Pencarian

Misteri Lemari Antik 3

Misteri Lemari Antik Karya Abdullah Harahap Bagian 3


"Mestinya aku sudah berangkat setengah jam yang lalu. Aku harus bertemu Residen besok pagi-pagi benar, untuk..." lalu pria berusia lanjut serta perlente itu melihat Ismed berdiri. "Jadi dia inilah tamu yang kau laporkan tadi?"
"Benar, Pak." "Aku lurah desa ini." Pria berwajah kaku dan bersikap kaku itu mengulurkan tangan. Ternyata ia masih
memegang kesopanan juga. "Siapa namamu, anak muda?"
"Ismed. Pak," Ismed menyambut uluran tangan itu. "Ismed Effendi." Ia terkesiap merasakan betapa kokoh cengkeraman tangan si lelaki. Dan betapa tajam bagai sembilu sorot mata tuanya.
"Dari mana kau datang?"
"Itulah yang membingungkan saya, Pak Lurah." Ismed menyahut heran. Heran pada dirinya sendiri. "Saya kira saya telah tersesat, dan..."
"Asih sudah menceritakannya tadi. tak lama setelah kalian tiba di rumah ini. Kau beruntung. anak muda. Beruntung dapat keluar hidup-hidup dari hutan terasing itu. Jadi kau bermaksud menginap?"
"Bila diperkenankan, Pak Lurah."
"Baiklah. Mestinya kau kucarikan sebuah rumah lain untuk tempat pemondokan sementara. Tetapi aku terlalu sibuk, tak sempat mencarikannya." Pak Lurah berpaling pada Selasih. "Kau dapat menjaga diri bukan, Asih" Atau perlukah kupanggilkan seseorang untuk menemanimu?"
"Aku sudah terbiasa hidup menyendiri, Pak Lurah," jawab Selasih. sambil berusaha menghindari tatap mata Ismed. "Biarlah tamuku menginap di rumahku barang semalam. Besok pagi, aku sendiri yang akan membantu mencari keluarga lain yang mau menerima dia. Kecuali, ia bermaksud meneruskan perjalanannva.
"Baiklah kalau begitu, Asih. Dan kau, anak muda. Desa kami ini dihuni oleh orang baik-baik. Kau tentu sependapat dengan kami, bukan?"
Itu suatu peringatan halus.
Ismed mengangguk. Kaku. "Nah. Selamat berpisah kalau begitu. Aku harus pergi sekarang. Kudengar. Residen cuma sebentar saja muncul di Pandeglang sebelum meneruskan perjalanannya ke Bogor."
Pandeglang! Nama kota itu pelan-pelan berdenyut di otak Ismed. Pandeglang. Bogor. Lebih ke sana lagi, Bandung. Dari sanalah ia datang. Ke Pandeglang ia pergi. Ismed menyadari sesuatu Ialu bergegas menyusul ke pintu depan. Tetapi lurah perlente itu sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
"Sia-sia kalau kau bermaksud menyusulnya," bisik Selasih di dekatnya. "Pak Lurah dapat berjalan melebihi kecepatan orang-orang biasa. llmunya tinggi. Dan ia termasuk salah seorang lurah yang disegani kompeni."
Ismed tersedak. "Disegani siapa?"
"Kompeni." Selasih menatap terheran-heran. "Apa kau tak pernah mendengar tentang kompeni?"
"Maksudmu, Belanda," bisik Ismed, parau.
"Benar. Belanda, dengan serdadu-serdadunya yang telah merenggut banyak anak negeri tercinta ini!" Suara Selasih terdengar berapi-api. Bersemangat tinggi. Dengan nada kebencian dalam suaranya. Selasih
meneruskan. "Baru seminggu lalu mereka menyerbu Desa Taraju. Desa itu setengah hari perjalanan dari sini. Serdadu kompeni membumihanguskan Taraju, membunuhi penduduknya dan menawan sejumlah pejuang kita. Termasuk Pak Tonggo. Demi Pak Tonggo-lah Pak Lurah ingin bertemu Residen.... Eh. ada apa dengan kau. Ismed?"
Ismed surut dari pintu. Jatuh terduduk di kursi paling dekat yang mampu digapainya. Wajahnya memucat seputih kapas.
"Kompeni..." Menyerbu...?" Mulutnya menggagap. "Mustahil! Perang sudah lama berakhir!"
"Siapa bilang" Justru perang kian menjadi-jadi, Ismed. Ataukah kau tak pernah ikut bertempur ke medan laga?"
"Ikut bertempur?" Sesak napas Ismed mengucapkannya. "Kau pikir, di zaman apa kita hidup sekarang ini?"
"Aku tak mengerti maksudmu..."
"Perang sudah lama berakhir. Asih. Kita sudah lama merdeka. Kita sekarang justru menuju negara... ah, kau barangkali tak pernah tahu. Haruskah kau kuberitahu, tahun berapa sekarang?"
"Menurutmu tahun berapa?"
"1984." Dahi Selasih mengernyit. Ia bergumam bingung. "Itu masih sekitar setengah abad lagi..."
"Setengah abad?"
"Benar. Sekarang baru menginjak tahun 1929 Masehi. Atau kalau menurut perhitungan Wan Ahmad, sekarang baru tahun 1349 Hijriah."
"itu tidak mungkin, Asih!"
"Astaga. Ada apa denganmu. Ismed" Apakah terkaman macan kumbang itu telah mempengaruhi jalan pikiranmu" Ataukah kepala suku telah menyuruh kau meminum obat yang salah" Siapa kau sebenarnya" Dari mana kau sebenarnya" Apa maksudmu datang ke daerah ini?"
Selasih bertanya, bukan lagi sekadar bertanya.
Selasih bertanya, disertai gambaran khawatir di matanya. la mendekati Ismed, berlutut di depan kursi yang diduduki lelaki itu. Wajah Selasih menengadah. Tangannya menggapai dan mengusap wajah Ismed yang pucat, dingin bagaikan es.
"Apa yang kau cari, Ismed?"
Bisikan lirih Selasih membuat lsmed terperangah.
la mengingat-ingat. Lalu mengeluh sakit, "Aku mencari Farida. Istriku. Ia menghilang dari rumah."
Selasih menarik mundur tangannya dari wajah lsmed. Mata perempuan itu berubah sayu. "Mengapa istrimu menghilang?" tanyanya, setengah berharap setengah tak suka.
"Aku tak tahu. Ia menghilang begitu saja. Lewat pintu lemari!"
Selasih membelalak. Lelaki ini menderita gangguan
jiwa, pikirnya. tentulah Karena lelaki ini telah Keburu memasuki hutan terlarang tadi siang. Bagaimana mungkin orang asing ini berpikir bahwa ia hidup di masa mendatang" Lalu ia bilang. istrinya menghilang. Lewat pintu lemari pula. Astaga!
*** "KAU tentunya letih. Perlu istirahat. Pergilah tidur sekarang. Kamar untukmu telah kusiapkan. Yang itu..."
Selasih berkata demikian seraya menunjuk ke sebuah pintu.
lsmed mengangguk, namun kelihatannya masih bingung. Lalu beranjak ke kamar yang ditunjuk, berjalan dengan langkah-langkah lesu dan kepalanya merunduk dalam. Sebelum menghilang di balik pintu, ia sempat berpaling. Mengawasi tuan rumah sejenak dengan sorot mata mengandung curiga.
Selasih melempar senyum untuk membesarkan hati tamunya.
Ia sebenarnya ingin memeluk lsmed.
Ingin mengantarkannya sampai ke tempat tidur, lalu menyelimutinya. Lelaki itu tampaknya sedang
kehilangan pegangan. Seperti seorang anak manja dan periang, yang tiba-tiba diberitahu bahwa ibunya sudah mati. Ismed membutuhkan seseorang untuk mendampinginya.
Hati Selasih diliputi perasaan bahagia yang aneh, dan berjanji pada diri sendiri untuk siap mendampingi Ismed setiap saat lelaki itu membutuhkan dirinya. Terbayang sekilas waktu mereka berdua rebah keletihan di tepi sungai. Wajah mereka begitu rapat satu sama lain. Malah Selasih masih dapat merasakan kehangatan napas Ismed di pipinya.
Bayangan sekilas yang menggoda hati itu seketika membuat pipi Selasih bersemu. Ia berpaling menyembunyikan perasaan. Setelahnya. ia mendengar bunyi daun pintu ditutupkan perlahan-lahan. Di relung sanubarinya yang paling dalam, Selasih berharap ia akan mendengar langkah-langkah kaki mendekat, lalu sepasang lengan yang kuat memeluknya dari belakang, disertai bisikan lembut pada telinganya.
"Asih. Tanpa kau, aku tak bisa tidur...!"
Selasih berpaling lagi. Menantap pintu yang telah tertutup rapat. Lelaki itu telah menghilang di kamarnya. Mengucapkan selamat tidur pun tidak. Selasih menghela napas panjang. Sambil membereskan tatanan rambutnya. ia kembali ke dapur.
"Tolol!" hati kecilnya merutuk. "Bukankah Ismed bilang dia sudah punya istri?"
la bereskan perabotan bekas mereka makan di
dekat tungku perapian. Baju-baju kotor dimasukkan ke sebuah bakul untuk dicuci besok pagi.
Dalam jilatan sisa nyala api di tungku, sesaat ia tertegun.
Diamatinya baju dan celana lsmed yang kotor dan robek-robek. Pakaian lelaki itu masih lembap basah. Tetapi Selasih dapat merasakan, baju dan celana lsmed terbuat dari bahan yang halus dan licin. Celana itu tidak pakai kancing. Melainkan pakai kaitan pada pinggang depan. Warnanya kuning tua, seperti perunggu. Namun begitu tipis dan kuat sehingga sesaat Selasih berpikir kaitan itu terbuat dari bahan besi.
Aneh sekali, pikirnya. Lebih aneh lagi. belahan depan celana itu sampai selangkangan. Belahan itu juga tidak pakai kancing. Tampaknya mempergunakan semacam bahan yang sama keras tetapi lebih halus lagi. Ada kaitan putih persegi, kecil sekali. Setelah beberapa kali merapatkan belahan celana itu dengan sia-sia, Selasih ganti mempermainkan kait putih itu. Hampir setengah jam lamanya baru ia dapat memahami penggunaannya.
Kait putih itu tinggal kau tarik ke atas, maka belahan celana akan menutup. Tarik ke bawah, maka yang terjadi sebaliknya.
Selasih sangat tercengang dengan penemuannya yang menakjubkan itu.
Ia yakin, Pak Lurah yang begitu kaya dan terhormat tidak pernah punya kancing tarik semacam itu.
Bahkan tidak juga para serdadu kompeni yang sudah sering muncul ke kampung mereka untuk mencari orang-orang yang mereka sebut "ekstremis" sambil merampas barang-barang berharga milik penduduk. terkadang juga memerkosa wanita-wanita muda.
Selasih salah seorang yang pernah mengalami kebejatan serdadu-serdadu penjajah itu. Jadi ia ingat betul bagaimana bentuk kancing celana mereka. Konon peradaban mereka sudah sangat maju, tetapi kancing tarik semacam punya Ismed ini, tak pernah dipakai serdadu-serdadu bule itu.
Selasih tak lagi begitu heran lagi ketika kemudian ia juga memperhatikan kemeja Ismed. Kemeja itu boleh dibilang sudah hancur, hampir tak mungkin lagi diperbaiki. Kemeja berkerah, tetapi kerahnya lebih kecil dan lebih halus dari kerah baju Pak Lurah atau serdadu-serdadu kompeni itu. Kancing-kancingnya berwarna bening, dibuat sedemikian halusnya. Entah dari bahan apa. Yang jelas bukan dari bahan tanduk sebagaimana kancing yang selalu dipakai Pak Lurah.
Nyala api di tungku semakin redup.
Selasih tidak memedulikannya.
la tengah dibingungkan oleh pikiran mengenai pemilik pakaian yang mencengangkannya itu. Selasih berpikir, tentulah Ismed sangat kaya. Jauh lebih kaya dari Pak Lurah sendiri. Ia juga jelas bukan orang daerah sekitar sini. Selain mengingat logatnya yang
Keras dan asing juga melihat penampilan serta pakaiannya yang ganjil itu.
Ismed mungkin anak bangsawan terkemuka, entah di mana. Mungkin juga anak seorang raja. Ismed tentunya pernah dikirim orang tuanya ke negeri orang-orang bule itu. Ke negeri yang peradabannya sangat maju, negeri impian, negeri yang sering kali didongengkan serdadu-serdadu kompeni itu dengan bangga.
Hem. Pantaslah Ismed mengatakan perang telah lama berakhir. Di negeri yang pernah didatanginya mungkin benar perang telah berakhir. Di sana ia terkena pengaruh orang. sehingga ketika kembali lagi ke negeri sendiri. Ismed menganggap apa yang diperbuat kompeni adalah sesuatu hal yang wajar. Sebagaimana acap kali diucapkan serdadu-serdadu itu kepada penduduk di sini.
"Kami datang bukan untuk memusuhi kalian. Tetapi untuk menjaga keselamatan harta dan nyawa kalian."
Ucapan yang tentu saja bertentangan dengan kenyataan yang terjadi. Apakah Ismed belum pernah mengangkat senjata melawan kompeni" Ataukah, ia salah seorang dari mereka"
Astaga! Jangan-jangan. Ismed seorang mata-mata!
keras dan asing juga melihat penampilan serta pakaiannya yang ganjil itu.
Ismed mungkin anak bangsawan terkemuka, entah di mana. Mungkin juga anak seorang raja. Ismed tentunya pernah dikirim orang tuanya ke negeri orang-orang bule itu. Ke negeri yang peradabannya sangat maju. negeri impian, negeri yang sering kali didongengkan serdadu-serdadu kompeni itu dengan bangga.
Hem. Pantaslah Ismed mengatakan perang telah lama berakhir. Di negeri yang pernah didatanginya mungkin benar perang telah berakhir. Di sana ia terkena pengaruh orang, sehingga ketika kembali lagi ke negeri sendiri. Ismed menganggap apa yang diperbuat kompeni adalah sesuatu hal yang wajar. Sebagaimana acap kali diucapkan serdadu-serdadu itu kepada penduduk di sini.
"Kami datang bukan untuk memusuhi kalian. Tetapi untuk menjaga keselamatan harta dan nyawa kalian."
