Pencarian

Arus Balik 13

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 13


Sampai di Ujung Kulon hanya beberapa regu prajurit dari kapal bendera diperintahkan mendarat. Juga Panglima- Laksamana Fathillah mendarat dan sendiri memimpin anakbuah itu menjajagi darat. Tidak lama. Dan mereka naik lagi membawa terlalu banyak kelapa muda.
Kemudian armada itu balik lagi ke utara, memasuki selat Sunda, kembali ke Jepara.
Semua kebijaksanaan tentang armada raksasa ini diserahkan kepada Fathillah oleh Sultan Trenggono berdasarkan persekutuan militer untuk meneruskan rencana menguasai Jawa bukan hanya dari darat, juga dari laut.
Dengan demikian pertikaian antara pasukan laut dan pasukan kuda dapat dipadamkan dua-duanya ditundukkan pada keinginan Trenggono sendiri akan memimpin gerakan dari darat. Dan persekutuan militer ini akan melancarkan gerakannya bila pasukan gabungan Tuban-Aceh-Bugis telah mulai melakukan serangan di Malaka. Portugis akan sibuk melayani serangan, maka bahaya terhadap pelaksanaan persekutuan militer Demak tidak akan ada.
Maka itu armada raksasa harus berangkat satu hari sebelum gugusan Tuban diperkirakan akan datang ke Jepara. Jung-jung itu tak boleh menyusul. Demak harus bisa menggunakan hasil persekutuan rahasia Aisah-Usup- Liem Mo Han.
Setelah armada berlabuh untuk beberapa hari di bandar Banten dan berangkat lagi ke Ujung Kulon, mereka tak tahu, bahwa jung-jung telah melihat mereka. Juga tidak mengetahui, Tuban telah melihat mereka membelok ke kiri.
Sesampainya di Jepara kembali armada itu beristirahat selama tiga bulan, kemudian berangkat lagi, menempuh garis pelayaran yang sama.
Dan tak lain dari Aji Usup yang giat mondar-mandir antara Jepara, Demak dan Lao Sam. Ia tahu urusannya telah gagal. Armada raksasa itu tak dapat dibelokkan ke utara. Dan seluruh pasukan laut Jepara tak dapat berbuat sesuatu pun terhadap Fathillah. Sejumlah besar pasukan kaki yang dibaurkan dalam tubuh pasukan laut telah membikin prajurit-prajurit Jepara itu tak dapat berbuat sesuatu pun daripada mengikuti perintah.
Aji Usup insaf ia telah kehilangan segala-galanya. Bahkan ia telah kehilangan keberanian ke luar lebih jauh dari tiga tempat tersebut. Ia merasa telah kehilangan muka.
Setelah kunjungannya terakhir ke Lao Sam ia tak pernah lagi meninggalkan Jepara. Ia memilih mati dan berkubur di Jepara.
Pada suatu hari yang telah diduganya satu regu pasukan pengawal berkuda Demak datang mengepung rumahnya. Tak seorang pun dapat menolongnya. Sepucuk tombak telah menembusi dada hingga bahunya. Ia mati di atas anaktangga rumahnya sendiri. Dua orang anaknya yang berusaha melarikan diri mengalami nasib yang sama. Istri dan menantu-perempuan mati di dalam bilik dengan tikaman keris. Cucu kesayangannya yang cuma seorang terdapat pecah kepalanya tersorong di kolong ambin. Aji Usup telah dipunahkan sampai keturunannya. Sejak hari itu Ratu Aisah tak pernah kelihatan keluar dari rumah. Seorang sahabatnya telah ditumpas beserta seluruh keturunannya: Liem Mo Han tak pernah muncul. Ia menunggu dengan rela datangnya regu pengawal Demak untuk menghabisi jiwanya pula. Dan akan selesailah cerita tentang persekutuan rahasia itu. Akan selesai pula cita-cita Adipati Unus.
Trenggono tetap pada niatnya. Seluruh Jawa harus sujud di bawah kakinya, dari Blambangan sampai Banten, dari laut Jawa sampai lautan Kidul.
Ratu Aisah bersumpah untuk tidak akan menemui siapa pun, kecuali seisi rumah sendiri dan regu penumpas dari Demak. Ia takkan mengampuni Sultan. Dan ia akan gunakan sisa hidupnya yang sedikit untuk mengasuh dan mendidik cucunya, dan mengabdi pada Tuhannya, dan berdoa tak henti-hentinya untuk keselamatan dan kemenangan pasukan gabungan Tuban-Aceh-Bugis& . 0o-dw-o0
Sepanjang pelayaran memantai pesisir barat Sumatra armada jung itu dibantu oleh angin yang cukup baik. Tak pernah iring-iringan itu berpapasan dengan armada bajak dalam pemusatan besar, tak pernah memergoki kapal Peranggi, tak pernah dihadang oleh taufan ataupun badai.
Karena tak jadi menyinggahi Banten dan perhitungan karenanya jadi keliru, terjadi kekurangan air dan perbekalan. Walau demikian pelayaran berjalan damai dalam suasana gembira. Orang tak lagi memikirkan armada Jepara-Demak. Mereka sudah berpikir dan bersikap sebagai kesatuan tersendiri. Makin jauh dari Jawa, makin jauh juga dari pengkhianatan! Mungkin untuk pertama kali dalam hidup mereka melihat negerinya sendiri sebagai sarang pengkhianatan, sarang intrik, sejak Tuban sampai Ujung Kulon.
Orang bernyanyi ria. Dan di malam hari orang membaca lontar kuno dan satu lingkaran duduk mendengarkan. Seorang lain lagi menafsirkan. Atau orang berpantunpantunan, sahut-menyahut diikuti gelak tawa.
Puncak kegembiraan ialah waktu mereka mendarat di bumi Banda Aceh. Beratus-ratus rebana menyambut mereka. Pasukan Aceh yang berpakaian celana panjang dan baju serba hitam berikat pinggang selendang merah atau kuning dan berdestar hitam, pasukan Bugis yang berpakaian celana dan baju serba genggang dan pasukan Tuban yang bercelana ditutup dengan kain batik dan bertelanjang dada semua berhimpun, berkampung dan bersuka-ria. Mereka bergerak bebas dan di setiap rumah yang mereka masuki orang mendapatkan segala penganan dan pelayanan. Taritarian dihidangkan setiap malam dalam tingkahan gendang dan seruling. Setiap orang mendapatkan kesukaan dan persahabatan.
Untuk pertama kali orang-orang Tuban itu terpeluk dalam persahabatan yang semesra ini.
Kemudian datanglah hari keberangkatan. Aceh menyerahkan tiga ratus prajurit, Bugis dua ratus. Jumlah seluruhnya seribu lebih dua orang: Wiranggaleng dan Pada. Pihak Bugis menawarkan diri untuk lakukan pekerjaan perintisan dan pengintaian, yang disambut dengan soraksorai semua orang.
Di tanah lapang diadakan sembahyang bersama untuk ummat Islam, memohonkan keselamatan untuk mereka yang akan berangkat ke medan perang.
Begitu mancal dari darat begitu pula mata Wiranggaleng berkaca-kaca melihat ribuan orang, laki dan perempuan, tua dan muda, semua berpakaian serba hitam, celana, baju dan destar, bersorak-sorak mengucapkan selamat berperang. Uh! Tidak dilihatnya yang demikian di Tuban, pun tidak di Jepara. Di sana hanya ada pengkhianatan dan intrik. Di tengah-tengah saudara-barunya ia merasa lebih aman, dan tak lagi merasa seorang hukuman yang sedang menemui algojo. Juga Aceh, juga Bugis tahu: Peranggi harus dihalau. Apa pun yang akan terjadi, penyerangan terhadap Malaka takkan sia-sia.
Mereka melihat tempat pendaratan di sebuah kampung nelayan sekira jarak tiga hari-tiga malam pelayaran di sebelah utara Malaka.
Penduduk kampung melarikan diri entah ke mana, menyangka kedatangan perampok lanun. Kampung di atas tiang-tiang kayu itu tertinggal kosong. Sebuah rumah terbaik disediakan bagi Wiranggaleng yang telah mereka angkat bersama sebagai panglima gabungan dengan panggilan Hang Wira.
Tak ada bangku, meja ataupun ambin di seluruh kampung ini. Geladak pelupuh adalah segala-galanya. Di atasnya digelari tikar pandan rawa. Hampir-hampir tak ada perkakas rumahtangga kecuali perabot masak. Barangbarang gerabah sangat sedikit. Dan bau busuk ikan dijemur di atas para-para bambu sepanjang kampung menyesakkan nafas. Tiga hari lamanya mereka tinggal di kampung itu. Dan penduduk tak juga muncul. Karena tak dapat menahan keheranannya Wiranggaleng terpaksa bertanya pada Pada: Bukankah kau pernah dengar dari cerita Liem Mo Han pasukan Semenanjung akan bergabung dengan kita" Mana batang hidungnya" Semestinya mereka telah melihat kita datang dan menghubungi kita.
Benar Panglimaku. Aku pun belum melihat batang hidungnya. Heran.
Dan manakah armada kecil Tionghoa dari utara itu" Benar, Panglimaku. Aku pun belum lagi melihat kuncirnya.
Apa artinya semua ini" Tahu, Panglimaku. Ya, begini inilah jadinya.
Kita hanya memikirkan Malaka ini saja, Kang. Seorang bocah penduduk kampung telah tertangkap oleh prajurit yang sedang mengenali medan. Tak banyak yang dapat diketahui dari anak kecil itu kecuali, bahwa penduduk selebihnya sedang mengungsi ke dalam hutan. Anak itu dilepaskan setelah diberi makan dan perbekalan, dan diikuti dari kejauhan. Persembunyian penduduk dapat diketahui, dan mereka diperintahkan kembali ke kampung.
Juga penduduk tak tahu akan adanya pasukan Semenanjung ataupun Tionghoa. Mereka menerangkan sebaliknya: justru Peranggi yang sering datang, baik dari darat maupun dari laut.
Perintah siaga dijatuhkan. Kapal dan jung-jung diperintahkan meninggalkan semenanjung. Dan pasukan dari seribu orang lebih dua itupun berbaris meninggalkan kampung dan memasuki hutan belantara. Mereka melalui jalan setapak yang tampak sering dilalui orang. Dan semakin memasuki hutan semakin banyak ditemukan bekas sepatu, samar-samar.
Penduduk yang ditinggalkan melihat semua prajurit pergi menjadi terheran-heran. Lebih heran lagi melihat jung-jung dan kapal-kapal mereka sudah sama sekali tiada dan hartabenda mereka dan perahu-perahu mereka tak kurang suatu apa.
Pasukan gabungan itu bergerak terus dengan melepaskan harapan akan bergabungnya pasukan Demak, Tionghoa atau Semenanjung. Mereka menuju ke arah selatan.
Perundingan antara kepala-kepala pasukan menghasilkan keputusan: Langsung menyerbu ke sasaran.
Dan mereka berbaris menuju ke selatan, melewati kampung-kampung yang terdiri dari beberapa rumah. Penduduknya berlarian entah ke mana.
Yang tertinggal biasanya hanya orang tua-tua yang sudah tak kuat lari, atau orang sakit keras, dan terutama orang gila. Sama tak dapat ditanyai. Satu-satu keterangan yang diperoleh: sekali-dua Peranggi pernah datang dan tak pernah melakukan gangguan: Setelah dua hari menembusi hutan, perundingan antar-sekutu menyimpulkan: penyerangan langsung ke Malaka ternyata tidak mungkin. Tak adanya pasukan semenanjung telah memusnahkan kemungkinan untuk mendapatkan perbekalan. Tanpa perbekalan jangankan menyerang, bertahan pun tidak bisa. Maka diputuskan menunda penyerangan langsung, ladang pertanian harus dibuka terlebih dahulu.
Pasukan gabungan itu membelok ke timur lebih dalam lagi dan membuka huma. Dan tidak lain dari Wiranggaleng yang menyadari: prajurit-prajurit ini akhirnya datang tidak untuk berperang tapi untuk bertani. Ia tahu sudah sejak asal, ekspedisi militer ini akan gagal.
Pengenalan medan terus-menerus dilakukan, bergantian antara tiga macam kesatuan. Tetapi pembukaan humalah yang mengambil pekerjaan terpokok. Patroli tak hentihentinya dikirimkan. Namun persiapan penyerangan tetap harus ditunda.
Sekali peristiwa kesatuan Bugis mendapat giliran untuk mengenali medan. Mereka menemukan sebuah kampung jauh di dalam hutan. Rumah-rumah yang bersirip tinggi di atas tiang-tiang itu telah ditinggalkan oleh penduduknya. Dan di bawah rumah-rumah itu Peranggi sedang sibuk memasak-masak.
Kesatuan Bugis serta-merta merunduk dan melepaskan tombak. Pekikan maut dan seruan terjadi: Serdadu-serdadu Peranggi yang tidak terkena tombak berlarian membawa musket masing-masing dan mulai menembak dari balikbalik pepohonan. Mereka membikin lingkaran pertahanan dalam kepungan kesatuan Bugis. Tombak beterbangan lagi. Korban di pihak Portugis jatuh lagi. Dan jatuhnya tombak sedemikian gencar sehingga musuh terhenti itu tak sempat lagi memasang obat dan bubar melarikan diri. Sebagian lagi tewas pula sewaktu menerobosi kepungan. Sisanya hilanglenyap ke dalam hutan. Daerah pengenalan dan patroli makin diperluas ke sebelah selatan. Kampung bekas tempat pertempuran pertama kini mendapat kehormatan jadi tempat markas gabungan. Dan waktu penduduknya datang kembali bersama-sama mereka membabat hutan, mengeringkan dan membakarnya untuk dijadikan huma.
Tidak lebih dari seminggu kemudian di sebelah selatan nampak asap besar membubung ke langit Asap itu terlalu kecil untuk dianggap sebagai hutan terbakar dan terlalu besar untuk dianggap sebagai rumah terbakar. Orang segera menduga itulah Peranggi sedang membakar sebuah kampung besar.
Seluruh kekuatan mulai bersiap-siap karena tempat kebakaran itu tidaklah begitu jauh.
Dengan separoh kekuatan kesatuan Tuban Wiranggaleng berangkat untuk menyergap mereka. Seorang pengintai telah dikirimkan terlebih dahulu, dan ia pulang dengan laporan, benar yang melakukan pembakaran tak lain dari Peranggi, dan mereka sedang bergerak ke jurusan kampung sebelah utara. Jumlah kekuatan mereka cukup besar. Kesatuan Tuban segera disusun dalam bentuk jebakan. Dari kejauhan telah terdengar Peranggi menembaknembak untuk menghancurkan semangat lawannya.
Wiranggaleng memeriksa tempat penjebakan yang ditempatkannya di daerah hutan dengan semak-semak di bawahnya. Di hadapan jebakan adalah tempat terbuka yang bakal di tempuh oleh serdadu-serdadu Peranggi. Ia telah banyak dengar tentang keampuhan musket musuhnya, dan hanya dengan jalan berlindung di balik-balik pepohonan semprotan pelurunya dapat dihindari. Di tempat terbuka, sekali tembakan dapat melukai sepuluh orang yang sedang berdiri berjajar dalam jarak lima belas depa, sedang tombak hanya bisa mengenai seorang, itu pun kalau kena.
Dan bunyi tembakan itu memang mengecutkan bagi mereka yang sudah mengetahui keampuhannya.
