Pencarian

Misteri Lembah Hantu 1

Misteri Lembah Hantu Karya Abdullah Harahap Bagian 1


Misteri Lembah Hantu karya Abdullah Harahap pembuat djvu : kang Ozan Sumber Image : Awie Dermawan
Finish Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo.
Ebook ini di persembahkan Group Fb Kolektor-Ebook
Selamat Membaca ! *** MISTERI LEMBAH HANTU Sebuah novel karya Abdullah Harahap Diterbitkan pertama kali
Oleh Penerbit ALAM BUDAYA Jakarta Cetakan pertama 1986
Lukisan cover oleh Aji Soemakno. Dilarang mengutip tanpa seizin penulis .Hak Cipta dilindungi undang-undang ALL RIGHTS RESERVED
*** 1 WAKTU menunjukkan sekitar pukul dua dinihari ketika Martubi meninggalkan rumah untuk membuka tali air ke sawah miliknya. ia kebagian giliran selama dua jam. Lebih dari cukup, mengingat sawahnya cuma beberapa kotak saja. Tetapi ia tetap harus muncul sesuai jadwal. Karena kalau tidak, Ki Sukriya yang tamak itu dengan senang hati akan mencuri air siapa saja untuk mengairi sawahnya yang luasnya berbahu-bahu, bila perlu dengan mengupah beberapa tukang pukul.
Syukurlah, musim sedang baik dan biasanya sekitar pukul tiga seperempat sawah Martubi sudah kecukupan air. Sehingga tukang-tukang pukul Ki Sukriya tak perlu menggertak Martubi agar cepat-cepat menutup tali air kembali, meski giliran Martubi masih bersisa empat puluh lima menit lagi. Kalau tukang pukul Ki Sukriya lengah, maka waktu yang tersisa itu dimanfaatkan Martubi untuk membuka tali air ke sawah milik Nyi Sarijah yang kebagian giliran pukul tujuh pagi. saat-saat mana arus air makin sedikit. Nyi Sarijah seorang janda beranak empat. Tidak terlalu cantik. tetapi tubuhnya montok berisi. Dan bila ia tersenyum. senyuman Nyi Sarijah seakan mengundang bibir lelaki untuk memagutnya. Sayang Nyi Sarijah teramat mencintai almarhum Suaminya ia lantas menjaga jarak dengan lelaki mana saja. biar sudah duda seperti Martubi. Tak apa. Biar cuma dihadiahi senyuman doang. Martubi mau saja memberaki muka tukang pukul Ki Sukriya demi janda beranak empat itu.
Hampir beku kedinginan karena udara lembab berkabut. Martubi berjongkok merembes masuk ke sawah yang padinya sudah setinggi lutut. Sambil menikmati kehangatan rokok linting yang menempel di mulut. ia memikirkan kapan waktu yang paling tepat untuk mengingatkan Nyi Sarijah bahwa suaminya sudah lama jadi tulang belulang dan perempuan itu lebih membutuhkan seorang laki-laki yang utuh untuk membimbing anak-anaknya yang masih bocah; dan untuk mengeloni tubuh montoknya yang sayang kalau dibiarkan 'terbuang' sia-sia. Apalagi Martubi tidak punya tanggungan lain kecuali batang tubuhnya seorang. Batang tubuh yang rela diapakan saja Oleh Nyi Sarijah, ketimbang harus kedinginan
membeku seperti sekarang ini ..
Tak tahan membayangkan keelokan tubuh Nyi Sarijah, Martubi bangkit dan berjalan tersuruk-suruk ke dangau. Lamunannya bisa lebih dikembangkan di kehangatan dangau itu, sambil berharap tukang-tukang pukul Ki Sukriya tidak muncul sebelum pukul empat subuh. Ia baru saja akan melangkah naik sewaktu dari balik dinding dangau ia mendengar bunyi mendengkur. Martubi tertegun. Apakah salah seorang tukang pukul Sukriya telah datang lebih dulu, untuk menggertak Martubi agar melupakan saja janda idamannya itu"
Dengan perasaan cemas Martubi menyelinap hati-hati lewat pintu dangau dan menampak bayangan sesosok tubuh dalam kegelapan malam, meringkuk di pojok dangau. Lampu senter Martubi mula-mula menangkap kaki bersepatu dan ujung celana dari bahan jean yang sudah lusuh. Jelas. orang yang tidur itu bukanlah tukang pukul Ki Sukriya. Kepastiannya terbukti manakala sorot lemah lampu senter yang baterainya sudah semestinya diganti beberapa hari lalu..., menerpa seraut wajah muda belia namun tampak sudah matang oleh kehidupan.
Martubi segera tersadar. Bahwa. adalah keliru kalau ia mengatakan pada Nyi Sarijah bahwa ia tidak punya tanggungan apa-apa. Ia masih punya tanggungan. Paling tidak, itulah yang diingatkan Dudung, polisi desa. dua hari yang lalu. Dan tanggungannya itu kini pelan-pelan membuka mata, kemudian serempak duduk terkejut dengan sikap siap untuk membunuh siapa saja yang cobacoba menjamah tubuhnya tanpa seizin dirinya.
Mart ubi sempat terlompat mundur dua langkah, manakala cahaya senternya menangkap kilatan pisau komando yang tergenggam di tangan pemuda itu. Sebelum terjadi sesuatu yang tidak dikehendaki, Martubi berseru tertahan: "Jadah ! Kau hampir membunuhku, Margono!"
Pisau itu menjauh dari wajah Martubi. Disusul suara bisikan serak: "Kau itu, Kek?"
Martubi memadamkan senternya. "Mengapa kau ke sini" '
"Ini tempat paling aman untuk menunggu dan bertemu dengan Kakek. Aku...," Pemuda itu menguap lebar kemudian mengernyit menahan sesuatu di perutnya: "Aku lapar, Kakek bawa makanan?"
"Dapat kuambilkan."
"Rokoknya saja dulu. Kek!"
Dalam kegelapan, Martubi melintingkan rokok untuk cucunya. Bertanya hati-hati: "Tak
ada yang tahu kau ke sini?" "Mudah-mudahan tidak. Aku turun dari truk
pengangkut pasir itu jauh dari pertigaan desa
Menerobos lewat perkebunan kopi. Kegelapan malam menolongku tidak sampai dikenal orang-orang yang berpapasan di jalan, sampai akhirnya aku tiba di dangau ini dan langsung tertidur saking letih dan lapar. . . ."
"Mereka mencarimu," desah Martubi hatihati.
"Polisi?" "Ya. Kata mereka kau telah..." Martubi menggantung kata-katanya.
Pemuda itu paham, menarik nafas berat dan getir lantas berusaha membela diri: "Aku terpojok, Kakek. Lolos dari penjara dengan bantuan dua orang penjaga yang makan suap, polisi itu melihatku secara kebetulan dan sialnya, ia mengenali aku pula. Ia menyambar pistolnya. Malang buat dia, pisauku lebih cepat...." Si pemuda kembali menghela nafas. Bertanya khawatir: "Kuharap saja dia masih. .. ."
"Mereka bilang, korbanmu itu sudah mati, Margono. Dua jam setiba di rumah sakit! "
"Ahhh...." "Kau tak boleh lama-lama di sini."
"Kakek takut?" "Tidak. Nenekmu sudah lama mati karena memikirkan ayahmu. Ayahmu pun kemudian mati, karena memikirkan engkau. Tak lama lagi, kukira aku akan menyusul mereka. Dan
bila saat itu tiba juga akhirnya, aku tidak ingin membawa kenangan buruk bahwa aku membiarkan pewarisku yang tinggal satu-satunya mati di pangkuanku tanpa aku mampu menahannya...."
"Itu tidak akan terjadi, Kakek. Aku berjanji akan segera pergi. Aku cuma perlu uang...."
"Heem. Sudah kuduga. Tetapi kau punya kawan-kawan, kalau tak salah ."
"Beberapa ikut terpenjara, Kakek. Yang masih berkeliaran di luar, sudah sedemikian takut sehingga tidak seorang pun bersedia ditemui.... Babi busuk, mengapa polisi itu tidak membiarkan aku, heh"!"
"Tak usah menyalahkan siapa-siapa, Margono. Juga tidak dirimu. Kakek dan nenekmulah yang salah.?"
Sementara ia pergi mengambilkan makanan, pakaian dan uang secukupnya ke rumah, Martubi menangisi dirinya dan almarhumah istrinya. Ia dan istrinyalah yang patut disalahkan untuk semua ini. Karena dulu ia begitu bangga pada kekayaannya, dan istrinya begitu memanjakan putra tunggal mereka. Kebanggaan dan kemanjaan itu tetap mereka pertahankan tanpa malu-malu. ketika suatu hari seisi kampung gempar. Sumargo, putra mereka yang hanya sebiji mata wayang itu diringkus sendiri oleh Pak Lurah setelah diperoleh cukup bukti
bahwa Maryati hamil akibat perbuatan bejat
Sumargo. Waktu itu Martubi berkata pada Pak Lurah dengan angkuh: "Kami tidak akan melepaskan tanggung jawab!" la lupa, bahwa waktu itu Maryati baru berusia 12 tahun, dan Sumargo hanya lebih tua tiga tahun dari si gadis yang ia hamili. Tanpa malu-malu pula, pesta perkawinan diadakan besar-besaran. Dengan royal Martubi menghamburkan sejumlah uang untuk menutup mulut sejumlah tetangga yang suka bergunjing. Baru beberapa tahun kemudian Martubi dan istrinya menyadari satu hal: apa yang mampu diperbuat seorang suami yang masih gemar mengejar layang-layang putus, sementara istrinya di rumah membersihkan ingusnya saja masih perlu dibantu"!
Tidak. Tidak sesuatu apa pun yang dapat dilakukan oleh Sumargo. termasuk ketika suatu hari istrinya minggat dengan seorang mahasiswa dari kota. Sumargo hanya bisa berteriak-teriak sambil memukuli anaknya yang waktu itu baru menginjak usia lima tahun. Puas memukuli anaknya, Sumargo akan mendesak orangtuanya -kalau perlu dengan mencuri; untuk mendapatkan sejumlah uang buat bermabuk-mabukan dengan teman-temannya sebaya. Sumargo mencintai Maryati teramat sangat. Dan tidak ada yang dapat menahannya ketika akhirnya Sumargo memutuskan untuk mencari istrinya ke kota. Ia bersikeras membawa Margono yang masih bocah, dengan keyakinan seorang ibu pasti sadar kalau melihat anaknya menderita.
Ternyata Sumargo gagal. Gagal mencari istrinya yang khianat itu. Gagal mengurus dirinya sendiri. apalagi harus mengurus anaknya. Dan kegagalan itu. lagi-lagi diakibatkan kesalahan Martubi dan istrinya". antara lain disebabkan uang terus mengalir dari kampung. Berapa saja diminta oleh Sumargo. Biar misalnya Martubi mendengar, sebagian besar uang itu dihamburkan Sumargo di rumah-rumah pelacur. sementara anaknya di rumah kelaparan. Margono yang malang terpaksa mengharap belas kasihan para tetangga yang baik hati. Bila yang menaruh belas kasihan tidak punya apa-apa lagi untuk diberi. atau juga bosan memberi terus menerus, maka Margono nekat mencuri. Apa saja yang bisa dimakan atau bisa dijual untuk membeli sesuatu yang dapat mengganjal perutnya yang kelaparan. Bersamaan dengan perkembangan usia. kebutuhan Margono ikut pula berkembang. Ia menjadi langganan kantor polisi atau jeruji besi penjara. Dan Martubi lagi dan lagi. terpaksa harus mengeluarkan uang. Menggadaikan lalu kemudian menjual sawahnya.
sekotak demi sekotak. Sebuah pengorbanan besar. yang ternyata tidak memberi arti apaapa. Istrinya meninggal dunia karena tekanan batin. Dan Sumargo kemudian menyusul. Sumargo tidak lagi mampu memukuli anaknya. Sebaliknya, dialah yang dipukul setiap kali mencoba menasihati anaknya . . . .
*** SELAGI cucunya makan dengan lahap di dangau. Martubi pergi menutup tali air. Gilirannya masih tersisa sekitar satu jam lagi. Tetapi ia begitu mengkhawatirkan cucunya. Anak buah Ki Sukriya tidak boleh mengetahui kehadiran Margono. Martubi tidak pula ingin bertengkar dengan mereka karena lagi-lagi mengambil hati Nyi Sarijah. Maka dengan mengutuk panjang lebar ke alamat Ki Sukriya, saluran irigasi langsung ia salurkan ke sawah petani kaya raya itu. Sawah yang sebagian darinya dahulu adalah milik Martubi yang kemudian terpaksa ia jual teramat murah akibat belitan hutang selilit tubuh.
