Pencarian

Serigala Berbulu Domba 2

Mahesa Kelud - Serigala Berbulu Domba Bagian 2


Lembut dan merdu. Orang yang menyanyi ini duduk di tangga serambi sebuah rumah kayu mungil bersih.
Dia menyanyi sambil menyisir rambutnya yang panjang dan hitam.
Tak jauh dari situ, di balik sebatang pohon besar tegak memperhatikan seorang
pemuda berpakaian dan berikat kepala putih. Kedua matanya hampir tak berkesip
memandangi wajah cantik, rambut panjang hitam dan tubuh elok semampai itu.
"Supitmantil, kau harus mengambil keputusan sekarang . . ." Tiba-tiba seperti
ada suara yang berbisik ke telinga si pemuda. "Kalau tidak, kau tak akan pernah
memiliki perempuan itu untuk selama-lamanya!"
Pemuda di balik pohon yang ternyata adalah Supitmantil, sesaat tertegun
mendengar bisikan tadi. "Supit! Jangan kau turutkan bujukan setan!"
mendadak ada suara membalas dari lubuk hati si pemuda.
"Tidak, ini bukan bujukan setan!" menangkis suara bisikan tadi. "Ini adalah
kenyataan Supit! Bukankah kau telah jatuh hati pada perempuan itu
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
sejak pertama kali kau melihatnya di Madiun. Jangan ingkari kenyataan itu
Supit!" "Memang betul. Tapi dia sudah menjadi kekasih pemuda bernama Mahesa Kelud itu
saat itu. Malah kini dia telah jadi istrinya!" menjawab suara hati sang pemuda.
"Kekasih atau istri sekalipun memangnya kenapa"
Hidupmu akan tawar tanpa dia disampingmu. Lalu kalau dia suka pula padamu, tak
ada alasan apakah dia kekasih atau istri orang lain. Dengar Supit, kau harus
mengambil keputusan sekarang. Kau harus melakukannya sekarang!"
"Apa yang harus kulakukan . . . ?" Lubuk hati Supitmantil mulai terpengaruh.
"Pemuda bodoh' Putar otakmu. Cari akal yang jitu. Kau bisa mengatakan bahwa
Mahesa sudah mati. Tewas dibunuh atau karena kecelakaan . .."
"Aku tidak mau melakukan itu. Ini merupakan dosa besar. Aku berkhianat pada
sahabat sendiri. Apalagi Mahesa telah menyelamatkan jiwaku waktu perkelahian di gedung
Prajadika . . ." "Ha ... ha ... ha ... !" Suara setan tertawa.
"Dia memang telah menyelamatkan jiwamu. Tapi bukankah kau juga pernah
menyelamatkan jiwanya dari satu kematian yang mengerikan" Ketika dia di masukkan
kedalam sumur tua itu" Malah perempuan cantik yang diam-diam kau kasihi itu kini
tak akan ada di depanmu kalau tidak kau dulu membantu menyelamatkannya dari
tangan pemuda hidung be-lang Prajakuncara. Jika ada orang yang berhak atas diri
perempuan itu maka orangnya adalah kau sendiri Supit. Tidak lain orang ataupun
Mahesa . .." Sesaat Supitmantil masih tegak termangu di balik
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
pohon besar itu. Sementara di seberang sana Wulansari masih terus menyanyi
sambil menyisir rambut. Rambut yang tersisir rapi itu kemudian digelung-nya membentuk sanggul. Begitu
rambut tersanggul Wulansari gerakkan tangan kanannya. Sisir terbuat dari tanduk
yang dipegangnya tiba-tiba sekali melesat ke arah batang pohon, menancap sampai
setengahnya, tepat sejengkal di depan hidung Supitmantil, membuat pemuda ini
tersentak kaget. Dari arah serambi terdengar suara membentak.
"Maling dari mana yang pagi-pagi sudah kesasar ke puncak Murial"
Sadar kalau orang sudah mengetahui
kehadirannya Supitmantil segera keluar dari balik pohon. Sambil melangkah menuju
depan rumah dia berkata: "Aku bukan maling. Aku Supitmantil. Apakah kau masih ingat... ?"
Wulansari menatap wajah pemuda yang tegak di depannya itu. Dia memang mengenali
wajah Supitmantil. Tapi lupa bertemu dimana.
"Ingat peristiwa penculikan di Madiun . . . ?"
ujar Supitmantil. "Aih! Kau rupanya ... !" Wulansari kini ingat.
Menyadari pemuda itu bukan lain adalah orang yang pernah menolongnya maka dia
cepat berdiri. "Harap maafkan kekasaran ucapanku tadi. Juga lem-paran sisir itu. Angin apakah
yang membawamu sampai kemari?"
Memandang Supitmantil, Wulansari melihat ada perubahan mendadak pada air muka
pemuda ini. "Ada apakah Supit... ?" tanya Wulansari dengan perasaan tidak enak.
Sesaat pemuda itu masih tegak termangu dan
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
membisu. Namun diliang telinganya kembali suara setan berbisik: "Kau sudah
memulainya Supit. Kau harus meneruskan. Bukankah kau sangat mengingin kan
Wulansari" Inilah kesempatan paling baik dan kesempatan ini hanya datang satu
kali ..," Supitmantil menarik nafas dalam, memandang pada Wulansari dengan air muka sedih,
lalu berkata perlahan: "Aku membawa kabar buruk untukmu Wulan . . ."
"Kabar buruk?" Kini wajah cantik perempuan itu tampak berubah. Tiba-tiba saja
menjadi pucat. "Kabar buruk apakah?"
"Kuharap kau tabah menerima cobaan ini. . ."
Wulansari jadi tidak sabar. Dadanya berdebar keras. Hatinya makin tidak enak.
"Lekas katakan Supit! Jcngan menggantung cerita dengan ucapan-ucapan yang
membuat aku tidak enak!"
Supitmantil menggigit bibir baru menjawab :
"Suamimu telah meninggal dunia sekitar satu bulan lalu ..."
Wulansari terpekik. Kedua matanya membeliak, memandang pada Supitmantil. Jika
ada kilat menyambar di depan matanya atau guntur menggelegar di samping
telinganya, tidak sedemikian kagetnya perempuan ini. Tubuhnya mendadak terasa
lunglai, nyawanya serasa lepas. Dia terduduk di lantai seram bi, tersandar ke
tiang depan. "Suamiku . . . suamiku meninggal katamu ... ?"
Supitmantil mengangguk. Sepasang mata Wulansari serta merta menjadi basah. Air mata jatuh berderai ke
pipinya. Tangis mulai menyamaki tenggorokannya. Mula-mula perlahan, kemudian
berubah menjadi ratapan yang menyayat hati. Dalam meratap perempuan ini
bertanya: "Kata- Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
kan apa yang terjadi Supit. Ceritakan padaku . . .
Ya Tuhan! Mengapa ini harus terjadi ... "!"
"Mahesa tewas di tengah laut. Waktu itu dia baru kembali dari Pulau Mayat. Dalam
perjalanan pulang ke daratan Jawa, perahu yang ditumpanginya
diserang badai. Seluruh penumpang tenggelam. Ada seorang awak perahu berhasil
menyelamatkan diri. Namun kemudian mati juga. Sebelum mati, dari dialah aku mendapat keterangan
kematian Mahesa." "Suamiku meninggal" Mati tenggelam di laut. Ya Tuhan! Betulkah ini ... "
Betulkah ini Supit . . . ?"
Wulansari terduduk di lantai serambi rumah. Kedua tangannya menutupi wajahnya
yang basah oleh air mata.
"Sebelum berangkat ke Pulau Mayat aku sempat bertemu Mahesa. Dia menerangkan
kepergiannya ke sana untuk mendapatkan sebuah pedang . . ."
"Ya . . . dia memang pernah menceritakan hal itu padaku. Mencari sebuah pedang
bernama pedang Samber Nyawa. Itu adalah tugas yang diterimanya dari gurunya
Embah Jagatnata. Suamiku . . . Mahesa
. . . Kenapa dia harus pergi ke pulau itu. Kenapa gurunya memberikan tugas yang
mencelakakan dirinya. Dan kini . . . bagaimana dengan diriku . . ."
Wulansari kembali meratap.
"Tabahkan hatimu Wulan. Semua sudah menjadi takdir dan ketentuan Tuhan . . ."
Supitmantil berusaha membujuk.
"Tuhan tidak adil . . . Tuhan tidak adil " kata Wulansari berulang kali.
"Jangan berkata begitu Wulan . .."
"Tidak! Tuhan memang tidak adil.. . Aku belum sempat berbakti pada suamiku.
Tahu-tahu kini dia pergi! Tuhan benar-benar tidak adil!" jerit Wulansari.
Kepalanya dibenturkannya ke tiang serambi. Tiang
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
rumah itu patah Wulansari sendiri kemudian jatuh pingsan!
Ketika Wulansari sadar menjelang tengahhari, sekujur tubuhnya terasa sangat
lemah. Kepalanya berat. Dia dapatkan dirinya terbaring diatas ranjang.
