Pencarian

Gara Gara Pesta 1

Girl Talk 16 Gara Gara Pesta Bagian 1


YANG DIOBROLIN KALI INI....
RANDY : Hai Katie. Lagi ngapain? Pasti sibuk berat ya nyiapin
pesta pernikahan Ibumu. KATIE : Uuhh iya nih. Setiap kali selesai mengerjakan sesuatu,
Ibuku sudah siap dengan tugas-tugas lainnya.
RANDY : Pasti nggak mudah bagimu untuk menghadapi semua
ini. Maksudku, Ibumu akan menikah untuk kedua kalinya kan.
KATIE : Benar Ran. Rasanya aneh deh. Bayangin serumah
dengan orang-orang asing sebagai satu keluarga. Mana bakalan punya
kakak tiri lagi. RANDY : Nggak usah dipikirin Katie. Aku yakin semuanya
berjalan lancar. KATIE : Mudah-mudahan sih gitu Ran.
BAGIAN SATU "KC!" kudengar seseorang memanggilku saat melangkah
memasuki kantin untuk makan siang di hari Rabu. "KC! Sini!"
Tanpa perlu menoleh, sudah kuduga siapa pemilik suara itu.
Pasti Michel Beauvais. Dia satu-satunya anak yang bicara dengan
aksen aneh di SMP Bradley. Ia adalah cowok keturunan Perancis yang
berasal dari Kanada. Jadi, dalam ruangan yang ramai sekalipun,
gampang kok mengenali suaranya. Selain itu, hanya Michel dan
anggota tim hoki sekolah saja yang memanggilku dengan KC,
kependekan dari Katie Campbell.
Kulihat seorang cowok dengan jaket menyolok berwarna
oranye-hitam dan langsung kuhampiri.
"Qa va? Apa khabar KC?" tanya Michel. Ujung matanya
berkerut saat ia tersenyum menyapaku.
Bola matanya berwarna hitam pekat, persis seperti warna
rambutnya. Cewek-cewek di Bradley banyak yang tergila-gila
padanya. Menurut mereka, Michel sangat keren. Kalau aku sih hanya
menganggapnya sebagai teman setim saja.
"Ca va bien" sahutku membalas senyumannya.
Beberapa kalimat umum dalam bahasa Perancis sudah
kupelajari. Misalnya, untuk membalas sapaannya tadi kuucapkan
?Khabar baik? dalam bahasa Perancis. Menurut Michel, aku termasuk
cepat menguasai apa yang diajarkannya.
"Kau akan hadir nggak dalam pertemuan nanti?" tanyanya. Pak
Budd, pelatih hoki kami, memutuskan untuk mengadakan latihan rutin
sekalipun tak ada pertandingan. Maksudnya agar kondisi kita tetap
oke dan siap menghadapi pertandingan berikut. Bagiku, gagasan Pak
Budd sih boleh juga. Kepalaku kuanggukkan. "Tentu dong," sahutku, "aku harus
banyak latihan supaya tim kita juara lagi tahun depan."
"Kau pasti bisa deh," celetuk Scottie Silver yang tiba-tiba sudah
berada di belakangku. Ia adalah kapten tim hoki sekolah kami dan
harus kuakui, ia keren juga sih. Rambutnya ikal pirang sedang
matanya biru cerah. "Kau akan jadi sayap kiri terbaik di tim kita,"
pujinya. Ditariknya kuncir kudaku dengan manja lalu ia duduk di
samping Michel. Senang sekali mendengar pujian seperti itu dari mulut seorang
kapten tim. Aku memang suka sekali olahraga hoki. Bakat itu
kelihatannya diwariskan dari almarhum Ayah. Sewaktu muda dulu, ia
pemain hoki semi-profesional dan dari dialah kupelajari seluk beluk
hoki. Sebelum ia meninggal, aku sering latihan bersama di lapangan
es. Sebetulnya, Bradley tidak mempunyai tim hoki puteri, sehingga
kucalonkan diriku untuk jadi anggota tim hoki putera tahun lalu dan
ternyata diterima! Awalnya sih, berada dalam tim hoki putera terasa
aneh. Dan nampaknya mereka merasa terganggu dengan hadirnya
seorang cewek di tim. Semua itu terjadi sebelum aku jadi penyelamat
tim dan mencetak sebuah gol bersama Scottie dalam suatu
pertandingan. Sekarang, rasanya mereka tak lagi mempermasalahkan hal itu
deh. Sebab begitu turun ke lapangan, mereka lupa bahwa aku adalah
cewek. "Hari ini kayaknya kamu nggak bisa makan bareng dengan kita
ya KC?" tanya Michel mengusik lamunanku. Scottie mengurungkam
niatnya melahap sepotong roti isi daging yang sudah diangkat hingga
menyentuh mulutnya. "Yah...tau aja deh," ujarnya pura-pura mencibir.
"Jangan gitu dong," protesku seraya mengangkat tangan.
Anggota tim hoki selalu makan siang bersama setiap hari, kecuali aku
tentunya. Mereka memaklumiku yang selalu makan siang bersama
teman-teman. Cuma mereka suka meledek juga. Kutebarkan
pandangan ke sekitar kantin dan mencari Sabrina Wells serta dua
sahabatku yang lain, Allison Clouds dan Randy Zak. Kuharap salah
satu dari mereka datang lebih awal dan memperoleh meja. Soalnya
kantin makin ramai kelihatannya.
Akhirnya kulihat Randy dan A1 di salah satu sisi kantin.
"Sampai nanti ya," kataku pada teman-teman setim sambil
mengayunkan langkah. "Kita ketemu lagi setelah pulang sekolah."
"KC, sampai nanti malam ya. Oke?" tanya Michel. Langkahku
terhenti dan kutatap Michel dengan heran.
"Ada apa sih sebenarnya?" tanyaku tak mengerti.
"Makan malam," sahut Michel, "bersama Ayahku dan Ibumu."
"Oh...iya...ya," jawabku. Nanti malam aku, Ibu serta kakakku
Emily akan pergi makan malam bersama Michel dan Ayahnya, JeanPaul.
"Kalau gitu sampai nanti malam deh," janjiku padanya seraya
melangkah ke kursi teman-temanku. Kucoba untuk mengingat-ingat,
sejak kapan Ibu mulai tertarik dan menjalin hubungan khusus dengan
Jean-Paul. Awalnya, kurasa aneh juga sih menghadapi kenyataan seperti
ini. Sebab, Ayahku sudah tiga tahun lamanya meninggal dunia dan
sekarang Ibu akan kencan dengan pria lain. Terus terang, aku sendiri
sudah mulai terbiasa. Lagipula Pak Beauvais orangnya baik.
"Hallo semua," sapaku begitu tiba di depan meja dan
menyelinap duduk di samping Allison.
"Hai Katie," sapa A1 seraya tersenyum padaku. A1 adalah
gadis Indian asli. Cantik dan tinggi semampai. Rambutnya panjang
dan tebal. Hari ini ia memakai baju terusan dan t-shirt dari rajutan wol
berwarna merah. Sahabatku yang lain, Randy Zak, baru saja selesai mengunyah
apelnya, "Apa khabar KC?" sapanya akrab.
"Baik-baik aja," sahutku sambil mengeluarkan roti isi daging
kalkun dari tas. Menurut orang, tipe cewek seperti aku dan Randy
mustahil bisa jadi sahabat. Kami memang beda jauh dalam
penampilan maupun karakter.
Randy baru saja pindah ke Acorn Falls, Minnesota, awal tahun
ajaran lalu. Mode pakaian dan penampilannya sangat berbeda
denganku, tapi menurutku lumayan asyik untuk dilihat. Rambut
hitamnya yang panjang dipangkas dengan potongan aneh di bagian
depan. Ia selalu memakai pakaian yang lain dari siapa pun. Hari ini,
dikenakannya rok mini terusan berwarna hijau menyala, stoking dan
sepatu tanpa tumit berwarna hitam. Keren juga sih, tapi mode seperti
itu kayaknya nggak cocok untukku. Kupakai celana jins, blus dari
bahan Oxford warna pink yang dibelikan Ibu serta pita berwarna sama
untuk kuncir kudaku. Tiba-tiba, Sabrina Wells berteriak panik, "Hei! Kalian tau
nggak?" Kemudian ia duduk di samping Randy dengan nafas
terengah-engah. Rambut merahnya yang keriting bergoyang-goyang
begitu menghempaskan tubuhnya ke kursi. Meski tingginya kurang
dari 5 kaki, ternyata Sabs memiliki energi yang cukup tinggi lho.
"Kalian pasti nggak percaya deh," serunya lagi.
"Apa sih?" tanya Randy.
"Coba tebak, siapa yang jadi perencana pesta dansa untuk anakanak kelas tujuh?"
"Emangnya siapa?" tanya A1 sambil mengeluarkan sebungkus
kue gandum buatan neneknya dari tas. Ia lalu membagi-bagikan pada
sahabatnya. Sabs menatap kami satu persatu lebih dahulu sebelum
menjawab dengan teriakan, "Winslow!"
"Winslow?" tanyaku agak terkejut dengan mulut penuh kue.
Winslow Barton adalah murid jenius di kelas kami. Aku amat
menghargainya, tapi tak pernah membayangkan Winslow jadi ketua
panitia sebuah pesta dansa. Kelihatannya ia bukan tipe yang suka
hura-hura. Penampilannya serius dan apa pun yang dilakukannya
selalu berdasarkan perhitungan dan pengamatan yang cermat dan
pasti. Suatu hari, aku berpasangan dengan Winslow mengerjakan
tugas sekolah. Kami berdua harus menjadi orangtua asuh dan menjaga
sebutir telur selama seminggu. Winslow membuatku jungkir balik
dengan banyaknya jadwal dan pembagian tugas.
"Yeah...," angguk Sabs meyakinkan. "Ia mencalonkan diri
bersama 8 anak lainnya untuk posisi ketua panitia. Pemilihan dengan
mengambil sebuah nama secara acak seperti di arisan adalah cara yang
adil." Kebetulan sekali Sabs ketua kelas, dan karena itu ia paling
bertanggung jawab atas pembentukan panitia pesta dansa kali ini.
"Lantas, apa dong yang akan dilakukan Winslow untuk pesta
tahun ini?" tanya Randy.
"Nah, ini bagian yang pasti bikin kalian kaget!" ujar Sabs.