Kembali ke dangau ia temui Margono tengah asyik menikmati sebatang rokok. sambil berselonjor di lantai. Pemuda itu tampaknya kembali didatangi kantuk dan siap untuk tidur kembali. Terpaksa Martubi mencegah dengan kata peringatan
"pagi bakal datang .margono !"
pemuda itu menguap. menggerutu panjang pendek lantas berbenah diri untuk berangkat!
" Apakah kau akan menyerahkan diri !' tanya Martubi ingin tahu .
Margono tertawa bergelak" Setan .Tentu saja tidak'
sudah kuduga. pikir Martubi dengan gundah gulana "kemana kau akan bersembunyi" . ..
"Berapa lama kau bisa lari ?"
"Entah " "Kau perlu makan untuk tetap hidup. "
" Siapa pula yang tidak?"
Jawaban cucunya yang terdangar sarkastis. tidak membuat Martubi sakit hati. Salahku. Pikirnya. menyesali diri. Lalu akhirnya ia kemukakan apa yang sempat terpikir olehnya selagi mengambil bekal ke rumah untuk cucunya. Bebarapa saat ia bimbang karena tahu reaksi yang bakal ia peroleh. Namun karena tidak ada pilihan lain dan meski baru berusia tak lebih dua puluh tahun. Margono tampaknya sudah cukup dewasa dan matang untuk mengetahui kenyataan yang sebenarnya.
Maka dcngan hati hati Martubi bergumam:
"Ada seseorang. Pada siapa kau dapat bersembunyi. bahkan dapat perlindungan. "
Margono tertegun. Dalam remang-remang cahaya dinihari menjelang subuh itu. ia awasi wajah kakeknya dengan pandangan curiga. "Siapa" Di mana?" Ia bertanya, bernafsu
Martubi menelan ludah. "Desa Lamping." desahnya. segan. "Di sisi sana gunung. Dengan naik ojek dan kendaraan penumpang. hanya diperlukan tempo tak sampai lima jam. Tetapi kau tak mungkin keluar terang-terangan. Maka. kau harus pergi lewat sungai. menyusuri lembah, mendaki bukit-bukit_. . . ."
"Aku pernah dengar tentang desa Lamping. Kalau tak salah, ayah pernah membawaku ke sana. waktu ibu masih bersama kami... "
Lagi Martubi menelan ludah. Katanya: "Pada dia lah kau harus pergi."
"Dia siapa" Ayah kan sudah lama. ?"
"Bukan ayahmu. Tetapi Maryati. ibumu."
"Aneh..." "Tidak, cucu. Karena ibumu. ada di desa Lamping sekarang Ini. Mudah bagimu menanyakan alamatnya. Karena ia sudah diambil istri oleh Lurah desa itu. Dan...."
Belum habis ucapan Martubi, reaksi yang ia tunggu segera menjadi kenyataan. Margono. dengan lengan-lengannya yang kokoh kekar menerkam ke depan dan mencengkeram kerah
leher baju kakeknya. 'Jadi ayah dan kakek
mendustaiku selama ini. . . .! "
Martubi merasa lehernya tercekik. Nafasnya sesak. Susah payah ia berkata: "Demi... kebaikanmu. cucu. Ayahmu tak tahan setiap kali kau menanyakan tentang ibumu yang tidak tentu rimbanya itu. Dan aku... aku akhirnya ikut" membenci Maryati... seperti ayahmu juga membencinya...."
Margono terkejut mengetahui kakeknya seperti orang sekarat. Cekalan di kerah leher baju orangtua itu ia lepaskan. la biarkan kakeknya mengatur nafas sebentar. Lantas dengan suara tergetar, ia merintih: "Jadi... ibu masih hidup. Betapa mustahil rasanya. setelah..." Beberapa menit lamanya pemuda itu menceracau tak menentu, melamun, menceracau lagi. melamun, tak ubahnya orang hilang akal.
"Ibumu kembali beberapa bulan yang Ialu...." Martubi menjelaskan, setelah paruparunya terasa lebih longgar. "Setelah belasan tahun, mendadak ia pulang! Aku bahkan... hampir tak dapat mengenali dirinya. Sampai ia sendiri yang datang menemui. Dan bertanya... tentang dirimu...."
Secara ringkas Martubi menceritakan pada cucunya tentang apa yang ia dengar dan ketahui mengenai bekas menantunya itu. Maryati katanya bercerita bahwa di kota ia telah kawin cerai sampai tiga kali. ia tak pernah bahagia. Dua orang anaknya dari tiga perkawinan itu, dirampas oleh bekas suami atau mertuanya. Bertahun-tahun ia kemudian harus berjuang untuk hidup di kota. Berjuang sendirian, tanpa keberanian pulang ke kampung halaman. Lalu secara kebetulan lurah desa Lamping bertemu dengannya. Mereka saling mengenal, meski perbedaan usia mereka cukup jauh. Juga masih ada pertalian famili. Sebelum lurah itu pulang ke kampung, ia menemui Maryati dan melamarnya jadi istri kedua. Istri pertamanya tidak keberatan, karena tujuan perkawinan yang ke dua kalinya itu lebih dititikberatkan Pak Lurah untuk memperoleh keturunan. Istri pertamanya, mandul.
"Ibumu bersedia." tutur Martubi sebagai
mana ia dengar dari penuturan Maryati pula: "Tetapi ibumu kini lebih berhati-hati. ia tidak mau lagi dicampakkan begitu saja. Maka ia
memberi syarat. Hanya satu syarat. Bahwa ia akan mencari anak yang pernah ia terlantarkan. dan membawa anak itu dalam hidup perkawinan bersama calon suaminya yang baru.... ia akan melakukan apa saja demi kau. Margono. Untuk menebus dosa-dosanya di masa lalu."
"Lalu, mengapa...."
"Waktu itu kau masih di penjara. Aku tak
mau membuat malu ibumu. Jadi kubilang: nantilah, dia akan kucari. Maksudku, kau bebas dulu dari penjara baru aku bawa kau kepadanya...." Martubi membuang puntung rokoknya yang sudah lama padam, kemudian meneruskan: "Lurah desa Lamping tak sabar menunggu. Ibumu tidak melihat jalan lain. Maka ia pun naik ke pelaminan. Dengan didahului perjanjian hitam di atas putih. Bahwa. kau dinyatakan sebagai salah seorang pewaris lurah desa itu! "
Mereka masih mempercakapkan beberapa hal lainnya, sampai tiba waktunya berpisah. Martubi mengulangi beberapa petunjuk yang harus diikuti cucunya selama menempuh jalan alternatif lewat lembah yang menyisir gunung. "Kalau kau tidak tersesat. menjelang sore kau sudah akan bertemu ibumu. Kecuali kalau kau masuk perangkap...."
" Perangkap?" " Bukan polisi. Tetapi penghuni lembah."
"Maksud Kakek?"
"Jarang orang mau ke lembah itu, kecuali kalau terpaksa. Mereka yang pernah melakukannya, ada yang tak pernah kembali. Benar, kebanyakan dari mereka kembali juga ke rumah. Setelah menghilang berbulan-bulan. Itu pun, pulangnya dengan tubuh kurus kering. Pucat , dan umumnya lupa ingatan. . . ."
"Ah. . masa iya?"
"Jangan menyepelekan. Semua orang menamai lembah itu. Lembah Hantu! "
Margono hampir tertawa bergelak. Ia yang sudah terbiasa hidup keras di kota yang sama kerasnya, selalu menganggap omongan sejenis itu sebagai kepercayaan tahayul penduduk penduduk pedalaman yang cara berpikirnya serba terbelakang. Namun ia tidak ingin kakeknya yang begitu banyak berkorban demi dia, tersinggung hatinya. Maka dengan menahan tawa di perut yang sudah dijejali makanan secukupnya, Margono bertanya ingin tahu :
" Bagaimana bentuk perangkap itu?"
"Astaga. Mana aku tahu, cucu. Namanya juga perangkap gaib. Perangkap siluman. . .!"
"Jadi?" . "Yang penting, kau ikuti saja jalan setapak yang kugambarkan tadi. Jalan yang sudah biasa dilalui para pencari rotan. Jangan menyimpang. Walau hanya satu langkah!"
"Wah...." Margono memikirkan kemungkinan itu. Tak boleh menyimpang. Walau hanya satu langkah. Astaga! Diam-diam keinginan tertawa itu menggelitik lagi. dan ia melampiaskannya dalam perkataan berseloroh: "Bagaimana kalau aku misalnya... terpeleset?"
Martubi menjawab tegas: "Tidak boleh ."
"Tidak boleh terpeleset?"
"Benar. Tidak boleh terpeleset!"
Bukan main. Tetapi apa salahnya dicoba"
Margono mencium tangan kakeknya. Dan begitu bedug subuh terdengar bertalu-talu di kejauhan. pemuda itu melangkah turun ke sungai tanpa berpaling lagi ke belakang. Di sebuah titian bambu, ia menyeberang. Dan setelah mendaki sebuah bukit terjal. Margono langsung disambut kehangatan cahaya matahari pagi.
Dari puncak bukit, ia menatap lembah temaram kebiru-biruan di depannya. la mendaki dan menuruni dua bukit lagi, sampai akhirnya bibir hutan menganga di hadapannya. Lidah matahari menjilati semak yang membelukar liar, di antara mana berdiri batang-batang pepohonan raksasa yang tegak kokoh, perkasa dan berbaris tanpa suara sebagai penjaga hutan yang setia. Semakin lama Margono mengawasi, semakin ia sadari bahwa lebih ke dalam dari hutan itu, suasana tampak legam. Suram.
Sesaat dadanya bergetar. Seakan tercium olehnya bau misterius di balik barisan penjaga hutan itu. Tidak! Ia tidak boleh mempercayai kegaiban yang diutarakan kakeknya. Ia hanya harus percaya dan yakin pada satu hal: bahwa
dibalik barisan penjaga hutan yang angkuh dan perkasa itu polisi pasti kewalahan mencari buronan mereka. Ia akan aman di sana. Bersama hantu-hantu penghuninya. . . .
**** BAB 2 MARGONO memang senang mendengarkan kisah-kisah menyeramkan tentang hal-hal gaib atau hantu-hantu gentayangan. Namun untuk mempercayainya, nanti dulu. Apalagi merasa takut karenanya. Apa yang ditakuti Margono hanyalah ditangkap polisi, lalu digebuki sampai babak belur sewaktu diperiksa supaya ia mau mengakui kejahatan-kejahatan apa saja yang telah ia lakukan. Atau, ia juga takut bila suatu pagi ia terbangun dan menyadari tidak punya uang." sedang mencuri atau merampok ia tak berani karena masih harus bersembunyi dari kejaran polisi.
Untunglah, ia hampir tak pernah sampai kelaparan. Linda dan Ningrum, dua orang pelacur muda dan cantik yang ia pacari secara bergiliran, bersedia menolong kapan saja Margono ingin. Ningrum atau Linda sebaliknya tidak pernah merasa takut berurusan dengan polisi, karena mereka punya modal tubuh montok serta wajah cantik. Apa yang ditakutkan pelacur-pelacur itu adalah kalau mereka harus kehilangan Margono. Hanya dengan Margono mereka dapat menikmati permainan ranjang dengan sepenuh hati, bukan cinta se mu dengan embel-embel uang. Margono selain tampan. memang jagoan dalam bermain ranjang. Untuk dapat tetap menikmati kejagoan Margono, pelacur-pelacur itu bersedia melakukan apa saja yang diminta Margono.
Tetapi mereka segera menghindar dengan ketakutan, begitu mendengar Margono membunuh seorang sersan polisi. Dunia mereka atau dunia Margono sama hitamnya. Peraturan-peraturannya juga hampir sama, tertulis atau tidak tertulis. Salah satu peraturan tak tertulis itu berbunyi: tidak ada ampun buat seorang pembunuh polisi, atau siapa pun yang coba-coba melindungi si pembunuh polisi itu. Tak ada jalan lain. Margono terpaksa minta perlindungan kakeknya, suatu hal yang langka ia perbuat, karena tidak ingin kakeknya ikut celaka.
Ternyata kakek pun menyuruhnya pergi. Bukan karena takut dirinya ikut celaka. Cinta kakek pada Margono sama besar dengan cinta Ningrum maupun Linda, meski dengan motif berbeda. Kakek menyuruh Margono pergi adalah demi keselamatan Margono sendiri. Kau dapat bersembunyi dengan aman di tempat ibumu, begitu kata kakek.
