Pencarian

Kisah Masa Kini 1

Kisah Masa Kini Karya Dirgita Devina Bagian 1


LARI Kau ingin aku kirim ke mana" Bili terlihat mengatur sesuatu di komputer. Jemarinya bermain lincah di papan ketik.
Dua ratus tahun sebelum Perang Dunia Ketiga. Digta memastikan semuanya telah siap. Beberapa monitor LCD yang ia pantau, menampilkan status hijau. Merasa semuanya beres, ia meninggalkan kursi dan menghimpun rambutnya, seraya kemudian membenamkan sebuah penjepit yang lancip. Bagi Bili, tatanan rambut Digta sekarang terlihat bagai air mancur yang berputar di belakang kepala.
Aku ingin melihat keadaan Bumi pada waktu itu. Digta beranjak dari ruang operator. Langkahnya lurus menuju sebuah mesin cukup besar.
Bili berhenti pada sebuah tombol. Ia menutup mulutnya yang membuka lebar.
Huaaaaah! Dan ia pun mengeluh. Hampir sepekan ini ia kurang tidur. Sebagian besar waktunya ia habiskan di Laboratorium Teknik Dua milik Divisi Gerakan Cepat. Divisi ini dinaungi oleh Kepolisian Republik Indonesia, menangani kasus kriminal seperti polisi, namun tanpa melibatkan senjata api dan bahan peledak.
Jemari Bili kembali bekerja dan berakhir pada tombol ENTER. Ia berbalik pada Digta. Gadis itu telah mendaki empat anak tangga. Dan sekarang, kakinya berpijak pada sebuah lempeng logam cukup lebar. Di hadapannya, dua menara lengkung setinggi hampir tiga meter mulai berdengung halus. Udara di antara dua menara terlihat bergelombang, bagai hawa panas yang membentuk lingkaran selebar dua meter.
Bili turun dari kursi dan menyusul hingga di depan anak tangga. Kau yakin" tanyanya lagi.
Digta malah mencopot jas laboratorium yang ia kenakan, lalu ia lempar ke arah Bili. Jas berwarna putih miliknya segera jatuh sempurna di dekapan pemuda berambut jabrik itu.
Bili terheran. Simpan jas itu untukku. Aku pasti kembali untuk mengambilnya.
Sontak, Bili merasa kemeja berwarna merah jambu yang membalut tubuh Digta tidaklah cocok. Mungkin, lebih sesuai dengan warna merah, seperti sifat Digta yang berapiapi. Irene yang telah lama menjadi atasan Digta hanya memasang senyum, menggeleng kecil, lalu membetulkan letak kacamata.
Terserah.... Bili berputar. Ia tidak mau ambil pusing. Ia telah capek beradu mulut dengan gadis yang satu itu. Baru lima hari mereka kenal, namun sudah lebih sepuluh kali mereka berselisih. Bandingkan dengan Ayu, rekan kerja Bili semenjak Laboratorium Teknik lahir. Satu kali pun mereka tidak pernah terlibat perang argumen. Bahkan dalam satu minggu, mereka hanya tiga kali saling menyapa. Entah bagaimana gadis pendiam berpenampilan tomboi tersebut bisa jatuh ke Laboratorium Teknik.
Bili dan Digta, keduanya dipertemukan sebagai tim. Bili dan empat staf berasal dari Divisi Gerakan Cepat. Sementara Digta dan tiga staf sisa, termasuk Irene, berasal dari Borneolab Technology Corporation. Tim ini memperbaiki mesin waktu milik Borneolab yang telah rusak dalam sebuah insiden sabotase. Dengan alasan investigasi, mesin waktu itu diboyong ke LABTEK-II. Kerusakan yang terjadi cukup parah. Seandainya Borneolab tidak memiliki suku cadang, mungkin memakan waktu lama untuk memperbaikinya.
Bili kembali ke ruang operator. Ia menarik kursi dan duduk santai. Digta tampak menghela napas cukup panjang, kemudian melangkah menuju lingkaran yang terbentuk. Gadis itu memang benar-benar nekad, pikir Bili. Ia tidak mencalonkan siapa-siapa untuk tahap uji coba. Ia sendiri yang langsung mengangkat telunjuk.
Lingkaran bagai hawa panas kontan berubah bagai cermin begitu tubuh Digta menyentuhnya. Sedikit demi sedikit, tubuh karyawati Borneolab tersebut semakin tertelan oleh portal waktu. Hingga akhirnya, lingkaran bagai cermin kembali bagai hawa panas. Dan tubuh Digta benar-benar telah hilang.
Bili kembali ke komputer. Sederet angka tiba-tiba saja membuat matanya menjerit.
Aku harus mengeluarkannya! Sekali sentak, tubuh Bili berputar. Ia melejit hendak menjemput Digta. Namun, serentetan benda berpijar yang melesat dari portal menahan langkahnya sebelum mencapai mesin waktu. Ia dan tujuh staf lain tercekat.
Ada apa, Bili" tanya Irene. Aku..., aku salah....
Tutup portalnya! Tubuh Digta tiba-tiba menerobos portal. Bili nyaris tersungkur karena berputar dan memacu lari begitu mendadak. Ia mencapai komputer dan jemarinya kembali bermain lincah. Lingkaran bagai hawa panas segera menghilang.
Digta turun dari mesin waktu. Sesampai di ruang operator, sebuah tamparan keras ia daratkan di wajah Bili. Nyaris, kacamata Bili terlempar.
Kau ingin membunuhku, ya" Digta setengah berteriak. Aku ingin kau mengirimku dua ratus tahun sebelum Perang Dunia Ketiga, tapi kau malah mengirimku....
Tatapan Digta tersorot pada sederet angka di layar komputer.
Dua ratus tahun sebelum masa ini..." Kau benar-benar ingin membunuhku!
Digta melangkah cepat meninggalkan Bili yang hanya mematung.
*** Daun pintu Laboratorium Medis di Pusat Kesehatan DINA bergeser saling menjauh. Tiga orang bertubuh tegap melangkah keluar. Begitu meninggalkan pintu, langkah mereka berbelok ke kanan di koridor, arah yang juga diambil oleh Veren. Hanya saja, Veren berada cukup jauh untuk bisa bergabung dengan mereka. Begitu ketiganya memasuki lift di ujung koridor, ia masih perlu sepuluh langkah untuk tiba di depan pintu laboratorium.
Lagi pula, ia tidak tertarik untuk bergabung. Ia lebih memilih untuk berhenti di depan Laboratorium Medis. Isi kepalanya baru saja dipenuhi tanda tanya. Warna dominan biru gelap dan beberapa atribut lain yang cukup Veren kenal dari seragam ketiga pria tadi, memancingnya untuk mencari tahu.
Ibu jari Veren menempel di pemindai. Lampu indikator menyala hijau dan daun pintu Laboratorium Medis kembali bergeser. Ini adalah salah satu fasilitas DINA yang memerlukan hak akses khusus. Sebagai seorang pimpinan unit, Veren memiliki hak akses terbatas di setiap laboratorium DINA.
Sebuah pilar menyambut. Berdiri tegak di tengah ruang. Diameternya kira-kira sama dengan dua rentangan tangan orang dewasa. Di bagian bawah, meja kerja mengitari satu lingkaran penuh. Meski hanya untuk delapan kursi, dan di antara delapan kursi hanya ada dua staf yang sekarang bekerja aktif, monitor yang menempel di pilar mencapai lima belas buah. Empat di antaranya berukuran besar. Namun, tak lebih besar dari dua monitor yang menempel di dinding sisi kanan Veren. Meja kerja juga ada di sana. Empat staf berjas putih tengah berkutat dengan sebentuk struktur molekul.
Selain kesibukan beberapa staf di ruang utama, juga tampak dua karyawan laboratorium di lorong sterilisasi. Keduanya dibalut pakaian khusus yang tertutup rapat. Melewati salah satu titik lorong, tubuh mereka diterpa oleh semburan gas disinfektan. Cukup mudah melihatnya, karena lorong tersebut hanya dipisahkan oleh kaca tebal.
Setelah proses sterilisasi usai, mereka berlanjut ke depan sebuah pintu yang terkunci rapat. Sebaris kode angka dan pemindai retina menjadi kunci untuk masuk. Di baliknya, ada sebuah ruang tempat para staf Laboratorium Medis melakukan penelitian dan uji coba. Tempat itu bernama Unit Isolator Medikal. Di batas itulah, Veren tidak memiliki hak akses lagi, kecuali diperbolehkan oleh pihak yang berwenang di laboratorium.
Selamat pagi, Dokter, sapa Veren pada seorang pria di pojok laboratorium. Jas putihnya seperti memantulkan cahaya dari lampu-lampu yang berpijar.
Oh, pagi, Veren! balas Dokter Karim. Sekejap ia menoleh, menampakkan jenggot dan kumisnya yang mulai memutih. Usai menyahut, ia kembali tertumpu pada monitormonitor LCD yang berjejer di dinding. Grafik yang tampak bagai ikatan-ikatan kimia dan beberapa rumus. Veren tidak begitu mengerti dan tidak ingin ambil pusing. Itu urusan staf medis.
Sedang sibuk, Dokter"
Tidak juga. Aku hanya sedang memeriksa rumus molekul ini. Ada sesuatu"
Aku tadi melihat tiga orang polisi keluar dari laboratorium. Tumben. Ada apa" Veren langsung pada masalah. Baginya, jika polisi bertandang ke Divisi Gerakan Cepat, itu berarti ada sebuah kasus yang cukup besar. Atau, ada sedikit ketidakberesan yang terjadi di dalam DINA.
Satu hal yang membuatku heran. Dokter Karim kembali berbalik, menghadap Veren yang hanya beberapa langkah darinya. Mengapa anggota DINA merasa aneh terhadap polisi" Padahal, kalian dan mereka satu darah.
Veren terkekeh. Ia lalu menyahut, DINA memang bagian dari Kepolisian Republik Indonesia, Dokter. Tapi entah kenapa, lama-kelamaan, kami lebih merasa berbeda dari mereka. Kami lebih senang memanggil diri kami DINA daripada sebutan polisi .
Dokter Karim kembali menelaah grafis-grafis yang muncul. Sesekali jemarinya menyentuh beberapa tombol di monitor. Beberapa jendela aplikasi bermunculan dengan efek fade in. Puluhan baris teks turut pula memenuhi dua di antara jendela-jendela itu. Sementara yang lain, diisi oleh grafis warna-warni dan beragam rangkaian angka.
Mungkin, ini gara-gara kalian memiliki seragam yang berbeda, fasilitas yang cukup lengkap, mulai dari laboratorium hingga pusat medis, dan kinerja kalian di atas polisi rata-rata. Padahal, boleh dibilang, mereka lebih mengkhususkan diri hanya pada kasus-kasus di atas level kalian. Mereka kelas kakap.
Veren tersenyum. Ia sempat juga melirik seragam di tubuhnya. Dipenuhi oleh warna hitam dengan garis-garis ungu di beberapa tempat. Seragam ini terbuat dari kulit sintetis. Selain warna kuning di bahu kiri sebagai penanda bahwa ia pimpinan unit, juga tertera label tempat ia bertugas.
Aku ingin tahu, kenapa tiga orang tadi datang kemari" Masalah dua minggu lalu"
Dokter Karim tak lantas segera menjawab. Untuk beberapa detik, jemari kanannya hanya memegang dagu. Lalu, memencet sederet tombol abjad di monitor. Iya..., lagi-lagi masalah itu.
Sudah beres" Kini, Veren tertarik pada sebuah model DNA. Rangkaian asam nukleat terproyeksi dari sebuah meja sepanjang dua meter. Veren memanfaatkan sebuah sarung tangan khusus dan mulai bertingkah. Dengan cekatan, ia melepas dan menukar posisi beberapa protein. Alhasil, sebuah peringatan muncul dari meja.
Belum. Belum" Pria berjenggot putih pendek itu terlihat berpikir. Oh iya, kebetulan kau ada di sini. Sepertinya, aku harus curhat.
Veren menoleh. Curhat" Model DNA terlepas dan kembali ke ukuran semula. Veren baru saja memelintir model tersebut, hingga nyaris bercerai-berai.
Dokter Karim menggiring Veren menjauh dari meja proyeksi. Alat itu sudah dianggap Veren sebagai mainan apabila berada di Laboratorium Medis. Mereka mendekati salah satu sisi laboratorium. Dua buah lempeng logam segera bergeser saling menjauh. Sebuah ruangan langsung terpampang rapi. Sebuah dinding berupa lapisan kaca tebal, menjadi pemisah dari laboratorium. Dari balik ruangan, tampak beberapa staf Laboratorium Medis masih sibuk dengan kegiatan mereka.
Masalah dua minggu lalu benar-benar membuat kepolisian pusat seperti kebakaran jenggot. Mereka merasa kecolongan, karena Astro berhasil menerobos DINA dan membawa lari fibernetik generasi ketiga. Bayangkan, Veren. Divisi khusus milik Polri dimasuki oleh seorang penjahat wahid tanpa perlawanan berarti.
Dokter Karim menyandarkan tubuh di kursi meja kerjanya. Veren berusaha menjadi pendengar yang manis. Ia berada di deret kursi tamu yang hanya diisi olehnya.
Dokter Karim melanjutkan, Itulah alasan utama mereka untuk memakai fibergen3. Bagaimana pun, mereka harus harus bisa meringkus Astro. Mereka beranggapan, Astro sekarang pasti lebih kuat dari sebelumnya. Ia telah memakai fibernetik generasi terbaru. Dua puluh anggota polisi dengan fibergen2 dirasa tidak ampuh. Terbukti, empat hari kemudian, Astro berhasil membobol DIVENN.
Veren memutar ulang ingatan yang ia miliki. Kejadian yang Dokter Karim ceritakan telah berlalu sekitar dua belas hari. Dan hari itu, adalah hari yang sungguh berat bagi orangorang yang mengejar Astro. Setidaknya, memang tidak ada hari yang ringan jika berurusan dengan pria tersebut. Apalagi, ia memiliki latar belakang militer dan bersifat belut.
Astro, seorang pria yang saat ini menjadi topik pembuka curhat Dokter Karim, tak lain adalah mantan anggota Divisi Gerakan Cepat. Dua tahun lalu, ia resmi menjadi incaran DINA. Ia berkomplot dengan salah satu organisasi pasar gelap senjata.
Mengambil manfaat dari apa yang telah ia terima dari Divisi Gerakan Cepat, jalan karir Astro semakin menanjak. Semula hanya sebagai buronan kelas menengah, menjadi buronan kelas kakap, dan sekarang menjadi prioritas utama DINA maupun Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia.
Ia pun tidak lagi bekerja terikat pada organisasi. Astro lebih memilih bekerja sendiri sebagai freelance profesional.
Ketenarannya sebagai buron baru-baru ini ternyata bisa mendatangkan untung. Hanya bermodal tampang, ia sengaja muncul di kamera sekuriti sebuah perusahaan. Seorang resepsionis ia sandera dan dikurung dalam gudang di lantai dasar. Lima tim Unit Pemburu milik Divisi Gerakan Cepat segera beraksi.
Sayangnya, kamera sekuriti sepanjang koridor menuju gudang telah dirusak, sehingga tidak ada yang tahu bahwa Astro telah mengganti dirinya dengan seorang karyawan lain ketika telah sampai di gudang. Pintu gudang yang dikunci dari dalam dan dua sandera yang berhasil ia kumpulkan terikat di kursi, mampu menahan Unit Pemburu selama tiga puluh menit. Dan selama waktu tersebut, Astro malah menyambangi DINA, menerobos keamanannya yang lengah, lalu melarikan sampel fibergen3 dari Laboratorium Medis. Tidak ada yang bisa menghentikan Astro saat itu, tidak satu pun. Karena orang-orang yang selama ini dipersiapkan khusus untuk menghadapinya, telah dikirim ke lokasi penyanderaan.
TERLEMPAR Sembilan puluh enam jam usai penerobosan DINA, delapan hari lalu.
Lima pesawat mirip capung bungkuk membelah selimut embun dini hari. Satu di antaranya memimpin terbang melintas kota. Alisya berada di pesawat terdepan itu. Ia dan empat rekan lain tengah bersiap untuk penerjunan misi.
Kurang dari lima menit, masing-masing anggota Tim 1 Unit Pemburu telah berseragam tempur lengkap. Beragam pelindung telah membalut tubuh mereka. Sebuah alat komunikasi menempel di telinga kiri. Dan dua tongkat besi menggantung di sabuk pinggang. Persiapan beres, satu demi satu mereka duduk di kursi kabin.
Kali ini positif Astro. Veren kemudian muncul dari balik pintu kokpit. Semenjak keberangkatan lima tim Unit Pemburu dari markas DINA, ia belum memberi tahu target operasi.
Astro" semua saling tatap.