Kalian datang ke mari untuk menghadapi mereka. Kita akan hadapi mereka. Kita belum pernah mangalami pertempuran melawan musket. Sekaranglah waktunya. Lihatlah kesatuan Bugis. Mereka telah berhasil. Kita akan juga berhasil.
Mereka telah memasang perangkap di tempat yang tidak terbuka itu, di tempat yang dapat menahan semprotan peluru musket. Ternyata lain lagi yang terjadi. Serdaduserdadu Portugis tidak menggerombol sebagaimana halnya dengan prajurit Tuban atau tentara Jawa pada umumnya. Musuh itu pun tidak memasuki jebakan yang disediakan. Mereka berpecah-pecah, seorang-seorang sesuai dengan keampuhan senjata dan daya tembaknya, dan tiba-tiba saja kesatuan Tuban yang berada di atas-atas pohon berteriakteriak: Peranggi telah mengepung kita!
Teriakannya dibarengi dengan letusan-letusan yang menyesakkan dada dan menggeletarkan jantung. Dari segala penjuru, kecuali dari belakang anak-anak panah mulai berlayangan dari atas-atas pohon dalam keriuhan letusan. Beberapa orang prajurit Tuban terjungkal dari panjatannya diikuti dengan gemeratak tubuhnya yang menyangsang di atas semak-semak atau bergedebug di atas tanah gundul.
Wiranggaleng memerintahkan mengubah hadap ke arah tiga penjuru angin, tetap bersembunyi di balik pepohonan, menyiapkan tombak atau panah, dan tetap memperhatikan datangnya musuh. Ia sendiri hampir-hampir kehilangan akal menghadapi pertempuran yang aneh itu. Dan belum lagi sampai ke Malaka!
Tembakan-tembakan semakin mendekat. Semprotan musket yang rasa-rasanya tiada kan henti-hentinya mematahkan ranting-ranting semak dan menggugurkan dedaunan dan melubangi batang pohon dan tanah yang dikenainya, dan merobek kulit pohon, dan mendesingkan bunyi bisikan maut seperti selaksa tawon datang menyerang.
Satu semprotan musket berlalu di atas kepala Wiranggaleng. Dan ia bergidik. Bulu romanya berdiri.
Tahankan! serunya, tahankan sampai muka mereka bertemu dengan mukamu, dan sergap dia tanpa ragu-ragu.
Pertempuran aneh. Prajurit-prajurit Tuban dalam jarak jauh tak bisa melakukan serangan ataupun balasan, dan cuma harus diam-diam menunggu, dan menunggu, dalam semprotan maut yang tak putus-putusnya, ledakan dan desingan dan gemerasak dan ranting-ranting berguguran. Dua orang telah jatuh pingsan di tempat karena kejengkelan, kehilangan kesabaran dan kebingungan. Begitu orang beringsut dari tempat di balik pepohonan, semprotan peluru pun mendarat dan mengeram di dalam daging.
Ini bukan pertempuran. Ini penyembelihan! Dalam perang dengan musket begini tak ada prajurit, tak ada satria, yang ada hanya pembunuh dan korbannya.
Mereka lebih hebat daripada kita, seru Panglima memberanikan. Dengan musketnya Peranggilah yang justru mengepung. Dan dengan musketnya pula mereka tak membutuhkan terlalu banyak kekuatan. Di sana-sini perkelahian orang-orang mulai terjadi. Orang yang sudah kehilangan kesabaran melompat ke luar dari balik persembunyiannya dan mengamuk dengan tombak. Makin lama makin banyak yang ke luar. Tembakan menjadi berkurang.
Perkelahian orang-seorang menyebabkan Portugis tak semudah itu lagi menembak dan membikin bentengan peluru. Mereka mulai menggunakan pedang.
Kesatuan Tuban bersorak. Itulah yang mereka kehendaki. Semua meninggalkan persembunyian. Dan pemain-pemain tombak itu memperlihatkan keunggulannya di setiap jengkal tanah di dalam hutan itu.
Orang mengakui keberanian Peranggi menghadapi lawan yang jauh lebih besar. Ayunan pedang mereka begitu mantap, kuat dan gesit, tak peduli pada ranting semak yang menghalangi dan rotan berguguran.
Hanya karena jatuhnya malam saja mereka mulai menarik diri, menghilang ke dalam hutan dengan meninggalkan korban-korbannya.
Beberapa pucuk musket telah kena rampas, beberapa pedang, beberapa peralatan makan dan pakaian. Juga kesatuan Tuban kehilangan beberapa prajuritnya.
Wiranggaleng mengatakan: pertempuran sekali ini sama sekali tidak dimenangkan oleh Peranggi, juga tidak oleh Tuban. Namun seluruh pasukan gabungan telah mendapatkan satu kemenangan mutlak: kemenangan atas ketakutan terhadap Peranggi dan kehebatannya. Dan itulah modal untuk dapat mengalahkan dan mengusir mereka dari Malaka.
Malam itu juga diadakan penguburan untuk temanteman seperjuangan yang tewas dan perawatan bagi mereka yang terluka. Separuh dari kesatuan Tuban mengadakan pengejaran seperti halnya waktu terjadi pertempuran besar melawan Kiai Benggala. Mereka bermaksud mendahului kedatangan musuhnya di suatu tempat, menghadangnya, dengan pengetahuan, di malam hari musket Portugis takkan berdaya.
Wiranggaleng memimpin pengejaran. Tetapi hutan itu terlampau gelap dan jalan yang tersedia hanya jalan setapak yang telah dilalui Portugis. Jalan itu jugalah yang ditempuh. Mereka tak dapat melalui apalagi menghadang. Mereka hanya bisa menguntit dan menemukan musuhnya sedang berkampung di sebuah kampung yang habis dibakarnya.
Suatu serangan dalam kegelapan. Dan sisa pasukan musuh melarikan diri.
Kesatuan Tuban dalam kegelapan itu tidak tahu, bahwa dalam pengejarannya selanjutnya mereka sudah berada di dekat daerah peluaran kota Malaka.
0odwo0 32. Gelar Jadi Sandera Kemarin dulu Idayu masih berseru dari beranda gubuk panggung itu: Gelar! jangan begitu. Belajar yang baik!
Tapi Gelar tak peduli. Dengan melepas kendali ia menggantungkan diri di samping kuda, tangan memeluk leher binatangnya. Kuda itu lari terus, dan ia melompat melalui punggung kuda, berbuat semacam itu di samping lain. Kemudian ia berpacu di jalanan desa dengan memunggungi arah. Tak lama kemudian ia berpegangan sanggurdi dan menggantung di bawah badan kuda.
Ia tak mau dengar emaknya memekik-mekik ketakutan. Tubuhnya dan tubuh kuda itu seakan telah jadi satu. Dan berlatih menguasai kudalah kesibukannya sehari-hari sehabis kerja.
Dan sekarang ia menggeletak di atas ambin kayu. Matanya terbuka tanpa melihat. Antara sebentar seseorang memasuki bangsal dan menengoknya, mentertawakannya.
Ada juga yang sengaja mengejek, tajam dan mengirim: Apa kau renungkan, Buyung! Anak Senapati Tuban bukan seperti itu mestinya. Kalau tidak suka, menangislah keraskeras, biar kami gendangi, biar semua orang tahu, anak Senapati punya sejambang airmata.
Untuk menghindari semua gangguan ia tutup mukanya dengan bantal.
Sekali terjadi seseorang menarik bantal itu dan menjelirkan lidah padanya. Ia rebut kembali bantalnya dan ditekankan erat-erat pada mukanya lagi. Seorang lain masuk dan menyeret kakinya sampai ia terjatuh dari ambin dan segera merangkak naik ke atas, di bawah sorak dan sorai tawa.
Pada mulanya ia meraung-raung minta dikasihani terhadap perlakuan kasar yang tak pernah dikenalnya sebelumnya itu. Tak seorang pun akan berbuat demikian di desanya. Ayah dan ibunya tidak, kepala desa pun tidak. Apakah salahku sampai diperlakukan demikian" Sekarang ia tidak meraung lagi, walau ia tidak berani melawan atau membela diri. Ia akan deritakan semua dengan sabar. Bahkan ia pun tidak tahu sedang berada di rumah siapa. Semua lelaki, prajurit, tak ada seorang wanita pun!
Di malam hari waktu keadaan agak tenang, terdengar olehnya seseorang bicara pada yang lain: Jangan ganggu dia. Aku yang melarang. Ayahnya sangat terhormat dan dihormati. Juga ibunya. Dia bukan sejenis kalian. Yang tak tahu batas.
Gelar mencoba mengintip dari balik bantal. Terlihat olehnya seorang prajurit pengawal bergelang baja bicara pada bawahannya. Ia merasa mendapat perlindungan. Dadanya tak begitu sesak lagi. Seorang demi seorang di antara mereka mulai merebahkan diri di sampingmenyampingnya dan segera kemudian tertidur dengan menyemburkan bau tuak dari mulut.
Malam semakin tenang dan ia sendiri pun menjadi tenang. Baru ia berani turun untuk buang air. Kemudian merangkak lagi ke tempatnya.
Ia kenangkan kembali percakapan antara Prajurit Tuban itu dengan ibunya: Nyi Gede Idayu, jangan kaget. Gusti Adipati Tuban telah menitahkan agar Gelar, putra Nyi Gede yang pertama, dibawa ke Tuban.
Apakah salahnya anakku" Bukankah suamiku sudah juga dibawa ke Tuban"
Tak ada yang dapat mencegah titah Gusti Adipati, Nyi Gede. Panggillah anak itu.
Dan dihadapkan pada orang-orang yang berperawakan kukuh tertutup dengan gumpalan otot.
Gelar, kau akan kami bawa ke Tuban.
Bapak berpesan untuk menjaga dan membantu emak dan adik. Ia membantah, dan menerangkan tugasnya sebagai lelaki tertua dalam keluarga.
Dan prajurit-prajurit itu mentertawakannya.
Seluruh desa akan menjaga dan membantu Nyi Gede. Itulah yang jadi titah Gusti Patih.
Aku telah berjanji pada bapak& .
Mereka berhenti tertawa melihat pancaran kebencian dan amarah pada mata Idayu. Dan wajah Idayu itu tetap cantik seperti semasa masih berada di Tuban dulu, dan tubuhnya tetap semampai berisi karena latihan-latihan. Cuping hidung wanita itu menggetar seperti cuping macan betina yang mencium bahaya yang mendatangi.
Dulu begini juga yang diperbuat oleh Kiai Benggala, bentak Nyi Gede.
Kami datang membawa titah Gusti Patih. Kita tak bisa berbuat apa-apa, Nak. Biar aku siapkan pakaianmu. wanita itu masuk ke dalam dan keluar lagi membawa bungkusan kecil dan selembar kain batik dikalungkannya pada lehernya sambil berkata. Dan ini, Gelar, kain mak, pergunakan kalau kau kedinginan. Kau harus ingat, bapakmu tidak bisa berbuat apa-apa. Makmu pun tak bisa. Jangan kau menangis. Nak sudah besar, hampir lima belas. Berangkatlah kau dengan doaku. Jadilah kau seorang lelaki.
Melihat ibu yang dihormati dan dicintai itu tak dapat mempertahankan dirinya, juga tak dapat mempertahankan pesan ayahnya atau janjinya pada ayahnya, ia pun meraung, menjatuhkan diri dan memeluk kaki ibunya. Dengan prihatin ibunya mengusap-usap kepalanya. Belum lagi kepala ini sempat berdestar& gumam ibunya. Kumbang pun memekik, merangkul leher abangnya tercinta, meraung: Tidak boleh. Kang Gelar jangan pergi!
Prajurit-prajurit itu dengan hati-hati melepaskan Gelar dari rangkulan pada kaki ibunya dan dari pelukan adiknya. Ia angkat Gelar dalam bopongan. Dan yang dibopong meronta dan melawan. Dengan demikian bermulalah perjalanannya ke Tuban. Dalam hidupnya yang semuda itu ia mulai dapat merasakan adanya kekuasaan dan pengaruh ayah dan ibunya terhadap kehidupan di Awis Krambil. Wiranggaleng Senapati, semua orang senang padanya, bahkan Sang Patih Tuban tidak tanpa hormat menghadapinya. Ibunya seorang penari tanpa tandingan. Semua orang datang padanya bila bertanya sesuatu tentang tari. Ayah dan ibunya yang sejuk dari panas dan kering dari hujan. Kehidupan seperti itu berjalan tanpa gugatan. Tapi apa sekarang" Ternyata kekuasaan ayah dan ibunya takluk pada yang lebih tinggi lagi. Dan ayahnya dan ibunya tak dapat berbuat sesuatu pun. Bahkan membantah pun tidak bisa. Dua macam kekuasaan itu ia rasai berlainan, bertentangan, bermusuhan, tapi tak pernah terucapkan.
Dan tanpa diketahuinya kini ia telah dijadikan sandera oleh Sang Adipati. Penguasa tua itu telah menitahkan agar ia dikurung di dalam perumahan pasukan pengawal kadipaten, dipersiapkan untuk jadi prajurit pengawal.
Di dalam bangsal itulah ia sekarang. Pikirannya terusmenerus diganggu oleh pertanyaan bagaimanakah ibunya sekarang harus selesaikan semua pekerjaan sehari-hari tanpa dirinya" Siapa yang mengambil rusa, atau celeng dari ranjau perangkap" Siapa yang menguliti" Siapa pula yang mengerjakan sawah dan ladang" Dan siapa yang diajak adiknya bermain" Siapa pula yang menjaganya" Betapa akan sunyinya rumah terpencil di pinggir hutan itu, dan betapa sangat sibuknya emaknya. Ia harus belajar menahan kekuatiran terhadap yang ditinggalkan dan kesedihan terhadap nasib sendiri. Yang ditinggalkan adalah alam kasih-sayang, tenteram dan damai, yang dimasukinya sekarang adalah alam kekerasan tanpa belas kasihan.
Sampai sejauh itu para prajurit pengawal menduga, si bocah itu disanderakan karena Wiranggaleng pernah menyatakan sumpah takkan kembali ke Tuban sebelum Sang Adipati mati. Dugaan yang kurang berdasar, karena Sang Adipati tak pernah mendengar sumpah itu. Yang didengarkan justru lain: Trenggono telah menuduh Sang Adipati Tuban bersekongkol dengan Wiranggaleng untuk menantang kekuasaan Demak, dan Sultan mengancam akan menangkap Sang Adipati hidup-hidup di waktu dekat mendatang dan akan membelahnya hidup-hidup jadi empat bagian besar. Ancaman itu disambut dengan tertawa, namun ia tetap tidak rela Tuban terinjak oleh balatentara lain. Maka ia menyesal telah memberangkatkan Wiranggaleng dan lima ratus prajurit laut, ia telah batalkan harapannya akan kematian Senapati. Ia membutuhkannya untuk mempertahankan Tuban. Dengan Gelar sebagai sandera ia mengharap anak desa itu sewaktu-waktu akan dapat dipanggilnya kembali.
Gelar menggeragap bangun. Tarikan kasar pada kakinya menyebabkan untuk kedua kalinya ia terjatuh di lantai. Matari ternyata telah tinggi.
Sepantun suara keras menggertaknya: Pemalas! Aturan mana orang bangun tertinggal matari"
Sekarang Gelar mengerti, tak ada seorang pun akan melindunginya. Tak percuma emaknya mengharapkan akan jadi lelaki. Ia tak sudi diperlakukan lebih lama sekasar itu. Di hadapannya berdiri seorang prajurit bertubuh kekar. Kasih-sayang yang disampaikan keluarganya menukik membalik menjadi dendam yang membuncah dalam dadanya. Dengan segala yang pernah diajarkan dan dilatihkan oleh bapaknya ia melompat dan menerkam prajurit pengawal yang tak siaga itu. Seperti seekor biawak ia melengket pada tubuh penganiayanya, dan giginya masuk ke dalam otot dada yang telanjang berbulu itu.
