Pencarian

Misteri Lemari Antik 4

Misteri Lemari Antik Karya Abdullah Harahap Bagian 4


mereka mendekati komandannya lalu membisikkan sesuatu seraya tangannya menuding-nuding. Yang terkena tuding dari barisan tawanan, lengannya masingmasing langsung diikat di belakang punggung. Yang lainnya disuruh bubar di bawah todongan senjata. ada pula yang sambil ditendang.
Para serdadu berkumpul setelah terdengar aba-aba kemudian berlalu meninggalkan desa membawa sekitar lima atau enam orang pemuda sebagai tawanan mereka. lsmed diam-diam mengawasi dari jauh. Ia tidak kenal siapa-siapa penduduk yang ditawan itu. Yang memenuhi pikirannya adalah pakaian-pakaian seragam para serdadu, juga lambang di topi pet mereka. lsmed sempat memperhatikan waktu berbaris tadi. Sebuah lambang dari perunggu berukir singa atau macan. Setelah serdadu-serdadu itu lenyap di dalam hutan, lsmed semakin memahami ia berhadapan dengan kenyataan yang sesungguhnya, bahwa saat itu perang masih berlangsung, dan beberapa orang penduduk desa baru saja dibawa pergi oleh polisi militer Belanda.
"Kudengar ada beberapa orang yang pergi menyebar ke dalam hutan." bisik seseorang di dekat lsmed. la menoleh dan bingung ketika melihat Supardi telah ada lagi di dekatnya.
"Apa kau bilang?"
"Beberapa orang penduduk nekat menyelinap ke dalam hutan, sebelum serdadu-serdadu itu pergi dengan tawanan mereka."
"lantas?" "Orang-orang itu gila. Mereka mestinya menunggu Pak Lurah pulang. Tidak boleh bertindak sendiri-sendiri."
"Apa yang mereka lakukan?"
"Mencegat serdadu-serdadu itu di tengah jalan. Apalagi kalau bukan itu!"
"Mengapa kau tidak ikut?" Ismed berkata seenaknya.
"Aku masih memiliki akal sehat. Dan kau?"
Ismed terdiam. "Sebaiknya kau ikut ke rumahku saja." kata Supardi tersenyum. "Kukira kita dapat berteman. Aku tinggal sendirian."
"Terima kasih. Tetapi aku sudah punya pondokan lain," tolak Ismed.
"Ah. Lupakanlah janda yang malang itu."
"Maksudmu?" "Ia tidak akan menerima kau tinggal di rumahnya lagi."
"Hei. Tidak mungkin..."
"Mau bukti?" Lalu Supardi mengajak Ismed bergegas pulang ke rumah Selasih. Pintu rumah perempuan itu menganga terbuka. Ketika Ismed akan melangkah masuk, dari dalam ia dengar suara getir mencegahnya.
"Pergilah, Ismed."
Ismed ternganga. Meski ia tidak melihat Selasih secara langsung, tetap ia dapat mengenal suaranya. Penasaran, Ismed menerobos masuk. Selasih bersimpuh di lantai ruang tengah. Pakaian perempuan itu acak-acakan. Kembennya yang terlepas, ditutupkan sekenanya ke dadanya yang telanjang. Ia tampak sangat pucat. Tetapi sinar matanya keras dan garis mulutnya tajam. Mengiris. Ismed sampai tertegun dan salah tingkah melihat bayangan ganjil di wajah Selasih.
"A... aku tak dapat meninggalkanmu, Asih," katanya, terbata-bata.
"Kau harus." "Asih..." "Tak usah berlagak sebagai pahlawan. Semuanya sudah terlambat. Pergilah!"
"Diapakan kau oleh serdadu itu, Selasih" Apakah setelah semua ini terjadi, kau pikir aku tega meninggalkan kau begitu saja" Aku tak akan pergi, Asih!" tegas Ismed.
"Kalau kau tak mau pergi dari rumah ini," suara Selasih terdengar getir, tajam dan menusuk. "biar aku yang pergi."
"Asih!" Supardi yang dari tadi diam saja di luar bergegas masuk dan menarik Ismed keluar dari rumah.
"Ayolah," bujuknya, "perempuan itu tidak bermaksud kasar padamu. Ia hanya ingin agar kau memahami keadaannva. Ia telah mengorbankan kehormat
annya demi keselamatan jiwamu. Dan itu bukannya tidak menimbulkan akibat," ujar Supardi.
"Ia diperkosa!" Ismed ingin berteriak. Tetapi yang keluar dari mulutnya, hanya keluhan putus asa.
"Itu hanya sebab. Bukan akibat."
"Aku tak mengerti."
"Nanti juga kau akan mengerti."
Ismed kemudian diajak ke rumah Supardi. yang letaknya agak terpisah di pojok paling jauh dari pusat desa. Sebuah rumah kecil yang hanya memiliki dua ruangan. Satu kamar tidur, dan ruangan lain untuk bekerja. Ruangan kedua dan lebih luas itu dipenuhi oleh alat-alat pertukangan serta sejumlah bahan untuk mebel yang serba sederhana. Dapurnya di luar rumah. hanya ditutupi atap nipah tanpa dinding kecuali bidang dinding belakang rumah.
"Bukan tempat yang menyenangkan," kata Supardi malu-malu. "Tetapi kuharap kau betah di sini."
Ismed mengempaskan tubuhnya, duduk di sebuah kursi kayu.
"Kau baik sekali. Tetapi, mengapa aku kauajak tinggal bersamamu?"
"Oh. itu gampang. Kedatangan orang asing di desa ini mudah menjalar beritanya. Tetapi karena dalam suasana perang, orang tidak mudah untuk menerima kehadiranmu. Akhirnya. jurutulis desa-atas perintah Pak Lurah tadi malam-hanya menemukan aku
*** annya demi keselamatan jiwamu. Dan itu bukannya tidak menimbulkan akibat," ujar Supardi.
"Ia diperkosa!" Ismed ingin berteriak. Tetapi yang keluar dari mulutnya, hanya keluhan putus asa.
"Itu hanya sebab. Bukan akibat."
"Aku tak mengerti."
"Nanti juga kau akan mengerti."
Ismed kemudian diajak ke rumah Supardi, yang letaknya agak terpisah di pojok paling jauh dari pusat desa. Sebuah rumah kecil yang hanya memiliki dua ruangan. Satu kamar tidur, dan ruangan lain untuk bekerja. Ruangan kedua dan lebih luas itu dipenuhi oleh alat-alat pertukangan serta sejumlah bahan untuk mebel yang serba sederhana. Dapurnya di luar rumah. hanya ditutupi atap nipah tanpa dinding kecuali bidang dinding belakang rumah.
"Bukan tempat yang menyenangkan," kata Supardi malu-malu. "Tetapi kuharap kau betah di sini."
Ismed mengempaskan tubuhnya, duduk di sebuah kursi kayu.
"Kau baik sekali. Tetapi, mengapa aku kauajak tinggal bersamamu?"
"Oh, itu gampang. Kedatangan orang asing di desa ini mudah menjalar beritanya. Tetapi karena dalam suasana perang, orang tidak mudah untuk menerima kehadiranmu. Akhirnya. jurutulis desa-atas perintah Pak Lurah tadi malam-hanya menemukan aku se
orang yang hidup sendirian dan tidak akan bermasalah bila kedatangan tamu. Suka kopi?"
"Bolehlah. jangan terlalu manis."
"Ah. Gula semakin sukar didapat. Aku hanya bisa menghidangkan kopi kental. Tetapi tanpa gula. Maaf."
"Oh." Mereka kemudian duduk minum sambil membicarakan situasi yang tengah mereka hadapi. Ketika ditanya dari mana asal usul Ismed, ia menceritakan garis besarnya saja. Bahwa ia lahir di Sumatera. kuliah dan kemudian bekerja di Bandung. Setelah menikah dengan Farida. ia pindah ke Pandeglang.
"Begitulah. Tiba-tiba saja. aku sudah ada di sini."
"Begitu saja?" "Ya. Begitu saja."
"Kau lewat jalan mana ke desa ini" lkut kelompok pejuang yang mana" Dan di mana pula teman-temanmu yang lain." Apakah kalian dipergoki serdadu Belanda" Atau pasukanmu hancur. dan kau sempat meloloskan diri?" tanya Supardi bertubi-tubi.
"Pertanyaanmu banyak sekali. Supardi. Tak apa aku menyebut nama. bukan?"
"Silakan. Kita sebaya."
"Pertanyaanmu itu, hanya satu saja yang bisa kujawab."
"Yang mana?" "Tentang. lewat jalan mana aku tiba di desa ini."
"Oh, itu. lewat Rangkas atau lewat Malimping?"
"Nama-nama itu memang pernah kudengar. Tetapi aku tidak datang melalui dua daerah yang kau sebutkan."
"Jadi?" Ismed menghela napas. "Aku datang melalui pintu sebuah lemari."
Seperti sudah diduganya, Supardi tercengang. Tak percaya.
"Kau pasti main-main," tukas Supardi.
"Tidak," bantah Ismed, "aku sungguh-sungguh."
"Tetapi" lewat lemari! Bagaimana mungkin?"
"Aku sendiri sampai saat ini belum mengerti."
Ismed mulai menceritakan bagaimana mulanya ia mendapatkan lemari antik berukir perempuan dengan anak kambing hitam di pangkuannya itu. Tetapi. belum lagi kisahnya berlanjut, ia semakin heran melihat perubahan sikap sang tuan rumah. Supardi tampak pucat dan gelisah.
"Nanti dulu!" sela Supardi di tengah cerita Ismed. Wajahnya menunjukkan kebingungan. "Dari semua yang kau ceritakan padaku tentang ciri-ciri ukiran lemari itu" aku bisa memastikan bahwa lemari itu... tentulah aku yang membuatnya. Tetapi beberapa waktu yang lalu. ketika pembantu bupati datang untuk mengambil hasil panenan lada di desa ini, ia melihat lemariku itu lalu membawanya pergi dengan paksa."
"Mengapa begitu?"
"Aku tak pernah berniat memberikan lemari itu pada orang lain. Karena lemari itu... punya hubungan erat dengan... ah, apakah kau telah mendengar kisah Sukaesih. yang mereka sebut si perempuan sihir" Yang lenyap sewaktu akan dihukum bakar di alun-alun?"
Ismed baru akan menjawab ketika di kejauhan terdengar bunyi letusan-letusan senjata sayup-sayup sampai. Keduanya terperangah.
"Gila!" dengus Supardi. "Mereka nekat juga melakukannya. Sungguh bodoh. Tak memikirkan akibatnya. Entah apa nanti kata Pak Lurah kalau beliau sudah pulang!"
Hampir satu jam mereka duduk terdiam dengan raut menegang. Kemudian suara-suara itu semakin reda dan akhirnya berhenti.
"Yang berikutnya tak dapat kubayangkan." keluh Supardi.
"Maksudmu?" "Akibat perbuatan mereka mencegat serdadu serdadu Belanda itu. Sanak keluarga mereka juga yang bakal jadi korban!"
"ltulah perang." ujar Ismed.
"Ya. ltulah perang!" Supardi bergumam menyetujui.
"Mengenai Sukaesih,..." Ismed menggantung kalimatnya. Karena Supardi diam saja, ia meneruskan, "Benarkan ia perempuan yang sama-sama kita lihat tadi malam" Ketika ia menculik bayi itu?"
Supardi mengangguk. "Sebenarnya, Sukaesih tidak bermaksud jahat," katanya, pelan.
"Apa?" "la menculik bayi itu hanya untuk melihat bahwa yang ia curi bukan bayinya sendiri."
"Jadi perempuan sihir itu juga punya bayi?" Ismed semakin tertarik. "Apa yang diperbuatnya setelah ia ketahui bahwa yang ia curi bukan bayinya sendiri?"
"itulah yang tidak pernah kami ketahui. Yang pasti, tak satu pun bayi-bayi yang dicurinya itu pernah ditemukan lagi. Entah dibuang, entah dibunuh. Tetapi aku tak percaya omongan orang bahwa Sukaesih kemudian menghirup darah bayi itu, memamah daging serta tulang belulangnya. Sukaesih tidak sejahat itu!" Suara dan wajah Supardi jelas bernada membela disertai kesedihan mendalam. "Kalaupun bayi-bayi yang dicurinya kemudian mati. aku dapat memahami tujuannya. Ia tidak mau mendengar suara bayi orang lain. Ia hanya ingin mendengar suara bayinya sendiri, sampai akhirnya ia dapat menemukan bayinya itu."
"Kok aneh. Maksudmu. bayinya juga pernah dicuri orang?"
"Benar. Dan itu terjadi akibat kelalaianku...." Suara supardi lirih penuh penyesalan.
Makin menarik, pikir lsmed. Ia akan bertanya lebih lanjut. Tetapi tanpa diminta pun, Supardi sudah menceritakan peristiwa yang terjadi hampir satu tahun
berselang. la kisahkan bagaimana Sukaesih ditangkap oleh penduduk. Perempuan yang hidup menyendiri di lereng gunung itu kemudian diseret turun ke kampung untuk dihukum bakar dengan tuduhan sebagai perempuan sihir. Karena sudah biasa berlaku hukum memusnahkan kaum penyihir sampai ke akar-akarnya, maka bayi Sukaesih mestinya ikut pula dibakar. Tetapi tidak seorang pun penduduk yang mengetahui kalau di tempat pengucilannya, Sukaesih diam-diam telah melahirkan seorang bayi.
