Pencarian

Sang Pengkhianat 1

Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu Bagian 1


Prolog Jonathan Guntur BANGUNAN kosong itu sudah tidak pernah digunakan
lagi, namun tidak dirobohkan juga.
Konon, bangunan bekas ruangan musik itu dihantui
oleh siswa teladan sekolah ini yang tewas di dalam
bangunan itu. Konon, siswa malang itu ditikam berkalikali oleh sahabatnya sendiri yang cemburu berat, tidak
hanya terhadap prestasi siswa teladan tersebut, melainkan
juga karena cewek yang disukainya jatuh cinta pada si
siswa teladan. Konon, rasa cemburu yang berlebihan
membekas dalam ruangan itu hingga puluhan tahun,
menebarkan kebencian di sekolah, dan menyebabkan
sekolah itu dikutuk untuk selamanya.
Kecemburuan berlebihan yang sama juga menyebabkan
masalah besar di sekolah belakangan ini. Kecemburuan
berlebihan yang diakibatkan olehku bertahun-tahun lalu,
dan kini aku jugalah yang harus menyelesaikannya.
Karena itulah aku mengumpulkan sekutu-sekutuku di
sini malam ini. Kupandangi bangunan itu dan bergidik. Asal tahu saja,
aku tidak mudah ketakutan. Namun, setiap kali datang
Isi-Omen6.indd 7 ain ke sini, bulu kudukku selalu merinding. Dulu, se?waktu
masih bersekolah di sini, aku senang mengorek-ngorek
sejarah sekolah. Saat itulah kuketahui hantu siswa
teladan itu memiliki nama yang sama denganku.
Jonathan. Bahkan nama panggilan kami pun sama, yaitu
Nate. Mungkin karena itu, setiap kali ke sini, perasaanku
jadi tidak enak. Seolah-olah ada seseorang?atau se?
suatu?yang menyambut kedatanganku di sini.
"Nate, Nate. Permainan lo bagus banget sih! Ayo, mainin
lagi dong!" "Nate, udah denger belum? Lo ranking satu lagi!"
"Nate, kenapa lo nggak jadian sama Erlin? Masa garagara si Bejo naksir dia? Lo juga tau, dia kan kagak suka
sama si Bejo!" Aku menyentakkan kepala, melupakan kenangankenangan masa lalu yang tidak ingin kuingat lagi. Semua
itu sudah masa lalu, sesuatu yang tak bakalan bisa di?
ulang dan diperbaiki lagi. Aku lebih tertarik memikirkan
masa depan. Itu sebabnya di dalam otakku hanya ada
rencana, rencana, dan rencana.
"Nate?" Aku berpaling dan menatap wajah sobat lamaku sejak
belasan tahun lalu. "Halo, Erlin."
Erlin tersenyum dan berdiri di sebelahku seraya me?
mandangi bangunan kosong itu. "Masih juga takut
masuk ke sana?" Aku memandanginya dengan kejengkelan yang tak
kusembunyikan. "Sejak kapan aku pernah takut?"
"Ah ya." Nada suara Erlin terdengar mengejek?salah
satu hak istimewanya sebagai sahabatku. Kalau orang
lain yang bersikap kurang ajar begini, sudah pasti akan
Isi-Omen6.indd 8 kupreteli mukanya. "Jonathan Guntur yang terkenal.
sejak kecil sudah jadi pahlawan sekolah, dan setelah
dewasa pun masih terus menjaga sekolah ini. Kadang
aku nggak ngerti, Nate, kamu itu memang baik hati atau
keponya nggak kira-kira."
"Jawabannya jelas dong," sahutku dengan nada
pongah. "Aku memang kepo nggak kira-kira."
Erlin tertawa, tawa lepas yang menandakan dia tidak
suka berpura-pura feminin, tawa lepas yang sejak dulu
sangat kusukai dan membuatku terus-menerus membuat
lelucon konyol di depannya. Tebersit rasa sakit meng?
hunjam hatiku saat mendengar tawa itu. Kenapa dulu
aku begitu tolol? Kenapa aku membuat keputusan-ke?
putusan yang salah, mendorong kami berdua berjalan ke
arah yang berbeda? Kini aku harus menanggung akibat?
nya. Seumur hidup, aku tidak akan pernah bisa meng?
ucap?kan kata-kata yang sejak dulu ingin kukatakan pada?
nya. Dan hingga kami mati nanti, dia tidak akan pernah
mengetahui perasaanku yang sebenarnya.
"Sejak dulu kamu memang nggak tau malu. Mungkin
kamu manusia paling muka badak yang pernah ku?temui."
"Sepertinya itu bukan kekurangan," ucapku. Erlin
meng?angkat alis dengan gaya yang menyiratkan ke?tidak?
setujuannya pada ucapanku, jadi aku pun men?jelas?kan.
"Kalau itu memang kekurangan, kenapa kamu masih saja
tahan berteman denganku selama ini?"
"Oh, itu sih karena," Erlin mencondongkan wajah ke
telingaku dan berbisik lembut, membuat jantungku ber?
debar-debar tak keruan seperti anak-anak abege (astaga,
padahal anak-anakku pun sudah abege!), "aku juga di?
kutuk, sama seperti almamater kita ini."
Isi-Omen6.indd 9 "Aku juga," gumamku. Menyadari Erlin menunggu
pen?jelasanku, aku buru-buru berkata, "Maksudku, lihat
saja kita sekarang. Kita berdua berada di sini, karena ha?
rus menyelesaikan masalah yang terjadi gara-gara aku."
"Nggak usah ge-er, bro," cela Erlin muram. "Kita se?mua
juga terlibat kok." "Nggak sebanyak aku." Aku menghela napas. "Kita
masuk ke dalam?" Erlin menyeringai. "Kupikir kamu bakalan berdiri di
sini selamanya." "Dan mengambil risiko dihina-dina olehmu terus-terus?
an?" cibirku. "Lebih baik aku menghadapi hantu." Aku
me?nawarkan lenganku. "Shall we?"
Erlin melingkarkan lengannya pada lenganku. "Let?s get
this over." Kami memasuki bangunan itu dengan mudah. Ber?
hubung tidak ada barang-barang berharga yang masih
ter?tinggal di sana, bangunan itu tidak pernah dikunci.
Dalam kegelapanku, aku bisa menemukan bekas-bekas
ke?beradaan manusia. Sarang laba-laba yang tidak se?
banyak yang diduga, jejak-jejak sepatu di lantai ber?debu,
tuts-tuts piano yang mengilap. Kupandangi piano tua
itu, teringat pada suatu masa aku pernah sering me?main?
kannya. Saat aku melirik Erlin yang termenung, aku tahu
dia memikirkan masa-masa itu juga. Masa-masa ketika
kami sering menyelinap ke sini, masa-masa ketika aku
sering memainkan piano untuknya, masa-masa ketika
kami masih polos, lugu, dan idealis.
Anak-anak remaja yang polos, lugu, dan idealis itu
sudah lenyap. Sebagai gantinya, yang ada hanyalah
orang-orang tua yang sudah mengalami terlalu banyak
Isi-Omen6.indd 10 kejadian, dengan jiwa yang dipenuhi kepahitan dan
kegetiran. Aku sungguh-sungguh berharap semoga nanti
anak-anakku tidak akan berubah seperti aku yang se?
karang ini. Se?moga mereka bisa mengalami kebahagiaan
yang jauh lebih banyak daripada yang kurasakan saat
ini. Saat mendengar pintu dibuka, secara spontan aku dan
Erlin mundur ke dalam bayang-bayang gelap dan me?
nyembunyikan diri. Kupandangi bayangan yang baru
masuk. Dari postur tubuhnya, aku bisa menebak siapakah
orang itu. "Ricky Darmawan," aku menyebut namanya.
"Jonathan Guntur," balasnya dengan suara terkejut.
"Kau ada di mana?"
Aku merasakan secercah kesenangan bisa memper?main?
kan pria menyebalkan ini. Orang yang?lantaran terlalu
memanjakan anaknya yang banyak tingkah?sudah me?
repotkan kami habis-habisan. "Bagaimana kabar anakmu,
Dicky?" "Dia..." Sejenak Ricky terdengar ragu-ragu. "Dia sedang
dalam tahap penyembuhan."
"Baguslah kalau dia akan sembuh. Setelah ini, kau
akan me?ngirimnya ke luar negeri, kan?"
"Untuk apa, Nate? Dia sudah tidak berada dalam
pengaruh cewek itu lagi. Lindy, maksudku. Nanti, untuk
se?terusnya, aku akan memaksa dia kembali pada
Putri..." "Tidak usah repot-repot," selaku ketus. "Putri kini baikbaik saja. Dia sudah tidak membutuhkan anakmu lagi."
Aku bisa merasakan Ricky membuka mulut, namun
sebelum dia mengucapkan sepatah kata pun, pintu ter?
Isi-Omen6.indd 11 buka lagi. Seperti sebelumnya, aku pun segera mengenali
sosok yang baru muncul ini.
"Firman Badai."
"Jonathan Guntur," angguk orang itu, lalu cepat-cepat
me?nyem?bunyikan sosoknya. "Siapa saja yang sudah ha?
dir?" "Ada aku," sahut Erlin sebelum aku sempat menjawab,
"juga Ricky." Terasa kesunyian yang tidak menyenangkan dari arah
Firman. Tidak heran, tadinya dia dan Ricky nyaris men?
jadi besan, kalau bukan gara-gara ketololan anak Ricky
yang mengacaukan segalanya. Bisa kuduga, Firman kini
tidak menyukai Ricky, sementara Ricky merasa takut men?
dapat pembalasan Firman. Memang Ricky memiliki ke?
kayaan yang jauh lebih besar dibanding Firman yang
nyaris bangkrut, tetapi sebagai keluarga orang kaya lama,
Firman memiliki koneksi yang tidak terbatas di negeri
ini. Singkat kata, hanya orang bodoh yang berani ber?
musuhan dengan keluarga Badai.
"Juga aku." Pintu terbuka lagi menampakkan sesosok gelap yang
familier. "Hai, Jonas Julius."
"Kalian ada-ada saja," keluh sosok itu. "Pengertian se?
dikit dong. Aku kan baru pulang dari Hongkong, lang?
sung disuruh pertemuan tengah malam begini. Ada apa
sih?" "Akan kuceritakan setelah semua anggota lengkap,"
ucapku. "Kita tinggal menunggu satu orang lagi, yaitu si
Gori..." "Gila, man, dari tadi aku sudah di sini, bro. Dan to?
Isi-Omen6.indd 12 ain long jangan memanggilku dengan nama jelek gitu dong.
Namaku..." "Sudahlah, nggak usah ngomong yang nggak ada guna?
nya," selaku. "Sejak dulu hingga sekarang namamu tetap
Gori, titik." "Guntur keparat."
Aku tertawa dan merangkulnya ke dalam kegelapan.
Selain Erlin, dialah sobatku sejak dulu. "Guntur Keparat
selalu kedengaran lebih bagus daripada Gorilla Abadi."
"Whatever," gerutu Ezra Goriabadi. "Jadi, untuk apa
kau mengumpulkan semua anggota orisinal The
Judges?" Ya, benar. Kami berenam adalah pendiri organisasi
rahasia di sekolah ini. Aku sebagai otaknya, Ezra sebagai
wakil, Erlin sebagai pencatat jurnal, Ricky si bodyguard
organisasi, Jonas dari keluarga duta besar, dan Firman
sebagai orang nomor dua terkaya setelah aku. Selama
ber?tahun-tahun kami memilih anggota The Judges sesuai
keinginan kami, yang diteruskan kepada Hakim Tertinggi
alias pemimpin The Judges. Seperti itulah kami mengatur
sekolah yang merupakan almamater kami ini. Bagi
beberapa orang seperti aku, Jonas, Ezra, Ricky (setelah
tajir), dan Firman (sebelum bangkrut, tentu saja), sekolah
ini menyediakan orang-orang yang bisa kami percayai
untuk bekerja pada kami. Tentu saja kami juga men?cari
orang-orang berkemampuan di luar Sekolah Harapan
Nusantara, tetapi di sini kami bisa mengawasi mereka
sejak kecil. Di sini kami mengetahui potensi anak-anak
sejak masih muda. Dan bagaimanapun, sebagai orang yang sudah sukses,
kami diharapkan menyumbang untuk almamater kami,
Isi-Omen6.indd 13 kan? Jadi apa salahnya kami menarik keuntungan
dengan menjadikan sekolah ini sebagai milik kami?
"Noriko tidak mati." Kemuraman dalam ucapanku
mung?kin terdengar tidak pantas, terutama karena Noriko
adalah istriku yang kukira sudah mati bertahun-tahun
lalu, tapi aku tahu semua orang akan ikut muram men?
dengar berita itu. Aku tidak ingin terdengar pahit ter?
hadap wanita yang sudah lama tidak kutemui itu, tapi
Noriko bukan orang yang menyenangkan. "Dia membuat
kelompok untuk menentang The Judges, yang diberinya
nama Kelompok Radikal Anti-Judges, yang rupanya me?
rupakan sumber malapetaka yang terjadi di sekolah be?
berapa tahun ini." Aku berpaling pada Ricky. "Termasuk
kejadian yang menimpa anakmu, Rick, baik yang tahun
lalu maupun sekarang. Dulu, Noriko yang mengatur
rencana untuk membuat anakmu putus dengan Putri..."
"Anaknya juga bodoh, gampang saja disuruh se?lingkuh,"
tukas Firman, ayah Putri. "Dan kau juga sama bodohnya,
Rick, bisa-bisanya diperas untuk membantu cewek psikopat
itu keluar dari penjara."
"Aku bisa apa lagi?" kilah Ricky dengan suara yang
jelas-jelas menyiratkan rasa malu. Sejak dulu Ricky
memang tidak terlalu pintar. Yang membuatnya sukses
hanyalah keberuntungan, keuletan, dan pengetahuannya
tentang pembentukan otot, membuatnya kini memiliki
jaringan fitness club yang tersebar di seluruh ibukota.
"Kalau dia salah, anakku juga akan dinyatakan salah.
Tidak mungkin salah satu dijebloskan ke penjara dan
satunya lagi lolos. Meski kuasa hukum kami sudah me?
negaskan berkali-kali bahwa anakku dipengaruhi olehnya,
tetap saja anakku tidak akan bisa mangkir dari penjara
Isi-Omen6.indd 14 ain kalau terbukti bersalah. Dia kan sudah tidak berada di
bawah umur lagi." "Lalu?" balas Firman. "Mungkin anakmu memang ha?


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rus dipenjara, kalau melihat betapa mengerikannya ke?
jahat?an yang sudah dia lakukan..."
"Cukup, Man," tegasku. "Kita berada di sini bukan
untuk saling menyalahkan. Semuanya adalah tipu mus?
lihat Noriko, dan terus terang, aku menyalahkan diriku
sendiri untuk itu." "Ucapan yang kontradiktif," aku mendengar nada se?
nyum dalam suara Erlin, "mengingat kau yang baru saja
menyuruh kita jangan saling menyalahkan."
"Yah, aku tidak menyalahkan orang lain, melainkan
me?nyalahkan diri sendiri," balasku. "Sekarang, yang aku
ingin tau adalah, apakah kalian semua mau mendukung?
ku menyingkirkan Noriko dan Kelompok Radikal AntiJudges? Bukannya aku menakut-nakuti, tapi kalian semua
harus tau, Noriko tidak segan-segan menggunakan anakanak kalian dan mencelakai mereka asal tujuannya ter?
capai." "Kami semua tau watak Noriko," kata Jonas datar. "Aku
akan mendukungmu." "Aku juga." "Iya, sama." Semua orang menyatakan dukungan mereka, membuat?
ku diam-diam merasa puas.
"Baiklah kalau begitu," anggukku. "Tapi, Rick, ini ber?
arti kau harus mengirim anakmu ke luar negeri begitu
dia sembuh. Dia terlalu lemah dan bisa dimanipulasi
lagi. Saat itu kau mungkin tak bakalan bisa melakukan
apa-apa lagi untuknya."
Isi-Omen6.indd 15 Ricky diam lama sekali. "Oke."
"Dan satu lagi, berhentilah membela Lindy."
"Oke." "Man, anakmu akan berada dalam bahaya, karena se?
bagai Hakim Tertinggi, dia berada di garis depan me?
lawan anak-anak itu."
Ayah Putri Badai mengangguk. "Anakku adalah keturun?
an Badai. Dia pasti sanggup melakukan apa saja yang harus
dia lakukan. Demi keluarganya dan demi The Judges."
"Bagus." Meski selalu kasihan pada Putri yang harus
me?nanggung beban seluruh keluarganya, aku tidak me?
nunjukkan perasaanku itu sama sekali. "Gori, kudengar
anakmu berteman baik dengan anak angkat Noriko."
Dalam kegelapan, aku tetap bisa membayangkan se?ringai
lebar Ezra. "Aku jago juga kan, langsung bertindak begitu
kau menceritakan kecurigaanmu soal Noriko dan si anak
baru berlatar belakang aneh yang mendadak tajir?"
