Pencarian

Kolam Iblis 2

Mahesa Kelud - Kolam Iblis Bagian 2


berkeliling. Setelah memastikan tak ada orang lain di tempat itu selain kudanya
yang merumput di kejauhan maka pemuda ini segera lepaskan pakaian putihnya.
Terlindung di balik batu batu besar dan batang-batang pohon rapat. dua kakek
berkepala lonjong dan bermata picak tertawa lebar.
"Sekian minggu menunggu akhirnya datang juga mangsa baru!" kata si Picak Kiri
sambil usap-usap telapak tangannya satu sama lain. "Sudahkah kau periksa per-
alatanmu, Picak Kanan?"
"Jangan kawatit. Peralatanku beres. Dan ikan-ikan iblis itu pasti akan menyantap
mangsanya cepat sekali! Bayang-kan sekian lama mereka tidak mendapat makanan.
Dan kau lihat, yang datang ternyata seorang pemuda berparas cakap berkulit
putih! Tentu daging dan darahnya sedap sekali. Hik... hik.... hik....!"
"Huss! Jangan keras keras tertawamu. Nanti ke-dengaran! Lihat, pemuda itu sudah
duduk di tepi kolam. Nah, dia mencelupkan kedua kakinya dan memain-mainkan air kolam. Sekarang lihat,
dia mulai menanggalkan pakaiannya. Hai.... Lihat!" seru Picak Kin.
"Ada apa?" Picak Kanan bertanya.
"Pemuda itu! Ternyata dia... dia... Lihat dadanya! Dia bukan seorang lakilaki!
Tapi perempuan! Seorang gadis!
Nah, dia melepas ikat kepalanya. Nah, benar kan.
Rambutnya panjang sebahu! Aih, cantiknya. Dan buah dadanya itu... Bagus
sekali... Bagus sekali! Tak pernah aku melihat pemandangan begini luar biasa.
Sebentar lagi dia tentu akan membuka seluruh pakaiannya ..."
Mata kiri Picak Kanan terpentang lebar. Apa yang dikatakan saudaranya memang
benar. Orang di tepi kolam.
yang semula mereka sangka adalah seorang lelaki muda, setelah membuka pakaian
dan melepas ikatan rambutnya ternyata adalah seorang gadis berkulit putih mulus
berparas jelita. "Pinggangnya ramping amat dan pinggul serta pahanya begitu putih. Ampun mau mati
aku rasanya melihatnya!"
kata si Picak Kanan. Orang yang di tepi kolam perlahan-lahan masuk ke dalam air, bergerak ke tengah
sambil sesekah membasahi mukanya dengan air sejuk.
"Jangan kau lepas dulu ikan-ikan Iblis Prahara itu, Picak Kanan. Biar kita
menikmati pemandangan yang luar biasa ini!" kata si Picak Kiri. Matanya yang
cuma satu tidak berkedip-kedip. Dara di tengah kolam tampak memandang
berkeliling. Dia masih kawatir kalau-kalau ada orang lain di tempat itu. Setelah
yakin benar memang tak ada siapa-siapa di situ maka diapun berkecimpung di dalam
kolam sepuas-puasnya. Rambutnya yang hitam basah berkilat kilat ditimpa sinar
matahari. Letih bermain air dia duduk sebentar di tepi kolam. Dua kakek botak
seperti mau gila melihat tubuh putih mulus itu. Sesaat kemudian gadis itu masuk
kembali ke dalam kolam. "Picak Kiri..." berbisik Picak Kanan. "Aku ada nsul.
Sebaiknya ikan ikan itu tidak kita lepas. Jika gadis itu kita bunuh sekarang
berarti hanya kali ini kita melihat keindahan tubuh telanjangnya. Tapi kalau
kita biarkan hidup, siapa tahu dia bakal datang lagi kemari" Berarti kita akan
dapat lagi melihat pemandangan yang begini menakjubkan! Bagaimana pendapatmu?"
Picak Kiri usap usap mata kanannya. Dia berpikir sejenak. "Kau betul!" sahutnya
kemudian. "Aku setuju. Biar kita lepaskan yang satu jni. .. "
Gadis di dalam kolam berenang perIahan ke tepian di mana tadi dia meninggalkan
pakaiannya. Sampai di tepi kolam dia tidak segera mengenakan pakaian tetapi
duduk duduk dulu seperti berjemur mengeringkan air yang menempel di badannya.
Sambil menunggu keringnya
badan dia memetik bunga-bunga melati yang banyak lumbuh di sela-sela batu-batu
besar. Rambotnya disanggul lalu bunga melati itu diselipkannya di sela gulungan
rambut. Sesaat kemudian diapun sudah mengenakan
pakaian kembali. Picak Kanan dan Picak Kiri sama-sama menarik nafas dalam dan mengurut dada.
"Luar biasa... Benar-benar luar biasa!" kata Picak Kanan sambil rebahkan diri ke
tanah dan menelentang menatap langit sesaat lalu bangkit kembali. Saat itu gadis
yang berpakaian seperti lelaki itu tampak tegak di atas batu besar memandang
berkeliling lalu melangkah mendekati kudanya yang juga telah puas merumput.
"Panah Hitam, mari kita pergi. Tempat ini sangat indah.
Lain kali kita akan kemari lagi. .. " Lalu sekali lompat saja dia sudah berada
di punggung kuda hitam itu.
Si gadis yang menyamar sebagai laki-laki ini bukan lain adalah Sri Megaresmi,
murid perempuan Kiai Kali Mutu dari Demak.
"Kalau saja aku tak dapat menahan hati, mungkin tadi aku sudah keluar dan tempat
persembunyian ini dan masuk ke dalam kolam. Mandi bersama gadis cantik tadi!
Dan tidak mandi saja tentunya. Akan kupeluk tubuhnya.
kudekap dadanya yang putih kencang itu dan..."
"Ssstt... !" Picak Km menggamit kaki saudaranya. "Lihat ada orang datang di
puncak lembah!" Saat itu di atas lembah memang tanpak seekor kuda putih tegak berhenti. Di
punggungnya duduk seorang pemuda berpakaian dan berikat kepala putih.
"Yang satu ini kuharap benar benar lelaki! Bukan gadis berpakaian pemuda!" kata
Picak Kiri. "Jika dia mandi di kolam kita maka dialah mangsa ikanikan kita itu. Hitung-
hitung sebagai pengganti gadis tadi!"
kata Picak Kanan pula. Penunggang kuda putih adalah Panji murid Kiai Kali Mutudari Demak. telah
menyelesaikan gemblengan terakhir sekitar satu bulan lalu. Sang Kiai kini melepaskan kembali ke dalam
rimba persilatan untuk mencari
pengalaman agar benar-benar menjadi seorang pendekar yang mantap. Seperti siapa
saia yang baru pertama kali melihat keadaan lembah itu. diapun merasa terheran
heran. Di musim kemarau yang panjang, di mana segala sesuatunya menjadi tandus
kerontang. Tahu-tahu di lembah itu terdapat kesuburan yang disertai pemandangan
indah luar biasa. "Panah Putih," si pemuda memanggil nama kudanya.
"kita akan bersenang senang di lembah itu. Kau menyantap rumput sepuasmu dan aku
beristirahat di kolam sana."
Bersama kudanya dia menuruni lembah. Binatang itu dilepas di padataran rumput,
dia sendiri menuju kolam, merendam kepalanya beberapa saat lalu menarik nafas
segar dalam-dalam. "Air kolam ini sejuk nyaman sekali. Tak puas rasanya kalau tidak mandi
berendam..." Panji membuka kancing-kancing pakaiannya. Sesaat kemudian dia sudah
mencebur masuk ke dalam kolam.
Picak Kiri berpaling pada saudaranya, "Mangsa sudah di dalam kolam. Kau tunggu
apa lagi...?" Picak Kanan menyeringai. Lidahnya berulang kali di-julurkan membasahi bibir.
Tenggorokannya turun naik. Perlahan lahan tangan kanannya bergerak ke dalam
Iubang di antara semak belukar. Begitu menyentuh ujung tali rotan.
segera dia mendorong ke depan. Lempengan tembaga berat penutup mulut
terowonganpun terbukal Panji mendengar suara berdesir aneh di dalam air kolam. Memandang ke samping
kiri dilihatnya ikan hitam aneh banyak sekali berenang melesat ke arahnya. Hanya
ikan-ikan kecil, pasti binatang penghuni kolam itu, apa yang ditakutinya" Pemuda
ini tak pernah menyangka kalau hari itu, di tempat itu, adalah akhir dari
perjalanan hidupnya yang masih sangat muda. Kematian datang menjemput bukan
dalam berlaga menghadapi musuh dan kejahatan, tetapi justru muncul di sebuah
kolam bagus berair sejuk.
Pemuda ini tersentak kaget dan menjerit kesakitan sawaktu ikani-kan Iblis
Prahara manancapkan gigi-giginya di paha, di parut, sepanjang kedua kaki,
pinggang, dada dan punggungnya Dia pargunakan kedua tangannya untuk manepis
binatang itu. Tatapi percuma. Hanya beberapa ekor yang barjatuhan sedang yang
datang menyerbu jauh labih banyak. Panji karahkan tenaga dalam, maksudnya hendak
lepaskan pukulan guna memusnahkan ikan-ikan Iblis itu. Tatapi pemuda ini
menjerit sewaktu melihat kedua tangannya ternyata hanya tinggal tulang saja!
Tubuhnya kemudian seperti diseret kuat-kuat ke dasar kolam. Kini ikan-ikan hitam
berbantuk segitiga dengan gigi-giginya yang lancip runcing serta tajam seperti
mata gergaji bukan saja manggerogoti tubuhnya, tetapi juga muka dan kepalanya.
Air kolam yang tadi bening jernih kini tampak butek oleh darah!
Kuda putih yang tengah merumput di lereng lembah dongakkan kepala. Matanya
berkedip-kedip memandang ke arah kolam. Seperti tahu apa yang terjadi binatang
ini meringkik. Panjang dan keras. Barulangkali tiada henti.