Orang itu berulah lagi" Bima sepertinya jengkel. Bangsat! dan kepalan tangannya membentur kabin dengan keras. Gaya, satu-satunya anggota perempuan selain Alisya, terkaget.
Astro kali ini mendatangi DIVENN. Ia membawa kabur giganium dan seorang sandera. Beberapa tim dari Unit Patroli berusaha mengejar, namun Astro tetap bisa menjaga jarak. Sekarang, ia berada di gedung utama kompleks Borneolab, lantai enam belas. Sandera yang ia miliki bertambah satu, yakni seorang staf senior yang mengepalai proyek mesin waktu di sana. Astro ditengarai hendak melarikan diri dengan mesin itu.
Yudish malah tersenyum. Astro semakin canggih
saja. Apa-apaan kau" timpal Reno. Semua tatapan kembali kepada Veren.
Empat tim lain sudah tahu akan masalah ini dan telah menerima instruksi dariku. Mereka akan menjadi tim satelit, bertugas sebagai cadangan apabila Tim 1 gagal menahan Astro. Meski demikian, kalian tetap tidak diharapkan untuk gagal. Mengerti"
Mengerti, Pak! Gaya tiba-tiba mengacungkan tangan. Ada masalah"
Setahuku, kasus Astro sudah diambil alih oleh polisi. Mengapa DINA masih harus ikut campur" Bagaimana dengan Unit Gerbang" Apa mereka tidak bisa mengatasi Astro"
Memang janggal. Sudah dua bulan terakhir kasus Astro berpindah tangan. DINA seharusnya tidak terlibat lagi. Kecuali terpaksa, seperti kasus kemunculan Astro empat hari lalu. Namun, bagaimana dengan Unit Gerbang yang dibangga-banggakan polisi" Telah dua hari mereka aktif. Tiga anggota polisi yang dilengkapi pakaian tempur tersebut, diklaim mampu menghadapi Astro. Ya, sepertinya memang ada yang janggal.
Astro berhasil melumpuhkan mereka. Pria itu berkembang lebih dari yang kita bayangkan.
Gaya membelalak. Bapak tidak sedang menakutnakuti kami" Kemampuan tempur Unit Gerbang di atas Unit Pemburu DINA.
Aku tidak ingin menakut-nakuti kalian. Aku hanya ingin kalian sadar, bahwa terdapat perbedaan kemampuan antara kalian dan Astro. Satu-satunya cara untuk menumbangkan orang itu adalah kerja sama tim yang kompak, bukan aksi individu. Ingat, kalian adalah satu tim.
Bapak tidak sedang membicarakan seseorang dalam tim ini, bukan"
Alisya...! Mata seluruh tim kini mengarah ke seorang gadis di sisi kanan.
Aku tidak ingin kau mati dalam misi ini. Jaga jarak dari Astro.
Veren pun berputar kembali ke kokpit.
Hanya Alisya" protes Gaya. Jadi, Bapak mengharapkan kami mati"
Tutup mulutmu...! Yudish malah mengacak-acak rambut Gaya.
*** Borneolab Technology Corporation. Sebuah perusahaan riset dan pengembangan teknologi milik swasta. Perusahaan ini memiliki fasilitas di lahan hampir delapan hektar. Gedung utamanya terdiri atas dua puluh lantai. Bentuk keseluruhan kompleks menyerupai huruf U dengan kaki-kaki yang pendek.
Dini hari ini, puluhan mobil polisi dan DINA mengepung kompleks perusahaan itu. Lima pesawat bertipe Modular alias capung bungkuk milik DINA melayang di atas. Tiga pesawat kemudian mendarat di atap gedung utama. Dua puluh lima personil DINA, termasuk tim yang dipimpin Alisya, segera menyusup masuk. Dua pesawat yang lain mendarat di pekarangan. Anggota-anggota DINA yang baru terjun, segera membaur bersama petugas lain, menyusup ke dalam gedung dari berbagai arah.
*** Lantai enam belas. Seorang pria bertubuh tegap, dibalut kemeja santai. Ia melangkah dengan tangan kanan teracung menggenggam pistol. Wajahnya bercambang, dengan mata tajam menatap seorang wanita yang berjalan di depannya. Sementara itu, lengan kirinya merangkul leher seorang gadis remaja. Di tangan kiri gadis itu, terangkum borgol pada sebuah koper besar berwarna perak. Tertera label DIVENN pada koper itu.
Kau tidak sedang mempermainkanku, kan" Aku merasa dari tadi kita hanya berputar-putar. Pria itu, Astro, matanya semakin tajam.
Lantai ini luasnya hampir satu setengah hektar, sahut wanita di depannya, Irene, seorang staf senior Borneolab yang ia sandera. Jika pun kau merasa berputar-putar dari tadi, yang patut kau salahkan adalah arsiteknya.
Sebuah letusan senjata api menggema. Tubuh Irene terhuyung ke sisi koridor. Percikan warna merah memburas, membentuk noda cipratan di lengan kiri jas laboratorium yang ia pakai. Rasa panas dan nyeri yang menjalar, membuat Irene refleks mencengkeram bahu kirinya.
Aku rasa, tanganku sudah mulai kesemutan.... Astro masih mengacungkan pistol itu. Dari moncongnya, mengepul asap tipis yang sedikit demi sedikit akhirnya hilang.
Irene sadar. Menyahut ucapan Astro adalah tindakan bodoh. Dan ia pun lebih baik kembali mengayunkan langkah, meski lengan kirinya mulai mati rasa.
Astro tersenyum. Ia kembali menyeret-nyeret gadis yang ia rangkul.
Baru tiga langkah mereka beranjak, suara lift membuat Astro berputar. Pintu lift yang berada tiga puluh meter di belakang mereka kini membuka. Namun, tak seorang pun terlihat dari balik pintu itu.
Mereka kembali berjalan. Di suatu simpang, tiba-tiba lengan Astro ditangkap dan dipelintir. Pistol yang ia pegang terjatuh dan segera ditendang menjauh.
Bima, orang yang menyergap itu, segera merangkul tubuh Astro dari belakang. Lengannya yang tak kalah besar dibanding Astro, terus mendesak batang leher Astro, hingga orang itu kesulitan bernapas.
Alisya menangkap pistol yang tergelincir. Dimasukkannya ke saku pinggang seraya berlari. Irene yang masih berada di dekat sana segera ia tarik menjauh. Sembari berlari, ia mengontak beberapa tim yang berada di dekatnya untuk membantu mengamankan sandera.
Yudish turut keluar untuk membuka cengkeraman Astro, sehingga sandera yang telah ia seret semenjak laboratorium DIVENN bisa terbebas. Giliran selanjutnya adalah Gaya dan Reno. Mereka bersembunyi di balik lift dan segera keluar ketika Yudish mengontak. Sementara Reno berhenti di dekat dua rekannya, Gaya terus memacu langkah membawa gadis sandera tersebut.
Kakak! Tanganku...! Gadis itu meringis. Tangannya masih terborgol dengan koper yang sangat besar, dan kini terseret-seret di lantai. Merah memar melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Gaya berhenti. Dengan sekali sentak, borgol terlepas. Kini, ia yang membawa koper tersebut.
*** Menyingkir! Reno berteriak. Seketika itu Yudish melepaskan tangannya dari kaki Astro yang hendak menerjang. Ia melompat mundur, sementara Reno menurunkan tubuhnya di lantai untuk berputar. Kakinya pun mengait kaki Astro. Pria itu terjengkang. Tubuhnya berdentum keras di lantai, karena Bima turut mendorong jatuh kepalanya.
Begitu menyingkir, Bima menangkap kedua tangan Astro dan memutar tubuhnya hingga tengkurap. Yudish menahan kaki, sementara Reno menahan punggung. Reno, borgol!
Reno melepas punggung Astro. Ia menarik borgol dan merangkumkannya di tangan kiri Astro. Begitu hendak merangkum pergelangan kanan, kedua lengan Astro mencoba menjauh. Sekuat tenaga Bima menahan, namun ia terus terdorong. Mengetahui rekannya terdesak, Reno turut pula membantu.
Namun dalam hitungan detik, seakan dialiri sumber tenaga yang sangat besar, lengan Astro berhasil menjauh dan menghantam lantai. Genggaman Reno yang masih melekat di pergelangan kanan Astro turut terhempas.
Tak menunggu lama, Astro menangkap tangan kanan Bima. Masih dalam posisi tengkurap, dilemparnya pemuda itu hingga terhempas di dinding dan terseret di lantai beberapa meter, sebelum akhirnya kembali berhenti karena menghantam dinding yang lain.
Tak cukup waktu untuk menyadari apa yang telah terjadi, tiba-tiba kaki kiri Reno telah ditangkap. Tubuhnya pun dilambung hingga terhempas keras di dinding. Meninggalkan retak yang melebar dan sejumlah serpihan yang meluncur.
Yudish turut tak bisa berbuat apa-apa ketika Astro berhasil melepaskan kakinya dari cengkeraman. Segera saja, wajahnya dihantam tumit sepatu, hingga tubuhnya terlempar mundur. Bagai tak puas, Astro mendatanginya, menarik kerah baju Yudish dan menempelkannya di dinding dengan cengkeraman di leher. Tiga pukulan keras mendarat bertubitubi di bagian ulu hati. Darah segar pun mengalir dari sela bibir Yudish. Ketika Astro bersiap untuk pukulan keempat, Bima telah bangkit dan menahan pukulan itu.
Beberapa kali pukulan berhasil turut melukai bibir Astro. Namun tak berlangsung lama, karena pria itu akhirnya berhasil menahan serangan Bima. Dan dengan tiga pukulan pula, ia berhasil dilumpuhkan seperti Yudish.
Kini, sasarannya adalah Reno.
*** Alisya..., Astro berhasil kabur...! Suara itu milik Bima. Terdengar berat di komunikator. Alisya berhenti tepat di depan elevator menuju lantai bawah. Hanya ini satusatunya jalan untuk meninggalkan lantai enam belas. Memakai lift adalah cara yang mengundang resiko. Ada apa" tanya Irene.
Segera turun ke bawah. Sudah ada tim yang menunggu. Cepat! Alisya malah berputar hendak kembali ke jalur yang telah mereka tinggalkan. Baru berputar, Gaya dan gadis sandera itu telah menghentikan langkah di depan mereka.
Alisya..., teman-teman.... Gaya turut mendengar apa yang dikatakan oleh Bima di komunikator. Astro berhasil menjatuhkan mereka. Dan suara Bima yang terdengar berat cukup mengkhawatirkan Gaya.
Aku tahu. Segera bawa mereka ke bawah. Aku akan mencoba menghentikan Astro.
Jangan bodoh, Alisya! Ingat yang dikatakan Komandan.
Aku harus menghadang Astro. Jika tidak, kalian tidak bisa pergi. Segera turun!
Dengan berat hati, Gaya menjawab, Baiklah. Dan bergegas dibawanya Irene dan gadis sandera Astro meniti turun elevator yang telah mati. Lima anggota Tim 2 sudah menyambut di bawah.
Alisya memperhatikan dari atas. Setelah yakin ketiga orang tersebut mencapai Tim 2 dengan selamat, ia pun baru ingin berbalik. Namun, derap langkah sayup yang terdengar sangat cepat memaksanya untuk berdiam diri sejenak. Semakin ia perhatikan, semakin ia yakin bahwa langkah itu kian mendekatinya.
Begitu suara langkah benar-benar terasa dari balik punggung, cekatan Alisya menarik pistol dari pinggangnya dan diacungkan lurus ke belakang. Sebentuk wajah tiba-tiba saja sudah berada di depan moncong pistol. Angin pelan berhembus.
Untuk beberapa detik, waktu seakan berhenti. Lengan Alisya masih teracung tanpa getar. Sementara wajah pria yang tak lain Astro itu, tak bergeming dari ujung pistol yang Alisya genggam.
Kau ingin menembakku" Astro bersuara. Jika terpaksa...! Alisya membalas.
Astro malah menggeleng kecil. Tidak.... Kau tipikal petugas yang penurut. Kau tidak akan melanggar protokol DINA. Kalian tidak seperti polisi. Meski warga sipil sudah tidak ada, kalian tetap tidak boleh menggunakan senjata api.
Apa yang dikatakan Astro tak dapat disangkal. DINA dan polisi memiliki peraturan yang terpisah. Divisi ini didirikan empat tahun lalu menyusul desakan berbagai pihak untuk memperketat penggunaan senjata api di kepolisian. Polisi tidak diperkenankan lagi menarik pelatuk apabila masih ada warga sipil dalam radius seratus meter. Tentunya, ini akan menjadi celah apabila terjadi kasus penyanderaan. Untuk itu, DINA dibangun. Anggota tempur DINA, seperti Unit Pemburu dan Unit Patroli, dilatih untuk bisa meruntuhkan lawan tanpa dan dilarang menggunakan senjata api, apa pun kondisi yang dialami sang anggota.
Namun, tatakrama tersebut sepertinya ingin Alisya lupakan untuk saat ini. Ia malah melepas komunikatornya dari kuping. Dilemparnya begitu saja di lantai.
Tidak ada Komandan di sini. Hanya kau dan aku. Alisya bersiap menarik pelatuk.
Coba saja. Jika kau bisa menarik pelatuk itu, berarti kau sama saja sepertiku. Astro malah tertawa kecil. Tanpa beban, ia melanjutkan langkah, melewati Alisya di sisi kiri. Kau sama saja seperti anggota yang lain. Korban dari peraturan bodoh. DINA yang tolol.
Alisya menggeram. Pistol yang ia sambut sehabis ditendang Bima beberapa waktu lalu, kini hanya bisa ia genggam erat-erat. Telunjuknya kelu ketika ingin menarik pelatuk. Dan ia baru sadar, ketika terdengar gemeretak keras dari pistol itu, bahwa ia telah merusaknya. Begitu genggaman kendor, pistol buyar dalam bentuk kepingan di lantai. Turut pula bergemerincing tiga peluru yang tersisa.
Aku takkan membiarkanmu pergi!
Alisya berputar. Nyaris ayunan tangannya menghantam leher Astro, jika saja pria itu tidak segera menangkisnya lalu balik menyerang. Alisya pun sigap menangkap tangan Astro. Ditariknya, kemudian dihantam kepalan tangan hingga punggung pria itu membentur keras dinding koridor.
Alisya menarik borgol. Dicengkeramkannya lebih dulu di tangan kanan Astro. Namun dengan gerak yang nyaris tak terlihat, tiba-tiba tangan itu menarik pundaknya.
Kalian semua lambat...! Dan sebuah pukulan keras di ulu hati melontarkan tubuh Alisya ke belakang. Ia sempat terhempas dan terseret di lantai beberapa meter, sebelum akhirnya menabrak pagar pengaman lantai dan menjebolnya. Tubuhnya Alisya jatuh bebas ke lantai lima belas.
Astro mendekati bibir lantai. Disaksikannya tubuh Alisya yang telah tergolek. Pukulan keras tadi ternyata mampu membuat Alisya memuntahkan darah. Dalam waktu dekat, ia tidak mungkin segera bangun. Ia hanya bisa mengerang kecil dengan tangan yang melingkari perut. Astro bergegas menuruni elevator.
Berselang hampir satu menit ketika Astro telah menghilang di sebuah koridor, Alisya baru bisa membalikkan tubuh. Ia bertopang pada kedua tangan dan lutut, mencoba mencari keseimbangan. Saat terjatuh tadi, belakang kepalanya juga menghantam lantai dengan keras.
Astro..., keterlaluan.... Alisya mengepal. Kali ini pun, seperti misi-misi sebelumnya, ia berhasil dijatuhkan dengan mudah. Hanya ambisi untuk menangkap pria itulah yang mampu membuatnya masih berdiri hingga kini. Namun teringat akan ambisi itu, membuatnya meluruhkan air mata.
Heh...! tiba-tiba ia tersenyum sendiri. Tidak seharusnya aku cengeng seperti ini. Alisya mendongak. Astro, kau akan kujatuhkan...!
Alisya bangkit dan mencoba berlari dengan langkah yang masih gontai. Sekitar satu menit menyusuri koridor di mana Astro lenyap, ia menemukan seorang pemuda anggota DINA yang terduduk bersandar di dinding. Bagian dinding di atas kepalanya retak melebar. Serpihan beton bertebaran di lantai. Secepatnya Alisya bersimpuh di depan pemuda itu. Erison, apa yang terjadi" Kau bertemu dengan Astro"
Pemuda itu mengangguk pelan. Wajahnya masih menunduk.
Sekarang, ia di mana"
Erison mengangkat pelan lengannya. Ia menunjuk ke ujung koridor. Dari sana, Alisya bisa melihat beberapa elevator. Satu di antaranya mengarah ke atas.
Terima kasih! Dan ia pun bergegas menuju arah yang ditunjukkan.
