Pencarian

Karma Will Always Find 5

Karma Will Always Find Its Way Karya Karkuser Bagian 5


Pertengahan Desember aku ngajuin resign. Awal Januari, kita minta ekspedisinya ambil barang. Estimasi sampai ditujuan satu minggu. Nah sekitar pertengahan Januari aku udah ga kerja, aku mau pulang ke Surabaya dulu. Awal Februari baru ke Bali. Kamu mau jemput aku ke Surabaya terus baru kita ke Bali atau gimana" lanjut Lisa sambil menunjuk beberapa tanggal di kalender kemudian mengakhirinya dengan menatap gue.
Aku mesti ke Surabaya" gue bertanya singkat.
Ya enggak sih. Cuma kamu mesti temenin aku dulu di Bali nanti beberapa minggu"
Hah" Beberapa minggu" Kerjaan aku apa kabar" tanya gue setengah kaget ke Lisa.
Bukannya udah selesai kontrak kerja kamu di Februari" Emang ada extend lagi beberapa bulan"
Eh, iya sih. Tapi kayanya akan ada extend deh.
Halah. Ga usah. Mau ngapain di extend doang bukan ditawarin kontrak baru. Udah kamu temenin aku aja disana dulu. Ucap Lisa santai sambil kembali menggung kalendernya.
Ya ga bisa gitu angchimo. Aku mending izin aja beberapa hari. Kan setelah itu masih bs tetep kerja. Sama Mba Airin mah gampang kok izin beberapa hari.
Yaudah, Rabu malem kamu pulang kerja langsung ke Bandara. Kita cari jadwal pesawat yang sampe di sana nya barengan aja. Kamu dari Jakarta, aku langsung dari Surabaya. Berart kamu izin di hari Kamis sama Jumat pertama di Februari, sama nanti hari Selasa di minggu depannya kamu pulang malem dari sana, kamu izin tiga hari jadinya.
Lah" Empat hari kerja dong jadinya" Kamis, Jumat, Senin, Selasa..
Hari senin nya tanggal merah sayang, itu libur imlek. Makanya tadi aku kasih liat kalender tuh diperhatiin potong Lisa.
Oh, kalo gitu pas tuh. Kita bisa rayain imlek disana. Aku dapet angpao kan dari kamu"
Kita" Kamu bukan chinese, yang ada aku yang minta angpao dari kamu jawab Lisa menjulurkan lidahnya meledek.
Yee, tapi kan handphone aku chinese. Nih ada tulisan Made in China'. Berarti aku juga boleh merayakan imlek. Jawab gue cengengesan yang kemudian menerima cubitan keras di pipi gue dari Lisa.
Side Story #2 Mei 2016. Ga tau kenapa gue ngerasa gelisah sepanjang malam. Gue udah merebahkan badan dan mencoba memejamkan mata sejak jam 11 malam, tapi pikiran gue rasanya melayang entah kemana. Yang malah membuat gue tetap terjaga sampai suara adzan subuh sayup-sayup terbawa angin masuk melalui jendela kamar yang selalu gue biarkan terbuka.
Gue bangun dan keluar dari kamar sekedar menunaikan kewajiban subuh sekaligus mencoba mendamaikan hati. Kemudian berjalan ke dapur, berniat membuat segelas coklat panas. Gue menikmatinya di kursi bambu depan teras rumah, sambil menyulut rokok dan memasang headset.
Gue menaikkan volume ke tingkat tertinggi saat pemutar musik di handphone gue melantunkan lagu Untuk Perempuan Didalam Pelukan yang dinyanyikan dengan musik khas oleh Payung Teduh.
Sedikit cemas, Banyak rindunya
Pengggalan lirik yang dinyanyikan sukses membuat gue terpaku dalam hening, terdiam dan membisu tanpa tau kepada siapa rasa cemas dan rindu itu gue tujukan.
Gue menghirup napas dalam-dalam, menikmati udara pagi yang masih bersih dari cela polusi. Kemudian meletakkan handphone di meja kecil disamping gue, membiarkan headset tetap terpasang.
Bapak udah ga ada Sebuah pesan masuk melalui whatsapp dengan nama yang sangat gue kenali namun tanpa poto profile terpasang. Liana.
Gue sontak kaget dan mempertajam pandangan gue ke layar handphone yang kini gue pegang dengan tangan gemetar.
Innalillahi wa innalillahi rojiun. Gumam gue dalam hati.
Gue membalas pesan tersebut masih dalam keadaan gagal menguasai diri dari rasa kaget, yang ujung-ujungnya malah membalas dengan kata-kata bodoh.
Aku boleh kerumah kamu"
Tsrh Balasan singkat Liana langsung direspon oleh tubuh gue untuk segera beranjak kedalam rumah, menyambar handuk dan segera mandi.
Seumur-umur, gue ga pernah mandi sepagi ini tanpa air panas. Tapi kali ini, rasa duka dan panik yang bercampur dengan kaget berhasil menyelimuti tubuh gue dari cabikan air dingin ketika gue terburu-buru mandi.
Gue selesai mandi dengan kondisi badan menggigil hebat. Belom tidur semalaman dan mandi dengan air dingin ternyata adalah seburuk-buruknya kondisi pagi untuk badan gue.
Gue bergegas menembus jalanan ibu kota yang sudah dikerubungi kepadatan lalu lintas. Berusaha secepat mungkin untuk tiba di rumah Liana.
Genangan air mata tanpa sadar mulai mengisi sudut mata gue saat bayangan wajah orang tua Liana membekas di pikiran gue selama di perjalanan.
------ Gue tiba dirumah Liana sekitar jam 6 lewat, namun kondisi rumahnya tertutup dan sepi. Gue menepikan motor di halam rumah Liana dan mencoba bertanya pada tetangga sekitar, kemudian mendapat info bahwa Liana sekeluarga masih dirumah sakit, untuk membawa Bapaknya pulang.
Gue berjalan lemas ke luar jalanan dan mengecek handphone, ada beberapa missed call dan pesan chat dari Nita, teman semasa kuliah gue yang juga mengenal Liana cukup baik.
Gue menelpon balik ke Nita dan saling bertukar informasi terakhir yang kami dapat mengenai keadaan Liana. Nita memberitahukan bahwa Liana bilang akan memproses pemakaman Bapaknya di kampung halamannya.
Gue menutup telepon dan ikut membantu tetangga sekitar untuk menyiapkan keperluan penerimaan almarhum di rumahnya. Kemudian duduk terpaku dalam duka di bangku plastik yang gue susun berjejer di halaman rumah Liana.
Sekitar sejam kemudian, sirine Ambulance terdengar dari kejauhan. Gue bangkit berjalan cepat menuju asal suara di depan jalan, dan ikut membawa jenazah masuk ke rumahnya.
Berulang kali gue mendongakkan kepala keatas, berusaha agar air mata tidak tumpah ketika melihat Bapaknya Liana terbaring di hadapan gue. Tidak lama kemudian, pihak keluarga datang dan mulai masuk kedalam rumah.
Gue melihat Liana melintas, dengan kepala yang tertutup kain dan wajah yang sangat basah, serta tangisannya yang benar membuat gue merasa pilu. Gue langsung berdiri ketika melihat Ibu nya Liana melintas, dan memeluknya. Gue gagal menahan air mata ketika sosok Ibu yang sudah sangat lama tidak gue temui itu menumpahkan air mata nya dalam pelukan gue. Seketika tangispun pecah ketika kakak Liana ikut datang dan memeluk gue.
Gue mengikuti langkah keluarga masuk kedalam rumah, kemudian mendapati seorang keponakan Liana yang kini sudah tumbuh besar menabrak gue dan memecahkan tangisnya di pelukan gue. Gue berusaha menguasai diri sambil menghibur keponakannya, kemudian sudut mata gue menangkap bayangan Liana yang terbaring lemah dalam tangisan.
Gue melepas pelukan keponakan Liana ketika dia berhasil meredam tangisnya, kemudian melangkah mendekat ke Liana. Gue mengusap jejak air mata yang membanjiri pipi Liana sepenuhnya, kemudian berkali-kali mengusap rambutnya yang halus.
"Aku ga dateng kesini buat bilang aku turut berduka'. Kamu tau kok, aku dan kita semua yang ada disini merasakan hal yang sama. Ucap gue sambil tetap mengusap rambut Liana dan sesekali menyapu air matanya.
"Bapak ga sempet liat aku jadi sarjana, aku ga sempet ajak Bapak jalan-jalan ucap Liana lirih dengan isak tangis yang semakin menjadi.
Bapak tetep nemenin kamu, tetep jagain kamu, sayang.
Entah darimana kata-kata itu datangnya, mengalir begitu saja keluar dari selah bibir gue yang bergetar berusaha menahan kesedihan melihat tangis Liana.
"Kamu jangan terlalu larut dalam sedih ya. Masih ada Ibu yang harus kamu jaga, harus kamu hibur. Janji ya Li, kamu akan jaga dan bahagiain Ibu dengan semua yang kamu bisa dan kamu punya. Lanjut gue yang disambut anggukan kecil oleh Liana.
Gue mengikuti seluruh proses pengurusan almarhum hari itu, sejak pagi sampai siang ketika ikut sholat pengantar terakhir. Berulang kali gue melihat Liana dan keluarga menumpahkan tangisnya ketika satu per satu kerabat mereka datang, termasuk pihak keluarga dari pacarnya Liana saat ini.
Gue tetap berkomunikasi melalui chat dengan Nita, dia sempat mengingatkan agar gue bisa mengendalikan diri dan perasaan gue, yang sejatinya dia tau bahwa ada luka dan perih dalam diri gue melihat Liana dengan pacarnya.
"Gus, abis ini makan dulu ya ucap Liana memanggil gue saat selesai mengambil wudhu untuk bersiap sholat jenazah.
Aku mah gampang Li, kamu sana makan, ajak Ibu. Jangan sampe ga makan jawab gue kemudian berlalu.
Selesai sholat jenazah, gue keluar dari rumah Liana dan mencari minimart terdekat. Berniat mencari makanan untuk membuat pondasi agar badan tidak drop karna belum terisi apapun selain air mineral dan asap rokok.
Gue duduk dipelataran minimart sambil menikmati sepotong roti dan air mineral, sambil bertanya pada Nita melalui chat, menanyakan alasan apa yang bisa gue gunakan untuk segera pamit, karna kondisi badan gue rasanya semakin melemah.
Dimana" Udah balik"
Sebuah pesan whatsapp dari Liana masuk dan gue bergegas kembali berjalan kearah rumahnya.
Ini didepan, aku kedalem mau sekalian pamit ya" balas gue sambil berjalan cepat kerumah Liana.
Gue masuk kedalam rumah Liana dimana dia duduk berdampingan dengan seorang lelaki berkacamata yang gue kenali sebagai pacarnya.
Gue berjalan setengah membungkuk melewati beberapa anggota keluarganya sambil bertanya ke Liana
Ibu mana" Aku mau pamit.
Didalem kayanya jawab Liana singkat.
Gue masuk kedalam dan menemui sosok Ibu yang sudah sangat lama gue anggap seperti orangtua gue sendiri. Semua orang dirumah ini, rumah Liana, sangat lama gue anggap sebagai keluarga sendiri. Namun entah kenapa gue harus kembali kesini sebagai orang asing.
Bagus sering-sering main kesini ya, kamu udah kaya keluarga disini, jangan lupa sama keluarga disini ucap Ibu Liana dengan sedikit terisak yang didampingi oleh anak pertamanya, kakaknya Liana.
Keponakan Liana pun turut mendekat dan memeluk gue.
Kalo Bagus disini udah kaya keluarga, kenapa ga ada yang pernah kasih kabar ke Bagus saat Bapak sakit" Kenapa sekalinya kasih kabar, Bapak udah ga ada" tanya gue dengan rasa kecewa dan tanpa terasa menumpahkan beberapa tetes air mata, yang diikuti dengan tangis dari kakak Liana dan keponakan Liana, serta Ibunya pun turut menangis dan meraih tubuh gue.
Seketika gue memecahkan tangis dipelukan Ibu Liana. Rasa duka bercampur dengan rasa kecewa menyesakkan rongga pernapasan gue, sehingga membuat gue sulit sekedar menahan air mata.
Setelah berpamitan dengan mereka, gue berjalan kembali ke ruang depan menemui Liana berniat menyalaminya.
Makan dulu ucap Liana dengan gestur tubuh menolak juluran tangan gue yang ingin menyalaminya.
Aku udah makan tadi. Kamu makan aja, Ibu sama yang lainnya ajak makan. Aku masih ada janji jadi ga bisa lama-lama disini jawab gue masih dengan memasang tangan terjulur ke Liana.
Liana akhirnya menyambut tangan gue dan mengucapkan terima kasih atas kedatangan gue. Dan gue kini beralih berhadapan dengan pacarnya.
Gue menjulurkan tangan yang kemudian dia sambut, kami bersalaman dengan gerakan salam seakan dua orang teman. Gue memasang senyum sambil mengucapkan pamit yand dia sambut juga dengan senyuman ucapan terima kasih
Gue keluar rumah Liana, kemudian bersiap diatas motor untuk segera beranjak pulang.
Hari ini, gue merasa kehilangan dua sosok penting dalam hidup gue. Seorang Bapak yang sangat gue hormati layaknya orang tua gue sendiri, dan seorang gadis bernama Liana yang tidak banyak perubahan dalam dirinya, selain cahaya mata yang tidak lagi melihat gue sebagai seorang Bagus yang dulu, yang pernah dan akan selalu mencintainya.
Diperjalanan, raut wajah pacar Liana membayang dalam benak gue. Membiaskan pandangan gue dan memunculkan rasa kesal yang menjalar dalam hati, membuat gue bergumam kesal, Bangke lu...
Side Story #3 Gue keluar kelas dengan rasa kantuk yang semakin menjadi setelah melewati dua jam mendengar ceramah dosen tentang Komunikasi Interpersonal. Gue disambut dengan langit mendung yang sepertinya akan menumpahkan hujan yang dalam beberapa bulan ini tak pernah menyapa.
Gue berjalan menyelusuri koridor yang dipenuhi mahasiswa yang sedang asik bersosialisasi dengan kerumunannya, sambil mengecek handphone dan membaca sms satu per satu. Yang salah satu nya dari Liana, wanita yang gue pacari tiga tahun belakangan ini.
Aiy, aku di deket taman ya.
Gue melewati koridor dan menyapu sekeliling, mencari sosok gadis mungil yang katanya sudah menunggu gue di taman.
Gus. Lo langsung balik" tanya Alfi yang berjalan mendekat ke arah gue, dia temen seangkatan gue sejak pertama masuk kampus ini
Enggak. Eh lo liat Liana ga"
Tadi kayanya di taman sebelah sana, gue ajak kemari dia kagak mau. Ketauan udah mendung gini.
Gue berlari kecil menuju sudut taman yang ditunjuk oleh Alfi untuk segera mendatangi Liana. Gue melihatnya sedang duduk menunduk sambil memainkan handphone nya.
Ke koridor aja yuk aiy. Ucap gue ke Liana saat mendekat.
Liana bangkit dari duduknya dan segera mendatangi gue, kemudian berjalan cepat mengimbangi langkah gue.
Disana aja Gus, bisa sambil ngopi. Ucap Alfi saat melihat gue dan Liana mendekat.
Kami duduk di sudut koridor yang berdekatan dengan kantin kecil, Alfi langsung memesan segelas kopi hitam untuknya dan segelas kopi mocca buat gue.
Liana duduk di lantai tanpa alas disamping gue kemudian membuka tas selempang yang ia gunakan, dan membuka sebuah bungkusan yang berisi kotak makan.
Makan dulu aja aiy, baru ngopi. Ucap Liana sambil membuka tutup tempat makan plastik berwarna biru.
Gue menerima tempat makan tersebut dan segera mencomot irisan sambal goreng kentang, Liana membukakan botol minuman plastik berisi air mineral dan meletakkannya disamping gue.
