Antologi Rasa 4
Antologi Rasa Karya Ika Natassa Bagian 4
a husband, gue doakan lo cepat insaf ya, Din." Mataku masih
mengantuk dan aku tidak bisa berhenti menguap dari tadi.
"Lo masih ada kopi kan, Din" Gila ngantuknya banget nih."
"Ada, kita ke dapur aja yuk. Tidur jam berapa lo tadi ma?lam?"
"Lupa. Satu atau dua kali, ya?" aku mengikuti langkahnya.
"Panji?" tanyanya dengan nada "did Panji do this to you?"
"Nggak ngapa-ngapain. Kami cuma nonton The A-Team di
Blitz, terus langsung pulang. Damn, that Bradley Cooper guy
is hot," aku menuangkan secangkir kopi lagi dari coffee
maker. "Ehm, penting banget ya penjelasan "nggak ngapa-ngapain"nya itu?" Dinda tersenyum simpul.
Aku tertawa. "Sinting lo ya" Jadi akan terus begini nih tiap
gue ngomong ini?" Isi-antologi.indd 211 211 7/29/2011 2:15:26 PM 212 "I"m sorry," Dinda ikut tertawa. "Tapi serius, Key, mau sam?
pai kapan lo begini?"
"Udah deh, apa salahnya coba, gue main-main dengan Panji
sementara gue berusaha menghapus Ruly dari pikiran gue?"
"Darling," Dinda menatapku, "yang gue nggak mengerti ya,
kenapa lo buang-buang waktu dengan Panji dan bukannya
konsentrasi penuh mengejar Ruly kalau dia memang cinta
mati lo"mau muntah gue ngomongnya nih"seperti yang lo
bilang?" "Karena sampai mati juga si Ruly itu cintanya cuma sama
Denise," cetusku. Dan sahabatku itu tersenyum dengan pandangan penuh
arti. "See, elo udah tahu jawabannya, kan?"
"Please, please, please, let me let me let me... let me get what
I want this time," aku berusaha menghapus pahitnya kata-kata
Dinda barusan dengan tersenyum dan menyanyikan lagu The
Smiths dari film favorit kami: (500) Days of Summer.
Dinda tertawa, namun kembali menohokku dengan katakatanya. "Keara, do you even know what you want?"
"I know what you want," Dinda tiba-tiba meneleponku tiga
hari setelah itu. "In fact, I know what you need," ujarnya de?
ngan nada smug. "Aduuuh, udah deh, Din, gue lagi pusing nih di kantor, bos
gue tiba-tiba nyuruh gue terbang ke Singapur besok, rapat
dengan konsultan-konsultan itu," kataku sambil menyandarkan
kepala di kursi, akhirnya bisa kembali duduk di meja setelah
rapat tiga jam yang rasanya seabad itu. "Jangan ngomongin
soal Mr. R dan Mr. P sekarang, ya."
Isi-antologi.indd 212 7/29/2011 2:15:26 PM Jangan bilang Dinda bisa membaca pikiranku, bahwa yang
kuinginkan adalah menerima ajakan Ruly ke Singapura
weekend ini untuk nonton F1, yang terpaksa kutolak karena
Harris juga bersamanya. "Ih, nggak penting banget, ya gue ngurusin masalah lo dan
pria-pria nggak penting lo itu. Ini urusan beda, Nyeeet."
"Iya, iya, apaa" Cepetan gue mau rapat lagi nih abis ini."
"Kosongkan jadwal lo tanggal satu Oktober, ya."
Aku spontan meraih kalender di meja. "Satu Oktober"
Jumat" Mau ngapain lo" Mau kawin lagi?"
"Buset, anak ini mulutnya lagi parah, ya. Nyesel gue nele?
pon lo." "Iyaaa, sori. Tanggal 1 ada apa, Dinda sayang?"
"We are going to see John Mayer in concert in Manila!" te?riaknya.
Aku masih agak-agak bengong mendengar yang barusan
diucapkan si Dinda. "Ha" Maksudnya?"
"Iiih, anak ini oon banget sih pagi ini. Gue mau ngajak lo
ke Manila, Nyeeet! John Mayer konser di sana tanggal 1!"
"SERIUS LOOO?" Dan aku baru sadar bahwa teriakanku tadi dalam volume
maksimum saat semua bapak-bapak dan segelintir ibu-ibu"
yeah I work in a male-dominated world"menoleh ke arahku.
"Serius lo, Nyet?" aku langsung menurunkan volume dan
buru-buru ke salah satu ruang rapat kosong yang kedap suara
biar bisa teriak sepuas-puasnya. "Jangan ngerjain gue, lo. Gila
lo kalau ngerjain gue masalah ini."
"Serius, tolol. Ih katanya ngefans, masa nggak tahu kalau
JM mau ke Manila?" cibir Dinda. "Makanya, yang diurusin
jangan si Panji dan si Ruly lo yang nggak seberapa itu aja."
Isi-antologi.indd 213 213 7/29/2011 2:15:26 PM 214 "Sialan, udah deh. Ini serius?" aku akhirnya berhasil me?
ngunci diri di ruang rapat.
"Yeee, seriuuuuus. Kalau nggak percaya, sana lo google dan
buktiin!" Aku langsung berteriak kesenangan. "Gilaaaaaaa!
Ayuuuuuk!" Dinda ikut menjerit-jerit kesenangan di ujung sana.
"Terus, terus, gimana nih tiketnya?" kataku.
"Gue kan mau beli either platinum atau gold ya, Key, biar
kalau dia keringetan juga lo kena tuh cipratan keringatnya,
biar puas lo, tapi masalahnya tiket kategori itu nggak bisa beli
online, harus ke Channel V Philippines-nya," Dinda menje?
laskan. "Luckily, though, si Panca ada teman di Manila, jadi
dia yang akan beli tiketnya buat kita. Nanti gampanglah kita
ketemuan di Manila sebelum konser dan langsung ambil di
dia dan bayar sekalian."
"Jadi nih, ya. Jadi beneran jadi, ya," aku kesenangan luar
biasa. "Harus harus harus dijadiin. Eh lo coba arrange tiket pesa?
watnya ya, Key." "Consider it done."
"Eh, sebelum berencana panjang-panjang nih ya, lo bisa
cuti nggak" Itu hari Jumat, kali, dan penerbangan dari JakartaManila itu lima jam-an," ujarnya. Nggak mungkin lo nekat
terbang Jumat sore."
"Dinda, lo kenal gue, kan" Kalau buat John Mayer, I"ll fake
some ilness if I have to, biar bisa cabut."
Dinda tertawa. "Baguuus! Kita jadiin nih ya, moga-moga
nanti sore gue udah bisa ngasih kepastian sama lo tentang
tiketnya. Temannya si Panji baru mau ke ticket box-nya hari
ini." Isi-antologi.indd 214 7/29/2011 2:15:26 PM "Oke!" "And Key," suara Dinda kali ini terdengar pelan, "this is me,
your best friend, menyodorkan John Mayer ke hadapan lo un?tuk menghilangkan orang-orang nggak penting yang sekarang
sedang merusak kewarasan lo dari kepala lo itu."
Kalimat terakhir yang diucapkan sahabatku itu sebelum
menutup telepon. Orang-orang nggak penting yang mana yang sedang meru?
sak kewarasanku, coba" Siapa" Siapa"
Okay, I know the answer, but I"d rather walk into a meeting
than think about this. Lagi pula salah satu orang itu sudah
mengajakku lunch bareng siang nanti.
Don"t judge me for wanting my weekly dose of Panji.
215 Isi-antologi.indd 215 7/29/2011 2:15:26 PM Hodie mihi, cras tibi 46 Keara 216 "Good morning, ladies and gentlemen. Welcome aboard
Singapore Airlines flight SQ 951 to Singapore..."
"Aaaah... legaaa," Dinda menyandarkan kepala ke kursi di
sebelahku dan memasang safety belt.
"Dari mana aja lo" Gue cariin, udah dipanggilin boarding
dari tadi," kataku. "Beol," Dinda menjawab santai sambil nyengir lebar.
Aku tidak bisa menahan tawa. "Orang gila."
"Ih, beol kok dibilang gila sih" Sakit perut gue beneran,
Nyet, nggak biasa gue sarapan jam empat pagi, thanks to this
6 AM flight that you chose, ya."
"Emang sarapan apa?"
"Nasi goreng." Aku makin tertawa. "Dasar gila, udah tahu sarapan subuhsubuh nelannya nasi goreng, perut Melayu banget sih lo."
46 Today for me, tomorrow for you
Isi-antologi.indd 216 7/29/2011 2:15:26 PM "Eh, siapa tahu yang perut Melayu begini yang sebenarnya
cinta mati John Mayer, bukan Jennifer Love Hewitt, Jessica
Simpson, Jennifer Aniston, apalagi lo."
"Heh, Nyet, lo udah punya prince charming lo sendiri.
Biarin si John ini jadi milik gue seorang dong," kataku sambil
memasang bantal leher. Mau pesawat apa pun, kalau nggak
naik first class kursinya pasti butuh bantal leher begini baru
enakan duduknya. "John Mayer, Panji Wardhana, atau Ruly what"s-his-name?"
Dinda mulai lagi dengan bercandaan nggak pentingnya itu,
mengedip-ngedipkan mata penuh arti.
"Nggak pantes banget ya dua nama yang di belakang itu lo
banding-bandingkan sama John Mayer," kataku.
"Nggak pantes tapi nanti pas John Mayer nyanyi yang diba?
yang-bayangkan di lirik lagunya itu si dua orang yang lo bi?
lang nggak pantes itu," goda Dinda lagi.
"Crap, this is gonna be a long flight ya dengan lo nggak
berhenti ngeledek-ledek gue begini."
Dinda tertawa-tawa, mengambil majalah KrisWorld dari
kantong kursi di depannya. "Ya udah, gue diam deh, gue mau
nonton film aja," dia membolak-balik majalah.
"Gue mau tidur aja deh, ngantuk banget," kataku memejam?
kan mata, menyumbat telingaku dengan earphone iPod dan
memencet play. Dan suara petikan gitar John Mayer yang
tiba-tiba mengalun di telingaku menyanyikan Edge of Desire.
Bahkan iPod-ku yang di-set shuffle ini fucking with my mind.
Dear universe, give me a break please.
217 Well, whaddayaknow, the universe listens. Kegiatan-kegiatan
Isi-antologi.indd 217 7/29/2011 2:15:26 PM 218 sinting maupun normal yang kulakukan bareng Dinda sejak
mendarat di Manila cukup menghibur dan menghilangkan
bayang-bayang"and I"m quoting Dinda here"para pria-pria
nggak penting itu dari kepalaku. Mulai dari tertawa-tawa de?
ngan sistem halte penjemputan penumpang di Bandara Ninoy
Aquino. Siapa yang sangka tempat orang-orang menunggu
jemputan di NAIA ini berupa beberapa pick up points yang
di atasnya ada papan dengan urutan alfabet berbeda, yang
artinya adalah: menunggulah di bawah papan bertuliskan hu?
ruf pertama nama belakang Anda. Karena Dinda sekarang
bernama belakang Wardhana, maka kami dengan manisnya
berdiri di bawah papan berhuruf W, menunggu teman Panca
menjemput kami. "Nama belakang Ruly apa?" katanya.
"Pertanyaan apa lagi sih ini?" cetusku sebal.
Dinda tertawa. "Sensi banget sekarang kalau ditanya-tanya,
ya. Jawab aja, kali."
"Walantaga," cetusku malas.
"Wah, kalau lo kawin ama Ruly kita nunggu jemputannya
di papan yang sama dong ya, darl," Dinda nyengir lebar.
Aku kembali menggeleng-gelengkan kepala. "Nggak puaspuas lo, ya."
"Eh gue baru sadar, kalau lo kawin sama Panji, kita juga
nunggu jemputannya di papan yang sama. Ih, kita besties ba?nget nggak sih."
"Gue maunya di situ aja," cetusku menunjuk papan bertulis
huruf M. "Manulang" Marpaung" Punya gebetan orang Batak lo
sekarang, Nyet?" Dinda menatapku kaget.
Aku langsung tergelak. "Mayer, tolol, Mayeeer."
Dinda tertawa terbahak-bahak.
Isi-antologi.indd 218 7/29/2011 2:15:26 PM Obrol-obrolan tolol nggak penting ala ababil di antara aku
dan Dinda ini teramat sangat menghibur dan sangat efektif
menghilangkan kepusingan keribetan pekerjaan di Jakarta.
Teman Panji yang bernama Carlos ini saja sampai bengong
saat aku dan Dinda jejeritan histeris begitu tiba di hotel kami,
Microtel di Pasai, yang ternyata terletak pas di seberang pang?
gung konser John Mayer. "Gila, ini gila! Berarti besok kita bisa nongkrongin
soundcheck, Key!" seru Dinda penuh semangat.
Oh yeah, kalau bicara soal John Mayer, aku dan Dinda lang?
sung berubah jadi ababil seumuran SMP lagi.
Jadi tebak apa yang kami lakukan setelah puas menjelajah
Mall of Asia di Pasai, Greenbelt di Makati, dan sampai bun?
cit melahap Cupcakes by Sonja di Bonifacio" Duduk di jen?dela kamar hotel lantai delapan yang menghadap M.O.A
Concert Grounds, menatap para kru konser mulai loading ba?
rang, sambil menikmati sekotak Yellow Cab Pizza yang kata?
nya legendaris itu, lengkap dengan chicken wings raksasanya.
"Caleb sekarang tidur sama Daddy ya... iya, Mommy juga
mau tidur kok... Iya, Sayang. Daddy mana?" Dinda sedang
menjalankan fungsinya jadi ibu dan istri yang baik dengan
wajib lapor ke Jakarta. "Hon, udah makan" ...Aku udah di
hotel sama Keara... Nggak, cuma muter-muter mal aja
tadi..." Aku yakin sudah berkata ini belasan kali sebelumnya, tapi
aku tidak pernah berhenti terpana setiap kali Dinda menun?
jukkan sisi wife slash mother-nya ini. Seratus delapan puluh
derajat bedanya dengan the bitch bermulut tajam ratu pesta
yang kukenal sejak kuliah.
"Ngefans sama gue sih ngefans ya, Key, tapi nggak usah
gitu banget dong ngeliatin guenya," celetuknya begitu meletak?
Isi-antologi.indd 219 219 7/29/2011 2:15:26 PM 220 kan BlackBerry-nya dan kembali mengunyah satu potong
pizza. Aku tertawa. "Sialan."
Antologi Rasa Karya Ika Natassa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa, masih terkagum-kagum sama betapa gue sekarang
bisa jadi istri dan ibu yang luar biasa, ya?" Dinda menyung?
gingkan senyum sombongnya.
"Kalau kata-kata luar biasa-nya dihilangkan pun gue udah
terka?gum-kagum, Din," cetusku tersenyum.
Dia tergelak. "Kenapa sih" Memangnya nggak mungkin ba?
nget ya buat gue untuk bisa jadi istri dan ibu yang baik sampai
lo selalu menatap gue dengan pandangan nggak percaya gitu?"
"Bentar ya, gue tunjukin nih satu barang bukti masa lalu
lo yang bikin gue akan selalu terpana kayak tadi." Aku bangkit
dari sofa di tepi jendela, mengambil Nokia lamaku dari dalam
handbag. "Lo masih punya aja HP lama itu, Nyet?"
"Masih, buat back up aja kalau baterai BB abis," aku duduk
di sebelahnya. "Ini lo lihat, ya."
Sahabatku yang sableng itu langsung terbahak-bahak. Yang
ku?tunjukkan adalah video yang kurekam di salah satu party dulu
di New York, Dinda totally wasted dengan slang beer bong
berlomba dengan Scott, teman kuliah kami, disorakin satu kam?
pus. Istri Panca Wardhana dan ibu Caleb Anantadewa
Wardhana itu, guess what, memenangkan pertan?dingan me?nye?
dot beer bong itu, menangguk dua ratusan dolar dari para pe?
masang taruhan yang kami habiskan untuk mem?borong vintage
clothing dan jewelry di Amarcord dan Pippin dan Edith & Daha
lusanya. Kenapa lusanya" Karena besoknya aku dan Dinda
masih terkapar hangover di apartemen.
"How did we ever graduate ya, Key?" Dinda masih terbahakbahak.
Isi-antologi.indd 220 7/29/2011 2:15:26 PM Mataku sampai berair tertawa-tawa, dan sama sekali tidak
menolong bahwa Dinda lanjut menceritakan satu per satu
kesintingan kami waktu kuliah dulu.
"Panca pantas masuk surga karena telah menginsafkan gue
dari semua kelakuan-kelakuan setan gue zaman kuliah dulu,
Key." "Ngerti kan lo sekarang kenapa gue nggak percaya dan sela?
lu terbengong-bengong melihat lo bisa seperti sekarang?"
"You know, Key," ujarnya sambil menaikkan kakinya ke sofa,
"in the end, you just gotta pick your happiness."
Dinda tersenyum menyadari aku menatapnya bingung.
"Maksud gue gini... contohnya kalau lo terlahir sebagai an?
jing..." "Nggak ada contoh yang bagusan dikit, ya?"
"Hehe, denger dulu, I have a point here. Kalau lo terlahir
sebagai anjing, jenis kebahagiaan yang bisa lo nikmati itu bisa
jadi sepotong tulang, semangkuk Pedigree, lari-lari ngejar bola
di taman, digaruk-garuk perut lo sama pemilik lo, ngejarngejar tukang pos, gigitin sepatu," ujar Dinda, sementara aku
masih menatapnya dengan pandangan skeptis. "Sebagai ma?nusia, Key, lebih spesifiknya lagi sebagai perempuan tipe-tipe
gue dan lo gini, kebahagiaan yang bisa kita pilih itu banyak
banget. Some come with names, some come with colors, some
come with sizes..." Aku tertawa saat Dinda mengerling menekankan kata
"sizes" itu. "Lo ngerti, kan maksud gue" Prada, Manolo, Maldives,
Tory, apple martini, all kinds of men, in my case Jerry, Beno,
Andri, Panca. Kalau ada duit, lo mau mencari kebahagiaan
dengan berjemur dari Bondi ke Nice ke Cancun ke Cabo San
Lucas pun bisa banget, Key. Or maybe, definisi kebahagiaan
Isi-antologi.indd 221 221 7/29/2011 2:15:26 PM 222 lo itu kalau bisa dipotret Scott Schuman untuk The
Sartorialist. Tapi seperti yang gue bilang, in the end, you gotta
pick your happiness. Satu hal yang bukan cuma bisa bikin lo
bahagia, dan kalau satu hal itu nggak ada, hal-hal lain yang
ada di hidup lo nggak ada artinya. Buat gue, itu Panca. Dan
pilihan gue nggak salah, kan" Panca, yang udah sendiri aja
membuat gue bahagia banget, juga memberi gue Caleb, the
one happiness yang selama ini gue cari-cari. Gue bisa pulang
de?ngan Choos abis kelindes mobil atau haknya patah atau
apa?lah, tapi begitu melihat Caleb berlari ke arah gue dengan
senyum lebar yang mirip bapaknya itu teriak-teriak, "Mommy!
Mommy!" gue udah bisa ceria lagi, Key. Jangan salah ya, yang
ngelindes itu akan tetap gue gampar, kalau perlu sampai ma?suk rumah sakit, tapi senyumnya Caleb ibaratnya sama de?
ngan nyokap lo dulu waktu kecil yang mengembus bekas luka
di kaki lo pas lo jatuh. It"s the everything"s-gonna-be-okay smile.
Dua ratus dolar menang taruhan beer bong tiap minggu nggak
ada apa-apanya dibanding itu kan, darl?" senyum Dinda mere?
kah. "Tapi itu kan gue, ya. Kalau lo bahagia dengan hobi
buang-buang duit lo dan main-main dengan Panji, mengejarngejar Ruly yang nggak jelas itu, dan membuang Harris dari
daftar sahabat lo..."
"Din, apaan sih lo?" cetusku kesal. Anak ini memang paling
bisa menampar orang dengan kata-katanya.
"Keara," Dinda memegang tanganku, dengan tatapan "to?
long dengarkan gue dulu". "Pick your happiness, ya. Gue cuma
mau ngomong itu kok."
Jujur, kepalaku terlalu kacau bahkan untuk mulai mendaftar
Isi-antologi.indd 222 7/29/2011 2:15:26 PM satu per satu kebahagiaan yang harus kupilih. Tapi malam ini,
basah kuyup sampai baju menempel di badan, jingkrak-jing?
krak bareng Dinda dan ribuan orang lain di sini, teriak-teriak
sing along lagu Perfectly Lonely dengan si ganteng John Mayer
di M.O.A. Concert Ground di Manila ini adalah happiness
yang kupilih. Ini sama gilanya dengan tahun 2002 dulu waktu
aku dan Dinda masih di New York dan kami nonton konser
Lenny Kravitz di Jones Beach. Beda tipis aja, kalau dulu ca?
but kuliah, ini cabut ngantor hehehe.
"GIVE UP THE FUCKING UMBRELLA! IT"S JUST
WATER!" Dinda berteriak sekencang-kencangnya. Malam ini
hujan memang mengguyur deras Manila, jenis hujan yang
pasti bakal membuat Jakarta banjir, dan puluhan orang yang
du?duk di depan kami dengan bancinya malah memakai pa?
yung, menghalangi pandangan ke panggung. Aku dan Dinda
sendiri sudah nekat memanjat naik ke kursi, walau harus
beran?tem dengan security konser yang heboh memaksa orang
duduk tenang. Hello, ini konser John Mayer ya, bukan Diana
Krall atau Andrea Bocelli, duduk manis is out of the
question. "Elo sih, Din, gue bilangin juga lempar kolor bekas lo ke
atap hotel biar nggak hujan, malah nggak mau," ujarku.
"Kalau gue lempar ke panggung sekarang aja gimana?" kata?
nya dengan sablengnya. Aku langsung tertawa. "Dasar gilaaa!"
Tapi aku harus mengakui mungkin Dinda benar. Bukan
ten?tang bahwa kolor bekasnya bisa menghentikan hujan deras
ini. Tapi bahwa teriak-teriak loncat berbasah-basahan
starstruck menatap dan sibuk mengabadikan kedahsyatan John
Mayer dengan jepretan-jepretan kameraku ini adalah cara ter?
baik untuk meng-induce lacunar amnesia terhadap Panji, Ruly,
Isi-antologi.indd 223 223 7/29/2011 2:15:26 PM 224 dan semua fucked up side of my life. Sepanjang alunan
Vultures, No Such Thing, Perfectly Lonely, Ain"t No Sunshine,
Slow Dancing in a Burning Room, Waiting on the World to
Change, Stop This Train, Your Body is a Wonderland, Who
Says, Heartbreak Warfare, Gravity, Do You Know Me, Why
Georgia, sampai ketika John dengan playfully-nya menyanyikan
Don"t Stop Believing di tengah-tengah lagu Half of My
Heart"why am I giving you the complete setlist anyway"ini
adalah salah satu malam paling menyenangkan dan carefree
dalam hidupku. Panji: gone. Ruly: gone. Harris: apalagi. Si bos
di kantor yang akan membunuhku kalau tahu aku pura-pura
sakit demi terbang ke Manila ini: namanya pun aku lupa.
Sampai Mr. John Clayton Mayer keluar dari belakang
pangg?ung dan menyanyikan Edge of Desire di encore, dan aku
dan Dinda dan ribuan perempuan lain di lapangan itu mulai
otomatis melankolis nggak jelas begini. And yours truly here,
of course, kembali membayangkan seseorang begitu John me?
nya?nyikan kata-kata "steady my breathing, silently screaming, I
have to have you now." Nggak perlu aku jelaskan kan siapa
orangnya" Kalau ada yang mau getok kepalaku pakai batu
seka?rang monggo dipersilaken.
"Eh lihat nih, lo dapat nggak waktu John-nya gue itu sedang
ngangkat gitar di lagu terakhir?" ujarku sambil menunjukkan
layar kameraku ke Dinda. "Dapat, tapi lighting-nya kok gue nggak dapat bagus, ya?"
dia yang kini menunjukkan layar kameranya.
Di atas pesawat SQ 917 dari Ninoy Aquino ke Changi ini,
lagaknya aku dan Dinda sudah seperti fotografer model iklan
Isi-antologi.indd 224 7/29/2011 2:15:27 PM Canon"dia bawa 550D dan G-9 sementara aku bawa
1000D dan G-11, this is all camera talk that I don"t need to
explain anyway"flashing semua gear kami selama penerbangan
ini dengan harapan mana tahu ada orang Canon yang lihat
dan mau bayarin perjalanan ini. Yeah right.
"Eh, ntar kita gabung aja semua fotonya ya, gue mau ge?
dein yang bagus nih buat di-frame dan dipajang di kamar,"
ujar Dinda. "Di kamar" Laki lo nggak marah, gitu lo majang foto lakilaki lain?"
"Ya kalo nggak di kamar gue, paling nggak di kamar Caleb.
Biar gue mantra-mantra dari kecil supaya gedenya jadi guitar
god kayak John Mayer."
Aku tertawa. Suara purser penerbangan ini terdengar di speaker, meng?umumkan waktu ketibaan di Changi beserta di terminal
mananya. "You know, Din, gue harus bilang terima kasih sama lo kare?
na udah ngajak gue gila-gilaan selama dua hari di Manila ini,"
aku tersenyum ke Dinda. "Does it work?" dia menatapku.
"Maksudnya?" "Mayer mengalahkan Wardhana dan Walantaga di dalam
otak lo itu?" "Ya bagusan Mayer ke mana-manalah, penting ya itu dikon?
firmasi?" seruku. "Keara, lo ngerti maksud gue, kan?"
Terkadang aku benci betapa sahabatku yang satu ini terlalu
mengenalku. Tapi aku lagi malas menjelaskan insiden hatiku
tersobek-sobek"ini agak terlalu didramatisir sebenarnya"
atas setiap kata yang meluncur dari bibir John Mayer saat
Isi-antologi.indd 225 225 7/29/2011 2:15:27 PM 226 menyanyikan lagu Edge of Desire tadi malam, jadi aku mema?
sang senyum lebar. "Andai lo mau ngantar gue ke Shangri-La,
tempat nginapnya si John supaya gue bisa dimain-mainin
sama dia, trip ini pasti lebih luar biasa lagi, Nyet."
Dinda spontan tertawa. "Gue belum mau dibunuh sama
adik ipar sendiri, ya."
"Maksudnya?" aku menatap Dinda bingung.
"Baca sendiri aja deh."
Aku cuma bisa bengong saat Dinda menyodorkan
BlackBerry-nya dan di situ ada BBM dari Panji yang masuk
tang?gal 30 September 2010, hari pertama aku dan Dinda tiba
di Manila. "Din, titip jagain Keara buat gue, ya".
"Masih mau bilang ini cuma main-main?" sentil Dinda
tersenyum, menutup telinganya dengan headphone dan mulai
meno?nton film yang diputar di pesawat, sebelum aku sempat
berkata apa-apa. Aduh, Panji, kita udah ngapain aja ya sampai kamu sebegi?
ninya. Aku dan Dinda menghabiskan sisa penerbangan dengan
diam di kursi masing-masing, dia menonton Chloe dengan
serius di TV pesawat, aku kesulitan konsentrasi bermain
game Angry Birds di iPod Touch ini sambil berpikir bagai?
mana caranya sekarang bersikap di depan Panji yang nanti
akan menjemputku dan Dinda di bandara, supaya tidak ada
lagi cerita "titip jagain" seperti ini. Permainan di antara aku
dan dia sudah terlalu jauh, dan aku tidak siap untuk masuk
ke teritori di mana Panji merasa punya hak untuk ngomong
"titip jagain" ke siapa pun.
"Cuma ada 50 menit nih untuk boarding ke Jakarta," ujar
Dinda begitu pesawat kami touchdown di Changi. "Jogging lagi
nih kita pindah terminal."
Isi-antologi.indd 226 7/29/2011 2:15:27 PM Great, I"m up for jogging, asal tidak usah memikirkan si
Panji ini mau diapain. Begitu keluar dari pesawat, ground crew Singapore Airlines
memberitahukan perpindahan gate ke gate 44 untuk lanjutan
pener?bangan kami ke Jakarta, yang jaraknya 20 gate aja dari
gate aku dan Dinda mendarat sekarang thankyouverymuch.
"Din, lo duluan deh, gue kayaknya kebelet nih."
"Number one47 or number two48?"
"Number two, makanya lo duluan aja," aku memegang perut?
ku. Si kampret itu langsung tertawa terbahak-bahak. "Kualat
lo kan, kualaaat." "Berisik lo. Langsung ketemu di gate aja, ya."
Perutku yang sedang melilit sekarang akibat adobo"hidang?
an tradisional Filipina yang penampakannya seperti gulai
ayam ekstra kental namun rasanya hambar dan agak aneh
itu"yang ternyata tidak cocok dengan cacing-cacing di dalam
usus ini, cukup efektif untuk menggeser Panji sejenak dari
prio?ritas hal-hal yang harus kupikirkan sekarang. Sekarang ini
yang penting adalah menyelesaikan masalah perut ini secepat?nya supaya aku bisa mengejar waktu boarding yang tinggal
dua puluh menit lagi. Sepuluh menit di toilet"ini too much
infor?mation ya sebenarnya"dan satu kapsul lansoprazole, dan
aku langsung lari menuju gate 44.
Dan, saudara-saudara, perutku langsung mules lagi begitu
menemukan siapa yang sedang ngobrol dengan Dinda di
ruang tunggu gate 44. 227 *** 47
Antologi Rasa Karya Ika Natassa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Number one: slang eufemisme untuk buang air kecil
48 Number two: slang eufemisme untuk buang air besar
Isi-antologi.indd 227 7/29/2011 2:15:27 PM Harris 228 Good afternoon, Changi. Good fucking afternoon.
Bahkan setelah tiga hari menikmati keriaan F1 Singapore
2010 ini dengan Ruly, menang taruhan lagi karena Alonso
berhasil mengukuhkan gelarnya sebagai Prince of Darkness
dengan merebut kembali gelar juara satu-satunya night race di
rangkai?an balapan F1 setelah gelar itu direbut Lewis
Hamilton di tahun 2009 (walau tahun 2008 lalu berbendera
ING Renault dan tahun ini membawa nama Scuderia
Ferrari), Ruly pulang dan gue memutuskan untuk mutarmutar Singapura dan Thailand sendirian selama seminggu
sampai gosong begini, gue masih aja in this deep shit yang ber?
judul jatuh cinta. Mata?hari itu memang nggak bisa membakar
hati dan ingatan, ya. Sudah cukup si Ruly itu dicintai habis-habisan sama satu
orang. Satu orang yang gue cintai habis-habisan juga.
