Pencarian

Karma Will Always Find 4

Karma Will Always Find Its Way Karya Karkuser Bagian 4


Tapi, disisi lain, gue juga kasian kalo Lisa sampe segitunya. Dia sendirian, benar-benar sendirian disini, di Jakarta. kemana-mana selalu sama gue, dan selalu minta anter sama gue, karna selain dia ga tau jalan, dia juga takut kalo jalan sendirian. Tapi kenapa dia bisa dateng malam-malam sendirian kerumah gue"
Bags, temuin Lisa deh secepetnya. Kalo emang lu mau nya putus sama dia, ya putusin depan muka nya, jangan lu diemin gini, bikin anak orang malam-malam keluyuran sendirian, ngarep lu keluar dan maafin dia. Kasian Bags. Seenggaknya kasih dia kejelasan biar dia tau diri apakah harus menyingkir atau memperbaiki kesalahannya ucap Ko Hendri sambil menghembuskan asap rokok jauh keluar jendela.
Kedatangan gue kali ini ke ruangan Ko Hendri malah bikin gue merasa bersalah. Gue ngerasa salah dalam mengambil sikap. Harusnya, kalo emang gue muak dengan kelakuan Lisa, gue langsung nyatakan aja didepan dia buat ga meneruskan hubungan ini, jangan malah langsung menghindar dan membuat Lisa berharap gue akan melupakan kesalahannya.
Biarkan Dia Yang Berusaha
Pernah ga sih kalian merasa bahwa dunia ini semakin hari semakin terlalu serius" Atau, setidaknya, pernah ga kalian merasa apa yang terjadi dalam hidup ini seringkali bertentangan dengan prediksi dan perhitungan kita"
Gue masih merasa, seperti baru kemarin sore gue keluar kelas setelah dua jam penuh mendengarkan petuah kosong dari sang dosen dan kemudian berjalan santai kearah kantin kampus untuk menemui Liana yang sudah menunggu gue disana. Rasanya baru kemarin sore gue dan Liana tertawa berdua sampe air liur kami kemana-mana. Dan rasanya baru kemarin sore gue dan Liana duduk di ruang depan rumahnya, membicarakan rencana2 hidup saat baru mau mulai menempuh bekerja hari pertama.
Gue ga pernah tau kemana hidup ini akan membawa gue, tapi yang gue tau pasti, semakin hari hidup ini semakin serius. Terlalu banyak drama dan air mata yang mengisi hari-hari gue belakangan ini. Terlalu banyak perdebatan dan renungan yang mengisi malam hari gue. Dan entah kenapa, gue pun merasa bertransformasi dari seorang Bagus yang dikenal karna kekonyolan dan tingkahnya yang sembarangan, menjadi seorang Bagus yang lebih berhati-ati dalam bersikap dan berbicara kepada seorang wanita.
Jumat sore selepas jam kantor, gue sedang menikmati beberapa botol kecil bir dingin sama Heri di minimart 7-11 deket kantor. Sebuah rutinitas yang udah lama banget ga kami lakuin. Dan ini pun cuma ada gue sama Heri.
Udah Bags, cari yang lain. Ucap Heri sambil mengunyah beberapa cemilan setelah gue ceritakan persoalan gue dengan Lisa.
Kalo sampe lo maafin dia, Cuma satu kata buat lo Bags, Goblok. Lanjut Heri.
Gue hanya bisa menanggapi dengan senyum kecut, sementara Heri sepertinya sangat emosi. Gue tau Heri pasti bakal bereaksi kaya gini, makanya gue memutuskan tutup mulut dan ga cerita ke teman-teman kantor gue. Tapi karna Lisa udah cerita ke Ko Hendri, makanya gue juga cerita ke Heri.
Bags, liat lagi deh apa yang udah lo lakuin buat Lisa. Lo anter jemput dia, ngebuang banyak waktu lo cuma buat nemenin dia, boro-boro Bags kita bisa nongkrongnongkrong begini tiap hari kaya dulu, balik kerja lo langsung buru-buru jemput Lisa mulu. Sekarang dia malah kaya gini balesannya"
Tapi, gue juga kan pernah ada deket sama Felicia Her. Apa ini bukan karma namanya"
Ah bullshit. Kagak ada yang namanya karma. Lagian kalo ini karma, masa balesannya ga sebanding. Lo sama Felicia ketimbang deket doang, Lisa sampe selingkuh.
Heri benar-benar emosi. Gue bisa melihat dari raut wajahnya. Dia adalah orang yang sangat netral selama ini, dia ga ikut-ikutan menyalahi keputusan gue saat memilih Lisa daripada Felicia. Tapi kekecewaan jelas tampak di wajah Heri saat mendengar kelakuan Lisa yang seperti ini.
Felicia masih bisa dikejar ga ya Her" tanya gue sambil memasang wajah memelas.
Eh bego. Lo ga malu emang" Udah bikin dia nunggu sia-sia, sekarang mau ngejarngejar dia. Kalo gue jadi Felicia mah paling gue tarik kuping lo, terus gue bisikin Lo ngerasa kece banget" hahaha
Gue sontak ikut tertawa mendengar jawaban Heri. Tapi gue ga bisa menyembunyikan rasa kecewa. Ada rasa yang sangat perih kalau mengingat bagaimana gue membuat Felicia menumpahkan air mata nya dengan sia-sia, demi teguh dengan pilihan salah yang gue ambil.
Gue memang sempat berpikir, dengan Felicia, gue pasti akan main perasaan kalo sampe jalanin sebuah hubungan. Kondisi gue yang saat itu baru aja putus sama Liana membuat gue ragu untuk mulai menjalin hubungan dengan Felicia. Gue berpikir, dengan Lisa, hubungan ini ga akan jauh-jauh berjalan karna emang ga ada tujuannya. Tapi, seiring berjalannya waktu, gue malah hanyut dalam kenyamanan yang diberikan oleh Lisa.
Perlakuan-perlakuan yang Lisa berikan ke gue membuat gue merasa sebagai orang yang berarti dalam hidupnya. Gue hanyut dalam arus cinta yang Lisa alirkan kedalam hari-hari gue, membuat gue terbiasa dan akhirnya tumbuhlah rasa sayang dan ga ingin kehilangan dia. Tapi, setelah semuanya, kenapa Lisa harus selingkuh" Sulitkah buat Lisa ngomong langsung ke gue jika memang dia sudah merasa bosan dengan gue"
Handphone gue bergetar dalam profile silent. Dari getarannya, gue sempat menebak ada pesan whatsapp masuk. Ternyata sebuah SMS, dari Lisa.
Kamu belum pulang" Aku boleh kerumah kamu ga"
Aku tau aku salah, udah nyakitin kamu dengan apa yang aku lakuin,
Aku rela walaupun harus mohon di kaki kamu buat mendapatkan kesempatan memperbaiki kesalahan aku. Kamu boleh hukum aku, tapi aku mohon, jangan pergi dari aku.
Gue segera membalas sms tersebut.
Besok siang aja kerumah, jangan malem ini. Ga usah keluyuran malam-malam lagi.
Bags, tapi emang semua balik lagi ke hati lo. Kalo lo belom siap kehilangan Lisa, yaudah maafin aja. Tapi kali ini, biarin dia yang berusaha. Ucap Heri yang sepertinya menebak gue lagi berbalas pesan dengan Lisa. Gue mengangguk menanggapinya.
Rapuh Gue terbangun di sabtu siang karna merasakan sentuhan hangat dipipi gue. Sejenak gue memicingkan mata, memperjelas pandangan akan sosok yang sedang duduk dipinggir kasur gue.
Bangun sayang, udah siang ucap Lisa sambil membelai rambut gue yang kasar dan acak-acakan.
Gue bangun dari tidur dan segera keluar kamar, bergegas ke kamar mandi buat cuci muka. Kemudian ke dapur buat mencari makanan.
Ini siapa yang beli kwetiaw" tanya gue setengah berteriak ke Lisa yang masih di kamar gue saat gue melihat sepiring penuh mi pasta di dapur gue.
Enak aja kwetiaw, itu spaghetti. Aku barusan bikin jawab Lisa sambil berjalan ke dapur memasang wajah cengengesan yang dipaksakan.
Gue mengambil sepiring spaghetti yang gue kira kwetiaw tadi dan membawanya ke kamar. Gue lebih suka dan memang lebih sering makan di kamar.
Enak ga" tanya Lisa sambil duduk disamping gue saat gue mulai menyuap makanan tersebut.
Lumayan. Ini mah bumbu jadi kan" Tinggal tuang aja ke penggorengan gue menjawab dengan mulut penuh makanan.
Enak aja, tetep aja musti diolah, ditakarin. Aku mau cobain dong ucap Lisa sambil mendekatkan mulutnya ke gue.
Gue memberikan piring berisi makanan itu ke Lisa yang sepertinya berharap di suapin.
Aku bukan cowok sialan itu yang suka maen suap-suapan ucap gue sambil berjalan menujur dapur mengambil air mineral.
Lisa meletakkan piringnya di lantai, ga jadi memakan spaghetti yang tadi dia bilang mau mencobanya. Gue kembali duduk di kamar kemudian meletakkan gelas dan sebotol air mineral dihadapan gue sambil lanjut memakan makanan tadi, kemudian gue kasih lagi ke Lisa, tapi hanya di respon dengan gelengan kepala. Gue membalas responnya dengan ketawa kecil, kemudian membawa piring itu kembali ke dapur.
Lisa berjalan cepat mengikuti gue. Kemudian menarik tangan gue. Gue hanya menoleh sejenak, menatap wajahnya yang terpasang ekspresi cemberut, kemudian kembali berjalan ke kamar dan merebahkan badan diatas kasur.
Aku minta maaf yaa sayang ucap Lisa dengan nada sedih, sambil mengguncangguncang tangan gue dan duduk dipinggir kasur.
Kasih penjelasan dulu. Kalo soal maaf-maafan mah bisa nanti pas lebaran gue menjawab asal.
Lisa malah merespon dengan menangis sesugukan, sambil sesekali berusaha menahan air mata nya yang sudah terlanjur tumpah.
Nangis kenapa lagi" Ada juga aku kali yang harusnya nangis karna kamu duain ucap gue sambil bangun dari posisi tiduran dan duduk dipinggir kasur disamping Lisa.
Aku minta maaf.. ucap Lisa lagi dengan artikulasi yang semakin kurang jelas karna isak tangisnya yang semakin menjadi.
Apa sih Lis" Maaf maaf mulu. Aku minta penjelasannya dulu, jangan malah nangis sambil ngomong ga jelas ucap gue dengan sedikit menaikkan nada bicara. Lisa sempat menggerakkan badannya karna kaget.
Gue berjalan keluar kamar dan menuju ruang tamu, membanting tubuh gue di sofa, karna kesal dengan sikap Lisa yang malah menangis.
Lisa menyusul keluar dari kamar gue dengan wajah yang sangat basah kemudian berdiri tepat didepan gue.
Kamu bisa ga sih, ga usah sedikit-sedikit ngebentak aku" ucap Lisa dengan nada sangat tinggi. Gue sempat memundurkan posisi duduk saking kagetnya.
Gue ga menjawab, malah kaget dan terdiam menatap Lisa yang melihat kearah gue dengan wajahnya yang basah serta kedua tangan yang mengepal. Gue sempet berpikir bakal ada kejadian muka gue dikirimkan sebuah tinju oleh Lisa.
Kok malah jadi kamu yang marah-marah" ucap gue dengan kali ini menurunkan nada suara.
Kamu duluan yang sedikit-sedikit ngebentak aku, maki-maki aku. Aku tau kok aku salah, tapi ga usah bentak-bentak aku ucap Lisa yang masih dengan nada berteriak.
Gue cuma bisa menutup wajah sambil menunduk. Merasa heran dengan keadaan yang malah berbalik menyudutkan gue. Padahal gue sama sekali ga bermaksud membentak Lisa, cuma memang Lisa yang ga bisa dikerasin sedikit, ga bisa di marahin. Jadi dia menangkapnya seakan-akan gue membentak dia.
Iya, aku salah. Menanggapi dia yang cuma bercanda deketin aku, bahkan sampe minta aku jadi pacarnya. Aku salah karna menganggap itu cuma candaan dan berpikir hal itu ga akan nyakitin kamu. Tapi kamu ga perlu bentak-bentak aku. Ucap Lisa masih dengan nada tinggi. Gue jadi merasa seperti sosok yang sedang dihakimi disini.
Lisa terduduk di lantai dan bersandar ke tembok, membenamkan wajahnya diantara kedua kaki yang dilipat rapat ke dadanya. Gue malah makin ga tau apa yang harus gue lakuin. Gue mendengar cukup jelas apa yang Lisa katakan tadi, bahwa secara ga langsung dia mengakui dia selingkuh, walaupun dengan niat hanya menanggapi dengan bercanda. Tapi bercanda macam apa yang sampe menghabiskan waktu berlibur di Bali"
Lis, kamu kenapa bisa ngelakuin ini ke aku" tanya gue ke Lisa kali ini dengan nada pelan dan berhati-ati.
Kamu hukum aku aja, aku terima. Aku salah. Tapi jangan tinggalin aku ucap Lisa dengan sesugukan, masih dalam posisi membenamkan wajahnya.
Mana bisa aku menghukum orang yang aku sayang" Sesakit apapun yang aku rasain, sekuat apapun aku berusaha ngebenci kamu, aku ga bakal bisa menghukum kamu.
Gapapa, hukum aku aja. Tapi jangan pergi ucap Lisa dengan tangisan yang meledak, sambil menggeser posisinya menjadi duduk bersimpuh dihadapan gue.
Gue reflek langsung mengangkat tubuh Lisa. Gue ga mau dia duduk dibawah dengan posisi memohon. Gue bukan tipe cowok yang bangga melihat cewek memohon seperti ini. Lisa duduk di sofa sambil memeluk gue dari samping. Sangat erat gue rasa pelukannya.
Lis. Kamu tau kok, aku lemah dan akan tetap lemah dihadapan kamu. Aku cuma ga habis pikir dengan apa yang kamu lakuin. Ucap gue sambil mengusap punggung Lisa.
Lisa masih terus menangis. Entah air mata apa yang dia tumpahkan. Gue tetap ga merasakan ketulusannya meminta maaf. Atau mungkin karna perasaan gue sudah mati terkoyak kecurangan Lisa.
Aku ga akan pergi. Aku ga kemana-mana. Tapi aku mungkin akan susah buat sayang dan percaya lagi sama kamu. Lanjut gue sambil melepas pelukan Lisa dan menatap wajahnya.
Lisa hanya menunduk. Menumpahkan tetesan air mata yang membasahi kerah baju nya. Gue tetap menatapnya. Jujur, gue merasakan sakit melihat Lisa harus menangis seperti ini. Tapi gue juga bukan orang yang bisa berpura-pura baik-baik aja saat udah merasa kecewa.
Aku ga bakal menjauh. Kita masih bisa tetep berteman. Aku akan tetep nemenin dan jaga kamu, sampe nanti datang waktunya salah satu dari kita harus melanjutkan jalan hidup kita masing-masing. Kamu percaya aja, ga akan ada yang berubah, kecuali mungkin rasa sayang dan percaya yang akan sulit tumbuh lagi.
Lisa semakin menundukkan kepalanya. Air mata nya semakin deras berjatuhan, serta tangisnya yang semakin menjadi dengan suara parau. Gue ga bisa menahannya, karna gue pun merasakan kekecewaan yang sama sekali ga terobati dengan tangisan Lisa.
"Enggak. Aku akan berusaha bikin kamu sayang dan percaya lagi sama aku." ucap Lisa masih dengan suara parah sambil menatap gue dengan wajahnya yang basah.
Kularut luruh dalam keheningan hatimu Jatuh bersama derasnya tetes airmata Kau benamkan wajahmu yang berteduhkan duka Melagukan kepedihan di dalam jiwamu
Tak pernah terpikirkan olehku Untuk tinggalkan engkau seperti ini Tak terbayangkan jikaku beranjak pergi Betapa hancur dan harunya hidupmu
Sebenarnya ku tak ingin berada disini Di tempat jauh yang sepi memisahkan kita Kuberharap semuanya pasti akan berbeda Meski tak mungkin menumbuhkan jiwa itu lagi.
Dan tak pernah terpikirkan olehku Untuk tinggalkan engkau seperti ini Tak terbayangkan jikaku beranjak pergi Betapa hancur dan harunya hidupmu
Aku tak mengerti Apa yang mungkin terjadi Sepenuh hatiku
Aku tak mengerti& Villa di Bogor
Gue duduk disebuah kursi kayu di teras, menikmati segelas kopi panas yang asapnya belum berhenti mengebul ke udara, di sebuah villa penginapan daerah puncak, bogor, di sabtu sore terakhir bulan Januari 2015.