Kalimatnya berhenti sesaat untuk membuat kami penasaran dan
bertanya-tanya. "Ia minta data dari surat khabar dan ngumpulin apa
aja yang jadi trend saat ini. Dia bilang, ?Ada kecenderungan mode
tahun 60-an digemari kembali dan jadi penting dalam beberapa bulan
terakhir ini.?" Sabs pandai sekali meniru gaya bicara dan ekspresi Winslow,
sehingga kami dibuatnya terpingkal-pingkal. Air mataku sendiri
sampai menetes. "Jadi, boleh kan aku buat kesimpulan? Kita ambil tema 60-an
untuk pesta dansa nanti?" tanya Randy setelah kami dapat
menghentikan tawa. Sabs cuma menganggukkan kepalanya.
"Gimana, kedengarannya lain dari yang lain nggak? Mudahmudahan Ibuku masih punya asesoris lama di gudang rumah."
"Aku punya rok mini yang keren!" seru Randy senang. "Pasti
cocok buat ?back to sixties'. Kalian mau pakai apa?" tanyanya padaku
dan Al. Sementara aku dan Al hanya bisa bertukar pandang
kebingungan. "Aku belum tau tuh," jawabku seadanya. "Ibuku bukan tipe
perempuan yang suka mode," ujarku geli membayangkan Ibu
mengenakan pakaian ala tahun 60-an seperti blus pendek yang
menonjolkan sebagian perut dan pusar, ataupun rok mini. Dan panjang
roknya selalu di bawah lutut.
A1 mengunyah kuenya sambil berpikir, "Kurasa Ibuku nggak
punya asesoris dan pakaian seperti itu deh."
"Jangan risau, kubantu kalian menemukan pakaian yang
cocok," janji Randy. Saat itu terdengar bel peringatan pertama
berbunyi. Tanda bahwa kami harus segera menyelesaikan makan
siang dan kembali ke kelas. "Cepetan yuk," ajak Randy, "kita nggak
boleh telat kan?" "Hei, kalian jadi nggak belajar di rumahku nanti malam? Buat
persiapan ulangan matematika besok," kata Sabs mengingatkan seraya
beranjak dari kursi. Kugelengkan kepala dan kujawab pertanyaannya, "Aku nggak
bisa Sabs. Nanti malam ada makan malam bersama Jean-Paul dan
Michel." "Kau akan makan malam bersama?" tanya Randy terbelalak.
Aku mengangguk. Maklum, ia kaget mendengar penolakanku. Ibuku
dan Jean-Paul memang sering makan malam dan pergi bersama tanpa
aku dan Michel. "Kayaknya Ibumu udah lama ya pacaran?" lanjut Randy dengan
sungguh-sungguh. "Nampaknya sih gitu," sahutku dengan mengangkat bahu.
"KC, yuk ah," tukas Sabs memotong pembicaraan, "kau harus
bantu beresin loker. Aku nggak berani buka. Setiap dibuka barangbarangku jatuh menimpa kepala."
Aku dan Sabs menempati loker yang sama. Bagianku sih selalu
rapih. Sayangnya kerapihan bukanlah sifat Sabs. Perlu dua orang
untuk buka loker. Satu untuk membuka pintu dan satunya lagi
menahan barang supaya nggak jatuh keluar.
Sebelum sempat melanjutkan percakapan dengan Randy, Sabs
sudah menarik lenganku ke arah loker. Terpaksa kutunggu sampai
besok untuk melanjutkan percakapan dengan Randy. Aku agak heran,
mengapa Randy mengajukan pertanyaan serius macam itu? Aneh
nggak sih, seandainya keluarga Michel makan malam bersama
keluargaku? BAGIAN DUA "Katie, sudah siap?" panggil Ibu dari ruang bawah.
"Semenit lagi Bu," jawabku sambil mencari sepatu hitam di
lemari pakaianku yang biasa kugunakan untuk acara-acara resmi.
"Kita sudah pesan tempat untuk jam tujuh Katie," katanya
mengingatkan. "Bisa-bisa terlambat nih."
"Ketemu Emily di restoran jam berapa sih Bu?" tanyaku sambil
terus mencari sepatu. Emily masih sibuk mengurus pembuatan buku
tahunan di sekolahnya malam ini. Sehingga ia langsung menuju
restoran begitu tugasnya selesai.
"Kakakmu mungkin sudah berada di sana," jawab Ibu.
Suaranya terdengar dekat sekali. Ternyata Ibu naik ke atas dan kini
berdiri di ambang pintu kamar, menungguku selesai berias. "Lekaslah.
Ibu tak mau membuat Jean-Paul kecewa dan menunggu terlalu lama."
Akhirnya kutemukan juga sepatuku. Segera saja kukenakan dan
beberapa detik kusempatkan untuk mematut diri di muka cermin.
Harus kuakui, aku amat menyukai gaun baru ini. Sebuah gaun
berpotongan pinggang rendah berwarna hijau kemukus. Rambutku
ditata dalam gaya kepang ala Perancis dan kusematkan pita warna
serupa di ujungnya. Aku sempat heran juga sih. Kenapa Ibu repotrepot beli baju hanya untuk acara makan malam. Lagipula, mengapa
sih acaranya diadakan pada pertengahan minggu? Biasanya ia
melarang kami keluar malam dengan alasan besok sekolah. Bahkan,
Ibu pun meminjamkan bros mutiara hadiah dari Ayah untuk
disematkan di dadaku. "Kau kelihatan cantik sekali," puji Ibu sambil menghampiriku.
Sekilas kulirik wajahnya.
"Ibu juga," pujiku balik. Ia memang cantik sekali malam ini.
Gaun hitam yang dikenakannya nampak anggun ditambah rambut
pirang yang ditata khusus di salon. Sepatu hak tinggi dan tas kecil
berwarna hitam menambah anggun penampilannya. Aku sendiri sulit
mempercayai pandanganku. Benarkah perempuan cantik ini Ibuku?
"Terima kasih atas pujianmu," sahutnya seraya tersenyum
penuh arti. Kemudian ditariknya lenganku dan mengajakku segera
meninggalkan kamar, "Sekarang, ayo kita berangkat."
Tapi, kelihatannya Ibu sedang memikirkan sesuatu. Entahlah.
Soalnya sejak berkenalan dan menjalin hubungan dengan Jean-Paul, ia
nggak pernah tegang seperti malam ini.
"Kau menyukai Jean-Paul?" tanyanya begitu duduk di mobil.
Aduh, mobil belum jalan sudah diajak bicara serius. Ada apa sih
sebenarnya? "Bu, Ibu kan tau sendiri, aku suka," jawabku.
"Ibu hanya ingin memastikan bahwa kau benar-benar suka
padanya," lanjutnya. "Menurut Ibu, Jean-Paul pria yang sangat
menarik dan baik. Mudah-mudahan kau berpendapat begitu."
Kutolehkan kepala dan kuperhatikan Ibu dengan seksama.
Menarik dan baik? Aku memang menyukai Jean-Paul, tapi belum
cukup mengenalnya dan mengomentarinya. Bagiku, Ayahlah orang
paling menarik dan baik di dunia. "Dia pria yang menyenangkan,"
komentarku polos.

Girl Talk 16 Gara Gara Pesta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh ya Bu, ada satu hal yang ingin kutanyakan," tukasku
mengalihkan topik pembicaraan. Percakapan seputar Jean-Paul
membuatku tegang, entah kenapa.
"Ada apa sayang?" tanyanya dengan suara aneh. Ia mungkin
merasa kecewa melihatku mengalihkan pembicaraan.
"Begini Bu, di sekolah akan diadakan pesta ?back to sixties,"
ujarku. "Ibu punya nggak mode tahun 60-an? Dan, apa bisa
kutemukan di gudang?"
Ibu mengibaskan tangannya ke udara dan menjawab, "Ngapain
kamu repot-repot ke gudang segala? Kotor dan berdebu lagi. Percuma
aja. Kau takkan menemukan apa-apa di gudang yang berantakan itu.
Kau tahu barang-barang mendiang Ayahmu menggunung."
Tiba-tiba Ibu menatapku penuh curiga, "Tapi...apa benar kau
memerlukan pakaian macam itu?" tanyanya ragu.
"Jelas dong Bu," jawabku, "setiap anak harus datang dengan
mode tahun 60-an." Ibu tertawa dan berseru. "Mode 60-an. Aduh, jadi merasa tua
deh mendengarnya. Kau tahu nak, waktu usia Ibu lebih tua sedikit dari
Emily memang mengenakan pakaian macam itu. Dan sekarang kau
menyebutnya mode 60-an. "
"Ah. Ibu belum tua banget kok," protesku, "60 kan
melambangkan tahunnya."
Ibu mengeluh pendek, "Ah, itu membuktikan bahwa Ibu
memang sudah tua!" Itu bukan yang kumaksud, meski tahun 60 sudah lama berlalu.
"Maaf Bu," gumamku merasa tak enak.
"Nggak apa-apa kok," sahutnya santai. "Sebetulnya Ibu nggak
terlalu tua sih. Terutama malam ini."
Ingin sekali menanyakan arti ucapannya tadi, namun sebelum
sempat menjawab ia sudah memutar radio dan ikut bernyanyi
mengikuti irama lagu sampai akhirnya tiba di halaman parkir Chez
Pierre. Salah satu restoran dan mungkin termahal di Acorn Falls. Aku
sendiri belum pernah makan di restoran itu soalnya Ibu tak mampu sih
mengajak kami ke situ. Tapi, Jean-Paul kayaknya cukup mampu tuh.
Michel sendiri termasuk beruntung karena nggak perlu pusing-pusing
lagi memikirkan soal keuangan. Tapi lama-lama rasanya nggak juga
tuh. Sekalipun mampu, ayah Michel jarang tinggal di rumah. Ia sering
melakukan perjalanan bisnis ke luar kota bahkan luar negeri. Ketika
Jean-Paul nggak sempat nonton pertandingan hoki yang merupakan
peristiwa penting bagi Michel, Ibuku menyempatkan diri datang dan
menyaksikan langsung permainanku.
"Agaknya Emily belum datang ya," kata Ibu harap-harap cemas
saat pelayan mengantarkan ke meja yang sudah dipesan, Michel dan
Ayahnya sudah lebih dulu tiba.
"Eileen!" sapa Jean-Paul ceria. Ia berdiri dan langsung
menyambut kami. Ibu dipeluknya dan dikecupnya sebelum
mempersilakan kami duduk. "Kau kelihatan luar biasa...
merveilleuse." Ibu tersipu-sipu dan menjawab perlahan, "Terima kasih."
"Katie, comment Ca va?" sapanya padaku, "Apa khabar?"
"Bien," sapaku balik sambil mengecup pipi Jean- Paul,
"Etvous?" "Tr?es Bien," balasnya seraya tersenyum pada Ibu.
"KC kau cantik sekali," puji Michel saat kami duduk
mengelilingi meja. "Merci,"jawabku. "Kau juga."
