Pencarian

Peninggalan Iblis Hitam 1

Dewa Arak 13. Peninggalan Iblis Hitam Bagian 1


Peninggalan Iblis Hitam (Seri Dewa Arak episode 13)
Karya Aji Saka Pembuat Djvu : Web Tirai Kasih & Abu Keisel
Edit teks dan Pdf : Saiful Bahri Situbondo
Selesai di edit : 9 Agustus 2018, Situbondo
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://cerita-silat-novel.blogspot.com
Selamat Membaca ya!!! *** PENINGGALAN IBLIS HITAM Oleh Aji Saka Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji s. Gambar sampul oleh Pro's Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau selumh isi buku ini tanpa Izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak dalam episode:
Peninggalan Iblis Hitam 128 hal. ; 12x 13cm
*** Krik krik. krik..! Riuh suara jangkrik dan binatang malam lain mengusik keheningan malam yang hanya diterangi cahaya bulan sepotong. Angin dingin yang sesekali berhembus keras semakin menambah heningnya suasana malam.
Tapi ternyata suasana Seperti itu tidak menghalangi perjalanan sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Perlahan-lahan kereta kuda yang jendela-jendelanya tertutup kain hitam bergerak menuju mulut hutan.
Ctar, ctar...! Sang Kusir melecutkan cambuk ke pada dua ekor kuda di depannya. Seketika langkah binatang penarik kereta yang sudah kelihatan lelah kembali bergerak cepat .
"Uhk...! Uhk!" Terdengar batuk keras beruntun dari dalam kereta yang mempunyai pintu di samping kanan kiri.
"Masih jauhkah Hutan Karimun, Pandora?" tanya orang di dalam kereta setelah batuknya mereda.
"Tidak Tuan," sahut kusir yang dipanggil Pandora.
"Hutan Karimun sudah di depan kita."
"Syukurlah...!" sambut orang di dalam kereta yang ternyata majikan Pandora. Nada suaranya menyiratkan perasaan lega. Seketika suasana kembah hening setelah orang yang berada di dalam kereta menghentikan ucapannya. Kini yang terdengar hanya derap jlangkah dua ekor kuda dan suara gemeretak roda kereta .
"Mudah-mudahan tidak ada orang persilatan yang mencium kepergian kita," ucap orang yang berada di dalam kereta penuh harap.
"Hhh..! Sepasang Iblis Gurun Banjar benar-benar tangguh."
"Tapi biar bagaimanapun Tuan berhasil mengalah kan mereka," bantah Pandora. Hatinya tidak senang mendengar majikannya memuji-muji sepasang iblis itu
"Padahal Tuan belum menggunakan mantel pusaka...."
"Jangan sebut-sebut benda itu lagi, Pandora," tegur orang di dalam kereta tidak senang .
"Maafkan aku, Tuan," desah Pandora. Dari nada suaranya dapat dirasakan adanya penyesalan.
"Sampai kapan pun aku tidak akan menggunakan benda itu. Dan kepergianku membawanya bukan karena aku ingin memilikinya. Tapi karena aku tidak ingin pusaka ini jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab! Biarlah pusaka pusaka leluhurku Ini tidak mendapatkan ahli waris, daripada jatuh ke tangan orang-orang sesat seperti Sepasang Iblis Gurun Banjar! Kau mengerti, Pandora?"
"Mengerti, Tuan," sahut kusir yang kepalanya tertutup caping bambu dengan suara mendesah.
Orang yang berada di dalam kereta menghentikan ucapannya. Sementara Pandora pun tidak berkata kata lagi. Pelayan setia yang merangkap sebagai kusir ini sibuk melecutkan cambuk, memaksa kuda kuda penarik kereta terus melangkah.
Tapi tiba tiba Pandora memandang berkeliling. Sepasang matanya merayapi pohon pohon di sekitar penuh curiga. Pendengaran Pandora yang tajam menangkap suara-suara mencurigakan di sekelilingnya. Tentu saja hal ini membuat urat-urat syaratnya menegang.
Dan kecurigaan Pandora memang beralasan. Baru beberapa tombak kereta kuda itu bergerak maju, tiba-tiba terdengar suara berdesingan nyaring yang disusul berkelebatannya beberapa benda berkilat ke arahnya dan juga ke arah kuda-kuda penarik kereta.
"Hmh...!" Pandora hanya mendengus. Cepat laksana kilat cambuknya berkelebat.
Ctar, ctar, ctar...! Terdengar suara lecutan beberapa kali. Dan seketika itu juga benda benda berkilat yang ternyata adalah beberapa bilah pisau terbang rontok ke tanah .Tidak satu pun pisau-pisau terbang yang lolos dari sambaran cambuk. Jelas, kalau kusir ini bukan kusir sembarangan .
Bertepatan dengan runtuhnya pisau-pisau terbang, tiba tiba dari balik rerimbunan pohon dan semak yang lebat melesat beberapa sosok bayangan.
"Ada apa, Pandora?" hanya orang di dalam kereta. Rupanya majikan Pandora juga mendengar keributan di luar.
"Ndak ada apa-apa, Tuan," jawab Pandora cepat.
"Hanya hambatan kecil."
Setelah menjawab pertanyaan sang Majlkan, Pandora memandang lurus ke depan. Di hadapan kereta, kini menghadang beberapa sosok berpakaian serba hitam. Pandora menghitung jumlah penghadang dengan matanya. Tujuh orang, desis kusir ini dalam hati.
"Mengapa kalian menghadang perjalananku?"tanya Pandora tenang. Jelas kalau kusir ini tidak menganggap hadangan tujuh orang berpakaian hitam sebagai masalah besar.
"Serahkan pusaka peninggalan Iblis Hitam. Baru kami biarkan kalian melanjutkan perjalanan," ucap laki-laki bertubuh kurus dan berwajah kuning yang rupanya pimpinan penghadang.
"Hm...," Pandora bergumam tak jelas. dibukanya caping yang menutupi kepalanya. Kini wajah kusir itu terlihat jelas di bawah keremangan cahaya bulan. Tampak jelas kalau Pandora ternyata adalah seorang kakek Kulit wajahnya yang berwarna cokelat dipenuhi bintik-bintik putih.
"Cepat serahkan pusaka itu sebelum kesabaran kami hilang!" bentak laki-laki berwajah kuning bernada peringatan.
"Kalian sudah buta rupanya! Mengapa meminta pusaka peninggalan Iblis Hikam padaku?! Memangnya ada hubungan apa aku dengan Iblis Hitam?" sahut Pandora mengelak .
"Tak usah pura-pura bodoh!" sergah si muka kuning cepat
"Kau memang tidak memiliki pusaka itu. Tapi majikanmu yang di dalam memilikimu! Cepat serahkan! Atau..., kau ingin kami merebutnya dengan kekerasan?!"
Setelah berkata demikian, laki-laki bermuka kuning mengerling ke arah kereta.
"Majikanku memilikinya? Kalian keliru rupanya! Majikanku bukan tokoh aliran sesat. Apa kau tidak pernah mendengar julukan Pendekar Golok Baja?" gertak kusir kereta kuda.
"Keparat! Kau kira kami bisa kau bodohi? Kami pun tahu kalau majikanmu berjuluk Pendekar Golok Baja! Tapi jangan kira kami bisa tertipu. Semua tokoh persilatan sudah tahu kalau majikanmu keturunan Iblis Hitam!" tandas pimpinan penghadang keras.
Wajah Pandora seketika pucat. Sungguh tidak disangka kalau rahasia majikannya sudah terbongkar. Entah siapa yang membocorkan rahasia yang selama ini tersimpan rapi. Kalau begitu mulut tujuh orang ini harus dibungkam agar tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar, tekad Pandora dalam hati.
"Kalau begitu. kalian harus mati!" tegas kakek berwajah bintik bintik putih seraya melompat dari kereta.
"Ha ha ha..!" pimpinan penghadang tertawa bergelak.
"Kaulah yang akan kami bereskan sebelum majikanmu yang kini sudah jadi macan ompong!"
Setelah berkata demikian, laki laki berwajah kuning Itu mengibaskan tangannya. Kontan enam orang anak buahnya segera melangkah maju .
Srattt, srattt..! Sinar terang berkilatan begitu tujuh orang ini menghunus senjata masing-masing. Tujuh orang berpakaian serba hitam itu ternyata bersenjata pedang semua.
"Kalian bereskan pelayan busuk ini! Biar aku yang urus macan ompong itu!" perintah si muka kuning sambil menudingkan jari telunjuk ke arah kereta.
"Baik, Kang," sahut enam anak buahnya berbareng.
Perlahan lahan laki-laki berwajah kuning mendekati kereta. Tapi baru beberapa tindak kakinya melangkah, tiba tiba berkesiur angin dingin. Sesaat ke mudian di hadapan si muka kuning telah berdiri Pandora.
"Langkahi dulu mayatku. Baru kalian bisa menjamah kereta ini'" ujar kakek berwajah bintik-bintik putih itu penuh wibawa.
"Kalau memang itu maumu, mampuslah kan...!" teriak pimpinan penghadang seraya menusukkan pedang ke arah perut Pandora.
Angin dingin bersiuran cukup keras sebelum tusukan pedang tiba. Tapi Pandora hanya mendengus. Kakek berwajah bintik-bintik putih ini memang bukan orang sembarangan. Dia adalah pelayan kesayangan Pendekar Golok Baja yang sudah puluhan tahun ikut majikannya. Dan Pendekar Golok Baja yang tahu kesetiaan Pandora, tidak segan-segan menurunkan kepandaiannya kepada kakek itu. Walaupun tidak berbakat, tapi berkat ketekunan Pandora akhirnya sebagian besar ilmu sang Majikan berhasil dikuasai. Maka tidak mengherankan ketika menghadapi tusukan pedang lawan, kakek berwajah bintik-bintik putih itu tidak menjadi gugup. Segera kakinya dilangkahkan ke kanan seraya mendoyongkan tubuh, sehingga serangan lawan lewat di sebelah kiri pinggangnya.
Belum lagi si muka kuning sempat berbuat sesuatu, tangan Pandora cepat melakukan bacokan dengan sisi tangan dimiringkan pada pergelangan tangan yang menggenggam pedang. Laki laki berwajah kuning itu kaget dan berusaha menarik pulang tangannya. Tapi....
"Akh...!" Pimpinan penghadang memekik tertahan. Pergalangan tangan yang terkena bacokan pelayan Pendekar Golok Baja terasa seperti patah tulangnya. Dan seketika itu pula pedangnya terlepas dari genggaman.
Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan Pandora. Secepat bacokan tangan kosongnya mengenai sasaran, secepat itu pula posisi tangannya dikepalkan. Dan langsung dihantamkan ke wajah lawan dengan punggung tangan.
DeSSS! "Akh-"!! Untuk ke dua kalinya lakilaki berwajah kuning
memekik ketika pukulan Pandora telak dan keras menghantam wajahnya. Dan seketika itu pula terdengar suara berderak keras dari tulang tulangnya yang retak. Sesaat tubuh pimpinan penghadang itu menggelepar-gelepar. Sekejap kemudian tubuhnya sudah tidak bergerak lagi untuk selamanya dengan hidung dan mulut mengalir darah segar! Rupanya Pandora yang tengah dilanda rasa cemas telah mengerahkan seluruh kepandaian yang dimilikinya .