*** 6 UARA ringkik kuda yang keras panjang dan terus itu menarik perhatian Mahesa
Kelud yang tengah dalam S perjalanan menuju ke timur. Mungkin itu hanya
ringkik kuda liar yang kehausan. Mungkin juga ringkik saakor kuda yang tengah
menghadapi bahaya. Atau ada kuda penarik kereta terbalik. Untuk mengetahui apa
yang sebenarnya terjadi pemuda ini segera mendaki bukit tandus di depannya.
Sampai di puncak bukit kalau saja dia tidak melihat seekor kuda putih yang tarus
meringkik, pastilah dia akan terpesona melihat keindahan yang ter-bentang di
depan matanya. Mahesa berlari mendekati kuda putih itu. Pada jarak tiga langkah mendadak
binatang mi tendangkan kaki kiri belakangnya ke arah Mahesa. Kalau tidak cepat
menghindar pasti perutnya kena diterjang kaki kuda itu.
"Kuda putih... tenang. Tenang... Aku sahabatmu. Aku tak akan mengganggumu!
Kenapa kau meringkik terus menerus!" Mahesa berkata itu sambil ulurkan tangan
mengelus tengkuk kuda putih. Binatang ini masih terus meringkik, tetapi tidak
galak lagi. Mahesa memandang berkeliling. Tangannya terus mengusap leher kuda.
Ketika dia menuruni pedataran berumput menuju ke kolam di bawah sana. kuda putih
itu mengikutinya. Di tepi kolam Mahesa menemukan sehelai pakaian
yang terdiri dari pakaian dan celana panjang putih. Lalu ikat kepala putih.
Persis seperti yang saat itu dikenakannya sendiri. Namun apa yang menjadi
perhatiannya dan membuat pandekar ini keranyitkan kening adalah sesosok kerangka
manusia lengkap dengan tengkorak kepala, terapung di air kolam yang tampak
kemerah-merahan. Bau amis menusuk hidungnya. Kuda putih di sampingnya meringkik
keras. "Celaka! Kita tidak keburu mengambil dan
menyembunyikan tengkorak itu. Air kolampun masih ada darahnya!" terdengar
bisikan di balik tumpukan batu besar dan kerapatan pohon pohon. Yang berbisik
adalah kakek botak Picak Kanan.
"Tenang saja...." Picak Kiri menyahut. "Tak mungkin orang itu mengetahui apa
yang terjadi. Yang penting jangan keluarkan suara berisik. Pemuda itu jelas
tengah meneliti keadaan di tempat ini!"
Mahesa tegak di atas batu besar di tepi kolam. Otaknya bekerja keras memecahkan
teka-teki apa yang telah terjadi di tempat itu. Pembunuhan" Seseorang, pemilik
pakaian putih dan pemilik kuda putih itu. diakah yang jadi korban"
Tapi siapa yang membunuh" Mahesa menatap ke arah tengkorak yang tarapung di air
kolam. Pada saat itulah di belakangnya terdengar suara derap kaki kuda, disusul
oleh suara seseorang berseru, "Kakak Panji!"
Mahesa cepat berpaling. Bukan saja ingin melihat siapa yang memanggil itu tetapi
juga karena Panji adalah nama aslinya, nama sebelum gurunya Embah Jagatnata
memberikan nama Mahesa Kelud kepadanya. Siapa
gerangan orang yang mengetahui nama aslinya itu"'
Ketika berpaling Mahesa dapatkan dirinya ber had ap had a pan dengan seorang
muda penunggang kuda hitam.
Pemuda itu bertubuh ramping, berpakaian serba putih dan memiliki paras serta
kulit sehalus perempuan. "Ah! Kau bukan kakak Panji!" penunggang kuda hitam berkata dan di wajahnya
tampak bayangan rasa heran. Dia memandang ke tengah kolam di mana tampak
mengapung tengkorak manusia. Lalu melirik pada kuda putih di samping kiri si
pemuda. "Kau bukan kakak Panji! Tapi kuda itu adalah Panah Putih. Kuda miliknya.
Dan ..." Penunggang kuda hitam meluncur turun dan kudanya ketika melihat
seonggok pakaian putih di atas batu di tepi kolam. "Ini pasti pakaiannya. Kakak
Panji! Di mana kau!" seru pemuda ramping itu yang bukan lam adalah Sri Megaresmi
murid Kiai Kali Muntu, adik seperguruan Panji. Kenapa gadis berpakaian lelaki
ini kembali ke tempat itu"
Seperti diceritakan, sebelumnya Megaresmi telah
datang ke lembah yang indah itu dan sempat mandi di kolam. Meskipun hatinya
diselimuti rasa senang karena dapat mandi di air yang bersih bening dan sejuk
demikian rupa namun setelah meniggalkan tempat itu gadis ini menaruh rasa tidak
enak. Dia yakin gerak-geriknya ketika mandi tadi telah diintip oleh orang lain.
Rasa jengah timbul dalam dirinya. Tetapi sekaligus juga rasa marah. Jika ada
orang yang berani mengintipnya mandi, orang itu siapapun adanya harus digebuk
dan dihajar. Maka gadis yang keras hati ini sengaja kembali ke tempat itu untuk
menyelidik. Justru yang ditemuinya adalah Mahesa Kelud dan kuda putih milik kakak
seperguruannya. "Saudara, kau memanggil nama Panji berulang kali!
Siapakah dia" Aku sendiri juga bernama Panji!" Mahesa menegur.
"Aku tak perduli siapa namamu! Yang kucari adalah Panji kakak seperguruanku!
Kulihat kuda putihnya ada bersamamu! Dan itu pasti pakaiannya!"
"Ketika aku sampai di tempat ini kutemui kuda ini meringkik terus-terusan. Lalu
kutemui pakaian. Aku tidak melihat siapapun di sini, kecuali tengkorak yang
terapung apung di dalam kolam ..." menerangkan Mahesa.
Megaresmi memandang ka kolam kembali. Hatinya
tidak enak. Berpaling ke arah Mahasa dia tiba-tiba berkata:
"Pasti kau yang tadi mengintip aku mandi!"
"Hah! Aku baru saja sampai di tempat ini! Bagaimana kau bisa menuduh aku
mengintipmu mandi! Memangnya kapan kau mandi di sini" Di dalam kolam yang ada
jerangkong ada airnya amis itu"!"
"Jangan berpura-pura! Ketika aku mandi kolam itu bersih dan sejuk airnya. Tak
ada bau amis, apalagi jerangkong!" tukas Megaresmi.
"Aneh, kalau begitu sesuatu telah terjadi sesaat setelah kau pergi dan sebelum
aku muncul di tempat ini!" kata Mahesa pula.
"Aku curiga! Kaulah yang telah membunuh kakak seperguruanku!"
Mahesa Kelud tentu saja terkejut mendengar tuduhan itu. "Tuduhanmu tak
beralasan. Aku tak pernah bertemu dangan kakak seperguruanmu itu. Lalu apa pula
pasal musababnya aku membunuhnya"!" Mahesa memandang ke arah kolam. "Apa kau
bisa membuktikan bahwa aku yang membunuh saudaramu dan bagaimana cara aku
membunuh!" "Aku tidak merasa perlu membuktikannya. Justru kau yang harus mengakuinya. Jika
kau berani bardusta kupecahkan batok kepalamu!"
Mahesa tersenyum. "Siapa sudi mengakui sesuatu yang tidak dilakukannya" Apalagi
membunuh orang!" "Kalau begitu bersiaplah untuk mampus! Aku yakin kau membunuh kakakku Mungkin
karena kau menginginkan kuda putihnya itu Atau antara kalian ada dendam
kesumat!" "Pemuda picik! Jika aku membunuh seseorang mana mayatnya"!"
"Pasti telah kau sembunyikan. Atau mungkin
jerangkong yang ada dalam kolam itu!"
Mahesa tertawa. "Membunuh seseorang lalu mem buatnya hanya tinggal tulang
belulang dan tengkorak seperti itu bukan pekerjaan mudah! Mayat yang di-kuburpun
berbilang tahun baru menjadi tengkorak putih!"
"Sudahlah! Kau mau mengaku atau tidak"!" Megaresmi mengancam.
"Apa yang harus kuakui"!" tukas Mahesa.
"Keparat! Mulutmu pandai berdalih! Lihat serangan!"
Mahesa Kelud terkejut ketika melihat "pemuda" di hadapannya menerjang dengan
satu pukulan kilat mengarah mukanya. Dari angin pukulan yang mengeluarkan suara berdesir. Mahesa
segeraa maklum kalau pemuda yang kelihatannya lemah lembut itu memiliki kepandaian yang tidak rendah.
Untuk menjajal sampai di mana kekuatan lawan maka diapun angkat lengan kiri,
menangkis. Megaresmi dalam marahnya juga ingin menjajagi
kehebatan si pemuda maka diapun tidak berusaha untuk menghindarkan terjadinya
bentrokan lengan. Buk! Mahesa melompat mundut sambil teliti pergelangan tangannya. Ternyata lengannya
tampak kemerah-merahan dan rasa sakit membuat pendekar ini menatap kagum ke
depan. Tidak disangka pemuda yang bertubuh ramping halus itu memiliki kekuatan
luar biasa. Sebaliknya Megaresmi sendiri tampak terbungkuk-
bungkuk sambil pegangi tangannya. Jelas dia menderita sakit yang amat sangat.
Melihat hal ini diam-diam Mahesa jadi kasihan dan berkata, "Harap maafkan, bukan
maksudmu mencelakaimu. Tanganmu cidera"!"


Mahesa Kelud - Kolam Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kentut busuk!" Megaresmi memaki gemas. Ucapan belas kasihan itu olehnya terasa
justru seperti ejekan. Tubuhnya berkelebat ke depan. Tangan kirinya membabat deras mencari sasaran
seru. Jurus demi jurus berlalu sangat cepat. Tak terasa dua puluh jurus telah
terlewatkan. Megaresmi keluarkan seluruh kepandaiannya untuk dapat memukul atau merobohkan
lawan. Namun sampai tenaganya terkuras dia tak mampu menyentuh tubuh pemuda itu. Sebaliknya Mahesa
bekerja keras dan harus keluarkan jurus-jurus silat yang dipelajarinya dari
Embah Jagatnata, sesekali digabung dengan jurus-jurus ilmu pedang yang
didapatnya dari Suara Tanpa Rupa. Selama perkelahian Mahesa lebih banyak
mengambil sikap bertahan. Entah mengapa dia merasa tidak tega balas menyerang.
apalagi sampai menjatuhkan tangan keras.