Ibunya masih hidup! Sungguh menakjubkan. Itu adalah satu satunya keajaiban yang sering dinikmati Margono di kala tidur. namun tak pernah berani ia harapkan di kala hari terjaga.
Ketika melangkahkan kaki memasuki mulut Lembah Hantu, Margono terkenang saat-saat manis ketika ia masih bocah. Kalau Margono terjatuh. ibunya akan menjerit ketakutan. Atau menangis, bila ibunya sudah kewalahan mengatasi kenakalan anaknya yang kelewat batas. Pernah Margono ngompol di dada ibunya. Perempuan itu bukannya marah. Malah tertawa. Margono tidak ingat lagi apa yang diomelkan ibunya selagi tertawa. Yang ia ingat. ibunya langsung membuka blouse dan kutangnya yang basah kuyup, dan mendelik ketika Margono menunjuk seraya berkata: "Wah. dada ibu besar yaaa...! "
Semua kenangan itu hanya terbayang samar-samar karena telah lampau belasan tahun lamanya. Yang membekas nyata dalam ingatannya adalah wajah ayahnya yang memerah padam ketika beberapa tahun kemudian Margono bertanya mengapa ibu tidak pernah pulang ke rumah. "Sudah berapa ratus kali kuingatkan, jangan tanya-tanya ibumu lagi. Ibumu sudah lama mati!"
"Ibumu lari dengan laki laki lain," kata ayahnya suatu hari. sewaktu ayahnya mabuk berat.
"Kalau begitu, ibu masih hidup...."
"Ia sudah mati! "
"Sakit apa?" "Bukan sakit. Laki-laki itu membunuhnya! Mayatnya lalu dikuburkan. Entah di mana, tak ada yang tahu. Karena laki-laki itu juga kemudian mati. Bunuh diri."
Dalam keadaan mabuk, seseorang suka lepas omong mengenai hal-hal yang sebenarnya. bukan dusta. ltulah sebab mengapa Margono percaya ibunya sudah meninggal. Setelah sekarang ia mendengar ibunya masih hidup, Margono lantas berpikir. Bahwa apa yang diucapkan ayahnya selagi mabuk, adalah apa yang menjadi trauma dalam jiwa ayahnya. Trauma yang terus mendarah-daging. sehingga apa yang tadinya cuma trauma, oleh ayahnya lantas diyakini sebagai suatu fakta yang sesungguhnya.
... MARGONO tersentak kaget waktu mendengar suara berisik ribut di sebelah kirinya. Ia melihat bayang-bayang kecil hitam dan jumlahnya ada puluhan. melesat dari semak belukar rimbun ke arah dedaunan yang lebih rimbun di atas sana. Rupanya sekelompok burung telah dikejutkan oleh suara berderak ranting tua dan rapuh yang terinjak oleh Margono.
Sambil memaki, Margono kembali menyarungkan pisau komando yang secara naluriah telah ia genggam. Suatu kebiasaan yang ia selalu lakukan bila ia terancam bahaya atau bila ia terdesak. Sadar bahwa ia masih memiliki sebilah pisau komando yang telah berulangkali menyelamatkan dirinya, Margono semakin memantapkan hati. Tidak ada yang perlu ia takutkan di hutan belantara ini. Kecuali barangkali binatang buas, yang tiba-tiba menerkam sebelum ia siap.
Dengan tangan kiri tetap memegang simpul bungkusan di pundak dan tangan kanan memegang gagang pisau yang terselip di pinggang, Margono meneruskan perjalanan. la lebih berhati-hati kini. Karena semakin jauh ia berjalan memasuki hutan, suasana sekitar makin gelap dan suram. Jalan setapak yang harus ia tempuh pun makin mengecil. Bahkan di beberapa tempat seperti lenyap begitu saja, seolah itu adalah akhir perjalanan orang-orang sebelum Margono. yang kesasar sampai ke tempat itu dan memutar langkah ke arah semula.
Margono mengamat-amati dengan seksama, dan akhirnya dapat melihat jalan setapak
membelok di antara dua batang pepohonan raksasa yang tegak diam dan kaku di antara semak yang membelukar. Di tempat itu. matahari tak membias sedikit pun karena rimbun nya dedaunan pohon-pohon raksasa. Bahkan batang-batang pepohonan sampai dilapisi lumut tebal, dingin. dan licin. Harap-harap cemas kalau jalan setapak benar-benar hilang dan ia kehilangan arah, Margono mengutuk kegelapan hutan. Seakan saat itu menjelang tengah malam, padahal ia tahu betul hari baru sekitar pukul sepuluh atau sebelas siang. Udara lembab pula .Bau humus yang sudah lama mengendap, sungguh tak enak di hidung. Di satu tempat, malah tercium bau bangkai menyengat dan membuat Margono ingin muntah.
Suatu saat, ia melihat bias matahari di kejauhan. Margono mempercepat langkah. terpeleset sekali, bangkit lagi dan dengan bersemangat berjalan ke arah yang lebih terbuka dan benar-benar bersiram cahaya matahari. Jalan setapak nyata-nyata terlihat di padang ilalang setinggi pinggang. Tetapi keadaan sekitar begitu sepi mencekik. Bahkan angin pun seakan tak berani bertiup, sehingga padang ilalang itu tampak tegang . diam membisu seolah kehadiran Margono tidak disukai.
Namun dengan senang hati. Margono menerobos pada ilalang yang tampak tak bersahabat itu. Karena di tempat terbuka itu ia dapat merasakan kehangatan cahaya matahari. Lamat-lamat terdengar pula suara air mengalir. Berpedoman pada suara itu tanpa sadar ia meninggalkan jalan setapak dan tiba di sebuah sungai kecil berbatu-batu, yang airnya mengalir deras namun hening bagaikan kaca.
Margono melemparkan bungkusan bekal dan lari mencebur ke dalam air. Ia basahi wajah dan rambutnya, bahkan pakaiannya. la minum air jernih itu sepuas-puasnya. Kembali ke darat, ia buka bungkusan, duduk santai sambil menikmati makan siang seadanya yang dibekali oleh kakeknya. "Coba kalau si Linda ikut," pikirnya getir sembari membayangkan gadis itu berdiri telanjang di permukaan batu di tengah sungai, meliuk liukkan tubuh mengundang Margono untuk sama-sama menikmati cahaya matahari. Kemudian bermain cinta di atas batu itu juga, dan."
Margono tiba-tiba terkesiap.
Dari balik permukaan batu besar dan pipih di tengah sungai itu. pelan-pelan muncul sesuatu berwarna hitam pekat bersinar-sinar, lalu sesuatu yang putih. disusul... sepasang mata. Astaga! Itu adalah rambut basah. dahi, lalu sepasang mata cemerlang membelalak memperhatikannya. Margono sampai terpekik kaget.
dan sesuatu itu lenyap pula seketika. Masih kaget, Margono tetap duduk diam, mematung. mengawasi batu besar itu. Beberapa saat, tak tampak apa-apa. Tak terlihat apa apa. Lalu. sesuatu tadi muncul lagi, kali ini lebih ke atas, lebih berani.
Kini tampaklah seraut wajah. Jelas bukan wajah Linda. Bukan pula Ningrum, Nelly, Kiky. atau Susi. itu bukanlah wajah yang pernah ia kenal. Begitu banyak wajah cantik rupawan yang telah ia lihat bahkan nikmati. Namun yang satu ini. keelokannya luar biasa.
Margono ternganga. Potongan ayam goreng di tangannya. terjatuh tanpa ia sadari. Begitu pula butir-butir nasi di dalam mulut yang sebelumnya tengah ia kunyah. Semua jatuh berleleran ke pangkuannya, dan ke sisa bekal yang belum ia sentuh. Dalam ketakjubannya, Margono sempat teringat cerita-cerita yang sering menjelma menjadi manusia. Jangan-jangan, apa yang terlihat nyata di depan matanya adalah. . . .
"... siapa kau?" bibir merah ranum itu setengah terbuka, memperdengarkan suara halus dan tajam.
lama, Margono baru bisa membuka mulut: "... aku, aku...."
" Mengapa kau ke sini"! " Suara itu bernada teguran ketimbang pertanyaan.
'Aku...." "Ini tempatku bermain! "
"Maaf. Aku...."
"Eh. jangan cuma ngomong. Ambilkan pakaianku, lekas. Lemparkan kemari!" Perempuan itu lagi-lagi memotong dengan nada perintah.
"Pakaianmu"!" tanya Margono. Bingung ia melirik ke kanan. melirik ke kiri, menoleh ke belakang. Lantas cepat lagi berpaling ke depan, setengah berharap apa yang tadi ia dengar dan lihat hanyalah fatamorgana hampa karena ia sebelumnya asyik melamunkan kehadiran Linda di tempat yang sama. Tetapi wajah cantik itu masih tetap ada di sana, kini dengan leher jenjang dan pundak telanjang yang mulus. Suaranya pun terdengar nyata:
" Di atasmu!" Mau tidak mau. Margono menengadah. Rupanya tanpa ia sadari ia telah duduk beristirahat di bawah sebatang pohon bercabang cabang rendah. Salah satu cabang paling bawah yang patah, jelas digantungi oleh seperangkat pakaian wanita; blus merah, rok hijau lumut. celana dalam krem. Ketika menggapainya satu persatu. Margono sempat memperhatikan bahwa selain tiga potong itu tidak ada lagi yang lainnya, khususnya beha. Ia tersenyum memikirkannya, kemudian bergerak akan turun ke sungai menakala si perempuan menghardik:
"Eee. Kubilang, lemparkan. Jangan coba coba mendekat!"
"Kalau aku mendekat?" Entah mengapa. timbul keberanian Margono. Pakaian si perempuan ia genggam erat-erat. Sewaktu ia masih remaja belia, ia pernah membaca sebuah komik tentang tujuh bidadari yang turun ke bumi untuk mandi di sebuah telaga. Mereka dipergoki seorang lelaki pengelana, yang kemudian nekat menyembunyikan salah satu pakaian bidadari itu. sehingga si bidadari yang malang tak dapat kembali bersama bidadari lainnya ke balik awan tempat asal mereka. Si bidadari terpaksa menetap di bumi jadi istri si pengelana. dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi.
Menatap ke tengah sungai, Margono hampir tidak percaya bahwa ia telah melihat bidadari. Lalu ketika ia melirik ke pakaian di tangannya, ia lebih tak percaya lagi. Bidadari di komik itu berpakaian putih. secarik kain tak berjahit. Yang ini, jelas kain 'warna-warni. buatan manusia , dijahit dengan model paling mutakhir. Bidadari modern, barangkali"
Senyuman Margono semakin lebar. "Hei," ia berseru pada perempuan itu. "Kalau pakaianmu kuberikan, apakah kau akan kembali ke langit?"
"Ke langit" "ganti perempuan itu yang tercengang.
"Ya, Ke langit Karena di sanalah kau tinggal bersama-sama saudara-saudaramu sesama bidadari."
"Eh. jangan ngomong ngaco!" Si perempu-an mendelik "Aku manusia biasa seperti kau.
Aku tidak punya saudara, kecuali seorang a-yah dengan siapa aku tinggal selama ini. Di sana!"
Ia setengah mengangkat tubuhnya,
menunjuk ke arah lereng bukit di kejauhan
Tak ada petunjuk apapun bahwa ada manusia
tinggal di tempat yang ia tunjuk, karena lereng
bukit itu tampak menghijau oleh pepohonan
yang rapat dan rimbun. Hal itu tidak terlalu di-
pikirkan Margono. Apa yang berkecamuk dalam pikirannya adalah apa yang barusan sempat terlihat ketika si perempuan mengangkat
tangannya untuk menunjuk, dan dengan sen-dirinya bawah bahu si perempuan juga ikut ter-angkat. Gambaran payudara telanjang yang
terlihat sekilas itu, diam-diam menggetarkan
kelelakian Margono Ia berkata: Kau bukan manusia biasa."
"Sudah kubilang... Kalau kau manusia biasa, perlihatkanlah
seluruh tubuhmu. Siapa tahu kau ini seekor
ikan duyung" "ikan duyung?" "Yah. Ke atas berwujud manusia Kebawah. berwujud ikan."
Seketika bersemu merah wajah perempuan itu. "Kau mau membodohi aku ya?"
"Tidak. Aku cuma perlu bukti," jawab Margono.
" Uh. Tak punya malu!"
" Apa boleh buat ."
"Aku tak sudi."
"Hem. Baik " Dan Margono kembali ke tempat semula, duduk dengan santai, sambil menggulung pakaian si perempuan di haribaannya. "Aku akan tetap duduk di sini sampai sore hari, sampai malam. kalau perlu sampai besok pagi. Dan kau tetap di tempatmu, karena kau tidak akan lari dari balik batu itu tanpa pakaian...." Ia mengawasi sekitar sungai yang jelas terbuka dan perlindungan satu-satunya buat si perempuan, adalah batu besar tempatnya bersembunyi.
