Pencarian

Accidentally Love 6

Accidentally Love Karya Boni Bagian 6


menghidupkannya, kemudian membuka notes yang tersimpan di memori ponsel dan melihat alamat Heru di Manchester. Rencananya gua ingin memberi kejutan ke heru dengan datang tiba-tiba, mengetuk pintu-nya dan merekam ekspresi wajahnya, tapi setelah gua pikir-pikir kayaknya lebih baik gua minta jemput dia aja, daripada nyasar di negri orang. Gua mencari nama heru di contact list dan
menghubunginya. Dua kali gua mencobanya dan nggak ada jawaban, mungkin masih tidur ni anak, sambil menyesali keputusan gua untuk memberi kejutan ke heru, gua mencobanya sekali lagi. Dua nada sambung terdengar kemudian disusul suara parau heru diujung sana, ah.. thank god.
Halo.. Ruk.. Halo.. Ruk, ni gua Boni.. ... Woy.. Eh.. ada apaan" Dari tempat lu ke Bandara Heathrow jauh nggak" Eh buset.. bisa nggak si lu nelponnya ntar-ntaran, sekarang masih jam 3 nih disini..
Iya gua tau.. Kalo lu tau, ngapain lu nelpon jam segini.." Gua di Heathrow sekarang, bisa jemput gua nggak" ...
Woy, beruk.. Apaan" Lu di Heathrow" Yaudah tunggu disitu, jangan kemana-mana, gua jemput..
Iya.. gua di deket information centre ya.. Tut tut tut tut
Gua memasukkan ponsel ke dalam saku sambil menggeleng-gelengkan kepala, emang nggak ada manner -nya di bocah, maen tutup telepon aja.
Gua mengangkat koper gua ke atas kursi disebelah gua, menaikkan kedua kaki di kursi yang berlawanan dan merebahkan kepala diatas koper. Mungkin bisa tidur dulu barang sebentar. Baru saja mata gua ingin terpejam, sebuah tepukan halus mengagetkan gua, seorang petugas berpakaian seragam biru muda, dengan celana panjang hitam dan topi bermotif kotak catur berdiri di hadapan gua.
You can t sleep here, young man.. Gua terduduk, mengucek-ngucek mata kemudian mengucapkan maaf, sambil mengangguk-anggukan kepala.
Hampir dua jam gua duduk sambil sesekali mengangguk saat mata gua terpejam tanpa instruksi, gua melihat ke arah jam tangan, jarumnya menunjukkan angka lima. Gua melihat sekeliling, berharap heru segera datang menjemput, gua mengeluarkan laptop dari dalam ransel dan mencoba menyalakannya, layar laptop berpendar kemudian memunculkan sebuah jendela peringatan; Conect your charger , gua menghela nafas, menutup layar laptop dan memasukkannya kembali ke dalam ransel. Damn.. mati bosen nih gua..
Akhirnya, gua dibangunkan oleh Heru yang menendang-nendang kaki gua. Terlonjak, gua menatap ke heru;
Lama banget lu ruk.. Emang lu kata manchester kemari deket" Heru mengambil koper gua, menarik gagangnya dan mulai menyeretnya. Gua berdiri memakai ransel, melihat ke arah ke arah jam; 06.30, ah lumayan lama juga berarti gua tidur.
Gua menyusul Heru, berjalan disampingnya; Gua diterima kerja disini nih.. lu tau alamat ini" Gua mengambil kertas dari dalam saku, kemudian menyodorkannya ke heru. Dia mengambil dan membacanya kemudian menggeleng.
Gua juga baru dua bulan disini, sebulan di London, sebulan di Manchester..
Yah, bijimane nih ruk.. Udah ke KBRI aja dulu, laporan.. ntar nanya disono.. Oke dah siip
Kami berjalan meninggalkan bandar Heathrow, menuju ke pemberhentian bus yang nggak begitu jauh. Beberapa saat kemudian gua sudah berada didalam bus sambil nggak henti-hentinya mengagumi pemandangan pagi di kota London.
--- Setelah melalui proses lapor diri di KBRI, gua duduk disebuah kursi dengan meja-meja berderet mirip sebuah meja di perpustakaan. Heru sudah kembali ke Manchester, nggak bisa menemani gua karena harus bekerja. Gua memakluminya dan gua juga harus mencoba secepat mungkin untuk terbiasa sendirian disini. Seorang wanita gemuk bertampang Indonesia, datang dan duduk dikursi dihadapan gua, memperkenalkan diri dengan nama Ibu Dewi, dia adalah seorang konsultan KBRI untuk orang-orang seperti gua, orang yang baru pertama kali menginjakkan kaki di tanah Inggris.
Kami mengobrol sebentar, ibu Dewi bertanya seputar kondisi terakhir di tanah air dan sambil memandang surat rekomendasi dari perusahaan tempat gua bakalan kerja, dia bertanya;
Mas.. magang disini" Iya bu..
Kalo alamat kantornya sih nggak begitu jauh dari sini, tinggal naik tube sekali..
Ooo.. Kapan mulai kerjanya.. Kalau memungkinkan sih pagi ini bu..
Bu Dewi melirik ke arah jam dinding di dalam ruangan tersebut, ada dua jam dinding; satu berlabel GMT yang satu berlabel Jakarta .
Udah ada tempat tinggal belum" Belum bu..
Kemudian dia mengeluarkan kertas dari dalam map yang dibawanya dan menyodorkannya, gua mengambil dan memperhatikannya.
Itu tempat tempat yang saya rekomendasikan buat mas boni.. tapi mungkin agak costly ya, karena dadakan mas boni-nya..
Ooh gitu bu.. Kalau mas boni mau ke kantor-nya hari ini, barangbarangnya bisa dititipin disini kok, nanti kalau sudah dapet tempatnya baru diambil..
Gitu ya bu.. oke deh kalo gitu saya permisi.. Harusnya sebelum kesini, mas boni cari-cari tempat dulu, biar gampang..
Ya soalnya mendadak bu.. Yasudah semoga berhasil deh, ini kartu nama saya.. Bu Dewi menyerahkan beberapa lembar kartu namanya, gua menerimanya sambil memasang wajah penasaran;
Banyak amat bu, ngasih kartu nama..
Ga pa pa.. satu taro di dompet, satu taro di kantong celana, satu di kantong baju, sisanya simpen di tas.. Oke deh, makasih ya bu..
Kemudian gua bergegas keluar dari ruangan tersebut, bu dewi mengantar sampai keluar ruangan sambil menjelaskan detail dan pilihan transportasi yang bisa gua gunakan.
--- Setelah berdandan necis di kamar mandi kedutaan gua keluar dan berjalan mengikuti petunjuk Bu Dewi. Jam menunjukkan pukul 10 pagi, matahari sudah bersinar terang, terasa hembusan angin hangat menerpa wajah, gua menebak-nebak mungkin saat ini adalah musim panas.
Gua terhenti disebuah pemberhentian bus, kemudian melihat papan jadwal yang menunjukkan waktu kedatangan bus, sambil mencari nomor bus dan waktu-nya. Lima menit berselang bus dengan nomor yang gua tunggu pun datang, gua melihat ke arah jam tangan dan mencocokkan dengan jadwal yang tertera dipapan sebelum naik kedalam bus; Anjritt, on time abis.
Dua puluh menit berikutnya gua sudah berada di dalam sebuah gedung berlantai 12 yang terletak di pusat kota London. Gua duduk didepan seorang pria, kepala HRD perusahaan tersebut, dia terlihat sibuk dengan ponselnya sambil menandatangani dokumen disana-sini, kemudian dia menyerahkan sebuah kertas berisi peraturan perusahaan untuk gua tanda tangani, disusul sebuah sebuah dokumen berisi kontrak kerja. Gua membacanya dengan seksama kemudian menandatangani dan menyerahkannya kembali ke pria tersebut. Dia menyerahkan copy-nya dan mengatakan sebuah nominal, gua mengasumsikannya sebagai gaji, karena status gua yang saat itu Cuma internship gua nggak merasa memiliki nilai tawar yang tinggi, jadi gua Cuma mengangguk setuju, kemudian menandatangani kesepakatan gaji yang disodorkan olehnya. (Oke sedikit bocoran; gaji gua saat itu sebagai internship di London berkisar "800 per pekan, tanpa asuransi kesehatan dan tunjangan lain-lain) kemudian dia berkata kepada gua untuk menunggu sebentar, sementara dia berdiri dan meninggalkan gua sendiri didalam ruangan.
Nggak lama berselang terdengar suara pintu terbuka dibelakang gua, langkah kaki berat mendekat dan berhenti disebelah gua. Gua menoleh, seorang bule, perlente, berambut gondrong di kuncir tersenyum ke arah gua.
Mr.Kane, gua berdiri dan menyalaminya, dia mempersilahkan gua duduk kembali kemudian dia mengambil sebuah kursi dan duduk diatasnya.
Well, Boni..Boni..Boni... if you comes two months earlier you ll get better position, better salary.. Gua mengangkat bahu mencoba mengatakan mau bagaimana lagi melalui sebuah gestur.
Setelah berbincang-bincang sejenak dengan Mr.Kane, dia berdiri dan membuka pintu hendak keluar. Berkalikali gua mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang dia berikan dan dia Cuma mengangguk, berkata enjoy your work kemudian keluar dari ruangan.
Satu jam kemudian, gua sudah berada di sebuah ruangan kecil,dimana terdapat beberapa layar monitor besar, beberapa mixer, sebuah keyboard dan sebuah laptop yang kini sedang gua hadapi, disebelah gua duduk seorang pria yang tadi sempat
memperkenalkan diri dengan nama Clark seorang Sound Desainer Senior diperusahaan ini. Menurut Kepala HRD yang tadi gua temui, tugas gua seminggu ini adalah membantu Clark dalam sebuah projek iklan layanan masyarakat. Dan saat ini Clark sedang memainkan tuts-tuts piano membentuk sebuah nada, tugas gua adalah merekamnya ke dalam laptop dan memasukkannya kedalam timeline , kemudian mengcompile-nya sehingga menghasilkan sebuah irama. Nah irama-irama tersebut yang kemudian bakal disisipkan kedalam sebuah video grafis yang kemudian menjadi tayangan yang layak konsumsi.
Sejujurnya, gua sedikit kaget dengan dunia kerja disini. Karena menurut cerita dari salah seorang teman yang pernah bekerja sebagai agen asuransi di Inggris, dunia kerja di sini sangatlah parah , parah dalam artian tekanan pekerjaan dan suasana kerja-nya, menurutnya para pekerja disini sangat individualis dan egosentris. Tapi, kesan yang gua dapat saat ini, dihari pertama gua disini, sangatlah berbeda. Sebagai orang yang statusnya internship , beberapa orang-orang disini boleh dibilang ramah terhadap gua, apalagi Clark yang dari tadi cengengesan ngetawain aksen british gua yang belepotan dan kebingungan gua dalam menggunakan laptop dengan Operating System non windows.
Saat istirahat makan siang gua Cuma duduk memandangi layar laptop sambil memainkan beberapa nada melalui piano digital yang terinstal didalamnya. Clark masuk kedalam ruangan sambil menenteng cangkir kertas berwarna cokelat, dari aromanya seperti kopi.
Hey, bon.. take a break.. don t get so serious.. Haha.. nope, just playin some nasty sound.. Clark mengambil kursi dan duduk didepan komputernya, menyeruput kopi kemudian bertanya ke tentang tempat tinggal gua saat ini. Gua menggeleng dan mengatakan kalau gua baru saja sampai pagi ini dan langsung datang kesini dan belum sempat mencari tempat tinggal.
Are you kiddin me" Why you didnt tell me"..c mon.. Clark berdiri kemudian mengajak gua keluar dari ruangan. Gua mengikuti dia, sampai di depan sebuah mesin kopi, dia mengambilkan cangkir kertas dan menyerahkannya ke gua kemudian dia memasukkan beberapa recehan dan menekan tombol black coffee . Gua menambahkan beberapa sachet gula kedalamnya sambil kemudian bergegas mengikuti Clark lagi, kali ini dia masuk kedalam lift. Gua berjalan cepat menyusulnya sebelum pintu lift tertutup.
Didalam lift Clark mengenalkan gua ke orang-orang didalam lift, sebagian menyapa sambil tersenyum, sebagian lainnya Cuma menaikkan alis mata mereka. Kami tiba di lantai dua, gua kembali mengikuti langkah Clark yang berjalan cepat melewati meja-meja yang saling berhadapan, suasana kantor disini terlihat begitu nyaman dan santai, gua bahkan hampir nggak menemui karyawan yang mengenakan jas dan dasi, paling formal ya kemeja seperti yang gua pakai saat ini.
Clark sampai didepan sebuah ruangan yang bertuliskan; Legal Department . Dia nggak mengetuk pintu, bahkan mendorong pintu-nya menggunakan kaki, pintu terbuka, terlihat dari luar, dari tempat gua berdiri beberapa orang yang sedang menghadapi layar monitor. Clark yang masih berdiri diambang pintu menyebut sebuah nama, disusul seorang berwajah sipit yang kemudian berdiri, keluar menghampiri kami, Clark merangkul pemuda berkacamata tersebut dan memperkenalkan-nya ke gua;
Well boni, this is Chen, Chen this is Boni.. your new room-mate..
Gua dan pemuda sipit bernama Chen itu bersalaman kemudian saling pandang. Hah..
Clark kemudian melepas rangkulan Chen dan menjelaskan ke gua, kalau Chen adalah seorang karyawan yang berasal dari Malaysia dan tinggal di salah satu Flat yang terletak nggak begitu jauh dari kantor. Gua berusaha meyakinkan kalau Clark, kalau gua nggak bisa begitu aja sekonyong-konyong datang dan numpang ditempat orang. Dia mengerti, kemudian menanyakan ke Chen apakah ada kamar yang kosong di Flat-nya, Chen masuk kedalam kemudian kembali dengan ponsel ditangannya sambil menunjukkan ke gua nomor telepon sang pemilik flat. Saat itu gua nggak berfikir, bagaimana kondisi tempatnya, seberapa luas ukurannya, dan berapa biayanya. Yang penting bisa buat tidur aja dulu barang semalam dua malam. Setelah mencatat nomor yang diberikan Chen, gua dan Clark berjalan kembali menuju ke lift;
You dont see like person from same country... Gua menghela nafas.