Dengan dua belah tangan prajurit itu menolaknya keraskeras. Gelar terjatuh di lantai setelah menubruk dinding. Dan dada prajurit itu berlumuran darah.
Kucing keparat! sumpahnya sambil menyeka dada dengan lengan. Sekali lagi, kucekik sampai mampus.
Dan kutikam kau sampai mampus! balas Gelar, berdiri dan bersiap membela diri terhadap segala penganiayaan yang mungkin menyusul.
Lancang, seperti bapaknya! Kau tahu apa tentang dirimu" Sandera!
Ayoh, cobalah sekali lagi.
Tak ada yang lebih hina daripada sandera. Kalau aku jadi sandera, lebih baik kukuliti mukaku, katanya sembari terus membersihkan dadanya.
Cobalah sekali lagi, tentang Gelar. Tak bisa kutikam waktu jaga. waktu tidur pun kena.
Kuatir akan terjadi geger, prajurit itu mengalah dan pergi sambil mengurus dadanya yang berdarah dengan pijitan dan cengkaman.
Seorang diri didalam bangsal ia mulai merenungi katakata prajurit itu sandera, jadi sandera! Dan ia mengerti hidupnya berada di ujung pedang. Setiap waktu, tanpa pemberitahuan, seorang sandera dapat dihabisi jiwanya tanpa tahu apa perkaranya. Baik, aku jadi sandera.
Seseorang memanggilnya keluar dan keluarlah ia dengan siaga. Dilihatnya pemanggilnya seorang prajurit yang sedang duduk di atas kuda sambil menuntun kendali kuda lainnya. Ia memberi isyarat dengan tangan.
Naik! perintahnya. Dan Gelar naik dari sanggurdi ke atas kuda yang tinggi lagi besar itu. Kakinya tak dapat mencapai sanggurdi yang lain. Dan sebelum ia dapat meletakkan diri dengan enak, seseorang telah mencambuk binatangnya. Kuda itu terkejut, melompat. Gelar terbalik di atas punggung kendaraannya dan jatuh ke samping. Secepat kilat ia berpegangan pada sanggurdi dan terseret oleh sang kuda. Ia tak dengar lagi orang bersorak-sorai senang: Pegangannya lepas. Ia jatuh menggeletak dengan kaki tersobek-sobek batu jalanan.
Prajurit yang memerintahkan tadi mendekati dan dari atas kuda membentak.
Siapa perintahkan kau turun" Dengar perintah baikbaik. Kejar aku, dan pukul aku sampai kena, ia menggerakkan kudanya dan memacunya mengelilingi alunalun.
Gelar bangun berdiri, memeriksai kakinya yang sobeksobek dan berdarah, kemudian membasahinya dengan ludahnya sendiri. Binatangnya berhenti di suatu tempat tak jauh dari padanya. Kuda itu jinak dan larinya kencang, memang disediakan untuk bisa mengejar. Ia tak tahu namanya. Maka dipanggilnya dengan kata yang banyak disebut-sebut belakangan ini: Sultan! Sultan! ia menghampirinya sambil berpincang.
Kuda itu tak mau menghampirinya, ia sendiri yang harus datang padanya. Angkuh kau, Sultan! Dipegangnya kendali dan ditepuk-tepuk bahu binatang itu, dipegang kepala dan diusap-usapnya. Kepala binatang itu ditariknya ke bawah pada kakinya, disuruhnya menjilati darahnya sampai bersih. Kemudian ia rangkul leher Sultan dan melompat ke atasnya.
Lari, Sultan, lari, kejar dia, bikin aku jadi lelaki. Susul dia, biar aku gebuk kepalanya.
Gelar tak duduk di atas pelana. Ia memeluk leher kuda yang tinggi besar itu dan mulai memburu.
Yang diburu lari, mengelak, meliuk-liuk.
Ayoh, Sultan, jangan kau beri aku malu, bisiknya pada kuping Sultan.
Melihat prajurit itu mengelak-elak juga, ia menjadi bersemangat. Tubruk, Sultan, tubruk, biar dia menjempalit!
Perkejaran itu berubah dari suatu latihan menjadi suatu pertarungan. Prajurit-prajurit mulai turun ke alun-alun untuk menonton. Kemudian orang lalulalang pun memerlukan melihat. Tanpa undangan dan tanpa pengumuman penonton semakin lama semakin banyak. Orang berjingkrak melompat-lompat, orang menahan nafas ketegangan.
Pada suatu tubrukan yang telah direncanakan kudanya, tinju bocah itu menggedabir mengenai angin. Dan demikian beberapa kali lagi terjadi.
Gelar naik pitam. Tak dirasainya lagi perutnya telah lapar, dan peluh kuda telah bercampur dengan peluhnya sendiri. Tidak, tidak mungkin dia dapat kupukul dengan tangan. Lengan ini terlampau pendek. Ia berpacu membungkuk dengan dua belah tangan erat-erat memeluk leher Sultan dan ia persiapkan diri untuk melakukan tubrukan yang menentukan.
Prajurit pengawal itu bukanlah anak kemarin. Dengan suatu elakan indah tubrukan dapat dihindari untuk ke sekian kalinya. Tetapi ia salah perhitungan. Tangan Gelar tidak melayang. Ia ayunkan badan dan menggaet leher prajurit itu dua belah kaki dan membikin jepitan sila.
Dua ekor kuda itu berpacu berjajar. Leher prajurit itu tetap dalam jepitan Gelar. Sorak-sorai menjadi riuh. Orang mulai mengagumi ke-tangkasaan pengendara muda belia itu. Dan tangan Gelar tetap memeluk Sultan.
Jatuhkan, orangmuda! jatuhkan!
Ia tak dengar sorak-sorai dan seruan. Kedua belah tangan dan bahunya telah terasa kelu dan ia sendiri bakal jatuh. Secepat kilat ia mengambil keputusan untuk menjatuhkan prajurit itu. Ia lepaskan jepitan sila dan secepat itu pula melayangkan tumit pada muka prajurit itu. Tak diketahuinya tumit telah masuk ke dalam rongga mata. Ia pun berayun kembali ke atas punggung kudanya. Penonton terdiam terkejut.
Ia sendiri masih siapkan kudanya untuk tubrukan yang terakhir setelah dapat melihat prajurit itu duduk goyah di atas kendaraannya.
Sudah! Sudah! Cukup! orang berseru-seru. Waktu tubrukan hampir berlangsung, mendadak Gelar menghentikan Sultan. Prajurit itu mulai miring. Tangannya yang sebelah memegangi matanya dan kepalanya menunduk miring ditarik oleh daya berat. Kudanya berjalan pelan-pelan, kemudian berhenti.
Gelar turun dan lari menyongsong. Dan orang-orang pun lari mendapatkannya.
Bodoh! bentak prajurit bergelang baja yang semalam. Tidak ada aturan menggunakan kaki.
Orang itu diturunkan dari kuda dengan muka berlumuran darah.
Gelar tak mendengarkan bentakan. Ia ikut menolong sambil memanggil-manggil Sultan yang telah ia lepas.
Binatang itu mengikutinya, berjalan pelan-pelan di belakangnya.
Bola mata prajurit itu telah keluar dari rongganya. Dan Gelar tak sampai hati melihatnya. Ia berdiri terpakukan pada tanah. Ia menyesal. Seluruh dendamnya menungging, dan belas-kasihannya muncul ke permukaan. Dan ia tak dapat berbuat sesuatu.
Hari itu kota Tuban digemparkan oleh berita tentang Gelar si muda belia, si penunggang kuda tanpa tandingan, Gelar anak Senapati Tuban, calon prajurit pengawal, calon Senapati, Gelar anak Nyi Gede Idayu. Temui dia dalam hidupmu: Dan penduduk kota Tuban, terdidik memuliakan kepahlawanan, datang berbondong-bondong mengunjungi bangsal pasukan pengawal kadipaten untuk mengelu-elukan sang perjaka pahlawan, anak kemarin yang bisa menjatuhkan seorang prajurit pengawal pada hari pertama jadi calon prajurit.
Sepanjang hari tiada berkeputusan orang datang untuk mengaguminya.
Kepala-kepala regu menjadi sibuk mengurusi para pengunjung. Mereka tahu, datangnya bondongan pengagum tak dapat dan tak mungkin dicegah karena memang sudah jadi adat yang mendarah-daging. Gadisgadis datang membawa bunga-bungaan untuk dijamah oleh si gagah-berani dan wanita-wanita bunting untuk menjamah tangannya agar anaknya kelak pun seperti itu juga gagahberaninya.
Tiga hari lamanya bangsal pasukan pengawal ramai dikunjungi orang. Buah-buahan, penganan, ikan laut dan daging perburuan, tuak, madu, telor datang bertumpuk di dalam dapur tanpa diketahui siapa pengirimnya. Dan tempat tidur Gelar tak pernah sunyi dari daun bunga yang ditebarkan.
Kemudian keadaan pulih kembali seperti biasa. Gelar tak mengerti mengapa sebesar itu penghargaan ditumpahkan kepadanya. Yang dirasainya hanyalah pemberontakan di dalam hati terhadap semua perlakuan kasar terhadap dirinya. Ia menolak semua kekasaran, dan ia bertekad untuk membalas dengan setimpal. Maka ia terus-menerus bersikap waspada, menyedari tak ada lagi kasih-sayang di lingkungannya yang baru. Tidak ada seorang ayah, seorang ibu dan adik, tidak ada seorang guru, tiada pula pembimbing. Yang ada hanya kekasaran, nafsu penganiaya dan penindasan.
Dan pengagungan orang sebanyak itu terhadapnya" Ia tidak mengerti. Ia bingung.Seorang prajurit lain yang ditugaskan untuk melatihnya memainkan tombak, sebelumnya telah memamerkan keunggulannya, baik dalam melempar mau pun menyerang dan bertahan jarak dekat, untuk mematahkan keberaniannya.
Dan anak muda desa manakah di Tuban tak tahu memainkan tombak" Juga Gelar tahu. Hanya lengannya belum cukup berotot Lemparannya kurang jauh dan permainannya kurang cepat
Juga pelatihnya mempunyai kecenderungan untuk menindas dan mengejeknya, mentertawakan dan menghinanya. Dan ia dapat raba semua itu dari sikap pelatihnya yang angkuh terhadapnya.
Prajurit pelatih itu tak mampu mengubah cara-cara Gelar yang dianggap salah menurut dasar ajaran. Ia tunjukkan kelemahan-kelemahan yang memberikan peluang bagi lawan untuk memasukkan serangan. Gelar tetap menolak tak mau mengikuti. Bukan ajaran itu yang ditolaknya, tetapi keadaannya sebagai sandera dan perlakuan terhadap dirinya.
Pelatih yang jadi jengkel tapi segan mengambil tindakan itu menghentikan latihannya, mendengus: Kepala kerbau! Apa"
Lepaskan cara lama. Salah semua.
Senapatiku lebih tahu daripada kau. Dia guruku. Senapati tak pernah dididik jadi prajurit
Dia sudah pimpin kau dalam kemenangan, bantahnya.
Kalau terus membantah, kau takkan jadi prajurit yang baik.
Dan siapa bilang aku harus jadi prajurit" Ada, yang jauh lebih berkuasa dari prajurit" Peduli apa"
Dan siapa kau kira bapakmu" pelatih itu jadi jengkel. Siapa lagi"
Senapati Wiranggaleng" Bukan! prajurit pelatih itu menggeleng-geleng dan berkecap. Siapa bilang Senapati itu bapakmu"
Semua orang. Pembohong! Tak ada orang pernah bilang begitu. Dan Gelar merasa kehormatan keluarganya telah dihinakan. Ia pun merasa dirinya sendiri dihinakan. Orangtuanya tak pernah bicara semacam itu, apalagi penduduk Awis Krambil selebihnya.
Prajurit itu tertawa dan Gelar semakin tersinggung. Memang Nyi Gede pernah melahirkan kau. Nyi Gede yang terhormat itu. Tapi Senapati bukan bapakmu. Tidak pernah! Coba katakan, apakah Wiranggaleng pernah mengatakan kau anaknya" Kau, pembohong!
Melihat Gelar mulai mengukuhkan pegangan pada tombaknya segera ia berjaga-jaga sambil tersenyum. Dan ia pun tahu telah menghinakankeluarga dan pribadi yang sedang dilatihnya. Juga ia tahu yang dihina itu takkan melupakan hinaan itu untuk seumur hidupnya.
Jangan mencoba-coba gurumu, pelatihmu, kata prajurit itu. Kalau bukan karena menghormati Sang Senapati dan Nyi Gede, kepalamu sudah pecah. Lepaskan tombak itu!
Cuping hidung bengkung Gelar sudah kembang-kempis sebagai halnya Idayu bila marah.
Kau marah. Pada waktunya yang tepat kau akan tahu Sang Senapati sungguh bukan bapakmu.
Tetapi Gelar sudah tak mendengar lagi. Darah yang telah menyesaki kepalanya membikin ia menjadi kalap dan menyerang dengan tombaknya.
Pelatih yang sudah sejak semula waspada itu mengelakkan semua serangan. Ia tahu, Gelar bersungguhsungguh hendak membinasakannya. Ia bersungguhsungguh bertahan.
Perkelahian dengan tombak adalah perebutan kesempatan untuk dapat melemparkan senjata pada tubuh lawan. Mata tombak hampir-hampir tidak dimainkan, tapi justru tangkai dua ujung yang silih ganti menyasar pada lengan untuk tidak dapat melemparkan mata senjata. Duaduanya tidak menggunakan tombak lempar, tapi tombak pengawal. Dengan tangkainya yang kuat dan panjang perkelahiannya menyerupai permainan sodor.
Gelar terus menyerang dan pelatih terus bertahan. Dalam suatu serangan yang keras pelatih itu melakukan tangkisan silang. Tombak Gelar terlepas dari tangan tanpa ia ketahui sebabnya. Ambil lagi tombakmu! perintah pelatih.
Gelar melompat memungut senjatanya dengan mata tak lepas dari tangan pelatihnya. Ia takkan biarkan dirinya terkena tipu. Bocah itu berkisar dan dengan cepat melemparkan tombaknya. Prajurit itu mengelak lebih cepat dan menangkap tangkainya, kemudian melemparkannya kembali pada Gelar dan jatuh menancap di antara dua kaki. Ambil tombakmu, perintahnya lagi.
Tanpa diketahui oleh Gelar, orang sudah datang merubung. Dan Gelar mulai melakukan serangan jarak pendek. Nafasnya telah terengah-engah dan gerak-geriknya seperti kutilang menyambali belalang, cepat, sulit untuk dapat diduga. Dan pelatih itu tetap tidak berkisar dari tempatnya. Si penyerang berputar-putar mengitari, melompat dan mengendap, berkelit dan menjuju.
Seorang kepala regu bergumam: Bukan orang, iblis kelaparan itu, kemudian memerintahkan: Selesai! Bubar!
Bersamaan dengan itu satu pukulan telah membikin jarijari Gelar tak dapat mencekam. Tombaknya terlepas jatuh ke tanah. Cepat ia mengambilnya kembali.Tombak itu jatuh lagi. Jari-jarinya seperti terbuat dari kayu.