Perempuan itu mengumpat tak jelas. menunggu diam, mengumpat lagi. kemudian menyerah. Perlahan tetapi pasti. dan tentu saja
malu bukan main yang tergurat di wajahnya
yang memerah padam. perempuan itu naik ke permukaan batu dengan berupaya sedemikian rupa agar bagian-bagian tertentu di tubuhnya tidak terlihat oleh Margono. Ia kemudian duduk bersijuntai di atas batu. setengah membelakangi Margono yang memandanginya dengan mata kagum.
"Kau bukan saja cantik. Kau punya lekuk tubuh mempesonakan. Jadi aku belum percaya sepenuhnya, bahwa kau memang manusia.
Masih harus dibuktikan...." Margono semakin berani saja.
"Apalagi?" "Aku akan menjamahmu. Supaya aku yakin, ragamu memang raga manusia."
"Kurang ajar. Kau.?"
Tetapi Margono telah bangkit dari duduknya, menyerbu ke tengah sungai sebelum si perempuan sempat melakukan sesuatu. Tiga tahun terakhir. Margono harus meringkuk di penjara karena kasus perampokan dan perkosaan. Tiga tahun yang menyiksa, tanpa kesempatan menjamah tubuh perempuan. Kerinduan yang sekian tahun terpendam, mendadak saja menuntut pelampiasan. Ia tak perduli lagi apa dan siapa perempuan di tengah sungai itu, juga tidak perduli segala akibat apa pun yang bakal terjadi apabila ia memaksakan kemauannya pada perempuan itu.
Mulanya, memang ada pemberontakan dan caci maki.
Tetapi dengan keahlian yang selama ini. Ia Pergunakan menaklukkan perempuan semacam Linda, Margono lambat laun berhasil
meredakan perlawanan maupun kemarahan si
perempuan .Apa yang sebelumnya la bayangkan, berlangsunglah di atas batu besar dan pipih Itu. Bedanya, dalam bayangannya ia bermain cinta dengan Linda. Dalam kenyataan, ia
bermain cinta dengan perempuan tak dikenal.
yang muncul secara ajaib di tengah kesunyian rimba belantara, Jauh dari kehidupan manusta
manusia beradab. Tidak sedikit pun teringat olehnya bahwa ia
telah di luar dari jalan setapak.
la telah melanggar pantangan.
Tetapi kalau pantangan Itu memang demi-kian indah, demikian nikmat. siapa pula yang
perduli" *** BAB 3 MARGONO tahu betul, dua kali perempuan itu mendaki sampai ke puncak sebelum Margono dengan nafas tersengal-sengal akhirnya tiba di tempat yang sama. Dua kali, pikirnya, seraya bangkit meninggalkan tubuh si perempuan yang terbujur diam, tidak bergerak. Kelopak mata perempuan itu tertutup rapat seperti ingin terus tidur sehingga mimpi indah itu tidak segera berlalu begitu saja.
Selagi mengawasi wajah cantik berkeringat itu sejenak, Margono tahu pula. Bahwa si perempuan jelas tidak menyesali apa yang diperbuat Margono terhadap dirinya. Mungkin ia marah, tetapi kemarahan itu telah lenyap ditelan kejantanan Margono. Sambil tersenyum, bangga dan puas." Margono turun ke dalam air. mandi sepuas-puasnya. Tanpa mengeluarkan suara si perempuan mengikuti apa yang dilakukan Margono. Kemudian ia naik lebih dulu di darat, mengenakan pakaian dengan mulut tetap terkunci rapat dan wajah tidak
menggambarkan perasaan apa-apa. Perempuan itu duduk diam, menunggu Margono selesai mandi. Mau tidak mau, sikap misterius si perempuan sempat juga membuat Margono tergetar. Gelisah, tanpa sebab.
Barulah setelah ia naik ke darat dan mengenakan pakaian pula, ia dengar suara si perempuan. berdesah lirih: "Sekujur tubuhku lemas sekali rasanya...," ia berkata. Margono hampir tertawa mendengar pengakuan terang terangan itu. Sebelum ia memberi komentar, si perempuan sudah melanjutkan: "Kau bersedia mengantarku pulang. bukan?"
"Jauhkah rumahmu?" tanya Margono setelah agak lama terdiam.
"Tak seberapa."
Margono membereskan bungkusan pakaian serta bekalnya. Bertanya lagi. dengan hatihati: "Apa kata ayahmu nanti?"
"Ayah" Tak satu pun!"
"Tetapi. . . ."
"Ia sudah terbiasa berhadapan dengan orang asing. Apakah kau takut?"
"... tidak" "Kalau begitu. ayolah." Perempuan itu berjalan duluan menuju jalan
setapak yang mereka susun sekitar beberapa menit. Kemudian si perempuan membelok tiba-tiba di balik sebatang pohon besar. meninggalkan jalan setapak. Margono memperhatikan. jalan berikut yang mereka lalui tampaknya jarang dilewati orang lain. Medannya berbatu, dengan tanjakan atau turunan yang terkadang curam, berbahaya. Namun meski tanpa alas kaki si perempuan bergerak tangkas dan lincah. Beberapa kali ia terpaksa harus berhenti, menunggu Margono yang tertinggal jauh di belakangnya.
"Agaknya kau bukan penduduk desa-desa di sekitar lembah ini," suatu saat si perempuan berkata.
"Aku datang dari kota," jawab Margono, letih.
"Pantas!" Margono diam saja. Ia terlalu lelah dan tidak bernafsu untuk mendebat si perempuan. Dalam hati, ia juga dihinggapi perasaan malu. Teringat apa yang tadi mereka lakukan di permukaan batu besar dan pipih di tengah sungai. Ia memang jagoannya, dalam hal melumpuhkan perlawanan seorang perempuan. Tetapi hanya itu. Kini, ia sadari bahwa ia punya kelemahan sebagai manusia biasa, dan sebaliknya si perempuan memperlihatkan kekuatan luar biasa di balik tubuhnya yang tampak lemah itu.
Syukurlah si perempuan kemudian berkata menghibur: "Nanti kau juga akan terbiasa...."
lalu berjalan cepat menempuh padang terbuka dengan panorama indah di sekeliling. Di mana mana tumbuh bunga-bunga liar, bunga-bunga hutan yang tumbuh dan mekar secara alami. Jenisnya bermacam-macam dengan warna warni yang membuat Margono terpaksa berhenti untuk dapat mengagumi dan menghirup harum segar bunga-bunga liar itu.
Kemudian ia melihat kabut tipis di puncak pepohonan, tak berapa jauh di depan sana. Setelah menempuh perjalanan di bawah lindungan pepohonan yang membuat segalanya kembali tampak suram dan gelap. mereka tiba di sebuah tempat terbuka yang tak begitu luas, dikitari oleh pepohonan yang rapat dan rimbun. Hanya sedikit matahari menerobos di tempat itu.Lalu Margono melihat dua buah pondok yang letaknya agak jauh satu sama lain. Di pondok paling kecil dengan bentuk persegi empat, Margono melihat asap mengepul naik. Asap itulah kiranya apa yang tadi ia sangka sebagai kabut.
"Ayah rupanya masih sibuk di dapur," kata si perempuan. "Ayo, kau akan kuperkenalkan padanya!"
Apa yang disebut si perempuan dapur agaknya, adalah sebuah ruangan di bawah atap ijuk dikelilingi dinding kayu. yang permukaannya kehitam-hitaman karena jilatan asap maupun
api. Lantai pondok berupa sebuah lubang besar di mana api dan bara tampak bernyala-nyala. Di atas tungku alami itu terjerang sebuah ketel besar berisi cairan kental coklat kemerah merahan yang tengah mendidih. Hampir rapat dengan atap tampak ada sebuah para, penuh ditumpuki oleh potongan-potongan kelapa yang telah dikupas.
Dari apa yang dilihatnya serta adanya berbagai ragam peralatan yang berserakan di dalam maupun di luar pondok, tahulah Margono bahwa pemiliknya tengah sibuk mengolah gula merah sekaligus bahan minyak kelapa. Seorang laki-laki berusia lanjut namun tampak kuat dan kekar berhenti menggodok cairan gula dari air nira itu setelah mendengar suara langkah-langkah kaki mendekat. Dari balik kumis serta jenggotnya yang sudah memutih, ia melemparkan seulas senyum manis pada putrinya, dan tertegun melihat kehadiran Margono.
Margono sudah akan meminta maaf karena telah mengganggu pekerjaan orang tua itu. Tetapi orang itu dengan cepat sudah berkata pada putrinya: "Di sini panas, Melati. Kau bawalah ia ke rumah ." la mengawasi Margono sekali lagi, lalu tanpa mengatakan apa-apa ia membalikkan tubuh dan kembali sibuk dengan pekerjaannya.
"Ayahmu tampaknya tidak menyukai kehadiranku," bisik Margono ketika ia mengikuti si perempuan menuju pondok lainnya. Pondok yang lebih besar, juga beratap ijuk dan berdinding kayu. Karena di sebelah dalam ada pintu pula. Margono lantas tahu kalau pondok itu paling tidak punya kamar. Ada dipan bambu berlapis tikar jerami di ruang tamu, yang ia perkirakan merangkap ruang tidur si orang tua tadi. Satu-satunya kursi yang ada di situ adalah sebuah kursi goyang yang terbuat dari rotan. Selain perabotan rumah tangga dan pakaian yang bergantungan di sana sini, tampak beberapa kaleng besar, tentunya kaleng minyak kelapa, dan sebuah peti besar berisi gumpalan-gumpalan gula merah yang sudah jadi. Bau ke dua jenis keperluan dapur itu bercampur dengan bau lembab tanah dan asap tembakau.
"Duduk saja di dipan itu, kalau kau sudah bosan berdiri mematung begitu...," si perempuan mempersilakan seraya tertawa lunak. "Maafkan, gubuk kami jelek dan berantakan pula. Tak menduga bakal ada orang kota datang bertamu. Mau kopi?"
Meskipun ia habiskan kopi satu mangkuk penuh sambil ngobrol tentang banyak hal di kota yang ditanyakan oleh si perempuan, toh Margono merasa kantuk tetap menyerang. Waktu terus berlalu, dan si ayah belum muncul-muncul jua. Margono mendengar si perempuan menjelaskan tentang sesuatu, namun tidak dapat dicerna otak karena telinganya pun Sudah antara mendengar dan tidak. Saat berikutnya ia sudah tertidur. Pulas. Sangat pulas.
Dan betapa ia terkejut ketika akhirnya ia bangun, heran dengan kenyataan bahwa ia bangun di sebuah tempat aneh dan terasing, di sekeliling sunyi mencekam. Cahaya matahari menerobos lembut lewat jendela yang terbuka. Ia mencium udara yang lebih segar dan nyaman. Tak ada siapa-siapa di dalam pondok. Ataukah ia tengah bermimpi"
Ke luar dari pondok, ia lebih terkejut lagi. Dari arah dan panas matahari tiba tiba ia menyadari bahwa saat itu paling-paling baru sekitar pukul sembilan pagi. Astaga. ia telah tertidur sepanjang sore dan malam. Bukan main. Dan alangkah memalukan. Masuk lagi ke dalam pondok barulah ia mengetahui bahwa di atas meja kayu terhidang semangkuk kopi yang masih hangat serta sepiring ubi rebus dengan campuran kelapa parut serta gula merah. Tanpa malu-malu ia menghabiskannya, kemudian ke luar menuju pondok berikutnya, dari mana ia dengar suara orang bekerja. Ia berharap si perempuan ada di sana, membantu ayahnya.
Tungku tidak menyala. Ketel hanya tinggal kerak gula. Para tampak kosong. Tiada siapasiapa di dalam pondok itu. Ternyata suara yang tadi ia dengar berasal dari sebelah sana pondok. Orang tua berkumis dan berjenggot serba putih, sama putih dengan rambutnya yang kini terurai lepas tanpa penutup seperti kemarin. Potongan-potongan kelapa yang telah diasap sudah dijemur di bawah panas matahari. Ada sebuah mesin aneh di bawah sebatang pohon yang rindang, yang kemudian ia ketahui sebagai mesin giling. Si orang tua tengah sibuk menekuni pekerjaannya. Mengupas kulit kelapa dengan mempergunakan besi runcing tajam, yang pangkalnya ditanam ke dalam tanah keras. Puluhan butir kelapa-kelapa tua tertumpuk di dekat kakinya.
"Nyenyak betul tidurmu semalam," dia bergumam tanpa menoleh. "Sudah sarapan?"