Melihat pemimpinnya tewas, tentu saja enam penghadang lain menjadi terkejut. Keenam orang berpakaian serba hitam itu sama sekali tak menyangka kalau ketua mereka dapat ditewaskan pelayan Pendekar Golok Baja secara mudah. Memang kejadian itu berlangsung begitu cepat, sehingga mereka tidak sempat berbuat apa apa. Sesaat lamanya keenam orang itu terpaku menatap mayat ketuanya, seolah olah tak percaya pada apa yang dilihatnya .
Tapi begitu orang-orang Itu sadar dari keterpanan. kemarahan yang amat sangatlah yang timbul. Disertai teriakan nyaring. enam laki-laki berpakaian serba hitam menerjang Pandora. Sinar sinar berkilat dari enam batang pedang yang berkelebatan ke arah pelayan Pendekar Golok Baja untuk beberapa saat membuat suasana malam yang remang-remang menjadi terang.
Melihat lawan-lawannya menyerang kalap, Pandora tetap bersikap tenang. Sekali lihat saja pelayan setia berwajah bintik bintik putih itu sudah dapat
mengukur tingkat kepandaian enam laki-laki berpakaian serba hitam. Dan dengan mengandalkan ke pandaian yang jauh di atas lawan lawannya, enak saja Pandora mengelakkan semua serangan. Tubuhnya menyelinap di antara kelebatan sinar pedang yang sewaktu waktu bisa saja merenggut selembar nyawanya.
Memang, dengan ilmu meringankan tubuh yang jauh di atas lawan-lawannya, tidak sulit bagi Pandora mengelakkan hujan senjata lawan. Dan begitu kakek ini balas menyerang, terdengar jerit memilukan saling susul yang diiringi dengan robohnya enam penghadang satu demi satu. Roboh dan tidak pernah bangkit lagi untuk selamanya!
Dalam waktu singkat sudah tidak ada lagi lawan yang berdiri tegak. Semua penghadang telah bergeletakan bersimbah darah di tanah. Pandora 'memandangi tujuh mayat yang bergelimpangan di tanah dengan sorot mata sedih. Kakek berwajah bintik-bintik putih ini membunuh tujuh orang lawan bukan karena jiwanya yang kejam, tapi karena terpaksa. Kalau mereka segera tidak dibunuh, Pandora khawatir orang orang ini akan menyebarkan berita mengenai majikannya. Dan hal inilah yang ingin dihindari pelayan setia Pendekar Golok Baja.
Orang-orang persilatan memang sudah lama mengincar pusaka peninggalan Iblis Hitam. Sedangkan majikannya yang menyimpan pusaka itu adalah keturunan Iblis Hitam. Dan seandainya tokoh tokoh persilatan tahu siapa majikannya. sudah dapat dipastikan kalau mereka akan memburu Pendekar Golok Baja. Sedangkan pendekar itu kini sedang dalam keadaan terluka parah.
"Hhh...!" Pandora menghela napas panjang, untuk menguatkan hatinya yang agak terguncang. Pelayan setia ini sadar kalau bukan hanya untuk sekali ini saja dirinya harus bertindak keras. Seandainya tokoh tokoh persilatan telah mencium berita tentang pusaka peninggalan iblis Hitam ada di tangan Pendekar Golok Baja, mau tidak mau dia harus bertindak kejam untuk menyelamatkan majikannya Dan juga pusaka warisan Iblis Hitam tentunya.
Pandora kembali menaiki kereta. Tapi baru saja pantatnya diletakkan. terdengar teguran dari dalam kereta.
"Bagaimana, Pandora?"
"Maafkan aku, Tuan Aku terpaksa membunuh mereka."
"Hhh...!" Terdengar suara hempasan napas berat dari dalam kereta. Tapi biar bagaimanapun, Pendekar Golok Baja tidak bisa menyalahkan perbuatan pelayan setianya. Tadi, pendekar ini juga telah mendengar pembicaraan antara Pandora dengan rombongan penghadang. Mungkin seandainya dirinya tidak terluka parah, dia pun akan turun tangan membantu Pandora.
Pandora kembali menghentakkan tali kekang kuda
sambil mendecakkan mulutnya. Dan kereta itu bergerak kembali setelah beberapa saat tertahan.
*** Kereta kuda terus bergerak di bawah keremangan malam memasuki Hutan Karimun.
"Pandora..." kembali terdengar suara teguran pelan dari dalam kereta.
"Ada apa, Tuan?" tanya Pandora.
"Setelah tiba di tempat tinggal paman guruku, kau boleh pergi, Pandora."
"Maksud. Tuan...?" tanya Pandora gugup. Jelas ada keterkejutan yang amat sangat dalam nada suaranya.
"Barangkali kau ingin bebas tidak terikat. Aku ikhlas, Pandora," sambung Pendekar Golok Baja.
"Tidak, Tuan." bantah Pandora tegas.
"Aku tidak akan meninggalkan Tuan Kecuali, Tuan sudah tidak membutuhkanku lagi...."
Seketika suasana menjadi hening ketika Pandora menyelesaikan ucapannya. Baik Pendekar Golok Baja maupun pelayan setianya tidak berkata apa apa. Keduanya tenggelam dalam lamunan masing masing.
Sesekali Pandora melecutkan cambuk bila melihat langkah kudanya mulai pelan. Sedangkan Pendekar Golok Baja masih tenggelam dalam lamunannya. Orang yang disebut paman guru, sebenarnya adalah gurunya sendiri. Karena gurunya adalah adik seperguruan ayahnya.
"Hhh..!" Pendekar Golok Baja menghela napas berat.
"Berhenti dulu, Pandora....'"
Kakek berwajah bintik bintik putih segera menarik tali kekang, sehingga kuda-kuda penarik kereta menghentikan larinya.
"Ada apa. Tuan?" tanya Pandora.
"Aku ingin duduk di luar saja, Pandora," sahut Pendekar Golok Baja. seraya membuka pintu kereta. Melihat hal ini, buru-buru pelayan setia lu melompat dari tempat duduknya. Ingin membantu sang Majikan naik ke sebelah tempat duduk kusir.
"Tidak usah. Pandora," cegah Pendekar Golok Baja.
"Biar aku naik sendiri."
Pandora pun mengurungkan niatnya. Baru setelah Pendekar Golok Baja sudah duduk di sebelah kursi kusir, dia bergegas naik dan duduk di kursinya.
"Mengapa Tuan pindah kemari?" tanya pelayan setia itu heran.
"Aku ingin berbincang bincang denganmu, Pandora," sahut sang Majikan .
Pandora hanya mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti. Kemudian menghentakkan tali kekang seraya berdecak pelan. Sesaat kemudian kuda kuda itu pun sudah kembali melangkah. Dan roda kereta kembali bergulir, menembus kegelapan Hutan Karimun.
"Pandora" ucap Pendekar Golok Baja ketika kereta sudah bergerak cukup jauh.
"Ya, Tuan," sahut Pandora sambil memalingkan wajahnya, menatap majikannya. Dilihatnya seraut wajah pucat dari seorang laki laki gagah berusia lima puluh tahun. Raut wajahnya kelihatan keras dihiasi cambang lebat. Dan, pakaian sang Majikan yang berwarna putih kian menambah kewibawaan.
"Aku masih terharu kalau teringat kebaikan paman guru"
"Maksud, Tuan?" tanya Pandora. masih belum mengerti .
"Coba pikir, Pandora. Kau kan tahu bagaimana hubungan antara kakekku dengn ayah paman guru, bukan?"
Kakek berwajah bintik-bintik putih itu menganggukkan kepala.
"Kakek Tuan adalah kakak seperguruan ayah paman guru Tuan "
"Benar," jawab Pendekar Golok Baja sambil menganggukkan kepala.
"Tapi, kau tahu cerita selanjutnya, Pandora?"
"Hanya sedikit, Tuan," jawab pelayan setia itu sejujurnya. Memang, kakek ini hanya tahu sedikit mengenai leluhur majikannya. Pandora tidak berani lancang. bertanya kalau tidak majikannya sendiri yang membicarakannya.
"Hampir seratus tahun lalu," ucap Pendekar Golok Baja memulai cerita.
"Kakek punya adik seperguruan, yaitu ayah paman guru. Tapi, antara kakek dengan adik seperguruannya ada pertentangan pendirian. Kakek mengambil jalan sesat. Dan akhirnya menjadi datuk sesat yang tidak terkalahkan, berjuluk Iblis Hitam. Sementara adik seperguruan kakek tetap mengambil jalan lurus. Akibatnya hubungan antara kakek dan adik seperguruannya pun putus."
Pendekar Golok Baja menghentikan ceritanya sebentar. Sementara Pandora tetap mendengarkan cerita majikannya penuh perhatian .
"Kebrutalan kakek dilanjutkan ayah. Ayah menggantikan kedudukan kakek sebagai Iblis Hitam."
Kembali Pendekar Golok Baja menghentikan cerita. Sepasang matanya, dan juga wajahnya mendadak berubah muram. Jelas kalau kelanjutannya amat menyedihkan hatinya.
"Suatu hari, selagi hendak memperkosa seorang gadis pendekar, beliau dikeroyok orang-orang persilatan aliran putih yang sudah sejak lama mengincarnya. Betapapun saktinya ayah. tapi karena jumlah pengeroyok terlalu banyak, akhirnya beliau terdesak hebat dan terluka parah."
"Ya, aku pun telah mendengar cerita itu, Tuan," selak Pandora. begitu sang Majikan menghentikan ceritanya.
"Kalau saja saat itu ayah Tuan sempat mengenakan mantel pusaka, beliau tak mungkin bisa dilukai."
"Hhh..!" Pendekar Golok Baja menghela napas berat .
"Kedatangan para pengeroyok ayah terlalu tiba tiba, Pandora. Beliau tidak sempat mengenakan kembali mantel pusaka-.."
"Tapi, meskipun tanpa pusaka itu.. Ayah Tuan masih mampu menunjukkan kelihaiannya. Beliau mampu meloloskan diri' dari kepungan para pengeroyok, dan membawa lari mantel pusaka"
Pendekar Golok Baja mengangguk anggukkan kepala.
"Ada beberapa hal yang membuatku kagum pada almarhum ayah," ucap Pendekar Golok Baja lagi.
Pandora terdiam seketika, menunggu kelanjutan ucapan majikannya.
"Hal pertama yang membuatku kagum adalah pesan pertama beliau padaku...."
"Pesan apa, Tuan?" tanya Pandora.
"Ayah berpesan, aku tidak boleh membalas dendam atas kematiannya."
Pandora mengangguk-anggukkan kepala. Me mang, dia sudah mendengar semua pesan yang di tujukan pada Pendekar Golok Baja sebelum ayah majikannya itu menghembuskan napas terakhir.
"Kau tahu pesan ayah yang lain, Pandora?"
"Tahu. Tuan" "Apa itu, Pandora?" tanya Pendekar Golok Baja Ingin tahu.