Selain tidak ada silang sengketa dengan "pemuda" itu.
Mahesa juga sadar kalau lawannya banyak terpengaruh oleh anggapan bahwa dialah
yang telah membunuh kakak seperguruannya.
Memasuki junjs keduapuluh lima gerakan Mega resmi tampak semakin lamban.
Nafasnya menyengal. Gila! Maki
"pemuda" ini. Tadi bertempur melawan orang-orang kerajaan itu dia sama sekali
tidak merasa lemas. Mengapa menghadapi lawan yang seorang ini tenaganya seperti
tersedot. Dalam keadaan kehabisan tenaga, ketika Mahesa menepuk bahunya,
Megaresmi akhirnya jatuh terduduk di antara pohon-pohon bunga yang sedang
bermekaran. Perasaannya campur aduk. Malu, gemas, marah dan menyesal. Sekian
lama menjadi murid Kiai Kali Mutu ternyata kepandaiannya hanya sampai di situ
saja. Tak sanggup menghadapi pemuda itu. Percuma meng-
habiskan waktu sekian lama di Demak kalau hasilnya hanya begin! saja. Terlupa
akan penyamarannya. Megaresmi duduk bersimpuh di tanah sambil tekap
mukanya dengan kedua tangan. lalu tak sadar dia menjambak-jambak rambut di
kepalanya hingga gelungannya terlepas dan rambutnya yang panjang sebatas bahu
tergerai. Melihat ini Mahesa Kelud tentu saja jadi terkejut.
"Hah... kau ini lelaki atau ..."
Megaresmi turunkan kedua tangannya, memandang
melotot pada Mahesa "Kau... seorang perempuan!" ujar Mahesa.
Baru Megaresmi sadar. Kedua tangannya diusapkan ke kepala. Sadar dia apa yang
terjadi. Sanggulnya lepas.
Penyamarannya terbuka. Yang bisa dilakukannya kini adalah menangis dan menangis!
Mahesa geleng geleng kepala. Dia duduk di tanah di hadapan gadis itu tapi tetap
menjaga jarak karena bukan mustahil tiba-tiba si gadis kembali menyerangnya.
"Apa yang hendak kau lakukan padaku"!" tiba-tiba Megaresmi bertanya dengan suara
keras. Nadanya penuh putus asa.
"Eh. aku tak akan melakukan apa apa. Memangnya kenapa?" tanya Mahesa heran.
"Kalau begitu enyahlah dari hadapanku!"
"Jika kau tidak suka pada tampangku yang jelek, tak jadi apa." sahut Mahesa.
"Tapi di tempat ini ada sesuatu yang tidak beres. Bagaimana kalau kita melakukan
penyelidikan bersama-sama. Bukankah kau menaruh
curiga bahwa kakak seperguruanmu berada di tempat ini dan lenyap secara aneh.
Lalu ada jerangkong terapung di kolam sana... Dan kuda putih itu yang menurutmu
adalah kuda kakakmu. Dan pakaian putih... Atau mungkin kau masih menuduhku
sebagai pembunuh?" "Sampai kau sendiri yang membuktikan bahwa kau bukan pembunuh, aku tetap
mencapmu sebagai pembunuh!"
"Kau keterlaluan. Siapa sih namamu"!" Tanya Mahesa.
"Perlu apa kau tahu namaku! Dengar! Hari ini aku mengaku kalah. Mengejek dan
mempermankankul Tapi tunggu saja! Aku akan datang lagi mencarimu. Aku akan
berguru ke selatan. Sekali kau kutemui lagi akan kuhajar kau sampai
menggelepar!" "Kau gadis keras hati!" kata Mahesa Megaresmi tak menyahut. Dia bangkit berdiri,
mengambil pakaian putih yang terletak di atas batu di tepi kolam lalu melompat
ke atas kuda hitamuya. Sebelum pergi dia berpaling pada kuda putih yang tegak di
samping Mahesa. "Panah Putih." katanya. "aku tak bisa membawamu.
Jagalah dirimu baik-baik..." Sesaat gadis itu melirik ke arah Mahesa lalu
membedal kudanya dan tinggalkan tempat itu.
Yang ada di benaknya saat itu adalah bayangan orang tua serba putih yang muncul
bersama anak rusa di pundaknya.
Orang tua itu telah menyuruhnya pergi menemuinya di selatan. Semula sama sekali
tak ada niat di hati Megaresmi untuk memenuhi permintaan itu. Tapi setelah dia
dikalahkan oleh pemuda tadi. hatinya benar-benar kesal. Dia bertekad untuk
membalas kekalahan itu. Untuk kembali ke gurunya di Demak dia merasa malu.
Karena itu dia menuju ke selatan, mencari kakek sakti yang
mengatakan bahwa dirinya berjodoh untuk diambil murid.
Gadis ini sama sekali tak pernah mengetahui kalau orang tua yang hendak
mengambilnya menjadi murid itu
sesungguhnya adalah juga guru Mahesa Kelud
Sesaat setelah sandirian Mahesa tegak termangu.
Akhirnya didekatinya kuda putih itu, dielus-elusnya tengkukb inatang ini seraya
berkata, "Kuda putih, namamu Panah Putih, benar...?" Sang kuda kedip-kedipkan
mata. "Dari pada tak ada yang mengurusmu, lebih baik ikut bersamaku." Lalu Mahesa
melompat ke punggung kuda itu dan memacunya ke juruian timur.
*** 7 IGA ekor kuda berpacu menu rum lembah her rumput.
Dua kuda di tunggangi oleh dua orang bertubuh kekar T berwaiah bengis dan
memiliki rambut gondrong menjela bahu. Muka masing-masing selain tertutup debu juga terbungkus oleh
cambang bawuk serta kumis tebal.
Kuda ketiga tidak bar penumpang tapi membewa sejumlah buntalan dan peti kayu.
"Delapan tahun malang-melintang di daerah ini, baru hari ini aku tahu kalau di
sini ada lembah yang begini indah, lengkap dengan bunga dan kolam sejuk!"
Penunggang kuda yang sebelah kanan berkata sambil tekankan telapak tangan
kanannya ke gagang golok besar yang tersisip di pinggang.
"Warok. tempat ini pantas kita jadikan markas!" kata kawan di sebelahnya.
Yang dipanggil dengan sebutan warok usap-usap
cambang bawuknya lalu menjawab, "Itu tadi memang ter-lintas dalam benakku. Tapi
tempat seindah ini tidak aman bagi kita dan anak-anak. Kau tahu siapa saja yang
lewat di sini pasti menyempatkan singgah untuk menikmati
pemandangan serta bermain di kolam. Aku sendiri merasa gerah. Sudah seminggu
tubuhku tak menyentuh air.
Sampang Ijo. kau berangkatlah duluan. Bawa serta barang-barang itu. Tunggu aku
di Goa Srindil. Aku ingin mandi dulu di kolam ini.. . "
"Kalau warok berkata begitu baiklah," kata Sampang Ijo lalu dia menarik tali
kuda barang dan segera tinggalkan tempat itu.
Kakek botak Picak Kiri mengusap-usap kepatanya yang botak. "Kalau aku tidak
salah terka, manusia gondrong bertampang buas itu adalah Warok Suto Jagal,
kepala rampok yang terkenal jahat dan ganas itu... "
"Memang dia," jawab Picak Kanan. "Gerak-geriknya dia hendak mandi kolam kita.
Kali ini ikan-ikan kita akan dapat mangsa alot! Daging dan darah-nya pasti tidak
sedap!" "Tak jadi apa. Yang penting ikan-ikan Iblis Prahara itu dapat makan. Yang aku
takutkan justru kalau mereka sampai mati kelaparan. Siapkan perkakasmu Picak
Kanan. Sebentar lagi sang warok akan berlangir darah dan dagingnya sendiri! Hik...
hik... hik!" Saat itu Warok Suto Jagai memang sudah menang-
galkan pakaiannya. Dadanya tampak penuh tertutup bulu sampai ke pusar dan
perutnya yang buncit berlemak. Air kolam muncrat tinggi ketika tubuh yang besar
gendut itu mencemplung masuk.
"Sedapnya mandi di sini ..." kata sang warok. "Sehabis mandi sebaiknya aku tidak
terus ke Goa Srindil. Aku mampir dulu ke tempat Nyi Jumilah. Dia tentu senang
bergelut-gelut dengan tubuhku yang bersih. Selama ini dia selalu mengatakan
badanku bau...!" Suto Jagal berenang ke tepi, maksudnya hendak
mengambil daun-daun dan kembang-kembang melati
untuk digosokkan kepadanya agar harum. Tetapi sebelum dia mencapai tepi kolam
tiba-tiba ada sesuatu yang menggigit kakinya. pahanya, laiu pinggul dan
pinggangnya. Dan terpekik kesakitan. Kini malah dada dan perutnya seperti dicucuk.
"Binatang keparat!" maki kepala rampok itu ketika melihat ternyata yang
menggigit tubuhnya adalah ikanikan kecil berwarna hitam. Dia mengibas kian
kemari sambil berusaha mencapai tepi kolam. Namun ikan-ikan yang ribuan ekor
banyaknya itu lebih dahulu menyeretnya ke dalam kolam. Ketika tak lama kemudian
Warok Suto Jagal muncul di permukaan air maka tubuhnya hanya tinggal tulang
belulang dan tengkorak yang mengerikan!
"Ikan-ikan luar biasa!" kata Picak Kiri sambil menyeringai puas. "Tubuh begitu
besar alot dan penuh temak dihabisi dalam waktu singkat! Picak Kanan, ayo cepat
masukkan ikan ikanmu. Aku harus mengangkat jerangkong itu dari dalam air.