Ucapan yang tentu saja bertentangan dengan kenyataan yang terjadi. Apakah Ismed belum pernah mengangkat senjata melawan kompeni" Ataukah. ia salzdr seorang dari mereka"
Astaga! Jangan-jangan, Ismed seorang mata-mata!
Di kamar tidurnya, lsmed berbaring gelisah.
Kamar yang ditempatinya tanpa langit-langit. Berdinding tipis pula. Hawa dingin menerobos dari mana-mana, termasuk dari celah-celah lantai papan. Dipan kayu yang ditidurinya hanya dilapisi sehelai tikar pandan. Bantalnya sangat tak nyaman di kepala. karena isi bantal bukan kapas melainkan jerami. Selimutnya keras dan kasar tetapi cukup hangat.
Namun hawa dingin pegunungan menusuk tiap jengkal tubuhnya, hingga mata Ismed sukar sekali terpejam. Padahal. betapa inginnya ia tidur barang sejenak. Walau cuma satu dua menit. Dan ia berharap, saat terbangun nanti ia kembali berada di kamar tidurnya sendiri, Ia akan melihat Farida menguap di sebelahnya. sambil mencemooh, "Kau mengigau yang anehaneh. Mimpi apa kau tadi malam?" Atau, barangkali mendapati Farida merungut cemburu. "Asih itu pacarmu ya, sampai kau sebut-sebut dalam mimpimu!"
Benarkah ia hanya bermimpi" Ah, semoga semua ini hanya bermimpi.
Lalu mengapa segalanya begitu jelas dan nyata" Ia masih mampu mengingat semua detailnya. la membuka pintu lemari. Terperangkap di lorong gelap. Tahu-tahu ia sudah ada di tengah hutan belantara. Seekor macan kumbang menerkamnya, mencabikcabik pakaian dan tubuhnya. Muncul sesosok tubuh aneh berpakaian putih-putih, yang semula ia sangka seorang malaikat. Lalu rumah-rumah di atas pohon,
Di kamar tidurnya, Ismed berbaring gelisah.
Kamar yang ditempatinya tanpa langit-langit. Berdinding tipis pula. Hawa dingin menerobos dari mana-mana, termasuk dari celah-celah lantai papan. Dipan kayu yang ditidurinya hanya dilapisi sehelai tikar pandan. Bantalnya sangat tak nyaman di kepala, karena isi bantal bukan kapas melainkan jerami. Selimutnya keras dan kasar tetapi cukup hangat.
Namun hawa dingin pegunungan menusuk tiap jengkal tubuhnya, hingga mata Ismed sukar sekali terpejam. Padahal. betapa inginnya ia tidur barang sejenak. Walau cuma satu dua menit. Dan ia berharap, saat terbangun nanti ia kembali berada di kamar tidurnya sendiri. la akan melihat Farida menguap di sebelahnya. sambil mencemooh. "Kau mengigau yang anehaneh. Mimpi apa kau tadi malam?" Atau. barangkali mendapati Farida merungut cemburu. "Asih itu pacarmu ya, sampai kau sebut-sebut dalam mimpimu!"
Benarkah ia hanya bermimpi" Ah. semoga semua ini hanya bermimpi.
Lalu mengapa segalanya begitu jelas dan nyata" ia masih mampu mengingat semua detailnya. Ia membuka pintu lemari. Terperangkap di lorong gelap. Tahu-tahu ia sudah ada di tengah hutan belantara. Seekor macan kumbang menerkamnya. mencabikcabik pakaian dan tubuhnya. Muncul sesosok tubuh aneh berpakaian putih-putih, yang semula ia sangka seorang malaikat. Lalu rumah-rumah di atas pohon.
penghuni-penghuninya yang menatap curiga sebelum menghilang.... Ular, babi hutan, puluhan ekor monyet, dan" Selasih!
Pertemuan mereka hanya kebetulan belaka. Tetapi Selasih telah bercerita sangat banyak. Tentang penghuni-penghuni hutan terasing itu. Tentang orangorang yang hilang raib di sana. termasuk suaminya. Lalu mereka meniti jembatan bambu. Ismed terpeleset, hampir mati terbenam kalau tak keburu ditolong Selasih. Alangkah memalukan, ia ditolong seorang perempuan lemah bertubuh kecil, perempuan yang justru memerlukan lindungan seorang laki-laki. Selasih tidak begitu cantik. Tetapi pesona senyumnya tidak bisa diabaikan. Apalagi ketika tubuh mereka begitu rapat di tepi sungai, dan ah... saat lsmed menyentuh payudara perempuan itu tanpa sengaja.
Ismed mengeluh. Belum apa-apa, ia sudah hampir mengkhianati Farida!
Betapa jelas dan nyata semua gambaran itu, bahkan juga perasaan yang ditimbulkannya. Belum lagi mengenai Pak Lurah, ceritanya tentang residen Belanda, arloji rantainya yang kuno. dan corak pakaiannya yang sama kunonya. Hingga penuturan Selasih tentang perang dan kompeni.
Tidak. Tidak mungkin semua itu hanya mimpi belaka.
Mimpi tidak akan pernah senyata yang ia rasakan. Tetapi bagaimana mungkin" Rasanya sungguh tidak
masuk akal. Bahwa, Ismed Effendi telah memasuki apa yang hanya pernah ia baca dalam buku atau ia lihat dalam film yaitu lorong waktu! Benar. Lorong gelap di balik pintu lemari adalah sebuah lorong waktu. Waktu ke masa silam!
Sekarang tahun 1929, itu yang dikatakan Selasih. Dan Pak Tonggo, siapa pun dia. tengah ditawan serdadu kompeni.
"Gila!" umpat Ismed, seraya mencengkeram kepalanya. la memiijit ubun-ubunnya, lalu menekan pelipisnya. Kepalanya bedenyut teramat sakit menyadari kenyataan bahwa ia tetap berada di kamar asing tanpa langit-langit, berdinding tepas dan berlantai papan.
Frustrasi karena menyangka ia tengah berada dalam suatu kegilaan yang aneh, Ismed bangkit dari dipan dan berjalan ke jendela. Daun jendela ia buka lebarlebar. Berharap akan melihat jalan raya, melihat banban mobil menderu di aspal dan berharap sebuah gerobak dorong lewat menjajakan mi bakso!
Sia-sia ia berharap. Selain hawa dingin yang kian menusuk, yang ia temui hanyalah kegelapan di bawah sinar rembulan yang suram. Setelah beberapa saat, pandangannya mulai beradaptasi dengan kegelapan.
Ismed terkesiap. Tegak kaku di belakang jendela.
Sesosok tubuh semampai tampak berdiri dalam kegelapan. Angin kencang menghembus rambutnya, tergerai kian kemari. Kegelapan malam tak mampu menyembunyiakan lehernya yang jenjang dan pundak
nya yang putih kekuningan. Dari pakaian yang hanya sebatas dada, sosok tubuh itu jelas sosok seorang perempuan. la berdiri membelakangi jendela tempat Ismed memperhatikan diam-diam. Rupanya perhatian si perempuan tengah dipusatkan ke sebuah rumah di depannya. Suara rengekan bayi. terdengar samar-samar dari rumah tersebut.
Sesaat kemudian, rengekan itu berhenti mendadak. Seakan dipaksa. Mungkin ibu atau ayahnya yang terganggu tidurnya, menutup mulut bayi itu, atau mungkin si bayi tengah disusui ibunya. Kegelapan semakin hening. Sosok perempuan tadi pelan-pelan melangkah maju. Gerakannya lamban dan tenang, tampak seperti setengah melayang di permukaan tanah. Dan herannya, hanya dalam beberapa helaan napas perempuan itu telah sampai di bagian samping rumah tadi. Lenyap di balik bayang-bayang pepohonan.
lsmcd masih bingung siapa perempuan itu dan mengapa ia keluar malam-malam sendirian. Apa pula tujuannya mengintai rumah di depan sana. Sebelum kebingungan Ismed terjawab, si perempuan sudah tampak kembali. Dia meninggalkan rumah itu dengan membopong sesuatu. Perempuan itu terus melangkah dengan penuh percaya diri, tenang dan lamban. Ketika akan membelok di pertigaan jalan tak jauh dari jendela tempat Ismed mengintip, sinar rembulan yang tak terhalang apa pun membuat wajah perempuan itu terlihat ielas.
Ismed ternganga. Rupanya perempuan itu merasa tengah diamatamati. Hanya butuh sepersekian detik untuk menemukan orang yang tengah memperhatikan gerak-geriknya. Perempuan itu tegak diam, menatap ke arah Ismed dengan pandangan tajam. Raut wajahnya semakin jelas. Itulah yang membuat Ismed ternganga. Walaupun perempuan itu mengenakan pakaian orang gunung, tapi wajahnya adalah seraut wajah yang sangat dikenal Ismed.
?" Ida," bisik Ismed, tersentak.
Saking tak percaya dengan pandangan matanya. Ismed mengerjap-ngerjap. Tapi ketika ia menyalangkan matanya kembali, perempuan itu telah lenyap. Jangankan tubuhnya. Bayangannya pun, tak kelihatan lagi. Ismed terkesiap. Ia yakin siapa yang telah dilihatnya. Keyakinan itu membuat jantungnya berdebar kencang. Lalu tanpa pikir panjang lagi ia melompat dari jendela, berlari ke arah perempuan tadi menghilang.
Saat itulah, terdengar pekik menyayat disusul ratap tangis dari rumah tadi. Keributan itu demikian mendadak, sehingga Ismed terpekik sendiri. Kaget. Secara naluriah ia menghentikan langkah mengejar perempuan yang ia perkirakan adalah Farida. lalu berbalik memutar langkah dan mendatangi rumah di depan
sana. Pintu rumah itu terpentang lebar. Sesosok tubuh laki-laki menghambur ke luar disertai jeritan pilu.
"Bayiku! Tolong... bayiku diculiknya! Tolong...!"
Tapi aneh. tetangga sekitar tidak ada yang segera ke luar. Orang itu kemudian melihat lsmed dan bergegas menghampirinya.
"A-apakah kau... melihat ke mana bayiku dibawa olehnya?" Napas lelaki itu tersengal-sengal.
"Oleh siapa?" tanya Ismed dengan napas sesak.
"Perempuan sihir itu! Ya Allah..."
Melihat Ismed yang tampaknya tidak tau apa-apa. si ayah yang malang meninggalkan lsmed, berlarilarian kian kemari mencari dan memanggil-manggil nama anaknya yang masih bayi. Barulah kemudian, satu dua pintu rumah tetangga terbuka. Itu pun, penghuninya tidak segera keluar. Si ayah berlari-lari mendatangi salah satu rumah, menangis minta tolong pada orang yang membuka pintu. Satu per satu para tetangga bermunculan. turun dengan bimbang dari rumah masing-masing. Lalu bersama-sama mereka menarik lelaki itu kembali ke dalam rumahnya sendiri. Lelaki itu meronta-ronta. melolong dalam jeritan menyedihkan. Berteriak-teriak memaki para tetangganya yang telah membiarkan bayinya dilarikan oleh apa yang ia sebut-sebut perempuan sihir.
Karena perhatian mereka semua lebih tercurah pada laki-laki malang itu. maka kehadiran Ismed tidak mereka pedulikan. Ismed yang semula bermaksud ingin
masuk ke rumah di depan sana untuk menanyakan apa yang terjadi, hanya bisa diam di tempatnya. Tegak mematung. Di rumah depan, terdengar suara jerit tangis dan suara orang berdebat. Sementara pintu demi pintu rumah di sekitar yang tadinya dibuka. oleh penghuni yang masih tinggal diam-diam ditutup kembali.
Aneh, pikirnya. Tak seorang pun dari mereka yang berusaha mengejar si penculik. Malah, tetanggatetangga sekitar kelihatan begitu takut keluar rumah. Begitu cepat menutup pintu masing-masing. Seakan, kejadian semacam itu buat mereka sesuatu yang sudah lumrah. namun mendatangkan rasa takut sehingga semua orang terpaksa mengurung diri. Persetan dengan kemalangan tetangganya!
Ismed kembali teringat pada penculik bayi tadi. Perempuan sihir atau apa pun dia, buat Ismed hanya berarti satu hal: ia telah menemukan Farida, istrinya. Dengan pikiran itu Ismed membalikkan tubuh. Bermaksud mengejar ke arah mana ia perkirakan Faridanya menghilang.
Pada saat itulah terdengar suara menegur dengan pelan.
"Mau ke mana?" Ismed terperanjat. Mundur dengan kaget manakala tampak olehnya sesosok bayangan muncul dari naungan pepohonan yang gelap. Ternyata seorang lelaki. Ia bertelanjang kaki dan bertelanjang dada. Tubuhnya
hampir sama tinggi, hampir sama besar dengan Ismed sendiri. Usianya pun mungkin tidak berbeda jauh dengan lsmed. Hanya kulitnya lebih gelap, otot-orotnya menonjol kuat, pundaknya lebar dan kokoh serta dada bidang membusung.
"Aku Supardi." Lelaki itu memperkenalkan diri tanpa mengulurkan tangan. Sikapnya pun tampak sangat kaku. "Anda siapa" Aku belum pernah melihatmu sebelum ini."
Setelah kekagetannya hilang, Ismed balas memperkenalkan diri. Tak lupa menyebutkan di rumah siapa ia tinggal.
"Oh. Janda penenun itu. Apakah kau calon suaminya?" tanya Supardi tanpa basa-basi.
"Bukan." "Oh. Kapan kau tiba di kampung ini, dan..."
"Bung sengaja menahan aku, bukan" Agar penculik itu dapat lari dengan aman!" Ismed menukas dengan perasaan kesal.
Supardi tersenyum, kaku. "Tanpa kutahan pun, kau tak akan pernah dapat mengejar dia," tandasnya. "Mengapa tidak?"
"Tak seorang pun yang bisa. Ia muncul atau menghilang tanpa seorang pun tahu dari mana ia muncul dan ke mana ia kemudian menghilang. Kau telah mendengarnya tadi, bukan" Perempuan itu seorang penyihir."
"Dia Farida!" senggak Ismed, tak sabar.
"Farida" Nama itu tak ada di kampung ini. Dan..."
"Menyingkirlah. Biarkan aku pergi mengejarnya!"