"Whoops! I"m sorry," seorang perempuan tiba-tiba menabrak
gue, yang ternyata" wow, baru gue sadar mengingatkan gue
pada Kim Kardashian. "Sorry, I was all caught up with my
iPod and?" "It"s okay, my fault also, I wasn"t really looking," gue memba?
las senyumannya. Elo tahu, Key, gue harusnya menuntut lo ke pengadilan
karena telah "merusak" gue untuk semua perempuan di muka
bumi ini. You have fucking ruined me, Key. Harris Risjad yang
dulu, yang waras, tidak akan hanya tersenyum standar kepada
perempuan se-hot ini dan berkata, "Excuse me, I"m already late
for my flight." Harris Risjad yang itu kalau perlu akan mengu?
Isi-antologi.indd 228 7/29/2011 2:15:27 PM bah penerbangannya supaya bisa mengobrol"atau lebih"de?ngan Kim wannabe ini.
Harris Risjad yang ini, yang IQ points-nya sudah berkurang
dra?stis sejak setahun yang lalu, buru-buru melangkah menuju
gate, menyumbat telinga dengan earphone iPod untuk meng?hin?dari kontak dengan siapa pun. Yang gue butuh sekarang
cuma cepat-cepat naik pesawat, memesan Singapore sling seba?
nyak mungkin, dan tidur begitu mendarat di Jakarta.
Singapore is shit for me these days. Karena di negara ini dulu gue
sempat merasakan hanya berdua dengan lo, Keara, cuma gue dan
lo dan ketololan dan kegilaan yang kita laku?kan berdua.
Tiga hari melewati balapan F1 kemarin, sementara gue dan
Ruly teriak-teriak seru, bersaing dengan suara desingan mesin
di sirkuit Marina Bay itu, yang ada di kepala gue sebe?narnya
mengingat-ingat apa yang sedang kita lakukan tepat pada
waktu itu setahun yang lalu. Saat selesai practice session hari
pertama, gue dan Ruly nongkrong bergabung dengan ri?buan
orang yang lain, menonton Daughtry di after-race concert, gue
ingat setahun yang lalu kita sedang berbaring di lapangan
Padang Stage karena konser Katy Perry batal, elo berbaring
di perut gue dan kita menatap bintang. Di saat gue bersorak
me?nyambut Alonso yang berhasil meraih pole position di
qualifying race di hari Sabtu, dan Ruly mengumpat-umpat
karena Lewis Hamilton yang dia pegang hanya berada di posi?
si ketiga setelah Sebastian Vettel, gue ingat, Key, bahwa seta?hun yang lalu gue harus menyaksikan finish qualifying race itu
lewat layar besar di Padang Stage karena elo sudah menggeret
gue ke sana untuk nonton Travis.
Hari terakhir, Key, hari terakhir ketika Ruly terpaksa me?
nraktir gue mabuk sampai mampus di salah satu bar yang gue
juga lupa namanya karena dia kalah taruhan, gue ingat betapa
Isi-antologi.indd 229 229 7/29/2011 2:15:27 PM 230 konyol tapi seksinya lo waktu teriak-teriak histeris ikut menya?
nyi di konser Backstreet Boys itu. Waktu gue dan laki-laki yang
lo cintai itu tertawa-tawa dengan man joke kami dan seru mem?
bahas setiap detik balapan barusan, gue sebenarnya menangis
dalam hati, Key, mengingat setahun yang lalu kita se?dang berdan?
sa di Zirca, lo memeluk gue erat, gue mencium lo, dan kita
menghabiskan sisa malam itu melakukan hal paling indah yang
pernah gue lakukan dengan lo. Dengan siapa pun.
Malam ketika lo dan gue melakukan kesalahan terbesar
dalam hidup kita, Keara. Sekarang sudah satu tahun kurang dua minggu gue tidak
pernah melihat lo and here I am fucking reminiscing. Banci
sebanci-bancinya. Getting laid, I"m telling you, Key, doesn"t help at all. Gue
udah mencoba itu dengan Kinar, Dian, dan Sophie, tiga
perempuan yang lo kenal sebagai pacar-pacar gue, tiga-tiganya
hambar sehambar-hambarnya buat gue.
What the fuck am I doing in Singapore again this year
anyway" Everything fucking reminds me of you. Harusnya gue
memakai cara lo saja ya, menghindari berada di negara ini
selama musim F1, menghindari gue, dan mungkin berharap
ditabrak mobil balap saja sekalian biar amnesia.
"Harris?" Gue kaget setengah mati ketika menoleh ke arah suara
yang memanggil gue setibanya di gate 44, dan itu Dinda. Saha?
bat Keara. "Hei, lo lagi ngapain di Singapur?" sapanya ramah.
"Abis cuti gue. Minggu lalu nonton F1 bareng Ruly, dia
pu?lang gue lanjut cuti." Mata gue agak berpetualang menyapu
ruang tunggu gate yang tidak luas itu, mencari-cari partner-incrime Dinda. "Lo dari mana, Din" Sendirian?"
Isi-antologi.indd 230 7/29/2011 2:15:27 PM "Bareng Keara."
Jantung gue langsung berdetak lebih cepat.
"Kami baru balik dari Manila nonton John Mayer, ini lang?
sung mau terbang ke Jakarta," lanjutnya.
"Masih aja, ya, tergila-gila sama John Mayer?" gue berusaha
menutupi kegugupan dengan tersenyum lebar.
"Masih dong," seru Dinda, ikut nyengir.
"Keara-nya mana?" gue bertanya dengan nada sesantai
mungkin. Gue sadar Dinda mungkin sudah dijejali cerita oleh
Keara tentang bagaimana gue meniduri Keara saat kami ber?
dua mabuk yang membuat perempuan yang gue cintai itu
membenci gue setengah mati dan tidak mau melihat muka
ganteng gue ini lagi. Tapi gue berusaha mengabaikan hal itu
dan bersikap senormal mungkin.
"Tadi lagi ke toilet. Eh, itu dia tuh."
Gue mengikuti arah pandangan Dinda dan melihat lo,
Keara, pertama kalinya sejak terakhir gue sempat melihat lo
melintas di lobi kantor. Gue, Harris Risjad, nggak banci, kan, kalau bilang detik ini
rasanya jantung gue mau meloncat keluar dari dada ini" Dada
yang pernah menjadi tempat lo bersandar waktu kita berde?
sak-desakan di dalam MRT menuju Chinese Garden setahun
yang lalu itu. Gue mengikuti setiap gerakannya ketika dia tersenyum
basa-basi ke security yang menyuruhnya meletakkan seluruh
barang ke dalam bucket untuk melewati x-ray. Gerakan ang?
gunnya ketika dia mencopot sunglasses dan jaket kulitnya.
Tapi yang membuat gue gagu beneran adalah ketika akhir?
nya Keara melihat gue dengan Dinda, tatapan matanya yang
belum sempat ditutup dengan sunglasses itu menghunus gue.
Tatapannya menghunus gue di setiap langkah yang dia ayun?-
Isi-antologi.indd 231 231 7/29/2011 2:15:27 PM 232 kan ke arah kami. Kaki panjangnya yang cuma ditutupi celana
pendek, gila ya anak ini terbang berjam-jam nggak kedinginan
apa" Hey, I"m not complaining, gue nggak akan pernah lupa
beta?pa seksinya kaki lo itu, Key.
"Key, gue tiba-tiba ketemu si Harris aja di sini," gue bersyu?
kur Dinda yang mengambil inisiatif memecah keheningan
tolol ini. "Dia baru dari nonton F1, satu pesawat juga nih kita
ke Jakarta-nya." Gue mengumpulkan keberanian untuk tersenyum dan me?
nyapa singkat, "Hai, Key."
"Hai," dia cuma tersenyum datar, dan langsung menoleh ke
Dinda. "Bukannya boarding sekarang, ya" Naik aja yuk, ngan?
tuk gue." Cinta gue itu"masih berani-beraninya ya sebenarnya gue
memanggil Keara dengan sebutan ini"langsung berlalu du?
luan menyusuri lorong belalai menuju pesawat, diikuti Dinda,
dan beberapa langkah di belakang ada gue yang hanya bisa
menghela napas. Gue harus ngapain supaya lo bisa memaafkan gue, Key"
Keara "What the hell do you think you were doing?" sungutku sambil
memasang safety belt. "Maksudnya?" Dinda menoleh bingung.
"Buat apa tadi lo harus pakai ngobrol-ngobrol beramah-ta?mah dengan si Harris segala?"
Dinda menghela napas. "Aduh, Key, masih ya" Kejadiannya
kan juga udah setahun yang lalu."
Isi-antologi.indd 232 7/29/2011 2:15:27 PM "He fucked me when I was drunk. Mau berapa tahun pun
fakta itu nggak berubah."
"Keara, in all fairness, you fucked him when he was drunk
too, right?" Dinda berkata lembut.
"Ya tapi kan nggak bisa gitu, Din."
Harris Pramugari SQ yang cantik-cantik ini mulai berseliweran mena?
warkan handuk hangat, dan Tuhan juga dengan baiknya meng?
ha?dirkan sesosok perempuan yang hampir sempurna, 36-2436, duduk di sebelah gue. Mau tahu apa yang dilakukan
Harris Risjad" Memejamkan mata memaksa diri bermimpi
bahwa saat kaki gue menyentuh air ombak di atas pasir putih
Phi Phi Island tiga hari yang lalu, ada Keara yang tersenyum
di sebelah gue, menggenggam erat tangan gue.
233 Keara "Hi, can I get you anything?" seorang pramugari menghampiri
kursiku, merespons tombol yang kupencet semenit yang
lalu. "Can I have some water please?"
"Sure, ma"am, I"ll be right back."
Dinda sudah tertidur pulas di sebelahku, tapi aku masih
memerangi sakit kepala yang tiba-tiba menyerang begitu pesa?
wat lepas landas. Oh yeah, mules berhenti, lanjut sequential
symptom berikutnya, yaitu pusing-pusing nggak jelas ini. What
next" Mual-mual" Gatal-gatal" Bisulan" Amit-amit.
Isi-antologi.indd 233 7/29/2011 2:15:27 PM 234 "Here you go, ma"am," pramugari yang tadi kembali dengan
segelas air. Satu butir aspirin meluncur mulus melewati tenggorokan.
Satu menit, dua menit, lima menit, sepuluh menit, kepalaku
masih berat. Kemungkinan besar kepala ini terus berdenyutdenyut akibat berhujan-hujan selama tiga jam penuh di kon?
ser tadi malam. But who am I kidding" Ini bukan jenis sakit
kepala yang bisa dibunuh segampang menelan sebutir-dua
butir pil penghilang rasa sakit.
Siapa pun yang bilang time heals all wounds itu perlu dira?
jam, disilet-silet, dan dibiarkan kesakitan untuk melihat bera?
pa lama dia bisa menahan rasa sakitnya.
Dua belas bulan, Ris, dua belas bulan sudah berlalu sejak
hari gue terakhir kali jadi sahabat lo, namun peristiwa yang
mengakhiri persahabatan kita itu masih membekas segar di
kepala gue seperti bekas luka cambuk lima menit yang lalu.
Dan walaupun kedua mataku terpaku pada serial Modern
Family yang sedang diputar di salah satu channel TV pesawat,
yang sebenarnya se?dang menari-nari di kepalaku adalah
pertanyaan akan jadi apa kita kalau seandainya kita memain?
kan adegan lain di pagi itu. Pagi laknat di apartemen kita di
Singapura ketika kamu ma?suk dengan sebungkus ToastBox
dan tersenyum tanpa dosa ke arahku. Mungkin, ini sekadar
mungkin, instead of melem?par kamu dengan asbak, aku harus?
nya berdiri menghampiri kamu, tersenyum bandel dan ber?
kata, "Well, look who"s got too much to drink last night." Kamu
tertawa, we had a good laugh out of it, menghabiskan sarapan,
dan menjalani sisa-sisa jam di Singapura seperti normalnya
dua sahabat yang tidak pernah melihat satu sama lain telan?
jang. Isi-antologi.indd 234 7/29/2011 2:15:27 PM Tapi maaf ya, Ris, bahkan bagian diriku yang paling
promiscuous sekalipun nggak akan bisa menganggap peristiwa
malam itu sebagai sesuatu yang biasa, yang bisa sekadar jadi
bahan tertawaan di antara kita. Dan karena mungkin aku be?lum cukup dewasa untuk memegang prinsip bahwa yang su?dah berlalu ya sudahlah, izinkan aku menghindar dari kamu
dan tidak usah melihat muka kamu lagi sampai kapan pun.
Karena setiap aku melihat wajah itu, Harris Risjad, yang
mem?bekas di benakku ini adalah betapa wajah milik laki-laki
yang biasanya membuat aku tertawa itu sekarang adalah wa?jah laki-laki kurang ajar dan pengecut yang telah meniduri
sahabatnya sendiri ketika mabuk.
235 Harris Touchdown Jakarta, the city of false hope.
"Gue selalu benci landing," Karin, perempuan yang duduk
di sebelah gue, mencengkeram erat sandaran tangannya.
Bagaimana gue bisa tahu namanya" Tadi ketika pramugari
menghidangkan makanan, akhirnya gue memutuskan untuk
berkenalan dan ngobrol dengan perempuan ini. Karin, 24
tahun, baru tamat kuliah dari Melbourne, ke Singapura untuk
liburan, belum ada pekerjaan apa pun kecuali menghabishabiskan duit bapaknya. Tipe-tipe perempuan semilabil yang
gampang banget untuk gue masukkan dalam daftar penakluk?
an gue. Gue meletakkan tangan gue di atas tangannya, move paling
standar gue, dan memasang senyum paling simpatik. "Gue
juga nggak pernah suka terbang, Rin."
Isi-antologi.indd 235 7/29/2011 2:15:27 PM 236 Sepersekian detik, Karin melirik ke tangan gue dan dia
Antologi Rasa Karya Ika Natassa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ba?las tersenyum. Gue sudah bilang ini akan gampang, kan"
Harris Risjad still got it. Dalam enam puluh menit terakhir
pe?ner?bangan ini, PIN BB, nomor ponsel, sampai nomor gaun?
nya pun gue sudah tahu. Jadi bukan pesona gue yang kurang
atau gue yang kurang ganteng kan, ya" Kurang apa coba gue
di depan Keara" Sori kalau ini terdengar arogan, tapi gue
mau jujur-jujur aja nih: semua perempuan wants a piece of
this. Semua kecuali satu-satunya perempuan yang gue mau,
yang gue butuhkan untuk menginginkan gue. Gue kurang apa
diba?nding Ruly yang elo agung-agungkan itu, Key" Oke, oke,
cukup protesnya dengan menjerit dalam benak gue: Ruly le?
bih baik-baik, Ruly lebih alim, Ruly lebih kalem, Ruly lebih
dewasa, Ruly itu sosok calon suami yang sempurna, dan sete?
rusnya dan seterusnya. Kalau bukan teman sendiri, si Ruly ini sudah gue dorong
ke jurang saja. Malam ini Soekarno-Hatta penuh sesak. Sambil mengobrol
dengan Karin menuju conveyor belt pengambilan bagasi, mata
gue terus mencari-cari sosok Keara dan Dinda. Tapi bahkan
sampai gue berpisah dengan Karin dan berjalan menuju pang?
kalan taksi, batang hidung dua perempuan itu tetap tidak
kelihatan. Atau gue yang sudah rabun" Crap, ini tanda-tanda
gue harus cepat cari taksi biar bisa pulang dan tidur membu?
nuh rasa capek ini. "Harris!" Bukan suara perempuan"bukan Keara tepatnya"yang
me?-manggil gue, tapi malah suara laki-laki.
"Hei, bro, dari mana lo?"
Yang manggil gue ternyata Panji. Gila, udah berapa lama ya
Isi-antologi.indd 236 7/29/2011 2:15:27 PM gue nggak ketemu ini anak" Panji teman gaul gue dari zamanzaman Embassy masih jaya-jayanya dulu. Gue nggak sombong
kalau bilang dulu semua perempuan yang pantas dilirik di
Jakarta ini adalah makanan gue dan Panji. Getting girls is the skill
of our misspent youth. Belakangan udah jarang juga ketemu
karena si Panji gue rasa masih aktif club-hopping sementara gue
cuma duduk sendirian di apartemen berteman satu krat bir
meratapi nasib dilepeh Keara thankyouverymuch.
"Bro, gue kirain siapa. Baru dari Singapur gue," gue spontan
menepuk pundaknya. "Biasa, F1. Lo ngapain?"
"Jemput cewek gue."
"Weits, yang mana lagi ini?"
"Ada lah. Belum kenal juga lo kayaknya," Panji tersenyum
le?bar. "Eh lo ke mana aja sekarang, Ris" Ngilang begitu aja
dari peredaran. Masih di Jakarta kan lo?"
"Masih, sibuk aja gue sekarang. Biasalah, lo tahu sendiri
kan kantor gue yang sinting?"
"Eh, bentar, itu cewek gue udah kelihatan. Gue kenalin ya,
Ris," Panji meninggalkan gue dan bergegas menuju pintu kaca
terminal kedatangan. Ulu hati gue langsung nyeri melihat siapa yang muncul dari
balik pintu kaca. Dinda. Dan Keara. Rasanya ada yang merenggut jantung gue dan menginjakinjaknya di lantai ketika Panji memeluk Keara gue, mencium
bibir Keara gue. Bibir yang dulu pernah hanya buat gue, wa?lau cuma satu malam di Singapura itu.
Panji teman gue yang brengsek ini.
Dan Keara gue yang dalam keadaan sober se-sober-nya.
Sekuat tenaga gue berusaha mengatur napas waktu Panji
kembali berjalan ke arah gue, menggenggam tangan Keara.
Isi-antologi.indd 237 237 7/29/2011 2:15:27 PM 238 Tangan Keara cinta gue itu. Gue menatap mata Keara yang
saat ini melotot kaget ke arah gue.
What the fuck happens to Ruly that you are now with this
bastard, Key" Elo cinta mati habis-habisan dengan si Ruly, gue masih
bisa terima, Key. Shit, Key, gue masih bisa terima walaupun
untuk menerima kenyataan bahwa hati lo akan selamanya
buat si Ruly itu sama dengan menerima kenyataan bahwa gue
akan selalu merasa seolah hati gue diblender setiap kali gue
mengingat lo. Dan gue mengingat lo setiap detik hidup gue.
Tapi untuk menerima bahwa manusia seperti Panji bisa
menyebut lo sebagai "cewek gue?"
"Bro, kenalin ini Keara. Dan ini Dinda kakak ipar gue,"
Panji memamerkan senyumnya"senyum kemenangan arogan
si tahi ini. Sebelum gue sempat berkata apa-apa, Keara langsung me?
nyambar, menatap Panji, "Sayang, aku udah kenal, kali sama
Harris. Kami sekantor."
Sayang" Did I just hear "sayang?"
What the fuck is this"
"Kok kamu nggak cerita sih?" Panji yang ingin gue bunuh
dan jejalin dalam lubang mesin jet pesawat ini membuka mu?lut. Mulutnya yang"kalau melihat situasi ini"sudah berkalikali merasakan bibir lo, Key. "Harris ini teman mainku, we go
way back, ya nggak, Ris?"
Diam aja deh lo sekarang sebelum gue bikin bengep lo di
tengah-tengah ratusan orang di terminal ini ya.
Itu, yang barusan, adalah yang menggema di dalam ke?pala
gue. Namun yang terlihat di luar adalah sebersit senyuman gue,
Isi-antologi.indd 238 7/29/2011 2:15:28 PM senyuman pecundang, yang menelan ludah dan berkata, "Lupa
aja, kali, Ji. Gue juga nggak nyangka lo kenal sama Keara."
Sumpah, gue ingin merasakan gempa saat ini, tujuh atau
delapan skala Richter, kemudian gue terbangun karena ternya?
ta guncangan itu dari pramugari SQ yang berusaha memba?
ngunkan gue karena pesawat akan mendarat.
Tapi yang ada rasanya darah gue naik ke kepala dan selu?
ruh organ dalam gue, jantung, hati, usus, ginjal, limpa, ditu?
suk-tusuk dengan seribu jarum, dan elo masih di depan gue,
Key, dengan laki-laki yang...
Fuck, Key, I"m better than this guy. Gue jauh lebih baik dari?
pa?da penjahat kelamin ini!
Ada tangan raksasa yang rasanya tiba-tiba mencekik gue
ketika satu pertanyaan tiba-tiba menonjok pikiran gue. Elo
ti?dur dengan laki-laki ini, Keara"
"Ji, gue cabut dulu ya, masih ada janji lagi gue nanti ma?
lam," gue memasang senyum, cepat-cepat melambai, dan ma?
suk ke taksi hitam Mercedes Benz yang parkir paling dekat
dari situ. "Selamat malam, Pak. Tujuannya ke mana?"
"Rasuna." Cuma orang tolol yang mau naik premium cab dari bandara
ke Kuningan di Sabtu malam Jakarta yang macetnya bikin
bunuh diri ini. Tapi juga cuma orang tolol yang membiarkan cinta sejatinya
jatuh ke pelukan laki-laki brengsek dan penjahat kelamin dan
mem?biarkan dirinya menangisi nasib seperti yang gue lakukan
saat ini. Isi-antologi.indd 239 239 7/29/2011 2:15:28 PM Aut amat aut odit mulier:
nil est tertium 49 Keara 240 "Eh, masuk lo?" ujar Ruly begitu aku duduk di sebelahnya
di ruang rapat Senin pagi menenteng coffee mug-ku.
"Maksud pertanyaannya?" aku tersenyum melihat sorot
matanya yang iseng. "Gue kirain masih "sakit"," Ruly tersenyum balik, menekan?
kan kata sakit. Aku tergelak. "Udah deh ya, ntar orang-orang kantor ini
jadi pada tahu semua."
"Hehehe, sogokannya dulu dong."
"Adaaa, udah deh, berisik lo. Nanti gue kasih pas lunch ba?reng aja, ya, kalau sekarang adanya ketahuan banget gue balik
dari mana." "Asyiik," mata Ruly berkilat-kilat semangat. "Ditraktir so?gokan sekalian juga nih?"
49 A woman either hates or loves: there is nothing in between
Isi-antologi.indd 240 7/29/2011 2:15:28 PM "Don"t push your luck," aku tertawa.
There"s a large part of our life that we call normalcy. Makan,
tidur, mandi. Memakai celana dalam di dalam dan bukan di
luar seperti Superman dan Batman. Matahari terbenam sete?
lah sore dan matahari terbit setelah subuh. Kopi dan
wholewheat toast di pagi hari. Dua puluh menit cardio tiga kali
seminggu. As pathetic as this may sound, pining for Ruly has been my
normalcy. Menantikan Senin pagi karena itu hari aku dan dia
selalu sarapan bareng di mejaku sebelum kami memulai weekly
team meeting dengan bos-bos pukul setengah sembilan. Sete?
ngah jam yang kami habiskan dengan berbagai obrolan di?
awali dengan pertanyaan "how was your weekend", lalu dia
bercerita tentang pertandingan olahraganya dan acara seru
yang ditontonnya di National Geographic atau Fox Crime,
aku menceritakan film bagus atau busuk yang kutonton di
bioskop dan restoran baru yang kucoba selama dua hari itu,
de?ngan menghilangkan bagian-bagian yang ada Panji-nya, dite?
mani dua tangkup roti bakar dan dua gelas capuccino panas,
aku yang bawa rotinya dan dia yang beli kopinya di Starbucks
lantai bawah. Dan sementara aku mendengarkan dia bercerita
dengan kedua matanya yang berkilat-kilat penuh semangat
tentang prestasi dua touchdown yang berhasil dia torehkan di
pertandingan touch football dengan teman-temannya itu, yang
ada di kepalaku biasanya hanya satu: agar suatu hari kami
bisa berhenti melakukan ini. Agar suatu hari aku dan dia ti?dak usah lagi saling menantikan jawaban pertanyaan "how was
your weekend" itu karena akhirnya Ruly dan aku menghabis?
kan dua hari itu bersama-sama.
So you see, being pathetic has also been my normalcy, as your
presence here, my dear Ruly, means the absence of my sanity.
Isi-antologi.indd 241 241 7/29/2011 2:15:28 PM 242 Untuk yang ingin menamparku bolak-balik supaya sadar
dan waras, silakan ambil nomor antrean, ya.
Pagi ini, dua hari setelah aku kembali dari Manila, melihat
Ruly dan senyumannya dan tatapan teduhnya ini sangat meno?
long"lebih berguna daripada sebutir-dua butir aspirin"un?tuk membunuh sakit kepala yang betah bertengger di kepala?
ku sejak mendarat di Jakarta Sabtu kemarin. Sekujur tubuhku
terasa aneh sebenarnya. Ini cuma bisa dideskripsikan dengan
campuran antara super excitement pascakonser John Mayer
yang masih membekas sampai sekarang, dengan major
dreading akibat encounter tak terduga di bandara kemarin, di
Changi dan di Soekarno-Hatta. Sementara perutku rasanya
seperti baru makan durian yang dicocol terasi, kepalaku mela?
yang seperti dikuasai satu botol Mo?t & Chandon.
Sabtu kemarin, sepanjang perjalanan dari bandara ke
Simprug, rumah Dinda, sampai Setiabudi, apartemenku, yang
kulakukan cuma menyandarkan kepala ke jok mobil dan me?
mejamkan mata. "Kamu nggak pa-pa?" Panji menoleh sesaat.
"Nggak, capek doang," jawabku singkat.
"Pingsan beneran nih berdua?" Panji melirik Dinda yang
duduk di belakang dari spion.
"Capek, Panji, udah deh, lo nyetir aja," seru Dinda. "Gue
ama Keara mau mimpiin John Mayer aja."
And that was why we"re best friends, Din. Ucapan yang me?
lun?cur dari bibir Dinda cukup sakti membuat Panji tertawa
lalu diam tenang sepanjang perjalanan itu.
Tapi ada tiga puluh menit dari Simprug ke Setiabudi yang
harus kulalui berdua saja dengan Panji. Aku nggak tahu harus
ngobrol apa. Agak-agak nggak sopan juga kan, ya, kalau aku
cuma tidur sementara dia menyetir, itu namanya sopir. Walau?
Isi-antologi.indd 242 7/29/2011 2:15:28 PM pun yang kupilih akhirnya adalah tidur. Paling tidak memejam?
kan mata agar tidak usah capek berbasa-basi. Bagiku, si Panji
sudah agak-agak keterlaluan. Aku tahu harus kuakui aku me?
nikmati bahwa dia selalu ada, well, di luar masa-masa dia si?
buk dengan apa pun itu pekerjaannya. Panji has been my go-to
guy for almost anything. Tapi come on, dari mana dia dapat
pengesahan bahwa dia mulai boleh "titip jagain" ke siapa-sia?pa" Crap, I can"t get over how much this bugs the shit out of
me. Entah apa yang ada di pikiran Panji ketika aku tetap diam
dan memasang tampang letih sementara dia mengantarku
naik ke lantai delapan, membawakan koperku. Jauh lebih mu?
dah seandainya si Panji bersikap biasa-biasa saja, seperti per?
mainan yang selalu kami mainkan. Sabtu malam itu Panji
ikut masuk apartemen, meletakkan koper di lantai, dan me?
raih pinggangku ke dalam pelukannya dan menciumku. Dan
aku tidak suka ciuman dengan perasaan itu.
I need you to want me, Panji. I don"t need you to love me.
Aku hanya bisa membalas ciumannya dengan enggan dan
perlahan menarik bibirku dua detik kemudian.
"Kenapa?" dia menatapku.
"Nggak pa-pa, aku cuma capek banget aja," aku berusaha
terse?nyum. "Ya udah, kamu istirahat aja deh. Aku telepon besok ya."
Ini agak-agak kejam sebenarnya. Pengusiran halus terhadap
Panji setelah sebelumnya di bandara aku membiarkan dia me?meluk-meluk dan memegang tanganku di depan Harris hanya
untuk" untuk apa ya sebenarnya" Untuk menunjukkan ke
Harris bahwa aku bahagia thankyouverymuch walaupun aku
tidak memiliki dia lagi sebagai sahabatku" Yeah, why did I do
that" Isi-antologi.indd 243 243 7/29/2011 2:15:28 PM 244 What the fuck was going on with my mind"
Ya sudahlah, kewarasanku juga perlu dipertanyakan sejak
aku jatuh cinta kepada laki-laki bernama Ruly yang sedang
menjilat-jilat sisa selai kacang di jarinya tepat di depanku ini,
kan" Sejak aku menerima situasi sekarang ini"you know, the
Antologi Rasa Karya Ika Natassa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
whole mencintai Ruly diam-diam tak berbalas, mencoret
Harris dari daftar sahabat, sampai bermain-main api dengan
Panji"sebagai normalcy, kenormalan, kewajaran, atau apa pun
namanya itu, aku sebenarnya sudah pantas untuk menambah
satu jam di sofa psikiater setiap minggu sebagai bagian dari
"kenormalan" hidup ini.
Empat tahun bukan waktu yang singkat untuk mencoba
menjawab pertanyaan "what if in a man that you love, you find
a best friend instead of a lover".
"Eh, Key," Ruly sekarang sibuk memencet-mencet BlackBerrynya, "kayaknya kita berempat udah lama banget nggak nong?
krong-nongkrong bareng, ya?"
"Berempat?" "Iya. Lo, gue, Denise, Harris."
Sepersekian detik kupakai untuk menelan ludah sebelum
Ruly lanjut berkata, "Gue ajak sekalian ya nanti siang."
Harris Ikut casting-nya kapan, tiba-tiba sudah harus main sinetron
aja gue siang ini. Sinetron sekali tayang dengan pemeran uta?ma gue, Ruly, Denise, dan cinta gue Keara. Tanpa skrip, dura?
si tayang satu jam, lokasi di Potato Head, dan tanpa sutrada?
ra, hanya mengandalkan kecanggihan akting gue dan Keara.
Isi-antologi.indd 244 7/29/2011 2:15:28 PM "Gila ya, udah lama banget kayaknya kita nggak ngumpulngumpul begini?" Denise membuka pembicaraan begitu kami
semua selesai memesan menu.
