Pencarian

Mayat Dalam Istana 2

Mahesa Kelud - Mayat Dalam Istana Bagian 2


senjata rahasia seperti itu. Dulu, sekitar dua tahun silam.
Di dalam istana Sultan Banten. Yang jadi korban saat itu adalah Jaka Luwak.
Kakak seperguruan Raden Mas Tirta bekas Kepala Balatentara Banten. Yang membunuh
Jaka Luwak adalah gurunya sendiri yaitu Ki Balangnipa, yang tak ingin muridnya
membuka rahasia! Saat itu Umbara
menemui kematian oleh senjata rahasia yang sama.
Pembunuhnya pasti adalah orang yang lama pula yaitu Ki Balangnipa!
"Pengecut!" Kertak Patih Sumapraja. Lalu dia berteriak:
"Ki Balangnipa! Jika kau seorang tokoh silat gagah, tunjukkan kejantananmu!
Perlihatkan dirimu!"
Sebuah benda putih berdesing di kegelapan malam,
melesat ke arah kepala Patih Banten. Sang patih cepat melompat ke samping sembil
lepaskan satu pukulan tangan kosong seperti menampar ke bumi. Senjata rahasia yang hendak
menghantamnya terpental lalu amblas ke
tanah gunung! Bersamaan dengan itu terdengar suara
tertawa bergelak yang kemudian menghilang di kejauhan.
"Ternyata bangsat itu berada di sekitar sini..." kata Sumapraja sambil kepalkan
tinju. "Paman, saya dan beberapa orang akan mengejarnya!"
kata Purajaya. "Jangan. Terlalu berbahaya!" mencegah Sumapraja.
"Semua tetap di tempat dan mengambil sikap lebih waspada. Aku dan Tampak Ungu
serta beberapa pengawal harus berangkat duluan ke Banten malam ini juga. Sesuatu
telah terjadi di sana. Sayang Umbara tidak sempat memberi penjelasan ..."
Beberapa ekor kuda segera disiapkan. Tak lama
kemudian sang patih bersama Tampak Ungu dan beberapa orang pengawal meninggalkan
tempat tersebut. Udara menjelang pagi terasa semakin dingin. Tetapi para perajurit tampak gerah dan
gelisah. Jika manusia lihay bernama Ki Balangnipa itu muncul kembali dan menebar
maut seenaknya celakalah mereka.
*** KETIKA Patih Sumapraja dan rombongannya memasuki
Kotaraja dari pintu gerbang sebelah barat segera terlihat bendera-bendera kuning
terpancang di mana-mana. Itu pasti bukan bendera tanda berkabung atas kematian
Dewi Kemulansari Istri termuda Sultan. Tapi deretan bendera bendera kuning itu
jelas merupakan satu tanda perkabungan. Tanda perkabungan baru. Siapa yang
meninggal" Patih Sumapraja, Tampak Ungu dan empat
pengawal memacu kuda masing-masing lebih cepat. Begitu sampai di depan istana
sang patih dan Tampak Ungu
langsung masuk ke dalam, terus menuju ke ruang tunggu khusus. Tak lama kemudian
Sultan Hasanuddin masuk ke dalam ruangan itu diiringi oleh beberapa petinggi
kerajaan. Wajah Sultan tampak jauh lebih tua dari biasanya. Sosok tubuhnya nyata sekali
menunjukkan rasa letih. Patih Sumapraja dan Tampak Ungu segera memberi
salam dan hormat. "Sultan, kami datang atas perintahmu. Apa yang terjadi"
Kami melihat bendera kuning tanda berkabung..."
Sultan Hasanuddin tak segera menjawab. Sesaat dia
berpegangan pada tepi meja, lalu perlahan-lahan duduk di atas kursi besar
berukir. Setelah diam sesaat baru dia membuka mulut.
"Cucuku Asih Permani meninggal dunia. Bukan
meninggal biasa paman Patih. Dibunuh seseorang ... Dua minggu lalu!"
Patih Sumapraja melengak kaget. Asih Permani.
Cucu perempuan kesayangan Sultan yang baru berusia
enam tahun itu mati dibunuh!
"Ki Balangnipa...?" tanya Patih Sumapraja memberani-kan diri.
"Siapa lagi . .. " sahut Sultan. Dia barpaling pada salah seorang petinggi
Kerajaan dan berkata. "Perlihatkan surat terkutuk itu ... "
"Sepucuk surat yang sudah lecak diletakkan di atas meja di hadapan Sumapraja.
Sang patih segera mengambil dan membacanya.
Sultan Hasanuddin, Hari ini korban kedua jatuh sudah.
Masih delapan orang menunggu giliran.
Semua adalah orang-orang yang kau kasihi!
Semoga kau cukup tabah menghadapi kenyataan ini.
Ha ... ha... ha... Jangankan Sultan, sang patih sendiripun mendidih
amarahnya membaca surat itu. Benar-benar manusia
pengecut. Apa dosa anak enam tahun itu maka dia harus menjadi korban balas
dendam sumpah keparat"!
Kesunyian di ruangan itu dipecahkan oleh suara Sultan yang terdengar bergetar
karena menahan gejolak hatinya.
"Sebelum paman patih datang, aku dan beberapa
petinggi telah berunding. Kita akan mengumumkan sebuah sayembara. Siapa yang
bisa menangkap Ki Balangnipa
hidup atau mati akan mendapitkan hadiah besar....
Bagaimana menurut paman?"
Patih Sumapraja merenung sejenak lalu berkata:
"Sebelum saya menjawab pertanyaan Sultan, saya akan ceritakan dulu apa yang
terjadi di lereng Gunung Gede ..."
Lalu patih ini menuturkan peristiwa kematian Umbara ketika Ki Balangnipa muncul
sacara mendadak. Agaknya Sultan tidak tertarik akan keterangan patihnya itu, dia bertanya
kembali, "Bagaimana pendapat paman mengenai rancana sayembara tadi?"
"Itu baik. Maksud kita jelas ingin menangkap manusia penebar maut tapi pengecut
itu. Hanya saja, kalau saya boleh mengusulkan, bagaimana kalau kita lebih dulu
menghubungi tokoh-tokoh persilatan tertentu untuk
dimintakan bantuannya?"
"Bukankah paman sendiri dulu yang mengatakan bahwa mereka seperti menjauhi
istana sejak peristiwa Ekawira tempo hari..." ujar Sultan.
"Betul. Tapi mencoba adalah jalan yang terbaik. Kalau mereka kita ajak bicara
tentu mereka mau mendengar..."
"Yang aku takutkan paman patih, sebelum kita bisa berbuat apa-apa korban
selanjutnya telah jatuh pula." kata Sultan.
"Hal itu memang juga jadi pikiran saya. Karenanya kita harus bergerak cepat. Di
samping memagari istana agar tidak kebobolan lagi.
"Lalu bagaimana kalau usaha kita tidak berhasil?"
"Mungkin kita memang harus manempuh cara
sayembara yang Sultan katakan itu ... "
Sultan terdiam beberapa lamanya. Kemudian berkata:
"Baiklah paman, usulmu aku setujui. Siapa yang akan bertindak menghubungi para
tokoh itu" Kuharap bukan kau yang pergi karena kehadiranmu diperlukan di
slni..." "Saya akan menunjuk Empu Lodaya, Jika Sultan setuju."
"Aku setuju paman patih. Jalankan semua tugas
secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya. Sebelum malam aku perlu bicara lagi
denganmu ..." 5 ADA masa itu tokoh silat paling tua dan dianggap
paling tinggi ilmu kepandaiannya di dearah Jawa
P Barat adalah seorang perempuan tua sakti bernama
Eyang Sinto Weni atau lebih dikenal dengan julukan Sinto Gendeng. Dalam dunia
persilatan namanya menjadi lebih beken setelah muridnya yang bernama Wiro
Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 turun
gunung dan bertualang di rimba persilatan, membawa
nama besar yang disegani kawan ditakuti lawan.
Satu keanehan disirap kabar bahwa Sinto Gendeng juga tinggal di puncak Gunung
Gede, gunung yang diketahui adalah juga tempat kediaman Ki Balangnipa. Namun
duduk cerita yang sebenarnya hanya Empu Lodayalah yang mengetahui. Kedua tokoh
silat itu memang pernah sama-sama tinggal di puncak Gunung Gede. Si nenek
bernama Sinto Gendeng menetap di situ selama beberapa tahun, terutama selagi dia
menggembleng muridnya Wiro Sableng.
Selanjutnya bagaimana keadaan si nenek tidak diketahui orang lagi. Dia seperti
lenyap dari puncak Gunung Gede.
Rumah kayu bekas kediamannya kemudian ditempati oleh seorang tokoh silat lain,
yang sama sekali tak ada hubungannya dengan si nenek yakni Ki Balangnipa.
(Mengenai kisah petualangan Wiro Sableng, Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212, harap baca buku-buku serial Wiro Sableng yang telah
banyak beredar). Karena tidak tahu di mana harus mencari Sinto
Gendeng maka Empu Lodaya memilih tokoh berikutnya
yakni Kiai Malabar, seorang pertapa sakti yang diam di tepi sebuah danau di kaki
selatan Gunung Malabar. Dengan ditemani dua orang pengiring Empu Lodaya menuju
ke selatan. Tubuhnya yang sudah lanjut tidak memungkinkan sang empu dapat
menunggang kuda terlalu cepat. Karenanya perjalanan ke selatan cukup memakan
waktu lama. Kiai Malabar membangun tempat kediamannya di atas
air di tepi danau. Di sinilah dia bermukim hampir lebih dari separuh usianya
yang kini telah mencapai 80 tahun.
Empu Lodaya bersama pengiringnya sampai ke tempat
itu larut malam menjelang pagi. Tetapi sang kiai tidak terkejut. Orang tua ini
sebenarnya telah lama menyirap kabar atas hampir semua kejadian yang berlangsung
di Banten. Setelah saling berangkulan maka Kiai Malabar mempersilakan Empu
Lodaya duduk di atas tikar
sementara dua pengiring beristirahat dan menunggu di luar.
"Sahabatku Empu Lodaya, aku benar-benar mendapat kehormatan dikunjungi oleh
seorang tokoh istana Banten sepertimu. Lebih dari dua windu kita tak pernah
bertemu. Angin apakah yang membawamu kemari sahabatku"
Kulihat kau sehat-sehat dan masih kuat, tidak rapuh sakit-sakitan sapertiku.