Suara Ismed yang tegas dan tidak ingin ditentang. membuat lelaki yang mengaku bernama Supardi menyingkir memberi jalan. Ismed segera berlalu. Ia berjalan tak tentu arah. berlari ke salah satu cabang pertigaan, lalu kembali. Berlari kian kemari. Namun hanya kegelapan yang menakutkan dan kehampaan yang menyakitkan saja yang ia peroleh.
Ketika kembali ke tempat semula, Supardi telah menghilang.
Dari rumah depan, suasana hiruk pikuk itu telah reda. meski jerit tangis perempuan masih terdengar begitu menyayat hati. Ismed berdiri bingung dan gelisah. Ia semakin yakin bahwa Farida juga telah membuka pintu lemari antik di rumah mereka, dan mungkin terseret oleh lorong waktu ke tempat yang sama. Yang membuatnya tak habis pikir, mengapa Farida tadi lenyap begitu saja meski ia telah melihat kehadiran suaminya" Dan yang lebih mengerikan, mengapa Farida harus menculik bayi orang lain"
"Ismed?" Ia menoleh dan melihat Selasih berdiri di pintu rumahnya.
"Masuklah, Ismed. Lekas, sebelum kau terkena kutuk!"
"Terkena kutuk?" tanya Ismed setelah pintu ter
tutup di belakangnya. la heran melihat wajah Selasm yang pucat dengan ketakutan yang membayang di matanya. "Kutuk apa, Asih?"
"Panjang ceritanya," jawab Selasih gemetar. "Lebih baik tidur saja sekarang. Jangan lagi nekat meninggalkan rumah tengah malam buta begini."
"Tetapi bayi itu, Asih..."
"Bayi yang malang," Selasih mengeluh. "Kita cuma bisa berdoa, semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan."
"Hei. Nanti dulu!" Ismed tercengang. "Setelah orang-orang di luar sana tak satu pun yang mau berusaha mengejar si perempuan sihir itu untuk merebut bayi yang diculiknya, kini kau malah beranggapan bayi itu telah mati! Apa-apaan semua ini. Asih?" pekik Ismed tak mengerti.
"Tidurlah, Ismed." bujuk Selasih.
"Tidak!" Selasih menghela napas panjang. Lalu mengembuskannya dengan resah.
"Kalau begitu. duduklah. Akan kuceritakan semuanya padamu...."
*** TANGIS bayi menyentakkan Farida dari tidurnya yang resah.
la meluncur turun dari dipan. Berjalan bimbang ke pintu gubuk. Selama beberapa saat ia diam mendengarkan. Sesaat terasa kesepian mencekam di luar sana, tapi kemudian tangis bayi itu terdengar lagi. Takut-takut, Farida membuka pintu. Bunyi keriut engsel pintu itu membuat Farida terkejut sendiri.
Sinar rembulan menerangi halaman gubuk yang disemaki belukar. Rumpun-rumpun ilalang bergerakgerak dalam irama tertentu, dan Farida segera menyadari gerakan itu disebabkan oleh makhluk makhluk mengerikan yang muncul dari semua penjuru. Farida mengarah ke jalan setapak menuju pancuran tempat mandi, dengan cepat ia menyambar obor menyala dari dinding di dekat pintu, lalu ia memberanikan diri menyerbu ke luar.
Seraya menggerakkan obor kian kemari. ia berlarilari ke jalan setapak dan menjerit-jerit mengusir. "Enyah! Pergi kalian semua! Jangan ganggu bayi itu!"
Kibaran nyala obor dan jeritan-jeritan panik Farida segera memperlihatkan reaksi.
Semak belukar di sekelilingnya bergerakfgerak semakin liar. Disertai suara mencicit yang semakin riuh rendah. puluhan bahkan mungkin ratusan ekor makhluk berbulu cokelat maupun hitam lari bertemperasan. Farida bahkan sempat menendang salah satu di antaranya, yang kebetulan berlari ke arah Farida datang. Dengan satu sepakan keras, makhluk itu terangkat dari tanah, terbang di udara kemudian jatuh dengan suara berdebuk di kedalaman tebing yang menggelap hitam. Sesaat sebelum melayang ke bawah tebing, nyala obor sempat menangkap bentuk makhluk berkaki empat dengan moncong lancip bertaring. Sepasang mata merah menyorot marah namun setelah terbanting, tampaknya makhluk itu tidak mampu lagi merangkak naik ke atas untuk melampiaskan kemarahannya.
Di tempat yang sedikit terbuka. Farida menemukan bayi itu. Terbungkus dalam selimut, ia lihat sesosok tubuh mungil berkulit putih kemerah-merahan menggeliatkan tangan maupun kakinya. Belasan ekor makhluk hitam merayap di sekelilingnya. Bahkan dua tiga ekor di antaranya sudah mulai mencacah selimut pembungkus bayi.
"Tikus-tikus terkutuk. jangan sentuh dia!" teriak Farida histeris, sembari obor di tangan ia sorangsorongkan ke arah kerumunan makhluk itu. Kakinya ikut pula menendang-nendang. Terdengar bunyi debak-debuk. kaki-kaki kecil bertemperasan tak menentu disertai cicitan nyaring melengking.
Kemudian. sepi menyentak.
Tinggal rengekan lemah sang bayi, serta napas Farida yang memburu. la mengawasi sekelilingnya. Dari kegelapan di balik semak belukar, Farida dapat menangkap berpuluh-puluh titik cahaya kecil merah ganti mengawasinya. Mengawasi dengan penuh dendam. namun juga bercampur rasa takut seperti halnya dirasakan oleh Farida sendiri.
Maka, sebelum makhluk-makhluk mengerikan itu berubah pikiran lantas nekat menyerbu dirinya. Farida membungkuk. Bayi yang terbungkus selimut itu direngkuhnya dengan sebelah tangan, lantas cepatcepat masuk kembali ke dalam gubuk. Pintu dihempaskan dengan keras, lalu dipasangnya palang. Khawatir pintu itu ada yang mendobrak dari luar.
Sejenak ia mengatur napas.
Obor disimpan ke tempat semula. Lalu berjalan ke arah dipan. Farida merebahkan si bayi di atas tumpukan jerami yang oleh penghuni sebelum dia sengaja ditumpuk sebagai pengganti kasur.
"Kau aman di sini," gumam Farida tersengal-sengal. Ia tersenyum. menikmati suatu kehangatan yang aneh
dengan kehadiran sang bayi. "Kita dapat berteman, bukan?" lalu untuk pertama kali semenjak ia menghuni gubuk kecil di lereng gunung itu, Farida dapat tertawa.
"Ah... kiranya kau perempuan seperti aku. Siapa namamu. Neng" Oh ya. Tak apa kau kupanggil Neneng saja, ya?" Farida mengusap-usap rambut bayi yang tebal dan halus itu. Pipinya yang montok dieluselus dan sang bayi rupanya merasa senang. Terdengar rengekannya yang riang, sementara matanya yang bening memancarkan sinar bersahabat. "Anak cantik. lbu mana yang telah begitu tega membuangmu?"
Dibilang begitu, sang bayi merengek lagi.
"Hussy, diamlah, Nak. Kau ingin menyusu ya" Sebentar. kuhangatkan..."
Bayi itu ia selimuti baik-baik. Sambil membopong sang bayi. ia berjalan ke tungku perapian di salah satu pojok gubuk. Periuk tanah di dekat tungku dibukanya. Masih ada sisa susu kambing, tetapi telah mengental beku karena hawa dingin. Periuk itu diletakkannya di atas tungku. Bara api dikebutnya dengan sepotong kayu bakar. ditiup sampai apinya menyala. Kayu bakar ditambahkannya dua potong ke dalam tungku.
Seketika suasana di dalam gubuk berubah menjadi hangat.
Bayi itu menggeliat. Tangannya yang kecil secara naluriah menggapai payudara Farida yang setengah terbuka. Farida tertawa kecil.
"Sabar-lah," bujuknya. "Aku belum bisa menetcki
mu... Susu kambing dalam periuk mulai mencair, lalu mendidih. Periuk diangkat Farida dari atas tungku. Dengan sendok kayu, isinya dipindahkan sedikit ke sebuah mangkuk dari tempurung kelapa. Didiamkannya sejenak. Setelah hangat-hangat kuku lalu disendokkan sedikit demi sedikit ke mulut bayi perempuan yang mereguknya dengan lahap.
Selagi memberi minum bayi di pangkuannya, mulut Farida terus saja berceloteh. Ia tidak lagi bertanya-tanya tentang siapa ibu yang telah begitu tega dan begitu bersusah payah mendaki gunung untuk membuang anaknya di tempat yang begini jauh terpencil. Jadi ia hanya bercerita dirinya sendiri. Tentang sebuah kisah yang menyerupai dongeng. Hanya tidak seindah dongengnya Andersen yang dulu kerap kali dibacanya waktu masih duduk di Sekolah Dasar.
Apa yang diceritakan Farida dengan sikap setengah melamun adalah sebuah dongeng yang tidak saja mengharukan tetapi juga mengerikan.
"Kau ingin tahu dari mana aku datang, bukan?" bisiknya pada sang bayi. Suara Farida bergetar ketika pertanyaan itu ia jawab sendiri.
"Aku datang dari sebuah lemari."!"
Farida tak sedikit pun curiga ketika ia membuka pintu lemari.
ia juga tidak merasakan sesuatu hal yang aneh. Kecuali desahan kagum akan ukiran perempuan yang menyerupai dirinya itu. Puas memandangi duplikat dirinya, Farida tenang-tenang saja membuka pintu lemari. Keramik-keramik yang bagus itu lebih pantas dipajang di balik lemari kaca di ruang tamu. Di lemari yang ini, lebih cocok untuk menyimpan buku atau benda benda lain yang tidak begitu mereka butuhkan kecuali diperlukan.
Tangannya baru saja menjangkau sebuah poci antik ketika peristiwa itu terjadi.
Mendadak, keramik-keramik lainnya menghilang secara ajaib. Bilah-bilah papan dan kayu lemari lenyap. berganti lorong yang pekat seakan tak berujung. Yang tinggal hanyalah poci di tangannya saja. Di hadapannya, Farida menyaksikan munculnya gumpalan kabut yang kemudian menyergap tubuhnya dengan sebuah tarikan yang aneh.
Poci keramik di tangannya, jatuh ke lantai. Pecah berderai.
Farida ingin menjerit. Namun lidah kelu. Bahkan sekujur anggota tubuhnya, lemas tak berdaya. Kabut itu terus saja menyeretnya, seakan ada tangan-tangan gaib yang menarik tubuhnya untuk melangkah masuk semakin jauh ke dalam lemari. Beberapa saat sebelumnya. kehangatan sinar matahari yang menerobos dari
jendela masih sempat dinikmatinya, kini tahu-tahu saja telah berubah dingin menusuk dalam kegelapan yang menghitam. Dan kemudian ia melihat sinar rembulan di pucuk pepohonan. Astaga, pepohonan tinggi menjulang di sekitarnya. Farida melangkah ke tempat terbuka. Kaki telanjangnya tidak lagi menjejak di lantai licin. Melainkan di permukaan tanah berbatu dan ditumbuhi semak belukar.
Bagaimana mungkin" Farida mengerjapkan matanya. Berbisik pada dirinya sendiri, "Hei, anak tolol. Bangun!"
Telinga Farida menangkap suara. Begitu lirih. Hanya sayup sampai terdengar. "Eh, apa-apaan si Ida?" Disusul suara bunyi menghempas.
Seperti pintu ditutupkan. Pintu lemari itu!
Farida membuka matanya lebar-lebar.
Berharap. ia melihat wajah ibu mertuanya yang mencemooh karena telah memecahkan poci antik yang mungkin tak ternilai harganya. Tetapi apa yang dilihatnya masih tetap sama. Suasana remang-remang dalam siraman cahaya rembulan, pepohonan yang menjulang. langit kelam. lereng terjal mendaki jauh di depannya. lalu jurang yang menganga hanya beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Farida tersentak. Melangkah mundur secara naluriah, menjauhi bibir tebing yang curam menganga itu. Ia membalikkan tubuh disertai perasaan takut yang luar biasa.
Ada suara-suara aneh tertangkap oleh telinganya.
Bunyi mencicit lemah. Mula-mula hanya satu dua suara, kemudian bertambah banyak. Bunyi mencicit itu makin kuat. makin ramai. Lalu terdengar suara gemerisik yang ribut. Semak belukar di sekelilingnya bergerak-gerak liar. Terdengar pula langkah-langkah kaki kecil. merayap di tanah. menyeruak semak maupun belukar. Suara maupun gerakan itu seakan datang dari segenap penjuru, menjurus langsung ke arah Farida yang tegak kaku.
lalu ia melihatnya. Berpasang-pasang sorot mata merah dan jahat mengawasi dirinya. Sorot mata itu kecil-kecil, tetapi berkilat-kilat tajam. Mengintai dari balik semak belukar. di atas rerumputan. di atas batu. Jumlahnya puluhan. mungkin ratusan... semua mengawasi Farida, dengan kesunyian yang tiba-tiba sangat menyesakkan.
Farida tak berani bergerak.
Dia mematung. Farida mencoba mengendalikan kepanikannya. ia masih teringat pesan guru karatenya dulu.
"Menghadapi musuh yang tiba-tiba mengepung. bersikaplah tenang. Setenang orang yang berbaring diam. sampai ular berbisa yang merayap di perutnya menyangka orang itu benda mati sehingga ular itu kemudian berlalu tanpa mematuknya. Kemudian..."
Kemudian, apa" Pikiran Farida mendadak buntu. la bukan meng
hadapi manusia biasa. Ia menghadapi musuh yang jauh lebih berbahaya dari sekadar manusia. Matanya semakin terbiasa dengan kegelapan, samar cahaya rembulan membuat Farida dapat mengetahui seperti apa musuhnya. Makhluk-makhluk itu berbulu cokelat dan hitam. Bulu-bulu halus berkilauan. Kaki-kakinya menekuk. berkuku runcing. Kepalanya melancip ke depan, memperlihatkan moncong bersungut serta gigi taring tajam mengancam.
"Tikus!" Farida membatin ngeri.
Benar. Makhluk-makhluk pengepung itu ternyata ratusan ekor tikus. Bukan sembarang tikus! Jangankan sebanyak itu. satu ekor saja sudah cukup untuk mengusir kucing. Bagaimana tidak. Tikus yang dihadapi bertubuh jauh lebih besar dari kucing itu sendiri. Dari bentuk kepala, ekor. serta caranya mendekam, makhluk-makhluk itu jelas-jelas tikus, bukan musang atau pun binatang lainnya. Farida mungkin masih punya keberanian apabila yang dihadapinya seekor harimau. Tetapi tikus....
