yang panjangnya hingga ke punggung itu berkibar-kibar ditiup angin gunung, sementara di ufuk Timur semburat wama jingga kemerahan mulai memulas langit memberi tanda bahwa sebentar lagi mentari akan mengakhiri tidumya di perut bumi.
Meskipun daerah wisata itu tidak seramai Puncak yang terletak di Jawa Barat, tetapi aku tetap memiliki kewaspadaan tinggi karena medannya yang tidak mudah dilalui. Untuk menghindari kelalaian yang bisa berakibat fatal, aku terpaksa harus meng-abaikan pemandangan yang sangat indah di kiri dan kanan jalan. Acap kali pula mataku melirik ke kaca spion, kalau-kalau ada kendaraan lain yang tiba-tiba menyalipku tanpa aku melihatnya lebih dulu.
Sesampai di daerah Cemoro Sewu, dari kaca spion aku melihat sebuah motor besar menyusul di beiakangku. Pengendaranya yang memakai helm, sama gagahnya dengan motor yang dikendarainya. Tinggi dan tegap. Melihatnya, mobil kubawa agak
menepi dan kecepatan mobil kukurangi untuk mem-berinya jalan. Tetapi rupanya motor itu tidak bemiat mendahuluiku. Kecepatannya tetap sama seperti semula. Kalem dan stabil, sehingga aku mengem-balikan posisi dan kecepatan mobilku seperti se-belumnya. Dan motor itu terus mengekor di beiakangku, masih dengan kecepatan yang stabil. Aku seperti diikuti seorang pengawal yang setia saja rasanya.
Ketika jalan mulai agak menurun dan telah pula melalui tanda pembatas antara provinsi Jawa Te-ngah dan Jawa Timur, laju kecepatan mobil agak kukurangi. Mataku mencari salah satu ceruk-ceruk jalan yang disediakan bagi mereka yang ingin beristirahat. Tempat itu juga enak dipakai untuk menikmati pemandangan alam. Di salah satu ceruk itu aku ingin memarkir mobilku untuk menyaksikan matahari terbit.
Dari kaca spion, aku melihat pengendara motor itu juga mengurangi laju kecepatannya. Bahkan ketika aku menemuk
an sebuah ceruk dan kubelok-kan mobilku ke sana untuk menikmati pemandangan indah saat matahari muncul nanti, motor itu pun melakukan hal yang sama. Karena pengendara motor itu tidak memperlihatkan tanda-tanda yang mengkhawatirkan terhadapku dan bahkan motornya juga diparktr agak jauh dari mobilku. aku tidak memedulikan keberadaannya. Pikirku, tempat itu milik orang banyak. Siapa pun boleh berhenti dan beristirahat di situ Karenanya per-hatianku mulai tertumpah ke arah bola bulat besar
_"ii_ berwarna merah yang mulai muncul pelan-pelan di ufuk Timur. Kaki langit di tempat itu berwama jingga kekuningan sementara cahaya keemasannya mulai menyepuh seluruh dedaunan di sekitar tem-patku. Ah, betapa indahnya ciptaan Tuhan. Betapa pemurahnya Tuhan yang melimpahi kita dengan berbagai macam jenis kekayaan alam yang ter-hampar di hadapan kita itu. Dan betapa kecilnya manusia di hadapan kekayaan alam ciptaan-Nya itu. Betapa pula tak berartinya manusia ini di hadapan keagungan-Nya. Tetapi, mengapa manusia masih saja melakukan kejahatan" Mengapa pula manusia membiarkan dirinya berdosa" Dan mengapa Mas Dewo begitu tega mengkhianatiku hanya karena alasan kesepian" Ataukah ada alasan lain seperti apa yang pernah dikatakan oleh Mas Danu kepadaku dua tahun yang lalu" Kalau ya, tidakkah itu bisa dibicarakan dari hati ke hati dan bukannya dihindari seperti orang menghindari penyakit menular"
Aku menarik napas panjang, merasa kesal kepada diriku sendiri. Kenapa di tengah kekayaan ciptaan Tuhan yang sedemikian indahnya ini aku masih saja membiarkan ingatanku tersangkut pada Mas Dewo" Bukankah beberapa saat lagi dia akan memasuki dunia perkawinan dengan Titik yang akan memberinya seorang anak" Dan bukankah antara diriku dan lelaki itu sudah tidak ada kaitan apa pun lagi kecuali hanya sebagai teman yang sama-sama tinggal di Tawangmangu"
Aku benci pada air mata yang tiba-tiba meluncur
turun ke atas pipiku ini. Dengan gerakan kasar, lekas-lekas kuhapus pipiku yang basah itu dengan punggung tanganku. Tak layak lelaki seperti Mas Dewo kutangisi kepergiannya dari hidupku. Terlalu berharga kehidupan ini kulangkahi dengan ke-sedihan yang ditimbulkan oleh lelaki seperti dia.
Setelah mataku mulai silau menatap matahari, kunyalakan lagi mesin mobilku. Dan aku mulai melanjutkan kembali perjalananku sambil berkata pada diriku sendiri bahwa air mataku tadi adalah air mata terakhir yang mengalir karena Mas Dewo. Tak akan pernah lagi kubiarkan air mataku mengalir karena dia.
Tak sampai lima menit kemudian, dari kaca spion aku melihat motor besar itu mengekor lagi di beiakangku. Karena kondisi jalan raya mulai lebih mudah dilalui, seperti sebelumnya aku sedikit menepi lagi untuk memberi kesempatan kepada motor di beiakangku itu untuk mendahuluiku. Bahkan tanganku kukeluarkan dan kuberi isyarat bahwa ia akan aman kalau mau menyalipku. Tidak ada kendaraan lain dari arah berlawanan. Tetapi seperti tadi juga, pengendara motor itu lebih suka berada di beiakangku. Benar-benar seperti pengawalku saja, orang itu....
Entah apa pun kemauan orang itu dan entah pula ke mana pun tujuannya, aku tak mau me-medulikannya lagi. Perhatianku mulai kucurahkan ke jalan raya kembali sampai akhirnya aku memasuki daerah wisata Telaga Sarangan yang indah dan sangat dingin udaranya itu. Air telaganya
_"_j_ yang berwarna biru-kehijauan seperti menyambut kedatanganku. Tempat itu masih agak sepi. Hanya ada beberapa orang berjalan-jalan di dekat Hotel Sarangan yang kalau tidak salah adalah hotel paling tua di daerah itu.
