Pencarian

Kolam Iblis 1

Mahesa Kelud - Kolam Iblis Bagian 1


1 NI BENAR - BENAR merupakan salu pemandangan yang
sukar dicari tandingannya. Di kaki pegunungan Dieng I sebelah selatan, dibawah
udara yang selalu sejuk dalam tiupan angin lembut terdapat sebuah lembah yang
ditumbuhi aneka ragam pohon-pohon bunga. Bagian tanah yang tidak ditumbuhi
pepohonan. menghijau pedataran rumput. Di ujung timur lembah menjulang tinggi
pohon-pohon berdaun aneka warna. Di sebelah barat pada ketinggian yang menurun,
diapit oleh pohon-pohon bunga dan pedataran rumput, mengalir sebuah anak sungai.
Dari induknya di pegunungan Dieng anak sungai ini mengalirkan air sejuk bening
ke dalam lembah di mana terdapat sebuah danau berbentuk bulat.
Seperti air sungai yang menjadi sumbernya, air danau itu sebenarnya berwarna
biru. Namun pantulan daun-daun pepohonan dan bunga-bunga yang sedang berkembang
serta pedataran rumput yang seperti berkilauan tertimpa cahaya matahari, membuat
air danau memiliki belasan warna yang indah menakjubkan.
Bagian tepi danau dilingkari oleh batu-batu besar hitam. Demikian rata dan
bagusnya letak bebatuan itu hingga sulit dipercaya kalau batu-batu itu terletak
begitu dengan sendirinya tanpa diatur oleh tangan manusia. Maka banyak yang
berpendapat bahwa danau itu bukanlah danau ciptaan alam, melainkan dibuat dan
dibentuk oleh tangan manusia. Dan dulunya mungkin sekali merupakan kolam mandi
para dewi,permaisuri raja atau para puteri cantik jelita. Apalagi di antara
bebatuan di sepanjang tepian danau tumbuh banyak pohon-pohon bunga melati yang
menebar bau harum semerbak. Siapa saja yang berdiri di tepi kolam itu pasti akan
tergerak hatinya untuk turun ke dalam air, berkecimpung bermain air yang
ternyata dalamnya hanya sebatas dada.
Pada malam hari. apalagi ketika saat bulan purnama, pemandangan di atas kolam
dan sekitarnya sungguh sangat menakjubkan. Sangat cocok untuk tempat
pasangan yang sedang berkasih-kasihan memadu asmara.
Namun adalah sulit dipercaya kalau di balik semua keindahan menakjubkan dan
kesejukan yang menyegarkan tersembunyi malepetaka ganas mengerikan yang berakhir
hanya pada satu titik, yakni titik kematian!
Saat itu memasuki bulan ke dua musim panas. Sejak lama hujan tak pernah turun.
Tanam-tanaman mulai kekeringan. Para petani mulai mengeluh. Sumur-sumur banyak
yang menjadi kering. Bahkan sungai-sungai besar mulai susut airnya.
Adalah aneh kalau kekeringan yang menggila itu seperti tak sanggup menyentuh
kaki selatan pegunungan Dieng di mana terletak kolam yang dikitari pemandangan
indah itu. Pohon-pohon bunga di sana tetap subur dan berkembang sebagaimana biasanya.
Rerumputan tetap menghijau.
Anak sungai tetap mengalirkan air sejuk ke dalam kolam, dan tiupan angin tetap
lembut menyegarkan. Karenanya tidak mengherankan kalau Tumenggung Singaranu yang
dalam perjalanan kembali ke Surakarta menghentikan rom-bongannya di lereng
lembah, memandang ke bawah
dengan penuh takjub. "Taman bidadari atau kolam istana raja-rajakah yang di bawah sana...?" ujar sang
tumenggung seraya turun dari kudanya yang keletihan. "Tapi aneh, tak ada rumah
tak ada bangunan. Siapa gerangan pemilik kolam bulat itu.
Mustahil terpelihara begitu bersih dan bagus kalau tak ada yang merawatnya..."
Tumenggung Singaranu berpaling pada lelaki bermisai lebat di sampingnya dan
berkata, "Seharian penuh kita menempuh jalan sulit penuh debu di bawah terik
matahari. Saatnya untuk beristirahat Bagaimana kalau kita turun ke bawah lembah?"
Parangwulung, lelaki bermisai lebat mengangguk dan menjawab hormat, "Saya hanya
mengikut saja Tumenggung." Maka Tumenggung Singaranu mendahului rombongan
yang terdiri dari sembilan orang itu menuruni lembah, melangkahi di antara
pohon-pohon bunga, berlari-lari kecil di atas pedataran rumput yang menurun.
"Parangwulung," kata Singaranu sambil membelai-belai sekuntum bunga, "Aapakah
kau melihat keanehan di tempat ini?"
Lelaki berkumis tebal yang merupakan kepala
pengawal sang tumenggung memandang berkeliling, coba menerka apa jawab yang
harus diberikannya. Akhirnya dia menggeleng. "Saya tidak melihat keanehan apa-apa, Tumenggung,"
katanya. Sang tumenggung tersenyum. "Rupanya kau hanya terpesona melihat keindahan alam
yang terhampar di depan mata saja. Tidak berusaha menyimak bagaimana keindahan
ini bisa tercipta." "Saya tidak mengerti maksud Tumenggung," jawab Parangwulung terus terang.
Sambil melangkah menuruni pedataran rumput hijau Tumenggung Singaranu berkata,
"Dua hari dua malam kita menempuh perjalanan sebelum sampai ke tempat ini. Apa
yang kita lihat" Bukit bukit dan pedataran tandus.
Hamparan tanah keras yang pecah-pecah karena sekian lama tak tersentuh air.
Sawah ladang yang mengering. Para petani yang dirundung kesusahan. Tapi di sini!
Kau saksikan sendiri. Segalanya serba menghijau. Bahkan air sungai pun mengalir
seolah-olah mata airnya tak terpengaruh oleh musim panas. Lihat bunga-bunga itu.
Lihat rerumputan yang kita pijak. Lembah ini benar-benar luar biasa. Bukankah
ini satu keanehan?" Parangwulung manggut-manggut berulang kali. Baru dia mengerti apa maksud kata
kata sang tumenggung tadi.
Rombongan sampai di tepi kolam. Tumenggung Singaranu tegak di atas sebuah batu
besar sementara para peng-ikutnya duduk di batu-batu lain keletihan. Semua
memandang ke dalam kolam yang airnya tampak berwarna-warni. Dalam warna-warni
itu kejernihannya memungkin-kan mata melihat dasar kolam yang tidak seberapa
dalam. Kesejukan menyelubungi diri setiap orang yang memandang air kolam itu. Apalagi
saat itu angin bertiup Iembut, menambah sejuk tenteramnya perasaan di tempat
itu. Hasrat setiap anggota rombongan untuk ingin menceburkan tubuh ke dalam
kolam itu seolah tak ter-tahankan. Hanya saja mereka tidak berani melakukan
karena takut terhadap sang tumenggung.
Singaranu berjongkok di atas batu. Dicelupkannya tangan kirinya ka dalam air
kolam. Terasa kesejukan menjalar sampi ke lengannya. Dicelupkannya sekali lagi
tangan kirinya, lalu tangan yang basah itu diusapkannya ke mukanya yang penuh
debu. "Ah.... benar-benar segar," kata sang tumenggung. "Aku ingin mandi di kolam
ini!" "Kami akan menunggu sampai Tumenggung selesai mandi." kata Parangwulung.
"Sementara itu biar anak-anak beristirahat...." Kepala pengawal ini lalu memberi
tahu pada anak buahnya bahwa Tumenggung hendak mandi di kolam. Mereka boleh
beristirahat agak jenuh dan tepi kolam karena tak pantas memperhatikan atasan
mereka sedang mandi. Parangwulung sendiri pergi duduk di bawah sebatang pohon
rindang. Pedang besarnya ditanggalkan dari pinggang dan diletakkan di atas
pangkuan. Hembusan angin sejuk membuat ke dua matanya terkantuk-kantuk. Di
seberang sana tampak Tumenggung Singaranu menanggalkan pakaian luarnya,
meletakkan topi tingginya di atas batu lalu terdengar suara air berdebur tanda
sang tumenggung sudah melompat masuk ke dalam kolam yang berair jernih dan sejuk
itu. Tapi, tak sampai sepuluh hitungan sejak Tumenggung Singaranu masuk ke dalam
kolam, mendadak terdengar suara jeritan sang tumenggung. Panjang dan berulang
kali! Parangwulung dan anak buahnya melompat dari
tempat masing masing. Langsung menghambur ke tepi kolam! Apa yang mereka
saksikan kemudian membuat tengkuk masing-masing merinding dan muka pucat pasi
seperti kain kafan! Di sana! Di dalam kolam itu mereka menyaksikan
ratusan, bahkan mungkin ribuan ikan berwarna hitam sebesar empu jari kaki,
bertebar berkerumun menggerogoti tubuh Tumenggung Singaranu. Dalam waktu sangat
cepat seluruh daging di tubuh sang tumenggung, mulai dari kepala sampai ke kaki,
licin tandas tak bersisa lagi.
Termasuk isi perut dan dadanya. Sosok tubuh itu kini hanya tinggal tulang
belulang alias jerangkong dengan sedikit sisa-sisa rambut pada batok tengkorak
kepalanya! Parangwulung dan tujuh anak buahnya sampai ter-
lompat mundur menyaksikan kejadian yang sangat
mengerikan itu. Saking ngerinya mereka hampir-hampir tak berani melihat. Untuk
melakukan usaha pertolongan pun saat itu tidak terpikirkan lagi. Malah ketika
mereka melirik ke tengah kolam, sosok tubuh Tumenggung Singaranu telah lenyap.
Yang ada hanya jerangkong terapung-apung dan air kolam tampak ke merah-merahan
oleh darah! *** Kita kembali pada beberapa saat sewaktu rombongan
Tumenggung Singaranu sampai di atas lembah. Di balik deretan batu-batu besar di
bagian timur kolam di mana tumbuh rapat pohon-pohon besar berdaun rimbun, sulit
terlihat oleh siapa pun yang berada di sekotar kolam, tampak duduk menjelepok di
tanah dua orang kakek berpakaian dan bertingkah laku aneh.
Keduanya berwajah lonjong berkepala botak plontos.
Mata dan pipi cekung sedang mulut tak lagi ditumbuhi gigi alias ompong, tanda
usia keduanya su dah sangat lanjut.