Suasana di dalam villa sangat ramai dengan nyanyian yang diiringi suara gitar, dengan Lisa yang menggaungkan suara nya menyanyikan lagu2 yang membawa suasana menjadi riang.
Gue, Lisa, dan 5 orang teman gue yang lain sedang menikmati suasana berlibur, melepas sedikit penat dari rutinitas pekerjaan. Ryan pun ikut berada diantara kami.
Men, dalem lah sini panggil Ryan dari dalam villa, mengajak gue bergabung ketengah mereka.
Gue ga menjawab, hanya menoleh ke asal suara sejenak kemudian kembali melemparkan pandangan menikmati warna hijau dedaunan yang diselimuti kabut.
Kamu ngapain disini sayang" ucap Lisa saat mendekat kemudian melingkarkan tangannya di pundak gue dan merebahkan kepalanya.
Lagi nikmatin suasana nya aja jawab gue disertai dengan senyuman.
Cukup lama Lisa menyandarkan dirinya sambil setengah berdiri memeluk gue dari belakang, sampai dia mengubah posisi dan duduk di pangkuan gue kemudian melingkarkan kembali tangannya di leher gue.
Lagi mikirin apaan sih" tanya Lisa setengah berbisik mendekatkan bibirnya ke telinga gue.
Ga ada. Lagi pengen nikmatin silent moment aja. Kamu kedalem aja gih sana
Yaah, aku kan ikut kesini buat nemenin kamu, bukan buat nungguin kamu mengheningkan cipta sendirian ucap Lisa sambil memasang wajah cemberut.
Gue menanggapi dengan senyum kecil kemudian meminta Lisa bangkit dari pangkuan gue dan mengajaknya berbaur dengan Ryan dan teman yang lain di dalam villa.
Bahan buat bakar-bakaran ntar malem udah disiapin belom" tanya gue sambil duduk diantara teman-teman gue yang kemudian diikuti Lisa.
Lah itu Lisa yang nyiapin sana saut Ryan.
Semua aja gue yang disuruh jawab Lisa menggerutu sambil mengajak teman perempuan lain masuk ke dapur menyiapkan bahan untuk di bakar nanti malam.
Gue, Ryan dan teman yang lain kembali memainkan gitar dan bernyanyi, melewati sore yang sudah mulai dingin dan berkabut. Mencoba mengusir rasa bosan yang entah dari mana datangnya hingga menyelinap di hati gue.
--------- Kamu jangan minum bir dulu ya sayang ucap Lisa saat gue sedang memecahkan es untuk dituangkan ke teko besar berisi bir ditengah suasana ramai teman-teman yang sedang bakar-bakaran di halaman belakang villa sambil bercanda.
Lah kenapa emang" gue bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari es yang sedang gue pegang.
Kamu belum minum susu nya hari ini. Seharian tadi ngerokok mulu, mau minum bir juga, besok senen pasti ngeluh angchimooo, badan ku ga enak nih' gitu deh jawab Lisa sambil meniru cara berbicara gue saat sedang kurang enak badan.
Mana ada aku kaya gitu ngomongnya Gue menyambut ucapan Lisa dengan mencubit gemas pipi nya kemudian membawa teko berisi bir ke tengah teman-teman gue.
Kami dan teman-teman melewati malam sambil bercanda dan berbicara ngalor ngidul, dengan Lisa yang ga ada berhentinya menggelayuti badan gue, menyandarkan badannya sambil terus melingkarkan tangannya memeluk gue. Sampai lewat tengah malam, gue mengantar Lisa menuju kamar yang dia dan teman perempuan gue yang lain akan tempati untuk tidur.
Ryan dan teman gue yang lain mulai masuk ke villa dan mencari tempat diruang depan untuk merebahkan badan. Sebenarnya ada satu kamar lain untuk kami para cowok tidur, tapi kami sepakat memakai kamar itu hanya untuk menaruh tas dan barang, sedangkan kami menggunakan ruang depan yang cukup Luas untuk tidur.
Lo tidur dimana men" tanya Ryan dengan posisi tiduran diatas sofa saat gue keluar dari kamar Lisa.
Gue mah gampang nanti. Yaudah lo tidur aja. Jawab gue sambil berjalan kembali ke pintu depan, dan duduk di bangku kayu
Ryan menyusul dan duduk di kursi kayu sebelah gue sambil membawa gitar saat gue sedang menyulut sebatang rokok.
Lo kenapa men" Bosen ya" tanya Ryan sambil memainkan gitar nya dengan petikan pelan.
Ga tau, iya mungkin bosen jawab gue tanpa menoleh ke Ryan.
Bosen kenapa sih" Lo enak sama Lisa daritadi gelendotan aja. Lah gue apa kabar" Cuma ketawa-tawa sendiri. Minum kagak, ngerokok kagak.
Ya salah lo sendiri, kenapa ga ngajak Yanti
Ah ribet men, tau sendiri Yanti ga suka sama lo. Kalo gue ngajak dia terus bilang mau ke puncak sama lo pada, yah ujung-ujungnya malah dia kagak bolehin gue ikut
Lagian kenapa sih Yanti ga suka sama gue" Perasaan kalo cewek-cewek lain malah bawaannya pengen banget deketin gue
Yee najis lo. Gatau dah, mungkin dia ga suka aja kita terlalu deket bertemen.
Yailah Yan, dia Cuma pacar lo. Ga ada hak apa-apa buat ngatur lo mau bertemen sama siapa. Lagian lo cowok tapi sampe segitunya amat diatur sama cewek ucap gue sambil memandang Ryan dengan wajah meledek.
Eh kunyuk. Ngaca lo. Kaya Lisa ga ngatur-ngatur lo bertemen sama orang aja jawab Ryan dengan nada nyolot.
Yaa Lisa paling cuma ngelarang gue bertemen deket sama cewek, kalo sama cowok mah kagak pernah dia ngatur. Lagian gue kan temen lo dari awal masuk SMA. Yanti baru lo pacarin setelah lo bertemen sama gue. Bego aja itu cewek ngelarang2 lo deket sama gue jawab gue ga kalah nyolotnya.
Ryan dan Yanti memang sudah sangat lama berpacaran, sejak kelas 2 SMA. Hampir bersamaan dengan Gue dan Liana mulai berpacaran dulu. Awalnya memang Gue, Liana, Ryan, dan Yanti sering banget jalan bareng. Tapi gatau kenapa makin kesini Yanti makin jadi sosok yang suka banget ngatur-ngatur Ryan, sikap yang selalu gue tentang dan meminta Ryan untuk menentangnya juga. Mungkin karna itu Yanti jadi ga suka Ryan terlalu dekat dengan gue, takut Ryan gue pengaruhi jadi seorang cowok yang menentang sama ceweknya.
Padahal, Ryan emang udah dari lahir bawa sifat berengsek. Pernah gue sama Liana dulu ada rencana jalan, tiba-ba Ryan minta ikut gabung, gue dan Liana mah ga masalah. Tapi ternyata Ryan malah bawa cewek lain, yang bukan Yanti. Sampe Liana malah melotot kearah gue sambil bilang Awas aja kamu kelakuannya kaya Ryan gitu, pacaran sama siapa, jalannya sama cewek lain
Tapi, Kandas nya hubungan gue dengan Liana ga serta merta membuat Ryan ikutikutan mengakhiri hubungannya dengan Yanti. Ryan itu sosok cowok berengsek yang jago pencitraan. Dia sering yang namanya selingkuh, tapi citra dan nama baik nya tetap terjaga sebagai seorang cowok yang penyayang dan penurut di mata Yanti, karna kenakalan Ryan ga pernah ketauan.
Ryan selalu bicara soal prinsipnya dalam menjalani sebuah hubungan. Gue sama Yanti kan tujuannya udah jelas men, mau nikah nanti, lagi nabung bareng. Nah sama cewek-cewek lain mah gue istilahnya cuma mampir. Analogi nya gini. Gue udah punya tujuan nih, dari rumah gue mau ke rumah lo. Tapi apa salah nya sesekali gue mampir dulu ke rumah si A, atau si B, iya kan"
Ya, begitulah suka duka punya temen cowok yang berengsek. Itu orang, entah kenapa sering banget yang namanya curang' ke cewek nya, tapi kagak pernah yang namanya kena karma. Malah gue yang salah sedikit aja pasti ketiban karma nya. Makanya gue rada ragu memaafkan Lisa. Karna gue khawatir, Lisa bakal ngulangin kesalahan yang sama. Persis kaya gue yang dulu berkali-kali selingkuhin Liana.
Tapi gue selalu percaya, apapun yang lo tanam, itu yang akan lo petik nanti. Setidaknya dengan gue memaafkan Lisa, gue menanam benih kebaikan yang mungkin saja suatu hari akan gue petik saat gue membutuhkan kata maaf dari orang lain. Bagaimanapun, karma akan selalu menemukan jalannya sendiri, ga peduli berapa keraspun lo berusaha menyembunyikan kecurangan lo dulu.
Peraturan Lisa Senin di minggu pertama Bulan Februari, gue udah kembali berbaku hantam dengan tumpukan pekerjaan yang sejak pagi gue kerjakan. Tapi hari ini gue sedikit malasmalasan bekerja. Sesekali gue mendatangi meja kerja temen lain buat sekedar bercanda atau mengambil cemilan.
Dengan Lisa yang sekarang tidak lagi bekerja di dunia operasional, gue dan Lisa lebih punya banyak waktu untuk berkomunikasi via whatsapp. Bahkan, Lisa malah sering banyak waktu santai nya. Gue sekarang ga perlu lagi menunggu malam buat menjemput Lisa pulang kerja, karna Lisa sekarang pulang kerja selalu sore, bahkan lebih sering dia yang menjemput gue karna dia pulang lebih awal.
Tentu saja, gue juga udah ga kaya dulu. Yang rela bela-belain menepikan waktu istirahat gue cuma buat menjemput atau menemani Lisa. Sekarang justru Lisa lebih bisa kemana-mana sendiri. Gue ga lagi memanjakan dia dengan selalu mengantar jemput kemana tujuan yang dia mau.
Sepaham dengan nasihat Heri, gue membiarkan Lisa yang berusaha. Tapi tetep aja, gue ga seenaknya membuat Lisa ngelakuin apa-apa sendiri. Ada batasan yang tetap gue berikan. Kalo tujuan jalan Lisa agak jauh, gue lebih prefer mengantarnya. Bukannya apa-apa, jalanan Jakarta kadang terselip makhluk-makhluk berpenampilan seperti manusia tapi berkelakuan dibawah standar manusia. Ga sekali atau dua kali gue mendengar Lisa mengeluh diganggu' orang di jalan dengan bentuk perlakuan yang ga mau gue sebut secara detail. Karena itu, gue selalu meminta Lisa memakai masker kemana-mana. Selain buat mencegah polusi udara, juga dapat menutup sebagian wajahnya yang mungkin bisa memaksa mata para lelaki melekatkan pandangannya.
Sekarang, kemana-mana Lisa selalu memakai jaket sweater besar, lengkap dengan tudung yang menutupi kepala nya serta masker yang menutup sebagian wajahnya. Lisa ga protes dengan penampilan yang gue paksakan ke dia. Toh kalau didalam kantor dia bisa membuka semua itu dan tampil dengan penampilan normal.
Sore hari, seperti biasa gue sedang menikmati segelas kopi dengan Ko Hendri di ruangannya, tapi kali ini ada Heri yang bergabung diantara kami. Load pekerjaan dia memang sedang berkurang karna lagi ga banyak keperluan untuk mensupport kebutuhan cabang. Handphone gue berbunyi saat kami bertiga sedang asik mengobrol, gue menjawab telpon tersebut sambil menjauh dan berjalan keluar ruangan Ko Hendri. Sebuah panggilan interview dari perusahaan yang waktu itu sempat gue tinggalkan proses wawancara nya. Gue membuat janji untuk datang di hari kamis kemudian kembali masuk ke ruangan Ko Hendri.
Ko, kamis gue ga masuk ya. Jangan nyuruh gue buru-buru dateng ke kantor lagi. Ucap gue sambil duduk di sofa diantara Heri dan Ko Hendri.
Buset ini anak. Masih mau interview cari kerjaan lain lu" tanya Ko Hendri sambil menoyor kepala gue.
Yee, lagian kenapa sih emang" Gue kan masih mau cari lompatan yang lebih tinggi
Halah, paling lo di hasut Lisa ya Bags biar cari kerjaan laen, biar ga terlalu deket sama kita lagi" tanya Heri menyambar.
Kagak, enak aja. Emang gue mau cari yang lain. Gue masih muda, gamau stuck disini dengan pekerjaan yang itu-itu aja. Gue menjawab santai.
Bukan itu-itu aja Bags, Cuma disini lho lu orang bisa kerja santai saut Ko Hendri
Santai apaan" Lo kagak liat tiap hari kerjaan gue kaya apa"
Ya santai maksudnya dari segi teman-temannya yang kekeluargaan, penampilan disini bebas bisa pake jeans, malah lu orang pake sendal pula. Ditempat lain mana bisa" Pake sono lu celana bahan jawab Ko Hendri.
Nah justru itu. Gue perlu merasakan hal-hal lain kaya gitu. Gue kerja dimari aja tetangga gue nyangka gue masih kuliah. Berangkat kerja pake kaos kerah, jeans, sama sendal. Balas gue dengan sambil tertawa.
Heri dan Ko Hendri sontak tertawa sambil meledek mereka ga bisa membayangkan gue yang tiba-ba kalau harus memakai pakaian kerja layaknya seorang karyawan kantoran lain. Gembel terminal bisa bertansformasi jadi seorang seperti karyawan bank yang berpenampilan rapih.
Ko Hendri akhirnya menyetujui izin ga masuk kerja yang gue ajukan, dengan catatan gue harus menitipkan kerjaan gue ke staff lain, dan jangan lupa ngomong ke Rini sebelum gue ga masuk. Gue mengiyakan kemudian kembali ke meja gue. Menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tersisa serta memberikan tanda pada pekerjaan yang akan dikerjakan besok.
Tepat jam 6 sore gue udah keluar kantor dan memesan segelas kopi mocca di warung kecil depan kantor. Lalu sosok Lisa muncul dari kejauhan sambil berlari kecil mendekat kearah gue.
Bang, ga usah dibikin kopi pesenannya Bagus ucap Lisa ke penjaga warung yang ingin mulai membuka kopi sachet ditangannya.
Penjaga warung hanya tersenyum dan mengiyakan. Gue menatap heran ke Lisa yang malah cengengesan sambil duduk didepan warung tersebut.
Kenapa sih" Mau langsung jalan emang" tanya gue sambil duduk disamping Lisa.
Enggak, kamu udah ngopi mulu sayang. Pagi udah ngopi, tadi sore ngopi juga sama Hendri, masa ini udah mau ngopi lagi. Ucap Lisa sambil mengacak-acak rambut gue.
Yailah, apa salahnya" Biasanya juga emang begitu gue menjawab sambil memasang wajah cemberut.
Yaa makanya jangan dibiasain. Ga bagus juga buat badan kamu. Itu susunya aja minum. Ucap Lisa sambil membuka tas jinjing nya dan mengeluarkan sekaleng susu merk beruang yang biasa gue konsumsi.
Ntar aja dah di kos jawab gue malas sambil menerima susu kaleng tersebut dan berniat memasukkannya ke tas gue.
Sekarang sayang, nanti minum lagi.
Laaah, gamau. Sekaleng aja sehari. Berat badan aku udah naik nih rasanya makin buncit aja perut
Lah gapapa dong, berarti jadi lebih sehat. Ngopi 3 gelas sehari ga masalah tapi minum susu 2 kaleng doang ngeluh ucap Lisa sambil mencubit hidung gue sementara gue mengeluarkan susu kaleng tadi dan membuka nya, bersiap meminumnya dengan wajah cemberut.
Heri dan Rendi berjalan keluar kantor kemudian menyapa Lisa sambil memesan kopi di warung dan duduk di samping kiri Lisa.
Hendri belom turun" nongkrong-nongkrong dulu yuk" ajak Lisa ke Heri dan Rendi.
Ko Hendri mah selalu turun belakangan Lis. Eh tapi gue ga bisa nongkrong hari ini, ada urusan. Jawab Rendi.
Gue mah ayok aja. Eh itu apaan Bags" Kopi kalengan" jawab Heri ke Lisa kemudian bertanya ke gue yang sedang menenggak susu kaleng. Gue hanya menjawab dengan menunjukkan lebih dekat kaleng yang sedang gue pengang.