"Oh"!" Farida mengeluh gentar.
Lututnya goyah. kemudian menekuk. dan tubuhnya pun melorot jatuh ke tanah. Suara berdebuk ketika Farida bersimpuh jatuh, terdengar begitu kerasnya. Makhluk-makhluk buas di sekelilingnya seketika memperdengarkan bunyi mencicit kembali, riuh rendah dan menggema di sepanjang lereng gunung bahkan sampai jauh ke lembah hitam mencekam di bawah
sana. Lalu beratus-ratus kaki kecil merayap perlahanlahan. Moncong-moncong mengerikan menganga, siap menerkam dengan sorot-sorot mata yang haus darah.
Seekor di antaranya, yang paling besar dan paling menakutkan, telah mencapai lutut Farida yang gemetar hebat. Makhluk itu mendengus-dengus buas. Taringnya yang tajam mengerikan sudah siap merobek-robek kulit dan daging manusia yang sudah tak berdaya itu. Tapi suara mencicit yang lebih keras dan nyaring membuat tikus di depan lutut Farida urung menancapkan taringnya. Suara yang muncul terakhir, seakan mengatasi suara riuh rendah di sekitar Farida.
Ratusan ekor tikus di sekitar tubuh Farida. serempak memutar tubuh. Lari bertemperasan, serabutan. Makhluk-makhluk itu lenyap dalam sekejap. Menghilang di balik pepohonan, di celah-celah batu maupun ceruk dinding gunung. Sebagian jatuh tunggang langgang ke lembah. Hiruk-pikuk bunyinya. Semua berlangsung dalam tempo yang begitu singkat. Farida bahkan belum sempat menarik napas. tatkala kesunyian yang lengang mencekam kembali menghantui kegelapan di sekitar Farida. Dan ia kemudian melihat apa penyebab makhluk-makhluk mengerikan itu minggat ketakutan.
Di atas seonggok batu besar, tegak sesosok tubuh tinggi kekar.
la bercelana sontok hitam sebatas betis. Dadanya bidang dengan otot-otot pundak menyembul kokoh. Seluruh penampilan tubuhnya, sampai sebatas leher, adalah sosok tubuh manusia perkasa. Tetapi yang membuat Farida memekik tertahan adalah penampilan orang itu dari batas leher ke atas.
Orang itu tegak persis menghadap rembulan. sehingga tampak jelas sepasang telinganya yang kecil lancip. rambut lurus rata berkilauan di atas kepala yang juga lancip. Matanya memang berbentuk normal seperti sepasang mata manusia biasa. Akan tetapi justru keadaan itu membuat penampilan wajahnya semakin buruk mengerikan.
Karena. mata manusia tidaklah serasi untuk wajah seekor tikus!
Terlindung dalam bayang-bayang pepohonan, Farida menggeliat resah.
Ia berusaha bangkit. Namun segera jatuh terduduk kembali, karena persendian tubuhnya seakan lumpuh total. Bagai dilanda teror yang tak mungkin dilawan, Farida hanya bisa diam memperhatikan bagaimana lelaki tinggi kekar berkepala tikus itu turun dengan langkah-langkah tegap ke tempat terbuka. Kemudian berhenti diam di depan Farida.
Dengus napas berat setengah mencicit keluar dari lubang-lubang hidungnya yang sempit. Wajah itu menyeringai. Sungut-sungutnya yang hitam berkibarkibar ditiup angin malam, sementara taring-taring
besar namun runcing menyeruak dari sela-sela moncongnya. la mengawasi sejenak. Kemudian membungkuk. Telapak tangannya yang lebar menggapai ke depan, berusaha menjamah wajah Farida yang sudah lebih dulu merunduk manakala makhluk itu mendekat. Merasakan endusan napas panas dan melihat tangan yang menggapai ke arahnya, Farida tersentak kaget.
Teror yang melanda dirinya telah mencapai puncak.
Anak anjing sekali pun, kalau sudah kepepet masih mampu menggigit.
Maka, Farida mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya untuk menepiskan tangan itu. Tepisannya ternyata sangat lemah. Tangan itu hanya tergeser sedikit, kemudian malah semakin berani menerjang ke depan lalu mencengkeram pundak Farida. Makhluk itu dengan tangkas mengangkat Farida berdiri. Farida meronta-ronta, menendang, mencakar dan melakukan apa saja untuk membebaskan diri. Panik dan takut telah membuat Farida melupakan cara membela diri yang benar seperti yang pernah ia pelajari.
Akibatnya, perlawanan Farida menjadi kacau tak berarti. Tangan kokoh itu terus membetot Farida, berusaha memeluk dan menciumnya. Dengus napas keras dan panas berapi-api menyapu wajah Farida. Ia terus saja mencakar sambil berteriak-teriak tak menentu. Setiap teriakan yang keluar menahan kekuatan
nya. Sekali ia berhasil menendangkan lutut ke perut makhluk itu. Yang kena tendang, meliuk keras, namun tidak mau melepaskan pelukannya.
Makhluk itu terjaiar ke belakang, jatuh ke tanah seraya menyeret tubuh mangsanya. Mereka jatuh terjerembab di tempat terbuka yang lebih terang oleh sinar rembulan. Merasa mulai tidak bisa mengendalikan Farida. makhluk itu menghantamkan satu pukulan keras. Farida merasakan sesuatu menerpa sisi kepalanya begitu kuat dan menyakitkan, Dalam sekejap. Farida hilang keseimbangan. la terguling di tanah, lalu tergeletak menelentang dengan kepala berdenging menyakitkan. Kesadarannya lambat laun semakin menurun. Farida mulai didera rasa putus asa.
Dalam keputus-asuhnya timbul niatan untuk tetap sadar. Paling tidak selama beberapa detik yang singkat, namun cukup untuk membawa tubuhnya merayap ke batu terdekat. Daripada harus kembali ke pelukan makhluk itu. Farida merasa lebih baik mengakhiri semuanya. Kepalanya akan ia benturkan keraskeras. Sampai retak, dan ia mati....
Sayang untuk merayap pun Farida tak mampu lagi.
Ia hanya mampu telentang diam. Matanya nanar memperhatikan sosok tubuh menakutkan itu mendekat, lalu membungkuk. Dekat dengan wajah Farida. Tapi anehnya, bukan untuk menciumi perempuan yang sudah tak berdaya itu. Melainkan hanya menatap wajahnya lekat-lekat.
Hanya memperhatikan! Lalu sekoyong-koyong, sosok tubuh perkasa itu tampak bergetar hebat. Terdengar cicitan keras dari mulutnya. Saat berikutnya, makhluk itu mundur menjauh, lantas menjatuhkan diri di atas rerumputan.
Makhluk itu menekankan kepalanya ke rerumputan dengan tangan mendekap tanah. Tubuhnya meliuk, bersimpuh. Suara mencicitnya terdengar kacau. Seperti cicitan tikus yang terpojok di celah sempit yang masih dapat dijangkau kuku seekor kucing yang siap menerkamnya. Dengan sisa-sisa kesadarannya. Farida masih sempat menyaksikan bagaimana makhluk perkasa berkepala dan berwajah tikus itu tengah bersimpuh di tanah dengan posisi menyembah memohon ampun kepadanya.
Farida membelalak heran. Sekejap cuma. Karena kelopak matanya keburu mengatup tanpa bisa ia kendalikan. Kesadaran Farida, sudah menghilang.
"Kau tahu apa yang kemudian terjadi?" desah Farida, lirih.
Bayi di pangkuannya diam. Rupanya sudah lama tertidur.
Farida menghela napas, kemudian bangkit dan berjalan ke dipan. la sambar sehelai kain rombeng keras
dan kasar dari gantungan di dinding.dilempar ditumpukan jerami. lalu bayi yang sudah lelap itu ia baringkan dengan hati-hati. Diselimuti baik-baik.
Bayi yang montok dan cantik, pikirnya.
lbu mana yang telah tega membuangnya" Apakah peristiwa-peristiwa memalukan yang sering terjadi di kota-kota besar itu telah merembet pula ke pegunungan yang jauh terpencil" Tentang perempuan-perempuan muda yang hamil di luar nikah. lantas karena malu pergi menyingkir jauh-jauh, melahirkan anaknya diam-diam, membawanya ke suatu tempat tanpa diketahui orang. lalu membunuhnya"


Misteri Lemari Antik Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi, bayi ini tidak dibunuh.
Bayi ini dibuang begitu saja. Lalu mengapa untuk membuang. harus menempuh jarak yang begitu jauh" Mengapa harus bersusah payah mendaki gunung. bahkan harus menyeberangi sungai dan menerobos rimba belantara" Tadi siang, Farida sempat beberapa kali memperhatikan ke arah lembah. Nun di lembah sana. ia melihat rumah-rumah penduduk yang tampak begitu kecil, menyerupai kotak korek api saking jauhnya.
Perempuan mana yang nekat meninggalkan kampung itu untuk pergi mendaki gunung, hanya untuk membuang bayinya"
*** FARIDA tersentak ketika ia sampai pada sebuah pemikiran baru.
Seseorang, entah siapa, telah masuk pula lewat pintu lemari. Bayinya dibuang. Kemudian orang itu keluar kembali. Lewat pintu yang sama. Ia tentunya telah mengetahui rahasia lemari antik itu. Entah dengan cara apa. ia dapat masuk ke dalam rumah tanpa sepengetahuan lsmed atau ibu mertuanya. Dengan leluasa pula ia membuka dan menutupkan pintu lemari setelah melaksanakan niat jahatnya. Dan bayi itu, mungkin bukan anak haram. Bayi itu mungkin memang terlahir dari sebuah pernikahan yang sah. la dibuang, tidak untuk dibuang begitu saja. Tetapi untuk dijadikan tumbal. Persembahan kepada setan laknat terkutuk!
Tetapi. ah.... Siapa pula orangnya yang telah mampu membuat lemari yang mengandung kekuatan gaib sedemikian rupa." Itu hanyalah sebuah lemari biasa. Lemari dengan pintu ukir antik yang dapat dibuat dan dipesan oleh siapa saia. Jangka waktu pembuatannya pun, cuma tiga hari. Atas pesanan Ismed, suaminya. Pesanan Ismed, astaga! Mengapa pula Ismed tiba-tiba berpikir untuk memesan sebuah lemari yang dapat melemparkan istrinya ke sebuah dunia yang begitu jauh. Sebuah dunia terasing" Ismed tidak akan melakukan itu. Karena ia tahu, betapa Ismed sangat mencintai dirinya. Kalaupun setelah di Pandeglang, cinta Ismed padanya mengalami perubahan, maka Ismed tidak akan berani melakukan perbuatan mengerikan itu di depan mata ibunya sendiri.
Tidak. Bukan Ismed yang melakukannya.
Lalu siapa" Kehilangan selera untuk tidur kembali, Farida turun dari dipan. Bayi itu menggeliat. Merengek lembut. Tetapi dengan tepukan-tepukan halus diselimutnya, bayi itu terlelap lagi. Bayi malang, pikirnya.
"Aku tak percaya, kau dilemparkan orangtuamu untuk dirajah oleh setan," ia bergumam. "Aku bukan setan. Orang itu pun... aku yakin, bukan!"
Farida beranjak lalu duduk menghadap tungku perapian. Baranya masih menyala. Hangat dan menyenangkan. Di sebelah tumpukan kayu bakar, ada setumpuk singkong mentah. Farida mengambil se
potong lalu disorongkannya ke tengah bara. Ia juga menambahkan sepotong kayu bakar agar api tetap menyala. Kayu maupun singkong itu, si muka tikuslah yang menyediakannya. Ya. Si muka tikus. Itulah julukan yang paling pas. Muka tikus, namun tetap sebagai manusia. Ia bukan setan, meski penampilannya mirip dengan penampilan setan yang mengerikan.
Begitu seram sosok tubuhnya ketika pertama kali ia muncul di atas onggokan batu. Bahkan ratusan ekor tikus-tikus buas yang mengerikan itu pun sampai minggat ketakutan. Sungguh aneh, begitu Farida sudah tidak berdaya untuk melawan, orang itu malah mendadak berubah sikap. Bersimpuh dengan sikap lebih ketakutan dari perasaan takut yang dialami Farida sendiri. Ia menyembah Farida, seakan mcmohon ampun atas kelancangan dirinya yang telah memperlakukan Farida dengan kasar, bahkan hampir menodainya. Apa yang membuat makhluk itu bersikap demikian" Farida tak dapat memahaminya.
Ia hanya tahu, bahwa begitu siuman, ia sudah terbaring di atas dipan kayu dalam gubuk kecil terpencil ini. Si muka tikus ia lihat duduk bersila tak jauh dari pintu gubuk. Ia duduk membelakangi obor sehingga wajahnya tidak terlihat jelas. Walaupun nyala api di tungku masih mampu menerangi, wajahnya tetap saja kelihatan sangat samar. Karena lelaki itu telah memakai kerudung hitam yang tepi bagian atas depan
ditarik serendah mungkin. Membuat wajahnya tak lebih dari sebuah kegelapan yang kabur.
Orang itu gemetar ketika Farida menggeliat bangun.
la cepat bersimpuh mencium lantai tanah. Menangkupkan kedua telapak tangan pada kepalanya yang ditutupi kerudung. Memperdengatkan suara mencicit yang ribut. tetapi lemah seakan tak berdaya. Seolaholah Farida adalah sang Ratu Penguasa yang turun dari tahta untuk menghukum langsung si pendurhaka.
Terheran-heran campur takut. Farida beringsut ke pojok dipan. Duduk meringkuk dengan sekujur tubuh gemetar.
"Mau apa kau?" la bergumam cemas.
Makhluk itu setengah mengangkat kepalanya. Menunjuk-nunjuk ke Farida. kemudian menunjuk-nunjuk ke wajahnya. Gerakan itu ia lakukan berulang-ulang. Seakan ingin menyampaikan sesuatu mengenai wajahnya punya sangkut paut dengan Farida. Tentu saja Farida tercengang.
"Aku tak tahu apa maksudmu. Pergilah... tinggalkan aku sendirian." Suara Farida setengah memerintah. setengah memohon.