Ia dengar tawa di sekelilingnya. Dan dendamnya serasa akan memecahkan dadanya.
Pulang! perintah kepala regu.
Semua bubar. Gelar berjalan paling belakang. Begitu ia memasuki bangsal ia disambut oleh wajah-wajah yang berseri bersuka-cita atas kegagalannya. Dan dendamnya bergumul bergulung-gulung dengan kemurungan.
Cepat-cepat ia naik ke atas ambin, menutup mukanya dengan bantal dan menahan tangisnya. Ia rasai airmatanya mengalir hangat pada mukanya. Ia marah pada diri sendiri karena tak bisa membinasakan pelatih itu. Dan ia ingin dekat lagi dengan emaknya, dengan bapaknya.
Dan ia dengar gelak-tawa berderai seperti takkan habisnya mengejek kegagalannya. Setiap kata yang mereka lepaskan ia rasai gatal, panas dan menggigit. Ia makin tidak mengerti mengapa semua orang memusuhinya, hanya karena tidak mampu mencapai apa yang telah dicapai oleh bapaknya. Tak ada sesuatu senjata di tangannya. Bila ada ia akan melompat dan mengamuk. Ia menangis. Ia kerutkan gigi karena amarah. Ia panggil-panggil emaknya dalam hatinya. Dan semua dewa yang pernah dikenalnya ia tuntut perlindungan dan kekuatannya. Ia tak dapat menenggang kekalahannya yang begitu mudah.
Hari ini takkan datang pengagum dan penyanjung! seseorang melengking ria.
Kalau bantal sudah tertutup mata& . Itulah tanda hujan deras membasahi bumi& . Dan ingin sekali ia membuang bantal dan berteriak ia tak takut pada siapa pun. Ingin ingin tapi seluruh tubuhnya menolak melakukan keinginannya.
Siapa bilang habis pengagum habis pula penyanjung" Lihat, seorang wanita datang membawa keranjang& .
Mana Gelar, anakku" Gelar mendengar suara wanita suara lembut memanggil-manggil.
Itu, Bu, di ambin, sedang patah hati, tak mau makan. Ia rasai tangan halus seorang wanita merabai kakinya. Kemudian terdengar lagi suaranya: Gelar, anakku, bangun.
Gelar! Bangun, kau! kepala regu memerintah. Gelar menghela nafas panjang untuk mendamaikan perasaannya, bangun dan menemui wanita itu. Aduh, kau sudah besar begini, Gelar, sudah perjaka. Dan Gelar berhadapan dengan seorang wanita bermata agak sipit.
Perjaka! orang bersorak-sorak senang. Gelar duduk pada tepi ambin. Juga wanita itu. Aku baru dengar kau ada di sini. Nak. Lupakah kau padaku" Orang yang menyambut kedatanganmu yang paling mula, waktu kau dilahirkan"
Nyi Gede, bisik Gelar, lupa pada perasaannya yang kacau sebentar tadi. Ia turun dari ambin, bersujud dan menyembah.
Dan wanita itu merestuinya dengan usapan tangan pada kepalanya.
Kau sudah berdestar begini, katanya. Aku ikut mengantarkan Senapatiku berangkat. Tapi tak ada aku lihat dia. Kau pun tak kelihatan. Gelar. Mengapa pakaianmu begini buruk" Tak dibekali secukupnya dari rumah" Keterlaluan Idayu. Datanglah ke kesyahbandaran, Gelar.
Tidak boleh, Ibu, seseorang mencampuri. Anak yang luar biasa nakalnya ini tak diperkenankan meninggalkan asrama tanpa titah Gusti Adipati, kecuali kalau sedang latihan.
Tapi prajurit pengawal lainnya boleh, bantah Nyi Gede.
Ya, yang ini tidak. Baiklah, sambungnya. Ini kubawakan penganan sekedarnya. Kalau begitu akulah yang harus sering datang ke mari. Kau sudah punya kelengkapan prajurit. Gelar"
Tak ada satu pun padaku kecuali itu, ia menuding pada bungkusan pakaian.
Emakmu memang keterlaluan.
Apalah gunanya" Itu pun sudah cukup, Nyi Gede. Di rumah masih ada peninggalan Sang Senapati, pakaian, pedang dan empat bilah tombak. Nanti aku bawakan.
Jangan. Ibu. seseorang mencegah, ia hanya sandera, tak boleh punya senjata sendiri.
Sandera! pekik Nyi Gede Kati. Siapa bilang dia sandera" Tidak mungkin!
Aku yang bilang. Ibu. Kebenarannya tak dapat diragukan.
Apa kesalahan Wiranggaleng Sang Senapati" Pertanyaan itu tak terjawab. Setiap orang tahu artinya sandera: orang yang setiap waktu dapat dihabisi bila yang dilepas tak menepati tugas.
Gelar! Gelar! ratapnya tiba-tiba. Siapa yang menyebabkan semua ini"
Mendadak ia terdiam dan pandangnya terpusat pada sesuatu yang jauh. Berbisik meneruskan: Biar, Gelar. Sabarlah dulu. Biar aku urus, Nak, semoga berhasil ia mendehem. Tinggallah tenang-tenang di sini. Ia bersiap-siap, kemudian pergi bercepat-cepat. Tepat sebulan selama di dalam asrama datanglah beberapa orang dari Awis Krambil mengantarkan upeti. Mereka mampir untuk menemuinya: kepala desa dan para pemikul. Mereka membawakan untuknya pakaian dan perlengkapan prajurit: tiga bilah tombak lempar, sebilah pedang, sebuah perisai dari kayu sawo yang berukiran kala makara. Tetapi semua kelengkapan itu harus dibawa pulang kembali karena tidak diperkenankan. Beberapa lembar lontar yang terikat pada benang pilinan dan berujung jumbai adalah suara dari ibunya: Gelar, anakku. Kau harus mengerti keadaanmu. Kau dibuat jadi sandera untuk menjamin kesetiaan Senapati pada Sang Adipati. Maka jangan kau pikirkan emak dan adikmu. Jagalah dirimu sendiri baik-baik, Gelar, jagalah keselamatanmu. Kau sekarang sudah dewasa. Jangan titikkan airmata untuk dukacitamu, jangan kau permalukan Senapati dan emakmu. Belajar kau baik-baik, apa saja yang harus patut kau pelajari. Sebagai sandera tak ada seorang pun yang dapat melindungimu kecuali dirimu sendiri. Begitu kau memasuki asrama, kau sudah menjadi prajurit dan sudah dewasa. Maka itu aku meminta padamu, Gelar untuk mengerti satu hal. Satu hal saja, ialah, bahwa emakmu masih mengharapkan dapat bertemu denganmu, pada suatu kali, di mana saja. Emak tidak menengokmu di Tuban, dan jangan kau harapkan yang demikian akan terjadi. Demi sumpahku, Gelar.
Dan Gelar mengerti benar apa yang tersirat di dalam lontar itu. Ia rasai selembar sembilu menyayat dalam hatinya. Ia teguhkan batinnya. Aku akan bertemu dengan emak! Pada suatu tempat. Ia tak punya persediaan lontar. Ia berusaha mendapatkannya dari tamu-tamunya.
Kau tak ada hak untuk menulis surat! tegah kepala regunya. Jangan menulis.
Sampaikan sembah sujudku pada emakku yang mulia, katanya dengan suara keras menantang seluruh bangsal, telah kubaca lontarnya dan mengerti isinya, dan ia persilahkan tamu-tamunya pergi sambil beberapa kali mengucapkan terimakasih.
Orang-orang sedesanya melingkunginya dengan pandang belas kasih. Ia bercepat memunggungi mereka, dan waktu mereka telah pergi semua ternyata para prajurit sedang ramai-ramai membaca lontarnya.
Malam itu isi surat menjadi tertawaan seluruh bangsal, bahkan dari bangsal-bangsal lain orang ikut memeriahkannya.
Gelar diam saja, tak dapat berbuat sesuatu apa. Orangorang ini memperlakukan aku seperti itu hanya karena aku sandera, setiap waktu dapat mereka bunuh.
Surat itu sudah tak mungkin jadi miliknya lagi. Dan ia tak ingat semua yang tertulis di dalamnya, kecuali suara ibunya yang memanggil mendayu-dayu: pada suatu kali, di mana saja . Ia tahu, si ibunya mengharapkan pada suatu kali nentukan suatu kali itu dan di mana saja itu" Jelas bukan emaknya.
Aku sendiri, ia menentukan, tak lain diriku sendiri. Pada bulan berikutnya datang lagi penjenguk dari desa. Sekali ini kepala desa tidak ikut serta. Juga beberapa lembar lontar datang dan: Aku dengar banyak ejekan ditimpakan pada dirimu. Gelar, Aku sangat berprihatin. Kau dipanggilpanggil si betet. Mereka meringkus kau dan mempermainmainkan hidungmu, seakan-akan anakku tidak lagi mempunyai kehormatan dan harga diri, seakan-akan Senapatiku Wiranggaleng belum berbuat apa-apa dalam hidupnya, seakan-akan Idayu tak pernah mencapai sesuatu pun. Aku tahu kau merasa terhina, dan kau tahu tidak lain dari aku sendirilah yang merasa lebih terhina lagi. Orang tua-tua kita mengajarkan tentang kehormatanjdan harga diri. Itu di desa-desa, Gelar, di kota rupanya orang sudah tidak mengenal lagi ajaran itu. Sudah sering kau kuceritai tentang Rama Cluring dan guru-guru lainnya. Cerita-cerita itu tidak akan sia-sia. Lihatlah bapakmu! Tak ada orang lain yang perlu kau lihat kecuali bapakmu. Senapati Wiranggaleng adalah bapak yang terbaik untukmu. Tidak ada yang lebih baik. Tetaplah hormati dan cintai dia sebagaimana emakmu menghormati dan mencintainya, maka semua ejekan dan hinaan akan kalis. Kau lebih berharga untuk emakmu daripada seribu pengejekdan penghinamu. Si pengejek akan tinggal jadi pengejek Si penghina semakin menjadi hina sendiri untuk seumur hidupnya. Tapi kau, Gelar, anakku, akan tumbuh lebih berharga daripada mereka dikumpulkan jadi satu. Kau tak perlu membalas surat emak ini, karena aku tahu kau tak diperkenankan. Walau demikian Idayu tidak bicara pada si gagu-bisu, tanpa surat pun Gelar mengerti perasaan emaknya. Banyak-banyaklah berprihatin. Pada suatu kali di sesuatu tempat entah di mana. Yakinilah itu, dan jangan malas berdoa untuk bapakmu, jangan malas belajar untuk dirimu sendiri.
Gelar tak membalas surat itu. Ia sengaja tak meramahi para penengok, yang tak berpesan sesuatu pun sampai mereka pulang. Satu hal yang diketahuinya, ada seorang di dalam asrama yang suka membuang-buang waktu melaporkan segala sesuatu tentang dirinya melalui orang lain ataupun langsung pada emaknya. Dan ia kadang merasa berterima kasih kadang pun merasa malu karena perbuatan orang tak dikenal itu. Dan ia bermaksud mencari orang itu.
Ia kibar-kibarkan lontarnya dan berseru-seru menantang: Ayoh, barangsiapa mau merampas surat ini, ayoh sini!
Ia seperti seekor jago yang sedang berkokok. Dan ia tersenyum senang, senyum pertama selama dua bulan ini.
Tak ada yang tampil untuk merebutnya. Maka ia membacanya keras-keras, mengetahui surat itu tidak sepenuhnya tertuju pada dirinya, teta-pi juga pada pasukan pengawal pada umumnya. Dan orang-orang yang mendengar itu duduk menekur seakan sedang menghadapi taufan amarah dari Idayu sendiri. Juga kepala regu itu menunduk dalam.
0o-dw-o0 Sesampainya di rumah Nyi Gede Kati dengan tak sabarnya menunggu-nunggu kedatangan suaminya. Dan begitu Tholib Sungkar Az-Zubaid datang segera saja ia menyerang: Tak ada orang lain yang dapat berbuat begitu kejam sejak semula daripada Tuan. Keji! Bahkan pada anaknya sendiri! Tuan malu punya anak seperti dia maka kau mau binasakan dia sebagai sandera,
Ada apa kau ini, Kati" Tholib Sungkar terheran-heran tak tahu sesuatu apa.
Hanya Tuan seorang yang sering menghadap Sang Adipati hanya kau!
Tholib Sungkar berubah airmukanya dipanggil kau dan bukan tuan. Apa kau ini" ulangnya tersinggung.
Kau telah menghasut. Kau! Kau bikin Gelar, anakmu sendiri, jadi sandera, tuduh Nyi Gede.
Dari rumah utama ini, ke rumah Idayu sana, dan lahirlah Gelar. Idayu sendiri yang berkata. Seluruh Tuban tahu ceritanya, semua tahu, siapa Gelar, kecuali Gelar sendiri barangkali, dan kau yang pura-pura tak tahu. Apa kau ini, Kati"
Tiga kali kau sudah ulangi pertanyaanmu, menunda sampai datang kebohongan baru kau buat dalam hatimu.
Tholib Sungkar Az-Zubaid mengambil tongkat dan berusaha menghindar. Wanita itu mencegahnya dengan ancaman hendak menyerangnya.
Betapa kau hinakan Idayu. Kau paksa dia mengandungkan anakmu selama sembilan bulan& . Bohong! Tak ada cara begitu pada Sayid Habibullah Almasawa. Kau kira siapa Idayu dibandingkan dengan bidadari-bidadari lainnya"
Dan mengapa mereka kau tinggalkan, dan menghambakan diri pada raja dan negeri kecil yang selalu kau hinakan" Mengapa kau diam saja" Biar aku panggil tukangkebun untuk dengarkan pertengkaran ini. Stt. Mengapa orang luar harus ikut dengar" Dengarkan kata Idayu" Kaulah pula yang mengirimkan Wiranggaleng ke sarang Kiai Benggala biar terbunuh. Kati!
Kaulah yang mengada-ada mengirimkannya ke Malaka dengan hanya uang! Kaulah pula yang merampas Gelar dari ibunya yang sendirian di desa, untuk disanderakan dan dihabisi, biar kau terbebas dari tuduhan umum dan terbebas dari malu sendiri. Kau, buaya darat! Pembunuh dengan menggunakan kekuasaan orang lain! Katakan kalau semua itu tidak benar!
Tak satu pun benar, Tholib Sungkar menjawab tegas. Baik. Mari aku seret kau ke pelabuhan, biar aku tuduh kau di depan umum, Nyi Gede Kati menangkap tangan suaminya dan mulai menyeretnya.
Jangan begini. Kati. Jangan bikin malu. Wanita itu menyeretnya terus.
Aku pukul kau, Tholib Sungkar Az-Zubaid, Syahbandar Tuban itu melawan tarikan dan mengamangkan tongkat.
Nyi Gede Kati mendadak melepaskan seretannya dan Syahbandar itu jatuh terjengkang di lantai. Ia melompat mengangkang" dan menginjak kedua telapak tangan suaminya Syahbandar itu terkaing-kaing kesakitan. Jari-jari tangannya dirasai hampir remuk dan tak bisa melepaskan diri.
Hancur jari-jari ini, pekik Syahbandar, Biar remuk!
Aku tak bisa menulis lagi nanti, pekiknya. Tukangkebun berlari-lari masuk. Melihat tuannya sedang dikangkangi istrinya sendiri ia tak meneruskan niatnya, tapi segera menyurutkan langkah kakinya dan meruncingkan pendengaran di luar rumah sambil pura-pura bekerja mencabuti rumput.