Kehidupan istana rupanya cocok dan menyenangkanmu ..."
Saat itu sehabis mengadakan perjalanan demikian jauhnya, selain letih sang empu
juga merasakan tubuh dan tulang-tulangnya seperti bertanggalan. Namun dia
menjawab sambil tersenyum: "Orang tua buruk yang sudah bau tanah sepertiku ini
mana terkesan dengan kehidupan
mewah dalam istana. Apalagi aku hanya seorang kuli yang bekerja di bengkel
istana. Sehari-hari sibuk membuat pisau dapur..."
Kiai Malabar tertawa mengekeh. "Kau pandai
merendahkan diri, sahabatku ..." katanya. Siapa yang tidak tahu bahwa Empu
Lodaya adalah seorang yang dipercaya-kan Sultan untuk membuat berbagai senjata
sakti mandraguna. Di samping itu diapun ikut tergabung dalam kedudukan tokoh istana
yang menjaga keselamatan Sultan beserta keluarganya.
"Empu Lodaya, kudengar keadaan di Banten akhir-akhir ini kurang tenteram. Apakah
itu yang membawamu datang kemari... ?"
Empu Lodaya hendak menjawab namun sesaat dia
berdiam diri karena telinganya menangkap kecupak suara air danau di bawah
bangunan di mana dia berada.
"Kiai, kudengar suara air danau berkecupak keras di bawah lantai ini. Apakah kau
memelihara ikan besar. . . ?"
"Itu bukan suara ikan sahabatku. Tapi manusia juga adanya ..."
Empu Lodaya tampak heran dan Kiai Malabar cepat
berkata: "Nanti kau akan bertemu sendiri dangan orang itu.
Sekarang katakan maksud kedatanganmu ..."
Empu Lodaya lalu menceritakan apa yang terjadi di
istana Banten. Dia memulai kisahnya dari kejadian lebih dua tahun lalu ketika Ki
Balangnipa terpaksa membunuh muridnya sendiri yang bernama Jaka Luwak itu.
Keterangannya ditutup dengan kematian cucu Sultan
beberapa waktu lalu. "Aku datang mewakili Patih Sumapraja selaku utusan Sultan," kata Empu Lodaya.
"Sultan minta agar kau dan para tokoh dunia persilatan lainnya bersedia turun
tangan, menangkap manusia bernama Ki Balangnipa itu, hidup
atau mati ..." Kiai Malabar termenung beberapa lamanya. Dia
memang sudah mendengar banyak hal runyam dalam
istana Banten. Namun tidak menyangka sampai demikian buruk kejadiannya.
"Mungkin kau datang ke tempat yang salah, Empu Lodaya. Orang tua jelek sepertiku
ini mana ada kemampuan memenuhi permintaanmu ..."
"Jangan berkata begitu Kiai. Keamanan dan
ketenteraman kerajaan adalah tanggungjawab kita semua.
Saat ini kita terpanggil oleh kewajiban. Sudah sepantasnya bersama-sama bahu-
membahu ikut ambil bagian ..."
"Kau benar Empu. Tapi harap maafkan kalau aku akan mengatakan sesuatu yang
mungkin tidak sedap bagi pendengaran telingamu dan tak enak dihatimu. Ketika kerajaan aman tenteram,
adakah kerajaan mengingat kami orang-orang tua buruk yang hidup terpencil"
Padahal kami tidak menginginkan apa-apa. Ketika anak murid kami berusaha
menegakkan kebenaran demi keagungan kerajaan, apakah yang mereka terima" Mereka
diperlakukan sewenang-wenang. Bahkan banyak yang dimasukkan
penjara..." "Apa yang kau katakan itu memang benar Kiai. Tapi semua itu terjadi karena akal
busuk orang-orang Pajajaran..." menyanggah Empu Lodaya.
"Orang-orang Pajajaran adalah orang-orang Pajajaran.
Orang-orang Banten tetap orang-orang Banten. Inilah akibat kalau pimpinan
kerajaan mudah diombang-ambingkan tipu muslihat..."
"Kiai, sampai sepuluh hari kita tak akan habis-habisnya membahas hal itu.
Kedatanganku membawa maksud lain
dan aku tidak punya waktu lama ..." Di kejauhan terdengar ayam berkokok. Di
bawah lantai bangunan terdengar
kecupak air danau semakin keras. Empu Lodaya meneruskan kata-katanya:
"Bersediakan Kiai membantu kami yang sedang susah ini... ?"
Kiai Malabar memegang bahu Empu Lodaya. "Tentu saja aku bersedia. Hanya saja
saat ini aku terikat oleh satu pantangan ..."
"Pantangan" Pantangan apa sahabatku . . . ?" tanya Empu Lodaya.
"Saat ini aku tengah menjalankan tugas. Menggembleng seorang murid. Sesuai
ketentuan yang kuterima sebagai aturan dari guruku dan guruku menerimanya dari
kakek guruku, maka selama tiga tahun aku dan muridku tidak boleh meninggalkan
tempat kediaman melebihi jarak 1700
tombak ..." "Ah, itu satu pantangan yang amat mahal" kata Empu Lodaya. Namun orang tua ini
tak dapat mengatakan apa-apa karena maklum tak bisa meminta atau memaksa Kiai
Malabar untuk membantu dalam urusan Ki Balangnipa.
Di luar, tanpa terasa hari telah mulai terang. Empu Lodaya minta diri dan Kiai
Malabar mengantar tamunya turun ke darat melewati tangga tinggi. Ketika sampai
di tepi danau Empu Lodaya dapatkan kedua pengiringnya tertidur di bawah sebatang
pohon. Namun yang menjadi
perhatiannya saat itu bukanlah kedua pengiring tersebut, melainkan sosok tubuh
seorang pemuda yang berada di dalam air danau, tepat di bawah lantai bangunan.
Pemuda itu tengah melatih jutus-jurus pukulan dan tendangan dalam air. Setiap
pukulan dan tendangan yang
dilakukannya membuat air danau muncrat tinggi dan jauh serta mengeluarkan suara
kecupak keras. "Itulah yang tadi kau sangka ikan besar, sahabatku,"
kata Kiai Malabar sambil menggoyangkan kepalanya ke arah si pemuda.
"Pemuda itu ... " ujar Empu Lodaya, "Bukankah dia . . .
bukankah dia Ekawira, bekas Kepala Pengawal Istana
Banten?" Kiai Malabar tersenyum. "Betul sekali sahabatku.
Memang dia Ekawira. Pemuda yang pernah mendapat
gelar Raden Mas dan pernah menjadi Kepala Pengawal


Mahesa Kelud - Mayat Dalam Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Istana Sultan. Dia kuambil jadi murid sejak dua tahun lalu..."
"Terus terang Sultan masih berkenan padanya. Sultan sering menanyakannya. Jika
kau mengizinkan diapun dapat membantu dalam urusan dengan Ki Balangnipa ini... "
"Aku tentu saja akan mengizinkan. Hanya ingat, kami berdua, guru dan murid
terikat pantangan yang kukatakan tadi... "
Empu Lodaya menarik nafas dalam. Maklum kalau dia
tidak bisa berbuat lebih banyak, maka diapun
membangunkan kedua pengiringnya.
"Mungkin aku dapat membantu dengan cara lain ..."
kata Kiai Malabar sesaat setelah Empu Lodaya berada di punggung kuda.
"Maksudku ... ?"
"Apakah kau sudah mencoba menghubungi nenek aneh bernama Sinto Gendeng di puncak
Gunung Gede?" "Nenek lenyap begitu saja sejak beberapa tahun silam.
Bahkan tempat kediamannya besar kemungkinan pernah
dipakai oleh Ki Balangnipa . .. "menerangkan Empu Lodaya.
"Kalau begitu cobalah kau pergi ke Pamanukan di pantai utara. Temui sahabatku,
sahabatmu juga, yakni Manik Aryapala. Kakek aneh berjuluk Si Penjala Sakti. Dia
pasti mau menolong. Mungkin juga mau mengajak tokoh-tokoh silat lainnya untuk
sama-sama membantu ..."
"Terima kasih atas petunjukmu. Aku memang berencana untuk pergi ke sana," kata
Empu Lodaya pula. Dengan tubuh masih sangat letih dan perut keroncongan orang
tua ini bersama pengiringnya tinggalkan tempat itu. Dalam hatinya sang empu
setengah mengomel. Mengadakan
perjalanan sejauh itu, di pagi yang dingin tidak secangkir kopi atau teh
panaspun ditawarkan sang kiai!
6 ANTAI JEPARA indah pemandangannya laut pun
selalu membiru tenang. Puluhan perahu tampak di
P tepi pantai, mulai dari perahu pencari ikan atau
nelayan sampai pada perahu-perahu kayu yang biasa
memuat dan memunggah barang. Layar serta bendera-
bendera perahu yang aneka warna menambah semarak
keindahan pantai Jepara. Namun semua keindahan itu
seperti tidak terlihat di mata Mahesa Kelud, tidak terasa di hati sanubarinya
yang bergalau kosong. Bahkan setelah sampai di tepi pantai itu, langkahnya
seperti buntu, dia tak tahu lagi mau pergi ke mana. Bayangan wajah Kemaladewi
dan bayi bernama Lutung Bawean itu selalu muncul di pelupuk matanya.
Mahesa melangkah mundar-mandir di sepanjang
pangkalan papan. Ketika sebuah perahu kayu bermuatan sarat meninggalkan
pangkalan siap untuk mengaruhi taut entah mengapa pemuda itu tiba-tiba saja
langsung melompat naik. Karuan saja juragan pemilik perahu yang ada di buritan segera menghampiri dan
bertanya: "Orang muda, kau naik ke perahuku apakah hendak menumpang?"
"Ya, aku ingin menumpang," jawab Mahesa sambil memandang ke tengah lautan.
"Kalau menumpang ke manakah tujuanmu?" tanya juragan perahu kembali. Hatinya
merasa tidak enak karena mendapat jawaban secara acuh tak acuh.
"Ke mana saja tujuan perahumu aku akan ikut sampai ke sana." jawab Mahesa.
Pemilik perahu semakin merasa heran. Dalam hati dia berkata. "Pemuda berbadan
kokoh dan bertampang keren ini benar-benar aneh. Jangan-jangan dia berniat
jahat. Hendak merampok! Apalagi kulihat dia membawa pedang di balik punggungnya.