Ruangan yang menyambutnya di ujung lorong sama luas seperti tempat ia jatuh. Di salah satu sisinya, tertempel empat elevator. Dua di antaranya mengarah ke lantai atas. Setelah berdiri di tengah ruangan, Alisya baru sadar bahwa ruangan luas ini baru saja menjadi arena pertarungan. Dua anggota DINA tergeletak di sisi ruangan. Beberapa retak terlihat di dinding. Pagar pembatas di lantai atas dan lantai yang sekarang pun tampak ringsek di beberapa sisi.
Alisya...! Suara yang begitu ia kenal memanggil. Tapi, dari mana" Alisya berusaha mencari. Suaranya terdengar sangat pelan.
Aku... di atas...! Alisya mendongak. Di dekat elevator, di lantai enam belas, Gaya berusaha untuk berdiri. Ia berpegangan pada pagar pembatas.
Apa yang terjadi, Gaya" Di mana para sandera" Alisya menyusur elevator untuk naik.
Astro membawa mereka. Kurasa, ke ruang mesin waktu.
Sesampai di hadapan Gaya, ia sedikit tercengang. Dari lengan kiri baju sahabatnya, mengalir cukup banyak darah. Tanganmu"
Kurasa, bahuku patah. Tapi, tidak begitu penting sekarang. Teman-teman banyak yang lebih parah dariku. Dan sebaiknya, kau segera mengejar Astro. Dia mungkin belum jauh.
Alisya malah menarik komunikator milik Gaya. Aku pinjam komunikatormu.
Milikmu ke mana" Aku menjatuhkannya. Sengaja atau tidak"
Alisya tak membalas. Ia mengenakan komunikator dan segera berbicara. Pak, di sini Alisya.
Alisya" Jangan tanya mengapa aku menggunakan komunikator Gaya. Sekarang, kirim bantuan medis ke lantai lima belas. Ada beberapa anggota yang terluka. Dan aku juga perlu bimbingan untuk menuju ruang mesin waktu.
Maaf. Selain Unit Pemburu, polisi melarang siapa pun masuk selama Astro masih ada di gedung. Kalau begitu, bimbing aku!
Baiklah.... Alisya kembali menatap Gaya. Kau tunggulah di sini. Gaya mengangguk dan Alisya bergegas pergi. Jatuhkan Astro untukku! pekiknya kemudian.
Alisya tak lagi menoleh. Langkahnya semakin cepat menuju sebuah lorong. Begitu tubuhnya hampir tak terlihat lagi, Gaya tiba-tiba seperti mengingat sesuatu. Ya, Tuhan. Aku memintanya mengejar Astro, sementara ia hanya sendiri. Dan untuk kesekian kalinya, ia memekik sembari menyeret langkahnya yang pincang, Alisya, kau jangan pergi sendiri! Aku tidak ingin kau mati!
*** Kuharap, kau tidak mengulur-ulur waktu kali ini. Astro berjaga di depan pintu yang tertutup. Lengan kanannya merangkul leher putri staf laboratorium DIVENN. Sementara di tangan kiri, ia membawa koper perak.
Kini, mereka sudah berada di suatu ruang. Lebarnya mungkin dua puluh meter, dipenuhi belasan monitor LCD di dinding. Dua di antara belasan monitor berukuran setengah kali dinding ruangan. Jauh di sisi kiri Astro, terpajang dua menara lengkung dengan landasan besi di bawahnya. Sementara di depan, Irene berusaha secepat mungkin melakukan konfigurasi. Tangan kirinya sudah mati rasa dan sulit bergerak, meski darah sudah berhenti mengalir. Hanya tangan kanan yang bisa ia andalkan.
Perlu waktu untuk mengeset koordinat dan sinkronisasi portal, Irene menyahut.
Begitukah" Sekarang sudah selesai. Irene menekan ENTER. Menara lengkung bergerak menjauh hingga dua meter. Udara di tengah-tengah menara sontak berubah seperti hawa panas yang melingkar.
Kau sekarang sudah bisa melewatinya. Irene berputar menghadap Astro.
Astro sepertinya tidak begitu percaya. Ia mendekati Irene untuk melihat konfigurasi yang telah ia ciptakan. Namun sebelumnya, ia memukul kunci elektronik pintu hingga memercikkan bunga api.
Bagus. Astro tersenyum sesampai di depan monitor. Antarmuka yang tampil begitu mudah dipahami. Jelas, portal waktu telah diatur untuk melemparkannya satu milenium ke belakang. Segera ia menuju menara lengkung.
Tunggu dulu! Kau sudah berjanji untuk melepaskan gadis itu!
Oh iya. Janji adalah hutang. Tapi kadang-kadang, hutang tidak dibayar. Astro malah tertawa.
Kalau begitu, aku akan mematikan portalnya, ancam
Irene. Coba saja, maka gadis ini turut kehilangan nyawanya. Astro telah mencapai landasan. Ia berputar menghadap Irene. Wajah gadis yang masih ia sandera tampak ketakutan, dengan alur air mata di kedua pipi.
Aku tidak mau ikut..., tangisnya.
Astro meletakkan koper. Tangan kirinya merogoh kocek celana. Ia mengeluarkan sebuah tabung sebesar genggaman dan memencet sebuah tombol di salah satu ujung tabung. Lampu di dekat tombol berkedip-kedip. Tepat ketika Astro meletakkan benda itu di atas landasan, pintu ruang mesin waktu didobrak hingga rubuh. Alisya masuk.
Kau terlambat. Astro mengambil koper dan berputar. Ia menyentuh lingkaran hawa panas di tengah menara lengkung. Begitu disentuh, lingkaran hawa panas berubah bagai cermin.
Andai saja Alisya tidak melihat benda kecil yang sengaja diletakkan Astro, ia sudah pasti mengejar, menangkap kerah baju Astro, lalu melemparnya ke dinding. Sayangnya, ia mengenal betul tabung kecil di landasan menara lengkung. Benda tersebut tak lain adalah bom waktu, dan lampu merahnya berkedip semakin cepat.
Secepat mungkin, Alisya menarik Irene, lalu mendorongnya menuju pintu yang telah jebol. Begitu ia hendak menyusul, sebuah cahaya tiba-tiba menelan tubuhnya.
FIBERNETIK Sekarang. Pukul delapan pagi, lorong-lorong Pusat Kesehatan DINA sudah mulai diisi oleh langkah-langkah para staf berseragam biru laut. Di bahu kiri baju mereka, tertempel lambang DINA, sementara di dada kiri tersemat badge nama.
Fiuh.... Gaya menghela memperhatikan orang-orang itu. Sudah kira-kira dua tahun ia tidak lagi mengenakan seragam Pusat Kesehatan. Kasus Astro telah menyeretnya ke bagian lain dari DINA. Sehingga sekarang, warna seragam yang menempel adalah hitam.
DINA adalah divisi yang hanya memiliki satu markas. Namun, Unit Patroli yang mereka miliki tersebar di seluruh Nusantara. DINA pun mampu membuat jengkel para pelaku kriminal, terutama sindikat pasar gelap senjata dan obat terlarang. Sebagian besar dari mereka adalah organisasi yang rapi dan cukup besar. Di antara mereka bahkan berani mengancam instansi pemerintah yang berupaya memberangus tindak-tanduk mereka. Termasuklah DINA. Hampir tiga tahun lalu, mereka sempat menerima titipan bom dengan daya ledak tinggi.
Separuh gedung hancur. Dua puluh lima anggota DINA meninggal dan ratusan terluka. Di antara ratusan itu, ada dua anggota DINA yang terluka cukup parah. Salah satunya adalah Alisya dan yang lain ialah Gaya. Pada tahun-tahun itu, Pusat Kesehatan DINA memiliki semacam obat penyembuh yang diberi nama fibernetik. Jadilah Alisya dan Gaya disuntik dengan obat berbentuk cairan tersebut. Hanya dalam waktu kurang lebih enam minggu, mereka bisa sembuh dengan sempurna. Tidak ada bekas luka, tidak ada pen untuk patah tulang.
Bagi Gaya dan Alisya, di sinilah titik di mana hidup mereka mulai berubah. Belakangan diketahui bahwa fibernetik memiliki efek samping pada sel-sel tubuh, terutama otot dan tulang. Bukan hanya mempercepat regenerasi, namun turut pula meningkatkan potensial tubuh mereka sebesar tiga kali. Semenjak itulah, fibernetik hanya dipakai dalam lingkup yang terbatas.
Pengembangan selanjutnya melahirkan fibernetik generasi kedua, atau sering disingkat fibergen2. Pengembangan kali ini, Dokter Karim di bawah tekanan kepolisian pusat. Proposal untuk lebih menyempurnakan fibernetik sehingga tidak memiliki efek samping tidak disetujui. Alhasil, dengan efek samping empat kali lebih besar dari fibergen1, fibergen2 diinjeksi pada dua puluh anggota kepolisian.
Tidak semua anggota DINA bisa disuntik dengan fibergen2, termasuk Astro yang pada saat itu masih terdaftar sebagai anggota aktif. Terlebih, ia dicurigai turut terlibat dalam aksi peledakan gedung DINA setengah tahun sebelumnya. Sebelum itu terbukti, Astro sudah bertindak cepat dengan menerobos Laboratorium Medis, mengambil beberapa dosis fibergen2, dan menghilang.
Gaya cemberut sendiri jika tanpa sengaja mengingatingat kejadian itu. Pipinya yang menurut Yudish menggemaskan, menggelembung bagai buntal.
Suatu saat nanti, aku akan bisa menghajarmu sampai menangis minta ampun! Gaya menggeram. Tangan kanannya mengepal erat di depan wajah. Gara-gara kau, aku dipindah ke bagian tempur. Lalu, tangan itu ia jatuhkan dan kembali terlihat rileks. Tapi..., tidak apa. Gara-gara kau, aku bisa masuk Unit Pemburu tanpa tes fisik. Terima kasih. Tunggu saja hadiahku nanti.
Gaya cengengesan. Tinggi tubuhnya memang kurang proporsional sebagai syarat anggota Unit Pemburu. Setidaknya, kurang beberapa sentimeter. Justru karena sebagai korban saat insiden, ia dan Alisya ditarik masuk unit tersebut. Berbekal efek samping fibergen1, mereka nyaris membekuk Astro sebelum akhirnya ditembak. Atas izin petinggi DINA, keduanya menerima injeksi fibergen2, lalu dimutasi setelah sembuh. DINA tidak ingin menyia-nyiakan anggota mereka yang telah menerima suntikan fibernetik. Fibergen2 adalah obat terbatas, sementara musuh mereka juga mengenakan fibernetik.
*** Seorang perawat wanita mendekatinya dari belakang. Ia berusaha berjalan sejajar di sisi Gaya. Hei, bagaimana tanganmu" sambarnya langsung.
Gaya sedikit kaget dan menoleh. Rosanti" Ah, agak baikan. Tapi, kadang-kadang masih terasa nyilu. Efek fibernetik sangat hebat, ya" Dalam lima hari, kau sudah bisa melepas pembalut. Sayang, sekarang penggunaannya sudah dibatasi. Wajah perawat dengan nama Rosanti itu menggembung. Bibirnya sedikit maju.
Apa gunanya kau sembuh cepat, jika tiap saat kau harus terluka" Kau tahu, sudah berapa kali aku patah tulang semenjak bergabung di Unit Pemburu"
Berapa" Gaya menggenggam dan menaikkan kedua tangannya setinggi dada. Satu demi satu jemari di tangannya ia buka seolah menghitung.
Nih, sebanyak ini. Kesepuluh jemari tangan Gaya merentang lebar.
Rosanti membelalak. Sedikit tak percaya memang, tetapi Gaya adalah sahabatnya semenjak bertugas di Pusat Kesehatan. Hingga kini tidak pernah berbohong. Jika diingatingat pun, Gaya sudah berkali-kali masuk Pusat Medis karena luka yang cukup parah. Kesemuanya berhubungan dengan kasus Astro.
Jadi..., kapan kau akan kembali lagi ke sini" Hm..., mungkin di luka parah yang lain waktu. Aku serius.
Hah..., entahlah. Mungkin, setelah kasus Astro selesai. Dan aku sendiri tidak tahu kapan akan selesai. Sudah dua tahun.
Keduanya saling menundukkan kepala dan menghela. Dua sejoli yang sering terlihat akrab mengobrol di tiap kesempatan itu merasa bagai saudara kembar, yang harus dipisahkan karena kedua orang tua mereka bercerai. Gaya selayak saudari yang harus ikut dengan ayah. Dua tahun lalu sebelum pindah tugas, Gaya tidak bisa berjalan cepat dengan langkah yang tegap. Hanya kadang, tingkah kanak-kanak miliknya masih muncul, sehingga ia didapuk sebagai putri bungsu di dalam tim.
Sementara itu, Rosanti sudah pasti seperti anak yang harus tinggal bersama ibunya. Semenjak pertama kali bertemu, hingga kini Rosanti masih setia dengan seragam biru laut. Langkahnya kecil-kecil. Makanya, ia tadi kesulitan mengejar Gaya meski setelan bawah seragamnya adalah celana panjang. Merasa sahabatnya itu agak keteteran untuk menyeimbangi langkah, Gaya mengangkat sedikit kakinya dari pedal gas. Wajah bayi putih bersinar milik Rosanti juga belum pudar. Bandingkan dengan Gaya yang sudah sawo matang.
Nggak, kok! Kamu masih putih mirip bengkoang, protes Rosanti suatu hari, ketika Gaya mengeluhkan warna kulitnya yang mulai berpigmen gelap. Misi selama enam bulan di hutan menjadi kambing hitam.
Bengkoang bagaimana" Gaya menarik lengan Rosanti, menjejerkannya dengan lengan miliknya. Ia ingin memperlihatkan gradasi warna antara kulit lengan miliknya dan Rosanti. Tuh, kan.
Cuma beda tipis. Dua bulan tugas di rumah, juga akan seperti bengkoang lagi. Aku ralat pernyataanku tadi, ya" Yang sekarang, kamu lebih mirip kuning langsat.
Dan begitulah, sepertinya setelah lebih dari dua bulan tugas di rumah karena kasus Astro dilimpahkan ke polisi, Gaya memperoleh kulit bengkoangnya kembali.
Ngomong-ngomong, kau ingin menjenguk Alisya" Mereka berdua memasuki sebuah lift. Rosanti menekan tombol 4. Lantai tersebut adalah lantai terakhir milik Pusat Kesehatan. Selebihnya ke atas, hingga lantai dua puluh empat, adalah lantai-lantai milik unit tempur, seperti Unit Pemburu dan Unit Patroli. Pusat Kesehatan memperoleh jatah empat lantai di atas tanah dan dua lantai di bawah tanah, dengan luas lahan per lantainya sekitar tiga kilometer persegi. Pintu lift menutup. Terasa benda itu mulai bergerak
naik. Ya, aku ingin menjenguknya. Bagaimana kabar Alisya sekarang"
Terakhir kali kuperiksa, kemarin sore keadaannya sudah sangat baik, meski sama sekali ia belum siuman. Semua lukanya sudah sembuh total.
Wow. Efek fibernetik memang sangat hebat, ya" giliran Gaya yang berkata seperti itu. Rosanti hanya tersenyum, lalu mencubit bahunya. Gaya meringis, karena bahunya belum sembuh benar.
*** Cahaya yang sungguh menyilaukan. Semuanya tibatiba tampak putih menyatu dan menusuk. Rasa hangat menyusul dan ketika warna putih itu memudar, serakan serpih-serpih besi luruh di lantai dengan noda hitam. Di balik mata yang masih buram itu, segeletak tangan yang penuh luka bakar dan sayat bergemetar sulit menggerakkan jemarinya.
Alisya...! Alisya...! sayup-sayup terdengar suara yang memanggil. Derap langkah turut pula bertalu-talu. Anehnya, derap langkah itu tidak semakin dekat. Malah terdengar semakin jauh. Jauh. Dan akhirnya tak terdengar lagi. Semua perlahan menghitam.
*** Alisya membuka mata. Ia terlihat gamang beberapa detik, sebelum akhirnya menarik tubuh untuk duduk. Setelah punggungnya tegak, barulah ia sadar tengah berada di atas sebuah tempat tidur. Separuh tubuhnya ditelan selimut biru laut. Pakaian yang ia pakai juga berwarna sama.
Rasa pusing tiba-tiba menyergap. Ia mengerang kecil dan begitu saja langsung tertunduk. Untuk sekadar meringankan nyeri, ia menaikkan tangan kanan untuk menopang wajah, memijit kening dua kali, dan... tiba-tiba ditarik menjauh.
Ada yang aneh dengan tangan miliknya. Setelah dibolak-balik beberapa kali, Alisya yakin jemarinya terentang indah. Tanpa hangus maupun luka sayatan yang cukup banyak. Seakan-akan, kulitnya kini diganti baru. Atau, jangan-jangan yang telah ia alami hanyalah mimpi"
Alisya meluruskan punggung, memuntir sedikit ke kiri dan ke kanan, dan menjumpai dua monitor menempel di dinding. Satu monitor diisi beberapa gelombang transversal yang bergerak dinamis. Sementara yang lain, berisi diagram batang dan lingkaran yang nyaris tak bergerak. Selang infus juga menancap di tangan kiri, berpangkal pada sebuah kantong yang isinya tinggal separuh.