Kuhentikan mobilku di bawah pohon tak jauh dari tepi Telaga Sarangan. Kulayangkan pandang mataku ke arah permukaan telaga. Kabut tipis masih melayang di permukaannya yang pagi itu tampak begitu tenang dan misterius. Tetapi dengan latar belakang perbukitan dengan hutannya yang lebat, telaga itu sungguh tampak memesona. Sedang aku mengagumi pemandangan yang terhampar di hadapanku. aku melihat lagi motor yang tadi mengekor di belakangku datang menyusul. Ter-nyata. tujuan motor itu sama seperti tujuanku. Pengendaranya juga ingin mengunjungi daerah wisata Telaga Sarangan ini. D
an ketika aku meng-hentikan mobilku, motor itu juga berhenti meskipun agak jauh dari tempatku. Tetapi tidak seperti aku menghentikan mobil agak jauh dari tepi telaga, motor itu berhenti dekat sekali dengan telaga. Lalu kulihat pengendaranya mulai melepas helm-nya dan mengaitkannya di salah satu setangnya, kemudian turun dari motornya dengan gerakan yang enak dilihat.
Seperti yang sudah kuduga, lelaki yang mengena-kan jaket itu bertubuh tinggi dan gagah. la berdiri di tepi telaga, agak menyandar pada motornya. Tanpa menengok ke arahku, lelaki itu memandang ke arah telaga dan sesekali melayangkan pandang
matanya ke arah perbukitan di sekeliling telaga dan juga ke arah puncak gunung yang saat itu diselimuti awan-awan seputih kapas yang terus bergerak ditiup angin.
Hams kuakui, pemandangan di hadapan kami ini memang sangat indah. Tidak banyak orang pula karena hari itu bukan hari libur. Kesunyiannya yang tak ternoda oleh tangan dan suara manusia sungguh terasa lebih meresap ke hatiku. Dari tempatku duduk di dalam mobil, tak bosan-bosan mataku memandang segala-galanya yang ada di tempat itu. Sayangnya, beberapa tukang kuda mulai mendekat ke arahku, menawarkan tunggangannya itu kepadaku. Tetapi aku tidak tertarik. Jadi ku-gelengkan kepalaku sambil turun dari mobilku. Udara dingin mulai menjilat Icher dan pipiku se-hingga kelepak leher sweterku kunaikkan untuk melindungiku dari sengatan hawa dingin.
Sebetulnya aku merasa kasihan kepada tukang-tukang kuda itu karena telah memupuskan harapan mereka untuk mendapat uang dariku. Tetapi aku benar-benar sedang ingin menyendiri. Kedatanganku ke sini bukan cuma untuk menikmati pemandangan indah saja tetapi terutama untuk menata hatiku dan merencanakan masa depanku tanpa kehadiran siapa pun dan tanpa terpengamh apa pun. Tetapi untunglah, sepasang turis berkulit putih yang bam keluar dari sebuah rumah makan melambaikan tangannya kepada tukang kuda itu. Dalam hatiku aku berharap turis yang dolarnya sedang bernilai tinggi itu mau membayar lebih untuk tukangnikang kuda itu. Dalam keadaan biasa, artinya bukan pada hari-hari libur dan lanpa keahlian khusus yang mereka miliki, mencari uang di tempat ini memang tidak mudah. Ironis memang. Alamnya kaya dan subur tetapi penduduknya banyak yang miskin.
Lepas dari tukang kuda, seorang tukang perahu ganti mendekatiku dan menawariku naik perahunya. Tawaran itu pun kutolak. Tetapi melihatku menolak tawaran nikang perahu itu, pengendara motor tadi melambaikan tangannya. Kubiarkan mereka tawar-menawar. Apalagi seorang penjaja sate kelinci ganti mendekatiku dan menawarkan dagangannya.
Kali itu hatiku tergoda. Dan perhatianku mulai terserap kepadanya karena perutku memang sudah terasa Iapar. Tan pa berpikir sekali lagi aku minta dibakarkan sepuluh tusuk sate kelinci dan dipotong-kan satu bungkus lontong.
"Yang matang betul lho, Pak. Jangan hanya di luamya saja."
Penjual sate itu menganggukkan kepalanya dan menurunkan pikulannya di jalan. Jalan itu yang menyusuri tepian telaga sejauh kira-kira tiga kilometer.
"Cara saya membakar sate tidak asal bara api arangnya besar kok. Den. Tetapi scdang-sedang saja apinya supaya matangnya tidak kebrangas, matang yang dipaksakan." Tukang sate itu menjawab pekataanku sambil tertawa. "Lihat saja nanti. Warna dagingnya pasti keemasan dan merasuk sampai ke dalam. Lezat pula rasanya!"
Aku tersenyum sambil mempcrhatikan bagaimana ia memilihkan daging yang potongannya besar-besar. Tak lama kemudian harum daging panggang mulai menggelitik perutku. Aku teringat pada gethuk dan singkong kukus buatan Mbok Kirman yang dibawakan Yu Rapiah tadi.
"Saya tunggu di mobil saja ya, Pak..." kataku kepada tukang sate yang masih sibuk mengipas-ngipas satenya itu.
'WggiA. Den." Aku masuk ke dalam mobil kembali. Untung singkongnya masih belum dingin. Yu Rapiah telah mcmbungkusnya dengan kcrtas alumunium dan memasukkannya ke dalam termos plastik kecil. Sambil menunggu satenya matang aku makan singkong kiriman Mbok Kirman yang mempur dan gurih itu. Jenis singkongnya memang jenis yang bagus. Besar-besar dan cmpuk. Sudah begitu di-bumbui bawang put
ih. daun salam, garam, dan entah bumbu apa lagi. Tetapi kelihatannya juga sedikit diciprati santan kental ketika mengukusnya. Rasanya, aku belum pernah makan singkong kukus seenak buatan Mbok Kirman. Begitu pun rasa gethuknya juga istimewa. Ubi jalarnya, ubi pilihan. Dan gula yang dipakai untuk membuat gethuk adalah gula yang terbuat dari kclapa aren. Dimakan dalam keadaan perut sedang lapar-laparnya dan sambil menatap suguhan kekayaan alam ciptaan Tuhan, sungguh amat nikmat rasanya.