Kawatir ada pendatang lain muncul seperti kejadian tempo hari..."
Picak Kanan goyang-goyang ujung tali rotan yang
dipegangnya. Dan bagian atas tarowongan di dalam tanah berjatuhan butir-butir
pasir berkilauan. Ribuan ikan hitam yang tertarik melihat benda-benda ini segera
menghambur masuk ke dalam terowongan. Picak Kanan lalu menarik ujung tali rotan.
Lempeng-an tembaga berat turut menutup mulut terowongan. Sementara itu Picak
Kiri keluar dari tempat persembunyian mereka. membawa sebuah galah yang ujungnya
ada pengait. Dengan galah itu dikaitnya jerangkong tengkorak Suto Jagal lalu
diseretnya sejauh dua ratus tombak, ke satu tempat tersembunyi di mana ter-
pampang satu pemandangan yang mengerikan. Di situ ter-tumpuk puluhan tulang
belulang dan tengkorak manusia.
Semua adalah korban-korban tak berdosa yang menemui ajal terjebak dalam kolam
iblis! Selesai membuang tulang belulang Warok Wuto Jagal, Picak Kiri kembali ke tempat
persembunyian di belakang batu dan pohon-pohon besar. Dia mengeluarkan sebuah
pisau kecil, lalu menggurat batang pohon di depannya dengan ujung pisau. Pada
batang pohon itu terdapat puluhan guratan.
"Sudah berapa semuanya Picak Kiri?" tanya kakek Picak Kanan.
"Tiga puluh satu ..."
"Banyak juga. Hik... hik... hik... Berapa korban lagi yang bakal kita dapatkan!"
Mendadak dari atas salah satu pohon di bawah mana kedua kakek botak ompong mi
berada, terdengar suara seseorang membentak,
"Manusia-manusia edan! Kalian tidak akan mendapat korban baru! Kalau ada yang
mampus dalam kolam itu, itu adalah kalian berdua!"
Tentu saja Picak Kanan dan Picak Kiri kaget bukan main. Kadua kakek botak ini
mendongak ke atas pohon. Saat itu tampak sesosok tubuh melayang turun. Sambil turun orang itu hantamkan
kaki kiri kanan ke batok kepala dua kakek aneh. Ini adalah satu serangan maut
yang ganas! Dua kakek berseru keras dan serentak menghambur
selamatkan diri. Satu melompat ke kiri, satunya lagi membuang diri ke kanan.
Sambil berkelit keduanya sama hantamkan tangan ke atas. Dua gelombang angin
deras laksana gunting menyambar tubuh yang melayang turun.
Tapi meleset karena orang itu kelihatan jungkir balik dan di lain kejap dia
sudah menjejakkan kedua kaki di tanah.
tegak sejauh enam langkah dari dua kakek botak plontos.
Orang ini seorang tua mengenakan pakaian biru. Di pinggangnya tergelung sebuah
ikat pinggang berupa ular sanca besar yang merupakan satu senjata ampuh
berbahaya. Yang menggidikkan dari orang ini ialah mukanya yang tmggal kulit
pembungkus tulang hingga muka itu hampir menyerupai sebuah tengkorak!
"Datuk Ulat Muka Tengkorak!" seru Picak Kiri dan Picak Kanan dengan suara
bergetar. "Tak ada hujan tak ada angin! Tak ada silang sengketa tak ada lantai terjungkat!
Kenapa kau hendak membunuh kami"!" bertanya Picak Kanan. Baik dia maupun Picak
Kiri tahu betul kehebatan Datuk Ular apalagi kalau manusia ini sampai pergunakan
ikat pinggang ular sancanya urusan bisa berabe.
Datuk Ular meludah ke tanah. "Antara kita memang tak ada silang sengketa ataupun
perselisihan! Tetapi antara kau dan kebenaran ada yang perlu diselesaikan!
Tigapuluh satu orang tak berdosa telah jadi korban kejahatan kaiian!
Untuk itu kalian pantas dihajar sampai mati!" (Mengenai siapa adanya Datuk Ular
Muka Tengkorak ini harap baca serial Pedang Sakti Keris Ular Emas: Simo Gembong
Mencari Mati dan Srigala Berbulu Domba)
"Datuk Ular... Datuk Ular..." kata Picak Kiri sambil geleng-geleng kepala. "Aku
menghormati nama besarmu Tapi jika kau memaksa bukan berarti aku dan saudaraku
ini akan diam saja seperti kerbau dungu!"
Datuk Ular Muka Tengkorak tertawa mengekeh. "Perlu dibuktikan dulu apa betul
kalian bukan dua ekor kerbau dungu!" Habis berkata begitu sang datuk langsung
menyerbu kedua orang itu.
Meskipun dikeroyok dua namun tampaknya sulit bagi dua kakek botak untuk
mengalahkan lawan. Setelah menggebrak terus-terusan selama delapan jurus Picak
Kiri dan Picak Kanan mulai mendapat serangan serangan balasan yang membuat
keduanya terdesak. "Celaka, dua jurus di muka dia pasti dapat menggebuk kita. Bagaimana
pendapatmu?" bisik Picak Kiri pada Picak Kanan.
"Tak ada jalan lain. Kau harus memancingnya berkelahi di tepi kolam. Begitu ada
kesempatan dorong tubuhnya ke dalam air. Aku akan membuka katup tembaga di mulut
terowongan!" Mendengar ucapan itu maka Picak Kiri lepaskan dua serangan berantai ke arah
Datuk Ular, begitu lawan balas menghantam dia cepat melompat ke atas batu-batu
besar pembatas kolam iblis. Sementara saudaranya Picak Kanan menyelinap ke balik
pepohonan di mana terdapat
peralatan rahasia. Datuk Ular bukan orang bodoh. Dia sempat melihat kasak-kusuk di antara kedua
lawannya. Pasti mereka menyusun rencana, pikirnya. Maka diapun lebih berhati-
hati. "Datuk Ular! Mari kita berkelahi satu lawan satu di atas batu-batu ini!"
seru Picak Kiri. Datuk Ular menyeringai mendengar tantangan itu.
Datuk Ular menyeringai mendengar tantangan itu. "Kenapa cuma di atas batu-batu
di tepi kolam itu" Mengapa tidak di dalam kolam saja"!" sahutnya.
Picak Kiri lemparkan senyum mengejek. "Nyalimu rupanya hanya sampai di situ!
Lagakmu bersikap bersih, seolah-olah hendak metenyapkan kejahatan di muka bumi
ini. Tapi semua orang tahu kau tak lebih dari seekor ular busuk kepala dua!"
Mendengar caci maki itu marahlah Datuk Ular. Dia ter-pancing melompat ke atas
batu dan kirimkan serangan gencar pada Picak Kiri. Yang terserang pergunakan
kesempatan sebaik-baiknya. Dengan satu gerak tipu dia berhasil membetot pinggang
Datuk Ular dan menariknya ke dalam kolam. Tapi sang Datuk tidak bodoh. Begitu
tubuhnya jatuh. kakinya cepat mengait kaki lawan hingga keduanya sama-sama
tercebur masuk ke dalam kolam. Malang bagi Picak Kiri justru tubuhnya terbenam
lebih dulu. Selagi dia megap-megap karena hidung dan mulutnya kemasukan air,
Datuk Ular hantam mukanya dengan satu jotosan.
Di balik pohon Picak Kanan telah mendengar suara tubuh masuk ke dalam kolam,
tapi dia tak dapat mengetahui dengan jelas siapa yang tercebur. Maka diapun bangkit mengintip-intip
lewat celah-celah batu. Justru saat itu satu tendangan menghantam pelipisnya hingga si botak ini
terpental dan roboh di tanah antara sadar dan pingsan. Datuk Ular seret tubuh
Picak Kanan dan masuk-kan ke dalam kolam. Sadar apa yang bakal dialaminya Picak
Kanan berteriak dan kumpuikan tenaga yang ada untuk keluar dari dalam air. Namun
kembali satu tendangan menghantam tubuhnya di bagian dada. Picak Kanan terhempas
ke belakang. Jatuh manimpa tubuh Picak Kiri yang dalam keadaan megap-megap
berusaha pula selamatkan diri.
Datuk Ular lari ke balik pohon-pohon besar. Selama satu minggu secara diam-diam
dia telah mengintai gerak-gerik kedua kakek botak itu dan tahu betul seluk-beluk
alat rahasia yang tersembunyi di balik semak belukar. Dengan cepat dia mendorong
ujung tali rotan. Tembaga penutup mulut terowongan terbuka. Ribuan ikan hitam
menyerbu ke luar terowongan, langsung melumat dua sosok tubuh yang ada di dalam
kolam, Picak Kiri dan Picak Kanan menggelepar-gelepar. Teriakan-teriakan putus
asa keluar dari mulut keduanya. Namun itu hanya merupakan teriakan pengantar
kematian mereka.

Mahesa Kelud - Kolam Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

8 EBELUM menamatkan riwayat dua kakek jahat Picak
Kiri dan Picak Kanan tujuan utama Datuk Ular
S semata-mata adalah untuk membasmi kejahatan
dari muka bumi ini. Namun setelah kedua kakek itu terbunuh, maka satu pikiran
sesat justru merasuk hati sang Datuk, malah sangat bertentangan dengan niat
baiknya semula. Seperti diketahui Datuk Ular adalah termasuk tokoh silat golongan putih.
Meskipun demikian kerap kali tindakan-tindakan yang dilakukannya tidak begitu
disukai oleh para tokoh golongan karena hanya mengikuti
kehendak pribadi dan terkadang bahkan menguntungkan mereka dari golongan hitam.
Dengan kematian dua kakek botak, sang datuk kini sadar betul bahwa hanya dia
seorang yang mengetahui seluk beluk dan rahasia kolam iblis di lembah subur itu.