Ini bukan masakan Ibu lagi kan" ucap gue sambil menjilati sisa bumbu yang menempel di jari dan kemudian mulai menyendok makanan tersebut.
Hehehe tetep dibantu Ibu sih takarannya. Tapi enak ga"
Enak, pedes pula. Aku suka.
Ini bocah enak amat yak. Pacaran dikampus bawa bekel, kagak keluar duit sama sekali lo mah pacaran sambar Alfi yang memasang wajah iri melihat gue makan bekal dari Liana.
Yee, biarin. Emang masih jaman pacaran dan makan di mall" Mending juga masak sendiri dan dibawa buat bekel kuliah. Iya gak aiy" saut gue dengan mulut penuh nasi yang dijawab dengan anggukan antusias Liana.
Liana mengeluarkan sebuah buku dan menyandarkan badannya ke tembok disebelahnya kemudian asik membaca buku tersebut.
Lah, malah belajar. Ini makan dulu. Ucap gue sambil menyodorkan tempat makan ke Liana.
Aku mah udah makan. Lagian aku bawa itu kan emang buat kamu.
Gue melanjutkan makan sementara Liana asik tenggelam dalam buku bacaan di genggamannya, sedangkan Alfi asik mengangguk-angguk sendiri mendengarkan musik melalui headset.
Gue membungkus kembali kotak makan plastik dan meminum air mineral kemudian memasukkan keduanya kembali ke tas Liana.
Gus, kita bikin band yuk" ajak Alfi sambil mencopot headaetnya
Ayok, abis ini ya. Gue ngerokok dulu sebatang
Yee, serius nih gue. Gue udah males Fi. Gue dari SMA udah ngeband, sekarang malah pada bubar sibuk masing-masing.
Ya makanya kita cari personil yang sama kaya kita aja, Cuma sibuk kuliah doang.
Aku boleh mulai ngeband lagi aiy" tanya gue sambil mengarahkan pandangan ke Liana.
Katanya mau jadi pemain futsal" jawab Liana tanpa menatap gue.
Ga deh. Manajemen napas aku berantakan. Kayanya jadi drumer lebih cocok.
Terus kemaren siapa yang menggebu2 banget beli sepatu futsal"
Ya nanti jual aja lagi, buat beli stick drum jawab gue cengengesan yang di respon senyum manis Liana.
Gimana Gus" Gue vocal aja deh. Kita cari personil nih mulai besok tanya Alfi memastikan.
Gimana aiy" Masih mau kan pacaran sama anak band lagi" gue melemparkan kembali pertanyaan ke Liana.
Liana sejenak menatap gue dengan tersenyum, kemudian menutup bukunya dan menggeser duduknya mendekat ke gue.
Kamu udah pernah jadi apa aja sih sebelumnya" Banyak lah ya. Dan aku selalu dukung kan" Aku selalu duduk diantara penonton dan menatap kamu dengan bangga. Asal kamu selalu jadi Bagus yang baik buat aku, aku mah selalu dukung. Ucap Liana dengan senyum terbaiknya sambil mengacak-acak rambut gue.
Hieks, najis dah lo bedua. Saut Alfi mendengar jawaban Liana yang justru malah membuat gue terpaku menatap kecantikan wajah Liana.
Selama ini, selama tiga tahun belakangan ini, kami tumbuh bersama. Ga ada kata putus dengan alasan aku mau fokus belajar buat ujian nasional saat gue dan Liana melewatinya sambil saling menyemangati dan mendoakan.
Meski pernah gue sakiti hatinya, wanita berambut panjang terurai melebihi bahunya itu tidak pernah kehabisan stok maaf untuk gue. Dia selalu memberikannya dengan rasa percaya seakan gue ga mungkin pernah mengulang kesalagan yang sama.
Kami ga pacaran di mall seperti kebanyakan pasangan seusia kami, yang ada malah kami lebih sering menghabiskan waktu dirumah gue ataupun rumah Liana, atau sesekali di kampus. Liana sering main ke kampus gue saat jam kuliahnya selesai lebih dulu. Saat weekend, biasanya dia datang kerumah gue untuk sekedar bertegur sapa dengan orang tua gue. Saking akrabnya, nyokap gue justru lebih sering memperkenalkan Liana sebagai anak bontot nya saat ada orang lain yang bertanya, padahal harusnya gue yang dapat gelar itu dirumah.
Liana, seorang wanita yang menemani gue dengan sejuta kesabarannya. Sampai pada akhirnya tidak tersisa satupun kesabaran dalam dirinya karna habis terbuang sia-sia oleh segala tingkah dan kelakuan gue, yang membuat Liana memilih untuk berpihak pada perpisahan. Yang membuat kami kembali menjadi orang asing yang bahkan enggan untuk berpapasan dijalan.
Karma Ryan Sabtu kedua di Januari 2016, gue duduk diatas kasur bersandarkan bantal di kamar kos Lisa, dengan kedua tangan sibuk memainkan sebuah game dari handphone gue, sedangkan Lisa setengah berbaring dan menyandarkan kepalanya ke gue sambil asik streaming drama korea kesukaannya.
Game online yang gue mainkan sejenak menunjukkan pemberitahuan disconnected, yang disusul sebuah tampilan di layar yang menandakan ada sebuah panggilan, tertulis nama Ryan sebagai penanggung jawab terputusnya permainan gue.
Kenapa Yan" tanya gue sejurus dengan menjawab panggilan tersebut.
Lo dimana, Men" Ryan bertanya balik namun sepertinya suaranya sedikit serak.
Di kos Lisa. Kenapa"
Gue perlu ketemu lo nih. Yaudah, lo kemari aja. Lo balik aja dah jadi gue kerumah lo.
Penting banget ga" Ada kaitannya sama keamanan negara"
Gue putus sama Yanti. Ucap Ryan pelan, namun terdengar pasti.
Denger Ryan putus sama Yanti adalah hal baru buat gue. Dia emang sering kesana kemari cari cewek lain dan dengan bangga nya cerita ke gue. Tapi ini pasti hal yang berbeda buat Ryan, harus mengakhiri sebuah hubungan yang sudah dijalin hampir 10 tahun.
Oke, sekitar 45 menit lagi gue udah dirumah. Jawab gue ke Ryan kemudian langsung mematikan telpon tersebut.
Siapa sayang" tanya Lisa sambil bangun dari posisi bersandarnya dan menatap gue.
Ryan. Dia mau kerumah. Mau curhat kayanya. Jawab gue sambil bangkit dari kasur dan memakai jaket, bersiap pulang.
Tumben, kenapa dia ga kesini aja" Ada masalah apa"
Gatau, katanya dia putus sama Yanti.
Kapok. Makanya dia jangan suka nakal kemarin-kemarin ucap Lisa sambil kembali ke posisi tiduran.
Sekitar 45 menit kemudian, gue memasuki pagar rumah yang sudah terbuka. Ternyata Ryan sudah datang lebih dulu dan duduk didepan teras rumah gue. Gue memarkirkan motor dengan asal, kemudian membuka pintu rumah dan mengajak Ryan masuk. Tanpa di komando, Ryan langsung masuk kamar gue dan membanting tubuhnya keatas kasur.
Apaan nih" tanya Ryan sambil mempertegas pandangannya ke sebuah objek yang gue lemparkan keatas kasur disamping tempat dia berbaring.
Cukuran kumis. Biar lo tau kalo kita ini laki-laki jawab gue sambil duduk dipinggir kasur.
Ryan ga merespon. Dia menatap kosong ke langit-langit kamar gue. Dan gue pun membiarkannya menemukan moment yang tepat untuk bercerita.
Kok bisa segampang itu ya Men. Ucap Ryan lirih dengan masih menatap langit-langit kamar.
Ya gatau. Cerita dulu awalnya gimana
Gue sama dia udah berantem dari Desember kemaren sebenernya, karna dia liat gue ada chat sama cewek. Tapi ga kaya biasanya, dia ngamuk-ngamuk banget. Sampe ngomong putus ke gue.
& & gue ga menjawab, hanya menyulut sebatang rokok dan mengubah posisi mendekat ke jendela.
Gue ga langsung anggap itu sebagai keputusan akhir. Gue coba perjuangin dia. Gue lakuin segala cara buat pertahanin dia, sampe lewat jalur damai ke orang tua nya malah. Tapi, yang ada malah gue tau dia udah menghadirkan cowok lain. Lanjut Ryan sambil kini duduk diatas kasur dan memandang gue.
Itu cowok temen mana nya" tanya gue tanpa menatap Ryan.
Temen kantornya. Yang selama ini dia selalu alesan Cuma temen' setiap gue tanya tentang itu cowok
Gue hanya merespon dengan mengangguk pelan berkali-kali, kemudian menatap wajah Ryan yang sangat layu.
Kira-kira masih bisa diperjuangin ga" tanya gue ke Ryan.
Dia menggeleng pelan, kemudian menundukkan kepalanya.
Bahkan orang tua nya pun ga bisa bantu gue, dan kayanya lebih pro ke cowok itu. Gue udah tunangan men sama Yanti, tapi cowok itu juga mau segera ajak Yanti tunangan.
Lah" Yanti milih putus sama lo dengan nukar kondisi yang sama ke ke cowok lain" Kalo di adu kan lo menang waktu men, lo lebih lama sama Yanti, nah cowok itu menang apanya"
Menang materi, menurut gue. Jawab Ryan dengan suara serak seperti menahan isak tangis karna malu.
Materi" Ah shit. Gue ga bisa kasih saran kalo urusan materi. Intinya, lo masih mau perjuangin apa gimana"
Gatau. Gue masih ga sangka aja dia bisa kaya gitu ke gue
Terus kemarin-kemarin emang lo ga kaya gitu juga ke dia" Lo selalu nyari yang lebih dari Yanti, dengan alasan Cuma mampir'.
Tapi seenggaknya gue ga mutusin Yanti. Gue ga ninggalin dia ucap Ryan ngotot dengan nada tinggi.
Gue menatap wajah sahabat yang sudah gue kenal lebih dari 10 tahun ini. Jelas penyesalan dan kekecewaan tersirat di wajahnya. Dan dia ga bisa menyembunyikan itu. Gue tau gimana rasanya, karna gue pernah mengalaminya saat harus berpisah dengan Liana dulu.
Gue ga tau nanti gimana kalo harus ngeliat dia nikah sama cowok laen men. Ucap Ryan kali ini dengan nada pelan.
Hahaha, udah sampe sana aja pemikiran lo. Lagian kalo dia nikah sama cowok lain terus lo diundang, emang lo mau dateng"
Dateng lah. Gue mau liat gimana Yanti nemuin kebahagiannya dengan orang lain.
Buset. Cepet amat lo iklasnya. Jawab gue sambil menjentikkan puntung rokok melalui jendela.
Lo sendiri bakal dateng ga kalo nanti tau-tau Liana ngasih undangan nikahnya" tanya Ryan sambil menatap gue.
Liana" Hmm.. gue menahan sejenak ucapan gue sambil memilih kata yang tepat.
Itu di taman depan, gue punya pohon mangga yang gue tanem dari kecil Yan. Sekarang hampir setiap musim selalu berbuah. Ucap gue sambil menunjuk keluar jendela ke arah taman.
Kalo suatu hari, buahnya dipetik dan dinikmati sama orang lain, mungkin gue ga masalah. Tapi kalo orang itu sampe bikin acara syukuran karna hasil panen pohon mangga gue itu dan ngundang gue kerumahnya, menurut lo gue bakal dateng dan ngucapin turut berbahagia' gak" lanjut gue sambil kini menatap Ryan yang sepertinya masih memproses kata-kata gue barusan.
Ryan mulai mengangguk-angguk kecil seakan sudah berhasil memahami ucapan gue. Kemudian kembali menatap gue dengan wajah cengengesan.
Berarti lo ga dewasa men. Ucap Ryan singkat sambil tertawa kecil.
Kalo jadi orang dewasa sampe harus segitunya, sampe harus nerima omong kosong bahwa aku bahagia asal kamu bahagia walaupun dengan orang lain , gue milih ga akan pernah jadi orang dewasa. Buat gue, gue bahagia kalo dia bahagia sama gue. That s all. Ucap gue sambil kemudian berjalan keluar kamar berniat menuju dapur, mengambil sebotol air mineral di kulkas.
Lagian, lo ga usah urus gimana perasaan gue nanti kalo liat Liana bahagia sama cowok laen men. Lo urus aja itu perasaan lo yang bakal terombang ambing kesana kemari cari pegangan. Percaya deh, gue pernah ada di posisi lo soalnya. Dan Lisa adalah bukti nyata nya. Lanjut gue sambil memberikan air mineral ke Ryan, sekedar untuk menenangkan diri nya yang pasti masih sangat terpukul karna ternyata karma selalu menemukan jalannya sendiri, meski dia menolak untuk mempercayainya.
Moving to Bali Sabtu ke tiga di bulan Januari 2016. Gue dan Lisa duduk di kursi besi ruang tunggu bandara Soekarno Hatta. Ini hari terakhir Lisa di Jakarta. Dia akan pulang dulu ke Surabaya, dilanjutkan pindah ke Bali di awal bulan depannya.
Setelah menghabiskan hari-hari terakhir dengan mengirim barang-barang via ekspedisi, serta muter-muter ke beberapa tempat untuk mengingat serta merenungkan kembali apa yang telah kami lalui bersama dua tahun belakangan ini, kini Gue dan Lisa hanya bisa saling menggenggam erat tanpa dalam diam.
Lisa menatap gue dengan wajah yang menyiratkan kesedihan. Gue mengerti, harus terpisah jarak meski hanya beda pulau bukanlah hal yang mudah. Karna Gue juga merasakan hal yang sama.
Kamu disini jangan nakal ya sayang. Susu nya tetep diminum. Kalo habis, langsung beli lagi. Jangan dibiasain minum kopi lebih dari segelas sehari. Botol minumnya jangan lupa selalu diisi penuh dan dibawa kemana-mana. Pesan Lisa masih sambil menatap gue dengan wajahnya yang sedih.
Kamu banyak banget ninggalin pesennya. Lagian dua minggu kedepan kita masih ketemu di Bali kan angchimo.
Aah, kamu ga bisa ya kalo ngejawab omongan tuh ga ngerusak suasana"
Astaga, kamu kebanyakan nonton drama korea sialan itu sih, jadi baperan banget.
Lisa kini memasang wajah manyun yang dibuat-buat. Gue menggoda nya dengan mencubit dan menciumi pipi nya berkali-kali hingga dia cengengesan sendiri.
Bukan, bukan karna gue ga merasa berat. Bagaimanapun, ini akan menjadi awal dari pintu yang memisahkan Gue dengan Lisa, yang memaksa kami untuk mulai berlatih saling terpisah jarak.
Ga akan ada lagi sosok wanita yang selalu menunggu gue datang ke kos nya setiap pulang kerja, semalam apapun gue pulang. Ga akan ada lagi senyum yang dihiasi gigi gingsul saat gue membawakan es krim. Gue tau, cepat atau lambat semua ini pasti akan terjadi. Di satu sisi, gue berharap ini adalah perpisahan yang benar-benar memisahkan kami selamanya. Tapi disisi lain, gue ga bisa melepas Lisa sendirian disana dengan rasa kecewa. Dia bisa nekat langsung pulang ke Jakarta kalo ternyata gue memilih mengakhiri hubungan ini karna alasan jarak.
Gue mengantar Lisa sampai ke pintu gate dimana dia melangkah menjauh. Pandangan gue ga berhenti mengantarnya sampai dia berbelok dan terpisah oleh dinding terminal. Gue menghela napas sejenak, kemudian berlalu pulang.
------ Jumat terakhir bulan Januari 2016 adalah sekaligus hari terakhir Ana bekerja. Dia memilih tidak melanjutkan kontrak kerja nya dan berniat pindah ke Malaysia ikut dengan pacarnya disana. Gue menyempatkan diri mengucapkan perpisahan sambil mencubit gemas pipi nya yang chubby, yang sudah sangat lama ingin gue lakukan.