"Sudah, Pak," jawab Margono. "Maaf, tempat tidur Bapak aku monopoli sendiri...."
"Tak apa. Tidur di kursi goyang tetap menyenangkan. Kau mencari anakku, bukan?"
Tebakan langsung itu membuat Margono gugup sesaat. la memaksakan senyuman lebar di bibir manakala si orang tua berpaling ke arahnya, sebagai balasan dari senyuman yang juga lebar di balik kumis dan jenggot memutih itu. Untuk tidak tampak konyol, ia berkata seingatnya saja: "Apakah ada yang dapat saya bantu?" "Terima kasih Tetapi itu nantilah.
'Tak ingin mandi?" "Yah" " "Ada mata air di bawah sana." orang tua itu menunjuk ke arah Barat. menjelaskan beberapa petunjuk yang harus ditempuh agar Margono tidak sampai tersesat. Kemudian: " Boleh aku tahu siapa namamu, Nak?"
"Margono." "Berapa tahun umurmu?"
"Dua satu." Orang tua itu diam sebentar. Pekerjaannya ditunda. Ia tampak berpikir, kemudian katanya lembut: "Anak muda. Kau melarikan diri dari sesuatu. bukan?"
"Dari mana Bapak tahu?" tanya Margono terkejut.
"Itu salah satu keistimewaanku." orang tua itu tersenyum. "Nah. Pergilah mandi. Setelah itu baru kita ngobrol panjang lebar."
Margono baru saja memutar langkah. ketika ia teringat untuk bertanya: "Bapak sudah tahu nama saya. Bolehkah pula saya tahu nama Bapak?"


Misteri Lembah Hantu Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku Sumirta." "Apakah bapak dilahirkan dengan rambut putih semua?"
"Tidak. Rambut. seperti juga kumis dan jenggotku memutih bersama waktu. Kalau kau ingin tahu, waktu aku lahir ke dunia mungkin ayah bahkan kakekmu sendiri belum ada. Bulan depan. usiaku genap seratus tahun. Satu abad. persisnya. Heran. Nak Margono" Pikirkanlah itu selagi kau mandi nanti...."
Margono menemukan mata air jernih dan resik itu. Ia mandi. dan ia berpikir. Yang ia pikirkan bukan kebenaran usia si orang tua. Boleh saja dia berusia satu abad. Pertanyaan yang berkecamuk di benak Margono adalah. berapa tahun pula usia si Melati, putrinya yang cantik jelita itu" Mungkin tak lebih dari 20 tahun. Paling tidak. hampir sebaya dengan Margono sendiri. Lalu kalau umur Melati sebegitu. berapa umur ayahnya ketika menikahi ibunya Melati" 80 tahun! Perempuan mana yang masih bersedia dinikahi lelaki seusia itu" Atau ibu Melati juga sudah berusia lanjut ketika menikahi ayah Melati" Istri ke berapa pula dia itu" Masih hidupkah. atau sudah mati"
Uh, mengapa berpikir sejauh itu.
Pikirkan saja satu hal: bagaimanapun. tempat ini cukup aman untuk bersembunyi. Didampingi Melati pula! Apalagi" Di sini ia tidakperlu uang. Tak bakal takut kelaparan. Asal ia
pintar melakukan pendekatan. bekerja apa saja untuk membantu orang tua itu. Tetapi eh,
tunggu dulu. Buat apa minyak kelapa dan gula merah berlimpah-limpah itu" Jelas, bukan untuk memenuhi keperluan dapur dua anak beranak. Lalu, untuk apa memproduksi sedemikian banyaknya"
Selesai mandi, ia berjalan-jalan di sekitar mata air menikmati pemandangan alam yang serba kontras. Terang cemerlang bersiram matahari di beberapa tempat, tetapi gelap dan suram di tempat-tempat lainnya. Seperti kata Melati, ia akan segera terbiasa. Bukan saja menempuh perjalanan yang meletihkan, tetapi juga menyesuaikan diri dengan alam sekitar. Juga menyesuaikan diri dengan anak beranak itu. Selama ini ia tidak punya keahlian, kecuali mencuri, merampok, memperkosa, kalau perlu membunuh. Di luar itu, ia boleh dibilang nol. Tak tahu apa-apa. Tetapi ia dapat belajar. Belajar pekerjaan apa saja yang mungkin ia kerjakan untuk membantu anak beranak itu. Agar tidak jadi benalu, hanya tahu numpang makan dan tidur secara cuma-cuma.
ia tengah memikirkan kemungkinan untuk menikahi Melati, dengan izin ayah gadis itu, tatkala Margono mendengar suara ganjil tak jauh dari tempatnya berdiri. Rasanya. seperti suara jeritan lemah dan pasti bukan jeritan seorang manusia. la susuri aliran mata air. menerobos di antara semak belukar dan pepohonan
yang teduh dan gelap. Makin dekat ke arah suara itu. ia makin berhati-hati. Khawatir ada ancaman bahaya di depan. Siapa tahu, suara yang tadi ia dengar adalah suara binatang binatang buas yang....
Mungkin tidak buas, namun seekor ular sanca besar dan panjang tetaplah sosok makhluk mengerikan di mata Margono. Dengan ekor masih membelit cabang rendah sebatang pohon besar, tampak seekor ular sanca meliuk-liuk membelit seekor binatang di atas rerumputan. Selintas pandang, Margono dapat menerka korban sambaran ular besar itu adalah seekor menjangan muda, yang mengejang-ngejang mempertahankan hidup. Sampai akhirnya terdengar suara berderak tulang belulang yang patah. Dan gerakan menjangan yang sial itu pun terhenti seketika.
Berlindung di balik rimbunnya belukar. Margono mengintip bagaimana ular sanca itu tetap bergantungan di cabang pohon beberapa saat lamanya. Kemudian bagian ekornya jatuh melingkar di rerumputan. Belitan pada tubuh menjangan di lepas. Sepasang matanya yang merah kehijau-hijauan, mengawasi korbannya beberapa saat. Lalu setelahnya. terjadilah sesuatu yang aneh. Sesuatu yang berlawanan dengan kelaziman. Ular sanca itu bukannya menelan bulat-bulat bangkai menjangan. Setelah lebih dulu dibelit kembali. moncong mengerikan itu menerkam salah satu paha menjangan. dan dengan satu renggutan keras paha binatang malang itu direnggut lepas Lalu dengan paha menjangan tercengkeram di antara moncongnya. ular sanca itu kemudian merayap pergi. Meliuk-liuk di antara pepohonan lalu lenyap di tempat gelap menakutkan.
Margono menghela nafas. menyeka keringat. Dingin sekujur tubuhnya. Begitu pula keringatnya. la mengawasi sisa bangkai menjangan yang secara ajaib diterlantarkan begitu saja oleh sang ular. Ganti mengawasi tempat gelap di mana ular sanca tadi menghilang, kembali tubuhnya terasa dingin membeku. Satu hal yang ada dalam pikirannya hanyalah, cepat menjauh sebelum makhluk mengerikan itu melihatmu dan memangsamu pula. _
Setelah menunggu beberapa saat, Margono kemudian lari terbirit-birit. Ia sempat salah arah sebelum akhirnya menemukan mata air tempatnya mandi. lalu berjalan lebih tenang mendaki tanjakan sampai ke tempat terbuka. Ayah Melati telah selesai mengupas seluruh butir kelapa yang ada. Margono mengatur nafas. berusaha bersikap wajar agar tidak ditertawakan karena telah begitu takut setengah mati. la berjalan mendekati tempat ayah Melati
bekerja, dan dengan penuh perhatian memperhatikan bagaimana orang tua itu mengelupas tempurung kelapa sedemikian rupa, sehingga daging-daging kelapa tidak rusak terpotong sia-sia.
Seperti tadi, tanpa menoleh orang tua itu lantas sudah berkata: "Pergilah jalan-jalan, Nak. Supaya kau lebih mengenali suasana sekitar."
Jalan-jalan dan dipergoki makhluk yang lebih mengerikan dari ular sanca itu. Margono bergidik. Lalu bergumam bimbang: "Pekerjaan begini tampaknya asyik juga. Maukah Pak Sumirta'mengajari saya?"
Lepas tengah hari Sumirta mengajak tamunya masuk ke pondok utama. "Sudah waktunya makan siang ." katanya. Dan memang, sejak beberapa menit sebelumnya Margono telah mencium bau masakan yang merangsang hidung dibawa angin dari arah pondok utama. Barangkali ia begitu asyik menekuni pekerjaan yang beberapa kali ia lakukan dengan gagal. Sehingga tidak melihat Melati pulang dan menyelinap ke pondok utama. Entah hidangan apa yang dimasak Melati sehingga baunya sedemikian rupa menggelitik di hidung apalagi di perut.
Ternyata. daging panggang!
Daging segar, lunak, gurih dan lezat. Plus
sayur lalap, sambal dan sop dengan bahan daging yang sama. Mereka bertiga, terutama Margono, makan dengan lahap. Selagi makan, Sumirta menceritakan satu dua lelucon yang ia alami ketika mengajari Margono mengupas tempurung kelapa .Meski merasa malu. mau juga Margono memperlihatkan telapak tangannya yang terluka oleh goresan sisi tempurung yang runcing tajam. Lantas sambil lalu ia memuji kelezatan hidangan Melati, dan bertanya: "Dagingnya enak. Daging apa sih?" "Menjangan." jawab Melati, tenang.
... "MENJANGAN" Bukan main. Pantas.?" Margono terdiam tiba-tiba. la mengawasi Melati. yang balik mengawasinya pula. Tanpa berpikir panjang. Margono meneruskan: "Oh. oh. Apakah kau juga menemukan bangkai menjangan itu" Lalu mengambilnya sebagian untuk dibawa pulang?"
Sekilas mata Melati berkilat tajam. Namun dengan cepat bersinar biasa kembali. dan dengan tenang bergumam: "Bangkai" Aku... tak melihatnya."
Ayah Melati terdengar batuk-batuk kecil.Lantas dengan lembut bertanya:
"Apa saja yang kau lihat. Nak Margono?"
Dengan bernafsu Margono menceritakan apa saja yang ia dengar dan kemudian saksikan dengan mata kepala sendiri. "Anehnya, ular mengerikan itu bukannya menelan bulat bulat tubuh korbannya. Cuma merenggut sepotong paha. kemudian menghilang ."
Melati bertukar pandang sejenak dengan ayahnya. kemudian tertawa lembut. "Kau pasti begitu ketakutan ya?" ujarnya. "Bagus kau tidak mengusik ular itu . Binatang-binatang di lembah ini, bagaimanapun buasnya tidak akan mengganggumu. selama kau tidak mengganggunya. Itu, selama mereka mengenal baumu.. .."
"Bauku?" Margono terheran-heran.
"Benar." "Aku tak mengerti. Kukira aku tak punya bau istimewa. . . ."
"Kau punya. Yakni bau yang melekat di tubuhmu karena tinggal di sini bersama aku dan ayah. Makhluk-makhluk yang ada di luar sana, mengenal bau pondok ini. Mengenal pula bau penghuni-penghuninya. Memang sulit dimengerti. Tetapi di tempat yang begini sunyi terpencil. akan banyak hal-hal aneh yang kelak kau alami...."
"Itulah yang dikatakan kakek " Margono setengah berseru. "Hal-hal yang aneh. Jangan
keluar dari jalan setapak Dan.. "
Melati tampak menjadi tegang. Margono tidak memperhatikan. karena ia sudah keburu menoleh sewaktu ayah Melati berkata: "Jadi kau punya sanak saudara di desa sekitar lembah ini ya" Desa mana?"
Margono lalu menceritakan tentang kakeknya. desa di mana ia lahir. dan desa ke mana ia seharusnya pergi sebelum ia bertemu dengan Melati. Sementara Melati sibuk membereskan bekas makan mereka. sang ayah masih bertanya ini itu sehingga soal menjangan dengan segera terlupakan. Obrolan kemudian berkembang pada persoalan yang lebih menjurus. baik dari pihak tuan rumah maupun dari sang tamu.
"Ibu Melati sudah meninggal." Sumirta menerangkan sepintas lalu. "Dan tentang gula dan minyak kelapa. aku menjualnya pada satu
di antara sekian orang pencari rotan yang sering memasuki lembah ini. Kami tak butuh
uang. Nak Margono. Yang kami butuhkan adalah apa yang tak kami dapatkan di tempat ini. Beras. garam. pakaian. beberapa alat-alat yang tak dapat kami buat sendiri. Dan jangan lupa. Melati seorang perempuan. Perempuan, di mana pun. suka dan keranjingan memiliki atau menyimpan perhiasan. Terutama emas berlian. Dia sudah mengumpulkan cukup banyak tetapi yah rasa tak puas menghinggapi setiap orang bukan?"