Maka dalam hatinya yang telah terhasut oleh setan itu, Datuk Ular merasa dengan
menguasai kolam itu dia dapat melakukan satu kejutan besar tetapi secara
rahasia, yakni menguasai dunia persilatan! Caranya tentu saja mula-mula dengan
membunuhi para tokoh silat yang tidak sehaluan dengan dia. Manusia pertama yang
ingin dibunuhnya adalah bekas sekutunya sendiri yakni Dewi Rebab
Kencana. Perempuan sakti ini yang termasuk golongan putih dalam banyak hal
selalu menentang apa-apa yang ingin dilakukan sang datuk sehingga Datuk Ular
mencap-nya sebagai musuh dalam selimut. Setelah Dewi Rebab Kencana dibereskan,
orang kedua yang masuk dalam daftar maut sang datuk adalah Mahesa Kelud.
Beberapa waktu yang lalu, bersama beberapa orang kawannya dia pernah menempur
pemuda murid Simo Gembong itu hingga terjungkal masuk ke dalam jurang batu bersama seorang anak
buah Dewi Maut. Semula diperkirakan kedua orang itu telah menemui ajal di dasar
jurang. Tetapi beberapa waktu yang lalu Datuk Ular menyirap kabar dan menemui
bukti-bukti kuat yang menyatakan bahwa Mahesa Kelud masih hidup!
Tempat kematian yang paling tepat bagi kedua orang tersebut adalah kolam ikan
iblis itu. Namun Datuk Ular tahu betul, tidak mudah untuk menjebak Dewi Rebab
Kencana ataupun Mahesa Kelud untuk datang ke lembah itu. Tapi dasar manusia
cerdik panjang akal, sang datuk segera menemukan akal bagaimana agar Mahesa
Kelud serta Dewi Rebab bisa dibuat muncul.
Selain cerdik Datuk Ular juga seorang yang memiliki perhitungan panjang. Untuk
menjaga segala kemungkinan, dia menghubungi Pengemis Sableng dan Pengemis
Berkipas Putih yaitu dua orang tokoh silat pentolan istana yang dulu pernah
ditugaskan hartawan Prajadika untuk menangkap Mahesa Kelud karena pendekar ini
telah membunuh putera sang hartawan yang bernama Prajakuncara, yaitu ketika
Prajakuncara hendak merusak kehormatan Wulansari. (Baca Simo Gembong Mencari
Mati dan Srigala Berbulu Domba).
Begitulah, selama beberapa bulan ini dunia persilatan diam-diam telah dilanda
kegegeran. Beberapa tokoh silat dikabarkan lenyap tanpa diketahui apa yang
sebenarnya terjadi dengan mereka. Dalam kegegeran itu. dua orang menerima surat
secara aneh. Surat pertama diterima oleh Dewi Rebab Kencana, berbunyi :
Berbilang bulan telah berlalu sejak kematian guru Jika dendam kesumat masa lalu
bisa dipupus Ada satu pesan Simo Gembong yang perlu di-
sampaikan. Sudikah Dewi datang ke lembah subur di kaki
selatan pegunungan Dieng.
Datanglah tepat pada tengah hari ketika sang surya bersinar terik.
Pada hari ke lima bulan enam.
Aku menunggu Dewi di tepi kolam berair sejuk.
Mehesa Kelud Surat kedua sampai di tangan Mahesa Kelud. Di situ tertulis :
Berbulan-bulan telah berlalu sejak kematian
gurumu Ada pesan mendiang Simo Gembong yang terlupa kusampaikan
Jika kau murid yang patuh datanglah tepat pada tengah hari ketika sang surya
bersinar terik. Pada hari ke tujuh bulan enam.
Aku menunggumu di tepi kolam berair sejuk.
Di lembah subur kaki selatan pegunungan Dieng.
Dewi Rebab Kencana. Sewaktu Dewi Rebab Kencana menerima surat itu.
hatinya diliputi berbagai kebimbangan. Pertama apakah benar surat itu dikirimkan
oleh Mahesa Kelud, murid mendiang Simo Gembong, kekasihnya di masa muda.
Kedua surat itu secara aneh disampaikan oleh seorang berpakaian seperti nelayan
ketika dia berada di pantai selatan. Sewaktu dia berusaha menguntit nelayan itu,
orang tersebut lenyap tanpa jejak.
Nelayan biasa tak bakal bisa melakukan hal itu. Pasti nelayan tadi adalah
seorang berkepandaian tinggi yang sengaja menyamar. Ketiga, jika Simo Gembong
memang mempunyai pesan untuknya mengapa sang murid tidak memberrtahukan ketika
mereka berada di Pulau Mayat.
tempat kediaman Dewi Maut, yaitu ketika mereka berada di tana sebelum Simo
Gembong menemui ajal bunuh diri.
Namun mengenang kehidupan masa lalunya bersama
Simo Gembong dan teringat pada bayangan wajah Mahesa Kelud yang tak pernah
dilupakannya karena wajah pemuda itu mirip seseorang yang pern ah dicintainya,
maka Dewi Rebab Kencana memutuskan untuk segera berangkat ke utara, menuju
pegunungan Dieng. Hanya saja perempuan berusia lanjut tetapi awet muda ini
mengadakan perjalanan seenak yang disukainya, maka dia sampai di lembah subur
itu bukan pada hari ke lima bulan enam, melainkan pada hari ke tujuh bulan enam.
Jadi terlambat dua hah dari yang tertulis dalam surat. Sang Dewi merasa tak
perlu harus tepat seperti yang ditetapkan pengirim surat karena menurut
anggapannya jika Mahesa memang memerlukannya, pemuda itu harus mau menunggu.
Mahesa Kelud sendiri dengan menunggang kuda putih milik Panji sampai di lembah
lewat tengahari, hanya terpaut beberapa seat dari Dewi Rebab Kencana. Pemuda ini
datang dari arah utara, jadi tidak melalui bukit tandus seperti ketika pertama
kali dia sampai di tempat itu. Justru karena kedatangannya dari arah yang
berlawanan ini Mahesa berhasil mengetahui bahaya maut yang mengancam di tempat
itu. Karena datang dan sebelah utara, Mahesa berada di kaki pegunungan yang lebih
tinggi dan lembah tujuannya.
Semakin ke bawah ternyata jalan yang ditempuh bukan semakin mudan, malah
bertambah sulit karena bebatuan gunung bukan saja besar besar tetapi juga licin
berlumut. Mahesa turun dan atas Panah Putih. Di satu tempat dia terpaksa meninggal kan
binatang ini dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Sekitar lima puluh
tombak sebelum dia mencapai lembah subur di mana terletak kolam berair sejuk
itu, dari kejauhan Mahesa melihat sosok tubuh seseorang membelakanginya. Orang
ini duduk di tanah, di balik batu-batu besar dan pohon pohon rimbun.
Tampaknya seperti tengah memperhatikan ke arah kolam.
Dari pakaian dan potongan tubuhnya Mahesa tahu betul orang itu bukanlah Dewi
Rebab Kencana. Siapa adanya orang ini dan apa yang dila kukannya di tempat yang
tersembunyi itu" Mahesa mendekati dengan hati-hati.
Ketika jaraknya hanya terpisah lima belas tombak Mahesa segera mengenali siapa
adanya orang itu, walau dia belum sempat melihat waiahnya. Pakaiannya yang biru,
ikat pinggang ular besar yang tergelung di pinggangnya!
"Datuk Ular..." kata Mahesa dalam hati. Perasaannya tiba-tiba saja menjadi tidak
enak. Dari balik pohon besar tempat dia berlindung pemuda ini coba melihat ke
sebelah depan. Dia hanya dapat melihat sebagian dari kolam. lalu pedataran
berumput serta pohon-pohon bunga. Tak
tampak siapapun di sekitar kolam. Tapi tunggu dulu!
Seseorang berambut panjang tergerai, memegang sebuah rebab di tangan kiri dan
penggesek di tangan kanan tiba-tiba tampak melangkah mundar-mandir di tepi kolam
itu. Dewi Rebab Kencana! Sikapnya menandakan perempuan ini berada dalam ketidak
sabaran. Dewi Rebab Kencana kini menyesali diri sendiri yang terlambat dua hari datang ke
tempat itu hingga tidak menemui Mahesa Kelud si pengirim surat. Tapi dia juga
menyesali pemuda itu yang tak mau menunggu sampai dia muncul.
Di balik pepohonan rapat Datuk Ular Muka Tengkorak merasa kesal, mengapa Dewi
Rebab Kencana datang pada hari ketujuh bukannya hari ke lima seperti yang
disebutkan dalam surat. Dia sengaja mengatur perbedaan waktu datang antara
perempuan itu dengan Mahesa. Karena jika keduanya datang dalam waktu bersamaan,
sulit baginya untuk menjalankan rencana jahatnya. Dia berharap agar Dewi Rebab
cepat-cepat masuk ke dalam kolam dan agar Mahesa tidak muncul di tempat itu
sebelum dia dapat membereskan perempuan sakti tersebut. Sang datuk tidak tahu
kalau pendekar itu justru sudah ada di belakangnya.
Mahesa merasa heran rnengapa Datuk Ular - orang
yang selama ini menganggapnya sebagai musuh - berada di tempat itu dan apa yang
dikerjakannya di tempat itu. Jelas dia tengah memperhatikan gerak-geik Dewi
Rebab dan sengaja bersembunyi.
"Bangsat ini pasti punya maksud yang tidak baik," kata Mahesa dalam hati. "Dua
kali dia berusaha hendak mem-bunuhku. Terakhir ketika dia membuat aku jatuh ke
dalam jurang batu bersama Sembilan Biru. Jangan-jangan dia yang mengirimkan
surat itu. Tapi mengapa Dewi Rebab juga bisa ada di sini...?"
Di tepi kolam Dewi Rebab menghibur hati dengan
memetik bunga-bunga melati, menciumi bunga bunga yang harum itu dan
menyisipkannya di kelepak pakaiannya.
Angin lembab bertiup sejuk. Sang Dewi melangkah di atas batu-batu besar pembatas
tepi kolam. Memandang ke dalam kolam, mau tak mau hati perempuan ini jadi
tergerak. Air kolam begitu jernih hingga dia dapat melihat dasar kolam yang tak
sebe-rapa dalam. "Sebelum pemuda itu datang sebaiknya aku mandi saja dulu," pikir sang dewi.