"Sebelum ditangkap. Sukaesih menugasi aku untuk menyembunyikan dan merawat bayinya. Tetapi karena aku lalai. bayi itu kutinggalkan sendirian dalam gubuk untuk melihat mereka yang menyeret dan menyiksa Sukaesih selagi turun gunung. Ketika aku masuk lagi ke dalam gubuk. bayi itu sudah lenyap." papar Supardi dengan suara tersendat dan mata basah.
"Siapa yang mencurinya?" tanya Ismed penuh rasa ingin tahu.
"Dulu aku tak pernah mengetahuinya. Tetapi lama kemudian. setelah menjalin kejadian satu sama lain yang sebelumnya terpisah-pisah. aku mulai memperoleh petunjuk bahwa pelaku pencurian itu tak lain tak bukan adalah Pak Lurah sendiri!"
"Pak Lurah" Untuk apanya bayi itu?"
"Ceritanya panjang, kawan!"
"Tak keberatan kalau aku ingin tahu?"
"Tidak," jawab Supardi. "Kaupikir, mengapa semua ini kuceritakan padamu" Karena kau orang asing. Kalau kau ceritakan pada penduduk desa di sini, tak seorang pun yang akan percaya. Aku cuma seorang tukang kayu yang miskin dan papa. Leluhurku pun dahulunya hanya budak dari leluhur penduduk desa ini. Tepatnya, budak leluhur Pak Lurah." Supardi menarik napas berat dan panjang, menggambarkan betapa panjang dan betapa berat pula penderitaan yang dialami olehnya maupun para leluhurnya. "Jadi, mustahil kalau kuceritakan pada mereka semua, bahwa bencana-bencana yang mengerikan yang menimpa penduduk desa ini, bukan akibat perbuatan Sukaesih. Melainkan akibat perbuatan putra Pak Lurah sendiri!"
*** PUTRA Pak Lurah itu namanya Suminda. Konon dimaksudkan berarti 'Si bagus Minda', atau Guru Minda yang tersebut dalam salah satu legenda tersohor di seantero Pajajaran, yakni legenda Lutung Kasarung.
Tetapi si Minda yang satu ini, yang oleh orangtuanya diberi nama Suminda. ternyata setelah dewasa tak lebih dari seorang Minda yang salah kaprah. Kerjanya bersenang-senang menghabiskan harta orangtuanya. Suka minum arak, berjudi sabung ayam dan main perempuan. Biar sudah punya istri, Suminda masih senang mencabuli anak perawan bahkan istri orang lain. Tak ada yang berani mencegah. Selain mengingat posisi keluarganya sebagai lurah dan masih ada pertalian famili dengan salah seorang selir bupati, juga karena kesalahan perempuan-perempuan itu sendiri.
Rayuan Suminda yang kaya dan tampan membuat perempuan-perempuan yang jadi korban-korban menyerah dengan sukarela. Kalau toh akhirnya disiasiakan, mereka tetap punya kebanggaan sempat jadi kekasih Suminda.
Sampai suatu ketika. Suminda ketemu batunya.
la tertarik lalu jatuh cinta pada Sukaesih. salah seorang dukun masyhur yang suka menolong orang. Tak ada yang tahu dari mana asal Sukaesih dulunya sebelum pindah ke desa mereka. Kabar burung mengatakan, leluhurnya adalah orang-orang sakti dari hutan-hutan Pameumpeuk di pesisir selatan. Ada pula yang mengatakan, nenek Sukaesih adalah salah seorang dayang Nyi Roro Kidul. Orang lebih tidak tahu lagi berapa usia Sukaesih sebenarnya. Tahun demi tahun berlalu. ia tetap cantik, tetap muda seperti perawan yang sudah siap diajak naik pelaminan. Orang cuma tahu kalau Sukaesih itu seorang dukun perempuan muda lagi cantik yang kapan pun dibutuhkan, bersedia menolong orang yang sakit atau kesusahan.
Dari sekian orang yang pernah jatuh cinta padanya. Supardi termasuk salah satunya. Cinta Supardi ternyata hanya bertepuk sebelah tangan.
"Aku telah beberapa kali menikah, Pardi. Dan tiap kali, suamiku akhirnya mati begitu kami melakukan persetubuhan." kata Sukaesih setelah Supardi menyatakan siap berkorban apa saja demi niat sucinya menikahi Sukaesih.
Dukun muda itu membuka rahasianya, setelah Supardi hilang akal dan merasa cintanya ditolak karena ia hanya seorang keturunan budak. Tetapi sebagai imbalan kegagalan cintanya, ia diperkenankan Sukaesih jadi pembantu kepercayaan pada waktu waktu tertentu. la disayangi dan dikasihi perempuan itu sebagai saudara sendiri. Hal itu tidak diketahui orang lain. karena Supardi memang merahasiakannya. Malu kalau dijadikan bahan olok-olok. Seorang tukang kayu miskin keturunan budak belian, cobacoba mendekati Sukaesih yang jadi pujaan semua orang. Meski orang lain pun akhirnya gagal juga mempersunting Sukaesih.
Satu-satunya orang yang dapat mempersunting Sukaesih hanya Pak Lurah. Menurut apa yang didengar Supardi dari mulut Sukaesih, cinta Pak Lurah diterima Sukaesih meski tahu Pak Lurah sudah punya istri dan anak. Mereka melakukan hubungan diamdiam dan nyatanya Pak Lurah tetap hidup.
"Hanya ia satu-satunya orang yang punya ilmu sejajar dengan ilmuku sendiri." begitu kata Sukaesih. "Karena itu. ia dapat menahan serbuan maut yang menyerang dari dalam tubuhku tiap kali kami bersetubuh."
Mulanya, mereka melakukan persetubuhan itu sebagai batu uiian. Jadi tidak langsung menikah, karena kuatir Sukaesih jadi serbuan amarah penduduk kalau ternyata setelah menikah Pak Lurah mati seperti
juga suami-suami Sukaesih sebelumnya. Hubungan rahasia itu berjalan beberapa waktu lamanya.
Dan ketika keduanya berencana untuk menikah, muncullah Suminda.
Ia tidak tahu kalau Sukaesih adalah kekasih gelap ayahnya. bahkan bakal jadi ibu tirinya. Suminda yang sudah lama menaruh hati pada Sukaesih, mencoba merayu perempuan itu. Ketika diberitahu bahwa si perempuan akan menikah dengan ayahnya. Suminda bukannya mundur. la malah naik pitam, dan mencoba memerkosa Sukaesih seraya menyumpah serapah.
"Tidak seorang perempuan pun kubolehkan memisahkan ayah dan ibuku!"
Biarpun dikatakan bahwa Sukaesih tidak bermaksud merenggut Pak Lurah dari istri pertamanya, Suminda tetap nekat. Rupanya ia sakit hati. Baru pertama kali cintanya ditolak oleh seorang perempuan.
"Lebih baik aku jadi tikus saja daripada tidak dapat memilikimu!" umpat Suminda selagi dengan paksa ia menggerayangi tubuh Sukaesih.
Sukaesih yang marah dan terhina oleh perbuatan Suminda yang tak senonoh itu. menjadi lupa diri.
"Baiklah. Jadilah kau tikus!" sumpah Sukaesih. geram.
Dan seketika itu juga perubahan terjadi pada tubuh Suminda. Kepalanya pelan-pelan berubah menjadi kepala tikus. Melihat kejadian itu, Sukaesih
menyadari kelancangannya. la menarik sumpahnya. Sayang, yang dapat ia tarik mundur hanya bagian yang belum berproses. Tubuh Suminda dari batas pundak ke bawah tetap utuh sebagai manusia. Tetapi kepalanya sudah telanjur berubah jadi kepala tikus.
Supardi yang mengintip peristiwa itu dari balik dinding di luar rumah. merinding ngeri. Tampak olehnya Suminda melolong-lolong, lolongannya kian lama juga berubah menjadi suara mencicit yang menyeramkan. Pemuda itu menyembah-nyembah Sukaesih, memohon ampun dan meminta agar kepalanya dikembalikan pada bentuk semula.
Dengan nada menyesal Sukaesih berkata, "Sayang sekali, Minda. Kutuk yang telah keluar dari mulutku atau mulut leluhurku, tidak dapat dicabut apabila kutuk itu telah terjadi!"
Putus asa, Suminda berusaha menyerang Sukaesih. Tetapi hanya dengan tiupan pelan dari mulut Sukaesih, si lelaki bermuka tikus sudah terhumbalang. Tunggang-langgang menerpa dinding hingga roboh. Supardi cepat menyingkir. Dari jauh ia lihat Suminda yang berkepala menakutkan itu melarikan diri ke dalam hutan.
Tahu bahwa Supardi mengintip, Sukaesih memanggilnya dan menyuruh Supardi tutup mulut.
"Biar aku sendiri yang memberitahu nasib Minda pada ayahnya." kata Sukaesih.
Tapi malang bagi Sukaesih. Suminda adalah ke
turunan satu-satunya dari Pak Lurah. Biarpun anak itu nakal dan sering berlaku memalukan, tetap saja ia putera kesayangan Pak Lurah. Setelah diberitahu kejadian yang menimpa putra kesayangannya, Pak Lurah bukannya menyesalkan sikap Suminda. Ia malah menyesalkan Sukaesih yang tidak dapat mengendalikan diri. Mereka lantas bertengkar dan semenjak itu hubungan mereka rusak. Putus. Tanpa Sukaesih dapat mencegahnya.
"Aku tidak dapat tinggal lagi di kampung ini. Pardi." kata Sukaesih suatu hari. "Aku juga tak dapat pergi ke daerah lain dengan perutku yang sudah mulai terisi. Kukira aku lebih baik pergi bertapa saja. Menyepi, menjauhi kehidupan yang selama ini kunikmati. Tak ada lagi sesuatu yang kukehendaki, kecuali menunggu anakku lahir. Setelah anak itu lahir, barulah dapat kutentukan sikapku selanjutnya."
Diam-diam Sukaesih kemudian menyingkir tanpa setahu orang lain. Karena perutnya sedang mengandung, ia tak dapat pergi jauh. Dengan bantuan Supardi, Sukaesih dibawa ke lereng gunung, dicarikan tempat yang baik dan dibuatkan gubuk tempat berteduh. Tak hanya itu, dicarikan dan diusahakan Supardi juga apa saja yang diperlukan Sukaesih untuk dapat tetap bertahan hidup. Tetapi Sukaesih tidak memperbolehkan Supardi tinggal bersamanya, atau sering-sering mengunjunginya.
"Kalau Pak Lurah tahu. kau akan jadi korban
amarahnya," ujar Sukaesih. "Kau pulanglah. Dan temui aku sekali-sekali. Karena bagaimanapun, aku masih tetap membutuhkan seorang teman untuk mengisi kesepianku."
Baru belakangan mereka tahu, tabiat Suminda ikut berubah sejalan dengan perubahan wujudnya. Suminda yang terpaksa mengasingkan diri ke hutanhutan untuk menutupi rahasianya. masih belum dapat menghilangkan kebiasaan lamanya.
Hanya kali ini, ia bertindak lebih kejam.
Setiap perempuan yang berhasil ia pergoki berjalan sendirian, ia sergap dan disetubuhi lalu darahnya dihirup. Ia juga membunuh lelaki-lelaki yang mengawini bekas kekasih-kekasihnya, lalu memerkosa dan menghirup darah bekas kekasih-kekasihnya itu. Kalau perempuan itu tengah menggendong bayinya, maka bayi itu pun tak selamat dari kebuasan Suminda.
Dan karena lama kelamaan orang mulai mendengar adanya permusuhan pribadi antara Pak Lurah dengan Sukaesih yang menghilang entah ke mana, maka mulailah tersebar gunjingan bahwa bencana-bencana mengerikan itu terjadi karena Sukaesih ingin membalas dendamnya. Pak Lurah dengan sengaja membiarkan kabar itu berkembang, hingga setiap kali bencana terjadi tiap kali pula Sukaesih dikambinghitamkan.
Satu dua orang penduduk akhirnya mengetahui
pula di mana Sukaesih bersembunyi. Tetapi entah mengapa, Pak Lurah mencegah siapa saja yang ingin membalas dendam.
"Perempuan itu berbahaya. Kalian tidak akan sanggup menghadapinya. Tunggulah waktu yang tepat. Aku sendiri yang akan turun tangan."
lalu diam-diam ia menghubungi putranya dan memaksa Suminda menyingkir lebih jauh dan mencari mangsa di desa-desa yang lain. Dengan demikian. luapan amarah penduduk bisa ditahannya.
Supardi yang telah menguping semua peristiwa yang berlangsung di desa, bertanya pada Sukaesih, "Apa yang ditunggu Pak Lurah?"
"Anaknya," jawab Sukaesih, kecut.
"Anaknya" Yang mana?"
"lni," jawab Sukaesih seraya menuding perutnya yang bunting tua.
"Lalu apa yang akan kau lakukan?"
"Cuma berharap, Pardi. Berharap. akan tiba saatnya ayah anak ini sadar bahwa ia tidak akan dapat merebut bayiku begitu saja. Karena itu hanya punya satu arti. Salah seorang akan mati. Aku, atau dia!"
Sayangnya, Sukaesih tak pernah menduga bahwa Pak Lurah akan berlaku pengecut. la bukannya datang sendiri ketika waktu yang ditunggu-tunggu itu tiba.