Akhirnya, ia mendesah seraya menaikkan kembali tangan kanannya ke wajah. Ia memijit kening beberapa kali yang sudah tidak begitu pusing.
Unit Perawatan Medis.... Ia berujar sendiri. Unit tersebut adalah bagian dari Pusat Kesehatan DINA. Ia sudah berkali-kali menjalani perawatan di tempat itu. Dan jika sekarang ia berada di unit tersebut, berarti sebelumnya ia memang benar-benar terluka. Terluka sangat parah hingga harus menginap.
Alarm pintu berbunyi. Alisya mendongak. Daun pintu ruang perawatannya menggeser masuk ke dalam dinding. Seorang perawat segera melangkah masuk.
Wah, ternyata sudah bangun. Selamat pagi, sapa perawat itu ramah. Ia langsung mengecek kantong infus, disusul kemudian mengecek monitor yang memantau metabolisme tubuh Alisya. Untuk lebih meyakinkan, ia menarik lengan kiri gadis itu, kemudian menghitung denyut nadinya seraya memperhatikan jam tangan.
Kondisi Anda sudah benar-benar stabil. Kalau begitu, infus akan dilepas. Asupan nutrisi selanjutnya akan diberikan dari makanan berat. Sang perawat mengalihkan tangannya di pangkal jarum infus. Kurang dari satu menit, ia lalu beranjak meninggalkan Alisya.
Saya akan melaporkan kondisi Anda kepada Dokter Karim. Permisi, pamitnya sebelum benar-benar melewati pintu.
Maaf! Tunggu! Alisya akhirnya bersuara.
Iya. Ada yang ingin dipesan" sang perawat berbalik. Tangan kirinya menekan sebuah tombol di samping pintu, sehingga daun pintu yang setengah menutup mundur kembali.
Hanya ingin bertanya. Sudah berapa lama saya di sini" Kulit yang kembali tanpa cacat, sudah pasti berbulanbulan.
Hm..., kira-kira sudah delapan hari, jawab sang perawat. Ada yang ingin ditanyakan lagi"
Alisya malah tercenung. Delapan" gumamnya.
Maaf, saya harus segera pergi. Pintu akhirnya ditutup.
Delapan" Alisya benar-benar tak yakin. Dilihatnya kembali kedua tangannya yang tanpa cacat, bahkan bekas luka segores pun tak ada. Hanya delapan hari bisa sembuh secepat ini" Dokter Karim pasti menyuntikku lagi dengan fibernetik.
Alarm kembali terdengar. Daun pintu bergeser dan seseorang sepertinya melangkah masuk setengah berlari.
Alisya! Syukurlah kau sudah sembuh! Gaya tiba-tiba memeluknya dengan erat.
*** Jujur, aku katakan bahwa aku enggan menuruti perintah dari pusat. Tujuan utamaku mengembangkan fibernetik adalah sebagai obat penyembuh, bukan sebagai peningkat kemampuan tubuh. Tapi, sebagian pihak ternyata berpikiran lain. Mereka lebih mengutamakan efek samping fibernetik daripada efek utamanya, seperti yang dilakukan Astro dan... mereka. Dokter Karim memainkan dua jemari pada kata terakhir. Ia bermaksud memberi tanda kutip.
Aku tidak sudi apabila mereka menggunakan fibernetik dengan cara demikian. Apalagi, kini fibernetik generasi ketiga memiliki efek samping lumayan besar. Aku tidak ingin obatku disalahgunakan atau melahirkan Astro- Astro yang baru. Oleh karena itu, aku menolak permintaan dari pusat.
Lagi-lagi, Dokter Karim terpaku pada grafik molekul yang cukup rumit. Kini, gambar itu tertayang dari monitor transparan sepanjang setengah kali meja kerjanya.
Dokter menolak permintaan mereka" tanggap Veren. Dokter bisa mendapat masalah.
Aku tidak cukup bodoh untuk mengatakan tidak dengan lantang. Aku katakan saja bahwa kali ini adalah fibergen3. Fibernetik ini berbeda dengan generasi sebelumnya yang dapat diproduksi massal dalam waktu kurang lebih satu minggu. Tetapi rupanya, mereka tidak begitu percaya, sehingga mereka hari ini kembali datang. Aku katakan lagi bahwa aku perlu satu bulan. Padahal, aku sama sekali tidak memproduksi fibernetik yang mereka maksud. Aku hanya berkonsentrasi pada pengembangan penawar. Aku harap, penawar ini mampu menekan efek fibernetik yang terlanjur muncul.
Satu bulan" Bukankah itu waktu yang cukup lama" Beberapa dosis fibergen3 kini sudah di tangan Astro. Kita tidak bisa ambil resiko dengan membiarkannya terus.
Hal itu juga yang dipermasalahkan kepolisian pusat. Tapi, kau tenang saja. Astro masih akan seperti dulu. Efek samping baru terlihat ketika fibergen3 dicabut.
Fibernetik tidak bisa diurai oleh metabolisme tubuh. Dia terakumulasi di tiap jaringan. Sementara untuk mengeluarkannya, harus diinjeksi dengan antifibernetik.
Jika memang seperti itu, syukurlah. Tapi bicara soal efek samping, sebenarnya seberapa besar efek samping fibernetik kali ini"


Kisah Masa Kini Karya Dirgita Devina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekitar lima kali fibergen2. Kedengarannya tidak begitu buruk.
Tidak begitu buruk jika ia baru pertama kali menggunakan fibernetik. Namun efek samping sedemikian, sama saja dengan melipatgandakan kemampuan normal manusia sebesar enam puluh kali. Dan jika ia pernah menggunakan fibergen1 dan 2 sebelumnya, seperti Astro, sekarang kemampuan tubuhnya dua ribu kali lebih besar. Atau, khusus untuk Astro akan lebih dari itu. Karena menurut perhitunganku, Astro memiliki lebih dari dua dosis fibergen2 di tubuhnya.
Dua ribu kali..." Veren tercengang. Kalkulasi kotor otaknya kemudian bekerja. Jika dalam keadaan normal seorang manusia mampu menangani beban 10 kg, itu berarti ia kini mampu mengangkat beban 20 ton.
Aku khawatir. Selain dapat disalahgunakan, efek sampingnya yang terlalu besar bisa saja merusak jaringan tubuh.
Veren tersandar. Di benaknya, terbayang adegan Astro bermain lempar mobil. Astro akan lebih ringan untuk mendobrak apa saja. Anggota DINA di bawah pimpinan Veren pun akan lebih banyak yang cidera. Bukan tidak mungkin ini akan terwujud. Jika fibernetik generasi baru itu terlepas dari tubuh Astro, bencana akan segera datang.
Oh iya, terima kasih telah mendengar isi hatiku. Dokter Karim berdiri. Monitor transparan serentak menampilkan logo divisi tempat ia bekerja. Aku ada pekerjaan lain. Aku harus memeriksa kondisi beberapa anggota DINA di Unit Perawatan. Mau ikut"
Lagi, Veren terperanjat. Ya, Tuhan! Aku juga baru ingat. Aku juga akan pergi ke sana. Aku ikut!
DI BALIK PINTU Indonesia, tak jauh dari sekarang.
Andiev mencoret satu tanggal lagi di kalender. Dengan begitu, telah genap delapan hari ia terdampar di masa ini. Telah lebih dari sepekan pula ia tidak mengetahui kabar kedua orang tuanya. Dua staf laboratorium DIVENN tersebut ditembak Astro tepat di hadapan Andiev. Terakhir kali yang ia ingat, sang ayah meminta Astro melepaskan putrinya. Sementara sang ibu, tergeletak tak sadarkan diri di lantai laboratorium. Darahnya menggenang dari dada yang tertembak dan kepala yang terbentur tembok. Astro tak menghiraukan permintaan tersebut. Ia menyeret Andiev hingga Borneolab dan terlempar ke masa sekarang.
Ledakan dari Borneolab ternyata turut menyeberangi lorong waktu. Andiev pada saat itu hendak ditinggalkan Astro sendiri di dermaga, lokasi mereka mendarat. Namun, sambaran api menyambar telak punggung pria itu sebelum portal menutup. Astro terlempar dan menghantam kargo dengan kemeja yang hangus. Koper yang digenggam turut terlepas dan terlempar mengenai Andiev. Meski masih mencoba untuk meraih koper yang telah berpindah tangan, Astro akhirnya roboh. Sesuatu yang menyakitkan bagai menerjang punggungnya tanpa ampun.
Andiev sempat terkatung-katung beberapa jam setelah menerobos portal. Sebelum akhirnya, ditemukan menggigil di pagi hari di teras rumah seseorang yang kini merawatnya. Ilyas telah cukup berbaik hati menampungnya di rumah ini.
Ibu.... Rasa hangat mulai memenuhi ruang matanya. Buru-buru, Andiev mengembalikan kalender yang telah ia coret ke atas meja. Kemudian, menyeka air matanya dengan punggung tangan.
Terdengar seseorang mengucapkan salam. Andiev bergegas menyusul ke beranda. Seorang pegawai PT Pos segera menyambut.
*** Digta yang melarikan diri, ternyata bertandang ke Unit Penanganan Medis Pusat Kesehatan DINA. Ia sudah tidak tahan lagi. Seluruh lengan kanannya sudah mulai mati rasa. Telapak tangan kirinya juga sudah diselimuti oleh darah. Cairan itu terus merembes, seakan tidak mau berhenti mengalir dari luka gores di bahu kanannya. Ia diserempet peluru saat ia disalahkirimkan oleh Bili.
Dua dari tiga perawat yang berjaga di Unit Penanganan Medis, langsung menangani Digta.
Dari mana kau mendapat luka ini" Seorang perawat menyobek lengan kaos Digta dengan gunting. Rekannya mempersiapkan antiseptik dan beberapa gumpal kapas.
Rekan satu timku yang memberikannya.
Apa benar ini adalah luka tembak" Perawat itu terlihat sangsi.
Apa harus lukanya berbentuk lingkaran, baru itu dinamakan luka tembak"
Perawat yang menanganinya menggeleng. Hanya saja, kami belum pernah menemukan luka gores tembak seperti ini.
Wajar. Karena aku tertembak senjata api yang sudah antik.
Meski tidak begitu paham, kedua perawat yang menangani Digta terus bekerja. Mereka fokus untuk menetralisir zat yang menyebabkan sel darah merah Digta tidak membentuk benang-benang fibrin. Tanpa benangbenang fibrin, darah akan sangat sukar untuk berhenti mengalir. Sepertinya, peluru yang melukai Digta dirancang khusus untuk mengisap habis darah orang-orang yang tertembak.
Di lain tempat, rekan mereka yang tak lain adalah Rosanti, menunggu di meja jaga. Ia mendapati Dokter Karim dan Veren melintas di depan Unit Penanganan Medis. Unit Perawatan yang mereka tuju berada tidak jauh setelah unit yang dihampiri oleh Digta. Teringat sesuatu, Rosanti pun menghentikan Dokter Karim.
Dokter! Dokter Karim! panggilnya. Kedua orang itu menoleh. Dokter Karim dari mana saja" Kami hubungi tidak pernah dijawab.
Dokter Karim memasang wajah bingung. Namun secepat kilat, ia teringat sesuatu. Ya, Tuhan! Gelang komunikasiku sengaja kulepas dan kutinggal di laboratorium. Aku minta maaf.
Pantas saja..., keluh Rosanti.
Memangnya, ada urusan serius" Kulihat, kalian menangani pasien itu dengan cukup baik. Dokter Karim melongok ke ruang Unit Penanganan Medis, UGD milik Pusat Kesehatan DINA.
Bukan..., bukan yang itu. Tapi pasien di kamar nomor dua. Alisya. Beberapa menit yang lalu, ketika dijenguk oleh Gaya, ia hendak meninggalkan Unit Perawatan. Ia mengaku sudah sembuh, tetapi kami tidak berani memberikan izin untuk keluar. Terlebih, tanpa persetujuan Dokter. Makanya, kami mencoba menghubungi Dokter, tetapi ternyata tidak dijawab.
Lalu" Pasien itu keras kepala, Dokter. Kami tidak bisa menahannya untuk tidak pergi.
Alisya..., kenapa ia sama sekali tidak bisa berubah" Dokter Karim malah tersenyum.
Dokter.... Veren menyela. Ia baru saja keluar dari renungan seusai mendengar kabar dari Rosanti. Setahuku, Alisya adalah satu-satunya anggota DINA yang terluka sangat parah. Meski bukan seorang dokter, aku menaruh sebuah analisa. Ia memerlukan waktu beberapa bulan untuk sembuh. Dan rasanya aneh jika ia dapat meninggalkan Unit Perawatan dalam waktu kurang dari dua minggu. Aku khawatir tentang satu hal. Dokter mengenakan fibergen3 pada Alisya. Apakah itu benar"
Setelah lirik kanan lirik kiri, Dokter Karim menyeret Veren ke Unit Penanganan Medis. Mereka berbicara di pojok ruangan yang kebetulan pagi ini cukup lengang. Perawat yang menghampiri Dokter Karim dipinta untuk kembali ke belakang meja jaga.
Dokter pernah sesumbar, kecepatan maksimum penyembuhan fibernetik generasi ketiga adalah tiga hari. Dan Alisya bisa sembuh di atas kecepatan fibergen2. Itu yang membuatku curiga. Dokter menggunakannya, bukan" Ng.... Jujur, aku menggunakannya pada Alisya. Veren menghela kecewa. Terlihat benar-benar kecewa.
Dokter menggunakan fibergen3 pada anggotaku" Kenapa" Padahal, aku sudah berencana untuk mengistirahatkannya beberapa waktu dari unit. Ia bekerja terlalu memaksakan diri. Jika ia sembuh dengan cepat, tidak ada alasan bagiku untuk menolak keikutsertaannya di dalam misi.
Maaf, Veren. Aku tidak punya pilihan lain. Melihat luka yang dialami Alisya, kecil kemungkinan ia bisa selamat dan sembuh dengan cepat. Satu-satunya jalan adalah dengan injeksi fibernetik. Dan satu-satunya yang terpikirkan olehku pada waktu itu, adalah fibergen3.
Haaah...! Tapi, Dokter belum mencabut obat itu, kan"
Bahkan, ia dan para petinggi DINA sama sekali tidak tahu obat itu ada di tubuhnya. Aku dan para perawat merahasiakan hal ini. Aku berencana untuk tidak mencabut obat itu, hingga akhirnya aku bisa menemukan penawar efek samping fibernetik.
Baguslah.... Jika tidak, ia akan menjadi monster. Veren mengeluh. Kepalanya terasa pening. Ia membayangkan Alisya dan Astro saling lempar mobil. Akan sangat gawat.
Sekali lagi, aku minta maaf.... Dokter Karim menepuk pundak Veren. Ia menghampiri dua perawat yang mengurusi Digta.
*** Digta" Kau ada di sini"
Semua menoleh. Bili memasuki ruang Unit Penanganan Medis. Ia terengah-engah usai berlari sepanjang koridor. Setelah bertanya pada orang-orang, ia pun sampai di unit itu. Syukurlah. Aku ingin mengembalikan jasmu.
Digta memasang sorot mata yang tajam. Aku sudah tidak memerlukannya. Mesin itu telah diperbaiki. Itu berarti, tugasku di tempat ini telah selesai. Mesin itu menjadi milik kalian, dan aku kembali bekerja di laboratoriumku di Borneo.
Bagaimana kalau jas ini kuberikan sebagai tanda maaf"
Terima kasih. Tidak perlu.
Bili, ada apa" Kalian bertengkar lagi" sela Veren.
Seperti yang terlihat....
Sampai-sampai, kau ingin menembak rekan kerjamu sendiri" Dokter Karim ikut menyela.
Mana aku sanggup, Dokter! Secepat kilat, Bili membalas. Ia merasa telah menjadi sasaran tuduhan yang tidak benar. Dan melihat Dokter Karim, ia menyadari sesuatu. Eh, Dokter" Mengapa Dokter ada di sini"
Kau berkata demikian seolah aku tidak pantas berada di Unit Penanganan Medis. Ini adalah satu dari beberapa tempat kerjaku sehari-hari, Jabrik! Dokter Karim bertelekan pinggang. Tampak Bili serba salah.
Unit Penanganan Medis" Ini Unit Penanganan Medis Pusat Kesehatan DINA" Dan Bili semakin sadar. Ia sekarang berada di tempat yang biasa anggota DINA sambangi apabila bermasalah dengan kesehatan. Ada ranjang pasien dengan warna putih polos, dihiasi selimut biru laut. Ada para perawat dengan seragam mereka, terlihat anggun dengan warna biru yang senada. Dan juga dokter dengan jasnya yang berwarna putih hampir sama dengan jas personil LABTEK. Lalu, kenapa ia bisa sampai di tempat ini" Siapa yang tidak sehat"
Lingkaran hitam di balik kacamata bening Bili tertuju pada lengan Digta. Ada bercak merah membaur di sekitar lengan baju yang disobek. Di meja di dekatnya, juga tergeletak kapas-kapas dengan noda yang dikenal Bili sebagai darah.