Clark.. Chen is from Malaysia..and im from Indonesia.. What, i dont get it" Malaysia, Indonesia, its the same place for me..
.... Dan gua menghabiskan waktu sejak dari masuk ke dalam lift sampai ke ruangan di lantai 10 hanya untuk menjelaskan perbedaan antara Malaysia dan Indonesia kepada Clark.
Sesampainya diruangan, Clark mengatakan ke gua untuk segera menelpon Landlord (pemilik flat) dan bergegas kesana untuk beres-beres. Gua mengambil ponsel dan mencoba menghubungi nomor yang tadi diberikan oleh Chen.
About "295 per month including electricity, water and on road parking with free council permits.. Gua terdiam sebentar mendengar penjelasan si Landlord via telepon, kemudian berkata; "295, will be work for me.. i ll be there soon.. Saat jam menunjukkan pukul 4 sore, gua yang tadi mengabaikan saran dari Clark untuk pulang lebih cepat, pamit ke Clark. Dia mengangguk sambil mengangkat jempol tangannya, sementara matanya masih memandangi layar monitor komputernya. ---
Sore itu, sore pertama di negara yang sama sekali asing buat gua.
Gua berdiri memandang keluar lewat jendela kecil disebuah kamar yang masih kosong melompong, hanya terdapat sebuah kasur lipat tanpa seprei dan sebuah bangku kayu yang sudah usang. Gua meletakkan koper dan ransel gua disudut ruangan, kemudian duduk dikasur sambil memandangi amplop berisi uang saku yang gua bawa dari Indonesia. Uang yang terdiri dari hasil tabungan gua hasil dari menulis di majalah waktu di Singapore dan tambahan dari Nyokap yang bela-belain jual cincin sama kalung emasnya. Gua meremas amplop berisi uang tersebut, sambil bergumam dalam hati; Nanti oni bakalan beliin emak cincin sama kalung yang lebih bagus, oni janji mak..
#34: Unwell Gua menggenggam amplop berisi uang saku yang gua bawa dari Indonesia sambil terduduk dilantai dingin tengah ruangan kamar seluas 3x3 meter, sebuah kamar sempit tanpa cat yang terdapat retakan dibeberapa bagian. Baru tadi gua membayar uang sewa sebesar "295 untuk satu bulan, include listrik dan air.
Gua membuka koper, mengeluarkan notes kecil, pensil dan mulai menulis catatan kecil; Rent : "295. ---
Sore itu gua tengah berada di sebuah jalan antah berantah yang nggak begitu jauh dari flat gua. Gua berjalan menyusuri trotoar yang disisi-nya berderet toko dan kafe-kafe yang menjajakan beraneka ragam jenis makanan dan minuman. Gua sempat terhenti di sebuah restaurant kecil dengan sebuah papan bertuliskan nama-nama menu di dekat pintu masuknya, gua menggeleng saat melihat harga yang dicantumkan disana kemudian meneruskan berjalan menyusuri trotoar, berharap ada semacam warteg yang terselip diantara deretan kafe dan restaurant ini. Sampai akhirnya kaki gua terhenti di sebuah toko yang mirip seperti indomart , gua menjauhi trotoar sedikit dan melihat papan namanya; Tesco Express , sedikit ragu gua masuk kedalam, bentuknya nyaris sama dengan indomart atau alfamart di Indonesia yang berbeda Cuma barang-barang yang didisplay dan susunan raknya yang dibuat sangat tinggi. Gua menyusuri rak demi rak sambil mencatat harga barang-barang yang mungkin bakal gua butuhkan dalam waktu sebulan, kemudian gua tersenyum saat melihat bungkusan mie instan berwarna hijau yang sangat familiar; Indomie rasa soto ayam, nggak pake melihat harga-nya, gua mengambil 10 bungkus dan bergegas membawanya ke kasir kemudian membayarnya, untuk sepuluh bungkus Indomie rasa soto ayam gua tebus dengan "2,5 saja, well.. fair enough. Setelah selesai membayar gua buru-buru ngeloyor pergi dan bergegas kembali ke flat.
Gua agak kesulitan juga untuk bisa menemukan jalan pulang ke flat , rasanya semua jalan disini terlihat sama, bahkan gua sampai kembali lagi ke supermarket untuk mengulang dan mencoba mengingat jalan gua untuk sampai kesini.
Setelah dua kali mondar-mandir, akhirnya gua bisa sampai juga ke flat.
Gua meletakkan plastik berisi mie instan dan merebahkan diri di kasur yang bahkan belum ada seprai-nya, kemudian mengeluarkan notes gua yang berisi catatan mengenai jalan-jalan yang barusan gua tempuh dan daftar harga dari barang-barang yang kemungkinan bakal gua butuhkan dalam waktu sebulan. Gua bangun dan duduk dilantai yang dingin, memandang kamar kosong (yak bener-bener kosong) yang mungkin mulai sekarang bisa gua sebut rumah . Kemudian gua mulai mengkalkulasi pengeluaran dalam satu bulan berdasarkan daftar barang-barang yang tadi gua catat di supermarket, berikut hal-hal lain seperti komunikasi, transportasi dan hiburan. Setelah selesai, gua mencoret dua pengeluaran terakhir; sepertinya gua belum butuh hiburan saat ini, dan transportasi sepertinya bisa ditekan dengan berjalan kaki. Kemudian gua memandang ke arah sepatu pantofel dan menggeleng, nggak mungkin sepertinya untuk berjalan jauh dengan menggunakan sepatu seperti itu, gua memandang sepatu converse hitam yang masih gua kenakan, Cuma satu kata yang bisa menggambarkan kondisi sepatu hitam kesayangan gua ini; memprihatinkan .
Kemudian gua menambahkan Shoes di daftar belanja gua.
Gua memandang kearah bungkusan mie instan yang tergeletak disudut ruangan, perut gua sudah merontaronta meminta untuk diisi. Gua mengambil bungkusan tersebut dan menyalakan kompor yang sudah tertanam disudut ruangan diatas sebuah beton yang membentuk seperti meja, bersebelahan dengan wastafel dan pintu ke kamar mandi. Gua menepuk jidat saat sadar kalau gua nggak punya alat untuk memasak, amsiong.. mana perut udah lapar banget. Akhirnya gua memutuskan untuk menikmati mie instan dengan cara seperti gua makan snack anak mas , meremasnya, memasukkan bumbu-bumbunya, dikocok sebentar kemudian dimakan, kalo istilah orang betawi; digado .
Dan gua pun tertidur dalam hangatnya kasur tanpa seprai, dengan perut melilit yang mungkin disebabkan mie instan yang gua makan mentah dan rasa kangen kepada keluarga di rumah yang belum apa-apa sudah memuncak.
All day staring at the ceiling
Making friends with shadows on my wall All night hearing voices telling me That I should get some sleep
Because tomorrow might be good for something I'm not crazy, I'm just a little unwell I know right now you can't tell ---
Sabtu, London di Musim Panas.
Dua orang pemuda rantau melayu sedang duduk di sebuah pagar beton di sisi Victoria Embk St, menikmati diet coke kalengan, mengobrol, sesekali mereka menghembuskan asap rokok ke udara disusul suara tawa yang membahana. Sambil memandangi kapalkapal turis yang lalu lalang disepanjang sungai Thames, mereka menghabiskan sore tanpa mempedulikan orang-orang yang lalu-lalang dibelakangnya.
--- Gua menghabiskan tetesan terakhir diet coke dan memasukkan puntung rokok marlboro light kedalamnya. Heru melemparkan puntung rokoknya dengan jentik-kan jarinya ke arah sungai Thames. Gua memukul pundaknya sambil celingak-celinguk, ajegile. Kalau sampai ketahuan petugas, kita buang puntung disitu bisa disuru cari tuh puntung sekalian nguras sungai thames.
Ruk.. Ngapa" Lu kangen rumah nggak" Haha.. kangen lah..
Kirain gua doang.. baru seminggu udah kangen rumah..
Udah dua hari nih ruk.. gua mencret-mencret.. Makan apa emang lu"
Indomie.. Tiap hari.." Iya..
Buset.. masih mending Cuma mencret luh, bisa-bisa tipes tuh kebanyakan makan mie instan.. Abisnya mau makan apa, bingung gua..mau makan diluar mahal, mau masak sendiri kagak ada perlengkapannya, gimana ruk.."
Ya makanya lu beli peralatan masak.. lu udah gajian kan"
Gua mengangguk kemudian terbayang dikepala gua, uang yang baru gua terima kemarin "800 kotor sekotor kotornya, setelah dipotong pajak PAYE (Pay As You Earn) dan NIC (Semacam pajak penghasilan untuk penduduk overseas) dan yang ada di dompet gua sekarang Cuma sekitar "668.
Dan gua sudah membuat komitmen diri sendiri untuk menyisihkan sedikit penghasilan gua untuk biaya orang tua naik haji. Minggu ini gua menyisihkan "100 jadi dalam sebulan harus ada "400, jadi menurut perhitungan gua dalam waktu satu tahun setengah bokap-nyokap gua harus udah bisa berangkat haji.
Buat gua atau Heru, sebagai newbie di negara dengan taraf hidup tinggi dan berasal dari salah satu negara paling konsumtif di Dunia. Menahan Godaan-godaan untuk menghabiskan uang untuk hal-hal seperti membeli gadget-gadget terbaru dan menonton langsung liga Inggris bukanlah hal yang mudah, sungguh.
Belum ada setengah tahun disini, si Heru udah tiga kali nonton United berlaga di Old Trafford dan mendengar ceritanya gua langsung melupakan seluruh keinginan untuk menabung dan membeli perlengkapan memasak.
Ayo ruk, kapan-kapan ajak gua.. mahal nggak.." Lumayan..
Lumayan apa" Lumayan mahal apa lumayan murah" Yaelah bon, yang namanya lumayan ya adanya di tengah-tengah, nggak murah dan nggak mahal.. Ah kalo mahal mah gua ogah.. ntar aja kalo United tandang ke London gua baru nonton... Minggu depan... minggu depan United lawan Westham di Upton..
Wew.. sebelah mana tuh Upton" Heru mengangkat bahunya sambil menggeleng.
Kan elu yang tinggal di London, kok malah nanya gua...
Yaah maklum, masih nubi banget gua ...
Akhirnya sore itu gua mengantar Heru ke Statsiun KingCross St untuk kembali ke Manchester setelah tadi dia menemani gua belanja perlengkapan masak. Saat dalam perjalanan menuju ke rumah, gua dikejutkan dengan tepukan di bahu kemudian seorang pemuda dengan wajah yang familiar berjalan disebelah gua dan menyapa:
Orang Indo ya mas" Iya.. siapa ya"
Pria tersebut mengulurkan tangan;
Irfan.. Boni.. Baru ya" Iya, baru seminggu.. hehe, situ udah lama disini" Udah lumayan..
Gua memutar bola mata, lumayan itu nggak ada definisinya. Dan Oke gua definisikan aja kalau si Irfan ini udah lama tinggal disini.
Tinggal dimana, bon" Eh.. dimana ya..
Gua menggaruk-garuk kepala, bingung harus menjawab apa. Karena dari awal gua tinggal disitu dan mencatat semua nama-nama jalan yang gua lewati, gua malah lupa mencatat alamat dan nama tempat gua sendiri.
Hahaha.. lupa saya nama tempatnya... Wah, harus dicatet itu, ntar kalo nyasar gimana.. Hehe iya, nah elu tinggal dimana"
Gua tinggal di Birmingham, sekarang sih lagi maen aja kesini..
Oh.. oke-oke.. Kalo hari minggu biasanya suka ada acara di KBRI, kumpul-kumpul gitu.. mampir aja besok.. Oh gitu, oke deh..
Lumayan ada makanan gratisnya.. Hahaha.. iya juga..
Yaudah gua cabut ya bro.. Oke deh fan..
Gokil, kalau di Indonesia boro-boro ada orang yang belum kenal tau-tau menyapa kayak Irfan tadi. Mungkin karena sama-sama perantau jadi merasa senasib sepenanggungan atau jangan-jangan, si Irfan tadi adalah homo, idih.. mudah-mudah perkiraan terakhir gua salah, amin.
Dan benar apa yang dibilang oleh Irfan, cowok yang gua sangka homo kemarin. Saat ini gua berdiri disebuah ruangan besar semacam aula yang terdapat di KBRI di London. Gua sedikit tercengang dengan betapa banyaknya orang-orang Indonesia yang tinggal di London, ruangan yang cukup besar ini terlihat ramai, hampir mirip seperti acara pernikahan di gedung-gedung. Beberapa meja besar disusun, berbaris sementara diatas-nya bejejer beraneka makanan tradisional Indonesia, dari mulai gudeg, rendang dan nggak ketinggalan sayur asem (entah darimana mereka bisa dapet melinjo-nya). Gua berdiri mematung, diam, suasana yang berasa sangat nasionalis ini malah bikin gua merasa asing, gua familiar dengan bahasa yang digunakan disini, gua familiar dengan gurauan-guraun khas indonesia, gua sangat familiar dengan masakan-masakan yang disajikan, tapi entah kenapa gua malah merasa asing.
Ditengah kebingungan akan keterasingan, gua melihat Irfan, cowok yang kemarin menyapa gua dan sempat gua kira homo. Gua mengangkat tangan, mencoba memanggilnya. Irfan yang tengah ngobrol santai melihat kemudian membalas lambaian tangan gua, kemudian dia bergerak menghampiri.
Dateng juga lo.. Iya, tergiur sama makanan yang kemaren lu kasih tau.. maklum orang baru..
Hahaha... Eh, fan.. ni yang dateng orang Indo yang tinggal disini semua"
Mostly, yes.. kenapa" Kaget" Iya, banyak juga ya orang Indo disini.. Haha, banyaklah.. nih lo perhatiin deh... Irfan berhenti berbicara kemudian menunjuk ke beberapa orang-orang yang berbicara sambil bergerombol, membentuk lingkaran-lingkaran asimetris.