Telaga Sarangan pagi itu memang tampak lebih indah. Sebagian berwarna hijau-kebiruan dan sebagian lainnya yang tertimpa sinar matahari tampak berkilauan. Latar belakangnya penuh perbukitan dengan hutannya yang lebat. Sebagian terdapat hutan ccmara dan sebagian lain dilatarbelakangi lag! oleh bukit-bukit lain yang lebih tinggi. Bahkan di bagian lain tampak di kejauhan menjulang gunung yang berwarna kebiru-biruan. Di ujung sana, tertambat beberapa perahu dengan layarnya yang berwarna-warni. Dan di bagian lain tampak sebagian balkon Hotel Sarangan dengan bunga berwarna ungu besar-besar yang merambat di atas pagarnya. Sungguh indah.
Aku tidak pemah tahu seberapa dalam Telaga Sarangan yang luas itu. Aku hanya tahu bahwa pengunjung tempat itu dilarang berenang di situ. Entah karena dingin sekali airnya atau entah karena apa, aku tidak tahu apa alasan larangan itu. Di tengah telaga, ada pulau kecil penuh pohon yang katanya merupakan tempat yang keramat sehingga orang tidak berani datang ke sana. Entahlah soai kebenarannya. Cerita itu kudengar waktu aku masih kecil.
Ketika aku bam saja selesai makan sate kelinci yang rasanya memang lezat dan kemudian mem-bayar apa yang kumakan itu, perahu yang di-tumpangi oleh pengendara motor tadi sudah kembali ke tepi lagi. Kelihatannya dia tidak berminat untuk berperahu terlalu lama. Sesudah membayar ongkosnya berperahu tadi, dia mendekati tukang sate. Kelihatannya seperti aku tadi, dia juga tergoda ingin makan sate. Harum daging panggang yang
masih menyebar di udara sekitar kami ini memang menggugah pcrut yang sedang lapar.
Sampai saat itu aku belum juga melihat seperti apa wajahnya. Orang itu tak pemah memandang ke arahku dan aku juga tidak ingin memandang-nya secara terang-terangan. Tetapi ketika dia sedang bercakap-cakap dengan penjual sate, aku men-curi lihat ke arahnya meskipun hanya sisi wajahnya saja yang sempat kutangkap lewat lirikan mataku.
Dari tempatku duduk di mobil, kulihat bentuk hidungnya bagus. Demikian juga lekuk dagunya. Entahlah, seperti apa kalau dilihat dari depan. Tetapi menilik sisi wajahnya itu, aku berani ber-tamh bahwa laki-laki itu termasuk orang yang wajahnya lumayan bagus. Paling sedikit, tidak termasuk berwajah jelek. Dan secara keseluruhan, orang itu juga menarik. Tubuhnya tegap dan tinggi. Tetapi ah, apa peduliku bukan"
Setelah perutku terasa kenyang dan sudah pula kuminum teh manis yang kubawa dari rumah tadi, aku turun dari mobil. Dan sesudah pintunya ku-kunci, perlahan-lahan aku berjalan menyusuri jalan aspal yang sengaja dibuat di sekeliling telaga. Di kepalaku bertengger topi lebar untuk melindungiku dari sengatan matahari. Sebab udara dingin sering kali mengecoh kita sehingga tidak merasakan betapa tajamnya sinar matahari menyengat kepala kita. Tahu-tahu saja kepala kita jadi pusing kena sengatannya. Bahkan bisa pingsan karenanya.
Sambil berjalan santai seperti itu sesekali aku
bcrjumpa dengan pengunjung yang lampaknya se-ngaja mcnginap di salah satu hotel di sekitar telaga. Scsekali pula sebagian di antara mereka melemparkan senyumnya kepadaku sebagai ucapan selamat bertemu. Pemandangan yang indah memang bisa mempengaruhi suasana hati kita. Yang semula kurang ramah. tahu-tahu jadi murah senyum. Tetapi, bukan seperti itulah yang kuinginkan di tempat ini. Aku datang kemari ingin menyendiri tanpa kehadiran orang lain. Oleh sebab itu setelah beberapa kali lagi berpapasan dengan orang, aku mulai mcmbelokkan langkah kakiku menuju ke jalan setapak. menuju bukit rendah yang tak jauh dari tempatku berjalan. Aku tidak tahu jalan setapak itu menuju ke mana. Tetapi aku tahu ada jalan
kecil yang menuju ke desa Ngerong, entah yang mana jalannya. Kata orang, jalan itu merupakan jalan pintas yang biasa dilalui oleh orang-orang desa untuk pergi dan pulang ke desa itu. c Letak desa Ngerong tak jauh dari Telaga
Sarangan. Kalau orang ingin pergi ke Telaga j Sarangan dari arah Madiun dengan kendaraan bus, mereka harus berhenti di desa Ngerong. Dari desa itu mereka bisa melanjutkan perjalanan dengan naik kuda. Kecuali jika mereka naik mobil-mobil pribadi.
Tetapi aku tidak bermaksud menuju ke desa Ngerong meskipun di sana ada kolam renang "Taman Tirto" yang juga indah pemandangannya. Aku hanya ingin menyepi sendirian entah di mana kuserahkan saja itu pada kedua bclah kakiku yang
terus melangkah menuruti naluriku. Tetapi tiba-tiba ada yang muncul di kepalaku. Aku masih ingat, dulu di sekitar tempat ini juga ada dua air terjun kecil yang tidak begitu dikenal orang. Pikir-ku, aku akan pergi ke salah satu tempat itu. Sendirian saja. Tetapi tidak dengan jalan kaki melainkan dengan menyewa kuda.
Beruntung sekali aku mendapatkan tukang kuda yang mengenaliku. Orang itu sudah agak tua. Rupa-nya, dia pernah mencari nafkah dengan cara yang sama di Tawangmangu selama enam tahun lebih lamanya. Dia kenal Bapak, kenal Pak Kirman, dan tentu juga sering mclihatku yang katanya waktu itu masih merupakan gadis remaja berkepang satu. Dulu waktu masih duduk di SMP aku memang suka mengepang rambutku menjadi satu. Kalau tidak berpangkal di tengah-tengah kepalaku, tentu di salah satu sisi kepala dekat telingaku. Kata orang, dengan mengepang rambut seperti itu, raut wajahku yang cantik jadi lebih menonjol.