Digta" Kau terluka" Mengapa tidak memberitahuku" Untuk apa memberi tahu orang yang hendak membunuhku" Digta membuat Veren semakin terhenyak.
Kalian benar-benar ingin saling bunuh" Veren terkejut.
Aku tidak ingin membunuh siapa pun! bela Bili. Aku..., aku hanya melakukan sebuah kesalahan kecil.
Kesalahan kecil" Bila peluru itu melesat tiga puluh sentimeter ke kiri dari bahu kananku, apakah itu masih kesalahan kecil" sambar Digta.
Maaf, Digta. Aku..., aku mengantuk. Mengantuk" Hah! Jadi, itu alasanmu"
Bili kehabisan kalimat untuk membalas. Mulutnya terkunci rapat.
Tunggu, aku ingin meluruskan ini. Veren kembali menyela. Bili memegang senjata api, sementara ia sendiri sedang mengantuk. Karena kalian suka bertengkar, Bili yang mengantuk tidak dapat menahan dirinya kemudian menembak Digta.
Veren bertelekan pinggang dan menoleh Bili. Hei..., Bili. Dari mana kau bisa memiliki senjata api" DINA adalah areal yang steril dari benda-benda semacam itu. Bukan! Bukan itu....
Lalu" Digta mengambil alih, Untuk mengecek mesin waktu apakah telah siap digunakan, aku meminta Bili untuk mengirimku ke masa dua ratus tahun sebelum Perang Dunia Ketiga. Namun karena keteledorannya, ia malah mengirimku dua ratus tahun sebelum masa sekarang. Itu berarti, lima puluh tahun sebelum Perang Kosmik terjadi. Bayangkan, ia mengirimku ke masa di mana konflik bersenjata masih berkecamuk. Beberapa tentara menembakiku.
Jadi..., mesin itu telah selesai diperbaiki" Ya.... Bili tertunduk.
Haaah.... Aku sebenarnya gembira mendengar kabar ini. Tapi karena situasinya seperti ini, lebih baik kalian menyelesaikan masalah kalian terlebih dahulu. Padahal, aku sempat berharap. Meskipun kalian selalu bertengkar karena berselisih paham, berada dalam satu tim membuat kalian dapat semakin memahami karakter masing-masing dan akhirnya bersatu. Veren adalah orang yang mempertemukan Bili dan Digta. Proses rekonstruksi berada di bawah pengawasan unit yang ia pimpin.
Veren menepuk pundak Bili sebelum meninggalkan Unit Penanganan Medis. Dokter, aku menjenguk anak buahku dulu, pamitnya pada Dokter Karim.
Silakan. Aku mungkin nanti. Aku ingin memastikan luka yang dialami gadis ini tidak perlu dikhawatirkan.
Bili menghampiri sebuah ranjang dengan langkah diseret. Ia duduk dan masih mendekap jas laboratorium milik Digta.
Maafkan aku.... Jangan banyak bicara...! Digta tersandar. Wajahnya masih tergambar rasa marah.
Usai membersihkan luka gores yang terbilang parah dengan antiseptik, perawat menutup lukanya dengan plester obat. Bukannya meninggalkan Unit Penanganan Medis, Bili malah berbaring di ranjang pasien, memperhatikan kerja dua orang perawat hingga akhirnya tertidur.
Sekitar lima jam ia terlelap, sungguh nyenyak bagai disuntik obat bius. Perawat di Pusat Penanganan Medis turut andil dengan tidak mengganggunya. Tidak ada kesibukan di hari ini. Bili akhirnya terbangun ketika satu jam sebelumnya, Digta telah meninggalkan divisi.
SAHABAT MASA KECIL Ilyas mematung. Ia menjongkok dan membatu di depan jalan masuk pekarangan rumahnya. Beberapa waktu lalu, ia mendapat sepucuk surat dari Pak Pos yang dititipkan kepada Andiev. Nama pengirim yang tertera jelas di amplop langsung menggerogoti persendiannya. Belum lagi, ketika ia membaca isi surat itu. Ia pun seperti terkena serangan jantung.
Aku akan pulang ke Indonesia. Tidak lama lagi. Tunggu aku, ya"
Sepenggal isi surat itulah yang membuat dirinya semakin panas dingin. Sonia akan pulang dari Australia. Dan seketika itu juga, sebuah bayang-bayang mengerikan langsung menghantui isi kepala Ilyas. Bayang-bayang ketika ia dicekik dan diseret untuk menemani gadis itu ke mana saja.
Ya, Tuhan, batin Ilyas. Semoga berpisah enam tahun, membuat Sonia berubah.
Sementara di rumah, tiga orang temannya dibuat heran. Ake, Ikam, dan Andiev mengintip dari pintu yang terbuka lebar. Kepala Andiev muncul di paling bawah. Sementara Ake, berada paling atas.
Sudah setengah jam lebih dia menjongkok di depan sana. Apa tidak pegal" komentar Ikam.
Mungkin, ada yang ia tunggu" tebak Ake.
Pemuda kurang pergaulan seperti dia punya janji dengan siapa"
Ake garuk-garuk kepala. Biar aku yang tanya. Andiev beranjak. Dengan kurang lebih sepuluh langkah, ia sudah berada tepat di samping kiri Ilyas. Segera ia menegur pemuda itu, Abang sebenarnya sedang apa" Ada yang ditunggu" Kalau ada yang ditunggu, lebih baik Abang menunggu di dalam rumah, jangan menjongkok seperti pajangan di tepi jalan.
Haaah...! Gadis usia SMP itu hanya dibalas helaan napas. Ilyas terlalu sakit kepala untuk menjawab. Dan setelahnya, ia lebih memilih berdiri, kemudian meninggalkan Andiev yang masih menatap heran. Ia menuju kamar.
Hingga malam hari. Di kamar yang sederhana, Ilyas hanya duduk menyendiri di depan meja belajar. Suasana yang cukup hening, ternyata tidak dipergunakan untuk meneliti beberapa lembar isi sebuah buku, seperti malam-malam yang lain. Ia malah lebih menikmati untuk memutar ulang kenangan-kenangan pahit bersama pemilik kalung yang kini menggantung di tangannya. Bandul kalung yang membentuk kata Si itu sesekali terlihat memancarkan cahaya berwarna perak. Kerlipannya bagai menghipnotis Ilyas untuk kembali ke masa ketika ia masih mengenakan seragam putih merah, enam tahun lalu.
Sonia mendatanginya di kelas. Ia membawa kabar bahwa ia akan segera pindah ke Australia. Sekeluarga. Namun ia berjanji, suatu waktu nanti akan pulang kembali ke tanah air.
Ia menarik sesuatu keluar dari bajunya. Gadis kecil itu mengenakan kalung, kalung yang berbandul Si . Ia lepaskan dan ia serahkan kepada Ilyas, seraya meminta untuk menjaga kalung berwarna perak tersebut. Ia ingin benda kesayangannya diserahkan kembali ketika ia suatu nanti pulang. Benda itu sebagai pengingat dirinya bagi Ilyas. Si" Bukankah ini lambang silikon" komentar Ilyas
kecil. Kata siapa" Kataku dan kata buku Kimia anak SMA.
Kamu itu anak kelas lima SD. Untuk apa baca buku anak SMA"
Iseng. Sudah! Ini bukan lambang salmon.... Silikon....
Terserah. Yang pasti, ini adalah singkatan nama kita. S I. Sonia dan Ilyas.
Kenapa hurufku kecil"
Terserah hatiku, dong. Bukankah aku yang memiliki kalung" Sudah! Lebih baik kita ke kantin. Yuk" Diseretnya Ilyas keluar dari kelas.
Tersadar dari lamunan masa kecilnya, Ilyas menaruh kembali kalung itu ke dalam laci. Kemudian, ia mengambil surat Sonia yang tergeletak di atas meja. Kali ini, ia memikirkan bagaimana nasibnya jika gadis itu jadi pulang ke tanah air.
Haaah...! *** Sebenarnya, surat itu dari siapa" Mengapa dari tadi dipegang terus" Suara Ikam mengagetkan Ilyas. Ilyas menoleh.
Ka..., kalian" Andiev merebut surat itu. Dari Australia, loh. Pengirimnya bernama Sonia. Pacar Abang, ya"
Bukan! Ilyas berhasil mengambil alih surat itu sebelum isinya diketahui oleh Andiev. Ia simpan di laci. Kalau begitu, siapa" tanya Ikam.
Teman! Cuma teman" Sejak kapan" Sejak dulu.
Dulunya kapan" Ilyas diam sesaat, lalu menjawab, Sejak kecil.... Ini orangnya, ya" Andiev memperlihatkan selembar
foto. Dari mana kamu dapat" Ilyas hendak merebutnya kembali. Namun, terlebih dahulu berpindah ke tangan Ake. Dari laci....
Kamu punya teman kecil, kenapa tidak pernah memberi tahu" Ake memperhatikan barang hasil rampasannya.
Karena kalian tidak pernah bertanya. Lagi pula, kami sudah tidak bertemu selama enam tahun. Tangan Ilyas meluncur bagai kilat.
Lama sekali..., simpul Ake. Foto itu bergerak lebih cepat ke tangan Ikam.
Bagaimana kau bisa mendapatkan fotonya" Pertanyaan dari Ikam semakin membuat Ilyas serasa diinterogasi.
Ilyas terpaksa menjawab, Dia yang mengirimkan kepadaku. Katanya, agar aku tahu bahwa yang nanti datang adalah dia. Tangan Ikam selalu lebih lincah menghindar dari tangan Ilyas.
Jadi, dia mau pulang ke Indonesia" Hem!
Dan sekolah di sini" Satu sekolah dengan kita" Ake dan Andiev kepergok membaca surat dari Sonia. Buru-buru, Ilyas rebut dan disembunyikan ke tempat asal.
Itu rencananya. Sudah! Jangan tanya-tanya lagi! Jika aku ingat dia, aku bisa merinding!
Kening Ikam berkerut. Ngomong-ngomong, apa yang membuatmu takut terhadap gadis semanis ini"
Foto itu berpindah ke tangan Andiev.
Sifatnya. Ilyas berhasil mengamankan benda itu ke dalam laci.
Galak, ya" Ake melirik Andiev yang sedang cemberut.
Andiev balik melotot. Apa" Bukan..., jawab Ilyas. Lalu"
Sudahlah! Oh...! Teman-temannya mulai mengerti.
Kalau begitu, dari pada membuatmu takut, lebih baik fotonya untuk kami! Dengan cepat, Ikam membuka laci dan melarikan foto itu ke luar kamar.
Eh, tunggu! Kami juga mau lihat! Andiev dan Ake mengejar. Mereka meninggalkan Ilyas.
Sesaat, suasana hening. Ilyas yang kembali menyendiri hanya dapat tertunduk, hingga kepalanya menyentuh meja.
*** Masih memikirkan surat itu, ya" Ake dan Ikam lagilagi datang untuk membuat kaget. Ilyas yang merasakan kepalanya pening berat, segera mendongak. Sesampainya di kelas, ia langsung mengambil tempat duduk dan menundukkan kepalanya di atas meja. Sampai-sampai, keramaian yang tak seperti biasa di depan kantor kepala sekolah, sama sekali tidak ia pedulikan.
Ti..., tidak, sangkalnya.
Jangan bohong. Dari wajahmu saja sudah tergambar jelas bahwa kau sedang merasa bingung, sambut Ikam. Ilyas mendesah.
Kami heran, bagaimana kau bisa seperti ini" Ikam menemani Ilyas duduk. Ah, sudahlah! Sekarang, kami punya kabar untukmu.
Kabar apa" Ada murid baru di sekolah kita. Seorang siswi.
Iya, Yas, timpal Ake. Banyak murid di sekolah ini yang tadi mengerubungi jendela kantor kepala sekolah untuk melihat siswi itu. Aku dan Ikam juga ikut mengintip. Tapi sayang, kami tidak sempat melihat dengan jelas. Kami ketahuan oleh guru dan langsung dipinta untuk bubar, tuturnya pula dengan nada sok serius.
Lalu..., kenapa kalian cerita kepadaku" Sedikit banyak, Ilyas merasa khawatir. Jangan-jangan, yang dimaksud adalah sahabat kecilnya yang pulang dari negeri kanguru.
Sebenarnya, kami hanya ingin bercerita saja. Ake terlihat kurang bersemangat. Kami sangat kecewa ketika tahu bahwa siswi baru tersebut bukanlah Sonia, meski kami belum tahu siapa namanya. Dia berasal dari Bogor. Sekarang, Ilyas yang merasa lega. Hei, tidak mungkin Sonia. Karena suratnya sendiri baru kuterima kemarin. Ikam beranjak. Ia dan Ake duduk di kursi belakang.
Kenapa justru kalian yang lesu" Tubuh Ilyas melintir mengikuti mereka.
Jika bukan Sonia, itu berarti kami harus menunggu lebih lama lagi. Kami sangat ingin berteman dengan orang yang pernah tinggal lama di negeri bule.
Dan mengajari kami bahasa asing, sambung Ake. Ilyas menggeleng-geleng.
Bel tanda masuk berbunyi, disusul Bu Guru yang segera memasuki kelas. Beberapa murid yang masih gentayangan, sontak berpacu agar tidak mendapat sanksi dari wanita muda itu. Setelah dirasa kelas agak hening, ia pun menyampaikan kabar yang telah diketahui hampir semua anak didiknya.
Pagi ini, kita kedatangan teman baru yang akan belajar bersama kita di kelas ini. Ibu akan memperkenalkannya kepada kalian.
Dan siswi tersebut dipersilakan masuk. Sederet langkah ringan membelalakkan tiga pasang mata. Senyum itu, mata itu. Gadis dengan rambut tergerai itu persis seperti yang tergambar pada foto yang kini berada di tangan Ikam.
Namaku Sonia Windya. Teman-teman bisa memanggilku Sonia atau Nia. Salam kenal.
Ilyas benar-benar mematung.
Nah, Sonia. Sekarang, kamu bisa duduk di samping Dimas. Bu Guru menunjukkan satu-satunya tempat yang lowong. Letaknya di sebelah kanan baris meja Ake dan Ikam.
Sonia sudah beranjak, tetapi segera berhenti. Kedua pemuda tersebut mendadak bergerak menarik teman duduk Ilyas. Mereka menyuruh anak itu menggantikan Sonia.
Dimas sendiri setuju saja jika teman duduk Ilyas kini menjadi teman sebangkunya, tetapi anak itu tetap berkeras untuk tidak pindah. Baru setelah dengan acara berbisik-bisik, akhirnya teman duduk Ilyas bersedia juga untuk dipindah. Namun sebelum acara hijrahnya terlaksana, sempat terjadi pula acara tarik-menarik antara Ilyas dengan Ake dan Ikam. Mereka memperebutkan teman duduk. Ilyas keberatan temannya itu direlokasi.
Tapi, dua lawan satu. Ilyas kalah. Dia akhirnya harus bertetangga dekat dengan Sonia. Sementara itu, Ake dan Ikam senang karena usaha mereka berhasil. Dan berkat jasa mereka pula, mereka berdua dikomentari Bu Guru dengan ucapan, Ibu rasa, kalian mengerjai Ilyas.
Sepanjang jam pelajaran, Ilyas merasa tak nyaman di dekat siswi yang bernama Sonia tersebut. Isi kepalanya masih dihantui oleh pengalaman bersama orang yang bernama serupa. Namun ketika menatap ke arah wajahnya, rasa waswas yang ia rasakan menjadi sedikit berkurang. Tidak ada gelagat agresif yang tampak. Tetangganya hanya fokus kepada pelajaran yang diajarkan guru di depan. Cukuplah untuk membuat ia bersyukur dan menghela sedikit lega.
Begitu istirahat tiba, Ilyas semakin bahagia. Tetangganya sibuk menyambut warga seisi kelas yang ingin berkenalan. Ia pun diam-diam pergi dengan membawa sebuah pikiran. Anak itu mungkin hanya kebetulan saja memiliki nama dan wajah yang mirip dengan Sonia-nya. Toh, ia tidak berasal dari benua tetangga. Ia pindahan dari sebuah sekolah di daerah Jawa Barat.
*** Jam sekolah telah usai. Kelas telah sepi. Hanya beberapa murid yang tertinggal. Ilyas hanya perlu mengayun selangkah lagi untuk meninggalkan kelas. Namun, sebuah panggilan dari seseorang membuatnya terhenti dan menoleh.
Ilyas merinding. Orang yang menyapa adalah Sonia. Gadis itu berjalan mendekat.