Michel mengenakan jas biru tua dan dasi. Aku belum pernah
melihat Michel mengenakan jas sebelumnya, bahkan dalam penobatan
pemenang pertandingan hoki yang resmi pun ia tak pernah
mengenakannya. "Di mana ya Emily?" gumam Ibu gelisah setelah Jean-Paul
memesan sebotol sampanye dan meminta 5 gelas. Aku belum pernah
minum sampanye hingga detik ini, tapi menurut Jean-Paul dalam
kesempatan seperti ini harus meminumnya. Kesempatan apa sih? Kan
cuma makan malam saja? "Sebentar lagi Emily pasti datang deh Bu," ujarku
menenangkan. Kenapa sih Ibu jadi gelisah begini? Emily selalu
menepati janjinya dan Ibu tahu pasti akan hal itu. Lagipula, nggak
biasanya Ibu resah. "Ibu tahu Emily pasti datang," katanya seraya menarik nafas
panjang. "Hanya nggak sabar aja."
"Oui," Jean-Paul menggangguk setuju. "Moi aussi. Aku juga
nggak sabar." Kulirik Michel dan kutangkap sinar keheranan yang
sama dari sorot matanya. Seperti halnya aku, ia pun tak tahu apa yang
tengah terjadi saat ini. Akhirnya, ia angkat tangannya ke udara dan
berseru, "Aaaii. Aku kalah deh. Sebenarnya ada apa sih malam ini?"
tanyanya bingung pada Ayahnya. "Sikap Ayah seminggu belakangan
ini aneh sekali." "Sebaiknya kita tunggu saja Emily," sela Ibu.
"Menunggu untuk apa?" desakku. Ibu lalu menepuk lenganku
untuk bersabar sedikit. Kurasakan suatu gejolak aneh di perutku. Yang
jelas bukan karena lapar, tapi penasaran.
Setelah lima menit berlalu dengan lambat dan meresahkan,
akhirnya Emily datang juga. Ia hadir cantik sekali dengan gaun merah
muda dari bahan linen. Sayangnya, karena sudah dipakai seharian,
gaun itu mulai kusut dan terpercik noda di sana sini. Kakakku
memang lahir sebagai gadis yang sempurna. Tak berani aku bersaing
dengannya. Menurut sahabatku kelihatannya sih kembar. Kami samasama berambut pirang dan bermata biru. Namun, aku sama sekali
nggak merasa mirip kakakku.
"Emily, dari mana aja sih?" desak Ibu begitu kakakku duduk.
"Bu," sahut Emily, "aku kan sudah bilang mungkin datang
terlambat, karena harus ngerjain buku tahunan."
"Tapi, Ibu kan sudah bilang datang tepat jam tujuh," desak Ibu.
"Ini sudah lewat 10 menit."
"Eileen...," Jean-Paul mencoba melerai, "sudahlah. Nggak apaapa kok. Yang penting Emily sudah datang kan."
"Mon Dieu!" seru Michel, "Nah, apakah sekarang akan
diceritakan rahasia besar itu? Ada apa sih sebenarnya?"
Emily menatapku dengan bingung. "Rahasia apa?" tanyanya tak
mengerti. Aku hanya mengangkat bahu dengan perasaan tak menentu.
Aku nggak suka rahasia-rahasia. Dan juga duduk diam tanpa tahu apaapa sementara orang lain menyimpan sesuatu.
Jean-Paul tersenyum lebar pada Ibu. "Boleh kutuang
sampanyenya," pintanya sambil mengambil botol. Sementara ia
menuangkan sampanye ke gelas masing-masing, kami semua diam
membisu. Kutahan nafas sampai ia selesai menuang dan mengangkat
gelasnya agak tinggi. "Mari kita toast untuk Eileen," katanya romantis
sambil menatap Ibu. Sementara aku duduk dengan resah di kursiku.
Sebetulnya untuk apa sih kita dikumpulkan malam ini kalau mereka
cuma mau romantis? Dan perutku...rasanya makin aneh nggak karuan.
"...yang telah bersedia menjadi istriku," lanjut Jean-Paul sambil
menoleh pada kami dengan senyum bahagia.
"Mon Dieu!" seru Michel lagi. "Bagus sekali! Aku ikut senang
mendengarnya," lanjutnya. Bagiku tak percaya mendengar komentar
Michel itu. Aku terkejut dibuatnya. Seolah-olah, seseorang telah
menarik kursi yang kududuki sehingga tubuhku jatuh tersungkur ke
lantai. Yang benar aja! Ibuku akan menikah lagi? Nggak mungkin!
Pasti mimpi! Ini bukan sungguhan.
"KC kau akan jadi saudaraku," ujar Michel ceria. "Asyik ya?"
Kutatap wajahnya dengan perasaan hampa. Seumur hidup, aku
belum pernah punya saudara lelaki. Dan masih belum yakin, apakah
aku menginginkannya atau tidak.
"Dan Eileen," lanjut Michel. "Anda akan jadi Ibuku yang baru.
Senang sekali punya Ibu lagi. Kalian semua tau kan, aku belum
pernah merasakan kasih sayang Ibu."
Ibumu? Beliau adalah Ibuku dan aku nggak mau berbagi kasih
sayang dengan Michel! Keberatan!
Kulirik Jean-Paul. Kuharap ia tak bercita-cita jadi Ayah baruku.
Aku pernah punya seorang Ayah, yang amat kucintai dan sering
kurindukan hingga detik ini. Nggak rela orang lain menggantikan
kedudukannya. "Nah, Katie, Emily?" ujar Ibu seraya menatap kami dengan
wajah berbunga-bunga. Untuk pertama kalinya, kulihat wajah Emily
begitu dingin dan tegang seperti es balok.
"Mh...aku juga senang Bu," ujarnya datar. "Senang sekali.
Selamat ya, Jean-Paul," lalu Emily mengambil buku menu dan
membacanya. Ibu nampaknya kecewa. "Bagaimana denganmu, Katie?"
tanyanya sedikit ragu. Kurasa, Ibu tak mengharapkan tanggapan
semacam itu. Tapi gimana lagi? Apa sih yang diharapkan Ibu? Ayah
baru tiga tahun lalu meninggal dan kami belum kenal betul Jean-Paul.
"Selamat Bu," kataku perlahan sambil memaksa tersenyum.
Tak ingin kusakiti hatinya, dan aku pun tak mampu mengucapkan
kata-kata lain. Sebab kalaupun bicara, akhirnya toh akan menangis
juga. Bagiku, sama sekali tak merasa merayakan sesuatu malam ini.
Rasanya ingin menjerit sekeras-kerasnya. Tega sekali Ibu
melakukannya pada kami.Teenlitlawas.blogspot.com
BAGIAN TIGA Hari-hari selanjutnya, dunia seolah berhenti berputar dan runtuh
menimpa tubuhku. Tak ingin lagi membicarakan perkawinan Ibuku.
Besok paginya di sekolah, kuceritakan pada sahabatku tentang apa
yang terjadi antara Ibu dengan Jean-Paul. Tapi, kuusahakan
menghindari setiap percakapan yang menyinggung-nyinggungtentang
hal itu. Tak tahulah. Barangkali aku terlalu berharap pernikahan itu
akan batal jika tak membicarakannya. Namun, hal itu tak mungkin
kan? Jumat malam, aku masih diliputi kebingungan ketika aku,
Randy dan Allison singgah ke rumah Sabs dan menginap di sana.
Demi sahabat, kupaksakan untuk menutupi kesedihanku. Mereka
sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan pernikahan ini.
"Lihat celana ini," seru Sabs mengangkat tinggi-tinggi sebuah
celana berwarna merah-putih-biru dengan potongan pinggang rendah.
Kalau dikenakan perut kita pasti akan kelihatan.
"Wow bagus sekali!" puji Randy, "Coba deh Sabs." Kami
berkumpul di atas, di kamar tidur Sabs, dan sibuk mengaduk-aduk isi
lima kardus pakaian bekas milik Ibunya yang ditemukan Sabs di
gudang bawah tanah. Kelihatannya Bu Wells menyimpan rapih semua
pakaian yang pernah dimilikinya sewaktu remaja dulu.
Sabs segera mengenakan celana itu, "Yah... nggak muat?"
rengeknya sambil berusaha menarik ke atas. "Nggak bisa naik lagi
nih. Pinggulku kayaknya kebesaran deh."
"Coba kulihat," ujar Randy. Sabs kemudian berputar-putar.
Celana itu kelihatannya memang agak ketat, sementara bagian
bawahnya melebar. Sekarang aku mengerti, mengapa celana ini dinamakan bell
bottom. Lihat saja bawahnya, bentuknya melebar seperti lonceng
gereja. Bell berarti lonceng dan bottom bagian bawah. Tepat kan?
"Seharusnya emang begini kan," tukas Randy, "garis pinggangnya
harus jatuh di pinggulmu Sabs."
"Ah masa sih!" seru Sabs, "Udah betul kan? Kelihatannya aneh
deh. Tapi, aku aneh nggak sih?"
Allison melirikku dan mulai cekikikan. Walaupun perasaanku
sedang tak karuan, akhirnya tertawa juga.
"Ada yang lucu?" tanya Sabs sambil melangkah ke cermin
besar di kamarnya untuk mematut diri. Ia ternganga melihat bayangan
dirinya. "Astaga! Masa sih, Ibu mengenakan pakaian macam ini dulu?"
pekik Sabs sambil terbahak-bahak. "Aneh sekali ya kelihatannya!"
Sabs lantas bersiap-siap membuka celananya, tapi Randy
mencegahnya. "Jangan! Kau harus mengenakannya Sabs. Kayaknya
cocok banget deh buat pesta kita."
Sabs tersenyum dan memandang ke cermin lagi.
"Atasannya pakai model apa?" pancing Allison sambil
menengadahkan kepala dari kardus yang sedang di acak-acaknya.
Sesaat kemudian, kukeluarkan sepotong blus berkerah tinggi
tanpa lengan. "Gimana kalau ini aja?" kataku menawarkan.
"Wah nggak serasi tuh," tukas Sabs. Diambilnya blus itu dan
dipadunya dengan celana bergaris merah-biru-putih yang sedang
dikenakannya. "Lalu?" Randy kembali tertawa. "Kurasa sih cocok aja. Soalnya
tahun 60-an orang-orang sering mengenakan pakaian yang aneh-aneh
warnanya dan agak nyentrik."
Sabs kemudian mengenakan blusnya dan kembali menghadap
cermin. "Nyentrik kan."
"Dan ini ada beberapa pasang sepatu," sergah A1 sambil
mengeluarkan sepatu sandal warna hitam. "Kurasa pasti cocok deh
untukmu." "Ya ampun!" seru Sabs menatap sepatu sandal itu dengan
terheran-heran, "Kalian serius agar aku memakai pakaian seperti ini?"