Margono tidak memberi komentar. Ia diam. tercenung. Melati punya setumpuk emas berlian. Astaga. itu kabar yang menarik. Suatu kesempatan yang langka. Tetapi....
"Kami tak membeli semua itu secara langsung." berkata lagi Sumirta. sambil matanya mengawasi wajah Margono. mencoba menarik kesimpulan kemungkinan apa yang tersirat di balik wajah laki-laki muda tamunya itu. "Kami cukup menyerahkan gula dan minyak. Dan sebaliknya. langganan kami menyerahkan barang-barang atau keperluan apa saja yang kami butuhkan: Dengan syarat. orang itu tak boleh mengetahui di mana kami tinggal. Tak _boleh mengungkapkan tentang kami pada siapa pun juga."
"Hem." Margono membuang pikiran buruk dari kepalanya. "Mungkin orang itulah yang menyebarkan desas-desus lembah ini berhantu. Selain untuk menjamin kerahasiaan. juga untuk menjamin ia tidak akan punya saingan...."
"Boleh jadi. Tetapi ada juga sebab lain mengapa tempat ini mereka sebut Lembah Hantu. Seringkali ada orang nekat atau punya tujuan lantas tersesat di lembah ini. Beberapa dari mereka berhasil menemukan jalan pulang.
Tetapi tiba di rumah, mereka tidak bisa menceritakan apa yang mereka lihat dan alami selama tersesat beberapa hari di hutan-hutan sekitar sini. Konon, mereka seperti orang linglung, lupa ingatan. namun satu hal, mereka tetap sehat dan berpikiran normal sebagai orang-orang lain. . . ."
"Maksud Bapak. ada pula yang tak pernah kembali."
"Ada, tetapi jarang. Misalnya, pernah aku menemukan mayat seseorang. Jelas ia habis dimangsa harimau, menyimak keadaan jenazahnya yang rusak berat. Aku tak tahu siapa dia, dari mana asal-usulnya. Jadi ia kukuburkan saja di tempat ia kutemukan. Begitu pula, ketika lain waktu aku menemukan sepasang remaja belia. Entah apa maksud mereka memasuki lembah ini. Tetapi kuduga, mereka ingin memadu cinta. Sayang, mereka memilih tempat bercinta yang salah. Dari apa yang kemudian kupelajari, tahulah aku mereka telah tersesat cukup jauh ke dalam hutan. Si pemuda terjerumus ke jurang, mati. Gadisnya, berkeliaran seperti orang gila, putus asa dan ketakutan. Gadis itu pun kemudian mati. Karena kelaparan. Dan pasti juga, karena ketakutan...."
"Mereka Bapak kuburkan pula. Tanpa pergi ke desa terdekat, siapa tahu ada yang mengenalnya?" tanya Margono. takjub.
"Orang-orang di luar sana sudah sejak puluhan tahun berselang menjauhi lembah ini. Mereka takut dan kemudian benci pada apa pun yang ada di dalamnya. Kalau aku turun ke sana. hanya ketakutanlah yang akan kutemui. Selain juga. toh tidak akan menolong sanak mereka yang sudah mati. bisa hidup kembali...."
"Pasti ada sebab-sebabnya"
"Itu pasti. Suatu akibat, pasti ada penyebabnya."
"Lalu... apa sebab Bapak dan putri Bapak memilih menetap di lembah ini?"
Orang tua itu memandang tajam, baru menjawab. "Aku ingin menyepi. Melati juga ingin menyepi. . . ."
"Mengapa Bapak memilih tempat menyepi yang begitu jauh dari dunia luar?"
Orang tua itu menjawab dengan pertanyaan
pula: "Mengapa kau melarikan diri dari kota, Nak "
Margono terdiam. Bersama waktu, yang berlalu pula diam diam. Tanpa terasa hari sudah malam. Sementara orang tua pemilik Lembah Hantu pergi untuk membereskan sesuatu di pondok kerjanya, Margono mencari tempat tersembunyi untuk buang hajat. Kembali ke pondok, Melati menyuguhinya semangkuk kopi. ia ingin merokok, dan Melati melintingkan tembakau milik ayahnya untuk memenuhi permintaan Margono.
Sewaktu menyulutkan api ke rokok lintingan yang terselip di mulut Margono. tubuh perempuan itu terasa begitu dekat. begitu hangat, begitu mengundang. Margono memegang tangan si perempuan, menariknya ke pelukannya.
Setelah melepaskan rokok dari sela-sela bibirnya, Melati diciuminya sepuas hati. Gadis itu tidak menolak. Baru ketika Margono akan merebahkannya ke dipan, gadis itu melawan.
"Jangan." katanya. ."Sewaktu-waktu ayah pulang."
"Aku menginginimu, Melati."
"Besok saja! " " Besok" Mengapa tidak malam ini. "
"Besok saja!" ulang Melati tegas. lalu menyelinap ke balik pintu kamar. Kamar satu satunya di pondok itu. Pintu ia tutupkan rapatrapat. Margono tidak mendengar bunyi anak kunci diputar. Waktu ia perhatikan, ternyata daun pintu kamar tidak pakai lubang kunci. Diselot, barangkali" Atau menutup tanpa penghalang yang berarti"
Margono masih memikirkan berbagai kemungkinan, ketika ayah Melati masuk ke pondok Selama beberapa saat lamanya. mereka meneruskan obrolan yang arah tuiuannya tak "tertentu. Puas mengisap tembakau dari pipanya. si orang tua kemudian tertidur lelap di kursi goyang. Sebelum tidur. ia sempat berseloro: "Barangkali. besok kita perlu membuat dipan tambahan ."
"Artinya." pikir Margono." aku diperkenankan menetap."
Dia kembali gelisah. Ia senang diperbolehkan menetap. Apa yang ia gelisahkan. adalah pintu yang tertutup didepan matanya. Dahaga akan perempuan yang terpendam sekian tahun di dalam penjara. kembali menuntut pelampiasan. Menuntut. menggebu-gebu."
*** BAB 4 BERSAMA larutnya malam, larut pulalah benteng pertahanan Margono. Diiringi dengkur Sumirta yang terlelap di kursi goyang, ia bangkit hati hati dari dipan. Dengan bersijingkat ia tiba di pintu kamar Melati. Ternyata pintu tidak dikunci atau ditahan dari dalam. Waktu ia mendorongnya, terdengar suara berderit tajam. Margono menegun, tak berani bergerak. la siap mendengar teguran keras dari ayah Melati. Namun kecuali bunyi dengkur yang melemah, Margono tidak mendengarkan apa-apa lagi. Bahkan juga tidak suara hati kecilnya agar menjaga diri di tempat orang.
Ia tidak tahu, bahwa begitu ia menutupkan pintu di belakangnya, Sumirta setengah membuka mata. Orang tua itu mengawasi pintu kamar tidur anaknya yang ditutup sangat hatihati. Gelang kepala sejenak, bergumam: "Laki-laki. Di mana pun, sama saja!" Lalu matanya terpejam kembali. Acuh tak acuh.
Di dalam kamar, jilatan lampu damar yang temaram menerangi lantai tanah keras. di atas mana tubuh Melati yang menggairahkan terbujur pulas berlapiskan jerami tebal dan padat. Gadis itu tampaknya tidak teruSik oleh bunyi langkah-langkah kaki Margono yang semakin mendekat. Tubuh molek itu tetap diam, ketika Margono berjongkok bersimpuh perlahan, lalu membungkuk dan mencium bibir yang ranum Itu.
Melati hanya menggeliat lemah ketika roknya disingkap terbuka oleh Margono. ia baru membuka matanya, manakala Margono dengan pelan tetapi pasti mulai memasuki tubuhnya. Gadis itu membelalak, kemudian memprotes lembut. Tetapi Margono dengan segera membungkam protes itu melalui ciuman yang memabukkan. Sesaat sewaktu ciuman itu terlepas, Melati berbisik di telinga Margono:
"Aku harap, kau tidak menyesal nanti. . . ."
Margono mendengar peringatan yang ganjil itu. namun tidak memperdulikannya. Gairahnya sudah menggebu sedemikian rupa, begitu mereka menyatu tanpa lapis apa pun yang membatasi tubuh mereka berdua. Ia hanya tahu bahwa perempuan itu mendadak liar dan buas . Suatu saat perempuan itu berada di atas tubuhnya, meliuk-liuk semakin liar. Saking liarnya, Margono sampai tersentak sendiri.
Matanya terbuka lebar mengawasi gaya bermain si perempuan yang belum pernah dilihat maupun dialaminya. Setengah tubuh Melati mendongak ke atas. Kedua lengannya tidak bertahan ke lantai untuk menjaga keseimbangan. Melainkan,menyatu lurus dan rapat ke tubuh, seperti juga kedua belah kakinya. Dengan posisi yang aneh itu Melati melampiaskan dorongan birahinya yang telah dibangkitkan Margono.
Pada klimaksnya, mulut Melati setengah terbuka mengeluarkan suara berdesis. Berdesis dan terus berdesis, semakin tajam, semakin menusuk. Menyusul lidahnya pun ikut ke luar. Dan lidah itu bercabang dua di ujungnya. Lidah itu berbuih, dan buihnya yang berbau anyir sebagian jatuh menimpa wajah Margono. Pada saat bersamaan, mata si perempuan berubah warna menjadi merah kehijau-hijauan, disusul perubahan demi perubahan lainnya. Wajahnya semakin lonjong lalu lancip, kulit halus mulus menjadi kasar dan bersisik. kesat dan hitam pekat. Kaki maupun tangannya lenyap. sementara tubuhnya terus memanjang dan semakin panjang. begitu besar, begitu hitam.
Akhirnya, dengan suatu desisan liar lewat moncong dan lidahnya yang bercabang dua. bagian atas tubuh makhluk menyeramkan itu
melorot lalu terhempas dengan suara berdebum lunak di jerami. tepat di sisi tubuh Margono yang tergetar dengan wajah pucat pasi. Birahi Margono lenyap seketika. Kejantanannya melayu, keberaniannya pun ikut sirna. Disertai jeritan-jeritan tertahan ia melepaskan diri dari sisa tubuh menakutkan itu yang masih membelit bagian bawah tubuhnya sendiri.
Ia terbang ke pintu. melesat melewati kursi goyang, menerjang pintu depan. Dan di luar pondok, ia terbungkuk-bungkuk, jatuh dengan ke dua lutut di tanah, lalu muntah, muntah dan terus muntah sampai seisi perutnya benarbenar sudah kosong tak bersisa. Setelah itu, ia tertengadah menghirup udara segar. Di atas sana, rembulan begitu pucat seperti dirinya. Di sekeliling, kegelapan begitu hitam pekat seperti makhluk yang ia tinggalkan di kamar tidur Melati.
?" aku harus pergi!" ia merintih. "Aku harus menjauhi tempat terkutuk ini. .. .! "
Udara sedingin es menusuk tubuh telanjangnya. Margono mengumpulkan sisa-sisa tenaga maupun keberanian. lalu berjalan masuk kembali ke dalam pondok. Ia menemukan buntelan berisi pakaian cadangan yang oleh kakeknya memang selalu disiapkan bilamana Margono benar-benar membutuhkan. Waktu ia akan melangkah menuju pintu. barulah ia
sadari bahwa ia tidak seorang diri di pondok itu.
"Mau ke mana?" terdengar suara bertanya, dari arah kursi goyang.
Margono membalikkan tubuh dan melihat Sumirta mengawasinya dengan mata setengah mengantuk. Apakah laki-laki tua renta bertubuh kekar ini adalah juga seekor ular. Ular dari jenis apa dia, dan sebesar apa pula panjang tubuhnya" Margono bergidik. dan menjawab kecut: "Aku mau pergi. .. ."
KELOPAK MATA keriput itu melebar terbuka, dari balik kumis serta jenggotnya terulas senyuman lembut. "Besok pagi sajalah," katanya ramah, tanpa motivasi apa pun. "Aku tetap akan pergi. Sekarang!" "Tahan dirimu. Nak. Dan berpikirlah dengan kepala dingin," kata Sumirta, menyabarkan. "Di luar, gelap. Dalam gelap, makhluk-makhluk penghuni lembah di luar sana, saling memusuhi satu sama lain. Kau tidak akan memahami, tetapi sinar rembulanlah penyebabnya. Sinar rembulan membangkitkan kebencian mereka, mendorong mereka untuk saling menghancurkan bila bertemu. .. ." Bau tak sedap tercium dari pintu kamar
yang terbuka. Margono tidak berani menoleh ke sana. Tetapi bau itu mengingatkannya pada sesuatu. Katanya: "Bapak bilang. di tubuhku sudah melekat baupondok ini.-Bau. .. penghuninya!"