Pak Lurah dengan culas justru memperlihatkan kekerdilan jiwanya. la justru memakai tangan ketiga
untuk menyingkirkan Sukaesih. Yakni, luapan amarah penduduk dibantu oleh dua orang dukun saingan Sukaesih, yakni Tonggo dan Darso.
Supardi terlambat untuk memberitahukan kecurangan Pak Lurah itu pada Sukaesih.
*** DAN, demikianlah yang terjadi." Supardi mengakhiri kisahnya. "Penduduk meringkus Sukaesih, menyeretnya turun dari gunung. Aku terlalu mengkhatirkan keselamatannya, hingga lengah menjaga bayi Sukaesih. Bayi itu dicuri orang setelah lebih dulu kepalaku dipukul sampai aku pingsan. Ketika kemudian aku berhasil menyelundup ke kandang kuda tempat Sukaesih disekap, aku hanya dapat melaporkan kejadian itu dengan perasaan panik dan penyesalan yang tiada terhingga. Pikiranku sangat tumpul. Tidak pernah punya sangkaan kalau Pak Lurah yang melakukannya."
"lalu," lsmed mendesak, "bagaimana kau akhirnya yakin kalau Pak Lurah yang melakukannya?"
"Setelah merangkai kejadian-kejadian sebelumnya. Bukankah sudah kubilang tadi?"
"Itu hanya dugaan."
"Tidak. setelah belakangan kudengar Pak Lurah pernah menitipkan bayi pada seorang kerabat jauhnya. Tetapi karena perang, kerabat Pak Lurah itu terpaksa mengungsi. Entah ke mana..."
"Tak kau beritahukan penemuanmu itu pada Sukaesih?"
"Bagaimana mungkin?" keluh Supardi getir. "Sukaesih sudah lenyap. Kalaupun aku pernah beberapa kali melihatnya-kau juga bukan, tadi malam" Yang aku dan kau lihat itu adalah rohnya!"
"Begitu nyata?"
"Mengapa tidak" Sukaesih dapat melakukan apa saja. Misalnya, memindahkan jasad dan rohnya ke daun pintu lemari yang kuukir atas permintaannya!"
Ismed ternganga. Pindah ke pintu lemari" Roh dan jasad Sukaesih pindah lalu menyatu dengan pintu lemari"
Belum habis keheranan lsmed, di kejauhan terdengar bunyi kentongan dipukul. Mula-mula satu, lalu dua. dan kemudian makin banyak. Supardi menjadi tegang seketika.
"Kita semua disuruh berkumpul lagi di alun-alun desa." desahnya.
Ismed tersentak. "Serdadu Belanda lagi?"
"Yang ini. bukan. Dari bunyi dan ketukan-ketukan
pada kentongan, yang menyuruh berkumpul adalah Pak Lurah. Kukira, ia telah pulang!"
Tak lama kemudian, Ismed bersama Supardi telah berkumpul bersama penduduk lainnya di alun-alun. Di balai desa. tampak banyak orang berkumpul pula. Di antara mereka yang khusus berkumpul di balai desa, Ismed dapat mengenali Selasih yang pada saat itu tengah mempercakapkan sesuatu dengan Pak Lurah. Entah mengapa, melihat perempuan itu berbicara dengan Pak Lurah. naluri Ismed dihinggapi suatu perasaan aneh. Bahwa nasibnya sedang ditentukan.
Sementara itu, orang-orang yang berkumpul di sekelilingnya ramai mempercakapkan peristiwa pencegatan oleh sekelompok warga desa terhadap serdadu-serdadu Belanda yang sedang dalam perjalanan pulang ke Pandeglang. Ismed mendengar sedikitsedikit bahwa para pejuang itu-termasuk yang ditawan, sebagian besar telah gugur. Selebihnya, membawa yang luka-luka pulang lagi ke desa. Beberapa orang serdadu berhasil juga mereka tewaskan. Sisa pasukan Belanda itu kemudian melarikan diri.
"Mereka pasti sudah meminta bantuan ke Pandeglang." ujar seseorang.
"Dan kita bakal diserbu habis," sahut yang lain.
"Itulah, kalau tak berpikir panjang," seseorang menyesalkan pula.
"Kesempatan demikian jarang kita dapatkan!'
bantah yang lain lagi. "Pasukan orang bule dan pengkhianat-pengkhianat bangsa itu sangat yakin. bahwa kita tak akan bertindak tanpa kehadiran Pak Lurahi .Mereka lengah, dan coba hitung berapa orang serdadu dan berapa pucuk senjata api yang dapat kita rebut!"
"Mudah-mudahan saja Pak Lurah ikut berbangga hati."
Tetapi ketika Pak Lurah tampil di depan semua orang yang seketika diam membungkam, nada suara Pak Lurah jelas tidak berbangga sedikit pun.
"Perjuangan kalian semata-mata menurutkan emosi itu memang menghasilkan beberapa pucuk senjata api dan kudengar sekitar ruiuh orang musuh dapat kalian bunuh. Tetapi. berapa orang dari kalian yang harus berkorban jiwa" Dan pernahkah kalian pikirkan, nasib apa yang bakal menimpa desa kita?" ujar Pak Lurah dalam pidatonya yang berapi-api.
Semua penduduk diam. Yang terdengar hanya isak tangis beberapa orang yang kehilangan sanak keluarganya dalam pencegatan itu. Pak Lurah melanjutkan dengan kalimat pendek dan bernada dingin.
"Desa ini akan dibumihanguskan oleh Belanda!"
Suasana semakin sunyi mencekam.
"Memang," kata Pak Lurah lantang. "aku percaya kalian semua merelakan rumah dan harta kalian musnah ditembaki peluru-peluru meriam musuh. Tetapi kalian. sebagian besar belum pernah melihat akibat
ledakan satu peluru meriam saja. Bila itu nanti terjadi, lihatlah. Tak sejumput pun harta kalian akan tersisa untuk dinikmati. Tak sejengkal tanah pun dapat kalian diami atau tanami tanpa harus bekerja keras selama bertahun-tahun mendatang!"
Melihat wajah-wajah pucat di depannya, Pak Lurah merendahkan suara.
"Sudahlah. Yang terjadi, telah terjadi. Hanya sangat kuscsalkan. Kalian melupakan taktik yang sudah beberapa kali kita laksanakan. Biarkan serdadu-serdadu itu pergi cukup jauh, sehingga mereka tidak dapat menebak pasukan gerilya mana yang mencegat mereka. Jadi mereka tidak dapat menuding kita sebagai orang-orang yang bertanggung jawab. Tetapi," Pak Lurah menghela napas. "yah... aku juga dapat memahami. Kawan-kawan kita yang pergi menyerbu tanpa setahuku memang masih sangat muda-muda."
"Kita harus berbuat apa sekarang, Pak Lurah?" seseorang berseru lantang.
"Mengungsi!" tegas Pak Lurah.
"Mengungsi ke mana. Pak Lurah?" seru yang lain.
"Ke mana lagi" Desa yang terdekat adalah Taraju. Desa itu sudah dibombardir sampai tak bersisa oleh meriam Belanda seminggu yang lalu. Untuk pergi ke desa berikutnya, waktu sudah terlambat. Kita baru akan tiba di desa itu sekitar besok pagi-pagi benar. Dan aku khawatir, kita akan bentrok dengan pasukan musuh yang harus melalui desa itu untuk sampai ke
desa kita. Satu-satunya jalan paling mudah dan mungkin, kita semua harus menyingkir ke lereng gunung. Bersembunyi di hutan-hutan lebat yang jarang kita masuki itu."
Pak Lurah menunjuk ke lereng gunung berhutan lebat dan rimbun nun jauh di sebelah utara desa.
Penduduk terdiam tiba-tiba. Suasana sunyi menyentak. Bahkan mereka yang telah kehilangan sanak keluarganya tiba-tiba berhenti menangis. Tak seorang pun yang bersuara. Pak Lurah manggut-manggut, seakan mengerti apa yang dipikirkan penduduk desa.
"Kalau kita muncul beramai-ramai, makhlukmakhluk terkutuk itu pasti menyingkir ketakutan. Jangan kalian lupa. bahwa makhluk-makhluk itu tadinya adalah roh-roh sengsara dari leluhur atau sanak keluarga kita sendiri."
"Tetapi si perempuan sihir..." yang berkata itu adalah Supardi. Ia tidak meneruskan kalimatnya. Dan meski kalimat itu pendek dan menggantung begitu saja, Ismed dapat menangkap perasaan khawatir dalam suara Supardi. Bukan mengkhawatirkan keselamatan penduduk. Tetapi mengkhawatirkan Sukaesih yang baru beberapa saat berselang ia sebut sebagai jelmaan roh belaka.
Agak lama Pak Lurah mengawasi wajah Supardi. Ia juga mengawasi orang yang berdiri bingung di dekat Sunardi. Yakni, lsmed. Dengan sendirinya, Ismed
terpaksa menelan ludah. Rasanya, ia menangkap se
suatu dalam sorot mata Pak Lurah. Sesuatu yang
mengganggu ketenangannya. Dengan perasaan kecut
ia berpaling ke arah lain. Sialnya. justru ia berpaling
ke arah tempat Selasih berdiri. Perempuan itu pun
menatapnya dengan sorot mata yang sama ganjilnya. lsmed gentar. Gelisah.
"Kalian mau percaya atau tidak," ia dengar suara Pak Lurah yang tenang. "Perempuan sihir itu benar masih ada di suatu tempat. Tetapi aku yakin, tidak di lereng gunung itu."
"Kami percaya pada Bapak," ujar beberapa orang. seperti dikomando saja. Seseorang kemudian mewakili teman-temannya bertanya. "Kapan kita mulai mengungsi?"
"Sekarang juga. Kita harus tiba di lereng gunung itu sebelum senja tiba. Karena aku khawatir, bila sudah malam beberapa dari kalian bisa tersesat ke rimba larangan."
"Rimba larangan?" desah lsmed, tak mengerti.
"Rimba tempat berdiam suku Badui dalam." jelas Supardi di sebelahnya. "Dari orang-orang. kudengar kau datang dari dalam rimba itu ditemani Selasih."
lsmed hendak mengutarakan sesuatu yang ia alami di dalam rimba itu, ketika Supardi menyuruhnya diam. Pak Lurah sudah angkat suara lagi. Kini dengan nada lebih tenang. Tetapi tajam menusuk.
"Sebelum kita bubar. aku ingin kalian semua
mengetahui srapa pengkhianat yang telah mengorbankan sekian orang pejuang-pejuang kita."
Sambil berkata begitu, Pak Lurah tiba-tiba menghardik, "Tangkap dan borgol dia. anak-anak!"
Beberapa orang pemuda yang berdiri dalam kelompok lepas, kemudian bergerak ke satu arah.
Ismed gemetar mengetahui pemuda-pemuda itu membawa segulungan rantai borgol besi yang sebagian terseret di tanah, menimbulkan bunyi bergemerencing menakutkan.
Lebih gemetar lagi, manakala ia sadari bahwa kelompok pemuda berwajah bengis dan penuh dendam kesumat itu berjalan serempak ke arah tempatnya berdiri!
*** DALAM gubuk kecil terpencil sendirian di lereng gunung. Farida perlahan-lahan siuman dari pingsannya. Ketika kelopak matanya terbuka. segala sesuatu tampak kabur. Sisi kanan kepalanya terasa sakit. Dirabanya bagian yang sakit itu. Bersyukur tidak ada luka. Namun toh lepas juga keluhannya manakala jarinya meraba benjolan kecil yang berdenyut menyakitkan bila ditekan.
Ia terpejam lagi beberapa saat. Bernapas dengan teratur. Sambil mencoba mengingat-ingat kesialan apa yang telah menimpa dirinya. Kemudian ia ingat bahwa ia terjatuh dengan kepala lebih dulu membentur sisi dipan. la ingat juga penyebabnya. Bayi manusia yang terbungkus selimut secara aneh telah berubah wujud jadi seekor tikus. Lalu tikus sebesar bayi manusia itu melompat menerjangnya. Berusaha mencaplok
lehernya dengan kuku-kukunya yang runcing serta taring-taringnya yang tajam mengerikan.
"Ya Tuhan... mengapa"." keluh Farida, tertahan.
Matanya membelalak ketika mendengar suara desah berat tidak jauh dari tempatnya terbaring menelungkup. Astaga, ia masih rebah di lantai tanah yang kotor berdebu. Dan tikus mengerikan itu....
Farida beringsut bangun, menahan segenap rasa sakit di tubuhnya yang masih lemah. Sinar matahari dari luar pintu yang menganga terbuka. agak mengganggu pandangannya sebentar. Tetapi setelahnya. ia mengetahui bahwa sosok tubuh besar yang dilihatnya barusan bukanlah bayi yang telah berubah wujud itu. Melainkan sosok tubuh perkasa dari seorang laki-laki dewasa dengan kepala tikusnya.
Farida menarik napas lega. Aku aman. pikirnya.
Sayang, tidak lama kelegaan itu dapat ia nikmati. Karena tiba-tiba nalurinya menangkap sesuatu telah berubah pada diri laki-laki itu. Bukan wujudnya, mclainkan sikapnya. Si muka tikus tidak lagi mengenakan kerudung untuk menyembunyikan kepalanya yang mengerikan. Ia juga tidak lagi duduk dengan sikap bersimpuh, hormat mengandung takut. Si muka tikus justru duduk dengan kedua lengan bersilang di depan dada. Sepasang mata kecilnya bersinar merah, lebih merah dari biasa.