Hahaha gembel banget lo. Kaya apa aja minum susu begitu saut Heri sambil tertawa keras sejalan dengan respon Rendi.
Beuuh. Ini baru laki. Ucap Rendi sambil menerima gelas plastik dan menghirup aroma kopi hitam panas yang baru disajikan sama penjaga warung. Sukses membuat gue kesal dan menelan ludah karna terpaksa mengikuti peraturan jatah ngopi yang Lisa mulai terapkan.
Mengingat Liana Gue dan Lisa langsung pulang menuju kos Lisa setelah Heri memutuskan ingin mengantar pulang cewek kantor yang lagi dia usahakan. Kami sempet mampir dulu membeli makan di warung pecel ayam dekat kos Lisa dan memakannya di kos.
Selesai makan, gue duduk di teras kecil depan kamar kos Lisa sambil menikmati sebatang rokok dan udara malam yang segar. Lisa menyusul setelah selesai membereskan makanan tadi.
Kamu mau aku bikinin teh sayang" tanya Lisa sambil duduk di kursi sebelah gue.
Gue menjawab dengan gelengan kepala sambil tersenyum kearah Lisa, kemudian kembali menikmati suasana malam langit Jakarta yang cerah.
Lisa sibuk dengan handphone nya sementara gue tenggelam dalam hening dan ketenangan. Sampai tawa kecil Lisa mengganggu dan membuyarkan lamunan gue. Gue menoleh dan melihat Lisa yang senyum-senyum sendiri ke handphone nya.
Chat sama siapa sih" Seru bener kayanya tanya gue ke Lisa
Ini si Jessica. Dia cerita kelakuan keponakannya lucu banget jawab Lisa sambil menunjukkan layar handphone nya
Gue menerima handphone dari Lisa dan membaca sekilas isi chatnya, tapi gue ga ngerti apa yang diomongin karna menggunakan bahasa Jawa. Gue menekan pilihan end chat, kemudian menghapus kontak Jessica dari BBM Lisa. Dan menghapus nomer Jessica dari handphone Lisa kemudian mengembalikan handphone tersebut ke Lisa.
Lho" Kok di delete kontak nya Jessica" tanya Lisa dengan wajah bingung.
Kenapa emang" Kamu juga sering delete kontak teman-teman aku. Aku cuma satu itu aja karna cewek sialan itu yang ngajak kamu selingkuh, padahal dia tau dan kenal aku. Jawab gue tanpa menoleh ke Lisa.
Lisa hanya diam dan menatap gue. Gue juga sebenernya ga suka bersikap kaya gitu. Gimanapun, gue ga mau membatasi Lisa dalam berteman dan bersosialisasi selama ini. Tapi rasanya kecurangan Lisa tempo hari cukup menjadi pelajaran buat gue, bahwa kecurangan terjadi bukan karna ada niat dari pelakunya, melainkan karna ada kesempatan.
Aku ga suka Lis kalo harus membatasi kamu sebenernya. Selama ini, mana pernah aku bersikap posesif sama kamu" Yang ada malah sebaliknya kan" Tapi kamu kayanya bukan orang yang bisa menjaga kepercayaan dan kebebasan yang aku berikan ucap gue ke Lisa.
Iya sayang, aku minta maaf. Gapapa kamu kalo mau posesif sama aku, aku nurut kok. Aku ga akan kaya gitu lagi. Jawab Lisa memasang tampang sedih.
Nah itu dia masalahnya. Aku ga bisa jadi orang yang posesif, karna aku juga bukan tipe orang yang mau diatur2 sama cewek. Aku yang dulu mungkin iya, ada sikap posesif yang aku terapin dalam sebuah hubungan yang aku jalanin. Tapi aku yang sekarang malah ga bisa kaya gitu.
"Yaudah kalo gitu, kamu ga perlu posesif. Asal kamu bilang aja kalo ada hal yang kamu ga suka sama kelakuan aku. Aku bakal ikut semua omongan kamu. Jangan. Kamu jangan kaya gitu. Aku lebih suka pasangan yang berani kasih argumen buat menentang pendapatku, ketimbang pasangan yang cuma bisa menelan mentahmentah omonganku.
Enggak Gus. Aku akan ikut semua omongan kamu. Ini bukan bentuk rasa bersalah aku karna udah menyakiti kamu kok. Ini bentuk keyakinan aku yang akhirnya menemukan sosok orang yang sabar dan rela memaafkan setiap kesalahan aku. Jawab Lisa.
Gue menatap wajahnya. Gue bukan orang yang mudah termakan omong kosong perempuan, apalagi perempuan yang pernah menghianati gue. Tapi gue bisa melihat dengan jelas, cahaya mata Lisa memastikan apa yang dia ungkapkan adalah kejujuran.
Masih banyak hal yang menurut aku perlu kita perjuangkan Gus. Kamu akan perjuangin aku kan" lanjut Lisa kali ini dengan nada bertanya.
Mau membahas masalah perbedaan kita lagi" Sekarang" Setelah kecurangan yang baru aja kamu lakuin" tanya gue balik menyerang Lisa.
Lisa hanya merespon dengan tetap tersenyum. Kemudian mengambil tangan gue dan menggenggamnya erat.
Sayang, we were not born perfect. Aku tau aku udah lakuin kesalahan ke kamu yang ga bisa aku perbaiki. Tapi aku akan lakuin segala cara buat mendapatkan maaf dari kamu.
To forgive is not to forget Lis. Aku mungkin udah maafin kamu, tapi aku ga mungkin bisa lupain kesalahan kamu.
Ga masalah. Silakan terus ingat kesalahan aku. Sampai nanti aku bisa mengganti nya dengan kebaikan yang aku lakukan, kamu pasti ga akan membahas kesalahan itu lagi kok jawab Lisa dengan nada yakin.
Kamu baik Gus sama aku. Yaa walaupun aku ga suka sikap kamu yang sering bentak aku saat marah lanjut Lisa.
Bentak apaa sih Lis" Emang kamu nya yang terlalu cengeng. Aku ngomong keras dikit aja dibilang ngebentak. Jawab gue sambil cengengesan.
Enggak, emang kamu nya yang galak. Aku emang ga bisa dikerasin sayang, kan kamu tau itu
Ya tapi masa aku harus ngomong bisik2 saat aku marah. Emang sih aku selalu gagal mengendalikan emosi aku. Makanya tiap aku lagi kesel, aku pilih menghindar, atau pulang. Nah saat kaya gitu kamu jangan nahan aku. Nanti malah aku makin kesel
Lisa menyambut ucapan gue dengan mencubit pipi gue kemudian mengacak-acak rambut gue sambil tersenyum. Entah apa yang dia pikirkan saat itu, tapi gue merasa sedikit lebih tenang, setidaknya Lisa kini tau bagaimana cara menyikapi gue ketika gue lagi dikuasai oleh emosi.
Sebelumnya, emang kamu kaya gimana sama Liana" tanya Lisa sambil memangku dagu nya dengan tangan yang ditumpukan pada pegangan kursi sambil menatap gue.
Liana" tanya gue kaget karna Lisa menyebut nama Liana.
Iya, mantan kamu itu. Sikap dan kepribadian yang terbentuk dalam diri kamu yang sekarang, sedikit banyak pasti terbawa dari hubungan kamu sama Liana kan" Apalagi kalian dulu pacaran cukup lama
Aku ga mau bahas masa lalu Lis. Jawab gue singkat.
Bukan gitu. Ada kalanya masa lalu itu perlu dibicarakan sekedar buat pelajaran. Ucap Lisa sambil tersenyum dan merangkul lengan gue.
Gue menghela napas, sambil berusaha mengingat kembali sosok wajah Liana yang selama ini gue tepikan. Gadis mungil berwajah manis dengan senyuman yang dulu selalu mampu meredakan emosi atau mengusir rasa lelah dalam keseharian gue.
Entah kenapa, hanya karna Lisa menyebut nama Liana, ada sebuah rasa yang membuncah dalam hati gue, layaknya hamparan tanah kering yang sangat amat merindukan hujan. Gue merasa obrolan dengan Lisa malam ini bukan sebuah obrolan yang tepat, karna hanya malah membuat gue kembali merasakan rindu pada sosok Liana.
Kamu masih ada rasa sama Liana ya sayang" tanya Lisa memecahkan keheningan.
Gue ga langsung menjawab, hanya menoleh ke Lisa kemudian menggeleng pelan. Lisa hanya menatap gue dengan senyuman.
Kalau suatu hari, saat kita gagal memperjuangkan hubungan ini, saat aku udah ga lagi ada disamping kamu, apa yang akan kamu lakuin, mengejar Liana kembali, atau memperjuangkan Felicia" tanya Lisa lagi masih dengan senyuman terpasang indah di wajahnya.
Arti Pertanyaan Lisa Kalau suatu hari, saat kita gagal memperjuangkan hubungan ini, saat aku udah ga lagi ada disamping kamu, apa yang akan kamu lakuin, mengejar Liana kembali, atau memperjuangkan Felicia" tanya Lisa lagi masih dengan senyuman terpasang indah di wajahnya.
Gue menatap wajah Lisa. Gue ga ngerti apa yang dia pikirkan. Kenapa dia bertanya seperti itu" Apa dia berpikir suatu hari akan pergi dan meninggalkan gue begitu saja"
Ga tau. Menurut kamu, apa yang lebih baik aku lakuin" Gue bertanya balik ke Lisa dengan suara serak.
Lisa tersenyum, kemudian membuang pandangan nya ke langit dan menyandarkan tubuhnya. Dia tetap memasang senyum namu gue tau dia sedang memikirkan sesuatu.
Aku sih berharapnya ga akan ada akhir cerita dari hubungan ini sayang. Tapi.. Lisa menahan ucapannya, kemudian menatap gue.
Tapi, kalau memang Tuhan menuliskan skenario yang ternyata membuat kita terpisah jalan. Kamu harus tetep bahagia ya lanjut Lisa.
Gue belum mampu mengalihkan pandangan gue. Ga sedikitpun gue mampu menebak apa yang Lisa pikirkan. Pertanyaannya, serta ucapannya, justru malah membuat gue semakin ragu dengan jalan hubungan ini.
Kamu orang yang baik Gus, baik banget. Aku bisa merasakan itu sejak pertama ngeliat kamu. Memang aku akui bahwa kamu orang yang keras, tapi dibalik sikap kamu yang keras, kamu hanya berusaha menyembunyikan sisi lemah kamu. Ucap Lisa sambil mengelus rambut gue.
Lis. Kalo suatu hari nanti kamu harus ninggalin aku karna kamu menemukan sosok lain yang pastinya akan membahagiakan kamu. Aku boleh minta satu hal dari kamu" tanya gue ke Lisa yang dijawab dengan anggukan yakin oleh Lisa.
Jangan pernah mengulang kesalahan yang sama. Kamu cukup bilang ke aku bahwa kamu udah menemukan pasangan yang mungkin akan jadi pilihan hidup kamu, saat itu aku pasti akan pergi. Jangan pernah meninggalkan rasa sakit hati dalam diri aku. Lanjut gue sambil menatap wajah Lisa.
Lisa tersenyum dan menganggukkan kepalanya kemudian memegang tangan gue erat.
Aku tau, kamu masih ragu sama aku. Tapi aku ga akan sia-siakan kesempatan kedua yang kamu kasih ke aku jawab Lisa dengan yakin.
Gue tersenyum mendengar jawaban Lisa. Gue ga pernah menuntut janji apapun dari dia. Tapi kali ini, gue meminta Lisa mengucapkan sebuah janji, yang akan gue pegang erat.
Gus, Aku ga kenal sama Liana. Tapi, seandainya aku jadi kamu, suatu hari nanti, aku ga akan berusaha mengejar Felicia. Aku akan berusaha meminta Liana kembali. Ucap Lisa sambil membuang pandangannya kembali ke langit.
Kenapa" gue bertanya dengan ragu.
Karna cuma Liana yang tulus menemani kamu jauh sebelum kamu mengerti tentang bagaimana seharusnya cara menjaga perasaan orang lain. Cuma Liana juga yang mungkin pernah membuat kamu bertekuk lutut mencintainya.
Darimana kamu bisa menilai kaya gitu" Kamu kan ga pernah kenal Liana.
Mulut atau sikap mungkin bisa mengelak sayang, tapi mata ga bisa. Dan mata kamu, jauh didalamnya, aku bisa liat kamu masih menyimpan sebuah harapan untuk Liana. Cuma, kamu terlalu naif buat mengakuinya ucap Lisa sambil menatap gue kembali dengan senyumannya.
Gue terpaku menatap Lisa. Seperti ada yang mengganjal di hati gue. Entah apa maksudnya mengatakan seperti itu. Yang pasti, gue merasa sudah berusaha menepikan Liana dari hari-hari gue, dan ga pernah membahas tentang hubungan gue dengan Liana sebelumnya ke Lisa.
Enggak Lis. Aku ga akan pernah minta Liana kembali, saat dia udah menemukan kebahagiaannya dengan orang lain. Hal yang sama juga berlaku untuk kamu. Aku ga akan pernah mempertahankan kamu saat kamu menemukan kebahagiaan kamu di orang lain
Kamu ga boleh ngomong gitu Gus. Kita ga pernah tau&
Lis, udah. Aku ga mau bahas apapun tentang Liana. Ucap gue memotong omongan Lisa.
Oke, gue terlalu naif kalo bilang gue udah melupakan semua hal tentang Liana. Tapi bukan berarti gue akan merasa nyaman membahas masa lalu gue dengan Liana ke Lisa. Bagaimanapun, Lisa adalah sosok yang gue hadirkan dengan harapan gue mampu mencintai wanita lain selain Liana. Dan Liana sebenarnya juga adalah alasan kenapa gue belajar untuk berubah, menjadi seorang Bagus yang lebih baik, yang lebih menghargai orang yang gue sayang. Tapi Gue ga mau rasa gue ke Liana kembali tumbuh hanya karna gue dan Lisa membicarakan soal Liana lagi.
Aku akan kejar Felicia Lis. Ucap gue pelan tanpa menatap Lisa.
Lisa menolehkan pandangannya kembali ke gue, tapi ga mengucapkan sepatah katapun. Gue tau, ini bukan ucapan yang Lisa ingin dengar. Tapi gue harus mengucapkan ini agar Lisa semakin ragu dengan yang gue rasakan sebenarnya.
Aku bersyukur pernah mengenal dan menyayangi Liana. Aku juga bersyukur bertemu dengan kamu dan menjalani hubungan ini. Tapi, kalo suatu hari hubungan ini harus berakhir, Kamu dan Liana cukup jadi bagian dari masa lalu aku aja, aku akan menjadikan Felicia sebagai tujuan terakhir aku. Ucap gue dengan yakin sambil menatap wajah Lisa.
Lisa memasang senyum yang mengembang. Lagi-lagi gue ga tau apa yang dia pikirkan. Tapi setidaknya sekarang dia ga akan membicarakan soal Liana lagi. Karna buat gue, lebih berat jika harus mengingat Liana ketimbang Felicia. Tentu saja kalo kita ngomong soal perasaan, rasa yang pernah ada dalam hati gue ke Liana jauh lebih besar daripada apa yang gue rasa ke Felicia. Dan Lisa benar, bahwa cuma Liana satusatunya wanita yang pernah membuat gue bertekuk lutut mencintainya.
Tapi sayangnya, aku ga akan pernah membiarkan hal itu terjadi sayang. Aku ga akan pernah meninggalkan kamu, dan membiarkan Felicia mendapatkan rasa sayang dari kamu. Lagipula, If i can t have you, i'll make sure no one will. Ucap Lisa masih dengan senyumnya yang mengembang.
Gue menggelengkan kepala berkali-kali sambil tersenyum. Kali ini gue baru sadar. Lisa sengaja bertanya dan berkata seperti itu ke gue untuk mengetahui bagaimana perasan gue ke dua orang wanita lain selain dirinya. Dan gue bersyukur ga sepenuhnya menjawab dengan jujur.
Menahan Diri Kamis pagi, gue udah berada diatas motor ditengah kemacetan jalan ibu kota. Hari ini gue ga berangkat ke kantor, tapi berniat mendatangi undangan proses wawancara yang sudah ditentukan sebelumnya. Lisa sempat ingin minta dijemput dan diantar ke kantor, tapi gue mengelak dengan alasan khawatir kesiangan.
Sampai pada sebuah perempatan jalan, gue berbelok memilih jalur yang sebenarnya akan memakan jarak tempuh lebih jauh, tapi gue memilih jalan tersebut karna lebih lengang. Gue menepikan motor sejenak untuk menyulut sebatang rokok, kemudian melanjutkan berkendara dengan tempo yang lebih pelan.