Keningnya mendenyut sakit. Ketika dirabanya terasa ada luka kecil dan darah yang
mengering. Dia memandang ke langit-langit ruangan. Memutar kepalanya kesamping
kiri dia melihat sosok tubuh Supitmantil tegak di ambang pintu kamar. Kemudian
perempuan ini ingat pada kabar apa yang telah disampaikan pemuda itu. Langsung
dia menjerit dan kembali meratap.
"Wulan, aku tahu ini cobaan sangat berat bagimu,"
berkata Supitmantil. "Namun kau juga harus memperhatikan keadaan dirimu. Jangan
sampai sakit . . ." "Sakit" Matipun aku mau!" menyahuti Wulansari.
"Tak ada gunanya hidup ini lagi. Mahesa . . . Mahe-Supit menunggu sampai ratap
perempuan itu me-reda. Lalu dia berkata: "Dari pagi kau belum makan apa-apa. Aku
menemukan bahan makanan di belakang dan memasaknya. Kau harus makan .. ."
"Tidak! Aku hanya ingin mati! Ingin mati!" teriak Wulansari.
Supitmantil pergi ke belakang. Sesaat kemudian dia membawa sepiring makanan dan
secangkir air. Ketika piring itu disodorkannya Wulansari mengambilnya tapi terus saja
membantingnya ke lantai. "Kalau tak mau makan minum sajalah . . ." ujar Supitmantil lalu mengangsurkan
tangannya yang memegang cangkir berisi air putih.
Wulansari tidak menyambut! malah kembali menangis. Supitmantil meletakkan
cangkir diatas sebuah meja kecil. Dia membersihkan lantai yang penuh de-
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
ngan tumpahan makanan dan pecahan piring lalu mengambil lagi sepiring makanan
dan meletakkannya diatas meja kecil. Setelah itu ditinggalkannya kamar itu,
duduk dibawah cucuran atap serambi depan.
Apa yang harus dilakukannya sekarang. Menunggu sampai perempuan itu tenang. Tapi
bagaimana kalau dia bunuh diri" Berarti maksudnya tak akan kesampaian. Memikir
sampai disitu Supitmantil cepat-cepat masuk ke dalam rumah kembali.
"Mahesa . . . Mahesa . . ." perempuan itu memanggil-manggil nama suaminya dalam
tangisnya. Ketika dilihatnya Supitmantil maka diapun berkata:
"Kau sudah menyampaikan berita malang itu. Mengapa tidak pergi" Mengapa masih
disini. . . "!"
"Aku . . . Mungkin ada sesuatu yang bisa kulakukan untukmu," jawab Supitmantil
agak gagap. "Aku tidak butuh bantuanmu. Aku tidak perlu bantuan siapapun! Pergi! Pergilah
dari sini!" "Wulan, pikiranmu sedang kacau. Tubuhmu letih lemah. Sebagai seorang sahabat
tentunya aku tak ingin jika terjadi apa-apa denganmu. Mungkin kau ingin
kuantarkan ke pantai di bagian mana Mahesa menemui nasib malangnya ..."
"Suamiku meninggal tak berkubur. Lenyap di-telan laut tak tentu rimbanya. Mahesa
. . ." Wulansari memukul-mukul dadanya. Supitmantil cepat pegangi kedua tangan
perempuan itu. Terjadi pergumulan.
Walaupun Supitmantil seorang pemuda bertenaga kuat, namun masih kalah kuat
dengan Wulansari. Tubuhnya hampir toboh ketika satu tendangan menghantam pinggangnya. Pemuda ini
melingkar di lantai sambil mengeluh kesakitan.
Hari kedua Wulansari masih tidak mau makan.
Memasuki hari ketiga tubuhnya semakin lemah dan wajahnya menjadi pucat pasi.
Supitmantil menunggui Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
di luar kamar dengan sabar. Setiap pagi dia selalu memasak makanan walau
perempuan itu tak pernah menyentuhnya. Namun menjelang siang hari ke tiga ada
tanda-tanda perubahan pada diri Wulansari. Dia merintih minta minum. Sehabis
minum, ketika Supitmantil meletakkan makanan disampingnya, dia mau memakannya
walau hanya sedikit. oOo Hari ke lima keadaan Wulansari sudah jauh ber-beda. Wajahnya yang tadi pucat
kini tampak berdarah dan berari kembali. Hanya tubuhnya masih kelihatan lemas
karena masih sulit untuk makan. Sepanjang hari dia duduk di serambi rumah,
memandang ke arah kejauhan. Tak pernah mau bicara seolah Supitmantil tak ada
disitu. Suatu ketika Supitmantil mencoba mengajaknya bicara.
"Wulan, kalau aku boleh bertanya apakah kau bermaksud melakukan sesuatu . . . ?"
Perempuan itu tidak menjawab. Kedua matanya memandang ke arah kejauhan seperti
menerawang. "Kau tidak boleh tenggelam dalam kesedihan.
Ada baiknya kau meninggalkan puncak gunung ini agar dapat melupakan kedukaan
itu. Kemana kau pergi aku ... aku bersedia menemanimu . .."
Sesaat Wulansari masih memandang ke arah kejauhan. Perlahan-lahan kemudian
kepalanya dipaling-kan ke arah pemuda itu. Dia membuka mulut seperti hendak
mengatakan sesuatu. Tapi tak ada suara yang keluar. Hanya air matanya yang
bercucuran. Supitmantil duduk di tangga serambi. Hanya terpisah se-jarak satu
langkah dari perempuan itu.
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
"Kalau aku ingin pergi... Aku akan pergi sendiri.
Tak perlu kau temani . . ." terdengar suara Wulansari perlahan.
"Aku telah kehilangan seorang sahabat bernama Mahesa. Suamimu itu. Aku tak ingin
kau bertindak nekad hingga aku kehilangan dua orang sahabat. Itu sebabnya
kukatakan tadi, aku bersedia menemanimu kemana kau pergi. Kau masih muda, lebih
muda dari-ku. Masa depanmu masih panjang. Jangan bertindak yang bisa
mencelakakan diri sendiri..."
"Tak ada lagi masa depan bagiku. Masa depanku telah tenggelam bersama Mahesa.
Tenggelam ke dasar laut.. ."
"Jangan berpikiran sedangkal itu Wulan. Aku sahabat suamimu, juga sahabatmu.
Dukamu dukaku juga. Kesedihanmu kesedihanku juga. Jika aku bisa menolong aku
akan sangat bahagia . .."
"Apakah kau bisa menolong menghidupkan Mahesa kembali... ?"
"Pertanyaanmu aneh sekali," ujar Supitmantil.
"Mana mungkin aku bisa menghidupkan Mahesa.
Malaikatpun tak akan bisa. Hanya saja . . ."
"Hanya saja apa .. .?"
"Kalau aku cukup pantas menjadi pengganti sahabatku yang hilang itu .. ."
Wulansari tiba-tiba melompat dari duduknya.
Sreeettt! Sinar merah berkiblat. Detik itu tampak perempuan ini tegak memegang Pedang Dewi
yang memancarkan sinar merah terang, menatap garang ke arah Supitmantil!
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
SUPITMANTIL tersurut kaget. Parasnya
memucat. Dia tahu betul jika Wulansari benar-benar hendak menjatuhkan tangan
keras paling lama dia hanya bisa bertahan tiga atau empat jurus. Ketinggian ilmu
perempuan itu bukan tandingannya. Apalagi dalam keadaan seperti itu, dia bisa
bertindak nekad dan ganas.
"Belum empat puluh hari suamiku meninggal.
Jenazahnyapun tak pernah ditemukan. Dia mati tak berkubur! Dan kau berani bicara
seperti itu!" Kedua mata Wulansari meskipun basah oleh air mata tapi tampak berapi-api.
"Harap maafkan kalau ucapanku menyinggungmu,"
Supitmantil cepat-cepat minta maaf. "Bukan maksudku berlaku lancang. Apa yang
kukatakan tadi keluar dari hati yang tulus . .." Dalam hatinya pemuda ini mulai
merasa ragu apakah maksudnya mendapatkan perempuan itu akan kesampaian. Maka
diapun memancing dengan ucapan: "Jika aku memang tidak diperlukan disini,
izinkan aku minta diri. Harap maafkan kalau kedatanganku hanya menyusahkanmu.
Aku kemari hanya karena menyadari bahwa itu adalah kewajibanku sebagai sahabat
mendiang suamimu dan juga sahabatmu . . ."
Wulansari terdiam. Sesaat kepalanya tertunduk.
Kemudian perlahan-lahan pedang mustika sakti Pedang Dewi dimasukkannya kembali
ke dalam sarungnya. Supitmantil menarik nafas lega. Terlebih ketika didengarnya Wulansari berkata.
"Maafkan kalau aku tadi bertindak dan berkata kasar. Pikiranku sedang kacau.
Letih lahir dan batin . . ."
"Kau memang perlu istirahat. Perlu menenangkan pikiran . . ."