"Majikan Tuan memberi nasihat agar Tuan tidak mengikuti jejak leluhur Tuan," jawab Pandora.
"Itulah yang menyebabkan aku kagum pada ayah," ucap Pendekar Golok Baja lagi dengan suara mendesah. Ingatannya langsung menerawang pada
kejadian puluhan tahun silam.
Di saat menjelang ajal, Iblis Hitam memberikan pesan pesan terakhir pada kedua anak dan pembantunya. Pendekar Golok Baja saatitu baru berusia tujuh belas tahun. Sedangkan adiknya sepuluh tahun. Sementara Pandora berusia tiga puluh tahunan. Saat itu Iblis Hitam menyuruh Pandora mengantar kedua majikan mudanya ke Hutan Karimun, menjumpai adik seperguruannya. Juga tak lupa datuk sesat itu menitipkan sebuah surat untuk adik seperguruannya yang menyepi di Hutan Karimun .
Setelah meninggalkan pesan., Akhirnya Iblis Hitam menghembuskan napas terakhir. Tanpa sempat mengubur mayat Iblis Hitam, Pandora segera membawa kedua anak majikannya ke Hutan Karimun. Pelayan setia itu khawatir para pengeroyok yang mengejar Iblis Hitam keburu datang, Dan bila hal itu sampai terjadi, celakalah nasib kedua majikan mudanya.
"Hhh..!" untuk kesekian kalinya Pendekar Golok Baja menghela napas berat. Ada rasa baru yang melanda hatinya setiap kali teringat almarhum ayahnya. Bagaimana tidak? Sang Ayah meninggal di depan matanya sementara dia tidak sempat mengubur mayatnya.
Pandora menolehkan kepala. Sepasang matanya yang sejak tadi menatap ke depan, kini beralih memandang wajah majikannya penuh selidik. Pendekar Golok Baja pun menatap wajah pelayan setianya lekat lekat .
"Ada yang meresahkan hati Tuan?" tanya kakek berwajah bintik bintik putih itu setengah hati. Sebenarnya dia ingin membantu meringankan keruwetan pikiran majikannya, tapi khawatir dituduh lancang,
"Aku teringat pada Adi Kala Sunggi...," desah Pendekar Golok Baja pelan. Suaranya hampir tidak terdengar.
Wajah Pandora Seketika berubah, begitu mendengar ucapan junjungannya. Kala Sunggi adalah adik kandung Pendekar Golok Baja. Dia lenyap begitu saja sewaktu berburu bersama kakaknya dan Pandora. Meskipun sudah dibantu paman guru majikan mudanya, Kala Sunggi tetap tidak berhasil mereka temukan.
*** "Hooop...!" Pandora menarik tali kekang kuda. Seketika itu juga kuda kuda berhenti berlari. Dan dengan sendirinya kereta pun berhenti melaju.
"Hmm...!" Pandora melompat dari kereta. Pendekar Golok Baja pun melompat turun. Tapi berbeda dengan pe layannya yang mendarat dengan mantap, laki-laki gagah bercambang lebat itu mendarat ditanah dengan agak terhuyung-huyung. Bergegas Pandora memegangi tangan majikan mudanya. Tapi dengan halus Pendekar Golok Baja menolak .
"Uhk... uhk...!"
Kembali terdengar batuk batuk beruntun dari mulut Pendekar Golok Baja. Pandora hanya dapat memandangi majikannya dengan perasaan khawatir. Apa lagi ketika melihat percikan cairan merah mengiringi suara batuk-batuk itu.
"Bawa peti ini, Pandora." ucap Pendekar Golok Baja seraya menyerahkan sebuah buntalan kain berwarna hitam pekat. Pandora yang tahu isi buntalan itu, segera mengulurkan tangan menyambut. Sebuah peti terbuat dari kayu jati berwarna hitam mengkilat
yang di dalamnya berisi mantel pusaka dan kitab-kitab ilmu silat peninggalan Iblis Hitam.
"Apakah Tuan perlu kupapah?" tanya Pandora menawarkan diri.
"Tidak perlu," sahut Pendekar Golok Baja seraya menggelengkan kepala
"Aku masih sanggup berjalan sampai di tempat tinggal paman guru."
Pandora tercenung sesaat. Kemudian bergegas melepaskan ikatan kuda dari keretanya.
Ctar, dar...! Beberapa kali Pandora melecutkan cambuk di udara dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Hebat akibatnya! Suara lecutan cambuk tak,. ubahnya suara petir. Karuan saja suara itu membuat kedua ekor kuda jadi terkejut. Sambil meringkik keras, kedua binatang itu berlari cepat meninggalkan kedua majikannya.
Pandora menatap kuda kuda itu hingga lenyap ditelan keremangan malam. Baru setelah itu menghampiri kereta. Sesaat kemudian tangan dan kakinya berkelebat
Krakkk. brakkk...! Terdengar suara suara berderak keras setiap kali tangan dan kaki pelayan renta itu bergerak. Pendekar Golok Baja hanya memandangi perbuatan Pandora tanpa berkata apa-apa. Laki-laki gagah bercambang lebat ini sudah tahu maksud pelayan setianya menghancurkan kereta.
Tak lama kemudian kereta itu pun sudah tidak
berbentuk lagi. Yang tertinggal hanyalah serpihan serpihan kayu belaka. Kakek berwajah bintik-bintik putih pun menghentikan gerakannya. Kemudian mengambil pecahan pecahan kereta, lalu disebarkan di rerimbunan semak yang terpisah.
"Mudah mudahan dengan cara begini, jejak pelarian kita tidak dapat ditemukan, Tuan," ucap Pandora setengah berharap.
"Hm..." Pendekar Golok Baja hanya bergumam tidak jelas. Dia tidak begitu yakin kalau usaha yang dilakukan pelayannya akan berhasiL .Tapi pendekar ini tidak mau mengeciLkan hati kakek itu dengan mengatakan ketidakyakinannya.
Pandora menghapus sedikit peluh yang membasahi kening. Rupanya pekerjaan menghancurkan kereta tadi cukup menguras tenaga.
"Mari kita lanjutkan perjalanan, Pandora," ajak Pendekar Golok Baja seraya berjalan mendahului peLayannya.
Tanpa berkata kata apa-apa lagi, Pandora mengikuti majikannya. Memang, perjalanan di tempat ini tidak bisa dilalui dengan berkuda. Apalagi dengan kereta kuda. Itulah sebabnya mengapa Pandora terpaksa menghancurkan kereta dan mengusir kuda-kuda itu.
Dengan langkah terhuyung huyung dan sesekali diselingi batuk batuk keras, Pendekar Golok Baja menerobos rerimbunan semak, Bahkan tak jarang tangan pendekar ini harus bekerja keras menguak rerimbunan semak-semak yang terlalu rapat.
Setelah melalui Jalan berkelok kelok, akhirnya kedua orang itu tiba di sebuah lembah. Meskipun suasana malam remang-remang, tak jauh dari situ terlihat cukup jelas sebuah pondok berdinding bilik.
Pendekar Golok Baja segera mempercepat langkahnya begitu melihat pondok berdinding bilik itu. Dan Pandora pun terpaksa mempercepat langkahnya. Kakek berwajah bintik bintik putih ini sebenarnya khawatir pada luka-luka parah yang diderita sang Majikan. Semestinya saat ini tidak boleh terlalu banyak mengeluarkan tenaga. Tapi, apa dayanya? Pendekar Golok Baja tidak mau dibantah.
Tak lama kemudian, Pendekar Golok Baja telah berada di depan pondok berdinding bilik itu.
Tok, tok, tok...! Terdengar suara ketukan, begitu kepalan tangan laki-laki gagah itu menyentuh pintu. Pelahan saja pintu itu diketuk. Tapi karena suasana malam sangat hening, ketukan tadi terdengar agak keras.
Kriiit...! Terdengar suara berderit tajam begitu pintu terbuka. Disusul munculnya seraut wajah keriput dari balik pintu. Kekagetan terbayang jelas di wajah orang itu begitu melihat siapa yang telah mengetuk pintu. Memang suasana malam remang-remang, tapi cukup untuk menerangi wajah Pendekar Golok Baja.
Mendadak saja tubuh Pendekar Golok Baja ambruk. Kalau saja kakek pemilik pondok tidak cepat cepat menangkap, tentu tubuh laki-laki gagah bercambang lebat itu sudah mencium tanah.
"Prajasena...?!" pekik kakek pemilik pondok. Suaranya jelas mengandung kekagetan .
"Tuan...!" ucap Pandora seraya bergegas memburu tubuh junjungannya.
Melihat ada orang lain memburu tubuh Pendekar Golok Baja, kakek pemilik pondok baru sadar kalau orang yang dipanggilnya Prajasena tidak datang sendirian. Perhatiannya segera dialihkan pada kakek berwajah bintik bintik putih itu. Sesaat lamanya sepasang mata pemilik pondok menatap penuh selidik .
"Kau... kan..., Pandora?" tanya kakek pemilik pondok dengan wajah berseri seri.
Walaupun cukup lama Pandora dan Pendekar Golok Baja pergi meninggalkan Hutan Karimun, namun wajah kedua orang itu masih tertanam dalam ingatannya. Sehingga tidak aneh kalau pemilik pondok yang ternyata adalah paman guru Pendekar Golok Baja masih mengenali Pandora.
"Benar, Tuan," jawab kakek berwajah bintik-bintik putih seraya menganggukkan kepala. Pandora memanggil paman guru majikan mudanya dengan panggilan tuan juga.
"Apa yang terjadi, Pandora? Katakanlah...! Ada apa dengan Praiasena? Siapa yang telah melakukan semua ini padanya?" kakek pemilik pondok memberondong Pandora dengan pertanyaan bertubitubi.
"Ceritanya cukup panjang, Tuan." sahut Pandora.
"Apakah tidak lebih baik kalau Tuan memeriksanya dulu?"
"Akh..., kau benar," sambut paman guru Pendekar Golok Baja. Kini perhatiannya segera dialihkan pada Prajasena yang berada dalam pelukannya.
"Mari masuk dulu, Pandora," ajak kakek pemilik pondok pada pelayan setia Pendekar Golok Baja alias Prajasena, seraya mendahului masuk ke dalam.Tanpa berkata apa-apa, Pandora segera melangkah masuk. Dan begitu telah berada di dalam, dia segera menutup pintu pondok.
Paman guru Pendekar Golok Baja membawa PraJasena ke dalam kamar khusus semadi yang cukup luas. Kemudian tubuh yang tergolek pingsan itu direbahkan perlahan-lahan di atas balai-balai bambu. Sepasang alis yang sudah berwarna dua itu tampak berkerut ketika memeriksa sekujur tubuh Prajasena.
"Racun...," desah kakek pemilik pondok seraya menatap tajam wajah Pandora yang berdiri di sampingnya. Sepasang mata paman guru Prajasena penuh per tanyaan.
"Hhh..!" Pandora hanya menghela napas berat. Pandang mata penuh pertanyaan dari pemilik pondok sama sekali tidak dihiraukannya. Kakek berwajah bintik bintik putih ini terlalu mengkhawatirkan keadaan majikan mudanya. Yang ada dalam benaknya hanyalah, bagaimana secepatnya memberi pertolongan kepada Prajasena. Masalah-masalah lain bisa diurus belakangan.