Terus terang aku tidak ingat lelaki tua bernama Pak Ijan itu. Tetapi dia ingat kepadaku. Dan berkat pengenalan Pak Ijan itulah aku diperkenankan menyewa kudanya tanpa dia harus mengiringiku. Dia tahu persis bahwa aku pandai berkuda sudah sejak masa kanak-kanakku.
'Tidak lama kok, Pak. Paling banter satu jam lamanya," kataku dengan rasa terima kasih. "Pak Ijan tunggu saja di sini atau boleh juga di dekat mobilku. Yang warnanya hitam itu lho." Aku me-nunjuk mobilku yang kuparkir dekat telaga.
"Baik. Den. Saya kenal mobil Ndoro Jendral
yang hitam itu." Aku tersenyum. Pak Ijan betul-betul kenal keluargaku. Sedan Honda Civic berwarna hitam tahun sembilan puluhan yang kupakai itu, dulu memang kendaraan Bapak. Sekarang sepuluh tahun kemudian, mobil itu sudah menjadi milik umum. Siapa saja boleh memakainya. Untuk Bapak dan Ibu, sudah ada mobil yang lebih baru. Tetapi aku lebih suka mengendarai mobil yang lama itu. Enak di-pakainya. Lebih enak daripada mobil yang tahunnya lebih baru yang dibawakan Bapak untuk kupakai bersama Tita selama kuliah di Jakarta.
Begitulah seperti yang kuinginkan, dengan berkuda ke salah satu air terjun yang kumaksud itu aku tidak banyak bertemu orang. Tetapi sayangnya aku tidak tahu persis di mana letak air terjun itu. Jadi kutelusuri saja perbukitan yang tidak jauh menyimpang dari jalan menuju ke arah desa Ngerong. Tetapi baru seperempat jam perjalananku dengan berkuda itu, telingaku mendengar suara telapak kuda menyusul di belakangku. Karena jalan setapak itu sempit, kudaku kuarahkan ke dataran rendah di dekat jalan setapak itu. Aku tidak ingin kudaku bersinggungan dengan kuda lain.
Di tanah datar itu terdapat sebuah kali kecil yang dangkal. Tetapi airnya yang jernih mengalir deras dengan suaranya yang berisik menuju entah ke mana, aku tak tahu. Sesampaiku di tempat itu kepalaku menoleh ke arah suara langkah kuda. kutunggu siapa pun yang akan lewat di dekatku.
Sungguh. aku tidak mengira penunggang kuda yang muncul dari balik pepohonan itu ternyata si pengendara motor yang sejak tadi mengekor di belakangku. Melihat dia lagi, kecurigaan mulai muncul di hatiku. Sebab tampaknya lelaki itu bukan cuma lewat di jalan raya yang sama dengan-ku saja, tetapi juga sengaja mengekor di belakangku sampai di tempat ini. Ah, seharusnya sejak tadi aku sudah harus mencurigainya walaupun kalau menilik gelagatnya aku tidak melihat sikap kurang ajar terpancar dari dirinya.
Dengan rasa curiga itu, sekarang aku sengaja membiarkan pengenda
ra motor yang sekarang me-nunggang kuda itu melewatiku. Aku sengaja meng-hentikan langkah kudaku agar tetap berada di tempat ini sementara pandang mataku yang tajam kulayangkan ke arah pengendara motor, eh penunggang kuda yang sedang lewat di hadapanku itu. Aku ingin tahu apa tujuannya mcngikutiku itu.
Dengan menghadap ke arah orang itu, aku sekarang mempunyai kesempatan untuk melihat ke-seluruhan wajahnya. Dan seperti yang sudah ku-duga tadi, wajah laki-laki itu memang termasuk lumayan. Bahkan menurutku, meskipun bukan wajah yang tampan dan gantcng, tetapi sangat menarik. Bibir dan matanya tampak seksi (eh, sejak kapan aku bisa menilai seorang laki-laki seksi" Apalagi laki-laki itu baru kulihat sekarang!) Sudut-sudut bibir laki-laki itu berlekuk ke atas, seolah selalu ingin tersenyum kepada seluruh isi dunia. Dan matanya yang teduh (dan seksi itu) seperti
menyiratkan perhatian kepada siapa pun yang di-ajaknya bicara. Dilengkapi dengan tubuhnya yang linggi gagah. dan berbahu bidang, kurasa laki-laki itu bukan hanya menarik saja, tetapi juga mcnawan.
Tetapi meskipun demikian, aku tetap tidak meng-hilangkan kecurigaanku. Sudah kusiapkan kata-kata tajam di ujung lidahku kalau-kalau laki-laki iiu memperlihatkan sedikit saja sikap yang tak menyenangkan.
Tetapi aku kecele. Laki-laki muda itu melewatiku dengan sikap tenang sambil mengendalikan kudanya agar letap menapak pelan dalam kecepatan yang stabil. Bahkan ketika berada tepat di hadapanku, dia menganggukkan kepalanya sambil tersenyum sekilas. Dan kemudian melanjutkan perjalanannya tanpa menoleh-noleh lagi ke arahku. Jadi bagai-mana mungkin aku bisa menyemprotkan kata-kata tajam kepada orang yang tidak bersalah"
Aku menarik napas panjang. Keinginanku pergi ke air terjun, hilang lenyap. Apalagi aku tidak tahu persis di mana letak air terjun itu dan mulai dan mana aku hams mencarinya. Maka kuputuskan untuk memutar langkah kudaku ke arah sebaliknya. Tetapi aku tidak kembali ke Telaga Sarangan. Mclainkan kubawa kudaku menyusuri kali kecil yang kutemukan tadi sampai akhirnya tanpa sengaja aku mcnemukan mata air dcngan sendang seluas k.ra-k.ra t.ga kali empat meter. Airnya jernih dan past, dingin rasanya. Sementara itu tak jauh dan sendang, terdapat pancuran kecil setinggi sekitar oua meter yang mengalirkan airnya ke sendang itu
juga. Menurut perasaanku, tempat itu tampak lebih subur daripada tempat-tempat lain di sekitarnya.