Farida mencoba tersenyum manis untuk menenang
kan kegelisahan yang bergelayut di dada, ia bergumam menyatakan keheranannya.
"Kau biarkan aku di lantai. Mengapa?"
Si muka tikus diam membeku. Hanya matanya yang berkilat-kilat. menandakan bahwa ia bereaksi atas pertanyaan Farida. Suatu reaksi yang jelas tidak lagi bersahabat. Diam-diam. Farida mulai merasa gentar. la beringsut ke arah dipan. Berusaha mencaricari pisau yang sebelumnya ia sembunyikan di kepala dipan. Gerakan tangannya terhenti ketika ia dengar suara menggeram kasar. Makhluk itu berdiri dengan kaki mengangkang. Moncong tikusnya terbuka. Memperdengarkan suara mencicit dan mencicit makin keras. sehingga Farida merasakan gendang telinganya mau pecah.
"Hentikan! Hentikan! Aku tak tahan!" Farida menjerit kesakitan bercampur takut.
Suara mencicit itu terenggut hilang. Membuat suasana berubah total, sunyi mencekik. Lantas kakikaki yang kekar itu melangkah maju. Cepat sekali. Farida kalang kabut. Kini kedua tangannya dipergunakan mengaduk-aduk jerami di atas dipan,sampai berhamburan kian kemari. Wakru ekor matanya akhirnya dapat menangkap kilau mata pisau, Farida sudah terlambat. Benda yang sangat didambakannya itu telah disambar lebih dulu oleh si muka tikus yang menyeringai seram.
Farida tersentak di dipan. Putus asa.
Dengan jantung berdegup kencang, ia memperhatikan bagaimana si muka tikus mempermain-mainkan pisau di tangannya. Digerakkan berputar-putar di depan wajah Farida, seakan ingin mencencang kulit wajah yang halus mulus itu. Farida pucat pasi ketika merasakan ujung pisau menyentuh kulit lehernya. Ia tak berani bergerak. Bahkan bernapas pun tidak.
Si muka tikus menggeram senang.
Pisau di tangannya digerakkan dengan cepat. Sangat cepat. Farida memejamkan mata, membayangkan lehernya tergorok putus dan darahnya mcnyembur-nyembur. Tetapi ternyata yang menyemburnyembur itu hanya darah di sekujur pembuluh saja. serta denyut jantungnya yang berpacu begitu kuat dan menyesakkan. la terengah-engah ketika membuka matanya dengan rasa takut dan heran. Masih sempat ia lihat pisau itu melayang ke luar pintu.
Begitu keras si muka tikus melontarkannya hingga pisau itu seakan melayang terbang ke langit lepas. Kian lama kian mengecil dan ketika berubah jadi titik samar-samar. pisau itu pun lenyap. Bagaikan langit menelannya dengan sukacita.
Mencicit lagi si muka tikus. Menatap kejam ke wajah Farida yang berjuang mati-matian memulihkan kesadaran dirinya.
"Mau apa... kau?" Suara Farida bergetar. "Apa yang terjadi denganmu" Apa yang membuatmu marah Dadaku?"
Si muka tikus diam sesaat. Lalu telunjuknya menuding-nuding wajah Farida, kemudian telapak tangannya dikembangkan terbuka dan digerakkan ke kiri dan kanan.
Farida mencoba menebak maknanya.
"Aku" tidak. Tidak apa?" tanyanya bingung.
Kembali si lelaki berkepala tikus mengulangi hal yang sama. Kali ini, disusul dengan tudingan ke sekeliling gubuk, lalu ke lantai. Menuding lagi ke dada Farida, lalu gerakan telapak tangannya seakan membantah atau penolakan terhadap sesuatu. Farida kebingungan setengah mati mencari kata-kata untuk mengutarakan sesuatu, tetapi hanya kebingungan saja yang ia dapatkan. Si muka tikus mencicit. la mundur selangkah. Lalu kedua tangannya digerak-gerakkan secara teratur dan menurutkan bentuk-bentuk tertentu dari atas ke bawah, menggambarkan sosok tubuh manusia. lalu telunjuknya menuding, melakukan gerakan semula secara berulang-ulang.
"Aku" bukan... dia?" tebak Farida. yang mulai mengerti maksud si muka tikus. "Dia siapa?"
Si muka tikus mencicit. la angkat kedua tangannya. Digerakkan melengkung di udara, lalu jemarinya mencengkeram-cengkeram, seraya moncongnya menggeram-geram. Mata tikusnya mengerjap-ngerjap. tampak seperti ketakutan. lalu ia menuding Farida, menidakkan lagi dengan telapak tangannya. Farida berusaha mengikutinya dengan tekun, mencoba me
nerka-nerka yang akhirnya ternyata salah dan salah lagi.


Misteri Lemari Antik Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gambaran sosok tubuh seseorang. Agaknya perempuan. karena si muka tikus menggerakkan jarijemari di belakang kepala sendiri, mengurai-urai menggambarkan rambut panjang bergelombang. Telunjuknya menuding ke udara kosong tempat ia gambarkan sosok imajiner itu. Lalu membuat gerakan imajiner dalam bentuk lingkaran.
Bola, pikir Farida. Tapi, bola apa"
Si lelaki berkepala tikus mencicit waktu Farida menggumamkan "bola". Kemudian, kedua telapak tangannya bergerak memutar saling bertentangan di kiri-kanan pada apa yang ia maksudkan dengan "bola" seraya matanya semakin berkilat-kilat marah dan mulutnya menggeram-geram, Sesekali lengan dan telapak tangannya diangkat, digerak-gerakkan dalam bentuk jari-jemari seperti mencengkeram.
"Bola" Bulat" Bola menakutkan" Bola apa?" Farida terus menerka. sampai telinganya berdenging dan tiba-tiba berseru, "Bola kaca. maksudmu?"
Si muka tikus mengangguk. seraya mencicit senang. ia melakukan lagi beberapa gerakan. dan Farida mulai menangkap maksudnya dengan lebih jelas. Tercekat ia berbicara menerka.
"Dia itu" perempuan sihir?"
Si muka tikus bertepuk tangan. Mencicit-cicit, seraya menghentak-hentakkan kaki ke tanah. Ia baru
memulai beberapa gerakan lagi-gerakan-gerakan yang telah berulang kali ia peragakan. Tapi belum selesai ia melakukannya, Farida sudah bisa langsung menerka.
"Aku bukan si perempuan sihir, begitu maksudmu?"
Si muka tikus manggut-manggut senang. Lalu ia gambarkan beberapa peragaan lagi, memperlihatkan ketakutan-ketakutannya, kemudian peragaan rasa gembiranya ketika menuding-nuding Farida. Perbuatan itu ia lakukan berulang-ulang karena Farida kembali salah menebak, sampai akhirnya Farida dapat menjalin suatu gambaran yang benar.
"Perempuan sihir itu membuatmu takut. Aku juga membuatmu takut" Oh... ketika kau temukan aku di luar sana itu" Oh, kini kau tidak takut lagi padaku. Apa" Kau menyukai aku" Tetapi?"
Gerakan-gerakan berikutnya membuat Farida tidak sanggup lagi membuka mulut. Kesimpulan yang diperolehnya dari peragaan si muka tikus membuat jantungnya berdebar kencang. Sekujur tubuhnya terasa kaku. Si muka tikus tidak saja menyukainya. Si muka tikus menghendaki ia dan Farida hidup bersama di gubuk itu.
Dan si muka tikus tidak sudi menunggu berlamalama. Karena setelah memeragakan maksudnya, ia lantas membuktikannya. la bergerak ke pintu dan menutupnya rapat-rapat. lalu berbalik sambil merenggut lepas kemeja hitamnya. la bergerak lagi ke
arah dipan, menuding kemben yang dikenakan Farida. Sambil melangkah, ia terus menggeram-geram dengan mata memerah saga, memaksa Farida agar menanggalkan pakaian.
Karena Farida diam saja, si muka tikus menjadi marah. la merenggut kedua lengan Farida dengan cepatnya. Setelah Farida tertegak bangun, tangan lelaki itu dengan kasar mulai memeluk dan berusaha menanggalkan kemben Farida. Bau busuk lepas dari moncongnya yang menganga terbuka. Taring-taringnya tampak mengerikan. Begitu pula lidahnya yang basah berbuih-buih menjijikkan ketika berusaha menjilati wajah Farida.
Farida meronta-ronta ketakutan dan kaget dengan perbuatan si muka tikus yang serbamendadak itu. Ia melihat sinar mata si muka tikus dipenuhi nafsu berahi yang tidak lagi terkendali. Mereka saling bergelut dan saling dorong. Yang satu ingin menggagahi, yang lain mempertahankan diri. Tetapi kekuatan si lelaki itu begitu besar. Tubuhnya begitu perkasa. Farida dengan cepat telah dipaksa menelentang. Kembennya lepas menggantung, sehingga payudara Farida terbuka menantang. Si muka tikus makin bernafsu. Dengan buas ia naik pula ke dipan dan siap untuk mengangkangi Farida.
Pada detik yang kritis itulah refleks Farida bergerak. Sisi tangan kanannya memukul bagian sensitif di tengkuk si muka tikus. Pada waktu bersamaan pula
lututnya menerjang dengan kuat, menghantam bagian yang paling peka di selangkangan sang makhluk yang sudah diperbudak nafsu bejat itu.
Si muka tikus melengking-lengking kesakitan, terlempar jatuh dari dipan. Tapi kemudian ia bangkit lagi, merangkak berdiri seraya mengusap-usap tengkuknya yang pasti kejang bukan main. Ketika tubuh yang sempoyongan itu mendekat lagi, Farida terkesiap. Pukulan karate yang mematikan pada tengkuk si muka tikus ternyata tidak begitu berpengaruh. Begitu pula hentakan lutut Farida pada selangkangan makhluk itu, justru membuatnya semakin buas saja.
Farida tiba-tiba menyadari bahwa ia tidak mungkin bergerak leluasa dengan kain selendang yang ketat melilit tubuhnya. Lebih parah lagi, dadanya telanjang terbuka. Ia sangat malu, sebaliknya juga sangat marah. Tetapi ia harus berpikir dua kali untuk beradu fisik dengan makhluk yang memiliki kekuatan fisik luar biasa itu. Makhluk gunung itu tak bisa dianggap remeh. Beberapa pukulan yang lebih terarah mungkin dapat melumpuhkannya. Tetapi untuk itu, Farida harus menanggalkan kembennya agar bisa bergerak dengan bebas. Suatu pikiran yang sungguh tak masuk di akal untuk dilakukannya di depan makhluk yang sudah nekat itu.
Farida mengelak ke samping waktu si muka tikus menerjang dengan dahsyat. Makhluk itu terempas di atas dipan. Tetapi ia berguling lagi dengan sangat
cepat dan bersiap-siap untuk memulai serangan berikutnya. Namun, serangan berikut itu tidak mungkin lagi terlaksana. Farida sudah menghadang. Dengan sebelah tangan menutupi payudaranya, tangan Farida yang lain sudah menggenggam kapak besi yang disambarnya dari dinding gubuk.
"Aku tak ingin membunuhmu. Tetapi kalau kau memaksa, apa boleh buat!" desis Farida, mengancam.
Sambil mengancam, ia maju dengan kapak diayunayunkan ke depan, membuat si muka tikus mundur dan terus mundur. Farida maju sedemikian rupa sehingga gerak mundur si muka tikus mengarah ke pintu. Dan begitu si muka tikus sudah berada di dekat pintu, Farida mengultimatum.
"Keluar! Atau, kuhunjamkan kapak ini ke kepalamu yang buruk menjijikkan itu!"
Dengan lengking mencicit dan menyayat, makhluk malang itu merenggut pintu sampai terbuka lantas menghambur dengan cepat ke luar. Secepat kilat pula Farida menutupkan pintu kembali. Palangnya telah patah, karena sebelumnya telah didobrak oleh si muka tikus saat mendengar jerit Farida yang ketakutan melihat bayi manusia berubah menjadi seekor tikus yang mengerikan.
Begitu pintu tertutup, Farida bersandar di daun pintu dengan sekujur tubuh lemas.
Di luar sana terdengar suara mencicit-cicit berke
panjangan dari si muka tikus yang sesekali menggeram buas. Tak ada yang dapat menghalanginya kalau makhluk itu bermaksud menyerbu lagi dengan mendobrak pintu, karena palangnya telah patah. Di kamar itu hanya ada meja kayu kecil. kursi rotan, dan dipan kecil. Semua itu tidak mungkin mampu menghalangi serbuan dari luar, walaupun ditumpukkan di belakang pintu.
Farida juga tidak mau terkurung terus di dalam.
Ia harus melakukan sesuatu. Dan yang paling mungkin adalah bahwa ia sendiri yang harus menyerbu ke luar sana selagi hari masih siang. Bila hari sudah malam, bukan si muka tikus saja yang akan dihadapinya. Tetapi juga ratusan ekor tikus besar yang pernah ia lihat menggerogoti daging dan tulang-tulang seorang bayi manusia sampai habis. Kalaupun ia mampu lolos, ke arah mana ia harus lari di tengah kegelapan malam, di dalam hutan belantara pula"
Yakin bahwa si muka tikus di luar sana pasti sedang memulihkan tenaga dari azab sengsara akibat pukulan pada tengkuk dan terjangan pada selangkangannya, Farida meninggalkan pintu yang dibiarkan tanpa terhalang apa pun juga. Ia segera mencari-cari dan akhirnya menemukan blus kaus serta celana pendek miliknya sendiri. Kainnya dilepas, lalu ia mengenakan blus dan celana pendek tersebut.