Lo liat kan" Ngerti nggak maksudnya" Irfan bertanya, gua Cuma menggeleng.
Mereka tinggal jauh dari tanah air, jauh dari rumah, jauh dari keluarga, tapi disini mereka nggak nyatu , nggak membaur, malah membentuk golongan sendiri sendiri..
Ooo.. iya, iya, jadi kayak jaman gua sekolah dulu.. Persis!
Irfan menjentikkan jarinya didepan wajah gua.
Yang mahasiswa high-end, kumpul sama mahasiswa high-end, sedangkan yang mahasiswa beasiswa juga begitu, kumpulnya dengan mahasiswa yang samasama yang dapet beasiswa, yang karyawan kumpul sama karyawan, yang reporter kumpul sama reporter, yang atlit kumpul sama atlit..
Apa semuanya begitu fan"
Gua bertanya, ragu. Masa iya sih di negeri orang mereka masih berlaku dan bertingkah seperti itu.
Di London, ya begini ini.. Emang kalo dikota lain"
Kalo di Birmingham sih jarang ada gath kayak gini, kalaupun ada paling yang dateng Cuma beberapa orang.. tapi mereka biasanya blended banget, nggak kayak gini..
Gua mengangguk-angguk pelan, mencoba mencerna kemungkinan alasan-alasan kenapa mereka bersikap seperti ini. Gua mencoba mengacuhkannya dan bergerak kederetan makanan yang tersaji di atas meja, mengambil piring dan membabatnya tanpa ampun.
Setelah makan gua melanjutkan obrolan dengan Irfan, satu-satunya orang yang gua kenal di ruangan ini. Dia bercerita kalau dia dulu kuliah disini, sekarang sudah lulus dan bekerja sebagai Desainer Interior yang berkantor di Birmingham tapi sering bolak-balik ke London dan Leeds. Setelah menghabiskan waktu mengobrol cukup lama dengan Irfan, gua pamit untuk pulang. Sebenernya gua masih ingin menikmati hidangan-hidangan yang ada disini, bahkan kalau memungkinan gua mau bungkus buat dirumah, tapi apa daya badan ini sudah berteriak meminta jatahnya untuk diistirahatkan.
--- Gua berjalan gontai menaiki tangga menuju ke kamar gua yang terletak di lantai empat. Setelah menunaikan solat maghrib, gua merebahkan diri diatas kasur yang masih tanpa seprai, kemudian langsung terlelap tidur. Lelah dan kantuk benar-benar menyerang gua, semenjak pindah dan kerja disini, gua sama sekali belum pernah merasakan bersantai dimalam hari dengan ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok. Bagaimana mungkin, gua berangkat kerja jam 9 pagi dan sampai dirumah jam 10 malam, makan gua pun bisa dibilang nggak teratur, baru satu minggu disini badan gua udah berasa kurusan. Mungkin kalau nyokap gua mendengar atau bahkan melihat kondisi hidup gua disini, dia bakal buru-buru nyuruh gua pulang.
#35: I Was Here Bulan Pertama Di Negeri Orang.
Nggak terasa, hari ini tepat satu bulan gua tinggal dan kerja di London. Mungkin kalau ada orang yang sudah kenal lama kemudian bertemu dengan gua sekarang bakal bilang Lu kurusan deh dan mungkin bakal ada sedikit yang bilang Lu gantengan deh (kaca.. mana kaca).
Ada sedikit progres positif pada pekerjaan gua, sekarang gua sudah mulai beradaptasi dengan cara kerja orang-orang bule disini, kedisiplinan dan keprofesionalitas-an mereka. Progres negatif justru ada pada kehidupan pribadi gua, tanpa heru, tanpa komeng, tanpa resti, kehidupan sosial gua serasa terpenjara. Bergaul dengan Clark yang notabene nggak punya agama (serius, dia bener-bener nggak punya agama) benar-benar memanjakan nalar gua. Dua tumbuhan yang namanya nalar dan logika dalam diri gua bagaikan mendapatkan siraman air dan pupuk yang tumbuh makin subur.
Betapa Clark selalu mengeluarkan statement berdasar fakta dengan ideologi-ideologi tanpa tuhan-nya. Clark adalah satu dari sekian banyak orang bule yang bertuhankan statistik dan ilmu pengetahuan, hidupnya penuh dengan perhitungan matang, numbers dont lie ucapnya memprediksi hasil pertandingan sepak bola liga inggris. Angka-angka dan statistik adalah kitab sucinya, dia tidak mempercayai ada kehidupan setelah kehidupan, Heaven even doesnt exist. Hebatnya, sejak gua tiba disini dan bertemu dengannya, dia tidak pernah mempertanyakan dan menyinggung keimanan gua.
Gua sedang meng-compile beberapa nada yang barusan dibuat Clark melalui keyboardnya, saat sebuah pop-up yahoo messanger muncul di sudut kanan bawah laptop gua. Sebuah pesan dari Resti; Hi There.. apa kabarmu disana"
Gua tersenyum kecil saat membaca-nya.
Sejak gua memutuskan untuk berpaling darinya malam disaat sebelum berangkat ke London, gua merasa kalau kita nggak sejalan, perasaan yang gua rasakan ke Resti nggak lain Cuma sebatas suka , suka dengan caranya memperlakukan gua dan suka dengan cara dia menerima perlakuan dari gua. Dan nggak ingin membuat dia merasa kalau gua memberikan harapan (lagi) kepadanya. Gua yakin se yakin-yakinnya kalau perasaan yang pernah hadir itu bukan cinta , ah tau apa gua tentang cinta. Saat ini sepertinya bukan waktu yang tepat untuk sekedar suka-sukaan apalagi cinta-cintaan, sekarang waktunya gua untuk mencari uang sebanyak-banyaknya dan membahagiakan keluarga. Gua mengarahkan kursor kemudian mengklik tanda x disudut atas jendela pop-up tersebut. Sorry res.
Clark berdiri dibelakang gua, memperhatikan layar laptop dihadapan gua dan sedikit memberikan koreksi disana-sini. Buat Clark, nggak ada yang namanya lumayan dan gua suka itu. Saat mengomentari atau menilai sesuatu, misalnya hasil pekerjaan gua atau teman-teman yang lain, dia bakal bilang Good atau Bad kemudian menjelaskan alasan-nya atau memberi koreksi, nggak ada istilah seperti not good enough atau not bad enough , nggak ada abu-abu, hanya hitam dan putih.
Setelah selesai mengoreksi pekerjaan gua, dia duduk kemudian berkata kalau nanti sore gua yang harus mempresentasikan project ini. Dengan sedikit kaget dan terbengong-bengong gua bertanya; why me"
I don t know, just you.. Clark kemudian berdiri, membuka pintu dan keluar dari ruangan.
Sementara gua memandang ke arah layar laptop, menatap layer demi layer yang sudah terisi beat dari susunan nada yang mengisi sound sebuah iklan asuransi dari salah satu perusahaan ternama di Inggris. Memakai headphone, memutarnya kembali berulangulang, memastikan tidak ada kecacatan suara dari project ini.
Gua mengambil secarik kertas dan mulai menulis kata demi kata sambil berfikir keras; kira-kira apa kalimat yang tepat untuk menggambarkan dan menjelaskan kenapa Gua dan Clark memutuskan untuk menggunakan Backsound dan tata suara ini. Clark memasuki ruangan sambil menggenggam cangkir kopi dari karton, gua menoleh kearahnya sambil bertanya;
Um, Clark.. can you give me a reason why you.. err we choose this sound pack for this act"
Haha.. no no, i dont know, you d tell me.. ...
Preparin for presentation" Yeah..
Don't think, don't try to analyze that, just go and let it flow..
Mmm.. i just, ... mmm not ready for...
When you ready, someone elses will do that fuckin presentation for me..what you say"
Oke then.. What you say" Oke, ill do that.. Gua menghela nafas.
Sore harinya gua sudah berada di tengah-tengah priapria bule yang duduk mengelilingi meja setengah lingkaran, menghadapi sebuah papan besar yang disorot oleh sebuah projector digital. Beberapa orang yang baru datang memandang aneh ke arah gua, mungkin sebagian dari mereka merasa janggal dengan kehadiran gua disini, apa perlunya nih orang asia duduk disini, pegawai magang pula . Nggak seberapa lama, Mr.Kane masuk kedalam dan berdiri disudut belakang ruangan, tempat yang aneh untuk seorang pimpinan dalam sebuah acara presentasi. Mr.Kane mengangguk pelan, lampu ruangan mulai meredup disusul dengan muncul warna biru di papan dan sebuah iklan, iklan yang sudah hampir seminggu ini gua dan Clark kerjakan.
Iklan dengan durasi dua menit tersebut selesai, lampu ruangan kembali menyala. Mr.Kane masih berdiri ditempatnya, dia menunjuk salah seorang pria yang kemudian berdiri; mulai menjelaskan bagian per bagian dari detail iklan tersebut dari mulai Ide sampai tata cahaya, efek, penggunaan properti dan yang terakhir tata suara. Pria tersebut duduk lalu disusul dengan pria lain yang berdiri dan mulai menjelaskan perihal pencahayaan, dan terus begitu sampai saat semua yang ada diruangan tersebut diam dan memandang ke arah Clark.
Clark menoleh dan mengerling ke arah gua, dan gua paham apa arti kerlingan tersebut. Gua berdiri, mulai menyapa semua orang yang duduk disitu dan gua satu-satunya orang yang melakukan hal tersebut. Setelahnya gua mulai menjelaskan tentang tata suara yang sudah gua kerjakan bersama Clark, tentang pemilihan backsound dan sound efek sambil memutar ulang iklan tersebut, sesekali gua melihat ke arah Mr.Kane yang Cuma memandang dalam diam dan melihat ke arah Clark yang Cuma manggut-manggut. Sepuluh menit kemudian, setelah selesai dengan penjelasan tentang tata suara, gua sedikit berkata; we should be able to have a better idea for this adv.. Nggak disangka, nggak dinyana, omongan pelan gua yang Cuma sekedar asal bunyi malah membuat riuh seisi ruangan. Mr.Kane kemudian bergerak dari tempatnya berdiri dan duduk di sebuah kursi di ujung meja dan semua orang pun diam, hening, sebagian mereka saling memandang, sebagian lainnya menatap gua.
Well, Mr.Boni.. you ll have 3 days to prepare the better idea..
Kemudian Mr.Kane berdiri dan berjalan meninggalkan ruangan. Disusul para peserta pertemuan yang semakin riuh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, salah satu dari mereka melewati gua sambil berkata;
You better have a real better idea young man..
Gua berdiri, menggelengkan kepala dan sungguh, kali ini gua menyesali perkataan gua barusan. Clark menepuk bahu gua,
Well done.. this is what I want to see from you, well done...
... Gua Cuma menjawab dengan senyum, sebuah senyuman kecut.
Setelah kembali ke ruangan, gua duduk sambil menatap ke layar laptop. Clark mengambil selembar kertas dan meletakkannya dihadapan gua; Write it down..
Gua menatap wajahnya kemudian kembali memalingkan wajah ke kertas kosong tersebut, gua tau maksud si Clark, dan ini bakalan jadi sebuah pekerjaan yang sulit, mungkin bakal terasa gampang kalau nggak dalam posisi dalam tekanan seperti yang sekarang gua rasakan.
Sore berganti malam, dan gua masih memandangi kertas putih ke sepuluh atau mungkin yang ke dua belas berisi coretan-coretan skecth storyboard yang gua pandang lesu, menggulungnya menjadi gumpalan dan melemparkannya ke tempat sampah, menyusul kertas-kertas lain yang sudah lebih dulu merasakan gulungan yang sama. Gua mengusap-usap wajah, kemudian mengambil jaket dan bergegas untuk pulang.
Sesampainya diflat, setelah solat maghrib gua merebahkan diri di atas kasur yang (tetap masih) belum ada seprai-nya, memandang ke langit-langit sambil melipat lengan dan meletakannya diatas dahi. Mencoba berfikir keras mengenai apa yang telah gua lalui hari ini, kemudian mencoba mencerna perkataan Clark tadi sebelum pulang; kalau gua tadi pas presentasi Cuma diam aja mungkin project-nya mulusmulus aja dan bakal dipublish setelah di acc oleh klien, tapi ya tetep gua nggak dapet kredit apa-apa.
Sedangkan, dengan perkataan gua tadi sore, yang mengakibatkan project di pending secara tidak langsung mempertaruhkan kredibilitas gua disini, kalau lusa ide buatan gua diterima maka bakal ada kredit tersendiri buat gua, tapi sebaliknya; kalau ide gua ditolak maka sepertinya gua harus menerima punishment yang sepait-paitnya bakal bikin gua angkat koper dari sini. Gua menggeleng-gelengkan kepala, mencoba membuang jauh-jauh kemungkinan terakhir sambil mengingat-ingat hal yang membuat gua bisa sampai disini.
Gua pasti bisa! Gua bangun, menyalakan kompor dan mulai membuat kopi kemudian mengambil tas. mengeluarkan tumpukan kertas kosong yang tadi gua bawa dari kantor dan mulai membuat skecth lagi.
Setelah berlembar-lembar kertas, berbatang-batang rokok, bergelas-gelas kopi dan bermacam-macam skecth gua buat, gua memandang ragu ke lembar terakhir yang berada di genggaman, gua
menambahkan beberapa baris brief dan keterangan untuk storyboard tersebut, besok pagi bakal gua ajukan langsung ke Mr.Kane.
---Seminggu kemudian gua duduk di salah satu sudut gelap didalam kamar kecil gua yang suram, memandang sebuah kartu ATM ditangan beserta sebuah IDCard yang baru gua dapatkan tadi pagi. Gua mengeluarkan isi dompet gua, memilah-milah mana saja kartu yang sekiranya tidak perlu diletakkan didompet, yang Cuma bikin dompet terlihat penuh. Setelah menyingkirkan beberapa kartu klinik, surat berobat, kertas yang berisi nomor telepon, beberapa kartu timezone, gua mulai memasukkan kartu ATM baru gua, saat sebuah foto terjatuh, gua memungutnya dan memandang sebuah foto digital khas photobox, sesosok wanita berkuncir kuda tengah tersenyum sambil meletakkan kedua jarinya menyilang menyentuh pipi; Resti.