Peduli apa" Aku sendiri nanti menghadap Gusti Adipati.
Jangan, jangan, lepaskan jari-jariku, Nyi Gede. Jadi kau mengaku menghasut, memfitnah, mencemarkan keluarga sebaik itu" Kau takut pada Wiranggaleng, maka kau carikan kuburan baginya di dalam jung. Kau kalah perbawa dari Idayu, maka kau rampas anak dan suaminya. Supaya dia menderita. Kau bagus, bagus sekali. Orang pandai dan tahu segala uang tak tahu tatasusila!
Nyi Gede Kati melepaskan akan injakannya dan menyepak kepala suaminya.
Syahbandar Tuban duduk dan memijit-mijit tangan. Dilihatnya tarbus merahnya terpelanting jauh. Ia jangkau tongkat dan mencoba mengaitnya.
Pelindung kepala mulia! Nyi Gede menyepak topi itu dan jatuh ke atas pangkuan suaminya.
Dua kali kau aniaya aku. Nyi Gede. Kaulah yang menganiaya mereka. Aku mau menghadap sekarang juga.
Tholib Sungkar melompat berdiri dan menubruk istrinya. Jangan, jangan, Gusti Adipati sedang gering. Menghadap Patih Tuban Sang Wirabumi. Jangan, Gusti Patih sedang ke Malaka.
Aku mau ke pasar dan sampaikan semua ini pada semua orang, ancam Nyi Gede.
Jangan Kati, jangan. Katakan saja apa maumu. Aku akan penuhi, Nyi Gede.
Mulut tak pernah bisa dipercaya begini!
Baik. Usahakan dalam dua bulan ini agar Gelar bebas dari sandera. Biar dia kemudian kembali ke desa dan berkumpul dengan emak dan adiknya.
Baik, baik, akan kuusahakan. Tapi bukan aku yang berkuasa. Kau sendiri tahu.
Usahakan, kataku. Aku tunggu hasilnya. Kalau dia sampai dihabisi dalam dua bulan ini, kaulah& awas, kau tahu apa bakal terjadi atas dirimu.
Sejak hari pertengkaran itu kedua orang suami-istri itu tidur dan hidup berpisahan. Tholib Sungkar As-Zubaid terpaksa makan di warung dan menghabiskan hari-harinya yang menjemukan dengan minum arak. Ia pulang hanya di malam hari, apa pula kapal-kapal Atas Angin tak juga kunjung berlabuh.
Dan Nyi Gede Kati tak lagi menegurnya. Dipasangnya selembar papan di ruangkerja suaminya, dan diguratkannya satu coretan setiap hari.
Dan sudah beberapa kali Syahbandar menghadap untuk mendongeng. Ia tak juga persembahkan sesuatu tentang nasib Gelar.
Nyi Gede tak pernah menanyakan. Ia hanya menunggu coretan yang ke enam puluh, dan ia akan bertindak.
Dan Tholib Sungkar Az-Zubaid memang tak ada maksud untuk mempersembahkan sesuatu kecuali membuai Sang Adipati dalam dongengan& .
0o-dw-o0 Memasuki bulan ke tiga Gelar dianggap lulus dalam naik kuda dan mempergunakan tombak di atas tanah.ua pelajaran yang harus ditempuhnya dalam dua bulan mendatang adalah memainkan tombak di atas punggung kuda dan mempergunakan cambuk perang.
Dalam dua bulan itu ia belum juga memperoleh seorang sahabat. Seorang sandera menduduki tempat terhina dan terendah dalam tata hidup Tuban. Sahabat seorang sandera dianggap pula orang hina dan dijauhi. Dan kini ia berdiam diri bila diejek. Dan siapa pula tidak mengejek dan menghinanya" Tampangnya adalah lain dari pada yang lain. Bila kulitnya agak cerah, tua, dan tidak lima jari lebih rendah, orang akan bertemu dengannya sebagai Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa. Bila ia teringat pada sesuatu yang lucu di rumah dulu dan tersenyum, bahkan senyumnya pun sama dengan tuan Syahbandar sewaktu dia masih bayi.
Apakah bedanya dibunuh sebagai bayi dengan sebagai sandera"
Darah Gelar tersirat Ia tak ragu-ragu lagi sekarang akan sindiran orang, bahwa ia dianggap sebagai anak tuan Syahbandar, bahwa emaknya tidak mempunyai kesetiaan pada Sang Adipati, bahwa setiap waktu ia dapat dibunuh.
Suara ibunya terdengar semakin keras mendayu-dayu: Emaknya masih mengharap dapat bertemu denganmu. ada suatu kali, di mana saja. Hanya ibunya dan hanya adiknya yang sekarang ini mencintainya. Ia ragu-ragu pada cinta Sang Adipati. Mak, aku dengar suaramu, Mak! Aku dengar! Anakmu tidaklah tuli. Tunggulah aku, Mak.
Gelar mengaduh, meliuk-liuk pinggang,, merintih, purapura sakit perut, la keluar untuk pergi ke belakang. Hari terang bulan. Beberapa orang dipapasinya. Ia berlari-lari kecil sambil mengaduh. Makin jauh berjalan, makin sunyi
Di tempat pembuangan air ia dapati masih ada seorang di sana. Ia menunggu sampai orang itu pergi. Kemudian sebagai pencuri ia mengendap-endap mendekati kandang kuda.


Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sultan! Sultan! bisiknya memanggil-manggil. Binatang yang dipanggilnya bangun berdiri dan meringkik pelahan.
Gelar masuk ke dalam kandang, menariki palang-palang pintu, memeluk kuda itu pada lehernya, dan membawanya keluar. Palang-palang ia pasang lagi. Sekali lagi ia peluk leher kuda itu, berbisik: Bawa aku pulang. Sultan, jangan gusar, perjalanan jauh, malam pula. Jangan tidur malam ini. ia melompat ke atas, tanpa abah-abah, tanpa sanggurdi.
Bocah dengan kudanya yang tinggi besar itu mulai berjalan lambat-lambat meninggalkan daerah kandang, memasuki padang alang-alang. Setelah jauh dari daerah perumahan Gelar memacunya ke jurusan jalanan negeri Malam terang bulan itu tiada angin meniup. Pepohonan berdiri tenang seperti tak tumbuh di atas bumi. Langit tiada berawan. Dan bintang-bintang redup bertebaran enggan di angkasa bening. Bulan itu seakan tidak akan pernah berkisar dari tempatnya. Semua seperti batu. Yang bergerak hanya kaki kuda yang menderap cepat dan debu yang mengepul di belakang.
Dari suatu jarak terdengar gonggongan anjing hutan. Gelar tak mendengar. Yang terdengar hanya suara emaknya dan nafas Sultan. Ia tak perlu menengok ke belakang. Yang di depan adalah hidup dan kebebasan, yang di belakang adalah maut dan penindasan.
Dan Sultan akan jauh lebih cepat dari para pengejarnya, biarpun ditambah dengan tiga lemparan tombak. 0odw-o0
33. Demak Mulai Bergerak Begitu telah mendapat kepastian pasukan gabungan Tuban-Aceh-Bugis mulai menyerang daerah peluaran kota Malaka, dan Portugis terpaksa membatasi ruang geraknya di dalam kota saja, Trenggono memerintahkan menyerang.
Pasukan kuda dan kaki Demak dengan cepat menerjang kabupaten-kabupaten sebelah timur negerinya. Santenan jatuh. Balatentara itu bergerak tenis mengejar bab tentara Santenan yang melarikan diri ke timur bergabung dengan tentara bupati Blora. Dan dua orang bupati yang sekeluarga itu tak punya pasukan kuda. Trenggono memperhitungkan: juga Blora akan segera jatuh.
Semua orang lelaki kabupaten Santenan yang berumur di atas tujuh belas sampai tiga puluh dan tak sempat melarikan diri, di seret terus ke timur untuk jadi serdadu tambahan.
Balatentara gabungan Pesantenan-Blora yang menyedari kelemahannya memasang perangkap-perangkap kaki kuda dengan ranjau gambangan dari bambu, yang dijajar renggang di atas lobang-lobang dangkal dan ditutup dengan dedaunan dan tanah. Pekerjaan itu tidak sia-sia. Barisan terdepan pasukan kuda Demak memasuki semua perangkap dan kuda-kuda celaka itu pada patah kakinya.
Trenggono sangat marah melihat kerusakan pada pasukan kuda kesayangannya. Ia mengancam bupati-bupati bersangkutan akan merejamnya hidup-hidup.
Maka pasukan kaki Demak yang digalakkan oleh harapan menjarah melewati pasukan kuda, menempuh jalan hutan, dan menyerbu ke depan. Dua-dua pihak balatentara yang bermusuhan tidak lagi mengindahkan aturan perang. Mereka tak mesanggrah untuk kemudian bertempur pada keesokan harinya. Kekuatan Demak mengalir deras tak sempat menunggu persiapan lawannya, menerjang yang terkena terjang membongkar yang terkena bongkar. Pertempuran sengit terjadi di desa dan kampung yang dilewati.
Di sebelah utara, balatentara Demak yang telah dipusatkan Mfeetumnya di Juana, juga bergerak ke timur. Rembang tidak mengosongkan daerahnya seperti halnya dengan Pesantenan Satu pertempuran yang mendarah terjadi dengan sengitnya di hutan bakau-bakau sepanjang pesisir di mana penikan kuda Demak tak dapat berbuat sesuatu pun. Dan pertempuran itu berlarut-larut hingga Trenggono memerlukan datang ke daerah pesisir itu dan sendiri turun ke medan.
Pada hari Trenggono memerintahkan penyerangan, armada Jepara Demak, armada terbesar setelah jatuhnya Majapahit, tujuh puluh kapal besar, dipimpin oleh Panglima-Laksamana Fathillah. meninggalkan bandar Jepara untuk ke tiga kalinya dan menempuh garis pelayaran yang sama: ke jurusan Banten.
Sama halnya dengan dua pelayaran sebelumnya di setiap bandar dikatakan mereka sedang berlayar untuk menghadap Peranggi.
Mengetahui, bahwa balatentara Demak bergerak ke jurusan timur dan mulai menaklukkan bupati-bupati tetangga sendiri, orang menjadi curiga dan bersiaga. Mengapa armada yang ditimang-timang Adipati Unus itu tak juga menuju ke Malaka. Maka di setiap bandar hanya dengan kekerasan bisa diperoleh air dan bahan makanan
Armada bergerak melewati Selat Sunda tanpa mampir ke Banten dan membelok ke kiri sampai Ujung Kulon, seakan memang sedang berja-ga-jaga agar Portugis tak masuk ke Jawa. Walau demikian seluruh Banten telah bersiaga. Kepercayaan orang terhadap Trenggono telah punah sama sekali.
Gerak-gerik armada diikuti oleh Banten dari pesisir Mereka melihat armada besar itu menurunkan beberapa pasukan di Ujung Kulon. Dan di sana sudah menunggu pasukan Banten Pertempuran sengit segera terjadi. Armada menurunkan pasukan bantuan, kemudian mengangkat sauh dan semua berangkat meninggalkan Ujung Kulon. Pasukanpasukan yang didaratkannya terus terlihat dalam pertempuran.
Tujuh puluh kapal itu kembali menuju ke Selat Sunda. Tiba-tiba membelok ke kanan, memasuki bandar Banten sambil melepaskan tembakan-tembakan cetbang. Banten pun melepaskan cetbangnya, tetapi pasukan-nya telah banyak dipasang di sebelah pesisir barat. Pertempuran cetbang yang berjalan selama setengah hari telah menghabiskan peluru Banten.
Pendaratan dimulai oleh para penyerbu. Dan pertempuran di atas pasir pantai meluas ke mana-mana, ditutup hanya oleh malam. Dan dalam malam itu juga Demak meneruskan pendaratannya. Mereka tahu Perangi sedang sibuk di Malaka, dan mungkin melakukan sergapan dari belakang.
Bandar besar di Jawa itu jatuh pada hari berikutnya Pada hari ketiga setelah pendaratannya kekuatan Demak memasuki ke pedalaman Banten. Balatentara Banten kalah dalam jumlah dan persiapan. Dan setelah seminggu bertahan pertahanannya pasukan Banten jatuh ke dalam kekuasaan Demak.
Fathillah bergerak dengan cepat la dudukkan orangorang Demak jadi pemegang kekuasaan di Banten. Dengan keras ia mengatur kembali pulihnya kehidupan dan penghidupan untuk dapat bertahan terhadap kemungkinan datangnya Portugis. Sebagian dari kapal-kapalnya melakukan penjagaan terus-menerus di sepanjang pesisir barat dan utara Banten.
Taraf pertama persekutuan militer Trenggono-Fathillah telah berhasil. Dengan Banten sebagai pangkalan Demak, seluruh Jawa sebelah barat akan dapat ditelan. Dan Demak harus jadi modal.
Dalam waktu hanya tiga bulan kehidupan sudah pulih kembali. Fathillah mulai memanggili penduduk dewasa untuk dijadikan prajurit. Dengan jalan demikian ia telah ganti kerugian manusia selama pertempuran seminggu. Semua pandai besi dikerahkan untuk membikin peralatan perang baru. Bandar dibuka kembali Dan negeri yang kaya akan lada ini siap menunggu kapal-kapal dari Atas Angin.
Banten adalah penghasil lada dan minyak kelapa. Dengan jatuhnya Malaka dan Pasai, ia telah menggantikan kedudukan Gresik sebagai bandar terbesar di Jawa. Tetapi Banten sendiri tidak mempunyai armada dagang ataupun militer, karena percaya kegiatan perdagangan takkan menyebabkan kekuasaan lain akan berniat menyerbu selama dia sendiri tak menghendaki daerah orang lain. Pertahanan dalam negerinya disia-siakan. Dan semua ini telah diperhitungkan oleh Fathillah
Dan sekarang Fathillah akan menggunakan penghasilan bumi dan laut Banten untuk memperluas gerakan memasuki pedalaman sampai he Laut Kidul. Penduduk bandar Banten sendiri membantu dan menyokongnya. Mereka adalah Pribumi yang hidup dalam kampungkampung tersebar di sekitar bandar. Sebagian adalah penduduk bangsa-bangsa Nusantara dan non-Nusantara dan mereka mengirimkan wakilnya untuk menyatakan takluk dan setia pada Demak. Tak bisa lain: balatentara Fathillah sebanyak lebih dari lima belas ribu orang itu takkan mungkin dapat ditahan oleh kekuasaan manapun!
Fathillah sendiri adalah seorang di antara sekian puluh orang di Banten yang telah naik haji, dan seorang di antara beberapa belas orang yang tahu berbahasa Arab. Dengan pengetahuannya tentang agama Islam dalam waktu hanya beberapa bulan orang mulai melupakan penyerbuannya dan melupakan tindakannya yang keras. Ia sering berkhotbah di mesjid dengan bahasa Melayu, la panggili para ulama setempat, dan diperintahkan pada mereka mendirikan majelis dakwah, yang bukan saja bertugas menyebarkan agama Islam secara teratur, juga mewajibkan padanya membentuk barisan musafir sebagaimana pernah dilakukan oleh Demak, hanya sekarang untuk memasyhurkan Gubernur-Panglima-Laksamana Fathillah.
Beberapa kali ia melakukan pemeriksaan ke pedalaman. Beberapa kali pula ia mengerahkan pasukan untuk menghalau penduduk yang menolak Islam dalam segala isi dan bentuknya. Pada mulanya orang melawan dengan senjata, tetapi kekuatan besar Demak yang membeludak itu tiada terlawan. Kemudian mereka melawan dengan katakata makin tidak berarti dan tertindas. Dengan sikap pun tanpa makna. Mereka terpaksa melarikan diri dan mencan daerah hidup baru tanpa Fathillah.