Kakek yang duduk di sebelah kiri hanya mengenakan sehelai celana kolor putih
yang sudah bulukan dan dekil apak. Matanya sebelah kanan picak sedang tulang
kakinya melengkung hingga kalau dia berdiri kedua kaki itu hampir membentuk
huruf O. Kakek ke dua yang menjelepok di sebelah kanan, juga memiliki mata buta alias
picak, tapi kalau kawannya di sebelah kanan maka dia picak di sebelah kiri.
Tubuhnya kurus kerempeng hanya tertutup oleh sehelai cawat hitam.
Di dagunya ada sebuah tahi lalat besar yang ditumbuhi rambut panjang.
Dua kakek aneh itu asyik bercakap-cakap sambil
sesekali tertawa terkekeh-kekeh. Entah apa yang mereka bicarakan. Tiba-tiba
Picak Kiri, begitu nama kakek yang matanya picak di sebelah kiri, menggamit
lutut temannya dan letakkan jari di atas mulut.
"Ada apa...?" bertanya kakek yang digamit. Namanya Picak Kanan.
"Lihat ke atas lembah sana. Ada orang datang ...." si Picak Kiri menunjuk ke
arah kejauhan, ke atas lembah.
Kawannya memandang ke tempat yang ditunjuk.
Saat itu kelihatan serombongan orang berkuda berhenti di atas lembah, memandang
ke bawah. "Yang paling depan berpakaian bagus. Pakai topi tinggi... Pasti orang terkemuka.
Kalau bukan bangsawan kaya mungkin orang dalam keraton"
Picak Kanan mengangguk "Delapan orang lainnya itu tentu pengiring-pengiringnya.
Lihat, mereka turun dari kuda. Yang berpakaian bagus mulai menuruni lembah
"Yang lain lainnya juga mengikuti. Nan .... nah .. . nah!
Ada rejeki besar buat kita hari ini rupanya!" kata Picak Kiri.
"Perlahan bicaramu! Jangan sampai mereka mendengar!" memperingatkan si Picak
Kanan. Lalu dia meng-garuk-garuk perutnya yang gatal.
Orang-orang yang mendatangi lembah itu bukan lain adalah rombongan Tumenggung
Singaranu yang dalam perjalanan kembali ke Surakarta, berhenti di lembah karena
terpesona akan keindahan pemandangan dan
kesejukan di tempat itu. Apalagi ketika mereka melihat sebuah kolam berair
jernih di dasar lembah. Ketika Tumenggung Singaranu menyentuh air kolam
yang sejuk dengan tangan kirinya lalu membasahi mukanya yang berdebu dengan air
kolam itu, si Picak Kiri berbisik, "Aku yakin orang berpakaian bagus itu pasti
akan masuk mandi ke dalam kolam kita. Peralatanmu sudah siap...?"
"Sudah," jawab si Picak Kanan. "Tanganku sudah gatal untuk mendorong rotan
itu...." Kedua kakek itu, sambil memperhatikan gerakan
rombongan Tumenggung Singaranu, keduanya beringsut mendekati semak belukar
pendek di antara dua batang pohon besar.
"Dugaanku tepat! Lihat! Orang itu membuka pakaiannya!" kata si Picak Kiri ketika
terlihat Tumenggung Singaranu mulai menanggalkan pakaian sementara para
pengiringnya bertebar beristirahat tak berapa jauh dari tepi kolam.
Picak Kanan segera memasukkan tangan kanannya ke dalam semak belukar sampai dia
menyentuh ujung dari sebuah tali rotan sepanjang tiga tombak yang berhubungan
dengan sebuah terowongan berair di bawah tanah yang berbatu-batu. Ujung lain
dari tali rotan itu melekat pada sebuah lempengan tembaga tebal dan berat yang
merupakan sekat atau pintu penutup mulut terowongan berair.
Picak Kanan tertawa mengekeh tapi tanpa suara ketika dia melihat Tumenggung
Singaranu memasukkan kedua kakinya ke dalam air kolam. Kawannya si Picak Kiri
tampak berkomat-kamit dan basahi bibir dengan ujung lidah berulang kali.
Terdengar suara air kolam berdebur ketika tubuh sang tumenggung masuk sampai
sebatas dadanya yang berbulu.
"Sekarang Picak... Sekarang!" bisik Picak Kiri ketika Tumenggung Singaranu
bergerak ke bagian tengah kolam.
Picak Kanan dorong ujung tali rotan yang sejak tadi di pegangnya. Tembaga tebal
dan berat penutup mulut terowongan air terdorong ke depan dan membuka lebar.
Dari mulut terowongan yang terbuka itu, yang ternyata berhubungan dengan bagian
bawah kolam, menderulah ratusan bahkan ribuan ekor ikan aneh berwarna hitam.
Berbentuk segitiga dengan mulut terbuka lebar memperlihatkan gigi-giginya yang
runcing seperti mata gergaji yang luar biasa tajamnya!
Ribuan ikan ini menyerbu kaki, perut dan dada
Tumenggung Singaranu hingga orang ini terlonjak kesakitan, menjerit dan
menggapai-gapai, berusaha melarikan diri ke tepi kolam. Tapi terlambatl Cepat
sekali ribuan mulut gergaji itu melumat sekujur tubuhnya. Ketika sang tumenggung
roboh tergelimpang ke dalam air kolam, maka leher, muka dan kepalanya pun jadi
santapan ikan-ikan hitam itu.
"Bagus...! Bagus...! Ikan peliharaan kita memang hebat!" Si Picak Kiri tertawa
mengekeh tanpa suara. Kawannya si Picak Kanan juga tampak senang dan
ikut-ikutan tertawa. "Tidak percuma kuberi nama ikan-ikan Iblis Prahara!
Jangankan manusia! Kuda pun akan di-santapnya dalam sekejapan mata!"
Di dalam kolam sosok tubuh Tumenggung Singaranu
yang malang telah lenyap. Yang tampak kini hanyaIah tulang belulang atau
jerangkong berselimut air dan darah, mengapung mengerikan. Delapan orang
pengiringnya tertegun menggigil di tepi kolam, memandang dengan muka pucat pasti
dan mata membeliak. "Picak Kanan, lekas kau masukkan ikan-ikan itu.
Jangan sampai orang-orang itu tahu jelas apa yang terjadi.
Ayo cepat!" Si Picak Kiri berbisik.
Picak Kanan goyang-goyangkan ujung rotan yang dipegangnya. Dari atas terowongan
berjatuhan benda-benda halus seperti pasir yang memancarkan warna putih
berkilat-kilat. Kilatan benda-benda halus ini menarik perhatian ribuah ikan
hitam segitiga. Mereka segera melesat masuk ke dalam terowongan. Setelah tak
seekor pun yang tertinggal di dalam kolam. Picak Kanan menarik ujung rotan.
Lempengan tembaga tebal dan berat ikut tertarik dan menutup rapat-rapat mulut
terowongan! Picak Kanan gosok-gosok kedua telapak tangannya
dengan sukacita. Kawannya tak henti-hentinya menepuk bahunya dan berbisik:
"Bagus! Permainan kita sudah selesai. Atau mungkin ada lagi dari orang-orang itu
yang mau mencebur masuk ke dalam kolam kita?"
Kedua kakek aneh menunggu. Tapi tak ada seorang
pun yang masuk ke dalam kolam itu. Bahkan ketakutan membuat mereka sama sekali
tidak berusaha mengambil atau menarik sosok tubuh Tumenggung Singaranu yang kini
telah berubah menjadi jerangkong tulang belulang itu.
Parangwulung lari paling dulu menuju ke atas lembah diikuti oleh tujuh anak
buahnya. Seperti dikejar setan mereka melompat ke atas punggung kuda masing-
masing, lalu menghambur meninggalkan tempat itu tanpa berani menoleh ke
belakang! *** 2 UDA PUTIH besar tinggi dan gagah itu berhenti di depan sebuah surau kecil di
puncak bukit. Meski K baru saja menempuh perjalanan jauh dan sulit di dalam musim kemarau yang
membara tetapi binatang yang jinak ini tidak kelihatan letih. Ekornya yang
panjang tebal di kibas-kibaskan. Sikapnya tetap tegak dengan gagah sampai
tuannya - seorang pemuda berpakaian putih yang duduk menunggangnya - turun dari
punggungnya. Setelah si pemuda turun baru kuda putih ini melangkah
menghampiri rumput liar di bawah sebatang pohon nangka hutan.
Pemuda berpakaian putih tadi mencuci kaki dan
tangannya di sebuah pancuran di samping surau lalu mengambil air wudhu. Setelah


Mahesa Kelud - Kolam Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu dia masuk ke dalam surau berlantai papan.
Kiai Kali Mutu tengah khusuk bersembahyang lohor.
Pemuda tadi bardiri di samping sang kiai, agak ke balakang sadikit. lalu ikut
sambahyang dan menjadikan orang tua itu sebagai imam. Sesaat setelah si orang
tua mengucap salam dan diikuti oleh si pemuda, keduanya membaca doa dan
berzikir. Begitu zikir selesai pemuda tadi beringsut mendekat Kiai Kali Mutu seraya
memberi salam dan berkata, "Guru murid sudah kembali..." Lalu diambilnya tangan
kanan orang tua itu, disalami dan diciumnya.
Kiai Kali Mutu tersenyum gembira dan tepuk bahu
muridnya dengan tangan kiri.
"Aku bersyukur kepada Tuhan kau telah kembali dengan selamat, Panji," kata Kiai
Kali Mutu. "Sebelum ke mari apakah kau ada menziarahi makam kakekku di desa
Kadilangu?" "Saya tidak lupa hal itu, guru. Saya ada menziarahi makam Sunan," sahut si
pemuda yang bernama Panji.
"Bagus. Kau memang murid yang tahu berbakti."
"Apakah selama ini guru ada baik-baik dan sehat-sehat?"
"Ah... orang setuaku ini bagaimana bisa selalu sehat.
Kadang-kadang kena angin sedikit saja terus menang atau batuk-batuk. Tapi
syukurlah semua penyakit itu tidak kerasan mendekam dalam tubuh rongsokan ini.
Cepat datang cepat pula perginya. Muridku, satu tahun kulepas, pengalaman apa
saja yang telah kau dapati... ?"
"Banyak guru. Saya kira-kira dapat menarik satu kesimpulan."
"Kesimpulan apa?" tanya Kiai Kali Mutu.