Mahesa Kelud - Serigala Berbulu Domba di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wulansari menatap paras pemuda itu sesaat. Di-
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
bandingkan dengan Mahesa, dalam soal ilmu silat dan kesaktian pemuda ini jauh
ketinggalan. Tetapi dalam soal kegagahan paras, dia harus mengakui
Supitmantil seorang pemuda yang tampan dan cakap.
Wulansari tiba-tiba sadar. Dalam keadaan seperti saat itu, bukan tempatnya dia
harus membanding bandingkan Mahesa dengan Supitmantil.
"Apakah kau hendak segera pergi . . . ?" Wulansari bertanya.
"Jika tak ada lagi yang dapat kulakukan disini maka aku akan mohon diri. Hanya
harap kau suka mempertimbangkan maksud tulusku tadi..."
"Bukan saatnya membicarakan itu sekarang."
kata wulansari pula. Nada suaranya tidak sekeras sebelumnya dan diam-diam
Supitmantil melihat adanya satu harapan. Satu harapan yang menjanjikan.
Hati pemuda ini berbunga-bunga ketika didengarnya Wulansari bertanya: "Apakah
kau mau mengantar aku ke pantai di jurusan mana Mahesa tenggelam?"
"Tentu saja Wulan, kemanapun kau pergi akan kuantar. Kita turun gunung dan
mencari dua ekor kuua. Perjalanan ke ujung timur Jawa cukup sulit dan jauh ..."
oOo SESAMPAINYA di pantai timur ujung pulau
Jawa, tak banyak yang bisa dilakukan Wulansari selain berhari-hari duduk
bermenung memandang ke tengah laut. Supitmantil dengan setia selalu menemaninya,
malah membangun sebuah gubuk kecil tempat Wulansari be r teduh dari teriknya
sinar matahari siang hari dan embun dingin pada malam hari.
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
Pada pagi hari ke empat Supitmantil berkata:
"Siang malam berada di sini bisa membuatmu saku Wulan. Kapan kita bisa
meninggalkan tempat ini?"
"Terserah padamulah Supit ..." sahut Wulansari.
"Aku hanya ingin melepaskan kerinduan pada orang yang tak bakal kujumpai lagi
selama-lamanya . . ."
Suara perempuan itu bernada lembut tapi juga mengandung kesedihan yang mendalam.
Selama mengadakan perjalanan yang jauh dari puncak Muria sampai ke ujung timur
pulau Jawa, Wulansari merasakan hubungannya dengan Supitmantil bertambah dekat
dan erat. Dari perasaan hanya menganggap pemuda itu sebagai seorang
sahabat penolong, kemudian berubah menjadi rasa suka. Memang agar maksudnya
kesampaian Supitmantil sengaja mengajuk hati perempuan itu.
"Makin cepat pergi dari sini makin baik," berkata Supitmantil.
"Ya, tapi aku akan pergi kemana dan kau juga kemana?"
"Sudah kubilang, kemanapun kau pergi aku akan menemani. Mungkin ke kampung
halaman . . . ?" Wulansari menggeleng. "Kedua orang tuaku sudah meninggal. Sanak saudarapun aku
tak punya. Mereka semua mati di tangan Suto Nyamat, Adipati Madiun keparat itu.
Bagaimana kalau kita ke tsmpat salah seorang guruku ..."
Sebenarnya Supitmantil tidak menyetujui maksud itu. Namun untuk tidak
menimbulkan kecurigaan maka diapun bertanya: "Gurumu yang mana . . "
"Suara Tanpa Rupa. Dia tinggal di sebuah gua karang. Di utara Madiun. Mungkin
beliau bisa memberi petunjuk ..."
Maka kedua orang itupun tinggalkan pantai, berkuda menuju ke barat.
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
MASIH cukup jauh dari gua kediaman gurunya
seekor anak rusa tiba-tiba muncul dan lari melompat-lompat mendahului kuda yang
ditungganginya. "Joko Cilik!" seru Wulansari, ketika melihat anak rusa itu yang kini tambah jauh
lebih besar, siap menjadi seekor rusa jantan yang dewasa. Wulan hentikan
kudanya, melompat turun dan langsung mendukung menciumi Joko Cilik. "Kau sudah
sangat besar Joko. Tubuhmu berat sekali. Tak kuat aku menggendong-mu lama-lama. Hai, apakah guru
ada di pertapaan nya?"
Rusa itu kedip-kedipkan mata. Wulansari tertawa lebar lalu turunkan Joko Cilik
dari dukungannya. "Ayo kau antarkan kami kesana!" Joko Cilik turun ke tanah, sesaat dia
mengarahkan kepalanya pad-Supitmantil lalu melompat pergi mendahului.
"Apakah itu Joko Cilik, rusa peliharaan gurumu yang sering kau ceritakan?" tanya
Supitmantil. "Ya," sahut Wulansari. "Dia bukan rusa biasa.
Memiliki kepandaian silat aneh yang sanggup menan-dingi jago silat berkepandaian
tinggi ..." Supitmantil mengangguk-angguk. Semakin dekat dia ke gua kediaman Suara Tanpa
Rupa semakin tidak enak hatinya. Perasaan waswas
menyelimutinya. Khawatir kalau terjadi sesuatu yang bisa membuka kedoknya.
oOo Gua karang tempat kediaman Suara Tanpa Rupa hampir tidak berubah sama sekali.
Keadaannya bersih. Joko Cilik duduk disudut ruangan, memandang ke arah kedua
orang itu. Begitu masuk Wulansari bersimpuh di lantai, menghatur sembah seraya
berkata: "Guru, saya muridmu Wulansari datang me-
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
nyambangimu dan menghatur sembah. Mohon di-maafkan kalau sudah sekian lama baru
hari ini murid bisa mengunjungimu . .."
Sunyi sesaat. Lalu kesunyian itu dipecahkan oleh satu suara menggema dan
menggetarkan seantero ruangan karang.
"Muridku Wulansari, aku gembira melihat ke-datanganmu. Kita manusia memang
mempunyai ke-sibukan sendiri-sendiri. Aku tidak marah kalau baru hari ini kau
muncul. Itu satu pertanda bahwa kau tidak pernah melupakan kakek kakek buruk ini
. . ." Suara Tanpa Rupa terdengar tertawa lalu dia bertanya: "Apakah kau ada merawat
Pedang Dewi baik-baik ..."
"Saya merawatnya dengan baik guru. Apakah guru ingin melihatnya?" Wulansari
hendak mengambil pedang sakti itu dari balik punggungnya. Namun tak jadi ketika
mendengar Suara Tanpa Rupa berkata.
"Tak usah Wulan, aku percaya kau merawatnya dengan baik baik. Hari ini kau
datang tidak sendirian. Mana suamimu Mahesa Kelud dan siapa pemuda
yang datang bersamamu ini. . ?"
Sementara Supitmantil merasa agak sesak dadanya mendengar pertanyaan itu,
Wulansari langsung keluarkan suara tangisan.
"Ah, kau menangis muridku. Pasti ada berita buruk yang akan kudengar. . ." kata
Suara Tanpa Rupa. "Benar guru, nasib malang menimpa Mahesa,"
Lalu Wulansari menuturkan apa yang telah terjadi.
Selesai Wulansari memberi keterangan Suara Tanpa Rupa menghela nafas panjang.
"Muridku tabahkan hatimu. Ketahuilah soal nyawa kita manusia adalah rahasia
Tuhan Yang Maha Kuasa. Dia yang memberi kehidupan pada kita dan
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
dia pula yang berhak mengambilnya kembali.
Kedukaanmu adalah kedukaanku juga. Kau belum menerangkan siapa pemuda yang
datang bersamamu . . ." "Dia sahabat saya, juga sahabat Mahesa," jawab Wulansari lalu memberi keterangan
lebih lengkap tentang diri Supitmantil.
"Sekarang apa yang akan kau lakukan Wulan"
Apa rencanamu?" bertanya Suara Tanpa Rupa.
"Justru kami datang kemari untuk meminta pe-tunjukmu, guru," jawab Wulansari.
"Kami katamu Wulan" Maksudmu kau dan sahabatmu yang bernama Supitmantil
ini . . . ?" bertanya Suara Tanpa Rupa untuk mendapatkan ketegasan.
Wulansari tak dapat menjawab. Kepalanya tertunduk. Sebaliknya Supitmantil dengan
beranikan diri untuk pertama kalinya berkata: "Maksud adik Wulan adalah mengenai
hubungan kami berdua."
"Oh begitu . . .?" Suara sang guru bernada datar.
Setelah sunyi sejenak maka dia kembali terdengar suara dari tempat yang tak
terlihat oleh kedua orang itu. "Bagi seorang lelaki atau seorang perempuan
memang kurang baik hidup seorang diri. Apalagi kalau suaah pernah menikah dan
kemudian menjadi randa atau duda. Aku yang boleh kalian anggap sebagai pengganti
orang tua tidak bisa memberikan kata putus. Aku hanya dapat memberikan doa restu
Keputusan adalah uitangan kalian masing-masing. Jika kau Wulan sudah berbulat
hati menerima Supitmantil jadi pengganti suamimu yang hilang aku bersedia
menikahkan kalian saat ini. Tuhan Yang Maha Kuasa menjadi saksi..."