Gua tengah mengepak dan berberes ruangan saat menemukan foto resti didalam dompet, entah kapan tuh cewek meletakkan fotonya didalam dompet gua. Besok gua bakal berangkat ke Leeds, sejak ide gua sukses menggantikan ide lama tentang iklan asuransi minggu kemarin, gua nggak lagi menyandang predikat internship , saat ini gua berada di level yang setingkat lebih tinggi; seorang karyawan. Dan yang harus gua tebus untuk level tersebut juga nggak murah , gua malah ditugaskan untuk pindah ke kantor yang di Leeds.
Pagi itu, mungkin salah satu pagi yang paling gua ingat dalam hidup gua disini, di inggris. Gua memandang kamar ini sekali lagi sebelum meninggalkan-nya, gua meletakkan koper didepan pintu dan kembali masuk kedalam, menyusuri dengan tangan selusur-selusur wastafel terus bergerak menuju ke bingkai jendela dan berakhir di kasur tanpa seprai; entah kenapa, baru kurang lebih satu bulan disini gua seperti sudah punya ikatan dengan kamar ini. Gua mengambil anak kunci pintu kamar dari dalam saku dan mulai mengukir nama gua di bingkai jendela yang terbuat dari kayu mahoni yang sudah mulai melunak.
Gua menutup pintu, sebelum memandang ke sebuah foto gadis manis berkuncir kuda yang gua selipkan di bingkai jendela, diatas sebuah ukiran; Boni was here..
#36: Leeds Gua turun dari Virgin train bersama sebuah koper dan ransel dipunggung menatap kosong ke sebuah stasiun yang katanya bernama Leeds Station. Gua duduk sebentar memandang ke sebuah kartu nama yang berisi alamat sebuah tempat yang bakal jadi kantor gua disini. Gua pernah mencoba bertanya ke Clark, kenapa kita juga punya kantor di Leeds; Clark menjelaskan bahwa kalau sebelumnya memang perusahaan ini awalnya meniti karir di Leeds, seiring berkembangnya perusahaan dan kebutuhan akan sebuah prestige maka perusahaan mendirikan kantor di London.
Gua berjalan keluar stasiun, udara dingin bulan oktober mulai menyisir dan membelai rambut, membuat gua sedikit bergidik kedinginan. Setelah mengeluarkan jaket dan memakainya gua berjalan menghampiri seorang petugas polisi yang tengah berdiri disudut jalan.
Ternyata petugas polisi disini boleh dibilang sedikit lebih ramah daripada yang di London. Gua berjalan menyusuri trotoar di sepanjang jalan Prince St kemudian berbelok ke kanan sesuai dengan petunjuk dari petugas polisi tadi, setelah melalui sebuah alley gua sedikit berbelok ke kiri dijalan Aire st, dari sana terlihat sebuah bangunan dari bata merah natural, enam lantai, sebagian terdiri dari kaca-kaca besar disalah satu bagian, terdapat tangga-tangga diujungnya dan semacam rolling door atau hampir menyerupai garasi di ujung satunya. Gua
mencocokkan nomor yang terpampang di temboknya (karena gua nggak menemui adanya papan nama atau semacamnya) dengan kartu nama yang gua bawa. Setelah benar-benar yakin, gua menuju ke sebuah pintu besar yang terbuat dari kaca, membukanya dan masuk kedalam. Gua melangkah melalui ruangan Lobi besar dimana terdapat sofa-sofa berwarna merah berbahan beludru lembut dan dindingnya dihiasai berbagai macam lukisan dan poster-poster, menuju ke meja resepsionis dimana seorang wanita tengah baya dengan kacamata rendah menatap ke arah gua.
Good Afternoon, ma am.. Hmmm..
I d like to meet Mr.Robinson..
Gua menyodorkan sebuah kartu nama dan surat pengantar dari Kantor London ke wanita tersebut. Dia mengambilnya, membacanya sebentar, kemudian memandang ke arah gua dari atas sampai ke bawah dan mengangkat gagang telepon.
Third Level...first room at the alley..
Wanita tersebut memberitahu kemana gua harus pergi sambil menunjuk ke arah tangga spiral menuju ke atas. Gua mengucapkan terima kasih sambil melewatinya dan bergegas menuju ke tangga.
Sampai di lantai atas, tidak sulit untuk menemukan ruangan tersebut karena memang disitu tidak ada ruangan lain yang menyerupai sebuah ruangan kantor, ruangan-ruangan lain terlihat seperti sebuah studio ber-lantai kayu, dengan sebuah kaca jendela besar yang mirip showroom. Gua mengetuk pintu besar berwarna putih dan masuk, disambut oleh sosok pria sedikit tua dengan rambut yang mulai membotak dibagian belakangnya; Mr. Robinson. Ini adalah pertemuan gua yang ke tiga dengan Mr.Robinson, setelah dua kali pertemuan di kantor London. Mr.Robinson berdiri kemudian mempersilahkan gua untuk duduk.
Setelah bercakap-cakap sebentar, Mr.Robinson mengantar gua turun satu lantai dan menuju ke sebuah ruangan. Dia membuka pintu dan mempersilahkan gua untuk masuk; Well Boni, this is your new room.. Gua memandang kedalam sebuah ruangan dengan ukuran sekitar 4 meter persegi, didalamnya terdapat dua buah meja dimana terdapat dua monitor besar diatasnya.
I assumes you already have a place to stay, so you can start workin by this day
Gua memandang ke arah Mr.Robinson kemudian menggeleng.
Mr.Robinson menepuk bahu gua kemudian mengajak gua kembali ke ruangannya. Sesampainya diruangannya dia membuka sebuah buku yang berisi kumpulan kartu nama dan menyerahkannya. Gua menerimanya, memandang sebentar kemudian mengangguk.
Setelah pamit dengan Mr.Robinson gua keluar dari kantor, masih dengan menarik koper cokelat gua, berjalan sepanjang Aire St menuju ke King St, sesuai dengan petunjuk dari Mr.Robinson. Nggak seberapa lama, gua berdiri disebuah bangunan tinggi di King St bernomor 85 sambil memegang kartu nama yang bertuliskan Drill Inn, gua masuk kedalam lewat pintu kayu dengan jendela kaca besar. Didalam gua disambut oleh pria tua berkacamata yang tersenyum ramah kearah gua sambil mengucapkan good afternoon , gua menghampiri pria tersebut yang tengah berdiri dibalik meja resepsionis tak terawat dan bertanya tentang harga menginap disini. Setelah deal diangka "15 per malam, gua diantar oleh pria tua tersebut naik ke lantai tiga dan menuju kesebuah kamar berukuran kecil, didalamnya terdapat kasur, sebuah lemari, seperangkat meja-kursi dan satu unit televisi. Gua masuk kedalam, meletakkan koper dan ransel diatas meja dan merebahkan diri diatas kasur, gua terbangun saat ada sesuatu bergerak keluar dari dalam seprai; seekor kecoa. Kampret..
--- Setelah beberapa jam gua berburu kecoa didalam kamar, gua keluar dari motel tersebut; mencari makan. Berbekal petunjuk dari pak tua penjaga motel, gua berjalan sepanjang King St menuju ke Claverley St, sampai gua terhenti didepan sebuah restaurant yang terletak diseberang semacam lapangan besar yang terlihat seperti halaman dari sebuah gedung pemerintahan. Gua menatap sebuah plang kecil di atas restaurant tersebut; Akbar s: Indonesian Cuisine , tanpa pikir panjang, gua pun masuk kedalamnya.
Gua duduk disebuah meja, sesaat kemudian datang seorang pelayan wanita yang bertampang Indonesia menghampiri, membawa sebuah menu dan menyerahkannya ke gua;
Orang Indonesia" Pelayan itu bertanya sambil menyerahkan menu.
Iya..mbaknya orang Indo juga" Hooh..
Dia mengangguk sambil tersenyum.
Yang punya resto juga orang Indo, mbak" Nggak, bukan.. orang Amrik..
Ooh.. Gua membuka-buka menu dan memilih ayam bakar kalasan.
Setelah menunggu beberapa saat, si pelayan tadi datang membawa pesanan gua dan sebotol air mineral.
Mbak.. Ya mas, ada tambahan"
Oh, nggak.. begini, saya mau nyari tempat tinggal deket-deket sini, mbaknya mungkin punya kenalan atau tau tempat yang murah..
Si pelayan tersebut, memonyongkan mulutnya sambil menaikkan alisnya ke atas.
Kalo tempat sih ada, karena temen saya mau pindah katanya.. tapi nggak bisa dibilang murah mas... Dimana mbak"
Waduh.. saya ngasih taunya susah juga ya mas, ribet.. mas-nya baru kan disini"
Iya mbak.. Gua menggaruk-garuk kepala sambil memandang nyinyir ke hidangan yang terletak dihadapan gua; sepotong ayam yang katanya ayam bakar kalasan, tapi menurut gua malah mirip Ayam gosong disiram kecap.
Gini aja deh mbak.. mbaknya bisa nganter saya nggak"
Wah, nggak bisa mas.. Yah, yaudah deh nggak apa apa, makasih ya mbak.. Kemudian si pelayan tersebut pergi meninggalkan gua.
Tanpa nafsu, gua mencoba menghabiskan ayam gosong yang tersaji didepan gua sambil sesekali menenggak air mineral.
Buset, ni ayam apa sendal.. alot banget..
Setelah menikmati ayam bakar rasa sendal jepit, gua keluar dari restauran Indonesia abal-abal tersebut dan berbelok ke kiri, terus berjalan sepanjang Claverley St sampai akhirnya gua terhenti di persimpangan jalan besar yang ramai. Gua duduk disalah satu sudut bangku taman, dibawah sebuah pohon mapple besar. Gua menyulut sebatang rokok, menatap ke persimpangan jalan sambil bertopang dagu, berfikir ya ampun begini amat yak, hidup di negara orang , sampai saat gua mendengar suara keras dibelakang, gua menoleh dan melihat seorang wanita tua sedang memukul-mukul Vending Machine dengan tas yang ditentengnya, disebelahnya berdiri seorang gadis berusia belasan tahun yang sedang cemberut. Orangorang yang lalu lalang disana Cuma memperhatikan saja, sebagian diantaranya berlalu sambil menggelenggelengkan kepala, rasa kemanusiaan dan adat ketimuran gua pun muncul, gua berdiri dan menghampiri wanita tersebut;
Sorry ma am.. what's happened"
Wanita tua tersebut menoleh dan bergumam; Mind your own bussines..
Gua mengangkat bahu dan mencoba berpaling dan kembali ke bangku tadi, kemudian sebuah tangan meraih ujung jaket gua;
I want that oreo... Gadis yang tengah cemberut tadi berkata ke gua sambil menunjuk ke arah Vending Machine yang masih dipukuli oleh wanita tua tadi dengan tas-nya.
Gua mengambil selembar uang pecahan "1, meratakannya dengan tangan, kemudian gua menghentikan gerakan memukul wanita tua tersebut dan memasukkan selembar uang ke dalam bibir mesin. Dua bungkus Oreo keluar dari lubang yang terletak dibawah mesin, gua mengambilnya dan
memberikannya ke gadis itu. Gadis itu menerimanya dan gua kembali ke bangku tempat dimana gua tadi duduk, nggak lama gadis itu mendatangi gua dan menyodorkan sekeping biskuit berwarna cokelat, gua mengambilnya, memasukkannya kemulut. Whats your name"
Gadis itu duduk disebelah gua dan bertanya.
My name is Boni, whays yours.."
Iam Sharon.. what you doing here" You do not seem from around here"
Oh, im from Indonesia.. just lookin for place to stay.. Ooowh.. Darcy rents a rooms..
Gadis itu berkata dengan mulut penuh oreo sambil menunjuk ke wanita tua tadi.
Wanita tua itu menghampiri kami, meraih tangan gadis itu dan mengajaknya pergi. Gua berdiri dan berbicara ke wanita tersebut;
Are you Darcy" Gua bertanya, wanita tua itu tak menjawab dan terus berjalan sambil menggandeng lengan gadis yang masih menoleh ke arah gua.
Excuse me mam" Are you rent out a rooms" " Gua bertanya sambil berusaha berada tetap disampingnya. Wanita itu kemudian berhenti; Room.. not rooms...
--- Setengah jam kemudian gua sudah berada di Moorland Rd, dekat dengan Leeds University. Gua berdiri diluar sebuah rumah mungil, dua lantai dengan tembok dari bata merah dan pintu tua berwarna biru, rumah wanita tua tadi, rumah Darcy. Wanita tua dan gadis tadi masuk kedalam rumah dan memberi isyarat aga gua menunggu disini, beberapa menit kemudian Darcy, keluar dari pintu rumah disebelahnya, dia memanggil. Gua melompati semacam pagar setinggi pinggang yang terbuat dari bata merah, menuju ke pintu tempat Darcy memanggil dan masuk kedalamnya. Tempat ini persis bersebelahan dengan tempat Darcy dan Sharon masuk.
Gua masuk, sebuah tangga ke atas menyambut gua, disebelahnya terdapat pintu yang sedikit terbuka, tadinya gua hendak masuk kedalam ruangan tersebut sebelum suara Darcy memanggil gua dari atas; Up Here.. .
Gua menaiki anak tangga, sesampainya diatas sebuah pintu terbuka, gua masuk kedalamnya. Darcy sedang berdiri, memandang ke arah gua sambil bertolak pinggang, sedangkan Sharon berlarian kesana kemari didalam ruangan.
Well.. its will cost "660 in first month and "560 for next month..
Darcy berbicara. Gua masuk kedalam, memeriksa ruangan demi ruangan sambil menggaruk-garuk kepala. Tempat nya memang cukup besar, terdapat sebuah kamar tidur, dan dapur yang jadi satu dengan ruang santai dimana sudah terdapat sofa berwarna hitam disana, kamar mandinya juga cukup besar, didapurnya pun sudah terdapat perlengkapan-perlengkapan untuk memasak, bahkan mesin cuci.