"Ternyata dunia kita ini masih banyak didiami oleh manusia-manusia jahat. Mulai
dari bangsa maling dan rampok yang berbuat kejahatan secara terang terangan,
sampai pada para penguasa yang berbuat kejahatan secara tersamar..."
Kiai Kali Mutu tertawa. "Itulah hidup di dunia, muridku," katanya. "Sepanjang umur dunia manusia jahat
dan kejahatan tidak akan pernah lenyap. Hanya cara mereka melaku kan kejahatan
berbeda-beda. Satu hal jangan kau lupakan Panji. Segala pelajaran dan ilmu yang
kuberikan padamu justru adalah untuk mengikis kejahatan itu. Kenapa kukatakan
mengikis" Karena kita orang-orang yang berusaha di jalan yang benar hanya
merupakan segelintir kecil saja dari satu kekuatan melawan kejahatan. Ketahuilah
kejahatan itu banyak temannya sedang kebenaran banyak musuhnya.
Karena itulah kau kusuruh kembali ke mari untuk menggali lebih banyak ilmu. Jika
kau rajin mungkin hanya enam bulan saja kau sudah boleh pergi lagi..."
"Saya akan mengikuti segala petunjuk guru dan berjanji rajin belajar..." kata
Panji. Sang kiai menepuk bahu muridnya kembali. "Aku senang mendengar kata-katamu itu.
Apakah Panah Putih tidak banyak bertingkah selama berkelana bersamamu?"
"Dia kuda yang baik guru. Saya suka padanya. Kalau saya boleh bertanya apakah
adik Sri Magaresmi sudah kembali?"
"Kau tahu adikmu itu gadis bandel. Waktu kusuruh dia mengelana satu tahun, dia
minta diberikan waktu tiga lahun. Akhirnya seielah berdebat panjang pendek.
kusetujui dua tahun. Berarti baru tahun dapan dia muncul di sini."
Kiai Kali Mutu meIihat ada bayangan rasa cam as di wajah Panji. Maka diapun
barkata, "Kau tak usah kawatir, muridku. Ilmu kepandaian yang dimilikinya cukup
dapat diandalkan untuk menjaga diri. Asal saja dia jangan suka nakal dan jahil.
Lagi pula dia pergi dengan menyamar seperti lelaki. Kalau pun kau bar sua
dengannya, mungkin kau tak akan menganali itu adalah adik kandungmu sendiri
Mendengar penjelasan gutunya itu puaslah hati Panji.
"Waktu berjalan cepat. Panji. Waktu tak pernah menunggu kita. Besok selesai
sembahyang subuh kita mulai.
Partama sekali kau harus memperlihatkan padaku saluruh jurus-jurus silat yang
telah kau miliki. Jika ada kekurangan-kekurangan harus diperbaiki dulu, Setelah
itu akan kucoba pukulan-pukulan yang mengandung tenaga putih. Lalu menguji
kecepatan gerakmu. Satelah itu baru mulai dengan pelajaran baru. Jika apa yang
kini kau miliki benar-benar sudah mantap, aku hanya akan menitik beratkan
pelajaran pada latihan menghimpun dan melepas tenaga dalam. Apakah kau siap
besok subuh?" "Saya siap guru. Sekarang izinkan saya member, minum Panah Putih dulu."
Kiai Kali Mutu mengangguk. Begitu muridnya leyap di pintu surau, dia pun bangkit
berdiri dan mengerjakan sembahyang sunat.
*** PICAK KANAN menguap lebar-lebar lalu menyeka mata
kirinya yang berair. "Sial benar nasib kita kali ini. Hampir sebulan lebih tak ada seorang pun yang
lewat di sini. Ke mana semua manusia di kolong langit ini...."!"
Picak Kiri yang duduk bersandar di batang pohon
sambil mencabuti janggutnya memandang ke atas lembah lalu berkata, "Yang aku
kawatirkan adalah jangan-jangan telah tersiar kabar di luaran bahwa kolam kita
ini merupakan kolam maut. Hingga tak ada yang berani lewat apalagi datang dekat
dekat ke mari." "Kekawatiranmu itu beralasan juga," ujar Picak Kanan dengan wajah gundah sambil
usap-usap kepalanya yang botak plontos. Sesaat kemudian dia bangkit berdiri
seraya memegang-megang perutnya yang kempis. "Aku lapar.
Lebih baik kita cari makanan dulu, baru memikirkan lagi korban-korban baru."
Mjalas-malasan Picak Kiri bangkit pula dari duduknya, tapi cepat sekali dia
tundukkan badannya di balik semak belukar, malah bergerak berlindung ke balik
pohon besar. "Kenapa kau?" tanya Picak Kanan melihat gerak-gerik kawannya yang aneh itu.
"Sttt... Kau lihat ke atas sana. Ada serombongan orang muncul. Seperti
serombongan pasukan. Kelihatannya seperti orang-orang Kerajaan dari timur
Picak Kiri menyibak semak belukar dan memandang ke atas lembah. Apa yang
dikatakan kawannya memang
benar. Di atas sana kelihatan serombongan orang berkuda berhenti di bibir
lembah. Semuanya menunggang kuda.
Kira-kira dua puluh berpakaian prajurit lengkap dengan senjata di pinggangnya.
Lalu ada dua orang tua berpakaian seperti orang persilatan. Di antara ke dua
orang tua ini kelihatan seorang lelaki baya bermisai tebal. Di depan orang
bermisai ada seorang penunggang kuda berpakaian perwira kerajaan. Lalu ada tujuh
orang berpakaian seragam pengawal, tapi tidak seperti pakaian yang dikenakan dua
puluh perajurit pertama Ketika melihat lelaki bermisai itu, Picak Kanan berbisik pada kawannya, "Aku
ingat betul! Lelaki berkumis lebat itu, bukankah dia orang yang mengawal lelaki
berpakaian bagus yang mampus di kolam kita tempo hari?"
Picak Kiri buka mata kanannya lebar lebar dan otaknya coba mengingat ingat.
"Kau betul. Aku ingat. Dia yang kabur paling dulu. Hik...
hik... . . . hik. Aku ingat. Memang dia!"
"Hus! Jangan tertawa keras-keras. Lihat, rombongan itu mulai menuruni lembah.
Mereka menuju kemari! Apakah letak persembunyian kita ini sudah aman?"
"Jangan kawatir! Setan mata sepuluhpun tak bakal tahu kalau kita ada di sini!"
jawab Picak Kiri. "Kelihatannya rombongan ini seperti hendak melakukan
penyelidikan. Kita harus hati-hati, Picak Kanan. Lelaki berkumis itu kelihatan tidak bergerak
bebas. Dua orang tua itu seperti selalu mengapitnya.... Dan kau lihat. Dua puluh
perajurit menuruni lembah sambil menyebar... Tujuh orang lainnya...
Ah aku ingat sekarang! Tujuh orang itu adalah orang-orang yang mengawal lelaki
berpakaian bagus dulu! Ada apa ini sebenarnya!"
Saat itu memang rombongan yang barusan datang
tampak menuruni lembah. Lelaki berkumis yang bukan lain adalah Parangwulung
menunggangi kuda diapit oleh dua orang tua berpakaian seperti orang persilatan.
Di sebelah depan memimpin orang bertubuh tegap, berseragam
perwira kerajaan. Dia menunggangi kudanya dengan mata tak berkesip memandang ke
arah kolam yang airnya tampak berwarna-warni. Di belakang keempat orang ini,
bergerak tujuh orang anak buah Parangwulung, lalu di sebelah belakang sekali dua
puluh perajurit menuruni lembah dengan sikap penuh waspada, menebar
memanjang. Rombongan itu sampai di depan kolam. Orang barpakaian parwira
berpaling pada Parangwulung dan bertanya, "Jadi inilah kolam yang kau katakan
sebagai tampat Tumenggung Singaranu menemui ajalnya dengan cara aneh!"
"Betul sekali Kebo Alit ...." jawab Parangwulung.
"Kolam begini bagus. Berair jernih. Di lembah yang berpemandangan luar biasa
indah. Bagaimana seseorang bisa menemui kematian di sini...?" kata sang perwira
yang bernama Kebo Alit sambil geleng-geleng kepala. "Katamu kau menyaksikan ada
ikan ikan hitam yang ribuan
banyaknya menyambar tubuh Tumenggung. Lalu sebentar saja tubuh itu hanya tinggal
tulang belulang. Tapi aku tidak malihat sisa-sisa jenasah Tumenggung di sini..."
"Mungkin sekali sudah dimakan atau dilarikan binatang hutan," jawab
Parangwulung. "Bisa jadi!" ujar sang perwira pula sambil usap-usap dagunya. "Tapi aku pun
tidak melihat ikan-ikan hitam itu di dalam kolam yang dasarnya jelas tampak dari
sini. Atau mungkin mataku buta..." Paman Randu Wungu dan paman Randu Ireng,
apakah kau melihat ada ikan atau binatang lain dalam kolam ini"!"
Dua orang tua yang mengapit Parangwulung sama-
sama menggelengkan kepala Parangwulung tampak pucat parasnya.
Kabo Alit mangusap-usap kuduk kudanya lalu berkata,
"Aku akan mengitari kolam ini. Menyelidik, kalau-kalau ada petunjuk yang dapat
menunjang keteranganmu. Kalian semua tunggu di sini... !"
Lalu dengan menunggang kuda perwira itu mengitari kolam sambil menunggang
kudanya perlahan-Iahan. Tak selang berapa lama dia sampai di tempat rombongan
berhenti, langsung berkata, "Tak ada satu pun yang kutemui. Tak ada hal-hal yang
mencurigakan. Tak ada ikan di dalam kolam, tak ada jga binatang lain. Bagaimana
kami bisa mempercayai keteranganmu tentang kematian
Tumenggung Singaranu itu, Parangwulung!"
"Sudah kukatakan berulang kali. Kebo Alit! Aku berani bersumpah bahwa aku tidak
memberikan keterangan dusta! Tumenggung Singaranu menemui kamatiannya di kolam ini. Ketika handak
mandi! Diserbu oleh ribuan ikanikan hitam! Tujuh pengawal itu ikut menyaksikan!
Kami kemudian melarikan diri ketakutan ketika melihat sosok tubuh Tumenggung
Singaranu hanya tinggal jerangkong dan tengkorak belaka!"