Si muka tikus beringsut mundur ke pintu. Tiba di sana. ia berdiri. Berpaling sejenak ke arah dipan namun tidak secara terang-terangan. Setelah membuka pintu ia kemudian keluar dengan patuh. Lewat pintu yang terbuka. Farida menangkap kegelapan yang pekat
di luar sana. Angin malam menerobos masuk. Farida menggigil. la memberanikan diri turun dari dipan. Berlari-lari kecil ke arah pintu. Lalu pintu itu ditutup kannya buru-buru. Saat melihat sebuah palang kayu tergeletak, disambarnya palang itu dan dipasangnya dengan bernafsu.
Sendirian di dalam gubuk, Farida mulai memperhitungkan kesempatannya.
Kalau terjadi sesuatu di luar kehendaknya, ia akan melawan. Kini ia sudah sadar sepenuhnya dan tahu akan kemampuannya membela diri dengan tangan kosong. Kemudian, masih ada sebatang obor menyala. juga potongan kayu bakar menyala di tungku perapian. Setelah matanya bergerak liar, mencari-cari alat lain yang bisa digunakan untuk berjaga-jaga. ia akhirnya menemukan sebilah pisau terselip di dinding. Pisau itu ia sembunyikan di bawah bantal. Juga ada sebuah kapak besi di dekat pintu. Kapak itu dipindahkan ke dinding dekat dipan. Cukup dekat untuk dijangkau sewaktu-waktu.
Meringkuk kembali di dipan. Farida mengatur napas supaya ia dapat lebih tenang. Kalaulah semua ini cuma mimpi buruk belaka, semoga apa yang terjadi dalam mimpinya tidak berlanjut sejauh yang ia cemaskan. Seumur hidupnya, Farida tidak pernah membayangkan akan tega membunuh seseorang. Kecuali, kalau orang itu berniat jahat dan nekat menganiaya atau memerkosa dirinya.
Teringat sampai di situ, Farida dengan gugup memperhatikan letak pakaiannya. Pakaiannya sangat kotor. Namun masih utuh. Dan setiap lembar tetap melekat di tempat semula. la gerak-gerakkan pahanya. Juga tidak terasa adanya kelainan. Benar. ia teramat letih. Namun tahu kalau hal itu adalah keletihan yang wajar. Letih karena syok. Letih karena pertarungan melawan orang itu sebelum ia jatuh pingsan. Bukan letih karena diam-diam telah diperkosa saat pingsan.
Si muka tikus agaknya memperlakukan Farida dengan baik. Tumpukan jerami di permukaan dipan jelas telah disiapkan oleh si muka tikus sebelum Farida direbahkannya di situ. Karena di lantai masih terlihat serpihan sisa jerami yang berceceran sampai ke pintu. Dan apa pun maksud orang itu, jelas ia tidak berniat mengurung Farida. Karena kalau ia bermaksud demikian, pintu justru harusnya dikunci dari luar. Ia juga tak akan membiarkan pisau serta kapak tertinggal begitu saja.
Farida mengawasi setiap sudut gubuk.
Hanya ada satu ruangan saja. Merangkap segala keperluan untuk tinggal. Ada gantungan baju. Perlengkapan memasak, perlengkapan makan, sebuah meja kecil dengan sebuah kursi yang terbuat dari rotan. Lalu sebuah rak kayu untuk tempat pakaian. Di dalamnya beberapa helai pakaian tersusun rapi. Semua berwarna hitam. dan tanpa perlu menyentuhnva kelihatan jelas hanya terbuat dari bahan kasar.
Modelnya pun serba kuno. susah membedakan apakah pakaian itu untuk lelaki atau perempuan, kecuali satu dua helai kain sarung yang diberi renda. Puas mengamati seisi gubuk yang ditinggalinya. Farida masih tetap bimbang. Keperluan untuk hidup ala kadarnya, cukup tersedia.
Yang mengherankan, mengapa ia harus hidup di gubuk yang menakutkan ini" Dengan ratusan atau mungkin ribuan tikus-tikus besar mengerikan mengintai di luar sana. Makhluk-makhluk kejam dan ganas, yang seakan-akan berada di bawah perintah si manusia bermuka tikus. Melawan seorang itu saja mungkin Farida masih mampu. Tapi untuk melawan pasukan tikus yang bisa menyerbu dari segala penjuru. apakah gubuk kayu berdinding tepas ini sanggup menahannya" Pisau serta kapak itu pun akan sia-sia akhirnya. Juga api. Dan sampai kapan ia di sini."
Alangkah tenteram hatinya, andai kata ada lsmed di dekatnya.
Apa yang tengah dikerjakan Ismed sekarang ini" Tidur nyenyak" Atau kalang kabut menjelajahi setiap sudut kota untuk mencarinya" Dan ibu mertuanya. sungguh kasihan. Dia seorang perempuan yang baik. Meski teramat jarang bertemu, Farida dapat merasakan kasih sayang dan cintanya. secinta pada anak kandungnya sendiri. Tentulah ibu mertuanya terpingsan-pingsan mengetahui menantunya telah hilang tak tentu rimba. Ya. siapa pula yang tahu kalau ia
ada di sini" Lebih menakjubkan lagi, siapa pula yang percaya kalau hanya dalam tempo sekejap, ia telah pergi ke suatu tempat yang begitu jauh" Hanya dengan membuka pintu sebuah lemari, Farida telah tiba di lereng sebuah gunung. dikelilingi hutan belantara!
Lemari. wahai.... Pasti itu hanya mimpi buruk!
Namun ketika akhirnya ia tertidur juga menjelang subuh dan bangun kesiangan esok harinya. Farida menyadari ia tidak sedang bermimpi. la menghadapi kenyataan. ia berjalan tertegun-tegun menuju pintu. Dari celah di bawahnya. lidah matahari tampak menjilati lantai di sebelah dalam pintu. Sinar matahari yang hangat juga menerobos lewat celah-celah sempit di antara bilah-bilah dinding tepas. Tidak ada bayangan mencurigakan di luar. Farida menggenggam erat pisau bergagang besi di tangan yang ia tekuk di balik punggungnya. Dengan satu tangan, palang diturunkan lalu pintu dibuka dengan hati-hati. Bunyi keriutnya yang keras mengejutkan Farida, sehingga ia sempat menahan napas dengan wajah pucat.
Tak seekor tikus pun ada di luar. Juga lelaki berkerudung itu.
ia hanya melihat semak belukar berpanggang matahari. Dan di dekat pintu, menyandar ke dinding ada sebuah gerigik bambu penuh berisi air. Juga setumpuk kayu bakar yang masih baru, setumpuk singkong yang tanahnya masih gembur basah, beberapa macam
buah-buahan hutan yang masih segar karena jelas baru dipetik, dan periuk tanah berisi cairan putih kental. Ketika Farida mengangkat periuk itu dan mencium-cium, ia segera membaui susu perah. Baunya yang khas jelas menunjukkan bahwa isi periuk tanah itu adalah susu kambing.
Heran karena yakin si muka tikus yang menyediakan semua itu, Farida kini lebih memantapkan diri. Ia tidak lagi menyembunyikan pisau di belakang punggung. la memperlihatkan terang-terangan, seraya melangkah lebih jauh ke luar gubuk. Hari telah beranjak siang. Dan kecuali bunyi lutung yang bergaung bersahut-sahutan dari kejauhan, ia tidak mendengar bunyi apa pun lagi. Suasana di sekitar gubuk lengang mencekam. Angin pegunungan yang segar menyapu wajah Farida yang pelan-pelan memerah lagi oleh jilatan matahari. la berputar, melihat dinding bukit batu yang menjulang di belakang gubuk. Dan setelah menerobos semak belukar ia melihat lembah menganga curam di bawahnya.
Nun jauh di bawah sana. sejauh mata dapat memandang, tampak kotak-kotak kecil sebesar korek api bergerombol di antara pepohonan. Pandangan Farida tidak mampu melihat adanya aktivitas kehidupan di sana. tetapi ia tahu betul dari bentuknya bahwa apa yang tampak seperti kotak-kotak korek api itu adalah rumah-rumah penduduk sebuah perkampungan. Berapa jauh letak kampung itu dari sini" Berapa lama
waktu yang diperlukan untuk tiba di sana" Dan, jalan mana yang harus ditempuh" Ke mana pun Farida mencari, ia tidak menemukan adanya petunjuk jalan kecuali jalan setapak yang kelihatan jarang dilewati dan berakhir di tengah hutan yang remang-remang menyeramkan.
Tanpa berpikir dua kali. Farida segera melangkah ke arah jalan setapak itu. Mula-mula langkahnya pelan dan hati-hati. Tetapi semakin jauh ia meninggalkan gubuk. semakin ia takut diketahui lalu dikejar oleh lelaki asing bermuka menyeramkan itu. Maka tak ayal lagi, Farida segera ambil langkah seribu. Berlari lebih cepat. cepat. makin cepat. ia melupakan kakinya yang telanjang. Dan dengan segera ia merasakan telapak kakinya pedih. lecet dan terluka. Lengan maupun betisnya juga tergores di sana sini. Sementara pakaiannya robek-robek menyedihkan, setelah beberapa kali tersangkut saat terpaksa menerobos semak belukar, terantuk ke akar pohon yang membelintang di depan jalannya, jatuh terjerembap, bangkit lagi dengan susah payah untuk meneruskan perjalanan dengan berpedoman pada bayang-bayang yang ditimbulkan sinar matahari.
Bagaimanapun, ia lebih suka hidup bersama manusia normal lainnya. Tak peduli di mana dan dengan siapa. Tinggal di sebuah kampung tak dikenal jauh lebih baik daripada harus hidup berdua di tempat terasing bersama makhluk manusia berwaiah tikus.
Perbandingan yang kontras itu kembali membangkitkan semangatnya tiap kali terjatuh atau lari kehilangan arah.
Suara binatang-binatang hutan membuatnya takut. Puluhan ekor monyet serta lutung yang bergelantungan dan berloncat-loncatan dari satu pohon ke pohon lain dengan suara jerit yang riuh rendah, membuatnya ngeri. Seekor ular berkulit hijau dengan bintik-bintik kuning yang menyelinap cepat ke semak belukar di dekatnya, membuatnya ciut. Tetapi bayangan si muka tikus lebih menakutkan. lebih ngeri, lebih menciutkan hati.
Dan ia terus menerobos hutan, yang semakin ke dalam semakin gelap.
Entah telah berapa jam berlalu. Tiba-tiba saja Farida terjebak rimbunan belukar dan jatuh jumpalitan ke lereng terjal di balik semak belukar yang gelap itu. Kepalanya membentur benda keras. Sakit alang kepalang. Pisaunya terlempar entah ke mana. Ia berusaha menggapai-gapaikan tangannya mencari pegangan. namun sia-sia. Hingga akhirnya punggungnya menghantam sebatang pohon besar yang tumbang dan sudah berlumut. Farida terempas dengan tulang-belulang di sekujur tubuhnya bagaikan remuk dan lolos satu per satu. Kepalanya bertambah sakit, berdenging dengan pandangan matanya kian nanar.
Farida hanya sanggup terbaring menelentang
*** Perbandingan yang kontras itu kembali membangkitkan semangatnya tiap kali terjatuh atau lari kehilangan arah.
Suara binatang-binatang hutan membuatnya takut. Puluhan ekor monyet serta lutung yang bergelantungan dan berloncat-loncatan dari satu pohon ke pohon lain dengan suara jerit yang riuh rendah. membuatnya ngeri. Seekor ular berkulit hijau dengan bintik-bintik kuning yang menyelinap cepat ke semak belukar di dekatnya, membuatnya ciut. Tetapi bayangan si muka tikus lebih menakutkan, lebih ngeri, lebih menciutkan hati.
Dan ia terus menerobos hutan, yang semakin ke dalam semakin gelap.
Entah telah berapa jam berlalu. Tiba-tiba saja Farida terjebak timbunan belukar dan jatuh jumpalitan ke lereng terjal di balik semak belukar yang gelap itu. Kepalanya membentur benda keras. Sakit alang kepalang. Pisaunya terlempar entah ke mana. Ia berusaha menggapai-gapaikan tangannya mencari pegangan, namun sia-sia. Hingga akhirnya punggungnya menghantam sebatang pohon besar yang tumbang dan sudah berlumut. Farida terempas dengan tulang-belulang di sekujur tubuhnya bagaikan remuk dan lolos satu per satu. Kepalanya bertambah sakit, berdenging dengan pandangan matanya kian nanar.
Farida hanya sanggup terbaring menelentang cle
ngan air mata bercucuran. sembari mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Entah sudah berapa lama, ia tidak tahu. Farida baru akan membuka kelopak matanya manakala telinganya menangkap suara langkah kaki mendatangi lalu berhenti di dekatnya. Bayangan sosok tubuh itu sangat samar, seakan jumlahnya tiga, empat atau lima. Tapi setelah pandangan Farida semakin terfokus dan hanya melihat satu bayangan, dengan cepat Farida mengenali kerudung hitam yang dikenakan si pendatang.
"Oh..." Farida mengeluh, getir.
Tak ada yang mampu ia lakukan, kecuali membiarkan tubuhnya diangkat dari tanah, kemudian dibopong oleh lengan-lengan yang kokoh. Dibawa naik mendaki ke atas bukit. Matanya dipejamkan dengan kepasrahan yang teramat menyesakkan hati. Entah ia kemudian pingsan atau tertidur, Farida tidak mau tahu.
Saat terjaga. Farida mendapati dirinya telah terbaring lagi di atas dipan beralas jerami itu.
Kepalanya dibebat dengan sehelai kain rombeng. Sakit. berdenyut-denyut. Kulit di sekujur tubuhnya sangat menyedihkan. Luka dan memar membiru di sana sini. Tapi ada yang aneh. Sebagian besar lukanya dibaluri oleh cairan berwarna hitam pekat, kental seperti lumpur. Baunya sangat memualkan. Sebagian sudah mengering, tapi di beberapa bagian yang lain masih basah.
Ketika menggerakkan tubuhnya, dengan takjub Farida menyadari, apa pun yang dioleskan si muka tikus ke luka-lukanya, jelas ramuan itu memberi pengaruh dingin. sejuk dan mengurangi rasa pedih pada luka-lukanya. Sendi-sendi tubuhnya memang masih terasa sakit, tetapi ia sudah mampu untuk duduk. Pelan-pelan Farida mengangkat tubuhnya. melangkah tertatih-tatih untuk memastikan bahwa tidak ada tulangnya yang patah.