Mahesa menatap pemilik perahu itu. Dia dapat meraba kekawatiran orang. Maka dia
pun berkata. "Aku tidak berniat jahat. Aku hanya ingin berlayar. Dan aku akan
bayar..." Lalu Mahesa serahkan sekeping kecil perak ke dalam genggaman pemilik
perahu. Setelah menimang-nimang perak itu, pemilik perahu akhirnya mengangkat
bahu. "Perahu ini berlayar menuju Merak. Sampean bermaksud ke mana"
"Sama dengan tujuan perahu." jawab Mahesa pula.
Setelah menepuk-nepuk bahu Mahesa, pemilik perahu
itu kembali ka buritan dan Mahesa melangkah ke samping kanan perahu, berpegang
di pagar terali, memandang ke pantai yang semakin lama semakin menjauh dan
akhirnya lenyap dibatas pemandangan.
Malang tak dapat diraih, untung tak dapat ditolak. Itulah nasib perahu layar
"Sinar Utara" yang ditumpangi Mahesa Kelud. Menjelang pagi hari keempat topan
dahsyat melanda laut ketika perahu berada di utara Losari. Ombak menggulung tinggi
menghempaskan perahu kian kemari.
Dua orang awak perahu terlempar ke tengah laut dan
lenyap tak muncul lagi. Ketika angin menyapu deras, tiang layar perahu patah.
Perahu oleng tajam ke kiri lalu cepat sekali miring keras. Air laut masuk
laksana bah. Perahu yang malang itu hancur berantakan. Muatannya terlempar ke
mana-mana. Mahesa masih sempat mendengar
teriakan pemilik perahu, setelah itu diapun harus terjun ke air yang menggila,
menyelamatkan diri. Kepandaiannya berenang tidak ada gunanya di laut yang
menggila itu. Tubuhnya timbul tenggelam. Kekuatannya tersedot dengan cepat.
"Kalau aku harus mati di laut, aku akan pasrah!" kata Mahesa. Kembali wajah
Kemaladewi dan Lutung Bawean
muncul di pelupuk matanya. Ombak besar memukul
mendera. Mahesa tanggelam sampai sedalam tujuh meter lalu muncul lagi megap-
megap. Saat itu hari telah terang.
Beberapa meter di samping kirinya Mahesa melihat
sekeping papan bekas pecahan badan perahu. Pemuda ini tak berusaha berenang
mencapai papan itu karena
tekadnya sudah bulat untuk menerima kematian.
"Ini adalah pembalasan atas dosa-dosaku ..." katanya dalam hati.
Tetapi ajaib. Papan yang terpisah jauh itu terombangambing dimainkan ombak malah
seperti datang mendekatinya dan akhirnya menyentuh dadanya.
Mahesa terperangah dalam nafas megap-megap.
Akhirnya dipegangnya juga papan besar itu dengan kedua tangannya. Tubuhnya
terbanting kian kemari setiap papan itu dihantam gelombang
Ketika siang tiba dan matahari bersinar terik. Mahesa merasakan sekujur tubuhnya
yang berada di atas air seperti dipanggang api. Kulitnya mengelupas. Setiap air laut membasahi kulit
yang mengelupas itu sakitnya bukan alang kepalang. Seharian penuh terombang-
ambing sambil berpegangan di atas papan Mahesa tidak pernah melihat pantai atau
pulau di kejauhan. Bahkan tak satu perahupun kelihatan di laut yang luas itu.
Pemuda ini tak tahu sampai berapa lama dia dapat bertahan bersama sepotong papan
itu semantara sekujur tubuhnya seperti terkelupas
dipanggang, tenaganya hampir sampai di batas terakhir.
Keadaannya antara sadar dan pingsan.
Ketika malam tiba matanya masih sanggup melihat ada cahaya di kejauhan. Mungkin
itu cahaya lampu atau pelita dari rumah-rumah penduduk. Yang berarti dia berada
di dekat pantai. Tetapi mungkin juga itu hanya ilusi palsu belaka. Dan Mahesa
tidak berusaha untuk berenang ke arah cahaya di kejauhan itu. Jangankan
berenang, untuk masih dapat memegang papan penyelamat rtupun
tenaganya sudah tidak ada lagi.
*** "Kakek Penjala Sakti . . . apakah kau tidak turun ke laut hari ini...?"
Seruan pertanyaan itu keluar dan mulut empat orang
anak laki-laki yang tegak di depan pintu sebuah rumah bilik di tepi pantai
Pemanukan. Setelah beberapa kali anak-anak itu berteriak-teriak begitu, pintu
rumah terbuka. Seorang tua berambut kelabu bermata jereng yang
mengenakan celana hitam serta berselimut kain sarung keluar dan dalam rumah
sambil menggosok gosok matanya. "Hai! Kek! Kau kesiangan!" kata salah seorang dari tiga anak.
Orang tua itu memandang ke tengah lautan. Cuaca
dilihatnya memang cerah dan di pantai belasan perahu yang melaut malam tadi baru
saja kembali memunggah hasil. Tapi rata-rata hasil yang didapat nelayan-neyalan itu tidak seberapa.
Ikan-ikan yang bisa mereka dapat hanya cukup untuk dimakan sendiri dan hanya
sebagian kecil dijual di pasar.
"Apa perahuku sudah kalian bersihkan?" si kakek bertanya pada ke empat anak itu.
"Sudah" jawab anak-anak itu serentak. "Pasti ibu kalian yang menyuruh kalian
kemari hah"!" "Betul kek. Kata ibu kami hanya punya beras saja tapi tak punya ikan ..."
"Ayah kalian tidak melaut... ?"
"Ada, tapi hasilnya. Kau tahu sendiri kek ... . "
Orang tua itu tersenyum. Tiga kali dalam seminggu anak-anak itu selalu datang
seperti itu. Mereka tahu, samua orang ditepi pantai itu tahu bahwa si kakek
memiliki satu kepandaian yang dianggap aneh. Orang yang pergi melaut semalam
suntuk kadang-kadang hanya mandapatkan ikan sedikit sekali. Tapi sekali si kakek
pergi ke laut pada pagi atau siang hari dan kembali beberapa jam kemudian, dia
datang membawa ikan sepenuh perahunya. Ikan-ikan itu selalu dibagi-bagikannya
pada penduduk atau nelayan yang tinggal di tapi pantai, termasuk ke empat anak
lelaki itu. Sebenarnya para nelayan yang diam di situ merasa heran akan
kepandaian si kakek menjala ikan. Banyak di antara mereka yang minta diberitahu.
Tapi si kakek tidak pernah mau mengatakan. Setiap kali ditanya dia selalu
menjawab: "Jika kalian perlu ikan untuk dimakan atau dijual, aku akan carikan ke
laut. Tapi jika kalian tanya bagaimana caranya aku menangkap ikan, itu adalah
rahasia hidupku!" "Baiklah anak-anak, aku akan mencuci muka dulu dan mengambil jala." kata orang
tua berambut kelabu bermata jereng itu.
Anak-anak bersorak ramai. Tak lama kemudian si kakek yang dipanggil dengan
sebutan Kakek Penjala Sakti itu tampak meninggalkan pondoknya, memanggul jala
besar di bahu kirinya, melangkah terbungkuk-bungkuk menuju perahunya. Sebuah
perahu tua yang dindingnya banyak tambalan di sana sini. Si kakek masuk ke dalam
perahu. Empat orang anak tadi membantu mendorong perahu
sampai ke tengah lalu mereka melambai-lambaikan tangan sambil berteriak:
"Ikannya tangkap yang banyak ya kek!
Yang banyak ya kek!"
Si kakek balas lambaikan tangan sambil tersenyum-
senyum. Sampai di tengah laut, jauh dari pantai, orang tua itu rapikan dan atur jala
besarnya. Dan dalam sebuah
bumbung bambu dia mengambil segenggam bubuk
berwarna putih. Dengan tangan kirinya bubuk itu
dilemparkan ke dalam laut. Begitu bubuk bersatu dengan air laut maka butiran
bubuk bubuk yang ratusan bahkan ribuan banyaknya itu memantulkan sinar berkilau-
kilau. Dalam waktu singkat ratusan ikan besar kecil muncul ke permukaan air laut, ingin
melihat apa adanya butiran-butiran bercahaya yang menarik hati itu. Kalau sudah
begini si kakek hanya tinggal mengangkat jalanya dari lantai perahu. Sekali
tangannya bergerak maka jala besar itu melebar luas. Ratusan ikan terjerat di
dalamnya. Sambil tertawa-tawa orang tua ini tarik jalanya. Ketika hasil
tangkapan itu dimasukkannya ke dalam perahu, maka
perahu kecil itu terisi sampai setengahnya!
"Sekali tangkap lagi penuhlah perahu buruk ini. Aku bisa kembali ke pantai
membagi-bagikan ikan .... " begitu si kakek berkata dalam hati. Maka diapun
mengayuh perahunya ke jurusan lain. Sampai di satu tempat yang dirasakannya baik diapun
siap mengambil bubuk dalam bumbung bambu. Namun tiba-tiba sepasang matanya yang
jereng melihat sebuah benda terapung-apung di kejauhan.
Orang tua ini lindungi kedua matanya dengan telapak tangan kiri agar bisa
melihat lebih jelas. "Aneh, benda itu seperti kepala manusia . . . " kata si kakek. Lalu perahunya
dikayuh mendekati benda di
kejauhan. Begitu sampai di dekat benda tadi diapun
tersirap. "Astaga, betul kepala manusia . . . Sudah mati atau masih hidup" Salah
satu tangannya menggapai sepotong papan ..." Si Penjala Sakti cepat tebarkan jala besarnya. Sosok tubuh manusia di permukaan
laut bersama papan yang dipegangnya segera masuk dalam jeratan jala. Si kakek menarik. Cukup sulit
baginya menarik sosok tubuh itu ke atas perahu kecil yang setengahnya sudah
penuh dengan ikan. Ternyata sosok tubuh itu adalah sosok tubuh seorang pemuda
yang hampir seluruh kulitnya telah terkelupas hangus. Pakaiannya robek-robek dan
ada luka-luka pada beberapa bagian tubuhnya. Si kakek membaringkan tubuh pemuda
itu di atas tumpukan ikan. Dia terkejut ketika pada pinggang pakaian si pemuda
dilihatnya tersisip sebilah keris berhulu kepala ular dan keseluruhannya terbuat
dari emas murni serta memancarkan warna kuning. Lebih
tarkejut lagi dia jadinya sewaktu menemukan sebilah pedang berwarna marah
tersisip di balik punggung si pemuda.