Kakek pemilik pondok rupanya dapat merasakan apa yang dirasakan Pandora. Dihampirinya pelayan setia itu sambil tersenyum lebar, kemudian menepuk nepuk bahunya.
"Tenanglah, Pandora. Pertanyaanku tadi bukan karena aku tidak ingin buru buru menolong Prajasena. Tapi agar aku tahu jenis racun yang mengeram di dalam tubuhnya. Kau bisa mengerti, bukan?"
Pandora menganggukkan kepala pertanda mengerti. Diam-diam dia memaki kebodohan dirinya sendiri. Kakek di depannya ini adalah paman guru dan sekaligus guru majikan mudanya. Dan belum tentu kasih sayang kakek itu pada Prajasena kalah besar jika di bandingkan dengan kasih sayangnya. Lagi pula, mana mungkin seorang guru tidak khawatir bila muridnya Sedang sekarat? maki Pandora dalam hati.
"Katakanlah, dengan siapa Prajasena bertarung?" tanya kakek pemilik pondok lagi.
"Tuan bertarung dengan Sepasang Iblis Gurun Banjar," sahut pelayan setia Pendekar Golok Baja pelan.
"Sepasang Iblis Gurun Banjar...." ulang paman guru Prajasena dengan alis berkerut.
"Jadi dugaanku tepat rupanya...."
"Tuan sudah tahu...?" tanya Pandora setengah tak percaya.
Kakek pemilik pondok hanya menganggukan kepala.
"Aku sudah menduganya begitu memeriksa lukanya. pertanyaanku hanya untuk memastikan saja. Dan. ternyata dugaanku memang benar. Hhh.. Sungguh tidak kusangka kalau Sepasang Iblis Gurun Banjar bentrok dengan Prajasena."
"Dalam salah satu pengembaraannya, tuan telah membunuh murid Sepasang iblis Gurun Banjar," ucap Pandora menjelaskan.
"Pantas..." sambut kakek pemilik pondok setengah mendesah.
"Rupanya mereka ingin membalas dendam..."
"Benar, Tuan." "Pandora, kumohon kau jangan memanggilku dengan panggilan tuan lagi. Gatal telingaku rasanya. Panggil aku dengan namaku saja. Wirageni."
"Baiklah, Tu. eh, Eyang." Pandora sengaja menyebut eyang karena penduduk dusun di sekitar Hutan Karimun memanggil paman guru Prajasena ini dengan sebutan Eyang Wirageni .
"Sekarang kau tenanglah. Pandora. Atau lebih baik kau berjaga-jaga. Barangkali ada tamu tamu tak diundang yang datang kemari. Malam ini aku punya firasat tidak enak, Pandora."
Ucapan Eyang Wirageni membuat Pandora gelisah. Laki-laki berwajah bintik bintik putih ini kenal betul siapa Eyang wirageni. Beliau adalah seorang tokoh sakti yang memiliki perasaan amat tajam.
"Apakah pengobatan majikanku butuh waktu cukup lama, Eyang?" tanya Pandora ingin tahu .
"Lama sih. tidak. Tapi. pengobatan ini butuh tenaga dalam yang amat kuat. Dan sudah pasti akan menguras seluruh tenagaku. Perlu kau ketahui, Pandora. Prajasena terkena racun yang berupa uap. Jadi, aku harus mengobatinya dengan cara mendorong uap beracun itu dengan tenaga dalamku. Kau tahu, Pandora, dalam keadaan begini, mudah saja bagi seseorang membunuh .Dan kalau pengobatan sudah ku mulai, di tanganmulah terletak keselamatanku dan majikanmu. Mengerti, Pandora?"
"Mengerti. Eyang," sahut Pandora sambil menganggukkan kepala. Diam-diam jantung kakek berwajah bintik bintik putih ini berdebar tegang, mengingat tugas berat yang harus diemban. Dua nyawa orang-orang yang sangat dihormati, kini bergantung kepadanya. Mudah-mudahan saja tidak ada apa-apa, harap pelayan setia ini dalam hati.
"Bersiaplah, Pandora. Aku akan mulai."
Setelah berkata demikian, Eyang Wirageni naik ke balai balai bambu, kemudian duduk bersila. Perlahan lahan tubuh Pendekar Golok Baja yang tertelentang, dibalikkan jadi tertelungkup. Kemudian dibukanya pakaian pendekar itu.
Eyang Wirageni menarik napas dalam-dalam seraya menarik tangannya yang terkepal di kedua sisi pinggang
"Ssshhh...!" Terdengar suara berdesis begitu Eyang Wirageni mengeluarkan udara yang tadi disedot. Berbarengan dengan hembusan napas melalui mulut. kedua tangannya didorong ke depan dengan jari jari terluka. Lambat dan perlahan-lahan kedia tangan keriput itu didorong. Dan setelah itu, Eyang Wirageni kembali mengepalkan kedua tangannya ke sisi pinggang. Kali Ini tanpa mengambil napas.
Kemudian kedua telapak tangannya ditempelkan pada punggung Pendekar Golok Baja. Kakek pemilik pondok ini mulai menyalurkan tenaga dalam untuk mengusir uap racun yang mengendap di tubuh murid keponakannya .
Pandora mulai pasang sikap waspada. Buntalan kain hitam yang sejak tadi dijinjing, ditaruh di bawah balai-balai bambu. Sepasang matanya diedarkan ber keliling, ke setiap sudut ruangan.
Kakek berwajah bintik-bintik putih ini merasa waktu berjalan begitu lambat. Sebentar-sebentar sepasang matanya dialihkan, antara sekeliling ruangan dan dua sosok tubuh yang berada di balai balai bambu. Dan kini dilihatnya bintik-bintik keringat mulai membasahi wajah Eyang Wirageni. Mula-mula hanya sedikit, tapi semakin lama semakin banyak. Sampai akhirnya sekujur tubuh kakek itu mandi keringat.
Sepasang mata Pandora membelalak begitu melihat uap tipis berwarna kehijauan, keluar dari kedua lubang hidung majikan mudanya. Pelayan setia ini tahu kalau asap itu adalah uap racun yang berhasil didesak keluar oleh hawa murni Eyang Wirageni.
Semakin lama uap itu semakin bertambah tebal. Dan Pandora melihat kedua tangan Eyang Wirageni
yang ditempel di panggung Pendekar Golok Baja mulai bergetar. Tahu kalau Eyang Wirageni telah mengerahkan tenaga dalam melewati batas, diam-diam jantung Pandora berdebar tegang.
Mendadak wajah Pandora berubah ketika pendengarannya yang tajam mendengar suara banyak langkah kaki mendekati pondok. Suara langkah yang ringan, pertanda pemiliknya memiliki ilmu meringankan tubuh cukup tinggi. Karuan saja suara-suara tadi membuat pelayan setia ini jadi gelisah. Ternyata dugaan Eyang Wirageni tidak meleset, banyak tamu tamu tak diundang yang berkunjung ke pondok ini.
Dengan gerak mata kalap, Pandora melirik ke arah dua sosok yang masih berada di alas balai-balai bambu. Tampak olehnya kalau asap yang keluar dari lubang hidung sang Majikan sudah menipis. Berarti tak lama lagi seluruh uap racun akan musnah dari tubuh majikannya.
Sementara itu, kedua tangan Eyang Wirageni semakin keras bergetar. Samar-samar tampak asap tipis mengepul dari kepala Eyang Wirageni yang wajahnya merah padam. Kian lama uap itu kian menebal. Pandora khawatir andaikan racun dalam diri Pendekar Golok Baja belum habis keluar. tapi Eyang Wirageni sudah roboh kehabisan tenaga.


Dewa Arak 13. Peninggalan Iblis Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di saat saat yang menegangkan itu, tiba-tiba....
Brakkk...! Terdengar suara berdetak keras dari arah luar kamar. Tanpa melihat pun Pandora tahu kalau pintu depan pondok telan dibobol orang. dan sang pelayan setia ini semakin berdebar keras karena tahu kalau tamu-tamu tak diundang sudah masuk di dalam pondok. Meskipun begitu. Pandora tetap tidak bergeming dari tempatnya. Kakek berwajah bintik bintik putih ini tidak berani meninggalkan kedua tubuh tak berdaya itu begitu saja. Khawatir kalau begitu ditinggalkan. tamu tak diundang masuk ke kamar dan membunuh kedua orang itu.
Kekhawatiran itulah yang membuat Pandora mengambil keputusan menunggu kedatangan tamu tamu tak diundang didalam kamar semadi Eyang Wirageni. Kakek berwajah bintik-bintik putih ini tahu kalau tamu'tak diundang itu akhirnya akan mencari majikannya ke ruangan ini juga. Dan dugaan Pandora tidak meleset! Beberapa saat setelah suara berderak keras terdengar, tahu tahu di ambang pintu kamar, berdiri beberapa sosok berpakaian serba merah. Sekelebatan saja kakek berwajah bintik-bintik putih ini tahu jumlah mereka. Lima orang, desis Pandora.
Lima orang berpakaian serba merah melangkah memasuki pintu kamar. Sekilas pandangan mereka melirik ke arah balai balai bambu. Tak sadar kakek berwajah bintik bintik putih itu pun mengikuti arah lirikan tamu-tamu tak diundang .Dan diam-diam pelayan setia ini bersyukur dalam hati melihat Eyang Wirageni telah menyelesaikan pengobatan. Dan kini dilihatnya tengah bersemadi memulihkan tenaga dalam yang terkuras tadi.
"Serahkan pusaka Iblis Hitam. Dan kami berjanji tidak akan mengganggu kalian," ujar salah seorang tamu tak diundang. Pandang matanya ditujukan pada Pandora.
"Siapa kalian? Dan apa yang kalian maksudkan dengan pusaka Iblis Hitam?" tanya Pandora, pura pura tak mengerti.
"Kami adalah Lima Alap-alap Bukit Jabal," jawab laki laki berkumis melintang, yang tadi meminta pusaka peninggalan Iblis Hitam.
"Dan kami tidak suka main-main. Cepat serahkan pusaka itu. Atau.... kami ambil dengan kekerasan?!"
Pandora tidak mau bersikap main-main lagi. Sebelum tamu-tamu tak diundang lain berdatangan kemari, kelima orang ini harus cepat dibungkam.
"Kalian boleh mengambil pusaka itu setelah melangkahi mayatku!" tandas Pandora tegas.
"Keparat!" teriak laki laki berkumis melintang, sambil melesat ke depan. Kaki kanannya dikibaskan ke arah pelayan setia Pendekar Golok Baja seraya memutar tubuh.
Wuttt...! ' Angin cukup keras berkesiut mengiringi tibanya serangan laki-laki berkumis melintang,
Pandora menyeringai lebar. Dan deru angin yang mengiringi tibanya serangan, kekuatan tenaga dalam lawan sudah bisa diukurnya. Maka tanpa ragu ragu lagi tangan kirinya segera diangkat melindungi pelipis sambil melontarkan tendangan kaki kanannya ke arah
lutut kiri laki-laki berkumis melintang itu.