Lalu dikenakannya sepatu sandal itu sambil membungkuk untuk
mengencangkan ikatannya. "Aku jadi nggak percaya nih, masa tinggi badanku tambah 2
inci! Bisa-bisa harus mengenakan sepatu macam ini seumur hidup."
Kami pun tertawa mendengar ocehannya. Ukuran tubuh Sabs
tergolong mungil dibandingkan kami bertiga.
"Sabs, kau pasti tampil paling siip di pesta nanti", komentar
Randy setelah kami berhenti tertawa. "Hei, kau nggak keberatan kan
kalau aku pinjam ini?" Diangkatnya sebuah ikat pinggang perak yang
terbuat dari jalinan rantai-rantai logam.
"Silakan," ujarnya dengan menganggukkan kepala. "Kau akan
kenakan bersama rok mini?"
Randy menggelengkan kepalanya. "Aku udah punya baju yang
lebih kerenan," ungkapnya bersemangat. "Celana terusan milik Ibu,
kalau nggak salah namanya catsuit. Ikat pinggang ini cocok banget
kan." "Kalian sendiri mau pakai apa?" tanya Sabs beralih padaku dan
Al. "Sudah menemukan sesuatu yang bisa dipakai dari kardus-kardus
ini?" Koleksi pakaian Bu Wells memang bagus-bagus, tapi kupikir
akan lebih bahagia jika kukenakan pakaian usang Ibuku sendiri ke
pesta nanti. Mudah-mudahan saja ia masih menyimpan pakaiannya
tahun 60-an. "Kuusahakan cari di gudang," kataku seperti berjanji pada diri
sendiri. Begitu ada kesempatan, aku segera ke gudang dan
mencarinya. "Kalau sudah ketemu pasti kuberi tahu. Oke?! Paling
nggak sudah tahu di mana mencarinya."
"Kau sendiri Al?" tanya Randy tanpa menolehkan kepalanya
dari dalam kardus. "Wah...bagus sekali nih!" Randy hanya nyengir
sambil mengeluarkan gaun lengan panjang berwarna kuning keemasan
dari beludru. "Ini baru hebat! Kau mesti memakainya Al!" Dari
ekspresi wajahnya, Al agaknya ragu dengan komentar Randy tadi.
Sebab, rok itu terlalu pendek dan warnanya pun menyolok. Ia sendiri
tipe cewek pemalu. "Lebih baik nggak deh," kilahnya. "Nggak cocok."
"Coba dulu dong," desak Randy sambil menyerahkan gaun itu.
"Tapi...." "Al, kau harus mencobanya baru komentar," tukas Sabs
bersemangat. "Pasti bagus. Percaya deh."
Lima menit kemudian penampilan Al persis penari go-go tahun
60-an. Harus kuakui, gaun itu pas sekali untuknya. Lagipula tubuhnya
yang tinggi semampai mendukung penampilannya. Randy


Girl Talk 16 Gara Gara Pesta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menemukan sebuah topi beludru warna merah untuk Al. Tapi yang
paling menonjol dari pakaian Al adalah sepatu but warna putih
mengkilat dari kulit buatan. Sabs-lah yang menemukannya.
"Okem banget nggak?" komentar Al saat Randy dan Sabs
menariknya ke cermin. "Tapi kau kelihatannya cukup feminin Al," puji Sabs sambil
mengganti pakaian ala 60-annya dengan piyama polkadot merah
muda. Sambil menatap pantulan dirinya di cermin, A1 bergumam,
"Mh...kupikir dulu Sabs. Rasanya masih belum yakin deh. Lagian,
pestanya masih lama kan?" Ia tersenyum lebar ke arah Sabs.
"Asal kau ingat, pakaian ini benar-benar nyentrik dan menarik
di tubuhmu," komentar Sabs penuh kepuasan.
A1 tertawa geli mendengar gaya bicara Sabs, kemudian ia ganti
pakaiannya. "Cukup, cukup," pinta Randy setelah semuanya mengenakan
pakaian tidur. "Sekarang saatnya nonton video!"
"Oh...," seru Sabs, "aku lupa kalian sudah pinjam kaset video
ya. Jangan-jangan horor lagi nih."
Randy cuma nyengir. Horor lagi horor lagi. Ia memang maniak
film-film horor. Semua film horor yang pernah dibuat di dunia ini
mungkin pernah ditontonnya.
"Kali ini apa Ran?" tanyaku menghela nafas.
"Klasik," sahutnya. Dikeluarkannya kaset video dari tasnya,
"kalian pasti suka deh."
"Kalau gitu kita dalam kesulitan dong," seru Sabs balik.
"Sebaiknya kubawa bantal untuk kupeluk jika ada adegan seram."
Sabs memang penakut. Apalagi kalau nonton film horor. Aneh ya.
Padahal semua adegan cuma buatan bukan sungguhan. Jadi untuk apa
ditakuti? Toh semua itu cuma film, bukannya kenyataan.
"Apa judulnya?" tanyaku lagi.
"Tadinya sih mau pinjam Pesta Pembunuhan II," jawab Randy,
"tapi kalian kan nggak begitu suka sama Pesta Pembunuhan I?"
Kami serempak menggelengkan kepala masing-masing.
"Habis norak banget sih," sela Sabs sambil mengerutkan kening
dan mencibir. "Untung kau nggak pinjam lanjutannya," timpal Al.
"Jadi kupinjam aja The Blob," lanjut Randy.
"Film itu asli nggak?" usik Al penuh semangat. Harus kuakui,
aku tak tahu kalau film itu punya dua versi, asli dan palsu. Kalau Al
sih jangan ditanya deh pasti tahu banyak. Julukannya saja
perpustakaan berjalan. Mungkin apa yang ada di bumi ini terekam
dengan baik di otaknya. Ia memang jenius dan kutu buku.
"Bukan," tegas Randy, "gitu aja takut, kau pasti suka deh Sabs."
"Bener nih?" wajah Sabs berubah menjadi cerah. Ia pun
beranjak membuka pintu dan menuruni anak tangga. "Yuk kita turun
ke ruang tengah sebelum teve-nya dipakai Sam dan teman-temannya
buat main nintendo."
Sam adalah kakak kembar Sabs. Usianya hanya 4 menit lebih
tua dari Sabs. Ia dan sahabatnya, Nick Robbins dan Jason McKee,
sangat senang main nintendo. Untungnya mereka belum muncul, jadi
langsung saja pasang videonya. Tapi, kami pergi dulu ke dapur dan
Sabs menyiapkan pop corn di oven microwave.
"Katie, aku masih nggak percaya. Masa sih Ibumu mau nikah
lagi?" ujar Sabs saat menyalakan microwave. "Kau pasti gembira dan
semangat dong. Maksudku, Pak Beauvais kan konglomerat? Jadi
Ibumu nggak perlu lagi capek-capek kan."
"Ibu suka kok dengan pekerjaannya," ujarku perlahan. Tiba-tiba
saja masalah pernikahan itu kembali mengusik pikiranku.
Seharusnya aku tahu, lambat namun pasti teman-temanku pasti
akan menggunjingkannya juga. Entahlah, Sabs mengiraku
bersemangat menghadapi pernikahan ini. Soalnya, memang tak pernah
menghadiri pesta pernikahan sih sebelumnya. Pernikahan orang lain
saja belum pernah kulihat, eh tahu-tahu sekarang malah Ibuku sendiri.
Lebih baik tutup mulut deh. Sabs memang sahabatku, tapi ia takkan
mengerti mengapa aku tak merasa bahagia. Apalagi Sabs begitu
semangat mendengar berita pernikahan Ibu.
"Kau tau, pesta pernikahan sudah lama kutunggu-tunggu,"
lanjut Sabs setengah melamun. "Pakaian apa yang kau kenakan
sebagai pengiring pengantin nanti? Kau tau, di mana pestanya akan
dilangsungkan? Kita diundang nggak?"
"Tentu dong," tukasku. Sebenarnya aku belum tanyakan pada
Ibu. Tapi sahabatku harus diundang. Tanpa mereka, kurasa takkan
sanggup menghadapi jalannya pernikahan Ibu.
"Jadi, pakaian apa yang kau kenakan nanti?" ulang Sabs.
"Siapa yang jadi pengiringnya? Itu lho yang bawa pengantin ke
altar," jelas Al. Kelihatannya pesta pernikahan Ibu harus dibicarakan
deh. Tak dapat kubelokkan atau mengelak dari cecaran pertanyaan
sahabatku. Kutarik nafas panjang sebelum menjawab, "Maksudmu
wali Ibuku," kuralat pertanyaan Al, "Tanteku, Elizabeth, yang akan
mengiringinya ke altar. Tante Elizabeth adalah kakak Ibuku dan ia
sudah berumah tangga. Aku dan Emily akan jadi pengiring pengantin.
Tapi sampai sekarang belum tahu pakaian warna apa yang akan
dikenakan. Lagian Ibu sendiri belum memilihnya. Mereka akan
menikah di gereja Congregational dan pestanya di Acorn Falls
Country Club." Kupaksa menuturkan semuanya dengan gembira, tapi
suaraku tetap saja terdengar hambar. Untunglah, sahabatku nggak
terlalu memperhatikan kalimatku yang panjang lebar seperti penjual
obat jalanan. "Tempat yang bagus untuk pesta!" seru Sabs, "Terus terang,
aku belum pernah ke sana, tapi kudengar kamar kecilnya ada sofa
segala. Luar biasa Katie, kau pasti udah nggak sabaran lagi dong?
Pasti hebat dan seru deh. Aku jadi ikutan nggak sabaran nih, padahal
yang akan menikah kan Ibumu bukan Ibuku."
"Iya," jawabku cuek tanpa ekspresi.
"Michel bakalan jadi saudaramu dong," lanjut Sabs enerjik.
"Asyik deh. Aku mau juga tuh punya saudara kayak dia. Keren, imutimut dan baik lagi. Pokoknya komplit deh."
Microwave berdering tanda pop corn sudah siap. Lega rasanya.
Untunglah, aku nggak perlu melanjutkan percakapan ini. Sambil
melompat turun dari kursi meja makan, segera kupenuhi mangkuk
dengan pop corn. "Cepat dikit dong, aku udah gatel nih mau nonton The Blob,"
pintaku. Ketika kami kumpul di sofa ruang tengah, kusadari aku lupa
mengambil tissu dan minuman. Maka segera kuambil di dapur.
"Kutemani," Randy menawarkan diri, mengikutiku ke dapur.