Tempat itu menyenangkan. Tenang dan indah. Ada banyak bunga-bunga liar berwarna biru, putih, kuning, dan ungu yang tersebar di mana-mana. Kudaku kuhentikan dan kutambatkan pada sebatang pohon cmbacang. Aku sendiri duduk di sebuah batu tak jauh dari sendang, di bawah pohon jati yang daunnya lebar-lebar. Kelihatannya, tempat ini sering didatangi orang. Ada beberapa kantong plastik bekas dan sebuah ember msak tergolek di semak-semak. Bahkan aku juga melihat sandal jepit bagian kaki scbelah kiri yang sudah lepas talinya. Dan ada beberapa bagian mmput dan alang-alang rebah yang sering diinjak-injak kaki orang.
Dugaanku tidak salah. Belum lama aku duduk di tempat itu, dua orang perempuan membawa gentong air datang ke sendang. Melihatku duduk di situ, mereka menegurku.
"Sedang istirahat dari jalan-jalan ya. Den"" Salah seorang menyapaku.
"Ya, Yu." "Dari mana asalnya"" Yang lain, ganti bertanya. "Dari Tawangmangu." "Oh, orang sini juga /o!" "lya."
Kuperhatikan keduanya mengambil air dari pancuran sampai gentongnya penuh. Sesudah kepcrluan mereka selcsai, aku disapa lagi.
"Man, Den. Selak kesiangan."
"Ya, Den. Aimya sudah ditunggu buat masak."
"Silakan." Rupanya. orang-orang gunung di sek.tar tcmpa, ini mcmpergunakan air pancuran dan air sendang untuk dipakai memasak dan untuk air m.num. Tak fen* aimya memang bcrsih dan jcrnih. Aku yakin. kalau pagi tempat ini banyak didatangi orang dusun di sekitar tempat ini untuk mengambil air.
Untunglah. sesudah itu tidak ada orang yang datang lagi sehingga aku bisa menycndiri di tempat itu dengan tenang. Kulayangkan pikiranku ke rumah. Kemarin, aku melihat di atas meja telepon. sural undangan perkawinan Mas Dewo dan Titik. Dan s
ebelum undangan itu datang, Mas Dewo sengaja meneleponku dari wartelnya.
"Sebentar lagi akan ada orang yang mengantar-kan undangan untuk keluargamu, Wulan." Begitu yang dikatakannya kepadaku. "Maalkanlah..."
"Kenapa harus minta maaf"" Aku memotong perkataannya,
"Karena aku bingung harus bagaimana. Tidak mengirimkan undangan, rasanya sangat tidak pantas. Keluargamu dan keluargaku sudah seperti saudara saja. Tetapi mengirimkannya rasanya juga sangat tidak enak, sebab undangan itu merupakan bukti dosaku kepada keluargamu. Tcrutama terhadapmu..."
"Mas, sejak aku mengetahui hubunganmu dengan Titik, segala sesuatu di antara kita sudah tidak perlu lagi dibahas," aku memotong lagi perkataan Mas Dewo. "Jadi, janganlah perasaan-perasaan tidak enak atau semacam itu masih saja mewarnai hatimu. Hidup ini mengarah ke depan lho."
-Tetapi kau mau datang ke pemikahanku.
kan*" "Kalau diperbolchkan oleh Bapak dan Ibu, lho Soalnya mereka tidak ingin aku datang," saiiutku terus terang. "Mereka menyangka aku akan tcrsiksa melihatmu duduk bersanding dengan gadis lain. Padahal seujung kuku pun aku sudah tidak punya perasaan apa-apa lagi terhadapmu sehingga seandai-nya kau menikah tiga kali sehari pun, aku tidak apa-apa. Bukan urusanku. Tetapi aku harus me-nuruti apa kata orangtua. kan""
Lidah memang tidak bertulang, bukan" Padahal, kenyataan yang kuhadapi tidaklah seperti itu. Baru mengingat Mas Dewo akan duduk bersanding dengan Titik di kursi pengantin saja pun perutku sudah mual karenanya. Apalagi membayangkan bagaimana aku harus menghadapi pandangan iba dan rasa ingin tahu dari para tamu kepadaku nanti. Kota ini terlalu kecil untuk bisa menyimpan akhir kisah cintaku dengan Mas Dewo. Aku yakin tak seorang pun yang belum mengetahuinya. Menjadi pecundang memang sangat menyakitkan. Tetapi menjadi pecundang yang dipandangi dengan rasa iba, sungguh jauh lebih sakit rasanya. Aku tak lahan menghadapinya. Apalagi setelah kekalahanku itu aku tidak tahu harus mulai dari mana lagi untuk menata kembali hidupku yang sudah porak poranda ini. Jadi bagaimana kalau ada orang yang bertanya mengenai hal itu meski cuma sekadar basa-basi belaka" Sanggupkah aku menjawab pcrtanyaan-pertanyaan semacam itu"
Yah. memang. apa yang harus kujalani sesudah rencana masa depanku hancur beranlakan sepcni ini, aku masih belum tahu. Memikirkannya saja pun belum. Lalu apa pula yang harus kulakukan setelah gelar sarjana strata dua itu kukantongi" Bekerja" Kalau ya, ke manakah aku akan pergi mencari pekerjaan" Di Solo" Di Yogya" Di Semarang" Atau malah kembali lagi ke Jakarta" Dan pekerjaan macam apakah yang akan kuterjuni" Dosen" Menjadi konsultan pribadi di biro konsultasi bagi orang-orang yang punya masalah kejiwaan" Di perusahaan-perusahaan untuk mengurusi bagian personalia" Melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi lagi" Atau menjadi peneliti"
Umurku sudah dua puluh lima tahun lebih sekarang ini. Di Tawangmangu ini, banyak temanku bermain di masa kecil dulu yang sudah menikah, bahkan menjadi ibu dari seorang atau dua orang anak. Karenanya aku yakin, kedua orangtuaku pasti sudah ingin juga melihatku menikah seperti ke-banyakan teman-temanku itu lalu membcri mereka cucu. Maka kegagalan percintaanku dcngan Mas Dewo, sedikit atau banyak pasti mcninggalkan kekecewaan di hati keduanya.