Jatuhnya Banten dan Pesantenan ke dalam kekuasaan Demak sampai pada Wiranggaleng dua bulan kemudian: Khianat bisiknya seorang diri dan pergi menyendiri ke suatu tempat untuk memikirkannya Tepat sebagaimana kuduga. Semua telah berkhianat! Semua hendak menarinari dengan Peranggi di atas pundak si Wiranggaleng, anak desa ini: Trenggono, Adipati Tuban, Fathillah Liem Mo Han, Kala Cuwil, Ratu Aisah,& Dan pasukan gabungan ini sekarang menjadi lola di negeri orang
Ia berpikir. Kesimpulannya hanya satu semua yang terjadi telah melawan cita-cita Rama Cluring, bertentangan dengan Adipati Unus.
Dicobanya berpikir terlepas dan semua ikatan dengan Jawa. Ia tak mampu. Semua punya ikatan dengan Jawa, justru bersangkut-sangkutan, bertali-temali.
Ia pulang ke markasnya. Dan Pada telah menunggunya, juga dalam keadaan gelisah dan menunduk menunggu teguran. Wiranggaleng tak menegurnya.
Senapati itu duduk diam-diam di atas ambin. Waktu pimpinan kesatuan Aceh dan Bugis datang. Senopati bertanya apakah tempat di mana pernah terjadi pertempuran pertama antara kesatuan Bugis dan Peranggi, dapat digarap jadi daerah pertanian tetap.
Melihat pimpinan kesatuan Aceh tak memberikan jawaban ia bertanya apakah tidak atau kurang menyetujui.
Tidak, Hang Wira, jawabnya, bukan soal tidak atau kurang menyetujui. Kami ada persoalan lain. Setelah Sultan Mughayat Syah, Sultan kami, Sultan Banda Aceh Darussalam, wafat, kesatuan kami diperintahkan ditarik, dan kami harus pulang ke Aceh begitu jemputan datang. Berita itu laksana petir menyambar. Ia tahu Sultan Aceh yang baru telah kehilangan kepercayaannya pada Trenggono.
Sembah sujudku ke bawah duli Baginda Sultan. Semoga penumpasan terhadap Peranggi dari Malaka tetap jadi perhatian. Kami yang tertinggal akan berusaha sebaikbaiknya.
Berita dari Jawa itu telah melumpuhkan semangat kesatuan Tuban. Di mana-mana tempat mereka menggerombol dan membicarakan kemungkinan terjadinya penyerbuan Demak terhadap Tuban sendiri
Sedang kita ada di sini mereka mengeluh.
Dan keluhan itu adalah yang juga ada dalam hati Hang Wira. Armada sebesar itu! Ia perang tanpa daya, ternyata betul tidak untuk pembebasan Malaka, sebaliknya untuk melampiaskan nafsu kekuasaan pribadi.
Trenggono! sebutnya di hadapan pemimpin-pemimpin kesatuan, telah mengubah kedudukan kita menjadi badut yang lemah, tidak lucu, dan tidak berarti. Aku akui Peranggi berjumlah kecil, keampuhannya hebat. Dan sekarang kekuatan kita semakin berkurang dengan kepergian kesatuan Aceh.
Akan kuusahakan menghadap ke bawah duli Baginda Sultan dan mempersembahkan semua ini, pimpinan kesatuan Aceh menyampaikan, bebasnya Malaka dari Peranggi juga jadi urusan Banda Aceh Darussalam. Kami akan tetap tinggal di sini, pimpinan kesatuan Bugis memberikan jaminan. Jatuhnya Malaka juga jadi urusan Bugis-Makasar. Mereka jatuh, dan jalan kami ke utara akan kembali terbuka.
Dua minggu setelah itu kesatuan Aceh minta diri untuk kembali. Kesempatan itu dipergunakan Hang Wira untuk mengirimkan Pada pulang ke Jawa.
Carilah berita yang benar, dan tengok mbokayumu dan kemenakan-kemenakan, pesan Hang Wira. Cari Liem Mo Han, cari keterangan tentang Kala Cuwil: jangan lupa menghadap Gusti Ratu Aisah.
Dan dengan demikian berangkatlah Pada.
Setelah pertahanan Rembang patah dan medan pertempuran di hutan bakau-bakau selesai, balatentara Demak memasuki Rembang, menjarah-riah segala yang dapat dan ditemuinya.
Penduduk melarikan diri ke hutan-hutan pedalaman. Balatentara pemenang itu kemudian membelok ke selatan untuk membantu menghancurkan persekutuan militer Pesantenan Blora.
Persekutuan, yang tak menduga-duga akan datangnya balabantuan musuh dari utara, meliuk kena terjang dan melarikan diri ke selatan.
Balatentara Demak, di bawah pimpinan Trenggono sendiri, menang untuk ketiga kalinya.
Sultan Demak semakin berbesar hati. Seorang ke Banten dan memberikan perintah baru: Ambil Sunda Kelapa!
Dalam pada itu balatentara Demak dari barat dan utara yang bertemu di Blora, dengan membawa serdadu baru dari tempat yang baru ditaklukkan, diperintahkan menerobos ke timur laut untuk menaklukkan Tuban dan Bojonegara.
Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi telah menyebarkan telik untuk mengikuti gerak-gerik balatentara Demak. Mengetahui bahwa para penyerbu akan menyerang dari jurusan barat daya Tuban, disiapkannya pasukan gajah di perbatasan. Ia percaya Demak takkan mungkin dapat menembus pasukan gajah.
Telah ia pilih tanah lapang untuk membuka medan ini di mana ia berjanji akan giling bonyok balatentara musuhnya. Ditunggunya para penyerbu itu menyeberangi tanah lapang itu. Dan perhitungannya tidak keliru.
Pada suatu hari, pagi-pagi benar, ujung pasukan kuda Demak yang bersenjata tombak berjumbai berwama-wami itu bersorak-sorak menyeberangi lapangan untuk mengutip kemenangan yang ke sekian kalinya. Nyaris sampai ke pinggiran lapangan, gajah-gajah Tuban pada berdiri, bersuling, lari ke depan membawa bentengan kayu di atas punggung.
Kuda-kuda Demak terkejut Tombak-tombak mereka yang berdiri condong menuding langit sekarang mendatar siap untuk melayang. Tetapi mereka tak pernah berlatih menombak pada sasaran tinggi. Dan kuda-kuda kaget itu menyulitkan pembidikan.
Sebaliknya panah dan tombak dari atas gajah berlayangan bebas menuju ke sasaran.
Kuda-kuda Demak masih terus berlarian gugup melihat gajah-gajah menggiling barang apa yang melintang di hadapannya. Kegugupan Demak menyebabkan tubrukantubrukan antara mereka sendiri. Dan kuda-kuda di belakangnya langsung membelok menghindari tanah lapang.
Lindungi Sultan! seseorang berseru.
Mendengar Sultan ada dalam pasukan kuda itu Kala Cuwil menjadi lebih bersemangat. Ia perintahkan pasukan kaki menyerbu dengan ting-kahan canang dan gendang bertalu, yang terdengar dari segala penjuru. Tangkap Sultan! ia berteriak. Suaranya bergema-gema melalui ribuan mulut lainnya. Panah dan tombak berhamburan di medan pertempuran. Balatentara Demak mengalami banyak kerusakan dan segera mengundurkan diri sebelum pasukan kaki Tuban dikerahkan memburu. Bagi Trenggono sendiri kemenangan atas Tuban menjadi petaruh untuk gerakan militer selanjurnya. Dari Tubanlah seluruh Jawa Timur akan dapat dikuasai. Dari sini akan dapat ditumpas Blambangan sebagaimana halnya dari Sunda Kelapa akan ditumpas Pajajaran. Dan dengan tumpasnya dua kerajaan Hindu tersebut seluruh Jawa akan menjadi Islam atas namanya. Dan Islam, menurut Fathillah yang kemudian juga jadi pegangannya, menjamin kebebasan Jawa dari Peranggi.
Khusus untuk Trenggono, Blambangan adalah gudang peninggalan Majapahit. Dengan benda-benda kerajaan Majapahit itu Demak saja yang bakal jadi kerajaan pewaris syah dan tunggal dari Majapahit, dan seluruh Jawa akan sujud dengan badan dan matinya padanya, pada Demak.
Kegagalannya di perbatasan barat daya Tuban membikin ia menjadi beringas. Ditariknya semua pasukan kaki ke utara untuk dapat merebut Tuban dari pesisir. Sebagian kecil pasukan kuda ia perintahkan tinggal untuk menyibuki pasukan gajah.
Tetapi Kala Cuwil tidak dapat ditipu dengan siasat itu. Melihat balatentara Demak mengurangi kekuatannya ia pindahkan semua pasukan gajah kembali ke kota.
Pagardesa dan sebagian kecil pasukan kaki ia tinggalkan untuk menyibuki pasukan kuda Demak.
Demikianlah maka pertempuran kecil-kecilan terjadi terus-menerus di perbatasan ini dengan membawa kerusakan pada kedua belah pihak.
Induk pasukan Demak yang bergerak dari pesisir utara menghindari daerah koloni Tionghoa Lao Sam, kemudian mengancam perbatasan timur Tuban.
Meriam Portugis di tangan Tuban menyambut kedatangan mereka.
Demak tertegun menerima peluru-peluru besi itu sehingga gerakannya terhenti sama sekali. Kemudian mereka menempuh jalan lain dan mendesak terus tiada tertahankan. Cetbang-cetbang Tuban mulai berledakan. Demak meliuk lebih ke selatan dan mulai membuka medan pertempuran baru sebagaimana mereka tentukan sendiri.
Balatentara Tuban yang dipaksa bertahan melepaskan pasukan gajah. Dan Demak meliuk kembali ke utara. Sekali ini Demak berhasil menjebol pertahanan Tuban dengan meninggalkan pasukan gajah.
Banteng Wareng dengan pasukan kudanya belum juga dikeluarkan oleh Kala Cuwil. Patih-Panglima Tuban itu punya rencana hendak menggunakannya untuk menyergap dari belakang, bila Demak berhasil dengan desakannya. Tidak diketahui penghubungnya telah tertangkap oleh musuh dan tewas di pinggiran medan pertempuran.
Di kota Tuban, kehidupan masih berjalan tenang. Tak ada orang percaya Demak bisa menembusi pasukan gajah Tuban. Dua ratus tahun lamanya pasukan ini telah jadi tulang punggung Majapahit Demak hanya kerajaan kemarin! Tak tahu banyak tentang perang besar. Maka juga pasukan pengawal kadipaten masih tenang-tenang di tempatnya masing-masing. Kala Cuwil pun belum lagi memberikan perintah untuk siaga.
Meriam Portugis dan cetbang tak berhasil membendung desakan Demak. Sorak-sorainya kini mulai terdengar di Tuban kota. Pasukan pengawal terperanjat dan tanpa perintah Patih-Panglima mulai disiagakan untuk mempertahankan kadipaten dan kota.
Dengan gopoh-gopoh Braja memasuki kadipaten untuk mempersiapkan pengungsian Sang Adipati. Beberapa orang perwira diperintahkannya memberitahukan pada penduduk untuk mengungsi.
Di depan pintu peraduan Sang Adipati didapati Braja dua orang pengawal bertombak itu masih berdiri di tempatnya. Siapkan tandu! perintahnya. Dua orang itu lari dan hilang dari pemandangan. Braja belum juga masuk. Jantungnya berdebaran dan pikirannya sibuk untuk mendapatkan kata-kata yang tepat. Ia menyembah, menarik tali untuk memberitahukan pada penjaga di dalam. Tetapi tarikannya tak mendapat jawaban. Ia buka pintu. Dilihatnya Sang Adipati tergolek tenang di atas peraduan. Dan tak ada seorang penjaga pun di dalam bilik itu. Braja! panggil Sang Adipati.
Braja menjatuhkan diri, berlutut dan menyembah. Ampun Gustiku, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Trenggono berkhianat
Sorak-sorainya telah terdengar dari sini. Gusti. Kami tak dengar. Sorak-sorai Demak" Sorak-sorai Demak, Gusti.
Khianat! Khianat! ia ulangi kata-kata itu dengan suara semakin lama semakin pelahan, kemudian tak terdengar lagi.
Gusti, sudah datang waktunya untuk mengungsi. Sang Adipati tak menjawab. Braja mendekati untuk mengulangi. Sang Adipati sudah tak bernapas lagi. Wajahnya telah menjadi begitu ciut dan rambutnya yang begitu putih seluruhnya terberai di atas bantal. Destarnya terlepas dan jatuh di samping kepala. Ia ambil destar itu, ia tutupkan pada wajah jenasah itu. Kemudian ia lari keluar dan berteriak-teriak: Cepat! Mengungsi semua! Mengungsi! Gusti Adipati Tuban jangan ditunggu. Gusti telah mangkat.
Ia terus lari ke belakang, tak mempedulikan orang berlarian silang-pukang. Digedornya harem. Waktu pintu itu terkirai, ia masuk di bawah protes Nyi Gede Daludarmi, ia tak peduli, berteriak: Pergi kalian! Pergi dari sini! Ke mana saja kalian suka. Sang Adipati mangkat. Balatentara Demak sedang mengancam. Cepat pergi. Bawa semua barang kalian! Perempuan-perempuan itu pada menjerit kebingungan.
Diam! bentak Braja. Bawa harta-benda kalian. Lari sejauh-jauhnya, jangan sampai tertangkap.
la tinggalkan kadipaten dengan bimbang. Siapa dan apa sekarang ia kawal" Jenasah Sang Adipati" Harta-benda kadipaten" Ia lari masuk ke dalam asrama, memanggil semua anakbuahnya, kemudian memerintahkan semua bergerak ke selatan untuk mendapatkan Kala Cuwil Sang Wirabumi.
Gila! Balik! Pertahankan Tuban Kota.
Apa yang dipertahankan" Sang Adipati telah mangkat. Kala Cuwil berlutut. Kepalanya menunduk dalam. Mangkat" Ia termangu-mangu. Apa lagikah yang harus dipertahankan"
Dan Tuban Kota jatuh jadi rayahan dan jarahan tentara Demak tiga puluh ribu prajurit. Balatentara Demak asli! Tambahan dari daerah-daerah taklukan baru lima ribu!
Dalam kawalan barisan kuda Trenggono turun dari kendaraannya di depan gedung kabupaten Tuban. Dengan langkah gugup ia naik ke atas diiringkan oleh para pengawal.
Takluk menyerah kalian yang di dalam! serunya, Sultan Trenggono Demak datang!
Tiada seorang pun datang mengelu-elukan. Putri-putri Tuban tidak, selir-selir pun tidak, apalagi prianya.
Ia berdiri di tengah-tengah pendopo, gugup menunggu datangnya para pengelu. Sunyi senyap. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Kesenyapan juga yang hadir. Ia menengok ke belakang. Semua prajuritnya turun belakangan dari kuda masing-masing dan tak menyaksikan suatu penyerahan.
Bedebah! Tumpas setiap yang hidup di dalam sini perintahnya. Pasukan kuda mulai memasuki kadipaten, Trenggono sendiri diiringan regu pemeriksa gedung.