Gue inget banget kapan terakhir kali kami berempat bisa
duduk di satu meja: satu minggu sebelum keberangkatan gue
dan Keara ke Singapura tahun lalu. Tiga belas bulan gue ter?
bebas dari menyaksikan Keara memandang Ruly penuh cinta
setiap Ruly berbicara. Oke, sejujurnya mungkin ta?tapan Keara
nggak segitunya, tapi buat gue yang tahu isi hati Keara sebe?
nar?nya, ini menyiksa. Menyiksa karena gue nggak bisa punch Ruly in the face
sampai bengep dan nggak ganteng lagi menyaingi gue. Gue
nggak bisa mendaratkan bogem gue ke muka cinta matinya
Keara itu bukan hanya karena Ruly sahabat gue, tapi juga
karena gue yakin kalau itu terjadi, yang ada gue akan menatap
kosong saat Keara spontan lari memeluk Ruly, membersihkan
luka-luka dan menyeka keringatnya, di depan gue. Jadi nggak
ada untungnya juga buat gue, kan"
Yang mau gue bikin bengep sekarang itu justru si Panji.
Anjing juga itu orang. Nggak ketemu gue sekian lama tibatiba udah memeluk-meluk Keara aja di depan gue.
Gue kepingin banget sekarang bertanya langsung ke Keara
yang duduk di kanan gue ini, ada apa sebenarnya di antara
dia dan Panji. What, he"s over Ruly" Atau dia cuma pakai si
Panji untuk mengalihkan perasaannya dari Ruly" Shit, Key,
kalau lo butuh diversion, kenapa nggak gue aja" Kenapa harus
si anjing itu" Mau lo siksa gue jadi budak lo dengan menge?pel-ngepel apartemen lo pun gue rela, Key, asal setelah itu
gue bisa memeluk dan mencium lo tanpa takut lo teriak "To?long! Perkosaan!"
Isi-antologi.indd 245 245 7/29/2011 2:15:28 PM 246 "Susah, Nis, dua orang ini sibuk melulu, diajak ketemuan
bareng begini pasti susah banget nyari waktunya," ujar Ruly.
"Kalau gue sih sibuk disiksa bos gue ya, kalau si Harris
sibuk dengan cewek-ceweknya, kali," Keara tersenyum, meno?
leh ke arah gue, menepuk lengan gue.
Ha" Gue membalas tatapan Keara bingung.
Oh, maksudnya kita mau akting gitu, Key" Bermain drama
di depan Ruly dan Denise bahwa di antara kita tidak ada
apa-apa, walau lo sebenarnya melihat muka gue pun nggak
sudi setelah the Singapore affair itu"
Okay, I"ll play along.
"Kenapa, Key, jealous much?" gue dengan santainya terse?
nyum lebar dan merangkulkan lengan gue ke bahunya.
Ini hal yang normal banget gue lakukan tiga belas bulan
yang lalu, tapi kalau sekarang tidak ada Ruly dan Denise di
sini dan tidak ada saksi sekian belas orang isi Potato Head
siang ini, Keara pasti sudah menyilet-nyilet gue dan menyiram
bekas lukanya dengan air cuka.
"Ngarep lo," Keara memaksa diri tertawa. Secara halus
menggerakkan bahunya untuk melepaskan rangkulan gue.
Gue ikut tertawa. Denise tertawa. Ruly tertawa.
Tapi yang membedakan kami adalah, cuma gue yang berasa
tersayat-sayat di dalam sewaktu Keara gue ini mencetus,
"Ngarep lo." "Ngarep lo" itu frasa kasual yang dalam satu hari mungkin
jutaan kali dipakai orang-orang dalam percakapan di
Indonesia ini. Tapi ketika lo benar-benar berharap, seperti gue
berharap kepada lo, Keara, dua kata itu rasanya lebih pedas
dari?pada pisau yang terasa menusuk-nusuk ulu hati gue seka?
rang. Isi-antologi.indd 246 7/29/2011 2:15:28 PM "Gue baru kemarin ngopi-ngopi sama Ruly, ngomongin lo
berdua. Ya kan, Rul?" ujar Denise.
Gue kembali tersadar bahwa lo, Key, masih cinta mati sama
Ruly saat lo spontan melirik tangan Denise yang baru saja
mendarat di lengan Ruly. Lirikan satu detik yang cepat-cepat
lo sembunyikan dengan mengambil BlackBerry lo dan purapura membaca pesan masuk.
Hidup ini akan lebih mudah, kan kalau gue tergila-gila de?ngan lo, lo ditakdirkan mencintai gue, dan si Ruly ini kita
biarkan saja mampus ke laut sana terseret-seret perasaan tak
ber?balasnya terhadap Denise.
"Ngobrolin apa?" suara Keara terdengar anggun dan tenang
waktu menanggapi ucapan Denise.
Punya kepala dengan imajinasi liar karena kebanyakan non?ton film heroik Jepang waktu kecil itu menyenangkan, I"m
telling you, karena sekarang ada adegan lucu yang bermain di
dalam otak gue: Keara berubah jadi godzilla menggasak
Denise ke dinding, menyemburkan api dan berteriak, "Lo ngo?
pi di mana sama Ruly" Berdua aja" Berapa lama" Ngobrolin
apa aja" Tangan lo megang-megang dia nggak"!"
Gue hanya bisa menangkap sepotong-sepotong cerita Denise
dan Ruly, cerita lama tentang kegilaan-kegilaan gue sama Keara
dulu. Tapi otak gue justru disibukkan film Godzilla yang gue
putar berulang-ulang di kepala, satu-satunya cara yang gue tahu
untuk menjaga bibir gue tetap tersenyum ketika apa yang ada di
depan mata gue sekarang ini adalah salah satu adegan paling
sedih yang pernah gue saksikan se?umur hidup.
Denise seru bercerita, Ruly semangat menimpali, dan
Keara" damn, Key" Keara gue itu dengan senyum tersung?
ging sempurna memperhatikan setiap kata yang keluar dari
mu?lut Denise dan Ruly. Isi-antologi.indd 247 247 7/29/2011 2:15:28 PM 248 Gue-lah yang paling mengerti apa yang lo rasakan saat ini,
Key, karena ketika lo menatap Ruly dan Denise dan dalam
hati berharap seharusnya lo yang bisa dengan lugas saling me?
nyelesaikan kalimat satu sama lain dengan laki-laki yang lo
cintai itu, gue di kursi gue ini juga sedang curi-curi menatap
lo dan berharap bahwa yang elo tatap dengan pandangan pe?nuh cinta itu adalah gue. Bukan Ruly yang clueless ini.
Pada detik ini gue sadar satu persamaan kita, Keara.
We both get the glorious front seat of watching the one that
we love loves somebody else.
"Eh enak aja, yang mogok pas kita ke Padang itu bukan
salah gue, ya," tukas Keara sambil tertawa, menanggapi tuduh?
an Ruly dan Denise. "Bukan gue, kali yang lupa ngisi ben?
sin." Denise menoleh ke arah gue, mengacungkan telunjuk. "Oh
iya, gue baru ingat, elu kan, Ris, yang kita percayain untuk isi
bensin, trus lo malah mutar-mutar kota nggak jelas sama
anak Border yang baru ditempatin di sana itu, yang cantik
ba?nget itu lho, siapa namanya?"
Gue terenyak. Menoleh ke arah Keara yang juga berubah
mu?kanya ketika ingatan gue dan dia sama-sama diseret
Denise ke kejadian satu malam di weekend trip kami ke
Padang dulu. Benar malam itu gue bawa mobil kami untuk
mutar-mutar kota dengan siapa itu gue juga lupa namanya,
anak Management Associate-nya Border yang baru ditempat?kan di Padang dan terlalu cantik untuk gue anggurin. Tapi
yang Ruly dan Denise tidak tahu, yang menghabiskan bensin
itu sebenarnya gue dan Keara. Gue ingat ditelepon Keara jam
setengah dua belas malam, "Lo di mana" Balik sekarang cepat,
gue butuh banget mobilnya nih, Ris!"
"Mau ngapain sih?" jawab gue waktu itu.
Isi-antologi.indd 248 7/29/2011 2:15:28 PM "Udah deh, nggak usah banyak bacot, cepetan balik ke sini.
Ini penting! Darurat! Kalau lo udah dekat kabarin ya, biar
gue langsung nunggu di lobi," titahnya.
Jadi gue antarkan si cantik itu pulang, menelepon Keara
bahwa gue sudah dekat hotel sekian menit kemudian, dan
menemukan dia sudah berdiri menunggu di depan hotel dan
langsung naik ke mobil begitu gue sampai.
"Mau ke mana sih?"
"Cari supermarket atau apotek atau apalah yang masih
buka ya," ujarnya. "Hah" Lo sakit" Lo nggak pa-pa, kan?" gue langsung pa?
nik. "Bukaaan, udah cepetan."
Gue memasukkan gigi dan keluar dari parkiran hotel. "Jadi
kenapa" Mau ngapain nyari supermarket dan apotek jam segi?
249 ni?" "Iiih, lo berisik deh, pokoknya cari aja," omelnya. "Mereka
punya Circle K atau sejenisnya nggak sih di kota ini?"
"Nggak tahu deh gue, coba kita mutar-mutar aja, ya."
Sepuluh atau lima belas menit kemudian, Keara memaksa
gue berhenti di depan warung yang masih buka. "Eh itu tuh,
ben?tar gue tanya dulu ada apa nggak, ya."
Baru sepuluh detik, Keara sudah balik lagi naik ke mobil.
"Nggak ada, yuk lanjut."
"Lo nyari apa sih?"
"Ih, Harris, apaan sih nanya mulu" Udah, lanjut nyetir
aja." "Keara sayang, akan lebih gampang kalau lo kasih tahu
yang lo cari itu apa," gue menoleh ke arahnya.
"Harris sayang, ini masalah perempuan," balasnya dengan
nada yang sama. "Udah, ayo cepetan."
Isi-antologi.indd 249 7/29/2011 2:15:28 PM 250 "Keara, gue punya dua adik perempuan. Masalah perem?
puan apa yang gue nggak tahu" Udah ngomong aja, mau nyari
apa." Gue ingat Keara menghela napas dan wajahnya bersemu
merah. "Okay, fine, gue tadi tiba-tiba dapet dan sekarang gue
butuh pembalut atau tampon. Puas?"
Gue tertawa. "Ya ampun, gitu doang harus pakai rahasiarahasiaan. Malu lo ngomongnya?"
"Risjad! Gue bekap nih mulut lo pakai lakban kalau nggak
berhenti ngomong, ayo cepetan jalan, posisi duduk gue udah
serbasalah nih." Sudah hampir jam setengah satu malam ketika akhirnya
Keara menemukan benda keramatnya itu di salah satu apotek
24 jam, itu juga setelah kami berhenti paling nggak di lima
warung dan minimarket, dan pembalut memang ada, tapi dia
nggak mau karena itu bukan merek yang biasa dia pakai.
Nggak ngerti gue kelakuan perempuan ini. Sudah dalam ke?
ada?an darurat masih saja harus picky.
Gue ingat dia keluar dari apotek lima menit kemudian,
masuk mobil dan menoleh ke arah gue dengan senyum sum?
ringah. "Markipul, Pak Risjad."
"Udah?" "Udah." "Aman?" "Aman." "Oke," jawab gue menyalakan mobil.
Keara menyandarkan kepala ke jok, duduknya jauh lebih
santai daripada sejam terakhir perjalanan mengelilingi kota
Padang ini. "Eh, Key, lo kecewa atau lega nih?"
"Maksudnya?" Keara menatap gue bingung.
Isi-antologi.indd 250 7/29/2011 2:15:28 PM "Bahwa hasil conjugal visit-nya si Enzo bulan lalu itu ga?gal."
"Kampreeeeeeet!" dia memukul-mukul lengan gue sementa?
ra gue tertawa terbahak-bahak.
Gue kangen lo, Keara. Gue kangen kita. Detik ini, ketika gue menyaksikan Keara tertawa atas lelu?
con yang baru dilontarkan Ruly, di siang bolong yang panas
di Potato Head ini, gue cuma bisa kembali menghela napas.
Kenapa lo nggak bisa mencintai laki-laki yang rela mengan?tar lo mencari pembalut sampai ke Timbuktu ini"
Keara I can"t remember why I said yes to this. Ini mungkin salah satu
aca?ra makan siang terburuk yang pernah kuhadiri. Braised beef
burgundy seharga dua ratus lima puluh ribu di piring di
depanku ini pun rasanya hambar akibat adegan yang harus
kumainkan dan kusaksikan selama satu jam terakhir. Satu:
keakraban"menjurus kemesraan kalau kataku juga"di anta?
ra Ruly dan Denise. Dua: keakraban yang harus kusandiwara?
kan dengan Harris supaya dua orang naif di depan kami ti?dak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan
Harris. "Eh, udah jam setengah dua nih, gue ada rapat jam dua,"
aku akhirnya berujar untuk segera mengakhiri ini. "Udahan
dulu yuk." "Tumben lo agak-agak rajin urusan kantor, Key," kata
Denise. Tumben perempuan sepintar lo sampai sekarang belum
sadar juga kalau Ruly ngejar-ngejar lo walau lo udah menikah,
Isi-antologi.indd 251 251 7/29/2011 2:15:28 PM 252 Nis. Kalimat yang ingin banget kuucapkan sebenarnya, tapi
aku memilih tersenyum dan berkata iseng, "Peserta rapatnya
ada yang ganteng banget."
"Ehm, pantes," Denise nyengir.
"Eh, gue ada rapat di gedung lo setelah ini," Ruly menoleh
Antologi Rasa Karya Ika Natassa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke Denise. "Gue sekalian jalan bareng ke kantor lo aja, ya."
"Yuk. Dari underpass aja, kan?" Denise menghabiskan sisa
soda di gelasnya. "Key, lo bawa mobil?"
Aku menggeleng. "Gampang, nanti naik taksi aja."
"Gue bawa mobil."
Aku spontan menoleh ke Harris yang mengucapkan tiga
kata itu barusan, menatapnya tajam.
"Ya udah, lo berdua bareng aja tuh, kasihan si Keara buruburu mau rapat harus pakai nunggu taksi, lo langsung balik
ke kantor kan, Ris?" celetuk Denise.
Baguuuuus. Si Harris ini mulutnya perlu dicabein. Buat
apa coba pakai nyeletuk "gue bawa mobil," dan si Denise ini
juga agak-agak terlalu maju inisiatifnya.
Jadilah kami berempat berjalan bareng ke lantai basement
1 Pacific Place ini, diiringi candaan dan tawa tulus dari Ruly
dan Denise, tawa palsu dariku, dan aku berusaha mengabai?
kan apa pun yang keluar dari mulut Harris.
Must think of an escape plan. Nggak akan ya aku mau satu
mobil berdua saja dengan si Harris ini. Buat kebaikan dia
juga sebenarnya, karena begitu aku naik ke mobil dan pintu
ditutup dan tidak ada saksi mata kecuali kami berdua, dia
pasti jadi korban gamparanku, minimal. I am trying to keep
my criminal record clean here.
Jadi begitu Ruly dan Denise melambaikan tangan dan
menghilang menyusuri underpass menuju BEJ, aku spontan
berbalik arah meninggalkan Harris.
Isi-antologi.indd 252 7/29/2011 2:15:28 PM Sampai aku merasakan ada yang tiba-tiba meraih ta?
nganku. Harris. Harris Gue memberanikan diri menahan Keara, menyambar perge?langan tangannya. Ini sedikit cari mati sebenarnya, tapi who
the fuck cares. Gue perlu ngomong sama dia tentang si Panji.
Nggak rela beneran gue melihat si bangsat itu mendapatkan
lo, Key. Apa pun alasan lo memilih bersama dia daripada
mengejar Ruly mati-matian.
Keara, seperti yang gue prediksikan, menoleh dan menghu?
nuskan tatapannya. Gue cuma berdoa akan ada puluhan
orang yang lalu-lalang di lantai ini, jadi Keara gue ini tidak
akan menimbulkan keributan tarik-tarikan tangan dengan
gue. "Gue naik taksi aja," ujarnya datar.
Refleks gue malah mempererat genggaman gue. Menelan
ludah dan mengumpulkan keberanian sedetik dua detik tiga
detik untuk mengucapkan apa yang perlu gue ucapkan.
"Tolong lepasin, Ris. Gue nggak mau kita ribut-ribut di
sini," katanya lagi, suaranya tenang dan lembut, tapi tatapan
mat?anya tetap seperti ingin membunuh gue right here right
now. "Lo beneran pacaran sama si Panji teman gue itu?" akhirnya
pertanyaan itu keluar juga dari mulut gue.
Keara terlihat kaget, tapi raut wajah kagetnya cepat digan?
tikan marah. "Bukan urusan lo."
"Tapi gue perlu bilang sama lo bahwa dia itu brengsek,"
Isi-antologi.indd 253 253 7/29/2011 2:15:28 PM 254 kata gue lagi. "Gue kenal dia dari dulu dan dia nggak pan?
tas?" "Bukan urusan lo," potong Keara, mempertegas setiap kata.
"Tolong lepas tangan gue, ya."
Ada tiga degup jantung yang gue pakai untuk menatap
matanya dalam-dalam sampai akhirnya gue menyerah. Keara
cepat memerdekakan tangannya, berbalik badan, dan mening?
galkan gue. Film Godzilla dalam kepala gue berubah jadi film drama
romantis dengan adegan Panji memeluk Keara di Wollman
Skating Rink dengan butir-butir salju berjatuhan dari langit
seperti John Cusack memeluk Kate Beckinsale di Serendipity.
Jangan tanya kenapa gue sampai nonton film perempuan itu,
ya. Mari kita cari dinding beton saja buat gue mengantukkan
kepala gue sekarang. Isi-antologi.indd 254 7/29/2011 2:15:29 PM Ex abundancia cordis, os loquitor 50 Keara What sucks about being human is you have to explain your life
255 choices to everyone. It"s like their god-given right to know. Ini
perilaku yang menurutku tidak akan kita temukan pada hewan
atau bahkan alien. I just couldn"t picture a green slimy guy snaring
at his bald coneheaded friend saying: "You chew on screwdrivers"
Snacking on human bone is ten million times more delicious!"
Don"t mind me, ini cuma pernyataan marahku atas kelan?cangan Harris minggu lalu, menanyakan hubunganku dengan
Panji. Sebenarnya kurang-lebih sama dengan kelancangan
Dinda yang tidak pernah absen mempertanyakan bagaimana
keadaanku dengan Panji. I mean, why damn it why semua
orang perlu tahu" Apa semuanya berpikir aku tidak mengenal
siapa Panji dan tidak tahu tentang reputasinya yang tidak
pantas dibanggakan" What do they think I am, stupid"
50 From the abundance of the heart, the mouth speaks
Isi-antologi.indd 255 7/29/2011 2:15:29 PM 256 Like any women living and dating in the age of information
superhighway, of course I googled him. Aku lupa siapa yang
mengatakan ini: social networking websites kill the art of blinddating. Awal "hubungan?"aku merasa perlu meng-airquote
kata itu"Panji denganku sama sekali jauh dari definisi ken?
can buta. Dengan laki-laki seperti Panji Wardhana, whose
name precedes his reputation, mengenal siapa dia semudah
membalikkan telapak tangan. Tidak usah meng-klik satu per
satu ratusan google hits yang muncul di layarku ketika menge?
tik namanya, one click leading to his Facebook page yang berte?
baran dengan foto-fotonya dengan mantan-mantannya itu
sudah cukup. Jadi nggak perlu juga orang-orang seperti Harris dan Dinda
merasa khawatir aku mengambil keputusan yang salah karena
Panji brengsek. In all seriousness, I decided to date him because
of his reputation, not in spite of. Aku mengencani Panji justru
karena dia brengsek, player, dan punya reputasi. Tidak perlu
menghakimi aku karena punya cara sendiri untuk menyeim?
bang?kan antara mengidolakan laki-laki baik-baik calon suami
sempurna yang tidak bisa kudapatkan sampai sekarang de?
ngan berhubungan tanpa label dengan laki-laki brengsek pela?
ku pasar yang rayuannya sejago ciumannya. This is my way of
coping and I don"t have to answer to you.
Yang membuatku khawatir bukan karena Panji brengsek,
tapi karena ternyata setelah beberapa bulan"dan frekuensi
make-out aku dan dia menurun sementara durasi mengobrol
kami bertambah"ternyata Panji tidak serusak yang dulu
kubayangkan. He"s actually a pretty decent guy. Dia menghor?mati batasan-batasanku, mengerti apa arti kata tidak, dan tipe
laki-laki yang harus jadi narasumber dalam seminar apa pun
yang bertopik "Bagaimana memperlakukan perempuan dengan
Isi-antologi.indd 256 7/29/2011 2:15:29 PM baik dan benar". Aku tahu ini mungkin saja satu dari sekian
banyak caranya untuk membuatku jatuh cinta jatuh bangun"
I am officially insane for quoting a dangdut song"memuja diri?nya. Maybe it"s just his game. Aku tidak peduli asalkan dia
selalu ada kapan pun aku perlu. Dan ini jauh dari memuja,
tapi menurutku perempuan mana pun perlu laki-laki seperti
Panji at one point of their life. Laki-laki yang menikmati mela?
kukan apa pun untuk membuat kita senang karena itu seperti
prestasi bagi dirinya sendiri.
Di luar ketidakmampuannya untuk membuka celana hanya
untuk satu perempuan, Panji is a catch. Good-looking, bersih,
wa?ngi, jantan, dengan trust fund sebesar Texas. If I were a
gold-digger, I would have let him fucked me, get me knocked up,
then force him to marry me. Menghabiskan sisa hidupku menik?
mati matahari terbenam di Maldives, Monaco, Riviera, dan
Rio de Janeiro sebulan sekali, ke halaman berapa pun di
Monocle51 uang Panji membawaku.
Kalau saja aku waras. But that ship of sanity has sailed since I fell for Ruly, right"
Dan aku bukan tipe orang yang suka mengubah tujuan di
tengah-tengah. I am dating Panji for fun dan aku tidak punya
niat untuk mengubah itu sekarang. Ada bagian diriku yang
berharap aku bisa mulai mencintai dia, karena kalau laki-laki
seperti Panji saja tidak bisa membuatku menghapus perasaan
kepada Ruly, then I"m definitely screwed.
Well, I guess I am then. Si Panji Wardhana yang brengsek ini, entah kenapa harus
merusak unsur fun hubunganku dengannya dengan mu?lai
257 Monocle adalah majalah bulanan yang mengulas berbagai topik terkait global affairs,
business, culture dan design, sering disebut-sebut sebagai perpaduan antara Foreign Affairs dan
Vanity Fair. 51 Isi-antologi.indd 257 7/29/2011 2:15:29 PM 258 menginvestasikan terlalu banyak perasaan di antara kami. Ma?
salah "titip jagain" itu masih membuatku sedikit takut ber?campur kesal sampai sekarang. Tapi jangan hakimi aku dulu
karena menerima ajakan Panji untuk dinner malam ini. Aku
ingin melihat seberapa jauh lagi aku bisa mengulur kebersa?
maan tanpa judul di antara aku dan dia.
"I miss you. Dinner tonight?" ini kalimat pertama yang dia
ucapkan begitu aku menjawab telepon setelah dia menghilang
seminggu ke Dubai. Ini mungkin agak aneh, but I find his missing for a week
kinda sexy. Yang kubutuhkan dari Panji hanya ini. Tidak perlu
ada lapor-lapor harian dan kewajiban untuk saling mengetahui
se?dang apa dan sedang sama siapa tiga jam sekali.
"Udah balik ke Jakarta?"
"Baru mendarat, babe," suaranya terdengar agak berat.
"Kamu udah ada acara malam ini?"
"Belum ada," aku spontan menggeleng, lupa dia tidak bisa
melihatku. "Tapi aku belum tahu nih bisa keluar dari kantor
jam berapa. Kamu nggak capek?"
"Banget. But seeing you will make it all fine again."
Aku bisa membayangkan wajahnya sedang tersenyum nakal
waktu mengucapkan itu. Let"s play along. "And you"re back,"
aku balas menggodanya. Panji tertawa. "Yes, I am. So can I get you drunk tonight?"
So here we are, jam setengah sembilan di Emilie, sepiring
Le Filet de Boeuf yang hampir habis di piringnya dan La
Coquille St. Jacques yang baru separuh disentuh di piringku.
Dua gelas red wine yang tidak pernah dibiarkan kosong oleh
pelayan yang menunggui meja kami. Panji memainkan kartu?
nya dengan luar biasa malam ini. Tidak ada atensi berbau
Isi-antologi.indd 258 7/29/2011 2:15:29 PM cinta, cuma cerita-cerita lucu dan percakapan yang hangat dan
innocent flirtatious innuendos.
Sampai jam di tanganku menunjukkan pukul sepuluh ma?lam dan Panji memegang tanganku menyeberang jalan menuju
mobilku yang terparkir di sebelah mobilnya.
"I think I had too much wine tonight," kataku, merasakan
tubuhku agak ringan. "Aku antar kamu pulang ya, mobil kamu nanti diambil so?
pir aja," dia menawarkan.
Aku tersenyum. "I think you had more than me."
"Even better," dia membalas senyumku. "I could crash at
your place." Aku tertawa kecil. "Masih aja usaha, ya?"
Panji Wardhana-ku itu meletakkan tangan kanannya di pi?piku dan mendaratkan ciumannya yang hangat, lama, dan"
mungkin ini dipengaruhi efek wine juga"agak memabukkan,
mengabaikan tukang parkir yang berdiri di dekat kami,
menunggu dari tadi. "Masih nggak boleh juga?" dia menatap mataku begitu
menarik bibirnya dari bibirku sekian detik kemudian, suara?nya lembut dan sedikit serak.
"We"re both drunk. It won"t be right," aku menggunakan jari?k?u untuk membersihkan sedikit bekas lipstikku di bibirnya,
tersenyum sesantai mungkin.
Aku dan Panji mengakhiri tontonan tukang parkir malam
itu dengan dia membukakan pintu untukku, aku masuk ke
mobil, dia menunduk dan menciumku sekali lagi, dan melam?
baikan tangan ketika mobilku meninggalkan parkiran.
This, I could get used to. Menikmati rayuan dan perhatian
Panji tiga atau empat kali seminggu sebagai dosis yang tepat
untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa aku a great catch dan
Isi-antologi.indd 259 259 7/29/2011 2:15:29 PM 260 hanya si Ruly saja laki-laki buta di dunia ini yang tidak bisa
melihat ini. I am such an angry yet pathetic little bitch, aren"t I"
Aku tiba di apartemen hampir jam sebelas, sengaja menye?
tir agak lambat untuk memastikan indraku masih awas walau
kepalaku terasa sangat ringan. Aku baru mulai menanggalkan
baju untuk quick shower sebelum mengistirahatkan kepala dan
tubuh ini saat BlackBerry-ku berdering, tersenyum melihat
nama Panji yang muncul di layarnya. This guy must have
missed me so much. Or I have messed with his head so well.
"Kenapa, Sayang?" ujarku begitu memencet tombol
answer. "Mau mastiin kamu udah nyampe apartemen dengan sela?mat aja, babe. Udah, kan?"
"Udah kok, ini baru mau mandi. Kenapa, wajahku udah
mabuk banget ya tadi?"
"Kamu makin mabuk makin cantik kok, babe."
"Oh jadi gitu ya, aku baru cantik kalau mabuk. Atau kalau
kamu mabuk?" aku pura-pura marah.
Dia tergelak. "Sini deh aku temenin mandi biar nggak
marah-marah gitu." Aku tertawa. "Maunya kamu, ya. Kamu udah nyampe
Pakubuwono juga" Nggak nabrak orang kan tadi?"
"Too drunk to remember, tapi yang penting aku udah di
Antologi Rasa Karya Ika Natassa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tempat tidur aja," candanya.
"Ya udah, tidur sana gih, masih agak-agak jetlag juga pasti,
kan kamunya" Nanti kecapekan malah sakit, lagi."
"Iya, sebentar lagi," jawabnya. "Um, Key?"
"Ya?" "I think I love you."
Oh, crap. Isi-antologi.indd 260 7/29/2011 2:15:29 PM Non mihi, non tibi, sed nobis 52 Harris Karin ternyata pemain harpa, you know, the girl from the
261 airplane. Ini fakta yang gue temukan pada kencan ketiga kami.
Yeah, akhirnya gue memutuskan untuk mencoba seberapa sak?
ti senyuman dan tawa dan pelukan dan ciuman Karin bisa
menghilangkan Keara dari sel-sel otak gue. Paling nggak,
Karin perempuan pertama yang gue ingat jelas dan detail ka?
pan dan di mana kencan pertama, kedua, dan ketiganya. Ini
kemajuan, kan" Who the fuck am I kidding, elo semua juga bakal menertawa?
kan gue kalau tahu kenapa gue bisa ingat.
Kencan pertama gue dengan Karin di Sabang 16, kedai
kopi baru di Jalan Sabang, tiga hari setelah perkenalan kami
di pesawat. Gue dan dia minum kopi dan makan roti srika?
ya"nggak mungkin juga di situ makannya pecel lele"dan
52 Not for you, not for me, but for us
Isi-antologi.indd 261 7/29/2011 2:15:29 PM 262 mengobrol sampai jam sepuluh malam, sampai tempat itu tu?
tup. Gue menelepon Karin, ngajak jalan, lima menit setelah
ta?ksi gue meninggalkan pemandangan si Panji bangsat itu dan
Keara gue peluk-pelukan di bandara, tiga ratusan detik sete?
lah napas gue rasanya sesak dan satu-satunya yang terpikir
untuk gue lakukan saat itu"selain mengingat-ingat apakah
gue punya sejarah asma waktu kecil"adalah mendengarkan
sua?ra renyah Karin. "Gue cuma perlu memastikan bahwa lo benar-benar manu?
sia dan bukan malaikat yang ternyata ikut numpang pesawat
tadi untuk turun ke bumi," kata gue waktu itu.
Agak-agak corny memang, tapi Karin tetap tertawa. Gue
dan dia mengobrol selama dua-tiga menit sampai gue meng?
ajak dia ngopi bareng dan dia menjawab ya.
Kencan kedua, gue menyerahkan pilihan tempatnya pada
Karin, dan dia memilih Food Hall Grand Indonesia.
"Hah" Itu bukannya supermarket" Kita mau nongkrong
bareng sambil makan kacang dekat kasir gitu?"
Gue suka suara tawanya Karin di telepon. "Bukan, Harris.