"Parangwulung! Kau tahu apa hukuman bagi seorang bawahan yang membunuh atasannya
hanya untuk merebut kedudukan atasan! Kau terlalu bodoh! Sekalipun
Tumenggung menemui kematian secara wajar, kedudukan itu tak bakal diberikan
padamu! Kau hanya seorang kepala pengawal yang tidak layak menduduki jabatan
Tumenggung! Apalagi sangat besar kecurigaan bahwa kau-lah yang talah membunuh
Tumenggung Singaranu lalu mengarang cerita yang tidak masuk akal!"
"Aku bersumpah! Aku tidak membunuh Tumenggung Singaranu! Aku tidak mengarang
cerita! Tujuh perajurit itu melihat dengan mata kepala mereka sendiril"
Kebo Alit memandang pada tujuh orang bawahan
Parangwulung dan bertanya, "Benar kalian melihat sendiri Tumenggung Singaranu
menemui ajal dimakan ikan di dalam kolam yang berair sejuk ini"!"
Tujuh orang perajurit itu serentak menggelengkan kepala. Dua orang diantara
mereka membuka mulut: "Parangwulung yang membunuh Tumenggung! Mayatnya dibuang ke dalam hutan sana.
Dan kami disuruhnya untuk ikut berserikat memberi keterangan palsu!"
Berubahlah paras Parangwulung. Tiba-tiba dia berteriak, "Manusia-manusta
pengkhianat! Kalian tahu apa yang terjadi! Kini kalian berani bicara dustal"
Tubuh Parangwulugng melesat dari punggung kudanya.
Salah satu perajurit yang tadi membuka mulut dihantamnya dengan tendangan kaki
kanan hingga terjengkang dan roboh pingsan dekat bebatuan di tepi kolam. Ketika
dia hendak mengamuk menghajar bawahannya yang lain,
Randu Wungu dan Randu Ireng cepat melompat turun dari kuda masmg-masing dan
berusaha menangkap Parangwulung. Melihat orang merintangi amukannya Parangwulung
berteriak marah. "Aku lebih baik mati mengadu jiwa dengan kalian daripada mati difitnah!"
Sebagai orang yang dipercayakan menjadi kepala
pengawal Tumenggung Singaranu semasa hidupnya tentu saja Parangwulung memiliki
kepandaian silat yang dapat diandalkan. Gebrakan-gebrakan kilatnya yang
dilandasi hawa amarah membuat dua orang tua yang diserangnya terpaksa
menyingkir. Ketika Kebo Alit mendorong punggungnya dengan tumit hingga dia
hampir jatuh ter-jerembab, Parangwulung segera hunus pedang besarnya.
Sekali membabat pedang itu hampir saja membacok putus kaki kanan Kebo Alit.
Untuk selamatkan kakinya perwira ini jatuhkan diri dari punggung kuda. Begitu
menjejak tanah dia langsung kirimkan satu jotosan ke dada Parangwulung.
Tapi yang diserang cepat menerpa dengan senjatanya hingga Kebo Alit dengan geram
terpaksa tarik pulang tangannya dan melompat mundur! Dengan pedang di
tangan memang sulit bagi Kebo Alit untuk menghadapi lawan karena tingkat
kepandaian mereka memang hampir sejajar.
Tetapi lain haInya dengan dua orang tua itu. Baik Randu Wungu maupun Randu Ireng
sama-sama memiliki kepandaian silat yang jauh lebih tinggi dari Parangwulung.
Sehingga sekalipun Parangwulung memegang pedang di tangan, setelah menyerang
gencar dan beringas, empat jurus kemudian dua orang tua ini berhasil melumpuhkan
Parangwulung dengan satu totokan. Dalam keadaan tak berdaya lagi sementara
pedangnya jatuh tergeletak di atas rumput, kedua orang tua itu membawa kepala
pengawal itu ke tepi kolam.
Di sini Randu Wungu berkata, "Parangwulung, harap maafkan kami berdua! Walau
kita bersahabat tetapi sebagai hamba kerajaan kami tunduk akan perintah yang
diberikan oleh mapatih kerajaan. Jika kolam ini memang ada ikan ganas seperti
katamu mari sama-sama kita buktikan!"
Lalu kedua orang itu melemparkan tubuh Parang-
wulung ke dalam kolam. Parangwulung berteriak
ketakutan. Tubuhnya jatuh duduk di dasar kolam. Karena kedua kaki dan tangannya
lumpuh akibat totokan, dia tak sanggup berdiri dan megap-megap dalam air. Dia
yakin seperti apa yang disaksikannya terjadi atas diri Tumenggung Singaranu,
sebentar lagi akan menimpa dirinya. Ribuan ikan hitam berbentuk segitiga dengan
gigi-gigi yang runcing seperti gergaji akan menyerbu dan melumat seluruh daging
yang membalut tubuh dan kepalanya.
Tetapi sampai sekian lama menunggu tak seekor ikan pun muncul. Dalam keadaan
lemas hampir pingsan Randu Wulung dan Randu Ireng mengangkat Parangwulung ke
luar dari dalam kolam lalu melepas totokannya.
Begitu totokannya lepas langsung dia telungkupkan badan hingga air kolam yang
banyak terminum keluar kembali.
Kebo Alit melangkah rnendekatmya dan berkata, "Kau saksikan sendiri Parang!
Kolam itu tak ada makhluk apa apanya! Apa itu tidak cukup bukti atas
kedustaanmu..."!"
Parangwulung yang tidak berdaya karena masih sangat lemas tak bisa menjawab apa
apa. Dia hanya memandang dengan mata merah melotot pada Kebo Alit ketika perwira
ini memberi perintah pada dua orang perajurit untuk mengikat dua pergelangan
tangan serta bahunya. "Parang! Kau telah membuktikan kedustaanmu sendiri!
Atas nama mapatih kerajaan, kau kami tangkap dan dibawa kembali ke Kotaraja!"
Parangwulung diangkat dan didudukkan di punggung Kuda.
Ketika rombongan itu meninggalkan lembah, Picak Kiri berpaling pada Picak Kanan
dengan wajah menunjukkan rasa kesal.
"Kenapa tidak kau lepaskan ikan-ikan Iblis Prahara itu"!"
"Aku tak merasa perlu meskipun sudah sekian lama tak ada yang dapat dijadikan
mangsa ikan-ikanku!"
"Gila! Kenapa tidak merasa perlu"!" si Picak Kiri jadi sewot.
"Kau yang gila!" balas menyemprot Picak Kanan.
Kedua kakek aneh itu serantak sama sama berdiri, hampir beradu hidung dan sama-
sama kepalkan tangan. "Kau berani memaki aku gila"!" sentak Picak Kiri.
"Kau yang duluan mengatakan aku gila!" balas menyentak Picak Kanan.
"Kau memang gila! Apa kau tidak menyadari akibatnya jika ikan-ikan itu kulepas"!
Mereka akan melihat dan tahu di kolam ini benar-benar ada ikan iblis itu! Dan
mereka akan menghancurkan tempat ini. Lalu apa lagi permainan kita"!"
Picak Kanan terdiam. Amarahnya surut. Perlahan-lahan dia kembali duduk
menjelepok di tanah. Tapi bangun lagi ketika ingat akan perutnya yang lapar lalu
mengajak kawannya mancari makanan.
*** 3 PEMUDA bertubuh ramping itu memacu kuda iiitamnya di kaki pegunungan Dieng
menuju ke arah timur. Kulitnya yang putih tampak kemerah-merahan oleh teriknya
sinar matahari. Sambil menunggang kuda kedua matanya
memandang kian kemari menehti keadaan di sekelilingnya.
Ke mana pun mata memandang yang dilihatnya hanya pedataran atau bukit tandus,
atau pohon-pohon yang mengering dedaunannya.
Bosan menempuh pedataran garsang sejajar kaki


Mahesa Kelud - Kolam Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pegunungan, pemuda ini membelokkan kudanya menuju ke sebuah bukit.
"Kudaku, kau tentu haus. Siapa tahu di puncak bukit sana kita bakal menemukan
mata air," kata si pemuda pada kuda tunggangannya sambil mengelus-elus tengkuk
binatang itu. Seperti mengerti akan ucapan tuannya. kuda hitam itu kedap-kedipkan kedua
matanya dan mem percepat larinya menuju bukit. Pada saat baru saja mencapai
lereng. dari atas bukit si pemuda melihat serombongan orang berkuda menuruni
bukit, tepat mengarah ke jurusannya.
Meskipun lereng bukit itu cukup luas dan sebenarnya si pemuda bisa menghindar
agar tidak berpapasan langsung dengan rombongan yang turun, namun nyatanya
pemuda ini tak mau melakukan hal itu. Dia terus mendaki bukit, menyongsong arus
rombongan di depannya. Baru sejarak dua puluh tombak dari orang-orang itu dia
hentikan kudanya dan menunggu sambil memandang tajam-tajam ke depan. Makin dekat
ke arahnya makin dapat dilihatnya siapa-siapa para penunggang kuda itu.
Di sebelah depan adalah seorang lelaki separuh baya berpakaian perwira kerajaan.
Di belakangnya menyusul tiga penunggang kuda. Yang dua orang berusia lanjut,
mengenakan pakaian seperti orang-orang dari rimba persilatan. Keduanya
menunggang kuda mengapit seorang lelaki berkumis tebal. Ada keanehan pada lelaki
berkumis ini yang membuat si pemuda memperhatikannya dengan seksama. Dia
mengenakan pakaian perajurit kepala yang basah kuyup dan kedua tangannya berada
di depan perut dalam keadaan terikat. Di belakang tiga orang ini tampak lebih
dari dua puluh perajurit, bergerak dalam posisi demikian rupa seperti mengawal
orang-orang yang ada di sebelah depan mereka.
Melihat ada penunggang kuda yang sengaja berhenti di arah jalan yang mereka
lalui, lelaki berpa kaian perwira angkat tangannya memberi tanda. Maka seluruh
rombongan pun berhenti. Perwira itu yang bukan lain adalah Kebo Alit mendekati
si pemuda dan berhenti sejarak empat langkah. lalu menegur.
"Orang muda, kau seperti sengaja menghadang perjalanan kami!"
Pemuda itu menatap wajah sang perwira sesaat
dengan sepasang matanya yang bening, lalu menjawab,
"Aku tak merasa menghadang siapa-siapa. Lereng bukit ini cukup luas dan aku
berhenti di sini tanpa mengandung maksud apa apa ..."
"Begitu" Kalau demikian menyingkirlah. Kami akan lewat!"
"Sekali lagi kukatakan, lereng bukit ini cukup luas.
Mengapa aku harus menyingkir"!"
"Hemm... Pemuda ini mungkin bebal atau keras kepala!" kata Kebo Alit dalam hati.