Aku tak mengeluarkan sepatah pun saat mengeluarkan soda dari
kulkas dan mencari nampan di lemari.
"Kayaknya kau nggak gitu gembira dengan pernikahan ini.
Ngaku deh?" tanya Randy sambil menata empat buah gelas ke atas
nampan. Kurasakan air mata mulai membasahi mataku. Segera
kubuka kulkas, pura-pura mencari es batu untuk menyembunyikan
wajah. "Kau ngomong apa sih Ran?" tanyaku berlagak pilon.
Randy menatapku dan melanjutkan, "Aku sedih jika Ibuku
menikah lagi dengan pria lain. Terutama setelah bercerai dari Ayahku
tahun lalu. Dan kau sendiri agaknya kurang suka dengan rencana
pernikahan Ibumu. Iya kan?"
Tiba-tiba saja aku ingin mencurahkan segala isi hatiku pada
seseorang. Tapi kalau mulai bicara, pasti air mataku tumpah ruah.
Nggak lucu kan. Sudah dua hari kupendam perasaanku. Emily tak
mau menyinggung masalah ini sedikit pun. Sebaliknya, ia malah
jarang di rumah. Pulang untuk makan dan tidur tanpa menyapa siapa
pun. Dapat kumengerti, ia pasti terluka tapi sikapnya itu justru
membuatku makin terluka. Soalnya, Emily tak pernah lagi ngobrol
padaku. Kenapa sih? Aku kan juga sedih. Kenapa tidak saling berbagi
rasa? Sambil mengerjapkan mata dan mengusir air mata, kutolehkan
kepala ke Randy. "Baru tiga tahun Ayahku meninggal," sahutku
seraya memasukkan es batu ke gelas. "Kok bisa-bisanya ya Ibu mau
menikah lagi." Randy mengangkat bahunya dan menatapku penuh simpati.
"Dengan Jean-Paul lagi!" geramku.
"Eh, sebentar," sela Randy bingung, "kukira kau suka pria itu."
"Emang sih, tapi...maksudku...," aku bingung sendiri. "Tapi aku
nggak ngira dia melamar Ibuku dan jadi pengganti Ayah. Dan
herannya, kok Ibu mau-mau aja sih menikah dengannya."
Apa ucapanku tadi bisa dimengerti? Entahlah. Yang penting,
itulah isi hatiku. Dan lega rasanya melihat Randy menganggukkan
kepalanya. Artinya, dia bisa memahami perasaanku dan apa yang
kuutarakan tadi. "Lagipula, Ibu nggak menanyakan pendapatku dulu
ataupun Emily," lanjutku sengit.
Randy tertawa mendengarnya, "Kau pikir dia akan buat
pengumuman seperti ini: ?Anak-anak, Ibu akan menikah dengan JeanPaul. Apa yang harus Ibu lakukan? Apakah harus menjawab ya atau
pura-pura menolak, atau menolaknya sama sekali? Atau, harus
menunggu pria lain yang lebih sempurna lagi??" Randy meniru suara
Ibu dengan konyol. Tak pernah kubayangkan Ibu akan mengucapkan kalimat
seperti itu dengan gaya secentil Randy. Senyumku agak mengembang
melihat ulah Randy. "Nah gitu dong...," ejek Randy melihatku tersenyum, "dunia
belum kiamat kan KC. Buktinya, kau masih bisa tersenyum."
Kurasa Randy benar. "Menurutku, dia amat berbeda dengan
Ayahku," sahutku. "Bagaimana mungkin Ibu mau menikah dengan
pria yang jauh berbeda dengan Ayah?"
"Mungkin justru karena perbedaan itu," ujar Randy setelah
diam beberapa saat. "Memang, mungkin lebih baik Ibumu dapat
suami baru yang tidak mirip Ayahmu. Kau sendiri nggak mau kan
kalau Jean-Paul meniru-niru Ayahmu?"
Segera kugelengkan kepala kuat-kuat, "Iya dong!" kutopang
daguku di atas meja. "Kurasa kau benar Ran," kataku mengakuinya,
"aku cuma ingin melihat Ibu bahagia. Tapi semuanya serba
mendadak. Begitu cepat dan singkat. Rasanya mereka baru saja
kenalan kok tahu-tahu mau menikah."
"Wah, kedengarannya sih kau terkejut dengan pengumuman
ini," ujar Randy. "Mungkin aja semuanya terjadi begitu cepat
sehingga kau kaget dan belum sempat memikirkannya."
Yah, mungkin saja. Aku merasa berterima kasih pada Randy
yang bisa memahami perasaan dan pikiranku. Kalu dipikir-pikir aneh
ya. Biasanya, akulah yang paling rasional cara berpikirnya dibanding
tiga sahabatku. Dan tentu saja ada hal-hal yang tak dapat kupikirkan
secara objektif karena menyangkut diriku sendiri.
"Hei, sebaiknya segera kembali ke teve yuk," ajak Randy,
"Sabs dan A1 pasti bingung kalau terlalu lama menunggu."
Aku mengangguk setuju. "Mh...Randy...," panggilku sesaat
sebelum beranjak keluar. Ia angkat nampannya dan menungguku
melanjutkan kalimat. "Apa?" "Nggak usah cerita pada Sabs dan A1 tentang masalah ini ya?"
bisikku. "Sabs kelihatan semangat banget dengan pernikahan ini. Aku
nggak ingin kelihatan sedih di mata sahabatku."
Randy segera mengangguk, "Nggak usah khawatir Katie."
"Lagian, sekarang aku masih sedih karena kaget dan belum siap
nerima. Barangkali di hari pernikahan nanti aku malah gembira.
Nggak lucu kan kalau sekarang sahabatku ikutan sedih dan pusing
memikirkanku," lanjutku.
Aku dan Randy lalu kembali ke ruang tengah. Randy
meletakkan nampan di atas meja. Aku duduk bersandar saat Randy
memutar video, tapi selama film diputar pikiranku menerawang jauh.
Percakapan di dapur tadi terus terngiang-ngiang di telingaku. Randy
mungkin benar. Yang kubutuhkan hanyalah waktu untuk dapat
menerima kenyataan ini dan menguasai emosiku. Kuharap, apa yang
dikatakan Randy benar. BAGIAN EMPAT "Katie!" kudengar Ibu memanggil saat aku di kamar mandi.
Sambil menghela nafas, kumatikan kran lalu kusambar handuk dan
keluar dari kamar mandi. Selama tiga minggu terakhir, Ibu
membuatku selalu sibuk. Kecuali saat sekolah atau mengerjakan tugas
rumah. Ia begitu repot mempersiapkan pernikahannya. Sudah
kuputuskan untuk menuruti nasehat Randy dan mencoba
membiasakan diri dengan kenyataan ini. Tapi saking sibuknya maka
tak cukup waktu bagiku untuk membiasakan diri.
Selesai mengeringkan tubuh, kukenakan baju handuk dan keluar
dari kamar. "Katie, kau di situ toh," sambut Ibu begitu melihatku keluar dari
kamar. "Sejak tadi Ibu mencarimu. Kau harus ambil serbet-serbet,
kemudian mampir di toko bunga untuk antar cek pembayaran,"
tegasnya sambil menyerahkan sehelai amplop padaku. Kuhela nafas
dengan rasa kecewa. Rencana yang telah kususun untuk pergi ke
pertokoan bersama sahabatku terpaksa kubatalkan. Ibu sudah sediakan
padaku setumpuk tugas di akhir pekan ini, bahkan mungkin untuk
minggu berikutnya. Hmm....setelah pernikahan ini berlalu mungkin aku merasa lega
dan bebas dari tugas berat. Waktuku tinggal seminggu lagi untuk
kulalui. "Ibu nggak nyangka akan serepot ini," tukasnya seraya
menghela nafas. "Repot. Banyak sekali yang harus dikerjakan,"
dijentikkannya jarinya lalu berseru, "Kakek dan Nenek Ryan nelpon
tadi pagi. Mereka akan nginap di sini."
Wah lengkaplah sudah, pikirku. Tujuh orang akan menginap di
rumahku. Bibi Elizabeth dan Paman Ted, sepupu Ibu, Jessie dan
suaminya, Mike, Pamanku Max dan Kakek serta Nenek. Rumahku
bakalan berubah jadi losmen. Kira-kira di mana ya mereka tidur?
"Kau harus segera berangkat Katie," lanjut Ibu sambil menuruni
tangga. "Ibu perlu banget serbet-serbet itu sebelum jam sebelas. Sebab
tepat jam sebelas nanti, perusahan catering akan mengambilnya. Dan
Ibu juga janji dengan fotografer setengah jam lagi."
Kuanggukkan kepala dan kembali ke kamar untuk dandan. Ibu
pasti nggak sempat sediakan sarapan pagi untukku. Biasanya setiap
akhir pekan ia selalu membuat pancakes untukku dan Emily. Tapi
sejak sibuk dengan rencana pernikahannya tak pernah lagi. Bahkan
Emily pun makin jarang di rumah, dan kali ini aku merasa beruntung
bisa dapat semangkuk bubur dingin.
Kukenakan celana jins dan switer rajutan warna peach. Saat
memasuki dapur, kudengar deru mobil Ibu meninggalkan halaman
rumah. Rasanya, takkan bertemu lagi deh dengannya. Ia begitu sibuk
dengan pekerjaan dan pernikahannya. Rasanya ingin sekali ngobrolngobrol dengannya. Tentang Jean-Paul, Ayah dan lain-lain, pokoknya
seabrek masalah. Kurasa semua itu dapat menolong melepaskan
segala unek-unek yang terpendam di hatiku. Tapi kelihatannya ia tak
punya waktu untuk itu. Kuperhatikan selembar memo yang diletakkan di bawah tempat
gula di meja dapur. Kuhampiri dan kubaca pesan yang tertulis di
atasnya. Katie, Jangan lupa jam 11.30 kau harus ke Betty Sue?s Bridal Shop
untuk mengepas baju. Kalau ketemu Emily, tolong ingatkan dia.
Love, Ibu Siapa bilang akan ketemu Emily? Dia habiskan seluruh
waktunya bersama Reed, pacarnya, dan sahabatnya Sarah. Sementara
aku pontang-panting mengerjakan setumpuk tugas dari Ibu. Satusatunya yang dapat kulakukan hanya menuliskan nama ?Emily? di


Girl Talk 16 Gara Gara Pesta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

samping namaku di memo itu. Kuharap Emily membacanya bila
pulang nanti. Segera kusantap sarapan pagiku dan menelepon Sabs untuk
membatalkan janji. Kusambar jaket dan segera kutinggalkan rumah.
Serbet-serbet itu dipesan di Ecco?s Stationary di Jalan Utama. Tak
seberapa jauh sih. Lagian senang bisa nikmati udara pagi yang segar.