Denyutan di kepalanya sudah mulai reda.
Farida duduk kembali di dipan. Baru saat itulah ia lihat dua potong kain hitam terlipat di ujung dipan. Pasti si muka tikus yang menyediakannya selagi ia tertidur. Farida menggeleng-gelengkan kepala. bingung. Sungguh sulit untuk memahami sikap si muka tikus. Farida telah mencoba minggat, dan gagal. Tetapi orang itu masih berbaik hati menolongnya, tidak melakukan hal-hal mengerikan. bahkan tidak juga berusaha menyentuh tubuhnya kecuali pada bagian-bagian yang terluka. Farida malu dan memerah mukanya sewaktu menyadari bahwa pakaiannya yang robek di sana sini membuatnya hampir telanjang.
Gugup, ia tanggalkan pakaiannya yang sudah tidak keruan itu. Lalu mengenakan pakaian lain yang sudah tersedia. Begitu selesai, ia jengah sendiri. Kemben sebatas dada itu pas benar dengan ukuran tubuhnya. Agaknya, sudah sangat lama tidak dipakai oleh yang empunya. Sia-sia saja ia mengibas kemben itu, sisa
sisa debu kepalang menempel kuat di serat kain. Terpikir oleh Farida, apakah pemilik kemben itu dulunya, istri si muka tikus" Lalu ke mana perempuan itu" Minggat atau meninggal..."
Ah. pasti minggat! Putus Farida dalam hati. Kalau meninggal, tentu di luar tadi ia bisa menemukan kuburannya.
Lelaki itu ditinggalkan, karena muka tikusnya!
Memikirkan hal itu, timbul rasa iba dalam hati Farida. Ia mulai memikirkan lelaki itu dari sisi yang lain. Seorang laki-laki malang, yang entah terkena kutuk atau mungkin memang terlahir cacat. la terpaksa hidup menyendiri, jauh dari penduduk lainnya. Entah apa yang membuat lelaki itu pasrah pada keadaan dirinya yang menyedihkan. Tidak putus asa. lantas bunuh diri. Entah bagaimana ia bisa tetap bertahan hidup. Dan yang pasti, ia mempunyai keahlian untuk mengobati luka. Farida sudah membuktikannya. Dokter di kota mungkin masih mengharuskan Farida berbaring di tempat tidur untuk beberapa hari lamanya. Tetapi di sini, meski cedera berat tetapi ia tetap mampu berdiri. mampu berjalan. Hanya kepalanya yang terasa sering berdenyut-denyut. Obat tradisional yang diramu lelaki itu walaupun baunya memualkan namun ternyata sangat banyak menolong.
Farida beringsut ke tungku. Hendak menghangatkan tubuhnya.
Kembali ia mendapati kebaikan si muka tikus. Semua persediaan yang tadi pagi ia lihat ada di dekat pintu, kini sudah dipindahkan ke dalam gubuk, tak jauh dari tungku. Dengan rakus Farida mengunyah jambu serta mentimun, sempat berpikir untuk membuat bumbu rujak. Tapi detik kemudian ia tertawa kecil mencemooh kebodohannya sendiri.
Puas mengunyah jambu, Farida menyorongkan singkong ke bara api sambil sesekali meniup-niup membesarkan apinya. Tak lama, dari dalam periuk tanah di atas tungku menguar aroma gurih bercampur sedikit bau sangit menyenangkan. Bau susu kambing segar yang sudah mendidih. Busanya membuih ke luar ketika bara api semakin membesar. Cepat Farida menurunkan periuk itu dari tungku. Farida merasa tubuhnya semakin pulih setelah menyesap susu kambing yang hangat, sambil mengunyah singkong bakar yang ia keluarkan dari dalam bara.
Sekali, ia sempatkan mengintip dari celah pintu. Ia melihat bayangan lelaki itu berdiri di kejauhan. Bergeming, memandang ke lembah. Farida juga menangkap gerakan makhluk-makhluk berbulu hitam atau cokelat di antara semak belukar, merayap kian kemari. Namun seketika lari menghilang ketika Farida membuka pintu. Si muka tikus tergugah oleh bunyi kaki-kaki kecil yang ribut menyeruak belukar, disertai suara mencicit yang terdengar hanya sekejap. la menoleh, melihat Farida di ambang pintu. Dari balik
kerudungnya tampak kegelapan yang menghitam. Lebih hitam dari kegelapan malam. Farida cepat-cepat menutup pintu. Tetapi sebelum benar-benar tertutup, ia lihat lelaki itu menghilang ke arah lain. Mungkin untuk mencari tempat untuk tidur, tanpa mengganggu Farida.
Setelah pintu terpalang dengan baik, Farida naik ke dipan.
la rebah dengan pikiran berkecamuk tak menentu. Kantuknya pun segera muncul. Rasanya ia belum benar-benar tertidur ketika ia mendengar jerit tangis bayi di luar gubuk.
Bayi yang kini terlelap ditumpukan jerami.
Dan tiba-tiba Farida berpikir. bahwa bayi itu bukan dibuang oleh seseorang. Bayi itu justru telah diambil. Tepatnya dicuri. Si muka tikus yang mencurinya dari kampung di lembah sana.
Entah apa maksudnya. *** Di desa, Selasih mengakhiri ceritanya dengan suara kecut.
"Itulah yang terjadi. Ia lenyap begitu saja. Tanpa bekas. Yang tinggal cuma tonggak kayu dan tali-tali pengikat si perempuan yang segera pula musnah dilahap api."
Ismed Effendi menggigil. Bukan karena udara dingin yang menerobos lewat celah-celah dinding. Melainkan karena akhir kisah mendebarkan tentang si perempuan sihir bernama Sukaesih yang raib pada saat dihukum bakar oleh penduduk desa.
"Pasti ada yang melarikannya," ia bergumam.
"Siapa pula yang mampu menerobos amukan api yang tengah berkobar-kohar dengan dahsyatnya itu?" bantah Selasih. seraya menggelengkan kepala. "Kalaupun orang sakti macam itu memang ada. tapi tak
seorang pun dari kami melihatnya. Entah, kalau yang melakukannya roh-roh jahat yang berusaha melindungi Sukaesih. Roh-roh yang tak dapat dilihat dengan mata biasa."
"Anu...." Ismed menebak bimbang, "perempuan itu mungkin telah jatuh ke dalam kobaran api tanpa kalian ketahui."
"Kau rupanya sukar diyakinkan." Selasih tersenyum setengah mencibir. "Setelah kegelapan agak reda, orang-orang ramai membongkar sisa-sisa pembakaran. Tak sepotong tulang pun ditemukan. Orang-orang mulai berpencar mencarinya. Tapi ke mana pun dicari, perempuan itu tetap tidak diketahui jejaknya."
"Tetapi aku tadi melihat dia!" sanggah Ismed. "Kalau tidak dicegah seseorang, mungkin aku dapat mengikuti jejaknya."
"Siapa yang menahanmu?" tanya Selasih, tertarik.
"Hm. Kalau tak salah, ia menyebut namanya Supardi. Ya, Supardi."
"Oh. Tukang kayu itu. Apa katanya?"
"Ia bilang, tak ada seorang pun yang bisa mengikuti jejak si perempuan itu. Tetapi andai aku tidak terganggu oleh jeritan ibu yang kehilangan bayi itu. dan tidak dicegah oleh Supardi, tentu aku..."
"Nanti dulu." Selasih menyela tidak sabar. "Kau bilang tadi, kau melihat Sukaesih?"
"Yang kulihat itu. Farida. Istriku." Suara Ismed ter
tekan dan kebingungan. "Tetapi untuk apa istriku menculik bayi orang" Dan mengapa ia bisa menghilang begitu cepatnya" Mengapa pula ia seperti tidak mengenali aku?"
"Karena ia bukan istrimu. Ismed. Dia Sukaesih. Si perempuan sihir. Apakah kau tidak merasakannya?"
"Merasakan apa?"
"Kehilangan daya ingat. Kehilangan tenaga. Menggerakkan kelopak mata pun tak mampu. Kau seakan lumpuh. Seakan tidur lelap, meski kau sadar saat itu kau bangun. Itulah yang dialami setiap orang di kampung yang pernah melihat Sukaesih."
"Tidak. Aku merasa biasa-biasa saja. Aku terkejut memang. Tetapi cuma itu saja."
"Aneh," bisik Selasih gelisah. Ia mengawasi Ismed dengan mata curiga. "Mengapa pengaruh sihir perempuan itu tidak mempan padamu?"
Ismed angkat bahu. "Mana aku tahu?"
"Jangan-jangan. . . "
"Jangan-jangan apa?" desak Ismed melihat Selasih terdiam tiba-tiba. Wajah perempuan itu berubah pucat. matanya memandang gundah.
"Kau... tidak berdusta?"
"Tentang?" "Asal usulmu. Bahwa kau bukan berasal dari masa kini. Tepatnya, kau berasal dari masa datang. Tahun berapa tadi kau bilang?"
"1984." "Apakah pada tahun itu tidak ada lagi peperangan?"
"Ada sih ada. Tetapi tidak di negeri ini." Lalu Ismed menceritakan terjadinya peperangan yang terjadi di Timur Tengah, Kamboja. Afganistan dan beberapa negara lain.
Selasih tercengang. Ismed juga tak kalah bingung. Begitu butanya perempuan ini-mungkin seluruh penduduk desa ini juga, mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar lingkungan mereka. Sungguh aneh bahwa Selasih ternyata tidak pernah mendengar tentang surat kabar, televisi. pesawat ruang angkasa, bahkan juga tidak pernah mendengar apa itu mobil, sepeda motor, radio atau benda-benda lainnya yang umum dimiliki masyarakat kota. Setidaknya mengetahui bentuknya, bagaimanapun miskin hidupnya atau jauh terpencil tinggalnya.
Reaksi Selasih yang melongo tidak dibuat-buat. tak urung juga membuat Ismed bergidik seram. Ia memutuskan untuk menghentikan cerita-cerita mengenai apa yang ia ketahui atau ia alami di kota. Kalau diteruskan. bisa jadi Selasih menganggap ia sudah gila atau sebaliknya ia yang menganggap Selasih yang gila. Dan di sisi lain, Ismed merasa dadanya seperti terimpit sebongkah batu besar saat harus meyakinkan dirinya, bahwa yang ia lihat di luar rumah beberapa saat yang lalu bukanlah Farida. Melainkan Sukaesih.
Perempuan yang oleh penduduk desa ini disebut sebagai si perempuan sihir. Lebih-lebih lagi untuk membayangkan, bahwa ia benar-benar telah terlempar ke tahun 1929!
Suaranya serak. ketika ia mengalihkan percakapan.
"Kau ceritakan tadi. Sukaesih menyumpahi kalian. Apakah sumpahnya benar-benar terjadi?"
Tampaknya masih terpesona oleh dongeng-dongeng ajaib yang barusan dikisahkan Ismed. agak lama baru Selasih menjawab dengan suara lirih.
"Ya. la membuktikan kutukannya!"
Wajah Selasih kembali murung serta dibayangi ketakutan ketika ia meneruskan kisah tentang apa yang terjadi setelah Sukaesih lenyap dari tiang pembakaran".
Kegemparan akibat lenyapnya Sukaesih masih menghantui penduduk. manakala mata pencaharian pokok mereka tiba-tiba terancam musnah.
Hama tikus menyerang padi, palawija, bahkan tanaman lada maupun cengkeh. Tikus-tikus yang bukan main banyaknya serta lebih besar dari tikus biasa, nekat pula menyerbu rumah-rumah penduduk. Apa saja digerogoti. Ketika bahaya kelaparan mulai mengancam, menyusul pula teror yang lebih kejam. Makhluk-makhluk bermata semerah saga itu dengan
buas memakan bayi-bayi yang tengah tertidur lelap, bahkan juga bayi yang tengah disusui ibunya. Yang aneh, tiap kali tikus-tikus itu datang menyerbu, kucing maupun anjing penjaga rumah lari menghilang. Dan kalau ada di antara penduduk yang sempat menyambar golok. maka sabetan golok mereka senantiasa gagal menghantam tikus penyerbu. Kalaupun terkena mata golok, tikus-tikus itu tidak terluka sama sekali. Acap kali terjadi, golok malah salah sasaran, menghantam pemiliknya sendiri, atau anggota keluarganya.
Penduduk desa mulai meyakini bahwa kejadian itu bukan hama tikus biasa. Mereka menyimpulkan, makhluk-makhluk terkutuk itu digerakkan oleh pengaruh sihir.
Tapi kesimpulan itu terlambat datangnya. Bencana sudah menjadi-jadi. Sudah banyak penduduk yang menjadi korban. Mati kelaparan atau karena terjangkit penyakit pes. Beberapa orang perempuan histeris kemudian bunuh diri setelah bayi yang disusuinya tinggal tulang-belulang mengerikan. Kaum lelaki mendadak jadi pemarah, gemar berkelahi dan tidak sedikit yang kemudian saling bunuh.
Dukun satu-satunya di kampung itu, Eyang Darso, kewalahan mengatasi bencana yang menimpa. Dibantu oleh lurah yang juga memiliki kesaktian, beberapa orang berhasil diselamatkan nyawanya. Sayangnya, yang mati ternyata lebih banyak.
Upaya Eyang Darso dan Pak Lurah melawan serbuan makhluk-makhluk mengerikan itu, akhirnya menemui hasil juga. setelah menemukan jejak tikustikus ganas itu.
Beberapa kali terjadi, kalau ada kuburan baru digali akan terlihat ada lubang misterius di dalam tanah. Karena curiga, Pak Lurah memerintahkan supaya lubang-lubang itu ditelusuri. Ternyata di bawah tanah pekuburan didapati lorong-lorong panjang yang simpang siur, mengarah dari kuburan yang satu ke kuburan yang lain. Kuburan-kuburan lama terpaksa dibongkar. Dan, semua terperangah. Bukan mayat atau tulang-belulang manusia yang mereka dapati di dalam liang lahat, melainkan tikus besar yang selama ini mereka cari. Makhluk-makhluk itu tampaknya tertidur pulas di tiap liang lahat. Tidak terusik oleh ayunan pacul, sengatan matahari, atau suara-suara pekik kaget di sekeliling mereka.