Di Food Hall itu lo bisa belanja daging steak, sayur, whatever,
dan mereka masakin buat lo. Sekalian gue mau belanja buah,
nggak pa-pa, ya?" Gue mengiyakan, dan malam itu gue dan dia memilih da?
ging, memilih saus, menunggu dua puluhan menit dan si koki
meng?antarkan pesanan ke meja kami. Gue rasanya nggak
salah kalau melabel itu waktu terlama yang pernah gue habis?
kan di supermarket, hampir dua jam gue dan Karin duduk di
kursi plastik hijau"sama sekali bukan suasana restoran tem?pat biasanya gue meluncurkan jurus-jurus foreplay gue"me?
nikmati potongan demi potongan steak yang ternyata lebih
enak daripada steak di Radio Dalam yang diagung-agungkan
Isi-antologi.indd 262 7/29/2011 2:15:29 PM orang se-Jakarta itu. Penilaian yang ini mungkin agak dipe?ngaruhi fakta bahwa gue dulu makan steak itu cuma sama
Ruly doang. If you must know, gue mengajak Karin ketemu lagi setelah
sorenya waktu gue di mobil memasuki lapangan parkir pulang
dari tempat nasabah, gue melihat Keara gue itu dan Ruly se?dang
tertawa-tawa makan siomay di tukang siomay yang nongkrong
di pagar parkiran belakang gedung kantor kami. Cuma Ruly
yang bisa membawa Keara makan di situ, menelan kata-kata
wajibnya tiap dulu gue mengajak dia ke situ sore-sore. "Sori aja
ya, Ris, gue itu pengidap CFA. Cheap Food Allergy."
Untung gue cinta sama lo, Key, kalau nggak udah gue
doain mencret lo sekarang.
Kencan ketiga gue dengan Karin baru tiga hari yang lalu,
di Emilie. Dinner beneran pertama kami, loncat kelas drastis
dari Sabang 16 dan Food Hall. Ajakan dinner ini gue lontar?
kan setelah"lo mungkin sudah bisa menebak bagian yang
ini"gue melihat si Panji memegang tangan Keara memasuki
restoran Prancis itu, cuma berjarak sepuluh meter dari tempat
gue berdiri malam itu di parkiran restoran Rempah-Rempah
di seberang Emilie. Gue bengong, sampai Adam salah satu
teman kantor gue memanggil, "Woi, Ris, mindahin mobil aja
lama banget lo." Saat Karin tertawa pada lelucon gue, gue nyuapin dia de?ngan
potongan daging tenderloin seharga setengah juta itu, dia melap
bekas saus di bibir gue dengan jari-jarinya, yang ada di kepala
gue yang sudah harus disekolahkan di psikiater ini adalah
apakah Panji dan Keara juga melakukan adegan yang sama.
Pada saat gue mencium Karin di lift yang membawa gue
dan dia ke apartemennya di lantai 32, hanya ada gue dan dia
di lift itu, dia memberi sinyal dengan mempererat pelukan,
Isi-antologi.indd 263 263 7/29/2011 2:15:29 PM 264 dan apa yang kami awali di lift seukuran satu kali satu meter
yang dingin itu kemudian kami lanjutkan di sofa Karin yang
lebih besar dan hangat, gue tidak bisa menahan diri untuk
tidak bertanya-tanya apakah Panji juga melakukan hal yang
sama dan Keara, cinta gue, memeluk bajingan itu seerat Karin
memeluk gue malam itu. Yang paling membuat gue mau gila adalah bertanya-tanya,
pada saat gue malam itu mulai membuka kancing kemeja
Karin, dia dengan lembut menangkap tangan gue dan berbisik
ke telinga gue, "Jangan malam ini ya, Ris," apakah Panji mela?
kukan persis yang gue lakukan"yang sebenarnya tidak perlu
gue ragukan karena gue tahu benar Panji sama brengseknya
dengan gue"dan apakah Keara menolak dia seperti Karin
menolak gue. Yang membuat gue hampir kehilangan kewaras?
an adalah waktu gue sendirian di dalam lift dengan elevator
music yang membuat gue sakit kepala itu, turun dari lantai 32
sendirian, yang ada di kepala gue adalah bah?wa Karin mung?
kin menolak gue karena ini baru kencan ketiga kami, tapi
Panji mungkin sudah mengencani Keara berpu?luh-puluh kali
dan apa yang gue lihat di Emilie itu mungkin sesuatu yang
rutin mereka lakukan, dan kalau Keara yang gue kenal masih
Keara yang gue kenal dulu, maka sangat mungkin si bangsat
Panji dan Keara gue itu"
Fuck, rasanya gue ingin jadi karakter di film M. Night
Shyamalan, The Happening, yang seperti zombie berpandangan
kosong menghampiri mesin pemotong rumput raksasa dan
berbaring di depannya, menunggu baling-baling tajam mesin
itu menghancurkan kepala gue.
Kalau gue John Mayer idolanya Keara gue itu, mungkin
gue sudah bisa bikin satu album patah hati dari semua keja?
dian ini, dan Keara tergila-gila pada setiap lirik lagu yang gue
Isi-antologi.indd 264 7/29/2011 2:15:29 PM tulis, menjadi salah satu groupies gue dengan mengejar gue
konser ke mana-mana, gue dikejar-kejar jutaan perempuan
yang melempar nomor telepon dan celana dalam dan bra-nya
ke gue tapi Keara-lah yang gue ajak ke backstage, yang gue
cium sebelum konser, yang gue bawa ke red carpet di manamana, yang akan gue ajak ke photoshoot gue dengan majalah
Rolling Stone, dan yang gue bawa ke Las Vegas untuk meni?kah setelah itu dan kami hidup happily ever after.
But yet, here I am, all suited up, menempuh macetnya
Jakarta setelah jam tujuh malam yang ampun-ampunan ini,
menuju Kempinski untuk menyaksikan Karin bermain harpa
di acara charity dinner Yayasan Jantung Indonesia, atau Yayas?
an Kanker Indonesia" Terserahlah yayasan apa, gue juga
nggak peduli acaranya apa, kalau ini acara penyelamatan
kucing-kucing telantar pun gue bakal datang, yang penting ini
ada?lah gue, Harris Risjad, mencoba menjadi laki-laki waras
yang sedang berusaha memacari perempuan berkualitas yang
pantas dikejar-kejar laki-laki normal mana pun. Berteman
lagu Celine Dion dari playlist iPod gue di mobil.
Yeah, yeah, I know. Mau jadi nggak sarap lagi juga harus
berta?hap. Rome was not fucking built in a day.
Suara nyaring BlackBerry gue akhirnya membuat gue me?
ngecilkan volume musik di mobil ini. Ini ngapain juga si Ruly
nelepon gue malam-malam begini.
"What"s up, Rul?"
"Di mana lo?" "Udah di jalan, ada acara di Kempinski."
"Lo putar balik sekarang deh, Ris, ke RSPI. Denise kecela?
kaan." 265 *** Isi-antologi.indd 265 7/29/2011 2:15:29 PM Keara 266 "Bu, mau saya tungguin?" ujar Juwaeni, sopir kantorku yang
entah kenapa nama panggilannya bisa Owen itu, begitu Altis
milik kantor ini memasuki driveway RSPI.
"Nggak usah, kamu langsung balik kantor aja, Wen," kata?
ku, bergegas turun dari mobil menenteng handbag. "Ini ber?kas-berkasnya nanti sampai di kantor tolong kamu bawain ke
meja saya, ya." Berkas yang berserakan di backseat mobil ini sama dengan
kusutnya kepalaku sekarang. My head is already in a mess se?
jak Panji dengan lancangnya bilang "I think I love you," empat
hari yang lalu, and now this. Berita dari Ruly bahwa Denise
sedang gawat di rumah sakit karena kecelakaan tadi sore.
Di ruang tunggu emergency unit aku menemukan Ruly sen?dirian. Kemejanya yang biasanya rapi sudah kusut, bagian le?
ngannya digulung sembarangan sampai siku, dan wajahnya
sama kusutnya. Waktu mendekat, aku juga mencium bau asap
knalpot lengket di sekujur tubuhnya.
"Key!" dia berseru menyambutku.
"Lo sendirian" Denise gimana?"
"Gue masih belum bisa ketemu Denise, dia masih dirawat
di dalam," setiap kata yang keluar dari mulut Ruly terdengar
panik, walau suaranya parau seperti orang yang sudah terlalu
letih. "Lo sendirian" Harris mana?"
"Tadi sama sopir. Pas lo nelepon gue lagi di jalan pulang
ke kantor habis OTS53, gue langsung ke sini," aku mengambil
tempat duduk di deretan kursi besi di ruang tunggu itu. Ruly
OTS: On the spot, kegiatan mengunjungi lokasi bisnis nasabah yang dilakukan banker
untuk memantau perkembangan perusahaannya yang telah dibiayai dengan kredit dari
bank. 53 Isi-antologi.indd 266 7/29/2011 2:15:29 PM duduk di sebelahku, matanya menatap lekat-lekat pintu di
ujung ruangan. "Lo dengar kabarnya tadi gimana, Rul?"
"Gue masih di kantor tadi, terus ada telepon dari rumah
sakit ini, katanya dapat nomor telepon gue dari call historynya Denise, gue orang terakhir yang dia telepon," ujar Ruly.
"Gue langsung ngojek aja tadi ke sini karena gue tahu kalau
pakai mobil bakal macet banget. Pas gue nyampe sini, Denise
udah dirawat di dalam."
"Si Kemal juga belum ke sini?" kataku menyebut nama sua?
mi Denise. "Dia masih di Kalimantan ternyata, ada urusan kantor dari
kemarin, tadi gue telepon. Besok mau balik dengan pesawat
pertama," Ruly kemudian menoleh dan menatap kedua mata?
ku. "Gue belum berani menelepon ortunya Denise di Singa?
pura, Key. Gue nggak tahu mau ngomong gimana."
267 "Mau gue yang nelepon?" tawarku.
Dia mengangguk. "Tolong ya."
Jadi aku meraih BlackBerry-ku di dalam handbag, mencari
nama ibu Denise di contacts, dan menghabiskan lima menit
berbicara berganti-gantian dengan ayah dan ibu Denise di
telepon, berusaha setenang mungkin walaupun ibunya sudah
jejeritan di ujung telepon sana, dan sekuat mungkin menahan
air mata saat akhirnya pembicaraan di telepon kami tutup.
Nobody likes to give and receive bad news.
"Gimana?" Ruly menatapku.
"Panik banget. Semoga tadi suara gue cukup calm ya, Rul.
Malam ini juga mau langsung cari pesawat apa pun yang ter?
bang dari Changi ke sini," aku kembali duduk di sebelah Ruly.
"Are you okay?"
Aku baru menyadari kedua mata Ruly memerah, pembawa?
annya gelisah, dan peluh mengalir di dahinya walau AC ruang?
Isi-antologi.indd 267 7/29/2011 2:15:29 PM an sangat dingin. Tapi dia berusaha tersenyum. "Nggak apaapa, Key, gue cuma khawatir banget aja."
"Semoga Denise nggak pa-pa ya, Rul," ujarku pelan.
Dia mengangguk. Yang ada di pikiranku saat aku dan kamu terdiam menung?
gu di sini, Ruly, aku menghabiskan waktu dengan membaca
apa pun bahasan orang-orang di Twitter dan kamu kembali
tertunduk diam"mungkin satu-satunya yang bisa kamu laku?
kan untuk terlihat tegar, yang ada di pikiranku hanya satu,
Rul, dan aku tahu ini jahat sejahat-jahatnya: apakah kamu
akan sepeduli dan segelisah ini seandainya yang ada di ruang?
an gawat darurat di dalam sana adalah aku, bukan Denise.
268 Harris Terima kasih buat kumis Foke dan kemacetan bangsat Jakarta
ini, gue baru sampai di RSPI jam setengah sepuluh malam.
Keara dan Ruly sudah di lantai ruang ICU, terduduk di ruang
tunggu di luar bersama beberapa orang lain. Ini terlalu mence?
kam buat gue yang dari kecil tidak pernah suka rumah sakit.
Tidak ada suara apa-apa di sini kecuali suara heart monitor
dan sesekali langkah kaki para suster dan obrolan mereka da?
lam volume sepelan mungkin.
"Sori ya gue baru nyampe, gila macet banget," gue meng?
Antologi Rasa Karya Ika Natassa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hampiri Keara dan Ruly. "Denise gimana?"
Ruly menjelaskan panjang-lebar. Intinya Denise masih be?
lum sadar karena benturan keras di kepala, selain beberapa
patah tulang dan luka-luka di sekujur tubuh.
Gue duduk di sebelah Keara, mukjizat bagi gue malam ini
dia tidak menatap gue penuh kebencian seperti biasa. Ini men?
Isi-antologi.indd 268 7/29/2011 2:15:29 PM dingan walaupun dia tidak menyapa gue sama sekali. Gue
sempat melihat Denise dari balik kaca, yang membuat gue
menelan ludah begitu melihat slang dan perban di manamana. Dari sekian banyak hal yang gue lihat di situ, salah
satu yang melekat di kepala gue adalah pemandangan saat ini.
Ruly mengepalkan tangan dan meletakkannya di kaca, lalu
menyandarkan wajahnya di situ, wajahnya kusut sekusut-ku?sutnya, matanya nanar menatap Denise yang terbaring tak
berdaya di balik kaca"entah kenapa juga bahasa gue tibatiba jadi melankolis begini"dan di sebelahnya ada Keara,
Keara cinta gue itu, yang menatap Ruly dengan pandangan
yang hanya bisa gue artikan sebagai: "Gue mencintai lo. Lo
mungkin tidak tahu itu dan lo mungkin mencintai dia, tapi
gue cuma mau di sini menemani lo melewati ini semua. Gue
cuma mau jadi orang yang take care lo dan menemani lo di
269 saat sulit ini." Damn Key, izinkan gue meminjam kalimat yang sama dan
mengatakannya sekarang ke elo di dalam hati gue.
Gue merasa seperti terjebak dalam adegan sinetron yang
mau gue bunuh saja penulis skripnya. Kenapa segenap alam
semesta ini tidak bisa membiarkan Ruly, Keara, dan gue baha?
gia" Biarkan Ruly akhirnya diterima cintanya sama Denise,
biar?kan si Kemal suami Denise itu jauh-jauh saja ke
Timbuktu sana, biarkan gue mencintai Keara, dan biarkan
Keara menatap gue dan memeluk gue dan menerima cinta
gue, dan Panji cuma kutu anjing yang bisa dibasmi dengan
bedak Doris dan tidak pernah ada lagi di antara kami.
Kami bertiga memutuskan untuk tetap duduk di ruang
tunggu ICU rumah sakit ini, mengobrol pelan sambil berha?
rap Denise akan sadar any minute now. Keara berusaha mem?
buat Ruly sedikit tersenyum dengan menceritakan hal-hal
Isi-antologi.indd 269 7/29/2011 2:15:29 PM 270 lucu yang pernah dilakukan Denise. Gue sadar ini egois,
Denise sekarat di dalam sana dan yang gue pikirkan cuma
Keara. "Lo berdua balik aja dulu," Ruly akhirnya berkata saat jam
di tangan gue sudah menunjukkan lewat pukul sebelas malam
dan belum ada tanda-tanda perkembangan kondisi Denise.
"Biar gue di sini yang menunggu Denise."
Keara menatap Ruly dengan pandangan protes. "Tapi,
Rul?" "Udah, nggak pa-pa, Key, biar gue aja di sini," Ruly terse?
nyum. "Lo balik aja sama Harris ya, lo juga kayaknya udah
ngantuk dan capek banget tuh. Ris, anterin Keara, ya."
Sumpah demi langit dan bumi dan alam semesta dan Yoda
dan UFO, Rul, ke mana pun Keara akan gue antar, lo nggak
perlu menyuruh gue lagi kalau untuk hal yang satu ini. Cuma
masalahnya perempuan ini mau apa nggak aja.
Keara bangkit, memegang lengan Ruly. "Kabarin kalau ada
apa-apa ya, Rul. Jam berapa pun telepon gue."
Alien di planet Pluto aja bisa melihat betapa Keara itu
cinta sama Ruly, tapi dia masih aja buta seperti sekarang.
Gue mengikuti langkah Keara turun lift, kemudian menuju
lobi depan, berharap dalam hati tidak ada taksi lagi yang
lewat jam segini supaya dia tidak bisa mengelak diantar gue.
"Mobil gue di sana," ujar gue begitu kami tiba di lobi.
"Gue naik taksi aja," ujarnya pelan, seperti yang sudah gue
duga, walaupun tak ada satu pun lagi taksi yang menunggu
di situ. The ego on you, woman. Gue mencoba menahan diri untuk tidak menghela napas
putus asa di depan Keara gue ini. Jadi yang gue lakukan ada?
Isi-antologi.indd 270 7/29/2011 2:15:30 PM lah memasang wajah setulus mungkin, menatap kedua mata?
nya dan berkata, "Key, gue antar ya. Gue nggak peduli kalau
se?panjang perjalanan lo nggak mau ngobrol dengan gue, it"s
fine, tapi izinkan gue mengantar lo." Gue menatap Keara, dia
cuma diam menatap gue balik. "Gue cuma menjalankan ama?
nat Ruly. Oke?" Sepertinya membawa-bawa nama laki-laki yang dicintainya
sete?ngah mati itu ampuh, karena Keara akhirnya mengikuti
lang?kah gue. You know, Key, gue jadi bertanya-tanya apakah kalau si
Ruly menyuruh lo terjun dari jembatan, lo juga mau. Dan
Harris Risjad ini akan jadi orang tolol yang ikut terjun bersa?
ma lo, berusaha menyelamatkan lo, dan lo akan teriak-teriak
meronta dari gue. You"ve got me fucking wrapped around your finger and you
don"t even fucking care.
So here we are, ini akan jadi empat puluh menit terpanjang
dalam hidup gue, dengan gue menyetir, Keara duduk di sebe?
lah gue menatap jendela, tidak mau melihat wajah gue sedikit
pun, benar-benar menuruti tawaran gue tadi bahwa dia tidak
usah bicara apa-apa. Tidak ada, "Risjad, gue ngantuk banget
nih, jadi lo diem aja nyetir ya, gue mau tidur," atau "Ih Harris,
lagu di iPod lo nggak ada John Mayer, ya?" atau "Cerita lucu
dong, biar gue nggak ngantuk." Apa pun yang dulu biasa dia
ucapkan atau bahkan teriakkan ke gue setiap gue sedang
menyopiri dia seperti sekarang.
Dengan mengabaikan perasaan gue yang sebenarnya terha?
dap lo, gue cuma mau bilang bahwa gue kangen persahabatan
kita, Keara. Gue kangen lo nyuruh-nyuruh gue, tertawa-terta?
wa pada ucapan gue. Gue kangen malam-malam lo sedang
dinas di luar kota di hotel sendirian dan lo nelepon gue cuma
Isi-antologi.indd 271 271 7/29/2011 2:15:30 PM 272 un?tuk bilang, "You know, Risjad, kalau lo ada di sini, udah gue
paksa lo datang ke sini supaya kita bisa wine-wine solution
bareng. This hotel room is fucking lonely."
Pada saat radio di mobil gue tiba-tiba memutar lagu John
Mayer yang judulnya"kalau gue nggak salah ya, entah kena?
pa juga gue jadi ngikutin lagu-lagunya si John Mayer ini"
Edge of Desire, mulut gue sudah setengah terbuka untuk ber?
komentar iseng seperti dulu sering gue lakukan, "Tuh
penyanyi favorit lo, ganteng juga kagak," yang biasanya dia
balas dengan nyolot, "Heh, jempol kakinya John Mayer aja
ma?sih lebih ganteng daripada lo, apalagi muka." But hey, a
no-speaking pact is a no-speaking pact. Mau ikut mobil gue aja,
berbagi oksigen bersama gue di ruangan sempit ini selama
em?pat puluh menit ke depan udah syukur. Jadi gue memu?
tuskan untuk tetap diam dan melaksanakan tugas gue sebagai
sopir. Sampai gue menoleh sesaat ke kaca spion di sisi kiri dan
melihat air mata yang membasahi pipi Keara. What, dia mena?
ngis" Tidak ada suara isak, tubuhnya tidak bergerak, cuma air
mata yang mengalir deras.
"Key, lo nggak pa-pa?" gue tidak tahan untuk tidak berta?nya.
Dia cepat menggunakan tangan untuk mengelap pipi.
"Nggak pa-pa." Suaranya terdengar datar. Gue harus ngapain"
"Tapi Key?" "I"m fine, Ris. Just drive, okay?"
Gue menelan ludah. Oke kalau lo maunya begitu, Key.
Satu menit berhasil gue lalui tanpa berkata apa pun, cuma
mena?tap lurus ke depan. Tapi rasa pegal karena seperti robot
ti?dak menoleh-noleh begini, ditambah penasaran juga, mem?-
Isi-antologi.indd 272 7/29/2011 2:15:30 PM buat gue akhirnya kembali melirik ke kiri, ulu hati gue rasa?nya ditusuk melihat Keara masih menangis. Pipinya masih
basah. "Key"," cuma satu syllabel ini saja yang sanggup gue ucap?
kan, lalu gue menelan ludah, menunggu tanggapan dari dia.
Tapi Keara cuma diam, tangisnya masih tidak bersuara,
tapi kali ini bahunya naik-turun terisak.
Shit, Key, jangan bilang lo sedang menangisi si Ruly seka?rang. Ini sudah cukup. Gue nggak bisa melihat lo terus begini
lagi. Gue akhirnya menguatkan dan memberanikan diri untuk
mengatakan apa yang ingin gue katakan.
"Kalau lo memang sayang sama Ruly, kenapa lo nggak per?nah bilang sama dia dari dulu?"
Ini adalah kalimat tersulit yang pernah keluar dari mulut
gue. Bahkan lebih sulit daripada menjawab pertanyaan nyokap
gue dulu zaman kelas enam SD waktu menemukan majalah
Playboy di bawah kasur gue.
Lo menatap gue, Key, tatapan lo menusuk penuh marah.
"Lo nggak perlu nanya-nanya gue itu." Lo tidak membentak
gue, tapi suara lo yang pelan bergetar.
Gue memutuskan untuk menepikan mobil, pembicaraan ini
terlalu berbahaya untuk dilakukan sambil menyetir. Gue mem?
ba?las tatapan lo dan berusaha berujar setenang mungkin,
"Tapi gue nggak bisa melihat lo begini terus."
"Begini gimana" Udah deh, Ris, lo nggak usah sok peduli
sama gue." Entah dari mana keberanian gue untuk membalas ucapan
lo itu dengan kalimat setegas ini. "Begini menangis, Key, dan
gue memang peduli sama lo. Gue nggak bisa melihat lo harus
nangis begini cuma gara-gara si Ruly."
Isi-antologi.indd 273 273 7/29/2011 2:15:30 PM 274 Keara terlihat kaget waktu gue menyebut nama Ruly.
"Gue kenal lo, Keara," ujar gue dengan suara sepelan dan
setenang mungkin. "Gue tahu sangat sakit buat lo untuk meli?
hat betapa sayangnya Ruly pada Denise. Gue tahu, Key. Gue
tahu perasaan lo sama Ruly, Key," kalimat yang paling menya?
kitkan tapi harus gue ucapkan karena ini kebenaran. "Yang
gue nggak ngerti, kenapa lo nggak ngomong aja sama dia"
Mau sampai kapan lo begini?"
Gue bisa melihat amarah yang semakin terpancar dari ke?dua mata lo yang saat ini berkilat-kilat menatap gue. Gue
menunggu lo menampar gue atau membentak gue atau apalah
untuk menyalurkan rasa marah lo itu.
Tapi ternyata lo hanya ngomong begini.
"Gue mau pulang, Ris, gue capek."
Gue menguatkan diri untuk tetap menatap kedua mata lo
dalam-dalam. Menyakitkan banget sebenarnya bagi gue untuk
mengucapkan apa yang akan gue ucapkan ini, Keara, dan gue
tahu lo mungkin bahkan tidak bisa melihat kepedihan di
mata gue ini. "Ruly akan jadi laki-laki paling tolol sedunia kalau dia no?
lak lo, Key," kata gue pelan.
"You know, Ris, mungkin lo harus ngomong itu ke dia, bu?kan ke gue," cetus lo tiba-tiba.
"Key?" "Lo mau tahu kenapa gue nggak ngomong ke dia?" Keara
ke?mbali menghunuskan tatapannya, suaranya tidak lagi berge?
tar seperti tadi. Setiap kata yang dia ucapkan jadi penuh
emo?si dan marah. "Karena gue nggak bisa merusak persaha?
batan ini, Ris! Gue nggak bisa. Karena sampai kiamat pun
gue tahu cintanya si Ruly cuma buat Denise, Ris! Orang pa?ling tolol di dunia ini pun tahu cintanya si Ruly cuma buat
Isi-antologi.indd 274 7/29/2011 2:15:30 PM Denise! Lo juga tahu itu! Buat apa lo nyuruh gue memperma?
lukan diri gue dengan mengakui perasaan gue ke Ruly" Buat
apa?" "Karena gue nggak bisa melihat lo seperti ini!"
Crap. Nice, Ris, sekarang lo jadi bajingan yang membentak
perempuan yang lo cintai.
Gue menghela napas. "You deserve better, Keara."
Semoga suara gue yang lirih ini cukup buat lo melihat bah?
wa gue tulus, Key. Setiap kata yang gue ucapkan ini tulus.
Tapi yang ada adalah gue seperti menyiram bara api dengan
bensin. "Better apa, Ris" Tell me, better apa" Better dengan Ruly
meno?lak gue, dia jadi menghindar dari gue, persahabatan ini
bu?bar, gue nggak punya teman lagi, itu yang lo bilang better"
Sejak lo merusak persahabatan kita dengan perbuatan lo di
Singapur itu dulu, cuma Ruly yang gue punya, Ris! Dan seka?
rang lo mau nyuruh gue untuk merusak itu juga?"
Dan Keara gue menangis. Shit. Dia mengalihkan pandangannya dari muka gue, menum?
pukan wajahnya di kedua telapak tangannya.
Fix this, damn it, fix this.
Tapi gue tahu, hanya seorang gue tidak akan bisa memper?
baiki ini, jadi gue melakukan apa yang gue tahu. Gue membu?
ka seat belt gue dan memeluk lo seerat mungkin, Key, siap
menerima akibat apa pun dari keberanian gue ini, termasuk
lo memukuli, menggampar, meronta, bahkan berteriak minta
tolong ke orang-orang yang masih memenuhi Jalan Pakubuwo?
no ini. Mungkin Tuhan malam ini sedang berpihak ke gue, karena
Isi-antologi.indd 275 275 7/29/2011 2:15:30 PM 276 lo tidak meronta, Keara. Lo malah menangis makin terisak,
setiap inci gue merasakan tubuh lo terguncang-guncang de?ngan setiap isakan dan tetesan air mata lo.
Gue merasakan kepahitan yang lo rasakan ketika lo berbi?
sik di tengah-tengah isakan lo, "Lo tahu yang lebih jahat, Ris"
Ada bagian kecil dari gue yang berharap Denise tidak ada aja
supaya Ruly akhirnya bisa melihat gue."
You know what, Key, gue juga tidak menahan diri untuk
tidak berharap supaya Ruly hanyut di laut saja supaya lo juga
akhirnya melihat gue. Gue ingat ada satu quote dari film yang pernah kami ton?
ton. Some B-rated film called Kicking the Dog, I think I saw
that with you on one of our DVD and wine-wine solution night
together. "If you make a girl laugh, she likes you, but if you make her
Antologi Rasa Karya Ika Natassa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cry, she loves you."
Ini gue, Keara, laki-laki yang dulu sering membuat lo terta?wa, malam ini menyaksikan Ruly membuat lo menangis. Tapi
gue bahkan tidak peduli bahwa kalau mencocokkan dengan
quote dari film tolol itu, ini artinya lo tidak mencintai gue.
Gue hanya ingin jadi laki-laki yang membuat lo berhenti
me?nangis. Isi-antologi.indd 276 7/29/2011 2:15:30 PM Nemo in amore videt 54 Keara "Are you okay" Nggak ngantor ya?"
277 Ini BBM pertama yang kubaca begitu terbangun hampir
jam sepuluh pagi, on a Thursday. Dari Harris. Alarm sengaja
tidak kunyalakan tadi malam, dengan niat mulia untuk cabut
kantor hari ini dan menghabiskan seharian cuma tidur. A
much-needed remedy for the emotional breakdown I had last
night. Niat mulia karena kalau aku masuk kantor dengan mood
seperti ini, akan ada paling nggak selusin orang"dan benda,
for that matter"yang akan jadi korban repetan bibir ini, mu?
lai dari satpam lobi kantor yang suka memeriksa handbag
tanpa pakai sarung tangan, orang-orang tanpa otak yang me?menuhi lift kantor dengan jaket yang baunya seperti sudah
ti?dak dicuci sejak zaman dinosaurus masih beol di planet
54 No one in love sees Isi-antologi.indd 277 7/29/2011 2:15:30 PM 278 bumi, toaster di pantry yang tidak pernah rata menggosongkan
wholewheat toast-ku, para telemarketer yang krang-kring dengan
pena?waran kartu kredit, sampai orang-orang yang berani
coba-coba screw me even a little bit di rapat apa pun di kantor
nanti. So believe me, cabut kantor ini murni untuk kemaslahatan
umat. Here"s a little something I just learned this morning as I woke
up: efek bangun setelah tertidur sambil menangis itu sama
pa?rahnya dengan hangover lima gelas martini. Funny how too
much crying or too much alcohol makes you feel like Spiderman:
every single sense you have is heightened somehow. Mulai dari
indra penciuman yang rasanya semakin tajam, bahkan wangi
se?prai yang baru dicuci ini terasa terlalu harum dan membuat?
ku mual. Telingaku yang sekarang seperti sedang ditampartam?par dengan TOA kelurahan oleh suara derasnya air hujan
yang menerpa satu sisi dinding kamar tidur apartemen yang
hanya ditutupi kaca. Kedua mataku yang silau luar biasa oleh
lampu merah BlackBerry yang berkedip-kedip di samping
bantalku di ruangan yang gelap ini.
Dengan mata setengah terbuka aku menemukan satu pang?gilan tak terjawab dari Harris, dua dari Panji, empat dari
Harimau Kemala Putih 7 Malaikat Berwajah Putih Lo Ban Teng Karya Tk Kiong Pedang Ular Emas 1
a husband, gue doakan lo cepat insaf ya, Din." Mataku masih
mengantuk dan aku tidak bisa berhenti menguap dari tadi.