Suara tapak kuda yang mendekat ke tempat persembunyianku itu membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke arah asal suara dan kulihat lagi laki-laki tadi lewat di dekatku. Kali itu wajahnya mengarah lurus ke depan tanpa cksprcsi apa pun Dan sekilas pun dia tidak menoleh ke arahku. Seolah aku tidak ada di situ. Padahal aku sangat
yakin dia mengctahui aku duduk di sini, ^ jauh dari tempat yang dilaluinya. J 1
Maka kalau tadi aku mulai disinggahi rasa curiga, sekarang aku mulai juga dikuasai oleh perasaan mendongkol. Sebab aku merasa yakin bahwa orang itu memang scngaja mengikutiku Tetapi sayangnya aku Merasa terganggu oleh laki
-laki yang meskipun berwajah menarik tetapi menyebalkan itu, aku bangkit dari tempat dudukku. Cepat-cepat ikatan kudaku kulepas dan aku langsung naik ke atas punggungnya untuk segera kembali ke Telaga Sarangan tanpa berniat memperpanjang waktu lagi. Pak Ijan sudah menunggu di dekat mobilku ketika aku sampai ke tepi telaga lagi. Aku melirik arlojiku. Memang sudah hampir satu jam lamanya aku pergi. Kuberi dia uang jauh lebih banyak dari yang seharusnya sehingga wajahnya tampak gembira.
"Maturnuwun, Den."
"Sama-sama, Pak Ijan. Kalau ke Tawangmangu. mampirlah ke rumah."
"Iya, Den. Sampaikan hormat saya untuk Ndoro Jendral. Juga salam saya buat Pak Kirman suarn.-istri."
"Akan kusampaikan. Pak."
"Anak-anak Pak Kirman belum ada yang kembali. Den""
"Hanya yang kedua, si Kuncung Seno yang sudah kembali ke Tawangmangu."
"Rambutnya sudah tidak dikuncung kan. Den"" Pak Ijan tertawa.
Rambut model kuncung adalah rambut yang digundul tetapi di bagian atas depan kepala di-sisakan. Pak Kirman sendiri yang memotongnya. Sebab si Seno di masa kecilnya dulu sering bisulan di bagian kepalanya. Apalagi setelah dia makan telor.
"Tentu saja tidak, Pak Ijan!" Aku juga tertawa. "Si Kuncung sekarang kan sudah menjadi guru SD di Tawangmangu juga."
"Yang lain""
"Aku tidak tahu, Pak Ijan. Cuma si Ragil yang bungsu itu dikuliahkan oleh pamannya di Solo. Orang-orang bilang, si Ragil itu pinter. Katanya tahun ini kuliahnya selesai. Kalau dia mau, Bapak akan menyuruh dia bekerja di pcrusahaannya."
"Jadi apa dia kalau kuliahnya sudah selesai, Den""
"Dia kan kuliah di akadcmi akuntasi, Pak. Tentu-nya nanti dia ya jadi akuntan. Itu lho Pak, orang yang ahli di bidang tata buku dan administrasi keuangan perusahaan," jawabku secara sederhana.
"Wah, hebat ya. Den." Pak Ijan mengangguk-anggukan kepalanya. "Pak Kirman itu memang orang yang punya peruntungan baik. Dia sendiri, jadi salah satu dari orang-orang kcpcrcayaan Ndoro Jendral. Adiknya yang di Solo kaya dan cuma punya satu anak perempuan saja. Menurut yang
saya dengar. adiknya itu punya usaha batik kecil kecilan yang laris. Makanya dia sayang sekali kepada anak-anak Pak Kirman yang kalau datane ke Solo selalu ikut membantu-bantu usahanya itu"
"Iya, Pak. Anak-anak Pak Kirman memang anak-anak yang baik." Aku menjawab sesuai seperti yang sering kudengar dari kedua orangtuaku kalau mereka mcmbicarakan keluarga Pak Kirman.
'Tetapi anak itu kan tidak jadi kacang lupa pada kulitnya, kan""
"Si Seno dan si Ragil" Rasanya sih tidak, Pak. Aku sering melihat si Seno atau si Ragil kalau kebetulan mereka sedang pulang ke rumahnya. Selalu saja mereka membantu bapaknya mengerja-kan apa pun tanpa merasa malu dilihat orang. Malah si Seno yang sudah jadi guru pun masih mau melakukan pekerjaan yang dulu dilakukannya di masa kecil. Membersihkan kandang-kandang kuda Bapak. Ikut membantu-bantu di perkebunan. Dan lain sebagainya."
"Pak Kirman suami-istri memang pandai men-didik anak." Pak Ijan berkomentar lagi. "Cita-cita buat anak-anak mereka juga setinggi gunung. Sebab seperti Bung Karno dulu yang sering mcngucapkan gantungkan cita-citamu setinggi bintang, Pak Kirman juga seperti itu."
"Iya, Pak." "Dan bagaimana dengan si sulung dan yang ketiga" Apa kabar mereka"" Aku terdiam. Si sulung" Yang ketiga" Wah, aku tidak begitu kenal mereka. Bagaimana
aku bisa menjawab pertanyaan Pak Ijan tentang kabar mereka" Membayangkan seperti apa anak Pak Kirman yang dua orang itu saja pun, aku tidak bisa. Aku hanya tahu kalau si Didik, anak Pak Kirman yang ketiga, diambil oleh kakak Mbok Kirman yang di Semarang. Karena dia jarang sekali pulang ke kampung halamannya, aku hanya ingat wajahnya secara samar-samar saja. Kalau tidak salah ingat, wajahnya mirip si Ragil. Sedang-kan anak Pak Kirman yang sulung, aku lebih-lebih lagi tidak tahu. Anak yang dibesarkan oleh kakek-neneknya di Lampung itu hampir-hampir tak pernah pulang ke Tawangmangu. Pak Kirman dan Mbok Kirman-lah yang setiap Lebaran selalu berkunjung ke sana untuk bersilaturahmi dengan orangtua Mbok Kirman itu, sebab orangtua Pak Kirman sudah lama meninggal.
"Wan Pak Ijan, kalau tentang du
a anak Pak Kirman yang itu saya tidak begitu tahu. Apalagi yang sulung, Namanya saja pun saya tak ingat," sahutku kemudian. "Mungkin saja waktu saya masih sekolah di Jakarta, mereka pernah datang menjenguk ke Tawangmangu. Tetapi yang pasti, saat ini mereka tidak ada di rumah orangtuanya."