Sementara itu Randu Wungu dan Randu Ireng memperhatikan si pemuda
dengan perasaan jengkel sedang Parangwulung yang dalam keadaan seperti itu hanya
tundukkan kepala, merasa tak ada perlunya dia memperhatikan siapa adanya orang
di hadapan rombongan. "Anak muda! Jadi kau tidak mau menyingkir memberi jalan"!" tanya Kebo Alit.
Suaranya bernada memperingatkan, bahkan mengancam.
"Kenapa aku harus menyingkir atau memberi jalan"
Aku tidak menghadang siapa-siapa di tempat ini. Jika kau dan rombonganmu ingin
lewat silahkan. Berbelok ke kiri atau mengambil jalan di sebelah kanan. Terus
juga boleh asalkan jangan menabrakku!"
Kebo Alit jadi penasaran. "Kau tidak tahu kalau kami rombongan kerajaan"!"
"Dari pakaian kalian tadi-tadi pun aku sudah tahu kalian rombongan atau pasukan
kerajaan. Tapi apa sangkut pautnya diriku dengan siapa pun adanya kalian"!"
Untuk pertama kalinya Parangwulung mengangkat
kepala memperhatikan orang di depannya. Ketika
dilihatnya orang itu adalah seorang pemuda berparas cakap, berkulit putih dan
bertubuh ramping maka dia pun berkata, "Anak muda, kau menghindarlah. Beri
jalan. Biar lebih cepat aku sampai di Kotaraja dan menerima
hukuman!" "Ah, rupanya kau seorang tawanan!" ujar si pemuda pula sambil meneliti dari
kepala sampai ke kaki Parangwulung. "Tetapi kau tawanan yang aneh! Kau mengenakan pakaian perajurit
tingkat tinggi. Pakaianmu basah kuyup!"
"Siapa dia dan apa yang terjadi dengan dirinya bukan urusanmu!" membentak Kebo
Alit. "Kalau kau tak lekas menyingkir, para perajuritku akan kuperintahkan untuk
menindakmu!" "Sungguh malang nasibku! Tak bersalah apa-apa mau ditindak perajurit kerajaan!"
sahut si pemuda pula dengan nada mengejek. Lalu dia berpaling pada Parangwulung.
"Aku kasihan melihatmu! Sudah basah kuyup dan harus menunggang kuda dengan
tangan terikat. Sekali kau kehilangan keseimbangan kau akan terjungkal jatuh dan
lehermu bisa patah, kau bisa mati konyol!"
"Mati konyol jatuh dari atas kuda lebih baik baginya daripada mati di tiang
gantungan!" tukas Kebo Alit.
"Oh, dia mau digantung! Apa sih salahnya"!" bertanya si pemuda.
Sampai di situ Randu Wungu tak dapat menahan rasa kesalnya. Dia berkata, "Kebon
Alit! Kenapa menghabiskan waktu melayani pemuda tidak beres itu"!"
Dikatakan tidak beres membuat si pemuda jadi gusar dan balik memaki, "Kalianlah
orang-orang yang tidak beres!
Meributkan soal jalan! Membawa tawanan seenaknya!"
Randu Wungu geleng-geleng kepala. "Kebo, pemuda ini pantas diberi pelajaran
sopan-satun. Perintahkan perajurit-perajuritmu untuk mengajarnya!"
Kebo Alit yang memang sejak tadi menahan marah,
mendengar ucapan Randu Wungu itu segera berikan
isyarat, pada lima orang perajurit. Lalu pada anggota rombongan yang lain dia
memberi aba-aba untuk mengikutinya meneruskan perjalanan dengan menyibak ke
kiri. Tetapi baru beberapa langkah kuda-kuda mereka bergerak, di sebelah belakang
terdengar suara gedebak-gedebuk disertai pekik-pekik kesakitan. Ketika
berpaling, kagetlah Kebo Alit dan yang lain-lainnya. Lima perajurit yang tadi
diperintahkan menghajar si pemuda kini kelihatan berkaparan di tanah, merintih
kesakitan! "Hemmm......!" menggumam Randu Ireng. "Rupanya ada sedikit ilmu yang diandalkan
makanya dia bersikap pongah dan bertindak kurang ajar!" Orang tua ini majukan
kudanya mendekati si pemuda. "Apa hubunganmu dengan Parangwulung tawanan ini!
Katakan!" "Aku tak punya hubungan apa-apa!"
"Kalau tak ada hubungan berarti kau memang sengaja menjadi lantaran!" Randu
Ireng lalu kibaskan lengan baju tangan panjangnya sebelah kiri.
Angin keras menggebu menghantam ke arah si
pemuda. Meskipun kaget dan tak mengira orang tua itu dapat lepaskan pukulan
tangan kosong yang hebat, namun si pemuda tidak mau tunjukkan sikap terkejut.
"Orang tua! Kau sendiri rupanya sengaja obral kepandaian!" teriak si pemuda lalu
gebrak pinggul kuda hitamnya. Binatang ini melompat ke samping tapi bersamaan
dengan itu dia hantamkan kaki kiri belakangnya ke arah kuda lawan. Tendangan
kaki kuda yang keras ini mendarat tepat dilutut kuda yang ditunggangi Randu
Ireng. Kraak!!! Kaki kuda itu patah. Binatang ini meringkik. Tubuhnya langsung terjerambab ke
depan, melemparkan pe-nunggangnya. Sambil bersuit nyaring Randu Ireng jungkir
balik di udara. Sebelum kedua kakinya menjejak tanah dia kembali lepaskan
pukulan tangan kosong. Kali ini dengan tangan kiri. Namun seperti tadi, si
pemuda kembali menggebrak tubuh kudanya, binatang ini melompat jauh hingga
serangan Randu Ireng hanya mengenai tempat kosong!
Randu Wungu terkesima, diam-diam merasa kagum
juga melihat kelincahan pemuda itu namun hatinya menjadi penasaran karena
saudaranya seolah-olah dipermain-kan. Randu Ireng sendiri malu bukan main. Di
hadapan sekian banyak mata perajurit dan perwira kerajaan, bahkan di depan
hidung Parangwulung yang menjadi tawanan, dirinya seperti orang yang baru
belajar silat saja. Dua kali menyerang dua kali gagaI. MaIah kudanya dibuat
patah kaki dan dia terpaksa tunggang-langgang berjumpalitan agar tidak melosoh
jatuh ke tanah! Ketika Randu Ireng hendak menyerbu kembali, Randu Wungu berseru, "Tunggu dulu
Ireng! Aku perlu bertanya dengan pemuda ini! Jangan-jangan dia kaki tangan
orang-orang Pajang. Bukan mustahil dia kemari tidak seorang diri!"
Pemuda berkuda hitam yang dituduh kaki tangan
orang-orang Pajang itu tertawa. "Kau bisa saja mengada-ada! Orang tua, orang
yang jatuh dari kuda itu pasti saudaramu. Cara kalian berpakaian sama dan
tampang kalian juga mirip satu sama lain! Melihat bagaimana dia hendak mengobral
kepandaian tapi hampir celaka sendiri, jelas dia bukan tandinganku!"
"Pemuda lancang! Kau hendak merendahkan Randu Ireng tokoh pengawal Keraton
Surakarta"!" Yang membentak adalah Kebo Alit.
"Siapa dia aku tidak perduli!" menyahuti pemuda itu dengan beraninya "Jika ada
tokoh pengawal istana yang kepandaiannya seperti dia, tidak dapat menahan amarah
dan bertindak seenaknya saja, wah! Istana bisa kebobolan.
Kalau aku jadi raja kalian, orang seperti dia tak akan kupakail"
Paras Randu Ireng mengelam sampai ke telinga. Darahnya mendidih. Seumur hidup
baru hari itu dia mendapat penghinaan demikian rupa. Dan oleh seorang pemuda tak
dikenal pulal Kebo Alit memajukan kudanya beberapa langkah lalu menunjuk tepat-tepat si
pemuda, "Mulutmu kotor kurang ajar! Kau sangat berani menghina kami orang-orang
Keraton! Kau terpaksa kutangkap seat ini juga!" Habis berkata begitu Kebo Alit
merangsak ke depan tapi si pemuda dapat berkelit ke samping seraya berseru.
"Perwira! Tahan dulu! Bagaimana kalau kita membuat taruhan!"
"Taruhan kepala bapak moyangmu!" bentak Kebo Alit seraya menerjang ke depan.
Tapi seat itu Randu Wungu menyela: "Kebo Alit! Biarkan saja! Aku ingin tahu apa
taruhannya! Orang muda sombong jelaskan maksudmu'"
"Terima kasih kau mau memberi kesempatan," ucap si pemuda seraya menjura ke arah
Randu Wungu. Sikapnya dirasakan bukan seperti penghormatan tapi lebih banyak
merupakan satu ejekan! "Begini, jika perwira kerajaan ini sanggup menangkapku
dalam waktu lima jurus perkelahian, aku akan serahkan diri dan bersedia
dijadikan tawanan seperti lelaki bermisai itu! Tetapi, jika lima jurus dia tak
berhasil menangkapku maka kalian harus membebaskan tawanan itu!
Bagaimana .... "!"
Randu Wungu terkesiap. Randu Ireng menggeram.
Sementara puluhan perajurit melongo di atas kuda masing-masing. Ucapan si pemuda
itu benar-benar merupakan tantangan gila! Dalam marahnya Kebo Alit menjawab.
"Setuju! Jika lima jurus kau tak berhasil kutangkap, tawanan ini akan kami
bebaskan! Tapi jika dalam lima jurus kau dapat kulumpuhkan, maka kau harus
serahkan kepalamu pada aku! Akan kupancung di tempat ini juga!"
Semula semua orang akan menyangka si pemuda
menjadi ciut nyalinya ditantang begitu rupa. Tapi! Malah dia terdengar menjawab,
"Setuju! Kepalaku atau kebebasan tawanan itu!"
Parangwulung yang masih berada dalam keadaan terikat di atas kudanya sampai
ternganga tak percaya. "Pemuda tak dikenal itu mengapa mau korbankan nyawa untuk diriku yang tak punya
hubungan apa-apa, bahkan kenal pun tidak. "Terlalu cerobohl Terlalu ceroboh!"
kata Parangwulung berulang kali. Kebo Alit bukan perwira sembarangan. Tingkat
kepandaiannya hampir sejajar dengan dua tokoh silat istana yaitu Randu Ireng dan
Randu Wungu. "Perwira, kau ingin berkelahi di atas kuda atau samasama turun ke tanah"!" si
pemuda bertanya. menantang menyepelekan lagi sikapnya!