"Tapi kalau dia datang dan aku berada di kolam tanpa pakaian ..." Hati perempuan
ini sesaat ragu. Akhirnya dia memutuskan untuk tetap masuk ke dalam kolam tapi
tanpa membuka pakaian dalamnya.
Di balik pohon-pohon besar Datuk Ular Muka Tengkorak tersenyum lega ketika dilihatnya Dewi Rebab Kencana masuk ke dalam kolam. Mula-mula bermain air di
tepian, kemudian bergerak ke tengah. Datuk Ular menyeringai.
Tangan kanannya menyelu-sup di antara semak-semak sampai akhirnya dia menyentuh
ujung tali rotan. "Tamat riwayatmu sekarang dewi ... I" desis Datuk Ular.
Lalu didorongnya ujung tali rotan itu.
Lempengan tembaga berat penutup mulut terowongan terbuka. Ikan-ikan Iblis
Prahara menyerbu keluar. Pada saat itu dari lereng pedataran berumput terdengar suara kuda dipacu,
menyusul satu teriakan memperingatkan.
"Hai! Jangan mandi di kolam itu! Berbahaya! Lekas naik ke darat!"
Tiga orang tersentak kaget! Dewi Kencana, Datuk Ular Muka Tengkorak dan Mahesa
Kelud! *** 9 EPARAT sialan!" maki Datuk Ular. "Siapa bangsat yang berteriak memberi
peringatan itu"!" Dia cepat K berdiri dan mengintai dari balik pohon besar.
Di dalam kolam saat itu ribuan ikan Iblis Prahara telah ke luar dari terowongan,
langsung menyerbu Dewi Rebab Kencana. Perempuan sakti ini sempat mendengar suara
aneh bersiuran di dalam air, namun teriakan orang tadi membuatnya lebih cepat
waspada Bukan saja karena dia merasa sangat malu kalau sampai kedapatan orang
lain hanya dalam keadaan mengenakan pakaian dalam serta basah kuyup begitu rupa
hingga setiap liku badannya yang bagus tersembul dengan jelas, tetapi juga
peringatan itu sekaligus membuat dia mencium memang adanya bahaya yang tak
kelihatan di dalam kolam itu.
Satu hal cerdik yang dilakukan oleh Dewi Rebab ialah dia bukan berenang menuju
tapi kolam. tapi pergunakan kepandaiannya untuk melompat ke udara, jungkir balik
dan melesat ke atas batu-batu. Tak urung tiga ikan iblis masih sempat mematuk
dan menancap di kakinya hingga sang dewi terpekik kesakitan. Begitu sampai di
batu dia segera menggebuk hancur ketiga ikan ini. Lalu cepat menotok beberapa
bagian dari kakinya agar darah tidak terus mengucur dan sekaligus membendung
rasa sakit. Dewi Rebab cepat cepat mengenakan pakaian luarnya tanpa membuka pakaian dalam
yang basah. Dia memandang tak berkedip pada penunggang kuda. Membuat orang ini bergidik
merasakan keangkeran pada wajah cantik tapi pucat itu.
"Aku tidak kenal padamu! Tapi aku berterima kasih kau talah menolong. Siapa kau
dan apa sebenar nya yang ada dalam kolam itu?" bertanya Dewi Rebab Kencana.
"Aku Parangwulung. Bekas kepala pengawal
Tumenggung Singaranu! Tumenggungku menemui ajalnya di kolam Ini tiga bulan yang
lalu. Mati dilumat ribuan ikanikan ganas! Lihat ke dalam kolam sana!"
Parangwulung melompat turun dari kudanya dan
melangkah ke tepi kolam. Dewi Kencana ikut memperhatikan ke dalam kolam.
Tengkuknya menjadi dingin. Bulu kuduknya merinding. Ribuan ikan aneh berwarna
hitam legam berbentuk segi tiga berkeliaran kian ke mari.
Mulutnya selalu membuka hingga jelas kelihatan gigi-giginya yang runcing tajam
seperti mata gergaji. "Binatang binatang jahanam!" sumpah Dewi Rebab Kencana. Dia ingat pada tiga ikan
hitam itu yang sempat menancap di kakinya Tapi apa benarkah ikan-ikan itu ganas
berbahaya" Seekor burung hutan melayang rendah di permukaan kolam. Dewi Rebab Kencana cepat
mengambil rebabnya laki menjetik satu dari empat tali rebab. Terdengar suata
melengking dan satu sinar putih kekuningan berkelebat ke atas. Burung hutan yang
sedang terbang terdengar men-cicit, tubuhnya langsung jatuh dan masuk ke dalam
kolam. Ribuan ikan hitam bersirebut cepat. Dalam waktu
sekejapan mata saja tubuh burung itu amblas lenyap. Tak bersisa lagi baik
tulang-tulang maupun bulunya!
Bagaimana Parangwulung bisa berada dan muncul di tempat itu kembali" Seperti
yang telah diceritakan sebelumnya, ketika dia ditangkap oleh orang-orang
kerajaan dan di bawanya ke tempat itu untuk memakan bahwa Tumengggung Singaranu
memang menemui ajal karena diserbu ikan aneh di dalam kolam, ketika Sri Megaresmi yang menyamar
sebagai seorang muda bersama seorang kakek sakti berpakaian serba putih telah menolongnya. Meskipun
dirinya kini bebas tetapi untuk kembali ke kotaraja tak mungkin bagi
Parangwulung. Kembali ke kotataja berarti sama dengan menyerahkan diri bulat-bulat untuk
ditangkap. Malah mungkin dia akan menerima perlakuan yang lebih kejam. Karena
itu dia bertekad untuk mendapatkan bukti-bukti bahwa Tumenggung Singaranu memang
menemui ajal di kolam itu. Setelah malang-melintang lebih dari dua bulan di luar
kotaraja akhirnya dia kembali ke lembah subur tersebut untuk melakukan
penyelidikan. Dia sampai di lembah pada hari dan saat ketika Dewi Rebab Kencana
dilihatnya baru saja masuk ke dalam kolam. Karena sudah menyaksikan
sendiri sebehimnya ikan-ikan hitam ganas dalam kolam itu, langsung saja
Parangwulung berteriak memberi peringatan.
Dan peringatannya itu tidak sia-sia karena berhasil menyelamatkan Dewi Rebab
Kencana dari kematian yang mengerikan dan mengenaskan.
"Siapa yang punya pekerjaan gila ini"!"' tanya Dewi Rebab Kencana.
Parangwulung menggeleng. "Justru aku datang ke mari untuk menyelidik. Aku
menjadi manusia buronan gara-gara kolam dan ikan-ikan iblis itu."
Dewi Rebab Kencana berpikir-pikir
"Mungkinkah pemuda itu...?" tanyanya dalam hati.
"Mungkin dia yang sengaja memancingku mengirimkan surat jebakan. Tapi... aku dan
dia tak ada perselisihan.
Malah di pulau Mayat dia tahu betul bagaimana aku bertindak bijaksana, aku tidak
ikut mengejarnya bersama Datuk Ular dan tokoh-tokoh silat istana. Dia sendiri
menunjukkan sikap hormat terhadapku . .
Di balik pepohonan besar di aabelah timur kolam iblis, Datuk Ular membalik cepat
ketika terdengar suara menggeresek di belakangnya. Matanya terpentang lebar
ketika melihat siapa yang tec ik di hadapannya. Tapi dia tak mau menunjukkan
sikap takut. "Bagus! Ternyata benar kau masih hidup. Tahukah bahwa kedatanganmu ke mari hanya
untuk mengantar nyawa!"
Mahesa Kelud menyeringai.
"Mulutmu terlalu busuk! Hatimu ternyata sangat jahat!
Jangan harap hari ini kau bakal kulepaskan hidup-hidup!"
"Pemuda sombong! Sampai di mana kehebatanmu!"
Datuk Ular menerjang ke depan seolah-olah hendak menyerang Tetapi begitu Mahesa
berkelit ke samping manusia muka tengkorak itu cepat menghambur ke kiri dan
melarikan diri.

Mahesa Kelud - Kolam Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Datuk keparat! Kau mau Iari ke mana"!" bentak Mahesa Kelud.
Suara bentakan yang keras ini sempat terdengar oleh Dewi Rebab Kencana.
"Hai! Itu suara Mahesa!" seru sang Dewi. Dia memandang berkeliling! Di lain saat
tubuhnya melayang laksana terbang ke arah batu-batu besar dan pohon-pohon di
sebelah timur kolam. Parangwulung menyusul. Di situ keduanya menemukan Mahesa
Kelud tengah berkelahi melawan seorang kakek muka tengkorak barbaju biru gelap.
"Datuk ular!" teriak Dewi Rebab Kencana ketika mengenali orang tua itu. "Jadi
kau...!" "Dewi Rebab Kencana!" balas berseru Datuk Ular.
Otaknya yang cerdik segera bekerja. "Syukur kau datang!
Lekas kau bantu aku menangkap pemuda inil Bukankah dia murid Simo Gembong dengan
siapa kau menanam dendam kesumat"!"
Dewi Rebah Kencana menyeringai "Dendam kesumatku dengan Simo Gembong tak ada
sangkut pautnya dengan pemuda ini. Katakan apakah kau yang mengirim surat
keparat ini"!" Sang Dewi keluarkan surat yang pernah diterimanya dan balik
pakaian dan melemparkannya ke tanah ke hadapan Datuk Ular.
"Dewi! Kau tahu aku tak pandai tulis baca. Mana mungkin aku yang mengirim surat
itu. Pasti pemuda ini! Dia yang sengaja hendak menjebakmu!"
Hampir Dewi Rebab Kencana termakan oleh ucapan
sang datuk kalau Mahesa Kelud tidak lekas membuka mulut.
"Otakmu cerdik, mulutmu licin! Tapi hatimu busuk! Aku juga menerima sepucuk
surat jebakan untuk datang ke mari. Bukankah kau yang menulis"!" Mahesa
keluarkan surat yang dibawanya dan melemparkannya ke arah Datuk Ular. "Dewi, aku
tadi menangkap basahnya tengah menggerakkan satu alat rahasia di balik pohon
sana!" Muka Dewi Rebab yang selalu pucat kini tampak
merah. Sepasang matanya laksana dikobari api.