Sekilas gue membiarkan beberapa motor lain menyalip gue yang memang berjalan lambat. Hingga dari arah persimpangan jalur lain, ada seorang pengendara bapakbapak membonceng seorang wanita, tanpa helm, hanya menggunakan masker, masuk ke jalur gue dan berjalan pelan tepat didepan gue. Liana.
Gue reflek semakin memelankan laju motor gue, menegaskan penglihatan gue akan sosok yang gue duga Liana yang sedang diantar bokapnya. Dan gue semakin yakin bahwa itu Liana. Tapi entah kenapa berat rasa nya untuk sekedar menyusul dan menyapa. Yang ada, degup jantung gue tiba-ba menaikkan irama nya.
Gue hanya terus membuntuti dari belakang, sampai pada perempatan jalan lain akhirnya gue putuskan untuk berbelok kemudian mencari alternatif jalur lain dan segera mengebut motor gue untuk menjauh. Bukan sebuah sikap yang normal sebenarnya, tapi entah kenapa gue merasa gugup dan ga mau menikmati melihat Liana lebih lama.
Gue sampai di kantor perusahaan swasta yang tempo hari sempat gue datangi. Gue langsung menuju lift setelah memarkirkan motor di basement, kemudian menuju lantai yang akan gue datangi. Gue langsung menuju meja receptionist dan menginformasikan tujuan kedatangan gue kemudian duduk di ruang tunggu yang disediakan. Sambil menunggu, gue mengeluarkan handphone dan mengabari Lisa bahwa gue sudah tiba di tujuan.
Jemari gue langsung merespon seketika saat otak gue terlintas pikiran untuk mencari tau kabar Liana dari media sosialnya. Jadi lah gue seperti jomblo gagal move on yang mengisi waktu luang nya dengan stalking medsos mantan.
Membutuhkan waktu yang cukup lama untuk gue menemukan salah satu akun media sosial Liana. Mungkin karna di akun lain gue sudah di block, hanya ada satu akun tersisa yang sudah sangat lama tidak ada update di timeline nya. Gue memperhatikan satu demi satu update yang pernah Liana unggah ke akun itu, dan gue tau bahwa saat ini Liana sudah memiliki pasangan baru.
Bukan kekecewaan yang gue rasakan. Justru sebaliknya, ada rasa tenang dalam diri gue, mengetahui Liana baik-baik saja meski mungkin sempat terluka karna menjalin hubungan dengan gue. Kemudian gue memilih menutup media sosial itu dan menyimpan kembali handphone gue di saku celana gue.
Gue menjalani proses wawancara dengan lancarz walaupun memakan waktu cukup lama saat jeda dari interview HRD ke interview dengan user yang akan menjadi atasan gue jika diterima bekerja disini. Sekilas, gue menilai perusahaan ini adalah tempat yang tepat untuk gue melanjutkan karir jika harus pindah dari pekerjaan sekarang.
Gue baru saja keluar dari basement dengan motor gue saat handphone gue bergetar menandakan sebuah panggilan. Gue menepikan motor dan mengecek handphone dan melihat sederet angka tanpa nama, kemudian gue menjawab telepon tersebut.
Baguuus. Ganggu ga" ucap suara wanita dari ujung telepon.
Ini siapa" gue bertanya karna kurang mengenali suaranya
Astaga, sombong banget lo
Bukan sombong, nomer lo ga ke save. Lagian ini gue lagi dijalan jadi ga bisa....
Ini Felicia potong wanita itu sebelum gue menyelesaikan omongan.
Raisa" gue berpura-pura ga mendengar.
Felicia. F-E-L-I-C-I-A jawab Felicia dengan nada kesal sambil mengeja namanya.
Hahaha, iya gue denger Fel. Ada apaan nelpon"
Lo lagi dimana" Ga ngantor ya"
Enggak. Lagi ada urusan tadi. Tapi udah kelar sih.
Meet up yuk Gus. Gue lagi di daerah selatan nih
Selatan mana nya" Ya nanti gue whatsappin lokasi gue. Bisa ga lo nya"
Bisa apaan" Ketemuan" Bisa aja sih.
Yaudah, gue send location di whatsapp ya..


Karma Will Always Find Its Way Karya Karkuser di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Eh tunggu Fel. Gue sih bisa, tapi lagi ga mau ketemu dulu. Ucap gue memotong sebelum Felicia menutup telponnya.
Kenapa" Felicia bertanya dengan suara pelan.
Fel, kita udah sepakat buat jaga jarak. Gue ga mau kita kejebak sama perasaan kita lagi kaya kemarin-kemarin. Lo ga usah ngehubungin gue, biar nanti gue yang cari lo jawab gue juga dengan suara pelan.
Felicia menutup teleponnya. Gue menghela napas panjang dan menyimpan kembali handphone gue, kemudian melajukan motor gue ke arah kantor Lisa untuk menjemputnya karna sudah hampir jam pulang kantor.
Sepanjang jalan, gue malah asik melamun. Entah terbawa angin dari mana tiba-ba pagi ini gue melihat Liana, kemudian saat menuju sore justru Felicia kembali masuk ke sela-sela hari gue. Gue yakin, apa yang gue lakukan sudah tepat. Gue bisa aja tetep menemui Felicia, toh Lisa ga akan tau. Gue bukan takut akan ada karma nya lagi, tapi justru gue takut malah semakin terbawa perasaan hingga tenggelam dengan alasan toh Lisa juga udah pernah selingkuh. Gue yakin, sebuah hubungan ga akan berjalan kalo kedua belah pihak saling berbalas kesalahan. Untuk itu, biar kali ini gue yang menahan diri.
--------------- Gue mau lompat cerita lagi. Setelah mendatangi proses interview tempo hari, kemudian negosiasi yang alot mengenai salary dan di awal bulan Maret sudah ditagih mengenai kesiapan untuk segera join. Gue memutuskan hanya akan bisa menerima pekerjaan tersebut di bulan Mei. Gue tau akan sangat sulit mengajukan pengunduran diri ke Ko Hendri.
Setelah disetujui oleh perusahaan yang akan jadi kantor baru gue itu dan menandatangi perjanjian kerja yang akan di mulai pada bulan Mei, gue pun berniat mengajukan resign.
Tentu saja, sesuai dugaan gue. Pengajuan surat resign gue berkali-kali ditolak Ko Hendri. Gue bisa aja mengikuti saran Lisa untuk langsung keluar begitu saja. Tapi itu bukan cara kekeluargaan seperti yang selama ini Ko Hendri contohkan. Gue pun memilih berbicara empat mata di ruangannya.
Akhir April besok gue udah ga disini ya Ko ucap gue sambil menyeruput kopi panas diruangan Ko Hendri.
Enak aja, pengajuan resign lu orang kan udah gue balikin saut Ko Hendri sambil mengepulkan asap rokoknya melalui jendela.
Yailah Ko, lo kagak ngertiin gue banget gue memasang tampang memelas.
Kagak ngertiin apa sih Bags" Lu orang udah banyak belajar disini, sekarang udah pinter malah mau keluar. Kesel gue jadinya
Yaa namanya hidup mah emang gitu Ko. Kita harus terus nyari yang lebih baik kan"
Ko Hendri ga menjawab. Dia membuang pandangannya ke luar jendela, seperti sedang memikirkan sesuatu.
Emang lu orang udah yakin Bags" tanya Ko Hendri setelah kembali dari lamunannya.
Kalo ga yakin gue ga bakal ngomong langsung kaya gini Ko
Yaudah gini aja, gue minta waktu 2 minggu buar ngeliat load kerjaan kedepannya bakal kaya gimana. Sebagian kerjaan-kerjaan lu bakal gue alihkan ke staff lain. Setelah 2 minggu baru gue kasih kepastian bakal tanda tanganin surat resign lu orang apa kagak ucap Ko Hendri dengan wajah serius.
Lo atur aja lah Ko. Tapi yang pasti gue masih ada waktu sampe akhir bulan April disini, awal Mei gue udah mulai kerja disana.
Oh yaudah masih lama itu mah. Lu orang ajarin staff lain ya kerjaan-kerjaan lu
Gue menjawab dengan anggukan kecil dan tersenyum. Sekarang gue bisa lebih tenang karna keputusan gue untuk pindah kerja sudah disetujui oleh Ko Hendri.
Gue menghabiskan hari-hari terakhir dengan bekerja lebih santai, sambil mengajari staff lain mengenai pekerjaan yang akan gue wariskan. Sampai di akhir bulan April, gue mengadakan kumpul-kumpul kecil-kecilan dengan Heri, Ko Hendri, dan Rendi, sekedar makan-makan sebagai perpisahaan, sebelum memulai masuk ke lingkungan baru di tempat bekerja yang baru.
New Place Senin pertama di Bulan Mei 2015, gue sudah berada disebuah ruang HRD kantor baru gue. Menunggu jatah antrian foto untuk pembuatan ID card bersama beberapa karyawan baru lainnya.
Setelah selesai, gue langsung diantarkan ke ruangan divisi tempat gue bekerja, dikenalkan oleh atasan gue langsung, Mba Airin. Gue sempat berbicang beberapa hal dengannya kemudian diperkenalkan ke team divisi gue, yang kesemua nya cewek, akan gue kenalkan satu persatu.
Pertama gue mulai dari Mba Airin, atasan langsung gue. Mungkin dia seperti posisi nya Ko Hendri di kantor lama, Cuma disini nama posisinya hanya Team Head. Mba Airin, dia ga mau dipanggil dengan sebutan Ibu, karna jarak usianya hanya 3 tahun diatas gue. Sudah menikah, dan mempunyai seorang anak berusia 3 tahun. Tinggi nya sekitar sepundak gue, putih bersih, memiliki gingsul seperti Lisa, tapi dipermanis dengan lesung pipit yang muncul saat sedang tersenyum. Seorang yang sangat enerjik dan drama queen, tapi seimbang dengan kecantikan nya yang menggoda.
Mba Novi, seorang staff senior disini. Juga sudah menikah dan seumuran dengan Mba Airin, dan juga sudah punya anak berusia 1 tahun. Orangnya ramah dan baik. Ga ragu mengajarkan gue dalam mengerjakan pekerjaan yang baru gue pegang. Dia sosok pengganti Heri buat gue, teman gue bercerita dan bertukar pendapat.
Ana, Gadis chinese, cantik, Kulit putih bersih benar-benar tanpa cela. Memiliki porsi tubuh yang tinggi semapai, tapi mungkin hanya setinggi dagu gue, sedikit lebih tinggi dari Mba Airin. Sekilas gue mengenal dia sebagai seorang yang pendiam, dan hanya menyahut ketika ditanya. Tapi dia orang yang sangat amat murah senyum. Bahkan ketika marah pun, senyum manis nya tidak luntur dari wajah yang memiliki pipi chubby itu. Usianya terpaut dua tahun di bawah gue.
Gue berempat bekerja dalam sebuah team untuk mensupport semua kebutuhan operasional di cabang-abang yang tersebar di seluruh Indonesia. Ga kebayang deh gimana load pekerjaan yang akan gue jalani. Tapi tentu saja, bekerja bersama tiga orang wanita cantik di dalam sebuah team seperti ini rasanya akan sulit menemukan titik jenuhnya.
Gue menjalani hari pertama dengan belajar mengenai sistem yang digunakan, serta berusaha memahami alur pekerjaan. Hari itu gue benar-benar sibuk, bahkan gue sangat sedikit waktu untuk berkirim pesan whatsapp dengan Lisa, hanya pada jam istirahat makan siang saja. Itupun gue makan siang sendiri, ga mungkin lah gue kemana-mana ngikutin para perempuan itu.
Sekitar jam 5 sore, saat arus pekerjaan mulai mereda, gue meminta izin untuk sholat. Sebuah rutinitas baru yang gue jalani disini. Gue suka dengan tempat yang memang disediakan untuk beribadah disini, karna dapat menikmati sejenak pemandangan jalanan ibu kota dari ketinggian, sambil menikmati matahari yang mulai memerah menuju senja.
Gue kembali ke meja kerja sekitar hampir jam setengah enam sore, kemudian membereskan kembali meja kerja gue untuk bersiap pulang, mengikuti apa yang dilakukan Ana dan Mba Novi. Posisi duduk gue berhadapan dengan meja besar milik Mba Airin, kemudian Mba Novi disebelah kanan gue, dan Ana disebelah kiri gue. Kebayang kan gimana deg-deg-an nya duduk diapit 3 orang wanita cantik" Tentu saja gue masih merasa canggung dengan kondisi ini, meskipun Mba Novi terlihat berusaha bersikap bersahabat dengan mengajak ngobrol gue sambil tetap mengerjakan pekerjaannya.
Sekitar hampir jam 6 sore, gue udah mengantri didepan lift yang akan mengantar gue ke basement tempat gue memarkirkan motor. Sebuah kondisi baru lagi buat gue, dimana harus berebut lift setiap pagi dan sore. Ga jarang gue seringkali mengalah saat harus bersaingan berebut tempat dengan wanita. Yang malah justru membuat gue semakin lama untuk turun ke basement.
Gue mengeluarkan motor dari basement kemudian menepikan motor di halaman luar gedung kantor gue, karna melihat masih banyak penjual makanan berderet disana. Gue menuju sebuah gerobak kecil yang menjual kopi, kemudian memesan sebuah kopi mocca dan memilih tempat duduk di emperan jalan sambil menyulut sebatang rokok. Mata gue ga berhenti menyapu setiap wajah yang lewat, wajah asing ditempat yang baru saja gue masuki. Ga jarang juga mata gue terpaku pada beberapa sosok wanita cantik yang kebetulan melintas, kemudian mengucap syukur karna bisa mendapat pemandangan yang jauh lebih menyenangkan saat bekerja disini.
Kopi Bro. Ucap seorang lelaki sambil mengangkat gelas plastik berisi kopi hitam kearah gue. Gue menjawab dengan anggukan dan tersenyum sambil menunjuk gelas plastik yang artinya gue juga sedang menikmati kopi.
Lo anak operasional support ya Bang" tanya lelaki itu sambil menenteng gelas plastiknya dan duduk mendekat disamping gue.
Iya, Panggil gue Bagus aja, ga usah pake Bang jawab gue sambil menjulurkan tangan.
Gue Radit. Gue di divisi operasional area, ruangan didepan divisi lo. Jawabnya sambil menyambut tangan gue.
Kami pun menikmati kopi sambil mengobrol-ngobrol saling mengenal. Lumayan, gue dapet temen ngopi baru yang bisa gue ajak ngobrol seru sambil menunggu kemacetan reda. Gue juga sempat mengabari Lisa bahwa gue sudah selesai bekerja tapi masih menikmati kopi dulu, dan menyampaikan akan langsung pulang ke rumah tanpa mampir ke kos nya.
Sebuah tempat kerja baru, lingkungan baru, suasana baru, dan teman-teman baru. Gue berharap, semoga saja gue bisa menikmati waktu yang lama disini sambil mempelajari hal-hal baru disini.
Dunia Kerja Dengan Perempuan
Berada dalam sebuah team kerja yang isinya perempuan semua emang harus lebih banyak mengelus dada. Selain karna gemas sendiri melihat tingkah mereka, tentu saja kadang bete sendiri dimana cewek seringkali mengomentari hal-hal pribadi kita. Mulai dari cara berpakaian atau potongan rambut, gaya hidup gue yang perokok, atau sekedar mengomentari setiap postingan yang gue unggah ke media sosial.
Gue memang seringkali ga menanggapi penilaian-penilaian atau komentar mereka tentang apa aja yang gue lakuin, tapi kalo udah masuk ke ranah media sosial, tentu saja Lisa akan terlibat di dalamnya. Kadang Lisa ikut membalas komentar dari temanteman gue, yang ujung-ujungnya jadi gue yang diomongin pas di kantor.
Ya memang begitu lah Lisa, sering menanggapi teman-teman gue yang komentar di media sosial gue. Dan sebenernya juga gue baca saat Lisa membalas komentar tersebut karna gue memang setiap pulang kerja hampir selalu mampir dulu ke kos nya, ga peduli semalam apapun gue pulang, gue pasti sempatkan untuk mampir sekedar membeli makanan dan makan bareng Lisa di kos nya.
Gus, itu Lisa siapa sih" Bawel banget ngebalesin komen kita tanya Mba Airin setengah kesal saat gue baru aja menyalakan komputer di suatu pagi.
Cewek gue. Ya biarin aja sih Mba. Lagian dari sebelom gue masuk sini juga dia sering balesan komen sama temen gue kok. Jawab gue tanpa menoleh ke Mba Airin
Ya tapi gue ga suka lah, dia balesnya nyolot banget gitu pas si Ana komen semalem. Jadi ada perang enci-enci tuh di akun lo. Jawab Mba Airin sambil tertawa.