"Lo masih ada kopi kan, Din" Gila ngantuknya banget nih."
"Ada, kita ke dapur aja yuk. Tidur jam berapa lo tadi ma?lam?"
"Lupa. Satu atau dua kali, ya?" aku mengikuti langkahnya.
"Panji?" tanyanya dengan nada "did Panji do this to you?"
"Nggak ngapa-ngapain. Kami cuma nonton The A-Team di
Blitz, terus langsung pulang. Damn, that Bradley Cooper guy
is hot," aku menuangkan secangkir kopi lagi dari coffee
maker. "Ehm, penting banget ya penjelasan "nggak ngapa-ngapain"nya itu?" Dinda tersenyum simpul.
Aku tertawa. "Sinting lo ya" Jadi akan terus begini nih tiap
gue ngomong ini?" Isi-antologi.indd 211 211 7/29/2011 2:15:26 PM 212 "I"m sorry," Dinda ikut tertawa. "Tapi serius, Key, mau sam?
pai kapan lo begini?"
"Udah deh, apa salahnya coba, gue main-main dengan Panji
sementara gue berusaha menghapus Ruly dari pikiran gue?"
"Darling," Dinda menatapku, "yang gue nggak mengerti ya,
kenapa lo buang-buang waktu dengan Panji dan bukannya
konsentrasi penuh mengejar Ruly kalau dia memang cinta
mati lo"mau muntah gue ngomongnya nih"seperti yang lo
bilang?" "Karena sampai mati juga si Ruly itu cintanya cuma sama
Denise," cetusku. Dan sahabatku itu tersenyum dengan pandangan penuh
arti. "See, elo udah tahu jawabannya, kan?"
"Please, please, please, let me let me let me... let me get what
I want this time," aku berusaha menghapus pahitnya kata-kata
Dinda barusan dengan tersenyum dan menyanyikan lagu The
Smiths dari film favorit kami: (500) Days of Summer.
Dinda tertawa, namun kembali menohokku dengan katakatanya. "Keara, do you even know what you want?"
"I know what you want," Dinda tiba-tiba meneleponku tiga
hari setelah itu. "In fact, I know what you need," ujarnya de?
ngan nada smug. "Aduuuh, udah deh, Din, gue lagi pusing nih di kantor, bos
gue tiba-tiba nyuruh gue terbang ke Singapur besok, rapat
dengan konsultan-konsultan itu," kataku sambil menyandarkan
kepala di kursi, akhirnya bisa kembali duduk di meja setelah
rapat tiga jam yang rasanya seabad itu. "Jangan ngomongin
soal Mr. R dan Mr. P sekarang, ya."
Isi-antologi.indd 212 7/29/2011 2:15:26 PM Jangan bilang Dinda bisa membaca pikiranku, bahwa yang
kuinginkan adalah menerima ajakan Ruly ke Singapura
weekend ini untuk nonton F1, yang terpaksa kutolak karena
Harris juga bersamanya. "Ih, nggak penting banget, ya gue ngurusin masalah lo dan
pria-pria nggak penting lo itu. Ini urusan beda, Nyeeet."
"Iya, iya, apaa" Cepetan gue mau rapat lagi nih abis ini."
"Kosongkan jadwal lo tanggal satu Oktober, ya."
Aku spontan meraih kalender di meja. "Satu Oktober"
Jumat" Mau ngapain lo" Mau kawin lagi?"
"Buset, anak ini mulutnya lagi parah, ya. Nyesel gue nele?
pon lo." "Iyaaa, sori. Tanggal 1 ada apa, Dinda sayang?"
"We are going to see John Mayer in concert in Manila!" te?riaknya.
Aku masih agak-agak bengong mendengar yang barusan
diucapkan si Dinda. "Ha" Maksudnya?"
"Iiih, anak ini oon banget sih pagi ini. Gue mau ngajak lo
ke Manila, Nyeeet! John Mayer konser di sana tanggal 1!"
"SERIUS LOOO?" Dan aku baru sadar bahwa teriakanku tadi dalam volume
maksimum saat semua bapak-bapak dan segelintir ibu-ibu"
yeah I work in a male-dominated world"menoleh ke arahku.
"Serius lo, Nyet?" aku langsung menurunkan volume dan
buru-buru ke salah satu ruang rapat kosong yang kedap suara
biar bisa teriak sepuas-puasnya. "Jangan ngerjain gue, lo. Gila
lo kalau ngerjain gue masalah ini."
"Serius, tolol. Ih katanya ngefans, masa nggak tahu kalau
JM mau ke Manila?" cibir Dinda. "Makanya, yang diurusin
jangan si Panji dan si Ruly lo yang nggak seberapa itu aja."
Isi-antologi.indd 213 213 7/29/2011 2:15:26 PM 214 "Sialan, udah deh. Ini serius?" aku akhirnya berhasil me?
ngunci diri di ruang rapat.
"Yeee, seriuuuuus. Kalau nggak percaya, sana lo google dan
buktiin!" Aku langsung berteriak kesenangan. "Gilaaaaaaa!
Ayuuuuuk!" Dinda ikut menjerit-jerit kesenangan di ujung sana.
"Terus, terus, gimana nih tiketnya?" kataku.
"Gue kan mau beli either platinum atau gold ya, Key, biar
kalau dia keringetan juga lo kena tuh cipratan keringatnya,
biar puas lo, tapi masalahnya tiket kategori itu nggak bisa beli
online, harus ke Channel V Philippines-nya," Dinda menje?
laskan. "Luckily, though, si Panca ada teman di Manila, jadi
dia yang akan beli tiketnya buat kita. Nanti gampanglah kita
ketemuan di Manila sebelum konser dan langsung ambil di
dia dan bayar sekalian."
"Jadi nih, ya. Jadi beneran jadi, ya," aku kesenangan luar
biasa. "Harus harus harus dijadiin. Eh lo coba arrange tiket pesa?
watnya ya, Key." "Consider it done."
"Eh, sebelum berencana panjang-panjang nih ya, lo bisa
cuti nggak" Itu hari Jumat, kali, dan penerbangan dari JakartaManila itu lima jam-an," ujarnya. Nggak mungkin lo nekat
terbang Jumat sore."
"Dinda, lo kenal gue, kan" Kalau buat John Mayer, I"ll fake
some ilness if I have to, biar bisa cabut."
Dinda tertawa. "Baguuus! Kita jadiin nih ya, moga-moga
nanti sore gue udah bisa ngasih kepastian sama lo tentang
tiketnya. Temannya si Panji baru mau ke ticket box-nya hari
ini." Isi-antologi.indd 214 7/29/2011 2:15:26 PM "Oke!" "And Key," suara Dinda kali ini terdengar pelan, "this is me,
your best friend, menyodorkan John Mayer ke hadapan lo un?tuk menghilangkan orang-orang nggak penting yang sekarang
sedang merusak kewarasan lo dari kepala lo itu."
Kalimat terakhir yang diucapkan sahabatku itu sebelum
menutup telepon. Orang-orang nggak penting yang mana yang sedang meru?
sak kewarasanku, coba" Siapa" Siapa"
Okay, I know the answer, but I"d rather walk into a meeting
than think about this. Lagi pula salah satu orang itu sudah
mengajakku lunch bareng siang nanti.
Don"t judge me for wanting my weekly dose of Panji.
215 Isi-antologi.indd 215 7/29/2011 2:15:26 PM Hodie mihi, cras tibi 46 Keara 216 "Good morning, ladies and gentlemen. Welcome aboard
Singapore Airlines flight SQ 951 to Singapore..."
"Aaaah... legaaa," Dinda menyandarkan kepala ke kursi di
sebelahku dan memasang safety belt.
"Dari mana aja lo" Gue cariin, udah dipanggilin boarding
dari tadi," kataku. "Beol," Dinda menjawab santai sambil nyengir lebar.
Aku tidak bisa menahan tawa. "Orang gila."
"Ih, beol kok dibilang gila sih" Sakit perut gue beneran,
Nyet, nggak biasa gue sarapan jam empat pagi, thanks to this
6 AM flight that you chose, ya."
"Emang sarapan apa?"
"Nasi goreng." Aku makin tertawa. "Dasar gila, udah tahu sarapan subuhsubuh nelannya nasi goreng, perut Melayu banget sih lo."
46 Today for me, tomorrow for you
Isi-antologi.indd 216 7/29/2011 2:15:26 PM "Eh, siapa tahu yang perut Melayu begini yang sebenarnya
cinta mati John Mayer, bukan Jennifer Love Hewitt, Jessica
Simpson, Jennifer Aniston, apalagi lo."
"Heh, Nyet, lo udah punya prince charming lo sendiri.
Biarin si John ini jadi milik gue seorang dong," kataku sambil
memasang bantal leher. Mau pesawat apa pun, kalau nggak
naik first class kursinya pasti butuh bantal leher begini baru
enakan duduknya. "John Mayer, Panji Wardhana, atau Ruly what"s-his-name?"
Dinda mulai lagi dengan bercandaan nggak pentingnya itu,
mengedip-ngedipkan mata penuh arti.
"Nggak pantes banget ya dua nama yang di belakang itu lo
banding-bandingkan sama John Mayer," kataku.
"Nggak pantes tapi nanti pas John Mayer nyanyi yang diba?
yang-bayangkan di lirik lagunya itu si dua orang yang lo bi?
lang nggak pantes itu," goda Dinda lagi.
"Crap, this is gonna be a long flight ya dengan lo nggak
berhenti ngeledek-ledek gue begini."
Dinda tertawa-tawa, mengambil majalah KrisWorld dari
kantong kursi di depannya. "Ya udah, gue diam deh, gue mau
nonton film aja," dia membolak-balik majalah.
"Gue mau tidur aja deh, ngantuk banget," kataku memejam?
kan mata, menyumbat telingaku dengan earphone iPod dan
memencet play. Dan suara petikan gitar John Mayer yang
tiba-tiba mengalun di telingaku menyanyikan Edge of Desire.
Bahkan iPod-ku yang di-set shuffle ini fucking with my mind.
Dear universe, give me a break please.
217 Well, whaddayaknow, the universe listens. Kegiatan-kegiatan
Isi-antologi.indd 217 7/29/2011 2:15:26 PM 218 sinting maupun normal yang kulakukan bareng Dinda sejak
mendarat di Manila cukup menghibur dan menghilangkan
bayang-bayang"and I"m quoting Dinda here"para pria-pria
nggak penting itu dari kepalaku. Mulai dari tertawa-tawa de?
ngan sistem halte penjemputan penumpang di Bandara Ninoy
Aquino. Siapa yang sangka tempat orang-orang menunggu
jemputan di NAIA ini berupa beberapa pick up points yang
di atasnya ada papan dengan urutan alfabet berbeda, yang
artinya adalah: menunggulah di bawah papan bertuliskan hu?
ruf pertama nama belakang Anda. Karena Dinda sekarang
bernama belakang Wardhana, maka kami dengan manisnya
berdiri di bawah papan berhuruf W, menunggu teman Panca
menjemput kami. "Nama belakang Ruly apa?" katanya.
"Pertanyaan apa lagi sih ini?" cetusku sebal.
Dinda tertawa. "Sensi banget sekarang kalau ditanya-tanya,
ya. Jawab aja, kali."
"Walantaga," cetusku malas.
"Wah, kalau lo kawin ama Ruly kita nunggu jemputannya
di papan yang sama dong ya, darl," Dinda nyengir lebar.
Aku kembali menggeleng-gelengkan kepala. "Nggak puaspuas lo, ya."
"Eh gue baru sadar, kalau lo kawin sama Panji, kita juga
nunggu jemputannya di papan yang sama. Ih, kita besties ba?nget nggak sih."
"Gue maunya di situ aja," cetusku menunjuk papan bertulis
huruf M. "Manulang" Marpaung" Punya gebetan orang Batak lo
sekarang, Nyet?" Dinda menatapku kaget.
Aku langsung tergelak. "Mayer, tolol, Mayeeer."
Dinda tertawa terbahak-bahak.
Isi-antologi.indd 218 7/29/2011 2:15:26 PM Obrol-obrolan tolol nggak penting ala ababil di antara aku
dan Dinda ini teramat sangat menghibur dan sangat efektif
menghilangkan kepusingan keribetan pekerjaan di Jakarta.
Teman Panji yang bernama Carlos ini saja sampai bengong
saat aku dan Dinda jejeritan histeris begitu tiba di hotel kami,
Microtel di Pasai, yang ternyata terletak pas di seberang pang?
gung konser John Mayer. "Gila, ini gila! Berarti besok kita bisa nongkrongin
soundcheck, Key!" seru Dinda penuh semangat.
Oh yeah, kalau bicara soal John Mayer, aku dan Dinda lang?
sung berubah jadi ababil seumuran SMP lagi.
Jadi tebak apa yang kami lakukan setelah puas menjelajah
Mall of Asia di Pasai, Greenbelt di Makati, dan sampai bun?
cit melahap Cupcakes by Sonja di Bonifacio" Duduk di jen?dela kamar hotel lantai delapan yang menghadap M.O.A
Concert Grounds, menatap para kru konser mulai loading ba?
rang, sambil menikmati sekotak Yellow Cab Pizza yang kata?
nya legendaris itu, lengkap dengan chicken wings raksasanya.
"Caleb sekarang tidur sama Daddy ya... iya, Mommy juga
mau tidur kok... Iya, Sayang. Daddy mana?" Dinda sedang
menjalankan fungsinya jadi ibu dan istri yang baik dengan
wajib lapor ke Jakarta. "Hon, udah makan" ...Aku udah di
hotel sama Keara... Nggak, cuma muter-muter mal aja
tadi..." Aku yakin sudah berkata ini belasan kali sebelumnya, tapi
aku tidak pernah berhenti terpana setiap kali Dinda menun?
jukkan sisi wife slash mother-nya ini. Seratus delapan puluh
derajat bedanya dengan the bitch bermulut tajam ratu pesta
yang kukenal sejak kuliah.
"Ngefans sama gue sih ngefans ya, Key, tapi nggak usah
gitu banget dong ngeliatin guenya," celetuknya begitu meletak?
Isi-antologi.indd 219 219 7/29/2011 2:15:26 PM 220 kan BlackBerry-nya dan kembali mengunyah satu potong
pizza. Aku tertawa. "Sialan."
Antologi Rasa Karya Ika Natassa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa, masih terkagum-kagum sama betapa gue sekarang
bisa jadi istri dan ibu yang luar biasa, ya?" Dinda menyung?
gingkan senyum sombongnya.
"Kalau kata-kata luar biasa-nya dihilangkan pun gue udah
terka?gum-kagum, Din," cetusku tersenyum.
Dia tergelak. "Kenapa sih" Memangnya nggak mungkin ba?
nget ya buat gue untuk bisa jadi istri dan ibu yang baik sampai
lo selalu menatap gue dengan pandangan nggak percaya gitu?"
"Bentar ya, gue tunjukin nih satu barang bukti masa lalu
lo yang bikin gue akan selalu terpana kayak tadi." Aku bangkit
dari sofa di tepi jendela, mengambil Nokia lamaku dari dalam
handbag. "Lo masih punya aja HP lama itu, Nyet?"
"Masih, buat back up aja kalau baterai BB abis," aku duduk
di sebelahnya. "Ini lo lihat, ya."
Sahabatku yang sableng itu langsung terbahak-bahak. Yang
ku?tunjukkan adalah video yang kurekam di salah satu party dulu
di New York, Dinda totally wasted dengan slang beer bong
berlomba dengan Scott, teman kuliah kami, disorakin satu kam?
pus. Istri Panca Wardhana dan ibu Caleb Anantadewa
Wardhana itu, guess what, memenangkan pertan?dingan me?nye?
dot beer bong itu, menangguk dua ratusan dolar dari para pe?
masang taruhan yang kami habiskan untuk mem?borong vintage
clothing dan jewelry di Amarcord dan Pippin dan Edith & Daha
lusanya. Kenapa lusanya" Karena besoknya aku dan Dinda
masih terkapar hangover di apartemen.
"How did we ever graduate ya, Key?" Dinda masih terbahakbahak.
Isi-antologi.indd 220 7/29/2011 2:15:26 PM Mataku sampai berair tertawa-tawa, dan sama sekali tidak
menolong bahwa Dinda lanjut menceritakan satu per satu
kesintingan kami waktu kuliah dulu.
"Panca pantas masuk surga karena telah menginsafkan gue
dari semua kelakuan-kelakuan setan gue zaman kuliah dulu,
Key." "Ngerti kan lo sekarang kenapa gue nggak percaya dan sela?
lu terbengong-bengong melihat lo bisa seperti sekarang?"
"You know, Key," ujarnya sambil menaikkan kakinya ke sofa,
"in the end, you just gotta pick your happiness."
Dinda tersenyum menyadari aku menatapnya bingung.
"Maksud gue gini... contohnya kalau lo terlahir sebagai an?
jing..." "Nggak ada contoh yang bagusan dikit, ya?"
"Hehe, denger dulu, I have a point here. Kalau lo terlahir
sebagai anjing, jenis kebahagiaan yang bisa lo nikmati itu bisa
jadi sepotong tulang, semangkuk Pedigree, lari-lari ngejar bola
di taman, digaruk-garuk perut lo sama pemilik lo, ngejarngejar tukang pos, gigitin sepatu," ujar Dinda, sementara aku
masih menatapnya dengan pandangan skeptis. "Sebagai ma?nusia, Key, lebih spesifiknya lagi sebagai perempuan tipe-tipe
gue dan lo gini, kebahagiaan yang bisa kita pilih itu banyak
banget. Some come with names, some come with colors, some
come with sizes..." Aku tertawa saat Dinda mengerling menekankan kata
"sizes" itu. "Lo ngerti, kan maksud gue" Prada, Manolo, Maldives,
Tory, apple martini, all kinds of men, in my case Jerry, Beno,
Andri, Panca. Kalau ada duit, lo mau mencari kebahagiaan
dengan berjemur dari Bondi ke Nice ke Cancun ke Cabo San
Lucas pun bisa banget, Key. Or maybe, definisi kebahagiaan
Isi-antologi.indd 221 221 7/29/2011 2:15:26 PM 222 lo itu kalau bisa dipotret Scott Schuman untuk The
Sartorialist. Tapi seperti yang gue bilang, in the end, you gotta
pick your happiness. Satu hal yang bukan cuma bisa bikin lo
bahagia, dan kalau satu hal itu nggak ada, hal-hal lain yang
ada di hidup lo nggak ada artinya. Buat gue, itu Panca. Dan
pilihan gue nggak salah, kan" Panca, yang udah sendiri aja
membuat gue bahagia banget, juga memberi gue Caleb, the
one happiness yang selama ini gue cari-cari. Gue bisa pulang
de?ngan Choos abis kelindes mobil atau haknya patah atau
apa?lah, tapi begitu melihat Caleb berlari ke arah gue dengan
senyum lebar yang mirip bapaknya itu teriak-teriak, "Mommy!
Mommy!" gue udah bisa ceria lagi, Key. Jangan salah ya, yang
ngelindes itu akan tetap gue gampar, kalau perlu sampai ma?suk rumah sakit, tapi senyumnya Caleb ibaratnya sama de?
ngan nyokap lo dulu waktu kecil yang mengembus bekas luka
di kaki lo pas lo jatuh. It"s the everything"s-gonna-be-okay smile.
Dua ratus dolar menang taruhan beer bong tiap minggu nggak
ada apa-apanya dibanding itu kan, darl?" senyum Dinda mere?
kah. "Tapi itu kan gue, ya. Kalau lo bahagia dengan hobi
buang-buang duit lo dan main-main dengan Panji, mengejarngejar Ruly yang nggak jelas itu, dan membuang Harris dari
daftar sahabat lo..."
"Din, apaan sih lo?" cetusku kesal. Anak ini memang paling
bisa menampar orang dengan kata-katanya.
"Keara," Dinda memegang tanganku, dengan tatapan "to?
long dengarkan gue dulu". "Pick your happiness, ya. Gue cuma
mau ngomong itu kok."
Jujur, kepalaku terlalu kacau bahkan untuk mulai mendaftar
Isi-antologi.indd 222 7/29/2011 2:15:26 PM satu per satu kebahagiaan yang harus kupilih. Tapi malam ini,
basah kuyup sampai baju menempel di badan, jingkrak-jing?
krak bareng Dinda dan ribuan orang lain di sini, teriak-teriak
sing along lagu Perfectly Lonely dengan si ganteng John Mayer
di M.O.A. Concert Ground di Manila ini adalah happiness
yang kupilih. Ini sama gilanya dengan tahun 2002 dulu waktu
aku dan Dinda masih di New York dan kami nonton konser
Lenny Kravitz di Jones Beach. Beda tipis aja, kalau dulu ca?
but kuliah, ini cabut ngantor hehehe.
"GIVE UP THE FUCKING UMBRELLA! IT"S JUST
WATER!" Dinda berteriak sekencang-kencangnya. Malam ini
hujan memang mengguyur deras Manila, jenis hujan yang
pasti bakal membuat Jakarta banjir, dan puluhan orang yang
du?duk di depan kami dengan bancinya malah memakai pa?
yung, menghalangi pandangan ke panggung. Aku dan Dinda
sendiri sudah nekat memanjat naik ke kursi, walau harus
beran?tem dengan security konser yang heboh memaksa orang
duduk tenang. Hello, ini konser John Mayer ya, bukan Diana
Krall atau Andrea Bocelli, duduk manis is out of the
question. "Elo sih, Din, gue bilangin juga lempar kolor bekas lo ke
atap hotel biar nggak hujan, malah nggak mau," ujarku.
"Kalau gue lempar ke panggung sekarang aja gimana?" kata?
nya dengan sablengnya. Aku langsung tertawa. "Dasar gilaaa!"
Tapi aku harus mengakui mungkin Dinda benar. Bukan
ten?tang bahwa kolor bekasnya bisa menghentikan hujan deras
ini. Tapi bahwa teriak-teriak loncat berbasah-basahan
starstruck menatap dan sibuk mengabadikan kedahsyatan John
Mayer dengan jepretan-jepretan kameraku ini adalah cara ter?
baik untuk meng-induce lacunar amnesia terhadap Panji, Ruly,
Isi-antologi.indd 223 223 7/29/2011 2:15:26 PM 224 dan semua fucked up side of my life. Sepanjang alunan
Vultures, No Such Thing, Perfectly Lonely, Ain"t No Sunshine,
Slow Dancing in a Burning Room, Waiting on the World to
Change, Stop This Train, Your Body is a Wonderland, Who
Says, Heartbreak Warfare, Gravity, Do You Know Me, Why
Georgia, sampai ketika John dengan playfully-nya menyanyikan
Don"t Stop Believing di tengah-tengah lagu Half of My
Heart"why am I giving you the complete setlist anyway"ini
adalah salah satu malam paling menyenangkan dan carefree
dalam hidupku. Panji: gone. Ruly: gone. Harris: apalagi. Si bos
di kantor yang akan membunuhku kalau tahu aku pura-pura
sakit demi terbang ke Manila ini: namanya pun aku lupa.
Sampai Mr. John Clayton Mayer keluar dari belakang
pangg?ung dan menyanyikan Edge of Desire di encore, dan aku
dan Dinda dan ribuan perempuan lain di lapangan itu mulai
otomatis melankolis nggak jelas begini. And yours truly here,
of course, kembali membayangkan seseorang begitu John me?
nya?nyikan kata-kata "steady my breathing, silently screaming, I
have to have you now." Nggak perlu aku jelaskan kan siapa
orangnya" Kalau ada yang mau getok kepalaku pakai batu
seka?rang monggo dipersilaken.
"Eh lihat nih, lo dapat nggak waktu John-nya gue itu sedang
ngangkat gitar di lagu terakhir?" ujarku sambil menunjukkan
layar kameraku ke Dinda. "Dapat, tapi lighting-nya kok gue nggak dapat bagus, ya?"
dia yang kini menunjukkan layar kameranya.
Di atas pesawat SQ 917 dari Ninoy Aquino ke Changi ini,
lagaknya aku dan Dinda sudah seperti fotografer model iklan
Isi-antologi.indd 224 7/29/2011 2:15:27 PM Canon"dia bawa 550D dan G-9 sementara aku bawa
1000D dan G-11, this is all camera talk that I don"t need to
explain anyway"flashing semua gear kami selama penerbangan
ini dengan harapan mana tahu ada orang Canon yang lihat
dan mau bayarin perjalanan ini. Yeah right.
"Eh, ntar kita gabung aja semua fotonya ya, gue mau ge?
dein yang bagus nih buat di-frame dan dipajang di kamar,"
ujar Dinda. "Di kamar" Laki lo nggak marah, gitu lo majang foto lakilaki lain?"
"Ya kalo nggak di kamar gue, paling nggak di kamar Caleb.
Biar gue mantra-mantra dari kecil supaya gedenya jadi guitar
god kayak John Mayer."
Aku tertawa. Suara purser penerbangan ini terdengar di speaker, meng?umumkan waktu ketibaan di Changi beserta di terminal
mananya. "You know, Din, gue harus bilang terima kasih sama lo kare?
na udah ngajak gue gila-gilaan selama dua hari di Manila ini,"
aku tersenyum ke Dinda. "Does it work?" dia menatapku.
"Maksudnya?" "Mayer mengalahkan Wardhana dan Walantaga di dalam
otak lo itu?" "Ya bagusan Mayer ke mana-manalah, penting ya itu dikon?
firmasi?" seruku. "Keara, lo ngerti maksud gue, kan?"
Terkadang aku benci betapa sahabatku yang satu ini terlalu
mengenalku. Tapi aku lagi malas menjelaskan insiden hatiku
tersobek-sobek"ini agak terlalu didramatisir sebenarnya"
atas setiap kata yang meluncur dari bibir John Mayer saat
Isi-antologi.indd 225 225 7/29/2011 2:15:27 PM 226 menyanyikan lagu Edge of Desire tadi malam, jadi aku mema?
sang senyum lebar. "Andai lo mau ngantar gue ke Shangri-La,
tempat nginapnya si John supaya gue bisa dimain-mainin
sama dia, trip ini pasti lebih luar biasa lagi, Nyet."
Dinda spontan tertawa. "Gue belum mau dibunuh sama
adik ipar sendiri, ya."
"Maksudnya?" aku menatap Dinda bingung.
"Baca sendiri aja deh."
Aku cuma bisa bengong saat Dinda menyodorkan
BlackBerry-nya dan di situ ada BBM dari Panji yang masuk
tang?gal 30 September 2010, hari pertama aku dan Dinda tiba
di Manila. "Din, titip jagain Keara buat gue, ya".
"Masih mau bilang ini cuma main-main?" sentil Dinda
tersenyum, menutup telinganya dengan headphone dan mulai
meno?nton film yang diputar di pesawat, sebelum aku sempat
berkata apa-apa. Aduh, Panji, kita udah ngapain aja ya sampai kamu sebegi?
ninya. Aku dan Dinda menghabiskan sisa penerbangan dengan
diam di kursi masing-masing, dia menonton Chloe dengan
serius di TV pesawat, aku kesulitan konsentrasi bermain
game Angry Birds di iPod Touch ini sambil berpikir bagai?
mana caranya sekarang bersikap di depan Panji yang nanti
akan menjemputku dan Dinda di bandara, supaya tidak ada
lagi cerita "titip jagain" seperti ini. Permainan di antara aku
dan dia sudah terlalu jauh, dan aku tidak siap untuk masuk
ke teritori di mana Panji merasa punya hak untuk ngomong
"titip jagain" ke siapa pun.
"Cuma ada 50 menit nih untuk boarding ke Jakarta," ujar
Dinda begitu pesawat kami touchdown di Changi. "Jogging lagi
nih kita pindah terminal."
Isi-antologi.indd 226 7/29/2011 2:15:27 PM Great, I"m up for jogging, asal tidak usah memikirkan si
Panji ini mau diapain. Begitu keluar dari pesawat, ground crew Singapore Airlines
memberitahukan perpindahan gate ke gate 44 untuk lanjutan
pener?bangan kami ke Jakarta, yang jaraknya 20 gate aja dari
gate aku dan Dinda mendarat sekarang thankyouverymuch.
"Din, lo duluan deh, gue kayaknya kebelet nih."
"Number one47 or number two48?"
"Number two, makanya lo duluan aja," aku memegang perut?
ku. Si kampret itu langsung tertawa terbahak-bahak. "Kualat
lo kan, kualaaat." "Berisik lo. Langsung ketemu di gate aja, ya."
Perutku yang sedang melilit sekarang akibat adobo"hidang?
an tradisional Filipina yang penampakannya seperti gulai
ayam ekstra kental namun rasanya hambar dan agak aneh
itu"yang ternyata tidak cocok dengan cacing-cacing di dalam
usus ini, cukup efektif untuk menggeser Panji sejenak dari
prio?ritas hal-hal yang harus kupikirkan sekarang. Sekarang ini
yang penting adalah menyelesaikan masalah perut ini secepat?nya supaya aku bisa mengejar waktu boarding yang tinggal
dua puluh menit lagi. Sepuluh menit di toilet"ini too much
infor?mation ya sebenarnya"dan satu kapsul lansoprazole, dan
aku langsung lari menuju gate 44.
Dan, saudara-saudara, perutku langsung mules lagi begitu
menemukan siapa yang sedang ngobrol dengan Dinda di
ruang tunggu gate 44. 227 *** 47
Antologi Rasa Karya Ika Natassa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Number one: slang eufemisme untuk buang air kecil
48 Number two: slang eufemisme untuk buang air besar
Isi-antologi.indd 227 7/29/2011 2:15:27 PM Harris 228 Good afternoon, Changi. Good fucking afternoon.
Bahkan setelah tiga hari menikmati keriaan F1 Singapore
2010 ini dengan Ruly, menang taruhan lagi karena Alonso
berhasil mengukuhkan gelarnya sebagai Prince of Darkness
dengan merebut kembali gelar juara satu-satunya night race di
rangkai?an balapan F1 setelah gelar itu direbut Lewis
Hamilton di tahun 2009 (walau tahun 2008 lalu berbendera
ING Renault dan tahun ini membawa nama Scuderia
Ferrari), Ruly pulang dan gue memutuskan untuk mutarmutar Singapura dan Thailand sendirian selama seminggu
sampai gosong begini, gue masih aja in this deep shit yang ber?
judul jatuh cinta. Mata?hari itu memang nggak bisa membakar
hati dan ingatan, ya. Sudah cukup si Ruly itu dicintai habis-habisan sama satu
orang. Satu orang yang gue cintai habis-habisan juga.