"Luar biasa," sahutku. "Tapi ini berarti anakmu juga
ha?rus membantu kita sebagai orang dalam pihak sana."
"Sayangnya, anakku polosnya keterlaluan," gerutu
Ezra. "Mungkin dia nggak akan percaya sohibnya orang
jahat." "Yah, usahakan sebaiknya." Aku berpaling pada Jonas.
"Sebagai pejabat konsulat negeri kita, kau memiliki ba?
nyak koneksi di dalam Departemen Imigrasi. Bisa tahan
Noriko tetap di negara kita apa pun yang terjadi?"
Kulihat bayangan Jonas mengangguk. "No problem."
"Dan, Lin," aku menoleh pada Erlin di sebelahku,
"anak?mu akan baik-baik saja? Kamu tau Noriko selalu
men?curigai kita berdua. Anakmu pasti akan menjadi
sasaran utama kebenciannya."
Isi-Omen6.indd 16 "Jangan khawatir," senyum Erlin Yusman. "Kalau ber?
sama Rima Hujan, Daniel pasti akan baik-baik saja."
"Baiklah." Aku tahu, saat ini senyum yang kusungging?
kan terlihat dingin tanpa belas kasihan, tapi aku tidak
peduli. Sudah saatnya aku turun tangan dan menyudahi
per?seteruan ini untuk selama-lamanya. "Kalau begitu,
mari kita susun rencana pembalasan terhadap Noriko
dan Kelompok Radikal Anti-Judges."
Isi-Omen6.indd 17 Isi-Omen6.indd 18 Erika Guruh PERTEMPURAN itu keren banget.
Kutatap pemandangan di sekelilingku dengan takjub.
Aku sedang berada di padang rumput yang sangat luas?
dan aku tidak sendirian. Di sekitarku, manusia, peri, kur?
caci, dan pohon-pohon tinggi melawan pasukan monster
jelek berbau busuk. Orc, itulah nama monster tersebut.
Holy crap. Aku sedang berada di Middle Earth, dunia
Lord of the Rings! Kutatap peri yang bergerak gesit sambil memanah para
orc dengan kecepatan tinggi. Wah, itu kan Legolas... eh,
salah. Peri itu ternyata cewek, dan?holy crap sekali
lagi?itu kan Putri Badai yang memang jago memanah!
Se?perti biasa, dia kelihatan anggun, dingin, dan tidak
kalah berwibawanya dibandingkan seorang peri. Di dekat?
nya, terlihat sesosok kurcaci bertopi baja yang asyik
meng?ayunkan kapak sambil meloncat-loncat. Eh, tunggu
dulu. Itu bukan Gimli, kurcaci yang biasa men?dampingi
Legolas melainkan Aria Topan. Aku tidak tahu Aya?
begitu?lah nama panggilannya?pandai memainkan sen?
jata, tapi cewek itu tampak ganas sekaligus gagah.
Isi-Omen6.indd 19 Dan pohon aneh bercakar panjang yang menyeramkan
itu bukan sekadar pohon biasa. Itu Rima Hujan, Sadako
sekolah kami. Aku memalingkan muka dan melihat sosok tinggi ber?
topi kerucut sedang melayangkan sihir melalui tongkat
yang dipegangnya. Lagi-lagi, itu bukanlah Gandalf si
Penyihir, melainkan Valeria Guntur, sobatku yang hobi
menyamar, yang mengenakan wig rambut panjang yang
sudah di-smoothing dan diberi highlight abu-abu.
Astaga, semua orang ini keren-keren!
"Kalian semua harus mati! Kalian semua harus mati!"
Aku memandangi asal suara itu, dan melihat sepasang
mata gelap dengan mulut menyeringai lebar membayang
di atas langit. Seringai itu terlalu lebar, bagaikan mulut
yang disobek. Kurasa, di dunia ini, satu-satunya orang
yang punya mulut seperti itu hanyalah Nikki, cewek
paling jahat dan menyeramkan di sekolah kami. Yep, dia
pantas banget memerankan Sauron di dalam dunia ajaib
yang mendadak kutempati ini.
Belum sempat aku mencerna apa yang sebenarnya
sedang terjadi, seorang cowok berkuda menghampiriku.
Rambut cowok itu berkibar-kibar, dengan pedang besar
di tangan kanannya. Baju zirahnya berkilauan diterpa
si?nar matahari, membuatnya tampak begitu agung.
Cowok itu mengulurkan telapak tangan kirinya yang be?
sar padaku. "Ngil, ayo naik."
Holy crap. Alih-alih Aragorn, aku melihat si Ojek, pacar?
ku yang biasanya berambut cepak dan klimis, kini be?
rambut gondrong dan brewokan.
Ya ampun, dia ganteng bangeeet! Aku mau pingsan
Isi-Omen6.indd 20 melihatnya! Meski di dunia mana pun dia selalu ber?
peran sebagai tukang ojekku, dia juga tetap memper?
tahan?kan kegantengannya. Aku yang ketiban untung
dong, punya tukang ojek ganteng di mana pun aku ber?
ada. Nyahahahaha. "Nggak mau!" teriakku gagah, tidak mau kalah dengan
yang lain. "Gue mau ikut berantem! Gue kan paling jago
berantem di antara semua orang..."
"Jangan konyol. Kamu kan cuma hobbit."
Eh? "Hobbit?" Aku menatap tanganku yang kotor dan memegang
ketapel, tangan yang mirip banget dengan tangan anak
kecil. Bajuku dijahit rapi namun sederhana, dan saat ini
agak tersingkap, menampakkan perutku yang?gila?rada
buncit. Kedua kakiku yang tidak mengenakan alas kaki?
ya Tuhan?pendek dan montok.
Aku mendongak, menatap si Ojek yang mem?balas
tatapanku dengan sorot mata penuh rasa iba. "?Ngil? itu
kan artinya ?Mungil?, dan kalo kamu bukan hobbit, aku
nggak akan manggil kamu begitu."
Keterlaluan. Ini benar-benar tidak adil! Semua orang
ke?bagian peran yang keren-keren, sementara aku, Erika
Guruh, bos preman di sekolah kami, kebagian peran
men?jadi hobbit? Wibawaku bisa hancur total!
"Jangan sedih," hibur si Ojek sambil mengucek-ucek
rambutku. "Hobbit itu tokoh utama Lord of the Rings."
"Itu kan kata lo!" Astaga. Seolah-olah aku tidak cukup
me?malukan, sekarang aku mulai menangis dan me?
rengek-rengek. "Emangnya lo kagak tau nasibnya Frodo?
Sementara yang lain berperang dengan seru, dia kagak
eksyen sama sekali, tau? Kerjanya cuma semaput gara21
Isi-Omen6.indd 21 gara cincin bego. Gue kagak mau semaput gara-gara cin?
cin bego. Gue mau berperang bersama-sama kalian..."
Mendadak kusadari wajah si Ojek yang membeku.
"Kamu memang sudah sendirian, Ngil."
Eh? "Sejak kamu memutuskan untuk kembali, kamu juga
sudah memutuskan untuk meninggalkan kami semua."
Aku menatap si Ojek dengan mulut ternganga. Apa
mak?sudnya dengan aku memutuskan untuk kembali?
Tunggu dulu. Jangan-jangan... yang dia maksud itu soal
aku kembali ke rumah keluargaku? "Bukan begitu!"
"Iya, memang begitu kok!" Mendadak sosok abu-abu
bertopi kerucut itu berbalik, dan sepasang mata Val yang
berbeda warna menghunjamku dengan tatapan tajam.
"Lo memilih untuk ninggalin kami semua dan bersekutu
dengan mereka. Lo mengkhianati gue, Ka. Lo meng?
khianati kami semua."
Napasku tersentak saat menyadari Putri Badai sudah
membidikku dengan busur dan anak panahnya, Aya
meng?angkat kapaknya dan siap mengayunkannya ke
arah?ku, dan Rima mengacungkan jari-jarinya yang tajam
dan mirip dahan padaku. "Pengkhianat harus mati," ucap Putri Badai dingin.
"Bunuh!" "Bunuh si pengkhianat," seringai Aya, "sebelum dia
mem?bunuh kita semua."
"Maaf, Erika," ucap Rima dengan suara berbisik yang
mengerikan. "Tapi kamu harus mati."
"Rima." Bahuku disentakkan, memaksaku untuk ber?
balik, dan aku kembali berhadapan dengan Val yang
ma?rah. "Val, denger dulu penjelasan gue." Val mem?
buang muka, menghunjamkan rasa sakit di hatiku. Aku
Isi-Omen6.indd 22 mendongak pada cowok di atas kuda. "Jek, masa lo
nggak percaya sama gue?"
"Untuk apa aku memercayaimu?" tanya si Ojek per?
lahan. "Lihatlah cermin itu. Memangnya kamu masih
orang yang sama?" Valeria mengayunkan tongkatnya, dan mendadak se?
buah cermin berbingkai api berdiri di sampingku. Aku
me?mandangi bayangan dalam cermin itu. Alih-alih sosok
hobbit, aku menemukan bayanganku terlihat tinggi,
cantik, memukau. Kulitku yang biasanya rada gelap kini
putih bersinar. Rambutku yang biasanya pendek kini
sudah mencapai pundak. Senyumku yang biasanya meng?
ejek kini tampak licik dan arogan. Bayanganku itu tidak
mirip dengan diriku sendiri, melainkan lebih mirip de?
ngan saudara kembarku, Eliza.
"Nggak!" Aku berbalik dan menghadapi semua orang
yang menghakimiku. Para anggota The Judges, tebersit
ucapan itu dalam pikiranku. Para hakim sedang meng?
hakimiku. "Gue nggak jahat, dan Eliza juga udah nggak!
Kalian semua harus percaya sama gue!"
Suaraku bergema dalam keheningan yang begitu pekat.
Kusadari, padang rumput itu kini sunyi senyap. Per?
tempuran terhenti karena semua orang ingin melihat
pem?belaan diriku. Keheningan itu dipecahkan oleh suara Valeria yang
lembut dan sedih. "Kalo kalian berdua nggak jahat, kenapa kini kita nggak
temenan lagi?" Aku membuka mulut, tapi tidak ada suara yang keluar.
Aku ingin mengatakan aku masih ingin berteman de?
ngan?nya, tapi aku tahu apa yang sudah terjadi. Bagai?
Isi-Omen6.indd 23 manapun, aku punya daya ingat fotografis. Aku ingat
semua yang terjadi, dan aku ingat semua kesalahan yang
sudah kulakukan. Semua memang salahku. "Val..." "Sst." "Val..." "Sst, Erika." Eh, tunggu dulu. Suara itu bukan berasal dari Middle
Earth. Aku membuka mata dan keluar dari dunia mimpi. Ku?
kerjap-kerjapkan mata dengan bingung saat mendapatkan
diriku berada di tempat asing... Tidak, ini bukan tempat
asing. Ini tempat tidurku sendiri di rumah keluargaku,
rumah keluarga Guruh. Sesaat, ruangan ini terlihat asing
karena sudah lama aku tidak tinggal di sini. Tanpa
bangkit dari posisiku, kusibakkan tirai jendela, men?dapat?
kan langit di luar sana masih gelap gulita.
Oke, aku tahu mimpiku tadi tidak terlalu me?nyenang?
kan, tapi aku tidak peduli. Pokoknya, langit masih gelap,
itu berarti aku harus tidur lagi. Lagi pula, siapa tahu aku
bisa membalikkan mimpi buruk menjadi mimpi penuh
kejayaan. Aku berbaring kembali dan memasang posisi pewe*.
Baru saja rohku mulai melayang kembali ke Middle Earth
lagi, kudengar teguran lembut dari suara yang sama
dengan suara yang sudah membangunkanku. "Udah jam
setengah lima, Ka." pewe=pw=posisi wuenak! Isi-Omen6.indd 24

Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku membuka mata, kali ini tatapanku tertuju pada
wajah terbalik seorang cewek. Jelas, cewek itu sedang
ber?diri di ujung tempat tidurku di dekat bantal, tetapi
rasanya aneh memandang wajah seseorang secara ter?
balik?apalagi wajah itu persis banget dengan wajahku
sen?diri. Sepasang mata dengan ujung agak naik dan bola
mata hitam cemerlang, hidung kecil dan man?cung, serta
bibir membayangkan senyum (tentu saja, senyum yang
kusunggingkan lebih sengak dan sinis). Rambutnya yang
belakangan ini panjang hingga ke bawah pundak sudah
dipotong pendek sehingga kini kami benar-benar tampak
bagai pinang dibelah dua.
Cewek itu, tentu saja, adalah Eliza Guruh, adik kembar?
ku yang tersohor. Sesuai dengan mimpiku barusan, wajah
kami memang semakin mirip. Namun perbedaannya de?
ngan mimpiku adalah, Eliza tidak berambut panjang lagi,
melainkan memotong rambutnya supaya kompak dengan?
ku. Anehnya, meski kami memiliki wajah yang nyaris
sama (tidak semuanya persis, tapi sembilan puluh persen
mirip kok), dia salah satu cewek cantik di sekolah,
sementara aku sering disalahkaprahkan sebagai cowok
tengil bermuka sengak. Dunia memang dipenuhi
ketidakadilan, tapi yang ini benar-benar tidak masuk
akal. "Thanks udah dikasih tau jam," ucapku sambil me?narik
selimut tipis bermotif garis-garis mirip selimut pen?jara.
"Sekarang gue mau balik ke Middle Earth. Salam manis
untuk semua orang yang gue tinggalkan di sini..."
"Hei." Suara Eliza terdengar geli. "Jangan bobo lagi. Lo
tau sendiri kan, orangtua kita nggak suka pada anak
yang bangun terlambat."
Isi-Omen6.indd 25 Aku bangun sambil memasang muka sebete mungkin,
dan menyadari tampangku pasti jelek, terutama karena
rambutku saat ini pasti acak-acakan banget mirip sarang
burung. "Kenapa sih orangtua senengnya anak yang
bangun pagi-pagi? Bangun pagi-pagi itu boring. Bangun
siang is the new black."
"Maksud lo, blacklist. Apalagi kalo lo berani nongol
dengan bau naga gitu."
Seperti biasa, aku menanggapi sindiran dengan me?
nantang balik. Aku mengembuskan napas keras-keras,
membuat Eliza terpekik ngeri.
"Duh, gue udah mandiii! Gimana kalo gue jadi bau
lagi?" "Gila lo," cetusku kaget bercampur heran. "Ngapain lo
mandi jam segini? Nggak takut rematik?"
"Lo kira umur gue berapa?" balasnya bete. "Udah ah,
mandi sana. Udah capek-capek pulang, jangan tanggungtanggung, Ka. Lo harus jadi anak baik sesuai keinginan
bokap dan nyokap kita."
Aku mengerang. Lo harus jadi anak baik sesuai keinginan
bokap dan nyokap kita. Kata-kata itu seolah-olah me?rantai?
ku siang dan malam, membuatku tidak berkutik dan
me?lakukan hal-hal yang super membosankan. Rasanya
aku kepingin menjerit-jerit histeris setiap kali kata-kata
itu dikumandangkan. Plis, gue bukan anak baik! Gue nggak pernah jadi anak
baik! Lo anak baik, gue Omen, coy!
Tapi, aku menahan kata-kata itu. Habis, kalau dipikirpikir lagi, tidak ada gunanya aku tidur kembali. Soalnya
mimpi?ku tadi menyebalkan banget. What a lame night?
mare. Lebih baik kuakhiri saja semuanya dengan beranjak
Isi-Omen6.indd 26 ke kamar mandi yang terletak tepat di depan pintu
kamar. Lima menit kemudian aku sudah duduk manis di
ruang makan dengan mengenakan seragam sekolah dan
rambut tersisir rapi. Bau sabun menguar lembut dari
kulit?ku?terlalu lembut sampai-sampai mungkin bakalan
hilang dalam waktu dekat. Yah, yang benar saja, mana
mung?kin Erika Guruh mendadak jadi cewek rapi dan
wangi? Begini saja seluruh dunia sudah harus ber?syukur,
bahwa kini setidaknya aku mandi setiap pagi, meski
hanya mandi bebek. Buat apa mandi lama-lama? Toh
aku kan tidak berkubang dalam lumpur! Paling-paling
cuma bau ketekku yang jadi rada-rada asem lantaran aku
senang berada di luar ruangan. Di luar itu, aku selalu
bersih seperti pakaian yang baru selesai di-laundry.
"Selamat pagi, Liza." Ibuku mengangsurkan sepiring
bubur yang masih mengepulkan uap hangat ke depan
adikku. Yang masih saja membuatku takjub meski sudah
terjadi berkali-kali, ibuku juga meletakkan sepiring bubur
di depanku. "Dan selamat pagi juga, Erika. Makan yang
banyak ya. Kalau kurang, masih ada bubur di panci."
"Makasih, Mam, Liza makan dulu ya," ucap Eliza de?
ngan begitu alami, sementara aku merasa seperti penjilat
menjijikkan saat mengucapkan kata-kata yang hampir
sama. "Oh, halo, selamat pagi, Pap."