Dari apa yang dilakukan terhadap kuda tunggang-n Randu Ireng. Kebo Alit maklum
kalau kuda hitam tunggangan si pemuda buka kuda sembarangan.
Menyadari hal ini maka dia tak mau melakukan perkelahian di atas kuda. Kebo Alit
langsung melompat ke tanah. Gerakannya cepat dan enteng. Si pemuda pun melakukan
hal yang sama. Turun dari punggung kudanya, tapi sikapnya jelas dibuat-buat
yaitu berpagut pada leher kudanya, melosoh ke tanah seperti anak kecil yang
ketakutan atau gampang turun dari tempat tinggi! Begitu sampai di tanah pemuda
ini usap-usap kedua telapak tangannya satu sama lain dan bertanya, "Perwira, kau
ingin berkelahi dengan tangan kosong atau pakai senjata?"
"Untuk meringkus tikus busuk sepertimu perlu apa pakai senjata! Sebaliknya kalau
kau punya senjata silahkan keluarkan!" sahut Kebo Alit semakin mendidih
amarahnya. "Kalau begitu aku pun akan melayanimu dengan tangan kosong. Ingat
lima jurus! Nah silahkan mulai perwira!"
Baru saja si pemuda selesai mengucapkan kata kau itu Kebo Alit sudah melompat
menerjang dan buk! Buk! Jotosan kiri kanan perwira itu bersarang di perut dan pertengahan dada si
pemuda, membuatnya terpental dua langkah dan jatuh duduk di tanah!
"Nah... nah.... nah!" Randu Wungu buka suara. "Belum lima jurus kau sudah roboh!
Ternyata kemampuanmu tidak sesuai dengan kecongkakan dan mulut besarmu!"
Serangan Kebo Alit tadi memang luar biasa cepatnya dan tidak terduga oleh si
pemuda. Dia sengaja terus bersikap dan mengeluarkan kata-kata mengejek untuk
memancing kemarahan orang. Namun karena bertindak
sedikit lengah maka ketika dua pukulan Kebo Alit menghantam dia tak sempat
berkelit dan hanya mampu mem-bentengi dada dan perutnya dengan tenaga dalam.
Meskipun begitu tetap saja pemuda ini merasakan dada dan perutnya sakit bukan
main. Tapi dasar bandel, sambil menahan sakit dia cepat berdiri dan berkata,
"Cuma dua pukulan anak kecil, seperti digelitik! Meskipun aku jatuh tapi bukan
di situ letak perjanjian kita! Aku belum kalah!
Dia belum melumpuhkan apa lagi menangkapku!"
Apa yang dikatakan si pemuda memang benar. Ke-
nyataan dan lagi lagi ucapan serta sikap mengeiek ini membuat Kebo Alit kembali
terbakar amarahnya. Dia yakin pemuda itu cidera di dalam akibat dua jotosannya
tadi, namun diam-diam dia merasa heran bagaimana pemuda ini masih bisa bangkit
berdiri dan seperti tidak mengalami apa-apa.
"Pemuda sombong! Ini jurus kedua!" teriak Kebo Alit.
Perwira ini kembali menyerbu. Seperti tadi kedua tangannya menjotos dan lagi
lagi satu mengarah perut satu mengarah dada. Ketika lawan bersiap menangkis,
mendadak dua serangan berupa jotosan itu ditarik pulang dan kini kaki kanan Kebo
Alit yang melesat ke dada lawan!
"Hebat!" Seru si pemuda memuji.
Tubuhnya melesat ke atas setinggi satu tombak, tangan kanannya terkembang dan
menepis betis Kebo Alit. Gerakan menepis ini tampak perlahan saja bahkan ketika balik telapak tangannya
menyen tuh betis sang perwira sama sekali tidak terdengar suara beradunya betis
dengan tangan. Namun Kebo Alit merasakan kaki kanannya terdorong keras ke kiri.
Akibatnya kaki kiri yang menjadi tumpuan kuda-kuda ikut berputar ke kiri. Di
saat yang sama tangan kiri lawan tiba tiba menderu dengan pinggiran tangan
membabat laksana sebilah pedang. Kebo Alit cepat rundukkan kepala. Kepalanya
selamat tapi dia masih kurang cepat. Topi tingginya yang berwarna hitam kena
dibabat tangan si pemuda, mental tercampak jauh. Ketika Randu Ireng dan Randu
Wungu melihat topi yang jatuh itu kagetlah keduanya. Topi hitam sang perwira
ternyata telah terpotong dua! Tabasan tangan pemuda itu setajam pedang! Kebo
Alit sendiri tampak berubah parasnya. Dapat diba-yangkan kalau tepi telapak
tangan itu tadi tepat menghantam muka atau batok kepalanya!
"Jurus ketiga!" teriak Kebo Alit yang tak mau menunggu lebih lama. Dia bergerak
memutari lawan. Si pemuda mengikuti arah putaran hingga Kebo Alit selalu ber ada
di depan ny a. Tiba tiba Kebo Alit merubah arah gerakannya.
Kalau tadi dari kiri ke kanan maka kini dan kanan ke kin.
Perubahan gerakan yang mendadak ini membuat si
pemuda sesaat berada pada jurusan menyamping. Di kejap inilah Kebo Alit masuk
menyusupkan jotosan tangan kanan ke pelipis si pemuda.
Di pihak lain, meskipun kedudukannya tidak tepat menghadapi lawan namun sudut
mata si pemuda cukup jeli melihat datangnya serangan. Tubuhnya dilontarkan ke
belakang seperti sebatang pohon tumbang. Tapi bersamaan dengan itu tangan
kanannya membabat ke atas yaitu ke arah pinggang sang perwira. Kebo Alit tadi
telah melihat kehebatan pukulan tepi telapak tangan si pemuda.
Tak mau mencari celaka dia terpaksa batalkan jotosannya dan tangan kanannya kini
dipergunakan untuk menyapu lengan lawan. Maka beradunya dua lengan tak dapat
dihindarkan lagi! Buk! Pemuda itu terbanting ka tanah. Lengan kanannya
tampak merah kebiruan. Sebaliknya Kebo Alit... Tampak kesakitan dan ketika
memeriksa lengannya ternyata lengan itu pun tampak merah dan bengkak. Tapi dia
tak perdulikan. Lawan yang jatuh tertelentang merupakan makanan empuk baginya.
Cepat dia melompat dan hunjamkan tumitnya ke parut Si pemuda. Tapi si pemuda lebih cepat berguling
jauhkan diri hingga kaki kanan Kebo Alit menghantam tanah dan tanah itu tampak
melesak sampai setengah jengkall Dengan demikian jurus ke tiga dan keempat
berlalu sudah. Kini masuk jurus ke lima yang merupakan jurus terakhir.
Kebo Alit sadar betapa malunya dia kalau sampai
dalam jurus kelima tidak dapat meringkus atau melumpuhkan lawannya. Apalagi itu


Mahesa Kelud - Kolam Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan berarti dia harus membebaskan Parangwulung yang menjadi tawanannya. Gila!
Bagaimana dia sampai mau menerima pertaruhan gila itu!
Tak ada jalan lain. Dia harus menghantam habis lawannya pada jurus kelima ini.
Pemuda berpakaian putih itu tampak tegak seenaknya tapi sambil usap-usap lengan
kanannya pertanda bahwa bentrokan pukulan tadi betapa pun kuatnya dia telah men-
datangkan rasa sakit pada daging dan tulang lengannya.
"Jika kau mau menyerah aku akan memperingan hukuman yang bakal dijatuhkan
terhadapmu!" tiba-tiba Kebo Alit berkata sambil menggeser kakinya beberapa
langkah mendekati lawan. Si pemuda menyeringai dan menjawab, "Bukan begitu taruhan kita!" Agaknya pemuda
ini sudah mencium adanya rasa kekawatiran dalam diri sang perwira.
"Rupanya kau memang minta digebuk dan ingin diseret jadi tawanan!" Kebo Alit
menggeram. Tubuhnya mem-bungkuk memasang kuda-kuda rendah. Lawannya tegak tak
bergerak. "Hiaatt!" Kebon Alit berteriak dan dari jarak empat langkah dia lepaskan pukulan
tangan kosong. Sebelum angin pukulan sampai di jarak sasaran satu kali lagi
terdengar suara teriakan perwira itu lalu tubuhnya tampak mencelat ke udara,
jungkir balik. Gerakannya sangat cepat sekali. Ketika tubuhnya melayang turun
tahu tahu dia sudah berada di belakang lawan dan langsung menerkam leher pemuda
itu dengan kedua tangannya yang kuat dan besar.
"Hek!" suara tercekik keluar dari tenggorokan si pemuda. Tak dapat tidak
tamatlah perlawanan pemuda itu seat itu juga apalagi jelas napasnya mulai
menyengal. "Mampus!" teriak Kebo Alit seraya melipatgandakan cekikan mautnya. Tapi perwira
ini lupa menjaga jarak. Saat itu dia berada terlalu dekat dengan tubuh lawannya.
Ketika si pemuda tiba-tiba menghantamkan siku tangan kanannya ke belakang, Kebo
Alit tak sempat berkelit. Siku lawan melabrak lambungnya. Pada saat dia
menggeliat kesakitan lawan rundukkan kepala lalu secepat kilat tangannya
bergerak ke belakang menjambak rambut Kebo Alit. Begitu rambut sang perwira
terjambak maka pemuda itu membuat gerakan setengah berputar yang mengakibatkan
cekikan kedua tangan Kebo Alit tetlepas dan di lain detik tubuhnya terlontar ke
atas lalu brukk! Kebo Alit terbanting keras ke tanah. Dia tidak pingsan tapi
sekujur tubuhnya sebelah belakang terase seperti remuk. Untuk beberapa saat dia
terkapar dan menggigit bibir agar tidak keluarkan suara keluhan kesakitan!
Pemuda bertubuh ramping berkulit putih memandang berkeliling sambil usut-usut
lehernya yang tampak kemerah-merahan akibat cekikan Kebo Alit tadi. Lalu dia
menarik napas dalam beberapa kali. Di dapannya sang perwira tampak berusaha ban
gun dengan susah payah. "Kau kalah taruhan. Sudah saatnya membebaskan tawanan itu!" kata si pemuda pula.
Dia melangkah mendekati Parangwulugng yang sampai saat itu berada di atas
punggung kuda dan terikat kedua pergelangan tangannya.