Setelah mengajukan izin kerja ke Mba Airin dengan memberikan sogokan asinan dan cilok, gue mengepakkan beberapa lembar pakaian ke dalam tas ransel dan bersiap boarding menunggu pesawat yang akan mengantarkan gue ke Bali.
Rabu malam pertama di Februari 2016, gue duduk menunggu sambil berkirim kabar dengan Lisa melalui whatsapp, menyamakan jadwal tiba di Bandara Ngurah Rai.
Gue boarding lebih dulu dan kali ini gue sendirian. Ga ada yang memorotes keputusan gue melewati penerbangan sambil memasang headset dan memejamkan mata.
Gue mendarat di Bandara Ngurah Rai, Bali, sekitar jam 11 malam. Gue keluar gate dan menunggu di sekitar parkiran menemui kenalan yang menyewakan motornya, kemudian duduk di pelataran minimart terdekat menunggu kedatangan Lisa.
Setengah jam selanjutnya, gue melihat Lisa berlari kecil membawa tas tenteng sambil tersenyum lebar. Gue bangkit dari posisi duduk dan menyambut pelukannya. Sebuah pelukan hangat atas tubuh yang telah usang digerogoti rasa rindu.
Ga nyangka bakal ada momment kita jalan masing-masing dan ketemuan disini, sayang. Ucap Lisa masih dengan tangannya melingkar di pinggang gue. Gue hanya menyambut nya dengan senyum.
Kami berjalan ke parkiran menuju motor dan segera berlalu dari Bandara. Setelah beberapa menit berputar-putar mencari alamat hotel yang akan ditempati Lisa, kami akhirnya menemukannya sambil tertawa karna sepertinya sudah melewati hotel ini berkali-kali sejak tadi.
Gue memperkirakan jarak dari hotel Lisa ke Pantai Kuta sekitar sepuluh menit berjalan kaki. Jadi, setelah menaruh barang-barang di kamar hotelnya, Lisa tentu saja sudah mengerti tanpa di komando langsung menggandeng tangan gue keluar, menuju Pantai Kuta.
Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam, namun rutinitas menikmati suasana malam pantai ga akan rela gue lewatkan. Kami duduk beralaskan sendal dengan telapak kaki terkubur sebagian kedalam pasir, dan membuang pandangan sejauhjauhnya ke langit malam yang hanya dihiasi sedikit bintang malam ini.
Lisa menyandarkan kepalanya ke bahu gue dengan memasang senyum. Gue hanya menoleh sejenak kearahnya kemudian kembali membiarkan hening menyelimuti kami.
What s the next page for us now, Honey" tanya Lisa tanpa mengubah posisi menyandarkan kepalanya di bahu gue.
I don t know. Tapi apapun itu, i swear i'm not going to mess it up. Jawab gue sambil melingkarkan tangan ke pinggang Lisa.
Kamu ga akan nyerah dengan jarak yang bakal misahin kita kan sayang"
Kalo soal itu, biar waktu yang akan menjawabnya yaa
Lisa menegakkan posisi duduknya dan menatap gue. Gue membalas tatapannya dan mendapati genangan air di sudut mata Lisa yang gue ga tau apa arti nya.
Kamu ga akan perjuangin aku" tanya Lisa dengan suara lirih.
Apa yang kamu ragukan dari aku sih Lis" Apa aku pernah berhenti memperjuangkan dan menjaga kamu selama ini" Apa aku pernah mengangkat tangan dan menyerah dengan semua sikap kamu"
Karna perjuangan kita akan semakin berat Gus. Aku ga mau gini2 aja. Aku mau suatu hari nanti kita saling memiliki...
Aku belom berpikir sejauh itu Lis. Ucap gue memotong omongan Lisa.
Aku mau kita menikmati saat2 ini dulu, sambil membangun pondasi yang kuat buat kedepannya. Sambil sama-sama berjuang memperbaiki diri dan kehidupan kita masingmasing. Lanjut gue dengan nada tegas.
Memperbaiki kehidupan kaya gimana" Masalah kesiapan materi" Gus, menikah itu bukan soal materi. Apa selama ini aku pernah mempermasalahkan soal materi" Atau justru kamu yang mempermasalahkannya"
Lis, bukan itu yang aku maksud. Aku tau, menikah bukan soal materi aja. Tapi aku mau kamu bahagian mama kamu dulu, balas semua perjuangan dia dengan semua hal yang kamu punya. Aku juga akan melakukan hal yang sama ke keluarga aku. Sambil kita sama-sama memperbaiki diri, menjaga kepercayaan, belajar memahami arti sebuah komitmen. Setelah itu, baru kita bicara soal menikah. Jawab gue sambil menatap dalam ke wajah Lisa yang memelas.
Lisa menatap gue dengan penuh keraguan di wajahnya. Entah apa yang dia pikirkan saat itu. Tapi yang pasti, gue ga mau dia salah mengerti apa yang gue ingin sampaikan.
Lis. Seberapa besar rasa sayang kamu ke aku" tanya gue sambil tersenyum menatapnya.
Lebih besar dari ini jawab Lisa sambil melebarkan kedua tangannya selebar-lebarnya dengan mimik wajah kekanak-anakan.
Besar juga ya. Lebih besar dari ukuran hati kamu kayanya jawab gue meledek sambil mencubit pipi nya.
Kalo kamu" Lisa bertanya balik ke gue.
Gue menjawab dengan menunjukkan ujung kuku kelingking gue ke hadapan Lisa. Dia langsung memasang wajah cemberut.
Sekecil itu" tanya Lisa dengan wajah cemberutnya yang menggemaskan.
Yes. Tapi sesering apapun kamu memotongnya, rasa itu ga akan mengenal lelah untuk terus tumbuh. Jawab gue sambil tersenyum menang.
Yee udah dua taun lebih kita pacaran masih aja aku digombalin mulu ucap Lisa sambil mengacak-acak rambut gue.
Gue meraih kembai kepala Lisa dan meletakkannya di pundak gue. Berkali-kali gue menciumi rambut kepalanya yang wangi sambil melingkarkan tangan gue ke pinggangnya.
Malam itu, kami menunggu pagi sambil menatap batas cakrwala yang perlahan memudarkan gelapnya, menyajikan pemandangan indah sambil mensyukuri segala nikmat yang Tuhan berikan pada kami. Kami bersyukur, betapa Tuhan membuat segalanya terlihat begitu mudah untuk merasa bahagia karna dapat menikmati sisa waktu yang kami punya untuk bersama.
I Won t Leave You, Dear Selama enam hari di Bali, tugas gue hanya menemani Lisa bekerja di hotel nya. Gue lebih sering menghabiskan waktu di kamarnya aja sih sebenernya, sementara dia mondar mandir memeriksa operasional manajemen yang sedang berjalan.
Gue mengisi waktu dengan sesekali duduk di salah satu pelataran hotel yang berhadapan dengan kolam renang, atau bahkan sesekali berenang kalo lagi panaspanasnya. Kadang ditemani Lisa yang sekedar duduk di pinggir kolam sambil menikmati minuman ringan.
Hari selasa, hari terakhir gue disana, Lisa memberikan banyak pesan sebelum gue pulang. Seperti biasa, sekedar mengingatkan untuk mengkonsumi susu kaleng dan yang lainnya, yang tentu saja harus gue iya kan untuk menghindari ocehan Lisa yang bisa semakin menjadi.
Sekitar jam 7 malam, Lisa menemani gue menunggu waktu boarding sambil terus menggelayuti badan gue saat duduk di ruang tunggu.
Pokoknya kamu kesini ya sebulan sekali. Eh dua minggu sekali deh. Ucap Lisa sambil memeluk lengan gue.
Ya ga bisa juga lah kalo dua minggu sekali. Buang2 duit aja. Sebulan sekali lah aku usahain.
Ga mau. Yaudah kamu beli tiket sendiri di minggu pertama setiap bulan, nanti aku yang beli tiketnya buat di minggu ketiga. Fair kan"
Gue hanya merespon dengan senyum sambil menggelengkan kepala berkali-kali. Susah untuk menolak kalo Lisa udah mengutarakan apa yang dia mau.
Kamu nanti kalo masih ditawarin extend doang dari kantor ga usah diterima ya. Pindah kesini aja, cari kerjaan disini banyak kok.
Liat nanti ya. Aku sih masih ngusahain siapa tau dapet kontrak baru, atau malah jadi karyawan tetap. Atau mau sambil cari-cari kerjaan baru juga disana
Disini aja. Kenapa sih emang kalo disini"
Ya ga kenapa-apa sih. Cuma aku masih mau usahain sendiri disana. Kalo disini aku malah makin bergantung sama kamu.
Emang kenapa" Kamu bergantung sama aku, dan aku juga bergantung sama kamu. Kita saling membutuhkan satu sama lain, kita saling sayang. Apa lagi yang bikin kamu ragu" Kita bisa bangun banyak hal kalo berdua sayang.
Enggak Lis. Kamu emang butuh sama aku, tapi sebenernya aku membutuhkan kamu lebih daripada kamu membutuhkan aku. Makanya, kasih aku waktu buat berjuang dan memperjuangkan kamu nantinya.
Lisa menatap gue dengan senyum mengembang. Gue bukan orang yang ahli membaca pikiran orang lain, tapi gue percaya ada kebahagiaan tersirat di wajanya.
Kamu harus bisa percaya sama aku ya sayang. Aku akan tunggu disini setiap minggu. Aku tau, jarak memang memisahkan kita, tapi aku yakin itu bukan masalah besar selama kita saling percaya. Ucap Lisa masih dengan senyum terpasang diwajahnya.
Gue menatap wajahnya. Sebuah maha karya sang pencipta yang terlukis indah di hadapan gue. Seorang wanita yang membuat hidup gue jauh berbeda beberapa tahun belakangan ini. Seandainya bukan karna Lisa, mungkin gue hanya seorang Bagus yang dulu, yang menjalani hidup semau gue, yang menjalani suatu hubungan tanpa mengenal kata setia, yang mengunci rapat diri gue dari seorang pasangan yang suka mengatur.
Itu masalahnya Lis. Aku ga bisa percaya sama kamu. Ucap gue pelan.
Kenapa" tanya Lisa dengan senyumnya yang perlahan memudar ditelan kesedihan.
Lis. Aku ga suka ungkit-ungkit masa lalu. Tapi, saat kamu deket aku aja kamu masih bisa mencurangi aku. Gimana saat kamu jauh"
Kini air mata menggenang di sudut mata Lisa. Gue bisa merasakan perlahan napasnya semakin tidak teratur seiring dengan bergetarnya kedua tangan Lisa yang berada di genggaman gue.
Aku rasa, kita lebih baik ga perlu terusin hubungan ini. Kita saling berusaha menjaga diri dan perasaan masing-masing aja. Aku ga mau, salah satu dari kita harus ada yang tersakiti. Kita masih bisa tetep komunikasi, aku akan sering main kesini. Lanjut gue tanpa menunggu jawaban Lisa.
Dia kini menundukkan kepala nya, bersamaan dengan jatuhnya beberapa tetes air mata ke jeans yang ia kenakan. Isak tangis nya semakin membuat pilu suasana.
Aku ga mau Gus. Aku ga mau.. ucap Lisa dalam isak tangis yang sedang berusaha ia kuasai.
Terus kamu lebih mau kita tetep berhubungan jarak jauh" Dengan kemungkinan disana aku akan cari pengganti kamu, atau sebaliknya kamu yang mencari pengganti aku..."
Aku ga akan kaya gitu. Potong Lisa dengan nada sedikit naik dan menatap gue dengan wajahnya yang basah.
Gus, please. Jangan menyerah sebelum kita mencoba nya. Lanjut Lisa.
Gue membuang pandangan ke sekitar. Gue enggan melihat air mata Lisa lagi. Cukup. Cukup untuk kebodohan gue yang selalu saja membuat orang yang gue sayangi menangis.
Gue naif" Lemah" Iya. Mungkin gue naif dan lemah. Tapi seandainya Lisa ga pernah melukai kepercayaan gue, mungkin semua ini akan berjalan lebih mudah untuk mengajak gue berdamai dengan hubungan jarak jauh.
Kamu harus percaya sama aku sayang. Setelah semua yang aku lakukan buat kamu, apa kamu ga bisa bersikap adil dengan ga melulu menatap kesalahan aku yang lalu" ucap Lisa masih dalam tangisnya.


Karma Will Always Find Its Way Karya Karkuser di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Entah lah, Lis. Aku ga tau apa suatu hubungan bisa berjalan tanpa rasa percaya.
Makanya percaya sama aku. Sambar Lisa dengan ngotot.
Gue menatap wajahnya. Kemudian melepas genggaman tangan Lisa. Gue melihat ke arah jam yang melingkar di lengan gue, masih tersisa 20 menit dari waktu boarding.
Oke, Lis. Tapi sekali kamu sia-siakan kepercayaan aku lagi, mungkin itu akan jadi yang terakhir kali nya. Ucap gue sambil menatap Lisa.
Lisa mengangguk pelan sambil berusaha menghapus air mata yang masig tersisia di pipinya. Gue mendekat dan mencium keningnya yang kemudian disambut Lisa dengan memeluk gue dengan posisi duduk.
Maafin aku yang masih sebodoh ini karna selalu bikin kamu nangis. Bisik gue didepan telinga Lisa. Gue bisa merasakan anggukan Lisa di pundak gue.
Gue melepaskan pelukannya dan berdiri menenteng ras ransel gue. Lisa mengikuti dan berdiri dihadapan gue dengan wajah sembab sisa tangisannya.
Aku ga akan bisa Gus tanpa kamu. Jangan pernah berpikir buat meninggalkan aku lagi ya.
I won t, dear. Lisa mengantarkan gue sampe ke gate pemeriksaan tiket dan berdiri mematung disana. Gue sempat menoleh dan melambaikan tangan di balik dinding kaca yang memisahkan kami. Lisa mengangguk pelan sambil memaksakan senyum. Gue tau ini berat. Tapi gue berharap semuanya ga sesulit yang kami bayangkan, dan semoga kami bisa melewatinya.
Gue mengeluarkan handphone yang bergetar dari saku jeans gue, ada sebuah panggilan dari Lisa. Gue sempat berhenti berjalan dan menoleh kebelakang, namun ga mendapati wajah Lisa disekeliling gue.
Kenapa angchimo" Aku mau nelpon sampe kamu naik di pesawat. Gapapa ya"
Gue menghela napas sejenak, gue sempat berpikir ada yang tertinggal tapi ternyata hanya kelakuan manja Lisa saja yang ingin menelpon.
Kami mengobrol ditelpon sampai waktunya gue naik ke pesawat. Lisa menyempatkan mengulang pesannya sebelun mengakhiri telepon.
Gue menaiki tangga pesawat dengan rasa yang berbeda. Baru kali ini, gue melangkahkan kaki dengan sangat berat saat menuju pulang kembali ke rutinitas gue, tanpa kehadiran Lisa, tanpa ocehan bawelnya, dan yang pasti tanpa senandungnya yang selalu gue puja. Semoga semua akan baik-baik saja, gumam gue dalam hati.
Menyusul Lisa Benar adanya bahwa perpisahan adalah bagian dari pertemuan. Perpisahan, meski selalu kita coba hibur diri dengan ucapan hanya sementara', tetap saja selalu menyakitkan. Dan kini gue menjalani fase baru dalam keseharian gue. Ga ada lagi seorang Lisa.
Kita mungkin bisa bertemu dengan ribuan orang baru yang datang dan pergi begitu saja dalam hidup kita. Tapi kita hanya perlu bertemu dengan seseorang, kemudian hidup kita berubah selamanya.
Lisa datang kedalam hidup gue ketika gue mencoba mencari sebuah keadilan atas hati yang dilukai lalu ditinggal pergi begitu saja. Lisa, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, melengkapi potongan kecil dalam hidup gue yang sempat hilang. Lisa membuat gue percaya, bahwa ada cinta lain yang masih layak diperjuangkan.