Plakkk...! Tukk!! "Aduh!" Laki-laki berkumis melintang yang juga merupakan orang pertama dari Lima Alap Alap Bukit Jabal berseru tertahan. Kaki kanannya yang ter-tangkis tangan kakek berwajah bintik bintik putih tadi terasa sakit dan ngilu bukan main. Dan belum lagi rasa sakit itu hilang, tendangan lawan telah mengenai lutut kakinya. Kontan sambungan tulang lututnya terlepas.
Melihat dalam segebrakan saja rekan mereka telah dipecundangi, tentu saja keempat Alap-alap Bukit Jabal terkejut bukan main. Salah seorang dari mereka bergegas menangkap tubuh sahabatnya yang terhuyung buyung
"Kiranya kau memiliki kepandaian juga, Kakek Peot," ucap salah seorang Alap-alap Bukit Jabal yang bermata picak. Selesai berkata begitu, diterjangnya Pandora dengan serangan bertubi-tubi.
Dan belum lagi serangan laki-laki bermata picak tiba, empat kawannya yang kini telah tahu kalau kakek berwajah bintik-bintik putih bukan orang'sembarangan, segera ikut menyerang. Tak terkecuali laki-laki be kumis melintang. Dengan agak terpincang pincang, dia ikut membantu serangan saudara-saudaranya.
Dan sekali menyerang, Lima Alap-alap Bukit Jabal telah menggunakan senjata andalan. Mereka semua menggunakan sepasang pedang pendek berwarna hitam mengkilat.
Suara berkesiutan nyaring dari udara yang terbeset kelebatan pedang pedang pendek Lima Alap alap Bukit Jabal memecah keheningan malam. Pandora yang memang sudah memutuskan untuk tidak bertindak setengah setengah, segera mencabut sebatang golok pendek berwarna putih mengkilat.
Sing! Seketika memancar sinar terang menyilaukan mata ketika golok pendek keluar dari sarungnya. Dan secepat golok itu tercabut, secepat itu pula Pandora menangkis hujan serangan tamu tak diundang.
Trang, tang, tranggg..! Terdengar suara berdentangan nyaring yang diiringi pijaran bunga bunga api di udara, tatkala golok pelayan setia itu berbenturan dengan senjata senjata para pengeroyok. Suara-suara pekikan kaget segera terdengar dari mulut Lima Alap-alap Bukit Jabal. Bahkan bukan itu saja, tubuh tubuh mereka pun terhuyung-buyung ke belakang. Jelas kalau tenaga dalam yang dimiliki kelima pemburu pusaka peninggalan Iblis Hitam itu masih jauh di bawah tenaga dalam Pandora.
Dan selagi tubuh tubuh mereka terhuyung-huyung, pelayan setia Pendekar Golok Baja itu kembali menyabetkan golok berwarna putih mengkilat. Dan....
Srat, srattt...! "Aaakh...! Aaa...! Terdengar jeritan jeritan panjang menyayat begitu golok Pandora membabat leher Lima Alap-alap Bukit Jabal satu persatu. Darah segar kontan bermuncratan dari leher mereka yang terkoyak lebar. Seketika itu juga tubuh kelima orang itu roboh ke tanah. Setelah menggelepar-gelepar sesaat, akhirnya diam tidak bergerak lagi. Tragis sekali nasib Lima Alap-alap Bukit Jabal, mereka tewas di tangan orang yang sama sekali tidak terkenal.
"Hhh..!" Terdengar helaan napas berat dari mulut Pandora. Wajah pelayan setia Prajasena ini tidak tampak gembira meskipun melihat kelima lawan telah tewas. Bahkan terlihat penyesalan mendalam di wajah tua yang berbintik-bintik putih itu. Memang sebenarnya Pandora menyesal sekali telah membunuh Lima Alap-alap Bukit Jabal. Kalau saja bukan karena terpaksa, belum tentu kakek ini tega membunuh kelima orang itu. Tapi setidak tidaknya kematian Lima Alap alap Bukit Jabal itu telah mengurangi momok yang selama ini menakut nakuti penduduk sekitar bukit itu.
Setelah memandangi lima sosok mayat yang tergolek bermandi darah sejenak, Pandora segera menyarungkan kembali goloknya. Tak lupa menyeka dulu darah yang menodai batang golok dengan pakaian salah seorang mayat Lima Alap-alap Bukit Jabal.
Trekkk!! Kini golok putih berkilat telah masuk kembali ke dalam sarungnya. Baru setelah itu, Pandora mengalihkan perhatian ke arah dua sosok tubuh yang tergolek di atas balai balai bambu. Ditatapnya Eyang Wirageni yang masih khusuk bersemadi penuh perhatian. Terdengar desahan lembut berirama tetap setiap kali paman guru majikannya itu menarik dan mengeluarkan napas.
Sesaat kemudian, Pandora mengalihkan pandangan ke arah tubuh junjungan mudanya yang masih tergolek dibalai balai bambu. Desah napas lembut tapi teratur menandakan kalau Pendekar Golok Baja tengah tertidur lelap.
"Uuuhhh...!" Mendadak terdengar keluhan pelan mengiringi tubuh Prajasena yang menggeliat. Melihat hal ini, seketika wajah Pandora berseri seri. Bergegas dia mendekati balai balai bambu.
"Tuan." panggil kakek berwajah bintik-bintik putih itu. Nada suaranya menyiratkan rasa gembira yang menggelora.
"Pandora..." desah Pendekar Golok Baja pelan. Setelah mengerjap ngerjap beberapa saat, baru kemudian sepasang kelopak matanya membuka. Dan yang pertama kali dilihat adalah wajah pelayan setianya. Tapi. masih terlihat samar-samar. Memang tadi Prajasena memanggil nama Pandora sebelum membuka matanya. Dia memanggil pelayannya karena mendengar panggilan Pandora.
"Ya, Tuan..." sahut Pandora gembira.
Pandora tahu kalau majikan mudanya telah bebas dari cengkeraman racun jahat Sepasang Iblis Gurun Banjar. Wajah itu telah agak memerah kembali, sungguhpun masih agak pucat. Dan sepasang bola mata yang tidak kehijauan seperti sebelumnya, telah menjadi bukti nyata kalau Pendekar Golok Baja telah bebas dari racun. Memang, semula wajah dan sepasang bola mata Prajasena berubah kehijauan
"Di manakah aku, Pandora...," tanya Prajasena sambil mengedarkan pandangan berkeliling.
"Tuan, lupa...?" Pandora sengaja tidak segera menjawab pertanyaan Pendekar Golok Baja. Dibiarkannya Prajasena mengamati seluruh penjuru tempat itu.
"Rasanya aku mengenal tempat ini..." gumam Prajasena pelan sambil mengernyitkan dahi. Jelas kalau Pendekar Golok Baja tengah menguras ingatannya.
"Ingat-ingatlah, Tuan..." sambut Pandora.
"Terutama sejak Tuan berhasil mengusir Sepasang Iblis Gurun Banjar."
"Ah! Aku ingat sekarang...!" sentak Pendekar Golok Baja setelah termenung sejenak. Apalagi setelah terpandang olehnya tubuh Eyang Wirageni yang tengah bersemadi.
"Apa yang telah terjadi, Pandora? Dan mengapa eyang bersemadi?"
Pandora tertegun sejenak. Dan sebelum sempat menjawab pertanyaan junjungannya, kembali terdengar suara bernada terkejut dari mulut Prajasena.
"Siapa mereka, Pandora?" tanya Pendekar Golok Baja sambil menudingkan jari telunjuk pada lima sesok mayat yang tergolek di'lantai.
"Dan..., siapa yang membunuh mereka?"
"Hhh...!" Kembali terdengar helaan napas berat dari mulut Pandora. Akhirnya kakek ini pun menceritakan semua yang telah terjadi.
Sambil tetap berbaring di. balai balai bambu, Pendekar Golok Baja mendengar penuturan pelayannya penuh perhatian. Sesekali terdengar seruan kaget dari mulutnya, selagi pelayan setia itu bercerita.
"Jadi, Eyang bersemadi untuk memulihkan tenaganya yang terkuras ketika mengusir racun yang mengeram di tubuhku," gumam Prajasena setengah berdesah.
"Dan..., sungguh sama sekali tidak kusangka kalau Lima Alap alap Bukit Jabal bisa sampai kemari Ahhh.! Sudah dapat kuduga kalau berita pusaka Iblis Hitam telah tersiar luas di dunia persilatan..."
"Apa yang kau katakan sama sekali tidak salah, Pendekar Golok Baja," sahut sebuah suara. menanggapi gumaman laki laki bercambang lebat itu.
Tentu saja sambutan yang sama sekali tidak di sangka-sangka Itu membuat Prajasena terkejut. Bahkan bukan hanya Pendekar Golok Baja saja, Pandora pun dilanda perasaan yang sama. Sebelumnya mereka sama sekali tidak mendengar langkah orang mendekati tempat ini. Hampir berbareng Pendekar Golok Baja dan Pandora menoleh ke arah asal suara.
Di ambang pintu pondok Eyang Wirageni telah berdiri sesosok tubuh kurus kering. Usia laki laki yang hampir-hampir tak berdaging ini sukar ditebak. Tapi. yang jelas sudah lebih dari enam puluh tahun. Warna kulit yang kemerahan berlawanan sekali dengan pakaian serba putih yang dikenakannya. Sementara di tangan kanan tergenggam sebatang tongkat merah berujung tengkorak kepala manusia.
"Tengkorak Merah.. ." desis Pendekar Golok Baja pelan. Nada suara dan wajahnya memperlihatkan ke terkejutan yang amat sangat. Laki laki gagah bercambang lebat ini memang pernah mendengar Julukan tokoh itu. Tengkorak Merah adalah salah seorang tokoh aliran hitam yang terkenal dengan kesaktian dan kekejamannya. Bahkan nama besar Tengkorak Merah tak kalah tenar dengan Sepasang Iblis Gurun Banjar.
Pandora terkejut bukan main manakala tahu kalau tamu tak diundang yang berdiri di ambang pintu adalah Tengkorak Merah. Mendadak wajah pelayan setia ini seketika pucat pasi. Karena mengkhawatirkan keselamatan majikannya. Meskipun racun yang mengeram di tubuh Prajasena telah lenyap, tapi Pandora tahu kalau saat ini tubuh majikan mudanya itu berada dalam
keadaan tidak berdaya. Tenaga dalam Pendekar Golok Baja belum pulih sama sekali.
"Ah...! Ternyata matamu masih awas juga, Pendekar Golok Baja," ucap Tengkorak Merah sambil ter esenyum mengejek. Suaranya melengkimg mirip suara wanita.
"Sayang.... saat ini kau dalam keadaan lemah. Kalau tidak, mungkin akan sangat membahagiakan hatiku. Sudah lama aku berniat menguji kepandaianmu. Sekadar ingin tahu, apakah nama besarmu setara dengan kepandaianmu."
"tidak usah bertele tele, Tengkorak Merah!" sergah Pendekar Golok Baja keras, seraya berusaha bangkit dari pembaringan. Kedua tangannya menggigil ketika berusaha bangkit dengan bertumpu pada kedua tangannya.