"Memang. Tetapi bau itu akan hilang Begitu kau kembali ke jalan setapak. Sampai dibatas itu. baumu tidak dapat lagi melindungi dirimu. Bahkan aku dan anakku pun, tidak "
"Aku dapat melindungi diriku sendiri!"
"Mungkin. Tetapi dalam gelap, kau tak akan menemukan jalan setapak itu untuk kembali ke mana pun kau ingin pergi...."
"Damar! " dengus Margono. Namun suaranya tidak tegas ketika melanjutkan: "Perkenankan aku meminjamnya sebuah..."
"Kau tidak tahu apa yang akan terjadi atau akan kau temui di luar pondok ini, Nak. Dalam situasi serupa itu, lampu damar tidak akan banyak membantumu."
Margono mendekati kursi goyang. la berlutut. Tak malu ia jadi pengemis. bila keadaan sudah sangat kritis. "Tolonglah." ia memohon dengan sangat. "Bapak dapat menuntunku sampai ke jalan setapak. Hanya sampai di situ. Setelahnya. . . ."
Sumirta menggelengkan kepala. "Aku mau melakukannya. Bahkan aku senang dapat melakukannya." ia berkata, lunak. "Tanpa kehadiranmu di sini. aku dan anakku akan kembali pada kehidupan kami yang biasa. Ketenangan yang abadi. Kesunyian yang abadi. Dan hidup. yang kami harapkan semoga akan abadi pula.?"
Sumirta melirik sekilas ke arah pintu kamar yang masih terpentang. Di atas tumpukan jerami. tampak sesuatu yang besar dan hitam. melingkar diam, tidak bergerak. Margono yang ikut melirik, mau tidak mau bergidik. Seram. Dengan cepat ia berpaling, dan pikirannya teramat kacau. Namun ia masih dapat menangkap jelas suara Sumirta:
"Kami adalah kami, Nak. Bukan kau. atau orang-orang seperti kau di luar lembah ini. Kami tidak mau diusik. Tidak mau diganggu. Tetapi kau, dan orang-orang di luar sana seringkali saling mengusik. saling mengganggu. Aku bukan menyalahkan siapa-siapa. Kalian di luar sana, harus hidup seperti aku dan anakku juga ingin hidup. Bedanya. untuk dapat hidup kalian harus bertahan, atau berjuang. Sama saja. Dalam keadaan bertahan atau berjuang, kalian tetap harus menghadapi tantangan. Menghadapi saingan. yang semakin lama semakin keras . Acapkali jadinya kalian harus mementingkan diri sendiri, perduli amat dengan kepentingan orang lain .. .."
Margono merasa tersindir. Di sini. sebelumnya ia begitu menikmati dan mendambakan hidup tenang dan indah bersama Melati. Tetapi begitu ia menghadapi kenyataan. ia lari. Diam diam. Margono merasa malu pada dirinya sendiri.
"Tidak perlu malu, Nak." Sumirta seperti menyelami jalan pikiran Margono. "Apa yang ingin kau lakukan, juga telah dilakukan oleh laki-laki lain sebelum engkau.. . ."
Margono terjengah. Mestinya ia telah memikirkannya sejak semula. Yakni ketika ia pertama kali menyetubuhi Melati di atas batu sungai. Saat mana ia menyadari bahwa. ia bukanlah laki-laki pertama. Ia begitu dungu. Dan dengan kepala dungunya, tanpa terkendali ia bertanya kasar: " Berapa. .. banyak?"
"Laki-laki sebelum kau?" Sumirta mengeluh, tanpa nada tersinggung. "Aku tak pernah menghitungnya. Aku hanya tahu. mereka datang. lalu mereka pergi. Laki-laki terakhir, pergi beberapa bulan sebelum kau datang "
Suatu pemikiran baru menggugah rasa ingin tahu Margono. Terlupa sejenak pada pengalaman mengerikan dan adanya makhluk yang sama mengerikan di belakang punggungnya. ia bertanya: "laki-laki terakhir. Bagaimana dengan laki-laki sebelum dan sebelumnya lagi?"
"Sudah kubilang, aku tak ingin mengingatnya. Mungkin sewaktu kau baru saja dilahirkan ibumu. Beberapa di antaranya, bahkan mungkin
sewaktu ibumu masih ada dalam kandungan
nenekmu. Margono ternganga "Mustahil, ia mengerang, getir
Apa yang tidak mustahil di lembah ini,
Nak" Kau toh telah membuktikan salah satu.
Tadi, di kamar tidur anakku.
Pengalaman mengerikan itu tidak ingin diingat lagi oleh Margono. Tetapi mana dia mam-pu" Tanpa sadar, la beringsut lebih dekat ke sinar lampu damar. Dalam cahaya terang, la me-rasa lebih aman. Dalam gelap" Haruskah ia
bersikeras pergi di tengah malam buta ini"
Pengalaman di kamar tidur itu, sudah lebih
dari cukup. Tidak. la tidak mungkin pergi sekarang. Tetapi mampukah ia bertahan di pondok ini, bersama kenyataan yang diam melingkar di tumpukan jerami itu"
Margono bergidik lagi. Bertanya, kacau.
Melati berapa tahunkah umurnya" Dia
makhluk itu....Aku kira....
Tabahkan hatimu, Nak. Seperti aku dulu
berusaha menabahkan hatiku pula Ketika aku
masih seusia kau Ketika Melati dilahirkan oleh
ibunya, delapan puluh tahun yang silam"
Ketika itu. Sumirta bercerita, la tidak punya
keberanian seperti Margono. Terutama, kebe-ranian untuk membunuh sesama manusia. Ia
tidak mau maju ke medan perang. Kalau ia maju, ia harus membunuh atau dibunuh. Ia lalu ditertawakan, dihina, kemudian dikucilkan. Terpaksa ia menghindar. Menjauhi orang-orang lain, menjauhi dunia luar yang hidup matinya bukan lagi persoalan atau miliknya. Ia memilih lembah dan lereng-lereng gunung di sekitar lembah ini, karena tahu di tempat ini tidak seorang manusia lain pun pernah berani memasukinya.
Sumirta bertapa. Ingin jadi orang suci. Suci dari mengalirnya darah, suci dari keinginan duniawi. Namun ia tidak mampu mengelakkan diri dari satu hal: bahwa ia tetap saja seorang laki-laki. Menjelang akhir tapanya, ia terbujuk rayuan perempuan cantik molek yang tahu-tahu saja muncul entah dari mana lalu memeluk dan membangkitkan gairahnya.
"... perempuan itu secantik dan semuda Melati," katanya,letih. "Penampilan wujudnya pun tak berbeda. Bila ia ingin jadi manusia. jadilah ia manusia. Bila ia tergoda jadi ular, jadilah ia ular. Tetapi godaan terakhir lebih besar, terutama bila rembulan mulai merayap di langit kelam. Akhirnya ia tidak kuasa melawan kehendak rembulan. Dengan atau pun tanpa kemauannya, maka ia akan kembali ke wujud
Ular begitu rembulan merangkak di balik aWan...."
Jadi itu sebabnya. pikir Margono gundah. mengapa sebelumnya ia telah ditolak Melati bermain cinta. "Besok saja." kata Melati. Jelas. Melati maksudkan, besok siang. Jangan di waktu malam! Sungguh terkutuklah diri Margono. tak kuasa mengendalikan diri. Tetapi apa bedanya. Pada suatu ketika. toh ia akan terjebak juga oleh dorongan birahi. Pada suatu ketika, toh semua itu akan terbuka juga.
"Masihkah kau ingin tetap pergi Malam ini?"
Margono tersentak oleh pertanyaan Sumirta. Jawabnya: "Biarlah aku menunggu sampai besok pagi. Tetapi. . . ."
"Masih meragukan sesuatu. Nak?"
Takut-takut Margono menoleh ke belakang. Lewat pintu kamar yang terbuka. ia lihat sesuatu yang besar dan hitam itu masih tetap melingkar di tempatnya. Diam seperti mati.
Margono membasahi bibirnya yang kering. Bertanya serak: "Apakah dia... bersedia melepaskan aku pergi?"
Sumirta tersenyum, misterius. Suaranya mengandung iba kasihan bercampur kelegaan: "Ia akan membiarkanmu pergi. Seperti ia juga dengan berat hati telah membiarkan lelaki-lelaki sebelum kau. pergi meninggalkannya...."
Lagi Margono merasa malu.
Malu. karena harus lari. Ia masih tetap Margono. masih tetap dengan karakter yang belum dan mungkin tidak akan pernah berubah: mementingkan diri sendiri.
"Ayo. Nak. Tidurlah kembali." ujar Sumirta .
Margono akan merangkak naik ke dipan. ketika Sumirta berkata memelas:
"Maukah kau menutupkan kembali pintu kamar Melati" Dengkurku. selalu mengganggu tidurnya. . . ."
Margono menelan ludah. Dengan langkah langkah kaku ia menuju pintu kamar tidur yang sempit. pepak dan menebarkan bau tak sedap itu. Anehnya. ketika mengawasi tubuh melingkar di tumpukan jerami. ia tidak lagi merasa takut. Ia juga tidak merasa ingin muntah. Sesaat sebelum ia menutupkan pintu. matanya menangkap sesuatu di sudut kamar. Sebuah peti kecil, berwama kuning tua. Margono sudah lama dapat melihat dan mengetahui sasarannya. mana yang asli mana yang cuma imitasi. Maka ia tahu betul. bahwa peti kecil di sudut kamar itu sesungguhnyalah berlapiskan emas murni. Dan dengan ketajaman otaknya. ia sudah mampu mencium benda apa saja yang tersimpan di dalam peti kecil itu.
Delapan puluh tahun adalah waktu yang teramat banyak untuk mengumpulkan sesuatu. Karena tempat menyimpannya tidaklah cukup besar, maka apa yang terkumpul lalu disimpan itu mestilah tidak ternilai rupa, bentuk, apalagi harganya. Sewaktu merayap naik ke dipan, Margono tidak saja memikirkan emas, berlian. Ia juga sempat memikirkan perhiasan-perhiasan perempuan tempo dulu. Intan yang sudah
diasah, maupun yang masih dalam gumpalan utuh....
*** BAB 5 BEBERAPA KALI terjadi dalam menjalankan aksi kejahatannya di kota, Margono salah atau kurang perhitungan. Tak heran bila ia telah dikenal polisi pada usia 12 tahun, dan masuk penjara pertama kali pada usia 15. Pengalaman memang seharusnya dijadikan cambuk. Tetapi nafsu ingin memiliki dengan cepat, seringkali gagal diajarkan dengan baik oleh seorang guru. Termasuk guru-g uru Margono di penjara.
Nafsu semacam itulah yang mendorong Margono untuk bertahan jangan sampai tertidur. Dan setelah mendengar Sumirta kembali mendengkur, ia menunggu beberapa saat, bahkan ia tambahi dengan permainan ekstra: dengkuran palsu, sahut bersahut dengan dengkur Sumirta. Sambil pura-pura mendengkur ia menggapai pisau komandonya yang tersimpan di bawah tumpukan jerami. Untuk ke dua kalinya malam itu, ia bersijingkat ke pintu kamar tidur anak Sumirta. Kali ini, lebih hati
hati. ia berhasil, meskipun sebenarnya ia tidak pernah mempelajari ilmu meringankan tubuh.
Hambatan pertama yang ia hadapi. adalah perasaan jijik. mual. sekaligus seram sewaktu ia melangkahi tumpukan jerami yang ditiduri oleh makhluk besar hitam, melingkar sampai setinggi pinggangnya. la terpaksa menahan nafas beberapa tarikan. Berusaha menguasai getaran dadanya yang terguncang, serta menekan kuat keinginan untuk lari naik lagi ke tumpukan jeraminya sendiri.
Moncong lancip makhluk menyeramkan itu rebah di lingkaran paling atas. MonCOng itu terkatup rapat. begitu pula sepasang matanya yang tanpa kelopak. Tak ada suara desis. Bahkan angin pun seperti tak berani bertiup di kamar ini. Setelah merasa lebih tenang sedikit, Margono melangkahi tumpukan jerami sang makhluk. Ia berjongkok di sudut, menyentuh tutup peti kecil yang menggoda itu dengan kegairahan meluap-luap, jauh lebih berpengaruh daripada kegairahan seksuilnya.