Gue menjalani malam pertama gue di Jakarta tanpa Lisa. Saat tiba dirumah, gue memang langsung mengabari Lisa dan kami saling telpon untuk mengikis rindu yang langsung menyergap hanya dalam hitungan beberapa jam setelah berpisah. Sampai lewat tengah malam, gue harus sedikit memaksa mengakhiri telepon agar Lisa bisa segera tidur, meski gue merasakan yang sama dengan yang dia rasakan, ga ingin satusatunya kebahagian yang kami punya dengan mendengar bisikan melalui media telepon harus direnggut oleh angkuhnya sang waktu.
Gue baru bisa memejamkan mata ketika subuh tiba. Dengan sangat malas gue memulai hari meski ucapan manis Lisa masih menemani gue, diwakili melalu beberapa baris pesan whatsappnya.
Gue kembali ke rutinitas mendengarkan musik melalui headset ketika berkendara, demi membungkam telinga gue yang menjerit menagih senandung Lisa. Gue kembali ke kebiasaan mengkonsumi kopi lebih dari segelas per hari, demi mendapat ocehan dari Lisa lewat pesan whatsappnya. Belum genap seminggu gue menjalani hari tanpa Lisa, tubuh gue udah membeku menahan rindu.
Hari-hari dikantor pun rasanya berjalan tanpa harapan, meski pengganti Ana ternyata ga kalah cantiknya. Selepas jam kerja pun gue membutuhkan waktu lebih lama untuk menunda kepulangan gue dengan segera. Rasanya enggan untuk segera pulang dan meratapi kesendirian.
Lisa, gue jatuh cinta padanya saat dia terbiasa mengisi hari gue dengan senyumnya. Tapi gue semakin jatuh cinta padanya saat jarak membatasi kehadirannya.
Rutinitas gue rasanya menjadi membosankan. Weekend hanya gue lewati dengan tidur sampe sore, dan membunuh malam dengan bermain game.
Janji-janji manis yang terukir ketika saling berhubungan lewat video call sama sekali ga mengobati kerinduan. Hari demi hari gue lalui dengan melewati setiap sudut jalan yang digenangi oleh kenangan. Malam hari gue lewati dengan berulang kali mengecek harga tiket tujuan Bali dan menyelaraskan nya dengan uang simpanan.
Sampai di akhir Februari, Mba Airin memanggil gue ke meja kebesarannya, dan mengatakan bahwa tidak akan ada kontrak kerja baru yang akan gue terima. Cukup untuk menyempurnakan kekosongan yang gue lewati beberapa waktu belakangan ini. Membuat gue segera melawan kemacetan untuk tiba dirumah dan mengadukan kekecewaan gue pada Lisa melalui video call.
Gapapa sayang, itu artinya Tuhan pun mendukung kamu buat ikut pindah kesini. Hibur Lisa dengan senyuman yang memanjakan saat gue menceritakan pemberitahuan Mba Airin sore tadi.
Kamu siapin ya barang-barang yang perlu kamu bawa, nanti disini terserah kamu mau tinggal dimana, mau cari kos atau mau disini aja di hotel sama aku. Lanjut Lisa.
Gue mengiyakan ucapannya, dan memintanya mencarikan tiket di akhir pekan untuk gue kesana, namun Lisa memberikan saran untuk mencari tiket yang bertepatan dengan hari terakhir gue bekerja.
Di hari pertama di bulan Maret 2016, Gue sudah mempunyai tiket penerbangan ke Bali. Gue berencana akan stay disana beberapa hari, tepatnya seminggu. Gue akan tiba disana pada sabtu siang, dan akan pulang pada hari sabtu di minggu depannya, tapi jadwal kepulangan gue ga gue sampaikan ke Lisa.
Tentu saja, Lisa ga menyarankan gue membeli tiket pulang. Dia berharap gue akan sesuai dengan permintaannya, yaitu tinggal disana. Gue masih merasa ragu kalo harus hidup di daerah lain. Sejak lahir sampai saat ini, gue tinggal di Jakarta. Ke daerah lain hanya untuk berlibur. Ya, meski kata orang nenek moyangku seorang pelaut, tapi rasanya belum jelas bahwa pelaut sama dengan perantau, bisa jadi hanya mencari ikan.
Sabtu, 5 Maret 2016. Gue mendarat di Bali (lagi) sekitar jam 1 siang waktu setempat. Gue langsung keluar gate dan menemui Lisa yang sudah menunggu dengan senyum terbaiknya. Gue berjalan cepat dan menghamburkan pelukan ke Lisa, ga peduli pada beberapa pasang mata yang menatap aneh ke kami.
Kok cuma bawa ransel" tanya Lisa heran karna dia menyangka gue akan membawa banyak barang.
Aku disini seminggu dulu. Nanti kalo emang betah ya baru deh pikirin gimana kedepannya.
Kami berjalan menuju parkiran dan bergegas kembali ke hotel tempat Lisa tinggal dengan mobil sedan yang sepertinya fasilitas yang Lisa dapat. Tentu saja disupiri oleh Lisa karna gue ga bisa bawa mobil.
Udah enak hidup kamu disini kayanya nih ledek gue didalam perjalanan saat Lisa fokus mengemudi.
Tetep aja lah kalo ga ada kamu akan selalu ada yang kurang dalam hidup aku sayang
Hahaha gantian aku yang di gombalin.
Gue langsung menuju kamar Lisa sementara Lisa mengunstruksikan salah satu staff hotel untuk menyiapkan makan siang di restaurant hotel yang terletak didekat lobby.
Lisa masuk ke kamar dan langsung mengajak gue kembali turun ke bawah karna makanan sudah disiapkan. Gue ga berhenti memandangi sekeliling hotel, melihat beberapa staff yang setengah menunduk saat Lisa lewat. Benar-benar perubahan yang jauh dari bayangan gue.
Kami makan siang dan bersantai sambil saling bercerita mengenai apa saja yang terjadi dalam keseharian kami saat terpisah oleh jarak. Gue lebih sering memposisikan diri sebagai pendengar dan memberi beberapa saran saat Lisa mengeluhkan pekerjaannya di hotel ini. Lisa pun tetap masih seperti Lisa yang selama ini, mendengarkan setiap saran gue dan sesekali dia mencatatnya di handphone agar tidak terlupa.
Kamu hebat ya sekarang. I'm so proud of you. Ucap gue yang kemudian disambut dengan wajah Lisa yang memerah.
Gue meminta waktu untuk beristirahat di kamar hotel pada Lisa, sementara dia masih meneruskan beberapa pekerjaan yang harus dia tangani. Gue langsung merubuhkan badan diatas kasur dan terlelap dalam hitungan menit.
Sayang, bangun dulu udah magrib. Ucap Lisa sayup-sayup terdengar ditelinga gue.
Gue bangkit dari kasur dan langsung mandi sementara Lisa duduk di meja kerja berhadapan dengan laptop yang terletak di salah satu sudut kamar yang memang sangat luas.
Selesai mandi, gue menyempatkan melihat apa yang Lisa kerjakan. Lisa meminta beberapa saran yang memang sesuai kemampuan gue dan melakukan koreksi terhadap apa yang dia sudah ketik di laptop kecil dihadapannya.
Malamnya, seperti biasa. Kami menghabiskan waktu di Pantai Kuta, tapi sekitar jam 12 tepat tengah malam Lisa mengajak kembali ke hotel karna rasa kantuk mulai menggerogoti semangatnya.
Selama seminggu, ga banyak rutinitas yang gue lakukan. Sesekali gue berjalan kaki sendirian ke sekitaran pantai kuta saat siang hari karna Lisa masih sibuk dengan beberapa urusan seperti bertemu dengan pihak travel untuk kerja sama, maupun bertemu dengan beberapa vendor yang menawarkan produknya untuk digunakan sebagai fasilitas di kamar hotel.
Lama kelamaan, gue malah merasa jenuh. Ga banyak yang bisa gue lakukan. Lisa sempat beberapa kali meminta maaf karna merasa membiarkan gue sendirian, namun gue menenangkannya dan memintanya untuk melanjutkan kembali pekerjaannya.
Kamis malam, gue memutuskan mengatakan ke Lisa bahwa besok gue akan kembali ke Jakarta. Yang tentu saja dapat penolakan dari Lisa.
Aku harus bilang berapa kali sih sayang" Kamu disini dulu aja. Malah mendadak mau pulang besok. Ucap Lisa dengan nada sedikit tinggi di depan balkon samping kamar hotel yang Lisa tempati.
Mendadak apanya" Aku kan pesen tiketnya emang pergi-pulang.
Siapa yang suruh kamu pesen tiket pulang"
Suruh" Kamu ga ada kata lain selain suruh'" aku bukan staff kamu yang bisa kamu suruh2 dan kamu bentak kaya gini. Jawab gue dengan emosi dan meninggalkan Lisa di balkon.
Gue berjalan cepat menuju lift dan keluar dari hotel Lisa, menuju ke pantai kuta. Gue mampir ke minimart untuk membeli sebotol bir kecil dan kemudian duduk dipinggir pantai, sendirian.
Sekitar setengah jam gue terpaku dalam diam, tiba-ba Lisa datang dan langsung memeluk gue dari belakang.
Aku minta maaf ya sayang. Aku ga maksud bentak-bentak kamu. Aku cuma ga mau kamu pulang. Bisik Lisa didepan telinga gue.
Gue ga menjawabnya, bahkan menatapnya pun enggan. Bukannya karna gue marah dengan sikap Lisa, tapi gue sedang malas membicarakan apapun. Gue lebih memilih semua kata tersimpan dalam hening, dan membiarkan badan ini menikmati pelukan Lisa, sambil memanjakan mata dengan barisan bintang yang terhampar dihadapan gue.
Lisa.. #13 Kamu jangan pulang besok ya sayang. Ucap Lisa dengan nada manja, masih sambil memeluk gue dari belakang.
Udah dibeli tiketnya, sayang kan kalo hangus.
Aku ganti uangnya. Berapa sih harga tiketnya" tanya Lisa sambil merubah posisi jadi duduk disamping gue.
Bukan soal harga nya sayang. Aku emang mau pulang dulu. Nanti kapan-kapan aku kan bisa kesini lagi.
Iya kapan-kapan. Gatau kapan.
Lisa memasang wajah cemberut. Gue hanya tersenyum sambil mengusap rambutnya.
Besok penerbangan jam berapa"
Jam 7 malem. Kamu ga usah anter aku kalo sibuk. Aku bisa sendiri.
Ga mau. Aku mau nganter. Lisa menyadarkan kepalanya ke gue dan seperti biasa gue merangkul pinggangnya. Gue sebenarnya berbohong pada Lisa. Tiket pulang gue bukan untuk hari jumat besok, tapi hari sabtu siang. Gue cuma mau keluar dari hotelnya dan ga mengganggu rutinitas pekerjaan Lisa.
Gue sudah berencana mencari penginapan murah untuk stay besok semalam dan menyewa motor untuk sehari. Mungkin gue bisa mengisi waktu dengan berputar keliling menikmati beberapa sudut jalanan Bali. Namun, besok gue akan menjalani nya sendiri.
Jam 1 malam, Lisa mengajak kembali ke hotel nya. Kami berpegangan tangan saat berjalan kaki menuju hotel. Genggaman tangan Lisa terasa sangat erat, namun dia terdiam tanpa kata sepanjang jalan.
Gus, kamu tau kan aku sayang sama kamu" tanya Lisa sambil menghentikan langkahnya dan menatap gue, tidak jauh dari hotel yang akan kami tuju.
Iya, aku tau, sayang. Dan semoga kamu bisa selalu menjaga rasa sayang itu ya.
Lisa memeluk gue erat. Sangat erat. Rasa hangat dan basah terserap oleh kaus tipis yang gue kenakan. Jalanan pantai kuta yang tidak mengenal sepi membuat beberapa orang yang melintas menatap kami. Ada yang menatap dengan wajah bingung, ada juga yang menatap dengan tersenyum sambil meletakkan telapak tangan di dada nya.
Gue membiarkan Lisa menangis dalam pelukan gue. Gue yakin, dia pasti akan merasa sangat lama lagi untuk menunggu kehadiran gue disini. Mungkin itu yang membuatnya menangis dan memeluk gue, seakan berat untuk melepas gue pulang.
Cukup lama gue menunggu Lisa menguasai dirinya dibawah temaram lampu jalanan. Ga ada yang bisa gue lakukan selain mencium kepalanya dan mengusap punggungnya. Wanita ini mungkin terlalu berlebihan dalam mencintai, namun begitulah Lisa. Dia tidak pernah setengah hati dalam mencintai apa yang dia miliki, namun juga tidak pernah setengah hati membenci orang yang melukainya.
Gue mengecup kening Lisa saat mengantarnya tidur diatas kasur besar di kamar hotelnya. Gue memakaikan selimut dan mengusap pipi nya, Lisa menatap gue dengan senyum tipisnya. Kemudian gue duduk di sofa di salah satu sudut lain sambil menonton tv sampai ketiduran.
--------- Besoknya sekitar Jam 6 sore, Lisa mengantarkan gue ke bandara. Namun dia tidak turun dari mobilnya karna masih ada janji bertemu dengan pihak travel. Dia sempat memeluk dan mencium pipi gue berkali-kali sebelum gue turun dari mobilnya. Dan seperti biasa, dia menyempatkan membacakan pesan yang harus gue lakukan selama jauh dari dia.
Itu kamu hapalin ya Lis pesen kamu" Kayanya selalu kamu bacain setiap aku mau pulang dari sini. Ledek gue sebelum keluar dari mobil.
Iya, pokoknya aku bakal terus ingetin kamu. Jangan nakal, jangan lupa minum susu nya, ngerokok dan ngopi nya tau diri.
Yaa aku mah bisa apa selain bilang iya
Dilakuin juga. Bukan di iyain aja.
Gue tertawa kecil dan mencubit pipi Lisa, kemudian mencium lembut bibir tipisnya.
Lama kami terpaku dalam sebuah ciuman. Gue ga berniat menarik diri dan begitu pula dengan Lisa. Kami membiarkan waktu berjalan dan menikmati apa yang tersisa.
Gue pamit dan keluar dari mobil. Lisa membuka kaca mobilnya dan melambaikan tangan, gue membalas dengan lambaian tangan dan senyuman, kemudian melepas pandangan dari mobil yang ia kendarai ketika berbelok di sudut jalan.
Gue berjalan kembali ke arah parkiran kemudian menghubungi seorang kenalan yang biasa menyewakan motornya. Sekitar 20 menit gue menunggu, dia datang membawakan sebuah sepeda motor yang akan gue pinjam sampai besok pagi.
Setelah bertanya2 tempat penginapan yang murah padanya, gue kemudian menuju ke penginapan yang dia rekomendasikan di sekitar jalan Tuban.
Gue memesan satu kamar kemudian melempar tas dan membaringkan badan di atas kasur. Lama gue menimati kesendirian di kamar penginapan. Sampai sekitar jam 9 malam, gue mengirim pesan whatsapp ke Lisa dan mengatakan bahwa gue sudah tiba di Jakarta. Lisa hanya membalas singkat dan meminta gue bersih-bersih badan kemudian istirahat.
Gue keluar dari penginapan, berniat mencari sesuatu untuk di makan. Gue memutuskan makan di pinggir jalan Tuban. Saat makan, Lisa sempat menelpon gue, namun gue tidak mengangkatnya, khawatir dia curiga dengan suara keramaian disini. Tidak lama kemudian, masuk sebuah pesan whatsapp dari Lisa.
Lagi ngapain sayang" Udah tidur ya"
Gue mengulur waktu sejenak kemudian membalas pesan tersebut.
Maaf tadi ga kedengeran telponnya, abis cuci muka. Ini baru mau tidur
Yaudah kamu tidur sana, istirahat.
Kamu ga tidur emang"
Sebentar lagi, masih ngecek beberapa laporan nih di kamar.