"Pagi," sahut ayahku sambil mengempaskan diri ke
kursi di seberangku. "Hmmm, wangi buburnya enak.
Bubur ikan ya?" "Ah, Papa kok jago banget sih, bisa tau?" tanya Eliza
de?ngan nada menggoda. "Oh, jelas. Kan hidung Papa mancung."
Isi-Omen6.indd 27 Kupandangi pemandangan itu dengan takjub. Rasa?nya
seperti mimpi saja. Jujur saja, belakangan ini aku selalu
merasakan hal yang sama setiap pagi. Perasaan aneh
yang mengusikku bahwa semua ini tidaklah nyata.
Bahkan, mimpi hobbit barusan malah terasa jauh lebih
nyata daripada pengalaman pagi hari seperti ini. Pagi
yang tenang, di saat aku bisa menyantap bubur buatan
ibuku yang lezat, dan bukannya pontang-panting pergi
ke sekolah sambil mencari sarapan ala kadarnya dalam
per?jalanan. Ayahku makan sambil membaca koran di
samping?ku, sesekali melontarkan lelucon garing yang
disambut oleh tawa anak-anaknya, sementara ibuku sibuk
meng?hidangkan piring-piring kecil penuh makanan enak
ke hadapan kami. Dalam sepanjang ingatanku yang
selalu bisa kuandalkan, aku belum pernah hidup teratur
dan terjamin seperti ini.
Oke, mungkin aku harus berpikir ulang soal nama te?
ngah yang pernah kuumumkan ke seluruh jagat raya itu.
Erika "Sial" Guruh. Kini nama yang lebih tepat untukku
adalah Erika "Biasa-biasa Aja" Guruh. Soalnya, sekarang
aku sudah menjadi cewek yang biasa-biasa saja.
Selesai sarapan, kami berpamitan pada orangtua kami
sebelum akhirnya pergi ke sekolah bersama-sama. Yang
kumaksud dengan berangkat ke sekolah bersama-sama,
tentu saja dengan mengendarai mobil kesayanganku
yang sudah bobrok, si Butut II (buat yang belum tahu,
Butut I adalah nama ponselku yang, sayangnya, jelas
bukan BlackBerry maupun Android, tapi hanya ponsel
GSM bermodel kuno dan nyaris punah).
"Eh, Ka. Hari ini biar gue yang bawa si Butut ya?"
Sesaat aku hanya bengong seraya menatap Eliza. "Bu?
Isi-Omen6.indd 28 kan?nya biasanya lo paling benci sama si Butut? Bahkan
lo bilang, naik angkot aja lebih terhormat daripada naik
si Butut." "Iya, tapi belakangan ini gue mulai menerima dia apa
adanya," kilah Eliza sambil tersipu-sipu. "Jadi, gue boleh
bawa?" Ini pertanyaan yang paling sulit dijawab. Asal tahu saja,
si Butut mendapatkan nama seperti itu bu?kan ka?rena aku
tidak kreatif dalam soal mencari nama... Yah, aku ngaku
deh, aku memang tidak terlalu kreatif dalam soal beginian
(lihat saja nama tengah yang kupilih untuk diri sendiri,
tidak ada keren-kerennya sama sekali). Tapi sekali lagi,
bukan itu alasannya dia men?dapatkan gelar tersebut, me?
lain?kan karena dia memang butut banget. Sering kali
mesinnya susah dinyalakan, terkadang dia tidak bertenaga
kalau aku sedang kepingin narik atau berada di jalan yang
rada mendaki, dan sudah tak ter?hitung banyaknya masalah
yang didapatkannya, mulai dari AC yang mendadak tidak
menyala, wiper macet, aki soak, hingga balancing-nya kacau.
Beruntung aku punya kenalan montir yang senantiasa
memberiku diskon?atau lebih tepat lagi, kupaksa untuk
memberiku diskon se?besar-besarnya. Kalau tidak, aku sudah
bangkrut gara-gara mobil butut ini saja. Jadi, tidak se?
pantasnya aku bersikap posesif terhadap si Butut.
Tapi, si Butut adalah hasil kerja orang yang paling ku?
sayang di dunia ini, yang tak lain adalah si Ojek, pacar?
ku yang bermuka masam tapi selalu baik padaku.
Dengan gaji pertamanya, dia membeli si Butut, mem?per?
baikinya dengan tekun dan sabar, lalu menghadiahkannya
padaku. Aku tahu, dia memberikan mobil itu padaku
karena dia ingin aku tidak pusing lagi soal transportasi,
Isi-Omen6.indd 29 padahal gajinya saat itu belum memungkinkannya untuk
membeli mobil. Karena itulah, seberapa pun besarnya
masalah dan kerugian yang ditimbulkan si Butut padaku,
aku tidak pernah mengomel. Karena benda ini adalah
tanda seseorang berusaha keras karena dia sangat mem?
perhatikanku. Jadi, wajar kan kalau aku posesif banget terhadap mo?
bil jelek ini? "Nggak ah," tolakku tegas. "Memangnya lo bisa nye?
tir?" "Jangan remehin gue," cibir Eliza. "Memangnya se?
susah apa sih nyetir?"
"Lo yakin bisa handle mobil ini?" tanyaku lagi. "Lo
kan tau mobil ini banyak masalah!"
"Pasti bisalah. Lo aja bisa, masa gue nggak? Ayo?lah,
Ka, pliss." Eliza memasang muka yang disebutnya muka
Puss in Boots (meski aku tidak melihat kemiripannya de?
ngan kucing melankolis bersuara Antonio Banderas
tersebut). "Sesama sodara harus saling berbagi. Apalagi
kita kan kembar, Ka."
Aku menghela napas. Tanpa perlu diucapkan, kata-kata
"lo harus jadi anak baik sesuai keinginan bokap dan nyokap
kita" melayang-layang di udara. "Oke, tapi cuma sekali
se?minggu ya. Kalo lo mau, lo beli mobil sendiri dong."
"Ih, kayak gue punya duit segitu banyak aja," cela
Eliza sambil langsung berpindah ke bangku pengemudi
dan mendesakku keluar dari mobil. Terpaksa aku meng?
itari mobil, lalu masuk ke kursi penumpang di samping
pe?ngemudi dengan bete. Dengan waswas aku memper?
hatikan Eliza. Adik kembarku itu berhasil menyalakan
mesin setelah beberapa mencoba.
Isi-Omen6.indd 30 "Awas kalo lo nyenggol apalagi nabrak," gerutuku. "Lo
harus ganti sendiri ya!"
"Dasar jahat." Lagi-lagi Eliza mencibir. "Masa belum
apa-apa gue udah disumpahin nabrak?"
"Siapa yang nyumpahin... Arghhhh!" Aku menjerit
saat Eliza berhasil menjalankan mobil dengan satu lonjak?
an keras, dan menjerit semakin keras saat mobil mulai
melaju. "Jangan langsung nge-track, Liz! Jangan cepetcepeeet!"
"Lo apa-apaan sih?" bentak Eliza tak senang. "Ini cuma
sepuluh kilometer per jam."
Oh ya, betul juga. Kenapa ya tadi rasanya seperti di?
bawa kebut-kebutan? Sekarang aku jadi malu hati kalau
berteriak-teriak lagi, padahal kini kecepatan benar-benar
mulai menanjak. Aku mencengkeram dasbor dengan
tegang. Sumpah, bahkan naik roller coaster pun aku tidak
setakut ini. Sepanjang perjalanan aku nyaris tak bernapas. Yah,
bukannya aku tidak bernapas sama sekali (bisa-bisa aku
mati dengan cara ala Dumb Ways to Die), tapi saat akhir?
nya kami tiba di sekolah, aku langsung meraup oksigen
sebanyak-banyaknya. "Gampang, kan?" tanya Eliza lincah sambil meloncat
keluar dari mobil. "Nanti pulang gue lagi yang nyetir,
ya? Kan kita pergi kerja bareng!"
"Eh, enak aja!" Aku meloncat ke depannya dan, berkat
kemampuanku yang luar biasa sebagai tukang palak, de?
ngan mudah kurebut kunci mobil darinya. "Kalo lo yang
nyetir terus, bisa-bisa gue sakit jantung sejak usia dini.
Lagian, ini kan mobil gue!"
"Dasar pelit!" Eliza menjulurkan lidah. "Awas nanti
gue bilangin Nyokap!"
Isi-Omen6.indd 31 "Bilangin aja!" Aku balas menjulurkan lidah. "Dasar
peng?adu!" "Wah, wah, pagi-pagi sudah mesra!"
Mendengar suara itu, jantungku serasa mencelus. Aku
me?noleh dan tatapanku bertemu dengan tatapan Valeria,
sahabat?ku?atau bisa juga kusebut dengan mantan
sahabatku, karena kini sahabatku adalah Eliza.
Valeria memiliki penampilan yang sangat unik. Ram?
but?nya yang dipotong pendek berwarna merah, mirip
dengan ayahnya yang memiliki darah Irlandia, dan
kedua bola matanya berbeda warna?yang sebelah kiri
berwarna biru, yang sebelah kanan berwarna hijau?se?
macam fenomena medis yang diturunkan dari ibunya.
Dulu dia sering mengenakan rambut palsu dan lensa
kontak untuk menutupi penampilannya yang cantik
namun kelewat heboh itu. Berhubung penampilannya
kelewat culun, selama beberapa saat tidak banyak orang
yang mengingatnya. Cewek tak kasatmata, begitulah dia
menjuluki dirinya sendiri. Beberapa waktu lalu pe?
nampilannya tidak sengaja diekspos di depan umum.
Sejak saat itu Val memutuskan untuk tampil apa adanya.
Kini dia terkenal sebagai cewek paling cantik di
sekolah. Kini, setelah kami tidak bersama-sama lagi, Val selalu
didampingi oleh Putri Badai si ketua organisasi rahasia
sekolah kami yang dingin dan superjutek, Rima Hujan
ketua OSIS kami yang lebih mirip hantu sumur ke?
timbang pemimpin, dan Aria Topan yang biasa dipanggil


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aya, yang gosipnya punya ketertarikan luar biasa dengan
segala hal yang berbau duit. Val pendiam, Putri Badai
Isi-Omen6.indd 32 dingin, Rima pemalu, jadi kesimpulannya, yang barusan
berceletuk adalah Aya (dan aku juga ingat banget dengan
suaranya yang rada-rada cempreng).
Sebetulnya aku senang juga diajak bi?cara (atau ber?
debat, apa sajalah). Apalagi saat Val ter?senyum padaku.
Tetapi, aku merasakan tanganku di?gamit. Aku menoleh
pada Eliza yang menatapku ta?jam.
"Ingat janji lo, Ka," bisiknya. "Gue nggak akan main
de?ngan Nikki, dan elo ngga akan main dengan anakanak ini lagi. Sekarang temen gue hanya elo, dan temen
elo hanya gue." Aku merasakan sengatan nyeri, nyaris tidak terima apa
yang dikatakan Eliza. Tetapi, aku pun mengangguk. "Iya,
gue inget." "Ayo, Ka," ucap Eliza keras-keras sambil menarikku
pergi, "jangan pedulikan orang-orang sirik itu."
"Ya, betul, jangan pedulikan orang-orang sirik seperti
kami," celoteh Aya dengan gaya dibuat-buat, lalu men?
dengus kesal. "Dasar orang nggak ngaca. Yang sirik siapa,
yang ngomong dia juga. Bleh."
"Aya!" tegur Val, lalu menoleh pada kami. "Sori, ja?ngan
pikirin kata-kata anak ini. Dia memang sering ngomong
yang aneh-aneh." "Aneh tapi nyata," balas Aya berkeras.
Oke, seharusnya aku melarang Eliza menarikku pergi.
Se?harusnya aku menghampiri Val dan mengobrol dengan?
nya. Tetapi kalau aku meninggalkannya, Eliza akan pergi
sendirian. Di dunia ini, kurasa aku termasuk salah satu
orang yang paling mengerti betapa menyesakkannya rasa
kesepian itu. Jadi, tanpa bicara, aku pun meninggalkan Val dan
Isi-Omen6.indd 33 teman-temannya. Saat kami sudah cukup jauh, kudengar
lamat-lamat suara Putri Badai yang sedingin es.
"Dasar pengkhianat."
Isi-Omen6.indd 34 Aria Topan SHOOT. Aku tidak mengerti ke mana perginya otak si
pemilik daya ingat fotografis itu. Bisa-bisanya dia tidak
melihat apa yang kami lihat.
Bukannya aku tidak mengerti perasaan Erika Guruh.
Kami semua adalah anak-anak dengan masalah keluarga
yang berat. Seandainya ada secuil harapan bahwa kami
bisa memiliki keluarga normal bahagia dan sejahtera,
kami semua tidak akan ragu: kami akan mengambil ke?
sempatan itu dan memilih untuk hidup bersama keluarga
kami. Itu sebabnya, kini aku memandang Valeria Guntur
yang sudah berbaikan dengan ayahnya dengan perasaan
campur aduk: ada rasa ikut bahagia, ada juga rasa cem?
buru, ditambah sedikit rasa sedih karena aku tak bakalan
merasakan hal itu selamanya.
Hei, bukannya aku mengasihani diri sendiri, amit-amit
deh. Aku hanya bersikap egois, dan kurasa itu oke
selama aku tidak merugikan siapa-siapa. Banyak manusia
di dunia ini yang punya kepribadian santa, tapi maafmaaf saja, aku bukanlah salah satunya. Aku egois, mate?
rialis, dan oportunis?dan aku memanfaatkan semua sifat
Isi-Omen6.indd 35 itu untuk meniti karier rahasia yang hanya diketahui
segelintir orang: menjadi si Makelar yang misterius dan
rada-rada mafia. Si Makelar adalah seorang perantara
yang bisa membeli, menjual, atau menyewakan apa saja
yang diinginkan klien dari segala kalangan usia. Tentu
saja, itu berarti aku harus merahasiakan jenis kelamin
dan usiaku, karena beberapa transaksi melibatkan uang
yang tidak sedikit. Kalau sampai orang-orang itu tahu
mereka berurusan dengan cewek ingusan yang baru saja
men?dapat KTP, bisa-bisa mereka tidak menaruh respek
lagi. Sebaliknya, kalau aku bersikap misterius dan sok
preman, mereka mungkin mengira bakalan dibunuh ka?
lau tidak memenuhi perjanjian, dan karena itu ber?
tingkah laku baik. Hahahaha. Aku bangga pada kekejian dan kelicikan?
ku. Eh, lagi-lagi aku melantur. Maklum, aku sangat senang
dengan topik duit. Kembali ke topik semula, kami semua
mengerti keputusan Erika untuk kembali pada keluarga?
nya, meski di masa lalu keluarganya sudah banyak me?
ngecewakannya. Tetapi, manusia kan berubah. Bisa jadi
semua tidak akan seperti dulu lagi.
Yang tidak bisa kami mengerti adalah kenapa dia mem?
biarkan dirinya diatur-atur dan dikendalikan oleh adik
kembarnya, Eliza. Coba ya, meski kembar identik, dulu
mereka berdua sangat berbeda: yang satu berambut
pendek acak-acakan, yang satu berambut panjang terurai.
Yang satu berotot, yang satu lemah lembut. Yang satu
berkulit gelap, yang satu lagi berkulit putih gading. Kini
keduanya tampak nyaris sama: berambut pendek yang
disisir rapi, keduanya sama-sama berotot, dan warna kulit
Isi-Omen6.indd 36 mereka juga nyaris sama?tidak putih tetapi juga tidak
gelap. Erika bahkan tidak pernah lagi mengenakan se?
ragam?nya yang dulu ditulisinya dengan nama-nama pe?
nyanyi favoritnya: Linkin? Park dan Eminem. Kini dia
tampak sama alim dan membosankannya dengan adik
kembarnya. Nyaris tak ada sisa-sisa Erika Guruh yang
dulu preman, brutal, dan setia kawan. Kalau saja bukan
karena Eliza ditempatkan di kelas yang berbeda dengan
Erika, sudah pasti mereka mirip pasangan lobster yang
tak terpisahkan selamanya.
Yang lebih mengesalkan, semua orang?atau se?tidak?
nya kami berempat yang sedang ngumpul di sini?bisa
melihat betapa tidak menyenangkannya Eliza. Cewek itu
arogan, menyadari betapa populernya dirinya, dan
siriknya minta ampun. Dia sangat tidak senang waktu
tahu Valeria Guntur, cewek cupu yang tadinya tidak di?
perhatikan siapa-siapa, kini menjadi cewek tercantik dan
terpopuler di sekolah kami melebihi dirinya. Sudah be?
berapa kali aku memergokinya sedang mengata-ngatai
Val diam-diam, mengejeknya makhluk aneh ka?rena
kedua bola matanya yang berbeda, mencurigai rambut?
nya bukan rambut asli melainkan dicat, bahkan me?
nyebut?nya membayar guru-guru untuk memberinya nilai
tinggi. Tentu saja semua ini dilakukannya tanpa se?
pengetahuan Erika, si anak tolol dan buta yang me?ngira
adik kembarnya kini sudah berubah.