Gue hanya menanggapi dengan senyum kecil kemudian melangkah meninggalkan meja kerja menuju pantry untuk membuat kopi.
Setelah membuat segelas kopi dan kembali ke meja gue, gue lihat ada sepotong kue brownies diatas meja kerja gue.
Ini dari siapa" tanya gue sambil menoleh ke Mba Novi. Mba Novi hanya merespon dengan menunjuk ke arah Ana dengan ujung bibirnya.
Na, makasih yak ucap gue sambil menoleh ke Ana dan memakan kue tersebut.
Enak ga" tanya Ana dengan nada dan ekspresi antusias.
Biasa aja sih, emang lo bikin sendiri" tanya Gue dengan mulut penuh kue.
Yaah, biasa aja ya" Iya itu gue lagi belajar bikin sendiri ucap Ana kini dengan nada memelas.
Ih, enak kok. Biasa aja dari mana" saut Mba Novi sambil mencubit perut gue. Gue meringis kesakitan tapi Ana kembali fokus ke layar komputernya dengan wajah kecewa.
Lu ya, ga bisa banget nyenengin orang. Tinggal makan aja juga bisik Mba Nisa sambil memasang mata melotot ke gue.
Ya emang nyenengin orang harus bohong" Lagian kalo emang enak pasti gue bilang enak. Tapi ini emang biasa aja
Terserah. Sambar Mba Novi sambil kembali ke layar komputernya.
Dan sejak saat itu, gue lebih memilih ga menerima sumbangan cemilan dalam bentuk apapun atau dari siapapun. Gue lebih memilih meminta Lisa menyiapkan cemilan buat gue bawa sendiri ke kantor, tentu saja didampingi dengan susu kaleng. Gapapa deh, daripada gue harus dipaksa bohong cuma buat suatu hal kecil doang.
Gus, ini gue bikin martabak mie. Ambil dong. Ucap Ana di pagi lain sambil menawarkan gue makanan buatannya yang dibawa dengan tupperware.
Ntar aja Na, gue masih kenyang jawab gue tanpa menoleh.
Biarin dah, daripada nanti ditanya lagi gimana rasanya. Iya kalo enak, kalo biasa aja atau malah rasanya kurang enak, gimana"
Setiap siang, gue sekarang ada Radit yang menemani gue makan siang. Ternyata Radit ini adalah tipe orang yang keras saat bekerja. Keras dalam artian, dia bakal mempertahankan sikap dan pendiriannya jika dia benar, dan ga ragu mengatakan secara langsung ke orang yang dia nilai salah. Hal ini tentu saja bukan sikap yang bersahabat dalam dunia kerja. Tapi buat gue, ga masalah kalo emang gue ditegur karna ada kesalahan dalam bekerja, toh yang ditegur adalah cara kerja gue, bukan pribadi gue. Tapi pemikiran gue itu bertolak belakang dengan tiga perempuan didalam team gue. Alhasil, Radit adalah sosok orang yang paling dibenci oleh mereka.
Lo ngapain sih Gus main sama orang begitu" tanya Mba Airin ketika melihat gue kembali ke meja kerja setelah selesai makan siang sama Radit.
Orang begitu" Siapa"
Itu adek-adekan lo. Si Radit.
Lah emang apa salahnya"
Dia tuh orangnya sok tau, kita disini ga ada yang suka sama dia.
Gue juga ga suka, dia cowok soalnya. Kalo cewek mungkin gue suka jawab gue ngasal sambil kembali fokus ke pekerjaan gue.
Suatu sore di jam pulang kerja, gue masih membereskan beberapa dokumen di meja kerja gue, sementara Mba Novi dan Mba Airin sudah pulang duluan karna dijemput suami mereka masing-masing, hanya tersisa Ana disebelah kiri gue dengan meja kerja yang sudah rapih dan layar komputer sudah mati. Tapi dia masih sibuk dengan handphonenya, seperti menunggu seseorang yang akan menjemputnya.
Gue duluan ya Na. Lo ga balik" sapa gue sambil berdiri dari kursi gue.
Ini ga dapet G*jek dari tadi jawab Ana dengan wajah manyun.
Lah, Gue kirain nunggu orang buat ngejemput lo
Iya emang, nunggu dijemput G*jek.
Emang berapa sih biasanya kalo naik G*jek" tanya Gue sambil duduk kembali di kursi dan mendekatkannya ke meja Ana.
Kalo balik ke kos jam segini biasanya mah 15ribu.
Oh, ada jam jam tertentu gitu tarifnya"
Iya, emang lo ga pernah" tanya Ana sambil melihat gue dengan wajah bingung.
Belom pernah sih, gue kan kemana-mana bawa motor. Eh, lo mau gue anter" Gue coba menawarkan.
Bayarnya berapa" 15ribu juga" Ana bertanya balik tapi dengan nada meledek.
Ga usah bayar, kenalin aku ke Papa kamu aja. Ayok balik. Jawab gue ngasal sambil berdiri dan berjalan meninggalkan meja kerja yang kemudian disusul Ana sambil berlari kecil dan senyum yang mengembang.
Tentu saja, gue ga lupa menyiapkan Alibi mengirim whatsapp ke Lisa, menginfokan bahwa gue ga akan mampir ke kos nya lagi karna mau langsung pulang. Toh, Cuma nganter orang doang kan ga masuk kategori selingkuh. Pikir gue dalam hati.
Mengenal Ana #1 Ternyata kos Ana hanya berjarak sekitar 10 menit dari kantor, itu juga karna kejebak macet diperempatan jalan yang lampu merah nya lama banget. Mungkin, kalau ditempuh dengan berjalan kaki hanya memakan waktu 15-20 menit.
Gue pikir sebelumnya bahwa Ana tinggal dengan orang tua nya, tapi ternyata dia kos sendiri, perantauan sendirian dari Bangka Belitung.
Gue mampir ke kos Ana yang bisa dibilang cukup luas, ada teras kecil persis didepan kamarnya, dengan dua buah kursi kayu dan meja kayu kecil. Gue memilih tempat disana untuk duduk kemudian menyulut sebatang rokok.
Mau minum apaan Gus" Tanya Ana dari depan pintunya.
Ga usah Na, gue bawa botol minum kok.
Oh yaudah, Gue mandi dulu ya sebentar. Ucap Ana yang kemudian gue balas dengan anggukan kecil.
Ana masuk ke kamarnya dan sedikit merapatkan pintunya. Gue mengecek beberapa notifikasi di handphone sambil sesekali berbalas whatsapp dengan Lisa.
Sekitar setengah jam berikutnya, Ana sudah keluar dari kamarnya kemudian duduk di bangku kayu disamping gue sambil menyandarkan badannya dan menyilangkan kaki nya.
Gue lagi pesen pizza Gus, jangan balik dulu ya ucap Ana sambil memainkan rambut nya yang setengah basah. Harum sampho sangat tercium dari rambutnya.
Kami mengobrol banyak malam itu, ternyata Ana tipe orang yang sangat seru diajak ngobrol. Dan memang dasarnya gue ga pernah atau mungkin ga biasa ngobrol lama sama cewek, ga tau kenapa gue malah jadi tertarik sama Ana. Gue merasa, Ana adalah sosok nyata dari gabungan Felicia dengan Lisa. Dari wajah dan fisiknya, ga beda jauh lah sama Lisa, mungkin karna sama-sama chinese, Yaa walaupun masih lebih cantik Lisa menurut gue. Sedangkan dari kepribadian dan cara bicara nya, mirip sekali dengan Felicia, apalagi gestur tubuhnya saat dia berbicara, benar-benar sukses bikin gue gemas ingin mencubit pipi nya yang chubby.
Kami menikmati seloyang pizza ukuran sedang berdua didepan teras kecil kamar kos Ana, tentu saja masih saling mengobrol banyak hal. Dia banyak bercerita tentang dirinya. Gue jadi tau ternyata dia sudah punya pacar yang sudah berjalan hampir 4 tahun lamanya. Namun, sudah sekitar 2 tahun ini pacarnya bekerja di sebuah perusahaan ternama di Malaysia.
Ana seorang penganut Budha, sedangkan Pacarnya Katholik. Tapi sepertinya itu bukan masalah besar bagi mereka karna kedua keluarga mereka tidak mempermasalahkan perbedaan itu.
Tapi Na, kalo chinese gitu pengennya dapet pasangan yang chinese juga ya" tanya gue ke Ana ditengah obrolan saat Ana menanyakan tentang hubungan gue dengan Lisa.
Enggak tau deh. Keluarga gue sih ga begitu pengaruh. Gue pernah punya pacar non chinese kok, tapi seagama. Dan waktu itu keluarga gue ga masalah. Jawab Ana sambil menggigit pizza yang ia potong kecil-kecil.
Ya iya, biar beda ras nya tapi seagama mungkin masih gampang kali ya" Lah gue sama cewek gue apa kabar" Beda dua-dua nya.
Ya dari keluarga cewek lo gimana" Dari keluarga lo gimana"
Keluarga gue mah biasa aja sih, Cuma kalo keluarga dia gatau dah. Gue cuma pernah ngobrol dari telepon doang sama nyokapnya.
Tapi nyokapnya tau latar belakang lo, maksudnya tau lo non chinese dan seorang muslim"
Tau sih, dan tanggapan nyokapnya juga biasa aja
Ya kalo gitu ga masalah dong"
Tapi gue nya sih yang masih ngerasa ada yang ngeganjel gitu Na ucap Gue sambil menyandarkan badan dan membuang pandangan ke pagar kos Ana.
Lo jangan terlalu fokus ke soal perbedaan kalian. Kadang, udah sama-sama yakin buat berjuang malah lupa ternyata masalah perasaan lah inti dari suatu hubungan itu ucap Ana sambil menatap gue.
Masalah perasaan" Maksudnya" Gue menoleh ke Ana dan memasang wajah bingung.
Gini. Oke kalian beda dalam banyak hal. Tapi bukannya manusia itu bisa saling cinta karna berbeda ya" Dan masalah sebenernya bukan perbedaan itu, tapi perasaan kalian. Bener ga kalian saling sayang, saling siap perjuangin satu sama lain, saling jaga kepercayaan, saling jujur, saling menjaga perasaan. Itu inti yang harus kalian bangun, bukan malah fokus sama perbedaan aja jawab Ana panjang lebar sambil duduk menyamping menghadap gue.
Gue hanya terdiam menatap Ana. Gue baru sadar, jelas saja Ana lebih mengerti tentang hal ini walaupun umurnya lebih muda dari gue. Karna dia udah lebih dulu menjalin hubungan dengan perbedaan keyakinan. Tapi masih tetap bertahan walaupun harus sangat jarang buat saling bertemu, karna dia dan pasangannya sudah membangun hal-hal yang dia sebutkan tadi. Mereka ga fokus ke masalah perbedaan itu tapi fokus dengan apa yang mereka rasakan. Itu lah apa yang ga terjadi antara gue dan Lisa.
Lisa memang pernah bilang, kalo soal perbedaan keyakinan, dia akan ikut gue. Asal gue bisa memperjuangkan dia menghadapi keluarganya. Kemungkinan terburuk menurut Lisa, dia akan dipaksa pulang ke Surabaya dan ga akan bisa keluar dari rumah. Dan kalo sampe sejauh itu, Lisa menyerahkan sepenuhnya dengan perjuangan apa yang akan gue lakuin. Tapi, justru gue yang ragu. Apa iya gue bisa membimbing Lisa nanti" Apa bisa gue memperjuangkan Lisa dihadapan keluarga nya" Atau, apa gue tega merebut Lisa dari seorang Ibu yang udah berjuang mati-atian untuk membesarkan Lisa sendirian"
Kalo gue ya Gus. Gue malah sebenernya kalo mau pindah keyakinan, gue ga mau ikut keyakinan cowok gue. Ucap Ana membuyarkan lamunan gue.
Maksudnya" Katanya lo ga masalah kalo ikut keyakinan dia" tanya gue lagi dengan wajah bingung.
Kapan gue bilang gitu" Gue bilang ga masalah sama perbedaan gue sama dia. Tapi sebenernya, gue ga mau kalo harus ikut keyakinan dia. Gue malah tertarik buat belajar tentang Islam. Ucap Ana dengan wajah yang masih tersenyum namun nada bicara nya terdengar ragu.
Kok gitu" Emang bisa ya kita milih-milih mau pindah ke agama apa" tanya gue masih dengan nada bingung.
Lah, lo gimana sih. Lo nanya sendiri malah jawab sendiri. Hahaha jawab Ana sambil tertawa dengan matanya yang menipis sambil menutup mulutnya dengan telapak tangannya.
Maksudnya apa sih" Kok gue ga ngerti ya" Kenapa lo malah ketawa lagi. Gue malah semakin kebingungan dengan ekspresi Ana.
Gus. Kita ga bisa milih mau terlahir dalam keluarga yang menganut keyakinan apa, kan" Dan saat udah dewasa, gue merasa kayanya ada keyakinan lain yang membuat gue ingin mempelajarinya lebih dalam. Dan gue ga bisa milih, ternyata ada perasaan yang menuntun gue buat masuk ke Islam daripada ikut keyakinan Katholik nya cowok gue Jawab Ana sambil memangku dagu nya dengan tangan yang disandarkan ke pegangan kursi.
Ooh. Gue ngerti. Tapi kalo menurut gue, lo ngerasa kaya gitu karna disekiling lo terlalu banyak orang-orang muslim aja. Lo sering ngeliat orang sholat, puasa, makanya jadi lo ngerasa penasaran dan pengen mempelajarinya jawab gue santai sambil mengeluarkan rokok dari bungkusnya.
Sok tau lo. Kata siapa" Dari kecil justru gue lebih sering ketemu sama orang-orang Katholik. Bahkan gue juga pernah ikut nyanyi di gereja. Kalo menurut lo rasa penasaran gue muncul karna kebawa arus sekitar, lo sok tau banget namanya. Jawab Ana nyolot sambil memasang wajah manyun.
Tapi itu tergantung kemana Tuhan bakal nuntun gue. Seandainya emang gue jodoh sama cowok gue, ya gue akan ikut keyakinan dia lanjut Ana sambil berdiri dari duduknya dan masuk ke kamar kos nya.
Gue geleng-geleng kepala sambil tersenyum sendirian. Kayanya emang ada yang salah dalam diri gue. Ko Hendri yang dulu sempat ngomongin masalah keyakinannya buat masuk Islam malah gue berusaha bikin dia ragu, Lisa juga selalu gue buat ragu setiap kali dia bilang mau ikut gue, sekarang Ana sampe nyolot karna ga terima dengan penilaian gue tentang keyakinannya.
Entahlah, kalo memang Tuhan bisa menuntun seseorang menuju apa yang Dia pilih, berarti apa yang gue lakukan juga sesuai dengan tuntunan Tuhan, dengan membuat ragu orang yang mencari sebuah keyakinan.
Ana kembali dari kamar nya dengan membawa dua dua gelas kecil dan sebotol air dingin. Kemudian meletakkannya diatas meja lalu kembali duduk menyamping menghadap gue.
Tapi bisa aja kan, Tuhan ternyata udah menulis di buku takdir, bahwa gue akan ketemu cowok yang baru gue kenal belum sebulan, terus gue malah semakin yakin buat menemukan jalan gue sama cowok itu" tanya Ana sambil memasang senyumnya menatap Gue.
Everything is Under Control
Tapi bisa aja kan, Tuhan ternyata udah menulis di buku takdir, bahwa gue akan ketemu cowok yang baru gue kenal belum sebulan, terus gue malah semakin yakin buat menemukan jalan gue sama cowok itu" tanya Ana sambil memasang senyumnya menatap Gue.
Gue menatap Ana sambil tersenyum dan berusaha berpikir positif bahwa ini bisa saja hanya sebuah candaan. Dan lagipula, kenapa harus dengan Ana kalo emang gue mau membawa' orang ikut dengan gue, toh jauh-jauh hari Lisa sudah menyatakan bersedia.
Bisa jadi sih Na. Cinta kan bisa jadi apa aja ucap gue membalas omongan Ana sambil cengengesan.
Ana membuang pandangannya dan ga lagi menatap gue, tapi masih dengan senyumnya yang mengembang. Gue memperhatikan dari samping sambil berpikir, gue ga mau lagi kejebak dengan perasaan yang ujung-ujungnya hanya akan merepotkan gue sendiri kedepannya nanti.
Sekitar jam 9 malam, gue pamit pulang dan segera menuju rumah. Ga banyak yang gue pikirkan saat itu, selain omongan Ana mengenai fokus pemikiran suatu hubungan. Gue akan mencoba nya dengan Lisa, menepis segala pemikiran tentang perbedaan kami, dan fokus dengan apa yang akan kami perjuangkan kedepannya nanti.