Okay, don t push yourself, dear. Take a rest. Goodnight
Okay honey. I love you. Goodnight.
Gue tidak membalas pesan whatsapp terakhir Lisa. Setelah selesai makan gue kembali mengendarai motor namun bingung mau kemana.
Baru jam 10 malam, gue ga mungkin balik ke penginapan karna akan merasa bosan. Tapi gue juga ragu kalo ke Pantai Kuta karna jaraknya terlalu dekat dengan Hotel Lisa.
Tapi pada akhirnya, seorang Bagus kembali menyerah pada rasa nekat. Gue tetep ke Pantai Kuta.
Gue duduk di pelataran minimart sambil menikmati sebotol kecil bir dingin yang langsug gue minum sampai setengahnya sambil main game. Beberapa menit kemudian, gue kembali masuk ke dalam minimart dan membeli sebotol kecil lagi, kemudian menyeberang jalan dan memilih duduk dipinggir pantai.
Gue menarik napas dalam-dalam, menikmati segarnya udara malam Pantai Kuta. Namun sayangnya, malam ini tidak terlalu banyak bintang. Mungkin karna tidak ada Lisa yang menemani gue disini.
Gue duduk beralaskan sendal dan menyulut sebatang rokok, kemudian meneguk bir yang masih dingin. Bersendandung kecil menikmati kesendirian.
Sampai mata gue terpaku oleh bayangan seorang perempuan duduk beberapa meter didepan gue, menyandarkan kepalanya ke pundak seorang lelaki disebelahnya yang tampak asing bagi gue.
Berulang kali gue memastikan sosok wanita yang kini bergelayut manja sambil menerima kecupan di keningnya. Gue tidak mengenali siapa lelaki itu, tapi dibawah kegelapan Pantai Kuta yang hanya diterangi bias cahaya lampu dari jalanan, gue bisa memastikan siapa sosok wanita itu.
Lisa.." Karma will always find its way
Gue duduk terdiam memaku pandangan gue tepat kearah beberapa meter dihadapan gue, melihat setiap gerakan yang Lisa lakukan dengan pria disampingnya.
Entah darimana datangnya niatan untuk berbohong ke Lisa dengan memanipulasi jadwal kepulangan gue hari ini. Gue sama sekali ga berniat untuk mencari tau apa yang Lisa lakukan dibelakang gue. Bahkan sama sekali ga terlintas dalam benak gue akan melihat kecurangan Lisa ini secara langsung.
Kekecewaan jelas mengalir menemani gue melewati waktu. Namun rasa marah dan emosi yang menjalar hingga keujung kepala membuat gue menggenggam erat botol bir di tangan gue.
Sempat terlintas dalam benak gue untuk mendatangi mereka, dan memecahkan botol ini dikepala cowok tersebut, namun gue urungkan niat itu. Bukan karna takut, tapi karna gue ga mau bertindak diluar batas. Love is blind, but not stupid. Gue ga mau membabi buta menyerahkan logika pada emosi yang kini berkuasa dalam diri gue.
Gue memutuskan bangkit dari duduk gue dan segera mengambil motor di pelataran parkir, menuju ke hotel Lisa. Gue langsung menuju lift tanpa menoleh ke lobby dan memilih spot di balkon lantai 4 yang bersebelahan dengan kamar yang ditempati Lisa.
Gue duduk diatas bangku almunium dan menunggu sangat lama disana, sampai rasa kantuk mulai bergelayut di kelopak mata gue. Hingga gue mendengar langkah dua orang beriringan berjalan mendekat, yang salah satu irama langkahnya sangat gue kenali.
Bagus.." ucap Lisa sambil berdiri mematung didepan kamar nya, menatap gue yang duduk di balkon memasang wajah tanpa ekspresi.
Lisa berjalan mendekat, diikuti cowok yang tadi gue liat di pantai kuta dengan Lisa.
Kamu.. kamu kenapa ga bilang masih disini" tanya Lisa dengan gugup dan bibir bergetar.
Sorry, aku ga ada niat buat stalking kamu. Aku bohong soal jadwal kepulangan aku. Tapi tanpa sengaja, saat aku di pantai kuta tadi, aku udah liat semuanya. Jawab gue masih dengan posisi duduk.
Lisa menjatuhkan badannya di bangku almunium sebelah gue, yang kemudian mendapatkan usapan lembut di pundaknya dari pria berkulit agak hitam yang berdiri dibelakangnya.
Lisa mulai terisak dan menutup wajahnya. Membiarkan air mata berhamburan melewati sela jarinya dan tumpah membasahi jeans yang dia kenakan.
Ga usah nangis Lis. Sekarang aku tau maksud tangisan kamu saat dalam kondisi seperti ini. Kamu bukan nangis karna menyesal. Tapi lebih karna malu tertangkap basah melakukan kecurangan. Ucap gue sambil menatap Lisa yang tertunduk dan menutup wajahnya.
Ini apa-apaan sih" tanya pria yang berdiri dibelakang Lisa sambil menatap gue.
Bukan urusan lo. You better get off. Ucap gue menatap balik ke wajahnya.
Jelas ini urusan gue lah. Lo bikin cewek gue nangis kaya gini jawab dia kini dengan nada ngotot.
I don t care. Get the fuck off.. ucap gue ga kalah nada dengannya.
Cowok itu setengah membungkuk dan membisikkan sesuatu di telinga Lisa, kemudian berjalan menjauh sambil tetap menatap gue. Gue membalas tatapannya dan terus mengikuti langkahnya hingga hilang dibalik pintu lift.
Lis. Kenapa harus mengulang kesalahan yang sama" Salah apa yang udah aku lakuin ke kamu" tanya gue sambil berusaha membuka telapak tang an yang menutupi wajah Lisa.
Lisa menatap gue dengan wajah sangat basah dan napas yang terisak.
Aku.. aku ga bisa kalo jauh dari kamu. Jawab Lisa masih dengan terisak.
Aku juga ga bisa. Makanya sejak awal aku anter kamu disini, aku bilang lebih baik kita akhiri hubungan kita. Karna aku ga bisa pacaran terpisah jarak. Dan opsi yang aku tawarkan itu aku yakin opsi terbaik.
Ga bisa.. aku.. Aku ga bisaa..
Iya, kamu ga bisa. Aku tau. Kamu ga bisa membiarkan hubungan ini berakhir tanpa ada yang tersakiti. Kamu ga bisa melepas aku tanpa sebelumnya meninggalkan kehancuran dan rasa sakit di hati aku. Ucap gue memotong omongan Lisa.
Lisa tertunduk dalam tangisnya. Tapi kali ini gue ga mengutuk diri karna membuatnya menangis. Dia bukan lagi sosok Lisa yang selama ini membuat gue jatuh cinta dengan senyumnya.
Lis. Aku baru berpikir. Saat kamu meminta aku buat ga melakukan kesalahan seperti yang papa kamu lakukan, aku kira itu artinya kamu juga ga akan pernah melakukan kesalahan itu. Tapi aku baru sadar. Bagaimanapun, dia papa kamu. Orang yang kamu sebut bajingan, penghianat, dan tukang selingkuh itu darahnya mengalir dalam diri kamu, membuat kelakuan kamu ga akan berbeda jauh dengannya.
Gue bangkit dari duduk gue dan berniat kembali ke penginapan gue. Lisa menangkap tangan gue saat gue melintas didepannya. Dia masih terduduk dan menatap gue dengan wajahnya yang semakin sembab.
Ga perlu ada yang dibicarain lagi, Lis. Dan ga perlu ada kesempatan apapaun lagi. Semua hal tentang kita cukup jadi kenangan buat kita sendiri aja. Dan buat aku, ini pelajaran berharga banget. Makasih Lis. Ucap gue sambil melepas pegangan tangan Lisa dan berjalan cepat menuju lift yang akan mengantar gue ke lantai dasar.
Gue bergegas mengambil motor dan melaju secepatnya menuju penginapan gue. Gue membereskan barang-barang gue kemudian membanting tubuh keatas kasur, berusaha untuk tertidur secepatnya.
Gue terbaring dengan rasa muak, dan tentu saja kecewa. Seperti seorang lelaki yang putus asa, duduk tanpa harapan di sudut tergelap dalam hidupnya, menunggu mati. Seperti seorang pemimpi yang berharap menemukan sebuah cinta yang tulus tanpa syarat, namun berakhir tragis di tikam kejamnya sang penghianat.
Hujan yang selama ini menyirami tanah kering di dalam hati gue kini lebih terasa seperti air garam yang mengguyur luka, menyisakkan rasa sakit yang teramat sangat, mencekat tenggorokan gue sehingga bernapas pun rasanya hanya sangat sulit.
Tapi, saat ini ga ada air mata setetespun jatuh di pipi gue. Bukan karna gue cowok, tapi karna gue merasa seperti sudah tau akan berakhir seperti ini. Gue merasa Tuhan menuntun gue dan menunjukkan bahwa selama ini gue telah salah menempuh jalan. Kekecewaan dan rasa marah menyelimuti gue di malam itu, mengantar gue menuju pagi, hingga menemani gue saat duduk di terminal bandara menunggu jadwal penerbangan yang akan membawa gue ke Jogja.
Iya, gue memang ga memesan tiket pulang ke Jakarta. Gue sempat mengikuti kata hati saat memesan tiket sebelum berangkat kesini tempo hari. Gue ingin meluangkan waktu di Jogja bersama Bokap dan Nyokap gue. Sekaligus menenangkan diri dengan jaminan senyuman mereka yang akan selalu menghiasi hari gue.
Gue menatap nanar ke tanah Bali dibawah sana dari jendela pesawat yang terhalang gumpalan awan. Di tanah itu, gue membayar semua karma gue. Gue baru menyadari, dua kali gue menghianati Liana, dan dibayar dengan dua kali pula gue di hianati Lisa. Tapi setidaknya, gue kini sudah membayar karma itu. Gue mungkin akan memilih menyendiri untuk beberapa waktu, menikmati lunas nya hutang karma yang baru saja gue bayar sampai sejauh ini ke pulau dewata.
Bagaimanapun, sekuat apapun gue berusaha mengelak, seangkuh apapun gue menolak untuk percaya, sejauh apapaun gue berusaha bersembunyi, Karma will always find its way.
Something More I lie awake again, my bodies feeling paralysed I can t remember when
I didn t live through this disguise
The words you said to me They couldn t set me free
I'm stuck here in this life i didn t ask for.
There must be something more, Do we know what we re fighting for"
Breathe in breathe out And all these masks we wore We never knew what we had in store Breathe in breathe out
The storm is rolling in The thunders loud it hurts my ears I m paying for my sins
And it's gonna rain for years and years I fooled everyone and now what will i become" I have to start this over
I have to start this over
There must be something more, Do we know what we re fighting for" Breathe in breathe out
And all these masks we wore We never knew what we had in store
Breathe in breathe out There must be something more Breathe in breathe out
There must be something more& Gue tiba di Bandara Adisutjipto sekitar jam 11 siang, disambut oleh Bokap dan Nyokap yang udah menunggu gue karna sudah gue kabari sejak pagi sebelum boarding dari Bali. Gue menyambut tangan Bokap dengan menciumnya namun dengan segera beralih ke Nyokap gue dan menciumi pipi nya berkali-kali.
Kami mencegat taxi yang kemudian mengantarkan kami ke sebuah rumah yang ditinggali oleh orang tua gue selama disini.
Nak, kamu kok belom makan" tanya Nyokap saat gue berbaring terlungkup diatas kasur di kamar yang memang disediakan buat gue setiap kesini, sambil melihat-lihat album foto masa kecil gue.
Nanti Bun. Bagus mau tidur dulu.
Eh disuruh makan malah tidur.
Ngantuk Bunda. Lagian Bagus belom laper
Gue menutup album foto tersebut dan merubah posisi memeluk guling dan memejamkan mata kemudian dengan segera gue tertidur.
Gue terbangun karna merasakan badan gue di guncang. Gue memicingkan mata dan menangkap wajah Bokap yang membangunkan gue.
Bangun. Magrib dulu ucap Bokap sambil keluar dari kamar.
Gue segera bangkit dan mengambil handuk kemudian bergegas mandi.
Sekitar jam 7 malam, Gue, Bokap, dan Nyokap berkumpul di ruang tengah menikmati makan malam sambil sesekali bercerita tentang kondisi gue yang sedang tidak bekerja saat ini. Bokap menyarankan gue sementara tinggal disini dulu untuk sekedar menenangkan pikiran sambil membantu usahanya.
Si Lisa gimana kabarnya, sayang" tanya Nyokap sambil membereskan sisa piring diatas meja makan.
Baik. Tapi Bagus udah ga ada apa-apa lagi sama Lisa. Ga usah ngehubungin dia lagi ya Bun.
Lho" Kenapa" Berantem doang apa putus beneran nih" tanya Nyokap dengan raut wajah bingung.
Halah, paling juga besok udah balikan. Dari jaman sama Liana juga kamu kan gitu Gus. Sambar Bokap Gue yang mencuri dengar dari ruang depan.
Oh, kali ini enggak. Iya dulu mungkin Bagus kaya gitu pacarannya. Tapi kali ini, once I say goodbye, i'm not looking back jawab gue dengan mimik wajah meledek Bokap.
Ya bagus lah kalo gitu. Lagian mau ngapain juga udah seumur gini kamu pacaran beda agama" Yang normal2 aja lah Gus. Ayah emang ga larang kamu mau pacaran sama orang apa aja, tapi lihat-lihat juga tujuan kedepannya mau kemana. Ucap Bokap gue sambil menatap gue dengan wajah serius.
Gue hanya berdiri terdiam sambil menyandarkan tubuh ke tembok dan menganggukkan kepala berkali-kali. Gue mengakui betapa demokratis nya orang tua gue. Ga pernah membuat kebijakan yang mengatur pergaulan dan pertemanan gue. Bokap gue memang tipe Ayah yang mendukung segala keputusan yang anak-anaknya ambil, asal anak-anaknya selalu siap bertanggung jawab dengan keputusan tersebut.
Gue kembali masuk ke kamar dan mengecek handphone. Dari beberapa notifikasi yang masuk, ga ada satupun dari Lisa. Seperti biasa, anak itu emang selalu merasa berhak untuk ga mengucapkan kata maaf ke orang lain. Dan kali ini, gue ga lagi mengharapkan dia mengucap kata maaf, karna hanya akan terdengar seperti sebuah nada sumbang ditelinga gue.
Seketika kembali gue dikuasai emosi karna melihat foto profile whatsappnya. Masih menggunakan foto Lisa yang tersenyum sambil memeluk sebuah boneka besar pemberian gue dulu. Gue kemudian memilih menghapus kontaknya.
Gue menghubungi Ko Hendri lewat whatsapp, minta di masukkan kembali ke grup teman-teman kantor lama. Hasilnya, malam itu gue dijadikan bulan2an oleh temanteman gue karna mereka tau Gue dan Lisa sudah ga ada hubungan lagi. Entah mereka tau dari mana. Mungkin hanya asal menebak namun salahnya gue mengiyakan.
Akhirnya gue ga menanggapi chat di grup dan memilih chat langsung untuk bercerita ke Ko Hendri.
Lisa kan emang ga bisa sendiri Bags. Lu kan dari awal udah tau itu.
Iya gue tau Ko. Tapi apa harus selingkuh" Apa kurang kesempatan yang gue kasih ke dia saat pertama kali dia sia-siain kepercayaan gue tahun lalu"
Bukan gitu Bags. Yaudah lah, what s gone is gone. Tuh sana chat ke Felicia. Ledek Ko Hendri
Gue langsung membuka kembali chat grup dan melihat isi para membernya. Mata gue langsung tertuju pada sebuah poto profile yang sangat gue kenali. Ga banyak yang berubah diwajahnya. Senyumnya tetap manis seperti dulu.
Gue kembali saling berbalas chat dengan Ko Hendri, gue memberitahukan sedang di Jogja, yang malah makin di bully oleh Ko Hendri.