Oh iya, aku tidak berlebihan saat mengatakan Valeria
Guntur adalah cewek tercantik dan terpopuler di sekolah
kami. Saat ini dia jadi trending topic di sekolah kami.
Tidak ada cewek lain yang menyamai kebekenannya saat
ini, mendekati pun tidak. Semua anak, baik cowok mau?
Isi-Omen6.indd 37 pun cewek, mulai dari anak-anak kelas sepuluh yang
masih ingusan itu (berhubung sekarang aku sudah kelas
sebelas, boleh dong aku agak sengak sedikit) hingga
siswa-siswi kelas dua belas yang sedang sibuk-sibuknya
mempersiapkan UN, berusaha berkenalan dengannya,
meng?ajaknya bicara, dan mencoba berteman dengannya.
Untungnya, tidak banyak yang berhasil lantaran Val
selalu dikawal oleh Putri yang jutek, Rima yang seram,
dan juga aku yang meski biasa-biasa tapi punya tam?pang
yang tidak enak banget dilihat kalau lagi bete.
Lucunya, Val sama sekali tidak merasa semua itu
pujian atau prestasi hebat. Malah dia semakin minder,
takut dirinya dijadikan olok-olok oleh teman-teman lain.
Yah, sebenarnya, selain dari makhluk-makhluk sirik se?
jenis Eliza, Val aman-aman saja. Tetapi Val tidak nyaman
dengan semua itu. Dia lebih suka seperti dulu, ketika dia
masih menjadi cewek low profile yang tak kasat?mata.
Menurutku, cewek itu agak sensitif, tidak percaya diri,
dan curigaan. Hal yang aneh banget, meng?ingat cewek
ini cantik, pintar, tajir, dan dikelilingi orang-orang yang
rela mati untuknya. Kini, Val tampak tenang-tenang saja, meski aku bisa
menduga hatinya pasti sakit dan merasa tertolak ka?rena
sahabat baiknya selama ini tidak menyapanya sama
sekali, melainkan pergi begitu saja dengan adik kembar?
nya. Rasanya seperti dicampakkan setelah Erika mendapat?
kan keluarganya lagi. Tapi di antara semua kelebihannya,
Val juga merupakan seorang pemain drama yang hebat.
Dia sama sekali tidak menampakkan perasaannya yang
sedih dan memasang sikap tenang. Berbeda dengannya,
aku tidak bisa menahan diri dalam hal beginian.
Isi-Omen6.indd 38 "Gue nggak suka sama Eliza," gerutuku seraya me?
matut-matut diri melalui kaca jendela sekolah. Seperti
biasa, aku mengenakan topi abu-abu yang nyaris me?
nutupi mukaku dan jaket yang sewarna dengannya.
Minus rambutku yang diikat ekor kuda dan menyembul
keluar dari bagian belakang topi serta rok sekolahan,
orang bisa mengira aku seorang cowok. "Cewek itu
benar-benar bermuka dua. Berpura-pura menye?lamat?kan
Erika dari kita. Bleh banget! Memangnya kita punya kutu
atau virus mematikan? Kalopun ada, kutu dan virus kita
pasti udah kabur tunggang-langgang saat melihat Erika,
biarpun sekarang dia udah nggak sebrutal dulu sih."
"Bukannya aku nggak setuju denganmu, Ay," ucap Putri
Badai dengan nada khas dirinya?dingin banget. Dengan
gaya angkuh dia menyibak poninya dan merapi?kan
rambutnya yang bergaya bob. Meski lebih pendek dari kami
semua, Putri Badai jauh lebih anggun dan ber?wibawa
dibanding kami. Terus terang saja aku rada-rada takut pada?
nya, dan tidak segan-segan mengutarakan hal itu dari
waktu ke waktu supaya dia tidak terlalu me?nye?ram?kan di
depan kami semua. "Terus terang aja, aku nggak peduli
pada Eliza selama dia nggak banyak ulah. Yang membuatku
sebal adalah Erika. Seharusnya, kalo dia memang masih
berteman dengan kita, atau setidak?nya denganmu, Val, dia
nggak akan membiarkan adik kem??barnya yang kepo itu
mencegahnya bicara sama kamu."
"Yah, mau gimana lagi," kata Rima pasrah. Sambil bi?
cara begitu, cewek itu berusaha menyembunyikan
wajahnya, tidak menggunakan topi melainkan dengan
meng?gunakan rambutnya yang panjang sekali, untuk me?
nyem?bunyikan rasa sungkan karena sudah menentang
Isi-Omen6.indd 39 pendapat Putri Badai yang hebat. Sudah merupakan
pendapat umum bahwa Rima mirip Sadako si hantu
sumur. Tidak heran banyak orang yang takut padanya,
apalagi Rima punya reputasi sebagai peramal yang bisa
mengetahui masa depan orang. Orang-orang tidak tahu,
kemampuan Rima bukanlah bakat penglihat?an atau
peramal, apalagi kekuatan mistis, melainkan dia memang
suka mengobservasi dan punya kemampuan logika algo?
ritma yang tinggi. "Aku setuju dengan kalian. Menurutku
Aya memang benar, adik kembar Erika itu nggak me?
nyenangkan dan aku juga nggak suka sama dia. Tapi
Putri juga benar, Erika seharusnya bisa menolak di?kendali?
kan olehnya. Cuma, saat ini, kurasa kita harus memberi
waktu pada Erika untuk menghabiskan waktu dengan
keluarganya. Dia kan kangen dengan keluarga?nya. Bukan
salahnya kalo keluarganya menyebalkan. Kita kan nggak
bisa memilih keluarga kita. Apa yang udah Tuhan karu?
nia?kan pada kita, ya kita terima sambil ber?usaha sebaikbaiknya."
Aku menatap Rima dengan kagum. Meski secara fisik
dia terlihat paling lemah di antara kami, dia juga paling
bijaksana. Aku tahu, dia bicara berdasarkan pengalam?
annya sendiri. Kami tidak pernah banyak cur?hat
mengenai masalah keluarga kami, tapi aku tahu se?dikit
soal keluarga Rima. Cewek itu berasal dari keluarga
berantakan dengan orangtua yang hobi KDRT. Buktinya,
di balik tirai rambut itu terdapat bekas jahitan yang me?
manjang dari kening hingga pipi. Itulah sebabnya Rima
menutupi wajahnya dengan rambut panjang (jadi bu?kan?
nya dia sengaja meniru-niru gaya Sadako supaya di?takuti
seluruh sekolah). Isi-Omen6.indd 40 "Rima benar," kata Val kalem. "Erika udah memutus?
kan, dan kita harus menghormati keputusannya. Lebih
baik kita nggak usah membahas mereka lagi. Bukannya
gue nggak kepo, tapi itu bukan urusan kita. Lebih baik
kita membahas hal yang lebih penting."
"Seperti?" tanyaku ingin tahu.
Val melayangkan tatapannya dan memandangi kami
bertiga. "Apa kalian tau, kenapa kalian dipindahkan ke
sini?" "Untuk melindungimu?" jawab Putri Badai dengan
nada ragu, hal yang jarang sekali terlihat darinya.
Oke, mungkin kalian belum tahu. Kami bertiga bukan?
lah sekadar teman Valeria Guntur. Kami adalah anakanak asuh ayahnya, dan kami tidak sendirian. Mr.
Jonathan Guntur memiliki banyak sekali anak asuh,
mung??kin sekitar seribu, dan semuanya tersebar di se?luruh
negeri ini. Pada saat Val pindah ke sini, ayahnya meng?
atur aku dan Rima yang tadinya bersekolah di se?kolah
negeri di sekitar sini pindah ke sekolah yang sama de?
ngan anaknya. Kebetulan Putri Badai sudah berada di
sini dan memiliki posisi yang kuat sebagai pemimpin
organisasi rahasia yang sangat berkuasa di sekolah ini,
organisasi yang disebut dengan The Judges. Putri Badai
jugalah yang melicinkan jalan supaya kami semua saling
bertemu dan berteman melalui organisasi itu, sehingga
kini kami semua menjadi anggotanya.
Menanggapi ucapan Putri Badai, Val menggeleng. "Bu?
kan itu saja. Kita punya tugas yang jauh lebih penting.
Kita seharusnya belajar untuk bekerja sama sebagai satu
tim yang kompak atau, mengutip kata ayahku, memiliki
tingkat sinkronisasi yang tinggi."
Isi-Omen6.indd 41 Wah, istilahnya keren banget. Bahkan Putri Badai pun


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meng?angkat alis mendengar ucapan Val, sementara Rima
hanya memandang lekat-lekat dari balik tirai rambut?
nya. "Kalo cuma kompak sih, belakangan ini kita lumayan
banget," timpalku. "Maksud gue, coba lihat apa yang
kita lakuin waktu drama Phantom of the Opera kemarin.
Kita berhasil nangkep pelakunya!"
"Bukan pelaku sebenarnya," sahut Rima mengingatkan,
"tapi memang sih, mereka yang ngelakuin semuanya,
meski diatur oleh pihak lain."
"Yah, kalian berdua benar," kata Val seraya meng?angguk.
"Kita memang udah ngebuktiin kita sanggup bekerja sama
dalam tim dengan tingkat sinkronisasi yang tinggi, tapi itu
belum cukup. Tim kita juga harus me?miliki kemampuan
yang nyata dan terbukti. Salah satu?nya adalah dengan
menangkap penjahat yang sebenar?nya."
"Ngomong memang gampang," ketus Putri. "Memang?
nya gimana caranya kita menangkap oknum-oknum Ke?
lompok Radikal Anti-Judges itu? Terutama Nikki, si culas
yang licin dan senang memanipulasi siapa pun, bahkan
sanggup membuat orang-orang mengaku bersalah atas
sesuatu yang dia lakukan."
Ya, betul. Sesuai dengan ucapan Putri, organisasi raha?
sia kami memiliki lawan yang juga misterius dan penuh
rahasia, dengan nama yang norak banget dan tidak
sesuai reputasinya: Kelompok Radikal Anti-Judges. Meski
tidak punya bayangan siapa anggota organisasi ini, aku
tahu mereka kuat banget. Mereka memiliki banyak
pengaruh di mana-mana berkat salah satu pemimpinnya,
Nikki, yang memiliki kemampuan manipulasi yang luar
Isi-Omen6.indd 42 biasa. Nikki sanggup membuat orang-orang berhati
lemah dan punya dendam untuk melakukan kejahatan
yang ingin dilakukannya, sehingga dia bisa melenggang
ke sana kemari dengan tangan bersih sementara orangorang yang dimanipulasinyalah yang melakukan pekerja?
an kotornya. "Satu-satunya jalan, kita hanya bisa menjebak dia,"
sahut Val. "Dulu, setiap kali ada sesuatu yang terjadi di
sekolah kita, sebenarnya merekalah dalangnya. Mereka
yang memulai semua peristiwa itu. Ini nggak bisa dibiar?
kan berlarut-larut. Sekali-sekali kita harus balas meng?
gertak duluan." "Whoa, rencana yang berani!" seruku penuh semangat.
"Jadi, gimana acara pembalasan kita? Apa kita bakalan
balas melukai mereka juga? Rima kan punya koleksi alatalat penyiksaan yang keren-keren, seperti Iron Maiden,
si peti mati yang dinding bagian dalamnya berisi banyak
paku itu..." "Aya!" Rima menegurku sambil mengernyit. "Itu kan
cuma hiasan! Amit-amit banget kalo sampe itu diguna?
kan untuk menyiksa orang! Bisa mati orangnya!"
"Yah," keluhku berpura-pura kecewa. Tenang saja,
meskipun Rima punya banyak sifat jelek, suka menyiksa
tidak ter?masuk di dalamnya. "Tampang lo aja serem,
Rim, tapi ter?nyata hati lo selembut gulali. Jadi gimana
cara?nya dong kita menggertak mereka? Apa kita perlu
me?nyelinap ke rumah mereka dan meninggalkan pesan
me?ngerikan seperti Kelompok Radikal Anti-Judges Harus
Mati dicat de?ngan cat merah, atau lebih bagus lagi, da?
rah ayam..." "Jangan konyol, itu pesan yang tolol dan aku nggak
Isi-Omen6.indd 43 sudi bawa-bawa darah ayam ke mana-mana! Bau, tau?"
Putri Badai memotongku seraya mengomel-omel dengan
muka menyebalkan?seolah-olah tidak mengerti aku ha?
nya bercanda?lalu menoleh pada Val. "Acara gertakmenggertak ini kedengaran konyol. Bukannya kita harus
sibuk mengurus Pekan Olahraga?"
Aku langsung memasang muka cemberut. Acara yang
sama sekali tidak seru. Maksudku, apa sih asyiknya me?
lihat orang-orang bertanding? Aku sama sekali tidak ber?
minat bergabung dalam kerumunan orang yang bersoraksorai seolah-olah harga diri mereka ikut dipertaruhkan.
Sebenarnya seru kalau aku mulai membuat ajang per?
taruh?an mengenai siapa yang menang. Sayang, meskipun
aku tahu pada praktiknya bandar selalu menang, ajang
pertaruhan ini tetap mengundang terlalu banyak risiko
yang tidak perlu seperti ditangkap guru piket, kepala se?
kolah, atau?amit-amit?polisi, sementara aku paling
tidak suka mengambil risiko.
"Itu benar," angguk Rima. "Meski di antara kita, yang
ikut bertanding hanya Putri di nomor panahan, tapi se?
bagai pengurus OSIS, kita semua menjadi panitianya.
Aya, kamu yang bertanggung jawab mencari promotor
ya." "Tugas yang menyebalkan," aku semakin memajukan
bibirku hingga kira-kira mirip bibir Brad Pitt yang legen?
daris itu. "Benar-benar nggak keren. Mendingan kita su?
ruh anak-anak yang nggak ikut bertanding boleh buka
bazar, atau..." "Nggak," tegas Putri. "Kali ini fokusnya adalah olah?
raga. Kita kan harus menanamkan rasa cinta olahraga
pada siswa-siswi sekolah kita."
Isi-Omen6.indd 44 "Boooring," ucapku seraya meniru nada suara Homer
Simpson saat mengucapkan kata itu. "Gue lebih setuju
dengan rencana menggertak. Val, bilang lo punya ren?
cana dong! Jangan sampe kita hanya bisa ber?bego-begoria ngurusin Pekan Olahraga yang diikuti oleh orangorang yang suka menyiksa diri demi piala tolol yang
bahkan nggak ada harganya kalo dijual!"
Kurasa semua orang bisa merasakan Putri siap men?
dampratku. Dengan cerdik Val memilih saat ini untuk
menoleh pada Rima. "Yah, mungkin kita akan mendapat
misi baru kali. Soalnya, bokap gue berharap bisa ketemu
lo hari ini, Rim, sepulang sekolah. Lo nggak ada ekskul
Kesenian atau rapat OSIS, kan?"
Bukan hanya Rima yang ternganga mendengar ucapan
Val. Rima malah nyaris tidak memedulikan pertanyaan
terakhir yang dilontarkan Val. "Untuk apa?"
Yah, kalian harus memaklumi rasa kaget kami semua.
Selama ini aku dan Rima jarang bertemu Mr. Guntur.
Yang paling sering bertemu Mr. Guntur adalah Putri, dan
biasanya misi-misi kami diberikan melaluinya. Kami
semua berasumsi, kini dengan bergabungnya Val yang
merupakan putri tunggal Mr. Guntur, seharusnya dialah
yang akan mengepalai tim kami.
"Entahlah, bokap gue nggak menjelaskan apa-apa,"
geleng Val. "Yang jelas, ada sesuatu yang agak me?nakut?
kan. Bokap gue sempat menyinggung soal keingin?an
untuk menguji sinkronisasi kita dalam misi-misi yang
akan datang. Kalo salah satu dari kita kurang sin?
kron..." Uh-oh. Aku punya firasat buruk.
"...yang nggak sinkron itu akan dipindahkan ke se?
Isi-Omen6.indd 45 kolah lain, dan di sini dia akan digantikan dengan orang
baru." Lagi-lagi ucapan Val membuat kami semua ter?
nganga. "Enak aja!" teriakku seketika. "Gue nggak mau pindah!
Gue udah betah di sini!"
"Bukannya Mr. Guntur bilang, kita berempat udah me?
rupakan anak-anak dengan kemampuan yang nyaris
setara di sini?" tambah Putri gelisah.
"Gue juga nggak tau," sahut Val muram. "Apa pun
misi yang diberikan, kita nggak boleh gagal. Kali ini
nggak ada ruangan untuk berbuat kesalahan."
Entah kenapa firasat buruk semakin memenuhi hati?ku.
Kenapa aku merasa aku bakalan gagal?
"Halo, Cinta! Mau ke mana?"
Eww! Panggilan norak banget yang, shoot, pastinya di?
tujukan padaku. Soalnya, di sekitar sini tidak ada cewek
lain lagi yang sedang berkeliaran. Tambahan lagi, pemilik
suara yang mengucapkan kata-kata itu adalah Gil
Goriabadi, cowok boyband aneh yang suka sok puitis dan
belakangan ini sering berkeliaran di sekitarku. Setiap kali
ber?temu, dia selalu menyebutku dengan nama-nama
panggil?an yang awalnya membuatku merinding hingga
ke bulu ketek. Namun, lambat laun aku mulai merasa
panggilan-panggilan itu lucu, terutama ketika aku mem?
balasnya dengan panggilan yang tak kalah norak.