Tapi, sejak malam itu, gue dan Ana jadi agak kaku di kantor. Sebenernya sih Ana yang jadi kaku. Ada aja hal yang bikin gue tertawa sendiri melihat tingkahnya. Gue jadi semakin suka menggoda nya.
Na, lo kalo ke kantor pake make up ya" tanya gue di suatu sore saat sedang santai karna kerjaan sudah selesai.
Enggak. Gue mah paling pake handbody doang. Kenapa emang" jawab Ana tanpa menoleh kearah gue dan tetap fokus ke layar komputernya.
Ah, ga percaya gue. Kayanya tiap hari gue liat lo makin cantik aja ucap gue sambil ga melepas pandangan menatap Ana.
Yang di gombalin masih tetap enggan menoleh, tapi terlihat jelas rona merah di pipi nya yang chubby. Dan tentu saja omongan itu ga lepas dari tanggapan Mba Airin dan Mba Novi.
Heh, dilarang gombal-gombalan di jam kerja. Sambar Mba Airin dengan wajah cemberut yang dibuat-buat.
Lo apaan sih Gus, jangan ngerayu-rayu anak orang kalo cuma buat becanda. Ucap Mba Novi sambil mencubit lengan gue.
Lah" Apa salahnya sih memuji kecantikan orang" Lagipula emang Ana cantik kok gue menjawab dengan cengesan.
Ana yang sepertinya semakin gerah' dengan pujian gue malah meninggalkan meja kerja nya entah kemana.
Tapi nanti anak orang bisa jadi malah berharap lho. Lo mah gitu sih, sama aja kaya kebanyakan cowok. Suka banget ngasih harapan palsu lanjut Mba Novi setengah berbisik sambil menatap Ana yang berjalan menjauh.
Gapapa tapi Gus. Gue dukung kalo lo sama Ana, bawa deh dia ikut lo. Jangan Lisa, kasian nanti Lisa dosa sambar Mba Airin.
Mba Airin memang sekeyakinan dengan Lisa. Gue sampe hapal senandung puji-pujian yang biasa dia nyanyikan saat sambil bekerja, dengan nada puji-pujian yang sama dengan yang sering disenandungkan oleh Lisa.
Lagian siapa juga yang mau bawa-bawa anak orang" Bawa diri sendiri aja gue repot jawab gue menutup obrolan yang gue khawatir malah makin melebar.
Dan gue lupa sejak kapan, tapi akhir-akhir ini Lisa jadi lebih sering menjemput gue di kantor. Jam kerja nya yang selesai lebih awal membuat gue ga lagi bisa menjemput dia. Gue sebenernya lebih memilih ketemu di kos aja yang posisinya lebih ditengah2 antara kantor gue dengan kantor Lisa. Tapi ya entah kenapa Lisa jadi lebih sering ke kantor gue.
Ci. Kapan-kapan gue kenalin ke cewek gue mau ya" Biar cewek gue ada temen yang bisa akrab gitu tawar Radit ketika gue mengenalkan Lisa saat menikmati kopi didepan kantor sepulang kerja.
Lah" Emang lo punya pacar" tanya Lisa dengan nada meledek.
Ya punya lah Ci, gini-gini kan gue juga ga jelek-jelek amat kali Saut Radit dengan wajah memelas.
Yaudah, boleh yuk kapan-kapan kita jalan-jalan kemana kek gitu berempatan ucap Lisa dengan nada antusias.
Boleh. Ayok nanti gue yang nyupirin. Pokoknya urusan kendaraan biar gue yang handle. Nanti lo bedua gue jemput aja dirumah Bagus. Terus kita jalan kemana kek gitu, Bandung lah minimal. Jawab Radit ga kalah antusias.
Gue hanya tersenyum mendengar obrolan mereka. Dan sepertinya, sosok Radit yang dibenci oleh team gue ga pernah muncul didepan gue maupun Lisa. Memang sesekali sikap antagonis nya keluar. Tapi dia orang yang sangat terbuka dengan saran atau teguran yang gue sampaikan.
Pernah suatu waktu, saat Gue, Lisa, Radit, dan Melani pacarnya Radit sedang menghabiskan akhir pekan ke Pantai Tanjung Lesung, gue mendengar Radit sedikit membentak pacarnya waktu di mobil dalam perjalanan. Waktu itu gue dan Lisa diem aja ga menanggapi. Tapi saat gue dengan Radit lagi ngobrol berdua, gue ga ragu menegurnya.
Dit, lain kali. Se-kesel apapun sama kelakuan cewek lo, jangan pernah bentak dia di depan orang lain ucap Gue sambil duduk diatas kap mobilnya sambil menikmati sebatang rokok dan pemandangan senja Pantai Tanjung Lesung.
Ya abis dia gitu Gus. Ngeselin banget. Kalo didiemin aja ya makin ngoceh2 aja. Udah tau gue lagi nyetir, berisik banget minta ini itu. Jawab Radit dengan nada nyolot.
Iyain aja dulu emang ga bisa" Pantes Melani kata lo agak susah bergaul sama temanteman lo. Itu pasti karna dia malu, atau minder karna sering lo bentak-bentak didepan teman-teman lo.
Radit ga menjawab, hanya menatap gue dengan wajah memelas dan merasa bersalah.
Gue bukan siapa-apa Dit, ga punya hak buat nasehatin lo. Anggap aja ini sekedar saran. Lo liat dah gue sama Lisa, mana ada berantem atau bentak-bentakan depan lo" Walaupun kadang dia dateng ke kantor nyamper gue itu keadaanya gue sama dia lagi ada masalah. Tapi ga keliatan kan" Dibelakang lo nanti saat di kos nya, baru deh dia ngamuk atau gue yang marah-marah. Lanjut gue sambil memegang pundak Radit.
Iya Gus. Kayanya gue ngeliat kalian pacaran malah gue ngerasa iri. Lisa cantik, tapi juga sabar. Dan memperlakukan lo dengan enak banget. Lo nya juga biar ga gantengganteng amat, tapi kalem saat berhadapan dengan Lisa. Ngeliat kalian kaya saling memanjakan gitu bikin gue malah ngerasa ga tepat ketemu cewek kaya Melani. Ucap Radit dengan nada pelan.
Gue menghembuskan asap rokok tinggi-tinggi ke udara, membiarkan asap itu berbaur dan menghilang ditelan angin pantai yang sangat sejuk. Kemudian turun dari kap mobil Radit.
Tuhan ga selalu ngasih yang kita mau Dit, tapi Dia pasti ngasih yang kita butuh. Mungkin memang cewek kaya Melani yang sebenernya lo butuh, Cuma lo belom menyadarinya aja. Jawab gue sambil menepuk-nepuk pundak Radit dan mengajaknya mencari Lisa dan Melani yang sedang asik mengeksplorasi sisi pantai lain.
Dari semua hal yang pernah terjadi antara gue dan Lisa, gue tetap bersyukur dia masih ada menemani disamping gue. Terlepas dari kecurangan yang pernah dia lakukan, Lisa benar-benar sosok perempuan yang gue butuhkan. Menjalani hubungan dengan Lisa, sangat bertolak belakang ketika gue menjalani hubungan dengan Liana.
Selama 7 tahun dengan Liana, gue selalu jadi tokoh utama yang mengambil alih semua keputusan dalam hubungan gue dengan Liana. Dan Liana, adalah sosok Putri Solo' dalam hubungan kami. Dia selalu bilang Iya atas apa yang gue ucapkan. Ga pernah sekalipun dia menentang pendapat gue, sekalipun dia tau gue salah. Dia adalah sosok seorang yang sangat penyayang dan selalu mengalah, tapi hal itu malah membuat gue semakin kelewat batas, lupa diri, dan gagal dalam menjaga kepercayaan yang dia serahkan sepenuhnya ke gue.
Sedangkan dengan Lisa, gue berusaha sebaik mungkin dalam bersikap. Lisa adalah tokoh utama nya. Dia yang membuat segala peraturan. Gue harus minum susu kaleng, minum air putih, mengurangi rokok, menjaga jam tidur gue, dan banyak peraturanperaturan lain yang dia terapkan, tapi justru membuat hidup gue menjadi lebih baik, setidaknya gue merasa lebih sehat. Lisa ga pernah menelan mentah-mentah apa pendapat gue. Dia selalu tanpa ragu mempertanyakannya. Dan ketika ada hal salah yang gue lakukan, Lisa pasti langsung menegur gue. Hal itu yang membuat gue lebih berhati-ati dalam bersikap.
Sebuah hubungan, yang di mata teman-teman dekat gue terlihat dewasa. Walaupun ga sepenuhnya seperti itu. Gue adalah sosok laki-laki manja didepan Lisa. Bukan karna gue yang ga mau berusaha, tapi Lisa yang lebih suka melakukan semuanya sendiri sesuai dengan apa yang dia mau, dan gue hanya diminta pendapat di akhir saja sebelum dia mengucapkan Everything is under control .
Gue yakin, setidaknya kalo nanti gue dan Lisa harus benar-benar pisah, gue udah ngelakuin yang terbaik. Dan gue juga udah mendapatkan yang terbaik dari apa yang Lisa lakuin buat gue. Hal ini selau jadi jawaban ketika Ryan atau teman-teman gue yang lain ngajak main' nakal-nakalan sama perempuan lain.
Yaelah, lo kaya orang baru pertama pacaran aja Men. Apa salahnya sih sesekali cari hiburan lain" ucap Ryan dengan nada meledek ketika mengajak gue jalan mencari hiburan dengan wanita lain.
Apa yang mau gue cari di cewek lain Yan" Kecantikan" Udah ada di Lisa. Kenyamanan" Ada juga di Lisa. Kalo semua hal bisa gue dapetin di Lisa, kenapa gue harus nyari yang lain" Makanya, lo cari pacar jangan yang jelek, jadi gampang bosen ngeliat tampangnya ucap gue meledek Ryan yang kemudian di balas dengan menggerutu olehnya.
Gue selalu percaya, percaya banget malah, apapun yang kita tanam pasti akan kita petik nanti nya. Lisa bukan sosok orang yang bisa selalu tau apa kenakalan gue dibelakang dia. Bisa aja gue menghianati dia. Tapi gue sendiri yang bingung, apa yang mau gue cari di cewek lain kalo semuanya udah ada di Lisa"
Sampai suatu sore, akhir bulan Juli 2015 setelah cuti bersama lebaran. Ana mengucapkan selamat lebaran ke gue, kemudian menatap gue sambil berkata pelan, Tahun depan apa dua tahun lagi Gus kita bisa ngerayain lebaran berdua" Mengenal Ana #2
Gue menatap wajah Ana yang selalu terpasang senyum. Gue ga menjawab pertanyaannya, karna kali ini gue yakin, ini bukan bercanda. Ada perasaan yang terlibat di balik kata-kata Ana. Dan akan sangat bodoh kalau gue menjawab atau menanggapinya dengan candaan.
Ntar malem gue main ke kos lo lagi dong Na, boleh gak" tanya gue sambil berusaha mengalihkan obrolan.
Tapi mau anter gue ke daerah Fatmawati dulu ga Gus" Mau kerumah temen gue sebentar Ucap Ana bertanya Balik.
Oke, atur aja. Gue sempat mendatangi meja kerja Radit untuk membicarakan skenario bahwa gue akan bilang ke Lisa malam ini akan lembur. Jadi gue meminta Radit mendukung rencana gue supaya alibi nya makin kuat.
Ah gila lo Gus. Lo mau ketempat Ana" Ngapain" Jangan macem-macem lah, kasian Lisa. Protes Radit saat gue menjabarkan skenario nya.
Udah, lo diem aja. Pokoknya tugas lo cuma mengiyakan kalo Lisa ngehubungin lo buat mastiin gue bener lembur di kantor apa gak. Selebihnya urusan gue. Lagian gue juga kagak macem-macem. Jawab gue sambil meninggalkan meja kerja Radit.
Sore nya, tepat jam selesai kerja Gue dan Ana menuju daerah Jalan Fatmawati, rumah temennya Ana. Gue hanya menunggu sebentar diluar pagar saat Ana masuk kerumah temannya. Tidak lama, gue dan Ana sudah berjalan kembali menuju kos nya. Tapi sempat mampir di warung makan pinggir jalan untuk mengisi perut, kemudian kembali melanjutkan perjalanan.
Sepanjang jalan di motor, Ana selalu melingkarkan tangannya memeluk gue dari belakang. Gue sempet protes dengan sikapnya, tapi percuma aja, dia tetep melakulan hal yang sama.
Bukannya gue ga suka. Tapi ada rasa khawatir aja kalo berpapasan di jalan dengan orang yang kami kenal.
Sampai di kos Ana, gue duduk di kursi kayu teras kecil depan kamar Ana seperti biasa, sedangkan Ana pamit mandi. Selesai mandi, dia membawakan dua cangkir teh panas dan meletakkan nya diatas meja.
Ini Oolong Tea Gus, pernah coba ga" Enak, bikin badan seger gitu. Ucap Ana sambil menghirup aroma teh dari cangkir yang dia pegang.
Ah, masa sih" Ini teh apa extrajoss" tanya gue meledek sambil menyerupu teh yang masih mengebul.
Setelah mengenal Ana, kini gue tau Ana bukan tipe orang yang pemalu atau pendiam. Justru sebaliknya, dia orang yang sangat expresif. Tawa nya benar-benar lepas, senyumnya sangat manis. Dan gue semakin terbiasa dengan gestur tubuhnya yang menggemaskan ketika dia sedang berbicara.
Na, dulu sebelom sama Lisa, gue pernah deket sama cewek. Gaya nya mirip banget sama lo ucap Gue sambil menatap wajah Ana.
Maksudnya mirip" Ya, cara ngomongnya, bawel nya, rame nya. Mirip deh sama Lo. Gue sempet ngerasa lo itu gabungan antara Lisa dan dia.
Siapa namanya" Ada foto nya ga" tanya Ana dengan antusias.
Ga ada, sejak sama Lisa. Gue ga ada deket lagi sama dia. Semua kontak dan foto dia yang pernah gue simpen diapus Lisa.
Ya wajar sih, Lisa kan pacar lo. Tapi cewek itu emang pernah suka sama lo"
Gue ga menjawab. Hanya menatap Ana dan menikmati setiap inchi kecantikan wajahnya. Cukup lama gue membiarkan hening menyelinap diantara kami.
Lo tau kan Gus, gue suka sama lo" ucap Ana memecahkan keheningan. Gue hanya merespon dengan anggukan kecil.
Kalo lo gimana" lanjut Ana kini bertanya balik.
Gue" Gue sayang sama Lisa Na. cukup itu aja yang gue rasain saat ini
Ana masih tersenyum menatap gue. Sama sekali ga ada perubahan ekspresi di wajah nya.
Lo juga udah punya cowok Na. yang ngejaga lo selama ini. Jangan pernah bukain pintu' buat orang lain selama masih ada yang menjaga lo. Lanjut gue masih sambil menatap Ana.
Kalo gue suatu hari harus pisah sama cowok gue, lo bakal lepas Lisa dan berusaha mengejar gue ga"
Enggak. Emang gue siapa mau ninggalin orang lain gitu aja"
Masih ga ada perubahan ekspresi apapun di wajah Ana. Entah apa yang dia pikirkan, tapi yang pasti senyumnya tidak mengenal kata pudar.
Tapi mungkin lo orang pertama yang akan gue cari kalo nanti gue harus pisah sama Lisa. Lanjut gue.
Gue ga bisa memungkiri, bahwa gue terlalu mudah mengagumi wanita lain. Dan tentu saja, gue baru sadar. Selama ini gue emang ga pernah berteman dekat dengan perempuan. Ga ada sosok perempuan dalam hidup gue dan cuma masuk dalam friend zone. Dan biasanya, ketika gue suka sama seorang perempuan, gue pasti akan mengejarnya, walaupun gue udah punya pasangan.
Lo pernah ditinggalin sama orang yang lo sayang ya Gus" tanya Ana seperti dengan nada penasaran.
Sontak gue kaget dan bingung dengan pertanyaan Ana. Entah kenapa dia bisa bertanya seperti itu dan entah dari mana datangnya tiba-ba bayangan Liana menyelinap didalam pikiran gue. Sebuah bayangan yang sudah lama gue biarkan mengendap dalam cerita masa lalu, kini kembali muncul karna pertanyaan Ana.
Enggak. Emang kenapa" gue menjawab berbohong dan bertanya balik ke Ana.