"Antara aku dan kau tak ada perselisihan. Mengapa kau inginkan jiwa secara
keji?" Suara Dewi Rebab bergetar tanda dia tidak dapat mengendalikan amarah.
Sang datuk tak bisa menjawab. Mahesa membuka
mulut. "Kalau dia tidak mau menerangkan saat ini biar arwahnya yang bicara di
hadapan setan akhirat!"
"Betul sekali! Mari kita berebut pahala menghajar manusia ular kepala dua ini!"
teriak sang dewi lalu menerjang kirimkan serangan dengan penggesek rebab.
"Celaka! Rencanaku berantakan!" keluh Datuk Ular dalam hati menghadapi Dewi
Rebab seorang saja bukan urusan mudah baginya, apalagi kini di situ ada pula
Mahesa Kelud. Datuk ini memandang berkeliling dan dalam hati dia menyumpah, "Sialan! Mana dua
keparat edan itu! Sampai saat ini masih juga belum muncul!" maki sang datuk
keluarkan suara suitan keras.
Dari kaki Iembah sebelah selatan mendadak terdengar suitan balasan. Dua kali
berturut turut. Di lain saat dua orang tua berpakaian aneh seperti pengemis
muncul di tempat itu sambil tertawa-tawa. Yang satu sambil berkipas-kipas.
Mahesa Kelud terkejut seteah melihat kemunculan dua manusia ini. Namun hatinya
tidak kecut. Dua orang tua ini punya hutang piutang dengan dirinya. Merekalah
dulu yang membantu Datuk Ular sampai dia jatuh ke dalam jurang batu!
*** 10 UA ORANG TUA itu tertawa-tawa memandang pada
Mahesa Kelud. Yang satu menuding seraya berkata: D "Hai! Bukankah budak ini
sudah mampus waktu jatuh di jurang batu"!"
"Memang aku sudah mampus!" sahut Mahesa marah karenadipanggil dengan sebutan
budak. "Yang tegak di depanmu adalah arwahku yang gentayangan. Yang akan
mencopot kepalamu!" "Hik... hik...hik! Lucu ada arwah bisa bicara."
Dan mau mencopot kepala kita!" kata orang tua yang satu lagi. Dia mengenakan
pakaian dekil bertambal-tambal.
Rambutnya panjang awut-awutan. Dialah yang bernama Pengemis Sableng dan otaknya
memang tidak watas. Di sebelahnya berdiri adik kembarnya yang dikenal dengan
nama julukan Pengemis Berkipas Putih. Seperti kakaknya dia juga berotak tidak
waras, mengenakan pakaian penuh tambalan tetapi bersih dan selalu membawa sebuah
kipas putih. Kipas ini bukan kipas biasa, melainkan sebuah senjata sakti yang
hebat. "Hai... kalian berdua jangan tetap mematung saja!"
berteriak Datuk Ular. "Tangkap dan kalau perlu bunuh pemuda itu! Aku akan
melayani perempuan bermuka pucat tukang pengamen ini!"
Lagi-lagi Datuk Ular berlaku cerdik. Dengan begitu dia akan menghadapi Dewi
Rebab Kencana yang dianggapnya bisa dilayaninya sementara dua pengemis
mengeroyok Mahesa Kelud yang menurut Datuk Ular jauh lebih berbahaya dari Dewi
Rebab. Karena sebelumnya telah pemah dikeroyok oleh dua kakek berotak miring itu,
Mahesa tahu betul kehebatan mereka. Terlebih pengemis yang memegang kipas putih.
Maka tanpa menunggu lebih lama Mahesa segera cabut pedang Dewa dan siapkan
pukulan karang sewu di tangan kiri. "Aha! Pedang Dewa!" seru Pengemis Sableng.
"Dulu aku inginkan senjata itu tapi tak kesampaian! Tidak tahunya hari ini
kembali bertemu! Rupanya aku memang berjodoh memilikinya!"
Selesai berseru Pengemis Sableng menggapai ke
depan hendak merampas senjata sakti itu. Gerakannya tampak lamban saja. Tapi
seolah olah kedua tangannya menjadi panjang secara aneh, tahu-tahu tangan yang
kiri telah berkelebat ke pergelangan kanan Mahesa sementara tangan kanannya
meluncur hendak menarik badan
pedang! Mahesa cepat putar tangannya. padang sakti merah menderu. Sinar merah berkiblat
menyilaukan. Pengemis Sableng tersentak kaget dan cepat tarik kedua tangannya
yang hampir terbabat putus. Begitu pedang lewat dia kembali merangsak dengan
gerakan-gerakan aneh! Dari samping di saat yang same. Pengemis Berkipas Putih mulai membuka serangan
dengan kibaskan kipas saktinya. Satu gelombang angin panas menerpa Mahesa.
Pendekar ini merasakan tangannya yang memegang
pedang bergetar. Cepat dia melompat ke atas untuk hindari serangan ganas itu
lalu secepat kilat membalik menukik tusukkan pedang ke pangkal tenggorokan
Pengemis Berkipas Putih! Braakk! Badan pedang sakti dan kipas putih saling beradu ketika Pengemis Berkipas Putih
membuat gerakan menggebrak memukul senjata lawan. Mahesa yang se ngaja tak mau
manghindari bentrokan karena mengetahui
keampuhan pedangnya hanya menggerakkan tangan
sedikit laki menerpa senjata lawan sambil keahlian tenaga dalam.
Dua bagian kipas putih robek besar. Pengemis Berkipas Putih melompat kaget dan
mengomel tak kanan ketika dapati senjatanya telah rusak sementara Mahesa cepat
atur pernafasan. Bentrokan tadi membuat rasa sakit menjalar dari lengan sampai
ke pundak kanannya. Dalam keadaan seperti itu mendadak Pengemis Sableng
menyerbunya sambil berteriak-teriak.
Kita tinggalkan dulu Mahesa dan dua pengeroyoknya.
Di tepi kolam sebetah kiri Datuk Ular Muka Tengkorak tengah menempur Dewi Rebab
Kencana dengan serangan serangan mematikan. Sejak jurus pertama sang datuk telah
loloskan ikat pinggang ular sancanya. Senjata yang bisa berubah jadi tongkat
atau bergeking sepertt ular hidup ini menderu-deru menggempur sang dewi yang
bertahan dengan rebab di tangan kiri dan penggesek di tangan kanan. Setelah le
wat tujuh jurus dia masih belum dapat mendesak lawannya maka Datuk Ular mulai
semburkan racun jahat dari mulut bangkai ular. Mau tak mau Dewi Rebab Kencana
menghadapi lawannya dengan lebih hati-hati dan terpaksa menutup jalan pernafasan
pada saat racun menyemprot ke arahnya.
"Datuk Ular!" seru Dewi Rebab. "Sejak dulu kau selalu mencari penyakit! Hari ini
kau malah menggunting dalam lipatan hendak mencelakai kau sendiri! Kelakuanmu
sungguh keji! Jangan harap aku akan memberi ampun padamu!"
"Perempuan muka pucatl Siapa yang merengek minta ampun padamu! Perempuan yang
telah dirusak Simo Gembong di mataku tak lebih daripada barang rongsokan yang tak ada harganya!"
balas berteriak Datuk Ular.
Ucapan sang datuk benar-benar membuat Dewi Rebab marah sekali. Tubuhnya mencelat
ke udara. Dari atas perempuan ini gesekkan rebabnya. Suara melengking menembus
langit di atas lembah. Cahaya putih kekuningan menyilaukan mata berkiblat. Datuk
Ular sapukan senjatanya ke atas untuk menangkis. Namun dia salah perhitungan.
Bagaimana pun juga cahaya lebih cepat jalannya dari pada gebukan bangkai
ularnya. Datuk Ular terhempas ke belakang. Sekujur tubuhnya terasa panas seperti
dipanggang. Dia gerakkan lagi tangannya untuk menghantam dengan senjatanya.
Tetapi apa yang terjadi membuat nyalinya jadi lumer. Bangkai ular sanca yang
sangat diandalkannya itu ternyata telah hangus dan begitu digerakkan senjata ini
jadi luruh ke tanah! Dewi Rebab Kencana tertawa panjang. Sekali lompat saja dia sudah berada di
hadapan sang datuk dengan penggesek rebab ditekankan ke tenggorokannya.
"Datuk, apakah kau senang mandi di kolam yang sejuk sana...?"
Sepasang mata Datuk Ular terbeliak besar ketika mendengar kata-kata Dewi Rebab.
Kemudian dirasakannya tekanan kuat pada lehernya membuat dia terjajar mundur ke
arah kolam. "Tidak! Jangan!" teriak Datuk Ular.
Dewi Rebab kembali perdengarkan suara tawa panjang.
Dia terus menekan leher sang datuk dengan penggesek rebab.
"Kau boleh bunuh aku dengan cara apa pun! Tapi jangan suruh aku masuk ke dalam
kolam iblis itu!" teriak Datuk Ular
"Itu satu-satunya tempat kematian yang paling bagus untukmu!" sahut Dewi Rebab.
Dalam takutnya Datuk Ular menjadi nekad. Dia
menyeruduk ke muka sambil menendang salah satu
tangan mencengkeram. Bret! Datuk Ular hanya berhasil merobek dada pakaian Dewi Rebab. Sebaliknya penggesek
rebab yang menekan lehernya tiba-tiba bergerak sangat kuat hingga kepalanya
terbanting ke kiri dan badannya ikut miring. Sebelum dia mampu mengimbangi kedua
kaki, ujung penggesek menusuk dadanya. Datuk Ular menjerit. Tapi bukan rasa sakit tusukan pada dada
itu yang membuat dia menjerit.
Melainkan rasa takut luar biasa ketika dia menyadari tubuhnya terpelanting ke
belakang dan tak ampun lagi terjerumus masuk ke dalam kolam!
Jeritan Datuk Ular masih terdengar dua kali lagi.
Setelah itu lenyap. Tubuhnya yang sesaat menggelepar-gelepar kini tampak diam.