Wulansari tidak memberikan jawaban.
"Wulan, kau tak menjawab. Apakah ada sesuatu yang menjadi ganjalan?" tanya Suara
Tanpa Rupa. Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
"Saya . . . saya tidak tahu guru .. ." sahut Wulansari.
Suara Tanpa Rupa tertawa. "Perempuan memang selalu begitu. Selalu malu-malu
mengatakan ya pada-hal hati dan perasaannya sama menyetujui. Aku tahu kau
menyukai Supitmantil walau saat ini mungkin Kau masih diliputi kedukaan. Namun
jika kau suka tidak menjadi halangan bagimu unt.ik menikahkanmu saat ini..."
Maka Suara Tanpa Rupa lalu menikahkan kedua orang itu, disaksikan Yang Maha
Kuasa dan Joko Cilik yang sejak tadi duduk tak bergerak di sudut ruangan.
Sebelum keduanya meninggalkan gua karang, sang guru memberi petunjuk agar mereka
kembali dulu ke puncak Gunung Muria dan menetap disana selama satu atau dua
minggu sebelum menyusun rencana baru. Sebenarnya Supitmantil tak ingin mereka
kembali ke Gunung Mu ria. Bukan saja itu dapat menimbulkan kenangan lama atas
kehidupan masa silam bagi Wulansari, tapi yang lebih dikhawatirkannya adalah
kalau Mahesa Kelud muncul dengan tiba-tiba.
Namun karena Wulansari bersikeras akan mengikuti petunjuk gurunya maka mau tak
mau Supitmantil terpaksa juga mengikuti kehendak "istrinya" itu.
ooOOOoo Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
KITA KEMBALI pada peristiwa pertempuran antara Mahesa Kelud dan Sembilan Biru
yang dikeroyok oleh sepasang pengemis kembar. Datuk Ular, Gambir Putih dan
Pendekar Kembang Merah. Seperti
dituturkan dalam bab sebelumnya meskipun berhasil menewaskan Pendekar Kembang
Merah serta Gambir Putih namun hantaman kipas sakti lawan yang berjuluk Pengemis Berkipas
Putih membuat Mahesa Kelud terpental jatuh ke dalam jurang batu yang gelap.
Sebelumnya Sembilan Biru telah lebih dulu mengalami nasib yang sama!
Gema pekik Sembilan Biru yang melayang jatuh ke dalam jurang batu yang gelap
terdengar mengerikan. Gadis itu sendiri kemudian jatuh pingsan selagi tubuhnya
melayang di udara, ditunggu batu-batu padas keras dibawah sana.
Namun benarlah ujar-ujar orang tua-tua. Sebelum ajal berpantang mati. Soal jiwa
manusia adalah kuasanya Tuhan. Selagi tubuh Sembilan Biru yang berada dalam
keadaan pingsan itu melayang jatuh dengan deras menuju dasar jurang, dari
lamping jurang sebelah kiri yang gelap gulita terdengar suara orang berseru.
"O ladalah! Perempuan manakah yang bernasib jelek, jatuh terjerumus ke dalam
jurang malam buta begini"!"
Suara seruan itu keluar dari mulut sebuah goa besar gelap, yang terdapat di
bagian tengah dinding kiri jurang batu. Disaat yang sama, dalam kegelapan yang
begitu pekat tampak tegak seorang kakek bungkuk di mulut gua. Dia mendongak ke
atas. Matanya yang kuyu seolah-olah dapat menembus kegelapan malam. Dan begitu melihat
sosok tubuh Sembilan Biru yang melayang jatuh kakek ini goleng-goleng kepala.
Tangan kanannya disentakkan ke
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
depan. Segulung benda berbentuk benang putih yang sangat halus melesat menjulur.
Secara aneh benang ini kemudian menggulung sekujur tubuh Sembilan Biru mulai
dari bahu sampai ke pinggul.
Dengan satu gerakan menyentak ke belakang maka terjadilah satu keanehan yang
sulit dipercaya. Tubuh Sembilan Biru yang tadi amblas jatuh ke bawah kini
terbetot dan melayang ke mulut goa. Si kakek kedut-kedutkan benang yang
dipegangnya, tak ubah seperti seorang tengah main layang-layang. Tubuh Sembilan
Biru perlahan-lahan jatuh ke lantai goa sebelah dalam. Begitu tubuh Sembilan
Biru menggeletak di lantai goa, kakek bungkuk tadi segera mendatangi, lepaskan
gulungan benang dan memeriksa.
"Gadis cantik. Kasihan . . ." kata si kakek. Dia melihat ada darah keluar dari
hidung dan sela bibir Sembilan Biru. Dipegangnya lengan gadis itu, terasa
dingin. Disingkapkannya dada pakaian si gadis. Kelihatan luka dibahu dan tanda
biru disekitar dada tanda Sembilan Biru terluka parah di sebelah dalam.
"Siapa yang begitu tega menurunkan tangan jahat pada gadis seperti ini . . ." Si
kakek goleng-goleng kepala. Ketika dia hendak mendukung tubuh gadis itu ke dalam
goa ke tempat yang lebih baik, tiba-tiba di luar sana dilihatnya ada cahaya
merah terang melesat dari atas jurang baru menuju ke bawah.
"Hai! Benda apa pula itu!" seru si kakek heran.
Gulungan benang halus yang ada di tangan kanannya disentakkan ke depan. Benang
itu melesat laksana anak panah, memapas benda merah yang jatuh, langsung
melibatnya. Ketika si kakek hendak menyempatkan menariknya, tiba-tiba sebuah
benda lain tampak pula melayang jatuh. Sosok tubuh manusia! Si kakek berseru
kaget. Cepat dia gerakkan tangannya yang memegang benang halus. Benang
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
yang sudah melibat benda merah tadi kini bersama-sama benda merah itu bergulung
membuntal tubuh yang jatuh. Si kakek sampai memercikkan keringat di keningnya.
Bukan karena pekerjaan itu sulit atau berat baginya, tapi saking kagetnya karena
dalam waktu susul menyusul malam itu ada dua sosok tubuh yang jatuh ke jurang
ditambah sebuah benda mengeluarkan cahaya merah.
Sekali sentak saja maka sosok tubuh berikut benda bercahaya merah itu terbetot
ke mulut goa. Kembali si kakek mengedut ngedutkan benang halus.
Perlahan-lahan sosok tubuh itu jatuh ke lantai goa.
Begitu si kakek mendekati maka kagetlah dia.
"Pedang mustika sakti . . . !" serunya dengan pandangan mata tak percaya.
Ternyata benda yang mengeluarkan sinar merah itu adalah sebuah pedang sedang
sosok tubuh yang tergeletak di lantai bukan lain adalah tubuh Mahesa Keluu.
Antara sadar dan tidak pemuJa ini berusaha bangun, namun tak mampu.
Tubuhnya jatuh kembali langsung pingsan. Si kakek memeriksa. Tak ada darah yang
mengucur dari hidung atau mulut pemuda itu. Tapi ketika disingkap dada
pakaiannya maka tampaklah dada yang
berwarna kebiru-biruan seperti dada gadis yang duluan jatuh itu.
"Luka dalam yang.sama . . ." desis si kakek.
Sepasang matanya menyipit ketika pada pinggang Mahesa dilihatnya merambas sinar
kuning. Ketika disingkapnya pakaian di bagian pinggang pemuda ini maka tampaklah
hulu Keris Ular Emas yang memancarkan sinar kuning.
"Pemuda ini tentunya bukan orang sembarangan!
Kalau tidak mustahil dia membekal dua senjata sakti begini rupa!"
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
Si kakek lepaskan gulungan benang yang mengikat Pedang Dewa dan tubuh Mahesa.
Untuk beberapa lama dia memperhatikan pedang sakti itu dengan penuh rasa kagum.
Dilihatnya ada noda darah di badan pedang. Dia segera maklum, pasti telah
terjadi perkelahian sebelumnya. Agaknya si pemuda dan gadis berbaju biru itu
berada di pihak yang sama. Si kakek mendekatkan badan pedang ke mukanya lalu
meniup perlahan. Noda darah yang ada pada senjata itu serta merta lenyap. Pedang
itu kini bersih berkilat seperti baru saja digosok. Dengan hati-hati
dimasukkannya ke dalam sarungnya lalu diletakkan di sudut goa.
Di bagian dalam goa terdapat beberapa buah batu besar rata hampir menyerupai
meja besar atau tempat tidur. Orang tua itu membaringkan Sembilan Biru di atas
batu ujung kanan. Mahesa diletakkannya di atas batu sebelah kiri. Kemudian
kembali dia memeriksa keadaan tubuh kedua orang itu. Sambil geleng-geleng kepala
dia membatin. "Sepasang muda mudi ini, kalau tidak berkepandaian tinggi pasti
sudah menemui ajal akibat keracunan dan luka dalam yang parah. Tapi yang
perempuan ini menderita lebih he bat. Aku harus menolongnya lebih dulu.