Cepat-cepat kakek itu memutar perahunya dan
mengayuh menuju ke pantai. Sampai di pantai anak-anak yang empat orang tadi
telah menunggunya. Malah jumlah mereka kini tambah banyak, belum terhitung para
nelayan yang juga ingin kebagian ikan. Kakek itu tidak
mengacuhkan orang-orang tersebut, dengan susah payah dia mendukung tubuh pemuda
yang ditamuinya di tengah laut itu sementara orang banyak tampak menyaksikan
keheranan. "Kek, siapa orang itu. Di mana kau temui ... ?" beberapa orang bertanya.
"Sudah, jangan banyak tanya. Ambil ikan dalam perahu.
Bagi-bagilah. Tapi jangan ribut dan bertengkar ... !"
Kakek Penjala Sakti mambawa tubuh pemuda yang
pingsan itu ke dalam rumah biliknya, membaringkannya di tempat tidur yang
terbuat dari bambu. Telinga kirinya diletakkannya di atas dada si pemuda. Lapat-
lapat dia masih mendengar suara degup jantung.
"Masih hidup . . . Untung," katanya. Tubuh itu dibalikkan-nya hingga
menelungkup. Lalu tangan kirinya ditekankan ke pinggang sadang tangan kanan
ditekankan ke punggung. Begitu ditekan pemuda yang pingan keluarkan suara seperti muntah. Air
laut keluar mengucur dari mulutnya...
*** 7 MPU LODAYA menatap paras kakek rambut kelabu.
Matanya yang jereng membuat sang empu meragu
E apakah si kakek memandang ke jurusannya atau
memperhatikan ke jurusan lain.
"Manik, kau lupa padaku . . . ?" menegur Empu Lodaya.
"Ah!" Manik Aryapala alias Panjala Sakti pukul jidatnya sendiri. "Aku kenal
tampangmu, tapi otakku yang sudah hampir pikun ini tak ingat siapa namamu.
Pakaian putihmu yang berdebu, kudamu yang keletihan, serta dua pengiring yang
ikut bersamamu menyatakan kau datang dari jauh dan kau tentunya orang
penting ..." Empu Lodaya tersenyum. "Aku Lodaya, dari Banten!"
sang empu coba mengingatnya.
"Astaga! Betul kau!" Si Panjala Sakti langsung manarik lengan Empu Lodaya hingga
orang tua yang masih ada di punggung kuda itu terseret ke bawah. Tetapi Panjala
Sakti tidak menariknya terus ke bawah melainkan melempar-kannya ke atas hingga
Empu Lodaya tampak mencelat,
jungkir balik di udara. Ketika turun kedua tangannya menekan bahu Panjala
Sakti. Kakek mata jereng ini cepat merunduk. Tapi tahu-tahu kedua ketiaknya
terangkat ka atas. "Hup! " seru Empu Lodaya.
Kini Si Penjala Sakti yang ganti mencelat ke atas dan jungkir balik di udara.
Begitu turun keduanya berhadapan hidung dengan hidung. Dua kakek ini seperti
anak kecil tertawa gelak-gelak lalu saling rangkul.
"Kurasa tiga puluh tahun telah berlalu sejak terakhir sekali aku melihat
tampangmu Lodaya!" kata Si Penjala Sakti.
"Memang lama sekali kita tak pernah bertemu. Kau tetap seperti dulu. Suka
bercanda. Apakah masih gemar menjala ikan di siang bolong?"
Manik Aryapala tertawa mengekeh mendengar kata-kata sahabat lamanya itu.
"Aku masih ada tangkapan ikan sisa kemarin. Masih segar. Kita makan sama-sama,
tapi nasinya tak ada..."


Mahesa Kelud - Mayat Dalam Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa sudi makan ikan tanpa nasi" Salah-salah aku bisa cacingan!" gurau Empu
Lodaya. "Jangan kawatir," kata Si Penjala Sakti cepat. "Aku punya tetangga-tetangga yang
baik. Satu bakul nasi untukmu dan pengiringmu tidak jadi soal!"
Setelah menjamu makan minum para tamunya. Si
Penjala Sakti membawa Empu Lodaya ke tepi pantai.
"Sekarang katakan mengapa kau datang jauh-jauh kemari," kata kakek mata jereng
itu. "Aku perlu bantuanmu menangkap seseorang. Sebelumnya aku telah menemui Kiai
Malabar. Tapi dia tak dapat menolong ..." menerangkan Empu Lodaya.
"Hemmm , . . begitu" Bantuan untuk dirimu atau untuk kerajaan?" bertanya Penjala
Sakti. "Untuk yang terakhir..."
"Ha... ha ... Rupanya kerajaan bernasib buruk akhir-akhir ini. Tak ada orang-
orang pandai dunia persilatan yang mau diajak bekerja sama ..."
"Apakah kau juga tidak mau bekerjasama?" tanya Empu Lodaya.
"Siapa yang diinginkan Sultanmu?"
"Ki Balangnipa." jawab Empu Lodaya pula.
"Ah... manusia satu itu... " kata si Penjala Sakti sambil geleng-geleng kepala.
"Dulu dia dikenal sebagai tokoh baik.
Karena teriakan hasutan orang-orang Pajajaran dia jadi berubah .... "
"Mungkin kita tak dapat menyalahkan orang Pajajaran saja. Apa yang terjadi di
Bantenpun ikut pegang peranan."
Lalu Empu Lodaya menerangkan pangkal musabab Ki
Balangnipa menaruh dendam kesumat terhadap Kerajaan dan Sultan Banten.
"Itu rupanya yang menjadikan sebab Sultanmu menginginkan Ki Balangnipa hidup
atau mati. Lalu bantuan apa yang dapat kuberikan pada Sultanmu, Lodaya?"
"Mencari dan menangkap Ki Balangnipa." sahut Empu Lodaya.
Mata jereng Si Penjala Sakti tampak berputar-putar
memandang ke tengah laut. Tiba-tiba meledaklah tawanya.
"Kenapa kau tertawa?" tanya Empu Lodaya heran.
"Inilah namanya dunia! Inilah namanya kehidupan di alam fana. Jika dibutuhkan
dicari-cari. Jika tidak dibutuhkan tak pernah diingat-ingat. Tapi dengar
sahabatku, bukan kenapa segala asalan itu aku tak dapat mem-bantumu atau
membantu Sultanmu ..."
Paras Empu Lodaya berubah, "Kau lupa darah Banten dalam tubuhmu, Manik
Aryapala"!" Si Penjala Sakti menyeringai lalu tertawa hambar.
"Darah Banten dalam tubuhku sudah lama membeku.
Itulah sebabnya aku lebih suka memencilkan diri di pantai ini. Lebih enak jadi
rakyat jelata. Tak ada pikiran tak ada kesulitan. Miskin dalam harta tapi kaya
dalam kebahagiaan ..." Memandang pada wajah sang empu yang kelihatan
sangat kecewa. Si Penjala Sakti berkata: "Sahabatku Lodaya, kau tak usah kecewa
dan marah padaku ..."
"Aku tidak marah. Hanya merasa sedih kenapa
kehidupan di dunia bisa begini. Waktuku tak banyak. Aku minta diri..."
"Eee . . . eae . . . Tunggu dulu Lodaya, jangan pergi dulu!"
"Apa yang kulakukan lama-lama di sini" Bantuan pun tak akan ku dapat!" jawab
Empu Lodaya. "Benar, memang benar kau tidak mendapatkan apa-apa dariku. Kecuali nasi dan ikan
bakar enak tadi. Ha ... ha ...
ha... ! Tapi dengarlah, ada seorang lain yang bisa menolong Sultanmu itu ... "
"Cerita lama!" mamotong Empu Lodaya dengan kesal.
"Ketika aku bertemu Kiai Malabar, dia melemparkanku padamu. Kini bertemu
denganmu pada siapa lagi aku
hendak kau lemparkan"!"
"Dengar, jangan kesusu jengkel," kata Si Penjala Sakti sambil tepuk-tepuk bahu
sahabatnya itu. "Aku tak akan melemparkanmu pada siapa-siapa. Dengar, ada
seorang lain yang lebih pantas dan lebih mampu menolong
Sultanmu itu ... " "Nah, apa kataku! Ternyata kaupun hendak
melemparkan aku pada orang lain itu!"
"Dengar dulu, dengar dulu Lodaya," kata Si Penjala Sakti dengan sabar. "Orangnya
memang bukan berdarah Banten.
Tetapi baktinya boleh dipuji. Dia lebih Banten dari orang Banten sendiri! Dan
dia telah pernah membuktikan
sembah baktinya itu pada Sultanmu sekitar tiga tahun yang silam ..."
"Eh, siapa orang yang kau maksudkan itu?" tanya Empu Lodaya jadi tertarik.
"Kau ingat Raden Mas Ekawira ... ?"
"Bekas Kepala Pengawal Istana Banten itu"!"
"Betul!" "Ah, kalau dia yang kau maksudkan tak ada gunanya.
Aku telah menemuinya di tempat kediaman Kiai Malabar.
Anak muda itu telah jadi murid sang kiai. Baik dia maupun gurunya tak bisa
membantu. Katanya terikat oleh
pantangan!" "Mungkin memang begitu. Kau tahu sendiri. Orang-orang dalam dunia persilatan
banyak aneh-aneh tingkah lakunya.
Entah memang musti demikian, entah karena dibuat-buat!
Tapi yang kumaksudkan bukan si Ekawira itu!"
"Lantas"!" tanya Empu Lodaya.
"Kau ingat, ketika dia jadi Kepala Pasukan Pengawal Istana, dia mampunyai
seorang pembantu berbadan tinggi tegap penuh otot dan bertampang cakap
itu ... !" "Aku ingat. Tapi lupa namanya. Ada apa dengan pemuda itu ... ?"
"Dialah yang dapat kau harapkan untuk menghadapi Ki Balangnipa!"
Empu Lodaya menarik nafas panjang. "Mengharapkan sesuatu yang sukar jadi
kenyataan. Di mana pemuda itu kini berada siapa yang tahu! Pangkal hidungnya tak
pernah kelihatan lagi sejak dia meninggalkan Banten tiga tahun lalu ... !"