Sambil menarik nafas, kucoba mengenyahkan segala pikiran penat
tentang pernikahan Ibu. Aku hanya ingin menikmati indahnya pagi.
Titik. "KC!" terdengar seorang memanggilku dari belakang saat
berbelok di persimpangan jalan. Kulihat Scottie Silver berlari
mengejarku. Ia mengenakan kaos, celana pendek serta sepatu kets.
Kelihatannya ia mengikuti saran-saran Pak Budd, pelatih kami, untuk
latihan secara teratur agar siap menghadapi setiap pertandingan.
"Hai Scottie," sapaku, "udah mulai latihan?" Scottie ikut
melangkah di sampingku. "Yap! Sudah kuputuskan untuk joging secara rutin selama
nggak ada pertandingan," sahutnya. "Dan lagi di SMA nanti tim hokinya lebih berat daripada di SMP. Kalau berhasil nembus SMA nanti,
aku mau juga gabung di tim hoki. Tentu aja bukan tahun pertama.
Pokoknya sudah harus siap-siaplah dari sekarang."
Aneh ya. Si hebat Scottie Silver mendadak khawatir nggak
diterima di tim hoki SMA. Biasanya dia selalu percaya diri dan yakin
akan kemampuannya. "Kau nggak perlu cemas," ujarku, "kau kan pemain hoki yang
baik." "Trims KC. Mh...kurasa kita lihat aja nanti," jawab Scottie
sambil mengangkat bahu. Kami pun melangkah perlahan-lahan dan
tiba-tiba kusadari tahun depan Scottie akan meninggalkan tim SMP
karena masuk ke SMA. "Pasti kangen deh padamu dan kangen dengan
kelihaianmu di lapangan es," gumamku perlahan sambil menunduk
dan menatap langkahku. Pasti banyak yang berubah seiring dengan
bergulirnya waktu. Aku tak ingin ada yang berubah dalam tim hoki
kami. Sebab tim yang sekarang ini benar-benar sudah hebat.
"Pasti nggak enak ya," aku Scottie jujur. Ketika kutatap,
matanya yang biru jernih itu juga tengah menatapku.
"Tapi KC, sebentar lagi kita akan bertanding dan kau
menempati sayap kiri lagi."
Aku tak begitu yakin hal itu. "Kudengar sekolah kita mau
membentuk tim hoki puteri," usikku.
"Masa sih?" Scottie kelihatan terkejut. "Tapi kau harus masuk
dong. Masa kau gabung terus dengan cowok-cowok sih?"
Aku tertawa mendengarnya, "Gimana sih kau ini, aku kan
cewek!" Wajah Scottie memerah menahan malu, "Ya... ya.. .aku tahu.
Tapi...," kalimatnya terputus. Suasana pun menjadi hening. Kemudian
Scottie mendehem dan berkata, "Aku punya khabar gembira untukmu
KC." "Berita apa?" Scottie tersenyum lebar, "Semalam aku ngomong-ngomong
dengan Pak Budd tentang anggota tim untuk tahun depan," jelasnya,
"dan ia khawatir juga mikirin kekompakan tim kita kelak."
"Oh. Maksudmu karena anggotanya banyak yang pindah ke
SMA, begitu?" tanyaku mengerutkan kening. Ya, pasti jadi masalah
pelik bagi tim. "Heeh," sahut Scottie datar. "Ia nyari kapten baru untuk tim
kita," Scottie menghentikan ucapannya sesaat sementara senyum di
bibirnya kian menyungging, "dan nada-nadanya sih jatuh ke kamu."
Aku ternganga mendengarnya. Kutatap Scottie dengan mata
terbelalak. "Aku?!" seruku tak percaya, "Jadi kapten tim tahun depan?
Yang bener ah! Lalu, gimana dengan Michel. Dia kan pemain
terbaik." Michel adalah atlit hoki terbaik di sekolah. Ia memang nggak
sempat mencetak gol dalam pertandingan terakhir, karena dia baru
saja gabung di tim. Seumur hidup, belum pernah kulihat orang
meluncur di atas es semulus Michel, kecuali Ayahku. Mungkin karena
dari Kanada. Di sana sejak kecil anak-anak sudah belajar es sketing.
Jangan-jangan mereka lahir lengkap dengan sepatu esnya?
"Michel memang cukup jago, siapa pun mengakuinya," puji
Scottie, "dan Pak Budd tahu persis kau pemain yang baik dan bisa jadi
contoh pemain lain. Kau telah latihan dengan keras dan mencetak gol
terbanyak dalam seluruh pertandingan." Rasanya senang sekali dengar
pujian ini. Memang betul, aku berlatih keras untuk dapat bergabung.
Tapi rasanya jadi nggak adil buat Michel ya?
"Tapi Michel kan juga...," protesku.
"Bukan Michel yang dicalonkan jadi kapten," potong Scottie,
"tapi kau!" Aku belum percaya apa yangbarusan kudengar! Rasanya nggak
sabar lagi pingin cepat-cepat kasih tahu Ibu. Dan melihat bagaimana
reaksi Jean-Paul mendengar anaknya tidak dicalonkan jadi kapten tim.
Entah kenapa, tiba-tiba kurindukan Ayah ada di sampingku. Ia
mengajarku meluncur di atas es sejak usia 4 tahun, dan aku yakin jika
dia masih hidup pasti bangga melihat prestasi anaknya sekarang.
"Sebaiknya aku joging lagi," tukas Scottie memecah
lamunanku. Disisirnya rambut pirangnya dengan jari-jemarinya.
"Tinggal beberapa mil lagi nih."
"Oke," sahutku, "sampai ketemu ya!"
Scottie mulai berlari di trotoar. Ketika jaraknya 10 meter di
depanku, ia putar tubuhnya dan memanggilku, "O ya KC," katanya,
"kau datang kan di pesta sixties Sabtu depan?"
Aku terperangah. Sabtu depan hari pernikahan Ibu! Kucoba
untuk menenangkan pikiran. Menurut Ibu, resepsi pernikahan pasti
selesai sebelum malam sedangkan pesta sixties baru dimulai pukul
setengah delapan malam. "Pasti dong!" sahutku teriak.
"Oke!" ia lambaikan tangannya, "Kalau gitu kita ketemu aja di
sana. Kau harus dansa denganku. Janji lho."
Aku tersenyum saat Scottie berlari meninggalkanku.
Kelihatannya hari-hariku semakin ceria saja. Jadi kapten tim hoki dan
Scottie Silver mengajak pergi ke pesta sixties.
Sejam kemudian, aku dalam perjalanan pulang ke rumah.
Kudengar suara Ibu mencuci piring di dapur.
"Hai Bu," sapaku sambil meletakkan kantong plastik berisi
serbet ke meja. Tak sabar ingin kuceritakan khabar gembira pada Ibu.
"Ibu pasti nggak percaya deh," kataku mulai bercerita.
"Hai Katie," sapanya balik, "itu serbet-serbetnya ya? Bagus,"
Ibu melangkah dan membuka kantong plastik untuk mengeluarkan
serbet. "Ya ampun...," pekik Ibu, "warnanya kok gini sih? Ibu kan
minta hurufnya dicetak dalam warna biru, kok malah ungu sih? Kau
nggak periksa dulu ya?"
Rasanya sudah kuperiksa deh. Memang bukan warnanya
melainkan nama serta tanggal pernikahannya. Semuanya benar.
Lagipula aku nggak tahu menahu soal warna yang dipesan Ibu.
"Kalau gitu Ibu terpaksa ke Ecco?s lagi," ujarnya dengan wajah
keruh dan cemberut. Dimasukkannya serbet itu ke kantong plastik.
"Hari ini, terpaksa nggak jadi nganterin serbet ke catering tempat Ibu
pesan makanan untuk pesta. Dan kalau gini caranya, Ibu harus buat
perjanjian baru lagi. Mudah-mudahan aja Ecco?s bisa cetak cepat kali
ini." Ditutupnya kantong plastik lalu diangkatnya sambil mengambil
nafas berat. Ia tinggalkan dapur dan terus saja menggerutu.
"Aku jadi kapten tim hoki tahun depan Bu," bisikku di tengah
kesuraman dapur. Tak seorang pun mendengar bisikku. Dan tiba-tiba
kurasakan semangatku hilang. Aku bersyukur, tak seorang pun
melihatku menangis. Dan tak seorang pun melihat air mataku
mengalir turun ke pipi. BAGIAN LIMA Sabs menelepon Katie. KATIE : Rumah keluarga Campbell, Katie di sini.
SABS : Katie? Ini aku, Sabrina. Lagi ngapain?
KATIE : Oh. Hai Sabs. Aku lagi santai kok.
SABS : Ada apa sih emangnya? Kok suaramu sedih banget,
padahal minggu depan Ibumu menikah. Kau nggak gembira
menyambutnya? Kapan saudara-saudaramu datang?
KATIE :Ah, nggak apa-apa kok. Saudara-saudaraku datang
Jumat depan. Pasti rumahku bakalan sumpek deh.
SABS : Yang pasti, asyik kan. Soalnya udah lama kau nggak
jumpa mereka kan? KATIE : Iya sih. Sejak tahun lalu malah, saat kami merayakan
Natal bersama di Minneapolis. Kurasa pasti akan menyenangkan.
SABS : Sayang sekali, kau nggak bisa ikutan jalan-jalan ke
pertokoan hari ini. Aku dapat gaun cantik untuk pesta pernikahan
Ibumu. Tali bahunya kecil seperti spageti. Eh...kau udah ambil serbetserbet itu dan selesaikan tugas-tugasmu?
KATIE : Beres boss, tapi Ibu bilang warnanya salah. Terpaksa
cetak ulang deh. Eh Sabs, aku harus nyiapin kartu tempat duduk nih.
SABS : Kartu tempat duduk?
KATIE : Heeh. Setiap tamu yang diundang akan tertulis di atas
kartu itu dan akan diletakkan di tempat duduk. Jadi setiap tamu tahu
tempat duduknya masing-masing. Tertib sedikitlah.
SABS : Wah...wah...baru tahu tuh. Kalau gitu sampai ketemu di
sekolah Senin besok ya? Dan sampaikan terima kasihku pada Ibumu
atas kartu undangannya. Senang sekali terimanya. Seumur-umur, baru
kali ini kuterima kartu yang begitu cantik di kotak suratku.
KATIE : Jelas dong, siapa dulu yang buat. Aku sendiri yang
menuliskan alamatnya. SABS : Hmm...kalau gitu sibuk banget dong nih? Yah, sampai
ketemu lagi deh. KATIE : Oke. Daahh. SABS : Daahh. Sabs menelepon Randy. RANDY : Yap. SABS : Randy. Hai, ini aku. Barusan kutelpon Katie dan
kedengarannya dia lagi murung tuh. Kau tahu nggak sih masalahnya?