Galau sih Galau Bags. Tapi masa sampe ke Jogja nangis di ketek orang tua" Hahahaha.
Gue hanya menanggapi dengan balasan candaan kemudian mengakhiri chat tersebut.
Gue merebahkan badan diatas kasur, menatap kosong ke langit-langit kamar yang malah terlihat seperti langit mendung. Bukan rasa kehilangan yang bergelayut di benak gue saat ini. Tapi rasa kesal, sedih, kecewa, marah, dan mungkin benci.
Gue benci dengan Lisa. Gue benci gigi gingsul yang menghiasi senyumnya. Gue benci wajah cemberut Lisa. Gue benci senandungnya. Gue benci cara dia tertawa. Gue benci cara dia memperlakukan gue seperti anak kecil yang dia pikir bisa dibodohi berkali-kali. Gue membenci semua hal tentang Lisa
Sejenak gue teringat apa yang pernah Ana katakan mengenai hubungan yang penuh perbedaan seperti Gue dan Lisa. Benar adanya bahwa gue dan Lisa hanya fokus mencari jalan untuk menengahi perbedaan ini kedepannya nanti, tanpa meyakini diri masing-masing untuk siap memperjuangkan segalanya, atau saling menjaga perasaan dan kepercayaan.
Apa semudah itu bagi Lisa untuk menghianati gue" Apa dia lupa dengan semua usaha gue untuknya selama ini" Apa dia enggan memikirkan kembali siapa orang yang selalu menjemput dan menemaninya saat harus pulang kerja tengah malam" Apa sehina itu kenangan Gue di mata Lisa sampai dia merasa pantas menghadirkan orang lain dan membunuh gue dengan air mata palsu yang dia teteskan semalam sebelum tertangkap berselingkuh"
Lisa gagal sebagai orang yang dipercaya. Dia dan semua omong kosongnya membuktikan betapa dia benar-benar tega menyakiti gue. Cukup jelas gue melihat Lisa dan pacarnya saling bermesraan di Pantai Kuta. Cukup jelas gue mendengar lelaki berkulit lebih gelap dari gue itu menyebut Lisa sebagai ceweknya. Apa lagi yang harus gue ragukan" Gue benci dengan Lisa.
Mungkin benar adanya, apa yang gue lakukan ke Liana dulu, dibayar oleh Lisa. Tapi, sayangnya gue ga sesabar Liana dulu yang sampai membuang waktu bertahun-tahun dengan berharap gue akan berubah menjadi lebih baik.
Gue cuma seorang Bagus, yang menganggap apa yang terjadi diantara gue dan Lisa tidak lebih dari sekedar pelajaran, bahwa ketika kita mempercayai seseorang, itu sama saja dengan memberikan sebuah pistol padanya. Lain kali, gue ga akan berpikir naif bahwa orang itu ga akan pernah menarik pelatuknya dan menciptakan lubang kecil di dada gue. Hingga satu-satunya pilihan gue saat ini hanyalah mengikhlaskan dan memaafkan kebodohan gue sendiri.
Meet Up Apa kalian pernah merasa ketika begitu tersakiti namun enggan untuk mengalihkan pandangan dari orang yang kalian cintai" Itu mungkin bagian atau lebih tepatnya tahapan awal dari apa yang orang sebut move on.
Meski begitu kecewanya gue dengan Lisa, nama Lisa masih ada dalam daftar pertemanan di semua media sosial gue. Bukannya gue mau mengikuti segala aktivitas yang dia lewati, gue hanya merasa ga mau lagi kaya anak SMA yang abis putus sama mantan nya, langsung ambil aksi block sana sini semua jalur komunikasi. Gue memang menghapus nomer Lisa, tapi tidak memblock nomer nya. Dan masih tetap berteman meski di dunia maya.
Rasa sakit dan kecewa itu diperburuk seiring dengan postingan terbaru Lisa yang selalu di tautkan ke sebuah nama yang memanggilnya sayang' di kolom komentar.
Mungkin, kalo seandainya gue dan Lisa putus secara normal (emang ada ya putus secara normal"), gue akan berpikir Kok secepet itu dia move on". Tapi ini berbeda. Hubungan gue kandas karna penghianatan berulang yang Lisa lakukan. Saat itu, gue memutuskan untuk menghapus namanya dari semua ranah media sosial yang gue punya. Bukan karna akhirnya gue mengakui bahwa anak SMA ternyata benar, bukan. Tapi karna gue merasa, cukuplah gue selama ini bersikap sabar atas segala sikap Lisa yang mengundang kekesalan gue. Cukuplah gue selama ini mengalah demi melihat Lisa tersenyum.
Gue bukan cemburu, sama sekali bukan. Justru gue tertawa setiap kali melihat wajah pria itu. Hanya saja, cukup bagi gue untuk mengetahui bahwa orang yang gue jaga sejak awal karna rasa kasihan melihatnya terbuang sendirian, kini bisa bertransformasi menjadi seorang penghianat yang bahkan belum cukup puas meninggalkan jejak sakit hati gue.
Jumat malam dipertengahan bulan Maret 2016. Gue menikmati udara dan suasana malam kota Jogja di sekitaran Jalan Malioboro, tepatnya didekat tugu 0 Km Jogja. Melihat ramainya kota jogja malam ini. Gue memutuskan buat keluar rumah sejenak untuk mengusir rasa bosan. Ga melakukan apa-apa bukanlah hal yang bisa dinikmati ternyata.
Handphone gue berdering, menandakan sebuah panggilan masuk, dari Tya. Gue sempet bingung dan terdiam sejenak, kemudian menjawab telpon tersebut.
"Bags, dimana lo?" tanya Tya dari ujung telepon.
"Lagi semedi, masih di Jogja. Kenapa Ya?"
"Gapapa, cuma mau mastiin lo masih idup aja hahaha"
"Sialan, masih lah. Lo sama Ko Hendri apa kabar?"
"Baik Gus. Eh, lo kapan ada rencana balik ke Jakarta?"
"Belom tau nih. Gue pengen stay disini aja dulu kayanya."
"Yakin lo" Felicia lagi di Jakarta lho." ucap Tya dengan nada meledek.
"Hah" Seriusin?"
"Seriusan kali, apaan seriusin"
"Iya, seriusan gak" Gue lagi ga dalam mood yang enak buat bercanda nih Ya."
"Seriusan. Udah buruan balik."
Gue mengiyakan dan memutus telpon tersebut. Secara tiba-ba rasa semangat kini kembali muncul dalam diri gue. Ga ada lagi yang harus gue sia-siakan, gue harus bergegas ke Jakarta.
Gue mengebut motor dengan segera buat secepetnya sampe dirumah. Gue langsung menyalahkan laptop dan mencari-cari tiket penerbangan ke Jakarta buat besok. Setelah menimbang-nimbang, gue putuskan membeli tiket tersebut dengan keberangkatan jam 10 pagi.
Malam itu, mata gue benar-benar susah diajak kompromi. Gue ga bisa tidur semalaman. Entah karna rasa semangat yang menggebu karna kangen pengen ketemu Felicia secepetnya, atau malah kesel karna harus merogoh sisa tabungan buat beli tiket ke Jakarta. Yang pasti, gue ga sabar buat segera ketemu Felicia.
---- Gue tiba di Bandara Soekarno Hatta jam 1 siang dengan keadaan kesal karna pesawat yang gue tumpangi sempet mengalami delay. Dengan segera, gue mencegat Bus Damri yang bertujuan ke Terminal Pasar Minggu.
Di dalam bus, gue menyalakan handphone, kemudian membuka beberapa notifikasi yang serentak masuk. Gue juga menyempatkan mengabari Tya bahwa gue udah di Jakarta, kemudian membuka beberapa media sosial.
Gue melihat sebuah postingan dari Felicia di timeline gue, sebuah foto Felicia bersama keluarganya dengan caption 'happy to be coming home'. Gue sempatkan memberi tanda love pada postingan tersebut, kemudian menyimpan kembali handphone gue di tas.
Sampai dirumah, gue merbahkan tubuh dengan rasa kangen yang memuncak sama kasur gue yang sempat gue tinggalin beberapa waktu. Ga lama gue membutuhkan waktu buat segera tertidur dalam damai.
Handphone gue berdering menandakan sebuah panggilan. Gue terbangun dan sempat berkali-kali memperjelas pandangan buat memastikan nama yang muncul di layar, Felicia.
"Halo Fel.." "Baguuuuuusss, apa kabaar?" ucap Felicia dengan nada yang sangat antusias.
"Baik Fel. Lo sendiri apa kabar" tumben nelpon?"
"Gue juga baik. Ini gue lagi di Jakarta Gus, meet up yuk"
"Wah, ayok boleh. Kapan" Udah lama gue ga ngerasain cubitan lo. Ucap gue berusaha menyembunyikan bahwa sebenernya dialah alasan gue segera pulang ke Jakarta.
"Sialan, lo cuma kangen sama cubitan gue doang" Malem ini yuk Gus, Lo free gak?"
"Hahaha iya boleh, gue selalu free buat lo. Mau jam berapa?"
"Gue ada acara keluarga dirumah, sekitar jam 10 deh udah selesai. Lo kerumah gue aja ya selesai acara, abis itu kita cari tempat makan disekitar sini aja."
"Yaudah boleh, jam 10 malem aja ya abis acara keluarga lo.
Felicia memutus telepon setelah membuat kesepakatan untuk bertemu dengan gue malam ini. Gue benar-benar semangat. Kali ini, gue yakin semesta memang ga akan pernah lupa menyatukan kembali dua makhluk yang berasal dari bintang yang sama.
---------- Jam 8 malem, gue udah rapi, diselimuti dengan sedikit wewangian yang menyelimuti badan gue. Tapi gue ga mau tampil berlebihan, cuma pake kaos dibalut jaket dengan jeans, serta sendal jepit.
Iya, Felicia dan beberapa temen gue juga tau kalo serapih2nya gue tetep aja pasti lebih nyaman pake kaos, jeans dan sendal jepit.
Sekitar jam 9 di malam minggu, gue udah berada ditengah keramaian jalanan ibu kota, menuju kerumah Felicia. Saat lagi asik2nya berkendara dengan motor kesayangan gue, gue merasakan handphone gue bergetar di jeans gue. Dari getarannya, gue tau itu menandakan sebuah panggilan. Gue menepikan motor dan menjawab panggilan telepon yang ternyata dari Felicia.
"Gus, dimana?" tanya Felicia dari ujung telepon
"Masih dijalan, setengah jam lagi lah"
"Oh yaudah. Gue mau keluar dulu sebentar gapapa ya Gus, nanti lo masuk aja, orang rumah udah gue pesenin kok"
"Yah gimana sih, lama ga lo keluarnya?"
"Yailah paling lama lo nunggu dirumah gue setengah jam kok. Gue nunggu lo bertahun-tahun ga pernah ngeluh" ucap Felicia dengan nada mengejek.
"Sialan, yaudah jangan lama-lama".
Gue mematikan telepon dan melanjutkan perjalanan. Sekitar jam 10 malam gue udah sampai di depan rumah Felicia, tapi gue ga masuk. Gue memutuskan menunggu di warung kecil yang dulu tempat biasa gue menunggu Felicia, sambil tentu saja memesan segelas kopi mocca.
Gue mengeluarkan handphone berniat membunuh waktu dengan membuka beberapa sosial media. Lama gue menunggu sampai harus merefresh sebuah sosial media berkali-kali karna merasa bosan, sampai ada sebuah postingan yang baru saja diunggah beberapa saat yang lalu.
Sebuah foto dari Felica, yang menampilkan sebuah acara keluarga, dimana Felicia berdiri ditengah keluarga sambil menjulurkan tangannya, dan seorang pria memegang tangan Felicia sambil memasang sesuatu di sela jari nya. Gue kembali merasakan irisan tajam di sisa hati gue yang masih berdarah saat melihat caption yang tertulis dibawah foto tersebut, We're finally engaged.' lengkap dengan nama seorang pria yang ditautkan pada foto tersebut, 'With Rendy'.
Is Everything Okay, Dear"
Lamunan gue terbuyarkan oleh bias cahaya lampu dari sebuah taxi yang berhenti tepat di depan pagar rumah Felicia. Gue melihat Felicia turun dari taxi kemudian masuk ke dalam rumahnya.


Karma Will Always Find Its Way Karya Karkuser di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rasa ragu kini menahan gue untuk bangkit dan segera masuk menyusul Felicia. Entah sudah berapa lama gue ga pernah bertemu dengannya lagi. Seketika otak gue memutar kembali setiap gores kenangan yang pernah gue lewati, hingga membuat gue termenung dalam diam.
Handohone gue berdering dan terasa bergetar dalam genggaman tangan gue. Tapi gue merasa berat mengangkatnya. Bahkan, melihat kearah layar yang menampilkan identitas penelpon saja gue malas. Gue menikmati lantunan Tears Don t Fall nya Bullet For My Valentine, sampai panggilan itu terputus.
Tidak lama, handphone berbunyi kembali sejenak, menandakan ada pesan whatsapp yang masuk. Tapi gue justru lebih memilih memasukkan handphone ke dalam saku jeans, kemudian melangkah ke motor yang gue tepikan didepan warung.
Bagus, ngapain disana" teriak seorang wanita dari kejauhan.
Gue menoleh kearah rumah Felicia, disana dia berdiri memasang senyum sambil memegang pintu pagarnya. Gue menatapnya cukup lama, sangat lama. Bahkan rasanya bumi ini sampai berhenti berotasi.
Kok disini, ga mau masuk kedalem" Ga kangen duduk di ayunan" ucap Felicia yang kini berada dihadapan gue dan membuyarkan lamunan gue.
Iya. Ayok ke dalem aja. Ucap gue pelan, tanpa ekspresi.
Gue membayar kopi mocca ke warung, kemudian mendorong pelan motor gue dibelakang Felicia. Gue kembali terpaku menatapnya dari belakang. Ga ada yang berubah dari wanita ini, masih secantik dan semenarik dulu. Hanya saja, sudah ada seorang lelaki yang bukan seorang pengecut yang kini mengikatnya'.
Mau di dalem apa di sini aja" tanya Felicia ketika berdiri di hadapan ayunan besi di samping taman luas depan rumahnya.
Disini aja gapapa kan" tanya gue sambil menepikan motor dan duduk di atas ayunan.
Felica menjawab dengan senyum kemudian berjalan pelan menuju kedalam rumahnya. Gue lagi-lagi hanya terpaku menatap punggungnya.
Kamu sekarang pendiem Gus. Ucap Felicia yang lagi-lagi membuyarkan lamunan gue sambil menenteng sebuah gelas yang sangat gue kenali.
Kamu" tanya gue sambil menerima gelas berisi sirup dari Felicia.
Kamu. Kok malah aku sih. Iya, maksudnya kok lo jadi aku-kamu gitu"
Felicia hanya merespon dengan senyuman yang sama sekali ga menjawab pertanyaan gue. Dia naik ke bangku ayunan dan mendekatkan wajahnya ke gue.
Kamu baik-baik aja kan" tanya Felicia masih dengan senyum nya dan menempelkan telapak tangannya yang halus ke pipi gue.
Ah, Hell No, Fel. Gue ga baik-baik aja. Gue hancur. Dan entah kenapa malah semakin larut luruh dalam kehancuran. Gumam gue dalam hati tanpa berani membuka suara.
Kamu mau cerita" Aku masih boleh jadi pendegar" tanya Felicia lagi.
Enggak, gue bisa bikin buku kalo harus ceritain apa yang gue lewatin beberapa tahun ini. Jawab gue sambil menggeleng tanpa ekspresi.
Bikin dong kalo gitu, aku jadi orang pertama yang baca deh.
Seketika ucapan Felicia membawa diri gue terhempas kembali ke masa lalu, ketika gue sedang duduk bersandarkan bantal diatas kasur kamar kos Lisa sambil main game, dengan posisi Lisa menyandarkan kepalanya ke badan gue sambil membaca sebuah novel berjudul 9 Summers 10 Autums.