Si Penjala Sakti tersenyum-senyum. "Inilah namanya rahasia hidup, sahabatku!
Segala sesuatunya menjadi rahasia Yang Satu. Apa yang terjadi dengan kita besok,
mana kita tahu. Di mana kita berada besok, siapa yang bisa tahu. Perolehan apa
yang bisa kita dapat besok, mana ada orang yang tahu! Semua Tuhan yang mengatur.
Bukankah begitu sahabatku?"
Empu Lodaya mengangguk perlahan.
"Sebulan yang lalu, secara tak sengaja aku telah menyelamatkan pemuda itu di
tengah laut. Perahu yang ditumpanginya tenggelam dilanda badai. Dia diombang-
ambingkan ombak sampai ke pantai Pamanukan ini. Di
tengah laut, dalam keadaan sekarat, tubuh penuh luka dan kulit terkelupas dia
kutemui dan kutolong. Pemuda itu bernama Mahesa Kelud. Bukan begitu ... ?"
"Ya aku ingat sekarang. Namanya Mahesa Kelud.
Lanjutkan kisahmu Manik," kata Empu Lodaya.
Setelah sembuh dan menyadari bahwa dia berhutang
nyawa padaku maka untuk membalas budi dia meminta
aku memilih salah satu dari dua senjata mustika yang dimilikinya. Yang pertama
sebilah pedang yang sarung dan badannya memancarkan sinar merah, itulah Pedang
Sakti pemberian gurunya di timur sana. Senjata kedua sebilah keris terbuat dari
emas yang juga merupakan senjata sakti mandraguna! Bukan aku meremehkan
keahlianmu membuat senjata. Tapi jika kau coba membuat salah satu dari senjata
itu, menirunya saja sampai mirip mungkin kau memerlukan waktu dua puluh tahun!"
"Kau terima permintaannya itu" Berarti kau kini memiliki senjata sakti. Eh,
pedang atau keris yang kau ambil"!"
tanya Empu Lodaya. Si Penjala Sakti geleng-gelengkan kepala. "Aku bukan manusia pencari pamrih,
yang berbuat sesuatu untuk
mengharapkan sesuatu! Permintaannya itu kutolak.
Mahesa kecewa sekali. Kemudian dia berkata, jika ada satu permintaan lain atau
satu tugas yang diberikan kepadanya sebagai pembalas budi dan hutang nyawa itu
maka dia akan melaksanakannya sampai berhasil. Waktu itu sulit bagiku hendak
meminta atau menugaskan apa padanya. Tetapi setelah berpikir keras aku teringat
akan keadaan di Banten. Lagi pula bukankah dia pernah
mengabdi di Banten" Maka kataku padanya: "Telah lama aku menyirap kabar bahwa
suatu malapetaka telah menimpa Sultan Banten. Pergilah ke sana. Abdikan dirimu seperti dulu kau pernah
melakukannya bersama Ekawira.
Dengan berbuat begitu anggaplah bahwa kau telah membalas segala hutang budi dan
nyawa. Maka Mahesapun pergi. Hanya beberapa saat sebelum kau dan dua
pengiringmu sampai di sini!"
Empu Lodaya tentu saja menjadi kaget. "Menurutmu, apakah pemuda itu benar-benar
akan pergi ke Banten?"
tanyanya. "Aku yakin dia bukan seorang pendekar yang pandai bermulut manis berminyak air.
Kalau kau tidak percaya mengapa tidak segera saja kembali ke Banten?"
Empu Lodaya berpikir-pikir sesaat. Nasihat sahabatnya itu tak ada salahnya. Maka
dia pun berkata: "Terima kasih Manik. Aku minta diri sekarang juga!"
*** 8 ETIKA meninggalkan Banten sekitar satu bulan lalu
Empu Lodaya mengambil jalan ka arah selatan,
K menempuh rimba belantara dan bebukitan tinggi
serta pegunungan. Jalan yang sulit menyebabkan dia dan pangiring hanya mampu
bergerak perlahan. Kini dalam perjalanan kembali ke Banten dia mengambil jalan
di sebelah utara yang merupakan pantai datar hingga dapat bergerak sangat cepat.
Dalam waktu satu minggu Empu Lodaya telah sampai ka Mauk. Satu hari di muka dia
akan segera memasuki perbatasan kerajaan. Selama perjalanan orang tua ini
menaruh khawatir kalau-kalau keterangan yang diberikan Si Penjala Sakti tidak
benar dan Mahesa Kelud tidak datang ke Banten. Dalam pada itu sepanjang
perjalanan dia merasakan seperti ada seseorang yang menguntit dari kejauhan.
Kekhawatiran yang terakhir ini menjadi kenyataan ketika dia bersama dua
pengiringnya baru saja beristirahat di sebuah anak sungai di
pertengahan lembah dan siap meneruskan perjalanan
melewati bukit kecil ditumbuhi pohon-pohon jati besar berusia ratusan tahun.
Saat itu masih pagi. Sang surya bersinar lembut dan udara masih terasa segar,
menyusup melalui hidung, masuk ke paru-paru. Memandang ke puncak bukit yang
berada di depan mereka, salah seorang pengiring tiba-tiba berkata: "Empu ada
seseorang di atas bukit. Cara tegaknya seperti sengaja menghadang kita!"
"Aku sudah melihat," jawab Empu Lodaya. Hatinya mandadak saja tidak enak namun
dia berusaha bersikap tenang. Makin tinggi naik ke bukit jati itu, makin kentara
adanya orang yang berdiri di depan mereka.
Orang itu berpakaian serba hitam. Rambutnya yang
panjang hitam dikuncir ke belakang. Sepasang matanya yang cekung membersitkan
keganasan, memandang tak berkesip ke arah tiga penunggang kuda yang menaiki bukit.
Baik Empu Lodaya mau pun dua pengiringnya belum
pernah melihat orang itu sebelumnya, jadi tidak
mengenalinya. Semula Empu Lodaya berniat mengambil
jalan memutar di lereng bukit sebelah kanan untuk menghindar lelaki berpakaian
hitam itu. Namun seperti tahu maksud orang, si baju hitam melangkah ke kiri,
sejajar dengan gerakan Empu Lodaya. Jelas sudah orang ini
sengaja menghadang dan pasti memiliki maksud yang
tidak baik. Empu Lodaya memberi tanda pada kedua pengiringnya
yang berada satu di sisi kanan satu lagi di sebelah kiri.
Ketiganya sama menghentikan kuda seja-ak enam tombak dari hadapan orang itu.
Melihat ketiga kuda berhenti, si baju hitam pun hentikan langkahnya lalu tegak
sambil berkacak pinggang.
"Empu Lodaya!" orang itu menegur. Suaranya lantang dan membahana di seantero
bukit jati. "Apakah kau sudah berhasil menemukan orang gagah yang bisa menolong
Sultanmu"!" Sang Empu segera maklum kalau tengah berhadapan
dengan seseorang yang memiliki kepandaian tinggi.
"Kau bertanya di tempat yang tidak pantas. Caramu menghadang menjelaskan niatmu yang terselubung, dan
pasti tidak baik!" menjawab Empu Lodaya.
Orang berbeju dan bercelana hitam keluarkan suara
tawa bergelak. "Tidak sangka tukang bikin pisau dapur istana pandai pula
mengucapkan kata-kata seperti seorang penyair! Empu Lodaya, kau hanya membuang-
buang waktu sia-sia! Mengadakan perjalanan sejauh itu tanpa hasil sementara
mayat demi mayat semakin bergeletakan dalam istana Sultan Banten!"
"Apa maksudmu"! Katakan siapa kau adanya!" ujar Empu Lodaya.
Orang itu menyeringai dan usap-usap dagunya yang
ditumbuhi bulu-bulu panjang tapi jarang.
"Seminggu setelah kau meninggalkan Banten, adik perempuan sepupu Sultan ditemui
telah jadi mayat di tepi kolam istana. Selagi kau kasak kusuk di pantai utara,
satu lagi orang terdekat dan dikasihi Sultan menemui ajal.
Pangeran Artakusumah!"
Empu Lodaya dan dua pengiringnya tantu saja kaget
sekali mendengar ucapan itu. Berarti empat orang sudah menemui kematian di
tangan Ki Balangnipa! Berarti segala panjagaan dan pengawalan yang dilakukan
untuk melindungi keselamatan keluarga Sultan sama sekali tidak berdaya menghadapi
musuh tunggal itu! Demikian hebat-nyakah ketinggian ilmu Ki Balangnipa sehingga
tidak ada yang dapat membendungnya. Atau memang selain hebat
dia juga cerdik dan licin, mampu menembus istana tanpa banyak kesulitan.
"Orang tak dikenal! Apa maksudmu memberi tahu hal itu padaku"!" Empu Lodaya
lemparkan pertanyaan. Yang ditanya kembali tertawa, tapi tidak sekeras tadi.
"Jadi kau masih belum tahu tingginya gunung dalamnya lautan. Masih belum jelas
tengah berhadapan dengan siapa! Jika kau masih berumur panjang kau akan
menyaksikan korban-korban kelima, keenam dan seterusnya!"
Paras Empu Lodaya jadi berubah. Juga kedua pengiringnya ketika orang tua ini
berketa: "Jadi kau ... kau Ki Balangnipa!"
Si baju hitam tertawa lagi.
"Mungkin kau perlu bukti!" katanya. Entah kapan tangan kanannya bergerak tahu-
tahu kini dia telah menimang-nimang sebuah benda terbuat dari perak, berbentuk
bintang! "Ah, benar. Manusia ini adalah Ki Balangnipa!"
membatin Empu Lodaya ketika dia mengenali senjata
rahasia berbentuk bintang yang pernah dilihatnya
menembus tubuh Jaka Luwak dan sekaligus membunuh-
nya dua tahun yang silam.
Si baju hitam gerakkan tangan kanannya. Senjata
rahasia bintang perak itu melesat ke areh pengiring Empu Lodaya yang di sebelah
kanan. Detik itu juga terdengar pekiknya. Tubuhnya jatuh dari punggung kuda,
terjungkal dan melingkar di tanah. Pada keningnya menancap senjata rahasia
bintang perak itu! Tubuh Empu Lodaya bergetar.