Peraduan Adipati Tuban, seorang perwira mempersembahkan. Bedebah! Keluar kau anjing Tuban! pintu kamar itu ia terjang. Juga tak ada yang datang bersujud pada kakinya, la masuk ke dalam, langsung pada Sang Adipati yang terbujur di peraduan. la cabut kerisnya. Dan tubuh terbujur itu tiada memperdulikan-nya.
Kaulah ini kiranya, bentaknya murka, dan dicabutnya destar itu dari wajah Sang Adipati Tuban.
Sekaligus ia tahu sedang berhadapan dengan mayat Dipunggungjnya mayat itu sambil menyarungkan kembali kerisnya dan bergumam, Sayang. Tak kau saksikan bagaimana kejatuhanmu sendiri. Takkan lagi kau saksikan bagaimana Jawa sujud di bawah kaki Trenggono. Sayang kau tak melihat pasukan gajah andal-andalanmu tersobeksobek oleh pasukan kuda Demak! Ia berbalik lagi dan melusuhi mayat itu. Dengan demikian ia tak jadi bermarkas di kadipaten.
Pasukan Tuban menyingkir ke selatan. Dan Kala Cuwil masih juga tak dapat memutuskan apa harus diperbuat.
Tak lain dari Banteng Wareng yang sangat kecewa terhadap pimpinan Kala Cuwil. Ia lebih suka mati di medan pertempuran daripada menderita kan malu telah kalah tanpa berbuat sesuatu pun. Ia melawan tradisi pasukan kuda Tuban, biarpun tak banyak jumlahnya. Ia tak rela kalah sebelum bertempur
Pagi-pagi benar ia siapkan seluruh pasukannya. Tanpa memberitahukan atau minta diri dan Kala Cuwil pasukan kuda itu melakukan serangan mendadak atas Tuban Kota yang telah jatuh ke tangan musuhnya.
Tak pernah dalam tradisi perang di Jawa sebuah pasukan yang telah kehilangan raja melakukan serangan pembalasan Maka juga Demak tak pernah memikirkan terjadinya kemungkinan itu
Tapi serangan adalah serangan. Dan pagi itu balatentara Demak, yang masih lelah dari berpesta merayah dan menjarah kemarin dan semalam, masih aman tenang bersembunyi di bawah selimut masing-masing. Dengan cambuk-perang dan pedang terhunus pasukan kuda Tuban menyambar-nyambar seperti elang
Balatentara Demak lari kocar-kacir ke jurusan barat dengan meninggalkan jarahannya
Trenggono sendiri belum lagi bangun waktu serangan terjadi. Prajurit pengawal membangunkannya dengan kasar dan menariknya pada kuda yang telah disiapkan. Bedebah! pekik Trenggono
Mereka menyerang, kembali. Gusti
Siapa menyerang, bedebah" Adipati Tuban sudah mampus. Ia menolak naik ke atas kuda Tangannya mencari pedangnya, tetapi senjata itu belum lagi padanya. Bila ada, prajurit itu akan belah jadi dua.
Sorak-sorai dan geletar cambuk-perang pasukan Banteng Wareng mengguruh dan segala penjuru.
Buru-buru Trenggono melompat ke atas kudanya. Ke sini. Gusti, seorang prajurit.
Ia hentikan kudanya dan masuk ke dalam apitan pasukan pengawal, berpacu ke jurusan barat. Dadanya serasa hendak meledak karena murka, merasa dihina dan dipermain-mainkan.
Dan dalam serangan mendadak itu Banteng Wareng bertindak menggiring musuhnya keluar kota Tuban. Ia segera perintahkan untuk merawat jenasah Sang Adipati. Kemudian dikerahkannya pasukannya ke selatan kembali, meninggalkan Tuban Kota dalam keadaan kosong.
Meninggalnya Adipati Tuban tak didengar oleh Wiranggaleng. Dengan berita masuknya Demak ke negeri kelahirannya kembali ia bergulat dalam pikirannya. Ia harus mengubah pendapat yang lama: tidak semua berkhianat. Kalau Demak menyerang Tuban, jelas Tuban tidak berkhianat lagi pada cita-cita Adipati Unus. Tapi mengapa Tuban mengirimkan armada jung" Di mana kapalkapalnya" Mengapa tidak diserahkan padanya" Dan mengapa meriamnya ditahannya sendiri" la belum dapat memutuskan. Setidak-tidaknya Demak harus dipisahkan dari persoalan Tuban. Dulu Demak menyerang Peranggi, dan Tuban mengkhianati. Sekarang Demak tidak menyerang Peranggi, tapi menyerang Tuban, dan Tuban mengirimkan kekuatannya ke Malaka. Dulu Tuban mengirimkan tentaranya ke Malaka dengan ragu-ragu, sekarang pun masih tetap ragu-ragu.
Tentang kelolaan pasukan gabungan lain pula soalnya. Kelolaan menyebabkan pasukan ini tiada mempunyai pusat pengabdian. Memang gerakannya telah berhasil membatasi ruang-gerak musuhnya. Tetapi apakah artinya semua itu bila di Jawa sana kedunguan, nafcu kekuasaan, sudah tak mau kenal lagi apa artinya pengusiran terhadap Peranggi"
Dan beban tambahan yang tak kurang memberati pikirannya adalah kemerosotan semangat prajuritnya. Dari prajurit yang berani dengan cepat mereka berubah jadi petani yang bersenjata. Dari mengusir Peranggi tugas mereka berubah jadi menjaga tanaman terhadap gangguan Peranggi dan celeng. Ketertiban dan disiplin militer dengan cepat meruap jadi kecintaan pada panen di atas tanah yang subur menghidupi itu.
Hanya dengan ancaman hukuman keras saja ia berhasil memerintahkan telik-teliknya memasuki Malaka untuk mendapatkan keterangan. Dan betapa kecewa hatinya mengetahui, Pribumi dalam negeri Malaka tidak mempunyai perhatian terhadap pembebasan negerinya sendiri. Bahkan mereka mulai berduyun-duyun menjadi Nasrani, menjadi Peranggi itu sendiri.
Apa lagikah artinya segala usaha dan jerih-payah ini" Dan tak ada yang dapat membantunya berpikir. Kadangkadang ia menyesali diri bodoh hanya karena berasal dari desa. Kemudian ia bantah kembali: apa kurangnya Trenggono" Dia Sultan memiliki segala-segalanya, namun dungu!
Dari pengalaman selama ini ia merasa hanya mendapatkan satu pelajaran: Peninggi tak akan datang untuk kedua kalinya di tempat ia pernah dikalahkan. Dan pelajaran ini takkan dilupakannya selama ia masih menghadapinya.
Dan apa yang dianggapnya sehagai pelajaran itu ternyata tidak benar seluruhnya. Portugis hanya mengutamakan bandar-bandar pangkalan untuk dapat menyelamatkan pelayaran ke Maluku pulang balik. Ia tak mengutamakan luasnya daerah taklukan seperti Trenggono.
Apa yang terjadi di dalam tubuh kekuasaan Portugis sendiri" Para telik tidak tahu. Wiranggaleng pun tidak.
Melihat serangan-serangan dari luar kota dapat diatasi, malah makin lama makin kendor kehabisan gairah, mengetahui pula armada Jepara-Demak tidak ditujukan pada Malaka. Portugis mulai memikirkan kembali rencana lama untuk menguasai sumber lada dari selatan.
Jatuhnya bandar Banten ke tangan musuhnya yang lama, Fathillah, telah membikin kering arus lada. Harganya di benua Eropa melonjak tinggi tiada terkendali, dua-tiga kali lipat itu pun masih sulit didapatkan. Portugis telah memberi penntah pada Goa, Goa pada Malaka agar segera mengisi pasaran Eropa dengan lada baru, sebanyak-banyaknya.
Pedagang-pedagang sekongkol Portugis memberitakan armada Demak kini merajai Selat Sunda, melakukan apa yang dilakukan oleh Portugis di Selat Malaka, mengawasi kapal dan perahu yang meninggalkan atau memasuki bandar.
Malaka telah mengirimkan sekongkol-sekongkolnya untuk menyelidiki apa sesungguhnya sedang terjadi di daerah Selatan Dan Malaka mendapat berita: armada Demak mulai menutup lalulinlas laut dengan& bukan hanya Banten, juga Sunda Kelapa, sumber utama lada.
Beberapa kali penyelidikan dikirimkan. Hasilnya sama saja: Fathillah tetap tidak membuka blokade.
Wiranggaleng tidak tahu sama sekali tentang apa yang terjadi persoalan musuhnya. Kesulitannya sendiri semakin menumpuk: kekurangan manusia dan peralatan. Keduaduanya telah makin memerosotkan kegiatan kemiliteran, dan kedua-duanya tidak bisa diatasi. Betapa bisa menambah kekuatan manusia" Prajurit setempat tidak ada. Kampungkampung hanya terdiri dari empat-lima rumah dengan penduduknya yang menyandarkan penghidupan pada pertanian dan pertukaran barang semata-mata. Mereka tak mempunyai kepentingan dengan penghalauan terhadap Portugis. Pemuda-pemuda kampung yang ikut bergabung merupakan keluarbiasaan. Dan pemuda-pemuda itu kemudian dibenci oleh orang-orang sekampungnya. Soalnya berkisar pada cemburu. Kampung-kampung kecil itu kehilangan daya dalam mengimbangi kebutuhan asmara dari para pendatang yang sebanyak itu dan para pendatang yang dalam segala hal lebih unggul pula. Dengan dukacita Hang Wira dapat ikut merasai perasaan cemburu. Makin banyaknya berita yang datang tentang gerakan balatentara Demak, semangat para prajurit Tuban itu semakin merosot juga. Bila toh harus bertempur, lebih baik di Tuban, di negeri sendiri. Dan semakin lama mereka bergaul dengan penduduk setempat, semakin dalam mereka terlibat dalam soal-soal asmara. Maka prajurit-prajurit mulai berubah jadi pengelana asmara dari kampung ke kampung. Dan begitu seorang prajurit menikahi seorang perawan kampung, seperti wabah yang lain-lain pun mengikuti. Habislah perawan-perawan kampung. Yang belum berhasil menjauhkan pengelanaannya sampai ke tepi-tepi pantai. Ke kampung-kampung nelayan yang lebih jauh. Dan begitu pernikahan terjadi, selesailah si jantan sebagai prajurit. Ia menjadi petani atau nelayan saja.
Wiranggaleng tahu ia tak punya kemampuan untuk membendung kemerosotan ini. Inti pengikatnya telah buyar karena Trenggono. Ia tahu juga: Malaka takkan bakal jatuh ke tangannya.
Pada meninggalkan Banda Aceh Darusalam menumpang kapal Bugis, dan tanpa singgah di Jawa mendarat di Makasar. Di sini ia menumpang sebuah perahu Bali dan mendarat di Gresik. Dengan perahu Gresik ia menuju ke Tuban.
Bandar itu sunyi senyap. Tak ada seorang pun kelihatan. Menara pelabuhan kosong tak terjaga. Kesyahbandaran pun sunyi. Pintunya tertutup dan dipasak silang dari luar. Warung Yakub terkunci dari dalam.
Dari kejauhan ia dengar sorak-sorai perang. Ia mendengar-dengarkan. Jelas bukan sorak-sorai balatentara Tuban, tapi Demak, Celaka! pikirnya.
Kewaspadaan terhadap kemungkinan ditangkap punggawa Sang Adipati karena dosa-dosa lama lenyap, digantikan oleh kekuatiran kena sergap pasukan Demak. Ia rasai ke mana pun pandang dilayangkan hanya mulut maut juga yang menganga.
Dengan sisa pikiran yang tercadang ia lari menuju ke Pecinan: Ternyata semua jalan masuk ke kampung asing, yang tidak dikenakan hukum Pribumi, terjaga oleh penduduknya dengan tombak aneh berjumpai-jumpai. Juga Pecinan mengangakan mulut maut.
la batalkan niatnya dan lari ke menara pelabuhan. Cepatcepat ia naik ke atas dan menyembunyikan diri, menganggap diri aman dan tak nampak oleh siapa pun. Dan siapa akan menengok ke menara yang jelas tidak ada apa-apanya"
Ia depiskan badan tipis-tipis pada geladak. Pada waktu itu ia merasa, setiap orang yang akan menemukannya di situ itulah calon pembunuh nya. Betapa berubahnya manusia di masa perang! Semua yang mereka pelayan di perguruan dan pesantren, dan guru-guru, dari dongengan dan wayang dari Tuban dan manusia, dari kehidupan dan orang tua sendiri, ambyar tanpa makna.
Sebagai seorang pribadi, terlepas dari hubungan orang lain, Kini ia merasa sama sekali tanpa daya. Ia menyadari tak bisa membela diri. Puluhan ribu prajurit yang bersoraksorak di kejauhan itu hanya punya dua perhatian: Jarahan dan korban. Mereka datang bukan untuk berkenalan atau anjangsana tapi untuk membunuh dan hanya membunuh. Terlepas dari prajurit yang satu orang akan jatuh ke tangan yang lain.
Pada alias Mohammad Firman berseru-seru dalam tengkurapnya pada Tuhannya, memohon perlindungan atas dirinya untuk sekali ini saja, karena dalam keadaan seperti itu ia merasa telah kehilangan kemampuan untuk dapet melindungi sesuatu, jiwanya dan raganya.
Ia mengintip dan melihat pasukan kaki Tuban berlarian tanpa atau dengan senjata dan sebelah barat Sebagian telah berlumuran darah. Mata mereka tak terang dan berpendaran ke mana-mana mencari jalan paling dekat untuk meloloskan diri dari pengejaran Antara sebentar mereka menengok ke belakang Dan sorak-sorai balatentara Demak makin lama makin mendekat
Pasukan yang diburu itu mulai melempar-lemparkan perisai yang mengganggu gerak. Ratusan orang yang diburu oleh kepulan debunya sendiri itu menghadang ke jurusan timur lenyap dari penglihatan Pada.
Ia rasai jantungnya berdebar-debar kencang dan ketakutan yang amat sangat menusuk seperti jarum panjang di dalam dadanya Tuhan, suruhlah balatentara Demak mengejar terus, terus, terus, dan melupakan aku. Setelah berdoa tanpa bunyi itu meruap dari pikirannya tiba-tiba ia merasa tidak terkejar. Mereka juga masih ingin bertemu dengan manusia tercinta dan tersayang. Siapa yang mencintai dan menyayangi aku" Bahkan pikirannya sendiri ogah menjawab, la gigit lengannya untuk membunuh pikirannya sendiri. Tuhan menjauhkan aku dari pikiran khianat.
Dan di depan matanya kini melela pasukan kuda Demak yang beterbangan sambil bersorak-sorai seperti sedang memburu tikus. Masing-masing membawa perisai dan tombak yang telah siap di lempar atau dijojohkan. Ya, seperti petani-petani sedang memburu tikus di sawah. Itukah wajah Demak yang selama itu kumasyhurkan" Itukah wajahnya yang sesungguhnya"
Sebagian kecil pasukan kuda itu membelok ke kiri, memasuki daerah pelabuhan.
Pada menggigil dan pantatnya bertepuk-tepuk keras tanpa semaunya sendiri. Ia sorongkan tangan pada dubur agar tepukan berhenti. Tetapi sesuatu yang merambat pada tulang belakang memaksa pantat ini menggelombang, memukuli tangannya, gelombang demi gelombang. Detapa memalukan pantat ini. Betapa ketakutan diri yang terlepas dari kekuatan ini. Sekarang, sendirian dalam kepungan manusia yang sudah jadi lain Ini& aku hanya seekor cacing. Ya Tuhan, bila kau tamatkan aku dari bahaya ini, aku akan lebih berbakti pada-Mu, lebih, lebih dari yang sudah-sudah.