Gapapa. Maaf ya kalo gue sok tau. Tapi sikap lo, cara lo berbicara, cara lo menyangkal, cara lo mempertahankan apa yang lo miliki sekarang, kelihatan kaya orang yang pernah kehilangan seseorang yang sangat di sayang.
Gue kali ini menundukkan pandangan gue. Ga tau kenapa gue ga berani menatap Ana. Dia seakan bisa menebak apa yang gue simpan jauh di dasar hati gue yang paling gelap. Dia seakan bisa membaca apa yang sekian lama gue sembunyikan.
Gus. Seandainya memang karna lo pernah kehilangan orang yang lo sayang makanya lo jadi sangat mempertahankan apa yang lo miliki sekarang, seengaknya lo harus kasih tau ke Lisa seberapa besar rasa sayang lo ke dia. Lanjut Ana.
Ga bisa Na. gue terlalu naif buat mengakui gue membutuhkan dia lebih dari dia membutuhkan gue. Gue selalu menyangkal semua perasaan yang oranga lain sampaikan ke gue, karna gue ga butuh orang lain, gue cuma perlu Lisa tetep ada disamping gue. Ucap gue tanpa menatap Ana.
Sesayang itu lo sama dia"
Bukan, ini bukan tentang seberapa besar rasa sayang gue. Tapi sekuat apa gue bakal bertahan. Gue ga peduli apapun hasilnya, gue cuma mau menikmati prosesnya.
Ana masih menatap gue dengan tersenyum, sambil duduk menyamping dan memangku dagu nya dengan kedua tangannya.
Menurut gue, kita ga usah terlalu deket Na. ucap gue pelan sambil kembali menatap Ana.
Kenapa" Lo takut kalo malah nanti jadi ada rasa ke gue"
Enggak, gue justru takut semakin terbiasa dengan rasa itu.
Ana ga langsung menjawab. Dia merubah posisi duduknya jadi menghadap kedepan dan melemparkan pandangannya ke langit.
Gus, jangan pernah ngebanting pintu yang mungkin akan lo lewatin lagi suatu hari nanti. Ucap Ana tanpa menatap gue, hanya menyandarkan punggungnya dan melipat tangan di dada nya.
Tapi oke gapapa kalo emang itu mau lo. Lanjut Ana sambil kembali menatap gue dan kini tanpa senyuman terpasang diwajahnya.
Gue mengangguk kecil, sambil meyakinkan diri bahwa apa yang gue lakuin udah tepat, sangat tepat. Bukan hal yang salah kalo gue menyukai perempuan lain meskipun gue udah punya pasangan. Tapi akan salah kalo gue membiarkan rasa itu terlalu larut hingga membuat gue berada dalam dua jalan yang berbeda dalam satu waktu. Ini bukan soal kesetiaan. Ini soal bertahan dengan pilihan yang udah gue ambil saat gue memulai semuanya dengan Lisa.
Senandung Menuju Senja Sabtu sore pertama di bulan Agustus 2015, gue dan Lisa sedang menghabiskan waktu berdua di salah satu sudut bukit kebun teh daerah puncak, Bogor. Sebenernya waktu itu kami jalan tanpa tujuan aja. Tapi karna dapet spot yang enak buat menikmati senja di kawasan Bogor, kami memutuskan buat menepi sejenak, sembari menikmati segelas susu bandrek panas.
Lisa menyandarkan kepalanya ke gue, sesekali menarik napas dalam menikmati udara senja, menatap mentari yang kemerahan di batas langit. Kami duduk beralaskan tanah yang sedikit ditumbuhi rerumputan. Gue meluruskan kaki dan menyanggah badan dengan kedua tangan, ditemani dengan senandung kecil Lisa mengantarkan kami menuju senja.
Apa yang bakal terjadi ya sayang, kalo nanti aku harus tanpa kamu" tanya Lisa setengah berbisik sambil tetap memandang matahari senja.
Gue ga menjawab. Enggan rasa nya mengusir keheningan yang sudah terlanjur membuat nyaman saat menikmati suasana ini. Ga ada keraguan dalam hati gue atas apa yang gue rasakan ke Lisa. Gue akan memperjuangkannya, menjaga nya, selama yang gue bisa.
Hembusan angin sore perlahan menerpa wajah kami, melayangkan bagian rambut Lisa yang menutupi wajahnya. Gue melihat senyum terpasang di bibir tipis Lisa. Sebuah senyum yang mengisyaratkan rasa damai dan tenang, setenang senja yang perlahan tergantikan malam.
Gue memutuskan untuk mengajak Lisa turun dari bukit kebun teh sebelum gelap semakin jatuh. Lisa sempat mengajak untuk mencari penginapan dan menghabiskan waktu semalam disini, tapi gue menolak. Gue lebih suka berkendara tanpa tujuan sambil menikmati senandung Lisa dari jok belakang. Dan merasakan hangatnya pelukan Lisa yang melingkarkan tangannya mendekap erat mengusir dingin yang kian merapat.
Sepanjang perjalanan, gue dan Lisa ga berbicara apapun. Lisa hanya bersenandung tanpa henti, memberikan arti tersendiri dalam setiap perjalanan gue bersamanya.
Sayang, sayang. Berhenti. Ucap Lisa sambil menepuk pundak gue.
Gue menepikan motor kemudian menoleh ke Lisa berniat mempertanyakan maksudnya meminta gue berhenti.
Makan disitu yuk" ucap Lisa sambil menunjuk sebuah tempat makan yang cukup besar diseberang jalan.
Emang itu jual makanan apa" tanya gue dengan wajah bingung sambil memperhatikan tulisan di papan besar dekat tempat makan tersebut.
Gatau, tapi kaya nya enak suasana nya
Gue langsung menjalankan kembali motor gue dan mencari putaran jalan menuju tempat makan yang Lisa maksud, kemudian menepikan motor mengikuti arahan juru parkir yang berada di halaman depan tempat makan tersebut.
Lisa langsung masuk dan memilih tempat duduk, seperti biasa, selalu dia yang memesankan menu. Dia sudah cukup tau makanan apa yang gue suka atau ga gue suka, jadi gue ga perlu menyebutkan mau milih makanan apa, atau bahkan ga perlu sekedar melihat-lihat menu yang ditawarkan.
Lisa memilih tempat duduk yang memang cukup nyaman, duduk lesehan diatas kursi bambu besar dengan spot yang menghadap ke pemandangan kerlap kerlip lampu jalanan dari kejauhan. Kami menikmati makan malam dengan suasana yang sangat tenang, dengan menu makanan yang rasa nya sebenarnya biasa aja.
Temen aku, ada yang nawarin kerjaan di Bali, menurut kamu gimana sayang" tanya Lisa setelah selesai menghabiskan makanannya.
Gue ga langsung menjawab, gue menyulut sebatang rokok dulu kemudian menyandarkan badan ke tembok dan menghembuskan asap rokok tinggi-tinggi keudara.
Ga dalam waktu dekat ini sih, dan belom pasti juga. Aku mau ditemuin sama ownernya dulu lanjut Lisa sambil menggeser posisi duduknya mendekat ke samping gue.
Kerja apaan disana" tanya gue tanpa menatap Lisa.
Jadi, temen aku yang di Surabaya ditawarin pegang hotel gitu di Bali, tapi dia ga mau pindah kesana. Sementara ownernya mau nya orang yang bisa stay disana. Fasilitas kamar dan lain-lain semuanya disediain sih ucap Lisa menerangkan.
Emang kamu mau pindah kesana"
Ya belom tau, makanya aku minta pendapat kamu jawab Lisa kali ini sambil melingkarkan tangannya di lengan gue dan menyandarkan kepalanya ke bahu gue.
Salary nya lebih baik ga" Terus semua yang akan kamu dapet disana lebih baik ga dari disini"
Kalo salary dan fasilitasnya sih kata temenku emang lebih gede dari disini. Cuma ya itu, mesti ketemu ownernya dulu. Karna kan nanti disana aku akan jadi orang kepercayaannya dia, jadi dia mesti lihat dulu, ngerasa cocok ga sama aku.
Kapan mau ketemu nya"
Ya aku nanya pendapat kamu dulu. Orangnya sih mau ke Jakarta sekitar bulan oktober nanti, tapi kalo menurut kamu ga usah ya aku bilang dari sekarang aku ga mau terima tawarannya.
Gapapa, temuin aja dulu orangnya. Toh siapa tau rejeki kamu nanti memang disana. Jawab gue sambil mematikan puntung rokok di asbak, yang disambut anggukan pelan oleh Lisa.
Gue kemudian mengajak Lisa kembali melanjutkan perjalanan pulang. Diperjalanan, Lisa ga bersenandung, hanya memeluk gue erat sambil menyanggahkan dagu nya di pundak gue. Sementara gue melewati jalanan yang sedikit padat dengan rasa sepi.
Lis, nyanyi lagi dong. Ucap gue sambil sedikit menoleh kearah wajah Lisa.
Lisa kemudian kembali bersenandung pelan, sambil mengembangkan senyumnya. Seketika gue merasa kembali suasana damai dan tenang. Suara Lisa yang sayupsayup tersapu angin tetap terdengar jelas di telinga gue.
Gue suka cara dia bersenandung. Bukan soal bagus atau tidaknya suara Lisa, tapi soal kedamaian dan ketenangan yang turut serta menyelimuti hati gue setiap kali mendengar senandung Lisa dalam perjalanan. Dan gue bukan hanya sekedar suka dengan senandungnya, tapi semakin hari gue semakin kecanduan dengan senandungnya.
Lisa #12 'Cause you're a sky, 'cause you're a sky full of stars I'm gonna give you my heart
'Cause you're a sky, 'cause you're a sky full of stars 'Cause you light up the path


Karma Will Always Find Its Way Karya Karkuser di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

I don't care, go on and tear me apart I don't care if you do, ooh
'Cause in a sky, 'cause in a sky full of stars I think I saw you
'Cause you're a sky, 'cause you're a sky full of stars I wanna die in your arms
'Cause you get lighter the more it gets dark I'm gonna give you my heart
I don't care, go on and tear me apart I don't care if you do, ooh
'Cause in a sky, 'cause in a sky full of stars I think I see you
I think I see you 'Cause you're a sky, you're a sky full of stars Such a heavenly view & .
Gue duduk di bangku depan teras kecil kamar kos Lisa sambil sesekali merenggangkan badan yang terasa pegal setelah melewati perjalanan yang lumayan panjang. Sementara Lisa merebahkan tubuhnya diatas kasur didalam kamarnya sambil streaming film drama korea yang kini makin menjadi kebiasaannya.
Sayang, sini rebahan didalem. Emang ga pegel apa" ucap Lisa dari dalam kamarnya yang hanya gue respon dengan anggukan kecil tanpa mengubah posisi tetap duduk di teras luar.
Sejak pertama menjalani semuanya dengan Lisa, ini artinya sudah dua tahun lebih gue berhubungan dengan Lisa. Gue mengaguminya seutuhnya. Dibalik semua kekurangan dan kelebihannya, kejujuran dan kebohongannya, kebaikan serta kesalahannya, Lisa adalah hamparan langit yang penuh bintang. Dan gue dibawah sini memuja keindahannya.
Gue ga peduli dengan segala resiko yang akan gue temui didepan nanti bersama Lisa. Dan gue juga berusaha mengabaikan cahaya2 lain yang datang menerangi hari-hari gue. Gue cuma mau Lisa, dan gue cuma butuh dia, apapun resiko nya, seberat apapun jalan gue dengan Lisa nanti kedepannya, atau sesakit apapun rasa yang akan tersisa di hati gue nanti, selama Lisa ada disamping gue, semuanya terbayar lunas.
---- Akhir Agustus 2015, Lisa mengatakan ke gue bahwa owner hotel di Bali yang menawarkan pekerjaan padanya berencana datang ke Jakarta, Lisa menanyakan kembali soal pendapat gue tentang penawaran pekerjaan tersebut.
Apa ga usah aja ya" tanya Lisa ke gue dengan nada ragu.
Ga usah kenapa" Kan itu tawaran yang bagus buat karir kamu.
Aku ga bisa kayanya. Aku ga ada pengalaman pegang operasional hotel.
Yailah, belom dijalanin udah bilang ga bisa. Pasti bisa. Kamu selalu bisa cepet menguasai hal baru kok. Ucap gue sambil mengusap rambutnya.
Tapi nanti jadi jauh sama kamu, aku ga mau. Selama disini, kalo aku ada kesusahan sama kerjaan-kerjaan aku, kamu selalu bantu aku. Kalo disana gimana" tanya Lisa lagi namun kini sambil memasang wajah cemberut.
Ya kan aku bisa tetep bantu dari sini.
Lisa ga menjawab, dia menatap gue penuh keraguan. Ada rasa berat di hati nya, gue tau itu. Karna gue merasakan hal yang sama. Akan sulit bagi gue membiasakan melewati hari-hari tanpa Lisa, tanpa senandungnya, tanpa senyumnya, tanpa ocehan bawel nya. Tapi ini adalah kesempatan yang baik untuk Lisa, gue ga mau dia melewati itu dengan alasan karna ga mau jauh dari gue.
Sayang, aku mau tetep disini. Ucap Lisa dengan nada lirih.
Gue menghela napas dalam, kemudian memegang erat tangannya. Wajahnya semakin dalam menyiratkan kesedihan.
Lis, hidup ini isinya selalu tentang pilihan. Kalo suatu hari nanti, aku dihadapkan dengan pilihan seperti ini, aku akan ambil pilihan itu. Aku ga mau ada orang lain yang menghalangi aku untuk terus berkembang, makanya aku juga gamau jadi batu sandungan yang menghalangi orang lain untuk berkembang ucap gue dengan yakin, berusaha meyakinkan Lisa.
Tapi aku ga mau jauh dari kamu. Aku akan kesana kalo kamu juga kesana ucap Lisa sambil menumpahkan beberapa tetes air mata.
Ga semua hal harus terjadi sesuai dengan apa yang kita mau, sayang. Dan ketika ada hal yang bersimpangan seperti ini, kita harus cari solusi terbaiknya. Aku bisa beberapa bulan sekali kesana, atau sebaliknya, kamu yang kesini. Mending kamu temuin dulu ownernya, siapa tau ada hal-hal menarik lain yang dia tawarkan, siapa nama ownernya" Terus kapan rencana dia mau kesini"
Bu Vanny. Dia bilang awal September besok.
Lah" Katanya Oktober"
Dia ada urusan mendadak kesini awal September besok. Dan dia maunya juga awal tahun depan aku udah siap kesana kalo emang aku terima tawaran itu.
Yaudah, temuin aja dulu. Gimana kedepannya nanti kita bahas belakangan. Ucap gue sambil mengusap punggung Lisa. Dia memeluk gue sambil menumpahkan air mata nya.
Entah apakah Lisa merasakan sama seperti yang gue rasakan. Namun, berat rasanya menahan Lisa untuk tetap disini. Karna ada kesempatan besar yang menantinya didepan sana. Dia ga boleh melewati itu hanya karna ga mau jauh dari gue.
Gue tau, ini akan berat. Gue bukan orang yang berpengalaman dalam menjalin hubungan jarak jauh. Bahkan, gue pesimis bisa menjalani nya. Tapi gue yakin Lisa pun merasakan hal yang sama. Itulah alasan kenapa dia menangis. Meskipun belum pasti, tapi ketika ada kemungkinan untuk terpisah jarak, adalah hal yang sangat berat untuk diabaikan begitu saja.
Sampai pada sabtu pertama di bulan September 2015. Gue masih lelap dalam tidur gue, menikmati indahnya bangun siang di akhir pekan. Handphone gue berderig menandakan sebuah panggilan. Setengah sadar gue menjawab telepon tersebut.
Kenapa angchimo" tanya gue dengan suara serak khas bangun tidur.
Lho, dia belum bangun" Ayo bangun sayang udah siang ini.
Aku masih ngantuk. Ada apa"
Enggak. Ini aku udah ketemu sama Bu Vanny.
Bu Vanny siapa" tanya gue masih dengan nada malas dan mata terpejam.
Bu Vanny, owner hotel di Bali itu. Dia bilang setuju banget kalo aku yang pegang hotelnya disana. Dia udah jelasin semua benefit yang akan aku dapetin nanti disana. Dia minta kepastian dari aku kapan bisa segera gabung ke sana. Tapi, semua balik lagi ke kamu. Jawab Lisa panjang lebar.
Balik ke aku" Kok aku" tanya gue heran dan setengah kaget sambil bangkit dari tidur dan duduk di pinggir kasur.
Kalo kamu ga setuju aku kesana, aku ga akan kesana.
Gue terdiam mendengar omongan Lisa. Kenapa harus dengan persetujuan gue" Dia bisa ambil keputusan sendiri, dan apapun itu gue akan mendukungnya.