Accidentally Love Karya Boni di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"560 ; including electricity, water and gas Darcy menambahkan
Gua jadi teringat pesan si Irfan waktu itu; ... kalo nyari tempat, cari yang udah include sama listrik, aer sama gas.. jangan mau kalo exclude.. ntar dikerjain lu sama landlord-nya, kayak gua dulu.. pas musim panas bayar Cuma "300, eh pas musim dingin bengkak jadi "800, gara-gara make pemanas terusterusan..
..terus jangan lupa, kalo udah deal lu poto-in tuh satu per satu, ruangan demi ruangan, sudut demi sudut, soalnya kadang-kadang ada landlord yang minta klaim kerusakan keran lah, tembok retak lah, cat-nya kotor lah, pas lu mau pindah dari sana.. ya kalo bisa lu cari yang full Furnish, jadi nggak repot..
Kalau dibandingkan dengan tempat gua sebelumnya di London jelas ini lebih mahal tapi lebih baik dan yang paling ok adalah, ni tempat masuk banget dengan kriteria yangdisebutin Irfan; Harganya include walau nggak ada internet-nya dan full Furnish jadi sepertinya "560 masih masuk akal buat gua.
Okay, "560 sound good.. Good, so where s your stuff" Ill take it tommorow..
--- Besok harinya sepulang bekerja, gua langsung menuju ke tempat baru gua. Setelah menyelesaikan pembayaran pertama dengan Darcy, dia mengantar gua ke tempat tersebut dan menyerahkan sepasang anak kunci ke gua;
No slam-bang at night, in the summer dry your clothes outside dont use machine, use heater and electrical wisely..
Darcy memperingatkan sambil mengangkat telunjuknya didepan wajah. Kemudian menyerahkan paspor gua yang sudah di copy olehnya dan berlalu.
Gua duduk disofa, hitam yang empuk, terasa hangat didalam sini, sepertinya Darcy sudah menghidupkan pemanasnya sejak tadi. Kemudian gua menyeret koper kedalam kamar, membongkarnya dan memasukkan pakaian-pakaian gua kedalam lemari kecil disebelah kasur.
--- Jam menunjukkan pukul 00.15 saat gua terjaga, terbangun mendengar suara petir yang menggelegar, hujan diluar sana. Gua menutup kepala dengan bantal dan mencoba untuk tidur lagi, tapi sepertinya mata ini enggan sekali terpejam. Rasa kangen rumah menghinggapi, gua turun mengambil sebatang rokok dan menghisapnya, menyandarkan diri di pinggir kasur, duduk di lantai menghadap ke arah jendela kamar, meluruskan kaki sampai ujungnya menyentuh pintu lemari kecil tempat pakaian yang bentuknya mengikuti bentuk tangga yang menuju ke loteng, dan gua mulai memainkan pintu lemari itu dengan jempol kaki.
Emak, lekas seka air matamu sembapmu malu dilihat tetangga
Baba, mengertilah rindu ini tak terbelenggu
Pasti kamar gua terlihat rapi Ribut suara gua nggak ada lagi Nggak usah emak-baba cari tiap pagi
Tapi suatu saat nanti, buah hatimu yang sementara pergi pasti kembali, Usahlah kau pertanyakan ke mana kaki ini akan melangkah
Kalian pasti tahu, Pulang ke rumah..
#37: New Home, New Life Seminggu pertama gua berada di Leeds dan boleh dikatakan kalau kota ini benar-benar membuat gua jatuh cinta. Jatuh cinta dengan suasananya, dengan keanggunannya dikala malam dan dengan tingkat kebisingannya yang minim. Sangat jauh berbeda dengan kondisi London atau Singapore, waktu masih di London, hampir tiap malam gua terbangun garagara suara sirine ambulan, pemadam atau polisi tapi suasana malam disini, di Leeds, sangat berbeda; Tenang. Tapi, hampir sama dengan London, cuaca disini sangat nggak bersahabat untuk orang asia kayak gua. Gua tiba disini berbarengan dengan tiba-nya musim dingin, alhasil gua jadi mimisan, sebagian kuku gua memerah dan berdarah, kalau terkena air, perihnya nggak ketulungan. Gua sempat menelpon Heru waktu itu;
Ruk, nggua mimihan nih.. ngenapa ya"
Wah, nyama nong ngita" Ngua malah nari ngemaren nih..ngahahaha.. ngua amis nari nokter, ngatanya nga papa, anaptasi noang...
Onh.. napi nguku ngua nyuga merih nih ruk" Nyah, nyama ngua nyuga..
Untungnya (masih ada untungnya) Kejadian mimisan tersebut nggak sampai dua hari kayak si Heru, dalam sehari aja gua udah bisa beraktivitas seperti biasa, menyisakan perih didaerah kuku tangan dan kaki saat terkena air.
Hari Sabtu, Gua tengah berjalan menuju ke halaman depan untuk membuang sampah saat Sharon baru saja turun dari mobil di antar oleh kedua orang tuanya.
Hi, Boni... Oh hai Sharon.. Gua bergidik sambil menjawab greeting dari Sharon, kemudian buru-buru berlari masuk kedalam, dingin.
Nggak seberapa lama Sharon, mengetuk pintu dan masuk kedalam rumah. Gua tengah mengaduk kopi yang baru saja selesai dibuat. Dia duduk dikursi dekat meja makan;
Cup a Coffee" No, thanks.. Tea.."
Sharon menggeleng, mengangkat botol milkshake-nya Gua manarik kursi dan duduk disebelahnya, sambil menarik tinggi kerah jaket gua menyeruput kopi panas yang bakal cepat dingin.
Sleep over" Yeah, mom and dad went to London Owh... how bout your school" Awesome...
Dia bilang awesome sambil memperlihatkan wajah yang menyebalkan.
Kemudian Sharon mulai mengeluarkan pertanyaanpertanyaan tentang gua, tentang Indonesia, tentang Bali dan juga tentang siapa pacar gua; haha nope. Gua menyulut sebatang rokok dan ganti bertanya ke Sharon, hal yang selama ini jadi ketertarikan khusus buat gua; pendidikan sekolah di Inggris. Gua mengambil PDA O2 baru gua, dengan bergaya seperti reporter gua mulai menanyai seluk-beluk pendidikan yang dialami Sharon dan mencatatnya. Awalnya memang Sharon setengah hati dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari gua tapi setelah mengeluarkan jurus yang selalu berhasil dalam menghadapi anak-anak; Want some kit-kat" Oreo...
Oke Oreo..now focus on your answer.. Three...
Sharon mengangkat tiga jarinya ke atas.
Oke no problem at all.. Dan apa yang gua dapatkan dari hasil wawancara paksa gua terhadap Sharon sungguh-sungguh membuat gua tercengang, terbelalak, shock. Betapa tidak; sejak Elementary; si Sharon ini nggak pernah yang namanya dapat peringkat/ranking dan begitu juga teman-temannya yang lain. Lah, kok bisa" Bisa! Karena sistem pendidikan disini, di Inggris; sama sekali nggak ada yang namanya peringkat/ranking, sekolah dasar (elementary; 9 tahun; kalau di Indonesia SD sampai SMP) juga nggak terlalu banyak mengajarkan hal-hal yang rumit, bahkan Sharon baru belajar menulis di tingkat ke tiga dan belajar berhitung di tingkat lima. Pemerintah disini sengaja membuat sistem tanpa ranking untuk menghindari kompetisi langsung antar siswa, karena kompetisi dianggap belum pantas diterapkan untuk anak-anak. Orang tua Sharon juga katanya pernah dipanggil oleh pihak sekolah gegara Sharon terlalu menonjol di tim kriket sekolahnya.
Disatu sisi gua mengangguk-angguk, sedikit setuju dengan pola pikir yang diterapkan pemerintah untuk sistem pendidikan disini, disisi lain gua jadi mengerti kenapa timnas Inggris selalu jeblok saat piala dunia; haha mungkin gara-gara para pemainnya nggak terbiasa berkompetisi antar sesama pemain.
Dan akhirnya, gua menebus dosa atas wawancara paksa tadi.
Gua berjalan menembus angin dan gerimis dengan tangan disaku jaket, menuju ke minimarket kecil didekat Leeds University; membeli tiga bungkus Oreo. ---
Sebulan sudah gua tinggal di Leeds. Dan hampir setiap akhir pekan gua ditemani oleh gadis berumur dua belas tahun, tinggi, berambut pirang dan lucu ini. Setiap akhir pekan Sharon selalu dititipkan ke Darcy oleh orang tuanya yang yang kerja ke London. Orang tua macam apa yang kerja pada weekend dan menitipkan anaknya ke orang.
Dan Sharon benar-benar sukses bikin gua lupa sesaat akan beratnya tekanan kerja, lupa akan Heru, Komeng bahkan Resti. Nama terakhir memang terus gua usahakan agar secepatnya lupa. Tingkahnya selalu bikin orang-orang disekitarnya tertawa gemas, pernah suatu waktu Sharon ikut dengan gua berbelanja di supermarket, dia berksikeras untuk menggunakan troli belanja, gua Cuma bisa mengangguk. Setelah selesai berbelanja, gua berdiri didepan kasir yang tersenyum-senyum sambil memandang ke arah gua, sambil mengeluarkan uang dari dalam dompet, gua membalas senyumnya yang terasa janggal. Sampai sedetik kemudian gua menyadari kalau si kasir tengah mencoba menjejalkan diapers ukuran dewasa kedalam kantong belanja gua; what the hell.., seketika gua meng-cancel pembelian diapers tersebut, tapi si kasir menggeleng, tetap tersenyum aneh sambil mengatakan kalau diapers tersebut sudah diinput, gua Cuma bisa menghela nafas memandang Sharon yang tengah menari balet ria sambil menunggu. Diperjalanan pulang gua mengeluarkan diapers tersebut dan memasukkannya kedalam tong sampah; Dont ever..ever..ever..ever do that again.. Why" You can use it..
Sharon menjawab, berlagak tak bersalah sambil mengelap sisi bibirnya yang penuh cokelat.
Sebulan lebih berada ditanahnya Robin Hood, membuat gua semakin lama semakin mengenal budaya dari salah satu negara tertua didunia ini. Inggris dengan beragam suku dan bangsa yang berada didalamnya membuat gua seperti berdiri ditengah ratusan jenis manusia dengan beragam tipe dan kriteria. Ada yang bilang kalau orang-orang di Inggris itu individualis, anti sosial dan arogan, pendapat tersebut ada kalanya benar, tapi ada kalanya gua bisa dengan tegas mengatakan kalau anggapan tersebut salah. Gua pernah di protes oleh Darcy sewaktu mengatakan kalau orang-orang Inggris, khususnya di London sangat individualisme dan anti sosial, London Rules; Don t talk to strangers . Menurut Darcy, orangorang di Inggris saat ini sudah merupakan percampuran antar individu dari berbagai negara, sedangkan orang inggris asli menurut Darcy adalah orang orang yang sangat sopan dan ramah, seperti dirinya.
Orang inggris sendiri sejatinya berasal dari Roma, kawasan Anglo-saxon dan bavaria tak kurang negaranegara skandinavia juga punya sedikit sumbangan turunan . Jadi gua agak sedikit mengernyit saat Darcy menyebut kata orang Inggris asli . Menurut gua, berdasarkan penelitian dan tebakan asal-asalan, nggak ada yang namanya orang inggris asli, bahkan mungkin (mungkin lho) moyangnya ratu Elizabeth sendiri mungkin adalah keturunan dari perkawinan dari campuran bangsa-bangsa yang sudah gua sebutkan diatas.
Terlepas dari individualisme, aroganisme dan sosialisme yang melekat pada orang-orang Inggris (asli atau bukan) ada isu lain yang pernah menghinggapi gua dulu, sebelum memutuskan untuk ke Inggris; Rasisme. Sejauh yang gua alami (sampai saat ini) Rasisme masih jadi isu internasional yang nggak kelarkelar, Italia, Prancis, Spanyol, Jerman, Jepang, Indonesia, Belanda, Rusia, Cina banyak lainnya, you named it dan Inggris adalah salah satu negara yang masih dihinggapi isu tersebut. Gua nggak berani menjamin kalau di Inggris, elu nggak bakal mendapatkan perlakuan rasis, tapi mungkin jaminan gua tersebut bakal luntur dengan sendirinya tergantung kondisi dan keadaan disekitar tempat tinggal. Disini, di Leeds, boleh dibilang kota yang nyaris sedikit sekali orang mendapatkan perlakuan rasis, rata-rata orang Inggris memang open minded mereka sangat terbuka dengan pendatang, walaupun ada beberapa yang sangat sentimentil dengan suku bangsa tertentu. Kalaupun mendapat perlakuan rasis, paling keluar dari teman, sahabat atau orang terdekat, itupun bentuknya semacam guyonan , nothing personal. Dan sekedar informasi; jumlah masjid di Leeds mungkin yang terbanyak di inggris, tentu saja setelah Birmingham. Gua sama sekali nggak mendapat kesulitan untuk menemukan masjid waktu baru pertama kali tiba disini.
Dari pengalaman gua mengenai kultur dan budaya tersebut gua mencoba menuangkannya kedalam sebuah tulisan, sebuah artikel. Gua menyeruput kopi sambil membaca ulang artikel yang baru saja gua tulis, kemudian mengirimnya via email ke alamat David, seorang editor mejalah di Indonesia. Gua melihat ke jam disudut kanan atas layar laptop gua, jam 9 malam, berarti di Indonesia sekarang baru sekitar jam 2 3 an. Selang berapa lama, notifikasi di laptop gua berbunyi, sebuah email masuk. Gua membuka pesan dari David dan membacanya;
Topiknya menarik, gua baca dulu.. ente ada skype nggak" Kalo ada add gua (DavidG27) kalo nggak ada; bikin.. masa hari gini nggak punya skype
Gua tersenyum membaca balasan email dari David, kemudian menutup jendela pesan dan mulai browsing aplikasi chating yang sering dipakai oleh Oprah ini dan mendownloadnya, setelah mendaftar dengan username; BonyOverTheOcean , gua sign in dan menambahkan DavidG27 ke contact list gua, kemudian membalas emailnya;
Sebenernya ane udah lama punya skype, bahkan sejak soekarno masih jadi presiden, btw ane udah add ya bos..