Sambil menahan senyum, aku membalikkan badan.
Ada perasaan hangat menjalar di hatiku saat melihat Gil
Isi-Omen6.indd 46 duduk di tonjolan di dinding sambil memandangiku se?
olah-olah aku cewek tercantik di dunia. Padahal tak ada
alasan khusus yang bikin hangat. Maksudku, cowok itu
bahkan tidak ganteng. Oke, beberapa cewek di sekolah?
atau sebagian besar?mungkin menganggapnya keren
luar biasa. Tapi itu karena penampilannya yang heboh
(seperti kebiasaannya mengenakan topi dan jaket hitam
di dalam kelas, sama sepertiku, hanya saja topi dan jaket?
ku berwarna abu-abu), suaranya yang lembut mengalun
apalagi saat dia sedang nge-rap, dan badannya juga tegap
berotot, hasil latihan tinju yang juga merupakan hobi
isengnya. Minus semua itu, dia seperti cowok-cowok
yang bakalan kita temui di pasar, mungkin sedang men?
jajakan pakaian dalam. Bukan berarti tampangnya mesum. Sama sekali tidak.
Se?baliknya, dia tampak seperti anak yang bakalan di?
suruh-suruh orangtua untuk melakukan pekerjaan me?
malu?kan dan dia tak bakalan bisa menolak sama sekali.
Bahkan saat mengucapkan kata-kata penuh kalimat rayu?
an, dia tampak tulus dan lugu.
"Gorila Abadi my darling!" balasku dengan nada yang
lebih tepat diucapkan untuk memanggil binatang pe?li?
hara??an yang superimut. "Kangennya gue sama elo! Udah
berapa lama kita nggak ketemu? Rasanya udah lama
banget. Sejam? Dua jam? Atau cuma lima menit?"
Cowok itu memegangi dadanya seolah-olah baru ter?
kena serangan jantung. "Gila, memang hari ini kita be?
lum ketemuan kok, Cinta! Terakhir kita ketemu, kemaren
jam setengah dua belas waktu istirahat kedua. Masa
nggak inget? Segitu nggak pentingnya gue buat elo?"
"Oh iya, bener juga," ucapku ringan. Diam-diam saja
Isi-Omen6.indd 47 ya, sebenarnya aku juga ingat banget kok soal itu. Entah
kenapa. "Sori, kan gue sibuk. Kadang-kadang gue nggak
inget hal sepele." Begitu kata-kata itu terucap dari mulutku, aku lang?
sung menyadari ocehanku rada sombong dan me?nyebal?
kan. Rasanya bersalah banget sudah mengucapkan katakata yang begitu angkuh pada orang yang sebenar?nya
berniat baik padaku. Tetapi, saat aku meng?amati wajah
Gil, sepertinya cowok itu tidak punya pe?rasa?an lain se?
lain sedih karena dilupakan.
"Iya sih, gue memang nggak memorable," keluhnya, dan
aku mulai didera rasa bersalah lagi. "Mungkin gue nggak
cukup berusaha ya, selama ini. Mungkin gue nggak cukup
buat elo ya, Cinta."
Meski agak merinding, aku berusaha menghiburnya,
"Nggak kok, Gil. Gitu-gitu lo baik sama gue..."
"Itu nggak cukup!" teriaknya gusar. "Buktinya lo kagak
inget gue! Karena itu..."
Aku baru menyadari dia membawa gitarnya saat dia
me?narik benda itu dari belakang tubuhnya. Mulutku ter?
buka lebar untuk mencegah dia melakukan apa pun
yang akan dilakukannya?sesuatu yang sepertinya heboh
banget?tapi aku terlambat.
"Oh, Ayaaaa!" teriaknya sambil memetik gitarnya
keras-keras. Hanya dengan satu tindakan itu, semua
murid yang tadinya tidak memperhatikan kami lantaran
kami mojok banget, mendadak menoleh dan bahkan
mendatangi kami. Wajahku berubah merah, tapi cowok
itu sepertinya tidak memiliki urat malu sedikit pun.
Dengan riang dan bahagia dia mulai memetik gitar
sambil nge-rap perlahan. Isi-Omen6.indd 48 Hidup ini terlalu singkat untuk sebuah permainan, Cinta
Karena itu gue putuskan untuk ngelakuin jalan singkat
ini Bukannya gue mau bunuh diri, Cinta
Gue kan kepingin hidup seribu tahun lagi bersama lo
Yang gue maksud, Cinta Jangan bermain-main lagi Nggak usah pake malu apalagi gengsi
Mari kita teriakkan cinta kita pada dunia
Dan setelah itu, kita akan hidup bahagia selama-lamanya
Gila! Malu-maluin banget! Berani taruhan?dan biasa?
nya aku bertaruh saat aku yakin pasti menang?separuh
sekolah sedang menonton kami. Sebagian besar dari
kerumunan menjerit-jerit karena personel boyband pa?ling
keren dan beken di sekolah kami sedang beraksi, tapi
ada sebagian lagi yang sedang menatap dengan penuh
rasa ingin tahu. Sepertinya mereka sempat mendengar
teriak?an "Ayaaaa" yang jelek itu, dan kini mereka
bertanya-tanya apakah lagu norak ini ada hubungannya
dengan?ku. Mungkin sebaiknya aku mengendap-endap pergi,
mumpung si cowok boyband sedang tenggelam dalam
lagunya. No, no, darling Jangan pergi tinggalkan cowok malang ini
Aku makin mempercepat langkahku. Tidak lucu banget
kalau tahu-tahu Gil menarikku ke tengah-tengah ke?
rumun?an dan aku diharapkan untuk ikut duet. Bisa-bisa
Isi-Omen6.indd 49 aku hanya mengucapkan satu kata berulang-ulang,
"Gori... Gori... Gori... Gori...." Kan kasihan juga si Gil
kalau nama itu akhirnya jadi nama bekennya.
"Aya!" Jantungku mencelus mendengar suara itu. Perlahan
aku membalikkan tubuh, dan melihat sesosok cowok
yang tingginya jauh melebihi cowok-cowok lain di se?
kolah?ku. Seringainya yang lebar dan rada-rada tengil


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mem?buat hatiku sakit, membuatku menyadari betapa aku
merindukan si sialan ini.
Yep, betul sekali. Cowok ini adalah OJ, mantan pacar?
ku yang beberapa waktu lalu meninggalkanku secara
men?dadak dan kini muncul kembali dengan tampang
tidak bersalah. Mendadak aku jadi geram. Aku menghampiri cowok itu, lalu menonjok bahunya
keras-keras. "Aww!" teriak cowok itu sambil memegangi bahunya
dengan wajah shock, seolah-olah tadinya dia mengharap?
kan sambutan yang mesra dan hangat. "Apa dosa gue
sih, sampe-sampe dihadiahi tinju penuh dendam gitu?"
"Masih berani ngomong!" teriakku gusar sambil me?
nonjoknya sekali lagi dan membuat cowok itu menjerit
lebay. "Gue yang nggak nyangka lo masih berani me?
nampakkan muka jelek lo di depan gue!"
"Yah, muka jelek gue memang gunanya untuk di?
tampak?kan! Nggak mungkin lah gue simpen-simpen,
bisa-bisa gue nggak muncul-muncul lagi di depan umum
untuk selamanya!" "Kalo gitu lo emang minta dihajar!"
"Eh, tunggu dulu! Aya, denger dulu penjelasan gue..."
Isi-Omen6.indd 50 Aku makin emosi saja saat cowok itu berhasil me?
nangkap kedua tanganku. Dengan ganas aku mulai me?
nendanginya. "Aya?" Aku menoleh dan memandangi wajah Gil yang
bingung. Kusadari mata Gil melotot melihat tanganku
di?pegangi OJ. "Eh, jangan pegang-pegang Aya sembarang?
an!" Aku berusaha menarik tanganku, tetapi OJ tidak me?
lepas?kanku. "Kenapa nggak boleh?" balas OJ sewot. "Dia kan pacar
gue!" Kali ini mulut Gil ternganga, dan tatapannya yang
lugu beralih padaku, membuatku?untuk kesekian kali?
nya?didera rasa bersalah.
Shoot! Isi-Omen6.indd 51 Rima Hujan INI benar-benar menakutkan.
Bukan pertama kalinya aku bertemu muka dengan
ayah Valeria yang kupanggil dengan sebutan Mr. Guntur.
Meski begitu, pengalaman-pengalaman terdahulu tidak
membuatku jadi terbiasa. Habis, Mr. Guntur benar-benar
me?nakutkan. Tubuhnya tinggi besar, mungkin agak
kelebihan berat badan tapi tetap saja tegap dan kokoh,
dengan rambut yang sudah memutih semuanya. Belum
lagi wajahnya yang berkulit putih nyaris pucat itu selalu
kelihatan dingin dan nyaris tak pernah berhiaskan
senyum. Tidak heran bila Erika pernah menjulukinya
Beruang Raksasa. Aku tahu, di balik penampilan kaku dan dingin itu
ter?sembunyi hati yang penuh kasih. Serius, aku tidak
lebay. Aku pernah mendengar selentingan, alasan Mr.
Guntur mengambil begitu banyak anak asuh adalah ka?
rena dia akan mempekerjakan mereka di kemudian hari.
Jadi, sebenarnya semua urusan amal ini adalah demi ke?
untungannya juga. Yah, soal itu aku tidak akan mem?
bantah. Tetapi, cobalah berpikir baik-baik. Di dunia ini,
Isi-Omen6.indd 52 berapa banyak orang kaya yang tidak pernah berbuat
amal? Berapa banyak orang yang hanya menyumbang
demi reputasi dan tidak peduli ke mana uang itu pergi?
Orang bilang, daripada memberi uang untuk membeli
ikan, lebih baik memberi uang untuk membeli pancing.
Mr. Guntur memberi pancing kepada kami semua, anakanak yang kemungkinan tidak akan mengecap pen?
didikan yang layak tanpa campur tangannya. Dan setelah
itu beliau memberi kami pekerjaan yang layak dan me?
nyelamatkan kami dari masa depan yang suram. Asal
tahu saja, dengan semua kebaikan yang beliau limpahkan
padaku, aku bukan saja tidak keberatan bekerja pada?
nya?aku bahkan ingin mengabdikan diriku seumur
hidup padanya dan pada keluarga Guntur. Pada hari per?
tama aku bertemu Mr. Guntur, semua doa-doaku akhir?
nya dikabulkan, dan aku bersyukur pada Tuhan untuk
semua itu. Aku tidak akan mengecewakan Tuhan, Mr.
Guntur, juga adik-adikku yang berharap banyak padaku.
Aku akan menjadi orang yang membanggakan mereka
semua. Meski sejujurnya, aku belum tahu bagaimana cara?nya
mewujudkan impianku yang setinggi bintang dan langit
serta agak berlebihan itu, mengingat ke?mampu?anku tidak
seberapa. "Miss Rima." Aku tersenyum gugup pada kakek tua yang me?
nyambut kedatanganku. Entah berapa usia kakek itu,
yang jelas, sejak aku masih kecil dan dibawa ke sini, wu?
jud?nya sudah seperti ini: keriput, kurus, dan bungkuk,
dengan tongkat kayu besar untuk menopang tubuhnya.
Meski terlihat lemah, aku tahu dialah kepala pelayan
Isi-Omen6.indd 53 mansion kediaman keluarga Guntur alias orang kedua
yang paling berkuasa di tempat ini setelah Mr. Guntur.
Dengar-dengar, bahkan Valeria pun sangat menurut pada?
nya. "Kakek Andrew," panggilku ragu.
"Andrew saja cukup, Miss Rima," ucap Andrew dengan
keramahan yang menenangkan hati. Bukannya aku tidak
ingat, kakek ini selalu memintaku memanggilnya dengan
namanya saja. Tapi yang benar saja, usia kami mungkin
terpaut tujuh puluh, delapan puluh, atau bahkan seratus
tahun. Mana mungkin aku bersikap kurang ajar begitu?
Memangnya aku ini siapa? Aku bukan Valeria yang me?
mang majikannya, atau Putri Badai yang berasal dari
keluarga orang kaya lama sejenis bangsawan, atau Erika
yang kekurangajarannya malah membuatnya disukai.
Aku hanyalah Rima Hujan, anak dari keluarga berantakan
yang nyaris tak punya masa depan. "Apakah perjalanan
Miss Rima ke sini baik-baik saja?"
Aku mengangguk dengan rada sungkan. "Terima kasih
ya, udah mengirim Pak Mul untuk menjemput saya."
"Nggak masalah, lagian Pak Mul memang harus men?
jemput Miss Putri." Rasanya benar-benar malu dan tidak
enak saat Andrew membungkukkan tubuhnya yang su?dah
bungkuk padaku. "Ayo, Miss Rima. Mr. Guntur su?dah
menunggu Miss Rima sejak tadi. Silakan lewat sini."
Aku ikut-ikutan membungkuk sebelum berjalan me?nuju
koridor yang ditunjukkan. Seperti biasa, rumah ke?luarga
Guntur selalu membuatku takjub. Ukurannya besar
membentuk huruf U yang mengitari kolam renang di
belakang rumah. Desainnya berselera tinggi, dengan
perabot-perabot kayu, sofa-sofa kulit berwarna pastel, tirai
Isi-Omen6.indd 54 berlapis-lapis, dan lampu-lampu kristal. Yang paling ku?
sukai adalah pilar-pilar yang tersebar di mana-mana, ter?
kadang ditempeli lampu. Rasanya Prancis banget deh.
Akhirnya kami tiba di depan kantor Mr. Guntur yang
berpintu kayu. Setelah mengetuk beberapa kali, terdengar
suara dari dalam, "Masuk."
Andrew mengangguk padaku. "Silakan masuk, Miss.
Saya akan meninggalkan Miss Rima di sini."
"Makasih ya... Andrew."
Andrew tersenyum ramah. "Dengan senang hati, Miss
Rima." Sementara Andrew meninggalkanku, aku berbalik
meng?hadap pintu dan menarik napas dalam-dalam.
Demi segala yang indah dan menyenangkan yang ada di
dunia ini, di balik pintu ini adalah orang yang paling baik hati
dalam hidupku. Jadi, aku nggak boleh merasa takut lagi.
Sambil berpikir begitu, aku pun mendorong pintu dan
masuk ke ruangan di baliknya.
Mr. Guntur sedang duduk di balik meja kerjanya,
sibuk dengan setumpuk dokumen yang sepertinya mem?
butuhkan persetujuan darinya. Saat mendengarku masuk,
beliau langsung mengangkat kepala.
"Halo, Rima. Silakan duduk di depan saya."
Dengan canggung aku mengambil tempat duduk di
depan meja kerjanya yang berukuran raksasa. Rasanya
mengerikan, duduk begitu dekat dengan pria yang begitu
berwibawa. Satu lirikan saja darinya, aku langsung
merasa seperti dipaku di tempat dudukku. Aku melirik
tempat yang dulunya terdapat bingkai foto berisi foto
Mr. Guntur, istrinya, dan Valeria. Bingkai foto itu?
beserta isinya?sudah lenyap.
Isi-Omen6.indd 55 "Gimana kabarnya Valeria hari ini di sekolah?"
"Dia," suara Mr. Guntur yang jelas dan penuh wibawa
me?nyentakkanku, membuatku tergagap sejenak, "dia
baik-baik saja." "Nggak ada masalah dari Erika Guruh?"
Eh? "Nggak. Erika nggak mengganggu kami kok."
"Eliza Guruh?" Aku ragu-ragu sejenak sebelum menyahut, "Belum."
"Menurutmu dia akan menjadi ancaman?"
Aku teringat pengalamanku di komidi putar pada ma?
lam karnaval yang diadakan oleh sekolah kami. Pada
saat itu aku ditawan dan mataku ditutup, tapi untuk
waktu yang sangat sebentar, penutup mataku sempat di?
buka oleh penawanku?dan orang itu ternyata adalah
Erika Guruh. Selama beberapa waktu aku yakin sekali
Erika termasuk komplotan penjahat hingga kenyataan
membuktikan sebaliknya. Pada akhirnya aku menyadari
ada orang lain lagi yang tega menawanku dan sanggup
membuatnya kelihatan seperti Erika yang melakukannya.