Kedua potong benda itu sudah tak keruan bentuk
nya, dan bagian-bagian yang robek justru membuatnya tetap dalam keadaan setengah telanjang.
Tetapi dengan blus dan celana pendek itu, ia bisa bergerak bebas.
Apalagi, dengan sebuah kapak besi di tangan.
Di lembah jauh di bawah sana, suasana hening menyelimuti alun-alun desa begitu rantai besi yang panjang selesai diborgolkan ke sepasang lengan yang gemetaran menahan amarah.
Ismed Effendi menghela napas panjang dan lega setelah mengetahui bukan lengannya yang diborgol. Entah mengapa, timbul rasa ibanya pada Supardi yang berdiri gemetar dengan wajah pucat di sebelahnya. Tukang kayu itu memandangi rantai besi yang terjuntai-juntai di antara kedua kakinya yang mengangkang. Seakan tak percaya dengan penglihatannya. Supardi mengangkat kedua lengannya dengan susah payah. Seketika itu juga, rantai besi itu memperdengarkan bunyi bergemerencing yang mendirikan bulu roma.
"Supardi!" Pak Lurah berseru lantang.
Supardi mengangkat mukanya. Juga lsmed dan semua penduduk desa yang memenuhi alun-alun. Mereka menatap serempak ke arah Pak Lurah yang berdiri di depan sana dengan wajahnya yang gundah.
Pak Lurah berujar hambar, "Subuh tadi. Pak Tonggo telah dihukum tembak oleh Belanda."
Terdengar seruan dan gumaman kaget campur prihatin di sana-sini.
Pak Lurah mengangkat tangannya, menyuruh diam. lalu melanjutkan. "Tetapi sebelum ia menjalani hukuman matinya, Pak Tonggo sempat berbicara denganku. Katanya, ia berhasil memancing keterangan dari orang-orang Belanda tentang bagaimana cara mereka berhasil membunuh Eyang Darso, serta siapa orang yang telah membuka rahasia ilmu kebal Eyang Darso. Rahasia itu hanya aku dan Pak Tonggo saja yang tahu. Eyang Darso sendiri sangat hati-hati, jadi mustahil ia menceritakannya pada orang lain, kecuali tanpa sebab. Dan kau, Supardi. Kau telah pura-pura berguru kebathinan pada Eyang Darso. Selama enam bulan kau jadi muridnya. dengan berbagai cara akhirnya kau dapat mengorek rahasia itu dari mulut Eyang Darso yang terlanjur menganggap kau sebagai murid terpercaya.
Begitulah yang terjadi, Supardi. Ketika serdadu Belanda menyerbu desa Taraju dan berhasil menangkap Eyang Darso yang menyusup ke desa itu untuk mem
bantu para pejuang kita di sana, mereka langsung merampas kerisnya. Salah seorang serdadu itu kemudian mengencingi ujung keris Eyang Darso lalu menghujamkan keris yang dibasahi air kencing itu ke jantung dukun yang sama-sama kita segani dan hormati itu. Kau yang memberitahukan rahasia itu pada Belanda. Supardi! Kau pula yang menunjukkan siapa-siapa di antara kita yang pernah ikut menyerbu tangsi dan gudang amunisi Belanda di Pandeglang. Jadi terpupuslah keherananku selama ini, mengapa serdadu Belanda yang mendatangi desa kita langsung menangkap dan menembak mati orang-orang tertentu..."
Belum habis Pak Lurah berbicara. suasana seketika berubah ribut. Beberapa orang penduduk di sekeliling Supardi bergerak maju lalu mulai memukulinya, meludahi, dan mencaci makinya. Sebilah golok hampir saja menebas leher Supardi ketika Pak Lurah berseru, "Tahan!" Penduduk ribut memprotes, tetapi Pak Lurah tetap memerintahkan agar mereka semua diam di tempat masing-masing dan jangan melakukan apa pun tanpa seizinnya.
"Aku tak ingin menumpahkan darah salah seorang dari kita lagi. Meski dia itu pengkhianat!" tegas Pak Lurah setelah keadaan tenang kembali. "Lagi pula, setelah kusimak dan kupelajari, aku lantas sadar. Orang-orang yang dicelakakan oleh Supardi, semuanya adalah orang-orang yang pernah ikut bersama
rombongan Eyang Darso dan Pak Tonggo yang pergi meringkus si perempuan sihir bernama Sukaesih itu?" Pak Lurah diam sebentar, tampak letih dan kehilangan semangat. "Mengapa, Supardi?"
Supardi diam, tak menjawab.
Orang-orang kembali berteriak-teriak, kembali mendekatinya, tetapi Pak Lurah menahan mereka dengan bentakan marah. Kepada Supardi, ia berkata pelan tetapi cukup jelas untuk didengar semua orang.
"Semua itu kau perbuat karena cinta kasihmu pada Sukaesih, bukan" Ya. ya. Siapa pula yang tidak tergilagila dan tidak berbuat khianat kalau sudah dipengaruhi sihir jahat si Sukaesih?"
Pak Lurah lalu menarik napas panjang.
Kalimat terakhir itu. pikir Ismed Effendi dalam hati. agaknya ditujukan oleh Pak Lurah untuk dirinya sendiri. Ia juga telah berbuat khianat setelah ia tergilagila pada Sukaesih. la sampai mengorbankan anaknya. Suminda. Mestinya, sekaranglah saat yang tepat dan pas buat Supardi untuk membuka kedok Pak Lurah.
Pikiran itu baru saja tercetus di benak Ismed manakala Supardi mendadak bergumam dengan suara rendah.
"Kau, pencuri bayi. Kau akan dihukum Sukaesih untuk perbuatanmu memperhinakan aku serendah ini!"
"Apa kau bilang, Supardi?" Pak Lurah bertanya lantang.
Supardi menjawab sama lantangnya. "Kau pencuri bayi! Kau akan dilaknat Sukaesih! Terkutuklah engkau, Pak Lurah. Tunggulah pembalasan Sukaesih!"
Sambil berteriak-teriak histeris, Supardi bergerak mundur menyeruak kerumunan orang di belakangnya. Mereka pun entah mengapa diam-diam memberi jalan padanya. Supardi kemudian melarikan diri ke dalam hutan. menyeret rantai besi panjang yang bergemerencing seram sepanjang pelariannya.
Kebanyakan penduduk ikut memperhatikan ke arah mana Supardi lari. Sebagian menunduk diam dan sebagian lain saling berbantah apakah akan membiarkan Supardi lari begitu saja, atau mengejar dan membunuhnya. Hanya Ismed seorang yang memandang ke satu jurusan, yakni ke tempat Pak Lurah berdiri.
Wajah orang tua itu tampak pucat, terlebih-lebih setelah saling beradu tatap dengan mata Ismed. Orang tua itu berpaling dengan enggan, lantas tertegun. lsmed menggeser pandangannya lalu menyadari ada orang lain yang melakukan hal sama. ingin melihat reaksi Pak Lurah atas teriakan-teriakan Supardi tadi. Dan orang itu, tak lain tak bukan adalah Selasih.
Ketika suasana mulai kacau setelah Supardi lenyap ditelan kegelapan hutan, Pak Lurah kembali menyuruh semua orang diam.
"Jangan kalian pikirkan atau pertengkarkan lagi si Supardi. Pikirkanlah nasib kalian dan keluarga kalian
sendiri. Aku khawatir Belanda sedang dalam perjalanan untuk menghancurkan desa kita ini. Bergegaslah! Kemasi apa saja yang dapat kalian bawa dan segeralah berangkat ke lereng gunung itu!"
Sebagian besar penduduk bubar untuk mematuhi perintah Pak Lurah. Yang lain masih ribut berdebat, sampai salah seorang maju ke depan dan bertanya pada Pak Lurah.
"Mengapa si tukang kayu itu hanya dihukum rantai, Pak Lurah" Bukankah utang darah harus dibayar dengan darah pula?"
Yang ditanya. menatap lurus ke mata si penanya. Kemudian menjawab dengan suara dingin.
"Rantai besi itu akan membuatnya hidup sengsara. la atau siapa pun tak dapat melepaskan rantai itu, karena aku telah memberi ajianku pada borgolnya. Ia akan tetap terantai sepanjang hayatnya. Apakah itu belum cukup?"
Mereka yang penasaran semuanya memperlihatkan wajah puas, kemudian bubar untuk berkemas mengungsi ke lereng gunung bersama keluarga masingmasing. Ismed masih tetap di tempatnya semula. Dan dengan perasaan khawatir, ia juga mengetahui bahwa Selasih lagi-lagi melakukan hal yang sama. Di antara tatapan mereka berdua, Pak Lurah tegak diam. Orang tua itu tidak mempedulikan pandangan mata ingin tahu dari Ismed maupun Selasih. la justru tengadah, menatap ke langit lepas.
Ismea secara perlahan iKut menatap.
Dan, ia tercengang. Matahari yang tadinya bersinar terang cemerlang. mendadak redup. Bergumpal-gumpal awan kelam dan hitam yang entah dari mana datangnya, dalam sekejap telah menggelapkan alun-alun desa. Angin yang bertiup pun mula-mula pelan, tapi kemudian kencang dan semakin kencang. Cuaca yang tadinya panas menggigit, mendadak dingin menusuk tulang".
*** TAMPAK cemas oleh perubahan cuaca yang ganjil itu, Pak Lurah menggumamkan sesuatu pada Selasih yang segera berlalu tanpa menoleh lagi. Ia berjalan setengah berlari. menempuh arah yang diduga Ismed pasti ke rumahnya sendiri. Apakah ia juga akan segera mengungsi" Lalu mengapa ia tidak mengajak Ismed serta" Mengajak" Bah, melirik pun tidak. Seolah Ismed tak lebih dari tunggul kayu belaka.
"Aku mau bicara sebentar dengan engkau, anak muda!" Suara Pak Lurah yang keras mengatasi tiupan angin agak mengejutkan Ismed. Ia kemudian berjalan mengikuti Pak Lurah yang sudah lebih dulu melangkah tersuruk-suruk ke dalam balai desa.
Setelah pintu dan jendela ditutup rapat-rapat oleh Pak Lurah, suara ingat-bingar di luar balai desa tinggal samar-samar belaka. Namun atau di atas
mereka terdengar berderak-derak, seolah dibongkar oleh tangan-tangan gaib. Kemudian sesuatu berdebum dengan keras di luar sana. Ismed mengintip lewat celah-celah kisi kayu jendela dan terkejut melihat sebatang pohon besar telah terbongkar dari dalam tanah, dan pohon itu tumbang tepat di tempat Pak Lurah sebelumnya berdiri!
Pak Lurah yang berdiri diam di sebelahnya mengeluarkan napas panjang dan tersendat. Ia tidak berkomentar mengenai arah tumbangnya pohon itu. Yang ia komentari adalah kepanikan sebagian penduduk yang masih berkemas dan tampak berlari-larian kian kemari untuk mencari perlindungan.
"Mereka itu," katanya dengan suara lirih, "panik oleh bayangan mereka sendiri. Tetapi aku yakin, mereka akan segera pergi dengan selamat. Karena yang dituju oleh kekuatan jahat itu bukan mereka. Melainkan aku seorang."
"Kekuatan jahat?" tanya lsmed. tercengang.
"Bukankah kau sudah dengar apa yang tadi diumpatkan si tukang kayu?" sahut Pak Lurah tersenyum miris. "Kukira, umpatan dan sumpah serapahnya akan segera menjadi kenyataan."
"Tetapi. . . " "Diamlah, anak muda! Dan simak baik-baik apa yang ingin kuutarakan padamu." Pak Lurah menukas seraya mengamat-amati Ismed dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Senyumnya lebih polos ketika
ia berujar lembut, "Betapa longgarnya baju dan celana suami Selasih di tubuhmu. Kuharap saja sisa-sisa pakaianmu yang asli masih dapat dipakai."
"Maksud Bapak?"
"Kau harus mengenakan apa yang pernah kau bawa ke desa ini, anak muda," jawab Pak Lurah dengan wajah serius. "Setelah itu, kau harus pergi. Dan sebaiknya kau pergi ke arah dari mana engkau pernah datang!"
"Aku tak mengerti."
"Memang sukar untuk dimengerti, anak muda. Tetapi untuk orang-orang berusia lanjut macam aku dan yang hidup di dunia jaman ini...," ujar Pak Lurah dengan suara penuh penekanan pada kata demi sembari menatap lurus-lurus ke mata lsmed, "kami dapat mengerti. Meski agak terlambat. Aku baru memahaminya setelah Selasih bercerita panjang lebar."
"Dan. apa yang diceritakannya" Tentang usahanya menyelamatkan aku. hingga ia merelakan dirinya diperkosa salah seorang serdadu Belanda itu?" tanya lsmed hambar.
"Ah... itu juga suatu sebab mengapa kau harus pergi. anak muda."
"Sebab?" ulang lsmed.
"Kau harus memilih."
"Pilihannya?" "Ini kebiasaan leluhur yang turun-temurun selama beberapa generasi, anak muda. Dengan apa yang telah
dilakukan Selasih demi keselamatanmu, maka kau harus menentukan sikap tegas. Pertama. kau harus mengembalikan nama baiknya dengan menikahi dia sekarang juga."
"Ah...," Ismed terjengah. Kaget dan bingung. "Pilihan kedua?"