Nggak sampai lima menit, muncul pop-up di layar monitor gua, sebuah pesan dari David dengan foto profilnya. Ah, setelah sekian lama, akhirnya gua bisa tau tampangnya juga nih orang, cucok juga.. (Halah).
DavidG27 : Oiii.. BonyOverTheOcean : Gimana, vid" DavidG27 : Bentar, blon kelar baca.. BonyOverTheOcean : Oh oke..
Lima menit kemudian... BonyOverTheOcean : Gimana, vid" BonyOverTheOcean : Woiii.. DavidG27 : Blon kelar.. BonyOverTheOcean : Lama DavidG27 : Lagi baca ulang
Lima menit berikutnya... DavidG27 : Bon
BonyOverTheOcean : Gimana"
DavidG27 : Kayaknya isu yg lu angkat terlalu berat deh buat remaja, yg notabene target pasar kita dan mungkin terlalu sensitif buat tabloid semacem tempo BonyOverTheOcean : Ah menurut gua nggak kok DavidG27 : Nggak ada yg entengan dikit BonyOverTheOcean : Blon ada.. DavidG27 : Yaudah gua coba diskusiin dulu sama bos deh
BonyOverTheOcean : Oke deh..
DavidG27 : Ntar kalo di Provoke nggak oke, gua oper ke tabloid laen mao"
BonyOverTheOcean : Atur aja, asal jangan di trubus DavidG27 : Kalem..
DavidG27 signed out. Gua menutup laptop, menyuruput tetes terakhir kopi dicangkir dan merebahkan diri di sofa. Membahas tentang tulisan dengan David membuat gua teringat dengan Resti yang dulu sempat menawarkan gua untuk menulis artikel tentang sepak bola. Gua berfikir sejenak, Inggris memang tempat yang tepat untuk sesuatu hal yang berbau sepak bola tapi apakah gua orang yang tepat untuk menulis artikel tentang sepakbola, dan gua belumlah tau seberapa besar pengetahuan gua tentang sepakbola" Gua mencoba mengkalkulasi ongkos menonton sepak bola secara langsung di stadion apakah sebanding dengan fee yang bakal diberikan sebagai imbalan tulisan-tulisan tersebut. Gua terduduk, selintas terfikir untuk mengikuti kata hati agar bisa menulis tentang sepakbola, tapi logika gua mulai berhitung; kalau gua menulis artikel tentang sepakbola berarti gua harus menghubungi Resti untuk mendapatkan channel ke editornya. Ah.. nggak deh.
--- Besoknya dikantor, disela-sela pekerjaan, gua menerima sebuah email dari David;
Bon, tulisan ente di Acc. Buat edisi minggu depan. Bisa request nggak untuk next artikel jangan terlalu serius dan temanya (kalo bisa) tentang Kepo"
Gua mengklik tombol reply kemudian mengetik Bisa! dan mengirimnya.
#38: Alone Bon, tulisan ente di Acc. Buat edisi minggu depan. Bisa request nggak untuk next artikel jangan terlalu serius dan temanya (kalo bisa) tentang Kepo"
Gua mengklik tombol reply kemudian mengetik Bisa! dan mengirimnya.
--- Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tidak terasa gua sudah memasuki bulan ke enam tinggal di Leeds. Akhir-akhir ini Sharon sudah jarang sekali menginap di tempat Darcy dan gua pun sekarang punya kesibukan baru saat weekend (kecuali saat musim dingin); memancing. Waktu itu gua iseng bersepeda pagi-pagi untuk alasan klise; berolahraga, padahal alasan aslinya adalah nyobain sepeda baru. Gua mengayuh sepeda nggak tentu arah, mengikuti kemana tangan ini mengendalikan setang sepeda, saat gua melihat dua orang pria tengah berjalan dengan menenteng joran dan semacam lunch box , gua mengikutinya jauh dibelakang sampai akhirnya tiba disebuah danau kecil, yang ternyata banyak orang memancing disana, apalagi kalau saat liburan musim panas.
Dua orang pria tersebut duduk di tepi danau sambil mempersiapkan alat pancing-nya, gua menghampiri mereka. Setelah mengucapkan sedikit basa-basi gua mulai bertanya tentang jenis ikan apa saja yang ada di danau ini dan umpan apa saja yang tepat, salah seorang pria tersebut menjelaskan ke gua dengan sangat detail dan terperinci, gua Cuma manggutmanggut sambil sesekali ber-Oh ria. Setelah puas dengan penjelasan pria tersebut gua pamit dan berjalan menuntun sepeda meninggalkan mereka. Gua berhenti ditepi danau yang agak menjorok ke air, menyandarkan sepeda ke salah satu batang pohon dan berjalan ke tepi-nya.
Cuaca pagi akhir musim semi di Leeds yang begitu hangat menghembuskan angin beraroma pinus yang perlahan menyisir helai-helai rambut gua yang mulai memanjang. Air di danau yang ukurannya nggak lebih besar dari tiga kali luas lapangan sepakbola ini beriak pelan, menggerus tanah berpasir ditepi-nya, melambaikan bunga-bunga bakung yang tumbuh liar hampir diseluruh sisi danau, diseberang-nya terlihat sebuah siluet cerobong pabrik-pabrik yang tersembunyi dibalik gundukan-gundukan bukit kecil yang terasa kontras. Gua duduk disebuah batu kecil, memandangi burung-burung yang sesekali menukik pelan ke muka danau kemudian kembali terbang keatas, bergerombol mesra. Sambil bermain dengan rumput disekitar batu, gua mengeluarkan bungkusan rokok marlboro light dari saku celana training, mengularkannya sebatang. Tapi entah kenapa tangan ini enggan sekali menyulut rokok ini, gua
memasukkannya kembali kedalam bungkus dan meletakkannya di tanah. Seandainya gua punya seseorang yang bisa duduk disamping gua saat ini, untuk bisa saling berbagi keindahan pemandangan ini dan berbagi ketenangan suasana-nya,.. alangkah nikmatnya. Tapi, ah.. sudahlah... Gua mengantongi bungkus rokok ke dalam saku celana dan beranjak pergi meninggalkan tempat ini.
Sebelum berbelok ke burnley rd untuk pulang kerumah, gua mampir sebentar ke sebuah toko yang menjual alat-alat memancing sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh dua orang pria di Danau tadi. Gua Cuma melihat-lihat sebentar kemudian bergegas keluar toko dan kembali kerumah, saat ini gua benerbener nggak membawa uang sepeser pun, jadi mungkin minggu depan baru bisa beli tuh joran. ---
Musim panas di Leeds sedikit berbeda dengan di Indonesia. Kalau di Indonesia musim panas itu biasanya kalau kata orang betawi mah penter banget, panasnya luar biasa. Sedangkan musim panas di Leeds, masih boleh dibilang sedikit ramah, sepanaspanasnya suhu masih berkisar diantar 25-27 derajat celcius, itupun kalau orang inggris asli udah pada megap-megap seperti lintah dikasih garam, dan disinilah keuntungan gua sebagai orang yang berasal dari negara tropis, kebal panas. 25-27 derajat celicus di Indonesia mah nggak ada apa-apanya. Tapi yang bikin adalah saat ini kali pertama gua harus berpuasa di negara orang.
Hari ini, hari ketiga gua berpuasa dan hari ketiga pula gua nggak sahur. Dan yang bikin lebih nelangsa, bulan puasa tahun ini jatuh pas dimusim panas, jadi durasi siang lebih lama daripada malam, jam 4 dinihari sudah imsak dan baru jam 8 malam maghrib tiba, kalau dihitung-hitung gua berpuasa hampir 16 jam, silahkan bayangkan sendiri bagaimana rasanya. Ditambah, si Glen; orang yang jadi partner baru gua, juga pindahan dari London yang nggak henti-hentinya ber- aahh -ria setelah menenggak rootbeer dingin kalengan tepat dihadapan gua, sambil menelan ludah gua Cuma bisa beristigfar.
Mungkin boleh dibilang ini adalah salah satu bulan puasa terberat dalam hidup gua; durasi-nya yang lama, sendirian dan jauh dari keluarga.
Hari ketujuh puasa gua jalani dan sepertinya gua sudah mulai terbiasa dengan bermacam-macam godaan yang datang menghampiri, entah kebiasaan Glen minum bir dingin disiang hari sampai gadis-gadis remaja yang mengenakan tank-top dan mini hotpants (udah hot pants, mini lagi) disepanjang jalan. Gua juga sudah mulai terbiasa untuk bangun jam 2 dini hari untuk sahur, walaupun menu-nya nggak pernah berubah; mie instan, terkadang gua sahur menikmati mie instan dalam gelapnya dapur sambil berlinang air mata (nggak nangis lho, Cuma berlinang) kalau teringat betapa nggak enak nya hidup sendirian dan jauh dari keluarga. Tapi, ini jalan yang sudah gua putuskan untuk dijalani, go big or go home.
Sebulan berpuasa di negri orang membuat gua akhirnya betul-betul sadar akan makna dari puasa. Dulu waktu masih di Indonesia, gua nggak pernah bisa memaknai arti puasa yang sesungguhnya, arti dari menahan hawa nafsu dan bukan sekedar menahan lapar dan haus.
Gua duduk disofa hitam, menghadap ke tivi yang gua mute suaranya dan menyiarkan acara pertandingan golf. Gue menyandarkan kepala disandaran sofa, masih mengenakan kemeja panjang dan celana katun sehabis dari Makka Masjid, menunaikan sholat idul fitri. Suara takbir yang mengalun dari laptop gua terdengar samar, gua mengambil ponsel dan menghubungi nyokap, nggak sampai dua kali bunyi nada sambung, terdengar suara nyokap dari ujung sana;
Assalamualaikum... Suara nyokap terdengar parau, dia pasti nangis.
Waalaikumsalam.. mak.. mak.. maafin oni ya, nggak bisa pulang kesana, taqoballahu minna waminkum, minal aidin wal faidzin ya mak...
Iya ni, sama-sama.. maapin emak yak, lu udah makan ketupat apa belon ni"
Udah mak, tadi di masjid, tapi rasanya nggak kaya bikinan emak..
Iyadah, ni baba lu mau ngomong.. Iya..
Hening sebentar, kemudian terdengar suara berat bokap diujung sana;
Ni.. baba nih.. Iya ba, taqoballahu minna waminkum, minal aidin wal faidzin ya ba, oni banyak salah, sama baba.. Iya ni, baba yang tua juga banyak salah sama oni.. sama-sama dah.. sehat lu"
Alhamdulillah sehat ba.., baba sehat" Alhamdulillah sehat..
Kemudian terdengar teriakan Ika dibalik suara bokap.
Hallo bang... kok nggak balik"
... taqoballahu minna waminkum, minal aidin wal faidzin ya dek.. iya nggak bisa ijin balik nih abang... Iya sama-sama bang, minal aidin yak.. maapin Ika ya..
Iya, eh dek.. pada sehat semua kan" Iya sehat kok, Cuma emak aja nih nggak berentiberenti nangis..
Nangis kenapa" Nangisin elu combro.. Oh.. udah bilang ke emak, jangan nangis mulu, ntar gua jadi nggak doyan makan disini..
Iya ntar ika bilangin.. Yaudah abang tutup ya, jagain baba sama emak tuh, jangan kelayapan mulu..
Iya abaaang... Assalamualaikum.. kumsalam..
Tut tut tut tut. Gua meletakkan ponsel di meja kemudian menyeka linangan air mata yang hampir menetes disudut mata gua. (Berlinang lho, bukannya nangis). Gua berdiri, masuk kekamar dan memandang keluar lewat jendela, suasana Idul Fitri disini nggak ada bedanya dengan hari-hari lainnya, nggak ada takbiran keliling malam menjelang lebaran, nggak ada suara takbir pagi sebelum solat idul fitri dan nggak ada orang-orang yang berkeliling, saling mengunjungi untuk bersilaturahmi, maaf memaafkan dan memberikan uang untuk keponakan-keponakan. Gua merebahkan diri di kasur saat terdengar ketukan di pintu depan, gua berdiri dan bergegas membuka pintu. Darcy berdiri membawa sebuah kue labu berwarna cokelat, masih menggunakan sarung tangan oven-nya. Kemudian dia melangkah masuk dan meletakkan kue tersebut diatas meja;
Well, Happy Ied.. Darcy menepuk pundak gua kemudian ngeloyor pergi.
Gua menyusulnya, mengucapkan terima kasih dan membukakan pintu untuknya.
Sambil menggumamkan takbir gua mulai memotong kecil-kecil kue yang tadi diantarkan Darcy, mengambilnya sepotong dan meletakkan sisa-nya kedalam kulkas. Darcy; orang inggris asli yang masih menyimpan rasa sosialisme yang tinggi ditengahtengah modernisasi anti toleransi di Inggris.
Gua memandang ponsel dan membaca satu persatu pesan masuk yang rata-rata mengucapkan Selamat Idul Fitri, bahkan ada beberapa yang seperti menggunakan template pesan yang sama, hanya nama pengirimnya saja yang berbeda. Sambil menikmati kue dari Darcy, gua membalasnya satu persatu. Mata gua terhenti di satu salah satu pesan masuk yang belum terbuka; dari Resti.Gua membuka pesan tersebut dan membacanya;
Halo Jagoan" Apa kbr" Selamat Lebaran ya, semoga puasa lo diterima
Gua tersenyum kemudian membalasnya, singkat. Terima kasih, selamat lebaran juga
Baru selesai gua menekan tombol send ponsel gua berbunyi, muncul nama beruk di layar ponsel gua.
Hallo.. Hallo broo... selamat lebaran ye, minal aidin wal faidzin..
Haha..iya sama-sama ruk.. Oiya, solat ied nggak lu tadi.." Solat lah..
Manteb, gua malah ketiduran..hahahaha. Parah..