"Whoops! I"m sorry," seorang perempuan tiba-tiba menabrak
gue, yang ternyata" wow, baru gue sadar mengingatkan gue
pada Kim Kardashian. "Sorry, I was all caught up with my
iPod and?" "It"s okay, my fault also, I wasn"t really looking," gue memba?
las senyumannya. Elo tahu, Key, gue harusnya menuntut lo ke pengadilan
karena telah "merusak" gue untuk semua perempuan di muka
bumi ini. You have fucking ruined me, Key. Harris Risjad yang
dulu, yang waras, tidak akan hanya tersenyum standar kepada
perempuan se-hot ini dan berkata, "Excuse me, I"m already late
for my flight." Harris Risjad yang itu kalau perlu akan mengu?
Isi-antologi.indd 228 7/29/2011 2:15:27 PM bah penerbangannya supaya bisa mengobrol"atau lebih"de?ngan Kim wannabe ini.
Harris Risjad yang ini, yang IQ points-nya sudah berkurang
dra?stis sejak setahun yang lalu, buru-buru melangkah menuju
gate, menyumbat telinga dengan earphone iPod untuk meng?hin?dari kontak dengan siapa pun. Yang gue butuh sekarang
cuma cepat-cepat naik pesawat, memesan Singapore sling seba?
nyak mungkin, dan tidur begitu mendarat di Jakarta.
Singapore is shit for me these days. Karena di negara ini dulu gue
sempat merasakan hanya berdua dengan lo, Keara, cuma gue dan
lo dan ketololan dan kegilaan yang kita laku?kan berdua.
Tiga hari melewati balapan F1 kemarin, sementara gue dan
Ruly teriak-teriak seru, bersaing dengan suara desingan mesin
di sirkuit Marina Bay itu, yang ada di kepala gue sebe?narnya
mengingat-ingat apa yang sedang kita lakukan tepat pada
waktu itu setahun yang lalu. Saat selesai practice session hari
pertama, gue dan Ruly nongkrong bergabung dengan ri?buan
orang yang lain, menonton Daughtry di after-race concert, gue
ingat setahun yang lalu kita sedang berbaring di lapangan
Padang Stage karena konser Katy Perry batal, elo berbaring
di perut gue dan kita menatap bintang. Di saat gue bersorak
me?nyambut Alonso yang berhasil meraih pole position di
qualifying race di hari Sabtu, dan Ruly mengumpat-umpat
karena Lewis Hamilton yang dia pegang hanya berada di posi?
si ketiga setelah Sebastian Vettel, gue ingat, Key, bahwa seta?hun yang lalu gue harus menyaksikan finish qualifying race itu
lewat layar besar di Padang Stage karena elo sudah menggeret
gue ke sana untuk nonton Travis.
Hari terakhir, Key, hari terakhir ketika Ruly terpaksa me?
nraktir gue mabuk sampai mampus di salah satu bar yang gue
juga lupa namanya karena dia kalah taruhan, gue ingat betapa
Isi-antologi.indd 229 229 7/29/2011 2:15:27 PM 230 konyol tapi seksinya lo waktu teriak-teriak histeris ikut menya?
nyi di konser Backstreet Boys itu. Waktu gue dan laki-laki yang
lo cintai itu tertawa-tawa dengan man joke kami dan seru mem?
bahas setiap detik balapan barusan, gue sebenarnya menangis
dalam hati, Key, mengingat setahun yang lalu kita se?dang berdan?
sa di Zirca, lo memeluk gue erat, gue mencium lo, dan kita
menghabiskan sisa malam itu melakukan hal paling indah yang
pernah gue lakukan dengan lo. Dengan siapa pun.
Malam ketika lo dan gue melakukan kesalahan terbesar
dalam hidup kita, Keara. Sekarang sudah satu tahun kurang dua minggu gue tidak
pernah melihat lo and here I am fucking reminiscing. Banci
sebanci-bancinya. Getting laid, I"m telling you, Key, doesn"t help at all. Gue
udah mencoba itu dengan Kinar, Dian, dan Sophie, tiga
perempuan yang lo kenal sebagai pacar-pacar gue, tiga-tiganya
hambar sehambar-hambarnya buat gue.
What the fuck am I doing in Singapore again this year
anyway" Everything fucking reminds me of you. Harusnya gue
memakai cara lo saja ya, menghindari berada di negara ini
selama musim F1, menghindari gue, dan mungkin berharap
ditabrak mobil balap saja sekalian biar amnesia.
"Harris?" Gue kaget setengah mati ketika menoleh ke arah suara
yang memanggil gue setibanya di gate 44, dan itu Dinda. Saha?
bat Keara. "Hei, lo lagi ngapain di Singapur?" sapanya ramah.
"Abis cuti gue. Minggu lalu nonton F1 bareng Ruly, dia
pu?lang gue lanjut cuti." Mata gue agak berpetualang menyapu
ruang tunggu gate yang tidak luas itu, mencari-cari partner-incrime Dinda. "Lo dari mana, Din" Sendirian?"
Isi-antologi.indd 230 7/29/2011 2:15:27 PM "Bareng Keara."
Jantung gue langsung berdetak lebih cepat.
"Kami baru balik dari Manila nonton John Mayer, ini lang?
sung mau terbang ke Jakarta," lanjutnya.
"Masih aja, ya, tergila-gila sama John Mayer?" gue berusaha
menutupi kegugupan dengan tersenyum lebar.
"Masih dong," seru Dinda, ikut nyengir.
"Keara-nya mana?" gue bertanya dengan nada sesantai
mungkin. Gue sadar Dinda mungkin sudah dijejali cerita oleh
Keara tentang bagaimana gue meniduri Keara saat kami ber?
dua mabuk yang membuat perempuan yang gue cintai itu
membenci gue setengah mati dan tidak mau melihat muka
ganteng gue ini lagi. Tapi gue berusaha mengabaikan hal itu
dan bersikap senormal mungkin.
"Tadi lagi ke toilet. Eh, itu dia tuh."
Gue mengikuti arah pandangan Dinda dan melihat lo,
Keara, pertama kalinya sejak terakhir gue sempat melihat lo
melintas di lobi kantor. Gue, Harris Risjad, nggak banci, kan, kalau bilang detik ini
rasanya jantung gue mau meloncat keluar dari dada ini" Dada
yang pernah menjadi tempat lo bersandar waktu kita berde?
sak-desakan di dalam MRT menuju Chinese Garden setahun
yang lalu itu. Gue mengikuti setiap gerakannya ketika dia tersenyum
basa-basi ke security yang menyuruhnya meletakkan seluruh
barang ke dalam bucket untuk melewati x-ray. Gerakan ang?
gunnya ketika dia mencopot sunglasses dan jaket kulitnya.
Tapi yang membuat gue gagu beneran adalah ketika akhir?
nya Keara melihat gue dengan Dinda, tatapan matanya yang
belum sempat ditutup dengan sunglasses itu menghunus gue.
Tatapannya menghunus gue di setiap langkah yang dia ayun?-
Isi-antologi.indd 231 231 7/29/2011 2:15:27 PM 232 kan ke arah kami. Kaki panjangnya yang cuma ditutupi celana
pendek, gila ya anak ini terbang berjam-jam nggak kedinginan
apa" Hey, I"m not complaining, gue nggak akan pernah lupa
beta?pa seksinya kaki lo itu, Key.
"Key, gue tiba-tiba ketemu si Harris aja di sini," gue bersyu?
kur Dinda yang mengambil inisiatif memecah keheningan
tolol ini. "Dia baru dari nonton F1, satu pesawat juga nih kita
ke Jakarta-nya." Gue mengumpulkan keberanian untuk tersenyum dan me?
nyapa singkat, "Hai, Key."
"Hai," dia cuma tersenyum datar, dan langsung menoleh ke
Dinda. "Bukannya boarding sekarang, ya" Naik aja yuk, ngan?
tuk gue." Cinta gue itu"masih berani-beraninya ya sebenarnya gue
memanggil Keara dengan sebutan ini"langsung berlalu du?
luan menyusuri lorong belalai menuju pesawat, diikuti Dinda,
dan beberapa langkah di belakang ada gue yang hanya bisa
menghela napas. Gue harus ngapain supaya lo bisa memaafkan gue, Key"
Keara "What the hell do you think you were doing?" sungutku sambil
memasang safety belt. "Maksudnya?" Dinda menoleh bingung.
"Buat apa tadi lo harus pakai ngobrol-ngobrol beramah-ta?mah dengan si Harris segala?"
Dinda menghela napas. "Aduh, Key, masih ya" Kejadiannya
kan juga udah setahun yang lalu."
Isi-antologi.indd 232 7/29/2011 2:15:27 PM "He fucked me when I was drunk. Mau berapa tahun pun
fakta itu nggak berubah."
"Keara, in all fairness, you fucked him when he was drunk
too, right?" Dinda berkata lembut.
"Ya tapi kan nggak bisa gitu, Din."
Harris Pramugari SQ yang cantik-cantik ini mulai berseliweran mena?
warkan handuk hangat, dan Tuhan juga dengan baiknya meng?
ha?dirkan sesosok perempuan yang hampir sempurna, 36-2436, duduk di sebelah gue. Mau tahu apa yang dilakukan
Harris Risjad" Memejamkan mata memaksa diri bermimpi
bahwa saat kaki gue menyentuh air ombak di atas pasir putih
Phi Phi Island tiga hari yang lalu, ada Keara yang tersenyum
di sebelah gue, menggenggam erat tangan gue.
233 Keara "Hi, can I get you anything?" seorang pramugari menghampiri
kursiku, merespons tombol yang kupencet semenit yang
lalu. "Can I have some water please?"
"Sure, ma"am, I"ll be right back."
Dinda sudah tertidur pulas di sebelahku, tapi aku masih
memerangi sakit kepala yang tiba-tiba menyerang begitu pesa?
wat lepas landas. Oh yeah, mules berhenti, lanjut sequential
symptom berikutnya, yaitu pusing-pusing nggak jelas ini. What
next" Mual-mual" Gatal-gatal" Bisulan" Amit-amit.
Isi-antologi.indd 233 7/29/2011 2:15:27 PM 234 "Here you go, ma"am," pramugari yang tadi kembali dengan
segelas air. Satu butir aspirin meluncur mulus melewati tenggorokan.
Satu menit, dua menit, lima menit, sepuluh menit, kepalaku
masih berat. Kemungkinan besar kepala ini terus berdenyutdenyut akibat berhujan-hujan selama tiga jam penuh di kon?
ser tadi malam. But who am I kidding" Ini bukan jenis sakit
kepala yang bisa dibunuh segampang menelan sebutir-dua
butir pil penghilang rasa sakit.
Siapa pun yang bilang time heals all wounds itu perlu dira?
jam, disilet-silet, dan dibiarkan kesakitan untuk melihat bera?
pa lama dia bisa menahan rasa sakitnya.
Dua belas bulan, Ris, dua belas bulan sudah berlalu sejak
hari gue terakhir kali jadi sahabat lo, namun peristiwa yang
mengakhiri persahabatan kita itu masih membekas segar di
kepala gue seperti bekas luka cambuk lima menit yang lalu.
Dan walaupun kedua mataku terpaku pada serial Modern
Family yang sedang diputar di salah satu channel TV pesawat,
yang sebenarnya se?dang menari-nari di kepalaku adalah
pertanyaan akan jadi apa kita kalau seandainya kita memain?
kan adegan lain di pagi itu. Pagi laknat di apartemen kita di
Singapura ketika kamu ma?suk dengan sebungkus ToastBox
dan tersenyum tanpa dosa ke arahku. Mungkin, ini sekadar
mungkin, instead of melem?par kamu dengan asbak, aku harus?
nya berdiri menghampiri kamu, tersenyum bandel dan ber?
kata, "Well, look who"s got too much to drink last night." Kamu
tertawa, we had a good laugh out of it, menghabiskan sarapan,
dan menjalani sisa-sisa jam di Singapura seperti normalnya
dua sahabat yang tidak pernah melihat satu sama lain telan?
jang. Isi-antologi.indd 234 7/29/2011 2:15:27 PM Tapi maaf ya, Ris, bahkan bagian diriku yang paling
promiscuous sekalipun nggak akan bisa menganggap peristiwa
malam itu sebagai sesuatu yang biasa, yang bisa sekadar jadi
bahan tertawaan di antara kita. Dan karena mungkin aku be?lum cukup dewasa untuk memegang prinsip bahwa yang su?dah berlalu ya sudahlah, izinkan aku menghindar dari kamu
dan tidak usah melihat muka kamu lagi sampai kapan pun.
Karena setiap aku melihat wajah itu, Harris Risjad, yang
mem?bekas di benakku ini adalah betapa wajah milik laki-laki
yang biasanya membuat aku tertawa itu sekarang adalah wa?jah laki-laki kurang ajar dan pengecut yang telah meniduri
sahabatnya sendiri ketika mabuk.
235 Harris Touchdown Jakarta, the city of false hope.
"Gue selalu benci landing," Karin, perempuan yang duduk
di sebelah gue, mencengkeram erat sandaran tangannya.
Bagaimana gue bisa tahu namanya" Tadi ketika pramugari
menghidangkan makanan, akhirnya gue memutuskan untuk
berkenalan dan ngobrol dengan perempuan ini. Karin, 24
tahun, baru tamat kuliah dari Melbourne, ke Singapura untuk
liburan, belum ada pekerjaan apa pun kecuali menghabishabiskan duit bapaknya. Tipe-tipe perempuan semilabil yang
gampang banget untuk gue masukkan dalam daftar penakluk?
an gue. Gue meletakkan tangan gue di atas tangannya, move paling
standar gue, dan memasang senyum paling simpatik. "Gue
juga nggak pernah suka terbang, Rin."
Isi-antologi.indd 235 7/29/2011 2:15:27 PM 236 Sepersekian detik, Karin melirik ke tangan gue dan dia
Antologi Rasa Karya Ika Natassa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ba?las tersenyum. Gue sudah bilang ini akan gampang, kan"
Harris Risjad still got it. Dalam enam puluh menit terakhir
pe?ner?bangan ini, PIN BB, nomor ponsel, sampai nomor gaun?
nya pun gue sudah tahu. Jadi bukan pesona gue yang kurang
atau gue yang kurang ganteng kan, ya" Kurang apa coba gue
di depan Keara" Sori kalau ini terdengar arogan, tapi gue
mau jujur-jujur aja nih: semua perempuan wants a piece of
this. Semua kecuali satu-satunya perempuan yang gue mau,
yang gue butuhkan untuk menginginkan gue. Gue kurang apa
diba?nding Ruly yang elo agung-agungkan itu, Key" Oke, oke,
cukup protesnya dengan menjerit dalam benak gue: Ruly le?
bih baik-baik, Ruly lebih alim, Ruly lebih kalem, Ruly lebih
dewasa, Ruly itu sosok calon suami yang sempurna, dan sete?
rusnya dan seterusnya. Kalau bukan teman sendiri, si Ruly ini sudah gue dorong
ke jurang saja. Malam ini Soekarno-Hatta penuh sesak. Sambil mengobrol
dengan Karin menuju conveyor belt pengambilan bagasi, mata
gue terus mencari-cari sosok Keara dan Dinda. Tapi bahkan
sampai gue berpisah dengan Karin dan berjalan menuju pang?
kalan taksi, batang hidung dua perempuan itu tetap tidak
kelihatan. Atau gue yang sudah rabun" Crap, ini tanda-tanda
gue harus cepat cari taksi biar bisa pulang dan tidur membu?
nuh rasa capek ini. "Harris!" Bukan suara perempuan"bukan Keara tepatnya"yang
me?-manggil gue, tapi malah suara laki-laki.
"Hei, bro, dari mana lo?"
Yang manggil gue ternyata Panji. Gila, udah berapa lama ya
Isi-antologi.indd 236 7/29/2011 2:15:27 PM gue nggak ketemu ini anak" Panji teman gaul gue dari zamanzaman Embassy masih jaya-jayanya dulu. Gue nggak sombong
kalau bilang dulu semua perempuan yang pantas dilirik di
Jakarta ini adalah makanan gue dan Panji. Getting girls is the skill
of our misspent youth. Belakangan udah jarang juga ketemu
karena si Panji gue rasa masih aktif club-hopping sementara gue
cuma duduk sendirian di apartemen berteman satu krat bir
meratapi nasib dilepeh Keara thankyouverymuch.
"Bro, gue kirain siapa. Baru dari Singapur gue," gue spontan
menepuk pundaknya. "Biasa, F1. Lo ngapain?"
"Jemput cewek gue."
"Weits, yang mana lagi ini?"
"Ada lah. Belum kenal juga lo kayaknya," Panji tersenyum
le?bar. "Eh lo ke mana aja sekarang, Ris" Ngilang begitu aja
dari peredaran. Masih di Jakarta kan lo?"
"Masih, sibuk aja gue sekarang. Biasalah, lo tahu sendiri
kan kantor gue yang sinting?"
"Eh, bentar, itu cewek gue udah kelihatan. Gue kenalin ya,
Ris," Panji meninggalkan gue dan bergegas menuju pintu kaca
terminal kedatangan. Ulu hati gue langsung nyeri melihat siapa yang muncul dari
balik pintu kaca. Dinda. Dan Keara. Rasanya ada yang merenggut jantung gue dan menginjakinjaknya di lantai ketika Panji memeluk Keara gue, mencium
bibir Keara gue. Bibir yang dulu pernah hanya buat gue, wa?lau cuma satu malam di Singapura itu.
Panji teman gue yang brengsek ini.
Dan Keara gue yang dalam keadaan sober se-sober-nya.
Sekuat tenaga gue berusaha mengatur napas waktu Panji
kembali berjalan ke arah gue, menggenggam tangan Keara.
Isi-antologi.indd 237 237 7/29/2011 2:15:27 PM 238 Tangan Keara cinta gue itu. Gue menatap mata Keara yang
saat ini melotot kaget ke arah gue.
What the fuck happens to Ruly that you are now with this
bastard, Key" Elo cinta mati habis-habisan dengan si Ruly, gue masih
bisa terima, Key. Shit, Key, gue masih bisa terima walaupun
untuk menerima kenyataan bahwa hati lo akan selamanya
buat si Ruly itu sama dengan menerima kenyataan bahwa gue
akan selalu merasa seolah hati gue diblender setiap kali gue
mengingat lo. Dan gue mengingat lo setiap detik hidup gue.
Tapi untuk menerima bahwa manusia seperti Panji bisa
menyebut lo sebagai "cewek gue?"
"Bro, kenalin ini Keara. Dan ini Dinda kakak ipar gue,"
Panji memamerkan senyumnya"senyum kemenangan arogan
si tahi ini. Sebelum gue sempat berkata apa-apa, Keara langsung me?
nyambar, menatap Panji, "Sayang, aku udah kenal, kali sama
Harris. Kami sekantor."
Sayang" Did I just hear "sayang?"
What the fuck is this"
"Kok kamu nggak cerita sih?" Panji yang ingin gue bunuh
dan jejalin dalam lubang mesin jet pesawat ini membuka mu?lut. Mulutnya yang"kalau melihat situasi ini"sudah berkalikali merasakan bibir lo, Key. "Harris ini teman mainku, we go
way back, ya nggak, Ris?"
Diam aja deh lo sekarang sebelum gue bikin bengep lo di
tengah-tengah ratusan orang di terminal ini ya.
Itu, yang barusan, adalah yang menggema di dalam ke?pala
gue. Namun yang terlihat di luar adalah sebersit senyuman gue,
Isi-antologi.indd 238 7/29/2011 2:15:28 PM senyuman pecundang, yang menelan ludah dan berkata, "Lupa
aja, kali, Ji. Gue juga nggak nyangka lo kenal sama Keara."
Sumpah, gue ingin merasakan gempa saat ini, tujuh atau
delapan skala Richter, kemudian gue terbangun karena ternya?
ta guncangan itu dari pramugari SQ yang berusaha memba?
ngunkan gue karena pesawat akan mendarat.
Tapi yang ada rasanya darah gue naik ke kepala dan selu?
ruh organ dalam gue, jantung, hati, usus, ginjal, limpa, ditu?
suk-tusuk dengan seribu jarum, dan elo masih di depan gue,
Key, dengan laki-laki yang...
Fuck, Key, I"m better than this guy. Gue jauh lebih baik dari?
pa?da penjahat kelamin ini!
Ada tangan raksasa yang rasanya tiba-tiba mencekik gue
ketika satu pertanyaan tiba-tiba menonjok pikiran gue. Elo
ti?dur dengan laki-laki ini, Keara"
"Ji, gue cabut dulu ya, masih ada janji lagi gue nanti ma?
lam," gue memasang senyum, cepat-cepat melambai, dan ma?
suk ke taksi hitam Mercedes Benz yang parkir paling dekat
dari situ. "Selamat malam, Pak. Tujuannya ke mana?"
"Rasuna." Cuma orang tolol yang mau naik premium cab dari bandara
ke Kuningan di Sabtu malam Jakarta yang macetnya bikin
bunuh diri ini. Tapi juga cuma orang tolol yang membiarkan cinta sejatinya
jatuh ke pelukan laki-laki brengsek dan penjahat kelamin dan
mem?biarkan dirinya menangisi nasib seperti yang gue lakukan
saat ini. Isi-antologi.indd 239 239 7/29/2011 2:15:28 PM Aut amat aut odit mulier:
nil est tertium 49 Keara 240 "Eh, masuk lo?" ujar Ruly begitu aku duduk di sebelahnya
di ruang rapat Senin pagi menenteng coffee mug-ku.
"Maksud pertanyaannya?" aku tersenyum melihat sorot
matanya yang iseng. "Gue kirain masih "sakit"," Ruly tersenyum balik, menekan?
kan kata sakit. Aku tergelak. "Udah deh ya, ntar orang-orang kantor ini
jadi pada tahu semua."
"Hehehe, sogokannya dulu dong."
"Adaaa, udah deh, berisik lo. Nanti gue kasih pas lunch ba?reng aja, ya, kalau sekarang adanya ketahuan banget gue balik
dari mana." "Asyiik," mata Ruly berkilat-kilat semangat. "Ditraktir so?gokan sekalian juga nih?"
49 A woman either hates or loves: there is nothing in between
Isi-antologi.indd 240 7/29/2011 2:15:28 PM "Don"t push your luck," aku tertawa.
There"s a large part of our life that we call normalcy. Makan,
tidur, mandi. Memakai celana dalam di dalam dan bukan di
luar seperti Superman dan Batman. Matahari terbenam sete?
lah sore dan matahari terbit setelah subuh. Kopi dan
wholewheat toast di pagi hari. Dua puluh menit cardio tiga kali
seminggu. As pathetic as this may sound, pining for Ruly has been my
normalcy. Menantikan Senin pagi karena itu hari aku dan dia
selalu sarapan bareng di mejaku sebelum kami memulai weekly
team meeting dengan bos-bos pukul setengah sembilan. Sete?
ngah jam yang kami habiskan dengan berbagai obrolan di?
awali dengan pertanyaan "how was your weekend", lalu dia
bercerita tentang pertandingan olahraganya dan acara seru
yang ditontonnya di National Geographic atau Fox Crime,
aku menceritakan film bagus atau busuk yang kutonton di
bioskop dan restoran baru yang kucoba selama dua hari itu,
de?ngan menghilangkan bagian-bagian yang ada Panji-nya, dite?
mani dua tangkup roti bakar dan dua gelas capuccino panas,
aku yang bawa rotinya dan dia yang beli kopinya di Starbucks
lantai bawah. Dan sementara aku mendengarkan dia bercerita
dengan kedua matanya yang berkilat-kilat penuh semangat
tentang prestasi dua touchdown yang berhasil dia torehkan di
pertandingan touch football dengan teman-temannya itu, yang
ada di kepalaku biasanya hanya satu: agar suatu hari kami
bisa berhenti melakukan ini. Agar suatu hari aku dan dia ti?dak usah lagi saling menantikan jawaban pertanyaan "how was
your weekend" itu karena akhirnya Ruly dan aku menghabis?
kan dua hari itu bersama-sama.
So you see, being pathetic has also been my normalcy, as your
presence here, my dear Ruly, means the absence of my sanity.
Isi-antologi.indd 241 241 7/29/2011 2:15:28 PM 242 Untuk yang ingin menamparku bolak-balik supaya sadar
dan waras, silakan ambil nomor antrean, ya.
Pagi ini, dua hari setelah aku kembali dari Manila, melihat
Ruly dan senyumannya dan tatapan teduhnya ini sangat meno?
long"lebih berguna daripada sebutir-dua butir aspirin"un?tuk membunuh sakit kepala yang betah bertengger di kepala?
ku sejak mendarat di Jakarta Sabtu kemarin. Sekujur tubuhku
terasa aneh sebenarnya. Ini cuma bisa dideskripsikan dengan
campuran antara super excitement pascakonser John Mayer
yang masih membekas sampai sekarang, dengan major
dreading akibat encounter tak terduga di bandara kemarin, di
Changi dan di Soekarno-Hatta. Sementara perutku rasanya
seperti baru makan durian yang dicocol terasi, kepalaku mela?
yang seperti dikuasai satu botol Mo?t & Chandon.
Sabtu kemarin, sepanjang perjalanan dari bandara ke
Simprug, rumah Dinda, sampai Setiabudi, apartemenku, yang
kulakukan cuma menyandarkan kepala ke jok mobil dan me?
mejamkan mata. "Kamu nggak pa-pa?" Panji menoleh sesaat.
"Nggak, capek doang," jawabku singkat.
"Pingsan beneran nih berdua?" Panji melirik Dinda yang
duduk di belakang dari spion.
"Capek, Panji, udah deh, lo nyetir aja," seru Dinda. "Gue
ama Keara mau mimpiin John Mayer aja."
And that was why we"re best friends, Din. Ucapan yang me?
lun?cur dari bibir Dinda cukup sakti membuat Panji tertawa
lalu diam tenang sepanjang perjalanan itu.
Tapi ada tiga puluh menit dari Simprug ke Setiabudi yang
harus kulalui berdua saja dengan Panji. Aku nggak tahu harus
ngobrol apa. Agak-agak nggak sopan juga kan, ya, kalau aku
cuma tidur sementara dia menyetir, itu namanya sopir. Walau?
Isi-antologi.indd 242 7/29/2011 2:15:28 PM pun yang kupilih akhirnya adalah tidur. Paling tidak memejam?
kan mata agar tidak usah capek berbasa-basi. Bagiku, si Panji
sudah agak-agak keterlaluan. Aku tahu harus kuakui aku me?
nikmati bahwa dia selalu ada, well, di luar masa-masa dia si?
buk dengan apa pun itu pekerjaannya. Panji has been my go-to
guy for almost anything. Tapi come on, dari mana dia dapat
pengesahan bahwa dia mulai boleh "titip jagain" ke siapa-sia?pa" Crap, I can"t get over how much this bugs the shit out of
me. Entah apa yang ada di pikiran Panji ketika aku tetap diam
dan memasang tampang letih sementara dia mengantarku
naik ke lantai delapan, membawakan koperku. Jauh lebih mu?
dah seandainya si Panji bersikap biasa-biasa saja, seperti per?
mainan yang selalu kami mainkan. Sabtu malam itu Panji
ikut masuk apartemen, meletakkan koper di lantai, dan me?
raih pinggangku ke dalam pelukannya dan menciumku. Dan
aku tidak suka ciuman dengan perasaan itu.
I need you to want me, Panji. I don"t need you to love me.
Aku hanya bisa membalas ciumannya dengan enggan dan
perlahan menarik bibirku dua detik kemudian.
"Kenapa?" dia menatapku.
"Nggak pa-pa, aku cuma capek banget aja," aku berusaha
terse?nyum. "Ya udah, kamu istirahat aja deh. Aku telepon besok ya."
Ini agak-agak kejam sebenarnya. Pengusiran halus terhadap
Panji setelah sebelumnya di bandara aku membiarkan dia me?meluk-meluk dan memegang tanganku di depan Harris hanya
untuk" untuk apa ya sebenarnya" Untuk menunjukkan ke
Harris bahwa aku bahagia thankyouverymuch walaupun aku
tidak memiliki dia lagi sebagai sahabatku" Yeah, why did I do
that" Isi-antologi.indd 243 243 7/29/2011 2:15:28 PM 244 What the fuck was going on with my mind"
Ya sudahlah, kewarasanku juga perlu dipertanyakan sejak
aku jatuh cinta kepada laki-laki bernama Ruly yang sedang
menjilat-jilat sisa selai kacang di jarinya tepat di depanku ini,
kan" Sejak aku menerima situasi sekarang ini"you know, the
Antologi Rasa Karya Ika Natassa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
whole mencintai Ruly diam-diam tak berbalas, mencoret
Harris dari daftar sahabat, sampai bermain-main api dengan
Panji"sebagai normalcy, kenormalan, kewajaran, atau apa pun
namanya itu, aku sebenarnya sudah pantas untuk menambah
satu jam di sofa psikiater setiap minggu sebagai bagian dari
"kenormalan" hidup ini.
Empat tahun bukan waktu yang singkat untuk mencoba
menjawab pertanyaan "what if in a man that you love, you find
a best friend instead of a lover".
"Eh, Key," Ruly sekarang sibuk memencet-mencet BlackBerrynya, "kayaknya kita berempat udah lama banget nggak nong?
krong-nongkrong bareng, ya?"
"Berempat?" "Iya. Lo, gue, Denise, Harris."
Sepersekian detik kupakai untuk menelan ludah sebelum
Ruly lanjut berkata, "Gue ajak sekalian ya nanti siang."
Harris Ikut casting-nya kapan, tiba-tiba sudah harus main sinetron
aja gue siang ini. Sinetron sekali tayang dengan pemeran uta?ma gue, Ruly, Denise, dan cinta gue Keara. Tanpa skrip, dura?
si tayang satu jam, lokasi di Potato Head, dan tanpa sutrada?
ra, hanya mengandalkan kecanggihan akting gue dan Keara.
Isi-antologi.indd 244 7/29/2011 2:15:28 PM "Gila ya, udah lama banget kayaknya kita nggak ngumpulngumpul begini?" Denise membuka pembicaraan begitu kami
semua selesai memesan menu.