------------- Kenangan itu, betapapun pahitnya, selalu bisa dikenang dan ditempatkan kembali di hati kita. Dan, biarlah memori beristirahat disana. Biarlah kita kunjungi suatu saat. Ucap Lisa saat membaca beberapa baris teks dalam novel yang sedang dia baca.
Gue hanya mendengarkan sesaat kemudian kembali fokus ke game yang sedang gue mainkan.
Kalo menurut kamu gimana sayang" tanya Lisa sambil mengubah posisi menjadi duduk berhadapan dengan gue.
Gimana apanya" Seandainya aku cuma akan berakhir sebagai kenangan, dimana kamu akan menempatkan aku" dan gimana cara kamu mengenangku"
Ga akan ada tempat buat kamu. Ucap gue asal.
Aah, serius sayang. Rengek Lisa dengan manja.
Ya di hati aku juga mungkin
Terus gimana cara mengenang aku"
Gue menutup aplikasi game kemudian meletakkan handphone diatas meja kecil disamping kasur, dan mengubah posisi duduk menjadi lebih tegap.
Aku ga akan pernah mengenang kamu. Tapi sebagai gantinya, aku akan bikin suatu karya yang menggambarkan tentang kamu, setelah itu, biar waktu yang akan menghapus kamu dalam karya aku. Jawab gue sambil menatap wajah Lisa.
Karya" Lagu" Nope. Mungkin aku mau nulis cerita.
Lisa tersenyum menatap gue kemudian kembali menyandarkan badannya setengah berbaring diatas paha gue.
And I will always wait for your story then. Ucap Lisa pelan tanpa menatap gue.
-------- Gue kembali dari lamunan dan menatap wajah Felicia. Dia ga menatap gue, hanya menatap kosong kearah taman.
Tahun lalu, aku ke Ausie. Aku pengen banget Gus ketemu kamu sebelum berangkat.. ucap Felicia pelan.
& & Tapi aku ga mau harus dapat penolakan lagi dari kamu, cukup sekali aja kamu bilang ga mau ketemu aku dulu. Dari situ aku kecewa sama kamu, kamu udah benar-benar jatuh cinta sama Lisa Lanjut Felicia sambil kini menatap gue.
Darimana lo bisa nilai kaya gitu" Bukannya wajar aja saat orang udah punya pasangan, dia menolak buat tetep deket sama orang lain"
Enggak. Kamu beda Gus, aku tau. Salah kalo kamu berpikir Lisa sayang dan membutuhkan kamu. Karna yang terjadi sebenernya adalah sebaliknya, kamu yang membutuhkan Lisa. Dan penolakan kamu buat ketemu aku adalah reaksi kamu yang takut kehilangan Lisa.
Iya, gue tau itu saat udah terlanjur nyaman menjalani semuanya sama Lisa.
Enggak, kamu dari awal membutuhkan Lisa, kamu dari awal membutuhkan orang lain. Tapi kamu ga berani mengejar, kamu ga berani berusaha lebih. Kamu takut harus merasa sakit hati lagi setelah kehilangan mantan kamu yang dulu itu.
Liana" Aku ga peduli siapa namanya. Tapi yang pasti, sejak kamu putus sama dia, kamu jadi kaya orang kehilangan arah. Kamu makin aneh. Kamu jadi ga mau sendirian. Kamu rela2in pulang lewat tengah malem demi dapet temen yang bisa menjauhkan kamu dari rasa sepi. Dan Lisa masuk ke hari-hari kamu menawarkan semua itu, sementara aku kamu anggap sebagai sesuatu yang kalo bisa kamu dapetin ya syukur, kalo ga bisa yaudah.
Gue terdiam dan menunduk. Bukan karna mencoba memahami ucapan Felicia, tapi justru karna baru menyadari betapa benar semua ucapannya. Entah sudut pandang apa yang dia gunakan sampai dia bisa melihat gue sebegitu detailnya.
Gue mengakui, gue yang membutuhkan Lisa sejak awal. Gue yang menemukan bahwa Lisa memiliki segala hal yang mungkin ga akan pernah gue dapatkan dari Liana, maupun Felicia. Lisa, yang tanpa perlu di ejakan satu per satu, sudah mengerti bagaimana cara memperlakukan gue, meski akibatnya dia jadi bisa terlalu mudah mempermainkan gue.
Aku nunggu kamu Gus, selalu nunggu kamu.. ucap Felicia lagi tapi kini dengan sedikit terisak dan menggenangkan air mata di sudut matanya.
Aku nunggu kamu bertahun-tahun. Aku nunggu dan berharap kamu sadar dan dateng temuin aku. Tapi sampe aku pergi ke Ausie, kamu bahkan ga ngucapin apapun. Lanjut Felicia.
Cukup Fel, cukup. Jangan bikin semuanya semakin terasa perih buat gue. Batin gue dalam hati dengan keadaan menunduk.
Sampe akhirnya ada orang yang mengetuk pintu hati aku, dan meminta aku jadi istrinya. Tapi orang itu bukan kamu.
Felicia menundukkan wajah nya, dan menumpahkan seluruh air mata dalam tangisnya. Tangis yang mungkin sudah sangat lama ia tahan. Bukan tangis kehilangan, tapi lebih seperti menangisi seorang lelaki bodoh dan pengecut, menangisi seorang pecundang yang lari menghindari perang.
Gue menggenggam tangan Felicia, mencoba menenangkannya. Namun kini, ada yang berbeda. Sebuah cincin bermata berlian yang sangat indah melingkar di jari manisnya.
Sebuah cincin yang menandakan komitmen, sebuah pilihan yang kini telah Felicia ambil, untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama seorang pria yang akan menjaganya seumur hidup, seorang lelaki yang juga teman gue, sahabat gue, teman berbagi cerita, teman yang lebih berani mengambil resiko dan mengorbankan segalanya demi mendapatkan hati Felicia.
Gus, tetep temenin aku ya, sampe nanti aku akan menjalani hari baru sama Rendi. Jangan ngejauh lagi Gus. ucap Felicia masih dalam isak tangisnya.
Gue tersenyum menatap wajah Felicia dengan matanya yang membengkak. Senyum yang gue paksakan. Senyum yang ga akan pernah terpasang jika ga mendengar ucapan itu dari Felicia.
Enggak Fel. Lo akan lebih baik-baik aja tanpa gue. At least, itu yang terjadi selama ini. Dan semoga dikasih kelancaran sampai hari H ya.
------- Gue terbaring diatas kasur sekitar jam 1 dini hari, sepulang dari rumah Felicia. Mengingat kembali semua yang udah gue lewati. Semua senyum, tawa, air mata, dan luka berjalan beriringan menemani gue memahami cerita hidup gue.
Kali ini, gue merasakan seperti gue bukan lah aktor utama dalam cerita hidup gue. Gue hanya pemain figuran yang melintas sejenak ketika para aktor utama memainkan peran mereka masing-masing. Gue hanya stuntman, yang mengisi adegan berbahaya dan rela terluka demi keamanan dan kebahagiaan para pemain utama. Tentu saja Liana, Lisa, dan Felicia lah yang justru menjadi pemeran utama nya.
Gue mengambil handphone yang sempat gue lempar ke sudut kasur, memeriksa beberapa notifikasi yang masuk. Dan melihat nama Ana dalam sebuah panggilan tak terjawab yang tadi gue abaikan, serta sebuah pesan di BBM singkat, sebaris kalimat, namun memerlukan waktu cukup lama buat memahami pertanyaan nya.
Is everything okay, Dear"
Forget About It Gue terbangun di Minggu pagi dalam keadaan malas. Telepon gue sejak tadi berdering menandakan beberapa kali panggilan masuk, gue hanya sempat melihat nama Ana yang muncul di layar, hanya saja gue enggan menjawab telpon tersebut.
Gue beranjak keluar kamar dan menuju kamar mandi untuk membasahi wajah, kemudian menuju dapur mengambil segelas air mineral dan segera kembali ke kamar.
Gue menyalakan laptop dan memilih beberapa lagu kemudian memutarnya dengan volume maksimal di speaker, dan kembali merebahkan badan diatas kasur.
Beberapa pesan BBM yang masuk dari Ana akhirnya gue buka dan gue baca satu per satu.
Hey, lo kenapa" Halo, handphone nya berat ya sampe ga mau angkat telpon gue"
Gus, lo kenapa sih" Gue lagi di Jakarta, ga bisa ketemu ya"
Dan beberapa baris pesan lainnya yang akhirnya gue lewati membaca kemudian membalas BBM tesebut.
Gue lagi puasa ngomong Na, ga usah nelpon lah, bbm aja.
Seketika Ana langsung membalasnya.
Oh ya" Ada berapa jenis puasa lain lagi yang gue ga tau"
Banyak. Puasa mutih salah satunya.
Tapi ga ada puasa ketemuan kan"
Mau ketemu dimana" Hari ini"
Ana kemudian memberikan beberapa opsi tempat yang enak buat sekedar meluangkan waktu sambil ngobrol-ngobrol. Gue memilih salah satu tempat yang memang ga terlalu jauh dari lokasi gue. Bukan apa-apa, gue ngerasa udah ga punya jiwa spartan lagi yang rela nempuh jarak jauh cuma buat ketemu cewek.
Gue bergegas mandi dan dengan segera melaju ke lokasi yang sudah disepakati untuk bertemu Ana. Gue sempet kesel sendiri karna Ana ternyata ngaret dari waktu perjanjian.
Gue memilih tempat duduk di ruangan yang lebih terbuka supaya bisa sambil merokok dan membuka buku menu yang dberikan, kemudian menggumam kesal sendirian karna udah lama banget gue ga pernah milih menu sendiri.
Sekitar 15 menit kemudian, seorang wanita cantik terlihat dari kejauhan, menggunakan sebuah baju tanpa lengan berwarna hitam yang dipadukan dengan jeans biru, menenteng tas kecil berwarna krem dengan rambut panjang terurai.
Kami saling bertegur sapa dan berbasa basi, kemudian Ana meminta gue menceritakan banyak hal yang terjadi dalam hidup gue. Gue menjadi seorang pencerita sementara Ana menjadi seorang pendengar yang baik, sambil sesekali bergumam kesal ketika ada hal dalam cerita gue yang menurutnya menyebalkan, atau bahkan menatap gue dengan mata berkaca saat cerita gue menjabarkan sebuah situasi yang menurutnya mengharukan.
Gitu lah Na ceritanya, sampe akhirnya sore ini gue duduk disini sama lo. Ucap gue mengakhiri cerita sambil meneguk minuman yang tersisa sedikit.
Ana ga berkata apapun, hanya menatap gue sambil memangku dagu nya dengan mata yang berkaca namun tetap memasang senyum terbaiknya.
Gimana" Ada yang mau lo tanyain"
Gue mau liat foto-foto tiga cewek itu boleh" tanya Ana sambil menggeser posisi duduknya.
Gue mengeluarkan handphone, dan mencari beberapa foto Lisa yang masih sangat banyak tersimpan.
Ini Lisa, lo udah pernah liat juga kan" ucap gue sambil menunjukkan layar handphone gue.
Lo masih simpen fotonya"
Belom sempet gue pindahin ke laptop, gue ada niat nepatin janji gue ke Lisa buat bikin cerita tentang dia, foto-foto ini bakal ngebantu banget buat nginget jalan ceritanya.
Terus Liana sama Felicia mana fotonya.
Felicia... Gue menutup galery handohone gue dan membuka instagram, kemudian mengetikkan nama Felicia di kolom pencarian dan mengklik namanya yang kemudian membawa gue ke halaman timeline nya yang dikunci.
Yah, di private akun nya Lah" Emang lo ga follow dia"
Enggak, Cuma temenan di path. Yaudah ini gue follow dulu, langsung di approve kok pasti sama dia. Setelah liat fotonya gue unfollow lagi.
Tidak menunggu sampai 5 menit, permintaan follow gue sudah di terima oleh Felicia, gue menunjukkan beberapa foto Felicia ke Ana.
Manis ya orangnya. Ini Rendi" tanya Ana saat melihat foto Felicia dengan Rendi.
Iya. Masih gantengan gue kan padahal"
Yee, percuma ganteng kalo pengecut. Ucap Ana sambil menoyor kepala gue yang gue sambut dengan gerutu.
Terus Liana mana fotonya"
Gue terdiam sejenak, mencoba mengingat-ingat media sosial apa yang bisa gue gunakan untuk melihat foto Liana.
Ga ada. Gue ga temenan di sosial media manapun sama Liana. Dan kayanya semua akun dia juga di private, jadi ga bisa liat foto dia.
Hah" Masa sih" Terus foto di BBM atau Whatsappnya"
Ga ada, gue ga temenan di BBM. di whatsapp juga foto dia ga muncul, kayanya nomer gue di block atau ga disimpen sama dia.
Hahaha segitunya ya" Dia ngebenci lo gitu kali ya" ucap Ana sambil tertawa lepas.
Yaa gatau dah. Gue juga kan udah lama ga ada kontak sama dia. Lagian biarin aja lah, cara orang ngelupain masa lalu kan beda2.
It's now how you forget the past, dear. It s how you deal with it.
Yaa bagus lah. Good for her.
Yakin" Yakin apanya" Yakin itu bagus buat dia" Lo ga mau ngejar lagi" Gue tau kok lo masih sayang sama dia.
Soal sayang atau enggak mah gue ga tau ya Na, tapi emang segala sesuatu udah ada tempatnya masing-masing.
Ana menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi dan melipat kedua tangannya di dada, kemudian menatap gue, tentu saja masih dengan senyum yang membuat dia selalu terlihat cantik.
Kalo gue" Ada tempat di hati lo" tanya Ana.
Gue udah nepatin janji kan" Lo orang pertama yang gue cari saat gue putus sama Lisa.
Mana" Gue yang nyari lo. Dari kemaren gue telpon ga lo jawab.
Yaa seenggaknya lo orang pertama yang gue ceritain semuanya lah.
Berarti sekarang lo mengakui kalo lo juga ada rasa sama gue" tanya Ana sambil mendekatkan wajahnya ke gue.
Gue sontak gugup dengan respon Ana. Bukan karna pertanyaannya, tapi karna gestur tubuhnya yang mendekatkan wajahnya saat bertanya malah membuat gue teringat dengan Felicia.
Gue.. Gini deh Na. Inget pesen gue yang waktu itu kan" Jangan pernah ninggalin cowok yang selama ini nemenin dan jagain lo selama bertahun-tahun. Ucap gue sambil menegakkan kembali badan Ana ke sandaran kursi.
Anggap lah, pada akhirnya gue memohon di kaki lo buat menerima gue jadi cowok lo, terus lo terima gue. Nah cowok lo yang disana apa kabar" Mau lo duain" Mau lo tinggalin" Apa beda nya lo sama Lisa" lanjut gue kali ini dengan nada serius.
Some things don t work properly antara gue sama cowok gue Gus. Dan gue rasa, emang udah saatnya gue ngelepas dia.
Nah kalo gitu, apa beda nya lo sama Liana" Not every single thing will work properly, Na. Tapi selama masih bisa diperbaiki, jangan pernah milih mengakhiri. Selama masih ada harapan, jangan pernah memilih menyerah sama keadaan.
Ana terdiam menatap gue, terlihat kali ini dia memaksakan senyumnya. Sejenak dia menghela napas kemudian memasang wajah serius.
Lo yakin kali ini ga ngambil keputusan yang salah lagi"
Gue enggan untuk langsung menjawab. Karna pertanyaan yang berkaitan dengan perasaan akan selalu berbenturan antara yakin dengan ragu. Dan sepertinya, ini bukan saat yang tepat untuk menunda. Apapun itu, gue harus segera mengungkannya ke Ana.
Gue yakin Na. Dan gue akan dengan sangat senang hati kalo lo bisa mempertahankan hubungan lo sama cowok lo yang sekarang.