Orang itu adalah Eliza. Payahnya, kejadian itu hanya sekilas, dan tidak ada
saksi lain selain aku. Kalau dihadapkan pada pengadilan,
aku bisa apa? Ini adalah kata-kataku melawan kata-kata
Eliza Guruh. Bisa saja dia mengataiku berhalusinasi aki?
bat kloroform yang saat itu kuhirup. Kesaksianku terlalu
lemah. Pada akhirnya, aku menyimpan kenyataan ini
untuk diriku sendiri. Tapi tidak pelak lagi, aku tahu Eliza jahat. Tidak
peduli belakangan ini dia sempat menjadi korban pen?
jahat sampai-sampai kudu masuk IGD dan sekarang
hubung??annya sudah akrab kembali dengan Erika, aku
Isi-Omen6.indd 56 tidak me?mercayainya sedikit pun. Tapi, apa pun pen?
dapatku, aku tahu saat ini Erika sedang berusaha keras
untuk kembali pada keluarganya. Karena itu aku ber?
usaha men?dukung?nya. Toh Erika tidak bodoh. Kalau
terbukti adik kembar?nya belum bertobat, dia pasti bisa
melihatnya, kan? Tapi di hadapan Mr. Guntur, aku tidak ingin ber?
bohong atau menyembunyikan perasaanku. "Ya, dia akan
menjadi ancaman besar."
"Kalau begitu dia harus disingkirkan."
Napasku tersentak. Apalagi saat tatapan mata Mr.
Guntur menyorot dingin padaku.
"Rima, mungkin kamu bertanya-tanya kenapa saya me?
manggilmu ke sini," ucap Mr. Guntur sambil meng?
amatiku. Aku mengangguk menanggapi pertanyaan yang
tersirat itu. "Saya ingin kamu, Valeria, Putri, dan Aya
mem?bentuk sebuah tim yang solid. Selama ini kamu,
Putri, dan Aya sudah bekerja dengan baik ketika Putri
men?jadi ketua tim dan kalian berdua membantunya.
Tapi kini semuanya akan berbeda. Masing-masing dari
kalian harus punya peranan yang sama besar dalam tim
kalian itu. Kamu pasti sudah tau, Aya cocok sebagai pe?
megang keuangan. Dengan dana yang tersedia, dia yang
akan menyediakan segala alat yang kalian butuhkan
untuk operasi kalian. Valeria dan Putri akan menjadi te?
naga operasional. Kemampuan mereka membuat mereka
cocok untuk menjadi pelaku yang akan melaksanakan
setiap operasi. Sementara kamu lebih cocok sebagai pe?
rancang rencana." "Perancang rencana?" ulangku bodoh.
"Ya," angguk Mr. Guntur. "Kamu orangnya awas, pan?
Isi-Omen6.indd 57 ain dai mengobservasi, dan sanggup mengingat semua infor?
masi dengan baik. Meski tidak punya daya ingat foto?
grafis seperti Erika, kamu sanggup mengolah semua
infor?masi yang ada menjadi sebuah kesimpulan yang
masuk akal. Itu kan yang membuatmu dijuluki Sang
Peramal?" Astaga, aku malu banget. Bahkan Mr. Guntur
tahu soal julukan yang berlebihan itu! "Valeria juga pan?
dai mengobservasi sepertimu, juga pandai mencari infor?
masi, tapi kemampuannya jauh di bawahmu. Singkat
kata, kemampuanmu setara dengan Erika dan Valeria di?
jadikan satu." Demi Tuhan Yang Mahamulia! Astaga, itu pujian ter?
besar yang pernah diberikan seseorang terhadapku!
"Tentu saja, tidak dengan memperhitungkan kemampu?
an bela diri. Dalam bidang itu, nilaimu nol besar."
Ups. Itu sih benar banget.
"Sekarang, saya akan memberi kalian sebuah misi.
Untuk seterusnya, saya berharap tidak usah tahu cara
kalian menyelesaikan misi atau tetek-bengek lainnya.
Pokok?nya saya hanya tau beres. Tapi kali ini saya akan
mem?beri kamu sedikit pengarahan. Misi kalian ini ber?
kaitan dengan Pekan Olahraga yang akan berlangsung
minggu depan." Aku menatap Mr. Guntur dengan penuh rasa ingin
tahu. "Kamu pasti juga sudah tau, bahwa sesuai tradisi SMA
Harapan Nusantara, para pemenang Pekan Olahraga akan
dikirim ke luar negeri untuk program pertukaran pelajar


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selama setahun, untuk menghargai prestasi atlet sekolah.
Semua ini berkat kerja sama sekolah kalian dengan Atase
Julius." Isi-Omen6.indd 58 "Atase Julius?" tanyaku terperanjat. "Ayahnya OJ?"
"Benar sekali," angguk Mr. Guntur. "Mungkin kalian
sudah tau, Jonas Julius adalah Atase Pendidikan dan Ke?
budayaan sekaligus alumnus sekolah SMA Harapan
Nusantara. Setiap tahun dia mencari calon-calon siswa
berprestasi di sekolah kalian yang bisa dipekerjakan di
Kementerian Luar Negeri. Selain itu, dia juga rajin meng?
ikutsertakan siswa-siswi berbakat untuk mengikuti
pertukaran pelajar antarnegara. Saya yakin, kamu tau
semua ini dengan baik karena dia pernah menawarimu
kesempatan untuk belajar di Paris."
"Saya nggak tau," gelengku sambil menyembunyikan
rasa kaget. "Yang saya tau adalah saya mendapat surat
dari Kementerian Luar Negeri mengenai beasiswa ke
Paris, tapi saya tolak karena..."
"Karena kamu punya misi dari saya untuk menjaga
Valeria di sekolah ini," senyum Mr. Guntur. "Untuk penge?
tahu?anmu, saya sangat menghargai loyalitas yang kamu
tunjukkan dalam masalah ini, Rima. Jika kamu menerima
bea?siswa itu, terus terang saya tidak akan menghalangi?
mu." Aku menggeleng. "Saya nggak akan mengkhianati
Anda, Mr. Guntur." "Dan saya tau itu. Saya percaya sepenuhnya padamu,
Rima Hujan." Aduh, tidak terkira betapa bangganya aku
mendengar semua ucapan itu! "Nah, kini kita akan
kembali membahas soal misi kalian lagi. Kesimpulannya,
pemenang dari setiap pertandingan memang penting,
tetapi yang tidak kalah penting adalah format per?tanding?
an, siapa melawan siapa. Seandainya orang terkuat dalam
per?tandingan harus menghadapi tiga orang yang nyaris
Isi-Omen6.indd 59 sama kuatnya dalam pertandingan-pertandingan awal,
bisa jadi dia tidak akan pernah mencapai final. Atlet
yang tidak terlalu kuat, jika dihadapkan pada lawanlawan yang lemah, pada akhirnya akan mencapai final
juga. Semua tergantung format pertandingan. Itu sebab?
nya, daftar format pertandingan itu disimpan di rumah
Atase Julius. Misi The Judges kali ini adalah mencuri
format per?tandingan dan mengubah susunannya. Dengan
satu catat?an penting." Mr. Guntur menatapku tajamtajam. "Kalian harus mengubah format itu se?demi?kian
rupa supaya orang-orang yang jelas-jelas me?rupakan
anggota Kelompok Radikal Anti-Judges bisa me??
menangkan pertandingan dan dikirim ke luar negeri."
Rencana yang brilian! "Itu sebabnya Anda tadi me?
ngata?kan Eliza harus disingkirkan."
"Ya," angguk Mr. Guntur. "Kalau anak-anak itu berhasil
me?menangkan program pertukaran pelajar, saya bisa me?
mastikan mereka tak akan bisa kembali lagi ke sekolah
yang sama setelah semuanya selesai."
Aku harus menahan diri untuk tidak berseru kagum.
The Judges, terutama Putri Badai, memang memiliki ke?
kuasaan untuk mengeluarkan murid-murid bermasalah,
tetapi tentunya kami membutuhkan alasan dan penjelas?
an untuk diberikan kepada yayasan, Kepala Sekolah, dan
para guru. Kalau tidak, semuanya akan terlihat men?
curigakan. Bisa jadi untuk berikutnya kami tidak akan
mendapat dukungan dari yayasan, Kepala Sekolah, dan
para guru. Itu sebabnya misi-misi seperti ini, selain lebih
seru, juga membuat segalanya berjalan alami dan lan?
car. "Tapi," ucapku merenung, "kalo memang dia pejabat
Isi-Omen6.indd 60 konsulat, kami akan susah sekali menembus pertahanan
rumahnya, kan?" Lagi-lagi ujung bibir Mr. Guntur terangkat. "Apa asyik?
nya kalau rumahnya gampang ditembus?"
Tepat sekali. Lagi-lagi, ucapan Mr. Guntur membuat
adrenalinku mulai mengalir deras.
"Mungkin, suatu saat nanti, kalian akan terpaksa harus
bergerak seperti maling. Mengenakan pakaian hitam dan
memanjat-manjat dinding. Tapi saat ini kalian tidak akan
perlu melakukannya. Apa yang kalian tahu tentang Jonas
Julius dan keluarganya?"
"Bahwa anaknya Octavius atau OJ seangkatan dengan
kami." "Bagus. Apa lagi?"
Aku salah tingkah sejenak. "Ehm, OJ dan Aya pernah
berhubungan singkat. Pacaran maksud saya, hanya dalam
waktu singkat." "Begitukah?" Senyum datar Mr. Guntur memberiku
pe?tunjuk bahwa pria hebat ini sudah mengetahuinya.
"Bagaimana kalau kita gunakan dua fakta ini dan me?
manipulasinya?" "Memanipulasinya?"
"Betul." Tatapan Mr. Guntur yang setajam sinar laser
membuatku bergidik. "Rima Hujan, tahukah kamu, kamu
punya kemampuan untuk menandingi kemampuan Nikki
si manipulator hebat?"
*** Aku keluar dari kantor Mr. Guntur dalam kondisi ling?
lung. Isi-Omen6.indd 61 Seumur hidupku, aku tidak pernah menyiapkan diriku
untuk peran sehebat ini. Aku, sang perancang rencana,
mengatur supaya teman-temanku bisa mengerjakan misi
tanpa risiko ketahuan sama sekali. Rasanya seperti me?
rencanakan kejahatan sempurna yang tidak akan bisa
terbongkar. Yang mengganggu perasaanku hanyalah satu hal. Se?
perti kata Valeria, ayahnya tidak main-main soal
sinkronisasi setiap anggota tim.
"Ingat, Rima. Penting bagimu dan juga teman-teman
lain untuk memiliki sinkronisasi yang tinggi dalam ber?
tindak. Sebagai contoh, sebagai perancang rencana, kamu
harus tau kekuatan dan kekurangan teman-temanmu.
Kamu tidak bisa membuat rencana yang sederhana ka?
rena takut teman-temanmu tidak bisa melakukan rencana
yang membutuhkan skill hebat, lalu akhirnya membuat
misi jadi gagal. Sebaliknya, kamu juga tidak boleh mem?
buat rencana yang terlalu hebat dan membuat temantemanmu kewalahan. Untuk berhasil, kalian semua mem?
butuhkan sinkronisasi. Mengerti?
"Kalau ada satu di antara kalian yang tidak sinkron,
dengan sangat menyesal saya akan menggantinya dengan
anak lain. Mungkin akan sedikit repot, mengingat anakanak yang setara dengan kemampuan kalian tidak terlalu
banyak, tetapi lebih baik begitu daripada menyaksikan
kalian tenggelam bersama-sama. Hal ini tidak me?nge?
cualikan Valeria juga. Tapi saya sudah memberi kalian
waktu untuk saling mengenal selama setahun ini, ter?
utama kamu, Rima. Kamu mengenal baik Valeria, bah?kan
juga Erika, maupun Putri dan Aya. Sangat pen?ting bagi?
mu untuk menggunakan kelebihan mereka se?baik-baik?
Isi-Omen6.indd 62 nya serta meminimalisasi bahaya yang terjadi akibat
kekurangan-kekurangan mereka."
Sungguh keputusan yang tidak kenal ampun. Bahkan
putri satu-satunya pun tidak luput dari peraturan itu.
Memang tidak salah Mr. Guntur punya reputasi sebagai
pengusaha yang dingin dan tidak punya belas kasihan.
Omong-omong, sebenarnya apa ya pekerjaan Mr.
Guntur? Aku baru saja keluar dari rumah Mr. Guntur seraya
di?antar oleh Andrew. "Akan ada yang mengantarmu kembali ke rumah, Miss
Rima." "Pak Mul?" tanyaku. "Kalo begitu, saya akan langsung
ke garasi saja..." "Bukan," senyum Andrew. "Bukan Pak Mul."
"Melainkan gue dong."
Mendengar suara itu, senyumku langsung merekah,
bahkan sebelum aku menoleh. Namun saat aku berbalik
meng?hadap si pemilik suara, buru-buru kusembunyikan
senyum itu, tidak ingin kelihatan seperti cewek yang
sedang tergila-gila (padahal memang aku sedang tergilagila). Berdiri di bawah undakan tangga berlapis marmer
di depan pintu rumah kediaman Guntur, adalah Daniel
Yusman alias pacarku yang superganteng (aku tahu pen?
dapat ini rada subjektif, mengingat Erika selalu bilang
muka Daniel tolol banget, tapi peduli amat). Ya, betul,
hingga saat ini aku masih belum bisa memercayai keber?
untunganku, bahwa dari sekian banyak cewek yang ada,
Daniel malah jatuh cinta padaku. Dia bahkan tidak
segan-segan mengorbankan nyawanya untukku. Bagiku,
dia cowok terbaik dan terhebat di dunia.
Isi-Omen6.indd 63 Setelah Mr. Guntur, tentu saja. Tidak peduli sebaik apa
pun pacar kita, ayah kita tetap yang terbaik, kan?
"Hai, Rima." Daniel menghampiriku dan tanpa malumalu mencium keningku. Wajahku memerah karena ada
Andrew di dekat kami, tapi sepertinya Daniel tidak ke?
beratan. Saat aku melirik pada Andrew, kulihat orang tua
itu manggut-manggut dengan muka senang.
Orang tua yang aneh. Coba beliau benar-benar ke?
luargaku, pasti akan menyenangkan sekali.
"Thank you, Andrew," ucap Daniel dengan kesopanan
yang memesona, yang membuatnya disukai banyak
orang dewasa kendati penampilannya jelas-jelas me?
nunjuk?kan dia anak bandel. "Selanjutnya biar serahkan
pada saya, Andrew bisa kembali ke dalam rumah."
"Baik, Master Daniel. Saya titip Miss Rima. Miss Rima,
saya permisi dulu." Setelah membungkuk hormat pada kami?serta-merta
kami membalas bungkukan itu juga dengan canggung?
Andrew pun menghilang ke dalam rumah dengan cepat.
Ajaib banget, mengingat gerakannya yang lamban.
Rumah ini, beserta seluruh penghuninya, memang sangat
misterius. Mendadak sesuatu tebersit di hatiku.
"Kamu kenal Andrew sudah lama?" tanyaku seraya
me?nyembunyikan rasa cemburu di hatiku. Bukan rahasia
lagi bahwa dulu Daniel menyukai Valeria. Jika Daniel
su?dah mengenal Andrew sebelum ini, berarti Daniel
sering mendatangi Valeria saat dia belum ber?pacaran de?
nganku. Aku tahu, picik sekali cemburu pada masa lalu,
tetapi aku tidak bisa menahannya.
"Nggak," jawab Daniel, seketika memupus rasa cem?
Isi-Omen6.indd 64 buruku. "Gue baru ketemu dia tadi, waktu nungguin lo
di dalem. Tapi ada yang aneh. Katanya dia udah kenal
gue dari kecil. Ada kemungkinan orangtua gue temennya
orangtua Val sih, meski nyokap gue nggak pernah cerita
apa-apa. Nanti gue akan tanyain deh. Nah, omongomong, sekarang lo laper nggak?"
Aku tahu ini konyol, tapi malu rasanya mengakui aku
lapar berat. "Ehm, nggak terlalu..."
"Kalo gitu, nggak apa-apa temenin gue makan?"
"Oke." Diam-diam aku senang sekali saat diajak makan ba?
reng. Ini berarti, tidak peduli aku sudah mengaku tidak
lapar, Daniel tetap akan memesankan makanan untukku.
Seperti katanya beberapa waktu lalu, "Kalo lo kagak bisa
ngabisin, tenang aja, ada gue yang jadi tong sampah
elo." Namun kurasa Daniel juga menyadari kesungkanan?
ku. Setiap kali kami makan bersama, hasilnya selalu
sama: aku menghabiskan makananku, dia memesan satu
porsi tambahan lagi. Meski uang jajannya cukup besar?bukan karena aku
menyelidiki, tapi ini semacam pengetahuan umum di
sekolah?Daniel jarang mengajakku makan di restoran
mewah, melainkan di tempat-tempat makan?restoran,
warung tenda, warteg?yang mendapat review-review
bagus di televisi atau Twitter. Kalau ada restoran mewah
yang mendapat review bagus, barulah Daniel mengajakku
ke sana. Alhasil, kami selalu pulang dengan perut buncit
dan hati bahagia, dan aku jadi lumayan tahu tempattempat makan terbaik di kota kami.
Kali ini Daniel mengajakku makan bakso Solo yang
mangkal di sebuah jalan kecil, bakso yang baru buka se?