Kasihan . . . kasihan . . . Mengapa di atas dunia ini manusia yang katanya beradab masih saja
saling melakukan kekerasan. Tak segan-segan merenggut nyawa
sesamanya. Dunia hampir kiamat rupanya!"
Orang tua itu berlutut di ujung batu dimana Sem bilan Biru terbaring pingsan.
Tampak dia meniup kedua teiapak kaki si gadis beberapa kali. Setelah itu dia
melakukan tiga kali totokan di kaki kiri dan tiga totokan di kaki kanan. Setelah
meniup lagi kedua ka-ki itu beberapa kali maka diapun berpindah pada Mahesa
Kelud dan melakukan hai yang sama. Kemu-
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/


Mahesa Kelud - Serigala Berbulu Domba di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dian orang tua ini pergi ke batu besar di ujung kiri, membaringkan tubuhnya
disini. Tak lama kemudian terdengar suara dengkurnya panjang pendek!
Si kakek ini tidak tahu berapa lama dia tidur dan akan terus mendengkur kalau
tubuhnya yang bungkuk tidak digoyang-goyang orang. Sambil menggeliat dia buka
kedua matanya dan berkata setengah mengomel: "Orang masih enak-enakan bermimpi,
siapa yang begitu jahil lancang membangunkan"!" Ketika melihat siapa yang tegak
di samping pembaringan batu, kakek bungkuk ini cepat duduk. "Hai! Kalian berdua
dalam keadaan luka parah! Kembali berbaring diatas ranjang batu itu!"
Saat itu sudah pagi. Mahesa Kelud siuman dan pingsannya dan merasakan dadanya
sangat sakit. Memandang berkeliling dia dapatkan dirinya berada dalam sebuah goa aneh.
Sembilan Biru terbaring di ujung kanannya. Lalu dilihatnya seorang kakek tidur
meringkuk dan mendengkur. Di sudut goa tampak tersandar Pedang Dewa miliknya.
Dengan susah payah Mahesa melangkah tertatih-tatih mengambil senjata sakti itu.
Saat itulah Sembilan Biru sadar pula dari pingsannya dan langsung hendak
berdiri. Tapi dia terduduk di pinggiran ranjang batu ketika darah membersit di sela
bibirnya. Dadanya mendenyut sakit dan kepalanya terasa berat.
"Dimana kita ini . . . ?" tanya Sembilan Biru lalu pegangi dadanya yang sakit
bukan main. Mahesa hanya bisa menjawab dengan gelengan kepala. Mulutnya terasa kesat dan
tenggorokannya panas seperti terbakar. Dadanya sakit bukan kepa-lang, seperti
ditindih batu besar ratusan kati.
"Siapa kakek itu . . huahhh!" Sembilan Biru muntahkan darah kental. Tubuhnya
terasa limbung namun dia berusaha agar tetap duduk di tepi ranjang
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
batu. Mahesa Kelud ingat benar. Malam tadi dia menyaksikan Sembilan Biru terpental ke
dalam jurang setelah dihantam serangan kipas Pengemis Berkipas Putih. Setelah
itu menyusui dirinya. Lalu dia tak ingat apa-apa lagi sampai pagi itu dia siuman
dan dapatkan dirinya berada dalam goa misterius bersama Sembilan Biru dan
seorang kakek aneh. Apakah si kakek ini pemilik goa tersebut. Mahesa membungkuk,
ulurkan tangan lalu menggoyang-goyangkan tubuh si orang tua untuk
membangunkannya. Si kakek terbangun sambil mengomel. Ketika melihat Mahesa dan Sembilan Biru
tidak lagi terbaring di atas ranjang batu maka dia berteriak memerintahkan agar
kedua orang itu kembali ke pembaringan masing-masing.
Mahesa tidak perdulikan teriakan orang tua itu.
Malah berkata: "Kek, apa yang terjadi malam tadi"
Kau pasti orang yang telah menolong kami hingga selamat dari kematian di dasar
jurang!" "Kalau kalian tidak mau berbaring, aku tidak akan memberi keterangan! Atau
mungkin kalian sudah kepingin buru-buru mati!"
Mau tak mau Mahesa dan Sembilan Biru me-
rebahkan diri kembali diatas batu besar.
"Kami sudah berbaring. Sekarang berilah keterangan," kata Sembilan Biru.
"Bagus! Terlebih dahulu kalian yang harus memberi keterangan. Apa yang terjadi
hingga kalian terjerumus ke dalam jurang."
Sembilan Biru hendak menjawab tapi Mahesa cepat memberi isyarat dan beri
keterangan tentang perkelahian malam tadi. Hanya dia tidak menceritakan pangkal
sebabnya, juga tidak mengatakan siapa-siapa adanya para pengeroyok.
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
Si kakek manggut manggut. Agaknya diapun ti dak mau ambil pusing menanyakan
mengapa kedua muda mudi itu sampai dikeroyok dan siapa pengeroyok mereka.
"Kalian tahu, kalian berdua menderita luka dalam yang amat parah. Terutama kau
gadis berbaju biru. Siapa namamu?" "Orang-orang memanggilku Sembilan Biru .. ."
Si kakek tertawa. "Nama aneh. Tapi apa perduli-ku!" Dia berpaling pada Mahesa
dan menanyakan nama pemuda itu. Mahesa menerangkan siapa
dirinya. "Paling tidak kalian harus tinggal sebulan lebih di tempatku ini. Kau Sembilan
Biru, mungkin akan memakan waktu dua bulan sampai lukamu sembuh .. ."
"Jadi benar kau yang telah menolong kami,"
ujar Mahesa. "Aku berhutang nyawa dan berhutang budi. Aku sangat berterima kasih
padamu kek." "Aku juga," sambung Sembilan Biru.
Orang tua itu kembali tertawa. Dia kembali membentak marah ketika melihat Mahesa
tiba-tiba bangkit dari pembaringan batu.
"Kek, aku sadar dalam keadaan terluka. Tapi aku tak bisa harus mendekam disini
selama sebulan. Biar aku pergi. Aku harus menemui seseorang yang telah lama
kutinggal. Istriku . . ."
"Kau sayang istrimu. Tapi tak sayang nyawa sendiri! Manusia tolol macam apa kau"
Jika kau mati apa kau kira akan bisa melihat istrimu?"
Mahesa Kelud terdiam mendengar ucapan orang tua itu. Namun walau bagaimanapun
dia tak mungkin berlama-lama di dalam goa itu. Dia tahu si kakek bermaksud
sangat baik terhadapnya. Tapi dia sudah
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
sangat rindu terhadap Wulansari. Dalam perjalanan ke Muria dia bisa mengobati
sendiri luka dalamnya. "Maafkan aku kek. Aku harus pergi ..." kata Mahesa seraya berdiri.
"Terserah kaulah!" kata si kakek tak acuh.
Mahesa melangkah ke mulut goa. Sampai di mulut goa dia jadi bingung sendiri.
Dihadapannya memben-tang jurang batu yang luas dan dalam. Goa dimana dia berada
terletak pada lamping jurang yang merupakan dinding tinggi tegak lurus. Tak ada
jalan menuju ke bawah apalagi menuju ke atas jurang.
Mahesa jadi terkesima beberapa lama. Bagaimana dia mungkin dapat meninggalkan
goa tersebut. Dia berpaling pada si kakek dan bertanya-tanya dalam hati.
Bagaimana si kakek bisa keluar masuk goanya"
Mustahil kalau dia tak pernah meninggalkan goanya.
Pasti ada jalan rahasia atau satu cara yang luar biasa. Mahesa memperhitungkan,
bagaimanapun tingginya ilmu seseorang, tak mungkin dia sanggup memanjat menuju
ujung jurang sebelah atas, apalagi keluar dari jurang dengan jalan melompat.
Si kakek tampak senyum-senyum. "Jika kau merasa sanggup memanjat dinding jurang
itu, silahkan pergi..." katanya.
"Kau sendiri, bagaimana bisa keluar masuk ke dalam goa ini?" tanya Mahesa.
"Itu satu rahasia yang tidak bisa kukatakan padamu sekarang. Kau masih ingin
pergi.. . ?" Mahesa menggigit bibir. "Aku menyerah," katanya.
Si kakek tertawa mengekeh.
"Kami ingin tahu bagaimana kau menyelamatkan kami waktu jatuh ke dalam jurang!"
terdengar Sembilan Biru berkata.
"Betul!" menyambung Mahesa.
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
Orang tua itu keluarkan segulung benang sutera putih yang sangat halus. "Aku
menolong kalian dengan ini!" katanya.
Mahesa terbelalak. Sembilan Biru ternganga. Tentu saja sulit mereka dapat
mempercayai keterangan si kakek. Mahesa malah berkata: "Jangankan dengan benang,
batangan besipun belum tentu dapat
menahan deras dan beratnya daya tubuh kami yang jatuh . . ."
"Kalau begitu terpaksa harus kuperlihatkan sesuatu padamu. Harap kalian jangan
anggap aku tua bangka sombong!"