Kau melupakanku" tanyanya dan langsung menggiring Ilyas ke tempat parkir sekolah. Ia menghampiri sebuah mobil. Aku harap, kau menerima suratku yang terakhir sekaligus fotoku.
Jadi, kau benar-benar Sonia"
Gadis dengan bola mata berbinarnya ini menatap Ilyas. Aku rasa, aku telah menyebutkan namaku sewaktu perkenalan tadi.
Tapi..., bukankah kau dari Bogor"
Sonia tersenyum. Ia bersiap membuka pintu mobil. Sebenarnya, aku sudah tiga bulan meninggalkan Australia dan bersekolah di Bogor. Aku tinggal bersama Nenek. Hitung-hitung, memperbaiki bahasa Indonesiaku. Bayangkan, enam tahun aku harus hidup di luar negeri. Hidup di antara tetangga yang pandai memelintir lidah dengan bahasa Inggris versi Australia.
Tapi, suratmu" Baru kemarin..."
Sengaja aku kirim telat. Aku meminta Ayah yang mengirimkannya.
Pintu mobil dibuka. Sebelum duduk di belakang setir, masih sempat-sempatnya Sonia berbalik.
Oh iya. Aku sebenarnya sangat marah kepadamu. Aku jengkel karena kau tidak pernah mengirim foto. Tapi, terima kasih telah memberi tahu alamat sekolahmu. Aku hanya tinggal bertanya pada beberapa orang.
*** Laboratorium Teknik. Veren mengumpulkan empat belas anggota Unit Pemburu yang masih bisa bertugas. Mereka berbaris rapi dalam dua saf, sembari Veren menjelaskan misi yang akan segera mereka tempuh. Kali ini, Unit Pemburu tidak bekerja sendiri mengejar Astro. Polisi memerlukan mereka sebagai pasukan pendukung.
Selain adanya kerja sama dengan pihak polisi, terjadi perombakan di dalam tubuh Unit Pemburu. Veren melebur mereka menjadi satu tim besar. Hal ini dianggap penting, karena sebelas anggota Unit Pemburu masih dirawat di Pusat Kesehatan DINA.
Kita memang terlibat dalam investigasi. Namun, kita tidak bisa terlibat secara menyeluruh. Keberadaan kita sebagai wakil DINA hanya untuk hal-hal yang lebih bersifat teknis dan bantuan pengalaman. Kalian mengerti"
Mengerti, Pak! semua membalas kompak. Selanjutnya, Veren membubarkan barisan itu. Masing-masing anggota dipinta untuk menghampiri Bili di depan mesin waktu. Bili akan memberikan sesuatu bagi mereka dan menjelaskan sedikit hal teknis sebelum berangkat.
Belum tiga langkah Alisya menjauh, Veren sudah memanggilnya. Alisya pun membiarkan Gaya lebih dulu menghampiri Bili.
Ada sesuatu, Pak" Ya, sebuah pesan yang sepertinya sudah sering kau dengar. Veren mendekat. Alisya dengan mudah bisa mengetahui arah pembicaraan Veren. Pasti seputar tindakannya menghadapi Astro.
Menurut Veren, kepala Alisya terlalu keras. Meski telah dijelaskan bahwa Unit Pemburu hanya sebagai pembantu, Veren yakin Alisya tetap sungguh-sungguh mengejar Astro, termasuk ketika ia harus berhadapan langsung dengannya. Veren bisa saja membebastugaskannya dari misi ini, namun akan membentur kepentingan polisi yang telah membaca histori keanggotaan Alisya.
Saya mengerti kekhawatiran Bapak, tapi ini adalah resiko yang harus diambil.
Sudah berkali-kali kau ikut dalam misi ini. Sudah berkali-kali pula tubuhmu remuk dalam misi serupa. Aku tidak ingin hal ini terulang. Kau terlalu memaksakan dirimu. Ingat, kasus ini telah diambil alih oleh polisi.
Aku tidak bisa membiarkan Astro begitu saja, Pak, Alisya menjawab tegas. Kedua bola matanya bagai memancarkan cahaya tekad yang sungguh-sungguh. Aku tidak bisa membiarkan Astro begitu saja untuk kesekian kali. Veren menghela.
Kau ini.... Aku sangat menghargai tekadmu dalam mengejar Astro. Tapi bila dibandingkan dengan yang lain, kau terlalu bersemangat. Sebagai pimpinan, aku tidak bermaksud memberikan perhatian lebih atau memanjakanmu. Semua personel mendapat perlakuan yang sama. Aku takut. Karena semangatmu itu, kau bisa bertindak ceroboh. Aku tidak mau personelku terluka atau bahkan tewas, hanya karena tindakan yang gegabah.
Aku mengerti, Pak. Akan kuusahakan untuk tidak bertindak ceroboh.
Baiklah. Sekarang, kau boleh pergi. Patahkan bakat belut Astro. Petualangannya harus segera berakhir dan kita juga harus mendapatkan giganium. Tanpa benda itu, negara kita bisa hancur diserbu benda angkasa. Berhati-hatilah.
Alisya menuju portal. Gaya segera melejit menjadi ekor. Selama Alisya dan Veren berbincang, ia asyik meneliti peralatan LABTEK-II. Penjelasan Bili sudah selesai beberapa saat lalu, dan Bili sendiri sudah duduk di depan meja komputer.
Sebelum benar-benar bergabung dengan Alisya, ia dihentikan oleh Veren. Gaya dipinta sebagai personel cadangan. Setelah cideranya sembuh benar, baru diterjunkan dalam misi.
Aku sudah sangat baik, Pak. Jika ingin bukti, aku bisa melempar Bili keluar dari ruangan ini.
Kok, aku" Bili merasa tersentil.
Ayu mendadak menepuk pundaknya. Alat itu! ingatnya.
Oh iya! Bili bergegas turun dari kursi dan menghentikan Alisya sebelum menembus portal.
Gelang multifungsi kalian telah kumodifikasi. Fitur komunikasinya telah diperkuat. Kalian bisa menghubungi kami dari alam lain di seberang sana. Bili mengunjukkan sebuah benda berwarna perak serupa jam tangan digital. Berkesan minimalis karena minim ornamen. Benda itu dengan cepat berpindah ke pergelangan tangan Alisya. Layar kecil yang berwarna hitam segera aktif menampilkan grafik berwarna hijau menyala.
Sebelum benar-benar mencapai portal, kini giliran Alisya yang berbalik.
Hei, Bili. Doakan agar kami selamat. Karena jika kami selamat, ada kemungkinan kau dapat berdamai dengan sepupuku. Aku akan menjadi penengah bagi kalian. Sepupu" Bili terlihat bingung.
Ingat dengan gadis beraroma stroberi, meski ia tidak berasal dari kebun stroberi"
Perlu beberapa detik bagi Bili untuk menerjemahkan kata-kata itu. Begitu ia paham maksudnya, sebuah tamparan yang ia terima kemarin pagi kembali terasa di pagi ini. Belum sempat ia menanyakan perihal gadis itu lebih lanjut, Alisya dan Gaya telah lenyap ditelan portal waktu.
*** Sebuah mobil melintasi Ake dan Ikam. Keduanya mengernyitkan dahi. Karena setelah agak jauh, mobil yang melintasi mereka malah berjalan mundur menghampiri.
Mau ikut" Sonia keluar dari mobil. Kedua pemuda yang ia ajak hanya saling toleh.
Kalian teman Ilyas, kan" Keduanya mengangguk.
Kalau begitu, ayo! Ilyas meminta kalian untuk ikut. Yang benar" Ake masih merasa sangsi.
He-e! Setelah masuk mobil, suasana menjadi riuh. Sudah ada Ilyas yang duduk seperti pajangan. Kaku. Posisi duduknya tepat di samping Sonia.
Eh, Ilyas. Selamat, ya" Maaf, kami meninggalkanmu. Keduanya terkekeh. Mereka memang sengaja mengerjai Ilyas. Begitu bel pulang berbunyi dan Pak Guru melenggang keluar, mereka sudah melejit meninggalkan kelas.
Roda mobil bergerak. Sonia memutar setir ke sebuah jalan. Dan tak lama, mereka pun berhenti di depan pagar sebuah rumah. Ake dengan suka rela membuka gembok yang mengaitkan pagar. Ia juga yang menyeret anyaman batang dan lempeng besi itu, hingga memberi celah bagi mobil Sonia.
Ini rumahku.... Sonia mengajak ketiga tamunya untuk masuk. Hawa dingin segera mengergap dari dalam rumah. Ruangan yang luas membentang memenuhi mata mereka.
Besar sekali.... Ake dan Ikam mendongak. Mata mereka menerawang seisi rumah.
Dari luar memang terlihat sudah megah. Dilihat dari dalam, semakin wah...! Mata mereka tersangkut pada beberapa untai lampu kristal. Benda serupa kaca itu menggantung tinggi di langit-langit. Beberapa ventilasi pendingin ruangan juga terlihat menempel di dinding.
Lantainya porselen.... Bola mata Ake semakin berbinar. Ia dapat membandingkan rumah Ilyas tempat ia tinggal dengan rumah yang didiami Sonia. Tidak ada lantai kayu di sini.
Kau... tinggal dengan siapa di sini" Ilyas akhirnya bersuara.
Tidak dengan siapa-siapa. Hanya aku dan dua malaikat yang ada di pundakku. Sinar di mata Sonia sedikit berkurang. Ayah terlanjur membeli rumah ini dan aku tidak dapat berbuat banyak. Ia hanya berpesan, Jika ingin keamanan, sewa saja satpam. Jika ingin kebersihan, gaji saja pembantu . Huh...!
Tak sampai dua puluh menit, usai menjamu tamutamunya, Sonia sudah kembali duduk di belakang setir. Sonia tidak tega jika Ilyas dan kawan-kawan berjalan kaki. Terlebih, mereka harus segera pulang. Kata Ilyas, ia harus memperbaiki plavon kamar yang bocor. Ia juga sempat mengingatkan Ake dan Ikam. Pintu dan bak kamar mandi yang rusak telah menanti mereka.
HUJAN Sore itu, Sonia bertandang ke rumah Ilyas. Di halaman, tampak Ake dan Ikam sedang bermain lompat tali dengan Andiev. Mereka menggerutu soal tinggi badan. Andiev dengan tubuh agak mungil dari mereka, paling lama melompati tali. Gadis itu tidak mudah terjerat. Sedangkan mereka"
Nyaris, keduanya berkelahi dengan Anidev. Masingmasing hendak saling cekik. Keduanya berbuat curang. Putaran tali mereka percepat, hingga kaki Andiev tersangkut. Pada saat batang leher Andiev terancam, Sonia menyapa. Eh, Sonia...! Keduanya sontak berwajah manis. Siapa, tuh" Andiev malah bertampang curiga.
Maksud kedatangan Sonia sudah dapat ditebak. Ia mampir untuk menemui Ilyas. Ketiga orang yang ia jumpai di halaman depan segera menggiringnya ke halaman belakang rumah. Di sana, ada Ilyas yang sedang mengambil air dari sumur.
Ilyas! Sonia menyapa. Ilyas yang tengah membungkuk segera menoleh. Tangannya memegang tali ember, dan ember yang penuh air berada tepat di atas kepala.
Karena kaget melihat siapa yang datang, tali ember yang ia genggam terlepas. Ember yang sarat air pun menghantam kepalanya. Tak ayal lagi, Ilyas terjatuh ke dalam sumur.
*** Sonia mengetuk pintu kamar Ilyas. Ilyaaas...! panggilnya.
I..., iyaaa! balas Ilyas dari dalam kamar. Ia baru akan mengenakan baju. Gara-gara kaget mendengar panggilan Sonia, acara mengenakan baju yang seharusnya mudah, mendadak berubah menjadi sangat sulit.
Maaf, ya" Ti..., tidak apa-apa! Yang benar"
I..., iya! Yas! A..., apa" Jalan-jalan, yuk" Ke..., ke mana"
Ya..., ke mana saja. Pokoknya ke luar. Tidak!
Kenapa" Ya..., tidak!
Yang lain ikut, lho. Pergi saja.
Yas, kalau tidak ada kamu, jadinya tidak seru.
Tapi, di luar mendung, sepertinya akan hujan. Dan aku juga rasanya masih trauma gara-gara kejadian tadi. Kepalaku pusing.
Yas...! Sonia membuka pintu kamar. Ilyas yang masih mencoba mengenakan baju kembali kaget, begitu pula Sonia yang segera menutup mata. Sementara gara-gara kaget itulah, Ilyas akhirnya berhasil mengenakan bajunya dengan benar. Sebelumnya, ia selalu memasukkan kepala ke lubang lengan baju.
Maaf...! lanjut Sonia. Ti..., tidak apa-apa.
Sonia membuka mata dan kembali berbicara, Bukankah kita akan menggunakan mobil"
Aku tidak berminat. Maaf....
Ayolah, Yas. Sekali iniiiii saja. Ini, kan, malam Minggu. Ya"
Bagaimana, ya..." Tidak bisa. Ilyas menggeleng. Sebenarnya, apa, sih, yang membuatmu tidak bisa" Ng....
Aku tahu anak itu. Dia tidak suka berkeliaran ke mana-mana. Ake yang baru datang mengambil alih jawaban.
Berkeliaran" Memangnya drakula" Suara Sonia terdengar aneh dengan mulut sedikit membuntal.
Oh iya, bagaimana kalau kita ke rumah Bang Edi" susul Ikam.
Rumah Bang Edi" Untuk apa" tanya Ake.
Masih ingat dengan masalah yang pernah kita diskusikan beberapa hari lalu" Ikam melirik Ake. Sesaat, sorot mata kedua pemuda tersebut beradu, lalu masingmasing tersenyum penuh makna. Bukankah hal ini sudah kita rencanakan semenjak seseorang datang ke rumah ini"
Nyaris keduanya tertawa lebar, andai saja Sonia tidak menegur.
Hal apa" Rahasia.... Yang penting, kau mau mengantar kami. Jika Ilyas tetap tidak mau ikut, lebih baik ditinggal saja. Untuk apa repot"
Tidak! Dengan gerak kilat, Sonia merangkul lengan
Ilyas. Bagaimana denganku" Semua menatap Andiev. Tentu, kau harus ikut!
*** Ilyas benar soal langit yang mendung. Ketika mereka melewatkan kaki dari pintu rumah, langit malam menyambut dengan aura gelap yang berbeda dari langit malam yang cerah. Angin yang berhembus juga cukup membawa aroma air, menandakan bahwa hujan lebat akan turun jika awanawan mendung itu sudah tidak mampu lagi membawa tubuh mereka yang gempal.
Tapi, toh, mereka menggunakan mobil. Tidak masalah selama yang turun bukanlah hujan batu atau puting beliung.
Dalam perjalanan, Sonia menyinggung perihal gadis remaja yang tinggal bersama mereka. Ia menanyakan kepada Ilyas apakah Andiev adalah adiknya. Selama ini, Ilyas tidak pernah bercerita kalau ia sudah memiliki adik. Kalaupun memang benar Andiev seperti yang ia maksud adalah adiknya, rasanya mustahil untuk sebesar sekarang.
Iya, umurku sudah empat belas tahun, sela Andiev. Mustahil Bang Ilyas sudah punya adik seumuranku. Padahal enam tahun lalu, Kak Sonia meninggalkan Bang Ilyas tanpa adik.
Sonia mengangguk-angguk.

Kisah Masa Kini Karya Dirgita Devina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu, kau anak siapa" Anak tetangga" Sudah minta izin dengan orang tuamu belum" Mendadak, Sonia menginjak rem.
Aku kabur dari rumah. Untuk apa aku minta izin dengan mereka" Lagi pula, rumahku sangat jauh dari sini. Kabur dari rumah"
Andiev mengangguk pelan. Aku sudah tidak tahan dengan orang tuaku. Setiap hari, pekerjaan mereka hanya bertengkar. Tidak pernah damai.
Kami menemukan ia tertidur di teras rumah. Padahal, semalaman hujan turun begitu lebat. Kau memang anak yang malang.... Ake membelai rambut Andiev. Andiev hanya melirik dengan sorot mata curiga. Oh iya, di mana kau menyimpan koper besarmu itu"
Apa pedulimu menanyakan hal itu" Andiev mulai sewot.
Oh.... Mobil mulai bergerak pelan. Eh! Kalian masih belum memberitahuku. Sebenarnya, apa tujuan kita pergi ke rumah orang yang.... Siapa namanya"
Bang Edi. Ya. Mengapa kita ke sana" Ini berkaitan dengan Andiev. Andiev menjeling. Denganku"
Ya! Kami ingin menitipkan Andiev di rumah Bang Edi. Karena jika terus di rumah kami, kami takut orang tuanya nanti akan menuduh yang bukan-bukan. Jika di rumah Bang Edi, resiko tersebut setidaknya dapat dikurangi. Karena di rumahnya, ia mengasuh anak-anak seperti Andiev. Rumah itu panti asuhan"
Dulunya iya, tapi sekarang tidak.