"Manusia pengecut! Beraninya hanya membunuh orang-orang tak berdaya!" teriak
sang empu marah. "Aku pun tidak segan-segan menghabisi nyawamu orang tua! Sekalipun kau bukan
termasuk sepuluh orang yang berada dalam daftar mautku!"
Ki Balangnipa tertawa panjang. Tangan kanannya
kembali bergerak. Kembali pula senjata bintang perak melesat dengan kecepatan
setan! Melihat senjata rahasia itu menderu ke arahnya, Empu Lodaya cepat melompat dari
atas kuda. Sambil melayang ke tanah dia pukulkan tangan kirinya ke depan.
Serangkum angin menerpa bintang perak. Tapi dia tertipu. Senjata itu sebenarnya
memang tidak ditujukan ke arahnya. Karena sesaat kemudian terdengar pekik
pengiringnya yang kedua sewaktu bintang perak dengan ganas menembus
tenggorokannya! "Biadab!" kertak Empu Lodaya. Sebelum tubuh pengiringnya jatuh mencium tanah
orang tua ini sudah menghantamkan satu pukulan tangan kosong dari jarak dua
langkah. Deru angin pukulan yang keluar dari tangan kanan Empu Lodaya diam-diam
mengejutkan Ki Balangnipa. Tetapi sambil keluarkan suara mendengus dan mengejek Ki Balangnipa
cepat menghindar.

Mahesa Kelud - Mayat Dalam Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tukang pisau dapur! Hari ini kau akan mati sia-sia!"
Bukan main panasnya hati Empu Lodaya diejek sebagai tukang pisau dapur itu.
Meskipun tugasnya memang ahli pembuat senjata kerajaan namun sebagai salah
seorang yang ikut bertanggung jawab atas keselamatan Sultan serta keluarganya,
orang tua ini tentu saja memiliki kepandaian silat yang tidak rendah. Buktinya
begitu serangannya tadi tidak menemui sasaran, orang tua ini cepat berputar.
Sekali berkelebat tendangannya menghantam ke arah batok kepala lawan!
"Tukang pisau! Jelek-jelek rupanya kau punya
kepandaian juga!" kembali Ki Balangnipa mengejek.
Tangan kanannya dinaikkan ke atas, melintang memayungi kepalanya dari tendangan
Empu Lodaya. Sang Empu yang sudah naik pitam karena diejek
direndahkan begitu rupa dan menganggap tangan tak
bakal menang dari kaki, teruskan tendangannya bahkan lipat gandakan tanaga
dalamnya. Praak! Pergelangan tangan beradu keras dengan tulang kering kaki.
Empu Lodaya menggigit bibirnya sampai berdarah agar tidak keluarkan suara
teriakan karena sakit yang bukan kepalang. Tulang kering kaki kanannya remuk.
Tubuhnya melintir. Selagi orang tua ini terbungkuk-bungkuk
kasakitan, Ki Balangnipa menyergapnya dengan satu
jotosan ke arah perut hingga Empu Lodaya tertekuk ke depan. Dalam keadaan
seperti ini menyusul satu
tendangan dengan tepat menghantam rahangnya. Orang
tua itu mencelat lalu menggeletak di tanah. Tapi tidak disangka dia mempunyai
daya tahan luar biasa. Meski kaki kanan patah dan dari mulut serta hidung dan
telinga kanan keluar darah mengucur, tapi dia merayap bangkit.
Terbungkuk-bungkuk Empu Lodaya keluarkan suara
menggeram, melangkah mendekati Ki Balangnipa. Di
tangan kanannya tampak sebilah golok pendek, terbuat dari perak yang memancarkan
sinar berkilau oleh pantulan sinar mentari pagi.
"Aha! Rupanya inilah pisau dapur buatanmu! Baru kali ini aku melihat pisau dapur
sebesar ini!" Ki Balangnipa tertawa mengejek. Dia tegak menunggu sambil bertolak
pinggang. Ketika Empu Lodaya menusukkan senjatanya ke arah perut, dengan mudah
Ki Balangnipa berkelit sambil susupkan satu tendangan ke perut si orang tua.
Untuk kadua kalinya Empu Lodaya tarpental. Golok pendek
terlepas dari tangannya. Ki Balangnipa cepat menyambar senjata itu. Begitu
berhasil menggenggam hulu golok, dia segera membacokkannya ke kepala Empu Lodaya
yang saat itu tengah mengerang megap-megap tanpa daya
untuk selamatkan diri dari bacokan maut senjata miliknya sendiri!
Namun justru di saat itu Ki Balangnipa mendengar suara gemerisik di belakangnya,
disusul oleh suara tawa bergelak. "Ikan besar berbaju hitam! Aih . . Tentu enak kalau dipanggang!"
*** 9 I BALANGNIPA bertindak capat, melompat ke
samping seraya lepaskan pukulan ke belakang dari
K arah mana barusan terdengar suara bergemerisik
serta suara tawa. Tapi apa lacur. Gerakan orang jauh lebih cepat. Tokoh silat
ini tahu-tahu dapatkan sekujur tubuhnya telah terperangkap dalam sebuah jala
besar. Segera dia berontak dan coba renggutkan jala itu. Namun semakin keras
gerak-rontanya, semakin kencang cengkaman jala!
"Keparat!" maki Ki Balangnipa. Golok yang tadi hendak dipakainya, untuk membunuh
Empu Lodaya kini ditabas-kan kiri kanan untuk membabat putus tali-tali jala,
namun alangkah kagetnya ketika melihat kenyataan jala itu tidak sanggup diputus
oleh ketajaman golok! Sambil menggereng merah Ki Balangnipa dalam keadaan
terjerat putar tubuhnya. Kira-kira delapan langkah di hadapannya tampak berdiri seorang kakek berambut
kelabu, mengenakan celana
hitam dan berselempangkan sarung. Kedua matanya
jereng dan dia tak hentinya tertawa. Dia memegang
sasuatu yang bukan lain adalah ujung jala yang mem-
bungkus tubuh Ki Balangnipa!
"Panjala keparat! Jadi kau rupanya yang berani barlaku curang! Menyerang dari
belakang!" bentak Ki Balangnipa marah dan diam-diam kerahkan tenaga dalam pada
kedua telapak tangannya. "Aih! Jangan salah sangka!" menyahuti si kakek jereng yakni Manik Aryapala alias
si Penjala Sakti. "Aku tidak menyerang siapa-siapa! Hanya menangkap seekor ikan
hitam! Besar nian rejekiku hari ini!"
Habis berkata begitu Si Penjala Sakti tarik jalanya. Tapi orang tua ini jadi
kaget ketika bagaimana pun dia
mengerahkan tenaga, tubuh Ki Balangnipa yang ada di dalam jala tak bisa
tertarik, bahkan bergeser pun tidak kedua kakinya!
Dan Si Penjala Sakti tambah kaget sewaktu dilihatnya Ki Balangnipa menggerakkan
kedua tangannya. Bret! Bret ...! Bret...! Jala tebal itu koyak putus-putus. Sesaat kemudian Ki Balangnipa telah melompat
keluar dari bungkusan jala!
Begitu ke luar langsung dia menyerang Si Penjala Sakti.
Maka terjadilah perkelahian yang seru di antara kedua tokoh silat ini, sementara
Empu Lodaya yang terhampar di tanah, hanya bisa menyaksikan kejadian itu sambil
mengerang kesakitan. Sepuluh jurus berlalu Si Penjala Sakti segara maklumi bahwa lawan hampir dua
tingkat lebih tinggi kependai-annya. Untung saja dia memiliki kecepatan gerak
yang luar biasa hingga setiap serangan Ki Balangnipa sanggup dikelit atau
dihindarinya. Berulang kali lawan berusaha untuk kontak kekuatan dengan jalan
hendak memperadukan pukulan tangan atau tendangan kaki. Si Penjala Sakti yang mengetahui lawan
memiliki tenaga dalam lebih tinggi terpaksa bekerja keras untuk menghindarkan
bentrokan langsung. Gemas melihat lawan sanggup mengelakkan semua
serangannya Ki Balangnipa berteriak keras. Bersamaan dengan itu dia membuka baju
hitamnya. "Aih.....aih! Kenapa cuma bajumu saja yang kau buka"
Mangapa tidak celanamu juga agar telanjang sekalian"!"
berteriak Si Penjala Sakti. Nadanya mengejek tetapi kakek ini maklum kalau
pakaian hitam milik lawan adalah
merupakan satu senjata yang sangat berbahaya.
Kehebatan pakaian itulah yang membuat nama Ki
Balangnipa menjulang di antara para tokoh dan ditakuti di mana-mana. Si Penjala
Sakti segera tutup jalan nafasnya.
"Nelayan buruk!" membentak Ki Balangnipa. "Keluarkan seluruh kepandaianmu. Kalau
tidak kau akan mampus dengan tubuh lumat!"
Ki Balangnipa putar-putar pakaian hitamnya di atas
kepala. Terdengar sruran angin kencang sekali.
Hembusan angin yang keluar dari baju hitam itu
menebar bau apek yang dapat menyesakkan jalan per-
nafasan. Untung saja si Penjala Sakti telah menutup penciumannya. Namun demikian
kekuatan lain dari pakaian hitam itu - yakni kekuatan yang sanggup
melumpuhkan lawan - kini mengancam si kakek mata
jereng. Untuk membuat agar sambaran angin tidak
mengenai tubuhnya, Si Penjala Sakti lepaskan pukulan-pukulan tangan kosong kiri
kanan susul menyusul. Mula-mula arus serangan baju hitam di tangan lawan seperti
terbendung. Namun ketika Ki Balangnipa mulai berputar-putar mengelilingi
lawannya. Si Penjala Sakti menjadi sibuk. Selain hawa yang melumpuhkan yang
harus dihindarinya, dia juga harus waspada karena setiap saat ujung tangan atau
ujung kelepak baju hitam itu sanggup menghantam seperti sabatan golok atau
tusukan pedang! Plak! Plak! Ujung pakaian menampar ganas ke dada dan muka Si
Penjala Sakti. Kakek ini jatuhkan diri seraya menyambar jalannya yang telah
koyak. Jala ini digulungnya hingga membentuk tongkat lemas dan panjang, kemudian
dipergunakan untuk menghadapi baju hitam lawan. Karena jala itu juga dialiri
kekuatan tenaga dalam maka perkelahian berkecamuk tambah dahsyat. Dua batang
pohon jati tumbang. Pertama patah kena hantaman lengan baju hitam, satunya lagi
tersambar gulungan jala! Sepuluh jurus lagi berlalu. Bagaimana pun hebatnya
perlawanan Si Panjala Sakti tetap saja Ki Balangnipa lebih unggul. Apalagi Si
Penjala Sakti tak dapat menutup jalan nafasnya terus menerus. Sesekali dia harus
membuka pernafasan untuk menghirup udara baru. Baru sedikit saja dia membuka penciuman,
bau apek yang menebar dari
pakaian hitam Ki Balangnipa langsung merambas masuk rongga hidungnya. Kakek ini
tersengal dan batuk-batuk.