Habis berkata begitu orang tua ini melangkah ke belakang salah satu batu besar
berbentuk tempat ti dur. Dia memandang pada Mahesa dan Wulansari yang terbaring
diatas batu sambil menyeringai.
Tangan kanannya mengambil gulungan benang dari dalam saku pakaiannya. Selagi
kedua muja mudi itu bertanya-tanya apa yang hendak dilakukan orang itu, si kakek
tiba-tiba tendang batu besar berbentuk tempat tidur dengan kaki tangannya yang
kurus kering. Dan terjadilah satu hal yang hebat!
Batu besar yang beratnya ratusan kati itu, laksana sepotong papan lapuk,
mencelat ke luar goa, melayang diatas jurang batu! Mahesa dan Wulansari saking
kagetnya sama-sama tegak berdiri dari atas pembaringan batu walaupun dada
masing-masing terasa sakit.
Sambil bersiul-siul kecil si kakek gerakkan tangan kanannya yang memegang
gulungan benang sutera berwarna putih. Benang ini melesat laksana anak panah ke
luar goa, langsung menggelung batu besar hitam yang saat itu siap melayang jatuh
ke bawah. Cepat dan aneh sekali gerakan
menggelung benang sutera itu hingga dua pertiga
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
batu hitam besar terbungkus. Sebelum melayang ke bawah si kakek menyentakkan
tangan kanannya. Batu hitam yang tergelung benang tertarik ke belakang, memasuki mulut goa terus
masuk ke dalam. Dengan beberapa kali kedutan batu berat itu jatuh perlahan-lahan
ke tempatnya semula tanpa mengeluarkan sedikit suarapun!
"Kakek! Kau hebat sekali!" seru Mahesa yang tak dapat menahan rasa kagumnya yang
amat sangat sementara Sembilan Biru tegak ternganga seolah tak percaya akan apa
yang barusan disaksi kannya.
Mendengar seruan Mahesa Kelud orang tua itu berpaling lalu membentak seperti
marah: "Hai! Siapa yang suruh kalian berdiri! Lekas berbaring kembali kalau mau sembuh!"
Maka Mahesa dan Sembilan Biru pun kembali merebahkan diri diatas pembaringan
batu. Begitulah, mulai hari itu Mahesa Kelud dan Sembilan Biru tinggal di goa batu
tersebut, berada dalam perawatan si kakek. Satu bulan berlalu. Luka dalam yang
diderita Mahesa sudah hampir sembuh.
Sebaliknya Sembilan Biru masih jauh dari sembuh.
Ini disebabkan karena daya tahan atau kekuatan tubuhnya dibanding dengan Mahesa
jauh lebih lemah, demikian pula tingkat tenaga dalamnya berada di bawah Mahesa.
Sehingga meskipun terkena pukulan yang sama namun si gadis menderita lebih
parah. Jadi perlu waktu lebih lama untuk mengobatinya.
Suatu pagi Mahesa menemui si kakek yang saat itu menyibukkan diri menggulung
gulung benang suteranya. "Ah, tidak biasanya kau duduk dihadapanku seperti ini. Pasti ada sesuatu yang
hendak kau katakan. Atau mungkin kau ingin bertanya " ujar si kakek.
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
"Dua-duanya kek. Bertanya dan bicara," sahut Mahesa. Ketika orang tua itu
manggut-manggut maka pemuda itu meneruskan kata-katanya. "Pertama, telah sekian
lama aku dan juga Sembilan Biru merasa cukup sehat, namun sampai hari ini pula
kami belum mengetahui siapa kakek ini sebenarnya. Jika bernama siapa namanya,
jika bergelar siapa gelarnya . .."
Orang tua itu tertawa sambil main-mainkan gulungan benang.
"Setiap manusia dilahirkan tentu bernama. Nama yang diberikan orang tuanya. Tapi
aku tidak bernama karena tidak punya orang tua . .."
Saat itu Sembilan Biru sudah duduk pula disamping Mahesa.
"Bagaimana pula kakek ini, masakan kau tidak punya orang tua?"
"Begitulah nasibku!" "Aku . . . menurut orang yang menceritakan padaku, entah
bagaimana tahu-tahu berada dalam sebuah goa di rimba belantara.
Dalam keadaan masih bayi tentunya. Nah, dalam keadaan seperti itu siapa pula
yang memberikan nama padaku" Temanku dalam goa itu hanya binatang melata seperti
ular, kalajengking. Ada juga tikus dan cacing. Tapi yang paling banyak laba-laba
. - " Sampai disitu si kakek kembali tertawa.
"Kalau kau memang tak bernama tak jadi apa.
Tapi pasti orang sehebatmu punya gelar atau julukan dalam dunia
persilatan . . ." kata Sembilan Biru.
Si kakek tersenyum kecil. "Dunia persilatan . . ."
katanya perlahan. "Sudah sangat lama aku meninggalkan dunia itu. Dunia yang hari
demi hari semakin penuh keributan, penuh silang sengketa dan penuh kebusukan.
Tak usahlah kuberitahu gelar atau julukanku para anak muda. Aku malu karena cuma
gelar buruk belaka .. ."
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
Sadar orang tak mau menerangkan tentang dirinya maka Mahesa mengatakan maksud
pembicaraannya yang kedua pada si kakek.
"Kek, berkat perawatan dan pengobatanmu aku sudah merasa sembuh. Tadi malam aku
bermimpi melihat rembulan disambar petir. Sampai saat ini hatiku merasa tak
enak. Aku ingin segera pergi ke puncak Muria untuk menemui istriku. Kuharap kau
berkenan mengizinkan . . ."
Orang tua itu mengangguk. "Mimpi adalah bunga tidur. Jangan sekali-kali kau
mempercayainya Mahesa. Jika kau memang sudah merasa sembuh dan ingin pergi, tak
ada halangan. Kau boleh pergi. .."
"Saya juga ingin pergi kek . . ." kata Sembilan Biru.
"Oh kau . . . ?" Orang tua itu tertawa lebar dan lalu geleng-geleng kepala.
"Luka dalammu masih jauh dari sembuh. Paling tidak kau harus tinggal di sini
satu bulan lagi. . "
"Aduh lamanya . .. !" keluh Sembilan Biru.
"Demi kesembuhanmu. Kecuali kalau kau tak sayang diri . . ."
Sembilan Biru terdiam. Bagaimanapun apa yang dikatakan si kakek memang betul.
Sebenarnya hatinya terdorong hendak pergi karena mendengar Mahesa hendak
meninggalkan goa itu. "Jika kau berkenan kek, aku minta diri sekarang juga," kata Mahesa.
"Ya ... ya, kau boleh pergi!"
Mahesa menjura hormat lalu berdiri. Setelah berdiri dia tetap saja tegak
ditempatnya. Sesekali dia berpaling pada Sembilan Biru.
"Hai, mengapa belum pergi juga" Apa kau hendak mengajak serta gadis ini?" tanya
si kakek. Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
"Tidak kek. Hanya saja aku .. . aku tak tahu mana jalan keluar. .." jawab
Mahesa. "Hai! Apa kau buta. Itu jelas mulut goa di sebelah depan sana . .."
"Betul. Tapi diluar goa, yang ada dinding batu tegak lurus, tak mungkin dipanjat
ke atas atau melompat ke bibir jurang batu di seberangnya!" jawab Mahesa
bingung. Orang tua itu tertawa. Dia mendekati Mahesa.
Kaki kanannya tiba-tiba bergerak menendang.
Persis seperti dia menendang batu besar dulu, maka tubuh Mahesa terlempar ke
luar goa, melayang di jurang batu. Sembilan Biru keluarkan pekik tertahan.
Si kakek tenang-tenang saja. Mahesa tampak jungkir balik di atas jurang sana.
Sekali si kakek menggerak-kan tangan kanannya, maka gulungan benang
melesat menyusul tubuh Mahesa'Kelud, langsung bergulung membungkus si pemuda.
Sesaat kemudian Mahesa merasakan tubuhnya seperti dilentingkan ke atas. Dia melayang
jauh ke atas seperti hendak menembus langit. Di lain kejap tubuhnya telah keluar
dari jurang lalu perlahan-lahan turun ke tanah berbatu-batu di pinggiran rimba
belantara, tepat dimana dia bersama Sembilan Biru dulu dikeroyok oleh Datuk Ular
dan kawan-kawannya. "Orang tua itu benar-benar luar biasa!" memuji Mahesa sambil seka keringat
dingin yang mengucur di tengkuknya, gamang dilemparkan jauh-jauh secara aneh
begitu rupa. Ketika dia meneliti tubuhnya, astaga! Gulungan benang yang tadi
membuntal badannya telah lenyap!
ooOOOoo Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
PAGI ITU langit tampak mendung. Angin bertiup kencang. Supitmantil berdiri
diambang pintu rumah kayu, memperhatikan Wulansari istrinya berkemas-kemas.
Hatinya gembira akhirnya Wulansari bersedia juga meninggalkan tempat kediamannya
itu. Selama ini Supitmantil selalu merasa khawatir kalau-kalau Mahesa Kelud
tiba-tiba muncul. "Kita berangkat sekarang Wulan?" tanya Supitmantil.