Memangnya, aku yatim piatu" Orang tuaku, kan, masih lengkap. Andiev menggerutu.
Bagaimana dengan kalian" Kami" balas Ikam ragu.
Sonia sedikit mengangguk. Sudah lama kalian tinggal di rumah Ilyas" Aku baru tahu bahwa kalian satu rumah. Sebelumnya, kalian tidak pernah cerita. Beberapa kali aku mengantar kalian pulang, kalian hanya minta turun jika sudah sampai di depan rumah Ilyas.
Kami minta maaf. Soal sudah berapa lama, mungkin sekitar dua tahunan. Kami tinggal bersama semenjak bersekolah di SMA. Kami berasal dari desa orang tua Ilyas. Orang tua kami bersahabat.
Orang tua Ilyas yang membiayai kami! sambar Ake.
Oh iya, orang tuamu di mana" Tadi, mereka tidak terlihat. Giliran Ilyas yang mendapat pertanyaan.
Ha" Apa" Ilyas yang duduk di samping Sonia hanya membalas kaget.
Sebaiknya, jangan tanya dia! Ikam menganjurkan. Orang tuanya sudah lama pindah ke desa. Mereka mengurus tanah warisan sang kakek.
Sonia mengangguk-angguk. Setir kemudian ia putar begitu mencapai sebuah persimpangan. Dua sahabat Ilyas lebih berguna untuk membimbingnya hingga sampai di pekarangan sebuah rumah. Kali ini, rumah yang mereka sambangi sedikit lebih kecil dari rumah Sonia.
*** Nggaaaaak! Andiev memekik. Ake dan Ikam mengangkatnya dari mobil dan menjejakkan kakinya di teras rumah Bang Edi. Gadis itu mereka perlakukan seperti bocah delapan tahun.
Ini adalah rumah barumu. Ikam mendapati wajah Andiev yang bertekuk-tekuk.
Ya! timpal Ake mantap. Andiev marah berat. Ia merajuk. Ia ingin kembali ke dalam mobil. Tetapi, Ake dan Ikam lagi-lagi mengangkat tubuhnya dan kini menahannya. Takkan membiarkan ia lari ke mana pun.
Bagaimanapun juga, kami akan tetap mengirimmu ke sana.
Kalian mengusirku..."
Sang tuan rumah datang tanpa perlu dipanggil. Keributan kecil tersebut membuat ia ingin memastikan apa yang sebenarnya terjadi.
Oh, kalian rupanya. Ada apa" Bang Edi menyambut ramah. Ia telah cukup mengenal Ilyas, Ake, dan Ikam. Ketiganya sering bertandang untuk sekadar bermain dengan anak-anak yang ia asuh.
Ah, tidak ada apa-apa. Ini, Andiev....!
Nggaaaaak! Andiev langsung menyela ucapan Ikam dengan teriakannya.
*** Hujan turun begitu lebat. Di sebuah jalan, di bawah terpaan hujan di tengah temaramnya suasana malam, berdiri Alisya dan Gaya. Napas mereka memburu. Terengah-engah setelah meninggalkan mobil hanya untuk berlari beberapa ratus meter. Mereka mengejar sosok yang kini tengah berdiri tegap di hadapan mereka. Orang itulah yang selama ini mereka cari.
Astro menyeringai dengan senyumnya yang khas. Senyum yang menyeruak jika ia sangat yakin dapat melalui halangan yang ia temui. Setidaknya, ia telah berhasil kabur berkali-kali dalam percobaan penangkapan atas dirinya. Ia tersenyum dan begitu saja ia lepas. Kali ini pun, ia telah merasakan aura sukses untuk kembali menghilang.
Hentikan senyum bodohmu itu! ejek Alisya. Malam ini, aku ingin kau bertanggung jawab atas semua tindak tanduk yang telah kau perbuat.
Astro sepertinya tidak peduli dengan ancaman Alisya. Ia hanya tertawa kecil, kemudian membalas, Sungguh disayangkan. Keadaan romantis seperti ini lagi-lagi harus ternoda oleh perseteruan di antara kita. Sudah terlalu sering kita merusak suasana seperti ini, bukan"
Ya. Dan sebelum yang terakhir waktu itu, enam bulan lalu, kau membuat Gaya harus menerima injeksi fibernetik generasi kedua.
Bukankah itu bagus" Ia menjadi lebih kuat. Aku sudah mendapat bogem mentahnya dua minggu lalu. Ia hampir sekuat dirimu, puji Astro.
Tapi setidaknya, aku tahu bahwa temanku tidak selicik dirimu. Memanfaatkan fibernetik untuk kejahatan. Aku yakin, benda itu masih mengalir di tubuhmu.
Lalu..., kau ingin apa" Astro mengepal. Begitu pun Alisya.
Adu fisik pun tak terelakkan. Alisya terlempar belasan meter, setelah gagal menahan sebuah serangan dari Astro. Gaya yang turut membantu, dibuat pula kewalahan dengan serangan tangannya yang begitu cepat, hingga akhirnya turut tersungkur.
Ia telah banyak berubah. Fibergen3 membuatnya lebih kuat...! Terdengar Alisya menggeram, sebelum akhirnya bangkit kembali dan menyerang.
Gaya mengaktifkan fitur komunikasi gelangnya. Kalian ada di mana" Kami perlu bantuan!
Bertahanlah. Kami dalam perjalanan! Kami tidak dapat menunggu lebih lama!
Fibernetik yang masih tertanam di tubuh Astro, membuat pria itu lebih unggul dalam segala hal dalam pertarungan tersebut. Serangannya gesit dan bertenaga. Lagilagi, Gaya harus merasakan tubuhnya beberapa saat tidak menyentuh tanah. Ia berhasil dihajar hingga melambung di udara, kemudian disambut ayunan kaki dari Astro yang membuat ia menghempas sebatang pohon. Begitu kerasnya, hingga menggugurkan banyak helai daun pohon beserta deru sesaat tetesan air.
Alisya juga berhasil dipukul hingga kembali terlempar. Kini, ia melesat jauh dan menghantam bagian belakang mobil Sonia yang melintas. Mobil sedan yang ia terobos sempat berputar.
Semua mata di dalam mobil, menyaksikan Alisya bangkit di bawah terpaan hujan. Belum tegak berdiri, ia sudah memacu langkahnya ke arah seseorang di depan sana. Tangan dan kaki mereka mengayun cepat saling menyerang. Hingga akhirnya, Alisya terlempar jauh dan sempat membentur atap mobil Sonia cukup keras. Tubuhnya berguling-guling di jalan untuk beberapa meter, lalu berhenti.
Tahu bahwa lawannya sudah tidak berdaya, Astro kembali tersenyum dan beranjak dari arena pertarungan. Ia meninggalkan Alisya dengan tubuh tergeletak di jalan. Gadis itu tidak mampu lagi untuk berdiri, bahkan sekadar untuk mengangkat kepala. Sementara Gaya yang terduduk lemas di bawah pohon, hanya dapat membiarkan orang itu kembali lepas dari kejaran mereka.
Bersusah payah. Gaya menggerakkan tangan kanannya untuk menggapai komunikator di pergelangan tangan kiri. Astro kabur.... Segera kejar dia sebelum terlambat.... Bagaimana kondisi kalian"
Aku pastikan, aku baik-baik saja. Cepat, kejar dia...! Sebar seluruh anggota! Aku sudah kehilangan jejak....
YANG TAK DIINGINKAN Bagaimana tidur Kakak" Nyenyak" Ingin teh" Sonia hanya berpaling sekilas. Seorang gadis tiba di dapur dan menyapa orang-orang di tempat itu dengan ucapan selamat pagi. Selanjutnya, Sonia menuang teh ke dalam dua buah cangkir.
Agak baikan..., sahut Gaya. Ia merangkul dirinya sendiri. Hingga pagi ini, tubuhnya yang dibalut setelan tidur milik Sonia masih terasa remuk. Masih agak sakit apabila digerakkan. Setidaknya, masih lebih baik daripada semalam. Ia harus bergerak dengan tubuh bagai kerangka besi kekurangan pelumas. Apakah itu teh hangat" Bolehlah....
Oke.... Sonia menarik satu cangkir dan mengisi hampir penuh dengan air teh dari sebuah teko. Uapnya mengepul tipis.
Bagaimana kondisi Kak Alisya" sambung Sonia. Kuharap, sudah mendingan. Tadi malam, kalian tidak mau dibawa ke rumah sakit.
Ia tidur dengan nyenyak. Berarti tidak apa-apa. Mobilku sampai ronyok begitu, bagaimana tidak apa-
apa" Gaya tersenyum tipis. Hal seperti itu sudah sering kami hadapi. Sebagai polisi, itu adalah resiko pekerjaan. Oh.... Ketiga cangkir telah penuh.
Aku ingin berterima kasih atas pertolongan kalian. Maaf, jika membuat kalian repot, lanjut Gaya.
Tidak.... kami tidak merasa repot. Hanya saja, kami ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Cangkir itu Sonia sodorkan pada Gaya. Sementara satu cangkir lain, ia unjukkan pada Ilyas dan sisanya untuk ia nikmati sendiri. Ake dan Ikam kebetulan juga ada di dapur, tetapi mereka tidak mendapat jatah. Keduanya sibuk sebagai juru masak. Ilyas dan kedua temannya terlanjur menginap di rumah Sonia. Semalaman hujan turun begitu deras disertai angin kencang.
Dan tulisan DINA yang tercantum di tiap pakaian kalian. Ada maknanya" Selama kembali ke Indonesia, setahuku tidak ada unit khusus polisi dengan seragam seperti kalian.
Jangankan kau, kami juga tidak tahu, sela Ake.
Mm.... Gaya berusaha hati-hati dalam menjawab. Namun, ia tergolong gadis yang ceplas-ceplos. Ia katakan saja bahwa DINA adalah akronim Divisi Gerakan Cepat. Ia dan Alisya adalah anggotanya. Sementara orang yang mereka lawan semalam, adalah penjahat yang telah lama mereka incar.
DINA sendiri adalah sebuah divisi dari Kepolisian Republik Indonesia. Divisi ini dibentuk untuk menangani masalah keamanan bersifat riskan begitu masalah tersebut muncul.
Wow...! Aku baru dengar bahwa ada yang seperti itu, komentar Ikam. Yang kami tahu selama ini, hanyalah keberadaan reserse, unit buru sergap, atau Densus 88.
Yah..., itu, kan, di masaku. Tidak di masa kalian, sahut Gaya lancar.
Masamu" Ah..., maksudku..., masa kerjaku. DINA bekerja secara low profile. Makanya, jarang ada publikasi mengenai kami.
Rasanya..., masih sulit untuk dipercaya..., tanggap
Ikam. Terserah...! Gaya balas tersenyum.
Semakin tak bisa dipercaya.... Ikam menggelenggeleng dihantam senyuman selembut itu.
Gaya nyengir kuda. Sangat ingin ia menampar mulutnya sendiri. Andai tak terlalu banyak bicara....
Benar kata orang-orang. Aku tidak pantas menjadi polisi.... Gadis itu mengeluh di dalam hati. Dan memang, jika bukan karena kasus Astro, Gaya pasti masih bersama Alisya di Pusat Kesehatan DINA. Khawatir terjebak lebih jauh dan menceritakan segalanya, ia pun mengganti topik pembicaraan.
Oh iya, terima kasih pinjaman pakaiannya. Bagus. Dan soal mobilmu itu..., kami minta maaf. Akan kami perbaiki. Kalau perlu, kami ganti.
Tidak perlu. Kalian, kan, tidak sengaja. Sonia menuang teh ke dalam cangkirnya yang telah kosong.
Mungkin, pamanku yang memiliki usaha jual beli mobil second bisa diajak tukar tambah. Karena aku yakin, sasis mobil yang hancur sedemikian rupa sangat memakan waktu untuk diperbaiki. Sonia meneguk habis teh yang baru ia tuang.
Aku akui, ayahku memang aneh. Ia membelikanku rumah mewah sementara hanya aku yang tinggal. Dan lokasi yang ia pilih, untuk mencapai sekolah, aku perlu satu jam berjalan kaki.
Sonia hendak menghabisi lagi teh yang baru ia tuang. Gaya menatapnya tak berkedip.
Apa" Ah, tidak...! Aku permisi dulu. Terima kasih tehnya. Gaya meletakkan cangkir yang nyaris kosong dan melejit meninggalkan dapur. Ia hendak menjenguk Alisya di kamar lantai atas.
*** Begitu masuk, Gaya langsung mengomel. Aduh, Alisya...! Matahari sudah tersenyum, sementara kau masih belum bangun" Malas banget, sih!
Gaya berkacak pinggang usai membuka jendela di kamar itu. Pelan-pelan, selimut yang menutupi seluruh tubuh rekannya tersingkap hanya menampakkan wajah. Gaya semakin melotot.
Aku bukannya tidak ingin bangun.... Alisya mencoba duduk dengan wajah yang lusuh. Bibirnya sedikit kehilangan rona merah. Tubuhku sukar digerakkan..., lanjutnya.
Aku juga merasakan hal yang sama, tetapi aku berusaha. Meski sakit....
Aku rasa, aku lebih parah darimu. Sebelumnya, aku belum pernah merasakan sakit hingga sukar untuk bergerak seperti ini.
Kau bercanda" Sama sekali tidak.... Ini pasti karena kejadian semalam. Lebih baik kita pulang.
Jangan! Panggil Dokter Karim saja.
*** Sudah kuduga akan begini. Dokter Karim beralih pada Alisya. Sebuah diagram di monitor laptop sudah cukup memberikan informasi mengenai kondisi gadis tersebut.
Alisya sedikit menoleh. Wajahnya semakin pucat. Namun, ia bertahan untuk tidak membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Ia merasa mual dan lebih memilih bersandar di dinding.
Maksud Dokter" Efek fibernetik memang hebat. Bisa membuat pemakai maupun mantan pemakainya bisa menjadi lebih kuat. Tetapi, itu tidak menutup kemungkinan untuk kembali terluka. Apalagi, lawanmu sendiri adalah orang yang sudah berkali-kali menggunakan fibernetik.
Aku juga sudah tahu tentang hal itu. Tapi, rasa sakit ini tidak pernah aku alami. Alisya merasakan sesuatu merambat di sela-sela ototnya yang terasa terik. Bagai kesemutan, tetapi lebih menyiksa.
Tenang, tiga hari lagi juga akan sembuh. Dokter Karim menutup koper yang telah ia bereskan isinya. Tapi, akan terasa sedikit atau lebih sakit dari yang kau rasakan sekarang.
Tiga hari" sambut Alisya. Dokter hanya memeriksaku dan mengatakan bahwa aku akan sembuh dalam tiga hari"
Aku sudah mengenal tubuhmu sejak lama. Jadi, aku dapat memprediksi kondisi tubuhmu lebih akurat.
Oh..., begitu. Aku pikir, Dokter akan memberiku obat yang dapat menyembuhkanku dalam waktu tiga hari, seperti ketika aku terluka karena insiden itu.... Alisya membuat Dokter Karim terpaku. Sebenarnya, obat apa yang Dokter berikan" Sebelum pingsan, aku sempat mengetahui bahwa tubuhku penuh luka. Dan tentu luka itu cukup parah, sehingga aku tak sadarkan diri selama delapan hari. Jangan pikir aku tidak tahu tentang hal itu. Dan setelah terbangun dari tidurku yang cukup panjang, tubuhku tidak apa-apa. Ajaib, bukan" Seperti masih bermimpi.
Sebuah setruman serasa menjalar secepat kilat di urat leher. Alisya mendapati indra visualnya terganggu untuk beberapa detik. Seisi kamar seperti penuh oleh kabut.
Dokter Karim mencoba tersenyum. Sudahlah, jangan dipikirkan. Bukankah lebih cepat sembuh lebih baik" Sekarang, lebih baik kau beristirahat saja.
Tapi aku penasaran, Dokter. Obat apa yang Dokter berikan"
Hanya obat biasa. Hanya obat biasa" Sementara rekanku dengan luka yang lebih ringan, masih terbaring di Unit Perawatan. Bahkan, Gaya masih memiliki sedikit memar di beberapa bagian tubuhnya. Tidak mungkin hanya obat biasa.
Baiklah, ini adalah obat penemuanku. Dokter Karim mendesah.
Fibernetik generasi ketiga..." urai Alisya hati-hati. Ng..., bukan.
Mau diberi nama apa lagi, Dokter" Bukankah obat yang Dokter kembangkan untuk menyembuhkan luka dalam waktu relatif singkat diberi nama fibernetik" Atau, ini adalah fibernetik generasi keempat, karena generasi ketiga telah habis dirampas Astro"
Setidaknya sekarang, aku tidak berminat untuk mengembangkan generasi keempat.