Lima orang prajurit berkuda Demak mengelilingi tiangtiang menara, melihat-lihat ke atas. Tangan Pada telah basah oleh air dan lumpur dirinya sendiri. Ia tutup matanya. Dan waktu dibukanya kembali, dari sela-sela geladak ia lihat mereka mulai meninggalkan daerah pelabuhan.
Sunyi-senyap sekarang. Pada berhenti menggigil. Tangan ditariknya dari dubur. Seluar dan kainnya kotor. Dalam keadaan seperti itu ia tak berani mengucapkan syukur pada Tuhannya. Setelah agak tenang dan diduganya tangannya agak bersih dan lebih kering ia gerayangi semua bawaannya dan menarik selembar kain baru dari bungkusan. Ia jauhkan pakaian kotor dan kaki
Dan sorak-sorai menggelombang lagi dari kejauhan. Makin lama makin mendekat. Dari sebelah timur pasukan kuda berdatangan lagi untuk kemudian bertemu dengan pasukan kaki. Mereka mengerumun seperti gerombolan semut.
Sorak-sorai kini padam. Kerumunan itu membubarkan diri. Semua berlarian menyerbu masuk ke dalam rumahrumah tak bersorak-sorai. Pintu yang terpasak didobrak. Dengan batu dan kayu dan gagang tombak semua yang tidak membuka diri dirusak.
Rumah kesyahbandaran dilindas oleh bondongan orang. Warung Yakub bedah hingga dinding-dindingnya. Orang mengambil apa saja yang dapat diambil, memasukkan jarahan ke dalam kain penggendong. Sorak-sorai berubah jadi makian dan tawa bahak.
Ternyata tak ada yang bernafsu untuk menggerayangi menara yang kelihatan jangkung dan miskin, gundul dan kering kerontang itu. Hanya tiang-tiang kurus dan geladak kering di atasnya dengan dinding rendah dan sebuah canang perunggu.
Gelombang prajurit Demak mulai menyerbu ke pelabuhan. Galangan kapal kemudian jadi api unggun, demikian juga gudang dan pasar pelabuhan. Orang riuhrendah meninggalkan daerah pelabuhan dengan membawa jarahan masing-masing.
Sekarang Tuban Kota mendapat giliran.
Malam jatuh. Penjarahan dilangsungkan di tempattempat lain.
Pada alias Mohammad Firman telah lama dingin di tempat.
0odwo0 34. Kekacauan di Jawa Pada sadar. Keadaan telah sunyi dan malam telah larut. Galangan dan bangunan lainnya di pelabuhan telah runtuh menjadi bara.
Di sana-sini api masih menyala rendah. Sekali lagi ia membersihkan diri.
Dijepitnya pakaian kotor itu dengan jari, disangkutkan bawaannya yang lain pada lengan, dan ia turun ke bawah. Di sana ia bersihkan dari kotorannya sendiri. Ia merasa kurang patut meninggalkan tempat itu begitu saja. la naik lagi. Belum lagi separoh tangga ia teringat pada keselamatannya sendiri. Tak jadi. Turun lagi.
Di bawah ia merasa resah karena belum merasa bersih. Ia paksakan diri berpikir sejenak di mana kiranya bisa mendapatkan air. Satu pikiran menegahnya: Tuban telah jatuh, mereka sedang nyenyak dalam kemenangan dan kepuasan sehabis menghalau musuhnya dan menjarahmenjarah. Cepat-cepat kau pegi sekarang juga! Jangan pikirkan kebersihan.
Ia berjalan liar, mata tak tenang. Tak diperhatikannya lagi bau yang mengikuti dirinya barang ke mana ia melangkah. Tenaganya mulai pulih sebagai semula. Dan ia merasa sungguh malu pada ketakutannya sendiri seakan ia tidak percaya pada kekuasaan Tuhannya. Kalau peristiwa itu terjadi sekali lagi, aku takkan setakut itu, ia berjanji pada dirinya sendiri.
Sesampainya di luar kota ia memasuki pekarangan rumah yang telah ditinggalkan, langsung mencari sumur dan membersihkan diri, mencuci pakaian yang dikenakannya. Mandi sekali lagi dan sekali lagi, hati-hati, tanpa membangkitkan bunyi.
Dengan mengenakan pakaian basah ia mengambil wudhu dan bersembahyang di beranda rumah kosong yang telah dilanda para penjarah.
Selesai itu ia meneruskan perjalanannya dalam pakaian basah. Dan malam itu dingin, perutnya lapar. Angin menjadi siksaan yang tak terlawankan. Untuk menahan diri dari gigilan sengaja ia mempercepat jalan, tubuh lari sampai terengah-engah.
Ia mengerti takkan mungkin dapat menemui Sang Patih dalam keadan perang ini. la pun tak tahu ada di mana dia. Seperti dengan sendirinya kakmya bergerak ke sebuah titik: Awis Krambil Idayu. Ah, benar ia mengakui. Idayulah yang meniupkan keberanian menerobos! Tuban. Kota dalam pendudukan Demak, la berjalan cepat, lari, terengahengah.
Waktu matari pagi datang lagi ia menyelinap masuk ke dalam hutan, mencari persembunyian sambil menunggu datangnya malam, dan sambil mencari buah-buahan ia memakannya. Segala yang dapat dimakannya peda muson kering itu dilahapnya: dedaunan muda, buah, dalam serangan nyamuk. di atas timbunan semak yang sebelumnya telah di-injak-injaknya menjadi kasur.
la bermimpi ditubruk macan dan terbangun. Darahnya masih berdeburan kencang. Ia hendak segera lari. Suatu benda berat dan hangat terah menahannya, la dengar nafas hangat memuputi mukanya. Dan ia meronta. Kemudian ia dengar suara: Bangun! Ya-ya, bangun, suara wanita.
Dengan tangan ia menggapai-gapai. Ia berada dalam pelukan seseorang.
Tidak salah lagi. Pada Uh ini, suara seorang wanita lainnya.
Pada merontak bangun. Mati, matilah aku sekarang, pikirnya, mereka sudah tangkap aku.
Tidak salah lagi terdengar wanita lain berseru lega, memang Pada ini
Benar, seru wanita lain menggarami dengan suara hati-hati. Tahi lalat di puncak kuping kirinya tak dapat dicuri. Memang dia.
Sudah jantan dia sekarang, suara wanita pertama-tama menambahi dan pelukannya dilepaskan.
Pada berhasil mengebaskan diri dan melarikan diri. Ternyata tangan berbelas orang wanita itu tak dapat diatasinya. Ia merasa sedang lari di atas hawa dengan kaki terpakukan pada tanah.
Jangan lari Pada! mereka menegah. Kau harus tolong kami Mendengar kata tolong barulah Pada mencoba mengetahui siapa o-rang-orang itu. Sekarang ia dikepung rapat oleh lebih dari dua puluh orang: Semua wanita. Ya. wanita. Mengapa wanita" Tak ada seorang pun di antaranya bersenjata. Dan tangan-tangan mereka tak ada yang kasar. Semua halus. Dan wajah mereka nampak tak pernah kena sinar matari, kemerah-merahan, kulitnya memancarkan kesehatan. Dan semua can-tik-rupawan. Tak seorang pun di antara mereka bergigi hitam, adalah tanda mereka semua tak bersuami. Tetapi mengapa tidak hitam" Adakah semua penari" Hanya seorang di antara mereka nampak lebih tua, dan seorang sangat muda, bermata sipit, jelas seorang gadis Tionghoa.
Lupakah kau padaku, Pada" Pada kami" Jantanku" seseorang bertanya. Mengapa nampak takut pada kami"
Lambat-lambat tapi pasti ingatan Pada mulai bekerja dan mencakup kenangan lama: para selir Sang Adipati! Ia tersenyum. Sekilas saja. Tiba-tiba ia bergidik.
Lepaskan aku. pintanya sopan. Mengapa Nyi Ayu sekalian ada di sini"
Kau belagak bodoh. Pada. Dari mana saja kau, sampai tak tahu ada perang" Dan Gusti Adipati sudah mangkat"
Mengapa kau tersenyum goblok begitu, Pada" seseorang bertanya, kemudian menggelendot padanya.
Pada sedang teringat pada sumpah Wiranggaleng. Dan sekarang Hang Wira telah terbebas dari sumpahnya: Sang Adipati telah mangkat. Ia bisa pulang ke Tuban. Senang kau melihat kami terlantar seperti ini" Mari aku antarkan ke perbatasan. Semua dari perbatasan, bukan"
Tidak semua, salah seorang menyangkal.
Aku pun tidak! yang paling tua di antara mereka membenarkan. Suaranya tegas dan mantap.
Dan sahaya dari Lao Sam, gadis Tionghoa itu memperdengarkan suaranya.
Pada menatap yang tertua dan termuda itu bergantiganti. Ia belum pernah mengenal mereka. Yang tua tentulah pengurus keputrian, yang muda tentu selir terbaru.
Nyi Gede" ia bertanya pada yang tertua, dan orang itu menjawab dengan sembah dada.
Pada merasa agak berbesar hati. Setidak-tidaknya ada di antara wanita-wanita cantik tak berdaya ini seorang juara bela diri. Ia melihat ketabahan pada matanya, namun tak tahu apa harus diperbuat dalam keadaan seperti itu. Mari berjalan, Pada menyilakan.
Kakiku, Pada, seseorang menyatakan protes sambil memijit-mijit kakinya.
Kalau suka. Kalau tidak, terserah. Aku akan berjalan terus dan ber-cepat-cepat. Barangsiapa ikut, mari. Jangan harapkan aku mau menggendong.
Jantanku! Jantanku! Begitu kejamnya kau sekarang. Lupa kau pada Nyi Ayu Sekar Pinjung"
Pada tertegun dan menengok padanya.
Barangkali karena aku sudah jadi tua begini, Pada" Dan Pada merasa iba. Tapi cepat-cepat dibuangnya perasaan.
Ia mulai berjalan bergegas mencari jalan setapak, menyasak semak dan belukar. Selir-selir itu berlarian mengikutinya seperti anak-anak ayam membuntuti induknya. Dan semua membawa bungkusan, di-sunggi di atas kepala, dibopong atau digendong. Dari ujung paling belakang wanita-wanita harem itu nampak seperti cendawan yang sedang bergerak berpindah tempat.
Dan jantan yang seorang itu tak mau menengok barang sekali, seakan ia sedang memperlihatkan diri sudah memunggungi masa lalunya untuk selama-lamanya. Antara sebentar ia dengar suara memanggil-manggil minta ditunggu. Ia tak peduli. Bahkan untuk mau diikuti saja baginya sudah pahala yang mencukupi.
Seorang yang tercucuk duri berjalan berjingkat-jingkat, terus lari mengejar, takut ketinggalan. Dan kecuali Nyi Gede semua berebutan untuk berada di dekat Pada.
Dan Pada merasa seorang yang paling berani di atas bumi ini.
Nampaknya Nyi Gede Daludarmi telah banyak mendengar tentang pada. Dari buntut barisan ia berseruseru: Pada, Pada, berhenti dulu! katanya seperti memerintah.
Dan Pada berhenti, berpaling ke belakang. Wanitawanita itu mulai melaluinya, dan ia berhadapan dengan pengurus harem itu.
Gusti Adipati sudah mangkat, katanya bersungguhsungguh, tapi aku masih membawa tugasnya, mengemong wanita-wanita ini. Aku tak peduli apa hubunganmu dengan mereka di masa-masa yang lalu. Aku pun tak peduli apa perasaanmu sekarang ini terhadap mereka. Aku minta, pandanglah mereka sebagai wanita tak berdaya, yang membutuhkan perlindungan.
Sejenak Pada memberontak terhadap kata-kata itu. Wanita seorang yang ada di hadapannya itu nampak teguh pada tugasnya.
Aku ada kepentingan sendiri Pada menerangkan. Bila pasukan Demak memburu, kau pun tak bakal selamat sendiri, kita tumpas bersama. Untuk apa memburu kepentingan sendiri" Kepentingan kita semua sama: selamat
Dan mereka yang telah melewatinya kini pada berbalik melingkunginya. Tanpa bicara semua orang setuju: musuh paling ganas adalah pasukan yang sedang menang, bukan binatang buas hutan. Tapi hutan itu makin lama makin rapat juga.
Pada mulai berjalan pelan-pelan dan Daludarmi tetap berada di belakang barisan, melakukan tugasnya sebagai penjaga dan pengemong. Di depan barisan Pada dapat merasakan, ia menaruh hormat padanya, tapi ia takkan mengucapkannya.
Beberapa orang telah mengeluh kelaparan. Ia tak menggubris, la sendiri lapar Dan wanita-wanita itu tak mengerti dan tak menanyakan lagi kapan si jantan itu akan berhenti untuk beristirahat Ia dengar seorang-dua mulai menangis manja. Akhirnya ia tak tahan, berhenti.
Senja telah membikin hutan rapat itu jadi gelap. Perjalanan memang sudah tak mungkin dapat diteruskan. Ia memerintahkan menyiapkan tempat tidur masing-masing di atas semak-semak yang diinjak-injak. Beberapa orang mulai menggelar apa saja yang patut dipergunakan jadi tilam. Api unggun disiapkan.
Ia kemudian menyiapkan obor dari ranting-ranting dan pelepah kering. Dengan itu ia memimpin mereka mencari umbi-umbian dan buah-buahan. Dan semua mengikuti perintahnya dengan diam-diam. Ia sengaja menghindari percakapan.
Dengan diam-diam pula orang membakar dan memahami pendapatan mereka.
Waktu mereka bersiap-siap hendak tidur, tilam mereka telah dirambati oleh semut dan segala macam serangga, juga ulat berbagai macam. Orang menjadi sibuk membersihbersihkan.
Pada memisahkan diri di tempat yang jauh, pura-pura tak mengetahui sesuatu. Melihat itu perempuan-perempuan itu berebutan menyusul dan memilih tempat sedekatdekatnya dengannya. Dan dalam malam menjelang tidur demikian ketakutan lebih banyak pada binatang buas daripada manusia buas.
Daludarmi mengawasi semua itu dengan prihatin. Melihat Pada risi terhadap momongannya ia pun merasa risi. Seorang diri ia pergi ke api unggun dan menjaganya agar tak padam sampai tengah malam.
Dalam desakan wanita yang terbaring di sampingmenyampingnya Pada memikirkan soal lain: sekiranya Sang Adipati masih hidup, apakah yang akan diperbuatnya terhadap tubuh-tubuh pilihan yang sekarang ini mengepungnya" Adakah dia akan melindungi mereka dari balatentara Demak" Ataukah dia akan melarikan diri sendiri" Dalam keadaan bahaya yang tak dapat ditawartawar ini" Dan dengan puas hati ia menjawab pertanyaannya sendiri: dia akan hanya selamatkan diri sendiri. Dan ia merasa puas, bahwa seorang Pada yang telah lolos dari hukuman matinya, justru yang melindungi orang-orang penghiburnya selama itu. Pada! tidak lain dari Pada!
Di tengah-tengah hutan, di tengah-tengah para selir ini, ia merasa sebagai manusia yang lebih agung daripada seorang Adipati yang pernah berkuasa atas hidup dan matinya. Dan telah mati terlebih dahulu, dan wanita-wanita penghiburnya ini kini jatuh dalam kesediaannya. Ia jadi iba hati.
Utusan Siluman Tujuh Nyawa 2 Goosebumps - Darah Monster 2 Lentera Maut 13
^