Wulansari mengangguk. Dibetulkannya letak Pedang Dewi yang tersisip di balik
punggung. Walaupun kini sudah jalan lebih dari dua bulan dia menjadi suami
lelaki itu, namun bayangan Mahesa Kelud, suaminya yang pertama yang disangkanya
benar-benar sudah mati tidak dapat pupus dari ingatan-nya. Dia merasa bersyukur
bahwa Supitmantil ternyata seorang suami yang sangat baik, lemah lembut tutur
cakapnya hingga keperihan hati akibat kehilangan Mahesa Kelud cukup terhibur
meskipun dia tahu cintanya terhadap Supitmantil tidak sebesar cintanya terhadap
Mahesa. "Hai! Mendung sekali cuaca. Dan angin begini kencang. Sebentar lagi pasti turun


Mahesa Kelud - Serigala Berbulu Domba di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hujan!" seru Wulan sari ketika dia sampai diberanda rumah. "Bagaimana kalau kita
tunggu biar hujan turun lebih dulu. Begitu berhenti baru kita berangkat."
Supitmantil yang sudah tidak sabar dan ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu
merangkul bahu wulansari seraya memandang ke langit lalu berkata:
"Cuaca memang agak buruk. Tapi hujan tak segera turun. Paling cepat setelah kita
sampai di kaki gunung. Sebaiknya kita berangkat sekarang saja Wulan."
Wulansari akhirnya mengikuti juga kemauan suaminya. Untuk terakhir kali dia
memandangi rumah Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
kayu di puncak gunung Muria itu. Hatinya terasa pilu. Dia akan meninggalkan
rumah penuh kenangan. Entah kapan akan kembali lagi kesitu. Kedua mata nya berkaca-kaca.
"Mari Wulan ..." bisik Supitmantil.
Sambil berpegangan tangan kedua orang itu me-nuruni serambi rumah, melangkah ke
ujung kiri halaman dimana tertambat dua ekor kuda. Ketika Supitmantil hendak
membantu Wulansari naik ke atas kuda tiba-tiba terdengar satu seruan yang luar
biasa me-ngejutkan baik Wulansari apalagi bagi Supitmantil.
Mukanya sepucat kain kafan!
"Wulan! Aku datang!"
Sebelum gema seruan itu lenyap sesosok bayangan berkelebat. Di lain kejap Mahesa
Kelud tegak enam langkah di depan kedua orang itu, menatap dengan pandangan mata
aneh. "Mahesa! Kau ... !"
Wulansari terpekik. Jelas ada kegembiraan pada wajahnya namun lebih banyak
terlihat bayangan ke-tidak mengertian.
"Mahesal Betul kau ini. . . "!"
"Wulan . . . Ada apa" Apakah natamu tidak melihat hingga tidak mengenali diriku
lagi?" tanya Mahesa tanpa bergerak dari tempatnya tegak. Ingin dia memeluk
istrinya itu, tetapi entah mengapa dia tetap diam.
"Aku tidak buta! Aku melihatmu dengan jelas Mahesa. Tapi . .. Tentu Tuhan telah
menyelamatkan-mu dari malapetaka itu!" Wulansari hendak lari untuk menubruk dan
merangkul Mahesa Kelud. Namun detik itu pula dia sadar akan keadaan dirinya yang
telah menjadi istri Supitmantil. Maka perempuan ini merasakan tubuhnya
berguncang, dadanya bergeletar. "Ya Tuhan! Bagaimana semua ini bisa ter-
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
jadi ..."!" Meskipun tambah heran mendengar ucapan istrinya namun Mahesa menjawab: "Betul
Wulan, Tuhan telah menyelamatkanku sewaktu terpental masuk jurang batu!"
"Jurang batu ... ?" Wulansari mengulang.
"Ya . . . Jurang batu!" sahut Mahesa. "Bukankah itu malapetaka yang kau
maksudkan" Kulihat ada Supitmantil disini. Dan kalian berdua seperti bersiap-
siap hendak meninggalkan tempat ini. ..
Di atas mereka langit tambah mendung. Udara tambah gelap. Angin bertiup kencang
menimbulkan suara bersiuran. Di kejauhan kilat menyambar.
Rambut Mahesa Kelud berkibar-kibar. Dia teringat pada mimpinya dulu. Rembulan
disambar petir! Guntur menggelegar. Puncak gunung Muria bergetar!
Tapi lebih keras getaran yang ada di dada ke tiga orang itu.
"Mahesa! Ya Tuhan . . . Kalau saja aku tahu kau masih hidup!" Wulansari meratap.
"Bagaimana mungkin bisa terjadi .. ."
"Memangnya siapa yang mengatakan aku mati Wulan" Katakan, apa arti semua ini"!"
Mahesa maju, tapi hanya satu langkah.
"Menurut Supit kau tewas dalam kecelakaan di tengah laut. Jenazahmu tak pernah
ditemukan. Dia . dia . . . Wulansari berpaling ke arah Supitmantil sambil menuding dengan jari
telunjuk kirinya pada lelaki yang jadi suaminya itu. "Dia . . . meminta aku jadi
istrinya. Karena tak ada harapan lagi bahwa kau masih hidup aku . . . aku .. ."
"Jadi saat ini sebenarnya kau telah jadi istrinya?"
tanya Mahesa dengan suara bergeletar.
Wulansari tak bisa menjawab. Tubuhnya meluncur ke bawah dan jatuh berlutut.
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
"Kalau begitu dia telah sengaja menyusun cerita dusta!"
Rahang Mahesa Kelud menggembung. "Aku me-nyesalkan kau begitu mudah percaya dan
tidak menyelidik . . ." Saat itu Mahesa Kelud merasakan seolah-olah dadanya
telah berubah menjadi sekam yang siap meledak oleh kobaran api. Kedua matanya
membeliak merah memandang pada Supitmantil.
"Manusia keparat! Ternyata kau hanya seekor srigala berbulu domba. Pengkhianat
terkutuk! Kupatahkan batang lehermu!"
Mahesa Kelud melompat ke depan. Kedua tangannya terkembang laksana seekor macan
yang hendak menerkam mangsanya.
"Tunggu dulu!" seru Supitmantil seraya berkelit menghindar. "Aku akan terangkan
pada kalian . . ." "Keparat! Manusia penipu! Biar roh busukmu yang memberi keterangan pada setan
neraka!" teriak Wulansari. Tubuhnya yang berlutut tiba-tiba melompat. Sinar merah
berkiblat. Ternyata perempuan ini telah mencabut pedang sakti Pedang Dewi.
Tetapi dia bukan menyerang ke arah
Supitmantil, melainkan memapas serangan Mahesa Kelud!
"Bagus! Kau memang patut membela suamimu!"
teriak Mahesa marah. Hatinya benar-benar hancur melihat kenyataan ini walaupun
kemudian Wulansari balas berteriak dengan keras.
"Aku tidak membela dajal busuk itu! Aku tak ingin kau membunuhnya! Dia harus
mampus di tanganku!"
Selagi Mahesa dan Wulansari terlibat pertengkaran sengit itu, Supitmantil yang
sudah lumer nyalinya pergunakan kesempatan untuk melompat ke punggung kuda.
Namun sebelum dia sempat membeda
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
binatang itu, Wulansari sudah lebih dulu berkelebat dan kirimkan satu bacokan
ganas. Supitmantil melompat dari punggung kuda. Sesaat kemudian terdengar ringkik
binatang itu ketika Pedang Dewi ditangan Wulansari membabat
lehernya, membuat luka menganga yang amat besar.
Darah menyembur. Kuda yang malang ini kemudian lari menghambur namun ambruk
tersungkur ke tanah setelah lari beberapa belas tombak, meringkik keras untuk
penghabisan kalinya lalu terkapar tak bernafas lagi!
Saat itu hujan mulai turun. Petir menyambar berulang kali disusul suara gelegar
guntur. Begitu me-loncat dari kuda dan lolos dari sambaran pedang Wu lansari.
Supitmantil berkelebat ke balik sebatang po hon. Maksudnya hendak terus
melarikan diri dibawah hujan lebat serta kabut yang menutup pemandangan.
Tapi dua sosok tubuh lebih cepat dari gerakannya langsung menghadang. Di sebelah
kanan Mahesa Ke lud, di sebelah kiri Wulansari.
"Wulan! Kau sungguhan hendak membunuhku"!"
tanya Supitmantil dengan suara bergetar.
"Keparat terkutuk sepertimu apakah masih pantas hidup dimuka bumi ini"!"
"Siapapun diriku, aku adalah suamimu' Suami syah!"
"Suami jahanam! Kau memperistrikanku karena menipu!" Wulansari maju satu
langkah. "Kalau kau membunuhku, bagaimana dengan benih bayi yang kini kau kandungi"
Wulansari tersentak. Tapi hanya sesaat lalu dengan pekik mengerikan dia tusukkan
Pedang Dewi ke arah perut Supitmantil.
Mahesa yang sedianya juga hendak menyerbu masuk mendadak sontak merasakan
tengkuknya Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
dingin ketika mendengar ucapan Supitmantil tadi.