Gue inget banget kapan terakhir kali kami berempat bisa
duduk di satu meja: satu minggu sebelum keberangkatan gue
dan Keara ke Singapura tahun lalu. Tiga belas bulan gue ter?
bebas dari menyaksikan Keara memandang Ruly penuh cinta
setiap Ruly berbicara. Oke, sejujurnya mungkin ta?tapan Keara
nggak segitunya, tapi buat gue yang tahu isi hati Keara sebe?
nar?nya, ini menyiksa. Menyiksa karena gue nggak bisa punch Ruly in the face
sampai bengep dan nggak ganteng lagi menyaingi gue. Gue
nggak bisa mendaratkan bogem gue ke muka cinta matinya
Keara itu bukan hanya karena Ruly sahabat gue, tapi juga
karena gue yakin kalau itu terjadi, yang ada gue akan menatap
kosong saat Keara spontan lari memeluk Ruly, membersihkan
luka-luka dan menyeka keringatnya, di depan gue. Jadi nggak
ada untungnya juga buat gue, kan"
Yang mau gue bikin bengep sekarang itu justru si Panji.
Anjing juga itu orang. Nggak ketemu gue sekian lama tibatiba udah memeluk-meluk Keara aja di depan gue.
Gue kepingin banget sekarang bertanya langsung ke Keara
yang duduk di kanan gue ini, ada apa sebenarnya di antara
dia dan Panji. What, he"s over Ruly" Atau dia cuma pakai si
Panji untuk mengalihkan perasaannya dari Ruly" Shit, Key,
kalau lo butuh diversion, kenapa nggak gue aja" Kenapa harus
si anjing itu" Mau lo siksa gue jadi budak lo dengan menge?pel-ngepel apartemen lo pun gue rela, Key, asal setelah itu
gue bisa memeluk dan mencium lo tanpa takut lo teriak "To?long! Perkosaan!"
Isi-antologi.indd 245 245 7/29/2011 2:15:28 PM 246 "Susah, Nis, dua orang ini sibuk melulu, diajak ketemuan
bareng begini pasti susah banget nyari waktunya," ujar Ruly.
"Kalau gue sih sibuk disiksa bos gue ya, kalau si Harris
sibuk dengan cewek-ceweknya, kali," Keara tersenyum, meno?
leh ke arah gue, menepuk lengan gue.
Ha" Gue membalas tatapan Keara bingung.
Oh, maksudnya kita mau akting gitu, Key" Bermain drama
di depan Ruly dan Denise bahwa di antara kita tidak ada
apa-apa, walau lo sebenarnya melihat muka gue pun nggak
sudi setelah the Singapore affair itu"
Okay, I"ll play along.
"Kenapa, Key, jealous much?" gue dengan santainya terse?
nyum lebar dan merangkulkan lengan gue ke bahunya.
Ini hal yang normal banget gue lakukan tiga belas bulan
yang lalu, tapi kalau sekarang tidak ada Ruly dan Denise di
sini dan tidak ada saksi sekian belas orang isi Potato Head
siang ini, Keara pasti sudah menyilet-nyilet gue dan menyiram
bekas lukanya dengan air cuka.
"Ngarep lo," Keara memaksa diri tertawa. Secara halus
menggerakkan bahunya untuk melepaskan rangkulan gue.
Gue ikut tertawa. Denise tertawa. Ruly tertawa.
Tapi yang membedakan kami adalah, cuma gue yang berasa
tersayat-sayat di dalam sewaktu Keara gue ini mencetus,
"Ngarep lo." "Ngarep lo" itu frasa kasual yang dalam satu hari mungkin
jutaan kali dipakai orang-orang dalam percakapan di
Indonesia ini. Tapi ketika lo benar-benar berharap, seperti gue
berharap kepada lo, Keara, dua kata itu rasanya lebih pedas
dari?pada pisau yang terasa menusuk-nusuk ulu hati gue seka?
rang. Isi-antologi.indd 246 7/29/2011 2:15:28 PM "Gue baru kemarin ngopi-ngopi sama Ruly, ngomongin lo
berdua. Ya kan, Rul?" ujar Denise.
Gue kembali tersadar bahwa lo, Key, masih cinta mati sama
Ruly saat lo spontan melirik tangan Denise yang baru saja
mendarat di lengan Ruly. Lirikan satu detik yang cepat-cepat
lo sembunyikan dengan mengambil BlackBerry lo dan purapura membaca pesan masuk.
Hidup ini akan lebih mudah, kan kalau gue tergila-gila de?ngan lo, lo ditakdirkan mencintai gue, dan si Ruly ini kita
biarkan saja mampus ke laut sana terseret-seret perasaan tak
ber?balasnya terhadap Denise.
"Ngobrolin apa?" suara Keara terdengar anggun dan tenang
waktu menanggapi ucapan Denise.
Punya kepala dengan imajinasi liar karena kebanyakan non?ton film heroik Jepang waktu kecil itu menyenangkan, I"m
telling you, karena sekarang ada adegan lucu yang bermain di
dalam otak gue: Keara berubah jadi godzilla menggasak
Denise ke dinding, menyemburkan api dan berteriak, "Lo ngo?
pi di mana sama Ruly" Berdua aja" Berapa lama" Ngobrolin
apa aja" Tangan lo megang-megang dia nggak"!"
Gue hanya bisa menangkap sepotong-sepotong cerita Denise
dan Ruly, cerita lama tentang kegilaan-kegilaan gue sama Keara
dulu. Tapi otak gue justru disibukkan film Godzilla yang gue
putar berulang-ulang di kepala, satu-satunya cara yang gue tahu
untuk menjaga bibir gue tetap tersenyum ketika apa yang ada di
depan mata gue sekarang ini adalah salah satu adegan paling
sedih yang pernah gue saksikan se?umur hidup.
Denise seru bercerita, Ruly semangat menimpali, dan
Keara" damn, Key" Keara gue itu dengan senyum tersung?
ging sempurna memperhatikan setiap kata yang keluar dari
mu?lut Denise dan Ruly. Isi-antologi.indd 247 247 7/29/2011 2:15:28 PM 248 Gue-lah yang paling mengerti apa yang lo rasakan saat ini,
Key, karena ketika lo menatap Ruly dan Denise dan dalam
hati berharap seharusnya lo yang bisa dengan lugas saling me?
nyelesaikan kalimat satu sama lain dengan laki-laki yang lo
cintai itu, gue di kursi gue ini juga sedang curi-curi menatap
lo dan berharap bahwa yang elo tatap dengan pandangan pe?nuh cinta itu adalah gue. Bukan Ruly yang clueless ini.
Pada detik ini gue sadar satu persamaan kita, Keara.
We both get the glorious front seat of watching the one that
we love loves somebody else.
"Eh enak aja, yang mogok pas kita ke Padang itu bukan
salah gue, ya," tukas Keara sambil tertawa, menanggapi tuduh?
an Ruly dan Denise. "Bukan gue, kali yang lupa ngisi ben?
sin." Denise menoleh ke arah gue, mengacungkan telunjuk. "Oh
iya, gue baru ingat, elu kan, Ris, yang kita percayain untuk isi
bensin, trus lo malah mutar-mutar kota nggak jelas sama
anak Border yang baru ditempatin di sana itu, yang cantik
ba?nget itu lho, siapa namanya?"
Gue terenyak. Menoleh ke arah Keara yang juga berubah
mu?kanya ketika ingatan gue dan dia sama-sama diseret
Denise ke kejadian satu malam di weekend trip kami ke
Padang dulu. Benar malam itu gue bawa mobil kami untuk
mutar-mutar kota dengan siapa itu gue juga lupa namanya,
anak Management Associate-nya Border yang baru ditempat?kan di Padang dan terlalu cantik untuk gue anggurin. Tapi
yang Ruly dan Denise tidak tahu, yang menghabiskan bensin
itu sebenarnya gue dan Keara. Gue ingat ditelepon Keara jam
setengah dua belas malam, "Lo di mana" Balik sekarang cepat,
gue butuh banget mobilnya nih, Ris!"
"Mau ngapain sih?" jawab gue waktu itu.
Isi-antologi.indd 248 7/29/2011 2:15:28 PM "Udah deh, nggak usah banyak bacot, cepetan balik ke sini.
Ini penting! Darurat! Kalau lo udah dekat kabarin ya, biar
gue langsung nunggu di lobi," titahnya.
Jadi gue antarkan si cantik itu pulang, menelepon Keara
bahwa gue sudah dekat hotel sekian menit kemudian, dan
menemukan dia sudah berdiri menunggu di depan hotel dan
langsung naik ke mobil begitu gue sampai.
"Mau ke mana sih?"
"Cari supermarket atau apotek atau apalah yang masih
buka ya," ujarnya. "Hah" Lo sakit" Lo nggak pa-pa, kan?" gue langsung pa?
nik. "Bukaaan, udah cepetan."
Gue memasukkan gigi dan keluar dari parkiran hotel. "Jadi
kenapa" Mau ngapain nyari supermarket dan apotek jam segi?
249 ni?" "Iiih, lo berisik deh, pokoknya cari aja," omelnya. "Mereka
punya Circle K atau sejenisnya nggak sih di kota ini?"
"Nggak tahu deh gue, coba kita mutar-mutar aja, ya."
Sepuluh atau lima belas menit kemudian, Keara memaksa
gue berhenti di depan warung yang masih buka. "Eh itu tuh,
ben?tar gue tanya dulu ada apa nggak, ya."
Baru sepuluh detik, Keara sudah balik lagi naik ke mobil.
"Nggak ada, yuk lanjut."
"Lo nyari apa sih?"
"Ih, Harris, apaan sih nanya mulu" Udah, lanjut nyetir
aja." "Keara sayang, akan lebih gampang kalau lo kasih tahu
yang lo cari itu apa," gue menoleh ke arahnya.
"Harris sayang, ini masalah perempuan," balasnya dengan
nada yang sama. "Udah, ayo cepetan."
Isi-antologi.indd 249 7/29/2011 2:15:28 PM 250 "Keara, gue punya dua adik perempuan. Masalah perem?
puan apa yang gue nggak tahu" Udah ngomong aja, mau nyari
apa." Gue ingat Keara menghela napas dan wajahnya bersemu
merah. "Okay, fine, gue tadi tiba-tiba dapet dan sekarang gue
butuh pembalut atau tampon. Puas?"
Gue tertawa. "Ya ampun, gitu doang harus pakai rahasiarahasiaan. Malu lo ngomongnya?"
"Risjad! Gue bekap nih mulut lo pakai lakban kalau nggak
berhenti ngomong, ayo cepetan jalan, posisi duduk gue udah
serbasalah nih." Sudah hampir jam setengah satu malam ketika akhirnya
Keara menemukan benda keramatnya itu di salah satu apotek
24 jam, itu juga setelah kami berhenti paling nggak di lima
warung dan minimarket, dan pembalut memang ada, tapi dia
nggak mau karena itu bukan merek yang biasa dia pakai.
Nggak ngerti gue kelakuan perempuan ini. Sudah dalam ke?
ada?an darurat masih saja harus picky.
Gue ingat dia keluar dari apotek lima menit kemudian,
masuk mobil dan menoleh ke arah gue dengan senyum sum?
ringah. "Markipul, Pak Risjad."
"Udah?" "Udah." "Aman?" "Aman." "Oke," jawab gue menyalakan mobil.
Keara menyandarkan kepala ke jok, duduknya jauh lebih
santai daripada sejam terakhir perjalanan mengelilingi kota
Padang ini. "Eh, Key, lo kecewa atau lega nih?"
"Maksudnya?" Keara menatap gue bingung.
Isi-antologi.indd 250 7/29/2011 2:15:28 PM "Bahwa hasil conjugal visit-nya si Enzo bulan lalu itu ga?gal."
"Kampreeeeeeet!" dia memukul-mukul lengan gue sementa?
ra gue tertawa terbahak-bahak.
Gue kangen lo, Keara. Gue kangen kita. Detik ini, ketika gue menyaksikan Keara tertawa atas lelu?
con yang baru dilontarkan Ruly, di siang bolong yang panas
di Potato Head ini, gue cuma bisa kembali menghela napas.
Kenapa lo nggak bisa mencintai laki-laki yang rela mengan?tar lo mencari pembalut sampai ke Timbuktu ini"
Keara I can"t remember why I said yes to this. Ini mungkin salah satu
aca?ra makan siang terburuk yang pernah kuhadiri. Braised beef
burgundy seharga dua ratus lima puluh ribu di piring di
depanku ini pun rasanya hambar akibat adegan yang harus
kumainkan dan kusaksikan selama satu jam terakhir. Satu:
keakraban"menjurus kemesraan kalau kataku juga"di anta?
ra Ruly dan Denise. Dua: keakraban yang harus kusandiwara?
kan dengan Harris supaya dua orang naif di depan kami ti?dak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan
Harris. "Eh, udah jam setengah dua nih, gue ada rapat jam dua,"
aku akhirnya berujar untuk segera mengakhiri ini. "Udahan
dulu yuk." "Tumben lo agak-agak rajin urusan kantor, Key," kata
Denise. Tumben perempuan sepintar lo sampai sekarang belum
sadar juga kalau Ruly ngejar-ngejar lo walau lo udah menikah,
Isi-antologi.indd 251 251 7/29/2011 2:15:28 PM 252 Nis. Kalimat yang ingin banget kuucapkan sebenarnya, tapi
aku memilih tersenyum dan berkata iseng, "Peserta rapatnya
ada yang ganteng banget."
"Ehm, pantes," Denise nyengir.
"Eh, gue ada rapat di gedung lo setelah ini," Ruly menoleh
Antologi Rasa Karya Ika Natassa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke Denise. "Gue sekalian jalan bareng ke kantor lo aja, ya."
"Yuk. Dari underpass aja, kan?" Denise menghabiskan sisa
soda di gelasnya. "Key, lo bawa mobil?"
Aku menggeleng. "Gampang, nanti naik taksi aja."
"Gue bawa mobil."
Aku spontan menoleh ke Harris yang mengucapkan tiga
kata itu barusan, menatapnya tajam.
"Ya udah, lo berdua bareng aja tuh, kasihan si Keara buruburu mau rapat harus pakai nunggu taksi, lo langsung balik
ke kantor kan, Ris?" celetuk Denise.
Baguuuuus. Si Harris ini mulutnya perlu dicabein. Buat
apa coba pakai nyeletuk "gue bawa mobil," dan si Denise ini
juga agak-agak terlalu maju inisiatifnya.
Jadilah kami berempat berjalan bareng ke lantai basement
1 Pacific Place ini, diiringi candaan dan tawa tulus dari Ruly
dan Denise, tawa palsu dariku, dan aku berusaha mengabai?
kan apa pun yang keluar dari mulut Harris.
Must think of an escape plan. Nggak akan ya aku mau satu
mobil berdua saja dengan si Harris ini. Buat kebaikan dia
juga sebenarnya, karena begitu aku naik ke mobil dan pintu
ditutup dan tidak ada saksi mata kecuali kami berdua, dia
pasti jadi korban gamparanku, minimal. I am trying to keep
my criminal record clean here.
Jadi begitu Ruly dan Denise melambaikan tangan dan
menghilang menyusuri underpass menuju BEJ, aku spontan
berbalik arah meninggalkan Harris.
Isi-antologi.indd 252 7/29/2011 2:15:28 PM Sampai aku merasakan ada yang tiba-tiba meraih ta?
nganku. Harris. Harris Gue memberanikan diri menahan Keara, menyambar perge?langan tangannya. Ini sedikit cari mati sebenarnya, tapi who
the fuck cares. Gue perlu ngomong sama dia tentang si Panji.
Nggak rela beneran gue melihat si bangsat itu mendapatkan
lo, Key. Apa pun alasan lo memilih bersama dia daripada
mengejar Ruly mati-matian.
Keara, seperti yang gue prediksikan, menoleh dan menghu?
nuskan tatapannya. Gue cuma berdoa akan ada puluhan
orang yang lalu-lalang di lantai ini, jadi Keara gue ini tidak
akan menimbulkan keributan tarik-tarikan tangan dengan
gue. "Gue naik taksi aja," ujarnya datar.
Refleks gue malah mempererat genggaman gue. Menelan
ludah dan mengumpulkan keberanian sedetik dua detik tiga
detik untuk mengucapkan apa yang perlu gue ucapkan.
"Tolong lepasin, Ris. Gue nggak mau kita ribut-ribut di
sini," katanya lagi, suaranya tenang dan lembut, tapi tatapan
mat?anya tetap seperti ingin membunuh gue right here right
now. "Lo beneran pacaran sama si Panji teman gue itu?" akhirnya
pertanyaan itu keluar juga dari mulut gue.
Keara terlihat kaget, tapi raut wajah kagetnya cepat digan?
tikan marah. "Bukan urusan lo."
"Tapi gue perlu bilang sama lo bahwa dia itu brengsek,"
Isi-antologi.indd 253 253 7/29/2011 2:15:28 PM 254 kata gue lagi. "Gue kenal dia dari dulu dan dia nggak pan?
tas?" "Bukan urusan lo," potong Keara, mempertegas setiap kata.
"Tolong lepas tangan gue, ya."
Ada tiga degup jantung yang gue pakai untuk menatap
matanya dalam-dalam sampai akhirnya gue menyerah. Keara
cepat memerdekakan tangannya, berbalik badan, dan mening?
galkan gue. Film Godzilla dalam kepala gue berubah jadi film drama
romantis dengan adegan Panji memeluk Keara di Wollman
Skating Rink dengan butir-butir salju berjatuhan dari langit
seperti John Cusack memeluk Kate Beckinsale di Serendipity.
Jangan tanya kenapa gue sampai nonton film perempuan itu,
ya. Mari kita cari dinding beton saja buat gue mengantukkan
kepala gue sekarang. Isi-antologi.indd 254 7/29/2011 2:15:29 PM Ex abundancia cordis, os loquitor 50 Keara What sucks about being human is you have to explain your life
255 choices to everyone. It"s like their god-given right to know. Ini
perilaku yang menurutku tidak akan kita temukan pada hewan
atau bahkan alien. I just couldn"t picture a green slimy guy snaring
at his bald coneheaded friend saying: "You chew on screwdrivers"
Snacking on human bone is ten million times more delicious!"
Don"t mind me, ini cuma pernyataan marahku atas kelan?cangan Harris minggu lalu, menanyakan hubunganku dengan
Panji. Sebenarnya kurang-lebih sama dengan kelancangan
Dinda yang tidak pernah absen mempertanyakan bagaimana
keadaanku dengan Panji. I mean, why damn it why semua
orang perlu tahu" Apa semuanya berpikir aku tidak mengenal
siapa Panji dan tidak tahu tentang reputasinya yang tidak
pantas dibanggakan" What do they think I am, stupid"
50 From the abundance of the heart, the mouth speaks
Isi-antologi.indd 255 7/29/2011 2:15:29 PM 256 Like any women living and dating in the age of information
superhighway, of course I googled him. Aku lupa siapa yang
mengatakan ini: social networking websites kill the art of blinddating. Awal "hubungan?"aku merasa perlu meng-airquote
kata itu"Panji denganku sama sekali jauh dari definisi ken?
can buta. Dengan laki-laki seperti Panji Wardhana, whose
name precedes his reputation, mengenal siapa dia semudah
membalikkan telapak tangan. Tidak usah meng-klik satu per
satu ratusan google hits yang muncul di layarku ketika menge?
tik namanya, one click leading to his Facebook page yang berte?
baran dengan foto-fotonya dengan mantan-mantannya itu
sudah cukup. Jadi nggak perlu juga orang-orang seperti Harris dan Dinda
merasa khawatir aku mengambil keputusan yang salah karena
Panji brengsek. In all seriousness, I decided to date him because
of his reputation, not in spite of. Aku mengencani Panji justru
karena dia brengsek, player, dan punya reputasi. Tidak perlu
menghakimi aku karena punya cara sendiri untuk menyeim?
bang?kan antara mengidolakan laki-laki baik-baik calon suami
sempurna yang tidak bisa kudapatkan sampai sekarang de?
ngan berhubungan tanpa label dengan laki-laki brengsek pela?
ku pasar yang rayuannya sejago ciumannya. This is my way of
coping and I don"t have to answer to you.
Yang membuatku khawatir bukan karena Panji brengsek,
tapi karena ternyata setelah beberapa bulan"dan frekuensi
make-out aku dan dia menurun sementara durasi mengobrol
kami bertambah"ternyata Panji tidak serusak yang dulu
kubayangkan. He"s actually a pretty decent guy. Dia menghor?mati batasan-batasanku, mengerti apa arti kata tidak, dan tipe
laki-laki yang harus jadi narasumber dalam seminar apa pun
yang bertopik "Bagaimana memperlakukan perempuan dengan
Isi-antologi.indd 256 7/29/2011 2:15:29 PM baik dan benar". Aku tahu ini mungkin saja satu dari sekian
banyak caranya untuk membuatku jatuh cinta jatuh bangun"
I am officially insane for quoting a dangdut song"memuja diri?nya. Maybe it"s just his game. Aku tidak peduli asalkan dia
selalu ada kapan pun aku perlu. Dan ini jauh dari memuja,
tapi menurutku perempuan mana pun perlu laki-laki seperti
Panji at one point of their life. Laki-laki yang menikmati mela?
kukan apa pun untuk membuat kita senang karena itu seperti
prestasi bagi dirinya sendiri.
Di luar ketidakmampuannya untuk membuka celana hanya
untuk satu perempuan, Panji is a catch. Good-looking, bersih,
wa?ngi, jantan, dengan trust fund sebesar Texas. If I were a
gold-digger, I would have let him fucked me, get me knocked up,
then force him to marry me. Menghabiskan sisa hidupku menik?
mati matahari terbenam di Maldives, Monaco, Riviera, dan
Rio de Janeiro sebulan sekali, ke halaman berapa pun di
Monocle51 uang Panji membawaku.
Kalau saja aku waras. But that ship of sanity has sailed since I fell for Ruly, right"
Dan aku bukan tipe orang yang suka mengubah tujuan di
tengah-tengah. I am dating Panji for fun dan aku tidak punya
niat untuk mengubah itu sekarang. Ada bagian diriku yang
berharap aku bisa mulai mencintai dia, karena kalau laki-laki
seperti Panji saja tidak bisa membuatku menghapus perasaan
kepada Ruly, then I"m definitely screwed.
Well, I guess I am then. Si Panji Wardhana yang brengsek ini, entah kenapa harus
merusak unsur fun hubunganku dengannya dengan mu?lai
257 Monocle adalah majalah bulanan yang mengulas berbagai topik terkait global affairs,
business, culture dan design, sering disebut-sebut sebagai perpaduan antara Foreign Affairs dan
Vanity Fair. 51 Isi-antologi.indd 257 7/29/2011 2:15:29 PM 258 menginvestasikan terlalu banyak perasaan di antara kami. Ma?
salah "titip jagain" itu masih membuatku sedikit takut ber?campur kesal sampai sekarang. Tapi jangan hakimi aku dulu
karena menerima ajakan Panji untuk dinner malam ini. Aku
ingin melihat seberapa jauh lagi aku bisa mengulur kebersa?
maan tanpa judul di antara aku dan dia.
"I miss you. Dinner tonight?" ini kalimat pertama yang dia
ucapkan begitu aku menjawab telepon setelah dia menghilang
seminggu ke Dubai. Ini mungkin agak aneh, but I find his missing for a week
kinda sexy. Yang kubutuhkan dari Panji hanya ini. Tidak perlu
ada lapor-lapor harian dan kewajiban untuk saling mengetahui
se?dang apa dan sedang sama siapa tiga jam sekali.
"Udah balik ke Jakarta?"
"Baru mendarat, babe," suaranya terdengar agak berat.
"Kamu udah ada acara malam ini?"
"Belum ada," aku spontan menggeleng, lupa dia tidak bisa
melihatku. "Tapi aku belum tahu nih bisa keluar dari kantor
jam berapa. Kamu nggak capek?"
"Banget. But seeing you will make it all fine again."
Aku bisa membayangkan wajahnya sedang tersenyum nakal
waktu mengucapkan itu. Let"s play along. "And you"re back,"
aku balas menggodanya. Panji tertawa. "Yes, I am. So can I get you drunk tonight?"
So here we are, jam setengah sembilan di Emilie, sepiring
Le Filet de Boeuf yang hampir habis di piringnya dan La
Coquille St. Jacques yang baru separuh disentuh di piringku.
Dua gelas red wine yang tidak pernah dibiarkan kosong oleh
pelayan yang menunggui meja kami. Panji memainkan kartu?
nya dengan luar biasa malam ini. Tidak ada atensi berbau
Isi-antologi.indd 258 7/29/2011 2:15:29 PM cinta, cuma cerita-cerita lucu dan percakapan yang hangat dan
innocent flirtatious innuendos.
Sampai jam di tanganku menunjukkan pukul sepuluh ma?lam dan Panji memegang tanganku menyeberang jalan menuju
mobilku yang terparkir di sebelah mobilnya.
"I think I had too much wine tonight," kataku, merasakan
tubuhku agak ringan. "Aku antar kamu pulang ya, mobil kamu nanti diambil so?
pir aja," dia menawarkan.
Aku tersenyum. "I think you had more than me."
"Even better," dia membalas senyumku. "I could crash at
your place." Aku tertawa kecil. "Masih aja usaha, ya?"
Panji Wardhana-ku itu meletakkan tangan kanannya di pi?piku dan mendaratkan ciumannya yang hangat, lama, dan"
mungkin ini dipengaruhi efek wine juga"agak memabukkan,
mengabaikan tukang parkir yang berdiri di dekat kami,
menunggu dari tadi. "Masih nggak boleh juga?" dia menatap mataku begitu
menarik bibirnya dari bibirku sekian detik kemudian, suara?nya lembut dan sedikit serak.
"We"re both drunk. It won"t be right," aku menggunakan jari?k?u untuk membersihkan sedikit bekas lipstikku di bibirnya,
tersenyum sesantai mungkin.
Aku dan Panji mengakhiri tontonan tukang parkir malam
itu dengan dia membukakan pintu untukku, aku masuk ke
mobil, dia menunduk dan menciumku sekali lagi, dan melam?
baikan tangan ketika mobilku meninggalkan parkiran.
This, I could get used to. Menikmati rayuan dan perhatian
Panji tiga atau empat kali seminggu sebagai dosis yang tepat
untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa aku a great catch dan
Isi-antologi.indd 259 259 7/29/2011 2:15:29 PM 260 hanya si Ruly saja laki-laki buta di dunia ini yang tidak bisa
melihat ini. I am such an angry yet pathetic little bitch, aren"t I"
Aku tiba di apartemen hampir jam sebelas, sengaja menye?
tir agak lambat untuk memastikan indraku masih awas walau
kepalaku terasa sangat ringan. Aku baru mulai menanggalkan
baju untuk quick shower sebelum mengistirahatkan kepala dan
tubuh ini saat BlackBerry-ku berdering, tersenyum melihat
nama Panji yang muncul di layarnya. This guy must have
missed me so much. Or I have messed with his head so well.
"Kenapa, Sayang?" ujarku begitu memencet tombol
answer. "Mau mastiin kamu udah nyampe apartemen dengan sela?mat aja, babe. Udah, kan?"
"Udah kok, ini baru mau mandi. Kenapa, wajahku udah
mabuk banget ya tadi?"
"Kamu makin mabuk makin cantik kok, babe."
"Oh jadi gitu ya, aku baru cantik kalau mabuk. Atau kalau
kamu mabuk?" aku pura-pura marah.
Dia tergelak. "Sini deh aku temenin mandi biar nggak
marah-marah gitu." Aku tertawa. "Maunya kamu, ya. Kamu udah nyampe
Pakubuwono juga" Nggak nabrak orang kan tadi?"
"Too drunk to remember, tapi yang penting aku udah di
Antologi Rasa Karya Ika Natassa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tempat tidur aja," candanya.
"Ya udah, tidur sana gih, masih agak-agak jetlag juga pasti,
kan kamunya" Nanti kecapekan malah sakit, lagi."
"Iya, sebentar lagi," jawabnya. "Um, Key?"
"Ya?" "I think I love you."
Oh, crap. Isi-antologi.indd 260 7/29/2011 2:15:29 PM Non mihi, non tibi, sed nobis 52 Harris Karin ternyata pemain harpa, you know, the girl from the
261 airplane. Ini fakta yang gue temukan pada kencan ketiga kami.
Yeah, akhirnya gue memutuskan untuk mencoba seberapa sak?
ti senyuman dan tawa dan pelukan dan ciuman Karin bisa
menghilangkan Keara dari sel-sel otak gue. Paling nggak,
Karin perempuan pertama yang gue ingat jelas dan detail ka?
pan dan di mana kencan pertama, kedua, dan ketiganya. Ini
kemajuan, kan" Who the fuck am I kidding, elo semua juga bakal menertawa?
kan gue kalau tahu kenapa gue bisa ingat.
Kencan pertama gue dengan Karin di Sabang 16, kedai
kopi baru di Jalan Sabang, tiga hari setelah perkenalan kami
di pesawat. Gue dan dia minum kopi dan makan roti srika?
ya"nggak mungkin juga di situ makannya pecel lele"dan
52 Not for you, not for me, but for us
Isi-antologi.indd 261 7/29/2011 2:15:29 PM 262 mengobrol sampai jam sepuluh malam, sampai tempat itu tu?
tup. Gue menelepon Karin, ngajak jalan, lima menit setelah
ta?ksi gue meninggalkan pemandangan si Panji bangsat itu dan
Keara gue peluk-pelukan di bandara, tiga ratusan detik sete?
lah napas gue rasanya sesak dan satu-satunya yang terpikir
untuk gue lakukan saat itu"selain mengingat-ingat apakah
gue punya sejarah asma waktu kecil"adalah mendengarkan
sua?ra renyah Karin. "Gue cuma perlu memastikan bahwa lo benar-benar manu?
sia dan bukan malaikat yang ternyata ikut numpang pesawat
tadi untuk turun ke bumi," kata gue waktu itu.
Agak-agak corny memang, tapi Karin tetap tertawa. Gue
dan dia mengobrol selama dua-tiga menit sampai gue meng?
ajak dia ngopi bareng dan dia menjawab ya.
Kencan kedua, gue menyerahkan pilihan tempatnya pada
Karin, dan dia memilih Food Hall Grand Indonesia.
"Hah" Itu bukannya supermarket" Kita mau nongkrong
bareng sambil makan kacang dekat kasir gitu?"
Gue suka suara tawanya Karin di telepon. "Bukan, Harris.