"Langsung katakan saja maksud kedatanganmu kemari!"
Sepasang mata laki-laki bertubuh kurus kering itu nampak berkilat-kilat penuh kemarahan ketika mendengar jawaban yang bernada kasar.
"Sungguh tidak kusangka kalau dalam keadaan seperti ini pun kau masih bersikap galak. Pendekar Golok Baja. Kau tahu, kalau aku mau, mudah saja aku membunuhmu!" ancam Tengkorak Merah.
"Kalau mau bunuh, silakan bunuh! Kau pikir aku takut mati?" sahutan dari Prajasena masih tetap kasar dan bernada tinggi.
"Kaparat! Mulutmu semakin kurang ajar, Pendekar Golok Baja. Kalau tidak kuberi pelajaran, kau akan menginjak kepalaku!"
Setelah berkata demikian, Tengkorak Merah mengibaskan tangan kiri. Pelan saja kelihatannya. Tapi hebatnya, dari tangan kurus itu berhembus serangkum angin keras ke arah Prajasena yang sudah mampu duduk di atas balai balai.
Wut! Bresss...! "Akh!" Pendekar Golok Baja memekik tertahan ketika tubuhnya terlempar hingga menabrak dinding di belakangnya.
Brakkk! Terdengar suara berdebukan keras ketika tubuh laki laki gagah bercambang lebat itu jatuh ke tanah.
"Tuan....'" Pandora berseru kaget melihat keadaan majikan mudanya. Cepat-cepat kakek berwajah bintik-bintik putih itu melesat menghampiri Pendekar Golok Baja. Kejadian itu memang begitu mendadak sehingga Pandora tadi tidak sempat memberi pertolongan.
Pendekar Golok Baja meringis merasakan sekujur tubuhnya sakit-sakit akibat membentur dinding, Prajasena berusaha bangkit, namun ternyata tidak mampu. Pendekar ini membutuhkan waktu cukup lama untuk bersemadi kalau ingin memulihkan tenaganya.
Pandora segera membungkukkan tubuh untuk memeriksa keadaan majikan mudanya. Lega rasa hatinya ketika mengetahui Pendekar Golok Baja sama sekali tidak terluka. Hanya rasa sakit dan nyeri-nyeri yang melanda sekujur tubuh laki-laki gagah bercambang lebat Ini. itu pun karena benturan dengan dinding dan lantai, bukan karena serangan yang di lakukan Tengkorak Merah. Memang laki laki bertubuh kurus kering itu hanya bermaksud melempar tubuh Prajasena, sama sekali tidak bermaksud melukai.
"Itu hanya sekadar pelajaran saja, Pendekar Golok Baja, agar kau bisa berkata sedikit lembut kepadaku!" ejek Tengkorak Merah.
Pendekar Golok Baja hanya mendengus.
"Cepat serahkan pusaka peninggalan Iblis Hitam padaku kalau kau ingin selamat, Pendekar Golok Baja!"
"Kau hanya dapat memilikinya .'kalau aku telah Jadi mayat!" tandas Prajasena tegas.
"Keparat! Kalau memang itu keinginanmu. mampuslah...!"
Setelah berkata demikian, Tengkorak Merah melompat menerjang. Tongkat merah berujung tengkorak diayunkan ke arah kepala Pendekar Golok Baja.
Wuuut...! Angin keras berhembus deras sebelum sambaran tongkat tiba. Pandora tentu saja tidak membiarkan kepala majikan mudanya pecah terhantam tongkat laki-laki bertubuh kurus kering, Secepat kilat kakek berwajah bintik bintik putih itu bangkit seraya menghunus golok pendeknya.
Srattt! Begitu golok berwarna putih mengkilat keluar dari
sarungnya, langsung saja Pandora memapak sambaran tongkat Tengkorak Merah.
Tranggg...! Terdengar suara berdentang nyaring begitu kedua
senjata berbenturan. Seketika bunga bunga api bertaburan di udara.
"Ah...!" Pandora memekik tertahan. Tubuhnya kontan terhuyung huyung beberapa langkah ke belakang. Sekujur tangannya terasa kesemutan, bahkan golok yang digenggam hampir-hampir terlepas dari pegangan. Sementara Tengkorak Merah sama sekali tidak terpengaruh. Jelas kalau tenaga dalam laki-laki bertubuh kurus kering itu jauh di atas tenaga dalam yang dimiliki Pandora.
"Pelayan keparat!" maki Tengkorak Merah keras. Tokoh aliran hitam ini merasa geram bukan main melihat serangannya ditangkis Pandora. Dan kini kemarahannya dilampiaskan pada kakek berwajah bintik-bintik putih.
Wuuut....' Kembali Tengkorak Merah melancarkan serangan. Tapi kali ini kepada Pandora. Tongkat berkepala tengkoraknya ditusukkan cepat ke arah dada Pandora yang masih terhuyung-huyung.
Pandora kaget bukan main. Untuk mengelak rasanya sudah tidak mungkin lagi dapat dilakukan. Jangankan mengelak. mematahkan daya dorong yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung pun dia tak mampu. Tidak ada jalan lain baginya kecuali menangkis tusukan tongkat berujung tengkorak kepala manusia. Dan itulah yang dilakukan Pandora untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Buru buru goloknya digerakkan menangkis.
Tranggg! "Akh...!" Untuk kedua kalinya Pandora memekik tertahan. Tubuhnya kembali terhuyung huyung ke belakang. Bahkan kali ini diikuti dengan terlepasnya golok dari genggamannya.
"Hiaaat...!" Disertai teriakan nyaring, Tengkorak Merah kembali menyabetkan tongkat merahnya ke arah Pandora.
Kali ini Pandora tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Kakek berwajah bintik-bintik putih ini hanya dapat pasrah menanti ajal datang menjemput. Tubuhnya yang masih terhuyung-huyung, menyulitkan dirinya mengelakkan sabetan tongkat.
Tapi di saat kritis bagi keselamatan Pandora, terdengar suara berdesing nyaring yang disusul dengan melesatnya seleret sinar putih berkilat ke arah tongkat yang mengancam kepala pelayan setia itu.
Tranggg...! Seketika itu juga benda putih berkilat terpental balik ketika berbenturan dengan tongkat berujung tengkorak kepala manusia milik Tengkorak Merah. Dan langsung menancap di dinding sampai tembus ke gagangnya. Rupanya benda putih berkilat itu adalah sebilah pisau terbang.
Tengkorak Merah menggeram keras. manakala mendapati serangannya kembali digagalkan orang. Dan belum lagi dia sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu melesat sesosok bayangan putih. Sesaat kemudian di depan laki-laki bertubuh kurus kering itu telah berdiri Eyang Wirageni dengan tenangnya. Rupanya begitu melihat keselamatan Pandora terancam, kakek ini langsung turun tangan tanpa mempedulikan tenaganya yang belum pulih seluruhnya. Karena waktu yang sudah mendesak, dilemparkannya sebilah pisau terbang sebagai penghambat serangan Tengkorak Merah.
"Pandora... cepat kau bawa Prajasena dari sini!" Sambil berkata begitu. Eyang Wirageni segera menerjang Tengkorak Merah. Tongkat baja yang sejak tadi tergenggam di tangannya segera menotok cepat ke arah ulu hati lawan.
Pandora adalah seorang yang telah kenyang pengalaman. Maka sekali lihat saja kakek berwajah bintik bintik putih ini tahu kalau Eyang Wirageni sengaja mengorbankan nyawanya untuk keselamatan dia, Pendekar Golok Baja, dan terutama sekali pusaka iblis Hitam. Pandora tahu kalau Eyang Wirageni belum berhasil memulihkan seluruh tenaganya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pandora segera menghampiri Pendekar Golok Baja dan memanggulnya. Tak lupa menyambar buntalan kain hitam yang berisi pusaka peninggalan iblis Hitam. Dan sebelum melesat kabur dari situ, dia menyempatkan
melirik pertarungan yang terjadi antara Tengkorak Merah dengan Eyang Wirageni.
Sementara itu, Eyang Wirageni terus menghujani Tengkorak Merah dengan serangan serangan dahsyat untuk memberi kesempatan Pandora kabur.
Tengkorak Merah meraung murka melihat Pandora berhasil kabur dengan membawa pusaka yang diincarnya. Kini kemarahannya dilampiaskan pada Eyang Wirageni.
Eyang Wirageni menggertakkan giginya, mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Tapi, ternyata hasilnya tetap sia-sia. Tenaga dalamnya belum kembali seluruhnya. Dan dengan berkurangnya tenaga dalam, berkurang pula kemampuannya. Setiap kali kedua senjata mereka beradu, Eyang Wirageni selalu terhuyung ke belakang dengan tangan yang menggenggam tongkat tergetar hebat. Sementara lawannya sama sekali tidak menderita suatu apa. Di jurus jurus awal. pertarungan antara kedua orang tokoh sakti ini masih berlangsung imbang. Tapi mengInjak jurus ke lima belas, tampak keunggulan Tengkorak Merah.
Sebenarnya kalau saja Eyang Wirageni berada dalam kondisi biasa, belum tentu Tengkorak Merah mampu mendesak .Tapi, karena kakek yang menjadi guru Pendekar Golok Baja ini belum berhasil memulihkan seluruh tenaga dalamnya, laki-laki bertubuh kurus kering itu bisa mendesaknya.
Tranggg...! Kembali untuk kesekian kalinya senjata kedua tokoh sakti berbenturan. Kali ini benturan yang terjadi demikian keras, sehingga tak pelak lagi Eyang Wirageni terjangkang ke belakang. Dan sebelum paman guru Prajasena ini berbuat sesuatu, tahu-tahu tongkat ber ujung kepala tengkorak lawan telah meluruk cepat ke dada. .
Wuuut...! Buk!! "Huakkk...!" Terdengar suara berderak keras ketika tongkat berujung kepala menghantam telak dan keras dada Eyang Wirageni. Seketika itu juga tubuh paman guru Pendekar Golok Baja terlempar jauh ke belakang. Darah segar berhamburan deras dari mulut, hidung, dan telinga 'Eyang Wirageni. Nyawa Eyang Wirageni meninggalkan raganya dengan sekujur tulang dada remuk.
Melihat lawannya tewas. tanpa membuang-buang waktu lagi Tengkorak Merah melesat meninggalkan pondok Mengejar Pandora yang telah membawa lari pusaka dan juga majikan mudanya.
*** Sementara itu Pandora terus berlari cepat meninggalkan pondok Eyang Wirageni. Walaupun agak repot karena tangan kanannya harus memegangi tubuh Pendekar Golok Baja yang terpanggul di bahu, sedangkan tangan kiri sibuk menjinjing buntalan kain hitam, kakek berwajah bintik-bintik putih terus berlari.
Tapi belum berapa jauh melangkah, mendadak Pandora berhenti berlari. Kedua kaki kakek ini menggigil keras, sementara sepasang matanya membelalak ke depan. Kalau saja suasana malam tidak remang remang, tentu akan. terlihat jelas betapa pucatnya wajah pelayan setia ini.
"Ada apa, Pandora?" tanya Pendekar Golok Baja begitu merasakan kakek itu menghentikan larinya secara tiba-tiba.