"Nama baiknya tetap akan terjaga. Tetapi sebaliknya. semua orang di desa ini akan menjauhimu dan menganggap kau manusia rendah dan paling tidak bertanggung jawab yang pernah mereka temui!"
Ismed terkejut. Menelan ludah dengan wajah pucat.
"Me" mengapa?" tanyanya, tergagap.
"Karena, Nak... Pilihan kedua adalah lupakan bahwa kau pernah bertemu dia dan enyahlah sejauh engkau dapat pergi."
lsmed terdiam seribu bahasa.
Pak Lurah menepuk pundaknya lembut dan berkata menghibur.
"Tak usah cemas. Selasih dapat memahami kalau pilihanmu adalah yang kedua. la memahaminya dan bersedia memaafkanmu setelah tadi kami berbincangbincang tentang engkau."
"Bapak membuatku bingung," desah Ismed, jujur.
"Tentu saja. Karena aku pun sempat dibuat bingung setelah mendengar penuturan Selasih secara lengkap sejak semula pertama ia melihatmu dan mendengar tentang engkau dari kepala desa suku dalam."
"Suku dalam?" "Benar. anak muda. Suku dalam. Yakni, mereka yang menempati serta hidup menyendiri di dalam hutan larangan yang kau masuki, sebelum kau tiba di desa ini."
Atap balai desa kembali berdetak. Sebagian malah terlepas, kemudian melayang ditiup angin kencang yang saat berikutnya telah menerobos masuk ke dalam. Ismed menggigil. Karena hawa dingin yang tibatiba menyerang tubuhnya dan juga karena apa yang dituturkan oleh Pak Lurah barusan.
Angin bertiup masuk semakin kencang tatkala pintu dibuka oleh seseorang dari luar. Orang itu berusaha menutupkannya kembali, tetapi gagal. la terlalu lemas untuk menahan empasan angin sehingga terpaksa mundur menjauhi ambang pintu yang tibatiba copot engselnya satu demi satu, kemudian terhumbalang ke lantai. Pecah berderai.
Yang masuk itu. Selasih. Dengan sebuah bungkusan di tangannya yang sempat terlepas ketika diulurkan ke tangan Pak Lurah. Dengan cepat Pak Lurah menyambar bungkusan yang hampir melesat tertiup angin yang mulai menghantam kursi, meja, dan segala macam perabotan maupun arsip-arsip yang ada di ruangan dalam balai desa.
"Perubahan cuaca ini, Pak Lurah," kata Selasih terburu-buru, "mengingatkan aku pada suatu ketika..."
"Ya. ya. Aku tahu," tukas Pak Lurah.
Lalu ia memeriksa isi bungkusan dari Selasih. Bungkusan itu berisi pakaian milik Ismed, tepatnya sisa-sisa pakaian yang sudah setengah hancur. Setelah memperhatikannya sekilas, Pak Lurah menyerahkannya ke tangan Ismed dan berkata sekeras-kerasnya untuk mengatasi suara ingat-bingar oleh bunyi benda-benda yang porak poranda. Kusen-kusen penyangga atap balai desa tak hanya berderak-derak. tetapi juga mulai terayun-ayun mengerikan.
"Pakailah ini kembali, anak muda! Dan kau, Selasih. Bawalah ia pergi dari sini. Cepat!"
"Dan Bapak?" tanya Selasih. khawatir.
"Jangan pikirkan aku. Barangkali sudah waktunya?"
Tahu-tahu, tubuhnya terangkat dari lantai. Kedua tangannya terkembang. begitu pula kedua belah kakinya. Tubuhnya terayun-ayun di antara lantai dan atap sampai kemudian terempas membentur tiang utama penyangga atap. Tetapi bukannya jatuh. tubuh orang tua itu justu menempel. seolah ada yang memakunya dengan kuat.
Anehnya. tiupan angin badai yang luar biasa itu hanya mengempaskan tubuhnya seorang.
Adapun Selasih dan Ismed. meskipun terkena sambaran angin, namun tak terlalu kuat dan hanya membuat mereka limbung beberapa saat sambil mencari pegangan.
Selasih menggapai tangan Ismed dan berusaha menariknya ke pintu lain di ruangan itu untuk menyelamatkan diri ke luar. Baru beberapa langkah, mereka dikejutkan oleh bisikan tajam yang aneh. Disusul daun jendela copot dari kusen, pecah berantakan dan pecahan-pecahan itu melejit bagaikan panah yang dilepaskan dari busurnya. Beberapa bilah pecahan kayu kering berujung runcing itu tahu-tahu telah menghunjam ke beberapa bagian tubuh Pak Lurah. dan benar-benar memakunya ke balok utama di tengah ruangan balai desa!
Selasih menjerit-jerit ngeri, sementara Ismed terkesiap melihat darah menyembur dari bagian tubuh Pak Lurah yang terkena hunjaman pecahan kayu. Wajah Pak Lurah menyeringai menahan sakit. Namun ia masih sempat berseru, "Kalian jangan berhenti... pergilah cepat. sebelum terlambat!"
"Tidak!" bantah Ismed, tak tega melihat keadaan Pak Lurah. Ia berusaha melepaskan pegangan Selasih dan mendekat ke balok penyangga atap. "Aku tak akan..."
"Pergi! Manusia bodoh. Kubilang. pergi!"
Dan. satu teriakan menyentak dan menyayat hati lepas dari mulut Pak Lurah ketika salah satu kusen atap dekat pintu terayun patah. dan ujungnya yang panjang mengayun pula ke depan, lalu menghunjam dengan buasnya di dada Pak Lurah. Terdengar suara berdetak keras manakala ujung kusen itu beradu
balok penyangga setelah menembus punggung Pak Lurah. Balok besar dan kokoh itu, bergetar hebat.
Angin keras bertiup membabibuta di dalam ruangan. Dan, kali ini mengempas dan mendorong Ismed demikian kuatnya. Bersama Sukaesih yang terus merangkulnya erat. tubuh Ismed terhumbalang di lantai dan terpental lewat ambang pintu di seberang ruangan. Tetap berusaha melindungi Selasih, Ismed berjumpalitan untuk menghindari cedera fatal. Setelah itu, ia kemudian bangkit seraya menyeret tubuh Selasih.
"Jangan ke situ?" larang Selasih ketika Ismed akan berlari ke arah selatan. "Kita ambil jalan utara. Ayo!"
Mereka terus berlari tanpa menghiraukan apa pun. Hingga mereka kemudian menyadari ada sesesuatu yang aneh. Tahu-tahu saja mereka telah berada di tempat terbuka dengan panas matahari menggigit ubun-ubun. Angin masih terasa bertiup. Tetapi begitu pelan dan terasa kering menggerahkan.
Rupanya mereka tengah mendaki sebuah bukit. Kaget dengan perubahan cuaca itu. mereka berdiri tertegun. Saling memandang. Lalu serempak mereka berpaling. Menatap alun-alun desa di kejauhan. Gumpalan-gumpalan awan hitam yang pekat tampak bergerak saling menyatu, kemudian bergulung-gulung mengerikan membentuk lingkaran yang kian turun ke bawah kian mengecil.
Dan ketika apa yang mereka sangka awan hitam itu mengenai balai desa. seketika bangunan itu hancur porak poranda. lebur rata dengan tanah. Tinggal tiang utamanya yang masih tegak berdiri. Balok besar yang kokoh itu seakan tak tergoyahkan. Dan di bagian tengahnya... tubuh Pak Lurah terpaku pasak kayu, setengah bergantung.
Selasih terisak. "Sebenarnya ia orang yang baik." ratap Selasih. "Ia tidak bermaksud jahat ketika mencuri bayi si perempuan sihir."
Ismed membuka mulut untuk bertanya. Tetapi Selasih sudah menarik tangannya.
"Ayolah. kita harus bergegas. Sambil berjalan akan kuceritakan. Oh ya, sebaiknya kau ganti pakaianmu dulu. Di sana..."
Malu juga Ismed mengenakan kembali pakaiannya yang sudah robek-robek. Tetapi karena Selasih tampaknya abai, ia pun tak mengacuhkannya pula. Sebelum mencapai jembatan penyeberangan menuju tempat kediaman orang-orang suku dalam, Ismed telah dapat menangkap garis besar apa yang diceritakan Selasih.
Suatu hari sekitar setahun yang lalu, ke rumah Selasih muncul Pak Lurah dengan sesosok bayi perempuan yang mungil dan cantik. Bayi itu ia akui sebagai anaknya sendiri yang terlahir dari rahim Sukaesih, si perempuan sihir. Setelah berbicara Singkat. akhirnya Selasih bersedia mendampingi Pak
Lurah pergi ke desa Menes, ke tempat seorang ajengan terkemuka yang masih ada pertalian saudara dengan Selasih.
"Pak Lurah ingin anaknya terbebas dari pengaruh roh jahat nenek moyang dari sang ibu. Sebab. bayi itu memiliki tanda adanya kekuatan gaib yang mengalir dalam darahnya. Apabila salah mempergunakan. akan dipengaruhi oleh kekuatan roh-roh jahat nenek moyangnya," demikian kata Selasih. "Dan hanya kerabatku yang ajengan itulah yang dapat melakukannya. Bayi itu diharapkan tumbuh besar dan hidup dengan wajar, sebagaimana manusia-manusia normal lainnya. Bayi itu. oleh ajengan diberi penangkal. Ciri yang juga akan dimiliki secara merata oleh setiap keturunannya kelak di kemudian hari."
Sambil terus berjalan. Selasih melanjutkan ceritanya.
Penangkal ilmu gaib yang sekaligus menjadi ciri itu berupa lingkaran putih seperti panu di kulit paha kiri dan kanan sebelah dalam.
Setelah upacara pembebasan pengaruh gaib pada bayi itu selesai, semula Pak Lurah akan membawanya pulang ke kampung dan dirawatnya sendiri. Tetapi setelah mendengar kabar bahwa Sukaesih, ibu si bayi lenyap dari tiang pembakaran, niat itu diurungkan Pak Lurah. Ia titipkan bayi itu pada ajengan, kemudian pulang bersama Selasih ke kampung.
Apa mau dikata. Sehari setelah Menes mereka
tinggalkan, desa itu diserbu oleh Belanda. Karena keadaan kacau, keberadaan bayi itu terlupakan. Sementara sang ajengan pergi mengungsi bersama keluarganya. Setelah Menes ditinggalkan oleh pasukan Belanda, ajengan beserta keluarganya kembali dan menemukan rumah mereka sudah hancur. Tetapi bagaimanapun mereka mencari. keberadaan bayi Pak Lurah tidak pernah lagi mereka temukan. Salah seorang tetangga memberitahu bahwa jerit tangis bayi itu telah menarik perhatian. Seseorang kemudian mengambilnya dan membawanya pergi mengungsi. Tapi orang itu tak pernah lagi pulang ke Menes. Tldak diketahui ke mana perginya. Entah masih hidup atau sudah mati.
"Pak Lurah terus berkelana mencari bayinya yang hilang," gumam Selasih, lirih. "Dalam pengelanaan yang sia-sia itulah konon Pak Lurah memperdalam ilmu. Dari beberapa orang pintar, ia ketahui bahwa roh Sukaesih ikut pula berkelana mencari anaknya. Ia juga mendengar. roh Sukaesih hanya dapat mati oleh tangan keturunannya sendiri. Suatu hukuman mengerikan untuk para penganut ilmu gaib yang menempuh jalan sesat...." Selasih menghela napas panjang, kemudian menunjuk ke depan. "ltu titiannya. Ayo kita menyeberang."
Belum juga mencapai tepian sungai, hawa dingin melesat di samping tubuh lsmed.
Rasanya, ada sesuatu yang menyentuh dan me
lewati tubuhnya. Ia berpaling takjub dan heran waktu menyadari bahwa Selasih berjalan lebih dulu beberapa langkah di depan, tak mungkin perempuan menyentuhnya. Keheranan Ismed bertambah-tambah tatkala ia lihat adanya bayang-bayang samar yang menyerupai sosok tubuh manusia tahu-tahu sudah berjalan di samping tubuh Selasih, tanpa perempuan itu menyadarinya.
Bayangan yang samar dan keputih putihan itu terus saja berlalu dengan cepat, seperti melayang di permukaan tanah. Dan tahu-tahu, sudah berada di seberang sungai. Terlindung di bawah keteduhan pepohonan berdaun rimbun, bayangan itu semakin jelas bentuknya.
Ismed terbelalak, ketika samar-samar ia mengenali wujud perempuan yang dari seberang sungai melempar senyum misterius ke arah mereka.
"lda!" bisik Ismed, tercekat.
"Apa?" Selasih membalikkan tubuh, tercengang. "Rasanya kudengar kau menyebut nama?"
"Ida. Aku melihatnya" bisik Ismed lagi, lantas berlari mendahului Selasih menuju ke titian bambu.
Melihat cara Ismed berlari tergopoh-gopoh, Selasih terkejut dan berseru cemas,
"Awas, Ismed. Nanti kau terperosok lagi."
Tetapi Ismed terus saja berlari.
Titian bambu itu terayun-ayun keras ketika dilewati Ismed yang sesekali kelihatan limbung. Namun
ajaib, Ismed dapat menyeberang dengan selamat, meski sekali waktu tampak ia bagaikan melayang akan jatuh ke dalam sungai di bawahnya. Begitu tiba di seberang, Ismed terus saja memburu ke arah bayangan pepohonan. Sambil berlari, ia terus memanggilmanggil nama Farida, memohon-mohon agar Farida jangan pergi dan mau menunggunya.