RANDY : Hmm...apa ya? SABS : Ah kau pasti tahu deh Ran. Ceritain dong!
RANDY : Nggak ah Sabs. Aku udah janji sama Katie untuk
tutup mulut. SABS : Pasti masalah serius ya. Soalnya Katie nggak cerita
padaku sih. Lalu, apa dong yang membuatnya sedih? Kan Ibunya
sebentar lagi menikah. (Suasana hening sesaat) SABS : Ah...aku tahu sekarang. Jangan-jangan Katie nggak
setuju dengan pernikahan ini? Astaga...masa sih?
(Suasana hening lagi) SABS : Randy, betul begitu? Kau harus ceritakan supaya kita
bisa melakukan sesuatu untuk menolongnya.
RANDY : Sebetulnya sih...ingat nggak waktu kita semua
bermalam di rumahmu sehari sesudah Ibunya tunangan?
SABS : Ya, ingat betul. RANDY : Saat itu dia bilang kurang setuju dengan pernikahan
Ibunya. Ia keberatan mengungkapkan hal ini padamu, soalnya kau
kelihatan semangat sih untuk menghadiri pesta pernikahan itu dan ia
nggak mau mengecewakanmu.
SABS : Tapi, aku kan sahabatnya! Apa yang membuatnya sedih,
pasti membuatku sedih juga dan aku harus bantu. Allison tahu nggak
soal ini? RANDY : Kayaknya nggak tuh. Katie juga nggak akan cerita
padaku seandainya waktu itu aku nggak menanyakannya. Lama
kelamaan ia pasti terbiasa dan nggak canggung lagi.
SABS : Tapi kedengarannya dia makin sedih aja tuh. Mungkin
sebaiknya kutelpon lagi. Oh, aku tahu! Kutelpon Al dulu deh,
barangkali ia tahu apa yang harus kulakukan untuk menolong katie.
RANDY : Boleh juga. Eh Sabs, Ibuku mau nelpon nih. Udahan
dulu ya. SABS : Iya deh. Sampai besok!
RANDY : Ciao. Eh tunggu...kalau A1 sudah nelpon Katie,
jangan lupa ceritain hasilnya?
SABS : Oke boss. Daahh....
Sabs menelepon Allison. Charlie, adik Al, yang
mengangkatnya. "Hai," hanya itu yang diucapkannya, lalu
telepon ditutup. Tak lama kemudian Allison mengangkatnya lagi.
ALLISON : Hallo...siapa nih?
SABS : Al? Oh, untung kau ada di rumah.
ALLISON : Sabs! Astaga, udah lama ya?
SABS : Lammaaa banget. Eh Al, kau harus menolongku. Kita
harus bicara dengan Katie. Kayaknya ia sedih menghadapi pernikahan
Ibunya tuh. ALLISON : Sudah kuduga. SABS : Kau juga sudah tahu?
ALLISON : Sebetulnya sih cuma bisa-bisanya aku aja.
Belakangan ini Katie emang suntuk banget.
SABS : Aneh ya...kenapa aku jadi cuek dan nggak menyadari
semua ini. Rasanya ikut bersalah juga deh.
ALLISON : Nah, sekarangapa yang harus kita lakukan?
SABS : Aku ingin nelpon dan beritahu bahwa kita siap
mendengarkan semua masalahnya.
ALLISON : Boleh juga. SABS : Menurutmu cukup itu aja?
ALLISON : Setidaknya itu sebuah awal yang baik. Mungkin
kita bisa pikirkan upaya lain sebelum pesta pernikahan dilangsungkan.
SABS : Usulmu boleh juga Al. Mungkin kita bisa bantu Katie
mempersiapkan diri. Dengan begitu kita bisa menghiburnya sebelum
acara pemberkatan dimulai. Kira-kira Katie terhibur nggak ya?
ALLISON : Gimana kalau kau telpon dan tanyakan langsung?
Oh...apa kau sudah dengar, Billy bilang Scottie telah menyampaikan
berita gembira ke Katie. Katie dicalonkan jadi kapten tim hoki sekolah
tahun depan. SABS : Yang bener! Bagus dong. Kok Katie nggak kasih tahu
kita sih? ALLISON : Yah, mungkin hal itu nggak penting dibandingkan
pernikahan Ibunya. SABS : Maksudmu? ALLISON : Menurutku, pesta pernikahan itu perlu banyak
perencanaan dan persiapan matang. Kau lihat sendiri kan gimana
sibuknya dia? Akhir-akhir ini ia nggak punya waktu lagi untuk jalan
bareng sama kita. Kelihatannya pernikahan itu benar-benar menyita
waktunya deh. SABS : Sebetulnya sih Katie cerita kejengkelan Ibunya karena
warna cetakan serbet yang dipesannya salah.
ALLISON : Nah, betul kan. Banyak pekerjaan kecil yang harus
diselesaikan dengan ketelitian tinggi.
SABS : Yah. Kurasa sebaiknya kuhubungi Katie sekarang.
ALLISON : Oke. Semoga sukses ya!
SABS : Trims Al. Daahhh ALLISON :,Daahh.... Sabs kembali menelepon Katie.
KATIE : Hallo, Katie di sini.
SABS : Hai Katie, aku lagi nih.
KATIE : Oh, hai Sabs. SABS : Selamat ya! KATIE :Selamat apa? Yang mau nikah bukannya aku kan.


Girl Talk 16 Gara Gara Pesta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

SABS : Kudengar kau calon kuat kapten tim hoki tahun depan.
Hebat deh! KATIE : Oh, trims atas ucapan selamatnya. Aku sendiri hampir
lupa hal itu. SABS : Lupa?! Mana mungkin ah? Itu kan berita luar biasa.
Aku nggak percaya rasanya, kau akan jadi kap-en tim hoki putera!
KATIE : Yah seharusnya sih aku senang.
SABS : Ibumu pasti bangga mendengarnya. Buktinya, waktu
pertandingan tempo hari ia ikut menyaksikannya kan?
(Suasana hening sejenak) KATIE : Ibu belum tahu. SABS : Kau nggak memberitahukannya? Kenapa?
KATIE : Sudah kucoba. Tapi Ibu marah-marah lantaran warna
serbet yang dicetaknya salah. Sudah kuceritakan padamu kan?
SABS : Katie...kau baik-baik aja kan? Suaramu kok sedih
banget sih.... KATIE : Aku baik-baik aja kok.
SABS : Ayolah KC, ini aku, sahabatmu....
KATIE: Sebenarnya.... SABS : Sebenarnya apa? Ayo, ceritakan semua yang
mengganjal di hatimu. KATIE : Kurasa aku nggak siap dengan pernikahan Ibu. Sudah
kucoba. Kukira lambat laun aku bisa terima juga. Nyatanyanggak.
Padahal minggu depan pernikahan akan dilangsungkan.
SABS : Aku yakin semuanya lancar.
KATIE : Mungkin. Tapi Ibu jadi begitu sibuk sehingga aku
nggak sempat lagi cerita. Kadang kehadiranku malah dianggap angin
lalu. Mana Emily jarang pulang. Semua rasanya berubah drastis dan
aku nggak suka perubahan seperti ini.
SABS : Katie, segala sesuatu yang ada di bumi ini senantiasa
berubah. Kalau nggak ada yang berubah, pasti bosan dong?
KATIE : Betul juga sih. Tapi semuanya terlalu cepat. Sorry ya
Sabs. Aku tahu kau begitu gembira menyambut pesta pernikahan
Ibuku. Kalau kau mau, kita bisa bicarakan soal lain aja.
SABS : Katie, jika ada sesuatu yang merisaukanmu, tentu aja
aku siap mebantumu. Itu pun kalau kau nggak keberatan
menceritakannya padaku. Itu kan gunanya persahabatan.
KATIE : Trims. SABS : Aku punya ide nih. Gimana kalau aku, A1 dan Randy
datang beberapa jam sebelum pesta dimulai? Kita kan bisa bantu
kamu berkemas. Pasti seru deh. Keberatan nggak?
KATIE : Sama sekali nggak. Aku malahan senang jika kalian
mau menemaniku. Mungkin Ibu takkan mengijinkan, soalnya
rumahku bakalan dipenuhi saudara-saudaraku.
SABS : Kalau gitu, tanyakan dulu deh pada Ibumu. Eh,
bukannya aku mau mengalihkan pembicaraan nih, tapi ngomongngomong apa kau udah dapat pakaian ala 60-an buat pesta dansa
minggu depan? KATIE : Waduh! Aku sama sekali lupa tuh soal pesta dansa!
Kalau gitu harus cepat-cepat sempatkan diri bongkar gudang mingguminggu ini!
SABS : Nggak perlu panik gitu. Kalau nggak dapat, kau masih
bisa cari di ?kotak wasiat? Ibuku kan? Aku senang deh, kau akan
tinggal bersama kami sementara Ibumu dan Pak Beauvais pergi bulan
madu nanti. Begitu resepsi pernikahan selesai, kau ikut pulang ke
rumahku kan? KATIE : Ya. Ibuku dan Jean-Paul langsung bulan madu ke
Perancis sedang saudaraku segera pulang ke rumah masing-masing.
Kira-kira sekitar jam lima sore deh.
SABS : Aku udah nggak sabaran deh. Selama 2 minggu kita
akan tinggal seatap! Kau udah tahu, Michel akan tinggal di sini lho.
Dia tidur di kamar Sam dan Mark.
KATIE : Apa?! Yang bener nih? Aku belum tau tuh. Kurasa Ibu
lupa beritahu padaku. Belakangan ini ia terlalu tegang dan banyak
pikiran. SABS : Pokoknya siiplah! KATIE : Eh Sabs, terima kasih ya kau sudah nelpon dan
mengajakku bicara. Perasaanku jadi lebih lega sekarang. Akan kucari
Ibuku dan mencoba bicara dengannya.
SABS : Sukses. Mudah-mudahan ia ijinkan kita datang lebih
awal dan menemanimu dandan. Dan jangan lupa, ceritakan juga
tentang terpilihnya kau jadi kapten tim hoki!
KATIE : Oke. Sampai Senin Sabs. Dan Sabs?
SABS : Ya? KATIE : Trims. Pokoknya thank?s berat ya.
SABS : Itu gunanya sahabat kan? Daahh Katie.
KATIE : Daahhh. BAGIAN ENAM Begitu telepon kututup, langsung kucari Ibu. Ia tengah
menyelesaikan kartu-kartu tempat duduk di meja dapur.