Gerakannya tiba-tiba saja menjadi lamban.
"Celaka!" keluh Si Penjala Sakti. Dia hantamkan jalanya ke arah leher lawan.
Jala ini laksana seekor ular siap menggelung leher Ki Balangnipa. Tapi Ki
Balangnipa yang sudah melihat gerakan lamban serta air muka yang
berubah dari lawannya, dengan cepat sebatkan pukulannya ke atas. Salah satu
lengan pakaian serta merta menggelung pertengahan jala. Sekali dia menarik maka
jala itu pun lepas. Lalu lengan pakaian yang lain seperti hidup, menggelepar ke
arah dada si Penjala Sakti.
Buk! Si Panjala Sakti mengeluh tinggi. Tubuhnya mencelat.
Dadanya terasa seperti dihantam batu besar.
Kedua matanya yang jereng berputar nanar. Terasa ada darah panas dan asin di
mulutnya. Sesaat ketika tubuhnya hendak jatuh terhempas ke tanah, orang tua ini
merasa kaget karena tubuhnya mengambang di udara, tertahan oleh sasuatu. Dia
jatuh dalam pelukan seseorang. Sebelum dia sempat mengetahui siapa orang yang
mendukungnya itu, satu suara bertanya. "Kek, kau terluka dan merasa sakit?"
*** 10 I PENJALA SAKTI mendongak ke atas. Ketika dia
melihat wajah itu, dia pun menyeringai. Walau
S dadanya sakit bukan kepalang namun dia sempat
tersenyum dan menjawab. "Tidak, aku tidak apa apa....!
Turunkan aku! Tak pantas sudah tua bangka begini
digendong seperti anak kecil!"
Mahesa Kelud ikut tersenyum dan turunkan tubuh Si
Penjala Sakti ke tanah. "Kek, siapa orang tua yang berkelahi setengah telanjang itu. Pakaiannya dikibar-
kibar begitu rupa, apa dia tidak sadar bau apek?" berbisik-bisik Mahesa Kelud.
"Jangan anggap enteng iblis biang racun itu! Apa kau lupa. Dialah Ki Balangnipa,
penimbul bencana di istana Sultan Banten. Itulah sebabnya kau kusuruh pergi ke
Banten. Tak tahunya masih berkeliaran di tempat ini . ."
"Apakah ini berarti aku telah menemui tugas yang harus kujalankan kek?"
Si Penjala Sakti mengangguk. "Hanya saja kau harus hati- hati Mahesa. Pakaian
hitam si bangsat itu adalah senjata luar biasa. Bau apaknya bisa menyesakkan
pernafasan dan sambaran anginnya melumpuhkan sekujur
badan. Kalau kau menghadapinya, harus bertindak cepat.
Kau punya dua senjata sakti. Pergunakan salah satunya."
Mahesa Kelud mengangguk, lalu maju dua langkah
mendekati Ki Balangnipa. Melihat sikap pemuda ini yang jelas hendak ikut-ikutan
cari perkara Ki Balangnipa segera membentak. Maksudnya hendak membuat lumer
nyali orang. "Apa maumu"! Minta digebuk"!"
Mahesa menjawab dengan balas bertanya: "Benar kau orangnya yang membuat
kekacauan di istana Banten?"
"Pemuda bau kencur sepertimu tak layak menanyaiku!"
"Kalau pun kau tak mau mengaku, aku sudah tahu memang kau orangnya yang jadi
biang keladi membunuh orang-orang yang tidak berdosa itu!"
Ki Balangnipa tertawa mendengar ucapan Mahesa itu.
Lagakmu seperti tuan besar yang hendak menghukum
kacungmu saja!" "Aku memang hendak menghukummu. Manusia
sepertimu harus dibikin tobat seumur-umur", jawab Mahesa pula.
Kini marahlah Ki Balangnipa. Dia mulai putar-putar baju hitamnya. Sekali gebuk
saja pasti pemuda besar mulut ini akan roboh kelojotan, pikir Ki Belangnipa yang
tidak memandang sebelah mata terhadap Mahesa. Padahal
kalau saja dia mau memperhatikan bagaimana tadi
Mahesa tiba-tiba muncul dan dengan sigap menangkap
tubuh Si Penjala Sakti yang terpental, dia seharusnya dapat menilai kalau pemuda
itu bukan serendah yang disangkanya.
Pergelangan tangan Ki Balangnipa bergerak.
Wut! Baju hitam berputar setengah lingkaran. Bau apak
menebar, menyambar ke arah muka Mahesa Kelud.
Wut! Bagian lengan pakaian menghantam ke tenggorokan
pemuda itu, Mahesa mundur selangkah. Hantaman lengan pakaian tak sempat mengenai
lehernya. Sebaliknya bau apak menembus pernafasannya dan sambaran angin
pakaian yang aneh membuat persendian di tubuhnya
seperti lunglai. Namun saat itu pula terjadilah satu keanehan.
Dari pinggang kiri si pemuda, di mana tersetip Keris Ular Emas merambas hawa
hangat yang langsung menolak
hawa busuk yang masuk lewat penciuman serta
memusnahkan hawa jahat yang hendak melumpuhkan
tubuhnya. Plak! Ujung leher pakaian hitam di tangan Ki Balangnipa
menghantam dada Mahesa, tepat seperti tadi Si Penjala Sakti kena dilabrak.
Mahesa terpental, jatuh duduk.
"Celaka'" keluh Si Penjala Sakti.
Tapi Mahesa cepat bangkit kembali. Membuat Ki
Balangnipa terkejut. Si Penjala Sakti saja keluarkan darah dan terluka di dalam
oleh hantaman pakaian saktinya.
Apakah pemuda ini jauh lebih hebat dari kakek mata
jereng itu"! Sewaktu menerima pukulan baju hitam sakti itu tadi, Mahesa telah bentengi
dadanya dengan aji karang sewu sehingga meskipun dorongan keras membuatnya jatuh
duduk, namun tubuhnya luar dalam tidak cedera sama
sekali. Sepasang mata KI Balangnipa membeliak dan berapi-
api. Seumur hidupnya tak pernah dia menemukan lawan yang bisa selamat dari
hantaman baju hitamnya. Diselimuti rasa tak percaya bercampur marah kembali
tokoh silat dari Gunung Gede itu menyerbu dengan baju saktinya. Angin menderu-
deru laksana topan prahara. Daun-daun pohon jati rontok dan jatuh ke tanah. Debu
pesir beterbangan. Batang-batang pohon jati yang sudah tua bergoyang-
goyang. Kulit kayunya retak pecah-pecah.
Si Penjala Sakti jejakkan ke dua kakinya kencang-
kencang ke tanah agar tidak jatuh disambar angin dahsyat yang keluar dari baju
hitam Ki Balangnipa. Empu Lodaya yang terkapar di tanah dan mengerang kesakitan
karena sampai saat itu tak seorang pun yang datang menolong, kini terpaksa
telungkupkan badan di tanah dan pejamkan kedua matanya agar tidak kemasukan debu
dan pasir. Mahesa sendiri merasakan tubuhnya bergetar keras
hingga dia cepat-cepat kerahkan tenaga dalam sambil memasang kuda-kuda setengah
berlutut. Ketika ujung lengan kanan baju di tangan lawan membeset ke arah
kepalanya, pendekar ini cepat membungkuk. Tubuhnya
miring ke belakang tapi kaki kanannya tiba-tiba menderu mencari sasaran di perut
lawan. Ki Balangnipa berseru keras. Begitu serangannya gagal, ujung lengan baju
yang satu lagi ganti menyambar, kini menghantam ke arah bahu kanan Mahesa
Kelud.Tapi serangan ini pun gagal karena Mahesa saat itu sudah jatuhkan diri,


Mahesa Kelud - Mayat Dalam Istana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berguling di tanah, sesaat bangkit berdiri dengan cepat dia dorongkan tangan
kanannya ke depan. Segulung angin bergulung menyapu ke arah Ki
Balangnipa. Debu dan pasir kembali beterbangan
menutupi pemandangan. Daun-daun pohon jati semakin
banyak yang rontok berguguran. Inilah pukulan "menembus ombak membelah
gelombang" yang didapat Mahesa Kelud dari mendiang gurunya Embah Jagatnata alias
Simo Gembong. Ki Balangnipa terkesiap ketika melihat datangnya
gulungan angin deras itu.
"Pemuda tak dikenal ini, siapakah dia sebenarnya"!"
membatin Ki Balangnipa. Meskipun kagum tapi juga jadi penasaran. Sambil melompat
ke atas untuk menghindari sambaran angin pukulan lawan, dia kebutkan baju hitam
di tangan kanannya. Dess! Angin dahsyat dari baju sakti saling bentrok dengan angin pukulan Mahesa Kelud.
Bukit jati itu bergetar. Tanah di atas tempat beradunya dua kekuatan dahsyat
muncrat mental ke atas. Di tanah itu kini kelihatan sebuah lobang yang cukup
dalam. Si Penjala Sakti leletkan lidah.
Mahesa Kelud tegak dengan sepasang lutut bergoyang
keras sedang Ki Balangnipa berubah parasnya. Dia tak sempat berpikir lebih jauh
karena saat itu tiba-tiba dilihatnya Mahesa Kelud melompat ke arahnya dengan
kedua tangan terkembang ke samping, seperti seekor
rajawali yang siap mencengkeram dan mematuk mangsa-
nya! Ki Balangnipa kebutkan baju hitamnya dalam gerakan
aneh dan mengerahkan seluruh tenaga dalam yang ada.
Kini bukan debu dan pasir saja yang beterbangan, tanah pun ikut bermentalan ke
udara. Dan selagi tubuh Mahesa melayang di udara Ki Balangnipa lemparkan senjata
rahasianya. Lima bintang perak melesat ganas ke arah Mahesa Kelud.