Makin lama suara Ismed makin hilang, bersamaan dengan lenyapnya tubuh Ismed di antara rimba pepohonan yang semakin ke dalam kian rapat dan kian gelap.
*** Di bagian lain hutan itu. Farida juga berlari dan terus saja berlari.
Ia telah nekat keluar dan meninggalkan gubuk. Selagi si muka tikus bertanya-tanya apa yang bakal terjadi, Farida sudah melesat menuruni tebing dan menyelinap masuk hutan. Di belakangnya, ia dengar suara menggeram mencicit, yang kian lama kian menjauh. Suatu saat, ia sempat berpaling ke belakang dan melihat si muka tikus tertinggal jauh kemudian lenyap di balik pepohonan.
Mula-mula Farida masih dapat mengikuti jalan setapak, tetapi setelah semakin jauh memasuki hutan maka jalan setapak itu menghilang. Farida tak peduli. Ia terus saja berlari, meski sesekali tersangkut semak belukar atau ranting-ranting pohon yang menghalangi jalannya. Kapak besi itu ternyata sangat berguna. Ia
terus menerobos hutan, dengan ganas merambah setiap penghalang. Ia harus segera tiba di desa yang pernah dilihatnya dari lereng gunung. Ia harus bertemu penduduk di sana atau siapa pun yang dapat menolongnya keluar dari hutan belantara yang menakutkan ini. sena melepaskannya dari rongrongan si muka tikus yang tidak kalah menyeramkan.
Tetapi semakin ke dalam, semakin hilang arah yang ingin ditempuh Farida. Dedaunan pohon di sekitarnya teramat rimbun, hampir-hampir tak tembus matahari. Padahal, hanya dengan bayang-bayang matahari itu ia dapat menentukan arah. Beberapa kali ia tersesat dalam kegelapan hutan yang sangat membingungkan dan beberapa kali pula ia harus kembali ke arah semula karena terjebak di depan jurang-jurang menganga.
Suatu saat, ia melihat lapangan rumput terbuka. Hanya sebidang kecil, namun yang sedikit itu tampak terang benderang bermandi cahaya matahari. Farida segera menyelinap dari bayangan pepohonan, dan bermaksud memasuki lapangan rumput itu manakala terdengar suara gemerisik di sebelah kirinya.
Farida menoleh, terperanjat!
Mulanya ia tidak melihat apa-apa. Namun setelah pandangannya digerakkan lebih ke atas, tampaklah sosok si muka tikus berjongkok santai di puncak sebuah batu raksasa yang menjulang di antara pepohonan.
Manusna berkepala tikus itu menyeringai.
Taring-taringnya yang tajam berkilauan di terpa cahaya matahari. Sepasang matanya yang kecil merah semerah darah. berbinar-binar mengawasi Farida yang seketika menjadi gugup. Farida terpekik waktu makhluk itu menggeram. Buas. Kepala tikusnya ditelengkan ke kiri. entah mengapa. Namun wajahnya yang buruk itu kembali tegak manakala Farida siapsiap untuk berlari. Makhluk itu segera mengubah posisi. Sikapnya seperti akan menerkam.
Di bawahnya, Farida yang merasa terperangkap secara refleks segera memasang kuda-kuda. Meski ketakutan. kali ini Farida lebih percaya diri. Ia sangat letih setelah pelarian yang melelahkan dan menimbulkan luka-luka gores di wajah dan lengannya. Sedang telapak kakinya mulai lecet. Paling tidak, dengan pakaiannya yang serba ringkas ia dapat membela diri dengan berbagai jurus karate yang sudah ia dalami. Namun sadar bahwa ia menghadapi musuh paling ganjil dan paling menakutkan yang pernah ia temui, ia tetap memegang kapaknya erat-erat.
Farida memberanikan diri. Berkata mengancam, "Ayo. Turunlah. Aku tak ingin membunuhmu. Tapi kalau kau memaksa..."
Belum habis ucapan Farida, si muka tikus telah melayang turun dari puncak batu raksasa itu. Kedua lengannya mengembang dengan jari-jarinya membentuk cengkeraman berbau kematian. Tiba di tanah.
si muka tikus tegak dengan angkuhnya. Moncongnya terbuka, mengeluarkan suara mencicit lemah, seakan mengiba dan berharap agar Farida tidak memaksanya berlaku keras.
Farida segera menjawabnya dengan seruan.
"Enyahlah. Biarkan aku pergi. Kumohon!"
Mendengar ucapan Farida, makhluk itu menggeram. la menerjang. Farida berkelit dan berusaha mengayunkan kapak di tangannya. Malang. ayunannya terlalu tinggi dan ia tidak melihat ada cabang kayu di atas kepalanya. Kapak itu membentur cabang dengan keras dan terlontar lepas dari tangannya. Si muka tikus seperti halnya juga Farida, ingin berkelahi habis-habisan. Makhluk itu langsung menyerbu ke depan dengan kedua lengan terpentang bagaikan seorang pegulat.
Farida membungkukkan tubuh, bertahan dengan satu kaki di tanah sementara kaki lainnya melayang ke perut si muka tikus. Tanpa menurunkan kakinya itu, ia menendang lagi berulang-ulang mengenai bagian-bagian lainnya. Si muka tikus mencicit nyaring. bertahan dengan kebuasannya. Tak ubahnya sebuah buldoser, ia kembali menyerbu dan berhasil menangkap pinggang Farida manakala perempuan itu tengah mengganti posisi.
Mereka jatuh berguling di permukaan tanah yang lembap dan licin karena humus yang padat. Sial buat Farida. Si makhluk tikus lebih berpengalaman dengan hutan tempatnya hidup selama ini. Ketika melihat
ancaman bibir jurang yang tersembunyi di balik semak belukar, si muka tikus secara refleks menyambar batang pohon terdekat dengan sebelah tangannya. Sebelah tangan yang lain tetap memeluk pinggang Farida, membetot dengan kuat. Farida menggeliat, lalu tiba-tiba terdiam. la merasakan pundak dan kepalanya mengapung di tempat kosong. Waktu ia menoleh, Farida membelalak ngeri. Di bawah sana, bebatuan padas memenuhi sisi sebuah jurang yang berakhir di tepian sungai. Telinganya menangkap suara arus sungai yang meluap menghantam batubatuan, bersorak-sorai mengejek.
Mengetahui dirinya dalam posisi sebagai pemenang. si muka tikus perlahan-lahan melepaskan tangannya dari batang pohon, lalu bekerjasama dengan tangan lainnya ia raup tubuh Farida yang terkulai lemas saking ngeri dan gamang oleh pemandangan menyeramkan di bawah kepalanya. Diseretnya tubuh Farida yang terkulai lemas itu menjauhi bibir jurang. Lalu tanpa belas kasihan, ia mengimpit tubuh Farida dengan kejam. Tangannya meraba-raba blus. berusaha menanggalkan pakaian bagian atas yang menutupi tubuh mulus yang ia sangat dambakan.
Farida mengeluh dan memohon, berusaha mengembalikan kesadarannya yang seakan berontak ingin pergi.
Lalu tiba-tiba ia dengar suara gcmerencing yang aneh.
Ketika ia membuka matanya, ia melihat sesuatu tengah menjerat leher si muka tikus. Rantai besi yang melingkar kuat dan ujung-ujungnya bertaut pada borgol-borgol yang melingkari sepasang lengan kokoh.
"Kau haram jadah terkutuk!" Seseorang mengeluarkan raungan kemarahan luar biasa. "Berani kau sentuh kekasihku, he" Mampuslah kau, Suminda. Seperti ayahmu. aku dan Sukaesih akan mengirim kau ke neraka!"
Si muka tikus yang oleh penyerang gelap itu disebut Suminda, menggeliat dan terangkat dari atas tubuh Farida. Kakinya menerjang ke segala arah, sementara jemari tangannya berusaha melepaskan jepitan rantai besi yang melingkari lehernya.
"Sia-sia kau melawan, anak haram jadah!" Si penyerang memaki. Jepitan rantai pada leher lawannya ditarik semakin dahsyat. Lalu dengan kedua lengannya yang terborgol, orang itu membuat suatu silang gaib di belakang kepala si muka tikus, dan melakukan suatu sentakan tiba-riba.
Terdengar suara berderak pada leher si muka tikus. Dengan biji mata hampir mencelat dari rongganya dan lidah merah kehitaman yang berbuih terjulur lewat moncong tikusnya, makhluk itu berkelojotan mengerikan.
Farida yang sudah terbebas dari impitan si muka tikus. beringsut menjauh dengan mata membelalak
Dan mulut terbuka. Ia ingin menjerit, tetapi suaranya tertahan di kerongkongan. Siapa pun orang yang telah menyelamatkan dirinya, ia baru menyadari bahwa orang itu tak kalah buas dan sama menakutkannya dengan si muka tikus sendiri. Ia lalu merayap di permukaan humus yang padat, merayap-rayap bagaikan ular. Setelah berhasil menemukan kapaknya yang hilang, ia kemudian beringsut menjauhi kebiadaban makhluk-makhluk penghuni hutan yang buas itu.
Pada saat kritis itulah Farida mendengar suara lain. Suara sayup-sayup. Suara seseorang, memanggilmanggil namanya. Ketika Farida menoleh, ia lihat seorang laki-laki berpakaian compang-camping tampak berlari-lari di lapangan rumput yang terbuka itu. Orang itu seperti mengejar seseorang. dan terus saja berlari sambil memanggil-manggil.
"Ini aku, Ida. Jangan pergi, tunggulah aku!"
"Ismed!" bisik Farida, terperanjat. Sekujur bulu kuduknya tegak merinding. "Bang Ismed!" teriaknya, melengking.
Lalu ia pun menghambur lari, menyusul sosok tubuh lelaki berpakaian compang-camping tadi. Lelaki yang dipanggil. seketika tegak menegun dan berpaling ke arah suara orang yang memanggil namanya.
"Ya Allah. Dia memang Bang Ismed!" pekik Farida.
Tanpa membuang waktu, Ismed memutar langkah. la berlari menyongsong Farida. Sesaat sebelumnya, Ismed sempat terheran-heran. Apa yang ia lihat
*** dan mulut terbuka. Ia ingin menjerit, tetapi suaranya tertahan di kerongkongan. Siapa pun orang yang telah menyelamatkan dirinya, ia baru menyadari bahwa orang itu tak kalah buas dan sama menakutkannya dengan si muka tikus sendiri. Ia lalu merayap di permukaan humus yang padat. merayap-rayap bagaikan ular. Setelah berhasil menemukan kapaknya yang hilang, ia kemudian beringsut menjauhi kebiadaban makhluk-makhluk penghuni hutan yang buas itu.
Pada saat kritis itulah Farida mendengar suara lain. Suara sayup-sayup. Suara seseorang, memanggilmanggil namanya. Ketika Farida menoleh, ia lihat seorang laki-laki berpakaian eompang-camping tampak berlari-lari di lapangan rumput yang terbuka itu. Orang itu seperti mengejar seseorang, dan terus saja berlari sambil memanggil-manggil.
"Ini aku, Ida. Jangan pergi, tunggulah aku!"
"Ismed!" bisik Farida, terperanjat. Sekujur bulu kuduknya tegak merinding. "Bang Ismed!" teriaknya, melengking.
Lalu ia pun menghambur lari. menyusul sosok tubuh lelaki berpakaian compang-camping tadi. Lelaki yang dipanggil, seketika tegak menegun dan berpaling ke arah suara orang yang memanggil namanya.
"Ya Allah. Dia memang Bang Ismed!" pekik Farida.
Tanpa membuang waktu, Ismed memutar langkah. Ia berlari menyongsong Farida. Sesaat sebelumnya. Ismed sempat terheran-heran. Apa yang ia lihat se
bagai bayangan Farida itu berlari ke arah matahari tenggelam, tetapi sosok tubuh yang berwujud Farida justru datang dari arah matahari terbit. Di padang terbuka itu, mereka kemudian saling rangkul, saling cium bagaikan orang gila yang kesurupan.
Tapi suara gemerencing rantai menghentikan niat mereka untuk saling bertanya satu sama lain mengenai kegaiban yang tiba-tiba mempertemukan mereka berdua begitu saja. Ismed dan Farida berpaling ke arah suara itu. Tampak sosok tubuh seorang lelaki berjalan mendekati mereka, seraya menyeret rantai yang berjuntai-juntai ke tanah.
"Astaga. Bukankah dia Supardi. Tetapi mengapa?" ucapan heran Ismed tergantung tanpa makna.
Dengan takjub ia melihat perubahan si tukang kayu setelah dihukum rantai oleh Pak Lurah. Saat sosok Supardi keluar dari bayangan kegelapan pohon, ia tampak jauh lebih tua dan semakin tua dalam setiap langkahnya.
"Lepaskan Sukaesih, Ismed! Ia punyaku. Jangan jamah dia!" hardik Supardi dengan suara lantang. namun nada suaranya berubah semakin serak dan parau.
"Kau" kau bukan Supardi"! Kau..." Ismed terperangah.
"Aku Supardi. Dan yang kau peluk itu kekasihku, Sukaesih. Tinggalkan dia, Ismed! Atau kau akan mengalami nasib serupa dengan si muka tikus jahanam
"Mimpi apa lagi ini?" desah Ismed seram.
"Ya. Mimpi apa lagi?" Farida bergumam dalam bisikan tercekat. "Kita harus mengakhirinya sekarang. Bang Ismed."