Jadi bagaimanapun caranya mereka ternyata mereka memang kawin syah bahkan
Wulansari kini tengah hamil, mungkin hamil muda sekitar satu atau dua bulan!
Menghamili anak hasil hubungannya dengan Supitmantil! Kalau tadi dalam kemarahan
nya dia ingin sekali membunuh Supitmantil saat itu juga, maka kini dia jadi
bingung sendiri. Supitmantil jelas salah besar karena telah menipu Wulansari
untuk dapat memperistrikannya. Tetapi perempuan itupun tidak lepas dari
kesalahan yaitu kurang periksa dan dalam waktu singkat mau saja menerima
Supitmantil jadi suaminya, seolah-olah kecintaannya terhadap dirinya hanya
tinggal kenangan belaka. Lalu siapa pula yang mengawinkan mereka" Jika dia
membunuh Supitmantil, tegakah dia melihat Wulansari hidup menjadi janda,
memelihara seorang anak tanpa ayah"
Bagaimanapun besarnya amarah Mahesa
terhadap Wulansari namun rasa cinta tetap ada di lubuk hatinya meskipun kini
mungkin hanya seperti pelita kehabisan minyak.
Mahesa Kelud yang'tertegun dalam gelegak marah serta kebingungan itu baru sadar
ketika didepan-nya terdengar jerit Supitmantil. Dibawah hujan lebat tampak
pakaian putih lelaki itu basah oleh air hujan dan ada cairan merah. Darah!
Sementara sinar merah pedang ditangan Wulansari menyambar bergulung-gulung.
Supitmantil tak kuasa untuk melarikan diri, juga tak mampu menghindar dari
serangan ganas perempuan yang lebih dari dua bulan telah jadi istrinya. Luka
besar menganga di dada kanannya, lalu satu tusukan menghantam bahu sebelah kiri.
Supitmantil terhuyung-huyung. Luka pedang menimbulkan hawa panas di sekujur
tubuhnya. Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
"Wulan . . . Aku mohon jangan bunuh aku. Aku mohon Wulan . .." pinta Supitmantil
meratap. Tak ada belas kasihan apalagi kasih sayang dihati Wulansari. Malah ratapan
lelaki itu membakar ama-rahnya. Pedangnya membabat, membacok dan menusuk
berulang-ulang. Supitmantil yang sudah tidak berdaya dan memang tidak memiliki
kepandaian silat yang dapat menyelamatkan dirinya terhuyung kian kemari menjadi
bulan-bulanan serangan pedang hingga akhirnya tubuhnya terkapar di tanah mandi
darah. Mulutnya masih tampak bergerak, megap-megap, berusaha bernapas dan masih
meratap minta dikasihani. Tapi tak ada suara yang keluar, selain rintihan.
Bagian hitam bola matanya lenyap. Kedua mata itu kini membeliak putih menatap ke
langit yang masih terus menumpahkan hujan.
Wulansari memekik beringas. Pedang Dewi di tangan kanannya ditusukkan dalam-
dalam ke leher Supitmantil. hingga menembus sampai ke tanah.
Wulansari tak berusaha mencabut senjata itu, seperti sengaja membiarkannya terus
tertancap di leher Supitmantil, lelaki yang disangkanya benar-benar sangat
mengasihinya, tetapi ternyata srigala berbulu domba yang telah menipu dan
menghancurkan hidupnya. Ketika dia membalikkan tubuh, pandangannya membentur Mahesa Kelud. Ingin sekali
dia memeluk Mahesa dan menangis di dada lelaki itu. Tapi dia merasakan dirinya
seperti seonggok sampah kotor yang tak layak melakukan hal itu. Maka dibawah
hujan lebat Wulansari lari ke rumah, menjatuhkan diri di tangga serambi dan
menangis dengan kedua tangan ditutupkan ke wajah.
Mahesa Kelud melangkah mendekati mayat Supitmantil, mencabut pedang sakti yang
menancap Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
di lehernya lalu menendang mayat lelaki itu hingga mental jauh ke lereng gunung.
Pedang Dewi kemudian diletakkannya di tangga serambi, di samping Wulansari. Tak ada hal lain
yang bisa dilakukan oleh Mahesa selain bertekad meninggalkan tempat itu membawa
segala kesengsaraan dan kehancuran hatinya. Sebenarnya ingin dia mengatakan sesuatu pada Wulansari,
namun bibirnya terasa berat dan lidahnya seperti kelu kaku. Dia hanya bisa
memandangi Wulansari beberapa jurus lamanya Ketika membalikkan diri hendak
pergi, dibawah deru hujan lebat dan tiupan angin keras tiba-tiba terdengar suara
seseorang. "Murid-muridku! Tabahkan hati kalian menghadapi cobaan yang besar dan berat
ini . !" Wulansari turunkan kedua tangannya yang me-
nutupi muka dan memandang ke depan. Sedang Mahesa cepat membalik.
"Guru!" seru keduanya hampir bersamaan Keduanya menjura hormat.
Di halaman sana, dibawah hujan lebat tegak se orang sangat tua, berambut putih
laksana kapas. Mukanya meskipun tua tapi masih licin, janggut dan kumisnyapun juga putih. Di
bahu kirinya kelihatan seekor anak rusa. Orang tua ini bukan lain adalah si
Suara Tanpa Rupa. Guru yang telah mewariskan sepasang pedang sakti serta ilmu
Dewa Pedang Delapan Penjuru Angin kepada Mahesa dan Wulansari.
"Kalian berdua dengarlah ..." Suara Tanpa Rupa kembali berkata. "Jika ada
manusia paling bersalah dalam persoalan kalian, orang itu itu adalah aku si tua
buruk ini. Mahesa . . . aku telah menikahkan istrimu dengan Supitmantil tanpa
melakukan pe-nyelidikan. Aku benar-benar merasa bersalah .. ."
Terdengar tangis Wulansari meninggi. Mahesa
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
tegak termangu lalu berkata: "Guru, tak ada yang salah dalam hal ini. Mungkin
semua ini sudah takdir dan kehendak Tuhan . .. Kita manusia hanya
menerima nasib." Suara tangis Wulansari semakin memilukan.
"Tak lama setelah aku menikahkan mereka, ada timbul satu kecurigaan dalam
hatiku. Namun karena ada satu pekerjaan yang harus kurampungkan, baru saat ini
aku bisa muncul disini. Ternyata kedatanganku sudah terlambat..."
"Guru, apa pun yang telah terjadi aku tetap menghormatimu," kata Mahesa. Dia
mengusap mukanya yang basah oleh air hujan lalu menyambung:
"Guru, izinkan aku pergi sekarang . . ."
"Tunggu, jangan pergi dulu muridku," kata Suara Tanpa Rupa.
Saat itu Wulansari telah berdiri sambil pegangi Pedang Dewi di tangan kanan dan
sarungnya di tangan kiri. Dia melangkah kehadapan Suara Tanpa Rupa seraya
berkata: "Guru, aku merasa tidak layak lagi memegang senjata sakti ini. Diriku
terlalu kotor. Biarlah kuserahkan kembali padamu . .."
"Tidak muridku. Apa yang telah kuberikan padamu tetap menjadi milikmu. Masukkan
kembali pedang itu ke dalam sarungnya Mari kita bicara di dalam rumah ..."
Wulansari menggeleng, suaranya terbata-bata.
Tak jelas apa yang dikatakannya kemudian. Matanya sekilas memandang pada Mahesa
Hatinya hancur luluh. Apa yang tadi diucapkan Mahesa dan ke-inginan lelaki itu
untuk pergi jelas memberi kenyataan padanya bahwa Mahesa tidak lagi mengharapkan
dirinya. Lalu apakah gunanya hidup ini dengan se-tumpukan kesalahan dan dosa
yang membungkus dirinya"
Koleksi Kangzusi website http://kangzusi.com/
Segala sesuatunya kemudian terjadi cepat sekali.
Baik Mahesa, maupun Suara Tanpa Rupa yang
berada dekat dengan Wulansari tak mampu
mencegahnya, ketika perempuan itu tiba-tiba sekali menusukkan pedang merah sakti
itu ke dadanya. "Wulan!" seru Mahesa seraya melompat ke depan.
Suara Tanpa Rupa masih sempat memegang ta
ngan muridnya Tapi keduanya tetap sama terlambat Ujung pedang telah lebih dulu
menancap, menembus sampai setengah tubuh Wulansari. Kedua matanya menatap ke
arah Mahesa. Pandangan itu kemudian berbinar-binar sayu. Ketika Mahesa mendukung
tubuhnya ke dalam rumah, sepasang mata yang dulu bagus menawan itu kini terkatup
terpejam dan tak akan pernah lagi terbuka.
Dari langit hujan turun semakin lebat, semakin deras. Seolah-olah turut meratapi
apa yang terjadi di puncak gunung Muria itu.
TAMAT Munculnya Pedang Mustika Naga Merah 1 Hotel Bertram At Bertrams Hotel Karya Agatha Christie Pendekar Penyebar Maut 1
^