"T... Ttt.., Tuan lihat saja sendiri..." sahut pela yan setia itu. Suaranya terputus-putus seperti orang diserang demam hebat.
"Kalau begitu..., turunkan aku, Pandora," pinta Prajasena. Laki laki gagah ini jadi ingin tahu apa yang telah membuat pelayan setianya kelihatan takut bukan main.
Pandora segera menurunkan tubuh majikan mudanya dengan pandangan mata masih tertuju ke depan.
Ternyata bukan hanya Pandora saja yang terkejut melihat pemandangan yang terpampang di depan, Pendekar Golok Baja pun dilanda perasaan serupa.
"M.... Mmm... mustahil..." meskipun dengan agak gagap akhirnya keluar juga ucapan bernada terkejut itu. Mungkin sebenarnya akan keras suara yang keluar dari mulut Pendekar Golok Baja. Tapi karena keterkejutan yang amat sangat, suaranya malah tersumbat di tenggorokan."Tidak salahkah yang kita lihat ini, Tuan?" tanya Pandora yang telah berhasil mengatasi rasa terkejut.
'Tidak, Pandora," sahut Pendekar Golok Baja sambil menggelengkan kepala.
"Dia memang iblis Hitam...."
Di bawah keremangan malam, di hadapan kedua orang itu, terlihat sesosok tubuh berpakaian serba hitam tengah mengamuk menghadapi belasan pengeroyok. Sosok itu memang pantas bila dijuluki Iblis Hitam, karena sekujur tubuhnya terbalut kain serba hitam. Mulai dari kepalanya yang tertutup selubung berwarna hitam, dan yang terlihat hanya sepasang matanya saja, sampai ke kaki dan sepatunya berwarna hitam. Kedua tangannya terbungkus sepasang sarung tangan yang juga berwarna hitam.
Pakaian sosok serba hitam yang berjuluk Iblis Hitam adalah sebuah mantel hitam yang berkibaran keras setiap kali tubuhnya bergerak.
"lalu.., bagaimana dengan isi buntalan ini, Tuan?" tanya Pandora lagi, seraya mengangkat buntalan kain hitam yang sejak tadi dijinjingnya.
Pendekar Golok Baja terperanjat kaget. laki-laki gagah ini baru teringat pada buntalan kain hitam yang selama ini diketahuinya berisi seluruh perlengkapan Iblis Hitam. Apakah Iblis Hitam ada dua? tanyanya dalam hati dengan perasaan bingung. Atau..., memang peti kayu jati yang terdapat dalam buntalan kain hitam ini sebenarnya tidak berisi apa apa?
Teringat semua itu, Prajasena kembali memperhatikan sosok serba hitam yang masih saja melakukan pembantaian. Jelas terlihat kalau di kedua belah tangan sosok serba hitam itu tergenggam sepasang kapak hitam mengkilat. Tidak salah lagi! Sosok serba hitam itu adalah Iblis Hitam!
"Buka buntalan itu, Pandora," ucap Pendekar Golok Baja setelah tercenung sesaat. Ingin membuktikan apakah semua benda yang terdapat dalam peti kayu jati hitam masih ada di dalamnya? Terlihat jelas kalau sosok serba hitam itu memiliki semua ciri-ciri Iblis Hitam. Mulai dari perlengkapan, sampai pada jurus-jurus yang dimainkannya. .
Pandora segera membuka buntalan kain hitam, dan menyerahkan peti kayu jati pada majikan muda nya. Setelah menerimanya, Pendekar Golok Baja memperhatikan seluruh bagian luar peti sejenak. Baru kemudian mengeluarkan sebuah anak kunci dari balik baju. Memang peti itu terkunci dengan sebuah gembok.
Tanpa sepengetahuan Pendekar Golok Baja dan Pandora, Tengkorak Merah diam-diam sudah berada di belakang mereka. Dan seperti juga kedua orang itu, Tengkorak Merah juga merasa terkejut begitu melihat sosok serba hitam yang diketahuinya berjuluk Iblis Hitam tengah mengamuk menghadapi belasan tokoh tokoh persilatan. Tak salah lagi. orang-orang itu berusaha memperebutkan pusaka warisan iblis Hitam, duga Tengkorak Merah.
Dan seperti juga Pendekar Golok Baja dan Pandora, Tengkorak Merah pun tidak percaya kalau sosok serba hitam di hadapannya adalah Iblis Hitam. Sepengetahuannya, tokoh aliran hitam yang mengerikan itu telah meninggal dunia puluhan tahun silam. Dan pusaka iblis itu kini ada di tangan Pendekar Golok Baja. Bagaimana mungkin iblis Hitam bisa muncul dan mengamuk di sini? Tengkorak Merah tak habis mengerti.
Didorong oleh rasa ingin tahu, diam-diam Tengkorak Merah mengintai Pendekar Golok Baja yang tengah mmbuka peti.
Dengan jantung berdebar-debar, Prajasena membuka tutup peti yang telah dibuka gemboknya. Dan...
"Kosongr?!" Hampir serentak Pendekar Golok Baja dan Pandora mendesis begitu melihat di dalam peti tidak terdapat apa-apa, kecuali sebuah balok kayu yang mungkin sengaja dimasukkan agar peti tidak kosong sama sekali.
Kalau saja suasana malam tidak remang remang, akan terlihat jelas kalau wajah Prajasena dan pelayan setianya pucat pasi. Jantung keduanya berdebar keras karena tegangnya.
Pendekar Golok Baja kembali memandang ke depan. Dilihatnya pengeroyok Iblis Hitam yang semula berjumlah puluhan tinggal beberapa gelintir lagi.
"Aaakh...!" Kembali untuk kesekian kali terdengar jeritan memilukan yang disusul dengan robohnya sesosok tubuh tanpa nyawa di tanah. Perut orang itu robek lebar terkena babatan kapak Iblis Hitam.
"Ha ha ha!" Sosok serba hitam itu memperdengarkan tawa aneh. Suaranya pelan, berat, tapi bergaung. Dan semakin lama semakin mengeras. Para pengeroyok yang sejak tadi sudah merasa gentar, segera melesat kabur .Tapi sebelum mereka melangkah jauh. terdengar suara mendengus keras. Dan belum lagi gema dengusan lenyap, sesosok bayangan hitam menyambar tubuh mereka. Dan.
"Aaakh...!" "Ah...!" Sisa pengeroyok menjerit memilukan. Sebentar mereka bergeleparan di tanah, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. Tewas dengan luka-luka menganga akibat sambaran sepasang kapak sosok serba hitam'
"Itulah hukuman bagi orang yang mencoba-coba memperebutkan pusaka iblis Hitam! Ha ha ha...!" lagi lagi terdengar tawa aneh dari mulut sosok tubuh serba hitam.
Setelah puas tertawa, Iblis Hitam mengalihkan pandangan ke arah dua sosok yang sejak tadi memperhatikan dengan sorot mata tegang. Siapa lagi kalau bukan Pandora dan Pendekar Golok Baja. Sedangkan Tengkorak Merah yang melihat kalau peti pusaka Iblis Hitam kosong, sudah sejak tadi kabur dari situ.
Tak sadar Pendekar Golok Baja dan Pandora melangkah tiga tindak ke belakang begitu Iblis Hitam menatap ke arah mereka. Perbawa Iblis Hiram sepak puluhan tahun bahkan mungkin seratus tahun yang lalu memang menggiriskan. Ternyata bukan hanya Pandora dan Pendekar Golok Baja yang terkejut, Iblis Hitam pun dilanda perasaan serupa. Tampak sepasang mata yang mencorong itu terbelalak kaget.
Luar biasa! Hanya dengan sekali melangkah, tubuh Iblis Hitam sudah berada lebih dari sepuluh tombak di depan.
"Luar biasa...." desah Pendekar Golok Baja begitu perasaan tegang yang melanda hatinya mulai sirna.
"Kepandaiannya luar biasa sekali...."
"Tuan..." ucap Pandora ragu-ragu.
"Ada apa, Pandora?" tanya Prajasena, tanpa mengalihkan pandangan ke arah Iblis hitam lenyap ditelan kegelapan malam.
"Sejarah akan berulang, Tuan," keluh kakek berwajah bintik-bintik putih itu. Suaranya pelan.
"Apa maksudmu, Pandora?" tanya Pendekar Golok Baja belum mengerti karena perhatiannya masih tertuju pada Iblis Hitam.
"Sejarah Iblis Hitam yang berlumuran darah...," jawab Pandora dengan suara mengambang.
"Hhh..!" Pendekar Golok Baja menghela napas berat. Nampak jelas kalau laki laki gagah ini merasa tertekan melihat kenyataan yang dihadapinya.
"Tidak ada yang bisa kulakukan, Pandora," setelah 'sekian lama akhirnya keluar juga ucapan dari mulut
Prajasena. "Maksud. Tuan..?" Pandora masih belum mengerti ucapan sang Majikan.
"Kepandaianku sama sekali tidak berarti bila dibandingkan dengan kepandaiannya...," keluh Prajasena.
"Bagaimana Tuan bisa tahu?" tanya Pandora. Ada nada penasaran dalam suaranya.
"Apakah Tuan pernah bertarung dengan dia?" ~
Pendekar Golok Baja menggelengkan kepala.
"Eyang Wirageni yang mengatakan padaku."
"Maksud Tuan...?" ,
"Sejak zaman iblis Hitam pertama sampai yang terakhir, yaitu ayahku, leluhur-leluhur Eyang Wirageni berusaha menahan sepak terjang iblis Hitam. Baik dengan cara halus maupun cara kasar."
"Lalu... hasilnya bagaimana, Tuan?" tanya Pandora ingin tahu.
"Iblis Hitam menaklukkan mereka." keluh Prajasena.
"Kepandaian Iblis Hitam turun temurun jauh d atas keturunan Eyang Wirageni."
"Apakah Iblis Hitam dan keturunannya membasmi leluhur-leluhur Eyang Mrageni?" tanya Pandora lagi. Pendekar Golok Baja menggelengkan kepala.
"Itulah hebatnya." sahut Prajasena bernada memuji.
"Betapapun sesatnya Iblis Hitam dan keturunannya. mereka tetap tidak membunuh leluhur leluhur Eyang Wirageni turun temurun. Padahal jelas jelas kalau dari dulu leluhur Eyang Wirageni berusaha sekuat tenaga menaklukkan mereka."
"Pantas Eyang Wirageni mau menerima Tuan dan adik tuan. Meskipun dia tahu kalau Tuan dan adik tuan adalah keturunan Iblis Hitam," sambut pelayan setia itu mulai paham.
"Yahhh"! Eyang Wirageni merasa berhutang budi."
Suasana menjadi hening ketika Pendekar Golok Baja menyelesaikan ucapannya. Kini yang terdengar di tempat itu hanya suara jangkrik dan serangga malam lainnya.
"..Jadi..., atas dasar kekalahan leluhur-leluhur Eyang Wirageni turun temurun itulah yang menyebabkan Tuan tidak yakin mampu mengalahkan Iblis Hitam?" tanya Pandora lagi, memecahkan keheningan malam.
"Ya," sahut Prajasena.