"Bu?" panggilku sambil duduk di sebelahnya. Ibu tengah
menyelesaikan sebuah nama pada kartu dan meletakkannya
ditumpukan kartu-kartu yang sudah selesai.
"Ada apa Katie?" tanya Ibu sambil mencomot kartu lain yang
masih kosong tanpa menolehku.
"Apakah Sabs, A1 dan Randy boleh datang lebih awal Sabtu
depan untuk membantuku berkemas?" tanyaku.
Ia melirikku sebelum menjawab, "Katie, kau tahu kan rumah
kita kedatangan banyak tamu apalagi Kakek dan Nenek juga
menginap di sini. Belum lagi fotografer yang sibuk mengambil
gambar. Ibu rasa kehadiran tiga temanmu itu bukan suatu gagasan
yang baik deh. Mereka hanya menambah sesak aja." Kemudian Ibu
kembali memusatkan perhatiannya pada kartu-kartunya. Kugigit bibir
bawahku dan kutundukkan kepala.
"Oh. Kurasa benar juga," sahutku perlahan. Lewat ujung
mataku, kulihat ia tengah menatapku. Tak berani kubalas tatapannya.
Bisa-bisa aku malah menangis jadinya.
"Tapi," lanjutnya setelah diam sejenak, "mungkin kau juga
perlu bantuan dari sahabatmu. Kalau kau mau boleh aja undang
mereka." "Betul nih Bu? Oh...terima kasih!" seruku sambil melompat
dari tempat duduk untuk memeluknya. Dengan kehadiran sahabatku,
pesta pernikahan Ibu semakin mudah kuhadapi. Tadinya akan
kutelpon Sabs untuk memberitahukannya, tapi tiba-tiba aku teringat
akan menyampaikan sesuatu ke Ibu. Itu lho, soal pencalonanku
sebagai kapten tim. "Oh Katie...Ibu senang mendengarnya!" serunya begitu selesai
kuutarakan, "Ibu benar-benar bangga padamu. Kau pantas menerima
kehormatan itu. Terlebih lagi setelah rnelihat permainanmu yang
cemerlang dalam pertandingan kemarin." Tiba-tiba saja aku
tersenyum kemenangan setelah beberapa hari suram dan muram, "Ibu
perlu dibantu untuk menyelesaikan kartu itu?" kucoba menawarkan
diri. Lagipula sebetulnya akulah yang ditugaskan untuk
menyelesaikan kartu-kartu itu kan?
"Nggak perlu sayang. Ibu bisa selesaikan sendiri," Ibu
mengecup keningku. "Sebaiknya kau istirahat dulu. Selama ini Ibu
sudah cukup membuatmu sibuk. Kau juga perlu santai kan?"
Kunaiki tangga menuju meja telepon, tapi seperti biasanya
Emily tengah menggunakannya. Pintu kamarnya ditutup. Namun
kulihat kabel telepon menyelip di antara daun pintu. Mungkin ia
sedang bicara dengan Reed, pacarnya, dan itu berarti aku harus
menunggu. Kuketuk pintu dan kupanggil, "Emily?" Emily membuka
pintu dengan gagang telepon masih di tangan.
"Iya deh Reed," ujarnya seraya memberi tanda padaku bahwa ia
segera menyudahi percakapan, "sampai ketemu besok ya? Daahh...."
Setelah menutup telepon, Emily menatapku. "Hai Katie,"
sapanya, "aku senang bisa ketemu kamu."
"O ya?" aku agak terkejut mendengarnya. Soalnya sebulan
terakhir ini Emily nampaknya sengaja menghindari aku dan Ibu. Kok
sekarang tiba-tiba senang? Aneh.
"Ya. Ada yang ingin dibicarakan. Tentang pesta pernikahan
Ibu," ujar Emily seraya menyibakkan rambut dari bahunya. Untuk
pertama kalinya, sejak pertunangan Ibu dan Jean-Paul, kulihat Emily
agak tenang. Nggak tegang dan muram seperti biasanya.
"Semuanya harus lancar," lanjut Emily, "hari itu akan jadi hari
istimewa untuk Ibu. Maka harus sempurna betul."
"Tap...tapi...," ujarku gugup tanpa tahu harus mengatakan apa.
Bahkan untuk menanyakannya kenapa tiba-tiba jadi periang pun tak
berani. Lagipula aku belum pernah tahu perasaan Emily yang
sebenarnya selama ini. Kami belum sempat ngobrol panjang lebar.
Diletakkannya gagang telepon di atas meja dan diputar tubuhnya
menghadapku. "Tapi apa?" tanyanya.
"Kukira kau nggak senang dengan pernikahan Ibu," kataku
bingung. Sambil menarik nafas dalam-dalam, Emily menjawab,
"Mulanya sih gitu. Tapi sekarang kusadari semua itu untuk kebaikan
bersama, Katie. Ibu begitu bahagia dan kita semua menginginkan
yang terbaik untuknya kan?"
Kuanggukkan kepala lalu duduk di tepi ranjang Emily. Aku
juga ingin melihat Ibu bahagia. Tapi kenapa ya, kok masih saja kurang
percaya diri menghadapi semua ini. Serba ragu.
"Maaf ya kalau belakangan ini jadi jarang di rumah," tambah
Emily, "aku tahu, kau terbebani tugas-tugas yang seharusnya bisa
kubantu." Semua tugas yang kukerjakan selama ini tak lagi kupikirkan
sama sekali. Aku merasa plong karena akhirnya Emily mau
membicarakan masalah ini secara terbuka sehingga dapat kutahu
perasaannya. "Nggak apa-apa kok," tukasku senang.
"Kau tahu," ujar Emily yang kemudian duduk di sampingku dan
memeluk bahuku, "aku merindukan Ayah."
Kubalikkan tubuhku dengan terkejut, "Kau juga kangen?"
Emily mengangguk. "Aku jadi teringat masa lalu kita saat
masih kecil. Melewati waktu bersama Ayah. Kau ingat waktu...."
Perkataan Emily terputus saat Ibu masuk kamar membawa dua
gaun pengiring pengantin.
"Bagaimana menurut kalian?" tanya Ibu memotong percakapan,
"Jean-Paul lebih suka warna biru laut atau biru muda seperti ini?"
Aku dan Emily bertukar pandang kemudian terbahak-bahak
mendengar pertanyaan Ibu yang agak lucu. Aneh, kita kan belum
begitu kenal pribadinya Jean-Paul, dari mana kita tahu warna
kesukaannya? Kurasa Emily pun punya jalan pikiran yang sama
denganku. Tapi pertanyaan Ibu sama sekali nggak mengganggu
pikiranku. Sebab, aku dan Emily masih dapat berbagi cerita tentang
kenangan lama bersama Ayah dulu. Dan apa pun yang disukai atau
tidak oleh Jean-Paul bukan masalah bagi kami.
************* Minggu terakhir menjelang pesta pernikahan, hari berlalu begitu
cepat. Tiba-tiba kami sudah memasuki hari Jumat. Malamnya akan
diadakan gladi resik upacara dan resepsi, sementara pesta akan
dilangsungkan Sabtu siang. Ibu mengijinkan aku dan Emily tidak
masuk sekolah, supaya kami bisa ikut menyambut dan mengurus
kedatangan tamu-tamu di rumah.
"Ayah! Ibu!" seru Ibu menyambut kehadiran Kakek dan Nenek
Ryan saat memasuki pintu rumah Jumat siang. "Aduh sudah lama
sekali nggak ketemu ya...."
"Eileen!" seru Kakek dan Nenekku berbarengan. Kakek hanya
mencium pipi Ibu sedangkan Nenek memeluk Ibu erat-erat.
"Kami senang sekali," ujar Nenek. "Kapan kita bisa jumpa
dengan pria Perancis misterius itu?"
"Nanti malam Bu," sahut Ibu tersenyum, "di acara gladi resik."
"Aduh nggak sabar lagi rasanya," ujar Kakek setengah
menggoda. Saat melihat kehadiran aku dan Emily di dekat tangga,
Kakek segera menghampiri dan mengecup Emily. Diletakkan
tangannya di belakang telingaku seperti mengambil sesuatu dan tibatiba Kakek sudah menggenggam sekeping uang logam yang kemudian
diserahkan padaku. "Wah...telingamu menyimpan banyak uang Katie," ujarnya
sambil tertawa. Itu memang kebiasaan Kakek. Main sulap dengan
telinga dan uang logam. Waktu masih berumur tujuh atau delapan
tahun, aku masih terkagum-kagum dengan kepandaiannya ini. Tapi
sekarang nggak lagi. Aku tak ingin melukai perasaannya, sehingga
aku pura-pura gembira dengan ulahnya.
"Hai Kek," ujarku sambil memeluk. Ibu menggandeng lengan
Nenek dan mengajak kedua orangtuanya memasuki ruang tamu.
Sambil melangkah, Ibu menolehku dan Emily, "Kalian bisa bantu
angkat barang Kakek dan Nenek ke kamar Emily?"
Setelah memasukkan barang-barang ke kamar Emily, aku
langsung masuk ke kamar. Haras kurapihkan sebagian barangbarangku, soalnya Pamanku, Max, akan segera tiba dan menempati
kamarku. Kakak Ibuku, Bibi Elizabeth dan suaminya, Ted, akan tidur di
kamar tidur tamu sementara sepupuku, Jessie dan Mike, di sofa ruang
tamu. Aku sendiri mungkin harus menyiapkan sofa di ruang tengah,
sementara Emily akan menginap di rumah Sarah, temannya. Aku
nggak bisa bayangkan situasi besok pagi. Di rumah ini kan cuma ada
satu kamar mandi! Tiba-tiba kudengar Ibu memanggil. Segera kuturuni tangga
masih dengan pakaian tidur dan beberapa pakaian lainnya di tangan.
Kulihat Ibu berdiri di ruang tamu.
"Katie, maukah kau pergi ke pasar swalayan sebentar?" pinta
Ibu sambil merapihkan rambutku, "Ibu lupa beli roti untuk makan
siang. Sebentar lagi Paman Max akan datang dan pasti lapar deh."
"Baik Bu," sahutku sambil menerima uang yang disodorkan
Ibu. Aku kembali ke kamar. Kumasukkan pakaian yang tengah
kurapihkan ke dalam tas plastik. Kemudian kembali menuruni tangga
dan menyimpan tas plastik itu untuk sementara di lemari bawah
tangga. Sebetulnya, aku merasa senang menerima tugas ini. Soalnya
punya waktu untuk keluar rumah. Tak lama lagi rumahku pasti sesak
Anggukan Sapi Betina 2 Wiro Sableng 064 Betina Penghisap Darah Kursi Perak 1
^