"Apa" Mengakhiri apa?"
"Mimpi buruk ini. Ayo, kita lari sekarang!"
Seketika itu juga mereka mengambil langkah seribu.
Padang rumput itu mereka terobos membabibuta. Ismed menyambar kapak yang dipegang Farida scmenjak tadi dan menebas semak belukar yang kian rapat mengurung. Ismed sama sekali tidak menyadari, bahwa arah yang ditempuhnya justru mengarah ke tempat bayangan yang ia kejar tadi menghilang. Tahu-tahu saja mereka telah memasuki hutan yang gelap gulita. Beberapa kali mereka harus berhenti untuk membiasakan mata dengan kegelapan di depan mereka. Kemudian kembali berlari diikuti oleh suara rantai bergemerencing yang terus membuntuti dari belakang.
"Manusia hina dina. Jangan kau bawa lari kekasihku!" Dalam kegelapan terdengar suara teriakan dan jeritan yang bergaung. sahut-menyahut oleh suara sipongang. "Esih. Esih... Sukaesih. Sukaesih... kembalilah. Kembalilah padaku, Sukaesih. Kekasihku..."
Tiba-tiba Farida menjerit.
Kakinya terantuk, tangan dan kepalanya membentur sesuatu dalam kegelapan. Sesuatu yang keras.
tetapi licin dan rata. lsmed segera merangkul Farida, menyangka isterinya berhasil ditangkap oleh lelaki rantaian itu.
"lda. Ada apa" Apakah kau..."
"Di depanmu, Bang," sela Farida. "Coba raba" apakah ini, bu... bukankah ini..." sahut Farida. gugup dan penuh harap.
Setelah meraba apa yang telah dibentur oleh Farida, lsmed memekik.
"lni sebuah dinding, Ida!"
"Dinding apa" Dinding apa, Bang lsmed" Dinding apa?" desak Farida, dengan pekik tak sabar.
"Berdoalah, sayangku. Berdoalah, bahwa apa yang kita temukan adalah dinding lemari antik itu!"
"Ya Tuhanku. Bukalah segera, Bang lsmed. Bukalah..."
"Tenanglah. Tetapi, ah, mana sisi pintunya" Astaga, mengapa tak bisa kudorong. Bantu aku, Farida!"
Bersama-sama mereka mendorong bidang dinding dalam kegelapan itu, tetapi usaha mereka sia-sia saia.
Sementara itu, sesosok bayang-bayang hitam kian mendekat dari balik pepohonan, memperdengarkan suara gemerencing rantai besinya serta maki-makian dan sumpah serapah.
"Manusia-manusia tak berguna. Kalian rupanya tak boleh diampuni! Kau, si lelaki perebut kekasih orang. Dan kau" Sukaesih khianat. Kau biarkan aku sengsara sendirian!"
Dibayangi rasa putus asa, telinga lsmed mendengar suara-suara menyeramkan itu semakin dekat. Kapak besi di tangannya dihantamkan ke dinding, membabibuta. Tetapi kapak itu seakan membentur batu keras dan kokoh. tidak menghasilkan apapun kecuali perasaan pedih di kedua telapak tangan lsmed.
"Aduh. Bang lsmed. Bagaimana ini?"
"Ambil kapak ini. Teruslah hantam pintu itu, sementara si pelarian terkutuk itu akan kuhadapi."
"Tapi, Bang..."
"Ayo, kerjakan apa yang kuperintahkan!" teriak Ismed marah dan putus asa.
la kemudian maju beberapa langkah, berusaha melindungi Farida di belakang tubuhnya. Dalam kegelapan, ia merasakan hawa dingin menusuk serta semburan sesuatu yang berwarna putih keperak-perakan. Cahaya ganjil muncul samar-samar, disusul gumpalan kabut dingin yang datang bergulung-gulung ke arah mereka. Dan dari balik kabut itu, muncul sesosok bayangan. Bayangan tubuh seorang laki-laki tua renta, dengan borgol dan rantai besi terayun-ayun mengikuti gerak majunya.
Rasanya orang tua misterius itu pernah dilihat lsmed. Dan suaranya begitu khas, mengeluarkan tuntutan yang tidak ingin dibantah.
"Enyah kau, terkutuk. Kembalikan kekasihku!"
Rantai-rantai besi itu terangkat perlahan-lahan. Pada waktu bersamaan. di belakang lsmed terdengar
Bunyi kapak membentur sesuatu. Seperti kayu atau papan yang dibelah. merengkah. Lalu disusul suara Farida yang histeris.
"Aku berhasil, Bang Ismed! Pintunya sudah kuhancurkan. Bantulah aku sekarang!"
"Terus kapaki. lda. Terus kapaki pintu itu!"
"Ya, ya. ya!" .. Suara ingar-bingar hantaman kapak menyemangati Farida untuk terus merengkah dan menjebol daun pintu lemari. Sambil menggerakkan kapak, mulut Farida tak henti-hentinya menjeritjerit.
"Buka! Buka" buka! Aku melihat cahaya, aku melihat cahaya..."
Suaranya kian lama terdengar menyerupai tangis ritual, tangis roh-roh dari liang lahat yang berusaha lolos dari kerangkeng gaibnya.
Diselang-seling oleh seruan tertahan.
"Sukaesih... jangan!"
Itu adalah suara si tua rantaian yang terus mengejar menerobos kabut.
Rantai besinya diayun-ayunkan ke depan, berusaha menjangkau lsmed yang bergerak mundur dan terus mundur dan kemudian membantu Farida mendobrak pintu.


Misteri Lemari Antik Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di ruang dalam rumah kontrakan Ismed di wilayah kota kabupaten Pandeglang, seorang perempuan tua yang duduk terkantuk-kantuk di sebuah kursi mendadak mengangkat mukanya. terperanjat. Rasanya ia mendengar sesuatu. Sekan-akan dinding di sekelilingnya dihantam oleh pukulan-pukulan menakutkan dari bagian lain. Cangkir kopi di tangannya terlepas, terhempas jatuh ke lantai. Pecah berderai. Perempuan itu duduk tegang di kursinya. Menatap dengan sepasang mata terpentang lebar ke arah suara ingar-bingar itu datang. Ia melihat dinding lemari antik tak jauh di depannya bergetar hebat, kemudian mulai retak lalu terbelah. Dari retakan itu, cairan kental berwarna merah kehitam-hitaman menyembur membasahi lantai. Tak ubahnya semburan darah dari leher seekor kerbau yang disembelih.
Dengan takjub campur ngeri si perempuan menyaksikan bagaimana ukiran di daun pintu lemari seakan bergerak. Wanita muda yang duduk telanjang dengan kambing hitam kecil di haribaannya, kelihatan menggeliat. Mata yang tadinya kaku, kini bergerak liar. Mulut yang tadinya menyeringai misterius, menganga terbuka memperdengarkan suara lolongan menyayat hati. Sesuatu telah menghantam bagian dalam daun pintu lemari berukir, tepat mengenai bagian lambung ukiran wanita muda itu. Daun pintu itu merekah hebat, mengucurkan cairan kental merah kehitaman yang semakin menggenangi lantai.
Lalu dengan suatu empasan keras, daun pintu lemari antik itu terlepas dari engsel-engselnya. Suatu kekuatan yang dahsyat melemparkan daun pintu itu ke lantai, hingga pecah berantakan. Apa yang telah mendorongnya, ternyata dua sosok tubuh yang muncul dalam keadaannya yang tidak keruan.
Di kursinya, si perempuan ternganga.
la mengenali dua sosok yang terjerembap jatuh saling berpelukan itu, lalu bergumam heran.
"Astaga. Ismed! Dari mana saja kau dengan istrimu" Dari tadi aku menanti. Dan..."
Dan, ucapan perempuan itu tidak selesai. Ia langsung terkulai di kursinya. Pingsan. Rupanya akhir dari pukulan jiwanya terlambat datang.
Ismed bergegas bangun. Diseretnva tubuh Farida menjauhi lemari antik
yang kini tanpa daun pintu. Sesaat matanya masih dapat menangkap bayangan kapak yang tadi dilemparkan Farida setelah berhasil merengkah pintu. Kapak itu hanya beberapa senti di sebelah dalam lemari. Namun ia tak ingin menjangkaunya, entah mengapa. Detik demi detik berlalu. Kapak besi itu pun mengabur, lalu lenyap bersama gumpalan kabut yang menjauh ke dalam kegelapan misterius di sebelah dalam lemari. Samar-samar, masih terdengar jerit sayup seseorang memanggil-manggil nama Sukaesih. Tapi suara itu pun kemudian semakin mengabur.
Kemudian cahaya lampu menangkap bagian dalam lemari, yang masih tetap utuh. Dinding lemari sebelah belakang, tidak tergores sedikit pun juga. begitu pula papan-papan yang membagi-bagi bagian dalam lemari, lengkap dengan benda-benda keramik tetap utuh di tempatnya semula.
Lemari itu tegak diam. Menganga terbuka.
Karena, daun pintunya sudah hancur berkepingkeping.
Pagi pun datang. Lidah matahari menjilati kaca jendela, kemudian menari-nari riang dan gemulai di permukaan lantai. Tidak ada apa pun di lantai itu, kecuali serpihanserpihan daun pintu lemari. Ketika siang harinya
ibunya mengatakan di lantai itu rasanya ia pernah melihat semburan darah, Ismed menggerutu tak senang.
"Darah, Bu" Darah siapa?"
"Mungkin aku cuma bermimpi," Ibunya mengalah.
"Ya. Ibu hanya mimpi. Kami juga bermimpi," hibur Ismed.
"Mimpi apa kalian?"
"Macam-macamlah."
"Aneh. Untuk bermimpi saja kalian merasa perlu sembunyi di dalam lemari kecil dan sempit itu. Mengapa tak pilih tempat lain saja. Misalnya di kolong tempat tidur."
"Ah. Cuma sebentar kok!" Ismed tersenyum.
"Apa" Sebentar" Semenjak kalian menghilang sampai kalian muncul dalam keadaan yang memalukan itu, aku telah menunggu dua jam lamanya. Paling kurang, satu jam!"
"Sesingkat itu?" Ismed bertanya balik.
"Eh, Ismed. Bercumbu di dalam lemari sempit selama satu menit saja, pasti sudah membuat aku pingsan kehabisan napas. Heran, kalian tahan sampai hampir dua jam!"
"Oh. Malah rasanya kami mengalami berharihari..."
"Dan asyik tentunya, ya?" Ibunya tersenyum mengejek.
Tetapi bagaimanapun, hari berikutnya ibu ismed akhirnya memutuskan.
"Kukira aku betah di rumah ini. Aku ingin tetap bersama kalian. Paling tidak, untuk menjaga agar kau jangan menyiksa istrimu dengan cara bercumbu yang berlebihan itu...."
*** MINGGU berikutnya. barulah Farida terbebas dari kejutan menyeramkan yang terus menghantui tidurnya setiap malam. Ismed lalu mengajak Farida jalan-jalan menghirup hawa segar di Pantai Carita. Karena bukan hari libur dan masih pagi pula, pantai itu kebetulan tidak banyak pengunjung. Mereka dapat berenang dan menyelam sampai puas. berlari-larian saling kejarmengejar dengan leluasa.
Suatu saat. Farida terjerembap jatuh. Lalu rebah menelentang di permukaan pasir lembut, bermandi sinar matahari. Ismed tegak di ujung kaki Farida, tersenyum nakal dan seakan-akan mau menerkam Farida untuk melakukan permainan cinta yang liar.
Tapi mendadak Ismed tertegun.
Setelah berbulan-bulan menikah dengan Farida, barulah hari ini ia memperhatikan tubuh istrinya dengan sungguh-sungguh. Farida memiliki raut tubuh yang dalam keadaan dan posisi bagaimanapun. selalu mengundang berahi. Farida yang letih sehabis menyelam dan berlari-lari, pura-pura terpejam. Seakan mengantuk. tetapi dengan mulut sedikit terbuka. Menggoda. Dadanya yang terbungkus bikini. naik turun dengan teratur. Ismed mengamati gumpalan payudara istrinya dengan pandangan berahi. Pandangan terus turun ke bawah, semakin ke bawah.
Saat itulah ia melihatnya!
Semacam tanda yang khas pada bagian sebelah dalam paha Farida. Di paha kiri maupun paha kanan Farida, seakan menjaga rahim isterinya. Lingkaran putih samar. seperti panu.
Ismed tergetar. Jatuh bersimpuh di pasir.
Matanya tak lepas memandangi sepasang tanda itu, sehingga secara naluriah Farida membuka kelopak matanya. Mengintip diam-diam. Kemudian mendesah manja.
"Kau menginginkannya, sayangku?"
Ismed jengah. Lalu tertawa. "Di sini?" tanyanya, tersendat.
"Mengapa tidak?" bisik Farida tergetar, seraya mengulurkan kedua lengannya, terkembang.
Minta dirangkul. Oleh Ismed.
Dan oleh sinar lembut matahari. Dan.........
catatan : Untuk pembaca cerita ini, yuk gabung di Group Fb Kolektor E-Book untuk mendapatkan ebook ebook menarik lainnya..
yang suka baca cerita silat dan novel secara online bisa kunjungi http://cerita-silat-novel.blogspot.com
Sampai jumpa di lain cerita ya!
Terimakasih TAMAT Si Kangkung Pendekar Lugu 10 Animorphs - 8 Ax Membalas Dendam Llano Estacado 4
^