"Kini aku terhitung keturunan Eyang Wirageni. Dan aku telah menguasai seluruh ilmu leluhurnya. Tapi, Iblis Hitam yang tadi muncul juga telah menguasai seluruh ilmu warisan Iblis Hitam. Jadi, mana mungkin aku mampu mengalahkan dia. Di samping itu ada pantangan besar menentang leluhurku."
Pandora terdiam seketika.
"Hanya yang masih membuatku bingung, dari mana Iblis Hitam tadi mendapatkan pusaka pusakanya? Padahal. aku tahu pasti kalau ayah telah mewariskan semuanya padaku. Dan sejak diwariskan. peti itu
selalu kubawa bawa. Dan hampir setiap hari aku memeriksa gemboknya," ucap Prajasena dengan suara mengandung keheranan besar.
"Sewaktu Tuan memeriksa peti, apakah Tuan juga memeriksa isinya?" tanya Pandora ingin tahu.
"Kuakui aku memamg ceroboh, Pandora. Aku sama sekali tidak memeriksa isinya. Begitu kulihat tutup peti masih tergembok, dan keadaan gembok tidak mengalami suatu apa, tenanglah hatiku. Sungguh tidak kusangka kalau kecerobohanku berakibat fatal."
Pandora menatap wajah majikan mudanya yang dipenuhi rasa penyesalan mendalam. Pelayan setia ini tidak berani mengeluarkan kata kata lagi.
"Entah sejak kapan pusaka itu telah lenyap dari tempatnya," kembali Pendekar Golok Baja menggumam pelan.
"Hhh...!" Suara helaan napas berat Pandora saja yang menjawab pertanyaan Prajasena. Kakek berwajah bintik bintik putih itu tidak tahu harus berkata apa.
"Entah siapa orang yang telah mencemarkan nama leluhurku," ucap laki laki gagah bercambang lebat itu lagi. Masih bernada keluhan.
"Dunia persilatan akan gempar kembali, Tuan," akhirnya keluar juga kata-kata dari mulut Pandora.
"Yahhh...!" Pendekar Golok Baja hanya mendesah pelan.
"iblis Hitam akan merajalela kembali tanpa ada seorang pun yang bisa menahannya," sela Pandora.
Pendekar Golok Baja sama sekali tidak menanggapi ucapan Pandora. Kakinya kembali dilangkahkan menuju pondok Eyang Wirageni. Kehadiran Iblis Hitam membuat Prajasena mendadak bisa bangkit berdiri dan berjalan normal. Hanya saja tenaga dalamnya belum pulih secara keseluruhan.
"Eyang...!" seru Pendekar Golok Baja begitu melihat tubuh paman gurunya-tergeletak tak bergerak di lantai. Darah menggenang di sekitar tubuh Eyang Wirageni. Dengan langkah terhuyung huyung karena kondisi yang memang masih lemah, Prajasena berlari menghambur ke arah tubuh yang tergolek.
Terdengar suara berkerotokan keras ketika laki laki gagah bercambang lebat itu menggertakkan gigi. Kemarahan bercampur kesedihan yang amat sangat melanda hati Prajasena.
"Aku berjanji Eyang. Akan kubalas kekejian ini. Tengkorak Merah! Tunggulah pembalasanku!" desis Prajasena penuh ancaman.
"Pandora tolong angkat mayat Eyang," ucap Pendekar Golok Baja pada Pandora, setelah berhasil meredakan perasaan hatinya yang terguncang. Suaranya masih terdengar serak. Jelas kalau Prajasena dilanda perasaan sedih yang menggelegak. Kalau saja kondisi pendekar ini tidak dalam keadaan lemah, mayat Eyang Wirageni sudah diangkatnya sendiri.
"Hhh..!" Hanya helaan napas berat yang dapat dikeluarkan oleh Pendekar Golok Baja untuk melampiaskan perasaan geram yang melanda dirinya. Apa lagi yang dapat dilakukannya, dalam keadaan tidak berdaya seperi ini?
Pandora segera membungkukkan tubuh. Lalu mengangkat mayat Eyang Wirageni, dan membawanya keluar rumah. Prajasena mengikuti di belakang. Dan malam itu juga, mayat Eyang Wirageni dikuburkan.
*** Tengkorak Merah berlari cepat mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Sekali lihat, laki laki bertubuh kurus kering ini sadar kalau dirinya bukan tandingan Iblis Hitam yang menggiriskan. Itulah sebab nya dia mengambil keputusan untuk melarikan diri sebelum Iblis Hitam menghabiskan semua lawannya.
Hati laki-laki bertubuh kurus kering ini sudah agak lega setelah beberapa saat berlari, ternyata tidak ada tanda tanda yang mengejarnya. Tapi, mendadak jantung Tengkorak Merah berdebar tegang melihat sosok serba hitam berdiri beberapa tombak di hadapannya. Iblis Hitam kah sosok yang menghadang jalannya desis laki-laki kurus kering ini dalam hati.
"Ha ha ha...!" Sosok serba hitam itu memperdengarkan tawa aneh. Suaranya pelan, berat, tapi bergaung. Seperti tawa itu terdengar dari mulut setan penghuni kuburan
"Iblis Hitam..," desis Tengkorak Merah. Suaranya
bergetar karena ketegangan yang melanda hatinya.
"Ha ha ha!" Hanya tawa aneh Iblis Hitam saja yang menyahuti ucapan Tengkorak Merah.
"Mengapa kau hadang jalanku Iblis Hitam?" tanya laki-laki bertubuh kurus kering itu parau.
"Bukankah aku tidak pernah punya urusan denganmu?!"
"Hmh...!" Iblis Hitam mendengus.
'Tidak usah berdusta, Tengkorak Merah!"
"Aku tidak berdusta," Tengkorak Merah mencoba membantah
"Hmh...!" kembali Iblis Hitam mendengus.
"Kini kau telah membuat tiga kesalahan, Tengkorak Merah!"
"Tiga kesalahan?"
"Ya!" Iblis Hitam menganggukkan kepala.
"Pertama, kau ikut memperebutkan pusaka peninggalan leluhurku! Kedua, kau telah membunuh Eyang Wirageni, keturunan adik seperguruan leluhurku. Dan ke tiga, kau telah berdusta padaku! Kau punya tiga kesalahan, Tengkorak Merah. Nyawa busukmu tidak akan cukup untuk menebus kesalahanmu!"
Seketika wajah Tengkorak Merah pucat karena tahu kalau dirinya bukan tandingan Iblis Hitam. Meskipun begitu, tentu saja lakilaki kurus kering ini tidak mau menyerahkan nyawa begini saja. Sadar kalau tidak akan mendapat ampunan Iblis Hitam. perasaan gentarnya berubah menjadi rasa nekat.
"Kaparat! Kaulah yang akan mampus di tanganku. Iblis Hitam!"
Setelah berkata demikian, Tengkorak Merah segera memutar mutar tongkat merah berujung tengkorak kepala manusia yang tergenggam di tangannya.
Wukkk, wukkk. wukkk...! Angin menderu keras mengiringi putaran tongkat Itu. Kemudian disertai teriakan nyaring, Tengkorak Merah menyodokkan tongkatnya ke dada Iblis Hitam.
"Ha ha ha...!" Iblis Hitam hanya tertawa menyeramkan. Serangan maut yang mengancamnya sama sekali tidak di hiraukan. Padahal angin serangan tongkat Itu saja sudah membuat batu-batu kecil beterbangan tak tentu arah.
Tengkorak Merah agak terkejut juga melihat kejadian ini. Dia memang sudah mendengar legenda kalau Iblis Hitam tak mungkin bisa dilukai oleh serangan apa pun karena kemukjizatan pusakanya. Bahkan tadi pun telah disaksikannya sendiri kalau iblis itu memang tidak bisa dilukai. Tapi, sebelum membuktikannya sendiri, laki laki bertubuh kurus kering Ini tidak percaya. Dan inilah kesalahannya!
Bukkk! Telak dan cepat sekali ujung tongkat yang berbentuk tengkorak kepala manusia menusuk dada Iblis Hitam. Tapi aneh! Sosok itu tak bergeming sedikit pun.
"Ah!" Tengkorak Merah memekik kaget. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu kaki kanan Iblis Hitam telah melesat ke perutnya.
Wuttt! Bukkk! "Hugh!"

Dewa Arak 13. Peninggalan Iblis Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tengkorak Merah mengeluh tertahan dengan tubuh terbungkuk. Seketika rasa sakit dan mual melanda perut laki-laki bertubuh kurus kering Ini. Tendangan keras itu telak mengenai perut. Ada cairan merah kental menitik di sudut-sudut mulutnya.
Iblis Hitam tidak hanya bertindak sampai di situ saja. Cepat laksana kilat tangan tokoh sesat yang menggiriskan itu menampar deras ke arah pelipis.
Wuttt! Plakkk! Krakkk! Terdengar suara berderak keras ketika tamparan Iblis Hitam telak mengenai pelipis Tengkorak Merah. Dan, kontan tubuh laki-laki kurus kering ini terpelanting dengan mulut, hidung, dan telinga mengalir darah segar. Tengkorak Merah tewas seketika! Tewas sebelum sempat ambruk ke tanah.
Menyedihkan sekali! Seorang tokoh sesat. yang memiliki kepandaian tinggi, tewas hanya dalam tiga gebrakan saja. Dan Itu terjadi karena keteledoran Tengkorak Merah sendiri. Kalau saja dia bersikap waspada begitu melihat sikap Iblis Hitam yang tidak menghiraukan serangannya, tidak akan semudah ltu Tengkorak Merah bisa ditewaskan.
"Ha ha ha...!" Iblis Hitam kembali tertawa menyeramkan. Setelah memandang sejenak mayat Tengkorak Merah yang tergolek di tanah, tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu. Sesaat kemudian suasana di situ kembali sepi. Yang terdengar hanyalah gema suara tawa Iblis Hitam yang melayang terbawa angin.
*** Hari mulai siang ketika matahari perlahan-lahan merangkak ke arah Barat. Udara pun sudah tidak lagi segar, ketika seorang pemuda dan seorang wanita muda melangkah pelan memasuki sebuah kedai di Desa Jolang.
Pemuda Itu paling banyak baru berusia dua puluh satu tahun. Rambut panjangnya yang berwarna putih keperakan dibiarkan riap-riapan. Di punggung pemuda berpakaian ungu Itu tersampir sebuah guci arak dari perak.
Sementara wanita muda berpakaian serba putih yang berjalan di sebelahnya, berusia sekitar dua puluh tahun. Wajahnya cantik bukan main. Rambut hitam dan panjang yang dibiarkan terurai, kian menambah daya tarik penampilannya.
Sejenak kedua muda mudi itu tertegun di pintu kedai. Sepasang mata mereka merayapi setiap sudut kedai, mencari meja yang masih kosong. Saat Ini kedai memang ramai dipenuhi pengunjung. Banyak orang yang tengah bersantap di dalamnya. Dan menilik dari pakaian yang mereka kenakan, bisa ditebak kalau pengunjung kedai adalah orang orang persilatan.
Banjir Darah Bojong Gading 2 Istana Tanpa Bayangan Karya Efenan Bencana Pedang Asmara 2
^