Ana menjatuhkan beberapa tetes air mata yang meninggalkan jejak basah di pipinya. Namun masih tetap memaksakan senyum.
Sore itu, gue melewati sebuah kesempatan yang mungkin akan mendapat tanggapan sinis dari Ryan saat nanti gue menceritakan semuanya ke dia. Ini bukan tentang perasaan gue yang udah terlanjur kecewa oleh Lisa, bukan. Tapi lebih kepada sebuah keyakinan, jika memang Tuhan menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, biar Tuhan juga yang akan menyatukannya.
Dan sebagai manusia, gue mesti banyak bersyukur. Bahwa ternyata gue ga perlu menyesali apapun yang terjadi dalam hidup gue, semua pilihan yang udah gue ambil, atau semua jalan yang udah gue tempuh. Dan untuk saat ini, gue sama sekali ga merasa butuh pasangan. Cukup satu atau dua orang teman wanita untuk saling berbagi cerita. Terima kasih untuk mereka ang selalu tertawa bersama gue membaca beberapa cerita ini dan tanggapan komentar yang sebenarnya menyisakan perih, tapi tetap terbaca lucu ketika pada akhirnya gue mampu melewati semua.
Terima kasih buat semua kaskuser yang sudah mengikuti cerita ini sejak awal. Gue lewat beberapa hari dari target menyelesaikan tulisan ini. Sebenernya mau gue selesain dalam satu bulan aja. Tapi semoga tetap berkenan buat para kaskuser.
Semoga cerita ini ga menyinggung pihak lain, baik yang terkait langsung dalam cerita, maupun yang merasa ada kesamaan dengan beberapa alur cerita ini. Mohon maaf jika masih banyak kekurangan dalam segala aspek tulisan gue, semoga tetap dapat menjadi sebuah pelajaran sekaligus pengalaman, dan semoga kita semua bisa tetap bahagia.
Not every story ends with an happy ending ~
Selesai You are a hand full of roses Thorns and a cheap bouquet True, I'm a walking disaster They told you to stay away
Seems like I'm making A deal with the devil
Who's whispering softly to me Are you sure that she's the one"
'Cause I feel Like a bad joke Walk the tight rope To hold on to you
Was it real" Or a love scene, From a bad dream I don't think
I can forget about it You are a shining example Of why I don't sleep at all Too many sheep on the brain To make sense of a late night call
Talking in circles and Chasing a tale of
Love-drawn distant memory Am I sure that she's the one"
'Cause I feel Like a bad joke Walk the tight rope To hold on to you
(Gotta know), Was it real"
Or a love scene, From a bad dream I don't think
I can forget about it (Gotta know, Was it real")
You know... There are some days where I really feel Like this could work;
Like you and I are finally gonna get it right
Then there are days like today When you make me
Wanna tear my fucking hair out
'Cause I feel Like a bad joke (Like a bad joke) Walk the tight rope To hold on to you
(Gotta know), Was it real"
Or a love scene, From a bad dream I don't think
I can forget about it I feel Just like a bad joke Woah~
Gotta know, Was it real"
Waking up from a bad dream From a bad dream
I don't think I can forget about it So just forget about it!!! So just forget!!!
Side Story #4 Sabtu ke empat di bulan April 2016, beberapa teman-teman di kantor lama merencanakan untuk kumpul2 bersama. Tapi karna sejak siang pembahasan di grup chat mengenai tempat berkumpul ga kunjung pasti, gue pun malas menanggapi dan hanya menjadi pembaca dalam obrolan chat mereka.
Jam 7 malem, selesai mandi (yailah pake mandi segala di malem minggu) gue menyalakan laptop dan menyetel musik dengan speaker kemudian membaringkan badan diatas kasur sambil bermain game. Sebuah pesan whatsapp masuk.
Bags, kemari ya Ko Hendri mengirimkan location yang gue buka ternyata ga begitu jauh dari rumah gue, gue segera membalas sekedar mengiyakan.
Jam 8 malam, gue sampai di sebuah pelataran parkir cafe yang sesuai dengan arahan location Ko Hendri. Gue bergegas masuk, kemudian melihat sekeliling mencari wajah2 yang mungkin gue kenali. Dari kejauhan, gue melihat Rendi mengangkat tangannya duduk disebuah meja besar bersama teman-teman yang juga gue kenal.
Nah gitu dong beneran dateng jawab Ko Hendri saat gue mendekat dan menyalami mereka satu per satu.
Ada Ko Hendri dan Istrinya (Tya), Rendi, serta Heri dan pacarnya (Melda). Gue duduk dikursi kosong diantara Rendi dan Heri.
Apa kabar nih semuanya" tanya gue basa basi sambil menbuka buku menu.
Pertanyaan gue yang sebenernya basa basi malah membuat mereka saling berpandangan dan kemudian tertawa lepas. Gue memandangi mereka satu per satu dengan wajah heran.
Apaan yang lucu" Lu orang kaku banget Bags sekarang jawab Ko Hendri sambil berusaha menahan tawanya
Kaku" Emang nanya kabar kaku ya"
Bukan pertanyaannya, tapi cara lo nanya kaya orang ga pernah kenal kita aja. Lagian lo kan orangnya serampangan biasanya, sekarang tau-tau dateng trs ngomong apa kabar nih semuanya" Hahaha saut Heri menirukan cara bicara gue yang kemudian disusul tawa lagi oleh teman-teman yang lain.
Gue hanya cengengesan mendengar jawaban Heri. Apa iya gue se kaku itu" Ah, kayanya gue biasa aja dah.
Lisa apa kabarnya Bags" tanya Rendi sambil mematikan puntung rokok ke asbak di hadapannya.
Baik sih harusnya. Felicia gimana kabar" Kok ga ikut"
Baik Bags, dia nganter adek nya berobat ke dokter, mungkin ntar nyusul kesini. Lo main lagi lah kerumahnya, ayunannya kangen sama lo tuh kata Felicia
Bukan ayunannya kali, Felicia nya yang kangen sama gue jawab gue asal yang disambut tawa oleh Rendi.
Kami ngobrol banyak malam itu. Sebenernya akhir-akhir ini mereka memang jadi sering nongkrong lagi, Cuma gue selalu ga bisa ikut hadir karna lokasinya selalu jauh dari gue. Mana mau lagi gue nempuh jarak jauh sendirian diatas motor malam-malam.
Obrolan kami yang dipenuhi oleh candaan masih hampir sama kaya dulu, hanya saja ada kekakuan antara Melda dengan Tya. Gue ga tau ada masalah apa antara mereka, tapi gue salut sama Ko Hendri dan Heri yang tetap bisa membawa suasana santai dan menengahi kekakuan pasangan mereka.
Eh lo kapan jadinya mau meried Ren" tanya gue ditengah obrolan.
Belom dapet tanggalnya Bags. Doain aja lah. Gue sih terserah Felicia, katanya dia mau nya tahun depan aja.
Lah, ngapain dari sekarang lo tunangan kalo meried nya masih lama" Gue kira udah ada rencana tanggal meried nya
Yee lu kaya ga tau aja Bags, Rendi takut lu tikung, makanya langsung di iket dulu saut Tya.
Yailah kalo Gue mau nikung mah udah dari awal kali, Ya. Tapi yaa mudah-mudahan cepet nentuin tanggal deh.
Rendi hanya mengangguk-anggukan kepalanya sambil tersenyum menatap gue. Dari pandangan mata nya, gue merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan dari gue, tapi gue tetep berharap semoga ga ada kaitannya sama urusan gue dengan Felicia di masa lalu.
Sekitar jam 11 malam, Ko Hendri dan Tya menginterupsi obrolan untuk undur diri karena besok pagi akan ada acara keluarga, Heri dan Melda pun jadi latah undur diri juga, terpaksa gue dan Rendi pun sepakat mengakhiri pertemuan ini. Kami saling bersalaman di parkiran dan berpisah satu per satu, menyisakan Rendi yang masih duduk di atas motornya sambil sibuk dengan handphone nya.
Ren, Felicia jadi nyusul emang" Lo nungguin dia" tanya gue ke Rendi sambil menjalankan pelan motor gue mendekat.
Enggak Bags, Felicia langsung balik katanya. Yaudah, lo mau balik nih" jawab Rendi sambil memasukkan handphone di saku jeans nya.
Iya deh, gue duluan ya. Nongkrong bentar lagi aja yuk Bags, sebotol aja lah sambil ngobrol-ngobrol.
Dimana" Emang sevel masih jual bir"
Ya cafe sepanjang jalan sini aja, banyak kok yang jual.
Yaudah gue ikutin dari belakang lo.
Gue berjalan pelan mengikuti Rendi yang mengendarai motor didepan gue sambil menengok ke setiap cafe yang kami lewati, kemudian menepikan motor di sebuah cafe yang dia pilih. Gue mengikutinya masuk dan memilih tempat duduk yang sudah Rendi tentukan kemudian memesan minuman dan beberapa cemilan.
Yah ini mah wine kali. Gue kira bir doang protes gue ke Rendi saat seorang waiter mengantarkan minuman.
Gapapa lah, sesekali. Lo udah mau meried masih doyan minun aja, gue pikir udah jadi orang bener.
Hahaha, lo kenapa sih Bags" Asli kaku banget dah. Gue jadi ngerasa diceramahin ustad muda yang baru lulus pesantren.
Bangke. Ya kagak gitu juga. Maksud gue, gue pikir kita udah pada ga kaya dulu.
Ya kan sesekali Bags. Gue juga minum gini kalo lagi ketemu temen lama doang, atau kalo lagi dinner sama Felicia.
Gue hanya tersenyum malu mendengar jawaban Rendi. Mungkin ada benarnya yang dia bilang, gue malah makin kaku sendiri jadinya.
Kita mah ga ada yang berubah Bags, nongkrong bareng ngobrol becanda kaya biasa. Lo kali yang berubah, mungkin karna udah terbiasa hidup sehat. Hahaha ucap Rendi sambil menyodorkan gelas kecil yang sudah dia tuangkan wine.
Toss dulu biar ga kaku Bags. Lanjut Rendi sambil mengangkat gelasnya.
Gue menanggapi dengan menyentuhkan gelas gue ke gelas Rendi dan meneguk bersamaan dengannya, kemudian menyulut sebatang rokok.
Lo bener udah kelar sama Lisa Bags" tanya Rendi sambil memakan beberapa cemilan di hadapannya.
Bener. Kenapa emang"
Ya gapapa, bagus deh kalo gitu. Ambil hikmah nya aja Bags, ga usah jadi dendam.
Iya lah, sekecewa apapun gue sama orang, gue mana pernah nyimpen dendam. Ujung-ujungnya mah gue ikhlasin aja.
Anjir.. lo nyindir gue" ucap Rendi sambil batuk karna tersedak.
Hahaha kagak lah. Ah lo kaku banget Ren sekarang jawab gue mengejek balik sambil menggeser kotak tisu kearah Rendi.
Tapi gue serius Bags. Kalo emang lo masih ngerasa kesel karna terpaksa mundur waktu di awal dulu, ngomong aja.
Buat apaan" Kalo gue ngomong, terus lo akan batalin tunangan lo sama Felicia dengan berlagak jadi pahlawan yang merelakan Felicia bahagia walaupun ga sama lo, gitu" ucap gue dengan nada mengejek.
Sial. Ya ga lah. Tapi seenggaknya gue ga mau ada crash aja nanti kedepannya.
Yailah Ren, Enggak akan ada. Santai aja.
Gue perjuangin dia Bags. Gue datengin sampe ke Ausie demi minta dia jadi istri gue. Ucap Rendi sambil memasang wajah serius.
..... gue ga menjawab, lebih memilih memasang sikap menyimak omongan Rendi.
Waktu Farewell dia dari kantor kita dulu, gue nembak dia Bags. Ditolak. Dia bilang dia sayang sama lo dan berniat nunggu lo. Gue bilang Oke, kalo gitu gue juga bakal nunggu lo sampe bosen nungguin si Bagus. Terus mulai dari situ gue selalu cari cara deketin dia, perjuangin hatinya.
Lah, jadi maen tunggu2an gitu dong ya berarti selama ini"
Iya. Dan lo goblok Bags ngebuat Felicia nunggu lo bertahun-tahun.
Lo lebih goblok dong, nunggu orang yang lagi nunggu sampe bertahun-tahun
Hahaha iya ya" Tapi ya gitu lah Bags. Sebenernya gue kesel sama lo, tapi ini juga bukan salah lo. Masalah perasaan soalnya.
Eh, sekarang dia balik sini seterusnya atau gimana jadinya"
Sementara dia mau disini dulu. Tapi bulan depan dia balik kesana lagi
Terus gimana perjuangan lo sampe ke Ausie sana"
Dia mah pindah kesana emang sengaja ngejauhin gue Bags, gue tau kok. Saat dia mau berangkat, gue ambil cuti sengaja biar bisa anter dia sampe bandara. Eh dia bilang Lo ajak Bagus juga ya. Kalo dia ga bisa, lo ga usah ikut anter aja. Sialan ga tuh"
Hah" Sampe segitunya"
Iya, lo nya emang goblok Bags ucap Rendi sambil kemudian menuangkan wine lagi di gelas gue dan gelas dia.
Gue terdiam sejenak mendengar cerita Rendi. Sebenernya, bukan karna merasa menyesal sempat melewati Felicia yang sampe segitunya ke gue. Tapi lebih karna gue merasa khawatir kalo nanti Rendi malah berubah sikap ke Felicia setelah berhasil menikahinya.
Ren, lo temen gue kan" Gue boleh minta lo janji ga" ucap Gue sambil kembali menatap Rendi dengan wajah serius.
Janji apaan" Oke, mungkin gue selama ini sebego yang lo bilang. Tapi gue salut sama lo, bisa bertahan menghadapi sikap denial nya Felicia dan terus berjuang buat dapetin hatinya.
Gue menahan sejenak ucapan gue dan tetap menatap Rendi yang kini mengangukkan kepalanya berkali-kali.
Tapi janji sama gue Ren, setelah lo nikah sama Felicia, lo bakal terus tetep berjuang buat bahagiain dia. Jangan ngebales sikap dia yang selama ini bisa dibilang kelewatan sama lo. Lo harus bersyukur dan terus berusaha bahagiain dia. Atau, gue bakal rebut Felicia dari lo kalo gue sampe tau lo malah mengecewakan dia. Gue ga peduli walaupun lo udah nikahin dia nanti, kalo gue denger lo mengecewakan dia, gue bakal rebut dia dari lo.
Rendi masih terdiam menatap gue. Wajahnya sangat serius kali ini.
Gue ga mau Bags.. ucap Rendi dengan suara tegas dan gue malah menatapnya dengan wajah bingung karna kaget dengan jawabannya.
Gue ga mau janji sama lo. Karna gue udah janji sama diri gue sendiri, akan terus bahagian Felicia, dunia akhirat malah. Gue yakin dia emang diciptain buat gue. Dan gue juga yakin gue emang yang tepat buat dia. Lanjut Rendi sambil menatap gue.
Gue tersenyum menatap wajah Rendi. Dan gue merasa sangat puas mendengar jawabannya. Semoga semuanya akan baik-baik aja dan ga akan ada lagi yang harus merasa kecewa.


Karma Will Always Find Its Way Karya Karkuser di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami melewati malam itu sampai jam 3 dini hari, menikmati sebotol red wine sambil membicarakan mimpi-mimpi yang akan kami kejar kedepannya.
Setelah malam itu, gue berniat menuntaskan janji gue untuk mulai menulis cerita ini kemudian berusaha menyelesaikannya dan melanjutkan hidup gue, melupakan semua hal tentang semua wanita yang selama ini merenggut jatah gue sebagai aktor utama. Bersamaan dengan selesainya cerita ini, gue akan memulai cerita hidup yang baru, bukan lagi sebagai pemeran figuran, tapi sebagai pemeran utama nya.
Badik Buntung 3 Pembunuh Di Balik Kabut Why Didn't They Ask Evans Karya Agatha Christie Dendam Membara 1
^