Kamu kerumah aja sini, nanti kita omongin lagi. Ucap gue yang kemudian di iyakan oleh Lisa.
Gue mematikan telepon dan duduk dengan kepala tertunduk di pinggir kasur. Entah apa yang akan terjadi nanti kedepannya. Siapkah gue menjalani hubungan jarak jauh dengan Lisa" Atau haruskah gue menahannya tetap disini"
Pilihan Lisa #1 Kalian percaya dengan dunia pararel" Gue percaya. Lepas dari semua dogma dan ajaran mengenai keyakinan beragama semua manusia, gue percaya ada dunia lain yang berjalan beriringan dengan dunia kita disini.
Di dunia yang terbentuk dari setiap persimpangan pilihan dalam hidup kita itu, dalam salah satunya mungkin gue masih menjalani hubungan dengan Liana. Dan di dunia lainnya, mungkin gue sedang menikmati sunset di Broome, bagian barat Australia bersama Felicia, seperti yang dia posting di media sosialnya.
Sementara di dunia ini, gue duduk di teras depan rumah menikmati secangkir kopi panas, menunggu kedatangan Lisa, sambil membuka media sosial dan diam-diam mengagumi beberapa hasil foto yang di posting oleh Felicia beberapa waktu belakangan ini.
Iya, Felicia kini tinggal di Australia. Sebuah langkah besar yang berhasil ia capai dalam kurun waktu dua tahun ini. Sesuatu yang dua tahun lalu hanya sebatas impian untuk tinggal dan bekerja di luar negeri, kini bertransformasi menjadi realita.
Bukan penyesalan yang menggantung dalam hati gue. Tapi kebanggaan, pernah menjadi orang yang Felicia titipkan untuk mendengar mimpi-mimpinya. Dan gue turut berbahagia ketika dia berhasil mencapai semua itu.
Hayo, ngapain dia senyum-senyum sendiri ucap Lisa memecah lamunan gue sambil membuka pintu pagar kemudian berjalan mendekat ke teras.
Gue dengan segera menutup aplikasi media sosial halaman timeline Felicia dan meletakkan handphone diatas meja kecil disamping gue. Kemudian berdiri dan menyambut Lisa dengan mencium keningnya.
Kamu udah makan belom sayang" tanya Lisa sambil masuk kedalam rumah gue.
Gue mengambil handphone kemudian berjalan masuk kedalam rumah mengikuti Lisa.
Belom. Kamu udah emang" tanya gue sambil kemudian berjalan menuju dapur.
Belom lah. Aku ga sempet tadi. Ada makanan ga"
Ga tau. Coba sini liat didalem
Lisa berjalan mendatangi gue yang lebih dulu tiba di dapur. Gue membuka lemari es berniat membuat segelas minuman untuk Lisa sementara dia membuka-buka laci penyimpanan makanan gue di dapur.
Ga ada makanan. Aku bikinin spaghetti aja mau" tanya Lisa sambil menenteng sebungkus bahan spaghetti yang dia temukan dari laci penyimpan makanan tadi.
Lah dari mana itu" Ya waktu itu kan aku beli banyak. Ini masih ada. Mau dibikin ga"
Yaudah bikin aja. Itu lepas dulu dong sweater sama tas nya
Gue berjalan keluar dari dapur dan menuju ke kamar, menggantung sweater dan tas Lisa di sudut tembok kemudian merebahkan badan diatas kasur sambil menyalakan tv, sementara Lisa sibuk dengan spaghetti nya di dapur.
Setengah jam kemudian, Lisa masuk ke kamar membawa sepiring penuh isi spaghetti dan segelas besar es sirup yang dia campur dengan susu cair. Kemudian duduk di pinggir kasur menghadap tv. Gue bangkit dari posisi tiduran dan menggeser duduk mendekat disamping Lisa.
Cuci tangan dulu ucap Lisa sambil menepuk tangan gue yang hampir mencapai garpu diatas piring.
Yailah sayang, aku ga abis ngapa-apain. ini tangan aku masih bersih.
Enggak, cuci tangan dulu. Dibiasain buat hidup bersih susah banget sih ucap Lisa sambil mengangkat piringnya dan menjauhkan dari gapaian gue.
Ah, yaudah aku males makan kalo gitu. Jawab gue sambil kembali merebahkan tubuh diatas kasur.
Yaudah.. Lisa menikmati spaghetti buatannya sendiri sambil menggunakan gaya yang dibuatbuat seakan meledek gue, memberikan kesan sangat menikmati makanan tersebut, hingga sukses membuat gue berliur.
Aku mau dong. Dia masak sendiri, makan sendiri. Ucap gue sambil kembali duduk mendekat dan berusaha mengambil garpu ditangan Lisa.
Lisa kembali menjauhkan garpu dan piring itu serta menghalangi gue yang berusaha menggapainya.
Ih apaan sih Lis. Pelit banget. Ucap gue dengan memasang wajah cemberut.
Makanya disuruh cuci tangan jangan males. Nihh& ucap Lisa sambil menyodorkan garpu yang dilingkari spaghetti sambil menyuapkannya ke mulut gue.
Gue menerima suapan Lisa dan menikmati spaghetti buatannya. Biasa aja sebenernya rasanya, emang Lisa nya aja yang bergaya menikmati makanan buatannya itu di lebih2kan seakan makanan terenak yang pernah ada, hanya untuk membuat gue tertarik.
Selesai menikmati spaghetti buatan Lisa. Gue duduk di teras luar menyulut sebatang rokok. Lisa yang membawa piring kotor ke dapur kemudian berjalan ke teras menghampiri gue dan duduk disebelah gue.
Kemana kita hari ini" tanya Lisa dengan senyum mengembang.
Ah aku males kemana-mana angchimo. Mau tidur seharian.
Yaah dia mah kebiasaan. Ucap Lisa sambil mengubah senyumnya menjadi wajah cemberut.
Terus, gimana tadi ketemu sama Bu Vanny" Orangnya kaya gimana"
Ya yang tadi aku bilang, dia malah antusias banget setelah ketemu aku. Orangnya sih kayanya cuma setahun diatas aku. Tapi udah nikah, jadi aku panggilnya Cece. Cantik juga orangnya.
Hah" Cece Cece cantik gitu" Mana, ada fotonya gak" tanya gue sambil menegakkan badan dan menyamping menghadap Lisa.
Yee, biasa aja dong ucap Lisa sambil mencubit pipi gue kemudian membuka layar handphonenya.
Ini sih foto whatsappnya, ga begitu jelas. Lanjut Lisa sambil menunjukkan layar handphone nya.
Gue mengambil handphone Lisa kemudian memperjelas pandangan gue. Sekilas terlihat seperti seumuran dengan Lisa. Dan memang cantik.
Orangnya baik, sayang. Udah gitu tadi pas aku mau pulang aja sampe cium-cium pipiku lanjut Lisa.
Lah" Sampe segitunya" Ada kelainan kali itu orang
Enggak lah. Yaa maksudnya kaya berasa akrab aja sama dia. Padahal baru juga ketemu, dia langsung antusias gitu.
Gue mengangguk pelan berkali-kali mendengar ucapan Lisa. Ya memang mungkin karna pembawaan Lisa juga yang bersahabat dan seumuran, makanya mereka berdua merasa cepat akrab. Tambah lagi mereka sama-sama dari Surabaya.
Menurut kamu gimana" tanya Lisa kali ini dengan nada pelan sambil menatap wajah gue.
Gue menatap wajah Lisa yang menyiratkan rasa pasrah, siap menerima apapun pendapat yang akan gue sampaikan. Dan sepertinya gue akan terdengar bodoh kalau malah bertanya balik pendapat Lisa.
Aku sih ga masalah angchimo. Ambil aja kesempatan ini. Nanti nya kan akan membuat kehidupan kamu jadi lebih baik. Jawab gue dengan nada hati-ati.
Kamu tau kan aku ga mau jauh dari kamu" tanya Lisa masih dengan suara pelan, namun gumpalan air kini menggenangi sudut mata nya yang mulai berkaca.
Iya, aku tau kok. Dan aku juga merasakan hal yang sama. Tapi itu bukan alasan yang tepat untuk melewatkan kesempatan ini. Lagian dari sini ke Bali cuma sejam, ga jauhjauh banget kok.
Terus apa alasan yang menurut kamu lebih tepat buat melewatkan kesempatan ini"
Ga ada. Kamu ga boleh lewatin kesempatan ini.
Kamu ga berat ya jauh dari aku" tanya Lisa kini dengan beberapa air mata mulai menetes perlahan.
Gue sebenernya ga mau melihat Lisa menangis. Gue selalu benci dengan diri gue sendiri setiap kali melihat orang yang gue sayang meneteskan air mata. Tapi, gue bisa apa" Gue harus apa" Menahan Lisa tetap disini dan melewatkan kesempatan untuk meningkatkan taraf hidupnya"
Sayang. Inget lagi alasan kenapa kamu datang kesini, memulai kehidupan kamu di Jakarta sendirian, jauh dari keluarga, jauh dari orang-orang yang kamu kenal. Ucap gue sambil berusaha mengambil tangan Lisa namun dia malah mengelak dan melipat tangannya di dada.
Lisa kini perlahan mulai sesugukan menangis dan menatap kosong ke taman kecil depan teras rumah gue. Gue yakin ini bukan hal yang ingin dia dengar. Dia pasti berpikir gue akan menahannya tetap disini. Tapi gue ga akan pernah melakukan itu, gue ga akan mau jadi batu sandungan bagi orang yang mendapat kesempatan untuk berlari.
Lis. Kamu pilih mana, mau berjalan cepat masing-masing atau berjalan santai bergandengan" dua-dua nya menuju satu tujuan yang sama. Tanya gue ke Lisa.
Sejenak dia menatap gue, kemudian menyapu sisa jejak air mata di pipi nya dengan telapak tangannya.
Apa resiko kedua-dua nya" tanya Lisa.
Gue terseyum menatapnya. Dia pintar, sangat pintar. Dia bertanya terlebih dahulu apa resiko dari dua pilihan yang gue tanyakan, mencoba tidak memutuskan sesuatu tanpa menimbang kemungkinan terburuknya.
Kalo jalan cepat, mungkin salah satu dari kita ada yang akan tertinggal. Kalau berjalan santai, mungkin salah satu dari kita ada yang lebih dulu bertemu dengan titik jenuh. Keduanya sama-sama ada kemungkinan untuk mencapai tujuan atau malah menyerah dengan keadaan. Jawab gue menjelaskan.
Fair enough. Let me think for a seconds. Ucap Lisa sambil kembali menatap kosong ke taman. Gue hanya tersenyum dengan responnya.
Pilihan Lisa #2 Aku lebih milih kita berlari masing-masing. Jawab Lisa singkat setelah selesai mengheningkan cipta, memikirkan pilihan yang akan dia ambil.
Meskipun dengan resiko salah satu akan ada yang tertinggal" tanya gue dan masih memasang senyum mendengar jawaban Lisa
Iya. Aku siap jadi yang tertinggal. Setidaknya, berlari' adalah bentuk perjuangan dan usaha kita untuk hubungan ini jawab Lisa dengan wajah meyakinkan.
Gue masih tersenyum sambil menatap Lisa, dan mengangguk beberapa kali merespon jawabannya.
Kalo kita berjalan santai, memang kita bisa menikmati semua yang terjadi dengan saling berpegangan tangan, tapi.. Lisa menahan ucapannya.
Tapi apa" Gapapa omongin aja ucap gue sambil mengambil tangan Lisa dan menggenggamnya erat.
Tapi aku ga mau Gus, sebuah hubungan harus terbunuh oleh rasa jenuh. Aku ga mau salah satu dari kita harus berpihak pada kata menyerah hanya karna jenuh. Lanjut Lisa sambil menggelengkan kepala beberapa kali dengan wajahnya yang sedih.
Iya sayang. Aku ngerti. Itulah intinya kenapa aku menanyakan pilihan itu ke kamu. Aku ga masalah harus berlari masing-masing, asal tujuan kita sama. Aku akan tetep disini, berjuang untuk hidup aku. Dan kamu disana juga akan berjuang untuk hidup kamu. Kita sama-sama berusaha melawan godaan yang mungkin akan menyelinap ditengah rasa kangen kita buat bertemu. Selama kita bisa melawan itu semua, aku yakin kita akan sampai ke tujuan kita. Jelas gue ke Lisa sambil memegang erat tangannya.
Lisa kini tersenyum menatap gue, namun air mata nya justru kembali tumpah membasahi pipi nya yang halus.
Aku ga tau sayang, apa yang bisa aku lakuin disana tanpa kamu. Tanpa tingkah kamu yang menyemangati aku dengan joget ga jelas saat aku ga semangat. Ucap Lisa lirih.
Aku juga Lis. Aku merasakan hal yang sama. Tapi aku percaya, Tuhan sedang menyiapkan sesuatu yang lebih baik buat kita. But First of all, just let the battle begin. Kita sambut pertarungan kita memperbaiki kehidupan kita masing-masing, sampai kita siap untuk menjalani semua bersama-sama.
Lisa bangkit dari duduknya kemudian duduk di pangkuan gue sambil memeluk gue sangat erat. Ga ada lagi air mata yang menetes di wajahnya. berkali-kali dia menciumi pipi gue kanan dan kiri, kemudian menghentikan pandangan mata nya tepat kearah kedua mata gue.
I thank God for every part of you that s lying inside me, dear. Kita pasti bisa walaupun harus terpisah jarak. Ucap Lisa setengah berbisik, kemudian mencium lembut bibir gue.
Seketika rasa ragu dan cemas tergantikan dengan ketenangan dan kehangatan. Meski jauh didalam lubuk hati ini menyimpan rasa takut, bahwa terbentangnya jarak nanti malah akan membuat salah satu dari kami ada yang terluka.
------------ Sejak hari itu, sejak Lisa menentukan keputusannya. Hari-hari gue dan Lisa disibukkan dengan mengemas barang-barang yang akan dia bawa turut serta ketempat baru nya nanti di Bali.
Disana, dia akan tinggal di salah satu kamar hotel yang memang disediakan khusus untuk ownernya. Namun, karna si pemilik hotel terlalu sibuk dengan semua bisnisnya, Lisa lah yang diberi kepercayaan mengambil alih setiap hal yang berkaitan dengan operasional hotel tersebut. Jadi, Lisa mendapatkan fasilitas yang bisa dibilang cukup mewah.
Selepas pulang kerja, gue dan Lisa disibukkan dengan tumpukan-tumpukan kardus serta beberapa perabotan yang harus di karduskan. Dua buah koper besar sudah terisi penuh oleh pakaian Lisa, sampai gue menggeleng sendiri melihat betapa banyak barangnya.
Kamu kurangin dong kebiasaan belanja nya. Protes gue ke Lisa saat sedang menyusun tas jinjing nya kedalam kardus.
Lho, aku kan udah ga pernah belanja lagi sayang, kamu kan tiap diminta anter ke mall mana pernah mau. Jawab Lisa santai sambil mengema segala jenis sepatu yang dia punya.
Iya sih, akhir-akhir ini Lisa memang udah ga pernah lagi belanja2 atau sekedar mutermuter di mall dengan niat cuci mata tapi malah membeli barang yang dia ga perlu. Tapi tetep aja, tiap hari dia pulang dari kantor nya membawa bungkusan barang yang dia beli dari online shop. Apa bedanya"
Perdebatan kecil sering ga bisa kami hindari setiap kali ada perbedaan cara dalam mengemas barang di dalam kardus. Lisa seringkali merasa superior dan sok paling mengerti bagaimana mengelompokkan dan membungkus barangnya, yang ujung-ujung membuat kami membongkar ulang karna akhirnya dia mengerti pendapat yang gue sampaikan tentang cara mengelompokkan barang.
Aku kan kerja bertahun-tahun berurusan sama barang-barang mulu Lis. Makanya dengerin sih apa yang aku bilang ucap gue saat membongkar ulang kardus yang sudah dibungkus oleh Lisa.
Kalo udah sampe kaya gitu, biasanya Lisa hanya memasang wajah cemberut, dan bekerja dalam diam. Gue pun tepaksa harus menggoda nya dengan rayuan atau membelikan es krim biar moodnya kembali ceria.
Dan setelah semuanya selesai, semua barang telah tebungkus rapih. Gue dan Lisa mencari jasa ekspedisi terpercaya sekaligus termurah untuk segera mengirimkan barangnya.
Aku udah susun nih sayang rencananya. Ucap Lisa sambil melebarkan kalender dinding dihadapan gue.
Mengganasnya Siluman Gila Guling 1 Wiro Sableng 051 Raja Sesat Penyebar Racun Rajawali Emas 9
^