Isi-Omen6.indd 65 telah jam dua siang dan langsung diserbu para peng?
gemar fanatiknya. Setelah mengantre hampir se?tengah
jam, rebutan tempat duduk dengan seorang ibu-ibu ge?
muk yang baru datang dan langsung menyelak antrean,
dan meneror tukang bakso yang berusaha me?nyiapkan
mangkuk-mangkuk bakso dengan kecepatan menyaingi
Flash, barulah kami berdua bisa menikmati semangkuk
bakso yang sangat berharga?bukan karena harga?nya,
me?lainkan karena kami sudah berkorban ba?nget untuk
mendapatkannya (Daniel bahkan men?dapat?kan cakaran
dari si ibu-ibu gendut yang tidak terima ditegur karena
sudah menyelak). Bakso itu ternyata memang enak luar biasa?sesuai de?
ngan reputasinya, dan setara dengan pengorbanan yang
telah kami lakukan. Setiap butir bakso memiliki ke?kenyal?an
yang cukup dan mengandung sedikit rasa pedas lada hitam,
dilengkapi dengan gumpalan-gumpalan lemak yang tidak
sehat namun dimasak hingga lembut dan wangi, serta kuah
kaldu yang kental dan kaya rasa. Kalau saja aku berada
dalam cerita komik, pastilah air mataku sudah berlinanglinang bahagia saat menyantap bakso legendaris tersebut
(kemudian berlinang-linang lagi, kali ini dengan sedih, saat
akhirnya mangkuk itu licin tan?das. Untunglah Daniel,
yang memesan dua porsi sekali?gus, bersedia membagi
separuh porsi keduanya de?ngan?ku).
"Nggak heran bakso ini begini enak," ucapku seraya
meng?gigit bakso terakhir. "Aku tau daging apa yang me?
reka gunakan." "Oh ya?" Daniel menanggapi dengan setengah tak sa?
dar saking sibuknya mereguk kuah bakso dengan penuh
hikmah. "Daging apa emangnya?"
Isi-Omen6.indd 66 "Daging tikus."


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Daniel langsung tersedak kuah dan terbatuk-batuk he?
bat. Aku buru-buru menepuk punggungnya dengan pe?
nuh rasa bersalah. "Aku cuma bercanda," ucapku.
Daniel masih terbatuk-batuk dengan kedua ta?ngan
memberikan isyarat tegas yang jelas-jelas menyata?kan,
Jangan bercanda yang seram-seram.
"Maaf," ucapku lagi-lagi dengan penuh rasa bersalah.
"Aku selalu bercanda yang seram-seram kok."
Tampang Daniel tampak pasrah banget. Mungkin aku
adalah salah satu berkat terbaik dalam hidupnya. Tapi
aku cukup yakin, aku juga salah satu kutukan yang tak
menyenangkan dalam hidupnya.
Sepulang dari makan, Daniel mengantarku pulang ke
rumahku, yang dari luar tampak seperti sebuah gudang
terbengkalai yang tidak dipakai lagi. Tentu saja, kesan itu
menyesatkan. Di balik dinding kusam berlumut itu,
terdapat rumah luar biasa yang dirancang Mr. Guntur
bersamaku. Rumah penuh labirin dan penuh jebakan,
dengan lukisan-lukisan mengerikan pada setiap dinding
yang ada (hasil karyaku tentu saja), membuatnya lebih
mirip benteng daripada sekadar rumah biasa. Di sinilah
aku tinggal sejak SMA, dan di sini juga Valeria dan Erika
pernah tinggal. Kini, hanya ada aku seorang diri.
Daniel mengantarku hingga ke depan pintu masuk. Se?
lama beberapa saat kami berdua hanya berdiri cang?gung.
"Seperti biasa, ehm, sebenarnya aku kepingin ngundang
kamu masuk," ucapku salting, "tapi..."
"Seperti biasa, gue ngerti kok," ucap Daniel sambil
membelai pelan rambutku, menimbulkan desir aneh di
Isi-Omen6.indd 67 hatiku. "Memang berbahaya mengundang serigala masuk
ke rumah cewek cantik. Mana si cewek cantik cuma ting?
gal seorang diri, lagi."
Aku tersenyum, lega bahwa hingga kini Daniel tidak
merasa tersinggung karena belum pernah kuundang masuk
ke dalam rumahku. Bukan hanya karena alasan kesopanan
belaka. Aku sudah dipesan oleh Mr. Guntur untuk tidak
mengundang siapa pun masuk, selain teman-temanku:
Valeria, Putri, Aya, dan dulunya juga Erika. Kini setelah
Erika bukan teman kami lagi, semua jalan rahasia itu jadi
lumayan tidak berguna untuk menghadang kedatangannya,
terutama karena cewek itu memiliki daya ingat fotografis.
Seandainya Eliza memaksanya untuk mengajaknya kemari,
aku tak bakalan bisa berbuat apa-apa.
Rasanya sedih memikirkan Erika bukan teman kami
lagi. Oke, aku tidak boleh memikirkan hal itu terusmenerus. Aku tersenyum sekali lagi pada Daniel. "Sampai
besok ya. Pulangnya hati-hati, oke..."
Senyumku lenyap saat melihat dua buah motor
melesat dengan kecepatan tinggi menuju arah kami.
Serta-merta Daniel berdiri di depanku, menghadang ke
arah tamu yang tidak diundang tersebut. Kedua motor
itu tidak menerjang kami, melainkan berbelok tepat di
depan kami dan berhenti dengan mulus.
Pengemudi pertama membuka helmnya, dan mulutku
ternganga saat melihat rambut merah berpotongan bob
muncul dari balik helm itu. Sepasang bola mata yang
berbeda warna menatapku dengan sinar mata geli.
"Gaya gue keren, kan?" tanya Valeria Guntur sambil
menye?ringai. Isi-Omen6.indd 68 "Pastinya begitu." Pengemudi nomor dua yang ber?
tubuh jauh lebih tinggi dan kekar membuka helmnya,
me?nampakkan rambut merah bermodel shaggy. Leslie
Gunawan, pacar Valeria, sekaligus musuh bebuyutan
Daniel. Oke, awkward. Isi-Omen6.indd 69 Valeria Guntur BELUM pernah aku merasa sekeren ini.
Sebenarnya, ini bukan hari pertama aku belajar naik
motor. Aku kan bukan genius. Pelajaran semacam ini
membutuhkan sekitar selusin pelajaran praktik sebelum
akhirnya aku diizinkan mengambil SIM dan mengemudi
sendiri tanpa terlonjak-lonjak, oleng, atau menjerit-jerit
karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Meski
sudah berencana untuk belajar mengendarai mobil atau
motor, awalnya aku hanya membutuhkan semacam ke?
giatan seru yang bisa memacu adrenalin untuk meng?
alihkan perhatianku dari hal-hal yang belakangan ini
mem?buatku sedih, kecewa, dan terus terang saja rada
depresi. Tanpa diduga-duga, Les, pacarku yang entah
kenapa sensitif banget terhadap perasaanku, menawarkan
diri untuk mengajariku mengendarai motor. Aku me?
mang tidak pernah bilang apa-apa, tapi aku sangat ber?
syukur karena memiliki pacar yang sanggup merasakan
luka-luka yang selama ini berusaha kupendam erat-erat.
Padahal aku tidak bercerita sepatah kata pun padanya.
Soalnya, se?bagian adalah rahasia, sementara sisanya ada?
Isi-Omen6.indd 70 lah ke?egoisan diriku yang sangat memalukan untuk di?
ungkit-ungkit. Pastinya kalian bisa menduga, hal-hal yang belakangan
ini membuatku sedih, kecewa, dan depresi adalah
rahasia-rahasia yang baru saja kutemukan. Rahasia-rahasia
yang menyangkut keluargaku, yang dipendam oleh se?
mua orang di rumahku, termasuk ayahku. Rupanya,
masa kecil yang kuingat hanyalah kilasan-kilasan ingatan
di?tambah dengan cerita-cerita yang dikarang-karang un?
tuk membentuk masa kecil yang seharusnya mem?bahagia?
kan. Kenyataannya, dulu orangtuaku tidak terlalu akur.
Yah, kata-kata "tidak terlalu akur" mungkin terlalu halus.
Yang jelas, ketidakakuran itu membuat ibuku ber?
selingkuh pada saat aku masih kecil. Perselingkuhan itu
membuat hubungan mereka semakin dingin. Puncakpuncaknya, ibuku menuduh ayahku masih menyimpan
dendam dan membalasnya dengan berselingkuh dengan
wanita entah siapa, yang pada akhirnya membuat ibuku
kabur dari rumah sambil membawaku. Tentunya aku ti?
dak mau, dan penolakanku di tengah jalan membuat
kami berdua terkena kecelakaan. Bukannya menye?lamat?
kan?ku dari kecelakaan itu, ibuku malah tetap men?
jalankan rencananya dan kabur meninggalkanku di
tengah hutan. Untung saja ayahku berhasil me?ne?mu?kan?
ku. Kalau tidak, mungkin sekarang aku sudah tidak ada
di dunia ini lagi. Dan lantaran semua kejadian itu, semua orang me?
ngira ibuku sudah meninggal dunia.
Satu hal yang kusadari, ibuku bukanlah ibu-ibu nor?
mal. Meski cantik, anggun, dan kurasa sangat pintar,
ibuku juga tidak stabil. Pada saat-saat terbaiknya, beliau
Isi-Omen6.indd 71 akan menjadi seorang wanita yang suka galau, melan?
kolis, egois, dan bersikap bagaikan ratu drama. Namun
jika beliau tidak meminum obat, maka sifat-sifat itu akan
menjadi sangat ekstrem, membuatnya memiliki ke?
cenderungan untuk mencelakai diri sendiri dan orang
lain, bahkan tega merenggut nyawa setiap orang, ter?
masuk dirinya sendiri. Menurut ayahku, penyakit itu di?
namakan bipolar disorder. Dalam kasus ibuku, penyakit
ini membuatnya terus-menerus didera rasa tidak berarti,
tidak berguna, tidak disayangi. Itulah yang menyebabkan
sifat-sifat aneh dalam dirinya, sifat-sifat yang membuat?
nya terkadang merasa sangat menderita dan kesepian
kendati dikelilingi kebahagiaan, dan sifat-sifat yang
membuatnya ingin mencari perhatian dengan tindakantindakan tak terduga di saat beliau sedang agresif.
Kisah ini tidak berhenti sampai di sini. Beberapa
waktu lalu ibuku kembali lagi ke dalam kehidupanku?
hanya saja aku tidak menyadarinya. Dengan cerdik
beliau mengirim semacam e-mail spam yang berisi ceritacerita menarik SMA Harapan Nusantara pada saat aku
masih bersekolah di London, dan tentu saja gosip me?
ngenai sekolah yang terkena kutukan berhasil me?
mancingku kembali ke kota tempat tinggal ayahku. Se?
harusnya aku menganggap hal ini agak aneh, tapi
ber?hubung saat itu aku masih naif, aku cuma mengira
semua ini adalah takdir. Seperti dulu-dulu, aku selalu berusaha menjadi anak
yang low profile dan tidak kasatmata. Aku bahkan selalu
me?ngenakan wig dan lensa kontak untuk menyem?bunyi?
kan warna rambut dan kedua bola mataku yang berbeda
warna. Menurutku, lebih baik menjalani hidup tenang
Isi-Omen6.indd 72 daripada menjadi topik pembicaraan semua orang seperti
ketika aku tampil apa adanya. Waktu kecil, aku anak
yang lemah dan sering ditindas, dan penampilanku
membuatku jadi bulan-bulanan anak-anak yang tidak
menyukai kehebohan penampilan fisikku. Kini, meski
aku sudah belajar ilmu bela diri dan tidak gampang
ditindas lagi, trauma itu tetap membekas, membuatku
merasa lebih tenang hidup tanpa menjadi pusat per?
hatian. Yah, bukannya aku aman dari tindasan?yang
namanya anak-anak kutu buku selalu menjadi keset kaki
anak-anak populer, bukan??tetapi setidaknya mereka
tidak membenciku secara pribadi.
Namun satu kejadian berakibat kejadian lain, tahutahu saja aku sudah berkenalan dengan anak paling
bengal di sekolah, menyelesaikan kasus demi kasus aneh
yang terjadi di sekolah dengan kutukan yang menarik
ini, membuat diriku makin terlihat di sekolah. Puncakpuncaknya, tampang asliku terbuka di depan semua
orang di atas panggung drama beberapa bulan lalu. Sejak
saat itu aku tidak bisa menyembunyikan diri lagi, dan
aku kembali ke titik semula: menjadi pusat perhatian
semua orang. Untungnya, berkat tiga orang teman yang
selalu berada di sisiku, aku tidak ditindas lagi. Tapi aku
tahu, orang-orang menggosipiku seperti dulu ketika aku
masih kecil, mengataiku anak aneh, memiliki kelainan,
mengganggu pemandangan, sok heboh.
Dan percaya tidak? Semua ini didalangi oleh, tidak
lain dan tidak bukan, ibuku yang luar biasa. Dengan
cerdik? beliau menempatkan anak-anak yang diper?cayai?
nya di sekolah kami, anak-anak yang mendalangi kasus
demi kasus aneh, yang memancing perhatian dan
Isi-Omen6.indd 73 ketertarikanku, sehingga aku menjadi lengah dan me?
nampakkan semua hal yang tadinya ingin kusembunyi?
kan. Bayangkan betapa depresinya aku. Begitu banyak
anak dicelakakan dan menderita, begitu banyak luka dan
darah, dan semua itu gara-gara aku! Aku mengira diriku
begitu hebat, sudah membongkar begitu banyak kasus
dan menangkap begitu banyak penjahat, tapi ternyata
para penjahat itu melakukan semua itu gara-gara aku!
Rasanya aku kepingin lenyap saja dari muka bumi
ini. Untungnya, tidak semua rahasia yang kupendam bu?
ruk. Bahkan rahasia-rahasia baik itulah yang membuatku
sanggup bersikap tegar dan tabah serta kembali berdiri
tegak. Seperti bagaimana ayahku dan setiap orang di ru?
mahku?yang tidak hanya setia pada ayahku, melainkan
juga sayang padaku?berusaha melindungi perasaanku
selama ini. Aku tahu, memang lebih baik mengetahui
ke?nyataan yang pahit daripada kebohongan yang manis.
Hanya saja, lebih baik tidak membuat semua ini menjadi
lebih mudah, dan aku cukup lega mengetahui kenyataan
pahit ini setelah lebih dewasa dan tidak serapuh waktu
aku masih kecil. Jadi, aku sangat berterima kasih pada
mereka semua yang sudah menyayangiku, memedulikan
perasaanku, dan melindungi masa kecilku.
Terutama ayahku, tentu saja, yang kukira selama ini
membenciku lantaran menyebabkan "kematian" ibuku.
Tidak kuduga, ayahku sangat menyayangiku. Hanya saja,
karena beliau manusia yang tidak sempurna, rasa ber?
salah membuatnya tidak tahu bagaimana caranya mem?
perlakukanku setelah "kematian" ibuku. Alih-alih men?
dekatkan diri denganku, beliau malah menjauhkan diri.
Isi-Omen6.indd 74 Akibatnya, hubungan kami rusak parah selama ini. Kini,
aku baru mengetahui, tidak peduli sejelek apa pun hu?
bung?an kami, ayahku selalu melindungi dan menjaga?
ku. Hal lain yang tidak kalah membuatku senang adalah,
baru sekarang ini aku mengetahui pekerjaan ayahku yang
luar biasa. Selama ini pekerjaannya selalu menjadi hal
yang misterius bagiku. Aku tahu ayahku menyukai
benda-benda seni dan kemungkinan bergerak di bidang
itu, tapi aku tidak pernah tahu pekerjaannya yang se?
sungguhnya. Penjual barang-barang seni? Yang kutahu
benda-benda seni di rumahku selalu bertambah, tidak
pernah berkurang. Pembeli barang-barang seni? Dari
mana uangnya? Makelar jual-beli benda-benda seni? Ya,
itulah kemungkinan besar yang bisa kupikirkan. Mem?
bosankan, tapi masuk akal. Tidak kuduga, perkiraan itu
ternyata melenceng banget. Baru kini aku menyadari,
betapa bangganya memiliki ayah dengan profesi seperti
itu, betapa bangganya aku akan mewarisi profesi tersebut,
dan betapa bangganya aku menjadi seorang Guntur.
Tapi, semua itu tidak menghapus rasa bersalah dan
kesedihan yang diakibatkan oleh perbuatan ibuku.
Maaf, aku sudah berkoar-koar tidak juntrungan. Mak?
lum?lah, aku tidak punya tempat curhat lain. Bukannya
aku tidak percaya pada Les atau teman-temanku yang
lain. Masalahnya, aku punya masalah dengan kepercaya?
an. Aku tidak gampang memercayai orang. Yah, setelah
semua yang kualami, kurasa aku berhak untuk berhatihati. Bahkan satu-satunya orang yang pernah sangat ku?
percayai pun kini sudah meninggalkanku.
Ya, aku bicara soal Erika Guruh. Dulu, aku bisa ber?