Seperti pintu, peti itu pun tanpa kunci. Mudah sekali membukanya. Dan di bawah sinar lampu damar yang temaram, muncullah sinar
sinar lain. Sinar-sinar cemerlang, berkilau gemerlapan. Margono benar. Perhiasan emas tidak seberapa. Yang terbanyak di dalam peti adalah berlian dan intan. Salah satu intan itu besarnya mencapai besar sebutir telur bebek. Ada juga berbagai batu jambrud, merah tua,
biru kelam. ungu. hijau bening. Menyadari harta karun tidak ternilai kini ada dalam genggamannya. Margono tanpa sadar memiringkan peti. Dengan maksud, cahaya lampu damar lebih leluasa memperlihatkan keluarbiasaan serta keindahan masing-masing benda itu.
Tidak sedikit pun ia sadari. kerlipan cemerlang intan berlian yang dipantulkan sinar lampu. secara silang juga memantul ke tubuh melingkar di dekat Margono. Salah satu percikan sinar menerpa mata terkatup tanpa kelopak itu. Mata sang makhluk mengerjap. Mula-mula tanpa hasrat. Lalu kerjapan itu terulang kembali, dan mata sang makhluk kini mengawasi dengan tajam. Moncongnya bergerak terbuka disusul lidah bercabang dan berbuih.
Desis tajam yang menyertai keluar masuknya lidah sang makhluk, mengejutkan Mar_ gono. Sejenak ia terpukau ketika matanya beradu dengan sinar merah darah kehijau-hijauan di kepala sang makhluk. Kemudian ia meraba gagang pisau komandonya. Siap menghadapi serbuan.
Jangan. Jangan menunggu. Seranglah lebih dulu. sebelum kau didahului!
Meskipun sang makhluk tetap melingkar dan hanya menggerakkan mata serta lidah keluar masuk saja. seakan pasrah atau tidak perduli. perasaan takut dan panik lebih menguasai pikiran Margono. Naluri ingin menyelamatkan diri menggerakkan tangannya begitu cepat. Dengan ketrampilan seorang ahli, pisau komandonya melayang sekilas di _udara. untuk kemudian hinggap dengan derasnya tepat di antara ke dua biji mata makhluk itu. Seperti kesurupan Margono mencabut pisau dan menusukkannya lagi. Lagi dan lagi. Ia tidak tahu bahwa tusukan pertama saja telah menghancurkan otak sang makhluk. Melumpuhkan pusat saraf, membunuhnya seketika. Bahkan barangkali, sebelum makhluk itu sendiri sempat menyadari bahwa manusia tidak layak dipercaya.
Begitu mengetahui tidak ada perlawanan, barulah Margono menghentikan kebuasannya. Ia merasa pasti makhluk itu telah mati. Tinggal bangkai. Ia tidak menyesal. seperti juga ketika ia tidak menyesal sewaktu menusuk mati sersan polisi yang memergokinya sewaktu melarikan diri dari penjara. Pada saat ia mengepit
peti kecil berlapis emas itu di dadanya. ia merasakan kenyamanan dan kepuasan luar biasa. Dunia miliknya sekarang. Dengan isi peti itu. ia dapat bersembunyi di mana-mana. Malah ia akan keluar terang-terangan di tempat terbuka, mengingat seorang polisi pun manusia juga seperti dirinya,ingin tetap hidup. Kalau mungkin. hidup enak. Terserah bagaimana caranya!
Itulah ajaran salah seorang gurunya yang berpengalaman, guru yang beberapa kali dapat meloloskan diri secara aneh apakah itu dari sel tahanan polisi atau penjara. Benar,membunuh seorang polisi berarti tiada maaf bagimu. Tetapi dengan apa yang kini dimiliki Margono, di penjara pun ia tak perlu takut lagi. . . .
la membuka pintu kamar yang tadi ia tutupkan. mengintip lewat celah-celahnya. Orang tua misterius itu masih terlena di tempat tidurnya, kursi goyang yang begitu nyaman. Kepalanya rebah ke arah lain. Salah satu lengannya terkulai ke lantai, seolah secara naluriah untuk berjaga-jaga kalau dalam tidurnya ia terguling lalu jatuh.
Margono ke luar dari kamar dengan waspada. Pintu ditutupkan, dan ia bersijingkat ke dipan. Bersama pakaian berserakan yang dipungut di kamar tidur anak Sumirta sebelum keluar tadi. ia buntalkan sekalian peti kecil yang berisi harta karun itu. Disimpul kuat. khawatir peti kecil itu punya tangan dan kaki untuk melarikan diri. Ia kemudian rebah di dipan, berbantalkan buntelan itu juga.
Kokok ayam hutan pertama di kejauhan. membuka kelopak matanya lebar-lebar. Ia tidak mendengar bunyi mendengkur. tetapi ketika mengintip lewat kelopak matanya tampak Sumirta masih rebah di kursi goyang. Kokok ayam kemudian disahuti oleh bunyi cicit burung. mula-mula pelan, kemudian makin ramai berkicau.
Margono sadar bahwa matahari belum muncul. Tetapi nalurinya mengatakan bahwa di luar ia tidak perlu lagi menakutkan sesuatu. Tanpa memikirkan damar lagi. ia bangkit dari dipan. Bersijingkat ke pintu depan. agar tidur orang tua itu tidak terusik. Pamit. adalah kewajibannya. Tetapi. bila itu pada saat dan situasi yang tepat. Dengan bangkai ular sanca besar di kamar tidur anaknya. mana Sumirta mau menerima ucapan pamit Margono"
Dengan berpedoman pada cuaca terang-terang ayam. Margono meninggalkan tempat terbuka di mana dua' pondok terasing itu terletak. Langkahnya dilambatkan begitu memasuki hutan lebat padat. Tetapi dengan berpedoman pada jalan yang kemarin ia lalui serta sempat mempelajarinya ketika si perempuan mengajaknya ikut ke pondok, Margono hanya tersesat dua kali sebelum ia kembali lagi menemukan jalan yang benar.
Ia tiba di jalan setapak yang terbuka, tepat ketika sinar matahari pagi muncul di balik rimbunan pepohonan. Persoalannya sekarang. Ke mana ia harus pergi" Kembali menempuh jalan
semula, ke desa kakeknya, atau terus melanjutkan perjalanan yang kemarin dulu sempat tertunda" Kemarin dulu! Tetapi eh, rasanya
kok telah sekian lama waktu berlalu. Ataukah
semua peristiwa yang telah dia alami bukan terjadi kemarin. kemarin dulu. hari-hari sebelumnya" Mungkin telah berbulan-bulan. Bahkan siapa tahu, malah mungkin baru terjadi satu dua menit barusan. Di lembah misterius ini, hal-hal yang aneh telah ia alami dan bukan mustahil masih banyak hal-hal aneh lainnya.
Margono tengah berpikir-pikir untuk pulang ke desa kakek atau terus ke desa Lamping menemui ibunya, ketika ia dengar suara batuk batuk kecil. Ia terpekik saking kaget. Entah dari mana datangnya, Sumirta telah berdiri di sebelahnya. Tiada kantuk di mata orang tua itu, yang mengawasi dirinya dengan tajam. Margono tidak tahu apa yang mau ia perbuat, apa yang mau dikata.
Ia hanya terpukau, bagai linglung tanpa sebab.
Namun seperti biasa. suara Sumirta tetap masih ramah: "Jadi juga pergi, Nak Margono?"
Apakah orang tua ini belum tahu putrinya sudah tinggal bangkai" Margono menelan ludah berkali-kali. lantas menjawab gugup: "Aku" aku.?" Aduh. apa yang patut diucapkan"
"Desa mana yang kau tuju?" Sumirta menjernihkan pikirannya.
"Lamping!" Margono akhirnya memutus
"Hem. Kau beruntung, masih punya ibu.. .," orang tua itu berkata pelan, tanpa senyum, juga tanpa motivasi apa-apa. Margono berpikir Melati sudah tidak punya ibu, tetapi masih punya seorang ayah. Sebaliknya, Sumirta tidak lagi punya siapa-siapa. Tidak ayah, tidak ibu, tidak istri. dan kini, tidak pula anaknya!
"Maafkan aku Pak Mirta." kata Margono cepat, tanpa tahu untuk apa sebenarnya ia minta maaf. Karena tidak pamit, atau karena Sumirta telah kehilangan putrinya"
"Sudahlah, Nak. Segala sesuatu dapat terjadi di dunia ini. Tak seorang pun dapat mengelakkan, bukan?"
Sambil berkata demikian, Sumirta mengawasi buntelan yang terjinjing di tangan Margono. Biasa-biasa saja. ia bertanya: "Apakah bekalmu cukup?"
Margono manggut-manggut. Tak kuasa mengatasi kegugupannya. sehingga lidahnya terasa kelu.
"Kau yakin, bekal itu cukup untuk menghidupkanmu?"
Manggut lagi Margono. "Ah, Nak. Kalau kau cuma manggut. aku tak yakin. Katakan saja. Karena aku merasa pasti, kau tidak sempat membawa makanan dari pondok kami. Lalu apa saja yang kau bawa"!"
itu pertanyaan menjurus. Pertanyaan yang menghendaki jawaban terus terang. Hilang akal. Margono akhirnya mampu juga menjawab: "Hanya pakaian saja, Pak. Setumpuk kain-kain rombeng!"
"Betul" Bolehkah aku melihat?"
Margono mati kutu. Ia ingin berontak. la ingin membunuh, karena membunuh tidak jadi persoalan lagi sekarang. Sekaligus ia juga ingin lari. Menyelamatkan diri. Tetapi sinar mata orang tua itu teramat misterius. Mengandung kekuatan gaib yang seketika menguasai jiwa dan pikiran Margono. Seperti halnya seorang anak patuh dan penurut, Margono membuka simpul buntalannya dengan cemas setengah mati.
Tetapi perasaan cemas itu ternyata tidak perlu.
Yang ia perlukan adalah akal sehat. Karena apa yang dilihat Sumirta dan dilihat oleh mata kepala Margono sendiri, isi bungkusannya benar seperti apa adanya yang dia ucapkan tadi. Hanya pakaian yang berupa kain-kain rombeng .Cuma kain-kain rombeng semata. Jangankan peti berlapis emas dan segenap isinya. Bahkan baju dan celana Margono sendiri yang sebelumnya ia yakin masih utuh dan kuat, kini tampak tak lebih dari kain-kain rombeng usang, rombengan-rombengan tak berguna!
Dalam keheranan dan kekalutan pikiran, telinga Margono masih sempat menangkap suara tajam Sumirta: "Telah kuingatkan kau, Nak. Di tubuhmu masih melekat bau pondok kami. Bau yang tidak kau mengerti, tetapi tetap saja tidak dapat kau hindari. Kau telah mengalami banyak hal di lembah ini. Misalnya, lidahmu. Kau tadi mengatakan kain rombeng, dan itulah yang kini kau pegang. Ketahuilah Nak. lidahmu sangat berbisa."
Margono ingin menjerit. Sayang, ucapan itu hanya tersimpan di sanubari, dan hasilnya cuma melemahkan jantung mengosongkan pikiran saja. ia semakin merasa linglung. Juga ketika ia mendengarkan petunjuk-petunjuk si orang tua jalan setapak mana yang harus ia tempuh untuk tiba dengan selamat di desa Lamping .
"Sebagaimana orang-orang sebelum kau," Sumirta menjelaskan sehabis memberi petunjuk, "... maka setiba di pinggir lembah, kau akan kembali pada dirimu semula. Dirimu. sebelum kau tersesat ke tempat kami. Kau tidak tahu dan tidak ingat apa saja yang kau alami selama tersesat. Kau tak ingat siapa kau. siapa anakku. di mana kami tinggal. dan apa saja yang kau ketahui mengenai kami dan tempat tinggal kami. Selamat jalan. Nak. Dan ingatlah selalu. Kau menyimpan sesuatu yang baru dalam dirimu. sebagai akibat dari perbuatanmu pada anakku. Hati-hatilah menjaga lidah. Karena lidahmu. camkan sekali lagi. lidahmu sangat berbisa."
Suatu dorongan perintah menggerakkan kaki Margono untuk melangkah. Langkahnya lunglai, tertegun-tegun. Matanya antara terang dan gelap, pikirannya kosong, hampa, tak mampu mencerna apa-apa yang ia dengar dan lihat. Ia terus saja melangkah dan melangkah. mendaki. menurun, mendaki lagi. melompati selokan, merayapi tebing terjal di bawah pengaruh perintah yang sama. Tanpa tahu. ke arah mana ia sebenarnya menuju. Kecuali satu kepastian. bahwa seseorang. entah siapa dan di mana. bersedia menerima kehadirannya.
Negeri Para Bedebah 1 Pedang Siluman Darah 27 Takanata Iblis Nippon Ksatria Seribu Syair 2
^