Jadi..." Lebih baik kau beristirahat saja. Kulihat, wajahmu semakin pucat, tetapi matamu semakin merah.
Dokter! bentak Alisya tak sengaja. Rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh telah menekan hatinya. Baiklah.... Tidak perlu menjawab, aku juga sudah dapat menyimpulkan. Aku sudah cukup mengenal Dokter selama masih menjadi asisten. Obat itu ada di tubuhku. Dan aku ingin tahu, seberapa besar efek sampingnya"
Lima kali..., sambut Dokter Karim langsung. Lima kali dari fibergen2.
Lima kali..." Alisya menerawang. Ia mencoba menghitung, tetapi isi kepalanya tidak begitu jernih untuk menyusun angka-angka. Bahkan, matanya semakin merah dan nyaris terlihat seperti hendak menangis. Ia sudah terlalu lama menahan sakit.
Efek samping fibernetik itu bisa membuatmu dua ribu kali lebih kuat dari dirimu sebelumnya tanpa fibernetik.
Sekuat itu..." Kedua tangan Alisya mengepal, meremas selimut yang menutup separuh tubuhnya.
Maaf, Alisya.... Aku tidak punya pilihan. Hanya itu yang terpikir ketika melihat kondisimu yang sangat parah. Tapi, tenang saja. Selama fibergen3 masih di dalam tubuhmu, efek samping tidak akan timbul. Kau terpaksa mengambil pilihan untuk menyimpannya lebih lama di dalam tubuh, meski kau sama sekali tidak ingin seperti Astro. Orang itu selalu menyimpan fibernetik di dalam tubuhnya. Hanya saja, pilihan itu akan selalu membuatmu menderita seperti ini ketika mengalami cidera.
Begitu, ya..." Alisya mulai tak fokus. Ia mencerna apa yang dikatakan Dokter Karim, namun terus memaksa saraf di sekujur tubuhnya untuk membendung rasa sakit.
Sebisa mungkin, ia ingin mencabut sesuatu yang menjalar di tubuhnya. Mereka menyebar tak terkendali.
Mendadak, Alisya tersurung. Tubuhnya serasa didorong ke depan. Serta-merta saat itu, rasa sakit menusuk-nusuk sekujur tubuhnya lebih kuat. Dokter Karim menjadi cemas.
Aku berubah pikiran.... Lebih baik, kau kembali ke unit. Tinggal di sini, tampaknya beresiko. Bertahanlah, aku akan memanggil Gaya.
Tidak, Dokter...! Alisya menghentikan Dokter Karim tepat ketika baru saja berbalik. Gadis itu menarik napas dalam-dalam, dan membuka matanya yang benar-benar merah dan basah.
Tidak bagaimana" Kau tidak sadarkan diri berhari-hari karena obat ini! Dokter Karim kemudian meminta Gaya untuk segera ke atas. Mantan asistennya yang tengah asyik berbincang di lantai dasar, segera bergegas meninggalkan sofa.
Tidak, Dokter.... Alisya masih berkeras dengan wajahnya yang telah basah oleh keringat. Jika aku kembali ke unit, Veren pasti tidak akan mengizinkanku lagi untuk mengikuti misi ini. Lagi pula..., hanya tiga hari. Tiga hari dan aku pun sembuh.
Kondisinya berbeda, Alisya.... Kau sedang tidak berada di Unit Perawatan. Aku tidak bisa mengawasimu.
Setidaknya, aku tidak mengalami luka parah. Hanya luka dalam biasa.
Gaya datang bersama Sonia dan teman-teman. Mereka berjubel di depan pintu.
Tiga hari lagi, Dokter. Jika Dokter ingin, Dokter bisa menjengukku di sini. Jika belum ajalku, aku pasti sudah sehat. Percaya padaku, Dokter.
Dokter Karim terlihat berpikir. Baiklah, tapi jangan salahkan aku jika terjadi sesuatu padamu.
Aku berjanji. Dokter tenang saja.
Meski Alisya terlihat yakin dengan keputusannya, Dokter Karim tetap ragu untuk beranjak. Ia berpesan pada Gaya dengan suara agak berbisik sebelum benar-benar pergi. Hubungi aku jika sesuatu terjadi pada Alisya. Tiga hari ini adalah tiga hari yang paling menyakitkan baginya.
Gaya mengangguk paham. Matanya menyorot langkah Dokter Karim yang kemudian menghilang menuruni tangga. Setelah itu, ia masuk kamar menjenguk Alisya. Sahabatnya itu menunduk menyembunyikan mata berlinang air. Warna merahnya tadi sempat mengagetkan Sonia dan teman-teman.
Kakak... sebenarnya sakit apa" Sonia memberanikan diri untuk bertanya.
Hanya kelelahan, Nia, sambut Gaya. Ia pelan-pelan membantu Alisya berbaring.
Semoga cepat sembuh.... Terima kasih.... Alisya membalas terbata.
Ng..., Kak Gaya. Kami pergi dulu. Aku akan mengantar mereka pulang. Sonia undur diri.
Iya. Maaf, kami merepotkanmu. Tidak apa....
Sonia pun berangkat dengan mobilnya yang ringsek. Beruntung hanya bagian bagasi yang rusak parah, sehingga mesin mobil tidak terpengaruh. Tapi meski begitu, rasanya tidak mungkin ia esok ke sekolah dengan kondisi mobil seperti habis diseruduk banteng. Makanya, sebelum benarbenar beranjak, ia juga sempat memberi tahu bahwa ia akan pulang agak sore. Ia akan ke kota menemui sang paman. Ada urusan mengenai mobil.
Gaya kembali pada Alisya. Ia melihat sahabatnya itu bernapas tersengal-sengal. Keringat seakan mengucur deras dari pori-pori tubuhnya.
Alisya..., kau sebenarnya kenapa"
Tidak apa-apa, Gaya. Kau tidak usah khawatir.
Bagaimana aku tidak khawatir melihat kondisimu yang begini" Matamu tadi terlihat begitu merah. Kau demam, sakit mata, atau kenapa"
Betul katamu, hanya sakit karena pertarungan semalam. Tiga hari lagi juga akan sembuh.
Tiga hari lagi" Dokter memberimu obat apa"
Mendadak, Alisya kejang-kejang. Kedua tangannya meremas selimut erat-erat. Selama beberapa detik, tubuhnya tersentak hebat. Matanya melebar dengan warna merah membara.
Gaya menjadi kalut. Ia hendak menghubungi Dokter Karim ketika begitu saja Alisya kembali tenang. Kini, Alisya mencoba menata irama nafasnya.
*** Rasanya..., seperti ada yang menarik urat-uratku.... Mulut Alisya melontarkan kata-kata, menahan Gaya menekan tombol komunikator.
Alisya..., kau sebenarnya kenapa" Sakitmu parah kenapa tidak kembali ke unit"
Alisya tidak menjawab. Ia hanya membiarkan paruparunya menarik dan menghela napas panjang berkali-kali. Matanya perlahan terbuka dengan warna yang masih menyala. Pelan-pelan, ia mencoba duduk di tempat tidur. Tubuhnya pun semakin basah seakan setengah mandi dengan keringat.
Kau tidak usah khawatir. Ini proses penyembuhan. Jangan main-main, Alisya.
Aku tidak main-main. Aku kini mengenakan fibergen3. Obat ini dapat menyembuhkanku dalam tiga hari, obat yang sama ketika aku menjadi korban ledakan waktu itu. Hanya saja, proses penyembuhan dengan obat ini memang sangat menyakitkan.
Tiga, Alisya" Jadi, kau sudah menggunakannya" Sejak waktu itu"
Alisya mengangguk. Sebenarnya bukan keinginanku, tapi Dokter Karim yang mengambil keputusan. Ia ingin membantuku sembuh, tetapi sekaligus menjadikanku mesin penghancur. Bayangkan, Gaya. Fibergen3 memiliki efek samping lima kali lebih kuat dari fibergen2. Dengan efek samping sebesar itu, aku sama saja sudah bukan manusia lagi, tapi sebuah mesin!
Wow, aku akan lebih berhati-hati jika berada bersamamu.
Alisya tersenyum mendengar ucapan sahabatnya tersebut.
Ah, tapi itu bisa digunakan untuk meringkus Astro, kan" Lima kali. Itu berarti, kau sekarang dua ribu seratus enam puluh kali lebih cepat dan kuat dari dirimu yang dulu. Gaya memang handal dalam menghitung. Alisya lagi-lagi tersenyum, namun sebentar.
Ya. Tapi..., selama obat itu ada di tubuhku, efek samping tersebut tidak akan muncul. Dan kali ini, aku tidak ingin obat itu keluar dari tubuhku. Kau bisa bayangkan sendiri jika aku sekuat itu. Yang pasti, aku tidak siap dan kau tidak perlu khawatir. Obat itu sudah merenggut beberapa sisi kemanusiaanku. Dan aku tidak ingin kehilangan lebih banyak lagi.
Apa yang kau bicarakan"
Bertambah kuat, bahkan melebihi manusia normal, apakah masih bisa dikatakan manusia" Secara fisik, kita memang masih manusia. Tetapi secara kemampuan, kita telah berubah menjadi mesin penghancur. Kita monster.
Tapi, bagaimana dengan Astro" Aku yakin kalau ia tidak akan mengeluarkan obat itu dari tubuhnya, seperti kebiasaan yang sudah-sudah. Tapi, malam itu ia lebih kuat dari sebelumnya. Aku terlempar lebih jauh dan kau.... Kau juga merasakan perubahan itu"
Alisya mengangguk pelan. Tapi, jika obat itu benarbenar sudah keluar, kita mungkin sudah mati.
Iya, ya" Ah, sudahlah. Aku ingin ambil minum. Terlalu banyak berkeringat, membuatku haus. Bagai tak pernah terjadi sesuatu, Alisya melompat turun dari tempat tidur. Langkahnya meski agak goyang, terus ia ayun ke luar kamar. Gaya hanya dapat melongo hingga akhirnya tersadar dan mengejar.
Hei, kau masih sakit! *** Ilyas dan teman-teman telah sampai. Mereka bergegas berlompatan dari mobil. Usai menerima ucapan terima kasih, Sonia segera pamit dan memutar mobilnya. Dalam beberapa detik, ia dan mobil ringseknya segera menghilang.
Baru saja Ilyas dan teman-teman berputar, terdengar klakson mobil dua kali. Bersamaan, ketiganya kembali berbalik menghadap jalan. Sebuah mobil kijang meluncur tenang mendekati mereka. Kendaraan roda empat tersebut pun berhenti tepat di tempat Sonia memarkir mobil sebelumnya.
Mobil Bang Edi, kan" bisik Ake. Ia kenal betul mobil berwarna biru tersebut. Bahkan, ia juga hapal nomor polisinya. Maklum, sudah berkali-kali ia mendapat pekerjaan untuk mencuci mobil Bang Edi. Lumayan, untuk jajan di kantin.
Pintu penumpang terbuka. Seorang gadis mengulurkan kaki dan turun dari mobil. Ilyas, Ake, dan Ikam serentak memindai dari kaki hingga kepala. Hingga akhirnya, mereka sadar. Gadis yang kini berdiri di hadapan mereka adalah sosok yang mereka kenal. Balutan celana panjang dan t-shirt, telah mengubah sosok Andiev lebih bersifat wanita. Berbeda jauh ketika terakhir kali mereka ingat. Gadis itu selalu mengenakan pakaian dari Ilyas, yang kesemuanya adalah pakaian laki-laki.
Terima kasih, Bang! Sama-sama.... Bang Edi berlalu.
Andiev berbalik. Dua pasang mata menyambut, bagai tidak senang jika ia kembali. Dapat dipastikan, pasangan mata itu adalah milik Ake dan Ikam. Meski Andiev telah tampil lebih kemayu, bagi kedua pemuda itu, Andiev tetaplah Andiev.
Bukan Andiev namanya, jika ia sendiri tidak bisa cuek. Dengan langkah tenang, ia mendekati mereka dan menarik Ilyas menjauh.
Kau..., kok..., pulang" tanya Ilyas hati-hati.
Ada sesuatu di rumah ini yang tidak bisa aku tinggalkan. Setidaknya, untuk sementara. Aku mohon, Abang mau mengizinkanku lagi untuk tinggal di rumah Abang. Malam iniiiii saja. Ya" Besok, aku berjanji akan segera kembali ke rumah Bang Edi. Tapi..., Bang Ilyas yang harus mengantarkanku. Ya"
Setelah sesaat berpikir, Ilyas mengangguk. Terima kasih!
GIGANIUM Elboria mulai menampakkan taringnya.... Sebuah tajuk berita di televisi memaku tatapan Hein. Proyeksinya ditampilkan dalam ukuran lebih besar daripada puluhan siaran televisi lain di layar raksasa. Ia menemukan layar itu terpajang menghiasi sebuah ruangan diisi penuh orang-orang sibuk berjas putih.
Siaran berita singkat yang tayang tiap satu jam sekali itu, menyorot pertikaian di ujung utara Benua Eropa. Elboria menklaim dirinya sebagai sebuah negara. Mereka menguasai separuh daratan Rusia dan tidak ingin Rusia meminta kembali wilayah tersebut. Sementara bagi Rusia, Elboria hanyalah sekumpulan organisasi pemberontak yang berkembang selama masa penjajahan koloni.
Permasalahan ini mulai muncul, ketika masing-masing negara mulai menata kehidupan masing-masing. Di bawah kendali sebuah koloni raksasa Sapphire selama hampir satu milenium, rupanya membuat beberapa negara di planet ini mengalami masalah. Terjadi bentrokan yang timbul dari perkembangan di wilayah tertentu selama negara asli kehilangan kuasa. Awalnya, mereka hanyalah kelompokkelompok kecil yang terbentuk di salah satu wilayah negara bersangkutan. Seiring berjalannya waktu, mereka pun menghimpun kekuatan sekaligus anggota lebih banyak, dari para pelarian serta tahanan buangan. Ketika pola administrasi mulai terbentuk, mereka pun lebih terlihat seperti sebuah negara.
Tak tanggung-tanggung, beberapa di antara mereka juga berani memproklamirkan diri sebagai negara baru. Bahkan, beberapa sengaja diciptakan oleh koloni untuk mempermudah jalur administrasi. Setelah Bumi merdeka usai Perang Kosmik, negara-negara yang terpecah berusaha untuk kembali utuh.
Khusus Elboria, pertentangan tampaknya semakin memanas, sementara konflik di daerah lain hanya bergerak di tempat, bahkan terkesan mendingin. Masing-masing pihak mulai berani mengancam dengan kekuatan senjata. Unit jin yang pernah berjaya di masa keemasan koloni sebagai kendaraan tempur paling ampuh, juga akan diseret kembali ke medan perang. Itu artinya, jika perang kembali berkobar, ledakan-ledakan dahsyat dan aliran darah di mana-mana, pasti kembali akan mengisi sejarah kelam kehidupan manusia.
Hein hanya tersenyum simpul menonton berita itu. Seorang pria berjas hitam menjemputnya. Ia dibawa menyusuri lorong yang cukup lengang. Hanya beberapa orang, yang lagi-lagi berjas putih, terlihat mondar-mandir. Beberapa mendorong troli, sisanya menenteng papan klip berisi berbagai catatan.
Ini pesan dari Bos. Setelah kau dapatkan giganium, singkirkan Astro jauh-jauh. Pria itu melangkah seperti terburu-buru. Hein mencoba mengimbangi.
Mengapa" Astro adalah orang yang hebat. Ia bisa diandalkan dalam bisnis kita.
Astro terlalu hebat. Ia adalah tipe orang yang tidak suka bekerja di bawah kuasa orang lain. Tidak ada yang dapat menebak tindak tanduknya, karena semua kembali pada apa yang ia suka. Oleh karena itu, ia berbahaya.
Maksudmu" Bos tidak ingin suatu waktu Astro membantu pesaing bisnis kita. Atau, melabrak kita hanya karena hatinya tidak senang.
Hein mengangguk kecil. Tapi, Astro terlalu hebat untuk kusingkirkan. Jangan-jangan, malah aku yang tidak bisa pulang.
Kau masih menganggapnya hebat setelah menjalani Program Hercules"
Entahlah, Josh. Kejadian itu membuatku trauma.
Aku baru mendengar ada penjahat yang mengaku trauma. Nada bicara Josh memang seperti mengejek. Hein menyambut dengan senyum.
Pintu sebuah ruang terbuka ketika mereka sudah tepat di depannya. Kembali beberapa orang berjas putih terlihat mengisi ruangan itu. Sebuah benda berukuran besar yang tertatak di tengah-tengah ruangan, segera mengambil perhatian Hein. Benda logam tersebut persis seperti sebuah mesin di LABTEK-II DINA, mesin yang diperbaiki oleh Bili bersama staf dari Borneolab. Hanya saja, mesin waktu yang terpajang kali ini, didominasi warna-warna gelap.
Pusaka Hantu Jagal 3 Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Warisan Kitab Pusaka 2
^