Isi-Omen6.indd 75 cerita apa saja pada cewek itu. Tapi kini dia pun di?
renggut dariku. Oke, aku tahu kata-kataku egois. Aku
selalu egois kalau menyangkut soal Erika. Aku ingin ikut
senang karena dia bisa bersatu lagi dengan keluarganya,
sungguh?tapi aku tidak bisa. Aku sedih karena sangat


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kehilangan dirinya. Aku sedih karena dia bahagia dengan
keluarganya dan sudah melupakan diriku. Aku sedih
karena kini kami bagaikan orang asing setiap kali ketemu
sementara dia berakrab-akrab-ria dengan adik kembarnya.
Aku tahu ocehanku terdengar egois banget, dan aku
malu merasakan semua itu. Inilah alasan lain kenapa aku
tidak curhat kepada siapa pun mengenai semua ini. Pada
Les pun tidak. Sisi kepribadianku yang memalukan dan
menyedihkan ini sebaiknya kusimpan dalam-dalam
saja. "Kok kalian bisa ada di sini?"
Suara Rima menyentakkanku dari lamunanku.
"Tadi kami lagi keliling-keliling kompleks di deket
rumah," ucapku tanpa bisa menyembunyikan rasa bang?
ga, "terus ngelihat elo pulang dari rumah gue bareng
Daniel. Terus iseng-iseng kami nguntit, sampe ikutan
makan bakso segala. Nggak ketauan, kan?"
Dari tampang blo?on yang jarang-jarang ditampakkan
Rima dan sering sekali ditampakkan Daniel, aku tahu
tebakanku benar. Oke, rasanya makin bangga saja.
"Kok bisa nggak ketauan ya?" tanya Daniel terheranheran. "Apa kalian makan baso sambil pake helm?"
"Lo kira kami orang cemen dari mana?" tukas Les geli.
"Ya nggak pake helm lah. Kami makan seperti orangorang normal pada umumnya kok. Kalian aja yang se?
dang dimabuk asmara."
Isi-Omen6.indd 76 "Oh ya, itu benar juga sih," ucap Daniel seraya me?
nyeringai. Terasa keheningan yang canggung dari arah Rima,
membuatku berusaha menahan tawa. Wajar saja Rima
bi?ngung melihat keakraban tak wajar kedua cowok ini.
Aku sendiri juga terheran-heran, soalnya tadinya kan me?
reka tidak pernah akur dan cenderung saling ber?musuh?
an. Kini mendadak mereka berdua saling meledek de?
ngan centilnya, sampai-sampai bicara soal asmara
se?gala. "Kelihatannya kalian akrab," ucapku to the point.
Mendengar ucapanku, kedua cowok itu langsung ter?
sipu-sipu. "Iya nih." Les tertawa malu sambil mengacak-acak ram?
butnya sendiri, gerakan imut yang dilakukannya tanpa
sadar di saat dia sedang salah tingkah. "Kami lagi gencat?
an senjata. Habis, kamu dan Rima sekarang kan deket.
Kalo kami terus-terusan berantem, suasana jadi nggak
enak dong." "Ah, jadi ini gencatan senjata demi kami berdua?" Aku
memasang wajah kaget yang lebay banget. "Romantis
ba?nget!" Les nyengir sambil mencolek poniku yang jatuh me?
nutupi sebelah wajahku. "Kalo buat kamu, apa sih yang
nggak?" Oke, sekarang giliranku yang tersipu lantaran sikap Les
yang kelewat mesra di depan orang lain. Memang sih
dia tidak pernah mengumbar kemesraan yang berlebihan,
me?lainkan lebih suka menggodaku dengan senyum jail
atau sentuhan ringan, tapi caranya memandangku mem?
Isi-Omen6.indd 77 buatku jengah. Rasanya seolah-olah di dunia ini akulah
yang paling penting baginya.
Padahal, aku tahu sebenarnya tidak begitu kok.
"Ehm, ehm." Aku menoleh dan menahan senyum geli melihat
Daniel yang berdeham-deham secara berlebihan. Kelihat?
an jelas dia sedang mencoba menarik perhatian Rima.
"Nggak ada kata-kata ?so sweet? atau ?thank you so
much, darling? atau..."
Daniel sengaja membuat ucapannya menggantung,
wajah?nya ditelengkan di depan Rima dengan raut penuh
harap, sementara yang bersangkutan semakin menunduk
dan menyembunyikan wajahnya.
"Aku..." Rima tergagap sebentar, lalu menundukkan
wajah. "Maaf, aku..."
Seperti biasa, setiap kali cewek itu merasa gugup atau
panik, dia selalu melangkah mundur seolah-olah hendak
menarik diri?atau mungkin memang berniat kabur pada
saat semua orang sedang lengah. Tapi Daniel sama sekali
tidak memberinya kesempatan. Dengan cepat cowok itu
menangkap lengannya, lalu perlahan-lahan menarik
cewek itu sehingga mendekat padanya.
"Iya, gue ngerti kok," sahutnya sambil tertawa. "Lo
nggak usah ngomong apa-apa. Gue tau lo makin cinta
sama gue setelah tau pengorbanan gue yang luar biasa
ini." "Apa sih maksud lo?" tukas Les seraya mengernyit.
"Jadi, gencatan senjata sama gue itu susah banget buat
elo?" "Yah, kita tau sama tau aja deh."
Les menoleh padaku. "Kata-katanya nyakitin hati gue
Isi-Omen6.indd 78 banget. Untung gue tipe orang yang tetap tegar meski
diterpa angin badai."
"Coba lo ngomong gitu lagi setelah diomelin Putri
Badai," celetuk Daniel.
"Haha," ucap Les dengan nada sarkastis, "lucu ba?
nget..." Lalu dia celingak-celinguk dengan agak panik.
"Orangnya belum dateng kan?"
"Belum," sahutku geli. "Nggak mungkin secepat itu."
"Kenapa?" tanya Rima heran. "Putri mau dateng?"
"Ah ya, begini, Rim. Tadi sebenarnya bokap gue udah
mau ngasih tau, tapi menurut beliau, lebih baik gue
yang ngomong sendiri. Mmm," kini giliranku yang me?
rasa gugup, "sori banget, Rim, tapi kamar gue yang dulu
belum diberesin, kan? Soalnya, gue mau balik ke sini."
Ya, betul. Dengan sangat malu aku mengakui bahwa
ke?putusanku untuk pindah dari rumah Rima adalah ke?
putusan yang salah, meski tidak salah total juga sih. Aku
juga mengakui dulu aku sangat bodoh. Aku keluar dari
rumah ayahku dan pindah ke rumah Rima lantaran
meng?inginkan kebebasan dari pengawasan ayahku yang
kuanggap diktator. Setelah itu aku memutuskan untuk
pindah dari rumah Rima karena tidak menyukai kenyata?
an bahwa Rima ditugaskan oleh ayahku untuk meng?
awasiku. Kenyataannya, ayahku keras padaku karena
ingin menjaga dan melindungiku dengan caranya sen?
diri, sementara Rima, apa pun yang ditugaskan ayahku
padanya, berteman denganku karena dia memang ingin
berteman denganku. Karena kebodohanku, aku malah
melukai hati orang-orang yang menyayangiku.
Setelah aku lebih bijaksana, aku memutuskan untuk
tetap kembali ke rumah ayahku kendati aku sudah ber?
Isi-Omen6.indd 79 sahabat kembali dengan Rima, karena aku ingin mem?
perbaiki hubunganku dengan ayahku. Setelah hubungan
kami sudah baik-baik saja, dengan pertimbangan matang,
aku menyadari tinggal terpisah dengan ayahku sangat
baik untuk memupuk kemandirianku. Tambahan lagi,
aku perlu tinggal dekat dengan Rima demi misi-misi
yang akan kami emban. Tinggal bersama juga membuat
kami lebih kompak?atau, sesuai istilah ayahku, lebih
sinkron. Jadi, dengan persetujuan ayahku, aku pun me?
mutuskan untuk pindah kembali ke sini.
Mendengar ucapanku yang pastinya tak terduga oleh?
nya, mata Rima yang lebar langsung membelalak dari balik
tirai rambutnya. "Beneran?" tanyanya dengan nada antu?
sias yang menandakan bahwa dia senang dengan berita itu
(untunglah, soalnya aku takut dia kapok de?ngan sikapku
yang jelek sewaktu aku memutuskan pindah dari sini),
namun lalu dia buru-buru bertanya lagi dengan nada
cemas, "Semuanya baik-baik saja de?ngan Mr. Guntur?"
"Baik banget," ucapku dengan nada menenangkan.
"Hanya saja, supaya lebih mandiri, gue merasa lebih baik
tinggal di sini. Bokap gue juga setuju. Bahkan, beliau
juga menyuruh Putri dan Aya ikutan tinggal di sini.
Masih ada kamar, kan?"
"Tentu saja," sahut Rima dengan ujung bibir yang se?
dikit terangkat menandakan rasa senangnya. Cewek ini
tidak banyak berekspresi, tapi belakangan ini aku mulai
menyadari perubahan suasana hatinya dari reaksi-reaksi
samar-samar yang ditampakkannya. "Masih banyak
kamar kok untuk kalian."
"Kalau untuk kami?" tanya Daniel sambil mengedipngedipkan mata.
Isi-Omen6.indd 80 "Maaf," sahut Rima dengan muka datar. "Semua kamar
udah terisi." "Ternyata," Daniel menggeleng-geleng, "lo jago bo?
hong juga ya, Rim. Mungkin sekali-sekali lo kudu ikut
permainan poker gue."
Aku memandang Daniel dengan takjub. Salah satu hal
yang membuat cowok itu beken banget di sekolah kami
adalah permainan poker untuk kalangan elite yang di?
adakannya. Permainan itu dilakukan secara diam-diam,
tentu saja. Tidak mungkin sekolah akan mengizinkan
murid-muridnya mengadakan permainan seperti itu,
tidak peduli dilakukan di luar lingkungan sekolah
sekalipun. Meski beberapa guru mengetahui adanya
permainan itu, mereka tidak pernah bisa mendapatkan
bukti. Padahal anak-anak lain yang juga ikut terlibat
dalam permainan itu biasanya adalah anak-anak bodoh
yang mungkin tidak bisa memegang rahasia.
Yang membuat permainan poker itu tidak kalah beken
adalah, Daniel terkenal tidak pernah kalah dan selalu
menyombongkan hal itu dalam setiap kesempatan.
Akibat?nya, anak-anak tajir yang bodoh atau arogan selalu
terpancing untuk mengalahkannya. Tentu saja, usaha
mereka selalu berakhir dengan gagal total dan kehilangan
duit dalam jumlah besar. "Aku nggak bohong kok," bantah Rima. "Memang ka?
mar di sini ada lima. Sisanya, ehm, untuk koleksiku."
"Eh, Niel," celetukku ingin tahu. "Lo masih ngejalanin
permainan poker itu?"
"Nggak lagi dong," sahut Daniel dengan muka polos
yang sangat mencurigakan. "Sekarang gue kan udah ber?
tobat." Isi-Omen6.indd 81 Oke, kali ini aku juga tidak tahu apakah jawaban
Daniel jujur atau tidak. Yang jelas, memang belakangan
ini Daniel sudah berubah jauh lebih baik dan kalem
dibanding zaman sebelum dia berpacaran dengan Rima.
Selentingan mengenai permainan poker pun sudah jauh
lebih berkurang, meski bukannya sudah lenyap sama
sekali. "Kalian berdua benar-benar pasangan misterius dengan
jawaban-jawaban yang mencurigakan." Les menggelenggeleng. "Untung gue nggak terlalu kepingin tau soal be?
gitu?an. Berbeda dengan cewek di sebelah gue ini."
Aku melirik cowok itu dengan jengkel. "Jadi maksud?
mu, aku kepo gitu?" "Untuk ukuran cewek pendiam yang manis dan nggak
banyak ulah, lumayan."
Aduh. Kenapa sih dia selalu menyelipkan pujian-pujian
gombal yang membuat semua kejengkelanku akibat di?
goda olehnya jadi lenyap tak bersisa?
Terdengar bunyi mobil dengan suara mesin halus men?
dekati kami. Saat menoleh, aku melihat Benz hitam ayah?
ku yang biasa dikemudikan Pak Mul, sopir keluarga
kami. Dari pintu belakang, Aya muncul sambil melambailambai ceria, sementara muka jutek Putri Badai muncul
dari pintu belakang yang satu lagi.
"Hai!" seru Aya girang. "Mulai sekarang gue dan Putri
ikutan tinggal di sini. Semoga nggak ngerepotin elo ya,
Rim." "Jangan khawatir, Rima," kata Putri dengan muka angker
yang menyeramkan. "Aku akan mengusahakan supaya
semua orang ikut bekerja membersihkan rumah. Jangan
sampai kamu terbebani dengan kedatangan kami."
Isi-Omen6.indd 82 Aku rada kaget bercampur malu, soalnya terakhir kali
kami tinggal di sini, Rima-lah yang mengerjakan segala
pekerjaan rumah tangga. Memang sih, waktu itu kami
membayar padanya lantaran belum tahu siapa pemilik
sebenarnya, sementara kali ini, berhubung aku sudah
tahu rumah ini milik keluargaku juga, aku tidak me?
nawar?kan untuk membayar seperti kali sebelumnya.
Kalau dipikir-pikir, sepertinya aku rada tidak tahu adat.
"Ah, jangan!" seru Rima tidak kalah kaget dibanding?
kan denganku. "Rumah ini tanggung jawabku sepenuh?
nya. Aku lebih suka aku sendiri saja yang mengurus?
nya." "Takut kami malah mengacak-acak ya?" seringai Aya.
"Gue sih setuju banget! Pastinya kami cuma bisa bikin
tambah berantakan, apalagi dengan segala jalan rahasia
itu..." "Jalan rahasia?" sambar Daniel sementara Les langsung
memandangi Aya dengan tampang superkepo yang tidak
sesuai banget dengan pengakuannya tadi. "Jalan rahasia
apa?" Aya langsung gelagapan, sementara aku berubah
salting saat pandangan kedua cowok itu beralih padaku.
Aku menoleh pada Rima untuk mencari pertolongan,
tapi dengan cerdas cewek itu malah memalingkan wajah
dan menyembunyikan wajah di balik tirai rambutnya
(kadang rambut Rima memang bikin iri). Untunglah,
Putri Badai yang ditakuti kami semua?termasuk dua co?
wok kepo yang sedang menuntut jawaban?segera buka
mulut. "Jangan terlalu banyak tanya," katanya tajam. "Apa
pun yang ada di dalam rumah ini bukan urusan kalian.
Isi-Omen6.indd 83 Setiap orang berhak punya rahasia sendiri. Kalian juga
nggak mau kami bertanya-tanya soal rahasia kalian, kan?
Jadi sebaiknya kalian hormati rahasia kami juga."
Nah, sekarang giliranku yang jadi penasaran. Habis,
setelah disemprot oleh Putri Badai, serta-merta kedua


Omen 6 Sang Pengkhianat Karya Lexie Xu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cowok itu jadi terdiam. Apa mereka juga menyimpan
rahasia? Maksudku, tidak mungkin mereka langsung
membungkam seribu bahasa lantaran ketakutan setengah
mati pada Putri Badai, kan?
Atau mungkin saja? Contohlah aku, misalnya. Aku tahu,
aku kedengaran aneh karena selalu menyebut nama
lengkap Putri Badai. Jujur saja, hingga saat ini aku masih
sungkan menyebut namanya tanpa embel-embel nama
keluarganya. Habis, dia seram banget. Rasanya ti?dak ber?
lebihan kalau aku mengaku rada-rada takut padanya.
Kalau dipikir-pikir lagi, wajar juga kedua cowok ini takut
pada Putri Badai. Aku saja takut padanya, padahal bisa
dibilang Putri Badai adalah anak buah ayahku. Apalagi
mereka berdua yang bukan siapa-siapanya ayah?ku.
Barangkali Les malah punya alasan khusus untuk takut
pada Putri Badai. Maklumlah, hingga saat ini, tidak peduli
hubung?anku dengan ayahku sudah membaik, ayahku tetap
tidak menyukai Les. Siapa tahu Putri Badai juga tidak me?
nyukai Les demi kesetiaannya pada ayahku.
Dalam keheningan itu, Pak Mul sang sopir muncul
dari balik bagasi membawakan beberapa koper sekaligus
laksana Hercules. Seolah-olah lega dengan interupsi itu,
Les dan Daniel langsung mengalihkan topik dengan me?
nyambut beban-beban tersebut.
"Biar saya saja yang bawain, Pak," ucap Les dengan
ma?nis. Isi-Omen6.indd 84 "Bagi-bagi saya juga, Pak," Daniel menimbrung.
"Lo jangan ambil jatah gue dong," omel Les pada
Daniel. "Tenang, Master Les, Master Daniel," kata Pak Mul,
jelas-jelas sambil menahan rasa geli. "Masih ada beberapa
koper lagi kok di dalam bagasi."
Sambil tergopoh-gopoh kedua cowok itu ngacir ke be?
la?kang mobil. Bara Maharani 13 Lima Sekawan 18 Memperjuangkan Harta Finniston Pewaris Mustika Api 3
^