Oiya, minggu depan kemari bon.. nonton united.. Mmmm.. liat ntar deh..
Ngapain si lu emang" Udah nggak usah pikir panjang.. ntar gua bay..arin
Oke sip, minggu depan gua bisa.. Njir.. cepet banget lu kalo gratisan..
Ya iyalah.. ongkos gua kesono aja udah mahal cooy.. Yaudah ntar gua kabarin lagi..
Oke deh.. Gua mengakhiri panggilan dari heru dan melanjutkan menikmati kue labu buatan Darcy.
--- Seminggu kemudian. Gua tengah berada dalam sebuah kabin kereta yang meluncur cepat menuju ke Manchester. Kayaknya memang kesempatan nonton United langsung di Old Trafford secara Gratis nggak bisa disia-siakan dan mungkin bisa jadi salah satu bahan referensi buat bahan tulisan gua tentang sepak bola.
Jam 12 tepat. Gua sudah berada di stasiun Piccadilly, Manchester. Terpajang tulisan billboard besar dengan tulisan Welcome to Manchester , Gua berjalan cepat melewati kerumunan orang-orang yang sebagian besar mengenakan jersey putih, saat tiba dipintu keluar stasiun gua dikagetkan oleh tepukan tangan seseorang di pundak, gua menoleh; Ah kampret beruk bikin kaget aja.
Welcome to Manchester.. Heru berujar sambil membentangkan kedua tangannya.
Hahaha.. oke apa yang bakal gua dapet disini" Tour Manchester gratis bersama pemandu anda, Heru.. silahkan lewat sini tua.
Gua dan Heru berjalan keluar dari stasiun dan langsung naik ke sebuah bus yang membawa gua ke pinggir kota Manchester.
Jam satu lebih sedikit, gua sudah berada di Sir Matt Busby Street, sebuah jalan yang dinamai dengan nama salah satu legenda Manchester United. Dari sini kemegahan Old Trafford sudah terlihat, salah satu stadion terbesar di Inggris ini terlihat begitu angker dan megah dari kejauhan;
Wah ini toh stadion yang selalu dibangga-bangakan oleh Manchunian.
Gua berkelakar sambil memandang jauh ke arah Stadion Old Trafford.
Sorry bon, gua ralat... Manchunian itu bukan sebutan yang tepat untuk fans United..
Lho bukannya emang itu sebutannya"
Manchunian itu sebenarnya sebutan untuk penduduk Manchester secara keseluruhan yang artinya bisa aja fans city dan fans united...
Lah terus kalo fans United disebutnya apa" Ada banyak sebutannya, tapi yang paling famous jelas aja Reds army..
Oooh gitu.. Coba tadi lu dateng lebih cepet, kita bisa ngikut tur keliling stadion tuh..
Kesiangan gua tadi.. emang kalo sekarang nggak keburu"
Kagak lah, penonton udah pada masuk.. nih lu bacabaca brosurnya aja, laen waktu baru kesini lagi ikut tur..
Gua mengambil brosur yang diserahkan heru dan mulai membacanya. Dari yang gua baca lewat brosur, sepertinya sudah cukup menggambarkan betapa megahnya Stadion ini, didalamnya terdapat lorong Munich yang dibuat untuk memperingati tragedi Munich yang menewaskan hampir seluruh tim united, ada pula mega store, tempat untuk membeli pernakpernik sampai jersey United dan museum yang memajang trophy-trophy torehan united dan yang nggak ketinggalan adalah tur ke ruang ganti pemain;
Ruk, ini kita tur ke ruang ganti pemain juga" Iya.. tapi bukan ruang ganti yang aslinya, Cuma replikanya aja yang bakal dikunjungi.. Lah didalem stadion ada kantor polisi nya juga" Gua bertanya heran ke heru sambil menunjuk salah satu fasilitas yang terpampang di brosur; Kantor polisi yang bagi gua terasa janggal untuk berada didalam sebuah stadion, pun untuk klub sekelas United.
Bahkan ada sel penjaranya juga lho, bon.. Heru menambahkan.
Ah masa sampe ada penjaranya juga, bakal apa" Bakal menjarain fans-fans nya city.. hahahahaha... Gua tersenyum mendengar omongan heru, dan mata gua tertuju ke bagian belakang brosur tertera disana harga tiket tour keliling stadion yang Cuma "8.
Gua melipat brosur tersebut dan memasukannya ke saku belakang celana jeans gua. Kemudian kami sampai di gate entrance untuk memasuki stadion. Suara gemuruh penonton menggema diseisi stadion, bulu kuduk gua merinding mendengar riuh rendah suara yang menggema senada dan seirama;
Tuh Glory-glory-United udah berkumandang... Heru berbicara sambil setengah berteriak ditelinga gua.
#39: Intermezzo Part ini boleh dibilang hanya sebuah Intermezo, lampiran dari beberapa tulisan yang sempat gua kirim ke david, si editor. Yang mana, tulisan tersebut masih mentah dan belum melalui proses editing. Dan perlu diketahui kalau gua nggak pernah membaca hasil tulisan gua yang sudah diedit dan dipublikasi.
Menjelang pertemuan gua dengan bertambahnya usia yang banyak orang bilang adalah krisis hidup dipersimpangan hidup. Akhirnya gua memutuskan untuk memotong rambut yang sudah hampir beberapa bulan tumbuh panjang tanpa pemeliharaan yang berarti. Setelah proses pemotongan rambut, gua melanjutkan hidup seperti biasa dan bisa dipastikan gua bertemu dengan teman dan kolega dengan perubahan gaya rambut itu. Pada hari itu pertanyaan yang banyak dilontarkan adalah; Wuihh potong rambut" , dan gua hanya tersenyum, namun otak gua dengan cepat menjawab; kiraa.. kiraaa" Menurut luuu"!" . Beberapa hari kemudian gua (lagi-lagi) gua memotong rambut hingga menyisakan sedikit spike diujung kepala. Setelah itu pertanyaan yang datang pun kebanyakan seperti ini; Lo potong rambut lagi.." Buang sial ya" . Entah apa yang merasuki gua, beberapa hari kemudian gua kembali memotong rambut gua lagi, kali ini sengaja pengen tau reaksi orang setelah akhirnya gua memutuskan untuk menggunduli habis rambut gua, dan pertanyaan yang datangpun kebanyakan seperti ini; Waduuh, lo lagi kenapa bon" Ada masalah ya" . Ah sebenarnya ingin sekali gua menjawab sambil berteriak; Wooooy, ini Cuma potong rambut coy!! Bukan motong urat nadi, Mind Your Own Business&
Berdasarkan pengalaman pribadi gua tersebut dan permintaan David mengenai essay dengan tema Kepo, akhirnya lahirlah tulisan absurb ini;
Catatan : KEPO (Knowing Every Particular Object) Mind Your Own Business.
Face it, We, Human are the creature of nosynes Kita selalu saja ingin tau urusan orang lain. Itu sebabnya reality show merajalela di televisi, infotainment bisa ditonton puluhan kali dalam sehari. Bahkan, (mungkin) kita begitu suka membaca novel-novel atau film dan sinetron karena subconsciously, kita senang melihat dan mengikuti apa yang terjadi dalam kehidupan orang lain (eventhough it s fictional). Bawaannya puas aja gitu kalau bisa tau apa sedang dilakukan dan apa yang sedang menimpa seseorang. Lucunya, not many of us get happy kalau yang terjadi justru sebaliknya, disaat urusan kita dicampurin oleh orang lain atau ketika kita berhadapan dengan mahluk mahluk yang kepo alias nosy, bikin elu pengen nempelin stiker MYOB dijidat mereka.. Mind Your Own Business.
Kalau elu ingin mengadakan semacam penelitian atau observasi kasus nosy people ini, Indonesia merupakan tempat yang tepat. Karena nampaknya orang-orang kita memang hobi sekali mencampuri urusan orang lain. Mulai dari hal-hal yang simple semacam sapaan mau kemana" , atau dari mana" (yang which is kalo elu bawa keluar sana bisa jadi sangat nosy, I mean .. c mon man, what kind of greeting is where are you going" or where have you been" kenapa nggak bisa sekedar menyapa dengan heloo, hari yang cerah ya" atau hai semoga hari lo menyenangkan or something like that, toh sama saja kalau memang tujuannya Cuma untuk beramah tamah). Sampai ke yang lebih nyebelin lagi kayak ngurusin hal-hal yang sifatnya benar-benar personal, semacam; agama, moral, dan sejenisnya. Di Indonesia nggak aneh rasanya kalau dalam pembicaraan basa-basi somehow keluar pertanyaan agama lo apa" , padahal religion is of course one of the most personal things in life, in our society kayaknya hal-hal itu jadi lumrah aja diletakkan diruang publik. Sampai-sampai, ada golongan tertentu yang merasa bisa bawa-bawa nama agama untuk menjadi watchdog, mengecek apakah seluruh anggota masyarakat tanpa terkecuali benar-benar bertindak dan berlaku sesuai dengan agama itu dalam kehidupan sehari-hari. Lucunya, pemerintah kita juga kayaknya kok setuju-setuju aja dengan semangat kepo dengan sempat bikin RUU yang mengatur urusan paling personal, bahkan kalau nggak salah waktu itu sempat ingin bikin RUU yang mengatur tentang kumpul kebo segala. Gimana bisa bilang MYOB kalau wilayah personal dan wilayah publik aja abu-abu nggak jelas. Bisa-bisa jawabannya, hey, your business is my business too! So, suck it up! .
Eh tapi tenang aja, kan di Indonesia sekarang belum kayak gitu, iya kan" Iya nggak sih"
Meskipun wilayah personal dan publik emang suka nggak jelas di masyarakat kita. Buktinya kita bisa tau tentang gossip-gosip terbaru dunia selebritis atau temen sekelas lo yang baru aja putus gara-gara pacarnya selingkuh atau lo yang hobi bacaain inboxinbox ponsel temen lo, atau terkekeh-kekeh membaca diary adik lo yang isinya udah kayak novel romansa khas telenovela. Jadi, ya sudah jelaslah, meskipun wilayah personal dan wilayah publik emang suka nggak jelas dan suatu hari nanti kita mungkin bakal kehilangan hak buat bilang MYOB, mumpung infotainment masih diputar sepanjang hari, cukup tertawa sajalah sampai puas. ---
#40: Goin Trough Setelah sukses menyaksikan secara langsung pertandingan Liga Inggris di stadion, gua masih belum bisa mendapatkan gambaran yang tepat untuk bahan tulisan gua tentang sepak bola, dan akhirnya gua memtusukan untuk nggak menulis tentang sepak bola. Buat gua essay spontan yang gua kirim rarely ke David sepertinya sudah cukup untuk mengisi waktu luang akibat kesepian dan lumayan buat menambah uang saku.
Menjelang tahun pertama gua tinggal di Leeds, intensitas menulis gua mulai berkurang seiring kuantitas dan kualitas pekerjaan yang terus bertambah. Kesendirian dan minimnya sosialisasi sedikit banyak membuat perubahan dalam kepribadian gua, terkadang sempat terbesit pikiran untuk pulang saja ke kampung halaman dan kemudian mencari kerja disana, tapi saat ini menyerah bukanlah sebuah pilihan yang tepat. Dari waktu ke waktu, gua menjalani hari-hari gua yang sangat biasa dan standart tanpa adanya shock element yang berarti. Bangun pagi-pagi, buang hajat, mandi (kadangkadang), berangkat kerja, pulang kerja, nyuci (kalau ada cucian), nerusin kerja dirumah sambil nonton tivi, terus tidur, terkadang kalau weekend atau hari libur, gua pergi memancing atau sekedar begadang terus bangun siang kemudian leyeh-leyeh sampai malam dan detail-detail tersebut selalu berulang-ulang dari hari ke hari, bulan ke bulan bahkan tahun ke tahun.
Kehidupan sosial gua memang nggak sepenuhnya terkekang, terkadang gua masih tetap mengunjungi Darcy sekedar mengucap salam sambil berharap ditawarin makan sama doi. Tapi, ngobrol dengan Darcy benar-benar bikin kepala pusing, terkadang dia terlalu cepat mengganti topic pembicaraan, terkadang dia terlalu terjebak di topik lama yang mana lawan bicaranya sudah ngobrol masalah Z dia masih menganggap obrolannya ada di A . Sedangkan komunikasi dengan Heru, (si manusia setengah beruk) juga nggak bisa dibilang intens, selain takut disangka homo kayaknya rada jengah juga kalau keseringan ngobrol sama dia, pembahasannya terkadang nggak ada mutunya, apalagi kalau udah ngomongin Manchester United, bisa ngomong berjam-jam tanpa berhenti. Pernah suatu ketika, sore di akhir pekan, heru menelpon gua;
Bon.. lu liat gol nya Scholes nggak tadi" Beuh keren abis tuh tendangan, itu kalo sekalipun ditangkep sama kipernya, bisa mental tuh kiper&
Oooh.. Mana assist dari Giggs juga keren abis, kok bisabisanya doi ngasih umpan se-ciamik gitu& Hmmm&
Udah gitu, pas mau bubaran tadi, ada penonton yang masuk kelapangan.. telanjang& haha mabok tuh orang&
Ooo.. Eh lu nonton United kan tadi" Nggak
Njir& .ngapa diem aja lu daritadi&
Ya gimana gua mau ngomong, nah elu nyerocos mulu kayak petasan..
Eh bon& lu tau nggak kalo Gallagher bersaudara itu fans-nya City (Manchester City)"
Tau lah, di tivi kan sering ditayangin& Minggu depan ada konsernya Oasis di London, gua udah janjian sama temen-temen anak kampus mau nonton.. lu mau ngikut nggak"
Boleh tuh.. bosen nih gua.. mahal nggak sih" Kagak, paling Cuma "25& serius lu mau ikut" Iya mau&
Oke deh, ntar gua mau bawa bendera sama Jersey United pas konser, pengen gua kibar-kibarin& Eh.. nggak deh, nggak jadi ngikut gua.. batal.. cancel aja&
Lha emang ngapa" Gua mau mancing& Tut tut tut tut
Daripada gua harus menanggung malu ikut digelandang sama heru ke kantor polisi gara-gara membuat onar di sebuah konser music lebih baik gua mancing.