"Jasad leluhur-leluhur kita telah dikotori oleh roh roh jahat!" Eyang Darso menggeram penuh kemarahan. Eyang Darso meyakini bahwa semua ini adalah perbuatan Sukaesih. ia kemudian bertukar pikiran dengan Pak Lurah. Lalu diputuskan untuk mengumpulkan sebanyak mungkin tahi kucing yang akan diaduk dengan garam dapur.
Pada hari yang ditentukan, Eyang Darso memantrai ramuan yang berbau busuk itu untuk kemudian ditaburkan ke sosok tikus-tikus yang mendekam di liang
lahat. Makhluk-makhluk itu menggelepar, mencicit seram, kemudian wujudnya sirna perlahan-lahan. Dan tak berapa lama kemudian, di liang lahat itu terlihat apa yang semestinya ditemukan: tulang-belulang manusia, atau mayat-mayat yang baru beberapa hari sebelumnya dikuburkan. Meski lega. tapi penduduk tak mampu menahan kengerian mereka sembari menggumamkan nama Sukaesih.
Tetapi, membongkar setiap kuburan yang sudah ada di pekuburan tersebut selama puluhan bahkan ratusan tahun. bukanlah pekerjaan mudah. Hari-hari berikutnya, liang lahat yang digali kembali tampak kosong melompong. Ditunggui sepanjang malam sampai pagi, liang lahat tetap kosong. Menurut Eyang Darso, Sukaesih telah mengetahui apa yang mereka kerjakan. dan Sukaesih telah mencegah budak-budaknya yang terkutuk kembali memasuki liang lahat mereka.
Tidak ada yang tahu di mana roh-roh yang sengsara itu berkeliaran menyembunyikan diri. Tetapi desaS desus kemudian tersebar mengatakan. makhlukmakhluk itu menyingkir ke lereng gunung. tempat si perempuan sihir dulu pernah mengucilkan diri. Kabar itu tidak pernah berhasil dibuktikan karena orangorang pun takut mendekati lereng gunung dimaksud. Apalagi setelah muncul kabar lain yang mengatakan bahwa di lereng gunung itu sering terlihat sesosok manusia berkerudung untuk menutupi wajahnya yang
menyerupai tikus. Kabar burung itu menyebutkan bahwa makhluk bertubuh manusia berkepala tikus itu adalah jelmaan putra tunggal Pak Lurah yang dikabarkan hanyut terseret air sungai yang banjir. namun mayatnya tidak pernah ditemukan.
Pak Lurah sendiri tidak menanggapi kabar burung yang memalukan itu. Cukup sekali ia bertitah.
"Tak seorang pun kuperkenankan menggunjingkan almarhum putra kesayanganku!"
Dan penduduk terpaksa tutup mulut. Tidak berani lagi mempercakapkannya. Demi menghormati Pak Lurah pula, tidak ada yang berusaha membuktikan kebenaran kabar burung mengenai almarhum putranya. Kalau ada yang berbisik-bisik untuk mencoba mencari tahu atau iseng-iseng menguji nyali untuk membuktikannya. maka teman atau kerabatnya akan langsung menasihati.
"Daripada menghadapi makhluk mengerikan itu, lebih baik kau korbankan nyawamu untuk membantu kami memerangi penjajah!"
"Perang melawan penjajah!" dengus Selasih. Kini dengan wajah merah, bersemangat. "ltulah yang kemudian mengisi hati setiap penduduk desa ini, terutama kaum lelaki. Entah kapan peperangan ini akan berakhir. Tetapi paling tidak, kaum muda kita telah
berhasil menciptakan sesuatu yang sangat penting artinya, menjelang akhir tahun yang lalu..."
lsmed kembali bergidik. la mendesah lirih.
"Maksudmu, Sumpah Pemuda. Yang dideklarasikan pada tanggal 28 Oktober 1928?"
"Ah. Jadi kau juga mengetahuinya!" seru Selasih. Punggungnya langsung tegak karena begitu senang dan bersemangat. "Apakah kau juga hadir waktu Kongres Pemuda itu berlangsung?"
"Hadir?" Hampir saja Ismed tertawa bergelak. "Jangankan aku. Ayahku pun waktu itu belum lahir!"
Sesaat setelah selesai mengucapkan hal itu, lsmed mendadak lunglai. Perasaannya jungkir balik. dari semula ingin tertawa menjadi ingin mati saja. Sekujur tubuhnya terasa dingin. kesadaran kembali berkecamuk dalam pikirannya, bahwa saat ini, ia sedang terlempar jauh dari kehidupan normalnya ke suatu desa sunyi terpencil di tahun 1929. Dan itu semua bukan omong kosong, bukan sekadar mimpi buruk belaka."
lsmed mencengkeram kepalanya.
"Kau berkeringat, lsmed." bisik Selasih seraya menyeka butir-butir peluh yang meleleh dari kening lsmed. "Tubuhmu dingin sekali."
"Aku takut, Asih." Suara Ismed bergetar. "Semua ini terlalu mustahil!"
"Sebaiknya kau tidur lagi," Selasih menyarankan. Ketika dilihatnya Ismed bangkit dengan susah payah. Selasih membantu lelaki itu masuk ke kamar, mem
baringkan tubuhnya di dipan, lantas menghamparkan selimut. "Kalau kau bangun besok pagi, kau akan lebih segar."
"Dan, semoga aku sudah di rumahku kembali," bisik lsmed lirih. namun penuh pengharapan. "Juga Farida." pungkasnya.
"Ya. Ya. Juga Farida," gumam Selasih, murung.
"la bukan penculik bayi!"
"Memang bukan, lsmed. Yang kau lihat itu bukan istrimu. Tetapi Sukaesih."
"Yang kulihat itu Ida!"
"Sudah berapa kali kukatakan."
"Ida. la Farida!"
"Kau sakit. Tenanglah?"
"Tolonglah aku. Ida. lda. lda..."
"Ismed?" "Peluk aku, Sayang. Dekap aku erat'erat!" lsmed mulai menggigil dan meracau. "Mengapa kau diam saja, Farida" Peluk dan ciumlah aku. Temani aku tidur, Farida sayangku. . ."
Selasih menghela napas, bingung sesaat.
Tetapi ketika tangannya ditarik oleh lsmed, ia kemudian menurut. Rebah di sebelah lelaki itu. Tubuhnya juga gemetar. Hanya saja, tubuh lsmed terasa dingin bagaikan es, sedang tubuh Selasih sebaliknya. Panas, bagai dibakar api. Ismed merasakan kehangatan tubuh perempuan di sebelahnya, lantas memeluk kuat-kuat sambil terus meracau tak menentu. Naluri
Selasih mendorongnya untuk balas memeluk lelaki itu. Bahkan memberikan reaksi hangat manakala mulut lsmed mencari-cari bibirnya.
Puas menciumi Selasih, akhirnya lsmed mulai tenang hingga kemudian tertidur. Ismed tidak tahu, bagaimana resah gelisahnya Selasih. Perempuan itu bimbang. Apakah ia senang lsmed akhirnya tertidur. Atau ia ingin. lsmed tetap bangun. tetap memeluk dan menciuminya. Dan setelah itu...
Selasih menggigil. "Alangkah memalukan," pikirnya, "jikalau lsmed tahu apa yang kupikirkan."
Hati-hati, Selasih meluncur turun dari dipan.
la keluar dari kamar lsmed. Menutup pintu perlahan-lahan, khawatir membangunkan lelaki itu.
Sadar bahwa ia sendiri sudah kehilangan kantuk dan tidak mungkin akan bisa memejamkan mata. Selasih kemudian berjalan ke ruangan lain. Dalam ruangan itu terdapat seperangkat peralatan untuk menenun benang. Sebuah peralatan tradisional yang terbuat dari kayu. la duduk di hadapan alat tenunnya, siap untuk bekerja. Tetapi bunyi detak-detuk alat tenunnya terdengar lebih nyaring di tengah keheningan malam menjelang pagi.
Selasih memutuskan berhenti, lalu bangkit dari duduknya. Pergi ke belakang rumah, ia nyalakan sebuah tungku besar. Di atas tungku sudah terjerang sebuah ketel besi yang lebih besar lagi. Setelah air di dalam ketel itu mendidih, ke dalamnya dijejalkan se
tumpuk daun pandan duri yang telah ia petik dari hutan dua hari sebelumnya. Ia menggodok pandan duri itu sampai bias matahari pagi mulai menjilati halaman belakang rumahnya. Tetangga di rumah sekitar pun mulai bangun satu per satu. Kehidupan kampung yang tadinya sunyi mencekam, mulai berdenyut hidup.
Beberapa orang tetangga pergi mendatangi rumah yang malam harinya tertimpa musibah. lsak tangis kembali terdengar. Selasih ingin turut mengucapkan belasungkawa. Tetapi ia pikir, kehadirannya akan menambah sedih perempuan yang telah kehilangan bayinya itu. Sudah acap kali Selasih mendengar komentar yang sangat ironis, "Kau beruntung, Asih. Tak pernah punya bayi." Padahal bagaimanapun, sebagai seorang perempuan ia sangat mendambakan memiliki seorang buah hati.
Ah. andaikata tadi ismed tidak segera tertidur, mungkin apa yang diharapkannya bisa terwujud.
"Astaga. Pikiran busuk itu lagi!" keluh Selasih, bergidik.
Lalu ia pergi ke dapur untuk mempersiapkan makan bagi.
*** FARIDA menggeliat. Resah.
Puluhan sosok bayang-bayang aneh berkeliaran di dalam gubuk. Mengelilingi dipan tempatnya tidur. Mereka berbisik-bisik satu sama lain. Kian lama, suara bisikan mereka kian riuh rendah. Lalu sosok bayangan itu bergerak semakin cepat. Berlari memutari dipan. Farida berusaha bangkit namun sekujur tubuhnya terasa lumpuh.
Ketakutan ia melihat puluhan bayang-bayang itu saling mengejar. kemudian menyatu satu sama lain. Perpaduan bayang-bayang tadi kini berubah jadi sesosok tubuh samar-samar. Sosok itu bertubuh tinggi besar, hitam sekelam malam. Farida tidak dapat melihat raut wajah makhluk itu dengan jelas, kecuali sorot matanya yang semerah saga memancarkan percikan-percikan api. Terang. menyilaukan. Makhluk
itu mendekati dipan, menatap Farida dengan sorot matanya yang membara.
Farida berusaha mengelak ketika sepasang lengan makhluk itu terjulur ke depan. langsung ke arah lehernya. Astaga. otot-otot lehernya kejang bukan main. Kaku membatu, tidak mau digerakkan. Dengan perasaan ngeri Farida hanya dapat menatap bagaimana lengan-lengan makhluk itu terus memanjang, mulut seperti karet. Semakin dekat ke lehernya wujud lengan itu semakin nyata. Sepasang lengan yang terus mulur ditumbuhi bulu-bulu hitam dan kasar. Jemarinya ikut pula mulur. kian lama kian runcing. Tampak kukukuku tajam di ujung jemari yang pelan-pelan menyentuh lehernya, menggurat-gurat mengerikan.
Pada saat kritis itulah Farida akhirnya dapat mengeluarkan suaranya.
la menjerit tertahan. Seketika, sosok bayangan makhluk hitam itu lenyap. Farida mengerahkan segenap kemampuannya untuk bangkit. Napasnya megap-megap. Peluh dingin membanjiri sekujur tubuhnya. Lambat laun, kelumpuhan pada setiap persendiannya mulai hilang. Otot-ototnya mengendur sedikit demi sedikit. Tangan dan kakinya mulai dapat digerakkan, meski masih sangat lemah. Matanya dikerjap-kerjapkan lalu dengan suatu keluhan berat ia berusahan bangun.
Kegelapan yang mengerikan itu ikut sirna seketika. Farida membuka matanya lebar-lebar. Menatap ber
keliling. dan melihat seberkas sinar terang menerobos dari celah dinding kayu. demikian pula dari lubanglubang kecil di atap gubuk. Ia segera mengenali suasana di sekelilingnya dan menyadari matahari pagi telah terbit.
"Ya ampun!" bisiknya. terengah-engah. "Rupanya aku bermimpi buruk tadi."
Untuk meyakinkan bahwa apa yang tadi dilihatnya hanyalah mimpi buruk belaka. Farida mencubit pahanya keras-keras. Terasa sakit. Dengan perasaan lega ia menggeliat lagi beberapa kali. baru setelah itu bergerak bangkit. Duduk terenyak dengan kaki berjuntai ke lantai tanah, Farida berusaha mengatur napasnya yang masih memburu. Dalam beberapa helaan napas, jantung Farida kini berdenyut lebih tenang.
la putuskan untuk turun dari dipan. Pergi ke pintu. lalu keluar untuk menghirup udara pagi yang hangat dan segar. Baru juga Farida menggerakkan kaki untuk berdiri. ia sudah menegun. Telinganya menangkap suara berisik di belakang punggungnya.
"Ah, hampir saja kulupakan bayi malang itu," pikirnya. Lalu ia membalikkan tubuh, mengamat-amati bayi yang ia yakin tentunya juga sudah bangun dan ingin dipangku. Tangan Farida sudah terjulur untuk mengangkat bayi itu manakala pandangan matanya menangkap sesuatu yang mengerikan. Lidah matahari yang menerobos masuk lewat lubang kecil di atap gubuk menjilati tubuh bayi itu. tetapi apa yang di
saksikan oleh Farida bukanlah bayi yang malam sebelumnya ia nina bobokan.
Dari batas pinggang sampai kaki, tubuh kecil itu masih tetap tubuh seorang bayi manusia.
Namun dari batas pinggang ke atas, tubuh bayi itu sudah ditumbuhi bulu-bulu cokelat yang tiap saat terus bertambah tebal. Tangan-tangan bayi itu telah berubah semakin kecil dan pendek. Ujung-ujung jarinya yang runcing meliuk tajam seperti kuku-kuku seekor tikus. Wajah bayi itu pun entah sejak kapan telah berubah jadi wajah tikus. Matanya merah, memandang lurus ke mata Farida yang tertegun ngeri.
Farida tiba-tiba menyadari bahwa apa yang tadi dia perkirakan mimpi buruk adalah sebuah kenyataan yang lebih buruk lagi. Kuku-kuku bayi yang telah berubah jadi tikus itulah yang tadi menggerayangi lehernya dan membuatnya terbangun.
"Ti... tidak." Tidak mungkin!" Farida tergagap. berusaha membantah kenyataan di depan matanya. "Ini cuma pengaruh mimpiku barusan," keluhnya.