Tiba-tiba di belakangnya terdengar suara Kebo Alit memberi perintah, "Tangkap
pemuda itu!" Hampir selusin perajurit mengurung dengan cepat.
Randu Ireng dan Randu Wungu sesaat tampak ragu-ragu.
Tapi ketika Kebo Alit mereka lihat memimpin para bawahannya itu maka kedua tokoh
silat itu pun ikut melakukan pengurungan untuk menangkap si pemuda. Yang
dikurung tampak terheran-heran karena tidak menyangka hal itu. Jika semua orang
yang ada di situ benar-benar hendak menangkapnya, dia bakal mendapat kesulitan.
Walaupun begitu tak sedikit pun ada beyangan rasa takut di wajahnya yang polos.
Cepat sakali dia melompat ka kin, menggebuk seorang perajurit tardekat lalu
merampas pedangnya. Dengan senjata rampasan di tangan dia tegak tak bergerak,
menunggu serbuan para pengeroyok.
"Kalau tak bisa ditangkap hidup-hidup, dibunuh pun tak jadi apa!' teriak Kebo
Alit. Lalu dia mendahului menyerang.
Saat itu mendadak terdengar suara membentak.
"Kalian orang-orang kerajaan curang semual"
*** 4 UARA bentakan itu demikian keras dan membahana
hingga menggetarkan seantero bukit tandus dan
S membuat semua orang hentikan gerakan. Semua
berpaling ke arah kiri, dari mana tadi datangnya suara membentak. Namun aneh,
tak seorang pun tampak di jurusan itu! Padahal suara bentakan tadi begitu keras
nyaring tanda siapapun yang mengeluarkan bentakan pasti berada dekat dari situ.
Randu Ireng yang berada, di bawah pohon kering me-lambaikan tangannya pada Randu
Wungu, memberi isyarat bahwa suara bentakan itu tadi datang dari arah
belakangnya. Randu Wungu menyelidik ke jurusan yang dikatakan saudaranya, tetap
saja dia tak dapat melihat siapa-siapa.
Dia memandang lagi berkeliling. Aneh, di bukit tandus begini rupa, yang hanya
ditumbuhi pohon-pohon berdaun kering tak mungkin si pembentak dapat sembunyikan
diri. Randu Wungu sesaat saling pandang dengan Kebo Alit.
Keduanya saling mendekati.
"Apa pendapatmu?" bisik Randu Wungu.
"Begini, aku dan yang Iain-Iain meneruskan membekuk pemuda itu. Kau tetap di
sini berjaga-jaga. Jika ada yang muncul dan bermaksud membantu pemuda itu kau
harus menghalangi dan menghajarnya. Mengerti...?"
Randu Wungu tak begitu senang diperintah seperti itu.
Bagaimanapun dia seorang perwira. Namun karena diapun ingin sekali mengetahui
siapa adanya orang yang berteriak tadi maka diapun anggukkan kepala menyetujui.
Kebo Alit kembali memimpin perajurit-perajurit itu mengurung dan menyerbu si
pemuda. "Benar-benar pengecut!" suara yang tadi membentak kembali terdengar. Bersamaan
dengan itu sebuah benda panjang tampak melayang di udara disertai suara jeritan.
Benda panjang ini jatuh tepat di atas kepala Kebo Alit.
Sang perwira hantamkan tangannya untuk memukul
namun cepat menarik pulang pukulannya ketika menyadari benda yang jatuh itu
bukan lain adalah sosok tubuh Randu Ireng. Orang tua ini menjerit kesakitan
ketika tubuhnya terhempas di tanah lalu pingsan tak berkutik lagi.
Gemparlah semua orang yang ada di situ. Randu
Wungu lari ke balik pohon di mana sebelumnya saudaranya menggeletak. Namun dia
tidak menemukan apa-apa di situ, apalagi melihat seseorang. Dia mendongak ke
atas pohon. Tetap saja tidak menemukan siapa-siapa.
Dengan perasaan sangat tidak enak dia segera mendekati Kebo Alit dan berkata
perlahan. "Jangan-jangan tempat ini ada dedemitnya. Ingat keterangan Parangwulung tentang
ikan-ikan aneh yang menggerogoti daging Tumenggung Singaranu ..."
"Aku tidak begitu percaya pada segala tahyul seperti itu," sahut Kebo Alit.
"Mana ada dedemit yang sanggup melemparkan tubuh Randu Ireng begitu rupa. Besar
kemungkinan ada seorang berkepandaian tinggi di sekitar tempat ini. Mungkin
kawan pemuda keparat itu... "
"Menurutku baiknya kita pergi saja dari sini. Biarkan pemuda itu tapi
Parangwulung tetap harus dibawa ke kotaraja sebagai tawanan!"
"Aku setuju," sahut Kebo Alit yang memang sudah melihat dan mendapat firasat
tidak enak. Cepat-cepat dia memberi isyarat pada semua orang untuk naik ke kuda
masing-masing. Dia dan Randu Wungu membantu Randu Ireng naik ke atas seekor kuda
cadangan, lalu mengapit Parangwulung.
"Hai! Kalian mau ke mana"!" seru pemuda berpakaian putih ketika melihat
rombongan itu siap untuk pergi.
"Kemana kami mau pergi perduli setan!" bentak Kebo Alit. "Tidak kami cincang kau
juga sudah untung!" "Kalian boleh pergi tapi sesuai perjanjian kalian tidak boleh membawa tawanan
itu. Dia harus dibebaskan!"
Yang berkata ini bukanlah si pemuda, tapi orang yang tadi membentak. Suaranya
datang dari satu tempat yang sulit untuk dijajagi!
"Keparat!" kertak Kebo Alit marah sekali. "Kau hanya berani bermulut besar tapi
takut unjukkan muka!"
"Mukaku tidak penting bagi kalian! Tapi aku lebih penting mengingatkan agar
kalian membebaskan tawanan itu!" terdengar suara jawaban.
"Apakah kau tahu kalau tawanan ini telah membunuh Tumenggung Singaranu" Dia
layak dihukum gantung!"
"Layak kalau dia memang bersalah! Apakah kalian telah membuktikan
kesalahannya"!" tanya suara tadi pula.
"Soal bukti membuktikan bukan urusanmu dedemit pengecut!" yang berteriak adalah
Randu Wungu. Orang yang tak kelihatan keluarkan suara tawa
panjang. "Randu Wungu! Sebagai tokoh tertinggi di keraton Surakarta kau harus tahu
bagaimana mengatur dan menjatuhkan hukum. Ternyata kau lebih banyak menurutkan
hawa amarah dari pada bertindak bijak. "
Paras Randu Wungu menjadi berubah. Ternyata orang yang bicara tanpa
memperlihatkan ujud itu mengetahui nama dan siapa dia adanya. Sementara pemuda
bertubuh ramping berkulit putih diam-diam juga jadi terheran heran dan berusaha
menduga-duga siapa adanya orang yang bicara tanpa memperlihatkan muka itu.
Gurunya" Pasti tidak. Dia kenal betul suara gurunya.
"Orang-orang kerajaan!" terdengar kembali suara tanpa ujud tadi. "Aku akan
menunggu sampai tiga daun kering pohon di sebelah kanan kalian melayang ke
tanah. Jika sampai saat ketiga daun kering itu menyentuh tanah kalian masih
belum membebaskan tawanan. salah satu dari kalian bertiga akan kujadikan tawanan
pengganti!" Kebo Alit, Randu Wungu saling pandang. Sedang Randu Ireng masih melingkar
pingsan di atas kuda. Tiba-tiba semua orang di tempat itu mendengar suara angin
men-desir. Memandang ke atas pohon di samping kanan
mereka mereka melihat tiga daun kering melayang jatuh.
Beberapa saat kemudian daun pertama yang menyentuh tanah. Menyusul daun kedua,
terakhir sekali daun ketiga!
"Kebo Alit," kata Randu Wungu. "Kita benar-benar ber-hadapan dengan dedemit!
Sebaiknya lekas pergi dari sini.
Tinggalkan saja Parangwulung. Aku akan membuat laporan pada Mahapatih seolah-
olah orang ini terbunuh karena melakukan perlawanan. Habis perkara..." Lalu
Randu Wungu menggerakkan kudanya sambil menarik tali kekang kuda yang membawa
sosok tubuh Randu Ireng. "Keparat sialan!" maki Kebo Alit. "Kalaupun kita terpaksa meninggalkannya, dia
harus mampus lebih dulu!"
Lalu perwira ini cabut kerisnya dan hunjamkan ke dada Parangwulung.
Di saat itu tiga helai daun kering yang tadi berguguran jatuh secara aneh ke
tanah, tiba-tiba terangkat dari tanah lalu melesat laksana panah ke arah Kebo
Alit. Daun pertama menghantam tangan kanannya yang memegang keris. Gagang daun
yang kering menancap di dagingnya membuat perwira ini kesakitan dan lepaskan
keris. Daun kedua memukul telinganya hingga merah lecet. Sesaat Kebo Alit
merasakan telinganya berdengug dan tuli. Daun ketiga menyerempet alis matanya
sebelah kiri hingga menimbulkan luka tersayat dan mengucurkan darah.
Nyali perwira kerajaan itu menjadi lumer. Lebih-lebih ketika diketahuinya dia
hanya tinggal seorang diri di tempat itu. Yang Iain-Iain telah pergi
meninggalkannya. Kebo Alit cepat pungut kerisnya yang jatuh, menyeka darah yang
mengucuri alisnya lalu melompat ke atas punggung kudanya dan membedal binatang
itu secepat yang bisa dilakukannya. Tinggal kini Parangwulung yang duduk bingung
serta heran di atas punggung kudanya.
"Anak muda, terima kasih kau telah menolongku..."
"Bukan aku yang menolongmu. Ada seorang lain yang kepandalannya sangat tinggi.
Tapi dia malu-malu memperlihatkan wajahnya Mungkin wajahnya jelek sekali!"
sahut si pemuda lalu tolong membukaa tali yang mengikat pergelangan tangan
Parangwulung. "Kau boleh pergi sekarang!" kata si pemuda.
"Ya, aku akan pergi. Tapi tak tahu akan pergi ke mana.
Jelas tak mungkm ke kotaraja. Mereka akan menangkapku kembali. Tapi anak dan
istriku berada di sana. Ah.
bagaimana ini..." Parangwulung benar benar bingung.