"Pengecut curang!" teriak Si Penjala Sakti ketika sempat melihat apa yang
dilakukan Ki Balangnipa. Dengan jalanya yang sudah rusak sembrawutan dia
menghantam ke udara. Dua bintang perak mental. Tapi tiga lainnya terus
menerjang Mahesa Kelud. "Celaka!" seru Si Penjala Sakti. Dia tak berdaya lagi untuk menolong. Tetapi
Mahesa Kelud memang tidak perlu pertolongan lebih lanjut.
Selarik sinar merah berkiblat di udara dibarengi suara deru seperti tawon
mengamuk. Terdengar tiga kali suara berdentringan. Tiga bintang perak senjata
rahasia Ki Balangnipa mental dan hancur. Sinar merah menukik
membelah udara. Bret! Bret! Baju hitam di tangan Ki Balangnipa kini berubah
menjadi tiga potong. Dua potong jatuh ke tanah, sisanya yang sepotong lagi masih
tergenggam di tangannya. Dengan muka pucat pasi Ki Balangnipa melompat mundur.
Mulutnya tergagap ketika dia berkata: "Pe . .. pedang Dewa!" Rupanya Ki
Balangnipa sudah mengetahui senjata apa yang ada di tangan lawannya.
"Jadi... kau muridnya... muridnya Suara Tanpa Rupa!"
seru Ki Balangnipa. Mahesa tak menjawab. Justru yang membuka mulut
adalah Si Penjala Sakti. "Siapa pemuda itu adanya bukan urusanmu! Balangnipa,
apapun kepandaianmu kau tak
bakal dapat mengalahkannya! Menyerahlah! Jika kau bertobat siapa tahu Sultan mau
memperingan hukuman atasmu!" Ki Balangnipa meludah ke tanah. Meskipun tengkuknya memang bergeming dingin
karena tahu kehebatan Pedang Dewa yang memancarkan sinar merah angker di tangan
lawan, namun dia tidak bisa percaya akan kalah begitu saja di tangan pemuda tak
bernama itu. Menyerah sudah barang tentu tak bakal dilakukannya! Dia lebih baik
bunuh diri dari pada diadili di Banten. Dia yakin tak ada keringanan hukuman
baginya. Satu-satunya yang bakal menyambutnya di Banten jika dia sampai
tertangkap hidup-hidup adalah tiang gantungan atau papan pemancungan!
Ki Balangnipa keluarkan bentakan garang. Kaki
kanannya menderu ke perut Mahesa Kelud. Melihat lawan kini tidak memegang
senjata apa-apa, jiwa ksatrianya membuat Mahesa segera memasukkan Pedang Dewa
kembali ke sarungnya. Melihat hal ini diam-diam Ki
Balangnipa merasa lega. Tapi dia kecele kalau merasa tanpa pedang sakti di
tangan dia akan mudah merobohkan si pemuda. Dia menggereng ketika tendangannya
luput lalu berjingkrak ke udara. Tiba-tiba tubuh Ki Balangnipa tampak berputar
seperti gasing. Tangan dan kakinya terkembang.
Dua batang pohon yang kena hantaman kaki dan
tangannya patah dan tumbang. Inilah jurus silat langka yang sangat berbahaya
bernama "kitiran maut"! Apa saja yang terkena sambaran kaki atau tangan akan
terbabat putus atau dihantam hancur. Kitiran maut bukan saja merupakan jurus
serangan yang dahsyat tapi sekaligus juga merupakan jurus bertahan yang kokoh.
Mahesa Kelud melompat mundur untuk meneliti
gerakan serangan aneh ini lalu coba susupkan satu jotosan ke kepala Ki
Balangnipa yang ikut berputar. Tapi pemuda ini cepat tarik pulang serangannya
ketika salah satu kaki dan tangan lawan mendadak melesat ke arah tenggorokan dan
selangkangannya. Selagi dia melompat untuk menghindari serangan susulan, tubuh
Ki Balangnipa yang berputar itu cepat sekali melesat ke arahnya.
Dari tempatnya berdiri menyaksikan jalannya per-
kelahian Si Penjala Sakti geleng-geleng kepala. Dia tahu betul, itu adalah ilmu
simpanan Ki Balangnipa yang
terakhir. Meskipun dia tadinya yakin si orang tua tak bakal dapat mengalahkan
pemuda itu, tapi kini hati kecilnya diliputi rasa was-was.
Ketika tubuh berputar datang mengejar Mahesa Kelud
segera lafatkan aji karang sewu, dan salurkan tenaga dalamnya ke empat anggota
badan yakni sepasang tangan dan kedua kaki. Sesaat lagi tubuh lawan datang
menghantam Mahesa langsung menyongsong sambil
susupkan jurus "menembus ombak membelah gelombang"
Buk! Buk! Praak! Dua sosok tubuh saling beradu keras lalu sama-sama
tarpental. Satu langsung terkapar tak berkutik lagi, satunya lagi masih bisa
tegak walau terhuyung-huyung!
Mahesa tegak bersandar ke batang pohon jati sambil
pegangi dadanya yang mendenyut sakit. Lututnya masih tergetar dan seperti
ditusuk-tusuk. Ketika terjadi bentrokan tadi, tinju Ki Balangnipa manghantam
dadanya sedang tendangan kaki mendarat di lututnya. Kalau saja dia tidak
membentengi diri dengan aji karang sewu pasti dada dan tulang lututnya sudah
remuk. Pemuda ini atur jalan nafas dan peredaran darahnya. Dia maklum kalau
dadanya sebelah dalam menderita cidera walau tak sampai mem-bahayakan jiwanya.
Beberapa langkah di hadapannya tubuh Ki Balangnipa
terkapar di tanah tanpa nafas lagi. Kepalanya sebelah kiri remuk hancur akibat
pukulan karang sewu yang dilepaskan Mahesa dengan tangan kanannya.
"Semua berakhir sudah! Semua berakhir sudah!"
terdengar suara Si Penjala Sakti seraya melangkah
mendekati Mahesa den menepuk-nepuk bahu pemuda itu.
"Kakek, apakah ini berarti aku telah menjalankan tugas yang kau berikan dan
membayar impas hutang piutang
budi dan nyawa di antara kita?" tanya Mahesa Kelud.
Si kakek tertawa. "Tak ada hutang piutang!" katanya.
"Menjadi kewajiban kita untuk menyingkirkan manusia-manusia jahat dan sesat
seperti yang satu itu!"
"Kalau begitu aku tak perlu lagi pergi ke Banten," kata Mahesa karena sejak lama
dia ingin segera pergi ke timur.
"Siapa bilang tidak perlu!" satu suara menyahuti. "Aduh, tolong aku.....!"
Mahesa dan Si Penjala Sakti baru ingat pada Empu
Lodaya. Keduanya segera menolong orang tua itu. Sang empu memandang sejurus pada
Mahesa. Sambil menyeka sudut bibirnya dia berkata: "Anak muda, bukankah kau yang bernama Mahesa, yang
dulu menjadi pembantu Ekawira, pernah ikut mengabdi pada kesultanan
Banten...?" Mahesa hanya mengangguk perlahan.
"Kau harus ikut aku ke Banten! Kau harus menghadap Sultan!"kata Empu Lodaya.
"Eh, kenapa begitu?" tanya Mahesa.
"Jangan banyak tanya! Apa kau tidak menyadari bahwa kau baru saja menyelamatkan
kerajaan dari malapetaka besar yang disebabkan oleh manusia bernama Ki
Balangnipa itu" Apa kau tidak tahu bahwa kau baru saja menyelamatkan enam nyawa
dari orang-orang yang dikasihi Sultan?" Mahesa angkat bahu. Empu Lodaya menarik bahu pakaian si pemuda. "Kau harus ke Banten menghadap
Sultan! Aku percaya kau akan diangkatnya jadi Kepala Balatentara Banten."
Si Penjala Sakti tersenyum-senyum. "Wah, rejekimu besar nian Mahesa," katanya.
Tapi dia sudah tahu apa bakal jawab pemuda itu.
"Orang tua, siapa pun kau adanya aku berterima kasih atas maksud baikmu
membawaku ke Banten," kata
Mahesa. "Hanya saja aku tidak ingin mendapatkan balas jasa apa-apa. Semua
kulakukan karena kakekku ini!"
"Tidak bisa!" sahut Empu Lodaya. Pegangannya pada Mahesa semakin diperkencang.
"Kalau begitu maumu, baiklah. Mengingat kau terluka cukup parah, maka
berangkatlah dulu naik kuda. Aku
menyusul kemudian ..." kata Mahesa pula.
"Aku akan mendampinginya sampai di pintu gerbang Kotaraja.'' berkata Si Penjala
Sakti. Lalu kakek ini cepat-cepat menaikkan Empu Lodaya ke atas kuda. Keduanya
meninggalkan tempat itu. Empu Lodaya sesekali menoleh ke belakang, ke arah
Mahesa Kelud yang masih tegak di puncak bukit jati itu.
"Aku kawatir, dia tidak menepati janjinya," kata Empu Lodaya. "Dia tak akan
menyusul kita ke Banten ... "
Si Penjala Sakti menyeringai. "Kau tahu pasti hal itu sahabatku. Apa pun yang
diberikan Sultan Banten padanya dia tak akan mau menerima. Pendekar sejati
seperti dia tak pemah mengharapkan balas jasa. Bertindak tanpa
pamrih...." "Sayang .... sayang. Sultan dan rakyat Banten benar-benar berterima kasih
padanya," ujar Empu Lodaya. Lalu menambahkan: "Kalau saja aku punya anak gadis.
Pasti kujodohkan dengan pemuda itu. Dia sangat tampan.
Ilmunya tinggi pula....."
Si Penjala Sakti tertawa mengekeh.
"Kenapa kau tertawa"!" tanya Empu Lodaya seraya pegangi pipinya yang mendenyut
sakit. "Mana mungkin kau punya anak gadis! Sampai setua ini kawin saja pun kau
belum ... !" sahut Si Penjala Sakti.
Kedua tua renta itu kemudian sama-sama tertawa
terpingkal-pingkal. T A M AT Scan dan Convert to PDF : syauqy_arr
Edit Teks : Fujidenkikagawa
Sumber buku : Pendekar 212
Asmara Darah Tua Gila 1 Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie Rahasia Iblis Cantik 8
^