"Oh, begitu. Pokoknya Den, kapan-kapan saya pasti akan ke Tawangmangu lagi untuk kangen-kangenan dengan kawan-kawan lama. Terutama dengan Pak Kirman. Dia dulu banyak memberi saya pelajaran bagaimana merawat kuda yang benar. Pengalamannya banyak."
"Dan mampir ke rumah kami ya, Pak. Nanti
saya bawakan pakaian-pakaian bekas buat keluar
Pak Ijan." -Aduh senang sekali, Den. Pasti masih bagusbagus."
Aku tersenyum. Setelah pamit, tanpa menunggu lebih lama lagi aku langsung melarikan mobilku kembali ke Tawangmangu. Untungnya hari itu aku merasa puas melihat keindahan alam. Dan juga bisa berkuda di daerah yang tak begitu kukenal sehingga dapat sedikit mengobati rasa bosan di hatiku. Kalau tidak, percuma saja hari ini aku mcninggalkan Tawangmangu untuk mencari ke-damaian hati di tempat lain. Laki-laki menyebalkan tadi telah merusak rencanaku untuk menyendiri.
Sambil menata pikiranku agar nanti aku bisa tiba di rumah kembali dengan wajah gembira dan sikap wajar, kukendarai mobilku dengan tenang. Tetapi sayangnya seperti ketika berangkat tadi, waktu mobilku mendekati Cemoro Sewu, lewat kaca spion aku melihat di kejauhan pengendara motor tadi muncul lagi di balik tikungan dan berada di belakang sebuah minibus wama merah. Bahkan ketika minibus merah itu mendahuluiku, motor beserta pengendaranya yang menyebalkan itu mulai berada tepat di belakangku lagi seperti tadi waktu aku baru berangkat.
Merasa marah, waktu mobilku berada di jalan yang menanjak aku memperlambat lajunya dengan maksud membuat pengendara motor itu kerepotan. Tetapi ternyata motor itu tetap berjalan di belakang mobilku dengan kecepatan stabil dan tenang. Maka
aku mengganti taktik. Waktu jalan mulai mcnurun, aku mempcrcepat laju kendaraanku agar jarak di antara kedua kendaraan kami semakin jauh. Tetapi kali itu pun aku gagal lagi. Motor itu masih tetap berada di belakangku dengan memperccpat laju jalannya.
Melihat itu kemarahanku memuncak. Kuhentikan mobilku di ceruk pertama yang kulihat sesudah kegagalanku itu. Pikirku, kalau laki-laki itu juga ikut berhenti aku akan turun dari mobil dan men-dampratnya sepuas hatiku.
Tetapi ternyata laki-laki itu tetap terus melanjutkan perjalanannya dengan sikap yang sama tenang-nya, melewatiku. Tanpa menoleh ke arahku pula. Kurang ajar betul dia, seperti orang yang tak bersalah saja tampangnya.
Setelah itu kutunggu sekitar sepuluh menit sesudah dia lewat, baru kulanjutkan lagi perjalananku. Hatiku mulai merasa tenang karena di depan mau-pun di belakangku tak lagi kulihat motor yang menyebalkan itu. Aku pun mulai menikmati perjalananku. Tetapi tiba-tiba dari sebuah jalan kecil, motor itu muncul lagi. Dan seperti tadi, motor itu mengekor di belakang mobilku dengan tenangnya.
Karena perjalanan sudah tidak begitu jauh lagi dan medannya juga sudah di tempat yang kukcnal betul, laju kendaraanku kupcrccpat. Aku ngebut. Tetapi seperti yang sudah kuduga, motor itu juga mempercepat laju kendaraannya, mengekor di belakangku.
Kali itu aku tak ingin memcdulikannya. Buat
apa repot-repot mengurusi orang gila, pikirku } kuabaikan saja keberadaannya. Bahkan kuaneean saja dia pengawal pnbadiku. Maka aku terus^.a mengemudikan kendaraanku dengan sikap tenant yang berhasil kuraih. Apalagi perjalanan sudah semakin mendekati akhimya. Tawangmangu sudah pula mulai kumasuki.
Sekitar setengah kilometer jauhnya sebelum aku berbelok ke kiri yaitu ke arah jalan di mana rumah orangtuaku terletak, tiba-tiba saja motor tadi mendahuiuiku. Kali itu pengendaranya menoleh ke arahku. Helmnya sudah tidak lagi bertengger di kepalanya. Dan dengan wajah tanpa pelindung apa pun, laki-laki itu menoleh ke arahku dan tersenyum lebar kepadaku. Sesudah itu kecepatan motornya semakin dipercepat, melesat terbang menjauhiku dan lenyap dari pandangan mataku.
Menjengkelkan sekali laki-laki itu. Di dal
am hatiku, aku memaki-makinya dengan kasar.
Empat Karena tiba-tiba merasakan sentuhan hangat di wajahku, aku mulai terbangun. Kulihat sinar matahari pagi mulai menyerbu masuk menembus kaca jendela kamarku dan menerobos lewat celah tirai-nya yang berwarna kuning emas. Dan kehangatan-nya menjilat lembut wajahku seperti hendak men-coba mengusir udara sejuk yang telah membuat pucuk hidungku terasa dingin.
Kukejap-kejapkan mataku menyadari hari yang baru datang pagi itu. Kusingkapkan selimutku dan kurentangkan kedua belah lenganku lebar-lebar sambil meregang tubuhku yang terasa agak kaku. Aku tahu sebabnya. Tubuhku letih kecapekan setelah kemarin mengangkat ini dan itu.
Seharian kemarin, memang aku membereskan kamarku ini dan mengubah letak perabotannya untuk sekadar mencari suasana baru. Tak kuper-hitungkan, letak kepalaku yang menghadap ke arah jendela akan menjadi persinggahan empuk cahaya matahari pagi yang tanpa permisi langsung menjilat pipiku. Mungkin, tempat tidur ini perlu kugeser agak ke tengah. Masih banyak waktuku untuk
melakukan apa pun yang kumau sebelum... ah. sebelum apa"
Tiba-tiba aku terduduk, teringat sesuatu. Bcsok adalah hari pernikahan Mas Dewo dengan Titik. Dan hari ini upacara siraman calon pengantin akan dilaksanakan di rumah masing-masing, di rumah orangtua Titik dan di rumah orangtua Mas Dewo. Nanti malam akan ada acara midodareni di rumah Titik. Konon menurut cerita, malam midodareni adalah malam penuh harapan bagi calon pengantin putri untuk mendapat anugerah ke-cantikan dari para bidadari yang akan turun pada tengah malam sehingga pada acara perkawinan esok harinya pengantin putri itu akan tampak sangat cantik dan manglingi (tampak beda dan membuat orang jadi pangling). Konon menurut cerita orang pula, malam midodareni adalah malam terakhir kehidupan seorang gadis sebagai perawan. Dan Titik akan mengalami malam seperti itu.