Di Food Hall itu lo bisa belanja daging steak, sayur, whatever,
dan mereka masakin buat lo. Sekalian gue mau belanja buah,
nggak pa-pa, ya?" Gue mengiyakan, dan malam itu gue dan dia memilih da?
ging, memilih saus, menunggu dua puluhan menit dan si koki
meng?antarkan pesanan ke meja kami. Gue rasanya nggak
salah kalau melabel itu waktu terlama yang pernah gue habis?
kan di supermarket, hampir dua jam gue dan Karin duduk di
kursi plastik hijau"sama sekali bukan suasana restoran tem?pat biasanya gue meluncurkan jurus-jurus foreplay gue"me?
nikmati potongan demi potongan steak yang ternyata lebih
enak daripada steak di Radio Dalam yang diagung-agungkan
Isi-antologi.indd 262 7/29/2011 2:15:29 PM orang se-Jakarta itu. Penilaian yang ini mungkin agak dipe?ngaruhi fakta bahwa gue dulu makan steak itu cuma sama
Ruly doang. If you must know, gue mengajak Karin ketemu lagi setelah
sorenya waktu gue di mobil memasuki lapangan parkir pulang
dari tempat nasabah, gue melihat Keara gue itu dan Ruly se?dang
tertawa-tawa makan siomay di tukang siomay yang nongkrong
di pagar parkiran belakang gedung kantor kami. Cuma Ruly
yang bisa membawa Keara makan di situ, menelan kata-kata
wajibnya tiap dulu gue mengajak dia ke situ sore-sore. "Sori aja
ya, Ris, gue itu pengidap CFA. Cheap Food Allergy."
Untung gue cinta sama lo, Key, kalau nggak udah gue
doain mencret lo sekarang.
Kencan ketiga gue dengan Karin baru tiga hari yang lalu,
di Emilie. Dinner beneran pertama kami, loncat kelas drastis
dari Sabang 16 dan Food Hall. Ajakan dinner ini gue lontar?
kan setelah"lo mungkin sudah bisa menebak bagian yang
ini"gue melihat si Panji memegang tangan Keara memasuki
restoran Prancis itu, cuma berjarak sepuluh meter dari tempat
gue berdiri malam itu di parkiran restoran Rempah-Rempah
di seberang Emilie. Gue bengong, sampai Adam salah satu
teman kantor gue memanggil, "Woi, Ris, mindahin mobil aja
lama banget lo." Saat Karin tertawa pada lelucon gue, gue nyuapin dia de?ngan
potongan daging tenderloin seharga setengah juta itu, dia melap
bekas saus di bibir gue dengan jari-jarinya, yang ada di kepala
gue yang sudah harus disekolahkan di psikiater ini adalah
apakah Panji dan Keara juga melakukan adegan yang sama.
Pada saat gue mencium Karin di lift yang membawa gue
dan dia ke apartemennya di lantai 32, hanya ada gue dan dia
di lift itu, dia memberi sinyal dengan mempererat pelukan,
Isi-antologi.indd 263 263 7/29/2011 2:15:29 PM 264 dan apa yang kami awali di lift seukuran satu kali satu meter
yang dingin itu kemudian kami lanjutkan di sofa Karin yang
lebih besar dan hangat, gue tidak bisa menahan diri untuk
tidak bertanya-tanya apakah Panji juga melakukan hal yang
sama dan Keara, cinta gue, memeluk bajingan itu seerat Karin
memeluk gue malam itu. Yang paling membuat gue mau gila adalah bertanya-tanya,
pada saat gue malam itu mulai membuka kancing kemeja
Karin, dia dengan lembut menangkap tangan gue dan berbisik
ke telinga gue, "Jangan malam ini ya, Ris," apakah Panji mela?
kukan persis yang gue lakukan"yang sebenarnya tidak perlu
gue ragukan karena gue tahu benar Panji sama brengseknya
dengan gue"dan apakah Keara menolak dia seperti Karin
menolak gue. Yang membuat gue hampir kehilangan kewaras?
an adalah waktu gue sendirian di dalam lift dengan elevator
music yang membuat gue sakit kepala itu, turun dari lantai 32
sendirian, yang ada di kepala gue adalah bah?wa Karin mung?
kin menolak gue karena ini baru kencan ketiga kami, tapi
Panji mungkin sudah mengencani Keara berpu?luh-puluh kali
dan apa yang gue lihat di Emilie itu mungkin sesuatu yang
rutin mereka lakukan, dan kalau Keara yang gue kenal masih
Keara yang gue kenal dulu, maka sangat mungkin si bangsat
Panji dan Keara gue itu"
Fuck, rasanya gue ingin jadi karakter di film M. Night
Shyamalan, The Happening, yang seperti zombie berpandangan
kosong menghampiri mesin pemotong rumput raksasa dan
berbaring di depannya, menunggu baling-baling tajam mesin
itu menghancurkan kepala gue.
Kalau gue John Mayer idolanya Keara gue itu, mungkin
gue sudah bisa bikin satu album patah hati dari semua keja?
dian ini, dan Keara tergila-gila pada setiap lirik lagu yang gue
Isi-antologi.indd 264 7/29/2011 2:15:29 PM tulis, menjadi salah satu groupies gue dengan mengejar gue
konser ke mana-mana, gue dikejar-kejar jutaan perempuan
yang melempar nomor telepon dan celana dalam dan bra-nya
ke gue tapi Keara-lah yang gue ajak ke backstage, yang gue
cium sebelum konser, yang gue bawa ke red carpet di manamana, yang akan gue ajak ke photoshoot gue dengan majalah
Rolling Stone, dan yang gue bawa ke Las Vegas untuk meni?kah setelah itu dan kami hidup happily ever after.
But yet, here I am, all suited up, menempuh macetnya
Jakarta setelah jam tujuh malam yang ampun-ampunan ini,
menuju Kempinski untuk menyaksikan Karin bermain harpa
di acara charity dinner Yayasan Jantung Indonesia, atau Yayas?
an Kanker Indonesia" Terserahlah yayasan apa, gue juga
nggak peduli acaranya apa, kalau ini acara penyelamatan
kucing-kucing telantar pun gue bakal datang, yang penting ini
ada?lah gue, Harris Risjad, mencoba menjadi laki-laki waras
yang sedang berusaha memacari perempuan berkualitas yang
pantas dikejar-kejar laki-laki normal mana pun. Berteman
lagu Celine Dion dari playlist iPod gue di mobil.
Yeah, yeah, I know. Mau jadi nggak sarap lagi juga harus
berta?hap. Rome was not fucking built in a day.
Suara nyaring BlackBerry gue akhirnya membuat gue me?
ngecilkan volume musik di mobil ini. Ini ngapain juga si Ruly
nelepon gue malam-malam begini.
"What"s up, Rul?"
"Di mana lo?" "Udah di jalan, ada acara di Kempinski."
"Lo putar balik sekarang deh, Ris, ke RSPI. Denise kecela?
kaan." 265 *** Isi-antologi.indd 265 7/29/2011 2:15:29 PM Keara 266 "Bu, mau saya tungguin?" ujar Juwaeni, sopir kantorku yang
entah kenapa nama panggilannya bisa Owen itu, begitu Altis
milik kantor ini memasuki driveway RSPI.
"Nggak usah, kamu langsung balik kantor aja, Wen," kata?
ku, bergegas turun dari mobil menenteng handbag. "Ini ber?kas-berkasnya nanti sampai di kantor tolong kamu bawain ke
meja saya, ya." Berkas yang berserakan di backseat mobil ini sama dengan
kusutnya kepalaku sekarang. My head is already in a mess se?
jak Panji dengan lancangnya bilang "I think I love you," empat
hari yang lalu, and now this. Berita dari Ruly bahwa Denise
sedang gawat di rumah sakit karena kecelakaan tadi sore.
Di ruang tunggu emergency unit aku menemukan Ruly sen?dirian. Kemejanya yang biasanya rapi sudah kusut, bagian le?
ngannya digulung sembarangan sampai siku, dan wajahnya
sama kusutnya. Waktu mendekat, aku juga mencium bau asap
knalpot lengket di sekujur tubuhnya.
"Key!" dia berseru menyambutku.
"Lo sendirian" Denise gimana?"
"Gue masih belum bisa ketemu Denise, dia masih dirawat
di dalam," setiap kata yang keluar dari mulut Ruly terdengar
panik, walau suaranya parau seperti orang yang sudah terlalu
letih. "Lo sendirian" Harris mana?"
"Tadi sama sopir. Pas lo nelepon gue lagi di jalan pulang
ke kantor habis OTS53, gue langsung ke sini," aku mengambil
tempat duduk di deretan kursi besi di ruang tunggu itu. Ruly
OTS: On the spot, kegiatan mengunjungi lokasi bisnis nasabah yang dilakukan banker
untuk memantau perkembangan perusahaannya yang telah dibiayai dengan kredit dari
bank. 53 Isi-antologi.indd 266 7/29/2011 2:15:29 PM duduk di sebelahku, matanya menatap lekat-lekat pintu di
ujung ruangan. "Lo dengar kabarnya tadi gimana, Rul?"
"Gue masih di kantor tadi, terus ada telepon dari rumah
sakit ini, katanya dapat nomor telepon gue dari call historynya Denise, gue orang terakhir yang dia telepon," ujar Ruly.
"Gue langsung ngojek aja tadi ke sini karena gue tahu kalau
pakai mobil bakal macet banget. Pas gue nyampe sini, Denise
udah dirawat di dalam."
"Si Kemal juga belum ke sini?" kataku menyebut nama sua?
mi Denise. "Dia masih di Kalimantan ternyata, ada urusan kantor dari
kemarin, tadi gue telepon. Besok mau balik dengan pesawat
pertama," Ruly kemudian menoleh dan menatap kedua mata?
ku. "Gue belum berani menelepon ortunya Denise di Singa?
pura, Key. Gue nggak tahu mau ngomong gimana."
267 "Mau gue yang nelepon?" tawarku.
Dia mengangguk. "Tolong ya."
Jadi aku meraih BlackBerry-ku di dalam handbag, mencari
nama ibu Denise di contacts, dan menghabiskan lima menit
berbicara berganti-gantian dengan ayah dan ibu Denise di
telepon, berusaha setenang mungkin walaupun ibunya sudah
jejeritan di ujung telepon sana, dan sekuat mungkin menahan
air mata saat akhirnya pembicaraan di telepon kami tutup.
Nobody likes to give and receive bad news.
"Gimana?" Ruly menatapku.
"Panik banget. Semoga tadi suara gue cukup calm ya, Rul.
Malam ini juga mau langsung cari pesawat apa pun yang ter?
bang dari Changi ke sini," aku kembali duduk di sebelah Ruly.
"Are you okay?"
Aku baru menyadari kedua mata Ruly memerah, pembawa?
annya gelisah, dan peluh mengalir di dahinya walau AC ruang?
Isi-antologi.indd 267 7/29/2011 2:15:29 PM an sangat dingin. Tapi dia berusaha tersenyum. "Nggak apaapa, Key, gue cuma khawatir banget aja."
"Semoga Denise nggak pa-pa ya, Rul," ujarku pelan.
Dia mengangguk. Yang ada di pikiranku saat aku dan kamu terdiam menung?
gu di sini, Ruly, aku menghabiskan waktu dengan membaca
apa pun bahasan orang-orang di Twitter dan kamu kembali
tertunduk diam"mungkin satu-satunya yang bisa kamu laku?
kan untuk terlihat tegar, yang ada di pikiranku hanya satu,
Rul, dan aku tahu ini jahat sejahat-jahatnya: apakah kamu
akan sepeduli dan segelisah ini seandainya yang ada di ruang?
an gawat darurat di dalam sana adalah aku, bukan Denise.
268 Harris Terima kasih buat kumis Foke dan kemacetan bangsat Jakarta
ini, gue baru sampai di RSPI jam setengah sepuluh malam.
Keara dan Ruly sudah di lantai ruang ICU, terduduk di ruang
tunggu di luar bersama beberapa orang lain. Ini terlalu mence?
kam buat gue yang dari kecil tidak pernah suka rumah sakit.
Tidak ada suara apa-apa di sini kecuali suara heart monitor
dan sesekali langkah kaki para suster dan obrolan mereka da?
lam volume sepelan mungkin.
"Sori ya gue baru nyampe, gila macet banget," gue meng?
Antologi Rasa Karya Ika Natassa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hampiri Keara dan Ruly. "Denise gimana?"
Ruly menjelaskan panjang-lebar. Intinya Denise masih be?
lum sadar karena benturan keras di kepala, selain beberapa
patah tulang dan luka-luka di sekujur tubuh.
Gue duduk di sebelah Keara, mukjizat bagi gue malam ini
dia tidak menatap gue penuh kebencian seperti biasa. Ini men?
Isi-antologi.indd 268 7/29/2011 2:15:29 PM dingan walaupun dia tidak menyapa gue sama sekali. Gue
sempat melihat Denise dari balik kaca, yang membuat gue
menelan ludah begitu melihat slang dan perban di manamana. Dari sekian banyak hal yang gue lihat di situ, salah
satu yang melekat di kepala gue adalah pemandangan saat ini.
Ruly mengepalkan tangan dan meletakkannya di kaca, lalu
menyandarkan wajahnya di situ, wajahnya kusut sekusut-ku?sutnya, matanya nanar menatap Denise yang terbaring tak
berdaya di balik kaca"entah kenapa juga bahasa gue tibatiba jadi melankolis begini"dan di sebelahnya ada Keara,
Keara cinta gue itu, yang menatap Ruly dengan pandangan
yang hanya bisa gue artikan sebagai: "Gue mencintai lo. Lo
mungkin tidak tahu itu dan lo mungkin mencintai dia, tapi
gue cuma mau di sini menemani lo melewati ini semua. Gue
cuma mau jadi orang yang take care lo dan menemani lo di
269 saat sulit ini." Damn Key, izinkan gue meminjam kalimat yang sama dan
mengatakannya sekarang ke elo di dalam hati gue.
Gue merasa seperti terjebak dalam adegan sinetron yang
mau gue bunuh saja penulis skripnya. Kenapa segenap alam
semesta ini tidak bisa membiarkan Ruly, Keara, dan gue baha?
gia" Biarkan Ruly akhirnya diterima cintanya sama Denise,
biar?kan si Kemal suami Denise itu jauh-jauh saja ke
Timbuktu sana, biarkan gue mencintai Keara, dan biarkan
Keara menatap gue dan memeluk gue dan menerima cinta
gue, dan Panji cuma kutu anjing yang bisa dibasmi dengan
bedak Doris dan tidak pernah ada lagi di antara kami.
Kami bertiga memutuskan untuk tetap duduk di ruang
tunggu ICU rumah sakit ini, mengobrol pelan sambil berha?
rap Denise akan sadar any minute now. Keara berusaha mem?
buat Ruly sedikit tersenyum dengan menceritakan hal-hal
Isi-antologi.indd 269 7/29/2011 2:15:29 PM 270 lucu yang pernah dilakukan Denise. Gue sadar ini egois,
Denise sekarat di dalam sana dan yang gue pikirkan cuma
Keara. "Lo berdua balik aja dulu," Ruly akhirnya berkata saat jam
di tangan gue sudah menunjukkan lewat pukul sebelas malam
dan belum ada tanda-tanda perkembangan kondisi Denise.
"Biar gue di sini yang menunggu Denise."
Keara menatap Ruly dengan pandangan protes. "Tapi,
Rul?" "Udah, nggak pa-pa, Key, biar gue aja di sini," Ruly terse?
nyum. "Lo balik aja sama Harris ya, lo juga kayaknya udah
ngantuk dan capek banget tuh. Ris, anterin Keara, ya."
Sumpah demi langit dan bumi dan alam semesta dan Yoda
dan UFO, Rul, ke mana pun Keara akan gue antar, lo nggak
perlu menyuruh gue lagi kalau untuk hal yang satu ini. Cuma
masalahnya perempuan ini mau apa nggak aja.
Keara bangkit, memegang lengan Ruly. "Kabarin kalau ada
apa-apa ya, Rul. Jam berapa pun telepon gue."
Alien di planet Pluto aja bisa melihat betapa Keara itu
cinta sama Ruly, tapi dia masih aja buta seperti sekarang.
Gue mengikuti langkah Keara turun lift, kemudian menuju
lobi depan, berharap dalam hati tidak ada taksi lagi yang
lewat jam segini supaya dia tidak bisa mengelak diantar gue.
"Mobil gue di sana," ujar gue begitu kami tiba di lobi.
"Gue naik taksi aja," ujarnya pelan, seperti yang sudah gue
duga, walaupun tak ada satu pun lagi taksi yang menunggu
di situ. The ego on you, woman. Gue mencoba menahan diri untuk tidak menghela napas
putus asa di depan Keara gue ini. Jadi yang gue lakukan ada?
Isi-antologi.indd 270 7/29/2011 2:15:30 PM lah memasang wajah setulus mungkin, menatap kedua mata?
nya dan berkata, "Key, gue antar ya. Gue nggak peduli kalau
se?panjang perjalanan lo nggak mau ngobrol dengan gue, it"s
fine, tapi izinkan gue mengantar lo." Gue menatap Keara, dia
cuma diam menatap gue balik. "Gue cuma menjalankan ama?
nat Ruly. Oke?" Sepertinya membawa-bawa nama laki-laki yang dicintainya
sete?ngah mati itu ampuh, karena Keara akhirnya mengikuti
lang?kah gue. You know, Key, gue jadi bertanya-tanya apakah kalau si
Ruly menyuruh lo terjun dari jembatan, lo juga mau. Dan
Harris Risjad ini akan jadi orang tolol yang ikut terjun bersa?
ma lo, berusaha menyelamatkan lo, dan lo akan teriak-teriak
meronta dari gue. You"ve got me fucking wrapped around your finger and you
don"t even fucking care.
So here we are, ini akan jadi empat puluh menit terpanjang
dalam hidup gue, dengan gue menyetir, Keara duduk di sebe?
lah gue menatap jendela, tidak mau melihat wajah gue sedikit
pun, benar-benar menuruti tawaran gue tadi bahwa dia tidak
usah bicara apa-apa. Tidak ada, "Risjad, gue ngantuk banget
nih, jadi lo diem aja nyetir ya, gue mau tidur," atau "Ih Harris,
lagu di iPod lo nggak ada John Mayer, ya?" atau "Cerita lucu
dong, biar gue nggak ngantuk." Apa pun yang dulu biasa dia
ucapkan atau bahkan teriakkan ke gue setiap gue sedang
menyopiri dia seperti sekarang.
Dengan mengabaikan perasaan gue yang sebenarnya terha?
dap lo, gue cuma mau bilang bahwa gue kangen persahabatan
kita, Keara. Gue kangen lo nyuruh-nyuruh gue, tertawa-terta?
wa pada ucapan gue. Gue kangen malam-malam lo sedang
dinas di luar kota di hotel sendirian dan lo nelepon gue cuma
Isi-antologi.indd 271 271 7/29/2011 2:15:30 PM 272 un?tuk bilang, "You know, Risjad, kalau lo ada di sini, udah gue
paksa lo datang ke sini supaya kita bisa wine-wine solution
bareng. This hotel room is fucking lonely."
Pada saat radio di mobil gue tiba-tiba memutar lagu John
Mayer yang judulnya"kalau gue nggak salah ya, entah kena?
pa juga gue jadi ngikutin lagu-lagunya si John Mayer ini"
Edge of Desire, mulut gue sudah setengah terbuka untuk ber?
komentar iseng seperti dulu sering gue lakukan, "Tuh
penyanyi favorit lo, ganteng juga kagak," yang biasanya dia
balas dengan nyolot, "Heh, jempol kakinya John Mayer aja
ma?sih lebih ganteng daripada lo, apalagi muka." But hey, a
no-speaking pact is a no-speaking pact. Mau ikut mobil gue aja,
berbagi oksigen bersama gue di ruangan sempit ini selama
em?pat puluh menit ke depan udah syukur. Jadi gue memu?
tuskan untuk tetap diam dan melaksanakan tugas gue sebagai
sopir. Sampai gue menoleh sesaat ke kaca spion di sisi kiri dan
melihat air mata yang membasahi pipi Keara. What, dia mena?
ngis" Tidak ada suara isak, tubuhnya tidak bergerak, cuma air
mata yang mengalir deras.
"Key, lo nggak pa-pa?" gue tidak tahan untuk tidak berta?nya.
Dia cepat menggunakan tangan untuk mengelap pipi.
"Nggak pa-pa." Suaranya terdengar datar. Gue harus ngapain"
"Tapi Key?" "I"m fine, Ris. Just drive, okay?"
Gue menelan ludah. Oke kalau lo maunya begitu, Key.
Satu menit berhasil gue lalui tanpa berkata apa pun, cuma
mena?tap lurus ke depan. Tapi rasa pegal karena seperti robot
ti?dak menoleh-noleh begini, ditambah penasaran juga, mem?-
Isi-antologi.indd 272 7/29/2011 2:15:30 PM buat gue akhirnya kembali melirik ke kiri, ulu hati gue rasa?nya ditusuk melihat Keara masih menangis. Pipinya masih
basah. "Key"," cuma satu syllabel ini saja yang sanggup gue ucap?
kan, lalu gue menelan ludah, menunggu tanggapan dari dia.
Tapi Keara cuma diam, tangisnya masih tidak bersuara,
tapi kali ini bahunya naik-turun terisak.
Shit, Key, jangan bilang lo sedang menangisi si Ruly seka?rang. Ini sudah cukup. Gue nggak bisa melihat lo terus begini
lagi. Gue akhirnya menguatkan dan memberanikan diri untuk
mengatakan apa yang ingin gue katakan.
"Kalau lo memang sayang sama Ruly, kenapa lo nggak per?nah bilang sama dia dari dulu?"
Ini adalah kalimat tersulit yang pernah keluar dari mulut
gue. Bahkan lebih sulit daripada menjawab pertanyaan nyokap
gue dulu zaman kelas enam SD waktu menemukan majalah
Playboy di bawah kasur gue.
Lo menatap gue, Key, tatapan lo menusuk penuh marah.
"Lo nggak perlu nanya-nanya gue itu." Lo tidak membentak
gue, tapi suara lo yang pelan bergetar.
Gue memutuskan untuk menepikan mobil, pembicaraan ini
terlalu berbahaya untuk dilakukan sambil menyetir. Gue mem?
ba?las tatapan lo dan berusaha berujar setenang mungkin,
"Tapi gue nggak bisa melihat lo begini terus."
"Begini gimana" Udah deh, Ris, lo nggak usah sok peduli
sama gue." Entah dari mana keberanian gue untuk membalas ucapan
lo itu dengan kalimat setegas ini. "Begini menangis, Key, dan
gue memang peduli sama lo. Gue nggak bisa melihat lo harus
nangis begini cuma gara-gara si Ruly."
Isi-antologi.indd 273 273 7/29/2011 2:15:30 PM 274 Keara terlihat kaget waktu gue menyebut nama Ruly.
"Gue kenal lo, Keara," ujar gue dengan suara sepelan dan
setenang mungkin. "Gue tahu sangat sakit buat lo untuk meli?
hat betapa sayangnya Ruly pada Denise. Gue tahu, Key. Gue
tahu perasaan lo sama Ruly, Key," kalimat yang paling menya?
kitkan tapi harus gue ucapkan karena ini kebenaran. "Yang
gue nggak ngerti, kenapa lo nggak ngomong aja sama dia"
Mau sampai kapan lo begini?"
Gue bisa melihat amarah yang semakin terpancar dari ke?dua mata lo yang saat ini berkilat-kilat menatap gue. Gue
menunggu lo menampar gue atau membentak gue atau apalah
untuk menyalurkan rasa marah lo itu.
Tapi ternyata lo hanya ngomong begini.
"Gue mau pulang, Ris, gue capek."
Gue menguatkan diri untuk tetap menatap kedua mata lo
dalam-dalam. Menyakitkan banget sebenarnya bagi gue untuk
mengucapkan apa yang akan gue ucapkan ini, Keara, dan gue
tahu lo mungkin bahkan tidak bisa melihat kepedihan di
mata gue ini. "Ruly akan jadi laki-laki paling tolol sedunia kalau dia no?
lak lo, Key," kata gue pelan.
"You know, Ris, mungkin lo harus ngomong itu ke dia, bu?kan ke gue," cetus lo tiba-tiba.
"Key?" "Lo mau tahu kenapa gue nggak ngomong ke dia?" Keara
ke?mbali menghunuskan tatapannya, suaranya tidak lagi berge?
tar seperti tadi. Setiap kata yang dia ucapkan jadi penuh
emo?si dan marah. "Karena gue nggak bisa merusak persaha?
batan ini, Ris! Gue nggak bisa. Karena sampai kiamat pun
gue tahu cintanya si Ruly cuma buat Denise, Ris! Orang pa?ling tolol di dunia ini pun tahu cintanya si Ruly cuma buat
Isi-antologi.indd 274 7/29/2011 2:15:30 PM Denise! Lo juga tahu itu! Buat apa lo nyuruh gue memperma?
lukan diri gue dengan mengakui perasaan gue ke Ruly" Buat
apa?" "Karena gue nggak bisa melihat lo seperti ini!"
Crap. Nice, Ris, sekarang lo jadi bajingan yang membentak
perempuan yang lo cintai.
Gue menghela napas. "You deserve better, Keara."
Semoga suara gue yang lirih ini cukup buat lo melihat bah?
wa gue tulus, Key. Setiap kata yang gue ucapkan ini tulus.
Tapi yang ada adalah gue seperti menyiram bara api dengan
bensin. "Better apa, Ris" Tell me, better apa" Better dengan Ruly
meno?lak gue, dia jadi menghindar dari gue, persahabatan ini
bu?bar, gue nggak punya teman lagi, itu yang lo bilang better"
Sejak lo merusak persahabatan kita dengan perbuatan lo di
Singapur itu dulu, cuma Ruly yang gue punya, Ris! Dan seka?
rang lo mau nyuruh gue untuk merusak itu juga?"
Dan Keara gue menangis. Shit. Dia mengalihkan pandangannya dari muka gue, menum?
pukan wajahnya di kedua telapak tangannya.
Fix this, damn it, fix this.
Tapi gue tahu, hanya seorang gue tidak akan bisa memper?
baiki ini, jadi gue melakukan apa yang gue tahu. Gue membu?
ka seat belt gue dan memeluk lo seerat mungkin, Key, siap
menerima akibat apa pun dari keberanian gue ini, termasuk
lo memukuli, menggampar, meronta, bahkan berteriak minta
tolong ke orang-orang yang masih memenuhi Jalan Pakubuwo?
no ini. Mungkin Tuhan malam ini sedang berpihak ke gue, karena
Isi-antologi.indd 275 275 7/29/2011 2:15:30 PM 276 lo tidak meronta, Keara. Lo malah menangis makin terisak,
setiap inci gue merasakan tubuh lo terguncang-guncang de?ngan setiap isakan dan tetesan air mata lo.
Gue merasakan kepahitan yang lo rasakan ketika lo berbi?
sik di tengah-tengah isakan lo, "Lo tahu yang lebih jahat, Ris"
Ada bagian kecil dari gue yang berharap Denise tidak ada aja
supaya Ruly akhirnya bisa melihat gue."
You know what, Key, gue juga tidak menahan diri untuk
tidak berharap supaya Ruly hanyut di laut saja supaya lo juga
akhirnya melihat gue. Gue ingat ada satu quote dari film yang pernah kami ton?
ton. Some B-rated film called Kicking the Dog, I think I saw
that with you on one of our DVD and wine-wine solution night
together. "If you make a girl laugh, she likes you, but if you make her
Antologi Rasa Karya Ika Natassa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cry, she loves you."
Ini gue, Keara, laki-laki yang dulu sering membuat lo terta?wa, malam ini menyaksikan Ruly membuat lo menangis. Tapi
gue bahkan tidak peduli bahwa kalau mencocokkan dengan
quote dari film tolol itu, ini artinya lo tidak mencintai gue.
Gue hanya ingin jadi laki-laki yang membuat lo berhenti
me?nangis. Isi-antologi.indd 276 7/29/2011 2:15:30 PM Nemo in amore videt 54 Keara "Are you okay" Nggak ngantor ya?"
277 Ini BBM pertama yang kubaca begitu terbangun hampir
jam sepuluh pagi, on a Thursday. Dari Harris. Alarm sengaja
tidak kunyalakan tadi malam, dengan niat mulia untuk cabut
kantor hari ini dan menghabiskan seharian cuma tidur. A
much-needed remedy for the emotional breakdown I had last
night. Niat mulia karena kalau aku masuk kantor dengan mood
seperti ini, akan ada paling nggak selusin orang"dan benda,
for that matter"yang akan jadi korban repetan bibir ini, mu?
lai dari satpam lobi kantor yang suka memeriksa handbag
tanpa pakai sarung tangan, orang-orang tanpa otak yang me?menuhi lift kantor dengan jaket yang baunya seperti sudah
ti?dak dicuci sejak zaman dinosaurus masih beol di planet
54 No one in love sees Isi-antologi.indd 277 7/29/2011 2:15:30 PM 278 bumi, toaster di pantry yang tidak pernah rata menggosongkan
wholewheat toast-ku, para telemarketer yang krang-kring dengan
pena?waran kartu kredit, sampai orang-orang yang berani
coba-coba screw me even a little bit di rapat apa pun di kantor
nanti. So believe me, cabut kantor ini murni untuk kemaslahatan
umat. Here"s a little something I just learned this morning as I woke
up: efek bangun setelah tertidur sambil menangis itu sama
pa?rahnya dengan hangover lima gelas martini. Funny how too
much crying or too much alcohol makes you feel like Spiderman:
every single sense you have is heightened somehow. Mulai dari
indra penciuman yang rasanya semakin tajam, bahkan wangi
se?prai yang baru dicuci ini terasa terlalu harum dan membuat?
ku mual. Telingaku yang sekarang seperti sedang ditampartam?par dengan TOA kelurahan oleh suara derasnya air hujan
yang menerpa satu sisi dinding kamar tidur apartemen yang
hanya ditutupi kaca. Kedua mataku yang silau luar biasa oleh
lampu merah BlackBerry yang berkedip-kedip di samping
bantalku di ruangan yang gelap ini.
Dengan mata setengah terbuka aku menemukan satu pang?gilan tak terjawab dari Harris, dua dari Panji, empat dari
Harimau Kemala Putih 7 Malaikat Berwajah Putih Lo Ban Teng Karya Tk Kiong Pedang Ular Emas 1