Ribuan ikan Iblis Prahara menggerogoti tubuhnya mulai dari batok kepala sampai
ke ujung kaki. Tubuh itu kemudian hanya tinggal tulang belulang!
Dewi Rebab yang sudah sering menyaksikan berbagai macam kematian yang mengerikan
kini benar-benar merinding bulu tengkuknya. Tak ada kematian sedahsyat seperti yang dilihatnya di
kolam itu. Kalau saja tadi dia tidak mendapat teriakan peringatan dan tak sempat
melompat ke luar dari dalam kolam, nasibnya pasti sama seperti yang di alarm
Datuk Ular itu. "Datuk Ular! Kami bertempur mati-matian kau enak-enak mandi di kolam!" Tiba-tiba
terdengar teriakan kakek sinting Pengemis Sableng. Dasar otaknya miring. Datuk
Ular yang meregang nyawa dan kini hanya tinggal
jerangkong dikatakannya sedang enak-enakan mandi. Saat itu meskipun dia bersama
adik kembarnya berada dalam keadaan terdesak, enak saja dia meninggalkan
kalangan perkelahian dan melompat ke tepi kolam
"Hai! Datuk Ular! Di mana kau?" teriak Pengemis Sableng. Di dalam kolam yang
airnya telah butek oleh darah dia hanya melihat ribuan ikan hitam dan tulang
tengkorak manusia. "Pengemis Sableng!" menegur Dewi Rebab. "Jika kau tidak lekas ajak adikmu
minggat dari sini kalian akan segera menyusul Datuk Ular menjadi tulang
belulang!" "Perempuan muka pucat mulutmu sombong amat!"
maki Pengemis Sableng. Dia hendak menyerang Dewi Rebab tapi di sebelah sana
terdengar saudaranya minta tolong. Ditinggal sendirian rupanya Pengemis Berkipas
Putih tak sanggup menahan gempuran Mahesa Kelud.
Walau dia berhasil melepaskan beberapa kali gebukan ke tubuh dan muka Mahesa,
namun kipas saktinya telah hancur terbabat pedang sakti lawan. Pakaiannya bahkan
telah robek-robek di beberapa bagian. Pengemis Sableng capat kembali membantu
adiknya. Namun saat itu serangan Mahesa Katud tak terbendung lagi. Pemuda ini keluarkan seluruh jurut-
jurus ilmu pedang dewa yang didapatnya dari gurunya Suara Tanpa Rupa.
"Adikku! Baiknya kita tinggalkan saja tempat ini. Tak ada gunanya meneruskan
perkelahian!" kata Pengemis Sableng.
Pangemit Berkipas Sakit menyabut marah. "Pengecut!
Jika kau mau kabur, kaburlah! Tapi hubungan kita sebagai adik kakak putus hari
ini juga!" "Manusia tolol! Datuk Ular sudah mampus. Upah yang kita dapat dari hartawan
Prajadika tidak seberapa! Apa kau mau korbankan nyawa untuk hadiah yang secuil
itu!" bentak Pengemis Sableng. "Ucapanmu memalukan!" balas membentak Pengeamis Berkipas Putih. Dia menarik
tangannya ketika Pengemis Sableng membetotnya memaksa agar meninggalkan
tempat itu. Justru di saat itu Padang Dewa di tangan Mahesa Kelud datang
membabat dan crass! Pengemis Berkipas Putih menjerit. Lengan kirinya putus. Darah mengucur. Pengemis
Sableng ikut menjerit. Tapi menjerit marah dan menyerbu Mahesa dalam gerakan tak karuan hingga mudah
sekali bagi pemuda itu meng-hantamnya dengan pukulan karang sewu ke arah
dadanya. Pengemis Sableng terpentaI jauh. Darah mengucur dari mulutnya. Dengan susah
payah dia bangkit berdiri. Tanpa perdulikan lagi adiknya dia melarikan diri
tinggalkan lambah itu. Menyadari dirinya ditinggal sendirian. Pengemis Berkipas
akhirnya mengikuti jejak kakaknya melarikan diri dalam keadaan luka parah.
Mahesa Kelud bersihkan padang saktinya. Setelah
masukkan senjata itu ke dalam sarungnya dia melangkah menemui Dewi Rebab dan
menjura memberi penghormatan.
"Dewi, jika kau tak ada di sini, sulit bagiku menghadapi ketiga manusia itu
sekaligus." "Kau pandai merendahkan diri Mahesa," sahut Dewi Rabab sambiI menatap paras
pemuda itu. Wajahnya tetap pucat dan dingin. Namun di lubuk hatinya ada rasa
gembira. Dia ingat Mahesalah orang yang pernah memuji kepolosan hati dan
kecantikan wajahnya. Mahasa manggoyangkan kepala ke arah kolam. "Sulit dipercaya ada kolam iblis
seperti ini." "Pasti puluhan orang telah jadi korban di tempat ini.
Kurasa lenyapnya beberapa tokoh silat ada sangkut pautnya dengan tempat ini.
Ulah Datuk celaka itu. Ikanikan ini harus dimusnahkan!"
"Harus dimusnahkan sabelum ada korban lagi yang jatuh!" mengulang Mahesa. Lalu
dia melangkah ke tepi kolam, tegak di atas batu-batu besar. Tangan kanannya di
angkat ke atas. Mulutnya berkomat-kamit. Tangan kanan itu tampak bergetar ketika
ada asap tipis keluar. Dewi Rebab dan Parangwulung merasakan lembah yang tadinya
begitu sejuk kini tiba-tiba menjadi panas.
Mahesa berteriak keras lalu pukukan tangan kanannya ke arah kolam. Asap putih
menggebu disertai hawa yang sangat panas
"Pukulan Api Salju!" teriak Dewi Rebab kaget dan kagum lalu melompat menjauh.
Air kolam muncrat lalu terdengar mendidih. Ketika asap putih Ienyap tampakIah
ribuan ikan-ikan Iblis Prahara telah mengambang dalam keadaan mati seperti
direbus. Perlahan-lahan Mahesa Kelud turun dari batu besar.
"Mahesa... Apakah... apakah kau juga murid Pendekar Api Salju....." terdengar
Dewi Rebab Kencana bertanya.
Mahesa hanya tundukkan kepala tak memberikan
jawaban. Tapi itu sudah cukup menjadi pertanda jawaban bagi sang dewi. Dan
hatinya bertambah kagum terhadap pemuda ini. Dengan menguasai ilmu pukulan Api
Salju itu maka dia sadar kalau ilmu kepandaiannya jauh tertinggal di bawah si
pemuda. "Tak ada gunanya kita berlama-lama di tempat ini Mahesa."
"Ya, sebaiknya kita pergi dari sini. Sabentar lagi maIam akan tiba," menyahuti
Mahesa. Lalu dia bersiul memanggil kuda putih yang menunggu sabar di bukit-bukit
batu. "Ah... kau memiliki kuda bagus. Aku hanya berjalan kaki!" kata Dewi Rebab pula.
"Kalau kau suka kau boleh ambil kudaku..." kata Parangwulung yang sejak tadi
tegak berdiam diri, tertegun menyaksikan segala kejadian.
"Terima kasih. Aku tak menolak pemberianmu yang tulus. Tapi kau sendiri


Mahesa Kelud - Kolam Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagaimana tanpa kuda..." tanya Dewi Rebab.
"Jangan pikirkan diriku Apa yang telah terjadi di sini mendatangkah nikmat
bagiku. Kini aku punya bukti-bukti bahwa Tumenggung Singaranu memang menemui
ajal karena ikan-ikan keparat itu! Aku akan membawa kepala pengawal istana bernama
Kebo Alit itu ke mari. Agar dia melihat sendiri!"
Dewi Rebab hendak naik ke atas kuda pemberian
Parangwulung ketika dia ingat sesuatu sementara Mahesa sudah siap di atas
punggung Panah Putih "Kau telah menyelamatkan jiwaku dari ikan-ikan iblis itu. Tidak pantas rasanya
kalau aku tidak meninggalkan sesuatu sebagai tanda terima kasih... "
"Dewi... aku tidak meminta balas jasa apapun..." kata Parangwulung. Saat itu
Dewi Rebab telah berada di hadapannya. Parangwulung tak tahu apa yang hendak
dilakukan perempuan sakti ini. Tiba-tiba Dewi Rebab ulirkan tangan kanan dan
mencengkeram perut Parangwulung di bagian pusar. Lelaki ini menjerit kesakitan
ketika dirasakannya ada hawa panas mengalir masuk ke dalam pusarnya laki
menyebar ke seluruh badan. Perlahan-lahan rasa sakit itu pun lenyap. Ketika
Parangwulung buka kedua matanya yang tadi terpejam karena kesakitan, dilihatnya
Mahesa Kelud dan Dewi Rebab Kencana telah memacu kuda masing-masing ke arah
timur. Lelaki ini singkapkan pakaiannya di bagian perut. Tampak tanda merah
bekas cengkeraman Dewi Rebab. Ketika dia melangkahkan
kakinya, bekas pengawal Tumenggung ini terkejut. Dia dapatkan gerakannya sangat
enteng. "Eh, apa yang telah dialirkan perempuan sakti itu tadi ke dalam tubuhku...?"
membatin Parangwulung. Dia acungkan tinju kanannya, mengusap-usap dengan tangan
kiri. "Jangan-jangan ..." Parangwulung memandang ke arah Dewi Rebab di kejauhan.
Lalu ke arah sebuah batu besar di tepi kolam yang telah ambruk itu. Sesaat
hatinya meragu. Namun dengan satu keyakinan Parangwulung hantamkan tangan kanan itu ke atas batu
besar. Braakk! Batu besar itu hancur berantakan!
Parangwulung berteriak girang. Lalu lelaki ini jatuhkan diri berlutut ke arah
Dewi Rebab yang semakin jauh di arah Timur. "Terima kasih Dewi... Kau baik
sekali. Terima kasih untuk tenaga dalam yang kau berikan! Aku tak pernah
mengimpikan rezeki begini besar...!"
TAMAT Kisah Tiga Kerajaan 12 Wiro Sableng 145 Lentera Iblis Mentari Senja 5
^