Lalu ia kerjapkan mata berulang-ulang, ia cubit pahanya lebih keras sampai ia kesakitan sendiri. Dan ketika matanya ia buka kembali, ia nyalangkan lebar lebar, Farida pun terkesima dengan bulu kuduk merinding seram. Bayi setengah tikus itu menggeliatgeliat. dari tidur menelentang berusaha ke posisi menelungkup. Setelah berhasil. bayi itu kemudian merayap keluar dari bawah selimutnya. Lidah mata
hari pun menerpa bagian tubuh yang tadinya terlindung oleh selimut. Dan bagian tubuh yang diterpa matahari dengan cepat ditumbuhi bulu-bulu cokelat yang semula samar-samar namun dari detik ke detik semakin jelas. semakin tebal.
Bayi itu terus merayap menjauhi selimutnya sampai kaki-kakinya pun terkena jilatan matahari. Dan kakikaki mungil mulus kemerahan itu pelan-pelan berubah wujud jadi kaki-kaki pendek kecil berkuku runcing. lalu dengan keempat kaki-kakinya yang menekuk di bawah tubuhnya yang bulat berbulu, tikus sebesar bayi manusia itu merayap di atas dipan, mencium-cium dengan moncongnya seolah mencurigai segala sesuatu di dalam gubuk itu.
Suatu saat, kepala tikus itu terangkat.
Menatap sosok tubuh manusia yang berdiri terpaku di samping dipan. Sepasang mata makhluk itu menyala merah. Moncongnya terbuka, memperlihatkan gigi-gigi taringnya serta bulu-bulu sungutnya yang tegak kaku, mengancam. Sebelum Farida sempat memikirkan sesuatu, terdengar sura mencicit nyaring dari moncong terbuka itu. Lalu sang makhluk kemudian mencengkeramkan kaki-kakinya ke permukaan dipan. Kuku-kukunya menggaruk-garuk sebentar. kemudian berhenti dengan suatu sentakan mengejutkan.
Jantung Farida serasa berhenti berdegup. Matanya terbelalak mengawasi makhluk berbulu itu. Persendian tubuhnya kembali melemah. lumpuh. Teror yang me
landa dirinya sudah tidak tertahankan lagi. Pelan pelan, tubuh Farida limbung. Melorot jatuh. Pada waktu yang bersamaan sang makhluk melompat dari dipan dengan suatu lonjakan cepat yang sangat tibatiba. Kaki-kaki depan makhluk itu mengembangkan kuku-kukunya yang runcing, siap mencengkeram apa pun yang tersentuh.
Farida dapat merasakan bagaimana makhluk itu melayang lewat di samping lehernya. la selamat, hanya karena pada saat bersamaan tubuhnya meliuk jatuh. Farida terjerembap di lantai tanah dengan sisi kepala lebih dulu membentur dipan. Kepalanya berdenyut menyakitkan ketika terempas pula dengan keras di tanah. Ia mencoba mati-matian untuk tetap sadar. Namun pandangan matanya kian nanar. kian mengabur. Selama beberapa saat ia melihat sosok makhluk yang tadi gagal mencaplok lehernya, kini sudah merangkak bangkit di lantai dan dengan cepat membalikkan tubuh menghadap lurus ke arah tubuh Farida yang tergeletak semakin lemah. Kaki-kaki berkuku iru menekuk lagi. mengambil ancang-ancang.
Tatapi, sesuatu yang besar serta berat mendobrak pintu gubuk dari luar.
Bayangan sosok tubuh si muka tikus muncul dengan seram di ambang pintu yang menganga. Farida berjuang keras mempertahankan kesadaran pikiran serta pancaindranya.
Tetapi ia gagal.... *** ISMED tersentak bangun dari tidurnya ketika hari menjelang siang.
Suara ribut-ribut di kejauhan melonjakkannya dari dipan. Rasanya ia mendengar bunyi letusan yang semula ia kira bunyi ban sepeda motor meletus. Tetapi ketika membuka jendela kamarnya, ia tidak melihat sepeda motor atau orang yang turun dari sepeda motor. Ia hanya melihat Selasih yang tegak dengan tubuh kaku memandang ke arah mulut desa yang tidak dapat terlihat dari tempat Ismed berdiri.
lsmed terkesiap setelah menyadari ia bukan membuka jendela rumah kontrakannya di Pandeglang. Tidak pula melihat Farida tengah sibuk menjemur cucian pakaian. Yang ia lihat adalah suasana desa yang serba asing. dan Selasih yang tegak dengan beberapa helai dedaunan aneh masih tergenggam di salah satu
tangannya. Dedaunan itu panjang-panjang, berwarna cokelat kehitaman seperti layu. Lebih banyak lagi dedaunan yang sama dilihatnya terjemur di permukaan tanah yang bermandi cahaya matahari pagi.
Masih takjub dengan suasana sekelilingnya, Ismed menyapa gelisah.
"Selamat pagi. Asih!"
Selasih membalikkan tubuh. Wajahnya tampak tegang. Senyumannya dipaksakan ketika melihat Ismed.
"Oh. Kau sudah bangun kiranya."
"Apa yang di tanganmu itu, Asih?"
"Pandan duri. Tetapi yang sudah masak digodok."
"Untuk apa?" "Bahan benang."
Ismed bingung mencerna keterangan Selasih. Lebih bingung lagi ketika melihat orang-orang tergesa-gesa meninggalkan rumah masing-masing dan berjalan ke suatu arah yang sama. Mereka itu tampak ribut berbicara satu sama lain dengan suara-suara tegang dan ketakutan.
"Apa yang teriadi?" tanya Ismed heran.
"Semua penduduk harus hadir di alun-alun desa." jawab Selasih seraya meletakkan sisa pandan duri di tangannya ke tanah. "Kau juga harus ikut."
"Aku" Mengapa?"
"Karena setiap rumah akan digeledah. Yang bersembunyi di dalam akan dipukuli."
"Astaga. Oleh siapa?"
Selasih tak perlu menjawab. Karena dari kejauhan muncul tiga sosok tubuh berpakaian aneh. Mereka bertubuh tinggi besar, berkulit bule, kecuali seorang yang berkulit agak kehitaman dan tampaknya peranakan lndonesia Timur. Kesemuanya. termasuk si kulit cokelat kehitaman. memakai pakaian seragam yang sama. Baju dan celana kasar dengan bagian paha yang lebar. Ujung celana menyempit di bawah, terbungkus dalam sepatu lars hijau bertali. Di kepala mereka bertengger topi pet hijau dengan lambang yang belum pernah dilihat oleh Ismed.
Tetapi ia segera dapat mengenali pentungan karet yang dipegang si serdadu berkulit cokelat kehitaman, mengenali pedang yang tergantung pada selempang karet di bagian pinggang dari serdadu-serdadu lain yang berkulit bule. Salah seorang di antaranya mengacungkan sebuah senjata ke atas, Kembali terdengar sebuah letusan menggelegar yang membuat Ismed tersentak kaget.
"Hai. kamu orang. Mengapa belum pergi ke alunalun, ha?" hardik si serdadu berkulit cokelat kehitaman tadi dengan bahasa Indonesia campur bahasa Sunda pasaran yang kasar dan patah-patah. Logatnya seperti logat orang Maluku. pikir Ismed yang masih berdiri kebingungan. Ketika laras senjata di tangan salah seorang serdadu itu ditunjukkan ke jendela tempat Ismed masih terpaku diam, Selasih segera menarik tangan Ismed.
"Turun cepat sebelum kau dipukuli mereka!" bisiknya ketakutan.
Tanpa pikir panjang lagi, lsmed meloncat turun dan berlari-lari kecil mengikuti Selasih ke arah penduduk lainnya telah lebih dulu pergi bergerombol. Waktu melewati serdadu-serdadu itu. salah seorang yang berkulit bule menyambar lengan Selasih. Wajah si perempuan diamat-amati dengan seringai mengandung berahi. Terdengar ucapan-ucapan dalam bahasa Belanda yang sayang sekali tidak dimengerti oleh lsmed kecuali satu patah kata yang ia kira-kira mungkin artinya "bagus" atau "cantik". Selasih diam saja ketika wajahnya diusap. kemudian tangan si serdadu bule merayap ke leher, terus ke bundaran payudara di balik kembennya.
lsmed yang tadinya masih kebingungan, seketika naik amarahnya. la melontarkan makian. Baru saja lsmed akan merenggut tangan kurang ajar itu dari dada Selasih, entakan kasar menghantam tengkuknya. Ternyata ia telah dipukul dengan pentungan sehingga tubuhnya limbung. Ketika hampir jatuh. ia lihat sebuah sepatu melayang ke arahnya. Bagian bawah sepatu itu jelas berpaku-paku.
Secara refleks. lsmed menghindar sementara Selasih memekik.
lsmed selamat dari terjangan paku-paku sepatu itu.
tetapi pukulan pentungan lain mendarat pula di lambungnva.
ISMED seketika terjungkir ke tanah.
Kepalanya pening. la menggeliat berusaha bangun, sementara Selasih segera berjongkok untuk membantunya. Umpatan-umpatan kasar dalam bahasa Belanda terdengar di telinganya. Popor senjata tampak melayang di udara, siap dihunjamkan ke kepala lsmed. Tetapi Selasih keburu menghalangi dengan tubuhnya sambil memohon.
"Jangan. Jangan kalian sakiti dia...."
Salah seorang serdadu itu tertawa menyeringai seraya menarik Selasih berdiri. Tetapi serdadu-serdadu lainnya segera mengerubungi lsmed betapapun Selasih menjerit-jerit memohon sambil menangis. Pada saat itulah terjadi suatu peristiwa yang seketika menyadarkan lsmed akan situasi sesungguhnya yang tengah ia hadapi. Salah seorang. serdadu itu berteriak. menuding
ke satu arah. Serdadu yang memegang senjata api, lantas membalikkan tubuh dan dengan kecepatan luar biasa telah mengarahkan senjatanya, menarik picu dengan suara berdetak.
Tanpa membidik lagi, ia melepaskan satu tembakan.
lsmed mendengar suara seseorang menjerit di kejauhan. Ketika ia berpaling dengan susah payah, pandangan matanya yang nanar menangkap sesosok tubuh lelaki bertelanjang dada, terlempar dari gundukan tanah di tempat ketinggian, lalu jatuh ke bawah dengan suara berdebum keras. Dari dadanya tampak menyembur darah segar yang kemudian menggenangi rerumputan hijau tempatnya tersungkur.
Serdadu-serdadu itu segera memburu ke arah orang yang tertembak tadi. Yang tinggal hanya serdadu yang masih memegangi tangan Selasih dengan kuat. la tampaknya tidak peduli dengan nasib penduduk yang terkena tembakan senjata itu. Tidak mau tahu ketika teman-temannya menyepaki tubuh yang sudah sekarat dan mengakhiri kekejaman mereka dengan sebuah tembakan lagi. Langsung ke kepala orang yang malang itu.
Ismed memejamkan matanya. ngeri.
la berbaring diam. Tidak punya keinginan untuk bangun, apalagi bergerak. Peristiwa menyeramkan yang berlangsung hanya dalam tempo beberapa detik itu telah menghancurluluhkan hati dan semangatnya.
Lamat-lamat ia dengar suara langkah bersepatu menjauhinya disertai suara kaki terseret-seret dan isak tangis Selasih. Ketika ia buka kelopak matanya yang terasa perih, ia masih sempat melihat bayangan serdadu itu menyeret Selasih masuk ke dalam rumah.
"Ayo, bangun dan ikut aku!" ia dengar suara bisikan tajam di dekatnya.
Tanpa nafsu, Ismed menggerakkan tubuhnya. Seseorang membantunya berdiri lalu menyeret tangannya menjauhi rumah Selasih. Ismed tahu ia dibawa pergi ke arah alun-alun desa, dan juga tahu bahwa orang yang menyeretnya adalah Supardi, pemuda misterius yang tadi malam mencegahnya mengejar si penculik bayi.
"Aku kebetulan lewat, melihat kau dipukuli mereka," kata Supardi dengan napas tersengal-sengal. "Perbuatanmu tadi sungguh sangat membahayakan dirimu, kawan!"
"Selasih... mereka apakan dia?"


Misteri Lemari Antik Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah. Masa kau tak tahu" la perempuan. Masih muda. Cantik pula. Dan serdadu yang menyeretnya tadi, jarang punya kesempatan mencumbu perempuan. jadi.?"
"Tetapi. Selasih. Ia..."
"Alah. Perempuan itu cuma janda. Jangan kau ributkan!"
Ismed ingin marah. Tetapi mereka sudah tiba di alunalun desa, ikut berbaris dalam kelompok-kelompok
penduduk lainnya. Tua muda, laki perempuan, semua berkumpul dengan penjagaan yang ketat. dengan lebih banyak lagi serdadu. Rasanya Ismed seperti tengah menyaksikan film perang yang divisualisasikan dengan amat sempurna. Sebuah film tiga dimensi. dan ia sebagai penonton ikut berperan di dalamnya. Kepalanya masih pening. Perutnya pun mual bukan main.
Lamar-lamat ia dengar bunyi orang membentakbentak. Penduduk dibariskan sejajar, bersaf saf. Agaknya, inspeksi tengah dilakukan karena serdadu serdadu itu kemudian meneliti setiap wajah terutama kaum lelaki dan yang masih muda. Beberapa nama dipanggil supaya tampil ke depan. Yang pura-pura tidak tahu kemudian diseret dan dipukuli. Dalam rasa sakit bercampur takjub oleh apa yang ia hadapi, lsmed kemudian menyadari bahwa Supardi telah menghilang dari sebelahnya.
Ke mana pun matanya mencari, pemuda itu tidak dilihatnya lagi.
Kemudian, setelah komandan para serdadu bule iru berpidato panjang lebar tentang tujuan mereka mengamankan negeri dan menghukum siapa pun yang mencoba merusak apa yang mereka namakan ketenteraman masyarakat dan dicap sebagai pengkhianat ratu, penduduk kemudian dibubarkan. Tinggal beberapa orang lelaki yang tetap disuruh berjemur terpanggang matahari. Seorang serdadu muncul dari bayangan pepohonan di sebelah utara alun-alun,
Cinta Dalam Kutukan 1 Bila Pedang Berbunga Dendam Karya S D Liong Komplotan Misterius 1
^