Kehidupan sosial gua dikantor malah boleh dibilang yang paling sosial , ya iyalah, gimana nggak, sebagian besar, bahkan hampir 60% hidup sehari-hari gua habiskan di tempat kerja. Glenn yang masih tetap keranjingan Rokok 234 yang pernah dikirim komeng kesini, dan Carlos, Mr. Robinson, Diane, Reddy, Kay dan teman-teman yang lain yang ya walaupun gua nggak begitu dekat mengenal mereka satu persatu tapi entah kenapa, seperti ada chemistry yang hadir saat berkumpul bersama mereka. Tapi entah apa hanya gua yang merasakan ini atau memang tipe-tipe orang-orang disini yang sangat professional saat bekerja tapi malah jadi orang asing saat diluar lingkungan kerja. Sebagai contoh; Glenn yang notabene adalah partner kerja gua dikantor, nggak pernah ada niatan di berkunjung atau bahkan bertanya, dimana tempat gua tinggal. Sebuah kebutaan keprofesionalan.
Sedangkan komunikasi gua dengan keluarga di Indonesia, boleh dibilang yang paling normal diantara yang lainnya, Gua punya jadwal tetap untuk menelpon, yaitu setiap sabtu siang atau sore. Jadi keluarga dirumah kalau jam-jam segitu pasti pada kumpul nunggu telepon, dan gua punya semacam catatan kecil yang gua tulis di PDA tentang apa saja yang bakal gua tanyakan dan durasi bicara masingmasing anggota keluarga. Misalnya; Yang pertama kali angkat telepon pasti adek gua; Ika dan yang pertama gua tanyakan adalah perihal Pendaftaran Haji bokapnyokap, dan biasanya obrolan ini menggunakan bahasa inggris, biar bokap-nyokap nggak mudeng dan Peng-Haji-an ini nggak kehilangan efek surprisenya, jatah untuk obrolan ini adalah 3-5 menit. Kemudian Ika pasti mengalihkan telepon ke nyokap, untuk nyokap biasanya dia bakal nanya-nanya masalah kesehatan diri, solat dan mengaji, jangan lupa makan dan nggak ketinggalan perihal jodoh, jatah untuk obrolan ini adalah 5-10 menit. Yang terakhir bokap, untuk bokap biasanya gua jatah 1-2 menit, bahkan kadang-kadang nggak ada satu menit, bokap paling Cuma nanya Sehat, ni" terus dilanjutin Solat jangan ditinggal , dan.. udah.. iya udah gitu doang.
Untuk komeng, biasanya kita ngobrol via skype atau terkadang sambil bernostalgia bermain Game Strategi perang online bareng-bareng, walaupun untuk melakukan hal itu terkadang si Komeng yang selalu berkorban dengan begadang semaleman.
Sampai gua memasuki tahun ke dua gua berada di Leeds, masih belum ada shock element yang berarti dalam kehidupan gua, semua berjalan datar-datar aja, nggak naik, nggak turun, nggak minus, nggak plus, walau terkadang terjadi hal-hal kecil diluar rencana seperti; gua yang kena tipes atau laptop yang hilang digondol orang distasiun, tapi hal-hal seperti itu sama sekali nggak mempengaruhi kehidupan gua, seakan mengerti akan pola hidup gua dan kembali menjadi datar-datar saja.
Menjelang lebaran tahun ketiga, gua memutuskan untuk mengambil jatah cuti tahunan dan pulang ke Indonesia, rencana kepulangan ini sebenarnya sudah gua atur dari jauh-jauh hari tapi karena ingin memberikan kejutan ke Bokap dan Nyokap maka gua merahasiakannya dari mereka berdua, yang tau Cuma adek gua, Ika.
Hari itu, Jum at, hari ke 25 bulan Ramadhan. Setelah selesai menunaikan sholat Jum at di Makka Masjid, Leeds, gua bergegas menuju ke Stasiun untuk naik kereta sore yang menuju ke London. Setelah menempuh perjalanan dua jam dengan kereta, gua langsung bergerak dengan bus untuk menuju ke Bandara Heathrow. Setelah menunggu selama dua jam dimana saat itu berpuasa dan bukanlah hal yang mengasyikan, akhirnya gua sudah berada di dalam pesawat yang bakal mengantar gua pulang.
Pesawat yang gua tumpangi mendarat di Bandara Soekarno Hatta, saat jam menunjukkan pukul dua tepat. Gua bergegas menuju ke salah satu gerai donat terkenal yang berada di terminal kedatangan, rasa lapar dan lelah ini haruslah segera diisi dengan energi sebelum nantinya berpuasa kembali. Setelah memesan setengah lusin donat dengan jenis yang berbeda-beda dan dua cangkir kopi hitam, sambil menenteng baki berisi donat dan kopi gua berjalan menuju ke sebuah meja kosong yang berada disudut paling jauh, mencari tempat yang nyaman untuk merokok.
Gua tengah menyeruput kopi panas saat pandangan gua mengarah ke sesosok wanita seumuran gua, dengan rambut panjang dikuncir kuda, mengenakan jaket kulit warna hitam dan tengah menyeret koper. Sejenak gua menurunkan cangkir kopi dan meletakkannya ke atas meja kemudian berdiri. Sosok itu mungkin melihat pergerakan gua yang tiba-tiba, mungkin juga dia sadar kalau ada yang sedang memandangi-nya dan dia melihat ke arah gua, kami saling menatap, hampa&
Hampir sekitar 3 sampai 5 menit gua dan perempuan itu saling menatap dari kejauhan, tanpa berkata apaapa, mulut gua seperti tercekat. Sampai kemudian sesosok tangan wanita tua menggenggam tangan perempuan itu dan menariknya, sambil berjalan dalam tarikan wanita tua yang mungkin adalah nyokapnya, perempuan tersebut masih memandangi gua dalam diam, lalu sesaat kemudian hilang di telan bayangan pilar-pilar.
Gua masih berdiri, mencoba memaki diri sendiri, mencoba marah terhadap nalar dan logika yang memaksa untuk tetap diam, mencoba menyekat pita suara gua dan melarang untuk berteriak; Restii&
#41: At Glance Gua masih berdiri, memaki diri sendiri, mencoba marah terhadap nalar dan logika yang memaksa untuk tetap diam, mencoba menyekat pita suara gua dan melarang untuk berteriak; Restii&
--- Gua duduk kembali, memandangi cangkir kopi yang hampir kosong sambil memilin-milin kertas struk pembelian donat barusan. Gua mengambil bungkusan Marlboro Light, mengambilnya sebatang,
menyulutnya dan mulai menghisapnya dalam-dalam. Mungkin kalau bisa dianalogikan saat ini perasaan dan logika gua tengah bergumul hebat, memperdebatkan apa yang barusan (harusnya) terjadi.
Perasaan : Harusnya tadi lu sapa aja dia bon, sekedar berbasa-basi
Logika : Oh jelas jangan dong bon, bahaya itu Perasaan : Lho, menyapa kan nggak ada salahnya, bukan berarti cinta
Logika : Tetep nggak bisa
Perasaan : Harusnya lu menyapa dia, anggap aja dia itu temen lu
Logika : Oh Jangan dong, justru berawal dari temen itu ntar malah jadi demen
Perasaan : Ya kalo emang demen, nggak masalah kan Logika : Jelas masalah lah, ke-demen-an itu malah bakan mendatangkan masalah, cinta itu harus penuh dengan perhitungan yang tepat
Perasaan : Ah cinta itu kan nggak melulu tentang hitung-hitungan
Gua membiarkan dua, apa ya sebutannya, ah mungkin tepat jika disebut entitas. Gua membiarkan dua entitas dalam diri gua itu berdebat, beradu argument dan bertempur saling menyalahkan, biarlah gua mendengar pertengkaran itu sambil menikmati secangkir kopi, setengah lusin donat dan sebatang rokok sambil menunggu imsak di Soekarno Hatta.
Jam setengah lima, gua menengguk habis sisa air mineral yang baru saja gua beli sebelum meninggalkan gerai donat didalam terminal sambil berjalan menuju ke pelataran, dimana sudah banyak taksi yang berderet menunggu giliran untuk mengantar penumpang. Pagi ini mungkin lebih tepatnya dini hari, bandara Soerkarno Hatta terlihat ramai, gua melihat dari balik bangku penumpang melalui jendela taksi berwarna biru berlogo burung ke arah terminal keberangkatan lokal yang terlihat dibanjiri oleh caloncalon penumpang yang mungkin hendak mudik ke kampung halamannya, untuk berlebaran bersama keluarga. Ya, nasib perantau, sama seperti gua. Sesaat kemudian taksi yang gua tumpangi sudah melesat memasuki jalan tol bebas hambatan, sementara dari luar terdengar sangat samar suara azan subuh yang sahut menyahut, suara yang sudah kurang lebih tiga tahun terakhir ini sangat jarang gua dengar. Gua menyandarkan kepala di sudut antara kursi penumpang dengan jendela, mencoba memejamkan mata sebentar.
Jam enam kurang lima, gua sudah sampai didepan rumah. Gua membuka pintu pagar dan masuk kedalam, terdengar samar suara bokap sedang mengaji dari salah satu ruangan didalam rumah, satu kebiasaan bokap yang dulu pernah gua coba untuk lakukan tapi selalu gagal, bokap selalu mengaji setelah solat subuh selama bulan Ramadhan, 1 jus setiap hari sehingga pada hari terakhir puasa, khatam membaca Al-Quran 30 jus, sedangkan gua 30 hari paling Cuma 1 jus; Al-Baqarah, itupun kadang ter-interupsi dengan bermain petasan setelah solat subuh.
Gua hendak mengetuk pintu saat terdengar suara anak kunci diputar dari dalam, kemudian muncul sosok Ika;
Lama banget lu bang, katanya kira-kira sebelum saur udah sampe..
Iya tadi gua saur dulu di airport
Mata gue ampe sepet banget nungguin lo.. Iya maap dah.. emak mana"
Tu ada lagi tiduran didepan tipi..
Kemudian terdengan suara cempreng nyokap dari dalam;
Ada siapa dek" Ini mak, tamu..
Gua masuk menghambur kedalam dan berdiri di depan nyokap yang masih mengucek-ngucek mata, nggak percaya akan apa yang dilihatnya.
Lah.. elu ni.. MasyaAllah& lu ngapa balik kagak bilang-bilang"
Hehehe.. kejutan.. Nyokap berdiri dan memeluk gua, air matanya merembes, mengalir membasahi jaket yang belum gua tanggalkan. Kemudian bokap keluar dari kamar dan gentian memeluk gua, seperti biasa dia Cuma bertanya; Sehat ni" dan gua jawab dengan anggukan kepala.
Pagi itu, gua habiskan dengan bercengkrama dengan Bokap, Nyokap dan Ika. Saling berbagi cerita, gua berbagi pengalaman-pengalaman gua selama disana yang tentu saja tanpa bagian sakitnya gua dan terkatung-katung nya gua selama di London.
Beberapa hari puasa tersisa gua habiskan dengan bernostalgia bersama komeng dengan memancing dan bermain karambol. Kadang kami ngabuburit bersama teman-teman yang lain dengan bersepeda motor ke daerah komplek perumahan yang namanya Puri Beta, didaerah itu biasanya sore menjelang berbuka puasa selalu ramai dengan pedagangpedagang yang menjual beraneka ragam kue dan jajanan pasar.
--- Jam menunjukkan pukul tiga sore saat gua tengah duduk diruang tamu menikmati tape uli buatan nyokap saat komeng datang, langsung duduk disebelah gua dan ikutan nimbrung menikmati tape uli . Lebaran baru saja lewat satu hari, dan gua masih tenggelam dalam suasana Jakarta yang ngangenin , ingin sepertinya gua berlama-lama dalam suasana seperti ini, matahari yang hangat, kicauan perkutut bokap yang digantung didalam sangkar di teras depan rumah, panggilan cempreng nyokap yang
mengingatkan untuk mematikan kompor, bahkan celotehan ika yang merengek minta dibetulkan pintu lemari bajunya yang sering terbuka sendiri. Komeng menyenggol bahu gua, menyadarkan akan lamunan yang tengah berkelebat dalam pikiran;
Woi.. bon..Gimana" Cewe lu"
Hahaha.. boro-boro sempet mikirin cewe meng.. Lah, trus yang waktu itu sama elu, siapa dah namanya" Resti.." apa kabar tuh doi" Resti siapa"
Yaah belaga bego dah.. Bukan siapa-siapa dia meng.. Alah.. santen..
Sungguh dah, dia mah Cuma temen meng.. Haha kagak caya (percaya) gua..
Laah.. yaudah..kalo ngga caya mah.. nah elu gimane"
Gua mah ya gini-gini aja..
Maksudnya".. masih gonta-ganti cewek" Ya maklum, belon ada yang sreg di hati.. Cuih.. dosa lu, ngibulin anak orang mulu.. Lah daripada menyesal dikemudian hari, mendingan kayak gue.. nyari-nyari dulu yang cocok, kalo udah sreg, baru ka-win
Meng, emang pacaran gimana si rasanya.." Yah cupu banget dah lu bon.. makanya sekali-sekali pacaran..
Enak nggak" Bukannya malah bikin stress mulu ya" Beuuhh.. elu kalo udah ngerasain enaknya, bakalan nyesel dah nggak pacaran dari dulu-dulu.. Masa" Emangnya lu kalo pacaran ngapain aja..
Kemudian obrolan antara gua dan komeng ini terus berlanjut, kopi dan rokok tersaji, hingga matahari terbenam berganti dengan bulan dan cangkir kopi yang silih berganti dan rokok yang terus menerus terbakar habis kemudian menjadi abu. Tadinya gua berniat memasukkan isi dari sisa obrolan tersebut kedalam cerita ini, tapi takut substansi-nya nanti malah membuat tulisan ini jadi seperti novel erotis. #eh.
Pendekar Kelana 10 Tak Mungkin Kuhindar Karya Ana Sofiya Kitab Naga Jonggrang 1
^