Tanpa sadar, membayangkan cerita itu aku jadi tersenyum pahit sendirian. Entah, apa makna malam midodareni bagi calon pengantin putri yang bukan hanya sudah tidak perawan lagi tetapi juga sudah ada bayi di dalam rahimnya itu. Dan bagaimana pulakah cara si perias pengantin menyem-bunyikan perut Titik yang sudah mulai menyembul itu"
Pikiran dan pertanyaan-pertanyaan hati di seputar pernikahan Mas Dewo sungguh menyiksa dinku sendiri. Kenapa kubiarkan pikiranku terseret ke sana" Apa bedanya hari ini dan hari kemarin atau
hari esok" Mas Dewo toh sudah masuk kotak, tidak lagi ikut main di dalam kehidupanku.
Tetapi ah. bukankah seharusnya yang akan menikah dengan Mas Dewo itu. aku. Bukan Titik yang tidak dicintainya. Maka seharusnya aku pula-lah yang semestinya hari ini bersiap-siap untuk mclakukan upacara siraman menjelang sore nanti. Bukan gadis lain. Apalagi Titik yang scnangnya mengejar-ngejar Mas Dewo itu.
Tetapi ya Tuhan. bodohnya aku berpikir sepicik itu. Dengan perasaan marah terhadap diriku sendiri karena lintasan pikiran seperti itu, kusingkirkan sclimutku jauh-jauh dengan kedua belah kakiku Kemudian tubuhku meloncat seperti ikan meletik di permukaan air. Lalu kubuka jendela kamarku lebar-lebar dan kubiarkan cahaya mentari pagi me-nyirami sebagian kamarku. Cahayanya yang me-mantul dari wama kuning emas tirai jcndelaku memberi sentuhan warna yang menakjubkan di kamarku. Alangkah indahnya pagi ini. Alangkah cerahnya pula cuaca hari ini. Aku tak boleh me-nodainya dengan pikiran-pikiran picik mengenai Mas Dewo dan Titik. Hari ini sama seperti hari-hari yang lain biarpun mereka berdua akan menjadi sepasang suami-istri.
Dengan sedikit lebih berscmangat, aku lari ke kamar mandi. Selesai mandi, aku langsung ke ruang makan. perutku terasa lapar. Tetapi tidak ada siapa-siapa di sana. Bahkan menilik tanda-tandanya, seluruh keluargaku sudah sarapan. Dan mengingat aku dibiarkan tetap tidur meski matahari
sudah mulai merangkak ke atas, aku merasa yakin mereka memang sengaja membiarkanku tetap tidur lelap- Barangkah saja mereka mengira semalam ^ tidak bisa tidur mengingat apa yang akan terjadi hari mi.
Mataku terasa panas oleh air mata yang tiba-tiba membasahi pelupuk mataku. Air mata itu
lebih banyak disebabkan rasa kasihan pada diriku sendiri karena telah menjadi tumpuan belas dan kasih keluargaku. Alangkah rapuhnya aku dalam pandangan mereka. Sungguh memalukan...
Rasa laparku, mendadak lenyap. Tudung saji kututupkan kembali.
"Eh, Den Wulan..." Mbok Sumi muncul dari arah dapur. Di tangannya, ia membawa stoples berisi emping. Menilik tutupnya yang belum di-pasangkannya, aku tahu emping itu baru saja di-gorcng dan masih panas. "Mau sarapan sekarang""
"Tidak." Aku langsung menjawab. Tak ada seleraku untuk makan apa pun.
"Kok tidak sih"" Mbok Sumi mengernyitkan aiisnya. 'Tadi pagi Mbok Kirman mcngirim singkong goreng dan gethuk lindri aneka rasa untuk Den Wulan. Apa itu saja yang buat sarapan""
'Tidak, Mbok." "Ah. kasihan Mbok Kirman..." Mbok Sum. menggerutu. "Pagi-pagi, dia sudah bangun membuat makanan buat Den Wulan dan langsung dibawa sendiri sampai ke sini. Tetapi begitu ada d" atas meja makan. Den Wulan mengabaikannya begitu saja."
Hatiku tersentuh. Mbok Kirman, sama seperti Mbok Sumi, sama seperti keluargaku dan juga . sama seperti orang-orang Iain di Tawangmangu ini. tahu bahwa hari ini adalah hari yang berat bagiku. Dengan caranya sendiri, lagi-Iagi Mbok Kirman mengirimiku makanan hanya untuk me-nunjukkan tanda bahwa dia berada di pihakku. Bahwa kehilangan kekasih bukan berarti kehilangan segalanya. Masih banyak orang Iain yang menya-yangi dan memperhatikan diriku. Termasuk dia.
"Baiklah Mbok, aku akan makan singkong gorengnya." Akhirnya aku mematuhi suara hatiku. "Saya panasi dulu ya, Den"" 'Tidak usah." "Nanti keseretanl"
"Kalau mau dipanasi, bagaimana caranya Mbok" Aku tidak suka lho kalau digoreng lagi. Nanti terlalu banyak menyerap minyak. Tak enak lagi rasanya."
"Pakai oven listrik kok. Den."
"Ya sudah kalau begitu. Aku mau."
"Nah, begitu!" Suara Mbok Sumi memperdengar-kan perasaan leganya. Sikapnya tampak gembira dan matanya berseri-seri. Aku berani bertaruh, kalau hari ini bukan hari siramannya Mas Dewo, Mbok Sumi tak akan tampak segembira itu mengetahui aku mau makan sesuatu. "Sambil menunggu singkongnya panas, cicipilah gethuk lindrinya. Ada rasa cokelat, ada rasa vanili, dan ada rasa jeruk. Itu lho Den, yang ditutupi serbet kertas." "Ya, Mbok. Terima kasih "
Monster Didanau Strawberry 1 Dewa Arak 04 Raksasa Rimba Neraka Dayang Naga Puspa 2
^