Namun akhirnya dia meninggalkan tapat itu setelah sekali lagi mengucapkan tenma
kasih dan si pemuda tetap menolak bahwa bukan dialah yang telah menolong lelaki
itu. Sesaat setelah Parangwulung lenyap dari kejauhan, pemuda itu memandang
berkeliling. Lalu dia menjentikkan tangan memanggil kuda hitamnya. Ketika
binatang ini hendak ditungganginya mendadak terdengar lagi suara tanpa u)ud itu.
"Anak muda! Jangan pergi dulu. Aku ingin bicara denganmu!"
Si pemuda memandang lagi berkeliling. "Hmm..."
gumamnya "Kukira kau pun sudah pergi. Ternyata masih nongkrong di sini. Orang
pandai kenapa kau tidak mau menunjukkan diri"l"
"Sejak tadi aku ada di dekatmu. apa kau tidak melihat"
Atau matamu mungkin lamur?" Suara itu datang dari sebelah kiri Si pemuda
berpaling. Astaga! Di sampingnya saat itu memang berdiri sesosok tubuh serba
putih Mulai dari pakaiannya yang berbentuk jubah lebih dalam sampai ke rambut,
alis, janggut dan kumisnya. Di atas bahu orang tua ini tampak duduk enak-enakan
seekor anak rusa "Hah... orang tua, kau ini setan atau malaikat" Bicara tak kelihatan, tahu-tahu
ada di depan hidungku!" kata si pemuda pula. Sebelum yang ditanya menjawab dia
kembali memberondong. "Kaukah tadi yang melempar tubuh orang tua bernama Randu
Ireng itu" Kau juga yang meluruhkan tiga daun kering lalu menghantamkannya ke
tubuh si perwira?" Orang tua itu tertawa. "Pertanyaanmu banyak amat anak muda. Biar kujawab satu
satu. Pertama aku bukan setan bukan malaikat. Aku manusia sepertimu, cuma aku
hampir empat kali lipat umurmu. Memang aku yang tadi melemparkan sosok tubuh
Randu Ireng itu. Juga aku mempergunakan tiga helai daun untuk menghantam
perwira kerajaan itu. Nah semua pertanyaanmu sudah kujawab Ada lagi pertanyaan
lain . . . ?" "Binatang yang di pundak kirimu itu. Kucing apa itu"
Bentuknya aneh....!"
Si orang tua tertawa mengekeh. "Seumur hidupmu tentu kau belum pernah melihat
binatang seperti ini. Ini bukan kucing. Tapi seekor anak rusa ..."
"Apa namanya?" "Rusa!" "Rusa!" mengulang si pemuda.
Orang tua itu mengangguk. "Kini giliranku bertanya Kenapa kau sengaja menghadang
rombongan kerajaan tadi. Mengapa kau begitu repot-repot mencampuri urusan orang
lain dan ingin membebaskan tawanan berkumis itu"
Lalu siapa namamu, kau berasal dari mana dan mau ke mana?"
"Aih! Pertanyaanmu ternyata banyak amat. Dan dengar, aku tak akan menjawab
satupun dan pertanyaan itu!"
Si orang tua kerenyitkan kening lalu tersenyum. "Anak muda. ada beberapa hal
kulihat pada dirimu yang kurang pantas kau miliki..."
"Hen! Apa"!" si pemuda jadi penasaran dikatakan demikian.
"Pertama, kau termasuk anak jahil yang suka mencari tantangan tanpa perduli
apakah itu mengganggu orang lain..."
"Tidak bisa!" memotong pemuda itu.
"Dengar dulu, bicaraku belum selesai. Kedua, kau termasuk orang yang agak keras
kepala. Ketiga, sikapmu bicara menyatakan bahwa kau kurang mengenal sopan santun
..." "Orang tua! Kau benar benar menghinaku!"
"Tidak! Karena tabiat yang kukatakan itu memang benar-benar melekat di dirimu.
Selain pelajaran silat apakah gurumu tak pernah mengajarkan sikap yang baik
hormat dan bagaimana bicara sopan bagaimana jangan sampai usil mengganggu
orang"!" "Orang tua. sekali lagi kau menyebut-nyebut nama guruku, kutampar mulutmu!"
"Nah... nah... Itu bukti kekurangsopanan dan kekerasan kepalamu!"
Si pemuda hentakkan kaki kanannya ke tanah saking marahnya.
"Kalau kau bukan orang tua, benar benar sudah kutampar mulutmu I"
"Nah, kau menunjukkan tanda-tanda ingin berlaku baik Tak jadi menamparku tapi
masih memperlihatkan sikap kurang ajar!"
"Orang tua! Aku tak ingin bicara denganmu lagi'"
Pemuda itu lantas naik ke punggung kudanya. Si orang tua cuma tertawa. "Kudaku,
ayo jalan!" Si pemuda tepuk pinggul kudanya. Tapi binatang itu tak mau jalan.
"Hai! Ayo jalan Panah Hitam!" seru si pemuda. Tetap saja kudanya tak mau jalan,
bahkan bergerak sedikitpun tidak. Ada apa denganmu sebenarnya?" Si pemuda
memeriksa dan dapatkan ternyata binatang itu tertegak kaku, entah ditotok entah
diapakan. "Pasti kau yang melakukannya!"
uiar si pemuda dengan mata dibesarkan pada orang tua ber pakaian putin
Orang tua itu kembali tertawa. "Anak muda, ketahuilah.
Kau berjodoh denganku!"
Mendengar ucapan itu si anak muda melotot besar
matanya. "Tua bangka gila! Apa katamu! Kupecahkan kepalamu!"
"Eh, kenapa kau marah-marah" Seharusnya kau senang!"
"Tua bangka busuk! Barusan tadi kau mengatakan usiamu empat kali umurku! Kini


Mahesa Kelud - Kolam Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau mengatakan aku berjodoh denganmu. Apa itu namanya bukan gila... !"
Orang tua berambut putih geleng-geleng kepala "Akhirnya kau membuka kedokmu
sendiri nak. Sejak tadi aku sudah tahu kalau kau bukan seorang pemuda..."
Tiba-tiba saja paras si pemuda meniadi pucat pasi.
Orang tua di hadapannya kembali berkata, "Kalau aku menyebut soal jodoh bukan
berarti aku ingin memper-istrikanmu! Soal jodoh adalah soal jodoh sebagai guru
dan murid. Kau berjodoh denganku! Kau pantas jadi muridku..."
"Jadi muridmu" Memangnya apa sih kepandaianmu"!"
"Nah, keras kepala dan kurang sopanmu kembali. Aku tahu kau memiliki kepandaian
silat cukup tinggi. Dan pasti saat ini kau tengah mengelana mencari pengalaman.
Tapi ketahuilah, ilmu itu apa pun adanya tak ada batasnya.
Semakin dituntut semakin kita ketahui bahwa kita masih banyak ketinggalan.
Apakah kau tidak ingin belajar bagaimana cara meruntuhkan daun dan mempergunakan
se- bagai senjata seperti yang kulakukan tadi...?"
"Tidak, aku tak perlu ilmu seperti itu?" jawab si pemuda. "Dan aku tak sudi
bicara denganmu lebih lama!"
Kembali pemuda itu melompat ke atas kuda nya. Namun segera pula disadarinya
bahwa binatang itu masih berada dalam keadaan kaku tegang. Bagaimanapun dia
berusaha tetap saja dia tak dapat membuat kudanya mampu bergerak apalagi
berjalan. "Orang tua! Kalau tidak kau bebaskan kudaku, ku-patahkan tanganmu. Ternyata kau
pun seorang yang jahil!"
pemuda itu mengancam. "Kudamu itu akan bebas dengan sendirinya beberapa saat lagi. Dengar, pada
permulaan bulan ke tujuh datanglah ke tempat kediamanku di selatan. di tepi
hutan Grinting. Jika kau tidak datang kau akan menyesal seumur hidup..."
Pemuda itu hendak mengatakan sesuatu, tetapi di-
dapatnya orang tua itu tak ada lagi di hadapannya. Memandang ke depan dilihatnya
si orang tua sudah berada jauh di kaki bukit tandus.
"Ah... dia benar-benar hebat. Ilmunya jelas jauh lebih tinggi dari guru..." kata
si pemuda dalam hati. Lalu dia kembali memeriksa kudanya dan ternyata binatang
ini sudah bisa bergerak kembali. Maka dia pun naik ke punggungnya dan memacunya
menuju puncak bukit tandus. *** 5 ETIKA sampai di puncak bukit tandus dan me-
mandang ke depan, tercenganglah pemuda pe-
K nunggang kuda hitam itu. Dia hampir-hampir tak dapat mempercayai pemandangan
matanya. Di bawah sana terdapat sebuah Iembah yang sebagiannya tertutup rumput hijau serta pohon
pohon bunga yang sedang mekar berwarna-warni. Di sebelah timur ada sungai kecil
yang airnya mengalir menuju sebuah kolam di pertengahan lembah. Koseluruhannya
menyajikan satu pemandangan yang luar biasa indahnya.
Bagaimana bisa terjadi bagian bukit yang baru dilewati-nya berada dalam keadaan
tandus kering kerontang sedang bagian yang di sini merupakan satu lembah subur
dengan pemandangan yang sangat menakjubkan.
"Kudaku, nasib kita hari ini sedang mujur. Lihat, di sana ada air dan rumput
seger untukmu!" Pemuda itu lalu menuruni lembah dengan cepat.
Sebelum turun dari kudanya dia mengelilingi dulu kolam yang airnya tampak
berwarna-warni itu, menikmati satu keindahan yang belum pernah disaksikannya
sebelumnya. "Kau minumlah sepuasmu lalu merumput di pedataran sana!" kata si pemuda seraya
mengucap tengkuk kudanya.
Lalu turun dan berlari-lari kecil menufu aliran anak sungai.
Di sini pemuda itu membasahi mukanya laki meneguk air segar sepuasnya.
Mecmandang Ke kolam dari tempatnya duduk, hatinya terdorong untuk membasahi
sekujur tubuhnya. Tapi ada rasa kawatir. Kalau kalau ada orang lain di tempat
itu. Dia memandang berkeliling. Meneliti setiap sudut lembah dengan seksama. Tak
tampak siapa-siapa. Perlahan-Iahan dia menuju ka tepi kolam. Dia tidak segera masuk ke dalam airn
tapi duduk dulu di atas batu batu besar dan mencelupkan kedua kakinya yang
putih. Terasa segar sejuk air kolam itu. Sekali lagi dia memperhatikan
Perfume Story Of Murderer 3 Roro Centil 25 Tragedi Pulau Berhala Frankenstein 2
^